THE EFFECT OF PALM OIL EXPORT TO ECONOMIC GROWTH OF INDONESIA EDI ABRAL*
ABSTRACT Purpose of this research is to know palm oil export influence to economic growth in Indonesia. This research applies data time series started from the year 1985 up to 2010. Data applied in this research is economic growth of Indonesia, foreign capital investment in manufacture sector and labour in manufacture sector. Data is analysed by using method Two Stage Least Square ( 2SLS). Result of research and testing of hypothesis indicates that palm oil export influential and positive contribution to economic growth of Indonesia and variable dummy in the year 2007 showing negative contribution to economicgrowth. Side that is economic growth and FDI influential signifikan to palm oil export.Economic growth, FDI, output value and manufacture export influential signifikan to absorbtion of labour. Keyword: Economic Growth, Foreign Direct Investment ( FDI), Palm oil Export
____________________________ *Staf Pengajar PadaPoliteknik Negeri Lhokseumawe
1
I. PENDAHULUAN Pertumbuhanekonomisuatunegaradapatdidorongolehpeningkatankonsumsi , investasidaneksporbersih (yaituselisihekspordenganimpor).Padaumumnya, konsumsi, terutamakonsumsirumahtanggamerupakanbagianterbesardaripendapatannasional, namunnegara yang hanyamengandalkanpadapeningkatankonsumsidapatdipastikanpertumbuhannyatid akakanberkesinambungan (unsustainable/short-lived). Peningkatankonsumsitidakdisertaidenganpeningkatankapasitasproduksiakandiikut iolehinflasi yang padaakhirnyaakanmemperlambatbahkanmenghentikanpertumbuhan. Olehkarenaitu, kegiataninvestasiuntukmemperluaskapasitasproduksimerupakanfaktorutamadalam mendorongpertumbuhanekonomi yang berkesinambungan. Krisisekonomi yang melandaIndonesia membuat ”keajaiban Indonesia” selamapemerintahan Suharto menjadiresesi kembali. Sektor keuangan dan perbankan yang pada masa Orde Baru berkembang sangat pesat berubah kurang berfungsi, terutama karena kredit macet antar bank. Dari sisi agregate demand, sektor industri manufaktur dan sektor konstruksi juga mengalami penurunan produksi yang sangat signifikan. Praktis hampir semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan negatif. Indonesia adalah negara net exporter minyak sawit, tetapi dalam keadaan mendesak juga mengimpor minyak sawit. Negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia adalah Eropa Barat, India, Pakistan,Cina, dan Jepang. Produk yang diekspor adalah minyak olahan tahap awal seperti RBD palm oil, CPO dan beberapa produk oleokimia. Secara umum, ekspor minyak sawit Indonesia pada 1980-2005 meningkat 12,9%/tahun. Pada tahun 2005 pangsa ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 39,35% dari ekspor minyak sawit dunia, dan pada periode yang sama, pangsa ekspor minyak sawit Malaysia sekitar 50,68%. Pada tahun 2006 pangsa ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 39,18% dari ekspor minyak sawit dunia dan Malaysia sekitar 50,31%. Dengan demikian, pangsa pasar Malaysia cenderung menurun, sebaliknya pangsa pasar Indonesia makin meningkat seiring dengan peningkatan produksi minyak sawit Indonesia. (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2007) Selama 10 tahun terakhir, konsumsi minyak sawit domestik sekitar 2530% dari produksi. Penggunaannya adalah untuk bahan baku industri pangan 8085% dan industri nonpangan (15-20%). Pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri adalah sekitar 5,5%/tahun. Pada periode 2006-2010, konsumsi minyak kelapa sawit Indonesia diproyeksikan sekitar 4-6,86 juta ton, kenaikan terbesar diperkirakan berasal dari industri biodiesel. (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2007) Ekspor minyak kelapa sawit ikut berkontribusi dalam meningkatkan jumlah ekspor Indonesia. Ekspor minyak kelapa sawit secara rata-rata mengalami pertumbuhan yang cukup baik. Pada tahun 1985 ekspor minyak kelapa sawit bernilai 189.4 milyar US $, tahun 1990 ekspor minyak kelapa sawit menjadi 203.5 milyar US $. Tahun 2000 ekspor minyak kelapa sawit tumbuh dengan cukup pesat 2
menjadi 1087.3 milyar US $ dan pada tahun 2005 menjadi 3756.3 milyar US $. (BPS, 2007). Industri kelapa sawit menjadi daya tarik tersendiri bagi Penanaman Modal Asing. Tingginya harga CPO (Crude Palm Oil) akibat digunakannya sebagai campuran pembuatan bahan bakar alternatif menjadikan pelaku pasar semakin tertarik terhadap produk kelapa sawit. Keadaan ini memicu tingginya minat investasi di sektor kelapa sawit. Hal ini dapat diidentifikasi dari tingginya pengajuan investasi untuk sawit. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat pada tahun 2006 sektor tanaman pangan dan perkebunan (termasuk sawit) menarik penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri masing-masing sebesar US$ 792.7 juta dan Rp 7.994 triliun. Perdagangan internasional seringkali dikatakan sebagai motor penggerak pembangunan (engine of growth). Dikatakan sedmikian rupa karena beberapa alasan. Pertama, melalui perdagangan internasional negara dapat memperluas pasarnya sehingga permintaan akan output dari negara tersebut meningkat. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan produk domestik bruto (PDB) negara bersangkutan akan meningkat. Kedua, meningkatnya ekspor akan ikut mengatasi masalah keterbatasan devisa sehingga memungkinkan negara untuk mengimpor barang-barang produktif yang berguna untuk meningkatkan output. Ketiga dengan perdagangan internasional, suatu negara akan dihadapkan pada persaingan internasional, yang akan memaksa para produsen dalam negeri untuk terus meningkatkan mutu produk yang dihasilkannya dan menurunkan biaya produksi. Teori Perdagangan Internasional Pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses, bukan suatu gambaran ekonomi pada suatu saat. Disini terlihat aspek dinamis dari suatu perekonomian, yaitu melihat bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Selain itu pertumbuhan memiliki sifat self generating yaitu proses pertumbuhan itu sendiri melahirkan kekuatan atau momentum bagi timbulnya kelanjutan pertumbuhan tersebut dalam periode selanjutnya. Kuznet memisahkan enam karakteristik yang terjadi dalam proses pertumbuhan pada hampir semua negara dan dari pendapatnya tersebut dibawah ini terlihat bahwa salah satu faktor yang sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yaitu perdagangan (ekspor). Dua variabel ekonomi agregatif : tingginya tingkat pertumbuhan output per kapita dan populasi dan tingginya tingkat kenaikan produktivitas faktor produksi secara keseluruhan atau terutama produktivitas tenaga kerja. Dua transformasi struktural: tingginya tingkat transformasi struktur ekonomi dan tingginya tingkat transformasi sosial dan ideologi. Dua faktor yang mempengaruhi meluasnya pertumbuhan ekonomi internasional : kecenderungan negara-negara maju secara ekonomi untuk menjangkau seluruh dunia untuk mendapatkan pasar (ekspor) dan bahan baku dan pertumbuhan ekonomi ini hanya dinikmati oleh sepertiga populasi dunia. Ada beberapa alasan terjadi peningkatan yang cukup besar dalam aliran pinjaman dan investasi bagi perkembangan ekonomi, antara lain (Van Den Berg, 3
2001): pertama, negara berkembang merubah kebijakan mereka dalam investasi asing. Beberapa dekade yang lalu ada pembatasan terhadap kepemilikan asing terhadap perusahaan dan kebijakan pemerintah sering memperlakukan investasi asing lebih sedikit dibandingkan penanaman modal dalam negeri. Lebih lanjut diharapkan aliran modal yang masuk ke negara berkembang dapat meningkatkan kebijakan ekonomi yang diadopsi oleh banyak negara berkembang. Peningkatan kebijakan ekonomi membantu meningkatkan pertumbuhan yang besar dalam perekonomian yang selanjutnya merangsang aliran investasi asing. Teori Hekscher – Ohlin menjelaskan beberapa pola perdagangan dengan baik, negara-negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah secara intensif. Menurut Hecksher – Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan komparatifnya adalah: Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi didalam suatu negara. Faktor intensity, yaitu teknologi yang digunakan didalam proses produksi, apakah laborintensity atau capital intensity. Model kesenjangan ganda sudah merupakan perluasan dari model Harrod – Domar yaitu dengan memasukkan masalah perdagangan luar negeri sebagai variabelnya. Model ini merupakan hasil pemikiran yang dikemukakan oleh Prof. Chenery, Mc Kinnon dan beberapa ahli ekonomi lainnya. Dalam dekade terakhir ini dipergunakan secara luas untuk memperkirakan kebutuhan akan modal asing (Foreign Capital Inflow) dalam mencapai suatu tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan (Meier: 1976). Pembahasan dari model kesenjangan ganda ini didasarkan pada anggapan bahwa hampir disemua negara-negara berkembang menghadapi masalah utama. Kedua masalah tersebut yaitu kurangnya tabungan domestik untuk membiayai investasi dan kurangnya devisa untuk membeli bahan-bahan baku dan barang modal untuk produksi yang harus diimpor dari luar negeri dalam proses pembangunan. Model ini mengasumsikan bahwa salah satu dari dua kesenjangan ganda itu akan sangat dominan bagi masing-masing negara berkembang dalam periode tertentu. Apabila kesenjangan yang terbesar adalah kesenjangan tabunganinvestasi maka jelaslah bahwa pertumbuhan ekonomi di negara tersebut dibatasi oleh kekurangan jumlah tabungan domestiknya yang disebut dengan terkendala oleh investasi (to be investment limited). Sebaliknya, bila kesenjangan terbesar berasal dari kesenjangan devisa yang tersedia maka disebut dengan dibatasi oleh perdagangan (to be trade limited). Perlunya modal dari luar negeri bagi pembangunan negara-negara berkembang bersumber dari teori model dua kesenjangan (two gap model). Teori ini menjelaskan peranan modal luar negeri dalam menunjang pembangunan negara-negara berkembang yang secara kronis mengalami dua macam kesenjangan dalam waktu bersamaan. Kedua gap tersebut adalah kurangnya tabungan domestik terhadap dana investasi yang diperlukan (saving gap) dan
4
penerimaan ekspor yang lebih kecil dari kebutuhan devisa untuk impor bahan baku, barang modal maupun jasa-jasa yang diperlukan (trade gap). Pengembangan Hipotesis Adam Smith menjelaskan bahwa dengan adanya perdagangan luar negeri suatu negara dapat menaikkan produksi barang dan jasa yang sudah tidak dapat dijual di dalam negeri akan tetapi masih dapat dijual di luar negeri. Selanjutnya, dengan adanya ekspor tersebut negara itu dapat mengimpor barang-barang luar negeri bukan saja akan memperbesar tingkat produksi, tetapi juga akan menambah jumlah barang yang akan dikonsumsi oleh penduduknya. Selain itu perluasan pasar yang terjadi akan mendorong sektor produktif untuk menggunakan teknik produksi yang lebih tinggi produkvitasnya dengan memperkenalkan teknologi yang lebih baik daripada yang ada di dalam negeri. Analisa Smith ini dikenal sebagai doktrin vent for surplus (Soemitro; 1991). Bagi setiap negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, ekspor akan mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Di satu sisi pengaruh ekspor bisa meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, sedangkan di lain pihak dapat menjadi ketidakstabilan perekonomian.Menurut Todaro (1997), ekspor merupakan:“ The value of all goods and non-factor services sold to the rest of the world; They include merchandise, freight, insurance, travel, and other non-factor service. The value of factor services (such as investment receipts adn workers remittance from abroad) is excluded from this measure”. David Ricardo pemikir ekonomi yang paling menonjol dari mazhab klasik menunjukkan bahwa apabila suatu negara sudah mencapai full employment, perdagangan luar negeri memungkinkan negara tersebut mencapai tingkat konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa adanya perdagangan luar negeri (Sadono; 1985). Analisa Ricardo menjelaskan tentang keuntungan yang diperoleh dari perdagangan luar negeri apabila masing-masing negara mengadakan spesialisasi, yaitu memperbesar produksi barang-barang yang mempunyai keuntungan berbanding (keunggulan komparatif). Pandangan bahwa perdagangan luar negeri dan hubungan ekonomi dengan negara lain dapat mempertinggi tingkat produktivitas kegiatan produksi diuraikan dengan lebih mendalam oleh John Stuart Mill. Sesuai dengan Smith, Mill berpendapat bahwa perluasan pasar yang diakibatkan oleh perdagangan luar negeri akan menciptakan dorongan untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Perdagangan luar negeri akan mempertinggi spesialisasi, mempertinggi efisiensi penggunaan mesin yang ada, dan akan mendorong usaha-usaha untuk memperbaiki efisiensi proses produksi dengan mengadakan pembaharuan-pembaharuan (inovasi). Keuntungan lain terutama dinikmati oleh negara-negara yang tingkat perkembangan masih rendah. Perdagangan luar negeri akan memberikan kesempatan pada mereka untuk menggunakan teknik produksi yang lebih baik, yang dapat diperoleh dari negara-negara yang lebih maju, mengimpor modal dari negara-negara lain dan dengan demikian dapat meningkatkan produksi di atas yang mungkin dicapai apabila pembentukan modal hanya dibiayai oleh modal 5
yang dikerahkan di dalam negeri, dan mengembangkan ide-ide baru yang dapat menghancurkan pengaruh kebiasaan-kebiasaan lama, menciptakan keinginan baru, mengembangkan cita-cita baru dan memperluas pandangan ke depan.Analisa Mill di atas terutama menunjukkan tentang timbulnya kemungkinan menaikkan tingkat produktivitas sebagai akibat dari adanya hubungan ekonomi dengan luar negeri yang disebut sebagai productivity. Pertumbuhan outpu terjadi karena peningkatan produktivitas dari faktor-faktor produksi yang digunakan seperti tenaga kerja dan barang modal atau peningkatan/pemanfaatan skala ekonomis. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai proses dimana Produk Domestik Bruto (PDB) maupun pendapatan per kapita secara riil meningkat. Proses tersebut dianggap sebagai proses dinamis dari suatu perekonomian, yaitu melihat bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Selain itu pertumbuhan memiliki sifat self generating yaitu proses pertumbuhan itu sendiri melahirkan kekuatan atau momentum bagi timbulnya kelanjutan kelanjutan pertumbuhan tersebut dalam periode selanjutnya. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tujuan penting dari kebijakan ekonomi makro. Perekonomian yang tumbuh akan memberikan kesejahteraan yang lebih baik bagi penduduk negara yang bersangkutan. Untuk mengetahui kemajuan dan kesejahteraan suatu perekonomian dibutuhkan suatu alat ukur yang tepat. Alat ukur yang biasa digunakan adalah Produk Domestik Bruto (PDB).Permasalahan pertumbuhan ekonomi tergantung pada kemampuan masyarakat dalam menabung dan menanamkan modalnya (investasi). Kenaikan investasi menyebabkan naiknya pendapatan. Pendapatan yang meningkat menyebabkan permintaan yang lebih besar terhadap barang-barang konsumsi. Kenaikan tersebut pada gilirannya menyebabkan kenaikan pada pendapatan dan pekerjaan. Proses ini cederung komulatif, akibatnya kenaikan tertentu pada investasi menyebabkan kenaikan yang tinggi pada pendapatan melalui kecenderungan berkonsumsi (marginal propensity to consume). Hal ini disebut dengan multiplier. Dalam upaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, pemerintah berupaya mendorong dan meningkatkan investasi sektor swasta melalui berbagai kebijakan deregulasi yang diarahkan pada investasi di bidang industri untuk meningkatkan ekspor. Investasi asing langsung (FDI) dapat dianggap sebagai salah satu sumber modal pembangunan ekonomi yang penting. Untuk itu, berbagai kebijakan di bidang investasi perlu diciptakan dalam upaya menarik investor swasta dalam negeri dan asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang bertujuan untuk peningkatan ekspor dan pengurangan jumlah pengangguran. Beberapa studi empiris mengindikasikan bahwa ada hubungan positif antara tingginya GDP suatu negara dengan aliran FDI yang masuk. Walau bagaimanapun hubungan tersebut tidak berlaku pada semua daerah. FDI mempunyai efek positif dan penting terhadap pertumbuhan ekonomi (Wang, 2003). Kepemilikan asing juga berkontribusi positif dalam meningkatkan integrasi perusahaan dalam perekonomian global melalui ekspor dan impor (Arnold dan
6
Javorcik, 2005). FDI bisa menjadi harapan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk mempercepat proses transfer teknologi. Peran penanaman modal asing (FDI) dalam proses pembangunan ekonomi negara-negara maju dan berkembang telah banyak diutarakan dalam literatur pembangunan ekonomi nasional dan pembangunan ekonomi daerah. Lalu lintas modal asing antar negara dan antar lokalitas di dunia tersebut akan berlalu-lalang mengikuti dinamika perkembangan perusahaan-perusahaan lintas nasional (MNC) dan perusahaan global (global firms) yang dipermudah dengan globalisasi dan temuan teknologi. Bersama-sama dengan investasi domestik dan investasi masyarakat, FDI masih merupakan pilihan stratejik untuk memanfaatkan momentum perekonomian Indonesia dimasa yang akan datang. Bagi banyak negara termasuk Indonesia, perdagangan internasional khususnya ekspor mempunyai peranan yang sangat penting yakni sebagai motor penggerak perekonomian. Ekspor menghasilkan devisa, yang selanjutnya digunakan untuk membiayai impor dan pembangunan sektor-sektor ekonomi dalam negeri. Secara teoritis, dapat dikatakan bahwa ada korelasi positif antara pertumbuhan ekspor disatu pihak dan peningkatan cadangan devisa, pertumbuhan impor, pertumbuhan output dalam negeri, peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat serta pertumbuhan produk domestik bruto (PDRB) di pihak lain.Selain meningkatkan cadangan valas, manfaat lain dari perdagangan internasional (gains from trade) adalah dalam bentuk efek langsung terhadap pertumbuhan output di dalam negeri. Bagi negara-negara yang ekonomi atau produksi mereka berorientasi ke pasar eksternal, peningkatan permintaan dunia terhadap produk-produk mereka memberi dorongan positif terhadap pertumbuhan produksi di dalam negeri. Hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi adalah sebagai berikut: pertama, dalam kasus full employment, suatu perubahan yang menguntungkan pada permintaan di luar negeri atau suatu inovasi yang dapat menurunkan biaya di dalam negeri, dapat memperluas ekspor, memperbaiki nilai tukar perdagangan atau meningkatkan keuntungan dari perdagangan. Kedua, dalam kasus under employment atau unemployment, perluasan ekspor menarik sumber daya dari sektor dimana pemanfaatan kurang dan produktivitas rendah ke sektor lain yang lebih produktif. Ketiga, dalam kasus industri yang mempunyai kurva biaya yang menurun, peran ekspor memungkinkan pengurangan biaya riil atau meningkatkan pendapatan rill. Keempat, dalam kasus adanya perbaikan teknologi, perluasan ekspor bisa memberikan tekanan pada sumber-sumber dalam negeri dan mengarah kepada inovasi yang menurunkan biaya (Kindelberger : 1982). Selanjutnya Kindelberger menjelaskan, jika ekspor diharapkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi, mesti terdapat pembentukan modal, perubahan teknologi dan realokasi sumber-sumber. Dengan adanya proses ini, semakin cepat dan semakin pasti munculnya pertumbuhan oleh suatu tingkat keuntungan perdagangan, makin banyak pembentukan modal, perubahan teknik dan transformasi maka akan semakin baik. Bagaimanapun, besarnya potensi keuntungan perdagangan, tetapi tidak ada kemampuan untuk memanfaatkannya atau kapasitas besar tanpa keuntungan perdagangan tidak akan banyak membantu. 7
Selain itu beberapa macam metode analisis telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara ekspor dan pertumbuhan. Balassa (1978) menggunakan koefisien korelasi Spearman dan analisa regresinya menggunakan peubah GNP, tenaga kerja, ekspor, neraca berjalan dan pembentukan modal yang dinyatakan dalam berbagai macam bentuk rasio. Dari analisa korelasi di atas Balassa menyimpulkan hubungan antara ekspor dan pertumbuhan output cenderung meningkat sejalan dengan perkembangan sektor manufaktur. Analisis regresi menyimpulkan bahwa kebijakan promosi ekspor lebih memberikan manfaat daripada kebijakan subtitusi impor. Pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan yang positif. Ran (1985) menyatakan bahwa relasi antara pertumbuhan ekspor dan total dan output tidak hanya positif tetapi juga signifikan berdasarkan uji statistik. Ran dalam studinya juga menguji korelasi antara pertumbuhan ekspor dan output dengan membedakan antara ekspor produk-produk manufaktur dan ekspor komoditas primer. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi antara pertumbuhan ekspor manufaktur dengan pertumbuhan output disektor tersebut lebih besar dibandingkan nilai koefisien korelasi antara pertumbuhan ekspor pertanian dengan pertumbuhan output di sektor primer tersebut. Hasil ini menunjukkan bahwa relasi antara antara pertumbuhan ekspor dan output berbeda menurut komposisi komoditas ekspor. Komoditas minyak kelapa sawit merupakan sub sektor yang paling cepat pertumbuhannya di Indonesia. Dalam dua dekade output tahunan tumbuh dari 400.000 ton menjadi lebih dari 4 juta (Larson, 1996). Komoditas ini menjadi daya tarik tersendiri bagi investor dari luar dan dalam negeri. Naiknya harga internasional karena adanya kebijakan penggunaan minyak sawit menjadi bio fuel menyebabkan komoditas ini menjadi primadona di dunia. Kebutuhan minyak dunia yang cukup besar menjadikan minyak kelapa sawit merupakan komoditas yang bisa menjadi subtitusi dari minyak mentah. Usaha sawit telah memberikan manfaat besar dalam perekonomian nasional, seperti penerimaan pajak dan penyerapan tenaga kerja. Di samping memberikan profitabilitas yang tinggi dan berkesinambungan bagi pelaku bisnis, kebun sawit juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Luas areal terus bertambah, diikuti dengan produksi minyak sawit mentah (CPO) yang terus meningkat sehingga saat ini produksi minyak sawit telah mencapai 13,6 juta ton. Ini menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit kedua terbesar di dunia setelah Malaysia 15,2 juta ton (Oil World, 2005). Berdasarkan kajian teori di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berukut: H1: Ekspor Minyak Sawit mempunyai pengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Periode 1985 – 2010. H2: Gross Domestic Product (GDP) dan Penanaman Modal Asing (FDI) berpengaruh positif terhadap Ekspor Minyak Kelapa Sawit di Indonesia periode 1985 – 2010. H3: Gross Domestic Product (GDP), Penanaman Modal Asing (FDI), Nilai Output dan ekspor Manufaktur berpengaruh positif terhadap Penyerapan Tenaga Kerja sektor manufaktur di Indonesia periode 1985 – 2010. 8
II.
OBJEK DAN METODE PENELITIAN
Objek Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis beberapa variabel atau determinan yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja di Indonesia. Data yang menjadi objek penelitian adalah Pertumbuhan Ekonomi, FDI, Ekspor Minyak Kelapa Sawit dan Penyerapan Tenaga Kerja. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari BPS dan BKPM Republik Indonesia periode 1985-2010. Defenisi dan Operasionalisasi Variabel Identifikasi model terdiridaritigavariabel yang terdiridaripertumbuhanekonomi, ekspor, dan FDI.Variabel – variabeltersebutdapatdiidentifikasikansebagaiberikut: 1. Pertumbuhan Ekonomi (PDB) suatu negara adalah jumlah nilai output akhir (output barang dan jasa final yang dihasilkan oleh seluruh unit produksi dalam suatu negara dalam jangka waktu tertentu). Data agregat PDB biasanya didasarkan pada harga konstan, artinya semua agregat dinilai atas dasar harga tetap yang dari tahun ke tahun semata-mata disebabkan oleh perkembangan riil, bukan oleh kenaikan harga. Atas dasar harga berlaku semua agregat dinilai atas dasar harga tahun yang bersangkutan baik pada saat menilai produksi dan biaya maupun komponen nilai tambah dan komponen pengeluaran PDB. Data Produk Domestik Bruto yang digunakan pada penelitian ini adalah data PDB riil Indonesia yang dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000. Data PDB riil diperoleh dengan membagi data PDB nominal oleh GDP deflator dan dikalikan 100. 2. Ekspor merupakan salah satu sumber dana untuk pembiayaan pembangunan nasional. Suatu keharusan bagi Indonesia untuk mengembangkannya agar memperoleh jumlah devisa hasil ekspor yang maksimal. Nilai ekspor yang digunakan adalah nilai ekspor Minyak Sawit di Indonesia dari tahun 1985 – 2010. 3. Foreign Direct Investment (FDI) merupakan variabel yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Masuknya modal asing ke Indonesia secara langsung dapat meningkatkan investasi, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan ekspor sehingga akan dapat meningkatkan produksi nasional serta pertumbuhan ekonomi. Sehubungan dengan kesulitan dalam mencari data realisasi FDI maka data yang digunakan dengan menggunakan proxy data Penanaman Modal Asing (PMA) yang disetujui oleh Pemerintah pada Sektor Manufaktur yang sumber datanya diperoleh dari BKPM dari tahun 1985 – 2010. 4. Penyerapan Tenagakerja adalah jumlah penduduk yang bekerja di berbagai lapangan usaha. Data penyerapan tenaga kerja yang digunakan adalah data penduduk yang bekerja di sektor manufaktur yang sumber datanya diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) dari tahun 1985 – 2010. Metode Penelitian 9
Dalam melakukan analisis, pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan data time series periode 1985 – 2010. Analisis yang digunakan adalah Recursive Models dengan menggunakan teknik analisis Two Stage Least Square (2SLS). Adapun persamaannya dapat dijelaskan sebagai berikut: Log GDP = β0 + β1 Log XKS + Log DU + ε Keterangan: GDP : Gross Domestic Product XKS : Ekspor Minyak Kelapa Sawit DU : Dummy Tahun 1997 ε : Error Term Persamaan untuk menjawab hipotesis kedua adalah sebagai berikut: Log XKS = β0 + β1 Log GDP + β2 Log FDI + Log DU + ε Keterangan: XKS : Ekspor Minyak Kelapa Sawit GDP : Gross Domestic Product FDI : Foreign Direct Investment DU : Dummy Tahun 1997 ε : Error Term Untuk hipotesis ke tiga persamaannya dapat dijelaskan sebagai berikut: Log PTK = β0 + β1 Log GDP + β2 Log FDI + β3 Log NOI + β4Log Emn + ε Keterangan: PTK : Penyerapan Tenaga Kerja di sektor manufaktur GDP : Gross Domestic Product FDI : Foreign Direct Investment NOI : Nilai Output Sektor Manufaktur EMn : Ekspor Manufaktur ε : Error Term III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Dalam pembentukan model estimasi pengaruh ekspor kelapa sawit (XKS) terhadap pertumbuhan ekonomi (GDP) di Indonesia periode 1986 -2010 digunakan pendekatan TSLS. Hasil estimasi model empiris adalah sebagai berikut: Log GDP = 11.95975 + 0,31337 Log XKS – 0,00182 DU Std.error (0.219998) (0,034036) (0.037696) t-statistic (-54,36291) (9,206024) (-0,243585) R-squared = 0,861488 F-statistic = 26,61727 Prob (F-statistic) = 0,000006 10
Dalam pembentukan model estimasi pengaruh ekspor kelapa sawit (XKS) terhadap pertumbuhan ekonomi (GDP) di Indonesia periode 1986 -2010 digunakan pendekatan TSLS. Hasil estimasi model empiris adalah sebagai berikut: Log GDP = 11.95975 + 0,31337 Log XKS – 0,00182 DU Std.error (0.219998) (0,034036) (0.037696) t-statistic (-54,36291) (9,206024) (-0,243585) R-squared = 0,861488 F-statistic = 26,61727 Prob (F-statistic) = 0,000006 Dalam pembentukan model estimasi pengaruh pertumbuhan ekonomi, FDI, NOI dan Ekspor Manufaktur terhadap penyerapan tenaga kerja digunakan pendekatan TSLS. Hasil estimasi model empiris adalah sebagai berikut: Log PTK = -24,281 + 3,752Log GDP - 0,035Log FDI - 0,159Log NOI - 0,159Log EMN - 2,354 DU Std,error (20,313) (2,091) (0,107) (0,337) (0,334) (0,163)tstatistic (-1,195) (1,795) (-0,330) (-0,473) (-2,656) (-16,535) Rsquared = 0,855245F-statistic = 16,54303Prob (F-statistic) = 0,000019
Pengujian Asumsi Klasik Dari ketiga model estimasi di atas, setelah dilakukan hasil uji asumsi yaitu: uji Normalitas, uji Heterokedastisitas, uji Autokorelasi dan Uji Kointegrasi, hasil yang diperoleh kesimpulan bahwa ketiga model estimasi di atas tidak terjadi pelanggaran atau memenuhi asumsi klasik (hasil uji terlampir). Pembahasan Pengaruh Ekspor Minyak Kelapa Sawit terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Dari persamaan regresi diperoleh bahwa nilai ekspor minyak kelapa sawit memberikan kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, berarti semakin besar ekspor akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dengan koefisien regresi sebesar 0,313337 setiap peningkatan satu juta dolar ekspor minyak kelapa sawit diikuti peningkatan GDP sebesar 2,0576 (anti log (0,313337)). Perhitungan model estimasi pengaruh ekspor minyak kelapa sawit terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia periode 1985 -2010 memiliki koefisien determinasi sebesar 0,861488 yang berarti 86,1488 % perubahan pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan oleh ekspor kelapa sawit. Semakin tinggi ekspor, maka semakin besar pula penerimaan atau devisa yang diterima oleh negara sehingga akan menambah sumber modal pembangunan yang diperlukan dalam berproduksi. Peningkatan ekspor juga diharapkan dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan alasan sebagai berikut: Dengan ekspor negara dapat melakukan spesialisasi dalam berproduksi barang-barang yang memiliki keunggulan komparatif seperti minyak kelapa 11
sawit yang produk turunannya mempunyai nilai tambah yang sangat bagus seperti penggunaan minyak kelapa sawit tehadap biofuel, oleo chemical, minyak makanan dan lainnya. Perdagangan luar negeri memberikan jalan untuk surplus komoditi yang menyebabkan berkurangnya sumber-sumber daya yang menganggur. Dalam hal ini industri minyak kelapa sawit bisa menjadi salah satu industri yang akan mengurangi angka pengangguran dalam jumlah besar. Penggunaan tenaga kerja dalam jumlah besar yang dimulai dari perkebunan kelapa sawit sampai dengan proses produksi. Perdagangan luar negeri dapat memperluas kemungkinan produksi melalui efeknya terhadap faktor seperti Research and development (R&D), inovasi teknologi yang bisa menjadi keuntungan dinamis dari perdagangan.
Variabel dummy kondisi tahun 1997 menunjukkan pengaruh yang memberikan kontribusi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan koefisien regresi sebesar 0,00182 jadi terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,0042 (anti log 0,00182) pada tahun 1997. Dari nilai statistik uji t yang diperoleh untuk variabel dummy (kondisi tahun 1997) sebesar -0.243585. Terlihat thitung berada antara negatif t(0.05;17) = -2,110 dan t(0.05;17) = 2,110, dan jika dilihat nilai signifikansi (p-value) = 0,8105 lebih besar dari penelitian (0,05) maka HO diterima yang berarti dengan tingkat kepercayaan 95% dapat disimpulkan kondisi tahun 1997 tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang sedikit banyaknya tergantung pada kinerja ekspornya. Oleh karena itu, pemerintah harus berupaya meningkatkan ekspor dengan cara mengurangi pajak ekspor, menghapuskan berbagai retriksi perdagangan serta memperkecil kendala bagi eksportir dalam hal pemberian kredit terutama bagi industri yang berorientasi ekspor sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik.
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Foreign Direct Investment (FDI) terhadap Ekspor Minyak Kelapa Sawit Perhitungan model estimasi pengaruh pertumbuhan ekonomi dan FDI terhadap ekspor minyak kelapa sawit menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan FDI berpengaruh secara signifikan terhadap ekspor minyak kelapa sawit, dengan koefisien determinasi (nilai R-Square) sebesar 0,944684. Ini artinya sebesar 94,4684 % perubahan ekspor minyak kelapa sawit dapat dijelaskan oleh pertumbuhan ekonomi dan FDI. Dapat diketahui bahwa nilai F-hitung untuk model yang diperoleh lebih besar dari F-tabel (91,08212 > 3,239) dan jika dilihat nilai signifikansi (p-value) = 0,00000 yang lebih kecil dari 0,05, maka keputusan dalam pengujian hipotesis statistik adalah menolak H0 dengan kata lain menerima H1. Tingginya nilai R-Square tersebut menunjukkan dominannya pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi dan FDI terhadap ekspor minyak kelapa sawit. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan syarat yang sangat penting bagi 12
kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi menyebabkan kemampuan negara untuk menyediakan barang-barang ekonomi semakin meningkat bagi penduduknya. Pemenuhan kebutuhan yang cukup baik bagi masyarakat tentu akan mendorong industri tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tetapi akan berusaha untuk memperluas pasar ke luar negeri. Pertumbuhan ekonomi yang baik tentu akan memicu pengusaha untuk melakukan ekspor. Hal ini juga untuk mencapai skala ekonomi dalam produksi. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi memberikan kontribusi yang positif terhadap nilai ekspor kelapa sawit (XKS) dengan koefisien regresi sebesar 4,192440 jadi setiap peningkatan satu satuan GDP diikuti peningkatan ekspor kelapa sawit sebesar 15575,42837 (anti log (4,192440)). Ini memperlihatkan ada korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan ekspor minyak kelapa sawit. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat mendorong ekspor minyak kelapa sawit. Walaupun ekspor minyak kelapa sawit sangat tergantung pada kebutuhan pasar dan harga internasional tetapi pertumbuhan ekonomi juga sangat mempengaruhi kinerja ekspor. FDI memiliki kontribusi yang negatif terhadap nilai ekspor kelapa sawit dengan koefisien regresi sebesar -0,178612 jadi setiap peningkatan FDI diikuti penurunan ekspor kelapa sawit sebesar 5,0873 (anti log (0,178612)). Hal ini memperlihatkan bahwa FDI masih belum banyak berperan dalam meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia. Industri minyak kelapa sawit secara umum masih ditopang oleh penaman modal dalam negeri (PMDN) atau dengan kata lain masih besarnya peran investor dalam negeri dalam industri minyak kelapa sawit. Peran pemerintah dalam hal ini masih cukup besar dalam pengembangan sektor industri kelapa sawit. Hal ini terlihat dengan industri minyak kelapa sawit yang masih di dominasi oleh perusahaan milik pemerintah seperti Perkebunan Nusantara (PTPN) yang tersebar mulai dari sumatera sampai dengan ke wilayah timur Indonesia. Disamping itu industri minyak kelapa sawit di Indonesia umumnya masih dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh swasta nasional. Dari semua perusahaan pengekspor kelapa sawit lebih dari 60% dikuasai oleh PMDN, seperti: PT Perkebunan Nusantara VII, PT Alam Tirta Sari, PT Jayakarta Nusatama, Khrisna Paksi Indah, KPB Perkebunan Nusantara, dan lainnya. Selain itu, FDI yang masuk ke Indonesia banyak yang berupa hot money, sehingga masih diragukan apakah arus modal yang masuk tersebut benar-benar diinvestasikan ke sektor riil dalam hal ini ke industri minyak kelapa sawit atau hanya masuk ke pasar uang untuk mencari keuntungan saja. Melihat indikasi dari negatifnya nilai FDI terhadap ekspor minyak kelapa sawit dapat disimpulkan bahwa FDI yang masuk ke Indonesia belum benar-benar menjadi pemicu bagi ekspor Indonesia. Oleh karena itu diperlukan peran pemerintah dalam memberikan keyakinan bagi investor asing untuk benar-benar menginvestasikan dananya ke sektor riil dalam hal ini industri minyak kelapa sawit. Variabel dummy kondisi tahun 1997 menunjukkan pengaruh berbanding lurus (memberikan kontribusi yang positif) terhadap ekspor kelapa sawit (XKS), dengan koefisien regresi sebesar 0,054387 jadi terjadi peningkatan ekspor kelapa sawit sebesar 1,13341 juta dolar (anti log 0,054387) pada tahun 1997. Krisis 13
moneter yang terjadi di Indonesia dari tahun 1997 menyebabkan disparitas harga internasional yang sangat tinggi dibandingkan dengan sebelum krisis. Perbedaan harga yang sangat tinggi diakibatkan melemahnya kurs rupiah terhadap dollar menyebabkan komoditas minyak kelapa sawit menjadi sangat kompetitif di pasar internasional. Penurunan kurs rupiah menyebabkan keuntungan yang diperoleh oleh pengekspor minyak kelapa sawit menjadi sangat tinggi. Hal ini berdampak bagi peningkatan ekspor minyak kelapa sawit yang cukup signifikan. Keuntungan akibat perbedaan harga menjadi pemicu yang menyebabkan perusahaan-perusaan penghasil minyak kelapa sawit untuk mengeskpor dengan imbalan memperoleh keuntungan yang tinggi dibandingkan dengan memasarkan di dalam negeri. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Foreign Direct Investment (FDI), Nilai Output dan Ekspor Manufaktur terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Pertumbuhan ekonomi, FDI, nilai output dan ekspor berpengaruh secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja dengan koefisien determinasi (nilai R-Square) sebesar 0, 855245. Nilai tersebut berarti sebesar 85,5245% perubahan penyerapan tenaga kerja dapat dijelaskan oleh pertumbuhan ekonomi, FDI, nilai output dan ekspor . Secara bersama-sama variabel pertumbuhan ekonomi, FDI, nilai output dan ekspor berpengaruh secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Nilai tersebut memperlihatkan betapa besar pengaruh ketiga variabel tersebut terhadap penyerapan tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, peningkatan FDI dan tingginya ekspor minyak kelapa sawit akan berdampak kepada daya serap tenaga kerja yang semakin baik. Pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh berbanding lurus (memberikan kontribusi yang positif) terhadap penyerapan tenaga kerja dengan koefisien regresi sebesar 3,752 jadi setiap peningkatan satu satuan GDP diikuti peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 5656,034 (anti log (-3,752)). Nilai tersebut jelas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menciptakan multiplier efect yang berpengaruh terhadap pengurangan jumlah pengangguran.FDI memiliki pengaruh berbanding terbalik (memberikan kontribusi yang negatif) terhadap nilai penyerapan tenaga kerja dengan koefisien regresi sebesar - 0,035 jadi setiap peningkatan FDI diikuti penurunan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,922 (anti log (-0,035)). FDI di Indonesia belum secara signifikan berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Hal ini bisa disebabkan oleh bebarapa hal:Pertama, FDI yang masuk ke Indonesia banyak yang bersifat padat modal (Capital Intensive) bukan padat karya (Labor Intensive) sehinggap dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja tidak begitu signifikan.Kedua, FDI yang masuk ke Indonesia banyak dalam bentuk tambahan investasi seperti penambahan kapasitas produksi dan bukan investasi baru, sehingga pengaruhnya terhadap penyerapan tenaga kerja tidaklah terlalu berarti. Permasalahan di atas seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk mengkaji kembali permasalahan yang menyebabkan kurangnya investasi yang masuk ke Indonesia. Berbagai kendala lainya seperti rantai birokrasi yang terlalu panjang, perizinan yang lama, regulasi yang belum bagus, kepastian hukum yang masih menjadi perhatian dari investor untuk masuk ke Indonesia dan infrastruktur 14
yang masih sangat minim terutama di daerah-daerah yang menjadi tujuan investor untuk melakukan investasi. Hal tersebut menjadi kendala utama yang menjadi penyebab investor kurang meminati Indonesia dibandingkan negara lainnya. Namun Indonesia yang merupakan negara yang terletak di garis khatulistiwa menjadi daya tarik tersendiri bagi investor terutama terkait dengan investasi di sektor minyak kelapa sawit. Indonesia merupakan salah satu negara yang subur untuk komoditas kelapa sawit. Dengan luas lahan yang masih sangat memungkinkan untuk dikembangkan menjadikan Indonesia sebagai salah satu primadona untuk perkebunan kelapa sawit, tetapi hal itu bisa terjadi apabila pemerintah secara bersungguh-sungguh membenahi semua kendala investasi yang dihadapi baik di tingkat nasional maupun daerah. Perlu adanya keselarasan dari segi kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mengundang investor menanamkan modalnya ke Indonesia. Birokrasi yang baik, infrastruktur yang mendukung, adanya kepastian hukum, sudah merupakan daya tarik yang sangat baik yang bisa ditawarkan oleh pemerintah. Nilai Output memiliki pengaruh berbanding terbalik (memberikan kontribusi yang negatif) terhadap nilai penyerapan tenaga kerja dengan koefisien regresi sebesar - 0,159 jadi setiap peningkatan nilai output diikuti penurunan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,693 (anti log (-0,159)). Meningkatnya nilai output dari tahun ke tahun belum tentu akan menyerap tenaga kerja sehingga akan mengurangi pengangguran. Hal ini disebabkan tingginya nilai output tidak semata-mata karena banyaknya jumlah pekerja tetapi juga karena produktivitas yang tinggi oleh pekerja dan penggunaan mesin-mesin dengan teknologi tinggi dan modern. Penggunaan mesin dengan teknologi tinggi bisa menyebabkan produktivitas perusahaan semakin tinggi. Produktivitas perusahaan yang tinggi menyebabkan produksi mengalami peningkatan. Peningkatan produksi menyebabkan perusahaan untuk memperluas pasar yang telah tersedia dengan cara melakukan ekspor ke negara lain. Ekspor produk yang dihasilkan dengan produktivitas pekerja yang tinggi dan penggunaan teknolobi tinggi tidak akan berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Disamping itu penggunaan teknologi tinggi dalam proses produksi menyebabkan terjadinya pengurangan pekerja. Sehingga perusahaan dengan teknologi tinggi bukannya menyerap tenaga kerja malah akan mengurangi penggunaan tenaga kerja dan menggantikannya dengan mesin. Ekspor manufaktur memiliki pengaruh berbanding terbalik (memberikan kontribusi yang negatif) terhadap nilai penyerapan tenaga kerja dengan koefisien regresi sebesar - 0,887 jadi setiap peningkatan Ekspor manufaktur diikuti penurunan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,130 (anti log (-0,887)). Hal ini disebabkan karena perusahaan manufaktur secara umum merupakan perusahaan yang lebih banyak menggunakan teknologi dibandingkan dengan menggunakan tenaga kerja. Teknologi tinggi yang menggantikan peran manusia dalam proses produksi menyebabkan daya serap perusahaan manufaktur terhadap tenaga kerja sangatlah kecil. Sebaliknya pekerja yang telah ada semakin dikurangi dan digantikan oleh mesin.
15
Variabel dummy kondisi tahun 1997 menunjukkan pengaruh berbanding terbalik (memberikan kontribusi yang negatif) terhadap penyerapan tenaga kerja, dengan koefisien regresi sebesar -2,694 jadi terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,002 (anti log -2,694) pada tahun 1997. Kondisi pada tahun 1997 memperlihatkan pengaruh yang negatif terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur. Krisis yang terjadi berdampak pada pengurangan tenaga kerja disektor tersebut. Pemutusan hubungan kerja Hal ini memperlihatkan krisis yang terjadi sejak tahun 1997 memiliki implikasi terhadap bertambahnya jumlah pengangguran di Indonesia. Salah satu tujuan yang penting dalam pembangunan ekonomi adalah penyediaan lapangan kerja yang cukup untuk mengejar pertambahan angkatan kerja, lebih-lebih bagi negara berkembang, terutama Indonesia, dimana pertumbuhan angkatan kerja lebih cepat dari pertumbuhan kesempatan kerja. Ada beberapa faktor mengapa hal tersebut lebih menonjol atau penting bagi negara berkembang. Pertama, pertumbuhan penduduk di negara berkembang cenderung tinggi, sehingga cenderung melebihi pertumbuhan kapital. Kedua, demografi profil lebih muda, sehingga lebih banyak penduduk yang masuk ke lapangan kerja. Ketiga, struktur industri di negara berkembang, yang cenderung mempunyai tingkat diversifikasi kegiatan ekonomi rendah, serta tingkat keterampilan penduduk yang belum memadai, membuat usaha penciptaan lapangan kerja menjadi semakin kompleks. Dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (di atas 6 %) maka penciptaan lapangan kerja baru akan mampu memenuhi tambahan angkatan kerja, ini yang terjadi di Indonesia sebelum tahun 1990 s/d 1997. Namun dengan adanya krisis moneter, dimana tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia negatif, yaitu menurut perkiraan BPS, tahun 1998 pertumbuhan antara –13,6% s/d –15% dan tahun 1999 pertumbuhan antara –2% s/d –5,1%, akan membuat industri yang ada tidak mampu menciptakan kesempatan kerja yang baru untuk menampung tambahan-tambahan angkatan kerja. Ada beberapa faktor yang membuat industri mengalami kesulitan dalam upaya meningkatkan kesempatan kerja. Yang pertama, naiknya suku bunga pinjaman membuat investor menunda untuk melakukan investasi baru. Yang kedua, krisis keuangan yang diikuti dengan ketidakstabilan politik membuat kepercayaan investor atau depositor terhadap industri perbankan di Indonesia mencapai titik terendah, terjadilah capital flight. Yang ketiga, meskipun turunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang lainnya, mampu meningkatkan daya saing produk nasional di pasar international, namun kenyataannya nilai eksport Indonesia tidak mengalami peningkatan yang tajam. Akibat dari hal tersebut adalah capital formation tidak terbentuk, bahkan cenderung negatif. Penciptaan lapangan kerja tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah meningkatnya pengangguran, mengingat banyak perusahaan yang mengurangi aktivitas produksinya atau bahkan menutup usahanya. Bersamaan dengan itu penawaran tenaga kerja mengalami peningkatan, yaitu baik yang disebabkan karena penambahan penduduk maupun dari tenaga kerja yang terpaksa menganggur, karena turunya aktivitas produksi.
16
Grafik: Jumlah Penganggur dan Penciptaan Lapangan Kerja Baru, 2001-
2005 Sumber: BPS, 2007 Akibat krisis ekonomi selama 7 tahun terakhir, tenaga kerja belum sepenuhnya terserap, baik tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan akibat krisis maupun yang baru masuk dalam pasar tenaga kerja. Grafik 4.6 menunjukkan pada tahun 2005, masih ada sekitar 10,3 juta tenaga kerja yang masih tergolong sebagai penganggur terbuka. Jumlah ini jika kita jumlahkan dengan penganggur terselubung terpaksa, maka masih ada sekitar 22 juta penganggur yang harus menjadi perhatian kita semua. Keadaan ini bertambah berat dengan kenyataan adanya perubahan dalam penurunan intensitas tenaga kerja, sehingga membutuhkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi untuk mengembalikan tingkat pengangguran pada tingkat yang natural sekitar 56%.Masalah ketenagakerjaan ini harus diselesaikan segera dengan mengupayakan penciptaan kesempatan kerja yang lebih besar. Tambahan ini akan diupayakan dengan menggunakan kebijakan fiskal dengan mengalokasikan pengeluaran pada kegiatan-kegiatan yang menghasilkan kesempatan kerja yang lebih besar seperti pembangunan infrastruktur, rehabililitasi gedung Sekolah Dasar hingga SMA seluruh Indonesia dan pembangunan fasilitas umum. Di samping itu, upaya untuk memperbaiki iklim investasi makin digiatkan dalam tahun mendatang. IV. PENUTUP Simpulan 1. Terdapat pengaruh yang positif dari ekspor minyak kelapa sawit terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien regresi sebesar 0,313337. Ini menunjukkan bahwa ekspor minyak kelapa sawit mempunyai korelasi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 2. Pertumbuhan ekonomi dan Foreign Direct Investment (FDI) berpengaruh secara signifikan terhadap ekspor minyak kelapa sawit sebesar 0,944684. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap nilai ekspor minyak 17
3.
kelapa sawit dengan koefisien regresi sebesar 4.192440 , hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai multiplier efect terhadap ekspor minyak kelapa sawit. tetapi Foreign Direct Investment (FDI) berpengaruh negatif terhadap nilai ekspor kelapa sawit di Indonesia dengan koefisien regresi sebesar -0,178612. Ini disebabkan masih banyaknya industri minyak kelapa sawit yang didominasi oleh industri PMDN sehingga pengaruh dari FDI terhadap kelapa sawit masih negatif. Pertumbuhan ekonomi, FDI, nilai output dan ekspor manufaktur berpengaruh secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia sebesar 0, 855245. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja sebesar 5656,034, ini menunjukkan tinginya pertumbuhan ekonomi akan mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Sebaliknya FDI memiliki pengaruh negatif terhadap nilai penyerapan tenaga kerja dengan koefisien regresi sebesar - 0,035, sehingga setiap peningkatan FDI diikuti penurunan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,922. Hal ini disebabkan FDI disektor manufaktur bersifat capital intensive bukan labor intensive sehingga FDI bukannya menyerap tenaga kerja justru menggantikan tenaga kerja dengan mesin. Hampir sama dengan FDI, Ekspor manufaktur berpengaruh negatif terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia periode 1985 – 2005 dengan koefisien regresi sebesar - 0,887 jadi setiap peningkatan ekspor manufaktur diikuti penurunan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,130, hal ini disebabkan perusahaan manufaktur yang mengekspor produknya menggunakan teknologi tinggi dalam proses produksi sehingga tingginya nilai ekspor tidak mengurangi jumlah pengangguran. Nilai Output juga memiliki pengaruh negatif terhadap nilai penyerapan tenaga kerja dengan koefisien regresi sebesar - 0,159 jadi setiap peningkatan nilai output diikuti penurunan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,693. Hal ini menunjukkan nilai output yang tinggi bukan berarti akan menyerap tenaga kerja di sektor industri tersebut melainkan lebih karena produktivitas tenaga kerja yang tinggi.
Saran 1. Perlu adanya kebijakan yang menyeluruh untuk merevatilisasi industri minyak kelapa sawit baik di sektor hulu maupun hilir. 2. Perlu adanya insentif untuk perusahaan asing yang sifatnya padat karya (Labor Intensive). 3. Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi produsen minyak sawit nomor satu di dunia, terutama untuk membangun industri berbasis kelapa sawit termasuk bio fuel, oleh karena itu diperlukan komitmen pemerintah, investor dan stake holder terhadap kemajuan sektor ini. 4. Pemberian insentif fiskal dan non fiskal. 5. Pembenahan Infrastuktur yang mendukung pengembangan Industri kelapa sawit menjadi leading sector.
V.
DAFTAR PUSTAKA 18
Alvarez, Roberto. 2007. Export Transitions. ERIM Report Series Reference No.ERS-2007-008-ORG. Working Paper Series. Arnold, Jens Mathias, Javorcik, Beata Smarzynska. 2005. Gifted Kids or Pushy Parents? Foreign aqcuisitions and Plant Performance in Indonesia. World Bank Policy Research Working Paper 3597. Asian Development Bank. 1988. FDI and Trade in South East Asia. Staff Papers. Balassa, Bela. 1978. Export and Economic Growth : Further Evidence. Journal of Development Economics, 15. Cuaresma, Jesus Crespo, Worz, Julia. 2003. OnExport Composition and Growth. http://www.wiiw.ac.at/pdf/crespo_woerz_etsg_2003.pdf Daniel, Lederman, Maloney, William F. 2003. Trade Structure and Growth. World Bank Policy Research Working Paper 3025. Ekanayake, E.M. 1999. Export and Economic Growth in Asian Developing Countries: Cointegration and Error-Correction Models. Journal of Economic Development Volume 24 Number 2. Ernawati, dkk. 2006. Afta and Its Implication to the Export Demand of Indonesian Palm Oil. Jurnal Agro Ekonomi Volume 24 No.2. Fryges, Helmut. 2006. The Export – Growth Relationship: Estimating a Dose Response Function. Centre for European Economic Research. Discussion Paper No.06-028. Gillis, Malcolm, et al. 1992. Economics of Development. Third Edition. WW. Norton & Company. New York. Gujarati, N Damodar. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. Mc Graw Hills, Inc. New York. Kim, Yun-Hwan. 1993. Medium Term Growth Stabilization Relationship in Asian Developing Countries and Some Policy Consideration. EDRC Report Series Number 57. Asian Development Bank. Manila. Kindelberger, C.P. 1982. Ekonomi Internasional. Edisi Ketujuh.Penerbit Erlangga. Jakarta. Krugman, Paul.R, Obstfeld, Maurice. 2006. International Economics Theory and Policy. Seventh Edition. Pearson Education, Inc. Boston. 19
Larson, Donald F. 1996. Indonesia’s Palm Oil Sub Sector. World Bank Policy Research Working Paper 1654. Lin, Justin Yifu, Li, Yongjun. 2003. Export and Economic Growth in China: A Demand-Oriented Analysis. http://www.cerdi.org/ Colloque/ IDREC2003/ JustinLi.pdf Medina, Emilio.J, Smith. 2001. Is the Export-Led Growth Hypothesis Valid for Developing Countries? A Case Study of Costa rica. United Nations. Policy Issues in International Trade and Commodities Study Series No.7 Meier, Gerald M. 1976. Pleading Issue in Economic Development. 3rd Ed. Oxford University Press. New York. P. 341-342 Nachrowi D Nachrowi, Hardius Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonomterika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. LPFE UI. Jakarta. Nicita, Alessandro. 2006. Export Led Growth, Pro Poor or Not? Evidence from Madagascar’s Textile and Apparel Industry. World Bank Policy Research Working Paper 3841. Purwiyatno Hariyadi, 2005. Produksi Minyak Sawit yang Berkelanjutan sebagai Bahan Dasar untuk Bahan Baku Bio (Bio Fuel). http://seafast.ipb.ac.id/maksi/ index.php?option=com R. Hendra Halwani. 2005. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Ghalia Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta. Ran, Pradumna B. 1985. Exports and Economic Growth in the Asian Region. Asian Development Bank Economic Staff Paper No. 25, Februari, Manila:ADB. Sadono Sukirno. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. LP FEUI. Jakarta. Salvatore, Dominick. 2004. International Economics. Eighth Edition. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey Sentsho, Joel. 2003. Export Revenues As Determinants of Economic Growth : Evidence from Botswana. http://www.essa.org.za/download/2003 Sinha, Dipendra. 1999. Export Instibility, Investment and Economic Growth in Asian Countries: A Time Series Analysis. Center Discussion Paper No.799
20
Soemitro Djojohadikusumo. 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sritua Arief dan Adi Sasono. 1987. Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia. UI Press. Jakarta. Suryawati. 2000. Kajian Ekonomi Negara Berkembang. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 5 No.2 p. 101-113. Todaro, Michael P. Smith, Stephen C. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelepan. Penerbit Erlangga. Jakarta. Tulus T.H. Tambunan. 2001. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran. LP3ES. Jakarta. Tulus T.H. Tambunan. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting. Ghalia Indonesia. Jakarta. Tryfino. 2006. ThePotency and Prospect of Palm Oil Industry", Economic Review Nomor 206 (Desember). http://www.bni.co.id/english/Document/10palm.pdf Van Den Berg, Hendrik. 2001. Economic Growth and Development. Mc Graw Hill Companies, Inc. New York. Wang, Miao. 2003. Manufacturing FDI and Economic Growth: Evidence from Asian Economics. Working Paper Series. Http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=440440 Wempi Saputra, 2007. Bisnis Sawit dan Kemelut Minyak Goreng. Artikel Iptek. http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2007-06-18-BisnisSawit-dan-Kemelut-Minyak-Goreng:-1-Piring-untuk-2-Mulut.shtml
21