Seminar Nasional Peranan Ipteks Menuju Industri Masa Depan (PIMIMD-4) Institut Teknologi Padang (ITP), Padang, 27 Juli 2017 ISBN: 978-602-70570-5-0 http://eproceeding.itp.ac.id/index.php/pimimd2017
Pemanfaatan Kappa-Karaginan dari Rumput Laut Merah (Eucheuma cottonii) sebagai Bahan Solidifikasi dan Stabilisasi Logam Berat Chromium pada Limbah Tekstil Nyoman Bagus Aryananda Suardika*, Bambang Tri Atmaja, Shandira Deseliane LNG Academy (Politeknik Negeri Jakarta-PT Badak NGL) Kompleks PT Badak NGL, Bontang, Kalimantan Timur, Indonesia *Correspondence should be addressed to
[email protected]
Abstrak Sandang merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi. Kebutuhan tekstil yang meningkat mendorong tumbuhnya industri tekstil di Indonesia. Sayangnya, perkembangan industri sering kali melupakan faktor keamanan lingkungan seperti pengolahan limbah secara efektif. Limbah industri tekstil teridentifikasi mengandung logam berat chromium yang digunakan dalam jumlah besar pada proses penyempurnaan tekstil. Limbah tekstil yang dibuang tanpa pengolahan berpotensi menimbulkan migrasi logam berat chromium menuju ekosistem sekitar. Logam berat chromium pada limbah tekstil dapat mencemari perairan bahkan terakumulasi pada hasil persawahan dan perkebunan yang berujung pada penurunan kesehatan masyarakat. Di lain sisi, Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki potensi besar pada daerah pesisir. Salah satunya adalah rumput laut. Kappa-karaginan merupakan getah rumput laut Eucheuma cottonii yang diekstraksi dengan air panas atau larutan alkali. Karaginan dapat berfungsi sebagai bahan penjerap (adsorbent), pengikat bahan-bahan lain (flocculating agent), dan gelling agent. Kappa-karaginan memicu proses solidifikasi/stabilisasi (S/S) yaitu membentuk padatan limbah yang kuat dan tahan lama, serta mudah ditangani dan tidak meluluhkan kontaminan ke lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme kappa-karaginan Eucheuma cottonii dalam pengolahan limbah tekstil yang tercemar chromium serta implementasinya. Berdasarkan analisis dan sintesis, disimpulkan bahwa mekanisme kappa-karaginan sebagai adsorbent dan flocculating agent terjadi karena adanya gugus sulfat dan gugus hidroksil. Selain itu, sifat gelling agent akan membentuk agregat yang menurunkan mobilisasi chromium. Implementasi kappa-karaginan dilakukan dengan menambahkannya dalam bak penampungan limbah. Kandungan chromium akan terjerap dan membentuk flok-flok sehingga lebih mudah dihilangkan melalui proses pemisahan berupa settling dan filtrasi. Dengan pemanfaatan karaginan untuk mengurangi pencemaran limbah tekstil diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir di Indonesia dengan mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang ada. Kata kunci: Eucheuma cottonii, karaginan, limbah tekstil, solidifikasi/stabilisasi, chromium.
1. Pendahuluan Kebutuhan akan sandang bagi manusia sangatlah penting. Sandang bagi manusia memiliki fungsi perlidungan, tanda keagungan dan perhiasan. Dewasa ini, kepedulian manusia akan kebutuhan sandang semakin tinggi. Hal ini mendorong peningkatan produksi pada industri tekstil, khususnya di Indonesia. Menurut catatan Kementerian perindustrian, pada tahun 2016 investasi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mencapai Rp7,54 triliun dengan perolehan devisa sebesar USD11,87 miliar [1]. Sayangnya, perkembangan industri sering kali melupakan faktor keamanan lingkungan seperti pengolahan limbah secara efektif. Telah banyak terjadi kasus-kasus pencemaran limbah yang ditemui di Indonesia, terutama © 2017 ITP Press. All rights reserved.
pencemaran limbah industri tekstil. Salah satu contoh pencemaran limbah industri tekstil adalah oleh tiga perusahaan tekstil yang membuang limbah cair tanpa pengolahan ke Sungai Cikijing terjadi di Rancaekek, Bandung. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat menerbitkan hasil penelitian kondisi air Sungai Cikijing tahun 2009-2015 berada dalam kondisi tercemar dan melebihi baku mutu kualitas air kelas IV. Dinas Pertanian dan Kehutanan kabupaten Bandung mencatat hingga tahun 2009, lahan sawah yang tercemar limbah industri di Desa Linggar, Sukamulya, Jelegong, dan Bojongloa seluas 415 hektare atau 42,2% dari total bahan baku lahan sawah seluas 983 hektare di empat desa tersebut. Ditemukan pula kandungan timbal dan cadmium dalam tanah sawah lapisan olah DOI 10.21063/PIMIMD4.2017.9-16
10
dan chromium dalam jerami dan beras di Rancaekek [2]. Limbah industri sangat berbahaya karena banyak mengandung zat-zat kimia berbahaya bagi makhluk hidup. Limbah industri tekstil teridentifikasi mengandung logam berat chromium yang digunakan dalam jumlah besar pada proses penyempurnaan tekstil. Limbah tekstil yang dibuang tanpa pengolahan berpotensi menimbulkan migrasi logam berat chromium menuju ekosistem sekitar. Seperti terjadi pada Sungai Winongo, Yogyakarta yang menerima limbah industri berbagai macam industri termasuk di dalamnya limbah industri tekstil, industri batik, an industri penyamakan kulit. Sungai ini merupakan sumber air untuk kegiatan MCK dan perikanan. Pada sebuah penelitian disebutkan bahwa kandungan logam berat chromium pada Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) sudah melebihi ambang batas sehingga tidak layak untuk dikonsumsi [3]. Logam berat chromium pada limbah tekstil yang mencemari perairan dapat terakumulasi pada organisme air, hasil persawahan dan perkebunan yang berujung pada penurunan kesehatan masyarakat seperti timbulnya penyakit-penyakit pada jangka waktu yang panjang. Di lain sisi, Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki potensi besar pada daerah pesisir. Salah satunya adalah rumput laut. Indonesia berada pada posisi kedua setelah China sebagai produsen terbesar rumput laut jenis Euchema cottonii di dunia [4]. Luas indikatif lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut di Indonesia mencapai 769.452 ha dan baru setengahnya yang termanfaatkan secara efektif [5]. Rumput laut memiliki banyak nilai guna, diantaranya dimanfaatkan sebagai produk makanan, kesehatan, kosmetika, pupuk tani, dan pengendalian pencemaran. Rumput laut telah ditemukan dapat membersihkan polutan mineral dan menyerap logam secara efektif. Dalam temuan terbaru, peneliti Eropa mampu menggunakan rumput laut untuk menyerap logam dalam air limbah tambang hingga 95% [6]. Salah satu cara memanfaatkan rumput laut sebagai penyerap logam adalah dengan mengolahnya sebagai kappa-karaginan. Kappa-karaginan merupakan getah rumput laut Eucheuma cottonii yang diekstraksi dengan air panas atau larutan alkali. Karaginan dapat berfungsi sebagai bahan penjerap (adsorbent), pengikat bahan-bahan lain (flocculating agent), dan gelling agent. Kappa-karaginan memicu proses solidifikasi/stabilisasi (S/S) yaitu
Prosiding Seminar Nasional PIMIMD-4, ITP, Padang
membentuk padatan limbah yang kuat dan tahan lama, serta mudah ditangani dan tidak meluluhkan kontaminan ke lingkungan. Dengan pemanfaatan karaginan untuk mengurangi pencemaran limbah tekstil diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir di Indonesia dengan mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang ada. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian berjudul Pemanfaatan Kappa-Karaginan dari Rumput Laut Merah (Eucheuma cottonii) sebagai Bahan Solidifikasi dan Stabilisasi Logam Berat Chromium pada Limbah Tekstil ini kami lakukan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana mekanisme kappa-karaginan Euchema cottonii dalam pengolahan limbah tekstil? 2) Bagaimana implementasi kappa-karaginan Euchema cottonii dalam pengolahan limbah tekstil? Adapun Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengetahui mekanisme kappa-karaginan Euchema cottonii dalam pengolahan limbah tekstil. 2) Mengetahui implementasi kappakaraginan Euchema cottonii dalam pengolahan limbah tekstil.
2. Kajian Pustaka A. Limbah Industri Tekstil Industri tekstil mengonsumsi air dan bahan kimia untuk proses basah dalam, pemucatan, pewarnaan, pencetakan, dan penyempurnaan. Pada umumnya Air limbah tekstil terlihat keruh berwarna, kadang-kadang panas dan berbusa, mengandung berbagai jenis bahan organik dan anorganik dengan nilai pH, padatan tersuspensi, COD dan BOD yang tinggi, serta bahan beracun berupa senyawa fenol dan logam berat, akan memberikan beban pencemaran tinggi pada badan air penerima mengakibatkan terganggunya kehidupan biota air atau siklus ekologi yang berdampak luas terhadap kehidupan mahluk pada umumnya [7]. B. Pengolahan Industri Tekstil Menurut Degreemont ada beberapa alternatif teknologi yang dapat digunakan untuk mengolah limbah cair yang mengandung zat pewarna [8]:
Prosiding Seminar Nasional PIMIMD-4, ITP, Padang
1) Netralisasi Secara umum proses netralisasi digunakan untuk menetralkan limbah cair yang bersifat terlalu asam atau basa. Bahan kimia penetral yang sering digunakan adalah natrium hidroksida, natrium karbonat, kalsium hidroksida hidrat, asam sulfat, asam klorida dan karbon dioksida 2) Koagulasi dan Flokulasi Pada proses koagulasi dan flokulasi, padatan termasuk juga zat pewarna akan saling menempel dan membentuk partikel dengan ukuran yang lebih besar dan berat (flok). Flok selanjutnya dapat dipisahkan melalui filtrasi, pengendapan dan pengapungan. 3) Adsorpsi Adsorbsi adalah penyerapan partikelpartimel halus oleh bahan adsorben. Pada proses ini warna yang ada dalam air limbah juga akan ikut terserap. Proses penghilangan warna dengan karbon aktif saat ini banyak digunakan terutama untuk zat warna anorganik dengan konsentrasi rendah. C. Chromium (Cr) dan Penggunaannya dalam Industri Tekstil Kromium dalam larutan biasanya 3+ berbentuk trivalen (Cr ) dan ion heksavalen (Cr6+). Sebenarnya kromium dalam bentuk ion trivalent tidak begitu berbahaya dibandingkan dengan bentuk heksavalen. Namun, limbah tekstil banyak mengandung senyawa organik sehingga terdapat potensi terjadinya peristiwa oksidasi. Sehingga keadaan tersebut Cr 3+ tersebut akan berubah Cr6+ yang berbahaya [9]. Pencemaran lingkungan oleh Cr(VI) dapat membahayakan kesehatan manusia karena sangat beracun yang dapat menimbulkan iritasi kulit, rasa mual, kanker saluran pernapasan dan paru-paru. Senyawa krom di industri tekstil terutama digunakan dalam proses pencelupan yang menggunakan zat warna direk, sebagai komponen fiksasi zat warna tersebut, dan zat warna mordan, digaunakan dalam bentuk garam Cr(III). Uni-Eropa menentukan prasyarat kadar Cr dalam zat warna tekstil maksimum 100 ppm [10]. D. Eucheuma cottonii Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka, jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii [11]. Nama daerah ‘cottonii’ umumnya lebih dikenal
11
dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan internasional. Klasifikasi Eucheuma cottonii adalah sebagai berikut [12]. Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae : Rhodophyta : Rhodophyceae : Gigartinales : Solieracea : Eucheuma : Eucheuma alvarezii
Gambar 1. Eucheuma cottonii [11]
E. Karaginan Karaginan adalah senyawa yang diekstraksi dari rumput laut dari Famili Rhodophyceae seperti Eucheuma spinosum dan Eucheuma cottonii yang terdiri dari rantai poliglikan bersulfat [13]. Tiga jenis karaginan komersial yang penting adalah karaginan kappa, iota dan lambda karaginan yang memiliki struktur dan bentuk yang jelas sebagai polisakarida hidrofilik linier, yang tersusun dari disakarida berulang dengan unit galaktosa dan 3,6anhydro galactose (3,6 AG) dan terdiri dari grup sulfat dan nonsulfat, bergabung dengan rantai glikosidik dengan α-(1,3) dan β-(1,4) yang bertukar. Karaginan berperan sangat penting sebagai stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengentalan), pembentuk gel, pengemulsi dan lain-lain [14]. Karaginan termasuk senyawa hidrokoloid yang banyak digunakan untuk meningkatkan sifatsifat tektur dan kestabilan suatu cairan produk pangan [15]. 1) Kappa Karaginan Kappa karaginan memiliki gugus ester sulfat dalam jumlah yang rendah, tetapi mengandung 3.6 anhidrogalaktosa yang bersifat hidrofobik seperti kalium. Keseimbangan antara komponen yang larut dengan komponen yang tidak larut, akan mengganggu terbentuknya gel [16, 17].
12
Gambar 2. Struktur Kimia Kappa Karaginan [18]
Semua karaginan larut air panas. Karaginan jenis kappa kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3.6-anhidro-Dgalaktosa. Karaginan jenis iota lebih hidrofilik karena adanya gugus 2-sulfat yang dapat menetralkan 3.6-anhidro-D-galaktosa yang kurang hidrofilik dan lambda karaginan mudah larut pada semua kondisi karena tanpa unit 3.6anhidro-D-galaktosa dan mengandung gugus sulfat yang lebih tinggi [12, 19].
Prosiding Seminar Nasional PIMIMD-4, ITP, Padang
selluler seperti polisakarida yang dapat digunakan untuk menghilangkan logam. Pada pengujian karakterisasi gugus fungsi kappa-karaginan menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR) didapatkan hasil bilangan gelombang yang menunjukkan adanya gugus 3,6-anhidrogalaktosa-4-sulfat, gugus ester sulfat, OH, dan ikatang likosidik pada kappa-karaginan [21]. Adanya gugus OH, pada kappa-karaginan menyebabkan terjadinya sifat polar pada adsorben tersebut. Dengan demikian kappa-karaginan lebih kuat menjerap zat yang bersifat polar dari pada zat yang kurang polar [22]. Mekanisme jerapan yang terjadi antara gugus -OH yang terikat pada permukaan dengan ion logam Cr yang bermuatan positif (kation) merupakan mekanisme pertukaran ion dapat dilihat pada Gambar 3.
3. Metode Penulisan Data-data yang digunakan dalam karya tulis ini bersumber dari berbagai referensi atau literatur yang relevan dengan topik permasalahan yang dibahas. Jenis data ang diperoleh berupa data sekunder yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Digunakan metode studi pustaka yang didasarkan atas hasil studi terhadap berbagai literatur. Setelah data yang diperlukan terkumpul, dilakukan pengolahan data dengan menyusun secara sistematis dan logis. Teknik analisis data yang dipilih adalah analisis deskriptif argumentatif, dengan tulisan yang bersifat deskriptif, menggambarkan tentang potensi karaginan pada pada rumput laut Eucheuma cottonii dalam pengolahan logam berat Cr pada limbah cair tekstil. Setelah proses analisis, dilakukan proses sintesis dengan menghimpun dan menghubungkan rumusan masalah, tujuan penulisan serta pembahasan yang dilakukan. Berikutnya ditarik simpulan yang bersifat umum kemudian direkomendasikan beberapa hal sebagai upaya transfer gagasan.
4. Analisis dan Sintesis A. Agen Stabilisasi Kappa-karaginan sangat berpotensi sebagai adsorben logam berat melalui mekanisme biosorpsinya. Biosorpsi dapat didefinisikan sebagai penghapusan logam atau spesi metalloid, senyawa dan partikel dari larutan dengan bahan biologis [20]. Baik yang hidup maupun biomassa mati memiliki produk
Gambar 3. Pengikatan Ion Cr pada Gugus OH [22]
Cr3+ adalah ion logam Chromium, -OH adalah gugus hidroksil dan Y adalah matriks tempat gugus -OH terikat. Interaksi antara gugus -OH dengan ion logam kromium juga memungkinkan melalui mekanisme pembentukan kompleks koordinasi karena atom oksigen (O) pada gugus -OH mempunyai pasangan elektron bebas, sedangkan ion logam mempunyai orbital kosong. Pasangan elektron bebas tersebut akan menempati orbital kosong yang dimiliki oleh ion logam, sehingga terbentuk suatu senyawa atau ion kompleks. Ikatan kimia yang terjadi antara gugus aktif pada zat organik dengan molekul dapat dijelaskan sebagai perilaku interaksi asam-basa Lewis yang menghasilkan kompleks pada permukaan padatan [22, 23]. Terjadi pengikatan ion Cr 3+ oleh gugus – gugus fungsi yang dimiliki oleh karaginan akan membuat ion Chromium terikat atau terserap, terkumpul dan terjadi flok – flok logam. Kappa-karaginan dengan kemampuan daya ikat atau daya serapnya mampu menjadikannya tidak berbahaya. Polielektrolit merupakan bagian dari polimer khusus yang dapat terionisasi dan mempunyai kemampuan untuk membuat terjadinya suatu flokulasi dalam medium cair [24].
Prosiding Seminar Nasional PIMIMD-4, ITP, Padang
Mekanisme karaginan dalam menstabilkan air limbah tekstil dapat terjadi karena karaginan dapat berfungsi sebagai flocculating agent. Dengan penambahan karaginan pada air limbah tekstil akan memicu terjadinya flokulasi dan koagulasi. Koagulasi adalah proses pengolahan air atau limbah cair dengan menstabilkan partikel – partikel koloid untuk memfasilitasi pertumbuhan partikel selama flokulasi, sedangkan flokulasi adalah proses pengolahan air dengan cara mengadakan kontak diantara partikel – partikel koloid yang telah mengalami destabilisasi sehingga ukuran partikel – partikelnya tumbuh menjadi partikel yang lebih besar [24]. Agar partikel – partikel koloid dapat menggumpal, gaya tolak menolak elektrostatis antara partikelnya harus dikurangi dan transportasi partikel harus menghasilkan kontak diantara partikel yang mengalami destabilisasi. Setelah partikel koloid mengalami destabilisasi maka partikel – partikel terbawa kedalam satu kotak antara satu dengan yang lainnya sehingga dapat mengalami penggumpalan dan membentuk partikel yang lebih besar yang disebut dengan flok. Koagulasi yang disebabkan oleh polielektrolit (kappa-karaginan) meliputi empat tahap yaitu dispersi dari polielektrolit dalam suspensi, adsorbsi antara permukaan solid- liquid, kompresi atau pemeraman dari polielektrik yang terabsorpsi, penyatuan dari masing –masing polielektrik yang telah dilingkupi oleh partikel untuk membentuk flok-flok kecil dan berkembang menjadi flok yang lebih besar. Logam kromium dalam larutan elektrolit merupakan partikel bermuatan positif sedangkan kappa-karaginan merupakan polielektrolit bermuatan negative, reaksi antar kedua partikel akan menuju pada penghilangan gradient muatan dan terbentuknya senyawa produk yang tidak bermuatan. B. Agen Solidifikasi Kappa-karaginan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel dalam air dan bersifat thermo-reversible yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel kembali jika didinginkan. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel akan mengakibatkan polimer karaginan dalam larutan menjadi random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan bila penurunan suhu terus dilanjutkan polimer – polimer ini akan terikat silang secara kuat dan
13
dengan makin bertambahnya bentuk helix akan terbentuk agregat yang bertanggung jawa terhadap terbentuknya gel yang kuat[17]. Mekanisme pembentukan gel oleh kappakaraginan dapat dilihat pada Gambar 4.
Random coil
Double helix
Agregat
Gambar 4. Mekanisme Pembentukan Gel oleh Kappa-Karaginan [17]
Gel yang dihasilkan bersifat mudah mengeras jika kontak dengan udara terbuka dalam waktu yang relative lama. Kekerasan atau kekakuan ini disebabkan karena penguapan air dari basis sediaan. Dengan berbagai mekanisme yang dimiliki oleh kappakaraginan seperti absorpsi, flokulasi dan pembentukan gel, maka kappa-karaginan dapat diganakan sebagai bahan pengolahan logam berat Cr pada limbah cair tekstil. Berbagai mekanismenya dapat mengurangi laju migrasi chromium sehingga tidak mencemari lingkungan dan mempermudah untuk pengolahan lebih lanjut. C. Implementasi Banyak pihak yang menyadari tentang bahaya limbah cair tekstil. Namun lemahnya pengawasan pemerintah tentang pengelolaan limbah industry tekstil mengakibatkan sangat jarang adanya Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk mengolah limbah cairnya. Maka dari itu kami memanfaatkan rumput laut sebagai bahan pengolahan air limbah tekstil. Biopolimer dari rumput laut tidak bersifat toksik, murah, efisien, kompetitif terhadap resin penukar ion dan karbon aktif untuk penghapusan logam berat pada medium air [21, 25, 27]. Secara umum, keuntungan pemanfaatan rumput laut sebagai bahan pengolahan air limbah tekstil adalah kemampuannya yang cukup tinggi dalam mengabsorpsi karena didalam rumput laut terdapat gugus fungsi yang dapat melakukan pengikatan dengan ion. Gugus fungsi tersebut terutama gugus karboksil, hidroksil, amina, sulfudril imadazol, sulfat dan sulfonat yang terdapat dalam
14
dinding sel dalam sitoplasma. Selain itu, bahan baku rumput laut mudah didapatkan dalam jumlah banyak, biaya operasional yang rendah, sludge yang dihasilkan sangat minim dan tidak perlu nutrisi tambahan [21]. Rumput laut merah (Eucheuma cottonii) adalah rumput laut yang memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan pengolahan air limbah tekstil. Rumput laut Eucheuma cottonii dapat menghasilkan karaginan yang termasuk fraksi kappakaraginan. Pembuatan karaginan dilakukan dengan merendam Eucheuma cottoni dalam air tawar selama 12-24 jam, kemudian dibilas dan ditiriskan. Hasilnya direndam kembali dalam air kapur selama ±2-3 jam kemudian dicuci kembali dan dibilas menggunakan air sampai bersih. Setelah bersih dikeringkan dalam oven suhu 80°C selama 4 jam. Kemudian diblender menjadi ukuran kecil dan dilakukan pengayakan. Eucheuma cottonii yang diekstraksi lolos saringan 90 mesh ditimbang kemudian dimasukkan kedalam ekstraktor. Selanjutnya diekstraksi pada suhu 90°C-95°C menggunakan larutan NaOH dengan konsentrasi tertentu selama 2 jam dengan perbandingan pelarut dan bahan baku 20 ml : 1 g. Hasilnya disaring dan filtratnya ditambahkan HCl hingga pH-nya netral (pH 7). Selanjutnya, ditambahkan pengendap dengan perbandingan tertentu dan diaduk-aduk kemudian dibiarkan selama 15 menit. Endapan disaring kemudian dikeringkan, lalu hasilnya ditimbang [26]. Implementasi kappa-karaginan dilakukan dengan menambahkan bio-masa ke dalam bak penampungan limbah cair yang perlu disediakan pelaku industry tekstil. Penambahan bio-masa ini mengakibatkan pembentukan gel yang mengikat unsur ion logam berat, salah satunya adalah Cr. Pembentukan gel ini terjadi dengan memanfaatkan sifat gelasi pada kappa karaginan. Gel hasil ikatan gugus fungsi dan Cr ini akan mengendap dibawah bak penampungan dan mempermudah untuk diambil untuk diproses lebih lanjut dan air limbah yang berada pada bak penampungan tidak lagi mengandung unsur logam berat bebas termasuk Cr yang dapat membahayakan. Hasil limbah ini akan dikemas dan ditaruh di wadah untuk diolah lebih lanjut. Pengumpulan limbah B3 medis dapat dilakukan oleh petugas tanpa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang khusus. APD yang digunakan hanya sarung tangan. Limbah ini dapat dikumpulkan setiap hari. Namun,
Prosiding Seminar Nasional PIMIMD-4, ITP, Padang
pengumpulan juga dapat dilakukan kurang dari sehari apabila 2/3 wadah telah terisi oleh limbah. Cara yang disarankan adalah dikirim ke negara yang mempunyai fasilitas pengolahan limbah dengan kandungan logam tingkat tinggi. Bila tidak memungkinkan, limbah dibuang ke tempat pembuangan yang aman sebagai pembuangan akhir untuk limbah industri yang berbahaya. Cara lain yang paling sederhana yaitu dengan cara kapsulisasi kemudian dilanjutkan landfill ditanam di dalam tanah.
5. Simpulan Berdasarkan analisis dan sintesis dapat disimpulkan bahwa: 1) Mekanisme kappa-karaginan hasil ekstraksi dari rumput laut merah (Eucheuma cottonii) sebagai adsorben ion kromium dapat terjadi karena adanya berbagai gugus fungsi yang dimilikinya terutama gugus karboksil, hidroksil, amina, sulfudril imadazol, sulfat dan sulfonat. Mekanisme yang dimiliki oleh kappa karaginan adalah adsorpsi, flokulasi dan pembentukan gel, maka kappakaraginan dapat diganakan sebagai bahan stabilisasi dan solidifikasi kromium pada air limbah tekstil. Berbagai mekanismenya dapat mengurangi laju migrasi kromium sehingga tidak mencemari lingkungan dan mempermudah untuk pengolahan lebih lanjut. 2) Implementasi kappa-karaginan dilakukan dengan menambahkan biomassa kappakaraginan dalam bak penampungan limbah cair yang perlu disediakan pelaku industry tekstil yang mengakibatkan pembentukan gel yang mengikat unsur ion logam berat, khususnya Cr. Gel akan mengendap dibawah bak penampungan dan mempermudah untuk diambil untuk diproses lebih lanjut dan air limbah tidak mengandung unsur B3. Selain itu, perlu disarankan hal-hal berikut: 1) Konsep implementasi kappa-karaginan dari alga merah (Eucheuma cottonii) sebagai absorben dan flocculating agent ion kromium pada air limbah tekstil merupakan suatu proses transfer gagasan yang perlu dikonfirmasi potensinya melalui serangkaian penelitian lebih lanjut. 2) Diperlukan analisis lebih komprehensif mengenai implementasi kappakaraginan dari alga merah (Eucheuma cottonii) pada air limbah tekstil dengan berbagai faktor eksternal yang berbeda.
Prosiding Seminar Nasional PIMIMD-4, ITP, Padang
Referensi [1] [2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13] [14]
Ridwan. 2017. 2017, Pertumbuhan Industri TPT Capai Tujuh Persen. Marsiela, Adi. 2016. Cemari Lingkungan, Tiga Pabrik di Sumedang digugat. Intan Handayani, Ririn. 2015. Akumulasi Logam Berat Kromium (Cr) pada Daging Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) dalam Karamba Jaring Apung (KJA) di Sungai Winongo Yogyakarta. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Mutmainna. 2012. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keuntungan dan Daya Saing Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Provinsi Sulawesi Selatan. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Hikmah. 2015. Strategi Pengembangan Industri Pengolahan Komoditas Rumput Laut E. Cottonii untuk Peningkatan Nilai Tambah di Sentra Kawasan Industrialisasi. Jonathan Sahat, Hendro, Tim Redaksi. 2013. Warta Ekspor Rumput Laut Indonesia. Chen JM, Hao OJ. 1998. Microbial Chromium(VI) Reduction. Critical Rev. Environ Sci Technol Monod,J. 1991. Water Treatment Handbook, 6th edition, Volume 1. RueilMalmaison Cedex : Degremont Water and the Environment. Anonim, 1987, Kemungkinan Pemanfaatan Buangan Mengandung Khrom Sebagai Bahan Penyamak Kulit, BPPI, Semarang. Wahyudi, Tatang. 2007. Tesis: Prakonsentrasi Krom (VI) dari Matriks Tekstil dan Penyatuannya secara Spektrometri Serapan Atom Tungku Karbon. Bandung. Institut Teknologi Bandung. Doty M.S. 1985. Eucheuma Farming for Carrageenan-sea Grant Advisory Report. New Jersey : Prentice-Hall. Winansari, Wicitra. 2013. Efektifitas Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii sp. Sebagai Penyerap Ion Cr(III) pada Limbah Tekstil. Denpasar. Campo V.L. 2009. Carbohydrate Polymers. 77,167–180. Imeson, Alan. 2010. Food Stabilisers, Thickeners and Gelling Agent. United Kingdom, West Sussex: Blackwell Publishing Ltd.
15
[15] Distantina, Fadilah Sperisa ,YC. Danarto, Wiratni dan Moh. Fahrurrozi. 2009. Pengaruh Kondisi Proses pada Pengolahan Eucheuma cottonii terhadap Rendemen dan Sifat Gel Karaginan. EKUILIBRIUM Vol. 8.No.1. Hal 35-40. [16] Suryaningrum. 1988. Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii. [17] Syamsuar. 2006. Karakteristik Karaginan Rumput Laut Eucheuma cottonii pada Berbagai Umur Panen, Konsentrasi KOH dan Lama Ekstraksi. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. [18] Komariah, Engkom. 2012. Pengembangan Granul Mukoadhesif Diltiazem Tertahan di Lambung Menggunakan Eksipien Koproses Karagenan dan Pragelatinasi Pati Singkong Propionat. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. [19] Towle, G.A. 1973. Carrageenan. In Industrial Gums. R.L. Wistler and Be. Miller. S.N. (eds) Academic Press. London. [20] Gadd, G.M. dan White, C. 1993. Microbial Treatment of Metal Pollution a Working Biotechnology. Tibtech, 11: 353−359. [21] Lestari, Anisa Purwo. 2013. Studi Pembuatan Komposit Film: Alginat Terikat Silang Karagenan dari Hasil Ekstraksi Biomassa Rumput Laut Coklat (Sargassum crassifolium) dan Rumput Laut Merah (Eucheuma cottonii) sebagai Biosorben Ion Logam Cu(II). Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. [22] Yantri, Ni Ketut. 1998. Pemanfaatan Jerami Padi (Oryza Sativa) Sebagai Bahan Penyerap Ion Cu2+, Cd2+ Dan Pb2+ Pada Limbah Pencelupan Perusahaan Garmen. Skripsi. PSP Kimia Jurusan MIPA. STKIP Negeri Singaraja [23] Terada, K., Matsumoto, K., dan Kimuro, H., 1983. Sorption of Copper(II) by Some Complexing Agents Loaded on Various Supports, Anal. Chim. Acta, vol 153: 237-247. [24] Kiely, G. (1998), ”Environmental Engineering”, Irwin McGraw-Hill, Boston. [25] Harris, O. P., and J. G. Ramelow. 1990. Binding of metal ions by particulate
16
quadricauda. Environt Science and Technology. 24 : 220-227. [26] Yasita D, Rachmawati I.D. 2009. Optimasi Proses Ekstraksi Pada Pembuatan Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii untuk Mencapai Foodgrade. Skripsi. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. [27] Yunus, Apri Arisandi, dan Indah W. A. 2009. Daya Hambat Ekstrak Metanol Rumput Laut (Euchema spinosum) terhadap Bakteri Aeromonas hydrophila. Jurnal Kelautan. Volume 2 No.2 hal 1624 ISSN : 1907-9931.
Prosiding Seminar Nasional PIMIMD-4, ITP, Padang