Correlation Between Asthma Control Test (ACT) and Spirometry as Tool of Assessing of Controlled Asthma Muhammad Ilyas, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia / Persahabatan Hospital, Jakarta, Indonesia ABSTRACT Introduction : Asthma is a chronic inflammation disease, controlled asthma is a goal in management of asthma patients which essential as a parameter of successful therapy. To assessing controlled asthma the asthma control of patient accurately in a busy asthma clinic with limited time and resources is always a challenging to the clinician. Asthma Control Test (ACT) as a tool to assess of controlled asthma based on patients subjective answer or knowledge, need to be compared with spirometry which is an objectively tool. ACT consists of 5 queistionnaires which are patients do the assessment of their asthma status, a total score of 25 indicates complete controlled, total score less than 20 indicates of uncontrolled asthma. On the other side spirometry objectively measured airflow limitation in asthma patient. The aim of the study is to determine the correlation between the ACT and spirometry in assessing asthma control. Methods : Study design is cross sectional and samples obtained by consecutive sampling in asthma clinic Persahabatan Hospital Jakarta. Patiens were requested to fill in ACT queistionnaire under supervised and followed a spirometric test. The result were analysed using descriptive statistics and Spearman correlation. Results : Amount of Samples are 100 patients consist of 70 womens and 30 mans by age between 18-50 years, mean of age 36.6 years. Subject consist of intermittent asthma are 22 patients, mild persistence asthma are 45 patients and moderate persistence asthma are 33 patients. There are 68 % of controlled and 32 % of uncontrolled. On analysis correlation of asthma degree with ACT score, obtained intermittent asthma are 95 % controlled, mild persistence asthma are 82,2 % controlled and moderate persistence asthma are 30,3 % controlled. The cut of point value of ACT in analysis Receivers Operating Characteristic (ROC) in differentiating FEV1 < 80 % to normal is ACT point 21.5 with 63.6 % sensitivity and 70.1 % specificity. The correlation of ACT and spirometri is denoted by spearman correlation coefficient is 0.382 with p value of 0.001. Conclusions : There is a statistically significant but weak correlation between ACT with spirometry, however ACT is useful to complete the role of spirometry in assessing asthma control. Keywords : Correlation, ACT, spirometry, asthma control assessment PENDAHULUAN Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang masih menjadi masalah kesehatan serius di seluruh dunia. Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang berhubungan dengan hambatan jalan napas yang reversibel, inflamasi alergi dan hiperesponsif saluran napas.1,2 Semua tingkatan umur dapat mengalami gangguan saluran napas ini dan dapat ditemukan di negara maju maupun berkembang, prevalensnya meningkat di beberapa negara.2,3 Semua tingkatan umur dapat mengalami gangguan saluran napas ini dan dapat ditemukan di negara maju maupun berkembang, Saat ini 5-10 % populasi dunia (300 juta orang) menderita asma. Gambaran ini mungkin dibawah perkiraan karena suatu kecenderungan under diagnosis. 2 Di Indonesia menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDA) 2007 prevalens asma 3,5 %. 4 Diperkirakan penderita asma di dunia akan bertambah 100 juta pada tahun 2025.5
Telah diketahui bahwa tidak ada kesembuhan untuk asma tetapi penyakit ini dapat dikontrol pada beberapa pasien.1 Tujuan pengobatan asma jangka panjang adalah untuk mencapai dan mempertahankan gejala terkontrol, mencegah eksaserbasi, memelihara fungsi paru senormal mungkin, memelihara derajat aktivitas normal termasuk latihan, menghindari efek tambahan obat asma, mencegah berkembangnya hambatan aliran udara yang ireversibel dan mencegah kematian akibat asma.6 Beberapa alat untuk menilai asma terkontrol secara subjektif yang sudah diakui seperti Asthma Control Questionnaire (ACQ), Childhood Asthma Control Test (CACT), Asthma Control Test (ACT), Asthma Therapy Assesment Questionnaire (ATAQ) dan Asthma Control Scoring System (ACSS). 1 Komponen untuk penilaian kontrol termasuk gejala siang hari, aktivitas terbatas, gejala malam dan terbangun pada malam hari, penggunaan obat pelega dan penilaian objektif fungsi paru dengan J Respir Indo Vol. 30, No. 4, Oktober 2010
190
spirometri terutama volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). 7 Hambatan saluran napas ( yang diukur dengan VEP1) tampaknya satu dari beberapa prediktor yang bermakna untuk terjadinya serangan akut dikemudian hari, meskipun demikian beberapa keterbatasan menunjukkan bahwa pengukuran spirometri saja tidak cukup untuk menilai asma terkontrol.7 Asthma Control Test suatu alat bantu berupa kuesioner yang dikeluarkan oleh American Lung Association (ALA) dapat digunakan untuk menilai asma terkontrol, cara ini bersifat subjektif tetapi validitasnya telah diuji dan dapat digunakan dengan mudah.8 ASMA TERKONTROL Asma terkontrol dapat diartikan dalam keadaan saluran napas yang bevariasi, asma terkontrol mungkin menunjukkan aspek pencegahan penyakit atau pengobatan. Bagaimanapun pada asma tidak pernah terdapat keadaan yang pasti atau realistis dalam hal manifestasi penyakit yang terkontrol, tidak hanya manifestasi klinis tetapi juga terhadap petanda inflamasi dan gambaran patofisologi penyakit, dengan terapi pengontrol, inflamasi dapat berkurang 9
Asma dikatakan terkontrol bila : 1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam 191 J Respir Indo Vol. 30, No. 4, Oktober 2010
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk latihan 3. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan) 4. Variasi harian APE kurang dari 20% 5. Nilai APE normal atau mendekati normal 6. Efek samping obat minimal (tidak ada) 7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat.
METODOLOGI PENELITIAN Rancangan penelitian Penelitian dilakukan dengan metode cross sectional study dan dilakukan analisis statistik dengan uji korelasi untuk menilai hubungan nilai ACT dengan derajat asma dan nilai spirometri. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di poliklinik asma Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI / RS Persahabatan Jakarta, mulai Juli 2009 sampai September 2009. Populasi dan Sampel Populasi terjangkau adalah pasien asma stabil yang datang berobat di poliklinik asma RS Persahabatan Jakarta. Subjek penelitian diambil secara consecutive sampling yaitu mengambil semua sampel yang memenuhi kriteria penerimaan sampai jumlah sampel penelitian tercapai, jumlah sampel pada penelitian ini 100 orang. HASIL PENELITIAN Penelitian dilakukan terhadap pasien asma stabil, diperoleh 100 orang subjek yang terdiri dari 70 orang (70 %) perempuan dan 30 orang (30 %) lakilaki. Rerata umur subjek 36,6 tahun dengan kisaran dari 18 - 50 tahun. Dari 100 orang subjek, 26 % tanpa riwayat keluarga menderita asma dan 74 orang (74 %) mempunyai riwayat keluarga menderita asma. Riwayat alergi didapatkan pada 69 orang (69 %) dan sebanyak 31 orang (31 %) tanpa riwayat alergi. Lamanya menderita asma rata-rata 17,2 tahun terbanyak pada kisaran 10-19 tahun sebanyak 36 %. Indeks massa tubuh (IMT) subjek sebanyak 15 % berat badan lebih dan obes 40 orang (40 %), hanya 36 orang (36 %) dengan IMT normal dan terdapat 9 orang (9 %) termasuk IMT kurang. Terdapat 22 % pasien asma intermiten, 45% asma persisten ringan dan 33 % asma persisten sedang. Skor ACT menunjukkan 61% dengan kategori asma terkontrol sebagian, 32 % asma tidak terkontrol dan hanya 7% yang mencapai kontrol penuh.
Tabel 3. Hubungan ACT dengan derajat asma
Tabel 2. Karakteristik data dasar
Umur (tahun)
18 - 50
Laki-laki
30 (30 %)
Perempuan
70 (70 %)
18 50
36,64
Derajat asma: - Asma Intermiten
22 (22 %)
- Asma Persisten Ringan
45 (45 %)
- Asma Persisten Sedang
33 (33 %)
Nilai ACT - Terkontrol penuh
12 25
20,24
7 (7 %)
- Terkontrol sebagian
61 (61 %)
- Tidak terkontrol
32 (32 %) 27,00 -120,00
71,80
A P E % prediksi
9,6 107,00
47,52
Derajat obstruksi 43 (43 %)
- Ringan
29 (29 %)
- Sedang
27 (27 %)
- Berat
1 (1 %)
Asma Persisten Sedang
10
30,3
23
69,7
Asma Pesisten Ringan
37
82,2
8
17,8
Asma Intermiten
21
95,5
1
4,5
p
<0,001
Hubungan ACT dengan VEP1
V E P1 % prediksi
- Normal
Derajat asma
ACT Tidak Terkontrol Terkontrol N % N %
Pada hasil pemeriksaan spirometri diperoleh 29% mengalami obstruksi ringan, 27% obstruksi sedang, hanya 1% mengalami obstruksi berat dan sebanyak 43 % dalam batas normal. Hubungan ACT dengan derajat asma Pada analisis hubungan ACT dengan derajat asma, setelah skor ACT dikelompokan ke dalam dua kategori yaitu terkontrol dan tidak terkontrol didapatkan data pada asma intermiten terdapat 21 orang (95,5 %) terkontrol dan hanya 1 orang (4,5 %) tidak terkontrol, pada asma persisten ringan 37 orang (82,2 %) terkontrol dan 8 orang (17,8 %) tidak terkontrol sedangkan pada asma persisten sedang 10 orang (30 %) terkontrol dan 23 orang (69,7 %) tidak terkontrol
Untuk melihat seberapa besar hubungan skor ACT dengan VEP1 dibuat diagram acak korelasi dengan uji korelasi Spearman dan didapatkan korelasi yang lemah dengan koefisien korelasi ( r ) = 0,382 dan secara statistik bermakna (p < 0,001), seperti terlihat pada gambar berikut ini.
Untuk mengetahui seberapa besar ACT dapat memprediksi derajat obstruksi berdasarkan nilai VEP1 % prediksi, dilakukan analisis Receiver Operating Characteristic (ROC) dan didapatkan nilai prediksi titik potong (cut off point) ACT untuk membedakan obstruksi (VEP1 < 80 % prediksi ) dengan normal yaitu pada nilai ACT 21,5 dengan sensitivitas 63,6% dan spesifisitas 70,1%, pada area under the curve = 68,5%, Hubungan ACT dengan Arus Puncak Ekspirasi (APE) Pada analisis hubungan ACT dengan APE menggunakan diagram acak, diperoleh hubungan yang sangat lemah. Pada uji korelasi Spearman J Respir Indo Vol. 30, No. 4, Oktober 2010
192
diperoleh nilai r = 0,298 (korelasi sangat lemah) dan p = 0,003 seperti terlihat pada gambar 3.
Gambar 3. Hubungan ACT dengan APE% prediksi
DISKUSI Analisis penelitian ini bertujuan melihat korelasi ACT dengan nilai spirometri dan korelasi ACT pada berbagai derajat asma. Jumlah populasi pada penelitian ini sebanyak 100 orang dengan rerata umur 36,6 tahun, subjek penelitian terdiri dari 70% perempuan. Widysanto,10 dalam penelitiannya pada tahun 2006 di RS Dr.Mawardi Solo juga mendapatkan subjek penelitian lebih banyak perempuan (66%) dibanding laki-laki (44%). Leuppi dkk11 pada penelitian terhadap 31 pasien asma stabil terdapat 17 perempuan dengan kisaran umur 22-69 tahun. Subjek obesitas sebanyak 40%. Sejumlah penelitian melaporkan terdapatnya hubungan antara asma dan obesitas dan apakah hubungan yang kuat didapatkan pada perempuan dibanding laki-laki masih kontroversial.12 Beckett dkk.13 mendapatkan hubungan yang bermakna antara insidens derajat asma dengan IMT selama 10 tahun observasi, hubungan bermakna terbatas pada perempuan dan hubungan ini tidak tergantung pada aktivitas fisik. Ronmark dkk. 1 4 dalam penelitiannya mendapatkan peningkatan IMT, riwayat merokok, riwayat sensitisasi alergen dan riwayat asma dalam keluarga merupakan faktor risiko bermakna dalam insidens asma dan tidak tergantung jenis kelamin.Dalam penelitian ini terdapat 74% subjek yang mempunyai riwayat keluarga menderita asma dan 69% subjek mempunyai riwayat alergi. Sebanyak 22% subjek menderita asma intermiten, 45% asma persisten ringan dan 33% asma persisten sedang, asma persisten berat titak 193 J Respir Indo Vol. 30, No. 4, Oktober 2010
dimasukan dalam penelitian. Sebanyak 32% subjek tidak terkontrol berdasarkan ACT dan hanya 7% yang mencapai terkontrol penuh. Chapman dkk. 15 pada penelitian tentang penilaian kontrol asma dan pengaruh pelayanan kesehatan primer dan dokter pelayan kesehatan terdepan yang melibatkan 10.428 pasien, diperoleh 59% tidak terkontrol, 19% terkontrol sebagian dan 23% terkontrol penuh, sebagian besar pasien asma yang berobat di dokter umum tidak terkontrol. Beberapa survei di negara berkembang menunjukkan bahwa sebagian besar pasien asma tidak mencapai kontrol asma yang adekuat.15 Buruknya kontrol asma dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk terdapatnya komorbiditas, resisten terhadap terapi, terus menerus terpajan oleh faktor pencetus, tidak adekuatnya penilaian dan pengobatan, penggunaan obat yang tidak efektif, terdapat faktor yang mengurangi efektivitas pengobatan, rendahnya kepatuhan dalam terapi, problem psikologis, penggunaan terapi alternatif, tidak terdapat konsultasi medis dan pasien tidak merasakan/menyadari gejala sebagai petunjuk kontrol yang buruk 16,17 Atmoko dkk18 dalam penelitiannya pada periode Maret-Juni 2009 mendapatkan pasien asma tidak terkontrol sebanyak 81 orang (75,7%) dari 107 sampel dan diperoleh hubungan yang bermakna antara asma terkontrol dengan IMT dan derajat beratnya asma. Penelitian serupa oleh Bachtiar D dkk19 pada bulan Januari-Maret 2009 juga mendapatkan jumlah pasien asma yang tidak terkontrol lebih besar daripada yang terkontrol yaitu 57 orang (75%) : 19 orang (25%) dan didapatkan hubungan bermakna antara asma terkontrol dengan penggunaan obat inhalasi Metered Dose Inhaler (MDI) yang benar. Kedua hasil penelitian tersebut diatas mendapatkan jumlah pasien asma yang tidak terkontrol lebih besar, berbeda dengan hasil yang saya dapatkan dalam penelitian ini sebanyak 68% pasien asma terkontrol hal ini disebabkan karena perbedaan karakteristik sampel, penelitian Atmoko dkk tidak memasukan pasien asma intermiten dalam populasi penelitiannya sedangkan populasi pada penelitian ini, pasien asma persisten berat tidak dimasukan. Hal lain yang dapat membedakan hasil penelitian tersebut adalah perbedaan waktu pengambilan sampel, Atmoko dkk dan Bachtiar dkk melakukan pengumpulan sampel pada awal tahun yaitu sekitar bulan maret, pada periode tersebut memasuki musim hujan sedangkan panelitian saya ini dilakukan pada periode JuliSeptember saat musim kemarau. Rendahnya populasi pasien yang asmanya terkontrol penuh (7 %) mungkin dapat disebabkan
oleh berbagai faktor seperti penggunaan obat yang tidak efektif, penilaian dan pengobatan yang tidak adekuat, rendahnya kepatuhan dalam terapi, kurang disadarinya gejala kontrol asma yang buruk oleh pasien, kemungkinan terjadi resistensi terhadap pengobatan atau dapat juga disebabkan karena terdapatnya faktor risiko seperti obesitas (40% subjek penelitian) yang dapat memperburuk gejala dan efektivitas pengobatan. Hubungan ACT dengan derajat asma Pada analisis hubungan kategori ACT dengan derajat asma (asma intermiten, persisten ringan dan sedang ) dibuat tabulasi silang (cross tabulation) dengan menggunakan Chi-Square Test namun terdapat 3 sel (33,3 %) yang mempunyai expected count kurang dari 5 maka tidak dapat dilakukan analisis sehingga dibuat pengelompokan derajat ACT menjadi dua kelompok yaitu kelompok tidak terkontrol dan terkontrol. Diperoleh 95,5% asma terkontrol pada asma intermiten dan hanya 4,5% tidak terkontrol, asma persisten ringan 82,2% terkontrol, yang tidak terkontrol sebesar 17,8% dan asma persisten sedang sebanyak 30% terkontrol dan 69,7% tidak terkontrol, perbedaan angka tersebut secara statistik bermakna (p< 0,001). Makin ringan derajat asma, asma terkontrol makin tinggi sebaliknya makin berat derajat asma makin tinggi persentase asma tidak terkontrol. Minov dkk.20 pada penelitiannya yang melibatkan 284 subjek asma persisten, rerata nilai ACT pada persisten ringan, sedang dan berat berturut-turut 21,6, 20,1 dan 16,8, rerata nilai ACT pada pasien persisten ringan secara bermakna lebih tinggi daripada pasien asma persisten sedang (p=0,001) dan berat (p=0,000). Data tersebut diatas menjelaskan bahwa pada asma yang derajatnya lebih berat atau pada asma yang lama, proses inflamasi saluran napas akan menyebabkan remodeling. 2 1 , 2 2 Mekanisme pasti yang mendasari proses ini masih terus diteliti namun yang pasti bahwa proses remodeling akan menyebabkan perubahan s t r u k t u r d i n d i n g s a l u r a n n a pa s t e r m a s u k p e n e b a l a n d i n d i n g s a l u r a n n a pa s a k i b a t peningkatan jaringan submukosa, adventisia, otot polos dan komponen jaringan ikat. 23 Disisi lain pada asma persisten dengan derajat obstruksi yang lebih berat, membutuhkan pengobatan yang lebih intensif, dosis obat yang lebih tinggi dan pengawasan yang lebih ketat. Hal ini sangat terkait dengan tingkat kepatuhan pasien untuk mencapai asma terkontrol yang lebih baik. 24
Hubungan ACT dengan VEP1 Analisis hubungan ACT dengan VEP1% prediksi berdasarkan uji korelasi Spearman diperoleh hubungan yang lemah (r = 0,382) meskipun secara statistik bermakna (p < 0,001). Nilai ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Chin dkk 25 yang meneliti 75 pasien asma juga mendapatkan korelasi yang lemah antara nilai ACT dengan VEP1 prediksi (r = 0,380), p = 0,001. Berbeda dengan penelitian Rodrigo dkk26 yang meneliti ACT, spirometri dan beratnya asma pada 322 pasien , mendapatkan hasil hampir 40 % pasien dengan VEP1 <60 % prediksi, gejala asma mereka baik atau terkontrol total, sebaliknya 70% pasien dengan asma terkontrol penuh memperlihatkan VEP1 < 80% prediksi, ACT menunjukan korelasi yang sangat lemah terhadap VEP1 (p = 0,27) dan p = 0,01. Rodrigo juga mendapatkan gambaran bahwa makin berat asma cenderung kontrol asma mereka lebih buruk. Pada analisis kemampuan ACT dalam mempredksi terdapatnya obstruksi, didapatkan nilai titik potong (cut off point) ACT 21,5 dengan sensitivitas 63,6% dan spesifisitas 70,1% dengan area under the curve 68,5%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Rodrigo dkk yang melakukan analisis faktor perbedaan kedua uji tersebut (ACT dan VEP1) diperoleh nilai 66,2 % total perbedaan. Dari hasil penelitian tersebut disimpilkan bahwa spirometri memberikan informasi penting yang lengkap tentang beratnya asma sehingga dapat digunakan bersama dengan penilaian klinis dalam penanganan pada pasien asma. Beberapa penelitian menunjukan bahwa tujuan pengobatan asma tidak tercapai, beberapa pasien yang dilaporkan mencapai kontol penuh secara bersamaan juga dilaporkan seringnya timbul gejala dan penggunaan obat pelega, hal ini menunjukan bahwa jauhnya jarak antara konsep kontrol dengan beratnya penyakit. Jadi beratnya penyakit secara relatif mencerminkan karakteristik individu yang merupakan pencerminan proses penyakit yang mendasari sedangkan asma terkontrol merujuk kepada status asma yang baru atau pengobatan yang adekuat.26-28 Lemahnya korelasi yang diperoleh dapat dijelaskan bahwa asma meliputi dua komponen yaitu gejala dan obstruksi saluran napas yang berubahubah. Gejala dan fungsi paru mungkin dapat berubah cepat dari hari ke hari ataupun dari jam ke jam dan dapat berespons cepat terhadap pengobatan awal, sementara respons saluran napas terhadap pengobatan cenderung perubahannya lambat, secara J Respir Indo Vol. 30, No. 4, Oktober 2010
194
patofisiologi mungkin berubah dengan waktu misalnya karena terjadi remodeling dinding saluran napas dan relatif menyebabkan obstruksi yang menetap. 23 Kuesioner ACT yang sifatnya subjektif memiliki keterbatasan karena bersifat retrospektif dan menilai status kesehatan dalam periode yang lama sehingga tidak mampu menilai dengan cepat secara akurat perubahan yang berfluktuasi dalam patologi penyakit, Kitch dkk28 mendapatkan VEP1 % prediksi secara bermakna berhubungan dengan risiko serangan asma setelah pengukuran diikuti selama 3 tahun, setelah status merokok dan jenis kelamin disesuaikan, VEP1 % prediksi merupakan prediktor independen terjadinya serangan asma dikemudian hari sehingga hal ini mendukung penggunaan spirometri sebagai pengukuran objektif beratnya asma dan risiko tambahan. Hubungan ACT dengan APE Pada analisis hubungan antara nilai ACT dengan APE berdasarkan uji korelasi Spearman diperoleh hubungan yang sangat lemah (r = 0,298), p = 0,003. Mendoza dkk 23 dalam penelitian kohort prospektif membagi ACT dalam dua kategori, terkontrol bila ACT > 19 dan tidak terkontrol bila ACT < 19. Pada nilai ACT 20 didapatkan APE prediksi > 80% sedangkan pada ACT < 20 didapatkan APE prediksi < 80% namun pada penelitian tersebut tidak dilakukan uji korelasi. Nilai APE prediksi merupakan indikator yang baik untuk mengontrol asma, APE baik untuk menilai serangan akut dan sebaiknya dinilai variabilitas.29 Pada penelitian ini subjek adalah pasien asma stabil dan yang dinilai adalah APE saat kunjungan, nilai APE juga dipengaruhi oleh variasi diurnal sehingga waktu pemeriksaan mungkin dapat mempengaruhi hasil selain dari cara pasien melakukan manuver. KESIMPULAN 1. Jumlah pasien yang mencapai asma terkontrol 68 % lebih besar dari yang tidak terkontrol 32 %. 2. Makin ringan derajat asma makin tinggi persentase asma terkontrol. 3. Terdapat korelasi yang lemah antara ACT dengan VEP1 dalam menilai asma terkontrol 4. Nilai titik potong ACT = 21,5 dapat memprediksi terdapatnya obstruksi (VEP1 < 80 %, dengan sensitivitas 63,6 % dan spesifisitas 70,1 %. 5. Terdapat hubungan yang sangat lemah antara ACT dengan APE dalam menilai asma terkontrol 6. Kuesioner ACT sebagai alat uji untuk menilai asma terkontrol dapat digunakan untuk melengkapi 195 J Respir Indo Vol. 30, No. 4, Oktober 2010
pemeriksaan spirometri. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Poliklinik Asma RSP beserta seluruh perawat dan stafnya yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Bateman ED, Hurd SS, Barnes PJ, Bousquet J, Drazem JM, FitzGerald M, et al. Global Strategy for asthma management and prevention: GINA executive summary. Eur Respir J. 2008;31;143-78 2. Lavorini F, Corbetta L. Achieving asthma control: the key role of inhalers. Breathe. 2005;5;121-31 3. Rodrigo GJ, Rodrigo C, Hall JB. Acute Asthma in Adult A Review. Chest. 2004; 125;1081-96 4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (RIKESDA) 2007. Laporan Nasional 2008.p.94-8 5. Greening AP, Stempel D, Batemen, Virchow JC. Managing asthma patients : which outcome matter. Eur Respir Rev 2008 ; 17 : 53-61 6. Buist AS. Similarities and differences between asthma and chronic obstructive pulmonary disease: treatment and early outcome. Eur Respir J. 2003;21:30-5 7. Cazzola M. Asthma control : evidence-based monitoring and the prevention of exacerbations. Breathe. 2008; 4:311-9 8. Yunus F. The Asthma Control Test, A new tool to improve the quality of asthma management. In: Surjanto E, Suradi,Reviono, Rima A, Widysanto A, Widiyawati, editors. Proceeding Book Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 1st ed. Surakarta: Indah Comp;2005.p.361 9. Global Initiative For Asthma. Diagnosis and classification. Global Strategy For Asthma Management and Prevention Revised 2006.p.1625 10. Widysanto A. Korelasi Penilaian asma terkontrol pada penderita asma persisten sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi dengan menggunakan asthma control scoring system (ACSS) dan asthma control test (ACT). Tesis. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, 2006 11. Leuppi JD, Salome CM, Jenkins CR, Koskela H, Brannan JD, Anderson SD, et al. Markers of airway inflammation and airway hyperresponsiveness in patients with well-controlled asthma. Eur Respir J. 2001;18:444-50 12. Chinn S, Down SH, Anto JM, Gerbase MW, Leynaert B, de Marco R, et al. Incidence of asthma and net change in symptoms in relation to change
in obesity. Eur Respir J 2006;28:763-71 13. Beckett WS, Jacobs DR, Yu X, Iribarren C, William OD. Asthma is associated with weight gain in female but not males, independent of physical activity. Am J Respir Crit Care Med. 2001;164:2045-50 14. Ronmark E, Andersson A, Nystrom L, ForbergB, Jarvholm B, Lundback B. Obesity increases the risk of incident asthma among adults. Eur Respir J. 2005;25:282-6 15. Chapman KR, Boulet LP, Rea RM, Franssen E. Suboptimal asthma control: prevalence, detection and consequences in general practice. Eur Respir J. 2008;31:320-5 16. Chhabra SK. Assesment of control in asthma: The new focus in management. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2008;50:109-16 17. Bel EH. Severe asthma. Breathe. 2006;3:129-39 18. Atmoko W, Faisal Hana KP, Bobian ET, Edisworo MW. Prevalence of uncontrolled asthma an factors associated with the level of asthma control at asthma clinic Persahabatan Hospital Jakarta ( a b s t r a c t ) . R e s p i r o l o g y. 2 0 0 9 ; 1 4 : 2 2 3 19. Bachtiar D, Yunus F, Wiyono WH. Prevalence of controlled asthma in asthma Clinic Persahabatan Hospital Jakarta 2009 (abstract). Respirology. 2009;14:247 20. Minov J, Bislimovsa K, Vasilevska K, Stojanovski Z, Stokeski S. Asthma control in subjects with persistent symptoms: a role of the disease severity. Abstract printing Nonin Medical. 2008;487, 21. Holgate S, Bisgard H, Bjemermer L, Haahtela T, Haughney J, Horne R, et al. The Brussel Declaration: the need for change in asthma management. Eur Respir J. 2008;32:1433-42 22. Busse WW, Lemanske RF. Asthma. N Engl J Med. 2001;344;350-61 23. Mendoza MR, Cruz BOD, Guzman-Banzon AV, Ayuyao FG, De Guia TS. Comparative assessment of asthma control test (ACT) and GINA classification including FEV1 in predicting asthma severity. Philiphine Heart Centre and H.E.A.R.T Foundation Inc. 2007.p.149-54 24. Rodrigo GJ, Arcos JP, Nannini LJ, Neffen H, Broin MG, Contrera M, et al. Reliability and factor analysis of the spanis version of the Asthma Control Test. Ann of Allergy, asthma & Immunol 2008;100:1722 25. Chin YW, Loh LC, Muttalif AR. Correlation between Asthma Control Test (ACT) and spirometry as tool of Assessing Asthma Control. Journal complition. 2008. APSR A143 26. Neffen H, Fritscher C, Schacht C, Levy G, Chiarella
P, Sorian J, et al. Asthma control in latin America: the Asthma Insight and Reality in Latin America (AIRLA) survey. Am J Publc Health. 2005;17:1917 27. Kitch BT, Paltiel D, Kuntz KM, Dockery DW, Schouten JP, Weiss ST, et al. A single measure of FEV1 is associated with risk of asthma attacks in long-term follow-up. Chest. 2004;126:1875-81 28. Taylor DR, Bateman ED, Boulet LP, Boushey HA, Busse WW, Casela TB, et al. A new perspective on concept of asthma severity and control. Eur Respir J. 2008 ; 32 : 545-54 29. Dakin J, Kourteli E, Winter R. Peak expiratory flow. In: Making Sense of lung function test A hands-on guide. Arnold London.2003.p.1-7
AGD
J Respir Indo Vol. 30, No. 4, Oktober 2010
196