UNIVERSITAS INDONESIA
SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA DALAM KONTEKS PELAYANAN SOSIAL
DISERTASI
TOTON WITONO 0906 507 204
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM DOKTOR ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL DEPOK, JULI 2015
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
SPIRITUALITAS UNTUK KESEHATAN MENTAL LANJUT USIA DALAM KONTEKS PELAYANAN SOSIAL
DISERTASI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Kesejahteraan Sosial
TOTON WITONO 0906 507 204
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM DOKTOR ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL DEPOK, JULI 2015
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
ii Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Disertasi ini adalah hasil karya sendiri dan semua sumber, baik yang dikutip maupun yang dirujuk, telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Toton Witono
NPM
: 0906 507 204
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
25 Juli 2015
iii Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Untuk:
Bapakku, alm. H. Mamat Muhammad. Allâh yaghfir... Gelar Doktor ini ternyata tidak mampu saya peroleh dalam 4 tahun. Mohon maaf atas keterlambatan ini.
Putraku, alm. Sahih Maulana Witono, yang pernah datang, dan kemudian kembali. Allâh yarham...
iv Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
v Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
vi Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
KATA PENGANTAR Ketertarikan saya untuk mengkaji lebih jauh bagaimana agama dilibatkan dan diperlakukan dalam disiplin ilmu pekerjaan sosial membawa saya ke penelitian tentang spiritualitas. Proses interaksi dan konsultasi yang cukup panjang, tidak saja dengan pembimbing, tetapi juga dengan para pengajar dan penguji, mengantarkan saya pada kajian tentang spiritualitas para praktisi kesejahteraan sosial dan klien lansia, terutama dalam bingkai disiplin ilmu pekerjaan sosial. Bagi saya, mengkaji spiritualitas dalam domain ini adalah ibarat sebuah pengembaraan (journey) yang serba tidak pasti ke mana arahnya dan tidak diketahui di mana muaranya. Teori-teori yang dicoba dikonstruksi di sini tidak dipretensikan sebagai sesuatu yang final. Kualitas pelayanan sosial untuk kesehatan mental lansia dipengaruhi interaksi antara praktisi dan klien dari segi pandangan dunia mereka, kepercayaan, keyakinan, nilai, sikap, tindakan, dan lain-lain. Penelitian ini berupaya menggali: (i) bagaimana para praktisi memahami spiritualitas; (ii) bagaimana pemahaman tersebut dipraktikkan dalam interaksi mereka dengan klien lansia; (iii) bagaimana pula spiritualitas dihayati oleh klien; dan (iv) bagaimana pengalaman hidup dihadapi lansia. Berdasarkan berbagai perspektif yang akan tergali dari kedua kelompok informan tersebut, penelitian ini kemudian berupaya untuk: (v) mengonstruksi model pelayanan sosial berbasis spiritual yang khas untuk masyarakat Indonesia; dan (vi) menentukan komponen-komponen spiritual yang relevan bagi kesehatan jiwa lansia. Kajian kualitatif ini melibatkan 20 orang informan yang terdiri dari sembilan praktisi dan sebelas klien lansia yang tinggal di panti maupun yang memperoleh layanan home care. Pengelolaan data dan hasil coding menggunakan program software NVivo yang mempermudah akses untuk proses analisis. Dengan metode wawancara, observasi, dan kajian dokumen, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa para praktisi memiliki pandangan dan praktik spiritualitas baik yang berasal dari agama maupun non-agama. Namun, spiritualitas mereka tidak dipahami, tidak pula didefinisikan oleh mereka sendiri, dan spiritualitas tersebut tersusun dari beberapa kategori: afiliasi dan praktik agama, keyakinan dan nilai, penemuan makna dan hikmah di balik musibah, dan sejumlah komponen lain. Spiritualitas yang dihayati (living spirituality) seperti itu sejatinya dipraktikkan dalam keseharian dan ketika berinteraksi dengan klien, meskipun mereka mungkin menggunakannya tidak secara eksplisit dan sadar. Dalam interaksi, spiritualitas mereka terejawantahkan dalam motivasi melayani lansia, nilai dan prinsip etis, asesmen spiritual, dan intervensi spiritual. Klien lansia juga memiliki sisi-sisi spiritual yang sebagian terekspresikan melalui cara mereka mempersepsikan dan merespons pengalaman hidup atau penderitaan. Penelitian ini mengonstruksi sejumlah kategori yang mencerminkan spiritualitas lansia sebagai berikut: keberagamaan, relasi dan keterhubungan, harapan dan kecemasan, tugas atau kebutuhan spiritual (spiritual tasks), persoalan eksistensial, persepsi tentang penderitaan, dan responsnya. Sejumlah tema dalam kategori-kategori ini bisa menjadi komponen spiritual yang dinilai penting bagi kondisi kesehatan mental lansia. Selanjutnya, living spirituality menurut praktisi punya peran penting sebagai inti dari model pelayanan sosial bagi kesehatan mental lansia berbasis spiritual.
vii Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
viii Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
UCAPAN TERIMA KASIH Al-hamd li-llâh rabb-il-‘âlamîn ‘alâ kulli hâl wa ni’mah. Shalli wa sallim ‘alâ sayyidinâ Muhammad wa ‘alâ âlih wa shahbih. Penelitian ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa kontribusi banyak pihak. Semoga Allah membalas dan melipatgandakan setiap kebaikan yang telah diberikan. Melalui kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Ibu Fentiny Nugroho, M.A., Ph.D. selaku promotor yang dengan sabar dan telaten mengarahkan saya sejak wawancara masuk kuliah, menjadi pembimbing akademik, masa kuliah, konsultasi proposal, dan menjadi promotor penelitian saya hingga selesai. 2. Prof. Adi Fahrudin, Ph.D. selaku ko-promotor yang telah menginspirasi saya mengambil isu penelitian yang penting ini dan, kemudian, sudi menjadi pembimbing yang sering memotivasi saya untuk berpikir sederhana dan bertindak cepat dan taktis baik dalam penelitian dan penulisan maupun penyelesaian akhir. 3. Dekan FISIP UI, Dr. Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc. selaku ketua sidang promosi dan Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si. selaku ketua sidang pada tahap pra-promosi. 4. Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc. atas ilmu, bimbingan, wisdom, dan masukan berharga sejak wawancara masuk kuliah, masa kuliah, konsultasi proposal, dan hampir seluruh tahapan penelitian-penyusunan disertasi ini. Penelitian tingkat doktoral memang tidak lagi pada tahap bagaimana memahami atau mengaplikasikan teori, namun pada bagaimana mengembangkan atau menghasilkan teori dan berpikir di tataran filosofis. 5. Prof. Isbandi Rukminto Adi, Ph.D. atas ilmu, bimbingan, dan masukan berharga sejak masa kuliah, penyusunan proposal, hingga serangkaian tahapan ujian/sidang sampai selesai. Berbagai referensi metodologi penelitian yang beliau tawarkan sangat membantu saya dalam upaya memahami alur penelitian ini. 6. Prof. Dr. (Romo) Mudji Sutrisno, SJ. yang telah terlibat sejak tahap ujian proposal hingga promosi. Terima kasih atas ilmu, kebaikan, saran, dan perspektif filosofis yang selalu menekankan hal-hal yang lebih esensial ketimbang formal-prosedural. 7. Dr. Jajang Gunawijaya, M.Si. atas tradisi Antropologi dan perspektif budaya yang seharusnya ditawarkan dan ditekankan sejak awal penelitian ini. 8. Dr. Elizabeth Endang P., M.Si. yang telah memberi masukan penting terkait kesehatan mental dan ragam perspektif spiritualitas. 9. Para pengajar program Doktoral Ilmu Kesejahateraan Sosial FISIP UI. Prof. Martha Haffey yang sempat menyediakan waktu untuk konsultasi pada saat penyusunan proposal, sehingga turut menentukan arah penelitian ini. Pak Bagus Aryo, Ph.D. atas masukan berharga dan referensi tambahan pada saat seminar proposal. 10. Pihak jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Pak Arif Wibowo, M.Hum. yang tidak saja tekun mengoreksi cara penulisan, tetapi juga sangat membantu dalam serangkaian tahap ujian/sidang. Pak Cece, mbak Valen, mas Tinton,
ix Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
dan seluruh staf jurusan yang telah banyak membantu selama masa kuliah dan proses penyelesaian studi. 11. Mantan kepala BBPPKS Padang, Drs. Dahnil Amry, M.Si., yang telah memberi izin untuk mengambil Tugas Belajar (TB). Kepala BBPPKS Regional I Sumatera saat ini, Drs. Manggana Lubis, M.Si., beserta sejumlah pegawainya yang rajin menyurati dan menelepon agar saya tidak lupa dan secepatnya balik ke kantor. 12. Dr. Agus Widiatmo, yang telah meluluskan saya untuk mengambil TB dan atas kebaikan dan perhatiannya. Pak Kanita, M.Si. atas perhatian, pengertian, dan bantuannya, terutama pada tahap penyelesaian TB. 13. Kepala Pusdiklat Kesejahteraan Sosial dan Kabag Program (yang telah silih berganti) beserta stafnya atas perhatian, pembinaan, dan biaya kuliah selama saya berstatus mahasiswa TB. 14. Teman-teman angkatan atas kebersamaan (urut abjad: pak Abu, bu Maria Ulfah, pak Masduki, mas Nur, Risna, mbak Sari, bu Siti Fauziah, bu Susi, pak Syahganda, bu Tini, bu Tri, & Widi) dan juga kakak-adik angkatan yang seringkali saling membantu. 15. Gate keepers dan seluruh informan penelitian (terutama simbah-simbah, oma, dan engkong) atas bantuan, doa, dan kesediaan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. 16. Istri tercinta, Widiyanti SL., atas dukungan, pengertian, kesabaran, dan doa yang telah diberikan sehingga saya mampu menuntaskan studi. Tak lupa dua putraku tercinta, Aidan & alm. Sahih, yang menjadi sumber semangat saya. 17. Keluarga (ibu & alm. bapak, ibu & bapak mertua, semua kakak-adik dan ipar, termasuk alm. Kang Ade, dan semua ponakan) atas dukungan dan doa. Untuk semua keluargaku, khususnya ibu, semoga selalu diberi kesehatan, umur panjang, dan hidup barokah. 18. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan di sini, tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih, atas kontribusi yang tampak maupun tidak namun sangat berarti. Akhirnya, saya sangat berharap penelitian ini dapat memberi banyak manfaat, khususnya untuk penelitian dan pengembangan profesi pemberian pertolongan bagi para pemerlu dalam rangka mewujudkan kondisi sejahtera dan kualitas hidup yang lebih baik. Âmîn yâ rabb-al-‘âlamîn....
x Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Toton Witono
NPM
: 0906 507 204
Program Studi : Doktoral Ilmu Kesejahteraan Sosial Departemen
: Ilmu Kesejahteraan Sosial
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis karya
: Disertasi,
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Spiritualitas untuk Kesehatan Mental Lanjut Usia dalam Konteks Pelayanan Sosial beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Jakarta
Pada tanggal
: 25 Juli 2015
Yang menyatakan
(Toton Witono)
xi Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
xii Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
ABSTRAK Nama : Toton Witono Program studi : Program Doktor Ilmu Kesejahteraan Sosial Judul : Spiritualitas untuk Kesehatan Mental Lanjut Usia dalam Konteks Pelayanan Sosial Kualitas pelayanan sosial untuk kesehatan mental lansia dipengaruhi interaksi antara praktisi kesejahteraan sosial dan klien. Interaksi melibatkan banyak aspek, termasuk spiritualitas, maka penelitian ini menggali pemahaman spiritualitas praktisi dan praktiknya dalam pelayanan, bagaimana spiritualitas dihayati lansia, dan bagaimana lansia menghadapi penderitaan. Kajian kualitatif ini melibatkan 20 informan praktisi dan klien dengan metode wawancara, observasi, dan kajian dokumen. Proses coding menggunakan NVivo untuk mempermudah analisis. Hasil penelitian menunjukkan spiritualitas praktisi dihayati dan diekspresikan dalam berbagai komponen dan dipraktikkan ketika berinteraksi dengan klien. Spiritualitas lansia juga tercermin dalam sejumlah kategori yang punya peran penting menjaga kesehatan mental ketika menghadapi penderitaan hidup. Kata kunci: Spiritualitas, praktisi kesejahteraan sosial, lansia, dan kesehatan mental
xiii Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name : Toton Witono Study program : Doctoral Program, Department of Social Welfare Title : Spirituality for the Elderly Mental Health in the Context of Social Service Service quality for elderly mental health is influenced by interaction between practitioners and clients. The interaction involves spirituality, so this study explores practitioners’ understanding of spirituality and its implementation in service, how the elders live spirituality, and how they cope with sufferings. This qualitative study recruited 20 informants explored through interview, observation, and document review. NVivo software was used to organize coding results for analysis process. This study finds that practitioners’ spirituality is lived and expressed in various components that is used in interaction. The elders have also spiritual sides echoed through some categories having contributions to their mental health. Key words: Spirituality, social welfare practitioners, the elderly, and mental health
Universitas Indonesia
xiv Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................... PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................................. HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................................. UCAPAN TERIMA KASIH........................................................................................ PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI AKADEMIS .................................. ABSTRAK ................................................................................................................... ABSTRACT................................................................................................................... DAFTAR ISI................................................................................................................ DAFTAR TABEL........................................................................................................ DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................
i iii v vii ix xi xiii xiv xv xix xx xxi
1. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1.2 Perumusan Masalah .......................................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 1.5 Sistematika Penulisan .......................................................................................
1 1 14 17 17 19
2. TINJAUAN LITERATUR ................................................................................... 2.1 Lansia dan Teori Perkembangan Manusia ........................................................ 2.2 Active Ageing dan Kualitas Hidup Manusia ..................................................... 2.2.1 Active Ageing dan Beberapa Konsep Terkait......................................... 2.2.2 Kualitas Hidup Lansia............................................................................ 2.3 Masalah Kesehatan Mental Lansia ................................................................... 2.3.1 Death Anxiety ......................................................................................... 2.3.2 Grief dan Bereavement .......................................................................... 2.3.3 Neurosis ................................................................................................. 2.4 Upaya Penanganan Kesehatan Mental Lansia .................................................. 2.4.1 Model Penanganan Lansia Indonesia..................................................... 2.4.2 Penanganan Kesehatan Mental dan Pekerjaan Sosial ............................ 2.4.3 Pendekatan Pekerjaan Sosial Konvensional .......................................... 2.4.4 Pendekatan Pekerjaan Sosial Holistik.................................................... 2.5 Spiritualitas dan Agama .................................................................................... 2.5.1 Spiritualitas ........................................................................................... 2.5.2 Agama ................................................................................................... 2.5.3 Persamaan dan Perbedaan Spiritualitas dan Agama ..............................
21 22 26 27 31 34 36 37 39 41 41 43 47 48 52 52 57 59
xv Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
2.6 Spiritualitas dalam Pekerjaan Sosial.................................................................. 2.6.1 Definisi dan Komponen Spiritualitas ...................................................... 2.6.2 Dimensi Spiritual dan Kesehatan Mental Lansia .................................... 2.6.3 Asesmen dan Intervensi Berbasis Spiritualitas ....................................... 2.6.3.1 Asesmen berbasis spiritualitas ........................................................... 2.6.3.2 Intervensi berbasis spiritualitas ......................................................... 2.6.4 Perspektif Spiritual dalam Pekerjaan Sosial............................................ 2.6.4.1 Perspektif eksistensial-humanis......................................................... 2.6.4.2 Perspektif transpersonal .....................................................................
62 62 69 77 77 80 84 85 93
3. METODE PENELITIAN ..................................................................................... 97 3.1 Pendekatan dan Paradigma Penelitian ............................................................... 97 3.2 Grounded Theory ............................................................................................... 99 3.3 Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian ........................................................ 102 3.3.1 Lokasi Penelitian .................................................................................... 102 3.3.2 Waktu Pelaksanaan Penelitian ................................................................ 104 3.4 Informan Penelitian ........................................................................................... 104 3.4.1 Pemilihan Informan ................................................................................ 104 3.4.2 Deskripsi Informan ................................................................................. 107 3.5 Pengumpulan Data............................................................................................. 109 3.5.1 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 110 3.5.2 Proses Wawancara .................................................................................. 111 3.6 Analisis Data ..................................................................................................... 114 3.6.1 Teknik Analsis Data ............................................................................... 114 3.6.2 Proses Analisis Grounded Theory .......................................................... 118 3.7 Mutu Penelitian ................................................................................................. 121 3.8 Etika dan Keterbatasan Penelitian ..................................................................... 123 4. SPIRITUALITAS PRAKTISI .............................................................................. 127 4.1 Pemahaman dan pengalaman Spiritualitas Praktisi ........................................... 128 4.1.1 Arti Spiritualitas ..................................................................................... 129 4.1.2 Afiliasi dan Praktik Kegamaan ............................................................... 132 4.1.3 Keyakinan dan Nilai Individu ................................................................ 134 4.1.4 “Di Balik Ujian Ada Hikmah” ............................................................... 135 4.1.5 Komponen Spiritualitas Penting Lain .................................................... 137 4.2 Praktik Spiritualitas dalam Layanan Kesejahteraan Sosial ............................... 138 4.2.1 Motivasi Praktisi Kesejahteraan Sosial .................................................. 139 4.2.2 Nilai dan Prinsip Etis Pekerjaan Sosial .................................................. 140 4.2.3 Asesmen ................................................................................................. 141 4.2.3.1 Asesmen spiritual minim ................................................................... 142
Universitas Indonesia
xvi Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
4.2.3.2 Asesmen berkelanjutan, intensif, dan multidisiplin .......................... 4.2.3.3 Asesmen versi pendamping home care............................................. 4.2.3.4 Menyinggung keagamaan klien ........................................................ 4.2.3.5 Pendekatan untuk menarik lansia home care .................................... 4.2.4 Intervensi................................................................................................ 4.2.4.1 Teknik-teknik intervensi ................................................................... 4.2.4.2 Lansia sedih atau patah semangat ..................................................... 4.2.4.3 Doa dan relasi segitiga Tuhan-klien-orang yang didoakan............... 4.2.4.4 Lansia bertengkar .............................................................................. 4.2.4.5 Intervensi yang dianggap berhasil .................................................... 4.2.4.6 Intervensi yang dianggap gagal ........................................................ 4.2.4.7 Pendekatan manusiawi atau sewajarnya ........................................... 4.2.4.8 Intervensi ala pendamping home care .............................................. 4.2.4.9 Membantu lansia menghadapi akhir hayat .......................................
143 145 145 146 147 147 149 150 152 152 154 155 156 158
5. SPIRITUALITAS LANSIA ................................................................................. 5.1 Pengalaman Spiritualitas Lansia ....................................................................... 5.1.1 Keberagamaan Lansia ........................................................................... 5.1.1.1 Kegiatan dan afiliasi keagamaan ..................................................... 5.1.1.2 Keyakinan ........................................................................................ 5.1.2 Persoalan Eksistensial Lansia .............................................................. 5.1.2.1 Pandangan dan pertanyaan tentang hidup ....................................... 5.1.2.2 Makna dan tujuan hidup .................................................................. 5.1.3 Relasi dan Keterhubungan .................................................................... 5.1.3.1 Relasi, kedekatan, dan isolasi .......................................................... 5.1.3.2 Doa .................................................................................................. 5.1.4 Harapan dan Kecemasan ....................................................................... 5.1.4.1 Harapan dan semangat hidup .......................................................... 5.1.4.2 Harapan dan kecemasan menghadapi akhir hayat ........................... 5.1.5 Kebutuhan Spiritual (Spiritual Tasks) .................................................. 5.1.5.1 Merasa berperan, berguna, dan dicintai........................................... 5.1.5.2 Kenangan masa lalu (reminiscence) ................................................ 5.1.5.3 “Mengheningkan cipta” ................................................................... 5.1.5.4 Memaafkan ...................................................................................... 5.1.5.5 Kegemaran, hobi, dan kreativitas .................................................... 5.2 Pengalaman Hidup dan Respons Lansia .......................................................... 5.2.1 Pengalaman Hidup dan Pemaknaan ..................................................... 5.2.1.1 Pengalaman dan penderitaan.......................................................... 5.2.1.2 Musibah, cobaan, atau peringatan .................................................. 5.2.1.3 “Ada musibah ada hikmah” ...........................................................
163 165 165 165 167 170 170 171 172 172 178 181 182 184 187 187 189 191 192 193 194 194 194 197 198
xvii Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
5.2.2 Respons terhadap Penderitaan .............................................................. 199 5.2.2.1 Respons........................................................................................... 199 5.2.2.2 Pasrah dan menerima ...................................................................... 201 5.2.2.3 Sabar dan tawakkal ......................................................................... 201 5.2.2.4 Bersyukur ....................................................................................... 202 6. MODEL PELAYANAN SOSIAL LANSIA BERBASIS SPIRITUAL............. 205 6.1 Kategori Penting dalam Pelayanan Sosial Lansia ............................................. 205 6.1.1 Spiritualitas Praktisi............................................................................... 206 6.1.1.1 Pemahaman spiritualitas .................................................................. 206 6.1.1.2 Living spirituality ............................................................................. 210 6.1.2 Praktik Pelayanan Sosial Lansia ............................................................ 212 6.1.2.1 Motivasi praktisi dan koherensi spiritualitas dengan pekerjaan sosial................................................................................................. 213 6.1.2.2 Asesmen spiritual ............................................................................. 215 6.1.2.3 Intervensi spiritual............................................................................ 217 6.2 Asesmen dan Intervensi Spiritual Berdasarkan Tipe Praktisi dan Lansia ........ 223 6.2.1 Tipologi Praktisi dan Lansia .................................................................. 223 6.2.1.1 Tipologi praktisi ............................................................................... 223 6.2.1.2 Tipologi lansia.................................................................................. 226 6.2.2 Penanganan Berdasarkan Tipologi Praktisi dan Lansia ........................ 228 6.2.2.1 Asesmen spiritual ............................................................................. 229 6.2.2.2 Intervensi spiritual............................................................................ 232 7. KOMPONEN SPIRITUAL UNTUK KESEHATAN MENTAL LANSIA ...... 239 7.1 Masalah Kesehatan Mental Lansia ................................................................... 239 7.1.1 Perspektif Praktisi .................................................................................. 239 7.1.2 Perspektif Klien Lansia ......................................................................... 241 7.2 Respons terhadap Penderitaan ....................................................................... 242 7.3 Komponen Spiritual yang Relevan................................................................. 251 8
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ................................... 261 8.1 Kesimpulan..................................................................................................... 261 8.2 Implikasi ......................................................................................................... 265 8.2.1 Implikasi Teoretis-pengetahuan ............................................................ 265 8.2.2 Implikasi Praktis .................................................................................... 268 8.2.3 Implikasi Kebijakan............................................................................... 272 8.3 Rekomendasi .................................................................................................. 274
DAFTAR REFERENSI.............................................................................................. 279
Universitas Indonesia
xviii Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 2.3. Tabel 2.4. Tabel 2.5. Tabel 2.6. Tabel 3.1. Tabel 3.2. Tabel 3.3. Tabel 3.4. Tabel 3.5. Tabel 3.6. Tabel 5.1. Tabel 6.1. Tabel 6.2. Tabel 6.3. Tabel 6.4. Tabel 6.5. Tabel 7.1. Tabel 7.2. Tabel 7.3. Tabel 7.4. Tabel 7.5. Tabel 7.6. Tabel 7.7. Tabel 7.8. Tabel 7.9.
Domain dan definisi pengalaman grief ..................................................... Jenis neurosis berdasarkan penyebab dan gejalanya................................. Model pelayanan lansia oleh pemerintah dan non-pemerintah ................. Tema-tema spiritual dan tasks of ageing................................................... Perawatan spiritual dan the spiritual tasks of ageing ................................ Skema asesmen spiritual ........................................................................... Timetable jadwal penelitian disertasi ........................................................ Kriteria menjadi informan dan informan penelitian ................................. Data demografi informan praktisi ............................................................. Data demografi informan klien lansia ....................................................... Inisial informan praktisi, kode wawancara, dan tanggal wawancara ........ Inisial informan lansia, kode wawancara, dan tanggal wawancara .......... Informan klien lansia dan masing-masing pengalaman atau penderitaannya .......................................................................................... Contoh daftar pertanyaan untuk asesmen spiritual bedasarkan tema yang muncul .............................................................................................. Contoh-contoh intervensi spiritual berdasarkan spiritual tasks dan permasalahan lansia yang mengandung dimensi spiritual ........................ Bentuk-bentuk intervensi spiritual ............................................................ Karakteristik model asesmen spiritual berdasarkan tipologi praktisi dan klien .................................................................................................... Karakteristik model intervensi spiritual berdasarkan tipologi praktisi dan klien .................................................................................................... Masalah yang dihadapi lansia dari perspektif praktisi .............................. Masalah lansia dan dimensinya menurut perspektif lansia ....................... Spiritual tasks untuk masalah lansia menurut perspektif praktisi ............. Spiritual tasks untuk masalah lansia menurut perspektif lansia ............... Kategori keberagamaan lansia dan tugas individu lansia ......................... Tema relasi-keterhubungan-kedekatan dan tugas individu lansia ............ Kategori harapan-kecemasan dan tugas individu lansia ........................... Kategori spiritual tasks dan tugas individu lansia .................................... Kategori persoalan eksistensial dan tugas individu lansia ........................
xix Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
39 40 41 71 75 80 104 106 108 109 111 112 195 218 221 222 233 237 240 242 247 250 253 255 257 258 260
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 2.8. Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 3.4. Gambar 3.5. Gambar 4.1. Gambar 5.1. Gambar 6.1. Gambar 6.2. Gambar 6.3. Gambar 6.4. Gambar 6.5. Gambar 7.1. Gambar 7.2. Gambar 7.3. Gambar 8.1.
Kerangka alur penelitian ....................................................................... 18 Sintesis konsep-konsep dalam tinjauan literatur................................... 22 Perspektif life-course dalam strategi kebijakan active ageing WHO ... 31 Model holistik spiritualitas ................................................................... 68 Model operasional spiritualitas ............................................................. 70 Model the spiritual task of ageing ........................................................ 71 Model generik spiritual tasks and process of ageing ........................... 74 Spiritual tasks of ageing untuk pelayanan di panti werdha .................. 76 Holarchy Wilber tentang perkembangan mikro dan makro ................. 95 Proses dan hasil dalam grounded theory .............................................. 101 Lokasi penelitian ................................................................................... 103 Alur analisis data dengan software NVivo 7 ........................................ 120 Output keseluruhan proses analisis coding ........................................... 121 Seluruh tahapan analisis coding............................................................ 122 Output proses coding untuk pertanyaan penelitian ke-1 dan ke-2 ........ 128 Output proses coding untuk pertanyaan penelitian ke-3 dan ke-4 ........ 164 Tiga tipologi praktisi: normatif, fleksibel, dan non-normatif ............... 223 Tipologi lansia berdasarkan pengetahuan dan praktik keagamaan ....... 227 Pemberian layanan berdasarkan tipologi praktisi dan lansia ................ 229 Model asesmen dan intervensi berdasarkan tipologi praktisi dan lansia ..................................................................................................... 230 Bentuk penanganan lansia berdasarkan tipologi praktisi...................... 236 Masalah kesehatan mental lansia, pemaknaan, dan respons lansia ..... 244 Pertumbuhan spiritual terhadap waktu dan tiga bentuk respons terhadap peristiwa atau gangguan dalam hidup .................................... 246 Konsep relasi segi tiga doa ................................................................... 250 Kategori penting dalam pelayanan sosial lansia berbasis spiritual ....... 270
Universitas Indonesia
xx Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Perbandingan berbagai perspektif keagamaaan tentang pelayanan sosial dari segi kepercayaan, nilai, dan pelayanan Lampiran 2 Data informan Lampiran 3 Panduan wawancara (Interview Guide) Lampiran 4 Pernyataan persetujuan menjadi informan (Consent Form) Lampiran 5 Panduan observasi Lampiran 6 Matriks all nodes vs inteview informan praktisi Lampiran 7 Matriks all nodes vs inteview informan lansia Lampiran 8 Klasifikasi parent nodes (kategori) dan nodes (tema) spiritualitas praktisi Lampiran 9 Klasifikasi parent nodes (kategori) dan nodes (tema) spiritualitas praktisi Lampiran 10 Klasifikasi nomenklatur berdasarkan pertanyaan penelitian (RQ), kategori, dan tema atau konsep
Lampiran 11 Bagan klasifikasi nomenklatur spiritualitas praktisi Lampiran 12 Bagan klasifikasi nomenklatur spiritualitas lansia Lampiran 13 Sources, nodes, references, & coverage masing-masing node pada informan praktisi Lampiran 14 Sources, nodes, references, & coverage masing-masing node pada informan lansia
Lampiran 15 Lampiran 16 Lampiran 17 Lampiran 18 Lampiran 19
Node summary report informan praktisi Node summary report informan lansia Coding summary report informan praktisi Coding summary report informan lansia Kumpulan kutipan doa informan lansia
xxi Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
xxii Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Saat ini Indonesia sedang menghadapi isu penuaan penduduk (population ageing) yang merupakan salah satu dampak keberhasilan pembangunan bidang kesehatan. Dikatakan menua karena, menurut ADB (2011), kelompok usia tengahtengah (median) bertumbuh dan dibarengi rendahnya angka kelahiran, sehingga struktur usia menjadi seragam. Fakta semakin naiknya angka harapan hidup juga punya kontribusi terhadap penuaan penduduk. Dari tahun ke tahun populasi lanjut usia (lansia) 60 tahun ke atas terus membengkak. Hingga pertengahan abad ke-21 jumlahnya diproyeksikan berlipat dan Indonesia akan jadi negara dengan pertumbuhan lansia tercepat di dunia. Menurut catatan ADB, tahun 1971 ada 5,3 juta lansia atau 4,48% dari jumlah penduduk (Arifianto, 2006). Tiga dekade kemudian, BPS (n.d.) mencatat jumlah lansia naik hampir tiga kali lipat menjadi 14,4 juta (7,18%). Jumlahnya terus naik merangkak dari 16.805.294 jiwa (7,78%) pada 2005; 18.957.189 jiwa (8,42%) pada 2007; 19.318.029 jiwa (8,37%) pada 2009 (Komnas Lansia, 2010); menjadi sekitar 24 juta jiwa (9,8%) pada 2010. Bank Dunia memrediksi jumlah lansia tahun 2025 sebesar 35,335 juta (13,04%), kemudian naik dua kali lipat pada 2050 menjadi sekitar 72,398 juta atau, menurut PBB, 71,592 juta. Angka ini tidak kurang dari seperempat jumlah penduduk Indonesia saat itu (The World Bank, 2011; UN, 2009). Isu penuaan dibarengi adanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang dapat berdampak buruk bagi kondisi lansia. Perubahan tersebut berupa migrasi penduduk ke kota atau mancanegara, naiknya partisipasi perempuan dalam pekerjaan, perubahan struktur/ukuran keluarga, dan lunturnya nilai-nilai dasar, solidaritas, dan kohesi sosial (Noveria, 2006). Terkait perubahan struktur/ukuran keluarga, Noveria menjelaskan ukuran keluarga semakin menyusut karena angka kelahiran atau tingkat kesuburan menurun, sebagai satu bukti keberhasilan program Keluarga Berencana (KB). Migrasi dan tingginya partisipasi kerja perempuan serta kecenderungan anak yang telah menikah tinggal terpisah dari orang tua juga menjadi sebab mengecilnya struktur keluarga luas (extended family).
1 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
2
Perubahan-perubahan yang mengiringi penuaan penduduk dapat menyebabkan berkurangnya kualitas perawatan lansia (Noveria, 2006); minimnya penghasilan tambahan atau ketiadaan jaminan hari tua (Arifianto, 2006; Noveria, 2006); dan pudarnya sistem keluarga tradisional untuk perawatan dan dukungan finansial lansia (Hugo, 2000). Perubahan itu, kata Hugo, menyebabkan lansia kehilangan dukungan (loss of support) dalam pemenuhan kebutuhan. Secara umum kondisi lansia Indonesia sama dengan Asia-Pasifik. Phillips (2000, p. 14) mengatakan mereka terjepit di antara tiga faktor utama: kemampuan negara yang minim; dukungan keluarga dan komunitas yang serba tidak pasti; dan lingkungan kota/desa yang tidak ramah. Padahal, kondisi mental-emosional lansia paling rentan terhadap berbagai faktor. Hugo (2000, p. 307) menegaskan well-being lansia Indonesia dipengaruhi faktor-faktor yang saling mempengaruhi: penghasilan, kondisi/pola hidup, kontak sosial, dan kesehatan fisik dan mental. Lansia juga lebih rentan terhadap kemiskinan, ketidakmampuan atau kecacatan fisik, dan masalahmasalah emosional lain dibanding kelompok usia yang lebih muda. Kerentanan lansia umumnya mudah dijumpai di kota-kota besar di Indonesia. Misalnya DKI Jakarta, dengan jumlah lansia sekitar 563.707 jiwa berdasarkan Susenas BPS tahun 2009 (Komnas Lansia, 2010), memiliki angka persoalan lansia yang cukup tinggi dan beragam. Secara langsung atau tidak, kondisi ini diakibatkan atau dipicu oleh tingginya tuntutan dan tekanan hidup di ibu kota yang membuat kaum urban tenggelam dalam rutinitas, kesibukan kerja, kemacetan lalu lintas, dan persoalan sehari-hari. Belum lagi masalah kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, kebakaran, banjir, konflik antar kelompok, tawuran pelajar, kemiskinan, tindak kekerasan, dan penelantaran yang menjadi berita keseharian. Dalam satu seminar dikatakan penduduk Jakarta rentan mengalami gangguan mental dan emosional seperti depresi dan perilaku agresif karena tingginya tekanan hidup dan rendahnya kemampuan warga untuk beradaptasi terhadap perubahan (Warga DKI, 2011). Masalah seperti itu dapat dialami semua lansia, baik yang tinggal bersama keluarga dan komunitas maupun di panti. Sebagai contoh, kecemasan yang dialami kebanyakan lansia luar panti di Jakarta, menurut penelitian Favourita (1998), disebabkan oleh kekhawatiran akan penurunan atau hilangnya penghasilan, ancaman penyakit, dan tindak kriminalitas. Sementara lansia panti,
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
3
selain tidak baik bagi perkembangan psikologis, mereka merasa terbuang dan tidak berguna dan mengalami penurunan gairah hidup (Sadli, 2002, p. 25). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Indriana et al. (2010) di sebuah panti wredha di Semarang bahwa sebagian besar lansia penghuni mengalami tingkat stres tinggi dengan keluhan berat. Di antara faktornya adalah perubahan aktivitas keseharian dan hubungan dengan keluarga, kematian pasangan, dan kematian anggota keluarga. Beragam sebab dan kondisi tersebut dapat mempengaruhi aspek psikologis, emosional, dan tingkah laku lansia sehingga dapat mengganggu fungsi dan perannya dalam keseharian. Kalau kondisinya seperti itu, seorang lansia dikatakan mengalami masalah atau gangguan kesehatan mental. Menurut Kirst-Ashman (2010, p. 348), kesehatan mental berarti baik atau sehatnya kondisi individu secara psikologis dan emosional sehingga mampu membuat keputusan rasional, mengatasi tekanan dari dalam dan luar, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Kesehatan mental bagi MacKinlay (2006) tidak hanya berhubungan dengan baiknya kondisi psikologis dan emosional, tetapi juga spiritual. Bahkan bagi lansia, keberfungsian mental punya keterkaitan sangat erat dengan keberfungsian spiritual (MacKinlay, 2006; 2004a). Angka lansia Jakarta dengan masalah mental ringan-berat sulit diperoleh. Namun, proyeksinya bisa didapat berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, data pasien, estimasi ahli, dan persentase lansia. Riskesdas 2007 menunjukkan persentase penderita depresi dan kecemasan pada orang dewasa di Indonesia sebesar 11,6%. Kalau jumlah orang dewasa sekitar 150 juta (Kecemasan, 2011), kurang-lebih ada 17.400.000 orang dengan gangguan tersebut. Dengan patokan data lansia 2009, yakni 8,37% (Komnas Lansia, 2010), angka penderita kelompok ini sebesar 1.456.380 jiwa. Jika persentase lansia di DKI Jakarta sebesar 2,92% dari total lansia secara nasional, jumlah lansia yang mengalami depresi dan kecemasan diperkirakan tidak kurang dari 42.526. Angka berbeda diperoleh apabila memakai data Dinas Kesehatan DKI, yakni ada 159.029 pasien mengalami gangguan jiwa ringan pada 2010, sementara hingga pertengahan 2011 ada 306.621 orang (306.621 Warga, 2011). Dengan asumsi sebaran penderita gangguan mental merata di semua kelompok usia, termasuk kelompok lansia yang persentasenya sebesar 6,31% dari total penduduk ibu kota pada 2009 (Komnas Lansia, 2010), jumlah minimal penderita gangguan jiwa ringan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
4
sebesar 10.035 jiwa pada 2010 dan 19.348 jiwa pada pertengahan 2011. Angka itu semakin besar apabila memakai estimasi wakil direktur Rumah Sakit Jiwa di Jakarta bahwa 20-30% dari penduduk perkotaan mengalami gangguan jiwa ringan sampa berat (Awas, 2008). Dengan estimasi tengah-tengah saja, yakni 25%, jumlah penderita gangguan jiwa di Jakarta kira-kira menjadi 140.927 jiwa. Namun demikian, angka penderita gangguan mental-emosional warga Jakarta yang muncul serupa dengan fenomena pucuk gunung es. Jumlah sesungguhnya tentu lebih besar lagi karena banyak penderita yang tidak melaporkan diri sehingga tidak terpantau (Warga DKI, 2011). Banyak dari mereka atau keluarganya enggan datang ke pengobatan karena malu atau ketiadaan biaya (Kesulitan Ekonomi, 2008). Selain itu, proporsi lansia bisa lebih tinggi karena mereka lebih rentan menderita gangguan mental ketimbang kelompok usia muda. Dengan estimasi sebesar itu, hanya sebagian kecil saja yang mampu ditangani baik oleh institusi pemerintah atau swasta. Secara nasional, lansia yang ditangani institusi panti werda di seluruh Indonesia hanya berjumlah 3000-an, seperti diinformasikan Direktur Bina Pelayanan Lansia Depsos (Santi, 2002). Walaupun tidak secara khusus menangani masalah kesehatan mental lansia, informasi ini dapat menjadi gambaran betapa terbatasnya kemampuan panti melayani lansia untuk konteks Jakarta dan sekitarnya. Sebagian kecil lain ditangani non-institusi berbasis keluarga atau komunitas maupun yang berbasis agama. Sebagian besar ditangani secara mandiri dengan bergantung pada kemampuan masing-masing lansia dan keluarga dekatnya atau bahkan dibiarkan karena dianggap masih lumrah. Pelayanan sosial lansia di Indonesia diberikan pemerintah dan nonpemerintah, baik secara institusi maupun non-institusional. Bentuknya cukup beragam, seperti panti sosial, day care, home care, trauma center, posyandu lansia, karang wredha/lansia, Pusaka (Pusat Santunan Keluarga), puskesmas ramah/santun lansia, klinik geriatrik, dan layanan geriatri terpadu. Pada prinsipnya, segala bentuk layanan tersebut memiliki tujuan utama mewujudkan kesejahteraan lansia. Kesejahteraan yang dimaksud merujuk ke Undang-Undang (UU) No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (UU Kesejahteraan Lansia 1998) dan UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (UU Kessos 2009). UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan 2009)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
5
dan UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Kesehatan Jiwa 2014) juga dapat menjadi acuan dari tujuan pelayanan bagi lansia karena, seperti dalam salah satu konsideran UU ini, kesehatan merupakan salah satu unsur dalam konsep kesejahteraan sosial. UU Lansia mendefinisikan kesejahteraan sebagai ”suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial baik material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial...” (Pasal 1). Definisi ini kurang-lebih mengacu ke UU No. 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, yang telah diganti oleh UU Kessos 2009. Dalam UU yang baru ini, kesejahteraan sosial adalah “kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya” (Pasal 1). Sementara, pelayanan mewujudkan kesehatan lansia merujuk ke UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Di dalamnya kesehatan diartikan sebagai “keadaaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.” Dari beberapa definisi tersebut, kesejahteraan sosial mengacu ke suatu kondisi baik atau terpenuhinya kebutuhan fisik, spiritual atau rohani, dan sosial. UU Kesehatan bahkan menambahkan aspek mental. Akan tetapi aspek spiritual seringkali tenggelam karena dominasi model pendekatan medikal dan psikososial yang lebih fokus pada aspek fisik atau biologis, psikologis, dan sosial. Aspek ini juga terkadang disebut secara bergantian atau beriringan dengan aspek mental dan/atau psikologis. Dengan demikian, pemahaman aspek ini tampak ambigu karena terkesan punya makna serupa dengan aspek mental-psikologis. Di samping itu, aspek spiritual juga terkadang disilihgantikan dengan religius. Sebagai contoh, dalam Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial No. 28a/PRS-3/KEP/2009 tentang Pedoman Bimbingan Sosial Psikososial di Panti Tresna Werdha, isu spiritualitas dibahas dalam “perspektif biopsikososialreligius” (p. 7). Dimensi religius dimaknai seputar keyakinan akan Tuhan, harapan hidup, “falsafah hidup, kedamaian hidup, makna hidup, tujuan hidup, semangat hidup,... dan ketegaran iman” ketika mendapat cobaan (p. 15). Uraian dari apa yang
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
6
dianggap dimensi religius adalah bagian dari spiritualitas. Menurut salah satu penyusun pedoman ini, dimensi religius di situ sebenarnya memang merujuk ke spiritual. Namun, pemakaian kata spiritual dikhawatirkan akan dipahami lain, seperti hal-hal ghaib, makhluk supranatural, kebatinan, dan semacamnya. Akhirnya, setelah melalui perdebatan para penyusun cenderung memilih kata religius. Hal penting yang menjadi fokus di sini adalah masuknya aspek spiritual dalam definisi kesejahteraan sosial dan kesehatan. Aspek ini menjadi salah satu dimensi penting yang harus diperhatikan ketika menentukan apakah lansia telah mencapai kondisi sejahtera dan sehat. Di samping kondisi ini, spiritualitas juga memiliki kaitan erat dengan konsep kebahagiaan, well-being, dan kualitas hidup (quality of life). Pentingnya melibatkan spiritualitas dalam pelayanan sosial tidak saja karena aspek penting ini telah diamanatkan UU, namun juga karena sejumlah alasan yang sebagian dijelaskan di sini. Pertama, pekerjaan sosial memiliki karakteristik sangat menekankan pemanfaatan kekuatan dan potensi yang ada pada diri klien, keluarga, atau komunitas. Cowger dan Snively (2008), misalnya, lebih memilih menggunakan asesmen berbasis kekuatan ketimbang model praktik kekurangan (model defisit). Menurutnya, asesmen kekuatan membuat relasi kuasa seimbang antara pekerja sosial dan penerima manfaat. Asesmen kekuatan berarti mengakui kemampuan klien (Cowger & Snively, 2008, p. 107). Di antara tujuannya adalah mengidentifikasi kekuatan yang sebelumnya tidak terpikir dan memilih hal-hal positif yang mendukung penyelesaian masalah (Cowger & Snively, 2008, p. 112). Dalam hal ini, kekuatan dan hal positif yang dimaksud berupa spiritualitas dan keagamaan mereka. Gotterer (2001) juga menganggap bahwa spiritualitas adalah bagian dari kekuatan klien. Ia menyarankan pekerja sosial agar selalu menyesuaikan diri dengan klien bagaimanapun keadaan mereka (“meet the clients where they are”) (p. 192). Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, gangguan mental beserta penyembuhannya sangat terkait erat dengan sistem keyakinan yang sangat dipengaruhi agama dan kultur setempat. Kondisi ini tidak hanya berlaku bagi para penderita gangguan mental-emosional, tetapi juga bagi para praktisi penyembuhan alternatif yang meyakini bahwa sumber gangguan mental berasal dari sesuatu yang bersifat spiritual atau supranatural, sehingga proses penyembuhannya pun mesti dengan jalan spiritual dan keagamaan. Hal ini sama halnya dengan apa yang pernah
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
7
dinyatakan beberapa akademisi dan praktisi seperti dikutip Nelson (2009) bahwa masyarakat tradisional Muslim pada umumnya meyakini gangguan kesehatan mental sebagai akibat dari masalah spiritual atau lemahnya iman si penderita, sehingga mereka lebih memilih datang ke pemimpin spiritual atau imam mereka. Di samping itu, mereka juga punya pandangan negatif terhadap psikologi dan sistem kesehatan mental karena stigma negatif yang akan dilekatkan ke penderita gangguan mental dan juga kekhawatiran kalau pandangan religius mereka tidak akan dihargai. Kedua, saat ini muncul ketidakpuasan masyarakat terhadap praktik pekerjaan sosial konvensional dan tuntutan akan pendekatan yang lebih holistik. Pekerjaan sosial konvensional seringkali hanya fokus pada tiga aspek utama, khususnya pada tahap asesmen dan intervensi, yaitu fisik, mental, dan sosial atau biasa disebut biopsikososial. Sebagian hanya menekankan dua aspek, yaitu psikososial. Menurut Turner (2008), terapi psikososial telah sekian lama menjadi komitmen dalam pekerjaan sosial. Meskipun banyak ahli menganggap terapi psikososial telah ketinggalan zaman, “ia akan terus menjadi esensi dari praktik pekerjaan sosial kontemporer,” kata Turner (2008, p. 174). Menurut Huguelet dan Koenig (2009), model semacam ini bersifat reduksionistik, karena tidak melihat keseluruhan aspek dalam diri manusia secara utuh ketika mendefinisikan seperti apa keberadaan manusia yang baik atau sejahtera itu. WHO pun telah memasukkan aspek spiritual bersama aspek-aspek penting manusia lain sejak lama. Menurut badan PBB ini, kesehatan adalah “sebuah kondisi optimalnya kesehatan jasmani, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual dan tidak hanya hilangnya penyakit atau kelemahan” (Meier, O’Connor, & vanKatwyk, 2005, p. 1). Spiritualitas adalah satu dari beberapa dimensi manusia dan menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan para teoretisi dan praktisi dalam memahami dan memenuhi kesejahteraan manusia (human well-being). Sebelumnya, telah sekian lama human well-being hanya dilihat dari pemenuhan terhadap keberfungsian tiga aspek utama, yaitu fisik (bio), kejiwaan (psycho), dan sosial (social). Dalam pekerjaan sosial konvensional atau tradisional, ketiga aspek itu biasa disebut sebagai model biopsikososial. Hal ini pula yang menjadi tujuan utama penelitian disertasi yang dilakukan Canda (1986) bahwa pekerjaan sosial perlu membangun sebuah
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
8
konsep kemanusiaan yang lebih holistik, tidak sekadar pandangan positivistik yang sempit tentang manusia. Ketiga, sebagian besar kode etik terbaru telah memasukkan unsur agama dan sebagian juga spiritual sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki pekerja sosial profesional. Kode etik NASW (National Association of Social Workers) di Amerika Serikat, sebagai contoh, telah menekankan dimensi agama bersama 12 dimensi lain terkait kompetensi kultural dan keragaman sosial (cultural competence and social diversity) yang harus dimiliki pekerja sosial sebagai tanggung jawab etisnya terhadap klien (NASW, 2008). Namun, seperti dinyatakan juga oleh KirstAshman dan Hull, Jr. (2006), NASW belum menyebutkan dimensi spiritual secara eksplisit dalam tanggung jawab etis pekerja sosial. Selain itu, agama yang sudah disebut dalam NASW juga belum dirinci. Tidak puas dengan hanya memasukkan agama dan tanpa penjelasan memadai tentang agama tersebut mendorong Mattison dan koleganya, seperti dikutip KirstAshman dan Hull, Jr. (2006, p. 376-77), untuk menyerukan dua perubahan di level makro dalam pembuatan panduan bagi pekerja sosial di wilayah spiritualitas. Pertama, kode etik NASW harus dibuat lebih spesifik tentang bagaimana isu-isu spiritualitas dan agama dijalankan. Isu-isu mengenai apakah asesmen terhadap agama dan spiritualitas perlu dikerjakan secara rutin oleh pekerja sosial, harus ditelaah. Perlu juga disusun standar tentang bagaimana melakukan asesmen dan intervensi serta apakah pekerja sosial menginisiasi terlebih dahulu dalam interaksi keduanya ataukah menunggu sampai klien sendiri yang menyinggungnya. Kedua, pekerjaan sosial harus menjawab pertanyaan sampai sejauh mana profesi ini memperkenalkan atau mengajarkan agama dan spiritualitas dalam pendidikan dan pelatihan profesional, sehingga pekerja sosial akan lebih kompeten. Di Indonesia, satu-satunya kode etik bagi para pekerja sosialnya telah dibuat oleh Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) tahun 1998. Sebagai catatan, kode etik IPSPI ini tampaknya terlalu banyak mengambil, kalau bukan menerjemahkan, kode etik pekerja sosial Amerika Serikat. Seperti disimpulkan Suradika dan Maskun (2005, p. 82-83) dalam hasil penelaahannya, kode etik IPSPI memiliki kesamaan hingga 67,86% dengan kode etik Amerika Serikat; 17,86% dikatakan sama secara substansial yang hanya berbeda dari sisi redaksional; dan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
9
2,38%-nya adalah hasil adopsi. Bahkan ada 1,19% isi pasal yang diambil dari Amerika Serikat menimbulkan pengertian kurang positif untuk konteks Indonesia. Berbeda dengan NASW, kode etik IPSPI (1998) sama sekali tidak menyebut secara eksplisit kata agama, apalagi spiritualitas. Padahal masyarakat dimana para profesionalnya memberikan pertolongan adalah masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kental secara religius. Paling jauh, kode etik ini mendorong agar pekerja sosial profesional “punya rasa hormat terhadap keanekaragaman budaya bangsa” (Pasal 16). Agama dan spiritualitas memang bisa dimasukkan dalam aspek budaya. Namun, tentu saja hal ini masih jauh dari cukup, seperti halnya Mattison dan koleganya, sebagaimana dipetik Kirst-Ashman dan Hull, Jr. (2006), yang masih menyerukan untuk merinci aspek agama yang telah disebut kode etik NASW. Selain itu, untuk sekadar menghormati keragaman budaya adalah berbeda dengan kompeten secara kultural atau sensitif secara spiritual dan agama. Keempat, dalam bidang pendidikan dan pelatihan, pekerjaan sosial yang sensitif secara agama dan spiritualitas belum menjadi prioritas. Kurikulum yang diajarkan di perguruan tinggi pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial juga belum memperkenalkan spiritualitas dan agama secara lebih spesifik, baik di tingkat diploma (IV) atau sarjana (S-1) maupun pendidikan spesialis (Sp.) atau Master dan Doktoral yang baru ada di Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran. Di beberapa negara di Barat saja, pendidikan pekerjaan sosial untuk program master (Master of Social Work atau MSW.), pengetahuan tentang spiritualitas dan agama termasuk dalam kurikulum yang wajib diajarkan. Menurut Canda, Nakashima, dan Furman (2004), ada 50 lebih perguruan tinggi yang menawarkan mata kuliah tentang spiritualitas untuk MSW. Sebagai contoh, Massey University di New Zealand, seperti pada lampiran paper Suharto (2006) dalam sebuah workshop, memasukkan mata kuliah Spirituality and Social Work dalam program MSW. Meskipun begitu, beberapa waktu yang lalu Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia (IPPSI) mulai memasukkan nilai-nilai spiritualitas dan keragaman (dalam hal ini religi) sebagai kompetensi utama. Akan tetapi, wujudnya dalam kurikulum hanya sejauh “praktik pekerjaan sosial dalam masyarakat multikultur.” Sementara itu, CSWE sebenarnya juga hampir sama dalam menggariskan sandar kurikulum dan pedoman akreditasi pendidikan tinggi pekerjaan sosial. Unsur agama
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
10
dan spiritualitas termasuk dalam kompetensi kurikulum yang menjadi dasar pengembangan kurikulum (CSWE, 2008). Begitu pula dalam pendidikan dan pelatihan (diklat) yang diselenggarakan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial sebagai induk semang profesi pekerja sosial, kurikulum tentang agama dan spiritualitas dalam pekerjaan sosial tidak ada. STKS Bandung sebagai sayap pengembangan keilmuan dan praktik pekerjaan sosial seakan-akan menjadi kiblat akademik bagi penyelenggaraan diklat di bawah Kementerian Sosial yakni Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (Pusdiklat) yang ada di Jakarta dan Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) yang ada di Padang, Bandung, Banjarmasin, Makasar, dan Jayapura, di samping beberapa penyelenggara diklat lain milik pemerintah daerah seperti Medan dan Malang. Kelima, kalaupun agama dan spiritualitas tidak termasuk dalam kurikulum tersendiri dan dalam kode etik profesi, kedua aspek ini tetap penting diajarkan dalam kerangka kompetensi kultural yang harus dimiliki pekerja sosial profesional. Alasannya, spiritualitas dan agama bisa dimasukkan dalam lingkup budaya atau kultural. Menurut Gray, Coates, dan Bird (2008), kultur punya posisi sentral bagi pekerjaan sosial, dan aspek yang paling dekat dengan kultur adalah spiritualitas dan agama. “Spiritualitas sangatlah penting bagi kehidupan semua kultur yang dianggap aneh bagi pekerjaan sosial profesional yang berkarakter sekuler” (Gray, Coates, & Bird, 2008, p. 9). Dengan demikian, pekerja sosial yang memiliki kompetensi atau sensitivitas kultural berarti dia harus kompeten atau sensitif secara spiritual dan agama pula. Dalam istilah Sheridan (2008, p. 278), “pekerjaan sosial yang sensitif secara spiritual” adalah bentuk perkembangan dari “pekerjaan sosial yang sensitif secara kebudayaan” atau termasuk dalam wujud “berkompeten secara kebudayaan.” Kultur yang dimaksud di sini dapat merujuk ke definisi menurut Henry et al. (1995) yang dikutip oleh Al-Krenawi dan Graham (2009, p. 9) yakni “keseluruhan ide, kepercayaan, nilai, pengetahuan, dan cara hidup sekelompok orang yang memiliki kesamaan latar belakang sejarah, agama, ras, bahasa, etnis, atau sosial.” Antropolog Clifford Geertz menjelaskan enam faset pokok kultur bahwa: (1) kultur terkonstruk menurut sejarah dan sosial; (2) orang mencerna atau memahami diri mereka sendiri menggunakan konsep dan struktur simbolik lain yang sudah ada; (3)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
11
orang membangun teori pikiran untuk memahami orang lain, yaitu teori bagaimana pikiran bekerja; (4) orang punya keyakinan tentang dunia dan mereke bertindak berdasarkan keyakinan tersebut; (5) orang terlibat untuk melakukan tindakan bermakna; dan (6) kultur bersifat subjektif dan melibatkan pikiran dan imajinasi (AlKrenawi & Graham, 2009, p. 9). Dari dua definisi ini tampak bahwa spiritualitas dan agama merupakan bagian penting dari kultur. Keenam, pekerjaan sosial adalah bidang ilmu yang sangat kontekstual. Artinya, teori dan metodenya terbentuk dan dipengaruhi oleh tatanan dan konteks sosial dimana ia tumbuh (Payne, 2005). Asal mula profesi ini muncul dan berakar dari tradisi Judeo-Kristiani masyarakat Barat, akan tetapi teori dan metodenya kemudian berkembang secara sekuler. Model pekerjaan sosial yang sekuler inilah yang diekspor ke Indonesia. Padahal, Indonesia adalah negara yang memiliki dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tradisi dan aktivitas masyarakatnya tidak bisa lepas dari spiritualitas dan keagamaan. Oleh karena itu, adalah suatu keniscayaann apabila tardisi pekerjaan sosial yang dibangun harus merupakan produk dari konstruksi masyarakatnya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sensitif secara spiritual maupun agama, khususnya dalam penanganan kesehatan mental untuk lansia. Di samping enam alasan penting yang telah diuraikan di atas, sejumlah literatur dari berbagai profesi pemberian pertolongan, seperti pekerjaan sosial, gerontologi, psikologi, psikiatri, pelayanan teologi/pastoral, keperawatan, konseling, dan bahkan kedokteran, membahas pentingnya spiritualitas dalam kehidupan kaum lansia. Semakin menua berarti semakin dekat pada kematian sehingga membuat orang ingin mendapatkan jawaban tentang apa tujuan dan makna hidup ini. Pada intinya, teori dan penelitian semakin menunjukkan keterkaitan antara pertanyaanpertanyaan spiritual seperti itu dengan penuaan (Murdock, 2005). Menurut teori psikologi dan gerontologi, aktivitas spiritual seseorang semakin naik seiring bertambah kedewasaan dan usia, khususnya pada tahap perkembangan akhir (Lavretsky, 2010, p. 750). Contohnya teori perkembangan Erik Erikson yang memandang spiritualitas lansia akan meningkat seiring datangnya penyakit, rasa terasing, dan kecemasan akan kematian, sehingga mereka berupaya memaknai hidup, menemukan inspirasi, atau memperoleh dukungan sosial melalui komunitas agama (Nelson-Becker & Canda, 2008, p. 180; Robbins, Chatterjee & Canda, 2006, p. 252).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
12
Sejumlah besar penelitian tentang lansia di Barat telah membuktikan betapa spiritualitas dan agama sangat penting bagi kelompok ini. Hasil eksplorasi Moberg (2005) terhadap berbagai penelitian menunjukkan konsistensi hubungan tersebut. Katanya, penelitian survei dan jajak pendapat sejak dekade 1930-an menghasilkan temuan bahwa tingkat spiritualitas dan religiusitas tertinggi ditunjukkan kelompok lansia 65 ke atas. Selain itu, lansia yang lebih spiritual dan religius berusia lebih panjang ketimbang kelompok lansia lain (p. 15). Lebih jauh Moberg et al. (2001), seperti dikutip Bookman dan Kimbrel (2011), menyatakan bahwa untuk menjaga kondisi fisik dan mental lansia tetap sehat dan berusia panjang, pemenuhan kebutuhan spiritual lansia sangatlah penting (p. 123). Diwan, Balaswamy, dan Lee (2012, p. 406) turut menegaskan bahwa kondisi psikologis, keberfungsian sosial, kemampuan mengatasi stres, dan seluruh kualitas hidup lansia dipengaruhi aktivitas agama dan spiritual yang mereka lakukan. Apalagi kondisi kesehatan dan penyakit yang terkait keyakinan, keyakinan spiritual dan pandangan agama sangatlah menentukan. Mereka mengutip contoh dari Gorder dan Ellor (2008) bahwa kebanyakan Muslim berkeyakinan sehat atau sakit merupakan ketentuan dan tanggung jawab Tuhan. Ketika sakit, itu adalah ujian dari Tuhan atas keimanan mereka bahkan dianggap sebagai jalan untuk menguatkan kesabaran. Nelson-Becker dan Canda (2008) menelusuri penelitian tentang lansia baru muncul pada dekade 1980-an hingga pertengahan 1990-an, namun masih terbatas. Topik yang dikaji di antaranya meliputi aspek spiritual dan agama pada tahap akhir hidup, kehilangan (loss), kematian (death), dan hospice. Sampai saat ini kajian spiritualitas dan agama lansia berkembang pesat. Tema kajian meliputi isu kesehatan, mekanisme coping, asesmen dan direct practice, proses perkembangan menuju kematian, kesehatan mental, pedoman etis, kolaborasi dengan komunitas gereja, dan sedekah. Tema penelitian seperti itu masih muncul hingga saat ini terutama tentang loss, death, proses kematian (dying), dan responsnya. Meskipun begitu, Mathews (2009, p.57) berpendapat kajian spiritualitas dalam pelayanan lansia tidak lebih berkembang dibanding bidang kesehatan mental dan perawatan paliatif, namun masih lebih baik ketimbang kajian serupa dalam disabilitas dan kelompok rentan. Spiritualitas dalam bidang kesehatan mental banyak dikaji dalam berbagai literatur. Hasil eksplorasi Swinton dan Kettles (2001) terhadap sejumlah hasil kajian
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
13
menunjukkan aspek-aspek spiritual dan agama punya kaitan erat dengan kondisi kesehatan mental yang baik. Sebagai contoh, Ellison dan Levin (1998) dalam Swinton dan Kettles (2001) menyimpulkan bahwa baiknya kondisi spiritual (spiritual well-being) “berkorelasi positif dengan ketegasan, kepercayaan diri, sikap tegas, memberikan pujian, dan meminta pertolongan, namun berkorelasi negatif dengan bentuk fisik dan pasif dari agresi, ketergantungan, dan kecenderungan pasif atau menghindari konflik” (p.70-71). Sejauh ini, signifikansi spiritualitas bagi masyarakat Indonesia masih terbatas pada klaim di kalangan akademisi dan praktisi, sehingga belum sampai mengkristal menjadi semacam model atau pendekatan praktik. Sebagai contoh, Andayani (2010, p. 37) berpendapat aspek tersebut memang sangat relevan dalam keseharian, namun tidak diiringi diskusi dan kajian ilmiah yang menghasilkan pendekatan/intervensi yang sensitif secara spiritual. Katanya, praktik berbasis spiritual sebenarnya telah dilakukan banyak lembaga layanan untuk masyarakat, namun masih tradisional. Senada dengan hal ini, Fahrudin (2005, p. 6) menyarankan agar para pekerja sosial mulai melakukan kajian teoretis dan praktis tentang spiritualitas dan keberagamaan secara indigenous sesuai konteks kebhinekaan masyarakat Indonesia. Di tingkat praktik, Monggo (2010) menuliskan pengalaman menangani penderita kanker ganas dan mencoba menghubungkannya dengan spiritualitas. Meski menyadari perlunya konsep penyembuhan holistik dengan melibatkan aspek spiritual, bisa dikatakan ia baru sampai tahap identifikasi masalah spiritual terkait kemarahan klien terhadap Tuhan di satu sisi, dan kekuatan klien yang aktif dalam kegiatan gereja di sisi lain. Karakteristik spiritualitas klien yang mungkin lebih dalam dan kompleks tampaknya belum cukup terungkap. Di Indonesia, penelitian dan publikasi tentang spiritualitas, khususnya dalam pelayanan atau perawatan lansia, masih sangat minim. Sejumlah profesi pertolongan mulai menunjukkan peningkatan perhatian terhadap isu ini. Di sini dapat disebutkan beberapa penelitian dalam disiplin ilmu keperawatan, psikologi, dan psikiatri. Hasil penelitian Rohman (2009) menyimpulkan faktor usia perawat, jenis kelamin, masa kerja sebagai perawat, waktu pengasuhan, dan persepsi spiritual berkorelasi negatif dengan pengasuhan spiritual (p. 141-2). Menurutnya, hanya faktor pendidikan setingkat sarjana yang berpeluang memberikan pengasuhan spiritual yang baik.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
14
Susanti (2009) menggali pengalaman spiritual perempuan penderita kanker serviks dan pemaknaannya dengan metode kualitatif fenomenologis. Para penderita mengalami kehilangan secara fisik dan identitas; terstigma negatif bahwa penderita kanker dekat dengan kematian; dan perubahan kehidupan sosial karena terganggunya fungsi peran, citra diri, dan harga diri. Mereka memaknai penderitaan secara berbeda, yakni sebagai ujian, teguran, nikmat, penebus dosa, dan bahkan hukuman Tuhan. Jajak pendapat Jurnal Perempuan di tiga kota besar (Jakarta, Surabaya, dan Medan) dengan responden usia 18-50 tahun menunjukkan ada 18% responden memilih memanfaatkan waktu dengan mendekatkan diri kepada Tuhan ketika nanti menginjak usia lanjut (Santi, 2002). Penelitian Indriana et al. (2011) menunjukkan religiusitas memiliki korelasi positif terhadap kesejahteraan lansia. Intinya, aspek spiritual dan agama punya kontribusi signifikan bagi kesejahteraan lansia dan menjadi unsur penting dalam praktik layanan. Namun, pemahaman dan praktik seperti apa yang memanfaatkan kedua aspek ini belum banyak diketahui melalui penelitian atau kajian akademis. Kalau dalam keperawatan dan psikologi mulai menunjukkan ketertarikan pada spiritualitas, penelitian dalam pekerjaan sosial tampaknya masih terbatas. Sejauh penelusuran, penelitian atau kajian tentang spiritualitas dalam konteks pelayanan sosial di Indonesia, khususnya terkait kesehatan mental lansia, masih langka. Sebagai contoh, Napsiyah (2005) mengkaji isu-isu lansia di Indonesia, salah satunya terkait pengaruh konteks lokal terhadap lansia, terutama peran agama. Penelitiannya menunjukkan agama menambah kepercayaan diri bagi lansia dalam menghadapi penyakit-penyakit menua (p.55). Agama juga punya peran penting dalam mengatur bagaimana keluarga dan masyarakat bersikap atau bertindak terhadap kelompok usia lanjut. Selain itu, kegiatan-kegiatan kelompok berbasis keagamaan, seperti arisan dan majelis taklim, dapat menjadi wahana para lansia bersosialisasi, menjaga hubungan silaturahim, dan berbagi pengetahuan atau kenangan masa lalu (p. 56-7).
1.2. Perumusan Masalah Latar belakang di atas menunjukkan spiritualitas memiliki banyak alasan untuk tampil ke permukaan masyarakat Indonesia. Aspek ini tidak diragukan lagi memiliki signifikansi besar bagi kesejahteraan, kesehatan, atau kualitas hidup lansia.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
15
Masalahnya adalah kelangkaan teori dan materi untuk panduan praktik yang dibangun dalam konteks pekerjaan sosial masyarakat Indonesia, terutama bagi para praktisi yang menganggap atau mengidentifikasi spiritualitas sebagai isu. Hodge (2011) juga menerangkan untuk konteks masyarakat Barat bahwa para praktisi tidak memperoleh pelatihan secara memadai bagaimana menggunakan intervensi spiritual. Teori atau bahan panduan yang dimaksud antara lain terkait bagaimana mengenali spiritualitas yang dimiliki praktisi; mengetahui batas kemampuan diri dalam penanganan dengan melibatkan aspek spiritual; mengidentifikasi pemahaman dan pengalaman spiritualitas lansia, entah sebagai kekuatan atau jutsru menjadi kelemahan; dan juga memahami bagaimana lansia memaknai penderitaan atau pengalaman hidup yang telah dilalui. Terkait spiritualitas sebagai kekuatan atau kelemahan, hal ini juga menyangkut bagaimana menentukan relevansi spiritualitas untuk penanganan masalah kesehatan mental lansia. Apakah aspek ini bermanfaat bagi penyelesaian masalah, pemenuhan kebutuhan, atau bahkan pengembangan dan pertumbuhan kematangan spiritualitas lansia. Selanjutnya, apabila aspek ini dipandang relevan, penting juga menggali bagaimana spiritualitas dimanfaatkan ketika praktisi melakukan serangkaian tahapan praktik penanganan standar, terutama pada tahap identifikasi awal, asesmen, dan intervensi terhadap klien. Berdasarkan penelitian pendahuluan di dua lembaga pelayanan sosial lansia, aspek spiritual beserta agama menjadi unsur penting dalam pelayanan. Banyak lansia punya kecenderungan untuk memenuhi sisa akhir hayatnya dengan berbagai aktivitas spiritual dan keagamaan. Sebagai gambaran, dijumpai beberapa lansia dalam kondisi memiliki disabilitas tertentu, sakit-sakitan (renta), dan ada juga korban bencana alam yang kehilangan harta dan sanak-saudaranya sehingga harus tinggal di panti. Meskipun banyak yang merasa terbuang, disia-siakan, kesepian, frustrasi, kecemasan menghadapi kematian, atau keputusasaan karena berbagai kondisi yang melatarbelakanginya, mereka tetap menerima keadaan, sabar dan ikhlas; tidak ingin merepotkan siapapun; atau menjadi lebih rajin beribadah. Respons lansia seperti ini menunjukkan bahwa spiritualitas dan agama sangat memberi pengaruh. Dijumpai pula sejumlah lansia yang pada awal masuk panti melalui trauma center mengalami stres, marah-marah, dan depresi karena masalah perkawinan atau menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Seiring waktu, sebagian di antara
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
16
mereka cenderung menjadi lebih tenang dan menerima keadaan karena intervensi tertentu yang dilakukan praktisi, di samping karena telah melewati tahap-tahap perkembangan secara wajar hingga tahap akhir kehidupan. Penting untuk memperhatikan interaksi antara klien lansia dengan praktisi ketika penanganan lansia berada dalam konteks pelayanan sosial, baik di panti maupun non-panti. Satu sisi, klien lansia telah melewati sejumlah tahap hidup dan mengalami berbagai peristiwa yang sedikit-banyak mempengaruhi cara untuk menjawab dan menyikapi berbagai pertanyaan penting yang muncul dari dalam diri. Pertanyaan yang bersifat eksistensial ini antara lain: apa sebenarnya makna dan tujuan hidup ini; mengapa penderitaan atau pengalaman pahit tertentu terjadi pada diri mereka; apa arti atau hikmah dari penderitaan itu; dan bagaimana mereka memandang diri sendiri saat ini di sini. Pihak yang paling tahu jawabannya tentulah diri mereka sendiri dan kebanyakan mencari jawaban ke agama atau mengembalikan segala urusan kepada Tuhan. Di sisi lain, kebanyakan praktisi masih berusia muda, punya pengalaman hidup berbeda dari klien, dan tidak punya hubungan kekerabatan dengan klien. Praktisi juga tentu punya pemahaman dan pengalaman spiritualitas tertentu yang mempengaruhi bagaimana menghadapi klien lansia. Dengan begitu, spiritualitas masing-masing dan bagaimana interaksi keduanya dalam setting pelayanan sangat penting digali. Hal ini kurang-lebih mengikuti alasan penelitian MacKinlay (2004a) dalam bukunya, The Spiritual Dimension of Ageing. Pertama, pengalaman religius antara lansia dan kelompok yang lebih muda tentu berbeda. Kedua, karena tingkat kematangan lansia memiliki tahap perkembangan keyakinan (faith development) berbeda dibanding kelompok muda, dalam hal ini praktisi (p. 16). Sermabeikian (1994) juga telah lebih dulu menegaskan bahwa ketika pekerja sosial dan klien terlibat dalam praktik pekerjaan sosial klinis, yang terjadi adalah “pertukaran dua-arah terkait pikiran, perasaan, keyakinan, dan nilai” (p.178). Berbicara integrasi spiritualitas ke dalam pekerjaan sosial, menurut McKernan (2007), upaya memahami spiritualitas praktisi akan lebih baik dari pada hanya melakukan asesmen spiritualitas klien. Alasannya, wujud praktik pekerjaan sosial yang melibatkan spiritualitas sangat dipengaruhi keyakinan dan pengalaman praktisi, sementara spiritualitas merupakan pengalaman subjektif. Senada dengan McKernan, Barker (2008) juga melakukan penelitian disertasi yang bertujuan mengeksplorasi
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
17
bagaimana praktisi pekerjaan sosial memahami spiritualitas dan, kemudian, menggunakannya dalam praktik. Dari uraian di atas, penelitian ini akan menjawab empat pertanyaan berikut: 1. Bagaimana aspek spiritual dipahami oleh para praktisi kesejahteraan sosial dalam penanganan kesehatan mental lansia? 2. Bagaimana pemahaman tersebut dipraktikkan dalam penanganan? 3. Bagaimana spiritualitas dialami menurut perspektif lansia? 4. Bagaimana pula lansia memahami penderitaan atau pengalaman hidup yang menyebabkan masalah kesehatan mental?
1.3. Tujuan Penelitian Dari pertanyaan penelitian di atas, tujuan yang hendak dicapai adalah: 1. Menggali pemahaman para praktisi kesejahteraan sosial terhadap aspek spiritual dalam penanganan kesehatan mental lansia. 2. Mengeksplorasi praktik dari pemahaman para praktisi terhadap aspek tersebut. 3. Menggali pengalaman spiritual menurut perspektif para lansia. 4. Menggali pemahaman lansia terkait pengalaman hidup yang menyebabkan masalah kesehatan mental. Berdasarkan hasil penelitian seperti dalam empat tujuan tersebut, penelitian ini akan membangun model pelayanan sosial bagi lansia yang memanfaatkan aspek spiritual berdasarkan teori atau konsep juga akan dibangun. Model tersebut dimungkinkan juga sekaligus menghasilkan asesmen dan intervensi berbasis spiritual sebagai hasil perpaduan dari pemahaman dan pengalaman spiritualitas praktisi dan klien. Kemudian, penelitian ini juga berupaya menentukan komponen-komponen spiritualitas yang relevan bagi kesehatan mental lansia. Tujuan penelitian ini dapat dilihat dalam kerangka alur penelitian, seperti tampak pada Gambar 1.1 di halaman berikut ini, yang juga dapat menggambarkan sebagian latar belakang dan masalah penelitian.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dapat dijelaskan baik dari sisi praktis maupun akademis. Manfaat praktisnya adalah tereksplorasinya ragam bentuk penanganan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
18
masalah mental lansia dengan melibatkan aspek spiritual dan agama, sehingga akan memperkaya praktik pekerjaan sosial yang khas Indonesia. Dengan begitu, aspek spiritualitas dan agama yang mampu tergali dalam praktik dapat menjadi bahan referensi dalam pembuatan pedoman atau standarisasi tentang pelayanan lansia telantar yang dihasilkan kementerian terkait.
Konteks Pelayanan Sosial
Praktisi
Klien Interaksi
Praktik pemahaman spiritualitas dalaminteraksi
Pemahaman /pengalaman spiritualitas
Pengalaman spiritualitas
Penderitaan & respons
Metode kualitatif
Analisis grounded theory
Pemahaman & praktik spiritualitas praktisi
Model pelayanan sosial berbasis spiritualitas
Spiritualitas lansia
Spiritualitas untuk kesehatan mental lansia
Gambar 1.1. Kerangka alur penelitian
Sementara itu, manfaat akademis atau teoretis dari penelitian ini adalah menghasilkan inovasi dalam pekerjaan sosial khususnya terkait dengan pemanfaatan spiritualitas. Selain penelitian, sebagaimana disarankan Canda (2003), kolaborasi dan penulisan yang bersifat multibahasa, internasional, dan lintas kultural juga
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
19
diharapkan berkembang melalui inovasi yang relevan dengan konteks kultur masyarakat Indonesia melalui penelitian grounded theory. Dari penelitian ini juga diharapkan dapat menggali tipe indigenisasi seperti apa yang telah dan sedang berlangsung dalam praktik pelayanan sosial bagi lansia.
1.5. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disusun dalam beberapa bab. Bab 1 adalah pendahuluan yang mengantarkan pembaca ke latar belakang, persoalan, tujuan, dan manfaat penelitian ini. Bab 2 berupa tinjauan literatur sebagai lensa teori untuk meneropong permasalahan atau tema tentang spiritualitas dan agama dalam penanganan lansia. Dalam bab ini akan dijelaskan seputar masalah yang dihadapai lansia yang dapat menjadi sebab atau akibat dari masalah kesehatan mental, teori-teori tertentu yang dapat menjelaskan keterkaitan antar masalah tersebut. Pengertian spiritualitas dan agama juga akan dijelaskan baik secara umum maupun dalam praktik pekerjaan sosial untuk membuka cakrawala pengetahuan peneliti dan pembaca. Bab 3 berisi metode terkait pendekatan dan paradigma, strategi grounded theory, lokasi dan waktu pelaksanaan, informan, teknik pengumpulan data, teknik analisis, teknik meningkatkan kualitas, isu-isu etika, dan keterbatasan penelitian. Peningkatan mutu penelitian memakai teknik-teknik dalam kriteria trustworthiness. Dua bab berikutnya (Bab 4 dan 5) menjabarkan hasil penelitian berupa konstruksi teori spiritualitas praktisi dan spiritualitas lansia. Tiap bab dibagi menurut kategori-kategori tertentu berdasarkan hasil identifikasi melalui proses analisis. Dalam menjelaskan teori yang terbangun, di sini juga dijelaskan seputar bagaimana proses analisis dilakukan; kategori-kategori yang muncul beserta alasan dan bukti data mengapa kategori tersebut menjadi perhatian; dan uraian masing-masing kategori beserta kutipan-kutipan relevan untuk mendukung teori yang terbangun. Bab 6 dan 7 mengetengahkan pembahasan terhadap hasil penelitian yang dinilai relevan bagi dua tujuan tambahan. Hasil pembahasan tersebut berupa model yang dibuat berdasarkan teori yang terbangun, yaitu model pelayanan sosial berbasis spiritual dan komponen spiritualitas yang berkontribusi positif bagi kesehatan mental lansia. Kedua pembahasan tersebut akan didialogkan dengan literatur dan hasil penelitian yang sudah ada secara luas.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
20
Sebagai bagian terakhir, Bab 8 menguraikan kesimpulan, implikasi, dan saran atau rekomendasi. Implikasi yang dibahas meliputi implikasi teoretis, praktis, dan kebijakan bagi praktik pekerjaan sosial di Indonesia.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
Tinjauan literatur dalam penelitian kualitatif diperlukan sebagai lensa untuk menuntun apa yang harus diobservasi di lapangan, apa yang ditanyakan kepada para partisipan (Creswell, 2009, p. 49), dan bagaimana menganalisis data yang muncul. Sejumlah konsep atau teori yang diuraikan dalam bab ini akan menjadi semacam titik awal atau, dalam istilah Charmaz (2004, p. 501), “points of departure” untuk membuka dan menambah horison pengetahuan peneliti. Tinjauan literatur ini akan membentuk perspektif penelitian tentang pemahaman spiritualitas dan bagaimana keduanya dipraktikkan dalam konteks layanan sosial untuk lansia. Dalam grounded theory pandangan awal dalam penelitian diperlukan bukan untuk membentuk pra-konsep atau melakukan penelitian dalam kerangka teori tertentu (theory-driven), seperti dalam desain penelitian tradisional yang bersifat logiko-deduktif. Tetapi, berbagai tema dan perspektif yang relevan dengan penelitian lebih untuk mengembangkan atau membangun teori dari para informan, ketimbang membatasi gagasan mereka (Glaser & Strauss, 1967; Charmaz, 2004). Untuk tujuan itu, di sini akan dijelaskan beberapa konsep pokok terkait kajian spiritualitas untuk kesehatan mental lansia dalam konteks pelayanan sosial. Dalam bab ini ada enam sub-bab berikut: 1. Lansia dan teori perkembangan manusia 2. Active ageing dan kualitas hidup lansia 3. Masalah kesehatan mental lansia 4. Upaya penanganan masalah kesehatan mental lansia 5. Spiritualitas dan agama 6. Spiritualitas dalam pekerjaan sosial Keterkaitan atau sintesis dari keenam sub-bab atau tema literatur ini kurang lebih dapat dijelaskan secara singkat berikut ini. Domain bidang disiplin ilmu pekerjaan sosial dan kesehatan mental menjadi beririsan ketika hendak menangani persoalan lansia atau isu penuaan (ageing). Dengan melibatkan spiritualitas (dan agama), penanganan lansia meniscayakan pendekatan holistik dalam kerangka
21 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
22
mewujudkan atau meningkatkan kesejahteraan, kesehatan, dan/atau kualitas hidup mereka. Pembahasan terhadap irisan dari ketiga domain tersebut mencakup sisi teoretis dan juga sejarahnya. Meneliti masalah kesehatan mental lansia juga tidak bisa lepas dari pemahaman terhadap teori-teori perkembangan manusia, khususnya perkembangan tahap akhir. Kemudian, pemahaman terhadap kerangka penanganan masalah mental lansia untuk mencapai kondisi kesejahteraan, kesehatan, dan kualitas hidup yang baik yang didambakan setiap lansia pun harus menyinggung sejumlah kebijakan di negeri ini, seperti Undang-undang terkait dan konsep active ageing dari WHO yang melingkupi konsep kualitas hidup.
Social work
Kesejahteraan
Spirituality
UU & penjelasannya
Kesehatan Mental health
Kualitas hidup
Pendekatan holistik (Biopsikososialspiritual)
Ageing
Konsep active ageing WHO
Developmental theories Gambar 2.1. Sintesis konsep-konsep dalam tinjauan literatur
2.1. Lansia dan Teori Perkembangan Manusia Lansia adalah kelompok usia 60 tahun ke atas. Batasan usia ini secara tegas diatur dalam UU Lansia (UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia). Lansia (older adulthood) menurut para ahli psikologi dapat merujuk ke dua periode hidup, yakni usia pertengahan 50-an ke atas atau masa pertengahan hidup (midlife) dan setelahnya. Masa lansia merupakan periode genting bagi perkembangan spiritual. Spiritualitas maupun religiusitas punya peran penting dalam isu-isu terkait masa akhir hidup, seperti kematian (death) dan prosesnya (dying) (Nelson, 2009, p. 301).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
23
Dalam perspektif teori perkembangan manusia (human development theories), kelompok usia lanjut termasuk dalam rentang akhir dalam tahap perkembangan. Di setiap tahap perkembangan terdapat sejumlah tugas yang harus diselesaikan atau peran-peran yang mesti dijalankan masing-masing individu. Menurut McCormick, Kuo, dan Masten (2010, p. 117), kriteria yang menjadi ukuran penilaian seberapa berhasil seseorang melalui setiap tahap hidup disebut sebagai tugas atau peran perkembangan (developmental tasks). Kriteria kesuksesan tersebut didasarkan pada perkembangan normatif dan konteks kemajuan pengetahuan. Sebagai contoh, lansia yang berada pada tahap akhir kehidupan diharapkan menyadari akan semakin menurunnya kemampuan dan kesehatan mereka, sehingga sudah waktunya untuk pensiun meski tetap menjalankan aktivitas lain yang bermakna. Secara garis besar, Nelson (2009, p. 211-2) menggolongkan teori-teori perkembangan dalam tiga metafora: hirarkis, rentang hidup (life-span), dan penziarahan (pilgrimage). Dalam teori-teori yang bersifat hirarkis, perkembangan manusia diumpamakan seperti menaiki tangga. Tidak semua orang mampu mencapai puncak. Contohnya teori Jean Piaget dan Abraham Maslow. Metafora life-span mengandaikan hidup laksana rantai proses yang terdiri dari serangkaian periode yang dapat diprediksi. Masing-masing periode ada peran atau tugas hidup sesuai usia (agerelated tasks). Setiap orang yang sampai berusia lanjut menjalani tahap-tahap hidup yang beragam. Contoh populer model ini adalah teori psikososial Erik Erikson. Terakhir, metafora pilgrimage memandang perjalanan hidup manusia bagaikan sebuah pengembaraan (journey). Berbeda dengan teori-teori tahapan sebelumnya, setiap orang punya alur kehidupan unik. Tidak ada tahap tertentu yang dinilai lebih tinggi dibanding yang lain, meski ada kesamaan tertentu yang dialami banyak orang. Ada banyak ahli dengan perspektif berbeda-beda telah membangun sejumlah teori untuk memahami proses perubahan dan perkembangan manusia sejak lahir hingga akhir hayat. Pelaez, Gewirtz dan Wong (2008) menjelaskan beberapa teori dari ahli psikologi perkembangan terkenal adalah Sigmund Freud (1940/1964), Erik Erikson (1963), Jean Piaget (1970), dan Lawrence Kohlberg (1963). Freud dengan model psikoseksual-nya memandang perkembangan manusia sebagai sebuah proses sekuensial dari peningkatan libido (libidinal progression). Erikson (model psikososial) mengembangkan pendekatan Freud dengan memasukkan peran
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
24
sosialisasi dan lingkungan dalam perkembangan manusia. Piaget (model kognitif) dengan empat tahap proses kognitifnya menjelaskan perkembangan sebagai sebuah proses diskontinyu dan monotonik. Kohlberg, yang juga menggunakan model tahapan bernama teori penalaran moral (theory of moral reasoning), mengeksplorasi perkembangan moral sebagai sebuah proses kognitif yang semakin mendewasa seiring waktu. Kesamaan dari teori-teori tersebut, menurut Pelaez, Gewirtz dan Wong, adalah bahwa semuanya memandang perkembangan sebagai proses yang terdiri dari serangkaian tahapan yang tidak menerus (p. 503). Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006) berpendapat teori perkembangan Erikson merupakan teori paling populer dan banyak diterima. Teorinya merupakan hasil reformulasi teori Freud dengan sejumlah perbedaan prinsip. Teori Erikson terdiri dari delapan tahap dimana setiap tahap dicirikan dengan krisis yang ditandai dengan konflik antara dua sifat kepribadian yang berlawanan atau sikap dasar, yakni antara ego syntonic dan ego dystonic. Delapan tahap yang dimaksud yakni: (1) kepercayaan vs ketidakpercayaan awal atau dasar; (2) kemandirian vs malu dan ragu; (3) inisiatif vs perasaan bersalah; (4) pertumbuhan atau perkembangan vs inferioritas; (5) pencarian identitas vs bimbang menentukan peran; (6) kedekatan vs isolasi; (7) meneruskan keturunan vs stagnasi; dan (8) integritas vs keputusasaan (Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006, p. 208-211). Dari delapan tahap dalam model epigenetik Erikson, lima tahap pertama masih mencerminkan pengaruh kuat Freud terkait unconscious dari struktur kepribadian manusia. Masa lansia termasuk dalam tahap akhir dalam teori perkembangan Erikson, yakni tahap integrity versus despair (50 tahun ke atas). Masa akhir dewasa ini merupakan periode refleksi retrospektif terhadap kehidupan masa lalu dan penerimaan masa tua. Apabila pada masa ini seseorang tinggal memetik hasil dari pilihan atau peran masa sebelumnya dan mampu menemukan makna dan kepuasan hidup (contentment), paham integritas (sense of integrity) akan tercapai. Kebijaksanaan akan muncul apabila kualitas ego terpelihara. Sebaliknya, kegagalan di tahap ini akan berujung pada keputusasaan (sense of despair) yang cirinya dapat berupa rasa muak pada diri sendiri dan marah pada orang sekitar (Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
25
Berbeda dari Freud, kata Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006), Erikson meminimalisir peran dorongan id dan lebih fokus pada kualitas positif ego yang sehat dan adaptif. Menurut Erikson, ego justru berperan utama dalam menguasai psychosocial tasks dan lingkungan. Ego juga sangat penting dalam membangun dan mempertahankan identitas seseorang, yang bagi Erikson sangat penting bagi eksistensi manusia (Robbins, Chatterjee & Canda, 2006, p. 208). Menurut Roazen (1976), dalam Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006, p. 208-9), Erikson tidak hanya menepikan dorongan libidinal tetapi juga mendeseksualisasi konflik Oedipal karena teori Freud ini mengakar ke konteks kultur Freud sendiri secara historis. Lebih jauh Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006) menjelaskan bahwa Erikson adalah satu dari sedikit teoretisi perkembangan psikososial yang mengkaji perkembangan keagamaan secara detail. Erikson menyebut orang yang secara intens menjadikan tema spiritual sebagai fokus utama dalam hidup dan memberi perhatian pada hal-hal eksistensial sebagai homo religiosus (the religious person), contohnya Martin Luther dan Mohandas Gandhi (p. 211-12). Kajian tentang perkembangan rentang hidup dan lansia, menurut Robbins, Chatterjee, dan Canda, banyak terkait dengan personalitas (kepribadian), prediktor kepuasan hidup (life satisfaction), dan tugas atau peran hidup (life tasks). Sebagai contoh, Havighurts merinci enam developmental tasks of life (Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006, p. 221): 1. menyesuaikan (adjusting to) dengan penurunan kesehatan dan kekuatan fisik 2. menyesuaikan dengan pensiun dan penurunan penghasilan 3. menyesuaikan dengan perubahan pada kesehatan pasangan dan dirinya atau kematian pasangan 4. membangun afiliasi dengan kelompok lansia 5. mengadopsi dan beradaptasi dengan peran sosial secara fleksibel 6. membuat keseharian hidup yang memuaskan. Sama dengan Erikson, Havighurts percaya bahwa penerimaan terhadap penurunan fisik seseorang diperlukan untuk penyesuaian di akhir hayat. Sebagai adaptasi dari model Havighurst, Clark dan Anderson menggarisbawahi lima peran normatif di akhir hayat dan lansia, yang lebih umum ketimbang Havighurst dan dipandang perlu bagi keberfungsian adaptif (Robbins, Chatterjee, & Canda, p. 221):
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
26
1. mengenal penuaan dan definisi keterbatasan instrumental seseorang 2. redefinisi rentang kehidupan sosial dan fisik 3. penggantian sumber alternatif dalam pemenuhan kebutuhan 4. reasesmen kriteria untuk mengevaluasi diri 5. reintegrasi nilai dan tujuan hidup seseorang. McCormick, Kuo, dan Masten (2010) menyebutkan develomental task yang paling umum dan menonjol, khususnya pada tahap lansia, sebagai berikut (p. 122): 1. menyesuaikan dengan perubahan-perubahan pada penuaan 2. transisi untuk pensiun dari kerja 3. menyesuaikan untuk bergantung pada orang lain 4. menyesuaikan dengan kemungkinan kematian pasangan atau teman dekat 5. bersiap-siap dengan proses kematian 6. penyelesaian berbagai masalah di akhir kehidupan (settling affairs). Konsep ego transecendence di akhir hayat pertama kali dibuat Carl Jung dengan menggambarkan perkembangan ego dan the Self. Berlawanan dengan Freud dan Erikson yang melihat individuasi sebagai satu peran perkembangan awal, Jung meyakini individuasi yang sesungguhnya terjadi setelah usia 40 dan berlanjut hingga paruh hidup kedua. Sebagai reformulator Freudian yang pertama dalam mengkonseptualisasi perkembangan dari lahir hingga mati, Jung berpendapat hidup adalah “the story of self-realization of the unconscious” dan terjalin-kelindan dengan komponen spiritual (berdasarkan pemikiran Timur dan Barat) ke dalam model perkembangannya. Jung meyakini transendensi ego merupakan suatu peran penting pada tahap perkembangan lansia (a critical developmental task of aging). Menurut Jung, transendensi ego diperlukan untuk membangun sebuah tonggak baru dalam the Self dimana penyatuan integral mengarah ke self-realization bahwa Tuhan ada dalam diri dan memungkinkan kita untuk memahami misteri transpersonal “Thou” (Robbins, Chatterjee & Canda, 2006, p. 222).
2.2. Active Ageing dan Kualitas Hidup Manusia Sebelum ini telah dijelaskan tujuan utama pelayanan lansia adalah kesejahteraan dan/atau kesehatan. Kesejahteraan sosial (social welfare), menurut Kirst-Ashman (2010, p. 6), merupakan konsep luas terkait kondisi baik (well-being)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
27
yang didambakan setiap orang. Sebagai cita-cita (idea), pengertian konseptual kesejahteraan sosial menurut UU terkait mengikuti definisi dari sejumlah ahli. Contohnya James Midgley yang mendefinisikan social welfare atau social well-being sebagai kondisi dimana masalah sosial terkelola, kebutuhan terpenuhi, dan kesempatan untuk maju berkembang dimungkinkan (Midgley, 1995, p. 14). Membahas tujuan pelayanan untuk lansia tidak bisa lepas dari konsep kualitas hidup (quality of life, disingkat QoL). Menurut Fahrudin (2012, p. 44), kesejahteraan sosial sering dihubungkan dengan konsep kualitas hidup karena dalam berbagai disiplin ilmu konsep ini dipakai untuk merujuk ke kondisi kehidupan yang baik. Hampir sama dengan kesejahteraan sosial, QoL mencakup segala dimensi seperti fisik, sosial, emosional, intelektual, dan kognitif. Bahkan Fahrudin meyakini QoL sangat relevan dengan definisi kesejahteraan menurut UU Lansia (p. 45). Pendapat tersebut selaras dengan sejumlah strategi kebijakan Badan Kesehatan Dunia WHO dalam menangani isu penuaan penduduk dunia, terutama strategi penuaan sehat (healthy ageing) dan penuaaan aktif (active ageing). Oxley (2009) menganggap keduanya sebagai konsep serupa. Keduanya juga menjadikan QoL sebagai muara akhir dari upaya penanganan lansia dunia. Bagian berikut ini akan menjelaskan strategi active ageing beserta sejumlah konsep terkait yang banyak menyinggung QoL. Setelah itu uraian singkat tentang QoL turut dibahas.
2.2.1. Active Ageing dan Beberapa Konsep Terkait Sebelumnya dijelaskan bahwa berdasarkan UU tujuan utama penanganan lansia di Indonesia adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kesehatan mereka. Hal ini selaras dengan strategi penanganan lansia secara global. Oxley (2009) menunjukkan bahwa meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan penduduk lansia adalah tujuan dari strategi healthy ageing. Menurutnya, healthy ageing merupakan konsep serupa dengan active ageing. Namun, Kalache dan Kickbush (1997), seperti dikutip WHO (2002), menganggap konsep active ageing lebih inklusif ketimbang healthy ageing karena melibatkan aspek-aspek penting lain di luar kesehatan yang mempengaruhi proses penuaan. Konsep active ageing dan healthy ageing memiliki keterkaitan dan persinggungan dengan sejumlah konsep lain seperti penuaan positif (positive
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
28
ageing), penuaan sukses (successful ageing), dan penuaan produktif (productive ageing) (Woo et al., 2008, Chong et al., 2006). Menurut Woo et al., istilah-istilah tersebut sama-sama memromosikan kondisi baik lansia yang didambakan dari sisi fisik, psikologis, sosial, dan finansial, meskipun masing-masing punya tekanan berbeda pada dimensi tertentu. Perbedaaan ini menunjukkan variasi gambaran dari QoL sebagai kondisi yang didambakan tersebut (p. 270). QoL adalah konsep penting yang turut dipromosikan WHO bersama strategi active ageing. Oleh WHO (2002), QoL dibahas dalam kaitannya sebagai salah satu tujuan kebijakan active ageing. Aktif di sini maksudnya adalah menerusnya partisipasi lansia dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, spiritual, dan urusanurusan kewarganegaraan (p. 12). Saat promosi awal kebijakan active ageing, QoL juga telah menjadi perhatian utama bersama perspektif life course yang menekankan kapasitas keberfungsian (Kalache & Keller, 1999, p. 20). Seperti akan dijelaskan, perspektif life course menjadi landasan implementasi kebijakan active ageing. Terkait dengan healthy ageing, SNIPH (2007), dalam Oxley (2009, p. 9), mendefinisikannya sebagai “proses pengoptimalan kondisi kesehatan fisik, sosial, dan mental untuk memungkinkan lansia turut ambil bagian dalam masyarakat tanpa diskriminasi dan menikmati kualitas hidup mandiri dan layak.” Menurut SNIPH, kebijakan ini lebih menekankan sisi pencegahan. Selain itu, strategi ini menempatkan lansia sebagai bagian penting dari masyarakat ketimbang hanya dianggap sebagai beban dan, untuk itu, otonomi dan kemampuan mengatur diri perlu dipelihara agar harga diri dan martabat mereka tetap terjaga. Bersama successful ageing, healthy ageing dalam strategi kebijakan sosial lebih menekankan kemampuan dan fungsi fisik, terutama di negara-negara industri. Terlebih lagi apabila strategi tersebut bersinggungan dengan paham neoliberal atau rasionalitas pasar, kebijakan successful ageing, healthy ageing, dan juga productive ageing sangat didominasi model biomedikal (Cardona, 2008, p. 477). Konsep successful ageing diperkenalkan Rowe dan Kahn yang merujuk ke upaya mencegah penyakit dan disabilitas; menjaga kebugaran fungsi fisik dan kognitif; dan terus aktif terlibat dalam aktivitas sosial dan produktif (Minichiello & Coulson, 2006, p. xiii-xiv; Crowther et al., 2002, p. 615). Persisnya Rowe dan Kahn, dalam MacKinlay (2008, p. 11), mendefinisikan successful ageing sebagai kondisi
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
29
“rendahnya kemungkinan terkena penyakit, disabilitas karena penyakit, kapasitas fungsional secara kognitif dan fisik, dan keterlibatan dalam hidup secara aktif.” Tiga upaya ini, menurut Crowther et al. (2002), dikatakan sebagai model tiga faktor. Fakta adanya peningkatan angka harapan hidup dan kondisi kesehatan lansia di abad ke-21 ini dianggap Minichello dan Coulson (2006) sebagai bukti keberhasilan successful ageing. Konsep ini umum digunakan dalam gerontologi dan geriatrik yang berupaya mempertahankan kemampuan fisik dan mental (Oxley, 2009), bahkan menjadi sebuah gerakan baru yang hendak menggantikan diskursus lama seputar kajian penyakit dan disabilitas (Minichiello & Coulson, 2006). Menurut Crowther et al. (2002), konsep successful ageing dikritik sejumlah ahli, di antaranya karena tidak mempertimbangkan struktur sosial dan self-efficacy. Mereka sendiri mengusulkan satu komponen penting dalam model tiga faktor di atas, yaitu spiritualitas positif. MacKinlay (2008) juga sangat mengkritik gerakan ini, apalagi jika dikaitkan dengan isu disabilitas dan spiritualitas. Menurutnya, penuaan berarti harus tetap hidup secara penuh meski dengan disabilitas yang meniscayakan bantuan orang lain. Dengan penekanan pada otonomi atau independensi lansia, konsep successful ageing dianggap absurd oleh MacKinlay karena manusia hidup harus saling bergantung atau interdependensi (p. 21). Konsep lain terkait kebijakan global penanganan lansia adalah positive ageing. Minichiello dan Coulson (2006) menjelaskan konsep ini dipromosikan juga oleh displin ilmu gerontologi sebagai isu kontemporer yang muara akhirnya adalah meningkatkan QoL lansia. Menurut Chong et al. (2006), istilah ini sering disiligantikan dengan successful ageing. Meskipun ada sedikit perbedaan, keduanya sama dalam hal fokus pada kombinasi kesehatan fisik dan fungsional, keberfungsian kognitif, jaminan finansial, dan keterlibatan aktif di masyarakat. Komponen yang utama adalah kondisi kesehatan prima yang mampu mengurangi kerentanan terhadap penyakit dan disabilitas. Dari konsep Rowe dan Kahn, komponen tambahan lain berupa keberfungsian psiko-sosial, menjaga independensi selama mungkin, dan keterlibatan berarti dalam masyarakat melalui pekerjaan dan partisipasi sosial. Ada juga yang menambahkan dimensi psikologis (semacam penerimaan diri, tujuan hidup, dan kontrol diri) dan dimensi sosial (semacam solidaritas dan identifikasi dengan masyarakat) (Chong et al., 2006, p. 245).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
30
Sementara itu, productive ageing mengacu ke “kontribusi lansia terhadap kesejahteraan mereka sendiri, komunitas, dan masyarakat pada umumnya” (Caro et al., 1993 dalam Chong et al., 2006, p. 244). Menurut Chong et al., konsep ini termasuk dalam unsur ‘partisipasi’ dalam strategi active ageing karena menekankan pada kemampuan lansia untuk terus bekerja dan memberi sumbangsih bagi diri dan sekitarnya, entah dibayar atau tidak (p. 244). Active ageing diadopsi WHO pada akhir 1990-an yang menandai pergeseran strategi pelayanan lansia, yakni dari pendekatan berbasis kebutuhan (“needs-based” approach) ke berbasis hak (“rights-based” approach) (Kalache & Kickbush, 1997 dalam WHO, 2002; Chong et al., 2006). Tepatnya pada April 1995, menurut Kalache dan Keller (1999), WHO mencanangkan satu program komprehensif tentang lansia dan kesehatan (Ageing and Health, disingkat AHE) yang sekaligus mengganti program sebelumnya, Health of the Elderly. AHE lebih berpatokan pada perspektif life course daripada melengkapi perawatan kesehatan bagi lansia dan memromosikan kesehatan yang menekankan penuaan aktif secara fisik, sosial, dan mental (p. 20). Lebih jauh tentang pergerseran strategi PBB tersebut, Kalache dan Keller (1999) menandai dua peringatan penting di tahun 1995 itu yang memromosikan active ageing. Pertama, peringatan Hari Kesehatan Dunia pada April bertema “Active ageing makes the difference” mengoreksi anggapan keliru tentang lansia seperti: semua lansia itu sama; lansia itu renta atau jompo; lansia tidak punya kontribusi apaapa; dan lansia hanya menjadi beban ekonomi. Kedua, peringatan Hari Lansia Internasional (tiap 1 Oktober) mendorong gerakan global untuk active ageing (p. 22). Perspektif life course yang menjadi patokan untuk implementasi active ageing pada intinya menekankan bahwa lansia tidaklah seragam dan seiring bertambahnya usia, keragaman individu juga cenderung meningkat. Di setiap tahapan hidup yang berbeda, yang paling penting adalah bagaimana menciptakan lingkungan yang mendukung
dan
menyediakan
berbagai
fasilitas
kesehatan
agar
dapat
mempertahankan kapasitas fungsional mereka (WHO, 2002, p. 14). Gambar 2.2 menunjukkan grafik pendekatan life course. Active ageing punya tiga pilar utama, yaitu partisipasi, kesehatan, dan jaminan (WHO, 2002, p. 45). Bersama hak azasi lansia, active ageing menggunakan prinsip PBB tentang independensi, partisipasi, harkat-martabat, kepedulian, dan pemenuhan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
31
diri (WHO, 2002, p. 13). Ada tujuh determinan dalam active ageing yang saling bersilang-siur (cross-cutting determinants), yaitu: kultur dan gender; sistem pelayanan sosial dan kesehatan; determinan perilaku; faktor personal (dari sisi biologis, genetik, dan psikologis); lingkungan fisik; lingkungan sosial; dan determinan ekonomi (WHO, 2002, p. 19).
Gambar 2.2. Perspektif life-course dalam strategi kebijakan active ageing Sumber: Kalache & Kickbush (1997) dalam WHO (2002, p. 14; 2008, p. 27)
Masih menurut WHO, seiring bertambahnya usia, QoL semakin ditentukan oleh kemampuan seseorang mempertahankan otonomi dan independensi. Otonomi dipahami sebagai “kemampuan mengontrol, mengatasi, dan membuat keputusankeputusan personal tentang bagaimana seseorang hidup dalam keseharian, menurut aturan dan pilihannya sendiri” (p. 13). Sedangkan independensi adalah “kemampuan menjalankan fungsi dalam kehidupan sehari-hari, seperti kapasitas hidup secara independen tanpa atau dengan sedikit bantuan dari orang lain” (p. 13).
2.2.2. Kualitas Hidup Lansia Setelah menjelaskan latar belakang dan kebijakan active ageing beserta sejumlah konsep terkait, bagian berikut akan menjelaskan konsep QoL secara singkat. QoL merupakan istilah sangat populer yang dipakai dalam konteks dan tujuan berbeda-beda, namun definisinya bermacam-macam. Ditambah lagi
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
32
pemakaian oleh berbagai bidang disiplin dengan tradisi masing-masing, hal ini semakin menguatkan QoL sebagai sebagai sebuah konsep yang masih sangat diperdebatkan (Phillips, 2006, p. 1). WHO juga menganggap QoL sebagai konsep luas, yang memadukan kesehatan fisik, kondisi psikologis, tingkat independensi, hubungan sosial, keyakinan dan hubungan personal dengan faktor-faktor lingkungan sekitar (WHO, 1994 dalam WHO, 2002, p. 13). WHO (2002) mendefinisikan QoL sebagai “persepsi individu tentang kondisi hidup dalam konteks kultur dan sistem nilai dimana mereka tinggal dan kaitannya dengan tujuan, harapan, standar, dan perhatian mereka” (p. 13). Meskipun ada banyak instrumen QoL yang telah dibuat, menurut Skevington et al. (2004), belum ada konsensus tentang QoL di antara para peneliti. Namun demikian, QoL bukanlah konsep yang baru muncul karena, menurut Kaasa dan Loge (2003), istilah ini telah ada sejak zaman Yunani Kuno yang telah memiliki sistem pelayanan kesehatan. Salah satu tujuannya adalah meningkatkan QoL pasien. Kemudian, di masa setelah Perang Dunia II, menurut Phillips (2006), Lord Beveridge membangun sistem layanan untuk menciptakan welfare state. Sistem layanan tersebut difokuskan untuk memberantas lima musuh besar (the five giants) yang sangat terkait erat dengan isu QoL. The five giants yang dimaksud adalah kemiskinan (want), penyakit (disease), kebodohan (ignorance), lingkungan kumuh atau rusak (squalor), dan pengangguran (idleness). Menurut Phillips, kelima masalah utama tersebut menjadi inti dari konsep QoL yang bersifat sosial, sehingga di luar itu tampaknya kurang menjadi perhatian para ahli (p. 40). Secara umum, menurut Phillips (2006, p. 1), QoL punya tiga aspek yang berbeda yaitu dua aspek di tingkat individu dan satu lagi di tingkat kolektif. Pada tingkat individu, aspek pertama bersifat objektif, seperti penghasilan, kondisi hidup, dan tingkat harapan hidup. Aspek kedua bersifat subjektif yang menyangkut kebahagiaan dan pemenuhan emosional individu. Sementara, pada tingkat kolektif juga dijumpai dua pendekatan berbeda yang dipengaruhi ideologi atau cara pandang terhadap manusia, yakni libertarian (individualis) dan egalitarian (sosialis). Dalam pandangan objektif di tingkat individu, QoL seseorang dinilai berdasarkan ukuran atau standar tertentu yang ditetapkan para ahli. Phillips (2006) menyebut pandangan ini sebagai pendekatan impersonal, saintifik, atau pendekatan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
33
“konsensus” atau “normatif” (p. 41). Berlawanan dengan posisi ini, pandangan subjektif terhadap QoL individu menjadikan kebahagiaan, subjective well-being (SWB) dan kepuasan hidup (life satisfaction), di samping sejumlah komponen lain, sebagai patokan sekaligus menjadi komponen utama. Pandangan ini, kata Phillips (2006), disebut sebagai pendekatan personal atau eksperiensial (p. 41) karena mengacu pada keputusan masing-masing individu (people’s own verdicts) tentang apa yang mempengaruhi QoL mereka (p. 1). Komponen-komponen utama dalam pendekatan subjektif saling berkaitan, berhubungan erat dengan QoL, dan merupakan konsep yang selalu menjadi perdebatan (highly contested constructs), terutama konsep kebahagiaan. Kebahagiaan ditentukan lagi dari dua pandangan berbeda, apakah secara subjektif atau objektif (Phillips, 2006, p.15). Meskipun begitu, banyak ahli menilai SWB dan subjective happiness lebih mudah digunakan dan lebih demokratis meskipun susah diverifikasi dan divalidasi (Phillips, 2006). Dibanding kebahagiaan, SWB dianggap lebih kompleks dan bersifat multidimensional, yang terdiri dari tiga komponen: pleasant affect, unpleasant affect, dan kepuasan. Selain itu, kebermaknaan hidup sebagai dimensi dari spiritualitas atau selfknowledge, juga termasuk di dalamnya (p. 18, 21). Menurut Saxena (2007), seperti dikutip Swartz dan Tisdell (2008), WHO meletakkan spiritualitas sebagai bagian dari QOL, khususnya terkait keberagamaan (religiousness) dan keyakinan pribadi. Meski tidak menyediakan definisi spiritualitas, WHO telah merancang suatu instrumen untuk mengukur dimensi ini (p. 89). QoL yang terkait kesehatan (health-related quality of life atau HRQOL) punya kesamaan dengan QoL di tingkat individu, yakni memiliki dua pendekatan utama atau ukuran yang berbeda, yaitu subjektif dan objektif. Ukuran objektif menekankan pada status kesehatan fungsional, sementara ukuran subjektif lebih pada kesehatan dan well-being (Phillips, 2006, p. 41; Skevington et al., 2004, p. 299). HRQOL telah memiliki ratusan instrumen. Definisi kesehatan menurut WHO secara luas diterima dan sesuai dengan ragam definisi QoL. Isu otonomi, yang sangat diperdebatkan, juga termasuk di dalamnya (Phillips, 2006, p. 40). Instrumen untuk asesmen dari WHO dibuat oleh WHOQOL Group dengan nama WHOQOL-100. Instrumen ini terdiri dari 100 item yang dikelompokkan dalam 25 faset dan dikelompokkan lagi dalam enam domain. Versi singkatnya disebut WHOQOL-BREF
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
34
yang terdiri dari empat domain QoL, yaitu fisik, psikologis, sosial, dan lingkungan. Di antara sejumlah item, dijumpai aspek spiritualitas dalam domain psikologis (Skevington et al., 2004, p. 300, 307). Dalam perawatan paliatif yang banyak dibutuhkan kelompok lansia, ada sejumlah instrumen seperti SEIQOL (The Schedule for the Evaluation of Individual Quality of Life), TIQ (The Therapy Impact Questionnaire), MQOL (The McGill Quality of Life Questionnaire), The Misoula, LEQ (The Life Evaluation Questionnaire), dan MQLS (The McMaster Quality of Life Scale). Menurut Kaasa dan Loge (2003, p. 17), sebagian besar instrumen HRQOL yang telah dibuat digunakan untuk keperluan penelitian dan tidak cocok untuk praktik klinis seharihari. Sebagian instrumen yang tampaknya relevan akan dijelaskan secara singkat. MQOL memiliki 17 item kuesioner yang berasal dari interview dengan pasien, literatur, dan instrumen yang ada. Kuesioner terbagi dalam lima sub-skala: physical wellbeing, simptom fisik, simptom psikologis, existential wellbeing, dan dukungan atau hubungan. Instrumen ini telah divalidasi pusat-pusat kajian dengan pasien dari layanan paliatif dan kemudian dikombinasikan dengan pasien penderita kanker yang tidak dirawat di rumah sakit (oncology outpatients) dan dari layanan paliatif (Kaasa & Loge, 2003, p. 15-6). Instrumen the Misoula–vitas QOL index didesain untuk lansia dengan penyakit berat dengan fokus pada tahap akhir hayat. The Misoula digunakan sebagai definisi dasar untuk pengalaman subjektif individu yang menemui hambatan atau tantangan interpersonal, psikologis, dan eksistensial atau spiritual. Instrumen ini terdiri dari 25 item dan telah divalidasi di setting hospice, yang mencakup lima domain: simptom, fungsi, interpersonal, wellbeing, dan spiritualitas. Instrumen ini cocok digunakan untuk perencanaan perawatan dan kontrol kualitas, namun validitasnya perlu diuji lebih jauh. Kemudian, MQLS dibuat untuk mengases QoL dari perspektif pasien perawatan paliatif. Di dalamnya ada 32 item kuesioner untuk mengukur domain fisik, emosional, sosial, dan spiritual (Kaasa & Loge, 2003, p. 16).
2.3. Masalah Kesehatan Mental Lansia Tantangan yang dihadapi manusia dalam tahap akhir hidup sangatlah beragam dan kompleks, baik secara biologis, psikologis, sosial, intelektual, spiritual (Setiti,
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
35
n.d.), emosional, maupun tingkah laku. Pada prinsipnya, seperti diuraikan Agustina (2002), proses penuaan tidak hanya berarti terjadinya perubahan biologis, tapi juga proses kehilangan, entah kehilangan peran sosial, pendapatan, dan teman atau kerabat karena perpisahan atau kematian. Selain itu, penuaan identik dengan kecemasan akan sesuatu, seperti keamanan dan keselamatan, ketidakpastian penghasilan, dan ketergantungan. Kane, seperti dikutip Agustina (2002), menyebut masalah lansia, yang oleh para ahli gerontologi dianggap sebagai the geriatric giants (masalah kesehatan utama lansia), dengan serangkaian “I”. I yang dimaksud meliputi: immobilitas, instabilitas (fisik/non-fisik), inkontinensi (ketidakmampuan menahan buang air), intellectual impairment (penurunan daya ingat atau kemampuan intelektual), infeksi, impairment of vision and hearing (penurunan penglihatan dan pendengaran), irritable colon (gangguan usus besar), isolasi, inanition (malnutrisi), impaction (konstipasi atau sembelit), iatrogenesis (penyakit karena obat), insomnia, immune deficiency (gangguan sistem kekebalan tubuh), dan impotensi (p. 12). Penelantaran (neglected) atau kekerasan terhadap lansia (parent abuse) secara fisik maupun emosional sering dialami lansia (Kirst-Ashman, 2010; Zastrow, 2004). Lansia juga rentan menjadi korban kejahatan, seperti perampokan, penyerangan, pencurian, pencopetan, vandalisme, dan penipuan karena mereka mengalami penurunan energi, kekuatan, dan kecerdasan (Zastrow, 2004, p. 486-7). Masalah berat yang sering mengiringi proses penuaan adalah isu transisional terkait kehilangan (loss), seperti kehilangan peran sosial, pendapatan, kerabat/teman, pasangan hidup, dan keluarga atau orang-orang yang dicintai (Agustina, 2002; Zastrow, 2004; Kirst-Ashman, 2010). Menurut Weinstein (2008), loss dapat terkait dengan: kematian sesorang yang dicintai atau dianggap penting; disabilitas; kondisi hidup terbatas; terserang penyakit berat atau kronis; penuaan; dan bencana yang menimpa keluarga dan anak (p. 1). Ragam permasalahan hidup yang dijelaskan di atas dapat menjadi penyebab (stressors) atau pemicu (triggering factors) bagi masalah kesehatan mental lansia. Seperti dijelaskan dalam Bab 1, masalah kesehatan mental yang banyak diderita lansia berdasarkan kajian pendahuluan meliputi kecemasan atau ketakutan akan kematian dan prosesnya (death anxiety); duka (grief) akibat loss beserta responsnya
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
36
(bereavement); dan neurosis. Sejumlah masalah yang menjadi subjek penelitian ini masing-masing akan diuraikan secara singkat berikut ini.
2.3.1. Death Anxiety Kecemasan terhadap sesuatu yang akan datang, yaitu kematian (death) atau prosesnya (dying), umum menghantui lansia. Kondisi yang mengitarinya semacam ketakutan akan disabilitas, kepedihan, dan lamanya penderitaan menjelang kematian juga dapat menimbulkan kecemasan akan kematian. Disabilitas di sini bukan semata merujuk ke kondisi kecacatan dalam pengertian umum, akan tetapi ke kondisi penurunan fungsi fisik atau kognitif, seperti penglihatan, pendengaran, kelincahan gerak tubuh, mobilitas, dan daya ingat. Lansia umumnya mengharapkan mati terhormat/bermartabat (dignity), di rumah sendiri, dengan sedikit kesakitan, dengan kesiapan mental, dan dikelilingi keluarga dan handai taulan (Zastrow, 2004). Tidak tercapainya harapan meninggal dengan kondisi baik inilah yang seringkali memunculkan kecemasan atau ketakutan mereka. Menurut Weinstein (2008), death merujuk ke orang yang secara fisik hidup namun kondisi yang mereka alami menyebabkan terisolasi dari keluarga atau sosial. Dengan kata lain, mereka adalah orang yang sudah tidak berdaya (living death) atau secara sosial sudah mati (social death), contohnya orang yang mengalami koma, demensia, dihukum penjara (p. 3). Dying bagi pekerjaan sosial, menurut Currer (dalam Weinstein, 2008), merujuk ke tiga pengertian terkait proses semakin melemahnya atau matinya: (1) kondisi fisik; (2) emosional atau individual (yang juga dapat terkait dengan dimensi spiritual); dan (3) interaksi sosial dengan lingkungan. Ketika menghadapi dying, menurut Nowitz (2005), sebagian orang punya kesulitan menyampaikan kebutuhan spiritual secara lugas kepada orang-orang sekitar. Profesi semacam pekerja sosial atau care manager harus mampu menangkap berbagai isyarat/perilaku seperti agitasi, komplain, apatis, depresi, isolasi, dan kecemasan. Sikap care manager untuk mereka yang berada pada tahap akhir hidup meliputi: (1) menerima kondisi kehidupan mereka sebagaimana mereka hidup selama ini; (2) berupaya merekonsiliasi kekecawaan masa lalu penderita; (3) memahami rasa sakit dan kesenangan si penderita saat itu; dan (4) menemukan makna (p. 199).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
37
Ketakutan akan kematian dan prosesnya juga dibahas beberapa ahli di Indonesia dengan berbagai perspektif. Misalnya dari perspektif keagamaan, Komaruddin Hidayat menulis sejumlah buku tentang kematian. Di samping Berdamai dengan Kematian (2009), bukunya yang paling populer adalah Psikologi Kematian (2013). Kedua buku ini membahas bagaimana seharusnya menghadapi dan memaknai kematian yang niscaya akan dialami setiap orang. Meskipun ditujukan untuk khalayak umum dan dengan bahasa populer yang mudah dicerna, bukunya akan sangat bermanfaat dibaca oleh para praktisi atau profesi pekerjaan sosial yang menangani lansia atau mereka yang menderita sakit berat.
2.3.2. Grief dan Bereavement Bentuk respons atau reaksi dari kehilangan karena bermacam faktor yang telah diuraikan di atas disebut bereavement. Respons semacam ini, menurut Weinstein (2008, p.3), ada yang bersifat intrapersonal atau psikologis: berduka cita atau sedih (grief); dan yang bersifat interpersonal atau ekspresi sosial: berkabung (mourning). Menurut Allan (2005), grief merupakan pengalaman dan ekpresi yang sangat dipengaruhi faktor personal dan lingkungan sosial-kultural. Allan (2005) mengatakan konsep tentang grief sebagai sebuah proses banyak dipengaruhi perspektif modernis Barat, seperti para teoretisi Freudian dan psikoanalisis, stage theory, attachment theory, dan lain-lain. Dengan mengutip Sulverman dan Klass (1996), Allan (2005) menyimpulkan beberapa karakteristik konsep tentang grief dan bereavement yang dominan di Barat sebagai berikut (p. 288): 1. grief adalah tahap jangka pendek yang alurnya bersifat linier hingga berakhir; 2. orang yang sedang berduka (the bereaved) diharapkan membatasi ekspresi grief pada saat dan tempat yang tepat; 3. waktulah yang diharapkan dapat menghapuskan grief; 4. ekspresi grief tidak boleh terlalu pendek, atau terlalu panjang, ditunda, terlalu ditampakkan, atau malah kurang ditampakkan; dan 5. mempertahankan kelekatan yang menerus dengan almarhum adalah patologis. Teori tentang grief umumnya berasosiasi dengan teori tentang loss. Pandangan tradisional tentang loss dan grief, menurut Thompson (2002), banyak menerapkan pendekatan teori tahapan (stage theory), yang telah sekian lama menyulut pro dan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
38
kontra. Salah satu teori tentang loss populer yang memakai model tahapan (‘stages model’) dibuat Elizabeth Kübler-Ross, dimana seseorang yang mengalami loss akan melalui lima tahap berurutan dalam jangka waktu tertentu yaitu: penolakan, marah, bimbang (bargaining), depresi, dan diakhiri dengan penerimaan (p. 3). Sementara teori tentang grief yang juga mengadopsi stage theory dibangun oleh Collin Parkes yang terdiri dari empat fase: kaget dan mati rasa (shock and numbness); merasa kehilangan dan terkenang-kenang (yearning and searching); galau (disorganization) dan putus asa; dan menata hati kembali (reorganization) (p. 4). Dari pihak yang kontra dengan stage theory, Thompson (2002) mengambil contoh dari William Worden yang menganggap grief lebih sebagai proses mencapai atau menjalankan peran/tugas (‘tasks’). Hampir sama dengan teori psikologi perkembangan manusia, Worden menetapkan empat tasks: (1) menerima kenyataan tentang loss; (2) mengatasi derita dari grief; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana almarhum tiada; dan (4) secara emosional berupaya merelokasi almarhum dan terus menjalani (move on) hidup (p. 4). Pendekatan tradisional lain yang dipakai untuk memahami loss dan grief, seperti dikatakan Thompson (2002), adalah attachment theory yang juga banyak memunculkan pro dan kontra. Salah satu kritik terhadap pendekatan ini terkait asumsi-asumsi bias gender dan tidak mempertimbangkan keragaman kultur (p. 4-5). Secara umum, Thompson menyimpulkan bahwa pendekatan-pendekatan tradisional tersebut banyak dikritik karena sikap ‘reduksionisme psikologis’-nya yang mereduksi kompleksitas individu (p. 5). Menurut Altmaier (2011), grief merupakan fenomena umum, namun masih belum cukup terkonseptualisasi dan ukuran-ukurannya pun tidak konsisten, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Dengan kajian literatur tentang ukuran grief, Schoulte dan Altmaier (2008) seperti dikutip Altmaier (2011) merinci karakteristik umum pengalaman grief menyangkut domain dan definisi seperti dalam Tabel 2.1. Allan (2005) melihat ada pengaruh pemikiran posmodernis dan teori sosial konstruktivis dan naratif terhadap konsep grief. Terkait keterikatan menerus (continuing bonds), seperti pada Tabel 2.1 atau sebagai karakteristik terakhir dari konsep grief menurut perspektif modernis yang dominan, Allan berpendapat bahwa continuing bonds tidak bisa diterapkan ke setiap orang yang mengalami kedukaan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
39
akibat kehilangan. Bagi sebagian orang, makna suatu kehilangan dapat dinegosiasi dan renegosiasi sepanjang hayat. Dengan proses aktif, menurut Silverman dan Klass (dalam Allan 2005), keterikatan menerus tersebut dapat dimungkinkan melalui memorial seperti foto almarhum, peringatan hari wafatnya, mempertahankan pengaruh-pengaruhnya, atau dengan memimpikan dan berbicara dengannya.
Tabel 2.1. Domain dan definisi pengalaman grief Definisi
Domain Gejala fisik
Reaksi somatis dan fisiologis
Kendala kognitif
Kesulitan mengingat, belajar, atau berpikir
Masa depan tak pasti
Kehilangan makna hidup dan pesimisme akan masa depan
Penolakan
Tidak menerima kehilangan, dengan respons shock dan mati rasa
Interaksi interpersonal
Berubahnya reaksi, kebutuhan, dan hubungan interpersonal
Respons emosional
Serangkaian perasaan internal terkait kehilangan
Perasaan tidak adil terhadap kehilangan
Frustrasi karena kehilangan, merasa bahwa kehilangan yang dialami tidak pantas ia terima, asumsi kacau akan ”dunia yang adil”
Ritual simbolis
Perilaku dengan makna simbolis tertentu yang mungkin dilakukan seseorang selama proses kedukaan (grieving process)
Keterikatan menerus (continuing bonds)
Jalinan emosional, kognitif, dan perilaku yang tetap berlanjut dengan almarhum
Penemuan hikmah (benefit finding)
Perubahan positif tentang diri sebagai akibat dari pengalaman kehilangan
Sumber: Schoulte & Altmaier (2008) dalam Altmaier (2011, p. 38)
2.3.3. Neurosis Konsep neurosis dapat merujuk ke Frankl (2004) yang juga dapat menjelaskan sejumlah masalah yang saling mempengaruhi seperti telah dijelaskan sebelumnya. Menurut Frankl, penyebab masalah kesehatan mental dapat berasal dari aspek fisik atau biologis (somatis) dan juga psikologis, dan gejalanya pun dapat berupa fisik maupun psikologis. Neurosis merupakan masalah gangguan mental ringan, semacam depresi atau kecemasan, yang dapat disebabkan oleh faktor psikologis namun gejalanya bisa berupa psikologis maupun fisik. Pada Tabel 2.2 tampak sumbu vertikal berupa simptomotologi atau fenomenologi yaitu semacam gejala atau simptom yang menjelaskan cara suatu penyakit muncul atau menggejala. Gejalanya yang bersifat psikologis dinamakan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
40
feno-psikologis, sementara yang bersifat fisik/biologis disebut feno-somatik. Sedangkan, aksis horisontal merupakan etiologi yaitu penyebab atau asal-usul (genesis) suatu penyakit. Apabila penyebabnya bersifat fisik disebut somatogenik, sementara yang bersifat psikologis disebut psikogenik (Frankl, 2004).
Tabel 2.2. Jenis neurosis berdasarkan penyebab dan gejalanya
Etiologi
Simptomotologi Feno-psikologis
Feno-somatik
Somatogenik
Psikosis
Penyakit fisik “biasa”
Psikogenik
Psikoneurosis
Neurosis somatis
Sumber: Frankl (2004, p. 44)
Menurut Frankl (2004, p. 41), neurosis dalam pengertian yang ketat atau tepat adalah segala penyakit yang disebabkan faktor psikologis (psychogenic illness) dan dengan gejala psikologis pula (feno-psikologis). Pada Tabel 2.2 di atas, pengertian neurosis ini ditunjukkan oleh penyakit psikoneurosis. Dalam bukunya, istilah neurosis ini seringkali dipakai Frankl (2004) untuk merujuk ke gejala-gejala neurotik yang muncul oleh sebab-sebab ragawi, spiritual, dan juga sosial. Bentuk neurosis lain berupa neurosis somatis atau psikosomatis, yakni jenis gangguan yang dipicu karena faktor psikologis (psikogenik) namun gejalanya bersifat fisik (feno-somatik) (p. 41). Di sini perlu dijelaskan juga dua gangguan lain, yaitu berupa psikosis dan penyakit fisik “biasa”. Psikosis adalah penyakit yang disebabkan faktor fisik (somatogenik) dengan gejala psikis (feno-psikologis). Untuk psikosis, Frankl lebih memilih istilah gangguan psikotik (psychotic disorder). Istilah ini lebih umum digunakan dan konsisten dengan sistem ICD-9 yang dipakai di Eropa ketimbang istilah DSM yang digolongkan sebagai Major Depressive Disorders atau depresi endogenus. Dengan demikian, psikosis ini merupakan gangguan mental berat. Untuk “ordinary” illness (atau penyakit fisik biasa) tidak termasuk neurosis karena baik gejala maupun penyebabnya berupa fisik, bukan psikologis (Frankl, 2004, p. 41).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
41
2.4. Upaya Penanganan Kesehatan Mental Lansia Sub-bab ini membahas model penanganan lansia secara umum di Indonesia, penanganan kesehatan mental dengan pendekatan pekerjaan sosial, dan pendekatan pekerjaan sosial baik secara konvensional maupun holistik.
2.4.1. Model Penanganan Lansia Indonesia Penanganan lansia di Indonesia dibedakan menjadi dua model, institusional dan non-institusional, baik yang diselengarakan oleh pemerintah maupun nonpemerintah (Tabel 2.3). Dari pihak pemerintah, menurut Noveria (2006), ada tiga institusi utama yang bertanggung jawab menyediakan layanan bagi lansia, yaitu: Kemensos, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Namun, Kemensos lah yang menjadi lembaga terdepan dalam penanganan isu-isu lansia (Phillips, 2000, p. 7). Tabel 2.3. Model pelayanan lansia oleh pemerintah dan non-pemerintah Model
Institusional
Pemerintah Non-pemerintah atau masyarakat
Panti sosial, Puskesmas Ramah/Santun Lansia, Klinik Geriatrik atau Layanan Geriatri Terpadu Panti werdha, Posyandu Lansia atau Posbindu Lansia, Sasana Tresna Werdha
Non-institusional (berbasis keluarga dan masyarakat) Day care, home care, trauma center, Bina Keluarga Lansia Home care, trauma center, Karang Wredha, Karang Lansia
Panti adalah satu bentuk upaya pemerintah dan masyarakat dengan model institusional. Contohnya Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) milik Kemensos dan Dinas Sosial (Dinsos). Untuk panti pemerintah, persyaratan paling utama menjadi pemanfaat layanan (benefeciaries atau klien) adalah lansia telantar, artinya lansia yang benar-benar memerlukan layanan yang sama sekali tidak ada anggota keluarga yang bakal merawatnya. Sedangkan, panti swasta kebanyakan untuk lansia yang menolak tinggal bersama anak atau kerabatnya karena alasan tertentu. Upaya pemerintah lain dengan model non-institusi adalah day care dan home care. Layanan day care, menurut Noveria (2006), ditujukan bagi lansia yang tinggal bersama keluarga, tapi keluarganya tergolong miskin atau mengalami kesulitan finansial. Kegiatan day care biasanya dilakukan di tempat tertentu seperti panti dan para lansia lah yang datang. Layanan yang diberikan berupa makanan dan perawatan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
42
kesehatan dengan menawarkan pemeriksaan kesehatan rutin setiap bulan oleh dokter. Menurut Fahrudin (2007), jenis-jenis pelayanan standar lain juga diberikan, seperti pelayanan psikososial, keterampilan, pendampingan, dan juga spiritual/keagamaan. Layanan seperti itu juga diberikan oleh Pusaka (Pusat Santunan dalam Keluarga) yang merupakan satu bentuk home care. Berbeda dengan day care, home care dilakukan di lingkungan keluarga dimana para pendamping (care giver) atau praktisi kesejahteraan datang ke tempat tinggal mereka. Lembaga non-institusional luar panti di tingkat komunitas ini memberikan program permakanan bagi lansia secara teratur. Selain itu, pusat ini juga memberikan bimbingan kerohanian dan kesehatan. Di Jakarta terdapat 72 buah Pusaka di tingkat kelurahan. Program lain Kemensos dari sisi perlindungan berupa Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) untuk lansia miskin atau tidak potensial. Mulai tahun 2012 ini namanya menjadi Asistensi Sosial Lanjut Usia Telantar (ASLUT). Landasan pijak program ini terutama adalah UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Uji coba JSLU dimulai sejak 2008 untuk 5000 lansia yang diambil dari 15 provinsi. Bantuan finansial Rp. 300.000,- per-orang perbulan diberikan kepada penerima bantuan hingga meninggal dan hak ini akan diberikan kepada mereka yang masuk daftar tunggu. Seperti bantuan langsung tunai (BLT), bantuan diberikan langsung kepada penerima melalui PT. Pos (Depsos, 2008; Uji Coba JSLU, 2008). Model institusional dari Kemenkes adalah puskesmas, klinik geriatrik (di rumah sakit tertentu seperti di Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta), atau fasilitas kesehatan lain. Layanan yang diberikan terutama berupa perawatan kesehatan dari sisi preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Sementara, BKL (Bina Keluarga Lansia) disediakan oleh BKKBN yang target layanannya tidak saja lansia, tapi juga keluarga lansia. Melalui berbagai aktivitas, program ini bertujuan meningkatkan kesadaran anggota keluarga untuk memberikan dukungan bagi lansia, menghormati orang tua mereka yang lansia, melakukan pemeriksaan dan perawatan kesehatan, dan meningkatkan kemampuan finansial keluarga yang memiliki lansia (Noveria, 2006). Upaya penanganan kesehatan mental lansia, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan lansia, mengacu seperangkat kebijakan: UU kesejahteraan lansia, UU Kessos, UU kesehatan, Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk Kesejahteraan Lansia, dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Untuk mengawasi dan memastikan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
43
kesejahteraan mereka, pemerintah juga telah membentuk Komisi Nasional (Komnas) Lansia melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 52 tahun 2004. Tidak kurang, bersama masyarakat internasional Indonesia juga ikut dalam upaya antisipasi terhadap proyeksi ledakan penduduk lansia di dunia dengan menghasilkan berbagai rencana aksi, seperti Vienna International Plan of Action on Aging 1982; Macao Plan of Action on Aging for Asia and Pacific 1988; Madrid International Plan of Action on Aging 2002; dan Shanghai Implementation Strategy 2002.
2.4.2. Penanganan Kesehatan Mental dan Pekerjaan Sosial Penanganan masalah kesehatan mental lansia termasuk salah satu bidang garapan dalam pembangunan kesejahteraan sosial karena punya tujuan mewujudkan atau meningkatkan kesejahteraan sosial lansia. Satu disiplin ilmu yang terkait dengan usaha kesejahteraan sosial lansia dan layanan kesehatan mental atau jiwa adalah pekerjaan sosial. Adi (2013, p. 93-94), dengan mengutip sejumlah ahli, mengelompokkan profesi ini sebagai salah satu bidang kesejahteraan sosial dalam arti sempit. Dengan sudut pandang lain, isu kesehatan mental lansia juga termasuk dalam klasifikasi bidang kesejahteraan sosial dalam arti luas, yakni apabila kesehatan mental dilihat dari sisi kekhususan masalah yang ditangani dan pelayanan untuk kelompok lansia dilihat dari sisi tingkat usia kelompok sasaran (p. 102). Berdasarkan pengelompokkan Adi (2013) di atas, pembahasan tentang kesehatan mental lansia di sini tampaknya lebih dikaitkan dengan bidang kesejahteraan sosial dalam arti khusus, yakni pekerjaan sosial. Hal ini selaras dengan sejumlah kebijakan yang melandasi upaya penanganan lansia. Dalam UU Kessos 2009, sebagian sumber daya penyelenggara kesejahteraan sosial adalah tenaga kesejahteraan sosial dan pekerja sosial profesional (Pasal 33). Bahkan dalam UU Kessos yang lama (UU No. 6/1974) disebutkan bahwa pekerjaan sosial menjadi keterampilan teknis sebagai wahana bagi segala usaha kesejahteraan sosial. Intinya, isu kesehatan mental yang dialami kelompok lansia dalam penelitian ini akan lebih ditekankan pada upaya penanganan dengan pendekatan pekerjaan sosial. Hubungan antara pekerjaan sosial dan kesehatan mental memiliki latar belakang sejarah yang panjang atau hampir sama dengan kemunculan disiplin pekerjaan sosial itu sendiri di masyarakat Barat, yakni sejak akhir abad ke-19.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
44
Menurut Heinonen dan Metteri (2005a), aktivitas pekerjaan sosial pada masa itu telah terjalin-kelindan dengan praktik medis dan psikiatri, khususnya yang menawarkan pertolongan dan konseling bagi pasien rumah sakit tidak mampu. Baik dalam bidang kesehatan (fisik) maupun kesehatan mental, pekerja sosial berupaya memromosikan kesehatan, kesejahteraan (well-being), pertumbuhan, dan perubahan baik di tingkat individu, keluarga, kelompok, maupun komunitas. Meskipun sama-sama menangani masalah kesehatan mental, keduanya berbeda dari sisi pendekatan atau model. Menurut Pritchard (2006), perbedaan inilah yang menyebabkan hubungan panjang itu selalu diwarnai kontroversi antara dua kubu yang berbeda, yaitu antara pendekatan medikal dan psikiatri dengan pendekatan pekerjaan sosial. Kubu pertama menjelaskan kondisi terganggunya tingkah laku (atau tingkah laku yang mengganggu) sebagai akibat dari gangguan fisik tertentu. Sementara itu, kubu pekerjaan sosial dengan akar ilmu-ilmu sosial dan behavioral menawarkan perspektif berbeda tentang mereka yang terstigma sebagai “outsiders”. Senada dengan Pritchard (2006), Zastrow (2004) melihat ada dua pendekatan dalam melihat masalah mental atau tingkah laku ini, yaitu model medikal dan interaksional. Pertama, model medikal memandang masalah tersebut sebagai penyakit mental, sebagaimana mereka menyebut penyakit fisik. Penyebabnya bisa karena keturunan, kekacauan metabolik, penyakit menular, konflik batin, penggunaan bawah sadar sebagai mekanisme bertahan, pengalam traumatik waktu anak-anak, dan lain-lain. Model kedua, model interaksional, merupakan bentuk kritik terhadap pendekatan medikal. Kritik ini pertama kali muncul dekade 1950-an oleh Thomas Szasz, yang menganggap penyakit mental hanyalah mitos. Teorinya menekankan pada proses interaksi sosial sehari-hari dan pengaruh pemberian label. Menurut Szasz, seperti dikutip Zastrow (2004), implikasi menyebut penyakit mental adalah berarti ada penyakit dalam pikiran atau jiwa seseorang, dan itu sangat tidak tepat. Szasz mengelompokkan penyakit mental ke dalam tiga kategori (p. 163-4): 1. Ketakmampuan personal (personal disabilities), seperti kecemasan berlebih, depresi, dan ketakutan. Istilah lainnya adalah emosi yang tidak diinginkan. Mental yang dimaksud mencakup wilayah pikiran dan perasaan.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
45
2. Tindakan anti sosial, berupa penyimpangan sosial. Szasz memasukkan homoseksualitas ke dalam kategori ini, tetapi tahun 1974 Asosiasi Psikiatrik Amerika (APA) mengeluarkannya dari penyakit mental. Tindakan anti sosial ini tidak termasuk wilayah mental, bukan pula penyakit. 3. Terganggunya kepribadian (personality changes) karena kerusakan otak. Kategori “mental illness” di sini karena suatu penyakit seperti Alzheimer, arteriosclerosis, chronic alcoholism, general paresis, AIDS, atau kerusakan otak parah karena kecelakaan. Gejalanya seperti hilang ingatan, kelesuan atau tanpa gairah, apatis, pikun, dan lain-lain. Kategori penyakit ini, menurut Szasz, lebih tepat disebut penyakit otak, bukan penyakit mental atau pikiran. Selaras dengan pendekatan pekerjaan sosial terhadap kesehatan mental yang dimaksud Pritchard (2006) dan model interaksional Thomas Szasz, Kirst-Ashman (2010) menyarankan para pekerja sosial untuk berpikir kritis terhadap panduan diagnostik APA yang sangat bernuansa medikal. Ada dua hal yang menjadi alasan Kirst-Ashman. Pertama, penekanan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) pada patologi atau kelemahan individu berarti mengabaikan kekuatan mereka. Pengategorian tersebut juga kurang memperhatikan pentingnya lingkungan bagi individu. Kedua, masalah labeling menurut kriteria tertentu, padahal belum tentu sama atau dipandang berbeda menurut standar lain. Dalam DSM, ada banyak label yang menyebut penderita gangguan mental dengan emosi atau tingkah laku yang dianggap berbeda atau tidak biasa dari umumnya. Cap tersebut, menurut Zastrow (2004), terkadang kurang enak didengar, seperti sinting, aneh, psikotik, neurotik, gila atau tidak waras, sakit, atau edan. Model interaksional yang diusung Szaz atau kritisisme Kirst-Ashman terhadap model medikal merupakan ciri khas pekerjaan sosial yang sangat menekankan sisi kekuatan si penderita ketimbang sisi kelemahannya. Ciri khas lain adalah bahwa praktik pekerjaan sosial tidak saja fokus pada si penderita masalah mental, namun yang tidak kalah penting adalah lingkungan sosialnya. Model semacam ini dikenal sebagai individu atau manusia dalam lingkungan atau person-in-environment (PIE). Model PIE juga diadopsi Kode Etik NASW tahun 1999, seperti dikutip Lee et al. (2009, p. xviii), yang di dalamnya dinyatakan bahwa pekerjaan sosial adalah profesi yang fokus pada kesejahteraan individu dalam konteks sosial. Perhatian terhadap
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
46
kekuatan lingkungan yang menimbulkan, berkontribusi, sekaligus mampu mengatasi masalah hidup juga menjadi hal mendasar dalam pekerjaan sosial. Penggunaan konsep PIE, termasuk dalam penanganan kesehatan mental, merupakan satu ciri khas dan kelebihan pendekatan pekerjaan sosial. Lee et al. (2009) menjelaskan bahwa PIE telah sekian lama dianggap sebagai perspektif yang lebih menyeluruh dan integratif dalam memahami masalah klien dan proses perubahan. Bahkan perspektif ekosistem ini telah menjadi ciri khas tersendiri bagi pekerjaan sosial yang membedakan dengan profesi-profesi lain. Pendekatanpendekatan psikodinamika, behaviorisme, dan eksistensialisme yang sempat mendominasi lebih mengandalkan aspek psikologis, biologis, dan perilaku individu ketika menangani masalah individu. Namun pendekatan dan teori-teori dominan ini kurang megakomodir peran individu dalam hubungannya dengan lingkungan. Cara pekerjaan sosial menggunakan perspektif PIE juga berbeda dari profesiprofesi lain. PIE yang diadopsi pekerjaan sosial sangat dipengaruhi oleh perspektif psikososial dan ekologis. Perspektif psikososial dikembangkan Florence Hollis, yang memandang perilaku individu dipengaruhi oleh baik faktor psikologis maupun sosial. Sementara perspektif ekologis digunakan Germain dan Gitterman untuk membangun life model yang menekankan kesalingterkaitan (interrelationship) antara individu dan lingkungan ekologis yang lebih luas serta implikasinya terhadap praktik pekerjaan sosial (Lee at al., 2009, p. xxii). Penerapan konsep PIE dalam pekerjaan sosial dapat dilihat dari model intervensi kelompok dukungan (support group) ataupun swabantu (self-help group). Arnold (2009) menunjukkan betapa pentingnya support group dan self-help group dalam konseling dan pengasuhan akhir kehidupan, khususnya bagi individu yang mengalami suatu penyakit tahap akhir (terminal illness). Menurut Stearns et al. seperti dikutip Arnold (2009, p.185), intervensi dengan menggunakan kelompok seperti itu bermanfaat untuk menghubungkan para klien yang memiliki kesamaan kasus. Dengan difasilitasi pekerja sosial secara profesional, mereka akan saling mendukung, menumbuhkan kebersamaan, berbagi informasi, dan menghindari isolasi diri. Metode ini juga dapat diterapkan untuk anggota keluarga klien agar mereka dapat berbagi perasaan frustrasi atau marah atas apa yang menimpa orang yang mereka cintai dan dapat saling berbagi informasi sistem sumber di masyarakat.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
47
Di dalam pendekatan pekerjaan sosial itu sendiri, termasuk ketika menangani kesehatan mental lansia, secara umum dijumpai dua pendekatan atau model utama, yaitu konvensional dan holistik. 2.4.3. Pendekatan Pekerjaan Sosial Konvensional Pendekatan tradisional ini hanya melibatkan aspek psikososial atau biospsikososial. Meski cakupan aspeknya lebih luas ketimbang model biomedis, pendekatan konvensional ini masih dianggap bersifat reduksionistik karena belum mencakup aspek-aspek lain yang menggambarkan totalitas manusia, seperti aspek kultural, struktural, intelektual, agama, dan spiritual. Menurut Turner (2008), terapi psikososial telah sekian lama menjadi komitmen dalam pekerjaan sosial. Meskipun banyak ahli menganggap terapi psikososial telah ketinggalan zaman, “ia akan terus menjadi esensi dari praktik pekerjaan sosial kontemporer,” katanya (p. 174). Karena fokus pada aspek biopsikososial saja, muncul ketakpuasan masyarakat terhadap praktik pekerjaan sosial konvensional dan tuntutan akan pendekatan yang lebih holistik. Huguelet dan Koenig (2009) menilai praktik konvensional bersifat reduksionistik karena tidak melihat keseluruhan aspek manusia secara utuh ketika mendefinisikan seperti apa keberadaan manusia yang baik atau sejahtera itu. Senada dengan penilaian ini, Hutchison (1999), seperti dikutip Murdock (2005), keunikan sekaligus kelebihan pekerjaan sosial sebagai sebuah profesi adalah penekanannya pada perspektif PIE yang dapat menjadi kerangka asesmen dan intervensi bagi praktik yang bersifat menyeluruh. Sayangnya, kata Murdock, penekanan praktik pekerjaan sosial tradisional/konvensional hanya pada dimensi fisik dan psikologis, sementara dimensi spiritual diabaikan, atau bahkan ditolak. Lee et al. (2009) menjelaskan mengapa aspek spiritual tidak disentuh dalam model-model tradisional PIE, padahal perspektif ekosistem ini dipandang lebih menyeluruh dan integral yang menjadi ciri khas pekerjaan sosial dibanding profesi lain. Menurutnya, hal itu karena perkembangan teori dan praktik pekerjaan sosial selama ini sangat dipengaruhi oleh paradigma dominan positivisme, saintifisme, rasionalisme, dan empirisisme. Paradigma yang tumbuh subur dalam cara pandang sekular dan tradisi saintifik dan humanistik ini sangat sulit memasukkan aspek spiritual dan juga agama dengan alasan: (1) sebagai sebuah profesi, pekerjaan sosial harus objektif dan bebas nilai; (2) konsep spiritualitas terlalu tidak jelas apabila
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
48
dijadikan landasan ilmiah profesional bagi praktik, pengetahuan, dan penelitian pekerjaan sosial; (3) spiritualitas dan agama sangat terkait dengan ide-ide supranatural atau pengalaman pribadi yang tidak seharusnya dibawa ke domain publik lembaga pekerjaan sosial; dan (4) agama bersifat dogmatis, kaku, menindas (opresif), dan bersifat menilai/menghukum (benar/salah), yang berlawanan dengan prinsip hak menentukan diri-sendiri (self-determination) klien (Clark, Sullivan, & Weisman dalam Lee et al., 2009, p. xxiii-iv).
2.4.4. Pendekatan Pekerjaan Sosial Holistik Seperti disampaikan sebelumnya, pendekatan ini disebut sebagai pendekatan menyeluruh karena melibatkan aspek-aspek yang lebih komplit dari pada pendekatan konvensional dan diklaim lebih berhasil mengatasi masalah kesehatan mental lansia. Meski dianggap holistik, pendekatan ini juga tidak betul-betul melibatkan seluruh aspek yang mampu menggambarkan totalitas manusia secara utuh karena eksistensi manusia yang begitu rumit dan kompleks sampai sejauh ini masih misteri. Dalam pendekatan yang dianggap lebih holistik ini, macam model yang telah berkembang juga tidaklah homogen atau tidak hanya berupa model biopsikososial spiritual/agama yang selama ini begitu sering dipromosikan. Sebagai contoh, ada pendekatan biopsikososio-struktural yang diperkenalkan dalam sebuah buku antologi editan Heinonen dan Metteri (2005a/b). Dalam kesimpulan, keduanya menjelaskan bahwa pendekatan tersebut menjadi alternatif untuk mengatasi keterbatasan pendekatan medikal atau biomedis yang hanya melihat aspek fisik semata. Pendekatan biomedis dianggap tidak mampu mengatasi berbagai masalah hidup si penderita yang justru dapat menjadi penyebab atau bahkan dapat memperburuk kondisi kesehatannya (Heinonen & Metteri, 2005b, p. 417). Dengan mengombinasikan aspek-aspek biologis, psikologis, sosial, dan struktural, pendekatan yang menggunakan perspektif kekuatan ini juga punya komitmen untuk mendorong pertumbuhan, mewujudkan kondisi sejahtera, dan memperkuat kapasitas seseorang untuk mengatasi berbagai kesulitan dan mampu bertahan dalam situasi tanpa harapan. Menurut Heinonen dan Metteri (2005b), pendekatan ini dibutuhkan pekerja sosial yang menangani orang-orang yang
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
49
mengalami gangguan kejiwaan, kesedihan (grief), atau merasa kehilangan (loss) karena penyakit berat, bereavement, kekerasan, atau penyebab serius lain. Richardson (2009) memromosikan suatu pendekatan yang menggabungkan pekerjaan sosial tradisional dengan praktik biopsikososialkultural. Menurutnya, pendekatan yang dianggap terpadu dan holistik tersebut diyakini lebih efektif untuk menangani kompleksitas masalah yang dihadapi lansia (p. 327). Masalah umum lansia dianggap kompleks karena melibatkan beragam dimensi yang saling terkait seperti biologis, psikologis, sosial dan budaya. Masalah kesehatan fisik yang berat, sebagai contoh, dapat memicu depresi dan kecemasan. Atau sebaliknya, kondisi mentalnya juga dapat berpengaruh pada kondisi fisiknya. Dengan begitu, pekerja sosial harus mempertimbangkan segala aspek untuk mengatasi keruwetan masalah lansia baik tahap awal mendengarkan, asesmen, hingga tahap intervensi. Menurut Musgrave (2005), berbagai kejadian hidup yang dialami lansia seringkali berada di luar kemampuannya dan dapat mengubah pandangan hidupnya. Apabila pengalaman tersebut sampai mengancam kedirian (ego) dan identitas mereka, kondisi tersebut dapat menggiring lansia ke dalam kondisi krisis. Berdasarkan teori intervensi krisis, kondisi tersebut bisa terjadi apabila seseorang mengalami kejadian yang sangat tidak diharapkan dan menyebabkan guncangan atau perubahan drastis dalam kehidupannya (p. 265-7). Ada tiga kemungkinan dalam merespons krisis tersebut: menyerah putus asa (hopeless) dan tidak mampu menghadapi masa depan; mampu bangkit kembali ke keseimbangan semula; atau bahkan mampu tumbuh meningkat mencapai tingkat pemahaman diri (selfunderstanding) dan ketahanan pribadi (Musgrave, 2005, p. 266). Berbicara konteks masyarakat Indonesia, Romo Mudji menangkap sejumlah fenomena yang terjadi yang dapat mengantarkan Indonesia ke kondisi krisis atau lebih tepat dikatakan sebagai krisis nilai. Fenomena tersebut di antaranya adalah masalah penderitaan dan kematian. Menurutnya, penderitaan bisa diketahui publik karena diwartakan atau bisa juga diam-diam, seperti mereka yang berada di rumah sakit, panti, atau rumah. Fakta kematian yang pasti akan dialami setiap orang juga dapat menyebabkan krisis dengan memunculkan berbagai pertanyaan terkait tujuan dan makna hidup yang sejauh ini dijalani (Sutrisno, 2001, p. 4-5).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
50
Menurut Romo Mudji, ada sejumlah ikhitiar untuk menjawab pertanyaan yang muncul dari fenomena tersebut. Eksistensialis Jean Sartre menyebut krisis hidup yang muncul dari absurditas dengan istilah Nausea (rasa muak), yakni hidup tanpa arti dan hampa secara eksistensial. Albert Camus memandang absurditas hidup yang tanpa arti dengan mengambil mitologi Yunani Sisyphus. Menurut Camus, manusia hidup seperti dewa Sisyphus yang mencoba berkali-kali mengangkat batu bulat besar ke bukit, namun selalu menggelinding lagi ke bawah begitu sampai ke atas. Meski tahu resiko gagal, manusia tidak berhenti berupaya melakukannya. Viktor Frankl menawarkan jawaban keluar dari krisis dengan cara menemukan makna hidup ini. Erich Fromm juga turut menunjukkan jalan keluar dengan cinta kepada sesama yang mampu melampaui cinta pada diri-sendiri (Sutrisno, 2001, p. 5-10). Gotterer (2001) menggambarkan kondisi krisis sebagai berikut: Tragedi seperti kematian mendadak orang yang dicintai mendorong seseorang melakukan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Orang yang mendekati kematian juga sering bertanya-tanya apakah ada kehidupan (akhirat) setelah kematian. Ketika ditimpa musibah mereka mempertanyakan apa makna dan tujuan hidup ini. Mereka yang menderita penyakit berat atau mengalami penindasan panjang mencari-cari jalan untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi (p. 187). Dari gambaran Gotterer tersebut tampak orang-orang yang mengalami krisis tersebut memiliki kecenderungan yang besar akan spiritualitas. Dengan demikian, penanganan lansia dengan ragam masalah yang berat diperlukan pendekatan holistik yang mengakomodir aspek spiritual yang mereka miliki. Pendekatan holistik yang banyak dikembangkan dalam dua dekade akhir dalam pekerjaan sosial adalah pendekatan biopsikososiospiritual/agama. Pendekatan ini diajukan sebagai alternatif atas munculnya ketakpuasan terhadap penerapan pekerjaan sosial konvensional dalam masyarakat industri dan pasca-industri yang cenderung ke arah materialisme dan konsumerisme. Mereka butuh pendekatan interdisiplin dan multilevel yang lebih holistik dan mencakup dua aspek itu. Terkait model PIE dengan perspektif ekologisnya, menurut Lee et al. (2009), penanganan kesehatan mental lebih baik jika memasukkan spiritualitas ke dalamnya, sebagaimana disarankan Max Siporin sejak tiga dekade silam. Zapf (2007, p. 230-1)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
51
mempermasalahkan komponen environment (lingkungan) dalam konsep PIE yang seringkali dipersempit hanya dalam konteks sosial. Menurutnya, penyempitan tersebut tidaklah mengherankan karena pekerjaan sosial banyak mengadopsi disiplin ilmu lain, terutama seperti psikologi, sosiologi, psikiatri, dan antropologi, yang cenderung memberi penekanan lebih pada unsur masyarakat (sosial) beserta individu. Lingkungan dalam konsep PIE harusnya punya cakupan lebih luas dari sekadar sosial, yakni melingkupi semesta. Dari pemikiran Zapf ini, dapat dikatakan bahwa cakupan luas itu dapat juga meliputi wilayah spiritualitas. Dan terkait wilayah ini, Zapf (2007, p.231) juga menganalogikan reduksi konsep lingkungan hanya dalam konteks sosial dengan pembahasan spiritualitas hanya pada tingkatan individu. Menurutnya, pemanfaatan spiritualitas seharusnya diperluas ke hubungan individu dan lingkungan (dalam hal ini unsur locus) sebagaimana dalam konsep PIE. Perspektif holistik dengan melibatkan aspek spiritual dan agama telah banyak menunjukkan efektivitasnya dalam berbagai penanganan. Sebagai contoh, Ho et al. (2009) melakukan penelitian terhadap wanita yang didagnosis menderita kanker payudara di Hongkong pada tahun 2004 dengan kajian kuantitatif. Penelitiannya bertujuan menguji efektivitas penanganan dengan model “Integrative Body-MindSpirit” (I-BMS) dibandingkan dengan kelompok dukungan sosial (Social Support Group atau SS Group). Ternyata hasilnya menunjukkan bahwa kelompok yang ditangani dengan model I-BMS Group mengalami perbaikan yang lebih besar secara signifikan dari sisi domain psikososial dibandingkan dengan kelompok yang ditangani dengan SS Group. Domain psikososial yang diamati meliputi kontrol emosional, kemampuan menghadapi kanker (cancer coping), kualitas hidup, perkembangan pascatraumatik, dan salivary cortisol. Paradigma baru yang lebih terpadu dapat berwujud dalam sejumlah model. Untuk menyebut sebagian, Huguelet dan Koenig (2009) menamainya dengan model “biopsychosocial-religious/spiritual” (p.2). Misalnya dalam Psikologi, Bastaman (2007), menyebut metode psikoterapi yang mengakui totalitas manusia secara utuh sebagai pendekatan “biopsychosocial-cultural-spiritual” (p. 97). Ada juga sebuah model baru hasil integrasi Filsafat Timur, terutama China, dengan teknik-teknik terapeutik yang dikembangkan the Center on Behavioral Health di Hongkong yakni “Integrative Body-Mind-Spirit Social Work” (Lee et al., 2009).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
52
2.5. Spiritualitas dan Agama Bagian ini akan menjelaskan pengertian istilah spiritualitas dan padanannya, ruhaniyah. Sebelum itu, akan dijelaskan terlebih dahulu pengertian etimologis dari asal istilah ini yakni spirit atau ruh dan spiritual. Istilah lain terkait aspek ini, yakni spiritisme atau spiritualisme, juga dijelaskan secara singkat. Penjelasan berikutnya adalah agama yang mencakup pengertian dan komponen pentingnya. Agama turut dibahas karena dalam masyarakat Indonesia spiritualitas banyak diekspresikan dalam aspek agama. Terakhir akan dijelaskan hubungan antara kedua aspek tersebut.
2.5.1. Spiritualitas Spiritual merupakan adjektif dalam bahasa Indonesia sebagai kata serapan dari bahasa Inggris. Kata bendanya, spirit, berasal dari bahasa Latin spiritus atau spiritualis yang artinya dekat dengan kata ruh, yang secara bahasa berarti nafas (Bagus, 2000, p. 957, 1034; Swinton, 2001, p. 14; Hendrawan, 2009, p. 18; Glassè, 1999, p. 345). Kata spirit dalam beberapa bahasa di dunia, seperti ruach (Ibrani), pneuma (Yunani), prana (Sansekerta), dan qi (China) juga berarti nafas dan kekuatan vital (Canda & Furman, 1999, p. 290; 2010, p. 327). Kata ruh yang merupakan istilah Arab, rûh, punya pengertian asal: nafas hidup, jiwa, atau spirit (Cowan, 1971, p. 365). Kata spirit, menurut Hendrawan berarti prinsip yang menghidupkan atau vital yang menghidupkan organisme fisik; makhluk supranatural; dan kecerdasan atau bagian non-materiil dari manusia (p. 18). Istilah Yunani untuk spirit adalah psyche yang pengertiannya mengacu pada prinsip kehidupan (Bagus, 2000, p. 957). Menurut Swinton (2001), spirit manusia merupakan “kekuatan hidup esensial yang mendasari, mendorong, dan menghidupkan eksistensi manusia” (p.14). Istilah ini punya kaitan erat dengan spiritualitas, namun tidak sama. Untuk memahami spiritualitas, karakteristik spirit manusia harus dimengerti terlebih dulu. Ketika pengalaman spirit direspons oleh individu atau komunitas dengan cara tertentu, cara merespons inilah yang disebut sebagai spiritualitas (Swinton, 2001, p.14). Kata spiritual itu sendiri bisa berarti sesuatu yang berhubungan dengan spirit, yang suci, dan fenomena atau makhluk supranatural (Hendrawan, 2009, p. 18). Dalam Kamus Filsafat karya Bagus, kata ini mengandung pengertian sesuatu yang bersifat imaterial yang merujuk ke kemampuan-kemampuan mental, intelektual,
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
53
estetik, dan religius. Pengertian lain mengacu ke nilai-nilai manusiawi yang bersifat nonmaterial seperti cinta, belas kasih, keindahan, kebaikan, kejujuran, dan kebenaran, dan perasaan atau emosi keagamaan (p. 1034). Tentang istilah ruh, Bagus (2000) menjelaskan beberapa pengertian di antaranya yaitu nafas kehidupan dan jiwa atau sisi imaterial manusia sebagai sumber kesadaran (dan kehendak) serta fungsi-fungsi kehidupan seperti pertumbuhan, selera, dan perasaan (p. 957). Meski pengertiannya sepadan dengan kata spirit, menurut Glassè (1999), ruh secara khusus terkait dengan aspek jiwa yang bersifat nonindividual, yakni intellect atau nous. Istilah Arabnya al-’aql al-fâ’il atau fâ’il (active intellect), sebagai kebalikan dari istilah jiwa (psyche atau an-nafs). Jiwa manusia berkedudukan lebih rendah ketimbang ruh. Ar-Rûh atau jiwa yang terdapat pada individu senantiasa bersama dengan Being, al-Wujûd, atau al-‘Aql al-Awwal (Intelek Pertama), sehingga hal ini menyebabkan derajat manusia lebih tinggi ketimbang binatang dan bahkan dibanding Malaikat. Ar-Rûh juga mengandung pengertian sebagai Hakikat (kenyataan), atau as-Sirr (rahasia) pada seorang individu (p. 345). Beberapa pandangan filsuf tentang ruh dikutip Bagus (2000). Menurut para filsuf kuno, ruh dianggap sebagai kegiatan pemikiran abstrak dan prinsip adirasional yang ditangkap secara langsung dan intuitif. Aristoteles mengidentifikasi pemikiran tentang pemikiran sebagai kegiatan ruh tertinggi, namun menurut agama ruh tertinggi adalah Tuhan atau Ada Adikodrati yang hanya mampu dikenali melalui iman. Sementara menurut Hartman, ruh adalah dimensi eksistensi manusia yang mampu berhubungan dengan suatu realitas ideal dan berurusan dengan nilai-nilai (p. 958-59). Spiritualitas punya padanan istilah Arab rûhiyyah atau rûhâniyyah dan telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ruhaniah atau rohaniah. Keduanya berasal dari kata dasar rûh (jamaknya: arwâh) yang berarti mentalitas, perilaku mental (mental attitude), atau kerangka berpikir (frame of mind) (Cowan, 1971, p. 365). Selain rûhâniyyah, Nasr (2002) menyebut istilah padanan lain yang berasal dari bahasa Persia, yakni ma’nawiyyah (p.xxi). Dalam The Penguin Dictionary of Religions, Hinnells (1995) menyatakan spiritualitas tidak punya definisi baku karena pengertiannya berbeda-beda pada setiap konteks. Namun, berdasarkan berbagai pengertian etimologis, Hendrawan menyimpulkan istilah ini terkait tiga hal: (1) menghidupkan, tanpa spiritualitas organisme mati secara jasadiah atau kejiwaan; (2)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
54
memiliki status suci (sacred) dan lebih tinggi daripada yang materiil (profane); dan (3) terkait dengan Tuhan sebagai causa prima kehidupan (p. 18). Menurut Hinnels (1995), terdapat tiga tingkatan yang berbeda namun saling berkaitan tentang pemahaman kontemporer spiritualitas: (1) spiritualitas sebagai pengalaman atau praksis. Dalam konteks keagamaan hal ini dapat dilihat sebagai kearifan iman yang dijalani atau dialami; (2) spiritualitas sebagai ajaran yang menumbuhkan praksis dan kemudian menuntunnya; dan (3) kajian sistematis, komparatif, dan kritis tentang pengalaman dan ajaran spiritual yang berkembang saat ini dengan cara yang baru (p. 495). Apabila mengacu ke tingkatan pertama, yakni dalam artian sebagai praksis yang dijumpai sepanjang sejarah manusia, bukan sebagai satu konsep atau gagasan, spiritualitas selalu hadir di hati sanubari manusia untuk menemukan totalitas, kedamaian, kebahagiaan, dan kesenangan. Di samping tidak ada definisi baku, spiritualitas juga punya banyak ragam ekspresi atau ungkapan. Ragam ekspresi tersebut bisa bersifat keagamaan maupun non-keagamaan (Hugen, 2001) dan berbeda dari budaya ke budaya, dari agama ke agama, dan dari waktu ke waktu. Di setiap tradisi keagamaan, misalnya, akan dijumpai banyak aliran ataupun madzhab yang berbeda tentang spiritualitas, bahkan di dalam satu agama sekalipun (Hinnels, 1995, p. 495). Hinnels (1995) mengklaim istilah spiritualitas berakar dari tradisi Kristiani yang tercermin dalam pandangan teologi dan praktik keagamaan yang panjang. Banyak agama lain tidak memiliki istilah persis untuk spiritualitas. Nasr (2002) yang mengedit ensiklopedi tentang spiritualitas Islam juga mengakui bahwa istilah ini punya konotasi Kristen sangat kuat, namun tetap ada padanannya dalam tradisi Islam. Meskipun begitu, menurut Hinnels, dalam konteks global saat ini istilah tersebut menjadi universal yang mengacu ke upaya “pencarian tujuan dan makna.” Pengertian ini digunakan untuk konteks dalam agama, di luar agama, antar-agama, dan bahkan sekular (p. 494-5). Pencarian tersebut berorientasi ke dalam yang sering dilawankan dengan aspek material, fisikal, atau eksternal. Nasr (2002) menyimpulkan bahwa dalam konteks Islam padanan istilah spiritualitas tersebut mengandung sejumlah pengertian. Pertama, terkait padanan istilah rûhâniyyah, spiritualitas merujuk ke sesuatu yang berhubungan dengan “dunia ruh, dekat dengan Ilahi, mengandung kebatinan dan interioritas, dan disamakan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
55
dengan hakiki...” yang bersifat abadi (p.xxii). Pengertian lain mengacu ke datangnya barakah (berkah) atau anugerah ke alam raya dan kehidupan manusia sebagai akibat dari pengabdian manusia kepada Tuhan. Istilah tersebut juga berkaitan dengan kesempurnaan moral dan keindahan jiwa; dan perasaan akan “kehadiran” dan kedekatan dengan Tuhan dan dunia ruh. Sementara apabila mengacu ke padanan ma’nawiyyah yang arti harfiahnya makna, spiritualitas berhubungan dengan sesuatu yang bersifat batin (dimensi esoteris), “yang hakiki”, dan ruh (p. xxii-iii). Dalam konteks masyarakat Indonesia, bagi Romo Mudji makna spiritualitas atau kerohanian seperti itu direpresentasikan dengan istilah religiositas (atau keberagamaan). Menurutnya, istilah ini merujuk ke pengertian kesadaran nurani manusia akan nilai dan tujuan hidup yang prosesnya tergantung pada hubungan manusia dengan Yang Ilahi. Bahasa agama dari religiositas ini adalah keimanan. Selain itu, istilah ini merupakan sesuatu yang bersifat “inti” atau “batin”, sebagai lawan dari sesuatu yang “luar”, karena menyangkut perasaan manusia yang bersifat “misterius dan mistikus” (Sutrisno, 2012, p. 105-6). Makna asal dari kata Inggris “spiritual” itu sendiri merupakan lawan dari sifat kehidupan gereja, yaitu kehidupan duniawi atau kebendaan/materialistik (Hinnels, 1995; Nelson, 2009). Kata Hinnels (1995), spiritualitas adalah upaya menumbuhkan sensitivitas kepada diri-sendiri, orang lain, makhluk non-manusia, dan kepada Tuhan. Spiritualitas juga berarti eksplorasi atau pencarian tentang segala sesuatu yang diperlukan untuk menjadi manusia seutuhnya (p. 495). Dengan kata lain, seperti disampaikan Nelson (2009), spiritualitas merupakan istilah yang umum digunakan untuk menjelaskan upaya manusia mencari sesuatu yang transenden (p. 8). Istilah lain terkait kata spirit adalah spiritisme dan spiritualisme. Spiritisme, menurut Mudhofir (1996), adalah semacam kepercayaan kepada roh-roh yang berkoeksistensi dengan alam manusia. Manusia dapat berhubungan atau berkomunikasi dengan roh-roh melalui cara khusus untuk memanfaatkan kekuatannya. Perbuatan atau respons yang dilakukan roh disebut kerasukan (spiriting). Kepercayaan atau pemujaan terhadap roh-roh disebut polidaimonisme (p. 239-40). Sedangkan spiritualisme mengandung beberapa pemahaman di antaranya yaitu: (1) roh atau spirit (pneuma, Nous, Reason, Logos) merupakan lawan dari materialisme, yaitu realitas terdalam dan berada dalam alam semesta yang menjadi
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
56
dasar dan penjelasan rasional; dan (2) kepercayaan terhadap roh-roh orang yang sudah meninggal, namun melalui perantara masih dapat berhubungan dengan orang masih hidup dengan bentuk penjelmaan tertentu (p. 240). Pengertian kedua ini, menurut Nelson (2009)p, pernah dipakai pada masa abad ke-19, yakni mengacu ke upaya untuk berhubungan dengan roh-roh atau fenomena psikis lain. Menurutnya, istilah spiritualitas juga masih belum umum digunakan pada masa itu (p. 8). Dua abad sebelumnya, abad ke-17, istilah ini digunakan pertama kali, namun dengan konotasi negatif yakni jika melalui pengalaman religius, semacam praktik mistisisme (Kristiyanto, 2005, p. 2). Dari uraian di atas dapat diringkas bahwa spiritualitas berasal dari kata benda spirit, yang pengertiannya sepadan dengan istilah Arab ruh/roh (bahasa Indonesia: ruhani/rohani), dan punya kata sifat spiritual. Spirit atau ruh berarti nafas yang vital bagi kehidupan. Spirit juga sering dipadankan dengan istilah Yunani psyche atau jiwa sebagai sisi imaterial manusia, sebagai sumber kesadaran, kehendak, dan fungsi kehidupan manusia. Jiwa di sini, dengan mengacu ruh sebagai sebuah istilah Arab, khusus terkait dengan aspek jiwa non-individual atau intelek (kecerdasan). Sehingga ruh yang dimaksud berlawanan dengan jiwa (psyche) yang dalam bahasa Arabnya setara dengan an-nafs. Ruh berkedudukan lebih tinggi ketimbang nafs, karena ruh adalah Hakikat dan senantiasa bersama dengan Being atau al-Wujûd. Spiritualitas menurut praktisi sebagai kerangka perspektif untuk penelitian ini diperoleh dari ringkasan uraian sebelum ini. Kata spiritual berkaitan dengan sesuatu yang bersifat imaterial yang merujuk ke kemampuan mental, intelektual, dan nilainilai kemanusiaan seperti cinta, belas kasih, estetika, kejujuran, kebenaran, dan rasa keagamaan. Spiritual juga bisa mengacu ke sesuatu yang suci atau sakral dan fenomena supranatural. Sementara itu, spiritualitas atau ruhaniah/rohaniah terkait dengan Tuhan sebagai causa prima, sehingga bersifat sakral. Ia berlawanan dengan aspek material, fisik atau eksternal yang bersifat profan. Pengertian umumnya adalah ikhtiar pencarian tujuan dan makna hidup manusia dan berkaitan dengan transendensi atau ilahiah yang melampaui kehidupan dunia. Spiritualitas memiliki ragam ekspresi atau ungkapan baik bersifat keagamaan ataupun non-keagamaan yang berbeda-beda tergantung konteks budaya, agama, dan zaman.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
57
2.5.2. Agama Agama terjemahan dari religion (Inggris) atau religie (Belanda) yang berasal dari Latin, religio. Kata ini berasal dari kata kerja Latin religare, artinya mengikat dengan kencang, atau kata kerja relegere, artinya membaca kembali atau membaca berulang-ulang dan penuh perhatian (Bagus, 2000, p. 12). Dalam bahasa Arab, istilah agama sering disepadankan dengan kata dîn. Menurut Glassè (1999), kata ini umum digunakan untuk mengacu ke pengertian agama dan amalan-amalannya. Kata lain dalam bahasa Arab yang berkaitan dengan istilah agama adalah Millah (artinya: sebuah jalan), yang digunakan untuk menyebut agama tertentu (p. 74). Menurut Bagus (2000), agama mengatur urusan hubungan antara manusia, dunia, dan Tuhan. Terkait dengan pengetahuan, agama membutuhkan ekspresi atau ungkapan, entah dengan kata-kata, perilaku, atau simbol-simbol tertentu karena agama ada untuk manusia yang terdiri atas tubuh dan perasaan. Seandainya agama bersifat murni internal atau spiritual, maka tidak akan bertahan lama karena berlawanan dengan kodrat manusia. Begitu pula kaitannya dengan kehidupan sosial, kodrat manusia punya kecenderungan hidup bermasyarakat, maka agama tidak bisa menjadi urusan pribadi atau individu semata. Namun, agama menjadi urusan komunitas dan dengan begitu, agama sepatutnya ditopang oleh komunitas. Dari sini, agama mengindikasikan suatu institusi atau lembaga yang di dalamnya terdapat sekumpulan orang yang secara teratur melaksanakan suatu ibadah. Individu-individu dalam kelompok ini juga menerima seperangkat ajaran yang menuntun mereka berhubungan atau berkomunikasi dengan sesuatu yang dipandang sebagai hakikat terdalam atau kenyataan tertinggi (p. 13-4). Nelson (2009) menjelaskan bahwa sebelumnya pengertian agama mengacu ke segala aspek dari hubungan manusia dengan sesuatu yang bersifat ilahiah atau transenden. Transenden, menurut Meissner seperti dikutip Nelson (2009), berarti sesuatu yang lebih besar ketimbang makhluk manapun yang menjadi “asal-mula dan tujuan dari segenap hidup dan nilai manusia” (p. 3). Namun, saat ini agama lebih dipahami sebagai sebuah jalan hidup yang tidak saja berkutat pada sesuatu yang transenden, tetapi juga yang imanen atau yang kekal dalam kehidupan ragawi atau pengalaman keseharian. Terkait dengan transendensi dan imanensi ini, Nelson (2009) menyinggung perbedaan tradisi agama-agama besar di dunia bahwa Islam lebih
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
58
menekankan transendensi, sebaliknya agama-agama Timur lebih ke imanensi. Di tengah-tengah ada Kristen yang secara imbang menekankan keduanya (p. 3-4). Dari berbagai batasan pengertian agama di atas dapat disimpulkan agama ada untuk manusia. Agama mengatur hubungan/komunikasi antar manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Karena manusia adalah makhluk sosial yang punya kecenderungan hidup bermasyarakat, agama tidak hanya menjadi urusan pribadi, tapi juga urusan bersama komunitas. Agama akan terus lestari kalau ditopang komunitas. Komunitas beserta sekumpulan individu mendukung keberlangsungan agama dengan menerima ajaran dan menjalankan ibadah melalui tradisi, sehinga agama menjadi terlembaga. Di dalamnya juga terakumulasi berbagai ekspresi/ungkapan dari keyakinan atau keimanan melalui kata-kata, perilaku, dan simbol-simbol yang berupa teks kitab suci, aktivitas ritual atau upacara, mistisisme, kepercayaan, teologi, bangunan, pakaian, perlengkapan, dan lain-lain. Sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu sosial juga tidak lepas dari pengertian agama di atas. Dalam perspektif teori sistem sosial (social systems), Dale et al. (2006), misalnya, menganggap agama sebagai “organisasi sosial yang terlembaga yang berfungsi sebagai kohesi sosial dengan cara penyebaran nilai dan keyakinan yang dipegang oleh pemeluknya...” (p. 51). Tisdell (dalam Swartz & Tisdell, 2008, p. 29) juga mendefinisikan agama sebagai “suatu komunitas keimanan terlembaga yang memiliki doktrin dan tuntunan tingkah laku yang tertulis.” Kajian sosiologis tentang agama lebih menekankan fungsi sosial atau, sebaliknya, disfungsi sosial dari agama. Mengutip Loewenberg (1988), Hugen (2001) menjelaskan fungsi dan disfungsi agama dalam tradisi pemikiran Durkheim dan Weber. Menurut Loewenberg, agama punya fungsi (Hugen, 2001, p. 11): 1. integratif melalui penanaman norma dan nilai; 2. kontrol sosial dengan menerapkan tatanan, disiplin, dan otoritas; 3. dukungan emosional dari penganut lain ketika dibutuhkan; 4. pembentukan identitas; 5. sebagai sumber kesehatan fisik dan mental yang positif; dan 6. membuat keluarga, perkawinan, dan komunitas lebih bahagia atau stabil. Sebaliknya, Loewenberg juga merinci disfungsi sosial agama sebagai berikut (Hugen, 2001, p.11-2):
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
59
1. menyuburkan fanatisisme, intoleransi,dan prasangka; 2. dalam masyarakat plural, agama bisa memecah-belah dan mengontraskan masyarakat menjadi kelompok yang beriman dan yang tidak beriman; dan 3. agama lebih berpihak pada kemapanan, langsung atau tidak langsung, dengan mengalihkan perhatian dari ketimpangan sosial. Begitu juga dalam tradisi pemberian pertolongan profesional, pengertian agama masih mencerminkan pengertian asal dan epistemologis. Contohnya, KirstAshman dan Hull, Jr. (2006) mendefinisikan agama sebagai “keyakinan spiritual seseorang tentang asal-usul, sifat, dan alasan keberadaannya di dunia, yang biasanya bersandar pada eksistensi Zat (-zat) yang lebih kuasa” (p. 376). Keyakinan tersebut biasanya berupa ritual dan ajaran atau tuntunan moral atau kebenaran. Sedangkan, Sheridan (2009) mendefinisikan agama sebagai “seperangkat keyakinan, praktik, dan tradisi yang dialami di dalam suatu lembaga sosial yang spesifik yang terusmenerus” (p. 278).
2.5.3. Persamaan dan Perbedaan Spiritualitas dan Agama Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dikatakan kedua aspek itu memiliki kesamaan maupun perbedaan dengan spiritualitas. Keduanya punya dimensi saling beririsan (overlapping). Sampai tahap tertentu, spiritualitas terkandung dalam ajaranajaran agama yang terlembaga (organized religion) semacam Islam, Kristen, Budha, Hindu, atau Konghucu. Artinya penganut agama tertentu dapat mengamalkan dimensi-dimensi spiritual berdasarkan keyakinan agama atau bersumber dari penafisran kitab suci agama yang bersangkutan. Bagi yang aktif dalam tradisi keagamaan, spiritualitas dan agama berkaitan, kata Tisdell (dalam Swartz & Tisdell, 2008). Bahkan melalui pengalaman keagamaan dan praktik mistisisme, spiritualitas dianggap sebagai pusat dan inti terdalam dari agama (Hinnels, 1995, p. 495). Namun, orang bisa dikatakan sangat spiritual tanpa memeluk atau meyakini agama tertentu. Fenomena semacam ini banyak terjadi di masyarakat Barat. Menurut Hidayat (2013), mereka enggan memeluk agama tertentu, namun gandrung terhadap spiritualitas terkait cinta-kasih, kedamaian, dan kebaikan antar sesama. Sebaliknya, tidak sedikit yang mengaku beragama yang hanya mengamalkan tradisi-tradisi ekstrinsik tetapi kering akan spiritualitas. Pada wilayah ini, agama dan spiritualitas
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
60
menunjukkan perbedaan. Perbedaan lainnya adalah bahwa dibanding agama, aspek spiritual lebih luas tapi kurang terlembaga. Tentang hal itu, Nelson (2009) mengupas kaitan antara spiritualitas dan agama dalam bukunya, Psychology, Religion, and Spirituality sebagai berikut. Para ahli memiliki perbedaan pendapat mengenai keterkaitan spiritualitas dan agama. Sebagian memandang bahwa spiritualitas dan agama berbeda dari sisi konsep. Untuk masyarakat Barat yang individualistis, spiritualitas mungkin saja dapat dipisahkan karena mereka cenderung mengamalkannya melalui pengalaman pribadi ketimbang bersama-sama secara berjamaah dalam suatu komunitas keagamaan. Sejumlah penelitian di Barat menunjukkan spiritualitas dan agama tumbuh tidak sejalan seiring bertambahnya usia. Semakin bertambah usia seseorang, tingkat keberagamaan mereka cenderung stabil, sementara kadar spiritualitas semakin meningkat, khususnya usia 60 tahun ke atas. Menurut Nelson, meskipun mungkin bagi seseorang menjadi spiritual tanpa harus religius atau tidak di dalam keanggotaan formal kelompok agama tertentu, pemisahan murni keduanya sangatlah sulit. Bahkan beberapa ahli mengatakan dalam praktiknya tidak mungkin memisahkan spiritualitas dari agama, karena keduanya membutuhkan satu sama lain. Dengan begitu, Nelson (2009) mengutip Emmons (1999) yang berpendapat kajian spiritualitas terhadap mereka yang berada di luar kelompok keagamaan akan menemui kesulitan (p. 11). Lebih lanjut Nelson (2009, p. 11) menjelaskan tiga bentuk hubungan antara spiritualitas dan agama yang memandang bahwa keduanya berbeda tetapi punya keterkaitan. Pertama, agama dipandang sebagai konsep yang lebih luas dari pada spiritualitas dan spiritualitas termasuk ke dalam agama, karena agama didefinisikan oleh Pargament (1999), seperti juga dikutip Nelson (2009), sebagai “pencarian akan arti penting dari hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral” (a search for significance in ways related to the sacred). Kedua, kebalikan dari bentuk pertama, yang ditawarkan oleh Stifoss-Hanssen, bahwa spiritualitas punya cakupan lebih luas dari agama. Alasannya adalah bahwa kualitas dari kesakralan yang ditekankan dalam agama tidak mungkin dialami oleh penganut ateis atau agnostik. Ketiga, agama dipandang berkaitan dengan sesuatu yang sakral, akan tetapi kesakralan atau
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
61
spiritualitas juga bisa didekati dengan cara-cara lain di luar agama. Perspektif ini menegaskan bahwa spiritualitas dan agama memang berbeda tetapi beririsan. Banyak yang berpendapat bahwa agama merupakan bagian dari spiritualitas karena cakupannya yang sangat luas. Sejumlah ahli dalam pekerjaan sosial pun kebanyakan memandang seperti itu. Contohnya Canda dan Furman (2010) memasukkan agama dalam spiritualitas. Meskipun begitu, dalam hal ini harus diingat bahwa keduanya berpendapat seperti itu dalam konteks membicarakan batasan agama dan spiritualitas dari sisi positif, yakni keberagamaan yang sehat (healthy religiousness) dan spiritualitas yang sehat (healthy spirituality). Keberagamaan yang sehat merupakan ekspresi spiritualitas yang sehat pula. Karena healthy religiousness, seorang penganut mungkin merasa bersalah atau malu atas perbuatannya, tapi dengan perasaan bersalah yang tepat dan malu pada tempatnya. Contoh lain, healthy religiousness dapat menjadi sumber pemecahan masalah dan mendorong tumbuh-kembang karena kepedulian dan dukungan komunitas agama. Bukan agama yang menyebabkan penganutnya merasa sangat bersalah atau berdosa, rendah diri, delusi atau halusinasi, atau mendorong terjadinya penindasan dan kekerasan terhadap kaum lemah (Canda & Furman, 2010, p. 77). Sama halnya dengan agama, spiritualitas juga dapat diekspresikan dengan cara yang tidak sehat, seperti keyakinan dan sikap yang membahayakan diri-sendiri dan orang lain. Sebaliknya, spiritualitas yang sehat dapat menjadikan hidup seseorang begitu bermakna, punya tujuan hidup yang mulia, berintegritas tinggi dan penuh tanggung jawab, atau membuat hidup ini berkah, bahagia, dan sentosa (p. 75-6). Gotterer (2001, p. 189) juga menyinggung spiritualitas dan agama yang dapat berperan secara negatif maupun positif dalam praktik pemberian pertolongan, khususnya penanganan kesehatan mental. Dikatakan negatif karena keduanya bisa menjadi sumber masalah yang menyebabkan konflik dan bahkan menjadi penghalang bagi proses penyembuhan itu sendiri. Kata Joseph, seperti dikutip Gotterer, agama punya “sisi buruk” menghambat perubahan, menutup diri dari eksplorasi intelektual, menyebabkan perasaan bersalah atau malu yang kurang perlu pada orang yang berbuat salah, dan hanya berupa ritual-ritual mekanis tanpa makna. Sebaliknya, spiritualitas dan keagamaan seseorang berperan positif karena justru menjadi sumber kekuatan utama yang dapat mendatangkan inspirasi dan kenyamanan, meredam
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
62
emosi, atau memberikan bimbingan. Agama menjadi kekuatan bagi klien karena dapat “menumbuhkan tanggung jawab pribadi, identitas, hormat terhadap kode etik, ritual penuh makna, dan pembentukan komunitas” (p. 188).
2.6. Spiritualitas dalam Pekerjaan Sosial Sub-bab spiritualitas dan agama ini menguraikan definisi dan komponen spiritualitas, dimensi spiritual dalam kesehatan mental lansia, asesmen dan intervensi spiritual, dan perspektif spiritual yang banyak dipakai dalam pekerjaan sosial.
2.6.1. Definisi dan Komponen Spiritualitas Dalam konteks Indonesia, spiritualitas banyak diekspresikan dalam ajaran dan tradisi keagamaan yang diamalkan secara pribadi maupun berjama’ah bersama komunitas. Penggunaan istilah spiritualitas juga seringkali disilihgantikan dengan agama atau keberagamaan (religiousity/religiousness). Seperti telah dibahas di awal, penjelasan arti religius dalam regulasi pelayanan sosial lansia sebenarnya merujuk ke makna spiritualitas. Senada dengan hal ini, Romo Mudji tampaknya lebih suka menggunakan istilah “religiositas” (keberagamaan) untuk konteks masyarakat Indonesia ketimbang spiritualitas atau kerohanian (Sutrisno, 2012). Meskipun begitu, hal itu bukan tanpa alasan karena, seperti penjelasan Pargament (2007, p. 30), istilah “religiousness” (yang diterjemahkan keberagamaan) dahulu punya arti yang kurang-lebih sama dengan apa yang dimaksud sebagai spiritualitas masa kini. Pargament beralasan bahwa dalam mendefinisikan spiritualitas banyak psikolog saat ini lebih suka memakai pengertian klasik agama dari William James, seorang pragmatis dan psikolog Amerika. Oleh James (1958) agama didefinisikan sebagai “perasaan, tindakan, dan pengalaman individu dalam kesendirian mereka, sejauh mereka memandang diri-sendiri dalam kaitannya dengan apa yang mereka anggap sebagai yang ilahiyah” (p. 42). Pembahasan spiritualitas dalam praktik profesi pelayanan sosial (human service practitioners), khususnya pekerja sosial, tidak bisa lepas dari agama. Oleh karena itu, penjelasan tentang definisi dan komponen spiritualitas nanti seringkali menyinggung agama untuk melihat perbedaan atau kesamaannya. Di akhir bagian dijelaskan perspektif spiritualitas menurut siapa yang akan menjadi semacam
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
63
kerangka teori untuk mengarahkan bagaimana mencari dan meneropong data yang muncul di lapangan. Dalam profesi pekerjaan sosial, konsep tentang spiritualitas diartikan secara beragam dari waktu ke waktu. Menurut Hugen (2001), penulis buku pekerjaan sosial yang mencoba mendefinisikan spiritualitas dan agama pertama kali adalah Sue Spencer tahun 1961. Spencer mengartikan spiritualitas sebagai “segala aspek rasa, aspirasi, dan kebutuhan individu yang berkaitan dengan upaya manusia mencari tujuan dan makna dalam pengalaman hidup, dan bisa terjadi meski seseorang tidak harus berada dalam institusi gereja yang terlembaga atau menggunakan seperangkat keyakinan dan praktik resmi” (Hugen, 2001, p.9; Canda & Furman, 2010, p.65). Sementara agama dimengerti sebagai “seperangkat keyakinan atau praktik atau sekelompok orang yang meyakini doktrin-doktrin tertentu tentang alam semesta dan tentang manusia dalam kaitannya dengan alam semesta (Hugen 2001, p. 9-10). Berbeda dengan Hugen, Canda dan Furman (2010) berpendapat upaya paling awal memahami spiritualitas dilakukan oleh sarjana pekerjaan sosial Kristen. Seperti dikatakan Charlotte Towle (1965), dalam Canda dan Furman (2010), tahun 1945 telah muncul pemahaman menyeluruh terhadap individu, yakni harus melingkupi aspek-aspek material, psikologis, sosial, dan spiritual. Spiritual di sini mencakup sumber (resource) berbasis gereja; pemahaman makna dan tujuan hidup; dan nilai dan rasa tanggung jawab sosial. Setelah itu, baru Spencer yang menulis tahun 1956 dengan meyakini bahwa pendekatan non-sektarian untuk pekerjaan sosial dapat diambil dari Kristenitas terkait nilai-nilai kebebasan, cinta, dan pelayanan. Tahun 1961, Spencer memunculkan definisi spiritualitas seperti telah disebutkan (p.65). Pada dekade 1970-1980-an, menurut Canda dan Furman (2010), sejumlah ahli tetap menekankan pentingnya spiritualitas, meskipun penelitian dan pendidikan agak mengabaikan aspek spiritualitas dan agama. Pemahaman spiritualitas pada dekade ini lebih inklusif dengan diperkaya perspektif eksistensialis, humanis, Buddha Zen, dan shamanistik, di samping perspektif Kristen dan Yahudi yang telah dominan. Tahun 1985, Max Sipron memberi batasan spiritualitas dalam bukunya sebagai “aspek moral seseorang, disebut jiwa (soul), yang berupaya mencapai keterkaitan (relatedness) dengan sesama dan kekuatan supernatural, mencari pengetahuan tentang realitas tertinggi, dan membentuk kerangka nilai.” Siporin telah menekankan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
64
ekspresi spiritualitas dapat dijumpai di dalam maupun di luar institusi agama. Tahun 1990, Siporin merevisi batasan tersebut bahwa spiritualitas tidak melulu hanya terkait tentang Tuhan atau jiwa, karena ide-ide ini tidak selalu dijumpai dalam semua perspektif spiritual (Canda dan Furman, 2010, p.65). Joseph (1987), seperti dikutip Canda dan Furman (2010, p. 65), turut mendefinisikan spiritualitas sebagai “dimensi kesadaran yang mendasari upaya penemuan makna, kebersatuan dengan semesta, dan dengan segala sesuatu; dimensi ini diperluas ke pengalaman tentang sesuatu yang transenden atau kekuatan yang melampaui kita.” Tahun 1986, Canda selesai mengkaji ragam konsep spiritualitas dalam pekerjaan sosial berdasarkan hasil penelitian dan publikasi di Amerika Serikat. Dalam disertasinya, Canda (1986) menyebutkan sejumlah penulis yang berkontribusi menghasilkan konsep tentang spiritualitas seperti Coughlin (1970), Brower (1984), Hammond (1986), dan Siporin (1980, 1985). Hasil konseptualisasi Canda tentang kepercayaan, nilai, dan praktik sejumlah informan terkait spiritualitas dituangkan dalam artikel yang dikutip Canda dan Furman (2010, p. 66): ... spiritualitas sebagai gestalt dari proses menyeluruh tentang kehidupan dan perkembangan manusia yang mencakup aspek biologis, mental, sosial, dan spiritual. Spiritualitas tidak bisa direduksi menjadi komponen-komponen, namun merupakan keseluruhan sehingga disebut sebagai manusia. ... Spiritual berkaitan dengan pencarian seseorang akan makna dan hubungan penuh secara moral antara diri-sendiri, sesama, alam semesta, dan dasar ontologis eksistensi, entah dipahami secara theistik, atheistik, atau kombinasi keduanya. Berikutnya adalah Carroll (1988), seperti dikutip Canda dan Furman (2010), yang menyimpulkan tiga gambaran umum tentang spiritualitas berdasarkan kajiannya terhadap berbagai definisi dalam literatur pekerjaan sosial (p.66): 1. Kualitas manusia yang esensial/holistik sebagai kesatuan yang tak terbagi; 2. Suatu aspek dalam individu terkait perkembangan makna dan moralitas dan hubungan dengan yang ilahi atau realitas tertinggi; dan 3. Pengalaman transpersonal, dimana kesadaran melampaui ego dan batas fisik, seperti halnya pengalaman mistik.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
65
Hasil kajian literatur Carroll juga menunjukkan adanya upaya pembedaaan spiritualitas dari agama. Menurutnya, “spiritualitas merujuk ke sifat dasar seseorang dan proses pencarian makna dan tujuan sementara agama mencakup seperangkat keyakinan yang tertata/terlembaga dan fungsi sosial sebagai cara ekspresi dan pengalaman spiritual” (Stewart & Nash, 2002, p. 15). Ronald Bullis (1996), seperti dikutip Hugen (2001, p. 12-3) mendefinisikan spiritualitas sebagai “kondisi kesadaran yang terfokus dan teralihkan secara ilahiah”. Definisi ini dianggap Hugen terlalu luas sehingga akan sulit membedakan mana orang yang religius dan mana yang sekular. Hugen (2001) sendiri dalam bukunya mendefinisikan seseorang dikatakan religius apabila “ia menganut atau mengidentifikasikan dirinya dalam satu kelompok religius; menerima dan berkomitmen dalam keyakinan, nilai, dan doktrin kelompok; dan berpartisipasi dalam amalan, seremoni, dan ritual rutin kelompoknya” (p. 13). Dari uraian di atas tampak bahwa pemahaman sejumlah ahli bidang pekerjaan sosial tentang spiritualitas dipahami seputar pencarian makna, tujuan hidup, hubungan dan transendensi. Sebagian (seperti Spencer, Siporin, dan Canda) juga memandang bahwa spiritualitas bisa diekspresikan baik dalam tradisi keagamaan maupun non-keagamaan. Pemahaman umum seperti itu juga masih ditunjukkan sejumlah ahli atau penulis bidang pekerjaan sosial setelahnya. Sebagai gambaran, sejumlah pakar mendefinisikan spiritualitas seputar tema-tema yang disebutkan tadi. Tema atau komponen yang paling banyak muncul dalam definisi spiritualitas adalah pencarian, makna dan tujuan hidup, hubungan atau keterkaitan, dan sesuatu yang sakral (Sheridan, 2008 & 2009; Canda & Furman, 1999/2010; Miley, 1992 dalam Zastrow, 2004; Hodge, 2001; Reed, 1992 dalam Lydon-Lam, 2012; Swinton & Pattison, 2001dalam Gilbert, 2007; dan Lindsay, 2002 dalam Healy, 2005). Tema lain seperti transendensi, spirit, nilai, dan eksistensi juga muncul terkait spiritualitas, meskipun hanya beberapa ahli yang memasukkannya dalam definisi. Makna, tujuan, dan nilai tersebut, menurut Kirst-Ashman dan Hull, Jr. (2006), terkait dengan sesuatu yang melampaui keterbatasan fisik dan menghubungkan seseorang dengan sesuatu yang lebih besar atau lebih tinggi dari dirinya. Sementara, sakral di atas di antaranya merujuk ke “konsep tentang Tuhan, sesuatu yang ilahiah,
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
66
dan realitas transenden, dan juga aspek-aspek kehidupan lain” (Pargament, 2007, p.32). Ide-ide non-deistik semacam Buddhist Void; "Tuhan yang melampaui Tuhan" (God beyond God)-nya Meister Eckhart dan Paul Tillich; konsep personal Tuhan Yahudi, Kristen, dan Islam; hingga konsep naturalistik masyarakat pedalaman juga dapat menjadi sumber konsep sakralitas (Atchley, 2008, p.12). Selain itu, pandangan bahwa spiritualitas dapat diekspresikan baik dalam konteks keagamaan maupun non-keagamaan juga dipegang Sheridan (2008/2009), Canda (1986), Swinton dan Pattison (2001) dalam Gilbert (2007), dan Canda dan Furman (1999/2010). Sejumlah ahli di luar disiplin pekerjaan sosial yang banyak dirujuk juga berpandangan sama, contohnya seperti Atchley (1997); Koenig, McCullough, dan Larson (2001) dalam Lydon-Lam (2012); Hill dan Pargament (2003) dalam Lavretsky (2010); Pargament (2007); dan Huguelet dan Koenig (2009). Pemahaman umum tentang spiritualitas seperti telah diuraikan di atas juga merupakan sebagian dari hasil review yang dilakukan Canda dan Furman (2010). Menurut keduanya, spiritualitas banyak didefinisikan sebagai “satu aspek individu/person yang bukan-manusia, yang disebut pencarian terhadap pemahaman tentang makna, tujuan, keterhubungan (connectedness), dan moralitas yang secara khusus merujuk ke apa yang dianggap sakral, transenden, dan tertinggi” (p.75). Dari berbagai kajian, Canda dan Furman (2010) pada akhirnya mendefinisikan spiritualitas sebagai “sebuah proses kehidupan dan perkembangan manusia yang: (1) fokus pencarian makna, tujuan, dan moralitas, dan well-being; (2) bagaimanapun juga dapat dipahami, dalam hubungannya dengan diri-sendiri, sesama, makhluk lain, alam semesta, dan realitas tertinggi (misalnya dengan cara animistik, atheistik, nontheistik, polytheistik, theistik, atau cara lain); (3) berorientasi pada prioritas-prioritas yang paling penting; dan (4) memiliki pemahaman tentang transendensi yang dialami secara sangat mendalam, sakral, dan transpersonal” (p. 75). Lebih jauh, Canda dan Furman (2010) menggambarkan spiritualitas manusia yang rumit dan beragam dengan metafora kain tenun. Tenunan spiritualitas manusia tersusun dari ragam aspek yang terpintal bersama pengalaman, nilai, kepercayaan, dan praktik spiritual. Jika spiritualitas manusia adalah kerangka atau strukturnya, rajutan benang dari berbagai corak warna dan tekstur ikut dipintal membentuk kain
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
67
tenun utuh nan indah. Ragam rajutan itu bisa terdiri dari identitas, etnis, ras, kultur, gender, umur, pandangan agama dan spiritual, dan sebagainya (p. 101-2). Dengan kata lain, pengalaman spiritual manusia merupakan bentukan dari berbagai aspek latar belakang manusia. Dapat dikatakan bahwa setiap tempat, kultur, masa, dan kelompok, atau bahkan setiap individu membentuk “isi dari perspektif spiritual yang bersifat keagamaan atau non-keagamaan” (contents of religious or non-religious spiritual perspectives) tertentu pula (Canda dan Furman, 2010, p.103). Menurut mereka, metafora ini berguna bagi pekerja sosial ketika hendak memahami pola kesamaan dan perbedaan di antara pandangan spiritual yang beragam. Agar spiritualitas dapat dibedakan dari agama, Canda dan Furman (2010) memahami agama sebagai “seperangkat nilai, kepercayaan, simbol, perilaku, dan pengalaman yang terlembaga yang meliputi: spiritualitas; komunitas penganut; tradisi yang turun-temurun dari generasi ke generasi; dan fungsi dukungan komunitas (seperti struktur organisasi, bantuan materi, dukungan emosi, atau advokasi politik) yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan spiritualitas (p.76). Dari sejumlah definisi atau deskripsi tentang spiritualitas, Canda dan Furman (2010) tampaknya memberikan gambaran lengkap tentang pemahaman spiritualitas. Senada dengan hal ini, menurut Moss (2002), buku mereka berdua mengeksplorasi isu tersebut secara detail. Definisi spiritualitas oleh Canda dan Furman tersebut juga membawa tantangan bagi para praktisi terkait motivasi dan dorongan mereka terhadap tugas-tugas profesinya. Oleh karena itu, penelitian ini akan menjadikan konsep Canda dan Furman sebagai semacam kerangka teori untuk meneropong dan menganalisis pemahaman spiritualitas praktisi. Sebagai penelitian grounded theory, kerangka teori di sini bukan berarti penelitian ini dipandu teori (theory-driven) atau untuk melakukan verifikasi terhadap suatu teori secara deduktif. Akan tetapi, konsepkonsep yang diutarakan di sini, seperti dikatakan Charmaz (2004), diharapkan dapat “membuat peneliti menjadi peka (to sensitize) terhadap berbagai isu dan proses tertentu yang muncul dari data” (p. 501). Canda dan Furman (2010) membuat satu model holistik tentang spiritualitas yang memandang manusia sebagai satu-kesatuan menyeluruh yang tidak dapat direduksi jadi bagian-bagian. Seperti dalam Gambar 2.3, model ini menggunakan tiga metafora: (1) spiritualitas sebagai satu aspek manusia; (2) spiritualitas sebagai
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
68
keseluruhan (wholeness); dan (3) spiritualitas sebagai pusat dari individu (p.87). Metafora pertama memandang spiritualitas sebagai satu dari empat aspek, sementara tiga yang lain berupa aspek biologis, psikologis, dan sosial. Spiritualitas berperan sangat penting karena aspek inilah yang mampu mengarahkan manusia menemukan makna, tujuan, keterkaitan (connectedness), dan transendensi (p.87).
Gambar 2.3. Model holistik spiritualitas Sumber: Canda & Furman (2010, p. 87)
Metafora kedua memandang spiritualitas sebagai kualitas keberadaan manusia yang tidak dapat dipecah menjadi bagian-bagian tapi justru menyatukan semua aspek, seperti disebut metafora pertama, sebagai satu-kesatuan holistik (wholeness). Wholeness di sini, menurut Canda dan Furman (2010, p.88), terkadang dikaitkan dengan sesuatu yang sakral dan yang melampaui batas ego dan fisik manusia (transenden). Sementara itu, metafora ketiga menempatkan spiritualitas sebagai pusat dari individu (person), yang dapat dipahami sebagai jiwa (soul) atau kesadaran manusia. Pusat ini berperan sebagai penghubung (koneksi) antara dan pusat orientasi bagi segala aspek manusia. Dengan demikian, spiritualitas dapat menuntun seseorang menyelam ke dalam dirinya (orientasi ke dalam) untuk berintrospeksi yang dapat dilakukan melalui sembahyang, berdoa, meditasi, yoga, teknik pernafasan, dan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
69
sebagainya (Canda dan Furman, 2010, p.89). Meski begitu, menurut Sheridan (2008), sembahyang atau berdoa masih menjadi isu paling kontroversial di Barat ketika hendak digunakan dalam intervensi pekerjaan sosial berbasis spiritual. Terkait dengan ketiga metafora tersebut, Gambar 2.4 pada halaman berikut menunjukkan model operasional tentang spiritualitas yang dibuat Canda dan Furman (2010) yang akan digunakan sebagai panduan untuk meneropong dan menganalisis pemahaman dan ekspresi spiritualitas praktisi. Dalam gambar tampak spiritualitas dibahas baik sebagai satu-kesatuan utuh maupun sebagai satu dari aspek-aspek lain. Kemudian, operasionalisasi spiritualitas dirinci dari sisi dorongan, pengalaman, fungsi, proses perkembangan, komponen, dan ekspresi religius.
2.6.2. Dimensi Spiritual dan Kesehatan Mental Lansia Konsep spiritualitas Canda dan Furman (2010) seperti telah dijelaskan di atas digunakan sebagai perspektif untuk meneropong pemahaman dan praktik spiritualitas para praktisi. Namun, untuk melihat pemahaman atau pengalaman spiritualitas lansia dalam penelitian ini akan menggunakan konsep Elizabeth MacKinlay dan Albert Jewell. Alasannya, penelitian dan tulisan keduanya secara khusus mengkaji spiritualitas lansia. Konsep dan model mereka sangat relevan dan banyak dirujuk penulis pekerjaan sosial, contohnya Mathews (2009). Adapun wilayah kesehatan mental yang bersinggungan dengan wilayah lansia juga akan dibahas secara singkat, terutama konsep John Swinton. Model MacKinlay (2004a, b) dikatakan Mathews sebagai model pertama yang mampu menangkap isu-isu spiritual lansia. Modelnya hampir sama dengan teori-teori perkembangan, seperti teori Havighrust dan Erikson, karena berisi tahapan atau tugas hidup (tasks) sekuensial yang mesti dicapai atau diselesaikan setiap orang di tiap tahap (Mathews, 2009, p. 57). Akan tetapi, menurut Mathews, spiritual tasks dalam model MacKinlay bukan merupakan fase atau tugas yang harus ditunaikan sebelum seseorang meninggal. Tugas atau peran tersebut juga tidak mesti berurutan, tetapi saling terkait yang kadang terulang atau direvisi oleh lansia dalam sejumlah kesempatan atau pengalaman hidup (p.58).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Gambar 2.4. Model operasional spiritualitas Sumber: Canda & Furman (2010, p. 82)
70 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Dengan grounded theory, penelitian MacKinlay (2004a) terhadap lansia renta (frail elders) di nursing home berhasil mengidentifikasi enam tema. Tabel 2.4 menunjukkan keenam tema beserta masing-masing gambaran tugas atau peran. Tabel 2.4. Tema-tema spiritual dan tasks of ageing Tema yang teridentifikasi
Tugas individu
Makna tertinggi dalam hidup
Mengidentifikasi sumber makna tertinggi
Respons terhadap makna tertinggi
Menemukan cara tepat untuk merespons
Kepuasan-diri/Kerentanan
Melampaui disabilitas, kehilangan (loss)
Kearifan/Makna final
Mencari makna final
Hubungan/Isolasi
Menemukan kedekatan dengan Tuhan dan/atau dengan yang lain
Harapan/Kecemasan
Menemukan harapan
Sumber: MacKinlay (2004a, p. 223)
Dari tema dan tugas tersebut, MacKinlay (2004b) kemudian membuat satu model spiritual task of ageing seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5. Masing-masing tugas tampak saling berhubungan, namun yang menjadi pusat adalah makna tertinggi (ultimate meaning) dalam hidup dan bagaimana meresponsnya.
Gambar 2.5. Model the spiritual task of ageing Sumber: MacKinlay (2004b, p. 84)
71 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Universitas Indonesia
72
Penjelasan sangat baik tentang spiritual tasks of ageing menurut MacKinlay tersebut dibuat Mathews (2009). Namun, Mathews mengelompokkannya menjadi tiga task, yaitu: (1) menemukan kedekatan (intimacy) dan hubungan (relationships); (2) melampaui kehilangan dan disabilitas; dan (3) menemukan makna final, dimana hidup di-review dan ditimbang-timbang kembali. Mathews (2009) menjelaskan bahwa masalah yang sering dialami lansia adalah kehilangan pasangan dan teman-teman, hidup sendiri, atau (merasa) diasingkan oleh keluarga mereka. Dengan begitu, menemukan kedekatan dan menjaga atau membangun hubungan menjadi task utama dan pertama bagi lansia. Kedekatan atau relasi seperti tampak pada gambar bisa dengan Tuhan dan juga dengan sesama. Relasi atau koneksi dengan sesama tidak saja dengan orang lain, tetapi juga dengan diri-sendiri, makhluk non-manusia, dan alam semesta. Task pertama terkait juga dengan pencarian asa, yang menjadi salah satu unsur penting bagi well-being (mencakup kebahagiaan dan kepuasan hidup). Mathews (2009) menyebutkan sejumlah contoh asa yang umum didambakan setiap orang, termasuk lansia, yaitu: menikmati waktu lebih baik; akan memiliki kesehatan baik; akan bertemu dengan orang-orang tercinta lagi; akan terbebas dari sakit atau kepedihan (p.58). MacKinlay (2004b, p.82) sendiri, seperti juga dikutip Mathews (2009), menyebutkan contoh harapan: hasrat menggebu untuk melihat anak-cucu mereka sukses dalam hidup. Kemudian, Mathews (2009) menjelaskan lawan dari harapan adalah ketakutan dan kecemasan. Contohnya takut mati atau kehilangan orang terdekat, takut kehilangan rumah, takut kehilangan memori tentang seseorang, takut miskin, dan seterusnya (p.58). Task berikutnya adalah upaya menghadapi kehilangan dan disabilitas. Hilangnya independensi dan menjadi bergantung pada orang lain adalah salah satu ketakutan nyata yang dirasakan lansia di Barat. Salah satu tantangan bagi mereka adalah perjuangan melewati (workthrough) atau melampaui (transcend) pengalaman kehilangan, merasa nyaman menjadi lebih tergantung kepada orang lain, sembari tetap mempertahankan individualitas yang membentuk siapa diri mereka (Mathews, 2009, p. 58). Terakhir, menemukan makna final dengan melihat dan menimbang kembali hidup yang telah dijalani. MacKinlay (2004b, p.80), seperti dikutip Mathews juga, mengatakan bahwa masa tua punya kesempatan untuk: “...kembali ke kehidupan Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
73
sebelumnya dan menegaskan, membingkai kembali, untuk melihat siapa diri kita berdasarkan apa yang telah kita lalui dan telah kita jalani dan belajar sepanjang hayat.” Kata Mathews (2009), apabila pengalaman tersebut terasa menyakitkan dan tidak bisa diterima, tentu sulit bagi mereka untuk memahaminya (p.58). Memupuk asa dan tidak berputus asa seperti pada task pertama di atas selaras dengan kemampuan lansia untuk bertahan hidup dalam kondisi sesulit apapun. Kemampuan ini dapat terkait dengan semangat atau daya hidup yang mereka miliki. Sangat tepat apabila Baskin (2007, p.194) mengatakan: “Spiritualitas bukan hanya tentang kematian dan prosesnya–tetapi juga tentang kehidupan dan menjalani hidup” (Spirituality is not only about death and dying–it is about life and living). Dari pernyataan ini dapat dikatakan lansia yang memiliki spiritualitas positif akan berani menghadapi hidup, bukannya menyerah untuk hidup dan pasrah menunggu kematian. Selain itu, mereka juga akan mudah bersyukur atas apa yang terjadi dan dialami. Ini dibuktikan Brennan, Laditka, dan Cohen (2005) yang mengeksplorasi perasaan lansia ketika membuat kartu pos yang diandaikan dikirim ke Tuhan (postcards to God) dan sereligius apakah anggapan tentang diri mereka. Hasilnya, sebagian besar menunjukkan kepuasan dan mampu mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan dan orang lain. Respons ini juga ada pada lansia yang cemas dan frustrasi yang postcard-nya menggambarkan pengharapan akan kebahagiaan dan kasih sayang terhadap sesama (p. 214-5). Lansia yang sangat religius memunculkan tema-tema Tuhan yang Mahakuasa dan Mahatahu. Mereka yang merasa agak religiuspun tetap merasakan berkah hidup dan kasih-sayang kepada Tuhan. Sementara, kelompok yang tidak yakin akan religiusitasnya masih menunjukkan cinta dan perhatian untuk sesama (h. 215-6). Model the spiritual tasks of ageing di atas kemudian dikembangkan lagi oleh MacKinlay (2006) menjadi semacam model yang lebih umum tentang tugas-tugas spiritual dan proses penuaan (generic model of spiritual tasks and process of ageing) seperti tampak pada Gambar 2.6. Model baru tersebut, menurut MacKinlay (2006), harus dipahami sebagai “model dinamis interaktif” dimana makna inti dan tertinggi, yang menjadi pusat model, akan mempengaruhi dan berhubungan timbal-balik bagaimana merespons empat tasks yang lain. Dinamai dinamis interaktif karena model tersebut dipahami sebagai sebuah proses, dimana semua task bukanlah urut-urutan sekuensial dari Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
74
bawah ke atas dan harus dilalui setiap orang. Akan tetapi, hampir sama dengan model psikososial Erikson, orang bisa saja maju-mundur dalam melalui tahap-tahap tersebut. Dengan model ini, MacKinlay memandang bahwa setiap individu selalu berada dalam “proses untuk menjadi” (the process of becoming). Kemudian, model ini tidak saja untuk kelompok lansia, tetapi juga relevan bagi yang lebih muda, khususnya mereka yang menderita penyakit berat dan penyakit mental semacam Down Syndrome (p. 22).
Gambar 2.6. Model generik spiritual tasks and process of ageing Sumber: MacKinlay (2006, p. 23)
Lebih jauh, MacKinlay (2006) membuat kerangka baru yang merinci perawatan spiritual pada setiap spiritual task di atas, seperti tampak pada Tabel 2.5. Khusus untuk perawatan lansia di panti werdha (residential aged care), MacKinlay (2006) juga menawarkan satu model lain terkait spiritual tasks of ageing seperti tampak pada Gambar 2.7. Model ini memfasilitasi kebutuhan utama bagi lansia di panti yang terpisah dari keluarganya, yaitu kebutuhan akan kedekatan (intimacy) dengan yang lain di panti dan juga dengah Tuhannya.
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
75
Tabel 2.5. Perawatan spiritual dan the spiritual tasks of ageing Spiritual tasks of ageing Menemukan makna tertinggi (bagi diri mereka)
Transendensi: Membantu orang untuk bergerak dari self-centredness ke selftranscendence
Strategi spiritual: Respons terhadap makna tertinggi
Spiritual care • • • • • • • • • • • • • • •
• Berada “dengan” klien: Kedekatan hubungan dengan Tuhan dan/atau makhluk lain Penemuan makna: Dari makna hidup sementara ke makna akhir
Asa/harapan
• • • • • •
• • • • • •
•
Memfasilitasi hubungan dengan lansia Memfasilitasi rekonsiliasi sesama anggota keluarga Membantu orang mengatasi perasaan bersalah Memfasilitasi rekonsiliasi dengan Tuhan Mendukung orang terkait perasaan dicintai orang lain/Tuhan Menggapai rasa/kondisi penerimaan diri Menerima dan menghadapi proses penuaan Hidup dengan kondisi penyakit kronis dan disabilitas Menemukan makna seiring bertambah renta Mengatasi kemarahan Mengatasi kesedihan (grief) Berdoa bersama klien Membaca kitab suci dan buku-buku agama Membantu lansia beribadah sesuai keyakinan Membantu klien membangun strategi spiritual menurut kebutuhan individu, termasuk memanfaatkan musik, seni, dan meditasi Merujuk orang yang membutuhkan pengampunan ke gereja atau layanan pastoral Mendengarkan dan hadir dekat klien Berhubungan dengan klien Membangun hubungan rasa saling percaya dengan klien Melayani lansia sepenuh hati Menghargai integritas seseorang Memfasilitasi mengenang masa lalu (reminiscence) dan mereview hidupnya Membantu lansia menemukan makna akhir Membantu orang menemukan makna dalam penderitaan dan kematian Membantu lansia yang sedang ketakutan akan masa depan Melayani orang yang sedang putus asa Menegaskan orang dalam pencarian harapan Mendukung orang yang dalam proses kematian (spiritualitas dalam perawatan paliatif) Mendukung orang akan harapannya di akhirat
Sumber: MacKinlay (2006, p. 36-7)
Menurut Jewell (2004), masa akhir kehidupan memiliki sejumlah kebutuhan yang disebutnya sebagai enam ‘-asi’, yaitu: isolasi, afirmasi, selebrasi, konfirmasi, rekonsiliasi, dan integrasi (p. 21-2). Mathews (2009) mengambil tiga dari kebutuhan lansia menurut Jewell ini untuk melengkapi tasks menurut MacKinlay (2006) di atas, yakni: afirmasi, selebrasi, dan konfirmasi (p.59). Menurut Mathews (2009), afirmasi adalah menyatakan kembali baik secara kolektif maupun individu bahwa kehidupan
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
76
mereka berharga dan/atau dihargai. Selebrasi berarti perayaan atas capaian dan prestasi. Sementara, yang dimaksud konfirmasi adalah bahwa kepercayaan dan nilainilai inti dalam hidup sangatlah berarti. Mathews mengilustrasikan, orang semakin renta, rentan, dan pikiran tentang kematian sering memantik pertanyaan dan keraguan dalam pikiran mereka. Contohnya: Apa cuma begini yang namanya hidup? Sudahkah hidupku ini bermanfaat, berharga? (p.59).
Gambar 2.7. Spiritual tasks of ageing untuk pelayanan panti Sumber: MacKinlay (2006, p. 178).
Swinton (2001) merinci dimensi spiritual pada gangguan stres dan kecemasan sebagai berikut: (1) ketakutan akan konsekuensi dari perbuatan dosa; (2) kehilangan makna hidup; (3) pikiran dan tindakan obsesional religius; (4) ketidakmampuan mengingat Tuhan; (5) rasa keterasingan dan bimbang; (6) hilangnya keyakinan spiritual sebelumnya; dan (7) tidak punya visi masa depan atau takut mati (p. 164). Menurutnya, dimensi spiritual pada stres dan kecemasan kurang dikenali padahal akibatnya cukup fatal apabila gangguan ini tidak ditangani secara cepat, yakni terjadinya krisis eksistensial yang serius. Pada gangguan depresi juga ada sejumlah dimensi spiritual yang harus dikenali yaitu: (1) putus asa atau sedih; (2) kehilangan makna hidup; (3) kehilangan hubungan atau tidak memiliki rasa mencintai atau dicintai; (4) alienasi dari Tuhan atau kekuatan yang lebih besar; (5) hilangnya kekuatan batin; (6) kesepian atau kesedihan; (7) putus asa, malu, dan merasa bersalah (Swinton (2001, p. 167).
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
77
2.6.3. Asesmen dan Intervensi Berbasis Spiritualitas Di bagian sebelumnya telah dijelaskan spiritualitas memiliki ragam ekspresi seperti halnya agama yang membutuhkan ungkapan kata-kata, perilaku, dan simbol dalam komponen tradisi, praktik, kepercayaan dan-lain-lain. Menurut Fowler (dalam Hugen, 2001), agama merupakan akumulasi dari tradisi-tradisi atau ekspresi dari keimanan dan keyakinan seseorang, yakni berupa teks kitab suci, kepercayaan, teologi, tradisi lisan, ritual, musik, pakaian, bangunan, dan lain-lain. Dalam istilah Rippin (1990), model-model ekspresi seperti itu disebut “paraphernalia” yang juga berfungsi sebagai identitas suatu agama (p. 86). Ketika dimanfaatkan dalam praktik pekerjaan sosial terapeutik, kedua aspek tersebut juga memiliki ungkapan yang sangat bervariasi, baik dalam asesmen maupun intervensi. Bagian berikut menjelaskan sejumlah praktik terapeutik dalam penanganan lansia yang mengalami masalah mental karena penyakit kronis atau yang mematikan, kehilangan orang-orang yang dicintai, cacat karena kecelakaan, kecemasan akan kematian, korban kekerasan dan lain-lain. Praktik terapeutik yang dimaksud secara garis besar meliputi teknik asesmen dan intervensi yang dianggap relevan untuk menangani masalah mental lansia. Asesmen dan intervensi penting dibahas di sini karena salah satu tujuan penelitian ini adalah kemungkinan dibangunnya model praktik pekerjaan sosial yang melibatkan spiritualitas. Sementara, asesmen dan intervensi, menurut Holloway (2007), adalah inti pekerjaan utama (core business) dalam profesi pekerjaan sosial.
2.6.3.1. Asesmen berbasis spiritualitas MacKinlay (2004a) mengatakan bahwa asesmen spirritual sangatlah penting bagi upaya mewujudkan kesehatan, baik untuk memulihkan maupun menjaga kesehatan mereka. Gagal melakukan asesmen dengan baik akan berakibat kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan lansia. Menurutnya, untuk memahami bagaimana melakukan asesmen dengan baik, khususnya terhadap lansia, di antaranya adalah mengaitkan proses penuaan dengan spiritualitas lansia (p. 20). Metode/pendekatan asesmen yang melibatkan aspek spiritual bervariasi, baik kuantitatif maupun kualitatif. Namun menurut Hodge (2001b), dengan mengutip Franklin dan Jordan, metode kualitatif dianggap lebih baik karena “lebih holistik, open-ended, individualistik, idiografik, dan berorientasi proses” (p. 204). Asesmen Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
78
open-ended umum digunakan dalam asesmen, termasuk untuk lansia yang menderita penyakit kronis, untuk mengeksplorasi tema-tema: keterlibatan klien dalam komunitas spiritual; gambaran klien tentang citra Tuhan; praktik spiritual klien seperti berdoa, meditasi, dan membaca kitab suci (dan bagaimana dia melakukan praktik-praktik ini terkait penyakit kronis yang diderita); dan kepercayaan dan nilai dasar klien (Koenig, 2000 dalam Nichols & Hunt, 2011, p. 59). Metode asesmen tersebut mirip dengan metode Hodge dalam penelusuran sejarah keagamaan/spiritual klien. Eksplorasi itu meliputi tradisi keagamaan orang tua klien, kepercayaan dan praktik spiritual klien, dan keterlibatan mereka dalam komunitas/masyarakat dalam menjalankan tradisi atau praktik spiritual/keagamaan tersebut. Spiritual history berupaya mengungkap tema-tema spiritual dan keagamaan dengan dialog yang penuh empati. Asesmen spiritual biasanya memakai format autobiografi-naratif, yakni dengan mengajukan serangkaian pertanyaan yang tersusun secara kronologis. Instrumen yang bisa melengkapi spiritual history ini berupa spiritual genogram atau spiritual map (Hodge, 2001b). Spiritual genogram, menurut Hodge (2001a), dianggap penting karena keyakinan spiritual dan agama klien sangat dipengaruhi keluarga, sehingga dengan instrumen ini interaksi spiritual dan agama keluarga klien dari generasi ke generasi (biasanya sampai tiga generasi) dapat dipetakan. Tema-tema pertanyaan untuk membuat spiritual genogram di antaranya adalah tipe kelompok keberagamaan, tingkat partisipasi keagamaan, cara mengekspresikan keyakinan spiritual dan agama, kejadian penting secara spiritual dalam keluarga (misalnya perpindahan agama dan pengalaman transpersonal) dan pengaruhnya atau reaksi anggota keluarganya, perbedaan dan persamaan antar anggota keluarga dari sisi keyakinan, dan lain-lain. Lebih lengkap bisa dilihat pada Tabel 1 dalam Hodge (2001a, p. 42). Metode asesmen spiritual history, kata Hodge (2001b), terkadang diarahkan untuk tujuan terapeutik. Contohnya kerangka yang dibuat Dombeck dan Karl (dalam Hodge, 2001b) untuk mengeksplorasi tiga wilayah berikut (p. 205): a. Keterlibatan atau afiliasi klien dalam komunitas keagamaan dari waktu ke waktu dan seberapa jauh tingkat keterlibatannya. b. Makna-makna personal tentang simbol, ritual, kepercayaan, dan figur ilahiyah. Contoh pertanyaannya seperti, ibadah apa yang paling bermakna? Dimana dan pada saat apa mampu merasakan kehadiran Tuhan? Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
79
c. Hubungan dengan Tuhan, seperti bagaimana hubunganmu dengan Tuhan? Bagaimana Tuhan hadir ketika sedang punya masalah?. Metode asesmen spiritual yang diajukan Mohr dan Huguelet (2009) juga relevan untuk menelusuri spiritualitas lansia yang menderita penyakit berat. Ada enam tema pokok yang dieksplorasi dalam praktik klinis, khususnya dalam psikiatri yaitu: (a) sejarah keagamaan-spiritual; (b) pengaruh sakit bagi keagamaan-spiritual; (c) kepercayaan dan praktik keagamaan atau spiritual saat ini; (d) pentingnya agama dalam kehidupan secara subjektif; (e) pentingnya agama dalam mengatasi sakitnya secara subjektif; dan (f) sinergi antara agama dengan perawatan psikiatrik. Nichols dan Hunt (2011) mencontohkan beberapa pertanyaan bersifat eksploratif untuk menggali spiritualitas penderita penyakit kronis, yang juga umum dialami lansia, yang relevan dalam penanganan: (a) Apa yang membuat hidupmu bermakna?; (b) Kemana Anda kembali di saat-saat stres?; (c) Apa yang membuatmu damai dan tenang dalam hidupmu?; (d) Apa yang membuatmu senang dalam hidup?; (e) Apa makna spiritualitas buatmu?; (f) Apa yang Anda pelajari tentang spiritualitas di masa mudamu?; dan (g) Praktik spiritual apa yang biasa Anda lakukan? (p. 60). Asesmen menyeluruh bagi lansia yang umum disebut comprehensive geriatric assessment (CGA), seperti diinformasikan Diwan, Balaswamy, dan Lee (2012), telah banyak dikembangkan di beberapa negara maju, terutama alat ukur kuantitatif. CGA mengeksplorasi tidak saja masalah dan kebutuhan lansia, tetapi juga potensi dan sumber yang mereka miliki. Alat ukur yang dicontohkan berupa The Daily Spiritual Experience Scale buatan Underwood dan Teresi tahun 2002 yang mengukur pengalaman lansia, bukan kepercayaan atau perilakunya. Mengutip Kane dan Kane (2000), Diwan, Balaswamy, dan Lee (2012) merinci sepuluh domain utama dalam asesmen sebagai berikut: psychological well-being and health, psychological wellbeing and mental health, kapasitas kognitif, kemampuan melakukan aktivitas keseharian, keberfungsian sosial, lingkungan fisik, asesmen pengasuh keluarga, sumber ekonomi, nilai dan preferensi, dan asesmen spiritual (p.405). Terkait asesmen spiritual, menurut Olson dan Kane (2000) seperti dikutip Diwan, Balaswamy, dan Lee (2012, p. 406), aspek yang dapat dieksplorasi berupa afiliasi agama, keyakinan, komitmen, partisipasi dalam kegiatan agama, dan pengalaman pribadi sehari-hari. Beberapa contoh asesmen spiritual di atas mengandaikan spiritualitas sebagai kekuatan klien. Namun, bagaimana kalau sebaliknya bahwa spiritualitas justru jadi Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
80
kelemahan atau gangguan bagi klien. Moore (2003) membahas kemungkinan ini sekaligus mengajukan panduan asesmen spiritual seperti pada Tabel 2.6. Inti dari gagasan Moore ini, seperti juga disinggung Canda dan Furman (1999), hendak memastikan bahwa pekerja sosial tidak boleh melampaui wilayah yang tidak ia kuasai atau mempengaruhi klien mereka terlalu jauh (Moore, 2003, p. 559). Tabel 2.6. Skema asesmen spiritual • Buat asesmen awal berdasarkan informasi kasus lain yang relevan, kemudian putuskan bagaimana mengangkat isu secara sensitif. TIDAK MUNGKIN YA • Apakah spiritualitas relevan Di sini tampaknya Perlukah kita Bagaimana spiritualitas dalam kasus spiritualitas tidak menyinggung Anda bersentuhan dengan ini? menjadi isu. Apa betul? spiritualitas? kerja kita. • Ases hubungan klien dengan spiritualitas mereka kemudian lanjutkan prosesnya Jika klien mengidentifikasi spiritualitas sebagai kekuatan: • Bagaimana spiritualitas Anda berkaitan dengan tujuan yang kita tetapkan? • Ide, praktik, program, atau afiliasi spiritualitas apa yang mendukung atau memberi infomasi untuk kerja kita? • Bagaimana memasukkan itu semua ke dalam kerja kita? Jika klien mengidentifikasi spiritualitas sebagai masalah: • Perlukah kita mengatasinya sampai tahap tertentu? • Pertologan seperti apa yang dapat kita butuhkan? • Apakah Anda melihat situasinya berubah? • Berdasarkan jawaban dari pertanyaan di atas, tandai spiritualitas sebagai isu untuk asesmen berikutnya selagi kasus dilanjutkan Sumber: Moore (2003, p. 560)
2.6.3.2. Intervensi berbasis spiritualitas Hodge (2006), seperti dikutip Hodge (2011), mendefinisikan intervensi spiritual sebagai “strategi terapeutik yang melibatkan dimensi spiritual atau agama sebagai komponen utama dalam intervensi” (p. 149). Menurut Holloway (2007, p. 276), berbagai teknik dan terapi yang menggunakan intervensi spiritual telah banyak dibuat. Contohnya oleh Canda dan Furman, Furman et al., Gilligan, Gilligan dan Furness, Burton (teologi pastoral), Fowler (spiritual development and review), Rumbold (the contiunuum of ‘helplessness and hope’), Nouwen dan Campbell (‘wounded healer’ dan ‘fellow traveller’), Thompson (pencarian eksistensial), dan Neimeyer dan Anderson (rekonstruksi makna). Namun menurut Holloway, di antara
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
81
banyak penulis tersebut, terutama di Amerika Serikat dan Australia, Canda dan Furman (1999) adalah yang paling lengkap dan detail. Canda dan Furman (1999/2010) merinci contoh-contoh teknik pemberian pertolongan yang berorientasi spiritual, baik praktik dengan individu, keluarga, kelompok, maupun dengan organisasi dan komunitas. Praktik di sini menyangkut asesmen dan intervensi. Daftar bentuk-bentuk praktik tersebut meliputi tingkat individu, keluarga, dan kelompok (Canda & Furman, 1999, p.291; Canda & Furman, 2010, p.360), serta tingkat organisasi dan komunitas (Canda & Furman, 1999, p. 291-2; Canda & Furman, 2010, p.361). Menurut Canda dan Furman (1999, p. 282; 2010, p. 314), sebetulnya segala bentuk atau tipe intervensi dalam pekerjaan sosial dapat digunakan dalam praktik yang sensitif secara spiritual asalkan dilakukan dalam kerangka nilai dan konteks pertolongan yang sensitif secara spiritual pula. Yang penting adalah bahwa praktisi harus secara sadar dan sengaja (intensional) akan spiritualitas ketika melakukan praktik, meski tidak harus eksplisit memulai atau berbicara dengan klien. Sejumlah teknik/terapi dengan intervensi spiritual dicontohkan oleh Sheridan (2009) seperti acupressure dan acupuncture, Reiki, terapi craniosacral, refleksiologi, meditasi, relaksasi, senam pernafasan holotropik, dan bahkan praktik cenayang atau dukun. Terkait dengan peran pekerja sosial sebagai agen perubahan, Canda dan Furman (2010) menawarkan praktik berorientasi spiritual dan bersifat transformasional (spiritually oriented transformational practice). Maksudnya, praktik yang sensitif secara spiritual berarti juga harus menciptakan kondisi dan aktivitas yang kondusif bagi pertumbuhan dan transformasi individu dan komunitas serta lingkungan. Praktik macam ini berarti menyangkut tidak hanya penyelesaian masalah atau resolusi konflik dan tidak juga sekadar menawarkan cara menghadapi, beradaptasi terhadap, atau mempertahankan kondisi yang sedang dihadapi. Selaras dengan perspektif kekuatan, praktik berorientasi spiritual juga harus mampu mengidentifikasi talenta, keterampilan, kapasitas, dan sumber klien kemudian memanfaatkannya baik untuk tujuan jangka pendek maupun untuk aspirasi dan potensi tertinggi mereka (p. 314-5). Canda dan Furman (1999; 2010) mengingatkan bahwa banyak psikoterapi atau pendekatan pekerjaan sosial yang berorientasi pertumbuhan spiritual memiliki landasan teoretis tertentu baik dari perspektif keagamaan maupun nonsektarian Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
82
(tentang hal ini akan dijelaskan pada bagian berikutnya). Ada juga yang berakar dari tradisi psikoterapeutik tertentu, seperti terapi kognitif-behavioral berorientasi spiritual, psikoanalisis berorientasi spiritual, terapi eksistensial, atau terapi transpersonal. Pada intinya, menurut Canda dan Furman, para praktisi harus jelas betul tentang ketepatan praktik mereka dengan kultur, perspektif spiritual, dan kenyamanan klien dan komunitas mereka. Mereka juga mesti sadar akan kecocokan antara latarbelakang klien, praktik pertolongan yang dipilih, dan asumsi-asumsi teoretis yang mendasarinya. Prasyarat seperti ini juga hampir serupa dengan panduan yang dibuat Hodge (2011) untuk praktisi yang hendak menggunakan intervensi spiritual. Panduan yang dimaksud dibangun dari praktik berbasis bukti (evidence-based practice), yaitu: preferensi klien; evaluasi penelitian yang relevan dengan kasus; penguasaan praktik klinis; dan kompetensi kultural (p.150). Untuk mempraktikkan intervensi spiritualitas secara etis dan profesional, pertama harus dipastikan terlebih dahulu melalui asesmen apakah spiritualitas relevan bagi klien dan mereka menunjukkan ketertarikannya. Ini dikuatkan dengan pernyataan persetujuan (informed consent) yang dipahami sebagai proses menerus yang setiap saat dapat dibatalkan karena pikiran klien bisa berubah (Hodge, 2011, p. 150-1). Hodge lebih jauh menjelaskan bahwa preferensi klien harus didukung bukti penelitian empiris yang menginformasikan intervensi spiritual seperti apa yang paling efektif untuk kasus yang dihadapi. Penggunaan intervensi ini tentu tidak boleh sembarangan karena praktisi harus punya keahlian dan pengalaman yang dibutuhkan. Setiap kode etik selalu memberi batasan bahwa pelayanan yang diberikan tidak boleh di luar kemampuan dan kompetensi praktisi. Kompetensi intervensi spiritual, di antaranya, didapat melalui pendidikan dan pelatihan yang memadai (p. 151-3). Kemudian, intervensi spiritual yang akan diberikan juga harus relevan dengan kultur klien. Ini meniscayakan adanya kompetensi kultural, dimana spiritual termasuk di dalamnya. Kompetensi spiritual praktisi, menurut Hodge dan Bushfield (2006), seperti dikutip Hodge (2011, p. 153), dapat berwujud: (a) munculnya kesadaran akan pandangan spiritual yang dipengaruhi nilai praktisi dan asumsi, keterbatasan, dan bias dari pandangan tersebut; (b) pemahaman empatik terhadap pandangan spiritual klien; dan (c) kemampuan merancang dan melaksanakan intervensi agar nyambung dengan pandangan spiritual klien. Selain itu, kompetensi Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
83
spiritual harus dipahami sebagai entitas (sikap, pengetahuan, dan keahlian) yang dinamis atau lebih tepat sebagai konstruksi yang menerus. Selain itu, praktisi juga harus sadar bahwa suatu intervensi spiritual yang cocok dan berhasil untuk satu kultur, belum pasti cocok untuk kultur lain (p. 153-4). Ada sejumlah teknik yang dipilih Canda dan Furman (1999, p. 290; 2010, p. 327) yang didasarkan atas beberapa kriteria bahwa teknik-teknik tersebut: a. memromosikan perkembangan spiritual; b. praktiknya menghasilkan persepsi atau keyakinan akan manfaat langsung; c. kondusif bagi kesadaran dan pengalaman transpersonal; d. sangat mendasar bagi eksistensi manusia; e. bentuknya nonkeagamaan, meski sebagian berasal atau terinspirasi dari tradisi-tradisi keagamaan; f. dapat dihubungkan dengan berbagai versi keagamaan khusus; g. dapat diterapkan pada berbagai situasi praktik yang berbeda; h. relatif mudah dipelajari; i. tidak memerlukan pelatihan formal yang lama; j. beresiko rendah bagi klien; dan k. efektivitasnya didukung bukti ilmiah dan/atau tradisi-tradisi kuat dan lestari. Lebih jauh, Canda dan Furman (2010) menjelaskan ada empat unsur penting yang ada dalam praktik terapeutik berorientasi spiritual, yaitu: memberi perhatian, bernafas secara intensional, keseimbangan (equipoise), dan konsistensi. Ada juga prasyarat yang harus ada untuk aktivitas pertolongan berorientasi spiritual lain, yaitu: relaksasi terfokus, merawat atau menjaga tubuh, melakukan ritual dan seremoni, dan mengamalkan sifat pemaaf. Contoh strategi pekerjaan sosial berbasis spiritualitas, baik tahap asesmen maupun intervensi, dapat dimanfaatkan dalam penanganan kesehatan mental lansia. Di situ tampak bahwa ketika dimanfaatkan dalam praktik, khususnya yang bersifat terapeutik, spiritualitas punya banyak manifestasi karena aspek ini punya ragam ekspresi berupa tradisi (ungkapan kata, perilaku, dan simbol), ritual, kepercayaan, dan lain-lain. Tanpa memahami esensi dari ekspresi atau manifestasinya, terutama dalam praktik profesional, dapat berakibat pada kebingungan dalam menentukan mana domain spiritualitas, mana agama, atau pada wilayah mana keduanya beririsan.
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
84
2.6.4. Perspektif Spiritual dalam Pekerjaan Sosial Perspektif spiritualitas yang mempengaruhi atau digunakan sebagai landasan praktik pekerjaan sosial dapat berasal dari tradisi keagamaan dan juga dari pemikiran intelektual yang bersifat sekular. Ini selaras dengan pengategorian oleh Canda dan Furman (1999; 2010) yang membagi perspektif spiritualitas menjadi dua, yaitu sektarian dan nonsektarian. Perspektif sektarian berarti pandangan atau konsep yang berasal dari agama atau kitab suci. Perspektif ini bersifat parokial, dogmatik, atau etnosentris. Sebaliknya, pandangan atau teori-teori yang berasal dari luar agama yang berorientasi spiritual disebut sebagai perspektif nonsektarian. Perspektif sektarian diambil dari tradisi agama-agama di dunia, baik Semit seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, maupun non-Semit dari Timur seperti Hindu, Budha, Konghucu, dan Zen. Canda dan Furman membahas perspektif keagamaan terkait pelayanan sosial dan pengaruhnya bagi praktik pekerjaan sosial, khususnya dalam konteks masyarakat Amerika Utara. Pembahasan tersebut menyangkut asalusul dan perkembangannya, kepercayaan dasar, nilai-nilai dasar, dan implikasinya bagi pekerjaan sosial. Lampiran 1 menunjukkan perbandingan enam perspektif keagamaan dari buku edisi baru Canda dan Furman (2010), sedangkan perspektif Shamanisme dari edisi lama (1999). Perspektif Agama-agama Asli Amerika Utara seperti dalam buku yang baru tidak dikutip dengan alasan agama macam ini jarang ditemui di masyarakat Indonesia. Sebaliknya, Shamanisme dimasukkan karena masih banyak dijumpai di masyarakat pedalaman Indonesia. Dalam peta teori praktik pekerjaan sosial menurut Payne (2005), teori-teori sensitif spiritual seperti humanisme, eksistensialisme, dan transpersonal termasuk dalam pandangan refleksif-terapeutik. Lena Dominelli, seperti dikutip Payne (2005), menyebutnya sebagai pendekatan pertolongan terapeutik (therapeutic helping). Menurut Payne, pendekatan refleksif-terapeutik dalam pekerjaan sosial berupaya mewujudkan kondisi sejahtera bagi individu, kelompok, atau komunitas dengan cara memromosikan dan memfasilitasi pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan diri (p. 89). Dikatakan refleksif karena ada proses interaksi saling mempengaruhi antara pekerja sosial dan klien terkait pemahaman terhadap masalah yang mereka hadapi. Pendekatan dalam humanisme, eksistensialisme, dan transpersonal termasuk kategori ini karena tujuan utamanya lebih pada peningkatan potensi dan mendorong perkembangan ketimbang perubahan sosial (Payne, 2005, p. 181). Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
85
Sementara menurut Healy (2005), pemanfaatan spiritualitas (dan agama) dalam pekerjaan sosial dikatakan sebagai satu diskursus pelayanan alternatif dimana pelayanan sosial diberikan berdasarkan hak-hak klien. Dikatakan diskursus alternatif karena baru dan berbeda dari diskursus yang dominan (seperti biomedis, ekonomi, dan hukum) dan diskursus pelayanan yang umum (seperti psikologi dan sosiologi), meskipun ketiganya saling berinteraksi. Sebetulnya ada beberapa teori yang relevan dalam menjelaskan signifikansi spiritualitas bagi lansia. Seifert (2002) mencontohkan sejumlah teori psikologi agama, teori life-span development, faith development karya Harms, tiga tahap faith development James Fowler, atau beberapa bidang dalam gerontologi religius. Namun, berikut ini hanya akan dijelaskan perspektif nonsektarian dari teori psikologi humanis-eksistensialis, khususnya Logoterapi Viktor Frankl, dan teori transpersonal Kenneth Wilber. Kedua teori ini dipilih karena, menurut Canda dan Furman (2010), dianggap paling berpengaruh dalam pekerjaan sosial.
2.6.4.1. Perspektif eksistensial-humanis Menurut Rakhmat (2003), psikologi humanis muncul bersamaan dengan psikologi eksistensialis pada dekade 1960-an sebagai angkatan ketiga. Angkatan pertama adalah psikoanalisis Freud; angkatan kedua psikologi behaviorisme yang muncul di Amerika. Angkatan ketiga yang juga lahir di Amerika muncul akibat kekosongan spiritual kelas menengah yang padahal makmur secara materi. Menurut Abraham Maslow, seperti dikutip Rakhmat (2003), kekosongan tersebut disebabkan oleh kekosongan nilai (valuelessness) bahwa orang menjalani hidup tidak lagi dilandasi nilai-nilai luhur yang patut dikagumi dan diperjuangkan. Lebih jauh Maslow menjelaskan, dalam Rakhmat (2003), psikologi humanis sangat berbeda dari dua angkatan sebelumnya yang sangat saintifik. Kalau psikoanalisis menganggap kondisi bawah sadar sebagai dorongan utama manusia dan behaviorisme sangat menekankan pengalaman objektif terkait hubungan stimulusrespons, humanisme bertumpu pada pengalaman personal, yakni kehidupan spiritual, yang menjadi unsur pokok dan dasar dari kehidupan jasmani. Upaya untuk aktualisasi diri dalam kerangka nilai-nilai luhur dianggap Maslow sebagai kebutuhan tertinggi kehidupan manusia. Dengan pandangan ini, Rakhmat (2003) menganggap
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
86
Maslow telah mendekatkan psikologi dengan agama, yang berbeda dengan dua aliran pendahulunya yang kental sains modern. Menurut Bastaman (1994), satu aliran psilkologi bercorak humanistikeksistensial yang sangat mempengaruhi pemikiran psikologi dewasa ini adalah Logoterapi. Aliran ini dipelopori Viktor E. Frankl, yang mengembangkan corak tersebut berdasarkan pengalamannya di kamp konsentrasi NAZI saat Perang Dunia II. Frankl adalah Profesor neurologi dan psikiatri di Universitas Wina dan seorang Yahudi berkebangsaan Austria. DuBois (2004), penerjemah sekaligus penulis kata pengantar buku Frankl, An Introduction to Logotherapy and Existential Analysis, juga menyebut Frankl sebagai psikolog eksistensialis atau humanis. Oleh Rakhmat (2003), Frankl bahkan dianggap sebagai wakil psikologi eksistensialis. Allport (1992) menjuluki Logotherapi-nya sebagai “madzhab psikoterapi ketiga di kota Wina” (the third Viennesse school of psychotherapy). Sementara, madzhab pendahulunya adalah Psikoanalisis Freud dan Psikologi Individual Adler yang samasama tumbuh dan berkembang di kota Wina, Austria. Allport (1992) memberi pengantar pada buku terjemahan berjudul Man’s Search for Meaning karya Viktor Frankl edisi ketiga. Judul asli buku ini adalah Ein Psycholog erlebt das Konzentrationslager (dalam bahasa Inggris: From Death-Camp to Existentialism). Buku ini terjual 9 juta kopi dan dikutip Stephen Covey dalam 7 Habits, kata DuBois (2004). Allport (1992) menjelaskan bahwa buku tersebut berisi cerita pengalaman panjang Frankl di kamp konsentrasi. Saat itu dia telah kehilangan segalanya, eksistensinya, tercerabutnya nilai-nilai, kelaparan, kedinginan, kebrutalan, dan menunggu (dihukum) mati setiap saat. Sementara tahanan lain mati tidak saja karena dihukum tapi juga tidak tahan menghadapi penderitaan, Frankl mampu bertahan dan masih tetap hidup. Pengalaman inilah yang mendorong Frankl menemukan Logoterapi. Frankl sendiri menyebutnya sebagai analisis eksistensial modern (modern existential analysis). Allport lah yang menamainya Logoterapi. Lebih jauh Allport (1992, p.8) menerangkan tema sentral eksistensialisme Frankl berasal dari pengalaman sewaktu di kamp konsentrasi bahwa “ketika hidup menderita, maka untuk bertahan harus menemukan makna dalam penderitaan” (to live is to suffer, to survive is to find meaning in the suffering). Apabila ada tujuan dalam hidup, pasti ada suatu maksud atau tujuan dalam penderitaan bahkan kematian. Akan tetapi, tidak ada orang yang bisa menceritakan tujuan tersebut ke Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
87
orang lain. Setiap orang harus mengalami dan mencarinya sendiri. Eksistensialisme Frankl sangat dipengaruhi Friederich Nietzsche (1844-1900), tokoh eksistensialis yang terkenal dengan pernyataan “Tuhan telah mati.” Frankl sangat terkesan dengan aforisma Nietzsche yang berbunyi: “Dia yang punya jawaban mengapa dia hidup, maka dia akan mampu menjawab hampir setiap tanya bagaimana menjalani hidup” (He who has a why to live can bear with almost any how) (p. 9). Di samping tema sentral tersebut, menurut DuBois (2004), tema-tema eksistensial Frankl yang lain membahas kebebasan manusia, tanggung jawab, nilai, spiritualitas, dan kematian. Semuanya merupakan tema umum yang juga dibahas psikolog terkenal lain, seperti Allport, Maslow, Fromm, dan Rogers. Pendekatan humanistik terhadap psikoterapi terkadang berlawanan dengan pendekatan psikiatrik standar, karena memang kedua pendekatan ini seperti dua dunia yang berbeda. Pendekatan humanistik adalah pendekatan subjektivis yang menekankan dunia tentang hidup yang dialami subjek (the world of lived experience). Sedangkan pendekatan psikiatrik adalah sangat saintifik objektif, yaitu ilmu dan praktik medikal. Namun, teori tentang gangguan mental (mental disorders) yang dibangun Frankl justru memakai keduanya (DuBois, 2004, p. ix). Hal yang menarik dalam Logoterapi, menurut Bastaman (1994), adalah bahwa aliran psikologi ini memberi perhatian khusus pada dimensi noetic atau spiritual (yang berbeda dari dimensi psikis). Menurut Frankl (2004, p. 49), dimensi spiritual atau Geistigen ini berada di atas dimensi psikologis yang menjadi penyebab sesungguhnya dari neuroses tertentu yang gejalanya di antaranya depresi, cemas, agresi, dan kecanduan. Gejala atau simptom seperti ini muncul ketika individu mengalami krisis eksistensial atau spiritual (existential frustration), namun dibiarkan atau bahkan dikekang Frankl (2004, p. 148, 151). Menurut Bergin (1994), belakangan ini memang ada kecenderungan di bidang psikologi (tepatnya psikoterapi) yakni meningkatnya perhatian terhadap nilai-nilai, terutama nilai-nilai religius yang punya peranan penting dalam keberhasilan suatu terapi. Pendulum diskursus mulai bergerak meninggalkan naturalisme, agnostisisme, bahkan humanisme yang telah mendominasi sepanjang abad. Bergin mengemukakan tesis yang menjelaskan pentingnya nilai dalam psikoterapi bahwa pada dasarnya nilai-nilai adalah bagian mutlak dan berpengaruh pada psikoterapi. Selain itu, faktor-
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
88
faktor non-teknis yang sarat nilai mempengaruhi proses perubahan kepribadian dalam lingkup terapi profesional. Sebagai landasan filosofis bagi Logoterapi, menurut Bastaman (1994), konsep manusia berdiri di atas tiga asumsi dasar yang saling berhubungan, yakni: a) Kebebasan berkehendak (the freedom of will). Asumsi ini bertentangan dengan pandangan-pandangan mengenai manusia yang bersifat deterministik, seperti halnya pandangan Psikoanalisis. b) Kehendak atau hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning). Merupakan motivasi utama manusia untuk mencari, menemukan, dan memenuhi tujuan dan arti hidupnya. c) Makna hidup (the meaning of life). Frankl sering bertolak dari kritiknya terhadap the will to pleasure (Freud), yang menganggap tujuan utama dari motivasi manusia adalah untuk mendapatkan kesenangan/kenikmatan, dan terhadap the will to power (Adler) dimana motivasi utama manusia adalah untuk memperoleh kekuasaan. Dua yang terakhir dari tiga asumsi dasar tersebut, yaitu the will to meaning dan the meaning of life menjadi motivasi utama untuk meraih hidup bermakna dan Logoterapi menjadi metode untuk mengembangkan potensi spiritual manusia yang luar biasa untuk meraihnya (Bastaman, 1994). Selanjutnya, Bastaman (1994) menekankan pembahasan Logoterapi pada masalah makna hidup (the meaning of life). Dalam pandangan Logoterapi, makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, bagaimanapun kondisinya. Di buku lain Bastaman (1996) mengungkapkan lebih rinci, bahwa makna hidup bila berhasil ditemukan dan direalisasikan, hidup dirasakan sangat berarti (meaningful) dan menimbulkan akibat sampingan (by product) berupa kebahagiaan (happiness). Namun sebaliknya, bila tidak berhasil, akan menghayati hidupnya tanpa dan tak bermakna (meaningless) yang biasanya merupakan gerbang menuju penderitaan. Menurut Frankl, seperti disitir Bastaman (1996), Logoterapi menunjukkan juga tiga bidang kegiatan dalam kehidupan ini yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidupnya. Kemudian Bastaman (1996) menjadikannya sebagai sumber-sumber Makna Hidup (Tri Nilai): (a) creative values, bekerja dan berkarya serta melaksanakan tugas dengan keterlibatan dan tanggung jawab penuh pada pekerjaan; (b) experiential values, Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
89
meyakini dan menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan nilai-nilai lain yang dianggap berharga; (c) attitudinal values, menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tak dapat dihindari lagi setelah berbagai upaya dilakukan secara optimal. Logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti makna. Makna yang harus dicapai setiap orang bersifat unik dan spesifik. Makna hidup berbeda bagi setiap orang, dari waktu ke waktu. Tidak ada makna hidup yang umum, tapi makna spesifik dalam hidup seseorang pada momen tertentu. Dalam hal eksistensi manusia, manusia tidak bisa mencari makna atau arti hidup yang abstrak. Tiap orang punya pekerjaan dan misi yang spesifik dalam hidup untuk melakukan tugas konkret yang harus dipenuhi. Jadi, tugas setiap orang sama uniknya dengan peluang atau kesempatan khusus untuk mengimplementasikannya (Frankl, 1992). Metode Logoterapi untuk menemukan makna hidup disebut Logoanalisis yang dikembangkan oleh James C. Crumbaugh (salah satu murid Frankl). Bastaman (1996) memodifikasi keempat metode logoanalisis menjadi “Panca Cara Temuan Makna” yakni: (a) pemahaman diri; (b) bertindak positif; (c) pengakraban hubungan; (d) pendalaman dan penerapan Tri Nilai di atas; dan (e) ibadah. Menurut Bastaman (1994), sebenarnya sebutan spiritualitas dalam Logoterapi tidak mengandung konotasi keagamaan, tetapi lebih merupakan aspirasi manusia untuk hidup secara bermakna dan sumber dari kualitas manusiawi. Frankl sendiri menyatakan Logoterapi bersifat sekuler. Meski begitu, katanya, ajaran Logoterapi berjasa menunjukkan adanya dimensi lain “di atas alam sadar” (supraconscious) sebagai sumber kualitas manusiawi dengan segala potensialnya. Sementara psikologi kontemporer belum menyentuhnya, Bastaman mencoba menawarkan ajaran tasawuf yang banyak sekali mengkaji masalah-masalah spiritualitas manusia. Agak berbeda dengan Bastaman, Rakhmat (2003) memandang bahwa aliran eksistensialisme dalam psikoterapi Frankl bukanlah eksistensialisme sekuler yang pada umumnya tidak memercayai adanya Tuhan. Eksistensialisme sekuler bahkan dikritik
oleh
bapak
eksistensialisme,
Søren
Kierkegaard,
sebagai
bentuk
keputusasaan dalam melakukan perlawanan. Agama, oleh Frankl seperti dikutip Rakhmat (2003, p. 122), berkaitan dengan “pencarian makna akhir” (search for ultimate meaning). Menurut Rakhmat (2003), “karena semua manusia mencari makna, manusia pada fitrahnya beragama” (p. 122-3). Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
90
Sebagai Muslim, Bastaman (1996) yang pengikut Frankl ini memasukkan unsur-unsur keagamaan dengan menekankan pentingnya fungsi iman dan takwa. Katanya, orang-orang beriman dan bertakwa akan tetap optimis dan mengharap petunjuk-Nya dalam menghadapi segala situasi. Mereka selalu mensyukuri segala kebaikan, kenikmatan, dan kebajikan yang diterimanya. Musibah dan penderitaan yang dialami pun akan diterimanya dengan tabah dan penuh kesabaran. Dalam bukunya, Frankl (1992) membandingkan Logoterapi dengan Psikoanalisis Freud. Katanya, dengan psikoanalisis si pasien mesti duduk di sofa sambil menceritakan hal-hal yang sangat tidak disukainya. Sebaliknya, ketika pasien datang ke Logoterapi, dia tetap duduk tegak namun dia harus mendengarkan hal-hal yang terkadang tidak dia setujui. Sehingga, dibanding Psikoanalisis, Logoterapi kurang retrospektif sekaligus kurang introspektif. Menurut Allport (1992), objek dan tantangan Logoterapi adalah mengalihkan atau mengubah hidup berantakan menjadi pola yang tegas tentang makna dan tanggung jawab. Frankl dan juga Freud sama-sama tertarik ke karakter dan penyembuhan neurosis. Freud meyakini bahwa akar dari distressing disorders dalam kecemasan seseorang disebabkan oleh dorongan-dorongan yang saling berkonflik dan bawah sadar (conflicting and unconscious motives). Sementara Frankl mencoba membedakan beberapa bentuk neurosis. Beberapa di antaranya berupa noögenic neurosis yang menyebabkan kegagalan si penderita untuk menemukan makna dan rasa tanggung jawab dalam eksistensi dirinya. Kalau Freud menekankan frustrasi dalam kehidupan seksual seseorang, Frankl menekankan frustrasi pada kehendak untuk menemukan makna (will-to-meaning). Meskipun demikian, Frankl tidak anti terhadap aliran atau teori Psikologi/Psikoterapi lain. Kata Frankl (1992), Logoterapi tidak fokus pada pembentukan lingkaran setan dan mekanisme timbal-balik yang sangat berperan dalam perkembangan neurosis. Sebaliknya, Logeterapi menekankan makna yang harus dicari pasien di masa depan, ketimbang masa depannya. Perjuangan untuk menemukan makna hidup seseorang adalah motif utama manusia. Dengan demikian, will to meaning berlawanan dengan will to pleasure (the pleasure principle yang jadi fokus Psikoanalisis Freudian) dan dengan will to power (psikologi Adlerian yang fokus pada “striving for superiority”).
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
91
Teknik terapi dalam Logoterapi di antaranya adalah paradoxical intentions, dereflection, medical ministry, dan existential analysis. Paradoxical intentions dan dereflection digunakan untuk psychogenic neuroses; medical ministry untuk somatic neuroses; dan existential analysis sebagai psychotherapeutic anthropology untuk noogenic neuroses (Frankl, 2004; Bastaman, 2007). Teknik-teknik ini, menurut Bastaman (2007), pada intinya bertujuan membantu mengurangi atau menghilangkan penderitaan yang tak terhindarkan, kemudian menggali potensi diri yang terutama bersumber dari dimensi spiritualnya dan menghilangkan kendala dan kelemahan diri yang menghambat proses menuju hidup bermakna. Beberapa ahli berpendapat pendekatan eksistensial akan sangat relevan bagi pekerja sosial yang menangani kelompok dengan penyakit berat, kekerasan, kekacauan kultural, penderitaan pasca-perang, isolasi sosial, dan kematian, karena pendekatan ini menekankan pada pencarian makna atas penderitaan yang mereka alami (Canda & Furman, 2010, p. 190). Masalah-masalah seperti ini sangat umum dialami kelompok lansia, seperti telah diuraikan juga di atas. Psikologi eksistensial-humanis Frankl mulai dipakai dalam pekerjaan sosial pada dekade 1950-an. Sebelumnya, menurut Lee et al. (2009), pekerjaan sosial klinis masih didominasi teori psikodinamik. Eksistensialisme dan humanisme bisa masuk ke pekerjaan sosial karena saat itu penerimaan para praktisi dan terapis terhadap ragam teori atau pendekatan makin terbuka. Dominasi psikodinamik lama-kelamaan akhirnya terganti pada dekade itu juga. Mengutip Frankl, Rogers, dan Lantz, Lee et al. (2009, p. 96) menjelaskan eksistensialisme dan humanisme dalam psikoterapi bercirikan pandangan positif tentang manusia dan menjadikan aktualisasi diri (selfactualization) dan pencarian makna personal sebagai tujuan utama terapi. Caranya adalah dengan tidak terlalu mengandalkan pemikiran rasional dan otonom, tapi lebih fokus pada aspek pencarian dan pembuatan makna (meaning-searching dan meaning-making) dari pikiran seseorang. Menurut Thompson (2010, p. 172), dalam eksistensialisme, eksistensi manusia dipandang sebagai entitas yang selalu berubah dan berkembang laksana arus air yang selalu berubah-ubah (‘flux’). Eksistensialisme telah banyak disinggung dalam literatur pekerjaan sosial selama lebih dari tiga dekade, sehingga berbagai pandangan dan nilainya juga berdampak bagi praktik pekerjaan sosial. Donald Krill dan Jim Lantz adalah dua ahli yang paling serius membahas teori ini dalam pekerjaan sosial. Namun yang banyak Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
92
mengaplikasikan pendekatan Logoterapi Frankl dalam pekerjaan sosial, terutama untuk terapi keluarga, adalah Lantz (Canda & Furman, 2010, p. 186-7). Canda dan Furman (2010) menjelaskan implikasi teori eksistensialisme bagi pekerjaan sosial. Menurutnya, pekerja sosial eksistensial dapat membantu klien tertindas dan tidak beruntung mengatasi segala bentuk penindasan dan rintangan psikologis karena eksistensialisme sangat menekankan kebebasan dan harga diri. Pendekatan eksistensialis yang menekankan spiritualitas juga memberi keuntungan bagi pekerja sosial eksistensial agar sensitif dan responsif terhadap tema-tema tentang makna, tujuan, keterkaitan, tanggung jawab, dan transendensi tanpa harus membahas atau menyinggung agama dan spiritualitas secara langsung (p. 189). Terkait masalah mental lansia yang dapat berujung pada kondisi krisis, dalam Psikologi eksistensialis kondisi seperti itu dapat mengantarkan orang ke kondisi kebosanan (state of boredom) dan gejala yang muncul contohnya depresi, agresi, dan adiksi, atau bahkan bunuh diri. Menurut Frankl (1992), modus seperti ini bersifat eksistensial dan manifestasi seperti itu disebut existential vacuum (p. 111-2). Selain itu, berbagai tragedi atau penderitaan yang membawa seseorang berada dalam situasi krisis dikarenakan orang tersebut gagal menyikapi atau memaknai penderitaan. Hal ini juga bersifat eksistensial dan orang frustasi dalam pencariannya, sehingga kondisi ini oleh Frankl disebut sebagai existential frustration. Secara umum istilah eksistensial merujuk pada tiga kondisi sebagai berikut: (a) eksistensi itu sendiri, khususnya cara orang mengada (human mode of being); (b) makna dari keberadaannya; dan (c) perjuangan menemukan makna konkrit atas keberadaannya secara personal, yaitu hasrat untuk bermakna (the will to meaning) (p. 106). Baik kondisi existential frustration maupun existential vacuum, keduanya menyebabkan neurosis, tepatnya noogenic neurosis (Frankl, 1992) atau noetic neuroses (Frankl, 2004). Kedua krisis eksistensial atau nurani ini disebabkan oleh sesuatu yang bersifat spiritual (noogenic), namun gejalanya berupa atau bersifat gangguan psikologis (pheno-psychological disorders) (Frankl, 2004, p. 49, 148). Noogenic neurosis, menurut Frankl (2004), merupakan gejala psikologis karena sebab-sebab spiritual, seperti krisis nurani atau krisis eksistensial. Namun, tidak semua krisis eksistensial/spiritual adalah penyakit (patologis) atau neurotik. Sampai tahap tertentu krisis jadi bagian dari proses normal pendewasaan spiritual seseorang. Krisis akan berkembang menjadi neurosis jika existential frustration Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
93
ditangani dengan cara yang salah, contohnya apabila karakter eksistensial/spiritual dari krisis tersebut dibiarkan atau malah ditahan-tahan. Simptomnya bisa berupa depresi, kecemasan, agresi, kecanduan, atau perilaku neurotik lain (p. 148). Noogenic neurosis juga terjadi saat ada ketegangan antara nurani yang saling bertentangan, tekanan masalah spiritual atau sedang krisis eksistensial (Frankl, 2004, p. 151).
2.6.4.2. Perspektif transpersonal Oleh Abraham Maslow, seperti dikutip Robbins, Chatterjee dan Canda (2006), teori transpersonal dianggap sebagai sebuah gerakan baru atau angkatan keempat psikologi (the forth force psychology) setelah tiga angkatan sebelumnya yang sangat dominan, yaitu Freudianisme, behaviorisme, dan teori humanistik. Angkatan ini merupakan perkembangan dari angkatan ketiga psikologi humanistik yang dirintis Maslow. Menurut Maslow, seperti dikutip Rakhmat (2007, p. xxvi), psikologi humanistik dianggap ”sebagai persiapan atau peralihan menuju the forth psychology yang lebih tinggi (transpersonal atau transhuman), yang berpusat pada kosmos ketimbang sekadar kebutuhan dan kepentingan manusia, dan yang melampaui kemanusiaan, identitas, aktualisasi diri, dan seterusnya.” Rakhmat (2003) menjelaskan psikologi transpersonal bertumbuh-kembang di Amerika pada dekade tahun 1960-an dan 1970-an. Saat itu sedang timbul gelombang perubahan bidang politik, budaya, dan agama. Arus spiritualitas juga mengalir deras. Tokoh perintis psikologi ini adalah Kenneth Wilber yang model spektrumnya tentang perkembangan manusia banyak dirujuk karena dianggap sebagai teori transpersonal yang paling komprehensif (Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006). Menurut Robbins, Chatterjee dan Canda (2006), model Wilber menyatukan konsep-konsep filosofis, agama, psikologi, sejarah, dan sosiologi Barat dan Timur tentang perkembangan manusia, baik perkembangan individu dan masyarakat. Modelnya juga banyak dipengaruhi aliran perkembangan struktural kognitif (seperti Piaget dan Kohlberg), para teoretisi dinamika sistem (seperti von Bertalanffy dan Jantsch), filsuf sosial posmodern (seperti Habermas), dan pandangan psikologikosmologi Budhisme Vajrayana Tibet dan Zen. Konsepnya dibuat berdasar pada pengalamannya melakukan meditasi Budha, kajian filsafat multidisipliner, dan pengalaman hidupnya sendiri, termasuk kematian istrinya akibat kanker. Wilber menamai konsepnya sebagai karya integral atau integratif, ketimbang transpersonal. Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
94
Spektrum Wilber menggambarkan tingkat perkembangan kesadaran manusia sebagai produk dari proses evolusi yang tidak saja secara biologis, namun juga dari sisi kemampuan kognitif, pandangan dunia yang makin komprehensif, terlebih lagi bentuk-bentuk spiritualitas, dan beragam organisasi sosial yang saling berhubungan satu sama lain. Wilber memandang bahwa individu dan masyarakat lingkungan sekitarnya memiliki kesamaan struktur dasar dan tingkat kesadaran secara paralel sebagai sistem mikro dan makro. Perkembangan manusia dikatakan paralel karena semua tingkatan sistem (disebut holon) akan menghadapi tantangan yang sama. Semakin tinggi tingkatan, bentuk keberfungsian mentalnya semakin rumit pula. Antar sistem manusia saling mempengaruhi perkembangan satu sama lain. Wilber menyebut model spektrumnya sebagai holarchy yang berarti urut-urutan yang semakin tinggi tingkatannya semakin kompleks, rumit, dan komprehensif pula struktur kesadaran dan organisasi sosialnya. Tiap tingkatan mencakup kapasitas dan pengetahuan (meliputi aturan, asumsi, dan kepercayaan) tingkat di bawahnya (Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006). Gambar 2.8 menunjukkan holarchy Wilber perkembangan manusia baik secara mikro (individu) maupun makro (masyarakat). Tahapan paralel tersebut terdiri dari sepuluh tahapan yang dapat dikelompokkan menjadi tiga fase utama, yaitu: preegoik, egoik, dan transegoik. Antar fase terdapat tahap transisinya. Terdapat berbagai bentuk penerapan dan implikasi teori transpersonal bagi praktik pekerjaan sosial. Teori transpersonal sangat berguna bagi praktik pekerjaan sosial untuk isu terkait perceraian, asesmen masalah mental, masa menjelang akhir kehidupan (masa lansia), krisis perkembangan spiritual, konseling bagi pasangan, penyakit kronis, layanan paliatif, dan juga pendidikan. Beberapa tahun belakangan, kerangka praktik tertentu secara lebih detail dengan menggunakan teori transpersonal juga telah dikembangkan untuk praktik pekerjaan sosial sensitif secara spiritual (Canda & Furman, 1999; Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006). Terutama bagi prinsip praktik pekerjaan sosial, teori transpersonal sangat berpengaruh. Cowley mencontohkan, prinsip saling menyayangi dan cinta tanpa syarat memandang semua klien pasti punya manfaat dan potensi tak terbatas untuk berkembang, terlepas dari masalah yang sedang membelitnya (Canda & Furman, 2010). Terlebih lagi melalui penanganan pekerjaan sosial secara profesional, klien
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
95
bersama pekerja sosial punya kesempatan berkembang mencapai potensi tertinggi dan juga memperdalam wawasan (Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006).
Individual Level
Preegoic
Egoic
Transegoic
10
Societal Level
Nondual (as ultimate goal of development)
9
Causal
None yet
8
Subtle
None yet
7
Psychic
None yet
6
Vision-logic
Planetary
5
Formal operational
Rational egoic
4
Concrete operational
Mythic-rational
3
Late preoperational
Magic-mythic
2
Preoperational
Magical
1
Sensoriphysical
Archaic
0
Nondual (as process of development)
Phase
Nondual (as source and potential of development)
Gambar 2.8. Holarchy Wilber tentang perkembangan mikro dan makro Sumber: Robbins, Chatterjee, dan Canda (2006, p. 403)
Sama halnya eksistensialisme Frankl, teori transpersonal cocok bagi kesehatan mental lansia. Canda dan Furman (2010, p.194) mengurai dua cara mengatasi situasi menderita dan kegalauan eksistensial dengan teori tersebut, yakni dengan: (a) membangun pemahaman yang jelas akan harga diri dan identitas; dan (b) menolong orang untuk berupaya melampaui lintas-batas identitas diri yang terikat ego. Canda dan Furman (2010) juga mengutip beberapa ahli untuk menjelaskan bahwa krisis dalam teori transpersonal dianggap punya kemampuan memecah kebuntuan psikososial seseorang dan membuka kesempatan baru yang lebih luas, sehingga kondisi tersebut harus dianggap sebagai kesempatan bertumbuh-kembang. Sampai tahap tertentu, krisis punya hubungan langsung dengan perkembangan spiritual, seperti krisis keyakinan, menggugat agama yang dianutnya, atau keraguan
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
96
karena pengalaman kesadaran baru dari praktik meditasi, doa, atau ritual tertentu. Bahkan proses menuju kematian dapat menjadi kesempatan untuk perkembangan transpersonal. Dalam hal ini, pekerjaan sosial yang mengadopsi transpersonal membantu klien mengoptimalkan kemungkinan melakukan transformasi mencapai tahap kesadaran transpersonal dan membangun hubungan dengan sesama (p. 194-5). Perspektif PIE dalam pekerjaan sosial bisa diperluas dengan mengambil beberapa konsep dalam teori transpersonal. Canda dan Furman serta beberapa akademisi lain memandang bahwa orang (person) dan lingkungan sosial memiliki kesalingterkaitan satu sama lain dan merupakan satu-kesatuan fundamental. Dengan demikian, person tidak lagi dipandang sebagai diri yang terbatas pada ego, dan lingkungan tidak semata-mata terdiri dari sekelompok kecil hubungan dimana seorang klien memiliki orang-orang terdekat yang bisa menolongnya (the significant others). Misi dan komitmen pekerjaan sosial juga direvisi dengan teori ini. Upaya pemenuhan kebutuhan personal sebagai misi pekerjaan sosial diperluas menjadi kebutuhan akan transendensi diri (self-transcendence). Komitmen terhadap dukungan sosial dan keadilan kemudian diperluas menjadi keadilan dan harmoni global bagi seluruh semesta. Selain itu, kekuatan dan potensi personal harus meliputi juga aspek intuisi, yang melampaui emosi dan pikiran egois. Kemudian, sistem sumber lingkungan memasukkan keindahan dan inspirasi alam dan juga pengalaman spiritual klien (Robbins, Chatterjee, & Canda, 2006; Canda & Furman, 2010).
Universitas Indonesia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Dalam bab metode penelitian ini dijelaskan pendekatan dan paradigma penelitian dan grounded theory secara singkat. Uraian cukup detail diberikan untuk kegiatan yang telah dilakukan selama penelitian ini, yaitu terkait lokasi dan waktu, informan penelitian, pengumpulan data, analisis data, teknik meningkatkan mutu penelitian, etika, dan keterbatasan penelitian.
3.1. Pendekatan dan Paradigma Penelitian Tujuan utama penelitian ini hendak menangkap pemahaman dan pengalaman batin tentang spiritualitas dalam konteks pelayanan sosial lansia. Maka, penelitian ini lebih tepat memakai pendekatan kualitatif karena fenomena yang akan dikaji bersifat kompleks yang menyangkut pemahaman dan pengalaman individu atau kelompok. Terkait pengalaman spiritualitas, menurut Nelson (2009), pendekatan kualitatif sangat cocok digunakan karena dapat menghasilkan deskripsi dan pemahaman menyeluruh yang tidak bisa dihasilkan dari pendekatan kuantitatif atau analisis statistik. Swinton (2001, p.13) juga menegaskan bahwa bahasa atau pendekatan ilmiah tidak akan mudah menganalisis dan mengkonseptualisasikan pengalaman atau perasaan semacam makna, cinta, harapan, dan spiritualitas. Pendekatan ini juga relevan ketika peneliti belum banyak mengetahui fenomena yang diteliti sehingga perlu membangun pemahaman atau kerangka awal. Pendekatan kualitatif menggunakan metode induktif dimana suatu model atau pola praktik tertentu akan diperoleh dan disaring berdasarkan data lapangan. Oleh karena itu, beberapa kasus yang relevan dipilih untuk memahami masalah penelitian secara mendalam (idiografik) dari sisi kompleksitas dan konteksnya (Stake, 2003; Rubin & Babbie, 2001; Yin, 2003; Hird, 2003). Selaras dengan asumsi-asumsi filosofis pendekatan kualitatif, penelitian ini memakai kerangka penelitian grounded theory yang akan membangun kerangka konseptual atau kategori tertentu. Konsep yang akan dibangun merupakan pandangan atau pemaknaan partisipan, sehingga letak pengetahuan dan keahlian ada pada partisipan sebagai subjek penelitian ini.
97 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
98
Paradigma atau asumsi dasar penelitian dibahas dalam salah satu komponen utama penelitian bersama strategi dan metode penelitian (Creswell, 2009, p.3). Denzin dan Lincoln (2004) menambahkan satu komponen lagi, yaitu siapa atau apa yang akan diteliti (p. 200). Asumsi dasar penelitian ini adalah konstruktivisme yang berupaya memahami secara mendalam pengalaman hidup subjek penelitian. Makna tentang spiritualitas yang diperoleh adalah makna subjektif partisipan. Makna itu sangatlah beragam yang menyebabkan peneliti tidak hanya membatasi makna-makna tertentu berdasarkan kategori yang dibuat, tapi harus menelusuri kompleksitasnya. Makna diinterpretasi, kemudian dibangun suatu teori atau pola berdasarkan hasil pemaknaan secara induktif. Ini berbeda dengan pandangan pospositivis yang memulai dari suatu teori kemudian membuktikannya di lapangan (Creswell, 2009). Creswell mengutip Crotty tentang asumsi-asumsi konstruktivisme. Pertama, makna yang hendak diperoleh dari penelitian kualitatif merupakan hasil konstruk manusia sebagaimana mereka memahami dunia. Peneliti menggunakan pertanyaan open-ended sehingga partisipan dapat menyampaikan pandangan. Kedua, manusia hidup di dunia dan memahaminya berdasarkan pemahaman historis dan sosial. Pemahaman dibentuk kultur dimana mereka tinggal. Maka, peneliti harus memahami konteks dan tatanan dimana partisipan berada dengan cara mengunjungi atau tinggal bersama mereka dan menggali informasi secara personal. Peneliti juga akan menginterpretasi apa yang mereka temui di lapangan, dan ini akan dipengaruhi latar belakang dan pengalaman peneliti. Ketiga, pemaknaan selalu bersifat sosial berdasarkan interaksi dengan masyarakat sekitar. Proses penelitian kualitatif sangat induktif, dimana pemaknaan dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di lapangan (p. 8-9). Konstruktivisme, menurut Guba dan Lincoln (1994), merupakan satu dari empat paradigma utama dalam penelitian. Keempat paradigma itu dibedakan dari sisi ontologi, epistemologi, dan metodologi. Secara ontologis, pemahaman praktisi dan klien akan spiritualitas merupakan realitas relatif yang bisa dipahami dalam bentuk konstruksi mental yang beragam dan tidak bisa ditangkap secara inderawi. Konstruksi mental juga dibentuk secara sosial dan berdasarkan pengalaman sehingga bersifat lokal dan khusus. Meskipun begitu, ada unsur-unsur tertentu yang samasama dialami oleh berbagai individu dan kultur yang berbeda (p. 110). Itulah mengapa penelitian ini lebih tepat menggunakan paradigma konstruktivisme.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
99
Dari sisi epistemologi, paradigma konstruktivisme bersifat transaksional dan subjektivis. Pemahaman informan tentang aspek spiritual dan agama yang tertangkap melalui penelitian merupakan hasil dari proses timbal-balik (transaksi) antara si peneliti dan informan walaupun pemahaman itu diklaim didapat dari hasil pemaknaan subjektif dari informan (subjektivis). Kemudian secara metodologis, pemahaman yang nanti diperoleh dan dimasukkan dalam hasil penelitian sebenarnya dapat dikatakan sebagai “konstruksi konsensus” yang telah diproses melalui perbandingan secara dialektis dan dengan menggunakan teknik hermeneutik ketika peneliti menafsirkan interaksinya dengan informan (Guba & Lincoln, 1994, p. 111).
3.2. Grounded Theory Grounded theory dijadikan strategi penelitian ini karena spiritualitas dalam pekerjaan sosial merupakan bidang yang relatif baru, khususnya di Indonesia. Di dunia Barat kajian dan penelitian tema ini telah berkembang sejak lebih dari dua dekade lalu. Meskipun begitu, Coholic (2007), yang menginvestigasi awal tentang pengaruh spiritualitas pada kesadaran diri dan harga diri dalam kelompok, mengklaim kerangka praktik pekerjaan sosial sensitif spiritual yang diterima luas masih belum terbangun. Ini dikemukakan untuk mendukung penelitiannya yang memakai grounded theory. Alasan lain Coholic, yang juga dipakai di sini, adalah bahwa metode ini berguna untuk membangun teori dari dunia praktik yang nanti pada gilirannya dapat dimanfaatkan para praktisi dan klien (p. 117). Grounded theory diperkenalkan Glaser dan Strauss (1967), yaitu penelitian yang dimulai dengan “observasi dan kemudian mengusulkan pola, tema, atau kategori umum.” Namun, itu bukan berarti tanpa prakonsep (konsep-konsep atau horison pemahaman yang sudah ada) atau ide-ide sebelumnya tentang apa yang sedang dikaji (Babbie, 1998, p. 283; Rubin & Babbie, 2001, p. 392). Sherman dan Reid (1994) menyebut pendekatan grounded theory sebagai metode yang “secara khsusus menjanjikan bagi pengembangan teori dan pengetahuan pekerjaan sosial indigenous” (p. 6). Shaw dan Gould (2001) juga menyebutnya sebagai “stimulus yang berjalan bersama lapangan penelitian pekerjaan sosial” (p. 36). Begitu juga dengan Gilgun (1994) yang mengatakan metode ini sangat bermanfaat untuk mengembangkan ataupun membangun pengetahuan pekerjaan sosial, khususnya
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
100
dalam pelayanan sosial langsung (direct practice). Denzin dan Lincoln (1994) bahkan menempatkan grounded theory sebagai revolusi dalam penelitian kualitatif. Menurut Creswell (2009), grounded theory adalah suatu strategi penelitian dimana si peneliti membangun teori umum yang bersifat abstrak tentang suatu proses, tindakan, atau interaksi bedasarkan pandangan dari para partisipan. Prosesnya meliputi pengumpulan data, pemilahan, dan membandingkan atau menghubunghubungkan antar kategori. Karakteristik utamanya adalah: (1) perbandingan data secara konstan dengan beberapa kategori yang muncul; dan (2) pengambilan sampel secara teoretis (theoretical sampling) dari kelompok-kelompok yang berbeda untuk menguatkan persamaan dan perbedaan informasi. Kategori utamanya ini merupakan pendekatan yang dipakai dalam analisis grounded theory sehingga Glaser dan Strauss menamainya sebagai “sebuah metode umum tentang analisis komparatif (konstan)” atau “metode komparatif konstan” (Strauss & Corbin, 2004, p. 273). Grounded theory menekankan proses induktif melalui perbandingan antar kasus secara konstan menurut persamaan dan perbedaannya (iteratif) untuk menemukan teori, konsep, hipotesis, atau proposisi (Sherman & Reid, 1994; Cherry, 2000; Shaw & Gould, 2001; Neuman, 2006). Menurut Neuman, grounded theory banyak membuat penelitian kualitatif menjadi fleksibel. Peneliti tetap terbuka terhadap hasil-hasil yang mungkin tidak diharapkan atau diantisipasi, sehingga harus mengubah fokus atau arah penelitian di tengah penelitian. Pertanyaan penelitian yang bersifat teoretis bahkan bisa menggantikan pertanyaan sebelumnya berdasarkan temuan. Dengan karakteristiknya yang membiarkan data dan teori berinteraksi, pengumpulan data dan pembentukan teori dilakukan bersama secara berselingan. Meskipun bersifat induktif, menurut Rubin dan Babbie (2001), strategi ini juga memakai proses deduktif terutama ketika melakukan perbandingan kasus secara konstan. Proses induktif dipakai untuk menemukan pola-pola, kemudian dibangun konsep dan hipotesis sementara (working hypothesis). Hipotesis ini lalu dikonfirmasi atau dikonfrontasi dengan kasus-kasus serupa yang dipilih melalui theoretical sampling. Pada saat inilah proses deduktif berjalan. Pencarian kasus terus dilakukan hingga peneliti meyakini tidak ada lagi pandangan baru dari kasus-kasus serupa. Temuan dari kasus-kasus baru tidak mengubah temuan yang ada. Setelah itu, peneliti harus mencari kasus lain yang berbeda. Proses serupa diulang layaknya suatu siklus.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
101
Proses
Hasil
1. Pertanyaan penelitian
2. Theoretical sampling
3. Pengumpulan data
4. Coding
Konsep
5. Perbandingan konstan
Kategori
6. Saturasi kategori
7. Eksplorasi hubungan antar kategori
Hipotesis
8. Theoretical sampling
9. Pengumpulan data
10. Saturasi kategori
11. Tes hipotesis
Teori substantif
12. Pengumpulan & analisis data dalam setting berbeda
Teori formal
Gambar 3.1. Proses dan hasil dalam grounded theory Sumber: Bryman (2008, p. 545)
Gambar 3.1 menunjukkan 12 langkah dalam grounded theory yang diambil dari Bryman (2008) terkait proses dan hasil. Namun demikian, 12 langkah tersebut hanya berupa model yang tidak harus dilakukan langkah demi langkah secara persis. Selain itu, penelitian ini tidak sampai menghasilkan teori formal seperti dihasilkan langkah ke-12, akan tetapi hanya sampai upaya membangun teori substantif.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
102
Penjelasan bagaimana proses untuk menghasilkan teori substantif ini akan diuraikan pada sub-bab teknik analisis data.
3.3. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian Lokasi penelitian dijelaskan mulai dari proses pencarian awal hingga lokasi yang telah dipastikan menjadi lokasi penelitian. Kerangka waktu penelitian dari awal pembuatan proposal hingga presentasi hasil dan revisi juga diurai singkat dengan bantuan ilustrasi timetable.
3.3.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di provinsi DKI Jakarta dan sekitarmya. Kawasan ibukota dan penyangganya ini dipilih karena berpopulasi padat dimana angka permasalahan sosial relatif lebih tinggi dibanding kota-kota besar lain di Indonesia, termasuk masalah lansia. Penanganan lebih variatif dari sisi institusi penyelenggara dan metode, termasuk yang memanfaatkan aspek spiritual dan agama. Selain itu, praktisi datang dari berbagai latar belakang tradisi keagamaan, pandangan dunia, dan pengalaman yang sangat mewarnai bagaimana melakukan penanganan lansia. Lokasi dipilih berdasarkan ketersediaan klien lansia dan praktisi kessos sebagai informan penelitian dengan kriteria tertentu. Untuk memeroleh kedua kategori informan ini, langkah pertama yang dilakukan adalah menggali informasi tentang lembaga-lembaga penyedia layanan sosial bagi lansia, baik yang berbasis panti maupun komunitas. Informasi diperoleh dari penelusuran internet, lembaga yang berkaitan dengan lansia, dan sejumlah informan kunci dengan teknik snowball. Lembaga yang dimaksud misalnya Kementerian Sosial (Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional), Perhimpunan Gerontologi Indonesia (Pergeri), dan IPSPI (Ikatan Pekerja Sosial Profesional). Selain itu, peneliti juga sempat menghubungi beberapa orang yang dianggap punya informasi dan keterkaitan dengan kegiatan pelayanan atau penelitian lansia. Dari informasi tersebut, peneliti berupaya menghubungi sejumlah lembaga pelayanan sosial lansia di DKI Jakarta dan sekitarnya. Di antaranya ada PSTW Budhi Dharma Bekasi, PSTW Budi Mulia 4 Jakarta Selatan, PSW Wisma Mulia Jakarta Barat, Senior Club Indonesia Jakarta Utara, Yayasan Bhakti Putra Pratama
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
103
(pelayanan home care) Jakarta Selatan, Yayasan Tresna Werdha Nurul Ikhlas, Sasana Tresna Werdha (STW) Hj. Hasmah Noor, STW Karya Kasih Kwitang Jakarta Pusat, STW Karya Bhakti Jakarta Timur, dan Yayasan Pitrah Sejahtera (pelayanan home care) Jakarta Utara. Akhirnya hanya empat lembaga yang bisa ditindaklanjuti menjadi objek penelitian ini karena dianggap dapat mewakili pelayanan dari penyedia layanan yang berbeda. Sedangkan lembaga yang batal menjadi lokasi penelitian dikarenakan sudah tidak ada (atau pindah alamat), ada yang tidak jelas apakah izin penelitian diterima atau tidak, ada yang karena birokrasi yang agak rumit, dan ada juga karena alasan ketiadaan praktisi berlatar pendidikan kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial. Keempat lembaga tersebut yaitu: (1) PSTW (Panti Sosial Tresna Werdha) Budhi Dharma Bekasi milik Kemensos (Panti Bekasi); (2) PSTW Budi Mulia 4 Margaguna, Jakarta Selatan milik Pemerintah DKI (Panti Margaguna); (3) Panti Sosial Werda Wisma Mulia Grogol, Jakarta Barat (Panti Jelambar), sebuah panti swasta milik Kowani khusus untuk lansia perempuan; dan (4) Yayasan Pitrah Sejahtera, Cilincing, Jakarta Utara. Berbeda dengan ketiga lembaga pertama yang berbentuk institusional panti, Yayasan Pitrah Sejahtera merupakan lembaga nonpanti berbasis masyarakat yang memberikan layanan home care bagi lansia. Keempat lokasi penelitian tersebut tampak pada Gambar 3.2
Gambar 3.2. Lokasi penelitian
Sumber peta: https://www.google.co.id/maps/@-6.2022969,106.8847598,11z?hl=en
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
104
3.3.2. Waktu Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu dua tahun lebih. Kegiatan prapenelitian berupa survei lapangan dan penjangkauan calon informan dilakukan sejak awal hingga pertangahan tahun 2013. Seiring kegiatan ini, pengumpulan data sudah mulai dilakukan dengan metode kajian dokumen, wawancara, dan observasi. Hampir bersamaan dengan kurun waktu itu, analisis dan pemrosesan data sudah dilakukan di lapangan. Menranskrip hasil wawancara dan melakukan analisis coding merupakan kegiatan yang memakan waktu cukup panjang. Di pertengahan tahun 2014 sempat dilakukan kembali wawancara terhadap informan praktisi demi tercapainya data yang jenuh. Penyusunan tulisan juga sudah dimulai saat pengumpulan dan analisis data sampai akhir 2014. Presentasi hasil dan revisi naskah dilakukan selama pertengahan awal 2015. Tabel 3.1 menunjukkan kerangka waktu pelaksanaan penelitian.
Tabel 3.1. Timetable pelaksanaan penelitian 2013
PELAKSANAAN
3
4
5
6
7
8
2014 9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
2015 8
9
10
11
1 Pra-penelitian • Survei lokasi • Outreaching informan 2 Pengumpulan data • Kajian dokumen • Interview lansia • Interview praktisi • Observasi 3 Analisis Data • Transkrip verbatim • Coding 4 Drafting 5 Presentasi hasil & revisi
3.4. Informan Penelitian Dalam sub-bab ini dijelaskan proses pemilihan informan dengan teknik theoretical sampling dan deskripsi (demografi) informan praktisi dan lansia yang turut berpartisipasi dalam penelitian ini.
3.4.1. Pemilihan Informan Teknik pemilihan informan yang dipakai adalah theoretical sampling, yang merupakan satu bentuk atau variasi dalam purposive sampling usulan Glaser dan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
12
1
2
105
Strauss (1967) dan Strauss dan Corbin (1998), seperti dikutip Bryman (2008), yang khas untuk pendekatan grounded theory dalam konteks analisis data kualitatif. Theoretical sampling adalah teknik pemilihan informan dalam proses pengumpulan data dalam rangka membangun teori menurut kategori yang terbangun dan teori yang muncul di lapangan (Coyne, 1997, p. 629). Menurut Coyne, dalam grounded theory, theoretical sampling dapat diistilahkan sebagai sebuah “analisis yang dipandu atau dikontrol oleh purposeful sampling” (p. 629). Sebagai sebuah proses, teknik ini dilakukan tidak hanya dalam satu kali tahapan, tetapi beberapa tahap sebagai proses menerus yang ditentukan atau dikontrol oleh dinamika data atau teori yang muncul. Proses pemilihan informan dengan teknik theoretical sampling didasarkan pada informasi yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Pemahaman aspek spiritual dan bagaimana pemahaman tersebut dipraktikkan dalam penanganan masalah mental lansia. Informasi ini akan digali dari praktisi kessos yang terdiri dari pekerja sosial dan pendamping atau perawat. 2. Pengalaman subjektif tentang spiritualitas dan persepsi atau respons terhadap masalah hidup lansia yang sedang ditangani atau sudah ditangani. Informan utama untuk menggali informasi ini adalah klien lansia dalam konteks pelayanan sosial. Orang-orang sekitar yang penting bagi klien (the significant others), seperti keluarga atau kerabat yang masih berhubungan, teman sesama panti, atau bahkan peksos dan staf panti, juga akan menjadi informan tambahan untuk triangulasi sumber data. Meskipun merupakan proses yang menerus, kriteria tentatif dibuat sebagai patokan awal untuk pemilihan informan sebelum turun lapangan. Kriteria awal tersebut dibuat berdasarkan subjek atau masalah penelitian secara umum, bukan berdasarkan pra-konsep kerangka teori (Coyne, 1997). Penentuan kriteria ini intinya bertujuan memperoleh informasi yang secara teoretis penting tentang konsep dan kondisi tertentu yang diperlukan atau berbagai kategori yang mungkin muncul. Kriteria theoretical sampling di tahap lanjutan telah diperbaiki berdasarkan temuan agar data lebih fokus seiring munculnya tema atau kategori. Langkah-langkah tersebut ditunjukkan dalam Gambar 3.1. Pada akhirnya, kriteria informan yang ditetapkan ada sedikit perubahan seperti tampak pada Tabel 3.2.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
106
Tabel 3.2. Kriteria informan yang terlibat dalam penelitian Kriteria informan • Pekerja sosial lulusan perguruan tinggi jurusan pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial atau pekerja sosial fungsional • Pendamping/perawat lulusan SMPS (Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial) • Pendamping yang pernah ikut diklat kesejahteraan sosial atau bimbingan teknis tentang pelayanan sosial untuk lansia • Sedang/pernah menangani lansia dengan pendekatan spiritual dan/atau agama • Sedang atau pernah mengalami masalah berat dan menderita gangguan depresi atau kecemasan, dan lain-lain • Sedang ditangani atau yang telah pulih karena intervensi dengan pendekatan spiritual dan/atau agama • Mampu berkomunikasi dan tidak menderita demensia semacam pikun atau alzheimer • Tergolong masih mandiri atau independen
Informan
Praktisi kessos
Klien lansia
Setelah menentukan lokasi penelitian seperti telah dijelaskan sebelum ini, langkah berikutnya menjangkau dan memilih informan. Informan lansia dengan kriteria seperti pada Tabel 3.2 ditelusuri melalui informasi menurut pekerja sosial, psikolog, atau perawat yang menjadi semacam gatekeeper dan mengetahui kondisi sejumlah lansia. Dari informasi mereka, peneliti mencoba melakukan observasi dan berinteraksi langsung dengan klien. Untuk memastikan beberapa calon informan lansia tersebut, peneliti juga menelusuri dokumen-dokumen terkait data biografi, identifikasi awal, hasil asesmen, catatan kasus, atau catatan tindakan intervensi yang pernah dilakukan. Data demografis informan juga telah diperoleh berdasarkan lembar pendataan (Lampiran 2). Sewaktu masih berupaya mencari-cari lembaga layanan sosial lansia yang akan diteliti, peneliti langsung melakukan kontak atau kunjungan dan mengurus perizinan pada lembaga yang dianggap potensial. Ketika sudah ada kepastian bahwa penelitian diizinkan, peneliti melakukan obeservasi dalam beberapa kali kunjungan dan menemui gatekeeper, seperti kepala panti atau yayasan, kepala seksi, pekerja sosial atau pendamping, atau kolega yang peneliti kenal. Di samping itu, informasi dari berbagai sumber dan dokumen juga ditelusuri. Dari sini, peneliti mendapatkan gambaran awal tentang sistem pelayanan panti dan calon informan yang potensial dan sekiranya memenuhi kriteria. Melalui observasi dan interaksi langsung, baik dengan praktisi maupun klien, serta data panti (biografi, identifikasi awal, hasil asesmen, catatan kasus, atau catatan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
107
perkembangan), peneliti kemudian menetapkan informan secara purposif (purposive sampling) dengan meminta kesediaan mereka terlebih dahulu. Wawancara dilakukan ketika hubungan baik (rapport) dengan informan telah terbangun, kepercayaan (trust) mereka terhadap peneliti tumbuh, dan mereka bersedia untuk diwawancara. Namun untuk kasus pelayanan home care, ada juga yang bisa langsung dilakukan wawancara, terutama terhadap pendamping, karena peneliti didampingi gatekeeper dan mereka telah memahami konteks atau terbiasa dengan penelitian. Untuk calon informan praktisi, peneliti mengalami kesulitan menjangkau mereka, terutama yang berlatar pendidikan kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial. Sejauh hasil penelusuran, sebagaian besar praktisi yang memberikan layanan langsung kepada lansia di DKI Jakarta dan sekitarnya hanya lulusan SMPS (Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial). Sementara mereka yang berlatar pendidikan sarjana tidak secara langsung melayani lansia meskipun bekerja di setting lansia. Kemudian, kalaupun ada sejumlah praktisi yang sekiranya memenuhi kriteria, sebagian enggan untuk terlibat. Alasannya bisa jadi karena mereka khawatir bahwa penelitian ini diasumsikan seperti sebuah ujian akan pengetahuan dan kompetensi mereka. Padahal, peneliti selalu berupaya meyakinkan bahwa penelitian bertujuan lebih pada penggalian pemahaman dan pengalaman spiritualitas mereka baik secara personal maupun profesional ketika berinteraksi dengan klien. Ada pula beberapa calon informan praktisi yang telah menyatakan kesediaan untuk berpartisipasi, namun ketika ditanya kapan bisa diwawancara mereka cenderung menunda dan agak menghindar. Untuk hal ini, ada empat praktisi (pekerja sosial fungsional) yang akhirnya dibatalkan untuk berpartisipasi karena alasan kesukarelaan. Ada satu lembaga yang pimpinannya mengizinkan peneliti hanya untuk mewawancarai klien lansia, tapi tidak untuk praktisi. Satu lembaga milik pemerintah bahkan tidak memiliki pekerja sosial fungsional ataupun profesional sama sekali. Dalam memberikan layanan, panti ini banyak mengandalkan pramusosial, staf seksi keperawatan, dan terkadang pelajar atau mahasiswa praktik kerja lapangan.
3.4.2. Deskripsi Informan Secara keseluruhan ada 20 informan yang berpartisipasi dalam penelitian yang terdiri dari sembilan praktisi dan sebelas klien lansia. Praktisi yang terlibat
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
108
terdiri dari empat orang pendamping (satu laki-laki dan tiga perempuan), dua staf berjenis kelamin perempuan (satu dari seksi keperawatan dan satu lagi dari seksi rehabilitasi sosial), dua orang pekerja sosial (satu laki-laki tingkat ahli dan seorang perempuan tingkat terampil yang akan pensiun di akhir 2013), dan seorang penyuluh sosial perempuan dengan latar belakang pendidikan spesialis (Sp-1) pekerjaan sosial. Dilihat dari sisi tugas pokok dan fungsi di panti, posisi staf memang tidak berada di ujung tombak pelayanan langsung untuk klien lansia, seperti halnya pekerja sosial. Namun, kedua staf yang sukarela berpartisipasi memiliki pengalaman menangani lansia secara langsung ketika menjadi pengasuh dan pramusosial. Saat ini selaku staf pun mereka tetap berinteraksi dengan klien dan terkadang memberikan layanan melalui berbagai bimbingan atau kegiatan keagamaan. Tabel 3.3 pada halaman berikut adalah data demografi informan praktisi. Tabel 3.3. Data demografi informan praktisi
YL SM WN TY FS HN ED
Jenis kelamin P P P P L P L
MM HT
P P
Informan
Pendidikan
Suku
47 56 42 41 37 35 32
Status kawin Janda Nikah Nikah Nikah Nikah Nikah Nikah
SMPS SMPS SMPS Sp-1 Kessos D-IV Kessos SMK S-1
54 58
Janda Nikah
MTs SMEA
Jawa Jawa Sunda Jawa Aceh Sunda BetawiJawa Sunda Batak
Usia
Agama
Lembaga
Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam
Panti Panti Panti Panti Panti Home care Home care
Islam Islam
Home care Home care
Pada tabel tersebut ditunjukkan kisaran usia praktisi dari 32 hingga 56 dan semuanya beragama Islam. Mereka berasal dari suku Jawa (tiga orang), Sunda (tiga), campuran Betawi-Jawa (satu), Aceh (satu) dan Batak (satu). Latar belakang pendidikan mereka adalah lulusan SMPS (tiga orang), SMK (dua), MTs (satu), D-IV (satu), S-1 (satu), dan Sp-1 (satu). Seorang praktisi lulusan D-IV merupakan Ahli Madya Kesejahteraan Sosial lulusan STKS (Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial) Bandung. Seorang lagi merupakan Spesialis Pekerjaan Sosial (Sp-1) STKS (setingkat strata 2). Lima orang informan yang bekerja di panti pemerintah adalah pegawai negeri sipil (PNS), sedangkan pekerjaan para pendamping ada yang ibu rumah tangga (dua orang), penata rias, dan karyawan sebuah perusahaan.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
109
Informan lansia terdiri dari empat laki-laki dan tujuh perempuan. Dari sebelas klien itu ada dua pasang suami-istri lansia, semantara sisanya janda atau duda. Kebanyakan tinggal dan mendapat layanan di panti dan hanya dua dapat layanan home care. Informan lansia cukup beragam dari sisi suku, agama, dan pendidikan. Mayoritas informan beragama Islam, hanya dua lansia yang Protestan. Sebagian besar mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Namun, ada beberapa informan yang sering menggunakan istilah atau ungkapan bahasa daerahnya, terutama bahasa Jawa dan Sunda. Namun, peneliti masih mampu memahami maksudnya, sehingga tidak perlu melibatkan ko-peneliti yang ahli berbahasa daerah tersebut. Tabel 3.4 merangkum data demografis informan lansia.
Tabel 3.4. Data demografi informan klien lansia Jenis InforUsia man Kelamin Mrw L 71
Status kawin
Pendidikan
Suku
Duda (cerai)
Betawi
Pnd
L
76
Nikah
SMP (kelas 2) SR (kelas 6)
Gbg
P
74
Nikah
Rml Nrn Est Kntw
L P P P
78 60 68 77
Nikah Nikah Tidak kawin Janda (ditinggal mati)
SR (tidak lulus) SR Islam MI Negeri SPG SR (tidak lulus)
Sgn
L
67
Alm Bs
P P
63 77
Msn
P
73
Duda (ditinggal mati) Janda (cerai) Janda (ditinggal mati) Janda (ditinggal mati)
STM Bangunan SMP SR (kelas 3) SR (kelas 3)
Agama Islam
Setting layanan Panti
Campuran Islam Tionghoa- (sebelumpribumi nya Budha, Protestan) Sunda Islam
Panti
Aceh Aceh Tionghoa Jawa
Panti Panti Panti Panti
Jawa
Islam Islam Protestan Protestan (sebelumnya Islam) Islam
Jawa Makassar
Islam Islam
Sunda
Islam
Panti Home care Home care
Panti
Panti
3.5. Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, berikut ini diuraikan teknik pengumpulan data yang telah dilakukan. Khusus untuk wawancara, teknik ini diuraikan secara lebih detail dari sisi prosesnya karena lebih dominan digunakan dalam penelitian ini.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
110
3.5.1. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kajian dokumen/arsip, observasi, dan interview. Penggunaan teknik berbeda dalam penelitian kualitatif disebut triangulasi (interdisciplinary triangulation) dengan tujuan validasi data. Berbagai temuan diperoleh melalui penggunaan dua sampai tiga teknik/pendekatan berbeda yang tidak punya kelemahan serupa secara metodologis (Singleton & Straits, 1999; Janesick, 2003; Denzin & Lincoln, 2003). Menurut Denzin (1970), seperti dikutip Bryman (2008, p. 379), penggunaan metode yang berbeda disebut sebagai triangulasi dengan multiple methodologies. Tipe lain yang juga digunakan adalah triangulasi dengan berbagai sumber data (multiple sources of data), yakni menggunakan lebih dari satu sumber informasi untuk satu pertanyaan atau tema penelitian yang sama untuk validasi data. Kajian dokumen/arsip dilakukan untuk menelusuri berbagai informasi tentang biografi dan demografi lansia dan praktisi. Dokumen atau arsip tentang klien yang dimaksud bisa berasal dari hasil catatan identifikasi awal pada saat perujukan atau penerimaan, hasil asesmen, catatan kasus atau peristiwa, catatan harian (jurnal), data perkembangan, laporan kemajuan, dan lain-lain. Di samping itu, berbagai jenis dokumen yang sekiranya relevan dan dapat dipertanggung-jawabkan (archives in the bush) juga dicari dari berbagai sumber. Observasi dilakukan langsung terhadap proses asesmen dan intervensi yang dilakukan para praktisi atau pada saat kegiatan bimbingan. Selaku pengamat murni (complete observer atau non-participant observation), peneliti membuat catatan yang menggambarkan proses tersebut (Rubin & Babbie, 2001). Teknik observasi terutama digunakan untuk menghimpun data tentang bagaimana spiritualitas dipraktikkan dalam penanganan lansia yang sedang menghadapi masalah tertentu (panduan observasi di Lampiran 5). Dari sisi peran, peneliti berusaha terlibat secara penuh dalam setting penelitian. Ini dilakukan secara bertahap, dimulai sebagai pengamat (observer), separuh partisipan, hingga menjadi complete participant. Pengumpulan data dilakukan berkali-kali dan dengan keterlibatan penuh. Pada saat bersamaan, dilakukan observasi terhadap apa yang sedang berlangsung (Patton, 2002, p. 277). Wawancara dilakukan secara semi-terstruktur (semi-structured interview). Teknik ini digunakan untuk metode grounded theory dengan informan praktisi dan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
111
klien. Protokol dan pedoman awal wawancara (initial interview guide) untuk masingmasing informan disusun sebelum turun lapangan (lihat Lampiran 3). Pedoman awal ini telah diadaptasikan secara menerus berdasarkan data yang ditemukan, entah dengan menghilangkan atau menambah pertanyaan baru, karena pengumpulan data dalam grounded theory dapat semakin fokus seiring analisis data (Charmaz, 2004, p. 503). Unsur-unsur pesan (message) dalam wawancara meliputi auditory dan visual. Dalam open coding, keduanya sangat diperlukan untuk transkrip verbatim yang mencakup apa yang disampaikan secara verbal (auditory) dan juga gerak-gerik dan emosi yang muncul dari informan selama wawancara (visual). Pesan auditory direkam dengan alat perekam, sementara pesan visual yang dinilai signifikan dicatat (note taking) oleh peneliti sehingga unsur ini tidak terlupakan selama wawancara berlangsung. Kedua unsur tersebut menjadi bahan penting untuk analisis.
Tabel 3.5. Inisial informan praktisi dan tanggal wawancara Tanggal wawancara 30 Mei 2013 12 Juni 2013 13 Juni 2013 16 Juni 2013 16 Juni 2013 16 Juni 2013 16 Juni 2013 26 Juni 2014 1 Juli 2014
Informan praktisi YL SM WN HN ED MM HT TY FS
3.5.2. Proses Wawancara Pelaksanaan wawancara menggunakan panduan awal (initial interview guide) baik untuk informan praktisi maupun lansi (lihat Tabel 3.5 dan 3.6 tentang pelaksanaan wawancara). Panduan awal wawancara ini tampak pada Lampiran 3. Wawancara pertama kali terhadap masing-masing informan praktisi dan lansia dianggap sebagai semacam uji coba (pilot). Sehabis wawancara pertama tersebut, peneliti langsung melakukan revisi baik dari sisi tema atau konsep yang akan diajukan maupun dari sisi urut-urutan pertanyaan. Ada sejumlah daftar pertanyaan yang dikurangi, ada juga yang ditambahkan. Sebagai contoh, pada wawancara dengan praktisi pertanyaan tentang kegiatan atau afiliasi keagamaan yang ada pada
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
112
saat wawancara pertama akhirnya dihilangkan. Pertanyaan ini cukup ditanyakan dalam data informan, kecuali apabila memerlukan klarifikasi lebih jauh.
Tabel 3.6. Inisial informan lansia, frekuensi wawancara, dan tanggal wawancara Informan lansia Mrw Pnd Gbg Rml Nrn Est Kntw Sgn Alm Bs Msn
Frekuensi wawancara 2 kali 4 kali 4 kali 1 kali 1 kali 1 kali 1 kali 2 kali 1 kali 1 kali 1 kali
Tanggal wawancara
8 April; 6 Juni 2013 25, 27, 30 Mei; 5 Juni 2013 25, 27, 30 Mei; 5 Juni 2013 27 Mei 2013 27 Mei 2013 31 Mei 2013 31 Mei 2013
5, 12 Juni 2013 6 Juni 2013 16 Juni 2013 16 Juni 2013
Contoh lain ketika pertama kali mewawancarai klien lansia, eksplorasi awal adalah berkaitan dengan aktivitas keagamaan sehari-hari klien kemudian diikuti pertanyaan bagaimana cerita penderitaan atau pengalaman hidup, dan seterusnya. Tampaknya pola urut-urutan pertanyaan seperti itu agak membingungkan lansia yang kebanyakan berlatar pendidikan rendah. Hasil wawancarapun menjadi terkesan bolak-balik atau berputar-putar. Dalam revisi panduan, terutama untuk lansia di panti, pertanyaan awal bermula dari bagaimana perasaan atau ekspresi saat ini di panti, sehingga mereka akan cerita hal-hal atau pengalaman yang membuat mereka senang-tidak senang atau suka-tidak suka. Sehingga dari cerita itu peneliti mengeksplorasi lebih jauh sambil tetap berpegang pada panduan wawancara yang telah direvisi. Tidak menutup kemungkinan peneliti mengakomodir tema-tema baru yang muncul, contohnya kasus lansia yang memakai susuk atau pemanis di waktu mudanya dan akan menjadi masalah ketika mereka mendekati akhir hayat. Terkait muncul atau hilangnya tema-tema dalam wawancara akan dijelaskan pada bab-bab yang membahas hasil temuan dan analisisnya. Selama wawancara berlangsung, peneliti membuka lebar kemungkinan interaksi dengan informan. Interaksi dalam wawancara yang dimaksud bisa berupa afirmasi (mengiyakan atau menegaskan), koreksi (membetulkan atau meluruskan), merespons, probing, prompting, mengulangi pertanyaan dengan cara atau kalimat
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
113
berbeda, dan lain-lain. Probing yang dilakukan di sini maksudnya adalah berupaya mendalami aspek tertentu untuk memperjelas jawaban informan dan mencari-cari atau menyelediki sesuatu pada informan dengan mengajukan pertanyaan berbeda atau menawarkan jawaban-jawaban yang memerlukan konfirmasi dari informan. Bryman (2008) menjelaskan probing dapat dilakukan peneliti ketika informan tidak memahami pertanyaan atau sebaliknya, ketika jawaban dari informan tidak dipahami atau dianggap belum adekuat. Sebagai contoh untuk probing dan prompting, pertanyaan tentang apa yang dilakukan ketika sedang mengalami penderitaan atau masalah hidup yang begitu berat, terkadang dijawab dengan kurang jelas dan mendalam. Oleh karena itu, peneliti melakukan probing dengan berupaya menggali informasi lebih lengkap. Atau, peneliti melakukan prompting dengan mengajukan kemungkinan jawaban, sebagaimana dijelaskan Bryman (2008), atau pertanyaan lebih jauh, seperti apakah dengan berdoa, sembahyang, berkeluh-kesah ke teman atau praktisi, dan lain-lain. Wawancara dilakukan secara informal dan sebisa mungkin menghindari kesan resmi yang menyebabkan informan menjadi kurang nyaman dan cenderung memberi jawaban yang ideal dan normatif. Namun demikian, kesan formal ini terkadang tidak bisa dihindari, terutama bagi informan lansia, karena ketika peneliti mengeluarkan kertas panduan wawancara, bolpen, dan alat perekam, mereka menjadi kurang natural. Sangat mungkin bila ada jawaban atau respons informan yang tidak autentik atau dibuat-buat (fake). Namun, dalam penelitian kualitatif dengan paradigma konstruktivisme ini, menemukan kebenaran bukanlah tujuan. Karena, jawaban atau respons yang fake itu juga menjadi data yang harus turut dianalisis. Terutama untuk informan lansia, pewawancara cenderung fleksibel dalam mengajukan pertanyaan, meskipun telah memakai panduan wawancara yang telah direvisi. Peneliti berupaya mengikuti alur pikiran informan, namun masih tetap berpegang pada poin-poin seperti dalam panduan wawancara. Dalam hal ini, peneliti berupaya untuk sangat terbuka (open mind) pada tema-tema baru yang mungkin muncul atau sebaliknya, tidak memaksakan semua tema dalam panduan muncul atau terjawab dari seorang informan. Ketika informan merasa tidak paham dengan suatu pertanyaan atau istilah spiritualitas misalnya, peneliti memberi contoh pemahaman atau pengalaman pribadi
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
114
peneliti (self-disclosure). Ketika dia mengaku cukup paham, wawancara dilanjutkan. Di sini peneliti sebenarnya sedang menegaskan satu ungkapan bahwa instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, bukan kuisioner ataupun panduan wawancara. Semua wawancara direkam menjadi format mp3 untuk menangkap pesan auditory. Peneliti juga mencatat (note taking) untuk menangkap pesan-pesan yang diekspresikan informan secara visual, seperti gestur dan emosi ketika merespons pertanyaan. Selama periode pengambilan data dari wawancara, tidak semua rekaman langsung bisa ditranskrip begitu selesai tiap wawancara karena kegiatan ini cukup memakan waktu. Terkait dengan prosedur penelitian grounded theory yang mengharuskan proses pengambilan data dan analisis berlangsung secara simultan, maka agar bisa melakukan kedua proses tersebut peneliti memutar kembali hasil rekaman wawancara dan mencatat semua poin penting atau tema-tema yang muncul. Peneliti juga menuliskan semua kegiatan interaksi dengan informan dan respons mereka ketika wawancara berlangsung. Hasil pencatatan poin-poin tersebut menjadi panduan untuk mengarahkan proses wawancara selanjutnya dan juga menentukan informan berikutnya yang sekiranya relevan untuk membangun teori (theoretical sampling).
3.6. Analisis Data Berikut ini perlu dijelaskan teknik analisis data secara garis besar dan bagaimana proses analisis dengan beberapa alat grounded theory.
3.6.1. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa dokumen/arsip, catatan hasil observasi (field notes), foto, video, dan rekaman hasil wawancara. Pemrosesan hasil penelitian ini dilakukan untuk analisis data. Pada tahap ini, manajemen data terkait penataan dan penyajian (Huberman & Miles, 1994) tidak dapat dipisahkan dengan analisis data (Berg, 2001). Secara garis besar, data diproses dan dianalisis melalui tiga tahap: (1) reduksi data; (2) penyajian data; dan (3) pengambilan kesimpulan dan verifikasi (Huberman & Miles, 1994, p. 428-9). Dalam penelitian grounded theory ini, tiga tahap tersebut tidak dilakukan secara linier tahap per-tahap, namun secara
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
115
berulang atau bahkan bersamaan yang dilakukan selama proses pengambilan data lapangan. Strategi analisis grounded theory seperti ini dikatakan sebagai pendekatan iteratif atau rekursif (Bryman, 2008) dimana kegiatan pengumpulan dan analisis data dilakukan secara simultan untuk menghasilkan teori (Glaser & Strauss, 1967; Charmaz, 2004). Tahap reduksi data pada intinya adalah meringkas data yang diperoleh agar ”lebih siap untuk diakses, dipahami” dan mengembangkan atau menciptakan ”berbagai tema dan pola” (Berg, 2001, p. 35). Caranya adalah dengan memilih dan memilah serta merangkum informasi yang relevan, baik dari hasil kajian dokumen atau arsip, field notes, maupun hasil wawancara melalui kegiatan coding. Pada tahap penyajian, data yang direduksi disajikan dalam bentuk ”serangkaian informasi yang tertata, ringkas, dan padat” (Huberman & Miles, 1994, p. 429), kemudian dianalisis dan diinterpretasi. Intinya, peneliti berupaya agar tidak “membiarkan data berbicara untuk dirinya-sendiri” (Singleton & Straits, 1999, p. 549). Keduanya dilakukan selama pengumpulan data, dan integrasi antara pengumpulan dan analisis data umum digunakan dalam grounded theory (Ezzy, 2002). Sedangkan, tahap kesimpulan dan verifikasi dibuat berdasarkan temuan dan kadang bahan literatur atau dokumen. Verifikasi meliputi: (1) konfirmasi kesimpulan yang ditarik dari pola data; dan (2) jaminan bahwa “semua prosedur yang digunakan dari awal sampai penarikan kesimpulan telah diartikulasikan secara gamblang” (Berg, 2001, p. 36). Selain itu, rekomendasi terkait tindakan juga diajukan karena penelitian pekerjaan sosial bertujuan membangun pengetahuan untuk aksi. Hal ini berbeda dari penelitian teoretis atau murni yang lebih ditujukan untuk membangun penjelasan atau pemahaman tentang realitas sosial, meskipun punya implikasi praktis (Yeates, 2003). Seperti telah diinformasikan, penelitian ini berupaya menghasilkan teori substantif. Berikut akan dijelaskan proses pembentukan teori tersebut, terutama terkait praktik penanganan kesehatan mental klien lansia oleh praktisi yang melibatkan spiritualitas. Wawancara dengan klien maupun praktisi direkam, yakni terkait pemahaman spiritualitas dan bagaimana dipraktikkan, dan hasilnya ditranskrip secara verbatim untuk tujuan analisis. Transkrip wawancara ini kemudian diolah menggunakan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
116
program komputer untuk analisis data kualitatif (CAQDAS –computer-assisted/aided qualitative data software) (Bryman, 2008). Nama program yang digunakan adalah QSR Nvivo versi 7 untuk membantu mengorganisasi berbagai jenis data dengan melakukan coding dan pengelompokan ke dalam sejumlah tema atau topik dan untuk mempermudah penampilan hubungan antar tema secara visual. Hal yang dilakukan dengan Nvivo7 adalah menentukan konsep dengan menghubungkannya dengan berbagai indikator yang dijumpai; mengklasifikasikan ke dalam beberapa kategori tertentu; membanding-bandingkan kategori yang diperoleh dari berbagai informan; kemudian menganalisis hasil perbandingan tersebut atau mendialogkannya dengan teori yang relevan untuk kemudian dibangun suatu teori. Dalam hal ini, teori atau konsep yang dipaparkan dalam Bab Tinjauan Literatur juga digunakan untuk memahami atau mencari penjelasan atas temuan yang muncul di lapangan. Proses di atas dilakukan dengan pemberian kode (coding) menurut Strauss dan Corbin (1990), seperti dikutip Bryman (2008, p. 543), yang terdiri dari tiga tipe: open coding, axial coding, dan selective coding. Tiga tipe ini kemudian dikembangkan oleh Charmaz (2006) untuk grounded theory konstruktivis, yang nanti akan dijelaskan pada proses analisis. Open coding merupakan transkrip wawancara verbatim yang menggambarkan proses wawancara dan refleksi hasilnya (self reflection), seperti hal-hal yang belum jelas dan perlu ditanyakan kembali pada wawancara berikutnya. Open coding bertujuan untuk ”memadatkan data hasil wawancara ke dalam berbagai kategori atau kode awal yang bersifat analitis” (Neuman, 2006, p. 461). Kode awal yang dimaksud Neuman, oleh Strauss dan Corbin, disebut konsep yang nanti dikelompokkan ke dalam kategori tertentu (Bryman, 2008, p. 543). Dalam proses penentuan kode awal tersebut, dibuat panduan awal pengkodean (initial coding guide) yang sekiranya muncul terkait pemahaman dan ekspresi spiritual dari praktisi dan juga klien. Melalui proses ini, sekian banyak narasi dari hasil wawancara dipilih sejumlah narasi dari masing-masing informan. Hasil akhirnya berupa kutipan-kutipan penting dari praktisi dan klien yang dikaitkan atau diikat dengan kode-kode tertentu.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
117
Dari kode-kode tersebut, proses berikutnya adalah melakukan axial coding. Proses ini dilakukan dengan membanding-bandingkan hasil wawancara dengan berbagai informan berdasarkan beberapa kategori tertentu terkait dengan tema penelitian. Kategori yang muncul bisa saja dinamai berdasarkan istilah asli informan (in vivo) yang dapat “mencerminkan definisi teoretis atau substantif tentang apa yang terjadi dalam data” (Charmaz, 2004, p. 510). Inti proses axial coding ini adalah ”mengorganisir berbagai kategori, menghubung-hubungkan antar kategori tersebut, dan menemukan kategori-kategori analisis kunci” (Neuman, 2006, p. 462). Caranya adalah menghubungkan kode-kode yang telah dibuat dengan berbagai konteks, sebab, akibat, atau pola interaksi (Bryman, 2008, p. 543). Proses berikutnya berupa selective coding, yakni kegiatan menganalisis hasil perbandingan pada axial coding dalam rangka membangun kategori inti atau, seperti telah dijelaskan, menghasilkan semacam kode-kode in vivo atau substantif. Kategori inti adalah isu sentral yang menghubungkan beberapa kategori yang serupa (Bryman, 2008, p. 543). Dalam selective coding ini ”peneliti melihat-lihat kembali kategori yang telah dibuat untuk kemudian memilah dan memilih data yang mendukung kategori-kategori konseptual yang telah dibangun” (Neuman, 2006, p. 464). Hasil menghubung-hubungkan berbagai kategori tersebut memunculkan hipotesis tertentu yang menuntut pengumpulan data dari sejumlah informan atau kasus lain yang bebeda berdasarkan theoretical sampling. Proses ini dilakukan secara berulang (iteratif) hingga jenuh secara teoretis (theoretical saturation), yakni ketika tiada lagi temuan data relevan dengan kategori bersangkutan; kategori tadi makin kokoh dari sisi variasi karakteristik/dimensi; dan hubungan antar kategori semakin kokoh dan tervalidasi (Strauss & Corbin, 1998 dalam Bryman, 2008, p. 416). Kegiatan ini juga dilakukan dalam rangka menguji hipotesis yang muncul hingga terbangun teori substantif. Alur penelitian seperti ini didasarkan pada diagram proses dan hasil yang dibuat oleh Bryman (2008, p. 543) seperti tampak pada Gambar 3.1. Setelah melakukan selective coding di atas, proses berikutnya adalah mulai menyusun draf tulisan dengan melakukan penulisan memo (memo-writing). Proses ini menghasilkan analisis lengkap tentang pemahaman dan pengalaman spiritualitas para informan. Di samping menghasilkan semacam teori substantif tentang pemahaman spiritualitas para praktisi dan pemahaman/pengalaman spiritualitas
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
118
lansia,
dimungkinkan
juga
menghasilkan
model
penanganan
lansia
yang
memanfaatkan aspek spiritual atau semacam asesmen-intervensi berbasis spiritual berdasarkan pemahaman atau pengalaman spiritualitas praktisi dan klien.
3.6.2. Proses Analisis Grounded Theory Rekaman hasil wawancara ditranskrip secara verbatim, kecuali untuk wawancara dengan pasangan lansia Pnd-Gbg. Alasannya, wawancara dengan pasangan suami-istri Pnd-Gbg dilakukan dalam empat kali yang masing-masing memakan waktu 1 sampai 2,5 jam (total berdurasi lebih dari 8,5 jam). Beberapa wawancara untuk informan lain juga ada yang tidak ditranskrip karena berisi informasi demografis yang bersangkutan atau cerita panjang yang dianggap kurang relevan dengan penelitian. Untuk bagian-bagian yang tidak ditranskrip secara verbatim, peneliti membuat ringkasan (resume) atau parafrase untuk cerita atau narasi. Dalam transkrip, kata-kata yang tidak terucap dalam wawancara dieksplisitkan dengan tanda kurung. Kondisi atau kejadian yang berlangsung pada saat wawancara juga dituliskan dalam transkrip agar konteksnya tidak hilang. Hal ini juga dilakukan ketika dilakukan coding secara manual (seperti akan dijelaskan di bawah), yakni dengan menuliskannya di kolom refleksi. Hasil transkrip kemudian dilakukan coding secara manual dengan cara mencermati transkrip kata per-kata, baris per-baris, kalimat per-kalimat, atau insiden per-insiden untuk mendefinisikan apa yang terjadi dan apa maknanya (Charmaz, 2006, p. 46). Dalam hal ini, peneliti berupaya menangkap berbagai kode, ide abstrak, atau konsep yang muncul. Dari upaya ini dimungkinkan untuk menjadikan ungkapan atau kata-kata informan sebagai konsep (kode in vivo). Dalam tahap coding yang sering dipraktikkan peneliti konstruktivis grounded theory, tahapan ini dapat dikatakan sebagai initial coding (Charmaz, 2006). Di sini peneliti lebih fokus pada data itu sendiri (baik berupa transkrip, hasil observasi, dan aksi-interaksi antara peneliti-informan) ketimbang mencocok-cocokkan data dengan sejumlah kategori dalam tinjauan literatur (p. 47). Tahap berikutnya adalah focused coding dimana, menurut Glaser, pengkodean dilakukan “lebih terarah, selektif, dan konseptual” (Charmaz, 2006, p. 57) ketimbang dalam initial coding sebelumnya. Pada tahap ini mulai digunakan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
119
software NVivo 7 untuk mempermudah peneliti dalam menganalisis data dan hasil coding pada tahap-tahap selanjutnya. Dengan NVivo, data dan hasil coding dapat terkelola secara rapih, terlihat dengan tampilan visual yang menarik, dan diakses dengan mudah ketika ingin melihat kembali atau mengomparasikan antar node, tema, narasi, dan kutipan. Perubahan-perubahan tertentu terkait data, hasil coding, atau klasifikasi nodes juga tetap dimungkinkan dan mudah dilakukan. Gambar 3.3 merupakan alur analisis dengan menggunakan NVivo 7. Perlu dicatat bahwa penggunaan program NVivo tidak dilakukan sejak awal karena peneliti merasa kesulitan untuk melakukan proses coding baris per-baris atau kalimat per-kalimat seperti pada tahap initial coding. NVivo meniscayakan sudah adanya pemilihan kode-kode atau konsep-konsep untuk digolongkan menjadi sejumlah tema. Tema inilah yang nanti akan menjadi nodes dalam NVivo. Tema atau nodes tersebut mewakili atau merujuk ke berbagai narasi atau kutipan yang ada dalam transkrip. Saat pengkodean dengan NVivo, peneliti tidak semata melakukan coding ulang seperti pada manual coding. Akan tetapi, peneliti juga berupaya melakukannya secara lebih akurat dalam mengkode narasi atau kutipan. Selain itu peneliti berkesempatan untuk membanding-bandingkan antara tema atau kategori dengan data secara langsung dan berulang-ulang. Kemudian, tema-tema yang ada dikelompokkan menjadi beberapa kategori berdasarkan pola hubungan tertentu, seperti hubungan sebab-akibat, konsekuensi, bagian atau cakupan, alasan, tujuan, uraian, dan atribut. Dengan demikian, pengklasifikasian tersebut menghasilkan skema percabangan atau dalam program NVivo berupa tree nodes, dimana kategori menjadi semacam node induk (parent node). Terkadang tidak semua tema yang ada termasuk ke dalam kelompok kategori tertentu, dan dalam NVivo disebut sebagai node bebas (free nodes). Selanjutnya adalah tahap axial coding, yakni dengan cara menghubunghubungkan antara kategori dan sub-kategori, merinci dimensi atau atribut suatu tema atau kategori, dan men-sintesiskan berbagai narasi atau kutipan dari data untuk dilihat kesesuaiannya (koherensi) dengan kerangka analisis yang muncul (Charmaz, 2006). Untuk menempuh cara-cara tersebut, peneliti membuat sejumlah matrik untuk membanding-bandingkan antar nodes dan kategori. Matriks melalui program NVivo
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
120
juga dibuat untuk membantu upaya perbandingan antar node atau kategori dalam satu informan atau antar informan.
Rekaman wawancara
Coding secara manual
Transkrip
Input format MS Word
Konsep, tema sementara
Bahan atau calon Nodes
Kategori sementara
Software NVivo 7
Klasifikasi sementara
Coding
Parent nodes
Kategori
Nodes
Tema
Tree nodes
Codes Free nodes
Konsep
Matrik Nodes
Klasifikasi
Tabel konsep – narasi/kutipan
Properties, atribut, dimensi
Drafting Gambar 3.3. Alur analisis data dengan software NVivo 7
Dalam rangka merinci dimensi atau atribut masing-masing tema, agar lebih mudah peneliti mem-print semua node yang berisi sejumlah narasi atau kutipan dari beberapa informan. Di sini peneliti seakan-akan melakukan coding ulang seperti
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
121
pada tahap initial coding dan axial coding (dengan NVivo). Namun, coding yang dilakukan lebih sistematis karena mengacu ke kerangka analisis yang telah terbentuk. Sebagai salah satu hasil (output) dari tahap ini, peneliti membuat banyak tabel untuk masing-masing kategori atau tema. Tabel tersebut berisi konsep (codes) dan semua kutipan atau narasi. Dengan tabel-tabel ini, koherensi data dan konsep atau kategori dicermati sehingga tetap dimungkinkan adanya sejumlah perubahan. Tahap terakhir berupa theoretical coding yang, menurut Charmaz (2006, p. 63), bertujuan “untuk membuat lebih spesifik berbagai keumungkinan hubungan antar kategori yang dibuat pada tahap focused coding.” Atau dengan menggunakan kata-kata Glaser, tahap ini berupaya “merajut kembali cerita yang tercerai-berai” (p. 63) menjadi suatu bangunan konseptual atau teori yang utuh. Serangkaian upaya pada tahap terakhir ini akan tampak pada Bab 4 dan 5. Output dari keseluruhan proses analisis data dari awal sampai akhir ditunjukkan dalam Gambar 3.4. Sementara keseluruhan tahap coding ini ditunjukkan dalam Gambar 3.5.
Transkrip
Narasi/kutipan informan
Codes (konsep)
Nodes (tema)
Kategori
Pertanyaan penelitian
Gambar 3.4. Output keseluruhan proses analisis coding
3.7. Mutu Penelitian Kriteria yang digunakan untuk meningkatkan mutu atau kualitas penelitian dengan paradigma konstruktivisme ini adalah trustworthiness (derajat kepercayaan). Kriteria ini merupakan satu dari dua kriteria yang diperkenalkan Lincoln dan Guba (1985), seperti dikutip Guba dan Lincoln (1994), sementara kriteria lainnya adalah autentisitas (authenticity). Kriteria trustworthiness meliputi kredibilitas (credibility), transferabilitas (transferability), dependabilitas (dependability), dan konfirmabilitas (confirmability) (p. 114). Berikut akan dijelaskan beberapa teknik dalam rangka mencapai kriteria tersebut. Teknik pertama adalah triangulasi, baik melalui metode pengumpulan data maupun sumber data. Teknik ini digunakan untuk meningkatkan credibility (Bryman, 2008, p. 377). Triangulasi pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lebih
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
122
dari satu metode. Contohnya, hasil observasi dicek kesahihannya melalui interview. Sedangkan, triangulasi sumber data di antaranya dengan mengkonfirmasi hasil interview satu informan terhadap informan lain tanpa harus mengkonfrontir satu sama lain secara eksplisit.
--------- Initial coding -----> Focused coding -------> Axial coding ------------------> Theoretical coding ---
Rekaman wawancara
Transkrip
Pengkodean secara manual
Codes atau konsep
Pengklasifikasian
Klasifikasi nodes
Tree nodes
Free nodes
Matrik & Tabel
Membandingkan & merinci atribut tiap node
Memilah-memilih narasi/kutipan & merajut kembali menjadi konstruk utuh secara konseptual teoretis
Dikaitkan dengan pertanyaan penelitian & tinjauan literatur
Teori
Model
Drafting
Gambar 3.5. Seluruh tahapan analisis coding
Teknik berikutnya validasi responden atau anggota (respondent/member validation) sebagai salah satu teknik dalam credibility. Teknik ini akan diupayakan dengan melakukan proses korobasi atau cek dan recek antara temuan lapangan dengan perspektif atau pengalaman partisipan yang menjadi subjek penelitian
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
123
(Bryman, 2008, p. 377). Tujuannya hampir sama dengan triangulasi yakni untuk memperoleh data yang sahih atau dipercaya mendekati realitas sesungguhnya. Satu teknik untuk strategi transferability adalah dengan melakukan interaksi dengan subjek penelitian yang agak lama dan dalam beberapa kali atau konteks yang berbeda-beda (Bryman, 2008, p. 378). Teknik ini dilakukan dalam rangka meningkatkan rapport dengan klien maupun praktisi. Metode wawancara dan observasi dilakukan beberapa kali ketika rapport sudah terbangun dengan baik. Kedua metode ini dilakukan dalam berbagai kesempatan, misalnya ketika waktu luang klien saat sendiri atau saat berinteraksi dengan klien lain dan juga ketika klien trelibat dalam kegiatan atau bimbingan yang diarahkan oleh praktisi. Teknik lain dalam strategi dependability menurut Bryman (2008, p. 378) adalah pendekatan “auditing”. Proses penelitian dari awal sampai tahap analisis diupayakan agar sebisa mungkin dapat diakses atau menurut istilah Bryman disebut “accessible manner” sejauh tidak menyalahi etika penelitian. Proses penelitian yang dimaksud yaitu sejak perumusan masalah, kriteria theoretical sampling dan pemilihan informan, proses coding, dan hasil analisis data, hingga munculnya konsep atau teori yang terbangun. Strategi grounded theory dalam penelitian ini memang meniscayakan penjelasan detil tentang langkah-langkah dan metode penelitian. Selain itu, proses dan hasil analisis data banyak mewarnai penulisan penelitian ini yang dibantu dengan program NVivo. Terakhir, deskripsi kental/padat (thick description) juga digunakan dalam rangka strategi transferability. Teknik ini dilakukan dengan cara menyajikan narasi pemahaman dan penggunaan dimensi spiritual dan agama dalam penanganan masalah lansia. Deskripsi padat ini didapat dari hasil wawancara (yang meliputi pesan-pesan auditory dan visual) dengan klien atau praktisi tentang apa yang mereka pahami dan lakukan dan dari hasil pengamatan tentang apa yang para praktisi praktikkan bersama klien. Deskripsi padat tentang metode penelitian menjadi salah satu teknik dalam strategi transferability (Bryman, 2008).
3.8. Etika dan Keterbatasan Penelitian Salah satu kelompok informan dalam penelitian ini adalah lansia dengan masalah mental tertentu yang menderita karena penyakit, kehilangan orang yang
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
124
dicintai, atau karena ketelantarannya. Simptom yang ditunjukkan bisa berupa depresi, kecemasan, merasa tidak berguna, hampa makna, atau bahkan keinginan untuk cepat-cepat mengakhiri hidup. Oleh karena itu, penelitian ini telah berupaya menaati sejumlah prinsip etika penelitian yang umum. Contohnya adalah dengan menghindari kemungkinan adanya ancaman fisik (physical harm) dan munculnya kembali gangguan psikologis (psychological abuse) (Neuman, 2006; Rubin & Babbie, 2001), yang terkait juga keselamatan peneliti dan orang-orang sekitar. Dalam wawancara, penelitian ini juga telah berusaha menghindari mengajukan pertanyaan yang menimbulkan agresivitas informan. Maksud psychological abuse di sini adalah kemungkinan membangkitkan kembali gejala-gejala psikologis yang biasa muncul pada saat mengalami krisis atau menderita. Caranya di antaranya dengan menghindari bertanya atau menyinggung hal-hal krusial yang memanggil kembali memori atau ingatan akan penderitaan atau kepedihan yang membuatnya sangat tertekan dan merasa tidak nyaman. Di samping itu, dalam etika penelitian secara umum diharuskan melakukan kontrak persetujuan dengan calon informan untuk berpartisipasi dalam penelitian (informed consent) secara sukarela (voluntary participation). Format pernyataan persetujuan partisipasi dari informan telah dibuat seperti pada Lampiran 4. Dengan kata lain, peneliti harus mengungkapkan identitas diri atau peran di lapangan secara penuh (overt) sejak awal (Patton, 2002), yakni sebagai peneliti. Ini dilakukan dalam rangka menghindari melakukan kecurangan atau memperdayai informan (deceiving subjects) (Rubin & Babbie, 2001). Metode kualitatif memiliki kelebihan dalam memahami pemahaman dan pengalaman informan yang kompleks, namun metode ini juga punya keterbatasan tertentu. Ditambah lagi dengan keharusan untuk taat pada ketentuan etis penelitian. Keterbatasan yang pertama adalah bahwa prinsip kehati-hatian untuk menghindari kemungkinan physical harm or abuse dapat membatasi upaya peneliti untuk mengeksplorasi lebih jauh atau dalam tentang pengalaman klien dan persepsi spiritualitas dan agama mereka. Keterbatasan berikutnya, ketaatan terhadap prinsip etis overt di atas dikhawatirkan dapat mempengaruhi respons informan yang kurang otentik atau tidak apa adanya (fake). Ini akan berbeda apabila metode wawancara diupayakan agar
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
125
sealamiah mungkin. Dengan setting natural, respons informan yang akan muncul, baik secara verbal maupun emosional, diharapkan alamiah pula dan sejujur mungkin. Kekhawatiran terhadap respons informan yang kurang apa adanya juga dapat mengakibatkan penggolongan tipologi lansia dan praktisi menjadi tidak akurat. Dengan kata lain, tipologi yang dihasilkan mungkin hanya menangkap latar depan (front stage) pada saat penelitian, sementara sisi asli informan (back stage) tidak banyak terungkap. Kemudian, pendekatan kualitatif kerap dikritik oleh para pendukung pendekatan kuantitatif atau positivis terkait hasil penelitian yang tidak bisa digeneralisasi. Hal ini menyangkut jumlah informan yang terlibat yang bisa dipertanyakan dari sisi keterwakilan populasi. Dalam penelitian ini, informan lansia dapat dikatakan cenderung homogen karena berasal dari panti atau layanan home care sebagai klien, sehingga hasil penelitian berupa konstruksi spiritualitas lansia tidak menggambarkan lansia secara umum. Selain itu, spiritualitas yang digali lebih dominan berasal dari penderitaan atau kemalangan hidup yang dialami lansia. Padahal, spiritualitas tidak melulu soal kesusahan, kesedihan, kematian, atau bagaimana menghadapinya. Spiritualitas juga hadir di saat bahagia atau gembira. Seperti kata Baskin (2007), spiritualitas tidak hanya tentang kematian, namun juga tentang bagaimana bertahan hidup dan menjalani hidup.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
126
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
BAB 4 SPIRITUALITAS PRAKTISI
Bab 4 ini (bersama Bab 5) merupakan bagian yang mengetengahkan hasil (temuan) penelitian. Bab ini adalah jawaban dari pertanyaan penelitian (research question, disingkat RQ) pertama dan kedua yang melibatkan informan praktisi kesejahteraan sosial (kessos). Kedua pertanyaan ini meliputi pemahaman praktisi tentang spiritualitas
dan
bagaimana pemahaman
tersebut
diterapkan
atau
mempengaruhi mereka ketika berinteraksi dengan klien lansia dalam konteks pelayanan sosial. Hasil dari penelitian yang dibahas dalam Bab 4 ini berupa konstruksi tentang spiritualitas praktisi. Data yang dihimpun untuk analisis tidak hanya dari hasil wawancara, akan tetapi juga dari data (biografi) informan dan hasil observasi. Data yang terhimpun dapat menjawab kedua pertanyaan penelitian di atas. Hasil analisis menunjukkan beberapa kategori penting sebagai hasil pengelompokan dari sejumlah tema dan konsep. Merujuk ke pertanyaan penelitian pertama, ada lima kelompok kategori yang muncul yaitu: (i) arti spiritualitas, (ii) afiliasi dan aktivitas keagamaan, (iii) keyakinan dan nilai keagamaan, (iv) pemaknaan terhadap pengalaman hidup praktisi, dam (v) komponen spiritualitas penting lain. Kelima kategori ini terdiri dari sembilan tema atau node yang berasal dari pengklasifikasian 171 hasil coding (referensi). Sementara berdasarkan pertanyaan penelitian kedua dijumpai empat kategori, yakni (i) motivasi personal dan profesional menjadi praktisi, (ii) nilai dan prinsip etis pekerjaan sosial, (iii) asesmen, dan (iv) intervensi. Pengelompokan ini bisa dilihat dalam Lampiran 10 (klasifikasi nomenklatur berdasarkan pertanyaan penelitian) atau bagannya (Lampiran 11). Empat kategori ini terdiri dari enam tema yang merupakan hasil dari pengelompokan terhadap 175 referensi. (Lihat Gambar 4.1) Di luar kategori-kategori penting tersebut, ada beberapa konsep (nodes) yang kurang memiliki keterkaitan dengan isu spiritualitas praktisi, sehingga tidak turut dijelaskan. Konsep yang tidak termasuk dalam salah satu parent nodes di atas disebut sebagai node bebas atau free nodes. Free nodes yang dimaksud meliputi keberagamaan lansia, lansia psikotik, catatan perkembangan lansia, kegiatan home care, dan arti pekerjaan sosial.
127 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
128
References
Nodes (tema)
Kategori
RQ
171
9
5
RQ #1
175
6
4
RQ #2
Gambar 4.1. Output proses coding untuk pertanyaan penelitian ke-1 dan ke-2
Semua tema atau node yang muncul dari pertanyaan penelitian pertama dan kedua dan informan mana saja yang menyinggungnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Sementara untuk mengetahui seberapa banyak dan sering yang menyinggung masing-masing node dapat dilihat pada node summary report seperti pada Lampiran 15. Kemudian sebarapa persentase sebaran node (coverage) pada masing-masing informan dapat dilihat pada coding summary report pada Lampiran 17.
4.1. Pemahaman dan Pengalaman Spiritual Praktisi Pertanyaan pertama penelitian adalah terkait pemahaman atau pengalaman spiritual para praktisi. Sejumlah tema yang awalnya hendak dieksplorasi di antaranya meliputi pemahaman spiritualitas, makna personal tentang ritual dan keyakinan agama, afiliasi dan kegiatan keagamaan, pengalaman dan keyakinan spiritual, dan ketakutan dan harapan. Namun sejumlah tema yang muncul adalah seputar arti spiritualitas, afiliasi dan praktik keagamaan, keyakinan dan nilai, “di balik ujian ada hikmah”, dan sejumlah komponen spiritual yang penting. Dalam program NVivo, pengklasifikasian kategori dan tema tersebut disebut tree nodes, dimana kelompok kategori #pemahaman-pengalaman praktisi disebut parent nodes. Keempat tema tersebut tampak sebagai node @”di balik ujian ada hikmah”, @afiliasi-praktik keagamaan, @arti spiritualitas, @keyakinan-nilai, dan @komponen spiritualitas penting lain. Dan dalam skema tree nodes, kelimanya termasuk dalam parent nodes pemahaman dan pengalaman praktisi. Perhatikan Lampiran 8.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
129
4.1.1. Arti Spiritualitas Seperti tampak pada Lampiran 8, node @arti spiritualitas menjadi parent node tersendiri karena di bawahnya ada cabang tiga node: @pemahaman pribadi, @pengaruh dari pendidikan-diklat, dan @spiritual dalam UU kessos. Sejak awal penelitian, peneliti telah menyadari bahwa spiritualitas belum menjadi isu penting dalam pelayanan kesejahteraan sosial di Indonesia. Istilah spiritualitas atau padanannya tidaklah familiar di telinga para praktisi, terutama dalam konteks layanan. Sementara untuk kata spiritual, para informan yang pernah mendengar kata ini cenderung mempersepsikan sama dengan pengertian mental atau menyandingkannya dengan pengertian keagamaan. Dari sejumlah wawancara yang dilakukan tampaknya tidak cukup menghasilkan konseptualisasi tentang spiritualitas ataupun keagamaan. Sebagai penelitian kualitatif konstruktivis, interaksi saling mempengaruhi dan saling merespons antara peneliti dan informan sangat dimungkinkan. Pada saat mengeksplorasi istilah ini peneliti kadang mengisyaratkan persetujuan, menguatkan, menegaskan, melakukan probing (mendalami aspek tertentu, mencari-cari, atau menebak-nebak kemungkinan jawaban yang dimaksud informan), dan mengajukan pertanyaan yang sama dengan kalimat berbeda. Peneliti berupaya menghindari memaksakan (imposing) pra-konsepsi peneliti terhadap informan. Peneliti juga tidak memberikan pembekalan atau menyuplai informasi terlebih dahulu terhadap informan terkait isu yang akan digali. Namun, di sejumlah wawancara peneliti melakukan probing dengan mengangkat padanan dari istilah spiritualitas, yakni ruhaniah atau batiniah yang mungkin lebih familiar di telinga sebagian informan. Hasil wawancara menunjukkan sejumlah pengertian yang berasal dari pemahaman pribadi dan dari pengaruh pendidikan dan/atau pendidikan dan latihan (diklat). Pemahaman pribadi informan terkait istilah spiritualitas merujuk ke sejumlah konsep. Seperti dugaan awal peneliti, pemahaman mereka tidak jauh dari konsep tentang mental, agama atau keagamaan, ketakwaan, akhlak, dan hubungan vertikal dengan Tuhan. Ada juga informan yang menyinggung aspek batin atau batiniah dan dorongan hati nurani, namun ini tampaknya merupakan hasil dari pengaruh interaksi dengan peneliti ketika informan menginginkan contoh atau ilustrasi terkait istilah spiritualitas.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
130
Terkait aspek batin, seorang pendamping home care mengartikan spiritualitas dengan “...hal-hal yang dari dalam... diri manusia. Batinlah istilahnya, ...” (HT, 16/6/2013). Sementara terkait dorongan dari dalam, seorang staf di panti dengan latar belakang pendidikan menengah pekerjaan sosial dan punya pengalaman langsung dan cukup lama menangani lansia mengatakan, “mungkin juga ya dorongan, ada dorongan dari hati nurani... saya tuh kayaknya lebih tergerak melihat... permasalahan sosial yang ada, gitu” (WN, 13/6/2013). Uraian sangat menarik dan mampu menggambarkan pemahaman sejumlah informan di atas muncul dari seorang informan dengan latar belakang pendidikan agama dan spesialis pekerjaan sosial klinis. Sembari menyadari kompleksitas aspek ini, ia menggambarkan spiritualitas sebagai: Suatu dorongan, semangat dari dalam seseorang terkait dengan mentalitas dia (dan) dengan ...cara pandang dia terhadap sesuatu itu, sehingga memotivasi dari dalam... mewarnai kehidupan dia. Jadi spiritualitas itu... di dalamnya terkait dengan agama, motivasi agama, terus motivasi dari dalam diri, motivasi psikisnya gitu ya... (TY, 26/6/2014) Kemudian eksplorasi terhadap istilah spiritualitas sebagai pengaruh dari pendidikan atau diklat diperoleh sejumlah pengertian. Di antaranya merujuk ke materi yang diajarkan dalam pelajaran agama, pembinaan atau bimbingan mentalspiritual, pelayanan atau pertolongan terahadap sesama, dan nilai yang menganggap lansia layaknya orang tua sendiri. Semua informan yang berlatar belakang pendidikan menengah pekerjaan sosial menganggap bahwa spiritualitas diajarkan dalam pendidikan menengah dalam bentuk pelajaran agama. Seorang informan sebagai contoh mengatakan, “kalau spiritual itu ya diajarkan di pelajaran Agama” (SM, 12/6/2013). Informan lain menjelaskan, “... kalau di sekolah udah pernah (yaitu) agama Islam. Prakteknya juga udah pernah, di sekolah prakteknya agama Islam, praktek sholat, praktek wudhu...” (YL, 30/5/2013). Kaitannya dengan spiritualitas dalam materi pekerjaan sosial baik pada saat pendidikan menengah maupun diklat, mereka merujuk ke pembinaan mental-spiritual dan pertolongan terhadap orang yang membutuhkan. Tidak jauh berbeda dengan lulusan sekolah menengah, spesialis pekerjaan sosial pun mengakui bahwa spiritualitas yang diajarkan dalam pendidikan cenderung
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
131
diidentikkan dengan agama, khususnya terkait dengan “penerapan agama dalam kehidupan seseorang” (TY, 26/6/2014). Informan ini juga memahami spiritualitas sebagai bagian yang tidak tampak (batiniah) dari seseorang, yang berbeda dari aspek sosial. Namun demikian, ia menyadari betapa aspek spiritual masih belum menjadi sorotan dalam ilmu pekerjaan sosial yang cenderung masih berkutat pada aspek biopsikososial. Padahal, menurutnya, spiritualitas punya posisi sentral bagi perubahan perilaku individu. Aspek inilah yang berperan besar dalam “...memotivasi seseorang itu melakukan perubahan fisik, perubahan psikis, maupun perubahan sosial,” katanya (TY, 26/6/2014). Sedangkan terkait makna kata spiritual dalam definisi kesejahteraan sosial dalam UU No. 11/2009, para informan merujuk ke kebutuhan rohani (atau jiwa atau hati), (pelayanan) keagamaan, pembinaan atau bimbingan mental-spiritual, dan hubungan vertikal dengan Tuhan. Menurut sebagian informan, dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) atau petunjuk teknis (juknis) pelayanan lansia, kebutuhan spiritual tidak terlalu banyak dijabarkan. Namun arahnya lebih dominan ke pelayanan keagamaan yang contohnya berbentuk penyediaan sarana ibadah dan kegiatan keagamaan bagi para penganutnya. Berdasarkan sejumlah konsep yang muncul bisa dikatakan bahwa spiritualitas yang dipahami para informan lebih merujuk ke ritual keagamaan dan sejumlah kecil ekspresi atau komponen spiritualitas. Itulah mengapa dalam penelitian ini dipandang tidak cukup untuk menghasilkan konseptualisasi spiritualitas dari para praktisi pekerjaan sosial. Namun demikian, spiritualitas mereka tidak saja digali dari sejauhmana mereka tahu dan mengerti artinya, tapi juga dari bagaimana spiritualitas itu dijalani dalam keseharian mereka, baik berupa keyakinan atau kepercayaan, sikap, maupun tindakan. Di sini peneliti menamainya sebagai spiritualitas yang dijalani (living spirituality), bukan spiritualitas yang dipahami atau didefinisikan, yang dalam penelitian ini tidak cukup menghasilkan konseptualisasi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini spiritualitas praktisi juga dipahami dari bagaimana mereka menjalankan praktik keberagamaan, keyakinan dan nilai yang mereka pegang, dan pengalaman hidup beserta respons atau pemaknaannya. Setidaknya tiga kategori tersebut yang berhasil digali dan bagian berikut adalah penjelasannya.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
132
4.1.2. Afiliasi dan Praktik Keagamaan Terkait afiliasi dan praktik keagamaan sehari-hari informan, data diperoleh tidak hanya dari wawancara, tetapi juga dari data (dokumen) informan dan observasi. Hampir semua informan praktisi memiliki kesamaan dalam hal keterlibatan mereka dalam komunitas atau jamaah keagamaan beserta aktivitas ibadahnya. Sebagai muslim, mereka terlibat aktif di majlis ta’lim, pengajian, yasinan, dan bentuk-bentuk kelompok lain yang masih melestarikan tradisi keagamaan. Contoh tradisi itu adalah tahlilan untuk mendoakan almarhum dan aqiqah atau membaca Barzanji untuk kelahiran sang bayi. Sebagian besar informan juga mengakui bahwa mereka hanya melaksanakan praktik keagamaan secara standar, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama secara berjama’ah. Misalnya sholat (wajib dan/atau sunnah), puasa, mengeluarkan zakat, membaca al-Qur’an, dzikir atau wirid, dan berdoa. Ada dua informan yang telah menunaikan ibadah rukun Islam kelima, yakni berhaji ke tanah suci. Keduanya sepakat berpendapat bahwa ziarah ke tanah suci merupakan perjalanan spiritual yang punya pengaruh besar dalam kehidupan batin mereka dan untuk pengendalian diri (SM, 12/6/2013). Praktik standar di sini maksudnya tidak ada informan yang terlibat dalam kegiatan keagamaan yang lebih mengutamakan aspek batin atau spiritual semacam praktik tasawwuf atau tarekat. Standar di sini juga dapat dilihat dari sisi simbol agama yang melekat pada diri informan, enam dari tujuh informan praktisi perempuan memakai jilbab, sementara seorang pendamping lansia home care tidak. Keenam informan tersebut memakai jilbab bersifat standar yang umum dipakai masyarakat Indonesia, bukan jilbab panjang atau cadar yang merujuk ke penganut Islam militan atau golongan tertentu. Beberapa informan memandang praktik keagamaan atau ibadah tidak harus merujuk ke kewajiban melaksanakan rukun Islam yang lima. Akan tetapi juga setiap perbuatan baik yang terkadang kecil juga bisa dianggap ibadah seperti menyapa klien, tersenyum ramah, menanyakan kabar, dan lain-lain. Agama yang tidak melulu syari’at ini juga ditegaskan seorang informan bahwa “...agama itu tidak sebatas
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
133
kewajiban-kewajiban umum saja, sholat zakat dan sebagainya, tapi ada kewajibankewajiban sosial yang harus kita lakukan..., muamalahanya...” (TY, 26/6/2014). Selain konsep afiliasi dan praktik keagamaan, dalam kategori ini juga muncul konsep keberagamaan praktisi. Dalam wawancara terkadang ada informan yang cenderung normatif dan ideal dilihat dari cara menjawab setiap pertanyaan tentang pandangan atau praktik keagamaan pribadi sehari-hari. Ketika peneliti mencoba mengangkat pertanyaan eksistensial, jawaban normatif yang mengemuka seperti ini: “Kalau kata kenapa, kita gak ini (berprasangka baik) sama Allah dong, iya kan?” (YL, 30/5/2013). Sementara contoh ungkapan idealis seperti ditunjukkan dalam satu wawancara, “Dalam apapun, sabar. Sakit kita gak boleh mengeluh, aduh sakit gini ya Allah, enggak. Sabar aja, sabar. Terus kita berdzikir, subhânallâh wal-hamdulillâh walâ ilâha illallâh wallâhu akbar, itu terus saya baca. Itu aja” (YL, 30/5/2013). Ada juga yang cenderung apa adanya dalam menceritakan kondisi keberagamaannya. Contohnya dengan cara menceritakan kekurangan diri dan kondisi keimanan yang suka naik-turun. Seorang peksos fungsional bercerita seperti ini, “ya kalau dibandingkan dulu dengan sekarang ya, insyaallah dan alhamdulillah ya. Istilahnya kalau untuk baca al-Qur’an ya walaupun sedikit-sedikit ... kalau ada waktu ...sebelum tidur gitu kan. Kadang-kadang kalau lagi ... datang malasnya ya kadang gak baca” (SM, 12/6/2013). Informasi terkait pengaruh praktik dan afiliasi keagamaan terhadap pribadi ataupun profesi praktisi berhasil digali dari seorang informan berlatar belakang pendidikan tinggi pekerjaan sosial. Ia menjelaskan pengaruh bagi pribadinya bahwa: “...makin kita mengerti akan hal-hal... yang seharusnya... dalam kaitan hubungan dengan yang di atas..., otomatis hal itu memang perlu disempurnakan. Dengan kita tahu, ...yang tadinya mungkin setengah-setengah dalam pengerjaannnya, makin merasa yakin, gitu kan.” (FS, 1/7/2014) Pengaruh terhadap hubungan dengan Tuhan tersebut juga diperkuat dengan amalan khusus yang dipraktikkan informan dalam keseharian. Contohnya, dengan membaca Ayat Kursi tiga kali sebelum berangkat dari rumah, ia merasa lebih percaya diri terhadap apa yang akan dikerjakan seharian dan meyakini bahwa Tuhan akan melindunginya dari segala bahaya.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
134
4.1.3. Keyakinan dan Nilai Sejumlah konsep yang membentuk kategori keyakinan dan nilai, sebagai komponen spritualitas, muncul dari pertanyaan-pertanyaan yang kadang dalam konteks narasi yang berbeda. Keyakinan dan nilai tersebut bisa mencakup pandangan tentang diri, tentang klien, maupun tentang keterlibatannya dalam melayani lansia. Keyakinan yang mencakup pandangan tentang diri tercermin dalam jawaban informan terhadap pertanyaan bersifat eksistensial. Misalnya seorang staf panti mengatakan, “Kalo ada kata-kata kenapa berarti kita gak ini (percaya) sama Allah. Kita menyalahkan Allah dong? Kenapa sih Allah? Berarti ...kita ini (tidak percaya) sama Allah dong?” Atau pernyataan ketika dia menyimpulkan, “Jadi kalo kita bilang kenapa-kenapa, itu berarti kita gak percaya sama Allah dong” (YL, 30/5/2013). Keyakinan tentang diri juga tercermin ketika informan mengalami suatu masalah. Mereka menganggapnya sebagai ujian kesabaran dan meyakini bahwa Tuhan tidak akan mengujinya di luar batas kemampuan dan akan memberi jalan keluarnya. Seorang informan menjawab, “Umpama kita sakit kita dikasih ujian kita mendekatkan diri... Allah juga pasti memberikan ujian ke kita ...(sesuai) kemampuan kita kan, gitu. Terus kita juga percaya dengan kemukjizatan Allah. Allah itu pasti ngasih jalan yang terbaik untuk kita, gitu.” (WN, 13/6/2013) Sebaliknya, informan akan menganggap segala yang menimpanya sebagai nasib atau takdir. Mereka akan menghadapnya dengan sikap pasrah, ikhlas, sabar, tidak mengeluh, dan tetap bersyukur kepada Allah. Seorang informan bahkan meyakini bahwa dengan sikap seperti itu hidupnya pasti akan bahagia. Bisa jadi keyakinan-keyakinan pribadi seperti ini kemudian mempengaruhi persepsi tentang penderitaan klien yang ditangani di panti. Pandangan tentang klien yang dipengaruhi keyakinan pribadi tersebut tampak dari komentar satu seorang staf panti, “Ya mungkin dulu sholatnya kurang atau gimana kali ya. Mungkin karena kesibukan bisa juga. Mungkin dia lalai atau bagaimana” (YL, 30/5/2013). Pernyataan lain datang dari seorang peksos ahli bahwa “apa yang kita tanam kita petik” (FS, 1/7/2014). Maksudnya, apa yang saat ini dialami atau diderita oleh klien lansia yang tinggal di panti merupakan akibat dari perbuatan masa lalunya yang kurang baik.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
135
Sementara tentang keyakinan yang terkait keterlibatan dalam pelayanan lansia, konsep yang tergali dari seorang peksos fungsional berupa keyakinan atau nilai bahwa bekerja untuk melayani kaum lansia yang membutuhkan adalah memang jalan hidupnya. Dengan begitu, pekerjaan tersebut dianggap sebagai ladang amal ibadah untuk bekal di akhirat. Sementara seorang staf di panti lain tampak bersyukur dan meyakini bahwa justru dengan bekerja melayani klien lansia hidupnya menjadi berkah dan banyak dimudahkan. “Alhamdulillah ...bersyukurnya saya ngurusin nenek-kakek, walaupun misalnya bau (atau) apa, tapi saya jalanin dengan ikhlas saya kerjakan dengan ikhlas alhamdulillah Allah ngasih hadiah sama saya, gitu” (WN, 13/6/2013). Seorang pendamping home care juga meyakini hal senada, “Kalo ibu ngurusin orang (atau) nengok, nggak papa, gitu aja... Alhamdulillahnya ibu mau capek itu juga ibu kemana-mana juga nggak keluar uang, ...” (MM, 16/6/2013) Keyakinan atau nilai lain yang tergali dari dua pendamping home care adalah bahwa menolong orang lain, dalam hal ini membantu lansia, pasti akan ada balasan, walaupun tidak harus langsung. Di samping pengaruh pribadi, nilai semacam ini bisa berasal dari ajaran agama. pendamping yang telah berhaji membenarkan hal ini, “Ya betul, kan kita diajarin juga kan. Ya kita bisa nolong orang siapa tahu suatu saat kan kita ditolong orang” (ED, 16/6/2013). Keyakinan lain terkait dengan masalah rejeki yang sudah diatur oleh Tuhan, meskipun ia bekerja sukarela membantu lansia setiap hari tanpa menerima upah. Hal ini juga ada hubungannnya dengan keyakinan akan keberkahan melayani lansia seperti telah dijelaskan di atas. Keyakinan atau kepercayaan akan suatu tanda atau semacam firasat akan terjadi sesuatu juga muncul. Kepercayaan yang sangat dipengaruhi dari lingkungan masyarakat dan keluarga ini misalnya omongan yang bisa bertuah atau munculnya kejadian nyata karena omongan yang terkadang dianggap sekadar kelakar. Hal itu juga bisa muncul dari pertanda (firasat) atau isyarat alam, seperti nasi yang cepat basi, bunyi burung “cuit”, atau mimpi tertentu.
4.1.4. “Di Balik Ujian Ada Hikmah” Sub-judul ini diambil dari ungkapan seorang informan (in vivo coding) karena cukup menggambarkan sejumlah konsep yang muncul dalam satu kategori. Kategori ini muncul dari sejumlah pertanyaan terkait masalah hidup yang pernah
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
136
dialami atau diderita oleh para informan praktisi kemudian bagaimana mereka menyikapi atau memaknainya. Pengalaman hidup tidak mengenakkan yang pernah diderita praktisi cukup beragam, mulai dari persoalan rumah tangga, hidup susah, sakit berat, kecelakaan, hingga ditinggal mati orang terdekat atau yang dicintai, seperti anak, pasangan hidup, atau orang tua. Kebanyakan praktisi menganggap pengalaman atau penderitaan hidup sebagai musibah, ujian, atau peringatan. Misalnya seorang pendamping home care yang baru kehilangan anaknya karena meninggal setelah satu hari lahir merespons dengan mengatakan “Ya, sebagai ujian aja ...karena amanat anak..., mungkin masih belum dipercaya sama Allah” (ED, 16/6/2013). Contoh informan lain mengatakan, “Ya bisa juga peringatan, bisa juga ujian. Kita biar meningkatkan diri kepada Allah” (YL, 30/5/2013). Informan ini juga menganggap setiap kejadian yang dialami sebagai nasib atau takdir. Respons yang ditunjukkan kebanyakan informan terhadap ujian atau peringatan tersebut adalah dengan menerima nasib atau takdir tersebut dengan sabar, ikhlas, tawakkal, dan bahkan tetap bersyukur. Sebagai contoh respons singkat dikemukakan seorang informan, “Bersyukur, tawakal. Itu aja” (YL, 30/5/2013). Ketimbang marah atau menyesali, mereka meyakini bahwa di balik ujian pasti ada hikmahnya. Kata seorang informan, “Pasti ada, ada di balik ujian itu ada hikmahnya semua. Itu aja. Dibalik ujian itu ada hikmahnya” (YL, 30/5/2013). Contoh respons lain ditunjukkan informan yang pernah mengalami sakit berat: Ya Allah, segala sesuatu itu sudah dalam rencana-Mu, dan segala sesuatu itu sudah Engkau tentukan, dan kita hanya bisa menjalaninya dengan keikhlasan dan ke depannya kita perbaiki, gitu kan. Kita lakukan yang lebih baik lagi. Nah itu kita sadari barangkali memang saya lebih baik kok diberi sakit seperti ini mungkin karena saat itu ...terlalu capek, ...sehingga udah diberikan yang terbaik sakit untuk istirahat. Ada banyak hikmah yang bisa kita ...ambil pelajaran dari kondisi seperti itu dengan kita menyikapi bahwa semuanya ... kita ikhlaskan karena sudah ditakdirkan oleh Allah pada saat sesuatu itu terjadi..., sehingga rasanya itu seperti ada cahaya itu langsung masuk ke... kepala ... (TY, 26/6/2014).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
137
Respons positif seperti itu bisa jadi karena kejadian yang dialami sudah lama berlalu sehingga pada saat ini cenderung telah berada pada tahap penerimaan atau memahami. Hal ini juga ditunjukkan pendamping lain, seorang ibu rumah tangga, yang menceritakan bahwa ia sempat goyah dan depresi karena merasa sangat kehilangan anaknya 18 tahun akibat kecelakaan. Berkat dukungan dari keluarga dan lingkungan, ia menjadi sadar bahwa semuanya adalah milik Tuhan. “Akhirnya saya sadar, oh iya dia ada yang punya. Mungkin aku juga ada yang punya nanti akan diambil” (HT, 16/6/2013). Pengecualian hanya pada seorang pendamping yang baru seminggu anak bayinya meninggal, namun telah menunjukkan respons positif. 4.1.5. Komponen Spiritualitas Penting Lain Beberapa konsep tidak dimasukkan dalam kategori tertentu, namun masih cukup relevan sebagai komponen spiritualitas menurut sejumlah praktisi. Konsep yang dimaksud meliputi panutan atau sumber inspirasi, hubungan (relationships), dan kecemasan-harapan. Dalam NVivo, ketiga konsep atau tema tersebut tampak sebagai node @kecemasan-harapan, @panutan-sumber inspirasi, dan @relationships yang menjadi cabang dari parent node #komponen spiritualitas penting lain (lihat Lampiran 8). Konsep-konsep tersebut tidak konsisten muncul dari semua atau sejumlah informan. Sebagai contoh, konsep tentang panutan atau sumber inspirasi memang muncul dari informan pertama, tetapi selanjutnya pertanyaan tentang hal itu tidak tampak relevan lagi ditanyakan. Terkait konsep ini, seorang informan mengakui bahwa kakeknya lah yang selama ini menjadi panutan karena telah mengajarkan agama, menanamkan keimanan, dan memberi nasehat agar selalu sabar dalam menjalani hidup. Konsep berikutnya yang muncul hanya pada seorang informan adalah terkait hubungan (relationship) dengan Tuhan. Menurutnya, jauh-dekatnya Tuhan dengan diri manusia sangat tergantung dari persepsi atau prasangka dan usaha manusia itu sendiri. “Ya kita tergantung diri kita juga lah pak. Kalau kita ... mendekatkan diri kita kepada Allah otomatis Allah juga dekat dengan kita. Tapi kalau kita jauh, kita nggak inget sama Allah, ya Allah juga jauh sama kita” (WN, 13/6/2013). Tampaknya
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
138
pandangannya ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama karena memang prinsip tersebut terdapat dalam kitab suci al-Qur’an. Selanjutnya, satu komponen penting lain dalam spiritualitas adalah terkait dengan konsep kecemasan atau ketakutan dan harapan. Hal-hal yang dicemaskan oleh seorang informan adalah masa depan anaknya. Di samping kekhawatiran terhadap masa depan anaknya yang memilik disabilitas, juga terhadap anak perempuannya yang lain dalam pergaulan sehari-hari. Dengan kondisi ini ia berharap ingin bekerja dengan baik demi membahagiakan keluarganya. Sementara seorang peksos fungsional yang telah berada di ujung pengabdiannya berharap agar masih diberi kesempatan untuk banyak beribadah. Ada juga satu praktisi peksos yang mengungkapkan harapannya terhadap lansia lansia yang ditangani. Ia berharap agar lansia menjalani sisa hidupnya dengan bermakna dan punya arti. Menurutnya, lansia di panti harus diberi dihargai keberadaannya, tidak sekadar menunggu kematian. Lebih jelasnya ia mengatakan: ...sekalipun mereka udah tua ataupun orang yang sudah tidak punya potensi apa-apa lagi gitu, maunya saya, siapapun itu harus bermakna aja, itu. Dan di mata kita pun tetap seperti itu. Mereka senior yang memang patut kita hargai. Tanpa mereka kita tidak ada. Adapun dinamika beliau yang seperti ini seperti ini, dengan karakter yang bebeda-beda, ya itulah manusia, .... Tak akan mungkin sama satu sama lain, gitu kan? ...katakanlah tempat pelayanan lansia ini, terutama di PSTW ini, sebagai tempat ...menunggu (kematian), saya nggak setuju. ... Karena banyak hal yang masih bisa beliau lakukan. Cuman nggak bisa disamakan dengan kita. Kalaupun memang katakanlah di lansia tidak ada unsur edukasinya, ...siapa bilang nggak ada unsur edukasinya. Cuma versi atau kemasannya aja yang berbeda, gitu. Itu yang saya ingin tekankan. (FS, 1/7/2014)
4.2. Praktik Spiritualitas dalam Layanan Kesejahteraan Sosial Sama dengan sub-bab sebelumnya, bagian ini mengulas jawaban pertanyaan penelitian kedua yang melibatkan praktisi sebagai informan. Pertanyaan tersebut terkait praktik penanganan sosial lansia dalam sinaran pemahaman spiritualitas yang mereka yakini. Tema-tema yang sempat diajukan pada saat wawancara berdasarkan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
139
panduan mencakup latar belakang memilih profesi pekerja sosial atau menjadi pendamping home care beserta motivasinya, nilai dan prinsip etis pekerjaan sosial serta kaitan atau koherensinya dengan spiritualitas, dan pengalaman menangani klien yang dianggap berbasis spiritualitas terutama pada asesmen dan intervensi. Sejumlah tema yang diajukan tersebut muncul dalam hasil temuan penelitian dan akan diuraikan dalam empat tema: (i) motivasi praktisi kessos; (ii) nilai dan prinsip etis pekerjaan sosial, (iii) asesmen, dan (iv) intervensi. Seperti tampak pada Lampiran 8, kelompok kategori sebagai judul sub-bab ini tampak dalam NVivo sebagai parent nodes #praktik dalam layanan, yang terdiri dari node @asesmen, @intervensi, @motivasi, dan @nilai-prinsip etis. 4.2.1. Motivasi Praktisi Kesejahteraan Sosial Sejumlah konsep yang berhasil digali dari semua informan dikelompokkan dalam satu kategori tentang motivasi menjadi pekerja sosial atau pendamping. Motivasi yang ditelusuri tidak saja dalam konteks pelayanan sosial, tetapi juga ketika awal mereka memilih sekolah atau kuliah di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial. Bagi mereka yang berlatar belakang pendidikan tersebut, alasan awal memilih adalah soal ketidaksukaan pada pelajaran eksakta dan matematika, bukan karena ketertarikan mereka pada bidang pelayanan sosial. Namun seiring waktu, mereka semakin menyukai bidang pendidikan kemanusiaan tersebut karena diakui lebih cocok dengan jiwa sosial mereka. Ketertarikan itu berlanjut ketika mereka bekerja di bidang yang sesuai dengan latar belakang pendidikan. Alasan lainpun muncul seperti karena mencintai pekerjaan, karena senang, atau bahkan karena rasa iba terhadap kaum lansia. Bagi pendamping home care, tumbuhnya kepedulian mungkin tidak sedari awal aktif di kegiatan yang sebagian karena diajak atau untuk mengisi waktu luang. Seorang pendamping mengatakan, “Bener ibu mah cuman gitu aja kemampuan ibu tuh. Sekolah mah ibu nggak tinggi lah, cuman biarain aja lah, ... dari pada di rumah bengong ya” (MM, 16/6/2013). Pendamping lain menjawab, “Udah dari awal diajak dulu... Lambat laun dan kebetulan juga berada di wilayah kita ya minimal ada lah peduli... dorongannya kepedulianlah, kemanusiaan seperti itu. Gak ada yang lain” (ED, 16/6/2013).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
140
Yang menarik di sini terkait motivasi melayani lansia adalah bahwa hampir semua informan menganggap lansia seperti orang tua atau nenek-kakek sendiri. Contohnya seorang informan mengatakan, “...semakin ke sini kita rasakan bahwa melayani... lansia itu sama aja kita melayani orang tua kita, harus penuh dengan keikhlasan harus penuh dengan panggilan hati” (TY, 26/6/2014). Begitu juga seorang pendamping home care dengan mengatakan, “Ya anggap mereka seperti nenek kita sendiri, ya mungkin seperti itu.” (ED, 16/6/2013). Motivasi lain yang tidak kalah penting adalah dorongan ibadah atau agama. Sebagian besar informan menaganggap pekerjaannya menolong orang lain adalah ibadah yang menjadi ladang amal untuk bekal di akhirat. Sebagian mengaku melayani lansia karena Tuhan (lillahi ta’ala), bukan karena ingin memperoleh suatu balasan. Meskipun begitu, ada seorang informan mengatakan bahwa membantu lansia bukan karena anjuran agama, tetapi karena memang ikhlas ingin menolong.
4.2.2. Nilai dan Prinsip Etis Pekerjaan Sosial Informan yang berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial meyakini bahwa spiritualitas dan keagamaan memiliki kaitan dan keselarasan dengan sejumlah nilai dan prinsip etis pekerjaan sosial. Seorang staf panti mencontohkan sikap saling menghargai, menghormati, dan mengerti antara sesama manusia, khususnya antara pekerja dan klien, agar tidak ada yang merasa tersakiti. Secara implisit informan ini memahami bahwa sikap-sikap etis tersebut merupakan bagian dari spiritualitas dan/atau keagamaan. Keselarasan tersebut juga ditunjukkan oleh informan lain yang menganggap profesi pekerjaan sosial sebagai ibadah. Satu informan mengakui apabila berhasil menolong lansia merasakan kepuasan tersendiri. “...suatu kepuasan bagi diri saya ya, yang ngelayanin kalau berhasil gitu, terutama nenek-kakek yang mengalami gangguan psikotik,” begitu katanya (WN, 13/6/2013). Ini juga tercermin dari jawaban atas pertanyaan apa arti pekerjaan sosial secara pribadi, yaitu: “...pekerjaan yang melayani ...orang-orang yang membutuhkan tanpa kita me.. (mengharap) pamrih” (WN, 13/6/2013). Terkait motivasi melayani lansia sebagai ibadah atau menganggap klien sebagai orang tua sendiri, seorang informan mengakui bahwa hal itu memang
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
141
bersifat pribadi. Namun, profesi pekerjaan sosial bisa seiring-sejalan dan bahkan tidak bisa dipisahkan dengan nilai atau keyakinan pribadi yang melibatkan hati nurani. Alasannya, menurutnya, “ilmu-ilmu pekerjaan sosial yang pernah saya pelajari itu sebenarnya ...memanggil hati bener, ...misalnya kita tidak boleh menjudge klien, tidak boleh menghukumi klien, tidak boleh memihak salah satu ...” (TY, 26/6/2014). Lebih jauh, informan yang punya latar belakang pendididikan tinggi agama dan pekerjaan sosial tersebut menegaskan bahwa nilai dan prinsip pekerjaan sosial sangatlah cocok dengan spiritualitas dan agama. Alasannya karena agama tidak hanya mengurus hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur tentang masalah muamalah atau hal-hal yang terkait dengan hubungan antar manusia. Sementara ilmu pekerjaan sosial sangat terkait erat dengan isu-isu kemanusiaan dalam hal ini pelayanan sosial. Ia menerangkan: Agama itu... melayani manusia, ini sangat cocok sekali ...agama itu bukan sesuatu yang melangit, tetapi ...harus bagaimana bisa dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, dan itu bisa diwarnai dengan ilmu pekerjaan sosial. ...sehingga agama itu... bisa membumi lah, gitu. ... Dan agama itu tidak sebatas kewajiban-kewajiban umum aja, (seperti) sholat, zakat, dan sebagainya, tapi ada kewajiban-kewajiban sosial yang harus kita lakukan. (TY, 26/6/2014)
4.2.3. Asesmen Model pelayanan sosial bagi lansia yang disediakan panti, terutama milik pemerintah, secara formal menerapkan sejumlah tahapan standar yang mengacu ke praktik pekerjaan sosial generalis. Secara garis besar urutan tahapan untuk perubahan terencana itu dimulai dari pendekatan awal, asesmen, rencana intervensi, intervensi, evaluasi, sampai terminasi. Bahkan proses di tiap tahapan dilengkapi setumpuk blangko atau formulir dokumen dari berbagai jenis yang berjumlah duapuluhan lebih. Instrumen pendukung layanan tersebut di antaranya seperti formulir seleksi calon klien, rujukan, data kondisi awal, identifikasi, biodata atau riwayat hidup, perjanjian kontrak, asesmen atau penelaahan dan pengungkapan masalah, catatan kasus, catatan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
142
harian, hasil pembahasan kasus (case conference), data atau catatan perkembangan, laporan kemajuan, dan sebagainya.
4.2.3.1. Asesmen spiritual minim Dengan setumpuk instrumen tersebut, sejauh penelusuran peneliti tidak semuanya terisi dengan baik dan bahkan beberapa formulir dibiarkan kosong. Dari formulir yang telah terisi, peneliti mencoba menelusuri catatan yang terkait aspek keagamaan dan/atau spiritualitas dari klien lansia, khususnya sejumlah lansia yang menjadi calon informan. Sangat sulit diketemukan catatan yang menyinggung spiritualitas klien, semisal proses pencarian makna oleh klien, perkembangan spiritualnya, nilai atau keyakinan yang dipegang, atau upaya pencarian jawaban atas pertanyaan eksistensial yang muncul dari si klien sendiri. Namun yang ditemukan hanya sejauh nama agama klien dan kehidupan beragamanya, yakni seputar ritual atau ibadah yang dilakukan, kemampuan teknis melakukan ritual, atau keterampilan melafalkan bacaannya. Hal ini tercermin dari jawaban mereka dalam wawancara. Seorang peksos fungsional mengatakan, “Kalau.. misalnya dia agamanya Islam, ...saya (tanya) langsung, suka sholat nggak? .. Ya paling nanyanya, bisa nggak baca ini, baca al-Qur’an atau apa, baca al-Fatihah baca apa. Surat-surat pendek misalnya, gitu“ (SM, 12/6/2013). Untuk klien yang berbeda agama, informan tetap menanyakan pertanyaan standar, misalnya apakah suka pergi ke gereja atau apakah suka berdoa. Untuk identifikasi agak lebih jauh, ada juga yang mengarahkan ke praktisi lain yang seagama. Satu informan menceritakan, “..dari identifikasi awal kita tahu kan, oh dia agamanya Islam, dia agama Kristen, dia agama Budha. Nah yang Kristen itu saya sudah arahkan... Bu M, ini agama Kristen nih, nenek ini kakek ini sambil saya tunjukin orangnya.” (WN, 13/6/2013). Menurut seorang informan, asesmen juga dilakukan dengan metode observasi dalam berbagai kesempatan, terutama ketika ada kegiatan bimbingan agama: Nah, awal datang.. masuk observasi. Setelah diobservasi lamanya sebulan itu, kita kan lihat perkembangan... Setelah dia bisa bersosialisasi, ...kita masukkan ke barak renta, barak setengah renta, barak sehat,... Nah di situ kan dilihat, ...sambil (di-) bimbing. ...Terus saya kalau di ruangan kan sama bu Haji I, bu Haji A, kan itu (bimbingan), “Mak, coba deh Mak ...kalau istighfar
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
143
apa bacaannya, Mak?” gitu kan. “Mak, kalau baca al-Fatihah, Mak?” gitu. “Terus Mak baca surat-surat apa yang hafal?” itu. Itu kan yang dites gitu. ...walaupun dia istilahnya di jalanan ya, ngemis gitu, tapi kalau dasar agamanya dia ada kan pasti gak mungkin lupa ya, surat-surat yang kecil (pendek) itu... Tapi kalau emang dia biasanya dasarnya dari kecil di jalanan..., nggak ada bimbingan dari keluarga itu, itu yang susah. Jangankan untuk ... (ngaji, sholat), al-Fatihah aja susah gitu. (WN, 13/6/2013). Menyadari minimnya catatan asesmen dengan berbagai formatnya yang memuat unsur keagamaan dan/atau spiritualitas, akhirnya peneliti lebih berupaya menggali bagaimana praktisi melakukannya, bukan pada apa yang didapat dari hasil asesmen tersebut. Sebagai catatan, semua informan praktisi lulusan pendidikan pekerjaan sosial pastinya memahami tahapan-tahapan pelayanan beserta blangko kelengkapannya. Dengan demikian, ketika dalam wawancara disinggung istilah asesmen, mereka telah memahami maksudnya. Meskipun arah utamanya untuk menggali bagaimana praktisi memahami spiritualitas dan keagamaan lansia, informasi tentang proses asesmen secara umum juga turut terungkap. Meskipun dalam formulir asesmen kurang disinggung, proses untuk menggali masalah atau memahami spiritualitas klien bukan berarti tidak dilakukan oleh para praktisi. Perlu dicatat bahwa proses penggalian masalah lebih kental dibanding berupaya memahami klien secara mendalam. Melalui wawancara, spiritualitas dari lansia sampai tingkat tertentu telah mereka gali namun tidak dicatat dalam formulir yang tersedia. Informasi yang tergali terkadang hanya disimpan menjadi informasi pribadi atau hanya dibicarakan dengan praktisi lain atau petugas panti. Karena para praktisi seringkali lebih fokus pada upaya menyelesaikan masalah yang mungkin sedang dihadapi klien ketimbang memahami klien secara utuh.
4.2.3.2. Asesmen berkelanjutan, intensif, dan multidisiplin Satu teknik asesmen yang berhasil digali, baik untuk tujuan umum ataupun tujuan mengenali spiritualitas klien, adalah apa yang disebut seorang praktisi sebagai “asesmen berkelanjutan.” Asesmen semacam ini dilakukan secara terus-menerus melalui interaksi yang inetensif dengan klien lansia. Menurutnya, hasil penggalian yang diperoleh pada saat asesmen awal seringkali belum mengungkap masalah lansia
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
144
atau faktor individu tertentu secara mendalam. Hal-hal ini akan tergali melalui asesmen terus-menerus dan interaksi intensif. Tentang asesmen ini, ia mengatakan: ...memang kita ada asesmen berkelanjutan terus-menerus.. itu karena seringnya interaksi itu aja. Dan memang sebagian juga ada catatannya, tapi catatannya itu kan kebanyakan formalitas, ...istilahnya nggak mendetail banget, gitu. Dan itu nanti lebih banyak masuk ke kasuistik, gitu kan. Nah kalau di awal-awalnya biasanya belum begitu terlihat, hanya masalahmasalah yang sifatnya fisik gitu loh, kebutuhan fisik dia, kebutuhan agama, oh dia nggak sholat, oh berarti perlu bimbingan agama, titik. Gitu aja kalau asesmen awal. Terus nanti semakin ke sini kita pahami, oh.. ini ternyata dia suka marah, dia suka ini, dia males sholatnya. Ada juga yang kalau misalnya diajarin sholat pun dia iya iya aja, tapi tidak menggunakannya bener, nah ini sudah faktor... individu lansianya itu. Yang ibaratnya itu akan dengan sendirinya ketahuan wataknya gitu loh. Ini asesmen awal itu yang kita pahami sekilas, tapi begitu semakin sering kita lihat, semakin sering kita tahu interaksinya dengan orang lain kesehariannya itu, jadi ketahuan wataknya. (TY, 26/6/2014) Asesmen spiritual lansia, masih menurut praktisi dari spesialis pekerjaan sosial tersebut, harus dilakukan secara detail, intensif, dan profesional. Hal ini akan lebih baik kalau dilakukan dengan kerjasama tim dari multidisiplin yang bisa terdiri dari pekerja sosial, psikolog, pembimbing agama, dan lain-lain. Lebih jelasnya praktisi ini mengatakan: ...bisa kita lihat memang spiritualitas itu harus dilakukan lebih intens, lebih detail, dan ditekuni dengan... profesionalitas tersendiri gitu loh ya. Maksud saya tuh harus betul-betul ada beberapa orang, tidak hanya satu orang, tidak cukup gitu loh. Untuk bener-bener melakukan perubahan spiritualitas seseorang itu menjadi... pribadi yang jauh lebih baik itu nggak cukup butuh satu orang dan itu memang perlu kerja sama, yang peksosnya, ...pembimbing agama, ...pembimbing pikososialnya, dan sebagainya. (TY, 26/6/2014) Pada praktiknya, informan tersebut mengakui masih kurangnya komunikasi antar praktisi karena kurang memanfaatkan formulir catatan yang sebenarnya sangat menentukan dalam penyelesaian masalah lansia melalui kerja tim. Misalnya terkait
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
145
isu lansia dalam menghadapi hari akhir. Menurut salah seorang informan, bisa diusulkan membuat form asesmen untuk mengakomodasi atau mendetailkan keinginan atau harapan lansia dalam menghadapi kematian, seperi form wasiat, warisan, pensiunan, mau dikubur dimana, dan lain-lain.
4.2.3.3. Asesmen versi pendamping home care Dalam sistem pelayanan home care, tahapan layanan seperti di atas tidak menjadi tradisi. Berbeda dengan para praktisi panti, empat pendamping home care tidak berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial sehingga istilah tahapan asesmen atau intervensi tidak cukup familiar buat mereka. Dengan demikian, pada saat wawancara peneliti tidak memakai istilah teknis “asesmen” ketika menanyakan proses asesmen yang sejatinya mereka lakukan juga. Tanpa harus dicatat dalam formulir, para pendamping lansia home care melakukan asesmen dalam setting alamiah keseharian, seperti ngobrol secara kekeluargaan. Seorang pendamping menjelaskan, “Sambil ngobrol aja. Apa kabar Bu? Nek, apa kabar? Sambil ngobrol seperti keluarga sendiri. Jadi gak ada lagi tamu ..., seperti biasa aja. Keluarga juga udah kenal semua kalo saya dateng ke situ, ya udah.” (ED, 16/6/2013). Dengan obrolan melalui kunjungan itu, pendamping sambil berupaya menggali permasalahan yang sedang dihadapi lansia.
4.2.3.4. Menyinggung keagamaan klien Dalam hal keagamaan lansia home care, sebagian pendamping tidak berani menyinggung secara langsung atau memulai pembicaraan terlebih dulu. Seperti penuturan satu informan, “...kita nggak berani nanya-nanya... Takutnya ntar tersinggung, ...Pokoknya kalo masalah gitu mah kayaknya riskan yah? Takut... Kalo masalah itu (agama) mah ngeri aja. (Takut dibilang) ‘kayak udah bener aja kamu,’ gitu” (HN, 16/6/2013). Ada juga sebagian praktisi yang menyinggung soal agama atau ibadah secara langsung, terutama untuk klien yang seagama. Misalnya SM, seorang praktisi Muslim di panti mengatakan, “... (yang) suka saya lihat, misalnya dia agamanya Islam, ... saya (tanya) langsung, suka sholat nggak?” Atau “Ya paling nanyanya, ...
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
146
‘bisa nggak baca ... al-Qur’an atau apa, baca al-Fatihah baca apa, surat-surat pendek?’ misalnya gitu.” (SM, 12/6/2013). Pada prinsipnya, sebagian besar praktisi berupaya untuk bertindak hati-hati dalam menyinggung hal-hal yang sekiranya sensitif bagi klien dengan melihat-lihat kondisi mereka terlebih dahulu. Dalam melakukan asesmen maupun intervensi secara bersamaan, seorang peksos di panti mengatakan bahwa ketika menyampaikan soal keagamaan atau memberikan motivasi kepada klien, ia berupaya untuk mengemas kata-katanya agar tidak sampai menyinggung perasaan klien. Cuman cara penyampaiannya tidak mendikte, tidak mengintervensi. Karena apa, ... satu sisi walaupun dia warga binaan ataupun penerima manfaat, satu sisi (lain) juga dia sebagai orang tua. Nah, bagaimana cara kita mengemas bahasa itu supaya orang itu jangan tersinggung. Karena sensitif untuk hal-hal seperti itu. Karena ada juga lansia yang merasa ‘ndak perlu Anda ajari saya, saya udah lebih bisa,’ gitu kan. (FS, 1/7/2014)
4.2.3.5. Pendekatan untuk menarik lansia home care Satu hal yang menarik dari apa yang dilakukan seorang pendamping adalah pendekatan awal terhadap lansia untuk menarik mereka aktif dalam kegiatan agama di masyarakat. Ia membujuk para lansia yang belum aktif untuk mengisi waktu yang bermanfaat, ketimbang diam di rumah. Cara mengajaknya pun secara halus dan pelan-pelan. Kemudian mereka dikasih pilihan kegiatan agama sesuai minatnya. Terkadang juga diimingi-imingi akan dikasih sesuatu bila ikut kegiatan. Tentang strateginya ini, ia menjelaskan: Bapak-bapak ama ibu-ibu di sini tuh majunya kayak gitu. ...pertamanya, ditarik, punya duit ibu ngamal, nggak punya duit juga nggak papa nggak ngamal, baru pada bisa. Kalau ..dikerasin harus bisa ngaji aja, itu mah nggak ada orangnya mas... “Oh si anu kenapa ya, nggak mau ngaji ke majlis ta’lim?” Ntar ibu mah dideketin, “daripada di rumah yuk, yuk ke mesjid kan deket, mendingan kita ngaji aja.” “Ntar amalnya (jariyah) dari mana?” “Udah itu mah, ntar ibu ada nih, ya?” gitu. Jadi kan kalau nggak ditarik kayak gitu kan susah ibu-ibu sekarang. “Dari pada di rumah, iya yah.” Akhirnya alhamdulillah dimana-mana sekarang majlis ta’lim kan ada lima di sini. ...Ibu
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
147
mah cuman ngerayu-ngerayu ibu-ibu aja gitu bisanya. Nggak bisa apa-apa. Ibu mah cuman ngajak lah ya. (MM, 16/6/2013)
4.2.4. Intervensi Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tahap setelah asesmen adalah intervensi atau implementasi dari rencana yang tersusun berdasarkan hasil asesmen. Dalam praktiknya, perencanaaan atau intervensi seringkali bukan merupakan tahapan terpisah secara serial yang dilakukan setelah asesmen. Terkadang asesmen masih terus dilakukan secara kontinyu seiring paralel dengan tahap intevensi. Asesmen yang dilakukan para praktisi seperti diutarakan di atas juga bisa menjadi intervensi itu sendiri. Tahapan ini juga tidak selalu didokumentasi atau dicatat dengan baik dalam sejumlah formulir. Informasi terkait hal ini lebih dominan digali melalui wawancara atau observasi partisipan ketika, misalnya, ada bimbingan agama atau melakukan ibadah sholat di musholla. Node @intervensi menjadi parent nodes tersendiri karena ada dua tema yang dikelompokkan di dalamnya, yakni node @contoh kasus intervensi dan @penanganan akhir kehidupan lansia (perhatikan Lampiran 8). Dari parent node dan dua nodes, pembahasan akan dikelompokan dalam beberapa bagian.
4.2.4.1. Teknik-teknik intervensi Teknik utama yang digunakan para praktisi umumnya berupa mendengarkan cerita dan keluh kesah lansia, meskipun terkadang ceritanya hanya diulang-ulang. Teknik semacam ini tidak bisa dilakukan secara instan karena untuk bisa membuat para lansia bebas bercerita para praktisi mesti berinteraksi secara intens, meskipun tidak harus berlama-lama. Misalnya hanya dengan mengunjungi sebentar, menyapa, tanya kabar, dan sebagainya. Ketika melakukan intervensi, intinya harus sudah terbangun semacam hubungan baik (rapport) dan unsur kepercayaan (trust) lansia sehingga mereka akan membuka diri (disclosure) kepada praktisi. Kepercayaan akan lebih mudah tumbuh apabila hubungan itu terjalin karena motivasi dari kebanyakan praktisi yang menganggap klien layaknya sebagai orang tua atau nenek-kakek mereka sendiri. Contohnya seorang informan peksos ahli menyatakan bahwa klien biasanya berani
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
148
menceritakan masalah pribadi secara terbuka setelah adanya unsur kepercayaan. Sehingga dengan begitu peksos memanfaatkan teknik ventilasi untuk mengeluarkan keluh-kesah klien. Meskipun dengan keterbukaan klien seperti apa, tentu saja peksos tetap patuh terhadap kode etik porofesi, yakni menjaga kerahasiaan klien. Bentuk dari intervensi oleh praktisi yang mereka nilai menggunakan pendekatan spiritual atau agama cukup bervariasi, tergantung kondisi dari si lansia dan sejauhmana hubungan yang telah dibangun. Misalnya dari mulai mengingatkan, mengajak, menasehati, turut serta, sampai mengajari para lansia beribadah, berdoa, atau dzikir. Sebagian informan mengaku turut mendampingi ketika ada bimbingan agama. Bahkan bagi pendamping home care yang telah mengenal secara dekat mereka bisa menyuruh langsung lansia untuk, misalnya, sholat. Berbagai bentuk intervensi tersebut dilakukan dengan cara mengarahkan dengan penuh perhatian, kasih sayang, kesabaran, keuletan, dan secara informal. Seorang staf mengatakan: Ya kita kan mengarahkannya dengan bentuk suatu perhatian gitu, kasih sayang gitu. Sambil kita bercanda-canda, seperti kita berteman, seperti apa orang tua kita sendiri. Dan dia juga apa, merasa senang, merasa bangga gitu, dia bisa juga dia inget ama anak, inget ama cucunya kan gitu sambil suatu bentuk perhatian itu yang dia ingini. (WN, 13/6/2013) Meskipun begitu, seorang peksos mengakui bahwa pendekatan spiritual yang dimaksud tidak sampai menggunakan teknis khusus. ...hanya dengan secara lisan gitu ya, maksudnya. Tapi kalau penanganan langsung kalau dengan doa-doa sendiri ya belum pernah. Cuman maksudnya, memotivasi orang, ...supaya ...mencoba lah. ...kita tinggal nunggu waktu, ya cobalah tingkatkan kesabaran, ...banyak sholat malam, banyak apa... Kayak gitu aja. Banyak doa, banyak apa, dzikir, gitu. (SM, 12/6/2013) Begitu juga dengan seorang informan peksos ahli. Ia hanya memberikan dorongan bagi lansia dan membicarakan kewajiban-kewajiban bagi penganut agama secara umum dengan menghindari kesan mendikte atau memaksa mereka. Saya sederhana aja, mas. Kalau saya lebih kepada memberikan motivasi dan memberikan pandangan-pandangan aja terhadap dia. Yah, pandangan yang seharusnya diwajibkan kepada kita dari akil baligh sampai dengan tutup mata apa sih, itu. Cuman cara penyampaiannya tidak mendikte (atau) tidak
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
149
mengintervensi. Karena apa? Karena dia orang, satu sisi walaupun dia warga binaan ataupun penerima manfaat, satu sisi juga dia sebagai orang tua. Nah, bagaimana cara kita mengemas bahasa itu supaya orang itu jangan tersinggung. Karena sensitif untuk hal-hal seperti itu (FS, 1/7/2014). Intervensi dengan memberikan motivasi seperti itu tidak bisa dilakukan secara kolektif melalui bimbingan kelompok atau misalnya pengajian agama. Terutama untuk hal-hal yang sifatnya pribadi, bimbingan harus dilakukan secara individu agar lebih bisa diterima. Seorang praktisi menjelaskan: Tapi kalau yang sifatnya pribadi... kita harus agak lebih intensif mendekat secara individu, agar lebih masuk gitu kan. Kita memberi motivasi, mengingatkan, ya intinya kita bukan menggurui, tapi kita mengingatkan dan kita sendiri juga belajar. Kita belajar dari orang tua yang pengalamannya sudah ...banyak dan pengalaman dia dengan masalah yang seperti itu bagi kita... yang masih muda itu pasti akan berpikir bahwa jangan sampai lah saya seperti ini, gitu kan. Jadi, menjadi cermin juga bagi kita. (TY, 26/6/2014)
4.2.4.2. Lansia sedih atau patah semangat Untuk lansia yang mungkin sedang murung atau patah semangat, praktisi berupaya mendekati dengan mengajaknya ngobrol, bertanya, menghibur, atau memberi semangat agar tidak berputus asa. Sebagai contoh kasus, seperti diceritakan seorang praktisi di panti, pak S bisa dikatakan aktif karena mengikuti semua kegiatan, dan suka bantu-bantu pekerjaan di panti. Tapi tiba-tiba pasif tidak mau ikut kegiatan apapun. Ditanyakan apa sebabnya, klien tersebut mengaku sakit gigi. Namun meski sudah dibawa ke dokter, belum ada perubahan sikap. Ketika digali lebih dalam, ternyata sebab utamanya adalah bahwa pak S merasa selalu disalahkan dan dimarahi oleh petugas (pramusosial) ketika ingin membantu. Dari situ, praktisi mencoba memberi semangat dan memberi perhatian agar aktif kegiatan lagi. Terkadang juga dengan meyakinkan lansia bersangkutan bahwa dia masih berguna sehingga bisa membantu, bekerja, dan memberi manfaat bagi orang lain. Ia mengatakan: Bapak jangan putus asa, Bapak tuh masih bisa ... walaupun Bapak di sini WBS tapi tenaga Bapak masih ...membantu ruang-ruangan nenek-kakek yang
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
150
renta itu.” Kadang kan ya adik-adik Pramu nggak ada, .... Nenek kan nggak mungkin ngangkat galon. “Pak S tolongin dong,” itu kan ... suatu kebanggaan Bapak.... kemarin waktu nenek Anggrek, ibu W meninggal dunia, ..karena dia udah aktif lagi, udah timbul semangat diri lagi, ...dia membantu mandiin jenazah, gitu. ... itu kan bagian dari ibadah kan, gitu. (WN, 13/6/2013). Untuk klien lain yang dianggap psikotik oleh petugas panti, praktisi tersebut memberi penekanan pada unsur perhatian dan kasih sayang bagi klien bersangkutan. Karena dengan perlakuan ini, klien akan tumbuh kepercayaan diri dan merasa dianggap ada dan dihormati orang lain. Katanya: Dia itu kan sebenarnya butuh perhatian, butuh kasih-sayang dari orang (lain). ...kita sabar, di situ dia timbul percaya diri, bahwa aku diakui, aku (me-)rasa dihormatin, aku dirasa di-orangin di situ. ..., saya enggak putus asa, saya dengan nenek-kakek yang mengalami gangguan psikotik... (WN, 13/6/2013) Praktisi lain tidak jauh berbeda mengenai penanganan lansia yang sedang sedih atau mengeluh karena merasa disingkirkan oleh keluarga. Karena kesamaan gender, praktisi ini berupaya mendekati klien dengan sentuhan secara fisik seperti mengelus atau menepuk pundaknya. Dengan kedekatan secara fisik seperti ini dan kondisi psikis klien yang memungkinkan untuk diberi masukan, praktisi kemudian mengajak bicara dari hati ke hati, mengingatkan untuk selalu sabar, dan berdoa. ...dengan pekerjaan sosial, kita... mendekat secara fisik, misalnya sama perempuan, ...kemudian kita tepuk pundaknya, kita elus-elus pundaknya, “Embah yang sabar.” Dan kita mengingatkan dengan kata sabar itu saja, itu sudah dengan pendekatan agama juga kan. Jadi memang agama itu sudah meliputi semuanya, dan lebih dipertajam dengan aspek sosial seperti itu lebih kena banget, gitu loh... “Embah lebih banyak berdoa, berdoa untuk diri Embah sendiri, dan doakan saja anak-cucunya itu diberikan kesehatan, mudah mencari rizki, diberikan hidayah, diberikan petunjuk untuk senantiasa ingat sama Embah,” gitu kan. (TY, 26/6/2014)
4.2.4.3. Doa dan relasi segitiga Tuhan-klien-orang yang didoakan Satu hal menarik yang bisa diangkat dari informan tersebut adalah munculnya konsep doa dan relasi segitiga antara Tuhan, klien, dan orang yang didoakan klien.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
151
Masih terkait dengan klien lansia di atas, dengan konsep doa dan relasi segitiga tersebut kemudian praktisi berupaya sedemikian rupa untuk menumbuhkan kesadaran dari dalam klien bahwa bisa jadi apa yang dialami klien saat ini adalah akibat dari sikap dan perilaku yang telah lampau. Ia menjelaskan: Jadi itu... menanamkan nilai spiritualitas embah, nilai keagamaan yang terkait dengan kerohaniannya gitu, kejiwaannya, ...bukan.. sekedar syariatnya, gitu ya. Nah itu akan bisa membuat embah itu memiliki keyakinan bahwa, oh iya yah, bahwa secara fisik saya terpisah dengan anak saya dengan cucu... Cucu tidak bisa merawat saya karena kondisi tidak mampu dan sebagainya, tapi dengan doanya embah, embah (harus) yakin bahwa ...hubungan manusia, embah (atau) kita dengan Allah itu ibaratnya seperti segitiga. Kita yang mendoakan di segitiga sudut kiri kemudian Allah berada di sudut atas, kemudian yang kita doakan ada di sudut kanan bawah. Itu akan tersambung bahwa Allah menyambungkan doa itu, kan. Menyambungkan, mengabulkan doa itu, ... Dan hal ini bisa juga bagi embah itu ...menyadarkan pula membuat mbah jadi banyak ber-istighfar juga. Barangkali kenapa sikap anak... ada yang tidak mau merawatnya, ada yang membuangnya, ...bisa jadi... dulu mudanya... ketika merawat anak itu... ada perasaan tidak ikhlas. (Hal-hal) seperti itu sebenarnya saling terkait (TY, 26/6/2014). Upaya penumbuhan kesadaran seperti itu dimaksudkan agar klien lansia mampu mengevaluasi dan mengoreksi diri-sendiri agar memperbanyak istighfar, memohon ampun kepada Tuhan, dan hubungan dengan keluarganya pun diharapkan menjadi lebih baik. Praktisi tersebut menegaskan: ...semuanya itu Allah sudah Mahatahu bahwa kamu dulu itu seperti ini terhadap anakmu. Kemudian saat ini kamu nggak dirawat sama anakmu misalnya, itu jadi menjadikan embah itu mau mengevaluasi diri (atau) mengoreksi. Sehingga dari situ embah mau lebih banyak ber-istighfar, lebih banyak berdzikir, lebih banyak mendoakan juga untuk diri maupun anakcucunya itu agar dia istilahnya syukur mau mengambil untuk merawatnya atau setidaknya kalau tidak bisa sering berkunjung untuk menjenguk seperti itu, sehingga tersambung silaturahim keluarga (TY, 26/6/2014).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
152
4.2.4.4. Lansia bertengkar Para praktisi mengakui bahwa kebanyakan lansia yang tinggal di panti sering bertengkar antar sesama yang terkadang karena masalah sepele. Namun terkadang juga terjadi pada lansia home care. Untuk menangani hal ini, lansia yang bertengkar biasanya oleh praktisi dipanggil, diajak ngobrol, diingatkan tentang umur yang sudah lanjut, ditanamkan kesadaran bahwa sama-sama hidup di panti adalah senasib, sehingga harus saling bersaudara, berbuat baik, dan menghindari pertengkaran. Sebagai contoh, salah seorang praktisi menceritakan pengalamannya: ...selalu yang ribut-ribut itu saya panggil. “Mak, sekarang Emak maunya apa sih? Mak, apa sih yang diributin,” gitu. “Mak, sisa umur kita tinggal berapa?” kan gitu. “Kita nggak tahu umur, Mak. Ya tahu saya duluan, tahu Emak duluan, Mak. ...kita di sini ...bersaudara semua senasib sepenanggungan.” ..., “nggak usah harus diributin, emak nanti kalau nggak ada umur, gimana...? Kalau emak sakit, siapa yang mau nolongin emak kalau emak ribut terus? ... Mak, di sini saling tolong-menolong.” ...saya selalu...nasehatinnya ke masalah tentang umur. .., “di sini ini kita udah tua, kita dulu muda itu kita udah banyak dosa kita, belum tentu sama Allah diampunkan dosa kita. Sekarang kita di sini perbanyak ibadah,” kan gitu. “Untuk apa? Modal kita nanti kalau kita nggak ada umur, untuk modal kita di akherat.” Ya itu saya dorongan itunya ke situ. Kalau untuk lansia-lansia yang masih pada mandiri, masih sehat. Karena kalau lansia mandiri itu lebih dominan pada ribut, pada berantem, bertengkar, gitu. (WN, 13/6/2013)
4.2.4.5. Intervensi yang dianggap berhasil Intervensi yang menurut penilaian praktisi sendiri berhasil biasanya menghasilkan perubahan positif bagi lansia. Seorang praktisi menyampaikan, “Alhamdulillah dengan kesabaran saya, Bu F. juga, keuletan, akhirnya nenek-kakek ...bisa beradaptasi lagi. Dia bisa timbul percaya diri lagi, dia bisa mengenal diri dia sendiri, begitu. Alhamdulillah lah udah banyak yang dari awal mereka datang mengalami depresi apa gitu.” (WN, 13/6/2013). Sebagai contoh kasus lansia yang patah semangat, seorang praktisi meyakini bahwa mereka hanya butuh perhatian, teman, dan kasih sayang. Katanya:
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
153
Dia itu kan sebenarnya butuh perhatian, butuh kasih-sayang dari orang. ...kita sabar, di situ dia timbul percaya diri, bahwa aku diakui, aku (me-)rasa dihormatin, aku dirasa di-orangin di situ. ..., saya enggak putus asa, saya dengan nenek-kakek yang mengalami gangguan psikotik... Dia butuh perhatian, dia butuh ada teman. Kan gitu kalau udah (tua) itu, iya. Kadang kan kalau di rumah itu orang tua dicuekin. ...dia mudah tersinggung kan kalau orang tua, karena kembali lagi sifatnya seperti anak-anak, nah kitanya yang muda itu harus mengerti. (WN, 13/6/2013) Setelah serangkaian intervensi, muncul perasaan positif, seperti tumbuhnya kepercayaan diri, semangat hidup kembali, mampu mengenali diri-sendiri, bisa beradaptasi, merasa ada yang memperhatikan, merasa masih berguna, dan bahkan merasa bangga bisa membantu sesama. Hal ini disampaikan oleh seorang praktisi: ...dengan itu dia akhirnya bersemangat lagi, kan itu kan suatu dorongan spiritual dia juga kan? Eeh. Terus timbul rasa dari diri-sendiri, oh aku itu dari sebanyak orang di sini, ...ternyata masih ada yang memperhatikan aku, gitu kan. Wah aku ini berarti... masih berguna untuk orang lain, aku. ...kemarin waktu nenek Anggrek, ibu W meninggal dunia..., karena dia udah aktif lagi, udah timbul semangat diri lagi, tanpa kita harus (menyuruh)..., dia membantu mandiin jenazah, gitu. Gini-in (mengurus jenazah) itu kan bagian dari ibadah kan, gitu. (WN, 13/6/2013) Untuk menilai apakah suatu intervensi berhasil menghasilkan perubahan pada klien atau tidak memanglah sulit, terlebih lagi intervensi yang berbau spiritual. Hal ini diakui oleh seorang informan dengan mengatakan (TY, 26/6/2014): ...nggak terlalu kelihatan banget gitu perubahan itu. Tapi setidaknya akan terlihat yang mungkin awalnya kelihatan jiwanya nggak tenang, ...pikirannya nggak tenang, semakin ke sini ...kebutuhan fisiknya sudah terpenuhi, pangansandangnya terpenuhi, ...nah tingkat spiritualitasnya ini yang... belum ada pengukuran tersendiri. Mungkin karena keterbatasan pengetahuan kita tentang bagaimana mengukur spiritualitas seseorang itu. Jadi ya, paling hanya kelihatan secara sekilas saja, oh sekarang dia lebih seger ya, sekarang lebih bergembira ya. Yang dulunya murung sekarang jadi agak lebih mau terbuka, dulunya diam, nggak mau gaul, sekarang mau ngobrol, seperti itu.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
154
4.2.4.6. Intervensi yang dianggap gagal Di samping banyaknya keberhasilan ada juga yang dianggap gagal, terutama untuk lansia yang menurut praktisi sudah tidak responsif. Seorang peksos terampil mengatakan, “Ya, kalau yang nggak ada pengaruh biasanya orang-orang yang sudah ini sih, hanya orang-orang yang... nge-blank” (SM, 12/6/2013). Kondisi keberagamaan lansia seperti itu tergantung dari kebiasaan masa mudanya, misalnya terkait ibadahnya. Menurutnya, “Ya, yang orangnya ya misalnya error-error. Kalau yang memang dari muda... sudah terbiasa ibadahnya bagus, mungkin lain” (SM, 12/6/2013). Senada dengan hal ini, praktisi lain mengatakan: ...itu juga tergantung dari dasar agama dari lansia itu sendiri. Dasar dari spiritualitas dari lansia itu sendiri dari awalnya, dari dininya, gitu ya. Kalau memang lansia itu sendiri dari dini ...dari dewasanya nggak pernah dia terpanggil dengan... motivasi keagamaan dia, itu juga sedikit sekali pengaruhnya, terapi untuk agama itu. (TY, 26/6/2014) Agak berbeda dengan dua informan di atas, seorang peksos ahli berpendapat bahwa kegagalan dalam menggunakan pendekatan spiritual atau agama itu sebagian disebabkan oleh klien itu sendiri. Pendapat ini tampaknya berangkat dari sejumlah kecil kasus atau lansia yang cenderung antipati terhadap agama karena latar belakang tertentu atau pengalaman masa lalu. Lebih terang peksos ini berkesimpulan: Saya melihat kepada motivasi orang yang bersangkutan aja yang tidak punya keinginan. Dia udah apa ya, ya tidak memaknai hidupnya aja gitu. Sehingga dia tidak perlu, ibaratnya, hidup ini tidak perlu bertuhan tidak apa-apa mungkin. Dia tidak pernah merasa udara (untuk) ...nafas yang ditarik itu punya siapa, gitu. Bumi ini yang dipijak punya siapa, gitu. (FS, 1/7/2014) Ketidakberhasilan praktisi dalam menggunakan pendekatan spiritual untuk klien atau kasus tertentu, menurut sebagian praktisi, bukan berarti pendekatan ini tidak berguna sama sekali. Akan tetapi, seorang informan berpendapat, meski hanya punya pengaruh sesedikit apapun pendekatan agama harus tetap dipakai, karena muara dari pelayanan lansia pasti ke agama. Dia berargumen bahwa masa lansia berada pada fase paling akhir kehidupan seorang manusia sebelum meninggal. Kematian menandakan permulaan manusia untuk mempertanggungjawabkan setiap
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
155
perbuatan di dunia di hadapan Tuhan. Persoalan ini diajarkan dan diatur dalam agama. Dalam alur pikir seorang informan, lebih lengkapnya seperti ini: ...sedikit maupun banyak itu harus kita pakai, karena sebenarnya ujungujungnya kan kita ini mau melayani lanjut usia ...inti utamanya adalah ke agama. Ke agama. Ujung-ujungnya bukan berarti gimana ya, mati setiap orang (pasti mengalami), kita nggak tahu umurnya. Tapi mau (kemana lagi), sudah umur sekian itu sudah tanda-tanda bahwa dia mau kemana lagi, gitu loh. Kita harus lebih banyak ke agama, ...apapun yang kita lakukan itu selalu kita memiliki dorongan motivasi untuk ibadah, untuk agama, gitu loh. Seperti itu. Mau kegiatan (apapun atau) memiliki keahlian apapun mungkin (bagi) lansia yang masih potensial, tapi jangan pernah melupakan hakekatnya ... bahwa kita ini harus banyak beribadah kepada Allah. Seperti itu. (TY, 26/6/2014) Para praktisi mengakui tidaklah mudah untuk mempraktikkan intervensi bermuatan agama dan/atau spiritual, karena lansia memiliki dasar agama yang berbeda-beda. Teknik yang dilakukan adalah bimbingan agama secara berkelompok atau klasikal, seperti lewat pengajian rutin di musholla, kemudian ditindaklanjuti dengan bimbingan yang relatif lebih intensif dalam skala kecil untuk individu, pasangan lansia, atau lansia satu wisma. Seorang praktisi yang juga fungsional penyuluh sosial menginformasikan bahwa ketika melakukan penyuluhan sosial ia menggunakan teknik-teknik pekerjaan sosial dan juga dengan cara agama. Terkait cara maupun konten agama ini, ia sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan sarjana agama Islam.
4.2.4.7. Pendekatan manusiawi atau sewajarnya Ketika misalnya terjadi penolakan karena pengaruh masa dulunya atau sebab lain, selain harus melihat-lihat kondisi klien, seorang praktisi tidak langsung masuk dengan menyinggung agama. Akan tetapi, ia mencoba menggunakan semacam pendekatan reflektif atau resiprokal dengan cara membangun kesadaran si klien melalui penalaran ringan. Misalnya, seperti dicontohkan praktisi dalam TY, 26/6/2014: “Coba pantes nggak Pak, kalau kira-kira seperti ini?”; “Kira-kira sih kalau misalnya Bapak melakukan seperti ini kami yang muda kan melihat jadi
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
156
contoh, mungkin jadi kurang pantes Pak seandainya begini.” Terkait dengan pendekatan tersebut, praktisi ini menyebutnya sebagai pendekatan secara “manusiawi” atau “wajarnya”. Lebih jelasnya, ia menguraikan: Kita melihat kondisi seperti itu ya kita panggil secara manusiawi aja, secara wajarnya, secara wajarnya manusia itu seperti apa. Karena belum tentu dengan kita sentuh dengan kesadaran keagamaan dia itu belum tentu masuk karena beda, gitu. Jadi kita menggunakan kewajarannya sebagai manusia sebagai makhluk sosial sebagai makhuk yang ...memiliki kebutuhan apapun, kebutuhan hidup, kebutuhan sosial, ataupun kebutuhan ini itu kita paskan dulu ...sesuai dengan kewajarannya dia sebagai manusia lah, seperti itu. (TY, 26/6/2014) Untuk mengantisipasi penolakan yang mungkin terjadi secara tidak terduga, sejumlah praktisi punya semacam trik tersendiri bagaimana cara untuk masuk atau memulai intervensi. Sebelum masuk melakukan pendekatan, mereka berusaha melihat-lihat terlebih dahulu kondisi klien seperti telah disinggung di atas, tidak serta merta langsung dengan pendekatan agama. Ketika klien misalnya masih dalam kondisi marah karena habis bertengkar dengan sesama klien atau sebab lain, praktisi hanya mencoba menenangkan yang terkadang sudah dengan sedikit muatan ajaran agama, seperti disuruh beristighfar dan sabar. Ketika kondisi klien tenang dan sendiri, praktisi baru mulai masuk untuk melakukan penyadaran dan menggunakan pendekatan spiritual-keagamaan.
4.2.4.8. Intervensi ala pendamping home care Para pendamping home care tampaknya tidak berpretensi untuk menggali dan menyelesaikan segala masalah yang dihadapi lansia. Mereka sadar bahwa kewenangan untuk mengurus lansia yang tinggal bersama keluarganya sangatlah terbatas, terutama terkait urusan internal keluarga lansia. Kecuali apabila masalah tampak muncul atau lansia itu sendiri atau keluarganya yang meminta tolong. Misalnya ketika seorang lansia sering sendiri di rumah karena ditinggal bekerja, anaknya meminta pendamping untuk diawasi atau didampingi. Untuk kasus tertentu terkadang juga pendamping tidak langsung menangani sendiri, tapi hanya
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
157
mengarahkan atau mendorong anggota keluarganya dan memberi tahu agar tidak dimarahi atau dilarang-larang untuk mengerjakan sesuatu. Sejauh yang bisa dilakukan pendamping adalah memastikan terpenuhinya kebutuhan lansia dan baiknya kondisi jasmani dan rohani mereka. Terkait kebutuhan sosial lansia, peran pendamping juga sangatlah vital. Oleh pendamping, lansia diupayakan dengan berbagai cara agar tidak kesepian di rumah, namun tetap bersosialisasi dengan lingkungan melalui berbagai aktivitas, terutama keagamaan. Pendekatan yang dilakukan terhadap lansia home care agar aktif dalam kegiatan agama semacam pengajian dan istighotsah yakni dengan mengajak pelan-pelan, membujuk atau merayu, atau mengajak semua lansia tanpa pilih-pilih. Seorang ibu pendamping misalnya menceritakan: Bapak-bapak ama ibu-ibu di sini tuh majunya kayak gitu. ...pertamanya ditarik, punya duit ibu ngamal, nggak punya duit juga nggak papa nggak ngamal, baru pada bisa. Kalau kita namanya dikerasin “harus bisa ngaji aja,” itu mah nggak ada orangnya mas. “Oh si anu kenapa ya, nggak mau ngaji ke majlis ta’lim?” Ntar ibu mah dideketin, “daripada di rumah yuk, yuk ke mesjid kan deket, mendingan kita ngaji aja.” “Ntar amalnya dari mana?” “Udah itu mah, ntar ibu ada nih, ya?” gitu. Jadi kan kalo nggak ditarik kayak gitu kan susah ibu-bu sekarang. “Dari pada di rumah, iya yah.” Akhirnya alhamdulillah dimana-mana sekarang majlis ta’lim kan ada lima di sini. Jadinya sekarang alhamdulillah. Ibu mah cuman ngerayu-ngerayu ibu-ibu aja gitu bisanya. ..Wajar ibu mah ngajak. “Nek, nenek mau nggak ikut saya?” gitu pertamanya. “Mau kemana sih, Bu R?” “Nggak, nggak diapa-apain.” “Kalo kita diajak, dikasih ginian mau nggak?” “Eh maulah.” Ntar ini dipilih yang lainnya sirik,” gitu. Kalo namanya bu J kan kita hanya diambil dua. (MM, 16/6/2013) Agak berbeda dengan yang di panti, para pendamping home care juga punya teknik-teknik sendiri. Praktisi, misalnya, seringkali mengajak ngobrol lansia, mendengarkan curhat (cerita dan keluh-kesah), sekadar menyapa, tanya kabar, mengakrabi, atau memberi perhatian. Sebagai contoh, seorang pendamping mengatakan:
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
158
Makanya kalo itu kan satu jam menemani lansia, nggak mungkin sejam kalo saya mah hampir tiap hari tuh. Hampir tiap hari ke situ, nengok, kadang sepuluh menit, kadang lima menit tapi tiap hari. Kadang cuman nyolek pipinya “apa kabar..” gitu. “Mih, gimana sehat?” cuman gitu doang ... Begitu aja udah seneng banget apalagi kalo dicium “Mih gimana kabarnya Mih?” seneng udah. ...Itu kita cuman ngobrol paling nemenin dia nyanyi tepuk tangan... Kalo Mang R ...laki-laki kan nggak begitu. Dia lagi ngituin ayam paling kita nyamperin, “gede-gede ya Mbah ya telornya Mbah ya?” Paling gitu doang, nggak mungkin kita, namanya laki-laki. (HN, 16/6/2013) Namun terkait pendekatan dengan agama atau spiritual, sebagian pendamping tidak mengakui menggunakan hal itu. Menurut seorang pendamping, pendekatan yang dipakai bersifat standar. Katanya, “saat ini belum, karena tingkatannya kan belum nyampe situ ya. Karena masih yang standar-standar aja.” (ED, 16/6/2013)
4.2.4.9. Membantu lansia menghadapi akhir hayat Satu tema menarik muncul dari hasil wawancara, yakni tentang bagaimana lansia menghadapi masa-masa akhir hayatnya. Hal-hal yang terkait dengan persiapan menghadapi masa akhir hayat di antaranya adalah preferensi pihak yang dihubungi ketika lansia meninggal, menghantarkan lansia menghadapi sakrotul-maut, persiapan mengumpulkan bekal, sare’at untuk menghilangkan susuk, membereskan urusan yang belum selesai, dan rukun kematian bagi lansia home care. Terkait preferensi dikubur dimana ketika meninggal, urusan pemakaman bagi lansia panti yang sebatang kara akan diserahkan di Dinas Pemakaman Umum. Namun bagi yang masih punya keluarga atau kerabat mereka ditanya ingin diurus oleh siapa atau dikubur dimana dengan dikonsultasikan juga ke anak atau anggota keluarganya. Persoalan keinginan lansia ingin dikubur dimana terkadang tidak terlalu jelas sejak identifikasi atau asesmen di awal, namun kejelasan ini dapat tergali seiring interaksi yang panjang dengan lansia selama di panti. Peran praktisi yang lain dalam membantu lansia menghadapi akhir hayat adalah menghantarkannya menghadapi sakrotul-maut. Biasanya untuk lansia muslim dibacakan surat Yasin dan dibantu melafalkan syahadat agar meninggal dengan cara yang baik (husnul-khotimah). Sebagian praktisi sengaja menceritakan pengalaman
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
159
mendampingi mereka yang menghadapi kematian kepada lansia yang lain dengan tujuan agar mereka selalu ingat dan siap menghadapinya kapanpun. Selain itu, praktisi dan pembimbing agama sering mengingatkan para lansia tentang kematian dan untuk itu mereka diajari untuk berdizikir menyebut nama Allah dengan cara mudah sesuai kemampuan lansia. Seorang praktisi mencontohkan cara tersebut: Sering kita ingatkan untuk Mbah itu setiap saat setiap nafas ...untuk selalu menyebut nama Allah, biar dia agak lebih mudah untuk berdzikir langsung. Ya katakanlah misalnya mau lâ ilâha illallâh agak susah kan, lama, panjang, misalnya. “Mbah langsung sebut nama Allah, Allah, Allah, astaghfirullâh, astaghfirullâh, banyak-banyak istighfar dan menyebut nama Allah.” Ya maksudnya dzikir yang singkat tapi mudah diucapkan, mudah dirasakan oleh embah. Itu agar memudahkan embah juga untuk ketika sewaktu-waktu sakaratul-maut... (TY, 26/6/2014). Menyadari kematian bisa datang kapan saja, sebagian lansia, terutama yang tidak punya keluarga, berupaya mengumpulkan bekal sebagai biaya persiapan menghadapi kematian. Bekal yang dikumpulkan biasanya diperoleh dari uang jajan, pemberian (angpau) dari pengunjung saat hari-hari besar keagamaan. Terkadang juga lansia menyimpan barang berharga seperi cincin atau kalung emas. Bekal persiapan untuk menghadapi kematian yang dimaksud contohnya untuk membayar (lebih) tukang gali kubur agar liang lahatnya digali lebih dalam; atau biaya untuk mendoakan dirinya, misal dengan slametan, tahlilan, atau Yasinan. Terkait keinginan atau persiapan lansia menghadapi kematian tersebut, praktisi berperan sebagai pihak yang dimintai bantuan lansia menjaga dan mengelola bekal untuk menjalankan keinginan atau wasiat lansia bersangkutan sebelum meninggal. Hal ini seperti diceritakan seorang informan: “...ntar kalau umpama itu (meninggal), emak tolong slametin (didoakan/ditahlil), buat selama tujuh hari emak, 40 hari emak,” lah itulah kita kalau ada nenek-kakek kita yang nggak ada (keluarga). ...dia nyimpen uang di kita, gitu. Nyimpen barang emas, ...uang itu kalau dia nggak ada umur kita pakai untuk tahlilan (atau) untuk slametan dia... (WN, 13/6/2013) Di panti lain, menurut penuturan satu praktisi, kebanyakan lansia pasrah menghadapi kematian. Artinya mereka tidak berupaya mengumpulkan bekal untuk
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
160
biaya Tahlilan atau Yasinan, karena acara tersebut sudah menjadi tradisi yang dilakukan bersama-sama di musholla. Namun, menurut praktisi tersebut, dari sisi ritual doa untuk almarhum lansia yang baru meninggal kurang diperhatikan, sehingga kegiatan Tahlilan dan Yasinan di panti hanya rutinitas semata. Praktisi ini menerangkan: ...di (panti) sini kan ada kebiasaan juga untuk (lansia) yang meninggal itu tiga hari dibacakan doa. Ya budayanya sini kan Tahlilan dan Yasinan, gitu ya. Tapi kalau saya bilang, ini berdoa untuk arwah gitu, untuk almarhumalmarhumah, cuman ritualnya kan beda-beda. Kalau saya ritualnya kita langsung mohon doa, sudah. Sholat ghoib (kemudian) doa, udah. Tapi kan ada sebagian yang lain kan ritualnya dengan membaca (surat) Yasin (atau) membaca Tahlil dan (tapi) kadang-kadang terlupa dengan (doa) Allâhummaghfir lahu atau Allâhumma-ghfir laha-nya itu. Saya perhatiin kebiasaan itu. Hanya ...rutinitas untuk baca Yasin (dan) Tahlil. (TY, 26/6/2014) Satu konsep penting yang muncul dari para praktisi panti adalah sejumlah lansia yang masih memakai susuk, pemanis, atau pegangan tertentu yang dipasang di badan pada saat masih muda. Pemakaian hal-hal ini diyakini punya tujuan untuk mempercantik wajih, agar menarik lawan jenis, menjaga daya tahan tubuh, atau untuk tujuan lain. Banyak yang meyakini bahwa susuk yang tertanam di tubuh atau benda yang masih dipegang itulah yang menyebabkan lansia mengalami kesusahan pada saat sakrotul-maut atau memperlama prosesnya. Lamanya proses kematian akibat susuk tersebut dihindari atau diantisipasi dengan membuangnya melalui ritual tertentu. Cara atau jalan berikhtiar yang harus ditempuh semacam ini biasa disebut sare’at. Tentang hal ini, seorang praktisi menjelaskan: Nah saat dia mau nggak ada umur, saat dia (masih) sadar, “Eh, Neng ...hubungin anak Emak, Neng, yang di Bogor,” katanya gitu. ...sesudah itu nah baru dia cerita gini, “Emak biar meninggal Emak tenang,” katanya, “nggak ada halangan, Emak dulu makai pemanis di muka di bibir,” gitu kan... “Emak syareat-e apaan?” (saya tanya) gitu. “...selama ini Emak tuh nggak boleh, nggak makan telor asin. Kalau makan telor asin luntur gitu, susuk Emak gitu.” ...Pas habis dimakan telor asin, eh besoknya tuh nggak ada
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
161
(meninggal), udah nggak ada. ...kita percaya nggak percaya sih, tapi itulah kenyataannya orang tua dulu begitu. (WN, 13/6/2013) Terkadang ada pula lansia pemakai yang tidak berterus terang atau berpesan seperti di atas. Karena masalah ini cukup sensitif dan tergolong tidak lazim, kebanyakan praktisi menahan diri untuk menanyakan secara langsung atau terus terang terhadap setiap lansia. Mereka lebih memilih menunggu sampai lansia sendiri yang bercerita sesuatu yang terkadang dianggap aib oleh lansia sendiri. Namun demikian, sebagai bentuk antisipasi, praktisi terkadang menanyakan langsung kepada lansia yang dicurigai memakai ketika masih dalam kondisi sehat atau belum pikun. Karena alasan sensitivitas tadi, ada juga praktisi yang menanyakannya dengan cara bercanda agar lansia yang bersangkutan tidak tersinggung. Katanya seperti ini: “...kalau saya kan tesnya kan beda, sama-sama laki-laki... Wah, ...heran saya nih, udah tua begini masih enerjik banget. Ada pegangan apa sih? Apa sih khasiatnya? Gitu kan, suka sambil guyon gitu ya” (FS, 1/7/2014). Namun, apabila tidak diketahui dan seorang lansia sudah terlanjur dalam kondisi sakrotul-maut yang susah, praktisi memberi tindakan intervensi memberikan sare’at atas inisiatifnya. Seorang praktisi menceritakan satu kasus lansia yang sudah kaku tidak berdaya berhari-hari, tapi masih mampu makan banyak layaknya orang sehat. Oleh pengasuh dicarikan daun kelor kemudian dikibaskan sambil dibacakan ayat Kursi, surat Yasin, dan doa-doa. Tujuannya biar si nenek tidak kelamaan menderita sakit. Dua hari setelah diberi sare’at, si nenek meninggal. Tindakan seperti itu diambil ketika kondisinya dianggap tidak masuk akal atau tidak logis. Tema lain yang tergali terkait masalah akhir hayat lansia adalah penyelesaian urusan yang belum beres semisal permohonan maaf, perkara utang-pituang, wasiat, warisan, atau soal pensiunan. Perkara-perkara ini juga dapat terungkap dari lansia melalui dua kemungkinan seperti soal pemakaian susuk di atas, yakni entah lansia sendiri yang berterus terang atau praktisi yang menanyakan. Khusus tentang wasiat, seorang praktisi mengaku pernah mengusulkan ke pantinya agar disediakan formulir catatan wasiat, namun belum terealisasi. Dengan adanya formulir seperti itu, klien lansia dimungkinkan atau difasilitasi untuk menyampaikan (barangkali ada) semacam pesan terakhir atau keinginan tertentu dan/atau menginformasikan suatu kepemilikan barang (atau harta peninggalan) kepada keluarga yang ditinggalkan.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
162
Tujuan dari penyediaan blangko catatan wasiat tersebut adalah untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan perkara yang muncul selepas kepergian klien lansia. Seorang informan mengangkat satu contoh kasus akibat ketiadaan blangko: Ada juga kasus yang ketika di sininya (panti) nggak dirawat anaknya, begitu meninggal anaknya cari-cari surat-surat pensiun... Kan masih ada satu dua yang pensiun karena dulunya suaminya veteran kan. Nah jadi ibaratnya kok tuanya jadinya nggak mau ngurusin begitu matinya kenapa rebutan warisan... Nah itu untuk antisipasi seperti itulah sebenarnya. Kita inginkan ada realisasinya bahwa setiap mbah itu kita suruh untuk menuliskan wasiat saya ingin dirawat di sini sampai meninggal, saya ingin dan seterusnya. Itu baru satu dua sih yang kita dengar seperti itu. (TY, 26/6/2014). Untuk lansia home care, kekhawatiran dalam menghadapi masalah akhir hayat lumayan terbantu dengan adanya Rukun Kematian (Rukma). Rukma adalah satu sistem gotong-royong di tingkat RT dan RW untuk membantu mengurus kematian anggota warganya, termasuk lansia, mulai dari memandikan, mengafani, men-sholatkan, memastikan ingin dikubur dimana, mengurus ambulans, sampai mengubur. Biaya Rukma berasal dari iuran bulanan setiap keluarga dengan dibantu para pendamping home care. Seorang pendamping menceritakan bagaimana seorang lansia ditenangkan dengan Rukma ini: Kan dia seumpamanya... udah sakit: “aduh bu R, saya sakit begini-begini.” “Mak, tenang aja. Emak sakit juga anak Emak ikut Rukma. Udah tenang aja, yang penting ibu nyebut aja. Mudah-mudahan si ibu sehat lagi.” Ya digituin kan dia girang. ... “Udah sih mbah, nggak ada umur mah ada saya ada anak mbah, masa nggak diurusin?” ...kan ikut Rukma juga. Iya. Jadi kan ama dianya semanget ya. “Udah nggak usah dipikirin,” ibu mah kalo ke manula juga gitu.” (MM, 16/6/2013)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
BAB 5 SPIRITUALITAS LANSIA
Bab hasil (temuan) penelitian ini membahas tujuan penelitian ketiga dan keempat yang melibatkan informan klien lansia dari setting panti dan home care. Hasilnya berupa suatu konstruksi tentang spiritualitas lansia. Kedua tujuan penelitian yang dimaksud terkait penggalian perspektif para lansia tentang spiritualitas dan bagaimana pandangan dan respons mereka terhadap pengalaman hidup yang dilalui. Di samping wawancara, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi dan telaah dokumen untuk mencapai dua tujuan penelitian tersebut. Observasi dilakukan secara non-partisipan, sementara dokumen yang ditelaah meliputi segala catatan terkait informan, seperti data identifikasi awal, biografi lansia, surat rujukan, catatan kasus, catatan perkembangan, dan sebagainya. Terkait teknik wawancara, rentetan wawancara dalam pedoman awal (initial interview guide) dibuat berdasarkan penjabaran dari pertanyaan penelitian. Secara garis besar, peneliti mengajukan dua pertanyaan seperti tercermin pada tujuan penelitian di atas yakni pemahaman spiritualitas lansia, pengalaman atau penderitaan hidup, kemudian bagaimana respons dan pemaknaan mereka terhadap pengalamanpenderitaan tersebut. Namun pada wawancara awal, urut-urutan pertanyaan tersebut tampak membingungkan informan karena terkesan bolak-balik. Oleh karena itu, pertanyaan kemudian diubah dengan dimulai dari kondisi lansia saat itu, apa perasaan enak dan tidak enaknya, ceritanya bagaimana, apa yang dilakukan, dan seterusnya. Pada intinya, wawancara disesuaikan dengan alur pikir informan dan mengikuti jalan cerita mereka. Dengan demikian, hasil dan urutan wawancara setiap informan menjadi variatif. Perlu dicatat bahwa upaya penggalian pemahaman lansia tentang spiritualitas tentu berbeda dengan praktisi. Mayoritas informan berpendidikan rendah, hanya dua orang yang lulusan pendidikan menengah. Maka, cara eksplorasinya tidak langsung menyinggung atau menyebut istilah spiritualitas atau spiritual yang sangat abstrak tersebut. Akan tetapi, pertanyaannya lebih konkrit tentang apa yang mereka alami dan apa yang mereka lakukan. Paling jauh adalah pertanyaan tentang bagaimana mereka melihat atau memandang sesuatu, mengapa sesuatu bisa terjadi, atau
163 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
164
mengapa hal itu dilakukan. Ketika analisis, baru kemudian peneliti berupaya menarik ide-ide abstrak dari jawaban mereka dan mengonstruknya menjadi suatu konsep, tema, hingga kategori melalui perbandingan secara konstan. Berdasarkan ragam hasil dan alur cerita dari informan di atas kemudian dilakukan analisis coding dan menghasilkan sejumlah besar konsep dan tema. Sejumlah besar konsep dan tema yang dicerai-beraikan melalui kegiatan coding tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam beberapa kategori. Berdasarkan tujuan penelitian ketiga, beberapa kategori yang terbentuk meliputi: (i) keberagaamaan lansia, (ii) persoalan eksistensial, (iii) relasi atau keterhubungan, (iv) kecemasan dan harapan, dan (v) kebutuhan spiritual (spiritual tasks). Lima kategori ini berasal dari 494 referensi (hasil coding) yang dikelompokkan dalam 16 tema atau nodes. Sedangkan dari tujuan penelitian keempat ada dua kategori yang terbentuk, yakni: (i) penderitaan hidup dan pemaknaan dan (ii) respons. Kedua kategori ini terdiri dari tujuh tema atau nodes yang merupakan hasil pengelompokan dari 204 referensi. Perhatikan Gambar 5.1 berikut ini.
References
Nodes (tema)
Kategori
RQ
494
16
5
RQ #3
204
7
2
RQ #4
Gambar 5.1. Output proses coding untuk pertanyaan penelitian ke-3 dan ke-4
Dalam NVivo, kategori-kategori tersebut merupakan parent nodes yang tampak sebagai #keberagaamaan lansia, #persoalan eksistensial, #relasi & keterhubungan, #harapan & kecemasan, #spiritual tasks, #penderitaan hidup & pemaknaan, dan #respons terhadap penderitaan. Kenampakan dari semua kategori tersebut dalam NVivo dapat dilihat pada Lampiran 9. Pengklasifikasian ini tampak juga dalam klasifikasi dan bagannya seperti tampak pada Lampiran 10 dan 12. Masing-masing kategori akan menjadi sub-bab tersendiri dalam bab ini.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
165
Informasi terkait informan mana saja yang menyinggung tema-tema dalam masing-masing kategori di atas dapat dipastikan pada Lampiran 7. Lampiran 16 tentang node summary report menginformasikan seberapa banyak dan sering masing-masing node dibicarkan. Sementara Lampiran 17 tentang coding summary report menggambarkan persentase sebaran node (coverage) untuk masing-masing informan.
5.1. Pengalaman Spiritualitas Lansia Kategori besar ini terdiri dari sejumlah kategori atau tema, yaitu: keberagamaan lansia, persoalan eksistensial lansia, relasi dan keterhubungan, harapan dan kecemasan, dan kebutuhan spiritual.
5.1.1. Keberagamaan Lansia Ada tiga tema yang termasuk dalam kategori ini yaitu: kegiatan dan afilasi keagamaan lansia, keyakinan agama, dan kondisi keberagamaan mereka. Dalam NVivo, ketiga tema ini dinamakan sebagai node @kegiatan-afiliasi agama, @keyakinan, dan @kondisi keberagamaan. Perhatikan lagi Lampiran 7 dan 10.
5.1.1.1. Kegiatan dan afiliasi keagamaan Dari 11 informan lansia yang terlibat, sembilan lansia beragama Islam dan sisanya beragama Kristen (Protestan). Salah satu penganut Kristen lebih banyak mengikuti ibadah dengan tradisi Katolik. Ia mengaku sering mengikuti kebaktian dan bisa ikut makan komuni dalam perjamuan kudus, meskipun belum pernah dibaptis. Ya Est orang Kristen kan pergi ke gereja Katolik. Di sana tidak boleh makan itu komuni, karena Est bukan orang Katolik karena belum dibaptis secara Katolik. Jadi Est senangnya di sini nih di aula ini kan ada kebaktian hari minggu setengah dua, setiap hari minggu.Nah jadi Est bisa makan perjamuan kudus di sini, dilayani oleh pendeta yang ini di sini. (Est, 31/5/2013) Hampir semua lansia Muslim tergolong penganut yang cukup taat menjalankan perintah agama, meskipun tergolong standar. Mereka memraktikkan ajaran agama secara sendiri ataupun berjama’ah, baik yang sifatnya wajib maupun yang dianjurkan (sunnah), misalnya sholat, puasa, membaca al-Qur’an (mengaji),
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
166
menghapal surat-surat (al-Qur’an) pendek, dzikir atau wirid, dan berdoa. Ibadah sholat yang dijalankan lansia tidak hanya terbatas pada sholat wajib lima waktu, namun sebagian rajin menjalankan sholat sunnah secara berkala, seperti sunnah rawatib (sebelum dan sesudah sholat wajib), tahajud, dluha, awwabin, tarawih, dan sholat ‘id (Idul Fitri atau Idul Adha). Puasa juga tidak hanya pada saat Ramadlan, tetapi juga puasa Senin dan Kamis atau sunnah-sunnah yang lain. Di samping ibadah yang sifatnya vertikal tersebut, sebagian lansia juga tergolong rajin melakukan ibadah sosial seperti sedekah, membantu teman sepanti atau tetangga, dan lain-lain. Sementara itu, afiliasi atau kelompok agama yang mereka ikuti tidak terlalu beragam. Terutama lansia yang tinggal di panti, mereka hanya mengikuti kelompok dan rutinitas yang diselenggarakan pihak panti. Namun, tidak semua informan rajin mengikuti secara berkala setiap ada kegiatan, misalnya bimbingan agama berupa pengajian, Yasinan, Tahlilan, jama’ah sholat lima waktu di musholla panti, peringatan hari-hari besar Islam, dan lain-lain. Sementara lansia home care lebih banyak pilihan dan aktivitas keagamaan di lingkungannya, seperti Yasinan, pengajian, majlis ta’lim, dan lain-lain. Namun karena kondisi yang sudah renta, mereka mulai mengurangi kegiatan luar rumah bersama jama’ah. Dua penganut Kristen juga sangat rajin melakukan ibadah secara berkala, seperti kebaktian, berdoa, baca Alkitab, menghapal ayat-ayat Alkitab, menyanyi pujian, atau kadang berpuasa. Sama halnya dengan penganut Muslim, afiliasi agama yang diikuti lansia penganut Kristen ini juga hanya mengikuti kegiatan agama secara berjama’ah yang diadakan panti saja, seperti kebaktian, komuni, peringatan hari besar Kristen, dan sebagainya. Namun, informan Est juga rajin beribadah ke gereja Petrus yang kebetulan lokasinya dekat dengan panti setiap hari Minggu. Tingkat ketaatan agama lansia secara garis besar ada yang stabil dan ada yang berubah-ubah fluktuatif. Lansia yang memiliki tingkat keimanan yang stabil adalah mereka yang sejak muda memang punya ketaatan yang baik dan pondasi agama yang kuat. Hal ini misalnya ditunjukkan sepasang informan suami-istri yang sudah hampir 10 tahun tinggal di panti karena menjadi korban tsunami Aceh 2004 dan kehilangan rumah dan harta-benda serta seorang putri kesayangan mereka. Ini bisa jadi dipengaruhi kultur Aceh dan kuatnya pondasi agama mereka, namun ketika ditanya perbandingan ketaatan agama antara sebelum dan setelah kejadian tsunami mereka
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
167
menjawab sama saja. Bagi mereka, bencana tsunami yang sangat mengubah hidup mereka secara drastis tampaknya tidak mengakibatkan perubahan berarti bagi kondisi keimanan mereka. Stabilnya kondisi keberagamaan lansia di atas umumnya tergantung pada pondasi keimanan mereka di saat muda. Hal ini pernah disinggung oleh informan praktisi bahwa apabila telah terbiasa ibadahnya bagus sejak muda, di masa lansia saat ini juga tetap kelihatan (SM, 12/6/2013). Akan tetapi, kebanyakan informan merasa bahwa seiring usianya yang semakin senja ibadah mereka semakin rajin. Sebagian mengakui ibadah mereka semakin meningkat setelah tinggal di panti, paling tidak dari sisi ibadah ritual yang wajib. Ketika ditanya, seorang informan menjawab, “Iya karena apa, ... ya masih sibuk dalam kerjaan saya dulu kan... Sholat kadang-kadang masih ditinggalkan, masih belang-belang lah. Alhamdulillah saya di sini, diam di panti, bersyukur kepada Allah karena bisa mengerjakan (sholat) setiap waktu.” (Mrw, 8/4/2013) Ada juga informan lansia Protestan lainnya lebih menekankan esensi dari beragama, meski dari sisi ibadah ritual bisa dikatakan standar, bahwa beragama itu adalah berbuat baik terhadap sesama dan saling mengasihi. “Kita ...ama (sama) orang harus ...sumeh (senang). Ngasihin, saling mengasihin (saling mengasihi). Sayang, saling menyayang.” (Kntw, 31/5/2013)
5.1.1.2. Keyakinan Keyakinan yang dipegang informan bisa bersumber dari ajaran agama maupun dari luar agama, meski tanpa dieksplisitkan atau disadari informan, seperti pengaruh lingkungan sosial-budaya, keluarga, ataupun pribadi. Keyakinan yang bersumber dari agama yang sempat muncul dalam wawancara misalnya soal hidupmati manusia, rejeki, takdir dan kehendak Tuhan, doa untuk orang yang sudah meninggal, larangan berdoa untuk cepet-cepat mati, dan keinginan implisit untuk meninggal di malam Jum’at. Hampir semua informan baik secara eksplisit ataupun implisit memegang teguh keyakinan bahwa soal rejeki, umur, dan jalan hidup, Tuhanlah yang menentukan. Sebagai contoh, seorang klien lansia yang tinggal di panti sejak tahun 2007 masih mensyukuri kondisinya, meski dengan disabilitas tuna netra dan tanpa
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
168
kontak dengan mantan istri dan anak-anaknya sekian lama. Ia beryakinan bahwa: “Rejeki itu pasti ada aja. Itu Allah sudah ngatur (mengatur)” (Mrw, 8/4/2013). Soal umur ia juga berpasrah diri karena, menurutnya, umur ada di tangan Tuhan sambil menyitir satu ayat al-Qur’an, ‘kullu nafsin dzâ’iqotul-maut’ (artinya: setiap yang bernafas pasti akan mati). (Mrw, 6/6/2013) Keyakinan lain yang datang dari ajaran agama adalah mendoakan orang dekat yang sudah meninggal. Dalam agama Islam sebagaimana dianut peneliti, umumnya sangat dianjurkan untuk mendoakan orang-orang yang telah pergi meninggalkan dunia dengan harapan agar dosa-dosa almarhum atau almarhumah diampuni, diterima semua amalnya, dimasukkan ke surga, dan seterusnya. Begitu pula agama Katolik yang menganjurkan untuk mendoakan bagi sesama, meskipun telah tiada. Menurut seorang informan penganut Kristen, namun sering mengikuti ibadah kebaktian Katolik dan mengaku belum dibaptis, Kristen Protestan tidak mengajarkan hal yang sama, yakni mendoakan orang yang sudah meninggal karena sudah tidak ada gunanya. “Kalau Kristen... selama masih bernapas buru-buru deh mencari Tuhan... Kalo udah (sudah) jadi mayat gak (tidak) ada gunanya (didoakan). ... jadi, doa di kuburan juga gak ada gunanya. ...Orang udah mati, ...dia jadi apa gak tahu di dalam (kuburan)” (Est, 31/5/2013). Selanjutnya, seorang lansia beragama Kristen Protestan yang pindah agama dari Islam beberapa kali bercerita bahwa kalau sedang sedih karena teringat almarhum suaminya yang meninggal enam tahun silam, ia kadang terpikir untuk ingin cepat mati menyusul almarhum. Namun, ia tetap memegang teguh kepercayaan agama bahwa umur ada di tangan Tuhan. “Iya, udah pengen (sudah ingin) buru-buru ngikut (ikut) bapak gitu. Tapi orang begituan tuh umur adanya di tangan Tuhan, bukan di tangan saya. Di tangan Tuhan yang Kuasa” (Kntw, 31/5/2013). Selain itu, pikiran negatif seperti itu juga tertahan oleh keyakinan agamanya yang melarang penganutnya berdoa ingin cepat mati. Itu dalam doa nggak boleh kita pengen nyusul (ingin menyusul) bapak (almarhum suami). ... Kalau kita berdoa minta panjang umur, badan saya sehat, (itu) boleh. Tapi kalau kita minta dalam doa, ‘Ya Tuhan Yesus cepatcepat saya diambil, saya pengen ketemu suami saya,’ itu nggak bisa. (Kntw, 31/5/2013)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
169
Ada juga satu keinginan yang sangat dipengaruhi kepercayaan agama. Seorang lansia Muslim secara implisit mendambakan meninggal pada malam Jum’at atau hari Jum’at karena ia meyakini bahwa orang yang meninggal hari itu akan dibebaskan dari siksa kubur. “Syukur kalau ngambilnya (nyawa dicabut) malam Jum’at atau hari Jum’at kita bebas siksa kubur ya?” (Alm, 6/6/2013). Di kalangan kaum Muslim memang ada kepercayaan bahwa meninggal pada malam atau hari Jum’at menandakan meninggal yang baik atau husnul-khâtimah. Kepercayaan lain dipegang seorang lansia home care yang banyak menghabiskan waktu sendiri di rumah tanpa anak atau cucu. Ia mengungkapkan bahwa ketika sedang sedih atau marah, ia diajarkan membaca Ayat Kursi atau mengucap istighfar untuk menghilangkan kesedihan atau marahnya. Saya suka ingat juga, katanya (ustadz/-ah atau kyai) kalau lagi sedih, kalau lagi marah, ...baca aja Ayat Kursi, nanti juga kemarahannya ilang (hilang) sendiri. ... kita baca istighfar, katanya. Kita harus tabah, kuat mental, kuat iman, kuat Islam, tabah hati, katanya gitu. Kita udah mesti berusaha, udah (nasib) milik kita begini, mau bagaimana lagi. Mau minta tolong ke siapa lagi, lian (selain) kepada Allah. (Msn, 16/6/2013) Keyakinan yang dikatakan dibentuk baik faktor pribadi maupun lingkungan misalnya menolong orang sama dengan menolong diri-sendiri, firasat atau mimpi akan kehilangan orang yang dicintai, atau keyakinan bahwa keluarga korban tsunami yang tidak bisa menemukan anggotanya yang hilang adalah rahasia Tuhan. Di masyarakat Indonesia, umum berkembang satu kepercayaan bahwa suatu kehilangan besar, seperti ditinggal orang terdekat, biasanya didahului atau ditandai dengan firasat atau mimpi tertentu. Kepercayaan semacam ini juga ada pada pasangan lansia korban tsunami Aceh, walaupun mimpi itu justru datang pada putrinya yang akan menjadi korban. Setelah kejadian tsunami, pasangan lansia ini tidak menemukan kembali jasad putrinya. Menurut mereka, hal yang sama banyak dialami oleh keluarga korban yang lain sehingga muncul satu keyakinan umum bahwa tidak diketemukannya anggota keluarga mereka yang menjadi korban adalah memang rahasia Tuhan yang pasti ada hikmahnya. Istri dari pasangan tersebut mengatakan, “Yang lain gitu juga nggak ketemu keluarga sendiri, ...memang Allah
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
170
kehendaki nggak dikasih lihat (jasad korban) ke keluarganya... Ya nggak papa (tidak apa-apa), rahasia Allah. Allah Maha Tahu.” (Nrn, 27/5/2013)
5.1.2. Persoalan Eksistensial Lansia Dalam setiap individu, termasuk lansia, terkadang muncul pertanyaan dari dalam diri, seperti siapakah aku, kehadiran di dunia ini untuk apa, apa tujuannya, dan seterusnya. Terlebih lagi lansia, serangkaian pengalaman dan penderitaan hidup bisa membuat mereka merasa sedih, marah, depresi, tersingkir dari keluarga, terasing dari lingkungan masyarakat, dan sebagainya. Respons seperti ini seringkali membuat mereka bertanya-tanya pada diri-sendiri: mengapa hidup seperti ini, mengapa harus dirinya yang menderita, apa makna di balik semua yang dialami, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini merupakan persoalan eksistensial. Dalam penelitian ini, persoalan eksistensial lansia tercermin dalam tema tentang ‘pandangan dan pertanyaan tentang hidup’ dan ‘makna dan tujuan hidup’. Kedua tema ini muncul dalam NVivo sebagai cabang node @makna-tujuan hidup dan @pandangan-pertanyaan tentang hidup (lihat Lampiran 7). Meskipun begitu, pandangan atau pertanyaan yang bersifat eksistensial tidak bisa tergali dari semua informan lansia. Sebagian mengaku tidak mau ambil pusing dengan memikirkan atau bertanya-tanya atas apa yang dialami atau diderita. Namun peneliti masih tetap yakin bahwa pemikiran-pemikiran eksistensial seperti di atas sebenarnya ada. Bisa jadi karena keterbatasan peneliti yang tidak mampu menggali mereka lebih dalam. Di samping itu, kedua tema tersebut hanya dibangun dari hasil wawancara yang pertanyaannya terkait hidup lansia secara keseluruhan, bukan dari respons atas penderitaan yang mereka alami. Terkait respons dan pemaknaan atas penderitaan yang dialami akan dibahas dalam sub-bab berikutnya. Karena pertanyaan wawancara lebih bersifat konkrit tentang apa yang mereka alami, di situ cukup banyak jawaban lansia yang bersifat eksistensial.
5.1.2.1. Pandangan dan pertanyaan tentang hidup Tema ini mencakup sejumlah konsep seperti pandangan tentang diri mereka, tentang hidup yang mereka jalani, pencarian jawaban atas pertanyaan mengapa nasibnya seperti itu, dan kepuasan mereka hidup di dunia ini.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
171
Sorang lansia perempuan memandang hidup dan keberadaannya di dunia ini begitu berharga, sehingga ia merasa sudah cukup dan tidak ada keinginan atau harapan lebih lagi. Ia juga tetap bersyukur meskipun telah mengalami cobaan luar biasa berupa kehilangan seluruh harta-benda dan seorang putrinya karena tsunami Aceh 2004. Berharga banget (sekali). Kita kan bisa sampai, alhamdulillah, bisa ngaji, bisa shalat kan. ...alhamdulillah bisa ngurus (mengurus) anak juga. Anak juga dikasih juga (cucu), alhamdulillah lah... Sempurna lah. Bersyukur banyak daripada kita mandang (memandang) orang lain macam-macam lah (yang lebih beruntung dan berhasil). (Nrn, 27/5/2013) Sementara lansia lain yang memperoleh layanan home care mengaku terkadang suka bertanya-tanya dalam hati tentang nasibnya, terutama ketika datang kesedihan karena sering sendiri dan merasa hidup sebatang kara. “Jadi saya ya, sakapeung (kadang-kadang) suka sadar gitu, dek. Kalau sakapeung ya suka sedih juga. Ya sedih mah begitu, dek. Kata saya, nasib saya kenapa begini amat...?” (Msn, 16/6/2013). Atau terkadang merenungi hidup dan menggambarkan kesedihannya seperti ini: Kalau begitu kenapa saya susah amat, menderita begini, kata saya. Dilahirkan saya kenapa pas begini. Ibu ama bapak nggak ada, saudara nggak ada, anak nggak ada. Saya idup semata wayang, kata saya gitu dek. Nggak punya siapasiapa. Sedih gitu dek. Suka sedihnya begitu tuh. (Msn, 16/6/2013) Meskipun hidup menderita, nenek ini berupaya berpikir positif dan bersyukur bahwa ada banyak orang lain yang hidupnya lebih susah dibanding dirinya. Selain itu, seperti halnya informan lansia di atas, ia pun tidak lagi punya keinginan atau harapan lebih dalam hidup ini dan merasa cukup dengan penderitaannya. Kata-kata yang diungkapkan seperti ini, “Ya puas sih puas. Menderitanya udah kenyang” (Msn, 16/6/2013).
5.1.2.2. Makna dan tujuan hidup Ketika misalnya ditanyakan bagaimana memandang hidup ini secara keseluruhan, seorang lansia dengan disabilitas mengaku tidak mau memikirkannya. Lengkapnya ia menjawab:
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
172
Ya justru itu, saya, pikiran saya nggak ada kesimpulan ke situ sih. Saya pikir dari remaja ampe sekarang udah berumah tangga, punya anak, dan dikasih cobaan ama Allah ya, ...pikiran saya tetap aja nggak ada. Pikiran gimana ya, pikiran tafsiran pusing-pusing saya nggak pikirin sih, iya. Terlalu pusing juga nggak, terlalu sedih ini nggak. Kalau saya gitu sifatnya. (Mrw, 8/4/2013) Lebih jauh ia mengatakan ingin menjalani hidup apa adanya dan menerima apapun yang telah menjadi kehendak Tuhan. Ada pula lansia yang menjawab secara normatif ketika ditanya apa tujuan dari hidup ini. Sepasang lansia suami-istri bersepakat menjawab, “tujuan hidup untuk beribadah” (Rml & Nrn, 27/5/2013). Terkait hal ini, dalam Islam memang ada ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa tujuan manusa diciptakan adalah tidak lain hanya untuk ibadah kepada Tuhan. Begitu pula seorang informan beragama Kristen yang menjawab bahwa “sebagai hamba Tuhan, kami melayani (Tuhan)” (Est, 31/5/2013). Melayani yang ia maksud bisa dengan “berdoa..., atau menyanyi, membaca Alkitab...” yang menurutnya, kesemuanya itu termasuk ibadah.
5.1.3. Relasi dan Keterhubungan (Relationships) Secara sederhana, kategori relasi dan keterhubungan di sini meliputi hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horisontal antar manusia. Tema atau konsep yang dapat menggambarkan kedua hubungan tersebut adalah node @relasikedekatan-isolasi dan @doa (perhatikan Lampiran 7). Berikut akan dijelaskan masing-masing.
5.1.3.1. Relasi, kedekatan, dan isolasi Kebanyakan informan lansia Muslim menyatakan hubungan vertikal dengan Tuhan tersambung ketika melakukan ibadah sholat dan berdoa. Terutama ketika sholat Tahajud, kehadiran Tuhan dirasakan seakan-akan hadir begitu dekat. Misalnya seorang informan yang tinggal di panti mengatakan, “...sholat setiap waktu kita kerjakan, dan sholat Tahajud, itu yang (dirasa Allah) paling dekat dengan saya. Saya minta ampun, saya bertobat, barangkali saya punya kesalahan lebih besar lagi, ... (Mrw, 8/4/2013).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
173
Di samping sembahyang, berdoa bisa menjadi sarana untuk mengadu segala keluh-kesah lansia. Sebagian lansia meyakini bahwa terkabulnya doa tergantung pada keyakinan akan perasaan kedekatan hubungan dengan Tuhan. Seorang lansia Kristen, misalnya, begitu yakin bahwa banyak doa yang dipanjatkan dikabulkan oleh Tuhan. Seringkali doanya hanya bersifat praktis yang menyangkut kebutuhan atau keinginan sehari-hari. Ia percaya bahwa dengan “...sering berdoa kan berarti dekat ama Tuhan hubungannya” (Est, 31/5/2013). Sementara
itu,
hubungan
horisontal
maksudnya
adalah
kondisi
keterhubungan klien lansia dengan keluarga atau orang-orang sekitar baik secara langsung bertemu muka maupun tidak langsung dengan cara mengingat mereka atau melalui kontak batin. Keterhubungan secara horisontal di sini juga termasuk dengan orang yang sudah meninggal. Hampir semua informan lansia di panti masih memiliki keluarga atau sekadar keluarga angkat yang karena suatu alasan menyerahkan mereka ke panti. Namun hanya sejumlah lansia (tiga orang) yang dikunjungi anak atau cucunya secara berkala, entah seminggu sekali atau sebulan sekali. Sebagian besar yang lain (enam lansia) jarang dikunjungi atau kontak dengan keluarganya. Ada yang ditengok hanya pada setiap hari besar keagamaan (seperti Idul Fitri dan Natal) dan bahkan ada yang mengaku sudah tidak pernah ditengok lagi. Perbedaan kondisi tersebut membentuk kondisi keterhubungan dan pada gilirannya mempengaruhi kondisi mental mereka. Bagi lansia pada umumnya, keberadaan keluarga sangat penting. Sepasang lansia suami-istri di panti yang hampur seminggu sekali bertemu dengan anak-cucu mereka membenarkan hal itu. Salah satunya mengakui, “Iya, keluarga (bagi) ibu itu yang paling penting” (Nrn, 27/5/2013). Begitu juga dengan seorang lansia home care yang telah lama merantau ke Jakarta sejak tahun 1975. Meskipun kampung halamannya ada di Makassar dan masih memiliki sejumlah kerabat di sana, ketika ditawari saudaranya untuk kembali ke Makassar Nek Bs menolak karena keterikatannya yang kuat dengan keluarga (anak-cucu) dan segala hal di seputarnya. “Itu, keponakan saya di sana (Makassar) katanya: “(pulang) ke sini aja.” Bukannya saya nggak mau pulang ke kampung, tapi kan bagaimana kita punya rumah di sini, banyak cucu. Mudah-mudahan saya pada lihat kawin cucu saya” (Bs, 16/6/2013).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
174
Keluarga bagi kebanyakan lansia merujuk ke keluarga inti yang memiliki hubungan darah dan perkawinan secara langsung, seperti suami-istri, anak, atau cucu. Sementara dengan keluarga besar, seperti kakak atau adik yang sudah berkeluarga, keponakan, sepupu, dan seterusnya, mereka tidak terlalu banyak menaruh harapan. Sebagai contoh, seorang oma yang memutuskan sendiri untuk tinggal di panti menjelaskan, “...kalo cuma adik itu biasanya gak terlalu bisa mendapatkan ...kasih sayang, apa-apa yang memuaskan ya jangan berharap, sebab itu bukan anak sendiri... Adik itu memberikan kasih sayangnya terbatas ya, karena dia juga punya tanggung jawab...” (Est, 31/5/2013). Contoh seperti itu juga terjadi pada seorang lansia home care yang telah ditinggal mati suami dan anaknya yang sudah berkeluarga. Meski dekat dengan cucu, tinggal sendiri di rumah bedeng yang berdampingan dengan mantan menantu yang telah menikah lagi tidak membuatnya bisa mengusir perasaan sepi dan terisolasi. Sebagian besar waktunya dihabiskan sendiri di rumah meski terkadang cucunya yang masih kecil datang main. Di saat sendiri ia sering merasa kesepian yang kadang membuatnya menjadi teringat-ingat almarhum suami dan anaknya. Kondisi seperti ini seringkali membuatnya sedih dan merasa tersingkir. Contoh lansia home care ini intinya menunjukkan bahwa orang terdekat yang lebih mewakili kondisi keterhubungannya adalah dengan keluarga inti, yakni almarhum suami dan anaknya. Keterhubungan mereka dengan anak-cucu atau orang yang telah tiada juga hadir ketika berdoa sehabis sholat atau setiap saat. Dengan berdoa mereka tidak saja memanjatkan segala keinginan baik untuk orang yang mereka cintai, tetapi juga merupakan saat untuk mengingat dan merasakan kedekatan dengan mereka. Bahkan ada seorang lansia yang tinggal di panti menyatakan harapannya agar kelak dikubur di samping kuburan almarhum istrinya yang meninggal tahun 2009 di Maluku. “...kalo mati di sana (Maluku) ya alhamdulillah, hehe...” ia berharap (Sgn, 5/6/2013). “Mudah-mudahan (ketika saya dikubur) bisa kumpul (di samping kuburannya)... Ya namanya mati dimana saja,” ia menegaskan keinginannya pada kesempatan lain (12/6/2013). Terkait harapan ini, sebelumnya ia pernah menyampaikan alasan: ...kemana-mana itu kan ikut istri saya itu. ...wis (sudah) pokoknya selalu inget dia lah, kebaikan dia itu, ... Saya ke rumah sakit nunggu, sampe begitu (sebaliknya kalau) dia sakit ya saya tunggu. ...saya belum pernah nyuci nih,
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
175
(mencuci) pakaian itu belum (pernah). ...Gak pernah ribut, gak pernah apa sama istri (Sgn, 5/6/2013) Keterhubungan lansia dengan orang-orang sekitar juga sangat penting, di antaranya dengan para tetangga, sesama penghuni panti, petugas panti atau pendamping, atau dengan teman-teman lama sebelum di panti. Seorang klien panti misalnya merasa tersingkir dan sedih karena terpisah dengan teman-teman di sekitar tempatnya tinggalnya dahulu yang sangat membantu sebelum di panti. Ketika awal tinggal di panti, ia pernah mengeluh, “Ya kalau (ketika) saya sampai di panti sini sih... Ya Allah saya nggak bisa lihat kawan-kawan lagi, ... tetangga yang biasa.. (ngobrol atau membantu)” (Mrw, 8/4/2013). Kemudian ketika sudah di panti selama tujuh tahun, ia mengaku tidak punya teman yang bisa diajak ngobrol. Sekarang udah diem di panti memang merasa agak tersingkir sedikit dari teman dan tetangga-tetangga, gitu kan. Tersingkir saya. Tersingkirnya jauh dari pada teman. Di sini walaupun banyak teman, saya pikir ...nggak ada sih. Karena apa, karena yang ditempatin saya, orang error semua. (Mrw, 8/4/2013) Lebih jauh ia bercerita bahwa petugas panti atau pramusosial pun jarang yang bisa menjadi teman ngobrol. Namun diakui bahwa mereka kadang-kadang masih menyapa atau menanyakan kabar, meski hanya seperlunya. Sehingga ia mengakui perlunya sahabat atau teman yang bisa diajak ngobrol dan bertukar pikiran. “Tidak enaknya saya memang... kurang sahabat lah ya... Kita di sini mau teman ngobrol, iya kan. Maunya begitu saya. Ya kita tukar pikir maksudnya, iya kan.” (Mrw, 6/6/2013) Padahal, keterhubungan dengan sesama penghuni dapat menjadi salah satu faktor yang menentukan betah atau tidaknya lansia tinggal di panti. Kakek (engkong) Pnd misalnya bercerita bahwa awal-mula ia merasa tidak betah tinggal di panti karena jarang berinteraksi dengan lansia lain, bahkan dengan penghuni satu wisma. “Jarang. Cuek aja, elu elu gua gua (urusanmu adalah urusanmu, urusanku ya urusanku)” (Pnd, 27/5/2013). Sebelum itu, informan Pnd menjelaskan: Kalau dulu engkong, kalau dulu nih, kumpul-kumpul gitu ama embah-embah gitu, dimana aja di sini (panti). Nah, (itu) pertama betahnya tuh, ... Udah 4 bulan nggak betah tuh, nah ke-5 bulannya mulai mekar nih kalau kayak bunga (itu) mekar. Senengnya gitu di panti. (27/5/2013)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
176
Di sisi lain, ada juga sejumlah lansia lebih merasa senang tinggal di panti terkait hubungannya dengan orang-orang sekitar. Seorang nenek, misalnya, yang keluarganya jauh di Yogyakarta namun masih dikunjungi setahun sekali pas lebaran oleh adik sepupu yang tinggal di Jakarta, merasa senang tinggal di panti karena banyak teman. Di samping itu, ia mengatakan ibu-ibu pegawai kantor sering main ke baraknya (Alm, 6/6/2013). Sementara ada juga lansia yang masih lebih senang di panti, meskipun punya sedikit teman akrab, karena alasan bahwa tinggal di panti adalah keinginannya dan merasa lebih bebas melakukan apa saja yang ia sukai. Berbeda dengan saat ia masih tinggal di rumah adik lelakinya yang sudah berkeluarga karena ia merasa dikekang dan memiliki hubungan yang kurang baik dengan adik iparnya (Est, 31/5/2013). Masalah paling umum yang dihadapi penghuni panti adalah pertengkaran antar lansia sehingga mengurangi keterhubungan mereka dengan sesama penghuni. Ketika ditanya apa hal-hal yang tidak mengenakkan tinggal di panti, seorang nenek lansia menganggap bahwa banyak teman pantinya yang tidak baik atau bahkan jahat kepadanya. Meskipun begitu, oma ini tampaknya masih cukup merasa senang karena memiliki satu atau dua teman ngobrol yang bisa saling tolong-menolong ketika ada kebutuhan atau masalah. Pertengkaran antar lansia biasanya terjadi karena adanya perbedaan kebiasaan yang dibawa sebelum masuk panti atau tidak terpenuhinya berbagai kebutuhan pribadi yang menyebabkan mereka, misalnya, menjadi mudah tersinggung. Konflik antar lansia terkadang dipicu oleh hal-hal yang sifatnya sangat sepele, misalnya karena hanya kesalahpahaman, salah bicara, atau omongan tertentu yang dianggap menyinggung perasaan. Untuk menghindari pertengkaran, banyak lansia panti yang membatasi kontak atau berbicara dengan lansia lain. Sebagai contoh, ketika ditanya bagaimana tentang teman-teman pantinya, seorang nenek lansia malah menunjukkan kejengkelannya. Aduh teman sini dikatakan..., teman di sini malah bagaimana ya, saya nggak bisa ngomong (komentar) deh. Maklum orang banyak mulut. Ada yang baik ada yang nggak, saya lebih baik kita diem. Banyak yang pada berantem. Yang pada ceng-cong (bertengkar) banyak, tapi saya biarin. (Kntw, 31/5/2013)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
177
Padahal dalam keseharian, berdasarkan observasi, lansia ini sering duduk depan kamar panti sambil ngobrol dengan satu-dua orang sesama penghuni dan tetap bertegur sapa dengan penghuni lain yang lewat di depannya. Meski begitu, ia berkomentar seperti ini: Saya kalau mau ngobrol lihat situasi mulutnya orang. Mulut orang baik nggak kita ajak ngobrol. Kalau mulut orang tuh kira-kira nih rusak aku nggak mau, mendingan aku jauh... (Bisa bikin) penyakit (buat) saya. Nggak disahutin (tidak diladeni) di sini panas, disahutin jadinya ribut. (Kntw, 31/5/2013). Lebih jauh, ia mengatakan,”Saya nggak suka ngobrol kemana-mana. Kalau saya capek di luar mendingan (lebih baik) saya masuk ke dalam, gulang-guling, gulang guling” (Kntw, 31/5/2013). Jadi, hal seperti itulah yang menyebabkan tingkat keterhubungan lansia di panti menjadi kurang bagus, padahal justru soal relasi dan kedekatan ini menjadi salah kebutuhan penting lansia. Menyadari kebutuhan akan hubungan dengan sesama atau perlunya kedekatan (intimacy), sejumlah lansia menyiasatinya dengan menikahi penghuni lansia lain. Jalan ini ditempuh oleh pasangan lansia Pnd dan Gbg yang keduanya sama-sama hidup terpisah dari anak-cucunya. Pertemuan di tahun 2009 tersebut mereka akui sebagai sesuatu yang menyenangkan di panti di tengah kondisi ketidakterhubungan mereka dengan keluarga. “Jadi tinggal di panti itu enaknya dari tahun 2009 sampai sekarang,” kata kakek Pnd (27/5/2013). Dengan kondisi hubungan antar penghuni panti yang kurang bagus seperti itu, kebanyakan penghuni akhirnya mengalihkan perhatian dan lebih semangat untuk menerima kedatangan keluarga yang menengok atau tamu-tamu yang datang. Semangat seperti ini ditunjukkan seorang penghuni panti dengan menyebut sesama penghuni panti sebagai ‘orang dalam’ dan pengunjung sebagai ‘orang luar’. Orang dalem sama orang luar jangan disamain (disamakan)... Orang luar harus kita ngormatin (hormati). Kita bicara mulut kita jangan asem (kecut). Kudu (harus) ada sumeh-sumeh (gembira), tersenyum, jadi pengunjung senang... Kalau saya malah senang ada pengunjung dari luar. Kita bisa bicara baek-baek (baik-baik). Kita bisa bicara pelan-pelan... Kita bisa tuker (tukar) pikiran secara baek, secara pelan. Begitu. ... Saya tuh kalau ada kunjungan dari luar saya lebih senang, lebih gembira. Sabdene ati (menurut kata hati)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
178
saya pun gembira.. Koyo (seperti) tadi tuh kunjungan dari luar, itu senang saya. (Kntw, 31/5/2013) Dalam konteks yang berbeda, lansia home care juga menunjukkan hal yang sama. Dalam kesehariannya yang sepi, seorang nenek lansia home care mengaku sangat senang apabila ada pendamping atau tamu yang datang. “...Seneng, seneng (senang). Karena kita ...bertukar-pikiran. Ibu kan udah tua begini kan, ama anak yang muda... barangkali aja nenek-nenek bisa sedikit kasih saran gitu, barangkali ya keambil (terambil) sedikit...” (Msn, 16/6/2013). 5.1.3.2. Doa Kategori relasi dan keterhubungan lansia dengan sesuatu di luar dirinya direpresentasikan juga dengan konsep doa. Konsep ini punya irisan dengan tema sebelumnya, relasi-kedekatan-isolasi, seperti ditunjukkan ketika menyinggung doa. Doa di sini menyangkut harapan atau keinginan untuk diri lansia sendiri, terutama terkait akhir hayat, dan relasi mereka dengan orang-orang terdekat baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Karena menyangkut harapan dan keinginan, doa juga punya wilayah yang bertampalan dengan tema ‘harapan’. Karena memang kata doa berarti permintaan, keinginan, atau harapan. Dengan demikian, penjelasan konsep doa dalam node @relasi-kedekatanisolasi ini lebih difokuskan pada doa yang memiliki nuansa keterhubungan, kontak, atau kedekatan lansia secara batiniah dengan sesuatu di luar dirinya, baik secara vertikal dengan Tuhannya maupun secara horisontal dengan orang-orang yang dicintai. Kumpulan dari seluruh kutipan doa yang dipanjatkan lansia tertera pada Lampiran 19. Ketika mendoakan diri-sendiri, lansia memanjatkan sejumlah keinginan atau permohonan seperti ampunan dari Tuhan, badan sehat, kemurahan rejeki, umur panjang, keselamatan dunia-akhirat, diberi kekuatan untuk mengerjakan kewajiban, berharap agar selalu dekat dengan Tuhan, dan sebagainya. Sebagai contoh, seorang lansia beragama Protestan yang sebelumnya menganut Islam berdoa, “Allah Bapak yang di sorga yang Maha Kuasa, Tuhan Yesus Kristus juru selamat kami, kami mengucap syukur, kuatkanlah iman kami, sehatkanlah badan kami, ampunilah dosa kami, ampunilah kesalahan kami, segala kesalahan kami ...” (Kntw, 31/5/2013)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
179
Doa agar panjang umur, sehat badan, hidup berkah, dan dosa diampuni juga dipanjatkan nenek Gbg sebagai berikut: ‘Ya Allah, kalau hamba masih di-umurkeun (diberi umur), masih dipanjangkeun (dipanjangkan) umur ama diri-Mu ya Allah, hamba minta diampuni...n, dari kecil sampai tua hamba banyak dosa ama diri-Mu,’ gitu. ‘...Hanya Engkau Yang Mahatahu diri saya... Saya masuk di panti karena anak saya pada susah ya Allah. Jadi hanya Engkau Yang Mahabesar, Mahasuci Maha Penyayang, (dan) Maha Pengasih. Minta diampunin diri hamba, kalau dipanjangkeun umur minta sehat, barokah, diredoin (diridhoi) ama Allah segala-galae,’ gitu. (Gbg, 5/6/2013) Doa yang paling sering dipanjatkan lansia adalah agar meninggal dengan mudah dan dalam keadaan baik atau sedang berbuat baik (husnul-khâtimah). Doa dari seorang informan beragama Kristen adalah satu contoh. Est mah terserah Tuhan deh. Palingan kalo Est lagi ingat soal mati baru Est. Berdoa, “Tuhan, kalau Tuhan mau panggil Est ke rumah Bapak, jangan kasih sakit dulu baru dibawa.” Est ya berusaha... supaya kalo Est dipanggil sama Tuhan nanti ya, jangan Est kedapatan sedang berbuat dosa. ...Jangan sampe Est membuat Tuhan berduka cita ya. ...Semoga Est nanti kalo dipanggil Tuhan, hidup suci ya, hidup kudus ya. Dekat sama Tuhan ya. Setia berdoa ya, dan lain sebagainya. (Est, 31/5/2013) Sejumlah permohonan dan harapan dalam doa juga dicontohkan oleh seorang nenek lansia yang beragama Islam: Doa yang diminta ya minta keselamatan di dunia akherat, minta diampuni dosa-dosanya yang telah lalu sampai sekarang dan yang akan datang. Terus di akhir hayat dalam keadaan husnul-khâtimah, dibebaskan dari siksa kubur, diselamatkan dari siksa api neraka, diterima amal ibadahnya. Gitu aja. Diterima tobatnya, ‘Ya Allah terimalah tobat hamba-Mu ini.’ (Alm, 6/6/2013) Mendoakan orang-orang yang dicintai yang masih hidup biasanya menyangkut kesuksesan di dunia, kesehatan, usahanya lancar, tetap dalam iman, dan diberi perlindungan keselamatan di dunia-akhirat. Sebagai contoh, sepasang lansia korban tsunami Aceh yang kehilangan putrinya tetap memberi perhatian dengan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
180
mendoakan kebaikan bagi kelima anak mereka yang sebagian besar telah berumah tangga. Istri dari pasangan ini, Nrn, mengatakan: ... yang lain-lain yang masih hidup saya doain, (semoga berada) di jalan yang lurus. Pokoknya yang itu yang ada kita (perhatikan), kan itu. Yang satu hilang yang lainnya kita kan harus perhatiin (diperhatikan), ya kan... Sekarang kita mikir anak yang masih ada ini, ntar (nanti) kayak mana nanti dia..., saya serah(-kan) sama Allah, bimbing dia ke jalan yang lurus yang benar. ... Jadi yang was-was kita ini ya anak yang masih hidup, kayak (bagaimana) masa depan dia, gitu. (Nrn, 27/5/2013) Hal yang sama dilakukan emak Gbg dengan mendoakan anak bungsunya yang tinggal jauh di Surabaya dan lama tidak ketemu. “Ya emak sih tetep aja ama dia gitu. Ya mudah-mudahan kasih selamet lahir-batin dunia-akherat. Biar dia jauh ama emak gitu, tapi emak, hati emak tetep deket ama dia, gitu. Kan dia baru punya anak satu.” (Gbg, 5/6/2013). Ada juga yang mendoakan setiap selesai sholat agar cucunya nanti ingat kepadanya, menyayanginya, dan mampu membalasnya. Katanya: Saya suka (berdoa), muga-muga ya..., kalau sholat minta-minta, ya Allah mudah-mudahan cucu saya sadar, cucu saya babales (membalas kebaikan) saya, (dan almarhum) anak saya... Ya suka minta-minta ama Allah saja, dek. ... supaya anak-cucu saya pada (semua) sayang pada ingat ama saya, gitu. (Msn, 16/6/2013) Bahkan ada lansia Kristen yang rajin berdoa untuk harapan-harapan praktis jangka pendek dalam keseharian. Misalnya, “selalu doain, minta sama Tuhan supaya ditolong Tuhan belajar menyanyi. Sekarang lagi menyanyi lagu baru... Terus itu, apa, temen-temen yang suka nyakitin hati ...pokoknya biar Tuhan beresin (membereskan) gitu ya mereka. ...terus supaya ringan penderitaan” (Est, 31/5/2013). Kemudian untuk doa sehari-hari setiap akan melakukan sesuatu ia tak pernah lupa memanjatkan doa, seperti “...kegiatan sehari-sehari dari pagi sampai malam. Minta kemampuan pada Tuhan. Minta ama Tuhan supaya suster pagi-pagi udah bawain (sudah membawakan) nasi ...sama abon. Terus minta Tuhan mampuin (memberi kemampuan) bikin havermut” (Est, 31/5/2013).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
181
Selain itu, informan tersebut
juga sering mendoakan orang-orang yang
pernah berkunjung ke panti atau pernah memberi sedekah, entah berupa uang atau barang. Bahkan ia mampu mengingat dalam doanya nama-nama orang yang pernah memberinya atau macam-macam harapan yang pernah disampaikan ketika berkunjung. Misalnya ia pernah diminta untuk mendoakan dua orang: Terus... itu kan dokter Mt lagi hamil. Dia pesan suruh doain (mendoakan) terus dia. Itu kandungannya tuh boleh diminta tuh sama Tuhan. Setiap hari didoain (didoakan) dua kali sehari... Sebutin (disebutkan) tuh 2 kali sehari supaya dia mengandung, supaya dia hamil, punya anak. Jadi didoain terus. Dalam doa ada dua bayi didoain. Yang pertama dokter Mt, yang kedua Crl. (Est, 31/5/2013). Sedangkan, doa-doa yang dipanjatkan untuk orang-orang terdekat yang sudah tiada umumnya berupa permohonan agar diampuni segala dosanya, diterima amal ibadahnya, diberi jalan yang terang, dihindarkan dari siksaan, dan seterusnya. Di samping selalu mendoakan cucu, anak menantu, atau yang lain, seorang lansia home care juga mendoakan almarhum suami, anak, dan keluarga yang sudah tiada. (Yang sudah tidak ada) didoain, dek. Semua... nggak dipanggil satu per-satu, kata saya. Supaya pokoknya ini mah sakulawarga (sekeluarga) saya aja. Seanak, cucu saya, ibu-bapak saya, nenek saya, anak saya, pokoknya saya ngirim doa, gitu. Supaya dia diterima amal ibadahnya, ... dicaangkeun alam kuburna (diterangkan alam kuburnya), diringankan siksa kuburna, dijauhkan segala siksaannya, kata saya. Diringankeun (diringankan) gitu dek, saya. (Msn, 16/6/2013)
5.1.4. Harapan dan Kecemasan Kategori #harapan & kecemasan meliputi tema (i) harapan dan semangat hidup dan (ii) harapan dan kecemasan menghadapi akhir hayat. Tema pertama merupakan gabungan dari node @harapan dan @semangat hidup, sementara tema kedua menguraikan node @kekhawatiran-ketakutan dan @menyikapi akhir hayat. Pada Lampiran 7 di antaranya menunjukkan klasifikasi kategori dan tema-tema tersebut.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
182
5.1.4.1. Harapan dan semangat hidup Seperti telah dijelaskan bahwa konsep atau tema tentang harapan punya wilayah yang sama dengan doa. Namun tema harapan yang akan dijelaskan di sini tidak mencakup masalah keterhubungan lansia dengan sesuatu di luar dirinya. Tema harapan di sini lebih pada keinginan dalam menjalani sisa hidup para informan lansia. Oleh karenanya, harapan-harapan dalam hidup mereka terkait juga dengan tema semangat hidup. Sejumlah harapan yang diutarakan para informan meliputi keinginan agar panjang umur, badan sehat, banyak rejeki, banyak ibadah, diringankan penderitaan, bertemu atau berkumpul dengan anak-cucu atau dengan teman-teman, dan hidup selamat serta berkah. Hampir semua lansia yang turut berpartisipasi dalam penelitian ini berharap agar panjang umur dan dikaruniai kesehatan. Harapan agar diberi kemudahan rejeki juga diinginkan oleh sebagian besar informan. Sebagai contoh, seorang lansia panti berharap: “Hanya, kita ...minta kepada Allah supaya dipanjangkan umur, dikasih kemudahan rejeki, ... ya kan? gitu. Sehat badannya, gitu” (Mrw, 6/6/2013). Harapan panjang umur dan badan sehat diungkapkan untuk tujuan harapan lain, yakni memanfaatkan sisa umur untuk banyak beribadah. “Kalau saya sih maunya ya kesatu dipanjangkan umurnya, iya kan. Karena amal ibadah kita belum begitu ini (baik), iya kan? ... Kita pengen mendoa dulu, pengen sholat dulu yang baik, gitu. Kalau umur kita nggak tahu ya?” (Mrw, 6/6/2013). Dengan umur panjang dan sehat, lansia lain berharap agar masih bisa bertemu dengan anak-cucunya. Ketika ditanya tentang harapan diberi umur panjang dan badan sehat, lansia tersebut menjawab: “Ya tetap (ingin umur panjang dan sehat), tetap. Kadang-kadang kepengen ketemu lagi sama cucunya sekali-sekali gitu. ... Iya sekalian (anak-cucu) yang jauh misalnya.. Kalau yang jauh juga kepengen lagi ketemu sekali-sekali.” (Rml, 27/5/2013) Di samping harapan untuk diri-sendiri seperti di atas, sebagian informan punya harapan untuk keluarga, misalnya harapan untuk anak dan cucunya agar hidup layak dan cukup rejeki. “Ya, kita doakan supaya dia hidupnya bisa layak, gitu aja. Selalu inget sama orang tuanya... Ya mudah-mudahan aja dikasih rejeki yang berkah sama Allah gitu,” kata nenek Alm yang tinggal di panti (Alm, 6/6/2013). Sementara,
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
183
sebagian lansia lain berharap agar anak-cucu mereka paham agama sehingga bisa mendoakan dirinya, tetap mengingat, membalas, dan menyayanginya. Misalnya seorang lansia home care meminta-minta kepada Tuhan setiap selesai sholat: “Ya Allah mudah-mudahan cucu saya sadar, cucu saya bebales (membalas kebaikan) saya, anak saya” (Msn, 16/6/2013). Nenek Bs yang memperoleh layanan home care juga beberapa kali menceritakan bahwa selagi masih hidup ia ingin menyaksikan cucu-cucunya yang perempuan cepat menikah. Misalnya ia pernah mengatakan, “Iya, sering ngomong (ke cucu) sama ini aja, mudah-mudahan ada... (yang) ngasih uang jajan, uang belanja 25 juta, biar puas sana makan kue, haha.. eh ketawa itu (cucu), haha... (Bs, 16/6/2013). Di bagian lain dalam satu wawancara Nek Bs juga bercerita: Banyak cucu (sering main) di sini dekat. Kalau hajatan, kita disuruh ke sana ya hadir. Saya tuh kalau lihat-lihat orang kawin (di resepsi pernikahan suka berdoa dalam hati), “ya Allah ya Tuhan, mudah-mudahan cucu saya pada kawin, selagi saya... dikasih umur sama Allah.” (Bs, 16/6/2013) Fakta bahwa hampir semua informan tetap berharap ingin diberi umur panjang menunjukkan masih adanya semangat hidup di kalangan lansia. Meskipun dengan kondisi dan kualitas hidup yang tidak ideal di akhir hayat, mereka tetap menerima keadaan, tidak putus asa, semangat menghadapi dan melanjutkan hidup, dan ingin terus mengerjakan atau menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Misalnya seorang nenek lansia di panti yang sering mengisi waktu dengan membuat kerajinan boneka sulaman mengatakan: “Saya pokoknya tetep (semangat), tetep aja.. Minta umur panjang, terus sehat walafiat. Masih bisa bikin beginian (boneka sulaman). Supaya.. kita kepingin jajan ya, nggak usah bingung (nganggur), gitu aja. ...Ya semangat hidup mah masih mas saya...” (Alm, 6/6/2013) Semangat dan ketiadaan rasa putus asa juga ditunjukkan oleh pasangan lansia engkong Pnd dan emak Gbg yang menikah di panti, walaupun sepanjang hayat mereka penuh dengan apa yang mereka anggap sebagai cobaan atau ujian. Engkong Pnd hidup susah dan serba kekurangan sehingga ia harus berpisah dengan anak-cucu untuk hidup di panti dengan subsidi penuh dari pemerintah. Emak Gbg juga mengalami hal yang sama. Sebelum di panti ia lama menjanda sementara kelima
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
184
anaknya yang sudah berumah tangga juga tidak cukup mampu untuk menampung dan memenuhi kebutuhannya. Tidak itu saja, semasa hidupnya baik sebelum maupun selama di panti, emak Gbg sering disakiti atau mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari beberapa orang saudara, teman, atau tetangganya. Di sepanjang hidupnya, tiap tempat yang ia tinggal tinggali seakan-akan menjadi episode tersendiri yang harus dijalani dengan penderitaan. “Jadi, cobaan emak tuh gitu. Pindah ke sini gini, pindah ke sini gini, pindah ke sini gini. Di panti ya begitu juga. Di sono (wisma D-1 atau paviliun A-2) begitu, di sini begini, haha...” Pada kesempatan lain, ia menyimpulkan, “Jadi pengalaman emak tuh gitu. Pindah ke Mampang dihina orang, pindah ke sini (panti) dihina orang. Udah datang di Tanjung Gede Emak tu, mulai dagang nasi uduk bari (dan) lontong (diusir)” (Gbg, 30/5/2013). Ditanya apa yang menjadi pegangan atau kunci untuk menjalani hidup yang tidak mengenakkan sehingga mampu bertahan sampai saat ini, emak Gbg menjawab: Iya, sabar, tabah, tawakkal. Koncinya gitu. Ya kalau mau ngeladenin (meladeni) sih itu, kayak bu I menghinanya ama emak nggak kira-kira. Tapi nggak (ngajak) berantem, emak. Diomong dikatain [....], diapain, emak diem aja. Cuman (bisa berkata dalam hati), “ya Allah, alhamdulillah ya Allah. Mungkin kalau saya [....] bapak saya [....]?” Tapi karena emak tuh gini dek, waktu dulu ya itu lagi bapak mau meninggal kan ngomongnya gitu, “kalau diapa-apain orang jangan melawan, jangan. Tapi ngucap alhamdulillah dalam ati,” itu. “Nanti juga orang mah Allah juga yang bales.” (Gbg, 30/5/2013)
5.1.4.2. Harapan dan kecemasan menghadapi akhir hayat Kategori harapan dan kecemasan paling kental tercermin dalam persoalan lansia menghadapi akhir hayat. Menjelang tutup usia, hampir semua informan lansia memiliki banyak harapan baik. Di antaranya berupa harapan agar meninggal dengan baik dan mudah atau husnul-khâtimah, meninggal di kampung halaman sendiri dengan harapan banyak yang mendoakan, meninggal ada yang mengurus dan mendoakan, diberi ampunan sebelum datang kematian, terbebas dari siksa kubur, dan sebagainya.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
185
Terkait harapan meninggal dengan husnul-khâtimah, hampir semua informan Muslim menyatakannya baik secara eksplisit maupun tidak. Seorang lansia penyandang disabilitas yang tinggal di panti berharap, “Ya, (harapan saya) meninggalnya dalam husnul-khâtimah lah, ...nggak (mau menyusahkan orang lain) lah. Jauh-jauh, na’ûdzubillâh” (Mrw, 6/6/2013). Sementara itu, kecemasan lansia dalam menghadapi akhir hayat adalah tidak terwujudnya harapan-harapan baik seperti telah disebutkan di atas. Di antaranya berupa kekhawatiran meninggal dalam keadaan tidak baik (sû’ul-khâtimah), tidak ada yang mendoakan, tidak ada yang mengurus kematiannya, atau dalam keadaan sedang berbuat dosa. Sebagai contoh kekhawatiran yang terakhir ini, seorang oma beragama Kristen berharap: Est berusaha ya supaya kalo Est dipanggil sama Tuhan nanti ya, jangan (sampai) Est kedapatan sedang berbuat dosa. ... Jangan sampe Est membuat Tuhan berduka cita ya. ... Semoga Est nanti kalo dipanggil Tuhan, hidup suci ya, hidup kudus ya, deket sama Tuhan ya, setia berdoa ya, dan lain sebagainya. (Est, 31/5/2013) Begitu juga dengan seorang nenek lansia Muslim yang menyampaikan harapannya agar terlebih dahulu diampuni segala dosanya sebelum meninggal: Iya, barangkali kan seumur kita ini ...masih banyak dosanya. ...sebelum diampun
dosanya
jangan
meninggal
dulu
lah,
gitu.
Kepinginnya
(keinginannya) gitu. Banyak istighfar. Ya Allah mudah-mudahan (diampuni) banyak dosa yang dulu, waktu kita muda barangkali banyak dosa (dan) dosa sama anak (almarhum) (Nrn, 27/5/2013). Selain itu, hal-hal yang dicemaskan lansia di antaranya adalah bahwa ketika sebelum meninggal mereka takut kalau sampai menyusahkan orang lain, menderita sakit yang berat dan/atau lama sehingga sampai merepotkan orang atau membuat orang lain jijik, meninggal tidak ketahuan siapa-siapa atau tidak ada keluarga dan kerabat yang mengurus, mengalami sakratul-maut yang lama hingga tersiksa, dan seterusnya. Misalnya seorang nenek penerima layanan home care yang tinggal sendiri di rumah bedengnya berharap: Saya misalna udah tua kayak gini, kalau mau diambil, kata saya, nyawa saya jangan (sampai) saya disiksa. Saya mah pokoknya asal, mau sore mau pagi
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
186
udah pasrah ...ama Yang Kuasa. Asal saya ...jangan di.. (-biarkan) nggak ada yang ngurusin saya, nggak ada yang itu (mau mengurus jenazahnya) dek, jangan dikasih penyakit yang berat-berat gitu dah. (Msn, 16/6/2013) Pada bagian wawancara yang lain nenek tersebut menambahkan harapannya: Minta (meninggal dengan cara) yang gampang karena saya nggak ada yang ngurusin, karena saya ...nggak punya anak. Jangan ngarepotin (merepotkan) tetangga, jangan ngarepotin cucu, itu udah. Jangan sampe ngageuleuhan (bikin jijik) gitu, ama jijik-jijikan. Suka ada dek, kan yang sakit segala..... ah na’ûdzubillâh min dzâlik. Ada yang lumpuh, ada yang ah macem-macem dek, kan yah? Ya semua juga nggak pengen begitu, tapi kan udah karena Allah. (Msn, 16/6/2013) Di samping berbagai kecemasan dan harapan ketika menjelang kematian, sebagian lansia ada juga yang menghadapinya dengan santai, tidak takut datangnya kematian, pasrah, atau meninggal dimana pun asal imannya masih terjaga. Sebagai contoh, seorang oma beragama Kristen mengaku bahwa ia sama sekali tidak takut akan datangnya kematian. Oh, saya mati nggak takut. Saya mati nggak takut. Umur saya di tangan Tuhan, ngapain mati takut? Sekarang mati bisa mati kok... Sekarang kita mati besok ya mati, aku nggak takut mati... Yang penting kita di muka bumi waspada mulut, dijaga mulut, nomor satu ini ye.. (jari menunjuk ke mulutnya). (Kntw, 31/5/2013) Sebagai contoh lain, sementara suaminya mendambakan untuk meninggal di kampung halaman, nenek korban tsunami Aceh yang tinggal di panti justru berkata sebaliknya, “kalau saya ... (meninggal) dimana aja, yang penting saya (di-) doain selamat iman itu aja” (Nrn, 27/5/2013). Bahkan ada juga seorang nenek yang masih punya keluarga menginginkan tetap di panti sampai ajalnya. “Ya saya mah udah ikhlas aja di sini, mas. Pokoknya hidup matilah di sini nanti. Kalau bisa mati di sini juga nggak apa-apa” (Alm, 6/6/2013). Pasangan lansia yang menikah di panti mengatakan hal yang sama, “Tapi kalau emak sih udah pasrah aja lah, gitu. Mati di panti ya lillâhi ta’âlâ” (Gbg, 5/6/2013). Kemudian suaminya turut menegaskan, “Kita ini di panti ini udah kontrak...” (Pnd, 5/6/2013).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
187
5.1.5. Kebutuhan Spiritual (Spiritual Tasks) Kategori kebutuhan spiritual di sini tidak saja merujuk ke kebutuhan, tapi juga peran atau tugas lansia yang bersifat eksistenisal. Dalam program NVivo, sejumlah tema atau konsep yang mencerminkan kategori #spiritual tasks ini tergambar
dalam
beberapa
node
berikut:
@kegemaran-hobi-kreativitas,
@memaafkan, @mengheningkan cipta, @merasa berperan-berguna-dicintai, dan @reminiscence (perhatikan kembali Lampiran 7). Masing-masing tema node ini akan dijelaskan sebagai berikut.
5.1.5.1. Merasa berperan, berguna, dan dicintai Di ujung usianya, kebanyakan informan lansia masih ingin berperan dan berguna bagi orang-orang sekitar. Terutama lansia yang tinggal di panti, peran-peran yang
dijalankan
banyak
terkait
dengan
kegiatan
keagamaan,
misalnya
membangunkan penghuni panti untuk sholat subuh, adzan dan iqomat, menjadi imam sholat jama’ah, atau melayani Tuhan untuk lansia Kristiani. Selain dianggap sebagai suatu kewajiban agama, dengan tugas-tugas tersebut mereka merasa senang karena masih bisa berperan dan berguna bagi orang lain. Hal ini diakui oleh seorang lansia yang memiliki keterbatasan fisik: Ya, saya pikir begini, ...kalau adzan-iqomat itu memang (bagi) seorang lakilaki udah kewajiban ya. Habis yang lain kagak bisa, yang lain nggak ada yang mau. ... Ya, boleh dikatakan penting gak penting lah ya. Kalau nggak ada atau saya telat datangnya, ya pak Drm, gitu kan. ... Saya juga senang. Senang banget saya. Iya, hehe.., senang. Nenek-nenek juga senang. ... Saya kan ada peran ...adzan, qomat, iya kan. Sholawatan. (Mrw, 8/4/2013) Pentingnya perasaan berperan dan bermanfaat bagi orang lain berlaku juga bagi sejumlah informan lansia di panti lain, seperti kakek Sgn, Rml, dan Engk. Meskipun seringkali hanya menggantikan kakek kebagian piket untuk adzan atau iqomat namun berhalangan, kakek Sgn tetap mengaku senang (12/6/2013). Kakek Rml juga tampak senang dan bangga karena “Biasanya, kalau di sini (panti) saya sudah tujuh tahun ...ngimamin (menjadi imam sholat di musholla) (Rml, 27/5/2013). Kakek Pnd juga rajin ke musholla untuk adzan-iqomat, meskipun berdasarkan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
188
observasi dan penuturan informan lain, kakek Pnd cenderung lebih rajin datang ke musholla ketika kebagian piket dibanding ketika tidak sedang piket. Di luar kegiatan keagamaan di atas, lansia lain yang juga punya disabilitas fisik merasa senang karena sering diajak petugas panti mengikuti acara-acara luar panti. Meski dengan keterbatasan fisik harus memakai tongkat tripod, nenek lansia ini memang sering menjadi semacam model lansia yang masih bisa berkarya dan berguna di usia senja karena membikin kerajinan boneka dari pintalan benang wol. Sebagai contoh, dia menceritakan pernah diundang di satu acara: “...di sana suruh meragain ini (memeragakan membuat boneka). Orang direkturnya nggak bisa bahasa Indonesia, hehe, pakai juru bahasa.... Akhirnya saya senang sekali, jadi saya poto sama itu, direkturnya” (Alm, 6/6/2013). Tidak berhenti sampai di situ, ia juga tampak senang dapat menyisihkan sebagian rejeki dari hasil kerajinanya, yakni dengan memberi sedekah untuk lansia yang membutuhkan atau untuk kotak amal. Perasaan berguna atau dibutuhkan juga ditunjukkan engkong Pnd ketika mengatakan “...nah ke-5 bulannya mulai mekar nih, kalau kayak bunga (itu) mekar.” ‘Mekar’ yang dimaksud engkong terkait dengan soal peran dan kebergunaan dengan membantu penghuni lain, terutama nenek-nenek yang sering butuh bantuan. Misalnya ia pernah diminta pasang kunci gembok oleh nenek lansia yang lebih senior, “Kamu bisa nggak masang gembok, Pnd? Lemari aku pengen pasang gembok... Nah, mulai mekar tuh. Besoknya dia datang ke wisma. (Pnd, 27/5/2013). Aktivitas tolong-menolong seperti itu tidak saja menumbuhkan perasaan berguna, tetapi juga menciptakan interaksi antar lansia yang dapat menumbuhkan hubungan antar sesama, misalnya dalam bentuk ngobrol, disediakan kopi, rokok, atau makanan kecil. Hal-hal seperti ini dapat terkait dengan persoalan eksistensinya bahwa dia dianggap ada, meski hanya hidup di panti. Di samping merasa berperan dan berguna untuk sesama, kebutuhan penting lansia yang lain adalah perasaan dicintai oleh keluarga. Ini juga dialami engkong Pnd dengan membandingkan saat sebelum dan sesudah menikah dengan nenek Gbg di panti. Sebelum menikah, engkong mengaku, “...tadinya nggak betah,” sehingga kata nek Gbg, “...engkong sering pulang nengok cucunya. Setahun tuh dua kali pulang” (27/5/2013). Nek Gbg lebih jauh menjelaskan bahwa sebelum nikah dengannya,
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
189
pulang ke mantan istrinya karena ingin nengok cucu. Sejak menikah tahun 2009 engkong baru dua kali pulang ke kampung halaman, itupun ke rumah kakaknya.
5.1.5.2. Kenangan masa lalu (reminiscence) Kebutuhan lain kebanyakan individu di ujung usia mereka adalah mengingat atau mengenang masa lalu mereka terkait peristiwa, orang-orang yang dicintai, ataupun tempat. Pasangan lansia korban tsunami yang tinggal di panti, misalnya, suka terkenang dengan almarhum putrinya yang hilang saat tsunami Aceh tahun 2004 ketika melihat anak sekolah seusianya. Suami dari pasangan ini mengakui hal tersebut, “Kadang-kadang saya (teringat almarhum) kalau ngeliat (melihat) anak perempuan, anak-anak lagi sekolah” (Rml, 27/5/2013). Istrinya menerangkan: Dulu kan waktu baru-baru ke sini saya kan dulu kan jarang orang pakai helm yang ada kaca, dulu. Cuma anak saya pakai helm yang ada kacanya itu. ...saya asal lihat anak perempuan... yang pakai helm ada kacanya itu pakai sarung tangan kayak mana.. (entah bagaimana) perasaan tuh (langsung teringat almarhum)... (Nrn, 27/5/2013). Lebih jauh, istri dari pasangan ini juga suka terkenang-kenang tingkah dan kebiasaan anak putrinya yang sering membantu mengantar orang tuanya dengan sepeda motor untuk keperluan tertentu. Saya juga kemana-mana (diantar) sama dia. Kalau bapak kan ke kota kerja, tapi kalau dia libur (suka bertanya), “Mak, hari ini saya libur, mau kemana?” ... Anak-anak lain juga jauh. Sama bapak juga kalau bapak sakit dia nggak nunggu adeknya. Kan adeknya laki cowok tapi dia nggak nunggu adeknya kalau sakit, “yuk pak ke rumah sakit.” Kadang-kadang kalau kita sakit malem ato muntahlah inilah dia nggak bisa tidur tanya terus, “Mak, kayak mana (bagaimana kondisinya)?” Pagi-pagi nggak ditunggu nggak ini jam 7 belum buka dokternya kita udah ke rumah sakit. Kadang-kadang kalau mikir gitu ya, ...saya pikir itu anak yang saleh bener-bener (Nrn, 27/5/2013). Hal yang sama terjadi pada seorang nenek penghuni panti yang sering terbayang almarhum suaminya karena kebaikan, kecintaan, atau kebersamaannya. Bebayang (terbayang) ama suami tuh bebayang kebaikannya, bebayang kecintaannya, bebayang die tekun kepada saya, nggak pernah mukul, nggak
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
190
pernah bentak, nggak pernah galak, nggak pernah ngepret (menampar), nggak pernah ngomel lah. ... Tapi kalau malem saya jarang tidur. ... Kita ingat jaman muda. (Kntw, 31/5/2013) Meskipun begitu, mengingat atau mengenang sesuatu yang terjadi di masa lalu atau orang yang telah tiada bisa membuatnya sedih. Nenek ini melanjutkan ceritanya: Jadi kita tuh malam nggak bisa tidur tuh hawanya hawa sedih. Inget... saya punya suami yang nomer dua, itu ini saya punya tivi besar, video (player) besar, motor besar, pembantu ada, prabotan kumplit. Jadi itu yang metakan (membuat) larut otak itu tuh. Saya.. sering ngelamun gitu. Laki saya yang ke dua juga sayang ama saya orang Bandung. (31/5/2013) Begitu juga dengan nenek home care yang tinggal seorang diri. Terkadang begitu saja teringat almarhum suami dan anaknya dan kadang sengaja mengenang mereka dengan memandangi foto-foto yang sebagian masih terpasang di dinding rumah bedengnya. “Ya, suka teringat aja, dek, ama anak-anak, ama suami. ... Kadang-kadang (sengaja mengingatnya), dek” (Msn, 16/6/2013). Ia menambahkan: Ada (foto) suami saya. Maaf dek (Bu Msn berdiri menunjukkan dan mengambil foto yang dipasang di dinding ruang tamu). Ini tapi saya lagi masih muda, dek. Ada suami saya sama saya ini nih, dek. Suami saya ama saya. (Saya) suka ngeliat itu... saja. Kata saya, dulu mah begini. Iya. Dulu mah saya suka ngeliat aja itu, dek. ....inget masa lalu ya dek, baik sekali suami saya, dek. Saba....r sekali suami saya, orang Jawa, orang Solo. ...kalau di-inget-inget masa lalu mah dek, sedih gitu, banyak sedih saya waktu dia masih ada, ...masih seneng-senengnya. (Msn, 16/6/2013) Sementara nenek home care lain, yang juga sering sendiri karena anak-cucu lebih banyak menghabiskan waktu di luar karena sibuk kerja, mengenang saat-saat ketika masih bersama almarhum suami yang meninggal pada awal 2009. Nenek Bs ini menceritakan: Alhamdulillah itu ingat kebaikannya. ...saya nggak kaya, tetapi nggak pernah (disuruh kerja). Kebanyakan itu istri disuruh kerja, tapi saya nggak. Kalau saya kerja, eh dimarahin. ... (Saya) nggak pernah dimarah-marahi. Kadangkadang saya lebih sering memarahi (alm. suami). Dia sering ngalah itu. Ini selama sakit ini, kalau dia nonton (tv di ruang tamu) sini, saya bawa keluar
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
191
air panas, nasi, ...katanya: “seribu satu ini perempuan kayak kamu ini, ngurusi suami (yang) nggak ada kerjanya.” Saya bilang, “ya kan dulu kan kerja juga, saya di-enak-enaki jadi kan kalau sampai waktunya nggak bisa kerja lagi mau diapain?” (Bs, 16/6/2013) Kecenderungan
mengulang-ulang
cerita
atau
kenangan
masa
lalu
(reminiscence), meski lebih banyak kenangan buruk ketimbang yang baik, juga kentara dilakukan oleh pasangan lansia emak Gbg dan engkong Pnd. Selama interaksi, baik ketika masih tahap membangun rapport maupun dalam pelaksanaan empat kali wawancara yang berdurasi 1 sampai 2,5 jam, keduanya bercerita tentang jalan hidupnya masing-masing. Baik engkong maupun emak begitu terbuka bercerita tentang masa lalu dan keluarganya dengan detail alur peristiwa, nama orang, tempat, waktu kejadian, dan lain-lain, walaupun sebagian ceritanya kadang diulang-ulang.
5.1.5.3. “Mengheningkan cipta” Kebutuhan reminiscence seperti di atas juga tercermin dalam konsep ‘mengheningkan cipta’ sebagaimana ditunjukkan sejumlah lansia sebagai satu cara untuk memanfaatkan keberadaannya di panti, yang terpisah dari keluarga. Konsep ini diutarakan oleh seorang lansia yang hidup sendiri karena istri meninggal dan tinggal terpisah jauh dari anak-cucu yang ada di Lampung dan Sorong. Dalam perjalanan naik bus menuju Lampung untuk menengok anak-cucu, ia dibius orang dan sebagian besar barang bawaan hilang, sehingga kemudian dikirim ke panti oleh petugas. Mengheningkan cipta maksudnya ingin menikmati kesendirian untuk mencari ketenangan dan sengaja mengenang-ngenang orang-orang tercinta yang sudah meninggal ataupun mengenang masa lalu. “Ya daripada di apa tuh istilahnya (hidup sendiri jauh dari) anak tuh, lebih baik di sini (di panti) dulu. Sementara mengheningkan, istilahnya, mengheningkan cipta hehe..” Di samping itu, mengheningkan cipta juga “...sambil sembahyang atau bagaimana itu supaya menghadap Tuhan itu enak.” (Sgn, 5/6/2013) Lansia lain mengakui bahwa tinggal di panti dapat membuatnya lebih baik ketimbang sebelumnya. “Ya, di sini lebih tenang lebih damai,” akunya (Mrw, 8/4/2013). Hal yang sama dirasakan oleh lansia korban tsunami dengan mengatakan:
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
192
Tapi kalau mau kita pikir satu sisi itu di sini (panti) kayaknya aman nggak ada misalnya kemana ya? Aman karena nggak..., pikirannya kita nggak kalut, gitu. Kalau misalnya kalau tinggal di kampung musti pakai kemarin barangkali kita kan ke mana ya. ... Iya ini kan menghilangkan itu (trauma atau kenangan buruk), sekarang alhamdulillah lah sudah baik ya kan? (Nrn, 27/5/2013)
5.1.5.4. Memaafkan Hubungan yang tidak baik dengan orang-orang sekitar, terutama orang dekat, di masa lalu maupun saat ini mempengaruhi kondisi batin individu lansia yang harus berpikir mengakhiri dunia dengan cara yang baik. Memaafkan adalah salah satu pintu masuk untuk memperbaiki hubungan agar tenang di akhir masa hidup. Misalnya seorang oma menceritakan kemarahan kepada almarhum bapaknya yang, menurutnya, tidak berpikir panjang atas upaya mengakhiri hidup yang walaupun gagal namun membuatnya sakit-sakitan sehingga tidak mampu bekerja untuk menghidupi anak-anak dan istrinya. Meskipun begitu, pada akhirnya ia telah memaafkan selagi bapaknya masih ada. “Dia gak mikir akibatnya buat keluarga Est. Est sih udah ngampunin (memaafkan) dia ya. Est udah baik lagi ya sama dia ya, tapi efek sampingan kerjaan dia itu gak tau, tuh” (Est, 31/5/2013). Tindakan memaafkan tersebut juga dilakukan setelah di panti terkait hubungannya dengan sesama penghuni dan perawat. Misalnya ia pernah dimarahi perawat, yang menurutnya, karena kesalahpahaman. Meskipun meyakini bahwa yang bersangkutan lah yang bersalah, ia justru lebih dulu minta maaf. “Terus akhirnya Est yang minta maaf tau gak. Padahal dia yang salah tau gak? Salah atau enggak biar aja Est yang dapat pahalanya. ... Iya Est yang minta maaf ama dia. Est minta maaf,” begitu katanya (Est, 31/5/2013). Begitu juga ketika merasa sering disakiti oleh beberapa penghuni, ia lebih memilih untuk mendoakan “...temen-temen yang suka nyakitin hati. ...pokoknya biar Tuhan beresin gitu ya mereka” (Est, 31/5/2013). Emak Gbg juga melakukan hal yang sama terhadap orang-orang berbuat tidak baik atau bahkan jahat terhadapnya, baik pada saat sebelum maupun sesudah di panti. Emak sendiri mengaku bahwa ia tidak memiliki dendam terhadap siapapun. “Alhamdulillah dek, Emak nggak dikasih dendem gitu, ama orang, gitu.” Bahkan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
193
terhadap menantunya sendiri yang pernah berkata tidak mengenakkan ketika ia ikut tinggal bersama dalam satu rumah. “Emak sih nggak ada dendam sama temen ge, demi (Allah)... apalagi ama anak-mantu.“ Selaku orang tua ia tetap mendoakan kebaikan bagi anaknya. “Ya emak sih tetep aja ama dia gitu. Ya mudah-mudahan kasih selamet lahir-batin (dan) dunia-akherat. Biar dia jauh ama emak gitu, tapi emak, hati emak, tetep deket ama dia, gitu” (Gbg, 5/6/2013).
5.1.5.5. Kegemaran, hobi, dan kreativitas Perubahan tempat tinggal ke panti meniscayakan terjadinya perubahan hidup terkait kebiasaan, aktivitas, atau orang-orang yang biasa dijumpai sebelumnya. Terutama ketika baru datang di panti, banyak lansia merasa terasing, terbuang, bosan, dan seterusnya. Nenek Alm, misalnya, mengalami kejenuhan pada dua atau tiga bulan pertama di panti karena belum punya banyak aktivitas selain kegiatankegiatan rutin panti. “Ya waktu pertama kali mah nggak punya kegiatan mah ya saya kaya nggak betah begitu. Kalau pagi-pagi duduk aja didepan kantor” (Alm, 6/6/2013). Selain mengembangkan kreativitas dengan belajar bikin boneka, nenek ini juga bisa melakukan hobinya membaca novel dengan difasilitasi petugas panti. Beberapa lansia lain yang tinggal di panti masih menjalankan sebagian hobi dan kegemaran yang biasa mereka lakukan sebelumnya. Misalnya kakek Mrw punya hobi mendengarkan radio dan musik dangdut di stasiun radio RRI kesayangannya. Iya, saya tidur-tidur kadang-kadang jam 10 jam 11. Kalau bisa tidur, kalau nggak tidur saya matiin aja radio. Saya tidur ah, niat tidur sore. Tidur ah gitu. Kalau saya kan radio hanya buat (mengetahui) waktu. Setiap waktu saya stel RRI, saya stel gitu. ... Saya dulu senangnya (lagu) dangduut mulu, hehe. ... Kadang-kadang kalau masih sore ya, pulang sholat Isya, ...saya stel (lagu) dangdut. Banyak kan dangdut, ya kan? Banyak dah, lagu apa aja. Cuman, saya stel juga (volumenya) nggak terlalu besar. (Mrw, 8/4/2013) Lansia lain ada yang suka jalan-jalan ke luar panti, hobi bernyanyi dan berjoget, dan ada juga yang hobi berkebun atau bercocok tanam. Oma Est, misalnya, mengakui ketika ada waktu luang suka jalan-jalan ke luar yang padahal sebelumnya tidak sebebas seperti di panti saat ini.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
194
Di sini Est bisa jalan-jalan, bisa pergi, bisa pergi ke tempat lain.... Bisa ke gereja ya, bisa ke pasar ya, bisa kemana ya kalo Est mau ya. Apa ke pasar Kopro ya, atau ke pasar Inpres ya, eeh. Bisa pergi yah pokoknya, bisa ke Citraland, eeh yang deket-deket ya. Jadi Est udah lebih enak sebetulnya daripada di rumah. (Est, 31/5/2013) Sementara kakek Sgn mengaku bisa menyalurkan hobinya bercocok tanam sebagai kegiatan mengisi waktu luang. Ketika ditanya apa tujuannya, ia menjawab: “Ya begitulah, daripada bengong di sini (panti), ...daripada inget masa lalu. Kita sambil-sambilan (bercocok tanam).” Katanya lagi, “Ah, terus daripada saya bengong di STW terus cari-cari tanaman pendek-pendek itu,
buah-buahan seperti sawo,
kelengkeng, durian ...”. Kakek ini memang punya keahlian budi daya tanaman, oleh karenanya tanaman bisa tumbuh dan terawat. “Alhamdulillah dondong (kedondong) semi. Oh, terus ...saya cabut, saya pindah bedeng. Saya dulu kan bisa nyambungnyambung... Terus apa itu, batang mangga itu 10 hari bisa tumbuh, 15 hari tumbuh.” (Sgn, 5/6/2013).
5.2. Pengalaman Hidup dan Respons Lansia Sub-bab pengalaman hidup dan respons lansia ini merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian keempat yang menyangkut pengalaman atau penderitaan yang dialami lansia bagaimana mereka memberikan respons. Di sini ada dua kategori besar yang dibangun, yaitu: (i) pengalaman hidup dan pemaknaan; dan (ii) respons terhadap penderitaan.
5.2.1. Pengalaman Hidup dan Pemaknaan Kategori pertama ini tersusun dari tiga tema yang berhasil digali, yaitu: (i) pengalaman dan penderitaan; (ii) musibah, cobaan, atau peringatan; dan (iii) “ada musibah ada hikmah.” Dalam program NVivo, klasifikasinya tampak sebagai kategori #penderitaan hidup dan pemaknaan yang terdiri dari node @ada musibah ada hikmah, @musibah-cobaan-peringatan, dan @pengalaman-penderitaan. 5.2.1.1. Pengalaman dan penderitaan Sebelas informan lansia yang berpartisipasi dalam penelitian ini memiliki penderitaan dan pengalaman hidup yang berbeda-beda dan unik (lihat Tabel 5.1).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
195
Tabel 5.1. Informan klien lansia dan masing-masing pengalaman atau penderitaannya Informan Mrw (Panti) Pnd (Panti)
Gbg (Panti)
Rml (Panti)
Nrn (Panti)
Est (Panti) Kntw (Panti)
Sgn (Panti)
Pengalaman atau penderitaan • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Alm (Panti)
•
Bs (home care)
• • •
Msn (home care)
• • • •
•
Disabilitas fisik (tuna netra) karena glaukoma Berpisah dari anak-anak dan mantan istri Berpisah dari anak-cucu Hidup menderita berkepanjangan Sering sakit Hidup terpisah dari anak-cucu-buyut Pernah kehilangan anak dan suami (meninggal) Hidup menderita berkepanjangan Merasa sering disakiti (dicelakakan) oleh orang sekitar Sering sakit-sakitan Kehilangan harta-benda karena tsunami Aceh 204 Kehilangan seorang putri karena tsunami Keluarga besar banyak yang menjadi korban Kehilangan harta-benda karena tsunami Aceh 2004 Kehilangan seorang putri karena tsunami Keluarga besar banyak yang menjadi korban Hidup terpisah dari saudara (adik, ipar, dan ponakan) Disabilitas fisik (tremor) Suami meninggal Sudah tidak punya famili, meski punya anak angkat Disabilitas fisik (jalan harus dengan tripod) Istri meninggal Hidup sendiri di Jawa, anak-cucu hidup di Lampung dan Sorong Dibius dan kehilangan barang dalam perjalanan di bus hingga akhirnya terdampar di panti Hidup terpisah dari anak-cucu. Punya famili (adik tiri & keluarga) tapi hubungannya jauh Disabilitas fisik (jalan harus dengan tripod) Suami meninggal 5 tahun yang lalu Sering tinggal sendiri di rumah karena anak/menantu dan cucu sibuk bekerja dari pagi hingga malam Suami dan putra semata wayang meninggal. Tinggal sendiri di rumah bedeng. Cucu dan mantan menantu ada tapi hubungan agak jauh Punya adik yang sudah berkeluarga tapi sibuk/susah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri Cucu paling besar sudah bekerja (serabutan) sehingga hanya bisa membantu ala kadarnya dan tidak pasti
Gambaran penderitaan atau pengalaman hidup yang dirasakan informan lansia sebagian dapat tergali melalui wawancara dan sebagian yang lain diperoleh melalui penelusuran dokumen dan observasi. Sebagai contoh, perasaan keterpisahan dengan keluarga diungkapkan oleh lansia Kntw, “... di Jakarta saya mblangsak (hidup sengsara). ...Mblangsak-nya nggak ada sanak famili” (Kntw, 31/5/2013).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
196
Keterpisahan dengan keluarga di kampung juga dirasakan nenek Alm yang tinggal di panti, sehingga ia terpaksa menahan rasa ingin bertemu anak-cucu: Ya kalau pengen liat (anak-cucu) ya kita kemungkinan kecil juga nggak bisa ya, mas. (Keadaan) saya begini ya kan nggak mungkin bisa. Kalau keadaannya di kampung (sama-sama susah) begitu ya nggak mungkin sampai di sini kalau nggak ada yang bawa, hehe.. (Alm, 6/6/2013) Hidup susah dan serba kekurangan juga dapat menciptakan perasaan menderita berkepanjangan bagi lansia. Kemalangan ini pada gilirannya menyebabkan kesedihan bagi nek Msn yang tinggal seorang diri. ... kalau ngeliat orang-orang mah makan itu makan ini, kita mah boro-boro. Pengen sedih itu dek kalau ngeliat orang-orang itu, kadang-kadang yah. Susahnya, ya Allah kata saya, kalau ada anak saya, ada suami saya, barangkali saya nggak begini-begini amat begitu, dek. Barangkali ada yang ngasih. Nggak (bakal) saya begini aja. Ini mah ngandelin (mengandalkan) dari orang-orang, pengasih (belas-kasihan) orang-orang aja. Apa-apa juga kalau orang-orang pada ngerti gitu, namanya orang itu ngasih, kalau nggak mah ya, begitu lah dek. Jadi susahnya, sedihnya gitu. ... Tapi kalau udah abis nggak ada yang ngasih, ya Allah, uang dari mana, gitu. Ya ada seneng ada susah, ya namanya juga orang hidup ya dek ya. (Msn, 16/6/2013) Penderitaan hidup berkepanjangan juga dialami emak Gbg yang berkali-kali pindah tempat tinggal karena ada tetangga yang tidak senang. “Jadi pengalaman emak tuh gitu. Pindah ke Mampang dihina orang, pindah ke sini (panti) dihina orang. Udah datang di Tanjung Gede Emak tuh, mulai dagang nasi uduk bari lontong (diusir)”. Katanya lagi, “Jadi kudu (harus) sabar seteruse (tiada henti) dek, emak tuh. Jadi, cobaan emak tuh gitu. Pindah ke sini gini, pindah ke sini gini, pindah ke sini gini. Di panti ya begitu juga. Di sono (wisma D-1 atau paviliun A-2) begitu, di sini begini, haha...” (Gbg, 30/5/2013) Ditinggal mati oleh orang-orang tercinta menimbulkan rasa kehilangan yang begitu besar bagi informan. Pengalaman kehilangan semacam ini pernah dirasakan pasangan lansia korban tsunami Aceh 2004. Selain kehilangan harta-benda dan sejumlah besar kerabat, informan lansia Rml dan Nrn kehilangan seroang putri yang telah dewasa. Pak Rml menceritakan, “Kalau saya 200 lebih saudara nggak ada lagi”
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
197
(Rml, 27/5/2013). Sementara bu Nrn mengungkapkan, “Saya dari uwak pertama juga habis, uwak kedua habis, uwak ketiga habis, (yang) selamat anak-anak doang.” Hanya satu putri dari pasangan ini yang menjadi korban tsunami dan tidak diketemukan jasadnya (Nrn, 27/5/2013).
5.2.1.2. Musibah, cobaan, atau peringatan Dalam memaknai berbagai peristiwa atau pengalaman hidup, informan lansia memiliki sejumlah pandangan. Secara umum, penderitaan yang dialami pada masa lampau ataupun saat ini mereka anggap sebagai semacam musibah, cobaan, ujian, ataupun peringatan. Sebagai contoh, seorang lansia yang mengalami disabilitas fisik karena glaukoma dan harus hidup di panti terpisah dari anak-anak dan mantan istrinya mengatakan bahwa “Itu saya anggap sebagai cobaan aja. Ya, sebagai cobaan dari Allah. Saya terima apa adanya. Iya kan? Itu aja.” Dengan cobaan itu, ia tidak lantas membuatnya marah terhadap Tuhan, namun malah bersyukur atas apa yang telah menimpanya. “Ya, iya lah. Allah nggak usah dimarahin. Allah tidak bisa dimarahin. Saya bersyukur, berterima kasih masih ada cobaan bagi saya. Iya kan? saya anggap cobaan lah dari Allah.” (Mrw, 8/4/2013) Musibah, cobaan, ataupun peringatan tersebut lebih jauh diyakini seorang lansia home care sebagai nasib atau takdir Tuhan yang tidak bisa dihindari. Ya udah ah, barangkali takdir saya, udah nasib saya aja gitu, dek. Barangkali udah takdir saya. (Kalau) nasib, habis mau diapain lagi? Suka inget-inget kata-kata orang tua, kita walaupun sedih, mengejerit (menjerit), nyaratan (merintih menengadah ke) langit kita ngeliat ya, siapa yang mau nolongin? (Msn, 16/6/2013) Begitu juga halnya dengan pasangan lansia emak Gbg dan engkong Pnd yang menganggap segala peristiwa menyakitkan atau penderitaan dalam hidup sebagai cobaan atau ujian. “Iya, ujian. Semua orang diuji. Orang kaya diuji dengan kekayaannya. Orang miskin diuji dengan kemiskinannya. Orang sakit diuji dengan kesakitannya,” engkong Pnd menegaskan (30/5/2013). Emak Gbg yang sering menceritakan penderitaan hidup baik sebelum maupun semasa di panti juga menganggapnya sebagai cobaan. “Jadi emak tuh gitu, jadi pindah kemana-mana tuh cobaa.....n aja” (Gbg, 30/5/2013). Misalnya ketika sering disakiti oleh sesama
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
198
penghuni panti dengan kata-kata kasar, emak hanya diam bersedih sembari meratap dan berdoa dalam hati: Jadi Emak juga kalau diapa-apain gitu, di sini ama bu I gitu ya, Emak dikatain macem-macem dan ditunjuk-tunjuk bari sapu lidi, Emak pengen marah sih ya, namanya manusia ya wajar gitu ya, tapi emak terus istighfar, astaghfirullâh al-‘adzîm, inget ama (pesannya) bapak. Astaghfirullâh al‘adzîm ya Allah paringi kesabaran, ketawakkalan ya Allah, lindungilah diri hamba ya Allah. (Gbg, 30/5/2013) Ketika dikasih sakit, engkong menganggapnya sebagai peringatan, karena ia meyakini bahwa sakit datangnya dari Allah sehingga kesembuhannya pun adalah atas kuasa-Nya. Kalau engkong ...sakit nih ya, (engkong yakin) sakit Allah punya, sehat Allah punya. Engkong mah nggak punya apa-apa. Bisa bicara karena Allah. Mata bisa melihat karena Allah, gitu aja. Nah sekarang nih keadaan sakit, Allah itu kasih peringatan, gitu. Ya Allah mohon sembuhkan. (Pnd, 30/5/2013) Hal yang sama dikatakan emak Gbg sembari mengingat pesan dari seorang ustadz, pembimbing agama di panti: Jadi si emak tuh gitu. Enggak dimarahin orang dicobanya sakit, gitu kata ustadz. Jadi emak tuh lagi diuji terus, Engkong lagi diuji sabar apa nggak. Iya kan sajeb bari (sejak bersama menikah dengan) engkong, emak tiga tahun sakit melulu. Jadi, (selain) nguji kesabaran engkong, (juga) nguji diri emak, sabar apa nggak, gitu. Jadi (seandainya) sabar seteruse (seterusnya) emak lulus, gitu. Kata ustadz gitu. Tapi kalau emak misale (misalnya) sekarangsekarang dihina orang terus emak marah-marah ngelawan, emak nggak lulus. (Gbg, 30/5/2013)
5.2.1.3. “Ada musibah ada hikmah” Pemaknaan terhadap penderitaan sebagai musibah, cobaan, atau peringatan di atas kemudian dibarengi keyakinan bahwa di balik itu pasti ada manfaat atau hikmah tertentu. Keyakinan semacam ini tampaknya cukup terwakili dengan ungkapan dari salah satu informan yang dihasilkan dari proses coding (atau disebut invivo code), yaitu “ada musibah ada hikmah.” Ungkapan ini dinyatakan oleh seorang informan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
199
lansia korban tsunami Aceh dalam satu wawancara. Ketika dieksplorasi lebih jauh, kira-kira apa hikmah atau manfaat tersembunyi dari semua kejadian yang menimpa, ia menjawab bahwa melalui peristiwa tsunami itu Tuhan mengingatkan manusia agar “bertambah taqwa lagi.” (Nrn, 27/5/2013) Selain itu, musibah atau cobaan tersebut ditimpakan agar ia dapat melakukan semacam introspeksi terhadap kesalahan yang telah diperbuat baik secara sengaja ataupun tidak. “Barangkali kita kadang-kadang kita salah apa ya? Kita kan nggak tau ya? Kesalahan kita masing-masing kan nggak tau, yang ...Maha ...Tahu kan Allah”. Ia menambahkan, “Barangkali kita ada salah apa tapi kita nggak sadar. ... (atau) barangkali ada Allah yang nggak ridhoin gitu” (Nrn, 27/5/2013). Informan lain mengakui adanya hikmah lain di balik cobaan yang dialami. Dengan hidup di panti dan kondisi tuna netra, seorang lansia malah bersyukur karena saat ini ia makin rajin beribadah di musholla. “Ya udah bisa bersyukur, saya terima apa adanya. Walaupun saya nggak bisa ngeliat ya saya bersyukur masih bisa sholat, bisa ke musholla. Bersyukurnya di situ. Itu sebagai cobaan bagi saya” (Mrw, 8/4/2013).
5.2.2. Respons terhadap Penderitaan Sama dengan sub-bab di atas, bagian ini merupakan bagian dari jawaban untuk pertanyaan penelitian keempat, khususnya terkait bagaimana mereka bereaksi, menentukan sikap, atau memberikan tindakan atas penderitaan yang dialami. Secara teoretis, reaksi-reaksi seperti ini disebut sebagai coping dan berdasarkan analisis coding dihasilkan sejumlah tema dalam node berikut: @respons, @pasrah-menerima, @sabar & tawakkal, dan @bersyukur. Keempat node tersebut terhimpun dalam kategori #respons terhadap penderitaan.
5.2.2.1. Respons Berbagai bentuk respons para informan lansia cukup beragam, dari mulai enggan memikirkan atau merasakannya, bereaksi secara negatif, hingga sikap positif menerima. Seorang informan terkadang menunjukkan respons yang berbeda pada satu kesempatan wawancara. Misalnya lansia Mrw di awal wawancara mengaku tidak menyesali atas semua cobaan yang menimpanya. “Ya, ya bukan mau dikatakan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
200
sakit (hati). Kalau dikatakan sakit (hati) ya kagak juga ya saya. Cuma maksudnya, iya, saya nggak menyesali sebetulnya, Ton. Nggak menyesali. Itu makanya saya bilang, saya anggap sebagai cobaan” (Mrw, 8/4/2013). Bahkan lebih jauh ia mengaku tidak pernah sedih dan tidak mau mengingat sesuatu atau orang-orang terdekat yang mungkin bisa mendatangkan kesedihan. “Saya nggak pernah sedih. Udah deh...” Katanya lagi, “Ya, saya mengingat-ingat untuk sedih anak-istri, nggak (pernah).” (Mrw, 8/4/2013) Meskipun begitu, ketika ditanya tentang kondisi disabilitas fisiknya saat ini dan keterpisahan dari keluarga atau teman-temannya yang dulu, ia mengakui bahwa hati kecilnya terkadang merasa tidak berguna. Memang ya dalam hati kecil saya. Memang saya pribadi, saya bilang... perasaan saya tidak berguna. ... Perasaan saya, saya nggak berguna lagi nih, gitu, iya kan? Karena Saya nggak bisa liat, tidak punya daya-upaya. Dan saya mempunyai tanggungan, (tapi) tidak bisa (memenuhinya). Istri saya anak saya, siapa yang ngempanin (memberi makan)? Itu. Siapa yang memberi nafkah? Itu. (Mrw, 8/4/2013) Dulu masih remaja, ya istilahnya masih di kampung, masih di rumah itu istilahnya kawan, teman (masih banyak). Sekarang udah diem di panti memang merasa agak tersingkir sedikit dari teman dan tetangga-tetangga, gitu kan. Tersingkir saya. Tersingkirnya jauh dari pada teman. Di sini walaupun banyak teman, saya pikir, anggap, nggak ada sih. (Mrw, 8/4/2013) Respons negatif yang ditunjukkan lansia lain misalnya kangen dengan keluarga atau sering teringat anggota keluarga yang telah tiada. Hal ini dialami oleh lansia korban tsunami yang saat ini tinggal di paviliun panti dengan mengatakan, “Di sini nggak enaknya gini, kita kadang-kadang kangen sama keluarga, gitu” (Nrn, 27/5/2013). Ia juga terkadang masih teringat putrinya yang menjadi korban tsunami, “Tapi kalau udah malem tuh, udah susah, saya kadang-kadang mikir ...itu masih ada (almarhum) anak di situ, ya” (Nrn, 27/5/2013). Sikap positif lain yang mereka tunjukkan atas kemalangan yang dialami di antaranya berupa sikap pasrah, menerima, sabar, tawakkal, dan bahkan tetap mensyukuri. Tema-tema ini akan dijelaskan secara tersendiri di bagian berikut.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
201
5.2.2.2. Pasrah dan menerima Respons positif terhadap penderitaan hidup yang dialami berupa sikap pasrah dan menerima. Respons seperti ini muncul karena keyakinan bahwa semua yang terjadi dalam hidup sudah menjadi ketentuan atau takdir Tuhan. Kalaupun ketentuan itu berupa musibah atau cobaan, hal itu tetap diterima sebagai nasib dan jalan hidup yang harus dilalui. Sebagai contoh, kakek Mrw mengatakan, “Ya udah bisa bersyukur, saya terima apa adanya. ... Jadi, saya diem aja lah. Nggak, nggak usah dipikirin gitu. Mungkin nasib saya begini, iya.” (Mrw, 8/4/2013) Begitu juga dengan lansia korban tsunami, “Ya kita kan gini, kehendak Allah milik Allah ya gitu, kita berserah, gitu aja udah” (Nrn, 27/5/2013). Sementara seorang nenek yang mendapat layanan home care merespons: ...paling-paling juga jawabannya, ya.. barangkali saya udah nasib aja gitu, dek. Barangkali udah nasib saya, mau diapain lagi. Takdir. Katanya nggak kena dipungkir, ... Udah dari (Allah)... harusnya begini kali saya dek, mau gimana lagi. Hanya Allah kan, hanya (Allah) yang menentukan nasib kita. ... Habis marah-marah juga, marah ama siapa? ... Eeh. Udah nerima aja dek, nasib saya begini. Barangkali mau marah, ama siapa? Namanya udah Takdir Allah, katanya kan. (Msn, 16/6/2013) Dalam menyikapi penderitaan hidup, nenek Kntw juga bersikap pasrah kepada Tuhan. “Pokoknya jiwa raga saya, saya serahin kepada Gusti yang Maha Agung. Hidup mati sehat sakit (saya pasrah kepada) Gusti yang Maha Agung” (Kntw, 31/5/2013).
5.2.2.3. Sabar dan tawakkal Respons ini ditunjukkan oleh pasangan lansia engkong Pnd dan emak Gbg tatkala diberi cobaan atau ujian. “Dicoba, sabar,” cetus engkong. “Iya, kudu (harus) sabar terus,” emak menegaskan. Emak bercerita ketika keluarganya beberapa kali diusir oleh pemilik kontrakan atau dijahati oleh pesaingnya karena tidak suka dengan keberhasilan usaha dagangnya. “Emak bilang, astaghfirullâh al-‘adzîm, ya Allah paringi sabar kek, tawakkal diri hamba. (Di-)mana-mana ada aja cobaan. Ngontrak di Ciganjur, dagang enak-enak, gede, minyak aja drum-an, ujug-ujug pe....ss. Nggak laku, dek.” (Pnd & Gbg, 30/5/2013)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
202
Kesabaran luar biasa yang ditunjukkan emak Gbg diakui sebagai pengaruh dari keluargnya, terutama dari almarhum bapaknya yang pernah berpesan sebelum meninggal. Emak mengatakan setiap kali mendapat cobaan atau ujian ia selalu ingat pesan bapaknya agar selalu sabar. “Ya Allah, hamba kudu gimana (harus bagaimana) ya Allah. Nggak dilawan keenakan, dilawan tapi hamba inget riwayat (pesan) bapak (alm.) hamba ya Allah. Ya Allah lindungin ke hamba ya Allah. Emak nangis sendirian, ...” (Gbg, 30/5/2013). Di cerita sebelumnya ia juga mengisahkan: Jadi Emak juga kalau diapa-apain gitu, di sini ama bu I gitu ya, emak dikatain macem-macem dan ditunjuk-tunjuk bari (pakai) sapu lidi, emak pengin marah sih ya, namanya manusia ya wajar gitu ya, tapi emak terus istighfar, ... Inget ama (pesannya) bapak. Astaghfirullâh al-‘adzîm, ya Allah paringi (berilah) kesabaran, ketawakkalan ya Allah, lindungilah diri hamba ya Allah. Kalau emak nyambat (minta bantuan), mama (bapak), doain saya. (30/5/2013) Ya.... cobaan dari Yang Maha Kuasa, jadi supaya Emak tuh sabar tawakkal. Jadi Allah tuh nyoba terus karena Emak tuh orang sabar, jadi katanya ustadz gitu, “dicoba dengan kesabarannya, sampe dimana. Dicoba dengan kesusahannya sampai dimana” gitu. Jadi kalau misale Emak separoh-paroh nih, lagi muda diapa-apain orang nggak ngelawan, udah tua bangkotan kayak gini emak ngelawan itu dosa, katanya. Itu, jadi begitu, dek. Jadi emak tuh kudu sabar. (30/5/2013)
5.2.2.4. Bersyukur Seiring dengan sikap pasrah dan menerima, respons positif lain terhadap cobaan yang dialami yang dilakukan kebanyakan informan di antaranya berupa tetap mensyukuri. Kakek Mrw misalnya mengatakan: Saya bersyukur, berterima kasih masih ada cobaan bagi saya. Iya kan? ... Ya, bersyukurnya saya masih bisa berjalan, bisa menuju ke musholla. Saya bersyukurnya situ. walaupun saya nggak lihat. ... Kalau sekarang ini saya lebih senang di sini lah. Kalau dulu kan saya mengerjakan (sholat) masih belang-bentong. Ya kan? Masih belang-belang. Kalau di sini saya alhamdulillah. Saya bersyukurnya di situ. (Mrw, 8/4/2013)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
203
Lansia lain menunjukkan rasa bersyukurnya dengan cara membandingkan dengan orang lain yang lebih susah. Lansia korban tsunami misalnya masih merasa beruntung hanya kehilangan satu anak putri karena bencana tsunami dibanding orang lain yang kehilangan lebih banyak anggota keluarga. Istri dari pasangan lansia ini mengatakan: Ya kita kan gini, kehendak Allah milik Allah ya gitu, kita berserah, gitu aja udah. Terus mikir lagi gini, oh cuman saya satu, kalau orang lain pada habis. Ngeliat keliling kita, sekeliling kita. ... Masih bersyukur alhamdulillah saya Cuma satu, kakak saya tuh enam orang. Kakak saya enam orang: suami, anak, cucu, mantu, iya. Terus mikir lagi yang lain-lain lagi itu yang habis total, habis total. Terus mikir itu hilang lagi. Dia udah udah barangkali orang tuh udah kan mati syahid. (Nrn, 27/5/2013) Hal yang sama ditunjukkan lansia home care yang tinggal sendiri dan banyak bergantung pada orang lain. Meskipun hidupnya susah, nenek Msn berupaya berpikir positif bahwa bagaimanapun hidupnya tidak lebih buruk dari orang lain. Ya kalau ini dek. Ya saya suka itu-na. Asal ngeliat tetangga saya, lebih-lebih saya susahna. Tuh saya suka itu ya, oh orang-orang juga ada yang kayak lebih-lebih kayak saya, kata saya juga. Rumah ngontrak, kata saya gitu, saya suka itu (merenung) dek.. sudah susah kayak kita, ya bukan saya aja yang nggak punya suami, ada juga yang pada punya suami yang masih pada muda juga, rumah pada ngontrak. Kerjanya pada, ya begitu dek, ngupas udang, ngupas ikan, ngupas kerang ya, itu tuh, dek. Suka rada mendingan gitu, ah kita.. nggak pernah, alhamdulillah, kata saya, jangan sampe minta-minta ama yang kuasa, kata saya jawab saya, hidup susah juga saya (jangan) sampe... kata saya, kayak gitu dek, udah tua, kata saya. (Msn, 16/6/2013) Di balik rasa kesepian dan keterisolasian dengan keluarga, sebagian lansia masih bersyukur tinggal di panti. Nenek Alm misalnya mensyukuri karena berkat di panti ia punya keterampilan dan kesibukan membuat boneka dari anyaman benang yang bisa dijual. Iya, masih ada hasilnya. Apalagi kalau banyak anak-anak (pengunjung dan praktek di panti) kemaren. Banyak-anak-anak mas, ...saya bisa setor 300 (ribu), bisa setor 250, bisa setor 170. Aduh kayaknya, ya Allah saya di sini
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
204
asal (selalu mengucap) alhamdulillah. Di sini hidup saya bisa meningkat (secara ekonomi) gitu kan, walaupun... dikasih makan pemerintah. ... Bersyukur saya bisa ngasih temen-temen yang bener-bener nggak ada yang nengok dan bener-bener nggak ada duit... (Alm, 6/6/2013)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
BAB 6 MODEL PELAYANAN SOSIAL LANSIA BERBASIS SPIRITUAL
Bab 6 ini (bersama Bab 7) merupakan bagian pembahasan terhadap hasil penelitian. Bab 6 ini membahas hasil penelitian dari jawaban pertanyaan penelitian pertama dan kedua yang memiliki relevansi bagi pembuatan model pelayanan sosial berbasis spiritual bagi lansia. Dalam mengonstruksi model, pada bab ini juga dibuat tipologi untuk masing-masing praktisi dan lansia. Berikutnya diuraikan kompetensi praktisi yang diperlukan untuk menjalankan model pelayanan sosial lansia yang sadar akan spiritualitas diri praktisi dan klien lansia. Pada bagian terakhir dibahas pula sejumlah implikasi dari sisi teori, praktik, dan kebijakan. Pembahasan hasil temuan di sini merupakan refleksi terhadap konsep atau kategori yang muncul dalam analisis yang sekiranya relevan bagi model-model yang akan diketengahkan dalam bab ini. Bahan-bahan untuk pembahasan terhadap sejumlah kategori atau tema dan pembuatan model dalam bab ini diambil tidak saja dari spiritualitas praktisi, spiritualitas lansia juga turut dipertimbangkan.
6.1. Kategori Penting dalam Pelayanan Sosial Lansia Seperti telah dijelaskan dalam latar belakang penelitian, kualitas pelayanan sosial sangat ditentukan oleh interaksi antara praktisi dan klien. Spiritualitas keduanya menjadi komponen penting, di antara ragam komponen penting lain, yang turut menentukan karakteristik suatu interaksi. Meskipun demikian, realitas praktik layanan mengindikasikan bahwa sampai tahap tertentu spiritualitas praktisi lebih mewarnai interaksi tersebut sehingga menentukan arah dan tujuan dari suatu layanan. Sejalan dengan hal ini, sebagai langkah awal dalam pembuatan model pelayanan sosial, sejumlah tema atau kategori yang terekspresikan secara dominan dari informan praktisi dapat dijadikan sebagai bahan model pelayanan berbasis spiritual bagi lansia. Sejumlah kategori atau tema dari informan praktisi, seperti tampak pada Lampiran 13 (Tabel 13.1), dinilai cukup signifikan (outstanding) untuk membangun model. Kategori atau node yang dimaksud, dengan mengacu ke pertanyaan penelitian pertama, adalah: (1) kategori #arti spiritualitas, yang terdiri dari node @pemahaman
205 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
206
pribadi dan @pengaruh dari diklat; (2) @afiliasi-praktik keagamaan; (3) @keyakinan-nilai; (4) @“di balik ujian ada hikmah”; dan (5) kategori #komponen spiritualitas lain, terutama node @kecemasan-harapan. Sementara kalau mengacu pertanyaan penelitian kedua, tema pentingnya berupa: (1) @motivasi; (2) @nilaiprinsip etis; (3) @asesmen; (4) kategori #intervensi, yang terbentuk dari node @intervensi, @contoh kasus intervensi, dan @penanganan akhir kehidupan lansia. Bagian berikut membahas kategori atau tema tersebut menurut pembagian di atas, yakni spiritualitas praktisi dan praktik pelayanan.
6.1.1. Spiritualitas Praktisi Konstruksi spiritualitas praktisi mencakup pemahaman (perspektif) dan implementasinya, yang dalam penelitian ini akan disebut sebagai living spirituality.
6.1.1.1. Pemahaman spiritualitas Arti spiritualitas menurut perspektif praktisi diklasifikasikan menurut node @pemahaman pribadi, @pengaruh dari diklat, dan @spiritual dalam UU kessos. Seperti tampak pada Tabel 13.1 dalam Lampiran 13, masing-masing node menunjukkan reference dan coverage yang berbeda. Namun, node @pemahaman pribadi dan node @pengaruh dari pendidikan-diklat lebih dominan dibanding @spiritual dalam UU Kessos. Kedua node awal diutarakan oleh delapan atau tujuh informan, sementara node yang terakhir hanya disinggung oleh empat praktisi. Di antara sembilan praktisi, informan SM selalu menyinggung ketiga node dan paling banyak. (Lihat Tabel 13.2 dalam Lampiran 13) Hasil eksplorasi menunjukkan bahwa para informan praktisi memahami spiritualitas sebagai konsep tentang mental, agama atau keagamaan, ketakwaan, akhlak, dan hubungan vertikal dengan Tuhan. Ada juga yang menyinggung aspek batin, batiniah, atau bagian yang tidak tampak dan dorongan hati nurani, meskipun hal ini tampaknya merupakan hasil dari pengaruh interaksi dengan peneliti ketika informan menginginkan contoh atau ilustrasi terkait istilah spiritualitas.. Pemahaman spiritualitas para praktisi dalam konteks layanan bagi lansia jamakanya dibentuk oleh pendidikan dan institusi beserta kebijakannya. Namun, hasil eksplorasi menunjukkan tidak ada perbedaan berarti dengan pengertian awam
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
207
di atas, misalnya agama, keagamaan, penerapan agama, hubungan vertikal, pembinaan atau bimbingan mental-spiritual, dan kebutuhan rohani. Singkatnya, spiritualitas yang dipahami para praktisi kessos lebih merujuk ke ritual keagamaan dan sebagian ekspresi spiritualitas. Hal ini bisa jadi menunjukkan bahwa kebijakan pelayanan tetap menunjukkan pengaruh terhadap pemahaman praktisi, meskipun sedikit. Di antaranya terkait penjelasan regulasi pelayanan sosial lansia tentang arti religius yang sebenarnya merujuk ke makna spiritualitas. Tidak dijumpainya perbedaan berarti antara pemahaman awam dengan praktisi dalam konteks pelayanan tidaklah mengherankan. Alasannya, sejak awal penelitian, peneliti telah menyadari bahwa spiritualitas belum menjadi isu penting dalam pelayanan kesejahteraan sosial di Indonesia. Itulah mengapa di sini tidak cukup menghasilkan konseptualisasi spiritualitas praktisi seperti halnya penelitian Canda (1986) terhadap sejumlah pekerja sosial Amerika Utara. Seperti juga telah dijelaskan dalam Bab 4, istilah spiritualitas belum cukup familiar di telinga para praktisi. Istilah ini dipandang tidak memiliki perbedaan arti secara signifikan dengan kata spiritual. Padahal kalau merujuk ke sejumlah literatur, kedua istilah tersebut punya perbedaan makna. Kata spiritual berarti sesuatu yang bersifat imaterial (Bagus, 2000) atau berhubungan dengan spirit, yang suci (Hendrawan, 2009). Menurut Swinton (2001), istilah ini punya kaitan erat dengan spiritualitas, namun tidak sama. Spirit manusia merupakan “kekuatan hidup esensial yang mendasari, mendorong, dan menghidupkan eksistensi manusia” (p.14). Ketika pengalaman spirit direspons oleh individu atau komunitas dengan cara tertentu, cara merespons inilah yang disebut sebagai spiritualitas. Seperti telah dijelaskan di atas, penggunaan istilah spiritualitas seringkali disilihgantikan dengan agama atau keberagamaan (religiousity atau religiousness). Hal in terutama ditunjukkan dalam aturan kebijakan pelayanan sosial lansia yang kemudian mempengaruhi pemahaman praktisi tentang spiritualitas. Meskipun begitu, hal itu bukan tanpa alasan karena, seperti penjelasan Pargament (2007, p. 30), istilah “religiousness” (yang diterjemahkan keberagamaan) dahulu punya arti yang kurang-lebih sama dengan apa yang dimaksud sebagai spiritualitas masa kini. Pargament beralasan bahwa dalam mendefinisikan spiritualitas banyak psikolog saat ini lebih suka memakai pengertian klasik agama
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
208
dari William James, seorang pragmatis dan psikolog Amerika. Definisi James (1958) ini telah disampaikan pada Bab 3 dimana agama diartikan sebagai “perasaan, tindakan, dan pengalaman individu dalam kesendirian mereka, sejauh mereka memandang diri-sendiri dalam kaitannya dengan apa yang mereka anggap sebagai yang ilahiyah” (p. 42). Patut disinggung sedikit di sini tentang perbedaan tradisi kesarjanaan Amerika dan Eropa. Pargament beserta sejumlah besar sarjana Amerika mengambil definisi agama menurut James yang tampak begitu luas. Perubahan dan perbedaan dalam mendefinisikan agama dan spiritualitas berakibat pula pada penamaan bidang disiplin Psikologi Agama. Pargament (1999) berpendapat bahwa karena pengertian agama juga mencakup sakralitas, maka spiritualitas termasuk di dalamnya. Singkatnya, spiritualitas didefinisikan Pargament sebagai “pencarian terhadap sesuatu yang sakral”, sedangkan keberagamaan (religiousness) adalah “pencarian terhadap hal-hal penting melalui cara-cara yang berhubungan dengan sesuatu yang sakral” (Zinnbauer & Pargament, 2005, p. 35). Sebaliknya, Stifoss-Hanssen, yang mewakili sarjana Eropa kebanyakan, mendefinisikan spiritualitas dengan cakupan yang lebih luas dibanding agama (Stifoss-Hanssen, 1999). Pandangan Stifoss-Hanssen ini selaras dengan apa dipegang oleh Zinnbauer yang mendefinisikan spiritualitas sebagai “pencarian pribadi ataupun berjamaah terhadap sesuatu yang sakral” sementara religiousness diartikan sebagai “pencarian pribadi atau berjamaah terhadap sesuatu yang sakral yang terkandung dalam konteks tradisional terkait sakralitas” (Zinnbauer & Pargament, 2005, p. 35). Sebagai perbandingan, Hugen (2001, p.13) mengartikan religiousness sebagai “kadar dan pola ekspresi spiritualitas seseorang dalam konteks agama formal.” Ini tidak terlepas dari posisi yang dipegang Hugen bahwa agama lebih merujuk ke kulit luar dari keyakinan, sementara spiritualitas adalah esensinya, yakni perasaan batin dan pengalaman pribadi tentang kehadiran Tuhan (p.12). Dalam penelitian ini, terkait cakupan mana yang lebih luas antara agama atau spiritualitas, peneliti mengambil posisi yang sama dengan kesarjanaan Eropa secara umum, yakni spiritualitas memiliki cakupan lebih luas ketimbang agama. Dalam berbagai literatur, spiritualitas dipahami dan didefinisikan secara beragam dari waktu ke waktu. Bagaimana istilah ini beserta religiousness dipahami
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
209
dan didefinisikan tergantung warisan agama leluhur, kultur, generasi, dan kebangsaan (Gall, Malette, & Guirguis-Younger, 2011, p. 180). Dalam disiplin ilmu pekerjaan sosial, istilah ini dimaknai seputar pencarian makna, tujuan hidup, hubungan, dan transendensi. Sebagian (seperti Spencer, Siporin, dan Canda) juga memandang bahwa spiritualitas bisa diekspresikan baik dalam tradisi keagamaan maupun non-keagamaan. Pemahaman umum seperti itu juga masih ditunjukkan sejumlah ahli atau penulis bidang pekerjaan sosial setelahnya. Sebagai gambaran, sejumlah pakar mendefinisikan spiritualitas seputar tema-tema yang disebutkan tadi. Tema atau komponen yang paling banyak muncul dalam definisi spiritualitas adalah pencarian, makna dan tujuan hidup, hubungan atau keterkaitan, dan sesuatu yang sakral (Sheridan, 2008 & 2009; Canda & Furman, 1999/2010; Miley, 1992 dalam Zastrow, 2004; Hodge, 2001; Reed, 1992 dalam Lydon-Lam, 2012; Swinton & Pattison, 2001 dalam Gilbert, 2007; dan Lindsay, 2002 dalam Healy, 2005). Tema lain seperti transendensi, spirit, nilai, dan eksistensi juga muncul terkait spiritualitas, meskipun hanya beberapa ahli yang memasukkannya dalam definisi. Makna, tujuan, dan nilai tersebut, menurut Kirst-Ashman dan Hull, Jr. (2006),
terkait
dengan
sesuatu
yang
melampaui
keterbatasan
fisik
dan
menghubungkan seseorang dengan sesuatu yang lebih besar atau lebih tinggi dari dirinya. Sementara, sakral di atas di antaranya merujuk ke “konsep tentang Tuhan, sesuatu yang ilahiah, dan realitas transenden, dan juga aspek-aspek kehidupan lain” (Pargament, 2007, p.32). Ide-ide non-deistik semacam Buddhist Void; "Tuhan yang melampaui Tuhan" (God beyond God)-nya Meister Eckhart dan Paul Tillich; konsep personal Tuhan Yahudi, Kristen, dan Islam; hingga konsep naturalistik masyarakat pedalaman juga dapat menjadi sumber konsep sakralitas (Atchley, 2008, p.12). Selain itu, pandangan bahwa spiritualitas dapat diekspresikan baik dalam konteks keagamaan maupun non-keagamaan juga dipegang Sheridan (2008/2009), Canda (1986), Swinton dan Pattison (2001) dalam Gilbert (2007), dan Canda dan Furman (1999/2010). Sejumlah ahli di luar disiplin pekerjaan sosial yang banyak dirujuk juga berpandangan sama, contohnya seperti Atchley (1997); Koenig, McCullough, dan Larson (2001) dalam Lydon-Lam (2012); Hill dan Pargament (2003) dalam Lavretsky (2010); Pargament (2007); dan Huguelet dan Koenig (2009).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
210
Berbeda dengan tradisi akademis di Barat yang telah sangat maju, dunia akademik dan masyarakat Indonesia pada umumnya lebih familiar dengan istilah agama, keagamaan (religiositas), atau keberagamaan dibanding spiritualitas. Sebagai contoh, Romo Mudji tampaknya lebih sering menggunakan istilah “religiositas” (keberagamaan) untuk konteks masyarakat Indonesia ketimbang spiritualitas atau kerohanian. Menurutnya, religiositas merupakan kesadaran batin manusia akan nilai dan tujuan hidup yang dalam prosesnya tergantung pada hubungan mereka dengan Tuhan (Sutrisno, 2012). Hal ini menandakan bahwa sebagian dari makna religiositas menurut Romo juga merepresentasikan spiritualitas. Di sisi lain, sebagai perbandingan, ada juga sebagian ahli yang sering menyinggung istilah spiritualitas. Komaruddin Hidayat kerap menggunakan istilah spiritualitas dan juga keagamaan, keberagamaan, dan moral atau moralitas. Sejumlah buku karyanya, seperti dalam Hidayat (2009, 2012, & 2013), secara intens menyinggung istilah-istilah tersebut dengan mengangkat isu-isu eksistensial, seperti mati, kematian, sakit, penderitaan, keterasingan, pengalaman mistik, hidup bermakna, dan kebahagiaan. Tanpa mendefinisikan spiritualitas dari segi bahasa atau makna yang memang tidak mudah, Hidayat menggambarkan istilah ini melalui berbagai isu keseharian tersebut. Spiritualitas yang digambarkan dalam bukunya dapat bersumber dari agama dan luar agama. Ia mengatakan bahwa spiritualitas tidak sepatutnya menjadi sekadar objek kajian semata, akan tetapi aspek dengan domain yang sangat luas ini harus ditempatkan pada posisi sentral sebagai “inti dari denyut iman dan keberagamaan” (Hidayat, 2013, p. 42).
6.1.1.2. Living spirituality Seiring dengan cara sejumlah ahli di Indonesia dalam menggambarkan spiritualitas melalui isu-isu kemanusiaan, seperti Romo Mudji dan Komaruddin Hidayat di atas, penelitian ini telah berupaya mengeksplorasi tidak saja bagaimana mereka memahami aspek ini dan menjalankan agamanya, tetapi juga bagaimana mereka menghadapi dan memaknai persoalan kehidupan. Hasil temuan menunjukkan sejumlah komponen yang mengekspresikan spiritualitas praktisi, seperti keterlibatan dalam kelompok agama, ibadah keseharian, keyakinan dan nilai individu, bentuk respons ketika menghadapi musibah, kecemasan, dan harapan. Spiritualitas juga
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
211
banyak diekspresikan dalam ajaran dan tradisi keagamaan yang diamalkan secara pribadi maupun berjamaah bersama komunitas. Komponen-komponen tersebut sebagian ditunjukkan oleh hasil identifikasi pada awal bab ini berupa tema atau kategori yang dinilai signifikan. Selain kategori arti spiritualitas yang telah dibahas sebelum ini, ada tiga node lain yang membentuk kategori besar pemahaman dan pengalaman spiritual praktisi, sebagaimana tampak pada Bab 4, yakni node @afiliasi-praktik keagamaan, @keyakinan-nilai, dan @”Di balik ujian ada hikmah”. Di antara ketiganya, node @keyakinan-nilai adalah yang paling banyak dibicarakan informan praktisi dan yang paling sering disinggung dalam interview dengan informan YL, namun tidak lebih intens dari informan HN dan FS. Node yang disinggung terbanyak kedua adalah @”di balik ujian ada hikmah”, yakni oleh tujuh informan. Sementara yang paling rendah di antara ketiganya adalah node @afiliasi-praktik keagamaan yang diungkap enam informan. Perhatikan Tabel 13.3 pada Lampiran 13. Node berikutnya yang masuk kriteria sebagai tema/konsep yang relevan dalam spiritualitas praktisi adalah @kecemasan-harapan, sebagai salah satu node dalam kategori #komponen spiritualitas lain. Tema ini dibicarakan oleh hanya lima orang informan sebanyak 13 kali. Di antara semua informan, YL adalah praktisi yang paling sering menyinggung soal kecemasan dan harapan, yakni lima kali. Namun dari sisi cakupan dalam wawancara, FS paling intens membahasnya. (Tabel 13.4, Lampiran 13) Seperti telah dijelaskan di atas, spiritualitas praktisi tidak saja digali dari sejauhmana mereka tahu dan mengerti artinya, tapi juga dari bagaimana spiritualitas itu dijalani dalam keseharian mereka, baik berupa keyakinan atau kepercayaan, sikap, maupun tindakan. Bagi sebagian besar informan praktisi, istilah spiritualitas tidak cukup dikenal dan pemahaman yang dipegang kurang menyentuh pengertian universal, yakni pencarian makna dan tujuan hidup (Hinnels, 1995). Meskipun begitu, pada kenyataannya mereka bukan berarti tidak punya sisi spiritualitas, karena spiritualitas yang mereka miliki tidaklah dipahami atau didefinisikan. Akan tetapi, spiritualitas itu diamalkan atau dijalani dalam keseharian dan interaksi mereka dengan klien lansia. Dalam tingkatan spiritualitas menurut Hinnels, spiritualitas semacam ini termasuk
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
212
pada tingkatan praksis atau pengalaman, yang dapat bersumber dari agama maupun non-agama. Dalam penelitian ini, spiritualitas yang diamalkan atau dijalani diistilahkan sebagai ‘living spirituality’. Berdasarkan tema atau kategori yang teridentifikasi, dapat dikatakan bahwa living spirituality para praktisi dipengaruhi oleh dan sekaligus terpantul dalam praktik dan afiliasi keagamaan, keyakinan dan nilai yang dipegang, pemaknaan terhadap pengalaman hidup, serta sejumlah komponen spiritualitas lain. Dalam penelitian ini, living spirituality diposisikan sebagai konsep sentral dalam model pelayanan sosial lansia yang sadar secara spiritual. Konsep sentral yang dimaksud dapat mengacu pada konsep Canda dan Furman (2010) yang menjadikan spiritualitas sebagai inti atau jantung dari pertolongan. Selaij itu, keduanya mengibaratkan spiritualitas, seperti juga dikutip Moss (2002, p. 37), “sebagai jantung dari sikap empati dan perhatian, denyut nadi rasa belas-kasihan, aliran darah dari kearifan praktik, dan tenaga yang menggerakkan tindakan melayani.”
6.1.2. Praktik Pelayanan Sosial Lansia Selanjutnya, terkait implementasi dari pemahaman atau sisi-sisi spiritualitas praktisi dalam pelayanan, node @motivasi dianggap penting karena secara konsisten disinggung hampir merata oleh seluruh informan, kecuali praktisi TY yang menyinggung hanya sekali. Node @nilai-prinsip etis juga cukup signifikan dalam pelayanan, meski hanya sepuluh kali dibicarakan oleh enam informan. (Tabel 13.5, Lampiran 13) Komponen spiritualitas praktisi berikutnya yang sangat penting dalam pembentukan model adalah asesmen dan intervensi karena keduanya menjadi tahapan utama dalam layanan. Kedua tema ini selalu dibahas oleh setiap informan. Meski tidak semasif node @intervensi, tema asesmen dalam node @asesmen muncul dengan frekuensi cukup tinggi dalam wawancara (lihat Tabel 13.5, Lampiran 13). Sementara node @intervensi disampaikan praktisi sebanyak 55 kali kepada peneliti. Walaupun tidak sebanyak informan YL dalam menyinggung soal intervensi (sebelas kali), informan TY relatif lebih banyak membahas tema ini sepanjang wawancara. (Tabel 13.6, Lampiran 13)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
213
Dalam kategori intervensi terdapat node @contoh kasus intervensi dan @penanganan akhir kehidupan lansia. Node pertama disinggung tujuh informan dalam 19 kali, sedangkan node kedua oleh delapan informan dalam 23 kali. Dalam wawancara dengan informan YL yang dilakukan pertama kali, kedua tema ini belum muncul selama wawancara. Sementara pada praktisi home care HT, node @contoh kasus intervensi tidak pernah dibicarakan, sebaliknya praktisi WN paling sering menyinggung kedua tema ini. (Tabel 13.6, Lampiran 13)
6.1.2.1. Motivasi praktisi dan koherensi spiritualitas dengan pekerjaan sosial Living spirituality beserta sejumlah komponen spiritualitas yang telah dibahas di atas sangat membentuk bagaimana motivasi praktisi memberikan layanan dan membantu lansia. Dari hasil wawancara, motivasi para praktisi cukup bervariasi dari mulai karena mencintai pekerjaan, menyukai bidang kemanusiaan, jiwa sosial, hingga dorongan ibadah karena Tuhan tanpa mengharap imbalan (lillâhi ta’âlâ). Canda dan Furman (2010) menganggap serangkaian motivasi melayani lansia seperti ini dapat muncul dari adanya dorongan atau hasrat yang bersifat spiritual (spiritual drive). Menurut Canda dan Furman (2010, p. 81), spiritual drive merupakan salah satu kategori manifestasi spiritualitas yang mendasari praktisi dalam memaknai pengalaman
batin;
menemukan
makna
dan
tujuan
hidup;
dan
mencari
keterhubungan, integritas, dan totalitas. Dengan demikian, living spirituality pada gilirannya, entah langsung atau tidak langsung, mempengaruhi dan membentuk wujud praktik penanganan lansia. Sebagai contoh, konsep penemuan makna dan hikmah sebagai salah satu ekspresi living spirituality akan membentuk bagaimana interaksi praktisi-klien dan intervensi seperti apa yang muncul. Penderitaan yang dilalui dianggap praktisi sebagai takdir Tuhan yang harus diterima dan memandangnya sebagai ujian atau peringatan. Salah seorang informan mengatakan “di balik ujian ada hikmah”. Keyakinan dan pemaknaan seperti itu bisa jadi akan diproyeksikan terhadap lansia yang mereka tangani. Dari pengalaman hidupnya, praktisi tahu bagaimana harus berempati terhadap penderitaan lansia, memahami kesulitannya walaupun tidak sama, memperlakukannya seperti orang tua sendiri, dan menawarkan cara atau jalan keluar untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Hal-hal seperti itu kadang tidak
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
214
dipelajari dalam pendidikan atau pelatihan pekerjaan sosial, namun justru pengalaman hidupnya lah yang lebih berperan bagaimana menghadapi lansia. Dari contoh tersebut, wujud praktik pelayanan yang didasari spiritualitas dipengaruhi oleh praktik pekerjaan sosial profesional dan juga akan membentuk seperti apa asesmen dan intervensi yang dilakukan praktisi ketika menangani klien lansia. Hal ini kurang-lebih dapat terbangun dari berbagai elemen pokok yang berasal dari sejumlah tema atau kategori yang muncul dari informan praktisi. Dengan demikian, kategori penting yang telah dibahas sebelum ini dapat dijadikan sebagai bagian-bagian yang dapat membentuk struktur pelayanan sosial lansia berbasis spiritualitas. Terkait motivasi praktisi melayani lansia, yang menarik di sini adalah bahwa hampir semua informan menganggap lansia seperti orang tua atau nenek-kakek sendiri. Satu sisi, menganggap klien laksana orang tua atau nenek-kakek sendiri tentu akan lebih mengintensifkan interaksi praktisi-klien, meningkatkan kepercayaan klien, dan pada gilirannya akan membuat pelayanan lansia semakin efektif. Namun, di sisi lain motivasi tersebut tentu sudah melibatkan unsur emosi-perasaan dan bersifat personal. Kondisi seperti ini bisa dilihat sebagai pelanggaran tersendiri di hadapan pekerjaan sosial konvensional yang menganut paradigma medikal. Terkait paradigma medikal dalam pekerjaan sosial, Shulman (1991) menganggap bahwa menolong secara profesional itu tidak termasuk proses dimana pekerja sosial diharapkan mempengaruhi intervensi. Intervensi dipandang sebagai hasil kajian dan diagnosis semata. Praktik pekerjaan sosial medikal menggunakan paradigma diagnostik tiga langkah, yang hanya fokus pada bagaimana memahami klien, bukan pada proses interaksi antara pekerja sosial dengan klien. Tiga langkah yang dimaksud berupa diagnosis, penanganan (treatment), dan evaluasi. Dengan kata lain, paradigma ini hanya fokus pada masalah atau kekurangan klien (patologis), sementara kekuatannya (strength) kurang menjadi perhatian (p.13-4). Selain itu, paradigma ini didominasi oleh dikotomi atau dualisme antara pekerja sosial sebagai profesional dengan pekerja sosial selaku personal. Artinya, pekerja sosial harus bersikap berbeda selaku individu dengan ketika ia berhadapan dengan klien yang mesti menunjukkan sikap-sikap profesional (p. 15).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
215
Terkait dikotomi praktisi sebagai profesional atau personal itulah yang bisa menjadi masalah bagi motivasi melayani lansia yang bersifat personal atau dorongan ibadah seperti di atas. Dengan begitu, spiritualitas menjadi tampak tidak koheren dengan profesi pekerjaan sosial yang harus memegang teguh nilai dan prinsip etis. Namun, bagi Shulman (1991, p. 15) yang memromosikan paradigma interaksional, justru dengan anggapan tentang dikotomi atau dualisme personal dan profesional tersebut, pekerja sosial sebenarnya tidak memraktikkan beberapa prinsip etis dalam pekerjaan sosial, seperti genuineness (kesejatian, apa adanya, atau tidak berpurapura) dan spontanitas (spontaneity) ketika berinteraksi dengan klien. Paradigma atau model interaksional ini memang merupakan ciri khas pekerjaan sosial sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan medikal dalam menangani masalah kesehatan mental. Model interaksional pertama kali diusung oleh Thomas Szasz pada dekade 1950-an (Zastrow, 2004; Pritchard, 2006). Koherensi antara spiritualitas dan pekerjaan sosial diakui oleh sejumlah informan yang berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial. Terkait motivasi melayani lansia sebagai ibadah atau menganggap klien sebagai orang tua sendiri, seorang informan mengakui bahwa hal itu memang bersifat pribadi. Namun, profesi pekerjaan sosial bisa seiring-sejalan dan bahkan tidak bisa dipisahkan dengan nilai atau keyakinan pribadi yang melibatkan hati nurani. Lebih jauh, informan yang punya latar belakang pendididikan tinggi agama dan pekerjaan sosial tersebut menegaskan bahwa nilai dan prinsip pekerjaan sosial sangatlah cocok dengan spiritualitas dan agama. Alasannya karena agama tidak hanya mengurus hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur tentang masalah muamalah atau hal-hal yang terkait dengan hubungan antar manusia. Sementara ilmu pekerjaan sosial sangat terkait erat dengan isu-isu kemanusiaan dalam hal ini pelayanan sosial (TY, 26/6/2014).
6.1.2.2. Asesmen spiritual Selama penelitian, peneliti telah melakukan penelusuran terhadap catatan dalam formulir yang ada kaitannya dengan aspek keagamaan dan/atau spiritualitas dari sejumlah klien lansia, terutama yang menjadi calon informan. Namun cukup sulit diketemukan catatan yang relevan dengan tema spiritualitas. Bahkan melalui
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
216
serangkaian wawancara, para praktisi tidak pernah menyinggung contoh metode atau instrumen asesmen spiritual tertentu untuk menggali spiritualitas klien. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa mereka begitu asing dengan metode yang sebenarnya sudah umum digunakan, terutama di dunia Barat. Contohnya seperti spiritual history menurut David Hodge yang instrumennya berupa spiritual map atau spiritual genogram (Hodge, 2001a/b). Belum lagi sejumlah metode lain untuk konteks tertentu atau klien khusus. Untuk menyebut sebagian, Mohr dan Huguelet (2009) juga relevan untuk menelusuri spiritualitas lansia yang menderita penyakit berat dan Nichols dan Hunt (2011) mencontohkan beberapa pertanyaan bersifat eksploratif untuk menggali spiritualitas penderita penyakit kronis, yang juga umum dialami lansia. Pada intinya, sejauhmana spiritualitas praktisi terekspresikan dalam melakukan asesmen sangatlah tergantung pada pemahaman dan kapabilitas praktisi untuk mengartikulasikannya dalam interaksi. Karena minimnya asesmen spiritual, peneliti lebih berupaya mengeksplorasi bagaimana praktisi melakukannya. Sampai tingkat tertentu, spiritualitas lansia telah digali namun tidak dicatat dalam formulir yang tersedia. Ditemui paling tidak dua konsep utama yang menarik terkait asesmen spiritual di kalangan praktisi. Pertama adalah asesmen berkelanjutan, intensif, dan multidisiplin. Asesmen semacam ini dilakukan secara terus-menerus melalui interaksi yang intensif dengan klien lansia. Menurutnya, hasil penggalian yang diperoleh pada saat asesmen awal seringkali belum mengungkap masalah lansia atau faktor individu tertentu secara mendalam, termasuk dimensi spiritual. Hal-hal ini akan tergali melalui asesmen terus-menerus dan interaksi intensif. Kedalaman spiritualitas dalam asesmen sangat tergantung dari living spirituality praktisi beserta komponen spiritual yang mempengaruhi. Kedua terkait asesmen yang dilakukan pendamping home care. Mereka melakukan asesmen dalam setting alamiah keseharian, seperti ngobrol secara kekeluargaan. Hasil asesmen seringkali tidak dicatat dalam formulir. Ketika menyinggung
soal
keagamaan
klien,
sebagian
pendamping
tidak
berani
menyinggung secara langsung atau memulai pembicaraan terlebih dulu, hingga si lansia sendiri yang memulai. Apabila merujuk ke model skema asesmen spiritual yang ditawarkan Moore (2003, p. 560), hal ini tampak agak sesuai meskipun tidak sistematis dan dalam konteks yang lebih sempit. Aspek yang dimaksud terkait
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
217
asesmen relevansi spiritualitas bagi klien dengan melihat-lihat kondisi apakah praktisi memulai menyinggung soal agama dan spiritualitas atau cenderung menunggu sampai klien sendiri yang menyinggung. Begitupun dengan salah satu prinsip evidence-based practice ala Hodge (2011), untuk mempraktikkan intervensi spiritualitas secara etis dan profesional, pertama harus dipastikan terlebih dahulu melalui asesmen apakah spiritualitas relevan bagi klien dan mereka menunjukkan ketertarikannya. Ini dikuatkan dengan pernyataan persetujuan (informed consent) yang dipahami sebagai proses menerus yang setiap saat dapat dibatalkan karena pikiran klien bisa berubah (p. 150-1). Satu hal menarik lain tentang apa yang dilakukan seorang pendamping home care adalah pendekatan awal untuk menarik lansia aktif dalam kegiatan agama di masyarakat. Ia membujuk para lansia yang belum aktif untuk mengisi waktu yang bermanfaat, ketimbang diam di rumah. Cara mengajaknya pun secara halus dan pelan-pelan. Kemudian mereka juga dikasih pilihan kegiatan agama sesuai minatnya. Terkadang juga diimingi-imingi akan dikasih sesuatu bila ikut kegiatan. Menyadari minimnya asesmen spiritual yang dilakukan para informan praktisi, upaya menyusun daftar pertanyaan untuk asesmen spiritual dilakukan berdasarkan data temuan dari informan klien lansia. Oleh karena itu, daftar pertanyaan tersebut disusun berdasarkan sejumlah tema spiritual yang teridentifikasi, seperti telah dibahas pada bab sebelumnya. Tabel 6.1 menghimpun pertanyaanpertanyaan tersebut. Penggunaannya disesuaikan dengan tipologi praktisi dan klien yang akan dibuat pada bagian berikutnya.
6.1.2.3. Intervensi spiritual Setelah
asesmen,
tahap
berikutnya
adalah
rencana
intervensi
dan
implementasinya. Asesmen dan intervensi kadang bukan tahapan terpisah, namun bisa dilakukan secara paralel beriringan. Bahkan asesmen dapat menjadi bagian dari intervensi itu sendiri. Teknik utama yang umum para praktisi berupa mendengarkan cerita dan keluh kesah lansia, meskipun terkadang ceritanya hanya diulang-ulang. Sebagian praktisi mengakui hal ini tidak bisa dilakukan secara instan, namun harus melalui interaksi intensif agar para lansia bebas bercerita. Selain itu, intervensi dilakukan ketika telah terbangun semacam hubungan baik (rapport) dan unsur
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
218
kepercayaan (trust) lansia sehingga mereka merasa nyaman membuka diri (selfdisclosure) kepada praktisi.
Tabel 6.1. Contoh daftar pertanyaan untuk asesmen spiritual berdasarkan tema yang muncul Tema Keberagamaan lansia
Pandangan dan/atau pertanyaan tentang hidup
Relasi, kedekatan, dan isolasi
Doa
Harapan dan kecemasan
Contoh daftar pertanyaan • Apa saja ibadah atau ritual yang rutin dilakukan setiap hari, baik sendiri maupun dengan berjamaah? • Apa saja kegiatan agama yang diikuti di panti atau sebelum di panti? • Adakah peran atau tanggung jawab dalam kegiatan keagamaan tersebut? Sebutkan apa saja! • Ibadah atau kegiatan agama apa yang paling disukai? Mengapa? • Adakah amalan, selain ibadah atau aktivitas agama di atas, yang dilakukan secara khusus? Mengapa atau untuk apa amalan tersebut dilakukan? • Adakah keyakinan atau kepercayaan tertentu yang pernah atau sampai saat ini dipegang? Bisa disebutkan dan darimana keyakinan itu didapat? • Dengan pengalaman atau penderitaan hidup yang dilalui hingga saat ini di sini, bagaimana melihat atau menilai dirisendiri? • Apakah sudah merasa puas dengan hidup yang sudah dijalani sejauh ini hingga saat ini? Mengapa? • Adakah pertanyaan yang muncul terkait penderitaan yang dialami, mengapa nasib seperti ini, atau mengapa itu terjadi pada diri ini? Bisa disebutkan pertanyaan tersebut? • Dari pertanyaan yang muncul dari dalam diri, apakah sudah ditemukan jawabannya? Apa itu? • Seberapa sering keluarga (kalau masih punya) datang berkunjung? Kalau sering, seberapa penting kehadiran mereka? Kalau jarang atau tidak pernah, bisa dijelaskan mengapa? • Tinggal di panti terpisah dari keluarga, bagaimana perasaan saat ini? • Adakah teman atau teman dekat di sini yang biasa ngonrol atau dimintai bantuan? Bisa dijelaskan? • Ketika merasa kesepian, apa yang dilakukan? Bisa dijelaskan? • Ketika sedih, kepada siapa mengadu? • Ketika mengingat (atau dzikir) dan mengadu kepada Tuhan, bagaimana perasaannya setelah itu? • Doa apa saja yang biasa dipanjatkan? • Adakah doa khusus untuk diri sendiri, keluarga, atau orangorang terdekat yang sudah meninggal? Bagaimana doanya? • Adakah hal-hal yang diharapkan atau diinginkan lebih dalam hidup ini? • Adakah sesuatu yang dicemaskan atau ditakutkan dalam kehidupan yang dijalani?
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
219
Harapan dalam menghadapi akhir hayat
Merasa berguna dan dicintai
Mengenang masa lalu (reminiscence) “Mengheningkan cipta”
Memaafkan
Kegemaran, hobi, dan kreativitas
Respons terhadap penderitaan
• Apa saja harapan nanti kalau seandainya kematian akan datang menjemput? • Seandainya tidak ada umur, dimana ingin dikubur dan siapa yang mengurus? • Adakah harapan tertentu ketika meninggal dan setelah meninggal? Apa saja? • Hal-hal apa saja yang bisa membuat senang atau bangga di sini? Mengapa hal itu membat senang dan bangga? • Apakah sering diminta atau memberi bantuan untuk sesama penghuni atau petugas panti? Bagaimana perasaannya ketika memberi bantuan? Mengapa? • Apakah merasa senang ketika keluarga datang menengok? Mengapa? • Sebaliknya, bagaimana perasannya ketika keluarga jarang atau tidak pernah menjenguk? Mengapa? • Apakah suka menceritakan masa lalu? • Hal-hal apa saja yang sering diceritakan? • Kepada siapa suka berbagi cerita? Mengapa? • Apakah senang tinggal di panti? Mengapa? • Apakah menerima keberadaan di sini tinggal di panti? Mengapa? • Apa yang ingin dilakukan di panti agar membuat senang dan marasa tenang dan nyaman di sini? • Barangkali mungkin pernah melaukan suatu kesalahan di masa lalu, apakah memaafkan diri sendiri? Mengapa? • Atau mungkin orang-orang terdekat pernah menyakiti atau membuat kecewa, apakah telah memaafkannya? Mengapa? • Adakah kegemaran atau hobi di masa lalu masih bisa dilakukan di sini? Kalau ya, sebutkan dan mengapa? Kalau tidak, mengapa? • Apakah di sini belajar keterampilan baru atau mengembangkan kreativitas? Bisa diceritakan? • Dengan keterampilan dan kreativitas tersebut, adakah manfaatnya? Jelaskan. • Bagaimana melihat penderitaan hidup yang dialami? Atau, penderitaan tersebut dianggap sebagai apa? • Bagaimana menyikapi penderitaan tersebut? • Dengan hidup menderita berkepanjangan, apakah marah kepada orang lain? Atau marah dengan Tuhan? Mengapa? • Adakah makna atau pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman tidak mengenakkan itu?
Sejumlah praktisi mengatakan teknik intervensi yang dilakukan hanyalah standar, tidak sampai menggunakan teknis khusus. Seorang informan peksos ahli mencontohkan hanya memberikan dorongan bagi lansia dan membicarakan kewajiban-kewajiban bagi penganut agama secara umum dengan menghindari kesan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
220
mendikte atau memaksa mereka. Pemberian motivasi juga dinilai lebih efektif dan mudah diterima apabila dilakukan secara individu, ketimbang secara kolektif melalui bimbingan kelompok atau pengajian agama, misalnya. Untuk menghindari penolakan dari klien karena pengaruh masa lalu atau sebab lain, seorang praktisi tidak langsung masuk dengan menyinggung agama, selain harus melihat-lihat kondisi klien. Akan tetapi, ia mencoba menggunakan semacam pendekatan reflektif atau resiprokal dengan cara membangun kesadaran si klien melalui penalaran ringan (common-sensing). Praktisi ini menyebutnya sebagai pendekatan secara “manusiawi” atau “wajarnya”. Misalnya, seperti dicontohkan praktisi TY yang menyentil lansia melalui pertanyaan: “Kira-kira sih kalau misalnya Bapak melakukan seperti ini kami yang muda kan melihat jadi contoh, mungkin jadi kurang pantes Pak seandainya begini” (TY, 26/6/2014) Berbagai bentuk intervensi oleh para informan tersebut, baik yang mereka anggap sebagai berbasis spiritual-agama maupun tidak, dapat dikatakan sebagai intervensi spiritual. Seperti halnya Canda dan Furman (1999/2010) yang berpendapat bahwa sebetulnya segala bentuk atau tipe intervensi dalam pekerjaan sosial dapat digunakan dalam praktik yang sensitif secara spiritual asalkan dilakukan dalam kerangka nilai dan konteks pertolongan yang sensitif secara spiritual pula. Yang penting adalah bahwa praktisi harus secara sadar dan sengaja (intensional) akan spiritualitas ketika melakukan praktik, meski tidak harus eksplisit memulai atau berbicara dengan klien. Senada dengan di atas, Hodge (2006), seperti dikutip Hodge (2011), mendefinisikan intervensi spiritual sebagai “strategi terapeutik yang melibatkan dimensi spiritual atau agama sebagai komponen utama dalam intervensi” (p. 149). Berbagai teknik dan terapi yang menggunakan intervensi spiritual telah dibuat oleh banyak ahli. Holloway (2007, p. 276) mencontohkan Canda dan Furman; Furman et al.; Gilligan, Gilligan dan Furness; Burton (teologi pastoral); Fowler (spiritual development and review); Rumbold (the contiunuum of ‘helplessness and hope’); Nouwen dan Campbell (‘wounded healer’ dan ‘fellow traveller’); Thompson (pencarian eksistensial); dan Neimeyer dan Anderson (rekonstruksi makna). Namun, Holloway menganggap Canda dan Furman sebagai yang paling lengkap dan detail. Dalam buku mereka, Spiritual Diversity in Social Work Practice (diterbitkan 1999
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
221
dan telah direvisi 2010), Canda dan Furman memang merinci contoh-contoh teknik pemberian pertolongan yang berorientasi spiritual secara lengkap, baik praktik dengan individu, keluarga, kelompok, maupun dengan organisasi dan komunitas. Dari persoalan spiritual lansia dan spiritual tasks yang telah dibahas di bab sebelumnya, di sini dirinci sejumlah contoh intervensi yang bisa dianggap sensitif secara spiritual didasarkan atas pengalaman dan ungkapan informan itu sendiri. Perhatikan Tabel 6.2 berikut ini:
Tabel 6.2. Contoh-contoh intervensi spiritual berdasarkan spiritual tasks dan permasalahan lansia yang mengandung dimensi spiritual Masalah lansia Sedih, murung, patah semangat, putus asa
Spiritual tasks • Afirmasi • Semangat, daya hidup • Asa/harapan • Reminiscence
Merasa dibuang, disingkirkan, atau terisolasi dari keluarga (anakcucu)
• Relationship atau connectedness • Rekonsiliasi
Pertengkaran antar lansia panti
• Masa usia senja yang aman, nyaman & terjamin tanpa gangguan , termasuk dari teman sesama panti • Preferensi tempat dikubur dan siapa yang mengurus
Kecemasan menghadapi akhir hayat
• Mengumpulkan bekal
Contoh intervensi spiritual (spiritual care) Mengajak ngobrol, bertanya, menghibur Diberi tugas atau tanggung jawab tertentu agar lansia merasa berguna Memberi semangat, perhatian, & kasih sayang Memposisikan diri sebagai teman/anak untuk mengobrol Melakukan berbagai aktivitas yang menjadikan lansia merasa dianggap ada (eksistensi) Menggunakan sentuhan fisik, eg., mengelus atau menepuk pundaknya. Memberi masukan, Mengajak bicara dari hati ke hati, Mengingatkan untuk selalu sabar. Mengajak Doa dan menerangkan fungsi doa Dipanggil, diajak ngobrol, atau diingatkan tentang umur Ditanamkan kesadaran hidup senasib di panti agar saling bersaudara, berbuat baik, dan menghindari pertengkaran. Menanyakan secara hati-hati bagi lansia yang masih punya keluarga terkait tempat dan pihak yang mengurus. Mencatat & memfasilitasi mereka dengan pihak bersangkutan, terutama apabila saat meninggal ingin diurus keluarga Memastikan/mencari tahu lansia yang mengumpulkan/menyimpan bekal materi Menanyakan keinginan/tujuan pengumpulan bekal (eg. biaya tambahan untuk penggali kubur agar liang lahat dalam, untuk biaya mendoa/tahlilan/Yasinan)
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
222
Memfasilitasi pelaksanaan keinginan tersebut Mengajari lansia membaca lafadz-lafadz sederhana untuk menghadapi sakrotulmaut Mendampingi lansia saat sakrotul-maut Membacakan Yasin Menuntun lansia melafadzkan syahadat Mencari tahu lansia pemakai susuk melalui berbagai cara Mencarikan & mengusahakan sare’at untuk menghilangkan susuk Mengikutsertakan lansia home care dalam Rukun Kematian (Rukma) Menjelaskan fungsi Rukma dalam membantu mengurus kematian Membantu mengurus dan memfasilitasi perkara yang belum beres Mengantisipasi berbagai kemungkinan munculnya perkara selepas kepergiannya Menyediakan form wasiat atau pesan terakhir Menjalankan/mewujudkan wasiat dan harapan mereka
• Menghadapi sakrotulmaut
• Kematian yang baik dan mudah • Kekhawatiran tidak ada yang urus kematiannya
Urusan yang belum selesai dan harapan sebelumsetelah meninggal
• Meninggal dengan husnul khotimah tanpa beban/tanggungan yang belum beres (settling affairs)
Sementara sejumlah bentuk intervensi spiritual, yang memungkinkan untuk dilakukan dalam konteks pelayanan sosial di Indonesia berdasarkan temuan di lapangan, ditunjukkan oleh Tabel 6.3 di bawah ini.
Tabel 6.3. Bentuk-bentuk intervensi spiritual • • • • • •
Ibadah/ritual rutin Sembahyang Doa Wirid dan dzikir Baca al-Qur’an atau Alkitab Memberi peran dan tugas dalam kegiatan keagamaan • Saling meminta maaf ketika ada salah atau salahpaham dan bermaaf-maafan di hari lebaran atau acara Syawalan • Menciptakan kemungkinan atau kesempatan agar lansia saling berinteraksi • Memberi tugas dan tanggung jawab secara individu atau kelompok sesuai kemampuan
• • • • • •
Mendengarkan cerita Mengobrol ringan secara berkala Saling tegur sapa Rekreasi Ziarah ke tempat-tempat suci Memberikan perhatian kepada setiap lansia tanpa kecuali • Memberikan penghargaan atau hadiah melalui kegiatan atau lomba-lomba ringan • Memfasilitasi kegemaran, hobi, dan kreativitas • Mendampingi lansia dalam menghadapi kematian dan membekali mereka selagi sehat dengan bacaan saat sakrotul-maut
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
223
6.2. Asesmen dan Intervensi Spiritual Berdasarkan Tipe Praktisi dan Lansia Untuk mendukung pembuatan model pelayanan sosial yang sadar secara spiritual, di sini perlu ada pembedaan tipologi untuk masing-masing praktisi dan lansia. Asumsinya adalah praktisi dengan tipe tertentu memiliki kecenderungan menerapkan cara atau model praktik tertentu pula. Begitupun tipologi lansia, suatu model akan lebih selaras diterapkan untuk suatu tipe lansia ketimbang model lain.
6.2.1. Tipologi Praktisi dan Lansia Tipologi praktisi dibuat berdasarkan cara mereka merespons pertanyaan wawancara dan berinteraksi dengan klien, terutama terkait isu spiritualitas atau keagamaan. Sementara tipologi lansia diklasifikasikan dari sisi pengetahuan agama dan ketaatannya menjalankan agama. Untuk mempermudah pembahasan, tipologi praktisi dan lansia diuraikan secara tersendiri.
6.2.1.1. Tipologi praktisi Ada tiga tipe praktisi dari sisi karakteristik mereka ketika menjawab pertanyaan dalam wawancara, berinteraksi dengan klien, dan mengekspresikan keberagamaannya (kapasitas agama dan cara menggunakannya). Karakteristik kedua dan ketiga juga mempertimbangkan hasil observasi dan dengan menafsirkan jawaban-jawaban mereka (inferring) pada saat wawancara. Ketiga tipe praktisi tersebut adalah tipe normatif, fleksibel, dan kearifan diri. Perhatikan Gambar 6.1 berikut ini.
Normatif
Fleksibel
YL, HT, dan SM
ED, FS, TY, dan WN
Kearifan diri
MM & HN
Gambar 6.1. Tiga tipologi praktisi: normatif, fleksibel, dan self-wisdom sentris
Pengelompokan tipe praktisi ini bersifat kontinum (menerus) karena perbedaan antar tipe tidak betul-betul terpisah secara tegas. Oleh karena itu, pemisahan antar tipe ditunjukkan sebagai garis putus-putus. Sebagai contoh, praktisi
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
224
SM diklasifikasikan dalam tipe normatif, namun berdasarkan karakteristik spiritualnya dapat digolongkan juga ke dalam tipe fleksibel.
a) Tipe normatif (praktisi YL, HT, dan SM) Normatif di sini dilihat dari karakteristik atau kecenderungan jawaban praktisi dalam wawancara. Misalnya ketika ditanya apa ibadah rutin yang dirasa paling bermakna, jawabannya adalah semua Rukun Islam. Atau misalnya pertanyaan bagaimana respons ketika ditimpa kemalangan, ia mengatakan bahwa ia menerimanya sebagai ketentuan Tuhan. Ia mengatakan pantang untuk bertanya-tanya kenapa kemalangan tersebut menimpanya, karena hal itu diartikan sebagai tidak bersyukur atau marah kepada Tuhan. Ketika misalnya sakitpun tidak boleh mengeluh kepada Tuhan (YL, 30/5/2013) Praktisi tipe ini punya semacam pretensi untuk menggambarkan atau menyampaikan informasi lebih tentang diri dan prinsip atau nilai yang dipegang. Misalnya menceritakan hal-hal yang baik dan ideal tentang diri dan keluarganya yang taat beribadah. Beberapa jawaban dalam wawancara juga terkesan kurang apa adanya. Dalam berinteraksi dengan klien, praktisi yang bersangkutan cenderung agak formal dan berjarak. Kemudian ada kecenderungan lain bahwa keyakinan dan nilai yang dipegang ingin diproyeksikan ke klien lansia (self-centred). Hal ini terlihat dari cara praktisi tipe ini ketika memandang kemalangan yang menimpa klien. Sebagai contoh, lansia yang di akhir hayatnya banyak ditimpa kemalangan dipandang praktisi karena mungkin ibadah si klien kurang. Contoh lain misalnya ketika melihat lansia yang sulit ditangani, menurutnya karena memang lansianya yang error. Hal ini dapat dilihat dalam hasil coding berupa tema intervensi yang gagal, terutama untuk praktisi YL dan SM. Sebagai contoh, praktisi SM beranggapan bahwa lansia yang sudah nge-blank atau error biasanya sudah tidak pengaruh. Tetapi apabila masa mudanya sudah punya dasar dan terbiasa, menurutnya akan lebih mudah (SM, 12/6/2013).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
225
b) Tipe fleksibel (praktisi FS, ED, TY, dan WN) Dari sisi kapasitas agama (praktik dan ekspresi), praktisi kelompok menengah ini dapat dikatakan lumayan. Meskipun begitu, ketika menjawab berbagai pertanyaan dalam wawancara mereka tidak terlalu normatif dengan pengetahuan agamanya. Sebagai contoh, seperti telah dijelaskan di awal, meskipun digolongkan dalam tipe normatif, praktisi SM dapat dimasukkan ke tipe fleksibel apabila dilihat dari sisi ekspresi spiritualitas dalam keseharian. Menurutnya, meskipun ibadahnya semakin membaik, ia tetap mengakui mengalami naik-turun dalam menjalankan ibadah, seperti dalam hal sholat sunnah atau baca al-Qur’an (SM, 12/6/2013). Mereka
cukup
seimbang
dalam
menggunakan
ajaran
agama
atau
menunjukkan ekspresi keagamaan dengan pertimbangan konteks atau situasi yang melingkupi klien lansia. Dengan kata lain, porsi pertimbangan akal/rasional dan ajaran/norma agama cukup seimbang. Selain itu, mereka tampak cukup bijak dalam melihat dan memutuskan sesuatu. Mereka cenderung bersikap luwes, tidak kaku, dan bisa memposisikan diri tergantung kondisi atau tipe lansia. Mereka juga memiliki visi memadukan dan menyelaraskan spiritualitas dan agama dengan profesi pekerja sosial beserta prinsip etisnya. Lebih jauh, mereka sadar akan kapasitas diri, sehingga ketika melampaui batas kemampuan diri dalam menangani lansia, mereka akan merujukkan ke pihak yang lebih mampu.
c) Tipe kearifan diri (praktisi MM dan HN) Berseberangan dengan tipe normatif, praktisi tipe ini tidak terlalu sering menyinggung ajaran dan norma agama, namun bukan berarti tidak paham atau tidak punya kapasitas. Pengetahuan agama mereka dapat dikatakan standar dan ekspresi keagamaan tidak terlalu ketat, misalnya sebagian praktisi tidak mengenakan jilbab dan tidak banyak mengutip ajaran atau istilah-istilah agama. Jawaban-jawaban dalam wawancara terkesan apa adanya, tidak berpretensi untuk menggambarkan diri sebagai sosok yang ideal (jaga image). Meskipun dari sisi pengetahuan agama dikatakan standar, mereka tetap memegang ajaran agama, namun tidak menjadi acuan utama atau satu-
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
226
satunya dalam penanganan. Dalam menangani lansia, praktisi tipe ini lebih mengandalkan pengalaman atau kearifan diri nya atau yang dimiliki lansia (lessons learned dari kasus-kasus lansia). Mereka lebih mengutamakan konteks masalah klien untuk mencarikan jalan keluar. Oleh karena itu, praktisi tipe ini dapat dikatakan sebagai praktisi yang berpusat pada kearifan diri (self-wisdom centred). Keyakinan dan nilai lebih dominan berasal dari pribadi dan keluarga (atau sosial) dibanding dari agama. Misalnya terkait dorongan atau motivasi melayani lansia, sebagian praktisi tipe ini menjawab karena alasan kemanusiaan atau hanya ingin membantu, bukan karena ajaran agama. Misalnya, ketika ditanya apa motivasi menolong lansia, seorang pendamping home care menjawab bukan karena anjuran agama, tetapi karena ia ingat dengan almarhumah ibunya yang semasa hidpnya suka menolong orang lain (HN, 16/6/2013). Motivasi lain yaitu, misalnya sebagian mengaku, bahwa dari pada bengong lebih baik mengisi waktu dengan kegiatan bermanfaat. Ketika menyinggung soal agama atau mengajak lansia beribadah, mereka melihat-lihat kondisi lansia terlebih dulu. Untuk hal-hal yang sensitif, misalnya soal agama atau kematian, mereka berupaya tidak menyinggung lebih dulu hingga lansia sendiri yang memulai berbicara.
6.2.1.2. Tipologi lansia Tipologi lansia dibuat berdasarkan kapasitas pengetahuan agama dan praktik agama (ibadah atau keberagamaan). Perlu diingat bahwa pembagian seperti ini bukan dilihat dari sisi spiritualitas mereka karena dua dimensi kapasitas tersebut tidak bisa sepenuhnya merepresentasikan spiritualitas praktisi. Untuk mempermudah tampilan visual, di sini menggunakan koordinat Cartesius dimana sumbu vertikal mewakili dimensi praktik agama lansia, sementara sumbu horisontal untuk dimensi pengetahuan agama. Dengan demikian, ada empat kuadran (kuadran I-IV) yang menggambarkan empat tipe lansia yang berbeda. Dari keempat kuadran tersebut, hanya dijumpai kuadran I sampai III yang dijumpai di lapangan, dimana kuadran I mewakili tipe lansia salih, kuadran II untuk tipe pengikut, dan kuadran III untuk tipe awam. Sementara tipe lansia dalam kuadran
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
227
IV tidak ditemukan yang menunjukkan kurangnya kapasitas lansia baik dari sisi ibadah maupun pengetahuan agama. (Perhatikan Gambar 6.2)
Praktik agama (keberagamaan) (sumbu vertikal) +
Pengetahuan agama (sumbu horisontal)
Kuadran II
Kuadran I
TIPE PENGIKUT
TIPE SALIH
(Sgn, Mrw,
(Bs, Rml,
Gbg, Pnd, Alm)
Nrn, Est)
+
-
(Kntw, Msn) -
TIPE AWAM
Kuadran IV
Kuadran III -
Gambar 6.2. Tipologi lansia berdasarkan pengetahuan dan praktik keagamaan
Dari sisi pengetahuan agama, kesebelas informan lansia menunjukkan ada yang baik (positif) dan ada yang kurang. Namun dari sisi ibadah, semua informan lansia dapat dikatakan baik atau positif, karena mereka cenderung religius. Baik atau positif yang dimaksud di sini lebih menggambarkan kerajinan melaksanakan ibadah atau kehadiran dalam kegiatan keagamaan bersama kelompok. Sebaliknya, nilai negatif pada sumbu horisontal menunjukkan kurangnya kapasitas pengetahuan agama. Berikut adalah ketiga tipe lansia yang ada dalam penelitian ini: a) Lansia tipe salih (informan Bs, Rml, Nrn, dan Est). Kelompok ini memiliki pengetahuan agama dan praktik ibadah yang baik. b) Lansia tipe pengikut (informan Sgn, Mrw, Gbg, Pnd, dan Alm). Tipe lansia ini kurang memiliki pengetahuan agama, namun baik dari sisi praktik atau
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
228
keberagamaan. Dengan kata lain, meski tidak terlalu paham agama, mereka taat beribadah. c) Lansia tipe awam (informan Kntw dan Msn). Lansia tipe ini memiliki pengetahuan agama dan ketaatan yang relatif kurang terhadap agama. Di samping pembagian berdasarkan dua dimensi tersebut, kesebelas informan lansia juga dapat digolongkan dalam dua tipe, dari sisi perbandingan keberagamaan mereka antara dahulu masa muda dan masa tua saat ini. Seperti halnya tipologi di atas, tipologi ini bukan terkait dengan tinggi-rendahnya spiritualitas mereka. Kedua tipe tersebut adalah tipe stabil dan semakin meningkat. Tipe stabil berarti keberagamaan yang mereka miliki cenderung konsisten sejak masa muda, namun tetap menunjukkan peningkatan. Mereka juga memiliki pondasi agama yang relatif baik. Dalam wawancara, sebagian mengaku bahwa ibadah mereka tidak tambah meningkat karena kejadian musibah, penderitaan yang pernah dialami, atau kondisi tinggal di panti. Tipe ini terdiri dari lansia yang juga termasuk dalam tipe salih dalam pembagian di atas. Sementara tipe semakin meningkat adalah mereka yang memiliki keberagamaan cenderung meningkat dibanding sebelumnya, yakni masa sebelum tinggal di panti atau pada masa mudanya. Berdasarkan tipologi sebelumnya, lansia tipe pengikut dan tipe awam termasuk dalam tipe yang keberagamaannya semakin meningkat ini.
6.2.2. Penanganan Berdasarkan Tipologi Praktisi dan Lansia Praktisi dengan tipologi tertentu dapat melakukan penanganan bagi lansia dengan tipologi tertentu pula. Interaksi antara tiga tipe praktisi dan tiga atau dua tipe lansia menghasilkan sejumlah kombinasi tertentu yang sekiranya cocok dan dengan model yang berbeda. Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa istilah model yang dimaksud di sini dapat merujuk ke Rodgers (2010), seperti dikutip Friedman et al. (2011), bahwa suatu model diupayakan dibuat agar “sesuai dengan realitas yang hendak dijelaskan melalui cara-cara penting,” oleh karenanya “model tentu saja lebih sederhana ketimbang realitas itu sendiri” (p. 81). Definisi model menurut Friedman et al. (2011) dirujuk dalam penelitian ini karena mereka sendiri mengeksplorasi ragam model perkembangan spiritual dalam artikelnya.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
229
Seperti tampak pada Gambar 6.3, tipe praktisi normatif hanya dapat memberikan pelayanan untuk lansia tipe salih atau tipe stabil. Tipe praktisi fleksibelkondisional dapat melakukan asesmen dan intervensi untuk semua jenis tipe lansia, namun tetap ada batasan tertentu ketika menangani lansia salih (pada Gambar 6.3 ditandai dengan tanda panah garis putus). Sedangkan, tipe kearifan diri dipandang cocok untuk menangani lansia tipe pengikut dan awam atau tipe semakin meningkat.
TIPE PRAKTISI Dari sisi karakteristik mengekspresikan agama
TIPE LANSIA Dari sisi pengetahuan dan praktik agama
Normatif
Salih
Fleksibelkondisional
Pengikut
Dari sisi keberagamaan waktu muda dan tua
Stabil
Semakin meningkat Awam
Kearifan diri
Gambar 6.3. Pemberian layanan berdasarkan tipologi praktisi dan lansia
6.2.2.1. Asesmen spiritual Tipe praktisi normatif, yang disarankan untuk menangani lansia tipe salih atau yang keagamaannya stabil, cocok untuk memakai model asesmen yang bersifat formalistik (perhatikan Gambar 6.4). Asesmen formalistik menggunakan cara identifikasi yang bersifat formal operasional melalui wawancara. Dari sisi proses, model ini sering bersifat satu arah (top-down) yang menunjukkan hubungan kurang setara antara praktisi dan klien, sehingga klien menjadi cenderung pasif atau akan menjawab hanya ketika ditanya praktisi. Untuk hal-hal yang bersifat sensitif bagi lansia, seperti isu spiritual atau soal-soal keagamaan, praktisi juga lebih suka
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
230
langsung bertanya ke inti permasalahan (to the point), tanpa harus melihat-lihat kondisi klien lebih dulu.
Gambar 6.4. Model asesmen dan intervensi berdasarkan tipologi praktisi dan lansia
Identifikasi spiritualitas klien dalam model formalistik kurang mendalam karena hanya mengungkap permukaan. Praktisi memiliki kecenderungan melengkapi blangko formulir, catatan identifikasi, ataupun asesmen. Akibatnya, hasil asesmen ini hanya berupa latar muka (front stage) dari lansia karena lebih dominan mengungkap sisi formal-prosedural keagamaan, seperti agama klien, kemampuan mengaji alQur’an, hapalan surat pendek, wudlu, sholat, baca Alkitab, doa, dan lain-lain. Dengan demikian, asesmen dengan model ini cocok untuk identifikasi awal ketika lansia masuk ke panti atau masuk dalam pelayanan home care. Eksplorasi lebih mendalam harus dilanjutkan dengan model dialogis-resiprokal, sekaligus sebagai konfirmasi terhadap hasil identifikasi awal tadi. Terkait asesmen formalistik sebagai asesmen tahap awal ini, praktisi TY telah menegaskan bahwa sebagian ada catatan asesmen, namun lebih bersifat formalitas dan tidak mendetail. Selain itu, menurutnya, karakteristik asli dari klien di awal-awal biasanya belum begitu terlihat, karena lebih banyak berupa identifikasi masalah dan kebutuhan fisik atau agama secara formal (TY, 26/6/2014). Salah satu kelebihan model ini adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan identifikasi atau asesmen lebih singkat. Namun, kekurangan model ini hanya dimungkinkan untuk lansia yang lancar berkomunikasi dan mampu
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
231
mengartikulasikan pikiran dan perasaan. Sebaliknya, untuk mereka yang tidak lancar atau memiliki disabilitas tertentu, semisal pikun atau alzheimer, model ini kurang aplikatif. Sementara tipe praktisi kondisional-fleksibel dan tipe kearifan diri lebih tepat menggunakan asesmen yang bersifat dialogis-resiprokal untuk menangani semua tipe lansia (perhatikan lagi Gambar 6.4). Asesmen model ini tidak hanya menggunakan cara formal dalam melakukan identifikasi terhadap klien, tetapi juga informal atau natural melalui berbagai kesempatan. Dari sisi metode tidak hanya wawancara, namun juga menggunakan observasi, baik sebagai partisipan maupun insider. Hal ini dijelaskan oleh seorang praktisi di panti bahwa semakin lama melalui interaksi keseharian, karakteristik atau watak klien biasanya semakin dapat dipahami (TY, 26/6/2014). Selain itu, model ini meniscayakan kedudukan yang setara antara praktisi dan klien dan adanya dialog dua arah secara resiprokal (timbal-balik), sehingga klien tidak pasif. Kemudian, terkait isu-isu sensitif bagi klien, praktisi kadang tidak langsung bertanya, namun melihat-lihat kondisi terlebih dulu. Dengan kata lain, praktisi tidak memulai membicarakan hal-hal yang sensitif sampai klien sendiri yang menyinggungnya. Sebagai contoh, ketika memberikan motivasi dan pandangan soal keagamaan, seorang peksos di panti berupaya melakukannya secara hati-hati. Menurut praktisi ini, cara penyampaian kepada klien lansia harus dikemas sedemikian rupa dan tidak dengan cara mendikte atau terlalu mencampuri agar jangan sampai menyinggung perasaan mereka. Alasannya, persoalan kagamaan bagi lansia merupakan hal sensitif. Sebaliknya, ia tidak mencoba memulai membicarakan persoalan yang sensitif tersebut hingga mereka sendiri yang menyinggungnya (FS, 1/7/2014). Berbeda dengan model formalistik, dalam melakukan eksplorasi model dialogis-resiprokal ini lebih variatif dan mendalam, seperti tentang pandangan, nilai, keyakinan, pengalaman, perasaan, dan lain-lain. Dikatakan cukup mendalam karena model ini berupaya mengungkap makna di balik tindakan atau hal-hal terkait pengalaman dan perasaan. Hasil asesmen diupayakan mampu menggali back-stage dari lansia. Dengan begitu, model ini cocok untuk asesmen lanjutan dengan tujuan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
232
menggali tidak saja masalah dan kebutuhan lansia, tetapi juga potensi/kekuatan dalam rangka memahami lansia secara menyeluruh. Dari segi waktu, model dialogis ini memang memakan waktu lebih lama dan membutuhkan interaksi yang lebih intensif dibanding model formalistik di atas. Namun, model ini bisa diterapkan untuk semua lansia, baik yang lancar atau tidak lancar berkomunikasi atau menyampaikan pikiran dan perasaan. Lansia dengan disabilitas tertentu juga masih sangat memungkinkan. Hal lain yang menjadi kelebihan model ini adalah bahwa, tidak seperti model formalistik yang serial berurutan dan linier, tahap asesmen dapat dilakukan paralel dengan tahap intervensi secara overlapping atau bahkan spiral/iteratif. Pada saat tahap intervensi dilakukan, tindakan asesmen juga masih bisa dilakukan. Misalnya, kebutuhan lansia untuk menceritakan kenangan atau kisah masa lalunya (reminiscence) dapat dipenuhi dengan intervensi oleh praktisi berupa mendengarkan dan memberikan tanggapan sekadarnya. Mendengarkan cerita mereka dilakukan secara intens, meskipun ceritanya sering kali hanya diulang-ulang. Pada saat yang bersamaan, praktisi juga bisa sambil melakukan asesmen dalam kerangka memahami latar belakang si klien secara lebih lengkap. Karakteristik masing-masing model asesmen spiritual yang telah diuraikan di atas terangkum dalam Tabel 6.4 halaman berikutnya.
6.2.2.1. Intervensi spiritual Tipe praktisi normatif, yang dikatakan pas menggunakan asesmen bersifat formalistik, cocok mengaplikasikan intervensi yang bersifat direktif (Gambar 6.5). Dengan intervensi model ini, praktisi tipe normatif seringkali memegang kendali kemana arah dan tujuan intervensi. Dengan kata lain, intervensi yang dilakukan cenderung bersifat direktif atau top-down. Praktisi dianggap atau diposisikan lebih tahu atau memahami yang terbaik bagi klien. Dengan begitu, sifat relasi antara praktisi dan klien tidaklah setara, yakni semacam relasi expert–client. Model intervensi ini juga berorientasi pada penyelesaian masalah (problemsolving) dan pemenuhan kebutuhan klien. Selain itu, tahap intervensi dilakukan secara terpisah setelah tahap asesmen dilakukan, karena tahap penanganannya bersifat linier atau serial. Intervensi model direktif lebih tepat dijadikan sebagai
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
233
kelanjutan dari model asesmen formalistik. Oleh karena itu, penanganan lansia dengan model direktif sebenarnya lebih terencana dan terstruktur.
Tabel 6.4. Karakteristik model asesmen spiritual berdasarkan tipologi praktisi dan klien Karakteristik Metode Proses
Menyinggung perkara sensitif Materi
Kedalaman eksplorasi
Asesmen lanjut Asumsi
Model Formalistik
Model Dialogis-resiprokal
Formal operasional (pen-and-paper questionnaires) Sering bersifat satu arah (top-down), kurang setara, klien pasif, hanya menjawab pertanyaan To the point bertanya soal keagamaan atau isu spiritual, tanpa harus melihatlihat kondisi klien lebih dl
Formal atau informal (natural) melalui berbagai kesempatan Lebih bersifat dialogis dua arah, timbal-balik (resiprokal), klien tidak pasif, kedudukan setara Melihat-lihat kondisi lebih dulu; tidak memulai membicarakan hal-hal sensitif sampai klien sendiri yg menyinggungnya Lebih variatif & mendalam, misal tentang pandangan, nilai, keyakinan, pengalaman, perasaan, dan lain-lain. Cukup mendalam karena berupaya mengungkap makna di balik tindakan atau pengalaman & perasaan. Hasil asesmen berupa back-stage Asesmen lanjutan lebih bertujuan menggali potensi/kekuatan dalam rangka memahami totalitas Asesmen -intervensi tidak harus serial, tapi paralel dan bahkan spiral/iteratif.
Hal-hal formal-prosedural, misal agama klien, baca Qur’an, hapalan surat, doa, pendek, baca Alkitab, wudlu, sholat Kurang mendalam, hanya mengungkap permukaan (mengisi formulir/catatan identifikasi/asesmen). Hasil asesmen berupa front stage Cocok untuk identifikasi awal yang bertujuan menggali masalah dan kebutuhan Tahap asesmen dan intervensi bersifat linier/serial (berurutan)
Untuk tipe praktisi kondisional-fleksibel dan tipe kearifan diri, lebih tepat melakukan intervensi bersifat reflective-partnership untuk semua tipe lansia. Namun, khusus untuk tipe praktisi kearifan diri tampaknya kurang cocok apabila hendak menangani lansia tipe salih atau stabil (perhatikan lagi Gambar 6.4). Berbeda dengan model direktif, intervensi bersifat reflective-partnership mensyaratkan adanya hubungan yang setara antara praktisi dan klien lansia. Hubungan kesetaraan ini diharapkan menciptakan hubungan pertemanan layaknya partner yang dapat menghilangkan sekat antar keduanya dan atribut praktisi sebagai ahli, pekerja sosial, pendamping, petugas, atau pegawai panti. Terkait dengan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
234
hubungan setara dan adanya partnership, intervensi dengan model ini sangat cocok dengan motivasi praktisi yang menganggap klien lansia sebagai orang tua atau nenek-kakek mereka sendiri. Praktisi WN termasuk dalam tipe ini karena menggunakan intervensi dengan corak partnership seperti itu. WN menceritakan bahwa apabila mengarahkan lansia dengan cara memaksa, kemungkinan besar lansia yang bersangkutan akan menolak. Sebaliknya, praktisi ini lebih memilih memberikan perhatian dan kasih-sayang atau misalnya dengan cara bercanda seperti layaknya antar teman atau dengan orang tua sendiri, sehingga dengan begitu, lansia juga merasa senang dan bangga (WN, 13/6/2013). Dengan cara penanganan seperti itu, praktisi WN mencatat keberhasilan dalam menangani sejumlah lansia. Katanya, dengan kesabaran dan keuletannya beserta praktisi lain, klien lansia yang awalnya mengalami depresi menunjukkan perbaikan dengan mampu beradaptasi, tumbuhnya kepercayaan diri, mengenal dirisendiri (13/6/2013). Dikatakan sebagai model reflektif karena tindakan intervensi tidak selalu ditentukan oleh praktisi, namun dapat dihasilkan dari dialog atau kesepakatan dengan klien, sebagai hasil keputusan bersama. Dengan meniscayakan adanya proses dialog, intervensi membutuhkan interaksi yang intensif sehingga dari segi waktu bisa lebih lama dibanding model direktif. Seorang praktisi di panti mencontohkan bentuk intervensi terhadap lansia secara individu yang membutuhkan interaksi secara intensif. Praktisi ini menegaskan bahwa bentuk intervensinya harus dengan bimbingan individu agar lebih bisa diterima, misalnya dalam bentuk memberi motivasi dan mengingatkan, bukan seakan-akan menggurui mereka. Sementara, bimbingan yang sifatnya klasikal dilakukan untuk tujuan terapi, misalnya agar membuat lansia gembira (TY, 26/6/2014). Asesmen yang cocok disandingkan dengan model intervensi ini adalah model dialogis-resiprokal. Kemudian, berbeda dengan model direktif, tahap asesmen dan intervensi tidak harus dilaksanakan secara serial berurutan, tapi bisa paralel bersamaan secara overlapping atau spiral/iteratif. Artinya, pada saat tahap intervensi dilakukan, tindakan asesmen masih bisa dilakukan. Intervensi dengan model ini juga tidak hanya bertujuan untuk problem-solving atau pemenuhan kebutuhan, tetapi juga
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
235
berupaya memahami lansia secara utuh dalam rangka perkembangan spiritual (spiritual growth). Dalam literatur, model reflektif-partnership dapat merujuk ke pendekatan client-centred yang bersifat non-directive menurut Howe (1987, p. 98). Pendekatan ini berupaya mengikuti bagaimana klien memahami diri-sendiri, terkait masalah dan kebutuhannya. Selain itu, Howe berpendapat bahwa ketika menggali perasaan, persepsi, dan pemaknaaan mereka, upaya penggalian itu sendiri sudah dianggap sebagai suatu pemberiaan pertolongan bagi klien karena tindakan ini bersifat terapeutik dan bermanfaat bagi klien. Pendekatan client-centred juga dapat digambarkan dengan kata-kata Gotterer (2001, p. 192) bahwa penanganan harus mengikuti klien apapun yang menjadi masalah atau kebutuhannya (“meet the client where they are”). Secara keseluruhan berdasarkan tipologi, contoh-contoh penanganan yang dilakukan masing-masing tipe praktisi terhadap lansia tampak pada Gambar 6.5. bentuk-bentuk
penanganan
tersebut
diidentifikasi
dengan
melihat
tingkat
keberhasilan penanganan dan kecenderungan kecocokan antara tipe pratisi dan tipe lansia. Dalam gambar tersebut tampak sejumlah intervensi dapat dilakukan oleh semua tipe praktisi, ada yang hanya cocok dilakukan oleh satu tipe, dan ada juga yang dapat diberikan oleh dua tipe. (Perhatikan juga Gambar 6.3 di awal) Beberapa bentuk intervensi dapat dilakukan oleh semua tipe praktisi, contohnya seperti mendampingi lansia dalam kegiatan rekreasional, hiburan, lomba, atau kegiatan seni; memfasilitasi penyaluran hobi dan kreativitas; dan mendampingi sejumlah bimbingan yang diadakan lembaga. Praktisi YL, misalnya, yang walaupun bertipe normatif, tidak hanya melulu mengajak klien lansia untuk beribadah, tetapi juga kegiatan kesenian, misalnya dengan mendengarkan musik atau bernyanyi diiringi musik organ, agar membuat lansia senang dan terhibur (YL, 30/5/2013). Bentuk intervensi yang lebih cocok ditangani oleh satu kelompok praktisi, sebagai contoh tipe normatif, adalah dengan memberi nasehat atau masukan kepada lansia dan menyuruh lansia mengikuti kegiatan atau bimbingan yang diadakan lembaga panti atau home care. Sebagai contoh, praktisi YL sering menasehati, mengingatkan, atau mengajak klien untuk beribadah, menjaga kebersamaan, menghindari pertengkaran, dan selalu mengingatkan kematian yang bisa datang
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
236
setiap saat (YL, 30/5/2013). Dari sisi tingkat keberhasilan, dengan cara sering memberi nasehat dan mengingatkan seperti itu, praktisi tersebut mengakui adanya perubahan positif pada lansia. Misalnya perubahan dari yang tadinya malas beribadah, malas sholat menjadi rajin (YL, 30/5/2013).
• Memberi nasehat, masukan • Menyuruh lansia mengikuti kegiatan atau bimbingan
• Mengajari & mengajak praktik ibadah • Mengajari doa, dzikir • Mengingatkan untuk sabar, ikhlas, dll. • Memberi peran/tugas dalam kegiatan agama • Pendampingan untuk menghadapi atau ketika sakrotul-maut • Memfasilitasi keinginan lansia sebelum & sesudah meninggal
• Memberi peran/tugas terkait tanggung jawab, kegiatan keseharian, atau upaya membantu lansia lain • Memotivasi lansia untuk sabar, tawakal, & banyak ibadah
TIPE FLEKSIBEL
TIPE NORMATIF
• Mendampingi kegiatan rekreasional/hiburan (lomba, menyanyi, rekreasi, dll) • Mendampingi kegiatan terapeutik yang diadakan panti/lembaga home care • Memfasilitasi penyaluran hobi, kegemaran, kreativitas, dll.
TIPE KEARIFAN DIRI
• Menghibur • Mendengar cerita /kenangan masa lalu • Memberi perhatianperhatian kecil
• Memosisikan diri atau berperan sebagai teman ngobrol, curhat, dll. • Menciptakan kesempatan/kemungkinan bagi lansia untuk berinteraksi • Mencarikan sare’at untuk lansia yang masih pasang susuk • Memberikan penyadaran soal agama dan masa akir hayat
Gambar 6.5. Bentuk penanganan lansia berdasarkan tipologi praktisi
Sementara, intervensi yang dapat diberikan oleh dua tipe praktisi, misalnya oleh tipe normatif dan fleksibel. Mereka dapat memberikan intervensi berupa: mengajari tata cara ibadah sekaligus mengajak praktik pelaksanaannya dalam keseharian; mengajari doa, dzikir, atau wirid; mengingatkan secara verbal untuk
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
237
sabar, ikhlas, dan tawakkal; membagi peran atau tugas dalam kegiatan agama, misal sebagai muadzin, petugas iqomat, imam sholat, menyanyi di kebaktian dan lain-lain; mengajari lafadz atau kalimat tahlil sederhana untuk menghadapi kematian dan melakukan pendampingan pada saat lansia sedang sakrotul-maut; dan memfasilitasi sekaligus mewujudkan keinginan lansia sebelum dan sesudah meninggal, seperti tahlil atau mendoakan keselamatan bersama penghuni panti (slamatan). Karakteristik untuk masing-masing model intervensi spiritual di atas tampak dalam Tabel 6.5. Tabel 6.5. Karakteristik model intervensi spiritual berdasarkan tipologi praktisi dan klien Karakteristik
Model Direktif
Model Reflective-partnership
Pendekatan
Bersifat langsung (directive) dari praktisi untuk klien
Hubungan praktisi-klien
• Expert – client • Tindakan lebih dominan ditentukan praktisi karena dianggap lebih tahu yang terbaik untuk klien (top-down) Tahap intervensi terpisah setelah asesmen dilakukan (linier/serial)
Bersifat tidak langsung (nondirective), namun berpusat pada klien (client-centred) • Setara • Tidak selalu ditentukan oleh praktisi, tapi dapat dihasilkan dari dialog/kesepakatan dengan klien, sebagai hasil keputusan bersama. Bisa paralel dengan asesmen (overlapping atau spiral/iteratif). Saat intervensi, tindakan asesmen masih bisa dilakukan. Tidak hanya problem-solving atau pemenuhan kebutuhan, tapi juga memahami lansia secara utuh untuk tujuan spiritual growth
Asumsi
Tujuan
Berorientasi problem-solving atau pemenuhan kebutuhan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
BAB 7 KOMPONEN SPIRITUAL UNTUK KESEHATAN MENTAL LANSIA
Bab ini merupakan pembahasan terkait komponen spiritual pada lansia yang relevan untuk kesehatan kondisi mental mereka. Bab ini juga sekaligus sebagai pembahasan hasil penelitian terkait tujuan penelitian ketiga dan keempat. Namun, sebagian juga membahas hasil penelitian dari pertanyaan penelitian kedua, khususnya terkait perspektif praktisi tentang masalah kesehatan mental lansia. Untuk itu, sebelum membahas komponen spiritualitas yang relevan bagi kesehatan mental lansia, segala permasalahan yang dihadapi lansia yang dapat mempengaruhi kondisi mental dan bagaimana mereka merespons akan diidentifikasi terlebih dahulu.
7.1. Masalah Kesehatan Mental Lansia Sub-bab ini berupaya mengidentifikasi sejumlah masalah kesehatan mental lansia yang muncul baik dari penuturan informan praktisi maupun lansia melalui wawancara. Di samping dari hasil wawancara, informasi tentang permasalahan mental-emosional yang diderita klien lansia diperoleh dari hasil observasi dan penelusuran dokumen. Hasil identifikasi tersebut menunjukkan sejumlah perbedaan karena hasil penilaian atau perspektif orang kedua tentang subjek dibanding perspektif si subjek itu sendiri yang mengalami tentu akan berbeda. Oleh karena itu, masalah kesehatan mental lansia akan dibahas menurut perspektif kedua kelompok informan tersebut.
7.1.1. Perspektif Praktisi Perlu ditegaskan kembali bahwa permasalahan lansia di sini didasarkan atas perspektif dari informan praktisi, bukan dari lansia itu sendiri. Berdasarkan penuturan mereka, masalah yang dialami lansia, yang dapat menjadi masalah kesehatan mental ataupun dapat memmpengaruji kondisi mental mereka, meliputi marah, sedih, murung, patah semangat, putus asa, perasaan tersingkir atau terisolasi, kecemasan akan kematian, kecemasan terhadap urusan yang tidak selesai di akhir hayat, dan lain-lain.
239 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
240
Lansia dengan masalah emosional tertentu yang dimaksud praktisi tidak melulu terkait dengan lansia yang menjadi informan penelitian ini, namun klien lansia yang mereka secara umum. Serangkain masalah tersebut muncul di antaranya dari tema atau node: @asesmen, @intervensi, @contoh kasus intervensi, @penanganan akhir kehidupan, dan @keyakinan-nilai praktisi. Tema keyakinan dan nilai di sini terkait pandangan praktisi tentang masalah atau penderitaan lansia yang mereka tangani. Dalam node @asesmen, misalnya, praktisi YL menceritakan upayanya mendekati klien lansia dan menggali penyebab kesedihan yang sedang dialami lansia bersangkutan kemudian berupaya membantu menghilangkan kesedihan tersebut (YL, 30/5/2013). Contoh lain muncul dari node @contoh kasus intervensi, yakni kemarahan seorang klien terhadap anaknya. Menurut pengakuan lansia itu, anaknya yang waktu itu sedang hamil 7 bulan telah membuang dan menelantarkannya sehingga saat ini si nenek harus hidup di panti. Informasi ini diceritakan oleh praktisi WN yang kemudian berupaya mengingatkan klien agar tidak menjelek-balikkan si anak. Bahkan praktisi ini menasehati bahwa sebaiknya lansia tersebut mendoakan anaknya agar hatinya terbuka dan ingat kepada dirinya (WN, 13/6/2013). Contoh selanjutnya berasal dari praktisi home care ED yang menceritakan lansia J yang merasa sepi terisolasi karena semua anaknya bekerja agak jauh di luar rumah, sehingga semua pekerjaan rumah dilakukannya sendiri (ED, 16/6/2013). Berdasarkan identifikasi terhadap sejumlah kategori dan node di atas, Tabel 7.1 di bawah merangkum hasil identifikasi tersebut kaitannya dengan masalahmasalah lansia yang dapat mengganggu kondisi mental lansia.
Tabel 7.1. Masalah yang dihadapi lansia dari perspektif praktisi Masalah lansia Marah, sedih, murung, patah semangat, putus asa Merasa dibuang, disingkirkan, atau terisolasi dari keluarga (anak-cucu) Pertengkaran antar lansia panti Kecemasan menghadapi akhir hayat Urusan yang belum selesai dan tidak terwujudnya harapan sebelum-setelah meninggal
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
241
7.1.2. Perspektif Klien Lansia Sementara itu, ada beragam pengalaman atau penderitaan yang dirasakan dan dituturkan oleh lansia sendiri yang berakibat terganggunya kondisi kesehatan mental. Ragam pengalaman dan penderitaan tersebut muncul dari sejumlah kategori atau sub-kategori sebagai berikut: @pengalaman-penderitaan, @kekhawatiran-ketakutan, @respons, @menyikapi akhir hayat, @harapan, dan @mengheningkan cipta. Node @pengalaman-penderitaan merupakan tema yang cukup banyak memilah informasi tentang permasalahan atau penderitaan yang dialami lansia, meskipun hanya lima informan yang menuturkan pengalaman tidak menyenangkan tersebut kepada peneliti melalui wawancara (perhatikan Tabel 14.2, Lampiran 14). Sebagai contoh, lansia Msn menceritakan hidupnya yang susah dan perasaan terisolasi karena suami dan anak sudah meninggal serta hubungannya dengan saudara agak jauh (Msn, 16/6/2013) Sedangkan
untuk
node
@respons,
@kekhawatiran-ketakutan,
dan
@menyikapi akhir hayat, dari sisi nama node-nya dapat menggambarkan penderitaan hidup dan masalah kesehatan lansia itu sendiri. Referensi untuk node @respons dan @menyikapi akhir hayat lumayan tinggi yang berasal dari sepuluh informan. Untuk node @kekhawatiran-ketakutan dibicarakan oleh delapan informan dan dengan cakupan (coverage) yang tidak terlalu tinggi. (Tabel 14.4 & 14.8, Lampiran 14) Dalam node @harapan dan @mengheningkan cipta juga menggambarkan reaksi atau coping terhadap penderitaan yang mereka alami. Khusus untuk node @harapan, seluruh informan lansia menyinggungnya dan nenek Msn adalah yang paling sering. Dari gambaran ini, node @harapan menjadi tema penting dalam spiritualitas lansia. (Tabel 14.6 dan 14.8 dalam Lampiran 14) Hasil identifikasi terhadap sejumlah kategori dan serangkaian nodes di atas, Tabel 7.2 berikut merangkum masalah kesehatan mental lansia menurut perspektif lansia itu sendiri dengan dilengkapi hasil observasi dan penelusuran dokumen terkait. Meski tampak berbeda, dua hasil identifikasi masalah lansia menurut perspektif praktisi dan lansia, seperti dirangkum dalam Tabel 7.1 dan 7.2, dijumpai sejumlah titik temu. Contohnya adalah soal keterpisahan, isolasi, dan relasi yang tidak baik (Tabel 7.2) yang identik dengan soal perasaan dibuang atau disingkirkan oleh keluarga dan pertengkaran antar lansia di panti (Tabel 7.1). Selain itu,
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
242
kecemasan lansia terhadap akhir hayat yang ada pada Tabel 7.2 dan Tabel 7.1 tampak memiliki benang merah. Tabel 7.2. Masalah lansia dan dimensinya menurut perspektif lansia Masalah lansia Disabilitas Keterpisahan Isolasi Relasi yang tidak baik Penderitaan hidup Kehilangan (loss) Kecemasan
Dimensi • • • • • • • • • • • • • •
Keterbatasan fisik Menderita sakit-sakitan Terpisah dari anak-cucu atau saudara Kesepian karena anak/menantu sibuk bekerja Hidup sendiri jauh dari anak-cucu Merasa terasing Hubungan jauh dengan keluarga Pertengkaran antar lansia Hidup serba kekurangan Sering disakiti orang sekitar Kehilangan orang terdekat (suami/istri, anak, saudara dekat) Kehilangan harta-benda Kecemasan terhadap akhir hayat Kecemasan akan masa depan anak-cucu
Dari kedua tabel tersebut juga tampak belum ada pemilahan antara masalah atau penderitaan hidup dengan kesehatan mental lansia. Secara teoretis, kemalangan hidup dapat menjadi penyebab terganggunya kondisi mental mereka (marah, sedih, depresi, dan lain-lain). Atau bisa sebaliknya, gangguan mental dapat menimbulkan penderitaan hidup. Hal ini dapat dirujukkan ke konsep psikosis dan neurosis menurut Frankl (2004). Seperti dijelaskan pada Bab 3 dan Tabel 3.2, baik penyebab (etiologi) maupun gejala (simptomotologi) dari kondisi kesehatan mental yang terganggu dapat disebabkan oleh aspek fisik-biologis (somatis) dan juga aspek psikologis.
7.2. Respons terhadap Penderitaan Pengalaman atau penderitaan hidup di atas disikapi oleh lansia dengan pemaknaan dan respons positif yang membuat mereka bertahan dan mampu menjalani hidup dengan berkualitas. Respons semacam ini tampak dari beberapa kategori atau sub-kategori, di antaranya adalah: kategori #pemaknaan terhadap penderitaan (node @musibah-cobaan-peringatan dan @“ada musibah ada hikmah”), @respons, @pasrah-menerima, @sabar dan tawakkal, dan @bersyukur.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
243
Dari sisi jumlah sebaran dan pembicaraan oleh informan, masing-masing node menunjukkan angka yang cukup signifikan. Di antara sejumlah node ini, @respons adalah yang paling signifikan sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Memaknai penderitaan sebagai musibah, cobaan, atau peringatan ditunjukkan oleh tujuh informan lansia. Sedangkan pencarian hikmah dibalik musibah atau cobaan yang dialami ditunjukkan oleh hanya dua informan. (Tabel 14.4, Lampiran 14) Selain respons positif dalam node @respons yang telah dibahas, ada juga respons pasrah, menerima, sabar, tawakkal, dan bahkan bersyukur. Sikap pasrah dan menerima, seperti pada node @pasrah-menerima, merupakan respons yang paling dominan setelah node @respons. Selain pasangan lansia Pnd dan Gbg, semua informan menunjukkan sikap ini. Sebaran tertinggi diberikan oleh informan nenek Msn yang bercerita cukup panjang. (Tabel 14.3, Lampiran 14) Node berikutnya yang paling sering dibicarakan informan dan memiliki sebaran tertinggi setelah node @respons dan @pasrah-menerima adalah node @bersyukur. Sikap bersyukur meski ditimpa musibah diperlihatkan oleh hampir semua informan, selain pasangan lansia Pnd-Gbg dan nenek Bs. Di antara lansia yang menyinggungnya, informan kakek Mrw adalah yang paling sering mengungkapkannya. Terakhir, node @sabar & tawakkal adalah respons yang paling jarang karena hanya tiga informan yang menyinggungnya, dimana pasangan lansia Pnd dan Gbg adalah yang paling kental menunjukkan sikap sabar dan tawakkal. (Tabel 14.3, Lampiran 14) Pembahasan tentang pemaknaan dan respons terhadap penderitaan hidup lansia yang juga saling mempengaruhi terhadap kondisi kesehatan mentalnya secara sederhana dapat diilustrasikan pada Gambar 7.1. Apabila dikaitkan dengan teori coping, pemaknaan dan respons yang ditunjukkan lansia di atas dapat digolongkan sebagai bentuk coping yang bersumber dari spiritualitas dan agama. Sermabeikian (1994, p.178) berpendapat bahwa spiritualitas bisa menjadi salah satu sumber penting dalam melakukan coping. Berbicara tentang konsep coping, para ahli banyak merujuk ke Lazarus dan Folkman (1984) yang secara garis besar dibahas menurut dua tradisi, yakni eksperimentasi hewan dan ego psychology. Dalam tradisi ego psychology, khususnya model psikoanalisis, coping didefinisikan sebagai “pikiran dan tindakan yang
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
244
realistis dan fleksibel yang dapat menyelesaikan masalah sehingga mengurangi stres” (p.118). Folkman dan Moskowitz (2004, p.745) melengkapi definisi coping ini bahwa pikiran dan perilaku tersebut berguna untuk mengelola faktor dari dalam dan luar terhadap situasi yang dianggap dapat menimbulkan ketegangan. Gambar 7.1 di atas menunjukkan bahwa informan lansia dapat bertahan hidup dengan menunjukkan pemikiran melalui pemaknaan positif dan tindakan berupa respons yang positif terhadap tekanan yang muncul karena kesusahan yang diderita.
Pemaknaan: • Dianggap sebagai takdir, musibah, cobaan, ujian, atau peringatan • “Ada musibah ada hikmah” Respons: • Respons umum yang positif • Pasrah dan menerima • Sabar dan tawakkal • Bersyukur
Masalah Hidup atau Penderitaan Lansia
Masalah Kesehatan Mental Lansia
Gambar 7.1. Masalah kesehatan mental lansia, pemaknaan, dan respons lansia
Pargament (1997), Wong-McDonald dan Gorush (2000), dan beberapa ahli lain, seperti dikutip Lydon-Lam (2012, p.19-20), mengajukan hipotesis bahwa bentuk-bentuk religious coping dapat meliputi, (namun tidak terbatas pada): kepasrahan
aktif
pada
Tuhan,
menganggap
sebagai
Takdir
Tuhan,
dan
mempertanyakan Tuhan atau keimanan seseorang selama perjuangan untuk lepas dari tekanan. Bentuk religious coping yang pertama dan kedua tersebut ditunjukkan oleh informan lansia dalam merespons kemalangan yang dialami. Bentuk-bentuk religious coping tersebut termasuk dalam komponen spiritualitas sehingga dapat dikatakan sebagai spiritual coping. Selain itu, salah satu pengusul hipotesis di atas, yaitu Pargament, memosisikan spiritualitas sebagai bagian dari agama, sebagaimana definisi klasik agama menurut James (1958) yang sangat luas (Pargament, 1999; Zinnbauer & Pargament, 2005). Seperti halnya Pargament, Folkman dan Moskowitz (2004) secara eksplisit menjelaskan bahwa religious coping juga meliputi spiritual coping, khususnya
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
245
terkait upaya pencarian makna, tujuan hidup, dan hubungan dengan Zat yang lebih tinggi, yang ilahiah. Menurut mereka, upaya untuk berhubungan dengan sesuatu yang melampaui dirinya dapat bersifat religius ataupun non-religius (p.760). Konsep spiritual coping sebagai bagian dari religious coping ini juga bisa dipahami karena Folkman dan Moskowitz (p.760) meletakkan spiritualitas sebagai bagian dari agama, namun spiritualitas juga dapat berada di luar agama formal. Dalam teori krisis, berbagai masalah atau kejadian dalam hidup yang melampaui daya tahan seseorang dapat menggiring ke dalam krisis dan menyebabkan guncangan hebat. Menurut Musgrave (2005), ada tiga kemungkinan respons terhadap kondisi krisis tersebut, yakni putus asa tidak mau menjalani hidup; bangkit kembali menuju keseimbangan; atau bahkan tumbuh berkembang mencapai tingkat pemahaman dan ketahanan pribadi (p. 266). Berdasarkan refleksi terhadap teori tersebut, beragam pemaknaan dan respons yang ditunjukkan informan lansia tampaknya tidak sekadar mampu kembali ke keseimbangan semula. Akan tetapi, dengan memaknai krisis yang dialami sebagai semacam cobaan atau ujian dan menunjukkan berbagai respons positif, lebih tepat dikatakan bahwa informan lansia telah berhasil melewati krisis dan menunjukkan respons kemungkinan ketiga atau, paling tidak, kemungkinan kedua dalam konsep Musgrave. Pencarian hikmah di balik musibah, pasrah, menerima, sabar, tawakkal, dan bahkan bersyukur atas peringatan yang mereka terima menandakan bahwa informan mampu mencapai tingkat kematangan spiritual tertentu. Gambar 7.2 di bawah ini kurang-lebih mengilustrasikan hasil refleksi temuan penelitian ini terhadap teori krisis. Pada gambar tampak bahwa secara umum setiap individu menunjukkan peningkatan sisi spiritualitas (spiritual growth, pada sumbu vertikal) secara konstan seiring bertambahnya usia (age, pada sumbu horisontal). Namun, ketika suatu peristiwa atau gangguan (disruptions) terjadi pada fase hidup tertentu, respons umum yang ditunjukkan adalah terhentinya pertumbuhan spiritual yang lamanya tergantung dari karakteristik individu. Peristiwa atau gangguan yang dimaksud dapat berupa kehilangan orang yang dicintai, keterpisahan dengan keluarga, disabilitas, penderitaan, dan lain-lain. Terhentinya pertumbuhan spiritual selama masa tertentu karena adanya disruptions, dalam gambar, dalam penelitian ini disebut sebagai gap atau hiatus (semacam diskontinyuitas).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
246
Gambar 7.2. Pertumbuhan spiritual terhadap waktu dan tiga bentuk respons terhadap peristiwa atau gangguan dalam hidup
Selepas keterputusan tersebut, respons yang ditunjukkan terhadap disruptions ada tiga kemungkinan, sebagaimana dikemukakan Musgrave (2005), yakni: (1) jatuh dalam keputusasaan yang ditandai dengan kurva menurun (penurunan kematangan spiritual); (2) kembali ke keseimbangan dan menunjukkan peningkatan kematangan spiritual secara normal; atau bahkan (3) bertumbuhnya spiritualitas secara cepat. Perhatikan nomor 1, 2, dan 3 pada masing-masing anak panah dalam Gambar 7.2. Teori lain yang menjelaskan kemungkinan perkembangan setelah disruptions tersebut ditawarkan oleh Calhoun dan Tedeschi. Menurut keduanya, seperti dikutip Thompson (2007), kehilangan dan trauma dapat mengakibatkan tiga kemungkinan perubahan pada individu, yakni: (i) berubahnya pemahaman atau pandangan terhadap diri-sendiri; (ii) berubahnya hubungan; dan (iii) pertumbuhan eksistensial dan spiritual (p. 77). Perubahan di wilayah pemahaman diri dan relasi (baik dengan sesama maupun dengan Tuhan) bisa menjadi buruk atau malah membaik. Apabila perubahan itu berupa perkembangan positif bersama pertumbuhan eksistensialspiritual, ilustrasinya digambarkan pada busur panah ke-3 pada Gambar 7.2 di atas. Berdasarkan hasil identifikasi masalah lansia menurut perspektif praktisi dan lansia itu sendiri seperti tampak pada Tabel 7.1 dan 7.2 sebelum ini, selanjutnya berbagai peran dan kebutuhan yang bersifat spiritual (spiritual tasks/needs), yang
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
247
telah ditunjukkan baik oleh para informan praktisi maupun lansia untuk mengatasi masalah tersebut, kemudian diidentifikasi. Spiritual tasks masing-masing akan dibuat berdasarkan kedua tabel tersebut. Di sini perlu dijelaskan tentang spiritual tasks atau spiritual needs menurut sejumlah ahli. Tasks mengacu pada penjelasan MacKinlay (2006) yang merujuk ke model Erikson tentang perkembangan psikososial. Tasks di situ bukanlah sekadar “tugas atau peran individu yang harus dicapai dan dilalui” (p.22). Mathews (2009) turut menjelaskan bahwa spiritual tasks bukanlah fase atau tugas yang harus ditunaikan sebelum seseorang meninggal. Tugas atau peran tersebut juga tidak mesti berurutan, tetapi saling terkait yang kadang terulang atau direvisi oleh lansia dalam sejumlah kesempatan atau pengalaman hidup (p.58). Mackinlay (2006) menyebutnya sebagai “proses untuk menjadi” yang dialami setiap orang (p. 22). Hasil identifikasi spiritual tasks berdasarkan masalah lansia dari perspektif praktisi ditunjukkan pada Tabel 7.3. Tabel 7.3. Spiritual tasks untuk masalah lansia menurut perspektif praktisi Masalah lansia Sedih, murung, patah semangat, putus asa
Merasa dibuang, disingkirkan, atau terisolasi dari keluarga (anak-cucu) Pertengkaran antar lansia panti
Kecemasan menghadapi akhir hayat
• • • • • • • • • • •
• • • • Urusan yang belum selesai dan harapan sebelum-setelah meninggal
•
•
Spiritual tasks Harapan atau asa Reminiscence Afirmasi Semangat atau daya hidup Doa Relationship atau connectedness Rekonsiliasi Doa Masa usia senja yang aman, nyaman dan terjamin tanpa gangguan , termasuk dari teman sesama panti Doa Sudah punya preferensi tempat dikubur dan siapa yang mengurus Mengumpulkan bekal Siap dan pasrah menghadapi sakrotulmaut Kematian yang baik dan mudah Hilangnya kekhawatiran tidak ada yang urus kematiannya Meninggal dengan husnul khotimah tanpa beban/tanggungan yang belum beres (settling affairs) Doa
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
248
Di samping diidentifikasi dari data penelitian, sebagian spiritual task pada Tabel 7.3 merujuk ke penelitian yang sudah ada dan teori yang dibuat sejumlah ahli, sehingga di sini perlu dijelaskan secara singkat. Sejumlah konsep seperti tampak dalam tabel tersebut merujuk ke model “spiritual tasks of ageing” menurut MacKinlay (2004a) dan juga kaitannya dengan spiritual care yang patut dilakukan praktisi (MacKinlay, 2006). Konsep-konsep tersebut meliputi harapan, reminiscence, dan keterhubungan. Harapan atau asa merupakan salah satu tema yang berhasil diidentifikasi dari hasil penelitian Mackinlay (2004a) terhadap lansia dalam menghadapi kecemasan atau ketakutan terhadap sesuatu. Harapan tersebut misalnya terkait dengan hasrat bertemu anak-cucu atau melihat mereka sukses dalam hidup. Sebagai tambahan, konsep semangat hidup atau daya hidup dalam penelitian ini dapat diperkuat dengan pendapat Baskin (2007, p. 194) bahwa spiritualitas tidak melulu terkait soal kematian dan menghadapai kematian. Sebaliknya, spiritualitas untuk lansia justru harus berbicara tentang bagaimana melanjutkan hidup dan menghadapinya. Mengenang masa lalu (reminiscence) dianggap MacKinlay (2004b) sebagai salah satu task penting bagi lansia ketika memasuki tahap akhir dalam karir dan menghadapi kematian. Dengan mengingat-ingat masa lalu, ada upaya lansia untuk “kembali ke masa lalu, mengafirmasi, membingkai kembali, dan melihat siapa sesungguhnya diri mereka atas semua yang telah dilalui dan dialami kemudian berupaya mengambil pelajaran” (p. 80). Reminiscence juga disinggung MacKinlay (2006, p. 37) sebagai salah satu tindakan spiritual care bersama life review untuk pemenuhan kebutuhan pencarian makna hidup. Relasi dan keterhubungan (relationships atau connectedness) merupakan komponen terpenting dalam spiritualitas yang disinggung oleh hampir semua ahli. Dalam model MacKinlay (2004a/b), task ini berupa pencarian kedekatan (intimacy) baik dengan Tuhan maupun dengan sesama. Menemukan kedekatan, membangun hubungan dan menjaganya merupakan kebutuhan paling utama bagi lansia. Selain MacKinlay, model yang dibuat Jewell (2004) terkait empat kebutuhan penting lansia juga dirujuk dalam Tabel 7.3 di atas, khususnya terkait kebutuhan afirmasi dan rekonsiliasi. Afirmasi adalah satu dari empat kebutuhan manusia di akhir hayat (Jewell, 2004). Menurutnya, kebutuhan ini adalah semacam pengakuan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
249
terhadap lansia atas kontribusi atau jasa dalam hidup mereka (p. 20). Dalam penjelasan Mathews (2009), afirmasi berarti pengakuan secara kolektif atau individu bahwa kehidupan mereka berharga dan berguna bagi sesama (p. 59). Intinya, lansia punya kebutuhan merasa berguna bagi sesama dan dibutuhkan oleh orang lain. Selanjutnya, rekonsiliasi merupakan salah satu harapan lansia yang sering tak terungkap. Sebelum menghadapi akhir hayat, lansia membutuhkan “rekonsiliasi dengan orang-orang terdekat, dengan diri sendiri, dengan Tuhan” agar meninggal dengan tenang (Jewell, 2004, p.21). Dalam hidupnya lansia sangat mungkin mengalami hubungan pasang-surut dengan orang-orang yang dicintai, tindakan yang menimbulkan penyesalan sepanjang hayat, atau perbuatan dosa terhadap Tuhan, sehingga mereka harus saling memaafkan, memaafkan diri-sendiri, dan bertobat. Kebutuhan rekonsiliasi tersebut juga ada kaitannya dengan harapan lansia agar segala urusan di akhir hayat dapat terselesaikan sehingga tidak ada beban yang dipikul dan “terbawa” sampai mati. Harapan seperti ini, dalam konsep McCormick, Kuo, dan Masten (2010), disebut sebagai settling affairs. Menurut mereka, settling affairs dianggap sebagai salah satu developmental tasks yang paling umum dan menonjol pada kelompok lansia (p. 122). Khusus terkait dengan doa, di sini perlu dijelaskan secara singkat satu konsep yang dipegang seorang lulusan spesialis pekerjaan sosial tersebut. Menurutnya, berdoa berarti berupaya menghubungkan antara Tuhan, klien, dan orang yang didoakan klien. Dia juga menjelaskan hal ini kepada klien sambil berupaya sedemikian rupa untuk menumbuhkan kesadaran dari dalam klien bahwa bisa jadi apa yang dialami klien saat ini adalah akibat dari sikap dan perilaku yang telah lampau. Upaya penumbuhan kesadaran seperti itu dimaksudkan agar klien lansia mampu mengevaluasi dan mengoreksi diri-sendiri agar memperbanyak istighfar, memohon ampun kepada Tuhan, dan hubungan dengan keluarganya pun diharapkan menjadi lebih baik. (Perhatikan Gambar 7.3) Berikutnya, spiritual tasks untuk masing-masing masalah lansia menurut perspektif dan pengalaman lansia itu sendiri ditunjukkan dalam Tabel 7.4. Beberapa spiritual tasks pada tabel tersebut juga mengacu ke hasil penelitian dan konsepkonsep yang telah dikembangkan sejumlah ahli.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
250
Tuhan
DOA Orang yang didoakan
Lansia
Gambar 7.3. Konsep relasi segi tiga doa
Tabel 7.4. Spiritual tasks untuk masalah lansia menurut perspektif lansia Masalah lansia Disabilitas
Keterpisahan Isolasi Relasi yang tidak baik Penderitaan hidup
Kehilangan (loss)
Kecemasan
Spiritual tasks • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Melampaui disabilitas (to transcend dissability) Kedekatan (intimacy) dengan Tuhan Harapan/doa Menemukan makna dan hikmah Semangat/daya hidup Relationships/connectedness Harapan/doa Relationships/connectedness Harapan/doa Rekonsiliasi Harapan/doa Kedekatan (intimacy) dengan Tuhan Menemukan makna dan hikmah Semangat/daya hidup Melampaui kehilangan (to transcend loss) Menemukan makna dan hikmah Semangat/daya hidup Kedekatan (intimacy) dengan Tuhan Harapan/doa Rekonsiliasi Afirmasi Settling affairs
Sebagian spiritual tasks telah dijelaskan sebelumnya, sedangkan task yang belum adalah kebutuhan melampaui (to transcend). Kebutuhan untuk melampaui (to transcend) yang muncul pada masalah lansia disabilitas dan kehilangan tersebut mengacu pada salah satu task dalam model MacKinlay (2004a, p. 224-5) yakni ‘melampaui kehilangan dan disabilitas’ (to transcend loss or disability). Melampaui disabilitas dan kehilangan yang ia maksud adalah bahwa ketika muncul ketakutan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
251
atau kecemasan akan keterbatasan fisik atau kehilangan orang-orang yang dicintai maka hal itu harus menjadi tantangan tersendiri bagi lansia untuk melaluinya (to move beyond). Dengan begitu, alih-alih takut atau cemas, mereka akan menemukan perasaan tenang atau nyaman untuk menghadapinya.
7.3. Komponen Spiritualitas yang Relevan Daya tahan lansia dalam menghadapi masalah hidup dan masalah kesehatan jiwa tampak dari cara mereka merespons dan mengekspresikan spiritualitas yang dihayati. Di samping berbagai respons positif lansia yang sudah dibahas sebelum ini, ada sejumlah komponen spiritual yang relevan dalam membantu lansia bangkit dari keterpurukan. Relevansi di sini, sebagaimana hasil eksplorasi Swinton dan Kettles (2001), dilihat dari seberapa jauh spiritualitas menunjukkan sumbangsih positif bagi terwujudnya kondisi mental yang baik. Menurut istilah Canda dan Furman (2010), spiritualitas dari sisi positif disebut sebagai spiritualitas yang sehat (healthy spirituality). Dengan demikian, kesehatan mental yang ditimbulkannya atau terdampak oleh spiritualitas yang positif atau sehat pun bersifat positif (positive mental health). Sejumlah node atau tema dapat menjadi komponen spiritual yang secara teoretis dinilai relevan mempengaruhi kondisi kesehatan mental lansia. Penilaian ini juga mempertimbangkan seberapa banyak informan membicarakannya dan seberapa sering suatu node disinggung informan. Seperti pada Tabel 14.1 dalam Lampiran 14, node yang tampak signifikan meliputi: @kegiatan-afiliasi, @keyakinan, @relasikedekatan-isolasi, @doa, @merasa berperan-berguna-dicintai, @harapan, dan @menyikapi akhir hayat. Sementara node yang tidak terlalu tinggi namun masih cukup relevan yang dibicarakan oleh lima atau enam informan adalah: @semangat hidup, @kekhawatiran-ketakutan, @reminiscence, dan @kegemaran-hobi-kreativitas. Node @kegiatan-afiliasi agama dan @keyakinan yang tercakup dalam kategori keberagamaan lansia merupakan dua node penting. Kedua node ini begitu sering disinggung dimana hampir semua informan lansia memperlihatkan sebaran merata. Pasangan lansia Pnd dan Gbg memang tidak menunjukkan node @kegiatanafiliasi agama, namun berdasarkan observasi keduanya aktif melakukan aktivitas keagamaan di panti, baik secara pribadi maupun bersama-sama, seperti sholat
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
252
berjamaah dan pengajian di musholla. Sementara untuk node @keyakinan, semua informan menyinggungnya dimana yang paling kental menunjukkan keyakinan ini adalah pasangan lansia Rml dan Nrn. (Perhatikan Tabel 14.5, Lampiran 14). Kondisi keberagamaan lansia ada yang naik turun (semakin menua cenderung menaik) dan ada juga yang baik dan stabil sejak muda. Ini menguatkan satu survei yang pernah dilakukan di US (lihat Nelson, 2009). Sejumlah lansia yang mengaku atau menunjukkan tingkat keimanan yang semakin meningkat, bisa dipengaruhi berbagai faktor, seperti faktor usia semakin senja mendekati kematian, faktor pengalaman atau penderitaan hidup yang mereka anggap sebagai sebuah peringatan untuk mengingat Tuhan dan menaati perintah-nya, atau karena lingkungan yang mendukung. Sehingga perlu ditelusuri lebih jauh apakah juga yang mereka akui semakin meningkat itu keagamaan mereka ataukah spiritualitasnya. Pada dekade 1990-an, menurut Folkman dan Moskowitz (2004), keterlibatan seseorang dalam agama (religious involvement), bersama komponen religiositas dan sembahyang, termasuk dalam variabel penting untuk mengukur tingkat religious coping. Namun, keduanya berpendapat bahwa keterlibatan seseorang dalam agama, seperti pada tema kegiatan dan afiliasi agama di atas belum tentu termasuk dalam religious coping. Mereka menegaskan, “keterlibatan dalam keagamaan tidak sama dengan religious coping” (p. 759). Lebih jauh mereka mengatakan, keterlibatan seseorang dalam keagamaan bisa jadi hanya suatu cara atau bentuk coping terhadap masalah yang sedang dihadapi, bukan religious coping itu sendiri. Tema kegiatan dan afiliasi agama merupakan salah satu bentuk ekspresi spiritualitas dalam agama formal atau terlembaga. Dalam pendekatan strukturalbehavioral, menurut Swinton (2007), spiritualitas yang menghubungkan seseorang untuk terlibat dalam kelompok keagamaan melalui kegiatan tertentu dapat mendorong mereka berperilaku yang mendatangkan kesehatan, baik secara fisik maupun mental. Kegiatan yang dimaksud, seperti dicontohkan Swinton (p. 294), dapat berupa kehadiran di gereja, afiliasi agama, ibadah individu (seperti sembahyang, baca kitab, puasa, dan lain-lain), perasaan memiliki identitas kelompok agama tertentu, dan lain-lain, seperti halnya yang ditunjukkan para informan penelitian ini. Sedangkan untuk tema keyakinan dapat mengacu ke pendekatan pedoman nilai (value guidance) dimana spiritualitas tidak selalu datang dari agama
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
253
formal, namun juga dari luar agama. Spiritualitas di sini lebih bersifat individual dan pribadi, seperti pencarian akan makna, harapan, tujuan, kebahagiaan, kenyamanan, dan lain-lain (Swinton, 2007). Spiritualitas yang diekspresikan dalam agama formal dan yang bersifat individual di atas tetap berkaitan dan saling membutuhkan. Seperti dikatakan Hugen (2001), kebanyakan orang saat ini (dalam konteks masyarakat Barat) menjalankan spiritualitas individu dalam konteks jamaah dan institusi keagamaan. Dengan kata lain, Hugen menegaskan, “partisipasi dalam agama yang terlembaga beserta ritualritual yang menyertainya merupakan pengalaman spiritual” (p. 13). Dengan demikian, tema kegiatan-afiliasi agama dan keyakinan, yang dikelompokkan dalam kategori keberagamaan lansia, dapat menjadi task individu lansia yang penting bagi kesehatan jiwa mereka. Kegiatan dan afiliasi agama tersebut tidak hanya yang termasuk religious atau spiritual coping, tetapi juga keterlibatan dalam agama yang sekadar menjadi coping bagi lansia bersangkutan. Tabel 7.5 di bawah ini merinci individual tasks terkait kategori ini berdasarkan hasil penelitian.
Tabel 7.5. Kategori keberagamaan lansia dan tugas individu lansia Tema yang muncul Keberagamaan lansia
Individual tasks • Melakukan ritual/ibadah rutin baik secara individu atau berjamaah • Terlibat dalam aktivitas/tradisi keagamaaan secara kolektif dan punya peran/tanggung jawab di dalamnya • Memiliki dan mengamalkan keyakinan baik bersumber dari agama atau di luar agama (pribadi, keluarga, kultur, atau masyarakat)
Sebagai penguat adanya hubungan kuat antara kedua tema ini sebagai religious coping dengan kesehatan mental, Mohan (2004, p. 176-77) mengutip sejumlah hasil penelitian yang dilakukan para ahli. Sebagai contoh, hasil penelitian Mookherjee tahun 1994 menunjukkan bahwa persepsi terhadap kondisi mental yang baik sangat dipengaruhi, di antaranya, oleh keanggotaan jamaah gereja dan frekuensi kehadiran dalam kegiatan gereja. Berdasarkan berbagai penelitian yang ia akses, pada intinya Mohan menegaskan bahwa kadar stres pada kelompok religius dan nonreligius sebenarnya sama, namun orang kelompok pertama lebih baik dalam menghadapi kesulitan hidup dan tekanan yang diakibatkannya.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
254
Kategori
berikutnya
yang
banyak
dibicarakan
adalah
#relasi
dan
keterhubungan yang terdiri dari node @relasi-kedekatan-isolasi dan node @doa. Node @relasi-kedekatan-isolasi memperlihatkan tinggi dan masifnya pembicaraan yang ditunjukkan oleh semua informan saat wawancara. Begitu juga dengan node @doa yang disinggung semua informan. (Perhatikan Tabel 14.4, Lampiran 14). Relasi dan keterhubungan merupakan karakteristik utama spiritualitas dalam berbagai istilah, seperti relationships (Mathews, 2009), connecting (Gilbert, 2007; Marstoff dan Mickley, 1998 dan Buck, 2006 dalam Lydon-Lam, 2012), relatedness (Swinton, 2001), atau connectedness (Thompson, 2010; Swinton, 2001). Tema ini juga kerap menjadi komponen dalam definisi. Sebagai contoh, Sheridan (2009, p. 278) mendefinisikan spiritualitas sebagai “pencarian akan tujuan, makna, dan hubungan antar diri-sendiri, orang lain, alam, dan kenyataan akhir, yang dapat dialami baik di dalam suatu kerangka keagamaan maupun bukan keagamaan.” Contoh lain datang dari Swinton dan Pattison (2001), dalam Gilbert (2007), yang mengatakan bahwa spiritualitas berkaitan dengan “pertanyaan manusai tentang makna, tujuan, pengetahuan transendensi-diri, hubungan penuh arti, cinta dan kehadiran yang suci” (p. 24-25). Manfaat komponen relasi dan keterhubungan bagi peningkatan kesehatan mental dirinci oleh Swinton (2001). Menurutnya, keterkaitan (relatedness) dan keterhubungan (connectedness) diri dengan sesama dan dengan Tuhan akan berkontribusi positif bagi kondisi baik (well-being). Di samping itu, relasi atau keterhubungan dengan sesama yang membuat lansia tidak merasa sendiri juga dapat membantu mereka mendatangkan rasa nyaman, memelihara asa, menciptakan nilai, dan menemukan makna (p.82-3). Tidak baiknya relasi dan keterhubungan dengan sesama atau dengan Tuhan bisa mengakibatkan hilangnya rasa mencintai dan dicintai atau menyebabkan rasa teralienasi dari Tuhan. Menurut Swinton, kedua akibat ini merupakan dimensi spiritual pada gangguan depresi (p. 167). Berdasarkan hasil penelitian, tugas atau peran individu di masa usia lanjut yang terkait dengan tema ini ditunjukkan dalam Tabel 7.6. Keterhubungan dengan orang-orang tercinta yang telah tiada bisa melalui (ekspresi) doa, tradisi tahlilan atau Yasinan, memasang/menyimpan foto atau barangbarang milik almarhum, atau sengaja mengingat atau mengenang almarhum,
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
255
sebagaimana dilakukan sebagian besar informan lansia. Upaya-upaya seperti ini dapat menciptakan keterikatan batin secara menerus dengan almarhum yang oleh Allan (2005) disebut sebagai continuing bonds. Menurut Allan, dalam teori modern continuing bonds dapat dikatakan sebagai patologis, namun hal ini tidak bisa diterapkan ke setiap orang. Hal itu justru punya sisi positif, yakni sebagai sumber penyemangat, memupuk harapan, dan dapat menjadi salah satu cara pemenuhan kebutuhan spiritual.
Tabel 7.6. Tema relasi-keterhubungan-kedekatan dan tugas individu lansia Tema yang muncul Relasi, kedekatan, dan isolasi
•
• • • • •
Doa
•
• • •
Individual tasks Menyadari pentingnya hubungan atau kedekatan dengan Tuhan dan manusia Menjaga hubungan vertikal dengan Tuhan melalui ibadah & doa Menjalin hubungan horisontal yang besifat positif dengan sesama (orang tercinta, keluarga, atau orang lain) Menjaga hubungan dengan sesama (termasuk dengan orangorang terdekat yang sudah meninggal) Menghindari hubungan negatif atau pertengkaran dengan sesama penghuni panti Mengatasi rasa keterasingan, kesepian, keterpisahan dari keluarga, di antaranya dengan melakukan aktivitas positif, hobi, atau kreativitas baik secara individu atau bersama Memanjatkan harapan atau keinginan melalui doa untuk kebaikan diri-sendiri, Berdoa untuk kebaikan di akhir hayat, seperti mati dalam keadaan husnul khotimah Berdoa untuk kebaikan orang-orang terdekat, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal Sering berdoa untuk orang-orang terdekat tersebut agar selalu memiliki keterikatan atau kontak batin (continuing bonds)
Untuk kategori #harapan dan kecemasan yang terdiri dari node @harapan, @menyikapi akhir hayat, @kekhawatiran-ketakutan, dan @semangat hidup, terkait sebaran dan intensitas informan lansia menyinggung tema tersebut, telah dibahas di bagian awal, kecuali node @semangat hidup. Sebaran dan frekuensi node yang terakhir ini tidak setinggi tiga tema yang lain, yakni disinggung oleh enam informan dan kurang intens dibicarakan. (Perhatikan Tabel 14.7, Lampiran 14) Dalam model spiritualitas yang dibuat MHA (Methodist Homes for the Aged) Care Group yang berada di UK, seperti dijelaskan Jewell (2004), harapan dan kecemasan dimasukkan sebagai dua kondisi yang berbeda, meski tidak saling
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
256
berlawanan. Bersama cinta, kebahagiaan, kreativitas, dan kedamaian, harapan termasuk sebagai komponen yang menggambarkan kondisi baik yang didambakan setiap lansia (well-being) (p.23). Jewell menyebut kelima komponen ini sebagai kebutuhan spiritual (spiritual needs) (p.18-19). Sedangkan kecemasan (anxiety) termasuk dalam kondisi sakit (ill-being) bersama dengan keterisolasian (merana), putus asa, kesedihan, dan kebosanan. Dalam model tersebut tampak harapan berkebalikan dengan putus asa, sementara kecemasan dilawankan dengan kedamaian (Jewell, 2004, p. 23). Dengan begitu, tema semangat hidup cocok diasosiasikan dengan harapan karena kondisi kebalikannya juga berupa putus asa. Swinton (2001) juga memasukkan tema harapan sebagai salah satu komponen untuk mewujudkan well-being. Bersama tema keterkaitan/keterhubungan dengan sesama atau Tuhan dan harga diri (self-esteem), harapan merupakan cara utama dimana spiritualitas dapat memberikan kontribusi positif untuk mencapai kondisi mental yang sehat (Swinton, 2001, p. 82). Hilangnya harapan yang menyebabkan keputusasaan dan kesedihan dan hilangnya kekuatan batin, menurut Swinton, termasuk dimensi spiritual yang harus dikenali pada penderita gangguan depresi (p.167). Perasaan kekhawatiran atau takut terhadap kematian juga merupakan gejala yang memiliki dimensi spiritual pada gangguan stres dan kecemasan (p.164). Tabel 7.7 halaman berikut ini merinci individual tasks untuk masing-masing tema yang muncul dalam kategori harapan dan kecemasan, sebagai kategori penting yang menentukan kondisi kesehatan mental lansia. Komponen penting berikutnya adalah node @merasa berperan-bergunadicintai dan node @reminiscence. Perasaan berperan, berguna, atau dicintai ditunjukkan beberapa kali oleh informan lansia dalam wawancara. Dibanding informan lain, kakek Sgn adalah yang paling sering mengekspresikan perasaan ini. Kemudian kecenderungan mengenang masa lalu, seperti dalam node @reminiscence, juga cukup sering dilakukan informan. Dalam hal ini kakek Sgn juga paling suka menceritakan masa lalunya ketika masih bersama almarhum istri. (Perhatikan Tabel 14.6, Lampiran 14). Tema penting lain dalam kategori #spiritual tasks, meski kurang sering disinggung lansia, adalah seperti ditunjukkan oleh node @kegemaran-hobi-kreativitas, @”mengheningkan cipta”, dan @memaafkan. Node pertama disinggung oleh lima
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
257
informan dan node kedua disinggung oleh tiga informan. Di antara kesebelas informan, lansia Mrw dan Sgn selalu menyinggung kedua tema ini. Sementara untuk tema memaafkan, hanya ada seorang informan yang pernah membicarakannya, yakni lansia Est (Perhatikan Tabel 14.6, dan 14.7, Lampiran 14).
Tabel 7.7. Kategori harapan-kecemasan dan tugas individu lansia Tema yang muncul Harapan dan semangat hidup
Harapan dalam menghadapi akhir hayat
Individual tasks • Berharap agar panjang umur, badan sehat, banyak rejeki, dan diringankan dari penderitaan • Berharap agar dapat rajin beribadah dan hidup selamat serta berkah • Memupuk harapan agar masih bisa ketemu anak-cucu atau dengan teman-teman lama • Tidak berputus asa dan tetap memiliki semangat untuk hidup • Berharap agar meninggal dengan baik dan mudah (husnul khotimah) • Berharap meninggal di kampung halaman dan banyak yang melayat (takziyah) • Berharap ada yang mengurus dan mendoakan ketika meninggal • Berdoa agar tidak sedang berbuat dosa ketika meninggal, diberi ampunan sebelum meninggal, dan terbebas dari siksa/azab kubur
Sebagian tema dalam kategori spiritual tasks yang muncul dari penelitian ini juga merupakan komponen penting yang bermanfaat untuk menjaga kesehatan mental menurut Swinton (2001). Komponen yang dimaksud adalah perasaan berguna dan diperhatikan dimana tema ini, bersama tema tujuan dan makna dalam hidup, rasa nyaman di saat sulit, perasaan tidak sendiri, dan harapan yang terpelihara ketika keputusasaan menyerang, dinilai dapat mendatangkan kenyamanan, harapan, nilai, dan makna (p. 83). Sebaliknya, ketiadaan perasaan berguna dan dicintai oleh keluarga atau kerabat bisa menjadi tanda yang punya dimensi spiritual pada gangguan depresi. Tabel 7.8 di bawah ini merinci individual tasks bagi lansia untuk masingmasing tema dalam kategori spiritual tasks. Ada pula kategori atau tema yang secara teoretis menjadi salah satu komponen sangat penting dalam spiritualitas, yaitu kategori #persoalan eksistensial lansia yang terdiri dari node @makna-tujuan hidup, dan @pandangan-pertanyaan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
258
tentang hidup. Akan tetapi, hal yang menarik di sini adalah bahwa, meskipun dipandang penting, kedua tema tersebut kurang dipandang sebagai sesuatu yang harus dicari atau yang harus diperjuangkan oleh lansia. Kedua tema tersebut kurang menjadi perhatian informan lansia. Tema pertama disinggung oleh tiga informan sementara yang kedua hanya oleh dua informan dengan intensitas yang rendah. (Perhatikan Tabel 14.9, Lampiran 14). Tabel 7.8. Kategori spiritual tasks dan tugas individu lansia Tema yang muncul Merasa berguna dan dicintai
Mengenang masa lalu (reminiscence)
“Mengheningkan cipta”
Memaafkan
Kegemaran, hobi, dan kreativitas
Individual tasks • Menerima/mengambil peran atau tugas dan menjalankan dalam aktivitas bersama, terutama terkait aktivitas keagamaan, misal adzan-iqomat, membangunkan penghuni panti untuk sholat subuh, sholawatan, menjadi imam, atau melayani Tuhan (nyanyian atau pujian). • Memiliki karya yang bisa dibanggakan • Punya tekad atau keinginan untuk membantu orang lain yang perlu bantuan • Menjalin relasi dengan sesama secara lebih bermakna, misal menikahi lansia lawan jenis (selama memang memungkinkan) agar tumbuh saling mencintai • Menjaga hubungan baik dan saling mencintai dengan orangorang terdekat dan keluarga • Mengingat atau mengenang masa lalu terkait peristiwa, orangorang tercinta, tempat favorit, dan lain-lain • Menceritakan kenangan-kenangan tersebut kepada orang-orang terdekat atau orang lain yang mau diajak ngobrol • Mengambil pelajaran/hikmah dari apa yang terjadi di masa lalu • Membingkai kembali (reframing) kenangan lama tersebut, tanpa harus memanipulasi, menjadi narasi/cerita yang menyenangkan dan membanggakan • Memanfaatkan keberadaannya di panti sebagai tempat untuk menikmati kesendirian dan mengenang-ngenang orang-orang tercinta yang tinggal terpisah atau yang sudah meninggal • Menerima keberadaannya di panti sebagai tempat yang lebih aman, nyaman, dan terjamin dibanding tinggal di luar sana, di tempat yang tidak mengenakkan • Memaafkan kesalahan masa lalu yang diperbuat diri-sendiri agar tidak dihantui perasaan bersalah • Memaafkan orang-orang sekitar, terutama yang terdekat, untuk memperbaiki hubungan agar tenang di usia senja • Melakukan kembali sebagian kegemaran atau hobi yang dulu biasa dilakukan sebelum di panti, sejauh memungkinkan • Mengembangkan keterampilan dan kreativitas untuk mengusir kebosanan dan mengisi waktu, sehingga bisa produktif
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
259
Keduanya memang muncul dan dibahas dalam temuan karena diangkat dalam serangkain wawancara terhadap sebagian informan lansia. Akan tetapi jawaban yang muncul berupa pengakuan bahwa mereka enggan memikirkan hal-hal yang rumit dan hanya ingin menjalani hidup apa adanya atau menerima apapun yang menjadi kehendak Tuhan (Mrw, 8/4/2013). Ada lagi tiga lansia yang menjawab secara normatif bahwa tujuan hidup ini hanya untuk beribadah (Rml & Nrn, 27/5/2013) dan melayani Tuhan (Est, 31/5/2013). Kurang tereksplorasinya tema-tema penting ini bisa jadi sebagai salah satu keterbatasan penelitian terkait metode pengumpulan data. Makna, tujuan, atau arti hidup ini mungkin terlalu abstrak bagi para informan. Oleh karena itu, mesti ada semacam bahasa yang lebih familiar di telinga lansia untuk menerjemahkan tematema tersebut dan dengan menggunakan teknik khusus agar mampu mengeksplorasi secara mendalam. Makna dan tujuan hidup atau pandangan dan pertanyaan tentang hidup merupakan komponen penting dalam spiritualitas. Tema-tema ini juga seringkali disinggung dan dimasukkan dalam definisi spiritualitas. Sehingga, pencarian makna dan tujuan hidup selalu ada dalam definisi universal spiritualitas (Hinnels, 1995). Contoh definisi spiritualitas yang dapat mencakup seluruh tema dalam kategori persoalan
eksistensial dalam penelitian ini adalah
Lindsay (2002) yang
mendefinisikan istilah tersebut sebagai “pencarian makna dan tujuan dalam hidup dan suatu pemahaman akan kebaradaan diri di antara alam semesta” (dalam Healy (2005, p. 83). Dalam perspektif eksistensialis-humanis, pencarian makna dan tujuan hidup menjadi tema sentral untuk mengatasi kondisi existential frustration dan existential vacuum yang dapat menyebabkan noogenic neurosis atau noetic neurosis. Gejala dari frustrasi atau kekosongan eksistensial tersebut dapat berupa depresi, kecemasan, agresi, kecanduan, atau perilaku neurotik lain. Frankl menawarkan pendekatan Logoterapi untuk menemukan makna yang unik bagi setiap individu (Frankl, 1992; 2004). Bastaman (1994), sebagai salah satu penganut utama Frankl di Indonesia, mengusulkan tiga nilai, yaitu nilai-nilai kreatif, eksperiensial, dan sikap, untuk menemukan makna hidup (the meaning of life) atau membuat hidup ini penuh makna
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
260
(meaningful life). Bastaman (1996) juga menekankan pentingnya iman dan takwa agar setiap individu tetap optimis dalam menghadapi hidup, mensyukuri segala nikmat dan kebaikan yang diterima, dan tetap tabah dan sabar ketika menderita atau menerima musibah. Sebegitu pentingnya tema makna, tujuan hidup, dan pandangan atau pertanyaan tentang hidup bagi kesehatan mental, tugas dan/atau peran individu lansia terkait kategori ini perlu ditekankan. Tabel 7.9 berikut ini merinci tugas dan peran yang dimaksud.
Tabel 7.9. Kategori persoalan eksistensial dan tugas individu lansia Tema yang muncul Pandangan dan/atau pertanyaan tentang hidup
•
• • •
Individual tasks Menemukan pandangan tentang diri-sendiri dan hidup yang telah dan sedang dijalani Mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam terkait penderitaan yang dialami, mengapa nasibnya seperti ini, atau mengapa itu terjadi pada dirinya Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial tersebut Menilai sejauh mana kepuasan diri mereka dalam menjalani hidup
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
BAB 8 KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
Bagian paling akhir ini mengetengahkan kesimpulan, implikasi, dan saran atau rekomendasi. Kesimpulan lebih fokus pada hasil atau jawaban dari pertanyaan penelitian. Implikasi yang dibahas bersifat teoretis, praktis, dan kebijakan. Sementara rekomendasi yang diajukan di sini lebih bersifat praktis sebagai saran perbaikan ke depan atas kekurangan yang dijumpai di lapangan atau dalam praktik.
8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada beberapa bab sebelum ini, di sini dapat diambil sejumlah kesimpulan. Pertama, pemahaman praktisi tentang spiritualitas atau padanannya tidak jauh berbeda dari pemahaman umum, yakni terkait tentang mental, batin, batiniah, bagian yang tidak tampak, dorongan hati nurani, agama atau keagamaan, ketakwaan, akhlak, hubungan vertikal dengan Tuhan, dan juga ritual keagamaan. Dari sini dapat ditegaskan bahwa: 1. Spiritualitas yang dipahami praktisi merupakan hasil konstruksi sosial yang dibentuk oleh kultur (budaya) masyarakat Indonesia. Sebagai anak zaman (zeitgest), pemahaman mereka tidak dapat dilepaskan dari pemahaman secara umum. 2. Pemahaman seperti itu hanya menyentuh sebagian kecil pengertian universal terkait pencarian makna dan tujuan hidup. Namun dari sisi ekspresi, komponen spiritualitas yang ditunjukkan justru lebih kaya, yakni berupa ajaran dan tradisi keagamaan yang diamalkan secara individu maupun kelompok. Spiritualitas yang terekspresikan ini juga bersumber baik dari agama maupun dari luar agama. 3. Ekspresi spiritualitas yang dimaksud meliputi keterlibatan dalam kelompok agama, ibadah keseharian, keyakinan dan nilai individu, bentuk respons ketika menghadapi musibah, panutan dan sumber inspirasi, keterhubungan dengan sesama, kecemasan, dan harapan.
261 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
262
4. Spiritualitas yang ditunjukkan praktisi lebih dominan pada tingkatan praksis atau pengalaman. Spiritualitas yang dimiliki mungkin tidak mereka pahami atau definisikan, melainkan mereka hayati dan amalkan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam interaksi mereka dengan klien lansia. Penelitian ini menyebutnya sebagai ‘living spirituality’. Namun, spiritualitas yang menjadi perhatian mereka dalam praktik pelayanan sosial adalah lebih dominan spiritualitas yang berkonotasi dengan agama, baik dari sisi sumber maupun ekspresi. Kedua terkait spiritualitas praktisi di tingkat praktik. Pemahaman spiritualitas yang dipegang praktisi termanifestasi dalam empat kategori, yaitu motivasi praktisi melayani lansia, nilai dan prinsip etis, asesmen spiritual, dan intervensi spiritual. Masing-masing kategori dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Motivasi paling umum dan menonjol yang sangat dipengaruhi spiritualitas atau keagamaan praktisi adalah bahwa menolong lansia dijadikan sebagai ladang amal dalam rangka beribadah karena Allah (lillâhi ta’âlâ). Selain itu, hampir semua informan menganggap klien lansia yang dilayani layaknya sebagai orang tua atau nenek-kakek mereka sendiri. 2. Nilai dan prinsip etis yang dibicarakan sejumlah praktisi terkait dengan kecocokan spiritualitas dan agama dengan nilai dan prinsip etis profesi pekerjaan sosial. 3. Terkait asesmen spiritual, sejumlah temuan menunjukkan bahwa asesmen spiritual sangat minim dicatat oleh praktisi. Mereka juga tidak familiar dengan beberapa format asesmen spiritual yang umum di kalangan praktisi, terutama dari dunia internasional. Adapun hasil asesmen yang dilakukan umumnya hanya berupa identifikasi terhadap agama klien, praktik ibadah keseharian, dan pengetahuan atau kemampuan menjalankan ibadahnya. 4. Untuk intervensi spiritual, kebanyakan praktisi mengaku tidak menggunakan teknik khusus, tetapi hanya teknik yang standar, seperti mengingatkan, mengajak, memberi nasihat, atau mengajari klien lansia untuk sembahyang, berdoa, atau berdzikir. Sejumlah metode atau pendekatan intervensi spiritual tampaknya merupakan inisiatif dari sebagian praktisi yang dipengaruhi pengetahuan agama dan kompetensi personal yang bersangkutan. Misal,
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
263
seorang praktisi menggunakan pendekatan “wajarnya” ketika berupaya menyentil kesadaran lansia agar ingat akan usia dan masa akhir hayat. 5. Terkait upaya praktisi memahami spiritualitas lansia, asesmen dan intervensi adalah tahap penting bagi upaya memahami tersebut. Kalaupun tahap asesmen hanya mampu menggali spiritualitas lansia pada kulit luar, tahap intervensi sejatinya telah dimanfaatkan praktisi untuk memahami spiritualitas klien secara agak lebih mendalam seiring waktu dan interaksi yang makin intensif. Ketiga, spiritualitas lansia mampu tergali di antaranya melalui pengalaman hidup yang telah atau sedang dilalui. Seperti halnya praktisi, spiritualitas lansia yang kebanyakan tidak memiliki pendidikan tinggi berada di tingkatan praksis atau pengalaman. Karakteristik pengalaman spiritualitas lansia ini dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Sejumlah kategori atau tema yang dapat menggambarkan kedalaman spiritualitas mereka mencakup: keberagaamaan lansia (kegiatan dan afiliasi keagamaan serta keyakinan agama); persoalan eksistensial (pandanganpertanyaan tentang hidup dan makna/tujuan hidup); relasi atau keterhubungan (relasi, kedekatan, isolasi, dan doa); kecemasan dan harapan; dan kebutuhan spiritual (spiritual tasks/needs). 2. Kentalnya spiritualitas yang dimiliki tercermin dalam ragam komponen yang ekspresinya baik bersifat keagamaan maupun non-keagamaan. Spiritualitas mereka juga bisa bersumber dari agama maupun dari luar agama. Namun, ekspresi keagamaan dan sumber yang berasal dari agama lebih dominan. Keempat, pengalaman hidup lansia dan bagaimana mereka merespons dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Ragam pengalaman dan penderitaan hidup lansia dimaknai sebagai musibah, cobaan, takdir, atau peringatan yang diyakini akan mendatangkan hikmah atau manfaat, sebagaimana ungkapan salah satu informan, “ada musibah ada hikmah.” 2. Terhadap kemalangan yang dialami, berbagai respons positif yang bersifat spiritual ditunjukkan informan, seperti pasrah, sabar, menerima, tawakkal, bersyukur, dan berupaya mengambil hikmahnya.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
264
3. Cara memandang penderitaan atau kemalangan hidup yang dialami lansia dan bagaimana mereka merespons secara positif tersebut merupakan bentuk religious coping atau spiritual coping. Seiring keempat kesimpulan di atas di sini dapat ditegaskan bahwa masingmasing individu, baik praktisi maupun lansia, memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri bagaimana menghayati dan mengekspresikan spiritualitas. Spiritualitas mereka tentu dibentuk oleh kultur dan sistem religi dimana mereka hidup. Meski berbeda dan unik, ada kesamaan karakteristik tertentu (shared characteristics). Para ahli dari Barat telah mendefinisikan shared characteristic tersebut tentunya untuk konteks kultur masyarakatnya. Sebagai contoh, karakteristik spiritualitas yang dianggap universal adalah berupa proses pencarian akan makna dan tujuan hidup, sesuatu yang terkait dengan yang sakral atau transenden, kemudian keterhubungan antara diri dengan sesama, alam semesta, dan Tuhan. Namun untuk konteks masyarakat Indonesia, shared spirituality menurut informan praktisi dan lansia dalam penelitian ini mungkin tidak dapat mereka definisikan. Akan tetapi, spiritualitas itu dilakukan, diamalkan, dijalankan, dan dihayati dalam keseharian mereka (living spirituality). Makna hidup yang dicari masyarakat Barat, misalnya, oleh praktisi dan lansia di sini diekspresikan dalam keyakinan yang mereka nyatakan dengan ungkapan (invivo coding) “di balik ujian ada hikmah” atau “ada musibah ada hikmah.” Living spirituality dinilai sangat membentuk motivasi praktisi dalam memberikan layanan sosial bagi lansia, sehingga pada gilirannya akan memiliki dampak signifikan terhadap praktik pelayanan, terutama pada tahap asesmen dan intervensi yang berbasis spiritual. Bagi praktisi berlatar belakang pendidikan kesejahteraan sosial, pengetahuan profesi banyak membentuk wujud praktik layanan. Masalah dilema etis yang mungkin muncul terkait pemanfaatan aspek spiritual dalam praktik dapat diatasi dengan tidak terpaku pada pendekatan medikal pekerjaan sosial, namun dengan memromosikan pendekatan yang lebih inklusif bagi spiritualitas, contohnya seperti paradigma interaksional. Model layanan sosial untuk lansia dibangun berdasarkan tipologi praktisi dan lansia. Praktisi bertipe normatif hanya cocok untuk menangani lansia tipe salih atau tipe stabil dengan model asesmen formalistik dan intervensi yang bersifat direktif.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
265
Berbeda dengan tipe sebelumnya, praktisi fleksibel-kondisional dapat melakukan penanganan untuk tipe lansia pengikut dan awam. Sedangkan, tipe kearifan diri dianggap cocok memberikan layanan bagi lansia dengan tipe pengikut dan awam atau tipe semakin meningkat. Kedua tipe praktisi ini lebih cocok menggunakan model asesmen dialogis-resiprokal dan intervensi yang bersifat reflektif dimana praktisi harus memposisikan diri sejajar dengan klien lansia secara kemitraan (partnership), entah sebagai teman, cucu, atau sebagai anak. Terkait komponen spiritualitas yang relevan bagi kesehatan mental lansia, penderitaan hidup lansia yang sangat mempengaruhi kondisi mental mereka meliputi disabilitas (fisik dan karena sakit-sakitan), keterpisahan, isolasi, hubungan yang tidak baik, penderitaan hidup berkepanjangan, kematian orang-orang terdekat (loss), dan kecemasan menghadapi kematian (death anxiety) dan masa depan anak-cucu mereka. Sebagian besar tema atau komponen yang menggambarkan kedalaman spiritualitas lansia seperti telah dijelaskan di atas, secara teoretis dan hasil penelitian, memiliki kontribusi positif untuk mencapai dan memelihara kondisi mental yang baik. Dengan kata lain, spiritualitas yang sehat dan positif memiliki kontribusi bagi kesehatan mental yang positif pula. Sebagian komponen tersebut dijadikan sebagai spiritual tasks untuk masalah-masalah lansia yang memiliki dimensi spiritual. Spiritual tasks ini termasuk dalam teori perkembangan manusia dengan metafora life-span, seperti halnya teori psikososial Erikson, Havighurts, Clark dan Anderson, atau developmental tasks menurut McCormick, Kuo, dan Masten.
8.2. Implikasi Penelitian ini didesain untuk menghasilkan konstruksi tentang spiritualitas praktisi dan lansia dalam konteks pelayanan sosial. Oleh karena itu, implikasi secara teoretis atau pengetahuan, praktis, dan kebijakan di sini lebih banyak dibahas pada wilayah disiplin ilmu pekerjaan sosial.
8.2.1. Implikasi Teoretis-pengetahuan Terkait implikasi teoretis dan pengetahuan, penelitian ini mendorong praktisi dan lembaga pelayanan untuk merivisi perspektif PIE (person in environment atau individu dalam lingkungan), yakni dengan memperluas cakupan konsep individu dan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
266
lingkungan sosial dengan melibatkan konsep spiritualitas di dalamnya. Seperti diketahui bersama bahwa konsep PIE telah sekian lama menjadi panduan praktik dan ciri khas pekerjaan sosial. Bahkan menurut Robbins, Chatterjee, dan Canda (2008), konsep yang berasaskan perspektif ekologis ini telah menjadi semacam meta-teori bagi praktik pekerjaan sosial. Meskipun dianggap sulit, sejumlah ahli menyarankan untuk memasukkan spiritualitas ke dalam perspektif PIE (Lee et al., 2009). Sebagian ahli bahkan telah berupaya mengintegrasikan spiritualitas ke dalam konsep PIE. Dengan perspektif spiritualitas, Zapf (2007), misalnya, mengusulkan agar memperluas cakupan individu dan lingkungan. Menurutnya, dengan konsep spiritualitas, wilayah individu tidak hanya berpusat pada diri, namun diperluas ke arah hubungan antar individu atau individu dengan lingkungan. Sementara konsep lingkungan harusnya tidak terbatas hanya pada lingkungan sosial, namun diperluas hingga mencakup alam semesta. Dengan teori transpersonal, Canda dan Furman (2010) juga turut merekomendasikan bahwa individu seharusnya tidak terbatas hanya pada ego dan lingkungan tidak hanya berupa sekelompok hubungan sosial yang terbatas. Namun, konsep keduanya harus direvisi dimana kebutuhan individu diperluas menjadi kebutuhan akan transendensi diri dan misi sosial pekerjaan sosial tentang dukungan sosial dan keadilan diperluas menjadi keharmonisan dan keadilan global bagi alam semesta. Sejumlah lansia yang menjadi informan penelitian ini memiliki potensi konsep diri yang dapat diperluas. Mereka telah menunjukkan kemampuan adanya transendensi diri ketika mengalami serangkaian kemalangan dalam hidup, seperti penderitaan tak berujung, penyakit, atau disabilitas karena faktor penuaan. Mereka menganggap penderitaan tersebut sebagai musibah, cobaan, peringatan, atau takdir yang harus diterima dengan sabar, tawakkal, dan bahkan harus disyukuri. Transendensi diri juga telah mereka tunjukkan dengan sikap tidak menginginkan halhal lebih di sisa akhir hidupnya. Dengan kata lain, mereka telah selesai dengan dirinya atau kebutuhan dirinya. Sementara, potensi konsep lingkungan yang dapat diperluas ditunjukkan dari tema keterhubungan yang tidak hanya dengan orang-orang sekitar yang berinteraksi, keluarga atau kerabat yang masih berkunjung, dan dengan mereka yang masih hidup. Akan tetapi, hubungan secara batin masih mereka jaga melalui doa untuk keluarga
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
267
yang sudah tidak pernah bertemu dan berkunjung atau hubungan menerus dengan orang-orang tercinta yang telah tiada (continuing bonds). Selain itu, hubungan vertikal dengan Tuhan juga merupakan bukti adanya potensi konsep lingkungan yang lebih jauh melampaui konsep lingkungan sosial yang sempit. Implikasi berikutnya adalah bahwa penelitian ini dapat berkontribusi terhadap pengembangan pengetahuan, dari sisi teori maupun metodologi. Dengan grounded theory, konsep tentang spiritualitas praktisi dan lansia tergali secara indigenous. Model pelayanan sosial untuk lansia (asesmen dan intervensi) yang sensitif secara spiritual dan khas masyarakat Indonesia juga terbangun. Sedangkan dari sisi metodologis, penggunaan strategi grounded theory dan program NVivo7 untuk analisis data kualitatif, yang masih langka digunakan dalam disiplin Ilmu Kesejahteraan Sosial, khususny di Indonesia, juga akan sangat bermanfaat bagi penelitian mendatang. Pada intinya, penelitian ini dapat menjadi rintisan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang bertujuan memperbaiki pelayanan sosial bagi lansia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Penelitian dengan grounded theory ini berhasil mengonstruksi teori tentang spiritualitas praktisi dan spiritualitas lansia dalam konteks pelayanan sosial lansia. Hasil konstruksi ini juga telah diupayakan didialogkan, seperti pada bagian pembahasan (Bab 6 dan 7), dengan penelitian atau teori yang relevan yang sebagian besar berasal dari Barat. Di situ tampak bahwa sejumlah model dan sintesis yang diajukan tetap menampakan warna atau perspektif dari Barat, namun substansi atau materi tetap merupakan “perasan” hasil eksplorasi terhadap lokalitas Indonesia. Dengan demikian, tidak berlebihan apabila tipe transformasi pekerjaan sosial yang cocok untuk konteks tersebut berupa perpaduan antara indigenisasi menurut Midgley (1981) dan otentisisasi (authenticization) atau ta’shîl menurut Ibrahim Ragab (dalam Walton & Nasr, 1988; Al-Krenawi & Graham, 2009). Indigenisasi merupakan satu prinsip dalam pendekatan pragmatis yang diusulkan Midgley (1981) untuk penerapan pekerjaan sosial yang khas bagi Dunia Ketiga. Prinsip ini mengacu pada ketepatan atau kecocokan (appropriateness) peran-peran pekerjaan sosial profesional dan pendidikan profesi tersebut (Midgley, 1981, p. 170) atau bisa juga sebagai upaya atau proses “mengadaptasikan gagasan impor agar sesuai dengan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
268
kebutuhan lokal,” sebagaimana dimaknai oleh Shawky (1973), seperti dikutip Walton dan Nasr (1988, p. 148) dan Gray, Coates, dan Bird (2008, p. 5). Sementara, otentisisasi yang diusulkan Ragab, seperti dikutip Al-Krenawi & Graham (2009, p. 6), berarti ”kembali ke akar atau asal untuk mencari petunjuk, untuk mengembalikan kemurnian atau orisinalitas, atau untuk menjadi asli.” Untuk konteks praktik pekerjaan sosial di Indonesia saat ini, khususnya terkait isu spiritualitas dalam pelayanan sosial lansia, tampaknya masih berada pada tahap awal, yakni fase transmisi, menurut kerangka tiga fase yang dibuat oleh Walton dan Nasr (1988). Menurut menurut Walton & Nasr (1988), fase ini kurang lebih sama dengan tipe tradisional menurut Ragab, dimana pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial masih dicangkokkan dan upaya indigenisasi lebih dominan ketimbang autentisasi. Namun demikian, melalui hasil penelitian dan model atau konsep yang terbangun, penelitian ini mendorong agar proses transformasi diupayakan menapaki pada fase kedua dimana proses indigenisasi dan autentisisasi sudah mulai berimbang. Fase kedua atau “tahap indigenisasi” merupakan tanggapan balik atas kurang efektifnya imitasi pekerjaan sosial model Barat di negara-negara berkembang. Para pendukungnya meyakini bahwa pendekatan dan filosofi dasar pekerjaan sosial memang sangat berguna, namun perlu dimodifikasi berdasarkan relevansinya dengan nilai, kebutuhan, dan masalah masyarakat negara berkembang. Artinya, spiritualitas praktisi dan lansia memang merupakan materi lokal, namun baik metodologi grounded theory dan perspektif spiritualitas yang digunakan dalam penelitian ini masih berasal dari Barat. Keterbatasan ini menyebabkan upaya untuk menciptakan indigenous social work atau mencapai tahap ketiga autentisisasi, khususnya spiritualitas untuk kesehatan mental lansia, masih terbatas dan butuh waktu.
8.2.2. Implikasi Praktis Implikasi pertama yang bersifat praktis adalah terkait orientasi praktik yang hanya bersifat problem-solving dan pemenuhan kebutuhan. Tahap asesmen dalam praktik pekerjaan sosial generalis masih berorientasi pada penyelesaian masalah (problem-solving), bukan untuk memahami individu lansia secara utuh. Hal ini juga dilakukan ketika praktisi mencoba melakukan asesmen terkait isu-isu spiritualitas
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
269
lansia (atau dari sisi ekspresinya). Penggunaan deficit-model dalam menerapkan praktik yang sensitif secara spiritual malah dapat menghasilkan pemahaman yang tidak utuh terhadap individu lansia. Potensi atau kekuatan spiritual, seperti sistem kepercayaan, keyakinan, nilai, ritual, harapan, cinta, perasaan dicintai dan dihargai, keterhubungan, dan seterusnya, sulit tergali ketika melakukan asesmen hanya pada masalah spiritual yang sedang menimpanya. Padahal segala potensi tersebut bisa menjadi modal berharga tidak saja ketika lansia ada masalah, tetapi juga dapat menumbuhkan kematangan spiritualnya demi memperoleh kualitas hidup yang baik di hari tua. Dengan demikian, praktik berorientasi problem-solving harus diubah menjadi praktik yang berorientasi pada kekuatan (strength-based), dimana aspek spiritual tercakup di dalamnya. Dalam penanganan kesehatan mental, sudah seharusnya pekerjaan sosial mengambil penekanan pada sisi kekuatan klien, sebagai ciri model interaksional. Dalam sejarah, model ini memang menjadi perspektif pekerjaan sosial sebagai jalan yang berbeda dari model medikal. Selain itu, bersama dengan perspektif yang menekankan kekuatan berbagai aspek, praktik pekerjaan sosial yang holistik dengan pendekatan atau model biopsikososial-spiritual sangat penting untuk dipromosikan. Implikasi berikutnya adalah terkait tentang living spirituality, yang telah menjadi konsep sentral model pelayanan sosial yang sadar spiritual dalam penelitian ini. Living spirituality yang dimiliki para praktisi termanifestasi dalam sejumlah komponen, seperti afiliasi dan praktik keagamaan, keyakinan dan nilai, konsep “di balik ujian ada hikmah”, dan sejumlah komponen penting lain. Spiritualitas mereka juga tercermin ketika mereka memberikan praktik layanan bagi lansia. Motivasi memberikan pertolongan, sebagai salah satu wujud spiritualitas, juga berdampak ketika praktisi melakukan asesmen dan intervensi yang bersifat spiritual, sebagai bagian dari upaya praktisi untuk memahami spiritualitas yang dimiliki lansia. Dengan demikian, sebagai implikasi praktisnya, living spirituality yang dimiliki praktisi dapat menjadi dasar bagi model pelayanan sosial berbasis spiritual yang skemanya tampak pada Gambar 8.1 halaman berikut.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
270
Intervensi spiritual Praktik profesional pekerjaan sosial
Asesmen spiritual
Praktik layanan
Motivasi melayani klien lansia Afiliasi & praktik keagamaan
Komponen spiritualitas lain
Living spirituality Keyakinan & nilai
“Di balik ujian ada hikmah”
Gambar 8.1 Kategori penting dalam pelayanan sosial lansia berbasis spiritual
Selanjutnya, implikasi praktis yang patut dibahas di sini terkait kompetensi praktisi yang dibutuhkan untuk menjalankan model pelayanan sosial lansia yang sadar spiritual. Kompetensi yang dimaksud berupa penguasaan terhadap tiga struktur bangunan disiplin profesi pekerjaan sosial, yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan nilai (values). Beberapa kompetensi dasar memang harus dimiliki, seperti kemampuan melakukan komunikasi yang baik dan efektif, empati, dan simpati. Namun ada sejumlah kompetensi yang dipandang penting bagi praktisi yang hendak menangani klien dengan pendekatan spiritual. Dari sisi pengetahuan, praktisi selayaknya: paham tentang keagamaan dan spiritualitas secara umum; mengetahui dan memahami ragam kultur dan adat-istiadat yang ada di Indonesia, meski tidak harus detail dan mendalam; mengetahui ajaranajaran agama lain secara umum akan menjadi nilai tambah tersendiri; memahami juga paham multikulturalisme, meski tidak harus mendalam, namun paham tentang pluralisme bisa jadi akan memberi lebih banyak manfaat; dan memahami kemungkinan-kemungkinan timbulnya dilema etis terkait penggunaan spiritualitas. Kemudian dari sisi keterampilan, praktisi harus memiliki: penalaran (reasoning atau penggunaan commonsense) dan logika yang baik; punya kemampuan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
271
mendengarkan klien lansia (a good listener) ketika mereka bercerita atau berkeluhkesah dan, bahkan, tidak menuntut banyak bicara karena terlalu banyak bicara malah harus dihindari; kemampuan bekerja sama secara tim atau multidisiplin, terus-terusmenerus, dan intensif; kemampuan bagaimana mengantisipasi dan mengatasi dilema etis yang mungkin timbul terkait penggunaan aspek spiritual; dan mampu dan cukup berani membuat keputusan ketika muncul dilema etis dengan mempertimbangkan berbagai resiko, yang di antaranya memakai prinsip memilih yang paling ringan mudaratnya (berupaya mendapatkan manfaat besar dengan mengambil resiko sekecil mungkin). Selain berbagai kemampuan tersebut, praktisi juga harus menyadari batas kemampuan diri dan ketika sudah di luar kapasitas atau kompetensinya, maka harus dikonsultasikan atau dirujukkan ke pihak lain (praktisi atau lembaga) yang lebih berwenang atau lebih berpengalaman. Berikutnya adalah kreatif, inisiatif, dan inovatif untuk melakukan asesmen dan intervensi; punya orientasi asesmen tidak hanya menggunakan model diagnostik patologis, tetapi berupaya memahami klien secara utuh, terutama potensi dan kekuatannya; dan berorientasi intervensi tidak sekadar problem-solving, tetapi juga pertumbuhan spiritualitas lansia (spiritual growth). Skill lain yang tidak kalah penting adalah ketika menghadapi lansia yang pasang susuk dan yang menghadapi kematian. Untuk menghadapi lansia yang pernah pasang susuk dan belum sempat dicabut, praktisi harus punya kemampuan menggali dengan pendekatan tertentu yang efektif namun tidak sampai menyinggung perasaan mereka. Namun, ini bukan berarti praktisi harus memiliki kemampuan indera ke-6, karena kemampuan semacam ini lebih banyak sebagai pemberian (given), meski bisa dipelajari. Terakhir, untuk praktisi yang didelegasikan untuk menangani lansia yang sedang menghadapi kematian (dying, sakrotul maut) harus punya bekal atau kemampuan dengan mental yang kuat untuk mendampingi dan kemampuan menjalankan ritual keagamaan, seperti membacakan Surat Yasin, menuntun membaca syahadat, kalimat Tahlil, atau asma Tuhan, namun apabila tidak mampu diserahkan ke ustadz/ahli agama. Terakhir tentang kompetensi terkait nilai, setiap praktisi yang melakukan penanganan secara spiritual harus memiliki sifat penyayang, penuh perhatian, dan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
272
tidak judes/galak; berpikiran terbuka (open-minded) dan inklusif atau tidak picik; bersikap respek dan toleran terhadap perbedaan dan kemajemukan (dari sisi agama, keyakinan, aliran, madzhab, golongan, etnis, suku, ras, adat, kultur, dan lain-lain); tidak mudah menghukumi (judging) atau menyalahkan orang lain terkait benar atau salah, atau tidak mengklaim kebenaran secara sepihak di depan klien (truth claim); dan punya kepekaan (sensitivitas) terhadap sisi-sisi spiritualitas klien, baik yang bersumber dari agama maupun luar agama. Kompetensi nilai yang terakhir ini dapat terkait dengan kemampuan semacam sensory spiritual atau to sensitize spirituality.
8.2.3. Implikasi Kebijakan Isu yang tercakup dalam penelitian ini meliputi spiritualitas, kesehatan mental, dan lansia. Sejumlah UU bisa menjadi landasan pijak bagi penanganan kesehatan mental lansia, yaitu UU Kessos 2009, UU Kesejahteraan Lansia 1998, UU Kesehatan 2009, dan UU Kesehatan Jiwa 2014. Kondisi kejahteraan atau kesejahteraan sosial, kesehatan, dan kesehatan jiwa sebagai tujuan utama penanganan, seperti didefinisikan dalam keempat UU ini, semuanya melibatkan aspek spiritual, bersama beberapa aspek lain, seperti fisik, mental, dan sosial. Namun demikian, baik di dalam UU itu sendiri ataupun berbagai aturan penjelasnya, aspek spiritual seringkali disamakan dengan aspek religius atau agama. Bahkan, istilah ini sering disilihgantikan dengan aspek mental dan psikologis. Akibatnya, pemahaman terhadap aspek ini menjadi tampak ambigu karena terkesan punya makna serupa dengan aspek mental-psikologis. Selain itu, aspek spiritual juga kurang mendapat penekanan dan sering tenggelam karena dominasi model pendekatan medikal dan psikososial yang lebih fokus pada aspek fisik atau biologis, psikologis, dan sosial. Dari uraian tersebut, kajian tentang spiritualitas dan konstruksi spiritual menurut praktisi dan lansia dalam penelitian ini dapat menjadi referensi tambahan untuk memperjelas makna aspek spiritual dan/atau spiritualitas dan membedakannya dengan aspek religius, agama, mental, atau psikologis. Selain itu, sejumlah pedoman dalam bentuk petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), yang menjelaskan aspek spiritual pada UU Kessos atau UU Kesejahteraan Lansia, patut diperkaya berbagai teori, kajian, dan hasil penelitian. Hasil penelitian dan usulan
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
273
model dalam penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber masukan. Tinjauan literatur dalam penelitian ini juga dapat menjadi sumber informasi yang kaya bagi perbaikan pedoman semacam itu. Implikasi kebijakan berikutnya berupa pengarusutamaan (mainstreaming) spiritualitas dalam pelayanan sosial lansia melalui konsep penuaan aktif (active ageing) yang dipromosikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk semua negara. Selain kesehatan, spiritualitas merupakan satu di antara sejumlah aspek penting yang ikut dilibatkan dalam konsep active ageing. Menurut Kalache dan Kickbush (1997), seperti dikutip WHO (2002), konsep ini lebih inklusif dibanding konsep serupa yang dipromosikan WHO, yakni healthy ageing. Menurut WHO (2002), aktif dalam konsep tersebut juga diartikan sebagai kontinyuitas partisipasi lansia dalam segala apek kehidupan, seperti sosial, ekonomi, budaya, dan spiritual. Partisipasi merupakan satu dari tiga pilar utama dalam konsep active ageing, sementara dua yang lain berupa kesehatan dan keamanan (p.45). Partisipasi juga menjadi salah satu prinsip dalam konsep ini bersama beberapa prinsip lain, seperti hak azasi, independensi, harkat-martabat, kepedulian, dan pemenuhan diri (p. 13). Konsep penuaan aktif memiliki tujuh determinan yang saling berjalin dan berkelindan, yakni sosial, ekonomi, layanan kesehatan dan sosial, perilaku, personal, dan fisik. Sementara determinan ketujuh yang berupa kultur dan gender merupakan determinan penting yang melingkupi dan menjadi konteks bagi enam determinan lain (p.19). Dimasukkannya aspek spiritual ke dalam konsep active ageing selaras pula dengan adanya pergeseran pendekatan untuk penanganan lansia pada dekade 1990an. Pergeseran yang dimaksud yakni dari pendekatan berbasis kebutuhan (“needsbased” approach) menuju pendekatan berbasis hak (“rights-based” approach) (Kalache & Kickbush, 1997 dalam WHO, 2002; Chong et al., 2006). Dengan demikian, konsep active ageing beserta pendekatan berbasis hak tersebut dapat dijadikan dasar untuk mendorong pemangku kepentingan, khususnya pemerintah, agar lebih serius melibatkan aspek spiritual dalam memberikan pelayanan sosial untuk mewujudkan keseimbangan hidup lansia. Alasannya, di samping aspek ini jelas-jelas tercakup dalam konsep active ageing, spiritualitas yang dimiliki lansia merupakan hak yang harus dihormati dan dipenuhi dalam layanan.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
274
Selain itu, pemenuhan kebutuhan spiritual lansia juga dapat diakomodasi melalui prinsip pemenuhan diri. Lebih jauh lagi, determinan kultur juga dapat dijadikan legitimasi agar spiritualitas tercakup dalam sistem pelayanan sosial dan kesehatan bagi lansia, karena pengertian kultur juga mencakup aspek spiritual.
8.3. Rekomendasi Sebagai bagian terakhir, penelitian ini merekomendasikan beberapa hal yang dianggap penting untuk perkembangan disiplin ilmu pekerjaan sosial di tanah air. Pertama, lembaga-lembaga penyedia layanan untuk lansia secara umum menerapkan praktik generalis pekerjaan sosial dimana setiap tahapan dilengkapi beragam blangko atau formulir yang mencatat segala informasi tentang klien, baik sebelum maupun pada saat di panti. Namun sebagian panti tidak terlalu lengkap dari sisi blangko di tiap tahapan, sementara sebagian yang lain dapat dikatakan lumayan lengkap, namun tidak sedikit yang ternyata praktisi tidak mengisi atau melengkapi ragam blangko yang ada. Terkait dengan spiritualitas atau agama klien, catatan yang ada lebih bersifat formalitas atau keagamaan secara ekstrinsik. Oleh karena itu, penelitian ini menyarankan agar spiritualitas dan/atau keagamaan intrinsik mereka dieksplorasi secara lebih mendalam. Catatan tentang biografi lansia juga sebaiknya melibatkan sejarah spiritualitas (spiritual history) atau sejarah afiliasi keagamaan mereka. Selain itu, perlu ada satu blangko yang dinilai cukup penting diadakan yaitu semacam blangko wasiat atau blangko keinginan dan harapan. Tujuan adanya blangko ini adalah untuk mengantisipasi banyak klien lansia yang menyimpan rahasia ataupun keinginan yang tak tersampaikan yang seringkali memiliki sangkut-paut dengan ahli waris/kerabat dan juga keinginan tertentu selepas kematiannya kelak (settling affairs). Blangko seperti ini bisa diisi sendiri oleh klien ataupun (dibantu) oleh praktisi. Kedua, lansia yang tinggal dan memperoleh layanan di panti pasti mengalami banyak perubahan hidup. Perubahan yang mereka alami, sebagaimana dalam hasil penelitian ini, misalnya berupa perubahan suasana, kebiasaan, kegemaran, hobi, peran dan tanggung jawab, relasi, dan sebagainya. Perubahan tersebut sebagian besar bersifat spiritual, sehingga harus diantisipasi dan difasilitasi oleh para praktisi, tidak hanya mengandalkan kemampuan penyesuaian diri (adjustment) yang dimiliki klien.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
275
Berbagai kegiatan atau bimbingan untuk mendukung adjustment lansia memang telah dilakukan, namun kebanyakan hanya berupa rutinitas kurang makna. Kebanyakan praktisi juga melakukannya secara mekanis yang kurang sadar secara spiritual. Sebagai contoh, praktisi memang membantu memfasilitasi klien lansia dalam penyaluran hobi atau kreativitas, akan tetapi mereka kurang sadar atau mungkin tidak tahu bahwa kegiatan menyalurkan hobi atau bakat yang dulu mungkin biasa dilakukan lansia sangatlah penting dan bermakna apabila dilakukan kembali saat ini, tidak hanya sekadar mengisi waktu. Karena melalui penyaluran itu, klien lansia merasa ada sesuatu yang berguna yang masih bisa mereka lakukan. Ada pemaknaan tertentu di balik aktivitas tersebut dan, dengan begitu, mereka merasa ada dan dihargai. Pemaknaan terhadap sesuatu dan merasa ada itu bersifat eksistensialspiritual. Jadi, intinya terletak pada orientasi dan intensi praktisi dalam memberikan bimbingan penyaluran hobi. Ketiga, dalam pelayanan home care, perlu ada upaya pembagian peran pendamping dengan berbagai tipe, sebagaimana dihasilkan penelitian ini yaitu tipe normatif, kondisional atau fleksibel, dan kearifan diri. Pembagian peran berdasarkan tipologi praktisi tersebut tentu saja harus disesuaikan dengan karakteristik dari semua pendamping yang ada. Meskipun kebetulan lembaga home care yang diteliti memiliki ketiga tipe praktisi, rekomendasi ini tetap relevan diajukan untuk lembagalembaga berbasis komunitas yang lain. Keempat, lembaga panti dan home care memang berbeda dari sisi setting tempat lansia hidup dan tinggal, fasilitas, kelembagaan, syarat menjadi klien, tujuan pelayanan, pendanaan, tatanan sosial, nilai dan norma, dan lain-lain. Masing-masing tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Dilihat dari sisi tujuannya, panti hanya menampung lansia yang telantar atau keluarga dan kerabatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka. Dengan kata lain, panti di Indonesia merupakan pilihan terakhir dan menjadi semacam jaring pengaman untuk mereka yang dikhawatirkan tidak mampu bertahan apabila dibiarkan hidup di tengah masyarakat tanpa penanganan khusus. Jadi, lembaga panti sejatinya tidak saja berfungsi untuk memenuhi berbagai kebutuhan klien, namun juga hendak mengondisikan lansia layaknya hidup normal dan seimbang secara sosial. Kehidupan yang normal secara sosial ini sebenarnya
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
276
merupakan kelebihan dan potensi yang dimiliki pelayanan home care, karena sebelum menjadi klien para lansia sudah hidup dengan kelebihan dan potensi tersebut, yang tidak dimiliki oleh lansia yang menjadi klien panti. Alasan diadakannya layanan home care bagi lansia di antaranya adalah untuk melengkapi kebutuhan-kebutuhan tertentu yang masih kurang. Dengan demikian, untuk pengembangan di masa depan, panti perlu diatur sedemikian rupa sehingga kondisinya menyerupai suatu komunitas dimana setting lingkungan panti diatur seperti layaknya sebuah masyarakat kecil. Di sana ada pembagian peran dan tanggung jawab, berbagai kegiatan atau bimbingan diselenggarakan dengan cara tertentu sehingga menciptakan interaksi dan keterhubungan yang natural dan bermakna, pembentukan keluarga baru, dan seterusnya. Selanjutnya sistem pelayanan yang disediakan juga menyerupai layanan home care dengan batasan tertentu. Kelima, unsur spiritualitas dan juga agama perlu dieksplisitkan dan dirinci dalam kode etik profesi pekerjaan sosial. Seperti telah dijelaskan dalam Bab Pendahuluan, kode etik IPSPI tidak menyebut secara eksplisit istilah agama dan/atau spiritualitas, apalagi rincian penjelasannya. Pasal 16 yang mendorong profesi ini menghormati keanekaragaman budaya tidak cukup kuat menjadi legitimasi bahwa aspek penting tersebut telah dilibatkan. Selain itu, rasa hormat terhadap keragaman budaya tidaklah sama dengan kompeten secara kultural atau sensitif spiritual/agama. Keenam, spiritualitas menjadi isu sentral dalam penelitian ini dan dalam praktik pekerjaan sosial, spiritualitas untuk masyarakat Indonesia dapat diposisikan baik sebagai jantung atau inti dari pelayanan (the heart of helping) maupun sebagai satu dari sejumlah aspek penting dalam pelayanan. Meskipun dinilai sebegitu penting, spiritualitas harus diposisikan secara seimbang dan proporsional. Keseimbngan antar berbagai aspek yang relevan adalah kata kuncinya. Terlebih lagi dalam penelitian ini dijumpai tipe praktisi maupun klien lansia yang cukup bervariasi, yang tidak semua menganggap aspek ini di atas segalanya. Tipe praktisi dan klien, konteks masalah, dan kondisi yang melingkupi harus betul-betul dipertimbangkan. Dengan demikian, ketika pada kondisi tertentu spiritualitas dianggap tidak relevan, sangat tidak bijak apabila aspek ini dipaksakan harus dilibatkan dalam pelayanan. Hal ini agar tidak sampai terjebak pada “spiritualisasi”
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
277
dalam pekerjaan sosial, seperti halnya kekeliruan di masa lalu melalui upaya “psikologisasi” dalam pertolongan profesional, meski hal ini mungkin kurang disadari. Ketujuh, seperti telah diuraikan pada temuan dan pembahasan hasil penelitian, spiritualitas lansia dipandang cukup signifikan bagi kondisi mental yang baik. Di sisi yang lain, praktisi memiliki living spirituality, namun tidak banyak diekspresikan dalam interaksi dengan lansia. Sejauhmana living spirituality yang dimiliki praktisi dipraktikkan bergantung pada itikad dan kemampuan personal, sementara pengaruh atau dampak dari pendidikan dan/atau pelatihan tidak begitu kelihatan. Terkait dengan hal ini, tampaknya materi spiritualitas dan agama dalam pekerjaan sosial penting untuk ditambahkan dalam kurikulum pendidikan formal dan diklat (pendidikan dan pelatihan) kesejahteraan sosial. Kedelapan, model spiritualitas lansia yang dihasilkan di sini hanya menggambarkan spiritualitas klien lansia yang mendapat pelayanan sosial, baik di lembaga panti maupun non-panti. Tampaknya sangat perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang spritualitas lansia secara umum di luar konteks pelayanan sosial dengan metode serupa (grounded theory). Salah satu tujuannya adalah untuk perbandingan dan juga untuk memperluas gambaran lansia Indonesia. Selanjutnya, penelitian lebih jauh terhadap hubungan antara spiritualitas dengan lansia yang mengalami berbagai masalah kesehatan mental secara lebih spesifik juga sangat direkomendasikan. Misalnya lansia dengan penyakit kronis, kehilangan pasangan atau orang terdekat, kecemasan, depresi, atau gangguan kesehatan mental lain. Terakhir, kajian spiritualitas ini merupakan upaya untuk menangkap realitas di ranah pemahaman dan pengalaman manusia. Dengan pendekatan kualitatif dan metode grounded theory, sesuatu yang tidak tampak (intangible) berupa data kualitatif tersebut kemudian dianalisis dan diperas hingga menghasilkan sejumlah konsep atau kategori penting yang seakan-akan menjadi tampak (tangible). Dengan demikian, konsep atau kategori penting ini dapat dijadikan sebagai variabel untuk penelitian lanjutan dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif mengenai spiritualitas dalam domain pekerjaan sosial, khususnya direct practice, sangat diperlukan karena akan memberikan gambaran secara kuantitatif yang dapat
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
278
digeneralisasi untuk konteks Indonesia. Apalagi sampai saat ini, angka masih dianggap keramat bagi kebanyakan orang, termasuk dalam penelitian.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
DAFTAR REFERENSI
306.621 Warga DKI Sakit Jiwa (2011, 10 Oktober). 10 November 2011. http://megapolitan.kompas.com/read/2011/10/10/13050483/306.621.Warga.D KI.Sakit.Jiwa ADB (2011). Asian Development Outlook 2011 Update: Preparing for Demographic Transition. Philippines: Asian Development Bank. Adi, I.R. (2013). Kesejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan). Jakarta: Rajawali Pers. Agustina, N. (2002). Permasalahan dan Akses Kesehatan Lansia. Jurnal Perempuan 25, 7-18. Al-Krenawi, A. dan Graham, J. R. (2009). Helping Professional Practice with Indigenous Peoples: The Bedouin-Arab Case. Maryland: University Press of America, Inc. Allan, J. (2005). The Role of Meaning Construction in Living with Grief. Dalam T. Heinonen & A. Metteri (Eds.). Social Work in Health and Mental Health: Issues, Developments, and Actions (pp. 282-99). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc. Allport, G. W. (1992). Preface. Dalam Viktor E. Frankl. Man’s Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy. 4th Edition. (Use Lasch, Penerjemah). Boston: Beacon Press, pp. 7-10. Altmaier, E.M. (2011). Best Practices in Counseling Grief and Loss. Finding Benefit from Trauma. Journal of Mental Health Counseling, 33 (1), 33-45. Andayani (2010). Signifikansi Spiritualitas dan Praktek Pekerjaan Sosial. Dalam S. Syamsuddin & A. Jahidin (Eds.), Antologi Pekerjaan Sosial (pp. 37-47). Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Arifianto, A. (2006). Public Elderly Towards the Elderly in Indonesia: Current Policy and Future Directions. SMERU. Arnold, E.M. (2009). Konseling dan Pengasuhan Akhir Kehidupan: Asesmen, Intervensi, dan Isu Klinis. Dalam A.R. Roberts & G.J. Greene (Eds.), Buku Pintar Pekerja Sosial Jilid 2 (Social Workers’ Desk Reference) (pp. 176-91). (Juda Damanik & Cynthia Pattiasina, Penerjemah). Jakarta: Gunung Mulia. Atchley, R.C. (1997). Everyday Mysticism: Spiritual development in Later Adulthood. Journal of Adult Development 4 (2), 123-134. Atchley, R.C. (2008). Spirituality, Meaning, and the Experience of Aging. Generations 32 (2), 12-16. Awas, Makin Banyak Orang Sakit Jiwa! (2008, 9 Juli). 8 Oktober 2011. http://health.kompas.com/read/2008/07/09/19571595/Awas.Makin.Banyak.Or ang.Sakit.Jiwa Babbie, E. (1998). The Practice of Social Research. 8th Edition. USA: Wadsworth Publishing Company. Bagus, L. (2000). Kamus Filsafat. Cetakan kedua. Jakarta: Gramedia. Barker, S.L. (2008). How Social Work Practitioners Understand and Utilize Spirituality in the Practice Context. Tidak dipublikasikan. Dissertation at Case Western Reserve University. Baskin, C. (2007). Circles of Resistance: Spirituality and Transformative Change in Social Work Education and Practice. Dalam J. Coates, J.R. Graham, B.
279 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
280
Swartzentruber, & B. Ouellette (Eds.). Spirituality and Social Work: Selected Canadian Readings (pp. 191-204). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc. Bastaman, H.D. (1994). Dimensi “Spiritual” dalam Teori Psikologi Kontemporer: Logoterapi Viktor E. Frankl. Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, V (4), 14-21. Bastaman, H.D. (1996). Makna Hidup Bagi Manusia Modern: Tinjauan Psikologis. Dalam Muhamad Wahyuni Nafis (Ed.). Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Cetakan I. Jakarta: Penerbit Paramadina. Bastaman, H.D. (2007). Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Berg, B. (2001). Qualitative Research Methods for the Social Sciences. 4th Edition. Toronto: Allyn and Bacon. Bergin, A.E. (1994). Psikoterapi dan Nilai-Nilai Religius. Terj. M. Darmin Ahmad dan Afifah Inayati. Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, V (4), 4-6. Bookman, A. & Kimbrel, D. (2011). Families and Elder Care in the Twenty-First Century. The Future of Children, Vol. 21, No. 2, 117-140. BPS (n.d.), Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1995, 2000 dan 2010. 25 Januari 2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1& id_subyek=12¬ab=1 Brennan, M., Laditka, S.B., & Cohen, A. (2005). Postcards to God: Exploring Spiritual Expression Among Disabled Older Adults. Dalam H.R. Moody (Ed.), Religion, Spirituality, and Aging: A Social Work Perspective (pp. 20322). New York: The Haworth Social Work Practice Press. Bryman, A. (2008). Social Research Methods. 3rd Edition. New York: Oxford University Press. Canda, E. R. (1986). A Conceptualization of Spirituality for Social Work: Its Issues and Implications. Tidak dipublikasikan. Dissertation at Ohio State University. Canda, E. R., Nakashima, M. dan Furman, L. D. (2004). Ethical Considerations about Spirituality in Social Work: Insights from a National Qualitative Survey. Families in Society, 85 (1), 27-35. Canda, E.R. & Furman, L.D. (1999). Spiritual Diversity in Social Work Practice: The Heart of Helping. New York: The Free Press. Canda, E.R. & Furman, L.D. (2010). Spiritual Diversity in Social Work Practice: The Heart of Helping. 2nd Edition. New York: Oxford University Press, Inc. Canda, E.R. (2003). Heed Your Calling and Follow It Far: Suggestions for Authors Who Write about Spirituality or Other Innovations for Social Work. Families in Society, 84 (1), 80-5. Cardona, B. (2008). ‘Healthy Ageing’ Policies and Anti-Ageing Ideologies and Practices: On the Exercises of Responsibilities. Med Health Care and Philos 11, 475–483. Charmaz, K. (2004). Grounded Theory. Dalam S.N. Hesse-Biber & P. Leavy (Eds.), Approaches to Qualitative Research: A Reader on Theory and Practice (pp. 496-521). New York & Oxford: Oxford University Press. Charmaz, K. (2006). Constructing Grounded Theory: A Practical Guide through Qualitative Analysis. London: Sage Publication. Cherry, A. (2000). A Research Primer for the Helping Professions: Methods, Statistics and Writing. Canada: Brooks/Cole Thomson Learning.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
281
Chong, A.ML, Ng, SH., Woo, J., & Kwan, A. YH. (2006). Positive Ageing, the Views of Middle-aged and Older Adults in Hong Kong. Ageing & Society 26, 243-65. Coholic, D. (2007). The Helpfulness of Spirituality Influenced Group Work in Developing Self-Awareness and Self-Esteem: A Preliminary Investigation. Dalam J. Coates, J.R. Graham, B. Swartzentruber, & B. Ouellette (eds.). Spirituality and Social Work: Selected Canadian Readings (pp. 111-34). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc. Cowan, J.M. (1971). Hans Wehr: A Dictionary of Modern Written Arabic. 3rd Printing London: George Allen & Unwin Ltd. Cowger, C. D. dan Snively, C. A. (2008). Mengases Kekuatan Klien. Dalam Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene (Eds.). Buku Pintar Pekerja Sosial Jilid 1 (Social Workers’ Desk Reference). Terj. Juda Damanik dan Cynthia Pattiasina. Jakarta: Gunung Mulia, pp. 107-116. Coyne, I.T. (1997). Sampling in Qualitative Research. Purposeful & Theoretical Sampling; Merging or Clear Boundaries?. Dalam Journal of Advanced Nursing, 26, 623–630. Creswell, J.W. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. 3rd Edition. California: Sage Publications, Inc. Crowther, M.R., Parker, M.W., Achenbaum, W.A., Larimore, W.L., & Koenig, H.G. (2002). Rowe and Kahn's Model of Successful Aging Revisited: Positive Spirituality--The Forgotten Factor. The Gerontologist, 52 (5), 613-20. CSWE (2008). Educational Policy and Accreditation Standards. 28 September 2012. https://www.fau.com/ssw/field-education/at-a-glance/cswe-educational-policy -and-accreditation-standards.pdf Dale, O., Smith, R., Norlin, J.M. & Chess, W.A. (2006). Human Behavior and the Social Environment: Social Systems Theory. 5th Edition. USA: Pearson Education, Inc. Denzin, N. & Lincoln, Y.S. (1994). Introduction: Entering the Field of Qualitative Research. Dalam N. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 1-17). California: Sage Publications, Inc. Denzin, N. & Lincoln, Y.S. (2003). Introduction: The Discipline and Practice of Qualitative Research. Dalam N. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 1-45). 2nd Edition. California: Sage Publications, Ltd. Denzin, N. & Lincoln, Y.S. (2004), Handbook of Qualitative Research. California: Sage Publications, Inc. Depsos (2008). Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU). Jakarta: Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Diwan, S., Balaswamy, S., & Lee, S.E. (2012). Social Work with Older Adults in Health-Care Settings. Dalam Gehlert, S. & Browne, T. (Eds.). Handbook of Health Social Work (pp. 392-425). 2nd edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. DuBois, J. (2004). Understanding Viktor Frankl’s Theory and Therapy of Mental Disorders. Dalam Viktor E. Frankl. On the Theory and Therapy of Mental Disorders: An Introduction to Logotherapy and Existential Analysis (pp. ixxliv). 8th Edition. (James M. DuBois, Penerjemah). New York dan Hove: Bruner-Routledge. Ezzy, D. (2002). Qualitative Analysis: Practice and Innovation. London: Routledge.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
282
Fahrudin, A. (2005). Spritualitas dan Agama dalam Praktek Pekerjaan Sosial: Sebuah Konsepsi. Makalah disajikan dalam Diskusi Buku Spirituality within Religious Traditions in Social Work Practice, Anjuran Instalasi Pendidikan Agama, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, 5 Desember 2005. Fahrudin, A. (2007). Day Care Services. Bahan Pembinaan dan Pemantapan Petugas yang diselenggarakan oleh Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia, Departemen Sosial RI di Hotel Satelit Surabaya, 16-19 April 2007. Fahrudin, A. (2012). Pengantar Kesejaheraan Sosial. Bandung: Refika Aditama. Favourita, L. (1998). Kebutuhan Lanjut Usia di DKI Jakarta (Suatu Studi Deskripsi). Thesis pada Universitas Indonesia. Folkman, S. & Moskowitz, J.T. (2004). Coping: Pitfalls and Promise. Annual Review of Psychology 55, 745-74. Frankl, V.E. (1992). Man’s Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy. 4th Edition. (Use Lasch, Penerjemah). Boston: Beacon Press. Frankl, V.E. (2004). On the Theory and Therapy of Mental Disorders: An Introduction to Logotherapy and Existential Analysis. 8th Edition. Terj. James M. DuBois. New York dan Hove: Bruner-Routledge. Friedman, H. Krippner, S., Riebel, L., & Johnson, C. (2011). Transpersonal and Other Models of Spiritual Development. International Journal of Transpersonal Studies, 29 (1), 79-94. Gall, T. L., Malette, J., & Guirguis-Younger, M. (2011). Spirituality and Religiousness: A Diversity of Definitions. Journal of Spirituality in Mental Health, 13 (3), 158-181. Gilbert, G. (2007). The Spiritual Foundation: Awareness and Context for People’s Lives Today. Dalam M.E. Coyte, P. Gilbert & V. Nicholls (Eds.). Spirituality, Values and Mental Health (pp. 19-44). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers. Gilgun, J.F. (1994). Hand into Glove: The Grounded Theory Approach and Social Work Practice Research. In E. Sherman & W. J. Reid (Eds.), Qualitative Research in Social Work (pp. 115-25). New York: Columbia Uiversity Press. Glaser, B.G. & Straus, A.L. (1967). The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research [Reprinted 2006]. New Brunswick & London: Aldine Transaction. Glassè, C. (1999). Ensiklopedi Islam: Ringkas. Cetakan kedua. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Gotterer, R. (2001). The Spiritual Dimension in Clinical Social Work: A Client Perspective. Families in Society, 82 (2), 187-93. Gray, M., Coates, J. dan Bird, M. Y. (2008). Introduction. Dalam Mel Gray, John Coates and Michael Yellow Bird (Eds.). Indigenous Social Work around the World: Towards Culturally Relevant Education and Practice. HampshireBurlington: Ashgate Publishing Company, pp. 1-10. Guba, E.G. & Lincoln, Y.S. (1994). Competing Paradigms in Qualitative Research. Dalam N.K. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 105-17). California: Sage Publications, Inc. Healy, K. (2005). Social Work Theories in Context: Creating Frameworks for Practice. New York: Palgrave MacMillan.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
283
Heinonen T. & Metteri, A. (2005a). Introduction. Dalam T. Heinonen & A. Metteri (Eds.). Social Work in Health and Mental Health: Issues, Developments, and Actions (pp. 1-5 ). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc. Heinonen T. & Metteri, A. (2005b). Conclusion. Dalam T. Heinonen & A. Metteri (Eds.). Social Work in Health and Mental Health: Issues, Developments, and Actions (pp. 416-21 ). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc. Hendrawan, S. (2009). Spiritual Management: From Personal Enlightenment Towards God Corporate Governance. Bandung: Penerbit Mizan. Hidayat, K. (2009). Berdamai dengan Kematian. Bandung: Hikmah. Hidayat, K. (2012). Agama Punya Seribu Nyawa. Jakarta: Noura Books Hidayat, K. (2013). Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Cetakan IV. Jakarta: Noura Books. Hinnells, J.R. (1995). The Penguin Dictionary of Religions, 2nd edition. England: Penguin Books. Hird, M. (2003). Case Study. Dalam R. Miller & J. Brewer (Eds.), The A-Z of Social Research (pp. 22-4). London: Sage Publications, Ltd. Ho, R.T.H., Chan, C.L.W., Lo, P.H.Y. & Leung, P.P.Y. (2009). The Efficacy of Integrative Body-Mind-Spirit Group and Social Support Group on Female Breast Cancer Patients. Dalam Mo Yee Lee, et al. (Eds.). Integrative BodyMind-Spirit Social Work: An Empirically Based Approach to Assessment and Treatment (pp. 217-35). New York: Oxford University Press. Hodge, D. (2011). Using Spiritual Interventions in Practice: Developing Some Guidelines from Evidenca-based Practice. Social Work 56 (2), 149-58. Hodge, D.R. (2001a). Spiritual Genograms. A Generational Approach to Assessing Spirituality. Families in Society, 82 (1), 35-48. Hodge, D.R. (2001b). Spiritual Assessment. A Review of Major Qualitative Methods and a New Framework for Assessing Spirituality. Social Work, 46 (3), 203-14. Holloway (2007). Spiritual Need and the Core Business of Social Work. British Journal of Social Work (2007) 37, 265–280. Howe, D. (1987). An Introduction to Social Work Theory. England: Wildwood House Limited. https://www.google.co.id/maps/@-6.2022969,106.8847598,11z?hl=en (diakses 17 Maret 2013) Huberman, A.M. & Miles, M.B. (1994). Data Management and Analysis Methods. Dalam N. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 428-444). California: Sage Publications, Inc. Hugen, B. (2001). Spirituality and Religion in Social Work Practice: A Conceptual Model. Dalam M. van Hook, B. Hugen, & M. Aguilar (Eds.), Spirituality within Religious Traditions in Social Work Practice (pp. 9-17). Canada: Brooks/Cole. Hugo, G. (2000). Lansia-Elderly People in Indonesia at the Turn of the Century. Dalam D.R. Phillips, (Ed.). Ageing in the Asia-Pacific Region: Issues Policies and Future Trends Routledge Advances in Asia Pacific Studies Vol. 2 (pp. 299-321). London: Routledge. Huguelet, P. & Koenig, P.G. (2009). Introduction: Key Concepts. Dalam P. Huguelet & P.G. Koenig (Eds.), Religion and Spirituality in Psychiatry (pp. 1-5). New York: Cambridge University Press.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
284
Indriana, Y., Desiningrum, D.R., & Kristiana, I.F. (2011). Religiositas, Keberadaan Pasangan dan Kesejahteraan Sosial (Social Well-being) pada Lansia Binaan PMI Cabang Semarang. Jurnal Psikologi Undip, Vol. 10, No.2, 184-193. Indriana, Y., Kristiana, I.F., Sonda, A.A. & Intanirian, A. (2010), Tingkat Stres Lansia di Panti Wredha “Pucang Gading” Semarang. Jurnal Psikologi Undip, Vol. 8 No. 2, 87-96. IPSPI (1998). Kode Etik Pekerjaan Sosial Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia. James, W. (1958). The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature. 1st printing. USA: The New American Library. Janesick, V. (2003). The Choreography of Qualitative Research Design: Minuets, Improvisations, and Crystallization. Dalam N. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 46-79). 2nd Edition. California: Sage Publications, Ltd. Jewell, A. (2004). Nourishing the Inner Being: A Spirituality Model. Dalam A. Jewell (Ed.), Ageing, Spirituality and Well-being (pp. 11-26). London & New York: Jessica Kingsley Publishers. Kaasa, S. & Loge, J.H. (2003). Review Quality of Life in Palliative Care: Principles and Practices. Dalam Palliatve Medicine (17), 11-20. Kalache, A. & Keller, I. (1999). The WHO Perspective on Active Ageing. Promotion & Education 6 (4), 20-23. Kecemasan dan Depresi Capai 11,6 Persen (2011, 29 September). 7 Oktober 2011. http://health.kompas.com/read/2011/10/06/06314229/Warga.DKI.Rentan.Saki t.Jiwa Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial No. 28a/PRS3/KEP/2009 tentang Pedoman Bimbingan Sosial Psikososial di Panti Tresna Werdha. Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 2004 tentang Komisi Nasional Lanjut Usia. Kesulitan Ekonomi Picu Gangguan Jiwa (2008, 4 Agustus). 8 Oktober 2011.http://health.kompas.com/read/2008/08/04/17263295/Kesulitan.Ekonom i.Picu.Gangguan.Jiwa Kirst-Ashman, K.K. & Hull, Jr., G.H. (2006). Generalist Practice with Organizations and Communities. 3rd Edition. USA: Thomson Brooks/Cole. Kirst-Ashman, K.K. (2010). Introduction to Social Work dan Social Welfare: Critical Thinking Perspective. 3rd Edition. Belmont, CA: Brooks/Cole Cengage Learning. Komnas Lansia (2010). Profil Penduduk Lanjut Usia 2009. Jakarta. Kristiyanto, E. (2005). Spiritualitas Kristen. Dalam A.E. Kristiyanto (ed.). Spiritualitas dan Masalah Sosial (pp. 1-16). Jakarta: Penerbit Obor. Lavretsky, H. (2010). Spirituality and Aging. Aging Health 6 (6), 749-69. Lazarus, R.S. & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company. Lee, M.Y., Ng, S., Leung, P.P.Y. & Chan, C.L.W. (2009). Integrative Body-MindSpirit Social Work: An Empirically Based Approach to Assessment and Treatment. New York: Oxford University Press. Lydon-Lam, J. (2012). Models of Spirituality and Consideration of Spiritual Assessment. International Journal of Childbirth Education 27 (1), 18-22.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
285
MacKinlay, E. (2004a). The Spiritual Dimension of Ageing. 2nd printing. London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers. MacKinlay, E. (2004b). The Spiritual Dimension of Ageing. Dalam Albert Jewell (ed.). Ageing, Spirituality and Well-being (pp. 72-85). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers. MacKinlay, E. (2006). Spiritual Growth and Care in the Fourth Age of Life. London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers. Mackinlay, E. (2008). Introduction: Ageing, Disability and Spirituality. Dalam E. Mackinlay (ed.). Ageing, Disability and Spirituality (pp. 11-21). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers. Mathews, I. (2009). Social Work and Spirituality (Transforming Social Work Practice). Glasgow: Learning Matters. McCormick, C.M., Kuo, S.I., & Masten, A.S. (2010). Developmental Tasks Across the Life Span. Dalam K.L. Fingerman, C.A. Berg, J. Smith. & T.C. Antonucci (eds.). Handbook of Life-Span Development (pp. 117-140). New York: Springer Publishing Company. McKernan (2007). Exploring the Spiritual Dimension of Social Work. Dalam J. Coates, J.R. Graham, B. Swartzentruber, & B. Ouellette (eds.). Spirituality and Social Work: Selected Canadian Readings (pp. 93-110). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc. Meier, A., O’Connor, T., dan vanKatwyk, P. L. (2005). Introduction. Dalam A. Meier, T. S. O’Connor, dan P. L. vanKatwyk (Eds.). Spirituality dan Health: Multidisciplinary Explorations. Ontario: Wilfred Laurier University Press, pp. 1-8. Midgley, J. (1981). Professional Imperialism: Social Work in the Third World. London: Heinemann Educational Books Ltd. Midgley, J. (1995). Social Development: The developmental Perspective in Social Welfare. Guildford: Safe Publications Ltd. Minichiello, V. & Coulson, I. (2006). Preface: The Context of Promoting Positive Ageing. Dalam V. Minichiello & I. Coulson (eds.). Contemporary Issues in Gerontology Promoting Positive Ageing (pp. xi-xvi). NSW: Allen & Unwin. Moberg, D.O. (2005). Research in Spirituality, Religion, and Aging. Dalam H.R. Moody (Ed.), Religion, Spirituality, and Aging: A Social Work Perspective (pp. 11-40). New York: The Haworth Social Work Practice Press. Mohan, K. (2004). Eastern Perspectives and Implications for the West. Dalam A. Jewell (Ed.), Ageing, Spirituality and Well-being (pp. 161-179). London & New York: Jessica Kingsley Publishers. Mohr, S. & Huguelet, P. (2009). Religious and Spiritual Assessment in Clinical Practice. Dalam P. Huguelet & H.G. Koenig (Eds), Religion and Spirituality in Psychiatry (pp. 232-43). New York: Cambridge University Press. Monggo, M. (2010). Sesama yang Kita Layani. Dalam S. Syamsuddin & A. Jahidin (Eds.), Antologi Pekerjaan Sosial (pp. 11-36). Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Moore, R.J. (2003). Spiritual Assessment. Social Work 48 (4), 558-61. Moss, B. (2002). Spirituality: A personal Perspective. Dalam Neil Thompson (ed). Loss and Grief: A Guide for Human Service Practitioners (pp.34-44). New York: Palgrave Macmillan.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
286
Mudhofir, A. (1996). Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Murdock, V. (2005). Guided by Ethics: Religion and Spirituality in Gerontological Social Work Practice. Dalam H.R. Moody (Ed.), Religion, Spirituality, and Aging: A Social Work Perspective (pp. 131-54). New York: The Haworth Social Work Practice Press. Musgrave, B. (2005). Life-Threatening Illness: A Dangerous Opportunity. Dalam A. Meier, T.S. O’Connor, & P.L. vanKatwyk (Eds.), Spirituality dan Health: Multidisciplinary Explorations (pp. 265-84). Ontario: Wilfred Laurier University Press. Napsiyah, S. (2005). Understanding Aging Issues in Indonesia. Tidak dipublikasikan. Thesis at McGill University. Nasr, S.H. (2002). Pendahuluan. Dalam S.H. Nasr (ed.). Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam (Buku Pertama) (pp. xix-xxxix). (Rahmani Astuti, Penerjemah). Bandung: Mizan. NASW (2008). Code of Ethics of the National Association of Social Workers. 28 September 2012. http://www.socialworkers.org/pubs/code/code.asp?print=1& Nelson, J.M. (2009). Psychology, Religion, and Spirituality. Valparaiso, USA: Springer Science + Business Media, LLC. Nelson-Becker, H. & Canda, E.R. (2008). Spirituality, Religion, and Aging Research in Social Work: State of the Art and Future Possibilities. Journal of Religion, Spirituality & Aging, Vol. 20 (3), 177-93. Neuman, W.L. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. 6th Edition. USA: Pearson Education, Inc. Nichols, L.M. & Hunt, B. (2011). The Significance of Spirituality for Individuals with Chronic Illness. Implications for Mental Health Counseling. Journal of Mental Health Counseling, 33 (1), 51-66. Noveria, M. (2006). Challenges of Population Ageing in Indonesia. Paper yang dipresentasikan dalam Konferensi “Impact of Ageing: A Common Challenge for Europe and Asia”, Vienna, 7-9 June, 2006 Nowitz, L. (2005). Geriatric Care Management: Spiritual Challenges. Dalam H.R. Moody (Ed.), Religion, Spirituality, and Aging: A Social Work Perspective (pp. 185-201). New York: The Haworth Social Work Practice Press. Oxley, H. (2009). Policies for Healthy Ageing. An overview. 6 Januari 2013. OECD Health Working Papers, No. 42, OECD publsihing, ©OECD. http://dx.doi.org/10.1787/226757488706. Pargament, K. I. (1999). The Psychology of Religion and Spirituality? Yes and No. The International Journal for the Psychology or Religion, 9 (1), 3-16. Pargament, K.I. (2007). Spiritually Integrated Psychotherapy: Understanding and Addressing the Sacred. New York-London: The Guilford Press. Patton, M.Q. (2002). Qualitative Research and Evaluation Methods. 3rd Edition. London: Sage Publications, Inc. Payne, M. (2005). Modern Social Work Theory. 3rd Edition. New York: Palgrave Macmillan. Pelaez, M., Gewirtz, J. & Wong, S.E. (2008). A Critique of Stage Theories of Human Development. Dalam Bruce A. Thyer (ed.). Comprehensive Handbook of Social Work and Social Welfare, Vol. 2 HBSE (pp. 503-18). USA: John Wiley & Sons.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
287
Phillips, D. (2006). Quality of Life. Concept, Policy and Practice. London & New York: Routledge. Phillips, D.R. (2000). Ageing in the Asia-Pacific Region: Issues, Policies and Contexts. Dalam D.R. Phillips, (Ed.). Ageing in the Asia-Pacific Region: Issues Policies and Future Trends Routledge Advances in Asia Pacific Studies Vol. 2 (pp. 1-34). London: Routledge. Pritchard, C. (2006). Mental Health Social Work: Evidence-Based Practice. London dan New York: Routledge. Rakhmat, J. (2003). Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan. Rakhmat, J. (2007). SQ: Psikologi dan Agama. Dalam D. Zohar dan I. Marshall, SQ Kecerdasan Spiritual (pp. xi-xxviii). Cetakan XI. Terj. Rahmani Astuti dkk. Bandung: Mizan. Richardson, V. (2009). Psikoterapi dengan orang Lanjut Usia. Dalam A.R. Roberts dan G.J. Greene (Eds.). Buku Pintar Pekerja Sosial: Social Workers’ Desk Reference. Jilid 2 (pp. 326-34). (Juda Damanik & Cynthia Pattiasina, Penerjemah). Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Rippin, A. (1990). Muslims: Their Religious Beliefs and Practices Volume 1: The Formative Period. London & New York: Routledge. Robbins, S.P., Chatterjee, P. & Canda, E.R. (2006). Contemporary Human Behavior Theory: A Critical Perspective for Social Work. 2nd Edition. Boston: Pearson Education, Inc. Rohman (2009). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Asuhan Spiritual oleh Perawat di RS Islam Jakarta. Tidak dipublikasikan. Tesis pada Ilmu Keperawatan UI. Rubin, A. & Babbie, E. (2001). Research Methods in Social Work. 4th Edition. USA: Wadsworth Publishing Company. Sadli, S. (2002). “…Keadilan diperlukan bagi perempuan berusia lanjut.” Jurnal Perempuan, 25, 20-6. Santi, B. (2002). Lanjut Usia di Mata Perempuan: Pandangan Perempuan Usia 18-50 Tahun di Jakarta, Medan dan Surabaya. Jurnal Perempuan, 25, 88-93. Seifert, L.S. (2002). Toward a Psychology of Religion, Spirituality, Meaning-Search, and Aging: Past Research and a Practice Application. Journal of Adult Development, 9 (1), 61-70. Seinfeld, J. (2012). Spirituality in Social Work Practice. Clinical Social Work Journal 40 (2012), 240-4. Sermabeikian, P. (1994). Our Clients, Ourselves: The Spiritual Perspective and Social Work Practice. Social Work, Vol. 39, No. 2 (March 1994). 178-183. Setiti, S.G. (n.d.), Pelayanan Lansia Berbasis Kekerabatan. 7 November 2011. http://www.depsos.go.id/unduh/06_PELAYANAN%20LANJUT%20USIA% 20BERBASIS%20KEKERABATAN.pdf Shaw, I. & Gould, N. (2001). A Review of Qualitative Research in Social Work. Dalam I. Shaw and N. Gould (Eds.), Qualitative Research in Social Work (pp. 32-46). London: Sage Publications, Ltd. Sheridan, M.J. (2008). The Use of Prayer in SW, Implications for Professional Practice & Education. 21 Oktober 2010. Presented at the Third North American Conference on Spirituality and Social Work. Juni 2008. Dalam http://w3.stu.ca/stu/sites/spirituality/documents/MichaelSheridan-TheUseof PrayerinSocialWork_000.pdf
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
288
Sheridan, M.J. (2009). Isu Spiritual dan Keagamaan dalam Praktik. Dalam A.R. Roberts dan G.J. Greene (Eds.). Buku Pintar Pekerja Sosial: Social Workers’ Desk Reference. Jilid 2 (pp. 278-87). (Juda Damanik & Cynthia Pattiasina, Penerjemah). Jakarta: BPK Gunung Mulia. Sherman, E. & Reid, W. (1994). Introduction: Coming of Age in Social Work - The Emergence of Qualitative Research. Dalam E. Sherman and W. Reid (Eds.), Qualitative Research in Social Work (pp. 1-15). New York: Columbia University Press. Shulman, L. (1991). Interactional Social Work Practice: Toward an Empirical Theory. Itasca, Illinios: F.E. Peacock Publishers, Inc. Singleton, Jr., R. & Straits, B. (1999). Approaches to Social Research. 3rd Edition. Oxford: Oxford University Press. Skevington, S.M., Lotfy, M. & O’Connell, K.A. (2004). The World Health Organization’s WHOQOL-BREF Quality of Life Assessment. Psychometric Properties and Results of the International Feld Trial: A Report from WHOQOL Group. Quality of Life Research (13), 299-310. Stake, R. (2003). Case Studies. Dalam N. Denzin & Y. Lincoln (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 132-64). 2nd Edition. California: Sage Publications. Stewart, B. & Nash, M. (2002). Introduction. Dalam M. Nash & B. Stewart (Eds.), Sprituality and Social Care: Contributing to Personal and Community WellBeing (pp. 11-27). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers. Stifoss-Hanssen, H. (1999). Religion and Spirituality: What a European Ear Hears. The International Journal for the Psychology or Religion, 9 (1), 25-33. Strauss, A. & Corbin, J. (2004). Grounded Theory Methodology: An Overview. Dalam N. Denzin dan Y. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 273-85). California: Sage Publications, Inc. Suharto, E. (2006). Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru. Paper disampaikan pada Workshop Program Pendidikan Spesialis-1 Pekerjaan Sosial, STKS, Bandung 19 Januari 2006. Suradika, A. dan Maskun, B. I. (2005). Etika Profesi Pekerjaan Sosial. Jakarta: Balatbangsos, Departemen Sosial RI. Susanti, D.D. (2009). Pengalaman Spiritual Perempuan dengan Kanker Serviks di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Tidak dipublikasikan. Tesis pada Ilmu Keperawatan UI. Sutrisno, M. (2001). Humanisme, Krisis, Humanisasi. Jakarta: Jakarta: Penerbit Obor. Sutrisno, M. (2012). Pedulikah Kita pada Hidup? Yogyakarta: Kanisius. Swartz, A.L. & Tisdell, E.J. (2008). A Spiritually Grounded and Culturally Responsive Approach to Health Education. Dalam M.A. Pérez & R.R. Luquis (Eds.), Cultural Competence in Health Education and Health Promotion (pp. 87-103). San Francisco: Jossey-Bass. Swinton, J. & Kettles, A. (2001). Spirituality and Mental Health Care: Exploring the Literature. Dalam J. Swinton. Spirituality and Mental Health Care: Rediscovering A ’Forgotten’ Dimension (pp. 64-92). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers. Swinton, J. (2001). Spirituality and Mental Health Care: Rediscovering A ’Forgotten’ Dimension. London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers. Swinton, J. (2007). Researching Spirituality and Mental Health – A Perspective from the Research. Dalam M.E. Coyte, P. Gilbert, & V. Nicholls (Eds.).
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
289
Spirituality, Values, and Mental Health: Jewelsfor the Journey (pp. 292-305). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers. The World Bank (2011). Indonesia. 25 Januari 2012. http://web.worldbank.org/ WEBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTHEALTHNUTRITIONANDPOPULA TION/EXTDATASTATISTICSHNP/EXTHNPSTATS/0,,contentMDK:2173 7699~menuPK:3385623~pagePK:64168445~piPK:64168309~theSitePK:323 7118~isCURL:Y,00.html Thompson, N. (2007). Loss and Grief: Spiritual Aspects. Dalam M.E. Coyte, P. Gilbert, & V. Nicholls (Eds.). Spirituality, Values, and Mental Health: Jewelsfor the Journey (pp. 70-81). London & Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers. Thompson, N. (2010). Theorizing Social Work Practice. New York: Palgrave MacMillan. Thompson, N. (2002). Introduction. Dalam N.Thompson (Ed.), Loss and Grief: A Guide for Human Service Practitioners (pp. 1-20). New York: Palgrave Macmillan. Turner, F. (2008). Terapi Psikososial. Dalam A.R. Roberts & G.J. Greene (Eds.). Buku Pintar Pekerja Sosial: Social Workers’ Desk Reference. Jilid 1 (pp. 16875). (Juda Damanik & Cynthia Pattiasina, Penerjemah). Jakarta: BPK Gunung Mulia. Uji Coba JSLU 2008 – Program Unggulan Depsos (2008, 27 Februari). 2 Agustus 2011. http://www.depsos.go.id/modules.php?name=New&file=article&sid= 588 UN (2009). Population Aged 60 Years or Over. 25 Januari 2012. http://www.un.org/ esa/population/publications/ageing/ageing2009.htm Undang-Undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Lanjut Usia. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Walton, R. G. & Nasr, M. W. A. E. (1988). The Indigenization and Authentization of Social Work in Egypt. Community Development Journal 23 (3), 148-155. Warga DKI Rentan Sakit Jiwa (2011, 6 Oktober). 7 Oktober 2011. http://health.kompas.com/read/2011/10/06/06314229/Warga.DKI.Rentan.Saki t.Jiwa Weinstein, J. (2008). Working with Loss, Death, and Bereavement: A Guide for Social Workers. London: Sage Publication Ltd. WHO (2002). Active Ageing: A Policy Framework. Madrid: Second United Nations World Assembly on Ageing. WHO (2008). Older Persons in Emergencies: An Active Ageing Perspective. Geneva: WHO Press. Woo, J., Ng, SH., Chong, A.ML., Kwan, A.YH, Lai, S., & Sham, A. (2008). Contribution of Lifestyle to Positive Ageing in Hong Kong. Ageing Int 32, 269-78. Yeates, N. (2003). Policy Research. Dalam R. Miller & J. Brewer (Eds.), The A-Z of Social Research (pp. 233-35). London: Sage Publications, Ltd.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
290
Yin, R. (2003). Case Study Research: Design and Methods. 3rd Edition. California: Sage Publications, Ltd. Zapf, M.K. (2007). Profound Connections between Person and Place: Exploring Location, Spirituality, and Social Work. Dalam J. Coates, J.R. Graham, B. Swartzentruber, & B. Ouellette (eds.). Spirituality and Social Work: Selected Canadian Readings (pp. 229-42). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc. Zastrow, C. (2004). Introduction to Social Work and Social Welfare. 8th Edition. Belmont, CA: Brooks/Cole-Thomson Learning. Zinnbauer, B.J. & Pargament, K.I. (2005). Religiousness and Spirituality. Dalam R.F. Paloutzian & C.L. Park (eds.). Handbook of the Psychology of Religion and Spirituality (pp. 21-42). New York-London: The Guilford Press.
Universitas Indonesia Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 1 (Perbandingan berbagai perspektif keagamaaan tentang pelayanan sosial dari segi kepercayaan, nilai, dan pelayanan) Perspektif
Kepercayaan
Nilai
1. Alam Budha Nonteistik 2. Keyakinan bersumber dari tradisi, sutra, pengalaman spiritual langsung; tidak terikat kepercayaan 3. Eksistensi adalah penderitaan, disebabkan oleh hasrat dan ilusi diri yang terpisah; penderitaan berakhir dengan pola hidup disiplin, meditasi, dan pencerahan Konghucu 1. Dao Nonteistik. 2. Keyakinan bersumber dari China klasik, guruguru bijak dan religius, dan tradisi lokal. 3. Sifat manusia yang penuh kebaikan harus dipupuk demi kebaikan individu, keluarga, masyarakat, dan dunia. Budha (Zen)
Hindu (Vedanta)
1. Tugas hidup yang utama adalah mencari pencerahan 2. Komitmen menyayangi dan menolong seluruh makhluk 3. Transendensi dikotomi diri/liyan dalam hidup suci.
Pelayanan
1. Mutualitas dan harmoni dalam hubungan saling menolong 2. Bertujuan menolong klien meningkatkan kesadaran, bertindak realistis; pada akhirnya mencapai pencerahan. 3. Dapat menggunakan meditasi dan berhubungan dengan wihara atau pusat meditasi berbasis sistem dukungan. 1. Tugas hidup yang utama adalah 1. Hubungan tolong-menolong didasarkan memupuk kebijaksanaan dan pada kebajikan dan harmoni. bermanfaat bagi masyarakat. 2. Bertujuan menolong klien untuk belajar 2. Komitmen untuk belajar sepanjang dari situasi hidup dan keharmonisan hayat, pelayanan publik, hubungan. keharmonisan keluarga/sosial. 3. Bisa dengan melakukan duduk 3. Kesalehan anak dan hubungan diam/tenang, praktik refleksi-diri, qigong, timbal-balik yang saling melengkapi. acupuncture, herbal. 1. Nondualistik, dengan bentuk teistik/bentuk lain. 1. Tugas hidup yang utama adalah 1. Hubungan tolong-menolong menghargai 2. Keyakinan bersumber dari Kitab Upanishad dan mencapai kebebasan (moksha) yang ilahiah dalam segala hal. Weda, para guru religius, dan tradisi lokal atau 2. Komitmen terhadap layanan tak 2. Bertujuan mewujudkan kesejahteraan bagi keluarga. terikat yang penuh respek. semua. 3. Ikatan Karma pada penderitaan dan reinkarnasi 3. Sarana dan tujuan antikekerasan 3. Bisa menggunakan yoga, ritual, dan aksi dapat terbebas melalui latihan spiritual (seperti demi pencapaian kebenaran dan komunitas antikekerasan dan kooperatif. yoga); pembebasan datang lewat penyatuan kebebasan setiap orang. dengan kedewaan (Brahman).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Yahudi
Kristen
Islam
Shamanisme
1. Tugas hidup utama adalah mencintai Tuhan dan manusia, menegakkan komunitas atau masyarakat Yahudi. 2. Komitmen mencintai kejujuran dan keadilan. 3. Menyayangi baik kualitas batin individu maupun tingkah laku. 1. Tugas hidup yang utama adalah mencintai Tuhan dan umat manusia. 2. Komitmen untuk memberi dan keadilan. 3. Hubungan moral antara kebutuhan individu, kesejahteraan sosial, dan kehendak Tuhan. 1. Monoteistik. 1. Tugas hidup yang utama adalah 2. Keyakinan bersumber dari al-Qur’an, tradisi dan menjalani hidup sesuai kehendak ulama, syari’ah. Allah dan umat Muslim. 3. Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad 2. Berkomitmen mengamalkan sholat utusan Allah; Kebahagiaan individu dan sosial dan keadilan. dicapai dengan kepasrahan diri kepada Allah 3. Umat punya kewajiban zakat dan dalam segala hal. melindungi yang tidak beruntung. 1. Teistik/animistik 1. Tugas hidup utama adalah menjun2. Keyakinan, bersumber dari tradisi kultural dan jung harmoni dalam alam dan visi spiritual. kebahagiaan manusia. 3. Kebahagiaan manusia memerlukan 2. Komitmen menolong orang dan keharmonisan dengan alam dan roh-roh. menghargai kekuatan bumi-langit. 3. Melatih keterampilan, kearifan, dan cinta-kasih. 1. Teistik. 2. Keyakinan bersumber dari tanakh, halakah, umat Yahudi. 3. Manusia diciptakan dalam pencitraan Tuhan namun dapat terdistorsi karena pengalaman/perbuatan; perbuatan dosa perlu rekonsiliasi. 1. Teistik dan trinitarian 2. Keyakinan bersumber dari Kitab Perjanjian Lama dan Baru, tradisi gereja, pengalaman iman 3. Manusia cenderung pada dosa; relasi mencintai Tuhan menghasilkan hubungan baik (rekonsiliasi), makna, dan tujuan.
Sumber: Canda & Furman (2010, p. 149-150; 1999, p. 152).
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
1. Pertolongan dilakukan dalam pola SayaEngkau (I-Thou) dan secara komunal. 2. Bertujuan menolong klien pemecahan masalah klien dalam konteks umat Yahudi. 3. Bisa menggunakan modeling peran orang Yahudi, refleksi keagamaan. 1. Hubungan tolong-menolong berdasarkan cinta yang tulus. 2. Bertujuan mambantu klien memenuhi kebutuhan spiritual, membangun hubungan baik dengan sesama dan Tuhan. 3. Dapat menggunakan pengakuan, doa, sakramen, perujukan kependetaan/jemaat. 1. Hubungan pertolongan dilakukan demi Tuhan dan mendukung klien dalam konteks komunitas. 2. Bertujuan menolong klien memenuhi kebutuhan dasar, agar mampu beribadah kepada Tuhan dan hidup bersama komunitas. 1. Melayani dan hubungan pertolongan yang sangat direktif. 2. Bertujuan menolong klien ke arah kebersatuan dan harmoni dengan alam, termasuk roh-roh. 3. Dapat menggunakan meditasi, ritual, dan pelestarian alam.
Lampiran 2 DATA INFORMAN A. Praktisi Kesejahteraan Sosial 1. Nama
: .....................................
2. Usia
: .....................................
3. Jenis kelamin
: .....................................
4. Suku asal
: .....................................
5. Agama
: .....................................
6. Status perkawinan: ..................................... 7. Pendidikan
: .....................................
8. Jabatan/profesi sekarang: a. Fungsional
: .....................................
b. Struktural
: .....................................
9. Pengalaman praktik dalam wilayah/bidang pelayanan (berapa lama): a. .............................................................................................. (..................tahun) b. .............................................................................................. (..................tahun) c. .............................................................................................. (..................tahun) 10. Praktik dalam bidang pelayanan sosial lansia sejak: ..................................... 11. Pengalaman diklat atau pendidikan non-formal : a. .......................................................................................................... b. .......................................................................................................... c. .......................................................................................................... d. .......................................................................................................... e. .......................................................................................................... 12. Keterlibatan dalam komunitas keagamaan/spiritual (jama’ah atau jemaat, majlis ta’lim, tarekat, tasawuf/sufi, dll.): a. .......................................................................................................... b. .......................................................................................................... c. .......................................................................................................... 13. Informasi lain (kalau ada):
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
B. Klien Lansia 1. Nama
: .....................................
2. Usia
: .....................................
3. Jenis kelamin
: .....................................
4. Suku asal
: .....................................
5. Agama
: .....................................
6. Status perkawinan
: .....................................
7. Pendidikan terakhir
: .....................................
8. Pekerjaan sebelumnya
: .....................................
9. Kegiatan keagamaan (jama’ah atau jemaat, majlis ta’lim, tarekat, tasawuf/sufi, dll.): a. Dahulu : ........................................................................................................... b. Saat ini : ........................................................................................................... ................................................................................................................. 10. Adakah keluarga atau kerabat yang masih kontak atau berkunjung: a. Siapa saja
: ..............................................................................................
b. Seberapa sering : .............................................................................................. c. .......................................................................................................................... 11. Informasi lain (kalau ada):
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 3 PANDUAN WAWANCARA (INTERVIEW GUIDE)
PENDAHULUAN Pertama, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Saya sangat menghargai waktu yang disediakan untuk wawancara. Wawancara ini berkaitan dengan pemahaman aspek spiritual dan bagaimana itu diekspresikan dan/atau dipraktikkan dalam keseharian maupun dalam konteks pelayanan sosial. Pengalaman hidup dan bagaimana pengalamn tersebut dimaknai juga akan digali. Hal ini merupakan bagian dari serangkaian kegiatan penelitian untuk disertasi program Doktoral di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP, UI dengan judul: Spiritualitas untuk Kesehatan Mental Lanjut Usia dalam Konteks Pelayanan Sosial. Saya sangat berharap penelitian ini mampu memahami spiritualitas kelompok lanjut usia (lansia) dan para praktisi sehingga dapat berkontribusi meningkatkan kesejahteraan lansia di Indonesia. Wawancara ini akan dilakukan dalam kondisi santai dan nyaman, bukan seperti tes/ujian serta tidak ada kaitannya dengan persoalan benar atau salah. Wawancara ini juga dapat dihentikan setiap saat apabila informan menginginkan karena alasan tertentu atau ada kebutuhan di tengah wawancara, dan kemudian dilanjutkan di lain waktu. Selain itu, sangat dimungkinkan bagi informan untuk tidak menjawab pertanyaan, mengoreksi pertanyaan atau jawaban sendiri, meminta keterangan lebih jauh apabila ada pertanyaan yang kurang jelas atau tidak dipahami, atau menambahkan informasi berguna yang sekiranya relevan bagi penelitian. Sebelum wawancara dimulai, saya mengingatkan kembali bahwa partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini bersifat sukarela, sehingga setiap saat keikutsertaan Bapak/Ibu dapat dibatalkan. Selama wawancara berlangsung, saya akan merekam dan mencatat informasi penting. Begitu selesai, saya akan mengkonfirmasi bagian atau informasi tertentu yang tidak ingin dimunculkan dalam penelitian nanti, jika ada. Terakhir, saya menekankan bahwa kerahasiaan (confidentiality) wawancara ini akan dijaga, termasuk identitas Bapak/Ibu terkait jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
PANDUAN WAWANCARA A. Spiritualitas Praktisi Kessos 1. Pemahaman spiritualitas a. Kapan pertama kali mendengar istilah spiritual atau spiritualitas? Probing: Bagaimana dengan istilah rohani atau rohaniah? b. Ketika mendengar istilah spiritualitas, apa artinya buat Anda pribadi? c. Apakah istilah tersebut diajarkan sewaktu kuliah, diklat, atau bimbingan teknis (bimtek)? Kalau ya, bagaimana itu diajarkan atau disampaikan? d. Bagaimana dengan definisi kessos dalam UU Kessos (tahun 1974 atau 2009) dimana disana disebutkan aspek spiritual? Dan juga penjabarannya dalam pedoman, juklak, atau juknis pelayanan lansia? e. Bagaimana menjelaskan istilah tersebut ke orang lain yang mungkin baru mendengar pertama kali? 2. Makna personal tentang simbol keagamaan, ritual, kepercayaan, dan lain-lain. a. Ibadah apa yang paling bermakna? b. Bagaimana hubunganmu dengan Tuhan? c. Dimana dan pada saat apa mampu merasakan kehadiran Tuhan? Probing: Bagaimana Tuhan hadir ketika sedang punya masalah? d. Apa yang membuatmu senang dalam hidup? e. Apa yang membuatmu damai dan tenang dalam hidupmu? f. Apa yang membuat hidupmu bermakna atau berarti? 3. Keterlibatan atau afiliasi dalam komunitas keagamaan dari waktu ke waktu dan seberapa jauh tingkat keterlibatannya? 4. Praktik spiritual apa saja yang sering Anda lakukan? (seperti berdoa, meditasi, membaca kitab suci, dll.). Bagaimana Anda melakukan praktik-praktik tersebut dalam keseharian? 5. Ceritakan perjalanan spiritual Anda. Pengalaman apa saja yang sangat mempengaruhi pemahaman Anda tentang spiritualitas? Probing: Adakah tokoh atau seseorang, tempat, kejadian, pengalaman, buku, atau apa saja yang mempengaruhi pemahaman spiritualitas? 6. Ketakutan dan harapan a. Adakah hal-hal yang Anda takutkan saat ini atau untuk masa yang akan datang? Apa saja? Mengapa? b. Saat ini, dalam hidup ini, apakah Anda punya harapan tertentu? Apa harapan Anda? B. Praktik Spiritualitas Praktisi dalam Pelayanan Sosial Lansia 1. Ceritakan bagaimana Anda menjadi pekerja sosial/pendamping/perawat? Probing: Mengapa Anda memutuskan untuk memilih profesi tersebut? Apa motivasinya? Adakah orang, kejadian, atau pengalaman yang menginspirasi Anda memilih profesi tersebut? 2. Nilai atau prinsip etis pekerjaan sosial hubungannya dengan spiritualitas a. Bisakah Anda uraikan secara singkat nilai-nilai atau prinsip etis utama dalam profesi pekerja sosial?
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
3.
4.
5.
6.
7. 8.
b. Bagaimana nilai-nilaia atau prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan motivasi dan nilai-nilai pribadi Anda? c. Adakah nilai atau prinsip tersebut berkaitan dengan isu spiritualitas? Bagaimana kaitannya? d. Dengan cara bagaimana spiritualitas penting atau relevan bagi nilai-nilai profesional? Ceritakan tentang pengalaman Anda ketika memadukan atau memanfaatkan aspek spiritual dalam praktik pelayanan sosial lansia? Kapan berhasil? Tidak berhasil? Keahlian atau teknik-teknik apa saja yang paling penting untuk mengatasi kebutuhan spiritual atau mengembangkan spiritualitas yang dimiliki klien? Probing: - Dalam kegiatan bimbingan rohani/keagamaan atau bimbingan sosialpsikologis, seperti ketika melakukan terapi relaksasi. - Studi kasus klien lansia yang terjadi, bagaimana praktisi mengatasi atau meresponsnya? Apakah dalam penanganan lansia Anda menggunakan teknik tertentu yang berhubungan dengan pengalaman keagamaan atau mistis (seperti berdoa, meditasi, praktik tasawuf/sufi atau tarekat, dll.)? Bagaimana itu dilakukan? Kapan spiritualitas yang Anda pahami sangat membantu bagi keberhasilan penanganan klien lansia? Mengapa Anda berpikir itu membantu dan berhasil? Sebaliknya, pada saat kapan spiritualitas yang Anda pahami justru menghalangi keberhasilan penanganan klien lansia? Mengapa Anda berpikir seperti itu? Bisakah memberi contoh ketika Anda memanfaatkan spiritualitas dalam tahap asesmen, catatan kasus, catatan perkembangan, atau intervensi? Adakah masalah atau dilema etis ketika mengintegrasikan spiritualitas ke dalam praktik?
C. Spiritualitas Klien Lansia 1. Keterlibatan atau afiliasi dalam komunitas keagamaan dari waktu ke waktu dalam menjalankan tradisi atau praktik spiritual/keagamaan dan tingkat keterlibatan klien. a. Sebelum masuk panti (atau dulu) aktif di kegiatan agama (jama’ah) apa saja? Sampai sejauh mana? b. Kalau sekarang aktif kegiatan agama dimana? Kegiatannya apa saja? Sampai sejauh mana? 2. Kepercayaan, nilai dasar, dan makna personal klien tentang simbol keagamaan. Bagaimana hal-hal tersebut diekspresikan. a. Ibadah apa yang paling bermakna? b. Bagaimana hubunganmu dengan Tuhan? Probing: Bagaimana persangkaanmu terhadap Tuhan? Bagaimana Tuhan memperlakukanmu? c. Dimana dan pada saat apa mampu merasakan kehadiran Tuhan? Caranya bagaimana? Contohnya seperti apa? d. Apa yang membuatmu senang dalam hidup? e. Apa yang membuatmu damai dan tenang dalam hidupmu? f. Apa yang membuat hidupmu bermakna atau berarti?
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
3. Ketakutan dan harapan a. Adakah hal-hal yang Anda takutkan saat ini atau untuk masa yang akan datang? Apa saja? Mengapa? Probing: ingatkan dengan masalah kematian, alam akhirat, anak-cucu, dll. b. Saat ini, dalam hidup ini, apakah Anda punya harapan tertentu? Apa harapan Anda? Probing: ingatkan dengan masalah kematian, alam akhirat, anak-cucu, dll. 4. Semangat hidup. Seandainya diberi pilihan oleh Tuhan, apakah ingin diberi umur panjang atau cepat dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa? Mengapa? Probing: Sewaktu mendapat musibah (sebutkan contoh peristiwa yang pernah dialami klien), bagaimana Anda masih dapat bertahan hingga saat ini? D. Pengalaman Hidup/Penderitaan dan Pemaknaan/Respons Klien Lansia 1. Bisa diceritakan masalah hidup (seperti penyakit, kehilangan orang yang dicintai, disabilitas, dll.) yang Anda derita. Sejak kapan menderita? Probing: Dikaitkan dengan peristiwa hidup yang pernah dialaminya (sebagaimana dalam riwayat hidup). 2. Ketika mengalami masalah tersebut, apakah hidupmu berubah? Bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu? 3. Apakah masalah Anda mengubah bagaimana Anda memandang atau merasakan diri Anda? Bagaimana? 4. Siapa saja orang yang telah membantu atau yang tidak membantu Anda dengan masalah yang Anda derita? Apa saja hal-hal yang paling membantu atau paling tidak membantu dari apa yang telah dilakukan orang-orang tersebut? 5. Apakah dengan mengalami penderitaan seperti itu telah mengubah hubungan Anda secara positif/negatif dengan orang lain? Bagaimana? 6. Kemana Anda kembali di saat-saat seperti itu? 7. Bagaimana Tuhan hadir ketika sedang punya masalah berat? 8. Apa saja yang sering Anda lakukan sewaktu mengalami masalah berat? Probing: Apakah dengan berdoa, meditasi, atau membaca kitab suci? Bagaimana Anda melakukannya? 9. Ketika Anda melakukan perenungan terhadap penderitaan Anda saat ini, apakah artinya bagi Anda? Apakah arti itu berubah dari waktu ke waktu? 10. Apakah penderitaan Anda mempengaruhi cara Anda menemukan hidup bermakna? Bagaimana? 11. Apakah agama memainkan peran dalam hidupmu? Apakah itu berubah semenjak Anda mengalami penderitaan tersebut? Bagaimana?
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 4 PERNYATAAN PERSETUJUAN MENJADI INFORMAN (Consent Form) Informan: Saya telah diberi penjelasan singkat tentang penelitian ini dan saya memahami tujuannya. Saya juga telah dipastikan bahwa identitas saya dalam penelitian ini akan dirahasiakan sehingga harga diri dan keselamatan saya atau pihak lain dapat terjamin. Saya mengizinkan peneliti merekam dan mendokumentasikan hasil wawancara untuk tujuan analisis dan penulisan hasil penelitian. Peneliti juga telah menjamin bahwa rekaman wawancara dan hasil transkripnya akan dirahasiakan dan tidak mengizinkan pihak lain mengaksesnya, kecuali untuk keperluan akademik secara terbatas sejauh tidak melanggar etika penelitian. Saya sadar bahwa partisipasi saya dalam penelitian ini sepenuhnya sukarela dan saya dapat membatalkan partisipasi tersebut sewaktuwaktu. Dengan ini, saya menyatakan persetujuan ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.
Tanda tangan : __________________________ Nama
: __________________________
Peneliti: Saya menyatakan bahwa saya telah menjelaskan gambaran singkat penelitian beserta tujuannya. Saya juga telah memastikan bahwa informan memahami manfaat dan resiko dari partisipasi mereka dalam penelitian ini.
Tanda tangan : __________________________
Tanggal: __________________
Nama : Toton Witono Alamat e-mail :
[email protected];
[email protected] No. telepon : 081 399 829 399 Promotor : Fentiny Nugroho, Ph.D. Co-Promotor : Adi Fahrudin, Ph.D.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 5 PANDUAN OBSERVASI
1. Setting dan lokasi a. Di wisma/barak atau di rumah (foto keluarga atau almarhum di dinding, gambar masjid atau ka’bah di dinding, kitab suci, buku/bacaan agama, dll) b. Di tempat ibadah, misal di musholla atau masjid (misal: jadwal piket menjadi imam, mu’adzin, petugas iqomat, buku/bacaan agama, dan perlengkapan ritual-religius lain) 2. Kegiatan a. Kegiatan bimbingan (keagamaan dan non-keagamaan) b. Kegiatan rekreasional (menyanyi dan lain-lain) c. Ibadah (kehadiran/kerajinan, sholat berjamaah, kebaktian, doa, Yasinan, Tahlilan, dan peran dalam kegiatan ibadah, misal menjadi imam, mu’adzin, dsb.) 3. Interaksi a. Interaksi dengan sesama penghuni panti (atau dengan tetangga) b. Interaksi dengan petugas/pegawai panti, pekerja sosial, pramusosial, atau dengan pendamping home care c. Interaksi dengan peneliti 4. Informan a. Cara berpakaian (hijab/jilbab, peci/kopiah, tasbih, aksesoris keagamaan lain) b. Perilaku c. Tutur kata (ungkapan-ungkapan religius, misal apakah sering menyebut nama Tuhan, kalimat-kalimat thoyibah, eg.basmalah, hamdalah, istighfar, dll.) d. Cara menjawab atau merespons
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 6 (Matriks all nodes vs inteview informan praktisi)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 7 (Matriks all nodes vs inteview informan lansia)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 8 Klasifikasi parent nodes (kategori) dan nodes (tema) spiritualitas praktisi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 9 Klasifikasi kategori (parent node) dan tema (node) dalam spiritualitas lansia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 10 (Klasifikasi nomenklatur berdasarkan pertanyaan penelitian (RQ), kategori, dan tema atau konsep) Research Question (RQ) RQ #1 Pemahaman-pengalaman spiritual praktisi
Kategori (Tree Nodes, Free Nodes)
Tema atau Konsep (Nodes)
#Arti spiritualitas
@Pemahaman pribadi @Pengaruh pendidikan-diklat @Spiritual dalam UU Kessos @Afiliasi-praktik keagamaan @Keyakinan-nilai @“Di balik ujian ada hikmah” @Panutan-sumber inspirasi @Relationships @Kecemasan-Harapan
Afiliasi dan praktik keagamaan Keyakinan dan nilai “Di balik ujian ada hikmah” #Komponen spiritualitas lain
RQ #2 Praktik spiritual dalam layanan
Motivasi praktisi kessos Nilai-prinsip etis #Asesmen
#Intervensi
@Motivasi @Nilai-prinsip etis @Asesmen: - Asesmen spiritual minim - Asesmen berkelanjutan, intensif, multidisiplin - Asesmen versi pendamping home care - Menyinggung keagamaan klien - Pendekatan untuk menarik lansia home care @Intervensi: - Teknik umum intervensi - Lansia sedih/patah semangat - Doa dan konsep relasi segitiga - Lansia bertengkar - Intervensi yang dianggap berhasil - Intervensi yang dianggap gagal - Pendekatan manusiawi, sewajarnya - Intervensi ala pendamping home care @Contoh kasus intervensi @Penanganan akhir kehidupan lansia:
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
- Membantu lansia menghadapi akhir hayat @Keberagamaan lansia @Lansia psikotik @Catatan perkembangan lansia @Kegiatan home care @Arti pekerjaan sosial
Free nodes
RQ #3 Pengalaman spiritualitas lansia
#Keberagamaan Lansia
#Relasi dan keterhubungan #Harapan dan kecemasan
#Spiritual tasks
#Persoalan eksistensial lansia RQ #4 Pengalaman hidup dan respons lansia
#Penderitaan hidup dan pemaknaan
#Respons terhadap penderitaan
Free nodes
@Kegiatan-afiliasi agama @Kondisi Keberagamaan @Keyakinan @Relasi-kedekatan-isolasi @Doa @Harapan @Semangat hidup @Kekhawatiran-ketakutan @Menyikapi akhir hayat @Reminiscence @“Mengheningkan cipta” @Memaafkan @Merasa berperan-berguna-dicintai @Kegemaran-hobi-kreativitas @Pandangan-pertanyaan tentang hidup @Makna-tujuan hidup @Pengalaman-penderitaan @Musibah-cobaan-peringatan @“Ada musibah ada hikmah” @Respons @Bersyukur @Pasrah-menerima @Sabar & tawakkal @Perubahan hidup
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 11 (Bagan klasifikasi nomenklatur spiritualitas praktisi)
Pemahaman pribadi
Pemahamanpengalaman
Arti spiritualitas
Pengaruh pendidikan-diklat
Afiliasi & praktik
Spiritual dalam UU Kessos
Keyakinan & nilai individu “Di balik ujian ada hikmah” Komponen penting lain
Spiritualitas praktisi
Relationships Kecemasan & harapan
Motivasi melayani
Praktik dalam layanan
Panutan-sumber inspirasi
Nilai-prinsip etis Asesmen
Intervensi umum
Intervensi
Contoh kasus intervensi Penanganan akhir kehidupan lansia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 12 (Bagan klasifikasi nomenklatur spiritualitas lansia) Kegiatan-afiliasi
Keberagamaan lansia
Keyakinan agama Pandangan-pertanyaan ttg hidup
Persoalan eksistensial Relationships Pengalaman spiritualitas
Makna & tujuan hidup Relasi, kedekatan, dan isolasi Doa Harapan & semangat hidup
Spiritualitas Lansia
Harapan & kecemasan
Harapan/kecemasan thd akhir hayat Merasa berguna, berperan, & dicintai Reminiscence
Spiritual tasks
“Mengheningkan cipta” Memaafkan Kegemaran, hobi, & kreativitas Pengalaman & penderitaan
Penderitaan dan pemaknaan
Musibah, cobaan, & peringatan “Ada musibah ada hikmah”
Pengalaman hidup dan respons
Respons umum Pasrah dan menerima
Respons terhadap penderitaan
Sabar dan tawakkal Bersyukur
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 13 Sources, nodes, references, & coverage masing-masing node pada informan praktisi
Tabel 13.1. Perbandingan jumlah source & references antar node #Kategori atau @nodes #Arti spiritualitas
Sources
References
-
-
•
@Pemahaman pribadi
8
25
•
@Pengaruh pendidikan-diklat
7
14
•
@Spiritual dalam UU Kessos
4
7
@Afiliasi-praktik keagamaan
6
27
@Keyakinan-nilai
8
43
@“Di balik ujian ada hikmah”
7
39
@Motivasi
9
39
@Nilai-prinsip etis
6
10
@Asesmen
9
29
#Intervensi
-
-
•
@Intervensi
9
55
•
@Contoh kasus intervensi
7
19
•
@Penanganan akhir kehidupan lansia
8
23
-
-
#Komponen spiritualitas lain •
@Panutan-sumber inspirasi
1
2
•
@Relationships
1
1
•
@Kecemasan-Harapan
5
13
Tabel 13.2. Rerence & coverage pada kategori #Arti spiritualitas Informan YL SM WN HN ED MM HT TY FS Jumlah
@Pemahaman pribadi References 2 5 2 2 3 0 5 5 1 25
Coverage 1,08% 1,3% 1,2% 0,58% 5,35% 0 3,81% 4,5% 0,55%
@Pengaruh dari diklat References 1 5 1 0 1 0 1 4 1 14
Coverage 0,51% 2,69% 0,99% 0 3,25% 0 0,95% 3,97% 0,51%
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
@Spiritual dalam UU Kessos References Coverage 2 0,54% 2 0,61% 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2,22% 1 0,17 7
Tabel 13.3. Node @Afiliasi-praktik, @Keyakinan-nilai, dan @”Di balik ujian ada hikmah” Informan YL SM WN HN ED MM HT TY FS Jumlah
@Afiliasi-praktik keagamaan References Coverage 7 3,62% 4 3,26% 1 0,43% 6 2,06% 0 0 0 0 0 0 5 3,21% 4 5,79% 27
@Keyakinan-nilai References 14 3 3 8 1 2 0 2 10 43
Coverage 10,35% 2,12% 3,37% 19,48% 0,81% 2,21% 0 2,3% 12,83%
@“Di balik ujian ada hikmah” References Coverage 8 5,91% 0 0 2 3,39% 15 20,63% 2 1,52% 0 0 5 5,08% 5 11,53% 2 5,41% 39
Tabel 13.4. Reference & coverage pada kategori #Komponen spiritualitas penting lain Informan YL SM WN HN ED MM HT TY FS Jumlah
@Kecemasan-harapan References 5 2 2 0 0 0 0 2 2 13
Coverage 3,53% 1,57% 2,97% 0 0 0 0 3,51% 4,49%
@Panutan-sumber inspirasi References Coverage 2 0,6% 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
@Relationships References 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Coverage 0 0 1,04% 0 0 0 0 0 0
Tabel 13.5. Reference & coverage pada node @Motivasi, @Nilai-prinsip etis, dan @Asesmen Informan YL SM WN HN ED MM HT TY FS Jumlah
@Motivasi References Coverage 7 4,72% 7 5,88% 3 1,68% 4 3,36% 4 9,32% 4 5,89% 2 3,55% 1 1,47% 7 11,65% 39
@Nilai-prinsip etis References Coverage 0 0 2 1,02% 2 2,54% 0 0 1 2,58% 0 0 1 1,27% 2 4,88% 2 2,72% 10
@Asesmen References Coverage 1 1,98% 3 9,16% 4 6,46% 3 4,15% 4 8,03% 4 10,19% 2 4,98% 4 9,36% 4 4,73% 29
Tabel 13.6. Reference & coverage masing-masing node pada kategori #Intervensi Informan YL SM WN HN ED MM HT TY FS Jumlah
@Intervensi References 11 6 6 4 2 5 6 8 7 55
Coverage 8,2% 6,55% 7,85% 5,91% 5,65% 10,9% 10,01% 16,86% 8,3%
@Contoh kasus intervensi References Coverage 0 0 1 8,39% 7 15,22% 2 2,01% 1 1,43% 3 5,35% 0 0 1 1,21% 4 9,41% 19
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
@Penanganan akhir kehidupan lansia References Coverage 0 0 1 1,5% 6 20% 2 2,11% 1 1,69% 3 6,75% 1 3,7% 5 6,36% 4 9,35% 23
Lampiran 14 Sources, nodes, references, & coverage masing-masing node pada informan lansia Tabel 14.1. Perbandingan jumlah source & references antar node #Kategori atau @node #Keberagamaan
Sources
References
-
-
•
@Kegiatan-afiliasi agama
8
65
•
@Kondisi Keberagamaan
4
8
•
@Keyakinan
9
47
-
-
#Respons terhadap penderitaan •
@Respons
8
58
•
@Bersyukur
7
24
•
@Pasrah-menerima
8
31
•
@Sabar & tawakkal
2
11
-
-
#Persoalan eksistensial lansia •
@Pandangan-pertanyaan tentang hidup
2
8
•
@Makna-tujuan hidup
3
8
-
-
#Relasi dan keterhubungan •
@Relasi-kedekatan-isolasi
9
87
•
@Doa
9
63
-
-
#Harapan dan kecemasan •
@Harapan
9
73
•
@Semangat hidup
6
7
•
@Kekhawatiran-ketakutan
6
13
•
@Menyikapi akhir hayat
8
40
-
-
#Spiritual tasks •
@Reminiscence
6
31
•
@“Mengheningkan cipta”
3
6
•
@Memaafkan
1
6
•
@Merasa berperan-berguna-dicintai
8
19
•
@Kegemaran-hobi-kreativitas
5
13
-
-
#Penderitaan hidup dan pemaknaan •
@Pengalaman-penderitaan
8
51
•
@Musibah-cobaan-peringatan
5
19
•
@“Ada musibah ada hikmah”
3
10
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tabel 14.2. Reference & coverage pada kategori # Penderitaan hidup dan pemaknaan Informan Mrw Pnd-Gbg Rml-Nrn Est Kntw Sgn Alm Bs Msn Jumlah
@Pengalamanpenderitaan References 5 8 0 0 0 2 0 0 9 24
Coverage 1,35% 7,6% 0 0 0 1,12% 0 0 13,01%
@Musibah-cobaanperingatan References Coverage 5 1,66% 7 6,32% 4 0,34% 0 0 0 0 1 0,77% 0 0 0 0 2 1,45% 19
@”Ada musibah ada hikmah” References Coverage 0 0 0 0 8 1,14% 0 0 0 0 1 0,43% 0 0 0 0 1 1,52% 10
Tabel 14.3. Reference & coverage pada kategori #Reaksi terhadap penderitaan Informan Mrw Pnd-Gbg Rml-Nrn Est Kntw Sgn Alm Bs Msn Jumlah
@Pasrah-menerima References 7 0 3 2 6 1 2 1 9 31
Coverage 1,72% 0 0,66% 0,56% 2,38% 0,8% 0,49% 1,07% 7,03%
@Sabar dan tawakkal References 0 9 0 0 0 0 0 0 2 11
Coverage 0 9,97% 0 0 0 0 0 0 1,13%
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
@Bersyukur References 9 0 2 2 2 2 3 0 4 24
Coverage 3,67% 0 0,81% 0,53% 0,64% 0,9% 1,24% 0 4,22%
Tabel 14.4. Reference & coverage pada node @Respons, @Relasi-kedekatan-isolasi, dan
@Doa Informan Mrw Pnd-Gbg Rml-Nrn Est Kntw Sgn Alm Bs Msn Jumlah
@Respons References Coverage 12 6,12% 13 11,12% 14 4,97% 4 2,04% 6 2,78% 1 1,3% 0 0 2 4,89% 6 5,09% 58
@Relasi-kedekatan-isolasi References 20 8 6 13 16 5 12 5 2 87
@Doa
Coverage 8,73% 8,88% 2,03% 6,82% 9,61% 3,92% 4,07% 6,01% 2,14%
References 6 5 7 16 7 3 12 1 6 63
Coverage 3,07% 4,66% 2,66% 9,53% 2,93% 2,37% 5,19% 0,78% 5,34%
Tabel 14.5. Reference & coverage pada kategori #Keberagamaan Informan Mrw Pnd-Gbg Rml-Nrn Est Kntw Sgn Alm Bs Msn Jumlah
@Kegiatan-afiliasi agama References 9 0 11 15 1 7 10 2 10 65
Coverage 2,78% 0 0,88% 3,77% 0,06% 4,94% 3,34% 14,81% 5,66%
@Keyakinan References 4 2 16 5 9 4 4 1 2 47
Coverage 1,05% 0,79% 5,5% 1,68% 2,88% 3,58% 0,58% 2,55% 2,8%
@Kondisi keberagamaan References Coverage 3 1,89% 0 0 2 0,63% 0 0 1 1,29% 0 0 2 1,49% 0 0 0 0 8
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tabel 14.6. Reference & coverage pada node @Merasa berperan-berguna-dicintai,
@Reminiscence, dan @”Mengheningkan cipta” Informan Mrw Pnd-Gbg Rml-Nrn Est Kntw Sgn Alm Bs Msn Jumlah
@Merasa berperanberguna-dicintai References 5 0 1 1 0 6 3 1 1 18
Coverage 1,62% 0 0,11% 0,36% 0 5,99% 2,12% 1,03% 1,17%
@Reminiscence References 0 0 8 1 4 11 0 4 3 31
Coverage 0 0 4,14% 0,18% 3,19% 10,26% 0 9,12% 3,71%
@”Mengheningkan cipta” References 1 0 2 0 0 3 0 0 0 6
Coverage 0,3% 0 0,51% 0 0 1,92% 0 0 0
Tabel 14.7. Reference & coverage pada node @Kegemaran-hobi-kreativitas, @Memaafkan, dan @Semangat hidup Informan Mrw Pnd-Gbg Rml-Nrn Est Kntw Sgn Alm Bs Msn Jumlah
@Kegemaran-hobikreativitas References Coverage 4 2,29% 0 0 0 0 1 0,69% 2 0,95% 4 1,21% 2 1,44% 0 0 0 0 13
@Memaafkan References 0 0 0 6 0 0 0 0 0 6
Coverage 0 0 0 1,63% 0 0 0 0 0
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
@Semangat hidup References 1 0 1 1 1 0 2 0 1 7
Coverage 0,12% 0 0,18% 0,14% 0,29% 0 0,83% 0 0,73%
Tabel 14.8. Reference & coverage pada node @Harapan, @Kekhawatiran-ketakutan, dan
@Menyikapi akhir hayat Informan Mrw Pnd-Gbg Rml-Nrn Est Kntw Sgn Alm Bs Msn Jumlah
@Kekhawatiranketakutan
@Harapan References 8 4 8 12 4 12 11 4 10 73
Coverage 2,05% 2,17% 2,12% 8,47% 1,22% 6,92% 4,19% 4,64% 12,21%
References 1 2 2 0 2 0 4 0 2 13
Coverage 0,48% 1,87% 0,65% 0 0,67% 0 1,4% 0 3,12%
@Menyikapi akhir hayat References 4 1 6 2 8 2 7 0 10 40
Coverage 1,06% 0,81% 1,09% 1,88% 3,68% 2,15% 3,1% 0 13,83%
Tabel 14.9. References & coverage pada kategori #Persoalan eksistensial lansia Informan Mrw Pnd-Gbg Rml-Nrn Est Kntw Sgn Alm Bs Msn Jumlah
@Makna-tujuan hidup References 3 0 2 3 0 0 0 0 0 8
Coverage 1,67% 0 0,61% 1,28% 0 0 0 0 0
@Pandangan-pertanyaan tentang hidup References 0 0 2 0 0 0 0 0 6 8
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Coverage 0 0 0,6% 0 0 0 0 0 4,43%
Lampiran 15 Node summary report spiritualitas praktisi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Node Summary Report Project:
Spiritualitas Praktisi
Generated:
31/03/2015 4:07
Arti pekerjaan sosial
Free Node
Nickname
Words Coded
102
Created
28/10/2014 2:00
Paragraphs Coded
9
Modified
28/10/2014 2:00
Coding References
4
Sources Coded
2
Cases Coded
0
Catatan perkembangan lansia
Free Node
Nickname
Words Coded
165
Created
10/05/2014 12:17
Paragraphs Coded
7
Modified
11/05/2014 17:49
Coding References
3
Sources Coded
2
Cases Coded
0
Keberagamaan lansia
Free Node
Nickname
Words Coded
355
Created
10/05/2014 1:32
Paragraphs Coded
6
Modified
15/12/2014 0:15
Coding References
4
Sources Coded
2
Cases Coded
0
Kegiatan home care
Free Node
Nickname
Words Coded
739
Created
10/05/2014 23:50
Paragraphs Coded
16
Modified
11/05/2014 17:51
Coding References
11
Sources Coded
3
Cases Coded
0
Lansia psikotik
Free Node
Nickname
Words Coded
212
Created
10/05/2014 11:49
Paragraphs Coded
1
Modified
10/05/2014 11:52
Coding References
3
Sources Coded
1
Cases Coded
0
Node Summary Report
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Page 1 of 4
“Di balik ujian ada hikmah”
Tree Node
Nickname
Words Coded
2.941
Created
07/05/2014 17:40
Paragraphs Coded
92
Modified
16/12/2014 2:28
Coding References
39
Sources Coded
7
Cases Coded
0
Afiliasi-praktik keagamaan
Tree Node
Nickname
Words Coded
1.129
Created
07/05/2014 17:43
Paragraphs Coded
40
Modified
14/12/2014 17:26
Coding References
27
Sources Coded
6
Cases Coded
0
Asesmen
Tree Node
Nickname
Words Coded
3.053
Created
07/05/2014 17:48
Paragraphs Coded
72
Modified
15/12/2014 0:21
Coding References
29
Sources Coded
9
Cases Coded
0
Contoh kasus intervensi
Tree Node
Nickname
Words Coded
2.845
Created
10/05/2014 2:44
Paragraphs Coded
28
Modified
15/12/2014 0:14
Coding References
19
Sources Coded
7
Cases Coded
0
Intervensi
Tree Node
Nickname
Words Coded
4.306
Created
07/05/2014 17:49
Paragraphs Coded
75
Modified
15/12/2014 0:16
Coding References
55
Sources Coded
9
Cases Coded
0
Kecemasan-Harapan
Tree Node
Nickname
Words Coded
1.062
Created
28/10/2014 0:05
Paragraphs Coded
13
Modified
14/12/2014 18:43
Coding References
13
Node Summary Report
Sources Coded
5
Cases Coded
0
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Page 2 of 4
Keyakinan-nilai
Tree Node
Nickname
Words Coded
3.030
Created
07/05/2014 17:41
Paragraphs Coded
91
Modified
15/12/2014 0:15
Coding References
43
Sources Coded
8
Cases Coded
0
Motivasi
Tree Node
Nickname
Words Coded
2.337
Created
07/05/2014 17:44
Paragraphs Coded
58
Modified
15/12/2014 0:25
Coding References
39
Sources Coded
9
Cases Coded
0
Nilai-prinsip etis
Tree Node
Nickname
Words Coded
879
Created
07/05/2014 17:47
Paragraphs Coded
24
Modified
15/12/2014 0:24
Coding References
10
Sources Coded
6
Cases Coded
0
Panutan-sumber inspirasi
Tree Node
Nickname
Words Coded
29
Created
28/10/2014 0:05
Paragraphs Coded
2
Modified
28/10/2014 0:05
Coding References
2
Sources Coded
1
Cases Coded
0
Pemahaman pribadi
Tree Node
Nickname
Words Coded
818
Created
09/05/2014 23:04
Paragraphs Coded
33
Modified
14/12/2014 17:20
Coding References
25
Sources Coded
8
Cases Coded
0
Penanganan akhir kehidupan lansia Nickname
Tree Node Words Coded
3.482
Created
10/05/2014 2:56
Paragraphs Coded
64
Modified
15/12/2014 0:21
Coding References
23
Node Summary Report
Sources Coded
8
Cases Coded
0
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Page 3 of 4
Pengaruh dari pendidikan-diklat
Tree Node
Nickname
Words Coded
649
Created
09/05/2014 23:05
Paragraphs Coded
28
Modified
14/12/2014 17:21
Coding References
14
Sources Coded
7
Cases Coded
0
Relationships
Tree Node
Nickname
Words Coded
86
Created
28/10/2014 0:05
Paragraphs Coded
1
Modified
28/10/2014 0:05
Coding References
1
Sources Coded
1
Cases Coded
0
Spiritual dalam UU Kessos
Tree Node
Nickname
Words Coded
220
Created
09/05/2014 23:10
Paragraphs Coded
8
Modified
14/12/2014 17:21
Coding References
7
Sources Coded
4
Cases Coded
0
Node Summary Report
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Page 4 of 4
Lampiran 16 Node summary report spiritualitas lansia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Node Summary Report Project:
Spiritualitas Lansia
Generated:
31/03/2015 4:10
Perubahan hidup
Free Node
Nickname
Words Coded
571
Created
14/05/2014 2:22
Paragraphs Coded
33
Modified
16/05/2014 6:18
Coding References
11
Sources Coded
4
Cases Coded
0
Ada musibah ada hikmah Nickname
Tree Node Words Coded
235
Created
14/05/2014 17:18
Paragraphs Coded
16
Modified
30/03/2015 1:47
Coding References
10
Sources Coded
3
Cases Coded
0
Bersyukur
Tree Node
Nickname
Words Coded
921
Created
15/12/2014 2:35
Paragraphs Coded
37
Modified
14/01/2015 23:55
Coding References
25
Sources Coded
7
Cases Coded
0
Doa
Tree Node
Nickname
Words Coded
3.043
Created
15/12/2014 2:34
Paragraphs Coded
192
Modified
14/01/2015 23:39
Coding References
63
Sources Coded
9
Cases Coded
0
Harapan
Tree Node
Nickname
Words Coded
3.293
Created
15/12/2014 2:38
Paragraphs Coded
232
Modified
14/01/2015 23:31
Coding References
73
Sources Coded
9
Cases Coded
0
Node Summary Report
Page 1 of 5 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Kegemaran-hobi-kreativitas Nickname
Tree Node Words Coded
592
Created
15/12/2014 2:36
Paragraphs Coded
29
Modified
16/12/2014 20:18
Coding References
13
Sources Coded
5
Cases Coded
0
Kegiatan-afiliasi agama Nickname
Tree Node Words Coded
2.318
Created
14/05/2014 1:53
Paragraphs Coded
210
Modified
15/01/2015 0:07
Coding References
65
Sources Coded
8
Cases Coded
0
Kekhawatiran-ketakutan Nickname
Tree Node Words Coded
632
Created
15/12/2014 2:38
Paragraphs Coded
20
Modified
15/12/2014 2:38
Coding References
13
Sources Coded
6
Cases Coded
0
Keyakinan
Tree Node
Nickname
Words Coded
1.773
Created
25/10/2014 0:35
Paragraphs Coded
96
Modified
15/01/2015 0:18
Coding References
44
Sources Coded
9
Cases Coded
0
Kondisi Keberagamaan Nickname
Tree Node Words Coded
492
Created
14/05/2014 1:53
Paragraphs Coded
37
Modified
16/05/2014 22:08
Coding References
8
Sources Coded
4
Cases Coded
0
Makna-tujuan hidup
Tree Node
Nickname
Words Coded
296
Created
15/12/2014 2:29
Paragraphs Coded
20
Modified
15/12/2014 2:29
Coding References
8
Sources Coded
3
Cases Coded
0
Node Summary Report
Page 2 of 5 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Memaafkan
Tree Node
Nickname
Words Coded
159
Created
15/12/2014 2:36
Paragraphs Coded
13
Modified
15/12/2014 2:36
Coding References
6
Sources Coded
1
Cases Coded
0
Mengheningkan cipta
Tree Node
Nickname
Words Coded
188
Created
15/12/2014 2:36
Paragraphs Coded
16
Modified
16/12/2014 20:26
Coding References
6
Sources Coded
3
Cases Coded
0
Menyikapi akhir hayat
Tree Node
Nickname
Words Coded
2.130
Created
15/12/2014 2:38
Paragraphs Coded
115
Modified
15/01/2015 0:02
Coding References
40
Sources Coded
8
Cases Coded
0
Merasa berperan-berguna-dicintai
Tree Node
Nickname
Words Coded
986
Created
15/12/2014 2:36
Paragraphs Coded
74
Modified
14/01/2015 23:51
Coding References
19
Sources Coded
8
Cases Coded
0
Musibah-cobaan-peringatan
Tree Node
Nickname
Words Coded
671
Created
15/12/2014 2:26
Paragraphs Coded
25
Modified
30/03/2015 1:45
Coding References
19
Sources Coded
5
Cases Coded
0
Pandangan-pertanyaan tentang hidup Nickname
Tree Node Words Coded
354
Created
15/12/2014 2:29
Paragraphs Coded
17
Modified
30/03/2015 1:54
Coding References
7
Sources Coded
2
Cases Coded
0
Node Summary Report
Page 3 of 5 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Pasrah-menerima
Tree Node
Nickname
Words Coded
1.083
Created
15/12/2014 2:26
Paragraphs Coded
43
Modified
14/01/2015 23:34
Coding References
31
Sources Coded
8
Cases Coded
0
Pengalaman-penderitaan Nickname
Tree Node Words Coded
3.213
Created
14/05/2014 2:30
Paragraphs Coded
140
Modified
14/01/2015 23:46
Coding References
50
Sources Coded
8
Cases Coded
0
Relasi-kedekatan-isolasi Nickname
Tree Node Words Coded
4.064
Created
15/12/2014 2:34
Paragraphs Coded
270
Modified
30/03/2015 2:26
Coding References
87
Sources Coded
9
Cases Coded
0
Reminiscence
Tree Node
Nickname
Words Coded
2.020
Created
15/12/2014 2:36
Paragraphs Coded
126
Modified
14/01/2015 23:33
Coding References
31
Sources Coded
6
Cases Coded
0
Respons
Tree Node
Nickname
Words Coded
2.661
Created
14/05/2014 2:30
Paragraphs Coded
121
Modified
16/12/2014 20:01
Coding References
58
Sources Coded
8
Cases Coded
0
Sabar & tawakkal
Tree Node
Nickname
Words Coded
676
Created
15/12/2014 3:24
Paragraphs Coded
17
Modified
15/12/2014 3:41
Coding References
11
Sources Coded
2
Cases Coded
0
Node Summary Report
Page 4 of 5 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Semangat hidup
Tree Node
Nickname
Words Coded
213
Created
15/12/2014 2:38
Paragraphs Coded
18
Modified
15/12/2014 2:38
Coding References
7
Sources Coded
6
Cases Coded
0
Node Summary Report
Page 5 of 5 Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 17 Coding summary report spiritualitas praktisi
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Coding Summary Report Project:
Spiritualitas Praktisi
Generated:
31/03/2015 1:18
WN
Document
Nodes Coding
References
Coverage
Free Nodes\Arti pekerjaan sosial
1
0,84 %
Free Nodes\Catatan perkembangan lansia
1
0,80 %
Free Nodes\Lansia psikotik
3
2,60 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah”
2
3,39 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan
1
0,43 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi
2
1,20 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari pendidikan-diklat
1
0,99 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai
3
3,37 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Kecemasan-Harapan
2
2,97 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Relationships
1
1,04 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen
4
6,46 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
6
7,85 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi
7
15,22 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Penanganan akhir kehidupan lansia
6
20,00 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi
3
1,68 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis
2
2,54 %
Total References
45
HT
Document Nodes Coding
References
Free Nodes\Catatan perkembangan lansia
Coverage
2
Coding Summary Report
4,26 %
Page 1 of 6
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Free Nodes\Kegiatan home care
2
4,60 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah”
5
5,08 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi
5
3,81 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari pendidikan-diklat
1
0,95 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen
2
4,98 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
6
10,01 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Penanganan akhir kehidupan lansia
1
3,70 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi
2
3,55 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis
1
1,27 %
Total References
27
ED
Document Nodes Coding
References
Coverage
Free Nodes\Kegiatan home care
7
16,69 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah”
2
1,52 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi
3
5,35 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari pendidikan-diklat
1
3,25 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai
1
0,81 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen
4
8,03 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
2
5,65 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi
1
1,43 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Penanganan akhir kehidupan lansia
1
1,69 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi
4
9,32 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis
1
2,58 %
Coding Summary Report
Page 2 of 6
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Total References
27
YL
Document Nodes Coding
References
Coverage
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah”
8
5,91 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan
7
3,62 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi
2
1,08 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari pendidikan-diklat
1
0,51 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Spiritual dalam UU Kessos
2
0,54 %
14
10,35 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Kecemasan-Harapan
5
3,53 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Panutan-sumber inspirasi
2
0,60 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen
1
1,98 %
11
8,20 %
7
4,72 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi
Total References
60
SM
Document Nodes Coding
References
Coverage
Free Nodes\Arti pekerjaan sosial
3
0,72 %
Free Nodes\Keberagamaan lansia
1
1,71 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan
4
3,26 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi
5
1,30 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari pendidikan-diklat
5
2,69 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Spiritual dalam UU Kessos
2
0,61 %
Coding Summary Report
Page 3 of 6
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai
3
2,12 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Kecemasan-Harapan
2
1,57 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen
3
9,16 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
6
6,55 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi
1
8,39 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Penanganan akhir kehidupan lansia
1
1,50 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi
7
5,88 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis
2
1,02 %
Total References
45
FS
Document Nodes Coding
References
Coverage
Free Nodes\Keberagamaan lansia
3
3,63 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah”
2
5,41 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan
4
5,79 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi
1
0,55 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari pendidikan-diklat
1
0,51 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Spiritual dalam UU Kessos
1
0,17 %
10
12,83 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Kecemasan-Harapan
2
4,49 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen
4
4,73 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
7
8,30 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi
4
9,41 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai
Coding Summary Report
Page 4 of 6
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Penanganan akhir kehidupan lansia
4
9,35 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi
7
11,65 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis
2
2,72 %
Total References
52
HN
Document Nodes Coding
References
Coverage
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah”
15
20,63 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan
6
2,06 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi
2
0,58 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai
8
19,48 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen
3
4,15 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
4
5,91 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi
2
2,01 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Penanganan akhir kehidupan lansia
2
2,11 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi
4
3,36 %
Total References
46
MM
Document Nodes Coding
References
Coverage
Free Nodes\Kegiatan home care
2
5,55 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai
2
2,21 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen
4
10,19 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
5
10,90 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi
3
5,35 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Penanganan akhir kehidupan lansia
3
6,75 %
Coding Summary Report
Page 5 of 6
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
4
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi
Total References
5,89 %
23
TY
Document Nodes Coding
References
Coverage
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\“Di balik ujian ada hikmah”
5
11,53 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Afiliasi-praktik keagamaan
5
3,21 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pemahaman pribadi
5
4,50 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Pengaruh dari pendidikan-diklat
4
3,97 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Arti spiritualitas\Spiritual dalam UU Kessos
2
2,22 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Keyakinan-nilai
2
2,30 %
Tree Nodes\Pemahaman-pengalaman Praktisi\Komponen spiritualitas penting lain\Kecemasan-Harapan
2
3,51 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Asesmen
4
9,36 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi
8
16,86 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Contoh kasus intervensi
1
1,21 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Intervensi\Penanganan akhir kehidupan lansia
5
6,36 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Motivasi
1
1,47 %
Tree Nodes\Praktik dalam layanan\Nilai-prinsip etis
2
4,88 %
Total References
46
Coding Summary Report
Page 6 of 6
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 18 Coding summary report spiritualitas lansia
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Coding Summary Report Project:
Spiritualitas Lansia
Generated:
31/03/2015 1:19
Pnd-Gbg
Document
Nodes Coding
References
Coverage
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan
4
2,17 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan
2
1,87 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat
1
0,81 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan
2
0,79 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan
7
6,32 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan
8
7,60 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa
5
4,66 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi
8
8,88 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons
13
11,12 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Sabar & tawakkal
9
9,97 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai
1
1,32 %
Total References
60
Mrw
Document
Nodes Coding
References
Coverage
Free Nodes\Perubahan hidup
3
1,28 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan
8
2,05 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan
1
0,48 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat
4
1,06 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Semangat hidup
1
0,12 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama
9
2,78 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan
4
1,05 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kondisi Keberagamaan
3
1,89 %
Coding Summary Report
Page 1 of 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan
5
1,66 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan
5
1,35 %
Tree Nodes\Persoalan Eksistensial Lansia\Makna-tujuan hidup
3
1,67 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa
6
3,07 %
20
8,73 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur
9
3,67 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima
7
1,72 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons
12
6,12 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas
4
2,29 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Mengheningkan cipta
1
0,30 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai
5
1,62 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi
Total References
110
Msn
Document
Nodes Coding
References
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan
Coverage
10
12,21 %
2
3,12 %
10
13,83 %
1
0,73 %
10
5,66 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan
2
2,80 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Ada musibah ada hikmah
1
1,52 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan
2
1,45 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan
9
13,01 %
Tree Nodes\Persoalan Eksistensial Lansia\Pandangan-pertanyaan tentang hidup
5
4,45 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa
6
5,34 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Semangat hidup Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama
Coding Summary Report
Page 2 of 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi
2
2,14 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur
4
4,22 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima
9
7,03 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons
6
5,09 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Sabar & tawakkal
2
1,13 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai
1
1,17 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence
3
3,71 %
Total References
85
Rml-Nrn
Document
Nodes Coding
References
Coverage
Free Nodes\Perubahan hidup
3
1,06 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan
8
2,12 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan
2
0,65 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat
6
1,09 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Semangat hidup
1
0,18 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama
11
0,88 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan
13
6,08 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kondisi Keberagamaan
2
0,63 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Ada musibah ada hikmah
8
1,14 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan
4
0,34 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan
6
4,35 %
Tree Nodes\Persoalan Eksistensial Lansia\Makna-tujuan hidup
2
0,61 %
Tree Nodes\Persoalan Eksistensial Lansia\Pandangan-pertanyaan tentang hidup
2
0,60 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa
7
2,66 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi
6
2,03 %
Coding Summary Report
Page 3 of 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur
2
0,81 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima
3
0,66 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons
14
4,97 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Mengheningkan cipta
2
0,51 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai
1
0,11 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence
8
4,14 %
Total References
111
Sgn
Document
Nodes Coding
References
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan
Coverage
12
7,03 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat
2
2,15 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama
7
4,83 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan
4
3,58 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Ada musibah ada hikmah
1
0,43 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Musibah-cobaan-peringatan
1
0,77 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan
2
1,12 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa
3
2,37 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi
5
3,92 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur
3
0,93 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima
1
0,80 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons
1
1,30 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas
4
1,21 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Mengheningkan cipta
3
1,92 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai
6
5,98 %
11
10,26 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence
Coding Summary Report
Page 4 of 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Total References
66
Alm
Document
Nodes Coding
References
Coverage
3
1,99 %
11
4,19 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan
4
1,40 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat
7
3,10 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Semangat hidup
2
0,83 %
10
3,34 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan
4
0,58 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kondisi Keberagamaan
2
1,49 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan
12
8,54 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa
12
5,19 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi
12
4,07 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur
3
1,24 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima
2
0,49 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas
2
1,44 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai
3
2,12 %
Free Nodes\Perubahan hidup Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama
Total References
89
Kntw
Document
Nodes Coding
References
Coverage
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan
4
1,22 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Kekhawatiran-ketakutan
2
0,67 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat
8
3,68 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Semangat hidup
1
0,29 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama
1
0,06 %
Coding Summary Report
Page 5 of 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan
9
2,88 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kondisi Keberagamaan
1
1,29 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan
5
1,61 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa
7
2,93 %
16
9,61 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur
2
0,64 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima
6
2,38 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons
6
2,78 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas
2
0,95 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence
4
3,19 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi
Total References
74
Est
Document Nodes Coding
References
Coverage
2
1,09 %
12
8,47 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Menyikapi akhir hayat
2
1,88 %
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Semangat hidup
1
0,14 %
15
3,77 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan
5
1,68 %
Tree Nodes\Penderitaan Hidup & Pemaknaan\Pengalaman-penderitaan
3
1,03 %
Tree Nodes\Persoalan Eksistensial Lansia\Makna-tujuan hidup
3
1,28 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa
16
9,53 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi
13
6,82 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Bersyukur
2
0,53 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima
2
0,56 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons
4
2,04 %
Free Nodes\Perubahan hidup Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama
Coding Summary Report
Page 6 of 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Kegemaran-hobi-kreativitas
1
0,69 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Memaafkan
6
1,63 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai
1
0,36 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence
1
0,18 %
Total References
89
Bs
Document Nodes Coding
References
Coverage
Tree Nodes\Harapan & Kecemasan\Harapan
4
4,64 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Kegiatan-afiliasi agama
2
14,81 %
Tree Nodes\Keberagamaan\Keyakinan
1
2,55 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Doa
1
0,78 %
Tree Nodes\Relasi & Keterhubungan\Relasi-kedekatan-isolasi
5
6,01 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Pasrah-menerima
1
1,07 %
Tree Nodes\Respons terhadap Penderitaan\Respons
2
4,89 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Merasa berperan-berguna-dicintai
1
1,03 %
Tree Nodes\Spiritual Tasks\Reminiscence
4
9,12 %
Total References
21
Coding Summary Report
Page 7 of 7
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Lampiran 19 Kumpulan Kutipan Doa Klien Lansia
1. Doa untuk diri sendiri Tema doa
Contoh kutipan
- Ampunan (dosa) dari Tuhan - Kekuatan iman - Badan sehat - Panjang umur - Kemurahan rejeki - Hidup berkah - Kekuatan untuk mengerjakan kewajiban - Berharap agar selalu dekat dengan Tuhan - Keselamatan di dunia dan akhirat
Doa yang diminta ya minta keselamatan di dunia akherat, minta diampuni dosa-dosanya yang telah lalu sampai sekarang dan yang akan datang. Terus di akhir hayat dalam keadaan husnul-khâtimah, dibebaskan dari siksa kubur, diselamatkan dari siksa api neraka, diterima amal ibadahnya. Gitu aja. Diterima tobatnya, ‘Ya Allah terimalah tobat hamba-Mu ini.’ (Alm, 6/6/2013) Saya kan nggak apal ya mas, kita cuman (hapal) itu apa, Ayat Kursi, sama.. doa keselamatan dunia akherat. Allâhumma innâ nas’aluka salâmatan fid-dîn.... itu. (Alm, 6/6/2013) Pokoknya itu aja Ayat Kursi, sama.. Allâhumma innâ nas’aluka salâmatan fid-dîn, wa’âfiyatan fil-jasadi, wa ziyâdatan fil-’ilmi, wa barokatan fir-rizqi, wa taubatan qoblal-maut, wa rohmatan ‘indal-maut, wa maghfirotan ba’dal-maut. Allâhumma hawwin ‘alainâ fî sakarôtilmaut, wan najâta minan-nâr wal-‘afwa ‘indal-hisâb. Robbanâ lâ tuzigh qulûbanâ ba’da idz hadaytanâ wa hablanâ min-ladunka rohmatan innaka antal-wahhâb. Robbanâ âtinâ fid-dunyâ hasanah, wa fil-âkhiroti hasanah, waqinâ ‘adzâban-nâr.. Terus, Allâhummaghfirlî waliwâlidayya warhamhumâ kamâ robbayânî soghîro... 2 kali.. (Alm, 6/6/2013) Robbanâ dholamnâ anfusanâ, wain-lam taghfirlanâ wa tarhamnâ lanakûnana minal-khôsirîn... (Alm, 6/6/2013) Iya bacaannya panjang. Terus nanti kalau udah, itu ya, Allâhumma antassalâm wa minkas-salâm tabârokta robbanâ yâ dzal-jalâli wal-ikrôm. Terus baca yang itu, subhanallâh subhanallâh dulu 33 (kali), dzikirnya. Baru baca doa apa yang diminta gitu aja toh ya mas? (Alm, 6/6/2013) Hehehe, mudah-mudahan ya itu selalu mendekat sama Allah.. Jangan lupa suka berdoa itu yang penting ya yang buat diri sendiri aja yang deket sama Allah gitu dulu, ya kan? Perkara yang belakang-belakang mah nanti doa itu yang penting e.. kita sama Allah itu nanti di dunianya juga ikut... Rejeki juga paling kalau kita banyak berdoa rejeki pasti ada. ... Kan kalau orang berdoa segala macem-segala macem ujung-ujungannya minta diberi rejeki yang berkah dan melimpah. Itu nggak usah diminta juga kalau kita banyak doa juga ada. ... Iya nggak usah diminta juga kalau kita banyak doa. Allah juga tahu. (Alm, 6/6/2013) ‘Ya Allah, kalau hamba masih di-umurkeun (diberi umur), masih dipanjangkeun (dipanjangkan) umur ama diri-Mu ya Allah, hamba minta diampuni...n, dari kecil sampai tua hamba banyak dosa ama diri-Mu,’ gitu. ‘...Hanya Engkau Yang Mahatahu diri saya... Saya masuk di panti karena anak saya pada susah ya Allah. Jadi hanya Engkau Yang Mahabesar, Mahasuci Maha Penyayang, (dan) Maha Pengasih. Minta diampunin diri hamba, kalau dipanjangkeun umur minta sehat, barokah, diredoin (diridhoi) ama Allah segala-galae,’ gitu. (Gbg, 5/6/2013) Ya kita paling berdoanya begini, ‘Allah Bapak yang di sorga yang Maha
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Kuasa, Tuhan Yesus Kristus juru selamat kami, kami mengucap syukur, kuatkanlah iman kami, sehatkanlah badan kami, ampunilah dosa kami, ampunilah kesalahan kami, segala kesalahan kami minta diampuni kepada Tuhan.’ Udeh.., panjang-lebar banyak itu. (Kntw, 31/5/2013)
Allah bapak kami terima kasih. Kami mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, juru selamat kami.. Terima kasih Tuhan Yesus, kami mengucap syukur. Haleluyah, amin.. (Kntw, 31/5/2013) Sekarang kita, sekarang-sekarang ini kita begini, ya Allah bapa yang di sorga Tuhan Yesus jiwa raga saya saya serahkan kepada Tuhan Yesus semua-muanya, kebusukan saya, kebaekan saya, kejelekan saya. Saya pasrah kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus kan lebih tahu. (Kntw, 31/5/2013) Iya, itu Allah yang tahu. Hanya kita, sebab, minta kepada Allah supaya dipanjangkan umur, dikasih kemudahan rejeki, dipanjangkan umurnya, ya kan? Gitu. Sehat badannya, gitu. (Mrw, 8/4/2013) Ya sebetulnya kalau masalah sholat setiap waktu ya kita kerjakan, dan sholat tahajud, itu yang (dirasa Allah) paling dekat dengan saya. Saya minta ampun,saya bertobat, barangkali saya punya kesalahan lebih besar lagi, dosa saya. Ya, setiap habis sholat sih saya minta doa. (Mrw, 8/4/2013) Iya tapi apalagi kita kan habis sholat, habis sholat kan kita jangan harap kita udah diterima kita berdoa lagi, ya kan? ... Kalau saya alah dimana aja yang penting saya doain selamat iman itu aja. ... Ndak usah mikir kita dikuburan dimana, yang penting saya mintain selamat iman. (Nrn, 27/5/2013) Saya ini sekarang, apa lagi, ‘ya Allah selamatkanlah aku dalam iman, selamatkan aku di akherat,’ yah.. (Rml, 27/5/2013) Oh, ya pokokna mah doa minta berkah selamet aja, supaya sehat badan, gitu dek. Supaya dapat milik rejeki dari mana aja.. milik rejeki datangnya gitu dek. Milik dari Allah, rejeki dari Allah barangkali ada yang kasihan ama saya orag miskin gitu dek. (Msn, 16/6/2013) Doa saya.. Doa saya supaya saya sehat, supaya saya namanya, apa... dapet milik rejeki dari mana aja dek. Ngedoain anak-cucu, ngedoain anak juga, saudara seibu-bapak saya juga, didoain semua dek. Ibu-bapak saya, semua didoain supaya.. (Msn, 16/6/2013) - Meninggal dengan mudah dan dalam keadaan baik atau sedang berbuat baik (husnulkhâtimah).
Est mah terserah Tuhan deh. Palingan kalo Est lagi ingat soal mati baru Est. Berdoa, ‘Tuhan, kalau Tuhan mau panggil Est ke rumah Bapak, jangan kasih sakit dulu baru dibawa.’ Est ya berusaha... supaya kalo Est dipanggil sama Tuhan nanti ya, jangan Est kedapatan sedang berbuat dosa. ...Jangan sampe Est membuat Tuhan berduka cita ya. ...Semoga Est nanti kalo dipanggil Tuhan, hidup suci ya, hidup kudus ya. Dekat sama Tuhan ya. Setia berdoa ya, dan lain sebagainya. (Est, 31/5/2013) Itu saya na’ûdzubillâh min dzâlik, jangan sampai begitu ya saya. Makannya saya kalau habis sholat itu doanya ya Allah, di akhir hayatku nanti semoga dalam keadaan husnul khotimah. (Alm, 6/6/2013) Jangan sampai kaya temen temennya begitu.. Dua hari, tiga hari, sampai merepotkan. Pramu-pramu juga pada cerita di sini, ‘si A begini, penyakitnya begini-begini-begini, masa saya sampai nggak doyan makan, apah.... ngerawat dia nggak doyan makan.’ Itu kan berarti menjijikkan
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
itu. ... Nah itu saya jangan sampai begitu.. Saya pokoknya selalu berdoa.. ‘Mudah-mudahan.. saya jangan merepotkan oranglah,’ gitu. Istilahnya ya masuk angin... terus diambil gitu aja. (Alm, 6/6/2013)
- Harapanharapan praktis jangka pendek dalam keseharian.
Selalu doain, minta sama Tuhan supaya ditolong Tuhan belajar menyanyi. Sekarang lagi menyanyi lagu baru... Terus itu, apa, tementemen yang suka nyakitin hati ...pokoknya biar Tuhan beresin (membereskan) gitu ya mereka. ...terus supaya ringan penderitaa. (Est, 31/5/2013). ...kegiatan sehari-sehari dari pagi sampai malam. Minta kemampuan pada Tuhan. Minta ama Tuhan supaya suster pagi-pagi udah bawain (sudah membawakan) nasi ...sama abon. Terus minta Tuhan mampuin (memberi kemampuan) bikin havermut. ... Iya, dua, dua cangkir... (Est, 31/5/2013) Selalu Est doain, minta sama Tuhan supaya Est ditolong Tuhan belajar menyanyi. Sekarang Est lagi menyanyi lagu baru. (Est, 31/5/2013).
- Doa atau wirid ketika sedang ditimpa masalah, sakit, atau merasa sedih
Iya. Saya suka ingat juga. Katanya kalau lagi sedih, kalau lagi marah, katanya, baca aja Ayat Kursi, nanti juga kemarahannya ilang sendiri. Saya suka baca itu aja, dek. Kalau malam-malam kalau apa juga saya, suka kayak gitu. Kalau habis sholat itu, saya wiridan, ayat kursi, ama Yasin, ama segala saya... Sebisa-bisa saya gitu, dek, di-ituin, dibacain semua. Karena, kata saya, kalau habis sholat Maghrib, kalau belum Isya saya belum pernah batal, dek. Masih duduk aja di situ, apa aja saya baca, kan... (Msn, 16/6/2013) Kalo Engkong, kalau sakit nih ya (berkeyakinan) sakit Allah punya, sehat Allah punya. Engkong mah nggak punya apa-apa. Bisa bicara karena Allah. Mata bisa melihat karena Allah, gitu aja. Nah sekarang nih keadaan sakit, Allah itu kasih peringatan, gitu. ‘Ya Allah mohon sembuhkan. Sakit Allah punya, sehat Allah punya, saya tidak punya apaapa. Siang-malam saya digerakkan sama Allah.’ Dikasih sehat, sehat aja. Udah pernah nih, di bawah perut nih saki....t banget mau sholat maghrib tuh. .... Sholat maghrib, mohon sama Allah ama wirid sampe Isya. Nah begitu adzan Isya, sholat Isya, udah sholat Isya nge-wirid lagi, alhamdulillah (sembuh). (Pnd, 30/5/2013) (Wirid) apa aja sebisanya. Subhanallâh, wal-hamdu lillâh wa lâ ilâha illallâh allâhu akbar. Kalau nggak, ya Allah, ya Allah, ya Allah, ya Allah... (Pnd, 30/5/2013)
2. Doa untuk orang-orang yang dicintai yang masih hidup atau untuk sesama Tema doa
Contoh kutipan
- Kesuksesan di dunia, - Kesehatan, - Usahanya lancar, - Tetap dalam iman, - Diberi perlindungan
Ya saya serah(-kan) sama Allah ta’ala saya doain. ... yang lain-lain yang masih hidup saya doain, (semoga berada) di jalan yang lurus. Pokoknya yang itu yang ada kita (perhatikan), kan itu. Yang satu hilang yang lainnya kita kan harus perhatiin (diperhatikan), ya kan... Sekarang kita mikir anak yang masih ada ini, ntar (nanti) kayak mana nanti dia..., saya serah(-kan) sama Allah, bimbing dia ke jalan yang lurus yang benar. ... Jadi yang was-was kita ini ya anak yang masih hidup, kayak (bagaimana) masa depan dia, gitu. (Nrn, 27/5/2013) Ya emak sih tetep aja ama dia gitu. Ya mudah-mudahan kasih selamet
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
keselamatan di duniaakhirat
lahir-batin dunia-akherat. Biar dia jauh ama emak gitu, tapi emak, hati emak tetep deket ama dia, gitu. (Gbg, 5/6/2013). Ama mantu juga emak tetep ngedoain... Iya, emak juga ama mantu, kan namanya Yl, (berdoa), ya Allah mudah-mudahan rumah tanggae sakînah mawaddah wa rohmah, Sn bari Yl, gitu. Cucu emak, Ac bn Ikhs. Emak sih nggak ada dendam sama temen, geh. Demi. .. Apalagi ama anakmantu. (Gbg, 5/6/2013). Saya tuh kalau lihat-lihat orang kawin (di resepsi pernikahan suka berdoa dalam hati), ya Allah ya Tuhan, mudah-mudahan cucu saya pada kawin, selagi saya diumur sama... dikasih umur sama Allah. (Bs, 16/6/2013) Doa saya.. Doa saya supaya saya sehat, supaya saya namanya, apa... dapet milik rejeki dari mana aja dek. Ngedoain anak-cucu, ngedoain anak juga, saudara seibu-bapak saya juga, didoain semua dek. Ibu-bapak saya, semua didoain supaya.. (Msn, 16/6/2013) Didoain dek. Semua kata saya, nggak dipanggil satu per-satu, kata saya. Supaya pokoknya ini mah sakulawarga saya aja. Se-anak, cucu saya, ibubapak saya, nenek saya, anak saya, pokoknya saya ngirim doa gitu. Supaya dia diterima amal ibadahnya, kata saya gitu dek. Dicaangkeun dalam kuburna, diringankan siksa kuburna, dijauhkan segala siksaannya, kata saya, diringankeun gitu dek saya. Ngedoain bukan saya aja, ya saya juga, bakal saya... bakal yang almarhum-almarhum juga, saya.. doain. (Msn, 16/6/2013) Ya minta Yang Kuasa supaya keluarga atau anak cucu itu selalu selamat, (untuk yang sudah meninggal supaya) di alam kubur dapat tempat di sisiNya. (Sgn, 5/6/2013)
- Agar cucunya nanti ingat kepadanya, menyayangin ya, dan mampu membalasnya
Saya suka (berdoa), muga-muga ya..., kalau sholat minta-minta, ya Allah mudah-mudahan cucu saya sadar, cucu saya babales (membalas kebaikan) saya, (dan almarhum) anak saya... Ya suka minta-minta ama Allah saja, dek. ... supaya anak-cucu saya pada (semua) sayang pada ingat ama saya, gitu. (Msn, 16/6/2013) Kalau.. ya kita didoakan supaya dia ya hidupnya bisa layak gitu aja. Selalu inget sama orang tuanya. (Alm, 6/6/2013) Ya anu, alhamdulillah ya mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi sama anak, makanya tiap malam kita berdoa itu, ya supaya anak itu ngerti sama orang tua, gitu aja. (Sgn, 12/6/2013)
- Doa untuk teman sesama penghuni atau petugas panti
Ya biar..biar..Tuhan..Tuhan itu apa Tuhan apa ya..pokoknya biar Tuhan beresin gitu ya mereka. ... Terus supaya ringan penderitaan Est. (Est, 31/5/2013) Iya, terus..terus itu apa namanya minta kesembuhan ya buat temen-temen ya.. (Est, 31/5/2013) Buat temen-temen di sini ya. Minta kesembuhan buat suster Endang ya... Terus minta lulus ujian ya sama buat..buat anaknya ya... Anaknya ujian biar lulus ya. Biar nilainya bagus ya. Kalo bisa jadi juara ya... (Est, 31/5/2013) Kalo berdoa sepotong-sepotong kan gak ada gunanya ya. ... Nanti besok sambung lagi 3 ayat lagi. Gitu. Terus aja saban hari 3 ayat 3 ayat. ... Ee salah satunya E.... pake dalam doa sekarang. ... Misalnya ee ini jadi apa ee lumbung-lumbungmu biar dipenuhi dengan hasil bumi yang
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
melimpah-limpah. Bejana pemerahanmu meluap dengan buah anggurnya. Dari Amsal. ... Iya dijadiin doa Est. ... biar dikasih rejeki berlimpahan. (Est, 31/5/2013)
- Mendoakan saudara atau orang-orang yang pernah berkunjung ke panti atau pernah memberi sedekah (uang atau barang)
Terus... itu kan dokter Mt lagi hamil. Dia pesan suruh doain (mendoakan) terus dia. Itu kandungannya tuh boleh diminta tuh sama Tuhan. Setiap hari didoain (didoakan) dua kali sehari... Sebutin (disebutkan) tuh 2 kali sehari supaya dia mengandung, supaya dia hamil, punya anak. Jadi didoain terus. Dalam doa ada dua bayi didoain. Yang pertama dokter Mt, yang kedua Crl. (Est, 31/5/2013). Iya Est doain, si Wwn sama si Ivn di Amerika. Si Isk supaya kakinya tuh jangan kumat lagi. Supaya sembuh betul-betul. ... Jadi Est sampe sekarang masih doain walaupun Est. dia jalan, setir mobil, beli sepatu buat Est, tapi Est masih doain terus kakinya itu (sembuh). Supaya kalo misalnya ven-nya dicabut atau gimana. Kan supaya bisa jalan... Iya, terus si Mrt sama suaminya. ... Terus suaminya biar bantu keuangan Est. ... Jangan adek terus yang ngongkosin. (Est, 31/5/2013) Yang ngasih.. Yang mengasih kami dari tangan Tuhan Yesus melalui tangan Tuhan Yesus, semoga mereka sehat wal-afiat.. Usahanya lancar, perjalanannya biar bener.. Biar jangan ada musibah apa-apa di jalan, ya begitu pan? (Kntw, 31/5/2013) Ya dek, orang tua mah jangan lagi jeh ke anak ya, ke temen ke si adek, ke anak-anak Akper, emak tetep berdoa. Kalau ke anak Akper mudahmudahan kamu sing pada lulus yah. Kalau udah lulus sing inget orang tua. Orang tua kamu tuh mati-matian mbiayain kamu, ‘iya mak.’ Tapi kata anak-anak Akper, yang embah-embah bisa nasehatin emak doang di sini. Yang laine nggak pernah nasehatin. (Gbg, 5/6/2013) ... Terus bapak juga didoain ama emak, semuah mahasiswa juga didoakeun ama emak. Yang udah pada kenal-kenal ama emak, praktekpraktek di sini, apalagi ama si adek. Hehe kemaren gah ditanyain ama si engkong .... Semua, biar nggak dipintah ama emak didoain. Iya, biar pegawai biar apa didoain ama emak. Kan kata yang ngarti katanya, kalau doa orang tua itu mustajab, gitu katanya. (Gbg, 5/6/2013)
3. Doa untuk orang-orang terdekat yang telah tiada Tema doa
Contoh kutipan
- Agar diampuni segala dosanya, - Diterima amal ibadahnya, - Diberi jalan yang terang, - Dihindarkan dari siksaan
(Yang sudah tidak ada) didoain, dek. Semua... nggak dipanggil satu persatu, kata saya. Supaya pokoknya ini mah sakulawarga (sekeluarga) saya aja. Se-anak, cucu saya, ibu-bapak saya, nenek saya, anak saya, pokoknya saya ngirim doa, gitu. Supaya dia diterima amal ibadahnya, ... dicaangkeun alam kuburna (diterangkan alam kuburnya), diringankan siksa kuburna, dijauhkan segala siksaannya, kata saya. Diringankeun (diringankan) gitu dek, saya. (Msn, 16/6/2013) Kita berdoa... Untuk die.. Die pulang ke sorga. Pan dia ngilangnya pan die pulang ke sorga. ... Ya kita doain... Minta ama Tuhan Yesus.. Di kasih jalan yang terang yang enak.. Diampuni dosanya.. Diampuni kesalahannya.. Apa yang dia berbuat di muka bumi tolonglah minta ampunin.. Dosa-dosanya minta ampunin ama Tuhan Yesus, begitu..
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.
Berdoanya.. Hei bapak... (Kntw, 31/5/2013) Ya kita paling berdoanya begini, “Allah Bapak yang di sorga yang Maha Kuasa, Tuhan Yesus Kristus juru selamat kami, kami mengucap syukur, kuatkanlah iman kami, sehatkanlah badan kami, ampunilah dosa kami, ampunilah kesalahan kami, segala kesalahan kami minta diampuni kepada Tuhan.” Udeh.., panjang-lebar banyak itu. (Kntw, 31/5/2013) Doa saya.. Doa saya supaya saya sehat, supaya saya namanya, apa... dapet milik rejeki dari mana aja dek. Ngedoain anak-cucu, ngedoain anak juga, saudara seibu-bapak saya juga, didoain semua dek. Ibu-bapak saya, semua didoain supaya.. (Msn, 16/6/2013) Didoain dek. Semua kata saya, nggak dipanggil satu per-satu, kata saya. Supaya pokoknya ini mah sakulawarga saya aja. Se-anak, cucu saya, ibubapak saya, nenek saya, anak saya, pokoknya saya ngirim doa gitu. Supaya dia diterima amal ibadahnya, kata saya gitu dek. Dicaangkeun dalam kuburna, diringankan siksa kuburna, dijauhkan segala siksaannya, kata saya, diringankeun gitu dek saya. Ngedoain bukan saya aja, ya saya juga, bakal saya... bakal yang almarhum-almarhum juga, saya.. doain. (Msn, 16/6/2013) Ya begitu aja.. Ya kan kita kalaupun kita ingat-ingat yang sebenarnyakan ndak usah juga kan? Selain mendoakan keselamatannya kan? Mudahmudahan diberi Allah kelapangan kuburnya, lepas dari pada azab kuburan gitu, dilapangkan kubur gitu, diampunkan dosanya.. Ya kan? ... Iya berdoa. Kalau biar nggak inget selalu.. Salalu nggak pernah lupa berdoa. ... Nggak putus-putus berdoa. (Nrn, 27/5/2013) Ya minta Yang Kuasa supaya keluarga atau anak cucu itu selalu selamat, (untuk yang sudah meninggal supaya) di alam kubur dapat tempat di sisiNya. (Sgn, 5/6/2013) ... Ya mudah-mudahan lah dia (almarhum istri) di sana bisa di tempat disisi-Nya. (Sgn, 12/6/2013) Berkirim doa
Ya doa itu baca bismillah aja.. apa, (surat) al-Fâtihah aja.. Itu 3 kali, Qulhu (surat al-Ikhlâsh) 3 kali, Falaq (surat al-Falaq) 3 kali, Nas (surat an-Nâs) 3 kali. (Alm, 6/6/2013) E eh. Yang udah nggak ada ya (kirim) al-Fatihah, Nas, Falaq, Qulhu aja. (Alm, 6/6/2013)
Spiritualitas untuk..., Toton Witono, FISIP UI, 2015.