SPEKULASI DAN PROFIT PADA SPECULATIVE BUILDER (DEVELOPER) DAN KONTRAKTOR Ir. NURINAYAT VINKY RAHMAN MT. Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur Universitas Sumatera Utara Pendahuluan Di dalam usaha konstruksi terdapat dua sektor yang terlibat langsung dalam proses pembangunan yaitu kontraktor dan speculative builder (developer). Dalam melaksanakan pekerjaannya, maka kedua sektor tersebut membutuhkan modal, di mana modal kerja yang harus disediakan oleh speculative builder jauh lebih besar dan modal yang dibutuhkan oleh kontraktor. Sebab speculative builder terlebih dahulu harus menyiapkan lahan untuk dibangun dan mengurus ijin-ijin pembangunannya yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit serta gaji karyawan yang keseluruhannya harus ditutupi dan modal sendiri. Karena sifatnya yang spekulatif, maka unsur ketidakpastian (uncertainly) pada sektor ini juga lebih besar. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab kerugian yang harus dipikul oleh speculative builder apabila output yang dijualnya tidak menghasilkan keuntungan sesuai target. Contoh yang sangat jelas adalah pada bisnis properti, khususnya perumahan mewah, perkantoran dan apartemen mewah yang termasuk dalam speculative building. Sekarang ini di Indonesia semakin banyak terlihat pemilik modal yang terjun ke dalam bisnis properti untuk kemudian menjadi speculative builder. Padahal adanya tuntutan terhadap modal awal yang relatif besar dan adanya ketidakpastian (uncertainty) yang tinggi seharusnya membuat para pemilik modal berpikir lebih untuk memutuskan apakah akan melakukan investasi di bisnis ini. Begitupun, mengapa bisnis ini nampaknya semakin bergairah saja ?. Salah satu faktor utamanya adalah karena keuntungan yang dijanjikan sangat besar. Para developer melihat besarnya demand yang ada pada bidang ini. Antara lain kebutuhan akan rumah di Indonesia yang berjumlah ratusan ribu unit yang masih belum terpenuhi dan akan bertambah terus seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah penduduk. Demikian pula halnya dengan kebutuhan akan ruang perkantoran. Adanya demand dapat menjadi sumber dari keuntungan yang diperoleh. Dari sisi lainnya, keuntungan juga dapat diperoleh mulai dari saat membeli tanah yang harganya murah di lokasi yang strategis dapat berlipat ganda jumlahnya. Belum lagi pada saat pemasaran dan penjualan, dimana para konsumen membayarkan uang muka untuk bangunan (yang belum ada) yang dibelinya (sistem pre launching atau launching), sehingga dapat mengurangi beban modal yang harus disediakan dari kantong sendiri. Di samping itu akan mengurangi pula jumlah kredit yang harus dipinjam melalui bank. Jika dihitung-hitung seluruh keuntungan yang diperoleh dapat mencapai 200 sampai 300 persen (kasus di Indonesia), jumlah mana yang kemudian membuait para pemilik modal memutuskan untuk terjun di dalam bisnis speculative building. Sehingga untuk sementara dapat disimpulkan bahwa motivasi profitlah yang menjadi faktor utama sehingga para pemilik modal mau berkiprah dalam bisnis yang sifatnya spekulatif ini. Speculative Builder Dan Kontraktor N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library
1
Speculative builder atau Developer, adalah orang atau badan usaha yang bergerak atau melakukan investasi di dalam bidang properti (perumahan, gedung perkantoran dan apartemen), dimana usaha ini bersifat spekulatif. Sedangkan arti spekulasi sendiri adalah asumsi dari resiko di atas rata-rata untuk mana ada antisipasi pengembalian finansil yang lebih tinggi (Vernon Musselman, 1992). Jadi speculative builder bersedia menerima resiko yang besar dengan harapan akan dapat memperoleh laba atau keuntungan yang besar dalam waktu yang relatif singkat. Dengan kata lain, speculative builder hanya akan membangun dan menjual outputnya jika ia telah mengantisipasi bahwa ia akan memperoleh profit (Patricia Hillebrandt, 1974). Kontraktor adalah orang atau badan usaha yang menandatangani kontrak untuk mengerjakan atau melaksanakan pembangunan. Seperti halnya speculative builder, usaha kontraktor juga memiliki tujuan memperoleh keuntungan. Bedanya, modal awal yang harus disediakan oleh usaha ini relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan usaha speculative building, sebab dalam hal ini kontraktor tidak mesti membeli lahan terlebih dahulu sebelum membangun. Bantuan modal kerja diperoleh pula dan adanya uang muka (down payment) yang diberikan oleh pemilik bangunan (owner). Usaha kontraktor dapat dianggap sebagai usaha yang tidak bersifat spekulatif karena besarnya keuntungan dan kapan diperolehnya keuntungan tersebut dapat diaturnya sendiri, meskipun kadang-kadang apa yang diharapkan tidak tercapai sesuai target. Tetapi unsur spekulasi tidak terlalu dominan disini. Cara Memperoleh Keuntungan Untuk roemperkirakan besarnya profit (keuntungan) yang akan diperoleh dalam usaha konstruksi, maka pihak pembangun (speculative builder dan kontraktor) akan menghitungnya atas dasar besarnya biaya (costs) yang dikeluarkan untuk pembangunan. Untuk kontraktor, maka keuntungannya sudah diperhitungkan pada biaya pembangunan yang diajukan pada saat tender. Tetapi pada speculative builder keuntungannya diperhitungkan terhadap harga jual (selling price) bangunannya. Tidak seperti kontraktor yang dapat menentukan harga sendiri (price-setter), maka speculative builder hanya bertindak sebagai price-taker dimana harga jualnya disesuaikan dengan harga pasaran (market prices). Karena harga pasaran pada saat membangun kemungkinan besar tidak sama dengan harganya setelah selesai dibangun (berfluktuasi) sesuai dengan kondisi permintaan (demand) dan penawaran (supply) pada waktu itu, maka dalam speculative building besarnya keuntungan atau kerugian yang diperoleh nantinya juga tidak dapat dipastikan. Selain itu besarnya keuntungan juga sangat tergantung dan besarnya biaya pembangunan yang dapat pula berfluktuasi sesuai dengan harga komponen bangunan. Hal ini dapat terjadi jika harga komponen bangunan naik setelah bangunan selesai dipasarkan tetapi belum dibangun, kecuali kenaikan harga ini telah diperkirakan dan diperhitungkan sebelumnya. Jika pada saat pelaksanaan pembangunan harga komponen naik, maka hal ini tidak akan mempengaruhi perhitungan besarnya keuntungan (sebaliknya dengan kontraktor). Keuntungan speculative builder juga ditentukan oleh besarnya permintaan terhadap outputnya. Dengan demikian apabila terjadi kesalahan misalnya dalam memprediksi demand untuk apartemen, dimana pada saat bangunan dijual kemudian harus dibangun tetapi temyata jumlah peminat atau demand tidak
N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library
2
mencapai target, maka resiko kerugian yang harus ditanggung oleh speculative builder juga relatif besar. Untuk mengetahui secara lebih jelas proses kerJa kontraktor dan speculative builder serta cara memperhitungkan keuntungaimya, dapat dilihat pada diagram berikut.
persiapan tender
!
tender !
pelaksanaan !
penyerahan !
operasional & maintenance
Gambar 01 - Diagram proses kerja kontraktor Pada saat memenangkan tender, maka kontraktor sudah mengetahui berapa besar pembayaran yang akan diterimanya dan berapa besar keuntungannya. Meskipun disini seringkali terjadi keuntungan yang diterima tidak sesuai dengan yang diperhitungkan semula (karena kenaikan harga bahan misalnya atau karena adanya force majeur), tetapi rata-rata keuntungan yang dapat diperoleh oleb kontraktor adalah sebesar 20 persen dari harga bangunan. Keuntungan sebesar itu dapat diperolehnya hanya dengan modal kerja (working capital) yang relatif kecil yaitu untuk membayar gaji pegawai dan sewa alat-alat misalnya. Kebutuhan akan modal ini hanya sampai kontraktor menerima uang muka (down payment) dan pemilik bangunan. Pada pembayaran termin pertama, kontraktor biasanya telah menyisihkan keuntungan, apalagi jika dalam tahap awal pekejaannya telah memiliki prosentase kerja yang tinggi (memakai sistem front loading), sehingga jumlah yang dibayarkan pun besar. Berbeda halnya dengan developer (speculative building), dimana sebelum proses pembangunan dibutuhkan modal yang besar, antara lain untuk pembebasan tanah (beserta ijin-ijin), site development, pelaksanaan pembangunan, pemasaran dan penjualan.
Ijin lokasi !
pembelian ! tanah
site ! develop.
pembangunan ! !
pemasaran
penjualan
Gambar 02 - Diagram proses kerja developer Perhitungan Profit Developer Untuk memperkirakan besarnya keuntungan (profit) yang akan diperoleh, salah satu caranya yaitu dengan cara menghitung besarnya harga jual bangunan. Harga jual bangunan dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan (real cost) ditambahkan dengan besarnya keuntungan (profit) yang diinginkan. Sementara itu, untuk menghitung pembiayaan / real cost, tidak dapat didasarkan pada harga jual (selling price), terutama dalam situasi yang uncompetitive, misalnya saja adanya pengeluaran untuk biaya tenaga kerja (labor cost) yang jumlahnya tidak sama karena digunakannya tenaga kerja dengan kemampuan (skill) yang berbeda sehingga gaji (salary) nya pun akan berbeda pula.
N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library
3
Gambar 03 – Faktor skill tenaga kerja, yang berbeda untuk tiap proyek, turut menentukan dalam mengoptimalkan profit developer Kedua, adalah faktor bagaimana menghitung biaya pembangunan (cost), sehingga developer dengan tepat dapat memilih untuk mengerjakan suatu proyek yang akan menghasilkan keuntungan. Dengan demikian, dalam membuat keputusan investasi, harus dapat memilih atau mencari biaya pembangunan (cost) yang dapat diperkirakan. Sebagai ilustrasi misalnya, bila ada pilihan untuk membangun rumah mewah dan rumah sederhana, dimana jumlah rumah mewah yang akan dibangun jauh lebih sedikit dari jumlah rumah sederhana. Developer harus dapat memilih, mana yang akan dikerjakan berdasarkan keuntungan yang nanti diperoleh. Dari satu sisi, akan lebih besar keuntungannya apabila membangun rumah mewah, karena harganya yang jauh lebih tinggi bila dibanding rumah sederhana, sehingga keuntungan lebih besar sudah dapat diperoleh meskipun hanya dengan membangun lebih sedikit. Beda halnya dengan rumah sederhana, yang nota bene harganya lebih kecil, sehingga 'celah-celah' untuk mengambil keuntunganpun akan mengecil pula. Di sisi lain, rumah mewah membutuhkan tenaga kerja yang relatif memiliki skill yang lebih terampil untuk mengerjakannya, sehingga dengan demikian tentu pembiayaan nya pun akan menjadi lebih besar. Ketiga adalah meperhitungkan adanya faktor social cost. Untuk developer, berlaku dua jenis cost, yaitu private cost dan social cost. Private cost biasanya hanya diperhitungkan pada biaya proyek itu saja (misalnya rumah tinggal) tanpa melihat biaya untuk membangun fasilitas urnum dan sosialnya (disebut dengan social cost). Biasanya Pemerintah yang membangun perumahan juga membangun beserta fasilitasnya. Developer hanya memperhitungkan private cost saja. Lain halnya untuk developer besar, yang membangun suatu kota (misalnya, Bumi Serpong Darnai), tentu sudah memperhitungkan social cost, yang nantinya akan diperhitungkan terhadap profitnya. Hal ini dapat berlangsung dengan syarat sumber dana untuk pembangunannya sudah ada dan pembangunannya betul-betul dilaksanakan.
N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library
4
Gambar 04 – Pembangunan Kawasan Perumahan oleh Developer, Yang mencakup fasilitas umum berikut fasilitas sosialnya Faktor lain yang dapat dipakai untuk dapat memprediksi keuntungan adalah dengan melihat kondisi demand dan supply. Bila harga meningkat maka demand akan berkurang dan supply meningkat. Sebaliknya jika harga turun, demand akan meningkat dan supply yang rendah. Keuntungan dapat diperoleh jika terdapat keseimbangan antara harga, besarnya demand dan supply (gambar 05). Grafik ini berlaku pula pada pembangunan rumah tinggal, misalnya di Indonesia. Pola pembangunan perumahan yang diterapkan oleh Pemerintah adalah 1:3:6. Yaitu setiap developer dalam membangun satu buah rumah mewah, harus membangun pula tiga buah rumah menengah dan enam buah rumah sederhana (RS)/ rumah sangat sederhana (RSS).
Gambar 05 - Kurva demand dan supply Sumber: Patricia M. Hillebiandt, Economic Theory and the Construction Industry, 1974) N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library
5
Di sini, potential demand adalah pada jenis rumah RS dan RSS. Begitupun, temyata supply untuk rumah jenis ini dianggap sangat tidak mencukupi. Hal ini bisa jadi karena developer enggan mematuhi pola yang diterapkan tersebut. Membangun rumah mewah tentu dirasakan akan lebih menguntungkan daripada membangun jenis RS atau RSS, sehingga pembangunan RS atau RSS pun akan tersendat. Biaya pembangunan yang harus dikeluarkan untuk RS atau RSS (terutama untuk penyediaan lahan dan pematangannya), lebih besar bila dibanding dengan keuntungan yang akan diperoleh dari membangun rumah-rumah jenis ini. Jika ada yang mau membangun pun, maka dapat ditebak, umumnya kualitas konstruksi bangunannya sangat rendah. Sebagai tambahan, di Indonesia biaya konstruksi termasuk cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara lain, Malaysia atau Brunei misalnya. Tingginya harga konstruksi di sini, dikarenakan harga komponen yang mahal, misalnya besi, semen, pasir dan lain-lain. Harga inipun masih bisa berbeda-beda tergantung di mana lokasi proyeknya berada. Harga bahan bangunan di Jakarta berbeda dengan yang ada di Jayapura. Akibatnya, jika dihitung biaya konstruksi ditambah dengan profit, maka harga jual bangunan pun akan menjadi bervariasi. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di luar negeri. Di lnggris misalnya, harga jual akhir telah ditentukan sebelumnya (price taken), sehingga diperoleh harga patokan, dan pihak developer menjadi price taker. Masa Depan Bisnis Properti Di Indonesia Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa speculative builder atau developer bersedia menerima resiko yang besar dengan harapan akan dapat memperoleh laba atau keuntungan yang besar dalam waktu yang relatif singkat. Tidaklah mengherankan jika di Indonesia bisnis properti berkembang sangat pesat. Sayangnya, karena terlalu mengejar keuntungan besar dan dalam waktu cepat dapat diperoleh, maka developer cenderung membangun sebanyak-banyaknya apartemen dan rumah mewah termasuk real estate yang notabene berharga mahal sehingga jumlah unit yang ditawarkan tidak lagi seimbang dengan tingkat permintaan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dan tingkat kekosongan apartemen dan perumahan yang besar terjadi di Jakarta. Demikian pula kondisi bangunan untuk perkantoran, meski keadaannya tidak separah apartemen dan perumahan mewah. Karena pasokan melebihi permntaan, sedangkan semua developer mulai dihadang pada kewajiban-kewajiban membayar hutang yang cukup besar, maka harga properti akan turun cukup signifikan. Akibat keadaan ini, bukan hanya developer yang akan menderita kerugian, tetapi bisnis perbankan juga terkena imbasannya, termasuk juga perekonomian Indonesia, sehingga timbul krisis ekonomi seperti yang pemah dialami oleh Amerika, Jepang dahulu dan juga Hongkong. Di lain pihak, konsumen pun akan dirugikan jika melihat kenyataan di lapangan, bahwa temyata banyak apartemen yang sudah dibayar tidak dibangun-bangun atau bahkan belum memiliki izin mendirikan bangunan. Fasilitas urnum dan fasilitas sosial yang dijanjikan dan telah dibayar oleh konsumen temyata tidak juga diwujudkan. Demikian pula infrastruktunya. Seorang pakar ekonomi, mengatakan, Indonesia sepuluh tahun ini akan mengalami krisis ekonomi, yang salah satu diantaranya disebabkan oleh bisnis properti. Dari sisi perbankan sebagai pemberi kredit, hal ini cukup merepotkan. Karena pemberian kredit properti itu ada yang didasarkan pada pemakaian dana berjangka pendek (deposito jangka pendek). Sehingga ketika jangka waktu deposito sudah berakhir, kreditnya masih berlangsung. Kredit properti yang disalurkan juga temyata lebih banyak yang berasal dari modal bank atau laba ditahan bank sendiri N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library
6
atau dari pinjaman luar negeri, bukan dari dana masyarakat. Akibatnya bunga bank pun cenderung menjadi meningkat. Selain itu, krisis ini juga disebabkan karena baik para developer yang lebih banyak berspekulasi maupun pemerintah yang tidak melakukan studi terlebih dahulu untuk mengetahui berapa sebenarnya ruang apartemen dan ruang perkantoran yang dibutuhkan, sehingga dapat diprediksi dengan baik berapa banyak yang perlu disediakan/dibangun. Kecuali itu perangkat hukum yang mengatur proses pembelian dan puma jual apartemen tidak jelas sehingga konsumen dapat dirugikan. Kesimpulan Tidak dapat dipungkiri bahwa kesediaan pemilik modal untuk melakukan investasi di sektor speculative building meskipun dihadapkan dengan resiko yang besar adalah karena adanya motivasi profit sebagai tujuan utamanya. Profit yang dijanjikan dan sudah dirasakan memang sangat besar, bahkan jauh lebih besar dari usaha kontraktor. Tetapi jika di dalam melaksanakan usaha ini developer atau speculative builder tidak dibekali dengan kemampuan untuk memprediksi keadaan di masa depan, artinya hanya bermodalkan keberanian untuk berspekulasi, maka pada gilirannya akan merugikan semua pihak yang terkait, baik developer sendiri maupun pihak-pihak yang terkait dengannya seperti perbankan, konsumen, pemerintah dan masyarakat luas. Bahaya yang ditimbulkan oleh adanya krisis dalam dunia properti akibat tidak lakunya penjualan apartemen dan perumahan mewah adalah adanya kemungkinan pengalihan beban biaya berupa kenaikan harga pada penjualan perumahan sederhana yang akan dibangun di masa datang. Jika itu terjadi, berarti proses melemahnya daya beli masyarakat juga akan terjadi dari sektor properti. Selain itu proses pemiskinan ini terjadi karena ketika membebaskan tanah, developer membayar harga tanah jauh lebih rendah dan harga yang ditawarkannya ke pasaran. Contohnya adalah tanah rakyat di Bekasi yang dibeli dengan harga sangat rendah (Rp. 50 /m2), padahal ketika dipasarkan dapat mencapai Rp.1 juta/m2. Hal lain adalah dimana beberapa pembangunan yang dilaksanakan tanpa memasukkan aspek lingkungan banyak menyebabkan kerusakan alam seperti pemapasan bukit-bukit, penutupan sawah teknis, penggundulan hutan, pendangkalan sungai, dan lain sebagainya. Di sisi lain, kiprah developer dalam usaha speculative building adalah merupakan suatu hal yang positif, karena di samping akan membantu pemerintah dalam meyediakan perumahan (maupun perkantoran), juga menyediakan alternatif investasi bagi masyarakat, sehingga kesejahteraannya pun dapat ditingkatkan. DAFTAR PUSTAKA " " " "
Patricia M. Hillebrandt (1974). Economic Theory and the Construction Industry, Macmillan Press Ltd, London. Properti Indonesia, Majalah. Edisi no. 8, September 1994, Jakarta. Properti Link, Majalah. Edisi Oktober 1994, Singapore Vernon A. Musselman dan John H. Jackson (1992). Pengantar Ekonomi Perusahaan jilid 2, Erlangga, Jakarta.
N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library
7