Spatial Pattern Analysis Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue untuk Informasi Early Warning Bencana di Kota Surabaya Arrowiyah1 , Sutikno2 Mahasiswa S1 Jurusan Statistika FMIPA ITS, Surabaya1 Dosen Jurusan Statistika FMIPA ITS, Surabaya 2
[email protected] 1,
[email protected] 2 ABSTRAK Surabaya merupakan salah satu kota besar di Provinsi Jawa Timur yang angka kejadian penyakit DBD-nya masih cukup tinggi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan jumlah kejadian DBD di Kota Surabaya, namun jumlah penderita penyakit ini masih belum dapat ditekan secara efektif. Dalam penelitian ini dilakukan pendeskripsian dan pembuatan peta penyebaran kejadian penyakit DBD pada periode 20062009. Jumlah kejadian penyakit DBD tinggi cenderung terjadi pada 6 bulan pertama (Januari-Juni). Persebaran kejadian DBD itu cenderung terjadi pada wilayah Surabaya utara, pusat sampai timur. Perbandingan hasil pengujian dengan menggunakan indeks Moran’s I dan Geary’s C memberikan informasi bahwa indeks Moran’s I lebih sensitif dari Geary’s C. Beberapa kecamatan yang termasuk ke dalam kategori rawan penyebaran kejadian DBD adalah Kecamatan Genteng, Tegalsari, dan Gubeng. Sementara kecamatan yang masuk dalam kategori sedang adalah Kecamatan Pabean Cantikan, Simokerto, Bulak, Mulyorejo, Wonocolo, dan T. Mejoyo. Kata kunci : DBD, penyebaran, dependensi, spasial
1. Pendahuluan Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit berbahaya yang dapat menyebabkan kematian. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini baik masyarakat maupun pemerintah, namun angka terjangkitnya penyakit ini masih belum dapat ditekan secara efektif. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kurangnya informasi mengenai tempat, waktu dan lokasi persebaran kejadian DBD di Kota Surabaya. Peta sebaran geografis penyakit sangat berguna untuk mempelajari hubungan antara iklim dengan penyakit atau masalah kesehatan lain secara empirik dan bermanfaat untuk membantu mengimplementasikan rencana intervensi. Informasi sebaran wilayah rawan menurut tempat dan waktu diperlukan dalam menentukan wilayah prioritas pelaksanaan program antisipasi dan penanggulangan. Oleh karena itu, dibutuhkan peta sebaran yang diharapkan mampu untuk menentukan wilayah prioritas pelaksanaan program antisipasi dan penanggulangan wabah DBD di Kota Surabaya. Beberapa penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penyakit DBD adalah model peringatan dini penyakit demam berdarah dengan menggunakan faktor iklim diantaranya: Sasmito, Gunaman, dan Widiatmoko (2006); dan Hidayati (2008) . Sasmito et al. (2006) menyusun model peringatan dini DBD di Kota Jakarta. Sementara Hidayati (2008) menyusun model kejadian DBD di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini akan menyusun peta rawan persebaran kejadian penyakit DBD di Kota Surabaya dengan mempertimbangkan lokasi (kecamatan), waktu (bulan), dan musim dengan spatial pattern analysis. Metode ini cukup baik dalam menyajikan peta kerawanan penyakit sekaligus dapat megidentifikasi keterkaitan antar lokasi dan waktu (Curtis & Lee, 2010). Metode ini juga sangat efektif dalam mendeteksi variasi secara geografi (Tottrup, Tersbol, Lindeboom, dan Meyrowitsch, 2009). 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Spatial Autocorrelation Menurut Lembo (2006) dalam Kartika (2007) autokorelasi spasial adalah korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang atau dapat juga diartikan suatu ukuran kemiripan dari objek di dalam suatu ruang (jarak, waktu dan wilayah). Jika terdapat pola sistematik di dalam penyebaran sebuah variabel, maka terdapat autokorelasi spasial. Adanya 1
autokorelasi spasial mengindikasikan bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait oleh nilai atribut tersebut pada daerah lain yang letaknya berdekatan (bertetangga). 2.2 Matrik Pembobot Spasial Matrik pembobot spasial dapat ditentukan dengan beragam metode. Salah satu metode penentuan matrik pembobot spasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah Queen contiguity (persinggungan sisi-sudut). Matrik pembobot (w ) berukuran nxn, dimana setiap elemen matrik menggambarkan ukuran kedekatan antara pengamatan i dan j. Gambar 1 diberikan ilustrasi mengenai perhitungan matrik pembobot menggunakan Queen contiguity. Ilustrasi tersebut menggunakan lima daerah sebagai pengamatannya. Elemen matrik didefinisikan 1 untuk wilayah yang bersisian (common side) atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan daerah yang menjadi perhatian, sedangkan daerah lainnya didefinisikan elemen matrik pembobot sebesar nol. Untuk daerah 3, didapatkan w32 =1, w34 =1, w35 =1 dan yang lain sama dengan nol. Matrik wij ini memiliki ukuran matrik 5x5. Ilustrasi lebih lengkapnya disajikan pada Gambar 1. (4) (3)
(5)
(2) (1) Sumber: Lesage (1999) dalam Winarno (2009) Gambar 1 Ilustrasi Contiguity
Matriks pembobot yang dapat terbentuk dari Gambar 1 adalah sebagai berikut. 0 ⎡1 ⎢ ⎢0 ⎢0 ⎣0
0 0 1 0 0
0 1 0 1 1
0 0 1 0 1
0 0⎤ ⎥ 1⎥ 1⎥ 0⎦
2.3 Moran’s I Moran's I mengukur korelasi satu variabel misal x (x dan x ) dimana i ≠ j, i=1,2,...n, j=1,2,...n dengan banyak data sebesar n, maka formula dari Moran’s I adalah pada persamaan (1) (Paradis, 2010).
=
∑
∑
( ∑
(
)( )
)
(1)
x pada persamaan (1) merupakan rata-rata dari variabel x, w merupakan elemen dari matrik pembobot, and S adalah jumlahan dari elemen matrik pembobot, dimana S = ∑ ∑ w . Nilai dari indeks I ini berkisar antara -1 dan 1. Identifikasi pola menggunakan kriteria nilai indeks I, jika I > I0, maka mempunyai pola mengelompok (cluster), jika I = I , maka berpola menyebar tidak merata (tidak ada autokorelasi), dan I < I , memiliki pola menyebar. I merupakan nilai ekspektasi dari I yang dirumuskan E(I)= I = −1/(n − 1) (Lee dan Wong, 2001).
2
Pengujian hipotesis terhadap parameter I dapat dilakukan sebagai berikut. H : tidak ada autokorelasi spasial H : terdapat autokorelasi positif (indeks Moran’s I bernilai positif) H : terdapat autokorelasi negatif (indeks Moran’s I bernilai negatif ). Menurut Lee dan Wong (2001) dalam Kartika (2007) statistik uji dari indeks Moran’s I diturunkan dalam bentuk statistik peubah acak normal baku. Hal ini didasarkan pada teori Dalil Limit Pusat dimana untuk n yang besar dan ragam diketahui maka Z(I) akan menyebar normal baku sebagai berikut. Z
()
=
(2)
()
dengan I adalah indeks Moran’s I, Zhitung adalah nilai statistik uji indeks Moran’s I, E(I) nilai ekspektasi indeks Moran’s I, dan Var(I) adalah nilai varians dari indeks Moran’s I. Var(I) =
(
)(
)(
−
)
( (
) )(
)(
)
−(
)
adalah
(3)
dengan, S = ∑ ∑ (w + w ) , k = ∑ (x − x) /((∑ x − x) ) S = ∑ (w . + w. ) , w . = ∑ w dan w. = ∑ w Pengujian ini akan menolak hipotesis awal jika nilai Zhitung > Z( ) (autokorelasi positif) atau Zhitung<-Z( ) (autokorelasi negatif). Positif autokorelasi spasial megindi-kasikan bahwa antar lokasi pengamatan memiliki keeratan hubungan. 2.4 Geary’s C Indeks ini dirumuskan sebagai berikut (Lee dan Wong, 2010). C=
(
)∑ ∑ ∑(
(
) )
(4)
Nilai w , x , x , n, dan S yang digunakan dalam persamaan (4) sama dengan nilai pada persamaan (1). Identifikasi pola sebaran menggunakan indeks C, jika nilai C terletak diantara 0 (nol) dan 1, maka pola sebarannya adalah mengelompok (cluster), jika nilai C mendekati 1, polanya menyebar tidak merata (tidak ada autokorelasi), dan pada nilai C terletak di antara 1 dan 2, pola sebarannya merata (Lee dan Wong, 2001). Pengujian terhadap parameter C dapat dilakukan sebagai berikut. H : tidak ada autokorelasi spasial H : terdapat autokorelasi positif (indeks Geary’s C bernilai kurang dari 1) H : terdapat autokorelasi negatif (indeks Geary’s C bernilai lebih dari 1). Statistik Uji: ( ) Z = ( )
(5)
dengan C merupakan indeks Geary’s C, Zhitung merupakan nilai statistik uji indeks Geary’s C, E(C) merupakan nilai ekspektasi indeks Geary’s C (bernilai 1), dan Var(C) merupakan nilai varians dari indeks Geary’s C.
3
Var(C) =
(
)
[ (
( )(
)
]
)
−
(
)
[
] (
)(
)
+
( (
) )(
)
(6)
S , S , dan S pada persamaan (6) sama dengan Moran’s I. Pengujian ini akan menolak hipotesis awal jika nilai Zhitung > Z( ) (autokorelasi positif) atau Zhitung<-Z( ) (autokorelasi negatif). Positif autokorelasi spasial megindi-kasikan bahwa antar lokasi pengamatan memiliki keeratan hubungan. 2.6 Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA) Pengidentifikasian koefisien autocorrelation secara lokal dalam artian menemukan korelasi spasial pada setiap daerah, dapat digunakan Moran’s I. Berbeda dengan Moran’s I yang dijelaskan pada sub bab 2.3 yang merupakan indikasi dari global autocorrelation, Moran’s I pada LISA meng-indikasikan local autocorrelation. LISA disini mengidentifikasi bagaimana hubungan antara suatu lokasi pengamatan terhadap lokasi pengamatan yang lainnya. Adapun indeksnya adalah sebagai berikut (Lee dan Wong, 2001). I =z ∑ w z (7) z dan z pada persamaan (7) merupakan deviasi dari nilai rata-rata. =( adalah nilai standar deviasi dari
− ̅ )/
(8)
.
Pengujian terhadap parameter H : tidak ada autokorelasi spasial H : terdapat autokorelasi spasial Statistik uji: Z
dapat dilakukan sebagai berikut.
=
( )
(9)
( )
dengan I merupakan indeks LISA, Zhitung merupakan nilai statistik uji indeks LISA, E(I ) merupakan nilai ekspektasi indeks LISA, dan Var(I ) merupakan nilai varians dari indeks LISA. E(I )= - w ./(n-1) ( )
var(I ) = w . Dengan, ( ) ∑ . = ( ) =∑ . = (∑ |Z
, ∑ )
(
)
− 2w (
(10) ( ) (
/ )(
) )
−(
.
)
(11)
≠
Pengujian ini akan menolak hipotesis awal jika nilai Zhitung terletak pada pada | > Z( / ) .
2.7 Moran’s Scatterplot Lee dan Wong (2001) menyebutkan bahwa Moran’s Scatterplot adalah salah satu cara untuk menginterpretasikan statistik Indeks Moran. Moran’s Scatterplot merupakan alat untuk melihat hubungan antara (nilai pengamatan yang sudah distandarisasi) dengan (nilai rata-rata daerah tetangga yang telah distandarisasi). Ilustrasi lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 2.
4
LH
HH Kuadran II
Kuadran I
WZstd
LL
HL Kuadran III
Kuadran IV Zstd
Gambar 2 Moran Scatterplot
Kuadran I (terletak di kanan atas) disebut High-High (HH), menunjukkan daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi. Kuadran II (terletak di kiri atas) disebut Low-High (LH), menunjukkan daerah dengan pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III (terletak di kiri bawah) disebut Low-Low (LL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan rendah dan dikelilingi daerah yang juga mempunyai nilai pengamatan rendah. Kuadran IV (terletak di kanan bawah) disebut High-Low (HL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah (Kartika, 2007). Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran HH dan kuadran LL akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang positif (cluster). Sedangkan Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran HL dan LH akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang negatif. 2.8 Peta Tematik Barus dan Wiradisastra (2000) dalam Kartika (2007) menyatakan bahwa peta tematik adalah gambaran dari sebagian permukaan bumi yang dilengkapi dengan informasi tertentu, baik di atas maupun di bawah permukaan bumi yang mengandung tema tertentu. Peta tematik ini biasanya mencerminkan hal-hal yang khusus. Selain itu peta tematik merupakan peta yang memberikan suatu informasi mengenai tema tertentu, baik data kualitatif maupun data kuantitatif. Peta tematik sangat erat kaitannya dengan SIG (Sistem Informasi Geografis) karena pada umumnya output dari proyek SIG adalah berupa peta tematik. Baik yang berbentuk digital maupun masih berbentuk peta kertas. 2.9 Demam Berdarah DBD merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan gejala sakit demam, nyeri otot, dan atau nyeri sendi yang disertai penurunan dari sel darah putih, adanya bercak kemerahan di kulit, pembesaran kelenjar getah bening, penurunan jumlah trombosit dan kondisi terberat adalah perdarahan dari hampir seluruh jaringan tubuh. Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu 1) vektor (nyamuk), terutama berhubungan dengan sanitasi lingkungan, 2) Penjamu (manusia) penderita di lingkungan, 3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (Anonim, 2009). 3 Metodologi Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Surabaya pada tahun 2006 – 2009. Data tersebut adalah jumlah kejadian penyakit DBD yang terdapat pada 31 kecamatan. Selain itu juga digunakan peta administrasi Kota Surabaya (Gambar 3). Data demografi, meliputi jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota Surabaya.
5
Gambar 3 Peta administratif Kota Surabaya dengan 31 Kecamatan Keterangan: 1 Gayungan 12 Dukuh Pakis 22 Bubutan 2 Karang Pilang 13 Gubeng 23 Simokerto 3 Gunung Anyar 14 Sawahan 24 Bulak 4 Jambangan 15 Sukomanunggal 25 Pabean Cantikan 5 T. Mejoyo 16 Mulyorejo 26 Krembangan 6 Wonocolo 17 Tegalsari 27 Asemrowo 7 Rungkut 18 Tandes 28 Pakal 8 Lakarsantri 19 Sambikerep 29 Semampir 9 Wiyung 20 Genteng 30 Kenjeran 10 Wonokromo 21 Tambaksari 31 Benowo 11 Sukolilo
Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah jumlah penderita DBD bulanan per kecamatan di Kota Surabaya pada tahun 2006 sampai 2009. Di samping itu jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di Kota Surabaya. Adapun langkah-langkah analisis data dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan penyebaran kejadian DBD 2. Pembuatan peta sebaran dengan Spatial Pattern Analysis. a. Memetakan kejadian penyakit DBD per bulan antar tahun dalam suatu peta tematik b. Membandingkan pola yang terbentuk dari bulan ke bulan antar tahun c. Menghitung ukuran dependensi spasial menggunakan indeks Moran’s I d. Mengidentifikasi pola sebaran kejadian berdasarkan indeks Moran’s I e. Menguji dependensi spasial indeks Moran’s I f. Menghitung ukuran dependensi spasial menggunakan indeks Geary’s C g. Mengidentifikasi pola sebaran kejadian berdasarkan indeks Geary’s C h. Menguji dependensi spasial indeks Geary’s C i. Membuat dan menganalisis Moran’s Scatterplot j. Menghitung dan menguji dependensi spasial indeks LISA 4 Analisis dan Pembahasan 4.1 Kejadian Penyakit DBD Menurut Kecamatan Kejadian DBD di Kota Surabaya periode 2006 sampai 2009 memiliki karakteristik yang beragam. Rata-rata tertinggi angka kejadian DBD adalah sebesar 17.90 yang terletak pada Kecamatan Tegalsari, sedangkan rata-rata terendahnya adalah sebesar 2.38 yang terletak pada Kecamatan Mulyorejo. Keragaman tertinggi adalah sebesar 399.54 yang terletak pada Kecamatan Tegalsari, sedangkan keragaman terendah adalah sebesar 6.02 yang terletak pada
6
Kecamatan Trenggilis Mejoyo (T.Mejoyo). Deskripsi kejadian penyakit DBD di Kota Surabaya menurut kecamatan periode 2006-2009 selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai rata-rata dan ragam jumlah kejadian penyakit DBD di Kota Surabaya tahun 2006 sampai 2009 tiap kecamatan Kecamatan Gayungan Karang Pilang Gunung Anyar Jambangan T. Mejoyo Wonocolo Rungkut Lakarsantri Wiyung Wonokromo Sukolilo Dukuh Pakis Gubeng Sawahan Sukomanunggal Mulyorejo
Rata-rata Ragam Kecamatan 9.33 82.23 Tegalsari 12.37 102.75 Tandes 3.96 14.34 Sambikerep 3.77 13.07 Genteng 3.06 6.02 Tambaksari 5.40 16.84 Bubutan 5.48 12.17 Simokerto 6.33 56.31 Bulak 8.29 99.27 Pabean Cantikan 9.31 94.77 Krembangan 6.38 54.15 Asemrowo 6.562 39.358 Pakal 11.27 95.05 Semampir 11.56 131.23 Kenjeran 8.88 39.559 Benowo 2.38 9.899
Rata-rata 17.90 11.27 11.04 7.73 5.99 8.46 5.77 17.27 9.90 5.67 6.63 6.48 5.44 7.27 5.46
Ragam 399.54 138.58 119.70 47.31 32.49 91.36 23.97 216.67 136.27 28.53 35.09 24.60 35.87 68.97 29.23
Keterangan: Kecamatan yang di arsir merupakan kecamatan dengan kejadian DBD tertinggi dan terendah
Tingginya kejadian DBD di Kota Surabaya bagian pusat, selatan dan utara ditunjang oleh kepadatan jumlah penduduk yang ada pada wilayah tersebut. Kecamatan dengan kepadatan paling tinggi adalah terletak pada Kecamatan Simokerto yaitu sebesar lebih dari 24862 jiwa/km2. Sementara beberapa kecamatan lain yang kepadatan cukup tinggi adalah Kecamatan Kenjeran, Tambaksari, Bubutan, Sawahan, dan Tegalsari yaitu sebesar lebih dari 17285 jiwa/ km2. Kepadatan penduduk menurut kecamatan selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Kepadatan penduduk Surabaya Menurut Kecamatan Tahun 2009.
7
Januari
Februari
April
Maret
Mei
Juni
Gambar 5 Persebaran kejadian DBD di Kota Surabaya tiap Kecamatan antar bulan tahun 2006.
8
Juli
Agustus
Oktober
September
Nopember
Desember
Gambar 5 Persebaran kejadian DBD di Kota Surabaya tiap Kecamatan antar bulan tahun 2006 (lanjutan).
9
4.2 Kejadian Penyakit DBD Menurut Waktu Berdasarkan waktu (bulan) kejadian penyakit DBD di Kota Surabaya pada periode 2006-2009 menunjukkan bahwa kejadian DBD di Kota Surabaya paling banyak terjadi pada bulan Januari-Juni. Periode ini merupakan periode musim hujan (Desember-Maret) dan musim trasisi menuju kemarau (April-Juni). Persebaran tahun 2006-2009 menunjukkan bahwa pada bulan Januari hingga Juni kejadian penyakit DBD cenderung berkumpul pada Surabaya pusat, selatan, timur dan utara (Gambar 5). Sebaliknya, pada bulan Juli-Desember kejadian DBD cenderung rendah karena bulan-bulan ini merupakan musim kemarau (Juni-September) dan transisi menuju musim hujan (Oktober-Desember). Selama periode 2006-2009 jumlah penderita DBD terbesar adalah bulan Maret pada tahun 2006, sedangkan bulan Desember tahun 2009 merupakan bulan dengan angka kejadian DBD paling kecil pada periode 2006-2009. 4.3 Hubungan Kejadian DBD Antar Kecamatan dan Pola Sebarannya Perbandingan antara nilai indeks Moran’s I dan nilai ekspektasinya (E(I)) pada tahun 2006 menunjukkan bahwa bulan Januari, Februari, Maret, Agustus, September, Oktober, dan Desember memiliki pola penyebaran kejadian DBD yang mengelompok. Tabel 2 Hasil perhitungan indeks Moran’s (I), E(I), Var(I), dan Zhitung tahun 2006 Bulan/ Statistik I E( I ) Var (I) Zhitung Januari 0.112 -0.033 0.012 1.339a Februari 0.099 -0.033 0.013 1.244b Maret 0.134 -0.033 0.011 1.596a April -0.039 -0.033 0.010 -0.057 Mei -0.057 -0.033 0.011 -0.223 Juni -0.043 -0.033 0.011 -0.088 Juli -0.119 -0.033 0.009 -0.886c Agustus 0.022 -0.033 0.006 0.695 September 0.058 -0.033 0.009 0.967c Oktober -0.013 -0.033 0.011 0.188 Nopember -0.078 -0.033 0.010 -0.440 Desember -0.016 -0.033 0.011 1.670a a
signifikan pada
=10%, b signifikan pada
=15%,dan c signifikan pada
=20%
Hal ini berarti bahwa jumlah kejadian DBD antar kecamatan pada beberapa bulan-bulan tersebut hampir sama. Sementara bulan April, Mei, Juni, Juli, dan Nopember diindikasikan angka kejadian DBD-nya membentuk pola menyebar. Hal ini berarti bahwa jumlah kejadian DBD antar kecamatan pada bulan-bulan tersebut cukup beragam. Hasil perhitungan indeks Moran’s (I), E(I), Var(I), dan Zhitung per bulan pada tahun 2006 disajikan Tabel 2. Pada tahun 2007, pola mengelompok terdapat pada bulan April, Juli, Agustus September, Oktober, Nopember, dan Desember. Pada bulan Januari, Februari, Maret, Mei, dan Juni memiliki pola menyebar. Selanjutnya pada tahun 2008, bulan Januari, Maret, April, Mei, Agustus, Oktober, dan Desember diindikasikan memiliki pola yang mengelompok dan bulan Februari, Juni, Juli, September, dan Nopember diindikasikan bahwa antar kecamatan pada bulan-bulan ini memiliki pola yang menyebar. Sementara pada tahun 2009, bulan Februari, Maret, Mei, Juni, juli, September, dan Oktober diindikasikan memiliki pola yang mengelompok dan bulan Januari, April, Agustus, Nopember, dan Desember diindikasikan memiliki pola yang menyebar. Berdasarkan pengujian terhadap adanya autokorelasi spasial dengan menggunakan indeks Moran’s I (Tabel 2), menunjukkan bahwa bulan Januari, Maret, dan Desember signifikan terhadap adanya autokorelasi spasial pada α= 10%, dan bulan Februari sigifikan pada α= 15%, sementara bulan Juli dan Agustus signifikan pada α= 20%. Bulan Januari, Februari, Maret, September dan Desember sama-sama memiliki autokorelasi spasial positif, sedangkan pada bulan Juli, memiliki autokorelasi spasial negatif.
10
Pada tahun 2007 hanya terdapat 2 bulan yang memiliki pola hubungan spasial, yaitu bulan Juni dan Oktober. Pada bulan Juni terdapat autokorelasi spasial positif dan pada bulan Oktober terdapat autokorelasi spasial negatif. Sementara pada tahun 2007, terdapat 9 bulan yang memiliki hubungan spasial yaitu bulan Januari, Februari, April, Mei, Juni, Juli, Oktober, dan Nopember. Bulan Januari, April, Mei, dan Oktober memiliki autokorelasi spasial positif. Sementara bulan Februari, Juli, dan Nopember memiliki autokorelasi negatif. Pada tahun 2009, bulan yang memiliki hubungan spasial adalah Juni, Februari, dan September. Ketiga bulan tersebut menunujukkan adanya autokorelasi spasial positif. Berdasarkan tingkat signifikan, menunjukkan bahwa bulan-bulan tersebut mempunyai autokorelasi spasial dengan > 5%. Hal ini mengiindikasikan bahwa kedekatan lokasi kecamatan (ketetanggaan) tidak hanya bersinggungan sisi atau tepi, namun lebih jauh lagi. Dengan demikian matriks pembobot spasial yang digunakan akan lebih sesuai dengan menggunakan pendekatan jarak. Hal ini dimungkinkan karena mobilisasi masyarakat Surabaya yang sangat tinggi. Seseorang dalam suatu kecamatan dapat melakukan mobilisasi ke kecamatan-kecamatan lain, lebih dari jangkauan kecamatan yang bersinggungan. Selanjutnya, apabila dilihat dari nilai indeks Geary’s C data kejadian DBD di Kota Surabaya tahun 2006, dapat diketahui bahwa bulan Januari, Maret, Mei, Nopember, dan Desember mengindikaskan pola yang mengelompok. Sementara bulan Februari, April, Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober mengindikasikan suatu pola yang menyebar. Hasil perhitungan nilai indeks Geary’s C lebih lengkap disajikan pada Tabel 3. Indeks Geary’s C periode 2007 memberikan informasi bahwa bulan Februari, Maret, April, Mei, Agustus, September, Oktober, dan Desember mengindikasikan pola sebaran DBD mengelompok. Sedangkan bulan Januari, Juni, Juli, dan Nopember mengindikasikan pola sebaran kejadian DBD yang menyebar. Indeks Geary’s C periode 2008 memberikan informasi bahwa bulan Januari, April, Mei, dan Oktober mengindikasikan pola sebaran DBD yang mengelompok. Sedangkan bulan Februari, Maret, Juni, Juli, Agustus, September, Nopember, dan Desember mengindikasikan pola sebaran kejadian DBD yang menyebar. Sementara indeks Geary’s C periode 2009 memberikan informasi bahwa bulan Januari, Maret, Mei, Juni, September, dan Oktober mengindikasikan pola sebaran kejadian DBD yang mengelompok. Sedangkan bulan Februari, April, Juli, Agustus, Nopember, dan Desember mengindikasikan pola sebaran kejadian DBD yang menyebar. Tabel 3 Hasil perhitungan indeks Geary’s (C), Var(C), dan Zhitung tahun 2006 Bulan/ Statistik C Var (C) Z Januari 0.978 0.019 -0.161 Februari 1.024 0.019 0.171 Maret 0.909 0.019 -0.653 April 1.064 0.019 0.457 Mei 0.993 0.019 -0.053 Juni 1.208 0.019 1.487a Juli 1.291 0.019 2.079a Agustus 1.356 0.019 2.547a September 1.011 0.019 0.078 Oktober 1.106 0.019 0.756 Nopember 0.957 0.019 -0.304 Desember 0.940 0.019 -0.429
Berdasarkan pengujian terhadap adanya autokorelasi spasial dengan menggunakan indeks Geary’s C (Tabel 3), menunjukkan bahwa bulan Juni, Juli dan Agustus memiliki autokorelasi spasial positif. Ada tahun 2007, terdapat bulan yang memiliki hubungan spasial yaitu bulan Juni, Juli, dan Oktober. Bulan Juni dan Juli memiliki autokorelasi spasial positif sedangkan bulan Oktober memiliki autokorelasi spasial negatif. Pada tahun 2008, bulan yang memiliki hubungan spasial adalah bulan Januari, Maret, Mei, Juli, dan Oktober. Sementara pada
11
tahun 2009, bulan yang memiliki hubungan spasial adalah bulan Juni, September, Oktober, dan Desember. Bulan Juni, September, dan Oktober meniliki autokorelasi spasial negatif dan bulan Nopember memiliki autokorelasi spasial positif. Apabila dibandingkan antara hasil yang dikeluarkan Moran’s I dan geary’s C, menunjukkan hasil yang hampir sama. Akan tetapi, tidak semua hasil dari Moran’s I dan Geary’s C menghasilkan kesimpulan yang konsisten (Lee &Wong, 2001). Dapat dilihat bahwa indeks Moran’s lebih sensitif dibandingkan dengan indeks Geary’s C. Pada data yang sama (angka DBD bulan Maret tahun 2007), Moran’s I sudah dapat signifikan pada tingkat kepercayaan 10%, sedangkan Geary’s C masih belum signifikan pada tingkat kepercayaan tersebut. Walaupun beberapa bulan mengindikasikan adanya auto korelasi spasial pada Kota Surabaya, analisis selanjutnya menggunakan data bulan Maret 2006. Jumlah kejadian pada bulan Maret 2006 merupakan jumlah kejadian paling tinggi jika dibandingkan dengan jumlah kejadian pada bulan-bulan yang lain pada 4 tahun terakhir. Selain itu, angka indeks Moran’s I yang tinggi juga merupakan alasan menggunakan data kejadian DBD pada bulan Maret 2006. Pada bulan Maret 2006 terjadi cuaca ekstrim yang menyebabkan suhu di Kota Surabaya naik. Hal tersebut menyebabkan tingginya angka DBD di Kota Surabaya. Berdasarkan hasil Moran’s scatterplot pada bulan Maret 2006, diperoleh informasi bahwa sebagian besar angka kejadian penyakit DBD tiap kecamatan di Kota Surabaya pada bulan Januari 2006 menyebar di kuadran 1 (HH) dan 2 (LH). Pencaran titik-titik amatan pada Gambar 6 merupakan kecamatan yang menyebar berdasarkan pengaruhnya terhadap kecamatan yang bersebelahan. Sumbu X (horisontal) pada Gambar 4.3 merupakan nilai pengamatan suatu kecamatan yang telah distandarisasi dan sumbu Y (vertikal) merupakan jumlah kejadian DBD kecamatan tetangga yang telah distandarisasi. Maret 1.5 16 17
1.0
20
24
23 25
WZstd
0.5
27
5
30 13
6
3
22
12 1
11 10 7
0.0
29
4
21
14 26
15
-0.5
19
8
9 2 18
31
-1.0
28
-1
0
1 Zstd
2
3
Gambar 6 Moran’s scatterplot penderita DBD pada bulan Maret 2006.
Terdapat 10 kecamatan menyebar pada kuadran HH dan LH, 9 kecamatan menyebar pada kuadran LL, serta 2 kecamatan menyebar pada kuadran HL. Titik pencar pada Kuadran 1 (HH) pada Gambar 6 di atas menunjukkan kecamatan yang angka DBD-nya tinggi berada di antara kecamatan-kecamatan yang angka DBD-nya tinggi. Kuadran 2 (LH) menunjukkan kecamatan dengan kejadian DBD-nya rendah berada di antara kecamatan-kecamatan yang angka DBD-nya tinggi. Kuadran 3 (LL) menunjukkan kecamatan dengan kejadian DBD-nya rendah berada di antara kecamatan-kecamatan yang angka DBD-nya rendah. Sementara kuadran 4 (HL) menunjukkan kecamatan yang kejadian DBD-nya tinggi berada di antara kecamatan-kecamatan yang angka DBDnya rendah. Kuadran HH dan LL mengindikansikan kesamaan karakteristik antar keca-matan (pola mengelompok) dan kuadran LH dan HL meng-indikasikan keragaman karakteristik antar kecamatan.
12
Pengujian LISA memberikan hasil yang beragam. Kecamatan Karang pilang, T.Mejoyo, Wonocolo, Lakarsantri, Wiyung, Gubeng, Sukomanunggal, Mulyorejo, Tegalsari, Tandes, Sambikerep, Genteng, Simokerto, Bulak, dan Pabean Cantikan merupakan beberapa kecamatan yang memiliki hubungan spasial dengan kecamatan-kecamatan lain yang berdekatan. Hasil perhitungan nilai Ii dan p-value periode 2006 selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai dan p-value LISA pada bulan Maret tahun 2006 Kecamatan Ii p-value Kecamatan Ii Gayungan Karang Pilang Gunung Anyar Jambangan T. Mejoyo Wonocolo Rungkut Lakarsantri Wiyung Wonokromo Sukolilo Dukuh Pakis Gubeng Sawahan Sukomanunggal Mulyorejo a
-0.022 0.040 -0.248 0.149 -0.119 -0.053 0.041 0.596 0.382 0.190 0.398 -0.148 0.802 0.001 0.076 -0.945
0.406 0.110b 0.314 0.254 0.102 b 0.174 c 0.388 0.068a 0.064a 0.228 0.206 0.266 0.036a 0.458 0.084b 0.010a
Tegalsari Tandes Sambikerep Genteng Tambaksari Bubutan Simokerto Bulak Pabean Cantikan Krembangan Asemrowo Pakal Semampir Kenjeran Benowo
0.050 0.282 0.719 0.185 0.062 0.211 -0.164 -0.688 -0.328 -0.374 -0.336 1.380 -0.157 0.146 0.994
p-value 0.026a 0.016a 0.056a 0.002a 0.334 0.206 0.066a 0.088a 0.098a 0.390 0.218 0.064a 0.404 0.092a 0.004a
signifikan pada α=5%, b signifikan pada α=10%, c signifikan pada α=15%, d signifikan pada α=20%
Hasil Moran scatterplot dan LISA memberikan informasi bahwa kecamatan yang memiliki autokorelasi positif adalah Kecamatan Tegalsari, Genteng, Gubeng, Sukomanunggal, Tan-des, Karang pilang, Wiyung, Lakarsantri, dan Sambikerep. Sementara yang memiliki autokorelasi negatif adalah Kecamatan T.Mejoyo, Wonocolo, Simokerto, Pabean Cantikan, Bulak, dan Mulyorejo. Peta Kerawanan pada Gambar 7 menunjukkan bahwa Kecamatan Genteng, Tegalsari, dan Gubeng membentuk suatu pengelompok-kan dengan jumlah kejadian DBD yang tinggi dan merupakan wilayah-wilayah yang rawan terhadap penyebaran penyakit DBD. Sedangkan Kecamatan Wonocolo, T. Mejoyo, Pabean Cantikan, Simokerto, Bulak, dan Mulyorejo tidak membentuk pengelompok-kan. Namun, posisi kecamatan-kecamatan ini yang berada di sekitar Kecamatan-kecamatan dengan jumlah kejadian DBD yang tinggi menyebabkan kecamatankecamatan ini memiliki kemungkinan terkena dampak kejadian DBD. Sehingga kecamatankecamatan ini termasuk dalam kategori sedang terhadap penyebaran penyakit DBD di Kota Surabaya. Ilustrasi peta kerawanan selengkapnya disajikan pada Gambar 7.
13
Keterangan: Rawan Sedang Aman Gambar 7 Peta Kerawanan bencana DBD di Kota Surabaya
5 Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan Hasil analisis data menunjukkan bahwa kejadian DBD di Kota Surabaya sebagian besar terjadi pada musim hujan (Januari-Juni). Kejadian DBD yang tinggi terdapat di wilayah Surabaya utara, pusat sampai timur. Kejadian DBD tertinggi di Kota Surabaya selama 4 tahun terakhir terjadi pada bulan Maret 2006. Terdapat beberapa bulan yang mengindikasikan kejadian DBD Kota Surabaya memiliki hubungan spasial, yaitu bulan Januari, Maret, Juni, Oktober, dan Desember. Beberapa kecamatan yang termasuk ke dalam kategori rawan penyebaran kejadian DBD adalah Kecamatan Genteng, Tegalsari, dan Gubeng. Sementara kecamatan yang masuk dalam kategori sedang adalah Kecamatan Pabean Cantikan, Simokerto, Bulak, Mulyorejo, Wonocolo, dan T. Mejoyo. 5.2 Saran Mobilisasi masyarakat Surabaya yang tinggi menyebab-kan kurang sesuainya penggunaan matriks bobot persinggungan (continguity). Oleh karena itu, penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan pembobot jarak dalam pengidentifikasian pola penyebaran DBD di Kota Surabaya. 6 Daftar Pustaka [BPS] Badan Pusat Statistik. (2010). Hasil Sensus Penduduk 2010 Kota Surabaya Agregat Kecamatan, Surabaya _______,2009.[online]http://diskes.jabarprov.go.id/index.php?mod=pubInformasiPenyakit&idM enuKiri=56&idSelected=1&idInfo=14&page=[27September 2010] Bivand,Roger S, Pebesma,Edzer J, dan Gomez-Rubio, Virgilio.(2008). Applied Spatial Data Analysis with R. USA: Springer Sciece+Business Media, LLC.
14
Curtis J A, Lee A W.(2010).Spatial Pattern of diabetes related health problems for vulneral populations in Los Angeles,USA Gumanti, D N .(2010). Penerapan metode GSTAR dengan pendekatan Spatio-Temporal untuk memodelkan kejadian demam berdarah, [Tugas Akhir], Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),Surabaya Hidayati R. 2008. Model Peringatan Dini Penyakit Demam Berdarah dengan Informasi Unsur Iklim.[Desertasi] Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Kartika Yoli.2007. Pola Penyebaran Spasial Demam Berdarah Dengue di Kota Bogor tahun 2005.[Tugas Akhir] Institut Pertanian Bogor Lee Jay &Wong S W David.(2000). Statistical Analysis with Arcview GIS. John Willey & Sons, INC: United Stated of America Paradis, Emanuel.(2010). Moran's Autocorrelation, http://hosho.ees.hokudai .ac.jp/~kubo/Rdoc/library/ape/html/MoranI.html [22 September, 2010] Sasmito, Gunawan H, Widiatmoko H.(2006). Informasi Meteorologi Untuk Peringatan Dini Bahaya Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah DKI Jakarta. Laporan Proyek Pengembangan Meteorologi dan Geofisika Tahun 2006. BMKG Jakarta. Siregar,A F. (2004). Epidemology dan pemberantasan demam berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Digitized by USU digitallibrary,http://repository .usu.ac.id/bitstream /123456789/3673/1/fkm-fazidah3.pdf [22 September 2010] Tariq, Erum.2004. Introduction of Point Pattern Analysis. South Dakota:School of Mines and Technology. Tottrup C, Tersbol P. B, Lindeboom W, dan Meyrowitsch D.2009. Putting child mortality on map: towards an understanding of inequity in health, Vol 14 no 6 PP 653-662. Winarno, deddy.2009.Analisis Angka Kematian Bayi di Jawa Timur dengan Pendekatan Model Regresi Spasial [skripsi], Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),Surabaya
15