S OSIOL O G I PENDIDIKAN Penulis : Dr. Muhamad Supraja, SH, M.Si
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
SOSIOLOGI PENDIDIKAN Penulis : Dr. Muhamad Supraja, SH, M.Si Layout : Tim Azzagrafika Cetakan Pertama, Januari 2015 ISBN ...................... Penerbit Azzagrafika Jalan Seturan 2 no. 128 Caturtunggal Depok Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. 0274-8078206 Anggota IKAPI Hak Pengarang Dilindungi Undang-Undang All Rights Reserved
Hak Cipta ada pada Penulis Dilindungi Undang-Undang Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit RP. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
ii
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
KATA PENGANTAR
Pertama-tama saya mengucapkan puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena berkat perkenan-Nya akhirnya karya ini dapat selesai. Ucapan terimakasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang tak dapat penulis sebut satu persatu karena perannya untuk memperlancar proses penerbitan karya ini. Tanpa jasa dan dukungan mereka semua maka sudah bisa dipastikan karya ini tidak akan hadir dihadapan pembaca. Buku ini diperuntukkan bagi masyarakat dan para pencinta pendidikan di Indonesia, isinya berusaha mengulas berbagai keterkaitan antara pendidikan dengan berbagai dimensi lainnya, tanpa melupakan sama sekali masalah yang ada di dalam diri dunia pendidikan itu sendiri, seperti kurikulum, metode belajar, tujuan dan spirit pendidikan. Sisi lain, buku ini juga menyajikan hasil wawancara dengan sejumlah tenaga edukatif dari sejumlah perguruan tinggi (PT) di Yogya. Mereka yang diwawancarai juga memperlihatkan bahwa pendidikan, khususnya PT ternyata mendorong berlangsungnya mobilitas sosial-kultural pada diri mereka (tenaga edukatif), meskipun ada diantara mereka yang hanya mengalami reproduksi status sosial. Untuk itu, hadirnya buku ini diharapkan mampu memberi nuansa lokal yang relevan bagi mahasiswa, masyarakat, iii
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
dan peminat pendidikan, selebihnya penulis mengucapkan selamat memanfaatkan karya ini. Semoga di masa-masa datang karya yang membahas Sosiologi Pendidikan dengan nuansa Indonesia akan lebih banyak bermunculan, sehingga keterbatasan wawasan dalam masalah pendidikan dapat dieliminasi. Akhirnya buku yang cikal bakal kajiannya muncul saat penulis menjalani pendidikan pasca-sarjana di Jurusan dan almamater penulis ini, dengan sengaja saya peruntukkan bagi istri tercinta Ani Mu’alifatul Maisyah, dan juga para mahasiswa, serta masyarakat peminat Sosiologi Pendidikan di seluruh jagad dunia pengetahuan. Semoga buku ini bisa memberi insight untuk melihat berbagai masalah yang terdapat di dunia pendidikan (PT), khususnya terkait dengan mobilitas sosial-kultural yang dialami dosen atau staf edukatif di dunia kampus. Sekali lagi: selamat membaca Yogyakarta, 29 Nov 2014 Dr. Muhamad Supraja, SH, M.Si
iv
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................ iii DAFTAR ISI .................................................................................. v
BAB 1
PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Memetakan Kecenderungan Pendidikan .......................... 1 B. Lingkup Kajian ...................................................................... 3 C. Kerangka Teoritis .................................................................. 4 D. Fokus Kajian ........................................................................ 10 E. Pengumpulan Informasi .................................................... 10
BAB 2
DIMENSI REPRODUKSI DALAM PENDIDIKAN ........... 15 A. Perspektif Fungsionalis ...................................................... 15 B. Pendidikan dan Masyarakat Kapitalis ............................. 21
BAB 3
DIMENSI OTONOMI RELATIF PENDIDIKAN ................ 35 A. Analisa Neo-Marxis (sosiolinguistik), Bourdieu ............ 35 B. Anti Pendidikan Illich dan Pendidikan Pembebasan Freire .............................................................. 47 C. Otonomi Relatif Pendidikan, Pandangan Robinson ...... 50 v
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
BAB 4
PENDIDIKAN SEBAGAI INSTRUMEN MOBILITAS (Suatu tinjauan dari sudut pandang cendikiawan kampus) ... 55 A. Pendidikan sebagai sarana menjadi being educated ...... 55 B. Pendidikan sebagai alat mobilitas sosial-kultural .......... 63 C. Pendidikan dan tarikan pasar ........................................... 66 D. Pendidikan sebagai sarana percepatan atas keunikan .. 73 E. Pendidikan sebagai sarana membangun tradisi ............ 79
BAB 5
MOBILITAS SOSIAL-KULTURAL AKADEMISI .............. 87 DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 99 INDEKS ....................................................................................... 103
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
PENDAHULUAN
A. Memetakan kecenderungan Pendidikan Pujian dan sekaligus kecaman selalu datang silih berganti mewarnai fungsi dan keberadaan pendidikan tinggi di Indonesia. Beberapa tahun silam, tepatnya di zaman Orde Baru, muncul tuduhan bahwa pendidikan tinggi tidak mampu menghasilkan manusia siap pakai, yang dihasilkan setiap waktunya oleh lembaga pendidikan tinggi (PT) adalah pengangguran intelektual yang makin lama makin banyak jumlahnya. Di zaman Orde Baru itu pula, khususnya dibawah kepemimpinan Mendikbud Wardiman Djojo Negoro, untuk menepis, atau paling tidak mengurangi kesenjangan antara jumlah lulusan sekolah (PT) dengan lapangan pekerjaan yang tersedia diciptakanlah konsep Link and Match (L & M). Gagasan L & M diharapkan menjadi suatu konsep yang dapat menjembatani antara produksi sekolah (dunia pendidikan) dengan dunia industri (pasar kerja), dengan kata lain, konsep ini hendak menciptakan adanya keterpautan dan kesepadanan antara sekolah (dunia pendidikan) dengan lapangan kerja (dunia industri) yang memiliki nilai ekonomis. Keinginan untuk mempertautkan dunia pendidikan dengan industri di tengah-tengah masyarakat, salah satunya dapat dibaca melalui potongan artikel di bawah ini: 1
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
“Dari penelitian dan pengamatan yang dilakukan, sekitar 90 persen tamatan lembaga pendidikan kesenian bekerja di birokrasi kesenian dan kebudayaan, seperti di Depdikbud, Departemen Penerangan, Pariwisata, atau di grup-grup kesenian. Mereka menjadi menejer-menejer dan pengelolapengelola kesenian. Sayangnya, sewaktu mereka belajar di lembaga-lembaga pendidikan (kesenian), mereka tidak mendapat bekal yang memadai untuk tugas-tugas yang demikian. Menejemen kesenian belumlah menjadi mata kuliah yang penting di lembaga-lembaga pendidikan tingggi kesenian, pada hal pasar kerja justeru amat memer lukan kemampuan manajerial yang demikian. Peluang untuk ber-link and match lembaga-lembaga pen didikan tinggi kesenian adalah di dalam industri pariwisata itu. Dengan konsep link and match itu manfaatnya tidak saja penting untuk pendidikan tinggi kesenian, tetapi juga untuk industri pariwisata itu sendiri: Industri pariwisata bisa menjadi industri pariwisata yang berwawasan kultural.1 Terlepas dari kontroversi pemikiran yang muncul atas konsep link and match, namun sulit diingkari adanya hubungan antara pendidikan di satu sisi dengan dunia kerja pada yang lainnya. Pendidikan dimana pun masih selalu dianggap sebagai salah satu jalan yang cukup penting untuk menghantarkan seseorang pada suatu status sosial, dan capaian ekonomi tertentu. Oleh sebab itu, bukan sesuatu ceritera yang baru jika ditemukan sekelompok anggota masyarakat yang berasal dari kelas bawah, berlomba-lomba untuk mengirimkan anggota keluarganya ke berbagai lembaga pendidikan. Bagaimana pun image terhadap sekolah di mata masyarakat masih tetap signifikan dalam upaya untuk melakukan mobilitas sosial (vertikal). Hal yang sama juga secara umum terjadi di negara yang tergolong maju 1
2
Baca. Esten, Morsal, ‘Link and Match’ Pendidikan Kesenian, Republika, 4 Juni 1997.
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
sekalipun, seperti Amerika, di negeri Paman Sam ini sekolah masih dianggap oleh anggota masyarakatnya sebagai jalan emas (the royal road) yang penting untuk meraih berbagai macam mobilitas sosial, ekonomi dan politik. Menurut para ilmuwan sosial, pendidikan atau sekolah agaknya bukan hanya berfungsi sebagai tangga untuk meraih mobilitas sosial (vertikal), namun sulit dipungkiri bahwa sekolah juga memiliki fungsi mereproduksi status quo baik dalam arti mempertahankan kedudukan sosial anggota masyarakat di dalam kelas-sosialnya, maupun untuk mereproduksikan kesadaran kelas sosial yang berkuasa terhadap anggota masyarakat yang lainnya. Sekolah selain memberikan peluang dan kesempatan bagi seseorang untuk mengubah lokasi kelas sosialnya, ia juga memiliki fungsi untuk mempertahankan lokasi kelas sosialnya. Untuk melihat lebih dekat apakah sekolah menjalankan fungsi reproduksi atau pun otonomi relatifnya, maka kajian ini ingin memfokuskan diri pada para pekerja profesional, dalam konteks ini staf pengajar (dosen) yang pada umumnya memiliki berbagai ragam kelas sosial, selain itu mereka memiliki titik tolak status pendidikan yang sama (homogen), yakni perguruan tinggi (PT), meskipun pada kajian ini jenjang pendidikannya beragam; Sarjana, Master, dan Doktoral . B. Lingkup kajian Buku ini dimaksudkan untuk memperkaya wacana dan literatur sosiologi pendidikan yang selama ini masih sangat terbatas di Indonesia, selain itu data-data yang ditampilkan dalam buku ini dikumpulkan beberapa tahun yang lalu, sehingga beberapa tokoh yang diwawancarai dalam tulisan ini hampir semuanya telah mengalami mobilitas ke atas, baik itu dari segi jenjang formal pendidikannya, kedudukan atau pun jabatannya. Dengan demikian kajian ini, sebagaimana halnya judul yang terpampang di muka ingin menguak bagaimana 3
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
pengaruh dimensi reproduksi di dunia pendidikan tinggi (PT) terhadap mobilitas tenaga pengajar (dosen), disamping itu ingin mengetahui pengaruh dimensi otonomi relatip tenaga pengajar (dosen) terkait dengan mobilitas sosial mereka. Benarkah pendidikan telah menyebabkan terjadinya mobilitas sosial kultural pada diri mereka? Bagaimana pula reproduksi sosial bekerja pada kehidupan mereka. C. Kerangka Teoritis Dalam masyarakat industri yang tergolong maju, pen didikan tidak bisa dipungkiri telah menjadi “tiket” untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik sekaligus penghasilan yang lebih menjanjikan.2 Pendidikan juga telah mengantarkan orang meraih status sosial yang lebih “tinggi”. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila banyak anggota masyarakat yang berlomba-lomba mengirim putera puteri mereka ke lembaga pendidikan formal (sekolah), mulai dari tingkat pendidikan yang paling dasar hingga pendidikan yang jenjangnya paling tinggi, yakni perguruan tinggi (PT). Sejauh ini berkembang berbagai aspirasi masyarakat terkait sekolah, salah satu argumentasi yang cukup menarik menyebutkan, bahwa, bagi seorang anak sekolah mungkin akan membuka kesempatan untuk mengembangkan diri dan memudahkan pergerakan untuk meraih status elit, bagi anak lainnya sekolah mungkin dianggap represif, tidak toleran dan merintangi perkembangan pribadinya. Sementara bagi orangorang tertentu, sistem sekolah dapat menjadi sarana mobilitas, demikian juga sangat mungkin bila ada yang beranggapan bahwa sekolah tidak banyak manfaatnya untuk memperkuat tuntutantuntutan yang berasal dari golongan dimana individu berasal, apakah golongan tersebut berasal dari daerah, kelas, ras, atau jenis kelamin tertentu. Pendek kata, melalui sekolah sementara 2
4
Baca, John M. Sheperd dan Harwin L. Voss, Social Problems, (New York: Macmillan, tanpa tahun terbit) hal. 169-180.
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
orang belajar menerima tatanan yang berlaku sebagai hal “yang sudah sewajarnya”, sementara sebagian yang lain justeru belajar mempersoalkan landasan tatanan itu. Sekolah dapat menyumbang kepada reproduksi struktur kelas, akan tetapi dapat juga menyumbang bagi perubahannya; sekolah secara substansial mungkin bebas terhadap golongan-golongan yang memegang kontrol masyarakat, sementara golongan-golongan itu akan berusaha memaksakan pandangannya tentang makna pendidikan pada sekolah tersebut.3 Pada sisi lain kita sulit menyangkal bahwa bertambah lama masyarakat semakin bercorak industrial. Kesempatan bagi orang-orang yang kurang terdidik untuk mendapatkan pekerjaan “kerah putih” (white collar worker) semakin sulit. Orangorang yang mencapai keberhasilan ekonominya tanpa melewati jenjang pendidikan pun kini semakin jarang dijumpai. Tentu saja, hal ini disebabkan oleh proses industrialisasi yang mengubah struktur pekerjaan dari pekerjaan yang tidak didasarkan pada keahlian, maupun setengah ahli (semi skilled) menjadi pekerjaan yang membutuhkan profesionalitas dan tekhnikalitas tertentu.4 Kelas profesional merupakan bagian yang cukup penting di dalam perbincangan tentang konsep kelas menengah pada struktur masyarakat kapitalis yang memiliki berbagai institusi modern. Menurut Samuel P. Huntington, kelas menengah itu terdiri dari kaum profesional, pengusaha, pemilik toko kecil, guru, pegawai negeri, manajer, teknisi, klerk, dan pekerja dibidang penjualan.5 Secara teoritik perspektif sosiologi juga menjelaskan ber bagai kriterium penting yang menjadi landasan konseptual profesionalitas itu, misalnya bahwa kaum profesional, karena alasan sifat dan jenis pekerjaannya, kemudian memerlukan Philip Robinson, terj, Hasan Basari, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: CV Rajawalis, 1986) him, 345 4 Jon M. Sheperd dan Hatwin L. Voss, Op. cit., hal. 172-176 5 Samuel P. Huntington, terj Asril Marjohan, Gelombang Demokrasi Ketiga, (Jakarta: Grafiti, 1995) hal. 81-82 3
5
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
“klaim kompetensionalitas yang bersifat unik dalam setiap jenis pekerjaan, sehingga tidak mengherankan jika self regulasi, dan proses rekruitmen atas para pekerja berlangsung degan menggunakan kontrol yang ketat”.6 Penjelasan lain yang sedikit lebih abstrak dapat kita temukan pada pemikiran yang dikemukakan Gramsci,7 menurutnya konsep profesionalitas mengandung beberapa unsur pokok, seperti pemanfaatan akal pikiran (intelegensi) secara aktif, juga fantasi dan perlunya inisiatif di dalam lapangan pekerjaan yang digeluti seseorang profesional. Klaim yang berhubungan dengan pengetahuan otoritatif mengandung arti bahwa hanya kaum profesional saja yang memiliki kemampuan menilai apakah suatu pekerjaan dila kukan dengan sempurna atau sebaliknya, selain itu organisasi profesional memberikan perlindungan kepada para praktisinya dari para klien. Johnson juga memberi penjelasan terutama terkait dengan hubungan antara para praktisi dengan para klien, khususnya ketersinggungannya dengan kekuasaan yang dimiliki para profesional untuk mendefinisikan kebutuhan dan pemecahan atas masalah kliennya. Demikian halnya dengan soal klaim kompetensi unik, self regulasi, dan pengendalian yang ketat dalam soal rekruitmen anggota baru, dimana seluruh aspek yang telah disebutkan ini merupakan soal strategi profesionalisasi yang menjadi bagian dari proses rekruitmen yang menjadi masalah yang penting.8 Berbagai konsep komunitas profesional di atas dalam kenyataannya tentu saja mengalami banyak penyimpangan, setidak-tidaknya apa yang ada di alam kenyataan memperlihatkan perbedaannya dengan realitas formulasi konseptual. Menurut hasil penelitian yang diselenggarakan Harian Umum “Kompas”, 6 7 8
6
David Jary dan Julia Jary, Dictionary of Sociology, (Great Britain: HarperCollins Manufactoring Glasgow, 1991) bal.502 Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, (New York: Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith, 1971) hal. 302 David Jary dan Julia Jary, Op.cit., hal. 502
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
bahwa yang dimaksud dengan professional dalam konteks masyarakat Indonesia umumnya, dan di Jakarta khususnya, adalah berkait dengan berbagai macam ciri, seperti: memiliki latar belakang PT (D1, D2, D3 hingga S1), jenis pekerjaannya meliputi antara lain seperti pengacara, dokter, konsultan, dosen, peneliti. Tingkat penghasilan rata-rata mereka berkisar mulai dari kurang satu juta rupiah sampai dengan di atas satu juta rupiah, bahkan di atas tiga juta rupiah. Dan yang terpenting sekaligus tidak dimiliki kalangan professional kita adalah minimnya apresiasi mereka pada ilmu pengetahuan, pada hal ini merupakan ciri terpenting dari professional dalam arti yang sesungguhnya.9 Dalam literatur sosiologi Marxis kaum profesional tidak memiliki posisi yang tegas, hal ini karena di dalam pemikiran Marxian hanya dikenal dikotomi dua kelas sosial: kelas produktif yang dihisap dan kelas non produktif yang menghisap. Kondisi pembentuk kedua kelas itu telah jelas, yakni mereka yang menguasai alat produksi material dan mereka yang tidak. Dalam masyarakat kapitalistik, dua kelas itu adalah kelas pekerja dan kelas pemodal. Kelas menengah sesekali disebut tetapi tidak dianggap penting. Yang cukup penting dari tipologi ini adalah bahwa semua kelas yang tidak termasuk kelas pekerja (proletariat) atau pemilik modal (kapitalis) dianggap akan terdesak masuk ke dalam salah satu dari dua kelas utama ini.10 Berbeda dengan pandangan kaum Marxian, pandangan Weberian menganggap, kelas sosial tidak hanya dua atau tiga (atas-tengah-bawah), tetapi bisa banyak berjenjang-jenjang. Pembentukan kelas tidak hanya ditentukan oleh penguasaan alat produksi, tetapi juga kegiatan konsumtif, status sosial, 9 Reportase Kompas, Profesional Muda Jakarta Gaji Jutaan, Kerja Keras Kurang, pernah dimuat 11 Mei 1986, dalam, Richard Tauter dan Kenneth Young, Politik Kelas Menengah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1993) hal. 183-191 10 Pandangan konseptual tentang kelas sosial baik versi Marx dan atau pun Weber sepenuhnya diambil dari, Ariel Heryanto, “Memperjelas Sosok yang Samar” dalam Richard Tanter dan Kenneth Young, Op. cit., hal. ix-xxv.
7
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
kewibawaan serta daya-tawar dalam pertukaran-pasar. Tidak berpusat hanya pada bidang ekonomi, tetapi juga politik dan budaya. Dari kontras dua pandangan di atas maka ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik: pertama, pandangan Marxian menekankan pertentangan kepentingan antar kelas yang dikotomis, sedang pemikiran Weberian menunjukkan per bedaan kepentingan atau kemampuan di antara banyak kelas. Kedua, pemikiran Marxian berbobot ideologi radikal, dan secara ambisius menjangkau sebuah cakrawala perubahan sejarah makro yang maha luas. Pada saat yang bersamaan, wawasan Weberian lebih setia pada realitas empirik yang mikro dan majemuk, sehingga lebih mudah diteliti dan diuji. Wawasan Marxian kewalahan menghadapi konsep dan gejala “kelas menengah” karena watak dasarnya yang deterministik. Visinya serba dikotomis. Ia tidak bertoleransi pada yang serba tanggung. Sementara dalam realitas banyak hal yang serba tanggung dan kontradiktif. Karena luwes, wawasan Weberian mudah menampung konsep “kelas menengah”. Namun justeru karena keluwesannya, ia akhirnya tidak mampu menjelaskan secara tegas “batas” kelas menengah ini dengan kelas-kelas lainnya. Berbagai indikator seperti gaji, selera, gaya hidup, tingkat pendidikan atau profesi, hanya membuahkan gambaran yang sangat rumit dan terlalu membingungkan. Dalam perkembangan lebih belakangan, kedua kiblat itu bertemu dan saling memperkaya wawasan. Mereka yang condong ke Marxian mulai memperhitungkan aspek-aspek non ekonomi dan non-produksi dalam analisisnya. Mereka yang menganut perpektif Weberian mulai menekankan aspek “konflik” (bukan sekedar perbedaan) antar kelas dan wawasan “perubahan sejarah” (bukan sekedar penggambaran empirik mikro). Apa pun perbedaan pendapat yang ada tentang kelas mene ngah di atas yang dapat dikatakan adalah bahwa dalam setiap masyarakat dapat dikenali beberapa kelas atas dan beberapa 8
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
kelas bawah, masing-masing berasal dari tataproduksi yang berbeda-beda. Ada kelas atas dari tataproduksi yang dominan, dan ada kelas atas dari tataproduksi yang tidak atau kurang dominan. Dalam konteks pemetaan tersebut kelas menengah dapat diidentifikasikan sebagai satu atau lebih kelas-atas dari tata produksi yang tidak dominan dalam masyarakat. Dan dengan perkataan lain, bahwa ada lebih dari “satu kelas menengah”. Ia jamak sekaligus majemuk. Para pemikir seperti Bourdieu dan Wallerstein (yang lebih Marxian ketimbang Weberian) maupun Gouldner atau Szelenyi (yang lebih Weberian ketimbang Marxian) sama-sama menunjukkan bahwa dalam “kapitalisme” mutakhir ada sejumlah aset produktif yang layak diperhitungkan sebagai modal (kapital). Contoh terpenting, berbagai ketrampilan ilmiah, dan kewenangan birokrasi negara yang dikuasai oleh “kelas menengah baru”. Ini disebut dengan beraneka julukan: modal manusiawi, modal simbolik/kultural, atau diskursus budaya kritis. Kesulitan untuk membuat tipologi sebagaimana didis kusikan di atas jauh hari sebenarnya telah tertangkap oleh se jumlah pemikir sosial, oleh sebab itu solusi yang dipakai untuk mengatasi kesulitan itu adalah dengan menetapkan klasifikasi kelas sosial menjadi enam tipologi, yakni: kelas sosial ataslapisan atas (upperupper class), yang mencakup keluarga kaya lama, yang telah lama berpengaruh dalam masyarakat dan sudah memiliki kekayaan begitu lama, sehingga orang-orang tidak lagi bisa mengingat kapan dan bagaimana cara keluarga keluarga itu memperoleh kekayaannya. Orang-orang pada kelas sosial atas-lapisan bawah (lower-upper class) mungkin saja mereka mempunyai jumlah uang yang sama, tetapi mereka belum terlalu lama memilikinya dan keluarga mereka belum lama berpengaruh dalam masyarakat. Kelas sosial menengah lapisan atas (upper-middle class) mencakup kebanyakan pengusaha dan orang-orang profesional yang berhasil, yang umumnya berlatar belakang keluarga “baik” dengan penghasilan yang 9
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
menyenangkan. Kelas sosial menengah lapisan bawah (lower middle class) meliputi para juru tulis, pegawai kantor lainnya, dan orangorang semi profesional, serta mungkin pula termasuk beberapa penyelia (supervisor) dan pengrajin terkemuka. Kelas sosial rendah lapisan atas (upper-lower class) terdiri atas sebagian besar pekerja tetap yang sering disebut sebagai golongan pekerja oleh orangorang kurang senang menggunakan istilah “kelas sosial rendah” bagi para pekerja yang bertanggung jawab. Kelas sosial rendahlapisan bawah (lower-lower class) meliputi para pekerja tidak tetap, penganggur, buruh musiman, dan orang-orang yang hampir terus menerus tergantung pada tunjangan pengangguran.11 D. Fokus Kajian Buku ini dengan data yang dimilikinya ingin meng konfirmasi dan mengklarifikasi beberapa persoalan penting yang berhubungan dengan dimensi fungsional, reproduksi dan otonomi relatif pendidikan, terutama terkait dengan pendidikan tinggi (PT), dan dampaknya atas mobilitas sosial kalangan profesional, khususnya tenaga pengajar yang mendedikasikan dirinya dalam proses belajar mengajar. Seberapa besar kemampuan dunia pendidikan tinggi (PT) mengembangkan daya otonomi relatipnya terhadap tenaga pengajar (dosen), dan bagaimana pula daya dorong PT terhadap mobilitas mereka. Mudah-mudahan wawancara dengan beberapa staf pengajar dari berbagai perguruan tinggi tersebut membantu kita untuk melihat efek mobilitas yang dibawa PT di dunia kampus. E. Pengumpulan Informasi Kajian ini mendayagunakan informasi yang dikumpulkan melalui proses wawancara kepada beberapa tenaga pengajar yang berasal dari lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Institute Agama Islam Negeri (sekarang UIN) Yogyakarta, dan 11 Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, terj, Aminuddin Ram. Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 1989), hal., 6-7
10
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tanpa melupakan berbagai prasyarat penting yang diperlukan sebagai kriteria untuk menetapkan nara sumber atau informan yang dianggap relevan untuk menjawab sejumlah pertanyaan penelitian yang diajukan dalam rangka mendalami dan membahas penelitian ini. Tulisan dan data pada tulisan ini secara kasar telah kami persiapkan cukup lama, yakni kurang lebih tiga belas tahun yang lalu, namun karena berbagai kesibukan yang penulis miliki pada akhirnya naskah ini sempat tak tersentuh selama bertahuntahun, kami baru sempat membaca ulang hasil wawancara dan teori-teori yang telah kami persiapakan itu pada dua tiga tahun belakangan ini, terutama ketika penulis mengampu matakuliah Sosiologi Pendidikan di Jurusan Sosiologi Fisipol UGM. Berkali-kali penulis memikirkan dan merefleksikan berbagai teori yang ada pada naskah dan membicarakannya di ruang kuliah bersama mahasiswa yang mengambil matakuliah tersebut, atas dasar respon dan dialog yang terjadi di ruang kelas maka, akhirnya penulis merasa bahwa bahan-bahan tulisan yang telah penulis siapkan cukup bermanfaat jika diterbitkan sebagai bahan ajar Sosiologi Pendidikan untuk menambah perbendaharaan referensi dan cakrawala proses pembelajaran Sosiologi Pendidikan. Apalagi mengingat buku berbahasa Indonesia tentang Sosiologi Pendidikan masih begitu terbatas. Untuk itulah penulis akhirnya memberanikan diri menerbitkan karya ini. Penulis juga berharap saran dan kritik dari pembaca agar ke depan buku ini bisa terus dikembangkan, bahkan bisa menstimulasi karya-karya Sosiologi Pendidikan yang lebih inspiratif pasca terbitnya karya ini.
11
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
12
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
BAB 2
DIMENSI REPRODUKSI DALAM PENDIDIKAN
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
DIMENSI REPRODUKSI DALAM PENDIDIKAN
A. Perspektif Fungsionalis Menurut pandangan kaum fungsionalis, pendidikan diang gap telah memiliki bentuk tertentu, hal ini terutama dikaitkan dengan sumbangan positif yang diberikan bagi berfungsinya masyarakat industri dengan tepat. Prinsip- prinsip utama teori fungsionalis dalam konteks masyarakat industri dan hubungannya dengan sistem pendidikan, menurut Colllins, dapatlah diuraikan sebagai berikut: 1. Persyaratan pendidikan dari pekerjaan-pekerjaan yang terdapat dalam masyarakat industri terus meningkat sebagai akibat adanya perubahan teknologi. Dalam hal ini ada dua aspek yang penting a. Proporsi pekerjaan yang memerlukan ketrampilan yang rendah berkurang, sementara proporsi yang memerlukan ketrampilan tinggi bertambah. b. Pekerjaan-pekerjaan yang sama terus meningkat persyaratan keterampilannya. 2. Pendidikan formal memberi latihan yang diperlukan kepada orang-orang untuk mendapat pekerjaan yang ber keterampilan yang lebih tinggi. 3. Sebagai akibat dari yang disebut di atas, persyaratan pendidikan untuk bekerja terus meningkat, dan semakin 15
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
banyak orang yang dituntut untuk menghabiskan waktu yang lebih lama di sekolah. Collins juga pada sisi yang lain menunjukkan bahwa bukti yang ada ternyata sangat bertentangan dengan apa yang telah dijelaskan oleh para penganut fungsionalis, ia menunjukkan, misalnya tentang proposisi 1.a-bahwa persyaratan pendidikan bertambah karena adanya penurunan dalam proporsi pekerjaan yang memerlukan keterampilan yang rendah dan meningkatnya proporsi yang memerlukan keterampilan yang tinggi. Dikemu kakannya bahwa proses demikian hanya memenuhi sejumlah kecil peningkatan pendidikan. Untuk sekedar contoh, suatu studi yang terkenal telah menemukan bahwa hanya 15 persen dari peningkatan pendidikan selama abad XX yang dapat dikaitkan dengan pergeseran dalam struktur pekerjaan.12 Proposisi 1.b dan 2 bahwa persyaratan pendidikan naik, karena pekerjaan-pekerjaan yang sama meningkatkan persyaratan keterampilannya, dan bahwa pendidikan formal memberi keterampilan kerja yang diperlukan juga dipandang bertentangan dengan bukti yang ada. Collins menantang proposisi-proposisi di atas dengan mengajukan pertanyaan: “apakah para pekerja yang berpendidikan lebih baik itu lebih produktif daripada para pekerja yang kurang berpendidikan?” dan apakah ketrampilan vokasional dipelajari di sekolah atau dimana-mana?” Jawaban untuk pertanyaan yang pertama adalah “tidak”, untuk yang kedua, “dimana-mana”. Mengenai jawaban yang pertama Collins menampilkan suatu studi utama dari (Berg 1971), yang memperlihatkan bahwa para pekerja yang berpendidikan lebih baik ternyata tidak lebih produktif dari mereka yang berpen didikan kurang, dan dalam beberapa kasus malah mereka kurang produktif. Dalam hubugan dengan pertanyaan kedua, 12 Pandangan Collins dan beberapa pemikir lainnya diambil dari, “Sisitem pendidikan dalam Perspektif Sosiologis”, dalam, Stephen K. Sanderson, telj, Farid Wajidi, Sosiologi Makro, sebuah pendekaterhadap realitas sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995) hal. 492-495
16
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
ia mempelajari keterampilan yang relevan secara vokasional di sekolah, dan bahwa kebanyakan keterampilan demikian dapat diperoleh dengan mudah dan cepat pada pekerjaan.13 Data lain yang cukup menarik juga ditunjukkan oleh sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Glasser, ia memperkirakan bahwa dikebanyakan sekolah menengah lebih dari 50 % siswanya menyerap pelajaran sedikit sekali dan gejala ini bahkan juga dialami oleh anak-anak berbakat yang berasal dari lingkungan keluarga yang baik.14 Selanjutnya, dari wawancara-wawancara yang dilakukan nya berulang kali dengan siswa-siswa sekolah, Glasser menemukan bahwa mereka itu tidak banyak melihat manfaat dari sebagian besar bahan yang harus mereka pelajari.15 Dari data yang sama ini banyak pertanyaan yang kembali dapat diajukan terhadap pendidikan sekolah, mulai dari level pendidikan yang lebih awal, misalnya apakah terdapat kemungkinan bahwa sekolah tidak mengajarkan pengetahuan yang langsung memiliki relevansi dengan kebutuhan dan ·konteks sosial masyarakatnya (baca: masyarakat industri), sehingga tidak heran kalau di sana sini gejala kejemuan atas sistem pendidikan sekolah terjadi. Para pelajar, dalam sistem sekolahan, harus menghabiskan lebih banyak waktunya untuk mendapatkan selembar kertas yang disebut “ijazah” (sertifikat pendidikan) yang kelak memiliki peran begitu penting untuk memasuki pasar dan peluang kerja. Persoalan pendidikan sejenis inilah yang pernah dipikirkan oleh pakar pendidikan ternama, John Dewey. Menurutnya inti permasalahan sebagaimana dijelaskan di atas ada pada soal “alam individual versus kebudayaan sosial”, hal ini seperti dikatakannya sebagai berikut: Seorang anak hidup dalam dunia kontak-kontak personal yang sedemikian rupa sempitnya. Tidak ada yang menyusup 13 lbid., hal. 493 14 Frank G. Goble, terj, Supratinya, Mazhab Ketiga, Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Kanisius, 1987) hal. 260-261 15 Ibid., hal. 260.
17
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
ke pengalamannya jika tidak menyentuh, secara akrab dan tegas, kesejahteraaan diri anak itu, atau kesejahteraan keluarga terdekatnya dan teman-temannya. Dunia si anak adalah dunia pribadi-pribadi dengan kepentingan-kepentingan pribadi, bukan jagat fakta-fakta dan hukum-hukum. Nada dasarnya bukan kebenaran dalam arti konformitas terhadap fakta ekster nal, melainkan kasih sayang dan simpati. Berhadapan dengan dunia yang seperti itu, pelajaran disekolah menampilkan bahan yang merentang mengarungi waktu tanpa batas, dan meluas keangkasa luar tak bertepi. Sang anak dibawa keluar dari lingkungan fisik yang diakrapinya, yang jauhnya mungkin cuma satu kilometer dari sekolah, lalu dimasukkan kedunia luasnya, bahkan masuk ke lingkaran tatasurya. Kancah ingatannya yang kecil, ranah tradisinya yang sempit, dijejali dengan abad-abad panjang sejarah seluruh umat manusia.16 Tentu saja kenyataan di atas menunjukkan bahwa ada persoalan yang cukup problematis dalam konteks hubungan antara peserta didik, dengan materi pendidikan, yang juga menyangkut metode belajar mengajar yang dipergunakan. Dan bisa jadi tuduhan bahwa lembaga pendidikan hanya mengajarkan apa yang disebut Whitehead sebagai “ide-ide inersia”, yaitu ide-ide yang semata-mata hanya diterima di dalam pikiran tanpa digunakan atau diuji atau diolah menjadi kombinasi yang segar, menjadi benar adanya.17 Ide-ide inersia dalam rangka pendidikan tentu saja selain tidak berguna, ia juga mengandung bahaya, hal ini seperti lebih lanjut ditegaskan oleh Whitehead sebagai berikut: “Education with inert ideas is not only useless; it is, above all things, harmful-Corruptio optimi, pessima”.18 Bahwa pendidikan yang menghasilkan ide-ide 16 Pandangan Pendidikan Dewey diambil dari, Omi Intan Naomi, Menggugat Pendidikan, Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis (Yogyakarta: Pustaaka Pelajar, 1998) hal. 222. 17 Lihat, Paulo Freire, terj, Alois A. Nugroho, Pendidikan Sebagai Praktek pembebasan, (Jakarta: Gramedia, 1984) hal. 37. Baca juga buku aslinya, Alfred North Whitehead, The Aims of Educatio, (England: Williams and Norgate, 1956) hal. 13 18 Ibid., hal. 13
18
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
yang lesu, lembek tidak hanya tak bermanfaat, lebih gawat lagi pendidikan jenis ini akan mendatangkan kerusakan. Peringatan Whitehead ikhwal adanya nilai-nilai kependidikan yang bersifat merusak (corruptio optimi pessima) ini tentu merupakan bahan informasi yang cukup penting untuk dikaji dan didalami lebih lanjut, terlebih jika daya rusak pendidikan yang dimaksudkan itu ditemukan juga dalam konteks institusi masyarakat kapitalisindustrial, misalnya dengan munculnya fenomena komersialisasi dan birokratisasi dunia pendidikan, yang kedua-duanya tidak lain lebih mengutamakan aspek capaian keuntungan ekonomi atau pun bentuk-bentuk orientasi ekonomis. Idealnya tentu saja penyelenggaraan pendidikan tidak semata-mata berorientasi pada perspektif pragmatis, praktis atau pun ekonomis semata, pendidikan sebaiknya juga harus dilihat dari dimensi lain yang lebih substansial, seperti digambarkan lebih lanjut oleh Whitehead sebagai berikut: “Education is discipline for adventure of life; research is intellectual adventure; and the universities should be homes of adventure shared in common by young and old”.19 Yang terjemahannya lebih kurang mengisyarakatkan bahwa pendidikan sesungguhnya merupakan disiplin dalam pengembaraan kehidupan, sementara penelitian, hakekatnya adalah pengembaraan intelektual, dan universitas semestinya menjadi rumah umum untuk berbagi pengalaman baik untuk anak muda maupun orang tua. Namun demikian ada juga kenyataan pemikiran yang kurang begitu menghargai perubahan ditingkat “substansial” yang dapat dibawa oleh dunia pendidikan, yakni pandangan yang asalnya dari kalangan fungsionalis, mereka sangat percaya bahwa perubahan dalam sistem pendidikan dapat membawa perubahan dalam struktur masyarakat. Golongan ini termasuk optimis melihat korelasi antara dunia pendidikan dengan struktur masyarakat. 19 Alfred North Whitehead, The Aims of Education, (England: Williams and Norgate, 1956) hal.102.
19
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Dibenak kaum fungsionalis sistem pendidikan merupakan subsistem dari sebuah sistem yang lebih besar, dan pendidikan dengan segala institusi jelmaannya itu tidak bisa berdiri sendiri lepas dari rangkaian subsistem lain yang terjalin dalam suatu keseluruhan, hal ini seperti dilukiskan oleh Abrahamson: sebagai berikut: “...sistem pendidikan terdiri dari: sekolah dengan berbagai jenjang usia, para staf pengajar, berbagai asosiasi orang tua, dan hubungan diantara unsur-unsur tersebut. Dalam semua contoh yang bersifat non-biologis ini, lagi-lagi perspektif fungsionalis menekankan pentingnya kontribusi akibat yang terjadi dalam sistem dan antar subsistem.”20 Lebih lanjut sesuai dengan penggambaran metaphoris yang dibuat oleh kaum fungsional, masyarakat diumpamakan analog dengan hukum-hukum dan kekuatan seperti halnya sistem yang lain. Ekuilibrium atau keseimbangan, untuk sekedar contoh, diasumsikan sebagai karakteristik masyarakat yang merupakan hasil dari sebuah gaya gravitasi sosial (baca: daya tarik menarik sosial); institusi politik dilukiskan sebagai lembaga yang dibangun di atas atom-atom, dalam hal ini; para individu dan molekul, yakni; kelompok-kelompok, dsb.21 Penggambaran masyarakat yang dilakukan di atas tentu saja tidak mudah untuk dicari terjemahannya secara persis lewat pola dan proses sosial yang berlangsung di dalam masyarakat itu sendiri. Seperti telah banyak dibahas bahwa masyarakat adalah lebih dari pada sekedar sekumpulan individu yang bergerak secara mekanis, ia merupakan sekumpulan orang dengan bangunan kesadaran, hasrat, pola prilaku, dan kebiasankebiasaan yang kompleks. Di dalam masyarakat terdapat kesadaran kolektif, selain itu juga kesadaran yang bersifat individualitas kerap pula memberi nuansa dalam kolektivitas 20 Mark Abrahamson, Functionalism, (America: Prentice-Hall, 1978) hal. 6 21 Ibid., hal. 9.
20
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
tersebut. Oleh sebab itu, menganggap masyarakat sebagai entitas sosial yang bergerak secara mekanis tentu kurang cukup, penjelasan semacam ini akan sangat mereduksi hakekat masyarakat itu sendiri. Adalah benar bahwa masyarakat terdiri atas sekumpulan individu yang masing-masing memiliki otot, tulang, dan tubuh fisik yang masing-masing cara kerjanya dapat dilukiskan seperti halnya komponen-komponen dalam tubuh yang disebut mesin, namun disamping itu manusia memiliki otak, terutama bagian neo-korteks yang disinyalir tempat menyimpan daya dan kawasan kesadaran reflektif yang tak dijumpai dalam mesin secanggih apapun. B. Pendidikan dan Masyarakat Kapitalis Dalam keseluruhan bagiannya kaum fungsionalis ini, seperti diuraikan kembali oleh Selfe,22 melukiskan berbagai macam elemen yang ada di dalam masyarakat melalui beberapa bagian berikut ini: 1. Terdapat hubungan langsung antara sistem pendidikan dan sistem ekonomi. Hal ini disebabkan karena perkembangan ekonomi akan mengembangkan struktur pendidikan, dan pada gilirannya pendidikan dapat membekali para pekerja dengan skill yang memadai. 2. Usia sekolah (school-living age) mungkin dapat digunakan untuk mengerem laju keinginan berbondong-bondong orang untuk memasuki pasar kerja tanpa didukung oleh bakat yang cukup memadai. 3. Sistem pendidikan yang berkembang pasti akan membawa kesempatan yang lebih leluasa bagi mobilitas sosial, dan hal ini pada gilirannya akan mentransformir struktur kelas. 4. Pendidikan mendorong pertumbuhan personal secara lebih besar lagi, sehingga dapat mengakibatkan orang memperluas bakat-bakatnya. Dengan demikian hal ini 22 Gagasan ini dikutip dari Paul Selfe, Sociology a Level, (Great Britain: Macmillan Press, 1993) hal. 130.
21
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
dapat menjamin keharmonisan dengan tatanan yang terdapat di dalam masyarakat. 5. Prinsip-prinsip meritokrasi dan kemandirian (selfhelf) merupakan nilai-nilai yang penting yang dapat mempromosikan kemungkinan perubahan menuju masyarakat yang jauh lebih terbuka. 6. Kegagalan sebagian besar anak-anak untuk mewujudkan potensinya secara lebih penuh dengan cara lebih mudah dapat dijelaskan melalui pendekatan deprivasi budaya (cultural deprivation). Yakni, bahwa lemahnya kemajuan budaya akan menyebabkan sosialisasi yang buruk. Pemikiran kaum fungsionalis di atas tentunya tidak bisa dilepaskan dari latar belakang masyarakat yang dibayangkannya, yakni masyarakat kapitalis atau industri. Oleh sebab itu, kita akan memasuki perbincangan ini dengan lebih dahulu memaparkan gambaran tentang masyarakat kapitalis, baik menurut Weber maupun Marx biarpun hanya sekilas. Bagi Marx, kapitalisme, pada awalnya dipakai dalam pengertian sebagai sebuah sistem produksi yang menempatkan tenaga kerja (labour power) sebagai sebuah komoditas yang dapat dipertukarkan di pasar dan berhadapan dengan kapital. Berbeda dengan Marx, menurut pandangan Weber kapitalisme punya arti yang jauh lebih rumit, kenyataan ini setidaknya dapat dijelmakan dalam pandangannya yang membagi kapital dalam dua arti: Pertama, ia memiliki makna yang lebih umum, yaitu menyangkut setiap usaha kaum kapitalis yang dilakukan dalam berbagai kurun waktu dan satuan tempat di masa silam. Kedua, Weber menerjemahkannya dalam arti yang tidak berbeda dengan makna yang diberikan oleh para Marxian, terutama menunjuk fenomena dunia barat post-feodal.23 23 Anthony Giddens, The Class Structure of The Advanced Societies, (London: Hutchinson & Co Ltd, 1978) hal. 139-143.
22
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Sebenarnya baik Weber maupun Marx, adalah dua tokoh sosiologi yang mencoba memberikan perhatian sangat serius terhadap konsep “kapitalisme” di satu sisi dan “industrialisme” pada sisi yang lain. Di dalam rumusan tersebut Weber secara ilmiah memberi penekanan pada unsur kalkulasi rasional pada sektor ekonomi modern. Pada aspek yang lain Weber juga menunjuk terdapatnya hubungan antara pertumbuhan kapitalisme pada satu sisi dengan penyebaran mekanisasi, dan produksi pada sisi yang lain. Gejala ini disebut juga dengan “rasionalisasi teknis’ dan “rasionalisasi tenaga kerja” tentu saja dalam kaitannya dengan mesin. Menurut Marx, apa yang dibicarakan oleh Weber sebenarnya merupakan suatu peristiwa yang ia sebut sebagai transmutasi dari manufaktur menuju pada macinofaktur. Untuk memahami lebih lanjut konsep transmutasi yang dimaksud, maka kita perlu kembali lagi ke pikiran Weber berikut ini: “the real distinguishing characteristic of the modern factory is in general ... the concentration of ownership of workplace, means of work, source of power and raw material in one and the same hand, that of the entrepreneur”.24 Dalam konteks ini Weber menjelaskan ikhwal adanya konsentrasi kepemilikan yang nampaknya menjadi ciri paling menonjol dari adanya proses transmutasi tersebut, hal ini seperti telah ditegaskan, menyangkut dimensi-dimensi “tempat dan sarana kerja, kepemilikan atas sumber daya (kekuasaan) dan bahan mentah”, faktor inilah yang sebetulnya membedakan antara periode “manufaktur” dan “macinofaktur”. Seperti dicatat oleh Giddens, kalau pun ada perbedaan yang mendasar antara dua raksasa sosiologi tersebut maka, bagi Weber rasionalisasi teknis merupakan ciri intrinsik yang terdapat dalam kapitalisme modern, baik pada level struktur 24 Ibid., hal. 142.
23
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
sosial, maupun pada tingkat struktur ekonomi. Sementara itu dalam pandangan Marx, rasionalisasi teknis dalam arti yang sesungguhnya merupakan masalah yang sekunder, atau merupakan bagian yang tercakup dalam persoalan kelas sosial (Giddens, 1978). Oleh sebab itu, kembali lagi ke Weber, bahwa dalam terminologi yang dirumuskannya kita mendapati dua konsep penting, yang pertama “rasionalitas teknis” dan yang kedua: “rasionalisasi perilaku organisasi” (birokrasi). Disamping dua pendapat raksasa sosiologi itu, terdapat pandangan Giddens yang menyatakan bahwa industrialisme merupakan transfer dari sumber energi yang berasal dari “barang mati” (tidak produktif, pen) menuju produksi melalui agen organisasi perusahaan. Dengan demikian industrialisasi merupakan sebuah proses, atau serangkaian proses dimana industrialisme datang untuk memainkan peran yang penting dalam kehidupan ekonomi disetiap masyarakat. Jadi konsep masyarakat industrial dapat dipergunakan untuk merancang sebuah tatanan sosial yang berkuasa dalam memproduksi barang-barang pasar di sektor ekonomi. Hal yang juga cukup penting untuk disinggung adalah konsep kapitalisme, Kontribusi atas pemikiran yang tidak dapat diabaikan adalah adanya dimensi pemikiran Marx didalam konsep kapitalisme tersebut. Untuk mempermudah pengenalan lebih lanjut maka dapatlah disebutkan bahwa kapitalisme akan eksis apabila: (1). Produksi terutama diorientasikan pada realisasi pencapaian keuntungan. (2). Proses tersebut diorganisasikan dalam rangka komoditas pasar, termasuk tenaga kerja, diperjualbelikan sesuai dengan·standar alat tukar uang.25 Dalam hubungannya dengan “kerja”, Marx sendiri mernbedakan dua jenis kerja. Pertama, kerja sebagai sebuah proses yang terdiri dari energi-energi dan intelegensi seseorang yang terlibat dalam produksi. Kedua, kerja sebagai komoditi, yang terdiri dari suatu benda yang dihasilkan untuk dijual, 25 Loc. cit., hal. 142
24
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
dalam hal ini sering juga disebut sebagai “kekuatan kerja” atau kapasitas kerja seorang pekerja.26 Sesungguhnya yang cukup penting untuk digaris bawahi dari seluruh penjelasan tersebut adalah kenyataan bahwa tidak setiap bentuk ekonomi aktual yang disebut kapitalis itu menunjukkan ciri-ciri seperti: adanya kompetisi sempurna, atau tidak harus terdapat pasar yang kompetitif di setiap sektor produksi, atau negara tidak dapat secara langsung mempengaruhi segmen-segmen ekonomi.27 Namun demikian, kendati unsur laba tidak disebut-sebut dalam penjelasan Giddens di bagian awal, Heilbroner secara tegas menyimpulkan bahwa: “Laba adalah darah kehidupan kapitalisme, bukan saja karena merupakan sarana yang dipakai masingmasing kapital untuk memperoleh segala sesuatu yang diperlukan untuk ekspansinya tetapi karena itu adalah cara bagaimana hubungan dominasi itu dilaksanakan”.28 Deskripsi Giddens dibagian atas agaknya banyak mendapat pembenaran teoritik dari Fritjof Capra. Dalam sebuah bukunya yang berjudul “The Turning Point; Science, society, and The rising culture” ia menjelaskan terdapatnya tiga kekuatan pertumbuhan yang saling terkait di sebagian besar masyarakat industri, yaitu dimensi ekonomis, teknologis, dan institusional.29 Dalam konteks ekonomi adanya obsesi global akan pertumbuhan telah mengakibatkan suatu kemiripan luar biasa antara ekonomi kapitalis dan ekonomi komunitas (kolektivitas, pen). Kedua wakil dominan (sosialis dan kapitalis, pen) dari yang disebut sistem nilai yang berlawanan tidak lagi tampak berbeda. Keduanya dicurahkan untuk pertumbuhan industri dan teknologi keras, dengan pengendalian yang semakin terpusat dan birokratis, baik oleh perusahaan-perusahaan multinasional 26 Robert L. Heilbroner, terj., Hartono Hadikusumo, Hakikat dan Logika Kapitalisme, (Jakarta:LP3ES, 1991) hal. 47. 27 Anthony Giddens, op. cit., 142-143 28 Ibid., hal, 50 29 Lihat, Fritjop Capra, terj, M. Thoyibi, Titik Balik Peradaban, sains, masyarakat dan kebangkitan kebudayaan, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997) hal, 291
25
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
negara maupun “swasta”. Ketagihan universal pada pertum buhan dan pengembangan menjadi lebih kuat dari pada semua ideologi lain; meminjam ungkapan Marx pertumbuhan dan pengembangan telah menjadi candu masyarakat.30 Jalan pertumbuhan dan perkembangan semacam apa yang sesungguhnya menjadi sasaran kritik ilmuwan sosial seperti Marx atau pun Capra? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kutipan Capra dalam buku yang sama bisa sedikit memberikan jawaban, katanya “Salah satu karakteristik menonjol dari ekonomi dewasa ini, baik kapitalis maupun komunis, adalah adanya obsesi dengan pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi dan teknologi dipandang sebagai sesuatu yang esensial oleh semua ahli ekonomi dan politisi, meskipun seharusnya telah jelas bahwa perluasan yang tak terbatas dalam suatu lingkungan yang terbatas hanya akan menimbulkan malapetaka. Kepercayaan pada pentingnya pertumbuhan yang terus menerus merupakan suatu konsekuensi dari penekanan yang terlalu banyak pada nilai-nilai-perluasan, penonjolan diri, kompetisi. Hal ini merupakan refleksi pemikiran dari yang linear; cerminan dari kepercayaan yang keliru bahwa jika sesuatu itu baik bagi suatu individu atau kelompok, maka semakin banyak sesuatu itu akan semakin baik.31 Pertanyaan lebih lanjut tentu adalah, apa yang salah dari pertumbuhan dan atau kemajuan? Untuk menjawab hal ini Schumacher dengan lantang mengajukan argumentasinya sebagai berikut: “Bahwa pada dasarnya setiap orang percaya pakta pertumbuhan, karena pertumbuhan itu merupakan hakekat kehidupan. Akan tetapi, pokok persoalannya ialah memberi unsur kualitatif pada ide pertumbuhan itu, karena selalu banyak yang harus tumbuh tetapi banyak pula yang harus berkurang. Demikian pula pakta kemajuan, karena kemajuan juga dapat dianggap sebagai hakekat kehidupan. 30 Ibid., hal, 290. 31 Loc. cit, hal. 289
26
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Persoalannya adalah menetapkan apa hakekat kemajuan itu. Dan golongan ini percaya bahwa haluan yang ditempuh oleh teknologi modern dan terus ditempuhnya menuju ukuran makin besar, makin cepat, makin banyak kekerasan, yang bertentangan dengan semua hukum keserasian alam-justeru bertentangan dengan kemajuan. Karena itu mereka mengharapkan agar diadakan tinjauan kembali dan upaya penemuan arah baru. Tinjauan yang dilakukan menunjukkan bahwa kita kini sedang menghancurkan landasan kehidupan kita sendiri, dan mengubah arah itu berdasarkan pada mengingat kembali apa kehidupan manusia itu sesungguhnya.32 Alur pemikiran Schumacher di atas pada dasarnya me rupakan arus pemikiran yang tidak banyak dianut oleh lembaga atau asosiasi ekonomi yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat, terutama sekali di negara maju maupun dunia ketiga. Pada bagian lain pemikiran ekonomi yang disebarluaskan oleh masyarakat internasional sebagaimana dicontohkan oleh pernyataan yang pernah dilontarkan oleh petinggi Masyarakat Ekonomi Eropa, Dr. Sicco Mansholt, yang memperlihatkan arus pemikiran yang berbeda sekali. Ia mendukung gaya ideologi pemikiran: “lebih banyak, lebih tinggi, lebih cepat, lebih kaya”.33 Pikiran demikian didukung pula oleh teknologi yang cocok untuk ideologi itu, seperti kembali ditegaskan oleh Capra, yakni teknologi yang dimaksudkan untuk keperluan pengendalian, produksi besar-besaran, dan standardisasi dan hampir selalu patuh pada manajemen terpusat yang mengejar ilusi pertumbuhan tak terbatas. Seorang ekonom Inggris bernama, Paul Elkins, mene gaskan bahwa adalah mungkin untuk menyimpulkan bahwa suatu pertumbuhan tertentu hanya merupakan hal yang baik jika terbukti bahwa pertumbuhan telah terjadi melalui produksi 32 E.F. Schumacher, terj, Supomo, Kecil ltu Indah, (Jakarta:LP3ES, 1987) hal, 149-150. 33 Ibid., hal. 148
27
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
barang dan jasa yang memang bernilai dan bermanfaat; terbukti bahwa barang dan jasa ini terdistribusi secara luas di seluruh masyarakat; dan terbukti bahwa manfaat-manfaat ini lebih besar daripada setiap efek merugikan yang ditimbulkan oleh proses pertumbuhan atas kelompok masyarakat yang lain.34 Pandangan Elkins di atas cukup menarik untuk dikaji lebih jauh, utama sekali jika dikaitkan dengan kehadiran korporasi dalam rangka pertumbuhan ekonomi yang acap kali menyebabkan institusi ekonomi yang berskala menengah ke bawah tergulung habis karena keberadaan korporasi memiliki basis kapital dan modal yang jauh lebih raksasa. Di ranah institusi, salah satu manifestasi pertumbuhan institusi yang paling berbahaya pada saat ini adalah manifestasi korporasi. Korporasi-korporasi terbesar kini telah melampaui batasbatas kebangsaan dan telah menjadi pemeran utama pada panggung global. Aset dari raksasa multinasional ini melampaui pendapatan nasional kotor kebanyakan ekonomi dan politik banyak pemerintahan nasional, yang mengancam kedaulatan nasional dan stabilitas keuangan dunia. Di kebanyakan negara barat, terutama Amerika Serikat, kekuatan beradap hukum melingkupi setiap segi kehidupan umum. Korporasi banyak mengendalikan proses legislatif, me ngacaukan informasi yang diterima oleh masyarakat melalui media, dan menentukan jalannya sistem pendidikan kita, dan arah penelitian akademik kita. Para pemimpin perusahaan dan korporasi sangat dominan pada dewan komisaris lembaga atau yayasan akademik, di mana mereka banyak menggunakan pengaruh mereka untuk melestarikan suatu sistem nilai yang konsisten dengan minat korporasi.35 Keterlibatan kapitalisme dalam dunia akademik pun bukan lagi merupakan fenomena baru yang masih asing ditelinga para pegiat ilmu pengetahuan, gejala ini seperti dikatakan juga oleh 34 Lihat, ‘David C. Corten, terj, Agus Maulana, When Corporations Rule the World, (Jakarta: Professional Books, 1997) hal. 69. 35 Fritjop Capra, op, cit., hal. 300-301
28
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Lyotard, salah seorang pemikir posmo garda depan, dalam bukunya yang menggemparkan; “The Posmodern Condition: A Report on Knowledge” (1993), potongan pendapatnya sebagai berikut: “Capitalism solves the scientific problem of research funding in its own way: directly by financing research departments in private companies, in which demands for performativity and recommercialization orient research first and foremost toward technological “aplications”; and indirectly by creating private, state, or mixed-sector research foundations that grant program subsidies to university departments, research laboratories, and independent research groups with no expectation of an immediate return on the results of the work--this is done on the theory that research must be financed at a loss for certain length of time in order to increase the probability of its yielding a decisive, and therefore higly profitable, innovation”.36 Ada pertanyaan yang cukup menarik sebagaimana ·diajukan oleh Lyotard dalam konteks transmisi pengetahuan atau pendidikan. Menurut pandangannya, seandainya kita menerima suatu pemikiran bahwa terdapat suatu pengetahuan yang mapan (an established body of knowledge), terutama ditinjau dari sudut pandang pragmatis, dapatlah diajukan serangkaian pertanyaan lebih lanjut, seperti: siapa (lembaga) yang akan mentransmisi pengetahuan? Apa yang akan ditransmisikannya? Kepada siapa transmisi itu dilakukannya? Melalui medium apa transmisi pengetahuan itu dilakukan? Dan dalam bentuk apa transmisi pengetahuan itu? Efek seperti apa yang sesungguhnya diharapkan? Sederetan pertanyaan tersebut rupanya, menurut Lyotard, merupakan dasar terpenting bagi suatu kebijakan adanya universitas. 36 Jean-Francois Lyotard, The Postmodem Condition: A Report on Knowledge, (Minneapolis: University of Minnesota, 1979) hal. 45.
29
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Kinerja pendidikan, tak terkecuali pendidikan tinggi, menurut sudut pandang sistem setidak-tidaknya diukur dengan dua alat ukur; pertama, bahwa pendidikan diselenggarakan dalam rangka untuk menghadapi kompetisi dunia. Oleh sebab itu, dalam rangka untuk memenuhi sebanyak mungkin tenaga kerja yang dibutuhkan dipasar kerja, maka prioritas pendidikan akan jatuh pada pendidikan yang bernuansa “telematik”, seperti; ilmu komputer, sibernetika, linguistik, matematika, logika, dsb. kedua, pendidikan tinggi masih akan melanjutkan kebijakannya mensuplai sistem sosial dengan “ilmu keahlian” yang dibutuhkan sendiri oleh masyarakatnya, hal ini dengan suatu maksud untuk menjaga kohesivitas masyarakat. Dalam bahasa Lyotard: “The transmition of knowledge is no longer designed to train an elite capable of guiding the nation towards its emancipation, but to supply the system with players capable of acceptably fulfilling their supply roles at the pragmatic posts required by its institutions”.37 Keterkaitan antara pendidikan dengan tatanan sosial ekonomi merupakan kenyataan yang tak lagi bisa dibantah, lebihlebih di era kapitalis mutakhir. Jauh hari sebelum rezim kapitalis memainkan pengaruhnya yang besar, adanya keterkaitan antara tatanan sosial-ekonomi dengan pendidikan saja telah dirasakan demikian besar, hal ini seperti ditunjukkan oleh Sayidain, dengan latar belakang pengalaman India, menurutnya:
“In fact, generally speaking, in the East as in the West, education has always allied itself strongly with the existing socio-economic order and acted as a means of its preservation long after it had outlived its original utility. If 37 Ibid., hal. 49.
30
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
we look around and study the structure of Indian society, we will find that it is still dominated by relics of many obsolate and obviously reactionary institution-a semi-feudal social order, a rigid caste system, communal cleavages, an inequitable distribution of economic opportunities and privileges, unsatisfactory status of women, a contempt for manual labour and labourers, and a divorce between individual rights and social obligations”.38 Dalam masyarakat yang tertutup seperti India, pengaruh pendidikan terhadap berbagai dimensi sosial, ekonomi, dan politik tentu sangat menarik untuk dikaji. Apakah pendidikan sejauh ini hanya dipakai sebagai alat politik untuk melegitimasi keberadaan kasta atas dengan segala previlese yang dimilikinya? Apakah pendidikan sejauh ini memberi peluang yang begitu besar bagi kasta bawah untuk melakukan mobilitas ke atas? Apakah pendidikan sejauh ini hanya memberi peluang mobilitas status dan pekerjaan saja, tanpa punya arti bagi terjadinya proses transformasi sosial (kasta). Di negara-negara yang memiliki sistem sosial yang lebih terbuka, status sosial seseorang lebih banyak diperoleh berkat usaha dan kerja keras. Dengan kata lain status sosial bukan merupakan sesuatu yang bersifat bawaan (ascribed), melainkan dicapai dengan suatu prestasi (achievement), Dalam konteks ini pendidikan merupakan variabel yang cukup penting, meskipun bukan variabel satu-satunya.
38 K.G. Saiyidain, Education Culture And The Social Order, (Bombay: Jayasinghe Asia Publishing House, 1958) hal. 125.
31
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
32
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
BAB 3
DIMENSI OTONOMI RELATIF PENDIDIKAN
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
DIMENSI OTONOMI RELATIF PENDIDIKAN
A. Analisa Neo-Marxis (sosiolinguistik), Bourdieu Salah satu pandangan yang cukup menarik untuk diikuti dalam rangka sosiologi pendidikan adalah pemikiran neo-Marxis dari Pierre Bourdieu. Pemikir yang lahir tahun 1930 di Propinsi Bearn, Perancis Selatan ini adalah anak seorang pegawai negeri (civil servant) yang pada mulanya memiliki latarbelakang Antropologi. Oleh sebab itu tidak aneh jika banyak sekali karya pemikiran dan penelitiannya berbicara soal perbandingan kebudayaan dan etnisitas, misalnya dapat dilihat dari hasil penelitiannya yang dilakukan di Algeria, sekitar tahun 1957-1964. Di belakang hari pemikir Perancis ini makin dikenal dalam lapangan kajian sosiologi, lebih-lebih hal ini karena dukungan status jabatan akademiknya sebagai Professor Sosiologi pada College de France.39 Dalam sosiologi pendidikan ia menjadi sangat terkenal melalui karya pentingnya berjudul, La Reproduction, yang kemudian diterjemahkan dalam edisi Inggris, berjudul, Reproduction in Education, Society, and Culture (1977). Secara terinci dapatlah dijelaskan bahwa tema-tema studi sosiologi Bourdieu berkaitan dengan studi tentang pendidikan, studi tentang bahasa, studi tentang cita rasa, dan studi tentang hubungan negara dengan pendidikan. 39 Biografi ringkas tentang Bourdieu diambil dari, Peter Beilharz, Social Theory, A Guide to Central Thinkers, (Australia: Allen & Unwin, 1991) hal. 37-45.
35
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Bourdieu juga terkenal lantaran karena ia merupakan salah seorang pemikir Perancis garda depan abad ini. Reputasinya dibangun lewat sejumlah karya penting seperti telah disebut di atas, ia pun berkibar dalam pemikiran filsafat ilmu, terutama atas usahanya melakukan proyek “eksperimentasi epistemologis”. Eksperimentasi filosofis ini membawanya pada suatu paradigma berpikir yang berada di luar “mainstream”, yakni berupaya keluar dari jebakan dikotomis yang keras yang terdapat dalam model pendekatan ilmu sosial, seperti tercermin melalui konsep obyektivisme versus subyektivisme. Baginya dua kutub (poles) perspektif ini merupakan hambatan (constrain) serius yang harus di temukan solusinya, kendati pada akhirnya ia tidak menampik bahwa “cacat perspektif” tersebut muncul akibat adanya kontradiksi sosial yang berlangsung di semua level kehidupan manusia; mulai dari level “kesadaran individu”, “tatanan interaksi” , dan akhirnya sampai ke soal “krisis ekonomi”. Cacat tersebut coba “diselesaikan” melalui upaya yang cukup serius, diantaranya dengan usulan konseptualnya yang dikenal dengan “habitus”, yakni suatu orientasi sistematik yang meliputi berbagai aspek kehidupan sosial, misalnya kebudayaan, politik, ekonomi, dan bahasa (linguistik). Lebih lanjut yang dimaksud habitus perdefinitif oleh Bourdieu adalah: “Sebuah sistem disposisi yang kekal dan berpindahpindah, yang mengintegrasikan pengalaman-pengalaman masa lalu, berfungsi pada setiap kesempatan sebagai sebuah matriks persepsi. apresiasi dan tindakantindakan dan memungkinkan pencapaian berbagai tugas yang tidak terhingga, berkat jasa transformasi skema-skema analogis yang memungkinkan solusi masalah yang terbentuk nyaris serupa”.40 Hal yang nampaknya cukup penting dalam kaitannya degan dilema pendidikan dalam masyarakat kapitalis seperti 40 Celia Lury, terj, Hasti T. Champion, Budaya Konsumen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998) hal. 117.
36
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
dikatakan oleh Schwartz adalah bahwa di satu sisi pendidikan mengakui ideal-ideal yang bersifat “egalitarian”, sementara pada sisi yang lain tidak bias dipungkiri bahwa pendidikan ikut mendistribusikan adanya “previllege kelas” (class previllege). Salah satu komentar kritis dari prinsip “egalitarian” yang diagungkan itu misalnya dapat dikutip dari Illich, menurutnya:
“Kesempatan mendapatkan pendidikan yang sama memang merupakan tujuan yang dapat di inginkan dan dapat dilaksanakan, tetapi menyamakannya dengan keharusan bersekolah sama kelirunya dengan anggapan bahwa keselamatan sama dengan lembaga gereja “.41
Selain itu sekolah pun tidak dapat melakukan tindakan apaapa terhadap mereka yang memiliki strata kelas menengah atas dalam satu struktur sosial masyarakat, pada kelompok sosial ini terlekat banyak previlese yang mereka miliki terutama apabila dibandingkan dengan kelompok yang berasal dari kelas lebih bawah (working class). Sulit untuk disangkal bahwa dalam setiap struktur kelas sosial, yang terdiri dari “Upper Class, Middle Class, dan Working Class” selalu tetap hidup previlese itu, setidaktidaknya previlese itu muncul dalam bentuk-bentuk tertentu, seperti ditulis oleh Illich berikut: “Sudah jelas bahwa, bahkan disekolah-sekolah yang sama mutunya seorang murid miskin jarang mengimbangi murid kaya. Bahkan kalaupun mereka belajar pada sekolah yang setaraf dan masuk pada umur yang sama, murid-murid miskin itu tidak memiliki kesempatan belajar yang dengan sendirinya ada pada anak-anak kelas menengah. Kelebihan yang dinikmati anak-anak kelas menengah ini nampak pada percakapan, buku-buku yang dimilikinya di rumah sampai pada masalah pergi berlibur dan pandangan terhadap 41 Ivan illich, terj, Woekirsari, Bebas dari Sekolah (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hal. 22.
37
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
diri sendiri; dan ini berlaku bagi anak yang menikmati semuanya itu, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dengan demikian anak yang lebih miskin pada umumnya akan ketinggalan selama ia tergantung pada pendidikan sekolah untuk memperoleh kemajuan dan pengetahuan”.42 Seringkali muncul gejala bahwa kelas bawah sebagai akibat keterbatasan-keterbatasan intrinsiknya mengembangkan suatu prilaku budaya yang bertentangan dengan produktivitas, yakni budaya kemiskinan (culture of poverty). Implikasi lebih jauh dari budaya ini sebagaimana dikatakan Oscar Lewis, adalah bahwa “Kemiskinan menjadi lestari di dalam masyarakat yang berkebudayaan kemiskinan karena pola-pola sosialisasi, yang sebagian terbesar berlaku dalam kehidupan keluarga. Polapola sosialisasi yang berlandaskan pada kebudayaannya yang berfungsi sebagai mekanisme adaptif terhadap lingkungan kemiskinan yang dihadapi sehari-hari”.43 Kebudayaan semacam ini jelas sangat merugikan karena ia justeru akan makin menenggelamkan seseorang pada budayanya yang impoten, pola budaya itu juga melahirkan perasaan “inferioritas kompleks” yang mandul. Selain itu goncangan budaya yang dapat muncul dari berbagai macam penyebab, baik atas alasan perbedaan kelas sosial, atau pun karena perbedaan dua budaya, yakni tradisonal dan modern, untuk itu Bourdieu memberi pesan pendidikan sekaligus solusi yang cukup penting, katanya:
“The important thing was that the individuals who were suffering from a kind of culture shock should not internalize an interpretation of their malaise which might suggest that they were essentially -in them selves as individuals-
42 Ibid., hal. 17 43 Oscar Lewis, terj, Rochmulyati Hamzah, Kisah Lima Keluarga, Telaah-telaah Kasus OrangMeksiko dalam Budaya Kemiskinan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988) hal. 18.
38
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
inadequate. An enlightened educational policy would help here because it would begin by recognizing the situation in which the culturally displaced persons found them-selves and would set itself the task of encouraging creative cultural adjusment”.44 Agar seorang anggota individu tidak terjebak dalam malaise budaya maka seharusnya ia tidak menginternalisasi akar malaise (inadequate) itu kedalam pemikirannya, untuk meredusir pikiran yang counter productiv maka tak ayal lagi bahwa peran dari kebijakan pendidikan yang mencerahkan sangat diharapkan. Hal ini semata-mata karena pendidikan akan dapat memungkinkan orang mengenali keadaan yang telah membawanya pada kegagalan dalam proses menemukan diri, sekaligus mengembangkan budaya yang jauh lebih kreatif. Selain itu perbedaan posisi kelas yang juga akan membawa perbedaan dalam kebudayaan secara lebih mendalam dikaji oleh Bourdieu melalui teori “linguistik” nya yang mengambil fokus kajian terutama pada perbedaan bahasa dikalangan strata “kelas sosial” masyarakat yang berbeda. Analisa bahasa muncul karena didasarkan pada sejumlah alasan, yaitu: Pertama, “language is omnipresent”, bahwa bahasa ada disetiap tempat, ia hadir dimana-mana. Kedua, “language as medium authority of institution” argumentasi ini menunjukkan bahwa bahasa suka sekali dipakai sebagai simbol dari otoritas kelembagaan, dalam konteks pendidikan, misalnya hal ini seringkali mendatangkan kritik bagi lembaga sekolah karena bahasa akademis dianggap terlalu elitis, hanya bisa dipahami oleh sekelompok kecil anggota masyarakat, namun justeru disitulah makna otoritatifnya. Alasan ketiga, “index of class cleavage” bahwa bahasa juga merupakan sebagian dari simbol perbedaan kelas sosial antara orang kaya (the have) dan miskin (the poor). Ke empat, “constrain on pedagogical innovation”, bahwa hambatan dalam penggalian, penemuan, dan 44 Derek Robbins, The Work of Pierre Bourdieu, (Great Britain: Westview Press, 1991) hal. 51.
39
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
pengembangan prinsip dan teknik untuk mencapai pengetahuan ilmiah ada di aspek bahasa. Dalam mengkaji aspek bahasa terlebih dahulu ia mem bedakan kelompok masyarakat ke dalam kelas sosial, yakni bourgeois dan common. Adapun setiap bahasa dalam kelas sosial memiliki sifat-sifat intrinsik yang saling berbeda, hal ini seperti dapat dilihat dalam tabel berikut: Bourgeois • Literary orientation • Latinate vocabulary & construction • A Striving for rare & novel Expression
Common • A situational orientation • Non-learned vocabulary • A Reliance upon shared figures of Speech
(tabel diolah sendiri dari Derek Robbins)
Dari dua kelas sosial yang berbeda itu dapat dijelaskan bahwa golongan borjuis punya kecenderungan untuk meng gunakan bahasa-bahasa yang literer, punya asal usul makna bahasa yang jelas, di sisi lain kalangan awam punya kebiasaan menggunakan bahasa yang lebih bernuansa situasional, tidak kaku atau pun terperangkap formalitas bahasa. Komunitas kelas atas juga sering menggunakan konstruksi atau pun kosa kata bahasa yang dapat dilacak jauh sampai keakar-akarnya, yakni bahasa latin (Yunani). Sementara golongan bawah punya tendensi mengambil kosakata yang tidak ilmiah, dalam arti bahwa tidak mudah untuk melacak asal usul unsur-unsur kebahasaannya secara ilmiah. Bahasa kelas atas terkesan rajin mengalami pembaharuan ekspresi, dan kesan yang muncul adalah bahwa “semakin elitis ungkapan suatu bahasa maka semakin tinggi nilai bahasa itu”. Pemikir sosio-linguistik lain seperti Labov dan Bernstein pernah membuat penilaian berbeda, yakni bahwa antara bahasa 40
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
yang dipergunakan di rumah dan di sekolah memiliki perbedaan yang cukup signifikan, apa yang dimaksud adalah bahwa bahasa yang dipergunakan dirumah adalah bahasa sehari-hari yang konseptualisasinya jauh dari ilmiah, sedangkan bahasa di sekolah (dalam ruang kelas) ada kecenderungan serba formal, dan dicapai melalui proses ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Dari argumen ini lalu ia membuat penyimpulan bahwa “mismatch” yang terjadi antara bahasa yang dipergunakan di rumah dengan bahasa yang di pakai di sekolah, hal inilah yang menjadi penyebab “gagalnya pendidikan”. Adalah Bourdieu yang kembali menegaskan bahwa se sungguhnya ada hubungan yang saling mempengaruhi antara struktur berpikir dan struktur pelembagaan, karena keduaduanya saling merefleksi dan menghasilkan pemikiran yang terdapat di dalam masyarakat, hal ini dapat dilihat dalam kutipannya sebagai berikut: “,...there was a reciprocal relationship between the structures of thought within a society and the institutional structures which both reflect and generate the thought”.45 Persoalan yang lebih mendalam pernah pula diajukan oleh Schmalhausen, seperti tercantum dalam bukunya New Roads to Progress yang nadanya ingin mengetahui masalah mendasar sebagai berikut: A. Sistem sosial itu demikian buas dan kejam tak berperi kemanusiaan, semata-mata disebabkan karena kebusukan dan kejahatan tersebut memang telah tersirat dalam “tabiat manusiawi” dan tidak terhapuskan lagi, ataukah sebaliknya. B. Bahwa ummat manusia, sepanjang sejarah kemanusiaan, telah menampilkan diri sebagai makhluk bergelimang dosa, justeru disebabkan lembaga-lembaga sosial yang dihidupinya sejak kecil hingga dewasa telah mendesakkan dan memaksakan kepadanya suatu perangkat nilai, segudang kebiasaan dan tradisi, suatu teori tentang realitas 45 Craie Calhoun, Edward LiPuma, dan Moishe Postone, Bourdieu Critical Perspective, (Chicago: Blackwell Publisher, 1993) hal. 54.
41
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
yang membatasi sambutan manusia; ini semua memupuk suatu corak kepribadian hasil bentukan suatu pola kebudayaan yang sempit dan picik.46 Mengamati gagasan di atas cukup menarik, karena menyangkut interaksi dan tarik menarik antara manusia dengan segenap kekuatan sosial yang mempengaruhi dan membentuk manusia sebagai makhluk budaya. Setelah membaca pendapat para psikolog dan antropolog sampailah Schmalhausen pada kesimpulan penting yakni bahwa: gejolak dan naluri insani, dorongan dan motivasinya, mekanisme dan berbagai maksudnya, terutama mendapatkan pengaruh, pembentukan, penataan kembali dan pengarahannya di dalam masyarakat, melalui berbagai lembaga dan daya kekuatan yang terdapat di dalamnya; lembaga dan kekuatan sosial dipandangnya jauh lebih potensial dalam pemberian pengaruh ke arah kebaikan maupun keburukan, dibanding dengan apa yang dapat dibayangkan oleh mereka yang memandang ego pribadi sebagai pusat dan pengelola kehidupan psikis manusia.47 Dan jika dicari akar persoalannya lebih mendalam, maka pandangan yang sama yang cukup menarik untuk digaris bawahi dari Schmalhausen adalah pengakuannya bahwa ternyata kita hanya akan memahami pertautan yang sebenarnya antara potensi-potensi insani dengan lingkungan sosial yang menguntungkan itu apabila disertai kesadaran akan peranan peradaban dan kebudayaan. Menurutnya kesadaran inilah yang dengan penuh pertimbangan mengadakan seleksi tentang berbagai kecenderungan serta disposisi tertentu, mana yang hendaknya dipupuk dan dikembangkan dan mana yang tidak. Keprihatinan yang sama namun dengan nada yang sedikit agak berbeda pernah juga dilontarkan secara vokal oleh pemikir Frankfurt School, menurut mereka: 46 K.G. Saiyidain, terj. Soe1aeman, Perpicikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, (Bandung: CV. Diponogoro, 1981) hal. 144 47 Ibid., 145.
42
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
“...a social institution is considered legitimate if it can be shown to stand in the right relation to the basic worldpicture of the group. A social institution or practice can be extremely repressive - it may thwart and frustate the agents in the pursuit of many of their strongest desires -- and still be accepted by the members of thsociety because they take it to be legitimate, and they take it to be legitimate because of certain normative beliefs deeply embedded in their world- picture”.48
Apabila gambaran dunia suatu kolektivitas dibangun berdasarkan ideologi palsu dan pada saat yang sama ideologi itu juga dipakai untuk melegitimasi institusi sosial dasar yang terdapat dalam masyarakat, maka akibat yang akan terjadi adalah munculnya kekerasan institusional (coercive social institution) yang akan diikuti dengan terjadinya ketimpangan struktur komunikasi sosial (distorted communication) yang akan menghambat pertumbuhan kebebasan masyarakat. Untuk membebaskan para aktor maupun lembaga (agents) dari gambaran dunia (world picture) yang terdistorsi, dan tidak membebaskan itu maka menurut, Habermas, dibutuhkan suatu kesadaran kritis atau self-reflection, yang maknanya adalah: 1. Self-reflection ‘dissolves’ a) ‘self-generated objectivity,’ and b) ‘objective illusion’ 2. Self-reflection makes the subject aware of its own genesis or origin 3. Self-reflection operates by bringing to consciousness unconscious determinants of action, or consciousness.49 Pendapat lain tentang pentingnya kesadaran telah disampaikan pula oleh ilmuwan sosial yang lain, seperti, Giddens, yang mengangkat persoalan kesadaran dalam kaitannya 48 Raymond Geuss, The Idea of A Critical Theory, Habermas and The Frankfurt Schoool, (Cambridge: Cambridge University Press, 1981) hal. 59 49 Ibid., hal. 61.
43
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
dengan dimensi internal aktor atau pelaku. Menurutnya ada tiga pokok persoalan yang terkait dengan kesadaran: Pertama, motivasi tidak sadar (unconscious motive), hal ini menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri, contoh orang mengenakan seragam Korpri tentu bukan karena dorongan untuk memperkuat korporatisme ORBA. Kedua, Kesadaran praktis (practical consciousness), yakni gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai, misalnya memakai pakaian Korpri setiap hari senin atau tanggal 17. Yang menarik melalui kesadaran ini kita tahu bagaimana melangsungkan hidup harian tanpa mempertanyakan terus menerus apa yang terjadi atau harus dilakukan dan rutinisasi hidup personal dan sosial terjadi melalui gugus·kesadaran praktis ini. Ketiga, kesadaran diskursif (discursive consciousness), mengacu pada kapasitas kita merefleksi dan memberi penjelasan eksplisit atas tindakan kita, misalnya mengapa seseorang mengenakan Korpri, jawabnya bisa karena ketakutannya ditegur oleh atasannya di kantor.50 Oleh sebab itu, dalam proses pengembangan kesadaran pada kehidupan komunitas masyarakat tentu saja peran dunia pendidikan, utamanya lembaga pendidikan formal menjadi sangat urgen, hal ini mengingat proses pedagogis secara resmi merupakan bagian dari organisasi itu. Untuk itu pertanyaan yang cukup mendasar adalah bagaimana sesungguhnya hubungan antara lembaga pendidikan {sekolah) dengan negara. Apakah sekolah merupakan kepanjangan tangan dari negara? Apakah sekolah merupakan sarana sosialisasi atas berbagai ideologi yang dianut dan dikembangkan oleh suatu negara? Suatu sistem pendidikan, menurut Bourdieu, hendaknya secara simultan memiliki konsepsi yang lebih canggih tentang aktivitas pedagogis yang dikembangkan dari perspektif masyarakatnya. Dan sesungguhnya terdapat kebutuhan yang mendalam bagi suatu sistem pendidikan untuk menetapkan 50 B. Heriy Priyono, “Sebuah Terobosan Teoritis”, Basis, NO. 01-02, Tahun ke 49, Januari-Februari 2000. hal 21
44
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
dirinya sebagai sebuah forum pengembangan wacana demokratis atau dalam sebuah istilah yang trendi yakni, “public sphere”. Jadi baik pada level makro dan mikro sebetulnya ada kebutuhan yang sama untuk mengenali otoritas yang dibentuk oleh suatu konstruksi sosial yang bukan secara otomatis dipelihara oleh guru (dosen) dan sistem pendidikan.51 Masalah di atas sebenarnya menayakan secara tidak langsung kaitan antara proses pedagogi dengan negara sebagai suatu organisasi bangsa yang memiliki kewenangan melaksanakan pendidikan. Pedagogi itu sendiri menurut kamus sosiologi merupakan:
“The science or art of teaching. Some sociologist of education use the term ‘pedagogical practices’ with reference to the methods and principles that inform educational techniques, and make a distinction between the expressed pedagogy’ (which the teacher purpots to use), and his or her observed pedagogy in practice. The former my be liberal (or ‘progressive’), emphasizing the needs and authonomy of the individual child, whereas the letter may be conservative (aimed at preserving the authority and expertise of the teacher as a professional)”.52 Sementara kurikulum yang merupakan salah satu unsur penting dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, kurang lebih bisa dipahami sebagai berikut:
“The curriculum comprises the subjects and courses thought in any educational institution. It is a formal statement, by institution of what is to be learned, by institution, of what is to be learned, In British school, following the 1988 Education Reform Act, the Curriculum is determined nationally and
51 Robbins, op.cit., hal. 63. 52 Gordon Marshall, A Dictionary of Sociology, (New York: Oxford University Press, 1998) hal. 487
45
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
consist of a number of core subjects that must be studied by all school students.53 Seperti dikemukakan di atas bahwa negara (secara nasional) ikut dalam proses penetapan kurikulum yang merupakan muara dari mata pelajaran yang akan dipelajari oleh pelajar, mahasiswa di lembaga pendidikan (universtas). Oleh sebab itu beberapa proposisi yang dikemukakan Bourdieu dalam rangka memahami hubungan antara negara, proses pedagogi cukup penting untuk kita simak. Bahwa semua aksi pedagogik (pedagogic action) secara obyektif dapat dianggap sebagai kekerasan simbolik, sepanjang ia merupakan suatu pemaksaan budaya yang digerakkan oleh kekuatan pemaksa (kekuasaan arbitrer). Karenanya pula transmisi pengetahuan yang berlangsung dari seseorang kepada seseorang yang lain tidak memiliki nilai yang absolut, selain itu baik “isi” (substansi pengetahuan) yang ditransmisikan maupun “konteks sosial” yang melatari proses transmisi itu secara pedagogis berlangsung secara arbitrer. Dalam proses transmisi pengetahuan yang sedang terjadi konteks sosial pada dasarnya adalah merupakan hubungan kekuasaan (power relation) antar berbagai macam kelompok kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat, oleh sebab itu tidak ada referensi absolut, melainkan cuma “refleksi kepentingan” (a reflection of interest) semata, yakni dari kelompok yang mengendalikan konteks sosial itu. Suatu hubungan kekuasaan tidak mungkin terlepas dari basis sosial ekonomis, dan sosial historis yang melandasinya, maka dalam proses transmisi pengetahuan sekalipun seseorang tak boleh memahaminya sebagai suatu “a free-standing work of art”. Seperti kembali ditegaskan Bourdieu, bahwa tindakan pedagogi tidak lain sebenarnya merupakan “self-affirming” dan “self- fulfilling”. Atau sejenis pembenaran terhadap posisi diri 53 Ibid., hal. l39.
46
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
sendiri. Dalam kaitan ini, menurut Bourdieu masalah yang jauh lebih penting sebetulnya adalah memahami setiap partikularitas pengetahuan yang berbeda dalam suatu jaringan hubungan sosial.54 B. Anti Pendidikan Illich dan Pendidikan Pembebasan Freire Ketidak puasan Illich atas sistem pendidikan yang serba formal telah lama dikumandangkannya melalui serangkaian karya ilmiah, salah satu yang telah berbahasa Indonesia: “Bebas dari Sekolah”. Di dalam buku itu ia menyatakan bahwa di seluruh dunia sistem pendidikan formal justeru melahirkan sikap anti pendidikan dikalangan masyarakat, hal ini dapat terjadi karena sekolah telah diakui sebagai satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan bidang pendidikan.55 Disamping itu telah ditanamkan pula suatu aksioma bahwa pelajaran merupakan hasil dari pengajaran. Selanjutnya tidak aneh jika kita sering mendengar ungkapan yang sering muncul di masyarakat bila seseorang anggota masyarakat tidak dididik disekolah maka ia disebut tidak berpendidikan. Gagasan di atas nampaknya jelas menyamakan pendidikan dengan sekolah formal. Seperti sudah tertanam dalam pikiran banyak angota masyarakat seolah pengetahuan yang bermutu itu adalah hasil dan hadirnya anak di kelas; bahwa nilai pengetahuan kita meningkat dengan berkembangnya bahan pelajaran, dan bahwa nilai ini dapat diukur dan didokumentasikan dengan angka rapor dan ijazah.56 Pada hal menurut penilaian Illich, seperti tercantum dalam, “Tools for Conviviality” (1973) bahwa suatu institusi dianggap mampu menjalankan fungsinya apabila berhasil mempromosikan suatu keseimbangan yang halus (a delicate balance), --di satu sisi melalui apa yang dapat diperbuat seseorang bagi dirinya sendiri dan pada sisi yang lain melalui layanan yang dapat diberikan 54 Pandangan pendidikan yang kritis ini dapat disimak dalam, Robbins, op.cit., hal. 63-64 55 Illich, op. cit., hal. 19. 56 Ibid., 32
47
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
institusi anonim kepada manusia, meminjam kutipan Illich: “I have argued that institutions are functional when they promote a delicate balance between what people can do for themselves and what tools at the service of anonymous institutions can do for them.57 Pemikiran di atas jelas mengandung maksud bahwa di satu sisi institusi tidak mengkooptasi ruang bagi laju pertumbuhan potensi-potensi kemanusiaan yang bersifat personal-individual, namun pada sisi yang lain pelayanan ataupun manfaat instrumental yang diberikan oleh suatu institusi tetap dalam kerangka untuk peningkatan prestasi kebaikan manusia. Gagasan ini jika ditelaah lebih mendalam mengandung implikasi positif, yakni untuk menghindari kemungkinan terjebaknya manusia dalam sarang besi (iron cage) institusi, dengan melupakan rasionalitas tujuan (end rationality) dalam hal ini proses dinamis yang terdapat dalam pendidikan. Praktek pendidikan jelas tidak identik dengan institusi pendidikan, lebih-lebih jika yang dimaksud institusi itu adalah sekolah formal. Dalam suatu kesempatan berkunjung ke kediaman Erich Fromm, di Cuernavaca, Freire mendapat penjelasan tentang apa itu praktek pendidikan dari tokoh psikologi kritis itu, menurutnya: “An education practice like that is a kind of historico-sociocultural and political psychoanalysis”.58 Yang maksudnya tidak lain bahwa praktek pendidikan tak ubahnya seperti metode kritik dalam (immanent critique) yang diberlakukan terhadap pemikiran sejarah sosial, budaya, maupun politik. Pada sisi lain kelembagaan pendidikan menyangkut pula organisasi pendidikan yang fungsinya cukup penting bagi kelancaran proses pendidikan itu sendiri. Urgensi aspek organisasi ini dikemukakan Carl R. Rogers dalam bukunya “Freedom to Learn” (1969) sebagai berikut: 57 Ivan lllich, Tools for Conviviality, (New York: Harper & Row Publishers, 1973) hal. 91 58 Paulo Freire, terj, Robert R Barr, Pedagogy of Hope, (New York: The Continuum Publishing Company, 1992) hal. 105.
48
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
“The mainspring of the organization is the motivation for development and learning which is inhernt in each person. The task of the administrator is to so arrange the organizational conditions and methods of operation that people can best achieve their own goals by also furthering the jointly defined goals of the institution. The administration finds that his work consists primarily of removing obstacles such as “red tape”, of creating opportunities where teachers and students and administrators (including himself) can freely use their potential, of encouraging growth and change, and of creating a climate in which each person can believe that his potential is valued, his capacity for responsibility is trusted, his creative abilities prized”.59
Apa yang dikemukakan Rogers di atas tentu merupakan gambaran yang cukup ideal dari sebuah organisasi, namun kita tidak jarang menemukan organisasi pendidikan yang justeru memiliki karakter anti pendidikan. Yakni sebuah organisasi yang tidak berorientasi pada pertumbuhan dan perkembangan manusia, tidak memberdayakan seluruh unsur pendidikan yang terlibat, seperti: pengembangan lembaga, mahasiswa, dosen, visi pendidikan, dsb, melainkan berorientasi pada semangat kontrol untuk mencapai maksud ekonomi, atau nilai instrumental lainnya, semata-mata pengembangan organisasi. Dalam konteks lembaga pendidikan tentu yang tidak boleh dilupakan adalah apa yang pernah dikatakan Illich:
“Sesungguhnya, belajar itu adalah kegiatan manusiawi yang paling tidak memerlukan manipulasi orang lain. Sebagian besar pengetahuan bukanlah hasil pengajaran, tetapi lebih merupakan hasil partisipasi bebas dalam masalah yang penuh arti. Kebanyakan orang belajar paling
59 Carl R Rogers, Freedom To Learn, (United States: Charles E. Merrill Publishing Company, 1969) hal. 208.
49
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
baik dengan cara mengikuti “arus zaman”, tetapi sekolah memaksa mereka untuk mengidentifikasi perkembangan personal dan kognitif mereka dengan perencanaan dan manipulasi yang sangat teliti”.60 Senada dengan pandangan Illich, pakar pendidikan terkemuka, Freire menyatakan bahwa pendidikan seharusnya berfungsi membebaskan. Pandangan Freire ini kemudian dikenal dengan sebutan pendidikan hadap masalah; ‘problem posing”. Menurutnya pendidikan sebagai praktek kebebasan berlawanan dengan pendidikan sebagai praktek dominasi, karena menolak anggapan bahwa manusia adalah sesuatu yang abstrak, terpencil, berdiri sendiri, dan tidak terikat pada dunia; ia juga menolak anggapan bahwa dunia mengada sebagai sebuah realitas yang terpisah dari manusia. Pendidikan hadap masalah, kata Freire, menyangkut suatu proses penyingkapan realitas secara terus menerus. Jika pendidikan dominasi berusaha menenggelamkan kesadaran, sedangkan pendidikan hadap masalah berjuang bagi kebangkitan kesadaran dan keterlibatan kritis dalam realitas.61 C. Otonomi Relatif Pendidikan, Pandangan Robinson Tidak semua sosiolog yang mengkaji pendidikan sepaham dengan berbagai lontaran gagasan Bourdieu, Freire, maupun Illich. Jika Bourdieu secara konsisten bersemangat dengan tawaran konsep “pendidikan reproduksi”, Illich menjadi kesohor dengan pendidikan “bebas sekolah”, dan Freire dengan pandangan kritisnya “pendidikan pembebasan”, maka di kutub lain Robinson, menawarkan sikap tengahnya; otonomi relatif. Ia sejak awal melihat bahwa terdapat kritik yang cukup banyak atas beberapa tawaran konseptual di atas. Untuk Illich misalnya, ternyata tesisnya yang menyatakan bahwa: 60 Illich, ��������op.cit. hal. 56-57 61 Paulo �������������� Freire, Pendidikan Kaum tertindas, (Jakarta: LP3ES, 1985) hal. 63.
50
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
“lembaga-lembaga yang merupakan ciri sentral struktur sosial, di “utara” justeru mendistorsikan, malah menghancurkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh lembaga-lembaga itu: demikianlah maka Gereja menghancurkan agama; rumah sakit menghancurkan kesehatan: dan sekolah menghancurkan pendidikan. Tiap lembaga itu merupakan lembaga manipulatif dan dengan demikian secara sosial dan psikologis merupakan semacam candu. “Kecanduan sosial ....terdiri dari kecenderungan untuk menentukan dosis yang lebih besar jika kuantitaskuantitas yang lebih kecil tidak menimbulkan hasil yang diinginkan”.62
Kutipan Illich yang disajikan kembali di dalam karya Robinson di atas menurut Gintis (1972) menunjukkan bahwa sesungguhnya Illich melupakan bahwa “prilaku mencandu (adiktif) yang ia identifikasikan itu, menurut Gintis, sebenarnya “merupakan suatu akomodasi yang wajar terhadap kemungkinan untuk memilih jalan ke luar sosial yang bermakna dalam konteks lembaga-lembaga kapitalis”.63 Argumen ini cukup menarik karena dasar pemikirannya berpijak suatu sikap realisme sosial. Pada komentar lebih lanjut Robinson memberi catatan bahwa pada dasarnya: “Sekolah tidak hanya merupakan pabrik untuk memproduksi angkatan kerja yang patuh, sekolah adalah juga lembaga dimana individu-individu mengembangkan apresiasiapresiasi kritis mengenai hakekat dunia. Pendidikan sekolah mungkin saja mencandu. Ia juga membuka kesempatan bagi individu untuk mengatasi prasangka, kefanatikan, dan tahayul yang dapat membatasi pemahaman mereka.64 Pandangan Gintis, Robinson diperkuat juga oleh Bernstein, seperti ia katakan sendiri bahwa masyarakat kapitalis, pendidikan dan produksi termasuk dalam klasifikasi kuat dan dengan 62 Robinson, op.cit., hal. 349 63 Gintis dikutip dari, Robinson, op.cit., hal. 351. 64 Loc.cit.
51
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
demikian yang satu terhadap yang lainnya relative otonom; juga “prinsip-prinsip, konteks-konteks dan kemungkinankemungkinan produksi, tidak ditetapkan secara langsung dalam prinsip-prinsip, konteks-konteks dan kemungkinankemungkinan pendidikan.65 Pandangan otonomi relatif juga muncul dalam halaman lain karya Robinson yang sama, lebih lengkapnya sebagai berikut: “Bagi seorang anak, bersekolah mungkin akan membuka kesempatan untuk mengembangkan diri dan memudahkan perpindahan memasuki suatu status elit, bagi anak lainnya sekolah yang sama mungkin represif, tidak toleran dan merintangi perkembangan pribadinya. Sementara bagi orangorang tertentu sistem sekolah merupakan sarana mobilitas, ia mungkin tidak banyak manfaatnya untuk memperkuat tuntutan-tuntutan dari golongan di mana individu merupakan anggotanya, apakah golongan itu diidentifikasikan berdasarkan daerah, kelas, ras, atau jenis kelamin. Melalui sekolah sementara orang belajar untuk menerima tatanan yang berlaku sebagai hal “yang sewajarnya”, sementara orang lain justeru belajar untuk mempersoalkan landasan tatanan itu. Sekolah dapat menyumbang kepada reproduksi struktur kelas, akan tetapi mereka juga menyumbang kepada perubahannya; sekolah secara substansial mungkin bebas terhadap golongan-golongan yang memegang kontrol masyarakat, sementara golongangolongan itu akan berusaha untuk memaksakan kepada sekolah-sekolah tersebut suatu pandangan tertentu mengenai pendidikan.66 Berbagai pandangan di atas nampaknya hidup di dalam masyarakat kita, meskipun selalu ada kecenderungan perspektif dominan yang lebih disukai masyarakat di antara pandanganpandangan yang berkembang di atas. 65 Robinson, op.cit., hal. 361. 66 Ibid., hal. 345.
52
BAB 4
PENDIDIKAN SEBAGAI INSTRUMEN MOBILITAS
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
PENDIDIKAN SEBAGAI INSTRUMEN MOBILITAS (Suatu tinjaun dari sudut pandang cendikiawan kampus)
A. Pendidikan sebagai sarana menjadi being educated Menurut seorang informan yang berinisial Ag pendidikan memang memiliki kontribusi terhadap mobilitas sosial, menyebabkan orang mengenal hal baru yang sebelumnya tidak diperoleh dari orangtuanya. Ag sendiri, seperti diceritakannya pernah bepergian ke luar negeri, sementara orang tuanya belum, demikian dalam hal pendapatan, gajinya jauh lebih tinggi dibandingkan orang tuanya. Banyak hal baru yang disumbangkan pendidikan bagi kehidupaannya, termasuk cara pandang. Imbas pendidikan terhadap pemahaman agama pun terjadi, bila orang tuanya menganggap agama sebagai konsep hidup, karenannya harus diterapkan dengan ketat, sementara dengan wawasan baru yang dimilikinya Ag berpandangan bahwa agama perlu ditransformasikan. Dengan penghasilan orangtua yang jumlahnya dahulu hanya tiga ratus ribu rupiah, maka tidak mengherankan jika situasi semacam itu memunculkan semangat tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan hidup, tentu saja kekurangan dalam menutupi biaya hidup kala itu dipenuhi dengan meminjam, pengembaliannya dilaksanakan dengan mengangsur67*), di 67
Dalam konteks ini lazimnya “mengangsur” artinya adalah mengembalikan hutang dengan cara menutupnya sebagian demi sebagian mengikuti kesepak:atan yang telah dibuat antar pihak yang terlibat perjanjian hutang piutang. *)
55
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
saat lain orang tuanya juga pernah menjual tanah dan hasilnya dideposito untuk membiayai sekolah anaknya. Gaji hanya untuk makan sedangkan tempat tinggal menggunakan rumah dinas. Dengan tiga ratus ribu rupiah, maka kebutuhan hidup pun terpenuhi, apalagi harga-harga di wakktu itu tidak semahal seperti sekarang.. Ag sendiri mengakui, dibanding dengan keadaan orang tuanya secara ekonomi dirinya memang lebih baik, dirinya mampu membantu biaya kuliah adik, membantu ibunya untuk memenuhi kebutuhan belanja sehari-hari, bahkan penghasilannya juga masih memampukannya membeli barangbarang untuk keperluan pribadi yang bersifat sekunder. Selain itu orang tuanya tidak dapat berbahasa Inggris, dirinya mahir, dan menurutnya kemampuan berbahasa itu sangat membantu, terutama dalam proses interaksi dengan dunia yang lebih luas, mendapatkan pemahaman baru tentang hidup, kebudayaan, sehingga pemahaman akan suatu permasalahan jauh lebih dalam dan komprehensif. Hal lain yang juga penting adalah cara pandang terhadap suatu aturan. Orang tua dahulu, sepeti dituturkannya sendiri, percaya bahwa lebih baik taat pada peraturan, apapun itu terutama agama maupun aturan masyarakat. Dengan pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki, seseorang berani mempertanyakan apakah taat kepada aturan sebagaimana yang pernah dijalani orang tuanya itu harus?. Berbagai hal sebagaimana dikemukakan di atas menurut nya adalah kebudayaan, karena terkait dengan masalah wawasan dan bagaimana mengkritisi aturan. Dimensi kebu da yaan semacam ini dapat berperan sebagai faktor yang mendorong dan mempengaruhi mobilitas sosial. Menurutnya hal demikian terjadi karena masyarakat lebih hormat kepada mereka yang berlatar belakang lulusan pendikan tinggi (PT) dibandingkan sekolah dasar (SD) ataupun sekolah menengah atas (SMP). Perbedaan antara Ag dan orang tuanya secara tidak langsung dapat dilihat sebagai indikasi terjadinya mobilitas 56
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
vertikal. Dan mobilitas vertikal dapat menyebabkan terjadinya perbedaan cara pandang dalam memahami suatu persoalan. Terjadinya pergeseran status sosial antara orang tua Ag dan Ag dapat menyebabkan perubahan cara pandang masyarakat terhadap mereka. Tetapi Ag juga menyadari bahwa hal tersebut sangat bergantung konteks keberadaan masyarakat dilingkungan tempatnya tinggal. Di masyarakat pedesaan yang derajat agamanya masih kuat, maka tingkat apresiasi kepada seseorang lebih banyak ditentukkan oleh latar belakang derajat pendidikan agama yang dimiliki seorang. Dalam kenyataanya masyarakat pedesaan lebih cenderung menganggap bahwa agama itu penting, jadi meskipun “anda” sarjana lulusan luar negeri, tetapi mana kala anda tidak cakap memimpin upacara keagamaan, maka tempat anda tetap dibelakang. Jadi menurut Ag, universitas dapat menyebabkan orang terangkat derajatnya tetapi hal itu lebih dalam aspek keilmuan saja, sebaliknya di masyarakat pedesaan, posisi terhormat tetap disandang oleh pemimpin agama, sebagaimana pengalaman ini dirasakan dan dialami langsung saat berada di kampung halamannya. Ibunya yang notabene guru agama ternyata jauh lebih dikenal dan dihormati dibanding dirinya yang lulusan universitas luar negeri. Lebih jauh dari itu karena kepiawaian dirinya dalam masalah agama ibunya pun dianggap sebagai pemimpin informal oleh masyarakat. Dengan demikian, sebagaimana dituturkan Ag, bila seseorang berasal dari latar belakang pendidikan sekuler, maka akan menghasilkan mobilitas sekuler, sementara bila berasal dari pendidikan agama ataupun pondok pesantren, maka seseorang dapat meraih mobilitas vertikal. Ada sebagian orang yang berpandangan bahwa pendidikan tidak menjadi tolak ukur utama dalam mendapatkan pekerjaan, keadaannya ternyata tidak hanya di Indonesia. Atas sinyalemen ini Ag mengatakan bahwa dirinya tidak mengetahui kondisi yang sama di luar negeri, tapi yang pernah dialaminya adalah bahwa ada seorang Doktor di Australia yang mengajar di sekolah 57
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
dasar (SD). Hal ini terjadi karena lowongan untuk bekerja di universitas sudah tidak ada lagi. Fakta seperti ini berbeda dengan yang kita temukan di Indonesia, karena seseorang doktor lulusan luar negeri lebih dihargai dibandingkan dengan doktor lulusan dalam negeri, kemudian doktor dalam negeri juga lebih dihargai dari pada hanya jenjang pendidikan master (S2). Jadi menurut Ag, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang maka akan semakin mempengaruhi cara pandangnya atas orang lain dan dunia sekelilingnya. Meskipun kenyataan ini tak bisa memungkiri fakta bahwa ada orang yang diakui kedudukannya karena penguasaanya atas skill atau kompetensi tertentu, sekalipun tidak melalui jenjang pendidikan formal. Peristiwa seperti ini jelas prosentasenya lebih kecil dibanding mereka yang memiliki posisi karena latar belakang pendidikan akademik yang dimilikinya. Ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat apresiasi masyarakat terhadapnya. Meskipun dari kecenderungan data statistik yang ada dapat dijelaskan bahwa hampir tidak selalu ada korelasi positip antara jenjang pendidikan dengan lapangan kerja, hal ini terbukti pada semakin tingginya jumlah lulusan PT yang sulit mendapatkan pekerjaan. Namun, mereka yang berjenjang pendidikan diploma (D3) ternyata jauh lebih mudah mendapatkan pekerjaan ketimbang mereka yang bergelar sarjana penuh. Terhadap kenyataan seperti itu Ag tetap berpendapat bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin tinggi pula peluang untuk mendapatkan pekerjaan, seandainya dalam kenyataan ternyata tidak ada korelasi positip, maka faktor penyebabnya antara lain karena ada pengembangan usaha yang membutuhkan lulusan non sarjana, selain itu dari sisi pembayaran (gaji) tentu lulusan D3 akan lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang berlatar belakang sarjana Sl. Ag juga berpandangan, kendati tidak bisa disangkal bahwa banyak prestasi yang telah diraih mereka yang tidak 58
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
berpendidikan sarjana, dan keberhasilan itu biasanya diraih berkat pengalaman kerja yang panjang. Dengan kata lain, mereka menguasai berbagai ketrampilan bukan dari lembaga pendidikan, melainkan di tempat kerja. Dengaan sebuah ilustrasi Ag menggambarkan bahwa ada kasus dimana seseorang yang hanya lulusan SMP dapat bekerja di suatu tempat dan jabatannya terus meningkat, namun suatu ketika ia tidak dapat mencapai posisi puncak karena pendidikannya hanya SMP, kemudian seorang sarjana masuk, dan ia sebenarnya dapat langsung menjadi atasan orang yang lulusan SMP tersebut karena pendidikannya lebih rendah tetapi untuk menghindari kecemburuan, sarjana tadi ditempatkan dalam pengawasan lulusan SMP, selang waktu yang tidak lama sarjana itu menjadi sejajar bahkan terus naik menjadi atasan bahkan akhirnya menjadi direksi dan itu tidak memakan waktu hingga lama, sementara lulusan SMP tadi sudah pensiun. Dengan demikian, orang yang jenjang pendidikannya lebih tinggi dapat melihat dan menyelesaikan persoalan dengan lebih ringkas dan sederhana. Karena pengetahuannya bisa saja masalah dapat diselesaikan hanya dengan satu langkah, sedangkan bagi praktisi terlebih dahulu harus mempelajari persoalan, mengalami, menteorikan. Hal ini menegaskan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi secara normatif dapat menyelesaikan persoalan dengan efisien dan lebih baik, di banding mereka yang jenjang pendidikannya lebih rendah. Informan ini juga berpendapat bahwa tidak perlu diperten tangkan antara jenjang pendidikan dengan kesuksesan hidup, karena dua hal ini berbeda. Dalam kenyataan tidak ada sesuatu yang bersifat tunggal. Sekalipun penjelasan sebelumnya dikemu kakan bahwa jenjang pendidikan berkorelasi dengan kesuksesan hidup, meskipun bisa saja, akibat faktor tertentu hal ini tidak terjadi. Segala sesuatu pada akhirnya banyak ditentukan pada seberapa jauh pemahaman kita atas persoalan yang terkait dengannya. Pada akhirnya bisa saja seseorang mendapatkan 59
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
kesuksesan atas dasar pengalaman yang dimilikinya, hanya persoalannya menurut Ag orang yang jenjang pendidikannya D3 perlu waktu lebih lama untuk memahami persoalan dengan baik. Intinya bahwa pendidikan tinggi memungkinkan orang memahami persoalan dengan lebih baik dan efisiens. Hasil kajian yang dilakukan para peneliti Marxian di Amerika memang menunjukkan bahwa kompetensi atau keaahlian teknis justeru lebih dimiliki mereka yang pengalamannya panjang di tempat kerja, ketimbang para sarjana lulusan kampus. Belajar, seperti dikemukakan oleh Ag sebenernya bermanfaat untuk mempersingkat waktu dalam memahami dan menyelesaikan persoalan. Jadi dalam kenyataannya ada orang yang mendapat kannya melalui pemahaman teoritik, namun ada juga yang mendapatkannya dengan cara praktis; melalui pengalaman langsung. Di negara berkembang banyak dijumpai seseorang lulusan ilmu eksak menggeluti pekerjaan yang seharusnya dikerjakan lulusan ilmu sosial. Misalnya bankir di Indonesia banyak diisi oleh mereka yang berasal dari Fakultas Teknik, Geologi dan bukan dari Akuntansi, atau Ekonomi Manajemen yang notabene masuk dalam ilmu sosial. Hal ini menunjukkan belum ada kosistensi antara apa yang dipelajari seseorang di kampus dengan lapangan pekerjaan yang dijalankannya. Tampaknya universitas tempatnya bekerja (UGM), menurut Ag, bukan universitas research. Karena mahasiswa datang ke kampus kemudian diajar dan berikutnya mengikuti ujian. Universitas juga tidak pernah mencari masukan dari para alumni, misalnya untuk merekonstruksi silabus ataupun kurikulum agar up to date dengan perkembangan di dunia kerja. Ag misalnya menyontohkan bagaimana penelitian di Jurusan Sastra hampir jarang sekali ditemui penelitian sastra yang membahas seberapa besar minat bacaan anak umur 10 tahun di Indonesia. Dengan gambaran semacam ini menurutnya, sulit dikembangkan ilmu sastra yang dapat berdaya guna bagi masyarakat, kondisi 60
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
ini menunjukkan bahwa universitas sendiri tidak· pernah membuka diri untuk mendapatkan masukan dari luar. Mungkin ini penyebab mengapa ilmu yang ada dibangku kuliah tidak memiliki relevansi di luar. Gambaran ini juga sekaligus mengindikasikan bahwa apa yang dipelajari di bangku kuliah tidak memiliki daya kegunaan, karena orang harus belajar lagi dari awal (titik nol), padahal, sebagaimana dikemukakan Ag bahwa hal yang penting di universitas adalah kita diajar untuk berfikir sistematis dan efektif. Apa yang dialami langsung bisa dipahami melalui teorisasi, buku teks, sehingga tidak perlu lagi menghabiskan waktu yang panjang untuk mendalami hal itu. Keuntungan seseorang yang belajar di jenjang pendidikan tinggi, menurut Ag, terletak pada cara belajar yang diterapkan. Tataran D3 tidak serumit dan secanggih metode analisis yang diajarkan di S2 atau pun S3. Penelitian yang dilakukan mahasiswa diploma (D3) tentunya menggunakan metode yang jauh lebih sederhana. Apa yang diperoleh seseorang di pasca-sarjana (S2), baik menyangkut cara berfikirnya, cara mensistematisasi masalah tentunya lebih rumit dan komperhensif dibanding mereka yang pendidikannya di bawah level itu. Untuk itu Ag berpendapat bahwa kemungkinan pertama, karena pendidikan yang lebih tinggi memberi wawasan yang mungkin tidak diperoleh di level bawah dan kemungkinan yang kedua adalah cara berfikir. Berikutnya, menurut Ag terkait dengan keper cayaan masyarakat. Pendidikan tinggi menurut Ag, dalam kenyataannya tidak identik dengan lapangan kerja, menurutnya selama ini ada yang hilang dari universitas, semestinya bila kita belajar di universitas kita harus mempelajari materi, tentang bagaimana mengembangkan apa yang sudah kita pelajari itu. Bagaimana memasarkan apa yang telah dipelajari. Untuk sekedar contoh, misalnya mahasiswa sastra Jawa diajari membaca Sastra Jawa Kuno, membaca sejarah krisis di masa kerajaan tertentu kemudian semestinya, mahasiswa tersebut mencoba mengembangkannya 61
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
menjadi suatu cerita drama baru sehingga dapat “memasarkan” cerita tsb. Tentu saja ketiga hal ini menyangkut juga problem teknis selain pengajaran di kelas, dan nampaknya masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi ketika seseorang lulus dari bangku kuliah. Seperti hilangnya harapan untuk menjadi bankir, ini terutama buat mereka yang studi ekonomi di masa krisis seperti sekarang, atau bahkan ingin jadi birokrat, pada hal diketahui bahwa saat ini yang terjadi adalah zero growth, alias tidak ada rekruitmen PNS baru (di era Orba). Berdasarkan contoh-contoh yang telah dikemukakan, maka pelajaran yang dapat dipetik adalah bahwa pendidikan tidak selalu menjanjikan pekerjaan, namun di titik tertentu ada hal yang dialami selama berlangsungnya proses belajar yakni “being educated”. Dalam pandangan Ag setiap universitas memiliki tujuan menjadikan manusia agar being educated, baik itu untuk men didik agar seseorang berjiwa Pancasila, mampu menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan, dsb. Juga tidak bisa dipungkiri bahwa ketika seseorang belajar di suatu universitas ia kemudian dihormati, meskipun ketika lulus bisa saja ia tak dihargai. Menurut Ag, being educated tidak ada pengaruhnya dalam kehidupan seseorang, kecuali jika ia lulus dan bekerja sesuai bidangnya atau mempelajari bidang baru. Being educated saja sebagaimana dikemukakan Ag, tidak bisa memecahkan persoalan hidupnya sendiri. Being educated sebenarnya adalah kemampuan membaca fenomena. Bila seseorang telah menjadi being educated dan sadar bahwa yang terjadi dilingkungan pemerintah terutama dalam proses recruitment adalah zero growth maka tentu saja hal ini akan memaksa dia menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, ia bisa saja menjadi seorang bankir tapi tidak mengandalkan diri pada institusi yang sedang mengalami krisis, mestinya sosok seperti itu dapat mencetak manausia melalui berbagai upaya pendirian lembaga, demikian pandangan Ag.
62
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
B. Pendidikan sebagai alat mobilitas sosial-kultural Menurut pandangan Y pendidikan memang telah menye bab kan terjadinya mobilitas ekonomi bagi dirinya. Dalam kapasitasnya sebagai seorang Psikolog-Kedokteran ilmu ter sebut, menurutnya dapat juga diterapkan dalam lingkungan keluarga, terutama bagi dirinya yang telah memiliki anak. Ilmu itu memang berhubungan dengan masalah psikologi anak, atau tumbuh kembang anak. Psikologi-Klinis yang telah lama ia tekuni memang sedikit sekali hubungannya dengan masalahmasalah kemasyarakatan, hal ini berbeda secara diametral dengan pekerjaan psikolog seperti suaminya yang memang sejak awal telah menggeluti dunia sosial kemasyarakatan. Dirinya mengakui bahwa di Fakultas Kedokteran relasi jenjang pendidikan, dengan posisi seorang dosen memberi implikasi tertentu, lebih-lebih seseorang yang berlatar belakang psikologi, seperti dirinya yang kebetulan bukan berlatar belakang Kedokteran. Di Fakultas Kedokteran, menurutnya ada anggapan bahwa mereka yang latar belakang non-kedokteran, seperti dari Psikologi, dianggap sebagai second person (SP). Dalam berbagai macam hal sebutan SP memberikan pengaruh, bahkan lebih ngeri lagi, sebutan tersebut membuatnya sulit tampil menampakkan eksistensi diri. Terlebih lebih, kalau jenjang pendidikannya cuma Sl, dengan jenjang yang lebih tinggi tekanan itu mungkin bisa ditangkal, atau dikurangi. Menurutnya, jenjang pendidikan yang lebih tinggi bisa melahirkan perasaan percaya diri (PD) yang lebih tinggi pula. Bagi Y pendidikan formal memang telah menyebabkan mobilitas sosial, Y juga merasa bahwa ilmunya secara riil memang masih banyak dibutuhkan. Di Fakultas Kedokteran, sebagaimana dijelaskannya, profesi itu termasuk langka. Ia juga menceritakan bahwa dahulu dirinya belajar Psikologi Klinik namun akhirnya karena di Fakultas Kedokteran orang hanya tahu bahwa ia adalah psikolog, maka dirinya diminta pula mangajar mata kuliah lain, seperti: Perubahan Prilaku, 63
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Teori Pemasaran Sosial, tentu saja matakuliah tambahan itu memberikan kontribusi terhadap pekerjaan pokoknya. Y juga menjelaskan bahwa saat ini ada matakuliah wajib, namanya Prilaku Kedokteran dan Psikologi Kedokteran. Kendati demikian ia sendiri meminati matakuliah Prilaku dan Promosi Kesehatan. Menurutnya matakuliah tersebut sangat dekat dengan profesinya, sebagai pengampu kuliah Perubahan Prilaku, Pemasaran Sosial, Komunikasi Interpesonal dimana kesemuanya jelas bisa memberikan tambahan penghasilan, apalagi, pada saat Q project graduate berjalan, Y juga sebagai salah satu anggota kelompok inti yang terlibat dalam program penanganan evaluasi. Semua hal yang dijelaskan di atas tidak bisa lepas dari latar belakangnya sebagai psikolog, seperti masalah questionaire, format evaluasi, teori kualitatif, juga ketrampilan konseling dalam kegunaannya melatih para bidan, profesi kesehatan rumah sakit, dan juga mengajar di keperawatan. Matakuliah itu menurutnya sama dengan “pemasaran”, tetapi yang ditekankan adalah ide-ide atau jasa, misalnya rumah sakit hingga kini belum menggunakan konsep pemasaran modern yang profesional tetapi lebih pada sosial, sekarang dengan diperkenalkannya konsep swadana rumah sakit kedepan akan lebih profitable, tetapi dibidang kesehatan masyarakat misalnya program oralit bila masyarakat hanya dianjurkan, maka target sulit dicapai, oleh sebab itu untuk memacu akhirnya diperlukan iklan tokoh seperti Mandra, Ranokarno. Y sendiri mengemukakan untuk itu ia perlu mengemas pesan sedemikian rupa agar dapat menimbulkan daya pikat masyarakat, contoh lain, iklan ibu hamil, slogan yang ia gunakan “4K” yang artinya empat kali kunjungan. Untuk melihat ada tidaknya mobilitas yang terjadi dalam lingkungan keluarganya Y kemudian membandingkan profesinya dengan orang tuanya. Latarbelakang orang tua Y adalah seorang dokter yang menggeluti psikiatri. Selain itu, orang tuanya juga seorang dosen di Fakultas Kedokteran. 64
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Perbedaan antara apa yang digeluti dengan apa yang digeluti orang tuanya adalah jika Psikiatri yang dikelola adalah orang yang betul-betul gila, sedangkan psikolog yang digarap adalah orang yang sedikit gila. Dalam bahasa akademik perbedaan itu adalah antara psikosis dan neorosis. Seorang psikolog menurut Y juga bisa bekerja di RS, seperti pengalamannya sendiri dimana orang tua bekerja sebagai dosen di Fakultas Kedokteran bagian Ilmu Jiwa. Tetapi keduanya mengajar di Fakultas Kedokteran. Menurut Y kini orang tuanya betul-betul menggeluti profesinya sebagai dokter di RS. Sarjito, dan belakangan lebih banyak mengurangi profesinya sebagai pengajar. Dia, kata Y, membaca jurnal tentang Ilmu Jiwa kemudian dipraktekkan pada kegiatan sehari-hari. Sedangkan Y, seperti dituturkannya sendiri mengaplikasikan pengetahuan yang dipelajari bersama-sama dengan orang tuanya yang nota bene tidak secara langsung belajar psikologi. Mereka berdua bekerja di Departemen Kesehatan dan menjalankan traningkesehatan. Menurut pandangan Y kontribusi PT terhadap mobilitas kelas sosial jelas nampak sekali. Seseorang yang latar belakang pendidikan orang tuanya hanya SMA atau Sarjana Muda tentu akan terangkat jika anak yang dimilikinya dapat mengenyam pendidikan di PT, terlebih di Fakultas Ekonomi atau Kedokteran. Ia mencontohkan apa yang dialami orang tuanya yang latar belakang keluarganya biasa, dimana kakeknya hanya bekerja di rumah dan ibunya seorang penjual “stagen” di pasar Trenggalek. Dengan kehidupan yang paspasan, dan jumlah anggota keluarga yang tergolong banyak, yakni tujuh anak, namun satu diantaranya (orang tua Y) dapat menembus masuk di Fakultas Kedokteran. Usai menjalani pendidikannya di Fakultas Kedokteran, dan menjalani profesi sebagai dokter, maka kehidupan ekonomi orang tuanya pun lama-kelamaan membaik. Fenomena ini jelas sedikit berbeda dengan pengalaman orang tuanya yang keadaan keluarganya jauh lebih tidak menguntungkan. Inilah aspek mobilitas akibat 65
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
pendidikan. Meskipun jika dibandingkan antara Y dan orang tuanya, maka yang terjadi seperti tidak ada bedanya. Yang jelas orang tuanya tegas Y beberapa langkah lebih senior karena lebih dahulu memulai karir. C. Pendidikan dan Tarikan Pasar Masyarakat kita, menurut pandangan SM, sering menghubungkan antara pendidikan dengan lapangan pekerjaan. Lihat saja pandangan sebagian besar orang tua saat mereka menyekolahkan anaknya, hal tersebut selalu dikaitkan dengan bagaimana proses setelah itu. Lebih-lebih di pedesaan, mereka, kata SM, melihat pendidikan sebagai akses ekonomi sama dengan upaya memperbaiki nasib, memperbaiki hidup, dsb, sehingga tidak mengherankan jika ada ungkapan “kamu harus sekolah agar kamu dapat menjadi kaya”. Ungkapan tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa pendidikan dipersepsi sebagai jalan untuk memperbaiki hidup ekonomi bagi keluarga itu, meskipun dalam kenyataannya tidak selalu demikian tapi persepsi tersebut sampai sekarang tetap saja dianut orang. Saya, kata SM, berpendapat memang ada korelasi meskipun kita tidak tahu apakah korelasi itu benar adanya, saya juga tidak mengerti apakah di negara maju sudah ada pergeseran atas persepsi seperti itu, ataupun sejak awal sudah tidak ada persepsi seperti itu, atau akhir dari pendidikan adalah pekerjaan. Pekerjaan yang saya maksudkan, kata SM, adalah pekerjaan yang menghasilkan uang, pekerjaan yang memperbaiki status sosial ekonomi, materialistis ataukah yang lainnya, tetapi kalau kita lihat dikampung-kampung pekerjaan adalah pegawai negeri sipil (PNS) dan yang menghasilkan uang banyak. Menurut SM, kontribusi pendidikan bagi masyarakat sebenarnya tergantung dari latar belakang pendidikan orang tersebut. Misalnya saja, dirinya, kata SM, dari Fakultas Hukum dan menjadi dosen, artinya dirinya bekerja dibidang yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Ia, seperti 66
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
dikemukakannya merasa bahwa pendidikan yang diperoleh selama ini telah bermanfaat bagi masyarakat, tapi ia tidak tahu apakah orang lain mempunyai pandangan yang sama, atau tidak, tapi jika ditanyakan kepadanya maka akan dijawab bahwa pendidikannya berguna bagi masyarakat karena profesinya adalah dosen. Itu adalah korelasi langsung, meskipun dari kurikulum yang diterapkan di Fakultas Hukum orang disiapkan untuk menjadi teknisi hukum, untuk menjadi lawyer, atau jadi praktisi hukum, dengan demikian menurut SM, lulusan dari Fakultas Hukum dapat merasakan langsung buah dari pendidikannya, tidak tahu dari fakultas lain, apakah yang terjadi seperti dikemukakannya. Menurut pandangan SM, pengaruh pendidikan terhadap mobilitas sosial memang dialaminya. Bila seseorang hidup di era mobilitas 70-an dimana orangtuanya sudah menjadi orang yang berada di lapis sosial menengah, berpendidikan tinggi, dan hidup di kota, maka hal seperti itu bisa disebut sebagai reproduksi. Tetapi bagi SM, yang berasal dari desa dan hidup di desa baik secara sosiologis maupun kultural, juga orang tua petani bukan petani berdasi, dengan pendidikan hanya sekolah rakyat (SR), maka di antara 6 anggota keluarganya, dirinya adalah satu-satunya sarajana, semua saudaranya, menurut SM, tidak meyelesaikan pendidikannya karena faktor ekonomi. SM mengatakan jika dirinya mengalami mobilitas secara ekonomi, melebihi apa yang pernah dimiliki orangtuanya dahulu. Meskipun mobilitas ekonomi itu hanya relatif saja, karena tanah di desa memang amat luas kalau disetarakan dengan apa yang dimilikinya, maka belum berarti apa-apa. Dengan kondisi tersebut secara psikologis dirinya mengakui bahwa telah terjadi lompatan rasa percaya diri. Ia mengemukakan bahwa ia melihat dunia lebih besar dari apa yang dahulu dilihat. Jadi menurut pendapat SM, tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan mendorong mobilitas seseorang, baik itu mobilitas ekonomi, politik ataupun mobilitas yang lainnya. Jika ada 67
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
pandangan yang melihat bahwa pendidikan berfungsi melakukan reproduksi sosial, maka hal itu sangat dimungkinkan, tapi bagi masyarakat desa pada umumnya yang terjadi adalah sebaliknya. Warga desa, sebagaimana dikemukakannya, yang dapat dan mampu bersekolah dapat dihitung dan sekarang sekolah sudah terdapat di daerah-daerah. Mereka sebagaimana dikemukakan SM, mengalami lompatan, bahkan memperlihatkan adanya kemajuan, sebagaimana nampak pada masyarakat sekitar; sebagaimana muncul dalam bentuk kemampuan merenovasi tempat tinggal atau rumah. Ini jelas merupakan salah satu wujud keberhasilan ekonomi yang dibawa oleh pendidikan. Dalam konteks hubungan pendidikan dan negara, SM melihat bahwa dunia pendidikan sejauh ini belum mengalami intervensi negara secara signifikan, setidaknya ini dirasakannya dalam posisi sebagai orang yang bekerja di sebuah lembaga pendidikan swasta. Diakuinya bahwa lembaga pendidikan tinggi swasta (PTS) mengadopsi sekitar 10% dari kebijakan kurikulum negara, sementara selebihnya adalah muatan lokal dan selera kepentingan institusi itu sendiri. Kondisi demikian bukan berarti bahwa kurikulum yang ada bersih dari pengaruh negara, tapi menurutnya perguruan tinggi swasta selalu merespon kebijakan yang diambil negara. Pernyataannya di atas menggambarkan bentuk intervensi tidak langsung negara atas dunia pendidikan. Oleh karena itu, orang yang terdidik tidak akan melakukan pemberontakan. Artinya menjadi terdidik itu bukan lalu menjadi pro-status quo dan menjadi tidak kritis, hal ini bisa terjadi karena perubahan dari unsur kemapanan saja. Seperti dikemukakannya bahwa SM agak menyetujui orang yang kondisi sosial ekonominya mapan untuk cenderung tidak mengambil persoalan, kalau pun ia konfrontatif dengan negara ia merubah gayanya. Ia, menurut SM, merubah peran, tapi subtansinya tetap memberontak, karena pemberontakan itu tidak harus mengangkat senjata, mempertahankan diri, dan mengambil jarak dengan negara 68
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
juga bentuk perjuangan yang lain. Kita setidaknya, kata SM, sebagian besar mempertahankan kemandirian kita, bagi saya itu sudah merupakan suatu bentuk pemberontakan meskipun mungkin tidak banyak gunanya bagi negara. Sebagaimana dikemukakannya bahwa SM melihat kurikulum yang diterapkan di UII memang kurikulum yang merespon pasar, seperti halnya ekonomi negara yang kita bangun, namun bisa jadi secara internasional memang kita tidak memiliki pilihan lain. Memasuki perekonomian seperti itu, maka dunia pen didikan menjadi gerbang untuk menyiapkan SDM bagi struktur-struktur yang terdapat diberbagai tempat yang terkait dengan kepentingan negara, dimana ketika negara tidak mempunyai pilihan lain, maka siapa yang akan ditempatkan dalam struktur-struktur tersebut selain orang berpendidikan. Di situ ada lingkaran kepentingan yang sulit diputus. Sebagaimana dikemukakannya bahwa SM juga kerap bertanya, dunia pendidikan mana yang membuat kurikulum tidak mau membicarakan masa depan orang? Bicara tentang pendidikan dalam hubungannya dengan pasar dalam arti luas, maka hampir seluruh PT di Indonesia dan dunia mengapresiasi pasar. Ada perdebatan seru untuk mengubah kurikulum, karena selama ini fakultas hukum tidak mengajarkan Hukum Kelautan jika anda studi di fakultas hukum, padahal pengetahuan ahli hukum laut kita luas sekali, lagi pula Indonesia memiliki Menteri Kelautan, paling tidak 5-10 tahun dunia akan membutuhkannya. Jika Kementerian Kelautan diasumsikan sebagai pasar maka sikap ini merupakan bentuk atas respon pasar. Dunia pendidikan sangat cepat merespon pasar jika ada satu peluang dibuka. Di fakultas hukum kita mengatahui sarjana hukum akan laku jika mempunyai tiga aspek: Mediasi, Negoisasi, dan Abitrase. Sekarang kita sedang mengembangkan pengetahuan agar sarjana hukum menguasai tiga aspek di atas karena dimasa depan konflik bisnis (framenya bisnis bukan konflik sosial) itu bukannya litigasi tapi non 69
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
litigasi, pendekatan tiga itu bahkan dicoba untuk di breakdown dalam materi yang bisa lahir dalam forum terbatas semacam kursus singkat. Ini bisa dipasarkan sebagai paket materi yang bisa mendatangkan uang, misalnya, bagaimana tentang Hukum Perbankan, membuat Legal Memorandum, Legal Opinion. Yogya masih menahan diri untuk tidak menghilangkan hukum yang kaya ide seperti Hukum Adat, Antropologi Hukum, Sosiologi Hukum, semua itu tidak dapat dijual tetapi tetap dipertahankan, tapi diluar Yogyakarta misalnya, UI, UNPAD, tidak perduli dengan ilmu, bahwa PT ingin melahirkan ilmuwan merupakan image, itu sudah jauh meninggalkan filsafat PT yaitu pendidikan. Sebagaimana ditegaskan SM, bahwa dirinya sering mengemukakan dunia pendidikan sudah kehilangan subtansinya yang paling mendasar yaitu pendidikan itu sendiri, karena pendidikan itu pertama-pertama bukan menyiapkan seseorang untuk menjadi pekerja, melainkan menyiapkan orang untuk merdeka, tapi akhirnya kita lihat orang tidak perduli dengan norma pendidikan. Sisitem kelas dan non kelas, mengabaikan etika dengan memakai kaos, sandal karena adanya anggapan tidak ada hubungan antara kecerdasan dengan hal seperti itu, walaupun sebenarnya ada hubungannya dengan etika karena pendidikan itu ingin melahirkan manusia etis, manusia beradab, mereka hanya berfikiran untuk memperoleh nilai tanpa ada pikiran untuk cerdas, harus banyak membaca. Pendidikan jika tidak dikendalikan akan kehilangan substansinya, tidak akan menciptakan manusia merdeka, melainkan akan menghasilkan manusia robot yang dikendalikan oleh sistem, baik itu sistem ekonomi, perusahan, dsb. Dengan jelas SM juga mengemukakan bahwa akibat pengaruh pasar, maka yang terjadi dua kemungkinan. Yakni, di satu sisi kuatnya arus pasar membuat orang tidak enjoy mengeksplorasi pengetahuan, ---karena daya desak pasar yang membutuhkan pengetahuan praktis. Namun SM mencoba memperluas makna pasar, terutama jika pasar itu dalam dunia 70
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
pendidikan bisa mengapresiasi hasil karya cipta kita dengan optimal, suatu contoh adalah hak kekayaan intelektual. Siapa yang sekarang ini enjoy menikmati hidup dalam kesederhanaan untuk ilmu, kecuali mungkin Teuku Jacob (ahli Antropologi kedokteran UGM) dan mereka sadar benar bahwa pengetahuan yang mereka eksplorasi kemudian ditransformasi dalam berbagai macam instrumen terutama dalam bentuk tulisan, yang enjoy karena tidak ada penghargaan menurutnya tidak ada, semua mengeluh tapi mereka bisa bertahan. Demikian juga, jika dikaitkan mengapa konsumen tidak tertarik membaca karya-karya besar, menurut SM ini bisa jadi terintervensi oleh kepentingan pasar yang sangat luas itu, sisi lain mungkin ada faktor di luar itu, sehingga orang lalu jadi tertinggal dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan. Di Indonesia dunia pendidikan tinggi (PT) misalnya, UII mempunyai berbagai pusat studi yang akhirnya sekarang menjelma menjadi lembaga yang menyelenggarakan seminar, diskusi yang kira-kira pasar sangat meresponnya. Kita, kata SM, pernah menyelenggarakan bagaimana evaluasi terhadap Filsafat Hukum tapi tidak ada yang datang, namun ketika diganti tentang Prospek Hukum Perbankan banyak peserta yang datang. Jadi di satu sisi dunia pendidikan mungkin lelah karena besarnya intervensi pasar, di sisi lain mungkin karena wacana atau nuansa untuk melahirkan pengetahuan, memproduksi ilmu-ilmu belum terbangun. Jika masalah ini ditanyakan kepada siapapun, maka menurut SM pilihannya akan sulit, karena apa yang ditulis itu menyangkut hasil audit mereka terhadap proses dan output dunia pendidikan. Kesimpulan akhir mereka tidak melahirkan manusia merdeka dan alternatifnya adalah keluar dari sekolah, tapi mereka juga tidak pernah memberikan alternatifnya sesudah itu, bagaimana orang tetap menjadi merdeka, tetap mempunyai intergritas? Ada yang mengatakan kelompok studi, LSM semula lahir dari bentuk-bentuk protes seperti itu. Menurut SM, dirinya menghadapi ambigu, akan keluar dari dunia pendidikan 71
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
dengan anggapan seperti itu, padahal dirinya juga sadar dunia pendidikan tidak seluruhnya mengantarkan kita menuju citacita, tapi dirinya juga tidak setuju jika ilmuwan besar sampai matinya berada dalam kemiskinan seperti tokoh-tokoh sosiologi yang mati bunuh diri dalam kesederhanaan. Dirinya tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan, meskipun sebagai wacana SM setuju saja. Ia juga tidak melihat orang yang keluar dari pendikan formal berhasil menempa dirinya seperti yang dia bayangkan, salah satu contoh Taufik Rahzen (aktivis mahasiswa Yogya tahun 80-an); tetapi apakah masih ada kemungkinan untuk menciptakan satu lembaga pendidikan yang tetap historis dengan mengapresiasi perbedaan bentuk masyarakat, perkembangan jaman, pengetahuan dan teknologi, sehingga mau tidak mau cara kita mengapresiasi harus lain. Apakah kita masih bisa menciptakan lembaga pendidikan yang di satu sisi historis dengan tidak melupakan elemen sosial masyarakat, elemen ekonomi dan di sisi lain tetap memerdekakan. Akhirnya, seperti dikatakan SM kita tetap mengakomodasi perkembangan tidak lalu sepenuhnya mempersetankan arus besar kapitalisme itu. Di dunia ini tidak ada sampel lembaga yang murni mengabdi kepada ilmu pengetahuan dan sama sekali tidak peduli dunia sekelilingnya. Menurut SM pendidikan memaklumi perkembangan itu dan menyediakan wilayah kurikulum yang diharapkan bisa melahirkan para cendikia. Dibalik itu karena sadar tidak bisa mengabaikan keadaan seperti itu, akhirnya orang mengapresiasi semaksimal mungkin. Mengeliminir dunia ini sama sekali mungkin tidak sepenuhnya tepat, contoh di Universitas Islam Internasional, ada yang disebut Fakultas Ilmu-ilmu Kewahyuan dan murni mengajarkan ilmu kewahyuan sebagai salah satu yang diajarkan Al-Qur’an. Kemudian SM sempat bertanya, bagaimana fakultas ini tetap eksis di dunia yang global seperti sekarang. Yang terjadi kemudian fakultas itu telah memproduk sarjana-sarjana terkemuka yang memahami 72
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
bahasa Arab dan Parsi, dan di Malaysia dibutuhkan ahli ilmu itu dan itu dibayar. Hal itu berarti sebuah fakultas yang semula dikerangka untuk menjadikan sarjana ahli di bidang Al-Qur’an, yang semula tidak dibayangkan kemewahan, tapi kemudian tiba-tiba pasar meresponnya. D. Pendidikan sebagai Sarana Percepatan atas Keunikan Dunia pendidikan menurut MM cenderung mengajak orang ke kuburan, alias mati. Inti pendidikan menurutnya adalah belajar hidup, Pendidikan seharusnya membuat orang “nakal”, sebab nakal itu kreatif. Pendidikan itu belajar hidup, bukan sebaliknya mengantar orang untuk mati. Karena itu dimata MM tidak mengherankan apabila orang yang kreatif akan berlawanan dengan sifat kreatifnya jika dipasangi “patokpatok”, itu jelas tidak bisa. Seorang anak, kata MM, ketika masih kecil biasanya gampang terpukau oleh jabatan-jabatan standar, pada hal ketika anak sudah besar apa yang pernah menyebabkannya terpukau sudah tak ada lagi. Dunia ini kan terus bergerak, mestinya pendidikan prediktif, sayangnya selalu tradisional. Dalam wawancara MM sendiri mengakui ada kesulitan di situ, tetapi kerepotan itu muncul karena orang membayangkan standart. Sehingga tidak janggal bila masyarakat di luar terperangkap pada standart, bukan pada kemampuan dasar untuk belajar. Hidup menurutnya berubah terus karena itu, hidup itu intinya adalah belajar berubah, kalau sekarang pendidikan itu bukan belajar berubah, tetapi justeru belajar mati. Oleh sebab itu, menurut MM tidak heran jika anak selalu memiliki rasa takut, misalnya dalam proses kenaikan kelas ia punya rasa takut, yakni; takut enggak lulus, pindah sekolahan juga sama, takut, ini tidak lain disebabkan karena sebenarnya orang (anak) sudah “mati”. Apalagi dengan sistem pengajaran yang disamakan diseluruh Indonesia. Bukunya sama antara Jawa dan luar Jawa, kota besar dengan kota kecil. Juga, sebagaimana 73
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
yang dipahami nara sumber ada sistem evaluasi secara nasional, akhirnya pendidikan menjadi praktik ketidakadilan. Karena standar kota, prestasi orang desa diukur dengan ukuran orang kota, coba lihat, katanya, cara seperti ini pasti akan membuat orang desa kalah. Dari SD ingin masuk ke SMP yang baik, orang desa mesti kalah. Demikian juga masuk PTN yang baik, mereka pasti akan kalah. Lagi-lagi karena yang digunakan standar kota, jadi “bukan kemampuan belajar itu sendiri”. Menurut MM, mestinya rekruitmen diukur dari kemampuan belajar. Ia pun menambahkan indikator kemampuan belajar yang penting, misalnya; kemampuan adaptasi, atau jika pinjam istilah David Mclelan: Need for Achievement, atau jika pakai Freire, kesadaran akan masalah (problem solving), atau problem posing. Jadi inti dari pendidikan menurut MM, adalah hadap masalah, sehingga haruslah dibedakan bahwa jika di desa masalahnya lain dengan di kota, dengan demikian pemecahannya pun harus berbeda, anaknya beda dan subkulturnya berbeda. Dihadapkan pada model belajar mengajar yang sama tentu akan mengalami kesulitan, murid sulit guru juga sulit. Guru menurut MM sebaiknya dibekali kemampuan dasar sehingga dilapangan diharapkan ia bisa kreatif. Untuk itu menurut MM kalau bicara soal komposisi mahasiswa dan dosen yang paling ideal perbandingannya bukan satu banding empat puluh, atau model guru bidang studi yang amat terbatas sekali, oleh sebab itu kurikulum perlu direstrukturisasi, termasuk kemampuan guru untuk mengenal dan saling mengenal muridnya; dari sudut pandang Marxis pendidikan itu memang mengasingkan. Guru asing pada murid dan murid juga asing pada gurunya, jadi enggak ada komunikasi yang intensif. Dikaitkan dengan alternatif pendidikan di era global MM cukup optimis. Ia sendiri melihat ideologi global berbeda dengan kebanyakan orang, baginya global itu berarti tidak satu, tetapi pluralitas. Dan kesadaran mendunia itu nanti akan menghasilkan 74
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
sub-sub culture yang semakin kuat, tetapi, kata MM, tetap ada kesadaran global, sehingga ada media komunikasi. Untuk itu menurut MM justeru dengan respon semacam inilah otonomi pendidikan harus disambut. Ia juga menegaskan bahwa otonomisasi itu hendaknya berarti murid otonom, dan guru pun otonom, jangan cuma bicara otonomi daerah. Sekarang, seperti dikatakan MM, saksikan saja bahwa anak-anak kerap kali ditindas, dirumah; “kamu harus begini, dan begitu, namun itu semua nanti akan dihancurkan lagi di sekolah”. Jadi apa yang datang dari rumah di seragamkan lagi. Ini jelas pelanggaran HAM paling besar, kata MM, yang dibungkus dengan simbol-simbol yang sangat luhur. Yang pasti, menurutnya: “Orang itu butuh komunikasi, untuk itu ia membutuhkan pola, tetapi ketika kita membuat pola, jangan lalu polanya ini yang dijadikan substansi, karena pola hanya untuk supaya orang bisa berkomunikasi, tukar menukar pengalaman, sehingga pengalaman jadi terakumulasi; manusia menjadi kaya pengalaman, semakin banyak seseorang berhubungan dengan orang lain, maka semakin besar pengetahuan yang dia peroleh”. Hal ini menurut MM mudah dimengerti karena masingmasing orang punya pengalaman personal yang kemudian dikomunikasikan kepada orang lain, sehingga pengetahuannya akan bertambah, belum lagi akumulasi dengan pengalaman impersonal. Terkait dengan perombakan pendidikan menurut MM, mestinya yang namanya perombakan harus dimulai dari sistem evaluasi. Karena perombakan ini nantinya akan merobah hasil belajar mengajar. Sebaiknya, menurut MM, sekolah diberi kebebasan, cuma persoalan yang muncul kemudian adalah jabatan Menteri Pendidikan jadi enggak penting. Pejabat-pejabat pendidikan jadi enggak penting. Mungkin kuikulum pun tidak dibutuhkan dan tentu saja perubahan ini punya efek bola salju. Juga ditataran rekruitmen atau penerimaan murid baru, nanti semuanya terserah kepada sekolah. Oleh sebab itu, menurut 75
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
MM, pada akhirnya semua tergantung pada apa yang hendak dicari oleh sekolah itu. Sistem PT pun juga begitu, sekolah punya kebebasan untuk mengevaluasi, gambarannya seperti dosen itulah kira-kira, jauh sedikit lebih bebas keadaannnya. Dosen mengevaluasi mahasiswa, dan kalau sudah begitu luar biasa. Idealnya perubahan semacam ini dilakukan dalam jangka dekat; model rekruitmen mahasiswa baru mesti dilakukan dengan bebas. Implikasinya memang, kata MM, buku-buku paket bisa jadi enggak laku, Depdikbud enggak perlu susahsusah, banyak proyek untuk bikin buku yang enggak-enggak. Selama ini pendidikan dikaitkan di satu sisi dengan lapangan kerja, pada sisi yang lain, dan tidak bisa dipungkiri bahwa sekolah formal seolah dianggap menjanjikan lapangan kerja yang lebih baik. MM juga melihat bahwa sekolah selalu menghasilkan output yang bersifat massal. Ia juga pesimis apa memang soal standardisasi produk itu jalan yang paling baik? Apalagi ada ramalan yang menyatakan bahwa semakin tinggi produk ekonomi maka ia akan menjadi semakin personal. Jika demikian, menurutnya, cara pandang standardisasi tidak cocok lagi, contohnya di dunia mode pakaian, justeru dalam bidang mode, merk “mobutur”, yang termahal itu, pada dasarnya merupakan jahitan tangan, artinya bersifat individual. Pertanyaaannya sekarang, menurut MM, sejauhmana relevansi standardisasi teknis itu dalam dunia ekonomi? Lebihlebih produk-produk ilmu ekonomi unggulan yang dibutuhkan bukan standardisasi, tetapi justeru yang sophisticated, yang unik. Kalau seperti itu maka yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang unik. Dia, kata MM, bikin pakaian tetapi punya keunikan sendiri. Ada pabrik pakaian tapi jangan lalu kemudian menghasilkan produk pakaian massal. Menurut MM kalau seperti itu maka yang akan collapse (mati) adalah kita sendiri. Semakin kedepan perubahan akan semakin cepat. Kalau kemudian kita, katanya lagi, hanya memiliki standardisasi kemampuan kerja maka itukan sama artinya tidak cocok dengan masa depan. 76
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Kembali lagi ke soal kemampuan belajar hidup, menurutnya, pendidikan itu semestinya memperkaya pengalaman-pengalaman untuk menyelesaikan masalah. Kita selama ini belajar cuma teori, pada hal teori itu kan cara orang menyelesaikan masalah. Contoh; dahulu ada masalah semacam ini, si Einstein memecahkannya dengan cara begini, Newton begini, sehingga anak, menurut MM, mempunyai kesempatan mereview pengalaman para teorikus itu. Tentu saja semuanya disesuaikan dengan tingkatantingkatan pendidikannya. Jadi pendidikan menurut MM, memperkaya pengalaman, sehingga anak memiliki suatu “kepercayaan diri”. Anak punya bekal, karena hidup itu intinya menghadapi masalah. Dalam dunia kerja semakin tinggi kekayaan pengalaman seseorang, maka semakin tinggi harga yang dimilikinya “. Sementara dimata MM pendidikan saat ini ukurannya jadi sangat teknis bahkan jenjang-jenjang pendidikan itu kerapkali dianggap mewakili status. “Sebenarnya pendidikan harus memperkaya anomali“. Jadi yang unik yang harus diperkaya. Bukankah setiap temuan ilmu itu kan unik, dan ilmu itu memberi dasar pada pengalaman. Dalam batas tertentu ilmu itu memberi dasar kepada kekayaan pengalaman itu. Berbicara tentang kontribusi dunia pendidikan terhadap masyarakat, maka pandangan MM sebagai berikut. Perubahanperubahan dalam dunia pendidikan semestinya berkelanjutan atau pararel dengan perubahan yang terjadi, dalam masyarakat. Selain itu harus diasumsikan bahwa manusia yang baik itu pasti memerlukan kebutuhan hidup, dan kebutuhan hidup bisa dipenuhi dengan bekerja. Sementara itu, kata MM, di dunia modern bekerja harus terlembaga, kemudian kerja dimonopoli oleh lembaga-lembaga. Untuk itu menurut MM harus ada komunikasi dengan lembaga tersebut. Hingga kini komunikasi itu ada, namun tidak setara. Ini artinya pendidikan menjadi pelayan lembaga publik dan ekonomi. Idealnya harus ada saling pengertian, jika pendidikan berubah maka sebaiknya dunia ekonomi pun harus berubah juga. 77
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Memang, sebagaimana dikemukakan MM, perubahan selalu menyakitkan, penyimpangan, dan keterasingan, namun sebenarnya hal ini bisa terjadi karena orang sudah menetapkan standart-standart. Idealnya perubahan harus dimulai di lembaga dan yang terlembaga yaitu pendidikan, hal ini karena pendidikan merupakan media sosialisasi terlembaga. Untuk itu ketika terkait dengan mobilitas sosial, MM pun sepakat bahwa dalam pengertian sempit hubungan di antara keduanya ada, ia bahkan memberi ilustrasi bahwa anak yang berpakaian putih biru dengan putih abu-abu itu kan berbeda, mereka yang berseragam akan berbeda dengan mereka yang tidak pakai seragam, dan itu penghargaannya pasti berbeda. Dalam konteks ini sebenarnya MM ingin mengatakan bahwa jenjang pendidikan melahirkan tingkat apresiasi yang berbeda. Bagi MM, dalam konteks ekonomi penghargaannya pun akan berbeda, juga terhadap prilaku orang tersebut. Singkatnya: “ memang pendidikan baik formal maupun non-formal, merupakan salah satu alat mobilitas sosial paling hebat”. Selain itu menurut MM pada dasarnya manusia merupakan makhluk simbolik. Ketika ia sudah ada di puncak, maka ia membutuhkan asesori atau hiasan-hiasan, baik itu Dr, Prof. Menurut MM, supaya jadi lebih hebat lagi. Bisa jadi gejala tersebut mungkin produk dari pendidikan yang tidak dikehendaki masyarakat, atau justeru malah sebaliknya. Sebenarnya nilai manusia tidak hanya ditentukan melalui pendidikan formal saja. Seharusnya orang yang berpendidikan tinggi memproduk pikiran menjadi lebih banyak, punya alternatif-alternatif, sayangnya tidak juga. Yang terjadi orang mengejar gelar tetapi setelah itu “melungker”68*) karena yang dikejar bukan kemampuan mengembangkan gagasan, di sini terlihat ada kaitan antara intelektualitas dan keterasingan, keterasingan menurut MM pada dasarnya adalah sesuatu yang sangat unik. 68
78
Dalam konteks ini “melungker” maksudnya kehabisan semangat, karena yang ia cari adalah “gelar” *)
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Di dalam sejarah, puncak-puncak itu hanya beberapa saja jumlahnya, dan pada jamannya orang yang ada di puncak dia dianggap aneh, gila, contohnya seperti; Galileo, Socrates, mereka hidupnya tragis, sangat unik, sehingga harus menyediakan pikiran bahwa suatu saat dia akan terasing. Tetapi uniknya yang terasing itu justeru menjadi obor pencerah. Seringkali kata MM, penghargaan termasuk sebagai obor pencerah di masyarakat datang terlambat. Kondisi ini bisa dimengerti karena masyarakat selalu lebih tradisonal dari pada individu. Masyarakat itu kan makro, dan yang makro itu pasti lebih lambat daripada individu (orang). Dan menjadi manusia pada akhirnya akan membawa kita pada kehendak untuk hidup bersama. Karena pendidikan sudah dipatok, keluar dari patok akan dianggap menyimpang. Di satu sisi lembaga pendidikan formal itu tetap penting, namun di sisi lain kita perlu melakukan percepatan dengan keunikan-keunikan itu. Jadi standardisasi perlu, tetapi standardisasi bukan substansi. Setiap kita mempraktekkan sesuatu berdasarkan standar yang paling substantif dan yang paling strategis dari semua itu ialah kesadaran bahwa pola-pola itu harus dipahami dari apa yang dipolakan. Intinya “membuat pola itu untuk mempercepat, kalau kemudian pola itu mematikan maka pola harus diganti. Kesalahan kita adalah menangkap pola, bukan substansi dari pola itu, sehingga percepatannya jadi gagal”. E. Pendidikan sebagai sarana Membangun Tradisi Secara umum, menurut LD memang ada kaitan erat antara pendidikan dan lapangan kerja, namun kaitan itu sudut pandangnya bukan dari sisi bahwa apa yang kita pelajari akan menentukan lapangan kerja. Menurut LD, ia lebih melihat keterkaitan itu bukan pada substansi pendidikan dalam artian bahwa kalau seseorang belajar arsitektur maka ia akan dapat ilmu tentang arsitektur, selanjutnya ia akan bekerja di lapangan arsitektur. Juga seandainya ia belajar di kedokteran akan 79
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
menjalankan profesi sebagai dokter, memang secara umum cara bepikir kebanyakkan masyarakat demikian. Menurut LD, ia justeru lebih suka melihat persoalan itu dari sudut pandang bahwa pendidikan lebih banyak berfungsi untuk membuka pikiran dan wawasan, dalam artian bila seseorang masuk ke dalam jenjang pendidikan SMP, atau SMA, maka akan memiliki wawasan yang lebih luas, dan berpikir lebih luas, tentunya kalau seseorang masuk ke jenjang Sl maka akan memiliki sistem berpikir yang lebih luas lagi. Selanjutnya, kata LD, jika naik ke jenjang yang lebih tinggi lagi maka akan bisa memahami banyak pemikiran. Dan gejala ini menurutnya lebih bermanfaat untuk bekerja diluar masalah teknikal skill-nya, oleh sebab itu, tidak mengherankan jika seorang arsitek bisa bekerja dimana pun, sebagaimana pula seluruh sarjana sebenarnya dapat bekerja dimanapun tempat. Persoalannya menurut LD adalah bagaimana seseorang bisa memanfaatkan pola pikir yang diterimanya di sekolah. Hal ini bukan berarti mengingkari kenyataan bahwa orang kedokteran menjadi dokter. Banyak kasus justeru menunjukkan cara berfikirnya yang lebih banyak dimanfaatkan, dari pada pengetahuan teknikalnya. Gejala semacam ini menurut LD jangan ditafsirkan bahwa cara berpikir orang sangat tergantung pada lembaga pendidikan yang pernah mengajarinya. Memang kalau dianggap seratus persen tidak, tapi kalau nol persen juga tidak. Menurutnya ada kecendrungan, tapi kalau kita ada di institusi pendidikan biasanya kita akan berpikir dengan cara yang lebih educated. Masalahnya adalah bagaimana orang dapat memanfaatkan pola pikir itu. Jadi menurut LD, kebenarannya 70 persen lah, yang namanya institusi pendidikan memang mengenal ritual, tradisi, membentuk budaya, kebiasaan, membentuk hal-hal yang tidak dapat dibangun dengan cepat. Makanya, menurut LD, agak aneh jika NU (Nahdlatul Ulama) mengatakan akan membuat 3 Universitas besar dalam waktu singkat, sebab lembaga pendidikan tidak hanya berarti 80
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
membentuk sekolah, kurikulum, dan merekrut dosen, plus mahasiswa. Tetapi ada tradisi, ada citra, dan ada macem-macem yang mempengaruhi pola berpikir. Analoginya menurut LD, seseorang bisa mendapatkan kuliah yang sama di sini (UGM) dengan materi yang sama dirinya bisa pelajari dimana pun, tetapi tradisi institusi UGM tidak mudah saya dapatkan di luar UGM. Tradisi institusi pendidikan, menurut LD itu penting, seperti kebiasaan, suasana ilmiah, dan hal itu jelas berbeda-beda di setiap kampus, tapi kalau buku dimana-mana juga sama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sekolah, PT, itukan lembaga modern yang mencetak segala sesuatunya secara massal, dan sifat massal ini jelas tak bisa dilepaskan dari kapitalisme. Selain itu ada juga gagasan bahwa pendidikan itu identik dengan sekolah. Jadi ada anggapan orang dapat menjadi educated hanya apabila ia diproduk oleh sekolah. Kenyataannya, menurut LD orang-orang yang bersekolah sering punya sikap yang tidak educated. Ada orang yang tidak sekolah punya etos kerja yang bagus, punya skill yang juga bagus yang mungkin diperoleh dari pengalaman. Di atas tadi telah dibicarakan soal lembaga pendidikan yang punya tradisi dan tidak memiliki tradisi, yang baik dan tidak. Kendati demikian menurut LD idealnya lembaga pendidikan sebaiknya tidak semata-mata didekati dengan sesuatu ukuran yang sifatnya kuantitatif, dan kapitalistik belaka. Misalnya dalam konteks otonomi, sebaiknya ukurannya jangan semata-mata didekati dengan berapa rata-rata kecepatan untuk menyelesaikan studi, atau berapa indeks prestasi (IP) rata-rata, dsb. Jika demikian, kilahnya, hal ini jelas sangat kuantitaif dan bisa dipacu dengan mudah. Karena itu pendidikan tidak semata-mata masalah kurikulum, dosen, dsb, tapi juga menyangkut tradisi, dan tradisi ini tidak hanya diperoleh pada lembaga pendidikan formal saja. Tradisi yang dimaksudkannya adalah untuk membuka wawasan, untuk belajar menerima pendapat orang lain, dan tradisi ini bisa didapatkan di manamana, misalnya lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau pun 81
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Pesantren. Jadi, menurutnya lembaga pendidikan biasanya mengenal ukuran-ukuran kuantitatif, namun di luar itu penting untuk membangun tradisi. Terkait hubungan pendidikan dengan mobilitas sosial ekonomi LD menengarai sebaiknya dipisahkan antara pendidikan dan PT. Para pengusaha, jelasnya, sekarang banyak yang tidak sekolah, tetapi mereka kan memiliki wawasan yang cukup baik, itulah pendidikan bisa diperoleh dari mana saja. Artinya kalau ditinjau secara luas pendidikan itu, menurut LD, adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan, dan memandang bagaimana hidup. Jadi sebaiknya dipisahkan makna pendidikan dan sekolahan. Menurut LD tidak bisa dipungkiri jika pada saat ini sekolah merupakan jalan yang pada umumnya ditempuh oleh anggota masyarakat dalam rangka menjemput masa depan yang lebih baik, kenyataan ini didukung oleh suatu keyakinan yang dikembangkan di sekolah bahwa jika seseorang tidak bersekolah maka tidak akan bisa mencapai keberhasilan di masyarakat. Di luar negeri, kata LD sistem memberikan keyakinan kepada orang-orang bahwa tanpa sekolah pun mereka bisa, misalnya melalui ketrampilan dsb, hal ini karena sistem memungkinnya menciptakan keyakinan itu. Sistem yang dipergunakan adalah bahwa di luar sekolah ada pendidikan yang bisa mereka tempuh, ada jalur lain, di sinilah kucinya, sementara hal yang sama tidak berlaku di sini, di sini yang ada cuma sekolah, tegas LD. Singkat cerita sekolah adalah satusatunya institusi yang memang memberikan peluang lebih besar, sementara yang lainnya memberi peluang yang jauh lebih tidak pasti. Orang-orang yang tidak bersekolah dan meraih kesuksesan, biasanya disebut sebagai orang yang beroleh keberuntungan, kata LD. Sebaliknya jika sekolahnya tinggi dan memiliki pekerjaan yang tinggi, prestisius, maka hal itu dinilai sebagai sesuatu jalur yang sudah betul. Ia sendiri, memiliki kasus yang 82
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
cukup menarik, tetangganya yang nota bene tidak bersekolah hingga jenjang PT tetapi dapat mencapai kesuksesan hidup, dan prestasi itu dicapainya dengan merantau serta bekerja keras, itulah pelajaran yang didapatkan LD. Pengalaman mobilitas LD menunjukkan bahwa jenjang pendidikan telah mengantarkannya mengalami mobilitas sosial. Ia juga menceritakan bahwa jenjang pendidikan orang tuanya hanya SLTA, pekerjaannya guru sekolah dasar (SD). Bahkan, saat sekolah dahulu ia pun bisa membayangkan di tingkatan mana sesungguhnya keluarganya ketika itu, dan disadarinya bahwa semua memang serba terbatas. Ketika kuliah di Arsitek, kata LD, tepatnya sebelum meraih jenjang sarjana, ia telah mencari peluang-peluang kerja, dan ia pun mengakui apa yang dilakukannya ketika itu sangat bermanfaat terutama bagi studinya sendiri. Mulai sejak itu, katanya, ia sudah tidak menggantungkan hidupnya pada orang tua. Semua biaya ditanggungnya sendiri, hingga lulus. Jadi setidaknya jika ditarik suatu garis, ayah SLTA, ibu guru SD, dan ia sendiri berjenjang sarjana (S-l), dosen di lembaga pendidikan tinggi (PT), sehingga jenjang mobilitas amat nampak. Informan LD ini mengakui bahwa dalam keluarganya memang profesinya berbeda-beda, secara ekonomi kakaknya tertua yang paling maju, tetapi pendidikannya hanya SLTA. Menurut LD, kakaknya adalah orang yang sangat cerdas, selain itu karena sistem pendidikan di jaman kakaknya (th 70-an) memang telah membantu ikut membentuk etos kerjanya yang kuat.
83
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
84
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
BAB 5
MOBILITAS SOSIALKULTURAL AKADEMISI
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
MOBILITAS SOSIALKULTURAL AKADEMISI
Dari deskripsi terhadap lima akademisi yang memiliki latar belakang keilmuan berbeda, hampir semuanya menerima pandangan yang selama ini berkembang di lingkungan masyarakat, yakni bahwa sekolah atau pendidikan formal selama ini telah menjadi sarana mobilitas sosial yang ampuh. Setidaknya gambaran ini ditegaskan oleh empat dari lima informan yang telah diwawancarai. Mereka menguraikan berbagai macam pandangan dan pengalaman yang berasal dari diri mereka sendiri. Sulit dipungkiri bahwa pendidikan formal telah membawa mereka pada keadaan yang jauh lebih baik dibanding dengan pengalaman-pengalaman dan status sosial rata-rata orang tua mereka. Kondisi itu dibuktikan juga melalui capaian ekonomi, pergeseran status sosial yang mereka alami di tengah-tengah lingkungan masyarakat, dan yang tidak kalah penting adalah berkembangnya wawasan sosial-kultural pada diri mereka. Oleh sebab itu, di titik ini pandangan kaum fungsionalis yang berpendapat bahwa sekolah merupakan jalan emas (the golden gate) menuju kesuksesan di masyarakat mungkin tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Di bidang ekonomi, sejumlah informan yang diwawancarai juga mengungkapkan berbagai capaian yang telah mereka raih, sebagaimana diindikasikan melalui jumlah penghasilan rill yang jauh di atas 87
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
penghasilan orang tua mereka dahulu, meskipun perhitungan penghasilan itu telah memasukkan berbagai elemen penting, seperti: perbandingan nilai suatu barang dikaitkan dengan rentang perbedaan waktu dari generasi yang berbeda, kemudian capaian itu ditunjukkan juga dengan indikator kepemilikan dan kemampuan mereka atas properti; seperti tanah, rumah, dsb. Sekolah juga telah mendorong mobilitas sosial, kultural dan fisikal sebagaimana telah mereka alami lewat adanya apresiasi dan penghargaan yang muncul di tengah-tengah lingkungan masyarakat, maupun dilingkungan yang lebih terbatas, yakni sesama profesional. Mereka meyakini bahwa latar belakang pendidikan memang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, walaupun terkadang karakteristik suatu masyarakat ikut mempengaruhi dan mewarnainya. Di masyarakat pedesaan yang kental dengan budaya tradisional-religiusnya, biasanya seseorang yang dapat memimpin doa jauh lebih dihormati ketimbang sarjana yang tidak dapat menjadi imam shalat, dan membaca doa. Karakter ini berbeda dengan masyarakat yang lebih perkotaaan yang ditandai dengan sifat yang lebih terbuka dan plural, dimana penghargaan atas seseorang lebih dilihat pada modal sosial dan budaya yang dimiliki, tanpa melupakan pentingnya posisi modal ekonomi. Pendididkan tinggi (PT), seperti telah dikemukakan seorang informan di muka, bisa memperkuat rasa percaya diri pada seseorang. Oleh karena itu, perlu ditegaskan, bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, maka semakin besar pula peluang seseorang untuk mendapatkan posisi dan status sosial yang diinginkannya. PT juga kerapkali dianggap sebagai faktor penting yang dapat mengembangkan kapasitas kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah. Pandangan akademisi dari Sastra Inggris (Ag), Ilmu Budaya UGM ini mengingatkan kita pada gagasan Freire tentang fungsi pendidikan sebagai problem solver. Di dunia PT seseorang dilatih untuk dapat memecahkan persoalan dengan cara menyederhanakannya, hal ini mungkin tidak banyak 88
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
dialami mereka yang jenjang pendidikannya lebih rendah, karena persoalan yang sama kerapkali harus dialaminya lebih dahulu, baru kemudian dengan pengalaman langsungnya masalah pun lalu dipecahkan. Pendidikan tinggi menyebabkan orang mampu berpikir rasional, dan mengabstraksikan persoalan rumit agar jadi lebih sederhana, sehingga pemecahannya pun mudah. Di negara berkembang seperti Indonesia, jenjang pendidikan terkadang berpengaruh terhadap dunia kerja yang diminati. Seseorang yang berlatar belakang ilmu pertanian, atau mungkin teknik lebih memilih bekerja di lembaga perbankan, meski seharusnya, sesuai dengan disiplin ilmunya bidang itu diisi oleh mereka yang berlatar belakang ekonomi. Dunia kerja nampaknya masih jauh dari linearitas disiplin ilmu seseorang pencari kerja, meskipun di dunia PT pemerintah telah memberlakukan prinsip linearitas, terutama bagi akademisi (dosen), dengan alasan karena linearitas akan berdampak pada penguasaan dan kedalaman ilmu yang digeluti seseorang, sehingga mereka yang ingin berkecimpung menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) dengan Prgogram Studi Sosiologi misalnya, sudah seharusnya memiliki ijazah S-1, S-2 ataupun S-3 yang berasal dari disiplin pengetahuan Sosiologi. Meskipun, keputusan ini terhitung belum lama diberlakukan oleh Pemerintah SBY, terutama menjelang akhir masa jabatannya. Agaknya, pertimbangan ini dilandasi dengan harapan agar penguasaan ilmu yang ditekuni seorang tenaga pengajar lebih mendalam, meski pun linearitas yang mengarah ke spesialisasi yang kaku bisa menjauhkan seseorang dari pemahaman akan koneksi dan interkoneksi yang ada pada disiplin pengetahuan tersebut dengan disiplin pengetahuan lainnya. Seorang dosen, karena profesinya sebagai pendidik “diwajibkan” mengembangkan karirnya melalui jalur pendidikan formal hingga jenjang tertinggi yang bisa diraihnya, yakni Doktoral (S-3). Dengan jenjang tertinggi itu diharapkan wawasan dan kedalaman pengetahuan yang dimiliki seseorang tenaga 89
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
edukatif akan mumpuni atas pengetahuan yang digelutinya. Selain itu, berbagai kegiatan seperti penelitian, pengajaran, dan pengabdian masyarakat dapat pula diarahkan untuk mengasah, mengembangkan dan meningkatkan kinerja profesionalitas akademik. Dengan demikian, semakin berkembang kinerja akademik, maka semakin kuat pula kapital budaya (cultural capital) yang dimilikinya. Dari kondisi seperti itu diharapkan daya transformasi akademik, dan sosial yang dimiliki seorang akademisi meningkat, meskipun dalam kenyataannya tidak selalu demikian, karena dua hal itu acapkali terpisah. Jenjang akademik, demikian kata seorang informan dari Fakultas Kedokteran UGM yang sehari-hari mengajar Psikologi Perkembangan di Fakultas itu, dapat meningkatkan rasa percaya diri. Meningkatnya rasa percaya diri tidak hanya penting untuk menunjang proses belajar mengajar, namun lebih jauh kondisi itu dapat berguna sebagai modal politik akademik dalam proses tawar menawar dengan para pengajar senior dilingkungan akademik tempatnya bekerja, ataupun ketika berhadapan para senior yang acap kali menjalankan praktek proyeksi diri, sehingga pola hubungan yang ingin dibangun bukan berbasis prinsip egaliter, kemitraan, ataupun konstruktif di antara sesama komunitas keilmuan, melainkan sebaliknya, eksploitatif, dan memarjinalisasi terhadap yunior. Jenjang pendidikan dengan kata lain bukan saja berperan sebagai simbol keilmuan seseorang, melainkan dapat juga berperan sebagai alat legitimasi politik akademik di dunia kampus. Seperti telah disinggung dimuka, bahwa latar belakang keluarga yang dimiliki seseorang dosen ternyata dalam tingkat tertentu ikut mempengaruhi mobilitas sosial yang dialaminya. Dari kesaksian sejumlah informan, sangat jelas terlihat bahwa hampir semua informan mengalami mobilitas sosial. Namun, seseorang dosen yang berasal dari latar belakang profesi orang tua yang juga sama, maka akan disebut tidak mengalami mobilitas kelas sosial, karena keduanya berasal dari golongan 90
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
profesi yang sama, meskipun mobilitas kultural bisa saja berlangsung. Kondisi semacam ini sering disebut sebagai reproduksi sosial intelektual. Berdasarkan latar belakang keragaman pengalaman informan yang berprofesi sebagai pengajar (dosen) dari beberapa PT di Yogyakarta, baik itu UGM, UII, IAIN (UIN), maka ada berbagai capaian yang telah mereka raih, dimana capaian itu pada umumnya menggambarkan bahwa apa yang mereka miliki sekarang ternyata jauh melebihi apa yang dahulu diraih orang tuanya. Mereka semua mengalami mobilitas melampaui kehidupan ekonomi yang pernah dicapai orang tua mereka. Cakrawala kehidupan yang mereka miliki juga jauh melebihi cakrawala pengetahuan yang dimilikki orang tua mereka. Mobilitas itu tidak hanya terbatas pada lingkup fisik, melainkan meliputi pula mobilitas mental, sebagaimana tampil pada masalah wawasan kehidupan baik berskala personal maupun sosial, kesemua ini diperoleh melalui keterbukaannya pada akses informasi yang terdapat pada dunia akademik (ilmu pengetahuan) sebagai konsekuensi logis dari dunia profesional yang digelutinya. Pendidikan sekolah yang mereka dapatkan pada dasarnya telah membawa mereka pada kehidupan yang ralatif lebih baik dibanding dengan kehidupan orang tua mereka umumnya. Untuk itu, pandangan kaum fungsionalis atas pendidikan formal seperti kita kenal melalui teori yang diajarkan di dunia kampus masih memiliki relevansi, setidaknya fenomena itu berlaku pada pengalaman sejumlah informan, meskipun ketika mereka diminta mengguggat kondisi kekinian, misalnya terkait sejauhmana kompetensi keahlian dikuasai seseorang meskipun tanpa harus melalui jenjang pendidikan formal? Faktor-faktor apa saja yang memungkinkan mobilitas sosial dapat dicapai oleh seseorang? Meski respon atas petanyaan bernada menggugat itu bisa beragam, namun dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak sedikit orang yang berhasil dapat meraih mobilitas sosial tanpa melalui jenjang-jenjang pendidikan formal 91
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
sebagaimana layaknya terjadi pada masyarakat di negara industri maju. Misalnya, di Ibu Kota Jakarta seorang sopir taxi pernah bercerita kepada penulis tentang pengalaman hidupnya ketika beliau menjalankan tugasnya mengantarkan penulis menuju Bandara International Sukarno-Hatta usai mengkuti suatu meeting. Beliau dengan penuh semangat bercerita bahwa pada suatu saat dalam perjalanan hidupnya ia pernah bekerja sebagai general menager (GM) suatu perusahaan perumahan (property), pada hal dirinya tidak punya latar belakang pengetahuan dan pendidikan teknik sipil yang diperlukan untuk memuluskan tugas itu, mengingat pendidikan yang dimilikinya hanya Sekolah Tinggi Menengah (STM) Jurusan Listrik. Namun karena diminta oleh seseorang yang telah mempercayainya, maka pekerjaan itupun dijalankannya juga. Meskipun awal mulanya tertatih-tatih ketika melaksanakan pekerjaan itu, namun semangat untuk terus belajar ditambah denga rasa ingin tahu, dan keberanian akhirnya dapat mengantarkannya pada penguasaan pengetahuan yang diperlukan untuk menjalankan profesi dibidang property itu. Contoh di atas tidak dimaksudkan untuk mengabaikan pentingnya pendidikan formal untuk meraih kompetensi profesional, namun kapasitas potensial yang terdapat pada diri individu terdorong karena pengaruh lingkungan, dan “paksaan” keadaan sering kali dapat merangsang seseorang meraih kompetensi dan pengetahuan yang diinginkan dalam rangka menunjang kehidupan yang dikehendaki. Dengan demikian kemampuan teknis maupun teoritis dibidang tertentu sering kali dengan berbagai persyaratan yang dibutuhkan dapat diraih secara otodidak. Kenyataan ini diperkuat peneliti beraliran Marxis yang menyimpulkan bahwa pengalaman kerja yang panjang yang dimiliki seseorang pada bidang pekerjaan tertentu (otomotif) dapat menghasilkan pengetahuan dan skill yang bernilai setara atau bahkan melebihi kemampuan yang dimiliki seorang sarjana lulusan perguruan tingggi (PT). 92
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Studi yang dilakukan di Amerika juga memperlihatkan bahwa tidak sedikit orang yang dapat meraih kesuksesan hidup tanpa latar belakang pendidikan formal yang memadai. Mereka yang sukses ini pada umumnya membangun kompetensi teknis profesionalnya melalui pengalaman panjang di dunia kerja yang ditekuninya, tidak jarang kompetensi pengetahuan teknis yang terbentuk lewat proses panjang seperti itu mampu mengalahkan mereka yang berlatar belakang akademik, atau memiliki disiplin pengetahuan tertentu dari PT, setidaknya penjelasan ini telah dikaji oleh Sanderson.69 Gambaran di atas juga berlaku pada bidang kegiatan usaha konveksi yang berlangsung dibeberapa daerah di Indonesia, salah satu diantaranya terdapat di Mlangi, Nogotirto, Yogyakarta. Di daerah ini banyak pengusaha konveksi sukses yang latar belakang kemunculannya diawali dengan keterlibatannya sebagai buruh di industri konveksi yang menjamur di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Deskripsi hasil penelitian yang ditemukan juga menunjukkan bahwa berbagai kompetensi pengetahuan dan kompetensi teknis yang diperlukan untuk membangun kegiatan konveksi pada umumnya dikuasai melalui partisipasi serius mereka pada industri konveksi dalam rentang waktu yang panjang, jauh sebelum mereka pada akhirnya dapat berdiri sebagai pengusaha konveksi, yakni diawali lebih dulu dengan menjalankan kegiatan di dunia yang sama sebagai buruh.70 Hubungan dunia pendidikan (PT) dengan dunia pekerjaan selalu menjadi tema yang menyedot perhatian banyak orang. Berbagai pendapat dan perspektif pun terus bermunculan seperti telah digambarkan di bagian awal tulisan ini. Menurut pendapat seorang informan, masalah kurikulum pendidikan tinggi (PT) sebenarnya tidak sepenuhnya didesain oleh pemerintah. Menurutnya hanya 10% bahan baku kurikulum yang berasal dari pemerintah, selebihnya banyak diisi muatan lokal, dalam 69 Stephen K. Sanderson, telj, Farid Wajidi, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995) 70 Muhamad Supraja, Bisnis dan Tarekat, (Yogyakarta: Media Wacana, 2011)
93
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
hal ini sesuai dengan visi, misi yang ingin dikembangkan PT itu di masyarakat. Muatan lokal dalam konteks ini biasanya lebih banyak ditujukan untuk mengakomodasi selera dan kepentingan pasar. Argumen ini muncul karena pada dasarnya aspek yang terkait dengan pasar kerja penting dipertimbangkan, meskipun kritik terhadap hal ini kata informan yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), selalu muncul. Market driven atau pertimbangan pasar dalam konteks ini bisa juga diterjemahkan sebagai organisasi perusahaan (ekonomi), dan organisasi publik seperti birokrasi pemerintah. Terkait dengan profesi edukatif, tidak mudah memang bagi seorang tenaga pengajar memiliki kemandirian dalam dunia kerjanya. Kemandirian selalu dapat dipahami dengan berbagai macam makna, ada yang menganggap kemandirian adalah suatu posisi dimana seorang profesional dapat secara diametral mengambil jarak yang tegas dengan berbagai macam korporasi ekonomi, juga negara. Ada juga yang menterjemahkan kemandirian sebagai posisi berani yang diambil seseorang dengan cara mengatur jarak dari sistem, organisasi, sehingga bilapun terjadi persentuhan, maka seseorang tetap dapat berdiri tegak dihadapan sistem tersebut. Jadi seseorang yang mandiri, apalagi dalam kaitannya dengan profesi pengajar, tidak selalu dipahami dengan suatu keadaan ketika seorang profesional, atau tenaga pengajar anti terhadap berbagai bentuk organisasi politik kekuasaan, ataupun perusahaan. Keberadaan kurikulum biasanya ditujukan untuk menyiapkan seorang sarjana memasuki pasar kerja. Meskipun idealnya PT menyiapkan orang untuk menjadi manusia merdeka, dan bukan untuk menyiapkan manusia memasuki pasar kerja. Sayangnya pusat studi yang hanya memikirkan perkembangan ilmu semata tanpa memikirkan kebutuhan pasar dalam kenyataannya tidak banyak diminati masyarakat. Demikian juga seminar-seminar yang diselenggarakan dengan tema idealistik dan jauh dari kebutuhan pasar terkadang sepi, 94
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
tak ada peminat. Pertanyaannya kemudian adalah mungkinkah membangun PT yang di satu sisi tetap mempertimbangkan idealitas ilmu, memerdekakan, sementara di sisi lain tidak melupakan pentingnya pertimbangan pasar. Pertanyaan semacam ini perlu karena pada awalnya ilmu berjarak dengan kebutuhan pasar, namun dalam perkembangannya ilmu tak bisa sepenuhnya mengelak dari tuntutan pasar. Pandangan lain yang idealistik muncul dari Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN), Tarbiyah yang mengemukakan bahwa PT mestinya menghasilkan kehidupan, bukan sebaliknya kematian. Tendensi demikian menurutnya mencuat karena PT selama ini selalu mengembangkan hal-hal yang standar, sehingga produk pun akhirnya juga serba standar. PT semestinya mengajarkan orang untuk kreatif bukan sebaliknya mengajari orang untuk berhenti, mati. Pendidikan juga mestinya mengajari orang untuk responsif terhadap keadaan, serta antisipatif atas masa depan, bukan justeru sebaliknya, mengajari orang untuk mati, tidak kreatif. PT mestinya mendorong orang agar prediktif terhadap masa depan. Jika kita melihat kebelakang nampak suatu kecenderungan kuat bahwa ketika orang masih kanakkanak banyak standar-standar yang membuatnya terpukau pada kehidupan, pada realitas yang dilihatnya, namun sejalan dengan pertumbuhannya menjadi manusiia dewasa, maka apa yang dulu pernah membuatnya terpukau sudah berkurang, bahkan tidak ada lagi. Untuk itu pendidikan mestinya mendorong orang agar antisipatif, prediktif. Pendidikan sebaiknya mengajarkan dasar-dasar kemampuan untuk belajar. Bagi seorang staf pengajar mengambil posisi kreatif tentu saja memerlukan pemikiran yang amat mendalam, karena tugas profesionalnya adalah mengajarkan pengetahuan yang didasarkan pada kurikulum yang berisi berbagai materi pengetahuan yang dianggap relevan dan actual untuk dibahas. Tidak jarang tafsir atas apa yang dianggap relevan dan aktual itu tidak lain sekedar pengulangan atas materi-materi pengetahuan 95
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
yang selalu dibicarakan di setiap tahun perkuliahan. Meskipun perkembangan teori dalam dunia akademik terus menerus terjadi sehingga mengakibatkan teori yang lama layak dipersoalkan, bahkan jika perlu ditanggalkan. Seorang tenaga profesional yang pasif pastinya akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan suatu kurikulum yang responsif dan juga prediktif, apalagi jika harus merubah sama sekali materi-materi perkuliahan yang telah di sampaikan secara rutin, dari tahun ke tahun. Meskipun disadari bahwa kurikulum bisa diisi berbagai macam materi pembelajaran yang dianggap penting. Pendidikan semestinya mengajari orang untuk belajar, bukan justeru mengkotak-kotakkan dan membeda-bedakan seorang peserta didik berdasarkan perbedaan letak suatu daerah, entah itu kota dan desa, struktur kelas sosial masyarakat (atas, menengah dan bawah), apalagi harus melaksanakan evaluasi nasional yang diikuti semua daerah dengan mengabaikan pertimbangan aspek-aspek lokalitas yang penting. Semestinya dunia pendidikan mengajari orang untuk belajar, indikatornya adalah need for achievement (panggilan untuk meraih prestasi) atau dalam istilah Freire, problem solving. Atau mendidik orang untuk menjadi problem solver, alias mampu memecahkan masalah yang dihadapinya dalam berbagai konteks sosial kehidupan. Pendidikan seharusnya memfasilitasi hubungan konstruktif antara guru dan murid, sehingga sulit dibayangkan bila seorang guru harus membimbing empat puluh siswa, atau sekolah menggunakan pendekatan guru bidang studi yang begitu terbatas lingkup tanggung jawab intelektual dan moralnya. Apalagi di era global seperti saat ini, dimana keanekaragaman merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa ditampik keberadaannya, untuk itu otonomi seharusnya disambut dan diwujudkan dengan baik. Jika otonomi sekolah bisa dijalankan, maka hal itu akan membawa konsekuensi pada otonomi kurikulum. Namun otonomi hanya mungkin berlangsung bila spiritnya didasarkan kepada semangat untuk memperkuat kapasitas, elemen lokalitas 96
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
ataupun keunikan yang dimiliki setiap individu atau pun daerah sebagai nilai lebih yang dimilikinya. Dunia pendidikan butuh pola, namun harus dicatat bahwa pola bukanlah substansi, ia harus diperlakukan sebagai sarana komunikasi. Semakin banyak komunikasi yang berlangsung dengan orang lain, maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang akan didapatkan. Sayangnya sekolah selalu memproduksi sesuatu yang massal, pada hal kecenderungan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa semakin unik sesuatu produk, maka nilainnya akan semakin tinggi. Jika sekolah orientasinya ingin menghasilkan suatu produk yang massal, maka sekolah itu justeru mengajari orang untuk mati. Karena kecenderungan belakangan memperlihatkan produk-produk yang mahal harganya adalah produk-produk yang desainnya unik, dan unik itu berarti tidak massal. Semakin ke depan maka perubahan menjadi semakin cepat, sehingga kalau kita hanya mengandalkan diri pada standarisasi kemampuan kerja, maka kita akan cepat tertinggal. Kondisi demikian tidak cocok lagi bagi masa depan. Pendidikan sebaiknya memperkaya pengalaman untuk menyelesaikan masalah. Dalam dunia kerja berlaku kecenderungan semakin tinggi pengalaman, maka akan semakin tinggi nilainya. Meskipun tidak bisa dipungkiri semakin tinggi pendidikan, maka semakin tinggi pula tingkat apresiasi masyarakat. PT semestinya mendorong orang untuk semakin banyak berkontribusi dalam pengembangan gagasan. Sebagaimana pengalaman menunjukkan bahwa puncak-puncak itu hanya diisi oleh beberapa gelintir orang yang unik, meskipun di masa hidupnya mereka yang unik itu dianggap gila, teralienasi, namun mereka adalah obor pencerah masyarakat. Mereka adalah Socrates, Plato, Galileo, dll. Oleh sebab itu, PT hendaknya bukan cuma difokuskan untuk mengejar ijazah atau formalitas. Sayangnya kecenderungan yang paling dominan adalah memang demikian, sehinggga tidak banyak ide-ide yang bisa dilahirkan 97
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
dari dunia PT. Sudah semestinya pendidikan melakukan proses percepatan dalam melakukan eksplorasi atas keunikankeunikan yang terdapat pada setiap orang. Meskipun di sisi lain dunia pendidikan selalu memperkenalkan pemolaan, namun sebaiknya pemolaan harus dilihat dari substansi yang dipolakan. Karena jika tidak demikian pemolaan justeru akan menghambat. Selain itu aspek penting yang juga harus dilihat pada PT adalah terjadinya pembentukan kebiasaan, tradisi akademik. Yang semua itu merupakan bagian dari pemolaan, namun perlu ditekankan juga bahwa pendidikan juga mengajarkan kepada kita bagaimana beradaptasi dengan lingkungan.
98
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
DAFTAR PUSTAKA
Alfred North Whitehead, The Aims of Educatio, (England: Williams and Norgate, 1956) Anthony Giddens, The Class Structure of The Advanced Societies, (London: Hutchinson & Co Ltd, 1978) Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, (New York: Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith, 1971) Carl R Rogers, Freedom To Learn, (United States: Charles E. Merrill Publishing Company, 1969) Celia Lury, terj, Hasti T. Champion, Budaya Konsumen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998) Craie Calhoun, Edward LiPuma, dan Moishe Postone, Bourdieu Critical Perspective, (Chicago: Blackwell Publisher, 1993) David C. Corten, terj, Agus Maulana, When Corporations Rule the World, (Jakarta: Professional Books, 1997) David Jary dan Julia Jary, Dictionary of Sociology, (Great Britain: HarperCollins Manufactoring Glasgow, 1991) Derek Robbins, The Work of Pierre Bourdieu, (Great Britain: Westview Press, 1991) E.F. Schumacher, terj, Supomo, Kecil ltu Indah, (Jakarta:LP3ES, 1987) Frank G. Goble, terj, Supratinya, Mazhab Ketiga, Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Kanisius, 1987) 99
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Fritjop Capra, terj, M. Thoyibi, Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan kebudayaan, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997) Ivan illich, terj, Woekirsari, Bebas dari Sekolah (Jakarta: Sinar Harapan, 1982) Ivan lllich, Tools for Conviviality, (New York: Harper & Row Publishers, 1973) Jean-Francois Lyotard, The Postmodem Condition: A Report on Knowledge, (Minneapolis: University of Minnesota, 1979) John M. Sheperd dan Harwin L. Voss, Social Problems, (New York: Macmillan, tanpa tahun terbit) K.G. Saiyidain, Education Culture And The Social Order, (Bombay: Jayasinghe Asia Publishing House, 1958) K.G. Saiyidain, terj. Soe1aeman, Perpicikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, (Bandung: CV. Diponogoro, 1981) Mark Abrahamson, Functionalism, (America: Prentice-Hall, 1978) Oscar Lewis, terj, Rochmulyati Hamzah, Kisah Lima Keluarga, Telaah-telaah Kasus OrangMeksiko dalam Budaya Kemiskinan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988) Omi Intan Naomi, Menggugat Pendidikan, Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998) Paulo Freire, Pendidikan Kaum tertindas, (Jakarta: LP3ES, 1985) Paulo Freire, terj, Alois A. Nugroho, Pendidikan Sebagai Praktek pembebasan, (Jakarta: Gramedia, 1984) Paulo Freire, terj, Robert R Barr, Pedagogy of Hope, (New York: The Continuum Publishing Company, 1992) Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, terj, Aminuddin Ram. Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 1989) Paul Selfe, Sociology a Level, (Great Britain: Macmillan Press, 1993) Peter Beilharz, Social Theory, A Guide to Central Thinkers, (Australia: Allen & Unwin, 1991) Philip Robinson, terj, Hasan Basari, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: CV Rajawalis, 1986) 100
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
Richard Tanter dan Kenneth Young, Politik Kelas Menengah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1993) Raymond Geuss, The Idea of A Critical Theory, Habermas and The Frankfurt Schoool, (Cambridge: Cambridge University Press, 1981) Robert L. Heilbroner, terj., Hartono Hadikusumo, Hakikat dan Logika Kapitalisme, (Jakarta:LP3ES, 1991) Samuel P. Huntington, terj Asril Marjohan, Gelombang Demokrasi Ketiga, (Jakarta: Grafiti, 1995) Stephen K. Sanderson, telj, Farid Wajidi, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995) Muhamad Supraja, Bisnis dan Tarekat, (Yogyakarta: Media Wacana, 2011) Media massa B. Heriy Priyono, “Sebuah Terobosan Teoritis”, Basis, NO. 0102, Tahun ke 49, Januari-Februari 2000 Reportase Kompas, Profesional Muda Jakarta Gaji Jutaan, Kerja Keras Kurang, pernah dimuat 11 Mei 1986, Esten, Morsal, ‘Link and Match’ Pendidikan Kesenian, Republika, 4 Juni 1997.
101
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
102
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
INDEKS
A
Abrahamson achievement a delicate balance a free-standing work of art agents alat produksi material a reflection of interest ascribed
B
barang mati Bebas dari Sekolah Berg Bernstein birokrasi birokratis Bourdieu bourgeois
C
Carl R. Rogers class previllege coercive social institution
20 31 49, 50 46 43 7 46 31
24 47 16 41, 51 24 26 35, 36, 38, 39, 41, 44, 46, 47, 50 40
49 37 43 103
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Collins common constrain on pedagogical innovation corruptio optimi pessima cultural deprivation culture of poverty
D
Derek Robbins discursive consciousness diskursus budaya kritis distorted communication Dr. Sicco Mansholt dunia akademik
E
eksperimentasi epistemologis end rationality Erich Fromm
F
Frankfurt School Freedom to Learn Freire Fritjop Capra fungsionalis Fungsionalis
G
Giddens Gintis Glasser Gouldner Gramsci 104
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
16 40 39 21 24 38
40 44 9 43 27 29, 91, 96
36 48 48
43 49 47, 48, 50, 88, 96 25 16, 17, 20, 21, 22, 87, 91 15
23, 24, 25, 44 51 17 9 6
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
H
habitus Heilbroner
I
ide-ide inersia ideologi Illich immanent critique inadequate index of class cleavage inferioritas kompleks institusi intelegensi iron cage
J
John Dewey
K
kapitalis Kapitalis kapitalisme kasta kekuatan kerja kelas menengah Kelas menengah kelas menengah baru kelas non produktif kelas pekerja kelas pemodal kelas produktif kelas sosial Kelas sosial
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
36 25
18 8, 26, 27, 43, 44, 74 37, 47, 48, 49, 50 48 39 39 38 5, 19, 20, 25, 28, 43, 47, 48 6, 24 48
17
5, 19, 22, 23, 25, 30, 37, 51 21 9, 22, 23, 24, 29, 72, 81 31 25 5, 9 7 9 7 7 7 7 3, 7, 9 10 105
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
klaim kompetensionalitas klerk kohesivitas kolektivitas Korporasi-korporasi
L
6 5 30 21, 25, 43 28
labour power Labov language as medium authority of institution language is omnipresent linguistik Link and Match lower-lower class lower middle class Lyotard
M
macinofaktur manufaktur Marx Marxian Marxis Masyarakat Ekonomi Eropa Middle Class mobilitas sosial modal manusiawi modal simbolik
N
Neo-Marxis
O
obyektivisme 106
22 41 39 39 30, 36, 39 1, 2 10 10 29, 30
23 23 22, 23, 26 7, 8, 9, 60 7, 35, 74, 92 27 37 21, 55, 63, 67, 78, 82, 83 9 9
35
36
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Oscar Lewis otonomi relatif Otonomi Relatif
P
Paul Elkins pedagogi Pedagogi pedagogic action Pierre Bourdieu post-feodal power relation practical consciousness previlese problem posing proletariat public sphere
R
rasionalisasi perilaku organisasi rasionalisasi teknis rasionalisasi tenaga kerja reproduksi REPRODUKSI Robinson
S
Samuel P. Huntington Sayidain Schmalhausen school-living age Schwartz self-affirming Selfe
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
38 10, 52 35, 50
27 46 45 46 35 23 46 46 31, 37 50, 74 7 45
24 23, 24 23 4, 10, 50, 52, 68, 91 15 35, 50, 51, 52
5 30 51, 42 21 37 46 21 107
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
self- fulfilling self-helf self-reflection self regulasi semi skilled sosiolinguistik sosiologi Marxis subyektivisme supervisor Szeleny
T
tataproduksi telematik the have the poor the royal road Tools for Conviviality transmutasi
U
unconscious motive Upper Class upper-lower class upper-middle class upperupper class
V
vokasional
W
Wallerstein Wardiman Djojo Negoro Weber 108
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
47 22 43 6 5 35 7 36 10 9
9 30 39 39 3 47 23
44 37 10 9 9
16, 17
9 1 22, 23
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Weberian white collar worker Whitehead working class world picture
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI
7, 8, 9 5 18, 19 37 43
109
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
110
DR. MUHAMAD SUPRAJA, SH, M.SI