SOSIALISASI KESETARAAN GENDER PADA PEGAWAI KANTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KABUPATEN BEKASI Elvira Suryani
Abstract The research is based on the Presidential Instruction No. 9 of 2000 about Gender Mainstreaming that obliges all elements to conduct gender equality in social environment, including in Bekasi, more precise regarding social welfare and empowerment of the Bekasi people. The theories used are from Berger and Luckman named primary and secondary socialization. To analyze this case, the researcher used qualitative research method with indepth interview and purposive sampling. Keywords: Discrimination, Socialization, Gender Analysis, Gender and Development.
Latar Belakang Desakan arus global melalui teknologi dan komunikasi tidak disangsikan lagi akan membawa serta mendorong berbagai perubahan dalam lapisan kehidupan masyarakat. Perubahan menjadi suatu konsekuensi dalam rangka menyongsong era global ini. Namun, perubahan yang manakah yang ingin disosialisasikan dalam kehidupan masyarakat, keluarga, ataupun individu. Semua elemen masyarakat harus memiliki kesiapan untuk menerima, menolak, menghargai, meninggalkan, bahkan mengadaptasi perubahan yang terjadi meskipun perubahan itu membawa berbagai konsekkuensi positif ataupun negatif dari segi karakteristik yang dimiliki.
2 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
Apalagi adanya tuntutan kemandirian dari masing-masing daerah yang menginginkan partisipatif daerah dalam membangun daerahnya sendiri. Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan legalitas yang syah dalam melaksanakan kemandirian tersebut. Partisipasi masyarakat baik laki-laki dan perempuan diperlukan dalam pembangunan. Hal ini tertuang dalam Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 berisi: “Penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian, dan pemerataan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”. (Rojali, 2000: 8) Sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah diantaranya dalam TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, maka perlu disosialisasikan di dalam masyarakat bahwa semua masyarakat dapat berpartisipasi baik laki-laki dan perempuan. Persamaan hak tanpa diskiriminasi (perbedaan) di perkuat lagi oleh hasil Konfrensi Perempuan sedunia keempat yang diselenggarakan di Beijing 1995. Isi Deklarasi Beijing tersebut adalah: “Pemberantasan kemiskinan yang ada pada kelangsungan pertumbuhan ekonomi pembangunan sosial, perlindungan lingkungan hidup dan keadilan sosial menuntut keterlibatan perempuan dalam pembangunan ekonomi dan sosial, persamaan kesempatan, serta partisipasi penuh yang setara dengan kaum laki-laki sebagai pelaku maupun pemanfaat hasil pembangunan berkelanjutan yang berwawasan rakyat”. (Syamsiah Ahmad, 1997: 4) Budaya patriarkhi yang berkembang dalam masyarakat belum juga mengakui bahwa setiap masyarakat yang berjenis laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban dan hak yang sama terhadap pembangunan daerahnya masing-masing. Budaya ini telah tertanam sejak kecil dalam lingkungan keluarga yang memiliki pengaruh besar terhadap tumbuh kembang, tindak tanduk serta prilaku individu yang tergabung dalam masyarakat. Hal inilah yang memunculkan ketimpangan gender atau ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu. Untuk mengemban amanat tersebut maka Presiden mengeluarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) dengan memberikan wewenang kepada Menteri
Elvira Suryani – Sosialisasi Kesetaraan Gender Pada Pegawai Kantor Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi
|3
Pemberdayaan Perempuan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk pelaksanaan Kebijakan Gender ini agar disampaikan kepada seluruh lapisan masyarakat, baik instansi swasta maupun pemerintah untuk melaksanakan kebijakan yang berkesetaraan gender. Dalam menanggapi Inpres No. 09 tahun 2000 ini, maka Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengeluarkan Surat Edaran dan Otonomi Daerah (Otda) RI No. 050/1232/SJ tanggal 26 Juni tentang pelaksanaan Pengarusutamaan Gender yang ditujukan kepada Propinsi, dan Kabupaten/Kota untuk mensosialisasikan dan melaksanakan empat fungsi manajemen: Perencanaan, Pelaksanaan, Pemantauan dan Evaluasi yang berkesetaraan gender. Hal ini dapat terlaksana dengan adanya sosialisasi terlebih dahulu. Kantor Kesejahteraan Sosial (Kesos) dan Pemberdayaan Masyarakat lebih banyak bergerak di bidang sosial kemasyarakat yang bersentuhan langsung dengan masyarakat yang notabenenya belum paham betul tentang gender. Sementara budaya patriarkhi sudah menggurita dalam kehidupan masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu. Hal inilah yang telah melahirkan pribadi-pribadi yang timpang gender. Penomorduaan, diskriminasi, pembagian tugas domestik dan publik bagi salah satu jenis kelamin, khususnya perempuan. Kerugian yang diderita kaum perempuan ini adalah banyaknya ketertinggalan di berbagai bidang baik di bidang pendidikan, kesehatan, politik, dan bidang lainnya.
Rumusan Masalah Sebagai pengemban kebijakan yang akan mensosialisasikan kebijakan tersebut kepada masyarakat diperlukan pemahaman para pengemban kebijakan terlebih dahulu sebelum mereka mensosialisasikannya kepada masyarakat luas. Di Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat yang ingin dilihat adalah bagaimana proses pelaksanaan sosialisasi kesetaraan gender serta hambatan apa saja yang ditemui dalam pelaksanaan sosialisasi kesetaraan gender di Kantor Kesos dan Pemberdayaan masyarakat.
4 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
Tinjauan Pustaka a. Pengertian Sosialisasi Dalam melaksanakan sosialisasi ada agen-agen yang berpengaruh dalam membentuk pribadi atau prilaku seseorang. Menurut Fuller dan Jabob mendefinisikan empat agen sosialisasi sebagai berikut; a. Keluarga b. Kelompok bermain c. Media Massa d. Sistem Pendidikan (Fuller dan Jakobs, 1973:168-208) Light menambahkan pengertian Sosialisasi sebagai berikut: “Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Dalam kaitan inilah para ahli berbicara mengenai bentuk-bentuk proses sosialisasi seperti sosialisasi setelah masa kanak-kanak (socialisation after childhood), pendidikan sepanjang hidup (life long education) atau pendidikan yang berkesinambungan (continuing education).” (Light el al.,1989 : 130) Dari pengertian sosialisasi diatas Berger dan Luckman yang dikutip oleh Sunarto menyimpulkan definisi sosialisasi di atas ke dalam dua bagian: a. Sosialisasi Primer (primary socialisation) yaitu: sosialisasi pertama yang di jalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat. b. Sosialisasi Sekunder (secondary socialisation) yaitu: proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasikan ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakat (Berger dan Luckman, 1967”130) Dari pengertian di atas yang membedakan dua pengertian sosialisasi primer dan sekuder dapat dikatakan juga bahwa awal pembentukan diri individu sewaktu kecil dimulai dari keluarga kemudian berlanjut ketika individu tersebut mulai berinteraksi dengan masyarakat. Masyarakat berinteraksi terdapat proses internalisasi sebagai pembentukan pemahaman keyakinan tentang apa yang harus dilakukan dan apa sebaiknya yang tidak dilakukannya.
Elvira Suryani – Sosialisasi Kesetaraan Gender Pada Pegawai Kantor Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi
|5
b. Gender dan Pembangunan Saras H. Longwe (1989) yang dikutip oleh Keppi Sukesi (2003) menjelaskan, “Berdasarkan pentingnya pembangunan bagi perempuan melalui upaya-upaya menangani isu gender sebagai kendala pemberdayaan, terutama dalam upaya pemberdayaan tersebut telah dikembangkan dengan menggunakan kriteria analisis tingkat kesejahteraan, akses (konsistensi pemikiran mengenai kemampuan individu untuk mengontrol lingkungan), partisipasi dan kontrol. Women in Development Approach (WID) diperkenalkan oleh United States Agency for International Development (USAID) (Fakih, 1996) dikutip oleh Uci Yulianti Afrida Budi R. (2003:204) dengan pemikiran dasar bahwa perempuan merupakan “sumber daya yang belum dimanfaatkan yang dapat memberikan sumbangan ekonom dalam pembangunan”. Dari pernyataan kebijakan WID tersebut dapat dilihat betapa pentingnya memberdayakan sumberdaya manusia secara adil baik antara laki-laki dan perempuan agar kebutuhan masing-masing dapat terakomodir dengan baik, tanpa adanya komunikasi yang jelas antara kedua belah pihak, maka ketidakadilan tersebut bisa saja terjadi karena tidak memahami kebutuhan masing-masing individu. Kebijakan WID, Gender dan Pembangunan sering dijadikan panduan bagi pelaksana kebijakan yang ingin mengkaji masalah gender dan pembangunan. Berbicara masalah pembangunan berwawasan kemitrasejajaran merupakan dua masalah yang bersifat multidimensional, multidispiliner, karena mengandung aspek-aspek hak asasi, pengembangan demokrasi pancasila, keadilan social, pertumbuhan ekonomi, perbedaan, stabilitas politik serta keterkaitan mendasar dengan permasalahan laki-laki dalam pembangunan skala global, dikenal tiga pergeseran interpretasi peningkatan peran perempuan (P2W) sebagai berikut (Tjokrowinoto, 1996) dikutip (ibid. hal. 206). 1. P2W sebagai perempuan dalam pembangunan: Perspektif P2W dalam konteks Womens Indonesia Development menfokuskan pada bagaimana mengintegrasikan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, tanpa banyak mempersoalkan sumber-sumber yang menyebabkan mengapa posisi perempuan dalam masyarakat bersifat inferior, sekunder dan dalam hubungan subordinasi terhadap laki-laki. Asumsinya struktur sosial yang ada dipandang sudah diberikan.
6 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
Indikator integrasi perempuan dalam pembangunan diukur dengan indikator TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan terhadap pendidikan, hak-hak politik kewarganegaraan dan sebagainya. 2. P2W sebagai perempuan dan Pembangunan: Menurut perspektif Women’s and Development yang dipelopori oleh kaum feminis Marxis ini, perempuan selalu menjadi pelaku penting dalam masyarakat sebagai posisi perempuan dalam arti status kedudukan dan perannya akan menjadi lebih baik bila struktur internasional menjadi lebih kecil. Asumsinya perempuan telah dan selalu menjadi bagian dari pembangunan nasional. 3. P2W sebagai gender dalam pembangunan: Menurut kacamata Gender and Development, kontruksi social yang membentuk persepsi & harapan serta mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan sering merupakan penyebab rendahnya kedudukan dan status perempuan, posisi inferior dan sekunder relatif terhadap laki-laki. Pembangunan berdimensi gender ditujukan untuk mengubah hubungan gender yang eksploitatitf atau merugikan hubungan yang seimbang, selaras dan serasi. c. Pengertian Gender Sejak sepuluh tahun terakhir kata gender telah memasuki perbendaharaan disetiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan social dan pembangunan dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, hampir semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi non pemerintah diperbincangkan masalah gender. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender tersebut? Dari pengamatan masih terjadi ketidakjelasan, kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender itu sendiri. Kata Gender dalam Bahasa Indonesia dipinjam dari Bahasa Inggris, kalau di lihat dalam kamus tidak secara jelas dibedakan kata seks dan gender. Untuk memperjelas perbedaan seks dan gender berikut ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Elvira Suryani – Sosialisasi Kesetaraan Gender Pada Pegawai Kantor Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi
|7
Tabel 1. Perbedaan Seks dan Gender No 1 2. 3. 4. 5.
Seks Tidak bisa berubah Tidak bisa dipertukarkan Berlaku sepanjang Masa Berlaku bai kelas dan warna kulit apa saja Ditentukan oleh Tuhan atau kodrat
Gender Bisa berubah Bisa dipertukarkan Bergantung budaya masing-masing Bergantung budaya masing-masing Berbeda antara satu kelas dengan kelas lainnya, bukan kodrat tapi buatan masyarakat
Sumber: Bahan Materi Pentaloka (Pengarusutamaan Gender bagi Perencaanan Sektor Tingkat Kabupaten/Kota, 2003)
Dalam memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin “merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu”. (Fakih, 1996: 6). Jenis kelamin merupakan kodrat dari tuhan yang tidak bisa dipertukarkan ataupun diganti, perempuan menghasilkan sel telur sedangkan laki-laki sperma. Untuk mengukur terjadi atau tidaknya ketimpangan gender BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2001) bekerja sama dengan CIDES mengemukakan bahwa diperlukan alat analisa gender sebagai berikut: a. Faktor akses: Perempuan dan laki-laki akses yang sama terhadap sumber-sumber daya pembangunan. b. Faktor Kontrol: memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya baik laki-laki dan perempuan. c. Faktor partisipasi: perempuan dan laki-laki sama-sama berpartisipasi dalam program-program pembangunan d. Faktor manfaat: Perempuan dan laki-laki harus sama-sama menikmati manfaat dari hasil pembangunan.
8 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
d. Kesetaraan Gender Pengertian secara harfiah kata setara disebut juga dengan seimbang, tidak berat sebelah dan tidak membeda-bedakan. Kalau dikatikan dengan gender berarti tidak melihat dari jenis kelamin yang bersifat biologis akan tetapi dilihat dari kemampuan dan kualitas dari seseorang. Menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Kesetaraan Gender adalah: “Kesamaan Kondisi dan status untuk memperoleh kesempatan dan menikmati hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam pembangunan, politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan hankamnas dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut”. (Men-PP, 2001:9) Dari pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa kesetaraan gender adalah laki-laki dan perempuan dapat memperoleh akses, control, partisipasi, manfaat yang sama dalam menwujudkan pembangunan. Penilaian dan penghargaan yang sama diberikan oleh masyarakat terhadapa persamaan dan perbedaan perempuan dan laki-laki dalam berbagai peran yang mereka jalankan.
Pembahasan A. Pelaksanaan Proses Sosialisasi Kesetaraan Gender di Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi 1. Sosialiasi Sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder merupakan sosialisasi yang dapat mempengaruhi pegawai Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi dalam menerapkan keadilan dan kesetaraan gender. Kebijakan-kebijakan yang disosialisasikan harus mengacu pada kesetaraan gender agar terciptanya kehidupan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. 1.1 Sosialisasi Primer (pengaruh keluarga) Sosialisasi kesetaraan gender di Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Bekasi dapat dilihat dari pemahamam para pegawai Kantor Kesos dan Pemberdayaan masyarakat terhadap gender itu sendiri sebagaimana yang telah diutarakan oleh Bapak Abdul Fatah, Kepala
Elvira Suryani – Sosialisasi Kesetaraan Gender Pada Pegawai Kantor Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi
|9
Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat bahwa sosialisasi Kebijakan yang berkesetaraan gender sudah dari dahulu dilakukan oleh Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi (wawancara, 16 Desember 2003). Sementara Kasie Bantuan Sosial dan Perlindungan Masyarakat Bapak Taryadi pada observasi awal mengatakan bahwa masih terdapat kerancuan dalam memahami gender itu sendiri (wawancara, 19 Desember 2003). Hasil wawancara yang menunjukkan perbedaan pandangan terhadap sosialisasi kesetaraan gender masih ada kemungkinan sosialisasi belum teraktualisasi terutama di dalam memahami pengertian kesetaraan gender itu sendiri. Untuk membuktikan terealisasinya sosialisasi di bidang pekerjaannya ada 4 faktor pengukur yang sudah dijelaskan pada tinjauan pustaka sebagai wujud terciptanya kesetaraan gender dengan melihat faktor akses, manfaat, partisipasi dan kontrol yang sama-sama diperoleh oleh pegawai Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat tanpa melihat jenis kelamin biologis. Kesamaan persepsi dalam memahami gender akan berpengaruh terhadap bidang kerja masing-masing pegawai dalam mengemban tugas untuk mensosialisasikan kesetaraan gender kepada masyarakat. Proses sosialisasi yang membentuk perilaku terutama dalam hal munculya kesetaraan gender di lingkungan Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat maupun dalam membuat program-program kebijakan berprespektif kesetaraan gender dapat dijelaskan berdasarkan hasil observasi maupun wawancara mendalam dengan delapan orang responden yang terdiri dari: Kepala sub Bagian Tata Usaha, Kasie Bantuan Perlindungan Sosial, Kasie Bina kesejahteraan Sosial, Korlap Pelaksana Rehabilitasi, Kasie Pelayanan Sosial, Staf Bantuan Sosial, Korlap Bantuan Sosial, dan Staf Tata Usaha. Berdasarkan hasil penelitian penulis di lapangan, delapan orang responden tersebut yang terdiri dari 4 orang Kasie dan dua orang staf biasa dapat mewakili jawaban yang diberikan kepada 30 responden. a. Pengaruh Perilaku Orang Tua yang Timpang Gender terhadap Anak Laki-laki dan Perempuan Indikator pertama yang perlu dilihat adalah sosialisasi primer bagaimana pengaruh orang tua terhadap anak laki-laki dan perempuan dalam menerapkan perilaku yang timpang gender atau perilaku yang
10 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
didukung oleh kultur masyarakat serta sosial yang ada di lingkungan responden. Dari hasil temuan penulis di lapangan tentang proses penyadaran kesetaraan gender dari keluarga responden Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi seperti yang di ungkapkan oleh Ibu Soidatun, Dra., berusia 46 tahun dengan pendidikan terakhir sarjana dan berkedudukan sebagai Koordinator Lapangan (Korlap) Rehabilitasi mengatakan bahwa proses penyadaran gender di keluarga sebelum responden berkeluarga belum memperolehnya dari orang tua. Jawaban responden sebagai berikut: “Proses penyadaran kesetaraan gender belum ada, karena keluarga saya tinggal di kampung. Pemikirannya masih tradisional, orang tua selalu bilang bahwa yang mengurus rumah tangga adalah tugas perempuan seperti: memasak, mencuci, dan bersih-bersih. Sedangkan kakak laki-laki saya disuruh pelihara ternak dan pakan ternaknya”. Kemudian beliau juga mengatakan pengistimewaan terhadap anak laki-laki terhadap hak masih ada. Terutama dalam hal pemilahan pekerjaan yang dianggap layak atau tidak sebagai laki-laki dan perempuan. Begitupun dalam hal memilih cita-cita. Hal serupa juga diutarakan oleh Ibu Uyum Sumiati yang bekerja sebagai Korlap Bantuan Sosial dan perlindungan Masyarakat sebagi berikut: “Proses kesetaraan gender belum pernah, keluarga terutama orang tua saya masih berfikiran paetriakhal atau zaman dulu yang masih memprioritaskan anak laki-laki dalam pendidikan dan pembaguan tugas dalam keluarga. Orang tua mengikuti bagaimana budaya masyarakat yang ada”. (hasil wawanacara 13 Maret 2004). Pernyataan dua responden di atas yakni Ibu Soidatun dan Ibu Uyum menunjukkan bahwa pola didikan orang tua masih memakai sistem partriarkhi atau adanya skala prioritas terhadap jenis kelamin tertentu. Pengetahuan orang tua dalam mendidik anak-anakpun masih rendah. Rata-rata tamatan Sekolah Dasar. Tempat tinggal mereka juga jauh dari jangkauan informasi untuk berfikir maju dan berkembang. Umumnya masyarakat yang tinggal di pedesaan lebih berfikiran sederhana dan mengikuti budaya yang sudah ada. Cara pandang dan berfikir dari kesederhanaan pemikiran orang tua telah ditularkan kepada anakanaknya. Kemudian Ibu Yanti, Ibu Widyanti serta Bapak Slamet, dua Kasie perempuan di Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat dan satu staf
Elvira Suryani – Sosialisasi Kesetaraan Gender Pada Pegawai Kantor Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi
| 11
ini juga mengungkapkan hal yang sama seperti Ibu Uyum dan Ibu Soidatun. Wawancara dengan Ibu Yanti: “Didikan orang tua zaman dulu masih bersifat tradisional begitu juga dengan orang tuas saya. Beliau berfikir sederhana, maklum tinggalnya jauh dari kota besar sehingga mereka tidak paham apa itu kesetaraan gender. Kemudian untuk masalah pendidikan, walaupun sudah bisa bersekolah semuanya, tetapi masalah pekerjaan masih ditentukan oleh orang tua mana yang lauyak untuk laki-laki dan mana yang layak untuk perempuan”. (Hasil wawancara: 13 Maret 2004) Sedangkan Ibu Widyanti mengatakan bahwa: “Penyadaran kesetaraan gender belum ada di keluarga saya, karena orang tua mendidik anak sesuai dengan budaya yang berlaku di masyarakat pada waktu itu. Kalau anak perempuan bermain dengan mainan anak laki-laki dilarang dibilang tidak baik. Perempuan tidak boleh banyak keluar rumah. Perempuan yang sering keluar rumah dianggap perempuan tidak benar. Pembagian kerja antara naka laki-laki dan perempuanpun juga berbeda”. (Hasil wawancara:13 Maret 2004)
Sosialisasi Primer atau penerapan perilaku oleh orang tua terhadap anak pada tahap pertama atau disebut juga dengan play stage menurut Mead sudah tertanam dalam diri responden dimana nilai-nilai agama contohnya yang dikenalkan orang tua terhadap responden. Hal ini terjadi pada keluarga Bapak Nurdin, staf Kasie Bantuan Sosial dan Perlindungan Masyarakat mengatakan bahwa jauh sebelum responden berkeluarga sudah diterapkan oleh orang tua. Pondasi dasar yang diberikan adalah pemahaman orang tua terhadap agama yang mengatakan anak perempuan dan laki-laki perlu memperoleh pendidikan yang sama. Anak-anak diberikan kebebasan memilih pekerjaan yang mereka sukai tanpa adanya dominasi orang tua. Hal ini pun juga ditularkan responden kepada keluarga sendiri dengan memberikan kebebasan terhadap istri untuk bekerja sebagai kepala TU sebuah yayasan swasta. Berikut kutipan hasil wawancaranya: “Kesetaraan gender perlu juga diterapkan dalam lingkup keluarga saya sendiri untuk mengurangi marginalisasi terhadap peran perempuan. Untuk itu kesetaraan gender sudah menjadi konsep
12 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
ideal bagi kehidupan saya karena sesuai dengan akidah Islam yang saya pahami”. (Hasil wawancara, 12 Februari 2004). Para responden yang memperoleh sosialisasi kesetaraan gender pada Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat menyadari bahwa perlunya penerapan kesetaraan gender tersebut karena menurut pernyataan mereka anak laki-laki maupun perempuan mempunyai tugas dan kewajiban yang sama namun ada peran yang berbeda. Hal ini menunjukkan masih adanya arus patriarkhi yang melekat kuat pada keluarga para responden, meski ada sebagian yang sudah menyadari betapa pentinganya peran kedua jenis kelamin. Jadi secara keseluruhan dari pendapat responden dapat disimpulkan bahwa pola perilaku yang dibawa oleh para responden bukan pola penerapan sosialisasi primer yang berkesetaraan gender akan tetapi, pola yang terbawa adalah pola didikan patriarkhi. b. Adanya Perlakukan Istimewa Orang Tua terhadap Anak Laki-laki Perilaku orang tua terhadap anak laki-laki ataupun perempuan dalam memberikan kesempatan terdapat perbedaan dimana masyarakat menganggap bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga harus memiliki akses yang lebih besar dalam memperoleh informasi, pekerjaan ataupun bidang lainnya sehingga setiap orang tua mendahulukan anak laki-laki dalam memperoleh sesuatu, seperti pendidikan. Hal ini pun sudah dikatakan responden seperti kasus Ibu Uyum, Ibu Soidatun dan Ibu Widyanti bahwa dalam keluarga anak laki-laki lebih diutamakan dalam memperoleh pendidikan, kemudian pekerjaan pun ditentukan untuk laki-laki dan perempuan. Akses keluar yang diberikan orang tua terhadap anak tertentu menjadikan ketimpangan dalam pengembangan diri. Fakih (1996:8) mengatakan bahwa gender dibentuk dan disosialisasikan bahkan dijadikan kultur dalam masyarakat sehingga peran publik yang dilakoni laki-laki dan peran domestik yang dilakoni oleh perempuan dijadikan kodrat. Hal inilah yang menjadikan perempuan tertinggal di berbagai sektor informasi dan ilmu pengetahuan untuk berpartisipasi dalam membangun peradababan.
Elvira Suryani – Sosialisasi Kesetaraan Gender Pada Pegawai Kantor Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi
| 13
1.2 Sosialisasi Sekunder (pengaruh lingkungan) Sosialisasi sekunder merupakan proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasikan ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakatnya. Peranan masyarakat lebih besar mempengaruhi individu. Agen-agen sosialisasi yang berperan di sini adalah: pendidikan, teman, media massa, dan lingkungan di mana individu menetap. a. Pendidikan yang bersifat formal maupun informal Latar belakang pendidikan formal pegawai Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi rata-rata lulusan sarjana. Pendidikan yang diberikan dalam menerapkan sosialisasi gender berupa seminar-seminar tentang gender. Kemudian pengiriman pegawai Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat untuk mengikuti semiloka Pengarusutamaan Gender (PUG) yang diselenggarakan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Selain modal dasar pendidikan yang dimiliki oleh para pegawai, pelatihan-pelatihan tentang gender atau pendidikan informal juga diberikan oleh pimpinan khusus untuk para pegawainya. Namun yang lebih banyak mengikuti pelatihan atau seminar tersebut adalah pegawai di Seksi Bantuan dan Perlindungan Masyarakat, karena sebagian responden mengatakan bahwa gender itu sendiri hanya wajib dipahami oleh Seksi Bantuan Sosial dan Perlindungan Masyarakat. Pemilahan ini sudah memicu timpang gender tidak sesuai dengan konsep PUG yang telah dicanangkan oleh pemerintah. b. Pengaruh Rekan Kerja Rekan kerja terkadang juga ikut menjadi pemicu atau memberi pengaruh dalam penerapan nilai-nilai gender dalam diri seseorang. Kebiasaan yang terjadi pada Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat ketika pembagian kerja adanya pemilahan-pemilahan yang cocok dan tidak cocok untuk jenis kelamin tertentu. Ketika staf laki-laki diberikan tugas di dalam kantor untuk mengurus administrasi seperti pengurusan absensi, pembuatan surat-menyurat banyak yang tidak sabar serta melimpahkannya kepada perempuan dan mereka lebih suka ke lapangan mengantar surat, menghubungi relasi dinas. Begitu juga sebaliknya jika perempuan yang memiliki jabatan memperoleh tugas untuk aktif di luar tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Dukungan untuk berlaku adil sangat diperlukan sekali untuk ditularkan kepada rekan kerja yang
14 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
berbeda jenis kelamin agar mereka memiliki kepercayaan diri dalam menjalankan tugasnya sing-masing. c. Pengaruh Media Massa Pemahaman gender dan kesetaraan gender diperoleh dari Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi, tempat di mana responden bekerja terutama dikeluarkannya Kebijakan Pemerintah Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender terutama Kasie Bantuan dan Perlindungan Masyarakat diberikan pelatihan-pelatihan tentang gender. Responden yang mengikuti pelatihan tersebut diantaranya: Bapak Nurdin, Ibu Uyum, dan Bapak Taryadi. Selain responden tersebut responden lainnya mendapatkan pemahaman gender dari semiloka, seminar serta pelatihan yang diadakan oleh Kantor Kesos sendiri, bahkan Ibu yanti menambahkan bahwa beliau sering mengamati perkembangan media. Sedangkan Bapak Nurdin pemahaman beliau diperoleh dari pemahaman agama. Para responden lebih banyak menyerap kesetaraan gender, isu hangat yang lagi beredar dari media massa baik elektronik (televisi, radio, video, film dll), maupun media cetak (surat kabar, majalah). Perilaku seseorang akan cepat dirubah dari media dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Apalagi teknologi semakin canggih sangat cepat untuk mempengaruhi manusia. Menurut Light Keller dan Calhoun (dalam Sunarto, 1993: 32), mengemukakan bahwa: “Media massa merupakan bentuk komunikasi yang menjangkau sejumlah orang. Media massa diidentifikasikan sebagai suatu agen sosialisasi yang berpengaruh pula terhadap perilaku khalayaknya”. Jadi, pendapat dari Berger dan Luckman menunjukkan bahwa sosialisasi sekunder tentang kesetaraan gender berlaku di Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi bahwa pengaruh agen sosialisasi lingkungan: baik pekerjaan, teman kerja serta media. Kesadaran muncul dalam menerapkan gender ini penulis melihat lebih kepada pemaksaan sebuah kebijakan yang menekan para pegawai untuk bekerja sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan. Mengutip pendapat Bapak Nurdin yang mengatakan ”Kesadaran itu muncul karena adanya penekanan pada kebijakan yang mengharuskan pegawai untuk megikuti aturan tersebut”. Kalau dikaitkan dengan sosialisasi, maka sosialisasi yang berlaku di sini bukan sosialisasi yang bersifat partisipatoris namun sosialisasi represi (repressive socialization) karena sosialisasi ini
Elvira Suryani – Sosialisasi Kesetaraan Gender Pada Pegawai Kantor Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi
| 15
menggunakan penekanan dan penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Hal ini terkadang bersifat komunikasi satu arah (dikutip oleh Kamanto Sunarto:1993, hal 37)
2. Kebijakan Kesetaraan Gender Kesetaraan gender ini dapat dilihat pada empat indikator: akses, kontrol, partisipasi dan manfaat. Sejauh ini permasalahan yang dihadapi oleh Kantor Kesos dan Pembedayaan Masyarakat adalah adanya pertentangan pemahaman gender antara Kepala Kantor Kesos dengan bawahannya. Maka perlu diukur dengan menggunakan empat indikator tersebut di atas.
2.1 Faktor Akses Berdasarkan hasil wawancara serta pengamatan di lapangan responden mengatakan bahwa mereka telah mendapatkan akses yang sama dalam memperoleh kesempatan untuk promosi jabatan, sebagaimana yang telah diungkapkan Ibu Soidatun, Ibu Widyanti, Ibu Uyum memiliki pendapat yang sama bahwa jika ada pegawai yang disiplin dan kerjanya bagus, pegawai tersebut memiliki kualitas dan persyaratan promosi jabatan maka pimpinan akan mempromosikan pegawai tersebut tanpa diskriminasi. Hal ini dirasakan oleh Ibu Widyanti sebagai Kasie Rehabilitasi Sosial. Akses yang sudah dilaksanakan tidak hanya berupa kesempatan yang sama dalam promosi jabatan, tapi juga dalam memperoleh akses pekerjaan yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. Seperti yang dikemukakan oleh bapak yang sudah memiliki putri yang berusia 5 tahun yaitu Bapak Nurdin mengataakan bahwa: “Antara laki-laki dan perempuan tidak dibedakan dalam bertugas kecuali piket banjir hanya laki-laki saja. Kemudian pemberian tugas sudah di atur sesuai dengan acuan SK. Bupati”.
2.2 Faktor Partisipasi Demikian pula dalam hal partisipasi di dalam pembuatan kebijakan atau aturan pelaksanaan program dan kegiatan. Meskipun nelibatkan kedua belah pihak, tetapi yang lebih mendominasi pada saat
16 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
pembuatan kebijakan adalah laki-laki, perempuan kurang terlibat meski mereka duduk bersama dalam ruang rapat program. Hasil yang diperoleh tentunya aturan-aturan yang lebih banyak memberikan keuntungan bagi jenis kelamin tertentu. Meskipun kebanyakan responden mengatakan peraturan itu tampak sangat netral gender. Seperti ikut piket banjir perempuan akan dianggap tabu. Kemudian pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat Kabupaten Bekasi yang banyak mengikuti adalah perempuan, laki-laki hanya sebagian kecil saja. Kondisi seperti ini dapat disimpulkan bahwa tujuan dari kesetaraan belum menyentuh gender itu sendiri.
2.3 Faktor Manfaat Manfaat yang diperoleh pegawai Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi dapat dilihat dari hasil kebijakan yang mereka jalankan. Apakah memberikan dampak positif atau negatif. Di Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat secara umum mengatakan bahwa mereka telah memperoleh jabatan yang sama sebagaimana dikutip dari jawaban Ibu Widyanti (hasil wawancara 12 Maret 2004). Posisi yang sama dalam jabatan yang diperoleh oleh pegawai harus pula dirasakan manfaat dalam memposisikan diri pegawai sesuai dengan jabatan dan wewenangnya masing-masing. Tapi penulis melihat bahwa dalam pelaksanaan tugas pengambilan keputusan lebih dipegang oleh laki-laki. Meskipun perempuan mempunyai jabatan sebagai Kasie. Kesadaran perempuan dalam memposisikan diri sesuai dengan jabatan yang diembannya belum terlihat.
2.4 Faktor Kontrol Faktor kontrol harus diberikan sama terhadap laki-laki dan perempuan. Di kantor Kesos sebagaimana yang dikemukakan responden mengatakan bahwa sistem hukuman dan penghargaan (reward and punishment) sama-sama diberikan kepada dua jenis kelamin tanpa membedakan antara keduanya. Bagi pegawai yang tidak masuk, tidak disiplin dengan aturan akan dimutasikan ke tempat lain serta jabatannya diturunkan kejabatan staf biasa. Bagi pegawai yang rajin juga memperoleh penghargaan promosi jabatan sesuai dengan keahlian yang mereka miliki.
Elvira Suryani – Sosialisasi Kesetaraan Gender Pada Pegawai Kantor Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi
| 17
Analisa penulis dalam kaitannya dengan kontrol (kekuasaan) terhadap peraturan yang ada perempuan lebih tidak berdaya. Semua dikuasai oleh pria, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, sampai pada tahap evaluasi. Hal ini terjadi karena pemahaman masyarakat pada umumnya mengakui bahwa memang lakilaki lebih berkuasa, kuat, rasional sehingga cocok menjadi pemimpin. Akibatnya perempuan jadi termarginalkan (terpinggirkan) bukan saja di tempat kerja tetapi juga di rumah tangga, masyarakat atau kultur, bahkan negara (Fakih: 1997). Hasil pengamatan penulis di lapangan selama melakukan wawancara langsung dengan responden perempuan. Sikap dan perilaku responden perempuan masih terbawa dalam pemikiran patriarkhi. Keberanian dari responden untuk terlibat pada kegiatan yang berhubungan dengan orang banyak atau masyarakat masih sebatas administrasi bukan sifatnya sebagai pencetus ide atau pemberi kebijakan yang bisa berdampak kepada masyarakat terutama kebijakan yang berpihak pada kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan.
B. Hambatan-Hambatan Pelaksanaan Sosialisasi Kesetaraan Gender di Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Mengatasi Hambatan Dalam melaksanakan sosialisasi kesetaraaan gender di Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi para responden mengatakan bahwa hambatan-hambatan yang ditemui dalam sosialisasi kesetaraan gender adalah sebagian besar pegawai Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi belum memperoleh pelatihan tentang gender secara merata hanya pegawai tertentu saja sehingga tidak adanya satu konsep kesepahaman dalam menjalankan program-program yang berkaitan dengan bidang masing-masing seksi. Hal ini akan menimbulkan ketimpangan gender. Dalam pelaksanaan sosialisasi kesetaraan gender pun belum sepenuhnya mendapat dukungan dari semua pihak yang ada. Dengan tidak adanya dukungan tentunga akan berpengaruh pada pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan gender tersebut. Peserta yang datang pun belum sesuai dengan sasaran yang diundang.
18 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
Selain itu perilaku dasar perempuan masih bersifat pasif dalam mengemukakan pendapat untuk berpartisipasi mengemukakan ide-ide atau aspirasi mereka dalam proses pembuatan kebijakan. Budaya patriarkhi masih melekat dan butuh waktu untuk mengikisnya. Upaya yang dilakukan dalam Mengatasi Hambatan yang ditemui di Lapangan dapat di lakukan dengan cara sebagai berikut: a.
Memberikan pelatihan kepada seluruh pegawai Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi, bukan hanya kepada sebagian pegawai saja contohnya kepada seksi yang berkaitan dengan kesetaraan gender, tapi seluruh seksi yang ada di kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi.
b.
Melakukan sosialisasi secara terus menerus kepada masyarakat agara munculnya pemahaman terhadap gender itu sendiri.
c.
Pelatihan-pelatihan tentang gender perlu dilakukan secara berkala dengan adanya sistem evaluasi dari pelatihan yang diadakan tersebut untuk merubah pola pikir masyarakat secara perlahan.
d.
Perlunya dibentuk forum komunikasi tentang gender antara pemerintah supaya dapat membuka cakrawala berfikir masyarakat. Hal ini tidak hanya mencerdaskan para aparat pemerintah akan tetapi juga masyarakat.
e.
Mendirikan pusat informasi gender di daerah bagi masyarakat yang ingin memahami gender sehingga terjalinnya komunikasi dua arah antar Pegawai Kantor Kesos dengan Masyarakat luas secara baik agar semua program dilaksanakan mendapat dukungan dari masyarakat.
Elvira Suryani – Sosialisasi Kesetaraan Gender Pada Pegawai Kantor Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi
| 19
Kesimpulan. Berdasarkan temuan penelitian penulis melalui wawancara mendalam (depth interview) serta pengamatan penulis di lapangan dapat disimpulkan bahwa sosialisasi kesetaraan gender di Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi sudah tersosialisasi dan sudah terlaksana akan tetapi baru dalam bentuk kuantitas yang bersifat formal belum sampai kepada penerapan yang bersifat kualitas. Pemahaman yang sampai kepada sifat sensitif gender belum terjadi seutuhnya pada para pegawainya maupun pimpinan di Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi. Kemudian Sosialisasi kesetaraan gender tersebut masih dipengaruhi oleh taat aturan yang memaksa bukan kepada kesadaran pentingnya komposisi seimbang dan berkesinambungan antara kedua jenis kelamin tanpa adanya sikap superior dari salah satu jenis kelamin baik laki-laki ataupun perempuan.
Rekomendasi Perlu ditanamkan pada seluruh pegawai Kantor Kesos dan Pemberdayaan Msyarakat Kabupaten Bekasi memahami gender bukan sebagai tugas pokok dan fungsi saja melainkan kesadaran penuh sebagai manusia yang memiliki hal dan kewajiban yang sama serta menumbuhkan sifat sensitive gender dan kebutuhan akan gender dalam berpartisipasi dalam memajukan bangsa pada umumnya dan Kabupaten Bekasi pada khususnya. Dukungan semua pihak sangat diperlukan tidak hanya pemerintah akan tetapi masyarakat juga diperlukan untuk merombak pola pikir budaya patriarkhi ke arah masyarakat yang berkeadilan dan berkesetaraan gender. Sebaiknya sosialisasi yang sudah dilaksanakanan di Kantor Kesos dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi dapat dijadikan ujung tombak keberhasilan instansi-instansi lainnya dan juga organisasi masyarakat yang berkembang di masyarakat.
20 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
Daftar Pustaka Ahmad, Syamsiah, 1997. Landasan Aksi dan Deklarasi Beijing, Persamaan Pembangunan dan Permdamaian. Jakarta: FKLSM, APIK Cleves, Mosse, Julia. 1996. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Fakih, Mansour. 1987. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Koentjaraningrat. 1980. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum Kwiteit, Mary, Grisez dan Kweit, Robert, W. 1986. Konsep Metodologi Analisa Publik. Jakarta: Bina Aksara Moleong, Lexy J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Press. Sugiarti.dkk. 2003. Pembangunan dalam Perspektif Gender. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press. Gender Alaysis Pathway, Alat Analisis Gender untuk Perencanaan Pembangunan. 2001. Jakarta: BAPPENAS. Instruksi Presiden. 2000. Nomor 9. Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan dan Panduan Pelaksanaannya. Peraturan Pemerintah. 2000. Nomor 25. Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Republik Indonesia Pengarusutamaan Gender: Suatu Strategi dalam Pembangunan. Kantor Negara Pemberdayaan Perempuan RI. 2001 Jakarta: CIDA