Sore yang indah bergerak memasuki malam. Langit yang bertabur warna keemasan mulai menghitam dengan taburan bintang-bintang. Aku masih duduk di kursi ruang tunggu. Pandanganku meluas keluar. Menyapu setiap sudut bandara yang penuh sesak dipenuhi para penumpang dengan berbagai macam tujuan.
Pesawat-pesawat
dari
berbagai
maskapai
penerbangan berjejer di luar dengan rapi. Dan salah satunya sudah stand by paling dekat dengan ruang tunggu, tempat di mana aku berada sekarang. Aku merasa tegang sekali menjalani detik-detik kepulanganku ke tanah air. Kembali ke Indonesia sama artinya dengan kembali bertemu dengan orang-orang yang sudah merindukanku. Mama dan juga Levana, tunanganku. “Sesampainya kamu di Jakarta, kita langsung siap-siap ke rumah Levana ya.” Aku teringat dengan kalimat Mama beberapa waktu lalu ketika mengetahui kepulanganku ke Indonesia. “Untuk apa, Ma?” tanyaku bingung. “Ya
untuk
urusan
pernikahan
kamu
lah,
memangnya untuk apa lagi?”
25
Aku menghembuskan napas panjang. Dadaku terasa
sesak.
Lidahku
mengelu
dan
semua
pembendaharaan kata tercekat ditenggorokan. Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya pada Mama bahwa semua yang ia tahu tentang perasaanku pada Levana selama ini sudah berubah. Berubah sejak aku bertemu dengan seorang gadis di sini… di kota kecil ini. Brisbane… Pikiranku melayang pada kejadian beberapa waktu lalu. Di awal bulan November lalu, disebuah jalan setapak taman kota Brisbane yang dipenuhi dengan bunga-bunga Jacaranda berwarna ungu, aku bertemu dengannya dengan secara tidak sengaja. *** Diana… Sore itu langit nampak jernih tanpa sekumpulan awan yang bergumul. Hanya terlihat sesekali burungburung laut yang hilir mudik di lintasan langit yang semakin lama kian cantik dengan warna keemasannya. Aku yang saat itu tengah duduk-duduk dikursi kecil di tepian Brisbane river tersentak melihat seorang perempuan tengah melintasi jalan setapak di depanku. Perempuan itu mengurangi kecepatan langkahnya. Ia menatapku dengan dahi yang berkerut dan bibir yang 26
bergerak sedikit-sedikit sampai akhirnya mengulas senyuman tipis. “Tyo?” ucap gadis itu. Aku
berdiri
menyambut
gadis
itu
yang
mendekatiku. “Nggak nyangka ya, kita bisa ketemu di sini,” ujar Diana setelah mengambil posisi duduk di sampingku. “Iya. Nggak nyangka banget. Sudah berapa lama ya, kita nggak ketemu?” “Tujuh tahun.” *** Tujuh Tahun… Waktu yang tidak mudah kulalui tanpa dirinya. Ditujuh tahun yang lalu itu aku kelimpungan saat tahu Diana akan meneruskan study-nya di Australia. Aku mencintai Diana sejak helaan napas pertamaku saat melihatnya di ruang kesenian sekolah tempo hari. Diana yang saat SMA pandai memainkan piano dan kerap mendapatkan penghargaan mewakili sekolah telah berhasil menyedot semua konsentrasiku. Aku dibuat mabuk olehnya. Ia tidak hanya sekadar cantik secara fisik. Namun kepribadiannya juga berbanding lurus dengan semua itu. 27
Aku jatuh cinta pada Diana. Jatuh cinta yang untuk pertama kalinya, meskipun saat itu aku sadar bahwa tak mungkin aku bisa memilikinya. Diana sudah jadi milik Reno, kakak kelas yang menjabat sebagai ketua ekskul taekwondo. Namun meskipun aku tahu hal itu, cintaku tak sedikit pun menciut. Aku tetap mencintai Diana, meskipun dalam diam. *** Diana mengajakku berkunjung ke apartemen tempat di mana ia tinggal. Selepas menyelesaikan kuliah di University Of Queensland St. Lucia, Diana menetap dan bekerja di kedutaan Indonesia yang ada di Brisbane. Diana bilang ia jatuh cinta pada kedamaian kota Brisbane. Kota kecil yang membuat dirinya banyak berubah. Meskipun ia tidak dapat mendustai hatinya sendiri, kalau ia juga kerap dikepung perasaan rindu ingin pulang dan menetap bekerja di Indonesia. “Apakabarnya Reno, Di?” tanyaku pada Diana yang baru balik dari dapur. Ia membawa dua buah cangkir dalam nampan berisi kopi. “Reno? Aku udah nggak sama dia. Setahun pertama aku di Australia, kita langsung putus,” ujar Diana pelan sambil menyodorkan cangkir beralas padaku. 28
“Sorry, aku nggak tahu.” Dia mengambil posisi duduk bersisian denganku di sofa merah ruang tamunya. Diana mengulas senyuman lembut dan berujar, “Nggak apa-apa, kok.” Diana
mengangkat
cangkir
dan
menyesap
minumannya pelan-pelan. Aku mengamati gerakannya diam-diam. Seluruh dadaku dijalari perasaan yang indah. Hatiku berdesir-desir saat Diana menangkap gelagatku dan menegurku. “Kok bengong aja? Nggak diminum kopinya? Nanti keburu dingin loh.” Aku tersentak dan gugup. Buru-buru kuhirup cairan kopi yang dibuat Diana. “Kalau kamu sendiri, siapa pacar kamu sekarang? atau jangan-jangan kamu sudah menikah?” tanya Diana. Aku nyaris tersedak. “Aku belum menikah.” “Kenapa? Belum menemukan pasangan yang pas?” “Bukan itu…” “Tapi?” sambung Diana. Aku
bingung
harus
memulai
menjelaskan
bagaimana pada Diana kalau sebenarnya aku sudah
29
bertunangan dengan Levana. Namun perlukah Diana tahu semua itu? “Tapi kenapa, Yo?” tanya Diana lagi. “Tapi
aku…masih
menunggu
seseorang,”
ungkapku jujur. “Siapa?” tanya Diana. Aku tergugu dalam kebingungan yang kuciptakan sendiri.
Diana
memandangiku
menunggu
jawaban
meluncur dari mulutku. Aku membalas memandanginya. Kecantikan Diana tidak berubah, malah cenderung bertambah. Rambutnya yang hitam panjang. Sepasang mata yang bulat kecokelatan, m enegaskan parasnya yang khas Indonesia. Diana melempar senyum padaku. “Kok kamu malah melamun?” Bagaimana ini, Tuhan? Apakah aku harus jujur pada Diana tentang perasaanku selama ini padanya? Diana mengikat sorot mataku. Berusaha mencari jawaban di sana. Sikap Diana membuatku dirundung kikuk yang berlebihan. Sejenak kulempar pandanganku keluar jendela geser apartemen Diana. Menepis gundah yang menyerang tiba-tiba.
30