Mester Sitepu dan Susilawati
JURNAL PENELITIAN MIPA Volume 2, Nomor 1 Juni 2008
SOLUSI VECTOR POTENSIAL HERTZ MENGGUNAKAN PENDEKATAN BAYANGAN KOMPLEK Mester Sitepu dan Susilawati Staf Pengajar Departemen Fisika FMIPA USU
Abstract Sommerfeld Integral in Hertz vctor potensial was solved by using complex image approximation. Solutions are deriveded for x and z components of Hertz vector potensial generated by a dipole that is lied on the surface of a medium. The appropriateness of the solution is observed based on the requirements of the validity of the complex image approximation and also application of the solution in homogeneous halfspace medium dan multilayer medium. Results obtained from the solution are also compared with the results obtaied from the solution published previously (Wait, 1966). Results obtained show that Hertz vector potensial can be solved by complex image approximation. This is indikated by the appropriateness of the results obtained for variety of common parameters of the medium found in the field either for homogeneous halfspace medium or multilayer medium. Comparison of the results obtained with the results obtained by using solutions derived by Wait (1966) also support that using the complex image approximation in solving Hertz vector potensial is satisfactory. Keywords: Hertz vector potential, sommerfeld integral, complex image, transmitter, reflection coefficient
PENDAHULUAN Tujuan menggunakan teori bayangan komplek ialah untuk memungkinkan mendapatkan kuat medan listrik dan seterusnya beda potensial yang dideteksi penerima dengan jalan yang relatif sederhana. Begitu komponen x dan z vektor potensial Hertz sudah diperoleh (mis., dengan metode bayangan atau metode lain), jalan untuk mendapatkan komponen x, y dan z kuat medan listrik adalah sama untuk semua metode. Dalam hal ini dengan menggunakan metode bayangan dan menggunakan pendekatan medan kuasistatik, komponen x dan z vektor potensial Hertz dapat dijabarkan. Hasil numerik persamaan yang diperoleh akan ditampilkan dalam situasi yang relatif luas. Pembahasan ini dimaksudkan untuk memperjelas bahwa hasil yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan kuasistatik atas teori bayangan komplek adalah memuaskan. Karena perbedaan antara teori bayangan komplek dan penyelesaian yang lain hanya dalam penyelesaian integral Sommerfeld, maka sudah selayaknya dibandinghkan hasil vektor potensial Hertz yang diperoleh dengan menggunakan teori bayangan komplek dengan hasil yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan yang sudah dipublikasikan sbelumnya (mis., Wait, 1966). Karena keterbatasan fleksibilitas pendekatan yang sudah dipublikasikan sbelumnya (mis., tidak ada perubahan dalam arah z) maka pembahasan hanya mencakup medium lapis mendatar. Sebelum membandingkan hasil yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan bayangan komplek 8
dengan yang diperoleh dengan menggunakan solusi yang sudah dipublikasikan sbelumnya (mis., Wait, 1966), kelayakan menggunakan pendekatan medan kuasistatik dan metode bayangan terlebih dahulu dianalisa hasil numeriknya. METODE PENELITIAN Penelitian ini melibatkan penjabaran matematik vektor potensial Hertz dalam arah x dan z berdasarkan metode bayangan komplek. Untuk pengujian kelayakan solusi yang diperoleh maka mula-mula dibuat program komputer solusi ∏ x dan
∏ z dengan metode bayangan komplek dalam bahasa Mathematica versi 5.2. Hasil numerik ini dianalisa kebenarannya secara logika. Jika hasil numerik secara logika tidak benar maka direvisi solusi ∏ x dan ∏ z . Setelah diperoleh hasil numeriknya secara logika benar maka dibuat program komputer untuk solusi ∏ x dan ∏ z yang diberikan oleh Wait (1966). Kemudian hasil numerik metode bayangan komplek dibandingkan dengan hasil numerik yang diperoleh dari metode oleh Wait (1966). Jika terdapat perbedaan yang menyolok maka lakukan revisi atas solusi ∏ x dan ∏ z dengan memperhatikan parameter yang terlibat dan syarat batas yang berlaku dalam masing-masing program komputer. Revisi terhadap program komputer dilakukan sampai diperoleh persesuaian hasil. Diagram alir penelitian diberikan sebagai berikut:
Mester Sitepu dan Susilawati
JURNAL PENELITIAN MIPA Volume 2, Nomor 1 Juni 2008
Proses A B C
D E F
G H Kondisi Q1 Q2
Keterangan Persiapan penjabaran secara matematik vektor potensial Hertz. Penjabaran solusi matematik ∏ x dan ∏ z dengan menggunakan metode bayangan komplek. Membuat program komputer dan mendapatkan hasil numerik ∏ x dan ∏ z dengan menggunakan metode bayangan komplek. Pengujian hasil numerik solusi matematik ∏ x dan ∏ z . Perbaikan solusi matematik dan program komputer, dengan memperhatikan parameter dan syarat batas. Membuat program komputer dan mendapatkan hasil numerik ∏ x dan ∏ z dengan menggunakan metode yang sudah dipublikasikan (mis. Wait, 1966). Membandingkan hasil yang diperoleh dari metode bayangan komplek dengan hasil yang diperoleh dengan metode oleh Wait (1966). Memperbaiki solusi matematik dan program komputer dengan memperhatikan parameter yang terlibat dan syarat batas. Keterangan Apakah hasil numerik program komputer layak/sesuai? Apakah hasil numerik kedua program komputer sesuai?
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Solusi Vector Potensial Hertz Teknik teori bayangan komplek dalam medium bumi yang konduktivitas listrikya berhingga ialah menggantikan medium bumi yang konduktivitas listrikya berhingga dengan medium penghantar listrik sempurna yang berada pada kedalaman komplek d/2, dengan d=2/γ=(1-j)δ. Perhatikan bahwa d adalah jarak pisah antara sumber dan bayangan dan δ adalah tebal kulit (electrical skin depth) medium paruhruang bahagian bawah (mis., bumi). Secara analitik, teori bayangan komplek sama dengan menggantikan koefisien pantulan R(λ)=-(u1-λ)/(u1+λ) dalam persamaan integral eksak dengan -exp(-λd). Metode penggantian ini mula-mula digunakan oleh Wait (1969). Menggunakan metode ini, penggunaan teori bayangan komplek terbatas pada jarak kuasistatik (mis., u0≈λ). Untuk memperluas jangkauan penggunaan teori bayangan komplek Bannister (1978) menggantikan koefisien pantulan R(λ)=-(u1u0)/(u1+u0) dengan -exp(-u0d). Dengan melakukan ini dia mengatakan bahwa penggunaan teori bayangan komplek berlaku untuk seluruh jangkauan. Perhatikan bahwa dalam kedua kasus ini, suku yang
lebih tinggi yaitu penguaruh banyak bayangan di lokasi yang sama diabaikan. Dengan mengatur koefisien pantulan dan menggantikannya dengan exp(-u0d) komponen x dan z vektor potensial Hertz dapat diberikan sebagai:
⎛ e −γ 0 R e −γ 0 Ri ⎞ ∏x = C⎜ − ⎟ Ri ⎠ ⎝ R ∏z = C
(1)
x ⎧ ze −γ 0 R ( z + d )e −γ 0 Ri ⎫ − ⎨ ⎬ Ri ρ2 ⎩ R ⎭
dengan ρ = x 2 + y 2 , jarak antara sumber
Ri = ( z + d ) + ρ 2
(2)
R = z2 + ρ2 dan
adalah penerima, dan
2
adalah jarak antara bayangan dan penerima. Perhatikan bahwa z adalah jarak vertikal antara pemancar dan sumber. Dari persamaan (1) kelihatan bahwa komponen x vektor potensial Hertz adalah selisih antara potensial Hertz yang dihasilkan oleh sumber dan bayangan. Dari persamaan (1) dan persamaan (2), jelas bahwa menggunakan pendekatan medan kuasistatik terhadap metode bayangan vektor potensial Hertz adalah perbedaan antara vektor potensial Hertz yang ditimbulkan oleh sumber dan bayangan.
9
Mester Sitepu dan Susilawati
JURNAL PENELITIAN MIPA Volume 2, Nomor 1 Juni 2008
Jika medium paruhruang terdiri atas beberapa lapis, kedalaman bayangan dari permukaan dapat diperoleh dengan mengalikan kedalaman bayangan dalam medium homogen dengan faktor β1 dan menyulihkan tebal kulit dengan δ1 (Bannister, 1978). Menyulihkan parameter ini ke dalam persamaan sebelumnya, bentuk persamaan baru untuk kedalaman bayangan dari permukaan adalah: d = (1 − j )δ 1 β 1 (3) dengan δ1 adalah tebal kulit medium pertama dan β1 merupakan karakteristik dari medium yang berlapis. Dalam hal ini, nilai δ1 dan β1 dapat diperoleh secara rekursif dengan menggunakan (Thomson dan Weaver, 1975). Di lapangan, pemancar sering melintasi perpotongan antara bidang datar dan bidang miring. Jika hal ini ditemui, menggunakan metode bayangan, pemancar harus dianggap terdiri atas dua segment, dan masing-masing segmen berfungsi sebagai sumber. Perlu diperhatikan bahwa jika pemancar melintasi suatu perpotongan pola bayangan akan berubah, dan di pihak lain jika penerima melintasi suatu perpotongan pola perambatan akan berubah. Karena kedua perubahan ini menghasilkan perubahan kuat medan listrik total yang dideteksi penerima, harus diperhatikan secara jeli keberadaan bayangan agar hasilnya sesuai dengan yang seharusnya. 2.
Kelayakan Menggunakan Metode Bayangan Komplek Pendekatan Medan Kuasistatik Persyaratan untuk pendekatan medan kuasistatik adalah bahwa jarak pengukuran harus jauh lebih kecil dari panjang gelombang di udara (mis., R0<<λ0, dengan R0 =
Untuk mempermudah analisis maka grafik tidak ditampilkan sebagai skin depth (δ) dan jarak antara penerima dan bayangan (Ri) sebagai fungsi hambatan jenis listrik dan frekuensi secara terpisah, tapi sebagai gantinya grafik ditampilkan sebagai nilai banding (δ/Ri). Grafik dalam bentuk ini lebih mudah dianalisis karena kita dapat melihat nilai banding δ/Ri secara langsung dengan nilai yang selalu lebih kecil dari satu. Grafik δ/Ri sebagai fungsi hambatan jenis listrik dan frekuensi diberikan pada Gambar 1. Kedalaman Bayangan Dalam Medium Homogen Medium dianggap sebagai paruhruang yang dimensinya tidak behingga baik horizontal maupun vertikal ke bawah. Grafik 3D kedalaman bayangan (mis., d = (1 − j )δ ) sebagai fungsi frekuensi dan hambatan jenis listrik diberikan pada Gambar 2.
Gambar 1. Grafik δ/Ri sebagai Fungsi Frekuensi dan Daya Hantar Listrik yang Menunjukkan Bahwa untuk Rentang Nilai yang Dipilih Nilai δ/Ri selalu Lebih Kecil dari SATU
x 2 + y 2 + z 2 dan
λ 0 = 3x108 f ), dan tebal kulit (skin depth) medium yang diamati harus lebih kecil dari jarak antara penerima dan bayangan (mis., δ
δ=
2
μ 0ωσ 1
d = (1 − j )δ
,
Ri =
x 2 + y 2 + (z + d ) 2 ,
dan j = −1 ). Karena panjang gelombang di udara (λ0) adalah nilai banding antara kecepatan cahaya di udara (mis., c=3x108 m/s) dengan frekuensi osilasi (f ~ 0.1-300 Hz), dan jarak pengukuran maksimum (mis., jarak maksimum antara pemancar dan penerima adalah 6L, dengan L adalah panjang dipole) dalam metode IP biasanya lebih kecil dari 2000 meter, jarak pengukuran selalu lebih kecil dari panjang gelombang di udara. Berdasarkan kenyataan ini, maka syarat pertama untuk pendekatan medan kuasistatik telah dipenuhi. 10
Gambar 2. Perubahan Kedalaman Bayangan Akibat Perubahan Frekuensi dan Daya Hantar Listrik
Kedalaman Bayangan Dalam Medium Berlapis Banyaknya lapis yang dipilih adalah 3 (tiga) yaitu: lapisan bahagian atas tanah (topsoil; overburden), batuan inang (hostrock) dan batuan dasar (bedrock). Banyak lapissan ini dianggap layak untuk mewakili kebanyakan situasi geologi lingkungan pertambangan. Jangkauan yang dipilih
Mester Sitepu dan Susilawati
JURNAL PENELITIAN MIPA Volume 2, Nomor 1 Juni 2008
untuk tebal dan hambatan jenis listrik masingmasing lapis diberikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Tebal dan Hambatan Jenis Listrik Masing-Masing Lapis untuk Suatu Medium Tiga Lapis Lapis # Tebal Resistivity Laspisan permukaan 0.1 m 0.1 Ωm - 1 (topsoil; overburden) 100 m KΩm Lapisan batuan inang 10 m 100 Ωm (hostrock) 1000 m 10 KΩm Lapisan batuan dasar ∞ 10 KΩm (bedrock) 10 MΩm Grafik kedalaman bayangan sebagai fungsi β1 dan frekuensi (f), dengan membuat hambatan jenis listrik lapisan pertama tetap (mis., ρ1=100 Ωm), diberikan pada Gambar 3. Grafik β1 sebagai fungsi hambatan jenis listrik lapisan pertama (ρ1) dan hambatan jenis listrik lapisan kedua (ρ2), dan membuat tetap nilai hambatan jenis listrik lapisan ketiga (ρ3), ketebalan lapisan pertama (h1), ketebalan lapisan kedua (h2) dan frekuensi (f), diberikan pada Gambar 4.
Gambar 5. Perubahan β1 untuk Perubahan ρ2 dan ρ3, dan Nilai Tetap untuk f=3 Hz, ρ1=10 Ωm, h1=10 meter dan h2=100 meter
Gambar 6. Perubahan β1 untuk perubahan h1 dan h2, dan nilai tetap untuk ρ1=10 Ωm, ρ2=1 KΩm, ρ3=1 MΩm dan f=3 Hz
Gambar 3. Perubahan Kedalaman Bayangan Akibat Perubahan Frekuensi dan β1
Plot β1 sebagai fungsi hambatan jenis listrik lapisan kedua (ρ2) dan hambatan jenis listrik lapisan ketiga (ρ3), dengan membuat tetap nilai hambatan jenis listrik lapisan pertama (ρ1), ketebalan lapisan pertama (h1), ketebalan lapisan kedua (h2) dan frekuensi (f), diberikan pada Gambar 5. Grafik β1 sebagai fungsi ketebalan lapisan pertama (h1) dan ketebalan lapisan kedua (h2), dengan membuat tetap nilai hambatan jenis listrik lapisan pertama (ρ1), hambatan jenis listrik lapisan kedua (ρ2), hambatan jenis listrik lapisan ketiga (ρ3) dan frekuensi (f), ditunjukkan pada Gambar 6. 3.
Gambar 4. Perubahan β1 sebagai Akibat Perubahan ρ1 dan ρ2, dengan Mempertahankan Nilai f=3 Hz, ρ3=1 MΩm, h1=10 meter dan h2=100 meter
Perbandingan dengan Hasil dari Solusi Wait (1966) Untuk perbandingan dengan hasil yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan yang dijabarkan oleh Wait (1966) medium dianggap sebagai suatu paruhruang homogen yang dimensinya tidak berhinga dalam arah horizontal dan vertikal ke bawah. Jarak lintasan yang dipilih adalah 15L, dengan L adalah panjang dipole. Dalam praktek, jarak lintasan yang dipilih terlalu panjang; namun untuk tujuan pengamatan secara teori pilihan ini 11
Mester Sitepu dan Susilawati
JURNAL PENELITIAN MIPA Volume 2, Nomor 1 Juni 2008
seharusnya memadai. Kecuali disebutkan, untuk sederhananya, panjang dipole yang dipilih adalah 1 meter dan kuat arus listrik yang diinjeksikan ke medium adalah 1 ampere. Perhatikan bahwa karena nilai-nilanya komplek, komponen x dan z vektor potensial Hertz diberikan dalam nilai mutlak. Ketergantungan terhadap Frekuensi Jangkauan frekuensi yang dipilih adalah 0.1 Hz sampai dengan 1000 Hz. Untuk mengamati pengaruh panjang dipole, pada x=5L panjang dipole diubah sebagai 1, 10 dan 100 meter. Perhatikan bahwa ketika mengubah pengaruh satu parameter, nilai parameter yang lain dibuat tetap. Plot Πx sebagai fungsi frekuensi untuk y=0 dan y=5L diberikan dalam Gambar 7., dan plot Πz sebagai fungsi frekuensi untuk y=0 dan y=5L ditunjukkan dalam Gambar 8. Dalam Gambar 7. dan Gambar 8., plot Πx yang diperoleh dengan menggunakan metode bayangan sesuai dengan nilai yang diperoleh dengan menggunakan metode yang dijabarkan oleh Wait (1966). Untuk membandingkan nilai Πz yang diperoleh dengan metode bayangan dengan nilai yang diperoleh dengan metode Wait maka nilai yang diperoleh dengan metode bayangan komplek harus dikalibrasi dengan faktor
2γ 02 fσ 1
Gambar 7. Perbandingan Πx yang Diperoleh dengan Menggunakan Metode Wait (1966) {garis padat} dengan yang Diperoleh dengan Menggunakan Metode Bayangan (Garis Titik-Titik) untuk Tiga Panjang Dipole, pada ρ=100 Ωm, x=5L, y=0, dan z=0 (atas) dan pada ρ=100 Ωm, x=5L, y=5L dan z=0 (bawah)
. Untuk memenuhi
syarat batas, faktor kalibrasi yang sama juga diberikan oleh Bannister (1984) dan Ward (1967). Perbedaan utama antara kedua kalibrasi ini adalah faktor
1
γ1
, yang akan digunakan dalam bab berikut.
Plot Πz diperoleh dengan menggunakan metode bayangan juga sesuai dengan hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode yang dijabarkan oleh Wait (1966).
Gambar 8. Perbandingan Πz yang Diperoleh dengan Menggunakan Metode Wait (1966) {garis padat} dengan yang Diperoleh dengan Menggunakan Metode Bayangan (Garis Titik-Titik) untuk Tiga Panjang Dipole, pada ρ=100 Ωm, x=5L, y=0, dan z=0 (atas) dan pada ρ=100 Ωm, x=5L, y=5L dan z=0 (bawah)
Ketergantungan terhadap Daya Hantar Listrik Rentang daya hantar listrik yang dipilih adalah 0.0001 S/m sampai dengan 1.0 S/m, sama dengan yang dibuat dalam bahagian sebelumnya. Untuk mengamati pengaruh panjang dipole, pada x=5L panjang dipole diubah sebagai 1, 10 dan 100 meter. Plot Πx sebagai fungsi daya hantar listrik untuk y=0 dan y=5L diberikan dalam Gambar 9., dan plot Πz sebagai fungsi daya hantar listrik untuk y=0 dan y=5L ditunjukkan dalam Gambar 10.
12
Mester Sitepu dan Susilawati
JURNAL PENELITIAN MIPA Volume 2, Nomor 1 Juni 2008
Gambar 9. Perbandingan Πx yang Diperoleh dengan Menggunakan Metode Wait (1966) {Garis Padat} dengan yang Diperoleh dengan Menggunakan Metode Bayangan (Garis Titik-Titik) untuk Tga Panjang Dipole, pada f=3 Hz, x=5L, y=0, dan z=0 (atas) dan pada f=3 Hz, x=5L, y=5L dan z=0 (bawah)
Gambar 10. Perbandingan Πz yang Diperoleh dengan Menggunakan Metode Wait (1966) {Garis Padat} dengan yang Diperoleh dengan Menggunakan Metode Bayangan (Garis Titik-Titik) untuk Tiga Panjang Dipole, pada f=3 Hz, x=5L, y=0, dan z=0 (Atas) dan pada f=3 Hz, x=5L, y=5L dan z=0 (bawah)
Ketergantungan Terhadap Jarak Lintasan Jarak lintasan yang dipilih adalah 15L, dimulai dari 1L, dengan L adalah panjang dipole. Dalam praktek, jarak lintasan maksimum sebesar 15L kelihatannya terlalu panjang. Namun untuk pengamatan secara teori, pilihan ini seharusnya memadai. Dalam hal ini, ada tiga parameter yang diubah yaitu panjang dipole, jarak y dan jarak z. Perhatikan bahwa semua jarak diukur dalam hal panjang dipole. Panjang dipole diubah untuk 1, 10 dan 100 meter. Plot Πx dan Πz sebagai fungsi jarak lintasan untuk perubahan panjang dipole diberikan dalam Gambar 11. Dalam praktek, jarak y yang dipilih jarang melampaui 5L. Karenanya, jarak y dipilih sebagai 2L, 4L dan 6L. Plot Πx dan Πz sebagai fungsi jarak lintasan untuk perubahan jarak y ditunjukkan dalam Gambar 12. Mengikuti saran yang diberikan oleh Fox dkk. (1980), perpindahan minimum yang dipilih untuk arah z adalah 1L. Perubahan perpindahan z dipilih sebagai 1L, 3L dan 5L. Dalam praktek, memilih 5L sebagai jarak maximum z kelihatannya terlalu besar.
Gambar 11. Perbandingan ΠX Dan ΠZ yang Diperoleh dengan Menggunakan Metode Wait (1966) {Garis Padat} dengan yang Diperoleh dengan Menggunakan Metode Bayangan (Garis Titik-Titik) Untuk Tiga Panjang Dipole, pada ρ=100 Ωm, f=3 Hz, y=0, dan z=0
13
Mester Sitepu dan Susilawati
JURNAL PENELITIAN MIPA Volume 2, Nomor 1 Juni 2008
daya hantar listrik medium bahagian bawah dan frekuensi osilasi.
Gambar 12. Perbandingan ΠX dan ΠZ yang Diperoleh dengan Menggunakan Metode Wait (1966) {Garis Padat} dengan yang Diperoleh dengan Menggunakan Metode Bayangan (Garis Titik-Titik) untuk Tiga Jarak y, pada ρ=100 Ωm, f=3 Hz, L=100 m, dan z=0
Sama dengan alasan yang diberikan sebelumnya, pilihan ini dimaksudkan untuk pengamatan secara teori. Plot Πx dan Πz sebagai fungsi jarak lintasan untuk perubahan jarak z diberikan dalam Gambar 13. Perhatikan bahwa, dalam hal ini jarak y yang dipilih bukan nol tapi y=5L, jarak y yang sering digunakan dalam praktek. Dalam rentang parameter bumi yang sering ditemui di lapangan, hasil yang diperoleh dengan pendekatan kuasistatik menunjukkan bahwa jarak pengukuran selalu jauh lebih kecil dari panjang gelombang udara (R0<<λ0). Juga kelihatan bahwa tebal kulit selalu lebih kecil dari jarak antara bayangan dan penerima (δ
14
Gambar 13. Perubahan ΠX dan ΠZ yang Diperoleh dengan Menggunakan Metode Bayangan untuk Tiga Jarak z, pada ρ=100 Ωm, f=3 Hz, L=100 m dan y=5L.
Mengandaikan nilai variabel yang lain tetap, dan nilai-nilainya dibuat sama dengan yang diberikan ketika membuat grafik, untuk perubahan ketebalan lapisan, kelihatan bahwa makin tabal lapisan nilai β1 menjadi makin besar. Secara fisis, makin tabal lapisan maka makin besar kontribusinya terhadap hambatan jenis listrik semu. Karenanya, kedalaman bayangan berubah mendekati kedalaman bayangan pada suatu medium yang homogen dengan daya hantar listrik medium yang tebalnya sedang diubah. Untuk rentang hambatan jenis listrik dan ketebalan lapisan, kelihatan bahwa untuk suatu medium berlapis pengaruh bayangan dapat signifikan. Perhatikan bahwa, nilai β1 berubah dari satu sampai dengan beberapa ratus. Secara teori kedalaman bayangan minimum sama dengan kedalaman bayangan yang diperoleh jika medium adalah homogen paruhruang dengan karakteristik listrik lapisan pertama (mis., untuk suatu medium homogen nilai β1 sama dengan satu). Karenanya rentang β1 yang diperoleh sangat sesuai. Untuk rentang tebal dan hambatan jenis listrik medium berlapis, dengan mengubah tebal nilai maksimum, β1 yang diperoleh sekitar 10 kali lebih besar dari nilai β1 yang diperoleh dengan mengubah hambatan jenis listrik. Informasi ini memastikan bahwa nilai β1
Mester Sitepu dan Susilawati
JURNAL PENELITIAN MIPA Volume 2, Nomor 1 Juni 2008
lebih peka terhadap perubahan tebal dari pada perubahan hambatan jenis listrik. Hasil ini juga memastikan bahwa dengan menggunakan metode bayangan, suatu medium berlapis dapat diperlakukan sama dengan medium homogen. Dari ketergantungan vektor potensial Hertz terhadap frekuensi dan daya hantar listrik, kelihatan bahwa komponen x lebih peka terhadap perubahan frekuensi dibandingkan dengan komponen z. Berbedaa dengan hasil ini, ketergantungan vektor potensial Hertz terhadap daya hantar listrik, komponen z lebih peka terhadap perubahan daya hantar listrik dibandingkan dengan komponen x. Fakta yang menarik dari hasil ini adalah bahwa komponen x vektor potensial Hertz lebih peka terhadap perubahan frekuensi dari pada perubahan daya hantar listrik, dan di pihak lain komponen z vektor potensial Hertz memiliki kepekaan yang sama terhadap perubahan daya hantar listrik dan perubahan frekuensi. Dalam hal perubahan kedalaman bayangan, pengaruh perubahan frekuensi dan perubahan daya hantar listrik adalah sama. Karenanya, kejadian di atas pasti dipengaruhi oleh kenyataan bahwa γ 0 tidak bergantung pada daya hantar listrik medium bahagian bawah dan tapi berbanding lurus dengan frekuensi. Plot vektor potensial Hertz sebagai fungsi frekuensi dan daya hantar listrik menunjukkan bahwa kedua komponen memiliki kepekaan yang sama terhadap perubahan panjang dipole. Plot vektor potensial Hertz sebagai fungsi jarak lintasan menunjukkan bahwa vektor potensial Hertz menjadi lebih tinggi untuk panjang dipoles yang lebih besar, tapi nilainya menjadi berkurang untuk pertambahan jarak y dan z. Hasil ini bersesuaian dengan teori. Bersesuaian dengan hasil yang diharapkan, vektor potensial Hertz berkurang untuk pertambahan jarak lintasan. Perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode bayangan dengan hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode yang dijabarkan oleh Wait (1966) menunjukkan bahwa metode bayangan layak digunakan untuk menjabarkan komponen x dan z vektor potensial Hertz. Berdasarkan dapat digunakannya metode bayangan terhadap situasi yang melibatkan jarak z, metode bayangan kelihatannya lebih baik dibandingkan dengan metode yang dijabarkan oleh Wait (1966). Pernyataan ini dikuatkan oleh fakta bahwa, selain dapat digunakan untuk perubahan z, hasil yang diperoleh dengan menggunakan solusi eksak yang diberikan oleh Wait (1966) sesuai dengan hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode bayangan. Dalam hal Πz, untuk membuat
hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode bayangan dan hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode yang dijabarkan oleh Wait (1966) berada pada besaran yang sama, maka hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode bayangan harus dikalibrasi. Faktor kalibrasi yang diperoleh mirip dengan kalibrasi yang diberikan oleh Bannister (1984) dan Ward (1967). Perhatikan bahwa komponen z vektor potensial Hertz yang diberikan oleh Wait (1966) berupa solusi pendekatan. Karena hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode bayangan sesuai dengan hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode yang dijabarkan oleh Wait (1966), kita yakin bahwa metode bayangan layak digunakan untuk tujuan dimaksud. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil-hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa menggunakan pendekatan medan kuasistatik dalam metode bayangan, dan menggunakannya untuk mendapatkan pendekatan solusi komponen x dan z vektor potensial Hertz hasil yang diperoleh cukup memuaskan. Hasil yang diperoleh juga menunjukkan bahwa untuk variasi parameter medium yang umum ditemukan di lapangan baik untuk medium paruhruang homogen maupun medium berlapis sangat sesuai. Perbandingan hasil yang diperoleh dengan hasil yang didapat dari solusi yang diberikan oleh Wait (1966) juga mendukung bahwa penggunaan pendekatan bayangan komplek untuk menyelesaikan vektor potensial Hertz adalah sangat memuaskan. DAFTAR PUSTAKA Bannister, P.R., 1978, Extension of Quasi Static Range Finitely Conducting Earth Image Theory Techniques to Other Ranges, IEEE Trans. on Antenna and Propagation, v. 26(3), pp. 507-508. Bannister, P.R., 1979, Summary of the Image Theory Expressions for the Quasi Static Fields of Antennas At or Above the Earth's Surface, Proceedings of the IEEE, v. 67(7), pp. 10011008. Bannister, P.R., 1984, Extension of Finitely Conducting Earth Image Theory Results to Any Range, NUSC Technical Report 6885.
15
Mester Sitepu dan Susilawati
JURNAL PENELITIAN MIPA Volume 2, Nomor 1 Juni 2008
Thomson, D.J. dan Weaver, J.T., 1975, The Complex Image Approximation for Induction in a Multilayered Earth, Journal of Geophysical Research, v. 80(1), pp. 123-129. Wait, J.R., 1961, The Electromagnetic Fields of a Horizontal Dipole in the Presence of a Conducting Half Space, Canadian J. of Physics, v. 39, pp. 1017-1028. Wait, J.R., 1966, Electromagnetic Fields of a Dipole Over an Anisotropic Half Space, Canadian J. of Physics, v. 44, pp. 2387-2401. Wait, J.R., 1969, Image Theory of Quasi Static Magnetic Dipole Over a Dissipative Half Space, Electr. Lett., v. 5, pp. 281-282.
16
Wait, J.R., 1982, Geoelectromagnetism, Academic Press, New York, USA. Ward, S.H., 1967, Part A: Electromagnetic Theory for Geophysical Applications, in Mining Geophysics - Theory, v. II, Society of Exploration Geophysics, Tulsa, Oklahoma, pp. 10-196. Weaver, J.T., 1971, Image Theory for an Arbitrary Quasi Static Field in the Presence of a Conducting Half Space, Radio Science, v. 6(6), pp. 647-653.