Solusi Sengketa Tanah di Era Reformasi Politik dan Desentralisasi Indonesia1 Minako Sakai (The University of New South Wales) Abstract This paper will evaluate the impact of some early years of political reforms, democratisation and regional autonomy on agrarian matters. During the New Order period, land resources were appropriated without consultation with local communities and land disputes have emerged to the political surface in many regions of Indonesia. The data I present here derive from South Sumatra, one of the hottest areas of Indonesia for disputed land. It will particularly focus on two key issues of agrarian matters, the position of the hak ulayat and solutions of land disputes.
Pengantar Pada masa pemerintahan Orde Baru (1966– 1998), sengketa tanah, protes terbuka, dan aksi unjuk rasa sangat dibatasi. Umumnya unit militer setempat menekan gerakan protes yang berhubungan dengan konflik tanah pada komunitas lokal. Lengsernya Suharto pada bulan Mei 1998 merupakan awal bagi gerakan masyarakat adat untuk menuntut kembali hak adat termasuk hak ulayat. Demonstrasi dalam 1
Konsep naskah ini dipresentasikan dalam panel ‘Conflicts surrounding the Devolution of Power in Political Economy.’, dalam Simposium Internasioinal Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2, Kampus Universitas Andalas, Padang, 18–21 Juli 2001. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan dari Walhi Palembang dan LBH Palembang untuk memberikan informasi tentang sengketa tanah di Sumatera Selatan. Penelitian ini dibiayai oleh dana penelitian istimewa (Special Research Grant 2000/2001) dari The University of New South Wales at the Australian Defence Force Academy. Saya juga menerima masukan yang berguna dari George Quinn dan Yunita Winarto.
40
bidang pertanian dan insiden terkait telah dilaporkan oleh berbagai media massa lokal dan nasional (Lucas dan Warren 2000:220–221). Media massa juga telah menjadi lebih bebas dalam menyebarluaskan berita.2 2
Berapa contoh tentang gerakan masyarakat untuk menuntuk hak ulayat mencakup insiden yang dikabarkan sebagai berikut: · petani mulai menggarap padang golf Cimacan (22 Juli 1998), Jawa (Bachriadi dan Lucas 2001); · petani menempati kebun coklat dan tanah kosong yang dimiliki perusahaan milik Tutut, PT Citra Lamtorogung Persada di Lampung’ (3 Agustus 1998); · petani unjuk rasa di Medan, Bandung dan Denpasar (24 September 1998); · petani menyerang dan membakar properti seorang tuan tanah di Riau (7 Desember 1998); · petani membuka saluran irigasi untuk memperoleh lebih banyak air di Aceh (8 Desember 1998); · petani menghancurkan panen PT Perkebunan Nusantara II Kebun Batangkuis di Medan (29 Desember 1998); dan · petani menduduki peternakan Suharto di Tapos, dan menuntut pencabutan hak pemakaian tanah untuk pertanian (HGU) yang diberikan kepada PT Rejo Sari Bumi (30 Maret 2000).
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
Peta 1 Lokasi penelitian: Sumatra Selatan
Pola sengketa tanah umumnya tidak terjadi di antara sesama kelas petani, tetapi di antara para petani dan perusahaan yang dimiliki oleh investor dan pemerintah. Kebanyakan kasus sengketa tanah pada saat ini tidak diselesaikan di pengadilan, tetapi melalui negosiasi di antara perusahaan dan para warga yang menuntut dengan penengah pemerintah daerah. Oleh karena itu, peranan pemerintah daerah, serta konteks sosial dan politik dapat dikatakan mempengaruhi proses dan solusi sengketa tanah di Indonesia. Sejak jatuhnya Orde Baru, beberapa kajian tentang masalah agraria dan sengketa tanah juga telah diterbitkan. Misalnya, buku yang ditulis oleh Bachriadi dan Lucas (2000) membahas secara rinci terjadinya sengketa
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
tanah di Tapos dan Cimacan selama Orde Baru. Munarman (2001), Nuh dan Collins (2001), dan Collins (2001) membahas beberapa kasus sengketa tanah di Sumatera Selatan. Fokus kajian tersebut berguna untuk menjelaskan penyebab sengketa tanah yang berasal dari kebijakan Orde Baru, tetapi belum mengaji dampak otonomi daerah dan reformasi untuk solusi masalah agraria, khususnya solusi sengketa tanah yang berkaitan dengan hak ulayat. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis dampak dari reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah terhadap masalah agraria. Fokus tulisan ini tertuju pada posisi hak ulayat, peranan pemerintah daerah, dan keabsahan solusi yang ditempuh untuk
41
menganalisis apakah reformasi politik dan pelaksanaan otonomi daerah telah mengatasi berbagai masalah agraria. Kasus tulisan ini berasal dari Provinsi Sumatera Selatan, salah satu wilayah di Indonesia, tempat sejumlah sengketa tanah terjadi sejak jatuhnya pemerintah Orde Baru. Kedua lokasi penelitian di Sumatera Selatan ditunjuk dalam peta berikut. Sumatra Selatan terkenal akan tanahnya yang subur dengan air melimpah oleh banyaknya sungai yang mengalir ke seluruh wilayah. Tanah ini cocok untuk menanam karet, kelapa sawit di dataran rendah, dan kopi di dataran tinggi.
Penyebab sengketa tanah di Sumatra Selatan setelah lengsernya Suharto Berdasarkan survei oleh Lucas dan Warren (2000:225) mengenai sengketa tanah yang ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH) di 14 propinsi sepanjang tahun 1998, saya perkirakan sengketa di Sumatra Selatan meliputi 23,6% dari total tanah yang sedang disengketakan, dan 24% dari jumlah total kasus survei. Salah satu dampak lengsernya Suharto adalah meningkatnya kasus yang didaftar di LBH Palembang (Tiopan 2001), sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kasus Sengketa Tanah yang ditangani LBH Palembang Tahun
Jumlah Kasus
1994
6
1995
13
1996
21
1997
38
1998
81
Jumlah kasus total yang ditangani oleh LBH Palembang ialah 193 (Tim Lembaga Bantuan Hukum Palembang 1999).3 Sebagian besar kasus yang ditangani LBH Palembang berhubungan dengan sengketa tanah yang bersifat lokasi Hutan Tanaman Industri (HTI), kebun kelapa sawit, dan tanah pemerintah.4 HTI mulai dikenal oleh publik pada awal tahun 1980-an, saat Sumatra Selatan menarik investasi dari perusahaan kayu dan industri kertas.5 Pada tahun 1990-an HTI adalah solusi yang diajukan untuk memecahkan krisis deforestasi hutan tropis di Indonesia (Walhi dan YLBHI 1992:41). Pemerintah menawarkan dukungan penuh untuk pengembangan HTI dan menawarkan Dana Reboisasi kepada perusahaan HTI yang bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Proses ketentuan lokasi HTI menjadi salah satu sumber sengketa tanah di Sumatera Selatan. Secara umum, penyebab sengketa tanah di Sumatera Selatan dapat disimpulkan sebagai berikut (Munarman 2001; Tiopan 2001): • penyalahgunaan perizinan: perusahaan yang telah memperoleh izin memaksa penduduk setempat untuk meninggalkan tanah mereka; • asumsi bahwa tanah adalah milik negara: perusahaan tidak meneliti pemakai tanah yang sudah ada;
3
Perlu diperhatikan bahwa tidak semua warga komunitas meminta bantuan hukum LBH. 4
Sumber: LBH Palembang
42
Untuk corak sengketa tanah di Sumatera Selatan, lihat Collins (2001), Munarman (2001), Nuh dan Collins (2001). 5
Sejak REPELITA IV, pemerintah Indonesia membantu perkembangan industri kayu untuk 1) mendukung pertumbuhan industri kayu, 2) mendukung ekspor kayu dan memenuhi permintaan dalam negeri akan kayu, 3) meningkatkan jumlah pohon dalam hutan produksi, terutama di daerah yang tidak produktif, 4) meningkatkan lapangan pekerjaan dan kesempatan bisnis (Nugroho 1994:17).
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
•
pendekatan yang dipakai pemerintah setempat terlalu berpihak kepada perusahaan yang memegang izin tanpa menangani akar permasalahan; • pemerintah setempat membentuk komite untuk mencari tanah, yang berpihak ke perusahaan investasi; • sistem peradilan bekerja untuk menekan komunitas lokal bila konflik antara aparat keamanan dan masyarakat setempat terjadi; dan • dengan hapusnya Sistem Pemerintahan Adat (marga) yang digantikan dengan UU No.5/1979, keberadaaan tanah ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat, termasuk marga, menjadi tidak jelas. Sistem marga adalah unit teritorial tradisional yang dikepalai seorang pasirah dan terdiri dari beberapa dusun. Teritori marga sering mencakup tanah marga atau hak ulayat. Hal di atas menunjukkan bahwa konteks politik ekonomi selama Orde Barulah yang menjadi akar masalah sengketa tanah di Sumatera Selatan.
Status hak ulayat pada era reformasi dan otonomi daerah Selain dari adanya konteks politik dan ekonomi, sengketa tanah terjadi karena posisi hukum tanah ulayat sangat lemah. Status hukum hak ulayat di Indonesia yang terdapat dalam Undang-Undang Agraria pasal 5 1960 (Haverfield 1999: 51–54) dapat diringkas sebagai berikut: • adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional; • adat tidak boleh bertentangan dengan keadilan sosial di Indonesia; • adat tidak boleh bertentangan dengan prinsip Hukum Agraria atau hukum negara lainnya; dan • semua tanah adalah tanah negara.
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
Posisi tanah ulayat selama ini berada di bawah kepentingan umum dan negara. Oleh karena itu, agenda reformasi agraria yang dibahas oleh instansi pemerintah (Institut Pertanian Bogor) dan LSM (Konsorsium Pembaruan Agraria) pada tahun 1999 bertujuan untuk memberdayakan posisi hak ulayat. Tidak tuntasnya masalah hak ulayat dapat menyebabkan terjadinya disintegrasi negara (Lucas dan Warren 2000:226–227). Salah satu upaya dari pemerintah pusat untuk mengatasi masalah agraria adalah dikeluarkannya peraturan baru dari Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No.5 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Hukum Adat untuk dipakai sebagai panduan pada era otonomi daerah. UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah mengizinkan daerah untuk mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya. Pedoman ini yang berdasarkan pada Undang-Undang Pokok Agraria menjadi ‘pedoman operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah uang menyangkut tanah ulayat’ (Nasoetion 2000:15). Pedoman ini sangat penting karena hak ulayat diakui masih ada dengan beberapa persyaratan sebagai berikut (Pasal 1, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional): • hak ulayat diakui oleh hukum adat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu; • wilayah tertentu merupakan lingkungan hidup para warga untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut; dan • masih ada hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak pernah terputus di antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah bersangkutan.
43
Akan tetapi, bidang tanah yang bersangkutan tidak diakui masih ada jika bidang tanah tersebut sudah diperoleh orang lain secara sah, yaitu dengan cara membeli atau membebaskannya dari hak-hak dan kepentingan yang ada di atasnya oleh instansi Pemerintah, badan hukum, atau perseorangan sesuai ketentuan dan tatacara yang berlaku (pasal 3). Sesudah dikeluarkannya pedoman ini, para ahli hukum mengadakan berbagai lokakarya untuk membandingkan situasi hak ulayat saat ini di berbagai penjuru Indonesia. 6 Jauh berbeda dari sikap pada zaman Orde Baru, para ahli hukum dan gubernur Sumatera Selatan mulai bersuara keras tentang eksistensi hak ulayat di Sumatera Selatan; dan pemerintah desa yang bertanggung jawab atas lestarinya hak ulayat, jika hak ulayat terbukti masih ada (Arsyad 2001:17). Akan tetapi, definisi eksistensi hak ulayat tidak akan berguna sebagai solusi sengketa tanah, karena umumnya perusahaan investor yang dituntut masyarakat sudah memiliki izin usaha secara sah, sehingga tanah yang disengketakan tidak lagi diakui sebagai tanah ulayat. Karena posisi hak ulayat sangat lemah dan perbaikan hukum agraria masih berlangsung, para ahli hukum dan aktivis berpendapat bahwa inventarisasi hak ulayat adalah jalan untuk mendeteksi hak ulayat mana yang bisa dipakai dan dialokasikan untuk proyek bisnis. Hal kedua yang mempengaruhi masalah agraria dan metode penyeselesaian sengketa tanah adalah kewenangan yang diberikan 6
Seminar Tanah Ulayat di Sumatera Barat diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 23–24 Oktober 2000 di Padang. Seminar nasional tentang eksistensi hak ulayat dalam pembangunan daerah diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya bekerjasama dengan BKS-PTN wilayah barat pada tanggal 16 Mei 2001 di Palembang.
44
kepada kepala daerah akibat pelaksanaan otonomi daerah. Sejak tanggal 1 Januari 2001, kepala daerah berwenang untuk mengolah sumberdaya alam yang ada di wilayahnya. Saat ini, secara teoretis Pengadilan Negeri dapat menjadi instansi untuk mengusahakan penyelesaian sengketa tanah di Indonesia. 7 Pada hakekatnya, banyak kasus sengketa tanah tidak diselesaikan melalui pengadilan, karena warga tidak percaya bahwa sistem pengadilan bersifat murni dan bebas politik. Sebaliknya, biayanya mahal dan sistem hukum di Indonesia sangat korup (Collins 2001:130– 131). Dalam konteks ini, kebanyakan warga menuntut bernegosiasi langsung dengan perusahaan dengan bantuan dari LBH, atau mohon penengah dari pemerintah daerah. Dalam kaitan dengan hal ini, yang perlu diteliti adalah sejauhmanakah terdapat dampak dari upaya menghapus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)? Apakah kewenangan yang diberikan kepada kepala daerah dengan pelaksanaan otonomi daerah itu sudah menyajikan metode penyelesaian sengketa tanah yang cukup memenuhi aspirasi masyarakat?
Pola tuntutan masyarakat dan penyelesaian sengketa tanah di Sumatera Selatan pada era otonomi daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah mendukung penyelesaian sengketa tanah dan memberi kewenangan kepada bupati sebelum pelaksanaan otonomi daerah. Berdasarkan laporan yang ditandatangani oleh Asisten Ketataprajaan, H. Amran Harun pada tanggal 2 7
Pengadilan Landreform dihapus dengan dikeluarkannya UU No.7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Land Reform dan masalah agraria diserahkan ke Pengadilan Negeri (Bachriadi 2001:314–315).
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
Juli 2001, 39 kasus sengketa tanah yang diajukan kepada pemerintah daerah (Pemprov maupun Pemkab) sudah ‘berhasil diselesaikan’, sedangkan 78 kasus sedang dalam proses penyelesaian di Provinsi Sumatera Selatan sebagaimana tercatat di Biro Pemerintahan Umum Setda Propinsi Sumatera Selatan. Jumlah total kasus sengketa tanah yang diurus oleh pemerintah daerah ialah 117 kasus. Jumlah ini dapat dikatakan cukup besar, karena kasus sengketa tanah yang tercatat dalam kompilasi data LBH Palembang sampai tahun 1999 mencapai 193. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, Gubernur Sumatera Selatan memerintahkan bupati setempat untuk meneliti dan menyelesaikan masalah sengketa tanah itu. Mengingat Undang-Undang No.22 Pemerintahan Daerah, Gubernur memberi kewenangan kepada Bupati, dan Bupati membentuk tim khusus untuk kasus tersebut, atau meminta camat menjadi peneliti untuk kasus sengketa tanah. Walaupun biaya operasional tim sangat tinggi, sejumlah kasus yang diproses oleh tim khusus dari pemerintah daerah menunjukkan bahwa pembentukan tim sangat berguna untuk proses negosiasi. Tugas tim, misalnya di Kabupaten Muara Enim, meliputi hal-hal sebagai berikut (Muntaquo 2000:25– 26): • meneliti bukti-bukti keabsahan surat-surat dasar tuntutan; • mengadakan pendekatan sosial pada masyarakat yang mengajukan tuntutan, maupun kepada pihak pemerintah; • menginventarisasi subyek hukum maupun obyek yang dipermasalahkan; • mencegah campur tangan pihak ketiga; • menyaksikan kesepakatan memecahkan masalah; dan • membuat laporan setiap pelaksanaan tugas kepada Bupati/kepala daerah Tingkat II Muara Enim.
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
Kebanyakan besar tuntutan masyarakat di Sumatera Selatan meliputi: • ganti rugi atas tanam tumbuh; • pemberian kesempatan kerja sebagai karyawan; dan • tanah yang diserobot minta dikembalikan. Berapa jumlah yang diberikan sebagai ganti rugi tanam tumbuh berbeda-beda menurut kasus dan situasinya. Sampai saat ini belum ada keputusan untuk mengembalikan tanah kepada warga yang menuntut tanpa persyaratan. Dalam tulisan ini saya akan mengkaji apakah pembayaran ganti rugi merupakan cara terbaik berdasarkan analisis dua buah kasus yang terjadi di Sumatera Selatan. Kedua kasus ini menggambarkan corak penyelesaian sengketa tanah di Sumatera Selatan yang ditengahi oleh pemerintah daerah pada era reformasi dan otonomi daerah. Contoh yang digunakan ialah sengketa tanah yang menyangkut bidang HTI dan kelapa sawit yang telah selesai diproses. Untuk mengevaluasi dampak dari reformasi dan otonomi daerah dalam pemecahan masalah agraria, saya akan membahas hal-hal tentang: • pengakuan dan status hak ulayat; • peranan pemerintah daerah; • dampak politik, sosial, dan ekonomi yang mempengaruhi cara penyelesaiannya; • keabasan solusi yang diberikan; dan • siapa yang memperoleh keuntungan dari solusi ini.
Kasus masyarakat eks marga Rambang Kapak Tengah terhadap Musi Hutan Persada (MHP) Musi Hutan Persada (MHP) milik Prajogo Pangestu, seorang yang dekat dengan keluarga Suharto, memperoleh Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), dan mulai mengambil alih tanah di provinsi Sumatera Selatan sekitar tahun 1991 (SK Menhut. No.205/
45
KPTS-II/1991). Menurut Laporan Perkembangan HTI bulan September 1997, MHP memiliki 296.400 ha di bawah hak konsesinya. MHP memasok bahan baku penebangan kayunya ke PT Tanjung Enim Lestari atau PT TEL. PT TEL adalah sebuah pabrik pulp di Kabupaten Muara Enim yang dirancang untuk menghasilkan pulp sebanyak 450.000 ton per tahun. Pemegang saham utamanya termasuk Siti Haridyanti Rukmana, salah seorang putri Suharto. Pengusaha PT TEL dibiayai sebagian oleh sindikat pinjaman 25 bank dari 9 negara. Syarat pinjaman ini merupakan persetujuan dari studi dampak lingkungan yang independen. Konflik antara komunitas lokal dan perusahaan kayu/pabrik kertas itu terjadi sehubungan dengan: • proses pengambilan tanah oleh perusahaan kayu; • proses pengambilan tanah untuk lokasi pabrik pulp;8 • kecemasan akan dampak terhadap lingkungan dari pabrik pulp di daerah itu; dan • pemilihan tenaga kerja pabrik pulp. Dari sekitar 300,000 hektar tanah konsesi MHP, LBH Palembang mencatat sekitar 19,918 hektar (6,7%) sebagai tanah sengketa antara MHP dan komunitas lokal. Dari 1600 hektar lokasi pabrik kertas, 1370 hektar sedang dipersengketakan. Salah satu sengketa tanah yang menarik perhatian media massa adalah kasus bekas tanah Marga Rambang Kapak Tengah, yang terletak di Kecamatan Rambang Lubai, Kabupaten Muara Enim. Setelah lengsernya Suharto dan beberapa saat sesudah Pemilu 1999, masyarakat setempat yang terdiri dari 12 desa mulai mengadakan lobi dan unjuk rasa untuk mengambil tanah mereka. 8
Untuk ringkasan kasus sengketa terhadap PT TEL, lihat Nur dan Collins (2001).
46
Saya mengadakan riset antropologi antara 1994 dan 1996 di lokasi yang sama, tetapi pada saat itu masyarakat jarang membicarakan rasa frustrasinya atas perusahaan kayu itu. Masyarakat terintimidasi oleh hadirnya militer. Mereka sadar bahwa proyek HTI memperoleh banyak perhatian dari keluarga Suharto, tetapi mereka tidak mampu mengekspresikan kekecewaan mereka. Pada masa Orde Baru, sangat sedikit komunitas lokal seperti misalnya Desa Dalam (lokasi pabrik kertas), Kecamatan Rambang Dangku, Kabupaten Muara Enim dan Desa Pelawe (lokasi penebangan hutan), Kecamatan Muara Kelingi, Kabupaten Mura yang menentang proses pengambilan tanah oleh MHP, karena mereka mengalami intimidasi oleh aparat keamanan. Sesudah mengadakan beberapa pertemuan, masyarakat bekas Marga Kapak Tengah dengan dipimpin koordinator sengketa tanah, Junial Komar yang berasal dari Desa Pagar Agung dan kini tinggal di Jakarta, memutuskan untuk mengajukan tiga tuntutan: • pengembalian tanah sekitar 26.000 hektar kepada masyarakat oleh MHP (MHP mengambil alih tanah adat komunal dari Marga Kapak Tengah yang seharusnya tidak termasuk dalam HPHTI mereka); • ganti rugi atas hilangnya peluang selama 9 tahun terakhir. Diperkirakan ganti rugi per hektar adalah Rp25.000.000, dan totalnya Rp665.000.000.000; dan • ganti rugi untuk tanam tumbuh di atas tanah yang diambil oleh MHP. Jumlahnya diperkirakan sekitar Rp885.125.000. (lihat tabel 3). Dalam proses negosiasi yang dijelaskan dalam kronologi peristiwa tersebut seperti tertera di Lampiran, ribuan masyarakat ikut berunjuk rasa di depan kantor gubernur Sumatera Selatan pada bulan Februari 2000. Gubernur Sumatera Selatan nampak sangat simpati pada tuntuan warga dan mengeluarkan
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
Tabel 2 Besar ganti rugi yang dibayar oleh MHP pada tahun 2001 Tujuan
Jumlah
Alokasi dana yayasan dan koperasi (diberikan kepada koordinator)
Rp483.000.000 - Rp350.504.000 untuk tanah yayasan - Rp132.496.000 untuk koperasi
Ganti rugi untuk rumah tangga
Rp3.168.931.700 - Rp625.900 per kk - 5.063 rumah tangga
Pembayaran untuk sub-koordinator dan kepala desa (Rp5.000.000 per orang)
Rp248.000.000
Ongkos upacara Syukuran Akbar
Rp101.000.000
Tabel 3 Daftar Ganti Rugi untuk Tanaman yang Hilang Jenis Pohon
Jumlah Pohon
Harga (Rp per pohon)
Sub total (Rp)
Durian
1800
30,000
54,000,000
Rubber
19500
25,000
487,500,000
Cempedak
1300
30,000
39,000,000
Petai
1650
25,000
41,250,000
Kemang
1125
62,000
69,750,000
Jengkol
4700
10,000
47,000,000
Kabau
3100
10,000
31,000,000
Manggis
1600
15,000
24,000,000
Remanas
2200
20,000
44,000,000
Kecapi
1175
15,000
17,625,000
Total
surat pernyataan status quo yang memerintahkan kepada MHP agar menghentikan kegiatan lapangan. MHP mempertanyakan wewenang hukum gubernur, karena gubernur tidak mempunyai hak untuk mencampuri bisnis MHP. MHP mengabaikan perintah tersebut. Akibatnya, massa membakar MHP dan akhirnya tanah yang disengketakan
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
885,125,000
dibebaskan dari areal konsesi dan diserahkan kembali kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.9 Tuntutan ganti rugi atas tanam tumbuh yang diklaim oleh masyarakat 9
Nuh dan Collins (2001:51) mengatakan bahwa tanah ‘dikembalikan’ kepada masyarakat. Secara hukum tanggapan ini kurang tepat.
47
dikabulkan dengan pembayaran 4 milyar rupiah pada bulan Oktober 2000. Tabel 2 menjelaskan besar ganti rugi tanam tumbuh yang dibayarkan oleh MHP kepada warga. Karena terlibatnya ribuan massa yang unjuk rasa, kasus eks marga Rambang Kapak Tengah menarik perhatian koran lokal seperti Sriwijaya Post dan Sumatera Ekspres. Warga Rambang Kapak Tengah menyambut baik keputusan tersebut termasuk pembayaran ganti rugi. Warga yang menuntut ganti rugi di kawasan lain di Sumatera Selatan juga ikut gembira, karena mereka merasa bersemangat dengan harapan untuk menerima pembayaran ganti rugi tanam tumbuh yang sedang dituntut.
Pengakuan dan status hak ulayat Apakah sebenarnya yang diperlihatkan oleh proses dan solusi untuk kasus MHP ini dari segi pembaruan agraria? Apakah tanah yang disengketakan itu diakui kepemilikannya oleh warga tersebut, dan dikembalikan kepada para pemilik yang asli? Surat keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur Sumatera Selatan dalam proses negosiasi menyebutkan bahwa ‘lahan mereka yang diakui kepemilikannya oleh masyarakat setempat terletak di dalam maupun di luar kawasan hutan yang sekarang telah menjadi lahan HTI MHP’. Surat keputusan dari Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.147/ KPTS-II/2000 untuk mengeluarkan areal sebesar 12.050 ha dari areal kerja MHP tidak memberikan petunjuk tentang status tanah yang disengketakan. Tanaman dan sarana yang ada di lokasi diakui tetap merupakan hak MHP. Tanah yang dikeluarkan dari areal kerja diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk ‘meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar areal kerja PT MHP pada umumnya dan khususnya warga desa eks Marga Rambang
48
Kapak Tengah I’.10
Peranan pemerintah daerah Dalam kasus ini, gubernur terlibat secara erat dan bekerja sebagai penengah warga eks Marga Rambang. Dalam proses negosiasi, Guburnur menentukan status tanah itu ‘status quo’ dan memerintahkan penghentian kegiatan lapagan MHP. Gubernur juga menentukan jumlah pembayaran ganti rugi.
Dampak politik, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi cara penyelesaian Karena MHP dimiliki kroni Suharto, yang menjadi tersangka dalam kasus mark-up dana sekitar pertengahan tahun 2000 pada saat warga sedang menuntut pembayaran ganti rugi, dikeluarkannya tanah yang disengketakan dari areal kerja MHP itu dianggap sebuah upaya ‘reformasi’.11 Mengambil sifat tegas terhadap MHP dan berpihak pada warga yang menuntut dapat dikatakan merupakan salah satu langkah reformasi politik oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah mengambil keputusan tegas, seperti keputusan status-quo dan tidak berkeberatan mencampuri bisnis MHP. Dalam proses negosiasi, ribuan warga melakukan unjuk rasa dan berkemah di halaman kantor Gubernur Sumatera Selatan di Palembang. Dalam proses negosiasi itu, tidak ada warga yang ditangkap oleh aparat keamanan. Perjuangan terhadap penghapusan 10
Dalam Surat Keputusan dari Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 148/KPTS-II/2000 yang dikeluarkan pada tanggal 7 Juli 2000, keputusan kedua menyebut bahwa areal hutan yang diserahkan tersebut selanjutnya dikelola oleh Pemerintah Daerah Sumatera Selatan dan hasilnya dipergunakan untuk kesejahteraan masyrakat di dalam dan di sekitar areal kerja PT. MHP. 11
Misalnya ada artikel yang dimuat di harian lokal berjudul ‘Rontoknya Bisnis Kroni Soeharto’, Sriwijaya Post, 2 Mei 2000.
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
KKN, termasuk KKN yang dilakukan kroni Suharto, adalah perbuatan terpuji di mata masyarakat.
Keabsahan solusi yang diberikan Solusi yang diberikan pada MHP dan yang dilakukan Pemerintah Provinsi menimbulkan dua masalah: yaitu status tanah dan cara memanfaatkannya pada masa depan, serta konflik seputar pembagian ganti rugi. Setelah tanah dikeluarkan dari konsesi areal kerja MHP, hampir selama setahun tidak ada keputusan tentang masa depan tanah tersebut. Kayu MHP sudah dipanen, dan tinggallah tanah yang kosong di lokasi. Warga eks Marga Rambang Kapak Tengah mendesak koordinator sengketa tanah untuk mencari investor bagi tanah yang dibebaskan. Menurut informasi yang diungkapkan oleh warga desa setempat, sulit sekali untuk mencari investor karena mereka takut pada warga yang bisa menuntut dan mengganggu kegiatan investasinya. Karena lama tidak ada keputusan, ada sejumlah warga yang membuka ladang di lokasi tanpa izin. Menjelang ahir tahun 2001, warga akhirnya menyetujui tawaran pola Mengolah Hutan Bersama Rakyat (MHBR)12 dari MHP. Para warga yang saya wawancarai mengaku bahwa mereka menerima pola MHBR karena tidak ada pilihan lain. Pembayaran ganti rugi tidak selalu menjadi solusi terbaik, karena masyarakat setempat kehilangan lahan, dan jumlah ganti rugi tanam tumbuh yang dibayar oleh MHP pada satu KK 12
Pola MHBR yang ditawarkan oleh MHP memberi kesempatan kepada masyarakat setempat untuk memperoleh pendapatan dari HTI. Misalnya masyarakat diberi pekerjaan seperti penanaman, penebangan dan menjaga api. Pada waktu panen kayu, masyarakat juga akan menerima beberapa persen yang dijanjikan oleh MHP. Pola MHBR meliputi masyarakat setempat dalam pengurusan HTI, akan tetapi sejauhmana masyarakat setempat bisa menerima untung dari pola ini belum jelas.
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
tidak seimbang dengan kebutuhan masa depan keluarga tersebut. Karena sejumlah besar dari pembayaran ganti rugi diberikan kepada koordinator dengan alasan bahwa uang itu diperuntukkan yayasan yang akan didirikan di kawasan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan daerah, banyak warga curiga akan kekayaan koordinator. Sejak pelaksanaan syukuran di lokasi, koordinator sering berada di Jakarta dan tidak memberi kabar tentang kemungkinan investasi. Ada isu bahwa sebuah mobil mewah (BMW) dibeli koordinator setelah pembayaran ganti rugi. Lama tidak terbetik pula kabar dari koordinator tentang pendirian yayasan dan perincian rencana pendirian yayasan tersebut. Ada beberapa warga yang sangat kecewa atas jumlah pembayaran ganti rugi untuk setiap individu. Menurut mereka, biaya dan waktu yang digunakan oleh warga selama perjuangan terhadap MHP selama ini tidak sesuai dengan pembayaran ganti rugi.
Siapa yang memetik keuntungan? Karena banyaknya ganti rugi tidak seimbang dengan kebutuhan dan aspirasi warga, pembayaran ganti rugi dapat dikatakan sangat simbolistis. Dalam konteks ini, siapakah yang sebenarnya memetik keuntungan dari sengketa tanah ini? Para elit warga merupakan pihak yang sangat beruntung, termasuk koordinator. Koordinator memperoleh kesempatan membuka bisnis kayu untuk MHP, dan memperoleh pembayaran ganti rugi yang cukup memuaskan. Selain itu, dia memperoleh peluang untuk mengadakan gerakan politik, termasuk mengajukan usulan untuk mengubah Prabumulih menjadi Kabupaten dengan dilaksanakannya otonomi daerah.13 13
Forum komunikasi masyarakat Muara Enim dan Prabumulih untuk Keadilan dan Persatuan membuat penyataan untuk mengajukan Kabupaten Prabumulih pada tanggal 25 Juli 2000 kepada Bupati Muara Enim.
49
Koordinator sengketa tanah mempunyai hubungan politik dengan Partai Bulan Bintang. Yang bersangkutan diduga mencari kursi anggota DPRD pada pemilu berikutnya. Karena keterlibatan Gubernur Sumatera Selatan yang cukup kental, dan berhasilnya pembarayan ganti rugi oleh perusahaan yang dimiliki kroni Suharto, nama dan fungsi Gubernur Sumatera Selatan cukup meningkat pada saat posisi dan peranan gubernur dipertanyakan menjelang pelaksanan otonomi daerah. Dapat dikatakan bahwa kasus sengketa tanah merupakan kesempatan mencari nama politik bagi para elit lokal daripada sebuah langkah reformasi agraria.
Sengketa tanah di seputar perkebunan kelapa sawit Banyak perusahaan yang bergerak dalam bidang pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Sekitar 32 perusahaan dicatat LBH Palembang. Perusahaan-perusahaan ini dimiliki investor individu, termasuk investor dari Malaysia, sehingga tidak seluruhnya dimiliki kroni Suharto seperti perusahaan HTI. Sebagian besar perusahaan kelapa sawit masuk ke Sumatra Selatan di awal 1990-an bertepatan dengan masuknya perusahaan kayu milik kroni Suharto. PT Multrada Multi Maju (MMM) memiliki 15.000 hektar di Kecamatan Kikim, Kabupaten Lahat. MMM adalah sebuah perusahaan Malaysia yang memperoleh Hak Guna Usaha dari Jakarta berdasarkan pembebasan tanah oleh Badan Pertanahan Nasional Pusat. Dari 15.000 hektar, sekitar 4097 hektar sudah disengketakan penduduk dari 16 desa di sekitar Kecamatan Kikim sejak 1994. Penduduk tidak dihubungi atau diberi ganti rugi ketika tanah diambil oleh MMM. Dalam perkebunan kelapa sawit, ada dua skema utama pengelolaan lahan, yaitu Inti dan
50
Plasma. Dalam skema Plasma, penduduk diperkenankan menanam pohon kelapa sawit yang dibeli melalui perusahaan. Hasil panen dijual melalui koperasi lokal kepada perusahaan. Dalam skema Inti, partisipasi masyarakat lokal dikesampingkan. Perusahaan mengambil alih tanah yang sudah dialokasikan dan menanam pohon kelapa sawit sendiri. Perusahaan memilih skema Inti atau Plasma bila perusahaan memperoleh izin usaha. MMM beroperasi menggunakan skema Inti dengan akibat warga Kikim kehilangan seluruh akses untuk pengelolaan lahan. Masyarakat berunjuk rasa atas masalah ini, tetapi perjuangan mereka pada masa Orde Baru sering ditindak represif oleh aparat keamanan. Sengketa tanah di antara warga Kikim dari 16 desa dan MMM menjadi semakin panas pada tahun 1999 setelah lengsernya Suharto. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Kapolres Lahat dan Gubernur Sumatera Selatan memberi izin kepada warga Kikim untuk memanen kelapa sawit. Panen oleh Warga Kikim merugikan MMM, sehingga akhirnya beberapa warga Kikim ditangkap dan dihukum karena terbukti mencuri kelapa sawit secara sistematis pada bulan Februari 2000. Setelah itu Bupati Lahat membentuk tim di Kecamatan Kikim untuk menyelesaikan sengketa tanah. Camat Kikim menjadi penengah di antara warga Kikim dan MMM. Setelah negosiasi, sejumlah besar warga Kikim menyetujui pembayaran ganti rugi sebanyak Rp500.000 per ha.
Pengakuan dan status hak ulayat Dalam proses negosiasi, tidak ada sebutan atau penjelasan dari pemerintah daerah perihal adanya hak ulayat di kawasan perkebunan sawit MMM. Pemerintah daerah dan MMM hanya mengakui tanam tumbuh di atas tanah yang disengketakan. Oleh karena itu, solusi yang disetujui di antara MMM dan 16 warga desa
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
yang diwakili kepala desa adalah ganti rugi/ kepedulian sebesar Rp500.000 per ha atas tanam tumbuh.
mempengaruhi cara penyelesaian masalahnya seperti kasus MHP yang dianggap sebagai langkah reformasi terhadap KKN.
Peranan pemerintah daerah
Keabsahan solusi yang diberikan
Menjelang pelaksanaan otonomi daerah, Bupati Lahat langsung menyuruh Camat Kikim untuk menjadi ketua Tim Penyelesaian di tempat terhadap tuntutan lahan perkebunan sawit oleh masyarakat Dalam Kecamatan Kikim, Kecamatan Lahat, Kecamatan Merapi dan Kecamatan Tebing Tinggi dengan biaya dari Pemerintah Kabupaten Lahat. Tim ini diketuai oleh camat. Camat yang diserahi tugas ini melakukan pertemuan dengan warga yang menuntut perusahan kelapa sawit, dan menjadi penengah di antara warga Kikim dan MMM. Selama proses negosiasi, Camat Kikim mengajukan usulan, tetapi tidak pernah membuat keputusan tentang kegiatan bisinis di lapangan seperti yang dilakukan oleh Gubernur Sumatera Selatan terhadap MHP. 14
Masyarakat setempat meminta agar dalam pola Plasma ada peluang untuk memperoleh penghidupan dari lahan yang diambil oleh MMM. Permintaan ini ditolak oleh MMM. Solusi yang ditawarkan adalah ganti rugi/ kepedulian sebanyak kira-kira Rp500.000 per ha. Karena lahan di kawasan Kikim diambil oleh perusahan sawit, pembayaran ganti rugi tidak akan mengatasi akar masalahnya. Dari mana petani mencari nafkah jika tidak ada lahan sama sekali di kawasan mereka? Diduga oleh ahli hukum dari LBH akan muncul tuntutan baru dari warga baru terhadap perusahan yang sama, karena warga tidak memiliki lahan setempat.
Dampak politik, sosial, dan ekonomi yang mempengaruhi cara penyelesaian Karena MMM sebuah perusahan investor dari Malaysia yang tidak dimiliki oleh kroni Suharto, pemerintah Kabupaten Lahat atau pemerintah Provinsi Sumatera Selatan tidak mengambil posisi tegas dalam mengajukan tuntutan warga kepada perusahaan. Misalnya, selama proses negosiasi, beberapa warga Kikim ditangkap karena mereka melakukan tindakan kriminal. Pemerintah mengawasi hubungan bisnis internasional untuk mengajak investor asing.15 Konteks reformasi politik tidak terlalu 14
Misalnya Camat Kikim Chozali Hanan ‘memerintahkan kepada PT MMM untuk sementara menghentikan kegiatannya’ dalam surat 591/798/ 04.15/2000, 9 Oktober 2000. 15
Misalnya, minat bisinis di bidang pertambangan sudah
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
Siapa yang beruntung dari solusi ini? Pembayaran ganti rugi sebesar Rp500.000 per ha tidak cukup sebagai ganti rugi, jika petani tidak dapat memperoleh lahan baru di sekitarnya. Salah satu instansi yang beruntung adalah perusahaan kelapa sawit yang tetap bisa menjalankan bisnis mereka setelah pembayaran ganti rugi. Ganti rugi tidak merupakan solusi yang baik, tetapi sering digunakan oleh perusahan sebagai jalan keluar, karena penerima ganti rugi tidak bisa menuntut lagi secara hukum. Dengan kata lain, ganti rugi dapat digunakan sebagai ‘penutup mulut sementara’. Selain perusahaan, bupati memperoleh nama baik di mata masyarakat sebagai pihak yang mampu mengatasi masalah sengketa tanah. Hal ini merupakan kesempatan yang baik bagi kepala daerah untuk pemperoleh nama baik di muka masyarakat pada era otonomi daerah ini. mulai berkurang sejak pelaksanaan otonomi daerah (Boulan-Smit dalam jurnal ini).
51
Kesimpulan Bertolak dari analisis kasus sengketa tanah dapat disimpulkan bahwa masalah sengketa tanah dan solusinya belum memenuhi aspirasi masyarakat adat. Karena solusi ditempuh melalui penengah instansi pemerintah, solusi dan proses negosiasi tergantung pada suasana politik dan ekonomi yang ada. Sebaiknya ada sistem pengadilan yang sebenarnya dapat dipercaya oleh masyarakat, agar solusi yang diberikan dapat menjadi pola dasar bagi solusi sengketa tanah selanjutnya. Ganti rugi atas tanam tumbuh bukan merupakan solusi yang terbaik karena masyarakat setempat tetap kehilangan lahan, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan kehidupan, jika lahan tidak lagi tersedia. Ganti rugi atas tanam tumbuh hanya merupakan upaya ‘menutupi api sementara, dan akar api akan muncul pada masa depan’. Pembayaran
ganti rugi atas tanam tumbuh tidak akan memberdayakan masyarakat adat yang sudah lama dimarjinalisasikan selama Order Baru. Berdasarkan analisis kasus tentang solusi sengketa tanah pada era Orde Baru, tulisan ini menjelaskan bahwa pelaksanaan otonomi daerah saat ini tidak mudah mengatasi masalah agraria yang menyangkut kepentingan masyarakat lokal. Sikap pemerintah yang tidak konsisten tentang tuntutan warga yang mengakibatkan sengketa tanah akan memberikan dampak negatif terhadap minat bisnis asing sebagaimana dicontohkan dalam bidang pertambangan. Berkurangnya investor asing di Indonesia akan mengakibatkan krisis ekonomi yang lebih berlarut-larut, dan menimbulkan kembali kemungkinan tekanan politik dan militer seperti pada masa Orde Baru di daerah tempat jaminan keamanan investor asing diperlukan.
Kepustakaan Arsyad, R.H. 2001 Hak Ulayat Masyarakat Adat di Sumatera Selatan. Makalah yang disampaikan pada ‘Seminar Nasional tentang Eksistensi Hak Ulayat dalam Pembangunan Daerah’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Unsri bekerja sama dengan BKS-PN Wilayah Barat, 1 Mei, Palembang. Bachriadi, D. 2002 ‘Sengketa Agraria dan Perlunya Penegakan Lembaga Peradilan Independen’ dalam Tim Lapera (peny.) Prinsip-prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Hlm. 299–334. Bachriadi, D. dan A. Lucas 2000 Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Boulan-Smit, C. 2002 ‘When the Elephants Fight the Grass Suffers’: Decentralisatioin and the Mining Industry in Indonesia’, Antropologi Indonesia 26(68):59–66. Collins, E.F. 2001 ‘Multinational Capital, New Order ‘Development’ and Democratisation in South Sumatra’, Indonesia 71:111–133.
52
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
Haverfield, R. 1999 ‘Hak Ulayat and the State: Land Reform in Indonesia’, dalam T. Lindsey (peny.) Indonesia: Law and Society. Leichhardt: The Federation Press. Hlm. 42–73. Lucas, A. dan C. Warren 2000 ‘Agrarian Reform in the Era of Reformasi’, dalam C. Manning dan P. van Diermen (peny.) Indonesia in Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis. Institute of Southeast Asian Studies. Hlm. 220–238. Munarman 2001 ‘Refleksi Kasus Pertanahan di Sumatera Selatan’, dalam Tim Lapera (Peny.) Prinsip-prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Hlm. 517–542. Muntaqo, F. 2000 Laporan Penelitian: Perspektif Eksistensi Hak Ulayat Dalam Era Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi terhadap Hak Ulayat di Kabupaten Muara Enim Propinsi Sumatera Selatan). Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya Indonesia. Nuh, M.M. dan E. Collins 2001 ‘Land Conflict and Grassroots Democracy in South Sumatra: The Dyanamics of Violence in South Sumatra’, Antropologi Indonesia 25(64):41–55. Nasoetion, L.I. 2000 ‘Pidato Kunci’, dalam Buku Himpunan Makalah dan Rumusan Workshop Tanah Ulayat di Sumatera Barat yang diselenggarakan oleh: Kantor Wialyah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 23–24 Oktober, Padang. Hlm. 11–19. Nugroho, T. 1994 Hutan Tanaman Industri: Kajian Konsep dan Implementasinya. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Tiopan 2001
Pembaruan Agraria: Jawaban untuk Penyelesaian Konflik Pertanahan di Sematera Selatan. Makalah yang disampaikan pada Acara Seminar Regional Pertanahan yang diselenggarakan oleh FKMM-PKM, Prabumulih, 15 Maret.
Tim Lembaga Bantuan Hukum Palembang 1999 Data Kasus Pertanahan Sumatera Selatan (Kompilasi Data LBH Palembang), Palembang. Walhi dan YLBHI 1992 Mistaking Plantions for the Indonesia’s Tropical Forest. Jakarta: Wahana Lingkungn Hidup Indonesia.
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
53
Lampiran Ringkasan dari Kasus Eks-Marga Rambang Kapak Tengah I terhadap MHP di Kabupaten Muara Enim 24 Juni 1999
Pertemuan pertama yang diorganisir koordinator, Junial Komar, di Pagar Agung.
24 Juli 1999
Tuntutan tertulis diajukan ke basecamp MHP di Suban Jeriji dengan enam duplikat diberikan kepada Bupati Kabupaten Muara Enim.
28 Juli 1999
Tuntutan juga dilayangkan kepada Gubernur Sumatra Selatan.
3-8 Agustus 1999
Tuntutan diberikan kepada Badan Pertanahan Nasional di Jakarta, Menhut, Ketua DPR/MPR, Komnas HAM dan Presiden Habibie.
13 Agustus 1999
Pertemuan antara perwakilan komunitas lokal dan MHP di Jakarta menghasilkan persetujuan untuk menyelesaikan kasus dengan bantuan Pemda Muara Enim. Tim perembuk akan dibentuk oleh Pemda Muara Enim.
7 Oktober 1999
Ribuan penduduk berdemonstrasi di Pemda Sumatra Selatan di Palembang menuntut penghentian operasi MHPGubernur Sumatra Selatan mengeluarkan pernyataan mendukung persetujuan tanggal 13 Agustus.
27 Oktober 1999
MHP setuju untuk memenuhi semua tuntutan perwakilan penduduk jika Pemda Muara Enim memeriksa tuntutan penduduk setempat.
1 November 1999
MHP membatalkan persetujuan mereka dari tanggal 27 Oktober 1999.
17 Februari 2000
3000 penduduk Marga Rambang Kapak Tengah I berunjuk rasa di pekarangan kantor Gubernur Sumatra Selatan. Mereka berkemah dan menyatakan tidak akan pergi sebelum kasus diselesaikan. Jumlah demonstrator meningkat menjadi 4500 orang.
18 Februari 2000
Kepala Kantor Pertanahan Muara Enim mengumumkan kepada penduduk dan gubernur bahwa tanah sengketa akan direduksi dari 24.706 hektar menjadi 12.050 hektar.
24 Februari 2000
Gubernur Sumatra Selatan mengeluarkan surat pernyataan status quo. MHP mempertanyakan wewenang hukum gubernur tersebut.
25 Februari 2000
Sebagai akibat status quo , MHP memperkirakan kerugian besar.
1 Maret 2000
Tanpa mengindahkan instruksi status quo , MHP melanjutkan penebangan dan massa yang marah menyerang base camp MHP dan membakar 2 truk. Base camp MHP di Gemawang diancam oleh massa yang marah dari Marga Rambang Kapak Tengah. Karyawan MHP diungsikan.
6 Maret 2000
Pertemuan antara gubernur, penduduk, dan direktur jendral Pengelolaan Hutan Tanaman Produksi yang menyetujui melepaskan tanah sengketa dari MHP kepada negara demi kepentingan komunitas lokal.
24 Maret 2000
Menyusul sukses kasus Rambang, Babattoman, sebuah desa MUBA mulai mengklaim 1500 hektar tanah terhadap MHP.
15 April 2000
Penduduk Rambang Lubai mengancam akan menculik sekretaris jendral departemen kehutanan, Suripto.
54
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
30 Mei 2000
Suharto secara resmi menjadi tahanan rumah di Jakarta.
15 Mei 2000
240 penduduk Babattoman unjuk rasa di depan kantor gubernur mengklaim tanah mereka dari MHP.
24 Mei 2000
DPRD Palembang menuntut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Sumatera Selatan agar dicabut. HPH ditentukan oleh Departemen Kehutanan di Jakarta. Gubernur Sumatra Selatan juga menyatakan sikapnya untuk mencabut semua HPH di Sumatra Selatan, menyatakan bahwa HPH merugikan daerah termasuk HPH yang diberikan kepada perusahaan kehutanan milik negara, Inhutani.
7 Juni 2000
Menteri Kehutanan, Nur Mahmudi Ismail, memutuskan untuk mencabut 12.050 hektar tanah sengketa dari HPH MHP No. 38/KPTS-II/1996 (Keputusan Menteri Kehutanan dan perkebunan No. 147/KPTS-II/2000) 12.050 hektar tanah sengketa dikembalikan kepada gubernur Sumatra Selatan untuk ditangani atas nama komunitas setempat. Gubernur Sumatra Selatan diberi tanggung jawab untuk membayar ganti rugi (Keputusan Menteri Kehutanan dan perkebunan No.148/KPTS-II/2000).
9 Agustus 2000
Gubernur memutuskan bahwa pembayaran ganti rugi untuk tanaman dan pohon yang hilang sebesar Rp4 bilyun harus dibayar oleh MHP kepada penduduk (Surat Keputusan Gubernur Sumatra Selatan No.375/SK/I/2000).
14 Agustus 2000
Penduduk menerima tawaran ini berikut bagian dari tanah penebangan yang membuat MHP mampu membayar ganti rugi. Koordinator sengketa tanah ditunjuk menjadi koordinator operasi penebangan.
8 Oktober 2000
Syukuran Akbar di desa Pagar Agung yang dihadiri gubernur, memakan biaya Rp101 juta.
16 Maret 2001
Menteri Kehutanan, Nurmahmudi Ismail, yang menolak memecat Suripto digantikan oleh Marzuki Usman.
21 Maret 2001
Suripto, Sekretaris Jendral Departemen Kehutanan mengajukan tuduhan korupsi oleh Prajogo Pangestu kepada kejaksaan. Prajogo dituduh melakukan mark-up ukuran tanah MHP di Sumatra Selatan untuk memperoleh dana reboisasi.
28 Maret 2001
Suripto digantikan Harsono atas alasan usia lanjut.
18 April 2001
Suripto memberikan bukti-bukti kasus mark-up kepada kejaksaan.
1 Mei 2001
Polisi di Jakarta menginterogasi Suripto sehubungan dengan penjualan rahasia negara kepada badan asing. Suripto dibebaskan tanggal 3 Mei 2001.
18 Mei 2001
Prajogo diinterogasi kejaksaan.
18 Mei 2001
Tidak ada investor yang mau menggantikan operasi MHP di lokasi Rambang Kapak Tengah IMHP menawarkan skema bagi hasil Mengolah Hutan Bersama Rakyat kepada penduduk setempat.
12 Juni 2001–November 2001
Projogo resmi menjadi tersangka kasus korupsiMasyarakat dan MHP menyetujui tawaran pola Mengololah Hutan Bersama Rakyat.
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
55
Kronologi Kasus Kikim Lengsernya Suharto
Unjuk rasa oleh penduduk Kikim berlanjut. Pengunjuk rasa berdatangan ke DPRD Kabupaten Lahat naik truk.
4 Mei 1999
Kapolres Lahat Let. Kol. Pol Marin Eko Siswanto dikabarkan dalam wawancara Sumatera Ekspres 4 Mei 1999 bahwa baik pihak perusahaan maupun warga masyarakata yang bersengketa boleh memanen.
September 1999
Gubernur Sumatra Selatan mencoba menengahi sengketa dan memberikan izin kepada penduduk memanen kelapa sawit dari kebun MMM untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
11 November 1999
Penduduk Kikim membakar base camp MMM.
15 November 1999
Gubernur Sumatra Selatan mengumumkan akan mengambil tindakan tegas.
26 November 1999
DPRD Kabupaten Lahat menuntut polisi Lahat menindak penduduk yang bertindak brutal dan destruktif.
November 1999– Februari 2000
Pencurian minyak kelapa sawit meningkat dan menimbulkan kerugian Rp 2 bilyun per bulan bagi MMM.
Februari 2000
13 orang ditangkap sebagai pencuri oleh polisi setempat, disusul oleh unjuk rasa. 12 orang lagi ditangkap. Salah satu pemimpin penduduk Kikim, Subowo dari Desa Wonorejo, dipenjara 7 bulan dengan tuduhan mencuri kelapa sawit secara sistematis.
27 Februari 2000
Bupati Lahat mengizinkan Camat Kikim untuk membentuk tim untuk menangani sengketa tanah di daerah (memakai UU No. 22 Pemerintah Daerah, 1999).
Maret–Juli 2000
Camat Kikim menyusun laporan yang memberikan garis besar sengketa tanah dengan berbagai perusahaan. Laporan merekomendasikan penyelesaian kasus dengan memberikan tanah alternatif dan mengganti skema Inti dengan skema Plasma.
12 Juni 2000
Unjuk rasa di Kapolda Sumatra Selatan, Palembang, yang diorganisir Front Perlawanan Tani Buruh Sumatra Selatan untuk menuntut pembebasan Subowo dari penjara diserang polisi dan 14 orang ditahan.
20 Juli 2000
Pengunjuk rasa petani dari desa Penanggiran dan Ujan Mas ditembak dan ditangkap ketika bentrok dengan polisi setempat di depan kantor Pemda. 103 orang ditahan. Petani tersebut menentang tanah yang diambil Cipta Futura dan PTPN VII Sungai Lengi untuk dijadikan kebun kelapa sawit.
Januari 2001
Camat Kikim berhasil mencapai kesepakatan antara penduduk dengan MMM untuk menyelesaikan kasus dengan menawarkan Rp500.000 per hektar kepada penduduk.
56
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002