KREDIT MACET: POLITIK REFORMASI KEUANGAN DI INDONESIA 13 Maret 2001
Laporan ICG Asia N° 15 Jakarta/Brussels
IKHTISAR ..................................................................................................i I.
PENGERTIAN HUTANG PEMERINTAH..................................................1
II.
HUTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH .............................................4
A.
International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional) ...........5
B.
Bank-bhnk Pembangunan...............................................................9
C.
Consultative Group for Indonesia..................................................10
D.
Hutang Luar Negeri sebagai Alat Politik .....................................11
E.
Perilaku Indonesia terhadap Hutang Luar Negeri ..........................12
III.
MENGURANGI HUTANG LUAR NEGERI ..........................................14
A.
Memangkas Subsidi ......................................................................14
B.
Meningkatkan Pendapatan Pajak ..................................................15
C.
Swastanisasi.................................................................................16
IV.
HUTANG DALAM NEGERI...............................................................18
A.
Restrukturisasi Bank.....................................................................18
B.
Masa Depan Perbankan.................................................................19
C.
Bank Indonesia dan Pengawasan Bank .........................................21
D.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional .....................................23
E.
Penjualan Asset. ...........................................................................26
F.
Restrukturisasi Hutang Swasta .....................................................28
V.
KONTEKS POLITIK ...........................................................................31 A.
Hambatan-hambatan atas Reformasi ............................................31
B.
Pemerintah ...................................................................................32
C.
DPR .............................................................................................34
D.
Sistem Hukum ...........................................................................35
VI.
RANGKUMAN ................................................................................35
LAMPIRAN-LAMPIRAN A. B. C. D.
Daftar Istilah Tentang International Crisis Group Laporan dan Makalah Briefing ICG Anggota-anggota Dewan Pengurus ICG
KREDIT MACET: POLITIK REFORMASI KEUANGAN DI INDONESIA
IKHTISAR Peralihan Indonesia dari kekuasaan yang otoriter ke demokrasi terjadi di tengah merebaknya kemiskinan, pengangguran dan dislokasi sosial yang menimbulkan instabilitas politik. Ada kebutuhan yang mendesak akan pertumbuhan ekonomi yang kokoh dan berkesinambungan guna mengurangi masalah-masalah ini, mengurangi tekanan pada anggaran negara, dan memperlancar transisi politik. Kesulitankesulitan keuangan negara ini merupakan ancaman yang akan menghambat pertumbuhan ini, yang berpotensi besar akan menimbulkan kekerasan massal. Laporan ini mengkaji langkah-langkah yang telah disepakati oleh Indonesia dan pihak-pihak pemberi pinjaman luar negeri untuk mengurangi hutang pemerintah yang merupakan sumber dan pertanda dari kesulitan-kesulitan keuangan tersebut. Laporan ini berupaya untuk menjelaskan secara politis dan kelembagaan mengapa pelaksanaan langkah -la ngkah tersebut sering menghadapi kesulitan dan mengusulkan cara-cara agar proses tersebut dapat menjadi lebih efektif dan transparan. 1 Krisis keuangan yang memicu jatuhnya rezim Soeharto pada pertengahan tahun 1998 2 mewariskan kepada negara hutang pemerintah yang sangat besar, yang sama besarnya dengan produk domestik bruto. Hutang ini, yang berjumlah kurang lebih US$ 154 triliun, menuntut biaya social yang sangat besar dengan menyerap dana yang seharusnya dapat dipergunakan untuk meningkatkan pertumbuhan dan
1
Laporan ini didasarkan pada wawancara dan pembicaraan dengan lebih dari 40 orang pejabat dan mantan pejabat Pemerintah Indonesia, penasihat-penasihat pemerintah, anggota-anggota DPR, pejabat perekonomian dan diplomat asing, bankir swasta, pengacara, akuntan dan aktivis anti korupsi. Sebagian besar, orang-orang ini berbicara dengan syarat mereka tidak akan disebutkan dalam bentuk apapun. Pada kesempatan lainnya, orang-orang yang diwawancarai tersebut disebutkan pada catatan kaki laporan ini, seperti halnya juga sumber-sumber media. 2 PDB Indonesia yang jatuh hampir 14 persen pada tahun 1998, rata pada tahun 1999 dan meningkat 4,8 persen pada tahun 2000. Sumber: Laporan pers.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal ii
3
mengentaskan kemiskinan . Beberapa ahli ekonomi mengkhawatirkan pada akhirnya hal tersebut akan terbukti tidak berkesinambungan, yang memaksa pemerintah masuk dalam keadaan wanprestasi yang secara politis merugikan. Indonesia dan para kreditornya, khususnya Dana Moneter Internasional (IMF), telah menyepakati beberapa langkah kebijakan untuk mengurangi hutang pemerintah hingga ke tingkat yang terkendali. Melalui serangkaian Letter of Intent sejak bulan Oktober 1997, Indonesia dan IMF telah bersepakat untuk merundingkan kembali jadwal pembayaran hutang, mengurangi subsidi, meningkatkan pendapatan pajak, menjual asset-asset komersil negara, dan merestrukturisasi hutang swasta kepada negara. Indonesia juga telah berkomitmen untuk melakukan reformasi pada sistem hukum dan perbankan untuk melanjutkan pemulihan ekonomi, mengembalikan investasi swasta yang telah banyak meninggalkan negeri ini, dan mengurangi resiko terjadinya krisis keuangan berikutnya. Akan tetapi, meskipun ada konsensus antara Indonesia dan IMF tentang apa yang perlu dilakukan dan kemajuan yang berarti pada beberapa bidang, pelaksanaan unsur-unsur penting tertentu dari agenda reformasi keuangan ini di dalam negeri belum dilakukan dengan konsisten atau dengan komitmen yang diperlukan. Kekecewa an IMF pada reformasi ekonomi yang bergerak lamban telah membuatnya menangguhkan pinjaman kepada Indonesia empat kali sejak tahun 1997. Pinjaman IMF pada saat laporan ini ditulis sedang ditangguhkan. Bank Dunia memperingatkan bahwa penyimpangan kebijakan selanjutnya akan turut berperan dalam suatu "skenario krisis" yang dapat membuat Bank Dunia menghentikan pemberian pinjaman baru. Sementara ada tanda-tanda bahwa dapat diraih kesepakatan atas beberapa perbedaan pendapat yang ada saat ini antara Indonesia dan IMF, tetapi pengalaman pada tiga tahun yang lewat menunjukkan bahwa ketegangan dapat dengan cepat timbul kembali. Jalannya reformasi keuangan yang lamban dan tersendat -sendat sebagian dapat dikatakan sebagai akibat dari kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi oleh pemerintah manapun di tengah-tengah peralihan politik yang rumit dan harapanharapan yang terlalu optimis dari para pemberi pinjaman luar negeri seperti IMF. Namun, reformasi juga telah mengalami distorsi dengan terpecahnya politik Indonesia sejak jatuhnya Soeharto, sistem hukum yang tidak berfungsi dan budaya politik dimana perkoncoan dan korupsi memegang peranan kunci. Masalahnya bukanlah kurangnya pilihan politik, tetapi ketidakmampuan dan keengganan pemerintah untuk sepenuhnya melaksanaka n agenda kebijakan yang telah disepakatinya dengan para kreditor luar negeri. Agar pelaksanaannya dapat terus berlanjut, harus ada kemajuan pada beberapa permasalahan yang lebih luas, termasuk berkurangnya korupsi dalam sistem politik
3
Pemerintah memperkirakan bahwa 24 persen dari penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan pada tahun 1999, yang berarti bahwa mereka tidak dapat membeli sembilan bahan pokok, dibandingkan dengan 18 persen pada tahun 1996. Perkiraan-perkiraan statistik yang berbeda menghasilkan angka 27 persen untuk tahun 1999. Sumber: "Poverty Reduction in Indonesia: Constructing a New Strategy"; Bank Dunia, 2000.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal iii
dan hukum; keterpaduan yang lebih erat dalam pemerintahan dan hubungan yang tidak terlalu tegang antara pemerintah dan DPR. Para pemberi pinjaman luar negeri Indonesia hanya dapat memiliki pengaruh langsung yang kecil pada masalahmasalah ini, dan kemungkinan besar tidak realistis, pada saat pemerintah Indonesia tengah dilanda serangan politik yang hebat dari pihak-pihak oposisi di dalam negeri, untuk mengharapkan perkembangan yang cepat pada agenda reformasi keuangan. Namun demikian, perkembangan yang kecil sekalipun pada pelaksanaan langkahlangkah reformasi mendasar yang telah disepakati di antara Indonesia dan para pemberi pinjaman luar negerinya, yang dibahas secara terperinci dalam laporan ini, jauh lebih baik ketimbang tidak ada sama sekali. REKOMENDASI: Kepada IMF Agar mempertimbangkan kembali program yang telah digariskan dalam LOI dengan mengedepankan target -target yang luas dari pada komitmen -komitmen yang terlalu spesifik di mana terdapat resiko keterlambatan yang disebabkan oleh hal-hal di luar kendali Pemerintah Indonesia. Agar mengubah tenggat waktu restrukturisasi hutang swasta agar menjadi lebih leluasa yang memungkinkan dipergunakannya lebih banyak waktu untuk melakukan peninjauan kembali yang meningkatkan transparansi. Kepada para Negara-negara Donor Agar mempertimbangkan untuk menjadwal ulang atau meringankan persyaratan hutang untuk Indonesia apabila posisi keuangannya mengalami kelemahan yang disebabkan oleh hal-hal di luar kendali pemerintah. Agar membantu DPR untuk mengambil keputusan-keputusan yang tepat tentang reformasi keuangan dengan menawarkan pendanaan dan keahlian guna meningkatkan kemampuan riset DPR. Kepada Pemerintah Indonesia Agar memberikan prioritas politik yang tertinggi pada reformasi sistem hukum sehingga mengurangi dampak korupsi pada reformasi keuangan. Agar menghindari penentuan sasaran penyelidikan pajak dan korupsi yang bermotivasi politik. Agar meningkatkan keterbukaan dengan mempersyaratkan agar semua transaksi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang melebihi jumlah yang disetujui untuk diperiksa secara terpisah, yang hasil-hasilnya disediakan untuk masyarakat.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal iv
Agar melakukan konsultasi secara sistematis dan rutin dengan semua stakeholder dalam penjualan asset dan swastanisasi, yang mencakup masalah-masalah politik dan sosial serta komersil. Agar menentukan tingkat perolehan kembali untuk penjualan asset yang mencerminkan realitas pasar ketimbang asumsi-asumsi yang diambil secara politis.
Jakarta/Brussels, 13 Maret 2001
KREDIT MACET: POLITIK REFORMASI KEUANGAN DI INDONESIA
I.
PENGERTIAN HUTANG PEMERINTAH Hutang pemerintah Indonesia berjumlah US$ 154 milyar, atau sekitar 100 persen dari produk domestik bruto (GDP).4 Pemerintah berharap untuk mengurangi hutang ini hingga ke jumlah yang lebih terkendali yaitu 60 persen dari PDB dalam jangka waktu empat tahun melalui langkah-langkah yang dibahas dalam laporan ini. Sasaran ini mungkin dicapai apabila pertumbuhan ekonomi per tahun lebih dari lima persen selama masa empat tahun tersebut,5 tetapi hal ini akan sangat tergantung pada keberhasilan kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah disetujui dengan IMF. Pemerintah secara kasar berhutang sebesar US$ 74 milyar kepada para kreditor luar negeri, terutama IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan pemerintah-pemerintah asing, sementara BUMN memiliki hutang luar negeri lainnya sebesar $ 10 milyar. Pemerintah memiliki hutang lainnya sebesar US$ 70 milyar kepada pihak dalam negeri, dalam bentuk obligasi yang diterbitkan untuk membantu bank-bank dalam negeri yang menghadapi kesulitan. Selain hutang negara, perusahaan-perusahaan swasta Indonesia memiliki hutang sendiri yang jumlahnya diperkirakan sebesar US$ 110 milyar. 6 Akar permasalahan hutang Indonesia terletak pada Orde Baru, rezim otoriter mantan presiden Soeharto, yang berakhir dengan pengunduran dirinya pada pertengahan tahun 1998. Selama 32 tahun, Orde Baru semakin ditandai
4
Hutang pemerintah, sejak bulan Oktober 2000, diperinci sebagai berikut: pemerintah pusat US$ 134 milyar; hutang Bank Indonesia kepada IMF US$ 10 milyar; bank- bank pemerintah dan BUMN US$ 10 milyar. Sumber: website Bank Indonesia www.bi.go.id. Hutang ini sekitar 100 persen dari PDB, meskipun rasio yang sebenarnya tergantung pada asumsi-asumsi tentan g kurs dan PDB yang dipergunakan. Nilai rupiah sangat berfluktuasi sehingga nilai US dollar dari hutang pemerintah bisa jadi sangat berbeda- beda. Oleh karena itu, semua angka dalam laporan ini harus dianggap sebagai angka kisaran, bukan angka yang pasti. 5 Wawancara ICG dengan pejabat perekonomian luar negeri di Jakarta. 6 Laporan riset Morgan Stanley Dean Witter "Indonesia: a prime candidate for a permanent debt trap?" www.msdw.com.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 2
dengan korupsi yang tersebar luas dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat-pejabat tinggi, keluarga mereka dan kalangan pengusaha besar yang bersekutu dengan elit penguasa. Pada dekade terakhir Orde Baru telah terjadi deregulasi besar-besaran pada sektor keuangan dan aliran modal masuk yang sangat besar dari pemberi pinjaman dan penanam modal asing. Proses ini didorong oleh organisasiorganisasi multilateral dan pemerintah negara -negara maju meskipun sistem perbankan dan sistem hukum Indonesia lemah. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat dan peminjaman besar-besaran oleh konglomerat-konglomerat Indonesia, yang sering mela nggar undang-undang perbankan dan tanpa perhitungan resiko yang layak. Peminjaman yang gegabah didukung oleh ketidak efektifan atau korupsi para penyelenggara negara serta rendahnya mutu audit komersil, termasuk sebagian audit yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan akuntasi internasional. Nilai mata uang Indonesia secara tiba -tiba menurun dan membuat pertumbuhan yang hebat tersebut berubah menjadi penurunan yang cepat sejak pertengahan tahun 1997. Selanjutnya, banyak perusahaan tidak lagi mampu melunasi hutang-hutang mereka dalam valuta asing yang berjumlah sangat besar karena jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Suku bunga dalam negeri meningkat dan perusahaan-perusahaan mulai menunggak pembayaran hutang mereka. Karena tunggakan-tunggakan tersebut membuat bank-bank menjadi bangkrut, pemerintah harus memilih antara menutup atau menyelamatkan bank-bank tersebut. Pemerintah memilih untuk menyelamatkan sebagian besar bank-bank besar dan lemah, dengan kepercayaan bahwa hal ini merupakan cara yang lebih murah dan secara politis lebih aman. Karena tak mampu mendanai penyelamatan tersebut secara tunai, pemerintah menerbitkan obligasi kepada bank-bank tersebut. Sebagai imbalannya, pemerintah mendapatkan saham pada bank -bank tersebut dan mengambil alih pinjaman-pinjaman macet mereka. Proses ini, pertama kali dipertimbangkan pada akhir tahun 1997, baru selesai pada bulan Oktober 2000. Pemerintah saat ini menanggung pinjaman dengan nilai nominal sebesar US$ 30 milyar dan mengendalikan sebagian besar bank-bank swasta besar. Pemerintah berupaya untuk menutup biaya obligasi tersebut dengan menjual kembali bank-bank ini kepada pihak swasta, menjual asset -asset lain yang didapatkan dalam upaya penyelamatan dan merestrukturisasi pinjamanpinjaman tersebut sehingga dapat dijual kembali kepada bank-bank tersebut. Resiko bahwa pemerintah mungkin tidak mampu untuk membayar hutanghutangnya relatif tinggi menurut standar internasional, meskipun lebih kecil
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 3
7
dari pada resiko pada tahun 1999 Para ahli ekonomi Indonesia khawatir tentang biaya pengangsuran hutang yang semakin meningkat, yang sekarang menghabiskan separuh dari pendapatan negara dan diperkirakan akan mengambil 30-40 persen dari pendapatan untuk beberapa tahun mendatang. 8 Yang ditakutkan adalah apakah pemerintah pada akhirnya akan terpaksa untuk menunggak beberapa hutangnya atau biaya pelunasan akan menimbulkan kerugian yang teramat besar pada bidang-bidang lain dari pembelanjaan negara.9 Kemampuan Indonesia untuk mengurangi beban hutangnya sebagian tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi tetapi sebagian besar atau seluruhnya berada di luar kendali pemerintah, seperti kurs rupiah dan harga minyak dunia. Pengurangan hutang juga tergantung pada upaya-upaya pemerintah untuk mengurangi subsidi, menjual asset-asset yang dinasionalisasi dan meningkatkan penghasilan pajak. 10 Semakin berhasil upaya-upaya ini, semakin kecil beban pada anggaran dan semakin kecil resiko bahwa Indonesia akan tidak mampu melunasi hutang -hutangnya untuk pertama kalinya sejak akhir tahun 1960an. Pemerintah percaya bahwa wanprestasi akan membuat marah para kreditor resmi Indonesia dan akan semakin merusak citranya di antara para investor swasta. Oleh karena itu, pemerintah menolak penangguhan pelunasan hutang yang diusulkan oleh DPR. 11 Akan tetapi, apakah hutang tersebut secara finansial berkelanjutan atau tidak, hal tersebut memerlukan biaya sosial dengan menyerap dana pemerintah yang seharusnya dapat dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih positif. Anggaran 2001 menyisihkan 52 persen dari seluruh pengeluaran negara untuk pembayaran hutang, dibandingkan dengan jumlah yang kurang dari 7 persen untuk kesehatan dan pendidikan bila digabungkan. 12 7
Standard & Poors, lembaga pemeringkat, menempatkan resiko wanprestasi hutang jangka panjang Indonesia pada peringkat B-. Ini lebih tinggi dari peringkat CCC-Plus yang bertahan sepajang tahun 1998 dan 1999 dan menyiratkan resiko wanprestasi yang cukup besar. Akan tetapi, S&P serta sebuah lembaga pemeringkat yang berpengaruh lainnya, Moodys Investors Service, keduanya mensinyalir pada awal bulan Maret 2001 bahwa perkiraan keuangan Indonesia memburuk. Sumber: www.standardandpoor.com; www.moodys.com. 8 Bank Dunia, "Indonesia: Managing Government Debt and its Risks", Mei 2000; Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta 9 Kekhawatiran ini dinyatakan kepada ICG antara lain oleh Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Anwar Nasution; mantan penasihat pemerintah Sri Mulyani Indrawati dan Kepala Riset Danareksa, Raden Pardede. 10 Pemerintah berencana untuk meringankan pelunasan hutang dalam negeri dengan menerbitkan surat treasury bill untuk menggantikan obligasi rekapitulasi pada saat jatuh tempo. Hal ini akan memperpanjang jangka waktu pembayaran serta menambah jumlah bunga yang harus dibayar. 11 Wawancara ICG dengan anggota Komisi IX DPR bidang Keuangan, Faisal Basir. 12 Perhitungan didasarkan pada angka-angka dari Kedubes AS di Jakarta. Angka-angka ini didasarkan pada RAPBN 2001.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
II.
Hal 4
HUTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH Hutang luar negeri pemerintah Indonesia, saat ini berjumlah US$ 74 milyar, telah bertambah dari US$ 53 milyar sejak bulan Maret 1997, pada awal krisis keuangan. 13 Hutang baru kebanyakan dalam bentuk pinjaman darurat dari pemberi-pemberi pinjaman multilateral dan pemerintah negara -negara asing, yang menawarkan pinjaman sebesar US$ 43 milyar pada awal krisis dan telah memberikan pinjaman-pinjaman baru atau memperpanjang pinjamanpinjaman mereka yang sudah ada sejak saat itu. (Indonesia bahkan tidak mempergunakan semua dana yang ditawarkan). Pemberi-pemberi pinjaman komersial saat ini enggan untuk memberikan pinjaman kepada Indonesia, walaupun pemerintah telah mempertimbangkan berbagai pola pinjaman swasta dengan menggunakan jaminan pihak ketiga. Pola -pola ini ternyata menciptakan geseka n-gesekan baru di antara Indonesia dengan para pemberi pinjaman multilateralnya. 14 Ketergantungan pada pemberi pinjaman resmi luar negeri bukanlah hal baru. Pada akhir tahun 1960-an, ketika Orde Baru baru mulai berdiri, hibah dan pinjaman luar negeri mengambil bagian hampir sepertiga dari pendapatan negara. Dukungan negara -negara Barat dan Jepang kepada rezim Soeharto mencerminkan semangat anti komunismenya selama Perang Dingin dan arti penting Indonesia sebagai sumber tenaga kerja dan bahan baku yang murah dan pasar yang semakin meningkat serta lokasinya yang strategis di jalur pelayaran dunia. Para pemberi pinjaman biasanya tidak perduli adanya pelanggaran HAM di masa rezim Soeharto, seperti pembunuhan massal komunis di Indonesia pada tahun 1965 – 66 dan pendudukan Timor timur setelah tahun 1975, dan menunjukkan toleransi yang nyata atas korupsi yang merajalela. Mereka sekarang menghadapi konsekwensi dalam bentuk penolakan terhadap reformasi oleh kelompok kepentingan yang korup dan berurat berakar di lembag a negara di masa Orde Baru. Alasan dasar para pemberi pinjaman luar negeri dengan tingkat penekanan yang berbeda-beda adalah bahwa Indonesia terlalu penting untuk diterlantarkan dan oleh karena itu harus menerima dukungan finansial asing. Tetapi akan ada juga anggapan bahwa pemerintah tidak melakukan cukup banyak tindakan guna mendorong reformasi ekonomi dan mengurangi korupsi. Kecenderungannya sekarang adalah untuk mengurangi pemberian pinjaman, dengan persetujuan pemerintah, seraya menawarkan proporsi
13
Angka tahun 1997 berasal dari Bank Dunia: "Managing Government Debt dan its Risks ," Mei 2000. 14 Menurut rencana terakhir, Indonesia akan menerbitkan obligasi yang dijamin dengan pendapatan dari penjualan gas alam ke Singapura, yang memiliki peringkat kredit yang jauh lebih tinggi dari pada Indonesia. Akan tetapi, Bank Dunia telah mengajukan keberatan atas rencana tersebut.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 5
pinjaman yang lebih besar dengan persyaratan konsesi dan ditargetkan pada tujuan -tujuan tertentu seperti pengentasan kemiskinan. A.
International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional) Pemberi pinjaman luar negeri yang paling berpengaruh adalah IMF, yang program-programnya dipergunakan sebagai suatu kriteria oleh pemberipemberi pinjaman lainnya dan untuk menjadwal ulang hutang pemerintah Indonesia melalui mekanisme Paris Club. Hubungannya dengan Indonesia selalu tegang dan sering terputus sejak IMF menandatangani Letter of Intent (LOI) pertamanya dengan pemerintahan Soeharto pada bulan October 1997. LOI tersebut mengikat Indonesia dengan berbagai macam reformasi ekonomi sebagai imbalan atas pinjaman darurat. Sejak saat itu, IMF telah menunda pencairan pinjaman empat kali karena ketidakpuasannya atas cara Indonesia menerapkan komitmen-komitmen tersebut.15 Agenda reformasi yang digariskan dalam LOI mencerminkan patokan baku global atas deregulasi, pasar terbuka dan swastanisasi yang ada saat ini, ditambah dengan suatu penekanan pada peningkatan pengaturan dalam sistem finansial dan sistem hukum Indonesia. Tujuan-tujuan ini telah cukup konsisten sejak tahun 1997, walaupun rinciannya sering diubah. Indonesia tidak menunjukkan tanda -tanda keinginannya untuk memutuskan hubungannya dengan IMF tetapi banyak LOI secara berturut-turut telah dilaksanakan secara terlambat atau tidak sama sekali. Beberapa contoh sektor keuangan menjelaskan hal tersebut. LOI pertama pada bulan Oktober 1997 mempertimbangkan agar bank-bank bermasalah direkapitulasi dengan obligasi. Hal ini memerlukan waktu tiga tahun. Disebutkan pula bahwa bank-bank harus meningkatkan rasio kecukupan modal mereka, suatu ukuran kesehatan keuangan, hingga 12 persen sampai akhir tahun 2001. Angka tersebut terbukti tidak realistis dan telah dikurangi menjadi 8 persen. Ketentuan LOI 1997 lainnya adalah sekurang-kurangnya seperlima saham pada sebuah bank pemerintah harus dijual ke pihak swasta sampai bulan Oktober 1998. Penjualan saham tersebut untuk pertama kalinya diperkirakan baru bisa dilakukan setelah bulan Oktober 2001. 16 Reformasi keuangan sering mengancam kepentingan -kepentingan kelompokkelompok dalam negeri yang menarik keuntungan dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme pada era Soeharto dan saat ini berjuang untuk mempertahankan hak-hak mereka. Anggota dari kelompok-kelompok ini antara lain pengusaha,
15
IMF menunda pinjamannya kepada Indonesia antara bulan Maret dan Juli 1998, antara bulan Agustus dan Oktober 1999 dan bulan April serta Juni 2000. Angsuran pinjaman sebesar US$ 400 juta, yang pada seharusnya diberikan pada bulan Januari 2001, masih ditunda pada pertengahan bulan Maret. 16 Dokumen-dokumen LOI ditampilkan pada website IMF, www.imf.org.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 6
pejabat pemerintahan dan anggota TNI, yang secara politis masih kuat dan bergantung pada operasi-operasi usahanya untuk mendapatkan dana.17 Pada saat yang sama, kelompok-kelompok dalam negeri yang berpandangan sama dengan IMF, terutama para ahli ekonomi liberal, telah kehilangan banyak pengaruh yang mereka miliki selama era Soeharto. Hal ini mencerminkan suatu nasionalisme yang lebih nyata dalam elit politik dan pemilihan menteri yang berlatar belakang LSM atau kelompok politik oposisi. Menteri Koordinator Perekonomian yang pertama pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid, Kwik Kian Gie, dan yang saat ini menjabat, Rizal Ramli, keduanya sebelumnya adalah kritikus terhadap IMF. Bahkan apabila pemerintah memang memiliki keinginan untuk melaksanakan reformasi IMF, pemerintah tidak lagi memiliki kekuasaan yang tanpa pesaing seperti yang dimiliki Soeharto. Rencana untuk menjual kembali bank-bank yang telah dinasionalisasi, misalnya, ditunda oleh keberatan dari DPR, yang telah menjadi lebih berani dan kritis terhadap lembaga eksekutif. Masalah pelaksanaan ini telah bergabung yang menciptakan suatu citra Indonesia yang sangat buruk di anatara para penanam modal asing sehingga hal itu sendiri menjadi masalah ketika pemerintah harus menarik investasi untuk memenuhi komitmen-komitmennya kepada IMF, seperti menjual asset-asset negara kepada swasta. IMF dikritik sehubungan dengan beberapa rincian ketentuannya, khususnya desakannya atas penutupan enam belas bank pailit pada akhir tahun 1997 yang dilakukan dengan sangat tergesa-gesa, yang mengakibatkan terjadinya pengambilan uang secara besar-besaran di bank-bank lainnya, dan suatu pendekatan yang sangat ambisius terhadap reformasi secara umum yang menuntut jauh lebih banyak daripada yang sanggup diberikan oleh negara manapun yang berada pada posisi Indonesia saat itu. Sifat program-program IMF yang sangat spesifik dan bersyarat serta gaya diplomasinya yang tegas nampak mencerminkan kurangnya rasa percaya pada keinginan Indonesia untuk melakukan reformasi. Pada saat yang sama, para pejabat Indonesia sering memandang IMF bersikap campur tangan. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Panjaitan telah menyatakan sikap ini dalam komentar: “IMF harus mempercayai kami untuk menetapkan sasaran reformasi ekonomi kami sendiri. IMF tidak dapat mendikte kami.” 18 IMF mengetahui pandangan-pandangan ini dan juga mengetahui bahwa pihaknya dicurigai membantu menurunkan presiden Soeharto dan Ha bibie dengan cara menangguhkan pinjaman pada saat-saat penting. IMF semakin berhati-hati dalam membuat pernyataan-pernyataan dan telah membuat 17 18
Lihat Laporan ICG Asia No. 9 Indonesia: Keeping the Military under Control, 5 September 2000 Straits Times, 21 Februari 2001.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 7
beberapa konsesi simbolis kepada pemerintah tahun lalu, misalnya menyerahkan pengawasan kebijakan pertanian kepada Bank Dunia, yang lebih memiliki keahlian dalam bidang tersebut. Dipihaknya, pemerintah terus bekerja sama dengan IMF, dan tidak berusaha untuk, misalnya, menerapkan kontrol modal gaya-Malaysia untuk melindungi rupiah. Meskipun demikian, ketegangan -ketegangan yang menjadi ciri-ciri hubungan pada periodeperiode awal telah muncul kembali, tidak hanya karena masalah-masalah dengan LOI, namun juga karena masalah-masalah baru sejak tahun 1997, khususnya yang berkaitan dengan bank sentral (Bank Indonesia) serta desentralisasi fiskal. Pada akhir tahun 2000 IMF sekali lagi menangguhkan pinjaman. Angsuran pinjaman sebesar US$ 400 juta yang seharusnya diberikan pada bulan Januari 2001, sampai pertengahan bulan Maret belum diberikan. Penundaan tersebut dipicu oleh beberapa masalah, di mana salah satu masalah yang terbesar di antaranya adalah adanya kekhawatiran bahwa amandemen yang dibuat oleh DPR dapat memperlemah independensi bank sentral dari pemerintah, yang ditetapkan dalam undang-undang tahun 1999. 19 Masalah lain yang mengundang kekhawatiran adalah bahwa desentralisasi yang mulai dilaksanakan bulan Januari ini, akan mendorong pemerintah daerah untuk meminjam dana yang tidak sanggup mereka lunasi, sehingga pemerintah pusat terpaksa membantu mereka melunasi pinjaman tersebut. Pemerintah telah mengusulkan peraturan-peraturan untuk mencegah peminjaman semacam itu, namun IMF menghendaki larangan yang lebih kuat. IMF juga khawatir tentang penundaan-penundaan dalam penjualan asset-asset yang dinasionalisasi dan kurangnya keterbukaan dalam merestrukturisasi beberapa hutang swasta kepada negara. Negosiasi antara Indonesia dan IMF terus berlanjut sejak awal bulan Maret, dan ada tanda-tanda kemajuan pada suatu masalah utama, yaitu independensi Bank Indonesia. Kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk suatu panel yang terdiri dari empat orang pengurus bank sentral, dua orang Indonesia dan dua orang asing, untuk mempelajari amandemen undangundang bank sentral. Kesepakatan ini diraih setelah beberapa perundingan di Washington dan suatu kunjungan ke Jakarta oleh empat tokoh internasional yang diundang oleh Presiden Abdurrahman Wahid untuk memberikan nasihat kepada beliau. Mereka sangat menganjurkan kepada Indonesia untuk tidak memutuskan hubungannya dengan IMF, dan Abdurrahman Wahid kemudian menyatakan bahwa pemerintahnya akan terus bekerja sama dengan IMF.20 Namun demikian, tidak jelas sudah seberapa jauh kedua belah pihak tersebut
19
Financial Times, 8 Februari 2001. Straits Times, Jakarta Post, 26 February 2001. Keempat tokoh tersebut adalah Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew; Paul Volcker, mantan kepala US Federal Reserve, mantan duta besar Jepang Nobuo Matsunaga, dan bankir Jerman Ulrich Cartellieri. 20
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001 berupaya mencapai kesepakatan meneruskan pemberian pinjaman.
yang
akan
Hal 8 mendorong
IMF
untuk
IMF mengambil sikap berhati-hati terhadap Indonesia. IMF tidak ingin terlihat membahayakan pemerintah dengan cara menangguhkan pinjaman. Di sisi lain, IMF mempunyai peran global dan tanggung jawab kepada semua negara pemegang sahamnya dan tidak dapat bersikap terlalu lunak apabila Indonesia tampak menunda reformasi. Setelah munculnya kritik pedas dan masalah-masalah pelaksanaan di negara-negara seperti Indonesia, IMF sedang merencanakan suatu pendekatan baru yang mencakup seluruh dunia yang akan mengurangi jumlah persyaratan yang dituntutnya untuk memperoleh pinjaman dari pihaknya dan lebih menekankan pada prinsipprinsip yang lebih luas dan bukannya menetapkan daftar sasaran-sasaran reformasi yang terperinci. 21 Apabila diterapkan terhadap Indonesia, penyederhanaan pendekatan LOI ini dapat memperlancar hubungan antara pemerintah dan IMF dengan mengurangi masalah yang mungkin timbul dan menenangkan para kritikus di Indonesia yang mengeluh bahwa LOI dalam bentuknya yang sekarang terlalu campur tangan dan terperinci. Namun demikian, ada tanda-tanda bahwa IMF dan beberapa pemegang saham utamanya, khususnya Amerika Serikat, merasa semakin kecewa dengan lambatnya kemajuan reformasi di Indonesia.22 Dengan demikian, tampaknya IMF mungkin akan terus menangguhkan pinjamannya dan bukannya mengkompromikan masalah-masalah yang menurut pendapatnya penting bagi programnya, bahkan apabila ukuran program tersebut dikurangi. Mengingat kacaunya sistem politik Indonesia dan luasnya kesempatan bagi golongan tertentu untuk menghalangi reformasi, ada resiko timbulnya masalah-masalah baru yang kembali mengganggu hubungan tersebut bahkan sekalipun apabila perbedaan -perbedaan yang ada pada saat ini telah diselesaikan. Meskipun Indonesia tidak terlalu membutuhkan dana IMF tersebut, penangguhan pemberian pinjaman IMF dapat menunda pemberian pinjaman dari para kreditor lain dan menunda penjadwalan ulang hutang melalui Paris Club, yang akan membawa implikasi yang serius bagi anggaran. Penangguhan tersebut juga menghalangi penanaman modal swasta yang diperlukan untuk melaksanakan pemulihan ekonomi.
21 22
Dow Jones Newswires, 7 Maret 2001. Wawancara tertutup ICG.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001 B.
Hal 9
Bank-bhnk Pembangunan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) pada dasarnya memiliki keterlibatan yang lebih luas dan lebih dalam dengan Indonesia dibandingkan IMF, dan kesempatan mereka untuk menghentikan pemberian pinjaman lebih terbatas. Sementara IMF telah menghentikan pemberian pinjaman empat kali untuk menekan pemerintah Indonesia, Bank Dunia baru menghentikan pemberian pinjaman satu kali pada bulan Agustus 1999 dan telah memberikan isyarat bahwa pihaknya mungkin akan kembali melakukan hal tersebut pada akhir tahun 2000. 23 Bank Dunia membenarkan perannya pada era Soeharto, namun hal ini merupakan sesuatu yang kontroversial bagi beberapa pihak, khususnya dengan LSM setempat yang mengaitkan pinjamannya dengan korupsi yang menjamur. Laporan pers telah mengungkapkan bahwa sepertiga dari pinjaman Bank Dunia kepada Indonesia pada era Orde Baru mungkin telah diselewengkan oleh para pejabat pemerintah. 24 Sejak itu Bank Dunia telah berupaya untuk mengurangi penyalahgunaan dan melakukan lebih banyak konsultasi dengan pihak-pihak di luar pemerintah. ADB mungkin telah mengalami kehilangan proporsi pinjaman yang sama karena adanya korupsi, 25 walaupun kenyataan ini hanya mendapat sedikit sorotan umum dan tidak banyak mengundang kritik. ADB juga mempertimbangkan untuk memberikan pinjaman kepada negara -negara di Asia yang sebagian mensyaratkan pemberantasan korupsi di negara-negara tersebut. 26 Karena khawatir tentang besarnya hutang pemerintah dan dampak finans ial dari desentralisasi administrasi, yang telah mulai dilaksanakan tahun ini, Bank Dunia mengurangi pinjamannya untuk Indonesia dari lebih dari US$ 1 milyar setahun menjadi US$ 400 juta. Namun demikian, ada ketentuan bahwa dana sampai US$ 1 milyar dapat dipinjamkan, apabila pemerintah membuat kemajuan dalam reformasi keuangan. Pengurangan ini telah disepakati dengan pemerintah dan diperlunak oleh ditawarkannya sepertiga dari dana tersebut dalam bentuk pinjaman konsesi. Sejak menerapkan strategi baru ini, Bank Dunia telah memperingatkan bahwa ada “kemungkinan besar akan timbulnya suatu skenario krisis” apabila hubungan antara Indonesia dan IMF terputus, terjadi instabilitas politik yang tersebar luas atau keruntuhan hukum dan peraturan. Apabila ini terjadi, Bank
23
Pemberian pinjaman dihentikan karena kegagalan pemerintah Habibie untuk menyelesaikan skandal Bank Bali dan untuk menghentikan ke kerasan yang dilakukan oleh pasukannya serta kaki- tangan mereka di Timor Timur sebelum dilaksanakannya referendum untuk melepaskan diri dari Indonesia. 24 Wall Street Journal, 15 Juli 1998 dan 19 Agustus 1998. 25 Wawancara tertutup ICG. 26 Financial Times, 12 February 2001.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 10
Dunia menyatakan bahwa pihaknya tidak akan memberikan pinjaman baru sementara melanjutkan proyek-proyek yang sudah ada. Bank Dunia telah memberikan petunjuk bahwa apabila Indonesia kembali membutuhkan bantuan keuangan internasional seperti pada tahun 1997-98, maka pihaknya mungkin akan menemui kesulitan untuk menyediakan dana bantuan baru. 27 Pernyataan ini dikeluarkan ketika negosiasi antara IMF dan Indonesia belum menunjukkan banyak kemajuan dan dapat diartikan sebagai suatu peringatan bagi Indonesia tentang konsekuensi-konsekuensi dari mengingkari reformasi yang sudah disepakati dan juga sebagai tanggapan terhadap berkembangnya ketidakpastian politik di Indonesia. Namun demikian, Bank Dunia menyatakan bahwa kemungkinan krisis tersebut lebih kecil daripada “kasus dasarnya”, di mana terdapat beberapa penyimpangan pada reformasi namun lingkungan makroekonomi tetap relatif stabil. C.
Consultative Group for Indonesia Pemberi pinjaman dan donor resmi untuk Indonesia dikelompokkan ke dalam Consultative Group for Indonesia, suatu forum yang mengadakan pertemuan rutin untuk membahas jumlah dana yang akan disumbangkan setiap tahun dalam bentuk pinjaman dan hibah. CGI sendiri tidak memberikan pinjaman atau hibah, yang persyaratannya dinegosiasikan secara bilateral oleh Indonesia dan masing-masing pemberi pinjaman atau donor. Jepang, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia menyumbangkan 90 persen dari dana CGI. Seiring dengan pulihnya perekonomian Indonesia serta meningkatnya hutang pemerintah, sumbangan-sumbangan yang diberikan oleh para anggota CGI telah berkurang jumlahnya. Di Tokyo pada bulan Oktober 2000, para anggota menawarkan sumbangan sebesar US$ 4,77 milyar dalam bentuk pinjaman dan US$ 660 juta dalam bentuk hibah. Sebagian besar sumbangan tersebut bukanlah sumbangan baru, melainkan sumbangan yang diberikan pada tahun sebelumnya. Berbeda sekali dengan tahun buku 1998-99, di mana para anggota CGI menyumbangkan US$ 7,9 milyar. 28 Pada prakteknya, sebagian besar dana yang disumbangkan oleh para anggota CGI tidak digunakan oleh Indonesia. Pemberi pinjaman bilateral yang paling berpengaruh adalah pemerintah Jepang dan Amerika Serikat. Para penanam modal Jepang mencakup bagian terbesar dari penanaman modal asing langsung di Indonesia, dan pemerintah Jepang secara nyata memberikan sepertiga dari semua pinjaman luar negeri bagi pemerintah Indonesia. 29 Jepang mempunyai kepentingan strategis yang
27
“World Bank Country Assistance Strategy for Indonesia”, 8 February 2001. Sumber: laporan pers. Pinjaman IMF tidak termasuk dalam CGI karena alasan-alasan teknis. 29 Antara tahun 1967 dan 2000, Indonesia telah menyetujui penanaman modal Jepang dalam sektor non-migas senilai kurang lebih US$ 36 milyar. Perusahaan-perusahaan AS berada pada 28
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 11
besar di Indonesia, yang berada di jalur pelayarannya menuju Timur Tengah dan Eropa, dan pemerintah Jepang mengkhawatirkan tentang kemungkinan terpecahnya Indonesia di bawah tekanan-tekanan kaum separatis. Dibandingkan dengan pemerintah AS, pemerintah Jepang tidak terlalu menekankan reformasi ekonomi yang cepat, namun nampaknya mereka memang menganggap bahwa reformasi tersebut dapat berlangsung lebih cepat. Walaupun pemerintah Jepang mungkin mengusulkan dalam rapatrapat dewan IMF agar lebih mentolerir keterlambatan, mereka tidak ingin melihat Indonesia meninggalkan seluruh program IMF. Pemerintah AS, yang secara langsung diwakili oleh para pejabatnya dan secara tidak langsung terwakili melalui peran utamanya di IMF, telah memaksakan berbagai tujuan, termasuk pelaksanaan agenda IMF yang lebih cepat serta masalah -masalah non -keuangan seperti kendali atas kelompokkelompok paramiliter di Timor Barat. Para pejabat AS juga telah menentang adanya ancaman-ancaman akan diambilnya tindakan hukum atas kontrakkontrak era -Soeharto yang ditandatangani oleh perusahaan-perusahaan AS.30 Tekanan yang nyata ini telah membawa hasil yang beragam dan nampaknya telah berkurang dalam bulan-bulan terakhir ini menyusul adanya kritik keras dari beberapa politikus Indonesia. Disebutkan bahwa Departemen Keuangan AS merasa kecewa atas kurangnya kemajuan pada agenda reformasi. Pernyataan resmi AS pada pertemuanpertemuan CGI bulan Oktober 2000 mencantumkan, dalam alinea pertamanya, suatu keluhan yang jelas tentang keterlambatan dalam penjualan dua bank, yaitu Bank Central Asia dan Bank Niaga. IMF juga merasakan hal yang serupa, walaupun DPR kemudian mengeluarkan pengumuman yang terlambat pada bulan February 2001 bahwa penjualan tersebut dapat dilakukan. D.
Hutang Luar Negeri sebagai Alat Politik Kelemahan ekonomi Indonesia sejak tahun 1997 serta peninggalannya berupa pemerintah yang kekurangan uang telah memungkinkan para pemberi pinjaman luar negeri untuk lebih banyak menuntut komitmenkomitmen kebijakan dari yang mungkin dituntut pada masa Soeharto. Namun sebagaimana yang ditunjukkan oleh hubungan dengan IMF, pemerintah Indonesia seringkali menyetujui jauh lebih banyak komitmen daripada yang ingin atau yang dapat mereka laksanakan.
peringkat keenam sehubungan dengan disetujuinya penanaman modal sektor non-migas, dengan nilai kumulatif sebesar US$ 10,5 milyar, namun berada pada peringkat pertama dalam sektor migas. Tidak semua penanaman modal yang telah disetujui benar-benar dilaksanakan. Sumber: www.usembassyjakarta.org. 30 Ancaman ini dikemukakan oleh pihak Indonesia pada saat sengketa kontrak yang melibatkan perusahaan listrik negara Indonesia, perusahaan-perusahaan pembangkit tenaga swasta AS dan suatu badan pemerintah AS, Overseas Private Investment Corporation, namun Indonesia telah setuju untuk menyelesaikan semua sengketa tersebut melalui negosiasi dagang.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 12
Selain dari tujuan-tujuan merestrukturisasi perekonomian Indonesia dan mendukung demokratisasi, sejak jatuhnya Soeharto, para pemberi pinjaman luar negeri telah beberapa ka li mencoba untuk memberikan tekanan pada masalah-masalah politik tertentu. Hal ini dapat berjalan secara efektif apabila para pemberi pinjaman memiliki tujuan yang sama, khususnya apabila ada suatu pihak di Indonesia yang juga memiliki tujuan yang sama. Penundaan pemberian pinjaman pada tahun 1999 sehubungan dengan adanya kejadian kekerasan di Timor Timur dan skandal Bank Bali sesuai dengan tujuan para lawan politik Presiden pada saat itu, yaitu Presiden Habibie, yang turun dari jabatannya tak lama setelah itu. Namun walaupun pemerintah Indonesia dan DPR masih memiliki komitmen terhadap reformasi yang dianjurkan oleh para pemberi pinjaman, pada paruh kedua tahun 2000, keadaan politik berubah ke arah nasionalisme yang lebih tegas. Para politikus semakin sering menentang apa yang mereka anggap sebagai “campur tangan asing”. Hal ini menimbulkan resiko bahwa apabila para pemberi pinjaman luar negeri terlalu menekankan pada suatu masalah tertentu, mereka dapat memicu suatu serangan balasan di Indonesia yang meruntuhkan sasaran-sasaran mereka yang lebih luas. Walaupun ada pembatasan hutang luar negeri sebagai alat untuk tujuantujuan kebijakan tertentu, negosiasi hutang dapat digunakan untuk menandai prioritas-prioritas pemberi pinjaman. Misalnya, pertemuan-pertemuan CGI baru-baru ini telah mengambil pendirian yang tegas menentang penebangan hutan tropis Indonesia yang dilakukan secara ilegal. Seberapa jauh pemerintah dapat memenuhi hal-hal tersebut merupakan suatu masalah yang berbeda. E.
Perilaku Indonesia terha dap Hutang Luar Negeri Banyak orang Indonesia, termasuk para pejabat, DPR dan LSM, yang tidak menyukai ketergantungan negara mereka pada hutang luar negeri. “Kami perlu pinjaman, tapi kami juga merasa tidak perlu. Ini merupakan suatu dilemma bagi kami,” demikian komentar Frans Seda, seorang mantan menteri veteran. 31 Sebagai akibatnya, perdebatan cenderung difokuskan secara sempit pada pengurangan hutang. Seorang pejabat ekonomi asing di Jakarta mengeluh bahwa “Orang-orang tidak menanyakan: kapan kami harus meminjam, berdasarkan persyaratan apa dan untuk tujuan apa? Mereka hanya mengatakan: bagaimana caranya agar hutang kami dapat berkurang?” 32 Pandangan ini termotivasi oleh beban biaya hutang pemerintah yang besar dan rasa tidak suka terhadap peran campur tangan para kreditor luar negeri,
31 32
Wawancara ICG dengan Frans Seda. Wawancara tertutup ICG.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 13
khususnya IMF. Sebagaimana diketahui, rasa tidak suka ini berjalan seiring dengan tumbuhnya retorika nasionalis dalam dunia politik Indonesia sejak pertengahan tahun 2000. Nasionalisme ekonomi bukanlah hal baru di Indonesia , namun telah menjadi lebih jelas, sebagiannya sebagai tanggapan terhadap tekanan internasional untuk mempercepat restrukturisasi ekonomi. Sentimen ini tidak menghentikan rencana Indonesia untuk meminjam dari sumber-sumber komersial, misalnya dengan cara menjual obligasi yang dijamin dengan pendapatan dari sumber-sumber daya alam seperti gas. Pinjaman tersebut mungkin menuntut biaya yang lebih besar daripada pinjaman IMF atau anggota CGI, namun dapat diperoleh tanpa persyaratan kebijakan yang berat. Motif lain, yang sangat kuat di antara LSM, adalah hubungan antara biaya pembangunan dan korupsi yang didanai oleh hutang pada masa Soeharto. Suatu pernyataan yang ditujukan kepada pertemuan-pertemuan CGI pada bulan Oktober 2000 oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menghimbau para anggota CGI untuk membatalkan “odious debt” (hutang yang dipinjam secara tidak bertanggung jawab) dan menuntut pihak-pihak yang bertanggung jawab atas penyelewengan pinjaman luar negeri pada masa lampau. 33 Ini tidak didukung oleh pemerintah, namun telah digunakan oleh para anggota DPR untuk mendesak para kreditor Indonesia agar mengizinkan dilakukannya penangguhan hutang. 34 Walaupun ada kontroversi, pada saat ini nampaknya hampir tidak mungkin pemerintah akan bersedia memutuskan untuk melakukan wanprestasi atas pinjaman-pinjamannya. Indonesia memiliki pengalaman selama lebih dari 30 tahun dalam mengelola hutang-hutang luar negerinya tanpa pernah melakukan wanprestasi dan pada waktu-waktu yang lalu lebih memilih untuk memotong pengeluaran lain daripada menunggak. Meskipun demikian, baik pemerintah maupun kreditor berkeinginan kuat untuk mengurangi hutang tersebut.
33
Pernyataan INFID yang ditujukan kepada CGI, tanggal 11 Oktober 2000. Istilah “odious debt” mengacu kepada hutang untuk mana, menurut pihak LSM, rezim Soeharto tidak memiliki legitimasi untuk mengambilnya. Yang dimaksud dengan argumen “hutang kriminal”, yang biasanya ditujukan kepada Bank Dunia, adalah tetap dipinjamkannya dana walaupun para pemberi pinjaman tahu bahwa dana tersebut mungkin diselewengkan. Kekuatan argumenargumen ini lebih terletak pada segi moralnya dari pada segi hukumnya. 34 Reuters, 27 February 2001.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
III.
Hal 14
MENGURANGI HUTANG LUAR NEGERI Dalam dua tahun terakhir, Indonesia telah menjadwal ulang hutang bilateral luar negeri senilai 10 milyar Dolar AS melalui Paris Club, suatu kelompok dari pemerintah pemberi pinjaman, yang memperpanjang pelunasan sampai 20 tahun. Indonesia dilaporkan telah menyetujui untuk tidak meminta penjadwalan kembali lebih lanjut dari Paris Club. Hutang komersil lain yang berjumlah 340 juta Dolar AS kepada bank-bank swasta asing juga dijadwal ulang mengikuti contoh yang sama melalui London Club pada bulan September 2000. Indonesia tidak dianggap cukup miskin untuk memenuhi kriteria internasional untuk pengampunan hutang menyeluruh, dan beberapa pemberi pinjaman, termasuk Bank Dunia dan pemerintah Jepang, secara prinsip keberatan untuk menghapus hutang. Sikap para pemberi pijaman saat ini nampaknya adalah bahwa Indonesia masih memiliki kemampuan untuk menghimpun uang melalui langkah-langkah seperti memangkas subsidi, meningkatkan pendapatan pajak dan swastanisasi BUMN dari pada meminta keringanan hutang. Namun, meningkatnya kemauan untuk memberikan pinjaman dengan syarat konsesi merupakan suatu tanda bahwa para pemberi pinjaman mengakui kesulitan keuangan Indonesia.
A.
Memangkas Subsidi Indonesia berencana untuk menghemat uang dengan memangkas subsidi bahan bakar yang akan mencakup sedikitnya 12 persen dari pembelanjaan pemerintah tahun ini.35 Alasan-alasan ekonomi atas subsidi ini berada di luar ruang lingkup laporan ini, akan tetapi kritik yang biasa adalah bahwa subsidi bahan bakar ini secara tidak proporsional menguntungkan kelompk minoritas kaya yang memiliki mobil, sementara hal ini juga mendorong terjadinya penyeludupan bahan bakar. Pemerintahan Abdurrahman Wahid pada mulanya berencana untuk memangkas subsidi pada bulan April 2000, akan tetapi ditunda karena takut kepada protes massal. Dalam hal ini, protes yang signifikan tidak terjadi ketika pemangkasan jadi dilakukan pada bulan Oktober. Pengujian berikutnya adalah pada bulan April 2000 dimana subsidi bahan bakar sudah harus dipangkas lebih lanjut sebesar 20 persen. Posisi resmi pada akhir bulan February adalah bahwa pemangkasan akan berlanjut, akan tetapi karena protes semakin gencar di Jakarta pada pertengahan bulan Maret terhadap pemerintahan Abdurrahman Wahid, para menteri mengumumkan bahwa tingkat pemangkasan subsidi akan dikurangi agar tidak secara langsung mempengaruhi masyarakat umum.36 Ringkasnya,
35 36
Angka perhitungan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Sumber: www.detik.com, 12 Maret 2001.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 15
subsidi akan dipangkas, akan tetapi skala dan waktunya dapat dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan politis jangka pendek bahkan sekalipun hal ini memiliki dampak negatif terhadap anggaran. B.
Meningkatkan Pendapatan Pajak Tingkat pungutan pajak Indonesia sangat rendah menurut standar dunia. Tahun lalu, Indonesia memungut pendapatan pajak senilai 11,1 persen dari PDB, dan anggaran tahun ini telah memasang target 12,3 persen. Angka ini jauh lebih rendah dari rata-rata Asia Tenggara. 37 Hanya ada setengah juta wajib pajak terdaftar di negara dengan lebih dari 200 juta penduduk, dan pendaftaran pajak di antara perusahaan juga rendah.38 Hambatan utama terhadap peningkatan pemungutan pajak adalah lobi oleh pihak tertentu dan korupsi yang mewabah di antara para pejabat pajak. Suatu studi akademis terbaru juga menemukan bahwa wajib pajak menganggap para pejabat pajak sebagai "arogan" dan para wajib pajak dibingungkan oleh peraturan pajak yang rumit.39 Perubahan kebijaksanaan setelah diumumkan, secara terbuka dan di bawah tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan, merupakan suatu ciri umum dari pembuatan kebijaksanaan keuangan di Indonesia jelas terlihat dalam bahasan perpajakan. 40 Hal ini berarti bahwa, kebijaksanaan awal belum diteliti secara memadai atau kebijaksanaan tersebut adalah benar, akan tetapi pemerintah tidak mampu untuk menghadapi perlawanan yang diakibatkannya. Mantan Direktur Jenderal Perpajakan, Machfud Siddik, menyatakan kepada media setempat sebelum diganti pada bulan February 2001 bahwa dia menghadapi tekanan tidak hanya dari para wajib pajak yang berpengaruh akan tetapi dari para pejabat dari departemennya sendiri. Penggantiannya dalam laporan pers telah dikaitkan dengan penolakannya untuk meningkatkan penyidikan pajak yang bermotif politis terhadap lawanlawan pemerintah. 41 Mungkin hambatan paling besar terhadap peningkatan pemungutan pajak yang adalah korupsi dalam direktorat pajak. Adalah rahasia umum bahwa para inspektur pajak sering berkolusi dengan para wajib pajak, di mana para inspektur pajak menerima suap sebagai imbalan karena mengurangi jumlah yang harus dibayar oleh para wajib pajak. Siddik mengatakan pada
37
Pada tahun 1997, rasio pajak terhadap PDB Indonesia adalah 10 persen. Filipina 16 persen dan Malaysia 37 persen. 38 Harian Straits Times, 13 Nopember 2000. 39 Harian Bisnis Indonesia, 26 February 2001. Survei tidak menyebutkan yang mana dapat dinyatakan sebagai "arogansi". 40 Rencana untuk mengenakan pajak pertambahan nilai terhadap daerah industri Pulau Batam, misalnya, merupakan suatu komitmen pada LOI yang terakhir pada bulan September 2000 akan tetapi rencana ini ditunda setelah adanya protes dari dunia usaha di sana. Dari pada membayar lebih banyak pajak, Batam sekarang telah siap menjadi daerah bebas pajak. 41 Harian Indonesia Observer, 5 Desember 2000; Majalah Detak, 14-20 February 2001.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 16
pertengahan tahun 2000 bahwa para petugas pajak dengan gaji beberapa juta rupiah dengan mudah terpikat apabila berhubungan dengan perusahaanperusahaan yang berhutang milyaran rupiah dalam pajak. 42 Dengan demikian, adalah sulit untuk menilai seberapa berhasil pemerintah nantinya dalam menaikkan pendapatan pajak untuk jangka panjang tanpa pembersiha n dari administrasi pajak. C.
Swastanisasi Tujuan dari swastanisasi sejak tahun 1998 tidak hanya untuk menghimpun dana untuk anggaran akan tetapi juga untuk membebaskan sektor pemerintahan dari perusahaan-perusahaan yang sering mengalami kerugian, yang dikelola secara buruk dan tempat bagi korupsi dan perkoncoan.43 Program ini hanya berhasil sedikit di bawah pemerintahan Habibie dan tidak menghasilkan apa-apa di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid, yang tidak menghimpun pemasukan apa -apa dari swastanisasi tahun lalu. Menteri yang menangani BUMN di bawah pemerintahan Habibie, Tanri Abeng, mengomentari bahwa "politik telah membuat program swastanisasi keluar dari jalur secara menyeluruh dan saat ini program swastanisasi merupakan suatu kegagalan total."44 Alasan-alasan untuk ini termasuk perlawanan dari para manajer sektor pemerintahan, citra buruk Indonesia di antara para penanam modal dan seringnya (dan mungkin bermuatan politik) perombakan para pejabat yang menangani program ini. Suatu permasalahan dengan semua penjualan asset di Indonesia adalah bahwa suatu transaksi dapat ditantang oleh pihak yang keberatan setelah permasalahan telah diselesaikan. Saham pada Semen Gresik, suatu perusahaan semen milik negara, dijual kepada perusahaan Cemex Mexico semasa pemerintahan Habibie. Oleh karena keluhan dari masyarakat setempat, dua dari pabriknya sekarang harus dilepas sebagai perusahaan tersendiri dimana Cemex tidak dapat berperan.45 Kasus-kasus tersebut menunjukkan kurangnya kepastian hukum yang dapat menghalangi calon penanam modal. Ada kekurang-konsistenan dalam cara portpolio swastanisasi dijalankan. Swastanisasi ini dipindahkan dari Departemen Keuangan oleh Habibie pada tahun 1998 dan dibentuk kementriannya sendiri yang dipimpin oleh Tanri Abeng, seorang pengusaha. Abdurrahman Wahid mengganti Abeng dengan
42
Wawancara yang tidak dipublikasikan dengan penyusun dari laporan ini. Swastanisasi di Indonesia berarti penjualan perusahaan-perusahaan sektor pemerintahan, bukan perusahaan-perusahaan swasta yang telah diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional. 44 Harian Straits Times, 19 Januari 2001. 45 Harian Bisnis Indonesia, 7 February 2000. Tidak jelas apakah keberatan berasal dari keluhan masyarakat setempat atau keinginan dari pejabat setempat untuk mengendalikan pabrik-pabrik semen dan pendapatannya, atau mungkin dua-duanya. 43
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 17
Laksamana Sukardi, pendukung dari Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang memiliki reputasi integritas. Enam bulan kemudian Sukardi digantikan oleh Rozy Munir, pengikut setia presiden. Empat bulan setelah itu, departemen dibubarkan dan tugas-tugasnya dikembalikan kepada Kementrian Keuangan. Alasan atas penggantian yang terus -menerus ini tidak jelas, meskipun BUMN secara tradisionil telah dimanfaatkan di Indonesia sebagai sumber uang yang dapat dialihkan untuk kepentingan politik. Walaupun ada kegagalan di masa lalu, DPR telah mewajibkan pemerintah untuk menghimpun jumlah yang sama tahun ini dengan jumlah yang gagal dipenuhinya pada tahun 2000, sementara juga meminta BUMN untuk memberikan pemasukan sepertiga lagi pendapatan kepada kas negara dari pada tahun yang lalu. Target-target ini kelihatannya optimistik, dan nampaknya sangat mungkin berdasarkan pengalaman bahwa swastanisasi tidak akan menjadi sumber utama dari pendapatan untuk beberapa waktu.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
IV.
HUTANG DALAM NEGERI
A.
Restrukturisasi Bank
Hal 18
Banyak bank-bank swasta di masa Soeharto dimanfaatkan sebagai sapi perah oleh para konglomerat yang memilikinya, sering dengan melanggar undangundang dan praktek perbankan yang hati-hati. Ketika krisis memaksa para konglomerat untuk melalukan wanprestasi atas pinjaman mereka dari pertengahan tahun 1997 sampai sekarang, bank-bank terbesar terpaksa pailit. Bank-bank milik pemerintah bahkan dalam keadan lebih buruk setelah bertahun-tahun dilanda korupsi, pengelolaan buruk dan peminjaman bermotif politik. Restrukturisasi sektor perbankan tidak dimulai dengan sepenuhnya sampai pada awal tahun 1999. Penyehatan perbankan telah mengurangi jumlah bank dari 237 menjadi 166 (termasuk bank-bank asing) melalui penutupan dan penggabungan. Sekitar 70 bank dalam negeri, kebanyakan merupakan bankbank kecil tetap secara penuh dipegang swasta. Selebihnya ada yang merupakan bank-bank sektor publik maupun bank yang sebelumnya adalah swasta, sekarang dikendalikan oleh negara, yang me rencanakan untuk menjualnya kembali kepada sektor swasta. Penalangan utang perbankan jauh lebih mahal dari pada yang diharapkan, karena memakan waktu jauh lebih lama, dan bank-bank terus kehilangan uang sementara mereka menunggu rekapitalisasi. Pada peng hujung tahun 1998, biaya diperkirakan 253 trilyun rupiah. 46 Pada bulan Juli 2000, pemerintah telah mengeluarkan obligasi dengan nilai pari 653 trilyun rupiah, atau lebih dari 60 milyar Dolar AS. 47 Bank Dunia telah mengatakan bahwa penyelamatan "mungkin merupakan yang paling mahal dalam sejarah PDB."48 Lambatnya proses sebagian dikarenakan besarnya tingkat masalah dan kerumitannya. Indonesia belum pernah menghadapi permasalahan perbankan pada skala tersebut dan harus membuat perundang-undangan dan lembaga-lembaga untuk menangani krisis secara bersamaan . Tetapi restrukturisasi bank telah dibelokkan oleh usaha-usaha dari kelompokkelompok kepentingan untuk memenangkan kendali atas dana-dana atau asset, baik dengan manuver hukum maupun dengan melobi para politisi.
46
Harian Financial Times, 12 Desember 1998. Dua pertiga dari obligasi dikeluarkan kepada bank-bank umum dan sepertiga kepada Bank Indonesia untuk menutupi pinjaman daruratnya kepada bank-bank umum. Angka rupiah tidak memasukkan biaya-biaya bunga. Sumber; Bank Indonesia. 48 Bank Dunia, "Mempercepat Pemulihan dalam Keadaan Tidak Pasti", Oktober 2000. 47
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 19
Contoh yang paling menyolok dari keterlibatan politik adalah kasus Bank Bali, yang menyewa para pelobi yang dekat kepada pemerintahan Habibie pada tahun 1999 untuk mempercepat pelunasan dari hutang negara yang sudah lama tertunda kepada Bank Bali. Para pelobi mendapatkan kembali hutang tersebut, mengambil setengah sebagai bayaran mereka, kemudian menyalurkan beberapa dari uang tersebut kepada tokoh-tokoh terkemuka di partai Golkar yang berkuasa pada waktu itu. Skandal yang menyusul melibatkan para pejabat tinggi dan mendorong IMF dan Bank Dunia menghentikan pinjaman. Habibie jatuh dari kekuasaan segera setelah hal tersebut. Meskipun pemerintahan Abdurrahman Wahid berjanji untuk menyelesaikannya, kasus Bank Bali telah menjadi contoh dari kegagalan sistem hukum Indonesia. Semua tersangka kunci telah dinyatakan bebas atau dinyatakan tidak bersalah pada tingkat banding. Kegagalan Jaksa Agung untuk memastikan suatu tuduhan telah meningkatkan kecurigaan tentang adanya korupsi diantara para jaksa penuntut.49 B.
Masa Depan Perbankan Rekapitalisasi telah mengurangi ancaman langsung terhadap bank-bank Indonesia dengan menggantikan kebanyakan dari hutang-hutang macet mereka dengan obligasi negara.50 Bank-bank cenderung untuk memegang obligasi ini, yang beresiko rendah, dari pada membuat pinjaman baru yang beresiko kepada sektor swasta. Dalam hal bank-bank telah mencoba untuk menjual obligasi untuk menghimpun uang tunai untuk dipinjamkan, bankbank mendapati sedikit sekali pembelinya karena obligasi kurang menarik dari pada surat berharga pemerintah yang lain. Industri perbankan Indonesia dengan demikian sedang dilindungi oleh ketidakmampuannya atau keengganannya untuk membuat pinjaman. Sekalipun demikian, resiko tertentu dapat memaksa pemerintah untuk menjalankan lebih banyak penyelamatan. Salah satunya adalah bahwa para peminjam bank yang ada mungkin terdorong kepada wanprestasi apabila ada penurunan tajam dalam nilai tukar atau apabila suku bunga terus meningkat. Bank sentral memberlakukan langkah -langkah teknis pada bulan Januari 2001 lalu yang akan mempersulit para spekulator untuk menurunkan kurs rupiah. Langkah-langkah ini mendapatkan keberhasilan sementara, akan tetapi rupiah kembali jatuh secara tajam pada bulan Maret.
49
Wawancara ICG dengan staf di Indonesian Corruption Watch. Dalam suatu kasus terpisah, Standard Chartered Bank Inggris Raya mencoba untuk membeli Bank Bali dari pemerintah akan tetapi digagalkan oleh perlawanan staf. 50 Rekapitulasi meningkatkan rasio kecukupan modal, suatu ukuran kesehatan keuangan, menjadi sedikitnya 4 persen untuk semua bank. Angka minimal internasional adalah 8 persen, dan bank-bank diperuntukkan untuk mencapai tingkat ini pada akhir tahun 2001. Beberapa bank sudah berada di atas angka tersebut, tetapi yang lain masih harus berjuang untuk meningkatkan modal tambahan, yang mungkin memaksa mereka untuk menutup ataupun bergabung.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 20
Peningkatan tingkat suku bunga dalam negeri menimbulkan berbagai permasalahan. Perusahaan-perusahaan dengan hutang rupiah akan lebih sulit untuk melunasi hutangnya, sementara beberapa bank menanggung resiko kembali kepada keadaan bahaya. Hal ini adalah karena mereka memegang jenis -jenis dari obligasi rekapitalisasi yang dibayar pada suku bunga tetap 12 atau 14 persen, sementara suku bunga yang harus mereka bayar kepada para penabung meningkat sampai di atas tingkat ini. Pada saat yang bersamaan, bank-bank lain memegang obligasi yang membayar mereka dengan suku bunga mengambang, yang berarti bahwa mereka mendapat untung dari suku bunga yang meningkat. Dengan demikian timbul suatu pemisahan antara bank-bank yang beresiko masuk kembali ke dalam keadan bahaya dan bank-bank yang memperoleh keuntungan yang tak terduga atas kerugian negara.51 Ada permasalahan-permasalahan lain yang dihadapi bank-bank tertentu. Bank pemerintah Bank Mandiri diketahui menghadapi kesulitan likuidasi, sementara pemerintah terpaksa pada awal tahun 2001 untuk menjamin hutang senilai 1,2 milyar Dolar AS kepada Bank Internasional Indonesia yang sudah dinasionalisasi karena kekhawatiran bahwa hutang dapat diwanprestasikan. Apabila ada wanprestasi, pemerintah akan mengambil alih hutang dan mencoba untuk mendapatkan asset dengan nilai yang sama dari peminjam, yaitu konglomerat Sinar Mas yang bermasalah. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa proses ini akan panjang dan bermasalah. Bankbank lain dapat saja menghadapi permasalahan yang sama.52 Kekhawatiran in sebaiknya dilihat dari konteksnya. Indonesia kecil kemungkinannya menderita krisis perbankan lagi dengan skala seperti pada tahun 1997-99, hanya karena bank-bank sekarang memegang lebih sedikit pinjaman yang dapat menjadi buruk. Akan tetapi ketidakpastian mungkin berlanjut untuk beberapa waktu, sebagai mana juga resiko sehingga pemerintah akan lebih banyak melakukan penalangan. Apabila kesehatan keuangan industri perbankan membaik, permasalahan yang lain muncul: apakah bank-bank telah menata pengelolaan dan operasioperasinya sehingga mengurangi resiko permasalahan hutang baru. Beberapa, dihantui rasa takut oleh krisis dan dicemaskan oleh persaingan asing yang semakin tumbuh, telah mereformasi diri mereka sendiri secara internal. Akan tetapi, dalamnya dan efektifnya perubahan-perubahan tersebut, dan kesiagaan dari pihak berwenang bank sentral mungkin belum teruji sampai ekonomi pulih secara lebih kuat, dan bank-bank berada dalam suatu posisi untuk meminjamkan lebih luas. Mungkin terlalu dini untuk 51
Lihat Dow Jones, 6 Maret 2001. Pemerintah dan Bank Indonesia terperangkap dalam dilema. Apabila suku bunga tidak naik, rupiah bisa semakin jatuh dan perusahaan-perusahaan yang terikat hutang akan dipaksa untuk melakukan wanprestasi. Apabila suku bunga naik, beberapa bank tebesar Indonesia akan dirugikan. 52 Harian Business Times, 6 February 2001.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 21
menyimpulkan bahwa bank-bank umum sebagai suatu kelompok telah mengubah cara bank-bank tersebut mengelola diri sendiri dengan bijaksana dan dengan demikian tidak mudah terkena krisis -krisis di masa mendatang. Berkaitan dengan bank sektor publik, suatu sumber asing yang terpercaya menolak pendapat restrukturisasi interen pada tiga dari empat bank utama sebagai tidak lebih dari "formalitas” belaka, yang berarti perubahan bentuk ketimbang substansi. Sudah ada kemajuan pada Bank yang ke -empat, yaitu Bank Mandiri meskipun belum jelas seberapa efektif perubahan yang terjadi. 53 Kekhawatiran juga tetap ada bahwa bank-bank pemerintah didesak untuk memberikan pinjaman untuk maksud-maksud politik, meskipun ada peningkatan dalam pengawasan para auditor, para anggota DPR, LSM dan pers diharapkan akan mengurangi ruang kemungkinan untuk hal tersebut. C.
Bank Indonesia dan Pengawasan Bank Tugas pengaturan bank ada pada Bank Indonesia, sebagai bank sentral, suatu tugas yang gagal dilaksanakannya di masa Suharto. Peranannya ketika itu sebagai "agen pembangunan", yang memberikan pinjaman tersubsidi, juga disalahgunakan secara luas. Bank Indonesia, yang menurut pernyataan deputi gubernur senior Anwar Nasution, digunakan sebagai "kasir untuk Soeharto dan para penguasa." Nasution telah mengundurkan diri secara prinsip atas penyalah gunaan uang bank sentral sekalipun beliau tidak berada pada Bank Indonesia ketika itu, dan beliau menunggu pengganti untuk diangkat. Anggota-anggota lain dari dewan pengurus juga telah 54 mengundurkan diri. Penyalahan gunaan wewenang Bank Indonesia yang paling luar biasa adalah pengucuran pinjaman kepada bank-bank dengan permasalahan arus kas pada akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998. Pinjaman-pinjaman ini, yang dikenal dengan BLBI di Indonesia, telah menimbulkan skandal keuangan yang membuat skandal lainnya di Indonesia tampak kecil. Para auditor negara menemukan bahwa dari 144,5 trilyun rupiah (sekarang 15 milyar Dolar AS) dalam pinjaman tersebut, lebih dari 90 persen tidak dapat dipertanggungjawabkan dan lebih dari setengah tela h disalahgunakan. Tanggung jawab untuk menangkap para penyalah guna BLBI terletak pada Kejaksaan Agung, yang sedikit sekali mengalami kemajuan dan baru belakangan ini mengumumkan pada awal tahun 2001 kejaksaan agung sudah siap untuk menyidik para pejabat senior bank sentral. Seorang sumber yang terpercaya mengeluhkan bahwa mengingat korupsi dalam pengadilan dan
53
Wawancara tertutup ICG. Wawancara ICG dengan Nasution. Beberapa pengamat menghubungkan pengunduran ini dengan usaha-usaha pemerintah untuk menggantikan gubernur Bank Indonesia, meskipun Nasution menyangkal hal ini dalam kasusnya. 54
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 22
kurangnya kemauan politik untuk menyelesaikan kasus, mungkin tak seorang pun akan pernah dihukum.55 Jaksa Agung Marzuki Darusman sedang mengajukan suatu kasus terhadap Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, berkaitan dengan skandal Bank Bali, meskipun hal ini sering dilihat sebagai suatu usaha untuk menggantikan Sabirin dengan seorang pengikut setia pemerintah. Marzuki mengatakan catatan buruk departemennya lebih mencerminkan kesalahan-kesalahan taktis para jaksa penuntut dibandingkan korupsi. Bagi pengkritik seperti Indonesia Corruption Watch, sebuah LSM terkemuka, hal itu mensinyalir bahwa para jaksa penuntut telah disuap untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara buruk. ICW menginginkan supaya Marzuki mengundurkan diri dan telah mempertimbangkan untuk melakukan suatu tuntutan class action terhadap Kejaksaan Agung. 56 Bank Indonesia sendiri mengambil sedikit tindakan tegas untuk menghukum para pejabat yang korupsi dan yang tidak mampu. Seorang pejabat senior telah diturunkan pangkatnya karena skandal BLBI dan beberapa yang lain dialihkan dari pengawasan perbankan kepada departemen yang lain. Akan tetapi, Nasution mengatakan, bahwa sepengetahuannya, belum ada pejabat yang telah dituntut atau dipecat dari bank sentral. Bank Indonesia diberikan kemandiriannya dari pemerintah dengan undangundang yang dibuat oleh pemerintah Habibie pada tahun 1999 yang memberikan pengaman hukum yang kuat kepada dewan gubernurnya, termasuk Sabirin, terhadap pemecatan selain karena tindakan pidana. Pemerintah sekarang mengatakan bahwa memberikan Bank Indonesia perlindungan yang sedemikian tanpa mereformasinya terlebih dahulu adalah suatu kesalahan. Amandemen undang-undang oleh DPR telah menjadi terhambat dalam apa yang tampak sebagai keinginan pemerintah untuk menyingkirkan Sabirin dan keinginan dari beberapa partai politik untuk memenangkan pengaruh atas bank sentral. Keprihatian ini sedemikian menghawatirkan sehingga IMF telah menjadikan pengamanan kemandirian Bank Indonesia sebagai syarat untuk memulai lagi pemberian pinjaman. Meskipun dengan adanya gangguan-gangguan ini, Bank Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan pengawasannya atas sistem perbankan. Bank Indonesia mengeluarkan peraturan yang sejalan dengan standar internasional dan sekarang mengharuskan para eksekutif dari bankbank swasta untuk lulus uji kepatutan dan kelayakan. Bank Indonesia telah menempatkan stafnya di beberapa bank swasta sebagai pemantau, meskipun mereka sendiri dapat saja bukan bankir yang ahli, dan peraturan telah
55 56
Wawancara tertutup ICG. Wawancara ICG dengan Marzuki dan dengan staf pada Indonesian Corruption Watch.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 23
berubah dari bersifat longgar menjadi bersifat konservatif dan sesuai peraturan.57 Langkah-langkah ini hanya akan diuji dalam keadaan usaha yang lebih optimistik. Skenario kasus terbaik adalah bahwa langkah-langkah ini akan mengurangi masalah pengawasn lemah, korupsi dan pengaruh politik yang dialami BI pada masa lalu dan dengan demikian mengurangi resiko akan terjadinya krisis perbankan pada skala seperti tahun 1997-98. Tetapi mengingat kurangnya pemeriksaan hukum yang efektif atas perilaku tidak patut dari para pejabat, tampaknya permasalahan tersebut tidak mungkin bisa dihilangkan secara menyeluruh dalam waktu dekat ini. D.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional Bagian-bagian terdahulu telah membahas bagaimana krisis keuangan memaksa pemerintah untuk menyehatkan bank-bank dengan merekapitalisasinya dengan obligasi negara. Lembaga pemerintah yang diberikan tugas untuk mendapatkan kembali biaya-biaya adalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang didirikan pada bulan Januari 1998 untuk mengawasi penyelamatan bank dan menjual asset yang diambil alih dari bank dan para pemiliknya. Mandat ini akan berakhir pada tahun 2004.58 BPPN sekarang mengendalikan asset dengan nilai buku sekitar 550 trilyun rupiah, sekalipun nilai pasar yang dapat direalisasikan lebih rendah. Sekitar setengah dari asset BPPN adalah kredit macet yang diambil alih dari bankbank. Kebanyakan dari yang lainnya adalah saham pada bank-bank yang sudah dinasionalisasikan atau pada perusahaaan-perusahaan yang sudah diserahkan oleh para pemilik bank sebagai pengganti hutang-hutang mereka.59 Ketua BPPN diangkat oleh presiden akan tetapi badan tersebut berada dibawah kendali kementerian, utamanya melalui Komite Kebijaksanaan Sektor Keuangan (KKSK), yang mencakup menteri koordinator bidang perekonomian, menteri keuangan dan menteri perdagangan dan perindustrian serta kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). KKSK pada awalnya didirikan untuk mengkaji ulang keputusankeputusan BPPN sehingga dapat mempercepat dan memberikan perlindungan hukum bagi para pejabat BPPN yang takut mendapat tuduhan korupsi apabila mereka mengambil keputusan -keputusan yang tidak populer.
57
Wawancara ICG dengan Gunarni Soeworo, ketua Perhimpunan Bank-bank Nasional. IBRA di Indonesia dikenal sebagai Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau disingkat dengan BPPN. 59 Bank Dunia, "Mempercepat Pemulihan dalam Masa Tidak Menentu". 58
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 24
Peranan dari KKSK telah berkembang dalam bulan-bulan terakhir ini di bawah kendali Menteri Koordinator Rizal Ramli, dan KKSK semakin banyak mengambil keputusan-keputusan yang sebelumnya telah dibuat oleh BPPN. Hal ini secara tersirat tidaklah buruk akan tetapi telah mengu ndang banyak kritik dari para anggota DPR yang melihat KKSK sebagai suatu alat bagi pemerintahan Abdurrahman Wahid untuk melaksanakan prioritas-prioritasnya terhadap BPPN. 60 Pengendalian resmi lain atas BPPN adalah suatu dewan pengawas yang didirikan pada pertengahan tahun 2000. Kebanyakan dari anggota-anggota dewan tersebut adalah dari luar pemerintahan. Dewan ini tampaknya berdedikasi dan bersemangat, sekalipun wewenangnya untuk memanggil para pejabat atau untuk mengajukan tindakan hukum sangat terbatas. BPPN terutama sangat bergantung pada para konsultan dan penasihat, yang mana kebanyakan dari mereka adalah orang asing. 61 Sebagai suatu badan yang kaya dan berpengaruh, BPPN tampaknya tidak dapat menghindar untuk tunduk kepada tekanan-tekanan dari orang-orang yang mencoba, untuk mendapatkan akses atas kekayaannya maupun mencoba untuk menghentikan BPPN untuk mengambil tindakan atas kepentingan-kepentingan mereka. Para pejabat BPPN mengatakan para pengusaha dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya telah berusaha untuk mempengaruhi mereka, baik itu dengan suap maupun intimidasi. Sulit untuk mengatakan apakah korupsi meluas dalam BPPN. Tindak pidana keuangan hampir tidak pernah dibuktikan di pengadilan-pengadilan Indonesia, dan bukti yang subjektif tidak dapat dipercaya. Satu-satunya pejabat senior BPPN yang diadili adalah Pande Lubis, mantan kepala divisi penyehatan bank BPPN, yang dituntut berkaitan dengan skandal Bank Bali akan tetapi dibebaskan pada bulan Nopember 2000. Para pejabat BPPN dan pemerintah telah diketahui saling tuduh satu sama lain secara pribadi dengan keputusan yang meragukan, sekalipun wewenang veto KKSK menunjukkan bahwa tanggung jawab ada pada pemerintah ketimbang BPPN untuk memutuskan apakah suatu keputusan asalah untuk kepentingan publik. Beberapa keputusan tampaknya dipengaruhi faktor politik sedemikian rupa sehingga memberikan keuntungan bagi pengusaha dengan merugikan negara.62 Hal yang paling kontroversial dari kasus-kasus tersebut, yaitu restrukturisasi hutang Texmaco, dibahas kemudian dalam laporan ini.
60
Wawancara ICG dengan Faisal Baasir dari Komisi IX DPR; juga harian Jakarta Post, 15 February 2001. 61 Bloomberg, 2 Maret 2001. Penasihat keuangan asing utama BPPN adalah Lehman Brothers, sebuah Bank investasi Amerika Serikat. 62 Seorang pejabat BPPN mengeluhkan secara pribadi kepada ICG: "Ada terlalu banyak tekanan dari para stakeholder. Sebelumnya, bola api ada pada para debitur. Sekarang bola api menggelinding kepada kami."
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 25
Sifat yang sangat politis dari kerja BPPN tercermin dalam pergantian dari para pejabat seniornya yang sebagaimana pada departemen lainnya sering digantikan tanpa penjelasan kepada publik. Setelah Abdurrahman Wahid menjadi presiden pada bulan Oktober 1999, beliau menggantikan ketua BPPN Glenn Yusuf dengan Cacuk Sudarijanto. Beberapa pejabat senior meninggalkan BPPN semasa periode Cacuk, dan dia sendiri dipindahkan pada bulan Nopember 2000 bersama dengan seorang wakil dan digantikan oleh Edwin Gerungan. Sejak masuknya Gerungan, dua wakil direktur lainnya telah mengundurkan diri. Kurangnya penjelasan dari perubahan-perubahan ini membuat para pengamat membuat kesimpulan mereka sendiri. Cacuk mendapat reputasi sebagai seorang ketua BPPN yang lebih tegas, dan ada spekulasi bahwa kepindahannya dihubungkan dengan persaingan pribadi dengan Menteri Koordinator Rizal Ramli atau karena dia mengecewakan presiden. 63 Nama yang pada awalnya mengemuka sebagai pengganti Cacuk adalah seorang mantan bankir pemerintah yang telah dipindahkan dari posisinya semula pada atas desakan IMF, akan tetapi namanya tenggelam akibat adanya kritik publik. Posisi tersebut kemudian diberikan kepada Gerungan, seorang mantan eksekitif Citibank dengan suatu riwayat pekerjaan yang tidak kontroversial. BPPN menyadari kecurigaan yang ditimbulkannya. Di bawah kepemimpinan Cacuk, BPPN mulai mengadakan sesi coffee morning dan sesi afternoon tea secara teratur untuk para wartawan, dan sekarang BPPN memberikan jauh lebih banyak keterangan kepada publik dari pada kepada kebanyakan instansi pemerintah. Lebih kontroversial lagi, BPPN juga mempekerjakan sebagai para penasihatnya sejumlah ekonom Indonesia yang pendapat-pendaptanya secara teratur muncul dalam media dan yang diduga akan mengkritik tindakan-tindakan BPPN.64 Masih ada celah-celah yang mengkhawatirkan dalam keterangan yang diberikan oleh BPPN kepada publik. Kadang -kadang data tidak tersedia atau disajikan dalam suatu cara yang kepentingannya tersembunyi dari setiap orang yang tidak mengetahui banyak tentang permasalahan-permasalahan BPPN. Hasilnya adalah bahwa keputusan-keputusan yang dipengaruhi oleh korupsi atau tekanan-tekanan tidak patut lainnya dapat secara potensial tetap tersembunyi dalam begitu banyaknya data yang dipublikasikan. Pada saat yang sama, BPPN sendiri menghadapi banyak ketidakpastian keuangan dan hukum yang tidak dibuatnya sendiri sehingga sulit bagi instansi tersebut 63
Wawancara ICG dengan sumber-sumber orang Indonesia. Nama Cacuk dihubungkan oleh beberapa sumber dengan Hasyim Wahid, adik presiden, yang telah bertindak sebagai perantara dengan para debitur swasta BPPN. 64 Wawancara ICG dengan ekonom dan politisi Faisal Basri, yang mengatakan dia kaget mendapati uang yang ada pada rekening banknya karena dia tidak melakukan apa-apa bagi BPPN. Dia memutuskan untuk mengembalikan uang tersebut.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 26
untuk mengatakan secara tepat dimana dia berdiri atas permasalahanpermasalahan tertentu. 65 E.
Penjualan Asset. BPPN (IBRA) ditugaskan untuk menjual asset yang diambil alih dari debitordebitor selama rekapitalisasi Bank. Sasarannya tahun ini adalah untuk menghimpun uang tunai sebanyak 27 triliun rupiah untuk anggaran, yang mungkin sulit untuk dicapai66. Lembaga tersebut sangat tergantung pada penjualan asset yang diserahkan oleh suatu konglomerat, kelompok Salim, yang bank in-housenya telah meminjam uang negara dalam jumlah yang banyak selama tahun 1997-1998. Nilai dari asset ini ternyata jauh lebih rendah dari hutang-hutangnya, dan pemerintah kini sedang merundingkan untuk asset yang lebih banyak. Proses ini dapat menunda penjualan perusahaan-perusahaan Salim yang sudah dipegang oleh BPPN. Lembaga tersebut juga mengalami kesulitan untuk memaksa pemilik bank untuk menyerahkan asset yang sama dengan hutangnya: dalam kasus Dipasena, suatu perusahaan budidaya udang yang diambil dari pengusaha Syamsul Nursalim, perusahaan pada mulanya dinilai sebesar U.S. $ 1,8 milyar, tetapi nilai sebenarnya diperkirakan hanya sebesar U.S. 100 juta. 67 Usaha BPPN untuk menjual asset-asset sudah lama terjebak dalam perdebatan politik tentang harga yang dapat diterima. Nilai pasar dari asset BPPN ternyata jauh lebih rendah dari nilai di mana BPPN menerimanya. DPR telah menetapkan bahwa penjualan asset seharusnya memperoleh kembali sekitar 70 per sen dari nilai dimana asset tersebut diserahkan kepada BPPN, tetapi para analis mengatakan bahwa tingkat pengembalian yang lebih masuk akal adalah 30-40 per sen. Hal ini sebagian disebabkan karena keadaan pasar yang buruk dan sebagian karena manipulasi oleh pemilik yang sebelumnya, yang menggelembungkan nilai asset sebelum diserahkan kepada Pemerintah. Pemerintah dan DPR enggan menerima sasaran yang lebih rendah ini karena ini sama dengan mengakui bahwa negara tidak akan memperoleh kembali biaya rekapitalisasi perbankan. Namun biaya ini mungkin meningkat lebih cepat dari kemampuan BPPN untuk membayar kembali. Sekalipun lembaga
65
BPPN secara independen diaudit tahun lalu oleh sebuah perusahaan akunting yang tidak memberikan pendapatnya atas temuan-temuannya, suatu praktek yang tidak biasa, terutama karena banyakanya pertanyaan yang BPPN sendiri tidak dapat menjawabnya tentang nilai dari aktivanya dan jumlah passivanya. Rekening BPPN yang diaudit untuk tahun 1998 dan 1999 ada pada websitenya, www.bppn.go.id). 66 Wakil Ketua BPPN Slamet Sumantri, yang dikutip oleh The Jakarta Post, 8 Januari 2001, menggambarkan kesulitan mencapai sasaran ini “sangat besar.” Sebaliknya, seorang pejabat BPPN yang telibat dalam penjualan aktifa, Phoa Bing Han, mengatakan kepada ICG bahwa sasaran tersebut dapat dicapai asalkan ketidakstabilan politik di Indonesia tidak mengusir para pembeli. 67
Bloomberg, 2 Maret 2001
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 27
itu memenuhi sasarannya menghimpun uang tunai 27 triliun dan membeli kembali obligasi sebesar 10 triliun rupiah dengan cara lain, maka bunga yang terhutang atas obligasi bank tahun dianggarkan sebesar 56 triliun Rupiah dan biayanya akan lebih besar lagi apabila suku bunga dalam negeri terus meningkat. Perdebatan tentang harga yang dapat dirangkum sebagai “jual sekarang atau jual kemudian.” Para penganut pendapat “jual sekarang,” yang termasuk IMF dan beberapa ekonom Indonesia, percaya bahwa apabila BPPN menjual beberapa perusahan yang baik secara murah, maka para penanam modal akan kembali menjadi tertarik kepada Indonesia, dan harga asset akan berangsur-angsur meningkat. Para penganut pendapat “jual kemudian” termasuk anggota DPR, yang menolak obral murah perusahaan Indonesia kepada orang asing dengan pertimbangan nasionalisme. Perusahaan debitor juga memiliki kepentingan dalam mencegah perusahaan dijual secara murah kepada pihak ketiga, walaupun sangat sulit untuk membuktikan bahwa mereka melakukan lobi terhadap permasalahan ini. Pandangan “jual sekarang” belum teruji. Tidak dipertanyakan lagi bahwa Indonesia harus menjual asset untuk mengurangi hutangnya dan menarik kembali modal asing, tetapi harga asset yang murah dengan sendirinya mungkin tidak cukup untuk menarik penanam modal yang terhalang oleh ketidakpastian politik dan hukum yang lebih besar. Akan tetapi, pendapat jual kemudian didasarkan oleh apa yang tampak sebagai harapan berlebihan para anggota DPR dan pelaku usaha bahwa penanaman modal asing akan kembali tanpa konsesi yang menyakitkan bagi pihak Indonesia. DPR telah dua kali mencegah penjualan dua bank yang telah diambil alih negara, Bank Central Asia dan Bank Niaga, karena kekhawatiran tentang harga pasar yang rendah, walaupun pada akhirnya menyetujui pada akhir February 2001 untuk membiarkan penjualan tersebut. Penundaan memancing protes dari IMF, pemerintah Amerika Serikat dan Menteri Keuangan Indonesia, Prijadi Praptosuhardjo, yang juga berargumen bahwa sasaran penjualan asset IMF terlalu spesifik. 68 Suatu dilema kebijaksanaan berada di belakang perdebatan jual sekarang atau kemudian. Apabila penanam modal asing tidak dapat dibujuk untuk membeli asset, maka kemungkinan satu-satunya bagi pembeli potensial adalah pelaku usaha Indonesia. Kelompok ini termasuk pengusaha yang sama yang telah membantu menciptakan krisis dan kini berharap untuk membeli kembali perusahaan mereka dengan harga yang teramat miring. Pemerintah telah berusaha untuk melarang praktek seperti ini, yang secara 68
Pendirian pemerintah Amerika Serikat dinyatakan dalam pernyataannya kepada pertemuanpertemuan CGI di Tokyo pada bulan Oktober 2000, yang dapat dijumpai pada www.worldbank.or.id. Komentar Prijadi dilaporkan dalam www.koridor.com, tanggal 6 February 2001.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 28
efektif berarti bahwa para pengusaha memperoleh kembali perusahaannya dengan pemutihan atas kebanyakan hutang mereka. Kesulitan untuk menegakkan larangan ini dan langkanya penanam modal alternatif berarti bahwa, beberapa perusahaan akan kembali ke tangan pemiliknya yang terdahulu. Seperti halnya dengan swastanisasi, penjualan asset BPPN dapat memicu protes dari para pekerja atau masyarakat setempat di suatu daerah di mana suatu perusahaan berada. Penjualan BPPN atas perkebunan kelapa sawit di Sumatra baru-baru ini kepada suatu perusahaan Malaysia telah tertunda karena penolakan warga setempat, yang mengatakan bahwa ada tanah yang dirampas dari mereka selama masa pemerintahan Soeharto, dan dari kelompok pengusaha minyak kelapa sawit Indonesia, yang mengklaim bahwa penjualan tersebut akan memberikan keuntungan yang kurang adil kepada kompetitor asing. DPR memihak kepada mereka yang menolak, walaupun penjualan tersebut diselesaikan setelah beberapa minggu penundaan. F.
Restrukturisasi Hutang Swasta Setelah mengambil alih pinjaman macet dari bank-bank, BPPN memiliki tugas untuk menyehatkannya sehingga mereka kembali menjadi layak dan dapat dijual kembali kepada industri perbankan. Hal ini dapat berarti menunda pembayaran bunga atas suatu pinjaman dan menukarkan pinjaman itu dengan saham yang dimiliki oleh debitur atau apabila debitur menolak untuk bekerja sama dengan BPPN, menyita dan menjual asset yang dijadikan jaminan pinjaman tersebut. Para debitor terbesar di Indonesia sangat kaget ketika mata uang rupiah jatuh pada pertengahan tahun 1997. Beberapa melakukan perundingan kembali hutang-hutang mereka dengan itikad baik, sementara yang lain tidak tahu cara untuk memperbaiki keuangan mereka. Banyak di antara mereka mengulur waktu dengan harapan dapat memperoleh persyaratan lunak dari para kreditur termasuk dari BPPN dan bank-bank swasta. Para Bankir dan konsultan menggambarkan keengganan yang mendalam di antara para pelaku usaha Indonesia untuk menerima tingkat pertumbuhan yang tidak terkontrol di masa-masa pemerintahan Soeharto adalah masa lalu. Beberapa pemilik perusahaan yang berhutang enggan menyerahkan kendali kepada para kreditur atau menjual kepemilikan mereka untuk membayar hutang. Keengganan ini dibantu dengan pejabat pemerintah yang berkeras bahwa kongomerat yang berhutang hanya dapat dikelola oleh pemilik me reka yang asli, orang-orang yang justru telah membawanya kepada kebangkrutan. Kelemahan pengadilan telah mencegah kreditur untuk menggunakan ancaman kepailitan untuk memaksa para debitor untuk melakukan perundingan dengan itikad baik. Pengadilan terkadang tidak memiliki keahlian teknis untuk mengkaji transaksi yang kompleks tetapi permasalahan utama
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 29
pada umumnya diduga adalah betapa mudahnya para debitur dapat menyuap para hakim. Diperkenalkannya pada tahun 1998 atas suatu revisi undang-undang kepailitan yang lebih condong kepada para kreditur ketimbang undang-undang yang lama belum mengubah keadaan ini. Pemerintahan Abdurrahman Wahid telah mengambil langkah-langkah untuk menangani korupsi dalam pengadilan. Pemerintahan telah memindahkan beberapa hakim dan merekrut hakim ad-hoc dari para pengacara, pensiunan hakim dan akademisi untuk menjabat dalam kasus-kasus komersil. Sebagai akibatnya, BPPN telah memenangkan beberapa kasus terakhir di mana sebelumnya mungkin mereka kalah. 69 Menteri Kehakiman yang baru yang ditunjuk pada bulan February 2001, Baharuddin Lopa, telah berjanji untuk mengambil tindakan tegas terhadap korupsi. Tetapi perimbangannya mungkin masih condong menjauhi penyelesaian yang adil terhadap perselisihan tanpa adanya usaha yang terkoordinir untuk menangani gaji yang rendah dan pelatihan yang buruk pada aparat peradilan dan memberlakukan sanksi yang tegas terhadap hakim -hakim yang korup. Sekarang terdapat suatu kecenderungan yang menjauhi pendekatan hukum garis keras menuju pendekatan yang mengakomodir para debitor. Jaksa Agung, Marzuki Darusman, mengakatan bahwa pemulihan hutang dari debitor swasta diberikan prioritas yang lebih tinggi ketimbang membawa mereka ke pengadilan, mengingat resiko bahwa pengadilan akan gagal. 70 BPPN memiliki kekuasaan hukum untuk menyita jaminan pinjaman dari para debitor berdasarkan suatu peraturan yang dikenal sebagai PP17. Peraturan tersebut memungkinkan BPPN memotong jalur pengadilan, tetapi kadangkadang sangat sulit untuk diberlakukan karena departemen lain ke beratan atau karena tekanan politik untuk tidak menggunakannya. Apabila BPPN menggunakan PP17 secara luas, BPPN harus mencari dan mengangkat sejumlah besar pengelola untuk mengelola perusahaan-perusahaan yang diambil alih. Resikonya yang tetap adalah para pemilik terdahulu mungkin mencoba untuk mengganggu pengelolaan perusahaan tersebut sedemikian rupa sehingga memaksa BPPN untuk condong kepada kepentingan mereka. Untuk alasan-alasan ini, BPPN seringkali memilih untuk membiarkan perusahaan debitor di bawah kendali pengelola yang ditunjuk oleh pemiliknya yang semula. Walaupun terdapat permasalahan hukum, BPPN secara berangsur-angsur merundingkan kesepakatan dengan debitor utamanya. Pertanyaan kemudian timbul sejauh mana kesepakatan-kesepakatan tersebut masuk ke dalam kepentingan negara, ketimbang kepentingan debitor. IMF dan Bank Dunia khawatir kebanyakan membiarkan perusahaan-perusahaan untuk menunda 69
Komentar kepada ICG oleh Robertus Bilitea dari bagian hukum BPPN. Sekarang terdapat tiga belas hakim Ad- hoc. 70 Wawancara ICG dengan Marzuki
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 30
pembayaran kembali hutang ketimbang memaksa mereka untuk menjadi lebih menguntungkan, misalnya dengan menjual atau menutup anak-anak perusahaan yang merugi. Selanjutnya ada rasa takut bahwa perusahaanperusahaan tersebut tidak akan mampu membayar hutangnya pada saat jatuh tempo di masa yang akan datang. 71 BPPN menghadapi suatu dilema. Semakin lama perusahaan terhambat dengan hutang yang tidak terselesaikan, semakin lama mereka dapat kembali dalam usaha mereka dan menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi. Tetapi kelemahan sistem hukum berarti penyehatan yang cepat mungkin akan sulit diatur, kecuali BPPN menawarkan persyaratan kompromi yang lunak kepada debitor dengan merugikan negara. Sudah dimaklumi bahwa BPPN harus dapat memaafkan hutang tertentu atau memberikan kredit yang baru untuk membantu perusahaan yang layak untuk pulih kembali. Tetapi ada resiko bahwa perusahaan yang tidak bertindak atas dasar itikad baik atau memiliki prospek yang buruk juga ikut tertolong dengan merugikan negara. Resiko tersebut meningkat dengan sering terjadinya perkoncoan dalam budaya politik Indonesia. Ada dugaan para pejabat dan politisi dapat berusaha untuk mengatur kesepakatan yang menguntungkan dengan imbalan pembayaran atau balas jasa dari para debitor. Memang terdapat kepercayaan yang umum dalam masyarakat keuangan Indonesa bahwa korupsi dan campur tangan politik berperan dalam penyehatan hutang, tetapi hal ini sulit untuk dibuktikan dalam setiap kasus tertentu, dan dugaan jarang lebih dari sekedar desas desus. Kompleksitas modal keuangan BPPN dan kurangnya keterbukaan atas keterangan kunci yang menyulitkan untuk memperkirakan sia pa yang untung dan siapa yang rugi dari penyehatan tertentu. Walaupun demikian, ada kasus tertentu di mana bahwa penyehatan adalah untuk keuntungan debitor di mana debitor yang dekat dengan pejabat senior. Kasus yang paling menghebohkan adalah kasus Texmaco. Konglomerat ini terkena permasalahan hutang pada akhir tahun 1997 dan menggunakan pengaruhnya dengan Soeharto untuk kembali meminjam uang sebanyak US$ 1,2 juta dari negara. Setelah Abdurrahman Wahid menjadi presiden, salah satu menterinya mengungkapkan bahwa Texmaco telah berkolusi dengan pejabat pemerintah untuk memperoleh pinjaman -pinjaman tersebut. Akan tetapi, penyelidikan dihentikan atas dasar permasalahan teknis dan sang menteri, Laksamana Sukardi, kemudian diganti dengan alasan yang masih tidak jelas. 71
Bank Dunia “Mempercepat Pemulihan dalam masa Tidak pasti”. Salah satu bankir swasta Indonesia menegaskan kepada ICG bahwa hanya 10 persen perusahaan yang sedang disehatkan oleh BPPN yang sebenarnya patut untuk diselamatkan. Menurut bankir tersebut sisanya seharusnya dilelang kepada penawar tertinggi.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 31
Atas tekanan IMF, BPPN mengambil alih hutang Texmaco yang berjumlah US$ 2,7 milyar kepada negara dan menyelesaikan suatu perjanjian penyehatan pada bulan September 2000. Perjanjian ini memungkinkan pemilik Texmaco, Marimutu Sinivasan, untuk membayar kembali hutang dengan persyaratan yang sangat lunak dan untuk kemudian memperoleh kembali kendali kelompok tersebut. BPPN menganggap bahwa konglomerat yang merugi itu akan menjadi lebih besar dan lebih menguntungkan dari pada sebelumnya dan bahwa BPPN dapat memantau perjanjian secara efektif. Kedua anggapan tersebut masih dipertanyakan. 72 Alhasil, BPPN sedang melakukan pertaruhan yang sangat beresiko tentang masa depan Texmaco. Kemungkinannya adalah tidak hanya hutang tersebut tidak terbayar tetapi negara akan menyuntik lebih banyak lagi uang dengan harapan untuk menjadikan Texmaco lebih menguntungkan. Para anggota DPR telah mempertanyakan rencana Texmaco untuk kembali meminjam uang sejumlah US$ 60 juta dari suatu Bank Negara, dan IMF dilaporkan telah meminta Texmaco untuk tidak diberikan lagi dana negara. 73 Presiden Abdurrahman Wahid telah berbicara mendukung Sinivasan dan beberapa pengusaha debitor dalam beberapa kesempatan, dan banyak sumber ICG di Indonesia percaya bahwa dirinya melindungi Texmaco dengan imbalan dukungan dari Sinivasan.74 Rizal Ramli, Menteri Koordinator Ekonomi, merupakan mantan konsultan Texmaco, dan Taufik Kiemas, suami dari Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, juga telah mendukungnya dalam pembicaraan. IMF telah meminta pemerintah untuk menerbitkan kajian independen atas Perjanjian-perjanjian BPPN dengan Texmaco dan perusahaan besar debitor lainnya, tetapi sementara ini pemerintah belum melakukannya.
V.
KONTEKS POLITIK
A.
Hambatan-hambatan atas Reformasi Indonesia sekarang sedang mengalami bentuk politik koalisi yang sangat tidak stabil, di mana pemerintahan yang lemah dan terbagi-bagi berusaha untuk menciptakan kebijakan -kebijakan yang kemudian ditentang oleh DPR dan dilawan oleh kelompok kepentingan dalam birokrasi dan usaha-usaha besar. Ditambah tekanan dari IMF, pers dan kelompok-kelompok
72
Nota kesepahaman antara IMF dan Texmaco, wawancara dengan Laksamana Sukardi, Lin Che Wei analis dari SG Securities di Jakarta dan sumber-sumber lain yang memahami kasus ini. Texmaco menjual aktifa yang berharga di luar negeri selama perundingannya dengan BPPN, di mana pejabatnya hanya mengetahui hal itu dari surat kabar. Dow Jones Newswires, 6 Desember 2000. 73 Wawancara ICG dengan wartawan yang berbasis di Jakarta. 74 Jakarta Post, 20 Oktober 2000.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 32
kemasyarakatan, dan hasilnya pengambilan kebijakan yang cenderung untuk bersifat ad-hoc, jangka-pendek dan kurang terkoordinasi. Kebijakan juga dapat terdistorsi oleh korupsi yang sistematis, tersebar luas, dan berurat berakar dalam lembaga-lembaga negara.75 Kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid hampir setiap saat ditentang oleh DPR yang sering bersikap tegas , dan dimana pengikut setia presiden merupakan minoritas kecil. Sebagai akibat, bahkan permasalahan teknis sekalipun dipolitisir, seperti perdebatan tentang amandemen undang-undang bank sentral. Keadaan diperparah dengan kurangnya pengetahuan Presiden akan ekonomi dan kecenderungannya untuk mendengarkan para pelobi yang menginginkan perubahan kebijaksanaan demi keuntungan mereka sendiri. 76 Satu lagi faktor pendistorsi adalah keinginan dari para politisi untuk mengambil kendali sumber daya negara untuk membangun partai mereka sebelum pemilihan umum tahun 2004, untuk memperkuat jaringan perkoncoan atau memperkaya diri mereka.77 Para pendukung dari Presiden yang berkuasa bagaimanapun juga berada dalam posisi yang paling memudahkan untuk memperoleh jabatan negara, walaupun partai lain dapat menuntut agar kadernya juga diberikan jabatan tersebut sebagai imbalan kesetiaan. Faktor ini mungkin dapat menjelaskan seringnya penggantian pejabat di BPPN dan lembaga ekonomi lainnya. Presiden Abdurrahman Wahid menghadapi tuntutan untuk mundur atas dua skandal keuangan. Akibatnya politik perkoncoan mungkin akan memanas dalam bulan-bulan berikutnya sedangkan presiden dan lawan politiknya masing-masing mencoba untuk memperkuat dukungannya di antara para elit politik. B.
Pemerintah Kabinet yang sekarang ini merupakan yang kedua dalam kepresidenan Abdurrahman Wahid. Kabinet yang pertama, suatu koalisi partai- partai utama, mengalami kesulitan untuk melaksanakan LOI, dengan hasil di mana IMF menghentikan pinjaman selama dua bulan pada pertengahan tahun 2000. Partai-partai memberikan Abdurrahman Wahid kebebasan dalam memilih kabinet baru pada bulan Agustus. Tim ekonomi yang baru, yang dipimpin Menteri Koordinator Rizal Ramli, pada awalnya memberikan kesan yang baik, walaupun terdapat suatu kontroversi dalam pemilihan menteri
75
Korupsi di sini dalam arti penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Di Indonesia, korupsi dianggap sebagai bagian dari ekonomi informal dalam pembayaran dan balas jasa yang mendasari susunan formal pemerintahan dan politik. Pengaruhnya sangat sulit untuk dibuktikan secara hukum karena polisi dan pengadilan sendiri juga dicurigai melakukan korupsi. 76 Untuk pembahasan tentang Kepresidenan Abdurrahman Wahid Wahid, lihat Kertas brifing ICG berjudul Krisis Kepresidenan Indonesia (Indonesia’s Presidential Crisis), 21 February 2001. 77 Seorang pejabat senior dalam sebuah partai menengah mengeluh kepada ICG bahwa jauh dari mempersiapkan pemilihan umum berikutnya, para pimpinan partainya menjalankan gaya hidup uang mewah sementara organisasi partai itu sendiri kekurangan dana.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 33
keuangan Prijadi Praptosuhardjo, seorang pejabat dari sektor pemerintah yang sarat masalah dan seorang teman dekat presiden. 78
bank
Rizal Ramli seorang mantan ekonom konsultan dengan latar belakang lembaga swadaya masyarakat, dikenal sangat menentang para pengusaha Indonesia etnis Tionghoa yang maju di bawah Soeharto. Dirinya sering disebut sebagai tidak sabar dalam menghadapi prosedur yang berlaku, dan reputasinya dipersulit dengan hubungannya dengan Texmaco, dimana dia menjadi penasehat sebelum menjadi menteri. Kabinet ini sekarang dikecam untuk kesalahan yang sama dengan kabinet sebelumnya; kurangnya konsistensi, koordinasi antar departemen yang lemah dan tuduhan-tuduhan bahwa para pejabat tingginya, termasuk presiden, digerakkan oleh motif kelompok atau pribadi ketimbang kepentingan nasional. Ramli dan Prijadi saling berkontradiksi di depan umum, dan Ramli disebut-sebut telah memberitahu kenalannya pada akhir tahun yang lalu bahwa dirinya berharap untuk menggantikan Prijadi sebagai menteri keuangan. 79 Lembaga-lembaga pemerintah yang terlibat dalam kebijaksanaan ekonomi termasuk kementerian koordinasi untuk ekonomi dan departemen keuangan, serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Bank Indonesia dan BPPN juga memerankan perananan yang penting, walaupun mereka tidak diwakili di tingkat kabinet, dan banyak departemen lainnya mungkin memberikan masukan (atau keberatan) terhadap kebijakankebijakan tertentu. Terdapat suatu kesimpang siuran dalam peranan lembaga-lembaga ini dan hubungan antar mereka. Sebagai contoh, Departemen Pemberdayaan BUMN (dibubarkan pada pertengahan tahun 2000) tadinya mengendalikan bankbank pemerintah sebelum wewenang ini diambil alih oleh departemen keuangan setelah perebutan wewenang pada akhir tahun. Presiden Abdurrahman Wahid pertama-tama memihak kepada Departemen Pemberdayaan BUMN, kemudian berubah pikiran setelah berselang beberapa hari dan memutuskan untuk memihak Departemen Keuangan, yang kemudian melingkupi saingannya itu. Abdurrahman Wahid telah meningkatkan jumlah lembaga-lembaga yang terlibat dalam kebijakan ekonomi yang sebenarnya sudah besar dengan mendirikan tiga dewan penasehat ekonomi dan bisnis. Para anggota dewan ini termasuk, yang kontroversial, beberapa pengusaha debitor yang 78
Beberapa sumber ICG yang pernah berurusan dengan Prijadi mengatakan bahwa, menyadari reputasi dan kurang pengalamannya, ia berkonsultasi secara luas dan cenderung untuk mengikuti saran staffnya. Ha ini kadang-kadang menempatkannya berlawanan arah dengan presiden. 79 Wawancara tertutup ICG.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 34
melakukan perundingan dengan BPPN. Dirinya juga mendirikan suatu kementrian muda untuk restrukturisasi ekonomi. Jabatan tersebut sekarang sedang dipegang oleh Cacuk Sudarjanto, mantan kepala BPPN, tetapi kementriannya tampaknya memiliki wewenang atau tanggung jawab yang kecil. Sri Mulyani Indrawati, seorang ekonom akademik dan mantan penasehat presiden, mengatakan bahwa departemen-departemen menempuh jalan sendiri-sendiri dalam menetapkan kebijakan dalam kerangka yang luas dari LOI, dan pada kenyataannya Ramli tidak memiliki wewenang untuk menegakkan koordinasi. Kebijaksanaan dibuat secara ad-hoc, dan akibatakibatnya tidak diteliti dari awal. Akibatnya, pemerintah selalu merevisi kebijaksanaan setelah kebijakan-kebijakan tersebut diumumkan dan merasakan semakin sulitnya untuk mempertahankan kebijakan tersebut terhadap kecaman. 80 C.
DPR Tidak lebih sebagai alat dari lembaga eksekutif pada masa Orde Baru, DPR kini melihat dirinya berperan sebagai pemeriksa yang agresif. Sedikit sekali kebijakan yang melewati mereka tanpa tantangan, dan para pejabat menghabiskan semakin banyak waktu untuk membela keputusan-keputusan di hadapan para anggota DPR yang terkadang mengasumsikan secara a priori bahwa pemerintah bermaksud untuk mengelabuinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan DPR termasuk tekanan masyarakat, persaingan antar partai, ambisi, keinginan untuk mereformasi lembaga-lembaga yang telah terdiskreditkan dan kecurigaan terhadap pengaruh Orde Baru dan pengaruh asing. Faktor-faktor ini bercampur sedemikian rupa sehingga sulit untuk dinilai atau diramalkan dari luar. Satu lagi faktor, menurut banyak pertimbangan, adalah pemberian suap kepada anggota DPR oleh kelompok pengusaha dan juga pejabat-pejabat pemerintah. 81 Kemampuan DPR untuk membuat keputusan-keputusan yang berwawasan sangat tidak memadai akibat kurangnya pengetahuan khusus dari para anggotanya. Hanya satu dari lima anggota Komisi IX, yang menangani masalah keuangan, memiliki latar belakang usaha. Dana untuk membiayai penelitian khusus dan teknis yang membantu anggota DPR untuk mengambil keputusan yang tepat juga terbatas, akan tetapi DPR memainkan peranan yang semakin besar dalam mempengaruhi pelaksanaan kebijaksanaan.
80
Wawancara ICG. Sri Mulyani mundur sebagai penasehat Presiden pada pertengahan tahun 2000. Dia menegaskan bahwa Abdurrahman Wahid Wahid mengabaikan para penasehatnya untuk lebih memperhatikan para pelobi dan sudah tidak mungkin bagi orang-orang yang memiliki integritas profesional untuk bekerja untuk dia. 81 Wawancara denga n staf Indonesian Corruption Watch dan pejabat pemerintah senior.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001 D.
Hal 35
Sistem Hukum Sistem dan kelembagaan hukum di Indonesia diakui tidak efisien dan sangat rentan terhadap korupsi. Walaupun kurangnya pengetahuan hukum di antara para hakim, penuntut dan polisi menghambat sistem ini, korupsi sering dilihat sebagai faktor yang lebih nyata. Baik dalam kepolisian maupun kehakiman, diduga sudah melembaga, di mana staf harus membayar uang suap untuk memasuki profesi dan naik jabatan, dengan asumsi bahwa mereka sendiri akan mendapatkan kembali investasi tersebut dengan menerima suap. 82 Terdapat kekhawatiran tentang kemungkinan kepolisian menggunakan kekuasaan mereka untuk membantu debitor atau untuk memeras uang dari para pihak yang terlibat dalam kasus hukum.83 Kantor Jaksa Agung juga dianggap sebagai pusat korupsi potensial, di mana staff dapat menerima suap untuk mengulur waktu dalam penyelidikan terhadap pejabat senior atau pengusaha. Perkembangan yang baru dan yang mengkhawatirkan adalah usaha pemerintah untuk menggunakan ancaman penyelidikan korupsi atau pajak sebagai senjata terhadap lawan-lawannya. Abdurrahman Wahid telah mengucapkan ancaman ini terhadap orang yang dianggap lawan politiknya sekurang-kurangnya dua kali.
VI.
RANGKUMAN Kemampuan Indonesia untuk melaksanakan tindakan-tindakan pengurangan hutang yang sepenuhnya sejalan dengan keinginan kreditur luar, sebagaimana ditetapkan dalam LOI, kemungkinannya sangat terbatas untuk beberapa waktu mendatang. Hal ini sebagian disebabkan oleh banyaknya hambatan politik dan hukum dan sebagian karena dalam sistem di mana perkoncoan memainkan peranan yang penting, maka pemerintah akan tetap tidak mampu atau tidak mau untuk menentang kelompok kepentingan yang kaya dan berkuasa yang menentang reformasi. Hubungan antara Indonesia dan IMF yaitu krediturnya yang paling berpengaruh, tampaknya akan tetap bergejolak bahkan setelah hambatan yang sekarang ini diselesaikan. IMF tidak dapat diharapkan untuk melakukan
82
Lihat laporan ICG Laporan Asia No. 13, Indonesia: Reformasi Kepolisian Nasional, 20 February 2001. 83 Para diplomat Barat telah mengajukan kekhawatiran ini berkaitan dengan kasus Manulife. Manulife, suatu perusahaan Asuransi Kanada, telah membeli saham dalam suatu perusahaan asuransi lokal dan kemudian dikenai penyelidikan penipuan yang gencar dari polisi. Sumbersumber yang dekat dengan Manulife mengakui bahwa polisi bekerja sama dengan mantan pemilik saham yang bangkrut ini untuk menghalangi penjualan dan polisi meminta imbalan atas pembatalan penyelidikan tersebut.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 36
kompromi atas prinsip dasarnya, seperti kemandirian politis Bank Sentral. Tingginya perincian dalam programnya mungkin mencerminkan kurangnya kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah untuk memenuhi sasaran yang lebih umum tanpa melakukan desakan. Namun demikian, banyaknya sasaran khusus dan batas waktu dalam program tampak menimbulkan resiko, mengingat kemungkinan kegagalan pemerintah dalam memenuhi beberapa diantaranya. Pemikiran global iIMF sedang bergeser kepada “persyaratan yang disederhanakan” di mana sejumlah persyaratan yang khusus dalam suatu program dikurangi. 84 Dalam hal Indonesia, ada alasan yang kuat untuk mengurangi tingkat persyaratan dari segi program di mana yang penting adalah pencapaian sasaran kebijakan yang luas dan terdapat resiko tinggi penundaan untuk alasan yang di luar kendali langsung pemerintah. Salah satunya adalah penjualan asset. Persyaratan bagi pemerintah untuk menjual bank-bank tertentu hingga batas waktu tertentu mungkin terlalu mendesak, mengingat bahwa tujuan kebijakan ini lebih luas yaitu untuk mencapai sasaran hasil pemasukan yang diiinginkan. Harus diingat juga bahwa penjualan asset tidak otomatis mengilhami pemulihan luas atas penanaman modal tanpa adanya peningkatan stabilitas politik dan kepastian hukum Terdapat berbagai wacana , seperti perlunya lebih banyak transparansi dalam kegiatan BPPN, di mana maksud IMF tampak didukung secara luas di Indonesia akan tetapi terdapat kontradiksi antara kemauan untuk restrukturisasi cepat atas hutang swasta dan kemauan untuk membuat proses tersebut transparan dan tidak menambah beban keuangan negara. Mengingat pengaruh berlebihan debitor atas sistem hukum dan proses politik, restrukturisasi yang cepat belum tentu transparan ataupun bermanfaat bagi masyarakat. Apabila prioritasnya adalah transparansi, maka peminjam luar harus menerima bahwa proses restrukturisasi akan memakan waktu yang lebih lama. Setidaknya pada satu kasus yang penting, yaitu Texmaco, pejabat pemerintah telah menyebutkan ketatnya batas waktu yang dikenakan oleh IMF untuk membenarkan suatu perjanjian restrukturisasi hutang yang secara luas dipandang sebagai kesalahan. Pihak pemberi pinjaman luar negeri mungkin tidak mau untuk mempertimbangkan penjadwalan ulang lebih lanjut, atau bahkan pengurangan, atas hutang pemerintah jika mereka merasa pemerintah telah menjauh dari reformasi yang memberikan manfaat kepada rakyat Indonesia karena pertimbangan politik jangka pendek. Tetapi apabila kemampuan Indonesia untuk membayar hutangnya melemah untuk alasan yang di luar 84
The Economist, 17 February 2001.
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 37
kendali pemerintah, maka para peminjam harus memilih antara memberikan keringanan (dalam bentuk penjadwalan uang atau keringanan lainnya) atau menyaksikan pemerintah melakukan wanprestasi. Ada pendapat di dalam dan luar Indonesia bahwa dalam keadaan sulit yang tersebut diatas memang ada beban moral atas pemberi pinjaman untuk memberikan perlakuan simpatik termasuk penghapusan atas beberapa hutang. Beban moral menurut pendapat ini disebabkan oleh peran para pemberi pinjaman dalam menciptakan keadaan yang menjurus kepada krisis ekonomi Indonesia. Permasalahan pengurangan hutang publik Indonesia kepada tingkatan yang lebih dapat dikendalikan tidak dapat dipisahkan dari permasalahan yang lebih besar dari politik yang terfragmentasi , sistem hukum yang tidak berfungsi dan budaya politik yang didominasi oleh perkoncoan dan korupsi. Pihak pemberi pinjaman harus mengurangi pengharapan atas apa yang dapat dilaksanakan tanpa adanya pemerintahan yang memiliki dukungan mayoritas yang mantap dalam DPR dan juga kemauan politik untuk menjauhkan diri dari kepentingan kelompok tertentu. Pada saat yang sama, kemajuan yang lambanpun akan memiliki pengaruh positif, walaupun kecil, dalam mengurangi resiko wanprestasi dan beban hutang atas rakyat Indonesia, serta mengurangi beban tekanan ekonomi yang turut berperan dalam penciptaan ketidakstabilan politik dan kerusuhan sosial. Pada saat ini pihak pemberi pinjaman luar negeri tidak memiliki pilihan selain memusatkan lobi mereka kepada kebijaksanaan tertentu yang sangat penting dan/atau dapat dibuat dapat diterima oleh pembentuk opini di Indonesia. Hal ini tidak berarti agenda reformasi ekonomi harus dibatasi kepada wacana yang memiliki kemungkinan yang realistis untuk maju. Akan tetapi harus ada penerimaan secara de facto oleh para peminjam akan adanya kemajuan yang lamban, atau tanpa kemajuan samasekali, atas wacana lain. Kekuasaan DPR telah meningkat dan selanjutnya sangat diperlukan agar para anggota DPR bisa diyakinkan untuk mendukung agenda reformasi keuangan sebagaimana yang diinginkan oleh pihak pemberi pinjaman luar negeri. Hal ini tidak akan mudah mengingat kekuatan nasionalisme dan pandangan jangka -pendek para anggota DPR. Salah satu cara bagi wacana ini adalah agar lembaga multinasional dan lembaga pembangunan membangun sebuah wadah bagi penelitian keparlemenan yang dapat membantu para anggota DPR untuk membuat keputusan yang lebih berdasarkan pengetahuan teknis. Satu-satunya faktor yang paling penting dalam reformasi keuangan adalah supremasi hukum. Hal ini mendasari semua proses baik dari kewajiban pajak hingga penjualan asset maupun pencegahan korupsi. Pengalaman dari perundang-undangan kepailitan menunjukkan bahwa reformasi Undang-
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 38
undang tidaklah cukup karena unsur-unsur yang korup dalam sistem hukum akan menemukan suatu jalan untuk menembusnya. Perlu adanya usaha yang bersifat keseluruhan yang mencakup gaji para hakim, pelatihan dan bahkan sanksi yang efektif bagi pejabat yang menerima suap dan pengacara atau pihak-pihak yang menawarkan suap tersebut. Pemerintah sangat menyadari bahwa perlunya untuk mengurangi korupsi dalam sistem hukum dan mencegah campur tangan yang tidak perlu dalam proses hukum oleh lembaga negara seperti kepolisian. Permasalahan ini perlu ditempatkan pada tingkat yang yang lebih tinggi dalam agenda kebijakan untuk ditindak lanjuti secara berkesinambungan. Penggunaan penyelidikan korupsi sebagai senjata politik baik oleh pemerintah dan lawannya mengganggu setiap usaha untuk memulihkan supremasi hukum. Pemerintah Indonesia mungkin tergoda untuk memenangkan keuntungan jangka pendek dengan membiarkan keputusan kunci seperti penjualan asset, restrukturisasi hutang swasta atau pengangkatan pada jabatan negara yang dipengaruhi oleh kepentingan partai politik atau lobi dari golongan pengusaha. Akan tetapi keputusan tersebut mengakibatkan biaya jangka panjang terhadap rakyat Indonesia yang sulit untuk dibenarkan hanya karena mempertahankan pemerintahan tertentu. Terdapat alasan yang jelas untuk meningkatkan keterbukaan publik oleh lembaga-lembaga pemerintah, khususnya BPPN, sehingga publik dapat membuat keputusan berdasarkan pengetahuan tentang kebijakan-kebijakan. Cara terbaik untuk meningkatkan keterbukaan adalah untuk mengikut sertakan penilaian independen atas semua transaksi yang berada di atas patokan yang telah disepakati dan untuk mengumumkan hasil dari penilaian tersebut. Hal ini akan memperlambat penjualan asset dan restrukturiasi hutang, tetapi penundaan merupakan biaya yang pantas untuk dibayar apabila hasilnya adalah transaksi yang diterima secara luas oleh publik. Pemerintah dan DPR setuju bahwa beberapa asset nasional harus dijual untuk membayar hutang tetapi tidak ada konsensus tentang harga yang layak diterima atau pihak mana yang boleh menjadi pembelinya. Walaupun beberapa penjualan asset telah dilakukan tanpa permasalahan, hasil dalam kasus lain adalah penundaan dan kontroversi yang merusak citra Indonesia di mata para penanam modal. Pemerintah harus mempertimbangkan untuk merumuskan suatu strategi yang terkoordinir atas penjualan asset yang mencakup baik BPPN dan program swastanisasi dan melibatkan dialog dengan DPR, para peminjam dan penanam modal luar, kelompok kemasyarakatan, pemerintah daerah dan masyarakat yang berkepentingan, termasuk para pekerja. Strategi ini secara
Kredit macet: Politik Reformasi Keuangan di Indonesia Laporan ICG Asia N° 15, 13 Maret 2001
Hal 39
ideal akan menentukan sasaran pemulihan yang realistis, menetapkan prosedur untuk penjualan yang terbuka secara konsisten dan termasuk usaha media untuk menjelaskan kepada rakyat Indonesia mengapa hal itu diperlukan. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi keberatan-keberatan atas suatu penjualan sehingga mereka tidak dapat mempermasalahkannya dikemudian hari. Proses yang rumit ini mungkin akan memakan waktu lama dan dapat menjadi terhambat, tetapi sejarah dari penjualan asset yang gagal atau terhambat sudah cukup panjang sehingga menunjukkan perlunya pemikiran ulang. Jakarta/Brussels, 13 Maret 2001
LAMPIRAN A Daftar Istilah Bank Pembangunan Asia (ADB) – Suatu lembaga pembangunan regional Bank Indonesia – Bank sentral Indonesia Rasio kecukupan modal – Suatu ukuran rasio antara modal bank dan assetnya, tertimbang atas resiko. Jumlah minimum yang disepakati secara internasional adalah 8 persen. Consultative Group for Indonesia – Suatu wadah negara -negara dan organisasi- organisasi yang memberikan pinjaman dan hibah tahunan kepada Indonesia. Restrukturisasi hutang – Apabila suatu perusahaan tidak dapat melunasi hutangnya, kreditor dapat merestrukturisasi hutang tersebut dengan cara menjadwal ulang pelunasannya untuk jangka waktu yang lebih panjang, menyetujui unt uk melakukan swap atas hutang menjadi saham dalam perusahaan tersebut, atau meminta kepada debitor untuk menjual assetnya untuk memperoleh dana guna melunasi hutang tersebut. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) – Komisi para menteri Indonesia BPPN – Badan Penyehatan Perbankan Nasional IMF – International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional) Letter of Intent (LOI) – Suatu program reformasi ekonomi yang disepakati oleh suatu negara sebagai prasyarat untuk mendapatkan pinjaman dari IMF. Kredit likuiditas, BLBI – Pinjaman yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank-bank umum pada tahun 1997-98 untuk membantu mereka memenuhi permintaan penarikan dana oleh para nasabah yang resah. Sebagian besar dari pinjaman ini disalah gunakan oleh para debitur. Paris Club – Suatu mekanisme informal bagi negara-negara untuk menjadwalkan ulang hutang mereka kepada negara-negara lain. Mekanisme yang serupa bagi para pemberi pinjaman swasta adalah London Club. Bank Dunia – Secara resmi dikenal sebagai Reconstruction and Development (IBRD).
International Bank for
LAMPIRAN B Tentang International Crisis Group… The International Crisis Group (ICG) adalah suatu organisasi swasta multinasional yang berkomitmen untuk meningkatkan kemampuan masyarakat internasional dalam mengantisipasi, memahami dan bertindak untuk mencegah dan membatasi konflik. Pendekatan ICG didasarkan kepada penelitian di lapangan. Kelompokkelompok analis politik, berdasarkan keadaan di negara -negara yang menghadapi resiko krisis, mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, menilai kondisi setempat dan menghasilkan laporan-laporan analitis reguler yang berisi rekomendasi-rekomendasi praktis yang ditujukan kepada para pengambil keputusan internasional yang utama. Laporan-laporan ICG dibagikan secara luas kepada para pejabat departemen di luar negeri dan organisasi-organisasi internasional serta disediakan untuk umum melalui situs internet organisasi ini, yang ada di www.crisisweb.org. (yang dikunjungi oleh lebih dari satu juta orang pada tahun 1999). Organisasi ini bekerja secara erat dengan pemerintah dan pers untuk menyoroti masalah-masalah penting yang diidentifikasi di lapangan dan menghasilkan dukungan bagi ketentuan-ketentuan kebijakannya. Dewan ICG – yang mencakup tokoh-tokoh penting dalam bidang politik, diplomasi, usaha dan media – juga terlibat dalam membantu agar laporan-laporan serta rekomendasi-rekomendasi ICG mendapatkan perhatian dari para pembuat kebijakan senior di selu ruh dunia. Dewan ICG diketuai oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari; Gareth Evans, Menteri Luar Negeri Australia selama hampir delapan tahun, pada bulan Januari 2000 mengambil alih kedudukan sebagai Presiden dan Chief Executive ICG. Markas besar ICG berada di Brussels, dengan kantor-kantor advokasinya di Washington D.C., New York dan Paris. Pada saat ini, organisasi ini sedang mengoperasikan proyek-proyek lapangan di tiga belas negara dan wilayah di seluruh dunia yang mengalami krisis: Bosnia dan Herzegovina, Albania, Macedonia, Republik Federal Yugoslavia, Aljazair, Burundi, Rwanda, Republik Demokrat Kongo, Sierra Leone, Zimbabwe, Lembah Ferghana di Asia Tengah, Birma dan Indonesia. ICG mengumpulkan dana dari Uni Eropa, negara -negara, yayasan-yayasan amal, perusahaan-perusahaan dan donor perorangan. Negara-negara berikut telah menyediakan dana pada tahun 2000: Australia, Austria, Kanada, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Irlandia, Jepang, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Republik Cina (Taiwan), Swedia, Swiss dan Inggris. Donor sektor swasta mencakup Fares Foundation, William and Flora Hewlett Foundation, Charles Stewart Mott Foundation, Open Society Institute, Smith Richardson Foundation dan U.S. Institute of Peace. February 2001
LAMPIRAN C LAPORAN DAN MAKALAH BRIEFING ICG Diterbitkan sejak bulan Januari 1999
BALKAN ALBANIA The State of Albania, Laporan Balkan No. 54, 6 Januari 1999 Albania Briefing: The Refugee Crisis, 11 Mei 1999 Albania: State of the Nation, Laporan Balkan No. 87, 1 Maret 2000 Albania Briefing: Albania’s Local Elections, A test of Stability and Democracy, 25 Agustus 2000 BOSNIA Brcko: A Comprehensive Solution, Laporan Balkan No. 55, 8 February 1999 Breaking the Mould: Electoral Reform in Bosnia & Herzegovina, Laporan Balkan No. 56, 4 Maret 1999 Republika Srpska: Poplasen, Brcko and Kosovo – Three Crises and Out? Laporan Balkan No. 62, 6 April 1999 Why Will No-one Invest in Bosnia and Herzegovina? Laporan Balkan No. 64, 21 April 1999 Republika Srpska in the Post-Kosovo Era: Collateral Damage and Transformation, Laporan Balkan No. 71, 5 Juli 1999 Rule over Law: Obstacles to the Development of an Independent Judiciary in Bosnia and Herzegovina, Laporan Balkan No. 72, 5 Juli 1999 Balkans Briefing: Stability Pact Summit, 27 Juli 1999 Preventing Minority Return in Bosnia and Herzegovina: The Anatomy of Hate and Fear, Laporan Balkan No. 73, 2 Agustus 1999 Is Dayton Failing? Policy Options and Perspectives Four Years After, Laporan Balkan No. 80, 28 Oktober 1999 Rule of Law in Public Administration: Confusion and Discrimination in a Post Communist Bureaucracy, Laporan Balkan No. 84, 15 Desember 1999 Denied Justice: Individuals Lost in a Legal Maze, Laporan Balkan No. 86, 23 February 2000 European Vs. Bosnian Human Rights Standards, Tinjauan Buku Panduan, 14 April 2000 Reunifying Mostar: Opportunities for Progress, Laporan Balkan No. 90, 19 April 2000 Bosnia’s Municipal Elections 2000: Winners and Losers, Laporan Balkan No. 91, 28 April 2000
LAMPIRAN C LAPORAN DAN MAKALAH BR IEFING ICG Diterbitkan sejak bulan Januari 1999
BALKAN Bosnia’s Refugee Logjam Breaks: Is the International Community Ready? Laporan Balkan No. 95, 31 Mei 2000 War Criminals in Bosnia’s Republika Srpska, Laporan Balkan No. 103, 02 Nopember 2000 Bosnia’s November Elections: Dayton Stumbles, Laporan Balkan No. 104, 18 Desember 2000 KOSOVO Unifying the Kosovar Factions: The Way Forward, Laporan Balkan No. 58, 12 Maret 1999 Kosovo: The Road to Peace, Laporan Balkan No. 59, 12 Maret 1999 Kosovo Briefing: Atrocities in Kosovo Must be Stopped, 29 Maret 1999 Kosovo Briefing: The Refugee Crisis, 2 April 1999 Kosovo: Let’s Learn from Bosnia, Laporan Balkan No. 66, 17 Mei 1999 The New Kosovo Protectorate, Laporan Balkan No. 69, 20 Juni 1999 Kosovo Briefing: Who Will Lead the Kosovo Albanians Now? 28 Juni 1999 The Policing Gap: Law and Order in the New Kosovo, Laporan Balkan No. 74, 6 Agustus 1999 Who’s Who in Kosovo, Laporan Balkan No. 76, 31 Agustus 1999 Waiting for UNMIK: Local Administration in Kosovo, Laporan Balkan No. 79, 18 Oktober 1999 Violence in Kosovo: Who’s Killing Whom? Laporan Balkan No. 78, 2 Nopember 1999 Trepca: Making Sense of the Labyrinth, Laporan Balkan No. 82, 26 Nopember 1999 Starting from Scratch in Kosovo: The Honeymoon is Over, Laporan Balkan No. 83, 10 Desember 1999 Kosovo Albanians in Serbian Prisons: Kosovo’s Unfinished Business, Laporan Balkan No. 85, 26 Januari 2000 What Happened to the KLA? Laporan Balkan No. 88, 3 Maret 2000 Kosovo’s Linchpin: Overcoming Division in Mitrovica, Laporan Balkan No. 96, 31 Mei 2000 Reality Demands: Documenting Violations of International Humanitarian Law in Kosovo 1999, 27 Juni 2000
LAMPIRAN C LAPORAN DAN MAKALAH BRIEFING ICG Diterbitkan sejak bulan Januari 1999
BALKAN Elections in Kosovo: Moving toward Democracy? Laporan Balkan No. 97, 7 Juli 2000 Kosovo Report Card, Laporan Balkan No. 100, 28 Agustus 2000 Reaction in Kosovo to Kostunica’s Victory, Briefing Balkan, 10 Oktober 2000 Religion in Kosovo, Laporan Balkan No. 105, 31 Januari 2001 MACEDONIA Challenges and Choices for the New Government, Laporan Balkan No. 60, 29 Maret 1999 Toward Destabilisation? Laporan Balkan No. 67, 21 Mei 1999 Macedonia Briefing: Government Holds Together, Eyes Fixed on Upcoming Presidential Poll, 11 Juni 1999 Macedonia Briefing: Update of Recent Political Developments, 14 Juni 1999 Macedonia: Gearing up for Presidential Elections, Laporan Balkan No. 77, 18 Oktober 1999 Macedonia’s Ethnic Albanians: Bridging the Gulf, Laporan Balkan No. 98, 2 Agustus 2000 Macedonia government expects setback in local elections, Makalah Briefing, 4 September 2000 MONTENEGRO Montenegro Briefing: Milosevic to Move on Montenegro, 23 April 1999 Montenegro Briefing: Calm Before the Storm, 19 Agustus 1999 Montenegro: In the Shadow of the Volcano, Laporan Balkan No. 89, 21 Maret 2000 Montenegro’s Socialist People’s Party: A Loyal Opposition? Laporan Balkan No. 92, 28 April 2000 Montenegro’s Local Elections: Testing the National Temperature, Briefing Latar Belakang, 26 Mei 2000 Montenegro’s Local Elections: More of the Same, Makalah Briefing, 23 Juni 2000 Montenegro: Which Way Next? Briefing Balkan, 30 Nopember 2000
LAMPIRAN C LAPORAN DAN MAKALAH BRIEFING ICG Diterbitkan sejak bulan Januari 1999
BALKAN SERBIA Sidelining Slobodan: Getting Rid of Europe’s Last Dictator, Laporan Balkan No. 57, 15 Maret 1999 Milosevic’s Aims in War and Diplomacy, Laporan Balkan No. 65, 11 Mei 1999 Yugoslavia Briefing: Wanted for War Crimes, 1 Juni 1999 Back to the Future: Milosevic Prepares for Life After Kosovo, Laporan Balkan No. 70, 28 Juni 1999 Transforming Serbia: The Key to Long-Term Balkan Stability, Laporan Balkan No. 75, 10 Agustus 1999 Serbia’s Embattled Opposition, Laporan Balkan No. 94, 30 Mei 2000 Serbia’s Grain Trade: Milosevic’s Hidden Cash Crop, Laporan Balkan No. 93, 5 Juni 2000 Serbia: The Milosevic Regime on the Eve of the September Elections, Laporan Balkan No. 99, 17 Agustus 2000 Current Legal Status of the Republic of Yugoslavia (FRY) and of Serbia and Montenegro, Laporan Balkan No. 101, 19 September 2000 Yugoslavia’s Presidential Election: The Serbian People’s Moment of Truth, Laporan Balkan No. 102, 19 September 2000 Federal Republic of Yugoslavia Sanctions Briefing, Briefing Balkan, 10 Oktober 2000 Serbia on the Eve of the December Elections, Briefing Balkan, 20 Desember 2000 LAPORAN REGIONAL War in the Balkans, Laporan Balkan No. 61, 19 April 1999 Balkan Refugee Crisis, Laporan Balkan No. 68, 1 Juni 1999 Balkans Briefing: Stability Pact Summit, 27 Juli 1999
LAMPIRAN C LAPORAN DAN MAKALAH BRIEFING ICG Diterbitkan sejak bulan Januari 1999
AFRIKA ALJAZAIR Algeria: The Press in Crisis, Laporan Aljazair No. 2, (Laporan Afrika No. 8), 11 Januari 1999 Algerie: La Crise de la Presse, Laporan Aljazair No. 2 (Laporan Afrika No. 8), 11 Januari 1999 The People’s National Assembly, Laporan Aljazair No. 3, (Laporan Afrika No. 10), 16 February 1999 Assemblee Populaire Nationale: 18 Mois de Legislature, Laporan Aljazair No. 3, (Laporan Afrika No. 10), 16 February 1999 Elections Presidentielles en Algerie: Les Enjeux et les Perspectives, Laporan Aljazair No. 4, (Laporan Afrika No. 12), 13 April 1999 The Algerian Crisis: Not Over Yet, Laporan Afrika No. 24, 20 Oktober 2000 La Crise Algerienne n’est pas finie, Laporan Afrika No. 24, 20 Oktober 2000 BURUNDI Burundi: Internal and Regional Implications of the Suspension of Sanctions, Laporan Burundi No. 3, (Laporan Afrika No. 14), 27 April 1999 Le Burundi Apres La Suspension de L’Embargo: Aspects Internes et Regionaux, Laporan Burundi No. 3, (Laporan Afrika No. 14), 27 April 1999 Quelles Conditions pour la reprise de la Cooperation au Burundi? Laporan Burundi No. 4, 27 April 1999 Proposals for the Resumption of Bilateral and Multilateral Cooperation, Laporan Burundi No. 4, (Laporan Afrika No. 13), 27 April 1999 Burundian Refugees in Tanzania: The Key Factor in the Burundi Peace Process, Laporan Afrika Tengah No. 12, (Laporan Afrika No. 19), 30 Nopember 1999 L’Effet Mandela: Evaluation et Perspectives du Processus de Paix Burundais, Laporan Afrika Tengah No. 13, (Laporan Afrika No. 20), 18 April 2000
LAMPIRAN C LAPORAN DAN MAKALAH BRIEFING ICG Diterbitkan sejak bulan Januari 1999
AFRIKA The Mandela Effect: Evaluation and Perspectives of the Peace Process in Burundi, Laporan Afrika Tengah No. 13, (Laporan Afrika No. 20), 18 April 2000 Unblocking Burundi’s Peace Process: Political Parties, Political Prisoners and Freedom of the Press, Briefing Afrika, 22 Juni 2000 Burundi: Les Enjeux du Debat. Partis Politiques, Liberte de la Presse et Prisonniers Politiques, Laporan Afrika No. 23, 12 Juli 2000 Burundi: The Issues at Stake. Political Parties, Freedom of the Press and Political Prisoners, Laporan Afrika No. 23, 12 Juli 2000 Burundi Peace Process: Tough Challenges Ahead, Briefing Afrika, 27 Agustus 2000 Burundi: Ni guerre ni paix, Laporan Afrika No. 25, 1 Desember 2000 REPUBLIK DEMOKRAT KONGO How Kabila Lost His Way, Laporan RDK No. 3, (Laporan Afrika No. 16), 21 Mei 1999 Africa’s Seven Nation War, Laporan RDK No. 4, (Laporan Afrika No. 17), 21 Mei 1999 The Agreement on a Cease-Fire in the Democratic Republic of Congo, Laporan RDK No. 5, (Laporan Afrika No. 18), 20 Agustus 1999 Kinshasa sous Kabila, a la veille du dialogue national, Laporan RDK No. 6, (Laporan Afrika No. 19), 21 September 1999 Scramble for the Congo: Anatomy of an Ugly War, Laporan Afrika No. 26, 20 Desember 2000 RWANDA Five Years after the Genocide: Justice in Question, Laporan Rwanda No. 1, (Laporan Afrika No. 11), 7 April 1999 Cinq Ans Apres le Genocide au Rwanda: La Justice en Question, Laporan Rwanda No. 1, (Laporan Afrika No. 11), 7 April 1999 Uganda and Rwanda: Friends or Enemies? Laporan Afrika Tengah No. 14, (Laporan Afrika No. 15), 4 Mei 2000 ZIMBABWE Zimbabwe: At the Crossroads, Laporan Afrika No. 22, 10 Juli 2000 Zimbabwe: Three Months after the Elections, Briefing Afrika, 25 September 2000
LAMPIRAN C LAPORAN DAN MAKALAH BRIEFING ICG Diterbitkan sejak bulan Januari 1999
ASIA
ASIA BURMA / MYANMAR Burma/Myanmar: How Strong is the Military Regime? Laporan Asia No. 11, 21 Desember 2000 INDONESIA East Timor Briefing, 6 Oktober 1999 Indonesia’s Shaky Transition, Laporan Indonesia No. 1, (Laporan Asia No. 5), 10 Oktober 1999 Indonesia’s Crisis: Chronic but not Acute, Laporan Indonesia No. 2, (Laporan Asia No. 6), 31 Mei 2000 Indonesia’s Maluku Crisis: The Issues, Briefing Asia, 19 Juli 2000 Indonesia: Keeping the Military Under Control, Laporan Asia No. 9, 5 September 2000 Aceh: Escalating Tension, Briefing Asia, 7 Desember 2000 Indonesia: Overcoming Murder and Chaos in Maluku, Laporan Asia No. 10, 19 Desember 2000 Indonesia: Impunity Versus Accountability for Gross Human Rights Violations, Laporan Asia No. 12, 2 February 2001 Indonesia: National Police Reform, Laporan Asia No. 13, 20 February 2001 Indonesia’s Presidential Crisis, Briefing Indonesia, 21 February 2001 KAMBOJA Back from the Brink, Laporan Kamboja No. 4, (Laporan Asia No. 4), 26 Januari 1999 Cambodia: The Elusive Peace Dividend, Laporan Asia No. 8, 11 Agustus 2000 ASIA TENGAH Central Asia: Crisis Conditions in Three States, Laporan Asia No. 7, 7 Agustus 2000 Recent Violence in Central Asia: Causes and Consequences, Briefing Asia Tengah, 18 Oktober 2000
LAMPIRAN C LAPORAN DAN MAKALAH BRIEFING ICG Diterbitkan sejak bulan Januari 1999
ASIA Islamist Mobilisation and Regional Security, Laporan Asia No. 14, 1 Maret 2001
Untuk men-download laporan-laporan ICG langsung dari World Wide Web, kunjungi http://www.crisisweb.org
LAMPIRAN D Dewan Pengurus ICG Martti Ahtisaari, Ketua Mantan Presiden Finlandia Stephen Solarz, Wakil -Ketua Mantan Anggota Kongres AS Gareth Evans, Presiden Mantan Menteri Luar Negeri Australia Morton Abramowitz Mantan Asisten Menteri Luar Negeri AS; Mantan Duta Besar AS untuk Turki Hushang Ansary Mantan Menteri dan Duta Besar Iran; Ketua, Parman Group, Houston Louise Arbour Hakim Agung, Kanada; Mantan Jaksa Utama, Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia Oscar Arias Sanchez Mantan Presiden Kosta Rika; Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, 1987 Ersin Arioglu Ketua, Yapi Merkezi Paddy Ashdown Mantan Pemimpin Partai Demokrat Liberal, Inggris Zainab Bangura Direktur, Kampanye untuk Pemerintahan Yang Bersih, Sierra Leone Alan Blinken Mantan Duta Besar AS untuk Belgia Emma Bonino Anggota Parlemen Eropa; Mantan Komisaris Eropa Maria Livanos Cattaui Sekretaris -Jenderal, Kamar Dagang Internasional Wesley Clark Mantan Komandan Tinggi Pasukan Gabungan NATO, Eropa Jacques Delors Mantan Presiden Komisi Eropa Mou-Shih Ding Mantan Sekretaris -Jenderal Presiden, Taiwan Uffe Ellemann-Jensen Mantan Menteri Luar Negeri Denmark Gernot Erler Wakil-Presiden, Partai Demokrat Sosial, German Bundestag Mark Eyskens Mantan Perdana Menteri Belgia Yoichi Funabashi Jurnalis dan pengarang
LAMPIRAN D Dewan Pengurus ICG Bronislaw Geremek Mantan Menteri Luar Negeri Polandia I.K. Gujral Mantan Perdana Menteri India Han Sung-Joo Mantan Menteri Luar Negeri Korea El Hassan bin Talal Ketua, Forum Pemikiran Arab Marianne Helberg Peneliti Senior, Lembaga Urusan Internasional Norwegia Elliott F Kulick Ketua, Pegasus International Joanne Leedom-Ackerman Novelis dan jurnalis Todung Mulya Lubis Pengacara HAM dan Penulis Allan J MacEachen Mantan Deputi Perdana Menteri Kanada Graca Machel Mantan Menteri Pendidikan, Mozambik Barbara McDougall Mantan Sekretaris Negara Bidang Urusan Luar Negeri, Kanada Matthew McHugh Penasehat Presiden, Bank Dunia Christine Ockrent Jurnalis Timothy Ong Ketua, majalah Asia Inc Wayne Owens Presiden, Pusat Perdamaian dan Kerja Sama Ekonomi Timur Tengah Cyril Ramaphosa Mantan Sekretaris -Jenderal, Kongres Nasional Afrika; Ketua, New Africa Investments Ltd Fidel Ramos Mantan Presiden Filipina Michel Rocard Anggota Parlemen Eropa; Mantan Perdana Menteri Perancis Volker Ruhe Wakil-Presiden, Partai Demokrat Kristen, German Bundestag; Mantan Menteri Pertahanan Jerman Mohamed Sahnoun Penasehat Khusus Sekretaris -Jenderal PBB
LAMPIRAN D Dewan Pengurus ICG William Shawcross Jurnalis dan pengarang Michael Sohlman Direktur Eksekutif Yayasan Nobel George Soros Ketua, Open Society Institute Par Stenback Mantan Menteri Luar Negeri, Finlandia Thorvald Stoltenberg Mantan Menteri Luar Negeri, Norwegia William O Taylor Ketua Kehormatan, The Boston Globe Ed van Thijn Mantan Menteri Dalam Negeri, Belanda; Mantan Walikota Amsterdam Simone Veil Mantan Anggota Parlemen Eropa; Mantan Menteri Kesehatan, Perancis Shirley Williams Mantan Sekretaris Negara Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, Inggris; Anggota Majelis Tinggi (House of Lords ) Grigory Yavlinsky Anggota Majelis Rendah (Duma) Rusia Mortimer Zuckerman Ketua dan Pemimpin Redaksi, US News and World Report