SOEHARTO, SOEHARTOISME dan SUMBER MALAPETAKA Oleh: Kikin Asikin & Ki Ranggawarsito VII
BAGIAN-1 NAWAKSARA DAN SEJUMLAH PERTANYAAN Menteri Pemuda dan Olahraga Hayono Isman, sebelum Pemilu yang lalu, menghadap Presiden Soeharto minta restu bagi penyelenggaraan seminar tentang Nawaksara, peristiwa yang menghantarkan kejatuhan Presiden Soekarno dan pindahnya kekuasaan ke tangan Letnan Jenderal Soeharto. Sebuah peristiwa yang katanya terjadi secara konstitusional. Menengok kepada sejarah Hitler di Jerman, Mussolini di Italia dan Tojo di Jepang, apa yang terjadi di Indonesia ternyata mirip. Mereka juga menempuh cvara yang sama. Coup d_etat dikemas menjadi konstitusional. Hasilnya: Perang Dunia II. Budayawan YB Mangunwijaya mengulas peristiwa di Jerman, di Kompas 15 Mei 1997 bahwa bagi suatu kekuasaan fasis, tidak ada hal yang mustahil dikonstitusionalkan. Bahkan amat konstitusional, konstitusional sempurna, karena segala-galanya disahkan oleh DPR. PROLOG Sesudah 31 tahun berlalu, pemerintah merasa perlu menggelar seminar untuk memberikan pembenaran dari hukum tatanegara bahwa pengambil operan kekuasaan negara dari tangan Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto adalah konstitusional. Pemerintah merasa terganggu adanya suara "bising" yang menyanyikan lagu coup d_etat. Untuk memahami peristiwa Nawaksara yang sebenarnya, perlu dimengerti bahwa Nawaksara itu bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Ia didahului oleh peristiwa terjadinya rivalitas antara Mayjen Soeharto dengan Jenderal Yani, kemudian muncul Gerakan 30 September 1965 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Samsuri. Untung adalah Komandan Batalyon I Cakrabirawa, bekas anak buah kesayangan Soeharto yang pesta pernikahannya dirayakan secara besar-besaran di Kebumen (Jawa Tengah) dan dihadiri Jenderal Soeharto. Soeharto malah membawakan bingkisan yang mengesankan buat Untung.
1
Pada prolog Gerakan 30 September, peta kekuatan politik (rieelemachts factoren) di Indonesia ada empat. Yaiyu kekeuatan politik Soekarno, kekuatan politik TNI/Angkatan Darat, kekuatan politik PKI dan kekuatan politik subversi Amerika dengan CIA-nya yang didukung oleh agen-agennya di dalam negeri. Strategi Amerika/CIA pada post Presiden John Kennedy dan Inggris ialah menjatuhkan Presiden Soekarno karena gerakan non aligmen-nya dinilai amoral dan mengganggu politik bipolar Amerika-Uni Sovyet dalam kerangka Perang Dingin waktu itu. Dimulai dari penggalangan kekuatan politik dunia sejak Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 yang berhasil melahirkan negara-negara merdeka di Asia dan Afrika, sekaligus penggalangan solidaritas Asia-Afrika, yang ditingkatkan menjadi KTT Non Blok. Bagi inggris politik anti-imperialis Bung Karno mengancam kepentingan Inggris di Asia tenggara. Bahkan NEFO kontra OLDEFO, dikhawatirkan akan tiba gilirannya dapat menghantam hegemoni dunia kapitalis maupun komunis. Karena kuatnya kedudukan politik Soekarno, maka berdasarkan pengalaman berulang kali, kegiatan pendongkelan yang secara langsung terhadap Soekarno, tidak pernah membawa hasil. Karena baik TNI/AD maupun PKI sama-sama mendukung Soekarno. Oleh karena itu faktor kekuatan TNI/AD dan PKI harus disubversi, selanjutnya diadu domba. Kemudian dihancurkan sekaligus bersama pimpinannya, untuk meratakan jalan bagi munculnya faktor kekuatan politik baru yang dapat diatur sesuai dengan strategi AS/CIA. Untuk memahami strategi ini baik dibaca tulisan Paul F.Gardner dalam bukunya Shared Hopes, Separated Fears (1977). Dilukiskan, ada perbedaan strategis baik tujuan maupun cara-cara mencapai tujuan. AS/CIA berkepentingan hanya melenyapkan Soekarno, tapi faktor Soeharto yang menyiapkan diri, ingin lebih jauh yaitu bukan saja menggantikan Soekarno dan selanjutnya mendirikan Orde Soeharto. Dan akhirnya seperti dinilai pers luar negeri, sekarang ini sudah dalam tahap melestarikan ambisi Dinasti soeharto, yang bertubi-tubi dibantah oleh Mbak Tutut. Adanya konotasi di atas, memberi petunjuk bahwa dunia bebas di era globalisasi dalam paska Perang Dingin ini, "Mobutuisme" yang tadinya dipelihara, sekarang tidak diperlukan lagi. Berawal dari 1959, Kolonel Soeharto sebagai Panglima KODAM IV/Diponegoro Jawa tengah (karena waktu itu SOB, maka ia juga Penguasa Perang), melakukan tindak pidana menyelundupkan gula dibarter dengan beras ke Singapura, dibantu oleh Liem Sioe Liong, Bob Hasan dan beberapa perwira. Jenderal AH Nasution yang waktu itu Ketua Panitia Retooling Aparatur Negara, hendak menyeretnya ke muka pengadilan. Tapi Wakil KSAD Jenderal Gatot Soebroto minta kepada Presiden Soekarno supaya tidak menempuh
2
prosedur itu dan jangan sampai memecatnya. Yang terjadi kemudian, ialah mengirimkan Soeharto belajar ke SSKAD (Sekolah Staff dan Komando Angkatan Darat) di bandung. Direktur SSKAD waktu itu adalah Brigadir Jenderal Suwarto, perwira tinggi lulusan Amerika yang jadi agen CIA di Indonesia. Di SSKAD Soeharto menjadi akrab dengan Soewarto yang mulai membinanya supaya anti soekarno, sesuai misi yang diembannya dari CIA. Bahkan Soeharto dibina dengan dipersiapkan jadi pemimpin alternatif pasca Soekarno nanti. Untuk memberikan gengsi kepadanya, Soeharto diusulkan untuk dipilih menjadi siwa teladan, tapi ditolak oleh MT Haryono, pahlawan revolusi yang dibunuh oleh G30S. Setelah Trikora, SSKAD yang diubah nama singkatnya jadi SESKOAD, mengusulkan dibentuknya satuan cadangan strategis Angkatan dengan nama CADUAD (Cadangan Umum Angkatan Darat), kemudian menjadi KOSTRAD (Komando Strategis Angkatan Darat). Komando ini ditingkatkan menjadi Komando Utama Angkatan Darat, dengan Panglimanya Soeharto. Panglima KOSTRAD menjadi alternatif pertama menjalankan fungsi Panglima Angkatan Darat, jika PANGAD berhalangan. Jabatan semacam itu diterapkan menjadi Standing Order Angkatan Darat. Setelah Soeharto menyelesaikan tugasnya sebagai Panglima Mandala dalam rangka pembebasan Irian Barat, diusulkan lagi supaya KOSTRAD ditingkatkan statusnya menjadi KOSTRANAS (Komando strategi Nasional) dengan 3 dimensi yaitu darat, laut dan udara langsung di bawah komando Panglima Tertinggi. Tapi usul ini ditolak oleh KSAD Jenderal A.Yani dan KSAB Jenderal AH Nasution. Ketika konfrontasi dengan Malaysia, tercatat beberapa kali lagi Soeharto sebagai Wakil Panglima Komando mandala Siaga (KOLAGA), melakukan penyelundupan kopra dari Sulawesi Tengah dan sapi dari bali yang diekspor ke Hongkong. Panglima KOLAGA saat itu adalah Laksamana Udara Omar Dhani. Segera sesudah itu disusul terjadinya Gerakan 30 September 1965. Menjelang meletusnya G30S, Letnan jenderal Soeharto sebagai Panglima KOSTRAD mendatangkan ke jakarta dua (2) Batalyon Tempur (masuk jajaran KOSTRAD), yaitu Batalyon 454/Diponegoro dan Batalyon 530/Brawijaya, berdasarkan Surat Perintah dengan radiogram masing-masing No. T220 tertanggal 19 September 1965 dan No. T239 tertanggal 21 September 1965. Pasukan diperintahkan membawa peluru Garis I, cukup untuk pertempuran 10 hari, dan harus sudah berada di Jakarta selambat-lambatnya 28 September 1965. Tujuan resminya untuk mengikuti parade Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1965 di ibu kota. Tapi ternyata yang lebih penting dari tujuan itu, ialah untuk
3
memberikan dukungan terhadap Gerakan 30 September yang akan dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Samsuri (sebelum di Cakrabirawa, ia komandan Batalyon 454/Diponegoro), untuk menggagalkan apa yang disebutnya sebagai rencana coup d_etat kelompok Jenderal di bawah pimpinan AH Nasution dan A.Yani. Coup d_etat itu konmo rencananya akan dilancarkan 5 Oktober 1965. Sebuah susunan kabinet baru, intinya sudah disiapkan, seperti yang dibeberkan oleh Kolonel Untung dalam Sidang Mahmilub yang mengadilinya. Nama-nama yang disebutnya 6 Jenderal yang menjadi korban penculikan, ditambah Jenderal AH Nasution. Ketika kedua batalyon yang didatangkan tiba di jakarta, Soeharto menginspeksinya dan mengganti semua senjata yang sudah tua dengan yang baru. Begitu juga kendaraan-kendaraannya ex-USA. Dilihat dari skenario ini, jelas soeharto berada di balik G30S. Tapi setelah G30S mencapai hasil awal dan Presiden Soekarno memerintahkan kepada Panglima Tempur G30S Brigadir Jenderal Supardjo yang datang melapor ke Halim supaya menghentikan semua operasi militer dan mencegah terjadinya pertempuran (1 Oktober pukul 10 pagi), ia berbalik haluan. Seperti yang dikatakan oleh Kolonel Latief (Komandan Sentral komando G30S) dalam gerakan mundurnya ke Desa Cipayung 2 Oktober 1965, ia berucap, setelah mendengarkan pidato Harto lewat RRI, "Soeharto menyelahi janji". Sejak 1 Oktober setelah jelas G30S sudah kalah karena diperintahkan oleh Presiden Soekarno supaya memnghentikan semua operasi dan mencegah pertempuran, Soeharto berbalik memukul Gerakan Untung. Padahal rencana gerakan sudah dilaporkan oleh Kolonel Latief kepada Soeharto menjelang pelaksanaannya di RSPAD pukul 22.00 malam (30 september 1965). Latief melapor selaku Komandan Senko dan Soeharto selaku Panglima KOSTRAD yang dianggap memihak G30S. Waktu Latief melapor, samasekali tidak ada perintah mencegah gerakan, sehingga Latief melapor kepada kelompoknya bahwa "Harto OK"! Menurut sebuah sumber, malam hari setelah menerima laporan dari Kolonel Latief, Soeharto segera melakukan konsolidasi di KOSTRAD. Pukul 04.30 subuh (1 Oktober) Harto berada di rumahnya di Jalan Haji Agus Salim menerima kedatangan kameraman TVRI bernama Jamid, yang katanya baru selesai shooting dan memberitahukan bahwa ia mendengar beberapa tembakan di berbagai tempat. Kemudian sekitar pukul 05.00 subuh, datang Mashuri SH, seorang tetangga Pak Harto, memberitahukan hal yang sama. Waktu itu Harto sudah berpakaian seragam tempur dan siap ke KOSTRAD. Soeharto 4
menceriterakan dalam otobiografinya bahwa ia berangkat ke KOSTRAD pukul 06.00 pagi, mengendarai jeep Toyota sendirian tanpa pengawal dan melewati pasukan G30S tanpa di apa-apakan. Hal ini mencerminkan bahwa ia sudah akrab dengan pasukan pemberontak itu. Lewat maghrib, Soeharto memerintahkan komandan pasukan elit RPKAD, Sarwo Edhie, supaya menyerang RRI dan Telkom yang dikuasai G30S dan berhasil merebutnya. Menjelang pukul 19.00, Soeharto memerintahkan kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat Brigadir jenderal Ibnu Subroto untuk membawa pidatonya yang sudah direkam di KOSTRAD. Pada kesempatan itu Pak harto mengumumkan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa Presiden Soekarno berada dalam keadaan sehat wal_afiat dan memastikan bahwa G30S adalah gerakan kontrarevolusioner yang pasti dapat dihancurkan. "Pancasila akan tetap jaya di bawah pimpinan Bung karno yang tercinta," kata Soeharto dalam pidatonya itu. Skenario besar ada di belakang peristiwa ini. Mula-mula Harto tidak mencegah Gerakan 30 September meneruskan penculikan para jenderal, ketika Kolonel Latief melaporkan kepadanya tentang rencana itu, karena Yani adalah penghalangnya yang selalu merintangi dia untuk naik jenjang. Yani memang anti-komunis, tapi yang tidak disukai Harto dari Yani adalah ia terlalu loyal terhadap Soekarno. Dalam gerakan ini nampaknya Yani memang dikorbankan. Karena meskipun alumnus US Army Command and General Staff College di Leavenworth dan lulus cum laude, karena loyalitasnya terhadap Soekarno maka ia terpaksa disingkirkan. Bahkan perwira-perwira loyalis lainnya seperti Ibrahim Adjie bersama 63 perwira pejabat teras Siliwangi lainnya, digeser dari peredaran. Juga Jenderal Soerjosoemarno Cs dari Dipenogoro disingkirkan. Pembersihan malah diteruskan dengan menyingkirkan orang-orang yang paling berjasa kepadanya, seperti Basuki Rahmat, selanjutnya Willy Sudjono, Mokoginta, Roekman, Soenandar dan Soekendro, semua disingkirkan karena dianggap pro-Soekarno. Mula-mula Soeharto berpura-pura jadi pahlawan penyelamat Presiden Soekarno, bahkan memanggilnya Bung karno yang tercinta. Tapi _ itulah pura-pura. Dasar "julik". Setelah Bung Karno menentang pengambilalihan pimpinan Angkatan Darat oleh Soeharto dan mengangkat Pranoto reksosamudro sebagai caretaker MEN/PANGAD, Soeharto langsung bereaksi keras. Dimuali dengan langkah besar, di mana ia memerintahkan kepada Kemal Idris dengan menggunakan pasukan elit RPKAD mengepung Sidang Kabinet 11 Maret 1966, untuk menangkap Wakil Perdana menteri I Soebandrio bersama menteri
5
lainnya dengan dalih sebagai biang G30S. Satu-satunya menteri yang tidak hadir dalam sidang itu, tak lain adalah Soeharto sendiri, dengan alasan sakit. Sebelum sidang Kabinet, sejak pagi jalan-jalan menuju Istana sudah diblokir oleh KMI/KAPPI yang melakukan aksi penggembosan semua mobil yang lewat di jalan termasuk mobil para menteri sehingga menghalangi lalu lintas. Akibatnya banyak menteri yang datang ke sidang dengan jalan kaki atau naik sepeda. Aksi ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa ibukota benar-benar sangat genting dan memerlukan penanganan khusus. SUPERSEMAR Sesuai skenario ternyata Soekarno betul jadi panik. Setelah Istana dikepung RPKAD pada saat kabinet bersidang di bawah pimpinan Presiden Soekarno, dan setelah Bung karno menyadari apa yang terjadi, ia langsung menghentikan sidang kabinet sebentar dan menyerahkan pimpinan kepada Wakil PM II Dr.J. Leimena dan berangkat ke Bogor dengan helikopter, yang diikuti oleh WPM I Dr.Subandrio dan WPM III Dr.Chaerul Saleh. Sutradara yang "nyakit" di rumah, sangat gembira melihat keberhasilan arahannya. Tiga jenderal segera diperintahkan berangkat ke Bogor yaitu Jenderal Basuki Rahmat, Jenderal Amir Machmud dan Jenderal Andi Muhammad Yusuf untuk menemui Bung Karno dengan membawa pesan dari Soeharto. Pesan itu, pertama menyatakan menyesal sekali atas kejadian yang menggelisahkan Bung karno dan memastikan bahwa ABRI tidak akan meninggalkannya. Untuk itu, Harto minta diberikan Surat Perintah Khusus untuk menangani soal-soal keamanan. Maka keluarlah Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar yang terkenal itu. Supersemar itu sendiri hanya menyangkut soal-soal teknis mengenai keamanan tapi ditafsirkan oleh soeharto termasuk di dalamnya ruang lingkup politik keamanan. Maka surat tersebut digunakan oleh Soeharto untuk menangkap 15 menteri pembantu Presiden Sopekarno dan membubarkan PKI. Adapun naskah asli Supersemar, sampai sekarang dinayatakan hilang dan belum diketemukan. Aneh sekali Surat Perintah yang begitu penting dan mengawali gerakan pengambil-alihan kekuasaan negara bisa hilang, padahal sudah dijadikan TAP MPRS. Menurut keterangan orang yang diperintahkan oleh Ajudan Presiden Brigadir Jenderal M.Sabur menyelesaikan pengetikan naskah itu yaitu Asisten Intel Cakrabirawa Letnan Kolonel Ali Ebram, isi surat yang diumumkan tidak lengkap seperti aslinya. Ada bagian 6
yang dihilangkan. Terutama pada catatan tambahan, yang menyebabkan Subandrio dan Chaerul Saleh setuju Bung Karno menandatangani naskah tersebut setelah terus didesak oleh para Jenderal. Sial bagi Bung Karno yang membubuhkan tandatangannya, karena ternyata Supersemar dianggap sebagai penyerahan kekuasaan, satu anggapan yang hanya bisa terjadi dalam masyarakat preman. Menangkap 15 orang menteri pembantu presiden dengan menggunakan Supersemar, tanpa persetujuan presiden, tidak bisa diartikan lain kecuali tindakan coup d_etat. Semua wewenang presiden dijalankan dengan supersemar, tentu saja dengan mengatasnamakan presiden. Tapi kemudian diberi label "konstitusional" lewat berbagai rekayasa. Mula-mula diciptakan UU no.10/1966 yang memberi dasar perombakan dari "penyegaran" susunan keanggotaan DPRGR dan MPRS, dengan mengeluarkan semua anggota pendukung Soekarno. UU ini belum dibahas secara tuntas di DPRGR, tapi sudah diundangkan oleh sekretaris Presidium Kabinet Ampera, Sudharmono SH. Bukan oleh Sekretaris Negara yang waktu itu dijabat oleh Mr.Moch.Ichsan. Padahal UUD 1945 meyebutkan presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Dengan perombakan keanggotaan DPRGR dan MPRS sesuai dengan kebutuhan Soeharto, maka dengan mudah segala acara untuk menggulingkan Soekarno, bisa digoalkan. Dimulai dengan rekayasa UU No.10/1966, disiapkanlah upaya menggulingkan Presiden Soekarno melalui liku-liku Nawaksara, yang hendak diseminarkan. Kondisi DPRGR dan MPRS sekarang memungkinkan untuk melakukan apa saja sesuai dengan kebutuhan Soeharto. Maka MPRS pun segera melayangkan nota kepada Presiden/Mandataris supaya mempertanggungjawabkan di muka sidang MPRS perihal terjadinya Peristiwa G30S. Bung Karno tentu saja menolak permintaan itu, karena menurut UUD 1945, yang harus dipertanggungjawabkan oleh mandataris, hanya lah soal-soal yang dicantumkan dalam GBHN. Soal-soal lain yang disebut oleh Bung karno sebagai "cabang", dapat diselesaikan lewat DPRGR. Meskipun demikian, Presiden Soekarno selaku Mandataris MPRS bersedia memberikan semacam report kepada MPRS secara sukarela yang diberinya judul NAWAKSARA. Antaranya ia mengatakan sudah mengutuk GESTOK, karena GESTOK adalah gerakan yang dipimpin oleh Soeharto sendiri, memukul balik G30S dengan tujuan sekaligus memukul Bung Karno.
7
TAP MPRS XXXIII/1967 Akhirnya "Nawaksara" dan "Pelengkap Nawaksara" dalam kualitasnya sebagai amanat Presiden kemudian ditolak oleh MPRS dan mengambil keputusan sebagai berikut: 1) Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggung jawab konstitusionalnya. 2) Presiden Soekarno dinyatakan telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS. 3) Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai Pemilihan Umum yang akan datang, serta menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintah negara yang diatur dalam UUD 1945. 4) Mengangkat pengemban TAP MPRS No.IX sebagai pejabat Presiden berdasarkan pasal 8 UUD 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilihan Umum. 5) Pejabat Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPRS. 6) Penyelesaian persoalan hukum yang menyangkut Bung Karno dilakukan menuurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan dan menyerahkan pelaksanaannya kepada pejabat Presiden. Demikianlah TAP MPRS XXXIII/1967. Tentu saja ketetapan ini menarik untuk dipelajari karena beberapa alasan. Pertama, kalau dianggap bersalah, mengapa Presiden Soekarno dirampas haknya untuk membela diri secara politis melalui sarana demokrasi yaitu Pemilihan Umum atau pembelaan secara hukum melalui pengadilan. Hal itu hanya bisa terjadi pada pemerintahan yang belum mengenal peradaban hukum modern. Kedua, Presiden Soekarno tidak pernah diangkat oleh MPRS tapi oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Aturan peralihan UUD 1945 pada Pasal III. Sehingga, hanya Presiden yang dipilih MPR dapat diberhentikan oleh MPR, apalagi oleh MPRS. Oleh karena itu menuurut hukum, tindakan MPRS memberhentikan Presiden Soekarno sebagai presiden, adalah in konstitusional. Ketiga, pelarangan warganegara melakukan kegiatan politik tanpa melalui proses hukum, adalah tindakan in konstitusional, kecuali pada zaman kolonial Belanda dengan adanya hak exorbitanterechten (kekuasaan hukum luar biasa) pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, oleh karena itu tindakan MPRS melarang kegiatan politik bagi Presiden Soekarno adalah in konstitusional. Keempat, perlu diteliti siapa yang bertanggung jawab atas penagkapan dan penahanan Presiden Soekarno di Wisma Yaso, Jakarta, dengan perlakuan keji dan bengis, sampai wafat di tahanan.
8
Kelima, perlu diteliti juga siapa bertanggung jawab menagkap Ketua MPRS Dr Chaerul Saleh yang ditahan hingga wafatnya misterius di RTM (Rumah Tahanan Militer). Sebetulnya yang sangat mencurigakan justru sikap Soeharto yang tidak mau mengadili Aidit, Lukman dan Nyoto. Ketiga-tiganya adalah tokoh I, II dan III PKI, sedang G30S disebut sejak dari awalnya disebut sebagai G30S/PKI. Ketiga-tiganya tertangkap hidup bahkan sempat diperiksa, tapi diperintahkan oleh soeharto supaya langsung ditembak mati, tidak usah dihadapkan ke muka Pengadilan Mahmilub yang dibentuk oleh Presiden Soekarno untuk mengadili para pelaku G30S. Nampaknya Soeharto takut ada hal-hal yang bisa terbongkar yang akan merugikannya, jika ketiga tokoh PKI itu diadili. PENUTUP (Bagian 1) Mungkin karena mempertimbangkan hal-hal yang diuraikan dalam tulisan ini, konon berkembang pemikiran di sekitar pemrakarsa Seminar Nawaksara, sulit membantah fakta adanya creeping coup d_etat, karena itu diperlukan rekayasa hukum agar menjadi terselubung, di mana Ketua MPRS waktu itu diarahkan sebagai yang bertanggung jawab.
Bagian-2
MEMBANGUN DINASTI ENAM DASAWARSA Oleh: Ki Ranggawarsito VII Presiden Soeharto tak bosan-bosannya bilang bahwa pembangunan nasional Indonesia itu sudah tepat arahnya. Maka jangan heran bila masih banyak orang bertanya, apa yang dimaksud dengan pembangunan itu dan ke mana arahnya? Uraian di bawah ini sengaja disusun untuk memudahkan orang menangkap masalahnya dengan jernih dan benar. Tentu saja masih banyak kekurangannya, tetapi kesaksian banyak orang akan kejadian sehari-hari dan hati nurani kita masing-masing pasti akan sanggup melengkapinya sendiri. Pokok dari semua pokok yang mungkin bikin kaget banyak orang dari yang tua sampai generasi muda ialah kita ini ternyata sadar atau tidak sadar telah, sedang dan akan menjadi saksi bagaimana Presiden Soeharto merencanakan membangun dinasti enam dasawarsa. Sampai sekarang sudah separuh jalan, dan bagaimana selanjutnya memang
9
akan menjadi ujian sejarah Bangsa Indonesia. Uraian ini terbagi ke dalam beberapa tahap. Tahap 1: Pra kondisi, dari kondisi sekitar tahun 1960-an; Tahap 2: Penggusuran Presiden Soekarno dari civil society ; Tahap 3: Kudeta Konstitusional; Tahap 4: Pemantapan Orde Soeharto; dan Tahap 5: Pelestarian Dinasti Soeharto. TAHAP 1: PRA KONDISI Tiap kekuasaan apa pun yang mau dibangun tidak mungkin terjadi mendadak seperti air hujan dari langit. Jadi diperlukan pra kondisi. Pada sekitar tahun 1960-an, terjadilah skandal penyelundupan di wilayah Kodam IV Diponegoro. Pangdamnya itu waktu ialah Kolonel TNI-AD Soeharto, sekarang (mantan pen.) Presiden RI. Operasi penyelundupan itu dibantu oleh Kolonel TNI-AD Moenadi, Liem Sioe Liong dan Bob Hasan. Gara-gara penyelundupan ini nama Pangdam-nya masuk dalam black-list PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara). Ketua PARAN tidak lain ialah Jenderal TNI-AD Abdul Haris Nasution, sedang sekretarisnya ialah Kolonel TNI-AD Moektio. Tetapi, karena saran Wakil KSAD Jenderal Gatot Soebroto, Presiden/Pangti ABRI Soekarno tidak memcat Soeharto. Yang terjadi kemudian ialah mengirim Soeharto ke SSKAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Direktur SSKAD waktu itu ialah Brigadir Jenderal TNI-AD Soewarto. Di SSKAD inilah Soeharto yang kemudian menjadi akrab dengan Soewarto, rupanya mulai dibina oleh unsur-unsur luar yang Anti Soekarno untuk menjadi calon pemimpin alternatif pasca Soekarno nanti. Konon, Soeharto diusulkan oleh rekan perwira tinggi dekatnya (A.Tahir) untuk dipilih menjadi Siswa Teladan Seskoad. Tetapi usulan ini ditolak oleh Brigjen MT Haryono yang belakangan menjadi korban atau dikorbankan dalam Peristiwa GG30S pada 1965. SSKAD kemudian menjadi Seskoad. Tidak seperti Seskoad sekarang yang terkesan santai, tetapi secara diam-diam namun pasti dijadikan dapur pemikir atau think tank-nya AD oleh kelompok jenderal dan perwira menengah tertentu. Semuanya itu harus diakui sebagai sukses kerja Soewarto dengan kelompoknya. Seskoad-lah yang mengusulkan dibentuknya Satuan Cadangan Strategis AD yang bernama CADUAD (Cadangan Umum Angkatan Darat) dan kemudian menjadi KOSTRAD (Komando Strategi Angkatan Darat) setelah Trikora. 10
Yang penting, KOSTRAD ditingkatkan menjadi Komando Utama sehingga menjadi di bawah komando langsung PANGAD. Kemudian ditingkatkan lagi; fungsi Pangkostrad menjadi alternatif pertama jikalau PANGAD berhalangan. Peningkatan fungsi ini dirumuskan dalam standing order yang diusulkan oleh Seskoad. Strategi ini dipersiapkan di bidang militer dalam konsepsi pasca Soekarno. Berdasarkan pengalaman Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala dalam melakukan koordinasi komando-komando antar angkatan, diusulkan lah kepada KOSTRANAS ABRI agar KOSTRAD dirtingkatkan lagi menjadi KOSTRANAS (Komando Strategi Nasional) dengan di bawah komando langsung Pangti ABRI. Usulan ini ditolak oleh KASAD (Jenderal Yani) dan KASAB (Jenderal Nasution). Pada tahun 1964, Mayjen Soeharto diangkat menjadi Wakil Panglima Komando Siaga (KOLA) dan kemudian menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga) dengan Panglimanya Laksamana Omar Dani (Menteri Panglima Angkatan Udara). Selama konfontrasi dengan Malaysia berlangsung, tercatat sejumlah kegiatan Mayjen Soeharto di bidang penyelundupan kopra dari Sulawesi Tengah dan sapi dari Bali untuk diekspor ke Hongkong, dan hilangnya secara misterius sebuah pesawat pengangkut Hercules AURI lengkap dengan penumpangnya yakni angota-anggota Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI beserta dengan persenjataannya. Patut diduga keras bahwa peristiwa tragis ini terjadi akibat kebocoran rencana operasi militer, mengingat Radio Malaysia dalam waktu singkat telah menyiarkan nama-nama lengkap pasukan PGT yang tertangkap basah begitu mereka diterjunkan. Fakta lain mencatat bahwa diketahui waktu itu telah dilakukan hubungan gelap antara Soeharto dan kelompoknya dengan pimpinan politik Malaysia. Dan setelah ditegur oleh Pimpinan ABRI, Mayjen Soeharto mengajukan permohonan pengunduran diri. Permohonan mana pada prinsipnya disetujui oleh Pimpinan ABRI, namun sebelum ada proses pelaksanaannya, diletuskannyalah Peristiwa G30S. YANG MENARIK, MENGAPA DIPILIH FIGUR SOEHARTO? Sejak awal kemerdekaan Amerika Serikat dengan CIA-nya dengan cermat mengikuti perkembangan di Indonesia, sebuah wilayah penting Perang Dinginnya dengan Rusia. Indonesia menjadi jalan silang Pasifik di mana kepentingan Amerika dan Rusia dipertaruhkan. Di sini muncul faktor Soekarno yang amat berpenmgaruh di kalangan bangsa-bangsa sedang berkembang yang berusaha keras mencari jalannya sendiri.
11
Konflik Indonesia-Belanda yang meneruskan perang kemerdekaan, tercatat diselesaikan dengan bantuan/desakan Amerika melalui Konferensi Meja Bundar (KMB). Masalah Irian Barat, dengan Trikora-nya yang menempatkan Indonesia dengan bantuan Rusia menjadi kekuatan militer terbesar di belahan bumi selatan diselesaikan oleh Presiden Kennedy melalui konsep Bunker. Mengenai solusi Konfrontasi Malaysia sebenarnya telah ada konsep solusi dalam bentuk secret agreement antara Soekarno dan Kennedy. Tetapi pelaksanaannya berantakan dengan terbunuhnya Presiden Kennedy. Lebih jauh, dapat dibaca buku bekas Dubes AS di Indonesia, Howard P Jones, Indonesia: The Possible Dream. Amerika di bawah Presiden Johnson waktu itu berada dalam situasi yang gawat di Asia Tenggara oleh karena kaki AS semakin dalam terbenam dalam Perang Vietnam, sehingga amat memerlukan segera Indonesia terbebas dari pengaruh komunis dan Soekarno. Dengan begitu Indonesia bisa menjadi lini ke dua bagi Amerika. Karena itu, Presiden Johnson memerlukan alternatif pimpinan pengganti Soekarno. Bahkan Inggris, Jerman maupun Jepang juga mempunyai keinginan yang sama. MENGAPA PILIHAN ITU JATUH KE TANGAN SOEHARTO? Peter Dale Scott memberi fakta adanya faksi-faksi dalam AD. Tetapi pilihan jatuh kepada Soeharto oleh karena Soeharto orang Jawa. Sebab untuk menguasai Indonesia diperlukan figur Jawa (suku mayoritas). Soeharto juga sudah dipra-kondisi untuk menjadi orang ke dua AD, yang sewaktu waktu bisa menjadi orang pertama AD, dalam asumsi siapa menguasai AD berarti menguasai Indonesia. Faktor ke tiga, Soeharto anti-komunis dan dinilai berani melawan Soekarno. TAHAP 2: PENGGUSURAN SOEKARNO DAN CIVIL SOCIETY Orang pada umumnya terheran-heran kok begitu cepat Soeharto menggulung G30S. Hari pertama, PKI dituduh mendalangi kup terhadap Soekarno. Dan yang menyelamatkan Soekarno adalah Soeharto. Hari berikutnya, Soekarno dituduh memberi angin kepada PKI. Oleh karena itu harus diturunkan. Selanjutnya, parpol-parpol lainnya yang sudah membantu Soeharto membubarkan PKI dan menurunkan Soekarno dituuuduh juga sebagai faktor penggangu kestabilan kekuasaan negara dan jalannya pembangunan. Maka itu, parpol harus ditertibkan dengan cara membubarkan dirinya sendiri dan selanjutnya disusun parpol baru yang dapat dikontrol oleh militer.
12
Semua langkah dilakukan dengan menggunakan falsafah Jawa, nabok nyilih tangan, artinya memukul lawan dengan menggunakan tangan orang lain. Mula-mula diciptakan kesatuan aksi pada akhir _65 baik di kalangan mahasiswa, pelajar maupun sarjana. Direkayasa berbagai gerakan ekstra parlementer yang didukung sepenuhnya oleh militer, yang merupakan alat represi, intimidasi dan seolah-olah demokratis sehingga akhirnya melahirkan Supersemar. Supersemar itu ada yang asli dan ada yang palsu. Hakekat Supersemar yang asli hanyalah sebuah perintah dari atasan kepada bawahan dengan substansi terbatas, yakni pemulihan keamanan. Dengan demikian jelas bersifat teknis dan tidak politis. Tetapi Jenderal Soeharto menganggap Supersemar adalah termasuk politis, sehingga digunakan untuk melakukan pembubaran terhadap PKI, bahkan menangkap para menteri Soekarno termasuk DR Chaerul Saleh yang juga anti-komunis. Lebih lanjut soal ini bacalah keterangan Jenderal (purn) AH Nasution belakangan ini tentang adanya interpretasi mengenai Supersemar. TAHAP 3: PERSIAPAN KUDETA KONSTITUSIONAL Uraian tersebut menunjukkan bahwa sejak 1 Oktober 1965 hakekat kekuasaan militer pada pokoknya sudah berada di tangan Soeharto. Namun kekuasaan politik masih belum beralih secara konstitusional. Oleh karena itu direkayasa kudeta konstitusional yang sepintas lalu seolah-olah pengambil-operan kekuasaan negara secara hukum, tetapi hakekatnya adalah suatu kudeta. Untuk itu dipergunakan lah saran DPR-GR dan MPRS. Dan di lapangan digunakan kesatuan-kesatuan aksi yang dikombinasikan dengan kekuatan dan manuver militer. Untuk itu dilakukan apa yang disebut redressing, dengan jalan penggantian besar-besaran para anggota DPR-GR dan MPRS dengan didahului oleh penangkapan-penangkapan termasuk atas diri Ketua MPRS DR Chaerul Saleh. Dengan demikian DPR-GR dan MPRS jadi alat Soeharto sepenuhnya. Operator tahap ini adalah Ali Murtopo dengan OPSUS-nya. Sedangkan kudeta yang dibungkus oleh sutra-hukum dipercayakan kepada Letkol CKH Sudharmono SH. TAHAP 4: PEMANTAPAN ORDE SOEHARTO Untuk menegakkan kekuasaan Soeharto perlu dilakukan management of fear terhadap kekuatan-kekuatan demokrasi. Juga eliminasi terhadap penghalang-penghalangnya, termasuk melumpuhkan pimpinan MPRS, Jenderal AH Nasution. Yang jadi operator dipercayakan kepada Jenderal soemitro selaku Pangkopkamtib. Dan di bawah permukaan,
13
Ali Murtopo dengan Opsusnya, sehingga dapat melumpuhkan kegiatan pimpinan MPRS waktu itu. Dengan demikian berkibarlah bendera Jenderal Soemitro dengan Pangkopkamtib-nya sampai terdengar ucapan bahwa yang membuat hitam putihnya Indonesia bukan Merdeka Utara (Istana), tetapi Merdeka Barat (Kopkamtib). Maka dipakailah Ali Murtopo untuk menghadapinya, hingga ditimbulkanlah pancingan Peristiwa Malari dengan buntut jatuhnya Jenderal Soemitro. Setelah berhasil menggusur Jenderal Soemitro, terdengar klaim dari Ali Murtopo yang menagih janji untuk menggantikan Soeharto sebagai Presiden. Maka dimunculkanlah figur Jenderal M Jusuf. Jenderal M Jusuf sendiri yang populer sebagai pimpinan militer karena sering meninjau anak buah di daerah-daerah dan terkenal memperhatikan kondisi kesejahteraan prajurit, dicurigai ada main dengan Sultan Hamengku Buwono ke IX. Karena itu dimunculkanlah Jenderal Benny Murdani untuk menghadapinya. Maka dilansirlah berita duka oleh RRI pada pukul 07.00 pagi yang biasa didengar oleh Jenderal M Jusuf. Berita itu mengatakan bahwa Sultan Hamengku Buwono ke IX telah wafat akibat kecelakaan mobil dan jenazahnya sekarang ada di Rumah Sakit Pertamina Kebayoran Baru Jakarta. Dalam waktu lima menit, tepat pukul 07.05 WIB orang pertama yang datang di RS Pertamina adalah Jenderal M Jusuf, padahal Sultan Hamengku Buwono ke-IX waktu itu dalam keadaan sehat wal_afiat. Cerita lucu ini berkaitan dengan adanya Pertemuan Camp David antara Presiden AS Gerald Ford dan Jenderal Soeharto. Dalam pertemuan ini Ford mendesak Soeharto untuk menyerahkan kekuasaan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX, memenuhi saran Kongres Amerika dengan alasan Pemerintahan Soeharto sangat korup. Sejak itulah Sri Sultan HB IX dianggap potensial berbahaya dan dicari siapa tulang punggung militernya. Dengan pancingan tersebut ketemulah hubungan Jenderal Jusuf dengan Sri Sultan HB IX. Pada akhirnya dimunculkan Jenderal Feisal Tanjung untuk menghadapi Jenderal Benny Murdani. Dengan casus belli kasus Timor Timur segera dilakukan de-Benisasi. Kapan akan datang waktunya de-Feisaltanjungisasi kita lihat skenario berikutnya. Perlu dicatat bahwa Jenderal Soemitro waktu menjabat Pangkopkamtib juga sangat berjasa melakukan reorganisasi dan restrukturisasi AD khususnya dan ABRI umumnya. Sejak itu Kodam tidak lagi mempunyai wewenang komando. Kostrad juga tidak lagi 14
memiliki wewenang komando. Wewenang komando berada di tangan Pangab yang praktis dikendalikan Presiden Soeharto. Kekuasaan yang mantap memerlukan sebuah ideologi legitimasi. Maka direkayasalah suatu ideologi yang cocok. Pancasila 1 Juni 1945 menempatkan Soeharto sebagai pelanjut Soekarno itu yang perlu dicegah. Tetapi untuk menyingkirkan Pancasila merupakan suatu hal yang mustahil, oleh karena legitimasi sejak awal dari Orde Soeharto adalah untuk memurnikan Pancasila dan UUD 45. Maka kemudian direkayasalah ideologi Pancasila ala Soeharto sebagai ideologi yang dianggapnya benar, yakni ideologi HA-NA-CA-RA-KA. Pancasila ala Soeharto-lah yang dijadikan Asas Tunggal, sehingga makna, arti dan interpretasinya berada di tangan Soeharto dan tiba gilirannya Soeharto menjadi penguasa tunggal. Di bidang Hankam juga dilakukan penggusuran kekuatan. Yang tadinya di tangan AD sekarang digantikan oleh terkonsentrasinya dana di satu tangan. Yang semula kekuasaan didasarkan pada pendekatan kekuatan senjata digeser kepada penumpukan dana. Pergeseran politik itulah yang menempatkan ABRI hakekatnya menjadi Hansip yang harus menjaga keselamatan dan keamanan para pemilik dana. Timbullah konglomerat-konglomerat sebagai konsentrasi dana nasional. Privatisasi dan penjabaran asas kekeluargaan di bidang ekonomi menjadi asas keluarga sendiri. Maka yang tadinya berlaku "asas bedil sebagai panglima", sekarang digeser menjadi "dana sebagai panglima". TAHAP 5: PELESTARIAN DINASTI SOEHARTO Bahwa strategi yang diletakkan oleh Soeharto sudah berhasil menguasai Republik ini selama 30 tahun sejak 1967, maka konon seorang paranormal asal luar negeri yang sejak Ibu Tien Soeharto masih hidup menjadi penasehat rohani dengan ramalan-ramalannya yang jitu termasuk kemunduran kondisi kesehatan Ibu Tien yang harus dijaga ketat sejak 1966 yang sudah mendapat wangsit bakal mati mendadak. Konon, Soeharto murka dengan ramalan itu, sehingga sang paranormal secara halus disilakan pulang ke negerinya. Namun, setelah Ibu Tien meninggal seperti yang diramalkan, maka Tutut Soeharto segera menjemputnya kembali, sehingga hadir lagi ditengah-tengah Keluarga Cendana. Kesehatan Soeharto pun ditinjau dari alam rohani sangat prima selama memanjakan Tommy Soeharto yang konon sejak lahirnya sudah diramalkan akan menjadi satu-satunya konglomerat terbesar di Indonesia.
15
Konon, menurut si paranormal, Tommy-lah satu-satunya putera yang dapat mengangkat derajat Soeharto selama 30 tahun ini. Maka untuk mengukuhkannya, Tommy perlu dikawinkan dengan seorang puteri keturunan Raja Jawa demi melanjutkan Dinasti Soeharto tiga puluh tahun mendatang. Menurut sang paranormal, Tutut Soeharto bisa berkuasa dalam dua periode. Sementara itu, Bambang Triharmodjo harus dipersiapkan, yang kemudian bisa memimpin dua periode. Sementara penutup Dinasti Soeharto adalah Tommy Soeharto sebagai clan terakhir yang akan memimpin Indonesia dalam dua periode. Maka lengkaplah keseluruhan enam dasawarsa Dinasti Soeharto memimpin Indonesia dengan persyaratan mutlak ABRI harus dimanjakan dan dilakukan peremajaan total pada tahun 1998. Berkaitan dengan ini Soeharto sudah mempersiapkan Pandawa Lima, yaitu Wiranto, Bambang Yudoyono, Hendro Priyono, Agum Gumelar dan Mutoyib. Sementara itu faksi Eddy Sudradjat yang menyuarakan bahwa pada 1998 presiden adalah seorang ABRI, (padahal musyawarah keluarga sudah menyetujui Tutut menjadi pengganti Soeharto), konsekuensinya akan mengalami penggusuran. (Solo, Jum_at Kliwon, 25 April 1997). [Selesai]. Penerbit: Pustaka GuGaT, Jakarta 8 Juni 1998.
16