SKRIPSI
STABILITAS SEDIAAN BUBUK PEWARNA ALAMI DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) YANG DIPRODUKSI DENGAN METODE SPRAY DRYING DAN TRAY DRYING
Oleh SANTY ERNAWATI F24051174
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
STABILITAS SEDIAAN BUBUK PEWARNA ALAMI DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) YANG DIPRODUKSI DENGAN METODE SPRAY DRYING DAN TRAY DRYING
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh SANTY ERNAWATI F24051174
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SANTY ERNAWATI. F24051174. Stabilitas Sediaan Bubuk Pewarna Alami dari Rosela (Hibiscus sabdariffa L) yang Diproduksi dengan Metode Spray Drying dan Tray Drying. Di bawah bimbingan: Yadi Haryadi dan Dede R. Adawiyah. 2010. ABSTRAK Pewarna makanan merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang cukup penting bagi industri pangan karena peranannya untuk memperbaiki penampakan makanan. Penggunaan pewarna sintetis dalam produk pangan sangat berkembang pesat baik di industri besar maupun di industri rumah tangga. Namun, penggunaan pewarna sintetis seringkali menimbulkan masalah kesehatan. Keadaan seperti itu memunculkan berkembangnya penggunaan pigmen alami yang berasal dari bahan alam untuk memperbaiki penampakan dan meningkatkan intensitas warna produk pangan. Contoh tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami adalah rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Pigmen alami yang terkandung dalam tanaman rosela mengandung pigmen antosianin yang menimbulkan warna merah pada pH rendah. Sediaan pewarna makanan banyak tersedia dalam bentuk konsentrat. Namun, sediaan pewarna dalam bentuk konsentrat memiliki stabilitas dan umur simpan yang relatif tidak lama. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk membuat sediaan pewarna dalam bentuk yang lebih stabil. Teknik mikroenkapsulasi zat warna diharapkan dapat menghasilkan sediaan pewarna dalam bentuk bubuk dengan kadar air yang rendah. Metode mikroenkapsulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spray drying dan Tray Drying (TLD). Penelitian ini bertujuan memperoleh sediaan pewarna bubuk dari rosela, sebagai alternatif pewarna alami yang aman serta mengetahui stabilitas sediaan bubuk pewarna alami selama penyimpanan. Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap penelitian, yaitu ekstraksi pigmen rosela, pembuatan pewarna bubuk dari ekstrak rosela dengan metode spray drying dan Tray Drying, analisis fisik dan kimia pewarna bubuk, serta uji stabilitas pewarna bubuk. Ekstraksi rosela dilakukan dengan pelarut air menggunakan metode maserasi selama 24 jam. Ekstrak antosianin yang diperoleh berwarna merah pekat dengan kadar antosianin sebesar 0.49 mg/ml ekstrak. Selanjutnya, dilakukan pembuatan bubuk pewarna rosela dengan metode spray drying menggunakan bahan penyalut maltodekstrin dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 5, 3 : 10, dan 3: 15. Kadar air bubuk pewarna (metode spray drying) dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 5, 3 : 10, dan 3: 15 berturut-turut adalah 4.48 %, 2.65 %, dan 2.81 %, kadar abu bubuk pewarna berurut-turut adalah 3.15 %, 4.15 %, dan 5.84 %, sedangkan kelarutan berurut-turut adalah 99.51 %, 98.90%, dan 98.77 %. Penurunan jumlah antosianin sebelum dan sesudah spray drying paling tinggi terdapat pada sampel bubuk pewarna dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 5 yaitu dari 147 mg menjadi 33.94 mg atau turun 76.91 %. Penurunan jumlah antosianin sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 10 paling rendah yaitu 147 mg menjadi 69.03 mg atau turun
sebanyak 69.03 %. Sampel dengan maltodekstrin 10 % selanjutnya dipilih untuk diuji stabilitasnya. Ekstrak rosela dengan total padatan 3 % selanjutnya dipekatkan hingga total padatan 20 % serta dikeringkan dengan Thin Layer Dryer. Sebelumnya ditambahkan maltodekstrin dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin adalah 3 : 15, 3 : 17.5, dan 3 : 20. Kadar air bubuk pewarna tersebut berturut-turut adalah 10.31 %, 9.81 %, dan 9.12 %, kadar abu berurutturut adalah 2.34 %, 1.97 %, dan 1.41 %, sedangkan kelarutan berturut-turut adalah 99.23 %, 99.20 %, dan 98.26 %. Penurunan jumlah antosianin sebelum dan sesudah proses produksi paling tinggi terdapat pada sampel bubuk pewarna proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 20 yaitu dari 147 mg menjadi 29.51 mg atau turun sebanyak 79.93 %. Penurunan jumlah antosianin sampel bubuk pewarna proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 15 paling rendah yaitu 147 mg menjadi 33.79 mg atau turun sebanyak 76.24 %. Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 15 selanjutnya dipilih untuk diuji stabilitasnya. Uji stabilitas dilakukan dengan menyimpan bubuk pewarna pada suhu yang berbeda (35 C, 45 C, dan 50 C) dengan interval waktu yang berbeda. Penurunan nilai a, kenaikan nilai b, dan kenaikan nilai L pada bubuk pewarna (metode spray drying) yang disimpan pada suhu 50 C lebih cepat daripada bubuk pewarna pada suhu lainnya, begitu pula dengan bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode Tray Drying. Secara umum, intensitas warna (chroma) selama penyimpanan semakin menurun. Semakin tinggi suhu penyimpanan nilai E pun semakin besar. Secara umum nilai E bubuk pewarna rosela (metode Tray Drying) lebih besar daripada bubuk pewarna rosela (metode spray drying) kecuali pada suhu penyimpanan 35 C. Nilai E dapat dipengaruhi oleh jumlah maltodekstrin. Semakin banyak proporsi maltodekstrin maka perubahan warna pun semakin besar. Proporsi maltodekstrin terhadap total padatan ekstrak bubuk pewarna (metode tray drying) lebih besar (15:3) dibandingkan dengan proporsi maltodekstrin terhadap total padatan ekstrak bubuk pewarna (metode spray drying) (10:3). Energi aktivasi perubahan warna bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying berdasarkan perubahan nilai L, a, dan a/L berturut-turut adalah 32.00 Kkal, 24.22 Kkal, dan 23.32 Kkal. Sedangkan, energi aktivasi perubahan warna bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying berdasarkan perubahan nilai L, a, dan a/L berturut-turut adalah 32.44 Kkal, 29.45 Kkal, dan 31.97 Kkal. Hasil pengujian stabilitas warna menunjukkan bahwa bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying lebih stabil dibandingkan bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying. Hal ini sesuai dengan hasil pengujian stabilitas antosianin yang memperlihatkan bahwa energi aktivasi degradasi antosianin pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying (Ea = 36.07 Kkal) lebih tinggi dari pada Ea degradasi antosianin pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying (Ea = 33.17 Kkal).
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN STABILITAS SEDIAAN BUBUK PEWARNA ALAMI DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) YANG DIPRODUKSI DENGAN METODE SPRAY DRYING DAN TRAY DRYING SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh SANTY ERNAWATI F24051174 Dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1986 Di Bogor, Jawa Barat Tanggal Lulus: 16 Desember 2009 Menyetujui Bogor, Januari 2010
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc. NIP: 19490612. 197603. 1. 003
Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si NIP: 19680505. 199203. 2. 002
Mengetahui, Ketua Departemen ITP
Dr. Ir. Dahrul Syah NIP: 19650814. 199002. 1. 001
RIWAHAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Mei 1986. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari keluarga Bapak Kamisan dan almarhumah Ibu Siti Rohmatin. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di TK Insan Kamil Bogor pada tahun 1991-1992, SDN Cibalagung V pada tahun 1992-1993, dan SDN Ciomas VI Bogor pada tahun 19931998. Kemudian dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan di SLTP Negeri 7 bogor pada tahun 1998-2001 serta sekolah Menengah Analis Kimia Bogor (SMAKBo) pada tahun 2001-2005. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Seleksi masuk IPB (USMI) dan pada tahun berikutnya terdaftar di departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Telnologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menduduki bangku perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan akademik dan non akademik. Dalam kegiatan akademik, penulis pernah menjadi asisten praktikum Analisis Pangan pada tahun 2009, dan sebagai pengajar Kimia pada Bimbingan Belajar Mahasiswa MSC Education pada tahun 2008-2009. Dalam kegiatan non akademik penulis pernah menjadi pengurus Badan Pengawas HIMITEPA pada tahun 2006-2007 dan pengurus BEM FATETA pada tahun 2007-2008. Penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan seperti Sie. HUMAS Art IPB Day’s tahun 2005, Sie. Konsumsi Wisuda FATETA periode September tahun 2006, Sie. Konsumsi Panitia Wisuda FATETA Periode November tahun 2006, Sie. Sekretariatan Suksesi HIMITEPA tahun 2007, Sie. Acara Olimpiade FATETA tahun 2007, Sie. PDD Techno-F FATETA tahun 2007, PAK BAUR tahun 2007, Skertaris Kartini IPB Day’s (KIDS) tahun 2008, Sie. Konsumsi A Total English in Action (Attention)tahun 2008. Penulis melakukan penelitian sebagai tugas akhir yang berjudul ”Stabilitas Bubuk Pewarna Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang Diproduksi dengan Metode Spray Drying dan Metode Tray Drying” dibawah bimbingan Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc. dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi yang berjudul “Stabilitas Bubuk Pewarna Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang Diproduksi dengan Metode Spray Drying dan Metode Tray Drying”
ini
didasarkan pada penelitian yang telah dilaksanakan sejak Februari sampai Agustus 2009. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan beberapa pihak baik secara langsung maupun tidak lagsung. Oleh karena itu, penulis menyampaika penghargaan dan terima kasih kepada: 1.
Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc. selaku dosem pembimbing akademik atas pengarahan dan masukan serta kesabarannya dalam membimbing penulis.
2.
Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si. selaku dosen pembimbing atas segala perhatian dan arahan yang membimbing penulis selama melakukan penelitian dan penyelesaian skripsi ini.
3.
Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr. yang telah bersedia untuk menjadi dosen penguji.
4.
Bapak dan Ibu yang sangat kucintai yang senantiasi memberikan kasih sayang, do’a dan dukungan kepada penulis.
5.
Adikku Sandy Erwanto yang sangat kusayangi atas segala dukungan dan do’a.
6.
Bibi Sutiyah di Bandung atas segala kasih sayang dan motivasi, serta keluarga besar yang telah memberikan semangat kepada penulis.
7.
Galih Eka, Fajar, Reni, dan Khrisia, terima kasih atas persahabatan dan kebersamaan selama ini.
8.
Teman seperjuangan, team “Rocang” (Galih eka, Arya, Galih Ika, Ola) atas kerjasama, bantuan dan semangatnya selama penelitian.
9.
Rino, teman satu bimbingan, terima kasih atas dukungannya.
10.
Dosen-dosen IPB, terutama dosen-dosen ITP yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang tidak ternilai harganya.
i
11.
Teman-teman ITP 42, Tuti, Nina, Tyu, Muji, Nanda, Harist, Adi, Sina, Aji serta teman-teman ITP lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersamaannya selama di ITP.
12.
Pak Wahid, Pak sobirin, Pak Rojak, Pak Yahya, Bu Rubiah, Pak Gatot, Bu Antin dan teknisi lainnya yang selalu memberikan bantuan selama penelitian.
13.
Teknisi LJA (Mbak Yane, Mbak Ririn, Siti, dan Mbak Yuli) terimaksih atas bantuannya.
14.
Pimpinan, teman-teman staf pengajar dan karyawan MSC Education atas dukungannya.
15.
Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
semua pihak, khususnya bagi dunia teknologi pangan. Bogor, Januari 2010
Penulis
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................................... i DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... viii I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ...........................................................................
1
B. TUJUAN ................................................................................................
2
C. MANFAAT ...........................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
3
A. ROSELA ................................................................................................
3
B. ZAT WARNA .......................................................................................
5
C. ANTOSIANIN.......................................................................................
6
D. PENGUKURAN WARNA.................................................................... 10 1. SPEKTROSKOPI ............................................................................ 10 2. CHROMAMETER ............................................................................ 10 E. MIKROENKAPSULASI....................................................................... 11 F. MALTODEKSTRIN ............................................................................. 12 G. SPRAY DRYING .................................................................................... 14 H. TRAY DRYING ...................................................................................... 15 III. METODE PENELITIAN.......................................................................... 17 A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................ 17 B. METODE PENELITIAN ...................................................................... 17 1. EKSTRAKSI PIGMEN DARI ROSELA........................................ 17 2. PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI SEDIAAN BUBUK PEWARNA ROSELA ..................................................................... 18 3. PENGUJIAN STABILITAS BUBUK PEWARNA........................ 19 C. METODE ANALISIS ........................................................................... 20 D. RANCANGAN PERCOBAAN ............................................................ 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 25 A. EKSTRAKSI PIGMEN ANTOSIANIN DARI ROSELA .................... 25 B. KARAKTERISTIK SEDIAAN BUBUK PEWARNA ROSELA METODE SPRAY DRYING................................................................... 25 C. KARAKTERISTIK SEDIAAN BUBUK PEWARNA ROSELA METODE TRAY DRYING ..................................................................... 30 iii
D. STABILITAS ANTOSIANIN ............................................................... 35 E. PENGUKURAN WARNA DENGAN CHROMAMETER.................. 43 V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 59 A. KESIMPULAN ....................................................................................... 59 B. SARAN ................................................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 61 LAMPIRAN ....................................................................................................... 65
iv
DAFTAR TABEL Tabel 1. Kandungan gizi Rosela .........................................................................
4
Tabel 2. Gugus pengganti pada struktur kation flavilium pada antosianidin .....
7
Tabel 3. Kadar antosianin dalam bubuk pewarna rosela (metode Spray drying) 29 Tabel 4.
Kadar antosianin dalam bubuk pewarna rosela (metode Tray Drying) 34
Tabel 5. Karakteristik Bubuk Pewarna yang terpilih untuk diuji stabilitasnya .. 36 Tabel 6. Nilai waktu paruh bubuk pewarna rosela ............................................. 40 Tabel 7. Energi aktivasi degradasi antosianin pada bubuk pewarna rosela ........ 41 Tabel 8. Nilai E Energi aktivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai L,a, dan a/L pada larutan bubuk pewarna rosela ................................................ 56 Tabel 9. Umur simpan pewarna bubuk rosella berdasarkan intensitas warna merah pada suhu penyimpanan 4 C, 15 C, 35 C, 45 C, 50 C, dan suhu ruang............................................................................................. 58
v
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.
Tanaman Rosela ..........................................................................
3
Gambar 2.
Struktur umum antosianidin ........................................................
6
Gambar 3.
Struktur antosianin pada berbagai pH .........................................
8
Gambar 4.
Perbedaan tipe mikrokapsul ........................................................ 12
Gambar 5.
Spray dryer .................................................................................. 15
Gambar 6.
Skema thin layer cabinet dryer ................................................... 16
Gambar 7.
Metode ekstraksi pigmen antosianin ........................................... 18
Gambar 8.
Ekstrak antosianin ....................................................................... 25
Gambar 9.
Bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying (proporsi total padatan terhadap penambahan maltodekstrin A= 3 : 5, B = 3 : 10, C = 3 : 15) ........................................................ 26
Gambar 10.
Bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying setelah dilarutkan dalam air (proporsi total padatan terhadap penambahan maltodekstrin A= 3 : 5, B = 3 : 10, C = 3 : 15) ...... 26
Gambar 11.
Diagram kadar air bubuk pewarna rosela (metode spray drying) 27
Gambar 12.
Diagram kadar abu bubuk pewarna rosela (metode spray drying) 28
Gambar 13.
Diagram kelarutan bubuk pewarna rosela (metode spray drying) 29
Gambar 14.
Penurunan jumlah antosianin sebelum dan setelah dikeringkan (metode spray drying) ................................................................. 30
Gambar 15.
Bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying (Proporsi total padatan terhadap penambahan maltodekstrin A= 3 : 15, B = 3 : 17.5, C = 3 : 20) ................................................... 31
Gambar 16.
Bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying setelah dilarutkan dalam air (Proporsi total padatan terhadap penambahan maltodekstrin A= 3 : 15, B = 3 : 17.5, C = 3 : 20) . 31
Gambar 17.
Diagram kadar air bubuk pewarna rosela (metode tray drying).. 32
Gambar 18.
Diagram kadar abu bubuk pewarna rosela (metode tray drying) 33
Gambar 19.
Diagram kelarutan bubuk pewarna rosela (metode tray drying) . 34
Gambar 20.
Penurunan jumlah antosianin sebelum dan setelah proses produksi (metode tray drying) .................................................... 35
Gambar 21.
Kurva hubungan total antosianin dengan dengan waktu penyimpanan pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d). ..................................................... 37
Gambar 22.
Kurva kinetika bubuk pewarna rosela (metode spray drying) dengan suhu penyimpanan 35 C ................................................ 38 vi
Gambar 23.
Kurva kinetika bubuk pewarna rosela (metode spray drying) dengan suhu penyimpanan 45 C ................................................ 39
Gambar 24.
Kurva kinetika bubuk pewarna rosela (metode spray drying) dengan suhu penyimpanan 50 C ................................................ 39
Gambar 25.
Kurva hubungan ln k dengan 1/T ................................................ 41
Gambar 26.
Kurva hubungan nilai L dengan dengan waktu penyimpanan pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ................................................................................................ 44
Gambar 27.
Kurva hubungan nilai a dengan dengan waktu penyimpanan pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ................................................................................................ 45
Gambar 28.
Kurva hubungan nilai b dengan dengan waktu penyimpanan pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ................................................................................................ 47
Gambar 29.
Kurva hubungan nilai C dengan dengan waktu penyimpanan pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ................................................................................................ 48
Gambar 30.
Kurva hubungan nilai E dengan dengan waktu penyimpanan pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ................................................................................................ 50
Gambar 31.
Kurva hubungan ln [L] dengan dengan waktu penyimpanan pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ................................................................................................ 52
Gambar 32.
Kurva hubungan ln k dengan 1/T berdasarkan perubahan nilai L
Gambar 33.
Kurva hubungan ln [a] dengan dengan waktu penyimpanan pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ... 53
Gambar 34.
Kurva hubungan ln k dengan 1/T berdasarkan perubahan nilai a 53
Gambar 35.
Kurva hubungan ln [a/L] dengan dengan waktu penyimpanan pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ................................................................................................ 54
Gambar 36.
Kurva hubungan ln k dengan 1/T berdasarkan perubahan nilai a/L ............................................................................................... 54
vii
52
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Karakteristik pewarna rosela (metode spray drying) ................ 66
Lampiran 2.
Karakteristik pewarna rosela (Metode tray drying) .................. 68
Lampiran 3.
Analis ragam kadar air pewarna bubuk rosela (metode spray drying) metode Duncan ............................................................. 70
Lampiran 4.
Analis ragam kadar abu pewarna bubuk rosela (metode spray drying) metode Duncan ............................................................. 71
Lampiran 5.
Analis ragam kelarutan pewarna bubuk rosela (metode spray drying) metode Duncan ............................................................. 72
Lampiran 6.
Analis ragam kadar air pewarna bubuk rosela (metode tray drying) metode Duncan ............................................................. 73
Lampiran 7.
Analis ragam kadar abu pewarna bubuk rosela (metode tray drying) metode Duncan ............................................................. 74
Lampiran 8.
Analisis ragam kelarutan pewarna bubuk rosela (metode tray drying) metode Duncan ............................................................. 75
Lampiran 9.
Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode spray drying) pada suhu ruang (kontrol)............................................. 76
Lampiran 10.
Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode spray drying) pada suhu 35 C............................................................ 77
Lampiran 11.
Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode spray drying) pada suhu 45 C............................................................ 78
Lampiran 12.
Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode spray drying) pada suhu 55 C............................................................ 79
Lampiran 13.
Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode tray drying) pada suhu ruang (kontrol)............................................. 80
Lampiran 14.
Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode tray drying) pada suhu 35 C............................................................ 82
Lampiran 15.
Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode tray drying) pada suhu 45 C............................................................ 84
Lampiran 16.
Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode tray drying) pada suhu 50 C............................................................ 86
Lampiran 17.
Kinetika degradasi antosianin pada bubuk pewarna rosella pada suhu 35 C ........................................................................ 88
viii
Lampiran 18.
Kinetika degradasi antosianin pada bubuk pewarna rosela pada suhu 45 C ........................................................................ 89
Lampiran 19.
Kinetika degradasi antosianin pada bubuk pewarna rosela pada suhu 50 C ........................................................................ 90
Lampiran 20.
Energi aktivasi dan waktu paruh antosianin pada bubuk pewarna rosela ........................................................................... 91
Lampiran 21.
Pengukuran warna larutan bubuk pewarna rosela dengan chromameter.............................................................................. 92
Lampiran 22.
Kinetika degradasi warna berdasarkan perubahan L, a, dan a/L pada suhu ruang .................................................................. 94
Lampiran 23.
Kinetika degradasi warna berdasarkan perubahan L, a, dan a/L pada 35 C........................................................................... 95
Lampiran 24.
Kinetika degradasi warna berdasarkan perubahan L, a, dan a/L pada 45 C........................................................................... 96
Lampiran 25.
Kinetika degradasi warna berdasarkan perubahan L, a, dan a/L pada 50 C........................................................................... 97
Lampiran 26.
Penentuan energi ektivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai L 98
Lampiran 27.
Penentuan energi ektivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai a . 99
Lampiran 28.
Penentuan energi ektivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai a/L ............................................................................................. 100
Lampiran 26.
Penentuan umur simpan berdasarkan perubahan nlai a/L ......... 101
Lampiran 30.
Dokumentasi pembuatan bubuk pewarna rosela ....................... 102
ix
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pewarna makanan merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang cukup penting bagi industri pangan karena peranannya untuk memperbaiki penampakan makanan yang memudar akibat pengolahan, memperoleh warna yang seragam pada komoditi yang warna alamiahnya tidak seragam, memperoleh warna yang lebih tua dari aslinya, melindungi flavor dan vitamin yang peka selama penyimpanan, memperoleh penampakan yang menarik dari bahan aslinya, untuk identitas produk, serta sebagai indikator visual dari kualitas. Zat warna makanan secara umum dibagi dalam tiga golongan, yaitu zat warna alami, zat warna identik alami, dan zat warna sintetik (Henry, 1996). Zat warna sintetik umumnya bersifat lebih stabil, lebih cerah, dan lebih bervariasi. Sebaliknya zat pewarna alami memiliki sifat yang kurang stabil, kurang cerah, dan kurang bervariasi. Penggunaan pewarna sintetis dalam produk pangan sangat berkembang pesat baik di industri besar maupun di industri rumah tangga. Namun, penggunaan pewarna sintetis seringkali menimbulkan masalah kesehatan. Keadaan ini menimbulkan keinginan orang-orang untuk menggunakan pewarna alami yang relatif aman. Keadaan seperti itu memunculkan berkembangnya penggunaan pigmen alami yang berasal dari bahan alam sebagai pewarna makanan. Pigmen alami tersebut banyak ditemukan pada tumbuhan. Bagian tumbuhan yang biasanya memiliki pigmen yang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna makanan adalah bagian daun, bagian bunga, dan bagian batang. Selain berfungsi untuk mewarnai produk, pigmen alami ini juga memiliki fungsi sebagai flavour, antioksidan, antimikroba, dan fungsi lainnya (Winarno, 2002). Contoh tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami adalah rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) mengandung pigmen antosianin. Antosianin menimbulkan warna merah pada pH rendah (2-4), sedangkan pada pH tinggi dapat menghasilkan warna kuning, biru, bahkan tidak berwarna.
Pada umumnya sediaan pewarna makanan tersedia dalam bentuk konsentrat. Namun, sediaan pewarna dalam bentuk konsentrat memiliki stabilitas dan umur simpan yang relatif
tidak lama. Oleh karena itu,
diperlukan suatu metode untuk membuat sediaan pewarna dalam bentuk yang lebih
stabil.
Teknik
mikroenkapsulasi
zat
warna
diharapkan
dapat
menghasilkan sediaan pewarna dalam bentuk bubuk. Dengan demikian, sediaan pewarna bubuk diharapkan memiliki stabilitas dan umur simpan relatif lebih lama dibandingkan dengan sediaan pewarna dalam bentuk konsentrat. Selain itu, produk mikroenkapsulasi memiliki keunggulan dalam hal kemudahan penanganan, transportasi, dan penyimpanan. Mikroenkapsulasi dapat memberikan perlindungan pada bahan inti dan menjaga pigmen warna dari faktor-faktor fisik dan kimia. Metode mikroenkapsulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spray drying dan tray drying. Pada metode spray dring, bahan disemprotkan ke dalam suatu media pengering pada suhu tinggi, sehingga bahan menjadi bubuk, granula, atau produk aglomerat. Dengan metode tray drying, bahan yang dikeringkan dengan menggunakan medium udara panas dibuat dalam bentuk lapisan tipis sehingga efisiensi pengeringan menjadi semakin meningkat karena semakin besar luas permukaan. Metode tray drying dilakukan pada suhu yang lebih rendah dari pada metode spray drying yaitu sekitar 50 C sehingga diharapkan dapat mengurangi kerusakan pigmen akibat suhu pemanasan yang tinggi. B. TUJUAN 1. Mengetahui pengaruh mikroenkapsulasi ekstrak rosela terhadap stabilitas warna merah yang dihasilkan selama penyimpanan. 2. Mengetahui metode mikroenkapsulasi yang mampu menurunkan laju degradasi antosianin dan meningkatnya nilai aktivasi pada bubuk pewarna rosela.
C. MANFAAT Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan alternatif pewarna makanan yang aman bagi konsumen dan memiliki stabilitas yang baik selama penyimpanan. 2
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. ROSELA Rosela adalah tumbuhan yang berasal dari India dan memiliki nama Latin Hibiscus sabdariffa L. (keluarga Malvaceae). Tumbuhan ini dikenal sebagai penghasil serat bermutu yang dimanfaatkan untuk membuat karung goni. Rosela merupakan tumbuhan semak yang tingginya mencapai 3 m. Batangnya bulat, tegak, percabangan simpodial, memiliki kambium, dan berwarna merah. Daunnya tunggal berbentuk bulat seperti telur. Tipe tulang daunnya menjari. Ujung daunnya tumpul, dan pangkalnya berlekuk. Panjang daun rosela sekitar 6-15 cm dan lebarnya 5-8 cm. Panjang tangkai daun 4-7 cm dengan penampang bulat dan berwarna hijau (Maryani dan Kristiana, 2005). Rosela memiliki bunga tunggal yang tumbuh di ketiak daun. Kelopak bunga berwarna merah, berbulu, terdiri dari delapan sampai sebelas daun kelopak, dan pangkalnya berlekatan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Mahkota bunganya berwarna kuning berbentuk corong. Setiap bunga terdiri dari lima daun mahkota yang panjangnya 3-5 cm. Daerah terbaik untuk menanam rosela adalah tempat tropis atau subtropis yang hangat dengan ketinggian 0-900 meter di atas permukaan laut. Pada 4-5 bulan setelah tanam, tanaman ini memerlukan banyak sinar matahari untuk mencegah munculnya bunga prematur yang dapat menyebabkan kualitasnya menjadi buruk. Curah hujan yang diperlukan selama pertumbuhan rosela adalah 182 cm/ tahun. Rosela dapat langsung diolah setelah dipanen atau dikeringkan agar lebih awet dalam penyimpanannya. Rasio pengeringan rosela umumnya 10 : 1, artinya dari setiap 10 kg kelopak segar akan menghasilkan 1 Kg kelopak kering (Maryani dan Kristiana, 2005).
Gambar 1. Tanaman rosela (Morton, 2003)
Rosela merupakan sumber penting untuk vitamin, mineral, dan komponen bioaktif seperti asam organik, phytosterol, dan polyphenol. Beberapa di antaranya memiliki sifat antioksidan. Warna merah pada kelopak bunga rosela disebabkan oleh pigmen antosianin. Pigmen antosianin yang terdapat pada kelopak bunga rosela mengandung delphinidin-3-sambubiosida, cyanidin-3-sambubiosida, dan delphinidin-3-glucose (Fasoyiro et al., 2005). Persentase jenis antosianin dalam rosela yang terdistribusi sebagai delphinidin-3-sambubiosida, cyanidin-3-sambubiosida, dan delphinidin-3glikosida adalah 71.40 %, 26.60 %, dan 2.00 % (Hong dan Wrolstad (1990) diacu dalam Wong et. al. (2002)). Kelopak Rosela mengandung vitamin C, vitamin A, dan 18 jenis asam amino. Kandungan asam lemak yang terdapat pada kelopak rosela diantaranya asam lemak miristat, palmitat, asam amino stearat, oleat, dan linoleat. (Maryani dan Kristiana, 2005). Rosela yang dimaksud pada penelitian ini adalah bagian kelopak bunga yang berwarna merah. Kandungan gizi rosela secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan gizi rosela (Maryani dan Kristiana, 2005) Komponen
Jumlah (per 100 g kelopak bunga Rosela)
Kalori
44 Kal
Air
86.2 %
Protein
1.6 g
Lemak
0.1 g
Karbohidrat
11.1 g
Serat
2.5 g
Abu
1.0 g
Kalsium
160 mg
Fosfor
60 mg
Besi
3.8 g
Betakaroten
285 mg
Vitamin C
14 mg
Tiamin
0.04 mg
Riboflavin
0.6 mg
Niasin
0.5 mg 4
Rosela kini mulai dikembangkan petani untuk diambil kelopak bunga dan bijinya sebagai tanaman herbal dan bahan baku minuman kesehatan. Kelopak bunga rosela selain mengandung asam malat yang segar, juga mempunyai warna yang menarik dan dapat diolah menjadi beberapa produk yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi, yaitu berupa sirup atau minuman segar, selai, dan manisan (Ditjenbun, 2008). B. ZAT WARNA Warna adalah sifat sensori pertama yang diamati pada saat konsumen menemui produk pangan. Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya adalah rasa, warna, tekstur, dan gizinya. Namun, sebelum faktor-faktor lain diperhatikan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan keputusan konsumen. Selain sebagai faktor yang menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Baik tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam atau merata (Winarno, 2002). Pewarna makanan ditambahkan ke dalam makanan untuk beberapa tujuan yaitu meningkatkan intensitas warna pada makanan yang intensitas warnanya rendah, untuk menyeragamkan warna dalam makanan, memperbaiki penampakan warna pada makanan yang warnanya memudar akibat pengolahan, serta untuk memberi warna pada produk tertentu yang tidak memiliki warna, misalnya produk-produk confectionery, dan minuman ringan (Henry, 1996). Secara umum, pewarna makanan dibedakan dalam tiga kategori yaitu pewarna sintetik, pewarna identik alami, dan pewarna alami. Zat warna makanan adalah zat warna alami atau buatan yang boleh ditambahkan ke dalam makanan dan minuman untuk memperoleh warna makanan dan minuman yang diinginkan. Pewarna sintetik pertama kali ditemukan oleh Sir William Henry Perkins pada tahun 1856. Penemuan ini mendorong penemuan terhadap pewarna sisntetik lainnya. Zat warna sintetik untuk jenis-jenis tertentu dalam penggunaanya sering kali menimbulkan masalah kesehatan sehingga masing-masing negara mengatur penggunaannya antara zat warna 5
yang diizinkan dan dilarang. Zat warna alami adalah pewarna organik yang diperoleh dari sumber alami, contohnya adalah curcumin (dari turmeric), bixin (dari annatto), dan antosianin (dari buah-buahan dan tumbuhan berwarna merah). Zat warna alami sejak dahulu digunakan untuk pewarna makanan dan sampai sekarang umumnya dianggap lebih aman daripada pewarna sintetis. Zat warna identik alami adalah pewarna yang struktur kimianya identik dengan pewarna alami namun dibuat melalui sintesis kimia, contohnya
-
caroten, riboflavin, dan canthaxantin (Henry, 1996). Pigmen alami mempunyai kestabilan yang berbeda terhadap berbagai kondisi pengolahan (Winarno, 2002). Suhu proses pengolahan produk yang menggunakan zat warna alami dianjurkan tidak terlalu tinggi dan dalam waktu yang singkat, sehingga dapat mengurangi laju kerusakan pigmen tersebut selama pemasakan atau pemanasan (Hutchings, 1999). C. ANTOSIANIN Antosianin dan antoxantin tergolong pigmen yang disebut flavonoid yang umumnya larut dalam air. Flavonoid mengandung dua cincin benzena yang dihubungkan oleh tiga atom karbon. Ketiga karbon tersebut dirapatkan oleh sebuah atom oksigen sehingga terbentuk cincin diantara dua cincin benzena (Winarno, 2002). Struktur umum antosianin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur umum antosianidin Antosianin merupakan pigmen alami yang dapat menghasilkan warna biru, ungu, violet, magenta, merah, dan kuning. Konsentrasi pigmen sangat berperan dalam penentuan warna (Hue). Antosianin adalah pigmen larut air yang banyak terdapat pada bunga, buah, dan daun tumbuhan. Berdasarkan studi, antosianin tidak bersifat genotoksik (Francis, 2002). Studi yang 6
dilakukan pada minuman yang dibuat dari rosela memperlihatkan tidak adanya efek toksik (Askari et al., 1996). Antosianin termasuk ke dalam senyawa fenolik yang dinamakan flavonoid. Antosianin adalah glikosida dari polihidroksi dan polimetoksi dengan 2-phenilbenzopyrylum atau garam flavinium (Kong, et. al., 2003). Monosakarida utama yang terdapat pada antosianin adalah glukosa (90 %), serta rhamnosa, galaktosa, xylosa, dan arabinosa (Andersen dan Jordheim (2006) diacu dalam Ovando et. al. (2009)). Gula yang terikat pada antosianin dapat terasilasi dengan asam-asam aromatik seperti p-coumaric, caffeic, ferulic, sinapic, galic, atau p-hydroxy benzoic acid, dan atau dengan asamasam alifatik seperti asam malonat, asetat, malat, suksinat, dan oksalat (Jackman dan Smith, 1996). Sampai sekarang terdapat lebih dari 500 jenis antosianin dan 23 jenis antosianidin (Ovando et al., 2009). Hanya ada enam jenis antosianidin yang terdapat dalam buah dan sayuran yaitu cyanidin (50 %), delphinidin (12 %), pelargonon (12 %), peonidin (12 %), petunidin (7 %) dan malvidin (7 %). Ikatan glikosida yang terdapat pada antosianin umumnya dalah 3-monosida, 3biosida, 3,5- dan 3,7- diglikosida (Kong et. al. (2003) diacu dalam Ovando et. al. (2009)). Gugus pengganti pada struktur kation flavilium pada antosianidin dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Gugus pengganti pada struktur kation flavilium pada antosianidin (Jackman dan Smith, 1996) Antosianidin
Gugus pada karbon nomor: 3’
4’
5’
H
OH
H
Sianidin
OH
OH
H
Delfinidin
OH
OH
OH
Peonidin
Ome
OH
H
Petunidin
Ome
OH
OH
Malvidin
Ome
OH
Ome
Pelargonin
7
Flavonoid larut dalam air dan sangat reaktif sehingga mudah teroksidasi atau tereduksi. Flavonoid juga dapat membentuk garam jika bereaksi dengan asam atau basa (Hutchings, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi
kestabilan
antosianin
diantaranya
adalah
pH,
suhu
penyimpanan, struktur kimia, konsentrasi, cahaya, oksigen, pelarut, serta keberadaan enzim, flavonoid lain, protein dan ion logam (Ovando et al., 2009).
Gambar 3. Struktur antosianin pada berbagai pH (Mateus dan Freitas, 2009) Struktur kimia dan stabilitas antosianin dipengaruhi oleh pH larutan seperti yang dapat dilhat pada Gambar 3. Pada pH 1, antosianin terdapat dalam bentuk flavilium yang memberikan warna ungu dan merah. Pada pH 24, antosinin terdapat dalam bentuk quinoidal. Pada pH 5-6, terdapat dalam bentuk chalcone dan basa carbinol yang tidak berwarna. Pada pH lebih dari 7, antosianin terdegradasi (Ovando et. al., 2009). Menurut Bridle dan Timberlake (1996), struktur primer antosianin adalah dalam bentuk kation flavilium. 8
Struktur sekunder akan terbentuk melalui transfer proton membentuk basa quinoidal yang kebiruan atau melalui hidrasi membentuk pseudobasa carbinol yang dapat mengalami tautomerisasi membentuk retro-chalcone yang tidak berwarna. Seperti reaksi kimia pada umumnya, stabilitas antosianin dan laju degradasinya dipengaruhi oleh suhu. Deprotonisasi kation flavilium pada antosianin merupakan reaksi eksoterm, sedangkan hidrasi kation dan terbukanya
cincin
pyrylium
merupakan
reaksi
endoterm.
Dengan
meningkatnya suhu, pembentukan chalcone akan meningkat (Jackman dan Smith, 1996). Pada kondisi aerobik, meningkatnya substitusi metoksil, glikosil, dan atau asil akan meningkatkan stabilitas thermal antosianin. Kinetika degradasi antosianin dapat diamati berdasarkan konstanta laju reaksi dan waktu paruh. Degradasi antosianin mengikuti kinetika degradasi orde pertama (Ersus dan Yurdagel, 2007). Pada reaksi ordo pertama ini, jika diplotkan ln [C] yang tersisa terhadap waktu, akan diperoleh hubungan linier. Melalui grafik tersebut, dapat diperoleh konstanta laju reaksi (k) dengan mengunakan persamaan: Ln [C]= -kt + ln [C]o Dengan [C] = konsentrasi antosianin, [C]o = konsentrasi awal, dan t = waktu. Absorbansi maksimum cyanidin-3-galaktosida adalah pada panjang gelombang 530 nm (Ersus dan Yurdagel, 2007), sedangkan menurut Iglesias et. al. (2008), absorbansi maksimum cyanidin-3-galaktosida yang terdapat dalam apel adalah 532 nm. Tsai et. al. (2001) mengukur total antosinin dalam rosela sebagai delphinidin pada panjang gelombang 520 nm. Pengukuran ini dilakukan dalam pelarut metanol yang ditambahkan asam asetat 5 %. Du dan Francis (1973) mengukur total antosianin dalam rosela sebagai delphinidin-3glukosida pada panjang gelombang 543 nm dengan nilai koefisien molar extinction 2.9 x 10-4.
9
D. PENGUKURAN WARNA 1. Spektroskopi Spektroskopi merupakan metode yang secara luas digunakan untuk analisis kualitatif dan kuatitatif. Pengukuran dilakukan berdasarkan jumlah radiasi yang diabsorbsi atau diemisikan oleh analit (Pemer, 2003). Spektroskopi UV dan sinar tampak merupakan ciri tunggal yang paling berguna untuk menganalisis struktur flavonoid (Markham, 1998). Spektroskopi absorbsi memiliki prinsip dasar yaitu bila suatu cahaya putih atau radiasi dilewatkan melalui larutan berwarna maka radiasi dengan panjang gelombang tertentu akan diserap secara selektif dan radiasi lainnya akan diteruskan. Absorbansi maksimum dari larutan berwarna terjadi pada daerah berlawanan. Larutan warna merah akan menyerap radiasi maksimum warna hijau, warna kuning akan menyerap radiasi maksimum pada warna biru violet. Analisis kuantitatif secara spektroskopi dilakukan dengan memakai persamaan Lambert-Beer, yaitu:
Pada persamaan ini, A adalah daya serap atau absorbansi, ε adalah absorptivitas molar, c adalah konsentrasi sampel (mol/ L), dan d adalah diameter sel (cm). 2. Chromameter Chromameter adalah alat yang digunakan untuk mengukur warna dari suatu bahan. Pada chromameter, warna dideskripsikan melalui notasi warna. Notasi warna adalah suatu cara sistematik atau objektif untuk menyatakan atau mendeskripsikan suatu jenis warna. Di antara sistem warna terdapat tiga macam sistem notasi warna yaitu ICI (International Commission ON Illumination), Munsell, dan Hunter. Sistem notasi ICI didasarkan pada konsep bahwa semua jenis warna dapat dibentuk dari tiga warna dasar yaitu merah ( 720 nm), hijau 10
( 520 nm), dan biru ( 380 nm). Masing-masing warna ini dinyatakan dengan nilai X untuk merah, Y untuk hijau, dan Z untuk biru (Soekarto, 1990). Cara pengukuran warna dengan sistem warna Munsel dilakukan dengan mengukur komponen warna dalam besaran value, hue, dan chroma. Value menunjukkan gelap terangnya warna, nilai hue mewakili panjang gelombang dominan yang menentukan warna sampel, sedangkan chroma menunjukkan intensitas warna. Ketiga komponen ini diukur dengan menggunakan alat khusus yang mengukur nilai khromasitas permukaan suatu bahan. Nilai yang diperoleh berbeda untuk setiap warna, kemudian nilai-nilai tersebut diplotkan ke dalam diagram kromasitas (Winarno, 2002). Sistem notasi warna yang paling banyak digunakan adalah sistem notasi hunter yang mempunyai tiga parameter untuk mendeskripsikan warna, yaitu L, a, dan b (Soekarto, 1990). Nilai L menyatakan parameter kecerahan yang memiliki nilai 0 (Hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan warna kromatik campuran merah sampai hijau dengan nilai a+ dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan niai a- dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran biru sampai kuning dengan nilai +b dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b dari 0 sampai -70 untuk warna biru (Soekarto, 1990). E. MIKROENKAPSULASI Mikroenkapsulasi adalah suatu teknik penyalutan zat aktif (padatan, cairan, atau gas) dengan zat lain untuk melindunginya dari pengaruh lingkungan (Dubey et. al., 2009). Menurut Adameic dan Marciniak (2004), mikroenkapsulasi didefinisikan sebagai teknologi penyalutan zat aktif (core) yang berupa padatan, cairan, maupun gas dalam kapsul yang sangat kecil (diameter kapsul 1-800 µm) dengan suatu bahan matrix (carrier) untuk melindungi
sifat-sifat
tertentu
selama
penyimpanan,
distribusi
dan
penggunaan. Mikroenkapsulasi dapat memberi perlindungan pada bahan inti dan menjaga warna dari faktor-faktor fisik dan kimia (Nielsen dan Holst, 11
2002). Enkapsulasi pewarna alami dapat menurunkan laju degradasi pigmen dan dapat meningkatkan umur simpan pewarna (Gradinaru et. al., 2003) Zat aktif yang terkurung dalam mikrokapsul disebut inti atau core. Dinding penyalut disebut skin, shell, atau film pelindung. Proses mikroenkapsulasi bahan-bahan inti tersebut dibungkus oleh dinding polimer tipis. Mikrokapsul dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu monocore, polycore, dan matriks seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4. Mikrokapsul monocore mempunyai ruang partikel (core) tunggal, sedangkan polycore memiliki beberapa ruang partikel (core) yang ukurannya berbedabeda yang dilapisi dinding penyalut. Pada tipe matriks, partikel-partikel zat aktif terintegrasi dalam matriks bahan penyalut (Dubey et. al., 2009).
Gambar 4. Perbedaan tipe mikrokapsul (Dubey et. al., 2009) Menurut Adameic dan Marciniac (2004), tujuan terpenting dari proses enkapsulasi adalah melindungi zat aktif dari faktor eksternal seperti suhu, kelembapan, interaksi dengan zat lain, atau radiasi UV, mereduksi evaporasi atau perpindahan zat aktif ke lingkungan,serta melindungi sifat tertentu dari zat aktif, seperti bau, flavour, dan aktivitas katalitik. Ada beberapa teknik mikroenkapsulai yang biasa digunakan, yaitu pembentukan polimer dengan reaksi kimia, spray drying, fluidised bed coating,
melt
solidifiation,
co-extrusion,
layer-by-layer
deposition,
supercritical fluid expansion, dan spinning disk (Dubey et. al., 2009). F. MALTODEKSTRIN Dekstrin yang dihasilkan dari hidrolisis asam atau pemanasan kering (roasting) sering disebut pirodekstrin. Selain proses hidrolisis, pada saat membuatan pirodekstrin terjadi juga repolimerisasi sehingga terbentuk polimer bercabang tingkat tinggi. Pirodekstrin merupakan jenis dekstrin yang 12
tersedia secara komersial. Maltodekstrin merupakan salah satu jenis pirodekstrin yang termasuk kelompok dekstrin putih yang secara luas digunakan oleh industri pangan. Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis pati yang mengandung unit
-D-glukosa yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1.4 glikosidik
dengan dextrose equivalent (DE) kurang dari 20. Rumus umum maltodekstrin adalah [C6H10O5]n.H2O (Kennedy et al., 1995). mendefinisikan maltodekstrin
Devidek et al. (1990)
sebagai turunan pati yang dihasilkan dari
degradasi rantai amilosa dan amilopektin secara kimiawi atau enzimatis menjadi dekstrin (< 62 %), maltosa (>6%), glukosa (>6%) dan mempunyai DE 3-20. Maltodekstrin adalah polimer dari glukosa dengan panjang ikatan rata-rata 5-10 unit glukosa per molekul. Maltodekstrin banyak digunakan dalam indrustri makanan sebagai bahan pengisi. Idealnya maltodekstrin sedikit berasa dan berbau, namun maltodekstrin dengan DE 20 menghasilkan rasa manis. Maltodekstrin merupakan zat yang larut dalam air dan dapat melindungi zat yang dienkapsulasi dari oksidasi (Shahidi dan Han (1993) diacu dalam Ersus dan Yurdagel (2007)). Maltodekstrin memiliki viskositas yang rendah dan terdapat dalam bobot molekul yang berbeda (Ersus dan Yurdagel, 2007). Maltodekstrin bersifat kurang hidroskopis, kurang manis, memiliki kelarutan tinggi,dan cenderung tidak membentuk zat warna pada reaksi pencoklatan. Maltodekatstrin dari sirup glukosa dalam industri pangan banyak digunakan sebagai bahan pengisi, mengurangi tingkat kemanisan produk, dan bahan campuran yang baik untuk produk-produk tepung. Penggunaannya sebagai bahan pengisi dapat mengurangi biaya produksi. Menurut Kennedy et al. (1995), aplikasi maltodekstrin pada produk pangan antara lain pada: 1. Produk bakery, misalnya pada cakes, muffin, dan biscuit sebagai pengganti gula atau lemak.
13
2. Makanan beku. Maltodekstrin memiliki kemampuan mengikat air (water holding
capacity)
dan
bobot
molekul
rendah
sehingga
dapat
mempertahankan produk tetap beku. 3. Makanan berkalori rendah. Penambahan maltodekstrin dalam jumlah yang besar tidak akan meningkatkan kemanisan produk seperti halnya gula. G. SPRAY DRYING Mikroenkapsulasi dengan spray drying merupakan metode yang paling banyak digunakan secara komersial. Metode ini biasanya digunakan untuk enkapsulasi aroma, minyak, dan flavor. Spray drying merupakan proses transformasi suatu bahan dari wujud cair menjadi bentuk kering dalam suatu proses transformasi suatu bahan dari wujud cair menjadi bentuk kering dalam suatu proses yang kontinyu. Bahan disemprotkan dan diatomisasi membentuk droplet ke dalam suatu media pengering yang panas, kemudian air dalam bentuk droplet akan menguap meninggalkan bahan kering (Dubey et. al., 2009). Spray drying terdiri dari empat tahapan proses, yaitu atomisasi bahan melalui sebuah penyemprot, kontak antara droplet dengan udara pengering, evaporasi uap air, dan pemisahan produk kering dari udara kering. Menurut Wirakartakusumah (1992), spray dryer digunakan untuk menghasilkan tepung dari suspensi cairan. Seperti proses pengeringan lainnya, prinsip pengeringan semprot cukup sederhana. Cairan disemprotkan ke dalam aliran gas panas, air dalam tetesan (droplet) menguap dengan cepat meninggalkan
tepung
kering.
Tepung
dipisahkan
dari
udara
yang
mengangkutnya dengan menggunakan separator atau kolektor tepung. Walaupun suhu udara yang masuk ruang pengering sangat tinggi, kecepatan penguapan yang tinggi menyebabkan pendinginan yang berarti, sehingga dapat menghindarkan bahan dari pemanasan yang berlebihan, bahkan tidak ada kontak bahan basah maupun produk kering dengan medium yang panas sekali. Skema spray dryer dapat dilihat pada Gambar 5. Bahan yang akan dikeringkan dengan menggunakan spray dryer diusahakan mengandung total padatan yang tinggi sekitar 30-40 % dengan kandungan air sekitar 60-70 %. Pada kondisi demikian, proses pengeringan 14
dapat berlangsung lebih cepat dan degradasi karena panas dapat dikurangi. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Andrade dan Flores (2001), ekstrak antosianin dievaporasi hingga mencapai total padatan 12
Brix
sebelum dikeringkan dengan spray dryer.
Gambar 5. Skema spray dryer (Anonim, 2008) Pengeringan bahan pangan dengan metode spray drying dinilai lebih efisien dan ekonomis dibandingkan dengan metode lain. Terdapat beberapa keuntungan metode pengeringan semprot, antara lain yaitu produk menjadi kering tanpa bersentuhan dengan plat logam, temperature produk rendah (termasuk pada saat temperatur udara pemanas relatif tinggi, waktu pengeringan yang relatif singkat, serta menghasilkan produk akhir yang stabil, mudah ditangani, dan memudahkan transportasi. H. TRAY DRYING Salah satu proses yang penting dalam mikroenkapsulasi adalah pengeringan. Tujuan utama pengeringan yaitu mempertahankan produk selama penyimpanan karena dengan berkurangnya kadar air maka pertumbuhan mikroba dapat ditekan sehingga kerusakan produk dapat dihindari. Pengeringan lapis tipis (film) digunakan untuk menghasilkan produkproduk yang kering dari bahan cair atau semi cair (Bolland, 2000). Menurut Kasuna et al. (2001), ubi-ubian seperti ubi jalar dengan tebal 5 mm dapat dikeringkan dengan metode tray drying pada suhu 55 C dan 65 C. Tray Dryer terdiri dari coil pemanas, blower, drying chamber, outlet udara, dan termostat (Gambar 6). Prinsip pengeringan tray drying dengan lapisan tipis sampel 15
adalah proses pengeringan dan bahan yang akan dikeringkan dibuat dalam bentuk lapisan atau irisan tipis dengan menggunakan medium udara panas sehingga efisiensi pengeringan menjadi semakin meningkat karena semakin besar luas permukaan. Semakin besarnya luas permukaan mengakibatkan kecepatan pengeringan semakin tinggi sehingga dihasilkan produk kering dengan lapisan atau irisan yang tipis.
Gambar 6. Skema thin layer cabinet dryer (Rajkumar et al., 2007)
16
III.
METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rosela (Hibiscus sabdariffa L.), akuades, etanol, maltodekstrin, metanol 26.4 M, HCl 35 %, kertas saring Whatman nomor 1 dan nomor 42. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah blender, kain saring, penyaring vacuum, vaccum evaporator, corong Buchner, homogenizer, refrigerator, neraca analitik, spray dryer, tray dryer, chromameter, spektrofotometer UV-VIS, kuvet, inkubator, sealer, cawan aluminium, cawan porselen, oven vacuum, desikator, tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, labu takar, sudip, gelas pengaduk, botol kemasan, dan botol pereaksi. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap penelitian, yaitu ekstraksi pigmen dari rosela, penentuan pembuatan pewarna bubuk dari ekstrak metode spray drying dan tray drying serta karakterisasi produk, dan pengujian stabilitas pewarna bubuk. 1. Ekstraksi pigmen dari Rosela Ekstraksi pigmen bertujuan mendapatkan senyawa antosianin dari rosela melalui metode ekstraksi secara maserasi. Ekstraksi pigmen antosianin dilakukan dengan menggunakan metode maserasi yang merupakan modifikasi dari metode Tensiska dan Natalia (2007). Metode Tensiska dan Natalia menggunakan alkohol sebagai pelarut, sedangkan pada penelitian ini digunakan pelarut air seperti yang telah dilakukan oleh Kristie (2008). Diagram alir metode ekstraksi antosianin dari rosela dapat dilihat pada Gambar 7. Ekstrak rosela selanjutnya dikarakterisasi untuk dengan menganalisis total padatan dan total antosianin yang terkandung didalamnya.
Rosela Kering ↓ Dihancurkan dengan ”Waring Blender” (+air dengan perbandingan 1:10) ↓ Didiamkan semalam di dalam wadah tertutup (ruang gelap) ↓ Disaring dengan kain saring Ampas ↓ Disaring dengan penyaring vakum (Kertas saring Whatman No.1) ↓ Ekstrak Rosela Gambar 7. Metode ekstraksi pigmen antosianin
2. Pembuatan dan Sediaan Bubuk Pewarna Rosela 1. Metode Spray Drying Pada pembuatan sediaan bubuk pewarna dengan metode spray drying, digunakan maltodekstrin sebagai bahan pengisi dengan konsentrasi 5 %, 10 %, dan 15 % dari jumlah ekstrak encer (total padatan 3%) sehingga proporsi padatan terhadap penambahan maltodekstrin adalah 3 : 5, 3 : 10, dan 3 : 15. Sejumlah maltodekstrin ditimbang (5 %, 10 %, dan 15 % dari 100 gram ekstrak encer (total padatan 3%)) kemudian ditambahkan ekstrak pigmen rosela sebanyak 100 ml. Campuran tersebut dihomogenisasi 11000 rpm selama 1 menit dengan homogenizer lalu dikeringkan dengan alat spray drying dengan suhu inlet 170 C dan suhu outlet 88 C. Bubuk pewarna yang dihasilkan selanjutnya dilakukan analisis kadar air, kadar abu, kelarutan, dan total antosianin. 2. Metode Tray Drying Pembuatan sediaan bubuk pewarna dengan metode tray drying dilakukan pada suhu lebih rendah daripada metode spray drying yaitu 18
50 C. Ekstrak pigmen rosela dipekatkan hingga mencapai total padatan 20 % dengan menggunakan rotavapour pada suhu 65 C. Bahan pengisi yang digunakan adalah maltodekstrin. Maltodekstrin dicampur dengan ekstrak rosela dengan perbandingan
gram
maltodekstrin dan ml ekstrak 6 : 6, 7 : 6, dan 8 : 6 sehingga proporsi padatan terhadap maltodekstrin adalah 3 : 15, 3 : 17.5, dan 3 : 20. Kemudian dihomogenisasi dengan mixer dengan skala kecepatan pada no 1 selama 1 menit. Campuran tersebut dibentuk lapisan tipis pada tray kemudian dikeringkan dengan tray dryer pada suhu 50 C. Setelah dikeringkan selama 4 jam, lapisan dikeruk dan dilakukan pengecilan ukuran dengan blender kering. Bubuk pewarna yang dihasilkan selanjutnya dilakukan analisis kadar air, kadar abu, kelarutan, dan total antosianin. Bubuk pewarna dengan penurunan jumlah antosianin paling rendah selama pengeringan selanjutnya dipilih untuk diuji stabilitasnya. Gambar pembuatan bubuk pewarna dapat dilihat pada Lampiran 30. 3. Pengujian Stabilitas Bubuk Pewarna Pengujian stabilitas bubuk pewarna dilakukan dengan mengukur total antosianin dan warna larutan bubuk pewarna yang telah disimpan pada suhu tertentu setiap interval waktu tertentu. Pengukuran intensitas warna dilakukan dengan menggunakan chromameter sedangkan analisis total antosianin dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer. Disiapkan 30 buah botol plastik yang masing-masing berisi 1 gram sampel bubuk pewarna kering. Bubuk pewarna kering tersebut disimpan pada suhu 35 °C (10 botol), 45 °C (10 botol), dan 55 °C (10 botol). Bubuk pewarna yang disimpan pada suhu 35 °C diukur intensitas warna dan total antosianin setiap interval waktu 7 hari, bubuk pewarna yang disimpan pada suhu 45 °C diukur intensitas warna dan total antosianinnya setiap interval waktu 3 hari, sedangkan bubuk pewarna yang disimpan pada suhu 55 °C diukur intensitas warnanya setiap interval waktu 1 hari. Sebelum dilakukan pengukuran intensitas warna, bubuk pewarna dilarutkan terlebih 19
dahulu dengan akuades sehingga konsentrasinya mencapai 1 %. Degradasi pigmen diplot dengan menghubungkan total antosianin dengan waktu proses pemanasan berdasarkan kinetika reaksi orde pertama (Ersus dan Yurdagel, 2007). Pengamatan kinetika degradasi antosianin dilakukan melalui persamaan matematis yang diinterpretasikan sebagai berikut : = ln Ct-ln Co = - kt ln Ct = -kt + ln Co keterangan: Ct
= konsentrasi pigmen pada waktu tertentu
Co
= konsentrasi awal pigmen
k
= konstanta laju reaksi (hari-1)
t
= waktu (hari)
Berdasarkan kurva hubungan ln C dengan waktu diperoleh persamaan garis dengan nilai k sebagai slope dari kurva. Berdasarkan persamaan tersebut juga dapat dihitung waktu paruh (t1/2). Setelah nilai k pada berbagai suhu didapat, selanjutnya dibuat grafik hubungan 1/T (K-1) dengan nilai ln k (hari-1) sehingga diperoleh persamaan: k = ko e-Ea/RT ln k = ln ko – Ea/RT keterangan : k
= tetapan laju reaksi
ko
= faktor frekwensi
Ea
= energi aktivasi (kalori atau Joule)
R
= tetapan gas (1.987 kal/mol K atau 8.3145 J/mol K)
T
= suhu mutlak (K)
C. METODE ANALISIS Pewarna bubuk yang dihasilkan dianalisis karakteristik fisik dan kimianya yang terdiri dari penentuan kadar air (AOAC, 1995), total 20
padatan, kadar abu (AOAC, 1995), kelarutan (Purba, 2003) dan pengukuran warna dengan Chromameter (modifikasi Hutching, 1999) dan spektrofotometer (Iglesias et. al., 2008). Sediaan pewarna bubuk yang memiliki karakteristik terbaik digunakan selanjutnya untuk diuji stabilitasnya. 1.
Kadar Air dan Total Padatan, Metode Oven (AOAC, 1995) Cawan aluminium kosong dikeringkan dalam oven 105 C selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebagai bobot cawan kosong. Sejumlah sampel sediaan pewarna tertentu dimasukkan ke dalam cawan aluminium lalu ditimbang, kemudian dikeringkan dalam oven vakum 70 ºC semalam. Setelah dikeringkan.
Didinginkan
dalam
desikator
dan
ditimbang.
Pengeringan dilakukan kembali hingga diperoleh bobot konstan.
keterangan: a = bobot cawan aluminum (gram) b = bobot sampel (gram) c = bobot cawan aluminum dan sampel setelah dikeringkan (gram) 2.
Penentuan kadar abu (AOAC, 1995 ) Cawan porselen kosong dikeringkan dalam oven 105
C
selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebagai bobot cawan kosong. Sejumlah sampel sediaan pewarna tertentu dimasukkan ke dalam cawan porselen lalu ditimbang, kemudian dikeringkan dalam tanur sampai terbentuk abu. Proses pengabuan dilakukan dalam dua tahap yaitu pertama pada suhu sekitar 400 oC dan kedua pada suhu 550 oC. Setelah pengabuan 21
selesai, cawan diinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Pengabuan dilakukan kembali hingga diperoleh bobot konstan.
3.
Kelarutan, metode gravimetri (Purba, 2003) Satu gram sediaan pewarna bubuk dilarutkan dalam 150 ml akuades dan disaring dengan menggunakann kertas saring Whatman No. 42 dengan bantuan pompa vakum. Sebelum digunakan, kertas saring terlebih dahulu dikeringkan dalam oven 105 C selama 30 menit dan ditimbang. Setelah penyaringan, kertas saring beserta residu dikeringkan dalam oven 105 C selama tiga jam, didinginkan dengan desikator dan ditimbang. Pengeringan dilakukan hingga diperoleh bobot yang konstan.
Keterangan: a = berat kertas saring dan residu (gram) b = berat kertas saring (gram) c = berat sampel yag digunakan KA = kadar air sampel ( % b/b) 4.
Analisis antosianin (Iglesias et al., 2008) Analisis
total
antosianin
dilakukan
dengan
metode
spektrofotometri pada panjang gelombang 543 nm (Iglesias et al., 2008). Sampel ekstrak antosianin dipipet sebanyak 0.1 ml. Kemudian ditambahkan metanol 26.4 M dan HCl 35 % dengan perbandingan 98:2 sampai dengan volume 10 mL. Sampel yang telah terekstrak disimpan dalam ruang gelap yang ditutup dengan aluminium foil selama
1
malam
pada
suhu
40C.
Ekstrak
diukur
dengan
spektrofotometer pada absorbansi 543 nm. Untuk sampel bubuk, sampel ditimbang sebanyak 0.3 gram dilarutkan dengan 5 ml akuades kemudian 2 ml larutan tersebut dipipet dan ditambahkan 8 ml larutan 22
metanol 26.4 M dan HCl 35 % dengan perbandingan 98 : 2. Sampel yang telah terekstrak disimpan dalam ruang gelap yang ditutup dengan aluminium foil selama 1 malam pada suhu 4 0C. Ekstrak disaring dengan kertas Whatman no. 1 dan filtratnya diukur dengan spektrofotometer pada absorbansi 543 nm A= εxbxc Jumlah antosianin (mg/ml sampel) = Keterangan : A
= absorbansi
ε
= emisifitas antosianin (2.9 x 104 liter/mol)
b
= lebar kuvet (1.1cm)
c
= konsentrasi ekstrak (mol/liter)
BM = massa molekul relatif delphinidin 3-glukosida (501 gr/mol)
5.
Pengamatan Warna Menggunakan Chromameter ( Francis, 1999) Intensitas warna diukur dengan menggunakan Minolta Chroma Meters CR-310. Prinsip dari Minolta Chroma Meters adalah pengukuran perbedaan
warna melalui
pantulan cahaya
oleh
permukaan sampel. Chromameter adalah suatu alat untuk analisis warna secara terstimulus untuk mengukur warna yang dipantulkan suatu permukaan. Data pengukuran yang diperoleh dapat berupa nilai absolut maupun nilai selisih dengan warna standar. Pada chromameter ini digunakan sistem warna L, a, dan b. L menunjukkan kecerahan, a dan b adalah koordinat-koordinat kromatisitas, dimana a untuk warna hijau (a negatif) ke merah ( a positif), b untuk warna biru (b negatif) sampai kuning (b positif). Sebanyak 0.2 g pewarna bubuk dilarutkan terlebih dahulu dengan 10 ml akuades yang memiliki pH 7.0. Sebelum dilakukan pengukuran chromameter dikalibrasi dulu dengan menggunakan kalibration plate yang berwarna putih dengan Y = 92,89, x = 0.3178,
23
dan y = 0.3338. Setelah dikalibrasi zat warna diukur intensitas warnanya. Perubahan warna sampel yang telah disimpan dengan warna sampel mula-mula dapat ditentukan dengan nilai
E. Untuk
mengetahui tingkat ketajaman warna yang dihasilkan daptat dilihat dari nilai chroma (C), sedangkam untuk mengetahui warna sampel dapat diketahui dari nilai Hue. E = [( L)2+( a)2+( b)2] o
Hue = tan-1(b/a)
C = (a2+b2)1/2 D. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian pembuatan sediaan pewarna bubuk untuk menentukan konsentrasi maltodekstrin yang tepat dan untuk memilih sampel yang diuji stabilitasnya adalah rancangan acak lengkap, yaitu sebagai berikut: Yij = Yijk
+ Ai +
ij
= Nilai amatan = Rataan umum
Ai ijk
= Pengaruh konsentrasi bahan pengisi ke-i = Pengaruh galat percobaan
24
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. EKSTRAKSI PIGMEN ANTOSIANIN DARI ROSELA Ekstraksi antosianin dilakukan dengan pelarut air menggunakan metode maserasi selama 24 jam. Ekstrak antosianin yang diperoleh berwarna merah pekat seperti yang terlihat pada Gambar 8. Pelarut air digunakan karena air bersifat polar dan tidak bersifat toksik. Menurut Amr dan Al-Tamimi (2007) diacu dalam Ovando et. al. (2009) ekstraksi dengan metanol yang diasamkan lebih efektif dibandingkan dengan etanol dan aquades. Namun metanol bersifat toksik sehingga jarang digunakan pada bahan pangan. Ekstraksi antosianin dari 100 g rosela dengan satu liter air akan menghasilkan 850 ml ekstrak. Selanjutnya dilakukan analisis total antosianin dalam ekstrak. Total antosianin ekstrak diperoleh sebesar 0.49 mg/ ml ekstrak.
Gambar 8. Ekstrak antosianin B. KARAKTERISTIK
SEDIAAN
BUBUK
PEWARNA
ROSELA
METODE SPRAY DRYING Teknik yang dilakukan pada pembuatan sediaan bubuk pewarna adalah teknik mikroenkapsulasi. Metode mikroenkapsulasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode spray drying dan tray drying. Pada metode spray drying, bahan disemprotkan dan diatomisasi membentuk droplet ke dalam suatu media pengering yang panas, kemudian air dalam bentuk droplet akan menguap meninggalkan bahan kering (Dubey et. al., 2009). Ekstrak dengan total padatan 3 % ditambahkan bahan penyalut maltodekstrin. Proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin adalah 3 : 5, 3: 10, dan 3: 15. Bubuk pewarna yang dihasilkan berwarna merah muda seperti yang dapat dilihat 25
pada Gambar 9, sedangkan Gambar 10 memperlihatkan bubuk pewarna setelah dilarutkan. Bubuk pewarna rosela yang dilarutkan dengan akuades terlihat berwarna merah dengan intensitas warna paling pekat adalah bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin adalah 3 : 5. Larutan bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 15 berwarna lebih pucat.
A
B
C
Gambar 9. Bubuk pewarna rosela (proporsi total padatan terhadap penambahan maltodekstrin A= 3 : 5, B = 3 : 10, C = 3 : 15)
Gambar 10. Bubuk pewarna rosela setelah dilarutkan dalam air (proporsi total padatan terhadap penambahan maltodekstrin A= 3 : 5, B = 3 : 10, C = 3 : 15) Bubuk pewarna yang dihasilkan selanjutnya dianalisis sifat fisik dan kimianya, meliputi kadar air, kadar abu, kelarutan, total antosianin dan warna. Hasil analisis dan perhitungan kadar air, kadar abu, kelarutan, dan total antosianin bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying dapat dilihat pada Lampiran 1. Kadar air pada produk yang berbentuk bubuk akan mempengaruhi umur simpan produk. Diagram kadar air bubuk pewarna (metode spray drying) yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 11. Kadar air terbesar terdapat pada bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 5 yaitu 4.48 %. Perbedaan ini disebabkan proporsi maltodekstrin tersebut kurang cukup untuk menyalut asam dan gum yang terkandung dalam ekstrak rosela. Hal ini dapat terlihat dari penampakan bubuk 26
yang agak lengket. Sifat gum yang dapat membentuk gel akan menghambat pengeringan karena air yang terperangkap dalam gel sulit diuapkan sehingga terbentuk bubuk yang semi basah. Bubuk yang semi basah ini sangat mudah sekali menempel pada dinding drying chamber pengering. Akibatnya bubuk yang dihasilkan akan berbentuk gumpalan-gumpalan yang semi basah (Purba, 2003). Pada penelitian yang dilakukan Purba (2003), pigmen brazilin yang ditambahkan gum arab sebanyak 2 %, 3 % dan 4 % mengalami penggumpalan karena terbentuknya gel saat dikeringkan dengan spray dryer. Berdasarkan uji statistik (Lampiran 3), konsentrasi maltodekstrin memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air produk. Hal ini dapat dilihat dari uji statistik dengan metode
Kadar Air (%)
duncan bahwa ketiga sampel berada dalam subset yang berbeda.
4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
4.48
(a)
3:5
(b)
(c)
2.65
3 : 10
2.81
3 : 15
Total padatan ekstrak : Maltodekstrin
Gambar 11. Diagram kadar air bubuk pewarna rosela (metode spray drying) Hasil penelitian terhadap kadar abu menunjukkan kadar abu tertinggi adalah 5.84 % yaitu pada bubuk pewarna rosela dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 15. Kadar abu terendah adalah 3.15 % yaitu bubuk pewarna rosela dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 5. Diagram perbandingan kadar abu dapat dilihat pada Gambar 12. Total abu yang tinggi mengindikasikan kandungan mineral yang tinggi. Mineral tersebut dapat berasal dari matodekstrin yang ditambahkan serta dari rosela itu sendiri. Menurut Maryani dan Kristiana (2005), dalam 100 gram rosela terkandung 1 gram abu yang di dalamnya terdapat mineral kalsium, fosfor, dan besi.
27
Kadar Abu (%) Basis kering
6.00 5.00 (a)
4.00 3.00 2.00
(c)
3.15
(b)
5.84
4.15
1.00 0.00 3:5
3 : 10
3 : 15
Total padatan ekstrak : Maltodekstrin
Gambar 12. Diagram kadar abu bubuk pewarna rosela (metode spray drying) Beberapa ion logam dapat berinteraksi dengan antosianin membentuk kompleks. Beberapa kation logam dapat menyebabkan bathocromic shift yaitu pergeseran panjang gelombang maksimum. Hal ini dapat diamati apabila terjadi perubahan warna menjadi kebiruan dan kadang-kadang menyebabkan pengendapan pigmen. Warna biru dapat terbentuk karena pembentukan komlpeks antara antosianin dan beberapa ion logam seperti aluminium, besi, tembaga, timah dan magnesium (Ovando et. al., 2009). Pada sampel yang diamati tidak terjadi perubahan warna merah menjadi biru. Berdasarkan uji statistik (Lampiran 4), ketiga sampel berada pada subset yang berbeda. Dengan demikian dapat diketahui bahwa konsentrasi maltodekstrin memberikan pengaruh nyata terhadap kadar abu produk. Berdasarkan uji kelarutan bubuk pewarna, diperoleh nilai kelarutan tertinggi adalah 99.51 % yaitu bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 15, sedangkan nilai kelarutan terendah adalah 98.77 % yaitu bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 5. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kadar air bubuk pewarna. Semakin tinggi kadar air produk bubuk, semakin sulit produk dilarutkan dalam air karena produk cenderung membentuk butiran yang lebih besar tetapi tidak porous. Diagram kelarutan bubuk pewarna dapat dilihat pada Gambar 13.
28
100.00
% Kelarutan
95.00 90.00
(b)
98.77
(a)
98.90
(a)
99.51
85.00 80.00 3:5
3 : 10
3 : 15
Total padatan ekstrak : Maltodekstrin
Gambar 13. Diagram kelarutan bubuk pewarna rosela (metode spray drying) Hasil uji statistik (Lampiran 5) menunjukkan bahwa kelarutan bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 15 tidak berbeda nyata dengan bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 10, namun berbeda nyata dengan bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 5. Proses pengeringan semprot yang menggunakan panas yang cukup tinggi dapat mengakibatkan penurunan total antosianin. Pada penelitian ini, suhu inlet yang digunakan adalah sekitar 170 C. Kadar antosianin dalam bubuk pewarna dapat dilihat pada Tabel 3. Bubuk pewarna dengan proporsi total padatan : maltodekstrin 3 : 15 memiliki kadar antosianin yang paling tinggi. Tabel 3. Kadar antosianin dalam bubuk pewarna rosela (metode Spray drying) Pewarna Bubuk Rosela dengan proporsi total Total Antosianin (mg/ g bahan kering) padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3:5 1.49 3 : 10 1.90 3 : 15 2.38 Pada penelitian ini, dilakukan perbandingan jumlah antosianin sebelum dan setelah dikeringkan dengan spray dryer. Dalam 300 ml ekstrak antosianin mengandung 147.00 mg antosianin. Sejumlah ekstrak tersebut dalam jumlah yang sama (300 ml) ditambahkan maltodekstrin dengan konsentrasi yang berbeda. Penurunan jumlah antosianin paling rendah terdapat pada sampel 29
bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 10 yaitu dari 147.00 mg menjadi 45.53 mg. Jumlah antosianin pada bubuk pewarna tersebut turun 69.03 % dari jumlah antosianin awal dalam ekstrak rosela. Bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 5 mengalami penurunan antosianin paling banyak (76.91 %) karena pada proses pengeringan, antosianin tidak cukup tersalut oleh maltodekstrin. Sehingga antosianin tersebut lebih mudah terdegradasi oleh panas. Penurunan jumlah antosianin sebelum dan setelah dikeringkan dapat
Jumlah antosianin (mg) dalam sampel
dilihat pada Gambar 14.
160.00 140.00 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00
147.00
33.94
3:5
147.00
45.53
3 : 10
147.00
44.62
3 : 15
Total padatan ekstrak : Maltodekstrin Sebelum dikeringkan Setelah dikeringkan
Gambar 14. Penurunan jumlah antosianin sebelum dan setelah dikeringkan (metode spray drying) C. KARAKTERISTIK
SEDIAAN
BUBUK
PEWARNA
ROSELA
METODE TRAY DRYING Prinsip pengeringan lapis tipis adalah proses pengeringan dimana bahan yang akan dikeringkan dibuat dalam bentuk lapisan atau irisan tipis dengan menggunakan medium udara panas sehingga efisiensi pengeringan menjadi semakin meningkat karena semakin besar luas permukaan. Semakin besarnya luas permukaan mengakibatkan kecepatan pengeringan semakin tinggi sehingga dihasilkan produk kering dengan lapisan atau irisan yang tipis. Pada metode tray drying, suhu pengeringan lebih rendah daripada metode spray drying yaitu 50 C. Hal ini bertujuan agar degradasi antosianin karena panas dapat dikurangi. Ekstrak encer (total padatan 3 %) yang dihasilkan 30
dipekatkan terlebih dahulu dengan rotavapour hingga total padatan mencapai 20 %. Hal ini dilakukan agar waktu pengeringan tidak terlalu lama mengingat suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi. Pada metode ini, maltodekstrin yang digunakan lebih banyak daripada metode spray drying. Perbandingan gram maltodekstrin dan ml ekstrak adalah 6 : 6, 7 : 6, dan 8 : 6. Dengan demikian, diperoleh proporsi total padatan terhadap maltodekstrin yang ditambahkan adalah 3 : 15, 3 : 17.5, dan 3 : 20. Bubuk pewarna yang dihasilkan berwarna merah namun ukurannya lebih kasar dari pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying. Bubuk pewarna yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 15, sedangkan Gambar 16 memperlihatkan bubuk pewarna setelah dilarutkan. Setelah dilarutkan, diperoleh larutan yang berwarna merah. Semakin tinggi kandungan maltodekstrin, intensitas warna merah semakin menurun.
A
B
C
Gambar 15. Bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying (proporsi total padatan ekstrak : maltodekstrin A = 3 : 15, B = 3 : 17.5, dan C = 3 : 20)
Gambar 16. Bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying setelah dilarutkan dalam air (proporsi total padatan ekstrak : maltodekstrin A = 3 : 15, B = 3 : 17.5, dan C = 3 : 20) Seperti pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying, bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying juga dianalisis karakteristik fisik dan kimianya. Hasil analisis dan perhitungan kadar air, kadar 31
abu, kelarutan, dan total antosianin bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying dapat dilihat pada Lampiran 2. Kadar air terbesar terdapat pada bubuk pewarna 3 : 15, sedangkan kadar air terkecil terdapat pada bubuk pewarna 3 : 20. Diagram kadar air bubuk pewarna (metode tray drying) dapat dilihat pada Gambar 17. Pada waktu pengeringan yang sama ( 4 jam) jumlah air yang tertinggal pada ekstrak tidak sama mengingat kadar air awal pun berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai laju pengeringan ekstrak dengan tray dryer. Kadar air bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying lebih besar dari pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying. Hal ini dapat disebabkan suhu pengeringan pada spray dryer jauh lebih tinggi dari pada pada tray dryer, selain itu pada spray dryer sampel semprotkan sehingga membentuk aerosol yang lebih mudah dikeringkan. Hasil uji statistik (Lampiran 6) menunjukkan bahwa kadar air bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap penambahan maltodekstrin sebesar 3 : 15 tidak berbeda nyata dengan bubuk pewarna yang 3 : 17.5, namun berbeda nyata dengan bubuk pewarna yang menggunakan maltodekstrin 3 : 20.
Kadar Air (%)
10.40 10.20 10.00 9.80 9.60 9.40 9.20 9.00 8.80 8.60 8.40
(a)
10.31
(a)
9.81
(b)
9.12
3 : 15
3 : 17.5
3 : 20
Total padatan ekstrak : Maltodekstrin
Gambar 17. Diagram kadar air bubuk pewarna rosela (metode tray drying) Hasil penelitian terhadap kadar abu menunjukkan kadar abu tertinggi adalah 2.34 % yaitu pada bubuk pewarna rosela dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 15. Kadar abu terendah adalah 1.41 % yaitu bubuk pewarna rosela dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 20. 32
Seharusnya semakin tinggi kandungan maltodekstrin biasanya mempunyai kadar abu yang lebih tinggi. Namun hasil analisis kadar abu pada produk bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying memperlihatkan hasil analisis yang sebaliknya. Hal ini dapat terjadi karena rentang waktu produksi dan analisis kadar abu berbeda, sehingga produk yang dianalisis dengan rentang waktu produksi-analisis lebih lama lebih banyak menyerap air dari udara. Sampel yang bersifat sangat higroskopis dapat menyerap uap air dari udara. Adanya uap air yang terserap mengakibatkan bobot sampel yang ditimbang tidak menunjukkan bobot sampel yang sebenarnya atau bobot bubuk pewarna kering yang sebenarnya lebih rendah dari pada yang ditimbang. Dengan demikian kandungan abu yang ada menjadi lebih rendah. Bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap penambahan maltodekstrin 3 : 15 dan 3 : 17.5 dianalisis kadar abunya lebih awal dari pada bubuk pewarna proporsi total padatan ekstrak terhadap penambahan maltodekstrin 3 : 20. Diagram perbandingan kadar abu dapat dilihat pada Gambar 18. Berdasarkan hasil uji statistik (Lampiran 7), kadar abu pada ketiga
Kadar Abu (%) basis kering
produk berbeda nyata.
2.50 2.00 1.50
(a)
2.34
1.00
(b)
1.97
(c)
1.41
0.50 0.00 3 : 15
3 : 17.5
3 : 20
Total padatan ekstrak : maltodekstrin
Gambar 18. Diagram kadar abu bubuk pewarna rosela (metode tray drying) Berdasarkan uji kelarutan bubuk pewarna, diperoleh nilai kelarutan tertinggi adalah 99.23 % yaitu bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap penambahan maltodekstrin 3 : 15, sedangkan nilai kelarutan terendah adalah 98.26 % yaitu bubuk pewarna dengan proporsi total padatan 33
ekstrak terhadap penambahan maltodekstrin 3 : 20. Diagram kelarutan bubuk pewarna dapat dilihat pada Gambar 19. Berdasarkan uji statistik (Lampiran 8), konsentrasi maltodekstrin tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kelarutan produk. Kelarutan bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying tidak berbeda nyata dengan bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying yaitu di atas 98 %.
% kelarutan
100.00 95.00 90.00
(a)
99.23
(a)
99.20
(a)
98.26
85.00 80.00 3 : 15
3 : 17.5
3 : 20
Total padatan ekstrak : Maltodekstrin Gambar 19. Diagram kelarutan bubuk pewarna rosela (metode tray drying) Proses pemanasan dapat mengakibatkan penurunan total antosianin. Kadar antosianin dalam bubuk pewarna dapat dilihat pada Tabel 4. Bubuk pewarna dengan proporsi total padatan 3 : 15 memiliki kadar antosianin yang paling tinggi karena jumlah padatannya yang lebih rendah. Tabel 4. Kadar antosianin dalam bubuk pewarna rosela (metode tray drying) proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin
Total Antosianin (mg/ g bahan kering)
3 : 15
0.92
3 : 17.5
0.76
3 : 20
0.61
Pada penelitian ini, dilakukan perbandingan jumlah antosianin sebelum dan setelah dikeringkan dengan tray dryer. Dalam 300 ml ekstrak antosianin (Total padatan 3 %) mengandung 147 mg antosianin. Ekstrak tersebut dievaporasi hingga dicapai volume ekstrak 45 ml (total padatan 20 %). Setiap 45 ml ekstrak tersebut ditambahkan maltodekstrin dengan proporsi total 34
padatan : maltodeksrin yang berbeda yaitu 3 : 15, 3 : 17.5, dan 3 : 20. Penurunan jumlah antosianin paling tinggi terdapat pada sampel bubuk pewarna dengan proporsi total padatan : maltodeksrin 3 : 20 yaitu dari 147 mg menjadi 29.51 mg. Penurunan jumlah antosianin paling rendah terdapat pada sampel bubuk pewarna dengan proporsi total padatan : maltodeksrin 3 : 10 yaitu dari 147 mg menjadi 34.93 mg. Jumlah antosianin pada bubuk pewarna tersebut turun 76.24 % dari jumlah antosianin awal dalam ekstrak rosela encer (total padatan 3 %) sebelum evaporasi. Sampel yang mengalami penurunan antosianin paling rendah selama pengeringan dipilih untuk diuji stabilitasnya. Penurunan jumlah antosianin sebelum dan setelah proses produksi dapat dilihat pada Gambar 20. Secara umum, perbedaan penurunan jumlah antosianin bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying tidak terlalu jauh dengan pewarna yang dibuat dengan metode spray drying. Hal ini terjadi karena walaupun suhu pengeringan pada tray drying ( 50 C) lebih rendah daripada suhu pengeringan pada spray drying ( 170 C), ekstrak yang akan dikeringkan dengan tray dryer dievaporasi terlebih dahulu sehingga antosianin didalam
Jumlah antosianin (mg) dalam sampel
ekstrak sudah mengalami degradasi selama evaporasi.
160 140 120 100 80 60 40 20 0
147.00
34.93
3 : 15
147.00
33.79
3 : 17.5
147.00
29.51
3 : 20
Total padatan ekstrak : Maltodekstrin Sebelum proses evaporasi Setelah proses evaporasi dan pengeringan
Gambar 20. Penurunan jumlah antosianin sebelum dan setelah proses produksi (metode tray drying) D. STABILITAS ANTOSIANIN Uji stabilitas antosianin dilakukan pada bubuk pewarna terpilih, yaitu bubuk pewarna yang mengalami penurunan jumlah antosianin paling rendah selama pengeringan. Bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap penambahan maltodekstrin 3 : 10 (metode spray drying) mengalami 35
penurunan paling rendah selama pengeringan dibandingkan bubuk pewarna rosela lainnya yang dibuat dengan metode spray drying lainnya yaitu 69.03 %. Bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap penambahan maltodekstrin 3 : 15 (metode tray drying) mengalami penurunan paling rendah selama pengeringan dibandingkan bubuk pewarna rosela lainnya yang dibuat dengan metode tray drying lainnya yaitu 76.91 %. Dengan demikian, bubuk pewarna dengan
proporsi total padatan ekstrak terhadap penambahan
maltodekstrin 3 : 10 (metode spray drying) dan bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap penambahan maltodekstrin 3 : 15 (metode tray drying) dipilih untuk diuji stabilitasnya. Karakteristik bubuk pewarna terpilih dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik bubuk pewarna yang terpilih untuk diuji stabilitasnya Karakteristik
Satuan
kadar air kadar Abu Kelarutan Total Antosianin Rendemen Warna L a b C hue warna
% % bk % mg/g bk %
Bubuk Pewarna Metode SD Metode TD 2.65 10.31 4.15 2.34 98.9 99.23 1.9 0.92 46.13 63.05 75.56 27.37 2.3 27.47 4.80 Merah keunguan
59.21 24.89 3.44 25.13 7.47 Merah keunguan
Uji stabilitas dilakukan dengan menyimpan bubuk pewarna pada suhu yang berbeda (35 C, 45 C, dan 50 C). Pada interval waktu tertentu bubuk pewarna tersebut dianalisis total antosianinnya (Lampiran 9-16). Semakin lama total antosianin akan semakin menurun. Penurunan total antosianin bubuk pewarna rosela dapat dilihat pada Gambar 21.
36
1.2
Total Antosianin (mg/g)
Total Antosianin (mg/g)
1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0
10
20
30
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
40
0
Waktu Penyimpanan (Hari)
20
30
40
Waktu Penyimpanan (Hari)
(a)
(b)
1.2
1.2
Total Antosianin (mg/g)
Total Antosianin (mg/g)
10
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0
5
10
15
20
Waktu Penyimpanan (Hari)
(c)
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0
2
4
6
Waktu Penyimpanan (Hari)
(d) Keterangan:
Gambar 21. Kurva hubungan total antosianin dengan waktu penyimpanan pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d). Total antosianin semakin lama akan semakin berkurang karena mengalami degradasi. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas antosianin yaitu pH, cahaya, suhu, konsentrasi, oksigen, pelarut, keberadaan enzim, flavonoid dan ion logam (Ovando et al., 2009). Tahap pertama dari degradasi antosianin adalah pembukaan cincin heterosiklik dan pembentukan chalcone. Dengan meningkatnya suhu, pembentukan chalcone akan meningkat (Jackman dan Smith, 1996). Viguera dan Bridle (1999) mengemukakan bahwa degradasi antosianin akan berlangsung cepat pada suhu yang lebih tinggi. Pada Gambar 21 terlihat bahwa total antosianin pada sampel yang disimpan di suhu 50
C mengalami penurunan yang lebih banyak dari pada sampel yang
disimpan pada suhu lainnya. Hal ini terlihat pada kurva yang semakin curam. Penurunan total antosianin pada sampel yang dibuat dengan metode spray 37
drying yang lebih tinggi dari pada metode tray drying dapat disebabkan oleh proporsi maltodekstrin terhadap antosianin pada metode tray drying lebih tinggi dari pada proporsi maltodekstrin terhadap antosianin pada metode spray drying sehingga antosianin yang terdapat dalam bubuk pewarna (metode tray drying) lebih terlindungi dari faktor-faktor yang dapat mempercepat degradasi antosianin. Pada umumnya degradasi pigmen akibat perlakuan suhu mengikuti kinetika reaksi ordo satu. Kondisi ini juga ditemui pada pigmen antosianin dalam pulm puree dimana akibat perlakuan suhu yang diberikan, degradasi perubahan warna mengikuti kinetika reaksi ordo satu (Ahmed et al., 2004). Plot antara ln (C) dengan waktu penyimpanan (C= total antosianin) memberikan garis lurus dengan kemiringan (slope) = -k, sehingga reaksi termasuk ordo satu (Arpah, 2001). Nilai konstanta laju reaksi (k) setiap suhu berbeda, oleh karena itu nilai k dapat diperoleh dari kemiringan kurva hubungan ln [C] dengan waktu penyimpanan pada setiap suhu penyimpanan yang berbeda. Data kinetika degradasi antosianin pada suhu 35 C, 45 C, dan 50 C dapat dilihat pada Lampiran 17, 18, dan 19. Pada uji stabilitas antosianin, dilakukan analisis total antosianin pada sampel yang disimpan pada suhu yang berbeda dengan waktu penyimpanan yang berbeda pula. Dengan membuat kurva hubungan ln [C] dan waktu penyimpanan, dapat diperoleh nilai k pada suhu tertentu seperti
ln [C]
yang dapat dilihat pada Gambar 22, 23, dan 24. 0.2 0.1 0.0 -0.1 0 -0.2 -0.3 -0.4 -0.5 -0.6
y = -0.0095x + 0.1131 R² = 0.9648 10
20
30
40
y = -0.0026x - 0.3724 R² = 0.9281
Waktu (hari)
Metode Spray Drying MetodeTray Drying
Gambar 22. Kurva kinetika bubuk pewarna rosela dengan suhu penyimpanan 35 C. 38
ln [C]
0.2000 0.1000 0.0000 -0.1000 0 -0.2000 -0.3000 -0.4000 -0.5000 -0.6000
y = -0.0277x + 0.1445 R² = 0.9633 5
10
15
20
y = -0.0086x - 0.384 R² = 0.9567
Metode Spray Drying metode Tray drying
Waktu (hari)
Gambar 23. Kurva kinetika bubuk pewarna rosela dengan suhu penyimpanan 45 C. 0.20 0.10 0.00
ln [C]
-0.10 0
1
2
3
4
5
6
-0.20 -0.30
y = -0.1311x + 0.1384 R² = 0.9907
-0.40y = -0.0359x - 0.3836 R² = 0.8914 -0.50 -0.60
Waktu (hari)
Metode Spray Drying Metode Tray Drying
Gambar 24. Kurva kinetika bubuk pewarna rosela dengan suhu penyimpanan 50 C. Semakin tinggi suhu, semakin banyak antosianin yang terdegradasi. Hal ini dapat dilihat pada nilai k yang merupakan kemiringan dari kurva kinetika orde satu. Melalui kurva tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu semakin tinggi pula nilai konstanta laju reaksi. Jika suhu dinaikkan, maka jumlah dan energi tumbukan antar molekul bertambah (Syukri, 1999). Nilai konstanta laju reaksi antosianin pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying lebih besar dari pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying (TD). Hal ini dapat menunjukkan bahwa bubuk pewarna yang dibuat dengan metode TD lebih stabil.
39
Istilah waktu paruh (half life) sering digunakan sebagai indeks atau parameter yang menunjukkan stabilitas suatu senyawa. Semakin tinggi waktu paruh berarti komponen tersebut mempunyai stabilitas yang lebih tinggi pula. Dapat dilihat pada Tabel 6, nilai waktu paruh paling tinggi adalah bubuk pewarna rosela yang yang dibuat dengan metode tray drying dan disimpan pada suhu 35 C yaitu 346 hari. Hal ini berarti, bubuk pewarna rosela yang yang dibuat dengan metode tray drying dan disimpan pada suhu 35 C lebih stabil dibandingkan bubuk pewarna rosela lainnya. Waktu paruh degradasi antosianin pada bubuk pewarna rosela (metode tray drying) pada suhu 35 C yang diperoleh hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Gradinaru et al. (2003) bahwa waktu paruh degradasi antosianin rosela yang dienkapsulasi dengan pululan pada suhu penyimpanan 40 C (aw = 0.33) adalah 320.8 hari. Tabel 6. Nilai waktu paruh bubuk pewarna rosela Sampel Suhu penyimpanan (°C) 35 45 50 Kontrol (suhu ruang)
Metode SD TD SD TD SD TD SD TD
Konstanta laju reaksi (k)
T1/2 (hari)
0.009 0.002 0.027 0.008 0.1311 0.035 0.0048 0.0027
75 353 26 87 5 18 134 260
Energi aktivasi menunjukkan sensitifitas nilai konstanta laju reaksi (k) terhadap perubahan suhu. Energi aktivasi (Ea) adalah energi yang diperlukan untuk membuat kompleks teraktivasi (Syukri, 1999). Semakin kecil nilai energi aktivasi, maka nilai k semakin sensitif terhadap perubahan suhu. Energi aktivasi diperoleh dari plot kurva hubungan nilai ln k terhadap 1/T (suhu absolute penyimpanan). Kurva tersebut dapat dilihat pada Gambar 25.
40
0 0.00305 0.0031 0.00315 0.0032 0.00325 0.0033 -1
ln k
-2 -3 y = -16691x + 49.332 R² = 0.9097
-4 -5 -6
y = -18153x + 52.61 R² = 0.9524
-7 Metode Spray Drying Metode Tray Drying
1/T
Gambar 25. Kurva hubungan ln k dengan 1/T Melalui Gambar 25, dapat dilihat persamaan linear yang menunjukkan nilai slope (kemiringan) yang merupakan nilai Ea/R (Ea adalah energi aktivasi sedangkan R adalah kontanta gas ideal). Dengan menggunakan persamaan Arhenius dapat diperoleh energi aktivasi degradasi pigmen antosianin pada bubuk pewarna (Lampiran 20). Nilai Ea/R model minuman terbesar terdapat pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying (18153) sedangkan nilai terendah pada bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying (16691) dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.952 dan 0.909. Dengan meningkatnya nilai Ea/R maka nilai energi aktivasi juga semakin meningkat. Nilai energi aktivasi degradasi pigmen antosianin pada bubuk pewarna dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Energi aktivasi degradasi antosianin pada bubuk pewarna rosela Sampel Metode Spray Drying
Tray Drying
Suhu (K) 308 318 323 308 318 323
1/T 0.0032 0.0031 0.0031 0.0032 0.0031 0.0031
Slope (Ea/R)
Ea (KJ/mol)
Ea (Kkal/mol)
16691
138.77
33.17
18153
150.92
36.07
Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat bahwa bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying memiliki energi aktivitasi paling tinggi yaitu sebesar 36.07 kkal/mol. Energi aktivasi adalah energi minimal yang diperlukan 41
agar reaksi dapat terjadi. Semakin rendah energi aktivasi reaksi degradasi antosianin menandakan bahwa reaksi degradasi antosianin lebih cepat terjadi. Sebaliknya, semakin tinggi energi aktivasi reaksi degradasi antosianin menandakan antosianin tersebut lebih stabil. Hasil pengujian stabilitas antosianin menunjukkan bahwa bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying lebih stabil dibandingkan bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying.Antosianin pada model minuman rosela memiliki nilai energy aktivasi 84.98 KJ/mol, lebih rendah dari pada energy aktivasi antosianin pada bubuk rosela metode tray drying (150.92 KJ/ mol atau 36.07 Kkal/ mol). Energi aktivasi ekstrak rosela (total padatan 20%) memiliki energi aktivasi 31.57 Kkal/mol. Energi aktivasi antosianin pada ekstrak rosela tersebut lebih rendah daripada energi aktivasi pada bubuk pewarna. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa proses mikroenkapsulasi dapat meningkatkan stabilitas antosianin pada sediaan pewarna rosela. Antosianin pada model minuman memiliki energi aktivasi Kirca et al. (2007) melaporkan bahwa energi aktivasi (Ea) degradasi antosianin pada ekstrak black carrot adalah 62.1 sampai 86.2 KJ/mol, sedangkan Gradinaru et al. (2003) melaporkan bahwa energi aktivasi (Ea) degradasi antosianin pada ekstrak rosela dengan metanol adalah sebesar 14 Kkal/mol. Waktu paruh pada suhu yang lebih rendah dapat juga diprediksi dengan metode Arrhenius. Melalui persamaan garis lurus dari kurva yang menghubungkan ln k dan dan 1/T (Gambar 23). Dengan mengetahui nilai k pada suhu tertentu, umur simpan dapat diketahui dengan menggunakan persamaan ln (a/L) = -kt +ln (a/L)0. Prediksi waktu paruh degradasi antosianin pada produk yang diproduksi dengan metode spray drying pada suhu 15 C, dan 25
C adalah 551 minggu dan 79 minggu, sedangkan waktu paruh
degradasi antosianin pada produk yang diproduksi dengan metode tray drying pada suhu 15 C, dan 25 C adalah 3323 minggu dan 400 minggu. Kirca et al. (2007) melaporkan bahwa waktu paruh ekstrak antosianin black carrot (total padatan 64 Brix) pada suhu 4 C dan 15 C adalah 215 minggu dan 35.9 minggu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ersus dan Yurdagel (2007), Waktu paruh degradasi antosianin pada produk mikroenkapsulasi 42
ekstrak black carrot dengan maltodekstrin pada suhu penyimpanan 4 C dan 25 C adalah 107 minggu dan 43 minggu. E. PENGUKURAN WARNA DENGAN CHROMAMETER Intensitas warna diukur dengan menggunakan Chromameter CR 300. Terdapat beberapa sistem notasi warna yang dapat mendeskripsikan suatu jenis warna, yaitu ICI (International Commission Illumination), Munsell, dan Hunter. Sistem notasi ICI didasarkan pada konsep bahwa semua jenis warna dapat dibedakan dari tiga warna dasar yaitu merah, hijau, dan biru. Masingmasing warna dinyatakan dengan nilai X untuk merah, Y untuk hijau, dan Z untuk biru (Soekarto, 1990). Cara pengukuran warna dengan notasi Munsell dilakukan dengan mengukur komponen warna dalam besaran value, hue, dan chroma. Nilai value menunjukkan gelap terangnya warna, nilai hue mewakili panjang gelombang dominan yang menentukan warna, sedangkan khroma menunjukkan intensitas warna (Winarno, 2002). Sistem notasi warna yang paling banyak digunakan adalah sistem notasi hunter yang mempunyai tiga parameter untuk mendeskripsikan warna yaitu, L, a dan b. Nilai L merupakan atribut nilai yang menunjukkan tingkat kecerahan suatu sampel. Nilai L memiliki kisaran 0-100. Nilai L yang mendekati nol menunjukkan sampel memiliki kecerahan rendah (gelap). Sedangkan nilai L yang mendekati 100 menunjukkan sampel memiliki kecerahan tinggi (terang). Bubuk pewarna rosela yang disimpan pada suhu yang berbeda diukur intensitas warnanya pada setiap interval waktu tertentu. Sebelum diukur, bubuk pewarna dilarutkan terlebih dahulu dengan akuades. Secara umum nilai L (Lighness) semakin lama semakin meningkat. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kecerahan selama penyimpanan. Kenaikan nilai L menunjukkan adanya degradasi pigmen antosianin yang dapat dipercepat oleh adanya panas. Kurva hubungan antara nilai L dan lama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 26.
43
L
80
80
60
60
40
L
40
20
20
0
0 0
5
10 15 20 25 30 35 40
0
Waktu (Hari) (a)
L
80
80
60
60
40
L
20
0
0 3
6
9
12
Waktu (hari) (c)
15
18
10 15 20 25 30 35 40
Waktu (Hari) (b)
40
20 0
5
0
1
2
3
4
Waktu (Hari) (d)
5
6
Keterangan:
Gambar 26. Kurva hubungan nilai L larutan dengan waktu penyimpanan bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d). Nilai a positif menunjukkan sampel memiliki derajat kemerahan, sedangkan nilai a negatif (-a) menunjukkan sampel memiliki derajat kehijauan. Semakin lama waktu penyimpanan mengakibatkan penurunan nilai +a atau derajat kemerahan. Peningkatan degradasi pigmen antosianin menyebabkan penurunan nilai a semakin tinggi. Nilai +a bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray srying lebih besar dibandingkan nilai +a bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying. Hal tersebut disebabkan kadar antosianin pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying lebih besar. Kurva hubungan antara nilai a dan lama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 27.
44
a
35
35
30
30
25
25
20
a
15
20 15
10
10
5
5
0
0 0
5
0
10 15 20 25 30 35 40
5
10 15 20 25 30 35 40
Waktu(Hari)
Waktu (Hari) (a)
a
(b)
35 30 25 20 15 10 5 0
a
0
3
6
9
12
15
35 30 25 20 15 10 5 0
18
0
waktu (hari)
1
2
3
4
5
6
Waktu (Hari)
(c)
(d) Keterangan:
Gambar 27. Kurva hubungan nilai a larutan dengan waktu penyimpanan bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d). Penurunan nilai +a pada bubuk pewarna (metode tray drying) yang disimpan pada suhu 50 C lebih cepat daripada bubuk pewarna pada suhu lainnya. Nilai a pada bubuk pewarna (metode tray drying) yang disimpan pada suhu 50 C setelah hari ke-5 turun hingga +15,97. Jika dibandingkan dengan kontrol, nilai a bubuk pewarna tersebut setelah 7 hari masih berkisar pada +17.29 dan baru turun hingga +15.52 setelah 35 hari. Hal ini disebabkan terdegradasinya
pigmen
antosianin
yang
mengakibatkan
menurunnya
intensitas warna merah. Seperti pada bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying, penurunan nilai +a pada bubuk pewarna (metode spray drying) yang 45
disimpan pada suhu 50 C lebih cepat daripada bubuk pewarna pada suhu lainnya. Nilai a pada bubuk pewarna (metode spray drying) yang disimpan pada suhu 50 C setelah hari ke-5 turun hingga +26.91. Jika dibandingkan dengan bubuk pewarna yang disimpan pada suhu 35
C, nilai a bubuk
pewarna tersebut setelah 7 hari masih berkisar pada +27.37 dan baru turun hingga +26.91 setelah 35 hari. Nilai a bubuk pewarna yang disimpan pada suhu kamar (kontrol), setelah 35 hari masih berkisar +26.90. Nilai b merupakan atribut nilai yang menunjukkan derajat kekuningan atau kebiruan suatu sampel. Semakin positif nilai b (+b) menunjukkan sampel memiliki derajat kekuningan yang tinggi. Semakin negatif nilai b (-b) menunjukkan sampel memiliki derajat kebiruan yang tinggi. Pada umumnya semakin lama waktu penyimpanan nilai +b atau derajat kekuningan semakin meningkat. Kurva hubungan antara nilai b dan lama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 28. Semakin tinggi suhu, semakin cepat peningkatan nilai b. Kenaikan nilai +b pada bubuk pewarna (metode spray drying) yang disimpan pada suhu 50 C lebih cepat daripada bubuk pewarna pada suhu lainnya. Akan tetapi, nilai b larutan bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying pada suhu penyimpanan kontrol dan suhu 35 C mengalami penurunan terlebih dahulu kemudian mengalami sedikit kenaikan setelah 7 hari. Nilai b pada bubuk pewarna (metode spray drying) yang disimpan pada suhu 50 C setelah hari ke-5 naik hingga +9.42 dari nilai b awal 8.53. Jika dibandingkan dengan bubuk pewarna yang disimpan pada suhu ruang (kontrol), nilai b bubuk pewarna tersebut setelah 7 hari masih berkisar pada +8.58 dan baru naik hingga +9.26 setelah 35 hari. Nilai b bubuk pewarna yang disimpan pada suhu 35 C, setelah 35 hari masih berkisar +9.19, sedangkan nilai b bubuk pewarna yang disimpan pada suhu 45 C setelah 15 hari adalah 9.42. Nilai b pada bubuk pewarna (metode tray drying) yang disimpan pada suhu 50 C setelah hari ke-5 naik hingga +9.42. Jika dibandingkan dengan kontrol nilai b bubuk pewarna tersebut setelah 7 hari masih berkisar pada +5.97 dan setelah 35 hari pun nilai masih berkisar +6.75.
46
10
10
8
8
6
b
6
b
4
4
2
2
0
0 0
20
40
0
Waktu (Hari)
5
10 15 20 25 30 35 40
Waktu (Hari)
(a)
(b)
10
10
8
8 6
6
b
b 4
4
2
2
0
0 0
3
6
9
12
15
Waktu (Hari) (c)
18
0
1
2 3 4 Waktu (hari)
5
6
(d) Keterangan:
Gambar 28. Kurva hubungan nilai b larutan dengan waktu pennyimpanan bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d). Nilai chroma (C) menunjukkan tingkat intensitas warna pada sampel berupa larutan bubuk pewarna rosela. Nilai C merupakan nilai yang diperoleh dari koordinat nilai a dan nilai b. Semakin tinggi nilai chroma menunjukkan semakin kuat intensitas warna yang dihasilkan. Secara umum, intensitas warna (chroma) selama penyimpanan semakin menurun. Hal ini dikarenanakan terdegradasinya pigmen antosianin. Semakin tinggi suhu, semakin cepat penurunan nilai C. Kurva hubungan nilai C dengan lama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 29.
47
C
35 30 25 20 15 10 5 0
C
0
20
35 30 25 20 15 10 5 0
40
0
Waktu (Hari)
20
(a)
C
(b)
35 30 25 20 15 10 5 0
C
0
40
Waktu (Hari)
10
20
Waktu (Hari)
35 30 25 20 15 10 5 0 0
2
4
6
Waktu (Hari)
(c)
(d) Keterangan:
Gambar 29. Kurva hubungan nilai C larutan dengan waktu penyimpanan bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d). Penurunan nilai C pada bubuk pewarna (metode spray drying) yang disimpan pada suhu 50 C lebih cepat daripada bubuk pewarna pada suhu lainnya. Nilai C pada bubuk pewarna (metode spray drying) yang disimpan pada suhu 50 C setelah hari ke-5 turun hingga 28.51 dari nilai C awal 30.83. Jika dibandingkan dengan bubuk pewarna yang disimpan pada suhu ruang (kontrol), nilai C bubuk pewarna tersebut setelah 7 hari masih berkisar pada 28.67. Bahkan setelah disimpan selama 35 hari nilai C masih berkisar 28.44. Nilai C bubuk pewarna yang disimpan pada suhu 35 C, setelah 35 hari berkisar 28.42, sedangkan nilai C bubuk pewarna yang disimpan pada suhu 45 C setelah 15 hari adalah 29.11. Seperti pada bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying, penurunan nilai C pada bubuk pewarna (metode tray drying) yang disimpan pada suhu 50 C lebih cepat daripada bubuk pewarna pada suhu 48
lainnya. Nilai C pada bubuk pewarna (metode tray drying) yang disimpan pada suhu 50 C setelah hari ke-4 turun hingga 17.97. Jika dibandingkan dengan bubuk pewarna yang disimpan pada suhu ruang (kontrol), nilai C bubuk pewarna tersebut setelah 7 hari masih berkisar pada 18.29 dan baru turun hingga 17.69 setelah 28 hari. Nilai C bubuk pewarna yang disimpan pada suhu 35 C, setelah 35 hari berkisar 17.73, sedangkan nilai C bubuk pewarna yang disimpan pada suhu 45 C setelah 15 hari adalah 19.34. Nilai °HUE merupakan atribut yang menunjukkan derajat visual warna yang terlihat. Nilai °HUE diperoleh melalui perhitungan invers tangen perbandingan nilai b dan nilai a. Setelah mendapat nilai °HUE, maka nilai tersebut dibandingkan dengan diagram kisaran daerah warna nilai °HUE sehingga dapat diketahui warna larutan secara visual. Perubahan °HUE dapat dilihat pada Lampiran 21.Selama masa penyimpanan, nilai °HUE mengalami kenaikan dengan pergeseran visual warna dari merah ungu ke merah. Semakin tinggi nilai °HUE, warna merah semakin berkurang (pudar). Dari hasil penelitian, diketahui bubuk pewarna (metode spray drying) yang disimpan pada suhu ruang selama 21 hari, larutannya sudah mengalami pergeseran warna dari merah keunguan menjadi merah setelah disimpan selama 21 hari. Setelah penyimpanan selama 35 hari pada suhu ruang, belum ada bubuk pewarna yang warna larutannya bergeser ke warna merah kekuningan. Total perubahan warna bubuk pewarna rosela selama penyimpanan dapat dilihat melalui nilai E. Nilai E merupakan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai
E menunjukkan lebih besarnya total perubahan warna sampel selama
penyimpanan, sedangkan semakin kecil nilai
E menunjukkan perubahan
warna sampel selama penyimpanan relatif kecil (Hutchings, 1999). Semakin lama penyimpanan nilai E semakin besar yang menunjukan bahwa warna semakin berubah. Semakin tinggi suhu penyimpanan nilai
E
pun semakin besar. Secara umum nilai E larutan bubuk pewarna rosela yang disimpan pada suhu 50 °C lebih tinggi dibandingkan
E larutan bubuk
49
pewarna rosela yang disimpan pada suhu 45 °C dan 35 °C. Nilai E selama 6 5 4 3 2 1 0
5 5 4 4 3 3 2 2 1 1 0
E
E
penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 30.
0
5
0
10 15 20 25 30 35 40 Waktu (Hari)
6 9 12 Waktu (Hari)
15
18
(b) 8
5 5 4 4 3 3 2 2 1 1 0
6 E
E
(a)
3
4 2 0
0
5
10
15
Waktu (Hari)
20
0
2 4 Waktu (Hari)
6
(d)
(c) Keterangan:
Gambar 30. Kurva hubungan nilai E larutan dengan waktu penyimpanan bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d). Nilai
E bubuk pewarna rosela (metode Spray Drying) relatif lebih
rendah daripada (metode Tray Drying). Hal ini bertolak belakang dengan nilai energi aktivasi antosianin yang diperoleh bahwa energi aktivasi bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying lebih besar daripada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying, yang berarti bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying lebih stabil daripada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying. Namun jika dilihat dari nilai
E, larutan bubuk pewarna (metode spray drying) memiliki nilai
E
lebih rendah yang berarti perubahan warna lebih stabil. Perbedaan ini disebabkan oleh pengaruh jumlah maltodekstrin. Pada pengukuran antosianin, maltodekstrin mengendap sehingga tidak mengganggu pengukuran. Namun 50
pada pengukuran warna, maltodekstrin dapat mempengaruhi warna larutan bubuk pewarna yang diukur. Pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying, konsentrasi maltodekstrin yang ditambahkan 10 % dan total padatan ekstrak awal 3 % sehingga proporsi total padatan dan maltodekstrin adalah 3:10. Pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying, proporsi maltodekstrin (gram) dan ml ekstrak pekat (TPT 20%) adalah 6 : 6 sehingga proporsi total padatan dan maltodekstrin adalah 1.2:6 atau 3:15. Proporsi maltodekstrin pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying
lebih besar dari pada proporsi maltodekstrin yang dibuat dengan
metode spray drying. Hal ini mengakibatkan warna larutan bubuk pewarna (metode tray drying) cenderung lebih pudar sehingga perubahan warna dalam interval waktu tertentu lebih besar dibandingkan larutan bubuk pewarna (metode spray drying). Berdasarkan Gambar 30, dapat dilihat bahwa nilai E cenderung naik. Namun ada penurunan nilai E dibeberapa titik amatan. Ketidak konsistenan nilai
E disebabkan oleh nilai b yang juga naik-turun. Oleh karena itu,
dilakukan pula penentuan stabilitas warna berdasarkan kinetika perubahan warna yaitu dengan membuat kurva hubungan ln (nilai amatan) dan waktu penyimpanan sehingga diperoleh nilai k yang merupakan nilai kemiringan (slope) kurva tersebut. Nilai amatan yang diuji kinetikanya adalah nilai L, a, dan a/L. Seperti pada penentuan stabilitas antosianin, pada penentuan kinetika warna ini diperoleh nilai k pada beberapa suhu penyimpanan (T). Selanjutnya dibuat kurva hubungan 1/T dan ln k. Kemiringan (slope) dari persamaan garis kurva tersebut adalah nilai Ea/R sehingga dapat diperoleh nilai Ea masingmasing produk. Kurva kinetika warna larutan bubuk pewarna selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 31, 33, dan 35, sedangkan kurva hubungan 1/T terhadap nilai ln k pada beberapa suhu penyimpanan berdasarkan nilai amatan L, a, dan a/L dapat dilihat pada Gambar 32, 34, dan 36.
51
5.0
4.5
4.5
4.0
4.0
ln [L]
ln [L]
5.0
3.5 3.0
3.5 3.0
0
5 10 15 20 25 30 35 40
0
Waktu (hari)
(a)
(b)
4.5
4.5
4.0
4.0
ln [L]
5.0
ln [L]
5.0
3.5 3.0 0
3
5 10 15 20 25 30 35 40 Waktu (hari)
6 9 12 Waktu (hari)
15
(c)
18
3.5 3.0 0
2 4 Waktu (hari)
6
(d) Keterangan:
ln (k)
Gambar 31. Kurva hubungan nilai ln [L] larutan dengan waktu penyimpanan bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d). 0 -10.0031 0.0031 0.0032 0.0032 0.0033 0.0033 -2 -3 -4 y = -16104x + 45.36 R² = 0.9424 -5 -6 -7 -8 y = -16326x + 45.528 R² = 0.984 Metode Spray Drying 1/T (K-1) Metode Tray Drying
Gambar 32. Kurva hubungan ln k dengan 1/T berdasarkan perubahan nilai L
52
4
3
3
2
2
ln [a]
ln [a]
4
1
1 0
0 0
0
5 10 15 20 25 30 35 40 Waktu (Hari)
10 15 20 25 30 35 40 Waktu (Hari)
(b)
4
4
3
3
2
2
ln [a]
ln [a]
(a)
5
1 0
1 0
0
3
6 9 12 Waktu (Hari)
15
18
0
2 4 Waktu (Hari)
6
(d)
(c) Keterangan:
ln (k)
Gambar 33. Kurva hubungan nilai ln [a] larutan dengan waktu penyimpananbubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d). 0 -10.0031 0.0031 0.0032 0.0032 0.0033 0.0033 -2 -3 -4 y = -14823x + 42.152 R² = 0.6731 -5 -6 y-7= -12187x + 33.265 R² = 0.777 Metode Spray Drying 1/T (K-1) Metode Tray Drying
Gambar 34. Kurva hubungan 1/T dengan ln (k) berdasarkan perubahan nilai a
53
ln (a/L) 3
0.0 -0.2 0 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 -1.2 -1.4 -1.6
5 10 15 20 25 30 35 40
Waktu (Hari)
Waktu (Hari)
(a)
(b)
6
9
12
15
0.0 -0.2 0 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 -1.2 -1.4 -1.6
18 ln (a/L)
0.0 -0.2 0 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 -1.2 -1.4 -1.6
5 10 15 20 25 30 35 40
1
2
3
4
5
6
Waktu (Hari)
Waktu (Hari)
(c)
(d) Keterangan:
Gambar 35. Kurva hubungan nilai ln [a/L] larutan dengan waktu penyimpanan bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d). 0 -10.0031
0.0031
0.0032
0.0032
0.0033
0.0033
-2 ln (k)
ln (a/L) ln (a/L)
0.0 -0.2 0 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 -1.2 -1.4 -1.6
-3 -4
y = -16091x + 46.5 R² = 0.8047
-5 -6 y = -11735x + 32.285 R² = 0.8078 -7 1/T (K-1)
Metode Spray Drying Metode Tray Drying
Gambar 36. Kurva hubungan 1/T dengan ln (k) berdasarkan perubahan nilai a/L
54
Semakin tinggi suhu, perubahan tingkat kecerahan atau lightness (nilai L) semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat pada nilai k yang merupakan kemiringan dari kurva kinetika orde satu. Melalui kurva pada Gambar 29, dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu semakin tinggi pula nilai konstanta laju perubahan kecerahan. Hal ini terjadi pula pada penurunan nilai a dan a/L. Kinetika perubahan warna merah dapat dilihat dari perubahan nilai a dan a/L. Semakin lama nilai a dan nilai a/L semakin menurun akibat terdegradasinya pigmen antosianin. Semakin tinggi suhu, penurunan nilai a dan a/L semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat pada nilai k yang diperoleh dari kemiringan kurva hubungan ln (a) atau ln (a/L) terhadap waktu penyimpanan. Persamaan garis yang dibentuk oleh kurva hubungan ln (a), ln (L), atau ln (a/L) terhadap waktu penyimpanan- dapat dilihat pada Lampiran 23, 24, dan 25. Melalui Gambar 32 dan 34 terlihat bahwa semakin tinggi suhu nilai k semakin tinggi yang berarti tingkat penurunan warna merah semakin tinggi. Energi aktivasi menunjukkan sensitifitas nilai konstanta laju reaksi (k) terhadap perubahan suhu. Semakin kecil nilai energi aktivasi, maka nilai k semakin sensitif terhadap perubahan suhu. Seperti pada penentuan energi aktivasi (Ea) degradasi antosianin, kestabilan warna dapat pula dilihat dari energi aktivasi perubahan tingkat kecerahan (L) dan penurunan tingkat warna merah (a atau a/L). Energi aktivasi diperoleh dari plot kurva hubungan ln k terhadap 1/T (suhu penyimpanan) berdasarkan perubahan nilai L, a dan a/L. Kurva tersebut dapat dilihat pada Gambar 30, 32, dan 34. Melalui kurva tersebut, dapat dilihat persamaan linear yang menunjukkan nilai slope (kemiringan) yang merupakan nilai Ea/R (Ea adalah energi aktivasi sedangkan R adalah kontanta gas ideal). Dengan menggunakan persamaan Arhenius dapat diperoleh energi aktivasi perubahan nilai L, a, dan a/L pada bubuk pewarna. Nilai energi aktivasi perubahan warna pada bubuk pewarna dapat dilihat pada Tabel 8.
55
Tabel 8. Energi aktivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai L,a, dan a/L pada larutan bubuk pewarna rosela Ea berdasarkan nilai L Metode Spray Drying -1
T ( C)
k (hari )
35
0.0011
45
0.0025
50
0.0075
Kontrol
0.0017
T ( C)
-1
k (hari )
35
0.0006
45
0.0036
50
0.0141
Kontrol
0.0019
Ea/R
Ea (KJ)
Ea (Kkal)
16104
133.89
32.00
Metode Tray Drying Ea/R
Ea (KJ)
Ea (Kkal)
16326
135.73
32.44
Ea berdasarkan nilai a Metode Spray Drying -1
T ( C)
k (hari )
35
0.0022
45
0.0036
50
0.0169
Kontrol
0.0020
T ( C)
-1
k (hari )
35
0.0034
45
0.0047
50
0.0437
Kontrol
0.0050
Ea/R
Ea (KJ)
Ea (Kkal)
12187
101.32
24.22
Metode Tray Drying Ea/R
Ea (KJ)
Ea (Kkal)
14823
123.24
29.45
Ea berdasarkan nilai a/L Metode Spray Drying -1
T ( C)
k (hari )
35
0.0035
45
0.0060
50
0.0245
Kontrol
0.0039
T ( C)
-1
k (hari )
35
0.0040
45
0.0083
50
0.0578
Kontrol
0.0070
Ea/R
Ea (KJ)
Ea (Kkal)
11735
97.56
23.32
Metode Tray Drying Ea/R
Ea (KJ)
Ea (Kkal)
16091
133.78
31.97
56
Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat bahwa bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying memiliki energi aktivitasi lebih tinggi daripada bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying baik berdasarkan perubahan nilai L, a, maupun a/L. Semakin rendah energi aktivasi (Ea) menandakan bahwa reaksi degradasi lebih cepat terjadi. Sebaliknya, semakin tinggi energi aktivasi menandakan antosianin tersebut lebih stabil. Energi aktivasi perubahan warna bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying berdasarkan perubahan nilai L, a, dan a/L berturut-turut adalah 32.00 Kkal, 24.22 Kkal, dan 23.32 Kkal. Sedangkan, energi aktivasi perubahan warna bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying berdasarkan perubahan nilai L, a, dan a/L berturut-turut adalah 32.44 Kkal, 29.45 Kkal, dan 31.97 Kkal. Hasil pengujian stabilitas warna menunjukkan bahwa bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying lebih stabil dibandingkan bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying. Hal ini sesuai dengan hasil pengujian stabilitas antosianin yang memperlihatkan bahwa energi aktivasi degradasi antosianin pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying (Ea = 36.07 Kkal) lebih tinggi dari pada Ea degradasi antosianin pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying (Ea = 33.17 Kkal). Umur simpan produk pewarna rosela pada suhu tertentu dapat diprediksi dengan menggunaan persamaan Arrhenius. Nilai batasan produk tersebut masih dapat diterima harus ditentukan terlebih dahulu. Nilai batasan dapat ditentukan dari nilai a/L karena nilai amatan tersebut dapat menggambarkan intensitas dan kecerahan warna merah. Untuk produk yang diproduksi dengan metode spray drying memiliki batasan umur simpan a/L = 0.45 karena pada nilai tersebut produk sudah mulai mengeras (caking) yaitu produk yang telah disimpan selama 5 hari pada suhu 50 ºC, sedangkan produk yang diproduksi dengan metode tray drying memiliki nilai batasan umur simpan a/L = 0.24. Dengan menggunakan pesamaan garis dari kurva kinetika pada Gambar 35 dan nilai batasan a/L, dapat diketahui umur simpan produk tersebut pada suhu penyimpanan 35 C, 45 C, 50 C, dan suhu ruang seperti yang dapat dilihat pada Tabel 9. 57
Tabel 9. Umur simpan pewarna bubuk rosella berdasarkan intensitas warna merah pada suhu penyimpanan 4 C, 15 C, 35 C, 45 C, 50 C, dan suhu ruang Sampel Suhu penyimpanan (°C) 4 15 Kontrol (suhu ruang) 35 45 50
Metode
a/L batasan
Slope (k)
Umur simpan (Hari)
Spray Drying Tray Drying Spray Drying Tray Drying Spray Drying Tray Drying Spray Drying Tray Drying Spray Drying Tray Drying Spray Drying Tray Drying
0.45 0.24 0.45 0.24 0.45 0.24 0.45 0.24 0.45 0.24 0.45 0.24
4.2E-05 9.3E-06 2.1E-04 8.5E-05 0.0039 0.0070 0.0035 0.0040 0.0060 0.0083 0.0245 0.0578
3466 24108 687 2622 30 43 25 47 14 26 4 4
Berdasarkan degradasi intensitas warna merah, umur simpan produk yang diproduksi dengan metode tray drying pada suhu ruang, 35 C, dan 45 C lebih lama daripada produk yang diproduksi dengan metode spray drying. Namun pada suhu 50 C, produk tersebut memiliki umur simpan yang sama yaitu 4 hari. Pada suhu ruang, produk yang diproduksi dengan metode spray drying memiliki umur simpan selama 30 hari, sedangkan produk yang dibuat dengan metode tray drying memiliki umur simpan selama 45 hari. Semakin rendah suhu penyimpanan, umur simpan akan semakin lama. Umur simpan pada suhu yang lebih rendah dapat juga diprediksi dengan metode Arrhenius. Melalui persamaan garis lurus dari kurva yang menghubungkan ln k dan dan 1/T (Gambar 36). Dengan mengetahui nilai k pada suhu tertentu, umur simpan dapat diketahui dengan menggunakan persamaan ln (a/L) = -kt +ln (a/L)0. Prediksi umur simpan pada suhu 4 C, dan 15 C dapat dilihat pada Tabel 9.
58
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Metode ekstraksi antosianin dilakukan dengan cara maserasi dengan air selama 24 jam menghasilkan ekstrak berwarna merah pekat dengan total antosianin 0.49 mg/ ml ekstrak. Total antosianin dalam bubuk pewarna (metode spray drying) dengan proporsi total padatan dan maltodekstrin 3:10 adalah sebesar 1.60 mg/ g sampel. Bubuk pewarna tersebut selanjutnya dipilih untuk diuji stabilitas antosianinnya. Total antosianin dalam bubuk pewarna (metode tray drying) dengan proporsi total padatan dan maltodekstrin 3:15 adalah sebesar 0.92 mg/ g sampel. Bubuk pewarna dengan tersebut selanjutnya dipilih untuk diuji stabilitas antosianinnya. Semakin
lama
waktu
penyimpanan
bubuk
pewarna
rosela
mengakibatkan menurunnya total antosianin. Degradasi antosianin dapat dipercepat dengan adanya panas. Hal ini dapat terlihat, dengan semakin naiknya suhu penyimpanan, total antosianin semakin turun. Semakin tinggi suhu penyimpanan, semakin tinggi pula nilai konstanta laju reaksi. Nilai konstanta laju reaksi (k) bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying dan disimpan pada suhu 35 C, 45 C, dan 50 C berturut-turut adalah 0.009 hari-1, 0.027 hari-1, dan 0.131 hari-1. Nilai konstanta laju reaksi (k) bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying dan disimpan pada suhu 35 C, 45 C, dan 50 C berturut-turut adalah 0.002 hari-1, 0.008 hari-1, dan 0.035 hari-1. Pada umumnya, selama penyimpanan bubuk pewarna rosela akan mengalami peningkatan kecerahan (L), penurunan derajat kemerahan (a), kenaikan derajat kekuningan (b), penurunan intensitas warna (C), pergeseran warna dari merah ungu menjadi merah. Semakin lama penyimpanan, nilai E semakin besar yang menunjukan bahwa warna semakin berubah. Semakin tinggi suhu penyimpanan nilai E pun semakin besar. Secara umum nilai E bubuk pewarna rosela yang disimpan pada suhu 50 °C lebih tinggi dibandingkan E bubuk pewarna rosela yang disimpan pada suhu 45 °C dan 35 °C. 59
Energi aktivasi perubahan warna bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying berdasarkan perubahan nilai L, a, dan a/L berturut-turut adalah 32.00 Kkal, 24.22 Kkal, dan 23.32 Kkal. Energi aktivasi perubahan warna bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying berdasarkan perubahan nilai L, a, dan a/L berturut-turut adalah 32.44 Kkal, 29.45 Kkal, dan 31.97 Kkal. Hasil pengujian stabilitas warna menunjukkan bahwa bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying lebih stabil dibandingkan bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying. Hal ini sesuai dengan hasil pengujian stabilitas antosianin yang memperlihatkan bahwa energi aktivasi degradasi antosianin pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying (Ea = 36.07 Kkal) lebih tinggi dari pada Ea degradasi antosianin pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying (Ea = 33.17 Kkal). B. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan metode penyaringan ekstrak rosela yang lebih cepat sehingga ekstraksi yang dilakukan lebih efektif dan efisien, misalnya dengan perlakuan dekantasi pada suhu rendah sebelum penyaringan. Selain itu, perlu juga dilakukan penelitian mengenai optimasi proses produksi bubuk pewarna rosela baik dengan metode Spray Drying maupun dengan metode Tray Drying, dengan memperhatikan pengaruh suhu pengeringan, konsentrasi maltodekstrin dan hubungan keduanya, serta penentuan umur simpan dengan memperhatikan suhu penyimpanan sebagai perlakuan. Aplikasi bubuk pewarna pada bahan pangan perlu juga dilakukan untuk mengetahui dosis penggunaan bubuk pewarna yang tepat pada bahan pangan serta ambang batas total antosianin dan warna yang masih dapat diterima sebagai pewarna makanan. Penyimpanan bubuk pewarna rosela sebaiknya dilakukan pada suhu yang lebih rendah agar umur simpannya lebih lama. Pada suhu 15 C, umur simpan bubuk pewarna rosela yang diproduksi dengan metode spray drying dan tray drying adalah 23 bulan dan 87 bulan.
60
DAFTAR PUSTAKA Adameic, J. dan E. Marciniak. 2004. Microencapsulation of oil/ matrix/ water sistem during spray drying proses. Proceeding of 14th International Drying Simposium 6: 2043-2050. Ahmed, J. U. S. Shivhare dan G. S. V. Raghavan. 2004. Thermal degradation kinetics of anthocyanin and visual colour of plum puree. Eur Food Res Technol 218: 528-535. Amr, A. and Al-Tamini. 2007. Stability of crude extract of Ranunculus asiaticus anthocyanin and their use as food colorant. J. Food Chemistry 113: 859871. Andersen, O. M. dan M. Jordheim. 2006. The anthocyanins. Di dalam: Andersen, O. M. dan K. R. Markham (eds.), Flavonoids (2nd ed. Chemistry, biochemistry and applications). CRC Press, Boca Raton, pp: 452-471. Andrade, I dan Flores H. 2004. Optimization of spray drying of roselle extract (Hibiscus sabdariffa L.). Proceedings of the 14th International Drying Symposium (IDS 2004) São Paulo, Brazil, 22-25 August 2004, vol. A, pp. 597-604. AOAC. 1995. Official Method of Analysis. 16th Edition. Chapter 12, Microchemical Methods. Association of Official Analytical Chemistry International, Gaithersburg. Arpah. 2001. Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan. IPB, Bogor. Askari, A., M. Mirza, dan M.S.P. Solangi. 1996. Toxicological studies on herbal beverages and seed extracts of Hibiscus sabdarifa L. Roselle. Pakistan Journal Of Scientific and Industrial Research, 39: 28-32. Bolland, K. M. 2000. Refractance window TM drying, a new low temperature, energy efficient process. J. Cereal Food World 45 (7): 293-296. Bridle, P. Dan Timberlake, C. F. 1996. Anthocyanins as natural food coloursselected aspects. Review. Food Chemistry 58(1): 103-109. Devidek, J., V. Velisek, dan J. Pokorni. 1990. Chemical Changes During Food Processing. Elsevier Applied Science Publisher, New York, London. Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun). 2008. Rosela Dulu dan Kini. http://ditjenbun.dentan.go.id/semusim/index.php. [15 september 2009]. Du, C. T. Dan F. J. Francis. 1975. Anthocyanins of roselle (Hibiscus sabdariffa L.). J. Food Science 38: 810-812. 61
Dubey, R., T. C. Tsami, dan B. Rao. 2009. Microencapsulation technologi and preparation.J. Devence Science 59 (1): 82-95. Ersus, S., dan U. Yurdagel. 2007. Microencapsulation of anthocyanin pigments of black carrot (Daucus carota L.) by spray drier. J. Food Engineering 80: 805-812. Fasoyiro, S. B., O. A. Ashaye, A. Adeola, dan F. O. Samuel. 2005. Chemical and storability of fruit flavoured (Hibiscus sabdarifa) Drinks. J. Word Journal of Agricultural Sciences 1 (2): 165-168. Francis, F. J. 1999. Amaranthus betacyanin pigments applied in model food sistem. J. Food Sci. 64 (5): 869-873. Francis, F. J. 2002. Food colorings. Di dalam: MacDougall, D. B. (ed.), Colur in Food. Woodhead Publiching Limited, Cambridge, pp: 287-327. Gradinaru, G., C. G. Biliaderis, S. Kallithraka, P. Kefalas, C. Garcia-Viguera. 2003. Thermal stability of Hibiscus sabdariffa L. Anthocyanins in solution and in solid state: effect of copigmentation and glass transition. J. Food Chemistry 83: 423-436. Henry, B. S. 1996. Natural food color. Di dalam: Hendry, G. A. F. Dan J. D. Houghton (eds.), Natural Food Colorants 2. Blackie Academic and Professional, London, pp: 40-61. Holinesti, R. 2007. Studi pemanfaatan pigmen brazilein kayu secang (Caesalpenia sappan L.) sebagai pewarna alami serta stabilitasnya pada model pangan. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Hong, V. Dan Wrolstad. 1990. Use HPLC separation/ photodiode array detection for characteristization of anthocyanins. J. Agricultural and Food Chemistry, 38: 708-715. Hutching, J. B. 1999. Food Color and Appearance, 2nd edition. Aspen Publishers, Inc., Maryland. Iglesias, I., G. Echeverria, dan Y. Soria. 2008. Differences in fruit colour development, anthocyanin content, fruit quality and consumer acceptability of eight gala apple strains. J. International Scienta Horticulturae 30 (14) :1-9. Jackman, R. L. dan J. L. Smith. 1996. Anthocyanins and betalains. Di dalam: Hendry, G. A. F. Dan J. D. Houghton (eds.), Natural Food Colorants 2. Blackie Academic and Professional, London, pp: 244-283.
62
Kasuna, S. T. A. R., V. C. J. K. Suayo, A. Mkenda, P. J. J. Makunju. 2001. Thin layer drying of cassava roots. J. African Journal Science and Technology, 2 (2): 94-100. Kennedy, J. F., C. J. Knill, dan D. W. Tailor. 1995. Maltodekstrins. Di dalam: Kearsley, M. W., dan S. Z. Diedzic (eds.), Handbook of Starch Hydrolysis Product and Their Derivatives. Blackie Academics and Profesional, London, Glasgow, Weinheim, New York, Tokyo, Melbourne, Madras, pp: 65-82. Kirca, A., M. Özkan, dan B. Cemeroğlu. 2007. Effect of temperature, solid content and ph on the stability of black carrot anthocyanins. J. Food Chemistry 101: 212-218. Kong, J. M., L. S. Chia, N. K. Goh, T. F. Chuia, dan R. Brouillard. 2003. Analysis and biologycal activities of anthocyanins. J. Phytochemistry 64: 923-933. Kristie, A. 2008. Efek pencampuran ekstrak zat warna kayu secang dengan beberapa sumber antosianin terhadap kualitas warna merah dan sifat antimikroba. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Markham, K. R. 1998. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Padmawinta, K. (Penerjemah). Penerbit ITB, Bandung. Maryani, H dan L. Kristiana. 2005. Khasiat dan Manfaat Rosella. Agromedia Pustaka, Surabaya. Morton, J. 2003. Roselle. http://www.hort.purdue.edu. [31 Desember 2008]. Nielsen, S. R. Dan S. Holst. 2002. Development in natural colourings. Di dalam: D. B. MacDougal (ed.), Colour in Food. Woodhead Publiching Limited, Cambridge, pp: 331-350. Ovando, A. C., M. L. P. Hernández, M. E. P. Hernández, J. A. Rodríguez, C. A. G. Vidal. 2009. Chemical studies of anthocyanins: A review. Review of Journal of Food Chemistry 113: 859-871. Pemer, M. H. 2003. Basic Principles of spectroscopy. Di dalam: Nielsen, S. S. (ed.), Food Analysis. Kluwer Academic/ Plenum Publisher, New York, pp: 361-369. Purba, S. A. A. 2003. Pembuatan bubuk pewarna makanan alami kayu secang (Caesalpinia sappan Linn) dengan metode spray drying. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB , Bogor. Rajkumar, P., R. Kailappan, R.Vishwanathan, K. Parvathi, G. Raghavan and V. Orsat. 2007. Thin Layer Drying Study on Foamed Mango Pulp. J. Agricultural Engineering International 9: 6-24. 63
Shahidi, F. dan X. Q. Han. 1993. Encapsulation of food ingredients. Critical Review in Food Science and Nutrition, 33(6): 501-547. Soekarto, S. T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standardisasi Mutu Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Syukri, S. 1999. Kimia Dasar 2. Penerbit ITB, Bandung. Tensiska, E. S. dan Natalia, D. 2007. Ekstraksi pewarna alami dari buah arben (Rubus idaeus Linn.) dan aplikasinya pada sistem pangan. J. Teknologi dan Industri Pangan. 18 (1) : 25-26. Tsai, P, J. McIntosh, P. Pearce, B. Camden, dan B. R. Jordan. 2002. Anthocyanin and antioxidant capacity in roselle (Hibiscus sabdariffa L. extract. J. Food Research International 35: 351-356. Viguera, C. G. dan P. Bridle. 1999. Influence of structure on color stability of anthocyanin and flavilum salts with acorbic acid. J. Food Chem. 64: 21-26. Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wirakartakusumah, M. A. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wong, P., S. Yusof, H. M. Ghazali, dan Y. B. Che Man. 2002. Phisicochemical characteristic of roselee (Hibiscus sabdarifa L.). J. ProQuest Agriculture, 32: 68-73. Wuzburg, O. B. dan C. D. Syimanski. 1970. Starch in food industry. Di Dalam: Furia, F. E. (ed.), Handbook of Food Additives. CKC Press Cleveland, Ohio, pp: 377-411.
64
LAMPIRAN
Lampiran 1. Karakteristik pewarna rosela (metode spray drying) A. Kadar Air Sampel U 3:5 3 : 10 3 : 15
1 2 1 2 1 2
%
W0
Wsampel
W1
4.9305 5.3248 5.3794 5.3901 4.977 5.2607
2.0065 2.0024 2.0632 2.0412 2.069 2.027
6.8803 7.2713 7.3878 7.3775 6.9528 7.1973
air
2.83 2.79 2.66 2.64 4.50 4.46
RSD
RSD
analisis
hitung
0.02
0.86
3.42
2.65
0.01
0.54
3.46
4.48
0.03
0.71
3.19
X
SD
2.81
Keterangan 3:5 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 5 3 : 10 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 10 3 : 15 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 15 Wo : Bobot cawan kosong (gram) Wsampel : Bobot sampel (gram) W1 : Bobot cawan + sampel yang telah dikeringkan B. Kadar Abu W0 Sampel
3:5 3 : 10 3 : 15
U 1 2 1 2 1 2
Wsampel
W1
(g)
(g)
(g)
% abu
20.3253 24.4520 18.3884 18.5081 23.9426 20.4570
2.0766 2.0953 2.0088 2.0404 2.2210 2.0754
20.4432 24.5710 18.4694 18.5907 24.0098 20.5192
5.68 5.68 4.03 4.05 3.03 3.00
% RSD RSD abu X SD dry analisis hitung base 5.68 5.68 0.00 0.02 3.08 5.68 4.03 4.04 0.01 0.28 3.24 4.05 3.03 3.01 0.02 0.67 3.39 3.00
Keterangan 3:5 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 5 3 : 10 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 10 3 : 15 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 15 Wo : Bobot cawan kosong (gram) Wsampel : Bobot sampel (gram) W1 : Bobot cawan + sampel yang telah diabukan
66
C. Kelarutan Sampel
U
W0
Wsampel
%
W1
RSD
RSD
analisis
hitung
99.51 0.15
0.15
2.0015
98.90 0.12
0.13
2.0033
98.77 0.13
0.13
2.0037
X
SD
kelarutan
1 2 1 2 1 2
3:5 3 : 10 3 : 15
0.5990 0.6051 0.5994 0.6053 0.6328 0.6256
1.1269 1.1144 1.0010 1.0626 1.0051 1.0213
0.6032 0.6115 0.6110 0.6158 0.6437 0.6385
99.62 99.41 98.81 98.99 98.86 98.68
Keterangan 3:5 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 5 3 : 10 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 10 3 : 15 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 15 Wo : Bobot kertas saring kosong (gram) Wsampel : Bobot sampel (gram) W1 : Bobot kertas saring + sampel yang telah diabukan D. Total Antosianin
Sampel
3:5 3 : 10 3 : 15
U Wsampel
1 2 1 2 1 2
0.1092 0.1040 0.1144 0.1283 0.1249 0.1170
C
Total Antosianin
A=e.b.c
mg/g
3.87E-05 3.92E-05 3.46E-05 3.60E-05
1.78 1.89 1.52 1.41
2.78E-05 2.65E-05
1.12 1.13
F P
A
1.235 1.250 1.105 1.150 0.888 0.845
1 1 1 1 1 1
Total antosianin mg/g bahan kering 1.48 1.50 1.97 1.83 2.31 2.45
X (mg/ g bahan kering) 1.49 1.90 2.38
E. Penurunan Antosianin Setelah Pengeringan Pewarna Bubuk Rosella proporsi total padatan terhadap maltodekstrin
Jumlah Antosianin (mg)
Penurunan jumlah antosianin (%)
Sebelum dikeringkan
Setelah dikeringkan
3:5
147
33.94
76.91
3 : 10
147
45.53
69.03
3 : 15
147
44.62
69.65
67
Lampiran 2. Karakteristik pewarna rosela (metode tray drying) A. Kadar Air Sampel
U
W0
Wsampel
W1
%
X
RSD RSD analisis hitung
SD
air
3 : 15 3 : 17.5 3 : 20
1 2 1 2 1 2
5.0734 2.1483 2.1915 5.0124 3.5431 2.0926
2.0931 2.0516 2.0724 2.0558 2.3599 2.2557
6.9482 10.43 10.31 0.17 3.991 10.18 4.0623 9.73 9.81 0.12 6.8648 9.89 5.6837 9.29 9.12 0.25 4.1466 8.94
1.70
2.82
1.20
2.84
2.72
2.87
Keterangan 3 : 15 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 15 3 : 17.5 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 17.5 3 : 20 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 20 Wo : Bobot cawan kosong (gram) Wsampel : Bobot sampel (gram) W1 : Bobot cawan + sampel yang telah dikeringkan B. Kadar Abu W0 Sampel
3 : 15 3 : 17.5 3 : 20
U 1 2 1 2 1 2
Wsampel
W1
(g)
(g)
(g)
% abu
20.3291 24.4547 20.2051 19.8387 18.6854 19.1205
2.0902 2.0880 2.1952 2.1370 2.2879 2.1227
20.3735 24.4981 20.2449 19.8759 18.7154 19.1471
2.12 2.08 1.81 1.74 1.31 1.25
% abu dry base 2.12 2.08 1.81 1.74 1.31 1.25
RSD X
SD
RSD
analisis hitung
2.10 0.03
1.54
3.58
1.78 0.05
2.88
3.67
1.28 0.04
3.21
3.85
Keterangan 3 : 15 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 15 3 : 17.5 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 17.5 3 : 20 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 20 Wo : Bobot cawan kosong (gram) Wsampel : Bobot sampel (gram) W1 : Bobot cawan + sampel yang telah diabukan
68
C. Kelarutan Sampel
U
W0
Wsampel
%
W1
RSD
RSD
analisis
hitung
0.03
0.03
2.002 3
99.20
0.29
0.30
2.002 4
98.26
1.55
1.57
2.005 3
X
SD
99.23
kelarutan
1 2 1 2 1 2
3 : 15 3 : 17.5 3 : 20
0.6145 0.6138 0.597 0.6281 0.6361 0.6059
1.0901 1.0268 1.3937 1.3081 1.1813 1.1524
0.6232 0.6215 0.611 0.6358 0.6437 0.6385
99.20 99.25 99.00 99.41 99.36 97.17
Keterangan 3 : 15 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 15 3 : 17.5 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 17.5 3 : 20 : Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 20 Wo : Bobot kertas saring kosong (gram) Wsampel : Bobot sampel (gram) W1 : Bobot kertas saring + sampel yang telah diabukan D. Total Antosianin Total Antosia nin
C Sampel
U
Wsampel
A
FP A=e.b.c
3 : 15 3 : 17.5 3 : 20
1 2
3.0012 3.0012
1 2 1 2
3.4067 3.4067 3.0112 3.0122
0.376 0.374 0.352 0.353 0.253 0.251
33.33 33.33 33.33 33.33 33.33 33.33
1.18E-05 1.17E-05 1.10E-05 1.11E-05 7.92E-06 7.85E-06
mg/g 0.66 0.65 0.54 0.54 0.44 0.44
Total antosianin mg/g bahan kering 0.92 0.92 0.76 0.76 0.61 0.61
E. Penurunan Antosianin Setelah Pengeringan Sampel proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 15 3 : 17.5 3 : 20
Jumlah Antosianin (mg) Sebelum proses produksi
Setelah proses produksi
Penurunan jumlah antosianin (%)
147 147 147
31.05 29.79 26.62
76.24 77.01 79.93
69
Lampiran 3. Analis ragam kadar air pewarna bubuk Rosela (metode spray Drying) metode Duncan
Univariate Analysis of Variance [DataSet0] Between-Subjects Factors N Sampel
R05
2
R10
2
R15
2 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kadar_air Type III Sum of Squares
Source
df a
Mean Square
Corrected Model Intercept Sampel Error
4.109 65.869 4.109
2 1 2
2.054 65.869 2.054
.002
3
.001
Total
69.980
6
4.111
5
Corrected Total
F 3.424E3 1.098E5 3.424E3
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999)
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets Kadar_air Duncan Subset Sampel
N
1
R10
2
R15
2
R05
2
2
3
2.6500 2.8100 4.4800
Sig.
1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,001.
Estimated Marginal Means Grand Mean Dependent Variable:Kadar_air 95% Confidence Interval Mean 3.313
Std. Error .010
Lower Bound 3.282
Upper Bound 3.345
70
Lampiran 4. Analis ragam kadar abu pewarna bubuk Rosela (metode spray Drying) metode Duncan
Univariate Analysis of Variance [DataSet0] Between-Subjects Factors N Sampel
R05
2
R10
2
R15
2 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kadar_abu Type III Sum of Squares
Source
df a
Mean Square
Corrected Model Intercept Sampel Error
7.228 108.120 7.228
2 1 2
3.614 108.120 3.614
.001
3
.000
Total
115.349
6
7.229
5
Corrected Total
F 1.668E4 4.990E5 1.668E4
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets Kadar_abu Duncan Subset Sampel
N
1
R05
2
R10
2
R15
2
2
3
3.0150 4.0400 5.6800
Sig.
1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,000.
Estimated Marginal Means Grand Mean Dependent Variable:Kadar_abu 95% Confidence Interval Mean 4.245
Std. Error .006
Lower Bound 4.226
Upper Bound 4.264
71
Lampiran 5. Analis ragam kelarutan pewarna bubuk Rosela (metode spray Drying) metode Duncan
Univariate Analysis of Variance [DataSet0] Between-Subjects Factors N Sampel
R05
2
R10
2
R15
2 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kelarutan Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
Corrected Model Intercept Sampel Error
.633 58879.283 .633
a
2 1 2
.317 58879.283 .317
.054
3
.018
Total
58879.971
6
.688
5
Corrected Total
F 17.450 3.244E6 17.450
Sig. .022 .000 .022
a. R Squared = ,921 (Adjusted R Squared = ,868)
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets Kelarutan Duncan Subset Sampel
N
1
2
R15
2
98.7700
R10
2
98.9000
R05
2
99.5150
Sig.
.406
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,018.
Estimated Marginal Means Grand Mean Dependent Variable:Kelarutan 95% Confidence Interval Mean 99.062
Std. Error .055
Lower Bound 98.887
Upper Bound 99.237
72
Lampiran 6. Analis ragam kadar air pewarna bubuk Rosela (metode tray Drying) metode Duncan
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Sampel
6:6
2
7:6
2
8:6
2 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kadar_air Type III Sum of Squares
Source
df a
Mean Square
Corrected Model Intercept Sampel Error
1.429 569.595 1.429
2 1 2
.715 569.595 .715
.105
3
.035
Total
571.130
6
1.535
5
Corrected Total
F 20.362 1.623E4 20.362
Sig. .018 .000 .018
a. R Squared = ,931 (Adjusted R Squared = ,886)
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets Kadar_air Duncan Subset Sampel
N
1
2
8:6
2
7:6
2
9.8100
6:6
2
10.3050
9.1150
Sig.
1.000
.078
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,035.
Estimated Marginal Means Grand Mean Dependent Variable:Kadar_air 95% Confidence Interval Mean 9.743
Std. Error .076
Lower Bound 9.500
Upper Bound 9.987
73
Lampiran 7. Analis ragam kadar abu pewarna bubuk Rosela (metode tray Drying) metode Duncan
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Sampel
6:6
2
7:6
2
8:6
2 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kadar_abu Type III Sum of Squares
Source
df a
Mean Square
Corrected Model Intercept Sampel Error
.682 17.716 .682
2 1 2
.341 17.716 .341
.005
3
.002
Total
18.403
6
.687
5
Corrected Total
F 202.584 1.052E4 202.584
Sig. .001 .000 .001
a. R Squared = ,993 (Adjusted R Squared = ,988)
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets Kadar_abu Duncan Subset Sampel
N
1
8:6
2
7:6
2
6:6
2
2
3
1.2800 1.7750 2.1000
Sig.
1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,002.
Estimated Marginal Means Grand Mean Dependent Variable:Kadar_abu 95% Confidence Interval Mean 1.718
Std. Error .017
Lower Bound 1.665
Upper Bound 1.772
74
Lampiran 8. Analis ragam kelarutan pewarna bubuk rosela (metode tray drying) metode Duncan
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Sampel
6:6
2
7:6
2
8:6
2 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kelarutan Type III Sum of Squares
Source
df a
Mean Square
Corrected Model Intercept Sampel Error
1.204 58685.282 1.204
2 1 2
.602 58685.282 .602
2.483
3
.828
Total
58688.969
6
3.687
5
Corrected Total
F .727 7.089E4 .727
Sig. .553 .000 .553
a. R Squared = ,326 (Adjusted R Squared = -,123)
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets Kelarutan Duncan Subset Sampel 8:6 7:6 6:6 Sig.
N
1 2 2 2
98.2650 99.2050 99.2250 .366
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,828.
Estimated Marginal Means Grand Mean Dependent Variable:Kelarutan 95% Confidence Interval Mean 98.898
Std. Error .371
Lower Bound 97.716
Upper Bound 100.080
75
Lampiran 9. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode spray drying) pada suhu ruang (kontrol).
Waktu (hari) 0 7 14 21 28 35
U 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 3 4
W sampel 0.3039 0.3207 0.3011 0.3034 0.3088 0.3108 0.3066 0.3067 0.3015 0.3049 0.3055 0.3017
A 0.870 0.940 0.794 0.793 0.762 0.771 0.738 0.768 0.722 0.760 0.732 0.724
Fp 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
C A= .b.c 2.7E-05 2.9E-05 2.5E-05 2.5E-05 2.4E-05 2.4E-05 2.3E-05 2.4E-05 2.3E-05 2.4E-05 2.3E-05 2.3E-05
Total Antosianin mg/g 1.12 1.15 1.04 1.03 0.97 0.97 0.95 0.98 0.94 0.98 0.94 0.94
X
SD
RSD
RSD
analisis
hitung
1.14
0.02
1.67
5.55
1.03
0.01
0.63
5.63
0.97
0.00
0.37
5.68
0.96
0.03
2.79
5.69
0.96
0.03
2.83
5.69
0.94
0.00
0.11
5.71
76
Lampiran 10. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode spray drying) pada suhu 35 C.
Waktu (hari) 0 7 14 21 28 35
U 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
W sampel 0.3039 0.3207 0.3031 0.3000 0.3057 0.3044 0.3235 0.3236 0.3145 0.3175 0.3058 0.3034
A
Fp
0.870
2.5
0.940 0.785 0.755 0.778 0.726 0.761 0.762 0.706 0.703 0.608 0.600
2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
C A= .b.c 2.7E-05 2.9E-05 2.5E-05 2.4E-05 2.4E-05 2.3E-05 2.4E-05 2.4E-05 2.2E-05 2.2E-05 1.9E-05 1.9E-05
Total Antosianin mg/g 1.12 1.15 1.02 0.99 1.00 0.94 0.92 0.92 0.88 0.87 0.78 0.78
X
SD
RSD
RSD
analisis
hitung
1.14
0.02
1.67
5.55
1.00
0.02
2.03
5.65
0.97
0.04
4.59
5.68
0.92
0.00
0.07
5.72
0.88
0.01
0.97
5.77
0.78
0.00
0.38
5.87
77
Lampiran 11. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode spray drying) pada suhu 45 C.
Waktu (hari) 0 3 6 9 12 15
U 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
W sampel 0.3039 0.3207 0.3015 0.3062 0.3115 0.3135 0.3030 0.3075 0.3009 0.3017 0.3106 0.3081
A 0.870 0.940 0.830 0.880 0.775 0.785 0.674 0.691 0.614 0.628 0.611 0.624
Fp 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
C A= .b.c 2.7E-05 2.9E-05 2.6E-05 2.8E-05 2.4E-05 2.5E-05 2.1E-05 2.2E-05 1.9E-05 2.0E-05 1.9E-05 2.0E-05
Total Antosia nin mg/g 1.12 1.15 1.08 1.13 0.98 0.98 0.87 0.88 0.80 0.82 0.77 0.80
X
SD
RSD
RSD
analisis
hitung
1.14
0.02
1.67
5.55
1.10
0.03
3.04
5.57
0.98
0.00
0.45
5.67
0.88
0.01
0.72
5.77
0.81
0.01
1.41
5.84
0.78
0.02
2.06
5.87
78
Lampiran 12. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode spray drying) pada suhu 50 C.
Waktu (hari) 0 1 2 3 4 5
U 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
W sampel 0.3039 0.3207 0.3035 0.3135 0.3080 0.3123 0.3099 0.3055 0.3127 0.3292 0.3027 0.3032
A 0.870 0.940 0.778 0.807 0.688 0.712 0.608 0.605 0.562 0.593 0.444 0.448
Fp 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
C A= .b.c 2.7E-05 2.9E-05 2.4E-05 2.5E-05 2.2E-05 2.2E-05 1.9E-05 1.9E-05 1.8E-05 1.9E-05 1.4E-05 1.4E-05
Total Antosianin mg/g 1.12 1.15 1.01 1.01 0.88 0.90 0.77 0.78 0.71 0.71 0.58 0.58
X
SD
RSD
RSD
analisis
hitung
1.14
0.02
1.67
5.55
1.01
0.00
0.30
5.65
0.89
0.01
1.44
5.76
0.77
0.01
0.66
5.88
0.71
0.00
0.16
5.96
0.58
0.00
0.52
6.14
79
Lampiran 13. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode tray drying) pada suhu ruang (kontrol). Ulangan 1 Waktu (hari) 0 7 14 21 28 35
U 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 3 4
W sampel 3.0012 3.0012 0.3081 0.3017 0.3172 0.2989 0.3031 0.3077 0.3063 0.3050 0.3022 0.3066
A 0.376 0.374 0.518 0.482 0.520 0.463 0.504 0.510 0.472 0.472 0.456 0.458
Fp 33.3 33.3 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
C A= .b.c 1.2E-05 1.2E-05 1.6E-05 1.5E-05 1.6E-05 1.5E-05 1.6E-05 1.6E-05 1.5E-05 1.5E-05 1.4E-05 1.4E-05
Total Antosianin mg/g 0.66 0.65 0.66 0.63 0.64 0.61 0.65 0.65 0.61 0.61 0.59 0.59
X
SD
RSD
RSD
analisis
hitung
0.65
0.00
0.47
6.03
0.64
0.02
3.61
6.04
0.63
0.03
4.01
6.07
0.65
0.00
0.23
6.03
0.61
0.00
0.30
6.10
0.59
0.00
0.71
6.13
80
Ulangan 2 Waktu (hari) 0 7 14 21 28 35
U 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 3 4
W sampel 3.0012 3.0012 0.3081 0.3017 0.3172 0.2989 0.3031 0.3077 0.3063 0.3050 0.3022 0.3066
A 0.376 0.374 0.518 0.482 0.520 0.463 0.504 0.510 0.472 0.472 0.456 0.458
Fp 33.3 33.3 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
C A= .b. c 1.2E-05 1.2E-05 1.6E-05 1.5E-05 1.6E-05 1.5E-05 1.6E-05 1.6E-05 1.5E-05 1.5E-05 1.4E-05 1.4E-05
Total Antosi anin mg/g 0.66 0.65 0.66 0.63 0.64 0.61 0.65 0.65 0.61 0.61 0.59 0.59
X
SD
RSD
RSD
analisis
hitung
0.65
0.00
0.47
6.03
0.64
0.02
3.61
6.04
0.63
0.03
4.01
6.07
0.65
0.00
0.23
6.03
0.61
0.00
0.30
6.10
0.59
0.00
0.71
6.13
81
Lampiran 14. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode tray drying) pada suhu 35 C. Ulangan 1 Waktu (hari) 0 7 14 21 28 35
U 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
W sampel 3.0012 3.0012 0.3210 0.3214 0.3050 0.3057 0.3031 0.3014 0.3145 0.3076 0.3066 0.3059
A
Fp
C A= .b.c
Total Antosianin
0.376
33.3
1.2E-05
mg/g 0.66
0.374 0.530 0.527 0.490 0.500 0.486 0.482 0.486 0.470 0.466 0.472
33.3 2.5
1.2E-05 1.7E-05 1.7E-05 1.5E-05 1.6E-05 1.5E-05 1.5E-05 1.5E-05 1.5E-05 1.5E-05 1.5E-05
0.65 0.65 0.64 0.63 0.64 0.63 0.63 0.61 0.60 0.60 0.61
2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
X
SD
RSD
RSD
analisis hitung 0.65
0.00
0.47
6.03
0.65
0.00
0.49
6.04
0.64
0.01
1.27
6.05
0.63
0.00
0.19
6.07
0.60
0.00
0.80
6.10
0.60
0.01
1.07
6.11
82
Ulangan 2 Waktu (hari) 0 7 14 21 28 35
U 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
U sampel 0.3589 0.3219 0.3252 0.3256 0.3110 0.3140 0.3202 0.3140 0.3033 0.3024 0.3202 0.3096
A
Fp
0.651
2.5
0.589 0.584 0.588 0.552 0.560 0.558 0.556 0.442 0.508 0.530 0.510
2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
C A= .b.c 2.0E-05 1.8E-05 1.8E-05 1.8E-05 1.7E-05 1.8E-05 1.7E-05 1.7E-05 1.4E-05 1.6E-05 1.7E-05 1.6E-05
Total Antosianin mg/g 0.71 0.72 0.71 0.71 0.70 0.70 0.68 0.70 0.69 0.66 0.65 0.65
X
SD
RSD
RSD
analisis
hitung
0.72
0.00
0.62
5.95
0.71
0.00
0.40
5.96
0.70
0.00
0.34
5.97
0.69
0.01
1.13
5.98
0.67
0.02
2.84
6.00
0.65
0.00
0.34
6.04
83
Lampiran 15. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode tray drying) pada suhu 45 C. Ulangan 1 Waktu (hari) 0 3 6 9 12 15
U 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 3 4
W sampel 3.0012 3.0012 0.3134 0.3015 0.3007 0.3004 0.3001 0.3054 0.3056 0.3075 0.3193 0.3070
A 0.376 0.374 0.514 0.490 0.480 0.476 0.448 0.476 0.454 0.476 0.450 0.438
Fp 33.3 33.3 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
C A= .b.c 1.2E-05 1.2E-05 1.6E-05 1.5E-05 1.5E-05 1.5E-05 1.4E-05 1.5E-05 1.4E-05 1.5E-05 1.4E-05 1.4E-05
Total Antosianin
X
SD
mg/g 0.66 0.65 0.64 0.64 0.63 0.62 0.59 0.61 0.58 0.61 0.55 0.56
RSD
RSD
anali sis
hitung
0.65
0.00
0.47
6.03
0.64
0.00
0.64
6.05
0.62
0.00
0.52
6.07
0.60
0.02
3.05
6.11
0.60
0.02
2.91
6.12
0.56
0.00
0.87
6.18
84
Ulangan 2 Waktu (hari) 0 3 6 9 12 15
U 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 3 4
W sampel 0.3589 0.3219 0.3025 0.3069 0.3063 0.3067 0.3017 0.3050 0.3072 0.3067 0.3246 0.3153
A 0.651 0.589 0.530 0.540 0.508 0.518 0.502 0.504 0.508 0.504 0.524 0.518
Fp 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
C A= .b.c 2.0E-05 1.8E-05 1.7E-05 1.7E-05 1.6E-05 1.6E-05 1.6E-05 1.6E-05 1.6E-05 1.6E-05 1.6E-05 1.6E-05
Total Antosianin mg/g 0.71 0.72 0.69 0.69 0.65 0.66 0.65 0.65 0.65 0.65 0.63 0.65
X
SD
RSD
RSD
analisis
hitung
0.72
0.00
0.62
5.95
0.69
0.00
0.30
5.98
0.66
0.01
1.29
6.03
0.65
0.00
0.49
6.03
0.65
0.00
0.44
6.04
0.64
0.01
1.24
6.05
85
Lampiran 16. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode tray drying) pada suhu 50 C. Ulangan 1 Waktu (hari) 0 1 2 3 4 5
U
W
A
Fp
sampel
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 3 4
3.0012 3.0012 0.3031 0.3000 0.3014 0.3000 0.2894 0.2883 0.3008 0.3012 0.2795 0.2804
0.376 0.374 0.501 0.487 0.454 0.428 0.418 0.396 0.413 0.422 0.374 0.387
33.3 33.3 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
Total C Antosianin A= .b.c mg/g 1.2E-05 0.66 1.2E-05 0.65 1.6E-05 0.65 1.5E-05 0.64 1.4E-05 0.59 1.3E-05 0.56 1.3E-05 0.57 1.2E-05 0.54 1.3E-05 0.54 1.3E-05 0.55 1.2E-05 0.53 1.2E-05 0.54
X
SD
RSD
RSD
analisis
hitung
0.65
0.00
0.47
6.03
0.64
0.01
1.28
6.05
0.58
0.02
3.84
6.15
0.55
0.02
3.55
6.18
0.54
0.01
1.43
6.20
0.53
0.01
2.19
6.22
86
Ulangan 2 Waktu (hari) 0 1 2 3 4 5
U 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 3 4
W sampel 0.3589 0.3219 0.3056 0.3110 0.3016 0.3143 0.3017 0.3045 0.3008 0.3012 0.2908 0.3079
A 0.651 0.589 0.540 0.569 0.504 0.518 0.492 0.510 0.493 0.495 0.474 0.470
Fp 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
Total C Antosianin A= .b.c mg/g 2.0E-05 0.71 1.8E-05 0.72 1.7E-05 0.69 1.8E-05 0.72 1.6E-05 0.66 1.6E-05 0.65 1.5E-05 0.64 1.6E-05 0.66 1.5E-05 0.64 1.6E-05 0.65 1.5E-05 0.64 1.5E-05 0.60
X
SD
RSD
RSD
analisis
hitung
0.72
0.00
0.62
5.95
0.71
0.02
2.46
5.96
0.65
0.01
0.98
6.03
0.65
0.01
1.89
6.04
0.64
0.00
0.19
6.04
0.62
0.03
4.64
6.08
87
Lampiran 17. Kinetika degradasi antosianin pada bubuk pewarna rosela pada suhu 35 C metode
Spray Drying Total Waktu U Antosianin ln C (hari) mg/g 1 1.12 0.1169 0 2 1.15 0.1405 1 1.02 0.0167 7 2 0.99 -0.0119 1 1.00 -0.0008 14 2 0.94 -0.0657 1 0.92 -0.0794 21 2 0.92 -0.0784 1 0.88 -0.1262 28 2 0.87 -0.1400 3 0.78 -0.2476 35 4 0.78 -0.2530
Tray Drying Total Antosianin ln C mg/g 0.68 -0.3798 0.68 -0.3784 0.68 -0.3905 0.68 -0.3909 0.66 -0.4097 0.67 -0.3987 0.66 -0.4202 0.66 -0.4131 0.65 -0.4359 0.63 -0.4624 0.62 -0.4727 0.63 -0.4679
0.2000 0.1000
ln [C]
0.0000 -0.1000 0
10
20
-0.2000
30 40 y = -0.0095x + 0.1131 R² = 0.9648
-0.3000 -0.4000
y = -0.0026x - 0.3724 R² = 0.9281
-0.5000 -0.6000
Waktu (hari)
Metode Spray Dryer MetodeTray Dryer
88
Lampiran 18. Kinetika degradasi antosianin pada bubuk pewarna rosela pada suhu 45 C metode Waktu (hari)
0 3 6 9 12 15
Spray Drying U
Total Antosianin
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 3 4
mg/g 1.12 1.15 1.08 1.13 0.98 0.98 0.87 0.88 0.80 0.82 0.77 0.80
Tray Drying
ln C
Total Antosianin
ln C
0.1169 0.1405 0.0778 0.1208 -0.0234 -0.0170 -0.1354 -0.1252 -0.2217 -0.2018 -0.2583 -0.2292
mg/g 0.68 0.68 0.67 0.66 0.64 0.64 0.62 0.63 0.62 0.63 0.59 0.60
-0.3798 -0.3784 -0.4066 -0.4088 -0.4479 -0.4422 -0.4785 -0.4614 -0.4840 -0.4676 -0.5216 -0.5065
0.2000 0.1000
ln [C]
0.0000 -0.1000 0 -0.2000
5
10
15
20
y = -0.0277x + 0.1445 R² = 0.9633
-0.3000 -0.4000 -0.5000
y = -0.0086x - 0.384 R² = 0.9567
-0.6000
Waktu (hari)
Metode Spray Dryer metode Tray dryer
89
Lampiran 19. Kinetika degradasi antosianin pada bubuk pewarna rosela pada suhu 50 C metode Waktu (hari)
0 1 2 3 4 5
Spray Drying U
Total Antosianin
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 3 4
mg/g 1.12 1.15 1.01 1.01 0.88 0.90 0.77 0.78 0.71 0.71 0.58 0.58
Tray Drying
ln C
Total Antosianin
0.0026 -0.0027 -0.1754 -0.1917 -0.2576 -0.2340 -0.2968 -0.2553 -0.2765 -0.3626 0.0026 -0.0027
mg/g 0.68 0.68 0.67 0.68 0.62 0.60 0.60 0.60 0.59 0.60 0.58 0.57
ln C
0.1169 0.1405 0.0065 0.0106 -0.1312 -0.1108 -0.2610 -0.2516 -0.3486 -0.3464 -0.5518 -0.5445
0.20 0.10 0.00
ln [C]
-0.10 0 -0.20
1
2
3
4
5
6
y = -0.1311x + 0.1384 R² = 0.9907
-0.30 -0.40 y = -0.0359x - 0.3836 R² = 0.8914 -0.50 -0.60
Waktu (hari)
Metode Spray Dryer Tray Drying
90
Lampiran 20. Energi aktivasi dan waktu paruh antosianin pada bubuk pewarna rosela Sampel Suhu Metode (K) 308 318 Spray Drying 323
1/T (K-1)
k
ln (k)
0.0032 0.0031 0.0031
0.009 0.027 0.131 0.005 0.002 0.008 0.035 0.003
-4.711 -3.612 -2.032 -5.339 -6.215 -4.828 -3.352 -5.915
Kontrol (suhu Ruang)
Tray Drying
308 318 323
0.0032 0.0031 0.0031
Kontrol (suhu Ruang)
Slope (Ea/R)
Ea (KJ)
Ea (Kkal)
16691
138.77
33.17
18153
150.92
36.07
T1/2 (hari) 213.49 220.42 223.89 213.49 346.57 86.64 19.80 256.72
0 0.00305 -1
0.0031
0.00315
0.0032
0.00325
0.0033
ln k
-2 -3 -4 y = -16691x + 49.332 R² = 0.9097 -5 -6
y = -18153x + 52.61 R² = 0.9524
-7
1/T
Metode Spray Drying Metode Tray Drying
91
Lampiran 21. Pengukuran warna larutan bubuk pewarna rosela dengan chromameter Suhu (°C)
Metode
SD
kontrol (Suhu Ruang)
TD
SD
35
TD
Hari
L
a
b
C
E
°Hue
Warna
0
57.09
29.63
8.53
30.83
0.00
16.06
Merah keunguan
1
57.23
28.85
8.58
30.10
0.79
16.55
Merah keunguan
2
57.58
27.00
8.73
28.37
2.68
17.90
Merah keunguan
3
58.83
27.78
9.00
29.20
2.59
17.95
Merah keunguan
4
59.72
28.07
9.15
29.52
3.12
18.06
Merah
5
60.33
27.65
9.26
29.16
3.86
18.52
Merah
0
63.96
19.09
7.13
20.38
0.00
20.47
Merah
1
64.47
17.29
5.97
18.29
2.21
19.04
Merah
2
65.67
16.80
6.47
18.00
2.93
21.05
Merah
3
67.02
16.46
6.76
17.79
4.05
22.31
Merah
4
67.34
16.24
7.02
17.69
4.43
23.37
Merah
5
68.10
15.52
6.75
16.92
5.48
23.50
Merah
0
57.09
29.63
8.53
30.83
0.00
16.06
Merah keunguan
1
59.69
27.36
8.73
28.71
3.46
17.69
Merah keunguan
2
59.91
27.37
8.89
28.77
3.63
17.99
Merah keunguan
3
60.17
27.05
9.10
28.54
4.05
15.58
Merah keunguan
4
60.25
27.05
9.11
28.54
4.12
18.61
Merah
5
60.44
26.90
9.19
28.42
4.37
18.86
Merah
0
63.96
19.09
7.13
20.38
0.00
20.47
Merah
1
64.58
17.84
5.73
18.73
1.97
17.81
Merah keunguan
2
65.19
17.48
5.59
18.35
2.54
17.73
Merah keunguan
3
65.14
17.37
5.75
18.29
2.50
18.30
Merah
4
65.19
16.85
5.64
17.77
2.96
18.49
Merah
5
65.48
16.71
5.93
17.73
3.07
19.52
Merah
92
Suhu (°C)
Metode
SD
45
TD
SD
50
TD
Hari
L
a
b
C
E
°Hue
Warna
0
57.09
29.63
8.53
30.83
0.00
16.06
Merah keunguan
1
59.75
27.13
8.64
28.47
3.65
17.67
Merah keunguan
2
59.76
27.92
9.00
29.33
3.20
17.86
Merah
3 4
59.88
27.51
9.01
28.95
3.54
18.23
Merah
59.89
27.17
9.30
28.72
3.81
18.89
Merah
5
59.99
27.54
9.42
29.11
3.68
18.88
Merah
0
63.96
19.09
7.13
20.38
0.00
20.46
Merah
1
66.79
19.53
6.35
20.54
2.97
18.00
Merah
2
68.02
18.93
6.13
19.90
4.18
17.94
Merah keunguan
3
67.54
18.44
6.65
19.60
3.67
19.82
Merah
4
68.02
18.24
6.23
19.27
4.24
18.86
Merah
5
68.27
18.11
6.78
19.34
4.43
20.52
Merah
0
57.09
29.63
8.53
30.83
0.00
16.06
Merah keunguan
1
58.43
27.91
8.64
29.22
2.18
17.20
Merah keunguan
2
58.51
27.32
9.00
28.76
2.75
18.22
Merah
3
59.03
27.03
9.01
28.49
3.28
18.42
Merah
4
59.32
26.99
9.30
28.55
3.54
19.00
Merah
5
59.53
26.91
9.42
28.51
3.76
19.29
Merah
0
63.96
19.09
7.13
20.38
0.00
20.46
Merah
1
64.18
19.29
6.75
20.43
0.48
19.29
Merah
2
65.45
17.21
8.39
19.14
2.71
25.98
Merah
3
65.89
16.44
7.81
18.20
3.35
25.41
Merah
4
67.36
15.85
8.47
17.97
4.88
28.93
Merah
5
68.50
15.97
9.42
18.53
5.97
30.53
Merah
Keterangan:
) Nilai hue dan daerah kisaran warna kromatis Nilai ohue Daerah kisaran warna o o 342 -18 Merah-Ungu o o 18 -54 Merah 54o-90o Kuning-Merah 90o-126o Kuning o o 126 -162 Kuning-Hijau 162o-198o Hijau o o 198 -234 Biru-Hijau o o 234 -270 Biru 270o-306o Biru-Ungu 306o-342o Ungu o
93
Lampiran 22. Kinetika degradasi warna berdasarkan perubahan L, a, dan a/L pada suhu ruang Waktu (hari) 0 7 14 21 28 35 Waktu (hari) 0 7 14 21 28 35
L 57.09 57.23 57.58 58.83 59.72 60.33
ln L 4.0445 4.0470 4.0532 4.0747 4.0897 4.0997
L 64.0 64.5 65.7 67.0 67.3 68.1
ln L 4.1583 4.1662 4.1846 4.2049 4.2098 4.2209
Spray Drying a ln a 29.63 3.3886 27.36 3.3089 27.37 3.3093 27.05 3.2977 27.05 3.2975 26.90 3.2919 Tray Drying a ln a 19.09 2.9492 17.29 2.8498 17.48 2.8611 16.80 2.8211 16.24 2.7872 15.52 2.7421
4.5 ln [L]
y = 0.0019x + 4.1576 R² = 0.9719
4.0 y = 0.0017x + 4.0377 R² = 0.9465
3.5 0
20 Waktu (hari)
40
Metode Spray Drying Metode Tray Drying
4
ln (a/L)
5.0
0.0 -0.2 0 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 -1.2 -1.4 -1.6
a/L 0.52 0.48 0.48 0.46 0.45 0.45
ln (a/L) -0.6559 -0.7381 -0.7439 -0.7770 -0.7922 -0.8078
a/L 0.30 0.27 0.26 0.25 0.24 0.23
ln (a/L) -1.2091 -1.3164 -1.3635 -1.4040 -1.4226 -1.4788
20
40
y = -0.0039x - 0.6843 R² = 0.8774
y = -0.0070x - 1.2437 R² = 0.9371
Waktu (Hari)
Metode Spray Drying Metode Tray Drying
y = -0.0022x + 3.3534 R² = 0.6038
ln [a]
3 2
y = -0.0052x + 2.9253 R² = 0.9103
1
Metode Spray Drying Metode Tray Drying
0 0
5 10 15 20 25 30 35 40 Waktu (hari)
94
Lampiran 23. Kinetika degradasi warna berdasarkan perubahan L, a, dan a/L pada 35 C Waktu (hari) 0 7 14 21 28 35 Waktu (hari) 0 7 14 21 28 35
L 57.09 59.69 59.91 60.17 60.25 60.44
ln L 4.0445 4.0892 4.0928 4.0971 4.0985 4.1017
L 64.0 64.6 65.2 65.1 65.2 65.5
ln L 4.1583 4.1678 4.1773 4.1765 4.1772 4.1817
Spray Drying a ln a 29.63 3.3886 27.36 3.3089 27.37 3.3093 27.05 3.2977 27.05 3.2975 26.90 3.2919 Tray Drying a ln a 19.09 2.9492 17.84 2.8812 17.48 2.8611 17.37 2.8545 16.85 2.8244 16.71 2.8160
5.0 y = 0.0006x + 4.1628 R² = 0.8103
a/L 0.30 0.28 0.27 0.27 0.26 0.26
ln (a/L) -1.2091 -1.2867 -1.3162 -1.3221 -1.3529 -1.3657
4.0
y = 0.0006x + 4.1628 R² = 0.8103
4.5 4.0
y = 0.0011x + 4.0656 R² = 0.5031
3.5
metode Tray Drying
0
y = 0.0011x + 4.0656 R² = 0.5031
3.5
Metode Spray Drying
3.0
ln [L]
ln [L]
ln (a/L) -0.6559 -0.7803 -0.7835 -0.7994 -0.8010 -0.8097
5.0
4.5
4
a/L 0.52 0.46 0.46 0.45 0.45 0.44
Metode Spray Drying metode Tray Drying
3.0
20 Waktu (hari)
40
0
20 Waktu (hari)
40
y = -0.0022x + 3.3534 R² = 0.6038
ln [a]
3 y = -0.0034x + 2.9246 R² = 0.8807
2
Metode Spray Drying
1
Metode Tray Drying
0 0
20 Waktu (hari)
40
95
Lampiran 24. Kinetika degradasi warna berdasarkan perubahan L, a, dan a/L pada 45 C Waktu (hari) 0 3 6 9 12 15 Waktu (hari) 0 3 6 9 12 15
L 57.09 59.75 59.76 59.88 59.89 59.99
ln L 4.0445 4.0902 4.0903 4.0923 4.0925 4.0942
L 64.0 66.8 68.0 67.5 68.0 68.3
ln L 4.1583 4.2016 4.2198 4.2127 4.2198 4.2234
Spray Drying a ln a 29.63 3.3886 27.13 3.3006 27.92 3.3293 27.51 3.3145 27.17 3.3021 27.54 3.3156 Tray Drying a ln a 19.09 2.9492 19.53 2.9720 18.93 2.9407 18.44 2.9145 18.24 2.9036 18.11 2.8965
y = 0.0025x + 4.0656 R² = 0.5031
5 3
ln (a/L)
4 y = 0.0036x + 4.1793 R² = 0.6577
ln [L]
2 1
Metode Spray Drying Metode Tray Drying
0 0
3
6
9
12
15
18
ln (a/L) -0.6559 -0.7895 -0.7609 -0.7778 -0.7904 -0.7785
a/L 0.30 0.29 0.28 0.27 0.27 0.27
ln (a/L) -1.2091 -1.2296 -1.2791 -1.2982 -1.3162 -1.3269
3
6
9
12
15
18
y = -0.0060x - 0.7137 R² = 0.4304
y = -0.0083x - 1.2145 R² = 0.9494
Waktu (Hari)
Waktu (hari)
4
0.0 -0.2 0 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 -1.2 -1.4 -1.6
a/L 0.52 0.45 0.47 0.46 0.45 0.46
Metode Spray Drying Metode Tray Drying
y = -0.0036x + 3.3520 R² = 0.3739
ln [a]
3 y = -0.0047x + 2.9647 R² = 0.8130
2 1
Metode Spray Drying Metode Tray Drying
0 0
3
6 9 12 Waktu (hari)
15
18
96
Lampiran 25. Kinetika degradasi warna berdasarkan perubahan L, a, dan a/L pada 50 C Waktu (hari) 0 1 2 3 4 5 Waktu (hari) 0 1 2 3 4 5
L 57.09 58.43 58.51 59.03 59.32 59.53
ln L 4.0445 4.0678 4.0691 4.0780 4.0829 4.0865
L 64.0 64.2 65.5 65.9 67.4 68.5
ln L 4.1583 4.1617 4.1813 4.1880 4.2100 4.2268
Spray Drying a ln a 29.63 3.3886 27.91 3.3290 27.32 3.3076 27.03 3.2968 26.99 3.2955 26.91 3.2923 Tray Drying a ln a 19.09 2.9492 19.29 2.9593 17.21 2.8452 16.44 2.7997 15.85 2.7632 15.97 2.7704
5.0
ln [L]
4.0 y = 0.0075x + 4.0526 R² = 0.8703
3.5
Metode Spray Drying Metode Tray Drying
3.0 0
4
2 Waktu (hari)
4
6
ln (a/L)
y = 0.0141x + 4.1524 R² = 0.9668
4.5
0 -0.2 0 -0.4 -0.6 -0.8 -1 -1.2 -1.4 -1.6
a/L 0.52 0.48 0.47 0.46 0.45 0.45
ln (a/L) -0.6559 -0.7388 -0.7615 -0.7812 -0.7875 -0.7942
a/L 0.30 0.30 0.26 0.25 0.24 0.23
ln (a/L) -1.2091 -1.2024 -1.3361 -1.3883 -1.4468 -1.4564
1
2
3
4
5
6
y = -0.0245x - 0.6920 R² = 0.7842
y = -0.0578x - 1.1954 R² = 0.9216
Waktu (Hari)
Metode Spray Drying Metode Tray Drying
y = -0.0169x + 3.3606 R² = 0.7350
ln [a]
3 y = -0.0437x + 2.9570 R² = 0.8732
2
Metode Spray Drying
1
Metode Tray Drying
0 0
2 4 Waktu (hari)
6
97
Lampiran 26. Penentuan energi aktivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai L Metode Spray Drying T (K)
1/T
k
ln k
308
0.0032
0.0011
-6.8124
318
0.0031
0.0025
-5.6268
323
0.0031
0.0075
-4.2616
0.0017
-6.2659
Kontrol
Ea/R
Ea (KJ)
Ea (Kkal)
16104
133.89
32.00
Ea/R
Ea (KJ)
Ea (Kkal)
16326
135.73
32.44
Metode Tray Drying T (K)
1/T
k
ln k
308
0.0032
0.0006
-7.4186
318
0.0031
0.0036
-5.9915
323
0.0031
0.0141
-4.8929
0.0019
-6.2659
Kontrol
0 -10.0031
0.0031
0.0032
0.0032
0.0033
0.0033
ln (k)
-2 -3 -4 -5
y = -16104x + 45.36 R² = 0.9424
-6 -7 -8 y = -16326x + 45.528 R² = 0.984 1/T (K-1)
Metode Spray Drying Metode Tray Drying
98
Lampiran 27. Penentuan energi aktivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai a
Metode Spray Drying T (K)
1/T
k
ln k
308
0.0032
0.0022
-6.1193
318
0.0031
0.0036
-5.6268
323
0.0031
0.0169
-4.0804
0.0020
-6.2146
Kontrol
Ea/R
Ea (KJ)
Ea (Kkal)
12187
101.32
24.22
Ea/R
Ea (KJ)
Ea (Kkal)
14823
123.24
29.45
Metode Tray Drying T (K)
1/T
k
ln k
308
0.0032
0.0034
-5.6840
318
0.0031
0.0047
-5.3602
323
0.0031
0.0437
-3.1304
0.0050
-5.2983
Kontrol 0
-10.0031
0.0031
0.0032
0.0032
0.0033
0.0033
ln (k)
-2 -3 -4 -5
y = -14823x + 42.152 R² = 0.6731
-6 -7
y = -12187x + 33.265 R² = 0.777 1/T (K-1)
Metode Spray Drying Metode Tray Drying
99
Lampiran 28. Penentuan energi aktivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai a/L
Metode Spray Drying T (K)
1/T
k
ln k
308
0.0032
0.0035
-5.6550
318
0.0031
0.0060
-5.1160
323
0.0031
0.0245
-3.7091
0.0039
-5.5468
Kontrol
Ea/R
Ea (KJ)
Ea (Kkal)
11735
97.56
23.32
Ea/R
Ea (KJ)
Ea (Kkal)
16091
133.78
31.97
0.0032
0.0033
Metode Tray Drying T (K)
1/T
k
ln k
308
0.0032
0.0040
-5.5215
318
0.0031
0.0083
-4.7915
323
0.0031
0.0578
-2.8508
0 -10.0031
0.0031
0.0032
0.0033
ln (k)
-2 -3 -4
y = -16091x + 46.5 R² = 0.8047
-5 -6 y = -11735x + 32.285 R² = 0.8078
-7 1/T (K-1)
Metode Spray Drying Metode Tray Drying
100
Lampiran 29. Penentuan umur simpan berdasarkan perubahan nlai a/L Metode Spray Drying Suhu (°C)
a/L Batasan
ln[a/L]t
Slope(k)
Kontrol 35 45 50
0.45 0.45 0.45 0.45
Suhu (°C)
a Batasan
ln[a/L]t
Slope(k)
intercept
Kontrol 35 45 50
0.24 0.24 0.24 0.24
-1.4271 -1.4271 -1.4271 -1.4271
0.0070 0.0040 0.0083 0.0578
-1.1237 -1.2382 -1.2145 -1.1954
-0.7985 0.0039 -0.7985 0.0035 -0.7985 0.0060 -0.7985 0.0245 Metode Tray Drying
intercept -0.6833 -0.7111 -0.7137 -0.6920
Prediksi umur simpan pada suhu 4 C, 15 C , dan 25 C Sampel Umur a/L Slope (k) simpan Suhu batasan Metode (Hari) penyimpanan (°C) 4
15
25
umur simpan (hari) 30 25 14 4 umur simpan (hari) 43 47 26 4
Umur Simpan (Bulan)
SD
0.45
4.2E-05
3466
116
TLD
0.24
9.3E-06
24108
804
SD
0.45
2.1E-04
687
23
TLD
0.24
8.5E-05
2622
87
SD
0.45
2.2E-03
542
18
TLD
0.24
5.5E-04
402
13
101
Lampiran 30. Dokumentasi Pembuatan Bubuk Pewarna Rosela
Rosela kering
Penghancuran rosela
Hancuran rosela + air (maserasi)
Ekstrak rosela sebelum disaring
Penyaringan ekstrak rosela
Ekstrak rosela setelah disaring
Spray Dryer
Bubuk pewarna rosela (metode spray drying) 102
Evaporasi ekstrak dengan rotavapour
Lapisan ekstrak dikeringkan dengan TD
Tray Dryer (TD)
Lapisan tipis ekstrak rosela setelah pengeringan dengan TD
Bubuk pewarna rosela (metode tray drying)
103