1
RELEVANSI KONSEP GURU DAN MURID PERSPEKTIF MUHAMMAD ‘ATHĬYAH AL-ABRÂSYI DALAM KITAB AL-TARBĬYAH AL-ISLÂMĬYAH DALAM KONTEKS PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI
SKRIPSI
Oleh: R O F I ’I NIM : 243 042 073
Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO
2
OKTOBER 2008
3
RELEVANSI KONSEP GURU DAN MURID PERSPEKTIF MUHAMMAD ‘ATHĬYAH AL-ABRÂSYI DALAM KITAB AL-TARBĬYAH AL-ISLÂMĬYAH DALAM KONTEKS PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI
SKRIPSI Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Agama Islam
Oleh: R O F I ’I NIM : 243 042 073
Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam
4
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO OKTOBER 2008 LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi atas nama saudara: Nama NIM Jurusan Program Studi Judul
: : : : :
ROFI’I 243 042 073 Tarbiyah Pendidikan Agama Islam RELEVANSI KONSEP GURU DAN MURID PERSPEKTIF MUHAMMAD ’ATHĬYAH AL-ABRÂSYI DALAM KITAB AL-TARBĬYAH AL-ISLÂMĬYAH DALAM KONTEKS PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji dalam ujian munaqasah Pembimbing I.
H. MOH. MUNIR, Lc, M. Ag. NIP.
Tanggal,
……………………..2008
Tanggal,
……………………..2008
Pembimbing II
EVI MUAFIAH, M.Ag. NIP.
M e n g e t a h u i, Ketua Program Studi PAI
5
STAIN Ponorogo
B A S U K I, M.Ag. NIP. 150 327 277
DEPARTEMEN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO
PENGESAHAN Skripsi ini telah dipertahankan pada sidang munaqosah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo pada: Hari
:
Tanggal
:
dan telah diterima sebagai bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Agama dalam bidang Pendidikan Agama Islam, pada: Hari
:
Tanggal
: Ponorogo, 17 Desember 2007 Mengesahkan, Ketua STAIN Ponorogo
6
Drs. H. A. RODLI MAKMUN, M.Ag. NIP. 150 206 247 Tim Penguji : Ketua Sidang
:
(……………………....)
Sekretaris Sidang
:
(……………………....)
Penguji I
:
(……………………....)
Penguji II
:
(……………………....)
PERSEMBAHAN Karya ini penulis persembahkan: Dengan segala kerendahan hati dan sujud syukurku hanya kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan hembusan nyawa dan ketenangan hidup melalui cahaya sang pangeran cinta perantara ketenangan kalbu Nabiyullah Muhammad SAW suri tauladanku. Dengan penuh hormat kepada keluargaku yang tak pernah bosan selalu mendo’akanku, merawat, membimbing, dan memberi bekal padaku dengan kasih sayang yang begitu tulus berkorban demi masa depanku. Kepada seluruh Dosen STAIN Ponorogo yang telah menbimbing dan mendidikku dengan segala ketulusan dan keikhlasan. Kepada sahabat-sahabatku tanpa terkecuali, terima kasih atas dukungan dan bantuannya hingga terselesainya skripsi ini. Kepada semua sudaraku dan sahabat-sahabatku terima kasih untuk semuanya.
7
MOTTO
Ìx6Ζßϑø9$# Çtã šχöθyγ÷Ψs?uρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ tβρâ÷ß∆ù's? Ĩ$¨Ψ=Ï9 ôMy_Ì÷zé& >π¨Βé& uöyz öΝçGΖä. šχθãΨÏΒ÷σßϑø9$# ãΝßγ÷ΖÏiΒ 4 Νßγ©9 #Zöyz tβ%s3s9 É=≈tGÅ6ø9$# ã≅÷δr& š∅tΒ#u öθs9uρ 3 «!$$Î/ tβθãΖÏΒ÷σè?uρ tβθà)Å¡≈xø9$# ãΝèδçsYò2r&uρ Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orangorang yang fasik (Q.S. Ali Imron: 110).
8
ABSTRAK Rofi’i. 2008. Relevansi Konsep Guru dan Murid Perspektif Muhammad ‘Athĭyah al-Abrâsyi Dalam Kitab al-Tarbîyah al-Islāmîyah Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi. Skripsi. Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo. Pembimbing (I) H. Moh. Munir, Lc., M. Ag. (II) Evi Muafiah, M.Ag. Kata Kunci: Relevansi, Guru dan Murid, Pendidikan Berbasis Kompetensi. Kitab al-Tarbîyah al-Islāmîyah, merupakan salah satu karya Muhammad ‘Athîyah al-Abrâsyi yang berisi tentang konsep pendidikan yang mana lebih menekankan pada pendidikan akhlak, di mana salah satunya adalah tentang guru dan murid. Dalam kitab ini pembahasan tentang guru dan murid mendefinisikan tentang sifat-sifat yang harus dimiliki guru, guru khusus (muaddib), dan hak-hak maupun kewajiban yang harus dilakukan oleh murid sebelum ia menuntut ilmu. Dalam konteks sekarang, ternyata pemikiran beliau masih tetap eksis sampai sekarang dan banyak medapat perhatian dari para ilmuan terutama mereka-mereka yang terjun dalam dunia pendidikan. Dari sini kiranya penelitian ini perlu untuk mengkaji kembali salah satu karya beliau. Dewasa ini, sistem pendidikan nasional mengacu pada Pendidikan Berbasis Kompetensi (PBK). Yakni dimulai sejak adanya kebijakan tentang penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) pada tahun 2006, yang sangat menekankan pada hasil yang dapat diamati, terutama pada dunia kerja. Penelitian ini mengkaji konsep guru maupun murid tersebut apakah masih relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi. Pembahasan ini meliputi relevansi konsep guru perspektif Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi dalam kitab alTarbîyah al-Islāmîyah dalam konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi dan relevansi konsep konsep murid perspektif Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi dalam kitab alTarbîyah al-Islāmîyah dalam konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi. Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu pendekatan normatif teologis. Pengumpulan data dilakukan dengan editing dan organizing dan analaisa data menggunakan metode content analysis. Dari hasil kajian ditemukan bahwa konsep guru perspektif Muhammad ‘Athîyah al-Abrâsyi dalam kitab al-Tarbîyah al-Islāmîyah secara keseluruhan relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi. Begitu juga dengan konsep murid. Secara keseluruhan konsep murid perspektif Muhammad ‘Athîyah al-Abrâsyi juga relevan dengan konsep pendidikan berbasis kompetensi.
9
Dari kajian ini maka disarankan kepada guru maupun murid untuk dapat mengamalkan kaidah-kaidah yang terkandung dalam konsep guru dan murid tersebut.
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. dengan rasa syukur atas segala karunia dan hidayah-Nya yang penulis rasakan, hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Relevansi Konsep Guru dan Murid Perspektif Muhammad ‘Athîyah Al-Abrâsyi Dalam Kitab alTarbîyah al-Islāmîyah Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi”. Semoga shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. sebagai penyempurna akhlak dan suri tauladan bagi seluruh umat di muka bumi. Dalam penulisan skripsi ini tentu tidak lepas dari bimbingan dan dukungan serta bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehubungan dengan ini, penulis menyampaikan penghargaan dengan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: 1. Bapak Drs. H. A. Rodli Makmun, M.Ag., selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo 2. Bapak Drs. Kasnun, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Tarbiyah beserta staf jurusan 3. Bapak Basuki, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI), atas bimbingan yang telah diberikan dalam penulisan skripsi ini
10
4. Bapak Drs. H. Moh. Munir Lc., M. Ag. selaku Pembimbing I, dan Ibu Evi Muafiah, M.Ag., selaku Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan segala daya pikir untuk membimbing, mengarahkan, dan memberi dukungan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 5. Seluruh sahabat sahabatku, senasip dan seperjuangan yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan bantuan bagi penulis guna menyelesaikan skripsi ini. 6. Semua pihak yang telah membantu penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis hanya mampu membalas dengan doa, semoga segala bantuan yang diberikan menjadi amal ibadah yang diterima Allah SWT. dan semoga mendapatkan balasan dari Allah SWT. Ponorogo, 10 September 2008 Penulis,
ROFI’I NIM: 243 042 073
11
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................iii HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................iv HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................ v MOTTO.................................................................................................................vi ABSTRAK ............................................................................................................vii KATA PENGANTAR.........................................................................................viii DAFTAR ISI ......................................................................................................... x PEDOMAN TRANSLITERASI ...........................................................................xiv BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..............................................................1 B. Fokus Penelitian ...........................................................................8 C. Rumusan Masalah .......................................................................8 D. Tujuan Penelitian .........................................................................8 E. Manfaat Penelitian .......................................................................9 F. Metode Penelitian ........................................................................10 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................10 2. Sumber Data ..........................................................................10 3. Teknik Pengumpulan Data ....................................................14
12
4. Metode Analisis Data ............................................................15 G. Sistematika Pembahasan .............................................................15 BAB II : Konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi A. Pengertian Pendidikan Berbasis Kompetensi ...............................17 B. Tujuan Pendidikan Berbasis Kompetensi ....................................18 C. Prinsip-prinsip Pengembangan Pendidikan Berbasis Kompetensi D. Latar Belakang Munculnya Pendidikan Berbasis Kompetensi ....20 E. Guru Dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi ............................23 1. Kompetensi Kepribadian ........................................................25 2. Kompetensi Profesional..........................................................25 3. Kompetensi Sosial Kemasyarakatan.......................................27 F. Murid Dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi ..........................29 1. Perbedaan Tingkat Kecerdasan...............................................30 2. Perbedaan Kreatifitas..............................................................32 3. Perbedaan Cacat Fisik.............................................................33 4. Kebutuhan Peserta Didik ........................................................34 5. Pertumbuhan dan Perkembangan Kognitif.............................37 BAB III : KONSEP GURU DAN MURID PERSPEKTIF MUHAMMAD ‘ATHĬYAH AL-ABRÂSYI A. Biografi dan Latar Belakang Pemikiran Muhammad ‘Athîyah alAbrâsyi .......................................................................................40 B. Guru Perspektif Muhammad ‘Athîyah al-Abrâsyi ......................42
19
13
1. Sifat-Sifat Yang Harus Dimiliki Oleh Guru Dalam Pendidikan Islam .......................................................................................43 a. Zuhud Tidak Mengutamakan Materi dan Mengajar Karena Mencari Keridlaan Allah Semata....................................43 b. Kebersihan Guru ..............................................................43 c. Ikhlas Dalam Pekerjaan ...................................................45 d. Pemaaf .............................................................................46 e. Berkepribadian dan Memiliki Harga Diri ........................47 f. Seorang Guru Merupakan Seorang Bapak Sebelum Ia Seorang Guru ...................................................................48 g. Guru Harus Mengetahui Tabiat Murid.............................48 h. Harus Menguasai Mata Pelajaran ....................................50 2. Guru Khusus atau Muaddib ....................................................51 C. Hak-Hak dan Kewajiban Murid Perspektif Muhammad ‘Athîyah al-Abrāsyi .....................................................................................53 BAB IV : RELEVANSI KONSEP GURU DAN MURID PERSPEKTIF MUHAMMAD ’ATHĬYAH AL-ABRÂSYI DALAM KITAB ALTARBĬYAH AL-ISLÂMĬYAH DALAM KONTEKS PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI A. Analisis Relevansi Sifat-Sifat Yang Harus Dimiliki Oleh Guru Dalam Pendidikan Islam Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi...................................................................................59
14
1. Analisis Relevansi Konsep Zuhud Tidak Mengutamakan Materi dan Mengajar Karena Mencari Keridhaan Allah Semata Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi ....59 2. Analisis Relevansi Konsep Kebersihan Guru Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi...........................................60 3. Analisis Relevansi Konsep Sifat Ikhlas Dalam Pekerjaan Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi.................61 4. Analisis Relevansi Konsep Sifat Pemaaf Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi...........................................62 5. Analisis Relevansi Konsep Guru Harus Berkepribadian dan Memiliki Harga Diri Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi.............................................................................63 6. Analisis Relevansi Konsep Seorang Guru Merupakan Seorang Bapak Sebelum Ia Seorang Guru Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi..............................................................64 7. Analisis Relevansi Konsep Guru Harus Mengetahui Tabiat Murid Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi......65 8. Analisis Relevansi Konsep Guru Harus Menguasai Mata Pelajaran Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi.66 B. Analisis Relevansi Konsep Guru Khusus Atau Muaddib Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi...................................68
15
C. Analisis Relevansi hak-hak maupun kewajiban Yang Harus Dimiliki Murid Perspektif Muhammad ’Athîyah al-Abrâsyi Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi...................................71
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................................75 B. Saran ............................................................................................75 DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
16
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Sistem transliterasi Arab-Indonesia yang dijadikan pedoman dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
ء ب ت ث ج ح خ د ذ ر
=
‘
=
b
=
t
=
ts
=
j
=
h
=
kh
=
d
=
dz
=
r
ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف
=
z
=
s
=
sy
=
sh
=
dh
=
th
=
zh
=
‘
=
gh
=
f
ق ك ل م ن و c ي
=
q
=
k
=
l
=
m
=
n
=
w
=
h
=
y
2. Untuk membunyikan bunyi hidup panjang (madd) digunakan tanda ( atau ˆ) di atas vocal â, î, dan Û. 3. Bunyi hidup ganda/diftong ditransliterasikan dengan menggabung dua dua huruf “ay” dan “aw”. Contoh: Bayna, alayhim, qawl, mawdhÛ’ah. 4. Kata-kata yang ditransliterasikan dan kata dari bahasa asing yang belum terserap menjadi bahasa Indonesia baku harus dicetak miring, kecuali untuk nama orang atau lembaga.
17
5. Bunyi huruf akhir sebuah kata tidak dinyatakan dalam transletirasi, transliterasi hanya berlaku pada huruf konsonan akhir. Contoh: Inn al-dîn bukan inna al-dîna; ‘ind Allâh bukan ‘inda Allâhi. 6. Kata yang berakhiran dengan tâ’ marbÛtah dan berkedudukan sebagai sifat (na’t) dan idhâfah ditrasnliterasikan dengan “ah” sedangkan mudhâf dengan “at”. Contoh: Subbah Sayyi’ah, dhawâbith al-qirâ’ah. 7. Kata yang berakhiran dengan yâ’ musyaddadah (ber-tasydîd) ditransliterasikan dengan î; jika î diikuti dengan tâ’ marbÛthah, transliterasinya adalah dengan îyah; jka berada di tengah, yâ’ musyaddadah ditransliterasikan dengan yy. Contoh: Al-Ghazâlî, al-Nawâwî, Ibnu Taymîyah, Ibn al-Qayyim al-Jawzîyah. Sayyid, muayyid, muqayyid.
18
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta kertampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian, pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan peserta didik untuk memimpin perkembangan potensi jasmani dan rohaninya ke arah kesempurnaan.1 Uraian di atas menunjukan bahwa guru merupakan unsur yang penting dalam pendidikan. Guru orang dewasa yang harus mampu membawa anak didiknya ke arah kedewasaan, baik jasmani maupun rohaninya. Sedangkan murid merupakan individu yang mempunyai potensi yang belum matang, baik dari segi kepribadian maupun sosialnya sehingga memerlukan pendidikan untuk sampai kepada kedewasaan tersebut. Dalam menjalankan tugasnya sebagai orang yang profesional, guru mempunyai kode etik maupun sifat-sifat yang harus dipegang teguh oleh seorang guru. Rasulullah sebagai mu’allim al-awwal fi al-Islām, guru pertama dalam 1
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), 13.
1
19
Islam, bertugas menyampaikan, membacakan, dan mengajarkan ayat-ayat Allah (al-Qur’an) kepada manusia, mensucikan diri dan jiwa dari dosa, menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram, serta menceritakan tentang manusia di zaman
silam,
mengaitkannya
dengan
kehidupan
pada
zamannya
dan
memprediksikan pada kehidupan di zaman yang akan datang. Dengan demikian, tampaklah bahwa secara umum guru bertugas dan bertanggung jawab seperti rasul, tidak terkait dengan ilmu atau bidang studi yang diajarkannya, yaitu mengantarkan murid dan menjadikannya manusia terdidik yang mampu menjalankan tugas-tugas kemanusiaan dan tugas-tugas ketuhanan.2 Sebagaimana dikutip oleh Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Mahmud Yunus menghendaki sifat-sifat guru muslim sebagai berikut: 1. Menyayangi muridnya dan memperlakukan mereka seperti menyayangi dan memperlakukan anak sendiri 2. Hendaklah guru memberi nasehat kepada muridnya seperti melarang mereka menduduki suatu tingkat sebelum berhak mendudukinya 3. Hendaklah guru mengingatkan muridnya bahwa tujuan menuntut ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan untuk menjadi pejabat, untuk bermegah-megah atau untuk bersaing 4. Hendaklah guru melarang muridnya berkelakuan tidak baik dengan cara lemah lembut, bukan dengan cara mencaci maki
2
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazālî Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 64-65.
20
5. Hendaklah guru mengajarkan kepada murid-muridnya, mula-mula bahan pelajaran yang mudah dan banyak terjadi di dalam masyarakat 6. Tidak boleh guru merendahkan pelajaran lain yang tidak diajarkannya 7. Hendaklah guru mendidik muridnya supaya berpikir dan berijtihad, bukan semata-mata menerima apa yang diajarkan guru 8. Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya berbeda dari perbuatannya 9. Hendaklah guru memberlakukan semua muridnya dengan cara adil, jangan membedakan murid atas dasar kekayaan dan kedudukan.3 Dalam implementasi KBK, agar guru dapat mengimplementasi KBK dengan efektif, serta dapat meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya dalam meningkatkan prestasi belajar peserta didik, guru perlu memiliki hal-hal sebagai berikut: 1. Menguasai dan memahami bahan dan hubungannya dengan bahan lain dengan baik 2. Menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu profesi 3. Memahami peserta didik, pengalaman, kemampuan, dan prestasinya 4. Menggunakan metode yang bervariasi dalam mengajar 5. Mampu mengeliminasi bahan-bahan yang kurang penting dan kurang berarti
3
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosydakarya Offset, 1994), 83-84.
21
6. Selalu mengikuti perkembangan pengetahuan mutakhir 7. Proses pembelajaran selalu dipersiapkan 8. Mendorong peserta didiknya untuk memperoleh hasil yang lebih baik 9. Menghubungkan pengalaman yang lalu dengan bahan yang akan diajarkan.4 Dengan demikian, guru mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di mata Tuhan maupun masyarakat. Mereka mempunyai tanggung jawab yang mulia, karena mereka tidak hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab terhadap anak didik maupun masyarakat. Juga bertanggung jawab dalam mendidik mereka dalam segi keilmuan maupun akhlak, sehingga guru sendiri dituntut untuk bersikap atau bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai dalam ajaran Islam. Anak adalah makhluk yang masih membawa kemungkinan untuk berkembang, baik jasmani maupun rohani. Ia memiliki jasmani yang belum mencapai taraf kematangan, baik bentuk, kekuatan, maupun perimbangan bagianbagiannya. Dalam segi rohaniyah, anak mempunyai bakat-bakat yang harus dikembangkan. Ia juga mempunyai kehendak, perasaan dan pikiran yang belum matang. Di samping itu, ia mempunyai berbagai kebutuhan, seperti kebutuhan akan pemeliharaan jasmani; makan, minum, pakaian; kebutuhan akan kesempatan berkembang, bermain-main, berolahraga, dan sebagainya. Selain itu, anak juga mempunyai kebutuhan rohaniyah; seperti kebutuhan akan ilmu pengetahuan
4
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 186-187.
22
duniawi dan keagamaan, kebutuhan akan pengertian nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan, kebutuhan akan kasih sayang dan lain-lain. Pendidikan Islam harus membimbing, menuntun serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak didik dalam berbagai bidang di atas.5 Menurut Asma Hasan Fahmi, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar, di antara tugas dan kewajiban yang perlu dipenuhi peserta didik adalah: 1. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. Hal ini disebabkan karena belajar adalah ibadah dan tidak sah ibadah kecuali dengan hati yang bersih 2. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keutamaan 3. Memiliki kemauan kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat 4. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya 5. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar. 6 Murid merupakan manusia yang secara fisik maupun psikologis belum mencapai kedewasaan, sehingga diperlukan bimbingan untuk sampai ke arah kedewasaan tersebut. Untuk sampai kepada kedewasaan tersebut seorang murid juga mempunyai hak maupun kewajiban yang harus dipenuhi. Hak dan kewajiban
5
119-120.
6
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998),
Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 50-51.
23
di atas menunjukkan bahwa seorang sebelum benar-benar terjun di lingkungan yang selanjutnya harus benar-benar telah mendapatkan latihan-latihan yang keras, yang nantinya diharapkan mampu membawa mereka menjadi orang yang berbudi pekerti yang baik (akhlākul karîmah). Dari latar belakang di atas, maka tidak lupa juga untuk mengkaji pemikiran salah satu tokoh pendidikan, yaitu Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi. Beliau adalah salah satu tokoh pendidikan yang telah menyumbangkan pikirannya secara sistematis dalam kitabnya yang berjudul al-Tarbîyah alIslāmîyah. Menurut beliau, pendidikan akhlak merupakan merupakan ruh dari pendidikan Islam, namun juga tidak mengabaikan masalah yang berkaitan dengan persiapan untuk hidup, mencari rizki, maupun yang lainnya. Beliau telah banyak menyumbangkan pemikirannya dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah tentang konsep guru dan murid, konsep hukuman, konsep kurikulum, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dalam konteks yang sekarang ternyata pemikiran beliau masih banyak dijadikan bahan rujukan dalam menyusun literatur pendidikan Islam yang selanjutnya, namun dalam penyusunan tersebut mereka hanya mencuplik sebagian kecilnya saja sehingga masih dirasa kurang representatif. Dari sinilah sekiranya pemikiran beliau layak untuk diteliti secara labih mendalam. Karena luasnya pembahasan beliau, dalam tulisan ini hanya akan dibahas pada masalah guru dan murid. Seperti dijelaskan di atas, guru dan murid merupakan unsur yang pokok dalam pendidikan. Pendidikan tidak akan pernah
24
berjalan tanpa adanya guru dan murid. Dalam konsep guru dan murid, beliau banyak menguraikan tentang sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik yang antara lain zuhud, ikhlas, kebersihan guru, harus mengetahui tabiat murid, dan lain sebagainya; guru khusus; juga hak-hak maupun kewajiban yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu (murid). Pada pembahasan selanjutnya, tulisan ini akan disandingkan dengan konsep
Pendidikan Berbasis Kompetensi. Konsep
pendidikan yang pada saat ini menjadi konsep pendidikan nasional yang diterapkan untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan tertentu melalui pemberian kewenangan (otonom) terhadap lembaga pendidikan masingmasing. Dengan diberlakukannya konsep pendidikan tersebut, guru mempunyai tanggung jawab yang yang besar dalam kesuksesan pendidikan tersebut. Guru harus kompeten, guru harus bisa melaksanakan pembelajaran yang benar-benar bisa dirasa menyenangkan dan guru juga harus bisa mendongkrak siswa untuk dapat belajar aktif, mandiri dengan berbagai kompetensi yang dimilikinya. Begitu juga dengan siswa yang mampu untuk belajar secara mandiri, aktif sehingga dituntut untuk mampu menguasai berbagai macam ketrampilan untuk menghadapi kehidupan di masa mendatang dan juga mampu untuk bersaing. Dari berbagai uraian di atas, maka dalam skripsi ini akan mengkaji konsep guru dan murid perspektif M. ‘Athîyah al-Abrāsyi dan Pendidikan Berbasis Kompetensi. Pada pembahasan selanjutnya ingin melihat apakah konsep guru dan murid perspektif M. ‘Athîyah al-Abrāsyi tersebut relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi. Dengan demikian, skripsi ini dikaji
25
dalam judul: “RELEVANSI KONSEP GURU DAN MURID PERSPEKTIF MUHAMMAD ‘ATHĬYAH AL-ABRÂSYI DALAM KITAB AL-TARBĬYAH AL-ISLÂMĬYAH
DALAM
KONTEKS
PENDIDIKAN
BERBASIS
KOMPETENSI”.
B. Fokus Penelitian Karena adanya keterbatasan, baik pada tenaga, waktu maupun biaya, maka agar penelitian ini lebih terfokus, maka peneliti hanya memfokuskan pada konsep guru dan murid perspektif Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi dalam kitab al-Tarbîyah al-Islāmîyah dan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi. Dalam konsep guru dan murid perspektif Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi tersebut hanya akan dibahas mengenai sifat-sifat yang harus dimiliki oleh guru dalam pendidikan Islam, guru khusus (muadib), dan hak-hak siswa serta kewajiban mereka dalam pendidikan Islam.
C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana relevansi konsep guru perspektif M. ‘Athîyah al-Abrāsyi dalam kitab
al-Tarbîyah
al-Islāmîyah
dalam
konteks
Pendidikan
Berbasis
Kompetensi? 2. Bagaimanakah relevansi konsep Murid perspektif M. ‘Athîyah al-Abrāsyi dalam kitab al-Tarbîyah al-Islāmîyah dalam konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi?
26
D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mendeskripsikan relevansi konsep guru perspektif M. ‘Athîyah alAbrāsyi dalam kitab al-Tarbîyah al-Islāmîyah dalam konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi 2. Untuk mendeskripsikan relevansi konsep murid perspektif Muhammad ‘Athîyah Al-‘Abrāsyi dalam kitab al-Tarbîyah al-Islāmîyah dalam konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi.
E. Manfaat Penelitian 1.
Secara teoritis Dari hasil penelitian ini akan diketemukan relevansi konsep guru dan murid perspektif Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi dalam kitab al-Tarbîyah alIslāmîyah dalam konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi dan kajian dalam skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi khazanah pemikiran pendidikan Islam, khususnya bagi pengembangan konsep guru dan murid dalam setiap institusi pendidikan Islam.
2.
Secara praktis a. Bagi Lembaga pendidikan: yaitu dapat digunakan sebagai salah satu bahan dalam dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan guru dan murid dalam lembaga pendidikan Islam b. Bagi peneliti: yaitu sebagai kontribusi dalam hal keilmuan sebelum nanti benar-benar terjun di wilayah pendidikan.
27
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian a. Pendekatan Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk menilai sejauh mana variabel yang diteliti telah sesuai dengan tolak ukur yang sudah ditentukan.7 Pendekatan ini berfungsi untuk menilai apakah konsep guru dan murid perspektif Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi tersebut benar-benar masih relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi. b. Jenis penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah literel atau penelitian pustaka (Library Researc). Artinya, sebuah studi dengan mengkaji buku-buku yang ada kaitannya dengan skripsi ini. 2. Sumber Data Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan yaitu menggunakan sumber primar dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data.8
7 8
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 3003), 351. Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2006), 308.
28
a. Sumber primer 1) Abrāsyi, Muhammad ‘Athîyah Al. Al-Tarbîyah al-Islāmîyah. Kairo: Dār al-‘Ulûm, tt. 2) Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003. 3) Sanjaya, Wina. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana, 2008. b. Sumber sekunder: 1) Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 2003. 2) Hamalik,
Oemar.
Pendidikan
Guru
Berdasarkan
Pendekatan
Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara, 2006. 3) Jumbulati, Ali Al dan Abdul Futuh al-Tuwaanisi. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. 4) Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1998. 5) Kartono, St. ”Kurikulum Berbasis Kompetensi,” dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi, ed. Alexander Jatmiko Wibowo dan Fandi Tjiptono. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002. 6) Majid, Abdul dan Dian Anjayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005.
29
7) Muhaimin Dkk. Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Pada Sekolah dan Madrasah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008. 8) Mulyasa, E. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007. 9) Muslich, Mansur. KTSP: Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara, 2007. 10) Muhajir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1998. 11) Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Wacana Ilmu, 1997. 12) Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press, 2002. 13) Partanto, Pius A. dan Dahlan al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994. 14) Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2006. 15) Ramayulis dan Samsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Ciputat: Quantum Teaching, 2005. 16) Rasyidin, Al. dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press.
30
17) Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis Filosofis. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. 18) Rusn, Abidin Ibnu. Pemikiran al-Ghāzali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. 19) Soewono, Johanna. ”Pendidikan Berbasis Kompetensi,” Dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi, ed. Alexander Jatmiko Wibowo dan Fandi Tjiptono. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002. 20) Susilo, Muhammad Joko. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. 21) Sugiono. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2006. 22) Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosydakarya Offset, 1994. 23) Uhbiyati, Nur dan Abu Ahmadi. Ilmu Pendidikan Islam I. Bandung: Pustaka Setia, 1997. 24) Yamin, Martinis. Profesionalisasi Guru dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Gaung Persada Press, 2006. 25) Yamin, Martinis. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Jakarta: Gaung Persada Pers, 2006.
31
3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk penelitiaan kepustakaan, oleh karena itu teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pengumpulan data literer yaitu bahan-bahan pustaka yang koheren dengan obyek pembahasan yang dimaksud.9 Data yang ada dalam kepustakaan tersebut dikumpulkan dan diolah dengan cara : a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna dan keselarasan makna antara satu dengan yang lain. b. Organizing, yaitu menyatakan data-data yang diperoleh dengan kerangka yang sudah ditentukan. c. Penemuan hasil temuan, yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data yang menggunakan kaidah- kaidah, teori, dan metode yang telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah.
9
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 24.
32
4. Analisis Data Analisa data dilakukan dengan menggunakan metode Content Analysis, yaitu analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi.10 Dalam penelitian ini, setelah diperoleh data-data yang sesuai dengan fokus penelitian, data-data tersebut dipaparkan sesuai dengan tema-tema pengelompokan. Kemuadian data-data yang terkumpul tersebut dianalisa dengan menggunakan metode analisa deskriptif kualitatif.
G. Sistematika Pembahasan Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terdiri dari lima bab yang saling berkaitan erat yang merupakan kesatuan yang utuh, yang meliputi: Bab satu adalah Pendahuluan. Dalam bab ini merupakan pola dari keseluruhan isi skripsi yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab dua membahas tentang Pendidikan Berbasis Kompetensi. Dalam hal ini akan dibahas mengenai pengertian Pendidikan Berbasis Kompetensi, tujuan Pendidikan
Berbasis
Kompetensi,
prinsip-prinsip
Pendidikan
Berbasis
Kompetensi, latar belakang munculnya Pendidikan Berbasis Kompetensi, guru dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi, dan murid dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi. 10
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1998), 49.
33
Bab tiga membahas pemikiran-pemikiran Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi tentang guru dan murid dalam kitab al-Tarbîyah al-Islāmîyah. Dalam hal ini, membahas tentang riwayat hidup Muhammad ‘Athîyah al-Abrāsyi, sifat-sifat yang harus dimilki oleh guru dalam pendidikan Islam, guru khusus (muaddib), dan hak-hak dan kewajiban siswa dalam pendidikan Islam. Bab empat berisi analisis relevansi konsep guru dan murid perspektif Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi dalam kitab al-Tarbîyah al-Islāmîyah dalam konteks Pendidikan Berbasis Komepetensi. Dalam hal ini akan dibahas mengenai analisis relevansi sifat-sifat yang harus dimiliki oleh guru dalam pendidikan Islam dalam konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi, analis relevansi konsep guru khusus (muaddib) dalam konteks pendidikan berbasis kompetensi, dan analisis relevansi hak-hak dan kewajiban siswa dalam pendidikan Islam dalam konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi. Bab lima penutup yang merupakan kesimpulan dari seluruh isi skripsi ini yang meliputi kesimpulan dan saran.
34
BAB II KONSEP PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI A. Pengertian Pendidikan Berbasis Kompetensi Dalam bahasa Indonesia, istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan ”pe” dan akhiran ”an”, mengandung arti ”perbuatan” (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie”, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.11 Dalam pengertian yang sederhana dan umum makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang berada dalam masyarakat dan kebudayaan.12
11 12
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), 13. Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan Komponen MDMK (Jakarta: Rineka Cipta, 1996),
1-2.
17
35
Dalam Kamus Ilmiah Populer karangan Pius A. Partanto dan Dahlan alBarry, kata basis berarti: dasar, pokok, pangkal, dan unsur.13 Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Mc. Ashan mengemukakan bahwa kompetensi: “is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, afective, and psychomotor behaviors”. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian darinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.14 Dari uraian di atas maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa Pendidikan Berbasis Kompetensi merupakan upaya sadar yang dilakukan pendidik kepada anak didik yang menekankan pada seperangkat pengetahuan, ketrampilan, maupun kebiasaan berpikir dan bertindak yang direfleksikan dengan kebiasaan sehari-hari.
B. Tujuan Pendidikan Berbasis Kompetensi Secara umum, tujuan diterapkannya pendidikan berbasis kompetensi adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui
13
Pius A. Partanto dan Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), 68. E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 37-38. 14
36
pemberian kewenangan (otonom) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum. Secara khusus, tujuan diterapkannya pendidikan berbasis kompetensi adalah untuk: 1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam
mengembangkan
kurikulum,
mengelola,
dan
memberdayakan
sumberdaya yang tersedia. 2. Meningkatkan
kepedulian
warga
sekolah
dan
masyarakat
dalam
pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama. 3. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.15
C. Prinsip-Prinsip Pengembangan Pendidikan Berbasis Kompetensi Sesuai dengan kondisi negara, kebutuhan masyarakat, dan berbagai perkembengan serta perubahan yang sedang berlangsung dewasa ini, maka dalam pengembangan Pendidikan Berbasis Kompetensi (PBK) perlu memperhatikan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip: 1. Keimanan, nilai dan budi pekerti luhur 2. Penguatan integritas nasional
15
22-23.
E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),
37
3. Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika 4. Kesamaan memperoleh kesempatan 5. Abad pengetahuan dan tekhnologi informasi.16
D. Latar Belakang Munculnya Pendidikan Berbasis Kompetensi Kemunculan pendidikan berbasis kompetensi seiring dengan munculnya reformasi pendidikan, diawali dengan munculnya kebijakan pemerintah, di antaranya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah; Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, serta lahirnya Tap MPR No. IV / MPR / 1999 tentang Arah Kebijakan Pendidikan di Masa Depan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan, yang diikuti oleh kebijakan perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik ke desentralistik. Bila sebelumnya pengelolaan pendidikan merupakan wewenang pusat, maka dengan berlakunya undang-undang tersebut kewenangan untuk mengelola berada pada pemerintahan daerah kota/kabupaten.17 Dilihat dari visi tersebut, maka kata kunci dari otonomi daerah adalah ”kewenangan” dan ”pemberdayaan”. Otonomi daerah dibidang pendidikan berusaha memberikan kembali pendidikan kepada masyarakat pemiliknya
16
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep…, 70. Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta: Kencana, 2008), 8. 17
38
(daerah) agar hidup, dari dan untuk masyarakat di daerah tersebut, atau berusaha memandirikan suatu lembaga atau suatu daerah untuk mengurus dirinya sendiri melalui pemberdayaan SDM yang ada di daerahnya. Sebagai konsekuensinya, maka sebagian besar sumber pembiayaan nasional dilimpahkan lebih banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah yang berbeda-beda.18 Kelahiran berbagai perangkat kebijakan pemeritah seperti di atas, didorong oleh perubahan dan tuntutan kebutuhan masyarakat dalam generasi global.
Dalam
perspektif
global,
yang
ditandainya
dengan
semakin
”mengecilnya” dunia sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, menyebabkan terjadinya fenomena perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Dalam era pasar bebas, kemampuan bersaing, penguasaan pengetahuan dan tekhnologi, menjadi semakin penting untuk kemajuan suatu bangsa. Mengapa demikian? Sebab, dalam era globalisasi semacam ini, sumber daya alam yang terkuras dan semakin tipis, tidak lagi dapat diandalkan sebagai sumber untuk mensejahterakan masyarakat. Sumber kesejahteraan masyarakat telah bergeser dari modal fisik seperti kekayaan alam ke modal intelektual, pengetahuan, kemampuan (kompetensi), dan kepribadian. Oleh karena itu dalam kehidupan global, kehidupan yang penuh persaingan tidak bisa dihindari. Berbagai macam tantangan muncul ke permukaan. Apa yang dulu pernah
18
Muhaimin Dkk, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Pada Sekolah dan Madrasah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 1-2.
39
terbayangkan sekarang menjadi kenyataan. Dapat dipastikan, hanya individu yang mampu bersaing yang akan dapat berbicara dalam era globalisasi ini. Untuk mampu bersaing itu setiap individu harus memiliki kompetensi yang handal dalam berbagai bidang sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan.19 Atas dasar hal tersebut di atas, dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, mengantisipasi perubahan-perubahan global dalam era persaingan bebas, serta tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, khusunya teknologi informasi, maka sistem pendidikan perlu diarahkan pada pendidikan yang demokratis yang mampu melayani setiap perbedaan dan kebutuhan individu (berdiversifikasi) serta mampu membekali siswa dengan sejumlah kemampuan (kompetensi) yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan. Melalui iklim yang demikian, pendidikan diharapkan mampu melahirkan generasi yang mandiri, kritis, rasional, cerdas, kreatif, serta memiliki kesabaran, dan mampu bersaing, siap menghadapi berbagai macam tantangan. 20 Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Pendidikan Berbasis Kompetensi adalah konsep pendidikan yang mengarah pada otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan konsep pendidikan yang mana tiap-tiap daerah diberi kewenangan dan kelonggaran untuk mengelola daerahnya sesuai dengan potensi yang ada di daerahnya masing-masing. Perbedaan potensi tersebut mengharuskan agar tiap-tiap daerah itu mengelola daerahnya sesuai potensi yang ada.
19 20
Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi..., 8-9. Ibid., 9-10.
40
Untuk kepentingan tersebut diperlukan perubahan yang mendasar dalam sistem pendidikan nasional, yang dipandang sudah tidak efektif dan tidak mampu lagi mempersiapkan anak didik untuk dapat bersaing dengan bangsa lain di dunia. Salah satu perubahan tersebut berkaitan dengan perubahan kurikulum sebagai alat pencapaian tujuan pendidikan.
E. Guru Dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi Guru merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya terhadap keberhasilan implementasi Pendidikan Berbasis Kompetensi, bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya peserta didik dalam belajar.21 Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator. Sebagai fasilitator, guru diharapkan mampu memberikan bimbingan maupun arahan untuk sampainya kepada kompetensi yang ditetapkan. Guru yang baik adalah guru yang berpengalaman, peribahasa mengatakan ”pengalaman adalah guru yang baik”, hal ini diakui di lembaga pendidikan. Kriteria guru berpengalaman, dia telah mengajar secara lebih kurang 10 tahun, maka sekarang bagi calon kepala sekolah boleh mengajukan permohonan menjadi kepala sekolah bila telah mengajar minimal 5 tahun. Dengan demikian, guru harus memahami seluk beluk sekolahan, strata pendidikan bukan menjadi
21
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep..., 185.
41
jaminan utama dalam keberhasilan mengajar, akan tetapi pengalaman yang menentukan.22 Kriteria guru tersebut di atas didasarkan pada lamanya mengabdi. Dengan demikian, guru yang telah mengabdi selama 10 tahun dianggap telah mempunyai pengalaman yang cukup. Namun yang lebih penting bukan cuma lamanya pengabdian pada lembaga tertentu, tapi seberapa jauh seorang guru tersebut memiliki kompetensi yang telah ditetapkan sebagai guru yang profesional. Pendidikan Berbasis Kompetensi menempatkan guru sebagai fasilitator dan mediator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Perhatian utama pada siswa yang belajar, bukan pada disiplin atau guru yang mengajar. Fungsi fasilitator dan mediator demikian meliputi: 1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan dan proses 2. Menyediakan
atau
memberikan
kegiatan-kegiatan
yang
merangsang
keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasangagasannya, menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir produktif, menyediakan kesempatan, dan pengalaman konflik 3. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru menunjukan dan mempertanyakan apakah
22
Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi (Jakarta: GP Press, 2006), 63.
42
pengetahuan siswa berlaku untuk menghadapi persoalan baru. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.23 Dalam studi tentang masalah profesionalisme, kita akan menemukan istilah ”profesi”. Profesi itu pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.24 Kriteria profesi mencakup upah, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, memiliki tanggung jawab dan tujuan, mengutamakan layanan, memiliki kesatuan, dan mendapat pengakuan dari orang lain atas pekerjaan yang digelutinya.25 Sementara Oemar Hamalik sebagaimana dikutip oleh Martinis Yamin menyebutkan syatar-syarat guru profesional adalah sebagai berikut: 1. Memiliki bakat sebagai guru 2. Memiliki keahlian sebagai guru 3. Memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi 4. Memiliki mental yang sehat 5. Berbadan sehat 6. Memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas 7. Guru adalah manusia yang berjiwa pancasila
23
St. Kartono, ”Kurikulum Berbasis Kompetensi,” dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi, ed. Alexander Jatmiko Wibowo dan Fandi Tjiptono (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002), 120-121. 24 Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 1-2. 25 Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta: Gaung Persada Press, 2006), 14.
43
8. Guru adalah seorang warga negara yang baik.26 Guru merupakan jabatan profesional, yakni jabatan yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Sebagai pekerjaan profesional, seorang guru harus memiliki sejumlah kompetensi tertentu yang tidak dimiliki oleh profesi lain.27 Terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, di antaranya meliputi: 1. Kompetensi Kepribadian Setiap guru memiliki pribadi masing-masing sesuai dengan pribadi yang mereka miliki. Ciri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dengan guru lainnya. Kepribadian sesungguhnya adalah masalah yang abstrak, hanya dapat dilihat lewat penampilan, cara berpakaian, dan dalam menghadapi setiap persoalan.28 Guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian yang ideal. Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau penutan (yang harus di-gugu dan di-tiru). Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies), di antaranya: a. Kemampuan yang berhubungan dengan pengamalan ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya b. Kemampuan untuk menghormati dan menghargai antar umat beragama 26
Martinis Yamin, Profesionalis Guru..., 7. Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta: Kencana, 2008), 142. 28 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif: Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 39. 27
44
c. Kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat d. Mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru, misalnya sopan santun dan tata krama e. Bersikap demokratis dan terbuka terhadap pembaruan dan kritik.29 Ketrampilan kepribadian merupakan ciri yang melekat pada diri pendidik itu sendiri, baik yang berupa unsur fisik dan psikis. Dengan demikian guru dituntut bisa menjadi sosok manusia yang bisa menjadi suri tauladan dalam segala tingkah lakunya. 2. Kompetensi Profesional Profesi yang disandang oleh oleh tenaga kependidikan atau guru adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, keahlian, dan ketelatenan untuk menciptakan anak memiliki perilaku sesuai yang
diharapkan.30
Kompetensi
profesional
adalah
kompetensi
atau
kemampuan yang berhubungan dengan penyelesaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting, oleh sebab langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu, tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi ini. Beberapa kemampuan yang berhubungan dengan kompetensi ini diantaranya:
29 30
Ibid., 145. Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru dan Implementasi..., 3.
45
a. Kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan, misalnya paham akan tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional, tujuan kurikuler, dan tujuan pembelajaran b. Pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan, misalnya paham tentang tahapan perkembangan siswa, paham tentang teori-teori belajar, dan lain sebagainya c. Kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya d. Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran e. Kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar f.
Kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran
g. Kemampuan dalam menyusun program pembelajaran h. Kemampuan dalam melaksanakan unsur-unsur penunjang, misalnya paham akan administrasi sekolah, bimbingan, dan penyuluhan i. Kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.31 Berdasarkan kriteria di atas, dapat diketahui bahwa tidak semua orang yang mengajar dikatakan profesional. Guru yang profesional harus memiliki
31
Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi..., 144-145.
46
berbagai ketrampilan maupun keahlian tertentu dalam bidang keguruan. Ia harus bertindak sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. 3. Kompetensi Sosial Kemasyarakatan Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, meliputi: a. Kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional b. Kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan c. Kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok.32 Beberapa hal yang dipahami guru dan peserta didik, antara lain: kemampuan, potensi, minat, hoby, sikap, kepribadian, kebiasaan, catatan kesehatan, latar belakang keluarga, dan kegiatannya di sekolah.33 Guru yang berhasil mengajar berdasarkan perbedaan tersebut, biasanya memahami mereka melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1. Mengobservasi peserta didik dalam berbagai situasi, baik di kelas maupun di luar kelas 2. Menyediakan waktu untuk mengadakan pertemuan dengan peserta didiknya, sebelun, selama, dan setelah sekolah
32 33
Ibid., 146. E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep..., 185-186.
47
3. Mencatat dan mengecek seluruh pekerjaan peserta didik, dan memberikan komentar yang konstruktif 4. Mempelajari catatan peserta didik yang adekwat 5. Membuat tugas dan latihan untuk kelompok 6. Memberikan kesempatan khusus bagi peserta didik yang memiliki kemampuan yang berbeda.34 F. Murid Dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi Anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Anak didik bukan binatang, tetapi ia adalah manusia yang mempunyai akal. Anak didik adalah unsur manusiawi yang penting dalam kegiatan interaksi edukatif.35 Kemampuan siswa dalam satu kelas tentu beragam, ada yang pandai, sedang, dan ada yang kurang. Sehubungan dengan keragaman kemampuan tersebut, guru perlu mengatur secara cermat, kapan siswa harus bekerja secara perorangan, secara berpasangan, secara berkelompok, dan secara klasikal.36 Jadi, anak mempunyai potensi yang bermacam-macam dan berbeda-beda yang perlu dikembangkan. Yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain yaitu dengan melalui akalnya. Sehubungan dengan kemampuan anak yang berbeda tersebut guru harus pandai-pandai dalam mengatur pembelajarannya.
34
Ibid., 186. Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam..., 51. 36 Mansur Muslich, KTSP: Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kontekstual (Jakarta: Bumi Aksara, 2007),73. 35
48
Dalam
pembelajaran
berbasis
kompetensi,
siswa
dituntut
untuk
mengembangkan macam-macam kompetensi yang harus dikuasainya, di antaranya: a. Kompetensi dasar yang meliputi kecakapan memelihara diri, memenuhi kebutuhan hidup, dan mengembangkan diri b. Kompetensi umum yang meliputi kecakapan menjalin hubungan, kerja sama, dan hidup bermasyarakat c. Kompetensi operasional dan teknis, yaitu kecakapan mengaplikasikan konsep teori dan melaksanakan tugas vokasional d. Kompetensi profesional, yaitu kecakapan melaksanakan tugas, memecahkan masalah, dan mengembangkan bidang profesional.37 Siswa merupakan bagian penting dari sekolah dan agar tidak terjadi keruwetan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, maka perlu diadakan penelaahan tentang siswa. Hal ini berkaitan dengan dasar pertimbangan dalam pengembangan suatu perencanaan pengajaran.38 Dalam
pembelajaran
berbasis
kompetensi,
yang
dikembangkan
berdasarkan psikologi behavioristik sangat menekankan dan memperhatikan perbedaan serta karakteristik peserta didik. Sedikitnya terdapat lima perbedaan peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi
37
Abdul Majid dan Dian Anjayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), 8. 38 Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 58.
49
(PBK), yaitu tingkat kecerdasan, kreativitas, cacat fisik, kebutuhan, dan perkembangan kognitif. 1. Perbedaan Tingkat Kecerdasan Upaya untuk mengetahui tingkat kecerdasan telah dilakukan oleh para ahli psikologi, antara lain tahun 1890 oleh Cattall dengan istilah mental test. Pada 1905, seorang Prancis bernama Alfred Binet mengembangkan tes intelegent yang digunakan secara luas. Binnet berhasil menemukan cara untuk menentukan usia mental seseorang. Usia mental mungkin lebih rendah, lebih tinggi, atau sesama dengan usia kronologis (usia dihitung sejak kelahirannya). Anak yang cerdas akan memiliki usia mental lebih tinggi dari pada usianya sendiri, karena mampu mengerjakan tugas-tugas untuk anak yang usianya lebih tinggi. Sebagai contoh jika seorang anak yang berusia lima tahun mampu mengerjakan tugas-tugas untuk anak usia delapan tahun dengan benar, tetapi tidak dapat mengerjakan tugas yang lebih dari tugas tersebut, mentalnya adalah delapan tahun. Sebaliknya ada anak yang telah berusia delapan tahun tetapi tidak mampu mengerjakan tugas-tugas untuk anak usia delapan tahun, tetapi hanya mampu mengerjakan untuk anak usia lima tahun, dan sebagian kecil tugas untuk anak usia enam tahun (misalnya 0,4 bagian). Usia mental tersebut adalah 5,3 tahun yang berarti jauh di bawah usia kronologisnya.39 Tiap-tiap anak mempunyai tingkat kecerdasan yang berbeda. Dengan perbedaan tersebut tiap-tiap guru dituntut untuk dapat meneliti dan 39
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep..., 120-121.
50
selanjutnya menilai sejauh mana tingkat kecerdasan tiap-tiap anak dalam situasi yang kompleks tersebut. Dengan perbedaan tersebut guru dituntut untuk membuat strategi baru agar tiap-tiap anak dapat menguasai kompetensi yang telah ditentukan atau paling tidak dapat menguasai kompetensi sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. 2. Perbedaan Kreatifitas Lewat sejarah, orang dapat menyadari adanya perbedaan kreatifitas inter maupun intra individu. Orang-orang yang yang kreatif telah muncul di tiap masa (dekade maupun abad). Dari hasil mereka generasi penerus mendapatkan pengetahuan yang akhirnya dapat digunakan untuk memperbaiki kehidupan. Jika pendidikan berhasil dengan baik sejumlah orang kreatif akan lahir karena tugas utama pendidikan adalah menciptakan orang-orang yang mampu melakukan sesuatu yang baru, tidak hanya mengulang apa yang telah dikerjakan oleh generasi lain. Mereka adalah orang yang kreatif, menemukan sesuatu yang baik yang belum pernah ada maupun yang sebenarnya sudah ada. Kreatifitas bisa dikembangkan dengan penciptaan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat mengembangkan kreatifitasnys. Dibanding dengan penelitian tentang kecerdasan, jumlah penelitian tentang kreatifitas masih amat sedikit. Barangkali karena sulitnya mengukur kreatifitas. Till menyatakan bahwa baru sekitar tahun 1955 mulai ada penelitian tentang berbagai hal yang belum diketahui berkenaan dengan
51
kreatifitas. Laporan penelitian Taylor antara lain menunjukkan bahwa adanya korelasi yang rendah antara faktor-faktor yang berhubungan dengan kreatifitas dan skor tes intelegensi berarti bakat kreatifitas tidak adanya bervariasi melainkan juga berbeda dengan intelegensi.40 3. Perbedaan Cacat Fisik Perbedaan individu dalam hal cacat fisik antara lain adalah penglihatan, pendengaran, kemampuan berbicara, pincang (kaki), dan lumpuh karena kerusakan otak. Terhadap anak-anak yang menglami hambatanhambatan di atas diperlukan sikap dan layanan yang berbeda dalam rangka membantu perkembangan pribadi mereka. Sebagai contoh guru harus bersikap lebih sabar, lebih tlaten, tetapi dilakukan secara wajar sehingga tidak menimbulkan kesan negatif. Orang tua yang mampu akan menyekolahkan mereka ke sekolah luar biasa. Perbedaan layanan (jika merak bercampur dengan anak yang normal) antara lain dalam bentuk jenis media pendidikan yang digunakan, membantu dan mengatur posisi duduknya. Sehubungan dengan anak-anak yang mengalami hambatan ini, Ornstein dan Levime membuat pernyataan berikut: a. Orang-orang yang mengalami hambatan, bagaimanapun hebatnya ketidakmampuan mereka, harus diberi kebebasan dan pendidikan yang cocok b. Penilaian terhadap mereka harus adil dan menyeluruh 40
Ibid., 126-127.
52
c. Orang tua atau wali mereka harus adil, dan boleh memprotes keputusan yang dibuat oleh pimpinan sekolah d. Rencana pendidikan individual, yang meiputi pendidikan jangka panjang dan jangka pendek harus diberikan. Harus pula diadakan tinjauan ulang terhadap tujuan dan metode yang dipilih e. Layanan pendidikan diberikan dalam lingkungan yang agak terbatas, anak-anak bisa ditempatkan di kelas khusus atau terpisah pada saat tertentu, untuk memberikan layanan yang tepat bagi mereka.41 Perbedaan fisik biasanya sering kita jumpai di Sekolah Luar Biasa (SLB). Walaupun mereka terdapat kekurangan atau ketidaknormalan pada bagian tubuh merka, mereka mempunyai kesempatan dan hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Untuk mengatasi persoalan ini guru dituntut untuk mempunyai tingkat kompetensi yang lebih dibanding dengan guru yang mengajar di luar sekolahan ini, terutama dalam bidang kesabarannya. 4. Kebutuhan Peserta Didik Di antara sekian banyak kebutuhan manusia, terdapat kebutuhan utama, yang biasa dikenal dengan istilah kebutuhan dasar. Untuk bisa hidup, jika semua atau sebagian tubuh normal, maka kebutuhan yang paling utama adalah zat asam disusul oleh makanan dan minuman, keamanan, dan lain-lain. Tokoh terkenal dalam kebutuhan manusia adalah Maslow. Maslow percaya bahwa ada lima kategori kebutuhan yang membentuk suatu hierarki 41
Ibid., 129.
53
atau urutan dari yang paling pokok hingga kurang pokok. Menurut Maslow, lima kategori kebutuhan tersebut adalah kebutuhan fisik, yang meliputi oksigen, makanan, air, perlindungan, dan seks (walaupun tidak dibutuhkan secara langsung untuk hidup oleh setiap individu, seks dibutuhka untuk kelangsungan hidup jenis atau keturunan). Bila kebutuhan fisik telah terpenuhi, maka kebutuhan berikutnya menjadi dominan, yaitu keselamatan atau keamanan. Setiap orang membutuhkan keamanan. Oleh karena itu di kelas atau di mana saja setiap pendidik harus berusaha agar dirinya tidak menjadi sumber rasa tidak aman sebagai akibat seringnya menghukum atau merendahkan peserta didiknya dengan mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan, dan membuat hati terluka. Kebutuhan berikutnya adalah cinta, pemilikan dan kebutuhan untuk bergabung dengan orang lain. Maslow percaya bahwa setiap orang membutuhkan, memberi dan menerima kasih sayang; butuh merasakan bahwa dirinya menjadi bagian dari suatu kelompok atau masyarakat. Kebutuhan ini akan makin sulit dipenuhi manakala masyarakat bertambah aktif dan dinamis. Jika kebutuhan untuk mencintai dicintai dan menyatu dengan kelompok ini telah dipenuhi, maka timbul kebutuhan berikutnya, yaitu penghargaan. Kebutuhan ini meliputi hasrat atau keinginan untuk berpikir keras tentang dirinya sendiri (self-esteem) dan keinginan agar berpikir tentang diri kita. ”anda ingin agar orang lain mempedulikan anda sebagaimana sebagaimana anda mempedulikan anda”. Penghargaan adalah apa yang membuat kita
54
merasa yakin (pasti) dan berguna, tanpa penghargaan ini kita merasa rendah dan tidak berguna.42 Uraian tentang kebutuhan dengan berbagai sumber di atas diharapkan merupakan dasar bagi para pengembang dalam penentuan kurikulum sesuai dengan kebutuhan manusia dan guru atau calon guru, sehingga lahir layanan yang bijak. Bentuk-bentuk layanan yang bijak itu antara lain sebagai berikut: a. Menyadari akan adanya kebutuhan oksigen, guru memperhatikan sirkulasi udara di ruang kelasnya. Menyadari kebutuhan makan dan minum guru mengijinkan peserta didik yang minta ijin untuk makan atau minum jika memang dipandang mendesak dan tidak mengganggu proses belajar b. Menyadari adanya kebutuhan rasa aman, guru berupaya agar setiap peserta didik merasa aman baik dari gangguan temannya, dari gangguan lingkungan sekolah (misalnya pencurian) dan bahkan dari perilaku guru sendiri (antara lain ancaman, cemoohan, dan pukulan) c. Menyadari akan kebutuhan untuk diakui, guru memperhatikan jawaban setiap peserta didik, memberikan giliran secara adil, memperhatikan kritik dan saran atau usul-usul peserta didik, menjaga iklim sosial, dan emosional kelas d. Menyadari akan kebutuhan penghargaan, guru tidak segan memberikan pujian secara wajar dan proporsional, demikian pula dengan pemberian penguatan, balikan, hadiah, dan berterimakasih kepada peserta didik 42
Ibid., 130-131.
55
e. Menyadari akan kebutuahn aktualisasi diri, guru memberikan kesempatan untuk menyatakan diri, menunjukkan keberadaan diri peserta didik dalam berbagai bentuk penampilan.43 Berdasarkan pada uraian di atas, maka tiap-tiap manusia yang lahir pasti mempunyai kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut bermacammacam, misalnya makan, pakaian, rasa aman, aktualisasi diri dan lain sebagainya yang tersusun secara bertahap. Dalam bidang pendidikan, kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan alat bagi pengembang kurikulum dalam menyusun kurikulum. Dengan demikian, seorang guru juga merupakan pengembang pendidikan yang harus memperhatikan kebutuhan-kebutuhan peserta didiknya. Sebagai contoh dalam menerapkan metode hukuman, tidak boleh sampai mengganggu psikologis siswa sehingga kebutuhan akan rasa aman siswa menjadi terampas. 5. Pertumbuhan dan Perkembangan Kognitif Pertumbuhan dan perkembangan dapat diklasifikasikan atas kognitif, psikologis, dan fisik. Pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan perubahan struktur dan fungsi karakteristik manusia. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam kemajuan yang mantap, merupakan suatu proses kematangan. Perubahan-perubahan ini terjadi bersifat umum, melainkan merupakan hasil interaksi antara potensi bawaan dengan potensi lingkungan. Baik peserta didik yang cepat maupun lambat, memiliki kepribadian yang 43
Ibid., 132.
56
menyenangkan atau menggelisahkan, tinggi ataupun rendah, sebagian besar bergantung pada interaksi antara kecenderungan bawaan dan pengaruh lingkungan.44 Tujuan kognitif berorientasi pada kemampuan ”berpikir”, mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah tersebut.45 Jean Pieget, mendeskripsikan perkembangan kognitif peserta didik sebagai berikut: 1. Tahap-tahap yang berbeda itu membentuk suatu sikuensial, yaitu tatanan operasi mental yang progresif. 2. Tahap-tahap itu merupakan suatu urutan yang hirearkis, membentuk suatu tatanan operasi mental yang makin mantap dan terpadu. 3. Walaupun rangkaian tahapan-tahapan itu konstan, tahapan pencapaian bervariasi berkenaan dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu yang menggabungkan pengaruh pembawaan dengan lingkungan. 4. Walaupun faktor-faktor meningkatkan atau menurunkan perkembangan kognitif, faktor-faktor tersebut tidak mengubah sekuensinya. Ada tiga hal pokok yang terlibat, jika anak mengintegrasikan pengalaman-pengalaman ke dalam operasi mental, yaitu asimilasi (memasukkan pengalaman baru ke dalam pola yang telah ada), akomodasi (mengubah struktur mental 44
Ibid., 134-135. Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2006), 27. 45
57
yang telah ada berhubungan dengan lingkungan yang berubah), dan equilibrasi (mencapai keseimbangan antara hal-hal yang telah dipahami lebih dahulu dengan masukan baru). Individu merespon data sensoris baru baik dengan cara mengklasifikasikannya ke dalam skemata atau konsepkonsep yang ada maupun dengan mengembangkan konsep yang baru.46 Dari berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan berhubungan dengan perubahan-perubahan yang terjadi ke arah kemajuan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan. Secara umum pertumbuhan
dipengaruhi
oleh
pembawaan
dan
lingkungan.
Dalam
perubahan-perubahan tersebut terjadi secara bertahap. Dalam hal ini perkembangan kognitif berhubungan dengan kemampuan otak manusia dalam menjelaskan pengetahuan maupun informasi yang telah diterima.
46
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep..., 135-136.
58
BAB III KONSEP GURU DAN MURID PERSPEKTIF MUHAMMAD ’ATHĬYAH AL-ABRÂSYI DALAM KITAB AL-TARBĬYAH AL-ISLÂMĬYAH A. Biografi dan Latar Belakang Pemikiran Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi47 adalah seorang tokoh pendidikan yang hidup pada masa pemerintahan Abd. al-Nasser yang memerintah Mesir pada tahun 1954 -1970 M. Ia adalah seorang sarjana yang lama berkecimpung dalam dunia pendidikan di Mesir yang merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam, sekaligus sebagai guru besar pada Dār al-’Ulum Cairo University, Kairo. Sebagai guru besar ia secara sistematis telah menguraikan pendidikan Islam dari jaman ke jaman serta mengadakan komparasi di bidang pendidikan mengenai prinsip, metode, kurikulum dan sistem pendidikan modern. Sesuai dengan keahliannya ia telah menjelaskan tentang posisi Islam mengenai ilmu, pendidikan dan pengajaran berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis, serta menjelaskan pula tentang fungsi masjid, institut, lembaga-lembaga, perpustakaan, seminar dan gedung-gedung pertemuan dalam dunia pendidikan Islam dari jaman keemasannya sampai pada kita sekarang ini.48
47
Biografi Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi secara lengkap tidak penulis temukan di bukubuku yang memuat biografi para tokoh, sehingga biografi tentangnya sangat terbatas. 48 http://abunathan.blogspot.com/2008_06_01_archive.html
40
59
Layak diketahui pula, bahwa M. ‘Athîyah al-Abrāsyi sebagai seorang ulama, cendekiawan yang telah mendalami agama Islam dengan baik, menguasai beberapa bahasa asing, seorang psikolog dan paedagog, penulis yang produktif, dan juga seorang guru besar. Latar belakang kehidupan dan pendidikan yang dilaluinya merupakan modal dasar baginya untuk ikut berkiprah sebagai salah seorang di antara pembaharu di Mesir dan dunia Islam mengingat masyarakat yang dihadapinya sedang bangkit dan berkembang ke arah kemajuan.49 Konsep pemikiran beliau tentang pendidikan Islam dilatarbelakangi oleh kondisi sistem pendidikan (khususnya tentang penulisan literatur-literatur pendidikan Islam) yang menurut ‘Athîyah kurang mendapat perhatian baik dari kalangan sejarawan, sastrawan, ahli fiqih maupun filusuf-filusuf muslim pada abad pertengahan. Padahal mereka banyak menulis, memberikan analisis dengan sangat baik tentang peradaban Islam, peristiwa, kemenangan dalam peperangan, masalah-masalah keagamaan, politik, ekonomi dan sosial menurut Islam. Kondisi yang demikian itu menimbulkan dampak yang cukup besar terhadap pengadaan buku-buku literatur pendidikan Islam. Dari buku-buku lama yang tertulis dalam bahasa Arab mengenai kesusastraan, sejarah dan politik, ternyata yang menyangkut masalah pendidikan secara langsung atau tidak hanya sedikit sekali.50
49 50
Ibid., Ibid.,
60
Pendapat M. ‘Athîyah al-Abrāsyi tentang pendidikan Islam banyak dipengaruhi oleh dan dari rangkuman, saduran, pemahaman, dan pemikiran serta pendidik muslim sebelumnya, yang ditelusurinya dengan baik terutama pemahaman secara filosois. Ia cenderung menjadikan Ibnu Sina, Imam al-Ghazālî dan Ibnu Khaldun sebagai nara sumber. Menurutnya pendidikan Islam memang mengutamakan pendidikan akhlak yang merupakan ruhnya, tetapi tidak mengabaikan masalah mempersiapkan seseorang untuk hidup, mencari rizki dan tidak pula melupakan pendidikan jasmani, akal, hati, kemauan, cita-cita, ketrampilan tangan, lidah, dan kepribadian.51
B. Guru Perspektif Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi Guru adalah spiritual father (bapak rohani) bagi murid. Dialah yang memberi santapan jiwa dengan ilmu pendidikan akhlak dan membenarkannya. Menghormati guru berarti penghormatan tehadap anak-anak kita. Dengan guru itulah mereka hidup dan berkembang, jika guru itu menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Abu Darda melukiskan pula mengenai guru dan murid bahwa keduanya adalah berteman dalam kebaikan, dan tanpa ada keduanya tidak akan ada kebaikan. Pada abad pertengahan, seorang guru di institut barat telah diperlukan dengan sangat keras dan kasar, yaitu harus bersumpah di hadapan dekan fakultas bahwa ia akan taat kepada atasan, menjalani peraturan-peraturan yang dibuat oleh 51
Ibid.,
61
universitas dan bersedia dianggap tidak datang serta membayar denda dengan besar tertentu, bila kuliahnya tidak dihadiri sekurang-kurangnya oleh 5 orang mahasiswa. Selanjutnya mahasiawa diwajibkan pula melaporkan mengenai dosennya bila si dosen itu tidak hadir tanpa izin. Padahal pada abad pertengahan itu, dosen di institut-institut Islam mendapat perlakuan yang baik sekali. Ia disucikan, dilayani dengan segala kehormatan dan penghargaan, serta mempunyai kedudukan mulia dan kebebasan mutlak dalam mengajar, memilih subyek dan waktu untuk memberikan kuliah, serta jam kuliah yang menjadi kewajibannya.52 Pada pembahasan yang selanjutnya, setelah beliau menjelaskan posisi guru dalam pandangan Islam, beliau membahas bagaimana kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh setiap pendidik. Di antara konsep-konsep guru tersebut adalah sebagai berikut: 1. Sifat-Sifat Yang Harus Dimiliki Oleh Guru Dalam Pendidikan Islam a. Zuhud Tidak Mengutamakan Materi, dan Mengajar Karena Mencari Keridhaan Allah Semata Seorang guru menduduki tempat yang tinggi dan suci maka ia harus tahu kewajiban yang sesuai dengan posisinya sebagai guru. Ia haruslah seorang yang benar-benar zuhud. Ia pun mengajar dengan maksud mencari keridlaan Ilahi, bukan karena mencari upah, gaji, atau uang balas jasa. Artinya, dengan mengajar, ia tidak menghendaki selain
52
140.
Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah (Kairo: Dār al-Ulûm, tt), 139-
62
mencari keridlaan Allah dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Hal ini karena kezuhudan dan ketaqwaan mereka kepada Allah SWT. Menurut ’Athîyah, menerima gaji itu tidak bertentangan dengan maksud mencari keridlaan Allah dan zuhud di dunia ini. Hal ini karena seorang alim atau sarjana betapa pun zuhud dan sederhana hidupnya, tetap saja membutuhkan uang dan harta untuk menutupi kebutuhankebutuhan hidup.53 Pandangan tentang larangan mencari upah dalam mengajar ini sesuai dengan pendapat al-Ghazālî. Menurut al-Ghazālî seorang guru harus bersedia bersungguh-sungguh mengikuti tuntunan Rasulullah. Dengan tuntunan Rasulullah tersebut, seorang guru tidak mengajar untuk mencari upah atau untuk mendapatkan penghargaan dan tanda balas jasa. Akan tetapi mengajar semata-mata semata-mata mencari keridlaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.54 Dari konsep di atas, ada dua pendapat mengenai gaji dalam mengajar. Di satu sisi sebagian mengatakan bahwa menerima gaji itu dilarang secara mutlak, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ghazālî. Mereka beranggapan bahwa mengajar itu adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang yang ’alim menurut ketentuan yang diajarkan Rasulullah. Sedangkan pendapat yang lain, sebagaimana ’Athîyah 53
Ibid., 140. Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis Filosofis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 130. 54
63
jelaskan bahwa menerima gaji itu pada hakikatnya diperbolehkan, karena betapapun zuhudnya seseorang tetap saja masih membutuhkan uang untuk biaya hidupnya. Dalam al-Qur’an surat al-Ra’d ayat 26 dijelaskan:
äο4θu‹ysø9$# $tΒuρ $u‹÷Ρ‘‰9$# Íο4θu‹ysø9$$Î/ (#θãmÌsùuρ 4 â‘ωø)tƒuρ â!$t±o„ yϑÏ9 s−ø—Îh9$# äÝÝ¡ö6tƒ ª!$# 55
Óì≈tFtΒ āωÎ) ÍοtÅzFψ$# ’Îû $u‹÷Ρ‘‰9$#
Artinya: Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit). (Q.S. al-Ra’d: 26). Ayat tersebut berkenaan dengan rizki manusia, dimana Allah telah menjamin semua kebutuhan manusia, lebih-lebih kepada seorang hamba yang mengabdikan hidupnya karena mencari ridho-Nya. Maka seorang pendidik
harus
mempunyai
sifat
menghilangkan
ketergantungan
mengharap balasan ilmunya meskipun hal itu diperbolehkan, akan tetapi tujuan utama yaitu mengabdikan diri melaksanakan perintah Allah yaitu mengajar atau mendidik murid agar menjadi orang yang berilmu dan bertaqwa. Dengan begitu, pendidik akan mampu melaksanakan proses pembelajaran secara maksimal karena dilandasi keimanan dalam hatinya.
55
Al-Qur’an 13: 26.
64
b. Kebersihan Guru Seorang guru harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwa, terhindar dari dosa besar, sifat ria (mencari nama), dengki, permusuhan, perselisihan, dan lain-lain sifat tercela.56 Kebersihan guru di sini dimaksudkan berkenaan dengan kebersihan batin seorang guru. Namun pada kenyatannya kesalahan merupakan sifat yang tidak dapat dihindarkan oleh manusia betapapun ’alimnya seseorang tersebut. Namun demikian, hendaknya seorang guru berusaha agar tidak melakukan kesalahan maupun dosa secara disengaja. c. Ikhlas Dalam Pekerjaan Keikhlasan dan kejujuran seorang guru dalam pekerjaannya merupakan jalan terbaik ke arah kesuksesannya dalam melaksanakan tugas dan kesuksesan murid-muridnya. Orang yang tergolong ikhlas ialah seorang yang sesuai kata dengan perbuatan, melaksanakan apa yang ia ucapkan dan tidak malu-malu mengatakan “aku tidak tahu bila ada yang tidak diketahuinya” seorang ’alim yang benar-benar ’alim ialah orang yang masih merasa harus selalu menambah ilmunya dan menempatkan dirinya sebagai pelajar untuk mencari hakikat. Di samping itu, ia ikhlas terhadap muridnya dan mejaga mereka. Tidak ada halangan bagi seorang guru untuk bersifat rendah hati. Begitu juga seorang guru harus bijaksana
56
Muhammad ‘Athîyah al-Abrasyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 140.
65
dan tegas dalam kata dan perbuatannya, lemah lembut tanpa memperhatikan kelemahan, keras tanpa memperhatikan kekasaran.57 Sebagaimana dikutip oleh Syamsul Nizar, al-Nahlawi berpendapat bahwa keikhlasan merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Ikhlas di sini diartikan dengan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata untuk mencari keridlaan Allah dan menegakkan kebenaran.58 Sifat ikhlas merupakan modal awal demi kesuksesan dalam mengajar. Dengan landasan tersebut, maka ketika seorang guru terdapat ketidaktahuan dalam sesuatu hal tertentu, maka akan menimbulkan motifasi untuk belajar kembali sesuatu yang belum diketahuinya. Ia harus sadar betapapun ia merupakan ia seorang guru, ia masih terbatas dengan pengetahuan yang dimilikinya. d. Pemaaf Seorang guru harus pemaaf terhadap muridnya. Ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, berlapang hati, banyak bersabar, tidak pemarah karena hal-hal kecil, berkepribadian dan memiliki harga diri.59 Dengan sifat dasar inilah, hendaknya seorang guru lebih banyak instrospeksi. Dalam perjalanannya sebagai seorang pendidik, guru akan menemukan berbagai macam sikap yang beragam dari para muridnya. Ada yang pendiam, rajin, ramai, dan lain sebagainya. Dari berbagai 57
Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 140-141. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis..., 45. 59 Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 141. 58
66
macam sikap inilah juga akan menimbulkan sikap yang berbeda pula kepada anak didiknya. Maka seorang guru dengan rendah hati dan bisa menanamkan kepada para muridnya berbagai tingkah laku yang baik. e. Berkepribadian dan Memiliki Harga Diri Untuk
menjadi
berkepribadian
dan
seorang
memiliki
guru harga
yang diri,
sempurna, menjaga
ia
harus
kehormatan,
menghindarkan hal-hal yang hina, rendah, menahan diri dari sesuatu yang jelek, tidak membuat ribut, dan berteriak-teriak supaya ia dihormati dan dihargai.60 f. Seorang Guru Merupakan Seorang Bapak Sebelum Ia Seorang Guru Seorang guru harus mencintai murid-muridnya seperti rasa cintanya terhadap anak-anaknya sendiri. Atas dasar sistem pendidikan Islam inilah, ditegakkan sistem pendidikan di zaman sekarang. Bahkan, guru harus lebih mencintai murid-muridnya dari pada anak-anak yang berasal dari sum-sumnya sendiri. Seorang bapak yang menyimpan anak kandungnya di lubuk hatinya adalah seorang bapak yang biasa saja, tetapi seorang bapak yang menempatkan anak seorang lain di lubuk hatinya, ia dianggap seorang bapak yang suci dan bapak yang teladan.61 Pendapat
di
atas
sejalan
dengan
pendapat
al-Ghāzalî.
Sebagaimana dikutip oleh Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh al-
60 61
Ibid., Ibid.,
67
Tuwaanisi, al-Ghāzalî menjelaskan hendaknya guru mencintai muridnya bagaikan anaknya sendiri. Beliau berkata: ”orang tua adalah menjadi sebab wujudnya kehadiran anaknya dan kehidupan itu adalah bersifat fana, dan guru menjadi sebab kehidupan abadi.”62 Dari dua konsep di atas menunjukkan bahwa dalam pandangan Allah, guru lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang tua. Orang tua hanya menjadikan anak lahir dan hidup di dunia sedangkan guru menjadikan sebab kehidupan di akhirat. Dalam konteks inilah guru merupakan sarana yang dapat mengantarkan murid-muridnya kepada kehidupan yang abadi. g. Guru Harus Mengetahui Tabiat Murid Guru harus mengetahui tabiat pembawaan, adat kebiasaan, perasaan dan pemikiran murid agar ia tidak salah mendidik mereka. Dalam pendidikan Islam, seorang guru diharuskan berpengetahuan tentang kesediaan dan tabiat anak-anak serta memperhatikan hal tersebut dalam mengajar agar dapat memilihkan mata pelajaran yang cocok untuk mereka yang sejalan dengan tingkat pemikiran mereka. Jangan melompatkan mereka dengan sesuatu yang terang nyata dengan sesuatu yang menimbulkan komplikasi, dari suatu yang kelihatan di mata pada sesuatu
62
yang
tidak
tampak,
tetapi
hendaknya
menurut
tingkat
Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh al-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 137.
68
kesanggupan mereka. Jangan berpindah subjek dari yang mudah pada yang sukar dan dari yang jelas pada yang tidak terang secara sekaligus, tetapi diberikan secara berangsur-angsur menurut persiapan, pengertian, dan pemikiran mereka.63 Sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar dan Ramayulis, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pendidik harus profesional dan memiliki wawasan yang luas tentang peserta didik, terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya, serta kesiapan untuk menerima pelajaran.64 Ilmu psikologis sangat diperlukan dalam pendidikan. Dengan ilmu psikologis seorang guru akan mengetahui berbagai macam tabiat yang dilakukan oleh para muridnya. Dengan ilmu ini juga guru mampu memilihkan mata pelajaran yang yang sesuai dengan kapasitas dan potensi yang dimiliki para muridnya. h. Harus Menguasai Mata Pelajaran Seorang guru harus sanggup menguasai mata pelajaran yang diberikannya, serta memperdalam pengetahuannya tentang mata pelajaran tersebut. Janganlah menjadikan pelajaran itu bersifat dangkal, tidak melepasklan dahaga, dan tidak mengenyangkan lapar. Seorang guru atau dosen mempunyai kedudukan tinggi dalam studi tingkat tinggi,
63
Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 142. Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), 28. 64
69
merupakan tingkat kepercayaan dan penghargaan bagi mahasiswa dan orang tuanya.65 Guru itu mulai dengan mengoreksi dirinya karena mata dan telinga anak-anak mengarah kepadanya, apa yang dianggap baik oleh guru akan dianggap baik oleh murid. Begitu pula sebaliknya, dan hendaklah guru itu lebih banyak diam waktu dudukanya, dalam pengajaran hendaklah menjadi guru disegani. Jangan banyak memukul dan menyiksa, jangan bersenda gurau di depan murid, jangan bergunjing di hadapan anak-anak, jauhkan anak dari berbuat bohong dan memfitnah, jangan terlalu banyak minta ini itu dari wali murid. Semua itu adalah petunjuk-petunjuk yang berharga yang harus menjadi pegangan dalam dunia pendidikan.66 Dengan dasar ini guru merupakan profesionalisme yang tidak semua orang dapat melaksanakannya. Guru harus punya wawasan yang luas serta mampu untuk menjadi suri tauladan yang baik. Dengan dasar inilah seorang guru diharuskan berpengetahuan luas dalam setiap mata pelajaran yang diajarkannya. Jangan sampai menjadikan mata pelajaran bersifat dangkal dan tidak memberikan kepuasan bagi para muridnya.
65 66
Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 142. Ibid.,
70
2. Guru Khusus atau Muaddib Muaddib atau guru khusus ialah seorang yang memberikan pelajaran khusus pada seorang atau lebih seorang anak pembesar, pemimpin negara, atau khalifah. Pelajaran dan pendidikan diberikan di rumah-rumah, atau istana. Dalam hal ini sang bapak bersama-sama dengan guru memilihkan mata pelajaran yang akan diajarkan. Si anak terus melanjutkan pelajarannya sampai ke tingkat yang diharapkan. Supaya muaddib atau guru khusus itu dapat mengawasi murid-muridnya yang terdiri atas amir-amir (anak-anak raja, kepala negara) secara terus menerus, biasanya disediakan bagi guru ini suatu ruangan khusus agar ia dapat makan, minum, dan tidur di sana. Guru khusus biasanya memberikan pelajaran empat jam atau lebih setiap hari dan ia tinggal bertahun-tahun di tempat tersebut untuk mengajar atau mendidik anak tadi. Para bapak yang terdiri atas khalifah-khalifah atau pemimpinpemimpin negara itu menghormati guru khusus anak-anak mereka dan sangat memperhatikan pula kepentingan-kepentingannya sehingga guru tersebut memperoleh kedudukan ilmiah yang cukup tinggi dalam masyarakat. Tidak ada orang yang menolak jabatan ini kecuali sedikit sekali dari oang-orang yang
zuhud
(orang
yang
hidup
untuk
beribadah
semata)
karena
mempertahankan gengsi mereka, karena mereka mengharapkan benda, seperti halnya Khalîl Ibnu Ahmad, Abdullāh bin Idris. Mereka lebih menyukai menjadi guru bagi anak-anak dari golongan tingkat tinggi saja.
71
Dari sini kita sebutkan sebagian dari wasiat khalifah Abdul Malik Bin Marwan kepada guru anak-anaknya agar kita dapat mengetahui tujuan yang hendak dicapainya dengan mendidik anaknya, yaitu: “ajarilah mereka berkata benar, sebagaimana mereka diajarkan al-Qur’an. Hindarkanlah anak-anak itu dari pergaulan dengan orang-orang yang tak baik karena mereka adalah orang-orang yang kurang sekali taqwanya dan kurang sopan santunnya. Hindarkanlah mereka dari pembantu dan pelayan karena hal itu akan merusak mereka. Berilah mereka makan daging karena dapat menguatkan fisik. Ajarilah mereka sajak-sajak supaya mereka menjadi orang mulia dan suka memberikan pertolongan. Suruhlah mereka bersuci dan ajarilah mereka menghirup air ketika minum dan jangan mencoroknya. Apabila hendak memberikan teguran kepada mereka, tegurlah secara sembunyi, tidak diketahui orang lain yang suka menyebarkan hal-hal yang kurang baik karena si anak itu akan merasa terhina.”67 Dalam konteks sekarang, khususnya di Indonesia secara substansi nampaknya sulit menemukan konsep guru khusus atau muaddib di atas. Dalam konteks pendidikan yang diterapkan di Indonesia saat ini, konsep pendidikan diselenggarakan secara otonom sesuai dengan potensi yang ada di daerah masing-masing. Namun tampaknya nilai yang terkandung dari konsep guru khusus tersebut adalah lebih condong pada profesionalisme guru, yang
67
Ibid., 143-144.
72
mana sebagai profesional, guru harus mampu menguasai mata pelajaran tertentu sebagai bidangnya.
C. Hak-Hak dan Kewajiban Murid perspektif Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi Pendidikan Islam memperhatikan hak-hak guru serta kewajibankewajiban mereka. Begitu pula hak-hak serta kewajiban-kewajiban dari para siswa apa yang harus menjadi pegangan mereka dalam soal tingkah laku. Di samping itu memudahkan sampainya ilmu kepada mereka dan memberikan kepada mereka kesempatan belajar tanpa perbedaan kaya atau miskin.68 Karena seorang pelajar yang ingin mendapatkan ilmu itu memerlukan bimbingan, pengarahan, petunjuk dari guru, maka muncul pula etika yang harus dilakukan oleh seorang murid kepada gurunya. Bagian inilah yang pada akhirnya membawa konsep tentang akhlak murid kepada gurunya serta konsekuensinya jika akhlak yang demikian itu tidak ditegakkan.69 Melalui paradigma di atas menjelaskan bahwa hak dan kewajiban murid merupakan hal yang pokok dalam pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar guru dapat lebih mudah dalam membimbing dan mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didiknya. Juga dimaksudkan agar ilmu yang masuk dalam diri murid tersebut bisa benar-benar dapat dirasakan manfaatnya dalam kehidupan. Di antara kewajiban-kewajiban yang harus senantiasa diperhatikan oleh setiap siswa yang harus dikerjakan adalah sebagai berikut: 68 69
Ibid., 147. Ibid.,
73
a. Sebelum mulai belajar, siswa itu harus terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat yang buruk karena belajar dan mengajar itu dianggap sebagai ibadah. Ibadah tidak sah kecuali dengan hati yang suci, berhias dengan moral yang baik, seperti berkata benar, ikhlas, takwa, rendah hati, zuhud dan menerima apa yang ditentukan Tuhan, seperti menjauhi sifat-sifat yang buruk seperti dengki, iri, benci, sombong, menipu, tinggi hati, dan angkuh b. Dengan belajar itu, ia bermaksud hendak mengisi jiwanya dengan fadhilah, mendekatkan diri kepada Allah, bukanlah dengan maksud menonjolkan diri, berbangga-bangga, dan gagah-gagahan c. Bersedia mencari ilmu, termasuk meninggalkan keluarga dan tanah air. Tanpa ragu-ragu, bepergian ke tempat-tampat yang paling jauh sekalipun bila dikehendaki untuk mendatangi guru d. Jangan terlalu sering untuk mengganti guru, tetapi harus berpikir panjang dulu sebelum bertindak mengganti guru e. Hendaklah ia menghormati guru dan memuliakannya serta mengagungkannya karena Allah, dan berdaya upaya pula menyenangkan hati guru dengan cara yang baik f. Jangan merepotkan guru dengan banyak pertanyaan, janganlah meletihkan dia untuk menjawab, jangan berjalan di hadapannya, jangan duduk di tempat duduknya, dan jangan berbicara kecuali setelah mendapat ijin dari guru
74
g. Jangan membukakan rahasia kepada guru, jangan menipu guru, jangan pula minta pada guru membukakan rahasia, segera meminta maaf kepada guru jika tergelincir lidahnya h. Bersungguh-sungguh dan tekun belajar, baik siang ataupun malam untuk memperoleh pengetahuan, dengan terlebih dahulu mencari ilmu yang lebih penting i. Jiwa saling mencintai dan persaudaraan harusalah menyinari pergaulan antar siswa sehingga tampak seperti anak-anak yang sebapak j. Terlebih dahulu memberi salam kepada gurunya, mengurangi percakapan di hadapan guru, jangan mengatakan kepada guru, “si anu bilang begini, berbeda dari yang bapak katakan,” dan jangan pula ditanya kepada guru siapa teman duduknya k. Tekun belajar, mengurangi pelajarannya di waktu senja dan menjelang subuh. Waktu antara isya dan makan sahur adalah waktu yang penuh berkah l. Bertekad untuk balajar hingga akhir umur, jangan meremehkan suatu cabang ilmu, tetapi hendaklah menganggapnya bahwa setiap ilmu ada faedahnya, jangan meniru apa yang didengarnya dari orang-orang yang terdahulu yang mengkritik dan merendahkan sebagian ilmu, seperti ilmu mantik dan ilmu filsafat.70 Dari berbagai macam konsep di atas, hal tersebut merupakan etikaetika yang harus dijalankan oleh para siswa dalam menuntut ilmu. Berbagai 70
Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 149.
75
macam aturan tersebut merupakan alat apabila si murid tersebut benar-benar ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Banyak orang-orang yang pandai dan juga sukses dalam kehidupan dunianya karena ilmu yang ia miliki, tapi banyak di antara mereka malah merasa tidak tenang dengan kehidupan yang didapatkannya. Dengan etika tersebut merupakan sarana agar lebih mudah bagi si murid untuk dapat belajar dengan sungguh-sungguh sehingga ilmu tersebut lebih mudah merasuk di hati mereka. Oleh karena itu etika bagi penuntut ilmu merupakan unsur yang pokok bagi para penuntut ilmu itu sendiri.
76
BAB IV RELEVANSI KONSEP GURU DAN MURID PERSPEKTIF MUHAMMAD ’ATHĬYAH AL-ABRÂSYI DALAM KITAB AL-TARBĬYAH AL-ISLÂMĬYAH DALAM KONTEKS PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI
A. Analisis Relevansi Sifat-Sifat Yang Harus Dimiliki Oleh Guru Dalam Pendidikan Islam Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi M. ’Athîyah al-Abrāsyi dalam kitab al-Tarbîyah al-Islāmîyah menuturkan tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam pendidikan Islam, dimana seorang guru harus mempunyai sifat zuhud, kebersihan, ikhlas dalam pekerjaan, pemaaf, merupakan seorang bapak sebelum ia seorang guru, mengetahui tabiat murid, dan menguasai mata pelajaran. Adapun analisis tentang relevansi pemikiran al-Abrāsyi tentang sifat-sifat guru dalam kitab al-Tarbîyah al-Islāmîyah adalah sebagai berikut: 1. Analisis Relevansi Konsep Zuhud Tidak Mengutamakan Materi dan Mengajar Karena Mencari Keridhaan Allah Semata Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi Menurut al-Abrāsyi, seorang guru haruslah seorang yang benar-benar zuhud. Ia pun mengajar dengan maksud mencari keridlaan Ilahi, bukan karena mencari upah, gaji, atau uang balas jasa. Artinya, dengan mengajar, ia tidak
58
77
menghendaki selain mencari keridlaan Allah dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Namun menurut ’Athîyah, menerima gaji itu tidak bertentangan dengan maksud mencari keridlaan Allah dan zuhud di dunia ini. Hal ini karena seorang alim atau sarjana betapa pun zuhud dan sederhana hidupnya, tetap saja membutuhkan uang dan harta untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan hidup.71 Sifat zuhud, sebagai salah satu sifat yang harus dimiliki oleh guru tersebuttampaknya kurang relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi yang menyatakan bahwa guru merupakan jabatan profesional. Profesional pada umumnya seseorang mendapat upah atau gaji dari apa yang dikerjakan, baik pekerjaan dilakukan secara sempurna atau tidak.72 Kriteria profesi mencakup upah, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, memiliki tanggung jawab dan tujuan, mengutamakan layanan, memiliki kesatuan, dan mendapat pengakuan dari orang lain atas pekerjaan yang digelutinya.73 Dengan demikian, pada hakikatnya antara al-Abrāsyi dengan Pendidikan Berbasis Kompetensi memperbolehkan menerima gaji. Namun ada perbedaan yang mencolok dari kedua pendapat tersebut. Kalau dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi, sebagaimana dijelaskan bahwa guru merupakan jabatan profesi, maka gaji merupakan unsur yang pokok yang 71
140.
72
Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah (Kairo: Dār al-‘Ulûm, tt), 139-
Martinis Yamin, Profesionalis Guru dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta: Gaung Persada Press, 2006), 16. 73 Ibid., 14.
78
harus didapat oleh setiap guru, sedangkan al-Abrāsyi hanya memperbolehkan menerima saja tanpa harus menuntut imbalan dari pekerjaan yang dikerjakannya sebagai guru. 2. Analisis Relevansi Konsep Kebersihan Guru Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi Menurut al-Abrāsyi, seorang guru harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwa, terhindar dari dosa besar, sifat riya’ (mencari nama), dengki, permusuhan, perselisihan, dan lain-lain sifat tercela.74 Pemikiran al-Abrāsyi tersebut di atas sangat relevan dalam konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi. Dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi dijelaskan bahwa sebagai seorang guru harus memiliki kompetensi pribadi yang mana harus mampu berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat.75 3. Analisis Relevansi Konsep Sifat Ikhlas Dalam Pekerjaan Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi Menurut al-Abrāsyi keikhlasan dan kejujuran seorang guru dalam pekerjaannya merupakan jalan terbaik ke arah kesuksesannya dalam melaksanakan tugas dan kesuksesan murid-muridnya. Orang yang tergolong ikhlas ialah seorang yang sesuai kata dengan perbuatan, melaksanakan apa yang ia ucapkan dan tidak malu-malu mengatakan “aku tidak tahu bila ada 74
Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 147. Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta: Kencana, 2008), 145. 75
79
yang tidak diketahuinya” seorang alim yang benar-benar alim ialah orang yang masih merasa harus selalu menambah ilmunya dan menempatkan dirinya sebagai pelajar untuk mencari hakikat. Di samping itu, ia ikhlas terhadap muridnya dan menjaga mereka. Tidak ada halangan bagi seorang guru untuk bersifat rendah hati. Begitu juga seorang guru harus bijaksana dan tegas dalam kata dan perbuatannya, lemah lembut tanpa memperhatikan kelemahan, keras tanpa memperlihatkan kekasaran.76 Keikhlasan dalam pandangan ’Athîyah ini relevan dengan Pendidikan Berbasis Kompetensi. Dalam hal ini, dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi guru sebagai orang yang berkompetensi dalam kepribadiannya harus mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru, misalnya sopan santun dan tata krama.77 Kesesuaian dari pandangan di atas adalah bahwa dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi guru harus mengembangkan sifat-sifat terpuji. Sifatsifat terpuji tersebut jika dikaitkan dengan konsep ikhlas, seperti dijelaskan oleh ’Athîyah misalnya adalah bahwa sikap rendah hati, bijaksana, dan tegas dalam setiap permasalahan merupakan implementasi dari sifat-sifat terpuji seperti yang dijelaskan dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi.
76 77
Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 147-148. Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi..., 145.
80
4. Analisis Relevansi Konsep Guru Harus Pemaaf Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi Menurut al-Abrāsyi seorang guru harus pemaaf terhadap muridnya. Ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, berlapang hati, banyak bersabar, tidak pemarah karena hal-hal kecil, berkepribadian, dan memiliki harga diri. 78 Dalam konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi dijelaskan berkaitan dengan sikap pemaaf adalah dalam kompetensi pribadi guru harus mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru, misalnya sopan santun dan tata krama.79 Dengan demikian antara pemikiran al-Abrāsyi tentang sifat guru yang pemaaf dengan Pendidikan Berbasis Kompetensi adalah relevan. Kesesuaian ini terjadi bahwa pemaaf merupakan sifat yang harus dimiliki oleh guru sebagai wujud dari pengembangan sifat terpuji dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi tersebut. 5. Analisis Relevansi Konsep Guru Harus Berkepribadian dan Memiliki Harga Diri Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi Menurut al-Abrāsyi untuk menjadi seorang guru yang sempurna, ia harus berkepribadian dan memiliki harga diri, menjaga kehormatan, menghindarkan hal-hal yang hina, rendah, menahan diri dari sesuatu yang
78 79
Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 141. Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi..., 145.
81
jelek, tidak membuat ribut dan berteriak-teriak supaya ia dihormati dan dihargai.80 Berkaitan dengan konsep harga diri dan menjaga kehormatan di atas, dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi dijelaskan bahwa guru sebagai seorang yang mempunyai kompetensi kepribadian harus mengembangkan sifat-sifat terpuji.81 Titik temu dari konsep berkepribadian dan memiliki harga diri di atas adalah bahwa dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi, guru harus mengembangkan sifat-sifat terpuji. Wujud dari sifat-sifat terpuji di atas adalah seorang guru harus mampu untuk berkepribadian dan mempunyai harga diri yang tinggi. Kondisi semacam ini bisa terwujud manakala seorang guru benar-benar mampu menjadi suri tauladan bagi para murid-muridnya. 6. Analisis Relevansi Konsep Seorang Guru Merupakan Seorang Bapak Sebelum Ia Seorang Guru Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi Menurut al-Abrāsyi seorang guru harus mencintai murid-muridnya seperti rasa cintanya terhadap anak-anaknya sendiri. Atas dasar sistem pendidikan Islam inilah, ditegakkan sistem pandidikan di zaman sekarang. Bahkan, guru harus lebih mencintai murid-muridnya dari pada anak-anak yang berasal dari sum-sumnya sendiri. Seorang bapak yang menyimpan anak
80 81
Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 141. Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi..., 145.
82
kandungnya di lubuk hatinya adalah seorang bapak yang biasa saja, tetapi seorang bapak yang menempatkan anak seorang lain di lubuk hatinya, ia dianggap seorang bapak yang suci dan bapak yang teladan. Jika ia mengutamakan murid dengan rasa kasih sayang, yaitu anak-anak miskin yang datang dari rumah tempat mereka mengalami penderitaan, dan tidak satu orang pun yang dicintainya karena ia pun tidak merasakan cinta seseorang terhadapnya, ini adalah kesempatan bagi guru untuk menyelamatkan hidup mereka, memecahkan kesukaran-kesukaran yang mereka hadapi, sehingga guru itu merupakan seorang bapak yang penuh kasih sayang, membantu anak-anak yang lemah, dan turut simpati atas apa yang mereka rasakan.82 Sehubungan dengan guru merupakan seorang bapak sebelum ia seorang guru, dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi dijelaskan bahwa seorang guru dalam kompetensi profesional harus mampu melaksanakan unsur-unsur penunjang, misalnya paham akan administrasi sekolah, bimbingan, dan penyuluhan.83 Dari pemaparan di atas menunjukkan bahwa konsep ’Athîyah tentang guru merupakan bapak sebelum ia seorang guru relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi. Dalam hal ini dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi guru harus mampu melaksankan bimbingan dan penyuluhan. Dalam bimbingan dan penyuluhan, antara guru dan murid harus bisa
82 83
Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 141. Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi..., 146.
83
menunjukkan sikap yang saling terbuka. Guru harus sayang seperti layaknya anaknya sendiri sehingga tidak timbul rasa takut maupun rasa segan yang berlebihan agar segala permasalahan mudah diatasi. 7. Analisis Relevansi Konsep Guru Harus Mengetahui Tabiat Murid Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi Menurut al-Abrāsyi guru harus mengetahui tabiat pembawaan, adat kebiasaan, perasaan, dan pemikiran murid agar ia tidak salah mendidik mereka. Inilah yang disuarakan oleh ahli-ahli pendidikan pada abad ke dua puluh ini. Dalam pendidikan Islam, seorang guru diharuskan berpengetahuan tentang kesediaan dan tabiat anak-anak serta memperhatikan hal tersebut dalam mengajar agar dapat memilihkan mata pelajaran yang cocok untuk mereka yang sejalan dengan tingkat pemikiran mereka. Jangan melompatkan mereka dengan sesuatu yang terang nyata dengan sesuatu yang menimbulkan komplikasi, dari suatu yang kelihatan di mata pada sesuatu yang tidak tampak, tetapi hendaknya menurut tingkat kesanggupan mereka. Jangan berpindah subyek dari yang mudah pada yang sukar dan dari yang jelas pada yang tidak terang secara sekaligus, tetapi diberikan secara berangsur-angsur menurut persiapan, pengertian dan pemikiran mereka.84 Guru harus mengetahui tabiat murid seperti yang dijelaskan oleh alAbrāsyi relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi. Dalam konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi dijelaskan bahwa dalam kompetensi 84
Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 142.
84
profesional, guru harus paham dalam bidang psikologi pendidikan, misalnya paham tentang tahapan psikologi perkembangan siswa, paham tentang teoriteori belajar, dan lain sebagainya.85 8. Analisis Relevansi Konsep Guru Harus Menguasai Mata Pelajaran Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi Menurut al-Abrāsyi seorang guru harus sanggup menguasai mata pelajaran yang diberikannya, serta memperdalam pengetahuannya tentang mata pelajaran tersebut. Janganlah menjadikan pelajaran itu bersifat dangkal, tidak melepasklan dahaga, dan tidak mengenyangkan lapar. Seorang guru atau dosen mempunyai kedudukan tinggi dalam studi tingkat tinggi, merupakan tingkat kepercayaan dan penghargaan bagi mahasiswa dan orang tuanya.86 Berkenaan dengan guru harus menguasai pelajaran, dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi dijelaskan bahwa dalam kompetensi profesional seorang guru harus mampu menguasai materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya.87 Dari konsep di atas menunjukkan bahwa konsep al-Abrāsyi tentang guru harus menguasai pelajaran relevan dengan Pendidikan Berbasis Kompetensi. Keduanya sama-sama menyatakan bahwa guru harus menguasai mata pelajaran yang diajarkannya. Tidak hanya sekedar menguasai mata 85
Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi..., 146. Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 142. 87 Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi..., 146. 86
85
pelajaran yang diajarkannya saja, lebih dalam lagi dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi dijelaskan bahwa seorang guru harus mampu mengaplikasikan metodologi pembelajaran, strategi maupun media yang ada sebagai sumber belajar. Dari berbagai pemaparan di atas, maka dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa secara keseluruhan konsep sifat-sifat yang harus dimiliki oleh guru dalam pendidikan
Islam
adalah
relevan
dengan
konsep
Pendidikan
Berbasis
Kompetensi. Sifat-sifat guru yang disampaikan oleh al-Abrāsyi, memang tidak secara langsung Pendidikan Berbasis Kompetensi membahas tentang sifat-sifat guru tersebut. Hal ini didasarkan pada konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi yang mana konsep pendidikan tersebut merupakan konsep pendidikan yang bersifat nasional yang diselenggarakan secara otonom sesuai dengan potensi yang ada dalam wilayah tertentu. Dalam konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi, konsep pendidikan tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja, tapi juga untuk semua umat beragama yang telah diakui oleh negara. Namun bukan berarti konsep sifat-sifat guru tersebut tidak relevan dengan Pendidikan Berbasis Kompetensi. Sifat-sifat guru tersebut
merupakan
alat
atas
diselenggarakannya
Pendidikan
Berbasis
Kompetensi agar guru yang mengajar pada sebuah institusi pendidikan tertentu benar-benar menjadi pendidik yang dapat dijadikan sebagai panutan bagi para muridnya sehingga lebih mudah dalam mendidik anaknya dan sampainya ilmu tersebut di hati para muridnya.
86
Dari berbagai pemaparan yang telah dijelaskan di atas dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa relevansi sifat-sifat yang harus dimiliki oleh guru dalam pendidikan Islam dalam konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi adalah sebagai berikut: 1. Sifat zuhud tidak mengutamakan materi kurang relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi sebagaimana dijelaskan bahwa guru merupakan pekerjaan profesi 2. Sifat kebersihan guru, ikhlas dalam pekerjaan, pemaaf, berkepribadian dan memiliki harga diri relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi sebagaimana dijelaskan dalam kompetensi pribadi 3. Sifat seorang merupakan seorang bapak sebelum ia seorang guru, harus mengetahui tabiat murid, dan harus menguasai mata pelajaran relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi sebagaimana dijelaskan dalam kompetensi profesional.
B. Analisis Relevansi Konsep Guru khusus atau Muaddib Dalam Kitab alTarbîyah al-Islāmîyah Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi Al-Abrāsyi menjelaskan bahwa Muaddib atau guru khusus ialah seorang yang memberikan pelajaran khusus pada seorang atau lebih seorang anak pembesar, pemimpin negara, atau khalifah. Pelajaran dan pendidikan diberikan di rumah-rumah, atau istana. Dalam hal ini sang bapak bersama-sama dengan guru memilihkan mata pelajaran yang akan diajarkan. Si anak terus melanjutkan
87
pelajarannya sampai ke tingkat yang diharapkan. Supaya si muaddib atau guru khusus itu dapat mengawasi murid-muridnya yang terdiri atas amir-amir (anakanak raja, kepala negara) secara terus menerus, biasanya disediakan bagi guru ini suatu ruangan khusus agar ia dapat makan, minum, dan tidur di sana. Guru khusus biasanya memberikan pelajaran empat jam atau lebih setiap hari dan ia tinggal bertahun-tahun di tempat tersebut untuk mengajar atau mendidik anak tadi. Para bapak yang terdiri atas khalifah-khalifah atau pemimpin-pemimpin negara
itu
menghormati
guru
khusus
anak-anak
mereka
dan
sangat
memperhatikan pula kepentingan-kepentingannya sehingga guru tersebut memperoleh kedudukan ilmiah yang cukup tinggi dalam masyarakat. Tidak ada orang yang menolak jabatan ini kecuali sedikit sekali dari oang-orang yang zuhud (orang yang hidup untuk beribadah semata) karena mempertahankan gengsi mereka, karena mereka mengharapkan benda, seperti halnya Khalil Ibnu Ahmad, Abdullāh Bin Idris. Mereka lebih menyukai menjadi guru bagi anak-anak dari golongan tingkat tinggi saja. Dari sini kita sebutkan sebagian dari wasiat khalifah Abdul Malik Bin Marwan kepada guru anak-anaknya agar kita dapat mengetahui tujuan yang hendak dicapainya dengan mendidik anaknya, yaitu: “ajarilah mereka berkata benar, sebagaimana mereka diajarkan al-Qur’an. Hindarkanlah anak-anak itu dari pergaulan dengan orang-orang yang tak baik karena mereka adalah orang-orang yang kurang sekali taqwanya dan kurang sopan santunnya. Hindarkanlah mereka
88
dari pembantu dan pelayan karena hal itu akan merusak mereka. Berilah mereka makan daging karena dapat menguatkan fisik. Ajarilah mereka sajak-sajak supaya mereka menjadi orang mulia dan suka memberikan pertolongan. Suruhlah mereka bersuci dan ajarilah mereka menghirup air ketika minum dan jangan mencoroknya. Apabila hendak memberikan teguran kepada mereka, tegurlah secara sembunyi, tidak diketahui orang lain yang suka menyebarkan hal-hal yang kurang baik karena si anak itu akan merasa terhina.88 Berkenaan dengan konsep guru khusus di atas dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi disejajarkan dengan guru profesional yang memiliki kualifikasi tertentu dalam bidang mata pelajaran. Di antara syatar-syarat guru profesional tersebut menurut Oemar Hamalik sebagaimana dikutip oleh Martinis Yamin adalah sebagai berikut: 9. Memiliki bakat sebagai guru 10. Memiliki keahlian sebagai guru 11. Memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi 12. Memiliki mental yang sehat 13. Berbadan sehat 14. Memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas 15. Guru adalah manusia yang berjiwa pancasila 16. Guru adalah seorang warga negara yang baik.89
88 89
Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 143-144. Martinis Yamin, Profesionalis Guru..., 7.
89
Secara substansi, konsep guru khusus perspektif al-Abrāsyi yang mengajar pada anak-anak seorang pembesar atau para khalifah tersebut memang tidak ada dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi. Dalam konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi, pendidikan diilhami oleh perubahan maupun tuntutan masyarakat yang begitu global, sehingga konsep kurikulum disusun sedemikian rupa dalam mengatasi berbagai macam kebutuhan masyarakat yang begitu beragam tersebut. Sedangkan konsep guru khusus merupakan konsep guru yang tinggal dan mengajar hanya pada seorang murid tertentu saja yang dilakukan atas persetujuan antara orang tua dengan seorang guru itu sendiri. Jadi di sini ada perbedaan yaitu adanya perbedaan luas sempitnya lingkup pada konsep tersebut. Namun secara esensi konsep guru khusus tersebut relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi. Dalam konsep guru khusus, guru dengan dengan orang tua memilihkan mata pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan yang diharapkan oleh orang tua si anak tersebut. Dalam hal ini ada keterkaitan atau kerjasama antara guru dengan orang tua. Hal ini relevan dengan konsep guru profesional yang menyatakan bahwa guru harus memiliki bakat, keahlian khusus, maupun tanggung jawab sebagai guru. Integritas antara guru khusus dengan guru profesional adalah bahwa keduanya sama-sama memiliki keahliah tertentu dalam suatu mata pelajaran. Dengan adanya kompetensi tertentu, maka akan lebih memudahkan dalam ketercapaiannya tujuan yang telah direncanakan dalam pendidikan tersebut. Kerja
90
sama antara guru dengan orang tua merupakan unsur yang pokok dalam ketercapaiannya pencapaian kompetensi yang diharapkan.
C. Analisis Relevansi Hak-Hak Maupun Kewajiban Yang Harus Dimiliki Murid Perspektif Muhammad ’Athîyah Al-Abrāsyi Dalam Konteks Pendidikan Berbasis Kompetensi Pendidikan Islam memperhatikan hak-hak guru serta kewajibankewajiban mereka. Begitu pula hak-hak serta kewajiban-kewajiban dari para siswa apa yang harus menjadi pegangan mereka dalam soal tingkah laku. Di samping itu memudahkan sampainya ilmu kepada mereka dan memberikan kepada mereka kesempatan belajar tanpa perbedaan kaya atau miskin.90 Karena seorang pelajar yang ingin mendapatkan ilmu itu memerlukan bimbingan, pengarahan, petunjuk dari guru, maka muncul pula etika yang harus dilakukan oleh seorang murid kepada gurunya. Bagian inilah yang pada akhirnya membawa konsep tentang akhlak murid kepada gurunya serta konsekuensinya jika akhlak yang demikian itu tidak ditegakkan.91 Di antara kewajiban-kewajiban yang harus senantiasa diperhatikan oleh setiap siswa dan dikerjakan adalah sebagai berikut: 1. Sebelum mulai belajar, siswa itu harus terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat yang buruk karena belajar dan mengajar itu diaggap sebagai ibadah. Ibadah tidak sah kecuali dengan hati yang suci, berhias dengan moral 90 91
Muhammad ’Athîyah al-Abrāsyi, al-Tarbîyah al-Islāmîyah, 147. Ibid.,
91
yang baik, seperti berkata benar, iklas, takwa, rendah hati, zuhud dan menerima apa yang ditentukan Tuhan, seperti menjauhi sifat-sifat yang buruk seperti dengki, iri, benci, sombong, menipu, tinggi hati, dan angkuh 2. Dengan belajar itu, ia bermaksud hendak mengisi jiwanya dengan fadlilah, mendekatkan diri kepada Allah, bukanlah dengan maksud menonjolkan diri, berbangga-bangga, dan gagah-gagahan 3. Bersedia mencari ilmu, termasuk meninggalkan keluarga dan tanah air. Tanpa ragu-ragu, bepergian ke tempat-tampat yang paling jauh sekalipun bila dikehendaki untuk mendatangi guru 4. Jangan terlalu sering untuk mengganti guru, tetapi harus berpikir panjang dulu sebelum bertindak mengganti guru 5. Hendaklah ia menghormati guru dan memuliakannya serta mengagungkannya karena Allah, dan berdaya upaya pula menyenangkan hati guru dengan cara yang baik 6. Jangan merepotkan guru dengan banyak pertanyaan, janganlah meletihkan dia untuk menjawab, jangan berjalan di hadapannya, jangan duduk di tempat duduknya, dan jangan berbicara kecuali setelah mendapat izin dari guru 7. Jangan membukakan rahasia kepada guru, jangan menipu guru, jangan pula minta pada guru membukakan rahasia, segera meminta maaf kepada guru jika tergelincir lidahnya
92
8. Bersungguh-sungguh dan tekun belajar, baik siang ataupaun malam untuk memperoleh pengetahuan, dengan terlebih dahulu mencari ilmu yang lebih penting 9. Jiwa saling mencintai dan persaudaraan harusalah menyinari pergaulan antar siswa sehingga tampak seperti anak-anak yang sebapak. 10. Terlebih dahulu memberi salam kepada gurunya, mengurangi percakapan di hadapan guru, jangan mengatakan kepada guru, “si anu bilang begini, berbeda dari yang bapak katakan,” dan jangan pula ditanya kepada guru siapa teman duduknya 11. Tekun belajar, mengurangi pelajarannya di waktu senja dan menjelang subuh. Waktu antara isya dan makan sahur adalah waktu yang penuh berkah 12. Bertekad untuk balajar hingga akhir umur, jangan meremehkan suatu cabang ilmu, tetapi hendaklah menganggapnya bahwa setiap ilmu ada faedahnya, jangan meniru apa yang didengarnya dari orang-orang yang terdahulu yang mengkritik dan merendahkan sebagian ilmu, seperti ilmu imantik dan ilmu filsafat.92 Dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi dijelaskan bahwa berhubungan dengan peserta didik. Sedikitnya terdapat lima perbedaan peserta didik. Sebagaimana
dikembangkan
berdasarkan
psikologi
behavioristik
sangat
menekankan dan memperhatikan perbedaan serta karakteristik peserta didik yang
92
Ibid., 147-148.
93
perlu diperhatikan dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi (PBK), yaitu tingkat kecerdasan, kreativitas, cacat fisik, kebutuhan, dan perkembangan kognitif.93 Dari penjelasan di atas, konsep tentang hak-hak siswa dan kewajiban mereka dalam pendidikan Islam sebagaimana dijelaskan oleh al-Abrāsyi tampaknya tidak sesuai dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi berhubungan dengan posisi murid tersebut. Dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi menunjukkan bahwa pendidikan berpusat pada siswa sehingga menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran sedangkan guru merupakan fasilitator maupun mediator. Namun sebaliknya, berbeda dengan konsep murid sebagaimana yang dijelaskan al-Abrāsyi. Beliau memposisikan guru sebagai pusat pembelajaran dan murid sebagai obyeknya. Dengan demikian konsep hakhak dan kewajiban murid perspektif al-Abrāsyi bertolak belakang dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi.
93
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep..., 120.
94
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Konsep Guru Dalam pembahasan mengenai konsep guru ini, konsep guru dibagi menjadi 2, yaitu: guru umum dan guru khusus (muaddib). Dalam pembahasannya, guru umum membahas tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh guru dalam pendidikan Islam. Dalam hal ini dapat dikelompokkan sebagai berikut: 4. Sifat zuhud tidak mengutamakan materi kurang relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi sebagaimana dijelaskan bahwa guru merupakan pekerjaan profesi 5. Sifat kebersihan guru, ikhlas dalam pekerjaan, pemaaf, berkepribadian dan memiliki harga diri relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi sebagaimana dijelaskan dalam kompetensi pribadi 6. Sifat seorang merupakan seorang bapak sebelum ia seorang guru, harus mengetahui tabiat murid, dan harus menguasai mata pelajaran relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi sebagaimana dijelaskan dalam kompetensi profesional.
76
95
Sedangkan berkaitan dengan guru khusus (muaddib), konsep tersebut relevan dengan konsep Pendidikan Berbasis Kompetensi yang didasarkan pada syarat-syarat guru profesional.
2. Konsep Murid Berkaitan dengan hak-hak murid maupun kewajiban mereka dalam pendidikan Islam, konsep tersebut tidak relevan dengan Pendidikan Berbasis Kompetensi.
Hal
ini
didasarkan
bahwa
dalam
konsep
al-Abrāsyi
menempatkan guru sebagai pusat pembelajaran, sedangkan dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi menempatkan murid sebagai pusat pembelajaran. B. Saran Dengan diadakannya kajian tentang guru dan murid pada skripsi ini, maka hendaklah sebagai guru dan murid dapat mengamalkan kaidah-kaidah yang terkandung dalam konsep guru dan murid tersebut.
96
DAFTAR PUSTAKA Abrāsyi, Muhammad ‘Athîyah Al. al-Tarbîyah al-Islāmîyah. Kairo: Dār al-Ulûm, tt. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 2006. Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta Timur: Prenada Media, 2004. Djamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif: Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis. Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1987. Hamalik, Oemar. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Ihsan, Fuad. Dasar-Dasar Kependidikan Komponen MDMK. Jakarta: Rineka Cipta, 1996. Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1998. Jumbulati Al, Ali dan Abdul Futuh al-Tuwaanisi. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Kartono, St. ”Kurikulum Berbasis Kompetensi,” dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi, ed. Alexander Jatmiko Wibowo dan Fandi Tjiptono. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002.
97
Majid, Abdul dan Dian Anjayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005. Muhaimin Dkk. Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Pada Sekolah dan Madrasah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008. Muhajir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1998. Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007. Muslich, Mansur. KTSP: Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Wacana Ilmu, 1997. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Partanto, Pius A. dan Dahlan al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2006. Ramayulis dan Samsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Ciputat: Quantum Teaching, 2005.
98
Rasyidin, Al dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press. Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis Filosofis. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. Rusn, Abidin Ibnu. Pemikiran al-Ghazālî Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Sanjaya, Wina. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana, 2008. Soewono, Johanna. ”Pendidikan Berbasis Kompetensi,” Dalam Pendidikan Berbasis Kompetensi, ed. Alexander Jatmiko Wibowo dan Fandi Tjiptono. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002. Sugiono. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2006. Suparlan. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat, 2005. Susilo, Muhammad Joko. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosydakarya Offset, 1994. Uhbiyati, Nur dan Abu Ahmadi. Ilmu Pendidikan Islam I. Bandung: Pustaka Setia, 1997. Yamin, Martinis. Profesionalisasi Guru dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Gaung Persada Press, 2006.
99
Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Jakarta: Gaung Persada Pers, 2006. Kiat Membelajarkan Siswa. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007. Desain Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007 Zarnuji, Al. Ta’lîm al-Muta’allim, Terj. A. Ma’ruf Asrari. Surabaya: Pelita Dunia, 1996. http://abunathan.blogspot.com/2008_06_01_archive.html
100
RIWAYAT HIDUP
Rofii, dilahirkan pada tanggal 17 april 1986 di Desa Trosono Parang Magetan. Ia adalah putra keempat dari lima bersaudara. Pendidikan formalnya dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI), tepatnya di MI Nurul Iman Trosono dan lulus tahun 1998. Setelah itu, melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Raudlatul Ulum Parang (MTs RU Parang) dan lulus pada tahun 2001. Kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah Aliyah Negeri Takeran Magetan (MAN Takeran). Kemudian pada tahun 2004, meneruskan pendidikannya di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Ponorogo dengan mengambil Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) sampai sekarang.