SKRIPSI Praktik Dzikir Sufi Tarekat Maulawiyyah Dalam Perspektif Hukum Islam
Oleh:
Annisul Muttaqin NIM: 106043101285
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/ 2011 H
1
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................................ 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 7 D. Metode Penelitian ...................................................................................... 8 E. Kajian Pustaka .............................................................................................9 F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 9 BAB II DZIKIR DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Dzikir ....................................................................................... 11 B. Macam-macam Dzikir ................................................................................ 15 C. Keutamaan Dzikir ...................................................................................... 21 D. Adab Berdzikir ........................................................................................... 27 BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TARIAN SUFI MENURUT JALALUDIN RUMI A. Biografi Rumi (Pendiri Tarekat Maulawiyyah) .......................................... 34 1. Karya-karya Rumi ................................................................................. 38 B. Tarekat Mawlawi ....................................................................................... 40
iii
C. Tarian Sufi ................................................................................................. 42 1. Makna Filosofis Tarian Sufi ........................................................... 45 2. Tujuan Melakukan Tarian Sufi........................................................ 47 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG DZIKIR DENGAN TARIAN SUFI (SAMA’) A. Persesuaian Tarian Sufi Dengan Nash (Al-Qur‟an Dan Hadis) ................. 66 B. Pandangan Ulama Terhadap Praktek Dzikir Dengan Tarian Sufi (Pro Kontra). .. 71 C. Sabab Ikhtilaf ............................................................................................. 77 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................................ 79 B. Saran-Saran ................................................................................................ 80 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 81
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dzikir kepada Allah merupakan salah satu meditasi komunikasi antara hamba dan Tuhan. Dzikir kepada Allah bernilai tidak lebih besar dibanding ibadah lainnya, sebab dzikir itu sendiri merupakan ibadah dan bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Dalam Islam, ada berbagai macam cara dan metode untuk melakukan dzikir, sesuai dengan aturan yang telah diberikan oleh sang guru spiritual, hal ini disebabkan Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan suatu aturan atau metode yang khusus tentang tata cara berdzikir, sehingga banyak shahabat, Tabi‟in dan para ulama setelahnya dalam berdzikir tidak terpaku oleh suatu aturan. Rasulullah SAW hanya memberikan gambaran secara global tentang cara berdzikir, sebab dzikir sangat erat kaitannya dengan sisi esoteric, yaitu suatu hal yang berhubungan dengan dunia bathin atau bersifat mistis. Ada tiga jenis orang yang berdzikir. Orang yang berdzikir kepada Allah dengan lisannya sedangkan hatinya lalai, dzikir semacam ini adalah zalim, yang tidak mengetahui apapun tentang dzikirnya, dan tidak mengetahui apapun tentang yang disebutnya (madzkur). Orang yang berdzikir yang disertai dengan hadirnya hati, dzikir semacam ini adalah dzikir penuh perhitungan (muqtasid). Jenis yang
1
2
ketiga adalah orang yang berdzikir kepada Allah dengan hatinya, hatinya dipenuhi dengan Allah, dan lisannya tidak mengucapkan apapun.1 Dunia mistis adalah dunia yang sangat berkaitan dengan pengalaman batin. Pengalaman-pengalaman batin yang dialami beberapa tokoh sufi, agaknya menjadi tanda tanya besar bagi kalangan orang awam, tidak jarang apa yang mereka lakukan sangat menaruh perhatian bagi kalangan ulama syariah adalah melakukan sebuah dzikir dengan tarian yang diiringi oleh musik. Para kaum sufi seringkali melakukan tarian tatkala mereka sedang melakukan sebuah ritual untuk menggapai suatu ekstase.2 Tarian adalah gerakangerakan berirama, yang mulai diperlihatkan, ketika mendengar musik. Biasanya kaum sufi melakukan tarian dengan diiringi oleh musik, tarian ini pertama kali dilakukan oleh seorang ulama sufi besar yang bernama Maulana Jalaludin Rûmi bin Hasin al Khattabi al-Bakri atau biasa disebut dengan Jalaluddin Rûmi, adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang menjadi Afganistan) pada tanggal 6 Rabi‟ul Awwal tahun 604 Hijriah, atau pada tanggal 30 September 1207 M. Rûmi seorang tokoh yang pertama kali membumikan metode pendekatan seorang hamba untuk menuju Tuhan dengan melakukan sebuah tarian. 3
1
Warisan Sufi (Pustaka Sufi Yogyakarta 2002), Cet.I, hal 611
2
Syekh Ibrahim Gajur, Mengungkap misteri besar Mansur Al-hallaj (Rajawali pers, Jakarta 1986), Cet. pertama, h. 165 3
Idris syah, Jalan sufi reportase dunia ma‟rifat (Risalah gusti 2001), cet II, h. 1
3
Sebenarnya tarian telah dipraktekan oleh sufi-sufi awal, tetapi bagaimana tarian ini diperaktekan tidak begitu jelas digambarkan oleh sumber-sumber awal, karena sumber-sumber ini lebih banyak membicarakan tentang perdebatan boleh tidaknya tarian menurut syariat. Menurut Ahmad Al-Ghazali, menari, berputar dan melompat, dan masing-masing gerakan tersebut memiliki fungsi sebagai symbol dari realitas spiritual.4 “Menari,” kata Ahmad Al-Ghazali, “merujuk pada perputaran ruh (jiwa) di seputar lingkaran benda-benda yang ada ketika menerima pengaruh dari mukasyafah atau pewahyuan, dan ini keadaan mental (hal) seorang arif. 5” Gerakan berputar merujuk kepada berdirinya sang ruh (jiwa) dengan Allah dalam kerahasiaan (sir) dan wujudnya. Beda halnya dengan pendapat Syekh Junaid yang menyatakan tarian orang-orang mahir tak mempunyai gerakan-gerakan ritmis (berirama) zahir, dia hanya mempunyai gerakan-gerakan dalam. Titik Wahdah menjadi keseragaman Khatraat dalam tarinya yang sirkular (tak berujung pangkal), tari ini juga adalah dzat dari internaliti dalam proses kun fayakun. Bagaimana dengan tarian yang dilakukan oleh kaum sufi sebagai metode dzikir untuk pendekatan dirinya kepada Tuhan dengan diiringi oleh musik. Dalam hal ini penganut tarekat Maulawiyyah yang melakukan zikir dengan tarian, dan ada juga tarekat lain yang sama persis melakukan zikir dengan tarian, seperti 4
Dr. Mulyadi Kertanegara, Menyelami lubuk Tasawuf, (Erlangga, Jakarta, 2006), Cet, pertama, h. 260 5
Ibid
4
tarekat Naqsyabandiyah Haqqoni dalam melakukan ritual dzikir bersama sering memperaktikan tarian-tarian ritmis dengan keyakinan akan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tarekat Naqsyabandiyyah haqqoni
adalah
Tarekat
Naqsyabandiyah yang diperbaharui oleh Syekh Muhammad Nazim Adil ibn alSayyid Ahmad ibn Hasan Yashil Bash al-Haqqani bisa disebut dengan Syekh Nazim Haqqoni, Beliau dilahirkan pada tahun 1341 H (1922 M) di kota Larnaka, Siprus (Qubrus) dari suatu keluarga Arab dengan akar-akar budaya Tartar. Sebenarnya Tarekat Naqsyabandiyyah sudah ada, dan didirikan oleh Syekh Bahauddin Annaqsyabandi6. Akan tetapi dalam pembahasan ini penulis akan membahas tarian sufi yang dilakukan dalam tradisi Tarekat Maulawi. Banyaknya polemik tentang peribadatan dikalangan umat Islam (pada umumnya) sangat ketat sekali menyikapi permasalahan ibadah apalagi yang sudah berkenaan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, para fuqoha banyak yang menentang landasan argumentasi yang digunakan oleh kaum sufi dalam melakukan ritual dzikir kepada Allah dengan menggunakan tarian, fuqoha menganggap bahwa tidak ada riwayat rajih yang membahas tentang bolehnya melakukan tarian disaat melakukan pendekatan diri kepada Tuhan7. Tatkala seseorang dalam melakukan dzikir ada sebuah adab di dalamnya. yaitu melakukan zikir dalam keadaan khusu, dengan duduk berdiam sambil 6
Karisman Aqib, Teosofi Tarekat Qodariyah wa Naqsyabandiyyah, (al-Hikmah, Surabaya,
1998), cet I, h. 49 7
Ensiklopedi tasawuf disusun oleh tim penulis UIN syarif hidayatullah (Angkasa Bandung 2008), cet I, Jilid III, h. 1077
5
melafazkan kalimat-kalimat toyibah. karena esensi dalam berzikir adalah mengingat Allah. Akan tetapi para sufi menyadari bahwa argumentasinya kepada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mengatakan kepada Ja‟far Ibn Abi Thalib, bahwa diantara semua keluarganya yang menyerupai ia dalam banyak hal adalah Ja‟far Ibn Abi Thalib. “kau adalah seperti aku dalam air muka maupun dalam sifat” mendengar ucapan itu tak terkira senangnya dan dia menari-nari dihadapan Nabi SAW 8. Demikian pula tari tarian yang pernah dilakukan oleh utusan habsy, di hadapan Nabi SAW di depan masjid Madinah. Sebagian besar tradisi religius telah memandang tarian sebagai suatu jalan melepaskan seseorang dari kecondongan terikat pada dunia sehingga dapat menyatu dengan dunia ruhaniyah. Kaum sufi menganggap hal yang seperti itu sebagai usaha pencapaian yang tertinggi dengan bisa melebur kedalam sifat-sifat Tuhan yang Maha Agung, walupun metode yang digunakan dengan cara menari. Akan tetapi ulama fuqaha lebih menekankan adanya tata cara untuk bisa mendekatkan diri dengan Tuhan sesuai yang diajarkan oleh Rosulullah SAW, tidak diperbolehkan seorang membuat sebuah dzikir yang tidak dicontohkan Rasulullah dan menjadikannnya sebagai ibadah ritual yang dilakukan oleh manusia secara rutin seperti rutinitas sholat lima waktu. Ini jelas kebid‟ahan dalam agama yang tidak diperkenankan Allah, Adapun mengambil wirid-wirid
8
Ibid
6
(ma’tsurat) yang tidak disyariatkan dan membuat-buat dzikir yang tidak syar‟i maka ini terlarang. Sudah demikianpun, dzikir syar‟i berisi permintaan yang agung lagi benar. Tidak meninggalkannya dan beralih kepada dzikir-dzikir bid‟ah yang dibuat-buat kecuali orang bodoh atau lemah atau melampaui batas (Majmu‟ Al fataawa Ibnu Taimiyah, juz 22/ 510-511]).9 Oleh karena itu dzikir-dzikir yang telah diajarkan Rasulullah (adzkaar nabawiyah) memiliki kedudukan dan arti penting yang tinggi dalam diri seorang muslim, sehingga banyak ditulis kitab dan karya tulis yang beraneka ragam tentang permasalahan ini. Namun seorang muslim diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah dengan dzikir yang telah disyari‟atkannya, karena dzikir adalah bagian dari ibadah dan ibadah dibangun di atas dasar tauqifiyah (berdasar kepada dalil wahyu) dan ittiba‟ (mencontoh Rasulullah), tidak menurut hawa nafsu dan kehendak hati semata. Mengingat ketertarikan penulis mengenai uraian di atas, dan melihat belum adanya yang membahas tentang konsep dzikir dengan menggunakan tarian, maka penulis mencoba untuk mengangkat sebuah judul dalam sebuah karya ilmiah tentang “PRAKTIK DZIKIR SUFI TAREKAT MAULAWIYYAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”
9
http//www.adab dzikir.comDiakses Pada Tanggal 09 Maret 2010
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.
Pembatasan masalah Untuk memudahkan penelitian ini dan tidak menimbulkan penafsiran yang
berbeda-beda, disamping karena terlalu banyaknya pembahasan-pembahasan, maka penulis memberikan batasan yaitu bagaimana tarian sufi dijadikan sebagai mediasi zikir. 2.
Perumusan masalah a. Bagaimana hukum Islam memandang tentang tarian sufi? b. Apakah tarian sufi bisa dijadikan mediasi zikir?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui perbedaan dan persamaan antara fiqih dan tasawuf dalam memandang metode berdzikir. 2. Dapat mengetahui hukum berdzikir dengan mengunakan tarian dalam fiqih dan tasawuf. 3. Mengetahui lebih dalam tentang konsep berdzikir dengan tarian dalam dunia tasawuf. Sedangkan manfaat dari penelitian ini yaitu : 1. Tersedia data tentang penyelesaian status hukum berdzikir dengan menggunakan tarian secara hukum fiqih maupun tasawuf.
8
2.
Sebagai subangsih dalam pengambilan keputusan dan yurisprudensi hukum terutama mengenai status hukum tarian sufi yang dipakai untuk mediasi berdzikir dalam hal ini komunitas tarekat Maulawiyyah.
3.
Untuk memberikan konstribusi positif dari akademisi dalam rangka sebagai sosialisasi hukum Islam, dari dua sudut pandang yang berbeda antara fiqih dan tasawuf.
4.
sebagai bentuk khazanah keilmuaan dan pengembangan keIslaman serta wawasan bagi siapa saja yang membaca hasil penelitian ini.
D. Metode Penelitian Pembahasan skripsi ini dilakukan dengan cara deskriptif analisis dengan melakukan pendekatan kualitatif. Penulis menggunakan dokumentasi naskah dengan menelusuri buku-buku, artikel dan karya ilmiah lainnya yang berkenaan dengan tema bahasan ini. Data yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan sistematis lalu dianalisis secara kualitatif, dengan demikian jenis penelitian dalam karya ilmiah ini adalah penelitian kualitatif. Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2009”.
9
E. Kajian Pustaka Berdasarkan
telaah
yang
dilakukan
terhadap
beberapa
sumber
kepustakaan penulis melihat ada yang membahas tentang Tarekat Maulawiyyah, seperti pada skripsi dibawah ini: Zaenal Abidin.10 (Musik Dalam Tradisi Tasawuf: Studi Sama‟ Dalam Tarekat Maulawiyyah) Pada skripsi diatas membahas tentang Tradisi Tarekat Maulawiyyah yang menimbulkan banyak kontroversi dikalangan syariah dalam melakukan sebuah ritual. Dan dalam skripsi diatas tidak menerangkan tentang hukum melakukan sebuah zikir dengan tarian, akan tetapi lebih kepada tradisi musik (sama‟), yang dilakukan oleh para pengikut Tarekat Maulawiyyah dari sudut pandang umum. Tetapi yang dibahas dalam skripsi ini adalah tentang metode zikir tarekat maulawiyyah yang menggunakan tarian dilihat dari sudut pandang hukum Islam, dan juga makna yang ada didalam tarin itu sendiri, kenapa para pengikut tarekat maulawiyyah menggunakan metode tarian untuk melakukan sebuah ritual zikir, jadi disinilah letak perbedaan dengan skripsi sebelumnya. F. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab Pertama
Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan teknik penulisan, serta sistematika penulisan.
10
Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Jurusan Akidah Filsafat
10
Bab Kedua
Berisi tentang Dzikir dalam hukum islam, pengertian dzikir, macam-macam dzikir, keutamaan dzikir dan adab dzikir.
Bab Ketiga
Berisi tentang tinjauan umum tentang tarian sufi menurut jalaluddin rumi, biografi rumi, karya-karya rumi, tarekat maulawiyyah, tarian sufi, makna filosis tarian sufi dan tujuan melakukan tarian sufi.
Bab Keempat
Pada bab ini membahas tentang tinjauan hukum islam tentang dzikir dengan tarian sufi, persesuaian nash, pandangan ulama tentang praktik dzikir dengan tarian sufi (pro kontra), sebab ikhtilaf.
Bab Kelima
Bab ini merupakan bab penutup, dalam bab ini berisikan kesimpulan hasil penelitian dan rekomendasi atau saran-saran, selain itu juga dilengkapi dengan daftar pustaka.
11
BAB II DZIKIR DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Zikir Kata zikir diambil dari bahasa Arab yang berarti “ingat atau mengingat”. Zikir juga sesuatu yang mengalir di atas lisan, sedangkan menurut istilah zikir adalah suatu perbuatan atau pekerjaan yang dilakaukan oleh seseorang untuk mengingat Tuhan yang telah menciptakannya. Kata mengingat dan menyebut adalah dua kata yang sering digunakan untuk memahami kata zikir. Karena mengingat dan menyebut dalam bahasa zikir bersifat komplementer (saling terkait dan melengkapi). Ditemukan dalam AlQur‟an kata zikir dalam berbagai bentuknya tidak kurang dari 200 ayat yang menyebutkan kata yang berakar dari kata zikir, semuanya bermuara pada proses zikrullah itu sendiri, walaupun sejumlah ayat menyebutnya dengan kata yang disandarkan langsung pada Allah SWT, pada nama-Nya, pada nikmat, peringatan, atau ayat-ayat-Nya.11 Ibn Hajar As-qalany mendefiniskan zikir dengan segala lafal yang dianjurkan untuk banyak membacanya seperti tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hawqalah, basmalah, hasbalah, istighfar, dan sebagainya. Disamping itu, beliau menjelaskan
bahwa
melakukan
perbuatan
yang diwajibkan
dan
yang
disunnahkan termasuk pula dalam pengertian zikir, hal ini senada dengan pendapat Said bin Zubair, yang tidak membatasi pengertian zikir. Menurutnya, 11
Qomaruddin SF, (ed.), Zikir Sufi: Menghampiri Ilahi Lewat Tasawuf, (Jakarta, Serambi, 2002), cet. Ke-3, h. 19.
12
segala bentuk ketaatan kepada Allah SWT adalah zikir. Orang yang tidak taat kepada Allah SWT berarti dia tidak berzikir.12 Sedangkan zikir menurut pendapat yang lain diistilahkan dengan kata meditasi, yang tujuannya semata-mata untuk memudahkan pemahaman awal dan membandingkan zikir dengan bentuk meditasi lainnya, Dengan menyebut zikir sebagai meditasi dasar, maka dapat memberi gambaran bahwa : 1. Zikir dengan menyeru nama-nama Dzat Allah (zikir ismu Dzat) sebagai zikir dasar yang akan menjadi pondasi zikir selanjutnya. 2. Adapun zikir lanjutan antaran lain Tasbih, Doa, Tadabbur Qura‟an, Tadabbur Alam, Tafakur, dan yang lebih sempurna dan yang paling luar biasa adalah shalat. Zikir disebut dasar karena sederhana, terbuka, dan telah diajarkan sejak Nabi Adam sampai Rasulullah SAW, dan terus tumbuh dan berkembang dalam berbagai bentuk meditasi untuk berbagai tujuan13 Dalam pandangan Sayyid Sabiq, zikir adalah apa yang diucapkan oleh lisan dan hati berupa tasibih atau mensucikan Allah SWT, memuji dan
12
13
Ibn Hajar al-Asqalany, Fath al-Bary, (Beirut, Dar al-Ma‟rifah, 1379 H), juz 11, h.209
HM Munadi bin Zubaidi, The Power Of Zikir: Terapi Dzikir Untuk Kesembuhan dan Ketenangan, (Klaten: Image Press, 2007), cet. Ke-1, h. xi
13
menyanjung-Nya, menyebutkan sifat-sifat kebesaran dan keagungan sertan sifatsifat keindahan dan kesempurnaan yang telah dimiliki-Nya.14 Kemudian ada juga yang berpendapat bahwa zikir adalah mengulangulang nama Allah dalam hati maupun lewat lisan. Ini bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, perbuaatan-Nya, atau suatu tindakan yang serupa.15 Mengutip dari kitab al-Mawsu‟ah al-Fiqhiyyah dan al-Futuhat arRabbaniyyah, al-Khumais menyimpulkan pengertian zikir sebagain berikut : Zikir menurut syariah adalah setiap ucapan yang dirangkai untuk tujuan memuji dan berdoa. Yakni lafal yang kita gunakan untuk beribadah kepada Allah SWT, berkaitan dengan pengagungan terhadap-Nya dan pujian terhadap-Nya, dengan menyebut nama-nama-Nya atau sifat-Nya, dengan memuliakan dan mengesakan-Nya, dengan bersyukur dan mengagungkan Dzat-Nya, dengan membaca kitab-Nya, dengan memohon pada-Nya dan berdoa kepada-Nya.16 Sedangkan pelaksanaanya sama sekali tak ada batasannya baik dalam metode, jumlah, atau waktu berzikir. Pembatasan terhadap metode yang berkaitan dengan beberapa amalan wajib tertentu tidak dibahas disini, misalnya shalat. Syariat cukup jelas dan semua orang mengetahui kewajiban ini, bahkan
14
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (t.t., Dar al-Hadits, 2004), h. 384.
15
Ibn „Atha‟ilah, Zikir: Penentram Hati, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), cet. Ke-
2, h. 29 16
Muhammad bin Abdurrahman, Adz-Dzikr al-Jama‟I Bain al-Ittiba‟ wa al-Ibtida‟, terjemahan Abu Harkaan, (solo, At-Thibyan, t.th) h.,27.
14
Rasulullah SAW bersabda bahwa para penghuni surga hanya menyesali satu hal, yakni tidak cukup mengingat Allah selama di dunia.17 Usman Najaty mengatakan bahwa dalam realitasnya semua ibadah adalah zikir atau membutuhkan zikir.18 Tatkala manusia sedang melakukan hubungan yang intens dengan sang Khalik tidak terlepas dari zikir karena dengan wahana zikir manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah, menurut Ahmad Mahmud Subhy, zikir bukan sekedar repetisi lisan, melainkan memikirkan keagungan Allah SWT, nikmat-nikmat-Nya, dan memikirkan kekurangan diri sendiri dalam bersyukur dan kelemahannya dalam memenuhi hak-hak Allah SWT, serta mengakui nikmat-nikmat lahiriah dan batiniah. Jadi dalam zikir terdapat pemikiran dan perenungan.19 Seperti halnya dalam praktek zikir yang dijalankan oleh kaum sufi, pada prinsipnya seluruh praktek kaum sufi bermuara ke Hadirat Ilahi Rabbi. Perbedaan terletak pada metode dan sikap dalam merefleksikan kebutuhan pengakomodasian keanekaragaman para murid. Berdasarkan pemaparan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa zikir memiliki makna umum dan makna khusus. Makna umum dari zikir ialah
17
Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Energi Zikir dan Salawat, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), h. 10 18
Muhammad Usman Najaty, Al-Qur‟an wa Ulum an-Nafs, terjemahan ibn Ibrahim, (Jakarta Cendekia Sentra Mulia, 2001), h. 331 19
Ahmad Mahmud shubhy, Al-Falsafah al-Akhlaqiyyah fi al-Fikr al-Islamy, terjemah Yunan Askaruzzaman Ahmad, (Jakarta, Serambi, 2001), h. 251
15
mengingat Allah SWT dalam bentuk ketaatan maupun penghambaan, baik dilakukan secara hati, lisan, maupun anggota tubuh yang lain. Dengan zikir yang seperti ini bisa diartikan bahwa zikir dapat dilakukan dalam kondisi apapun, baik dalam kondisi duduk, berdiri, berbaring, diam, bicara, maupun berjalan dan seseorang dapat berzikir selagi di dalam hatinya masih ingin mengingat Allah, dan bahkan seorang tatkala hembusan nafasnya bisa dikatakan zikir selagi ingin selalu menyebut nama Allah SWT, dan pada waktu hembusan nafasnya menjadikan dia mengingat kepada Allah SWT. Zikir kepada Allah merupakan komunikasi antara hamba dengan Tuhan dalam berbagai bentuk ibadah, sujud dan tasbih. Nash (Al-Quran dan Hadis) menyebut zikir merupkan mukjizat ilmiah tersendiri, sebab ia menghubungkan ingatan manusia akan Tuhan-Nya. B. Macam-macam Zikir Telah kita ketahui dari uraian di atas bahwa banyaknya seluruh ketaatan kepada Allah SWT. Hati, lisan dan anggota tubuh manusia sebagai mediasi untuk berzikir kepada Allah SWT, adapun macam-macam zikir banyak ragamnya dengan mengacu dari pemaparan di atas, dengan demikian zikir terdiri dari enam macam yaitu : 1.
Zikir Seluruh Indra Yang dimaksud dengan zikir seluruh indra ialah dengan mengaplikasikan
seluruh indra tubuhnya hanya untuk mengingat kepada Allah, seperti pada waktu mata memandang ciptaan Tuhan yang indah, lalu lisan menyebut Alhamdulillah,
16
dan selalu menjaga seluruh indra yang ada dalam dirinya untuk tidak berpaling dari mengingat Allah „azza wazalla. Firman Allah SWT : Artinya : Dan Allah mengeluakan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran dan penglihatan. dan hati agar kamu bersyukur. (Qs. Al-Nahl: 78) Bersyukur kepada Allah merupakan salah satu bentuk zikir kepada-Nya. dalam ayat ini zikir dihubungkan dengan indra. 2.
Zikir dalam bentuk shalat Firman Allah SWT:
Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diserukan sembahyang pada hari Jumat, bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan sembahyang, bertebarnlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (QS. Al-Jumu‟ah: 8-9) Kita lihat dalam ayat di atas, di satu sisi zikir bermakna shalat dan di sisi lain bermakna interaksi dengan sesama manusia. masuk ke masjid untuk shalat berjamaah dan keluar masjid untuk bekerja dan berusaha sama-sama dihubungkan dengan Allah SWT. Artinya, kedua hal itu dipandang sebagai zikir
17
kepada Allah, bahkan di ujung ayat terdapat perintah untuk berzikir kepada Allah dalam segala situasi. 3.
Zikir dengan lisan Zikir dengan lisan merupakan salah satu zikir yang cara praktiknya
dengan lisan, yaitu dengan mngucapkan lafaz-lafaz yang berisi pujian kepada Allah, dan zikir tersebut berupa tasbih, tahmid dan tahlil. Zikir yang hanya terucap dengan lisan adalah tingkatan zikir yang paling rendah, pada waktu lisan berzikir sedangkan hatinya lalai, dan bahkan Sarraj dan Kalabadhi mengatakan bahwan zikir yang semacam ini adalah zalim, yang tidak mengetahui apapun tentang zikirnya, dan tidak mengetahui tentang yang disebutnya. Zikir yang seperti ini akan tetap mendapatkan pahala dari Allah, selama itu dilakukan masih mengharapkan ridha dari Allah, dan zikir tersebut bukan untuk tujuan yang lain, seperti mengharapkan pujian ataupun sanjungan dari orang lain. Firman Allah SWT : Artinya : “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (alImran: 135) 4.
Zikir dalam jiwa
18
Firman Allah SWT Artinya : “Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (al-A‟raf: 205) Zikir dalam jiwa ini ditegaskan dalam hadis Qudsi, Nabi SAW bersabda dalam hadis qudsi, Allah „Azza wa Jalla berfirman, “Aku mengikuti persangka hamba-ku terhadap-Ku dan Aku selalu bersamanya bila ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam jiwanya, Aku pun mengingatnya dalam jiwa-Ku.” Dari Firman Allah dan hadis qudsi diatas betapa seseorang begitu mudah untuk berzikir, bahkan Allah selalu mengingat dalam jiwa-Nya, tatkala ada seorang hamba yang mengingat Allah dalam jiwanya. 5.
Zikir dengan Hati Zikir hati ialah zikir yang menghadirkan sifat-sifat Tuhan dalam diri
seorang hamba, dan memikirkan seluruh aturan, keutamaan, dan kenikmatan dari-Nya. Seseorang yang hatinya berzikir dia tidak akan lalai dari segala perintah-Nya dan selalu akan menjauhi segala larangan-Nya, karena dia menyadari bahwa Allah SWT, Maha Melihat lagi Maha Mengetahui segala apa saja yang dilakukan oleh hamba-Nya. Hati yang berzikir senantiasa selalu
19
memikirkan aturan-aturan atau hukum-hukum yang dibuat oleh Allah SWT dan telah ditetapkan di alam jagad raya ini. Dalam Al-Qur‟an Allah SWT berfirman : ) (ال عمران Artinya : (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (QS. Al-Imran: 191) Zikir dari hati mengakibatkan keakraban yang semakin besar, dan akhirnya pelaku menjadi seakan seluruhnya terdiri atas hati. Setiap anggota tubuhnya adalah sebuah hati yang mengingat Tuhan. Menurut Fakhrurrazy yang berpendapat bahwa, zikir itu terdiri dari tiga macam yaitu: a.
Memikirkan dan merenungkan berbagai dalil tentang zat dan sifat Allah SWT, serta mendapat jawaban atas berbagai kekeliruan dalam memahami dalil tersebut.
b.
Memikirkan dan merenungi dalil-dalil tentang berbagai kewajiban dariNya, hukum-hukum-Nya, perintah dan larangan-Nya, serta janji dan ancaman-Nya.
20
c.
Memikirkan dan merenungi seluruh rahasia berbagai ciptaaan Allah SWT.20
6.
Zikir amal Zikir dengan amal adalah berzikir dengan cara menjadikan anggota tubuh
melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan selu bersyukur atas apa-apa nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita, sebagaimana dalam Firman-Nya: Artinya : “Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain dia; Maka Mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan). (al-Fathir/35:3) Menurut Ahmad Bahjat, zikir kepada Allah haruslah ada dampak pengaruh dalam kehidupan dan memberikan keutamaan bagi seluruh kehidupan manusia, dan ini semua tidak akan terjadi kecuali dengan zikir alam, yang mana di dalamnya seseorang tegak berdiri, sebagaimana fungsinya dimuka bumi sebagai khalifah untuk menjaga dan melestarikan kelangsungan alam semesta21. C. Keutamaan Dzikir Zikir kepada Allah adalah perbuatan yang paling baik bagi siapa orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dan ingin mendapatkan pahala yang
20
Fahrurrazy, Tafsir Kabir wa Mafatih al-Ghaib, (Baerut, darul Fikr, 1985), Jilid 2, cet. Ke-3, h. 158-159. 21
Ahmad Bahjat, Allah fi al-Aqidah al-Islamiyyah, (terj) Abdul Ghaffar, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1998), h.222.
21
besar, dan zikir itu sesuatu yang sangat besar yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur‟an.22 Zikir adalah salah satu aktivitas manusia sebagai intropeksi diri yang mana bertujuan untuk menyucikan manusia dan membuat faqr, maka kemiskinan yang mulia, mengendalikan diri, zikir, mengucapkan firman Allah merupakan sarana untuk menyampaikan kepada faqr itu kekayaan-Nya yang tidak terbatas. Sesuai dengan perintah Al-Quran untuk memperbanyak zikir, karena dzikir adalah sebaik-baik amalan yang mendekatkan diri seorang muslim kepada Rabbnya, bahkan ia merupakan kunci semua kebaikan yang diinginkan seorang hamba didunia dan akhirat, kapan saja yang Allah berikan kunci ini pada seorang hamba maka Allah inginkan ia membukanya dan jika Allah menyesatkannya maka pintu kebaikan tersisa jauh darinya, sehingga hatinya gundah gulana, bingung, pikiran kalut, depresi dan lemah semangat dan keinginannya, apabila ia menjaga zikirnya serta terus berlindung kepada Allah maka hatinya akan selalu tenang. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
Artinya : (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra‟d: 28)
22
Abdul Aziz Fathi Sayyid Nada, al-Adab al-Islamiyyah, (Riyadh: Daar Thoyyibah linnasar wattauji‟, 2007), h. 327
22
Begitu pentingnya berzikir kepada Allah maka banyak sekali manfaat dan kegunaannya bagi siapapun yang mengerjakannya, Ibn Qoyyim al-Jawziyyah menjelaskan dalam kitabnya al-Wabil as-Shayyib Wa Raafi’ al-Kalimi alThoyyib, beliau menyebutkan bahwa ada seratus keutamaan bagi orang yang mengerjakan zikir, dan beliau merinci tujuh puluh tiga keutamaan saja.23 Diantara keutamaan zikir yang akan dijelaskan oleh penulis, disini penulis hanya menjelaskan sepuluh keutamaan. Adalah sebagai berikut: 1. Zikir dapat mengusir syetan dan dapat melindungi orang yang berdzikir, Allah SWT berfirman: Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa waswas dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS. al-„Araf:201) 2. Dzikir dapat menghilangkan kesedihan, kegundahan dan depresi dan dapat mendatangkan ketenangan, kebahagian dan kelapangan hidup, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra‟d: 28)
23
Ibn Qoyyim al-Jawjiyyah, al-Wabil as-Shayyib, (terj) abd. Rohim Mu‟thi dan Zulqarnain, (Jakarta, Akbar media Eka, 2004), cet. Ke.I, h.65
23
Sahl bin Abdullah berkata jika hati seorang hamba merasa senang dan tenang kepada Tuhannya, maka kondisi spiritualnya akan menjadi kuat. Jika kondisi spiritualnya kuat maka segala sesuatu akan senang dan simpati kepadanya.24 3. Dzikir dapat menghidupkan hati Bahkan dzikir itu sendiri pada hakekatnya adalah kehidupan bagi hati tersebut,
apabila
hati
kehilangan
zikir
maka
seakan-akan
kehilangan
kehidupannya sehingga tidak hidup sebuah hati tanpa dzikir kepada Allah. Rasulullah saw bersabda:
25
Artinya : Dari Abu Musa ra berkata, bahwa Nabi saw telah bersabda: Perumpamaan orang yang berzikir kepada Tuhannya dan orang yang tidak berzikir kepada Tuhannya seperti orang yang hidup dan orang yang mati. (HR. Bukhari) 4. Dzikir menghapus dosa dan menyelamatkannya dari adzab Allah Karena zikir merupakan suatu kebaikan yang besar dan diampuninya segala dosa-dosa, tentu hal ini dapat menyelamatkan orang yang berdzikir dari azab Allah SWT, sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
26
24
25
Dikutip dari Syekh Abu nashr as-Sarraj al-Thusi, al-luma‟ (t.t: Tsaqafa al-Dhiniyyah), h. 98
Muhammad Ibn Ismail abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut, Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5, h. 2353 26 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Amman, al-Khatib) juz 2, h. 1345
24
Artinya : Dari Muadz bin Jabal berkata, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: tidak ada amal yang dapat dilakukan oleh seseorang dari siksa Allah kecuali berzikir kepada Allah. (HR. Ibn Majah) 5. Zikir menghasilkan pahala, keutamaan dan karunia Allah Padahal sangat mudah mengamalkannya, karena gerakan lisan lidah mudah dari pada gerakan tubuh, diantara pahala zikir yang disebutkan Rasulullah saw adalah:
27
)
Artinya: telah menceritakan kepada kami Abullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada kami, Malik dari Sumai maula, Abi Bakrin, dari Abi Shaleh, dari Abi Hurairah RA. Sesungguhnya Nabi saw bersabda: orang yang mau mengucapkan “Laailaha illallah wahdahu laa syarikalahu lahul mulku walahulhamdu wa huwa ala kulli say‟in kodiir”. Pada setiap hari sebanyak seratus kali, maka orang itu seperti membebaskan sepuluh hamba sahay, dan baginya ditulis seratus kebaikan dan baginya dihapus seratus kejelekan, dan baginya terjaga dari setan pada hari itu sampai sore, dan tidak ada orang yang bisa melebihi kemuliannya dari pada orang yang mau mengamalkan kalimat yang diatas yang lebih banyak. (HR. Bukhari)
27
http://www.maktabah-syamilah.com
25
6. Zikir dapat menjadi cahaya penerang bagi yang berzikir di dunia, di alam kubur, dan di akhirat. Orang yang berzikir dapat menerangi dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, sehingga tidaklah hati dan kuburan memiliki cahaya seperti cahaya dzikrullah. Allah SWT berfirman: Artinya: dan Apakah orang yang sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. (QS. al-An‟am:122) 7. Zikir menjadikan seseorang termasuk kepada golongan yang istimewa dan terkemuka. Rasulullah saw bersabda:
28
Artinya: Dari Abu Hurairah: Rasulullah saw bersabda: Telah mendahului orang-orang yang istimewa! Mereka bertanya: Siapakah orang-orang yang istimewa wahai Rasulullah? Beliau menjawab: mereka ialah orang-orang yang berzikir kepada Allah SWT, baik laki-laki maupun wanita. (HR. Muslim) 8. Zikir menjadi sebab mendapatkan shalawat dari Allah dan para malaikat-Nya 28
2062
Silsilah al-„Alim wa al-Muta‟lim, Muslim: Sahih Muslim, (Amman, al-Khatib), juz 4, h.
26
Allah SWT berfirman: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. (QS. al-Ahzab:41-43) 9. Zikir mencegah orang dari sifat kemunafikan Orang yang berzikir kepada Allah SWT akan terpelihara dirinya dari sifat kemunafikan, karena salah satu ciri orang munafik adalah jarang sekali berzikir kepada Allah SWT, Allah SWT berfirman: Artinya : Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (QS. an-Nisa: 142) Dalam ayat di atas telah disebutkan bahwa tipuan orang-orang munafik dan segala fitnahnya yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam jurang kemunafikan sebagaimana Allah SWT berfirman :
27
Artinya : Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi. 10. Zikir menjadikan seseorang diingat Allah SWT Allah SWT berfirman: Artinya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. al-Baqarah: 152) D. Adab Berzikir Zikir memiliki adab-adab yang perlu diperhatikan bagi siapapun yang melakukan zikir kepada Allah SWT, untuk bisa menghantarkan seorang hamba untuk bisa dekat dengan Allah. 1. Dengan niat yang ikhlas Allah SWT berfirman : Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (QS. al-Bayyinah:5)
28
Berkata dzun nun al-misri tanda orang yang ikhlas itu ada tiga : yang pertama jika dipuji dan dicela orang tidak berpengaruh baginya, yang kedua jika ia beramal tidak riya‟ dan yang ketiga jika amal yang dilakukan semata hanya untuk mengharapkan ridho Allah SWT.29 2. Adab Batin Apabila seseorang ingin berzikir hendaknya ia menghadirkan hatinya, mengkadirkan kehadiran Illahi dalam hatinya, mengosongkan hatinya dari halhal yang bisa membawanya untuk lalai mengingatnya. Amr bin Utsman al-Makki berkata: kehadiran hati ialah kegaiban yang ditemukan oleh hati dengan kegaiban yang tidak dijadikan sebagai sesuatu yang terlihat dan tidak pula penghayatan hati nurani.30 Sehingga pengetahuan tentang perbuatan senantiasa menyertainya dan pikiran tidak berkeliaran kepada selain-Nya, selagi pikiran tidak berpaling kepada selain-Nya, hati akan selalu mengingat dengan apa yang sedang diingatnya, karena kehadiran hati kesinambungan antara penglihatan hati dengan penglihatan mata. Allah SWT berfirman : ...
Artinya : Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Saba‟: 47)
29
Di Kutip dari Syekh Abu nashr as-Sarraj al-Thusi, al-luma‟ (t.t: Tsaqafa al-Dhiniyyah), h.
30
Ibid, h. 101
99
29
Begitu pentingnya kehadiran hati dalam melakukan zikir yang mengkibatkan kekhusuan bagi seorang hamba dalam melakukan sebuah aktivitas zikir, faktor yang menyebabkan kehadiran hati memerlukan kosentrasi dan perhatian yang sangat penuh. Perhatian yang utama terhadap zikir tidak akan terwujud apabila tidak diketahui manfaat dan keutamaan dalam melakukan zikir, karenanya memahami manfaat dan keutamaan dalam berzikir memberikan kunci utama dalam menghadirkan hati. 3. Adab lahir a. Sebelum melakukan zikir hendaknya badan suci dari hadas besar maupun hadas kecil, dan juga tempat yang akan digunakan untuk beerzikir haruslah suci dari segala yang meragukan. Rasulullah saw bersabda:
31
Artinya : berkata Abu Daud: menceriyakan kepada saya Muhammad bin Matan, menceritakan kepada saya „Abd al-„Ala, menceritakan kepada saya Sa‟id dari Qotadah, dari hasan, dari Khudain bin Assandari, Abi Sasan dari Muhazir, Muhazir menemui Rasul, sesungguhnya Nabi saw sedang buang air kecil, Muhazir salam kepada Nabi maka Nabi tidak menjawab salam, sehingga Rasul berwudhu, kemudian beralasan, Nabi bersabda: Saya itu benci 31
Abu Daud, Sunan abu Daud, Kitab ath-Tharah, Sebagaimana dikutip oleh Luqmanul Hakim, Hak Cipta dalam kaarya tulis Kualitas hadist-hadist Zikir, Disertasi Sekolah pasca sarjana UIN syarif hidayatullah Jakarta, (Jakarta, tidak diterbitkan, 2008), h. 73
30
ketika saya menyebut Dzikir (Menyebut Allah) Azza Wajalla, sampai keadaan suci. (HR. Abu Daud) b. Hendaknya orang yang berzikir bersikap tertib, jika ia duduk hendaknya ia menghadap ke arah kiblat dengan khusuk, menghinakan diri kepada Allah, dengan tenang, penuh dengan rasa takut dan dengan menundukan kepala. c. Orang yang ingin melakukan zikir hendaknya membersihkan mulutnya sebelum berzikir. 4. Adab lahir batin.32 a. Ikhlas karena Allah di dalam zikir b. Memperbanyak zikir disetiap keadaan c. Menyatukan zikir dengan hati dan lisan d. Berkumpul untuk berdzikir e. Menangis dan hati lemah dalm berdzikir f. Meringankan suara dalm berdzikir g. Memperbanyak membaca al-Quran h. Memperbanyak istighfar i. Medahulukan zikir yang umum dan yang khusus Ada 20 adab sebelum zikir dalam melakukan zikir berjamaah, dibagi menjadi 5 adab sebelum zikir, 12 adab selama zikir dan 3 adab setelah zikir.33
32
Abdul Aziz Fathi Sayyid Nada, al-Adab al-Islamiyyah, h. 387
31
1) Lima adab sebelum zikir a) Niat taubat nasuha, dengan bersungguh-sungguh. b) Mandi atau bewudhu, kemudian memakai wangi-wangian, bersiwak dan mengharumkan mulut. Dianjurkan menjaga wudhu, tetapi mandi jauh lebih baik. c) Duduk diam dan mulai zikir kalbu dengan lafaz Allah...Allah...Allah d) Menyatukan hati dengan Mursyid dan memohon dukungannya (Rabitah).34 e) Menyatukan diri ke Rasulullah saw dengan perantara Syaikh/Guru (guru sebagai perantara).35 2) Dua belas adab selama zikir a) Duduk di atas alas yang suci b) Meletakan tangan di atas paha dengan jari telunjuk dan jempol dilingkarkan, kemudian berbentuk lingkaran bila berjamaah, bila zikir sendiri sebaiknya menghadap kiblat, bila berjamaah membuat lingkaran. 33
Syaikh Ahmad Khumuskhanawy al-Naqsyabandi, Jami‟ al-Ushul fi al-Awliya, (Surabaya: alHaramayn, 2006), h.24 34
Rabitah berarti seorang murid secara terus menerus “bertatap muka” dengan syaikh (surahiasy-syaikh) dalam pikirannya, tidak saja supaya dia dapat mencapai tingkatan penuh kepatuhan pada syaikh tetapi juga agar dia merasa seolah-olah terus bersamanya. Praktis seketika itu serang murid kehilangan dirinya dan menyatu dalam diri sang syaikh, dan seketika itu ia akan mencapai tingkat “peleburan diri dalam diri sang syaikh” (fana fi asy-syaikh), yang pada akhirnya akan membawa mereka pada “peleburan diri dalam diri Tuhan” (fana bi Allah). Nashr, Warisan sufi abad pertengahan, (Yogyakarta, pustaka sufi 2003), h.551 35
Syaikh Ahmad Khumuskhanawy al-Naqsyabandi, Jami‟ al-Ushul fi al-Awliya, (Surabaya: alHaramayn, 2006), h.30
32
c) Memberikan wewangian pada majelis zikir, Rasulullah saw. Menyenangi
wewangian,
malaikat
dan
awliya
menyenangi
wewangian. Adab ini merupakan adab yang sudah disepakati oleh para Mursyid Tarekat d) Memakai pakaian yang halal dan suci e) Menggelapkan atau mematikan lampu untuk memudahkan untuk menutup indra lahiriyah menuju indra batiniyah. Konsentrasi dan menjaga pandangan serta lebih khusyu. f) Memejamkan mata, karena dengan memejamkan mata, maka jalanjalan indra lahiriyah akan tertutup sedikit demi sedikit. Tertutupnya indra tersebut akan merupakan jalan sumber penyingkapan bagi indra batiniyah atau hati. g) Membayangkan kehadiran Mursyid dalam majlis zikir, hal ini merupakan adab yang sangat ditekankan. h) Zikir berjamaah lebih baik dengan suara keras namun lembut, dengan kekuatan yang sempurna hingga seluruh sel-sel tubuh dari kepala hingga ujung kaki terisi oleh asma Allah, hal ini menunjukan keadaan di mana pezikir memiliki keinginan yang kuat. i) Keikhlasan dan ketulusan dalam beerzikir dengan mengharapkan ridha Allah semata. j) Ketika berzikir La ilaha illallah panjang pendeknya sesuai dengan bacaan al-Quran, karena kalimat ini berasal dari al-Quran.
33
k) Menghadirkan makna zikir dalam hati l) Mengosongkan hati dari msetiap maujud, yaitu menghindarkan selain Allah masuk dalam hati.36 c) Tiga adab setelah zikir 1) Setelah zikir diam sejenak sambil mengawasi warid dari wirid/zikir yang dilakukan. 2) Menahan nafas berulang-ulang antara 3 hingga 7 tarikan nafas. 3) Tidak segera minum yang dingin, karena panasnya zikir akan menghancurkan karat-karat hati.37
36
Syaikh Ahmad Khumuskhanawy al-Naqsyabandi, Jami‟ al-Ushul fi al-Awliya, (Surabaya: alHaramayn, 2006), h.32 37
Ibid, h.35
34
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TARIAN SUFI JALALUDIN RÛMI Nama tarian itu adalah Mevlevi Sema Ceremony atau lebih akrab dengan sebutan sema‟ (dalam bahasa arab berarti mendengar atau jika diterapkan dalam definisi yang lebih luas ialah bergerak dalam suka cita cita sambil mendengarkan nada-nada musik sambil berputar-putar sesuai dengan arah putaran alam semesta). Di barat tarian ini lebih dikenal sebagai “Whirling Dervishes”, atau para darwis yang berputar-putar dan digolongkan sebagai devine dance. Secara historis tarian ini tarian yang telah di praktekan oleh sufi-sufi awal, akan tetapi tidak mendapat penjelasan bagaimana bagaimana tarian ini dipraktekan dalam sumber-sumber sufi awal.38 Lalu tarian ini kembali muncul beberapa abad setelahnya yang dilakukan oleh Maulana Jalaludin Rûmi, seorang sufi yang juga merasakan suka cita kepada gurunya Syamsudi al-Tibriz, atau Syams-i- Tabriz. Kemudian tarian ini terus di ramaikan oleh Tarekat Maulawiyah atau Mevlevi. A. Biografi Rûmi (Pendiri Tarekat Maulawiyyah) Jalaluddin Rûmi lahir di balkh, sekarang Afghanistan, pada 6 Rabi‟ AlAwwal tahun 604 H/ 30 November 1207 M.39 Dan wafat pada 5 Jumad AlTsaniyah 672 H/17 Desember 1273 M Ayahnya, Baha‟ Walad, adalah seorang ulama yang terkenal, ahli fiqh sekaligus seorang Sufi yang menempuh jalan
38
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta, Erlangga, 2006), cet. I, h. 259
39
William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi (terj), (Yogyakarta, Qolam, 2001), cet. III, h. 1.
35
Tasawuf, sebagaimana Ahmad Ghazali, saudara Muhammad Ghazali, seorang sufi terkenal dan „Ayn al Qhudat Hamdani.40 Menurut tradisi nenek moyangnya, Rûmi tergolong masih begitu muda ketika mulai belajar ilmu-ilmu eksoterik. Dia mempelajari berbagai keilmuan meliputi dari tata bahasa arab, ilmu persajakan, Al-Qur‟an, fiqh, ushul fiqh, tafsir, sejarah, teologi, filsafat, logika, matematika, dan astronomi. Pada saat ayahnya meninggal dunia pada tahun 628 H/1231 M, dia telah menguasai bidang keilmuan tersebut, Namanya pada waktu itu sudah dapat dijumpai dalam sederatan para ulama ahli dibidang hukum pada mazhab hanafi. Karena keilmuan tersebut tidak diherankan pada usia 24 tahun, dia sudah diminta untuk menggantikan tugas ayahnya untuk menjadi dai sekaligus menjadi rujukan hukum Islam. Ketika Rûmi telah menggantikan kedudukan ayahnya nampaknya dia telah menguasai ilmu-ilmu disiplin kerohanian dan ilmu-ilmu eksoterik sufisme, bahkan terdorong kearahnya, sampainya bertemu dengan seorang yang bernama Burhan al-Din tirmidzi, dia murid kesayangan ayahnya, dia datang ke Konya pada tahun 629 H/1232 M hingga wafatnya pada tahun 638 H/1240 M. Di bawah bimbingannyalah Rûmi menjalani disiplin-disiplin rohani. Setelah kematian Tirmidzi, Rûmi terus menjalankan tugasnya, terus mengajak dan membimbing orang-orang Konya. Dia menjadi begitu terkenal dan paling dihormati di kalangan ahli hukum (fuqaha). Meskipun demikian, dia tetap 40
Ibid
36
menjalani kehidupan rohani sebagai seorang sufi, bahkan pada masa itu, sebagai mana yang disebutkan oleh S.H. Nashr, Rûmi telah menjadi seorang guru sufi sejati.41 Kendati dalam kehidupan sehari-harinya, dia tetap menjalani kehidupan sebagaimana sebelumnya, sebagai seorang ahli hukum yang dihormati. Kadang-kadang dia juga menyinggung masalah “keajaiban-keajaiban rohani,” walaupun tidak pernah menunjukan tanda-tanda bahwa dia pernah mengalaminya. Hal itu berubah manakala seorang yang berpenampilan aneh, yang bernama Maulana Syamsudin al-Tibrizi, datang ke Konya pada tahun 642 H/1244 M.42 Syams-i Tibriz sangat besar pengaruhnya terhadap Rûmi, dialah yang menyebabkan Rûmi berubah dari seorang ahli hukum yang tenang menjadi seseorang yang mabuk akan Cinta Tuhan. Setelah kurang lebih satu atau dua tahun, Syams senantiasa mendampingi Rûmi, suatu ketika tiba-tiba Syams pergi meninggalkan kota Konya. Hal itu menyebabkan Rûmi dilanda kecemasan. Kemudian Rûmi membujuknya dan pada akhirnya Syams kembali ke Konya, namun tidak lama kemudian Syams kembali meninggalkan Rûmi sekitar tahun 645 H/1247 M, dia kembali menghilang. Dan disinilah puncak dimana Rûmi merasa kehilangan seorang guru spritual yang sangat dicintainya, Syamsuddin Tabrizi. Ia adalah seorang guru sufi misterius yang bagaikan magnet mampu menyedot seluruh perhatian Rûmi,
41
Dikutip dari William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, (terj) (Yogyakarta, Qolam, 2001), cet. III, h. 3. 42
Ibid
37
hingga orientasi spiritual Rûmi berubah secara dramatis, dari seorang teolog dialektis menjadi seorang penyair-sufi. Setelah kepergian Syams seorang yang dianggap Rûmi yang berpengaruh dalam perjalanan spiritualnya, Rûmi selalu melakukan Tarian ditengah-tengah kota Konya pada waktu pagi hari, Tarian ini salah satu ritual yang dilakukan Rûmi utnuk mengenang kepergian Syams dan juga rasa Cintanya kepada Tuhan yang begitu mendalam, Bagi Rûmi menari adalah Cinta. Dan Rûmi tak berhenti menari karena ia tak pernah berhenti mencintai Tuhan. Hingga tiba saatnya di suatu senja 17 Desember 1273,43 ia dipanggil Sang Maha Kuasa dalam keadaan diliputi Cinta Ilahi. Kemudian tarian ini terus di kembangkan oleh Tarekat Maulawiyah atau mevlevi yang kemudian menjadi seni yang dipertontonkan pada setiap bulan Desember, khususnya pada tanggal 12 desember yang mana untuk mengenang sang maestro Maulana jalaludin Rûmi, terhadap karya-karyanya.
1. Karya-karya Rûmi Karya-karya Rûmi adalah Diwan Syams Tabrizi yang memuat lebih dari 40.000 syair dan kitab karang Rûmi yang paling monumental ialah Matsnawi
43
Ibid, h. 5
38
yang terdiri dari 6 jilid berisikan 25.000 untaian bait syair. Yang mana kitab ini disebut juga sebagai Quran yang berbahasa Persia.44 Maulana Jalaludin Rûmi pun meninggalkan buah karya prosa yang relatif pendek, dengan judul Fihi ma Fihi, meliputi tema yang sama seperti Matsnawi. Majalis Sab‟ah jelas merupakan karya yang ditulis sebelum kedatangan Syams ke Konya.45 Diwan (kumpulan syair), terdiri dari kurang lebih 3.230 ghazal, yang jumlah keseluruhannya mencapai 35.000 syair; 44 ta‟rif, sebuah bentuk puisi yang terdiri dari dua atau lebih ghazal, yang seluruhnya berjumlah 1.700 syair, ruba‟iyyat, “sajak-sajak yang terdiri dari empat baris.” Diwan lebih mencakup dari keseluruhan syair Rûmi dari pada Matsnawi, yang disusun dalam rentang waktu lebih dari tiga puluh tahun sejak kedatangan Syams di Konya hingga menjelang akhir hayat Rûmi.46 Sebenarnya masih ada karya-karya Rûmi yang lain, seperti Ruba‟iyat (syair empat baris dari Rûmi), berisikan sekitar 1.600 kuatren orisinal, yang mencakup ide-ide Rûmi tentang Tasawuf, seperti tawakal, ikhlas, cinta, iman, akal, dan penyatuan. Al-Maktubat, karya Rûmi yang lain berisikan 145 surat
44
Ibid, h. 6
45
Ensiklopedi Tematis Spritual Islam (terj), (Bandung, Mizan, 2003), cet, II, h. 149
46
Ibid
39
yang rata-rata sepanjang dua halaman, yang ditujukan kepada para keluarga raja dan bangsawan Konya, tetapi karya ini tidak begitu terkenal dan berpengaruh.47 Maqalat-i Syams-i Tabriz (Percakapan Syamsi Tabriz), karya Rûmi yang lain, dianggap sebagai buah persahabatan Rûmi dengan guru dan sahabatnya, Syams al-Din Tabriz. Ia berisikan beberapa dialog mistik antara Syams sebagai guru dan murid.48 Sekalipun karya tersebut menjelaskan prihal kehidupan, namun menurut Mulyadhi, mengutip Nicholson, mengatakan bahwa karya ini menerangkan beberapa ide dan doktrin sang penyair.49 Majlis-i Sab‟ah (Tujuh Pembahasan), karya Rûmi yang merupakan bentuk prosa juga, yang berisikan sejumlah Khutbah Rûmi dan kuliah Rûmi yang diberikan bukan saja untuk kalangan kaum Sufi, akan tetapi juga khalayak umu. Khutbahnya kebanyakan dalam bentuk nasehat dan konseling, dan agaknya disampaikan sebelum bertemu dengan Syams al-Din Tabriz.50 Karya-karya Rûmi sangat berpengaruh teerhadap perkembangan dan popularitas tarekat Maulawiyyah, baik yang ditulis oleh Rûmi sendiri, maupun
47
Mulyadhi Kartanegara, Tarekat Maulawiyah: Tarekat Kelahiran Turki, dalam Sri Mulyati, ed., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Mukhtabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 336 48
Ibid
49
Mulyadhi Kartanegara, Jalal al-Din Rûmi: Guru Sufi dan Penyair Agung. (Jakarta, Teraju, 2004), h. 10-11 50
Ibid, h. 14
40
para pengikutnya, baik pada masa lalu maupun pada masa kini. Popularitas Tarekat Maulawiyyah tentu sangat terikat dengan karya utama Rûmi, yang berjudul Matsnawi al-Ma‟nawi, atau Matsnawi Jalal al-Din Rûmi. Ini adalah mahakarya yang sangat agung, yang telah mendapat pujian dari „Abd al-Rahman Jami sebagai al-Quran yang berbahasa persia.51 B. Tarekat Maulawi Membahas tentang tarian sufi pastilah kita dibawa untuk mengetahui siapa yang mepopulerkan tarian mistik ini, tidak lain ialah Tarekat Maulawi, sebuah tarekat yang didirikan oleh penyair besar Maulana Jalaluddin Rûmi. Nama Maulawi berasal dari nama “Maulana” (Guru kami), yaitu gelar yang diberikan murid-murid Jalal- mal-Din Rûmi. Oleh karena itu jelas bahwa pendiri Tarekat Maulawi adalah Rûmi, yang didirikan sekitar 15 tahun terakhir hidup Rûmi. Walaupun tidak terlalu besar dibandingkan dengan Tareka Naqsyabandiyyah, tetapi tarekat ini masih bertahan hidup hingga akhir-akhir ini dan salah satu mursyid (spiritual guide) dan sekaligus wakil yang terkenal secara internasional dari tarekat ini adalah Syekh Kabir Helminski, yang bermarkas di California, Amerika Serikat.52
51
Mulyadhi Kartanegara, Tarekat Maulawiyah: Tarekat Kelahiran Turki, dalam Sri Mulyati, ed., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Mukhtabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 321 52
Ibid, h. 321
41
Setelah Rûmi wafat, pimpinan tarekat Maulawi diambil alih oleh sahabat karibnya dan Khalifahnya, Syaikh Husamuddin Hasan bin Muhammad, salah seorang sahabat karibnya, yang juga dijadikan Rûmi sebagai khalifah. Lalu Sultan Walad, pada akhir abad ke 13, putra sulung penyair besar Maulana Jalal al-Din Rûmi, yang sangat berperan penting dalam mengembangkan Tarekat Maulawi dan juga menyebarkan ajaran-ajaran Rûmi. Hasanudin memipin tarekat ini sampai akhir hayatnya sepuluh tahun kemudian, setelah itu para murid berkumpul mengelilingi sultan walad dan mentahsbikannya menjadi penggantinya, dia memimpin upaya perluasan besarbesaran dengan mengirimkan para Khalifah ke pelbagai penjuru anatolia, dirinya pun mengodifikasi ritual serta peraturan dalam berpakaian serta bertingkahlaku khas Maulawi.53 Disinilah kemajuan pesat tarekat Maulawi setelah dipegang oleh sultan Walad, dan mempunyai ciri dalam tarekat ini ialah dengan melakukan ritual Tarian sebagai mediasi zikir yang diiringi oleh instrumen musik. Ciri utama Tarekat ini adalah konser spiritual, sama‟ yang diperkenalkan oleh Rûmi pertama kali setelah hilangnya gurunya yang sangat dicintai, Syams al-Din Tabriz. Peristiwa ini menjadikan Rûmi sangat sensitif terhadap musik, sehingga tempaan palu seorang pandai besi mampu membuat Rûmi menari dan
53
Ensiklopedi Tematis Spritual Islam (terj), (Bandung, Mizan, 2003), cet, II, h. 151
42
beerpuisi.54 Sekalipu sama‟ dalam bentuk tarian berputar akan tetapi tarian ini ialah tarian spiritual yang dijadikan sebagai mediasi zikir, oleh para pengikut Tarekat Maulawi yaitu zikir yang dibarengi dengan tarian yang diiringi oleh instrument musik. Walupun telah banyak dimainkan oleh banyak tarekat sufi, akan tetapi Rûmi menjadikan cirri khas dasar dari Tarekatnya. Karena itu tarekat Maulawi dikenal di Barat sebagai Para Darwis yang Berputar (the Whirling Darvish). Bahasan tentang tarian yang dijadikan mediasi zikir dalam tradisi sufi dalam perspekrif hukum Islam akan dijelaskan pada Bab IV. C. Tarian Sufi Mungkin tidak ada aspek yang paling kontroversial, dan sekaligus populer, dibanding praktik musik dan tarian, Musik dan tari tidak dianut secara universal dikalangan kaum sufi, karena tarekat-tarekat seperti Naqsyabandiyyah dan Qodiriyyah tidak setuju dengan pertujukan (meskipun ada pengecualian dalam kedua kelompok tersebut).55 Disini saya tidak membahas tentang musik akan tetapi lebik kepada praktik tarian yang digunakan sebagai media zikir. Kebanyakan tarekat modus berdzikir kolektif yang diiringi oleh gerakan-gerakan jasmani. Tarekat Maulawiyah para darwis menari, menyebutnya sebagai sama‟, konser spritual
54
Mulyadhi Kartanegara, Tarekat Maulawiyah: Tarekat Kelahiran Turki, dalam Sri Mulyati, ed., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Mukhtabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 337 55 Carl W. Ernst, Ajaran dan amaliah Tasawuf (terj), (Jogjakarta, Pusti Sufi, 2003), cet, I, h. 231
43
karena ia merupakan sebuah upacara di mana tarian diiringi oleh esembel musik lengkap, instrumental dan ritme.56 Musik itu sendiri dianggap sebagai salah satu zikir, ritual-ritual tarian yang dilakukan oleh kaum sufi dilakukan dalam sebuah atmosfir yang dipenuhi dalam simbolisme kosmik.57 Mereka para darwis (pelaku yang melakukan tarian sufi), yang berputar seraya memutari atom-atom alam jagad raya semesta keseluruhan kosmos merupakan manifestasi Tuhan, menurut Ibn „Arabi, pada hakikatnya tidak ada yang bereksistensi kecuali nama-nama-Nya.58 Garis penalaran di sini sangatlah jelas. Dia mengatakan bahwa segala yang berasal dari Allah, segala sesuatu memanifestasikan Allah, segala sesuatu menjadi tanda Allah, “Semuanya adalah Dia”. Tarian itu sendiri yang diajarkan oleh Rûmi kepada murid-muridnya, dalam bentuk yang direalisasikan oleh Rûmi sendiri, yang mendapatkan makna kekuatannya dari simbiolisme yang kaya lagi fasih pada saat yang sama ketika tindakannya berkonsentrasi dan memfokus pada daya-daya manusia.59 Lalu para darwis berkumpul menempatkan diri mereka untuk menari dalam beberapa konsentris, seraya membentuk planet-planet dilangit, seorang 56
Ensiklopedi Tematis Spritual Islam (terj), (Bandung, Mizan, 2003), cet, II, h. 380
57
Carl W. Ernst, Ajaran dan amaliah Tasawuf (terj), (Jogjakarta, Pusti Sufi, 2003), cet, I,
58
William C. Cittick, Tasawuf di mata kaum sufi (tej), (Bandung, Mizan, 2002), cet, I, h. Ensiklopedi Tematis Spritual Islam (terj), (Bandung, Mizan, 2003), cet, II, h. 383
237 59
h.
44
darwis yang tertua menempati posisi tengah dalam posisi lingkaran dimana ia mempresentasikan “kutb”, Dia berputaar perlahan-lahan di tempat, sementara yang lainnya menyusun lingkaran sebuah mahkota berputar pada saaat beerbarangan berkeliling di orbit-orbit di mana mereka ditempatkan.60 Setelah menjadi seperti persilangan yang berputar, dia bergerak perlahan kepalanya agak ditundukkan, kedua bahunya tegak rata. Mantel putihnya yang tergulung bagaikan lingkarana mahkota bunga, menjadi citra kesempurnaan („ardh) alam semesta yang dirasuki Kearifan Ilahi (al-hikmah). Poros vertikal dari tubuhnya yang diperpanjang oleh torbus yang tinggi merupakan tanda keagungan (thul) yang baru dapat ditembus oleh seorang salik yang mencoba untuk fana di dalam diri Yang Mahakuasa (al-qudrah). Dengan menirukan di atas bumi gerakan bintang-bintang yang dengan sendirinya merupakan lambang dan kekuatan hierarki malaikat, para darwis itu sadar akan keikutsertaannya dalam keselarasan dalam keselarasan universal dan memberi dorongan untuk membuat apa yang berlaku di langit berlaku juga dibawah sini, dengan membiarkan dirinya hanyut dalam ritme keselarasan langit dia menjadi alat dengan melaluinya Cinta Ilahi dapat berkomunikasi dengan penderitaan mahluk akibat perpisahan dan ilusi kosmik.61 Melalui rotasi ini, Dia menegaskan kehadiran unik dari Allah di segenap penjuru angkasa. Allah SWT berfirman:
60 61
Ibid, h. 380 Ibid, h. 381
45
Artinya : Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.(QS. Al-Baqarah: 115) 1. Makna Filosofis Tarian Sufi Para darwis istilah peserta tari sufi yang dilakukan para pengikut tarekat Maulawiyah, sebelum melakukan sebuah Tarian para darwis masuk dengan memakai topi lakan berbentuk krucut yang berasal dari asia Tengah, topi lakan yang juga melambangkan batu nisan, selain jubah hitam yang dilepas ketika menari untuk memperlihatkan baju dalam berwarna putih. Filosofis dari cara berpakian itu melambangkan kematian dan kebangkitan kembali (setelah mati). Pada sesi ini darwis bersenandung : Busana pusuranku, topi batu nisanku... Mengapa sosok mayat tidak mau menari di dunia ini Ketika suara trompet kematian Membangkitkannya untuk menari ?62 Pada awal zikir ritmik ini, seluruh peserta berdiri berjejer dan berpegangan tangan, seraya membentuk satu atau atau lebih lengkaran konsentris atau dalam baris yang saling berhadapan.63 Pada bagian tengahnya berdiri seorang syekh atau asistenya, penataan ini merupan simbolisme lingkarana atau barisan malaikat yang mengelilingi Singgasana Ilahi. 62
Ensiklopedi Tematis Spritual Islam (terj), (Bandung, Mizan, 2003), cet, II, h. 382
63
Ibid h. 380
46
Para penari menyebutkan nama Ilahi secara serempak, seraya membungkukan badan dengan cepat dan penuh saat mengucapkan suku kata kedua Lah. Ketika menarik nafas, mereka kembali berdiri tegak, lalu sambil berputar-putar para darwis sambil mempertahankan tangan kanan mengarah kelangit, sementara tangan kiri mengarah ke bumi.64 Makna filosofis dari gerakan tangan kanan ke atas menandakan menerima rahmat Allah, dan tangan kiri ke bawah menandakan memberikan rahmat yang telah diterima kepada seluruh mahluk ciptaaan Allah. Gerakan-gerakan yang dilakukan bertempo lambat serta tetap, lama-kelamaan langkah kaki menjadi semakin cepat mengikuti tempo musik. Tempo iramanya meningkat sedikit demi sedikit, dan gerakan tubuh selalu dibarengi dengan dua tahap pernapasan. Tidak lama kemudian nama Allah tidak lagi terdengar dan hanya huruf terakhir “Ha”, yang masih terdengar yang terucap oleh para darwis yang sedang berputar, dan dihembuskan kuat-kuat oleh seluruh dada. Setiap embusan nafas ini melambangkna hembusan terakhir manusia, saat jiwa individu dipersatukan kembali dengan nafas kosmik yaitu kedalan ruh Illahi.65 Dengan mengikuti gerakan dada, tubuh membungkuk dan tegag secara bergantian seakan-akan setiap saat ia ditarik ke langit dan dihempaskan kembali ke bumi, kedua belah mata dipejamkan; wajah mengekspresikan gairah yang
64 65
Ibid, h. 381 Ensiklopedi Tematis Spritual Islam (terj), (Bandung, Mizan, 2003), cet, II, h. 380
47
getir. Orang yang menyaksikannya tidak perlu takut menyatakan bahwa, jika perlu pernafasan dalam zikir ini menimbulkan kegairahan dalam tatanan yang lebih sensual. 2. Tujuan Melakukan Tarian Sufi Berbagai cara dilukan umtuk mencapai Sang Khalik, mereka para darwis mencoba melukan sebuah tarian yang mana maksud tujuannya untuk bisa mencapai kondisi spritual. Ada banyak kondisi spritual yang dialami oleh para pencari Cinta Ilahi, tapi disini penulis mencoba memaparkan beberapa kondisi spritual (al-ahwal), secara garis besar. Kondisi spiritual yang pertama ialah kondisi Muraqabah, di mana kondisi spritual (hal), yang seperti ini kondisi yang sangat mulia. Allah SWT berfirman :
... Artinya : Dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu. (QS. Al- ahzab: 52) Menurut bahasa, Muraqabah berarti mengamati tujuan. Sedangkan secara terminologi, berarti melestarikan pengamatan kepada Allah SWT. Dengan hatinya sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya, dan dengan penuh perasaan-Nya, Allah SWT. Melihat dirinya dalm gerak dan diamnya.66
66
Imam Abul Qosim al-Qusyairy, ar-Risalatul Qusyiriyah fi „ilmi at-Tasawufi, (beirut, Daar alkotob al-Ilmiyah, 1426H), h. 224
48
Maka muraqabah bagi
seorang hamba adalah pengetahuan dan
keyakinannya, bahwa Allah SWT selalu Melihat apa yang ada dalam hati nuraninya dan Maha Mengetahui. Maka dalam kondisi yang seperti ini seorang darwis terus meneliti dan mengoreksi bersitan-bersitan hati atau fikiran-fikiran tercela yang hanya akan menyibukan hati sehingga lupa akan mengingat Tuhannya. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Abu Sulaiman ad-Daraini rahimahullah, “Barangsiapa ada sesuatu dalam hati yang bisa disembunyikan dari penglihatan-Nya, sementara apa yang terbesit di dalam hati adalah Dia yang meletakkan di dalamnya. Maka apakah mungkin apa yang datang dari-Nya tersembunyi dari pantau-Nya.67 Orang-orang yang meraqabah dibedakan menjadi tiga tingkatan: Pertama sebagaiman yang dikatan oleh al-Hasan bin Ali, “ bahwa dimana seseorang wajib menjaga rahasia-rahasia hati, sebab Dia Allah selalu melihat hati nurani. Dimana tingkatan ini adalah tingkatan kondisi spritual para pemula dalam muraqabah.68 Tingkatan yang kedua ialah sebagaimana yang diceritakan oleh Ahmad bin „Atha rahimahullah yang mengatakan, “sebaik-baik kalian ialah orang yang selalu muraqabah kepada al-Haq dengan al-Haq dalam kefanaan apa yang selain
67
Di kutip dari Syekh Abu nashr as-Sarraj al-Thusi, al-luma‟ (t.t: Tsaqafa al-Dhiniyyah), h. 82
68
Ibid
49
al-Haq dan mengikuti Sang Nabi saw, dalam segala perbuatan, ahlak dan adab beliau.69 Lalu adapun selanjutnya dalam tingkatan ketiga adalah tingkatan orangorang besar. Mereka selalu bermuraqabah kepada Allah SWT, dan memohon kepada-Nya agar Dia selalu menjaga hati dan selalu memelihara hati ini untuk selalu bermuraqbah.70 Karena Allah telah mengistimewakan orang-orang pilihanNya dan orang-orang khusus dengan tidak menyerahkan mereka dalam kondisi spritualnya kepada seorang pun, Sebab Dialah Yang menguasai dan melindungi segala urusan mereka. Allah SWT berfirman:
Artinya : Sesungguhnya pelindungku ialahlah yang telah menurunkan Al kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh. (QS. AlA‟raf) Lalu seorang darwis dalam melakukan ritual tariannya untuk selalu merasakan kedekatan (Qurbah) dirinya dengan Sang Kekasih. Dalam kondisi spritual seperti ini para darwis merasakan dengan mata hatinya akan kedekatan Allah SWT dengannya. Sehingga ia akan melakukan pendekatan diri kepada-Nya dengan ketaatan-ketaatan dan seluruh perhatiannya selalu terpusat dihadapan Allah dengan selalu mengingat-Nya dalam segala kondisinya, baik secara lahiriah maupun secara hati.
69 70
Ibid Ibid
50
Qurb merupakan maqam kesempurnaan. al-Muqarrabun adalah hambahamba yang telah mencapai kedekatan seperti ini. Salah satu kebingungan (hayrah) dalam perjalanan ini adalah bahwa dengan mempunyai pengetahuan tentang kejauhan (bu‟d)-nya dari Allah, sang hamba sesungguhnya didekatkan (qurb).71 Orang-orang yang memiliki kondisi spritual qurbah dibedakan menjadi tiga kondisi72: Pertama diantara mereka ada yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan melakukan berbagai macam ketaatan sebab mereka tahu bahwa Allah Maha mengetahui mereka, dekat dengan meereka dan kekuasaan-Nya di atas mereka.Kedua ada orang-orang yang sanggup mengaktualisasikannya secara hakiki, sebaagimana yang diucapkan oleh Amir bin Abdul Qais, “Setiap kali saya melihat sesuatu tentu saya melihat Allah lebih dekat dengannya dari pada saya sendiri.73 Selanjutnya Syekh Junaid al-Baghdadi rahimahullah berkata, “Perlu anda ketahui, bahwa Dia dekat dengan hati para hamba-Nya sesuai dengan kadar kedekatan hati para hamba dengan-Nya, maka lihatlah apa yang dekat dengan hati anda. Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. (QS. Qaf:16)
71
Drs. Totok Juman toro, MA, dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag, Kamus Ilmu Tasawuf, (Amzah, Sinar Grafika Offset, 2005), cet.I, h. 185 72
Syekh Abu nashr as-Sarraj al-Thusi, al-luma‟ (t.t: Tsaqafa al-Dhiniyyah), h. 85
73
Ibid
51
Kedekatan seorang hamba (Qurb) hanya dapat terjadi melalui keimanan atas al-Haqq, kedekatan kepada al-Haqq terbuka bagi semua orang yang mampu melalui ilmunya, kepada mukmin melalui rahmat dan berkah, dan kepada auliya dengan penyeleksian melalui keakraban. 74 Adapun tingkatan kondisi spritual ketiga ialah para tokoh dan orangorang yang sanggup mencapai tingkatan puncak sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Abu Ya‟qub as-Susi, “Selagi seorang hamba masih berada dalam kedekatan, maka sebenarnya dia belum mencapai kedekatan, sehingga ia sirna dari kedekatannya dengan Allah karena kedekatan Allah denganya. Maka ababila ia tidak melihat kedekatannya denagan Allah karena dekat-Nya dengan hamba, maka pada saat itulah kedekatannya dengan Sang Hakiki. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. (QS. Al-Baqarah: 186) Sementara ada seorang sufi yang mengatakan bahwa “Sesungguhnya Allah SWT memiliki para hamba yang Dia dekatkan dengan sesuatu, dimana dengan sesuatu itu Allah dekat dengannya. Seperti halnya dengan para darwis dengan melakukan tarian untuk lebih dekat lagi dengan Sang Khalik. Kondisi spritual Mahabbah inilah yang dilakukan para darwis ketika menari, merasakan suatu kecintaan yang mendalam (mahabbah), melakukan 74
Michael A. Sells, Terbakar Cinta Tuhan, Kajian Ekslusif Spiritual Islam Awal (terj) (Bandung, Mizan, 2004), cet. I, h. 185
52
sebuah tarian karena kecintaannya kepada Sang Kekasih yang Maha kekal. Dalam kondisi ini para darwis merana karena kecintaannya yang begitu mendalam kepada Sang Kekasih yang mengakibatkan dirinya mabuk dalam anggur Cinta-Nya. Cinta (Mahabbah) adalah kondisi yang sangat mulia yang telah disaksikan Allah SWT. Melalui cinta itu bagi hamba, dan Dia memprmaklumkan Cinta-Nya kepada hambanya pula. Dan karenanya Allah SWT, disifati sebagai Yang Mencintai hamba, dan si hamba disifati sebagai yang mencintai Allah SWT.75 Syekh Abu Nashr as-Sarraj berkata: Adapun kondisi spritual Mahabbah banayak disebutkan dalam beberapa tempat dalam al-Qur‟an.76 Sementara itu sifat cinta ini adalah sebagaimana jawaban atas Dzun-Nun al-Mishri tatkala ditanya, “Apa cinta yang murni dan tidak bernoda itu?”Ia menjawabnya, “Cinta kepada Allah yang murni tanpa setitik noda pun, ialah hilangnya rasa cinta dari dalam hati dan anggota tubuhnya, sehingga di dalamnya tidak ada lagi rasa cinta, yang ada segala sesuatu hanyalah Allah dan untuk Allah dan inilah orang-orang yang benar mencintai Allah yang Maha mutlak.77 Allah SWT berfirman :
75
Imam Abul Qosim al-Qusyairy, ar-Risalatul Qusyiriyah fi „ilmi at-Tasawufi, (beirut, Daar alkotob al-Ilmiyah, 1426H), h. 348 76
Syekh Abu nashr as-Sarraj al-Thusi, al-luma‟ (t.t: Tsaqafa al-Dhiniyyah), h. 87
77
Ibid,
53
… Artinya : Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya. (QS.Al-Maidah: 54) Melihat dari kondisi spiritual Mahabbah bagi seorang darwis ketika mencapai tingkatan ini, ia melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah berikan kepadanya. Dan dengan hati nuraninya ia melihat kedekatan Allah SWT denganya, segala perlindungan, pejagaan dan perhatian-Nya yang dilimpahkan kepadanya. Maka dengan keyakinan dan hakikat keimanannya ia melihat perlindungan („inayah), petunjuk (hidayah) dan Cinta-Nya yang dicurahkan kepadanya, dimana seluruhnya telah ditetapkan terlebih dahulu sejak zaman azali, karenanya ia mencintai Allah „Aza wa Jalla. Orang-orang
yang
memiliki
kondisi
spiritual
Mahabbah
ini
sebagaimana telah disebutkan diatas para pencari cinta ilahi meraka beranggapan bahwa cinta yang hakiki ialah menemukan Cinta Ilahi. Ini dapat dibedakan menjadi tiga bagian sebagaiman Syekh Abu nashr as-Sarraj dalam kitab al-Luma‟ yang mengatakan bahwa Ahwal Mahabah dibedakan menjadi tiga bagian.78 Pertama ialah orang yang memiliki kondisi spritual Mahabah yang dimiliki oleh orang awam. Dimana Mahabah ini lahir dari kasih sayang Allah SWT, kepada mereka. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Nabi Saw yang bersabda:
78
Ibid
54
Artinya : Hati manusia diciptakan menurut kodratinya untuk mencaintai kepada orang yang berbuat baik kepadanya, dan membenci kepada orang yang beerbuat jahat kepadanya. Kondisi spritual Mahabbah ini memerlukan syarat, sebagaimana yang telah biasa kita saksikan jika seseorang mencintai pastilah ia akan selalu menyebut-nyebut namanya, seperti halnya para sufi ketika menapaki maqom Mahabbah seketika ia rindu ingin selalu beerdekatan dengan Sang Kekasih yang Maha Kekal pastialah dia selalu menyebut-nyebut nama-Nya. Yang kedua kondisi Mahabbah yang keluar dari dalam hati yang selalu melihat dalam Keagungan-Nya, Kebesaran-Nya, dan Kekuasaan-Nya. Dimana Dia Mahakaya Yang tidak membutuhkan apapun, adapun kondisi spritual ini kondisi yang dimiliki oleh orang-orang jujur dan orang-orang yang sanggup mengaktualisasikan kebenaran yang hakiki. Dan kondisi spritual Mahabbah yang ketiga ialah kondisi spritual Mahabbah yang dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar jujur (ashshiddiqin) dan orang-orang arif (al-„arifin). Dimana ia melihat, mengetahui dan menyaksikan keqadiman Cinta Allah yang tanpa sebab dan alasan apapun. Maka demikian pula ia harus mencintai Allah tanpa sebab dan alasan apapun. Hal ini searti dengan sabda Nabi saw dalam sebuah Hadist Qudsinya :
,
... 79
79
Dikutip dari Syekh Abu nashr as-Sarraj al-Thusi, al-luma‟ (t.t: Tsaqafa al-Dhiniyyah), h.88
55
Artinya : ... sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadikan matanya yang ia gunakan untuk melihat, telinganya yang ia gunakan untuk mendengar dan tangannya yang ia gunakan untuk menangkap (memegang). (HR. Bukhari dari Abu Hurairah, Ahmad dari Aisyah dan ath-Thabrani dari Abu Umamah). Selanjutnya para darwis mengalami kondisi spiritual takut (Khauf), seketika para darwis merasakan kondisi qurbah (ketakutan), sebab kondisi ini menyebabkan munculnya rasa cinta (Mahabbah) dan takut (Khauf). Ada diantara mereka yang rasa takut (Khauf) menguasai hatinya karena melihat kedekatannya kepada Allah, tapi ada pula kedekatannya karena adanya rasa cinta yang mendalam kepada Allah. Imam abul Qosim al-Qusyiry mengatakan bahwa rasa takut (khauf) adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan realita demikian hanya terjadi di masa depan. Takut kepada Allah, berarti takut kepada hukum-huku-Nya.80 Hal itu terjadi sesuai dengan pembenaran (tashdiq), hakikat keyakinan dan rasa takut yang dibagikan oleh Allah dalam hati hamba-Nya. Kondisi spiritual ini terjadi karena dibukakan bermacam-macam kegaiban.81 Jika dalam kedakatan dengan Tuhannya, hatinya menyaksikan Kebesaran, Keagungan dan Kekuasaa-Nya maka hal itu dapat menyebabkan ia takut, malu dan gemetar.
80
Imam Abul Qosim al-Qusyairy, ar-Risalatul Qusyiriyah fi „ilmi at-Tasawufi, (beirut, Daar alkotob al-Ilmiyah, 1426H), h. 161 81
Syekh Abu nashr as-Sarraj al-Thusi, al-luma‟ (t.t: Tsaqafa al-Dhiniyyah), h. 91
56
Jika dalam kedekatan dengan Tuhannya, hatinya menyaksikan kelembutan Tuhannya, keqadiman Kasih Sayang-Nya, Kebaikan yang telah diberikan kepadanya dan Cinta-Nya, maka hal ini akan mengakibatkan rasa cinta, kerinduan, kegelisahan, cinta yang membara dan bosan untuk tetap hidup. Ini semua terjadi karena Ilmu, Kehendak, dan Kekuasaan-Nya. Itulah Kekuasaan Dzat Yang MahaAgung lagi Maha Mengetahui. Sebagaimana dalam Allah SWT berfirman :
Artinya: dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga. (QS. Ar-Rahman: 46) Selanjutnya kondisi spiritual yang dialami oleh para darwis disaat menari ialah kondisi Raja‟ (Harapan). Yaitu harapan tercurahkannya rahmat yang diberikan oleh Allah SWT. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
… Artinya : ... dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya (QS: alIsra: 57) Dalam kamus ilmu Tasawuf Raja‟ (Harapan) adalah mengharapkan rahmat Allah SWT (yang sesungguhnya selalu mengelilingi kita, tetapi jarang diperhatikan), selama pengasingan dan perpisahan (Bu‟d) sang pecinta
57
merentangkan harapannya sedemikian rupa sehingga sang Kekasih akan tiba atau berbicara atau menghampiri atau hanya sekedar memandang.82 Sebagian kaum sufi mengatakan, “Khauf dan raja‟ adalah dua sayap amal, dimana tidak akan bisa terbang kecuali dengannya.83 Berharap pahala Allah dan keluasan rahmat-Nya adalah tingkatan seorang hamba (murid) yang berkeinginan merambah “jalan” Allah. Dimana ia telah mendengar bahwa Allah menjanjikan pemberian dan anugrah, kemudian ia mengharapkannya. Ia pun tahu bahwa Kemurahan hati, Kemuliaan dan Kedermawanan adalah termasuk diantara sifat-sifat Allah., sehingga hatinya senang dan merasa optimis kepada Dzat Yang bisa diharapkan untuk mendapatkan kedermawanan dan Keutamaan-Nya. Harapan
(Raja‟)
suatu
keterkaitan
hati
kepada
sesuatu
yang
diinginkannya terjadi di masa yang akan datang, sebagaimana halnya takut adalah berkaitan dengan apa yang terjadi di masa yang akan mendatang. 84 Orang yang berharap kepada Allah SWT. Adalah seorang hamba yang sanggup mengaktualisasikan harapannya kepada Allah secara hakiki. Maka ia tidak berharap apa pun dari Allah selain berharap Allah. Sebagai mana doa kaum sufi yang dikutip dalam kitab al-Luma‟ sebagai berikut : 82
Drs. Totok Juman toro, MA, dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag, Kamus Ilmu Tasawuf, (Amzah, Sinar Grafika Offset, 2005), cet.I, hal. 188 83
84
Syekh Abu nashr as-Sarraj al-Thusi, al-luma‟ (t.t: Tsaqafa al-Dhiniyyah), h. 91
Imam Abul Qosim al-Qusyairy, ar-Risalatul Qusyiriyah fi „ilmi at-Tasawufi, (beirut, Daar alkotob al-Ilmiyah, 1426H), h. 167
58
,
, .
,
85
Artinya : Tuhanku Engkau Mahalembut kepada orang yang bermaksud kepadaMu dalam keinginan-Nya, dan berharap kepada-Mu dalam segala bencana yang menimpanya. Wahai Dzat yang menjadi ujung harapan orang-orang yang berharap. Berilah kami harapan sesuatu yang menyenangkan dengan segera untuk menghantarkan kami kepada tempat-tempat untuk meneguk kesenangan (ridha)-Mu dan menghantarkan kami untuk dekat dengan-Mu. Selanjutnya para darwis merasakan rasa Syauq (Kerinduan), karena dengan melakukan ritual tarian mereka meerasakan kerinduan yang begitu mendalam kepada Sang Khaliq, kerinduan ingin bertemu dengan-Nya, dan ketika di akhirat nanti kerinduan ingin melihat Wajah-Nya. Syekh Abu Nasahr as-sharraj mengatakan didalam kitabnya al-Luma‟ bahwa kondisi spritual Syauq (kerinduan) adalah suatu kondisi spiritual yang sangat mulia. Sebagai mana yang diriwayatkan oleh Rasulullah saw dalam doa‟nya:
.86 Artinya : “Saya memohon kepada-Mu (ya Allah) nikmat menatap Wajah-Mu yang Mulia dan rindu untuk bertemu dengan-Mu”. (HR. An-Nasai dan al-Hakim dari „Ammarah) Syauq (kerinduan) seorang hamba adalah kejenuhan untuk tetap tinggal di dunia, karena ia sangat rindu untuk bertemu dengan Sang Kekasih. Sebagian kaum sufi ditanya tentang Syauq, lalu ia menjawab bahwa Syauq adalah suatu
85 86
Syekh Abu nashr as-Sarraj al-Thusi, al-luma‟ (t.t: Tsaqafa al-Dhiniyyah), h. 92 Ibid, h. 94
59
kerinduan yang meluapnya rasa cinta dalam hatinya ketika Sang Kekasih disebut.87 Seorang sufi yang rasa cinta yang telah memenuhi kalbu, maka mereka melanglang buana bersama Tuhannya, dan mereka bergegas untuk mencari jalan-Nya karena rasa kerinduannya ingin bertemu dengan-Nya, karena mereka tidak ada lagi tempat berteduh dan mengaduk kecuali kepada-Nya. Maka dengan kerinduan itu ia tidak lagi melihat pada kerinduan, Akhirnya ia menjadi orang yang merindukan sesuatu tempat kerinduan. Seketika para darwis sedang merasakan kondisi kerinduan mangka muncullah rasa suaka cita (Uns) dari seorang darwis, karena disaat kesendiriannya mereka lebih beersuka cita dengan Allah, dengan bersuka cita kepada Allah segala ketergantungan diri hanaya kepada-Nya, menaruh segala keperccayaan hanya kepada-Nya, dan meminta bantuan hanya kepada-Nya. Uns (bersuka cita) dengan Allah bagi seorang hamba adalah tingkatan paripurna kesuciannya dan kejernihan dzikirnya, sehingga ia merasa cemas dan gelisah dengan segala sesuatu yang bisa melupakan-Nya untuk mengingat Allah, maka pada saat itulah ia sangat bersuka cita dengan Allah SWT. Ada diantara hamba yang merasakan suka cita di saat berdzikir kepada Allah dan merasa gelisah disaat lalai, ada juga diantara mereka merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran, dan segala
87
Ibid
60
sesuatu selain Allah yang menghalangi dan melupakan-Nya untuk bermesrahan dengan-Nya. Ada juga mereka yang sudah tidak lagi melihat suka cita karena disebkan adanya wibawa, kedekatan, kemulian, dan menngagungkan disertai dengan suka cita. Sebagaimana yang disebutkan oleh orang-orang ma‟rifat, “Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba, dimana Dia wujudkan kewibawaan kepada mereka, sebagaimana Dia hilngkan rasa senang dengan selain Tuhannya.88 Seketika para darwis sedang merasakan kondisi spiritual uns (suka cita) muncul dalam dirinya rasa ketenangan (thuma‟ninah), dengan selalu berdekatan kepada Allah mereka merasakan ketenangan yang begitu mendalam, segala urusan selalu diserahkan kepada Allah. Thuma‟ninah (ketenangan) suatu kondisi spiritual yang tinggi, jarang seorang hamba yang mencapai kondisi spiritual seperti ini dalam ibadah maupun dalam kedekatannya kepada-Nya. Dimana seorang hamba yang sudah mencapai keetenangan dalam ibadahnya merupakan kondisi spiritual yang kokoh akalnya, imannya kuat, ilmunya mendalam, dzikirnya jernih, dan hakikatnya tertancap kokoh. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman: Artinya : (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allahlah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra‟d:28) 88
Ibid, h. 96
61
Mereka yang merasa tentaram dan mantap dengan firman-Nya yang menyatakan “kebersamaan” maka ketenangan mereka bercampur dengan penglihatan mereka pada penglihatan yang mereka lakukan. Sebab disaat mereka berdzikir mereka merasakan ketenangan dengan berdzikir kepada-Nya, maka bagian yang mereka dapati dari zikir tersebut adalah dikabulkannya doadoa mereka dengan diperluas rezekinya dan dihindarkan dari bencana, dengan meyakini bahwa tidak ada yang sanggup menolak dan mencegah kecuali semua atas izin Allah Azza wa Jalla. Pada saat para darwis merasakan ketenangan dalam jiwa dan hatinya timbulah rasa kehadiran hati (Musyahadah) dimana kondisi spiritul seperti ini adalah suatu penyaksian segala sesuatu dengan pendangan yang penuh ibrah (pelajaran), dan menatapnya dengan mata pikir, sebagai mana Allah SWT berfirman :
Artinya : Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya. (QS. Qaf. 37) Sementara oarang-orang yang bermusyahadah dibedakan menjadi tiga kondisi.89 Pertama kelompok pemula yaitu mereka para murid “mereka yang melihat sesuatu dengan penuh Ibrah dan mata pikir. Lalu pada tingkatan kedua 89
Ibid, h. 100
62
yaitu kelompok menengah sebagai mana yang telah diisyaratkan oleh Abu Said al-Kharraz yang mengatakan bahwa “Semua mahluk ada dalam Genggaman alHaq dan menjadi milik-Nya, sehingga ketika menjadi Musyahadah antara Allah dengan hamba-Nya maka tidak ada lagi yang tersisa dalam rahasia hati dan imajinasinya kecuali Allah SWT. Lalu tingkatan yang ketiga tingkatan orang-orang Khas yaitu kelompok orang-orang arif yang hatinya menyaksikan Allah dengan kesaksian yang menetapkan. Mereka menyaksikan Kemahaesaan al-Haq dalam hadir dan ghaib. Mereka menyaksikan Allah secara lahir dan batin. Pada saat darwis menapaki kondisi Musyahadah dengan kesemangatan spiritual yang sangat tinggi yang mengakibatkan lahirnya kondisi spiritul keyakinan sejati (Yaqin), disinilah kondisi spiritual seorang darwis yang mana terungkapnya segala kerahasiaan. Menurut para ahli tasawuf, yaqin adalah sesuatu pengetahuan yang terletak di dalam hati seseorang. Pada mulanya yakin itu dapat diperoleh dengan perantara khabar dan penyelidikan, tetapi akhirnya ia menjelma di dalam hati menurut kadar iman. Menurut Abu Bakar al-Warraq berkata: yakin terdiri dari tiga macam, yaitu Yaqin Khabar, Yaqin Dalalah, dan Yakin Musyahadah. Adapun yang dimaksud dengan yaqin kahabar ialah kepercayaan hati dalam menerima suatu berita. Yaqin dalalah ialah pengetahuan yang
63
didapat dengan penyelidan akal. Dan yaqin musyahadah ialah pengetahuan yang dicapai dengan pelantaraan hidayah Allah SWT.90 Dari yaqin bentuk pertama di atas, orang naik kepada kekayaan bentuk kedua, yakni yaqin dalalah, yakin dengan pelantaraan dalil. Keraguan orang di tingkat kedua ini tidak akan hilang kalau tidak ada bukti-bukti yang nyata tentang sesuatu. Keyakinan datang setelah adanya penyelidikan dan diperoleh buktibukti. Manusia di tingkat ini berbeda-beda keyakinannya terhadap sesuatu yang kuat dan lmahnya dalil yang ditanggapi dan dihayati oleh akalnya. Bentuk ketiga dari keyakinan ialah yakin musyahadah, yakin yang diperoleh dengan pelantaraan hidayah ilahi, sehingga mata hati terbuka lebar untuk memandang nur ilahi, yang tak sanggup dipandang oleh mata lahir.91
90
Prof. DR. Yunasril Ali, MA, pilar-pilar tasawuf, (Jakarta, Kalam mulia, 2005), cet. VI, h. 301
91
Ibid, h. 302
64
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG DZIKIR DENGAN TARIAN SUFI (Sama’)
A. Persesuaian Dzikir Menggunakan Tarian Sufi Dengan Nash (Al-Qura’n dan Hadist) Di dalam Al-Quran tidak disebutkan secara implisit tarian yang dilakukan para kaum sufi khususnya dalam tradisi tarekat Maulawi sebagai mediasi zikir, akan tetapi para sufi bersandar kepada dalil Al-Quran surat Ali Imran ayat 190191, didalamnya Allah berfirman: Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran: 190-191) Menurut Muhammad Jamalludin al-Qishi dalam kitab Tafsirnya mempunyai dua pendapat. Pertama berpendapat bahwasanya berzikir kepada Allah tidak melihat waktu dan tempat akan tetapi pada waktu zikir dihati menghadirkan kehadiran Allah dengan adanya rasa kedekatan antara seoarang
65
hamba dengan Tuhan pada waktu berzikir.92 Lalu pendapat kedua tentang ketentuan waktu, yaitu adanya keterikatan antara tempat dan waktu, yaitu Maksud terikat tempat dan waktu ialah untuk menghilangkan kelalaian untuk mengingat Allah, oleh karenanya ada pengkhususan waktu yang terikat dengan zikir (mengingat Allah). Menurut Abi Farraj Jamalludin „Abdurrahman bin Ali bin Muhammad alBaghdadi, beliau berpendapat bahwa dalam surat al-Imran ayat 191 menjelaskan bahwasanya zikir yang dimaksud ialah keadaan zikir dalam shalat, apabila tidak mampu dengan berdiri maka boleh bersandar.93 Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam tafsir Munir, berpendapat maksud ayat ini orang yang tidak pernah lalai kepada Allah dalam setiap waktunya untuk menenangkan hatinya dengan berzikir, yang dimaksud zikir disini mutlak hanya untuk Allah, sama seperti halnya dari segi Dzat maupun sifat-Nya94 dan perbuatan-Nya. Sama halnya perbedaan zikir dengan lisan atau tidak di khususkan dalam keadaan tertentu dalam berzikir, dalam artian tidak ada bentuk pengkhususan tertentu waktu berzikir, karena keadaan teertentuan suatu kebiasaan yang tidak terlepas oleh lisan yang lalai. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :
92
Muhammad Jamalludin al-Qishi, Tafsir al-Qoshi, (Baerut: daar el-fikr, 1978), Juz. 2, h. 322
93
Farraj Jamalludin „Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al-Baghdadi, Zaad al-Musayyar fii Ilmi al-Tafsir,(Baerut daar el-fikr, 1987), Juz, 2, h. 72 94
Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi, Tafsir an-Nawawi, (Baerut Daar el-fikr, t.th), Juz 1, h. 135
66
Artinya : Barang siapa yang cinta dalam mendapatkan surga-Nya Allah maka perbanyaklah zikir kepada Allah.95 Menurut Rasyid Ridha, zikir yang dimaksud dalam ayat di atas adalah zikir hati, yaitu menghadirkan Allah SWT di dalam dirinya, serta memikirkan hukum, keutamaan, dan kenikmatan dari-Nya dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring. Seorang hamba yang tidak terlepas dari tiga keadaan berzikir tadi akan mendapat langit dan bumi bersamanya tidak terpisahkan. Dan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT di langit dan di bumi hanya tampak bagi ahli zikir.96 Melihat dari sebagian ulama salaf yang menafsirkan ayat diatas bisa dijadikan sebuah hujjah dalam mengambil hukum bahwa berzikir dapat dilakukan dalam berbagai kondisi. Dan juga dalam hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiallahuanha pernah melaporkan bahawa “Rasulullah SAW berzikrullah (berzikir kepada Allah) dalam semua keadaan. Sedang berjalan, menaiki kenderaan, berbaring, duduk, dan bermacam-macam lagi pernah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW”.97 Dan juga sebagaimana yang telah disebutkan dalam pemaparan pada bab sebelumnya bahwa kaum sufi yang melakukan ritual, bersandar juga pada hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya dan al-Hafiz al95
Ibid
96
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut, Darul Fikr, t.th), cet. Ke-3, Jilid 4, h.298-299 97
http://www.al-amindaud.blogspot.com/Diakses Pada Tanggal 09 Oktober 2010
67
Maqdisi dengan rijal sahih dari hadis Anas Radiallahu Anhu telah berkata: “orang habsyah berjoget atau menari di hadapan Rasulullah SAW dan sambil mereka berkata Muhammad hamba yang soleh. Bertanya Rasulullah SAW: Apa yang mereka katakan? maka dikatakan kepada Rasulullah SAW sesungguhnya mereka berkata Muhammad hamba yang soleh. ketika Rasulullah melihat mereka dalam keadaan itu Rasulullah tidak mengingkari mereka dan membenarkan perkara tersebut”.98 Diriwayatkan oleh Syaikh Hisyam Kabbani. “Pada suatu hari saat Rasullullah SAW khutbah Jum‟at, datanglah seorang baduy seraya bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasullullah, kapankah kiamat itu datang?”. Rasulullah tidak menjawab, beliau hanya diam. Baduy itu terus bertanya sampai 3 kali sehingga Jibril datang menghadap Rasullah dan berkata, “Tanyakanlah padanya apakah bekal yang dia bawa untuk menyambut hari kiamat itu?”. Lalu Rasulullah menyampaikannya dan orang baduy arab itu menjawab, “Bukankah aku memiliki Cinta kepadaMu Ya Rasulullah.” Dan Rasulullah berkata, “Cukuplah itu membuatmu berdekatan dengan orang yang engkau cintai seperti dua jari yang berdekatan.” Dan seketika itu juga orang baduy Arab itu pergi tanpa mengikuti shalat jum‟at. Saat mendengar percakapan itu, Abu bakar yang selama ini risau akan pertanyaan yang sama, bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, apakah cukup hanya dengan Cinta?”. Kemudian Rasulullah menjawab, “Syarat yang 98
Ibid
68
utama adalah Cinta!”. Mendengar jawaban itu hati Abu bakar sangat gembira, begitu bahagia hingga ia mulai berputar dengan jubahnya. Gerakan memutar inilah yang kemudian dikembangkan oleh Maulana Jalaluddin Rumi sebagai metode zikir, yang disebut sebagai Whirling Dervishes.99 Imam As-Saadah As-Syafiiyyah di Makkah, Al-Allamah Al-Kabir Ahmad Zaini Dahlan Rahimahullah menyebut di dalam kitabnya yang masyhur yaitu As-Sirah An-Nabawiyyah wal Aasar Al-Muhammadiyyah hadis yang dirawayatkan oleh Imam Bukhari di dalam sahihnya pada ( ) كتاب الصلح: bahwa Ja‟far bin Abi Thalib seusai pulang dari fath khaibar kembali dari habsyah, Ja‟far Bin Abi Tolib dan bersamanya dengan kaum muslimin yang lain. Nabi SAW menemui Ja‟faar dan mengucup dahinya dan memeluknya. Rasulullah berdiri kepada Sofwan bin Umayyah dan „Udayy bin Hatim Radiallahu „Anhuma dan Rasulullah SAW bersabda : Aku tidak tahu dengan dua sebab aku gembira, apa sebab fath khaibar ataupun dengan karena kepulangan Ja‟faar? Dan bersabada Nabi SAW kepada Ja‟faar : Kamu yang paling mirip denganku dan akhlakku. Maka Ja‟far menari dengan kelazatan perkataan Nabi SAW kepadanya.100 Ayat dan riwayat hadist diatas menyebutkan bahwa orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri atau duduk atau dalam keadaan
99
http://www.haqqanirabbani.asia/home-id.htmlDiakses Pada Tanggal 15 November 2010
100
http://www.al-amindaud.blogspot.com/Diakses Pada Tanggal 09 Desember 2010
69
berbaring, dapat dilakukan, para sufi sering melakukan zikir dengan berbagai cara, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah yang di riwayatkan oleh „Aisyah radiyallahuanha, yang mepraktikan zikir dalam keadaan apapun, dan para sufi mempraktekannya, selagi zikir itu bisa menghantarkan dirinya pada Tuhannya.101 Segolongan kaum sufi ketika mereka mendapat kelazatan yang dirasakan pada waktu di dalam majlis zikir dan mereka menari-nari dengan sebab sesuatu rasa nikmat yang dirasakan pada waktu zikir yang timbul dalam hati-hati mereka ketika mengingati Allah. Pada prinsipnya kaum sufi melakukan seluruh praktek zikir bermuara kepada ke Hadirat Ilahi, Perbedaan terletak pada metode dan sikap dalam merefleksikan kebutuhan pengakomodasian keanekaragaman para murid dalam mempraktekan zikir. B. Pandangan Ulama Terhadap Praktek Dzikir Dengan Tarian Sufi (sama’) (pro dan kontra) Para ulama madzhab berbeda pendapat tantang pelaksanaan dalam praktik berzikir, ada yang melarang pada waktu berzikir dengan suara yang zahar, Imam Hasan Bishri yang dinukil dalam kitab Jami‟ al-Adab karya Ibn Qoyyim, Imam Bishri mengatakan bahwa pada waktu berzikir dengan mengeraskan suara adalah sesuatu perbuatan yang bid‟ah.102 Yang menjadikan landasan hasan bishri adalah surat al-Araf ayat 205
101 102
http://www.haqqanirabbani.asia/home-id.htmlDiakses Pada Tanggal 15 Desember 2010 Ibn Qoyyim Azaujiyyah, Jami‟ al-Adabi, (Baerut: Daar el-wafa, 2002), Juz. 2, h. 250
70
Artinya : dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang lalai. (QS. Al-„Araf: 205) Begitu pula dengan pendapat Imam Ahmad dan Imam Qois Ibn I‟bad dari pembesar Tabi‟in berkata bahwasanya boleh mengangkat suara ketika zikir dengan syarat pada waktu ta‟ziyah dan pada waktu menyembelih.103 Selain dari itu semua berzikir dengan mengangkat suara adalah bid‟ah hukumnya. Pernah diceritakan dalam suatu riwayat dalam kitab Jami‟ al-Adab bahwa Abi Musa pernah berjalan bersama Rasul dan kami selalu mengangkat suara ketika bertakbir pada waktu adzan dan talbiyah, akan tetapi makruh mengangkat suara dalam zikir.104 Tanggapan al-Ghazali tentang tarian sufi Disini penulis mencoba memaparkan pendapat al-Ghazali tentang praktik sufi berzikir dengan tarian (sama‟), dalam kitab Ihya ulumuddin, al-Ghazali mencoba memberikan pemaparan tentang prakti sufi ini, diantara perbedaan pro
103
Ibid, h. 250
104
Ibid, h. 249
71
dan kontranya para ulama yang mempermasalahkan tentang praktik zikir dan hikmah yang terkandung dalam tarian sufi (sama‟) tersebut. Al-Ghazali berpendapat bahwa sahnya seseorang yang sedang melakukan praktik zikir dengan tarian (sama‟), al-Ghazali berpendapat bahwa sesungguhnya manausia akan menemukan satu rasa yang bisa menghanyutkan dengan di dahului dari kesepian apapun maka ketika orang tidak mampu untuk menafikan segala sesuatu dari Allah, maka dia tidak akan menemukan jati dirinya kepada Allah.105 Adapun kesunyain itu bisa diperoleh karena keberadaan seorang hamba yang sudang menghilangkan sifat-sifat nasuhatnya, dan di dalam dirinya terdapat sifat-sifat Tuhan, maka apabila seorang hamba yang sudah terbebas dari sifatsifat nasuhatnya maka dengan mudah dia menerima sifat-sifat Tuhan secara menyeluruh.106 Dan barang siapa yang sudah bisa menghilangkan sifat-sifat nasuhatnya dan tidak memikirkan apapun kecuali selain Allah maka orang itu bisa menemukan jati dirinya kepada Allah. Maka hati itu bisa bersih dari segala sesuatu yang bisa mengotorkan hati dan hati itu bisa memantulkan sifat-sifat Tuhan. Maka tarian sufi itu adalah suatu mediasi zikir yang di lakukan oleh kaum sufi.
105
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ulumuddin, (Daar al-dayan, t.th), h.
106
Ibid, h. 153
153
72
Menurut Imam Hasyri seorang tidak akan mendapatkan kerendahan (rasa tawajju‟ kepada Allah), dengan apa yang ia inginkan sehingga ada penggerak yang menggerakan apa yang dibutuhkan yang membangkitkan, orang itu akan menemukan kesunyian diri dengan Allah. Dengan cara mendengar sesuatu yang benar (yang datang dari Allah), itu bisa menemukan jati diri seseorang.107 Seperti halnya tarian sufi (sama‟) sebuah zikir dengan menggunakan tarian yang diiringi dengan musik, para darwis mencoba hanyut dalam putaran dan nyanyian menggajak seseorang untuk lebih dekat lagi mendekatkan diri kepada Allah dengan menghilangkan sifat-sifat nasuhatnya. Sudah dijelaskan diatas bahwa tarian ini adalah sebuah tarian sakral, sebuah zikir yang dilakukan dengan tarian yang diiringi dengan musik. Dalam tradisi kaum sufi praktik-praktik zikir yang dilakukan, seperti zikir dengan menggunakan tarian yang diiringi dengan musik, dan praktik ini ada makna tersendiri, seperti halnya musik, dalam praktik sama‟ yang dilakukan para darwis dia hanyut dalam lautan Cinta-Nya yang ia rasakan dan melepas segala sesuatu yang bersifat dengan keduniaan dalam mendengar. Seperti halnya sesuai apa yang dikatakan oleh Imam Hasyri yang sudah dijelaskan tadi, yaitu seseorang yang mendapatkan jati diri yaitu salah satunya dengan mendengar. Senada dengan al-Ghazali tentang praaktik (sama‟) zikir dengan menggunakan tarian dan mendengar musik, seorang sufi pada waktu melakukan sebuah gerakan tarian sufi, pada awalnya dia mendengarkan sebuah nyanyian 107
Ibid
73
yang mana nyanyian tersebut bisa menggerakan seorang sufi untuk hanyut dalam sebuah zikir. bahwa sebenarnya mendengar sesuatu tidak menimbulkan apapun dalam hatinya, akan tetapi dapat menggerakan sesuatu dalam hatinya. 108 Dan barang siapa yang mahabbah kepada Allah dia akan menemukan kehendaknya dengan kehendak hatinya, tampa hati tersebut tidak terkontaminasi hati dengan selain Allah. Ditambahkan lagi oleh al-Ghazali bahwasanya siapa saja orang yang tidak bisa meniadakan sesuatu selain Allah dengan selalu menyatakan dirinya dengan kesaksian, dan bisa menghindari dari beberapa wujud-wujud selain Allah, maka orang itu tidak bisa mendengar yang mana dengan mendengar itu bisa menggerakan hati dan mendapatkan kesunyian diri kepada Allah.109 Zikir yang diiringi dengan tarian itu adalah mencari dengar suara yang indah yang bisa dihiasi yang bisa di fahami hatinya (manusia itu sendiri), dan tidak ada satu penjelasan apapun mengenai diatas, kecuali suatu kenikmatan yang dirasakan dengan panca indra pendengaran yang mengakibaatkan suatu pergeerakan berputar yang dilakukan kaum sufi pada waktu berzikir dengan tarian.110 Dan juga kenikmatan hati itu bisa dirasakan dengan adanya iringan tarian dengan sama‟ sesungguhnya Allah SWT telah berfirman:
110
108
Ibid
109
Ibid
Abu hamid al-Ghazali, Mukhtashar Ihya ulumuddin, (Baerut: Daar-el fikr, 1993), h. 116
74
Artinya : segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS.al-Faathir: 1) Maka alim ulama menafsirkan ayat ini dengan suara yang bagus. 111 AlGhazali
menambahkan
dalam
kitabnya
Ihya
Ulumuddin
bahwasanya,
mendengarkan musik sambil menari adalah hukumnya mubah, sebab kata beliau: “Para sahabat pernah melakukan sebuah tarian pada saat bahagia. Imam alGhazali menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib pernah menari tatkala mendengarkan Rasulullah SAW bersabda: “Engkau tergolong kedalam golonganku, dan aku tergolong kedalam golonganmu” Menurut al-Ghazali bahwa seseorang yang sedang melakukan tarian sufi (sama‟), mereka hanyut dalam ektase zikir, dan mampu menggerakan sesuatu didalam hatinya yang mengakibatkan dia menjadi fana. C. Sebab-sebab ikhtilaf Dalam hal ini para ulama mempermasalahkan tentang dalil al-Qur‟an yang dipakai oleh kaum sufi, yaitu pada surat Ali Imran ayat 191-192,
111
Ibid
75
banyaknya penafsiran dari kalangan mufasir yang menafsirkan ayat tersebut, sebagai mana penulis yang telah dijelaskan diatas. Dan juga perbedaan yang terletak pada hadis yang menyatakan bahwa orang-orang habsya pernah menari dihadapan Rasul, akan tetapi Rasul tidak mengomentarinya. Disinilah letak perbedaan para ulama dalam menggambil sikap, untuk menentukan sebuah hukum boleh tidaknya melakukan sebuah zikir dengan menggunakan tarian. Seperti pendapatnya Imām Ibnu Hajar menentang pengertian Hadīts yang membolehkan tarian. Beliau berkata: "Sekelompok sufi telah berdalīl kepada Hadīts tersebut untuk membolehkan tari-tarian dan mendengarkan alat-alat musik. Padahal jumhur ulama telah menegur pendapat ini dalam hal perbedaan maksud dan tujuan. Tujuan orang-orang Habsyah yang bermain-main dengan perisai dan tombak merupakan bagian dari latihan yang biasa mereka lakukan untuk berperang. Oleh karenanya, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah untuk membolehkan tari-tarian yang tujuannya untuk menghibur diri."112 Pernyataan Imam Ibnu Haajar yang menentang pernyataan al-Ghazali yang menjadikan landasan tentang bolehnya sebuah tarian, akan tetapi maksud al-Ghazali disini ialah pada waktu seseorang melihat Rasul maka timbulnya rasa rindu kegembiraan yang sangat mendalam, yang menyebabkan orang-orang habsyah melakukan sebuah tarian.
112
http//.www.kitabklasikislamonlinelibrary.com Diakses Pada Tanggal 27 Desember 2010
76
Kaum sufi sadar betul akan lemahnya landasan yang dijadikan hujjah, akan tetapi kaum sufi melakukan sebuah tarian itu dengan maksud ingin lebih dekat lagi mendekatkan diri kepada Tuhan, dan menampakkan kegembiraannya dengan bentuk tarian, dan juga kaum sufi melakukan sebuah tarian tidak adanya campur baur antara laki-laki dan perempuan. Dan tidak mungkin seorang sufi melakukan sebuah zikir dengan tarian kalau tidak ada landasan dalilnya, dan juga dilakukan oleh orang yang awam, bisa jadi zikir yang dilakukan seorang sufi yang sudah kepada tingkatan kasyf yang hanya bisa dirasakan oleh sufi itu sendiri.
77
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pemaparan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa bolehnya melakukan sebuah zikir dengan mediasi tarian, yang dilakukan oleh kaum sufi asalkan didampingi oleh seorang mursyid, dan harus adanya niat yang mana niat dan tujuannya tersebut benar dan tidak melanggar ketentuan syariah, kerana kaedah menyebut “ األمور بمقاصدهاsetiap perkara itu mengikut tujuannya” Adapun jika niat dan tujuannya baik tetapi caranya diharamkan oleh Allah maka ia tetap haram tetapi dalam masalah ini ada nas yang membenarkan zikir sambil menggerakkan badan dan menari seperti yang telah dinyatakan di atas dan tujuannya juga baik maka ia mubah di sisi syara‟. Adapun tarian yang dilarang oleh syara‟ ialah tarian yang bercampur baur antara wanita dan laki-laki didalamnya yang bukan mahram, lebih-lebih lagi ia diadakan dalam sebuah tempat yang kemaksiatannya terlihat jelas, seperti berpakaian tidak menutup aurat, diiringi dengan musik dan suasana yang mengundang syahwat dan lain-lain. Itulah yang disebut haram. Haram bukan soal tarian, tetapi dilihat dari aspek cara, suasana dan dilihat dengan jelas kemaksiatan. Adapun tarian dalam zikrullah, adalah tarian khusus yang lahir karena adanya sebuah rasa kesyahduan dan kerinduan yang mendalam yang dirasakan oleh kaum sufi kepada Allah, dengan kenikmatan munajat dan bertaladdud.
78
Perasaan nikmat yang tiadatara itu yang diketahui oleh orang yang mengetahui, merupakan anugerah Allah kepada mereka. Mereka hendak menunjukkan bahasa badan (body language) mereka dengan menari-nari tanda kenikmatan mereka pada saat berzikir, tetapi dilakukan kerana Allah SWT.
B. Saran-saran Penulis menyarankan bahwa untuk melakukan zikir sebaiknya dengan cara biasa seperti halayaknya kebanyakan orang melakukan zikir yaitu dengan cara biasa, dan juga melihat hadist Rasul bagaimana beliau melakukan sebuah zikir, dan juga tidak perlu ikut-ikutan dalam melakukan sebuah zikir yang belum sampai pada tingkatan maqamnya. Untuk kalangan seorang sufi yang melakukan zikir dengan menggunakan sebuah mediasi tarian, mungkin zikir mereka sudah kepada tahapan yang mana orang awam belum kepada tingkatan tersebut.
79
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an al-Karim „Atha‟ilah, Ibn, Zikir: Penentram Hati, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), cet. Ke-2 Abdurrahman, Muhammad, Adz-Dzikr al-Jama‟I Bain al-Ittiba‟ wa al-Ibtida‟, terjemahan Abu Harkaan, (solo, At-Thibyan, t.th) Al-Bantani, Nawawi, Tafsir an-Nawawi, (Baerut Daar el-fikr, t.th), Juz 1 Ali, Yunasril, MA, Prof. DR. pilar-pilar tasawuf, (Jakarta, Kalam mulia, 2005), cet. VI Al-Syathibi, Abu Ishaq, al-Muwafaqat fil ushul al-Syariah, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Baerut. Bahjat, Ahmad, Allah fi al-Aqidah al-Islamiyyah, terjemah Abdul Ghaffar, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1998) Bengin, Burhan, (Ed.), Metedologi Penelitian kualitatif; Aktualisasi metedologis ke arah ragam Varian Kontemporer, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Chittick, William C., Jalan Cinta Sang Sufi (terjemah), (Yogyakarta, Qolam, 2001), cet. III ------------------------- Tasawuf di mata kaum sufi (tej), (Bandung, Mizan, 2002), cet, I Ensiklopedi tasawuf disusun oleh tim penulis UIN syarif hidayatullah (Angkasa Bandung 2008), cet I, Jilid III Ensiklopedi Tematis Spritual Islam (terj), (Bandung, Mizan, 2003), cet, II Ernst, Carl W., Ajaran dan amaliah Tasawuf (terj), (Jogjakarta, Pusti Sufi, 2003), cet, I Fahrurrazy, Tafsir Kabir wa Mafatih al-Ghaib, (Baerut, darul Fikr, 1985), Jilid 2, cet. Ke-3
80
Fathi Sayyid Nada, Abdul Aziz, al-Adab al-Islamiyyah, (Riyadh: Daar Thoyyibah linnasar wattauji‟, 2007) Gajur, Syekh Ibrahim Mengungkap Misteri besar Mansur Al-hallaj (Rajawali pers, Jakarta 1986), Cet. Pertama Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin, Ihya ulumuddin, (Daar al-dayan) ------------------------, Mukhtashar Ihya ulumuddin, (Baerut: Daar-el fikr, 1993) Hajar al-Asqalany, Ibn, Fath al-Bary, (Beirut, Dar al-Ma‟rifah, 1379 H), juz 11 Hakim, luqmanul, Kualitas hadist-hadist zikir, Disertasi sekolah pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (Tidak diterbitkan, 2008) http://www.al-amindaud.blogspot.com/ http://www.haqqanirabbani.asia/home-id.html http://www.maktabah-syamilah.com Ismail, Muhammad. Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut, Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5 Jamalludin al-Qishi, Muhammad, Tafsir al-Qoshi, (Baerut: daar el-fikr, 1978), Juz. 2 Jamalludin, Farraj, „Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al-Baghdadi, Zaad alMusayyar fii Ilmi al-Tafsir,(Baerut daar el-fikr, 1987), Juz, 2 Juman toro, Totok, MA, dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag, Kamus Ilmu Tasawuf, (Amzah, Sinar Grafika Offset, 2005), cet.I Kabbani, Muhammad Hisyam, Energi Zikir dan Salawat, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007) Karisman, Aqib, Drs., M.Ag., Teosofi Tarekat Qodariyah wa Naqsyabandiyyah. (alHikmah, Surabaya, 1998), cet I Kartanegara, Mulyadhi, Jalal al-Din Rûmi: Guru Sufi dan Penyair Agung. (Jakarta, Teraju, 2004), h. 10-11 ----------, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta, Erlangga, 2006), cet. I
81
----------, Tarekat Maulawiyah: Tarekat Kelahiran Turki, dalam Sri Mulyati, ed., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Mukhtabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) ---------, Jalal al-din Rumi guru sufi dan penyair agung, mizan, cet, I, mei 2004 Kholaf, Abdul wahab, Ilmu Ushul Al-Fiqh, Daar Al-Qolam, 1978 Khumuskhanawy, Ahmad, al-Naqsyabandi, Jami‟ al-Ushul fi al-Awliya, (Surabaya: al-Haramayn, 2006) Mahmud, shubhy Ahmad, Al-Falsafah al-Akhlaqiyyah fi al-Fikr al-Islamy, terjemah Yunan Askaruzzaman Ahmad, (Jakarta, Serambi, 2001) Majah, Ibn, Sunan Ibn Majah, (Amman, al-Khatib) juz 2 Nashr, Abu, as-Sarraj al-Thusi, al-luma‟ (terj), (Surabaya: Risalah Gusti, 2002) Nashr, Warisan sufi abad pertengahan, (Yogyakarta, pustaka sufi 2003) -------, Warisan Sufi (Pustaka Sufi Yogyakarta 2002), Cet.I Nata, Abuddin, Prof., Dr, H., M.A., Akhlak Tasawuf, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996. Qomaruddin SF, (ed.), Zikir Sufi: Menghampiri Ilahi Lewat Tasawuf, (Jakarta, Serambi, 2002), cet. Ke-3 Qosim al-Qusyairy, Abul, ar-Risalatul Qusyiriyah fi „ilmi at-Tasawufi, (beirut, Daar al-kotob al-Ilmiyah, 1426H) Qoyyim al-Jawjiyyah, Ibn, al-Wabil as-Shayyib, terjemahan abd. Rohim Mu‟thi dan Zulqarnain, (Jakarta, Akbar media Eka, 2004), cet. Ke.I ---------, Jami‟ al-Adabi, (Baerut: Daar el-wafa, 2002), Juz. 2 Rasyid Ridha, Muhammad, Tafsir al-Manar, (Beirut, Darul Fikr, t.th), cet. Ke-3, Jilid 4 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (t.t., Dar al-Hadits, 2004) Sells, Michael A., Terbakar Cinta Tuhan, Kajian Ekslusif Spiritual Islam Awal terjemah (Bandung, Mizan, 2004), cet. I
82
Silsilah al-„Alim wa al-Muta‟lim, Muslim: Sahih Muslim, (Amman, al-Khatib), juz 4 Syah, Idris, Jalan sufi reportase dunia ma‟rifat (Risalah gusti 2001), cet II Usman Najaty, Muhammad, Al-Qur‟an wa Ulum an-Nafs, terjemahan ibn Ibrahim, (Jakarta Cendekia Sentra Mulia, 2001) Zubaidi, HM Munadi, The Power Of Zikir: Terapi Dzikir Untuk Kesembuhan dan Ketenangan, (Klaten: Image Press, 2007), cet. Ke-1