SKRIPSI PENERAPAN SANKSI HUKUM TERHADAP OKNUM ANGGOTA POLRI YANG TERLIBAT DALAM TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING)
OLEH SARWAN OTTORA SAMPARA NIM : 21009162
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI 2014
i
HALAMAN PERSETUJUAN
PENERAPAN SANKSI HUKUM TERHADAP OKNUM ANGGOTA POLRI YANG TERLIBAT DALAM TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING) Oleh :
SARWAN OTTORA SAMPARA 21009162
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan pada seminar Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari.
PEMBIMBING I
SABRINA HIDAYAT, SH.,MH
PEMBIMBING II
ARIFAI, SH.,MH
Kata Pengantar
Tiada kata yang patut tertulis diawal prakata ini kecuali segala puji dan syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT penguasa langit dan bumi, karena hanya dengan berkah dan hidayahNya sehingga Peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, berbagai hambatan dan rintangan menghadang untuk menyingkirkan konsentrasi sesaat dalam penyelesaian skripsi, namun atas kemurahan Allah SWT. Akhirnya Peneliti dibimbing serta dikembalikan pada kodrat semula dalam melakukan penelitian berupa semangat berfikir dan merenung dalam menemukan hakikat hukum yang tumbuh di tengah belantara ilmu. Salam dan shalawat kepada junjungan kita, Khalifah alam semesta yang paling sempurna Rasulullah Muhammad SAW beserta sahabat-sahabatnya. Atas tuntunan beliau kita dapat mempelajari khasanah-khasanah ilmu-ilmu Alah SWT. Skripsi ini Peneliti persembahkan kepada Ayahnda dan Ibunda tercinta Haerudin Sampara AD. dan Ida Rahim sebagai wujud rasa terima kasih yang tak ada artinya dibandingkan atas jasa, perhatian, bimbingan, kasih sayang, dan pengorbanannya yang telah beliau curahkan selama ananda masih berada dalam kandungan dan di dunia ini. Peneliti juga megucapkan banyak terima kasih kepada sang cendikia Sabrina Hidayat. SH. MH. sebagai Pembimbing I dan Arifai, SH. MH. sebagai Pembimbing II, atas segala arahan dan bimbingannya yang dengan penuh kearifan membimbing Peneliti agar tidak tersesat di belantara ilmu hukum. Semoga Allah SWT melimpahkan anugerah dan hidayahNya kepeda mereka, serta Ucapan terima kasih, Peneliti haturkan kepada : 1. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari Rasmudin, SH. MH, Bapak Pengujiku Kamaruddin Kio, SH. MH, Ali Rezky, SH. MH, Jabar Rahim, SH. MH dan Pengelola Program Non Reguler Fakultas Hukum – Universitas Muhammadiyah Kendari beserta stafnya yang telah membantu dan menyediakan berbagai fasilitas selama Peneliti
mengikuti perkuliahan di Program Non Reguler Fakultas Hukum – Universitas Muhammadiyah Kendari. Serta seluruh dosen pengasuh mata kuliah yang telah mengajarkan ilmu hukum yang sangat bermanfaat. 2. Kepada seluruh nara sumber yang telah memberikan data dan informasi dalam penelitian di lapangan. 3. Sahabat-sahabat ku Omar Wahid Ado, S.Kom. dan Tasrip, SE alias Pipink. Kalian berdua telah begitu banyak memberikan spirit dalam proses pendewasaan diriku memaknai arti kehidupan. Teman seperjuanganku Brigadir Anda dan istri, teman – teman karibku Kak Ratna A.Md.Keb beserta suami & anak-anaknya, Aswin Rauf, Syamsul Mahmud, SH, Akbar Naruto, Brigadir Insan Taufik, Brigadir Dedi Simin, dan Brigadir Denny Salvani. Terima kasih telah menghartarkan aku dalam memaknai arti persahabatan. 4. Partner-partner ku di ‘2010 Fakultas Hukum – Universitas Muhammadiyah Kendari Non Reguler, Senior-seniorku di kampus, Angk.’1999, Non Reguler, Kelompok KKN Profesi Hukum Angk. XI T.A 2014 Se Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara (khususnya Posko VI Desa Morome), partner-partnerku di Jalan Lasolo Sodohoa Kendari, STM Kendari ‘01, Spendu Kendari ‘98, serta kalian yang tak dapat ku sebutkan satu persatu. 5. Keluarga Ambo Dalle, keluarga ABD. Rahim Dg. Rukka dan keluarga Paman – paman ku serta keluarga tante – tanteku, sanak family dari ibuku IDA RAHIM. Terima kasih atas dorongan dan bantuannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 6. Saudara – saudara kandungku Sarwin Febri Sampara (Wiwin), Arizky Ayunda Sampara (Kiki), Arizka Ayuni Sampara (Rika), Arizma Rahmadina Sampara (Dina) dan si Bungsu Arisda Marsya Sam (Marsya/Acca). Terima kasih atas motivasi dan bantuan yang kalian berikan. 7. Rekan-rekan Kantor, Keluarga Besar Bid Propam Polda Sultra, Unit Penegakan Hukum Subbid Provos Bid Propam Polda Sultra, Ipda Sumarno,
Aiptu Muh. Rafi, Bripka Ginsyah, SH, Bripka Yospin Ngii, Brigadir Anda, Brigadir Asyari, SH dan Brigadir Laode Ariawan, SH. MH terimakasih atas dorongan serta masukannya. 8. Teruntuk sang Mawar Merahku (Hasmariana, SST) yang maha indah dalam lubuk hati yang paling dalam yang senantiasa memberikan semangat, harapan, dan kasih sayang. Semoga ikhtiari penyempurnaan wujud dalam eksistensi keberadaan kita dapat menyatu. Akhirnya Peneliti hanya dapat berharap semoga skripsi ini dapat memberikan makna positif bagi perkembangan ilmu hukum. Amin. Kendari,
Juni 2014
SARWAN OTTORA SAMPARA
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................
ii
ABSTRAK ………………………………………………………………..
iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………
iv
DAFTAR ISI...............................................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................
6
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................
7
D. Manfaat Penelitian .........................................................................
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................
8
A. Tugas dan Kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia --
8
a. Bidang Penegakan Hukum .------------------------------------------
8
b. Bidang Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat ------------------
9
c. Bidang Pelayanan Dan Pengayoman Masyarakat. ---------------
10
B. Pengertian Tindak Pidana, Unsur-unsur Tindak Pidana dan Jenis-jenis Sanksi Tindak Pidana-----------------------------------------------------
14
1. Pengertian Tindak Pidana -------------------------------------------
14
2. Unsur-unsur Tindak Pidana -----------------------------------------
18
3. Jenis Tindak Pidana --------------------------------------------------
20
4. Jenis-jenis Sanksi Tindak Pidana -----------------------------------
26
C. Pengertian Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (People Smuggling)…… .............................................................................
33
D. Ketentuan Hukum yang Mengatur Tentang Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (People Smuggling)-------------------------
35
E. Pengertian Pemeriksaan Disiplin Anggota Polri Dan Penerapan Sanksinya.-------------------------------------------------------------------
40
1. Pelanggaran Disiplin.--------------------------------------------------
40
2. Penerapan Sanksi Disiplin Anggota Polri. -------------------------
49
F. Pengertian Kode Etik Profesi Polri Dan Penerapan Sanksinya. -----
50
1. Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri. -------------------------------
50
2. Penerapan Sanksi Kode Etik Profesi polri. -------------------------
54
BAB III METODE PENELITIAN ..........................................................
60
A. Tipe Penelitian. -----------------------------------------------------------
60
B. Lokasi Penelitian. --------------------------------------------------------
60
C. Populasi dan Sampel. ----------------------------------------------------
60
D. Jenis Dan Sumber Data. -------------------------------------------------
61
E. Teknik Pengumpulan Data. ---------------------------------------------
62
F. Teknik Analisis Data......................................................................
62
G. Definisi Operasional ......................................................................
62
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. --------------------------------------
64
Penerapan sanksi Disiplin Dan Kode Etik Profesi Polri Terhadap Anggota Polri yang terlibat tindak pidana penyelundupan (People Smuggling). -------------------------------------------------------------------
64
BAB V PENUTUP. ---------------------------------------------------------------
73
A. Kesimpulan. ---------------------------------------------------------------
73
B. Saran. -----------------------------------------------------------------------
74
Daftar Pustaka. --------------------------------------------------------------------
75
ABSTRAK SARWAN OTTORA SAMPARA, 21009162, PENERAPAN SANKSI HUKUM TERHADAP OKNUM ANGGOTA POLRI YANG TERLIBAT DALAM TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING), penulisan skripsi ini di bawah bimbingan Sabrina Hidayat, SH, MH sebagai Pembimbing I dan Arifai, SH, MH sebagai Pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui penerapan sanksi hukum terhadap
aparat keamanan dan penegak hukum (Anggota Polri) dalam tindak pidana Penyelundupan Manusia (people smuggling), sehingga tujuan hukum dapat teraktual dalam praktek hukum.
Metode Penelitian dalam penelitian ini adalah normatif empiris, secara normatif adalah penelitian yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, sedangkan secara empiris adalah mengkaji norma-norma atau peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Efektivitas Penerapan Sanksi Kode Etik Kepolisian dalam tindak pidana penyelundupan manusia (people smuggling) dengan menggunakan metode interview (wawancara) serta melakukan penelitian kepustakaan (library research) yakni penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada relevansinya dengan penulisan dan judul skripsi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para pelaku tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) yang dilakukan oleh Anggota Polri pada hakekat dikenakan sanksi Disiplin, Sanksi Kode Etik Profesi Polri dan Sanksi Pidana dengan ancaman hukuman Penjara kemudian Pemecatan dari Kepolisian (PTDH) pemberhentian tidak dengan hormat dari Kepolisian jika para pelaku nantinya telah mendapatkan kepastian hukum yang tetap melalui persidangan peradilan umum, Bahwa Sanksi yang diterapkan kepada Anggota Polri para pelaku tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) adalah Sanksi Disiplin berupa Penempatan Dalam tempat khusus, Penundaan Kenaikan Pangkat selama 1 tahun, penundaan mengikuti Pendidikan selama 1 tahun, Penundaan Kenaikan Gaji berkala selama 1 tahun dan Teguran tertulis, kemudian Sanksi Kode Etik Profesi Polri dengan ancaman hukuman PTDH, Tour of Area, Pembinaan Kembali, namun penerapan sanksi kode etik dan sanksi disiplin belum dapat diterapkan karena menunggu hasil putusan sidang pada peradilan umum.
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pengaruh globalisasi jelas menyebabkan banyak hal-hal yang terjadi mulai dari meningkatnya perdagangan yang bebas, semakin dekatnya hubungan antar Negara baik dalam bentuk perjanjian, kerjasama ekonomi dan bentuk kerjasama lainnya. Bentuk lain dari pengaruh perkembagan jaman yang cepat dan globalisasi yang kuat juga menimbulkan banyak masuknya pengaruh dari luar Indonesia, baik berupa pemikiran dan gaya hidup, teknologi yang berkembang juga semakin berkembang menyebabkan banyaknya jenis elektronik. Era globalisasi kemudian memunculkan potensi untuk terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Akses yang gampang dan peraturan yang mudah dipermainkan menimbulkan suatu praktek kejahatan lintas negara. Kejahatan lintas negara ini sejatinya sudah ada sejak dahulu, tetapi sesuai perkembangan jaman, pelbagai inovasi telah dilakukan oleh para pelanggar sehingga kejahatan lintas negara pun muncul dalam kemasan yang teroganisir dengan melibatkan banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Permasalahan
yang
juga
segaris
dengan
perkembangan
dengan
meningkatnya globalisasi ini adalah masalah masuknya warga Negara asing ke Indonesia yang datang karena sekedar ingin berlibur, lalu karena panggilan kerja,
1
2
dan belajar sebagai mahasiswa asing. Secara langsung ini meningkatkan tingkat kepopuleran Indonesia di mata internaisonal karena semakin banyaknya yang masuk ke Indonesia menunjukan Indonesia memiliki kemampuan untuk menjaga keamanan dari mereka para warga Negara asing, bahkan tidak sedikit yang akhirnya meminta untuk menjadi warga tetap Negara Indonesia. Di sisi lain dimana ada sesuatu yang legal maka akan ada juga yang ilegal, warga Negara asing yang datang secara legal harus mengurus dokumendokumen. Tapi untuk mereka yang masuk secara illegal mereka masuk dengan sembunyi-sembunyi yang kemudian akan disebut imigran gelap. Datangnya imigran gelap yang kini justru semakin meningkat bukan hanya karena disebabkan motif ekonomi tetapi juga dalam rangka mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka terpaksa datang karena merasa terancam di negeri asalnya dan ingin mencari tempat yang lebih aman di negeri lain. Konvensi Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugee) menyebutkan bahwa pengungsi adalah mereka yang mengungsi ke negeri lain karena takut akan penyiksaan atau ancaman penyiksaan (persecution) yang terjadi atas dasar perbedaan suku, agama, ras, etnis, golongan sosial, keyakinan politik , kelompok kepentingan, dan lain-lain. Pengungsi ada yang bertahan sementara di negeri lain untuk kemudian kembali ke negerinya. Ada pula yang mengajukan suaka (asylum) ke negeri lain karena telah hilang harapan terhadap keamanan dirinya di negeri asalnya. Merekalah yang kemudian disebut sebagai pencari suaka (asylum seeker). Akan halnya mereka yang terpaksa hijrah dari daerah tempat tinggalnya entah karena konflik sosial maupun bencana alam namun tidak meninggalkan
3
batas-batas negerinya tidaklah disebut sebagai pengungsi, melainkan Internally Displaced Persons. (Koenttjaraningrat, 2009: 41). Menurut catatan Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (UN High Commissioner for Refugees) sekitar 15,4 juta orang dipaksa mengungsi meninggalkan negara mereka. Sementara 27 juta orang tercatat dipaksa mengungsi di dalam negara mereka sendiri. PBB mencatat bahwa sebagian besar pengungsi ada di negara-negara miskin. PBB mencatat bahwa konflik dan bencana alam menjadi penyebab utama meningkatnya gelombang pengungsi di dunia. Laporan PBB mencatat sepertiga pengungsi dunia berasal dari Afghanistan. Jumlah pengungsi terbesar berikutnya berasal dari Irak, Somalia, Kongo dan Sudan. Laporan itu juga mengungkapkan bahwa empat dari lima pengungsi di dunia tinggal di negara miskin seperti Pakistan, Iran dan Suriah. PBB juga mencatat bahwa masalah terorisme membuat sejumlah negara maju makin menolak permintaan suaka dari para pengungsi. http://www.dw.de. Indonesia sendiri tidak tergolong sebagai negeri tujuan pengungsian. Walaupun Indonesia pernah berpartisipasi dengan menyediakan Pulau Galang di Kepulauan Riau sebagai penampungan pengungsi asal Vietnam dan Kamboja (tahun 1979 – 1996) atas mandat dari PBB (UNHCR). Disamping Pulau Galang, pulau lain seperti Natuna, Tarempa dan Anambas juga menjadi tempat transit dan pemprosesan manusia perahu. (http://manshurzikri.wordpress.com) Posisi Indonesia saat ini lebih dikenal sebagai negeri transit pengungsi dari negeri Asia lain yang akan menuju Australia. Pengungsi yang menjadikan Indonesia sebagai negeri transit datang dari Irak, Afghanistan, Sri Lanka maupun
4
Burma (etnis Rohingya). Kebanyakan pengungsi datang dengan menggunakan jalur laut (sebagai manusia perahu) dan memilih pantai selatan Jawa hingga ke Nusa Tenggara dan Sulawesi sebagai tempat bertolak menuju Australia. Indonesia belum memiliki aturan hukum dan teknis penanganan imigran ilegal yang transit di Indonesia. Tak adanya aturan itu membuat wadah koordinasi antar-instansi terkait saat menangani imigran gelap menjadi tidak jelas. Hal ini didasari didasari atas pengalaman sejumlah kasus penyelundupan imigran gelap di sejumlah daerah transit di Indonesia. "Masalah imigran bukan hanya tanggung jawab pihak imigrasi, tapi sudah jadi masalah negara dan butuh koordinasi antarinstansi. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian belum mengatur penanganan imigran gelap yang jadi korban sindikat penyelundupan manusia. "Mereka ini korban dari sindikat penyelundupan antarnegara. UndangUndang Keimigrasian hanya mengatur sanksi pidana bagi pelaku penyelundupan manusia. Sedangkan untuk imigran yang jadi korban tidak diatur. Untuk itu pemerintah perlu membuat regulasi sebab jumlah imigran, terutama dari Timur Tengah yang menuju negara tujuan seperti Australia, terus bertambah. Australia jadi tujuan karena berdasarkan Ratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1951, Australia menyatakan sebagai negara penampung imigran. "Di Australia, mereka dapat dipekerjakan dan menjadi warga negara sana, namun melalui proses yang ketat. Peran aparat keamanan dan penegak hukum juga sangat dibutuhkan dalam pencegahan dan menindak keras para penyelundup manusia asal Indonesia yang
5
mengambil keuntungan dari penderitaan para pencari suaka dengan cara memfasilitasi, memberikan transportasi, dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan cara menipu, mengantarkan orang ke negeri lain melalui cara tidak resmi yang sekaligus melanggar hukum. Apalagi, Indonesia telah menjadi pihak (party) dari Konvensi PBB tentang Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi dengan meratifikasinya sejak April 2009 melalui UU No. 5 tahun 2009. http://rakudablue.wordpress.com. Namun pada kenyataannya, aparat keamanan dan penegak hukum yang diharapkan dapat mendukung program regulasi pemerintah dan menegakkan hukum justru tercoreng oleh ulah beberapa aparat keamanan dan penegak hukum yang mengambil keuntungan dengan membantu dan memfasilitasi para imigran gelap. Di beberapa daerah yang menjadi tempat transit atau jalur lalu lintas para imigran tidak sedikit oknum aparat
yang lalai dalam menjalankan tugas dan
kewenangan menegakkan hukum. Di Kepolisian Resor Kota Kendari menangkap tiga pegawai Kantor Imigrasi Kendari, Sulawesi Tenggara. Ketiganya diduga membantu pelarian 20-an imigran gelap. Penangkapan ketiga orang ini merupakan pengembangan dari penangkapan tiga polisi yang kedapatan membantu pelarian para imigran itu. Menurut Pejabat Humas Polda Sultra, AKBP Abdul Karim Samandi, penangkapan terhadap 28 imigran gelap beserta tiga anggota polisi yang diduga sebagai kurir dan empat buah mobil beserta supirnya dilakukan oleh jajaran Polda Sultra, Selasa (28/5) sekitar pukul 23.00 wita. Mereka ditangkap saat hendak
6
mencari kapal di sekitar daerah pesisir Kecamatan Kolono dan Moramo, Konawe Selatan. Kronologi pengungkapan upaya penyelundupan para imigran gelap yang melibatkan tiga oknum polisi tersebut berawal dari laporan masyarakat. Para imigran gelap tersebut dijemput di tempat penginapannya di Hotel Delta Kendari, yang rencananya akan diantarkan ke sekitar daerah Kolono dan Moramo. (http://regional.kompas.com) Berangkat dari latar belakang diatas, maka penulis bermaksud mengkaji lebih jauh dalam bentuk skripsi dengan judul : “Penerapan sanksi hukum terhadap
Oknum Anggota Polri yang
terlibat dalam Tindak Pidana People Smuggling (Penyelundupan Manusia)”
B. Rumusan Masalah Dari uraian sederhana diatas maka untuk membatasi masalah apa yang akan diteliti dan untuk mensistematiskan pembahasan berikutnya, maka penulis memberikan batasan dalam bentuk rumusan masalah yang akan diteliti sebagai berikut, Bagaimanakah penerapan sanksi hukum terhadap Anggota Polri pelaku people smuggling ? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui penerapan sanksi hukum terhadap aparat keamanan dan penegak hukum (Anggota Polri) dalam tindak pidana people smuggling.
7
D. Manfaat Penelitian 1.
Diharapkan dapat menjadi masukkan bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum acara dan juga bagi yang berminat melakukan penelitian lebih lanjut tentang judul di atas dan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan diskusi juga sebagai referensi oleh mahasiswa terhadap penulisan-penulisan yang terkait dengan hal judul di atas.
2.
Diharapkan dapat menjadi masukan bagi perguruan tinggi dan pemerintah dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan yang berkenaan dengan penerapan hukum sebagai sarana control terhadap pelaku people smuggling.
3.
Sebagai bahan informasi bagi masyarakat dan para akademisi tentang penerapan hukum sebagai sarana control terhadap penegak hukum dan masyarakat.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Kewenangan Kepolisian Kinerja Polri mencakup faktor-faktor manifest dalam perilaku individu dan lembaga Polri. Kinerja Polri merupakan fungsi dari pencapaian tujuan lembaga, baik berupa keberhasilan maupun kegagalan. Kinerja merupakan prilaku yang dapat diamati dan dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat. Pada dasarnya ada dua bentuk pengukuran kinerja kepolisian. Yang pertama adalah pengukuran secara kuantitatif dan yang kedua pengukuran secara kualitatif. Bentuk kuantitatif ukuran kinerja adalah ukuran seperti jumlah pelanggaran yang diterima. Sedangkan bentuk kualitatif ukuran kinerja pada dasarnya terkait pendapat masyarakat tentang Polisi. Kinerja Polri lah lebih mudah dipahami dalam pembagian sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya, yaitu kinerja dibidang hukum, kinerja dibidang keamanan dan ketertiban masyarakat serta kinerja dibidang pelayanan dan pengayom masyarakat serta kinerja dibidang pelayan dan pengayom masyarakat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melihat kinerja Kepolisian Republik Indonesia yaitu : a. Bidang Penegakan Hukum Polisi adalah instansi yang berperan dalam penegakan hukum dari Norma yang hidup dalam masyarakat (Police as an enforment office). Pada pelaksanaan demikian, Polisi adalah Instansi yang dapat memaksakan berlakunya hukum. Manakala Hukum dilanggar, terutama oleh
8
9
prilakunya menyimpang yang namanya kejahatan, diperlukan para Polisi untuk memulihkan keadaan pemaksa agar sipelanggar Hukum Menanggung akibat dari perbuatannya. Untuk mengetahui bagaimana hukum ditegakkan tidaklah harus dilihat dari institusinya hukum seperti kejaksaan atau pengadilan, tetapi dilihat pada prilaku Polisi yang merupakan garda terdepan dari proses penegakan hukum. Sebagai penegak hukum, Polisi adalah pribadi atau anggota yang menguasai pengetahuan hukum, bersifat jujur, bersih, berani bertindak dengan penuh tanggung jawab, sehingga hukum dapat ditegakkan. b. Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Sebagai
pemeliharaan
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat
(Kantibmas) Polisi melakukan tugas mengantisipasi, menjaga dan mengayomi masyarakatnya dari perilaku jahat yang diperagakan para penjahat, polisi bersama anggota masyarakat lainnya menjalankan upaya preventif, yaitu mencegah terjadinya kejahatan. Polisi hars siap siaga terhadap keadaaan yang mengancam keselamatan masyarakat. Agar Polisi menyelesaikan berbagai permasalahan keamanan dan ketertiban yang muncul ditengah masyarakat. Polisi harus mampu mendekati masyarakat melalui proses kondisioning secara bertahap dan keteladanan dari pada anggota polisi, sehingga masyarakat semakin percaya kepada Polisi. Dengan bekal kepercayaan tersebut, diharapkan masyarakat akan semakin dekat dengan Polisi. Dalam pelaksanaan tugas Bimas, Polri harus bekerja sama dengan berbagai Instansi pemerintah, Organisasi kemasyarakatan sampai kepada
10
pemimpin-pemimpin informasi
yang berpengaruh didaerah pedesaan,
memberikan penyuluhan pada masyarakat dan bimbingan pada remaja/anakanak/pelajar/mahasiswa/pemuda supaya taat pada hukum dan norma-norma yang ada. Fungsi ini penting dalam rangka peningkatan disiplin Nasional. c. Bidang Pelayanan dan Pengayoman Masyarakat Dalam pelaksanaan fungsinya sebagai pelayanan masyarakat setiap anggota kepolisian memerlukan sikap mental yang menyadari apa yang dimaksud dengan kata “pelayan”. Seorang pelayan tidak berada diatas. Setidak-tidaknya Polisi harus menyadari bahwa kedudukannya sebagai warga masyarakat yang lain. Polisi harus memberikan apa yang diharapkan oleh yang dilayani, walaupun semuanya dilaksanakan dalam batas-batas ketentuan peraturan dan aturan hukum yang berlaku. Sebagai pengayom masyarakat, Polisi memelihara keselamatan orang, beda dan masyarakat, termasuk memberikan pertolongan dan perlindungan, menjadi teman siapapun yang memerlukan bantuan tanpa membedakan status sosial maupun status kekayaan, mengamati lingkungan yang dapat menimbulkan situasi yang tidak tertib, misalnya traffic light yang tidak menyala, dan memberikan sarana kepada pihak yang bertanggung jawab untuk mengaturnya Baharuddi Lopa mengemukakan, Polisi harus menjadi pelayan yang terpercaya, artinya kapanpun dan dimana pun Polisi berada ia harus siap untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, memiliki integritas moral yang terpuji (disiplin, jujur dan sikap-sikap terpuji lainnya), karena betapapun
11
profesionalnya seorang Polisi, jika tidak memiliki moral yang tangguh, tidak akan pernah berhasil dalam mengemban tugasnya. Tugas-tugas
pelayanan
dan
pengayoman
oleh
Polisi
kepada
masyarakat diaktulisasikan dalam tindakan konkrit yang sebenarnya sepele, tetapi maknanya dalam bagi masyarakat yang mengerti arti sebuah nilai pengabdian. Misalnya Polisi harus bersedia menyeberangkan orang tua dan anak-anak manakala jalanan ramai. Atau Polisi harus berjaga dengan kewaspadaan tinggi di tengah malam saat masyarakat sudah terlelap dalam tidur. Dimanapun dunia ini, kepolisian akan selalu ditarik kedua arah yang berbeda, yaitu arah formal prosedural dan arah sosiologis substansial. Keadaan dasar seperti itu mendorong kita untuk memahami pekerjaaan kepolisian sebagai sesuatu yang “berakar peraturan” dan sekaligus juga ‘berakar perilaku”. Kalau mempelajari kepolisian juga berarti berusaha memberikan penjelasan mengenai objeknya, seperti lainnya aturan main dalam ilmu pengetahuan, maka kita tidak akan biasa ke dalam hakikatnya sebagai suatu pekerjaan yang berkat perilaku itu. Penegakan hukum, penjagaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta pelayanan dan pengayoman masyarakat adalah tugas pokok Polisi sebagai profesi mulia yang aplikasinya harus berakibat pada asas legalitas, undang-undang yang berlaku dan hak asasi manusia. Atau dengan kata lain harus bertindak secara professional dan memegang Kode Etik secara ketat dan erat, sehingga tidak terjerumus kedalam perilaku yang di benci masyarakat.
12
Di dalam pelaksanaan pembangunan maka faktor keamanan dan ketertiban masyarakat harus terkendali dan stabilitas Nasional terjalin agar roda pembangunan Nasional dapat berputar dengan lancar. Realisasi perwujudan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) memang secara langsung merupakan tugas dari kepolisian, baik selaku pembina kamtibmas, pengayom, dan pelindung masyarakat, bersama dengan aparat penegak hukum lainnya. Namun tugas Kepolisian dalam memberantas kejahatan tidak akan berhasil tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari masyarakat. Peranan aktif masyarakat itu dapat dilaksanakan berupa memberikan informasi kepada pihak Polisi sehingga Polisi dapat mengungkap dan menangkap kriminal. Bentuk-bentuk
kejahatan
yang terjadi
selama
ini
tampaknya
berkembang mengikuti irama perkembangan pembangunan dan kehidupan sosial masyarakat, seperti perampokan, perkelahian kelompok, masalah premanisme dan juga masalah peredaran narkotika dan obat-obat terlarang. Oleh karena itu Polisi sebagai ujung tombak penegakan hukum dalam mengantisipasi dan mendidik kejahatan harus lebih sabar, telaten dan professional dalam menangani kejahatan tersebut. Berbicara tentang tugas Polisi dalam mengantisipasi kejahatan dan melayani masyarakat, akan bijak jika kembali mengingat teori lahirnya Polisi bahwa “Polisi dan masyarakat adalah dua subjek sekaligus yang tidak mungkin terpisahkan”. Polisi lahir karena adanya masyarakat dan masyarakat membutuhkan kehadiran Polisi guna menjaga ketertiban, keamanan dan keteraturan masyarakat itu sendiri” (Anton Tabah, 1996:57).
13
Tuntutan masyarakat terhadap Polisi terkadang terlalu besar, orang mungkin sering membayangkan sosok Polisi sebagai hero yang mampu mengatasi segala persoalan masyarakat tanpa kesulitan. Bayangan demikian, kadang membuat masyarakat kecewa oleh kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Perasaan seperti ini biasa disertai kejengkelan disebabkan apa yang diharapkan ternyata tidak mampu dipenuhi oleh Polisi. Padahal Polisi adalah manusia biasa seperti masyarakat lainnya tidak mungkin luput dari kesalahan. Tuntutan lain masyarakat terhadap Polisi adalah agar Polisi dapat secara cepat menanggulangi masalah yang ada di hadapi, tanpa mempertimbangkan apakah Polisi di dukung oleh sarana dan prasarana yang memadai untuk menanggulangi suatu kejahatan tertentu. Inisial tuntutan agar Polisi harus memerlukan seperangkat peralatan dan suatu keahlian khusus. Jadi begitu banyak yang diharapkan masyarakat dari Polisi, baik selaku pelayan dan pengayom masyarakat, maupun selaku penegak hukum. Dalam mengungkap suatu kejahatan masyarakat juga berharap agar Polisi tidak bertindak keras, yang membuat Polisi berada pada kondisi yang dilematis. Polisi dalam menghadapi suatu kejahatan harus mempertimbangkan apakah kekerasan itu akan dilawan pula dengan kekerasan sebab Polisi terikat oleh suatu prosedur penangkapan dan bukti yang didapat oleh Polisi dapat saja di anggap tidak sah apabila tidak memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Profesi kepolisian memang dilematis yang menuntut tidak hanya ketahanan fisik melainkan juga ketahanan mental serta pengetahuan hukum yang luas. Polisi dalam menghadapi penjahat harus melengkapi dirinya
14
dengan
kemahiran
yang
professional
agar
tidak
menjadi
korban,
profesionalisme Polisi memang sangat di tuntut pada saat ini sehingga kasus kejahatan yang ditanganinya dapat diselesaikan dengan cepat. B. Pengertian Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana dan Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana. Namun demikian tidak menjadi soal karena tujuan para pakar hukum tersebut samasama memberikan pengertian dan penjelasan bahwa delik (strafbaar feith) adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum atau bertentangan dengan tata hukum dan diancam pidana apabila perbuatan yang dilarang itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan (Andi Zainal Abidin Farid, 1995:51). Menurut Rusli Effendy (1986:1) memakai istilah peristiwa pidana yang menyatakan bahwa delik perbuatan oleh hukum pidana dilarang dan diancam pidana barang siapa melanggar larangan tersebut, untuk disebut peristiwa pidana atau delik. Menurut Wirjono Prodjodikoro (2003:1) mengemukakan bahwa tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah
15
yang oleh pembentuk Undang-Undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana. Menurut
Simons
(Sianturi,
1996:205)
merumuskan
bahwa
“strafbaafeit” adalah suatu handeling (tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh Undang-Undang, yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatic) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu bertanggungjawab. Kemudian beliau membagi dalam dua golongan unsur yaitu : a. Unsur subyektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar) dari petindak. b. Unsur obyektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu. Moeljtno (1983:9) menggunakan istilah ”perbuatan pidana” yaitu berbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut dan merupakan perbuatan yang anti sosial. Menurut Santochit Kartanegara, (Kanter dan Sianturi, 1982:208) memakai istilah tindak pidana. Istilah tindak pidana (tindakan) mencakup pengertian/berbuat dan/atau pengertian melakukan, tidak berbuat, tidak mencakup pengertian mengakibatkan dan/atau tidak melakukan. Istilah peristiwa pidana hanya menunjukan kepada manusia, sedangkan terjemahan pidana untuk strafbaar feit adalah sudah tepat. Menurut Utrectht (Rusly Effendi, 1986: 251) mengemukakan istilah peristiwa pidana yaitu peristiwa pidana itu meliputi suatu perbuatan hukum
16
atau melalaikan akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan). Istilah yang sama juga dianut oleh Zamhari Abidin (1986:21) beliau mengemukakan bahwa yang paling tepat adalah istilah peristiwa pidana, sebagai terjemahan dari starafbaar feit/delict, oleh karena itu yang diancam dengan pidana itu bukanlah semata-mata berbuat atau bertindak, tetapi meliputi juga tidak berbuat, tidak bertindak ataupun lalai terhadap memenuhi suruhan (gebod). Menurut Vos (Sianturi, 1996:205) merumuskan strafbaafeit adalah suatu kelakuan (genraging) manusia yang dilarang oleh dan undang-undang diancam pidana. Menurut
Pompe
(Sianturi,
1996:205)
merumuskan
bahwa
“strafbaarfeit” adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan hukum) terhadap mana pelaku yang mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertibaan hukum dan menjamin kesejahteraan umum. Menurut Moeljatno (Kanter dan Sianturi, 1982:207) menyatakan bahwa untuk menerjemahkan istilah tersebut beliau menggunakan istilah perbuatan pidana dengan alasan: perbuatan adalah perkataan lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari. Menurut Utrecht (Kanter dan Sianturi, 1982:206) menggunakan istilah peristiwa pidana dengan mempertimbangakan bahwa peristiwa pidana
17
itu meliputi suatu perbuatan hukum atau melalaikan ataupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikannya) Menurut
Jonkers
(Sianturi,
1996:205)
memberikan
defenisi
“stafbaarfeit” yaitu : a.
Stafbaarfeit adalah suatu kejadian yamg dapat diancam pidana oleh Undang-Undang.
b.
Stafbaarfeit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubungan dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Satotchid Kartanegara (Kanter dan Sianturi, 1982:208) memakai istilah tindak pidana karena istilah tindak pidana mencakup pengertian berbuat dan atau pengertian melakukan, tidak berbuat, tidak mencakup pengertian mengakibatkan istilah pidana hanya menunjukan kepada manusia. Apabila seseorang melakukan suatu tindakan sesuai dengan tindakannya dan karenanya merugikan kepentingan umum/mayarakat termasuk kepentingan perseorangan, lebih lengkap kiranya apabila ternyata tindakan tersebut terjadi pada suatu tempat, waktu dan keadaan yang ditentukan. Artinya dipandang dari sudut tempat, waktu dan keadaan dari sudut tempat dimana ketentuan pidana Indonesia berlaku, dipandang dari sudut waktu tindakan itu masih dirasakan sebagai suatu tindakan yang perlu diancam dengan pidana ( belum daluwarsa), dari sudut keadaan, tindakan itu
18
harus terjadi pada suatu keadaan dimana tindakan itu dipandang sebagai perbuatan tercela. Dengan perkataan lain suatu tindakan yang dilakukan diluar jangkauan berlakunya ketentuan pidana Indonesia, bukanlah merupakan suatu tindak pidana dalam arti penerapan ketentuan pidana Indonesia. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dari uraian tersebut, unsur-unsur dari tindak pidana adalah sebagai berikut : 1) Subyek; 2) Kesalahan; 3) Bersifat melawan hukum (dari tindakan); 4) Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh UndangUndang atau Perundang-undangan dan terhadap pelanggar diancam dengan hukum pidana; 5) Waktu, tempat, dan keadaan (Kanter dan Sianturi, 2002:211212). Moeljatno (Adami Chazawi, 2002:79) mengemukakan unsur-unsur tindak pidana yaitu : 1) Perbuatan; 2) Yang dilarang (oleh aturan hukum); 3) Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan). Jonkers (Adami Chazawi, 2002:80-81) mengemukakan unsur-unsur tindak pidana adalah :
19
1) Perbuatan (yang); 2) Melawan hukum (yang berhubungan dengan) ; 3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); 4) Dipertanggungjawabkan. Ledeng Mapung (Moeljatno, 1983:10) menyatakan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam alam lahir, disamping kelakuan dan akibat untuk adanya perbuatan pidana, biasanya diperlakukan juga adanya ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan. Setelah penulis mengetengahkan beberapa pengertian strafbaarfeit sebagaimana dikemukakan oleh pakar hukum dapat diketahui, bahwa diantara para pakar hukum tersebut belum ada kesamaan pendapat tentang istilah yang digunakan untuk terjemahan strafbaarfeit. Hal ini disebabkan karena masingmasing melihatnya dari sudut pandang yang berbeda-beda. Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh para pakar diatas maka istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah tindak pidana, sebab tindak pidana sudah mencakup keseluruhan perbuatan sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang, dan diancam dengan pidana oleh Undang-Undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang.
20
3. Jenis Tindak Pidana 1) Pembagian Jenis Jenis Tindak Pidana a. Menurut system KUHP, dibedakan antara kejahatan dimuat dalam buku II dan pelanggaran dimuat dalam buku III. Alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi dengan ancaman pidana penjara. kriteria lain yang membedakan kejatan dan pelanggaran yakni kejahatan itu meruapakan delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan juga menimbulkan bahaya secara kongkret, sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja. b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada
21
perbuatannya. Misalnya pada pencurian Pasal 362 untuk selesainya pencurian digantung pada selesainya perbuatan mengambil. Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materil, inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Begitu juga untuk selesainya tindak pidana materil, tidak bergantung pada sejauh mana wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya di gantungkan pada syarat timbulnya akibat terlarang tersebut. Misalnya wujud membacok telah selesai dilakukan dalam hal pembunuhan, tetapi pembunuhan itu belum terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak menimbulkan akibat hilangnya nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan pembunuhan. c. Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak dengan sengaja. Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan tindak tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa. d. Berdasarkan macam perbuatan perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi.
22
Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkan disyaratkan adanya gerakan dari anggotan tubuh orang yang berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar larangan, perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun secara materil. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana aktif. Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul. e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
23
Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang. f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan Buku III). Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHP. g. Dilihat dari sudut subjek hukum, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu). Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang, dan memang bagian terbesar tindak pidana itu dirumuskan dengan maksud yang demikian. Akan
24
tetapi, ada perbuatan-perbuatan yang tidak patut tertentu yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) atau nakhoda (pada kejahatan pelayaran), dan sebagainya. h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan. Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan
adanya pengaduan dari yang
berhak, sementara itu tindak aduan adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang berhak. i. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana yang diperberat
dan
tindak
pidana
yang
diperingan.
Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi : 1.
Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga disebut dengan bentuk standar;
25
2.
Dalam bentuk yang diperberat;
3.
Dalam bentuk ringan. Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara
lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada bentuk yang diperberat dan atau diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Karena ada faktor pemberatnya atau faktor peringannya, ancaman pidana terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya. j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi. Sistematika pengelompokan tindak pidana bab per bab dalam KUHP didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi. Berdasarkan kepentingan hukum yang di lindungi ini maka dapat disebutkan
misalnya
dalam
Buku
II.
Untuk
melindungi
kepentingan hukum terhadap keamanan Negara, dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan Negara (Bab I), untuk melindungi
26
kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas bagi penguasa umum, dibentuk kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII), untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi dibentuk tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII), Penggelapan (Bab XXIV), Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII) dan seterusnya. k. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk mejadi suatu larangan dibedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai. Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumusakan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sementara itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan dilakukan secara berulang. 4. Jenis-jenis Sanksi Tindak Pidana 1. Hukumanmati 2. Penjara (sementarawaktuatauseumurhidup) 3. Kurungan 4. Denda (UU No. 1/1960, dikonversi: dikali 15) 5. Tutupan (UU No.20/1946)
27
b. HukumanTambahan: 1. Pencabutanbeberapahaktertentu 2. Perampasanbarangtertentu 3. pengumumankeputusan hakim Jenis-jenisHukuman / PidanaMenurut R-KUHP: Pasal 65 (1) Pidana pokok terdiri atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan c. pidana pengawasan d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial. (2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana Pasal 66 Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Pasal 67 (1) Pidana tambahan terdiri atas: a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran gantikerugian; dan
28
e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. (2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain. (3) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. (4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk pidan pidananya. Uraian tentang jenis-jenis hukuman menurut KUHP: Hukuman/pidanaMati (diaturdalampasal 11 joPasal 10 KUHP) TindakPidana yang diancamdengan hukuman mati : A. DalamKUHP : · Pembunuhan berencana · Kejahatan terhadap keamanan negara · Pencurian dengan pemberatan · Pemerasan dengan pemberatan · Pembajakan di laut dengan pemberatan. B. Diluar KUHP; · Terorisme · Narkoba · Korupsi
29
· Pelanggaran HAM Berat; Kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang dilakukan secara meluas dan sistematis. Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tiang gantungan (ps.11 KUHP), tapi berdasarkan Peraturan presiden nomor. 2/1964 :ditembak dibagian jantung dan/atau kepala dan tidak dilakukan di muka umum (rahasia, baik waktu dan tempat eksekusinya). Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada anak; pidana mati tidak dapat dilakukan pada orang yang setelah dihukum menjadi gila dan wanita hamil. Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang gila itu sembuh dan wanita tersebut telah melahirkan. Hukuman/Pidana Penjara (Menurut pasal-pasal dalam KUHP dan UndangUndang Nomor. 12/1995 tentang Pemasyarakatan) Pasal 12 KUHP: Hukuman penjara lamanya seumur hidup atau sementara/pidana penjara dilakukan dalam jangka waktu tertentu (min 1 hari selama-lamanya 15 tahun atau dapat dijatuhkan selama 20 thn, tapi tidak boleh lebih dari 20 thn). Pidana penjara dilakukan di penjara (prison/jail), di indonesia disebut sebagai LembagaPemasyarakatan (LP/lapas). Untuk pemulihan kembali hubungan antara narapidana dan masyarakat, Penghuninya disebut narapaidana/napi (inmates): Warga Binaan Pemasyarakatan (berdasarkan Undang-Undang Nomor.12/1995). Pembagian Sistem Penjara – gevangenis stelsel, menurutUtrecht :
30
· Sistem Pennsylvania, AS :para hukuman terus menerus ditutup sendirisendiri dalam satu kamar sel. Terhukum hanya melakukan kontak dengan penjaga sel/sipir penjara. Dilakukan peringatan: terhukum diperkenankan melakukan pekerjaan tangan dan secara terbatas dapat menerima tamu, tapi ia tetap dilarang bergaul dengan terhukum lain · Sistem Auburn, New York, AS, disebut juga sebagai silent system, di mana para hukuman pada siang hari disuruh bekerja bersama-sama tapi tidak boleh saling bicara, malam hari kembali ke sel. · Sistem Irlandia (Irish System) yang berasal dari mark system, menggunakan penilaian. Para hukuman mula-mula ditempatkan dalam ruang tertutup terus menerus, dalam hal ini diterapkan hukum yang keras. Terhukum diberikan waktu untuk merenung, menyesali perbuatannya dan diharapkan ia dapat memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul dengan napi lain dikhawatirkan bisa saja menjadi bertambah jahat. Jika berkelakuan baik, maka hukumannya diperingan :mulai dimasyarakatkan dan dapat diberikan the rise of feformatory (pelepasanbersyarat), publik work prison, dan ticket to leave. Kemudian diperkenankan kerja sama-sama, lalu secara bertahap diberi kelonggaran untuk bergaul satu sama lain. Pelepasan bersyarat dapat dilakukan jika telah menjalani dari ¾ hukumannya. · Sistem Elmira (NY, AS), diperuntukan bagi terhukum yang berusia tidak lebih dari 30 thn. Disebut sebagai penjara reformatory yakni tempat untuk memperbaiki orang menjadi warga masyarakat yang berguna.Mirip dengan system Irlandia namun titik berat lebih pada usaha-usaha untuk memperbaiki
31
sipelaku, jadi terpidana diberikan pengajaran, pendidikan dan pekerjaan yang nantinya bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. · Sistem Borstal (LONDON, UK). Dalam penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri Kehakiman (Minister of justice).Khusus untuk pelaku yang masih muda yaitu mereka yang berusia kurang dari 19 th.Seperti LP Pemudadan LP Anak laki-laki di Tangerang, Banten. · Sistem Osborne (NY,US). Memilih ‘BOS’ – mandor dari kalangan napi sendiri untuk mengatur napi : Tamping/building tender. Di Indonesia diterapkan ke 5 nya : · Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu sel atau 1 orang/1 sel. Minimum security/maximum security/Super Maximum Security (SMS) · Napipada umumnya boleh keluar dari sel pada pagi dan/atau siang hari, sore masuk sel sampai besok pagi. Ada jadwal kegiatannya. Jika melakukan pelanggaran berat atau berkelakuan tidak baik ataupun melanggar aturan maka dimasukkan dalam sel sendirian, disebut juga dengan tutupan sunyi. · Boleh bekerja di luar sel secara bersama-sama = kerja di kebon/taman, masak di dapur, bersihkan kolam, kerja di bengkel LP untuk buat kerajinan/furniture, menjahit, menyulam, merangkai bunga dsb. Boleh belajar/sekolah dlm LP, boleh membaca, dengar radio/nonton TV olah raga dsb. Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai dengan jam yang telah ditentukan.
32
· Dapat diberikan pelepasan bersyarat PB- reclassering), jika telah menempuh 2/3 dari hukumannya (pasal 15 KUHP).Selain itu terdapat juga ketentuan tentang pidana percobaan seperti yang diatur dalam Pasal 14 huruf (a) KUHP. · Meskipun hukuman penjara dilakukan bersama-sama tapi tetap ada pemisahan mutlak : - Laki-laki dan perempuan - Orang dewasa dan anak di bawah umur - Orang yang dihukum/ditahan – orang yang dihukum karena upaya preventif - Orang militer dan orang sipil Pidana kurungan Dilaksanakan di penjara, tapi lebih bebas, ada hak pistol yaitu tersedia fasilitas yang lebih dari terpidana penjara. Pidana Denda (Pasal 30 ayat (1) KUHP dan Undang-undang Nomor. 1/1960) Dengan adanya pidana denda sering kali penerapan Hukum Pidana menjadi kabur karena pidana denda dianggap bukan pidana karena pelaku tak ada di Lembaga Pemasyarakatan. Pidana Tutupan (Undang-Undang Nomor.20/1946) Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan yang dilakukan di dasari oleh suatu motivasi yang patut dihormati/dihargai. Tempatnya di penjara, namun diberikan fasilitas yang lebih baik karena terpidana boleh membawa dan menikmati buku bacaan dan radio/tape. Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja.
33
C.
Pengertian
Tindak
Pidana
Penyelundupan
Manusia
(people
smuggling) Dalam konteks Indonesia, yang menjadi faktor penarik untuk terjadinya praktek kejahatan ini antara lain adalah keadaan geografis Indonesia yang luas, tetapi kekurangan satuan tugas pengamanan wilayah; Indonesia adalah negara yang strategis sebagai tempat transit sebelum sampai ke negara tujuan, seperti Australia. Indonesia, yang belum menandatangai Konvensi Jenewa Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967, posisinya sangat lemah dalam mengatasi masalah para pencari suaka dan pengungsi dari negara lain karena tidak memiliki peraturan nasional yang secara khusus membahas masalah tersebut. Selain itu, keberadaan UNHCR di Jakarta membuat Pemerintah Republik Indonesia merujuk setuap orang asing yang masuk dengan alasan mencari suaka ke UNHCR untuk melaksanakan penentuan status pengungsi. Pemerintah Indonesia mengizinkan para imigran untuk menetap di Indonesia hingga didapatkan suatu solusi. Migrasi bukan saja tejadi secara legal, tapi juga secara ilegal, selain faktor Indonesia sebagai Negara dalam posisi silang yang stratgis menyebabkan banyak imigran gelap masuk ke indonesia. Selain itu juga kedaan keamanan Indonesia yang bisa dikatakan stabil juga mendukung, selain itu Indonesia juga kurang memperhatikan perbataasan Negara menyebabkan mudahnya para imigran gelap masuk. Illegal migration diartikan sebagai suatu usaha untuk memasuki suatu wilayah tanpa izin. Imigran gelap dapat pula berarti bahwa menetap di suatu
34
wilayah melebihi batas waktu berlakunya izin tinggal yang sah atau melanggar atau tidak memenuhi persyaratan untuk masuk ke suatu wilayah secara sah. Terdapat tiga bentuk dasar dari imigran gelap. Yang pertama adalah yang melintasi perbatasan secara ilegal (tidak resmi). Yang kedua adalah yang melintasi perbatasan dengan cara, yang secara sepintas adalah resmi (dengan cara yang resmi), tetapi sesungguhnya menggunakan dokumen yang dipalsukan atau menggunakan dokumen resmi milik seseorang yang bukan haknya, atau dengan menggunakan dokumen remsi dengan tujuan yang ilegal. Dan yang ketiga adalah yang tetap tinggal setelah habis masa berlakunya status resmi sebagai imigran resmi (http://manshurzikri.wordpress.com). Smuggling merupakan suatu istilah yang biasanya diperuntukkan bagi individu atau keompok , demi keuntungan, memindahkan orang-orang secara tidak remsi (melanggar ketentuan Undang-Undang) untuk melewati perbatasan suatu negara. Sedangkan PBB dalam sebuah Konvensi tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi memberikan definisi dari smuggling of migrants sebagai sebuah usaha pengadaan secara sengaja untuk sebuah keuntungan bagi masuknya seseorang secara ilegal ke dalam suatu negara dan/atau tempat tinggal yang ilegal dalam suatu negara, dimana orang tersebut bukan merupakan warga negara atau penduduk tetap dari negara yang dimasuki. Sedangkan pengertian people smuggling adalah sebuah istilah yang merujuk kepada gerakan ilegal yang terorganisasi dari sebuah kelompok atau individu yang melintasi perbatasan internasional, biasanya dengan melakukan
35
pembayaran berdasarkan jasa. Penyelundupan migrant merupakan suatu tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, guna memperoleh suatu keuntungan finansial atau material lainnya dengan cara memasukkan seseorang yang bukan warga negara atau penduduk tetap suatu negara tertentu secara ilegal ke negara tersebut. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa terdapat tiga unsur penting yang harus ada (baik secara terpisah maupun tidak) untuk menyatakan suatu tindakan tersebut tergolong people smuggling, yaitu harus ada kegiatan melintasi tapal batas antar negara, aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang bersifat ilegal, dan kegiatan tersebut memiliki maksud untuk mencari keuntungan. D. Ketentuan
Hukum
Yang
Mengatur
Tentang
Tindak
Pidana
Penyelundupan Manusia (People Smuggling) Berikut akan dijelaskan dasar hukum yang membahas tentang pengungsi, keimigrasian, dan orang yang diselundupkan (people smuggling) berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, baik nasional dan internasional. Dalam Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi, pengungsi adalah seseorang yang karena ketakutan yang beralasan, seperti dianiaya karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dari kelompok sosial tertentu, atau karena pandangan politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan dari negara asalnya tersebut (menurut definisi formal yang tercantum dalam Pasal 1A dalam Konvensi yang dimaksud). Ketentuan ini didukung oleh Undang-
36
Undang nasional, yaitu Pasal 28 G (2) UUD 1945 yang menjamin adanya hak untuk mencari suaka, dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, dijelaskan bahwa keimigrasian adalah “hal ihwal lalu lintas irang yang masuk atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara Republik Indonesia.” Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki surat perjalanan, atau tanda tertentu yang dapat mengizinkan orang tersebut untuk masuk atau keluar dari wilayah Indonesia, yaitu berupa Izin Masuk atau Tanda Bertolak (Pasal 4). Sedangkan dalam Pasal 8, pejabat imigrasi berhak menolak atau tidak member izin kepada warga negara asing untuk masuk ke wilayah Indonesia jika tidak memiliki surat perjalanan yang sah dan visa. Dalam Pasal 49 hingga 54, dinyatakan ketentuan pidana bagi yang melanggar peraturan keimigrasian. Ketentuan yang berlaku adalah hukuman kurungan selama satu tahun penjara hingga enam tahun penjara, atau denda sebesar Rp 5.000.000,- hingga Rp 30.000.000,-, berdasarkan pelanggaran yang dilakukan, seperti keluar masuk wilayah Indoesia tanpa melalui pemeriksaan;
dengan
sengaja
menggunakan
atau
memalsukan
surat
perjalanan, visa dan izin keimigrasian yang tidak resmi; menyalahgunakan atau bertindak tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin keimigrasian; melanggar kewajiban yang telah ditentukan dalam Pasal 39; berada di wilayah Indonesia secara tidak sah (pernah dideportasi ke negara
37
asal dan berada kembali di wilayah Indonesia) atau yang tetap berada di Indonesia setelah masa berlaku keimigrasian habis; serta pelanggaran oleh orang yang dengan sengaja menyembunyikan, melindungi, memberi pemondokan, memberi penghidupan atau pekerjaan kepada orang asing yang telah diduga melanggar Pasal 49 hingga 53. Berdasarkan ketentuan dalam UU Nomor. 9 Tahun 1999 tersebut, dapat dimengerti bahwa people smuggling (penyelundupan manusia) dan illegal migration adalah suatu tindakan kejahatan yang melanggar Undang-Undang. Ha ini dipertegas dengan adanya Undang-Undang Nomor. 15 Tahun 2009 tentang pengesahan protokol menentang penyelundupan migran melalui darat, laut, dan udara, melengkapi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang tindak pidana transnasional yang terorganisasi. Selain itu, perlu ditinjau pula tentang kebijakan yang dicanangkan oleh Pemerintah RI dalam menangani para pengungsi. Berdasarkan SE Dirjenim No. F-IL.01.10-1297, tertanggal 30 September 2002, Perihal Penanganan Terhadap Orang Asing Yang Menyatakan Diri Sebagai Pencari Suaka atau Pengungsi, terdapat beberapa unsur penting dalam surat edaran tersebut:
1. Pengungsi atau pencari suaka yang memasuki wilayah Indonesia tidak serta merta dideportasi. 2. Imigrasi bekerjasama dengan UNHCR di Indonesia, bersama-sama menangani para pengungsi atau pencari suaka. 3. Pengungsi yang memiliki sertifikat atau surat keterangan pengungsi maka statusna akan leih jelas dan pengurusan izin tinggal akan lebih mudah
38
4. Status pengungsi tidak kebal hukum.
People smuggling dan imigran gelap merupakan suatu tindakan pidana yang saling kait mengait. Kegiatan tersebut dapat terjadi jika salah satunya dapat direalisasikan, dalam artian bahwa imigran gelap akan berhasil dengan adanya persengkongkolan dari agen-agen penyelundup, dan penyelundupan orang mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah imigran gelap. Dalam menganalisa masalah tersebut, perlu dilakukan bahasan kelemahan dan ketidakserasian antar hukum atau Undang-Undang yang berlaku, terutama di
Indonesia,
yang
menyebabkan
tidak
terselesaikannya
masalah
penyelundupan manusia secara menyeluruh. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi tentang Status Pengungsi, dapat diketahui bahwa pengungsi bukanlah merupakan pernyataan pribadi, melainkan suatu status yang ditentukan melalui sebuah proses. Dengan keberadaan UNHCR di Jakarta, banyak para imigran gelap yang datang ke Indonesia untuk mendapatkan hak suaka hingga status dan solusi begi mereka didapatkan. Namun demikian, tidak semua orang asing yang masuk tanpa dokumen di Indonesia dapat diberikan status sebagai ‘refugee’ oleh UNHCR tersebut. Setelah para imigran mendapatkan status sebagai pengungsi, mereka memiliki kewajiban untuk menghormati setiap aturan negara di mana tempat mereka diberikan penampungan. Pemerintah Repubik Indonesia akan member kesempatan bagi para pengungsi untuk tinggal sementara di wilayah Indonesia sampai ditemukan negara ketiga sebagai tempat pemindahan. Dan apabila
39
UNHCR menolak untuk memberikan status refugee ‘pengungsi’ kepada imigran, seharusnya Pemerintah Indonesia memiliki kewenangan untuk mendeportasi mereka, malangnya dengan biaya Pemerintah RI sendiri, atau mereka dapat kembali dengan suka rela ke negara asal dengan bantuan dana IOM. Yang menjadi masalah kemudian adalah Negara Indonesia yang tidak mampu mengalokasikan dana anggaran secara rutin untuk mendeportasi para imigran gelap tersebut, dan dalam kenyataannya mereka tetap tidak mau kembali secara suka rela sehingga Indonesia tidak mendapat dana bantuan dari IOM. Berdasarkan Undang-Undang No 15 Tahun 2009, Indonesia telah mengesahkan tentang ratifikasi protokol menentang penyelundupan, namun demikian belum ada Undang-Undang khusus tentang tindak pidana penyelundupan manusia/imigran di Indonesia. Padahal, fenomena masuknya imigran gelap ke Indoneisa tersebut sudah memenuhi syarat sebagai people smuggling, namun karena ketiadaan Undang-Undang khusus, Polri hanya menggunakan Undang-Undang Imigrasi dalam proses penyidikan. Hal ini yang menyebabkan masalah bahwa yang menjadi tersangka kemudian hanyalah warga negara Indonesia, sedangkan para imigran gelap berlindung di bawah konsep people smuggling dan lepas dari tuntutan hukum Indonesia. lalu lintas keluar dan masuk orang dari dan ke dalam Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Imirasi Nomor 9/1992. Namun permasalahan yang muncul kemudian adalah banyak dari imigran yang masuk secara ilegal dan berlindung dibalik status pengungsi atau pencari suaka belum dapat dipastikan
40
bisa mendapatkan status tersebut dari UNHCR sehingga hukum di Indonesia terabaikan. Selain itu, imigran gelap yang masuk ke Indonesia dianggap sebagai korban penyelundupan orang, padahal Undang-Undang tentang people smuggling tidak ada di Indonesia, mengakibatkan para imigran gelap merasa sangat aman di Indonesia, merasa bebas tanpa dikenakan hukum Indonesia. Yang terjerat hukum Indonesia hanyalah WNI yang juga ikut terlibat (terhasut oleh para penyelundup) dalam penyelundupan manusia, dan mereka juga terjerat oleh hukum Australia. E. Pengertian Pemeriksaan Disiplin Anggota Polri dan Penerapan sanksinya
1. Pelanggaran Disiplin
Suatu organisasi selalu mempunyai aturan internal dalam rangka meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya organisasi tersebut serta untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai tujuan, peranan, fungsi, wewenang dan tanggung jawab institusi tersebut. Organisasi yang baik bukanlah segerombolan orang yang berkumpul dan bebas bertindak semaunya, organisasi harus punya aturan tata tertib perilaku bekerja, bertindak, maupun bergaul antar anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan bergaul dengan masyarakat lingkungan organisasi tersebut. Namun juga ikatan aturan tersebut janganlah memasung inovasi dan kreatifitas anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lalu membuat organisasi tersebut statis tidak berkembang.
41
Organisasi yang baik dan kuat adalah organisasi yang punya aturan tata tertib internal yang baik dan kuat pula. Aturan tersebut dapat berbentuk peraturan disiplin, kode etik, maupun kode jabatan. Peraturan ini adalah tentang disiplin, namun disadari bahwa sulit memisahkan secara tegas antara berbagai aturan internal tersebut, selalu ada warna abu-abu, selalu ada sisi terang dan sikap gelap, akan selalu ada tumpang tindih antara berbagai aturan, namun harus diminimalkan hal-hal yang tumpang tindih tersebut. Disiplin adalah kehormatan, kehormatan sangat erat kaitannya dengan kredibilitas dan komitmen, disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kehormatan sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menunjukkan kredibilitas dan komitmen sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, karenanya pembuatan peraturan disiplin bertujuan untuk untuk meningkatkan dan memelihara kredibilitas dan komitmen yang teguh. Dalam hal ini
kredibilitas dan komitmen anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah sebagi pejabat Negara yang diberi tugas dan kewenangan selaku pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, penegak hukum dan pemeliharaan keamanan. Komitmen berbeda dengan loyalitas, loyalitas cendrung mengarah ke loyalitas mutlak dan berujung pada kecenderungan penguasa/pimpinan untuk menyalahgunakan loyalitas tersebut (abuse of power). Oleh karena itu pelaksanaan disiplin itu harus didasarkan pada persetujuan/kesadaran rasa takut dan didasarkan kepada komitmen dari pada loyalitas. Dewasa ini tidak ada batas yang jelas antara kehidupan pribadi dan kehidupan dipekerjaan, apalagi
42
tuntutan masyarakat akan peranan Kepolisian Negara Republik Indonesia pada semua kegiatan masyarakat, sangat besar dan tidak mengenal waktu. Kegiatan Polisi, khususnya karena hal itu merupakan identitas dua puluh empat jam terus menerus. Seorang anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sedang tidak bertugas, tetap dianggap sebagai sosok Polisi yang selalu siap memberikan perlindungan kepada masyarakat. Karena itu peraturan ini juga mengatur tata kehidupan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku pribadi dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan situasi
ketatanegaraan
yang
menyebabkan
peraturan
disiplin
yang
dipergunakan selama ini tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan, maka dibuatnya Peraturan Disiplin bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tetap menekankan akan pentingnya pemajuan dan penghormatan akan hak asasi manusia adalah mutlak adanya. Untuk membina anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam suasana kerja yang penuh dengan konflik, ketegangan dan ketidakpastian, serta membina pula karakter dan kultur baru sesuai tuntutan reformasi, antara lain diperlukan adanya peraturan Disiplin yang memuat pokok-pokok kewajiban, larangan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar. Dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara, dan Pemerintah. Sikap mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan serta menghindari segala sesuatu yang dapat merugikan
43
kepentingan Negara harus benar-benar ditanamkan dalam jiwa setiap anggota kepolisian. Sikap lainnya yang harus ditanamkan adalah sikap menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta dengan sekuat tenaga untuk menyimpan rahasia Negara dan/atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya. Dalam kehidupan bermasyarakat pun setiap anggota kepolisian harus tetap hormat-menghormati antar pemeluk agama dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan sikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat pada khususnya. Setiap anggota kepolisian juga tidak boleh tinggal diam, ia harus melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan dan/atau merugikan Negara/Pemerintah. Berdasarkan pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang peraturan disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai kehidupan bernegara dan bermasyarakat, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Wajib : a.
setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara, dan Pemerintah;
b.
mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan serta menghindari segala sesuatu yang dapat merugikan kepentingan negara;
c.
menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
44
d.
menyimpan rahasia negara dan/atau rahasia jabatan dengan sebaikbaiknya;
e.
hormat-menghormati antar pemeluk agama;
f.
menjunjung tinggi hak asasi manusia;
g.
menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara umum;
h.
melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan dan/atau merugikan negara/ pemerintah;
i.
bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat;
j.
berpakaian rapi dan pantas.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai kewajiban dalam pelaksanaan tugas yakni : a.
Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat;
b.
Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/atau pengaduan masyarakat;
c.
Menaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah atau janji Jabatan berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
d.
Melaksanakan
tugas
dengan
sebaik-baiknya
kesadaran dan rasa tanggung jawab;
dengan
penuh
45
e.
Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
f.
Menaati segala Peraturan Perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku;
g.
Bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya;
h.
Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas;
i.
Memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya;
j.
Mendorong semangat bawahannya dalam melaksanakan untuk meningkatkan prestasi kerja;
k.
Memberikan
kesempatan
kepada
bawahannya
untuk
mengembangkan karier; l.
Menaati perintah kedinasan yang sah dari atasan yang berwenang;
m.
Menaati ketentuan jam kerja;
n.
Menggunakan dan memelihara barang milik dinas dengan sebaikbaiknya;
o.
Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik.
Kemudian menurut Pasal 5 dan 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003, disebutkan bahwa dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang : Pasal 5 :
46
a.
Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b.
Melakukan kegiatan politik praktis;
c.
Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
d.
Bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan Negara;
e.
Bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan
pekerjaan
atau
pesanan
dari
kantor/instansi
Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi; f.
Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
g.
Bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;
h.
Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;
i.
Menjadi perantara/makelar perkara;
j.
Menelantarkan keluarga.
Pasal 6:
47
Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang : a.
Membocorkan rahasia operasi Kepolisian;
b.
Meninggalkan wilayah tugas tanpa izin pimpinan;
c.
Menghindarkan tanggung jawab dinas;
d.
Menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi;
e.
Menguasai barang milik dinas yang bukan diperuntukkan baginya;
f.
Mengontrakkan/menyewakan rumah dinas;
g.
Menguasai rumah dinas lebih dari 1 (satu) unit;
h.
Mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak berhak;
i.
Menggunakan barang bukti untuk kepentingan pribadi;
j.
Berpihak dalam perkara pidana yang sedang ditangani;
k.
Memanipulasi perkara;
l.
Membuat opini negative tentang rekan sekerja, pimpinan dan/atau kesatuan;
m.
Mengurusi, mensponsori, dan/atau mempengaruhi petugas dengan pangkat
dan jabatannya
dalam
penerimaan
calon anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia; n.
Mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah arah kebenaran materil perkara;
o.
Melakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya;
48
p.
Melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau mempersulit
salah
satu
pihak
yang
dilayaninya
sehingga
mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani; q.
Menyalahgunakan wewenang;
r.
Menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan;
s.
Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan;
t.
Menyalahgunakan barang, uang, atau surat berharga milik dinas;
u.
Memiliki,
menjual,
membeli,
mengandalkan,
menyewakan,
meminjamkan, atau menghilangkan barang, dokumen, atau surat berharga milik dinas secara tidak sah; v.
Memasuki tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, kecuali karena tugasnya;
w.
Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain;
x.
Memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin.
49
1. Penerapan Sanksi Disiplin Anggota Polri Berdasarkan pada Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri, mengatur tentang penjatuhan hukuman Disiplin Bagi Anggota Polri yang melanggar aturan disiplin antara lain : Pasal 9 Hukuman disiplin berupa : a. teguran tertulis; b. penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun; c. penundaan kenaikan gaji berkala; d. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun; e. mutasi yang bersifat demosi; f. pembebasan dari jabatan; g. penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari. Penjelasan Pasal 9 Huruf a Hukuman disiplin yang berupa teguran tertulis dinyatakan dan disampaikan secara tertulis oleh Ankum kepada anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan pelanggaran disiplin. Huruf c Hukuman disiplin yang berupa penundaan gaji berkala, ditetapkan sekurangkurangnya 3 (tiga) bulan dan untuk paling lama 1 (satu) tahun. Masa penundaan kenaikan gaji berkala ter.ebut dihituag penuh untuk kenaikan gaji berkala berikutnya. Huruf d Penundaan kenaikan pangkat dalam arti ditunda usul kenaikan pangkatnya atau ditunda pelantikan pangkatmya. Huruf e Yang dimaksud dengan “mutasi yang bersifat demosi” ialah mutasi yang tidak bersifat promosi jabatan. Huruf f
50
Pembebasan dari jabatan dalam arti pembebasan dari jabatan struktural. Pembebasan dari jabatan berarti pula pencabutan segala wewenang yang melekat pada jabatan itu. Selama pembebasan dari jabatan, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bersangkutan menerima penghasilan penuh, kecuali tunjangan jabatan. Huruf g “tempat khusus” yang dimaksud adalah dapat berupa markas, rumah kediaman, ruangan tertentu, kapal, atau tempat yang ditunjuk oleh Ankum.
F. Pengertian Pemeriksaan Kode Etik Profesi Polri dan penerapan sanksinya 1. Pelanggaran Kode Etik Pelanggaran kode etik adalah pelaggaran terhadap nilai-nilai atau butirbutir kode etik yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 dengan mencakup kode etik bernegara, kode etik berorganisasi, kode etik bermasyarakat, kode etik terhadap diri sendiri dan kode etik terhadap sesama Pegawai Negeri Sipil. Pelanggaran terhadap kode etik dapat berupa ucapan, tulisan dan perbuatan. Pelanggaran kode etik adalah segala bentuk ucapan, tulisan, atau perbuatan yang bertentangan dengan butirbutir jiwa korps dan kode etik. Yang dimaksud dengan ucapan adalah setiap kata-kata yang diucapkan dihadapan atau dapat didengar oleh orang lain, seperti dalam rapat, ceramah, diskusi, melalui telepon, radio, televisi, rekaman atau alat komunikasi lainnya, sedang tulisan adalah pernyataan pikiran dan atau perasaan secara tertulis baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk
51
gambar, karikatur dan lain-lain yang serupa dengan itu, dan perbuatan adalah setiap tingkah laku, sikap atau tindakan. Proses penjatuhan hukuman atas pelanggaran kode etik sampai saat ini belum diatur secara tersendiri, namun untuk menghindari terjadinya kebekuan/kekosongan
dalam penegakan kode etik maka dapat digunakan
proses penjatuhan hukuman disiplin yaitu : 1)
Pemanggilan
Bagi yang disangka melakukan pelanggaran kode etik, dipanggil oleh pejabat yang berwenang atau majelis kehormatan kode etik instansi, apabila panggila pertaama tidak datang, maka dilakukan pemanggilan kedua, dengan memperhatikan tempat domisi, tanggal untuk memenuhi panggilan. Apabila panggilan kedua tidak datang maka sudah dapat dijatuhkan hukuman pelanggaran kode etik, karena ketidakhadirannya pada panggillan kedua dinggap menerina sangkaan atas pelanggaran kode etik . 2)
Pemeriksaan
Sebelum melakukan pemeriksaan, majelis kehormatan kode etik terlebih dahulu mempelajari laporan atau bahan-bahan mengenai pelanggaran kode etik yang dilakukan. Pada dasarnya pemeriksaan dapat dilakaukan secara lisan dan secara tulisan, pada tingkat pertama dilakukan secara lisan, apabila hasil pemeriksaan pertama dirasa perlu untuk ditingkatkan pemeriksaan karena pelanggaran kode etik dianggap berat maka pemeriksaan dilanjutkan
52
dengan pemeriksaan secara tertulis. Pemeriksaan secara tertulis dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Hasil pemeriksaan secara tertulis dibuatkaan rekomendasi kepada pejabat Pembina kepegawaian sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan hukum atas pelanggaran kode etik. 3)
Penjatuhan Hukuman
Tujuan hukuman pelanggaran kode etik adalah untuk memperbaiki dan mendidik Pegawai yang melakukan pelanggaran kode etik. Sebelum menjatuhkan hukuman disiplin pejabat yang berwenang menghukum wajib lebih dahulu mempelajari dengan teliti hasil-hasil pemeriksaan, serta wajib memperhatikan dengan seksama faktor-faktor yang mendorong atau menyebabkan melakukan pelanggaran. 4)
Penyampaian Hukuman
Penyampaian sanksi moral dapat dilakukaan berupa : a.
Pernyataan secara tertutup yaitu penyamapaian hukuman yang disampaikan oleh pejabat yang berwenang atau pejabat lain yang ditunjuk dalam ruang tertutup. Pengertiaan dalam ruang tertutup yaitu bahwa penyampaian pernyataan tersebut hanya diketahui oleh Pegawai yang bersangkutan dan pejabat yang menyampaiakan pernyataan serta pejabat lain yang terkait dengan catatan pejabat terkait dimaksud tidak boleh berpangkat lebih rendah dari Pegawai yang bersangkutan.
53
b.
Pernyataan secara terbuka dapat disampaiakan melalui forumforum pertemuaan resmi seperti, upacara bendera, media massa dan forum lainnya yang dipandang sesuai untuk itu.
5)
Keberatan atas Hukuman
Keputusan tentang hukuman atas pelanggaran kode etik sudah bersifat final artinya tidak dapat diajukan keberatan. Berhubung dengan hal tersebut maka majelis kehormaatan kode etik didalam melakukan pemeriksaan harus cermat, teliti dan bijaksana karena keputusan yang diambil bersifat final. Dan untuk mendapatkan informasi yang objektif badan kehormatan majelis kode etik dapat meminta keterangan pada pihak lain yang dianggap mengetahui tentang pelanggaran kode etik.
Suatu organisasi selalu mempunyai aturan internal dalam rangka meningkatkan
kinerja,
profesionalisme,
budaya
organisasi
maupun
kebersamaan, kehormatan dan kredibilitas organisasi tersebut serta untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai tujuan, peranan, fungsi, wewenang dan tanggung jawab institusi tersebut. Organisasi yang baik bukanlah segerombolan orang yang berkumpul dan bebas bertindak semaunya, organisasi harus punya aturan tata tertib perilaku bekerja, bertindak, maupun bargaul antar anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan bergaul dengan masyarakat lingkungan organisasi tersebut. Namun juga ikatan aturan tersebut janganlah memasung inovasi dan
54
kreatifitas anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lalu membuat organisasi tersebut statis tidak berkembang. Organisasi yang baik dan kuat adalah organisasi yang punya aturan tata tertib intrnal yang baik dari pula. Aturan tersebut dapat berbentuk peraturan disiplin, kode etik, maupun kode jabatan. Peraturan ini adalah tentang disiplin, namun disadari bahwa sulit memisahkan secara tegas antara berbagai aturan intrnal tersebut, selalu ada karna ada abu-abu, selalu ada sisi terang dan sisi gelap, akan selalu ada tumpang tindih antara berbagai aturan, namun harus diminimalkan hal-hal yang tumpang tindih tersebut. 2. Penerapan Sanksi Kode Etik Profesi Polri Anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dikenakan sanksi Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri berupa : a.
Perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
b.
Kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang Komisi Kode Etik Profesi dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;
c.
Kewajiban
Pelanggar
untuk
mengikuti
pembinaan
mental
kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;
55
d.
Dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
e.
Dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
f.
Dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau
g.
PTDH sebagai anggota Polri.
Pasal 21 ayat (3) Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 sanksi administrasi berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenakan kepada Pelanggar KEPP yang melakukan Pelanggaran meliputi a.
Dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri;
b.
Diketahui kemudian memberikan keterangan palsu dan/atau tidak benar pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota Polri;
c.
Melakukan usaha atau perbuatan yang nyata-nyata bertujuan mengubah Pancasila, terlibat dalam gerakan, atau melakukan perbuatan yang menentang Negara dan/atau Pemerintah Republik Indonesia;
d.
Melanggar sumpah/janji anggota Polri, sumpah/janji jabatan dan/atau Kode Etik Profesi Polri;
56
e.
Meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari kerja secara berturut-turut;
f.
Melakukan perbuatan dan berperilaku yang dapat merugikan dinas kepolisian, antara lain berupa : a)
Kelalaian dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, dengan sengaja dan berulang-ulang dan tidak menaati perintah atasan, penganiayaan terhadap sesama anggota Polri, penggunaan kekuasaan diluar batas, sewenang-wenang, atau secara salah, sehingga dinas atau perseorangan menderita kerugian;
b)
Perbuatan yang berulang-ulang dan bertentangan dengan kesusilaan yang dilakukan di dalam atau di luar dinas; dan
c)
Kelakuan atau perkataan dimuka khalayak ramai atau berupa tulisan yang melanggar disiplin.
g.
Melakukan bunuh diri dengan maksud menghindari penyidikan dan/atau tuntutan hukum atau meninggal dunia sebagai akibat tindak pidana yang dilakukannya;
h.
Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik yang diketahui kemudian telah menduduki jabatan atau menjadi anggota partai poltik
dan
setelah
diperingatkan/ditegur
masih
tetap
mempertahankan statusnya itu; dan i.
Dijatuhi hukuman disiplin lebih dari 3 (tiga) kali dan dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Polri.
57
Pengertian Kode Etik Profesi Polri disebutkan secara jelas dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri yang menyebutkan bahwa “Kode Etik Profesi Polri adalah norma-norma atau aturan-ataran yang merupakan kasatuan etik atau filosofis yang berkaitan dengan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab jabatan.” Etika Profesi Kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Nagara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika Profesi Kepolisian terdiri dari : a.
Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayanan masyarakat.
b.
Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.
58
c.
Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perumusan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memuat norma perilaku dan moral lahir dari kesepakatan bersama serta dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga dapat menjadi pendorong semangat dan rambu-rambu nurani setiap anggota untuk pemuliaan profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan organisasi pembina profesi Kepolisian guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan organisasi pembina profesi Kepolisian yang berwenang membentuk Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia di semua tingkat organisasi yang selanjutnya berfungsi untuk menilai dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota terhadap ketentuan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam prakteknya tidak setiap Kode Etik Kepolisian akan dijalankan dengan baik oleh setiap anggota kepolisian. Banyak dari mereka melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik. Untuk pengertian pelanggaran sendiri diatur dalam Pasal 1 ayat 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Repubik Indonesia menyebutkan mengenai Pelanggaran yakni : Perbuatan
59
yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia karena melanggar sumpah/janji anggota, sumpah/janji jabatan, peraturan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jadi pelanggaran Kode Etik merupakan ketidaksesuaian setiap perbuatan dari anggota Polri terhadap norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosifis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri.
60
BAB III METODE PENELITIAN A.
Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan penulisan proposal ini termasuk dalam kategori / jenis penelitian normatif empiris, yaitu penelitian yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, sedangkan secara empiris adalah mengkaji norma-norma atau peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Efektivitas Penerapan Sanksi Kode Etik Kepolisian Dalam Menanggulangi terjadinya Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (People Smuggling)
B.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Kota Kendari) yaitu pada bagian Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam Polda Sultra) dan Direktorat Reserse Kriminal (Dit Reskrim Polda Sultra)
dengan pertimbangan bahwa Kasus Tindak Pidana
Penyelundupan Manusia (People Smuggling) yang melibatkan Anggota Polri baru terjadi di Daerah Sulawesi Tenggara dan bagian Propam yang merupakan tempat atau pusat sentral pembinaan dari pada anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana.. C.
Populasi dan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota Kepolisian Polda Sultra yang telah melakukan tindak pidana penyelundupan manusia (People
61
Smuggling) yang telah diberikan sanksi Disiplin dan Kode Etik dari tahun 2012 sampai tahun 2013 total keseluruhan berjumlah 2 kasus. Populasi lainnya adalah seluruh anggota Propam Polda Sultra yang bertugas menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anggota kepolisian Polda Sultra yang berjumlah 43 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah 6 orang anggota kepolisian Polda Sultra yang telah melakukan tindak pidana penyelundupan manusia (People Smuggling), dan 10 anggota Propam Polda Sultra yang bertugas menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anggota kepolisian Polda Sultra. Teknik penentuan sampel menggunakan teknik purposive sampling (sampel bertujuan) yaitu penulis menentukan dan menunjuk langsung sampel penelitian. D.
Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini diperlukan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder sebagai berikut : a.
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara oleh pelaku yang melakukan pelanggaran kode etik dan aparat penegak hukum yang menangani kasus tersebut.
b.
Data Sekunder adalah bahan data yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa literatur-literatur. Sumber bahan hukum yang dipergunakan adalah buku-buku: jurnal hasil penelitian dan makalah-makalah di bidang hukum Kepolisian.
62
E.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1.
Interview (wawancara) kepada responden dan informen untuk mengetahui penerapan sanksi Kode Etik Kepolisian terhadap Anggota Polri Polda Sultra yang melakukan tindak pidana asusila dan efektivitas penerapan sanksi Kode Etik Kepolisian dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana oleh anggota Polri.
2.
Dokumentasi yaitu pengumpulan data-data yang berkaitan seperti buku-buku serta referensi kitab undang-undang yang berkaitan dengan bahan penelitian penulis.
F.
Analisis Data Analisis bahan hukum dalam penulisan proposal ini menggunakan metode analisa deskriptif kualitatif, dalam hal ini mengkaji secara mendalam bahan hukum yang ada kemudian digabungkan dengan bahan hukum yang lain, dan dipadu dengan teori yang mendukung kemudian ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan yang ada.
G.
Definisi Operasional 1.
Kode Etik adalah norma-norma atau aturan-ataran yang merupakan kesatuan landasaan Etik atau Filosofis yang berkaitan dengan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal diwajibkan, dilarang, patut atau atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab jabatan.
63
2.
Sanksi Kode Etik adalah hukuman yang diberikan kepada setiap anggota Kepolisian Polda Sultra yang telah melanggar normanorma atau aturan - aturan atau perilaku mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dan yang melakukan tindak pidana.
3.
Kepolisian adalah Lembaga Negara yang menangani permasalahan - permasalahan hukum yang terjadi dalam lingkup wilayah Negara Republik Indonesia yang bertanggung jawab secara langsung dibawah Presiden Republik Indonesia.
4.
Tindak pidana adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum atau bertentangan dengan tata hukum yang dilakukan secara sadar, dan apabila perbuatan yang dilarang itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
5.
People smuggling adalah tindak pidana penyelundupan manusia (imigran gelap / manusia perahu) suatu tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung guna mendapatkan keuntungan financial atau material lainnya dengan cara memasukkan seseorang warga Negara lain yang bukan warga Negara atau penduduk tetap suatu Negara tertentu secara sembunyi-sembunyi.
64
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penerapan Sanksi Kode Etik Kepolisian dan Sanksi Disiplin Terhadap Anggota Kepolisian Polda Sultra yang melakukan tindak pidana people smuggling (penyelundupan manusia). Setelah
dilakukan
penelitian,
Tindak
Pidana
People
Smuggling
(penyelundupan manusia) yang terjadi di wilayah hukum Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (kota Kendari) merupakan salah satu jenis tindak pidana yang dapat merusak citra kepolisian baik secara kualitas maupun kuantitas. Jenis Tindak Pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) merupakan tindak pidana yang baru terjadi di Polda Sultra sehingga di soroti oleh masyarakat apabila ada kepolisian yang melakukannya, oleh sebab itu apabila terjadi Tindak Pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) Komisi Kode Etik Kepolisian langsung mengambil langka cepat dengan memberikan sanksi seberat-beratnya agar dapat menjadi efek jera bagi anggota lainnya untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut dimana dapat menjatuhkan reputasi institusi Polri pada umumnya dan khususnya pada diri mereka sendiri. Pada umumnya jenis tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) merupakan salah satu jenis pelanggaran yang baru terjadi institusi Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggra. Khususnya di Kepolisian Polda Sultra dan Polres Kendari jumlah Tindak Pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) yang terjadi pada tahun 2010 s/d 2014 hanya terjadi 1 kasus yaitu pada tahun 2013
65
sedangkan pada tahun 2011-2012 dan 2014 jumlah kasus Tindak Pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) tidak ada kasus yang terjadi, ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran bagi anggota Polri pada umumnya dan Anggota Polda Sultra serta Polres Kendari pada khususnya sangat baik sehingga citra dan martabat kepolisian di mata masyarakat sangat baik. Bahwa sanksi PTDH tidak menjadi satu-satunya sanksi terhadap kasus People
Smuggling
(penyelundupan
manusia),
kasus
People
Smuggling
(penyelundupan manusia) yang ditangani oleh Bid Propam Polda Sultra saat ini merupakan kasus yang baru terjadi dan penjatuhan hukuman Kode Etik Profesi Polri berupa PTDH bisa saja tidak dijatuhkan karena keputusan akan hal tersebut menjadi kebijakan dari pada unsur pimpinan Polri yang ada di Polda Sultra dalam Hal ini Kapolda Sultra, mengingat yang bersangkutan mau bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya merupakan suatu pertimbangan bagi pimpinan Polri yang ada di Polda Sultra, pelaksanaan Sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri atau KKEP akan dilaksanakan setelah pelaku tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) mendapatkan hasil putusan pidana dari PN (pengadilan negeri) dan jika hasil putusan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri, maka akan dikenakan sanki PTDH, sidang Komisi Kode Etik Polri tetap harus diproses guna menjamin kepastian hukum dan surat putusan Pengadilan Negeri tersebut dapat dijadikan pertimbangan Komisi Kode Etik Polri dalam penjatuhan putusan.
66
Bahwa anggota Polri yang melakukan pelanggaran terhadap tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) yang mana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri, akan dikenakan sanksi PTDH, karena sudah tidak ada jalan lain dan tidak ada hal-hal yang meringankan yang menjadi pertimbangan bagi yang bersangkutan untuk tidak di PTDH, dan apabila pelanggar seperti ini tidak dilakukan tindakan PTDH maka tidak akan menyelesaikan masalah dan akan berdampak buruk bagi anggota Polri lainnya untuk melakukan hal yang serupa dan tidak ada efek jera bagi yang bersangkutan maupun anggota yang lainnya. Komisi Kode Etik Polri yang selanjutnya disingkat KKEP adalah suatu wadah yang dibentuk di lingkungan Polri yang bertugas memeriksa dan memutus perkara dalam persidangan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri sesuai dengan jenjang kepangkatan. Jenis sanksi tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) yang diberikan oleh Komisi Kode Etik Polri yang melakukan tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) ada tiga jenis yaitu sebagai berikut: a.
Dipindah tugaskan ke jabatan, ke fungsi dan ke wilayah berbeda,
b.
Pembinaan kembali,
c.
PTDH sebagai anggota Polri.
PTDH adalah pemberhentian tidak dengan hormat.
67
Bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, terhadap sanksi dipindah tugaskan ke jabatan, ke fungsi dan wilayah berbeda yaitu bagi pelanggar yang dalam pelaksanaan tugas melakukan penyalahgunaan wewenang yang sangat fatal yang sangat bertentangan dengan jabatan yang diembannya misalnya seorang yang menjabat Kapolres atau Kapolsek melakukan penyalahgunaan wewenang misalnya pungli, makelar kasus dan lain sebagainya sehingga jalan satu-satunya untuk mencegah hal serupa terulang kembali maka pelanggar dimaksud harus pindah tugaskan dari jabatan, fungsi dan wilayah berbeda kemudian ditempatkan dalam fungsi pembinaan untuk dilakukan pembinaan terhadap pelanggar dan apabila perbuatan serupa terulang kembali dan/atau dijatuhi hukuman disiplin lebih dari tiga kali dan dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Polri maka terhadap pelanggar dijatuhi hukuman PTDH dan penjatuhan sanksi Kode Etik Profesi Polri tidak menghapuskan tuntutan pidana dan/atau perdata. Dalam kasus tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) yang terjadi di wilayah hukum Polda Sultra dan Polres Kendari Komisi Kode Etik Polri yang menangani kasus tersebut akan memberikan sanksi begitu berat terhadap pelanggar yaitu PTDH ( Pemberhentian Tidak Dengan Hormat). Menurut Bripka Indra Jaya selaku penyidik Subbid Wabprof Bid Propam Polda Sultra mengatakan bahwa : “Para
Anggota
Polri
pelaku
tindak
pidana
People
Smuggling
(penyelundupan manusia), terancam dengan sidang Komisi Kode Etik Profesi
68
Polri (KKEP) dengan hukuman berupa PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat), Pembebasan Dari Jabatan, Tour of Area (dipindah tugaskan di luar wilayah Provinsi Sultra), Mutasi bersifat Demosi,” (wawancara tanggal 2 Mei 2014). Menurut Penulis “bahwa penerapan akan sanksi kode etik akan lebih optimal dibanding penerapan sanksi Disiplin, karena dalam sanksi Kode Etik terdapat hukuman PTDH” Menurut Brigadir Asyari, SH salah satu penyidik satgas tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) yaitu Brigadir Asyari sebagai Subbid Provos Bid Propam Polda Sultra mengatakan bahwa : “Setiap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik harus di berikan sanksi yang tegas agar setiap sanksi yang diberikan akan menjadi pedoman bagi setiap anggota untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan citra kepolisian pada umumnya dan khususnya pada diri mereka sendiri. Untuk tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) kami memberikan sanksi seberatberatnya, mungkin saja sanksi PTDH, tergantung pada kebijakan pimpinan nantinya, agar perbuatan tersebut tidak terjadi lagi, disamping itu kami juga akan memberikan sanksi yang sama apabila ada oknum kepolisian yang melakukan pelanggaran kode etik yang lainnya selain tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia), ini dikarenakan kepolisian merupakan pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta penegak hukum (wawancara tanggal 2 Mei 2014).
69
Selanjutnya menurut Briptu Fadli Al Hasan alias Fafat salah satu pelaku tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) mengatakan bahwa : “Komisi Kode Etik Polri yang menangani kasus ini belum memutuskan sanksi kepada kami dikarenakan Proses Pidana masih sedang berlangsung, berjalan dan belum ada putusan dari Pengadilan Negeri Kendari mengenai nasib kami, tetapi kami mengharapkan agar putusan pidana nantinya tidak melebihi batas kurungan 3 Bulan sehingga kami terhindar dari putusan PTDH ” (wawancara tanggal 2 Mei 2014). Selanjutnya menurut Briptu Abd. Rahman salah satu pelaku tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) mengatakan bahwa : “Hasil pemeriksaan pidana yang dilakukan oleh Dit Reskrim Umum Polda Sultra saat ini masih berlangsung dan berkas perkara kami sudah 6 (enam) kali P 19 oleh Jaksa, besar kemungkinan perkara kami akan di SP 3 kan, tetapi hal tersebut tidak dapat menolong kami dari Sidang KKEP dan Sidang Disiplin Anggota Polri nantinya, pelaksanaan Sidang akan tetap berlangsung dan penjatuhan hukuman akan tetap ada, tetapi tidak akan sampai berat” Selanjutnya menurut Bripda Rezkiawan salah satu pelaku tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) mengatakan bahwa : “Kami bertiga mengharapkan agar kasus yang kami lakukan mendapatkan putusan yang ringan dipengadilan nantinya, agar kami diajukan kedalam sidang disiplin Anggota Polri, jika demikian kami terbebas dari sidang KKEP dan sanksi PTDH”
70
Keberhasilan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memelihara keamanan dan keterkaitan masyarakat, menegakkan hukum, dan melindungi, mengayomi serta melayani masyarakat, selain ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan teknis kepolisian yang tinggi sangat ditentukan pula oleh perilaku terpuji setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya senantiasa terpanggil untuk menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin pada sikap dan perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang. Bahwa Anggota Polri para pelaku tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia), selain terancam akan hukuman Kode Etik Profesi Polri juga terancam dengan hukuman Disiplin Anggota Polri, jika Putusan Pidana yang bersangkutan yaitu BRIPTU ABD. RAHMAN, BRIPTU FADLI AL HASAN dan BRIPDA REZKIAWAN meringankan bagi ketiganya maka para pelaku tersebut akan diajukan ke Sidang Disiplin Anggota Polri dengan ancaman hukuman a.
Penundaan kenaikan pangkat selama 1 tahun
b.
Penundaan gaji berkala selama 1 tahun
c.
Penundaan mengikuti jenjang pendidikan selama 1 tahun
d.
penempatan dalam tempat khusus selama 21 (dua puluh satu) hari
e.
Teguran tertulis
71
Bahwa hingga saat ini ketiga Anggota Polri pelaku Tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) belum diajukan pada Sidang Kode Etik Profesi Polri dan Sidang Disiplin Anggota Polri karena ketiga pelaku tersebut saat ini masih dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Dit Reskrim Umum Polda Sultra. Menurut Brigadir Anda salah satu penyidik Subbid Provos Bid Propam Polda Sultra mengatakan bahwa : “Penerapan sanksi Disiplin terhadap ketiga Anggota Polri pelaku tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia), sesuai dengan pasal 3 Huruf g Subsider Pasal 5 Huruf a Subsider Pasal 6 Huruf q Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri” (wawancara tanggal 2 Mei 2014). Menurut Penulis bahwa “Penerapan Sanksi Disiplin sesuai bagi Para pelaku, mengingat putusan pidana yang bersangkutan masih berjalan, besar kemungkinan kasus pidana tersebut mendapatkan sanksi yang ringan sehingga siding dan sanksi disiplin akan diterapkan kepada para pelaku”
72
Bahwa perbutan tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) yang dilakukan Briptu Fadli Al Hasan, Briptu Abd. Rahman dan Bripda Reskiawan telah melanggar Peraturan Disiplin Anggota Polri dan atau Kode Etik Profesi Polri dan melakukan perbuatan yang dapat merugikan dinas Polri, Briptu Fadli Al Hasan, Briptu Abd. Rahman dan Briptu Reskiawan telah melanggar Pasal 3 huruf g subsider Pasal 5 huruf a Subsider Pasal 6 huruf q PP RI No. 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri dan atau Pasal 11 huruf (a), Pasal 14 ayat (1) huruf (b) PP RI No. 1 tahun 2003 tentang pemberhentian anggota Polri, sesuai dengan bunyi pasal 11 huruf b dimana seorang anggota Polri yang diberhentikan tidak dengan hormat apabila melakukan tindak pidana dan bunyi pasal 14 ayat (1) huruf (b) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat apabila melakukan perbuatan dan berprilaku yang dapat merugikan dinas kepolisian.
73
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dilakukan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Bahwa dalam Kasus tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) proses pemeriksaan pada tingkat Provos telah dilaksanakan dan proses persidangan intern Polri yaitu Sidang Disiplin dan atau Sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri belum dapat ditentukan karena menunggu putusan pidana pada pengadilan, jika berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri maka para pelaku tindak pidana People Smuggling (penyelundupan manusia) akan di kenakan Sidang KKEP (Komisi Kode Etik Profesi) dengan pemberian Sanksi PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat) berupa pemecatan dari anggota Kepolisian Republik Indonesia dengan alasan telah melakukan tindak pidana (perbuatan yang dapat menurunkan citra, martabat kepolisian dimata masyarakat) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 huruf a dan Pasal 14 ayat (1) huruf (b) Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri.
74
b. Bahwa bagi Anggota Polri yang melakukan tindak pidana akan diterapkan peradilan umum baginya, tidak hanya penerapan peradilan umum saja tetapi diterapkan juga hukuman secara administratif yang ada di institusi Kepolisian berupa hukuman Disiplin, sesuai dengan Pasal 3 huruf g Subsider Pasal 5 Huruf a Subsider Pasal 6 huruf q PP RI No. 2 Tahun 2003 tentang peraturan disiplin Anggota Polri.
B. Saran Penerapan sanski kode etik terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana sudah sangat baik karena sudah terbukti keefektifannya dimana para pelaku tindak pidana dari Anggota Polri diberi sanksi yang berat dari tiga jenis sanksi yang ada sehingga jumlah kasus yang terjadi semakin menurun, untuk komisi kode etik harus mempertahankan komitmennya dalam menerapkan sanksi agar para anggota berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang dapat merugikan diri mereka sendiri dan umumnya institusi kepolisian. Adapun saran yang dapat penulis kemukakan yaitu : 1. Bagi aparat kepolisian harus giat melakukan penyuluhan-penyuluhan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana kepada anggota Polri. 2. Selalu memberikan ceramah-ceramah agama untuk menambah keimanan bagi setiap anggota Polri. 3. Selalu konsisten dalam menerapkan sanksi kepada anggota yang melanggar kode etik, agar tindak pidana yang dilakukan oleh salah seorang anggota Polri tidak terulang pada anggota yang lainnya.
75
4. Sanksi yang diatur dalam kode etik seharusnya hanya diatur sanksi PTDH saja terhadap anggota yang melakukan pelanggaran tindak pidana agar dapat meminimalisir perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh Anggota Polri dan dapat menimbulkan efek jera.
DAFTAR PUSTAKA
Moeljatno, 1993. Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Moh. Nasir, 1999. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta. Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, 1995. Pengatur Hukum Administrasi, Gadjah Mada Universitas Press, Yogyakarta. Pudi Rahardi, 2007. Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polisi), Laksbang Mediatama, Surabaya. Onong Uchbana Effendi, 1993. Ilmu, Teori da Filsafat Komunikasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Sadjijo, 2008. Polri Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Laksbang, Yogyakarta. Sadjijo, 2008. Mengenal Hukum Kepolisian Perspektif Kedudukan dan Hubungan dalam Hukum Administrasi, Laksbang Mediatama, Surabaya. Sudikno Mertokusuma, 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta. Sumaryono, 1995. Etika Profesi Hukum (Norma-norma Bagi Penegak Hukum), Kanisius, Yogyakarta. Suryawama M Sastra, 2007. Meningkatkan Kontrol Terhadap Polri Dalam Masa Transisi, Seminar Police Accountability in Democrattic Transitions, Jakarta. Wasis SP, 2002. Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang. Yulies Tiena Masriani, 2004. Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Ahmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan. Arief Sidharta B., 1999, Refleksi tentang hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Arief Sidharta B., 2000, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagi Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
Bambang Purnomo, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. Bryan A. Garner at. al., 1999, Black’s law Dictionary, Seventh edition, West Group. ST. Paul Minn. Caherine Elliot, 2003, “French Criminal Law”; Wilan Publishing Coy. J.Remmelink, 2003, “Hukum Pidana”:Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonsia”; Gramedia, Jakarta. H. Mohammad Daul Ali, 1994, Hukum Islam, Jakarta, PT. Raya Carafindo Koenttjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Ineka Cipta : Jakarta. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori – Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Alumni Bandung. Nurdjana IGM, 2009, Hukum & Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia “Peran Polisi, Bakorpakem & Pola Penanggulangan” Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni: Bandung. Permasalahan imigran gelap dan people smuggling dan usaha-usaha serta rekomendasi kebijakan dalam menanggulanginya, http://manshurzikri.wordpress.com diakses tanggal 12 Maret 2014 Fenomena imigran gelap dan solusi berdasarkan geostrategi dan wawasan nusantara, http://rakudablue.wordpress.com diakses tanggal 12 Maret 2014 Pengungsi dunia capai jumlah tertinggi dalam 15 tahun Terakhir, http://dw.de diakses tanggal 12 Maret 2014 Loloskan.Imigran.Gelap Kasi Keimigrasian Kendari Ditangkap, http://regional.kampus.com diakses tanggal 12 Maret 2014
Perundang-undangan UU No. 15 Tahun 2009 Tentang Retifikasi Protokol Menentang Penyelundupan UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. PP. RI. No 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri PP. RI No 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri PP. RI No 3 Tahun 2003 Tentang pelaksanaan teknis institusional peradilan umum Anggota Polri Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2012 tentang susunan organisasi dan tata kerja komisi kode etik kepolisian Negara republik Indonesia.