UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum Oleh :
Manata Binsar Tua Samosir 050 200 038 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
Manata Binsar Tua Samosir 050 200 038 Departemen Hukum Pidana
Disetujui Oleh : Ketua Departemen Hukum Pidana
(ABUL KHAIR SH.M.Hum) NIP : 131 842 854
Pembimbing I
Pembimbing II
ABUL KHAIR SH.M.Hum. NIP : 131 842 854
RAFIQOH LUBIS SH. M. Hum NIP : 132300076
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
ABSTRAKSI Penulisan skripsi ini berjudul tentang Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi: Polycarpus Budihari Priyanto), skripsi ini mengkaji tentang dimungkinkannya pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh pihak Kejaksaan dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum serta implikasi secara yuridis terhadap dimungkinkannya pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum di Indonesia. Secara teoritik perundangan Peninjauan Kembali merupakan hak terpidana atau ahli warisnya, tetapi dalam praktek peradilan di indonesia pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut umum telah beberapa kali dilakukan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk dalam penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan menggunakan metode pendekatan secara yuridis. Jenis data yang digunakan yakni jenis data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yakni melalui studi kepustakaan yang mencakup dokumen-dokumen resmi seperti KUHAP, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, buku-buku hasil penelitian dan lain sebagainya data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Jaksa Penuntut Umum menurut KUHAP memang tidak memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Namun dalam praktek dunia peradilan di Indonesia, Mahkamah Agung pernah mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum melalui putusan No. 55PK/Pid/1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan. Majelis Hakim Agung dalam pertimbangan hukumnya menggunakan Pasal 263 KUHAP dan Pasal 21 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang sekarang telah diganti oleh Undang-Undang No. 4 tahun 2004 dengan menafsirkan pihak-pihak berkepentingan dalam perkara pidana adalah Jaksa Penuntut Umum dan terpidana sebagai pihak yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Namun sebenarnya penafsiran tersebut tidak diperbolehkan karena ketentuan Pasal 21 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang sekarang telah diganti oleh UndangUndang No. 4 Tahun 2004 telah dijelaskan dalam penjelasan pasalnya bahwa yang dimaksud pihak-pihak berkepentingan adalah terhukum dan ahli warisnya. Dari uraian tersebut dapat dilihat terlihat terdapat pertentangan dasar hukum yang digunakan Mahkamah Agung sehingga putusan Mahkamah Agung RI No. 55PK/Pid/1996 tidak dapat dijadikan yurisprudensi ke depan. Oleh karena itu pengaturan Jaksa Penuntut umum dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali mengenai boleh atau tidaknya perlu diatur secara tegas, sehungga ke depan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat bisa tercapai. Sementara menunggu revisi KUHAP, Mahkamah Agung dapat menggunakan wewenangnya sesuai Pasal 79 Undang-Undang 5 Tahun 2004 tentang mahkamah Agung dalam Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
memberikan ketentuan mengenai dimungkinkannya Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum. KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis panjatkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka ujian untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul skripsi ini adalah “Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus : Pollycarpus Budihari Priyanto).” Penulis sadar sejak awal hingga akhir penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Mariati Zendrato, SH., M.Hum, selaku Dosen Wali penulis. 3. Bapak Abul Khair, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I. 4. Ibu Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang dengan tulus meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
memberi masukan serta pandangan dan nasehat yang berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat selesai. 5. Ibu Nurmalawaty, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 6. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dengan sabar mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di almamater ini. Secara khusus pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada mereka yang selama ini dekat dan mendapat tempat yang istimewa di hati sanubari penulis, diantaranya : 1. Kedua orang tua penulis, yang penulis cintai dan kasihi Ayahanda Nelson Samosir, SH, dan Ibunda Rita Nainggolan, yang telah memberikan banyak dukungan dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Buat adikku tersayang Sari dan Tanpi. Terima kasih buat dukungan dan doanya. 3. Buat keluarga besarku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan yang selalu diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan dari awal hingga selesai penulisan skripsi ini. 4. Terimakasih buat sahabatku Sondang, B’Yos dan teman-teman satu parlemen, yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Akhirnya penulis berharap dan berdoa semoga apa yang penulis sajikan dalam skripsi ini ada manfaatnya. Dan semoga ilmu yang penulis peroleh di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dapat juga berguna bagi agama, nusa dan bangsa, Amin.
Medan, Maret 2009 Penulis
Manata Binsar Tua Samosir
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAKSI ....................................................................................
i
KATA PENGANTAR ......................................................................
ii
DAFTAR ISI ....................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN ...........................................................
1
A. Latar Belakang............................................................
1
B. Perumusan Masalah ....................................................
4
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ....................................
4
D. Keaslian Penulisan ......................................................
5
E. Metode Penelitian .......................................................
6
F. Tinjauan Pustaka ........................................................
7
G. Sistematika Penulisan ................................................
27
PENGATURAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA ...................................................................
29
BAB II
A. Putusan Pengadilan yang Dapat Dimintakan Upaya Hukum Peninjauan Kembali ............................
29
B. Dasar dan Pihak yang Dapat Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali ............................
32
C. Beberapa Asas yang Ditemukan Dalam Upaya Hukum Penijauan Kembali ..............................
46
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
v
BAB III
DASAR HUKUM JAKSA PENUNTUT UMUM DAPAT MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI ......................................................................
51
A. Hak Penuntut Umum Dalam Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali ....................................................
51
B. Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Sebagai Upaya Menembus Kekakuan Legalistik ................................................... BAB IV
59
UPAYA PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 109 PK/PID/2007 ............................................................
63
A. Kasus Posisi ................................................................
63
1. Kronologis ............................................................
63
2. Pemeriksaan Tingkat Pengadilan Negeri ...............
64
3. Pemeriksaan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi)
66
4. Pemeriksaan Kasasi (Mahkamah Agung) ..............
68
5. Pemeriksaan Permohonan Peninjauan Kembali (Mahkamah Agung) ..............................................
69
B. Analisa Kasus .............................................................
70
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................
96
A. Kesimpulan .................................................................
86
B. Saran...........................................................................
89
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
90
BAB V
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kemajuan zaman sekarang ini yang berkembang dengan pesat dan mengakibatkan berbagai macam perilaku manusia sehingga diperlukan satu perangkat hukum yang dapat mengatur dan dapat mencegah tindak kejahatan dan pelanggaran Pidana, yang oleh karenanya harus ada kepastian hukum agar tercipta keadilan di bidang hukum bagi semua masyarakat. Salah satu masalah hukum yang akhir – akhir ini dipermasalahkan adalah masalah upaya hukum Peninjauan Kembali yang sampai sekarang ini dinilai oleh berbagai kalangan masih belum memiliki kepastian dalam prakteknya sehingga menimbulkan kebingungan di dalam ber praktek Hukum Acara Pidana. Berbagai contoh ketidak pastian Upaya Hukum Peninjauan Kembali yakni Kasus Mochtar Pakpahan yang Peninjauan Kembali nya diajukan oleh Jaksa, yang jelas – jelas dalam UU No.8 Tahun 1981 Pasal 263 ayat (1) yang berbunyi : Bahwa terhadap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan Hukum Tetap, kecuali Putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Kasus Mochtar Pakpahan inilah yang membuat Upaya Hukum Peninjauan Kembali menjadi Kontroversi dikalangan penegak hukum, pakar hukum maupun masyarakat di Indonesia.
1
1
Karni Ilyas, 1997, Herziening atau Peninjauan Kembali, http://www.hamline.edu/ apakabar/basisdata/1997/03/03/0075.html. Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009 1
Masalah peninjauan kembali (PK) perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, belakangan menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. Pemikiran Moh. Mahfud MD dan M. Khoidin yang dimuat di dalam Republika edisi 2 Desember 1996, memunculkan perbedaan yang mencolok tentang penafsiran isi Pasal 263 KUHAP. Sementara Achmad Ali, dekan Fakultas Humas Universitas Hasanuddin, meninjau isi Pasal 263 KUHAP dari segi pengetahuan hukum dan ilmu hukum. 2 Setelah kasus Mochtar Pakpahan ini masih banyak perkara di Mahkamah Agung yang Peninjauan Kembali nya diajukan oleh jaksa dan yang baru- baru ini terjadi adalah kasus Pollicarpus yang juga Peninjauan Kembali nya diajukan oleh Jaksa. Yang menimbulkan kontroversi adalah dalam Putusan Kasasi nya, Pollicarpus diputus bebas pada tingkat Mahkamah Agung, hal inilah yang membuat Jaksa mengajukan Peninjauan Kembali. Pada saat Jaksa mengajukan Peninjauan Kembali tersebut Mahkamah Agung kemudian mengabulkan permintaan Peninjauan Kembali oleh Jaksa, padahal di tingkat Kasasi Mahkamah Agung sudah memutus bebas Pollicarpus. Hal ini menimbulkan kontroversi kembali yang diduga adanya campur tangan Politik ke dalam lembaga Yudikatif khususnya Mahkamah Agung. Dari beberapa kasus yang Upaya Hukum Peninjauan Kembali nya diajukan Jaksa Penuntut Umum inilah penulis merasa tertarik untuk membahas
2
Bachtiar Sitanggang, Senin, 3 Februari 1997, Hakikat Peninjauan Kembali atas Suatu Perkara Pidana, INDONESIA-P Kompas Online,www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/02/ 020027.htmi-21k. Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
masalah Upaya Hukum Peninjauan Kembali ini. Penulis juga merasa tertarik untuk membahas masalah Upaya Hukum Peninjauan Kembali ini karena dengan adanya ketidakpastian Hukum dari Peninjauan Kembali ini mengakibatkan banyak perkara – perkara yang eksekusi hukuman nya seharusnya bisa dilaksanakan menjadi tertunda karena terganjal dalam Upaya Hukum Peninjauan Kembali ini. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa yang hanya dapat mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali adalah Terdakwa atau Ahli Warisnya. Tetapi yang terjadi dalam beberapa kasus malah berlawanan dari ketentuan Hukum ini Yang sepatutnya oleh Mahkamah Agung sendiri sebagai Lembaga yang paling bisa menilai pelaksanaan Hukum Acara Pidana ini Khususnya Peninjauan
Kembali dapat bertindak tegas dan adil dalam
melaksanakan Hukum Acara Pidana agar terjadi kepastian hukum dalam sistem Peradilan Indonesia.
Perdebatan boleh tidaknya jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) masih saja mengemuka. Kali ini, perdebatan yang cukup usang ini terjadi di luar persidangan PK pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir. Istri terdakwa Pollycarpus, Yosepha Hera Iswandari, mempertanyakan PK yang diajukan oleh Kejaksaan. Serta dalam kasus Pollycarpus, dimana hakim mengabulkan upaya hukum yang diajukan jaksa penuntut umum. 3
3
. Harian Kompas, Wewenang Jaksa Mengajukan PK Kembali Dipersoalkan, Edisi 12Agustus-2008, Jakarta. Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Dari uraian fakta tersebut diatas mendorong penulis untuk meneliti dan menulis skripsi perihal Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus : Polycarpus Budihari Priyanto)
B. Perumusan Masalah Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1.
Bagaimana Pengaturan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia ?
2.
Dasar Hukum Jaksa Penuntut Umum Dapat Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali
3.
Upaya Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 109 PK/PID/ 2007
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan Tujuan Penelitian Dari penelitian itu diharapkan nantinya akan dapat dikemukakan mengenai halhal yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya Hukum Pidana, yaitu : 1. Untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan upaya hukum peninjauan kembali dalam hukum acara pidana Indonesia. 2. Dan untuk mengetahui dasar jaksa penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. 3. Serta untuk mengetahui dasar hakim mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa dalam kasus pollycarpus.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Manfaat Penelitian Adapun penulisan skripsi ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana khususnya mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan khususnya bagi Jaksa Penuntut Umum ketika mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
D. Keaslian Penulisan Penulisan karya ilmiah ini berjudul “Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi: Polycarpus Budihari Priyanto)“, yang pada prinsipnya penulis membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada, baik melihat literatur yang penulis peroleh dari perpustakaan, dan dari media masa baik cetak maupun elektronika. Sehingga dapat penulis pastikan tidak ada judul skripsi yang sama setelah melakukan penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan apabila di kemudian hari ternyata ada maka penulis akan mempertanggungjawabkannya.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian ini adalah penelitian studi kasus dengan metode pendekatan yuridis normative, yaitu dengan pengumpulan data-data serta studi kepustakaan yang berkaitan dengan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Hukum acara Pidana Indonesia. 2. Jenis Data dan Sumber Data Jenis data yang dibutuhkan dalam Penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari : b. Bahan Hukum Primer ; yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan lain-lain. c. Bahan Hukum Sekunder ; yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau merupakan hasil kajian dari berbagai media seperti Koran, majalah, artikel-artikel yang dimuat di berbagai website diinternet. d. Bahan Hukum Tersier ; yaitu semua dokumen yang berisikan konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia. 3. Tehnik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data didalam memecahkan permasalahan penulisan skripsi dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilaksanakan dengan cara menelaah buku-buku, karangan ilmiah dan peraturan Perundang-undangan yang ada hubungannya dengan permasalahan pada Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
skripsi ini. Selain itu penelitian juga diarahkan terhadap artikel-artikel ilmiah yang dimuat di Koran maupun majalah baik yang dimuat di berbagai media massa maupun yang dimuat di website-website internet. 4. Analisis Data Dalam penulisan skripsi ini, segala data yang telah diperoleh oleh penulis kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menjawab segala permasalahan didalam skripsi ini, yang kemudian analisis deskriptif kualitatif tersebut akan membantu penulis membuat suatu kesimpulan yang benar.
F. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana Indonesia Hukum acara pidana merupakan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana
atau
menyelenggarakan
Hukum
Pidana
Material,
sehingga
memperoleh keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan. 4 Hukum acara pidana disebut juga hukum formil yaitu bagaimana cara alat pemerintah melaksanakan hukum materil (penerapan isi). Pengertian Hukum Acara Pidana adalah bagaiamana cara negara melalui alat alat kekuasaannya menentukan kebenaran tentang terjadinya suatu pelanggaran hukum pidana. Menurut Simon, hukum acara pidana adalah mengatur bagaimana Negara dengan alat-alat pemerintahannya menggunakan hak-haknya untuk memidana. Sedangkan menurut De bos kemper hukum acara pidana adalah sejumlah asas dan peraturan 4
Andi Hamzah, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta.
Hal 4. Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
undang-undang yang mengatur bagaimana Negara menggunakan hak-haknya untuk memidana. Secara umum Hukum Acara Pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981. 5 Hukum Acara Pidana di Indonesia saat ini telah diatur dalam satu undangundang yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni Undang-Undang No.8 Tahun 1981, berlaku sejak 31 Desember 1981. Asas dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah: 6 1. Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU. 2. Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (Pasal 50 KUHAP). 3. Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (Pasal 54 KUHAP). 4. Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (Pasal 64 KUHAP). 5 6
Ibid. Ibid. Hal 10.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
5. Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU. Hukum acara pidana adalah merupakan salah satu pelaksanaan dari Hak Asasi Manusia dalam Negara Republik Indonesia. Demikian dikemukakan dalam pertimbangan (konsideran) yang mendahului Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan demikian, maka negara Republik Indonesia khususnya dengan hukum acara pidananya itu telah secara tegas mengakui prinsip-prinsip hak asasi manusia yang bersifat universal tersebut. Pengakuan itu dipertegas kemudian dalam pedoman Pelaksanaan KUHAP. KUHAP hadir menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebagai payung hukum acara di Indonesia . Kitab yang disebut karya agung bangsa Indonesia ini mengatur acara pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan, acara pemeriksaan, banding di Pengadilan Tinggi, serta kasasi dan PK ke Mahkamah Agung. 7 Harus diakui, bahwa kehadiran KUHAP dimaksudkan oleh pembuat Undang-undang untuk “mengoreksi” pengalaman praktek peradilan masa lalu yang tidak sejalan dengan penegakan hak asasi manusia di bawah aturan HIR, sekaligus memberi legalisasi hak asasi kepada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum. Tak jarang didengar rintihan pengalaman di masa HIR seperti penangkapan yang berkepanjangan tanpa akhir, penahanan tanpa surat perintah dan tanpa penjelasan kejahatan yang dituduhkan.
7
Ibid. Hal. 4.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Demikian juga dengan “pemerasan” pengakuan oleh pemeriksa (verbalisant). 8 Memang KUHAP telah mengangkat dan menempatkan tersangka atau terdakwa dalam kedudukan yang “‘berderajat”, sebagai makhluk Tuhan yang memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh. Tersangka atau terdakwa telah ditempatkan KUHAP dalam posisi his entity and dignity as a human being, yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. 9 KUHAP telah menggariskan aturan yang melekatkan integritas harkat harga diri kepada tersangka atau terdakwa, dengan jalan memberi perisai hak-hak yang sah kepada mereka. Pengakuan hukum yang tegas akan hak asasi yang melekat pada diri mereka, merupakan jaminan yang menghindari mereka dari perlakuan sewenang-wenang. Misalnya KUHAP telah memberi hak kepada tersangka atau terdakwa untuk segera mendapat “pemeriksaan” pada tingkat penyidikan maupun putusan yang seadil-adilnya. Juga memberi hak untuk memperoleh “bantuan hukum” pemeriksaan pengadilan. 10 Demikian juga mengenai “pembatasan” jangka waktu setiap tingkat pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan penangkapan dan penahanan, ditentukan secara limitatif bagi semua instansi dalam setiap tingkat pemeriksaan. Bahkan untuk setiap penangkapan atau penahanan yang dikenakan, wajib diberitahukan kepada keluarga mereka. Dengan demikian tersangka atau terdakwa maupun keluarga mereka, akan mendapat kepastian atas segala bentuk tindakan penegakan hukum. Ini sejalan dengan tujuan KUHAP sebagai sarana 8
Ibid. M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Pembahasan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Bandung. Hal. 1. 10 Ibid. 9
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
pembaruan hukum, yang bermaksud hendak melenyapkan kesengsaraan masa lalu. Lahirnya hukum acara pidana nasional yang modern sudah lama didambakan oleh semua orang. Masyarakat menghendaki hukum acara pidana yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dan selaras dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. KUHAP boleh dikatakan telah membangkitkan optimisme harapan yang lebih baik dan manusiawi dalam pelaksanaan penegakan hukum. Tentunya kelahiran KUHAP untuk mencari Kebenaran Materil dan mencari keterkaitan antara niat, perbuatan dan keadaan diri si pelaku (unsur-unsur tindak pidana) yang berbeda dengan yang berlaku di dalam hukum acara perdata, mencari kebenaran formil (bukti-bukti tertulis). Namun, memasuki usia 20 tahun lebih berlakunya KUHAP muncul keinginan agar KUHAP segera direvisi karena tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan sebagaimana pada saat diundangkan. Didalam pedoman pelaksanaan KUHAP dijelaskan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah “untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat.” 11
2. Pengertian dan Dasar Hukum Peninjauan Kembali
Herziening atau Peninjauan Kembali adalah suatu putusan pengadilan yang telah 11
memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas suatu perkara
Ibid. Hal. 13.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
pidana, berhubungan dengan ditemukannya fakta-fakta yang dulu tidak diketahui oleh Hakim, yang akan menyebabkan dibebaskannya terdakwa dari tuduhan. 12
Dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP mengatur pengajuan PK ditentukan dasar sebagai berikut: 13
a. Apabila terdapat keadaan baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau Penuntut Umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan Pidana yang lebih ringan; b. Apabila dalam pelbagai Putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan Putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c. Apabila Putusan Hakim itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Untuk pengaturan pihak yang berhak untuk mengajukan PK telah diatur pada Pasal 263 (1) KUHAP, yang berbunyi: "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan 12
Bachtiar Sitanggang, Senin, 3 Februari 1997, Hakikat Peninjauan Kembali atas Suatu erkara Pidana , INDONESIA-P Kompas Online,www.hamline.edu /apakabar/ basisdata/ 1997/02/ 020027.htmi- 21k. 13 R. Soenarto Soerodibroto, 2003, KUHP dan KUHAP Edisi kelima, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 472. Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
permintaan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA). Menurut pengertian sehari-hari, kalau kalimat tersebut dibaca dalam keseluruhan dan kaitan antara satu dengan yang lain, jelas bahwa dalam hal hakim menyatakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka terpidana atau ahli warisnya tidak boleh mengajukan permintaan PK. Larangan yang sama berlaku juga bagi orang lain, seperti korban, jaksa atau penuntut umum atau LBH. Terpidana atau ahli warisnya hanya dapat mengajukan permintaan PK, hanya kalau terpidana dijatuhi pidana dalam tingkat kasasi oleh MA. 14 Menurut kalimat Pasal 263 (1) KUHAP tersebut hanyalah terpidana atau ahli warisnya yang dapat meminta PK. Seandainya orang atau instansi tertentu diperbolehkan mengajukan permohonan demikian, maka pembuat undang-undang pasti akan mencantumkan kata-kata antara lain di depan kalimat "terpidana 15", atau di belakang kata-kata "ahli warisnya" akan disusul dengan kata "dan". Misalnya "dan penuntut umum, korban, atau siapa saja. Kalimat berbahasa Indonesia tersebut sudah jelas sekali maksudnya, sehingga tidak dapat diartikan lain. Jelas bahwa PK itu diberikan hanya kepada terpidana atau ahli warisnya secara terbatas. Mengapa perlu ditinjau suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena telah terjadi kesalahan menghukum orang. Kesalahan itu sesungguhnya berawal dari kesalahan menangkap orang yang dilakukan penyidik. Kesalahan itu dilanjutkan penutut 14
M Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Sinar Grafika, Cetakan 8, Jakarta. Hal. 615. 15 Ibid. Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
umum karena menuntut orang yang bersalah, kemudian di pengadilan pun akhirnya salah menjatuhkan hukuman. Dengan demikian upaya hukum PK adalah upaya meminta maaf dari negara dan pemerintah kepada masyarakat dan orang bersangkutan, karena dijatuhkan hukum kepada orang yang tidak berbuat seperti apa yang dituduhkan.Hakim sebagai pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili yaitu menegakkan hukum dan memberi keadilan serta memelihara kepastian hukum, memang harus memberikan keadilan, bila perlu melakukan terobosan. Namun terobosan itu tidak bisa melampaui batas yang ada, yaitu undang-undang. Masalah PK ini muncul kembali karena Majelis PK MA melalui majelis Hakim Agung Soerjono, Sarwata, dan Palti Raja Siregar, mengabulkan gugatan PK (Peninjauan Kembali) jaksa penuntut umum Havid Abdul Latif dari Kejaksaan Negeri Medan pada Selasa 19 Nopember 1996.
Dalam putusannya Majelis
Hakim menyatakan menerima permohonan dari Kejaksaan dan mengadili serta menjatuhkan hukuman bagi Muchtar Pakpahan. Yang menjadi persoalan, bukan berat
ringannya
hukuman
yang
dijatuhkan
kepada
Muchtar
Pakpahan
atau terbukti tidaknya ia melakukan penghasutan, tetapi pokok masalah, apakah KUHAP memungkinkan Kejaksaan mengajukan permohonan PK atas suatu perkara pidana. Hal itu memang tidak diatur secara tegas, apalagi yang melarang Kejaksaan mengajukan PK tidak ada dalam KUHAP. 16 Dimungkinkan tidaknya kejaksaan mengajukan permintaan PK dalam kaitannya dengan kasus Muchtar Pakpahan perlu dikaji KUHAP sebagai dasar
16
Bachtiar Sitanggang, OpCit, Hal 1.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 263 ayat 1
menentukan "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperbolehkan kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung". 17 Dalam Pasal ini ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama, yaitu kata-kata
"kecuali
hukum",
berarti
putusan
bebas
atau
lepas
kalaupun
jaksa
dimungkinkan
dari
segala
untuk
tuntutan
mengajukan
permintaan PK, akan tetapi karena putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum seharusnya ditolak majelis majelis Hakim Agung Soerjono, Sarwata, dan Palti Raja Siregar. Kedua, bila disimak dengan penafsiran a contrario Pasal 263 (1) ".... terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung", berarti selain terpidana atau ahli warisnya tentu "tidak dapat" mengajukan permintaan PK. Barangkali karena tidak diatur secara tegas itulah, maka Majelis Hakim Agung Soerjono, Sarwata, dan Palti Raja Siregar memiliki alasan untuk menerima permintaan PK dan membatalkan Putusan Adi di tingkat Kasasi. Tetapi kalau melalui Majelis Hakim Agung Soerjono, Sarwata, dan Palti Raja Siregar, menggunakan lubang kemungkinan pada ayat 1 di atas, sebenarnya ayat 2 tidak boleh diingkari. Secara terbatas alasan PK ditentukan atas tiga dasar. Pertama, apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa
jika
17
keadaan
itu
sudah
diketahui
pada
waktu
sidang
masih
Ibid
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau
terhadap
ringan.
Kedua,
bahwa
sesuatu
perkara
itu
apabila telah
diterapkan
dalam
ketentuan
pelbagai
terbukti akan
pidana
putusan
tetapi
hal
terdapat
atau
yang
lebih
pernyataan
keadaan
sebagai
dasar atau alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. Dan ketiga, apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatukekeliruan yang nyata. 18 Dari ayat 2 ini jelas bahwa alasan-alasan untuk mengajukan permintaan PK itu terbatas. Ia hanya diperuntukkan bagi kepentingan terpidana dan bertujuan untuk melindungi hak terpidana dari kesalahan menerapkan hukum atau salah menghukum orang. Ini terlihat pada butir pertama, "hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan" sama sekali tidak disebutkan untuk memberatkan hukuman. Memang pembentuk KUHAP tidak secara tegas menentukan ayat 3 Pasal yang sama termasuk manfaatnya. Ayat 3 tersebut menentukan, "Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetapi dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan".
18
M Yahya Harahap Edisi Kedua, OpCit, Hal. 615.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Pasal 244 KUHAP jelas hanya menyebut terdakwa atau penuntut umum, sehingga tidak boleh menambahnya dengan korban, penasehat hukum, atau siapa saja. Hal itu pun dibatasi, hanyalah jikalau terdakwa tidak diputus bebas, dengan kata lain kasasi hanya dapat dilakukan dalam hal terdakwa diputus 'dilepaskan dari tuntutan hukum' atau dipidana. Ditinjau dari segi logika, maka kasasi dapat dilakukan oleh penuntut umum dalam hal terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum, sebab berarti bahwa terdakwa tidak akan menjalani pidana. Logis pula kalau terdakwa dapat memohon kasasi kalau ia dipidana, karena ia tidak mau masuk penjara. 19 Pasal 263 (1) KUHAP hanya memperkenankan terpidana atau ahli warisnya mengajukan permohonan Peninjauan Kembali jika ia dijatuhi pidana. Kesimpulan itu penulis ambil dengan menggunakan uraian a contarrio, sebab kalimat "kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan" di dalam Pasal 263 (1) KUHAP. Kebalikan putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum adalah dipidana. Ditinjau dari segi logika, adalah masuk akal kalau terpidana atau ahli warisnya tidak boleh mengajukan PK kalau ia tidak dijatuhi pidana. PK barulah dapat dilakukan kalau terdakwa dikenai pidana. Maka sangat tidak logis kalau dikatakan bahwa penuntut umum (karena tidak diatur di dalam KUHAP) dapat mengajukan permohonan PK. Dalam Pasal 263 (2) KUHAP tersebut secara implisit yang dimaksudkan
19
Andi Zainal Abidin, 1997, Opini: Seputar Peninjauan Kembali Perkara Pidana, http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/01/18/0119.html. Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
dapat mengajukan PK ialah terpidana atau ahli warisnya, karena ia telah dijatuhi pidana. Padahal andaikata hakim yang telah memutuskan perkaranya telah mengetahui adanya keadaan yang
dapat
membebaskan terdakwa, atau
melepaskannya dari segala tuntutan hukum, atau seharusnya menyatakan tuntutan penuntut umum niet ontvankelijk atau seharusnya menjatuhkan pidana yang lebih ringan daripada yang dijatuhkannya, maka ia akan menetapkan putusan salah satu jenis putusan yang disebut secara limitatif di dalam Pasal 263 (2) KUHAP. Lamintang secara panjang lebar menguraikan sejarah pranata hukum PK. Hukum ini, katanya berasal dari Undang-undang tanggal 14 Juli 1899, staatsblad Tahun 1899 No. 159 yang mengubah Wetboek van Strafvordering Nederland dan Reglement op de Strafvordering. Menurut Lamintang (halaman 544) sebagian di antaranya kemudian dimasukkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia yang sudah telanjur dipuji sebagai "karya agung"yang seolaholah tidak ada celanya. Isi ketentuan Pasal 263 KUHAP Indonesia bolehlah dikatakan sama atau mirip sekali dengan Artikel 457 Wetboek van Strafvordering Nederland Van Bemmelen (1950:454). Keduanya menyatakan bahwa herziening atau PK hanya dapat dilakukan dalam hal putusan terakhir menyatakan terdakwa dipidana, terdapat pernyataan pembuktian yang saling bertentangan dalam dua atau lebih putusan hakim, dan terdapat novum. 20
3. Wewenang Jaksa Dalam Sistem Peradilan
20
Lamintang, 1984 , Hukum pidana Indonesia , Sinar Baru, Jakarta. Hal 544-551.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penuntutan tertinggi di bidang hukum mempunyai peran utama dalam penegakan supremasi hukum dan mewujudkan keadilan bagi seluruh bangsa di negeri ini. Sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, dan sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, peran kejaksaan sebagai garda depan penegakan hukum demikian penting dan strategis. 21 Sebagai institusi peradilan, kewenangan kejaksaan dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum, peran kejaksaan diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Sistem peradilan pidana terpadu adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem penegakan hukum. Dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat empat subsistem yakni: (1) kekuasaan penyidikan; (2) kekuasaan penuntutan; (3) kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana; dan (4) kekuasaan pelaksanaan putusan / pidana. 22 Kejaksaan sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana memiliki fungsi di bidang penuntutan dan memegang peranan yang sangat krusial dalam proses penegakan hukum. Sebagai institusi peradilan, maka kewenangan kejaksaan dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu peran Kejaksaan
21
Mewujudkan Doktrin ”Tri Krama Adhyaksa, Harian Sinar Harapan, Senin, 21 Juli 2003, http://www.sinarharapan.co.id 22 Memantapkan Langkah Reformasi Kejaksaan, Komisi Hukum Nasional 17 April 2004,http://www.komisihukum.go.id./index.php?option=com_rubberdoc&view=doc&id=2&forma t=raw&itermid=84&lang=in Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Eksistensi Kejaksaan telah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam sistem peradilan pidana, Jaksa merupakan institusi penegak hukum yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat. Seluruh komponen sistem peradilan pidana, termasuk pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi
kejahatan
atau
mengendalikan
terjadinya
kejahatan.
Meski demikian, tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa (pada tahap prajudisial) dan pengadilan (pada tahap judisial). 23 Untuk menghindari kesimpang-siuran tugas, penyalahgunaan kewenangan, tumpang tindihnya kewenangan, serta kegagalan mencapai tugas kejahatan yang terjadi di masyarakat, perlu ada suatu antara lain memuat siapa aparat penegak hukum tugas penegakan hukum pidana, bagaimana tugas dan kewajibannya, serta apa sesuai dengan cara atau
menyelesaikan
hukum yang di dalamnya
yang oleh negara diberikan
tatacara penegakannya, apa saja
sanksi bila ternyata pelaksanaannya tidak
tugas dan kewenangannya. Hukum tersebut dikenal
23
Topo Santoso (Universitas Indonesia), Polisi Dan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia,
[email protected], 5 September 2001.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
sebagai hukum pidana merumuskan
formal atau hukum acara pidana. Wirjono Prodjodikoro
hukum acara pidana ini sebagai suatu rangkaian peraturan-
peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. 24 Hukum acara pidana menjadi pegangan bagi jaksa dan polisi serta hakim (bahkan termasuk penasihat hukum) di dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan dan pemeriksaan di pengadilan. Para pelaksana hukum itu dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh menyimpang dari asas-asas hukum acara pidana. Di dalam hukum acara pidana diatur dengan jelas apa tugas dan kewenangan masing-masing alat negara yang bekerja dalam sistem peradilan pidana.Dalam sejarah hukum acara pidana di Indonesia tercatat bahwa dari
tanggal 17 Desember 1945 hingga 31 Desember 1981 berlaku hukum acara
pidana yang diatur dalam Reglement Indonesia yang diperbaharui (RIBS. 1941 No. 44). Setelah 31 Desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 25 Pada dua periode berlakunya hukum acara pidana tersebut, terdapat perbedaan aspek
penting.
penyidikan
Perbedaan tindak
tersebut
pidana
(baik
antara tindak
lain
dapat
pidana
dilihat
umum
dari
maupun
penyidikan tindak pidana khusus) serta kewenangan dari lembaga polisi
24 25
Ibid Ibid.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
dan kejaksaan.
Terdapat
perbedaan pola
hubungan antara polisi dan
jaksa dalam dua periode tersebut dalam soal penyidikan tindak pidana. Sebelum KUHAP diberlakukan, wilayah tersebut secara tradisional "dikuasai" oleh kejaksaan. Dengan kata lain, bidang penyidikan adalah kewenangan pihak kejaksaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi "mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinir alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara". Penjelasan Pasal tersebut menyatakan, untuk kesempurnaan tugas penuntutan,
jaksa
perlu
sekali
mengetahui
sejelas-jelasnya
semua
pekerjaan yang dilakukan dalam bidang penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai akhir yang seluruhnya itu harus dilakukan atas dasar hukum. Perbedaan kewenangan penyidikan sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP akan jelas sekali terlihat dengan mengetahui siapa yang dimaksud dengan penyidik menurut ketentuan acara pidana sebelum KUHAP. Menurut Reglement Indonesia yang dibaharui (S.1941 No. 44) Pasal 53 (1) yang dimaksud
penyidik
ialah
Kepala
Distrik,
Kepala
Onderdistrik,
polisi
umum yang sekurang-kurangnya berpangkat pembantu inspektur polisi dan pegawai polisi yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Jadi sangat jelas bahwa
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, jaksa mempunyai bidang kewenangan yang luas sebagai berikut: 26 1.Didalam bidang penuntutan dilakukan penuntutan dalam perkara-perkar pidana pada pengadilan yang berwenang. 2. Dalam bidang penyidikan diadakan lanjutan serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik dalam hal ini termasuk penyidik dari kepolisian. Dengan demikian, pimpinan dalam penyidikan pada periode sebelum berlakunya
KUHAP
adalah
kejaksaan
yang
bertugas
mengawasi
dan
mengkoordinasikan penyidikan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain, termasuk polisi. Berbeda dengan kondisi tersebut, setelah berlakunya KUHAP terjadi perubahan yang sangat penting. Perubahan yang dibawa oleh KUHAP mengakibatkan pembagian kewenangan sebagai berikut;27 a. Kepolisian 1. Kepolisian dalam bidang penyidikan kepolisian mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana umum. 2. Kepolisian mempunyai kewenangan melakukan penyidikan tambahan. 3. Kepolisian berperan sebagai koordinator dan pengawas Penyidik b. Kejaksaan 1. Di bidang penyidikan kejaksaan mendapat
porsi sebagai penyidik
tindak pidana khusus yang meliputi tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana ekonomi, walaupun ini sifatnya sementara. 26 27
Ibid. M Yahya Harahap Edisi Kedua. OpCit, Hal. 103.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
2. Untuk penyidikan tindak pidana umum, polisi memegang kewenangan penyidikan penuh, sedangkan jaksa tidak berwenang.
Meskipun demikian, dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 30 ayat (1) diakui bahwa kejaksaan mempunyai kewenangan untuk melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan lahirnya Undang-undang Kepolisian yang baru pada tahun 1997, menyatakan polisi dapat melakukan penyidikan untuk semua tindak pidana. Pernyataan ini seolah ingin menangkis anggapan bahwa untuk penyidikan tindak pidana khusus hanya jaksa yang berwenang, padahal menurut Pasal 284 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 wewenang jaksa itu bersifat sementara. Polisi seolah juga ingin menyatakan bahwa mereka kini sudah mampu untuk menyidik perkara-perkara yang sulit seperti kasus tindak pidana korupsi, ekonomi, dan subversi. Dualisme Kewenangan Polisi dan Jaksa, dalam Dualisme kewenangan penyidikan ini menimbulkan persoalan-persoalan serius yang menegangkan hubungan antara polisi dan kejaksaan. Dalam periode ini muncul kasus demi kasus yang mencoreng kedua lembaga penegak hukum tersebut. Pada kasus pembunuhan Nyo Beng Seng misalnya, polisi menangkap beberapa orang jaksa yang dituduh telah melakukan pemeriksaan fiktif terhadap seorang saksi kasus kontroversial itu. 28 Penangkapan mengakibatkan hubungan yang sangat tegang antara polisi dan jaksa. Kasus ini seperti menandai perseteruan antara polisi dan jaksa dalam soal penyidikan. Di luar kasus perebutan kewenangan menyidik ini, kita melihat
28
Topo Santoso, OpCit.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
pula sisi efektivitas penyidikan tindak pidana yang dianggap kurang. Seperti diketahui,
dengan
hilangnya kewenangan
jaksa untuk
mengawasi dan
mengkoordinasikan jalannya penyidikan (yang sangat penting untuk proses selanjutnya itu), undang-undang memberi semacam jalan keluar yang disebut prapenuntutan. Melalui lembaga ini jaksa yang melihat adanya kekurangan pada hasil penyidikan polisi dapat mengembalikan berkas penyidikan polisi disertai saransaran untuk melengkapi berkas-berkas tadi. Dengan demikian, prapenuntutan seolah merupakan jalan tengah agar ada pembagian kewenangan yang tegas antara polisi sebagai penyidik dan jaksa selaku penuntut umum serta keterpaduan dalam sistem peradilan pidana, yaitu antara bidang penyidikan dan penuntutan. 29 Akan tetapi, prapenuntutan ini tidak sepenuhnya efektif, masih banyak berkas yang bolak-balik dari polisi-jaksa, jaksa-polisi, dan seterusnya. Begitu pula, masih banyak berkas yang dikembalikan oleh jaksa kepada polisi untuk dilengkapi, ternyata tidak pernah kembali lagi kepada jaksa. Kondisi-kondisi demikian tentu sangat merugikan masyarakat, sebab banyak perkara tindak pidana yang terjadi tidak dapat terselesaikan, sehingga yang bersalah tidak dapat dihukum. Padahal, salah satu tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk menyelesaikan tindak pidana yang terjadi. Landasan yuridis dari kewenangan, tugas, peran, serta bentuk hubungan polisi dan jaksa memang telah mengalami beberapa kali perkembangan. Hal tersebut dapat dilihat misalnya mulai dari ketentuan dalam Inlands Reglement (IR), Herziene Inlands Reglement (HIR) atau Reglement
29
Indonesia
yang
diper-baharui (RIB),
Undang-undang
Pokok
Ibid.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Kepolisian (UU Nomor 2 Tahun 2002), Undang-undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-undang Kekuasaan kehakiman (UU Nomor 4 Tahun 2004), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981). Dalam setiap perkembangan peraturan tersebut terjadi semacam tarik ulur dan upaya menambah kewenangan dari kedua instansi di atas. Suatu penelitian yang cermat, penting dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa yang melatarbelakangi perkembangan peraturan-peraturan, hubungan antara kedua lembaga tersebut, implikasi yuridisnya, serta pengaruhnya terhadap tugas yang diemban oleh kedua lembaga. Dalam bidang penyidikan, dengan berlakunya KUHAP maka kewenangan kejaksaan dalam fase pemeriksaan pendahuluan yang meliputi penyidikan, penyidikan lanjutan dan pengawasan koordinasi terhadap penyidik lain telah dialihkan kepada kepolisian. 30 Fungsi penyidikan oleh jaksa sekarang dilanjutkan oleh kepolisian dengan segala kewenangan yang bergandengan dengan tugas penyidikan tersebut, seperti upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat. Hal ini menjadikan kepolisian sebagai penyidik utama. Di samping tugas utamanya, yaitu melakukan penuntutan, jaksa memang masih mempunyai wewenang, yaitu menyidik tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana subversi (sebagaimana diatur dalam Pasal transitoir, Pasal 284 ayat (2) UU No 8 Tahun 1981). Dalam soal inipun acapkali terjadi konflik kewenangan menyidik sebab polisi berpendapat bahwa 30
Marwan Effendy, 2005, Kejaksaan Republik Indonesia Posisi dan Fungsinya Dari Persfektif Hukum, Gramedia Pustaka utama, Jakarta. Hal. 147. Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
lembaga itu dapat menyidik semua jenis tindak pidana. Kewenangan ini dikuatkan dengan lahirnya undang-undang kepolisian yang baru (UU Nomor 2 Tahun 2002) yang semakin menegaskan kewenangannya itu. Dalam kaitan ini pembicaraan tentang eksistensi dan peranan Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan, dan kepolisian (makehjapol) juga sangat relevan. Seperti yang telah diutarakan di atas, penyidikan dilakukan oleh kepolisian, sedangkan penuntutan dilaksanakan oleh kejaksaan. Hal ini merupakan perubahan dari sistem HIR, bahwa kejaksaan mempunyai wewenang melakukan penyidikan lanjutan di samping melakukan penuntutan.
G. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang akan merupakan isi pembahasan dari skripsi ini dan untuk mempermudah penguraiannya maka penulis membagi skripsi ini dalam 5 bab. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : Bab I
Pendahuluan, pada Bab ini penulis menjelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan
kepustakaan,
metodologi
penelitian
serta
sistematika
penulisan juga diuraikan dalam bab ini. Bab II
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang upaya hukum
peninjauan kembali dalam sistem peradilan.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Bab III
Disini penulis akan menjelaskan dan menguraikan tentang
wewenang jaksa dalam mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam sistem peradilan pidana. Bab IV
Dalam Bab ini penulis akan memberikan posisi kasus dan analisis kasus dalam perkara Pollicarpus Budihari Priyanto.
Bab V
Kesimpulan dan Saran. Pada bab ini merupakan bab terakhir pada skripsi ini yang merupakan kesimpulan atas hal yang dibahas dan diuraikan atau merupakan jawaban atas anggapan dasar atau hipotesa dari skripsi yang berdasarkan penelitian perpustakaan serta penelitian lapangan. Dan selanjutnya dari kesimpulan yang telah diambil maka penulis mengajukan saran yang dianggap bermanfaat baik bagi kepentingan masyarakat maupun pemerintah serta kepada penulis sendiri.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
BAB II PENGATURAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
A. Putusan Pengadilan yang Dapat Dimintakan Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Bagian kedua upaya hukum luar biasa ialah peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 263 ayat (1). Bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan atau ahli tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Mahkamah Agung memperhatikan bunyi Pasal 263 ayat (1) dapat dikemukakan beberapa hal seperti yang diuraikan berikut ini :
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 263 ayat (1), dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.
Dapat
Diajukan
Terhadap
Semua
Putusan
Pengadilan
yang
Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (kracht van gewjisde) peninjauan kembali dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung. Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melengkahi 29 upaya hukum banding dan kasasi. Selama upaya hukum bisa masih terbuka, upaya hukum biasa itu dulu yang mesti dilalui. Tahap proses upaya peninjauan kembali adalah tahap proses yang telah melampaui upaya hukum biasa. 31
b.
Dapat Diajukan Terhadap Semua Putusan Pengadilan Sebagaimana yang sudah ditegaskan, upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Upaya peninjauan kembali dapat diajukan terhadap semua putusan instansi pengadilan, dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri, asalkan putusan instansi itu telah berkekuatan hukum tetap. Demikian pula terhadap putusan Pengadilan Tinggi, dapat diajuakan permintaan peninjauan kembali, jika terhadap putusan itu sudah tertutup jalan mengajukan permintaan kasasi, sebab putusan Pengadilan Tinggi yang demikian, sudah melekat sifat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sejak itu terbuka kemungkinan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Demikian pula terhadap putusan Mahkamah Agung, dapat diajukan upaya peninjauan kembali, setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap. Berarti setelah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, sejak saat itu melekat dalam putusan Mahkamah Agung sifat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Maka sejak saat itu terbuka jalan untuk meminta peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung dimaksud :
Kalau begitu, berdasar penjelasan di atas, upaya peninjauan kembali :
31
M Yahya Harahap, OpCit, Hal. 615.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
1) Dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2) Dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Tinggi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan 3) Dapat diajukan terhadap putusan Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. c.
Kecuali Terhadap Putusan Bebas dan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Sekalipun upaya ini dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, namun undang-undang sendiri telah menentukan “pengecualian”. Pengecualian itu dijelaskan sendiri dalam Pasal 263 ayat (1) yakni terhadap :
32
i. Putusan bebas (vijspraak), atau ii. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag rechts vervolging). Terhadap kedua jenis putusan ini, upaya hukum peninjauan kembali tidak dapat diajukan. Hal ini memang logis. Bukan tujuan upaya peninjauan kembali, dimaksudkan sebagai upaya yang memberi kesempatan kepada terpidana untuk membela kepentingannya, agar dia terlepas dari kekeliruan pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya. Kalau begitu, jika dia sudah dibebaskan dari pemidanaan ataupun telah dilepas dari segala tuntutan hukum, tidak ada lagi alasan dan urgensi untuk meninjau kembali putusan yang menguntungkan dirinya. Masakan orang yang sudah diputus bebas atau dilepas dari segala tuntutan hukum masih ingin lagi dijatuhi pidana. Atas dasar pemikiran itulah sebabnya upaya peninjauan kembali tidak diperkenankan terhadap putusan bebas atau lepas segala tuntutan hukum.
32
Ibid, Hal. 616.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
B. Dasar dan Pihak yang Dapat Mengajukan Upaya Hukum Peninjuan Kembali Pasal 263 ayat (2) memuat alasan yang dapat dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali, yang dituangkan pemohon dalam “surat permintaan peninjauan kembali”. Dalam surat permintaan atau permohonan peninjauan kembali itulah pemohon menyebut secara jelas dasar alasan permintaan. Memperhatikan ketentuan Pasal 264 ayat (1) dan ayat (4), syarat formula menentukan sahnya permohonan peninjauan kembali ialah “ surat permintaan” peninjauan kembali. Tanpa surat permintaan yang memuat alasan-alasan sebagai dasar, permintaan yang demikian dianggap “tidak ada”. Pendapat ini didukung oleh Pasal 264 ayat (1) dan ayat (4) yang menegaskan : 33 1. Ayat (1) kelima terakhir menegaskan, pemohon harus menyebut secara jelas alasan permintaan peninjauan kembali.
2. Ayat (4) menegaskan, jika pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima
permintaan
peninjauan
kembali,
wajib
menanyakan
alasannya kepada pemohon dan untuk itu panitera membuat surat permintaan peninjauan kembali. Bertitik tolak dari penegasan di atas, syarat formal permohonan peninjauan kembali ialah adanya “surat permintaan” yang memuat alasan yang menjadi dasar permintaan peninjauan kembali. Apakah surat permintaan yang memuat alasan itu dibuat sendiri oleh terpidana atau panitera Pengadilan Negeri sesuai dengan Pasal 264 ayat (4), tidak menjadi soal. Yang penting sebagai syarat sahnya permohonan, harus diajukan dalam surat permintaan peninjauan kembali yang menjelaskan alasan-alasan yang mendasari pernohonan. Dan alasan yang menjadi dasar permintaan peninjauan kembali, sudah dirinci undang-undang dalam Pasal 263 ayat (2) serta ayat (3). Namun alasan pokok
33
. Ibid. Hal. 619.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
yang dapat dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali ialah hal-hal yang disebut satu per satu dalam Pasal 263 ayat (2). a. Apabila terdapat Keadaan Baru Alasan pertama yang dapat dijadikan landasan mendasari permintaan peninjauan kembali adalah “keadaan baru” atau novum. Keadaan baru yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan adalah keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat” :34
1. Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan dikemukakan pada waktu sidang berlangsung dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau. 2. Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui ada waktu sidang berlangsung dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, atau 3. Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Untuk sekedar contoh dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Juni 1984 Reg. No. 19 PK/Pid/1983. Salah satu alasan yang mendasari permintaan peninjauan kembali yang diajukan pemohon berbunyi: “karena terdakwa teleh meninggal dunia pada tanggal 24 Agustus 1982, sedang jaksa juga tidak mengajukan permohonan kasasi maka putusan Pengadilan Tinggi telah mempunyai kekuatan hukum tetap, walaupun dapat diketahui bahwa Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum. Bahwa seandainya perkara ini oleh jaksa diajukan permohonan kasasi, ada kemungkinan putusan judex factie akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan sekurang-kurangnya tuntutan hukuman akan dinyatakan gugur berdasar Pasal 77 KUHP (terdakwa meninggal dunia). 34
Ibid.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Alasan keberatan ini tidak dapat dibenarkan Mahkamah Agung dengan tanggapan bahwa keadaan baru yang dikemukakan pemohon tidak mempengaruhi putusan Pengadilan Tinggi. Oleh karena itu, alasan tersebut tidak sesuai dengan makna ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a. Memang kebetulan terdakwa meninggal tanggal 24 Agustus 1982. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 9 Desember 1982. akan tetapi, akta kematian baru diminta kuasa terdakwa tanggal 2 Februari 1983. berarti Pengadilan Tinggi sudah sempat menjatuhkan putusan, baru kematian terdakwa diberitahukan setahun kemudian. Atas alasan inilah barangkali
Mahkamah
Agung
berpendapat
bahwa
keadaan
baru
yang
dikemukakan pemohon, dianggap “tidak mempengaruhi” putusan Pengadilan Tinggi Bandung. Akan tetapi, rasanya Mahkamah Agung dalam putusan ini kurang dapat dipahami. 35 Bukankah dengan adanya fakta keadaan baru berupa peristiwa kematian terdakwa, cukup merupakan keadaan yang menimbulkan dugaan bahwa putusan Pengadilan Tinggi akan lain daripada apa yang telah diputuskan, seandainya kematian terdakwa diketahui sebelum pemeriksaan dan putusan dijatuhkan.
b. Apabila dalam Pelbagai Putusan Terdapat Saling Pertentangan Alasan kedua yang dapat dipergunakan sebagai dasar permintaan peninjauan kembali, yakni dalam pelbagai putusan terdapat : 1. Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti 2. Kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau keadaan itu diajukan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara. 3. Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lainnya.
35
Ibid. Hal. 621.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Misalnya, kemungkinan bisa terjadi saling bertentangan antara putusan perdata dengan putusan pidana. Umpamanya, terdakwa dijatuhi pidana karena bersalah melakukan kejahatan penggelapan dalam jabatan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 374 KUHP, karena seabgai direktur Bank Pembangunan Daerah Yogyakarta telah menjual tanah dan rumah jaminan pinjaman di bawah tangan, sehingga perbuatan ini bertentangan dengan perjanjian dan peraturan undang-undang. Menurut perjanjian secara tegas disebut, apabila debitur tidak melunasi pinjaman pada waktu yang ditentukan, pihak bank dengan kuasa yang tak dapat cabut kembali berhak menjual barang jaminan secara “lelang” menurut peraturan undang-undang. Dari bunyi perjanjian ini, berarti penjualan mesti dilakukan melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) secara lelang, tapi direktur bank menjual di bawah tangan. Atas tindakan ini, Pengadilan Negeri Yogyakarta menghukum direktur melakukan penggelapan dalam jabatan 36.
Pengadilan pidana menilai direktur terbukti tidak melaksanakan penjualan menurut cara yang ditentukan undang-undang sebagaimana yang ditegaskan dalam perjanjian. Oleh pengadilan, pidana telah dinyatakan terbukti hal atau keadaan penjualan bertentangan dengan cara yang ditentukan undang-undang dan perjanjian. Berdasarkan hal dan keadaan yang dinyatakan terbukti inilah yang dijadikan Pengadilan Negeri Yogyakarta menjatuhkan pidana terhadap direktur atas kejahatan penggelapan dalam jabatan. Kemudian dalam perkara perdata Pengadilan Negeri Yogyakarta telah menyatakan penjualan yang dilakukan
36
Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 297. Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
direktur bank sesuai dengan perjanjian, dan tidak bertentangan dengan cara penjualan yang ditentukan undang-undang. Dengan demikian peradilan perdata menyimpulkan, penjualan di bawah tangan atas barang jaminan adalah sah. Pada contoh ini jelas dilihat saling bertentangan antara putusan pidana dan putusan perdata. Dalam putusan pidana, penjualan di bawah tangan dinyatakan sebagai suatu keadaan yang terbukti bertentangan dengan peraturan undang-undang. Sedangkan dalam putusan perdata keadaan itu dianggap tidak bertentangan dengan cara yang ditentukan undang-undang. Dalam kasus yang demikian, terpidana menjadikannya sebagai alasan yang mendasari permintaan kembali. Akan tetapi, pertentangan itu harus benar-benar nyata dan jelas tertuang dalam pelbagai putusan yang bersangkutan. Jangan asal saja dikatakan ada saling bertentangan, namun tidak menunjuk secara nyata di mana letak pertentangan itu.
Cara yang demikian dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Juni 1984 Reg. No. 8 PK/Pid/1983, dalam salah satu alasan yang diajukan pemohon peninjauan kembali, telah mengemukakan adanya saling pertentangan antara perkara perdata No. 1438 K/Sip/1983 dengan perkara pidana No. 8/1980 yang telah menghukum pemohon dengan pidana penjara atas kejahatan penggelapan. Padahal antara kedua putusan tersebut tidak ada saling bertentangan, malah saling mendukung. Oleh karena itu, Mahkamah Agung dalam menanggapi keberatan tersebut tidak dapat membenarkan serta menolak permohonan peninjauan kembali, karena tidak ada pertentangan antara putusan pidana No. 8/1980 dengan putusan Mahkamah Agung dalam perkara perdata No. 1438 K/Sip/1983. c.
Apabila Terdapat Kekhilafan yang Nyata dalam Putusan
Alasan ketiga yang dijadikan dasar mengajukan permintaan peninjauan kembali, apabila dalam putusan terdapa dengan jelas ataupun terlihat dengan nyata ada kehilafan hakim atau kekeliruan hakim.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Hakim sebagai manusia, tidak luput dari kekhilafan dan kekeliruan. Kekhilafan dan kekeliruan itu bisa dalam semua tingkat pengadilan. Kekhilafan yang diperbuat Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama, bisa berlanjut pada tingkat banding, dan kekhilafan tingkat pertam dan tingkat banding itu tidak tampak dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung. Padahal tujuan tingkat banding maupun tingkat kasasi untuk meluruskan dan memperbaiki serta membenarkan kembali kekeliruan yang diperbuat pengadilan yang lebih rendah. Kekeliruan yang seperti ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Maret 1984 Reg. No. 20 PK/Pid/1983. Kasusnya Pengadilan Negeri Baturaja dalam putusan tanggal 28 Maret 1981 No. 463/1980, terdakwa M. Taslim telah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan pembunuhan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 338 KUHP. Putusan dikuatkan Pengadilan Tinggi Palembang dalam putusan tanggal 15 Desember 1981 No. 130/1981. Kemudian pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 29 Agustus 1983 No. 199 K/Pid/1983 menolak permohonan kasasi terdakwa M. Taslim. Pada tanggal 27 Oktober 1983, terpidana melalui kuasanya mengajukan permohonan peninjauan kembali. Alasan yang diajukan sebagai dasar permintaan peninjauan kembali antara lain : 37 1. Pertimbangan yang mendasari putusan Pengadilan Negeri Baturaja atas keterbukaan kesalahan terpidana, hanya semata-mata didasarkan pada petunjuk belaka.
37
. Ibid. Hal 621.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
2. Padahal berdasar Pasal 188 ayat (2) KUHP, petunjuk sebagai alat bukti hanya dapat ditarik dan diperoleh dari keterangan saksi, alat bukti surat, dan keterangan terdakwa. 3. Baik dari keterangan saksi, maupun dari keterangan terdakwa dan begitu juga dari alat bukti surat, tidak satupun yang dapat disimpulkan menjadi alat bukan petunjuk bahwa terdakwa melakukan tindakan pidana yang didakwakan. Maka berdasar alasan tersebut, putusan itu secara jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau kekeliruan hakim. Alasan keberatan di atas dibenarkan Mahkamah Agung dengan alasan pertimbangan : 38 1. Putusan hakim pertama yang dikuatkan oleh hakim banding dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana yang dimaksud Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHP. 2.
Karena sejak semual terdakwa tetap menyangkal melakukan kejahatan yang didakwakan kepadanya, baik dakwaan primair maupun dakwaan subsidair.
3. Tak ada seorang saksi pun yang melihat korban telah ditolakkan terdakwa dari kereta api sehingga jatuh yang menyebabkan korban mendapat luka-luka sebagaimana yang disebut dalam visum et repertum tanggal 29 Oktober 1980 No. 150/20/A/X/1980, dan mengakibatkan korban mati seketika.
38
Ibid. Hl 622.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
4. Tak ada seorang saksi pun yang melihat terdakwa mengambil baju korban, begitu pula uang korban sebanyak Rp. 30.000,00 dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum. Uang tersebut berada di tangannya adalah sebagai titipan dari korban, karena mereka berteman. 5. Mengenai baju tidak dijelaskan mengapa berada dalam tas terdakwa, namun hal itu tidaklah berarti bahwa terdakwa telah mencurinya dari korban atau mengambilnya dari mayat korba. 6. Mayat korban dipindahkan terdakwa sebelum ia melapor ke polisi adalah karena ia tidak sampai hati melihat mayat tersebut ditimpa terik panas matahari dan juga takut mayat itu digerayangi binatang buas. 7. Bahwa orang tua terdakwa begitu juga polisi dan jaksa hanya menduga, terdakwa telah membunuh korban. Hal itu semua hanya berdasarkan kesimpulan sendiri belaka dan hukum tidak membenarkan seseorang diadili berdasar dugaan kesimpulan-kesimpulan sendiri yang tidak didasarkan dengan alat-alat bukti yang sah. Berdasarkan ringkasan pertimbangan Mahkamah Agung di atas, permohonan peninjauan kembali dinyatakan dapat diterima karena sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf c jo. Pasal 266 ayat (2) huruf b angka 1 KUHP. Oleh karena itu, Mahkamah Agung membatalkan putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Agustus 1983 No. 199K/Pid/1983, putusan Pengadilan Tinggi Palembang tanggal 15 Desember 1981 No. 130/1981 dan putusan Pengadilan Negeri Baturaja tangal 28 Maret 1981 No. 463/1980. dan atas pembatalan Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
putusan-putusan tersebut, Mahkamah Agung menyatakan bahwa kesalahan terdakwa M. Taslim yang didakwakan kepadanya baik pada dakwaan primair maupun dakwaan subsidair, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Olehj karena itu, terdakwa harus dibebaskan dari semua dakwaan (vijspraak). Demikian sepintas lalu mengenai alasan yang dirinci dalam Pasal 263 ayat (2) yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan peninjauan kambali. Mengenai orang yang berhak mengajukan peninjauan kembali, ditegaskan dalam Pasal 263 ayat (1), yakni Terpidana atau Ahli warisnya. Dari penegasan ketentuan ini, jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali. Sebabnya undang-undang tidak memberikan hak kepada penuntut umum kerena upaya hukum ini bertujuan untuk melindungi kepentingan terpidana. Untuk kepentingan terpidana undang-undang membuka kemungkinan untuk meninjau kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena itu selayaknya hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Lagipula sisi lain upaya hukum luas biasa ini yakni pada upaya kasasi demi kepentingan hukum, undang-undang telah membuka kesempatak kepada Jaksa Agung untuk membela kepentingan umum. Seandainya penuntut umum berpendapat suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merugikan kepentingan umum atau bertentangan dengan tujuan penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan undang-undang telah membuka upaya hukum bagi Jaksa Agung untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum. Oleh karena itu, hak mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah merupakan hak timbal balik yang diberikan kepda terpidana untuk menyelaraskan Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
keseimbangan hak mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan undang-undang kepada penuntut umum melalui Jaksa Agung. Dengan demikian, melalui upaya hukum luar biasa, sisi kepentingan terpidana dan kepentingan umum telah terpenuhi secara berimbang. Berdasar Pasal 263 ayat (1) yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya. Oleh karena itu, sekalipun ada pihak yang merasa dirugikan dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dibenarkan hukum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Hal seperti ini yang ditegaskan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 20 Februari 1984 Reg. No. 1 PK/Pd/1948. Pemohon telah mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Juli 1983 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemohon merasa keberatan atas perampasan untuk negara barang bukti kapal yang bukan milik terpidana, tetapi milik pemohon. Sedang pemohon tidak terlibat maupun tersangkut dalam tindak pidana yang dilakukan terpidana, oleh karena itu, tidak adil jika milik pemohon dirampas untuk negara sekalipun kapan itu telah dipergunakan terpidana sebagai alat melakukan tindak pidana. Tanggapan dan putusan Mahkamah Agung atas permohonan dan keberatan yang diajukan pemohon, berbunyi : “bahwa meskipun terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, akan tetapi karena pemohon peninjauan kembali bukan terpidana atau ahli warisnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (1)
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
KUHAP maka permohonan peninjauan kembali harus dinyatakan tidak dapat diterima”. 39 Sehubungan dengan masalah orang yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali, ada lagi beberapa hal yang perlu kita jelaskan. a. Hak prioritas Antara Terpidana Dengan Ahli Waris Ingin kita mengetahui, apakah ada hak dan kedudukan prioritas antara terpidana dengan ahli waris mengajukan permintaan peninjauan kembali ? Artinya apakah ahli waris terpidana dapat melangkahi terpidana mengajukan permintaan peninjauan kembali ? Benar demikian! Undang-undang tidak menentukan kedudukan prioritas di antara terpidana dengan ahli waris. Sekalipun terpidana masih hidup dan sedang mengalami human, ahli waris dapat langsung mengajukan permintaan peninjauan kembali, sekalipun terpidana masih hidup. Hal ahli waris untuk mengajukan peninjauan kembali bukan merupakan “hak substitusi” yang diperoleh setelah terpidana meninggal dunia. Hak tersebut adalah “hak orisinil” yang diberikan undang-undang kepada mereka demi untuk kepentingan terpidana. Dan hal ini beralan. Sekalipun terpidana masih hidup kemungkinan besar ahli waris lebih mampu dan lebih dapat leluasa berdaya upaya untuk memikirkan dan menangani pengajuan permintaan peninjauan kembali. 40 Berdasarkan alasan di atas, hak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan baik oleh terpidana maupun oleh ahli waris telah dilekatkan undang-undang kepada mereka sekalipun terpidana masih hidup, dan bukan hak yang timbul sebagai akibat kematian terpidana.
b. Ahli Waris Meneruskan Permintaan Terpidana 39 40
Ibid. Hal. 617. Ibid
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Sudah dijelaskan, baik terpidana maupun ahli waris sama-sama mempunyai
hak
mengajukan
permintaan
peninjauan
kembali
tanpa
mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi jika yang mengajukan permintaan itu terpidana, kemudian sebelum peninjauan kembali diputus oleh Mahkamah Agung terpidana meninggal dunia, menurut Pasal 268 ayat (2), hak untuk meneruskan permintaan peninjauan kembali “diteruskan” oleh ahli waris. Dalam peristiwa yang seperti inilah kedudukan ahli waris menduduki “ hak substitusi” dari terpidana. Kentuan Pasal 268 ayat (2) dapat kita ringkaskan sebagai berikut : 41 1) Yang mengajukan permintaan peninjauan kembali ialah terpidana sendiri, 2) Sementara peninjauan kembali sudah diterima Mahkamah Agung tapi belum diputus, terpidana meninggal dunia, 3) Diteruskan atau tidak permohonan peninjauan kembali, sepenuhnya menjadi hak ahli waris. Atau keadaannya bisa juga : 1. Terpidana telah meninggal dunia, dan permohonan peninjauan kembali diajukan oleh ahli waris. 2. Sementara itu ahli waris yang mengajukan permohonan meninggal dunia sebelum Mahkamah Agung memutus. 3. Diteruskan atau tidak permohonan peninjauan kembali dilanjutkan oleh ahli waris yang meninggal tersebut. Apa yang diatur pada Pasal 268 ayat (2) jika permintaan peninjauan kembali sudah diterima Mahkamah Agung. Bagaimana halnya jika terpidana yang mengajukan permohonan peninjauan kembali meninggal dunia sebelum permintaan peninjauan kembali dikirimkan Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung ? Apakah dalam hal demikian yang permintaan peninjauan kembali dapat diteruskan ahli waris ? Tentang hal ini undang-undang tidak mengatur. Akan tetapi secara konsisten dapat dipedomani ketentuan Pasal 268 ayat (2). Apabila terpidana meninggal dunia sebelum permohonan peninjauan kembali dikirimkan kepada Mahkamah Agung, ahli waris dapat meneruskan atau tidak peninjauan kembali. Dengan demikian, ketentuan Pasal 263 ayat (2), bukan saja berlaku pada taraf permohonan peninjauan kembali berada di 41
Ibid.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Mahkamah Agung, tapi berlaku pada permohonan peninjauan kembali berada di Mahkamah Agung, tapi berlaku pada permohonan peninjauan kembali masih berada pada taraf pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri atau pada taraf permohonan peninjauan kembali belum dikirimkan Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung. c.
Permintaan Peninjauan Kembali oleh Kuasa Sebagaimana yang sudah dijelaskan, Pasal 263 ayat (1) hanya memberikan
kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Apakah ketentuan ini melarang penasehat hukum atau seorang yang dikuasakan terpidana atau ahliwarisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali ? Memang kalau secara ketat berpegang pada ketentuan Pasal 263 ayat (1), undang-undang tidak memberi hak kepada kuasa mengajukan permintaan peninjauan kembali. Harus langsung terpidana atau ahli waris. Ketentuan yang seperti ini dijumpai dalam Pasal 244 KUHAP. Yang menentukan permohonan kasasi hanya dapat dilakukan oleh terdakwa yang bersangkutan tidak dapat dikuasakan kapada penasehat hukum atau orang lain. Akan tetapi, ketentuan Pasal 244 tersebut diperlunak oleh angka 24 Lampiran Keputusan Metenteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983, tanggal 10 Desember 1983. oleh angka 24 lampiran tadi yang merupakan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP, telah memperkenankan dibuat terdakwa “secara khusus”. Artinya penunjukkan kuasa untuk mengajukan permohonan kasasi harus dibuat terdakwa dalam surat kuasa yang khusus untuk tujuan permintaan permohonan kasasi. 42 Peninjauan kembali dapat diminta oleh seorang kuasa , dasar hukumnya diterapkan “secara konsisten” pedoman yang terdapat pada angka 24 lampiran
42
Ibid.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Menteri Kehakiman tersebut. Alasan penerapan pedoman petunjuk yang terdapat pada angka 24 ini ke dalam proses permohonan itu sendiri. Motivasi memperbolehkan seorang kuasa mengajukan permintaan kasasi, tiada lain demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terdakwa. Kalau begitu dengan motivasi yang sama, pedoman petunjuk angka 24 tadi dapat diterapkan dalam permintaan peninjauan kembali, demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terpidana. Bukankah setiap orang berhak menunjuk penasehat hukum atau kuasa yang dapat diharapkan membela kepentingan dan memperlindungi hak asasi! 43
C. Beberapa Asas yang Ditemukan Dalam Upaya Hukum Peninjauan Kembali Uraian terakhir dalam pembahasan ini ialah mengenai prinsip-prinsip yang melekat pada upaya peninjauan kembali. Ada beberapa prinsip yang perlu ditingkatkan penerapannya. Memang prinsip tersebut tidak seberapa, namun perlu dipersoalkan sebagai pedoman dalam proses dan pelaksanaan.
a. Pidana yang dijatuhkan Tidak Boleh Melebihi Putusan Semula Asas ini diatur dalam Pasal 266 ayat (3), yang menegaskan, pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali “ tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula”. Mahkamah Agung tidak boleh menjatuhkan putusan yang melebihi putusan pidana semula. Yang diperkenankan ialah menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan sebagaimana yang
43
Ibid. Hal. 619.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
ditentukan dalam Pasal 266 ayat (2) huruf b angka 4. Prinsip yang diatur dalam Pasal 266 ayat (3) ini sejalan dengan tujuan yang terkandung dalam lembaga upaya peninjauan kembali, yang berkmaksud membuka kesempatan kepada terpidana untuk membela kepentingan, agar bisa terlepas dari ketidak benaran penegakan hukum.
Oleh karena upaya ini memberi kesempatan untuk
melumpuhkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, berbalik menjadi bumerang merugikan diri pemohon. Lain halnya dalam putusan tingkat banding atau kasasi, dalam proses tersebut putusan belum berkekuatan hukum tetap, sehingga masih diperkenankan menjatuhkan putusan baik yang berupa memberatkan atau meringankan kepada terdakwa. 44
b.
Permintaan Peninjauan Kembali Tidak Menangguhkan Pelaksanaan Putusan Atas yang kedua pada upaya peninjauan kembali “tidak mutlak”
menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan eksekusi. Peninjuan kembali tidak merupakan alasan yang menghambat apalagi menghapus pelaksanaan putusan. Proses permintaan peninjauan kembali berjalan terus, namun pelaksanaan putusan juga berjalan terus. Apakah ketentuan ini “imperatif” atau tidak ? saya rasa tidak imperatif secara kaku! Dapat ditinjau secara kasuistis, tergantung pada keadaan yang meliputi permintaan peninjauan kembali. Seandainya berdasar pemeriksaan Pengadilan Negeri, alasan yang diajukan 44
. Ibid. Hal. 639.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
terpidana sedemikian rupa sifat dan kualitasnya, benar-benar diyakini dapat melumpuhkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali, lebih bijakasana untuk menangguhkan putusan yang diminta peninjauan kembali, lebih bijaksana utnuk menangguhkan pelaksanaan eksekusi. Benar kita mengakui bahwa upaya peninjauan kembali tidak mulus dan mudah, dan seperti dikatakan, dari sekian banyak permintaan, hanya satu dua yang dibenarkan dan seperti dikatan. Dari sekian banyak permintaan, hanya satu dua yang dibenarkan. Akan tetapi, dalam hal-hal yang eksepsional dapat dilakukan penangguhan atau penghentian pelaksanaan putusan, sehingga ketentuan Pasal 268 ayat 91) dapat sedikit diperlunak : permintaan peninjauan kembali tidak secara mutlak menagguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan. Namun anjuran pelunakan bunyi Pasal 268 ayat (1) jangan disalahgunakan. Sikap serepangan menimbulkan bahaya dan keguncangan dalam pelaksanaan penegakan hukum. Yang dikehendaki ialah sikap dan kebijaksanaan yang matang dan beralasan serta mengaitkan dengan jenis tindak pidana maupun dengan sifat dankualtias alasan yang menjadi landasan permintaan peninjauan kembali. 45
c.
Permintaan Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali Pasal 268 ayat (3), membenarkan atau memperkenankan permintaan
peninjauan kembali atas suatu perkara “hanya satu kali saja”. Prinsip ini berlaku terhadap permintaan kasasi dan kasasi demi kepentingan hukum. Khusus dalam permintaan kasasi maupun dalam permintaan kasasi demi hukum prinsip ini tidak
45
Ibid.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
begitu menyentuh rasa keadilan. Lain halnya dalam upaya peninjauan kembali, asas ini agak menyentuh rasa keadilan. Seolah-olah prinsip ini merupakan suatu tantangan antara kepaswtian hukum dengan rasa keadilan, dan dengan berani mengorbankan keadilan dan kebenaran demi tegaknya kepastian hukum. Sebab dengan asas ini telah tertutup kemungkinan untuk mengejar keadilan sampai pada saat-saat terakhir. Misalnya, A mengajukan permintaan peninjauan kembali atas alasan kekhilafan atau kekeliruan hakim. Permintaan itu ditolak oleh Mahkamah Agung. Berselang beberapa tahun setalah menjalani pelaksanaan putusan, benarbenar A menjumpai keaaan baru yang sifat kualitasnya mampu melumpuhkan keadaan yang dituangkan pengadilan dalam putusan tersebut. Bagaimana nasib dan keadilan yang dituangkan pengadilan dalam putusan tersebut. Bagaimana nasib dan keadilan yang menimpa A dalam hal yang seperti ini ? A terpaksa pasrah pada nasib yang dijerumuskan oleh prinsip demi tegaknya kepastian hukum. Sekalipun A telah menemukan keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas yang dapat menyingkirkan keadaan-keadaan yang mendasari putusan, namun keadaan baru itu harus dibuang percuma, sebab hal itu tak dapat lagi dipergunakan sebagai senjata, karena undang-undang tidak memperkenankan permintaan peninjauan kembali lebih dari satu kali. Adil dan benarkah hal yang demikian ? Memang rasanya tidak adil, sehingga patut membuka kemungkinan untuk setiap kali mengajukan permintaan peninjuan kembali. Akan tetapi cocok jugakah proses yang demikian ? Memang kurang rasional, sebab kalau pintu untuk itu tetap terbuka lebar sampai beberapa kali, tugas pokok pengadilan pasti kacau berantakan, hanya untuk melayani permintaan peninjauan kembali. Dan Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
tukang hasut pun akan simpang siur berkeliaran mendorong terpidana untuk terus menerus mengajukan permintaan peninjauan kembali. Cuma rasanya adil dan beralasan untuk memberi kesempatan dua kali, dan jangan satu kali. Jalan kompromi sebenarnya dapat ditempuh pembuat undang-undang dengan cara menetapkan permintaan peninjauan kembali untuk kedua kalinya “ tidak dapat dibenarkan atas alasan yang sama” dengan permintaan peninjauan kembali yang pertama. Dengan rumusan yang demikian, pada satu segi masih tetap terbuka kemungkinan ditegakkan hukum dan keadilan, sedang pada segi yang lain dibatasi kemungkinan anarki dalam lembaga upaya hukum tersebut.46
BAB III DASAR HUKUM JAKSA PENUNTUT UMUM DAPAT MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI
A. Hak Penuntut Umum Dalam Mengajukan Peninjauan Kembali Pada masa belakagan ini, terutama sejak lahir putusan No. 55 PK/Pid/1996 (tanggal 25 Oktober 1996) yang “menerima secara formal” permintaan peninjauan kembali penuntut umum dalam kasus Muchtar Pakpahan, telah menimbulkan perdebatan berabgai kalangan. Diterimanya oleh Mahkamah Agung permohonan peninjauan kembali penuntut umum dalam kasus Muchtar Pakpahan, telah
46
Ibid. Hal. 642.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
menjadi presedem bagi penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali yang sedang terdaftar di Mahkamah Agung yang diajukan penuntut umum. 47 Ada sementara kalangan ekstrem melindungi dan membela hak asasi terdakwa seseorang yang telah dijatuhi putusan bebas, harus dihormati dan dijunjung tinggi hak asasinya atas pembebasan keasalahan yang didakwakan kepadanya. Berdasar landasan Hak Asasi Manusia yang demikian, terhadap putusan pembebasan, jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan peninjauan kembali. Lagi pula Pasal 263 KUHAP, menutup pintu bagi penuntut umum untuk mangajukan peninjauan kembali. Akan tetapi, pendapat yang ekstrem ini tidak konsisten dan konsekuen dipertahankan dalam semua upaya hukum yang ekstrem ini tidak konsisten dan konsekuen dipertahankan dalam semua upaya hukum. Pengajuan permintaan “kasasi” atau putusan pembebasan, ternyata tidak dihujat” atau menimbulkan “resistansi yang keras. Padahal Pasal 244 KUHP secara tegas menyatakan. “Terhadap putusan bebas” tidak dapat diajukan permintaan kasasi ke Mahkamah 51 Agung baik oleh terdakwa atau penuntut umum. Ternyata ketentuan Pasal 244 KUHP tersebut di contra legena oleh putusan Mahkamah Agung No. 275 K/Pid/1983 (tanggal 15 Desember 1983) dalam kasus Natalegawa (Direktur Bank Bumi Daya). Dalam perkara ini putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (No. 33/1981, 10 Februari 1982) membebaskan terdakwa Natalegawa (didakwa melakukan tindak pidana korupsi). Terhadap pembebasan tersebut penuntut umum mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung
47
M.Yahya Harahap, Opcit Hal 640
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
menerima secara formal. Secara tersirat dapat disadur alasan Mahkamah Agung meng-control legem” ketentuan Pasal 244 KUHAP antara lain : “Dalam mengejar kepraktisan dan kepastian hukum, kita harus berlobag dan mengkonfrontirnya dengan inti nilai keadilan dan kebenaran. Memang kita harus berpegang pada kecenderungan pendekatan yang legalistis. Serta menegakkan kepastian hukum sesuai dengan perangkat perundang-undangan yang praktis. Akan tetapi, dalam mendambakan pengembagnan kepastian hukum dengan kepraktisan, jangan sampai mengorbankan nilai inti keadilan dan kebenaran, serta keadilan dan kebenaran harus kita padukan keselarannya dengan sisi kepraktisan dan kepastian hukum sebagai sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan”. Berdasarkan alasan di atas, meskipun Pasal 244 KUHAP tidak membolehkan pengajuan kasasi terhadap putusan bebas, namun demi tegaknya kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice), dimungkinkan penuntut umum
mengajukan
kasasi,
apabila
putusan
bebas
mengandung
dan
memasukkan : 48 1. Pertimbangan “nonyuridis” dalam putusan sehingga putusan dianggap “melampaui” batas kewenangan mengadili (excess of power), seperti pertimbangan pembebasan atas alasan politik, kemanusiaan, agama, dan sebagainya. Pembebasan yang seperti ini, jelas-jelas “pembebasan tidak murni”, karena sesuai dengan asas pidana :undang-undang telah menentukan beberapa alasan yang menjadi dadsar pembebasan yang bersifat yuridis yang dapat membebaskan seorang terdakwa dari dakwaan.
48
Ibid, Hal 641
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
2. Dan salah satu alasan yang paling pokok untuk membebaskan terdakwa menurut Pasal 191 dan 1 KUHP apabila kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa “ tidak terbukti” berdasar Pasal 183 KUHP. Pembebasan di luar alasan yang disebut di atas, dikategorikan sebagai pembebasan tidak murni”. Demikian pula jika pada diri terdakwa menurut undang-undang terdapat hal-hal yang menghapuskan kesalahan disebabkan perbuatan tindak pidana yang dilakukan tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya berdasar ketentuan Buku Kesatu Bab III KUHP (Pasal 44 (sakit jiwa)), Pasal 48 (daya paksa), dan Pasal 49 (pembebasan dalam keadaan terpaksa)). Terhadapnya bisa diajukan kasasi oleh penuntut umum berdasarkan Pasal 244 KUHAP. Malahan kebolehan mengajukan kasasi terhadap putusan pembebasan “tidak murni”, lebih lanjut dilegalisir oleh Keputusan Menteri Kehakiman No. 11PW- 07.103. (10 Desember 1983) dan SEMA No. MA/PEMB/2653/83 (8 Agustus 1983). Dengan demikian, permintaan kasasi terhadap putusan bebas oleh penuntut umum, telah ditegakkan standar hukum apabila pembebasan tidak murni dalam arti kalau pembebasan didasarkan atas alasan nonyuridis atau pembebasan” melanggar asa pembuktian” yang diizinkan Pasal 183 KUHAP, penuntut umum berhak mengajukan kasasi. Terhadap standar hukum yang menyingkirkan Pasal 244 KUHAP, dalam lembaga kasasi, kalangan pembela HAM dapat menyetujui, dan tidak muncul protes. Kenapa peninjauan kembali terhadap putusan bebas yang diajukan penuntut umum muncul reaksi keras atas alasan melanggar Hak Asasi Manusia ? Reaksi tersebut, tidak beralasan, oleh karena itu sepanjang putusan bebas tersebut Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
merupakan putusan bebas tidak murni, peninjauan kembali terhadap putusan bebas tersebut dapat dibenarkan. Dalam Pasal 263 ayat (3) KUHAP secara tegas ditentukan bahwa terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali apabila dalam Putusan tersebut dinyatakan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan, dan apabila dikaji putusan demikian hanya terjadi jika terdapat kekhilafan hakim atau dalam hal Putusan lepas dari tuntutan hukum sebab dalam Putusan lepas dari tuntutan hukum dipersyaratkan meskipun perbuatan yang dilakukan terdakwa terbukti tetapi terdakwa tidak dapat dipidana dengan dasar adanya pemaaf dan alasan pembenar.
Alasan tersebut ternyata sama dengan alasan yang digunakan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung dalam penerapan Pasal 244 KUHAP, di mana untuk dapat diterima Permohonan Kasasi terhadap Putusan bebas disyaratkan pembebasan tersebut sebenarnya merupakan putusan lepad dari segala tuntutan hukum atau jika melampaui batas wewenangannya, dalam hal demikian Mahkamah Agung berpendapat bahwa putusan bebas tersebut bukan merupakan putusan bebas murni, sehingga dengan demikian standar hukum yang menyingkirkan Pasal 244 KUHAP tersebut seharusnya dapat pula diterapkan dalam Permohonan Peninjauan Kembali dengan persyaratan yang sama, yaitu apabila putusan bebas tersebut adalah bebas tidak murni.
Ketidakjelasan Perumusan PK Sudah Terjadi Sejak Sv. Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Masalah “kekaburan” (vague) ketentuan peninjuan kembali, bukan hanya ditemukan dalam Pasal 263 KUHAP tetapi sudah ditemukan sejak era Reglement of de straf Vordering (Sv). Oleh karena instrumen peninjauan kembali yang dirumuskan PERMA No. 1 Tahun 1969 dan PERMA NO. 1 tahun 1980 merupakan aturan yang ditransfer secara utuh dari Sv. Kekaburan Sv. Tersebut, berlanjut dalam kedua PERMA. yang bersangkutan. Selanjutnya kekaburan itu, melekat pada Pasal 263 KUHAP, karena apa yang dirumuskan dalam Pasal ini, pada dasarnya merupakan pengambilalihan dari apa yang dirumuskan dalam Pasal ini, pada dasarnya merupakan pengambilalihan dari ketentuan Sv. Dan PERMA . yang dikurangi, hanya menghapuskan penuntut umum sebagai pihak yang berwenang mengajukan peninjauan kembali. Namun, penghapusan itu malah lebih “menambah kabur” permasalahan.
49
Dalam ilmu yurisprudensi, kaburnya rumusan Pasal undang-undang disebut mengandung unclear outline atau ill defined atau “tidak jelas” ketentuan yang dirumuskan di dalamnya. Keadaan yang seperti itulah yang terkandung dalam Sv. maupun PERMA. Pada satu segi Pasal 356 Sv. maupun Pasal 3 PERMA No. 1 Tahun 1969 dan Pasal 9 PERMA No. 1 tahun 1980 sama-sama menegaskan : 50 1. Putusan yang dapat diminta PK hanya putusan pemidanaan, tidak termasuk putusan bebas; 2. Tetapi dalam Pasal-Pasal tersebut terdapat ayat yang berbunyi : (Pasal 9 ayat (2) PERMA No. 1/1980) : 49 50
Ibid, Hal 647 Ibid
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
“atas alasan yang sama Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan” atau alinea ke-2 Pasal 265 Sv. berbunyi : alasanalasan tersebut dapat diajukan dalam suatu permohonan Peninjauan Kembali apabila dalam satuan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan tetap sesuatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan”.
Memperhatikan ketentuan di atas, dapat dilihat adanya ketidakjelasan atau kontroversi yang membingungkan (confuse) : 1. Satu segi, ditegaskan putusan yang dapat diajukan PK : putusan pemidanaan”. 2. Pada sisi lain, melekat kekacauan atau ketidakjelasan yang bertentangan dengan penegasan : 1. Memberi hak kepada penuntut umum mengajukan peninjauan kembali, 2. Memungkinkan peninjauan kembali terhadap putusan yang menyatakan perbuatan (tindak pidana) yang didakwakan terbukti akan tetapi diikuti pemidanaan. Berarti, kalau bertitik tolak dari prinsip pertama yang dapat diajukan PK : putusan pemidanaan. Akan tetapi, kalau berpegang pada ketentuan selanjutnya, penuntut umum berhak mengajukan peninjauan kembali terhadap “putusan bebas”, sesuai dengan kalimat yang berbunyi : permohonan peninjauan kembali Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
dapat diajukan apabila putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sesuatu perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan. 51 Bukankah suatu putusan yang tidak diikuti pemidanaan dalam hal terbukti kejahatan yang didakwakan, tiada lain daripada” putusan bebas”? Kalau begitu, menurut Sv. dan PERMA diberi hak kepada penuntut umum mengajukan peninjauan kembali meliputi : semua putusan baik putusan pemidanaan atau putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Padahal baik Sv. dan PERMA sejak semula sudah menegaskan prinsip pokok : peninjauan kembali hanya dapat diajukan kepada putusan yang berisi pemidanaan”. Kontroversi dan kekaburan yang melekat pada Sv. dan PERMA, itulah yang terkandung pada Pasal 263 KUHAP. Ayat 1 menegaskan : Peninjuan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan. Hal itu ditarik dari kalimat : kecuali putusan bebas”. Jadi, terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan peninjauan kembali. Yang hanya dapat mengajukan peninjauan kembali telah ditentukan secara “limitatif: hanya terbatas pada : 1. terpidana, atau 2. ahli warisnya Ayat 3 berbunyi : 52 “…terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diajukan peninjauan kembali apabila dalam putusan it suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”. Jika dibandingkan kekeliruan atau ketidakjelasannya yang terdapat dalam Sv. dan PERMA jauh lebih parah kontroversi yang diatur dalam Pasal 263 ayat (3) KUHAP. Alasannya dalam Sv. dan PERMA dengan tegas diberi hak kepada
51 52
Ibid, Hal 648 Ibid, Hal 649
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
penuntut umum mengajukan peninjauan kembali sehingga lebih mudah dan lebih rasional memberi penafsiran atau kontruksi berdasar diskresi : 1. Terhadap putusan pemidanaan terbuka hak bai terpidana atau ahli warisnya mengajukan peninjauan kembali 2. Sedang terhadap putusan bebas diberi hak kepada penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali. Tidak demikian halnya dalam KUHAP. Tidak mudah memberi penafsiran atau konstruksi hukum. Kesulitan itu disebabkan Pasal 263 KUHAP telah mengatur secara “limitatif siap yang dapat mengajukan peninjauan kembali, hanya terpidana atau ahli warisnya, tiak termasuk penuntut umum. Sehubungan dengan itu, kita tidak mengerti “relevansi” dan “urgensi” Pasal 263 ayat (3) tersebut : 1. Keberadaanya benar-benar membingungkan (confuse) dan ambiguitas 2. Tujuannya juga tiak jelas, karena tidak dimengerti apa yang dikehendaki Pasal 263 ayat (3) itu. Secara samar, seolah-olah Pasal 263 ayat (3) membuka pintu mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas. Jika demikian halnya, ditinjau dari segi relevansi dan urgensi dihubungkan dengan criminal justice system yang diatur KUHAP, instansi yang tepat untuk itu adalah penuntut umum. Tujuannya, agar dapat dikoreksi dan diluruskan putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan oleh peradilan peninjauan kembali. Namun relevansi, urgensi, dan tujuan itu tidak mungkin tercalisasi, karena Pasal 263 itu sendiri tidak memberi hak dalam bentuk apa pun serta tidak memasukkan penuntut umum sebagai pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
B.
Peninjauan
Kembali
Oleh
Jaksa
Sebagai
Upaya
Menembus
Kekakuan Legalistik Perdebatan boleh tidaknya jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) masih saja mengemuka. Perdebatan yang cukup usang ini terjadi pada kasus PK pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir. Istri terdakwa Pollycarpus, Yosepha Hera Iswandari, mempertanyakan PK yang diajukan oleh Kejaksaan. Dalam jakasa mengajukan PK tersebut bertentangan dengan Pasal 263 KUHAP yang menyebutkan “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. 53 Selama ini, wewenang jaksa mengajukan PK telah menjadi perdebatan di kalangan hukum, terutama sejak yurisprudensi kasus Muchtar Pakpahan. Terkait dengan PK tersebut Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) Usman Hamid menggunakan penafsiran a contrario, yang menyatakan sepanjang tidak ada larangan maka dibolehkan. Dalam hal ini, menurutnya jaksa boleh saja mengajukan PK karena Pasal tersebut tidak ada larangan terhadap jaksa kalau ingin mengajukan PK. Perdebatan mengenai wewenang jaksa mengajukan PK akan terus berlarut-larut jika tidak dipertegas dalam revisi KUHAP. Akademisi Universitas 53
. Ali, Wewenang Jaksa Mengajukan www.hukumonline.com, Sabtu 17 Januari 2009
PK
Kembali
Dipersoalkan,
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang juga anggota penyusun KUHAP, Mudzakkir, menegaskan bahwa pembahasan tim perumus belum menyentuh masalah ini. Namun secara pribadi ia berpendapat perlu pengaturan yang lebih tegas agar ‘terobosan’ hukum itu mendapat payung hukum. Menurut Mudzakkir, redaksional yang terdapat dalam Pasal 263 KUHAP tersebut sudah cukup baik. Tetapi, ia mengakui dalam prakteknya sering terjadi penafsiran yang memperbolehkan jaksa mengajukan PK, seperti penafsiran yang digunakan Usman. Apalagi hal ini didukung oleh Yurisprudensi. Namun, pendapat pribadi Mudzakkir adalah jaksa tetap tidak boleh mengajukan PK. Mudzakkir berpendapat PK merupakan hak sepenuhnya dari terdakwa atau terpidana. Menurutnya, bila mengacu pada logika hukum dimana yang menuntut yang harus membuktikan, berarti kalau jaksa gagal membuktikan, maka tidakmungkin dia bisa mengajukan PK. Mudazakkir juga menyebutkan bahwa bila jaksa sudah memiliki kewenangan yang cukup besar untuk membuktikan seorang terdakwa salah atau tidak. Karena dia dari mulai penyelidikan, penyidikan, persidangan sampai tingkat MA untuk membuktikan. Kalau dalam proses itu jaksa gagal, itu merupakan resiko yang menguntungkan terdakwa. Oleh sebab itu, Mudzakkir mengatakan dalam RKUHAP harus ditegaskan kembali, agar penafsiran semua orang sejalan, bahwa jaksa tidak boleh mengajukan PK. Ia mengusulkan penambahan dalam penjelasan Pasal seperti pihak-pihak lain diluar ini (terdakwa atau terpidana) tidak boleh mengajukan PK. Penegasan ini berguna agar memastikan tidak adalagi yang menggunakan penafsiran a contrario atau menggunakan yurisprudensi. Bahkan Mudzakkir menilai penggunaan penafsiran tersebut dalam hukum acara pidana merupakan Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
salah kaprah. Ia menjelaskan hukum acara pidana adalah prosedural justice, artinya proses-proses diakui manakala sesuai dengan prosedur maka di luar prosedur, maka tidak bisa. 54 Kembali ke konteks PK Munir, Jaksa dapat mengajukan PK karena adanya kekakauan atau keterbatasan yang bersifat legalistik itu bisa ditembus kalau memang dilakukan untuk menciptakan keadilan. Dalam sudut pandang inilah, Jaksa sebagai pemohon peninjauan kembali. Tentunya hal tersebut menjadi sebuah dilema tetapi alasan keadilanlah yang paling utama, diamana kita tidak dalam posisi mempersoalkan ketentuan legalistik dari PK, tetapi kita mengukur apakah negara bersungguh-sungguh memberikan keadilan bagi korban.
54
Ibid.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
BAB IV UPAYA PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 109 PK/PID/ 2007
A. Kasus Posisi 1. Kronologis •
Bahwa Terdakwa POLLYCARPUS BUDIHARI PRIYANTO baik bertindak secara sendiri – sendiri maupun bersama – sama dengan YETI SUSMIARTI dan OEDI IRIANTO (dalam berkas terpisah) pada hari Senin tanggal 6 September 2004 sampai dengan Selasa 7 September 2004 atau setidak – tidaknya pada suatu waktu tertentu pada bulan September 2004 bertempat dalam Pesawat Garuda Indonesia Airways Nomor Penerbangan GA-974 tujuan Jakarta – Singapura telah melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan dengan sengaja dan
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
direncanakan terlebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain yaitu jiwa korban MUNIR, SH •
Terdakwa adalah Karyawan pada Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia. Terdakwa pada tanggal 6 September 2004 meminta perubahan tugas penerbangan sebagai extra crew sedangkan sesuai jadwal tugasnya terdakwa pada tanggal 5 September 2004 sampai 9 September 2004 seharusnya berangkat ke Peking Cina namun kemudian dirubah pada tanggal 6 September 2004 menjadi ke Singapura. Perubahan itu tertuang dalam Nota Perubahan nomor : OFA/219/04 tanggal 6 September 2004 yang dibuat oleh Rohainil Aini.
•
Selanjutnya pada tanggal 6 September 2004 terdakwa berangkat ke 63 Bandara Internasional Soekarno-Hatta untuk terbang ke Singapura dengan menumpang pesawat yang sama yang ditumpangi oleh MUNIR, SH dan setelah sampai di ruang tunggu terdakwa menghampiri korban dan menawarkan kepada korban agar duduk di Bisnis Class.
•
Pada saat pesawat akan tinggal landas, terdakwa menyiapkan Welcome drink yang sudah dimasukkan racun arsenic dalam jumlah mematikan kedalam orange juice yang akan diberikan kepada korban MUNIR, SH.
•
3 jam kemudian setelah pesawat take off dari bandara Changi Singapura korban menderita muntah – muntah akibat reaksi dari racun arsenic dalam tubuhnya. 2 jam sebelum mendarat, korban telah meninggal dunia lalu dibuatkan surat kematian.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
•
Berdasarkan hasil visum et repertum yang dibuat pro justitia Kementrian Kehakiman Lembaga Forensik Belanda tanggal 13 Oktober 2004 menerangkan kematian dapat dijelaskan disebabkan oleh karena pada pemeriksaan
toksikologi
ditemukan
“konsentrasi
Arsenic
sangat
meningkat” di dalam darah konsentrasi arsenic”meningkat” di dalam urin dan konsentrasi arsenic “sangat meningkat” di dalam isi lambung. 2. Pemeriksaan Tingkat Pengadilan Negeri •
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum: 1)
Dakwaan Kesatu menyangkut Pasal 340 KUHPidana jo Pasal 55 ayat ke-1 KUHPidana
2)
Dakwaan Kedua menyangkut Pasal 263 ayat 2 KUHPidana jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana
•
Tuntutan Pidana Jaksa Penuntut Umum : 1)
Menyatakan
Terdakwa
POLLYCARPUS
BUDIHARI
PRIYANTO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak
pidana
“pembunuhan
berencana
dan
menggunakan surat palsu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHPidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 263 ayat (2) K.U.H.Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1KUHP. 2)
Menjatuhkan
Pidana
terhadap
terdakwa
POLLYCARPUS
BUDIHARI PRIYANTO dengan pidana penjara selama Seumur Hidup, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
3)
Menyatakan barang bukti terdiri dari nomor 1 berupa 1 (satu) lembar asli Surat dengan Kop Garuda Indonesia Nomor GARUDA/DZ-2270/04 tanggal 11 Agustus 2004 perihal Surat Penugasan Terdakwa POLLYCARPUS BUDIHARI PRIYANTO/ 522659 Unit Flight Operation (JKTOFGA) dan ditandatangani oleh INDRA SETIAWAN (Direktur Utama PT.GARUDA INDONESIA), sampai dengan nomor 28 berupa Note Book Merek Acer Travel Mate seri 4000 Model ZL I berikut tasnya, dikembalikan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat untuk dijadikan barang bukti dalam Perkara lain.
4)
Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah)
•
Putusan Pengadilan Negeri : MENGADILI 1)
Menyatakan Terdakwa POLLYCARPUS BUDIHARI PRIYANTO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatab Pidana
“
TURUT
MELAKUKAN
PEMBUNUHAN
BERENCANA” dan “ TURUT MELAKUKAN PEMALSUAN SURAT “ ; 2)
Menghukum Terdakwa oleh karena Perbuatan tersebut dengan Hukuman penjara selama 14 (empat belas) tahun ;
3)
Menetapkan lamanya masa tahanan Terdakwa yang telah dijalani, dikurangkan seluruhnya dari jumlah hukuman yang dijatuhkan ;
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
4)
Menetapkan Terdakwa tetap ditahan ;
5)
Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 5.000,(lima ribu rupiah) ;
6)
Menetapkan Barang Bukti (terlampir)……………………………... Dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dijadikan barang bukti dalam Perkara lain.
3. Pemeriksaan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) •
Putusan Pengadilan Tinggi : MENGADILI 1)
Menerima Permintaan Banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat Hukum Terdakwa
2)
Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 20 Desember 2005 No. 1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst.
MENGADILI SENDIRI 1)
Menyatakan Terdakwa, Pollycarpus Budihari Priyanto tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak Pidana dalam dakwaan kesatu.
2)
Membebaskan ia oleh karenanya dari dakwaan kesatu tersebut.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
3)
Menyatakan Terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana “Mempergunakan Surat Palsu” sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kedua.
4)
Menjatuhkan Pidana Penjara selama 4 (empat) tahun.
5)
Menetapkan lamanya masa tahanan Terdakwa yang telah dijalani, dikurangkan seluruhnya dari Pidana yang dijatuhkan.
6)
Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.
7)
Membebankan biaya perkara dalam kedua tingkat Peradilan kepada Terdakwa yang dalam tingkat Banding ditetapkan sebesar Rp.5.000,- ( lima ribu rupiah).
8)
Menyatakan barang bukti dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dijadikan barang bukti dalam Perkara lain.
4. Pemeriksaan Kasasi (Mahkamah Agung) •
Putusan Kasasi oleh Mahkamah Agung
MENGADILI Menolak
Permohonan
Kasasi
dari
Pemohon
Kasasi
I
:
Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tersebut. Mengabulkan
Permohonan
Kasasi
dari
Pemohon
Kasasi
II/Terdakwa POLLYCARPUS BUDIHARI PRIYANTO tersebut. Membatalkan
Putusan
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
No.
16/PID/2006/PT.DKI, tanggal 27 Maret 2006 yang membatalkan Putusan Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1361/Pid.B/2995/PN.Jkt.Pst, tanggal 20 Desember 2005.
MENGADILI SENDIRI : 2. Menyatakan Terdakwa POLLYCARPUS BUDIHARI PRIYANTO tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu ; 3. Membebaskan terdakwa dari dakwaan kesatu tersebut ; 4. Menyatakan terdakwa POLLYCARPUS BUDIHARI PRIYANTO telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana “Menggunakan Surat Palsu” ; 5. Menjatuhkan Pidana Oleh Karena itu kepada Terdakwa tersebut dengan Pidana Penjara selama 2 (dua) tahun ; 6. Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan sebelum Putusan ini mempunyai kekuatan Hukum Tetap, akan dikurangkan seluruhnya dari Pidana Penjara yang dijatuhkan ; 7. Menetapkan barang bukti dikembalikan kepada Jaksa/Penuntut Umum untuk dijadikan barang bukt dalam Perkara lain 8. Membebankan Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam Tingkat Kasasi ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ; 5. Pemeriksaan Permohonan Peninjauan Kembali (Mahkamah Agung) •
Putusan Permohonan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
MENGADILI Mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali : JAKSA PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA PUSAT tersebut : Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 3 Oktober 2006, No. 1185 K/Pid/2006 yang telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 27 Maret 2006, Nomor : 16/PID/2006/PT.DKI, yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 20 Desember 2005, Nomor:1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst;
MENGADILI KEMBALI Menyatakan Terpidana : POLLYCARPUS BUDIHARI PRIYANTO tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana : 1. MELAKUKAN PEMBUNUHAN BERENCANA 2. MELAKUKAN PEMALSUAN SURAT Menghukum oleh karena itu terpidana dengan pidana penjara selama : 20 (dua puluh) tahun : Menetapkan
masa
penahanan
yang
telah
dijalani
terpidana
dikurangkan seluruhnya dari hukum yang dijatuhkan ; Menetapkan barang bukti berupa (terlampir)…………………………... Dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk digunakan dalam Perkara lain ; Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Membebankan biaya Perkara dalam semua tingkat Peradilan kepada Terpidana yang dalam Pemeriksaan Peninjauan Kembali sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;
B. Analisa Kasus Dalam Analisa Kasus ini, dapatlah disimpulkan bahwa Dasar Hukum Majelis Hakim Peninjauan Kembali Mahkamah Agung menerima Permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut : 1) Mahkamah Agung akan memperhatikan Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No. 55/PK/Pid/1996, yang secara formal telah menerima permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan bebas, yang telah diikuti oleh putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001,
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
yang
pada
pokoknya sebagai berikut : a. Dalam menghadapi problem yuridis Hukum Acara Pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaaan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
b. Dalam menyelesaikan problema yuridis hukum acara tersebut maka Mahkamah Agung meneliti dan menafsirkan beberapa Peraturan Undang-Undang sebagai dasar pertimbangan yuridisnya, yaitu : 1. Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Namun melalui penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yuriprudensi tetap Mahkamah Agung. 2. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan Pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut dalam Pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. 3. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa
Penuntut
Umum
adalah
pihak
yang
paling
berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
diikuti pemindanaan dapat dirubah dengan diikuti pemindanaan terhadap terdakwa. 4. Berdasarkan asas Legalitas serta penerapan asas keseimbangan Hak Asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon PK) dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negara dilain pihak disamping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula juga melakukan Peninjauan Kembali (PK); 5. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat, adil, karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian hukum. 6. Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal permohonan Kejaksaan untuk Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung nomor : 395 K/Pid/1995 tanggal 29 September 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI sehingga dapat diperiksa kembali; Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
2) Untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung (consistency in Court decision), maka Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili perkara peninjauan kembali terpidana tersebut, akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 25 Oktober 1996 No. 55 PK/Pid/1996 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 tersebut di atas, yang secara formal telah mengakui hak/wewenang Jaksa Penuntut umum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali; 3) Pendirian
Mahkamah
Agung
tersebut
selain
untuk
memelihara
keseragaman putusan, karena menurut pendapat Mahkamah Agung dalam putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut, terkandung “penemuan hukum yang selaras dengan jiwa ketentuan perundang-undangan, doktrin dan azas-azas hukum, sebagaimana dapat disimpulkan dari hal-hal sebagai berikut : 1. Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ; Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan
dapat
mengajukan
peninjauan
kembali
kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang” tidak menjelaskan tentang “siapa saja yang dimaksud pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” tersebut. Demikian juga Pasal 21 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi: “Apabila terdapat Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan”, tidak menjelaskan “tentang siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” dan terhadap ketidak jelasan tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No. 55 PK/Pid/1996 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 telah memberikan jawaban dengan menggunakan penafsiran dalam perkara pidana” selain terpidana atau ahli warisnya adalah jaksa ; 2. Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu: a.
Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab
logikanya
terpidana/ahli
warisnya
tidak
adakan
mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan Pasal 263 ayat 2 KUHAP.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
b. Konsekuensi logis dari aspek demikian maka Pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti atau ahli warisnya sbabakan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali; 3. Sehubungan dengan adanya ketidak jelasan dalam Pasal 263 KUHAP tersebut, perlu dikemukakan pendapat-pendapat sebagai berikut : a. Bahwa penganut Doktrin “Sen-clair (ia doctrine du sensclair) berpendapat bahwa penemuan hukum oleh hakim hanya dibutuhkan jika: 1. Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto, atau 2. Peraturannya sudah ada tetapi belum jelas. b. Bahwa LIE OEN HOCK berpendapat : “Dan apabila ktia memperhatikan Undang-Undang, ternyata bagi kita, bahwa undang-undang tidak saja menunjukkan banyak kekurangankekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim terus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian undang-undang memberi kuasa kepada Hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan undang-undang itu atau Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
artinya suatu kata yang tidak jelas dalamsuatu ketentuan undangundang secara gramatikal atau historis, baik “recht maupun wetshistoris”; (Lie Oen Hock Jurisprudensi sebagai Sumber Hukum, pidato diucapkan pada Pengresmian Pengetahuan Jabatan Guru Besar Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia di Jakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm. 11). c. Bahwa M. YAHYA HARAHAP berpendapat : “Akan tetapi sebaiknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong hukum public yang bersifat imperative, dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau diskresi apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum an tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi atau disebut according to principle of justice, Bahkan berkembang pendapat umum yang mengatakan : tanpa penafsiran atau diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat penyidik, penuntut dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara pidana. Sifat hukum
acara
sebagai
ketentuan
public
memang
diakui
“imprerative”, tetapi tidak seluruhnya absolute. Ada ketentuan yang dapat “dilenturkan (flexible) dikembangkan (growth) bahkan
disingkirkan
(overrule)
sesuai
dengan
tuntutan
perkembangan rasa keadilan dan kemanusiaan dalam satu Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
konsep: to improve the quality of justice and to reduce injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan KUHAP, kasus Natalegawa dalam perkara No. 275 K/Pid/1983 (10 Desember 1993). Dalam perkara ini Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang telah menjadi stare decisis melalui “extensive interpretation”. Dalam kasus ini, walaupun Pasal 244 KUHAP “tidak memberikan hak” kepada penuntut umum mengajukan kasasi terhadap “putusan bebas” (terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas); Akan tetapi, ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperative yang melekat pada ketentuan ini “dilenturkan”, bahkan disingkirkan (overruled) dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan bukan pembebasan murni. Sejak saat itu, kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung, berarti penerimaan kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas, merupakan bentuk penafsiran luas yang jelas-jelas bersifat contra legem atau “bertentangan dengan undang-undang” (dalam hal ini bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP). Jika pertimbangan yang tertuan dalam putusan perkara ini diperas, in justice yang terkandung dalam putusan bebas Natalegawa, Motivasi tersembunyi yang paling dalam putusan mengcontra Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
legem Pasal 244 KUHAP, bertujuan untuk mengoreksi dan meluruskan putusan bebas atau kekeliruan yang terkandung dalam putuan, dianggap sangat tidak adil dant idak bermoral, apabila pengadilan tidak mampu menghukum orang yang bersalah. Sangat bertentangan dengan keadilan dan kebenaran apabila pembebasan terdakwa didasarkan pada alasan “non yuridis”. Dalam kasus yang seperti itu sangat beralasan untuk mengoreksinya dalam tingkat Kasasi. Oleh karena itu dianggap tidak adil untuk menutup upaya kasasi terhadap putusan bebas demi terwujudnya penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan semaksimal mungkin. Bertitik tolak pada motivasi yang seperti itulah yang mendorong Majelis Peninjauan Kembali dalam kasus Muchtar Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan Pasal 263 KUHAP. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada penuntut umum mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara memberi kesempatan kepada penuntut
umum
membukt ikan
bahwa
pembebasan
yang
dijatuhkan pengadilan “tidak adil” (in justice) karena didasarkan ada alasan “non yuridis” (lihat M. Yahya Harahap, Pembebasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penerbit Sinar Grafika Edisi Kedua hlm. 642-643);
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Doktrin-doktrin tersebut di atas adalah sesuai dengan tugas Hakim dalam menemukan hukum apa yang menjadi hukum berdasarkan Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan “bahwa pengadilan tidak boleh untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan Pasal ini mengisyaratkan kepada Hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, Hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini Hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Perlu dikemukakan bahwa dalam rangka menemukan hukum ini isi ketentuan Pasal 16 ayat 1 tersebut harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahmi nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal ini dalam yurisprudensi tersebut dapat disimpulkan antara lain dari pertimbangan hukum yang berbunyi “Berdasarkan azas legalitas serta penerapan azas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perorangan Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
(termohon peninjauan kembali dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negaranya dilain pihak disamping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili Kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali (PK); 4. Pertimbangan tersebut di atas adalah sesuai dengan Model yang tertumpu pada konsep “daad-dader-strafrecht” yang oleh Muladi disebut Model Keseimbangan Kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan (Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm. 5) dan selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana, maupun korban tindak pidana; 5. Selain itu pertimbangan hukum tersebut adalah sejalan dengan ajaran “prioritas baku” tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch, dimana “keadilan” selalu diprioritaskan. Ketika hakim harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan atau dan kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. Ajaran “prioritas baku” tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU KUHP yang Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang berbunyi “Keadilan dan kepastian sebagai tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam penerapan pada kejadian-kejadian nyata. Dengan menyadari hal tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum akan diterapkannya hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum. 6. Karena
berdasarkan
Pedoman
Pelaksanaan
KUHAP
yang
dikeluarkan Menteri Kehakiman Hukum, “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah
pelaku
yang
dapat
didakwakan
melakukan
suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”, maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, dan dalam hal ini khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
kekuatan hukum yang tetap, yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. 4) Sehubungan dengan permintaan Peninjauan Kembali yang dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut, perlu dikemukakan sebagai bahan perbandingan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1. Pasal 248 ayat 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1997, menentukan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemiadanaan”. 2. Article 84 Statute of International Criminal Court pada pokoknya menentukan “1. The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or one person alive at the time of the accused’s death who ghas been given express written instructions form the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person’s behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgment to conviction or sentence on the grounds that…” 3. Artikel 357 Reglement of de Straf Vondering (SV) (S.187-40) menentukan “De aanvrage tot herzienning wordt bij het Hooggerechtshof aangebracht door het indienen van een vordering door den procureur-generaal of doorhet indienen van een Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
vorzoekschrift door een veroordeelde te wiens aanzien het arrest of vonnis in kracht van gewijsde is gegaan, door een bijzonder daartoe schriftelijk gemachtigde of door zijn raadsman. Het bepaalde bij art. 120 vindtoverrenkomstige toepassing, met dien verstande dat de bemoeeienis, bodoeld bij het tweende lid van dat art, aan den president van het Hooggrechtshof is opgedragen. (Sv.3563, 358v); 4. Pasal 4 ayat 1 PERMA No. 1 Tahun 1969 menentukan “Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan atau oleh Jaksa Agung”. 5. Pasal 10 ayat 1 PERMA No. 1 Tahun 1980 menentukan “Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan”.
Dari Pertimbangan
Hukum
Majelis
Hakim
Peninjauan
Kembali
Mahkamah Agung tersebut diatas, menunjukkan bahwa Jaksa Penuntut Umum secara teori memang tidak memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Namun karena sistem Hukum Acara Pidana Indonesia tidak mengatur dengan tegas mengenai pengaturan Permohonan Peninjauan Kembali, maka Mahkamah Agung selaku Lembaga Peradilan tertinggi di Indonesia menafsirkan sendiri beberapa Peraturan dan Undang-undang yang mengatur mengenai Syarat-syarat pengajuan PK, sehingga terjadi penafsiran “Ganda”dalam Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
berpraktek Hukum Acara Pidana di Indonesia.
Mahkamah Agung pernah
mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum melalui putusan No. 55PK/Pid/1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan. Majelis Hakim Agung dalam pertimbangan hukumnya menggunakan Pasal 263 KUHAP dan Pasal 21 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang sekarang telah diganti oleh Undang-Undang No. 4 tahun 2004 dengan menafsirkan pihak-pihak berkepentingan dalam perkara pidana adalah Jaksa Penuntut Umum dan terpidana sebagai pihak yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Putusan tersebut kemudian menjadi yurisprudensi, hingga kemudian Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum atas kasus Pollycarpus. Pasal 263 KUHAP sendiri jelas mengatur bahwa yang berhak mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali hanyalah Terpidana atau ahli warisnya, sehingga Jaksa Penuntut Umum tidak berhak mengajukan Peninjauan Kembali tersebut. Sehingga penulis dengan tegas menolak Dualisme hukum yang dilakukan Oleh Mahkamah Agung agar terciptanya satu kesatuan dan kepastian Hukum di Negara Republik Indonesia.
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian dan pembahasan materi skripsi ini, dapatlah diambil beberapa kesimpulan. Selanjutnya dari kesimpulan tersebut penulis akan, mengajukan beberapa saran sesuai dengan kemampuan yang ada pada penulis: A. Kesimpulan 2. Untuk pengaturan pihak yang berhak untuk mengajukan PK telah diatur pada Pasal 263 (1) KUHAP, yang berbunyi: "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali (PK)
kepada Mahkamah Agung (MA).
Menurut pengertian sehari-hari, kalau kalimat tersebut dibaca dalam keseluruhan dan kaitan antara satu dengan yang lain, jelas bahwa dalam hal Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
hakim menyatakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka terpidana atau ahli warisnya tidak boleh mengajukan permintaan PK. Larangan yang sama berlaku juga bagi orang lain, seperti korban, jaksa atau penuntut umum atau LBH. Terpidana atau ahli warisnya hanya dapat mengajukan permintaan PK, hanya kalau terpidana dijatuhi pidana dalam tingkat kasasi oleh MA. Menurut kalimat Pasal 263 (1) KUHAP tersebut hanyalah terpidana atau ahli warisnya yang dapat meminta PK. Seandainya orang atau instansi tertentu diperbolehkan mengajukan permohonan demikian, maka pembuat undang-undang pasti akan mencantumkan kata-kata antara lain di depan kalimat "terpidana", atau di belakang kata-kata "ahli warisnya" akan disusul dengan kata "dan". Misalnya "dan penuntut umum, korban, atau siapa saja. 3. Jaksa Penuntut Umum secara teori memang tidak memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Namun dalam praktek dunia peradilan di Indonesia, Mahkamah Agung pernah mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum melalui putusan No. 55PK/Pid/1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan. dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001.
Beberapa peraturan
Undang-Undang sebagai dasar pertimbangan yuridisnya, yaitu : a. Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Namun melalui penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak murni dapat Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yuridisrudensi tetap Mahkamah Agung. b. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan Pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut dalam Pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. c. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak
diikuti pemindanaan
dapat
dirubah
dengan
diikuti
pemindanaan terhadap terdakwa. d. Berdasarkan asas Legalitas serta penerapan asas keseimbangan Hak Asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon PK) dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negara dilain pihak disamping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula juga melakukan Peninjauan Kembali (PK). 4. Kemudian berdasarkan kedua putusan tersebut pada kasus Peninjuan Kembali (PK) oleh Jaksa Dalam Kasus Pollycarpus pihak Mahkamah Agung menerima PK itu berdasarkan putusannya nomor 109 PK / Pid / 2007. Berdasarkan Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
pertimbangan-pertimbangan yang pada pokoknya sebagai berikut : Dalam menghadapi problem yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaaan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana. Dan δalam menyelesaikan problema yuridis hukum acara tersebut maka Mahkamah Agung meneliti dan menafsirkan beberapa peraturan Undang-Undang. Kemudian Majelis hakim Agung dalam pertimbangan hukumnya menggunakan Pasal 263 KUHAP dan Pasal 21 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang sekarang telah diganti oleh Undang-Undang No. 4 tahun 2004
dengan menafsirkan pihak-pihak
berkepentingan dalam perkara pidana adalah Jaksa Penuntut Umum dan terpidana sebagai pihak yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Namun sebenarnya penafsiran tersebut tidak dipbolehkan karena ketentuan Pasal 21 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang sekarang telah diganti oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 telah dijelaskan dalam penjelasan Pasalnya bahwa yang dimaksud pihak-pihak berkepentingan adalah terhukum dan ahli warisnya.
B. Saran 1. Dari uraian kasus tersebut diatas dapat dilihat terlihat terdapat pertentangan dasar hukum yang digunakan Mahkamah Agung sehingga putusan Mahkamah Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Agung nomor 109 PK / Pid / 2007 tidak dapat dijadikan yurisprudensi ke depan. Oleh karena itu pengaturan Jaksa Penuntut umum dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali mengenai boleh atau tidaknya perlu diatur secara tegas, sehungga ke depan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat bisa tercapai. 2. Sementara menunggu revisi KUHAP, Mahkamah Agung hendaknya dapat menggunakan wewenangnya sesuai Pasal 79 Undang-Undang 5 Tahun 2004 tentang
mahkamah
Agung
dalam
memberikan
ketentuan
mengenai
dimungkinkannya Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Andi Hamzah, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta. Marwan Effendy, 2005, Kejaksaan Republik Indonesia Posisi dan Fungsinya Dari Persfektif Hukum, Gramedia Pustaka utama, Jakarta,. M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Pembahasan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Bandung. _______________, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Lamintang, 1984, Hukum pidana Indonesia , Sinar Baru, Jakarta. Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung. R. Soenarto Soerodibroto, 2003, KUHP dan KUHAP Edisi Kelima, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 472. Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Putusan Pengadilan PN.JKT.PST
Negeri Jakarta Pusat, Nomor
:
1361/PID.B/2005/
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, Nomor : 16/PID/2006/PT.DKI Putusan Kasasi Mahkamah Agung, Nomor : 1185K/Pid/2006 Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung, Nomor : 109PK/Pid/2007
Jurnal Samsan Nganro (Mantan Ketua PN Jakarta Selatan), Praktik Penerapan KUHAP dan Perlindungan HAM, 16-Oktober - 2006 , www.hukumonline.com. Harian Kompas, Wewenang Jaksa Mengajukan PK Kembali Dipersoalkan, Edisi 12-Agustus-2008, Jakarta.
Internet Karni
Ilyas, 1997, Herziening atau Peninjauan Kembali, 90 http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/03/03/0075.html
Mewujudkan Doktrin ”Tri Krama Adhyaksa, Harian Sinar Harapan, Senin, 21 Juli 2003, http://www.sinarharapan.co.id. Topo Santoso (Universitas Indonesia), Polisi Dan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia,
[email protected], 5 September 2001. Bachtiar Sitanggang, Hakikat Peninjauan Kembali atas Suatu Perkara Pidana, INDONESIA-P Kompas Online, Senin, 3 Februari 1997. www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/02/020027.htmi-21k. Andi Zainal Abidin, 1997, Opini: Seputar Peninjauan Kembali Perkara Pidana, http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/01/18/0119.html. Memantapkan Langkah Reformasi Kejaksaan, Komisi Hukum Nasional 17 April2004,http://www.komisihukum.go.id./index.php?option=com_rubber doc&view=doc&id=2&format=raw&itermid=84&lang=in
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009
Manata Binsar Tua Samosir : Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto), 2009. USU Repository © 2009