SKRIPSI IDENTIFIKASI DAN PERKEMBANGAN PENYAKIT JAMUR PADA SORGUM MANIS DI LAHAN MARGINAL DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain, menjadikan prospek industri bioetanol di Tanah Air semakin cerah. Pada Pasal 3 Ayat (1) disebutkan,”Untuk meningkatkan pemanfaatan Bahan Bakar Lain dalam rangka ketahanan energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Usaha Pemegang lzin Usaha Niaga Bahan Bakar Minyak dan Pengguna Langsung Bahan Bakar Minyak, wajib menggunakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain secara bertahap”. Pada Pasal 4 disebutkan,”Badan usaha pemegang lzin usaha niaga bahan bakar minyak dan pengguna langsung bahan bakar minyak dalam menggunakan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 3 wajib memanfaatkan dan mengutamakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain dari produksi dalam negeri”. Selanjutnya pada Pasal 6,”... badan usaha yang melaksanakan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat diberikan insentif baik fiskal dan/atau non-fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” (Christina, 2008). Adanya prospek industri bietanol yang cerah tersebut, menjadikan kebutuhan akan sumberdaya pertanian meningkat, terutama alternatif tanaman yang berpotensi menghasilkan sumber bahan etanol yang tinggi. Sedangkan ketersediaan lahan yang subur bagi pertanian semakin menurun, seperti yang disampaikan oleh Subiksa dan Setyorini (2010) yang menyebutkan bahwa pembangunan pertanian menghadapi tantangan yang semakin kompleks antara lain disebabkan karena adanya konversi lahan produktif untuk keperluan nonpertanian, meningkatnya permintaan produk pertanian, efisiensi produksi dan sebagainya. Untuk menggantikan lahan yang telah dikonversi, pemerintah harus
1
melakukan perluasan areal terutama ke luar Jawa. Namun karena terbatasnya lahan subur, maka perluasan lahan untuk pertanian merambah lahan marginal. Lahan marginal sendiri dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas jika digunakan untuk suatu keperluan tertentu (Yuwono, 2011). Gunadi (2002) menambahkan bahwa yang dimaksud lahan marginal adalah suatu lahan yang mempunyai karakterisrik keterbatasan dalam sesuatu hal, baik keterbatasan satu unsur/ komponen maupun lebih dari satu unsur/ komponen. Sedangkan masalah terpenting di lahan marginal adalah ketersediaan air. Hal ini ditegaskan oleh Suprapto (2000) bahwa persoalan dalam berusahatani di lahan kering (marginal) adalah bagaimana mengelola air yang menjadi faktor pembatas dalam berusahatani, sehingga produktivitas lahan dapat ditingkatkan. Selain itu lahan marginal mempunyai keterbatasan seperti sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang baik, serta topografi lahan kering ada beberapa cara yang perlu dilakukan seperti pemakaian varietas tanaman unggul berumur genjah, penerapan pola tanam yang sesuai dengan curah hujan, perbaikan teknik budidaya tanaman, serta usaha konservasi lahan sehingga kelestarian lahan dapat dijaga. Salah satu komoditas pilihan untuk lahan marginal adalah sorgum karena sorgum bisa tumbuh lebih baik di lahan kering daripada tanaman serealia lainnya. Tanaman sorgum toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi
pada
lahan
marginal.
Sorgum
mempunyai
potensi
untuk
dimanfaatkan sebagai alternatif bahan makanan pokok dalam usaha mencukupi kebutuhan pangan. Mengingat lahan produktif semakin berkurang sehingga perlu dicari alternatif untuk meningkatkan produksi pertanian, antara lain dengan memanfaatkan lahan-lahan marginal (Mudjisihono dan Damardjati, 1987) dan (Rachmawati, 2000). Sedangkan Sirappa (2003) menegaskan lebih spesifik bahwa sorgum manis (Sorghum bicolor L.) merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai daerah adaptasi yang luas. Sebagai bahan baku bioetanol, Soeranto dari PATIR-BATAN menyatakan sorgum dapat berkompetisi dengan molases tebu karena banyak kelebihannya.
2
Tanaman sorgum memiliki produksi biji dan biomasa yang jauh lebih tinggi dibanding tebu; adaptasi tanaman sorgum jauh lebih luas dibanding tebu sehingga sorgum dapat ditanam di hampir semua jenis lahan, baik lahan subur maupun lahan marjinal; sorgum memiliki sifat lebih tahan terhadap kekeringan, salinitas tinggi dan genangan air (water lodging); sorgum memerlukan pupuk relatif lebih sedikit dan pemeliharaannya lebih mudah daripada tebu; laju pertumbuh-an tanaman sorgum jauh lebih cepat, umurnya hanya empat bulan dibanding tebu tujuh bulan; kebutuhan benih sorgum hanya 4,5-5 kilogram per hektare dibanding tebu 4.500-6.000 stek batang per hektare; lagipula sorgum dapat diratun sehingga sekali tanam dapat dipanen beberapa kali. Sementara itu, clearing house energi terbarukan dan konservasi energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) dalam situsnya menyebutkan perolehan alkohol dari sorgum mencapai 6.000 liter per hektare per tahun (dua kali panen) dibanding singkong yang 4.500 liter per hektar per tahun dan tebu 5.025 hektar per tahun. Sorgum sedikit kalah dengan ubi jalar (2,5 kali panen per tahun) yang menghasilkan 7.812 liter per hektare per tahun (Christina, 2008). Budidaya tanaman sorgum manis mempunyai beberapa kendala. Menurut Frederiksen (1982), dalam budidaya sorgum terdapat 5 penyakit yang paling berbahaya. Kelima penyakit tersebut adalah busuk biji (grain mold) yang disebabkan oleh Fusarium moniliforme Sheld. F. Semictetum Berk. & Rav., Curvularia lunata (W.) Boed., Alternaria spp., dan Cladosporium spp.; busuk tangkai (stalk rots) disebabkan oleh Fusarium spp., dan Macrophomina phaseolina
(T.)
Goid.;
embun
tepung
(downy
mildew)
disebabkan
Peronosclerospora sorghi West. & Upp.; antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum graminicola (C.) Wil.; dan penyakit karena virus disebabkan oleh Sugarcane Mosaic Virus (SCMV). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan penyakit jamur utama pada tanaman sorgum manis di lahan marginal seluas 3,5 Ha di Dusun Kapingan Desa Temuwuh Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul, Yogyakarta dengan ketinggian lokasi 230 mdpl.
3
B. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui penyakit-penyakit jamur pada tanaman sorgum manis (S. bicolor L.) 2. Mengetahui perkembangan penyakit jamur utama pada sorgum manis di lahan marginal dengan ketinggian lokasi 230 mdpl. C. Kegunaan Penelitian ini bermanfaat dalam usaha pengendalian penyakit jamur tanaman sorgum manis dengan mengetahui perkembangan penyakit utamanya. D. Hipotesis Perkembangan penyakit jamur utama pada sorgum manis dipengaruhi oleh fase pertumbuhan tanaman.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sorgum Manis Sorgum manis (S. bicolor L.) termasuk dalam suku Andropogonae, keluarga rumput Poaceae. Tebu (Saccharum officinarum L.) adalah anggota dari suku tersebut dan memiliki kekerabatan yang relatif dekat dengan sorgum manis. Tanaman sorgum manis digolongkan sebagai tanaman tahunan, meskipun merupakan rumput abadi yang tumbuh di daerah tropis dan dapat dipanen berkalikali (FAO, 1995). Sorgum manis dikenal dengan berbagai nama Millet Besar dan Jagung Guinea di Afrika Barat, Jagung Kaoling di Cina (Purseglove, 1972). Di Indonesia sorgum manis dikenal dengan nama Cantel, sering ditanam oleh petani sebagai tanaman sela atau tumpangsari dengan tanaman lainnya (Mudjisihono dan Suprapto, 1987). Sorgum manis terkenal sebagai tanaman yang tahan tumbuh pada kondisi kering. Secara fisiologis, permukaan daun sorgum manis yang mengandung lapisan lilin dan sistem perakaran yang ekstensif dan fibrous, cenderung membuat tanaman efisien dalam absorpsi dan pemanfaatan air (laju evapotranspirasi sangat rendah). Hasil studi House (1985) menunjukkan bahwa untuk menghasilkan 1 kg akumulasi bahan kering, sorgum manis hanya memerlukan 332 kg air, sedangkan jagung, barley dan gandum berturut-turut memerlukan 368, 434 dan 514 kg air. Dibanding tanaman jagung, sorgum manis memiliki sifat yang lebih tahan terhadap genangan air, kadar garam tinggi dan keracunan aluminium. Tanaman sorgum manis dapat berproduksi walaupun di lahan yang kurang subur dan berpasir, air terbatas dan input rendah. Budidaya sorgum optimum pada suhu 23o - 30o C, kelembaban relatif 20% - 40%, suhu tanah 25o C, ketinggian < 800 m dpl, curah hujan 275 - 475 mm/tahun, pH 5,0 - 7,5, dan ditanam pada tanah ringan atau mengandung pasir dengan bahan organik yang cukup (House, 1985). Sorgum manis memiliki potensi hasil yang relatif tinggi dibanding padi, gandum dan jagung. Bila kelembaban tanah bukan merupakan faktor pembatas, hasil sorgum manis dapat melebihi 11 ton/ha dengan rata-rata hasil antara 7 - 9 ton/ha. Pada daerah dengan irigasi minimal, rata-rata hasil sorgum manis dapat
5
mencapai 3 - 4 ton/ha. Selain itu, sorgum manis memiliki daya adaptasi luas mulai dari dataran rendah, sedang, sampai dataran tinggi. Hasil biji yang tinggi biasanya diperoleh dari varietas sorgum manis berumur antara 100 - 120 hari (House, 1985). Produktifitas tanaman sorgum manis sangat bervariasi antar varietas. Hasil biji bervariasi dari 1,5 - 7,5 ton/ha, kandungan sukrosa 7,2 - 15,5%, berat batang 24 - 120 ton/ha dan hasil biomassa 36 - 140 ton/ha. Pada daerah tropis, kapasitas produksi biomassa tanaman sorgum manis dapat menyamai tanaman tebu atau bahkan lebih besar. Dari sisi budidaya agronomi, sorgum manis juga relatif lebih murah dan efisien dibanding tebu. Kebutuhan benih sorgum manis hanya 4 - 5 kg/ha, sedangkan untuk menanam 1 ha kebun tebu diperlukan 4500 - 6000 kg stek bibit tebu (FAO, 2002). Sorgum manis memiliki banyak kegunaan. Biji sorgum manis yang mengandung karbohidrat cukup tinggi sering digunakan sebagai bahan baku berbagai macam industri, seperti industri bir, pati, dan lem. Laju fotosintesis yang tinggi menyebabkan tinggi batang sorgum manis dapat mencapai 5 m dengan daun yang cukup lebat. Kondisi tersebut menjadikan tanaman sorgum manis sangat cocok sebagai bahan baku pada proses pembuatan silase (pakan ternak). Biomassa tanaman sorgum manis yang banyak mengandung serat dapat pula digunakan untuk membuat kertas, sedangkan nira yang terkandung dalam batang sorgum manis mengandung gula yang cukup tinggi sehingga banyak digunakan pada proses pembuatan sirup, jaggery (semacam gula merah), monosodium glutamate, anggur dan ethanol (ICRISAT, 1990). Tanaman sorgum manis telah banyak dikembangkan di Amerika (Jakcson et al., 1980), Jepang (Hoshikawa et al., 1988) dan beberapa negara lainnya. Di Indonesia, sorgum manis diintroduksikan oleh Pusat Penelitian Perkebunan Gula pada sekitar tahun 1980 (Sumantri dan Purnomo, 1997). Pada tahun 1995, dilakukan uji coba penanaman sorgum manis di Pulau Madura, Jawa Timur untuk digunakan sebagai bahan baku pada proses produksi monosodium glutamat (Tsuchihashi dan Goto, 2005).
6
Prospek penggunaan biji sorgum manis yang terbesar adalah untuk pakan, yang mencapai 26,63 juta ton untuk wilayah Asia - Australia dan diperkirakan masih terjadi kekurangan sekitar 6,72 juta ton (Gowda dan Stenhouse, 1993; Rao, 1993 dalam Sumarno dan Karsono, 1996). Kondisi ini memberi peluang bagi Indonesia untuk mengekspor sorgum manis. Sorgum manis merupakan komoditas sumber karbohidrat yang cukup potensial karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi, sekitar 73 g/ 100 g (Beti et al., 1990). Sorgum manis juga merupakan tanaman penghasil pakan hijauan sekitar 15 - 20 ton/ha/tahun, dan pada kondisi optimum dapat mencapai 30 - 45 ton/ha/tahun (Wardhani, 1996). Anonim (2011) menyebutkan bahwa terdapat dua varietas unggul yang sedang dibudidayakan di wilayah D.I. Yogyakarta yaitu: 1. Varietas Kawali Varietas ini mempunyai ciri-ciri berumur 100 - 120 hari, tinggi tanaman + 135 cm, warna biji krem, bentuk biji bulat mudah rontok, bobot 1000 biji + 30 gram, potensi hasil 4 - 5 ton/ha, tahan terhadap bercak dan karat daun, kadar protein 8,81%, kadar lemak 1,97%, dan kadar karbohidrat 87,87%. 2. Varietas Numbu Varietas ini mempunyai ciri-ciri berumur 100 - 150 hari, tinggi tanaman + 187 cm, warna biji krem, bentuk biji bulat lonjong, mudah rontok, bobot 1000 biji + 36 - 37 gram, potensi hasil 4 - 5 ton/ha, tahan terhadap bercak dan karat daun, kadar protein 9,12%, kadar lemak 3,94%, dan kadar karbohidrat 84,58%. B. Prospek Industri Bioetanol Dengan kuota premium (bersubsidi) 19,44 juta kiloliter (kl) di tahun 2009, untuk memenuhi satu persen bioetanol (E100) di Januari 2009 saja, berarti dibutuhkan produksi bioetanol hingga 190.000 kl. Ini belum termasuk untuk sektor transportasi non-PSO (public service obligation) serta sektor industri dan komersial yang di tahun 2009 diwajibkan lima persen menggunakan bioetanol (E100). Di tahun 2010, kewajiban untuk transportasi PSO akan naik menjadi tiga persen, sementara untuk sektor transportasi non-PSO serta sektor industri dan
7
komersial yang di tahun 2009 diwajibkan tujuh persen menggunakan bioetanol (E100). Ini akan terus meningkat hingga mencapai sasaran di 2025 diwajibkan 15 persen penggunaan bioetanol (E100) (Christina, 2008).
8