SKRIPSI
GENOME SHUFFLING Lactobacillus rhamnosus DAN Lactobacillus pentosus SEBAGAI FUSANT PENGHASIL L-LACTIC ACID
Oleh :
RETNO WAHYU NURHAYATI F24050608
2010 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Retno Wahyu Nurhayati. F24050608. Genome Shuffling Lactobacillus rhamnosus dan Lactobacillus pentosus sebagai Fusant Penghasil L-Lactic Acid. Di bawah bimbingan Nurheni Sri Palupi dan Budi Saksono. 2010.
RINGKASAN Asam laktat terutama isomer L-lactic acid merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang cukup luas penggunaannya, yakni sebagai perisa, pengatur keasaman dan penyusun plastik polylactic acid. Asam laktat umumnya diproduksi secara fermentasi menggunakan bakteri asam laktat. Limbah industri pangan yang mengandung hemiselulosa masih cukup melimpah sementara pemanfaatannya belum optimal. Salah satu gula hasil hidrolisis hemiselulosa adalah gula xilosa. Xilosa dapat dimanfaatkan bakteri asam laktat (BAL) seperti Lactobacillus pentosus untuk menghasilkan asam laktat. Kelemahan bakteri ini adalah asam laktat yang dihasilkan masih berupa campuran L- dan D-lactic acid. Oleh karena itu diperlukan perbaikan sifat genetik supaya asam laktat yang dihasilkan hanya L-lactic acid yakni dengan cara genome shuffling Lactobacillus pentosus dengan Lactobacillus rhamnosus. Hasil yang diharapkan dari penggabungan keduanya adalah strain baru yang mampu menggunakan xilosa sebagai subtrat dan menghasilkan produk utama berupa Llactic acid. Keunggulan genome shuffling dibandingkan rekayasa genetika secara konvensional adalah pengerjaan lebih sederhana, waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat serta tidak memerlukan peta genetik bakteri secara lengkap. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh waktu inkubasi optimal pembentukan protoplas Lactobacillus rhamnosus dan Lactobacillus pentosus serta memperoleh strain bakteri asam laktat (fusant antara Lactobacillus rhamnosus dan Lactobacillus pentosus) yang mampu menggunakan xilosa sebagai substrat dan mampu memproduksi L-lactic acid dengan menggunakan teknik genome shuffling. Penelitian terdiri dari penentuan waktu optimal pembentukan protoplas dan genome shuffling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimal pembentukan protoplas L. rhamnosus adalah dengan menggunakan konsentrasi lisozim 10 mg/ml ( 200 000 U/ml) waktu inkubasi selama 2 jam sedangkan untuk L. pentosus dengan konsentrasi lisozim > 5 mg/ml (100 000 U/ml) dan waktu inkubasi 2 jam. Pada penelitian ini telah berhasil diperoleh 16 fusant yang mampu menggunakan xilosa untuk dikonversi menjadi L-lactic acid.
GENOME SHUFFLING Lactobacillus rhamnosus DAN Lactobacillus pentosus SEBAGAI FUSANT PENGHASIL L-LACTIC ACID
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor
Oleh:
RETNO WAHYU NURHAYATI F24050608
2010 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi
: Genome Shuffling Lactobacillus rhamnosus dan Lactobacillus pentosus sebagai Fusant Penghasil L-Lactic Acid
Nama
: Retno Wahyu Nurhayati
NIM
: F24050608
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
(Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si.) NIP. 19610802.198703.2.002
(Budi Saksono M.Sc.) NIP. 19681002.198901.1.001
Mengetahui, Ketua Departemen
(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.) NIP. 19650814.199002.1.001
Tanggal lulus :
Januari 2010
h
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karanganyar pada tanggal 26 Maret 1988 dari ayah Ir. Slamet (Almarhum) dan ibu Dra. Suharni serta bertempat tinggal di Desa Gemolong RT 02 RW 03, Sragen, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri I Gemolong pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menempuh pendidikan sarjana, penulis memperoleh beasiswa pendidikan dari Persatuan Orang Tua Murid (POM), Indonesia Belajar Mandiri (Ijari), Alumni TPG (Gossypin) dan Women’s Internasional Club (WIC). Penulis pernah bekerja sebagai pengajar mata pelajaran Fisika di Primagama cabang Merdeka, Bogor. Organisasi yang pernah diikuti penulis adalah Food Processing Club (FPC), Koperasi Mahasiswa (Kopma) IPB, Forum Bina Islami (FBI) Fateta, Lembaga Struktural Badan Eksekutif Mahasiswa Bina Desa (LS BEM KM Bina Desa) dan Persatuan Mahasiswa Sukowati-Sragen Bogor (PMSB). Penulis pernah melakukan Praktek Kerja Lapang yang berjudul : Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) dan Proses Produksi Gula di PG Gondang Baru, Klaten, Jawa Tengah.
Korespondensi
dengan
penulis
dapat
dialamatkan
ke
[email protected]. Skripsi ini dipresentasikan dalam bentuk poster dalam simposium ‘Asia Pacific Biochemical Engineering Conference’, Kobe, Jepang pada tanggal 24-28 November 2009.
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah semata. Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis mampu melaksanakan penelitian yang berjudul “Genome Shuffling Lactobacillus rhamnosus dan Lactobacillus pentosus sebagai Fusant Penghasil L-Lactic Acid”. Salam serta sholawat senantiasa penulis haturkan kepada Nabi Muhamad SAW. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si selaku pembimbing I atas segala dukungan dan bimbingan yang telah diberikan 2. Budi Saksono, M.Sc selaku pembimbing II atas segala fasilitas, ilmu dunia akhirat serta motivasi sehingga penelitian dapat dilaksanakan dengan baik 3. Siti Nurjanah, STP, M.Si selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya untuk menguji penulis 4. Linda Sukmarini, M.Eng dan Dewi Fitriani, S.Si; teman-teman di laboratorium Carbohydrate and Bioengineering Research Group/ CBRG (mbak Yeti, mbak Pita, mbak Lita, Asep, Eka, mas Wahyu, mas Iqbal); ibu Sri Hartati, serta kakak-kakak di laboratorium Biologi Molekuler atas bimbingan dan bantuan teknis yang diberikan 5. Pimpinan dan staf laboratorium di Puslit Bioteknologi LIPI, Cibinong atas segala bantuan fasilitas selama pelaksanaan penelitian 6. Seluruh staf pengajar dan pegawai di jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, khususnya kepada Ibu Waysima dan Ibu Novi atas bantuan yang diberikan 7. Keluarga besar, doa bapak (Almarhum), ibu, adik-adik (Opik, Titin, Yuli, Janita) yang senantiasa menjadi penguat hati, paman Wahyono dan keluarga besar yang telah memberi bantuan baik moril maupun materiil 8. Women’s International Club dan Alumni TPG ‘Gossypin’ atas bantuan dana pendidikan 9. Teman-teman ITP 42, Ma Faza (Amel, Lela, Rita, Beti, Dian, Icha, Nisa, Lia), mbak Patmi, mbak Nurdiya, Neneng, Siti, Aminah, mbak Yana serta para sahabat (Fitri, Ike, Galih Ika, Reriel, Susan, Sri, Siska, Dilla, Upik,
i
Icha, Mike, Difa, Nurul, Ita dll)
yang senantiasa mendukung penulis
dalam menempuh pendidikan 10. Semua pihak yang telah membantu. Penulis berharap semoga karya ini dapat memberi manfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2010
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................
i
DAFTAR ISI ...............................................................................................
iii
DAFTAR TABEL……………………………..…………..........................
v
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...
vi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………............
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...…………………………….…………………………
1
B. Tujuan………………………………………….……………………….
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asam Laktat……………………………………….……………………
3
B. Bakteri Asam Laktat 1. Lactobacillus rhamnosus…………………………………………….
5
2. Lactobacillus pentosus ……………………………………...……….
6
C. Xilosa..………………………………………………….……………….
6
D. Genome Shuffling……………………………………….……………….
7
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat…………………………………………..........................
10
B. Metode Penelitian 1. Teknik Penentuan Waktu Optimal Pembentukan Protoplas a. Penanaman Kultur…………………………………………………
12
b. Pembuatan Pelet…………………………………………………...
12
c. Pembentukan Protoplas…………………………………................
12
d. Penentuan Waktu Optimal Pembentukan Protoplas……………….
13
2. Genome Shuffling a. Pembuatan Pelet Bakteri L. rhamnosus serta L. pentosus.................
15
b. Pembentukan Protoplas L. rhamnosus dan L. pentosus....................
15
c. Fusi Protoplas....................................................................................
15
d. Regenerasi Dinding Sel.....................................................................
15
iii
e. Pemilihan Fusant 1)Seleksi dengan media LB-xilosa- CaCO3.......................................
16
2)Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan Primer ldhD…………
16
f. Pemurnian…...………………………………………………………
20
3. Pengukuran Produktivitas Asam Laktat………………………………..
21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Optimasi Waktu Inkubasi Pembentukan Protoplas 1. Waktu Optimal Pembentukan Protoplas L. pentosus…………………..
24
2. Waktu Optimal Pembentukan Protoplas L. rhamnosus………………..
26
B. Genome Shuffling 1. Kandidat Fusant Terpilih dengan Media Seleksi………...…………….
30
2. Kandidat Fusant Terpilih dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR).…………………………………………………………………..
31
3. Produktivitas Asam Laktat Fusant …………………………………….
37
4. Perbandingan L. rhamnosus, L. pentosus dan Fusant………………….
41
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………………………………………………………………..
44
B. Saran……………………………………………………………………….
44
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
45
LAMPIRAN……………………………………………………………….....
48
iv
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Batas penggunaan asam laktat berdasarkan Permenkes No.722/1988…..
4
2 Kandungan xilan dari berbagai limbah industri pangan………………...
6
3 Komposisi reaksi PCR (untuk 50 µl campuran reaksi)………………….
17
4 Kondisi reaksi PCR untuk gen ldhD……………………………………
18
5 Hasil perhitungan efisiensi pembentukan protoplas L. pentosus………..
26
6 Hasil perhitungan efisiensi pembentukan protoplas L. rhamnosus…......
28
7 Hasil pengecekkan gen ldhD pada kandidat fusant dari cawan dengan pengenceran 10-4 dan 10-5……………………………………….……… 8 Hasil
34
pengecekkan gen ldhD pada kandidat fusant hasil pemurnian
pertama koloni nomor 17 dari pengenceran 10-5 (kelompok koloni 10-5-17) ………….………….………….………….………….....………..
35
9 Rasio antara total asam tertitrasi (TAT) dan optical density (OD) pada fusant.........………….………….………….………….…………............
40
10Perbandingan antara L. rhamnosus dan L. pentosus……………………..
42
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Struktur molekul L-lactic acid dan D-lactic acid………………………..
3
2 Lactobacillus rhamnosus………………………………………………...
5
3 Lactobacillus pentosus…………………………………………………...
6
4 Struktur molekul xilosa…………………………………………………..
7
5 Skema genome shuffling………………………………………………....
8
6 Diagram alir penentuan waktu optimal pembentukan protoplas………...
11
7 Strategi genome shuffling untuk memperoleh fusant yang diharapkan ....
13
8 Diagram alir genome shuffling……………………………….…………..
14
9 Ukuran pita-pita penanda (marker) pada gene ruler 1 kb DNA ladder marker .. ……………………….............................……………………...
18
10 Cara penggoresan pada media seleksi….................……………………...
20
11 Dinding sel bakteri gram positif…………….. …………………………..
23
12 Reaksi hidrolitik lisozim terhadap komponen dinding sel bakteri……….
24
13 Perbandingan logaritmik jumlah koloni antara perlakuan sampel dan kontrol pada L. pentosus pada berbagai waktu inkubasi…………….. .....
25
14 Perbandingan logaritmik jumlah koloni antara perlakuan sampel dan kontrol pada L. rhamnosus pada berbagai waktu inkubasi…………...... 15 Penampakan sel (A) dan protoplas
(B)
Lactobacillus sp.
27
dengan
mikroskop elektron (36 700 x)…………………………………………...
29
16 Pertumbuhan kandidat fusant pada media seleksi dengan pengenceran 10-4 dan 10-5…..…………………………...….…………………..............
31
17 Reaksi perubahan piruvat menjadi laktat yang dikatalis oleh enzim lactate dehidrogenase (ldh). …………………...….…………………... -4
31
18 Hasil
elektroforesis produk PCR gen ldhD untuk pengenceran 10 .....
32
19 Hasil
elektroforesis produk PCR gen ldhD untuk pengenceran 10-5.....
33
20 Hasil elektroforesis produk PCR gen ldhD pada kandidat fusant hasil pemurnian pertama koloni nomor 17 dari pengenceran 10-5 (kelompok koloni 10-5-17) ..........................................................................................
35
vi
21 Hasil pemurnian dari koloni nomor 17 (pemurnian I) dan koloni nomor 1 (pemurnian II) dari pengenceran 10-5 (kelompok koloni 10-5-17-1)........
36
22 Penomoran koloni hasil pemurnian dari koloni nomor 17 (pemurnian I) dan koloni nomor 1 (pemurnian II) dari pengenceran 10-5 (kelompok koloni 10-5-17-1) …………………………………..…….……………..
36
23 Hasil elektroforesis produk PCR dari koloni nomor 17 (pemurnian II) dan koloni nomor 1 (pemurnian II) dari pengenceran 10-5 (kelompok koloni 10-5-17-1) …………………………………………………….....
37
24 Perbandingan total asam tertitrasi pada fusant, L. rhamnosus dan L. pentosus….…………………………………………………………...
38
25 Rasio antara total asam tertitrasi (TAT) dengan optical density (OD) pada fusant….………………………….…………………………........ 26 Pertumbuhan L. rhamnosus, L. pentosus dan. fusant pada media seleksi 27 Hasil
elektroforesis produk PCR
gen ldhD
40 42
pada L. pentosus,
L. rhamnosus dan fusant………………………………….……………....
43
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Komposisi dan prosedur pembuatan media yang digunakan…………….
49
2 Prosedur pembuatan reagen dan gel agarosa…………………………….
51
3 Prosedur pembuatan stok gliserol………………………………………..
52
4 Hasil perhitungan jumlah koloni L. pentosus…………………………….
53
5 Hasil perhitungan jumlah koloni L. rhamnosus ………………………....
54
6 Hasil perhitungan total asam tertitrasi (TAT)…………………………....
55
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Asam laktat merupakan salah satu ingredien pangan yang cukup penting sekarang ini. Asam laktat mampu bertindak sebagai perisa asam pada produk pangan sekaligus sebagai pengawet. Penggunaannya sebagai bahan tambahan makanan
telah
diatur
dalam
Peraturan
Menteri
Kesehatan
No. 722/Menkes/Per/IX/88 sebagai GRAS (Generally Recognized as Safe) atau dapat digunakan sesuai CPPB (Cara Produksi Pangan yang Baik) pada produk-produk tertentu. Selain itu, asam laktat digunakan secara luas dalam industri, farmasi, dan kosmetik. Produk turunan asam laktat seperti polylactic acid semakin banyak digunakan sebagai food packaging, garbage bags, agricultural plastic sheet serta keperluan medis lainnya (Yu et al. 2008). Perdagangan asam laktat dunia diperkirakan akan mencapai 259 000 ton pada tahun 2012 (Global Industry Analiysts 2008). Asam laktat umumnya diproduksi secara fermentasi menggunakan bakteri asam laktat (BAL). Lactobacillus merupakan genus BAL yang banyak digunakan sebagai penghasil asam laktat. Beberapa strain Lactobacillus menghasilkan sekaligus jenis L-lactic acid dan D-lactic acid, sedangkan strain-strain lainnya menghasilkan L-lactic acid saja. Bakteri ini umumnya mampu mensintesis asam laktat dari gula-gula sederhana seperti glukosa, rhamnosa, dan manosa. Gula-gula sederhana yang umum digunakan merupakan gula dari hidrolisis pati. Penggunaan gula pentosa seperti xilosa sebagai substrat belum banyak dilakukan. Xilosa merupakan gula pentosa hasil hidrolisis xilan yang merupakan fraksi terbesar dari hemiselulosa. Hemiselulosa banyak dihasilkan sebagai limbah dari industri pangan, seperti tongkol jagung, jerami padi, ampas tebu, dedak gandum dan biji kapas. Keberadaan limbah industri pangan yang tidak dimanfaatkan dengan baik dapat mengotori lingkungan. Penggunaan asam laktat dalam bentuk L-lactic acid lebih disukai dalam industri pangan karena mampu dimetabolisme tubuh dengan baik serta
1
lebih menguntungkan daripada campuran rasemiknya (campuran L- dan D-lactic acid). Salah satu mikroorganisme yang menghasilkan L-lactic acid adalah Lactobacillus rhamnosus. Bakteri ini cukup prospektif untuk dikembangkan sebagai penghasil L-lactic acid dengan kemurnian tinggi. Namun, bakteri ini tidak mampu menfermentasi xilosa menjadi asam laktat. Oleh karena itu, bakteri ini perlu direkayasa sehingga mampu menghasilkan L-lactic acid menggunakan substrat xilosa. Cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sifat suatu mikroba adalah dengan menggunakan teknik rekayasa genetika. Teknik rekayasa genetika secara klasik seperti kloning, mutagenesis, dan adaptasi secara kimia telah mampu membentuk beberapa strain unggul. Namun, teknik tersebut memiliki kelemahan yaitu terlalu banyak menghabiskan waktu, biaya dan tenaga. Selain itu, kloning memerlukan pengetahuan mengenai gen spesifik yang menyandi sifat yang diinginkan. Saat ini telah dikembangkan teknik baru yang lebih menguntungkan dan lebih praktis dalam memperbaiki sifat fenotip strain yakni dengan teknik genome shuffling. Teknik ini menggunakan penggabungan protoplas dari dua/ lebih sel induk yang berbeda yang mempunyai keunggulan masing-masing. B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh waktu optimal pembentukan protoplas Lactobacillus rhamnosus dan Lactobacillus pentosus serta memperoleh strain bakteri asam laktat (fusant antara Lactobacillus rhamnosus dan Lactobacillus pentosus) yang mampu memetabolisme xilosa menjadi L-lactic acid dengan menggunakan teknik genome shuffling.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asam Laktat Asam laktat termasuk dalam asam karboksilat dan memiliki rumus
molekul CH3CHOHCOOH. Berdasarkan penamaan sistem IUPAC, asam laktat disebut sebagai 2-hydroxypropanoic acid (Fessenden & Fessenden 1986). Asam laktat memiliki dua isomer optis yaitu L-lactic acid dan D-lactic
acid (Gambar 1). Isomer L-lactic acid lebih disukai karena mampu dimetabolisme tubuh serta penggunaannya di dalam industri lebih menguntungkan daripada campuran rasemiknya (Killa-Nikkila et al. 2000).
Gambar 1 Struktur molekul L-lactic acid dan D-lactic acid (Koolman & Roehm 2005). Sejak zaman dahulu, asam laktat yang dihasilkan mikroba digunakan sebagai pengawet adonan dan buah zaitun, sauerkraut dan sayuran pikel. Sifat penting yang dimiliki asam laktat adalah adalah kemampuannya menimbulkan cita rasa asam yang sedap serta kemampuannya mengawetkan produk pangan. Asam laktat banyak dimanfaatkan di berbagai industri makanan serta minuman seperti industri roti, bir, mentega, kembang gula, keju, putih telur
kering, jeli, pektin cair, daging cincang, minuman ringan, sup, serbat, dan beberapa industri farmasi dan kosmetika. Dalam industri roti, laktat digunakan dalam bentuk kalsium laktat yang berperan sebagai pengembang
(baking powder). Asam laktat dan kalsium stearil-2-laktilat telah mendapat persetujuan dari Food and Drug Administration (FDA) sebagai bahan aditif dalam industri roti, yaitu asam laktat sebagai pengatur keasaman dan stearil-
2-laktilat sebagai emulsifier. Keberadaan asam laktat pada bir yang secara alami dihasilkan dari fermentasi malt, berfungsi sebagai pengatur pH dalam
3
proses “mashing” dan selama pemasakan. Pengasaman dari lager bir (bir yang tidak keras) dengan asam laktat sebagai pengganti asam organik akan memperbaiki stabilitas mikrobiologis dari bir dan stabilitas citarasa. Asam laktat, di industri keju dan kasein pangan, digunakan sebagai pengatur keasaman dan pencita rasa asam. Asam laktat yang ditambahkan pada alat pengering putih telur untuk mengatur pH 4.8-5.1, akan dengan cepat mengendapkan pecahan kulit, memperbaiki dispersi protein dan membantu menghasilkan tepung putih telur yang lebih stabil dengan sifat pengocokan yang sangat baik. Asam laktat dilaporkan memberi hasil yang sangat baik, jika digunakan dalam jumlah sedikit, untuk pengasaman sari buah pada produksi anggur dan memberikan cita rasa yang baik pada sari buah terkarbonasi bila digunakan secara kombinasi dengan beberapa pengasam lainnya (Gardner 1981). Berikut ini (Tabel 1) adalah batas penggunaan asam laktat sebagai bahan tambahan pangan pada berbagai produk: Tabel 1 Batas penggunaan asam laktat berdasarkan Permenkes No.722/1988 (Winarno & Rahayu 1994) No Jenis/ bahan pangan Batas maksimum penggunaan 1 Makanan pelengkap 15 g/kg bahan kering serealia 2 Makanan bayi kalengan 2 g/ kg 3 Sediaan olahan keju 40 g/kg, tunggal atau campuran dengan pengasam lain dan pengemulsi dihitung terhadap bahan anhidrat 4 Pasta tomat Secukupnya hingga pH tidak lebih dari 4.3 5 Buah zaitun 15 g/kg 6
Jam dan jeli marmalade
Secukupnya hingga pH antara 2.8 dan 3.5
7
Kaldu, tomat kalengan, buah pir kalengan Bir, roti Margarin, keju
Secukupnya (CPPB)
Sardin dan ikan sejenis sardin kalengan Es krim dan sejenisnya
Secukupnya (CPPB)
8 9 10 11 12 13
Kasein Acar ketimun dalam botol
Secukupnya (CPPB) Secukupnya (CPPB)
Secukupnya (CPPB) Secukupnya (CPPB) Secukupnya (CPPB)
4
B. Bakteri Asam Laktat Bakteri
asam
laktat
merupakan
jenis
bakteri
yang
mampu
menfermentasi gula menjadi asam laktat. Sifat ini penting dalam pembuatan produk pangan fermentasi seperti fermentasi sayuran (sauerkraut, pikel dan sebagainya), fermentasi susu (keju, yogurt, susu asam dan sebagainya), dan fermentasi ikan. Manfaat penting lain yang semakin sering dikaji adalah produksi asam laktat sebagai bahan tambahan pangan. Bakteri asam laktat meliputi Lactobacillus, dan famili Streptococcaceae, terutama Leuconostoc, Streptococcus, Pediococcus. Streptococcus, Pediococcus. Beberapa spesies Lactobacillus bersifat homofermentatif, sedangkan Leuconostoc dan spesies Lactobacillus lainnya bersifat heterofermentatif (Fardiaz 1989). Bakteri homofermentatif hanya menghasilkan produk tunggal seperti asam laktat, sementara itu bakteri heterofermentatif juga akan memproduksi produk lain seperti etanol, diasetil, format, asetoin atau asam asetat. Pada umumnya BAL menyukai kondisi anaerobik (Koolman & Roehm 2005). Bakteri asam laktat yang digunakan dalam penelitian ini adalah L. rhamnosus dan L. pentosus. Keunggulan L. rhamnosus adalah kemampuannya menghasilkan L-lactic acid dengan kemurnian tinggi, sedangkan
keunggulan
dari
L.
pentosus
adalah
kemampuannya
menfermentasi glukosa dan xilosa sekaligus. 1. Lactobacillus rhamnosus Bakteri ini termasuk bakteri asam laktat yang menghasilkan produk utama berupa L-lactic acid. Bakteri ini termasuk dalam kelompok probiotik dan mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri-bakteri patogen di saluran pencernaan. L. rhamnosus ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Lactobacillus rhamnosus (Anonim 2008).
5
2. Lactobacillus pentosus Spesies ini merupakan jenis bakteri asam laktat yang dekat secara filogenetik dengan Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus paraplantarum (Torriani et al. 2001). Bakteri ini dapat menghasilkan L-lactic acid dan D-lactic acid. Spesies ini mampu menggunakan glukosa dan xilosa sebagai substrat (Hammes et al. 1995). Sel L. pentosus ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Lactobacillus pentosus (Anonim 2009c). C. Xilosa Limbah industri pertanian sebagian besar berupa lignoselulosa. Lignoselulosa terdiri atas tiga komponen fraksi serat yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa sudah dimanfaatkan dengan baik dalam industri kertas, sedangkan hemiselulosa belum banyak dimanfaatkan (Richana et al. 2004). Xilan merupakan komponen penyusun terbesar dari hemiselulosa. Xilan biasanya tersusun atas 150-200 monomer xilosa. Kandungan xilan pada berbagai limbah industri pangan tercantum pada Tabel 2. Tabel
2
Kandungan xilan dari (Richana et al. 2004)
berbagai
Bahan
Xilan (%)
Bagas tebu
9.6
Oat hulis Tongkol jagung
12.3 12.9
Sekam
6.3
Kulit kacang Kulit biji kacang
6.3 10.2
limbah
industri
pangan
6
Rantai utama xilan adalah gugus xilosil β-1,4 D-xilopiranosida dengan jumlah monomer 150 hingga 200 unit. Rantai samping xilan berupa gugus asetil, arabinosil dan glukorosil (Saha 2003). Xilan dapat dihidrolisis enzim xilanase menjadi gula xilosa.
Gambar 4 Struktur molekul xilosa (Koolman & Roehm 2005). Xilosa (Gambar 4) adalah salah satu gula pentosa yang memiliki rumus molekul C5H10O5. Xilosa dapat difermentasikan bakteri jika bakteri tersebut mampu melakukan xylose metabolisme. Salah satu bakteri asam laktat yang mempunyai kemampuan dalam menfermentasi xilosa adalah Lactobacillus pentosus. D. Genome Shuffling Genome shuffling merupakan metode rekayasa genetika yang efisien untuk menghasilkan strain mikroba yang memiliki fenotip yang diinginkan (John et al. 2008). Genome shuffling didasarkan pada fusi/ peleburan antar protoplas yakni sel bakteri yang telah dihilangkan dinding selnya. Fusi protoplas menyebabkan terjadinya rekombinasi secara acak di level kromosom bakteri sehingga strain baru yang terbentuk (fusant) akan memiliki sifat fenotip yang sangat beragam. Genome shuffling dapat menghasilkan penggandaan mutasi secara cepat (John et al. 2008). Beberapa penelitian dilaporkan menggunakan genome shuffling untuk meningkatkan produksi tylosin oleh Streptomyces fradiae (Zhang et al. 2002), ketahanan terhadap asam
pada Lactobacillus
(Patnaik et al. 2002; Wang et al. 2007), degradasi pentaklorofenol pada bakteri Sphingobium chlorophenolicum (Dai & Copley 2004), dan peningkatan produksi asam hidroksisitrat dengan Streptomyces sp. U 121 (Hida et al. 2007).
7
Mekanisme pembentukan fusant menggunakan teknik genome suffling ditampilkan pada Gambar 5. Bakteri yang akan di-shuffling diperlakukan dengan enzim litik seperti lisozim untuk menghilangkan dinding selnya. Sel bakteri yang telah dihilangkan dinding selnya disebut sebagai protoplas. Peleburan protoplas diinduksi oleh fusagen eksternal seperti Poly Ethylene Glycol (PEG), sodium nitrat dan ion Ca2+. Fusi juga dapat terjadi jika diinduksi oleh listrik tegangan rendah (Verma et al. 2004). Proses ini menyebabkan terjadinya rekombinasi materi genetik secara acak. Dinding sel dapat disintesis kembali oleh bakteri jika ditumbuhkan pada media dengan nutrisi yang cukup (media regenerasi).
Gambar 5 Skema genome shuffling (Saksono 2009). Genome shuffling dapat digunakan untuk menggabungkan sifat unggul beberapa bakteri. Teknik ini lebih luas diaplikasikan daripada teknik
8
mutagenesis konvensional seperti mutasi dengan sinar ultra violet (UV) dan mutasi dengan nitrosoguanidin (NTG). Genome shuffling dinilai lebih stabil dalam mempertahankan sifat genotip yang diinginkan jika dibandingkan dengan teknik rekombinasi DNA lain seperti penyisipan plasmid rekombinan (kloning). Umumnya penggunaan teknik rekombinasi DNA dengan kloning, plasmid rekombinan sewaktu-waktu bisa hilang. Pada keadaan tersebut, sifat bakteri akan kembali ke sifat yang dimiliki oleh induknya sehingga penggabungan sifat unggul dari kedua induk tidak dimiliki lagi. Hal ini dikarenakan mikroba rekombinan dengan genome shuffling mengalami rekombinasi tidak di tingkat plasmid namun di tingkat kromosom sehingga sifat genetiknya lebih stabil. Keberhasilan teknik genome shuffling dipengaruhi oleh beberapa faktor dan faktor utama yang mempengaruhi efisiensi genome shuffling adalah frekuensi pembentukan protoplas dan regenerasi dinding sel fusant (Yu et al. 2008).
9
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah Lactobacillus rhamnosus NBRC 3425T dan Lactobacillus pentosus NBRC 12011 yang diperoleh dari NITE-BRC (National Institute of Technology and Evaluation-Biological Resources Center) Collection Jepang, PCR kits (Fermentas), primer reverse dan primer forward ldhD, gene ruler 1 kb DNA ladder marker (Fermentas). Media yang digunakan antara lain MRSB (deMan Rogosa Sharpe Broth) (Oxoid), MRSA (deMan Rogosa Sharpe Agar) (Oxoid) dan LB (Luria Bertanii). Bahan kimia yang digunakan antara lain PEG 6000 (Poly Ethylene Glycol), Tris-HCl 1 M pH 6.3, sukrosa 1 M, bufer TBE (Tris-Borat-EDTA), agarosa, loading dye, lisozim (20 000 U/mg), gliserol 50%, fenoftalin 1%, xilosa, ekstrak khamir, pepton, tripton, agar, etidium bromida (Et-Br), MgCl2, CaCO3, NaCl, K2HPO4, CH3COONa, NH4NO3, MgSO4·7H2O, MnSO4·4H2O, CaCl2, NaOH, (COOH)2, etanol, spiritus, dan akuades. Prosedur pembuatan media dan beberapa bahan kimia tercantum pada Lampiran 1 dan 2. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi laminar flow hood, ruang asam, centrifuge (Hettic), centrifuge spin down (Tomy) spektrofotometer (Spectronic 21D), inkubator rotary shaker 37ºC, inkubator 30ºC dan 37ºC, mikropipet (Gilson Pipetman), autoklaf (All American), oven 150ºC (Heraeus), kulkas 4ºC (Hitachi), freezer -20ºC, mesin PCR (Polymerase Chain Reaction) (Perkin Elmer GeneAmp), penangas air, mesin elektroforesis (Mupid eXu), kamera digital, neraca analitik (Precisa 310 M), peralatan gelas, vorteks (Fisons), stirer magnetik, counter, timer (Force), bunsen, rak tabung reaksi, membran filter 0.22 µm (Milllipore), eppendorf tube (Axygen), tabung sentrifugasi (sorfal), tip (Axygen), spatula, serta ose. B. Metode Penelitian 1. Teknik Penentuan Waktu Optimal Pembentukan Protoplas Prosedur penentuan waktu optimal pembentukan protoplas tercantum pada Gambar 6.
10
Kultur berumur semalam (± 16 jam)
Sentrifugasi 4500 g suhu 4°C selama 10 menit
Pelet
Akuades Duplo
Sentrifugasi 4500 g suhu 4°C selama 10 menit
Pelet
LPB (Kontrol) atau LPB+lisozim (Sampel)
Inkubasi suhu 37°C
Plating (penanaman di agar cawan) setiap 2 jam
Inkubasi suhu 37°C (L. pentosus) dan 30°C (L. rhamnosus) selama 2 hari Gambar 6 Diagram alir penentuan waktu optimal pembentukan protoplas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan waktu inkubasi optimal bagi pembentukan protoplas baik L. pentosus maupun L. rhamnosus. Waktu inkubasi yang terlalu lama akan menyebabkan sel banyak yang rusak akibat kekurangan nutrisi sementara waktu inkubasi yang singkat membuat protoplas yang terbentuk sedikit. Efisiensi genome shuffling sangat dipengaruhi oleh banyaknya protoplas yang terbentuk. Tahap
ini 11
menggunakan dua perlakuan yang berbeda yaitu perlakuan sampel (dengan penambahan lisozim) dan perlakuan kontrol (tanpa penambahan lisozim). Lisozim berfungsi untuk mendegradasi dinding sel bakteri. Sel bakteri yang telah kehilangan dinding selnya disebut sebagai protoplas. Perlakuan kontrol dimaksudkan untuk melihat besarnya kerusakan sel bukan karena pengaruh lisozim. a. Penanaman Kultur Sebanyak 200 µl stok gliserol (L. pentosus dan L. rhamnosus) dipipet ke dalam erlenmeyer yang berisi 20 ml MRSB. Inkubasi biakan dilakukan pada inkubator suhu 30°C (L. pentosus) dan 37°C (L. rhamnosus) selama semalam (± 16 jam). Prosedur pembuatan stok gliserol tercantum pada Lampiran 3. b. Pembuatan Pelet Enam buah eppendorf tube (tube) berukuran 2 ml dipersiapkan. Kultur L. pentosus dipipet masing-masing 2 ml ke dalam 4 tube dan 1 ml ke dalam 2 tube (5 ml sebagai sampel dan 5 ml sebagai kontrol), lalu disentrifugasi 4500 g suhu 4°C selama 10 menit. Filtrat/ cairan yang terdapat di atas endapan putih dibuang, selanjutnya ditambahkan masing-masing 1 ml akuades steril (pencucian). Sentrifugasi kembali dilakukan pada 4500 g suhu 4°C selama 10 menit dan filtrat di atas pelet dibuang. Pencucian dilakukan dua kali. Prosedur yang sama dilakukan untuk kultur L. rhamnosus. c. Pembentukan Protoplas Larutan LPB (Lactobacillus Protoplast Buffer) merupakan larutan yang berfungsi menjaga supaya protoplas yang terbentuk tidak pecah (lisis). Larutan ini mempunyai tekanan osmotik yang sesuai bagi sitoplasma sel. Protoplas sangat rentan terhadap tekanan osmotik dari lingkungan karena telah kehilangan dinding sel sebagai pelindung utama. Larutan LPB digunakan untuk perlakuan kontrol sedangkan larutan LPB+lisozim digunakan untuk perlakuan sampel. Prosedur pembuatan larutan LPB dan LPB+lisozim tercantum pada Lampiran 2. Pelet yang berasal dari 5 ml kultur ditambah dengan 5 ml larutan LPB (kontrol) dan 5 ml larutan LPB+lisozim (sampel). Setiap 2 jam sekali, dilakukan penanaman ke cawan petri yang berisi MRSA (plating).
12
d. Penentuan Waktu Optimal Pembentukan Protoplas (John et al. 2008) Cawan yang telah ditanami bakteri diinkubasi pada suhu 30°C (L. pentosus) dan 37°C (L. rhamnosus) selama 2 hari (48 jam). Koloni yang tumbuh dihitung sebagai jumlah mikroba (CFU/ml). Perhitungan Efisiensi pembentukan protoplas dihitung dengan rumus berikut:
Keterangan : a= jumlah mikroba awal (hasil plating jam ke 0) b= jumlah mikroba hasil plating setelah perlakuan Data efisiensi yang diperoleh diplot ke dalam kurva. Waktu inkubasi
optimal adalah waktu inkubasi yang memiliki nilai efisiensi tertinggi. 2.
Genome Shuffling (Patnaik et al. 2002) Penelitian ini menggunakan 2 jenis bakteri yang memiliki perbedaan kemampuan menfermentasi gula. L. pentosus mampu menfermentasi glukosa dan xilosa untuk dikonversi menjadi asam laktat (D-lactic acid dan L-lactic
acid) sedangkan L. rhamnosus tidak bisa menfermentasi xilosa namun produk utama fermentasi berupa L-lactic acid.
Gambar 7 Strategi genome shuffling untuk memperoleh fusant yang diharapkan (Saksono 2009). Fusant yang diharapkan adalah yang mampu menfermentasi xilosa
menjadi L-lactic acid (Gambar 7).
13
Diagram alir tahap genome shuffling tercantum pada Gambar 8. Kultur L.rhamnosus berumur semalam (±16 jam)
Kultur L.pentosus berumur semalam (±16 jam)
Sentrifugasi 4500 g suhu 4°C selama 10 menit Pencucian dengan akuades
LPB dengan lisozim (200 000 U/ml LPB)
Pelet Inkubasi suhu 37°C selama 2 jam Sentrifugasi 4500 g suhu 4°C selama 10 menit
Pelet L. pentosus
Pelet L. rhamnosus
Pencampuran
Larutan protoplast fusion
Sentrifugasi 4500 g suhu 4°C selama 10 menit Pelet
Penanaman di media regenerasi Tahap Seleksi
Gambar 8 Diagram alir genome shuffling.
14
a. Pembuatan Pelet Bakteri L. rhamnosus serta L. pentosus Bakteri sebanyak 50 µl dari stok gliserol dipipet ke dalam tabung reaksi yang berisi 5 ml MRSB. Inkubasi biakan pada inkubator suhu 37°C (untuk L. rhamnosus) dan 30°C (untuk L. pentosus) selama semalam (± 16 jam). Pelet bakteri diperoleh dengan cara disentrifugasi pada kecepatan 4500 g dan suhu 4oC selama 10 menit kemudian dicuci dua kali menggunakan akuades steril. b. Pembentukan Protoplas L. rhamnosus dan L. pentosus Pelet bakteri yang telah bersih kemudian diresuspensi dalam 2 ml LPB yang mengandung lisozim (200 000 U/ml). Suspensi diinkubasi di inkubator rotary shaker pada suhu 37°C menggunakan kecepatan 100 rpm. c. Fusi Protoplas Protoplas dari kedua kultur bakteri dicampur di dalam tabung sentrifugasi (sorfal) lalu pelet dipisahkan dari supernatan menggunakan sentrifugasi. Pelet protoplas diresuspensi dengan 100 µl LPB (Lactobacillus Protoplast Buffer). Campuran tersebut diambil sebanyak 50 µl kemudian ditambah
dengan
450
µl
larutan
protoplast
fusion
(LPB
+
60% b/v PEG 6000) lalu campuran diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit. d. Regenerasi Dinding Sel Suspensi protoplas diencerkan menggunakan LPB sebanyak 1.5 ml. Suspensi disentrifugasi pada kecepatan 4500 g suhu 4oC selama 10 menit. Pelet kemudian ditambah 1 ml LPB dan disentrifugasi kembali pada kondisi yang sama. Pelet yang sudah bersih diresuspensi ke dalam 2 ml
media
regenerasi dan diinkubasi pada suhu 37°C kecepatan 100 rpm selama 6 jam. e. Pemilihan Fusant Setelah regenerasi dinding sel, koloni kembali ditumbuhkan pada media seleksi (LB-xilosa-CaCO3). Koloni yang mampu membentuk zona bening menunjukkan kemampuannya menggunakan xilosa sebagai substrat. Seleksi kemudian dilanjutkan untuk memilih fusant yang hanya menghasilkan L-lactic acid saja. Pengujian menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan primer ldhD. Fusant yang terpilih merupakan kandidat
15
fusant yang menunjukkan hasil negatif pada saat elektroforesis produk PCR yaitu tidak terdapat band (pita) pada ukuran 1008 pb (pasang basa). Gen ldhD merupakan gen yang menyandi sintesis enzim D-lactate dehydrogenase (D-ldh). Gen ini memiliki ukuran 1008 pb sehingga pada saat elektroforesis, keberadaan gen ini ditunjukkan dengan band pada ukuran 1008 pb. Gen ini bertanggung jawab dalam sintesis enzim D-lactate dehydrogenase yakni enzim yang merubah piruvat menjadi D-lactic acid. Kandidat fusant yang menunjukkan hasil negatif gen ldhD diasumsikan tidak menghasilkan D-lactic acid. 1) Seleksi dengan media LB-xilosa- CaCO3 Tahap ini bertujuan untuk memilih kandidat fusant yang mampu menfermentasi xilosa (memiliki sifat seperti L. pentosus). Kultur yang telah ditumbuhkan di media regenerasi kemudian disebar (spreading) ke dalam cawan yang berisi media LB-xilosa-CaCO3 dengan 2 seri pengenceran. Pengenceran dilakukan
dengan seri pengenceran 10-4 dan 10-5. Suspensi
kultur diencerkan sampai diperoleh pengenceran 10-1-10-5 (pengenceran 10-1 dilakukan dengan cara memasukkan 100 µl kultur ke dalam tube yang berisi 900 µl LPB lalu dihomogenkan secara manual, pengenceran 10-2 dilakukan dengan cara memasukkan 100 µl hasil pengenceran pertama ke dalam tube yang berisi 900 µl LPB lalu dihomogenkan, dan seterusnya). Sebanyak 100 µl suspensi 10-4 dipipet ke dalam cawan yang berisi media LB-xilosa-CaCO3 padat, kemudian disebar secara seragam menggunakan spreading glass (gelas penyebar). Prosedur yang sama dilakukan pada suspensi dengan pengenceran 10-5. Semua tahap harus dilakukan secara aseptis. Cawan diinkubasi dalam suhu 37oC selama 2 hari. Kandidat fusant terpilih merupakan koloni yang mampu membentuk zona bening. 2) Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan Primer ldhD PCR merupakan suatu reaksi yang digunakan untuk memperbanyak jumlah molekul DNA. Perbanyakan molekul DNA dapat dilakukan dengan bantuan enzim DNA polymerase, sepasang primer dan deoxynucleocide triphospat (dNTP). Enzim DNA polymerase digunakan untuk mencetak rangkaian molekul DNA baru dan dNTP digunakan sebagai material untuk
16
sintesis DNA. Sepasang primer yang digunakan adalah primer forward (primer yang berada di awal daerah target) dan primer reverse (primer yang berada di akhir daerah target). Teknik PCR menggunakan 3 tahapan utama, yaitu denaturasi, penempelan primer (annealing) dan pemanjangan untai DNA (extension). Pada suhu sekitar 95°C, molekul DNA mengalami denaturasi sehingga strukturnya mulai berubah dari untai ganda menjadi untai tunggal. Pada suhu antara 50-60°C, primer forward yang urutan nukleotidanya sesuai (berkomplemen) dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada sisi komplemennya, demikian juga primer reverse-nya akan menempel pada untai tunggal lainnya (Muladno 2002). Pada suhu 72°C terjadi pemanjangan primer sehingga menjadi molekul DNA baru (tahap extension). Tahapan tersebut berlangsung secara berulang-ulang sampai jumlah siklus selesai (Muladno 2002). Perubahan-perubahan suhu yang diperlukan difasilitasi oleh suatu mesin thermocycler. Pada penelitian ini digunakan kondisi PCR menurut rekomendasi dari produsen PCR kits (Fermentas). Suhu penempelan primer dilakukan pada suhu optimal penempelan primer gen ldhD yaitu 60°C. Template (cetakan DNA) yang digunakan pada saat PCR berasal dari koloni kandidat fusant. Campuran reaksi PCR digunakan 10 µl per sampel dengan komposisi tercantum pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi reaksi PCR (untuk 50 µl campuran reaksi) Komposisi dalam reaksi PCR Bufer Taq DNA polymerase 10x Larutan dNTP mix 10 mM Larutan MgCl2 25 mM Taq DNA polymerase Primer forward 100 µM Primer reverse 100 µM DdH20 Volume total
Konsentrasi akhir 1x
Volume yang ditambahkan (µl) 5.00
0.2 Mm 2 mM 1.25 u/50 µl 2 µM 2 µM -
5.00 4.00 0.25 2.50 2.50 30.75 50.00
Sebanyak 10 µl campuran reaksi dimasukkan ke dalam eppendorf tube (ukuran 50 µl), lalu di-spin down sampai seluruh larutan terbawa ke dasar
17
tube. Koloni ditusuk dengan tip lalu dicelupkan ke dalam tube. Tube kemudian divorteks sampai homogen dan di-spin down selama ± 30 detik sehingga semua larutan terkumpul di dasar tabung. Tube kemudian diletakkan ke dalam mesin PCR (thermocycler) dengan kondisi sebagai berikut: Tabel 4 Kondisi reaksi PCR untuk gen ldhD Kondisi reaksi PCR Denaturasi awal (initial denaturation) Denaturasi (denaturation) Penempelan primer (primer annealing) Pemanjangan (extending) Pemanjangan akhir (final extending) Sebanyak 35 siklus
Suhu (ºC) 94 94 60 72 72
Waktu 2 menit 30 detik 30 detik 1 menit 7 menit
Hasil penggandaan molekul DNA (produk PCR) selanjutnya diamati dengan proses elektroforesis. Elektroforesis digunakan untuk memisahkan DNA berdasarkan ukurannya. DNA bermuatan negatif akan bergerak ke arah kutub positif pada saat dilakukan elektroforesis (Muladno 2002). Pergerakan DNA ini dipengaruhi oleh ukuran dari DNA tersebut, dimana DNA yang berukuran kecil (pasang basa sedikit) akan bergerak lebih cepat daripada DNA yang berukuran lebih besar, sehingga DNA yang berukuran kecil akan berada pada tempat yang paling jauh dari sumur (well) tempat awal sampel dimasukkan. Elektroforesis memerlukan gel padat sebagai medium pergerakan fragmen DNA. Dalam penelitian ini, jenis gel yang digunakan adalah gel agarosa. Gel agarosa yang telah padat diletakkan ke dalam tangki elektroforesis lalu larutan bufer TBE (Tris-Borat-EDTA) dituang sampai seluruh gel terendam. Pembuatan bufer TBE dan gel agarosa tercantum di Lampiran 2. Pada saat dimasukkan ke dalam sumur pada gel, DNA memerlukan pemberat supaya tidak ikut hanyut bersama bufer TBE. Pemberat yang digunakan adalah bufer loading dye. Prosedur elektroforesis dimulai dengan mencampur 5 µl produk PCR dengan 1 µl bufer loading dye. Selanjutnya dibuat larutan penanda (marker) yang terdiri dari 1 µl bufer loading dye, 1 µl
18
gene ruler 1 kb DNA ladder marker dan 4 µl akuades. Campuran sampel dan penanda dimasukkan ke dalam sumur pada gel secara perlahan dengan menggunakan
mikropipet.
Tangki
elektroforesis
ditutup
kemudian
dihubungkan dengan arus listrik pada tegangan 100 volt selama 30 menit. Tahap selanjutnya adalah pewarnaan gel dengan etidium bromida (Et-Br). Pewarnaan gel dilakukan dengan cara merendam gel ke dalam air yang mengandung Et-Br (0.1 µl/ml) selama 30-45 menit pada suhu ruang. Kemudian gel dibilas dengan air untuk menghilangkan sisa Et-Br yang ada di permukaan gel. Et-Br yang menyisip pada DNA akan menimbulkan fragmen DNA terfluoresensi saat disinari dengan sinar ultra violet. Hasil flouresensi pita-pita (bands) difoto menggunakan kamera digital. Penentuan ukuran masing-masing fragmen DNA dapat dilakukan dengan bantuan marker (penanda). Marker dielektroforesis bersamaan dengan sampel. Marker akan terpisah menjadi beberapa fragmen dan berdasarkan posisinya telah diketahui ukuran dari masing-masing fragmen. Ukuran
fragmen
DNA
yang
dianalisis
dapat
ditentukan
dengan
membandingkan posisi fragmen DNA dengan marker. Penelitian ini menggunakan teknik PCR untuk menyeleksi fusant yang hanya menghasilkan L-lactic acid. Pita (band) yang tampak pada gel ditentukan ukurannya berdasarkan ketentuan berikut:
Gambar 9 Ukuran pita-pita penanda (marker) pada gene ruler 1 kb DNA ladder marker (Anonim 2009b).
19
Pewarnaan gel dengan Et-Br memerlukan prinsip kehati-hatian karena
Et-Br bersifat karsinogenik (Muladno 2002) dan sinar ultra violet bersifat mutagenik. Kandidat fusant yang menunjukkan hasil negatif pada saat dielektroforesis selanjutnya disimpan pada suhu – 20ºC dalam bentuk stok gliserol. Prosedur pembuatan stok gliserol tercantum tercantum pada Lampiran 3.
f. Pemurnian Bakteri hasil fusi (kandidat fusant) masih berupa populasi campuran. Pemisahan biakan murni (biakan yang berasal dari pembelahan sel tunggal) dapat dilakukan menggunakan metode cawan gores atau metode cawan tuang (Hadioetomo 1993). Pada penelitian ini digunakan metode cawan gores untuk memisahkan kandidat fusant dari populasi campuran. Cara penggoresan tercantum pada Gambar 10.
Gambar 10 Cara penggoresan pada media seleksi. Media yang digunakan untuk pemurnian adalah media seleksi (media
LB-xilosa-CaCO3). Penggoresan dilakukan menggunakan ose sebanyak 4 kali goresan setiap cawan. Penggoresan dimulai pada tanda A dan diakhiri pada tanda B (Gambar 10). Koloni yang terpisah dianggap sebagai koloni yang berasal dari pembelahan sel tunggal. Koloni yang diisolasi adalah koloni yang tumbuh terpisah dan menghasilkan zona bening bening di sekeliling koloni. Koloni yang terpilih kemudian diuji keberadaan gen ldhD menggunakan teknik PCR. Dalam penelitian ini dilakukan tiga kali proses pemurnian.
20
3. Pengukuran Produktivitas Asam Laktat Stok gliserol kandidat fusant dibiakkan pada media MRSB dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Penggunaan MRSB bertujuan supaya fermentasi hanya menghasilkan produk utama asam laktat (homofermentatif). spektrofotometer
Kultur dengan
diukur
panjang
absorbansinya
gelombang
menggunakan
pengukuran
600
nm.
Pengukuran absorbansi (optical density/ OD) ini dimaksudkan untuk melihat pertumbuhan sel bakteri. Prosedur pengukuran absorbansi sampel adalah sebagai berikut: sebanyak 0.5 ml kultur diencerkan menggunakan akuades hingga diperoleh pengenceran 10 x (0.5 ml kultur + 4.5 ml akuades). Pengenceran dilakukan karena sampel cukup tinggi kerapatan selnya. Kemudian, sampel diukur absorbansinya dan diplotkan pada kurva. Blanko yang digunakan
adalah MRSB yang diencerkan pada pengenceran yang
sama. Absorbansi (OD) sampel dihitung dengan cara: OD = (ODterukur – OD blanko) x FP FP = Faktor pengenceran (10) Titrasi digunakan untuk menduga produktivitas asam laktat. Kultur yang akan dititrasi dipisahkan dari selnya dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit pada suhu 25oC. Filtrat yang terpisah dari padatan kemudian diencerkan menggunakan akuades sehingga diperoleh pengenceran 20 kali (0.5 ml filtrat + 9.5 ml akuades). Titrasi dilakukan menggunakan titran NaOH 0.1 N yang telah distandardisasi menggunakan asam oksalat 0.1 N. Indikator yang digunakan adalah fenoftalin 1% sebanyak 2-3 tetes per sampel. Titik akhir titrasi adalah saat terbentuk warna merah muda permanen dan titrasi dilakukan secara triplo. NaOH merupakan senyawa yang bersifat mudah berinteraksi dengan CO2 dari udara sehingga konsentrasinya mudah berubah-ubah. Penentuan konsentrasi sebenarnya dari NaOH (standardisasi) dilakukan dengan cara melakukan titrasi NaOH menggunakan asam oksalat ((COOH)2). Asam oksalat 0.1 N sebanyak 10 ml dititrasi menggunakan NaOH 0.1 N. Warna merah muda pertama yang stabil merupakan titik akhir titrasi.
21
Konsentrasi NaOH terstandardisasi (NNaOH) dihitung dari rumus: =
2(V(COOH)2) x (N(COOH)2) VNaOH
Keterangan: V(COOH)2 = volume asam oksalat (titrat) (ml) VNaOH
= volume NaOH (titran) (ml)
N(COOH)2 = normalitas (konsentrasi) asam oksalat (N) NNaOH
= normalitas (konsentrasi) NaOH (N)
Hasil standardisasi NaOH digunakan pada saat perhitungan total asam tertitrasi (TAT) yang dihasilkan fusant. Cara perhitungan total asam tertitrasi (Fardiaz 1987) yang dihasilkan adalah sebagai berikut: TAT = (VNaOH x NNaOH x 90 x FP)/Vsampel Keterangan : TAT
= total asam tertitrasi (g/l)
V NaOH = volume NaOH (ml) NNaOH = normalitas NaOH (N) FP
= faktor pengenceran (20)
Hasil perhitungan TAT diplotkan ke dalam kurva total asam tertitrasi (TAT).
22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Optimasi Waktu Inkubasi Pembentukan Protoplas Protoplas merupakan sel yang telah dihilangkan dinding selnya dengan bantuan enzim litik (Verma et al. 2008). Protoplas mengandung semua organel intraseluler dari suatu sel dan membentuk jaringan penting dalam pertukaran mikromolekul antara organel-organel sitoplasma (Evans 1983). Protoplas mudah pecah karena hanya dilindungi oleh membran dalam yang rapuh (Gambar 11). Protoplas dapat rusak oleh perbedaan tekanan osmotik dengan lingkungan dan adanya pengocokan. Sifat yang demikian digunakan sebagai dasar penentuan optimasi pembentukan protoplas.
Gambar 11 Dinding sel bakteri positif (Anonim 2009a). Pembentukan protoplas memerlukan enzim litik yang bersifat spesifik. Lisozim merupakan salah satu enzim yang dapat digunakan untuk membentuk protoplas. Enzim ini memiliki sifat antibakteri dan terdapat dalam putih telur dan air mata (Nelson & Cox 2004) serta dapat dihasilkan oleh sebagian besar hewan dan beberapa jenis bakteri. Rangka dasar dinding sel bakteri adalah murein (peptidoglikan). Murein tersusun dari N-asetil glukosamin dan N-asetil asam muramat yang terikat melalui ikatan 1,4-glikosida (Sumarsih 2003). Lisozim akan merusak ikatan antara N-asetilglukosamin dan N-asetil asam muramat dalam murein
23
(Gambar 12), sehingga lisozim dapat merombak murein dalam dinding sel (Nelson & Cox 2004).
Gambar 12 Reaksi hidrolitik lisozim terhadap komponen dinding sel bakteri (N-asetilglukosamin (GlcNAc) dan N-asetil asam muramat (Mur2Ac)) (Nelson & Cox 2004). Protoplas memiliki sifat yang mudah pecah akibat perbedaan tekanan osmotik dan aktifitas fisik lain seperti pengocokan. Setelah diinkubasi, protoplas dan sel yang masih utuh diencerkan di air yang memiliki tekanan osmotik lebih rendah. Dalam kondisi ini, air akan masuk di dalam sitoplasma dan menyebabkan protoplas mengalami lisis, sementara sel yang utuh tidak terpengaruh. Hasil pengenceran kemudian disebar ke media MRSA. Sel yang utuh dapat tumbuh di media (Lee-Wickner & Chassy 1984) sedangkan protoplas tidak dapat tumbuh. 1.
Waktu Optimal Pembentukan Protoplas L. pentosus Penentuan waktu optimal pembentukan protoplas L. pentosus dilakukan dengan menggunakan konsentrasi lisozim 100 000 U/ml LPB (Lactobacillus Protoplast Buffer). Waktu inkubasi yang digunakan berkisar antara 0 jam sampai 6 jam dan menggunakan suhu 37ºC. Pengamatan jam ke 0 digunakan untuk mengetahui jumlah awal sel sebelum diperlakukan dengan larutan lisozim (untuk perlakuan sampel) dan jumlah awal sel sebelum diperlakukan dengan LPB (untuk perlakuan kontrol). Data perhitungan jumlah koloni tiap
24
cawan dan hasil perhitungan jumlah mikroba tercantum pada Lampiran 4. Jumlah koloni dicantumkan ke dalam tabel dalam satuan colony forming unit/ ml (CFU/ml).
Gambar 13 Perbandingan logaritmik jumlah koloni antara perlakuan sampel dan kontrol pada L. pentosus pada berbagai waktu inkubasi. Gambar 13 menunjukkan bahwa baik sampel maupun kontrol akan mengalami penurunan jumlah koloni setelah diinkubasi. Meskipun tanpa penambahan lisozim, bakteri akan mengalami penurunan jumlah sel akibat kekurangan nutrisi. Larutan LPB (Lactobacillus Protoplast Buffer) tidak menyediakan nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan bakteri. Fungsi utama dari larutan ini adalah untuk menjaga supaya protoplas yang terbentuk tidak lisis (pecah) akibat perbedaan tekanan osmotik dengan lingkungan. Penurunan jumlah koloni pada perlakuan sampel terutama terjadi pada waktu inkubasi antara 0 sampai 4 jam, sedangkan pada waktu inkubasi antara 4 sampai 6 jam gradien kurva mendekati horisontal. Selama waktu inkubasi 0 sampai 4 jam, penurunan jumlah koloni perlakuan sampel mencapai lebih dari satu log CFU (Colony Forming Unit) dibandingkan dengan jumlah awal sel. Pada perlakuan kontrol, gradien penurunan jumlah koloni pada semua selang waktu inkubasi hampir seragam.
25
Nilai efisiensi yang tinggi menunjukkan bahwa kemungkinan protoplas yang terbentuk semakin banyak. Berdasarkan pengamatan pada kontrol, waktu inkubasi yang semakin lama menyebabkan kematian sel pada perlakuan kontrol meningkat, sehingga nilai efisiensi menurun (Tabel 5). Tabel 5 Hasil perhitungan efisiensi pembentukan protoplas L. pentosus Jumlah koloni (CFU/ml) Waktu Sampel (dengan Kontrol (tanpa inkubasi penambahan penambahan lisozim (jam) 100 000 U/ml) lisozim) 8 0 6.3x10 2.4x109 2 1.2x108 1.7x109 4 3.0x107 8.7x108 6 3.0x107 5.4x108
Efisiensi (%) 0.00 52.44 31.17 17.27
Pembentukan protoplas terbaik diperoleh pada inkubasi jam ke 2. Namun, nilai efisiensi pada jam ke 2 masih cukup rendah yakni sebesar 52.44%. Oleh karena itu, pembentukan protoplas L. pentosus perlu menggunakan konsentrasi lisozim yang lebih tinggi dari 100 000 U/ml LPB atau mengkombinasikan penggunaan lisozim dengan enzim litik lain. Beberapa penelitian dilaporkan menggunakan enzim mutanolisin sebagai tambahan di samping lisozim untuk meningkatkan efisiensi tersebut (Yu et al. 2008; John et al. 2008). 2. Waktu Optimal Pembentukan Protoplas L. rhamnosus Penentuan waktu inkubasi optimal pada L. rhamnosus dilakukan antara 0 jam sampai 4 jam. Konsentrasi lisozim yang digunakan 2 kali lebih tinggi daripada konsentrasi lisozim yang digunakan pada L. pentosus, yakni 200 000 U/ml. Penggunaan konsentrasi yang lebih tinggi diambil karena berdasarkan percobaan optimasi yang dilakukan pada L. pentosus, konsentrasi lisozim 100 000 U/ml masih memberikan nilai efisiensi yang rendah. Data pengamatan jumlah koloni pada saat tahap pembentukan protoplas L. rhamnosus tercantum pada Lampiran 5 sedangkan hasil perhitungan jumlah mikroba diplotkan ke dalam Gambar 14. Perlakuan sampel dan
26
kontrol setelah diinkubasi sama-sama mengalami penurunan, dimana gradien penurunan jumlah koloni pada perlakuan sampel lebih besar daripada perlakuan kontrol. Penurunan jumlah koloni pada perlakuan sampel terutama terjadi pada waktu inkubasi antara 0 sampai 2 jam, yakni sekitar satu log CFU (Colony Forming Unit). Pada selang waktu tersebut, diperkirakan lisozim mulai bekerja merusak dinding sel bakteri sehingga kematian sel meningkat drastis. Pada perlakuan kontrol, gradien penurunan koloni hampir seragam baik pada waktu inkubasi 0 sampai 2 jam maupun pada waktu inkubasi antara 2 sampai 4 jam.
Gambar 14 Perbandingan logaritmik jumlah koloni antara perlakuan sampel dan kontrol pada L. rhamnosus pada berbagai waktu inkubasi. Hasil perhitungan efisiensi dan kematian sel ditunjukkan pada Tabel 6. Efisiensi pembentukan protoplas terbaik diperoleh pada waktu inkubasi 2 jam. Waktu inkubasi selama 2 jam memiliki nilai efisiensi pembentukan protoplas yang cukup tinggi yakni sebesar 69.51%. Pada waktu inkubasi tersebut, kematian sel karena kekurangan nutrisi cukup rendah, sehingga untuk pembentukan protoplas L. rhamnosus digunakan konsentrasi lisozim 200 000 U/ml dan waktu inkubasi 2 jam. Waktu inkubasi yang melebihi 2 jam menyebabkan terjadinya penurunan efisiensi pembentukan protoplas. Hal ini terjadi karena setelah 2 jam perlakuan, sel mulai kekurangan nutrisi.
27
Tabel 6 Hasil perhitungan efisiensi pembentukan protoplas L. rhamnosus Waktu inkubasi (jam) 0 2 4
Jumlah koloni (CFU/ml) Sampel (dengan Kontrol(tanpa penambahan lisozim penambahan 200 000 U/ml) lisozim) 9 3.3x10 7.2x108 2.5x109 5.6x108 2.7x108 2.5x108
Efisiensi (%) 0.00 69.51 26.19
Efisiensi pembentukan protoplas merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan teknik genome shuffling. Umur protoplas yang pendek, dimana pada jam ke 4 efisiensinya menurun drastis, menyebabkan diperlukannya waktu yang singkat dalam proses pembentukan protoplas. B. Genome Shuffling Genome shuffling merupakan teknik rekayasa genetika yang melibatkan penggabungan antar protoplas (fusi protoplas). Mekanisme terjadinya fusi antar protoplas dijelaskan oleh Verma et al. (1983). Protoplas-protoplas yang berdekatan menyebabkan terjadinya perubahan secara induksi dari potensial elektrostatik membran sehingga mengakibatkan fusi. Setelah fusi, stabilitas membran dan tegangan permukaan kembali ke keadaan semula. Ketika protoplas-protoplas menempel lebih dekat, fusagen eksternal menyebabkan gangguan di protein dan glikoprotein intra membran. Hal ini meningkatkan kekentalan dan menciptakan wilayah dimana molekul lipid yang saling bergabung menimbulkan penggabungan membran-membran yang berdekatan. Muatan negatif dibawa oleh protoplas dikarenakan terdapat gugus fosfat intramembran. Polimer dengan berat molekul tinggi (1000-6000) dari PEG (Poly Ethylene Glycol) bertindak sebagai jembatan molekul penghubung protoplas-protoplas. Ion kalsium berikatan dengan muatan negatif PEG dan permukaan membran. PEG menyebabkan tegangan permukaan terganggu sehingga kontak intramembran terganggu dan selanjutnya terjadi fusi. Di samping itu, afinitas kuat PEG dengan air bisa menyebabkan dehidrasi lokal membran dan meningkatkan fluiditas, hal ini menginduksi fusi. Fusi protoplas
28
terjadi ketika jarak molekul antar protoplas 10 Å atau kurang. Ini mengindikasikan bahwa fusi protoplas adalah kejadian traumatik yang tinggi (Jogdand
2001; Narayanswamy 1994).
Pada umumnya, fusi protoplas
dilakukan pada bakteri gram positif. Bakteri gram negatif dapat dibentuk menjadi protoplas namun belum ditemukan metode yang tepat untuk melakukan regenerasi protoplas (Iwata et al. 1986; Jogdand 2001). Perubahan bentuk sel menjadi protoplas dapat dilihat menggunakan mikroskop elektron. Bakteri akan berubah bentuk menjadi bulat karena dinding sel yang berfungsi memberi bentuk sel telah dihilangkan. Bakteri Lactobacillus sp. akan berubah bentuk dari batang menjadi bulat saat pembentukan protoplas (Gambar 15).
Gambar 15 Penampakan sel (A) dan protoplas (B) Lactobacillus sp dengan mikroskop elektron (36 700 x) (Lee-Wickner dan Chassy 1984). Bakteri-bakteri baru yang terfusi satu sama lain disebut sebagai fusant. Proses penggabungan (fusi) antar protoplas bakteri terjadi secara acak. Pada penelitian ini, fusi protoplas yang mungkin terjadi adalah fusi antara L. pentosus dengan L. rhamnosus, fusi antar L. pentosus dan fusi antar L. rhamnosus. Fusant yang diharapkan adalah fusant hasil fusi antara L. pentosus dengan L. rhamnosus. Fusi secara acak juga terjadi pada tingkat genom. Kombinasi pada tingkat genom akan menimbulkan perbedaan karakteristik masing-masing fusant. Kesulitan dalam penelitian ini adalah proses penyeleksian (screening) fusant karena hasil fusi yang terjadi menciptakan kombinasi genetik dengan keragaman yang sangat tinggi. Sementara itu, di tingkat genotip, kedua bakteri yang digunakan memiliki banyak kemiripan karena sama – sama satu genus, Lactobacillus. Oleh karena 29
itu, berbasis pada perbedaan di tingkat genetiknya, pada penelitian ini dilakukan 2 tahap penyeleksian fusant yakni menggunakan media seleksi untuk memilih fusant yang mampu menfermentasi xilosa dan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) dengan primer gen ldhD untuk memilih fusant yang tidak menghasilkan D-lactic acid. 1. Kandidat Fusant Terpilih dengan Media Seleksi Media regenerasi digunakan setelah fusi protoplas terjadi. Media ini mempunyai peranan penting dalam menstimulir pembentukan kembali dinding sel pada fusant. Setelah diinkubasi selama 6 jam, kultur hasil fusi lalu ditumbuhkan di media seleksi. Media seleksi merupakan media pertumbuhan yang mengandung xilosa sebagai substrat dan CaCO3 sebagai indikator seleksi. Kandidat fusant yang bisa menggunakan xilosa mampu tumbuh pada media ini. Koloni yang tumbuh di media seleksi dibedakan menjadi 2 yaitu yang mampu membentuk zona bening dan yang tidak dapat membentuk zona bening. Koloni yang tidak dapat membentuk zona bening merupakan koloni yang tidak mampu mengkonversi xilosa menjadi asam laktat. Koloni yang terpilih adalah koloni yang mampu membentuk zona bening. Kalsium karbonat (CaCO3) sebagai indikator seleksi menyebabkan warna media pertumbuhan menjadi putih keruh. Asam laktat yang dihasilkan kandidat fusant akan melarutkan CaCO3 menjadi H2CO3 sehingga warna media berubah menjadi bening. Hal inilah yang menyebabkan koloni yang mampu memproduksi asam laktat akan membentuk zona bening . Pengenceran 10-4 menghasilkan pertumbuhan koloni yang sangat rapat sehingga hampir tidak dapat dibedakan koloni yang mempunyai zona bening maupun yang tidak mempunyai zona bening (Gambar 16) sehingga menyulitkan pemilihan koloni. Pada pengenceran 10-5, masing-masing koloni telah terpisah dengan baik sehingga lebih mudah untuk diambil. Contoh koloni dengan zona bening ditunjukkan oleh lingkaran bertanda A dan contoh koloni tanpa zona bening ditunjukkan oleh lingkaran bertanda B (Gambar 16).
30
Gambar 16 Pertumbuhan kandidat fusant pada media seleksi dengan pengenceran 10-4 dan 10-5 (Keterangan: koloni dengan zona bening (A), koloni tanpa zona bening (B)). Hasil perhitungan koloni dengan zona bening pada pengenceran 10-4 diperoleh lebih dari 300 sedangkan pada pengenceran 10-5 sebanyak 235 koloni. Kandidat fusant yang digunakan untuk tahap seleksi selanjutnya adalah koloni-koloni yang membentuk zona bening dari cawan dengan pengenceran 10-5. 2. Kandidat Fusant Terpilih dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) Enzim lactate dehydrogenase (ldh) merupakan enzim yang berperan dalam proses reduksi piruvat menjadi laktat (Gambar 17). Pada reaksi ini, ikatan rangkap atom karbon (C) dari piruvat berubah menjadi ikatan tunggal dan mengikat 2 atom hidrogen (H).
ldh
Gambar 17 Reaksi perubahan piruvat menjadi laktat yang dikatalis oleh enzim lactate dehydrogenase (ldh) (Nelson & Cox 2004).
31
Enzim lactate dehydrogenase dibedakan menjadi dua, yaitu L-lactate dehydrogenase (berperan dalam pembentukan L-lactic acid) dan D-lactate dehydrogenase (berperan dalam pembentukan D-lactic acid). Pada penelitian ini, kandidat fusant yang diharapkan adalah yang tidak mempunyai enzim D-lactate dehydrogenase. Kemampuan kandidat fusant dalam memproduksi enzim D-lactate dehydrogenase dapat diketahui dari keberadaan gen penyandi enzim tersebut. Kandidat fusant yang tidak memiliki fragmen gen ldhD merupakan bakteri yang
tidak
menghasilkan
enzim
D-lactate
dehydrogenase
(D-ldh).
Singh et al. (2006) melaporkan bahwa hasil negatif pada pengujian keberadaan D-ldh di Lactobacillus helveticus dikarenakan bakteri ini hanya memproduksi L-lactic acid. Pengecekkan keberadaan gen ldhD dapat dilakukan menggunakan bantuan teknik polymerase chain reaction (PCR). Hasil pengecekkan gen ldhD pada kandidat fusant ditampilkan pada Gambar 18 dan 19 serta dirangkum di Tabel 7.
Gambar 18 Hasil elektroforesis produk PCR gen ldhD untuk pengenceran 10-4 (Keterangan : M = marker, 1-39 = nomor koloni kandidat fusant, CF = kontrol fusant, CG = kontrol PCR). 32
Gambar 19 Hasil elektroforesis produk PCR gen ldhD untuk pengenceran 10-5 (Keterangan : M = marker, 1-44 = nomor koloni kandidat fusant, CF = kontrol fusant, CG = kontrol PCR). Kandidat fusant yang tidak mempunyai gen ldhD ditunjukkan oleh ketiadaan band dengan ukuran 1008 pasang basa (pb) pada saat elektroforesis (Gambar 18 dan 19). 19). Pada penelitian ini digunakan kontrol PCR (CG) dan kontrol fusant (CF) untuk mengecek keberhasilan teknik PCR. Kontrol PCR menggunakan template (cetakan DNA) dari genom yang telah terbukti positif gen ldhD sedangkan kontrol fusant menggunakan template dari koloni L. pentosus. Proses PCR dianggap berhasil jika terdapat band pada kontrol PCR dan/ atau kontrol fusant. Pada pengujian keberadaan gen ldhD, tidak semua koloni pembentuk zona bening yang diuji. Pada tahap ini, hanya koloni yang memiliki diameter zona bening cukup besar yang diambil. Tabel 7 menunjukkan bahwa kandidat fusant yang negatif gen ldhD
untuk pengenceran 10-4 adalah koloni nomor 5, 9, 14, 17, 31, 38, dan 40 sedangkan untuk pengenceran 10-5 adalah koloni nomor 16, 17, 21, 22, 23,
31, 38, dan 44. Beberapa koloni yang diuji menunjukkan hasil positif gen ldhD dan hanya sedikit koloni yang negatif gen ldhD. 33
Tabel 7 Hasil pengecekkan gen ldhD pada kandidat fusant dari cawan dengan pengenceran 10-4 dan 10-5 Nomor koloni 1 2 3 4 5
Faktor pengenceran 10-4 10-5 Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Negatif Positif
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Positif Positif Positif Negatif Positif Positif Positif Positif Negatif Positif Positif Negatif Positif Positif Positif Positif Positif
Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Negatif Negatif Positif Positif Positif Negatif Negatif
Nomor koloni 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Faktor Pengenceran 10-4 10-5 Positif Negatif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Negatif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif
Positif Positif Positif Negatif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Negatif Positif Positif Positif Positif Positif Negatif
Fusant yang menunjukkan negatif gen ldhD kemudian dimurnikan dengan cara di-streak (digores) ke media seleksi (LB-xilosa-CaCO3). Pemurnian dimaksudkan untuk mengisolasi koloni yang berasal dari sel tunggal. Genome shuffling memungkinkan beberapa sel yang berdekatan membentuk satu koloni atau koloni yang terpisah dari koloni lain belum tentu berasal dari sel yang tunggal. Kandidat fusant terpilih untuk dimurnikan adalah koloni nomor 17 dari pengenceran 10-5. Koloni dari pengenceran yang lebih tinggi (10-5) memiliki tingkat kemurnian yang lebih tinggi sehingga diharapkan memerlukan waktu pemurnian yang lebih singkat. Untuk selanjutnya, hasil pemurnian dari koloni nomor 17 hasil pengenceran 10-5 disebut sebagai kelompok koloni 10-5-17. Koloni yang terpisah dan menunjukkan adanya zona bening dicek keberadaan gen ldhD menggunakan metode PCR koloni. Lalu koloni tersebut ditumbuhkan ke dalam media MRSA dan diberi nomor. Koloni yang berhasil
34
diisolasi sebanyak 31 koloni. Hasil pengecekkan gen ldhD kandidat fusant hasil pemurnian pertama (105-17) ditampilkan pada Gambar 20 dan dirangkum di Tabel 8.
Gambar 20 Hasil elektroforesis produk PCR gen ldhD pada kandidat fusant hasil pemurnian pertama koloni nomor 17 dari pengenceran 10-5 (kelompok koloni 10-5-17) (Keterangan : M = marker, 1-31 = nomor koloni kandidat fusant, CF = kontrol fusant, CG = kontrol PCR). Tabel 8 Hasil pengecekkan gen ldhD pada kandidat fusant hasil pemurnian pertama koloni nomor 17 dari pengenceran 10-5 (kelompok koloni 10-5-17) Nomor koloni 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Hasil pengecekkan Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Positif Positif Negatif Negatif
Nomor koloni 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Hasil pengecekkan Positif Negatif Negatif Positif Positif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif
Pada pengecekan hasil pemurnian pertama (Tabel 8) diperoleh bahwa nomor koloni 6, 7, 12, 13, 14, 17, 20, 21, 24, dan 28 memiliki fragmen gen
35
ldhD. Pemurnian kembali dilakukan sampai semua koloni menunjukkan hasil negatif gen ldhD. Nomor koloni yang terpilih untuk dimurnikan kembali adalah koloni nomor 1. Hasil pemurnian dari koloni nomor 1 (hasil pemurnian pertama koloni nomor 17 dari pengenceran 10-5) selanjutnya disebut sebagai kelompok koloni 10-5-17-1. Hasil pemurnian tercantum pada Gambar 21 dan hasil penomoran koloni tercantum pada Gambar 22.
Gambar 21 Hasil pemurnian dari koloni nomor 17 (pemurnian I) dan koloni nomor 1 (pemurnian II) dari pengenceran 10-5 (kelompok koloni 10-5-17-1) (Keterangan: koloni dengan zona bening (lingkaran berwarna biru)).
Gambar 22 Penomoran koloni hasil pemurnian dari koloni nomor 17 (pemurnian I) dan koloni nomor 1 (pemurnian II) dari pengenceran 10-5 (kelompok koloni 10-5-17-1).
36
Hasil pemurnian kelompok koloni 10-5-17-1 dipilih koloni yang memiliki zona bening. Koloni ini kemudian dicek keberadaan gen ldhD menggunakan PCR. Semua koloni yang diuji menunjukkan hasil negatif gen ldhD (Gambar 23). Hasil ini memberi perkiraan bahwa semua koloni yang diuji tidak memiliki D-lactate dehydrogenase yang berarti bahwa koloni-koloni tersebut tidak menghasilkan D-lactic acid. Pemurnian ketiga dianggap sudah cukup untuk mengisolasi koloni yang berasal dari pembelahan sel tunggal.
Gambar 23 Hasil elektroforesis produk PCR dari koloni nomor 17 (pemurnian I) dan koloni nomor 1 (pemurnian II) dari pengenceran 10-5 (kelompok koloni 10-5-17-1) (Keterangan : M = marker, 1-21 = nomor koloni kandidat fusant, CF = kontrol fusant, CG = kontrol PCR). Setelah diperoleh koloni murni, tahap selanjutnya adalah pengecekkan produktivitas asam laktat fusant. 3. Produktivitas Asam Laktat Fusant Produktivitas asam laktat dihitung dari banyaknya asam laktat yang dihasilkan pada waktu fermentasi 24 jam. Asam laktat dihitung menggunakan prinsip alkalimetri yaitu titrasi menggunakan basa kuat seperti NaOH sebagai titran. Penentuan titik akhir titrasi didasarkan pada terbentuknya warna merah muda yang permanen pada titrat (sampel). Indikator yang digunakan adalah fenoftalin yang akan berubah warna dari tidak berwarna menjadi merah muda pada pH basa yakni pada kisaran 8-9.6 (Day & Underwood 2002).
37
Basa natrium hidroksida (NaOH) merupakan zat yang bersifat higroskopis dan mudah berikatan dengan CO2 dari udara dan membentuk
Na2CO3. Sifat yang demikian menyebabkan NaOH tidak bisa digunakan sebagai bahan baku primer dalam proses titrasi. Normalitas yang tidak stabil ini mengharuskan adanya standardisasi NaOH (Harjadi 1993). Bahan baku primer yang biasa biasa digunakan untuk standardisasi NaOH adalah asam oksalat ((COOH)2·2H2O). Reaksi standardisasi NaOH oleh asam oksalat adalah sebagai berikut: NaOH + COOH-COOH ↔ H2O + COOH-COONa NaOH + COONa
↔ H2O + COONa-COONa
Titrasi merupakan salah satu metode yang mudah mudah untuk memperkirakan kadar asam laktat yang dihasilkan oleh fusant. Total asam tertitrasi (TAT) dihitung sebagai asam laktat yang dihasilkan fusant. TAT menunjukkan produktivitas asam laktat fusant dan pada penelitian ini pengukuran TAT
fusant dilakukan secara titrimetri. Data perhitungan TAT tercantum di Lampiran 6 sedangkan hasil produksi asam laktat hasil fermentasi selama 24 jam pada fusant (kelompok
koloni 10-5-17-1) adalah sebagai berikut:
Gambar 24 Perbandingan total asam tertitrasi (TAT) pada fusant ( ), L. rhamnosus ( ) dan L. pentosus ( ). 38
Pada Gambar 24 dapat dilihat bahwa masing-masing nomor koloni mempunyai kisaran produksi asam laktat yang beragam. Blanko yang digunakan adalah MRSB yang telah diencerkan pada faktor pengenceran yang sama. Lactobacillus pentosus dan Lactobacillus rhamnosus
yang
merupakan induk dari fusant digunakan sebagai kontrol. L. pentosus menghasilkan total asam tertitrasi (TAT) yang lebih tinggi daripada L. rhamnosus. Beberapa fusant menghasilkan TAT yang lebih tinggi dari L. pentosus, yakni fusant dengan nomor 1, 5, 6, 10, 13, dan 15 Tingginya nilai TAT fusant belum tentu menunjukkan bahwa fusant memiliki produktivitas yang tinggi. Produktivitas fusant dianggap tinggi jika kecepatan produksi asam laktat lebih tinggi daripada kecepatan pembelahan sel. Jumlah sel dalam kultur sebanding dengan nilai optical density (OD) yang terukur menggunakan spektrofotometer. Spektrofotometer bekerja berdasarkan hukum Lambert-Beer dimana penurunan intensitas sinar yang menembus sampel berbanding lurus dengan ketebalan sampel dan konsentrasi dari analit (Harvey 2000) atau absorbansi sinar oleh suatu sampel berbanding lurus dengan konsentrasi sampel. Absorbansi tinggi menunjukkan bahwa kerapatan sel (optical density) pada sampel yang diamati cukup tinggi. Pada penelitian ini dilakukan pengenceran sampel yang diukur dengan faktor pengenceran
10x. Pengenceran dilakukan karena kerapatan sel yang tinggi
menyebabkan absorbansi yang terukur melebihi batas ukur alat (> 1.999). Genome shuffling menghasilkan reaksi rekombinasi yang sangat kompleks sehingga fusant yang dihasilkan kemungkinan besar memiliki karakter yang berbeda. Oleh karena itu, pemilihan (screening) fusant memerlukan metoda seleksi spesifik yakni yang bisa menfermentasi xilosa dan menghasilkan produk utama berupa L-lactic acid. Namun, terdapat kemungkinan adanya perbedaan yang lain seperti kecepatan pembelahan sel atau kecepatan metabolisme gula menjadi asam laktat. Oleh karena itu, pada penelitian ini dihitung perbandingan (rasio) antara kecepatan metabolisme asam laktat (total asam laktat yang dihasilkan) dengan kecepatan pertumbuhan sel (optical density). Grafik yang menghubungkan TAT, OD
39
dan rasio tercantum pada Gambar 25 sedangkan data hasil perhitungan tercantum pada Tabel 9.
Gambar 25 Rasio antara total asam tertitrasi (TAT) dengan optical density (OD) pada fusant. Tabel 9 Rasio antara total asam tertitrasi (TAT) dan optical density (OD) pada fusant Nomor Total asam Rasio Optical density koloni tertitrasi (g/l) (TAT/OD) 1 12.85 4.56 2.82 2 7.04 3.07 2.29 3 11.93 3.80 3.14 4 9.18 3.37 2.72 5 13.16 4.69 2.81 6 13.16 4.75 2.77 7 5.20 2.30 2.26 8 11.32 4.02 2.82 9 11.02 3.98 2.77 10 12.24 4.06 3.01 11 11.93 4.07 2.93 12 11.93 4.02 2.97 13 12.55 4.13 3.04 14 11.63 3.99 2.91 15 12.85 4.31 2.98 16 11.93 3.96 3.01 Rh 10.71 4.09 2.62 Po 11.93 5.59 2.13 40
Fusant yang memiliki rasio antara total asam tertitrasi dengan OD tinggi merupakan fusant yang paling prospektif untuk dikembangkan. Rasio yang tinggi berarti bakteri tersebut mampu menghasilkan asam laktat dalam jumlah tinggi meskipun dengan jumlah sel yang sedikit. Hasil perhitungan rasio menunjukkan bahwa semua fusant yang diuji kecuali nomor 2 dan 7 memiliki rasio di atas kontrol (L. pentosus dan L. rhamnosus) (Tabel 9). 4. Perbandingan L. rhamnosus, L. pentosus dan Fusant Bakteri asam laktat genus Lactobacillus dapat dibedakan menjadi 3 golongan utama (Hammes & Vogel 1995). Penggolongan ini berdasarkan pada metabolisme selama fermentasi. Grup A (homofermentatif obligat) menggunakan gula heksosa (> 85%) untuk difermentasi menghasilkan asam laktat melalui jalur Embden-Meyerhoff-Parnas (EMP). Organisme ini memiliki
enzim
fruktosa-1,6
bifosfat
aldolase
namun
kekurangan
fosfoketolase sehingga tidak dapat menfermentasi glukonat dan gula pentosa. Grup B (homofermentatif fakultatif) umumnya menggunakan gula heksosa untuk dikonversi menjadi asam laktat melalui jalur EMP. Organisme ini memiliki enzim aldolase dan fosfoketolase sekaligus sehingga tidak hanya dapat menfermentasi heksosa tetapi juga pentosa (dan seringkali glukonat). Keberadaan
glukosa akan menghambat sintesis enzim untuk jalur
fosfoglukonat. Grup C (heterofermentatif obligat) menggunakan gula heksosa untuk difermentasi menghasilkan asam laktat, etanol, asam asetat dan CO2 melalui jalur fosfoglukonat. Gula pentosa dapat masuk ke jalur metabolisme ini dan mungkin bisa difermentasikan. Lactobacillus rhamnosus dan Lactobacillus pentosus termasuk dalam grup B. Fusant yang merupakan penggabungan antara keduanya dapat dipastikan termasuk dalam grup ini.
Perbedaan antara L. rhamnosus dan
L. pentosus terletak pada kemampuan menfermentasi karbohidrat tertentu dan isomer asam laktat yang dihasilkan (Tabel 10). L. pentosus mampu menfermentasi glukosa, rafinosa, ribosa, sukrosa dan xilosa menghasilkan asam laktat (D- dan L-), sedangkan L. rhamnosus
tidak mampu
menfermentasi rafinosa dan xilosa.
41
Tabel 10 Perbandingan antara L. rhamnosus dan L. pentosus (Hammes & Vogel 1995) Karbohidrat yang mampu Isomer difermentasi Spesies asam laktat Glu Raf Rib Suk Xil Lactobacillus L + + + rhamnosus Lactobacillus D dan L + + + + + pentosus Keterangan : levo (L), dekstro (D), glukosa (Glu), rafinosa (Raf), sukrosa (Suk), xilosa (Xil) Fusant yang diharapkan adalah bakteri yang mampu menfermentasi xilosa dan menghasilkan produk utama berupa L-lactic acid. Berikut ini adalah perbandingan pertumbuhan L. rhamnosus, L. pentosus dan fusant pada media LB-xilosa-CaCO3 (media seleksi):
Gambar 26 Pertumbuhan L. rhamnosus, L. pentosus dan fusant pada media seleksi (Keterangan: koloni dengan zona bening (lingkaran biru)). Gambar
26
menunjukkan
bahwa
L.
rhamnosus
tidak
mampu
menfermentasikan xilosa. Media seleksi yang digunakan hanya mengandung xilosa sebagai satu-satunya sumber gula. Berbeda dengan L. rhamnosus, baik L. pentosus maupun fusant mampu menfermentasikan xilosa menjadi asam laktat. Hal ini dibuktikan dari munculnya zona bening (tanda lingkaran biru) di sekitar koloni yang tumbuh.
42
Gambar 27 menunjukkan perbedaan hasil pengujian keberadaan gen ldhD antara fusant dan L. rhamnosus dengan L. pentosus.
Gambar 27 Hasil elektroforesis produk PCR gen ldhD pada L. pentosus, L. rhamnosus dan fusant (Keterangan : pasang basa (pb), ukuran gen ldhD sebesar 1008 pb (tanda panah)). Gambar 27 menunjukkan bahwa hanya L. pentosus yang memiliki fragmen gen ldhD. Fusant menunjukkan hasil pengujian yang sama dengan L. rhamnosus, yakni tidak mempunyai gen ldhD. Penggunaan media seleksi dan metode PCR dengan gen ldhD membuktikan bahwa fusant memiliki gabungan sifat antara L. pentosus dan
L. rhamnosus, yakni
dalam
kemampuan menfermentasi xilosa seperti L. pentosus dan isomer asam laktat yang dihasilkan (L-lactic acid) seperti L. rhamnosus.
43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: 1) waktu inkubasi yang diperlukan untuk pembentukan protoplas dengan efisiensi tertinggi adalah 2 jam dan 2) fusant hasil genome shuffling yang diperoleh sebanyak 16 koloni. Efisiensi pembentukan protoplas tertinggi diperoleh pada waktu inkubasi selama 2 jam baik untuk Lactobacillus pentosus yang diberi perlakuan enzim lisozim dengan konsentrasi 5 mg/ml (100 000 U/ml) maupun untuk Lactobacillus rhamnosus yang diberi perlakuan enzim lisozim dengan konsentrasi 10 mg/ml (200 000 U/ml). Berdasarkan tahap seleksi menggunakan media seleksi dan metode PCR (Polymerase Chain Reaction), fusant hasil genome shuffling yang diperoleh sebanyak 16 koloni. Fusant tersebut memiliki kemampuan dalam menfermentasi xilosa menjadi L-lactic acid. B. Saran Penggunaan enzim lisozim sebagai enzim litik dalam proses pembentukan protoplas Lactobacillus pentosus belum mencapai efisiensi yang optimal. Peningkatan efisiensi pembentukan protoplas dapat dilakukan dengan mengkombinasikan penggunaan lisozim dengan enzim litik lain seperti mutanolisin. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh penggunaan
kombinasi
beberapa enzim terhadap efisiensi
pembentukan protoplas bakteri.
44
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009a. Cell wall bacteria. http://www.ncbi.gov.html. [4 Januari 2010]. Anonim. 2009b. Experiment I: Recombinant Plasmid and Protein Expression. http://bioenergy.asu.edu.html [22 November 2009]. Anonim. 2009c. Lactobacillus pentosus. http://www.louis-pasteur.or.jp.html. [22 November 2009]. Anonim. 2008. Lactobacillus [24 Februari 2009].
rhamnosus.
http://www.gutflora.org.html
Berg JM, Tymoczko JL, Stryer L. 2006. Biochemistry 5th Edition. WH Freeman, New York. Dai MH, Copley SD. 2004. Genome shuffling improves degradation of the anthropogenic pesticide pentachlorophenol by Sphingobium chlorophenolicum ATCC 39723. Appl Environ Microbiol 70:2391-2397. Day RA, Underwood AL. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif edisi ke 6. Sopyan I, penerjemah. Erlangga, Jakarta. Terjemahan dari: Quantitative Analysis. Evans DA. 1983. Agricultural application of protoplast fusion. Nature Biotechnology 1:253-261. Fardiaz S. 1987. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas IPB, Bogor. Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fessenden RJ, Fessenden JS. 1986. Kimia Organik. Pudjaatmaka AH, penerjemah. Erlangga, Jakarta. Terjemahan dari: Organic Chemistry. Gardner WH. 1981. Acidulants in Food Processing. Di dalam: Furia TE, editor. Handbook of Food Additives. CRC Press, Boca Raton. Global Industry Analysts. 2008. http://www.strategyr.com. html [18 Maret 2009]. Hammes WP, Vogel RF. 1995. The Genera of Lactic Acid Bacteria. Wood BJB, Hopzapfel WH: Editor. Blackie Academic and Professional, Glasgow. Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek: Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Harjadi W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Gramedia, Jakarta.
45
Harvey D. 2000. Modern Analytic Chemistry. McGraw Hill, Boston. Hida H, Yamada T, Yamada Y. 2007. Genome shuffling of Streptomyces sp. U121 for improved production of hidroxycitric acid. Appl Microbiol Biotechnol. 73:1387-1393. Iwata M, Mada M dan Ishiwa H. 1986. Protoplast fusion of Lactobacillus fermentum. Appl Environ Microbiol 52:392-393. Jogdand SN 2001. Protoplast Technology, Gene Biotechnology. Himalaya Publishing house, New Delhi. John RP, Gangadharan D, Nampoothiri KM. 2008. Genome shuffling of Lactobacillus delbrueckii mutant and Bacillus amyloliquefaciens through protoplasmic fusion for L-lactic acid production from starchy wastes. Bioresource Technology 99:8008-8015. John RP, Nampoothiri KM, Pandey A. 2007. Fermentative production of lactic acid from biomass: an overview on process developments and future perspective. Appl Microbiol Biotechnol 74:524-534. Koolman J, Roehm KH. 2005. Color Atlas of Biochemistry. Thieme, New York. Kyla-Nikkila K, Hujanen M, Leisola M, Palva A. 2000. Metabolic engineering of Lactobacillus helveticus CNRZ32 for production of pure L-(1)-lactic acid. Appl Environ Microbiol 66:3835-3841. Lee-Wickner L, Chassy BM. 1984. Production and regeneration of Lactobacillus casei protoplasts. Appl Environ Microbiol 48:994-1000. Nelson DL, Cox MM. 2004. Lehninger Principles of Biochemistry 4th Edition. WH Freeman, New York. Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Pustaka Wira Usaha Muda, Bogor. Narayanswamy S. 1994. Plant Cells and Tissue Cultures, Plant Protoplast: Isolation, Culture and Fusion. Tata McGraw Hill Publishing Company, New Delhi. Patnaik R, Louie S, Gavrilovic V, Perry K, StemMer WPC, Ryan CM, del Cardayre S. 2002. Genome shuffling of Lactobacillus for improved acid tolerance. Nature Biotechnology 20:707-712. Richana N, Lestina P, Irawadi TT. 2004. Karakteristik lignoselulosa dari limbah tanaman pangan dan pemanfaatannya untuk pertumbuhan bakteri RXA III5 penghasil xilanase. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan 23:171-176.
46
Saha BC. 2003. Hemicellulose bioconvertion. J Ind Microbiol Biotechnol 30:279-291. Saksono, B. 2009. Genome shuffling untuk marine bacteria, antara peluang dan tantangan. (submitting). Singh SK, Ahmed SU, Pandey A. 2006. Metabolic engineering approaches of lactic acid production. Process Biochemistry 41:991-1000. Sumarsih, S. 2003. Mikrobiologi Dasar. UPN Veteran, Yogyakarta. Torriani S, Felis GE, Dellaglio F. 2001. Differentiation of Lactobacillus plantarum, L. pentosus, and L. paraplantarum by recA gene sequence analysis and multiplex PCR assay with recA gene-derived primers. Appl Environ Microbiol 67:3450-3454. Verma N, Bansal MC, Kumar V. 2008. Protoplast fusion technology and its biotechnological applications. Indian Institute of Technology, Saharanpur. Wang Y, Li Y, Pei X, Yu L, Feng Y. 2007. Genome shuffling improved acid tolerance and L-lactic acid volumetric productivity in Lactobacillus rhamnosus. Journal of Biotechnology 129:510-515. Winarno FG, Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Yu L, Pei X, Lei T, Wang Y, Feng Y. 2008. Genome shuffling enhanced L-lactic acid production by improving glucose tolerance of Lactobacillus rhamnosus. Journal of Biotechnology 134:154-159. Zhang DX, Perry K, Vinci VA, Powell K, StemMer WPC, del Cardayre SB. 2002. Genome shuffling leads to rapid phenotypic improvement in bacteria. Nature 415:644-646.
47
LAMPIRAN
Lampiran 1 Komposisi dan prosedur pembuatan media yang digunakan 1. Media MRSA (deMan Rogosa Sharpe Agar) Komposisi MRSA (Oxoid): Pepton 10.0 g/l, bubuk ‘Lab Lemco’ 8.0 g/l, ekstrak khamir 4.0 g/l, glukosa 20.0 g/l, Tween 80 1 ml, K2HPO4 2.0 g/l, NaOCH3CO2·H2O 5.0 g/l, (NH4)3C6H8O7 2.0 g/l, MgSO4·7H2O 0.2 g/l, MnSO4·4H2O 0.05 g/l, dan agar 16 g/l. Prosedur pembuatan (per 100 ml): Bubuk MRSA sebanyak 6.2 gram dilarutkan ke dalam 100 ml akuades. Suspensi
dipanaskan
sampai
mendidih
kemudian
disterilisasi
basah
menggunakan autoklaf suhu 121ºC selama 15 menit. Larutan MRSA steril didinginkan sampai suhu ± 60ºC lalu dituang pada cawan steril sebanyak ± 20 ml/ cawan. Media didiamkan sampai memadat. 2. Media MRSB (deMan Rogosa Sharpe Broth) Komposisi MRSB (Oxoid): Pepton 10.0 g/l, bubuk ‘Lab Lemco’ 8.0 g/l, ekstrak khamir 4.0 g/l, glukosa 20.0 g/l, Tween 80 1 ml, K2HPO4 2.0 g/l, NaOCH3CO2·H2O 5.0 g/l, (NH4)3C6H8O7 2.0 g/l, MgSO4·7H2O 0.2 g/l, MnSO4·4H2O 0.05 g/l, dan agar 16 g/l. Prosedur pembuatan (per 100 ml): Bubuk MRSA sebanyak 5.2 gram dilarutkan ke dalam 100 ml akuades. Suspensi dipanaskan sampai larut kemudian disterilisasi basah menggunakan autoklaf suhu 121ºC selama 15 menit. 3. Media LB (Luria Bertanii) Komposisi: Tripton 10 g/l, NaCl 10 g/l, ekstrak khamir 5 g/l, dan agar 20 g/l. Prosedur pembuatan (per 100 ml): Tripton sebanyak 1 g, NaCl 1 g, ekstrak khamir 0.5 g, dan agar 2 g ditambahkan ke dalam 100 ml akuades. Suspensi kemudian dipanaskan sampai mendidih lalu disterilisasi basah menggunakan autoklaf suhu 121ºC selama 15 menit.
49
4. Media LB-xilosa-CaCO3 Komposisi: Media LB (tanpa akuades), CaCO3 20 g/l, xilosa 10 g/l dan agar 20 g/l. Prosedur pembuatan (per 100 ml): Xilosa 1 g dan CaCO3 2 g dilarutkan dalam 20 ml air (suspensi 1). Media LB (untuk takaran 100 ml) dicampurkan dengan 80 ml akuades (suspensi 2) lalu dipanaskan sampai mendidih. Kedua suspensi lalu disterilisasi secara terpisah menggunakan autoklaf suhu 121ºC selama 15 menit. Saat akan dituang ke dalam cawan petri, kedua suspensi yang telah steril dicampurkan. 5. Media Regenerasi Komposisi : Pepton 10 g/l, glukosa 20 g/l, gelatin 25 g/l bubuk “Lab Lemco” 8 g/l, ekstrak khamir 4 g/l, bovine serum albumine (BSA) 5 g/l, CH3COONa 5 g/l, K2HPO4 2 g/l, NH4NO3 2 g/l, MgSO4·7H2O 0.2 g/l, dan MnSO4·4H2O 0.05 g/l, C12H24O12 (sukrosa) 0.5 M, dan MgCl2 20 mM. Pembuatan (per 100 ml) : Pepton 1 g, glukosa 2 g, bubuk “ Lab Lemco” 0.8 g, ekstrak khamir 0.4 g, bovine serum albumine (BSA) 0.5 g, K2HPO4 0.2 g, CH3COONa 0.5 g, NH4NO3 0.2 g, MnSO4·4H2O 0.005 g, MgSO4·7H2O 0.02 g, sukrosa 0.5 M, dan MgCl2 20 mM dicampurkan ke dalam 80 ml lalu dipanaskan sampai mendidih (suspensi 1). Glukosa 2 g dilarutkan ke dalam 20 ml akuades (suspensi 2). Suspensi 1 dan 2 disterilisasi secara terpisah. Setelah steril, suspensi 1 dan 2 dicampur secara aseptis.
50
Lampiran 2 Prosedur pembuatan reagen dan gel agarosa 1. Larutan LPB dan LPB+Lisozim
Sebanyak 50 µl Tris-HCl 1 M pH 6.3 ditambah dengan 2.5 ml sukrosa 1 M, 2 ml CaCl2 50 mM, dan 450 µl akuades steril. Larutan segera disimpan di dalam baskom yang berisi es. Larutan LPB+lisozim dibuat dengan prosedur yang sama dengan larutan LPB dan kemudian ditambahkan sebanyak 25 mg lisozim (untuk konsentrasi lisozim 100 000 U/ml) dan 50 mg lisozim (untuk konsentrasi lisozim 200 000 U/ml). Larutan LPB+lisozim disterilisasi dengan membran filter 0.22 µm sebelum digunakan. Larutan ini harus disediakan segar. 2. Bufer Tris Borat EDTA (TBE) 1x Tris sebanyak 10.8 g ditambah asam borat 5.5 g dan EDTA pH 8.0 sebanyak 4 ml dilarutkan ke dalam 1000 ml akuades. Larutan lalu disterilisasi menggunakan autoklaf suhu 121ºC selama 15 menit. 3. Gel Agarosa Bubuk agarosa sebanyak 0.5 g dilarutkan kedalam 50 ml bufer TBE. Suspensi kemudian dipanaskan hingga bening/ agarosa larut. Suspensi selanjutnya didinginkan sampai suhu 50°C kemudian secepatnya dituang ke dalam cetakan yang telah dipasang sisir pembentuk lubang. Setelah mengeras, sisir diangkat dan gel dipindah ke mesin elektroforesis.
51
Lampiran 3 Prosedur pembuatan stok gliserol
Kultur berumur semalam (±16 jam) sebanyak 800 µl
Gliserol 50% sebanyak 200 µl
Stok gliserol
Penyimpanan suhu -20⁰C
52
Lampiran 4 Hasil perhitungan jumlah koloni L. pentosus Sampel (Dengan lisozim) Kontrol (Tanpa lisozim) Jam Jumlah Jumlah ke Pengenceran Jumlah mikroba Pengenceran Jumlah mikroba koloni koloni (CFU/ml) (CFU/ml) -7 -7 10 6 157 10 6.3x108 2.4x109 0 -8 -8 10 12 10 33 10-6 127 10-7 137 8 1.2x10 1.7x109 2 -7 -8 10 11 10 21 -6 -6 30 770 10 10 3.0x107 8.7x108 4 -7 -7 10 3 10 98 10-5 337 10-6 556 7 3.0x10 5.4x108 6 -6 -7 10 27 10 52
53
Lampiran 5 Hasil perhitungan jumlah koloni L. rhamnosus Sampel (Dengan lisozim) Kontrol (Tanpa lisozim) Jam Jumlah Jumlah ke Pengenceran Jumlah mikroba Pengenceran Jumlah mikroba koloni koloni (CFU/ml) (CFU/ml) -7 -7 416 54 10 10 3.3x109 7.2x108 0 -8 -8 10 24 10 9 -6 -6 10 241 321 10 5.6x108 2.5x108 2 -7 -7 10 26 10 79 -5 -6 10 2060 10 164 2.7x108 2.5x108 4 -6 -7 10 327 10 33
54
Lampiran 6 Hasil perhitungan total asam tertitrasi (TAT) Normalitas NaOH hasil standardisasi = 0.1020 N Nomor koloni 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Rh Po
Ulangan 1 0.95 0.60 0.90 0.75 0.95 0.95 0.50 0.85 0.75 0.90 0.90 0.90 0.90 0.90 1.00 0.90 0.85 0.90
Volume NaOH (ml) Ulangan Ulangan 2 3 ∆V 1.00 0.90 0.95 0.60 0.70 0.63 0.90 0.90 0.90 0.75 0.75 0.75 1.00 0.95 0.97 1.00 0.95 0.97 0.55 0.55 0.53 0.85 0.90 0.87 0.85 0.95 0.85 0.90 0.95 0.92 0.95 0.85 0.90 0.90 0.90 0.90 0.95 0.95 0.93 0.90 0.85 0.88 0.95 0.90 0.95 0.90 0.90 0.90 0.80 0.85 0.83 0.90 0.90 0.90
∆Vblanko 0.70 0.38 0.65 0.50 0.72 0.72 0.28 0.62 0.60 0.67 0.65 0.65 0.68 0.63 0.70 0.65 0.58 0.65
TAT Standar (g/l) Deviasi 12.8520 0.0500 7.0380 0.0577 11.9340 0.0000 9.1800 0.0000 13.1580 0.0289 13.1580 0.0289 5.2020 0.0289 11.3220 0.0289 11.0160 0.1000 12.2400 0.0289 11.9340 0.0500 11.9340 0.0000 12.5460 0.0289 11.6280 0.0289 12.8520 0.0500 11.9340 0.0000 10.7100 0.0289 11.9340 0.0000
55