SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI LEBIH PADA POLISI DI KEPOLISIAN RESORT KOTA BOGOR TAHUN 2010 Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH: RIRA WAHDANI MARTALIZA 105101003249
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/ 1431 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarata. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juni 2010
Rira Wahdani Martaliza
i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, Juni 2010 RIRA WAHDANI MARTALIZA, NIM : 105101003249 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Lebih Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 (xxiii, 104 halaman, 24 tabel, 2 bagan, 5 lampiran)
ABSTRAK Saat ini Indonesia mengalami berbagai masalah di bidang kesehatan terutama masalah gizi. Status gizi lebih merupakan salah satu masalah gizi yang sedang dialami oleh Indonesia. Masalah kelebihan berat badan (status gizi lebih) apabila dibiarkan akan berdampak terhadap kesehatan dan produktivitas seseorang. Jika hal ini dibiarkan, maka dapat meningkatkan kejadian penyakit degeneratif dan disabilitas kerja. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan, diketahui terdapat 45% polisi yang mengalami gizi lebih. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui seberapa besar status gizi lebih yang terjadi di Kepolisian Resort Kota Bogor, dengan menggunakan rancangan cross sectional dan pengambilan data dilakukan dengan menggunakan pengukuran berat badan dan tinggi badan, wawancara, kuesioner, serta metode food recall 2×24 jam. Penelitian ini dilakukan di Kepolisian Resort Kota Bogor dengan menggunakan 73 sampel penelitian. Data yang diperoleh dianalisa secara univariat dan bivariat. Dari hasil univariat menunjukkan kepolisian mengalami status gizi lebih sebesar 39,7% dan status gizi normal sebanyak 60,3%. Hasil bivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan status gizi lebih pada penelitian ini adalah variabel jenis kelamin, konsumsi karbohidrat, konsumsi makanan kudapan, dan aktivitas fisik dengan nilai P value (P value < 0,05). Oleh karena itu, agar personil polisi terhindar dari status gizi lebih sebaiknya pihak Kepolisian Resort Kota Bogor bekerjasama dengan Dinas Kesehatan setempat memberikan penyuluhan tentang makanan sehat dan bergizi. Selain itu, pihak Kepolisian Resort Kota Bogor memperhatikan kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas fisik ii
seperti dengan mengatur kembali jadwal olahraga seperti senam atau lari dari satu kali seminggu menjadi dua kali seminggu. Daftar bacaan : 80 (1985-2009)
iii
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH Undergraduated Thesis, June , 2010
Rira Wahdani Martaliza, NIM: 105101003249
Factors Associated with Over Nutritional Status on Police in the Bogor City Resort Police Department in 2010. (xxiii, 104 pages, 24 tables, 2 charts, 5 attachments)
ABSTRACT At this time, Indonesia have some problems in health sector especially nutrient problem. Over nutritional status is one of nutrient problem that being happen in Indonesia. If overweight problem (over nutritional status) is let happened, it will impact to health and productivity. If it is let happened, so that can increase degenerative disease and disability job cases. Based on preface research, known there are 45% polices that have over nutritional. This study aimed to know how big over nutritional status that happened in Bogor City Resort Police Department, by using cross sectional design and the retrieval of data is done by using the measurement of body weight and height, interview, questionnaire, and 2×24 hours food recall method. This study is done at Bogor City Resort Police Department by using 73 study samples. Acquired data is analyzed by univariate and bivariate. From the result of univariate indicates the police have over nutritional status equal to 39,7% and normal nutritional status equal to 60,3%. The result of bivariate indicates that variables associated with over nutritional status in this research are gender, carbohydrate consumption, snack consumption, and physical activity with the value of P value (P value < 0,05). Therefore, in order to avoid the police personnel from more nutritional status, the Bogor City Resort Police Department should in coorperation with local health office to provide counseling about healthy and nutritious food. In addition, Bogor City Resort Police Department should give attention to activities related to physical acitivity such as by rearranging schedules like gymnastics or running sports from once a week to twice a week. References: 80 (1985-2009)
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi Dengan Judul
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI LEBIH PADA POLISI DI KEPOLISIAN RESORT KOTA BOGOR TAHUN 2010
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 28 Juni 2010
Febrianti, M.Si
Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, MKM
Pembimbing Skripsi I
Pembimbing Skripsi II
v
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, 28 Juni 2010
Penguji I
(Febrianti, M.Si)
Penguji II
(Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, MKM)
Penguji III
(Farihah Sulasiah, M.K.M)
vi
LEMBAR PERSEMBAHAN
RAHASIA SEBUAH KESUKSESAN ADALAH DENGAN MENGHORMATI ORANG LAIN IKHLASLAH MENJADI DIRI SENDIRI AGAR HIDUP PENUH DENGAN KETENANGAN DAN KETENTRAMAN SELALU BERSYUKUR DAN BERSABAR AKAN MEMPEROLEH KEJAYAAN YANG HAKIKI
SEBUAH KARYA SEDERHANA KUPERSEMBAHKAN UNTUK YANG TERSAYANG PAPA DAN MAMA RESMA, IQBAL DAN HADI “LUVLY UNCIT”
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama TTL Jenis Kelamin Status Agama Ponsel Alamat E-mail
: Rira Wahdani Martaliza : Padang, 1 Maret 1987 : Perempuan : Belum Menikah : Islam : 021-91038989 : Wisma Indah VI Blok B/26 Balai Baru Padang Sumatera Barat :
[email protected]
PENDIDIKAN FORMAL 2005 – 2010
2002 – 2005 1999 – 2002 1993 – 1998 1998 – 1999
: Peminatan Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta : SMU Negeri 10 Padang : SLTP Negeri 18 Padang : SD Adabiah V Padang : SD Negeri 10 Sei. Sapih Padang
PENGALAMAN KERJA 1. PBL (Praktek Belajar Lapangan) I di Puskesmas Mauk Tahun 2007 2. PBL (Praktek Belajar Lapangan) II di Puskesmas Mauk Tahun 2008 3. PKL (Praktek Kerja Lapangan) di Puskesmas Sawangan Depok Tahun 2009
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Assalammualaikum Wr. Wb Alhamdulillah saya ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya yang telah
memberikan
kemampuan,
kekuatan,
kesabaran
dan
kesehatan
dalam
menyelesaikan skripsi mengenai Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Status Gizi Lebih Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010. Tidak lupa salawat beserta salam selalu tercurah untuk junjungan kita yakni baginda besar Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya ke jalan kebenaran. Penyusunan skripsi ini bukan semata-mata hasil karya peneliti, melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, motivasi dan semangat. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1.
My lovely parent, papa (Amizar Chan) dan mama (Saflidar) yang selalu mendoakan, memberikan semangat, motivasi, moril dan materil serta kasih sayang yang tidak pernah habis hingga sekarang. Ra ingin jadi orang sukses seperti papa dan mama. Always love you dad and mom..... My lovely sista and brothers, dutty ku (Resma Bintani Gustaliza), mbul (Iqbal Mubarak Oktaliza), abok (Nurul Hadi Dectaliza) yang selalu menghibur dan memotivasi. Semoga kita bisa jadi anak yang selalu membahagiakan papa dan mama. Miss u so much sista brothers......My lovely family, yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi hingga skripsi ini selesai.
2.
Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Bapak dr. Yuli P. Satar, MARS, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix
4.
Ibu Iting selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
5.
Ibu Febrianti, M. Si dan Bapak Waras Budi Utomo, S.Kep, MKM selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu, arahan dan ilmu dalam membimbing hingga skripsi ini selesai.
6.
Seluruh dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
7.
Sahabat dan teman hati Ade Andika yang selalu menjadi teman cerita, tempat curhat dan selalu memberikan semangat, motivasi serta hiburan selama pembuatan skripsi ini. Just wanna say thank you for everything.
8.
My girls Umi and the gank (Riri, Umi, Maik, Najwa, Wita, Cory) atas bantuan, semangat dan cerita-ceritanya. Persahabatan ga ada yang lama ataupun baru.
9.
Vici Andriani, atas semua motivasi dan bantuannya.
10. My new brother, Robby “Bibo” Fitrio, atas semua bantuannya. 11. Teman-teman seperjuangan Kesehatan Masyarakat ’05 FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tetap semangat teman-teman..... 12. Seluruh pihak yang terkait dalam pembuatan skripsi ini. Akhir kata dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati, peneliti berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca lain.
Ciputat, 15 Juni 2010
Penulis
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ...........................................................................................i ABSTRAK .................................................................................................................... ii ABSTRACT ..................................................................................................................iv PERNYATAAN PERSETUJUAN...............................................................................v PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI ........................................................................vi LEMBAR PERSEMBAHAN .................................................................................... vii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................. viii KATA PENGANTAR..................................................................................................ix DAFTAR ISI.................................................................................................................xi DAFTAR TABEL ................................................................................................... xviii DAFTAR BAGAN......................................................................................................xxi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xxii DAFTAR SINGKATAN......................................................................................... xxiii BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2
Rumusan Masalah.............................................................................................6
1.3
Pertanyaan Penelitian........................................................................................7
1.4
Tujuan Penelitian ..............................................................................................9
1.4.1 Tujuan Umum ..............................................................................................9 xi
1.4.2 Tujuan Khusus..............................................................................................9 1.5
Manfaat Penelitian ..........................................................................................11
1.5.1 Bagi Kepolisian Resort Kota Bogor...........................................................11 1.5.2 Bagi Aparat Kepolisian ..............................................................................11 1.5.3 Bagi Peneliti ...............................................................................................11 1.6 BAB II
Ruang Lingkup................................................................................................11 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Status Gizi.......................................................................................................13
2.2
Penilaian Status Gizi .......................................................................................14
2.3
Survei Konsumsi.............................................................................................17
2.3.1 Recall 24 Jam .............................................................................................18 2.3.2 FFQ (Food Frequency Questionnary) .......................................................20 2.4
Masalah Gizi ...................................................................................................21
2.4.1 Gizi Kurang ................................................................................................21 2.4.2 Gizi Lebih...................................................................................................22 2.5
Dampak Masalah Gizi Lebih ..........................................................................24
2.6
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Lebih ..........................28
2.6.1 Umur...........................................................................................................28 2.6.2 Jenis Kelamin .............................................................................................29 2.6.3 Tingkat Pendidikan ....................................................................................30 2.6.4 Pengetahuan Gzi.........................................................................................31 xii
2.6.5 Tingkat Pendapatan ....................................................................................31 2.6.6 Aktivitas Fisik ............................................................................................32 2.6.7 Keadaan Psikologis ...................................................................................34 2.6.8 Konsumsi Makanan....................................................................................35 2.6.8.1 Energi ...................................................................................................36 2.6.8.2 Sumber Energi......................................................................................37 2.6.8.2.1 Karbohidrat...................................................................................37 2.6.8.2.2 Protein...........................................................................................38 2.6.8.2.3 Lemak ...........................................................................................39 2.6.8.3 Makanan Kudapan................................................................................40 2.7 BAB III
Kerangka Teori ...............................................................................................41 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1
Kerangka Konsep............................................................................................43
3.2
Definisi Operasional .......................................................................................45
3.3
Hipotesis .........................................................................................................48
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Disain Penelitian .............................................................................................49
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian ..........................................................................49
4.2.1 Lokasi Penelitian ........................................................................................49 4.2.2 Waktu Penelitian ........................................................................................49 4.3
Populasi dan Sampel .......................................................................................50 xiii
4.3.1 Populasi ......................................................................................................50 4.3.2 Sampel........................................................................................................50 4.4
Instrumen Penelitian .......................................................................................53
4.5
Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner.........................................................53
4.5.1 Uji Validitas ...............................................................................................53 4.5.2 Uji Reliabilitas............................................................................................54 4.6
Pengumpulan Data ..........................................................................................55
4.6.1 Jenis Data ...................................................................................................56 4.6.2 Pengukuran Data ........................................................................................56 4.6.2.1 Umur.....................................................................................................56 4.6.2.2 Jenis Kelamin .......................................................................................57 4.6.2.3 Pengetahuan Gizi..................................................................................57 4.6.2.4 Aktivitas Fisik ......................................................................................57 4.6.3 Metode Pengumpulan Data ........................................................................59 4.7
Pengolahan Data .............................................................................................60
4.8
Analisis Data...................................................................................................61
BAB V 5.1
HASIL Gambaran Tempat Penelitian..........................................................................63
5.1.1 Visi Kepolisian Resort Kota Bogor............................................................63 5.1.2 Misi Kepolisian Resort Kota Bogor ...........................................................64 5.2
Analisis Univariat ...........................................................................................65 xiv
5.2.1 Gambaran Status Gizi Polisi ......................................................................65 5.2.2 Gambaran Umur Polisi...............................................................................65 5.2.3 Gambaran Jenis Kelamin Polisi .................................................................66 5.2.4 Gambaran Pengetahuan Gizi Polisi............................................................67 5.2.5 GambaranTotal Asupan Energi Polisi........................................................67 5.2.6 Gambaran Tingkat Konsumsi Karbohidrat Polisi ......................................68 5.2.7 Gambaran Tingkat Konsumsi Protein Polisi..............................................69 5.2.8 Gambaran Tingkat Konsumsi Lemak Polisi ..............................................69 5.2.9 Gambaran Tingkat Konsumsi Makanan Kudapan Polisi ...........................70 5.2.10 Gambaran Aktivitas Fisik Polisi ................................................................71 5.3
Analisis Bivariat..............................................................................................72
5.3.1 Hubungan Antara Umur Dengan Status Gizi Lebih Polisi ........................72 5.3.2 Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Status Gizi Lebih Polisi ............... ....................................................................................................................72 5.3.3 Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Dengan Status Gizi Lebih Polisi ......... ....................................................................................................................73 5.3.4 Hubungan Antara Total Asupan Energi Dengan Status Gizi Lebih Polisi .... ....................................................................................................................74 5.3.5 Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Karbohidrat Dengan Status Gizi Lebih Polisi...........................................................................................................75 5.3.6 Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Protein Dengan Status Gizi Lebih...... Polisi...........................................................................................................76 xv
5.3.7 Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Lemak Dengan Status Gizi Lebih Polisi...........................................................................................................77 5.3.8 Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Makanan Kudapan Dengan Status Gizi Lebih Polisi ................................................................................................78 5.3.9 Hubungan Antara Aktivitas Fisik Dengan Status Gizi Lebih Polisi .............. ....................................................................................................................79 BAB VI
PEMBAHASAN
6.1
Keterbatasan Penelitian...................................................................................80
6.2
Gambaran Status Gizi Lebih Polisi.................................................................81
6.3
Hubungan Antara Umur Dengan Status Gizi Lebih .......................................82
6.4
Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Status Gizi Lebih..........................83
6.5
Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Dengan Status Gizi Lebih ....................85
6.6
Hubungan Antara Total Asupan Energi Dengan Status Gizi Lebih ...............86
6.7
Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Karbohidrat Dengan Status Gizi Lebih... .........................................................................................................................87
6.8
Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Protein Dengan Status Gizi Lebih .......... .........................................................................................................................90
6.9
Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Lemak Dengan Status Gizi Lebih........... .........................................................................................................................91
6.10 Hubungan Antara Total Konsumsi Makanan Kudapan Dengan Status Gizi Lebih ...............................................................................................................93 6.11 Hubungan Antara Aktivitas Fisik Dengan Status Gizi Lebih .........................94
xvi
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Kesimpulan .....................................................................................................96
7.2
Saran ...............................................................................................................98
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................99 LAMPIRAN
xvii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Halaman
2.1
Klasifikasi IMT Menurut WHO
15
2.2
Klasifikasi IMT Menurut Departemen Kesehatan RI
16
2.3
Kategori Aktivitas Fisik Menuru Jenis Kegiatan
33
3.2
Definisi Operasional
45
4.1
Pembagian Proporsi Sampel
52
5.1
Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi Lebih
65
Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.2
Distribusi Responden Berdasarkan Umur Pada Polisi di
66
Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.3
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pada
66
Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.4
Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Gizi
67
Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.5
Distribusi Responden Berdasarkan Total Asupan Energi
68
Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.6
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Konsumsi Karbohidrat Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 xviii
68
5.7
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Konsumsi
69
Protein Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.8
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Konsumsi
70
Lemak Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.9
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Konsumsi
70
Makanan Kudapan Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.10
Distribusi Responden Berdasarkan Aktivitas Fisik Pada
71
Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.11
Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Umur Pada Polisi
72
di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.12
Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Jenis Kelamin
73
Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.13
Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Pengetahuan Gizi
73
Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.14
Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Total Asupan
74
Energi Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.15
Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Tingkat Konsumsi Karbohidrat Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010
xix
75
5.16
Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Tingkat Konsumsi
76
Protein Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.17
Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Tingkat Konsumsi
77
Lemak Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 5.18
Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Tingkat Konsumsi
78
Makanan Kudapan Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010
5.19
Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Aktivitas Fisik Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010
xx
79
DAFTAR BAGAN
Nomor Bagan
Halaman
2.4
Kerangka Teori
42
3.1
Kerangka Konsep
44
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Permohonan Izin Untuk Melakukan Penelitian
Lampiran 2
Kuesioner Penelitian
Lampiran 3
Kuesioner Konsumsi Makanan
Lampiran 4
Output Univariat
Lampiran 5
Output Bivariat
xxii
DAFTAR SINGKATAN
AKG
Angka Kecukupan Gizi
BB
Berat Badan
BMR
Bassal Metabolic Rate
CDC
Center for Disease Control and Prevention
DKBM
Daftar Komposisi Bahan Makanan
cm
Centi Meter
DEPKES RI
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
DGKM
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat
dkk
Dan Kawan-kawan
FFQ
Food Frequency Questionnary
g
Gram
GAKY
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
IMT
Indeks Massa Tubuh
KEP
Kekurangan Energi Proten
kg
Kilo Gram
kkal
Kilo Kalori
KVA
Kurang Vitamin A
m
Meter xxiii
PNS
Pegawai Negeri Sipil
TB
Tinggi Badan
TNI
Tentara Nasional Indonesia
URT
Ukuran Rumah Tangga
WHO
World Health Organization
WKPG
Widyakarya Pangan dan Gizi
xxiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kesehatan dan gizi merupakan faktor yang sangat penting untuk menjaga kualitas hidup yang optimal, kualitas sumber daya manusia digambarkan melalui pertumbuhan ekonomi, usia harapan hidup dan tingkat pendidikan (Depkes RI, 2003). Tingkat pendidikan yang tinggi hanya dapat dicapai oleh seorang yang sehat dan berstatus gizi baik. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa pembangunan di bidang gizi mempunyai andil yang besar dalam meningkatkan sumber daya manusia antara lain dalam meningkatkan kualitas fisik dan kecerdasan serta produktivitas kerja manusia (Nurusalma, 2006). Pangan dan gizi memiliki kaitan yang sangat erat. Mengkonsumsi pangan yang sehat akan memiliki gizi yang baik. Dengan keadaan gizi yang baik akan berdampak pada peningkatan produktivitas sumber daya manusia (SDM) sehingga dapat berperan dalam peningkatan perekonomian keluarga dan bangsa (Muchtadi, 1996). Keadaan gizi yang baik pada usia produktif (18-55 tahun yang merupakan batas usia pensiun PNS (Pegawai Negeri Sipil)) merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan kualitas sumber daya manusia (Handayani, 2002). Pangan dan gizi memiliki peranan penting dalam pembangunan nasional. Akan tetapi, pembangunan nasional secara tidak langsung dapat menyebabkan adanya transisi kesehatan. Dari sudut pandang gizi, transisi tersebut membawa 1
2
perubahan pada peningkatan daya beli masyarakat termasuk dengan pemberian makanan berlebih pada keluarga, peningkatan usia harapan hidup pada golongan lanjut usia dengan kecenderungan memiliki pola makan yang berlebih. Selain itu, pembangunan nasional membawa perubahan pula pada peningkatan taraf kehidupan dengan berbagai kemudahan-kemudahan fasilitas yang mengarah pada gaya hidup yang sedentaris sehingga mengarah pada perilaku modern, khususnya masyarakat perkotaan dan pinggiran kota dengan kecenderungan memiliki makan yang mengandung tinggi kalori, lemak serta karbohidrat namun rendah serat sehingga hal tersebut dapat menimbulkan masalah gizi di masyarakat (Satoto, 1998). Perkembangan masalah gizi merupakan salah satu dampak dari pengaruh perkembangan ekonomi. Sesuai hukum ekonomi bahwa dengan adanya peningkatan jumlah pendapatan dapat menyebabkan perubahan konsumsi makan yang cenderung lebih bervariasi (Soekirman, 1993). Namun, jika variasi konsumsi makanan tersebut tidak diimbangi dengan kebutuhan energi normal dalam tubuh maka dapat berpengaruh terhadap keadaan status gizi seseorang (Supariasa, 2001). Sebagai negara berkembang Indonesia memiliki berbagai masalah gizi, antara lain Kekurangan Energi dan Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemia, dan GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium) dan masalah gizi lebih yang merupakan suatu halangan dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Masalah kelebihan gizi pada orang dewasa merupakan masalah penting. Hal ini dapat berpengaruh terhadap ketahanan fisik sehingga mengurangi kebugaran. Selain dapat menimbulkan gangguan emosional seperti rasa malu,
3
rendah diri, kelebihan berat badan juga dapat mengurangi produktivitas kerja (Nurusalma, 2006). Gizi lebih yang sering diartikan sebagai overweight dan obesitas adalah penimbunan lemak yang melebihi batas normal. Ditinjau dari segi ilmu gizi, obesitas adalah penimbunan trigliserida yang berlebihan di jaringan-jaringan lemak tubuh (Waspadji. 2000). Penumpukan lemak tubuh yang berlebihan tersebut dapat terlihat dengan mudah dan dengan mata telanjang, akan tetapi untuk memastikan penumpukan lemak tubuh tersebut diperlukan pemeriksaan lebih lanjut (Soeharto, 2000). Gizi lebih (overweight dan obesitas) merupakan faktor risiko terjadinya penyakit degeneratif seperti jantung koroner, termasuk tingginya kadar kolesterol dan tingginya tekanan darah, diabetes mellitus, stroke, dislipidemia, osteoarthritis dan beberapa tipe kanker (endometrium, payudara, kolon) (Wargahadibrata, 2009 dan Moore, 2005). Overweight dan obesitas selain menimbulkan penyakit degeneratif juga dapat mempengaruhi kualitas hidup seseoarang. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pergerakan tubuh yang mengakibatkan penurunan produktivitas dan daya tahan tubuh, lebih cepat lelah, kurang aktif bergerak, serta kurang konsentrasi (DGKM, 2007). Gizi lebih disebabkan karena konsumsi pangan (zat-zat gizi) yang melebihi kebutuhan normal tubuh seseorang, serta perubahan gaya hidup dan pola makan yang bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat, serat, dan sayuran, ke pola makan masyarakat barat yang komposisinya terlalu
4
banyak mengandung lemak, protein, gula, dan garam namun miskin serat (Suyono, 1993 dan Muchtadi, 2001). Faktor yang berpengaruh terhadap gizi lebih (overweight dan obesitas) pada orang dewasa antara lain umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan gizi, pendapatan (Apriadji, 1986; Barasi, 2009), aktivitas fisik (Surjana, 1986; Waspadji, 2003; Muchtadi, 2001; Nugraha, 2009, Barasi, 2009), stress (Muchtadi, 2001; Barasi, 2009), pola konsumsi makanan (Waspadji, 2003; Nugraha, 2009; Barasi), dan keturunan (genetik) (Waspadji, 2003; Barasi, 2009; Nugraha, 2009). Kepolisian Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga keamanan dan pertahanan memiliki tugas pokok antara lain pelindung pengayom dan pelayan masyarakat yang selalu menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak azasi manusia, keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera (Polri, 2009). Untuk memenuhi tugas pokok tersebut dibutuhkan adanya kemampuan dukungan yang dapat menjamin kelangsungan kesiapsiagaan setiap anggota kepolisian, meliputi kesehatan, daya pikir dan kesegaran jasmani. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian makanan yang tepat dan bergizi. Selain itu, dengan dilaksanaan kegiatan olahraga secara teratur dan pemeriksaan kesehatan yang berkala juga dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan dan kesegaran jasmani dari seorang polisi. Seorang anggota kepolisian selalu dituntut untuk mempunyai kondisi kesehatan yang baik dan prima. Kesehatan merupakan modal utama seorang anggota kepolisian dalam melaksanakan tugas yang diemban. Kondisi kesehatan
5
yang prima dapat dilihat secara langsung dengan penampilan fisik, yaitu seimbangnya antara berat badan dan tinggi badan (Bonasari, 2003). Prevalensi polisi dengan berat badan lebih atau obesitas di Jepang sebesar 40% (Buletin Bisnis, 2008). Kepolisian di Mexico City mencatat sedikitnya terdapat 70% dari 70.000 anggota polisi dengan berat badan lebih (Kawilarang, 2009). Berdasarkan penelitian Kodyat dkk (1996) di 12 kotamadya di Indonesia diketahui bahwa prevalensi obesitas pada ABRI (antara TNI dan Polisi) sebesar 26,4% (Ilmu, Keperawatan, 2008). Dari data di atas dapat diketahui bahwa prevalensi gizi lebih pada polisi tergolong tinggi, dan apabila hal ini dibiarkan tanpa penanganan yang maksimal akan dapat mempengaruhi kinerja dan produktivitas dari para polisi. Kepolisian Resort Kota Bogor merupakan salah satu lembaga kepolisian yang menangani keamanan di bagian perkotaan. Bogor merupakan kota penopang dari kota metropolitan yaitu Jakarta yang dalam aktivitas sehari-hari merupakan kota yang tingkat aktivitasnya tinggi. Untuk itu dibutuhkan keamanan yang ekstra ketat dalam menjaga keamanan dan ketertiban kota oleh para anggota polisi. Menurut penelitian Hamzah (1995), prajurit batalyon Infanteri-2 Marinir berstatus gizi lebih (6,8%). Menurut Nurfatimah (2007), status gizi prajurit Batalyon-33 Cijantung, Jakarta Timur, sebanyak 11,39% berstatus obesitas dan 18,98% berstatus overweight. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan November tahun 2009 di Kepolisian Resort Kota Bogor dengan menggunakan data sekunder berupa Daftar Nilai Kesamaptaan Jasmani Anggota Kepolisian Resort Kota Bogor Semester I Tahun 2009 diperoleh bahwa status gizi lebih sebesar 45%,
6
meliputi 25% mengalami overweight dan 20% mengalami obesitas. Sedangkan menurut bagian/satuan, polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor yang paling banyak mengalami kelebihan berat badan adalah bagian Binamitra sebanyak 66,66% meliputi 57,14% mengalami overweight dan 28,57% mengalami obesitas. Dan bagian/satuan yang anggotanya paling sedikit mengalami obesitas adalah satuan Intelkam sebanyak 17,86% meliputi 3,57% overweight dan 14,29% obesitas. Dari data di atas dapat diketahui masih terdapat anggota polisi yang mempunyai status gizi lebih dengan persentase yang cukup tinggi. Untuk itu, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan status gizi lebih pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010.
1.2 Rumusan Masalah Seorang aparat kepolisian, selain harus memiliki mental yang baik juga harus memiliki fisik yang prima. Kondisi kesehatan yang baik terutama gizi dapat terlihat dengan seimbangnya antara berat badan dan tinggi badan.. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan November tahun 2009 di Kepolisian Resort Kota Bogor dengan menggunakan data sekunder berupa Daftar Nilai Kesamaptaan Jasmani Anggota Kepolisian Resort Kota Bogor Semester I Tahun 2009 diperoleh bahwa status gizi lebih sebesar 45%. Masih terdapatnya anggota polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor yang memiliki status gizi lebih sebanyak 45% maka hal ini akan berdampak terhadap
7
kinerja dari para polisi. Karena polisi yang mengalami gizi lebih akan lebih cepat merasa lelah dan mengakibatkan berkurangnya produktivitas kerja dari anggota polisi. Untuk itu peneliti tertarik melakukan penelitian dengan mengetahui faktorfaktor yang berhubungan dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010.
1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah gambaran status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 2. Bagaimanakan gambaran umur pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 3. Bagaimanakah gambaran jenis kelamin pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 4. Bagaimanakah gambaran pengetahuan gizi pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 5. Bagaimanakah gambaran total energi pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 6. Bagaimanakah gambaran konsumsi karbohidrat pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 7. Bagaimanakah gambaran konsumsi protein pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010?
8
8. Bagaimanakah gambaran konsumsi lemak pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 9. Bagaimanakah gambaran konsumsi makanan kudapan pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 10. Bagaimanakah gambaran aktivitas fisik pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 11. Apakah ada hubungan antara umur dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 12. Apakah ada hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 13. Apakah ada hubungan antara pengetahuan gizi dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 14. Apakah ada hubungan antara total energi dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 15. Apakah ada hubungan antara konsumsi karbohidrat dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 16. Apakah ada hubungan antara konsumsi protein dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 17. Apakah ada hubungan antara konsumsi lemak dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010? 18. Apakah ada hubungan antara konsumsi makanan kudapan dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010?
9
19. Apakah ada hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010?
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran status gizi pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 2. Diketahuinya gambaran umur pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 3. Diketahuinya gambaran jenis kelamin pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 4. Diketahuinya gambaran pengetahuan gizi pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 5. Diketahuinya gambaran total energi pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 6. Diketahuinya gambaran konsumsi karbohidrat pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 7. Diketahuinya gambaran konsumsi protein pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010.
10
8. Diketahuinya gambaran konsumsi lemak pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 9. Diketahuinya gambaran konsumsi makanan kudapan pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 10. Diketahuinya gambaran aktivitas fisik polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 11. Diketahuinya hubungan antara umur dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 12. Diketahuinya hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 13. Diketahuinya hubungan antara pengetahuan gizi dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 14. Diketahuinya hubungan antara total energi dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 15. Diketahuinya hubungan antara konsumsi karbohidrat dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 16. Diketahuinya hubungan antara konsumsi protein dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 17. Diketahuinya hubungan antara konsumsi lemak dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 18. Diketahuinya hubungan antara konsumsi makanan kudapan dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010.
11
19. Diketahuinya hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Kepolisian Resort Kota Bogor Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi Kepolisian Resort Kota Bogor tentang status gizi dan dapat dijadikan sebagai bahan dalam menentukan program atau kebijakan untuk meningkatkan kesehatan dan status gizi lebih para polisi. 1.5.2 Bagi Aparat Polisi Hasil penelitian ini diharapkan memberikan dan menambah informasi kepada para polisi tentang status gizi dan manfaatnya bagi kesehatan. 1.5.3 Bagi Peneliti Sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti dan memberikan pengalaman dengan mengaplikasikan teori yang telah dipelajari semasa kuliah.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010 yang dilakukan pada bulan November 2009 hingga Mei 2010. Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah variabel umur, jenis kelamin, pengetahuan gizi,
12
total energi, konsumsi karbohidrat, konsumsi protein, konsumsi lemak, konsumsi makanan kudapan, dan aktivitas fisik. Penelitian ini perlu dilakukan karena pentingnya kesehatan dan fisik yang prima oleh seorang anggota polisi yang dapat terlihat dari status gizinya. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedoteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan menggunakan metode kuantitatif dan desain penelitian cross sectional. Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa data primer yang didapatkan dari hasil kuesioner dan hasil pengukuran antropometri dan data sekunder berupa daftar nama anggota polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Status Gizi Almatsier (2006) menjelaskan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih. Menurut Uripi (2004), status gizi adalah status kesehatan yang merupakan hasil dari keseimbangan antara asupan kebutuhan dan zat gizi. Menurut Deswarni Idrus dan Gatot Kunanto dalam Supariasa dkk (2002), status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Riyadi (1995) dalam Syafiq dkk (2006) menyatakan bahwa status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbtion), dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Gizi dihubungkan dengan proses dalam tubuh untuk kesehatan seperti penyediaan energi, pembangunan dan pemeliharaan jaringan tubuh serta pengaturan proses-proses kehidupan dalam tubuh (Almatsier, 2003). Untuk mendapatkan kapasitas maksimal dalam beraktivitas, manusia harus mendapatkan makanan yang cukup sehingga memperoleh semua zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, perbaikan dan pemeliharaan jaringan tubuh dan terlaksananya fungsi faal normal dalam tubuh, disamping memperoleh energi yang cukup untuk bekerja maksimal.
13
14
2.2 Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi dibedakan menjadi dua bagian, yaitu penilaian secara langsung dan penilaian secara tidak langsung. Penilaian secara langsung meliputi antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan penilaian secara tidak langsung meliputi survey konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa, 2002). Salah satu cara sederhana dan paling umum digunakan untuk memantau status gizi seorang dewasa adalah dengan mengukur indeks massa tubuh (IMT). Pengukuran IMT berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat. Namun, penggunaan IMT tidak dapat dilakukan pada wanita hamil dan olahragawan (Supariasa, 2002). IMT memiliki juga memiliki kelebihan yaitu tidak memerlukan informasi usia kronologis, karena indeks berat badan per tinggi badan (BB/TB) tersebut akan berubah sesuai dengan perubahan umur. Adapun rumus IMT tersebut adalah:
Keterangan: BB : berat badan dalam kilogram (kg) TB : tinggi badan dalam meter (m) WHO mengklasifikasikan indeks massa tubuh (IMT) dalam beberapa kategori, yaitu:
15
Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Menurut WHO Klasifikasi
IMT (kg/m2)
Risiko Kesakitan
Underweight
< 18,5
Rendah tapi berisiko terhadap masalah kesehatan
Batas normal Overweight
18,5-24,9 > 25
Rata-rata -
Preobese
25-29,99
Meningkat
Preobese kelas 1
30-34,99
Sedang (moderate)
Preobese kelas 2
35-39,99
Berbahaya (severe)
Preobese kelas 3
> 40
Sangat berbahaya (Sumber: WHO, 2000)
Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara berkembang. Akhirnya diambil kesimpulan ambang batas IMT untuk Indonesia seperti tabel 2.3.b
16
Tabel 2.2 Klasifikasi IMT Menurut Departemen Kesehatan RI
Kurus
Kategori
IMT
Kekurangan berat badan tingkat berat
< 17,0
Kekurangan berat badan tingkat
17,0-18,5
tinggi Normal Gemuk
> 18,5-25,0 Kelebihan berat badan tingkat ringan
> 25,0-27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat
> 27,0
(Sumber: Departemen Kesehatan, 2003) Pengukuran IMT pada orang dewasa sangat bermanfaat, karena selain untuk memantau status gizi seseorang dan tingkat obesitas, dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi adanya peningkatan risiko kesakitan dan kematian. Pengukuran IMT dapat digunakan sebagai dasar evaluasi dan intervensi mengenai masalah kesehatan yang mungkin timbul akibat obesitas (WHO, 2000). Kelemahan dari pengukuran ini adalah membutuhkan dua macam alat yaitu alat untuk mengukur berat badan dengan menggunakan timbangan berat badan dan tinggi badan dengan menggunakan meteran, pengukuran relatif lebih lama, membutuhkan banyak orang dalam melakukannya, dan sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran, terutama jika dilakukan oleh kelompok non professional (Supariasa, 2002).
17
2.3 Survei Konsumsi Survei konsumsi makanan secara umum dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, dan perorangan serta sebagai dasar perencanaan dan program pengembangan gizi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut. Sedangkan secara khusus tujuan survei konsumsi makanan adalah (Supariasa dkk, 2002). 1. Menentukan tingkat kecukupan konsumsi pangan kelompok masyarakat. 2. Menentukan status kesehatan dan gizi keluarga dan individu. 3. Menentukan pedoman kecukupan makanan dan program pengadaan pangan. 4. Sebagai dasar perencanaan dan program pengembangan gizi. 5. Sebagai sarana pendidikan gizi masyarakat, khususnya golongan yang berisiko tinggi mengalami kekurangan gizi. 6. Menentukan perundang-undangan yang berkenaan dengan makanan, kesehatan, dan gizi masyarakat. Menurut Supariasa, dkk (2002) dan Gibson (1990), klasifikasi metode yang digunakan untuk mengukur konsumsi makanan seseorang terdiri dari: 1. Metode Kuantitatif Metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak. Salah satu metode kuantitatif adalah
18
recall atau record untuk mengukur jumlah makanan yang dikonsumsi per hari atau lebih dari 1 (satu) hari (periode). 2. Metode Kualitatif Metode kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode yang dapat digunakan seperti FFQ (Food Frequency Questionnary), dietary history, telepon, dan pendaftaran makanan (Food List). 3. Metode Kualitatif dan Kuantitatif (Semi Kuantitatif) Memberikan informasi data tentang asupan gizi secara umum dengan memodifikasi FFQ (Food Frequency Questionnary). 2.3.1 Recall 24 Jam Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dengan recall 24 jam data yang diperoleh cenderung lebih bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat URT (Ukuran Rumah Tangga) seperti sendok, gelas, piring, dan lain-lain atau ukuran lainnya yang bias dipergunakan sehari-hari. Dalam recall 24 jam, untuk memudahkan penentuan jumlah konsumsi makanannya, biasanya digunakan food model (Supariasa, 2002). Wahlqvist (2002) menjelaskan bahwa recall 24 jam dilakukan dengan menanyakan kepada responden makanan yang dimakan kemarin dan jumlahnya
19
dalam ukuran rumah tangga. Energi yang terkandung dalam makanan dan energi yang diasupnya dihitung. Recall 24 jam ini jangan dilakukan hanya 1 (satu) kali (1x24 jam) karena akan menghasilkan data yang kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu. Oleh karena itu, recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut (Supariasa dkk, 2002). Menurut Sanjur (1997) dalam Supariasa, dkk (2002) beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 (dua) kali recall 24 jam tanpa berturut-turut dapat memberikan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu. Gersovitz et al (1987) dalam Gibson (1990) menyatakan bahwa masalah yang dihadapi dalam metode recall 24 jam adalah flat slope syndrome yaitu cenderung untuk melebihkan asupan yang rendah dan mengurangi asupan yang tinggi. Menurut Supariasa, dkk (2002), ada beberapa kelebihan dan kekurangan dalam metode recall 24 jam, antara lain: 1. Kelebihan a. Mudah dilakukan. b. Biaya murah. c. Cepat. d. Dapat digunakan pada responden yang buta huruf. e. Memberikan gambaran nyata makanan yang dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari.
20
2. Kekurangan a. Jika hanya dilakukan recall satu hari, tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari. b. Ketepatan sangat bergantung pada daya ingat responden. c. Flat slope syndrome yaitu orang cenderung untuk melebihkan asupan yang rendah dan mengurangi asupan yang tinggi. d. Membutuhkan petugas terlatih. e. Responden harus diberi motivasi dan penjelasan. f. Recall jangan dilakukan pada saat panen, hari pasar, akhir pecan, pada saat melakukan upacara keagamaan, selamatan, dan lain-lain. 2.3.2 FFQ (Food Frequency Questionnary) Menurut Supariasa, dkk (2002) metode ini untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Selain itu, dengan FFQ (Food Frequency Questionnary) dapat memperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan rangking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan dalam penelitian. Metode FFQ juga mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan diantaranya (Supariasa, dkk 2002): 1. Kelebihan a. Relatif murah dan sederhana. b. Dapat dilakukan sendiri oleh responden.
21
c. Tidak membutuhkan latihan khusus. d. Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makanan. 2. Kekurangan a. Tidak dapat digunakan untuk menghitung intake zat gizi sehari. b. Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data. c. Cukup majemuk bagi pewawancara. d. Perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner. e. Responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi.
2.4 Masalah Gizi Status gizi seseorang tergantung dari tingkat konsumsi yang dicapai oleh orang tersebut. Status gizi seseorang terbagi menjadi tiga yaitu gizi baik atau normal, gizi kurang dan gizi lebih. Pada saat sekarang ini, Indonesia dihadapkan pada dua permasalahan gizi di masyarakat, yaitu masalah gizi kurang dan gizi lebih (Almatsier, 2003). 2.4.1 Gizi Kurang Status gizi kurang merupakan suatu keadaan kurangnya konsumsi energi dan protein dalam tubuh. Tingkat kesehatan pada penderita gizi kurang, lebih rendah dibandingkan orang sehat. Status gizi kurang akan berdampak pada kualitas pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun mental, penurunan produktivitas, daya tahan tubuh dan terjadi perubahan abnormal pada susunan
22
biokimia jaringan tubuh karena terhambatnya reaksi-reaksi metabolik dalam tubuh. Status gizi kurang selain akan meningkatkan risiko terhadap penyakit khususnya penyakit infeksi, karena daya tahan tubuh yang menurun sehingga mudah terserang penyakit (Sediaoetama, 2000). Penelitian yang dilakukan para ahli menunjukkan kekurangan energi yang menyebabkan turunnya kekuatan otot (muscular strength) dan ketepatan gerak otot yang menjadikan kerja menjadi tidak efisien. Jika seorang dewasa hidup dengan kandungan energi dari makanannya sebanyak 1800 kalori setiap hri, maka akan kehilangan kekuatan ototnya sebesar 30% dan efisien kerjanya turun 11% (Moehdji, 2003). 2.4.2 Gizi Lebih Overweight adalah peningkatan berat badan relatif apabila dibandingkan dengan berat badan standard. Overweight kemudian menjadi istilah yang mewakili “obesitas” baik secara klinis maupun epidemiologis (Nugraha, 2009). Kelebihan berat badan (overweight) bisa disebabkan oleh atau secara sendiri atau bersama dengan timbunan lemak, otot maupun tulang yang menyebabkan berat badan seseorang melebihi berat badan orang rata-rata. Umumnya, kelebihan berat badan (overweight) adalah permulaan dari kegemukan atau obesitas. Obesitas sendiri didefinisikan sebagai kelebihan lemak yang hebat dalam tubuh (Tapan, 2007). Overweight dan obesitas dibedakan berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan nilai > 25,0-27,0 (overweight) dan > 27,0 (obesitas).
23
Khomsan (2004), menambahkan penyebab kelebihan gizi dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen adalah terjadinya gangguan metabolisme tubuh sedangkan faktor eksogen adalah kelebihan konsumsi dan kurangnya aktivitas fisik. Terdapat tiga faktor yang diperkirakan mendorong terjadinya penyakit yang berhubungan dengan masalah gizi lebih, yaitu: 1. Perubahan perilaku masyarakat ke arah menurunnya aktivitas fisik karena tersedianya
berbagai
kemudahan
hidup
sehingga
terjadi
penurunan
penggunaan energi. 2. Perubahan pola makan ke arah semakin tingginya kandungan energi makanan, meningkatnya konsumsi lemak jenuh dan kolesterol, dan konsumsi gula. 3. Masyarakat semakin terbiasa dan menyenangi berbagai jenis makanan terolah, makanan siap santap yang kadar seratnya rendah dan kandugan garamnya tinggi (Moehdji, 2003). Penyakit gizi lebih (obesitas) berhubungan dengan kelebihan energi di dalam tubuh. Kelebihan energi ini kemudian diubah menjadi lemak dan ditimbun pada tempat-tempat tertentu. Jaringan lemak ini merupakan jaringan yang relatif inaktif, tidak langsung berperan serta dalam kegiatan kerja tubuh (Sediaoetama, 2006). Dalam status gizi lebih, tubuh benar-benar sudah kewalahan menampung kelebihan zat gizi, terutama zat sumber tenaga. Kelebihan tersebut kemudian disimpan dalam bentuk lemak di bawah kulit sehingga orang tersebut akan menjadi gemuk. Sedangkan lemak yang disimpan di antara jaringan tubuh akan
24
menimbulkan berbagai permasalahan baru, seperti menyempitnya pembuluh darah dan meningginya tekanan darah (Apriadji, 1986). Kegemukan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi tubuh, merupakan risiko untuk menderita penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit kanker, dapat memperpendek harapan hidup, reumatik, gallstones, gangguan pernafasan, dan gangguan reproduksi ((Almatsier, 2003; Garrow, 2000 dan Williams & Witkins, 1999).
2.5 Dampak Masalah Gizi Lebih Masalah gizi lebih dapat menimbulkan berbagai macam penyakit degeneratif, seperti di bawah ini 1. Penyakit Jantung Insidensi penyakit jantung (heart attack, angina atau nyeri dada) akan meningkat pada individu yang menderita overweight maupun obesitas (BMI > 25). Seseorang yang menderita obesitas akan memiliki risiko dua kali lebih tinggi untuk mengalami tekanan darah tinggi, bila dibandingkan dengan orang sehat. Selain itu, obesitas juga berhubungan dengan meningkatknya trigliserida dan menurunnya HDL (Hight Density Lipoprotein) (Wargahadibrata, 2009). 2. Diabetes Mellitus Peningkatan berat badan sebanyak 5-8 kg akan meningkatkan risiko untuk terjadinya Diabetes Mellitus tipe 2, dan dua kali lebih tinggi bila dibandingkan individu yang tidak mengalami peningkatan berat badan. Hampir 80% penderita Diabetes Mellitus juga mengalami overweight atau obesitas (Wargahadibrata,
25
2009). Pada penelitian di Jakarta pada tahun 1982 juga ditemukan bahwa diabetes lebih banyak terdapat pada orang-orang yang gemuk dibandingkan dengan orang-orang yang tidak gemuk. Pada penelitian itu, ditemukan bahwa 6,7% daripada orang-orang gemuk menderita diabetes sedangkan orang yang tidak gemuk hanya 0,95%. Di samping derajat kegemukan rupanya lamanya kegemukan juga berpengaruh. Makin lama orang gemuk makin besar kemungkinan untuk menderita diabetes (Surjana, 1986). 3. Kanker Overweight dan obesitas berhubungan dengan meningkatnya risiko untuk terjadinya beberapa jenis kanker seperti endometrium, kolon, empedu, prostat, ginjal, dan payudara (postmenopausal). Untuk wanita yang mengalami peningkatan berat badan lebih dari 5 kg sejak umur 18 tahun akan memiliki risiko dua kali lipat untuk mengalami kanker payudara (postmenopausal), bila dibandingkan
dengan
wanita
yang
berat
badannya
stabil/normal
(Wargahadibrata, 2009). Penelitian Perhimpunan Kanker Amerika (The American Cancer Society) yang telah melibatkan satu juta orang menunjukkan bahwa lelaki yang kegemukan mempunyai kemungkinan yang lebih tinggi untuk meninggal karena kanker usus besar dan prostat. Perempuan yang kegemukan mempunyai kemungkinan lebih besar untuk meninggal karena kanker empedu, kanker payudara, dan kanker mulut rahim. Lelaki dengan persentase kegemukan 40% akan berisiko meninggal akibat kanker sebesar 1,33 kali sedangkan wanita berisiko 1,55 kali dibandingkan dengan mereka yang mempunyai berat badan normal (Kuntaraf, 1992).
26
4. Masalah Pernapasan Sleep apnea (terhentinya pernapasan ketika sedang tidur) bias terjadi pada seseorang yang menderita overweight atau obesitas. Serta obesitas dapat menimbulkan terjadinya penyakit asma (Wargahadibrata, 2009). 5. Arthritis Setiap peningkatan 1 kg berat badan, dapat menimbulkan risiko terjadinya arthritis sebanyak 9-13%. Dan penurunan berat badan akan dapat mengurangi masalah akan gejala-gejala arthritis (Wargahadibrata, 2009). 6. Penyakit Tekanan Darah Tinggi Penelitian menemukan bahwa orang-orang gemuk 10 kali lebih sering mendapat penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi) dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal (Surjana, 1986). 7. Disabilitas Di Finlandia, pensiun karena alasan disabilitas (ketidakmampuan bekerja) terjadi dua kali lebih sering kepada laki-laki yang gemuk dan satu setengah kali lebih sering kepada perempuan yang gemuk jika dibabandingkan dengan orang-orang yang IMTnya rendah. Penelitian ini didasarkan pada sampel survey nasional 31.000 orang Finlandia yang diikuti sejak tahun 1966/1972 hingga tahun 1982. Hal yang sama terjadi pada 12% wanita Swedia obese berusia 30-59 tahun yang mendapatkan pensiun disabilitas jika dibandingkan dengan angka 50% dalam populasi umum, wanita obese dilaporkan 1,5-1,9 kali lebih sering mengambil cuti sakit selama 1 tahun jika dibandingkan dengan populasi Swedia yang normal (Gibney, 2009).
27
Pada orang dewasa gizi lebih berpengaruh terhadap ketahanan fisik yang akan mengurangi kebugaran dan produktifitas kerja (Satoto, 1994). Obesitas seringkali diikuti dengan timbulnya penyakit kronis seperti aterosklerosis, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, kanker, dan sebagainya. Singapura telah menyadari kekeliruan ini, dimana pemimpin-pemimpin senior negara tersebut menyatakan bahwa para pemuda calon-calon pemimpin Singapura sekembalinya mengikuti pendidikan di luar negeri, pulang tidak saja dengan membawa gelar Ph.D. tetapi juga dengan membawa obesitas dan kandungan kolesterol dalam darahnya yang melebihi batas normal. Hal ini tentu saja merugikan, karena sumberdaya manusia tersebut merupakan asset negara, yang dikhawatirkan produktivitasnya akan menurun dan akan banyak yang meninggal dunia pada usia muda (Muchtadi, 2001). 8. Kehidupan Sosial Orang gemuk relatif sukar mendapatkan pekerjaan, demikian pula untuk mendapatkan pendidikan, di beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat ada yang membatasi berat badan (Surjana, 1986).Ongkos hidup orang gemuk lebih mahal, misalnya bahan pakaian lebih banyak, makanan lebih banyak di samping itu ongkos-ongkos perjalanan baik becak tidak bias berdua sendiri pun sudah kesempitan. Bagi pasangan suami istri juga ada persoalan bila salah seorang atau kedua-duanya gemuk terutama dalam segi hubungan intim antara suami dan istri yang kadang-kadang berakibat perceraian. Ada juga masalah yang menyangkut remaja gemuk, mereka lebih sering mengurung diri karena malu (Surjana, 1986).
28
Di masyarakat Barat sikap yang berkembang terhadap mereka yang kegemukan adalah sikap bermusuhan (hostile). Kegemukan dipandang atau dianggap sebagai suatu akibat kelainan perilaku dan bentuk fisik yang cacat. Orang yang gemuk dipersalahkan atas kondisi tubuhnya itu. Diskriminasi terhadap mereka yang gemuk ini berlangsung di sekolah, tempat kerja maupun di kumpulan masyarakat lainnya (Tandou, 1986).
2.6 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Lebih Dari beberapa sumber kepustakaan dan hasil penelitian terdahulu terdapat berbagai faktor yang berhubungan dengan status gizi lebih, antara lain: 2.6.1 Umur Kebutuhan zat gizi berbeda tiap tingkatan umur. Oleh karena itu, dalam Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan dibedakan dalam tiap tingkatan. Menurut Apriadji (1986), umur merupakan faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi sehingga dapat dihubungkan dengan status gizi. Umur memiliki pengaruh terhadap penentuan status gizi. Berdasarkan NHANES III (National Health and Nutrition Examination Survey) (1988-1991), faktor usia berhubungan dengan kejadian kelebihan berat badan. Kejadian kelebihan berat badan (overweight) meningkat secara menyeluruh pada orang dewasa. Pada pria, kejadian overweight meningkat pesat pada usia 45-54 tahun namun setelah itu menurun. Penurunan overweight pada pria di atas usia 54 tahun kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya rata-rata kematian pada penderita overweight pria di usia tersebut (Guthrie dan Picciano, 1995). Dengan
29
bertambahnya usia maka aktivitas fisik yang dilakukan juga menurun sehingga kelebihan energi akan disimpan menjadi lemak dan dapat menimbulkan kegemukan. Suyono (1993) mengemukakan bahwa bertambahnya umur seseorang akan meningkatkan jumlah lemak tubuh, dan ini terjadi pada umur di atas 35 tahun. Dengan bertambahnya umur juga akan berpengaruh terhadap menurunnya nilai metabolok rate (Hui, 1985). Pada penelitian Suthiono (2003) diketahui bahwa umur memiliki hubungan bermakna dengan status gizi lebih. 2.6.2 Jenis Kelamin Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi seseorang. Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein daripada wanita, tetapi dalam kebutuhan zat besi wanita membutuhkan lebih banyak daripada pria. Jenis kelamin merupakan faktor gizi internal yang menentukan kebutuhan gizi seseorang, sehingga pada gilirannya ada keterkaitan antara jenis kelamin dengan keadaan gizi (Apriadji, 1986). Prevalensi kelebihan berat badan lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki (Garrow, 1993). Hal ini disebabkan karema perempuan mempunyai lebih banyak sel lemak daripada laki-laki per kilogram berat badan. Lemak tubuh pada perempuan digunakan untuk fungsi reproduksi, dimana dapat menjaga reproduksinya dengan cadangan lemak yang ada. Di samping itu, perempuan juga mempunyai basal metabolic rate (BMR) yang lebih rendah daripada laki-laki (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2003).
30
Pada penelitian Suthiono, 2003 diketahui bahwa jenis kelamin memiliki hubungan bermakna dengan satatus gizi. 2.6.3 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang juga dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi yang dimiliki tentang gizi khususnya konsumsi makanan juga lebih baik. Sering masalah gizi timbul disebabkan karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang gizi yang memadai (Berg, 1987). Menurut Aprijadi (1989), bahwa faktor tingkat pendidikan berperan dalam status gizi seseorang. Dengan tingkat pendidikan tertentu maka seseorang dapat dengan eudah atau tidak dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Selain itu, daya tangkap mereka terhadap masalah gizi dan cara menanggulangi masalah tersebut. Pada penelitian di Finland disebutkan bahwa risiko pertambahan berat badan (> 5 kg/5 tahun) terjadi lebih cepat pada kelompok populasi yang pendidikannya rendah. Disebutkan bahwa populasi dengan tingkat pendidikan rendah lebih menyukai makanan yang berlemak daripada buah dan sayuran yang harganya lebih mahal (Garrow, 2000). Selain itu, rendahnya pendidikan juga mempengaruhi akses mereka ke materi-materi kesehatan seperti gizi dan pencegahan penyakit. Kurangnya pengetahuan gizi ini akan membawa pengaruh kepada status gizi mereka (Kaufinan, 2007).
31
Pada penelitian Nurusalma (2006), diketahui bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan bermakna dengan status gizi seseorang. 2.6.4 Pengetahuan Gizi Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Ada 5 (lima) tahapan dalam pengetahuan
yaitu
tahu
(know),
memahami
(comprehension),
aplikasi
(application), analisis (analysis), sintesis (synthesis). Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan. Banyak masalah gizi dipengaruhi oleh keterbatasan pengetahuan gizi. Pengetahuan gizi menjadi landasan penting yang menentukan konsumsi makanan seseorang yang selanjutnya akan mempengaruhi status gizinya (Breg dan Muscat, 1985). Gangguan gizi disebabkan oleh kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari, pengetahuan gizi berpengaruh positif pada asupan makanan (Suhardjo, 1989). Pada penelitian Roselly (2008) diketahui bahwa pengetahuan gizi memiliki hubungan bermakna dengan status gizi (obesitas). 2.6.5 Tingkat Pendapatan Menurut Supariasa, dkk (2002), penderita gizi kurang lebih banyak ditemui pada golongan dengan pendapatan yang rendah. Pendapatan dan harga barang akan mempengaruhi pola konsumsi dalam masyarakat. Pendapatan seseorang berpengaruh terhadap daya beli dan perilaku seseorang dalam
32
mengkonsumsi makanan dimana konsumsi makanan akan mempengaruhi status gizi seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Nurfatimah (2007), diperoleh bahwa tingkat pendapatan memiliki hubungan bermakna dengan status gizi seseorang. 2.6.6 Aktivitas Fisik Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan energi, sehingga apabila aktivitas fisik rendah, maka kemungkinan terjadinya obesitas akan meningkat (Nugraha, 2009). Orang yang selalau aktif ternyata dapat mencegah pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur (WHO, 1995). Pada umumnya seseorang yang gemuk kurang aktif daripada seseorang dengan berat badan normal (Waspadji, 2003). Menurut WHO (1985) dalam Triwinarto (2006) pengaktegorian aktivitas fisik adalah sebagai berikut: 1. Aktivitas ringan, jika 75% waktu digunakan untuk duduk atau berdiri, 25% waktu untuk berdiri dan bergerak (≤ 1,70 BMR), 2. Aktivitas sedang, bila 25% waktu duduk atau berdiri, 75%waktu untuk aktivitas fisik tertentu (1,71-2,20 BMR), 3. Aktivitas berat, bila 40% waktu untuk duduk atau berdiri, 60% untuk aktivitas fisik tertentu (2,20-2,80 BMR).
33
Tabel 2.3 Kategori Aktivitas Fisik Menurut Jenis Kegiatan No.
Kategori Aktivitas
1.
Istirahat
Jenis Kegiatan Tidur, berbaring, dan bersandar Duduk dan berdiri, melukis, menyetir mobil, pekerja
2.
laboratorium,
mengetik,
meyapu,
Sangat ringan setrika, memasak, bermain kartu, bermain alat musik Berjalan dengan kecepatan 2,5-3 mph, bekerja dibengkel, pekerjaan yang berhubungan dengan listrik,
3.
tukang
kayu,
pekerjaan
yang
Ringan berhubungan dengan restoran, membersihkan rumah, mengasuh anak, golf, memancing, tenis meja Berjalan dengan kecepatan 3,5-4 mph, mencabut
4.
Sedang
rumput, mencangkul, menangis dengan keras, bersepeda, ski, tenis, menari Berjalan mendaki, menebang pohon, menggali
5.
Berat tanah, basket, panjat tebing, sepak bola Sumber : RDA tenth Edition. 1989
34
Menurut Baecke et al (1982), indeks aktivitas fisik dibagi menjadi tiga kategori, antara lain: 1. Aktivitas ringan, dengan indeks < 6.5. 2. Aktivitas sedang, dengan indeks 6.6-9.5. 3. Aktivitas berat, dengan indeks > 9.5 Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan energi sehingga apabila aktivitas fisik rendah (ringan) maka kemungkinan
terjadinya
obesitas
akan
meningkat.
Berbagai
penelitian
menunjukkan bahwa lamanya kebiasaan menonton televisi (inaktivitas) berhubungan dengan peningkatan prevalensi obesitas. Sedangkan aktivitas fisik yang sedang hingga tinggi akan mengurangi kemungkinan menngurangi kemungkinan terjadinya obesitas (Nugraha, 2009). Berdasarkan penelitian Nurusalma (2006) diperoleh bahwa terdapat hubungan bermakna antara aktivitas fisik dengan status gizi seseorang. 2.6.7 Keadaan Psikologis Walaupun faktor ini sangat individual tetapi tidak dapat diabaikan begitu saja. Sering terjadi pada keadaan depresi, dimana seseorang cenderung untuk memisahkan diri dari sekelilingnya. Dengan menyendiri maka kegiatan menjadi berkurang selain itu juga ada kecenderungan untuk makan berlebihan sehingga terjadi obesitas (Suprajitno, 1991). Stress juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi berat badan. Semakin tinggi frekuensi stress yang dialami seseorang, semakin tinggi
35
pula risiko orang tersebut mengalami kegemukan (Kodyat dalam Muchtadi, 2001). 2.6.8 Konsumsi Makanan Dampak dari arus globalisasi yang paling nyata terlihat pada penduduk di perkotaan adalah gaya hidup konsumsi makan, termasuk dalam memilih tempat makan dan jenis pangan yang dikonsumsi (Muchtadi, 2001). Pada dasarnya gizi lebih yaitu berupa overweight dan obesitas disebabkan oleh kalori yang masuk ke dalam tubuh melebihi kalori yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas fisik sehari-hari. Hal tersebut berakibat pada penimbunan lemak di dalam tubuh. Selain itu, perubahan gaya hidup dengan pola makan yang cenderung kaya akan kerbohidrat sederhana, tinggi lemak dan gula namun rendah akan vitamin dan serat atau yang dikenal dengan junk food sehingga mempermudah seseorang menderita overweight atau obesitas (Harjadi & Soejadi, 1989 dalam Nurmaya, 2005). Gizi lebih yaitu berupa overweight dan obesitas dapat disebabkan karena komposisi makanan terutama pada proporsi makanan yang bervariasi akan zat-zat gizi, termasuk energi utama seperti karbohidrat, lemak, dan protein. Diketahui bahwa kecukupan intake kerbohidrat perhari secara normal sama dengan cadangan jumlah glikogen antara 50 dan 100%. Sedangkan intake lemak dan protein sama dengan 0,5% dan 2% dari jumlah cadangan yang tersedia dalam tubuh (Guthrie & Picciano, 1995). Menurut Muchtadi (2001) dampak dari arus globalisasi yang paling nyata terlihat pada penduduk di perkotaan adalah gaya hidup konsumsi makan, termasuk
36
dalam memilih tempat makan dan jenis pangan yang dikonsumsi. Menurut Pelto (1980) dalam Suhardjo (1989) hal yang mempengaruhi perilaku konsumsi makanan adalah gaya hidup yang dipengaruhi oleh pendapatan, pekerjaan, tempat pemukiman, suku, struktur rumah tangga, pengetahuan gizi, agama atau kepercayaan dan karakteristik fisiologis. 2.6.8.1 Energi Setiap orang membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup guna menunjang proses pertumbuhan dan melakukan aktivitas harian. Energi yang masuk melalui makanan harus seimbang dengan kebutuhannya, bila hal tersebut tidak tercapai, akan terjadi pergeseran keseimbangan ke arah negatif atau positif. Keadaan berat badan seseorang dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk apakah seseorang dalam keadaaan seimbang, kelebihan, atau kekurangan energi (Sayogo, 2006). Konsumsi energi tidak seimbang akan menyebabkan keseimbangan positif atau negatif. Kelebihan energi dari energi yang dikeluarkan akan diubah menjadi lemak tubuh sehingga berat badan berlebih atau kegemukan. Kegemukan berisiko terhadap terjadinya penyakit degeneratif seperti penyakit diabetes mellitus, hipertensi, kanker, jantung koroner, dan harapan hidup lebih pendek. Sebaliknya bila asupan energi kurang dari yang dikeluarkan terjadi keseimbangan negatif. Akibatnya, berat badan rendah dari normal atau ideal (DGKM, 2007).
37
2.6.8.2 Sumber Energi Energi yang digunakan oleh tubuh buan hanya diperoleh dari proses katabolisme zat gizi yang tersimpan di dalam tubuh, melainkan juga berasal dari energi yang terkandung dalam makanan yang kita konsumsi (Arisman, 2009). Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada di dalam bahan makanan. (Almatsier, 2003). Energi yang diperlukan ini dinyatakan dalam satuan kalori (Sediaoetama, 2006). 2.6.8.2.1 Karbohidrat Karbohidrat adalah senyawa kimia dari karbon, hidrogen dan oksigen yang merupakan sumber energi dan mempunyai peran penting dalam fungsi organ internal, sistem syaraf pusat, otot dan jantung (Purwoko, 2002). Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia yang harganya relatif murah. Semua karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu karbohidrat sederhana dan karbohidrat kompleks. Karbohidrat sederhana terdiri dari monosakarida, disakarida, gula alkohol, dan oligosakarida. Karbohidrat kompleks memiliki lebih dari dua unit gula sederhana. Karbohidrat kompleks terdiri dari polisakarida dan serat (Almatsier, 2003). Fungsi karbohidrat yang paling utama adalah sebagai sumber energi bagi kebutuhan sel-sel dan jaringan tubuh. Sebagian dari hidrat arang diubah langsung menjadi energi untuk aktivitas tubuh, sebagian disimpan dalam glikogen di hati dan otot, dan sebagian lagi akan diubah menjadi lemak tubuh dan disimpan di bawah kulit dan jaringan adiposa. Pada sel-sel saraf juga
38
dijumpai sedikit glikogen. Hal ini karena glukosa merupakan satu-satunya sumber energi yang dapat digunakan disusunan saraf pusat (Nursanyoto, dkk). Sumber karbohidrat adalah padi-padian atau serealia, umbi-umbian, kacang-kacangan kering, dan gula serta hasil olahannya seperti bihun, mie, roti, tepung-tepungan, selai, sirup, dan sebagainya (Almatsier, 2003). Menurut Purwoko (2002), tiap gram karbohidrat memberikan energi sebanyak 4 (empat) kilo kalori dan dianjurkan supaya jumlah energi yang diperlukan tubuh didapat dari 50%-60% karbohidrat. Nurfatimah (2007) mengemukakan bahwa konsumsi karbohidrat memiliki hubungan bermakna dengan status gizi seseorang. Hapsari (2007) juga menjelaskan bahwa asupan karbohidrat memiliki hubungan bermakna dengan status gizi lebih. 2.6.8.2.2 Protein Sel-sel yang ada dalam tubuh manusia disusun oleh protein. Molekul protein mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan unsur khusus yang terdapat dalam protein dan tidak terdapat dalam molekul karbohidrat dan lemak adalah nitrogen (Sediaoetama, 2006). Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang. Sumber nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya seperti tempe, tahu, serta kacang-kacangan lain. Energi yang diperolah tubuh berasal dari protein hendaknya didapat sebanyak 10%-15% protein (Almatsier, 2003).
39
Nurfatimah (2007) mengemukakan bahwa konsumsi protein memiliki hubungan bermakna dengan status gizi seseorang. Nurusalma (2006) menjelaskan bahwa konsumsi protein memiliki hubungan bermakna dengan status gizi. 2.6.8.2.3 Lemak Lemak adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen yang mempunyai sifat dapat larut dalam zat-zat pelarut tertentu. Lemak disimpan dalam tubuh dalam jaringan lemak. Jaringan ini tidak aktif karena tidak ikut dalam proses metabolisme sehari-hari akan tetapi jaringan ini penting sebagai cadangan energi (Sediaoetama, 1996). Lemak mempunyai fungsi yang cukup banyak, lemak yang terdapat dalam pangan berfungsi sebagai (Yuniastuti, 2008): 1. Sumber energi, dimana tiap gram lemak menghasilkan sekitar 9-9,3 kkal. 2. Menghemat protein dan thiamin. 3. Membuat rasa kenyang lebih lama, sehubungan dengan dicernanya lemak lebih lama. 4. Pemberi cita rasa dan keharuman yang lebih baik. 5. Memberi zat gizi lain yang dibutuhkan tubuh. Sedangkan fungsi lemak dalam tubuh antara lain: 1. Sebagai pembangun/pembentuk susunan tubuh. 2. Pelindung kehilangan panas tubuh. 3. Sebagai penghasil asam lemak esensial. 4. Sebagai pelarut vitamin A, D, E, dan K.
40
5. Sebagai pelumas diantara persendian. 6. Sebagai agen pengemulsi yang akan mempermudah transpor substansi lemak keluar masuk melalui membran sel. 7. Sebagai precursor dari prostaglandin yang berperan mengatur tekanan darah, denyut jantung dan lipolisis. Sumber utama lemak adalah minyak, tumbuh-tumbuhan (minyak kelapa, kelapa sawit, kacang tanah, kacang kedelai, jagung, dan sebagainya), mentega, margarine, dan lemak hewan (lemak daging dan ayam), kacangkacangan, biji-bijian, daging, ayam, gemuk, krim, susu, keju, kuning telur, serta makanan yang dimasak dengan lemak atau minyak (Almatsier, 2003). Menurut Departemen Kesehatan RI yang dikutip oleh Sayogo (2006) mengajurkan konsumsi lemak dalam sehari tidak melebihi 25% dari total energi per hari. Berdasarkan hasil penelitian Roselly (2008) diketahui bahwa konsumsi lemak memiliki hubungan bermakna dengan obesitas. 2.6.8.3 Makanan Kudapan Selain dari makanan pokok, ketersediaan zat-zat gizi juga bisa berasal dari makanan kudapan, selingan, atau camilan (snack). Camilan biasanya dikonsumsi di antara dua waktu makanan utama, yaitu antara makan pagi dan makan siang atau antara makan siang dan makan malam (Anonim, 2010). Makan kudapan di sela-sela makan utama. Biasanya dilakukan di waktu senggang atau sambil bekerja memang dapat membuat badan gemuk bahkan kegemukan (obesitas). Hal tersebut dikarenakan kebanyakan kudapan yang
41
dikonsumsi
masyarakat
kebanyakan
mengandung
kalori
yang
tinggi,
karbohidrat dan lemak. Ada juga cemilan yang mengandung MSG yang membuat ketagihan serta memicu penyakit berbahaya seperti hipertensi dan kardiovaskuler (Anonim, 2010). Made Astawan mengatakan, makanan kudapan menyumbang 80% asupan gizi dalam tubuh. Menurut Hardinsyah dan Dodik Briawan (1990) kontribusi (sumbangan) energi dari makanan jajanan atau kudapan adalah 10%-25% dan sumbangan protein sebanyak 5%-10%. Oleh karena itu, makanan jajanan atau kudapan dibutuhkan juga untuk mencukupi kebutuhan enrgi dan mineral yang kadang-kadang masih kurang yang apabila zat gizi tersebut hanya dari makanan utama (pagi, siang, dan malam). Untuk porsi konsumsi makanan kudapan sebanyak < 250 kkal dan apabila berlebih akan berisiko terhadap kejadian obesitas.
2.7 Kerangka Teori Berdasarkan beberapa teori dari berbagai sumber antara lain Apriadji (1986), Barasi (2009), Muchtadi (2001), Nugraha (2009), Surjana (1986), dan Waspadji (2003), maka dapat diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi. Sehingga dapat dibuat kerangka teori tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi.
42
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Umur
Tingkat Pendapatan
Jenis Kelamin
Keturunan (Genetik) STATUS GIZI
Tingkat Pendidikan
Faktor Psikologis
Pengetahuan Gizi
Aktivitas Fisik a. b. c. d. e.
Konsumsi makanan Total energi Konsumsi karbohidrat Konsumsi protein Konsumsi lemak Makanan kudapan
Sumber: Apriadji (1986), Barasi (2009), Muchtadi (2001), Nugraha (2009), Surjana (1986), dan Waspadji (2003)
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINSI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Dalam penelitian ini akan diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lebih, yaitu umur, jenis kelamin, pengetahuan gizi, konsumsi makanan, dan aktivitas fisik pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010. Adapaun variabel yang berhubungan seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, keturunan (genetik), dan faktor psikologis tidak diikutsertakan pada penelitian ini. Pada variabel keturunan (genetik) tidak diikutsertakan karena data yang akan diperoleh tidak akurat. Hal ini disebabkan ketidakakuratan data karena tidak dilakukan pengukuran. Untuk variabel tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan tidak diikutsertakan disebabkan karena perbedaan antar tiap populasi tidak begitu berbeda atau tidak terdapat variasi. Sedangkan varibel psikologis tidak diikutsertakan karena adanya kesulitan dalam pengumpulan data (keterbatasan penelitian). Adapun variabel independen pada penelitian ini adalah umur, jenis kelamin pengetahuan gizi, total energi, konsumsi karbohidrat, konsumsi protein, konsumsi lemak dan konsumsi makanan kudapan, serta aktivitas fisik. Dan variabel dependen pada penelitian ini adalah status gizi lebih. Hal ini dapat dilihat pada bagan 3.1 di bawah ini.
43
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Umur Jenis Kelamin Pengetahuan Gizi Total Energi
Konsumsi Karbohidrat
STATUS GIZI LEBIH
Konsumsi Protein
Konsumsi Lemak
Konsumsi Makanan Kudapan
Aktivitas fisik
44
3.2 Definisi Operasional Tabel 3.2 Definisi Operasional No. Variabel Definisi Operasional 1. Status gizi Suatu keadaan kelebihan lebih berat badan melebihi ketentuan untuk dewasa berdasarkan IMT 2. Umur Jumlah tahun yang dihitung mulai dari reponden lahir sampai saat pengumpulan data 3.
Jenis Kelamin
4.
Pengetahuan gizi
5.
Total energi
Cara Ukur Pengukuran langsung
Wawancara
Status responden dengan melihat penampilan fisik Tingkat penguasaan responden terhadap pertanyaan gizi yang diberikan
Wawancara
Total asupan energi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi dalam satu hari
Wawancara
Wawancara
Alat Ukur Timbangan berat badan dan meteran Kuesioner
Hasil Ukur 0 = Lebih, jika IMT > 25,0. 1 = Tidak lebih, jika IMT < 25,0. (Depkes RI, 2002) 0 = Berisiko, jika umur > 40 tahun 1 = Tidak berisiko, jika umur < 40 tahun (Brown, 2002) Kuesioner 0 = Perempuan 1 = Laki-laki Kuesioner 0 = Kurang, jika jawaban benar < 60%. 1 = Baik, jika jawaban benar > 60%. (Khomsan, 2000) Food recall 0 = Lebih, jika asupan energi 2×24 jam total > 110% AKG 1 = Cukup, jika asupan energi total < 110% AKG (Waspadji, 2003)
Skala Ordinal
Ordinal
Nominal Ordinal
Ordinal
45
No. Variabel 6. Konsumsi karbohidrat
Definisi Operasional Total asupan karbohidrat dari makanan yang dikonsumsi dalam satu hari
Cara Ukur Wawancara
7.
Konsumsi protein
Total asupan protein dari makanan yang dikonsumsi dalam satu hari
Wawancara
8.
Konsumsi lemak
Total asupan lemak dari makanan yang dikonsumsi dalam satu hari
Wawancara
9.
Konsumsi Makanan Kudapan
Total asupan kalori yang dikonsumsi antara dua waktu makan utama, yaitu antara makan pagi dengan makan siang dan makan siang dengan makan malam
Wawancara
Alat Ukur Hasil Ukur Food recall 0 = Lebih, jika asupan 2×24 jam karbohidrat > 60% total konsumsi energi 1 = Cukup, jika asupan karbohidrat < 60% total konsumsi energi (PUGS, 2002) Food recall 0 = Lebih, jika asupan protein > 2×24 jam 15% total konsumsi energi 1 = Cukup, jika asupan protein < 15% total konsumsi energi (Almatsier, 2003) Food recall 0 = Lebih, jika asupan lemak > 2×24 jam 25% total konsumsi energi 1 = Cukup, jika asupan lemak < 25% total konsumsi energi (PUGS, 2002) Food recall 0 = Lebih, jika asupan > 250 2×24 jam kkal 1 = Cukup, jika asupan < 250 kkal total konsumsi energi (Hardinsyah dan Dodik Briawan, 1990)
Skala Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
46
No. Variabel 10. Aktivitas fisik
Definisi Operasional Kegiatan aktivitas responden yang dilakukan sehari-hari oleh responden yang diukur dengan indeks aktivitas Baecke
Cara Ukur Wawancara
Alat Ukur Kuesioner
Hasil Ukur 0 = ringan : < 6,5 1 = sedang : 6,6 - 9,5 2 = berat : > 9,5 (Baecke, 1982; Kamso, 2000)
Skala Ordinal
47
3.3 Hipotesis 1. Ada hubungan antara umur dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 2. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 3. Ada hubungan antara pengetahuan gizi dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 4. Ada hubungan antara total energi dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 5. Ada hubungan antara total karbohidrat dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 6. Ada hubungan antara total protein dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 7. Ada hubungan antara total lemak dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 8. Ada hubungan antara konsumsi makanan kudapan dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. 9. Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010.
48
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dengan tujuan untuk melihat dan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang atau cross sectional, dimana pengumpulan data dilakukan pada waktu yang bersamaan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yaitu Kepolisian Resort Kota Bogor Jawa Barat. Hal ini disebabkan karena terdapatnya polisi yang mengalami status gizi lebih, baik overweight maupun obesitas di Kepolisian Resort Kota Bogor. 4.2.2 Waktu Penelitian Waktu penelitian akan dilakukan pada bulan November 2009 hingga Mei 2010.
49
50
4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010. Jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 631 orang polisi. 4.3.2 Sampel Sampel pada penelitian ini adalah polisi yang terdaftar sebagai anggota di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara acak sesuai dengan proporsi masing-masing bagian atau divisi (proportional random sampling). Perhitungan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi seperti di bawah ini (Ariawan, 1998):
Keterangan: n
: besar sampel : derajat kemaknaan (95%) = 1,96 : kekuatan uji 90% Z = 1,28 : rata-rata proporsi pada populasi :
=
69,8
51
: proporsi status gizi berdasarkan asupan karbohidrat paling tinggi 53,6% = 0,536 (Nurfatimah, 2007) : proporsi status gizi berdasarkan asupan karbohidrat yang cukup 16,2% = 0,162(Nurfatimah, 2007) Maka besar sampel yang dihasilkan adalah
33×2 = 66 polisi Berdasarkan rumus di atas, jumlah sampel dalam penelitian ini sebesar 66 polisi dan untuk mengantisipasi adanya sampel yang drop out maka jumlah sampel tersebut ditambah 10% menjadi 73 polisi. Untuk mewakili populasi, maka dilakukan alokasi proporsi pada bagian, satuan dan unit. Bagian terdiri atas tiga bagian yaitu bagian Min, bagian Ops, dan bagian Binamitra, satuan terdiri dari satuan Intelkam, satuan Reskrim, satuan Samapta, satuan Narkoba, satuan Lantas, satuan Obvit sedangkan unit terdiri dari unit SPK, unit Taud, unit P3D/PROPAM, unit Telematika, unit PRIMKOPPOL dan unit Juru Bayar. Pembagian setiap proporsi bagian dan satuan dapat dilihat pada tabel berikut ini.
52
Tabel 4.1 Pembagian Proporsi Sampel Bagian/Satuan/Unit
Jumlah Populasi
Bagian MIN
30
Bagian OPS
8
Bagian Binamitra
11
Satuan Intelkam
51
Satuan Reskrim
65
Satuan Samapta
138
Satuan Narkoba
29
Satuan Lantas
168
Satuan Obvit
52
SPK
29
TAUD
10
P3D/PROPAM
24
Telematika
4
PRIMKOPPOL
7
Juru Bayar
5
Jumlah
53
4.4 Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah kuesioner, timbangan berat badan, meteran, form recall 24 jam. Pada saat penelitian, kuesioner dibagikan langsung oleh peneliti kepada polisi untuk dilengkapi. Pada timbangan berat badan dan meteran sebelum dilakukan pengukuran dilakukan kalibrasi terlebih dahulu dan menggunakan timbangan berat badan dan meteran yang sesuai dengan standa. Sedangkan pada kuesioner dilakukan uji kuesioner untuk mengetahui validitas dan reliabilitas setiap pertanyaan yang terdapat pada kuesioner. Pada saat penelitian, kuesioner dibagikan langsung oleh peneliti kepada para polisi untuk dilengkapi, sedangkan untuk form recall 24 jam peneliti langsung mewawancarai polisi. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini sebelumnya pernah digunakan oleh Nurfatimah (2007), dan Nurlaela (2009).
4.5 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner 4.5.1 Uji Validitas Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana ketetapan dan kecermatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Misalnya, bila seseorang ingin menimbang berat badan, maka ia harus melakukannya dengan menggunakan timbangan berat badan. Begitu juga jika seseorang akan mengukur cincin, maka harus menggunakan timbangan emas. Untuk mengetahui validitas suatu instrument (dalam hal ini kuesioner) dilakukan dengan cara melakukan korelasi skor antar masing-masing variabel
54
dengan skor totalnya. Suatu variabel (pertanyaan) dikatakan valid bila skor berkorelasi > 0,3. 4.5.2 Uji Reliabilitas Reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dan dengan alat pengukur yang sama. Misalkan seseorang ingin mengukur jarak dari satu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan dua jenis alat ukur. Alat ukur pertama dengan meteran yang dibuat dari logam, sedangkan alat ukur kedua dengan menghitung langkah kaki. Pengukuran yang dilakukan dengan meteran logam akan mendapatkan hasil yang sama kalau pengukurannya diulang dua kali atau lebih. Sebaliknya pengukuran yang dilakukan dengan langkah kaki, besar kemungkinan akan didapatkan hasil yang berbeda kalau pengukurannya diulang dua kali atau lebih. Dari ilustrasi ini berarti meteran logam lebih reliabel dibandingkan langkah kaki untuk mengukur jarak. Pertanyaan
dikatakan
reliabel
jika
jawaban
seseorang
terhadap
pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waku. Jadi, jika misalnya responden menjawab “tidak setuju” terhadap perilaku merokok dapat mempertinggi kepercayaan diri, maka jika beberapa waktu kemudian ia ditanya lagi untuk hal yang sama, maka ia seharusnya tetap konsisten pada jawaban semula, yaitu tidak setuju.
55
Pengukuran reliabilitas pada dasarnya dapat dilakukan dua cara: a. Repeated Measure atau ukur ulang. Pertanyaan ditanyakan pada responden berulang pada waktu yang berbeda (misalnya sebulan kemudian), dan kemudian dilihat apakah ia tetap konsisten dengn jawabannya. b. One Shot atau diukur sekali saja. Disini pengukurannya hanya sekali dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan pertanyaan lain. pada umumnya pengukuran dilakukan secara one shot dengan pertanyaan. Pengujian reliabilitas dimulai dengan menguji validitas terlebih dahulu. Jadi, jika sebuah pertanyaan tidak valid, maka pertanyaan tesebut dibuang. Pertanyaan-pertanyaan yang sudah valid kemudian baru secara bersama diukur reliabilitasnya. Setelah semua pertanyaan valid, analisis dilanjutkan dengan uji reliabilitas. Untuk mengetahui reliabilitas adalah dengan cara membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hasil. Dalam uji reliabilitas sebagai nilai r hasil adalah nilai alpha (terletak di akhir output). Ketentuannya adalah bila nilai alpha cronbah > 0,7 (Pallant, 2005).
4.6 Pengumpulan Data Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Sebelum dilakukan pengumpulan data primer (penelitian di tempat yang diteliti), peneliti melakukan uji kuesioner terlebih dahulu di tempat yang sama dengan responden yang tidak termasuk dalam sampel penelitian terhadap 15 responden dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada pertanyaan yang dapat
56
dipahami oleh responden atau tidak dan juga untuk mengetahui apakah ada pertanyaan yang perlu diganti atau tidak. Dalam pengumpulan data primer, peneliti dibantu oleh 4 orang enumerator (2 orang dari Peminatan Gizi dan 2 orang dari peminatan K3) yang sebelumnya sudah dijelaskan tentang tujuan penelitian yang akan dilakukan agar meminimalisasi kesalahan dalam pengambilan data. 4.6.1 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. 1. Data Primer Data mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lebih pada polisi meliputi variabel independen dan variabel dependen yang disajikan dalam bentuk kuesioner. 2. Data Sekunder Berupa daftar nama anggota polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010 dan profil Kepolisian Resort Kota Bogor. 4.6.2 Pengukuran Data 4.6.2.1 Umur Untuk mengetahui umur responden, peneliti mengetahuinya dengan cara observasi pada saat pengukuran antropometri (berat badan dan tinggi badan) responden yang dilakukan langsung oleh peneliti. Dalam penelitian ini umur dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu > 40 tahun dan < 40 tahun.
57
4.6.2.2 Jenis Kelamin Untuk mengetahui jenis kelamin responden, peneliti mengetahuinya dengan cara observasi pada saat pengukuran antropometri (berat badan dan tinggi badan) responden yang dilakukan langsung oleh peneliti. Dalam penelitian ini jenis kelamin dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu perempuan dan laki-laki. 4.6.2.3 Pengetahuan Gizi Pada penelitian ini terdapat 20 pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan gizi responden. Semua pertanyaan bersifat tertutup dengan model pilihan ganda. Penilaian dilakukan dengan memberikan nilai 1 (satu) untuk jawaban yang benar dan nilai nol (0) untuk jawaban yang salah atau tidak diisi. Nilai total bagi setiap responden diperoleh dengan cara menjumlahkan skor dari jawaban yang benar, kemudian dikategorikan menjadu 2 (dua) yaitu “kurang baik” jika skor < 60% ( menjawab 11 pertanyaan) dan “baik” jika skor > 60% (menjawab > 12 pertanyaan). Pertanyaan yang terdapat pada kuesioner telah diuji. 4.6.2.4 Aktivitas Fisik Pada penelitian ini, indeks aktivitas fisik dikelompokkan menjadi tiga kategori (Baecke et al, 1982), yaitu indeks aktivitas pada waktu bekerja (work index (WI)), indeks aktivitas pada waktu berolahraga (sport index (SI)), dan indeks aktivitas pada waktu luang (leisure-time index (LI)). Tolak ukur yang dibunakan pada penilaian aktivitas fisik ini adalah hasil modifikasi dari skor yang dibuat oleh Baecke et al (1982), yaitu tingkat aktivitas ringan (indeks <
58
6.5), tingkat aktivitas sedang (indeks 6.6-9.5), dan tingkat aktivitas berat (indeks > 9.5). Dalam analisis ketiga indeks tersebut (WI, SI, dan LI) digabung menjadi satu dengan sebutan indeks aktivitas fisik. Hal ini dilakukan, karena indeks tersebut dapat mengukur satu variabel, yaitu aktivitas fisik seseorang yang dinyatakan dengan indeks aktivitas fisik. Contoh Perhitungan Aktivitas Fisik Menurut Baecke (1982) Indeks Kegiatan Waktu Bekerja (WI)
I01 I02 I03 I04 I05 I06 I07 I08
Kegiatan Waktu Bekerja Pekerjaan utama Bekerja sambil duduk Bekerja sambil berdiri Bekerja sambil berjalan Bekerja mengangkat beban berat Setelah bekerja merasa lelah Kalau bekerja berkeringat Dibanding yang lain pekerjaan ini termasuk
Kategori Polisi Jarang Kadang-kadang Sering Kadang-kadang Sering Kadang-kadang Lebih
Skor 3 2 3 4 3 4 3 4
WORK INDEX (WI) = [I01 + (6 – I02) + I03 + I04 + I05 + I06 + I07 + I08] / 8 = 3,5 Indeks Kegiatan Waktu Berolahraga (SI) Jenis Olahraga Jenis olahraga : lari Berapa jam dalam 1 minggu Berapa bulan dalam 1 tahun Jenis olahraga lain: tennis Berapa jam dalam 1 minggu Berapa bulan dalam 1 tahun I09 = I10
Aktivitas fisik di waktu luang
Kategori Intensitas (sering) Waktu (3-4 jam) Proporsi (> 9 bulan) Intensitas (sedang) Waktu (1-2 jam) Proporsi (> 9 bulan) 4-<8 Sama saja
Skor 1,76 3,5 0,92 1,26 1,5 0,92 3 3
59
I11 I12
Berkeringat di waktu luang Waktu luang berolahraga
Kadang-kadang Kadang-kadang
3 3
SPORT INDEX (SI) = [I09 + I10 + I11 + I12] / 4 = 3 Indeks Kegiatan Waktu Luang (LI)
I13 I14 I15 I16
Kegiatan waktu luang Waktu luang menonton televisi Waktu luang berjalan-jalan Waktu luang bersepeda Jalan kaki/bersepeda ke tempat kerja
Kategori Kadang-kadang Sering Jarang 15-30 menit
Skor 3 4 2 3
LEISURE TIME INDEX (LI) = [(6 – I13) + I14 + I15 + I16] / 4 = 3 Indeks Aktivitas = WI + SI + LI = 9,5 Menurut Baecke et al (1982), indeks aktivitas fisik dibagi menjadi tiga kategori, antara lain: 1. Aktivitas ringan, dengan indeks < 6.5. 2. Aktivitas sedang, dengan indeks 6.6-9.5. 3. Aktivitas berat, dengan indeks > 9.5 Dari contoh penghitungan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa aktivitas responden termasuk aktivitas sedang karena indeks aktivitas fisiknya adalah 9,5. 4.6.3 Metode Pengumpulan Data 1. Data Primer Data primer dikumpulkan melalui beberapa tahapan, antara lain:
60
a. Melakukan pengukuran antropometri dengan cara pengukuran berat badan dimana anggota polisi melepaskan alas kaki dan mengeluarkan alat/benda yang dapat mempengaruhi berat timbangan. Penimbangan berat badan dilakukan dengan menggunakan timbangan injak. Untuk pengukuran tinggi badan dengan menggunakan meteran. b. Kuesioner sebagai instrumen penelitian diisi oleh anggota polisi yang berisi pertanyaan mengenai umur, jenis kelamin, pengetahuan gizi, dan aktivitas fisik. Kuesioner yang telah diisi oleh responden dicek kembali oleh peneliti. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pertanyaan yang dikhawatirkan terlewati atau tidak terisi oleh responden. Selain kuesioner, peneliti juga menggunakan format recall 24 jam untuk mengetahui asupan makanan. 2. Data Sekunder Data sekunder berupa daftar nama anggota polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010 dan profil dari Kepolisian Resort Kota Bogor.
4.7 Pengolahan Data Pengolahan data dapat dilakukan dengan menggunakan aplikasi program komputer dengan tahapan sebagai berikut: 1. Editing Data yang telah dikumpulkan diperiksa kelengkapannya terlebih dahulu.
61
2. Coding Sebelum dimasukkan ke komputer, setiap variabel yang telah diteliti diberi kode untuk memudahkan dalam pengolahan selanjutnya. 3. Entry Setelah dilakukan penyuntingan data, kemudian memasukkan daftar pertanyaan yang telah diberi kode dengan menggunakan software komputer. Data recall 2×24 jam diolah dengan menggunakan program penghitungan zat gizi untuk mengetahui jumlah energi yang dikonsumsi setiap hari oleh responden. Kemudian dilakukan penghitungan mengenai proporsi dari setiap zat gizi seperti karbohidrat, protein, dan lemak terhadap total asupan energi dalam sehari. 4. Cleaning Tahap terakhir yaitu pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan data tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut telah siap untuk dianalisa.
4.8 Analisis Data Analisa data yang dilakukan dengan menggunakan komputer, yaitu dengan menggunakan program komputer. Adapun analisa data yang dilakukan antara lain: 1. Analisis Univariat Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan persentase dari setiap variabel independen dan dependen. Variabel tersebut adalah umur, jenis kelamin, pengetahuan gizi, total asupan energi, asupan karbohidrat, asupan
62
protein, asupan lemak, konsumsi makanan kudapan, aktivitas fisik, dan status gizi lebih. 2. Analisis Bivariat Analisis dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel independen (umur, jenis kelamin, pengetahuan gizi, total asupan energi, asupan karbohidrat, asupan protein, asupan lemak, konsumsi makanan kudapan, dan aktivitas fisik) terhadap variabel dependen (status gizi lebih). Analisis bivariat menggunakan uji statistik Chi-Square dengan derajat kepercayaan 95%. Jika Pvalue < 0,05, maka perhitungan secara statistik menunjukkan bahwa adanya hubungan bermakna antara variabel independen dengan variabel dependen. Jika Pvalue > 0,05, maka perhitungan secara statistik menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara variabel independen dengan variabel dependen.
BAB V HASIL
5.1 Gambaran Tempat Penelitian Kepolisian Resort Kota Bogor merupakan salah satu Kepolisian Resort yang berada di wilayah Kepolisian Daerah Jawa Barat. Kepolisian Resort Kota Bogor membawahi 6 (enam) Kepolisian Sektor Kota antara Kepolisian Sektor Kota Bogor Barat, Kepolisian Sektor Kota Bogor Utara, Kepolisian Sektor Kota Bogor Selatan, Kepolisian Sektor Kota Bogor Tengah, Kepolisian Sektor Kota Bogor Timur, dan Kepolisian Sektor Kota Tanah Sareal. Kepolisian Resort Kota Bogor terdiri dari beberapa bagian dan fungsi antara lain bagian OPS (Bagian Operasional), bagian MIN, bagian BINAMITRA, satuan Lalu Lintas, satuan SAMAPTA, satuan INTELKAM, satuan Reskrim, satuan Reserse Narkoba, DEN PAM OBVIT, unit P3, unit SPK, unit SIM, unit STNK, unit BPKB, unit TILANG LALIN (Lalu Lintas), SKCK, DPO, unit info kriminal, unit Perijinan. 5.1.1 Visi Kepolisian Resort Kota Bogor Dengan dilandasi ketaqwaan yang tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa bersama warga masyarakat kita ciptakan Kamtibmas dan Kamtibcar Lantas yang terbaik, menjadi Pelindung, Pengayom masyarakat yang profesional dan proporsional serta melayani warga dengan hati nurani.
63
64
5.1.2 Misi Kepolisian Resort Kota Bogor 1. Melaksanakan pemeliharaan dan perawatan sarana dan prasarana Kepolisian yang bersih dan konsekuen. 2. Mengembangkan Potensi Keamanan (Potkam) melalui Polmas (Pemolisian Masyarakat) dengan membangun kemitraan antara Polisi dan masyarakat untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Polisi. 3. Bersama-sama dengan sedenap komponen kekuatan masyarakat dalam wilayah hukum Polres Kota Bogor untuk memelihara keamanan, ketertiban masyarakat dan kelancaran lalu lintas. 4. Melaksanakan pengembangan strategi keamanan dan ketertiban melalui deteksi dini dan cipta kondisi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. 5. Menegakkan hukum secara transparan, prosedur, dan tidak berbelit-belit untuk menciptakan aparat hukum yang bersih, jujur dan berwibawa. 6. Memberantas KKN di wilayah hukum Polres Kota Bogor. 7. Meningkatkan kerjasama yang baik dengan semua pihak untuk mendapatkan penilaian positif dari semua pihak. 8. Sebagai pelayan masyarakat untuk menjamin ketertiban dengan rasa aman dalam rangka perbaikan kualitas hidup masyarakat madani.
65
5.2 Analisis Univariat 5.2.1 Gambaran Status Gizi Polisi Dalam penelitian ini, status gizi polisi dibagi menjadi 2 (dua), yaitu status gizi normal dan status gizi lebih. Apabila ada polisi yang memiliki status gizi kurang maka akan dimasukkan ke dalam kategori status gizi normal, seperti yang terdapat pada tabel 5.1 di bawah ini. Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi Lebih Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Status Gizi
Jumlah
Persen (%)
Lebih
29
39,7
Tidak Lebih
44
60,3
Berdasarkan hasil penelitian yang terlihat pada tabel 5.1 diperoleh bahwa polisi yang memiliki status gizi lebih sebanyak 29 orang (39,7%), sedangkan polisi yang memiliki status gizi tidak lebih sebanyak 44 orang (60,3%). 5.2.2 Gambaran Umur Polisi Dalam penelitian ini, distribusi untuk umur pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dibagi menjadi 2 (dua), yaitu berisiko mengalami gizi lebih jika berumur > 40 tahun dan yang tidak berisiko mengalami gizi lebih jika berumur < 40 tahun, seperti yang terlihat pada tabel 5.2 di bawah ini.
66
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Umur
Jumlah
Persen (%)
> 40 Tahun
16
21,9
< 40 Tahun
57
78,1
Berdasarkan hasil penelitian yang terlihat pada tabel 5.2 diperoleh bahwa polisi yang berumur > 40 tahun lebih sedikit yaitu 16 orang (21,9%) daripada polisi yang berumur < 40 tahun yaitu 57 orang (21,9%). 5.2.3 Gambaran Jenis Kelamin Polisi Dalam penelitian ini, distribusi responden untuk jenis kelamin pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dibagi menjadi 2 (dua) yaitu perempuan dan laki-laki, seperti yang terlihat pada tabel 5.3 di bawah ini. Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Jenis Kelamin
Jumlah
Persen (%)
Perempuan
15
20,5
Laki-laki
58
79,5
67
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa polisi berjenis kelamin lakilaki lebih banyak yaitu 58 orang (79,5%) daripada polisi berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 15 orang (20,5%). 5.2.4 Gambaran Pengetahuan Gizi Polisi Dalam penelitian ini, distribusi untuk pengetahuan gizi polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dibagi menjadi 2 (dua) yaitu kurang bak dan baik, seperti yang terlihat pada tabel 5.4 di bawah ini. Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Gizi Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Pengetahuan Gizi
Jumlah
Persen (%)
Kurang Baik
19
26
Baik
54
74
Berdasarkan hasil penelitian yang terlihat pada tabel 5.4 diperoleh bahwa polisi yang memiliki pengetahuan gizi kurang baik lebih sedikit yaitu 19 orang (26%) daripada polisi yang memiliki pengetahuan gizi baik yaitu 54 orang (74%). 5.2.5 Gambaran Total Asupan Energi Polisi Dalam penelitian ini, distribusi untuk total asupan energi polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dibagi menjadi 2 (dua) yaitu > 110% angka kecukupan energi (AKE) dan < 110% angka kecukupan energi (AKE), seperti yang terlihat pada tabel 5.5 di bawah ini.
68
Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Total Asupan Energi Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Total Asupan Energi
Jumlah
Persen (%)
> 110%
21
28,8
< 110%
52
71,2
Berdasarkan hasil penelitian yang terlihat pada tabel 5.5 diperoleh bahwa polisi yang memiliki konsumsi energi > 110% angka kecukupan gizi (AKG) lebih sedikit yaitu 21 orang (28,8%) daripada polisi yang mengkonsumsi energi < 110% angka kecukupan gizi (AKG) yaitu 52 orang (71,2%). 5.2.6 Gambaran Tingkat Konsumsi Karbohidrat Polisi Dalam penelitian ini, distribusi untuk tingkat konsumsi karbohidrat polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dibagi menjadi 2 (dua) yaitu > 60% total konsumsi energi dan < 60% total konsumsi energi, seperti yang terlihat pada tabel 5.6 di bawah ini. Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Konsumsi Karbohidrat Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Tingkat Konsumsi Karbohidrat
Jumlah
Persen (%)
> 60%
35
47,9
< 60%
38
52,1
Berdasarkan hasil penelitian yang terlihat pada tabel 5.6 diperoleh bahwa polisi yang mengkonsumsi karbohidrat > 60% dari total konsumsi energi lebih sedikit yaitu 35 orang (47,9%) daripada polisi yang mengkonsumsi karbohidrat < 60% dari total konsumsi energi yaitu 38 orang (52,1%).
69
5.2.7 Gambaran Tingkat Konsumsi Protein Polisi Dalam penelitian ini, distribusi untuk tingkat konsumsi protein polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dibagi menjadi 2 (dua) yaitu > 15% total konsumsi energi dan < 15% total konsumsi energi, seperti yang terlihat pada tabel 5.7 di bawah ini. Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Konsumsi Protein Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Tingkat Konsumsi Protein
Jumlah
Persen (%)
> 15%
26
35,6
< 15%
47
64,4
Berdasarkan hasil penelitian yang terlihat pada tabel 5.7 diperoleh bahwa polisi yang mengkonsumsi protein > 15% dari total konsumsi energi lebih sedikit yaitu 26 orang (35,6%) daripada polisi yang mengkonsumsi protein < 15% dari total konsumsi energi yaitu 47 orang (64,4%). 5.2.8 Gambaran Tingkat Konsumsi Lemak Polisi Dalam penelitian ini, distribusi untuk tingkat konsumsi lemak polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dibagi menjadi 2 (dua) yaitu > 25% total konsumsi energi dan < 25% total konsumsi energi, seperti yang terlihat pada tabel 5.8 di bawah ini.
70
Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Konsumsi Lemak Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Tingkat Konsumsi Lemak
Jumlah
Persen (%)
> 25%
34
46,6
< 25%
39
53,4
Berdasarkan hasil penelitian yang terlihat pada tabel 5.8 diperoleh bahwa polisi yang mengkonsumsi lemak > 25% dari total konsumsi energi lebih sedikit yaitu 34 orang (46,6%) daripada polisi yang mengkonsumsi lemak < 25% dari total konsumsi energi yaitu 39 orang (53,4%). 5.2.9 Gambaran Tingkat Konsumsi Makanan Kudapan Polisi Dalam penelitian ini, distribusi untuk tingkat konsumsi makanan kudapan polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dibagi menjadi 2 (dua) yaitu > 250 kkal dan < 250 kkal, seperti yang terlihat pada tabel 5.9 di bawah ini. Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Konsumsi Makanan Kudapan Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Tingkat Konsumsi Makanan Kudapan
Jumlah
Persen (%)
> 250 kkal
32
43,8
< 250 kkal
41
56,2
Berdasarkan hasil penelitian yang terlihat pada tabel 5.9 diperoleh bahwa polisi yang mengkonsumsi makanan kudapan > 250 kkal lebih sedikit yaitu 32 orang (43,8%) daripada polisi yang mengkonsumsi makanan kudapan < 250 kkal yaitu 41 orang (56,2%). Adapun jenis pangan untuk makanan kudapan yang dikonsumsi oleh polisi antara lain gorengan, buah-buahan, siomay, bakso, mie
71
ayam. Dan pada penelitian ini, makanan kudapan yang paling banyak dikonsumsi adalah gorengan seperti bakwan, singkong goreng, tahu goreng, tempe goreng, pisang goreng. Hal ini dapat disimpulkan bahwa polisi mengkonsumsi makanan kudapan tinggi kalori dan lemak.
5.2.10 Gambaran Aktivitas Fisik Polisi Aktivitas fisik merupakan kegiatan polisi dalam sehari yaitu kegiatan pada waktu bekerja, kegiatan berolahraga, dan kegiatan pada waktu luang. Dalam penelitian ini, distribusi untuk aktivitas fisik polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu ringan, sedang dan berat, seperti yang terlihat pada tabel 5.10 di bawah ini. Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Aktivitas Fisik Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Aktivitas Fisik
Jumlah
Persen (%)
Ringan
12
16,4
Sedang
52
71,2
Berat
9
12,3
Berdasarkan hasil penelitian yang terlihat pada tabel 5.10 diperoleh bahwa polisi yang melakukan aktivitas fisik ringan sebanyak 12 orang (16,4%), polisi yang melakukan aktivitas fisik sedang sebanyak 52 orang (71,2%) dan polisi yang melakukan aktivitas fisik berat sebanyak 9 orang (12,3%).
72
5.3 Analisis Bivariat Hasil analisis bivariat antara variabel independen dengan variabel dependen adalah sebagai berikut. 5.3.1 Hubungan Antara Umur Dengan Status Gizi Lebih Polisi Hasil analisis bivariat antara umur dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dapat dilihat pada tabel 5.11 di bawah ini. Tabel 5.11 Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Umur Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Status Gizi Lebih Umur
Lebih
Total
Tidak Lebih
P value
N
%
N
%
N
%
> 40 tahun
8
50,0
8
50,0
16
100
< 40 tahun
21
36,8
36
63,2
57
100
Total
29
39,7
44
60,3
73
100
0,342
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada polisi berumur > 40 tahun (50%) daripada polisi berumur < 40 tahun (36,8%). Sedangkan status gizi tidak lebih banyak terjadi pada polisi berumur < 40 tahun (63,2%) daripada polisi yang berumur > 40 tahun (50%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara umur dengan status gizi lebih (P value = 0,342). 5.3.2 Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Status Gizi Lebih Polisi Hasil analisis bivariat antara jenis kelamin dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dapat dilihat pada tabel 5.12 di bawah ini.
73
Tabel 5.12 Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Jenis Kelamin Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Status Gizi Lebih
Jenis
Lebih
Kelamin
Total
Tidak Lebih
N
%
N
%
N
%
Perempuan
1
6,7
14
93,3
15
100
Laki-laki
28
48,3
30
51,7
58
100
Total
29
39,7
44
60,3
73
100
P
OR
value
95% CI
0,003
0,077 0,009-2,395
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada laki-laki (48,3%) daripada perempuan (6,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna secara statistik antara jenis kelamin dengan status gizi lebih (P value = 0,003) dan (OR = 0,077). 5.3.3 Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Dengan Status Gizi Lebih Polisi Hasil analisis bivariat antara pengetahuan gizi dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dapat dilihat pada tabel 5.13 di bawah ini. Tabel 5.13 Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Pengetahuan Gizi Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Status Gizi Lebih
Pengetahuan Gizi
Lebih
Total
Tidak Lebih
P value
N
%
N
%
N
%
Kurang Baik
7
36,8
12
63,2
19
100
Baik
22
40,7
32
59,3
54
100
Total
29
39,7
44
60,3
73
100
0,765
74
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang memiliki pengetahuan gizi baik (40,7%) daripada polisi yang memiliki pengetahuan gizi kurang baik (36,8%). Sedangkan status gizi tidak lebih banyak terjadi pada polisi yang memiliki pengetahuan gizi kurang baik (63,2%) daripada polisi yang memiliki pengetahuan gizi baik (59,3%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara pengetahuan gizi dengan status gizi lebih (P value = 0,765). 5.3.4 Hubungan Antara Total Asupan Energi Dengan Status Gizi Lebih Polisi Hasil analisis bivariat antara total asupan energi dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dapat dilihat pada tabel 5.14 di bawah ini. Tabel 5.14 Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Total Asupan Energi Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Status Gizi Lebih Total Asupan Energi
Lebih
Total
Tidak Lebih
P value
N
%
N
%
N
%
> 110% AKG
9
42,9
12
57,1
21
100
< 110% AKG
20
38,5
32
61,5
52
100
Total
29
39,7
44
60,3
73
100
0,728
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang memiliki konsumsi energi > 110% angka kecukupan gizi (AKG) (42,9,%) daripada polisi yang memiliki konsumsi energi < 110% angka kecukupan gizi (AKG) (38,5%). Sedangkan status gizi tidak lebih banyak terjadi
75
pada polisi yang memiliki konsumsi energi < 110% angka kecukupan gizi (AKG) (61,5%) daripada polisi yang memiliki konsumsi energi > 110% angka kecukupan gizi (AKG) (57,1%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara total asupan energi dengan status gizi lebih (P value = 0,728). 5.3.5 Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Karbohidrat Dengan Status Gizi Lebih Polisi Hasil analisis bivariat antara tingkat konsumsi karbohidrat dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dapat dilihat pada tabel 5.15 di bawah ini. Tabel 5.15 Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Tingkat Konsumsi Karbohidrat Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Status Gizi Lebih
Tingkat Konsumsi
Lebih
Total
Tidak Lebih
Karbohidrat
N
%
N
%
N
%
> 60%
19
54,3
16
45,7
35
100
< 60%
10
26,3
28
73,7
38
100
Total
29
39,7
44
60,3
73
100
P
OR
value
95% CI
0,015
3,325 0,413-8,874
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi karbohidrat > 60% dari total konsumsi energi (54,3%) daripada polisi yang mengkonsumsi karbohidrat < 60% dari total konsumsi energi (26,3%). Sedangkan status gizi tidak lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi karbohidrat < 60% dari total konsumsi energi (73,7%)
76
daripada polisi yang mengkonsumsi karbohidrat > 60% dari total konsumsi energi (45,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna secara statistik antara tingkat konsumsi dengan status gizi lebih (P value = 0,015) dan (OR = 3,325). 5.3.6 Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Protein Dengan Status Gizi Lebih Polisi Hasil analisis bivariat antara tingkat konsumsi protein dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dapat dilihat pada tabel 5.16 di bawah ini. Tabel 5.16 Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Tingkat Konsumsi Protein Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Status Gizi Lebih
Tingkat Konsumsi
Lebih
Total
Tidak Lebih
P value
Protein
N
%
N
%
N
%
> 15%
11
42,3
15
57,7
26
100
< 15%
18
38,3
29
61,7
47
100
Total
29
39,7
44
60,3
73
100
0,737
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi protein > 15% dari total konsumsi energi (42,3%) daripada polisi yang mengkonsumsi protein < 15% dari total konsumsi energi (38,3%). Sedangkan status gizi tidak lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi protein < 15% dari total konsumsi energi (61,7%) daripada polisi yang mengkonsumsi protein > 15% dari total konsumsi energi (57,7%). Hasil uji
77
statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara tingkat konsumsi protein dengan status gizi lebih (P value = 0,737). 5.3.7 Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Lemak Dengan Status Gizi Lebih Polisi Hasil analisis bivariat antara tingkat konsumsi lemak dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor dapat dilihat pada tabel 5.17 di bawah ini. Tabel 5.17 Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Tingkat Konsumsi Lemak Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Status Gizi Lebih
Tingkat Konsumsi
Lebih
Total
Tidak Lebih
P value
Lemak
N
%
N
%
N
%
> 25%
15
44,1
19
55,9
34
100
< 25%
14
35,9
25
64,1
39
100
Total
29
39,7
44
60,3
73
100
0,474
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi lemak > 25% dari total konsumsi energi (44,1%) daripada polisi yang mengkonsumsi lemak < 25% dari total konsumsi energi (35,9%). Sedangkan status gizi tidak lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi lemak < 25% dari total konsumsi energi (64,1%) daripada polisi yang mengkonsumsi lemak > 25% dari total konsumsi energi (55,9%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara tingkat konsumsi dengan status gizi lebih (P value = 0,474).
78
5.3.8 Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Makanan Kudapan Dengan Status Gizi Lebih Polisi Hasil analisis bivariat antara tingkat konsumsi makanan kudapan dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 dapat dilihat pada tabel 5.18 di bawah ini. Tabel 5.18 Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Tingkat Konsumsi Makanan Kudapan Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Status Gizi Lebih
Tingkat Konsumsi Makanan Kudapan
N
%
N
%
N
%
> 250 kkal
17
53,1
15
46,9
32
100
< 250 kkal
12
29,3
29
70,7
41
100
Total
29
39,7
44
60,3
73
100
Total Lebih
Tidak Lebih
P
OR
value
95% CI
0,039
2,739 0,436-7,202
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi makanan kudapan > 250 kkal (53,1%) daripada polisi yang mengkonsumsi makanan kudapan < 250 kkal (29,3%). Sedangkan status gizi tidak lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi makanan kudapan < 250 kkal (70,7%) daripada polisi yang mengkonsumsi makanan kudapan > 250 kkal (46,9%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna secara statistik antara tingkat konsumsi dengan status gizi lebih (P value = 0,039) dan (OR = 2,739)..
79
5.3.9 Hubungan Antara Aktivitas Fisik Dengan Status Gizi Lebih Pada Polisi Hasil analisi bivariat antara aktivitas fisik dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 dapat dilihat pada tabel 5.19 di bawah ini. Tabel 5.19 Distribusi Status Gizi Lebih Menurut Aktivitas Fisik Pada Polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 Status Gizi Lebih Aktivitas Fisik
Lebih
Total
Tidak Lebih
P value
N
%
N
%
N
%
Ringan
9
75
3
25
12
100
Sedang
17
32,7
35
67,3
52
100
Berat
3
33,3
6
66,7
9
100
Total
29
39,7
44
60,3
73
100
0,024
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang melakukan aktivitas ringan (75%) daripada polisi yang melakukan aktivitas berat (43,3%) dan sedang (32,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna secara statistik antara tingkat konsumsi dengan status gizi lebih (P value = 0,024).
BAB VI PEMBAHASAN
6.1
Keterbatasan Penelitian Pada penelitian ini terdapat beberapa kelemahan yang menjadi keterbatasan dalam penelitian. Keterbatasan ini dapat berasal dari peneliti sendiri maupun keterbatasan instrumen yang ada. Berikut ini adalah keterbatasan yang ada pada penelitian ini: 1.
Pengukuran gizi lebih dapat menggunakan penghitungan IMT dan lemak tubuh, tetapi peda pada penelitian ini menggunakan IMT hal ini disebabkan karena polisi memiliki tingkat aktivitas yang tidak begitu tinggi, sedangkan penghitungan lemak tubuh dapat dilakukan terhadap responden dengan tingkat aktivitas fisik yang tinggi.
2.
Pada penelitian ini, untuk pengambilan data konsumsi pangan dilakukan dengan metode recall 2×24 jam terhadap polisi. Metode recall 2×24 jam ini sangat erat hubungannya dengan kemampuan responden untuk mengingat kembali konsumsi pangan yang dikonsumsi sehari sebelum dilakukan pengambilan data dan memungkinkan untuk terjadinya bias recall sehingga sangat tergantung ketepatannya pada daya ingat responden. Akan tetapi, peneliti berusaha untuk membantu responden agar dapat mengigat konsumsi makanan yang telah dikonsumsi sehari sebelum dilakukan wawancara (penelitian). Hal ini bertujuan untuk meminimalisir terjadinya bias recall.
80
81
3.
Adanya kemungkinan bias the flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus melaporkan konsumsi makanan dengan berlebih sedangkan responden yang gemuk cenderung melaporkan makanan dengan lebih sedikit. Meskipun demikian, akan tetapi peneliti berusaha untuk menggali lebih dalam mengenai pola makan responden sehingga responden yang mengalami the flat slope syndrome jumlahnya tidak terlalu banyak (dapat diminimalisir).
6.2
Gambaran Status Gizi Lebih Polisi Berdasarkan hasil penelitian pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010 diperoleh bahwa polisi dengan gizi lebih sebesar 39,7% dan gizi tidak lebih sebesar 60,3%. Persentasae gizi lebih pada penelitian ini lebih besar jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurfatimah (2007) pada prajurit Batalyon-33 Cijantung Jakarta Timur tahun 2007 dengan hasil 38,7%, Nurusalma (2006) pada karyawan Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dengan hasil 30,9%, Suthiono (2003) pada orang dewasa di Kabupaten Minahasa dengan hasil 24,1%, Wahyuningrum (2000) pada pegawai instalasi gizi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan hasil 24,2% dan Kartisem (2001) pada pegawai Rumah Sakit Daerah Cideres dengan hasil 23,3%. Dari data di atas, dapat diketahui bahwa masih terdapatnya polisi dengan status gizi lebih. Hal ini akan meningkatkan resiko timbulnya berbagai macam komplikasi terhadap kesehatan (timbulnya berbagai macam penyakit degeneratif)
82
seperti penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, stroke, dislipidemia, osteoarthritis dan beberapa tipe kanker (Wargahadibrata, 2009 dan Moore, 2005). Terjadinya status gizi lebih pada orang dewasa termasuk polisi merupakan masalah penting karena seorang anggota polisi dituntut untuk memiliki kesehatan fisik dan psikis yang optimal dalam menjalankan semua tugas dan pekerjaannya. Hal ini akan berpengaruh terhadap ketahanan fisik sehingga dapat mengurangi kebugaran. Selain itu dapat menimbulkan gangguan emosional seperti rasa malu, renah diri, dan yang paling utama dapat mengurangi produktivitas kerja (Nurusalma, 2006).
6.3
Hubungan Antara Umur Dengan Status Gizi Lebih Berdasarkan penelitian pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor diperoleh hasil bahwa polisi yang berumur > 40 tahun sebesar 21,9% dan polisi berumur < 40 tahun sebanyak 78,1%. Bila dibandingkan dengan hasil pemantauan status gizi yang dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1996/1997 (dalam Handayani, 2002) tersebut, maka prevalensi gizi lebih pada penelitian ini relatif lebih tinggi. Selain itu, persentase kelompok umur responden > 40 tahun ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kartisem (2001) pada pegawai RSUD Cideres yaitu sebanyak 13%. Oleh sebab itu, perlu untuk diwaspadai dan perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi lebih.
83
Hasil uji Chi Square pada penelitian ini menujukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan status gizi lebih pada polisi dengan nilai (P value = 0,342). Namun Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurfatimah (2007) dan Handayani (2002) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan status gizi dengan nilai (P value = 0,52 dan P value = 0,112). Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suthiono (2003) dan Christina (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,000 dan P value= 0,018). Adanya ketidakhubungan antara usia dengan kejadian status gizi lebih pada polisi diduga adanya kemungkinan faktor gaya hidup dalam perilaku konsumsi pangan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa orang responden dengan umur > 40 tahun memiliki status gizi tidak lebih dan memiliki pola konsumsi makanan yang tidak berlebih seperti konsumsi energi, karbohidrat, protein, lemak, makanan kudapan yang cukup dan memiliki tingkat aktivitas fisik yang sedang. Menurut Pelto dalam Suharjo (1989) dalam Handayani (2002) menekankan adanya faktor gaya hidup sebagai penentu perilaku konsumsi pangan. Gaya hidup yang dimaksud merupakan hasil penyaringan dari serangkaian interaksi sosial dan budaya.
6.4
Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Status Gizi Lebih Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa polisi dengan jenis kelamin laki-laki (79,5%) lebih banyak daripada polisi dengan jenis kelamin perempuan
84
(20,5%). Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,003) dengan (OR = 0,077) yang berarti bahwa jenis kelamin laki-laki memiliki peluang sebesar 0,077 kali untuk mengalami status gizi lebih dari pada jenis kelamin perempuan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suthiono (2003) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,000). Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sebastian (2008), Nurusalma (2006) dan Handayani (2002) yang menyatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,209, P value = 0,585, dan P value = 0,507). Pada penelitian ini terlihat kecenderungan bahwa gizi lebih banyak terjadi pada polisi laki-laki dengan persentase sebesar 48,3% daripada polisi perempuan dengan persentase sebesar 6,7%. Hal ini disebabkan karena jumlah polisi perempuan pada penelitian ini lebih sedikit daripada jumlah polisi laki-laki sehingga persentase untuk perempuan lebih sedikit daripada laki-laki. Jenis kelamin akan mempengaruhi IMT (Indeks Massa Tubuh) seseorang karena biasanya laki-laki dan perempuan memiliki keinginan bentuk tubuh ideal yang berbeda. Perempuan biasanya lebih memperhatikan bentuk tubuhnya daripada laki-laki sehingga perempuan lebih menjaga pola makannya dan berusaha mengurangi asupan makanan.
85
6.5
Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Dengan Status Gizi Lebih Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan. Banyak masalah gizi dipengaruhi oleh keterbatasan pengetahuan gizi. Pengetahuan gizi menjadi landasan penting yang menentukan konsumsi makanan seseorang yang selanjutnya akan mempengaruhi status gizinya (Berg dan Muscat, 1985). Pada penelitian ini, pengetahuan gizi polisi dikategorikan mejadi 2 (dua) kategori yaitu kategori kurang baik dan kategori baik. Menurut tabel 5.4 diperoleh hasil bahwa pengetahuan gizi baik polisi lebih banyak yaitu sebesar 74% dibandingkan dengan pengetahuan gizi kurang baik polisi yaitu sebesar 26%. Berdasarkan hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,765) dengan persentase 40,7% polisi yang memiliki pengetahuan gizi baik mengalami status gizi lebih. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Prihatina (2007) dan Christina (2008) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dengan status gizi dengan nilai (P value = 0,484 dan P value = 0,631). Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Roselly (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,002). Dengan pengetahuan gizi yang cukup seharusnya dapat mempengaruhi perilaku makan. Namun, kenyataan yang ada tidak sejalan. Banyak responden yang memiliki pengetahuan gizi baik tetapi memiliki status gizi lebih. Perbedaan
86
ini disebabkan karena pengetahuan gizi yang mereka miliki belum diterapkan dalam bentuk tindakan (Hartono, 2002). Hal ini dapat terlihat adanya beberapa responden dengan pengetahuan gizi yang baik tetapi memiliki pola makan yang berlebihan dan beraktivitas yang ringan. Oleh karena itu, pendidikan gizi yang dilakukan sebagai salah satu cara meningkatkan pengetahuan gizi masyarakat termasuk polisi, selain harus dapat menarik perhatian dan minat seseorang, juga harus mampu memotivasi seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi mereka (Khomsan, 2000). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan penting dalam pembentukan tindakan seseorang, apa yang dilihat akan mempengaruhi apa yang akan ia rasakan kemudian harinya (Notoatmodjo, 1993). Dengan kata lain seseorang yang telah mengetahui sesuatu hal akan mempengaruhi perilakunya untuk melakukan hal menurut pengetahuannya.
6.6
Hubungan Antara Total Asupan Energi Dengan Status Gizi Lebih Energi dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan, perkembangan, aktivitas otot, fungsi metabolik lainnya (menjaga suhu tubuh, menyimpan lemak tubuh), dan untuk memperbaiki kerusakan jaringan dan tulang yang disebabkan karena sakit dan cedera. Sumber energi makanan berasal dari karbohidrat, protein dan lemak. Energi yang diperlukan oleh seorang remaja tergantung dari BMR (Basal Metabolic Rate) individu masing-masing, tingkat pertumbuhan, dan tingkat aktivitas fisik (Suandi dalam Soetdjiningasih, 2004).
87
Berdasarkan hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara total asupan energi dengan kejadian gizi lebih dengan nilai (P value = 0,728). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2002) dan Prihatina (2007) menyatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status gizi dengan nilai (P value = 0,555 dan P value = 0,204). Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurfatimah (2007), Hapsari (2007), dan Christina (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara total asupan energi dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,001, P value = 0,003, dan P value = 0,041). Hal ini disebabkan karena kelemahan dari metode recall 2×24 jam yang tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari, karena metode ini dilakukan sebanyak 2 (dua) kali. Selain itu, terjadinya the flat slope syndrome, dimana ada kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan konsumsi yang lebih banyak (overestimate) dan bagi responden yang gemuk cenderung melaporkan konsumsi yang lebih sedikit (underestimate) (Supariasa, 2002).
6.7
Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Karbohidrat Dengan Status Gizi Lebih Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia yang harganya relatif murah. Semua karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) golongan yaitu karbohidrat sederhana dan karbohidrat kompleks. Karbohidrat sederhana terdiri dari monosakarida,
88
disakarida, gula, alkohol, dan ologosakarida. Karbohidrat kompleks memiliki lebih dari dua unit gula sederhana. Karbohidrat kompleks terdiri dari polisakarida dan serat (Almatsier, 2004). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi karbohidrat > 60% dari total konsumsi energi yaitu sebesar 54,3%. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna secara statistik antara tingkat konsumsi karbohidrat dengan status gizi lebih (P value = 0,015) dengan (OR = 3,325) yang berarti bahwa responden yang memiliki tingkat konsumsi karbohidrat > 60% dari total konsumsi energi memiliki peluang sebesar 3,325 kali untuk mengalami status gizi lebih daripada responden dengan tingkat konsumsi energi < 60% dari total konsumsi energi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurfatimah (2007), Hapsari (2007), dan Christina (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi karobohidrat dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,001, P value = 0,022, dan P value 0,038). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Jenkins et al (2004) dalam Christina (2008) yang menyatakan bahwa turunan karbohidrat berhubungan dengan penyakit kronis seperti diabetes, kanker usus, dan CVD. Fruktosa sebagai bagian dari karbohidrat dapat meningkatkan konsentrasi serum triasilgliserol dan kolesterol LDL dan dapat menurunkan HDL. Meskipun hubungan yang kuat antara asupan sukrosa dan fruktosa dengan penyakit jantung atau diabetes tidak diketahui tetapi jelas bahwa obesitas disebabkan dengan peningkatan konsumsi
89
gula atau karbohidrat. Terdapatnya hubungan antara konsumsi karbohidrat dengan obesitas dalam penelitian ini juga dipengaruhi oleh kebiasaan penduduk Indonesia dimana sebagian besar atau sekitar 70% sumber energi penduduk Indonesia berasal dari sumber karbohidrat, maka karbohidrat memiliki peran yang sangat penting dalam menimbulkan kejadian obesitas. Konsumsi karbohidrat yang berlebih akan disimpan oleh tubuh sebagai cadangan energi dalam bentuk trigliserida di jaringan adipose (Sediaoetama, 2006). Dalam penelitian ini, sebanyak 33 orang polisi mengkonsumsi karbohidrat lebih dari angka kecukupan. Hal ini bila berlangsung secara terus menerus maka cadangan energi di jaringan adipose akan meningkat sehingga banyak polisi yang akan mengalami kegemukan. Apalagi di tambah konsumsi lemak yang tinggi dan aktifitas fisik yang rendah tentu akan mempercepat proses kegemukan. Sedangkan menurut Basha (2006) dalam Rembulan (2007) bahwa karbohidrat merupakan salah satu faktor risiko terjadinya obesitas. Konsumsi karbohidrat yang berlebih dapat memicu produksi hormon insulin yang berlebihan sehingga dapat meningkatkan pembentuk lemak yang akhirnya berujung pada overweight dan obesitas. Hasil penelitian pada penderita obesitas tingkat berat yang diberikan diet rendah karbohidrat dengan rendah lemak, menunjukkan bahwa pada penderita obesitas yang diberi rendah karbohidrat berat badannya lebih banyak turun dalam waktu 6 bulan dibandingkan dengan yang diberi diet rendah lemak dan kalori dibatasi (Suryantan, 2003).
90
Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2002) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi karbohidrat dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,117). Beberapa hasil penelitian yang dikumpulkan oleh FAO/WHO (2004) dalam Christina (2008) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara konsumsi tinggi gula dengan peningkatan IMT (Indeks Massa Tubuh).
6.8
Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Protein Dengan Status Gizi Lebih Protein merupakan bahan utama dalam pembentukan sel jaringan, baik jaringan tubuh tumbuh-tumbuhan maupun tubuh manusia dan hewan. Oleh karena itu, protein disebut unsur pembangun (Moehyi, 2007). Dan sebaiknya energi yang diperlukan tubuh hendaknya didapat dari 10%-15% protein (Almatsier, 2003 dan Sayogo, 2006). Berat badan sangat menentukan banyak sedikitnya protein yang diperlukan. Oleh sebab itu, seseorang yang memiliki berat badan lebih tinggi memerlukan protein lebih banyak daripada seseorang yang memiliki berat badan lebih ringan (Suhardjo, 1989). Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi protein dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,737). Namun hasil penelitian memperoleh bahwa polisi yang mengkonsumsi protein > 15% dari total konsumsi energi sebesar 42,3% mengalami gizi lebih. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Christina (2008) dan Sebastian (2008) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi protein dengan status gizi lebih dengan nilai (P value =
91
0,543 dan P value = 0,544). Akan tetapi penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2002), Nurfatimah (2007), dan Roselly (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi protein dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,1 P value = 0,012 dan P value = 0,000). Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi protein dengan kejadian gizi lebih diasumsikan karena adanya faktor berat badan, umur, jenis kelamin, mutu protein dan pertumbuhan yang dapat mempengaruhi kebutuhan protein (Suhardjo, 1989). Selain itu sebagian besar polisi yang memiliki status gizi lebih maupun status gizi tidak lebih banyak mengkonsumsi makanan tinggi energi seperti es teh manis dengan gula yang cukup banyak atau jus dengan menggunakan gula dan susu. Sehingga asupan protein sedikit yang terserap oleh tubuh. Sedangkan protein dalam tubuh berfungsi sebagai penyedia energi apabila kebutuhan energi tidak tercukupi dari konsumsi karbohidrat dan lemak (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2003). Menurut Jebb (2006) dalam Christina (2008) studi yang mempelajari hubungan antara protein dan jenisjenis protein dengan kejadian obesitas menunjukkan hasil yang tidak konsisten.
6.9
Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Lemak Dengan Status Gizi Lebih Lemak merupakan salah satu sumber energi utama tubuh. Satu gram lemak menghasilkan 9 kalori energi. Lemak akan disimpan di dalam tubuh dalam bentuk jaringan adipose. Jaringan ini tidak aktif karena tidak ikut dalam proses
92
metabolisme sehari-hari akan tetapi jaringan ini sangat penting sebagai cadangan energi (Sediaoetama, 2006). Menurut Read dan Balzos (1997) dalam Sebastian (2008) lemak di dalam tubuh lebih mudah disimpan sebagai cadangan energi dalam jaringan adipose. Jika dibandingkan dengan karbohidrat yang menggunakan 23% energi untuk diubah menjadi cadangan lemak dalam jarinagn adipose, lemak hanya membutuhkan 3% energi. Oleh karena itu konsumsi lemak cenderung lebih cepat menimbulkan kegemukan dibandingkan karbohidrat dan protein. Pengukuran lemak pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode recall 2×24 jam. Hasil uji Chi Square menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,474). Namun penelitian ini memperlihatkan bahwa polisi yang mengkonsumsi lemak > 25% lebih banyak mengalami gizi lebih yaitu sebesar 44,1%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2002) dan Nurfatimah (2007) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,327 dan P value = 0,082). Akan tetapi penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sebastian (2008) dan Roselly (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,01 dan P value = 0,004). Tidak bermaknanya hubungan ini mungkin disebabkan karena konsumsi lemak seorang polisi lebih rendah daripada kebutuhan per harinya. Mereka
93
berasumsi bahwa hanya lemak yang dapat menyebabkan naiknya berat badan sehingga mereka menghindari makanan yang berlemak.
6.10 Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Makanan Kudapan Dengan Status Gizi Lebih Makanan kudapan biasanya dikonsumsi di antara dua waktu makan utama, yaitu makan pagi dan makan siang atau makan siang dan makan malam. Makan makanan kudapan di sela-sela waktu makan utama biasanya dilakuan di waktu senggang atau sambil bekerja memang dapat membuat badan gemuk bahkan kegemukan (obesitas). Hal ini dikarenakan kebanyakan kudapan yang dikonsumsi masyarakat mengandung kalori yang tinggi, karbohidrat, dan lemak. Berdasarkan hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi makanan kudapan dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,039) dengan (OR = 2,739) yang berarti bahwa responden yang memiliki tingkat konsumsi makanan kudapan > 250 kkal memiliki peluang sebesar 2,739 kali untuk mengalami status gizi lebih daripada responden dengan tingkat konsumsi makanan kudapan < 250 kkal. Hasil penelitian ini sejalan menurut Hardinsyah dan Dodik (1990) yang menyatakan bahwa makanan kudapan jika dikonsumsi > 250 kkal akan berisiko terhadap kejadian gizi lebih. Jenis makanan kudapan yang paling sering dikonsumsi oleh polisi adalah gorengan yang merupakan makanan tinggi kalori. Jika mengkonumsi makanan tinggi kalori yang tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang tinggi akan berpengaruh terhadap berat badan sehingga akan mengalami berat badan lebih.
94
Untuk menghindari terjadinya obesitas sebaiknya polisi mengkonsumsi makanan rendah kalori dan lemak. Hal ini disebabkan karena sebagian besar personil polisi memiliki tingkat aktivitas fisik yang sedang.
6.11 Hubungan Antara Aktivitas Fisik Dengan Status Gizi Lebih Aktivitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi, jika aktivitas fisik seseorang kurang sementara energi yang masuk tetap atau bahkan lebih tinggi dari kebutuhan, maka energi ini tidak dapat digunakan secara optimal dan kelebihannya akan disimpan di dalam tubuh dalam bentuk lemak tubuh (Soeharto, 2001 dalam Handayani, 2002). Suatu studi perspektif pada orang dewasa menunjukkan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan pencegahan terjadinya pertambahan berat badan yang dihubungkan dengan umur (Williamson, 1995). Hasil penelitian pada polisi menunjukkan bahwa sebanyak 9 orang (75%) yang melakukan aktivitas ringan mengalami gizi lebih sedangkan karyawan yang melakukan aktivitas sedang dan berat lebih sedikit yang mengalami gizi lebih (32,7% dan 43,3%). Hal ini jelas terlihat bahwa polisi yang hanya melakukan aktivitas ringan lebih berpotensi mengalami gizi lebih. Berdasarkan hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,024). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurusalma (2006) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara aktivtas fisik dengan status gizi lebih dengan nilai (P value =). Namun
95
penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sebastian (2008) dan Roselly (2008) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,395 dan P value = 1). Berdasarkan hasil survei longitudinal di Amerika dan Finlandia, orang dewasa yang berperilaku hidup santai lebih besar risiko pertambahan berat badannya dibandingkan orang dewasa yang aktif. Orang yang selalu aktif dapat mencegah terjadinya pertambahan berat badan seiring dengan pertambahan umur dan telah ada bukti kuat yang menghubungkan peningkatan tingkat aktifitas fisik dengan distribusi lemak tubuh yang lebih baik (WHO, 1995). Menurut Wirakusumah (1994) dalam Nurusalma (2006) mengatakan bahwa konsumsi dan aktifitas fisik individu akan mempengaruhi berat badan. Begitu pula menurut Klesges (1992) yang mengatakan bahwa peningkatan aktivitas fisik berhubungan dengan berkurangnya berat badan. Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa tingkat aktivitas fisik polisi tergolong tingkat aktivitas fisik yang sedang dan terdapat beberapa anggota polisi yang memiliki tingkat aktivitas fisik yang ringan dan memiliki berat badan yang lebih. Untuk menghindari terjadinya kelebihan berat badan, sebaikntya polisi dapat meningkatkan aktivitas fisik terutama polisi yang memiliki tingkat aktivitas fisik ringan seperti dengan lebih banyak berolahraga.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan dan data yang diperoleh di Kepolisian Resort Kota Bogor tahun 2010 dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Responden yang memiliki status gizi lebih (overweigth dan obesitas) sebesar 39,7% dan responden yang memiliki status gizi tidak lebih sebesar 60,3%.
2.
Sebagian besar responden memliki umur < 40 tahun yaitu sebanyak 57 orang (78,1%), dengan responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 58 orang (79,5%) dan pengetahun gizi baik sebanyak 54 orang (74%).
3.
Tingkat konsumsi makanan sebagian besar responden untuk tingkat konsumsi energi < 110% angka kecukupan energi (AKE) dengan jumlah 52 orang (71,2%), konsumsi karbohidrat < 60% dari total konsumsi energi dengan jumlah 38 orang (52,1%), konsumsi protein < 15% dari total konsumsi energi dengan jumlah 47 orang (64,4%), konsumsi lemak < 25% dari total konsumsi energi dengan jumlah 39 orang (53,4%) dan konsumsi makanan kudapan < 250 kkal yaitu 41 orang (56,2%).
4.
Aktivitas fisik responden sebagian besar memiliki aktivitas sedang dengan jumlah 52 orang (71,2%), responden dengan aktivitas ringan sebanyak 12 orang (16,4%), dan respodenen dengan aktivitas berat sebanyak 9 orang (12,3%). 96
97
5.
Variabel umur tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan status gizi lebih dengan nilai P value = 0,342.
6.
Variabel jenis kelamin memiliki hubungan yang bermakna dengan status gizi lebih dengan nilai P value = 0,003 dan nilai OR = 0,77.
7.
Variabel pengetahuan gizi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan status gizi lebih dengan nilai P value = 0,765.
8.
Variabel total asupan energi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan status gizi lebih dengan nilai P value = 0,728.
9.
Variabel tingkat konsumsi karbohidrat memiliki hubungan yang bermakna dengan status gizi lebih dengan nilai P value = 0,015 dengan nilai OR = 3,325.
10. Variabel tingkat konsumsi protein tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan status gizi lebih dengan nilai P value = 0,737. 11. Variabel tingkat konsumsi lemak tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan status gizi lebih dengan nilai P value = 0,474. 12. Variabel tingkat konsumsi makanan kudapan memiliki hubungan yang bermakna dengan status gizi lebih dengan nilai P value = 0,039 dengan nilai OR = 2,739. 13. Variabel aktivitas fisik memiliki hubungan yang bermakna dengan status gizi lebih dengan nilai P value = 0,024 dengan nilai.
98
7.2
Saran Setelah menganalisa hasil dan pembahasan penelitian, maka diberikan beberapa saran antara lain: 1. Dari penelitian diketahui bahwa jenis makanan kudapan yang paling banyak dikonsumsi oleh personil Kepolisian Resort Kota Bogor adalah gorengan seperti bakwan, singkong goreng, tahu goreng, tempe goreng, dan pisang goreng yang merupakan makanan tinggi kalori dan lemak. Sebaiknya instansi Kepolisian Resort Kota Bogor bekerjasama dengan Dinas Kesehatan setempat memberikan penyuluhan tentang makanan sehat dan bergizi agar personil Kepolisian Resort Kota Bogor terhindar dari status gizi lebih. 2. Sebaiknya instansi Kepolisian Resort Kota Bogor memperhatikan kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas fisik seperti dengan mengatur kembali jadwal olahraga seperti senam atau lari dari satu kali seminggu menjadi dua kali seminggu. Hal ini bertujuan untuk menghindari gizi lebih dan juga untuk meningkatkan kesehatan setiap personil Kepolisian Resort Kota Bogor.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Kudapan Sehat Rendah Gula. Available from World Wide Web: http://www.kamusilmiah.com/kesehatan/kudapan-sehat-rendah-gula/ Anonim. 2010. Snack Kedelai Hambat Penuaan. Available from World Wide Web: http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Nutrition&y=cyberme d|0|0|6|539 Almatsier, Sunita. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Apriadji, Wied Harry. 1986. Gizi Keluarga. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Arisman. 2009. Gizi dalam Daur Kehidupan Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Baecke, JAH; Burema. J and Frijters, JER. 1982. A Short Questionnaire for The Measurement of Habitual Physical Activity in Epidemiological Studies. American Journal of Clinical Nutrition 36: 936-942 Barasi, E. Mary. 2009. At a Glance Ilmu Gizi. Penerbit Erlangga. Jakarta. Berg, Alan dan Robert J. Muscat. 1985. Faktor Gizi. Terjemahan oleh Sediaoetama. Bhatara Karya Aksara. Jakarta. Bonasari, Lettu. 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Obesitas di Kalangan Prajurit. Majalah Cakrawala TNI AL. Brown, Judith E. 2003. Nutrition Through The Life Cycle. Wadsworth Group. USA Polisi Gendut di Jepang berjuang Melawan Obesitas « Buletin Bisnis Buletin Bisnis. 2008. Polisi Gendut di Jepang Berjuang Melawan Obesitas. [Accesed 15 Januari 2010]. Available from World Wide Web: http://buletinbisnis.wordpress.com/2008/08/05/polisi-gendut-di-jepang-berjuangmelawan-obesitas/ Cholidah, Siti. 2008. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Tingkat Konsumsi Zat Gizi Pada Atlet Remaja Senam Ritmik Di Gedung Senam Radin Inten Jakarta Tahun 2008. Skripsi. PSKMUIN. Jakarta.
98
99
Christina, Dilla. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Obesitas Pada Pekerja Onshore Pria Perusahaan Migas X di Kalimantan Timur Tahun 2008 (Analisis Data Sekunder). Skripsi. FKMUI. Depok. Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKMUI. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Direktorat Gizi Masyarakat. 2003. Petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi Orang Dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Gizi dalam Angka (Sampai dengan Tahun 2002). Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Jakarta. Garrow, 1993. Obesity, dalam Human Nutritional and Diabetics. Churcill Livingston Gibney, Michael J, et al. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Gibson, Rosalind S. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Oxford University Press. Guthrie A. Helan and Picciano F, Marry. 1995. Human Nutrition. Mosby. Hamzah, Said Amir. 1995. Hubungan Status Gizi Terhadap Kesegaran Jasmani Prajurit Batalyon Infanteri-2 Marinir Tahun 1993/1994. Skripsi. FKMUI. Depok. Handayani, Titie. 2002. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi (IMT) Karyawan Departemen Operasional PT. Jakarta Internasional Container Terminal (JICT) Tanjung Priok Tahun 2002. Skripsi. FKMUI. Depok Hapsari, Listya Permana. 2007. Analisis Konsumsi dan Aktifitas Fisik Terhadap Status Gizi Lebih Pada Karyawan PT. Angkasa Citra Sarana Catering Service (PT. ACS) Jakarta Tahun 2007. Skripsi. FKMUI. Depok. Hardinsyah, Dodik Briawan. 1990. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hui, Y.H. 1985. Principle and Issues in Nutrition. Wodsworth Health Science Division. California.
100
Ilmu Keperawatan. 2008. Ancaman Kesehatan di Balik Kegemukan. [Accesed 15 Januari 2010]. Available from World Wide Web: http://keperawatangun.blogspot.com/2008/08/ancaman-kesehatan-di-balik-kegemukan.html Irawati. 2000. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Orang Dewasa di Kotamadya Jakarta Selatan Tahun 1998. Skripsi. FKMUI. Depok. Jayadi, A. (2001). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan IMT Orang Dewasa di Kodya Lampung Tahun 2000. Skripsi. FKMUI. Depok. Kamso, Sudijanto. 2000. Nutritional Aspects of Hypertension in The Indonesian Elderly (A Community Study in 6 Big Cities). Disertasi. FKMUI. Depok. Kartasapoetra, G. Marsetyo. 2003. Ilmu Gizi, Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktivitas Kerja. Rineka Cipta. Jakarta. Kartisem. 2001. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Status Gizi Berdasarkan IMT Pada Pegawai RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2001. Skripsi. FKMUI. Depok. Kaufinan, Mildred. 2007. Nutrition in Promoting The Public Health. Jones and Bartlett Publishers. Canada. Kawilarang, Renne R.A dan Adiati Harriska Farida. 2009. Meksiko Bermasalah dengan Polisi Gendut. [Accesed 15 Januari 2010]. Available from World Wide Web: http://dunia.vivanews.com/news/read/97669meksiko_bermasalah_dengan_polisi_gendut Khomsan, Ali. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Khomsan, Ali. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Klesges, et al. 1992. A longitudinal Analysis of The Impact of Diatery Intake and Physical Activity on Weight Change in Adult. The American Journal of Clinical Nutrition, Volume 55 : 818-822. Kuntaraf, Jonathan dan Kuntaraf, Liwijaya Kathleen. 1992. Olahraga Sumber Kesehatan. Percetakan Advent Indonesia. Bandung. Moehdji, Sjahmien. 1992. Ilmu Gizi. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
101
Moehdji, Sjahmien. 1997. Ilmu Gizi (Pengetahuan Dasar Ilmu Gizi). Papas Sinar Sinanti. Jakarta. Moehdji, Sjahmien. 2003. Ilmu Gizi 2 (Penanggulangan Gizi Buruk. PT. Bhratara Biaga Media. Jakarta. Moore, Mary Courtney. 2005. Terapi Diet dan Nutrisi Edisi II. Hipokrates. Jakarta. Muchtadi, Deddy. 2001. Pencegahan Gizi Lebih dan Penyakit Kronis Melalui Perbaian Pola Konsumsi Pangan. Dalam Pangan dan Gizi. Sagung Seto. Jakarta. Muhilal, dkk. 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan dalam Widya Karya Pangan dan Gizi (WKPG VI). LIPI. Jakarta. Nugraha, Irawan G. 2009. Etiologi dan Patofisiologi Obesitas. Dalam Obesitas Permasalahan dan Terapi Praktis. Sagung Seto. Jakarta. Nurfatimah, Hindiarti. 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Persen Lemak Tubuh (PLT) pada Prajurit Batalyon-33 Cijantung Jakarta Timur Tahun 2007. Skripsi. FKMUI. Depok. Nurlaela. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Status Gizi Lebih Pada Siswa di SMA Labschool Kebayoran Baru Jakarta Selatan Tahun 2009. Skripsi. FKIKUIN. Jakarta. Nurmaya, Heavy. 2005. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Karyawan Departemen Quarry PT. Semen Cibinong Tahun 2005. Skripsi. FKMUI. Depok. Nurusalma, Nunung. 2006. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Karyawan Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2006. Skripsi. FKMUI. Depok. Pallant, Jullie. 2005. SPSS Survival Manual: A Step Guide To Data Analysis Using SPSS. Printed by Ligare. Sidney. Purwoko, Sri. 2002. Tubuh Sehat Pedoman Pemeliharaan. Arcan. Jakarta. Prihatina, Dian. 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) Karyawan PT. Pantja Motor Pondok Ungu Bekasi Tahun 2007. Skripsi. FKMUI. Depok. RDA. 1989. Recommended Dietary Allowencess Tenth Edition National Research Council. National Academy Press. Washington DC USA
102
Rembulan, Febricaulia. 2007. Obesitas dan Golongan Darah, Asupan Energi, Karbohidrat, serta Lemak di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau Tahun 2007. Skripsi FKM-UI. Depok. Roselly, Nimas Ayu Arce P. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Obeitas Berdasarkan Persen Lemak Tubuh Pada Pria (40-55 Tahun) di Kantor Direktorat Jenderal Zeni TNI-AD Tahun 2008. Skripsi. FKMUI. Depok. Satoto. 1994. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Gizi Lebih Sebagai Bagian Dari KIE Gizi Ganda dalam Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Satoto, dkk. 1998. Kegemukan, Obesitas dan Penyakit Degeneratif: Epidemiologi dan Strategi Penanggulangan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Sayogo, Savitri. 2006. Gizi Remaja Putri. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Sebastian, Dixie. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Status Gizi Lebih Karyawan Bagian Produksi Aerowisata Catering Service (ACS) Jakarta Tahun 2008. Skripsi. FKIKUIN. Jakarta. Sediaoetama, A. Djaeni. 2006. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Dian Rakyat. Jakarta. Soeharto, Imam. 2000. Pencegahan dan Penymebuhan Penyakit Jantung Koroner. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. IPB PAU Pangan & Gizi. Bogor Suprajitno, Adji AR. 1991. Obesitas Patofisiologi dan Pengobatan dalam Temu Ilmiah Obesitas dan Masalahnya. Rumah Sakit Pusat Pertamina Jaya. Jakarta. Surjana, J. Enud, Hardjoprakoso, Winahyo. 1986. Kegemukan dalam Obstetri dan Ginekologi dalam Kegemukan Masalah dan Penanggulangannya. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Suryantan, J. 2003. Dietary Intake Changes and Relations to Body Weight on Selected Indonesian Adult. Research Report, FK-UI. Jakarta. Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
103
Suthiono, Meidy. 2003. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Lebih Berdasarkan IMT Pada Orang Dewasa di Kabupaten Minahasa Tahun 2002. Skripsi. FKMUI. Depok. Suyono, Slamet. 1993. Penyakit Degeneratif dan Gizi Lebih. Dalam Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. LIPI. Jakarta. Syafiq, Ahmad dkk. 2006. Modul Kesehatan Masyarakat. UIN Jakarta Press. Jakarta. Tandou, Otto Pieter. 1986. Kegemukan Akibat Ulah Manusia dalam Kegemukan, Obesitas dan Penyakit Degeneratif: Epidemiologi dan Strategi Penanggulangan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Tapan, Erik. 2007. Penyakit Degeneratif. PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta. Triwinarto, Agus. 2006. Hubungan Antara Aktivitas Fisik Dengan Kegemukan Pada Kohort Anak Di Kota Bogor. Tesis Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok Uripi, Vera. 2004. Menu Sehat Untuk Balita. Puspa Swara. Jakarta. Wahlqvist, L Mark. 2002. Australia and New Zealand Food and Nutrition. Allen & Unwin Ptd Ltd. New South Wales. Wahyuningrum, Sri Rejeki. 2000. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) Pegawai Instalasi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Tahun 2000. Skripsi. FKMUI. Depok. Wargahadibrata, Firmansah A. 2009. Penyakit Penyerta Pada Obesitas. Dalam Obesitas Permasalahan dan Terapi Praktis. Sagung Seto. Jakarta. Waspadji, Sarwono. 2003. Pengkajian Status Gizi Studi Epidemiologi. Pusat Diabetes dan Lipid RSCM/FKUI dan Instalasi Gizi. Jakarta. WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing The Global Epidemic: Report of a WHO Consultation. WHO Technical Resport Series 894. Geneva. Williamson, DF, et al. 1991. Smoking Cessation and Severity of Weight Gain in a National Cohort. The New England Journal of Medicine. Volume 432 (11) : 739745. Yuniastuti, Ari. 2008. Gizi dan Kesehatan. Graha Ilmu. Yogyakarta.
104
LAMPIRAN 4 ANALISIS UNIVARIAT
LAMPIRAN 5 ANALISIS BIVARIAT Umur Responden * Status Gizi Lebih Responden
Jenis Kelamin Responden * Status Gizi Lebih Responden
Pengetahuan Gizi Responden * Status Gizi Lebih Responden
Total Asupan Energi Responden * Status Gizi Lebih Responden
Tingkat Konsumsi Karbohidrat Responden * Status Gizi Lebih Responden
Tingkat Konsumsi Protein Responden * Status Gizi Lebih Responden
Tingkat Konsumsi Lemak Responden * Status Gizi Lebih Responden
Tingkat Konsumsi Makanan Kudapan Responden * Status Gizi Lebih Responden
Aktivitas Fisik Responden * Status Gizi Lebih Responden
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GIZI LEBIH PADA POLISI DI KEPOLISIAN RESORT KOTA BOGOR TAHUN 2010
PENELITI
NAMA NIM
: RIRA WAHDANI MARTALIZA : 105101003249
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Saya mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sedang melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lebih pada polisi di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010. Untuk itu, saya meminta kesediaan bapak dan ibu untuk mengisi kuesioner ini. Kejujuran bapak dan ibu sangat diharapkan untuk mengisi identitas dan jawaban bapak dan ibu akan saya rahasiakan. Atas perhatian dan kerjasama bapak dan ibu, saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
No. ID Responden : ............................................ (diisi oleh peneliti) Tanggal Wawancara : ............................................
LEMBAR KUESIONER
A. IDENTITAS RESPONDEN A1. BB : ..............................(kg) TB : ..............................(cm) A2. Nama : A3. Bagian/satuan : A4. Umur : A5. Jenis Kelamin 1. Perempuan 2. Laki-laki A6. No. Tlp/Hp : B. PENGETAHUAN GIZI B1. Apakah fungsi makanan bagi tubuh? 1. Memberikan kekuatan untuk tetap hidup 2. Sebagai sumber tenaga, pembangun dan pengatur 3. Agar mudah berkonsentrasi B2. Apakah yang dimaksud dengan menu seimbang? 1. Nasi, tempe, sayur, dan buah 2. Nasi, tahu, ikan 3. Singkong, sayur, jagung, dan buah B3. Kelompok makanan di bawah ini yang dapat menggantikan pangan nasi sebagai sumber zat tenaga adalah: 1. Singkong, mie, roti, bihun 2. Singkong, roti, pepaya, jagung 3. Roti, bayam, ubi jalar, pepaya B4. Makanan yang baik untuk kesehatan adalah: 1. Sayuran dan buah-buahan 2. Makanan gorengan, buah-buahan, biskuit 3. Margarin, sayuran, buah-buahan kalengan B5. Yang berperan sebagai fungsi zat tenaga adalah: 1. Karbohidrat 2. Karbohidrat, protein dan lemak 3. Karbohidrat, lemak, kolesterol B6. Jenis karbohidrat sederhana 1. Gula 2. Nasi 3. Tepung B7. Di bawah ini bahan makanan yang mengandung protein adalah: 1. Ayam, daging, tahu, tempe 2. Beras, mie, jagung, ubi, dan roti
DIISI OLEH PENELITI [ ]A1
[ [
]A4 ]A5
DIISI OLEH PENELITI [ ]B1
[
]B2
[
]B3
[
]B4
[
]B5
[
]B6
[
]B7
B8.
B9.
B10.
B11.
B12.
B13.
B14.
B15.
B16.
3. Roti, tempe, tahu, jeruk Di bawah ini bahan makanan yang mengandung lemak adalah 1. Keju, santan, kuning telur 2. Santan, sayuran hijau, kuning telur 3. Santan, minyak, mentega, wortel Gangguan kegemukan dapat dialami oleh: 1. Balita, remaja dan dewasa 2. Balita dan remaja 3. Remaja dan dewasa Sumber makanan karbohidrat, sebaiknya dikonsumsi sebanyak: 1. Setengah dari kebutuhan energi 2. Sepertiga dari kebutuhan energi 3. Seperempat dari kebutuhan energi Konsumsi energi yang melebihi kecukupan energi secara berkelanjutan akan menyebabkan: 1. Overweight (kelebihan berat badan) 2. Peningkatan tenaga 3. Kekurangan zat gizi Untuk menurunkan kadar kolesterol sebaiknya mengurangi konsumsi: 1. Lemak total dan lemak jenuh 2. Lemak tak jenuh dan lemak jenuh 3. Kolesterol dan protein Bahan makanan sumber zat pembangun adalah 1. Ikan, kacang-kacangan, tempe, ayam 2. Daging, roti, susu 3. Gula, tepung, nasi Pola makan utama yang baik adalah 1. 3 kali/hari 2. > 3kali/hari 3. 2 kali/hari Di bawah ini, penyakit yang dapat ditimbulkan oleh obesitas adalah 1. Diabetes mellitus (kencing manis), hipertensi, jantung 2. Insomnia (susah tidur), gangguan kulit, gangguan mata 3. Tekanan darah rendah, gangguan pencernaan, gangguan ginjal Sumber bahan makanan lemak berfungsi untuk: 1. Zat tenaga/energi 2. Zat pembangun 3. Zat pengatur
[
]B8
[
]B9
[
]B10
[
]B11
[
]B12
[
]B13
[
]B14
[
]B15
[
]B16
B17. Cara pengolahan bahan makanan yang baik untuk mencegah kegemukan adalah: 1. Direbus 2. Digoreng 3. Dibakar B18. Sumber kalori utama bagi tubuh adalah 1. Karbohidrat 2. Lemak dan vitamin 3. Protein, vitamin dan mineral B19. Sumber makanan lemak, sebaiknya dikonsumsi sebanyak: 1. Seperempat dari kebutuhan energi 2. Setengah dari kebutuhan energi 3. Sepertiga dari kebutuhan energi B20. Zat gizi utama yang dibutuhkan oleh tubuh adalah 1. Karbohidrat, protein, dan lemak 2. Protein, vitamin, dan mineral 3. Vitamin, mineral, dan kolesterol C. AKTIVITAS FISIK C1. Di bagian atau satuan manakah bapak/ibu bekerja? .......................................................................... C2. Apakah selama bekerja, bapak/ibu duduk 1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Kadang-kadang 4. Sering 5. Sangat sering C3. Apakah selama bekerja, bapak/ibu berdiri 1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Kadang-kadang 4. Sering 5. Sangat sering C4. Apakah selama bekerja, bapak/ibu berjalan 1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Kadang-kadang 4. Sering 5. Sangat sering C5. Apakah selama bekerja, bapak/ibu mengangkat beban berat 1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Kadang-kadang 4. Sering 5. Sangat sering
[
]B17
[
]B18
[
]B19
[
]B20
DIISI OLEH PENELITI
[
]C2
[
]C3
[
]C4
[
]C5
C6.
C7.
C8.
C9.
C10. C11.
C12.
C13. C14.
Apakah setelah bapak/ibu bekerja merasa lelah 1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Kadang-kadang 4. Sering 5. Sangat sering Apakah setelah bapak/ibu bekerja berkeringat 1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Kadang-kadang 4. Sering 5. Sangat sering Bila dibandingkan dengan rekan seumur, bapak/ibu merasa pekerjaan ini 1. Sangat ringan 2. Ringan 3. Sedang 4. Berat 5. Sangat berat Apakah bapak/ibu suka berolahraga 1. Ya 2. Tidak (lanjut ke no. C16) Olahraga yang paling sering bapak/ibu lakukan ................................................................. Berapa jam dalam 1 minggu? 1. <1 2. 1-2 3. 2-3 4. 3-4 5. >4 Berapa bulan dalam 1 tahun? 1. <1 2. 1-3 3. 4-6 4. 7-9 5. >9 Olahraga lain yang sering bapak/ibu lakukan ................................................................. Berapa jam dalam 1 minggu? 1. <1 2. 1-2 3. 2-3 4. 3-4 5. >4
[
]C6
[
]C7
[
]C8
[
]C9
[
]C10
[
]C11
[
]C12
[
]C13
[
]C14
C15. Berapa bulan dalam 1 tahun? 1. <1 2. 1-3 3. 4-6 4. 7-9 5. >9 C16. Dibandingkan dengan orang lain yang seumur dengan bapak/ibu, bagaimana aktivitas fisik bapak/ibu pada waktu luang 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Sama saja 4. Banyak 5. Sangat banyak C17. Selama waktu luang, bapak/ibu berkeringat 1. Sangat sering 2. Sering 3. Kadang-kadang 4. Jarang 5. Tidak pernah C18. Selama waktu luang, bapak/ibu berolahraga 1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Kadang-kadang 4. Sering 5. Sangat sering C19. Pada waktu luang bapak/ibu menonton televisi 6. Tidak pernah 7. Jarang 8. Kadang-kadang 9. Sering 10. Sangat sering C20. Pada waktu luang bapak/ibu berjalan-jalan 1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Kadang-kadang 4. Sering 5. Sangat sering C21. Pada waktu luang bapak/ibu bersepeda 1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Kadang-kadang 4. Sering 5. Sangat sering
[
]C15
[
]C16
[
]C17
[
]C18
[
]C19
[
]C20
[
]C21
C21. Berapa menit bapak/ibu berjalan kaki dan atau bersepeda setiap hari dari dan ke tempat bekerja 1. < 5 menit 2. 5-15 menit 3. 15-30 menit 4. 30-45 menit 5. > 45 menit
[
]C21
KUESIONER KONSUMSI MAKANAN (FOOD RECALL 24 JAM)
Nama Jenis Kelamin Tanggal Wawancara Pewawancara
: ............................................................................. : ............................................................................. : ............................................................................. : ............................................................................. Masakan
Waktu Makan
Nama/Menu
Bahan Makanan Banyak (Jumlah) Jenis (Nama Bahan Makanan) Gram URT