FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI PADA SISWA SMA DI KABUPATEN SEMARANG
ARTIKEL
OLEH: KHAIRUNNISA 020112a016
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO UNGARAN 2016
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI PADA SISWA SMA DI KABUPATEN SEMARANG Khairunnisa*) Auly Tarmali SKM, M.Kes.,**) Yuliaji Siswanto, S.KM,M.Kes (Epid)**) *Mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo ** Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo ABSTRAK Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, mengakibatkan perubahan gaya hidup yang tidak sehat pada remaja. Hal ini menyebabkan remaja mengalami masalah gizi ganda, dimana masalah gizi kurang yang belum teratasi secara menyeluruh, dan terjadi peningkatan masalah gizi lebih. Masalah gizi pada remaja perlu diperhatikan karena pengaruhnya yang besar terhadap pertumbuham dan perkembangan saat dewasa. Upaya dini pencegahan masalah gizi dengan mengetahui faktor risiko terjadinya permasalahan gizi sangat perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya dampak buruk bagi remaja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang. Jenis penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA tahun ajaran 2015/2016 di Kabupaten Semarang sebanyak 9201 siswa. Sampel diambil menggunakan teknik two stage cluster sampling dengan jumlah 383 siswa. Data diperoleh melalui kuesioner, pengukuran berat badan dan tinggi badan. Teknik analisis data dengan menggunakan uji chi square (α = 0,05). Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan antara pengetahuan gizi (p=0,000, C=0,221), pendidikan ibu (p=0,041, C=0,128), pendapatan orang tua (p=0,015, C=0,146) dengan status gizi. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin (p=0,153), kebiasaan olahraga (p=0,382) dengan status gizi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan perlu adanya upaya dari sekolah untuk melakukan pemantauan kesehatan khususnya status gzi secara rutin pada siswa SMA. Kata Kunci : Status Gizi, Jenis Kelamin, Kebiasaan olahraga, Pengetahuan Gizi, Pendidikan Ibu, Pendapatan, Remaja Kepustakaan : 38 (2000-2015) ABSTRACT As the times and technological advances, resulting in a change of unhealthy lifestyles in adolescents. This causes adolescent experience double nutritional problems, where the problem of malnutrition that has not been completely resolved, and the increase of overweight problem. Nutritional problems in adolescent need to be considered because of its major influence on growth and development as adults. Early efforts to prevent nutritional problems by knowing the risk factors of nutritional problems is very necessary to prevent the adverse effects for adolescents.The aim of this study is to determine the factors related with nutritional status on high school students at Semarang Regency. This research was an analytical design with cross sectional approach. The population in this study were all high school students in the academic year of 2015/2016 at Semarang regency as many as 9201 students. Samples were taken by using two stage cluster sampling technique and total samples as many as 383 students. The data were obtained through questionnaires, measurements of weight and height. The data analysis used chi square test (α = 0,05). The results research show that there is a correlation between nutritional knowledge (p=0,000, C=0,221), mother’s education (p=0,041, C=0,128), income of parents (p=0,015, C=0,146) with the nutritional status. There is no correlation between sex (p = 0.153), exercise habits (p = 0.382) with the nutritional status. Based on the results of research, schools effort are needed to perform health monitoring epecially nutritional status regularly on high school students. Keywords : Nutritional, Sex, Exercise, Knowledge, Education, Income, Adolescent. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
Bibliographies : 38(2000-2015) PENDAHULUAN Pembangunan nasional Indonesia adalah paradigma pembangunan yang terbangun atas pengalaman pancasila yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya dengan pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedomannya. Tujuan pembangunan nasional berkaitan erat dengan tujuan pembangunan kesehatan yang tercantum dalam Pembangunan Indonesia Sehat 2025, yaitu menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur panjang, sehat, dan menjalankan kehidupan yang produktif sehingga dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Departemen Kesehatan RI, 2014). Kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor yang akan menentukan terwujudnya derajad kesehatan masyarakat yang optimal. Kualitas SDM suatu negara dapat dilihat melalui nilai indeks pembangunan manusia (IPM) yang dicapai oleh negara tersebut. Pada tahun 2012 pencapaian IPM meningkat menjadi 0,629, menjadikannya naik sebanyak tiga posisi ke peringkat 121 dari peringkat ke 124 pada tahun 2011 (0,624), dari 187 negara. Namun, angka ini masih di bawah ratarata IPM dunia, yaitu 0,694 atau regional sebesar 0,683. Indonesia dapat dikategorikan sebagai “Negara Pembangunan Menengah” bersama dengan 45 negara lainnya. Jika dilihat dari capaian IPM nasional menunjukkan bahwa kualitas sumber daya yang dimiliki masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di dunia terutama di Asia Tenggara. Kualitas sumber daya perlu disiapkan sejak dini agar menjadi generasi unggul. Anak maupun remaja merupakan salah satu aset sumber daya manusia di masa depan yang perlu dipertahankan dan ditingkatkan kualitas sumber daya manusianya. Peningkatan dan perbaikan status gizi pada remaja merupakan salah
satu indikator pembangunan dari segi kesehatan. Status gizi anak dan remaja merupakan satu dari tujuh belas tujuan yang akan dicapai dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 yang merupakan program penerus dan penyempurna program MDGs (Millennium Development Goals) yang diadopsi dari PBB Tahun 2000. Rendahnya status gizi remaja akan berdampak negatif terhadap peningkatan kualitas SDM (Depkes RI, 2008). Berbagai masalah gizi dialami oleh remaja, diantaranya kekurangan energi protein, kekurangan vitamin A, anemia gizi besi, dan kekurangan yodium. Namum, dibeberapa kota besar ditemukan masalah gizi yang berlebih, sehingga Indonesia dihadapkan pada “Beban Ganda Masalah Gizi”. Selain masalah gizi ganda, Indonesia juga dihadapkan dengan masalah stunting dan wasting. Hal ini ditunjukan dengan tingginya prevalensi stunting dan wasting pada anak dan remaja di Indonesia (Hartono dan Kodim, 2009). Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF, di Indonesia diperkirakan 7,8 juta anak mengalami stunting, data tersebut memposisikan Indonesia masuk ke dalam 5 besar negara dengan jumlah anak yang mengalami stunting tinggi (UNICEF, 2007). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, secara nasional prevalensi pendek remaja umur 16-18 tahun adalah sebesar 31,4 persen (7,5% sangat pendek dan 23,9% pendek), prevalensi kurus sebesar 9,4 persen (1,9% sangat kurus dan 7,5% kurus), prevalensi gemuk sebanyak 7,3% (5,7% gemuk dan 1,6% obesitas). Kecenderungan prevalensi remaja kurus mengalami peningkatan dari 8,9 persen pada tahun 2010 menjadi 31,4 persen pada tahun 2013, dan prevalensi sangat kurus naik 0,1 persen. Sebaliknya prevalensi gemuk juga mengalami kenaikan dari 1,4% (2010) menjadi 7,3% (2013). Prevalensi tersebut telah masuk ke dalam masalah kesehatan masyarakat
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
menurut WHO karena telah lebih dari 5% (Kemenkes RI, 2013) Masalah gizi pada remaja perlu diperhatikan karena pengaruhnya yang besar terhadap pertumbuham dan perkembangan saat dewasa. Remaja rentan mengalami masalah gizi karena pertama, percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan zat gizi yang lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan pangan menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan dalam olahraga, kecanduan alkohol dan obat, meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi (Arisman, 2009). Masalah gizi pada remaja terjadi dikarenakan perilaku gizi yang salah, yaitu ketidakseimbangan antara konsumsi gizi dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Pada golongan remaja, mereka sudah lebih aktif memilih makanan yang disukai dan tidak bergantung lagi pada orang tua seperti saat masih anak-anak. Kebutuhan energi merekapun lebih besar karena aktivitas fisik mereka lebih banyak, seperti olah raga, bermain, sekolah, membantu orang tua, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, sangat penting bagi mereka untuk mendapatkan asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan mereka (Arisman, 2009). Pola makan yang tidak sehat pada remaja saat ini, terjadi karena kurangnya pengetahuan gizi akibat dari penyampaian informasi kesehatan yang diberikan dengan tidak benar dan tidak tepat. Terlebih pada masa ini remaja sedang mengalami masa pencarian jati diri dan identitas dengan cara mencontoh perilaku seseorang yang menjadi panutan untuk mereka. Kemudian menurut Sianturi, remaja memiliki rasa ingin diterima oleh teman sebaya dan keinginan untuk menarik lawan jenis. Berdasarkan hal tersebut remaja mulai menjaga penampilan dengan cara diet. Tentu saja hal ini berpengaruh terhadap pola makan mereka. Banyak remaja yang sangat
membatasi pola makan karena takut gemuk. Selain itu, ada pula remaja yang memiliki kebiasaan konsumsi makanan jajanan yang rendah gizi, kebiasaan konsumsi makanan cepat saji, kebiasaan tidak sarapan pagi, dan malas minum air putih. Remaja yang mengalami masalah gizi, akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia (SDM) dimana dapat berakibat pada hilangnya generasi muda (loss generation) serta berdampak pada keadaan perekonomian bangsa (loss economic) di masa mendatang (Aritonang, 2009). Menurut Almatsier, (2010) status gizi remaja berhubungan dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah faktor penyebab langsung dan faktor penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung terdiri dari asupan makanan dan penyakit infeksi. Sedangkan faktor penyebab tidak langsung terdiri dari aktifitas fisik, faktor individu (umur, jenis kelamin, pengetahuan remaja), faktor keluarga (pendidikan dan pendapatan orang tua), lingkungan sekolah dan teman sebaya, dan media massa Tingkat konsumsi zat gizi seperti energi, protein, lemak dan karbohidrat menentukan status gizi remaja, karena zat gizi tersebut digunakan untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan, melakukan aktifitas fisik, dan membangun serta memelihara sel-sel tubuh (Almatsier, 2010). Hasil penelitian Nizar (2009) mengemukakan bahwa pada remaja putri SMUN dan MAN (Madrasah Aliyah Negeri) di Kota Padang diketahui tingkat konsumsi energi kurang (<90% AKG) pada remaja putri sebesar 74,7%, konsumsi protein kurang (<90% AKG) sebesar 56,0%, konsumsi lemak kurang (<90% PUGS) sebesar 68,6%, dan konsumsi karbohidrat kurang (<90% PUGS) sebesar 54,8%. Dan dari penelitian ini diketahui adanya hubungan yang bermakna antara asupan energi dan karbohidrat dengan status gizi remaja putri.
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010, rata-rata kecukupan konsumsi energi penduduk umur 16-18 tahun (usia remaja) berkisar antara 69,5% - 84,3%, dan sebanyak 54,5% penduduk usia remaja mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal. Di Indonesia, ratarata kecukupan konsumsi protein penduduk umur 16-18 tahun berkisar antara 88,3% - 129,6%. Persentase penduduk umur 16-18 tahun yang mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal adalah 35,6%. Secara nasional, penduduk Indonesia yang mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal (kurang dari 70% dari angka kecukupan gizi bagi orang Indonesia) adalah sebanyak 40,7%. Penduduk yang mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal (kurang dari 80% dari angka kecukupan bagi orang Indonesia) adalah sebanyak 37% (Kemenkes RI, 2010). Kebutuhan gizi pada pria lebih besar dibandingkan wanita sehingga porsi tiap kali makan porsinya lebih banyak. Pada wanita konsep citra tubuh sangat penting sehingga banyak dari mereka yang menunda makan bahkan mengurangi porsi makannya dari yang dianjurkan agar tampak sempurna postur tubuhnya. Namun, hal tersebut dapat menyebabkan masalah kesehatan bagi remaja pada umumnya (Barker, 2005). Prevalensi kekurusan pada remaja laki-laki umur 16-18 tahun lebih tinggi dari prevalensi kekurusan pada remaja perempuan yaitu berturut-turut sebesar 12,3% dan 5,2%, sebaliknya prevalensi kegemukan relatif lebih tinggi pada remaja perempuan dibanding dengan remaja laki-laki yaitu berturut-turut sebesar 1,5% dan 1,3%. Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi kekurusan di perkotaan lebih tinggi dari prevalensi kekurusan di perdesaan yaitu berturut-turut sebesar 9,7% dan 8,0%, sebaliknya prevalensi kegemukan di perkotaan lebih tinggi dari di perdesaan yaitu berturut-turut sebesar 1,8% dan 0,9% (Kemenkes RI, 2010). Aktifitas fisik merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
status gizi remaja. Aktifitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama aktifitas fisik, otot membutuhkan energi. Banyak energi yang dibutuhkan bergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier, 2010). Kurangnya aktivitas fisik pada remaja dapat disebabkan karena perilaku sedentari atau perilaku tidak banyak gerakan. Proporsi penduduk kelompok umur ≥10 tahun dengan perilaku aktivitas sedentari 3-5,9 jam di Jawa Tengah yaitu 43,2%, sedangkan proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 26,1%, untuk di Jawa Tengah adalah 20,5%. Sementara kurangnya aktivitas fisik dapat memicu timbulnya berbagai macam penyakit tidak menular, seperti obesitas, diabetes, tekanan darah tinggi dan kolestrol tinggi (Kepmenkes RI, 2013). Pengetahuan gizi akan mempengaruhi kebiasaan makan atau perilaku makan suatu masyarakat (Emilia, E., 2008). Apabila penerimaan perilaku baru didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut dapat berlangsung lama (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak disadari oleh pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama. Seperti halnya juga pada remaja apabila mempunyai pengetahuan yang baik tentang gizi diharapkan mempunyai status gizi yang baik pula (Notoatmodjo, 2010). Menurut Suhardjo (2010), pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahmiwati (2007), remaja yang memiliki pengetahuan gizi baik hanya 6%, pengetahuan gizi sedang 43% dan yang mempunyai pengetahuan gizi kurang 50%. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Amelia (2008) menunjukan bahwa tingkat pengetahuan gizi lebih baik pada perempuan dari pada laki-laki pada siswa SMP. Kemudian hasil penelitian yang dilakukan oleh Ratnaeni
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
(2011) menunjukkan bahwa pengetahuan gizi siswi di kota sebagian besar baik dan pengetahuan gizi siswi di desa sebagian besar cukup. Oleh karena itu pengetahuan gizi lebih baik pada siswa yang tinggal dilingkungan perkotaan dari pada di pedesaan. Kemiskinan merupakan penyebab umum dari terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak di Indonesia. Kemiskinan berkaitan erat dengan besarnya pendapatan dan tingginya pendidikan keluarga. Pendidikan dan pendapatan orang tua yang tinggi atau pun rendah akan mempengaruhi pola asuh terhadap anaknya. Hal ini juga berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di SMAN 2 Ungaran pada tanggal 26 Januari 2016 terhadap 17 orang siswa tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi kurang pada siswa SMA di Kabupaten Semarang didapatkan hasil bahwa terdapat 8 orang (47,06%) memiliki status gizi kurang dan 9 orang (52,94%) memiliki status gizi normal. Sedangkan hasil wawancara dari 8 orang yang memiliki status gizi kurang, semuanya terdiri dari perempuan, 5 orang (62,8%) berumur 16 tahun, 2 orang (25,0%) berumur 17 tahun, dan 1 orang (12,5%) berumur 18 tahun, 3 orang (37,5%) memiliki asupan energi dan protein yang cukup, sedangkan 5 orang (62,5%) lainnya memiliki asupan energi dan protein yang kurang. Dari 8 orang responden yang memiliki status gizi kurang, didapatkan bahwa 4 orang (50,0%) memiliki aktivitas yang rendah dengan pengetahuan gizi yang cukup, dan 4 orang (50,0%) lainnya memiliki aktivitas yang tinggi dengan pengetahuan gizi yang kurang. Semua responden yang berstatus gizi kurang memiliki ibu dengan tamat SMA dan orang tua dengan pendapatan lebih dari UMR. Kemudian hasil wawancara dari 9 orang yang memiliki status gizi normal, 2 orang (22,22%) laki-laki dan 7 orang (77,78%) perempuan, 2 orang (22,22%) berumur 16
tahun, 4 orang (44,45%) berumur 17 tahun dan 3 orang (33,33%) berumur 18 tahun, 5 orang (55,56%) memiliki asupan energi dan protein cukup dan 4 orang (44,44%) memiliki asupan energi dan protein kurang. Dari 9 responden yang memiliki status gizi normal, semuanya memiliki aktifitas fisik yang rendah dengan 6 orang (66,67%) berpengetahuan gizi cukup dan 2 orang (22,23%) berpengetahuan gizi kurang, 1 orang (11,11%) dengan pendidikan ibu tamat S1 dan 8 orang (88,89%) lainnya dengan pendidikan ibu tamat SMA, dimana semua orang tua memiliki pendapatan lebih dari UMR. Jadi, dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti didapatkan bahwa siswa SMA yang memiliki status gizi kurang cukup tinggi yaitu sebesar 47,06%. Selain itu, terlihat bahwa faktor yang mempengaruhi status gizi kurang pada siswa SMA yang terbanyak adalah asupan energi dan protein, aktivitas fisik (kebiasaan olahraga), jenis kelamin, dan pengetahuan gizi remaja. Berdasarkan uraian di atas dan melihat betapa pentingnya masalah gizi terutama terhadap golongan rentan seperti remaja, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang. Disini peneliti ingin mengetahui adakah perbedaan faktorfaktor yang berhubungan dengan status gizi pada siswa SMA berkaitan dengan wilayah tempat tinggal yaitu di perkotaan dan pedesaan. Hal tersebut dilakukan karena diasumsikan bahwa daerah tempat tinggal yang dilihat berdasarkan letak geografis perkotaan dan pedesaan akan mempengaruhi perilaku atau gaya hidup seseorang yang akan menjadi faktor risiko berbagai permasalah kesehatan. Gaya hidup seseorang dapat dipengaruhi oleh fasilitas-fasilitas umum yang tersedia di sekitar tempat tinggalnya, kemudahan dalam menjangkau fasilitas yang ada, pengetahuan seseorang dan tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan di wilayah perkotaan lebih tinggi daripada di
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
wilayah pedesaan karena lapangan pekerjaan di perkotaan lebih banyak dan bervariasi, sehingga dengan tingkat pendapatan yang tinggi dapat mempengaruhi perilaku atau gaya hidup seseorang. A. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang B. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkakn dapat menjadi tambahan pengetahuan masyarakat khususnya remaja tentang masalah gizi yang terjadi dan membantu dalam melakukan tindakan pencegahan bagi yang tidak memiliki masalah gizi dan tindakan pengendalian bagi yang memiliki masalah gizi. METODE PENELITIAN Desain dalam penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan cross sectional.Teknik pengambilan sampel menggunakan two stage cluster sampling. HASIL PENELITIAN Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin pada Siswa SMA di Kabupaten Semarang, 2016 Jenis Kelamin F (%) Laki-laki 158 41,3 Perempuan 225 58,7 Jumlah 383 100,0 Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa responden yang berjenis kelamin perempuan (58,7%) lebih banyak dibandingkan dengan yang berjenis kelamin laki-laki (41,3%). Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kebiasaan Olahraga pada Siswa SMA di Kabupaten Semarang, 2016 Kebiasaan Olahraga F (%) Tidak Teratur 263 68,7 Teratur 120 31,3 Jumlah 383 100,0
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki kebiasaan olahraga secara tidak teratur (68,7%) dua kali lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki kebiasaan olahraga secara teratur (31,3%). Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Gizi pada Siswa SMA di Kabupaten Semarang, 2016 Pengetahuan tentang F (%) Gizi Kurang 5 1,3 Cukup 97 25,3 Baik 281 73,4 Jumlah 383 100,0 Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki pengetahuan gizi baik (73,4%) lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan gizi cukup (25,3%) dan kurang (1,3%). Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu pada Siswa SMA di Kabupaten Semarang, 2016 Pendidikan Ibu F (%) Rendah 202 52,7 Tinggi 181 47,3 Jumlah 383 100,0 Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa responden dengan pendidikan ibu yang rendah (52,7%) lebih banyak dibandingkan dengan responden dengan pendidikan ibu yang tinggi (47,3%). Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendapatan Orangtua pada Siswa SMA di Kabupaten Semarang, 2016 Pendapatan Orangtua F (%) < UMK (
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
hampir sama dengan responden yang memiliki orang tua dengan pendapatan
0,05) berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang. Tabel 8 Hubungan Kebiasaan Olahraga dengan Status Gizi pada Siswa SMA di Kabupaten Semarang, tahun 2016 2 p Kebiasaan Olahraga 1,925 0,382 dengan Status Gizi Berdasarkan hasil analisis uji statistik diperoleh nilai p sebesar 0,382 (p>0,05) berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan olahraga dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang. Tabel 9 Hubungan Pengetahuan tentang Gizi dengan Status Gizi pada Siswa SMA di Kabupaten Semarang, tahun 2016 2 p(C) Pengetahuan tentang 19,697 0,000 Gizi dengan Status Gizi (0,221)
Berdasarkan hasil analisis uji statistik diperoleh nilai p sebesar 0,000 (p<0,05) berarti ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang. Dengan nilai Contingency Coeffisient sebesar 0,221 yang menunjukan kekuatan hubungan yang lemah antara pengetahuan gizi dengan status gizi. Tabel 10 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Status Gizi pada Siswa SMA di Kabupaten Semarang, tahun 2016 2 p(C) Pendidikan Ibu dengan 6,396 0,041 Status Gizi (0,128) Berdasarkan hasil analisis uji statistik diperoleh nilai p sebesar 0,041 (p<0,05) berarti ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang. Dengan nilai Contingency Coeffisient sebesar 0,128 yang menunjukan kekuatan hubungan yang sangat lemah antara pendidikan ibu dengan status gizi. Tabel 11 Hubungan Pendapatan Orangtua dengan Status Gizi pada Siswa SMA di Kabupaten Semarang, tahun 2016 2 p(C) Pendapatan Orangtua 8,352 0,015 dengan Status Gizi (0,146) Berdasarkan hasil analisis uji statistik diperoleh nilai p sebesar 0,015 (p<0,05) berarti ada hubungan yang signifikan antara pendapatan orangtua dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang. Dengan nilai Contingensi Coeffisient sebesar 0,146 yang menunjukan kekuatan hubungan yang sangat lemah antara pendapatan orang tua dengan status gizi. PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 1, hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang berjenis kelamin perempuan (58,7%) lebih banyak dibandingkan dengan yang berjenis kelamin laki-laki (41,3%). Hal ini terkait dengan responden yang dijumpai saat pengambilan data di SMAN 01 Ambarawa, SMAN 02 Ungaran, dan
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
SMAN 01 Suruh lebih banyak siswa perempuan dibandingkan siswa laki-laki. Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Semarang (2015), juga membuktikan bahwa jumlah penduduk menurut umur (15-19 tahun) dan jenis kelamin di Kabupaten Semarang Tahun 2015 lebih banyak pada perempuan (40.153 jiwa) dibandingkan pada laki-laki (40.026 jiwa). Jenis kelamin adalah variabel yang menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi seseorang karena pertumbuhan dan perkembangan individu sangat berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kebutuhan gizi pada pria lebih besar dibandingkan wanita sehingga porsi tiap kali makan porsinya lebih banyak. Pada wanita konsep citra tubuh sangat penting sehingga banyak dari mereka yang menunda makan bahkan mengurangi porsi makannya dari yang dianjurkan agar tampak sempurna postur tubuhnya. Namun hal tersebut dapat menyebabkan masalah kesehatan bagi remaja pada umumnya (Barker, 2005). Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yolanda pada Remaja SMAN 3 Kecamatan Rambang Dangku Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2014 tentang Analisis Determinan Status Gizi yang mengemukakan bahwa responden dalam penelitiannya lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan (54,3%) daripada yang berjenis kelamin laki-laki (45,7%). Berdasarkan tabel 2, hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang memiliki kebiasaan olahraga secara tidak teratur (68,7%) dua kali lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki kebiasaan olahraga secara teratur (31,3%). Hal ini dapat disebabkan karena lebih banyaknya waktu siswa yang dihabiskan dilingkungan sekolah yaitu untuk mengikuti berbagai kegiatan eksrakurikuler, kerja kelompok dan lainnya. Kebiasaan olahraga secara tidak teratur banyak terjadi di masyarakat disebabkan karena perilaku sedentari atau perilaku tidak banyak gerakan. Perilaku
sedentari merupakan salah satu perilaku berisiko terhadap terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mempengaruhi umur harapan hidup. Menurut Riskesdas (2013), prevalensi penduduk berumur ≥10 tahun dengan perilaku aktivitas sedentari 3-5,9 jam di Jawa Tengah yaitu sebesar 43,2%. Hal ini menunjukkan bahwa hampir separuh dari remaja dewasa Indonesia kurang melakukan aktivitas fisik sehari-hari, sehingga hal ini dapat memicu terjadinya peningkatan berbagai penyakit tidak menular seperti obesitas, hipertensi, diabetes, dan lainnya (Kepmenkes RI, 2013). Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rochman (2013) pada remaja di SMA Trimurti Surabaya tentang Hubungan Gaya Hidup Dengan Status Gizi Remaja yang mengemukakan bahwa responden dalam penelitiannya lebih banyak yang memiliki kebiasaan olahraga secara tidak teratur (66,9%) dibandingkan dengan yang memiliki kebiasaan olahraga secara teratur (33,1%). Berdasarkan tabel 3, hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang memiliki pengetahuan gizi baik (73,4%) lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan gizi cukup (25,3%) dan kurang (1,3%). Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa sebagian besar responden sudah memiliki pengetahuan tentang gizi dengan kategori baik. Hal ini dapat disebabkan oleh mudahnya siswa dalam mengakses informasi-informasi terkait dengan pengetahuan tentang gizi, seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju dan fasilitas yang diperoleh siswa baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah hampir sama. Hal tersebut akan mendorong siswa tersebut untuk mendapatkan akses yang sama dalam menunjang sarana pendidikan sehingga memperoleh pengetahuan yang luas. Meningkatnya pengetahuan gizi siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pengalaman, tingkat pendidikan, keyakinan, pengahasilan,
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
sosial budaya, dan fasilitas yang semakin maju seperti (internet, radio, televisi, majalah, buku, dan koran). Meningkatya pengetahuan gizi dengan baik diharapkan perilaku siswa tidak salah dalam memilih makanan bergizi termasuk jajanan yang sesuai dengan menu seimbang dan sesuai dengan kebutuhannya. Tingkat pendidikan formal merupakan faktor yang menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami informasi gizi, sehingga pengetahuan gizi dan kesehatan akan baik (Suhardjo, 2003). Pengetahuan merupakan hasil untuk terbentuknya perilaku seseorang. Pengetahuan adalah kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil dari panca indera. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman sendiri, maupun dari pengalaman orang lain. Dengan pengalaman yang memadai terhadap gizi diharapkan siswa lebih selektif dalam memilih makanan yang akan dikonsumsinya, baik dalam hal kualitas maupun kuantitasnya, sehingga dapat mempertahankan kondisi kesehatan secara maksimal (Notoatmodjo, 2005). Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosita Dewi pada siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta tentang Hubungan Antara Pengetahuan Gizi, Sikap Terhadap Gizi Dan Pola Konsumsi Dengan Status Gizi yang mengemukakan bahwa responden dalam penelitiannya lebih banyak yang memiliki pengetahuan gizi baik (58%), dibandingkan dengan yang memiliki pengetahuan gizi cukup (32%) dan pengetahuan gizi kurang (10%). Berdasarkna tabel 4, hasil penelitian ini menunjukan bahwa responden yang memiliki ibu dengan pendidikan rendah (52,7%) lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki ibu dengan pendidikan tinggi (47,3%). Hal ini sesuai dengan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Semarang (2015), yang menyatakan bahwa jumlah penduduk (ibu) yang memiliki tingkat pendidikan rendah (393.703 jiwa) lebih banyak dibandingkan dengan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi (93.793 jiwa). Besarnya jumlah ibu
dengan tingkat pendidikan rendah dapat disebabkan oleh masih kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan dalam mempengaruhi kualitas peran ibu dalam penanganan dan pengelolaan urusan rumah tangga, terutama mengenai kuantitas dan kualitas makanan yang akan diberikan kepada anaknya yang akan mempengaruhi status gizinya. Pendidikan merupakan salah satu sumberdaya yang penting bagi keluarga untuk mendukung pengetahuan seseorang dalam menerima informasi yang pada akhirnya dapat membentuk perilakunya. Semakin rendah pendidikan orang tua, maka semakin rendah pula pengetahuannya dan orang tua yang berpendidikan rendah akan lebih sulit menjelaskan kepada seorang anak tentang masalah-masalah yang terjadi pada anaknya terutama masalah yang terjadi jika anaknya kekurangan gizi karena mereka sendiri belum mengerti. Dan orang tua tidak bisa memberikan informasi yang lebih luas kepada anaknya. Berbeda dengan orang tua yang berpendidikan tinggi misalnya lulusan perguruan tinggi, pengetahuan mereka akan lebih tinggi karena mereka lebih banyak mendapatkan informasi-informasi dan pendidikan mengenai gizi, sehingga mereka lebih mudah menjelaskan kepada anaknya dan anak akan mudah mengerti dan cepat menerapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Berdasarkan tabel 5, hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang memiliki orang tua dengan pendapatan ≥UMK (51,2%) hampir sama dengan responden yang memiliki orang tua dengan pendapatan
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
dilihat sesuai dengan keterampilan yang dimilikinya, keterampilan diperoleh dari tingkat pendidikan yang telah dicapainya. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan keterampilan yang dimilikinya lebih baik sehingga dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan meningkatkan pendapatan. Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan. Orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi akan memperoleh pendapatan yang lebih baik begitu juga sebaliknya, orang yang tingkat pendidikan rendah akan memperoleh pendapatan yang rendah. Pendidikan menjadi wahana yang menjembatani kesenjangan antara tingkat pendidikan yang telah dicapai dengan tingkat pendidikan yang diinginkan/dipersyaratkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu tingkat pendidikan dan keterampilan sangat mempengaruhi jenis pekerjaan. Keadaan ekonomi berpengaruh besar pada konsumsi pangan keluarga. Jumlah pendapatan keluarga akan berpengaruh pada daya beli bahan makanan yang akan dikonsumsi. Apabila pendapatan keluarga tergolong tinggi maka ketersediaan pangan dalam keluarga akan lebih beragam dan begitupun sebaliknya, jika pendapatan keluarga tergolong rendah maka ketersediaan pangan dalam keluarga akan terbatas. Hal ini akan berpengaruh pada konsumsi pangan keluarga dan akhirnya berdampak pada status gizi anggota keluarga termasuk anak remaja. Pendapatan orang tua adalah jumlah pendapatan tetap dan sampingan dari kepala keluarga dan ibu dalam 1 bulan dibagi jumlah seluruh anggota keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan (Ernawati, 2006). Peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat menyebabkan perubahan dalam gaya hidup terutama pola makan. Perubahan pola makan ini dipercepat oleh makin kuatnya arus budaya makanan asing yang disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi dan globalisasi ekonomi. Berdasarkan tabel 6, hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang
memiliki status gizi normal (86,4%) lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki status gizi kurus (6,5%) dan status gizi gemuk (7,0%). Prevalensi status gizi tersebut membuktikan bahwa terdapat masalah yang serius pada status gizi remaja karena prevalensi gizi kurus dan gizi gemuk telah masuk ke dalam masalah kesehatan masyarakat menurut WHO karena telah lebih dari 5%. Hasil penelitian ini hampir sama dibandingkan dengan angka nasional (Riskesdas, 2013) Status gizi dalam penelitian ini menggunakan Indeks Massa Tubuh dengan nilai z skor IMT sebagai parameter status gizi. Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada remaja merupakan masalah penting karena pengaruhnya yang besar terhadap pertumbuham dan perkembangan saat dewasa. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ipa di SMA 2 Majauleng Kabupaten Wajo Tahun 2010 Tentang Status Gizi Remaja, Pola Makan dan Aktivitas Olahraga yang mengemukakan bahwa responden dalam penelitiannya lebih banyak yang memiliki status gizi normal (94,4%) dibandingkan dengan yang memiliki status gizi kurus (1,4%), dan status gizi gemuk (4,2%). Berdasarkan tabel 7, didapatkan hasil analisis uji statistik diperoleh nilai p sebesar 0,153 (p>0,05) yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang. Hal ini berarti jenis kelamin tidak memiliki pengaruh terhadap gangguan status gizi yang dialami oleh responden perempuan dan laki-laki. Adanya perbedaan kebutuhan zat gizi antara laki-laki dan perempuan dapat mempengaruhi status gizi. Remaja laki-laki memiliki kebutuhan gizi yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan karena memiliki aktivitas fisik yang lebih tinggi. Selain itu, remaja lakilaki juga mengkonsumsi sejumlah energi dan nutrisi yang lebih besar daripada perempuan. Namun kenyataanya, berdasarkan uji statistik terbukti tidak bermakna, artinya siswa perempuan walaupun secara
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
fisiologis memiliki kebutuhan gizi yang lebih kecil daripada siswa laki-laki ternyata memiliki peluang yang sama dalam mengalami gangguan status gizi. Hal ini terjadi karena pola atau gaya hidup yang tidak sehat, makanan yang dikonsumsi tidak seimbang, kebiasaan makan junk food atau cepat saji yang semakin maraknya, dan kebiasaan olahraga yang tidak teratur yang semakin meningkat pada remaja, yang dibuktikan dengan data yang menunjukan bahwa 68,7% responden dalam penelitian memiliki kebiasaan olahraga secara tidak teratur. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Gropper S, (2010), yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi remaja laki-laki dan perempuan yang berusia 14-19 tahun. Kemajuan teknologi dan semakin modern nya zaman serta banyaknya kegiatan yang dapat dilakukan dan diselesaikan melalui online menyebabkan pola hidup remaja laki-laki dan perempuan menjadi tidak sehat. Perilaku konsumtif terhadap makanan cepat saji menjadi lebih tinggi dan kurangnya olahraga secara teratur karena lebih banyaknya waktu yang digunakan untuk mengikuti berbagai kegiatan akademik di sekolah. Hal ini dapat menjadi penyebab tidak adanya perbedaan resiko pada remaja laki-laki dan perempuan dalam mengalami gangguan status gizi. Selain itu, jenis kelamin yang bukan merupakan penyebab langsung terjadinya masalah status gizi juga dapat menjadi penyebab tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi dalam penelitian ini. Ada beberapa faktor penyebab langsung terjadinya permasalahan gizi, salah satunya adalah asupan gizi, namun dalam penelitian ini tidak ditelusuri mengenai faktor asupan gizi responden. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa status gizi kurus lebih banyak terjadi pada responden laki-laki yaitu sebesar 8,9%. Hal ini dapat disebabkan oleh karena tingginya aktivitas fisik yang dilakukan, tetapi tidak
diimbangi dengan asupan makanan yang dikonsumsi, serta semakin meningkatnya perilaku merokok pada remaja yang dapat menekan nafsu makan, menyempitkan saluran pencernaan sehingga mengganggu proses penyerapan makanan yang dikonsumsi. Insel (2011) mengatakan hampir seperempat remaja Sekolah Menengah Atas adalah perokok. Remaja yang merokok seringkali memiliki masukan energi dan zat gizi lain yang rendah atau menurun. Padahal pada masanya remaja memiliki kebutuhan akan zat gizi yang amat banyak untuk proses pertumbuhannya. Jenis kelamin merupakan faktor internal seseorang yang akan berpengaruh terhadap komposisi tubuh dan distribusi lemak subkutan. Pada laki-laki 11% dari berat badan adalah merupakan jaringan subkutan dan pada wanita 18% dari berat badan adalah merupakan jaringan subkutan. Anak perempuan lebih banyak menyimpan lemak, sedangkan anak lakilaki lebih banyak massa otot dan tulang (Almatsier, 2010). Remaja putri lebih rawan terkena masalah gizi lebih dibandingkan dengan remaja putra, karena pada remaja putri terjadi penimbunan lemak selama masa pubertas, sedangkan pada remaja putra terjadi perkembangan otot, sehingga remaja putri mempunyai lemak sekitar dua kali lebih besar dibandingkan remaja putra. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukan bahwa status gizi gemuk lebih banyak dialami oleh responden yang berjenis kelamin perempuan (8,4%) dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin laki-laki (5,1%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Marbun (2010) yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan status gizi (p=1,000). Berdasarkan tabel 8, hasil penelitian menunjukan bahwa gangguan status gizi, lebih banyak di alami oleh responden yang memiliki kebiasaan olahraga secara tidak teratur yaitu sebesar 7,2% (status gizi kurus) dan 8,0% (status gizi gemuk). Kebiasaan olahraga cukup besar
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
pengaruhnya terhadap kestabilan berat badan. Kebiasaan olahraga yang tidak seimbang dengan energi yang dikonsumsi, dapat mengakibatkan berat badan tidak normal, yaitu dapat mengalami kekurangan ataupun kelebihan berat badan yang dapat meningkatkan resiko berkembangnya beberapa penyakit kronis seperti penyakit hati, tekanan darah tinggi dan diabetes (Depkes RI 2012). Menurut Kurniasih et al. (2010), aktivitas fisik (olahraga) mampu merangsang perkembangan otot-otot sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan yang optimal. Aktivitas fisik dan olahraga diperlukan remaja untuk menjaga berat badan ideal dan kebugaran tubuh. Status gizi remaja akan semakin baik jika disertai dengan olahraga secara teratur dan pola makan gizi seimbang. Aktivitas fisik dapat membantu dalam meningkatkan metabolisme tubuh yang menyebabkan cadangan energi yang tertimbun dalam tubuh berupa zat lemak dapat terbakar sebagai kalori. Sementara Menurut Brown (2005), aktifitas fisik sebaiknya dilakukan secara teratur sebanyak 3 kali atau lebih dalam seminggu dengan tingkatan olahraga sedang sampai berat. Aktivitas fisik sebaiknya dilakukan minimal 30 menit setiap hari agar dapat mencegah kelebihan berat badan. Berdasarkan hasil analisis uji statistik diperoleh nilai p sebesar 0,382 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan olahraga dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang. Hal ini berarti kebiasaan olahraga secara teratur dan tidak teratur tidak memiliki pengaruh terhadap masalah status gizi yang dialami oleh responden. Tidak adanya hubungan signifikan antara kebiasaan olahraga dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang dapat disebabkan oleh karena pada dasarnya kebiasaan olahraga merupakan variabel yang secara tidak langsung mempengaruhi status gizi, selain itu pola hidup atau aktifitas responden yang relatif sama, yaitu keterbatasan waktu yang dimiliki siswa untuk
melakukan aktivitas berolahraga karena meningkatnya rutinitas kegiatan di sekolah juga dapat menjadi penyebab tidak adanya hubungan yang signifikan antara kebiasaan olahraga dengan status gizi. Hal ini sesuai dengan teori dan penelitian yang dilakukan oleh Williamson, (2010) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi siswa yang memiliki kebiasaan olahraga secara teratur dengan tidak teratur. Hal ini karena secara garis besar aktivitas yang dilakukan, waktu yang dihabiskan oleh remaja dalam lingkungan sekolah relatif sama. Dan secara psikologi memiliki karakteristik umur yang hampir sama. Selain itu secara psikologis remaja juga cenderung lebih senang menghabiskan waktu bersama teman-temannya sehingga pola aktivitas fisik cenderung sama. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Rochman (2013) yang menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan olahraga dengan status gizi remaja (p=0,101). Berdasarkan tabel 9, hasil penelitian menunjukan bahwa gangguan status gizi, lebih banyak dialami oleh responden yang memiliki pengetahuan gizi kurang+cukup yaitu sebesar 12,7% (status gizi kurus) dan 4,3% (status gizi gemuk), dan secara statistik terbukti bermakna (p=0,000, C=0,221), artinya pengetahuan gizi yang baik akan mempengaruhi status gizi seseorang menjadi baik, begitupun sebaliknya. Menurut Sediaoetama, (2000) tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang menentukan mudah tidaknya seseorang memahami manfaat kandungan gizi dari makanan yang dikonsumsi. Kesalahan dalam memilih makanan dan kurang cukupnya pengetahuan tentang gizi akan mengakibatkan timbulnya masalah gizi yang akhirnya mempengaruhi status gizi. Status gizi yang baik hanya dapat tercapai dengan pola makan yang baik, yaitu pola makan yang didasarkan atas prinsip menu seimbang, alami dan sehat. Pengetahuan gizi yang baik diharapkan mempengaruhi
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
konsumsi makanan yang baik sehingga dapat menuju status gizi yang baik pula. Pengetahuan gizi juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang. Selanjutnya, Sediaoetomo (2000) berpendapat bahwa semakin tinggi pengetahuan gizinya semakin diperhitungkan jenis dan kualitas makanan yang dipilih dikonsumsinya. Selain itu Notoatmodjo, (2010) juga berpendapat bahwa pengetahuan tentang gizi sangat mempengaruhi seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Kedalaman dan keluasan pengetahuan tentang gizi akan menuntun seseorang dalam pemilihan jenis makanan yang akan dikonsumsi baik dari segi kualitas, variasi, maupun cara penyajian pangan yang diselaraskan dengan konsep pangan. Pengetahuan gizi memegang peranan yang sangat penting di dalam penggunaan dan pemilihan bahan makanan dengan baik, sehingga dapat mencapai keadaan gizi seimbang (Suhardjo, 2003). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang. Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan tentang pemilihan bahan makanan dan konsumsi sehari-hari dengan baik dan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Pemilihan dan konsumsi bahan makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau optimal terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Status gizi kurang tejadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi essential (Almatsier, 2010). Dari penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendidikan, informasi, sosial budaya, lingkungan, pengalaman dan umur (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan gizi yang kurang pada sebagian besar remaja yang mengalami masalah gizi memungkinkan remaja kurang dapat
memilih menu makanan yang bergizi. Sebagian besar permasalahan gizi dapat dihindari apabila remaja mempunyai ilmu pengetahuan yang baik tentang memelihara gizi dan mengatur makan (Suryaputra dkk, 2012). Dengan pengetahuan yang baik, seorang akan berusaha semaksimal mungkin menyajikan makanan yang memenuhi standar kecukupan yang dianjurkan, tentu saja hal ini tidak terlepas dari pendapatan keluarga. Pengetahuan yang baik akan menuntut seseorang dalam mengenal apa yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya dan orang lain, terutama dalam penyediaan kebutuhan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yolanda (2014) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan gizi dengan status gizi remaja (p=0,041). Berdasarkan tabel 10, hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang (p=0,041, C=0,128). Hal ini berarti pendidikan ibu yang tinggi akan mempengaruhi status gizi anak menjadi baik. Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat mempengaruhi status gizi anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka akan semakin baik pula status gizi anaknya. Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin baik pula pemahamannya dalam pemilihan bahan makanan (Almatsier, 2010). Latar belakang pendidikan ibu merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi anak karena berhubungan dengan kemampuan ibu dalam menerima dan memahami sesuatu. Tingkat pendidikan ikut mempengaruhi pola konsumsi makan melalui cara pemilihan makanan dalam hal kualitas maupun kuantitas (Almatsier, 2010). Menurut Proverawati dan Asfuah (2009), tingkat pendidikan formal merupakan faktor yang ikut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
menekuni pengetahuan yang diperoleh. Pendidikan menentukan kualitas sumber daya manusia, pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap suatu hal. Tingginya pendidikan yang ditempuh maka seseorang akan lebih mudah menyerap informasi, dan melakukan perubahan terhadap perilaku untuk semakin baik. Masukan gizi anak sangat tergantung pada sumber-sumber yang ada di lingkungan sosialnya, salah satu yang menentukan adalah ibu. Peranan orang tua, khususnya ibu, dalam menyediakan dan menyajikan makanan bergizi bagi keluarga, khususnya anak menjadi penting. Kualitas pelayanan ibu dalam keluarga ditentukan oleh penguasaan informasi dan faktor ketersediaan waktu yang memadai. Kedua faktor tersebut antara lain faktor determinan yang dapat ditentukan dengan tingkat pendidikan, interaksi sosial dan pekerjaan. Pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan pengetahuan dan penghasilan. Semakin meningkatnya penghasilan orang tua maka semakin meningkat juga daya beli keluarga, sehingga ketersediaan makanan dalam keluarga tidak terbatas. Hal ini dapat memungkinkan anak akan mengkonsumsi makanan secara terus menerus dan melebihi kebutuhannya. Tinggi rendahnya pendidikan ibu juga akan mempengaruhi ada tidaknya pekerjaan ibu. Ada tidaknya pekerjaan ibu akan sangat mempengaruhi status gizi anak karena berkaitan dengan waktu yang tidak memadai dalam memberikan pelayanan terhadap keluarga terutama anaknya. Jika ibu memiliki pekerjaan maka akan lebih banyak waktu yang digunakan untuk menangani masalah pekerjaan dibandingkan untuk menangani masalah kualitas dan kuantitas asupan yang diperlukan oleh anaknya. Ibu yang memiliki pekerjaan terkadang mempercayakan anaknya pada pembantu rumah tangga atau pada nenek dan keluarga terdekat yang kemungkinan memiliki pendidikan yang rendah sehingga pengetahuan yang dimiliki juga rendah dan akan berdampak pada status
gizi anak yang salah. Hal ini dapat menjadi penyebab tingginya status gizi gemuk pada responden yang memiliki ibu dengan pendidikan tinggi dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kaunang (2015) di Manado yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan status gizi siswa. Beradsarkan tabel 11, hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendapatan orangtua dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang (p=0,015, C=0,146), berarti pendapatan orang tua yang tinggi akan mempengaruhi status gizi anak menjadi baik. Pendapatan berpengaruh terhadap status gizi. Setiap kenaikan pendapatan umumnya mempunyai dampak langsung terhadap status gizi penduduk. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun sekunder. Jika tingkat pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung membaik pula. Pendapatan merupakan faktor penting dalam menentukan jumlah dan macam bahan makanan yang tersedia dalam rumah tangga. Pendapatan merupakan faktor penentu utama baik atau buruknya status gizi seseorang atau kelompok (Berg, 2007). Pendapatan didalam suatu keluarga seringkali dihubungkan dengan bagaimana kemampuan keluarga dalam hal pemenuhan kebutuhan gizi dimana hal pemenuhan gizi tersebut akan berkaitan pula dengan status gizi remaja. Oleh karena itu, biasanya keluarga yang mempunyai pendapatan lebih dari cukup akan secara otomatis mempengaruhi keadaan status gizi anggota keluarga terutama anaknya (Almatsier, 2010). Menurut Nurmalina (2011), keluarga dengan pendapatan tinggi dapat membeli makanan apa pun, termasuk makanan sehat bergizi namun juga makanan tinggi
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
kalori/lemak/gula, junk food, fast food, soft drink, yang merupakan penyumbang besar terhadap masalah obesitas. Hal ini dapat menjadi penyebab tingginya status gizi gemuk pada responden yang memiliki orang tua dengan pendapatan ≥UMK dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kaunang (2016) di Manado yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan orang tua dengan status gizi siswa. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang berjenis kelamin perempuan (58,7%) lebih banyak dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin laki-laki (41,3%) 2. Hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang memiliki kebiasaan olahraga secara tidak teratur (68,7%) dua kali lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki kebiasaan olahraga secara teratur (31,3%). 3. Hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang memiliki pengetahuan gizi baik (73,4%) lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan gizi kurang (1,3%) dan cukup (25,3%) 4. Hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang memiliki ibu dengan pendidikan rendah (52,7%) lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki ibu dengan pendidikan tinggi (47,3%) 5. Hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang memiliki orang tua dengan pendapatan ≥UMK (51,2%) hampir sama dengan responden yang memiliki orang tua dengan pendapatan
6. Hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang memiliki status gizi normal (86,4%) lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki status gizi kurus (6,5%) dan gemuk (7,0%). 7. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang (p=0,153). 8. Tidak ada hubungan antara kebiasaan olahraga dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang (p=0,382). 9. Ada hubungan antara pengetahuan gizi dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang (p=0,000, C=0,221). 10. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang (p=0,041, C=0,128). 11. Ada hubungan antara pendapatan orangtua dengan status gizi pada siswa SMA di Kabupaten Semarang (p=0,015, C=0,146). B. Saran Bagi remaja diharapkan mulai meningkatkan pola hidup yang sehat dengan cara mengatur pola makan, mengontrol berat badan, olahraga secara teratur yaitu 3 kali dalam seminggu dengan watu minimal 30 menit serta istrahat yang cukup. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, Sunita. (2010). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Amelia F. (2008). Konsumsi pangan, pengetahuan gizi, aktivitas fisik dan status gizi pada remaja di Kota Sungai Penuh Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi. Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Arisman, MB. (2009). Buku Ajar Ilmu Gizi, Gizi Dalam Dasar Kehidupan. Jakarta: EGC.
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
Aritonang, E. (2009). Kebutuhan Gizi Ibu Hamil. IPB Press. Bogor. Badan Pusat Statistik Kabupaten Semarang. (2015). Penduduk Menurut Umur, Jenis Kelamin Dan Pendidikan. Diakses tanggal 6 Juli 2016, dari www.bps.go.id Barker, D.J.P. (2005). Nutrition In The Womb. USA: The Barker Foundation. Berg A. (2007). Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. Zahara DM, penerjemah. Jakarta: CV Rajawali. Terjemahan dari: The Nutrition Factor, It’s Role in National Development. Brown, J.E.,et. Al. (2005). Nutrition Trought the Life Cycle 2 nd edition. United States of America: Thomson wadsworth. _______. (2012). Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Depkes RI. _______. (2008). Millenium Development Goals 2030. Jakarta. _______. (2014). Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat. Jakarta. Emilia, E. (2008). Pengetahuan,Sikap,dan Praktek Gizi pada Remaja. Skripsi. Bogor.Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.Bogor. Ernawati, A. (2006). Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Higiene Sanitasi Lingkungan, Tingkat Konsumsi dan Infeksi dengan Status Gizi Anak Usia 2-5 Tahun di Kabupaten Semarang Tahun 2003. Tesis. Program pascasarjana, Universitas Diponegoro : Semarang. Gropper S, Debra, et al. (2010). Nutrition in Men and Women Health, Maryland : Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg. Hartanto; Kodim. (2009). Implikasi Gizi Seimbang. Tarsito: Bandung. Insel, Paul, et.al. (2011). Nutrition Fourth Edition, Jones and Bartlett Publisher, LLC. Ipa, Agustian. (2010). Status gizi Remaja ,Pola makan dan Aktivitas Olahraga di SMA 2 Majauleng
Kabupaten Wajo. 2010. (diakses 6 juli 2013) diunduh dari: URL : https://jurnalmediagizipangan.files. wordpress.com/ Kaunang, Carolina. (2015). Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi Keluarga Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Kristen Tateli Kecamatan Mandolang Kabupaten Minahasa. Skripsi. FKM-Sam Ratulangi Manado. Kemenkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2010). Jakarta. _______. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013). Jakarta. Kurniasih et al. (2010). Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang. Jakarta: Gramedia. Marbun, (2010). Hubungan Konsumsi Makanan, Kebiasaan Jajan dan Pola Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Siswa. Tesis. FKM-UI. Depok Nizar. (2009). Status Gizi dan Pola Makan Remaja Putri di SMUN dan MAN di Kota Padang. Skripsi. dari (http://repository.usu.ac.id/handle/1 23456789/14668.,), diakses 22 Januari 2016. Notoadmodjo, Soekidjo. (2005). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta. _______. (2010). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta. Nurmalina, Rina. (2011). Pencegahan & Manajemen Obesitas. Bandung :Elex Media Komputindo. Proverawati; Asfuah S. (2009). Buku Ajar Gizi untuk Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika. Rahmiwati, A. (2007). Pola Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Pengetahuan Reproduksi Remaja Putri. Dari : (http://repository.ipb.ac.id/), diakses 12 Januari 2016. Ratnaeni, I. M. (2011). Perbedaan Pengetahuan Gizi Dan Status Gizi Pada Remaja Di SMA Kota Dan Desa (Studi di SMAN 1 Boyolali Dan SMAN 1 Cepego). Karya Tulis Ilmiah D3 Jurusan Gizi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang
Rochman, Iftita. (2013). Hubungan Gaya Hidup Dengan Status Gizi Remaja. Skripsi. Surabaya. FKM-Unair. Rosita Dewi, Shely. (2013). Hubungan Antara Pengetahuan Gizi, Sikap Terhadap Gizi dan Pola Konsumsi Siswa di SMK Negeri 6 Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta. FT-UNY. Sediaoetama, AD. 2000. Ilmu Gizi I. Jakarta: Dian Rakyat. Suhardjo. (2003). Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta : Bumi Aksara. _______. (2010). Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta: Kanisius. Suryaputra, K; Nadhiroh S.R. (2012). Perbedaan Pola Makan dan Aktivitas Fisik antara Remaja Obesitas dengan Non Obesitas. Makara Kesehatan. UNICEF. (2007). Progress for Children : Stunting, Wasting, and Overweight. http://www.unicef.org/progerssforc hildren/2007n6/ndex_41505.htm. di akses 22 Januari 2016 Williamson, N.L Zucker, M.A White, D.C Blouin. (2010). Exercise Habit (Physical Activity) of Assesment for Nutritional Status. Development of a New Procedure. Internasional Journal Nutritonal. Yolanda, Angki. (2014). Analisis Determinan Status Gizi Remaja SMAN 3 Kecamatan Rambang Dangku Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2014. Skripsi. Sumatera. FKM Universitas Sriwijaya
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada Siswa SMA Di Kabupaten Semarang