SKRIPSI
EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)
Oleh : ANNISA DIAN NURAINI F 24103121
2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Annisa Dian Nuraini. F24103121. Ekstraksi Komponen Antibakteri dan Antioksidan dari Biji Teratai (Nymphaea pubescens). Di bawah bimbingan : Made Astawan. RINGKASAN Areal rawa merupakan salah satu lahan yang belum banyak mendapatkan perhatian khusus, padahal lahan rawa di Indonesia mencapai 33,4 juta hektar dari luas lahan 162,4 juta hektar. Potensi rawa terbesar berada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Salah satu potensi rawa yang belum luas pemanfaatannya adalah teratai. Teratai (Nymphaea pubescens) merupakan salah satu tanaman yang berhabitat di daerah perairan tawar, seperti rawa-rawa atau sungai dan danau yang tidak begitu dalam dan berair tenang. Hingga saat ini pemanfaatan umum teratai hanya sebatas sebagai tanaman hias. Sedangkan penduduk yang bermukim di sekitar rawa memanfaatkan biji teratai sebagai bahan pangan bahkan sebagai obat. Oleh karena itu, perlu penelitian yang mendalam mengenai biji teratai, khususnya sebagai antibakteri dan antioksidan. Dalam penelitian ini, dilakukan ekstraksi biji teratai dalam kondisi mentah dan dikukus dengan tiga pelarut yang berbeda kepolarannya (heksana, etilasetat, dan etanol) dengan metode maserasi bertingkat dimulai dengan pelarut yang paling tidak polar, kemudian dilakukan uji aktivitas antibakteri dan antioksidan. Uji aktivitas antibakteri ekstrak dilakukan terhadap empat jenis bakteri uji, yaitu Escherichia coli, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus dengan metode uji difusi sumur. Sedangkan uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode ransimat terhadap semua jenis ekstrak biji teratai, untuk mendapatkan ekstrak terpilih yaitu ekstrak yang memiliki kandungan antioksidan tertinggi. Kemudian dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH free radical scavenging activity. Hasil ekstraksi biji teratai, baik mentah maupun kukus, dengan berbagai pelarut dihasilkan rendemen yang berbeda-beda. Berdasarkan uji T, perlakuan pemanasan biji tidak berpengaruh nyata (p>0.05) pada hasil rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut. Secara umum aktivitas antibakteri ekstrak biji mentah lebih besar dari biji kukusnya. Analisis ragam terhadap nilai rendemen ekstrak biji teratai mentah antar pelarut menunjukkan bahwa jenis pelarut antar ekstrak pada biji teratai mentah berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen (p<0.05). Dan berdasarkan uji LSD, nilai rendemen ekstrak etanol biji teratai mentah memiliki nilai yang paling tinggi dan berbeda nyata dari ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut lainnya, yaitu sebesar 4.23%. Berdasarkan pengamatan ekstrak heksana, baik biji mentah maupun kukus, tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri. Hasil analisis ragam, ekstraksi biji teratai mentah dengan pelarut berbeda secara bertingkat menunjukkan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap aktivitas antibakteri pada keempat bakteri uji. Selanjutnya berdasarkan uji LSD, ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut etilasetat memiliki aktivitas antibakteri yang paling tinggi dan berbeda nyata (p<0.05) dengan ekstrak dari pelarut lainnya. Diameter penghambatan pertumbuhan oleh ekstrak etilasetat biji teratai mentah pada konsentrasi 30% terhadap E. coli adalah 23.10±0.00 mm, B. cereus 11.40±0.30 mm, S. aureus
12.83±0.16 mm, dan P. aeruginosa 12.85±0.25 mm. Berdasarkan uji T, perlakuan pemanasan biji teratai berpengaruh nyata (p<0.05) pada aktivitas antibakteri terhadap keempat bakteri uji. Uji aktivitas antioksidan pada metode ransimat menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat biji teratai mentah merupakan ekstrak yang paling tinggi kandungan antioksidannya, yaitu dengan nilai protection factor 29.91±1.49 % terhadap tokoferol. Berdasarkan uji LSD, ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut etilasetat berbeda nyata (p<0.05) dengan ekstrak biji mentah dengan pelarut lainnya dan memiliki nilai protection factor yang terbesar. Sehingga ekstrak etilasetat biji mentah dipilih untuk dilakukan uji antioksidan metode DPPH free radical scavenging activity. Uji aktivitas antioksidan metode DPPH free radical scavenging activity ditunjukkan dengan nilai IC50 dengan asam askorbat sebagai pembanding. Nilai IC50 ekstrak etilasetat biji teratai mentah adalah 671.6 mg/ml sedangkan nilai IC50 asam askorbat adalah 0. 6331 mg/ml.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd) SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : ANNISA DIAN NURAINI F24103121 Dilahirkan pada tanggal 4 September1985 Di Cirebon, Jawa Barat Tanggal lulus: 7 Agustus 2007 Bogor, Agustus 2007 Menyetujui,
Prof. Dr. Made Astawan, MS Dosen Pembimbing Akademik Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ANNISA DIAN NURAINI F 24103121
2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
KATA PENGANTAR Syukur
Alhamdulillah
penulis
ucapkan
kehadirat
Allah
subhanallahuwata’ala atas karunia yang tak terhingga dengan selesainya penyusunan
skripsi
yang
berjudul
“EKSTRAKSI
KOMPONEN
ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN DARI BIJI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd)”. Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat berpartisipasi dalam membangun kemajuan ilmu pengetahuan bangsa dan dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih, terutama kepada : 1. Orang tua tercinta H. Sadik dan Hj. Masanah atas cinta dan kasih sayang yang tak terhingga, bakti seumur hidupku tak akan pernah cukup untuk membalas ketulusanmu, serta kakak-kakakku tercinta atas segala dukungan dan doa yang kalian berikan. 2. Prof. Dr. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan waktu, pikiran, dan tenaga dalam membimbing penulis selama ini. Semoga Bapak selalu mendapat rahmat dan lindungan Allah SWT. 3. Dra. Suliantari, MS dan Dr. Ir. Sukarno selaku dosen penguji, atas masukan, saran serta kritik yang telah diberikan demi kesempurnaan skripsi. 4. Ibu Yuspihana Fitrial, mahasiswa S3 IPN IPB, atas segala bantuan (terutama dalam penyediaan biji teratai) , dukungan, serta masukan mengenai penelitian. 5. Teza Permana, atas perhatian dan dorongan yang tulus. 6. Andreas Leomitro, atas kerja sama yang baik selama penelitian dan segala bantuan selama menyusun tugas akhir. 7. Sahabat-sahabat setiaku, Citra, Ikoq, Ocha, Ephen, Abdy, Bohay, Dini, Iin, Indach, Wati, dan Dian atas kasih sayang, dukungan, bantuan, kebersamaan, dan gosip. Jangan pernah lukai persahabatan kita dengan permasalahan apapun meski luka hati seringkali tak terhindari. 8. Sahabat-sahabat hidupku, Sunu, Aak, Abip, dan Iyan atas persahabatan sejati yang telah diberikan.
9. Cristine (ITP’40), Nene (ITP’39), Agnes (ITP’40), dan Meiko (ITP’40) yang telah banyak membantu penulis dalam analisis antioksidan. Serta teman-teman seperjuangan Onet, Tatan, Steph, Acha, Nooy, Tuti, dan Gol D. 10. Teman-teman ITP’40, ITP’39, dan ITP’41 atas bantuan dan dukungannya. 11. Kardhita Crew, Mba Zenab, Mas Aga, Mba Nanin, Mba Meirina, Selly, Wati, Lina, Yuli, Cici, Fitri, Anna atas dukungan moril kepada penulis. 12. Laboran-laboran yang telah membantu selama penelitian terutama Pak Sob, Pak Koko, Pak Rojak, Pak Mul, Pak Yahya, Mbak Darsih, Mbak Yane, Mba Ari, Teh Ida serta pustakawan Perpustakaan PAU dan PITP. 13. Pihak-pihak yang tak sempat disebutkan, atas bantuan dan dukungan yang tak terhingga, mohon maaf atas kekhilafan penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kemajuan riset di bidang pangan khususnya dan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Penulis menyadari akan kekurangan yang tak dapat dihindari pada skripsi ini, sehingga masukan kiritik dan saran sangat diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.
Bogor, Agustus 2007
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ................................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii I. PENDAHULUAN A.
Latar Belakang ........................................... Error! Bookmark not defined.
B.
Tujuan dan Manfaat .................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA A.
Teratai ......................................................................................................... 4
B.
Kandungan Zat Gizi Biji Teratai ................................................................. 6
C.
Teknik Ekstraksi ......................................................................................... 7
D.
Senyawa Antimikroba ................................................................................. 8
E.
Bakteri Patogen dan Perusak Pangan .......................................................... 9
F.
Antioksidan ............................................................................................... 13
G.
Fitokimia ................................................................................................... 16
III. METODOLOGI PENELITIAN A.
Bahan dan Alat .......................................................................................... 22
B.
Metode Penelitian ..................................................................................... 22
C.
Metode Analisis ........................................................................................ 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Rendemen dan Proksimat Ekstrak Biji Teratai ......................................... 35
B.
Karakteristik Ekstrak ................................................................................. 37
C.
Persiapan Kultur Bakteri Uji ..................................................................... 39
D.
Aktivitas Antimikroba............................................................................... 40
E.
Aktivitas Senyawa antioksidan ................................................................. 51
F.
Uji Fitokimia ............................................................................................. 58
V. KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan ............................................................................................... 61
B.
Saran.......................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 63 LAMPIRAN..........................................................................................................68
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Kandungan Gizi Tepung Biji Teratai..........................................
6
Tabel 2
Hasil Uji Proksimat Terhadap Tepung Biji Teratai..................... 37
Tabel 3
Karakteristik Berbagai Ekstrak Biji Teratai................................
38
Tabel 4
Total Mikroba Kultur Bakteri Uji...............................................
40
Tabel 5
Aktivitas Antibakteri Berbagai Ekstrak Biji Teratai Pada Konsentrasi 30% terhadap Bakteri Uji........................................ 42
Tabel 6
Perbandingan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Biji Mentah..........
Tabel 7
Kandungan Komonen Fitokimia pada Ekstrak Etilasetat Biji Teratai Mentah............................................................................
45 59
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Biji Teratai Nympheae pubescens Willd.....................................
5
Gambar 2
Reaksi Penghambatan Antioksidan Primer terhadap Radikal 14 Lipida..........................................................................................
Gambar 3
Antioksidan Bertindak Sebagai Prooksidan pada Konsentrasi 15 Tinggi..........................................................................................
Gambar 4
Diagram Alir Penelitian..............................................................
23
Gambar 5
Diagran Alir Ekstraksi Biji Teratai.............................................
24
Gambar 6
Rendemen Berbagai Ekstrak Biji Teratai.................................... 36
Gambar 7
Ekstrak Biji Teratai Mentah Dalam Berbagai Pelarut................. 39
Gambar 8
Penghambatan Ekstrak Heksan Biji Teratai Mentah................... 43
Gambar 9
Penghambatan Ekstrak Etilasetat Biji Teratai Mentah................ 44
Gambar 10
Penghambatan Ekstrak Etanol Biji Teratai Mentah....................
46
Gambar 11
Perbandingan Penghambatan Ekstrak Pada Jenis Bakteri Uji…
48
Gambar 12
Nilai Protection Factor Berbagai Ekstrak Biji Teratai...............
54
Gambar 13
Reaksi Penangkapan Radikal Bebas Stabil Oleh Antioksidan.... 56
Gambar 14
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etilasetat Biji Teratai Mentah....
57
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Nilai
Rendemen
Ekstrak
Biji
Teratai
dan
Contoh 68
Perhitungan................................................................................ Lampiran 2
Analisis Statistik Rendemen Berbagai Ekstrak Biji Teratai...... 69
Lampiran 3
Analisis Sidik Ragam Ekstrak Biji Teratai Mentah..................
Lampiran 4
Contoh Perhitungan Diameter Penghambatan Ekstrak Uji 71
70
Difusi Sumur............................................................................. Lampiran 5
Diameter Penghambatan Ekstrak Terhadap Bakteri Uji...........
72
Lampiran 6
Analisis Statistik Diameter Penghambatan Oleh Ekstrak 73 Etilsetat......................................................................................
Lampiran 7
Analisis Sidik Ragam Aktivitas Antibakteri Ekstrak Biji 74 Mentah.......................................................................................
Lampiran 8
Analisis Statistik Diameter Penghambatan Oleh Ekstrak 76 Etanol.........................................................................................
Lampiran 9
Hasil Uji Ransimat Terhadap α-tokoferol.................................
77
Lampiran 10
Hasil Uji Ransimat Terhadap Ekstrak.......................................
78
Lampiran 11
Hasil Uji Ransimat Terhadap Kontrol....................................... 90
Lampiran 12
Nilai Protection Factor Ekstrak Biji Teratai Pada Uji 99 Ransimat....................................................................................
Lampiran 13
Analisis Statistik Aktivitas Antioksidan Berbagai Ekstrak Biji 100 Teratai........................................................................................
Lampiran 14
Analisis Sidik Ragam Aktivitas Antioksidan Ekstrak Biji 101 Teratai Mentah...........................................................................
Lampiran 15
Kurva Standar Aktivitas Antioksidan........................................ 102
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Wilayah Indonesia memiliki potensi alam yang beragam dan sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, hingga saat ini banyak potensi alam di Indonesia yang belum sepenuhnya digali dan dimanfaatkan secara maksimal. Menurut Pradono et al. (2006), Indonesia memiliki kekayaan sumber daya hayati terbesar kedua setelah Brazil dengan lebih dari 28000 spesies tanaman. Meskipun demikian, baru sekitar 1000 spesies tanaman yang terdaftar dalam Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang telah digunakan untuk memproduksi pangan fungsional, terutama jamu. Wilayah Indonesia terdiri dari daratan dan perairan yang masingmasing memiliki aneka ragam kekayaan alam yang sangat bermanfaat. Wilayah perairannya sendiri mencapai dua per tiga dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Wilayah perairan di Indonesia dibedakan menjadi wilayah laut dan perairan tawar. Potensi laut telah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan pangan. Selain laut, potensi dari perairan tawar juga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Akan tetapi, saat ini potensi dari perairan tawar belum dimanfaatkan secara maksimal. Perairan tawar di Indonesia terdiri dari danau, sungai, payau, dan rawa. Daerah rawa di Indonesia cukup luas dan seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal. Menurut Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (2002), luas rawa di Indonesia berkisar 33,4 juta hektar dari luas lahan 162,4 juta hektar. Rawa tersebut berupa rawa pasang surut dan rawa non-pasang surut. Dari luas rawa tersebut, 20,096 juta hektar diantaranya berupa rawa pasang surut dan 13,296 juta hektar berupa rawa non-pasang surut. Potensi rawa terbesar berada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Di Sumatera, luas rawa pasang surutnya 6,6 juta hektar dan rawa non-pasang surutnya 2,7 juta hektar. Di Kalimantan rawa pasang surutnya mencapai 8,12 juta hektar dan rawa non-pasang surutnya 3,3 juta hektar.
Sedangkan di Sulawesi, rawa pasang surutnya mencapai 1,2 juta hektar sedangkan rawa non pasang surutnya mencapai 645 ribu hektar. Di Papua, rawa pasang surutnya 4,2 juta hektar sedangkan rawa non pasang surutnya 6,3 juta hektar. Data-data tersebut menunjukkan bahwa wilayah perairan tawar di Indonesia sangat luas, terutama daerah rawa. Hal ini tentu harus dimanfaatkan secara maksimal. Salah satu potensi rawa yang saat ini banyak dikembangkan adalah tanaman teratai (Nymphaea). Tanaman ini tumbuh subur di tanah berawa. Sentral tanaman ini banyak terdapat di Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan. Biji bunga teratai bagi masyarakat Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan, merupakan salah satu bahan pangan yang banyak dikonsumsi. Selain karena khasiatnya sebagai obat diare, biji bunga teratai ini dipercaya dapat mengobati berbagai penyakit hingga obat awet muda. Sehingga diperkirakan biji teratai mengandung komponen yang memiliki aktivitas antibakteri dan antioksidan. Melihat manfaatnya, biji teratai seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber bahan antibakteri dan antioksidan alami secara luas, mengingat pemanfaatannya hingga saat ini masih di sekitar daerah yang letaknya dekat dengan rawa. Padahal saat ini masyarakat Indonesia sangat membutuhkan sumber antibakteri maupun antioksidan alami. Senyawa antimikroba digunakan untuk membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan
dalam
pangan
atau
untuk
mencegah
dan
menghambat
pertumbuhannya (Ray, 2001). Antimikroba alami dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet pangan alami yang kini sangat dibutuhkan untuk menggantikan bahan pengawet kimia yang memiliki resiko bagi kesehatan. Menurut Thongson et al (2004), salah satu strategi mengurangi jumlah kasus food borne-illness dapat dilakukan dengan mengaplikasikan antimikroba pada saat proses pengolahan pangan untuk menginaktifkan ataupun untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Selain sebagai antibakteri, biji teratai diduga memiliki potensi aktivitas antioksidan. Dewasa ini, telah banyak dipublikasikan manfaat antioksidan terhadap kesehatan, terutama dalam kaitannya dengan pencegahan penyakit-
penyakit degeneratif yang sangat berbahaya. Menurut Mukhopadhiay (2000), senyawa antioksidan memiliki kemampuan untuk berikatan dengan metabolit lain seperti protein, lemak, dan karbohidrat membentuk senyawa kompleks yang stabil sehingga menghambat mutagenesis dan karsinogenesis. Selain itu, senyawa antioksidan berfungsi menghambat reaksi oksidasi lemak pada bahan pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi, perubahan warna dan rasa, serta kerusakan fisik lain pada produk pangan karena oksidasi dapat dihambat oleh antioksidan. Oleh karena itu, eksplorasi sumber-sumber antioksidan alami sangat dibutuhkan oleh masyarakat mengingat bahaya radikal bebas semakin tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari.
B. Tujuan dan Manfaat Tujuan umum penelitian ini adalah mengekstrak komponene antibakteri dan antioksidan dari biji teratai (Nymphaea pubescens Willd). Sedangkan tujuan khusus penelitian antara lain adalah mendapatkan ekstrak dengan
kandungan
komponen
antibakteri
dan
antioksidan
terbaik,
mengevaluasi pengaruh pemanasan biji teratai untuk ekstraksi komponen antibakteri dan antioksidan, serta menguji aktivitas ekstrak sebagai antibakteri dan antioksidan. Manfaat yang diharapkan melalui penelitian ini antara lain adalah mendapatkan senyawa antibakteri dan antioksidan, menambah nilai ekonomi biji teratai, dan memanfaatkan sumber daya alam terutama botani yang hidup di rawa.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Teratai 1. Botani Teratai Teratai termasuk tanaman keluarga Nymphaceae dan tergolong jenis tanaman yang berbunga sepanjang tahun. Famili Nymphaceae terdiri dari tujuh genus yaitu : Nymphae (teratai), Nelumbo (lotus), Victoria (teratai raksasa), Euryale, Barclaya, dan Ondinea. Menurut Marianto (2001), secara taksonomi (pembagian kelas berdasarkan sifat tumbuhan), teratai diklasifikasikan sebagai berikut : Divisio
: Spermathophyta (tumbuhan berbiji)
Kelas
: Monocotyl (tumbuhan berbiji tunggal)
Ordo
: Nymphales
Familia
: Nymphaceae
Genus
: Nymphae
Spesies
: Nymphae alba, Nymphae odorata, Nymphae tuberosa, Nymphae
pubescense,
Nymphae stellata,
Nymphae
nouchali, dll. Hingga saat ini tanaman teratai yang tersebar di seluruh dunia diperkirakan ada 40 sampai 200 varietas. Teratai-teratai tersebut tersebar luas dan merata di seluruh dunia, mulai dari daerah yang gersang seperti Afrika hingga daerah yang dingin di Eropa. Teratai merupakan salah satu tanaman yang berhabitat di daerah perairan tawar, seperti rawa-rawa atau sungai dan danau yang tidak begitu dalam dan berair tenang. Perkembangbiakan tanaman teratai dibantu oleh peristiwa alam seperti angin, air, ataupun serangga (Don et al. 2000). Teratai merupakan tanaman air yang tumbuh di daerah bersuhu 2030°C. Ekologi tanaman ini adalah perairan tenang dan lembab, memerlukan banyak sinar matahari dengan pH air netral sampai asam. Teratai memiliki akar yang kuat, panjang dan berumbi. Daunnya
mengapung di atas air, bagian atas daun berwarna hijau tua, sedangkan bagian bawahnya berwarna ungu kemerahan. Bentuk daun bundar dengan diameter antara 9 - 12 cm, bagian tepi daun melipat, dan daunnya mempunyai tangkai yang disebut petiola. Seorang ahli botani berkebangsaan Belanda, Van Steenis, menemukan tiga jenis spesies teratai asli Indonesia yang banyak tersebar di daerah rawa-rawa dan sungai di Pulau Jawa dan Kalimantan. Spesies lokal tersebut adalah Nymphae pubescens, Nymphae stellata, dan Nymphae nouchali (Marianto, 2001).
2. Biji Teratai (Nympheae pubescens) Teratai dapat berbunga beberapa kali dalam setahun. Bunga muncul di permukaan air, mekar sekitar pukul 18.00-19.00, dan menutup kembali keesokan harinya sebelum tengah hari. Bunga akan menghasilkan buah yang bundar berdiameter sekitar 4–12 cm. Biji buah berwarna coklat kehitaman, dan tersimpan dalam daging buah serta memiliki kulit ari yang keras. Biji yang tua dan kering dapat diolah menjadi tepung atau dimasak seperti menanak nasi (Khairina dan Fitrial, 2002). Biji teratai putih (Nymphae pubescens Willd) sering disebut ghol dan memiliki beberapa manfaat terutama sebagai bahan makanan dan obat.
(a)
(b)
Gambar 1. Biji teratai Nympheae pubescens Willd (a), Tepung biji teratai Nympheae pubescens Willd (b)
Biji teratai memiliki kandungan gizi yang tinggi terutama pati, lemak, dan protein (Marianto, 2001). Hal ini memungkinkan apabila biji teratai dicampur dengan serealia atau tanaman biji-bijian lain dapat dijadikan sebagai bahan pembuat kue dan makanan ringan. Di Filipina dan India, biji teratai diaplikasikan dalam bentuk tepung untuk bahan pembuatan roti (Sastrapradja dan Bimantoro 1981).
B. Kandungan Zat Gizi Biji Teratai Kandungan zat gizi biji teratai bervariasi, tergantung pada spesies, tempat tumbuh serta musim. Menurut Fuaddi (1996), biji teratai mengandung karbohidrat sebesar 87,67 %. Angka tersebut hampir setara dengan kandungan karbohidrat pada beras dan tepung terigu. Selain mengandung karbohidrat, kandungan gizi biji teratai yang lainnya seperti pati, lemak dan proteinnya juga tinggi. Menurut Khairina dan Fitrial (2002), tepung biji teratai juga mengandung asam amino dan asam lemak esensial yang lengkap. Tabel 1. Kandungan gizi tepung biji teratai Komposisi (%b/k)
Tepung biji teratai a
b
Karbohidrat
87,67
87,67
Protein
10,66
10,55
Lemak
1,11
0,99
Fosfor
0,032
-
Besi
0,0126
-
Serat Kasar
-
2,75
Gula Pereduksi
-
7,36
Abu
-
0,79
Sumber : (a) Fuaddi (1996) (b) Khairina dan Fitrial (2002)
C. Teknik Ekstraksi Menurut Nur dan Adijuwana (1989), ekstraksi merupakan peristiwa pemindahan zat terlarut (solut) antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Teknik ekstraksi yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur kandungan bahan dan jenis senyawa yang ingin didapat (Nielsen, 2003). Penggunaan metode ekstraksi yang dilakukan bergantung pada beberapa faktor, yaitu tujuan dilakukan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat komponen yang akan diekstraksi, dan sifat-sifat pelarut yang akan digunakan (Hougton dan Raman, 1998). Beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan adalah ekstraksi dengan pelarut, distilasi, super critical fluid extraction (SFE), pengepresan mekanik, dan sublimasi. Metode ekstraksi yang banyak digunakan adalah distilasi dan ekstraksi dengan pelarut. Proses ekstraksi dipengaruhi oleh lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Semakin lama waktu yang digunakan dan semakin tinggi suhu yang digunakan maka semakin sempurna proses ekstraksi. Semakin dekat tingkat kepolaran pelarut dengan komponen yang diekstrak, semakin sempurna proses ekstraksi. Teknik ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi dengan pelarut organik secara bertingkat. Ekstraksi secara bertingkat dilakukan dengan menggunakan beberapa pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai pelarut adalah : (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, (2) pelarut organik akan cenderung melarutkan senyawa organik, dan (3) pelarut air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam ataupun basa (Achmadi, 1992). Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan diekstrak dikontakkan langsung dengan pelarut selama selang waktu tertentu, sehingga komponen yang akan diekstrak terlarut dalam pelarut kemudian diikuti dengan pemisahan pelarut dari bahan yang telah diekstrak. Secara umum teknik ekstraksi menggunakan pelarut organik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu maserasi, digestion, dan perkolasi. Maserasi
merupakan proses ekstraksi dengan penghancuran sampel menggunakan pelarut, perendaman beberapa hari dan dilakukan pengadukan, kemudian dilakukan penyaringan atau pengepresan sehingga diperoleh cairan. Digestion adalah ekstraksi yang dilakukan dengan bantuan pemanasan sekitar 60°C dan lamanya ekstraksi dapat berlangsung selama 24 jam. Perkolasi merupakan teknik ekstraksi komponen terlarut dari suatu sampel menggunakan aliran pelarut dengan pemanasan atau tanpa pemanasan. Pada penelitian ini, pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi adalah heksan, etil asetat, dan etanol yang ketiganya berturut-turut merupakan senyawa nonpolar, semi polar, dan polar. Heksan merupakan pelarut yang bersifat nonpolar dan berfungsi melarutkan lemak. Heksan terdiri dari hidrokarbon alkana dengan rumus molekul C6H14. Heksan yang digunakan sebagai pelarut berupa cairan tak berwarna dan memiliki titik didih 69°C serta larut dalam air. Sedangkan etil asetat merupakan komponen organik semi polar dengan rumus molekul C4H8O2. Etil asetat bersifat volatil, nontoksik, dan tidak higroskopis. Pelarut ketiga adalah etanol dengan rumus molekul C2H5OH bersifat volatil.
D. Senyawa Antimikroba Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Menurut Fardiaz (1989), zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal, fungistatik atau menghambat germinasi spora bakteri. Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu : (1) konsentrasi zat antimikroba, (2) suhu lingkungan, (3) waktu penyimpanan, (4) sifat-sifat mikroba, meliputi jenis, jumlah, umur, dan keadaan mikroba, (5) sifat-sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar air, pH, jenis, dan jumlah senyawa di dalamnya (Frazier dan Westhoff, 1988). Kriteria ideal suatu antimikroba antara lain harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut : aman, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan flavor, citarasa dan aroma makanan, tidak mengalami penurunan aktivitas karena
adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten, sebaiknya bersifat membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba (Ray, 2001). Penghambatan aktivitas antimikroba oleh komponen bioaktif tanaman dapat disebabakan oleh beberapa faktor, antara lain : (1) gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, (2) peningkatan permeabilitas membran sel yang menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, (3) menginaktifasi enzim metabolik, dan (4) destruksi atau kerusakan fungsi material genetik (Branen dan davidson, 1993). Senyawa antimikroba yang berasal dari tanaman sebagian besar diketahui merupakan metabolit sekunder tanaman, terutama dari golongan fenolik dan terpen dalam minyak atsiri. Sebagian besar metabolit sekunder dibiosintesis dari banyak metabolit primer seperti asam-asam amino, asetil koA, asam mevalonat, dan metbolit antara. Selain itu, beberapa senyawa yang bersifat antimikroba alami berasal dari tanaman di antaranya adalah fitoaleksin, asam organik, minyak esensial (atsiri), fenolik dan beberapa kelompok pigmen tanaman atau senyawa sejenis (Nychas dan Tassou, 2000)
E. Bakteri Patogen dan Perusak Pangan Mikroba pada bahan pangan dapat memberikan dampak yang negatif bagi manusia. Hal ini dapat disebabkan oleh kerusakan yang diakibatkan oleh keberadaan mikroba terutama pada bahan pangan, seperti kebusukan dan keracunan. Kebusukan disebabkan oleh aktivitas mikroba pembusuk, sedangkan keracunan disebabkan oleh adanya mikroba patogen atau racun yang dihasilkan mikroba patogen. Bakteri penyebab kerusakan pangan contohnya antara lain adalah Pseudomonas. Bakteri patogen dibedakan menjadi patogenik penyebab penyakit (infeksi) dan patogenik penyebab penyakit karena keracunan (intoksikasi). Intoksikasi disebabkan oleh konsumsi toksin (racun) yang dihasilkan bakteri. Pada intoksikasi, sekalipun makanan atau bahan pangan sudah dipanaskan, toksin yang sudah terbentuk akan tetap aktif dan bisa menyebabkan keracunan meski bakteri tersebut sudah tidak ada dalam makanan (Ardiansyah, 2006).
Bakteri yang yang akan diuji dalam penelitian ini mewakili bakteri patogen dan bakteri pembusuk pangan. Bakteri yang mewakili bakteri patogen adalah Escherichia coli, Bacillus cereus, dan Staphylococcus aureus. Sedangkan
bakteri
yang
mewakili
bakteri
perusak
pangan
adalah
Pseudomonas aeruginosa.
1. Bacillus cereus Bacillus cereus merupakan bakteri Gram positif yang mempunyai ukuran sel yang besar, yaitu sekitar 1.0-1.2 µm dengan panjang 3.0-5.0 µm, bersifat anaerobik fakultatif dan dapat membentuk spora. Spora yang terbentuk tidak membengkak, berbentuk elips dan terletak di tengah atau agak di tengah sel (Fardiaz, 1989). Umumnya terdapat di dalam tanah dan pada tanaman, juga telah diisolasi dari berbagai makanan. Bakteri ini menyebabkan kebusukan makanan, tumbuh pada suhu 10-14°C dan pH 4.9-9.3. Suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 28-35°C dengan pH optimum 7.0-7.5 (Fardiaz, 1989). B. cereus dapat menyebabkan intoksikasi. Jenis toksin yang dihasilkan dapat digolongkan menjadi toksin emetik dan toksin diargenik (Fardiaz, 1989). Makanan yang berhubungan dengan gejala emetik adalah produk pangan berkarbohidrat seperti nasi dan pasta, sedangkan makanan yang berhubungan dengan diargenik adalah produk daging, sup, sayuran, puding, dan saus (Adam dan Moss, 1995). Untuk mencegah dampak buruk B. cereus, makanan harus dijaga agar tingkat kontaminasinya tidak tinggi. Batas aman konsumsi B. cereus adalah 1x 106 (Granum, 1994). Hal ini dapat dilakukan dengan pemasakan yang dapat membunuh sel vegetatif dan mencegah germinasi spora; pemanasan kemudian pendinginan secepatnya sehingga memberikan shok; dan penyimpanan pada suhu refrigerator.
2. Staphylococcus aureus Staphilococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk kokus dengan diameter 0.5-1.5 µm dan termasuk famili Micrococcaceae.
S. aureus hidup secara aerobik ataupun anaerobik fakultatif. Sifat lainnya adalah nonmotil dan tidak membentuk spora (Parker, 2000). S. aureus tahan garam dan tumbuh baik pada medium yang mengandung 7.5% NaCl, serta dapat memfermentasi manitol. Pada umunya S. aureus mampu memproduksi pigmen kuning keemasan dan koagulase, sehingga dapat dibedakan atas beberapa grup berdasarkan sifat imunitas koagulasenya, yaitu koagulase tipe I sampai VIII. Suhu optimum pertumbuhan S. aureus adalah 35-37°C, dengan suhu minimum 6.7 dan suhu maksimum 45.5°C. S. aureus dapat tumbuh pada pH 4.0-9.8 dengan pH optimum sekitar 7.0-7.5. Pertumbuhan pada pH mendekati 9.8 hanya mungkin bila substratnya mempunyai komponen yang baik untuk pertumbuhannya. Keracunan oleh S. aureus disebabkan tumbuhnya bakteri ini di dalam bahan pangan dan membentuk enterotoksin sebagai produk metabolitnya. Keberadaan S. aureus tidak wajar dalam makanan. Makanan yang terkontaminasi S. aureus biasanya berasal dari kulit manusia yang kontak dengan makanan (Adam dan Moss, 1995). Pada bahan pangan yang telah dimasak, S. aureus dapat terus berkembang mencapai tingkat yang membahayakan padahal bakteri lain akan terhambat. Hampir seluruh strain S. aureus bersifat patogen dan dapat memproduksi 6 jenis enterotoksin (A, B, C1, C2, D, dan E) dengan tingkat toksisitas yang berbeda yang tahan panas, dimana ketahanan panasnya melebihi sel vegetatifnya. Sebagian besar kasus keracunan makanan disebabkan oleh enterotoksin tipe A. S. aureus sering menyebabkan orang yang mengkonsumsi susu dari sapi yang menderita mastitis stapilokoki menjadi sakit (Parker, 2000).
3. Escherichia coli Echericia coli pada umumnya merupakan mikroba yang secara normal terdapat dalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Bakteri ini berbentuk batang atau koma, bersifat anaerobik fakultatif dan tergolong sebagai bakteri Gram negatif, bersifat motil dan nonmotil dengan flagella,
dan bersifat fakultatif anaerob. Nilai pH optimum untuk pertumbuhannya adalah 7.0-7.5, sedangakan kisaran suhu pertumbuhannya 10-40°C dengan suhu optimum 37°C. E. coli relatif sangat sensitif terhadap panas dan dapat diinaktifkan pada suhu pasteurisasi makanan atau selama pemasakan makanan (Fardiaz, 1989). E. coli disebut juga koliform fekal karena ditemukan pada saluran usus hewan dan manusia. Bakteri ini sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran (Fardiaz, 1992). Bakteri ini merupakan bakteri yang pertama dikenal sebagai penyebab gastroenteritis pada pekerja di Inggris dan penyebabnya adalah childhood diarrhoea di beberapa negara berkembang (Adams dan Moss, 1995). Tidak semua E. coli mampu memproduksi toksin yang dapat menyebabkan penyakit, tetapi hanya galur Enteropatogenik E. coli (EEC) saja. EEC menghasilkan dua enterotoksin, yaitu toksin yang tidak tahan panas yang hancur oleh pemanasan 60°C selama 15 menit, dan toksin yang tahan panas dan tetap aktif meskipun dipanaskan selama 30 menit pada suhu 100°C. Makanan yang sering terkontaminasi adalah daging ayam, daging sapi, ikan, dan makanan hasil laut, telur dan produk telur, sayuran, buah-buahan dan sari buah (Fardiaz, 1989).
4. Pseudomonas aeruginosa Bakteri ini termasuk ke dalam famili Pseudomonadaceae, bersifat Gram negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, dapat bergerak, umumnya mempunyai flagella polar tunggal dan tipe metabolismenya bersifat oksidatif. Pseudomonas aeruginosa tumbuh baik pada suhu rendah tapi dapat pula tumbuh pada suhu 37°C. Bakteri ini banyak ditemukan dalam air, tanah, tumbuhan, saluran usus manusia dan hewan. Pseudomonas aeruginosa tidak tahan terhadap kondisi panas dan keadaan kering, sehingga dengan perlakuan pemanasan dan pengeringan, bakteri jenis ini mudah untuk dicegah pertumbuhannya. Bakteri ini dapat memproduksi pigmen piosianin yang berwarna biru dan merupakan salah satu jenis bakteri yang sering menimbulkan
kerusakan pada berbagai jenis makanan (Fardiaz, 1989). Kerusakan makanan yang ditimbulkan oleh bakteri ini sebagian besar berhubungan dengan
kemampuannya
dalam
memproduksi
enzim
yang
dapat
memecahkan komponen lemak dan protein dalam makanan. Pseudomonas dapat berkembang dengan cepat pada suhu rendah dan sering mengakibatkan terbentuknya lendir dan pigmen pada permukaan daging yang didinginkan.
E. Antioksidan Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang dapat mendonorkan satu atau lebih atom hidrogen. Menurut Schuler (1990), antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghambat atau mencegah terjadinya oksidasi. Senyawa antioksidan biasanya digunakan untuk mencegah kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh senyawa radikal bebas. Zat oksidan atau lebih dikenal senyawa radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak stabil (mempunyai satu atau lebih elektron tanpa pasangan), sehingga untuk memperoleh pasangan elektron senyawa ini sangat reaktif dan merusak jaringan. Dengan adanya senyawa antioksidan, oksidan atau senyawa radikal bebas yang tadinya sangat tidak stabil dan bersifat merusak sel tubuh dapat menjadi stabil dan kerusakan sel tubuh dapat dicegah. Radikal bebas dipercaya berkontribusi banyak pada penyakit manusia, terutama penyakit-penyakit kronis dan hubungannya dengan proses penuaan. Beberapa penyakit yang dapat timbul karena adanya radikal bebas antara lain kanker, atherosclerosis termasuk penyakit serangan jantung koroner, stroke, arthritis, Parkinson, Alzheimer, katarak, serta berbagai kasus penuaan dini. Reaksi pembentukan radikal bebas merupakan mekanisme biokimia tubuh normal. Radikal bebas umumnya hanya bersifat perantara yang dapat dengan cepat diubah menjadi substansi yang tidak lagi membahayakan tubuh. Tetapi jika radikal bebas berada dalam jumlah berlebihan sementara jumlah antioksidan seluler tetap atau lebih sedikit, maka kelebihannya tidak bisa dinetralkan dan berakibat pada kerusakan sel, antara lain : kerusakan DNA
pada inti sel, kerusakan membran sel, kerusakan protein, kerusakan lipid peroksida, dan dapat menimbulkan autoimun (Karyadi, 1997). Gordon (1990) menjelaskan sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksiden primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk yang lebih stabil. Inisiasi
:
R*
+
AH
RH
+
A*
Propagasi
:
ROO* +
AH
ROOH +
A*
Gambar 2. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon, 1990) Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 2). Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru (Gordon, 1990). Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan (Gambar 3). Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan sampel yang akan diuji.
AH
+
O2
A*
+
HOO*
AH
+
ROOH
RO*
+
H2O
+
A
Gambar 3. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi (Gordon, 1990) Berdasarkan sumbernya antioksidan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Antioksidan sintetik yang umumnya digunakan dalam produk pangan antara lain PG (propil galat), TBHQ (tert-butylhydroxyquinone), BHA (butylated hydroxyanisole), BHT (butylated hydroxytoluene). Antioksidan alami banyak terdapat dalam tanaman pada seluruh bagian dari tanaman seperti akar, daun, bunga, biji, batang dan sebagainya. Menurut Pratt dan Hudson (1990), senyawa-senyawa yang umumnya terkandung dalam antioksidan alami adalah fenol, polifenol, dan yang paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavon, flavon, katekin, flavonon), turunan asam sinamat, tokoferol, dan asam organik polifungsi. Saat ini tokoferol sudah diproduksi secara sintetik untuk tujuan komersial. Beberapa metode pengukuran aktivitas antioksidan yang dapat digunakan antara lain metode ß-karoten/linoleat, metode terkonjugasi, metode Ransimat, metode DPPH free radical scavenging activity, dan metode tiosianat. Pada penelitian ini, pengukuran antioksidan difokuskan pada metode Ransimat dan metode DPPH free radical scavenging activity. Prinsip pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode Ransimat adalah proses oksidasi dipercepat dengan cara induksi aliran udara melewati minyak yang dipanaskan, yaitu pada suhu 100-140° C. Reaksi autooksidasi dapat menghasilkan hidroperoksida dan juga asam format yang dapat mengubah konduktivitas air bebas ion pada alat Ransimat. Pada awal reaksi oksidasi tidak ada peningkatan konduktivitas yang dapat diamati dan hanya pada tahap selanjutnya terjadi peningkatan konduktivitas secara cepat. Periode ini disebut periode induksi. (Loliger,1993)
Pada metode DPPH free radical scavenging activity, DPPH (1,1– diphenyl–2–picrylhydrazil) digunakan sebagai model radikal bebas (Hatano et al, 1988). Jika senyawa ini masuk dalam tubuh manusia dan tidak terkendalikan dapat menyebabkan kerusakan fungsi sel. Dalam uji ini metanol digunakan sebagai pelarut, sedangkan inkubasi pada suhu 370C dimaksudkan untuk mengoptimalkan aktivitas DPPH. Aktivitas antioksidan pada metode DPPH dinyatakan dengan IC50 (Inhibition Concentration). IC50 adalah bilangan yang menunjukkan konsentrasi ekstrak yang mampu menghambat aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik, suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 0.05 mg/ml, kuat untuk IC50 antara 0.05-0.1 mg/ml, sedang jika IC50 bernilai 0.101–0.150 mg/ml, dan lemah jika IC50 bernilai 0.151 – 0.200 mg/ml.
F. Fitokimia Senyawa fitokimia merupakan senyawa-senyawa yang dihasilkan dari sintesis tanaman yang kebanyakan merupakan senyawa aktif yang memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh (Lin, 1994). Senyawa fitokimia berpotensi mencegah berbagai penyakit seperti penyakit degeneratif dan kardiovaskuler. Senyawa yang termasuk fitokimia antara lain senyawa fenol, flavonoid, tanin, alkaloid, steroid, dan triterpenoid (Harborne, 1987). Uji fitokimia memiliki kegunaan dalam fisiologi tumbuhan, patologi tumbuhan, ekologi tumbuhan (interaksi antara tumbuhan dengan lingkungan), paleobotani (tumbuhan berperan dalam menguji hipotesis tentang fosil), dan genetika tumbuhan (Harborne, 1996). Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui metabolit sekunder dari tumbuhan. Beberapa jenis metabolit sekunder memiliki aktivitas antimikroba (Naidu, 2000).
1. Fenol Menurut Harborne (1987), senyawa fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan yang memiliki ciri yang sama yaitu
cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Suradikusumah (1989), menambahkan fenol dan turunannya memiliki sifat cenderung larut dalam air. Senyawa fenol diantaranya adalah senyawa fenol sederhana seperti monofenol dengan satu cincin benzena (3-etilfenol, 3,4-dimetilfenol) yang banyak ditemukan pada kacang-kacangan, grup asam hidroksi sinamat (asam ferulat dan kafeat), flavonoid dan glikosidanya (katekin, proantosianin, antosianidin, dan flavonol) dan tanin yang merupakan senyawa fenol yang kompleks dengan berat molekul yang tinggi (Johnson, 2001). Menurut Mukhopadhiay (2000), polifenol memiliki kemampuan untuk berikatan dengan metabolit lain seperti protein, lemak, dan karbohidrat membentuk senyawa kompleks yang stabil sehingga menghambat mutagenesis dan karsinogenesis. Polifenol memiliki sifat antioksidatif dan antitumor. Sedangkan menurut Bidlack dan Wang (2000),
polifenol
dapat
digunakan
sebagai
pencegah
penyakit
kardiovaskuler dan kanker. Senyawa fenol terbukti sebagai sumber antioksidan yang efektif, penangkap radikal bebas dan pengkelat ioin-ion logam (Shahidi dan Wanasundara didalam Bidlack dan Wang, 2000). Menurut Meskin et al. (2002), aktivitas antioksidan dari senyawa fenol berhubungan dengan struktur senyawa fenol. Keberadaan grup hidroksil atau metoksi pada posisi orto atau para dari turunan asam benzoat, penilpropanoid atau flavonoid (isoflavon) diketahui dapat meningkatkan aktivitas antioksidan dari senyawa fenol. Sementara keberadaan dua grup hidroksil pada posisi orto atau para dapat menghasilkan struktur quinoid yang stabil, dan grup metoksi pada posisi orto atau para adalah elektron donor yang efektif dalam menstabilkan radikal bebas yang terbentuk, sehingga meningkatkan aktivitas dari senyawa fenol. Menurut Beuchat (1994), komponen antimikroba yang terkandung dalam fraksi-fraksi minyak esensial rempah-rempah banyak mengandung komponen jenis fenol. Mekanisme antimikroba senyawa fenolik adalah mengganggu kerja di dalam membran sitoplasma mikroba. termasuk
diantaranya adalah mengganggu transpor aktif dan kekuatan proton (Davidson, 1993).
2. Flavonoid Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, dalam bentuk aglikon maupun terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne, 1987). Jenis utama flavonoid yang terdapat dalam tanaman antara lain dihidrokalkon, kalkon, flavan, katekin (flavan-3-ol), leukoantosianidin (flavan-3,4-diol), flavanon, flavanonol antosianidin,
(dihidroflavonol), dan
auron.
flavon,
Berdasarkan
flavonol, struktur,
garam
flavilium,
flavonoid
dapat
diklasifikasikan menjadi flavoid (1,3-diaril propan), isoflavon (1,2diarilpropan) dan neoflavonoid (1,1-diarilpropan). Menurut Middleton dan Kandaswami (1994), flavonoid memegang peranan penting dalam biokimia dan fisiologi tanaman, diantaranya berfungsi sebagai antioksidan, penghambat enzim, dan prekursor bagi komponen toksik. Flavonoid pada tumbuhan berfungsi untuk mengatur pertumbuhan, mengatur fotosintesis, mengatur kerja antimikroba dan antivirus, dan mengatur kerja anti-serangga (Robinson, 1995). Menurut Johnson (2001), flavonoid sangat efektif digunakan sebagai antioksidan. Senyawa flavonoid dapat mencegah penyakit kardiovaskuler dengan menurunkan oksidasi Low Density Lipid (LDL). Choi et al. (1991) menyatakan bahwa flavonoid dapat menurunkan hiperlipidemia pada manusia. Flavonoid merupakan golongan yang penting karena memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang luas dengan mengurangi kekebalan pada organisme sasaran (Naidu, 2000). Isoflavon merupakan jenis flavonoid yang banyak terdapat pada tanaman dan memiliki aktivitas antimikroba yang paling tinggi dibandingkan jenis flavonoid lainnya. Sebagai contoh isoflavon dapat menghambat pertumbuhan kapang dan membantu dalam mengontrol wabah penyakit (Naidu, 2000).
3. Tanin Tanin merupakan salah satu senyawa fenol kompleks yang terdapat pada kacang-kacangan (Meskin et al., 2002). Senyawa yang tergolong tanin adalah senyawa polifenol yang mengandung gugus hidroksil dan gugus lainnya (misalnya karboksil), sehingga mampu membentuk kompleks kuat dengan protein. Tanin terkondensasi dihasilkan melalui polimerisasi flavonoid dan banyak terdapat pada tanaman kayu yaitu pada lapisan biji. Tanin dapat bersifat sebagai antioksida karena kemampuannya dalam menstabilkan fraksi lipid dan keaktifannya dalam penghambatan lipoksigenase (Zeeuthen dan Sorensen, 2003). Tanin mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak kulit. Tanin terdiri dari berbagai asam fenolat. Beberapa tanin dapat mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor, dan menghambat enzim seperti reverse transkripitase dan DNA topoisomerase (Robinson, 1995).
4. Alkaloid Alkaloid adalah senyawa alami amina, baik pada tanaman, hewan, ataupun jamur. Senyawa alkaloid umumnya mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik (Harborne, 1987). Berdasarkan cincin heterosiklik nitrogen, alkaloid dapat diklasifikasikan antara lain pirolidin, piperidin, isokuinolin, indol, kuinolin. Alkaloid merupakan metabolit sekunder pada tanaman, misalnya kentang dan tomat. Senyawa alkaloid memiliki aktivitas fisiologis sehingga banyak digunakan dalam bidang pengobatan. Kuinin, morfin, dan striknin adalah contoh alkaloid yang memiliki aktivitas antikanker (Mukhopadhiay, 2000). Alkaloid memiliki efek farmakologi sebagai analgesik dan anaestetik. Alkaloid yang biasa digunakan sebagai analgesik dan anaestetik adalah morfin dan kodein.
5. Triterpenoid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena (Harborne, 1987). Penggolongan terpenoid didasarkan pada adanya molekul isopren. Secara kimiawi, terpenoid bersifat
larut
dalam
lemak
dan
terdapat
dalam
sel
tumbuhan
(Suradikusumah, 1989). Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol (βsitosterol), stigmasterol dan kampesterol. Senyawa terpenoid dapat digunakan untuk pengobatan dan terapi (Goldberg, 2003). Triterpenoid merupakan golongan terpenoid yang berpotensi sebagai antimikroba. Selain itu senyawa ini banyak digunakan untuk menyembuhkan penyakit gangguan kulit. Triterpenoid memiliki sifat antijamur, insektisida, antibakteri, dan antivirus (Robinson, 1995).
6. Steroid Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid (Harborne, 1987). Senyawa steroid dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21 (steroid sederhana) dan steroid dengan atom karbon lebih dari 21 seperti sterol, sapogenin, alkaloid steroid, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpen yaitu lanosterol dan sikloartenol. Pada umumnya, steroid tumbuhan berasal dari sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Hogiono dan Dangi, 1994).
7. Saponin Menurut Meskin et al. (2002), saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang dihasilkan dari grup steroid atau triterpen yang berkaitan dengan gula. Gruiz (1996), menyatakan bahwa 76% dari jenis tanaman di Asia mengandung saponin. Saponin bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa (Harborne, 1987).
Senyawa ini memiliki pengaruh biologis yang menguntungkan yaitu bersifat sebagai hipokolesterolemik dan antikarsinogen serta dapat meningkatkan sistem imun (Meskin et al., 2002). Selain itu, saponin menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dengan cara berinteraksi dengan membran sterol. Efek utama saponin terhadap bakteri adalah adanya pelepasan protein dan enzim dari dalam sel-sel (Zablotowicz et al., 1996).
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah biji teratai (Nymphae pubescens), pelarut teknis heksana, pelarut teknis etil asetat, pelarut teknis etanol, akuades, kertas saring Whatman no. 1, aluminium foil, spiritus, gas N2, minyak kedelai murni, α-tokoferol, asam askorbat, metanol, DPPH, air demineralisasi, minyak kedelai “Happy Salad Oil”, kultur Pseudomonas aeruginosa,
kultur Bacillus cereus, kultur Escerichia coli, kultur
Staphylococcus aerus, media Nutrien Broth (NB), dan media Nutrient Agar. Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah blender kering, shaker, rotary evaporator, penyaring vakum, cawan petri, ose, gelas pengaduk, sudip, bunsen, tabung reaksi bertutup, gelas ukur, labu Erlenmeyer, gelas piala, pipet volumetrik, micropipet, botol gelap, vortex, alat ransimat, spektrofotometer, dan inkubator.
B. Metode Penelitian Penelitian dibagi menjadi penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan terdiri dari persiapan sampel melalui proses ekstraksi bertingkat dan persiapan kultur bakteri uji. Sedangkan penelitian lanjutan terdiri dari analisis antimikroba dengan metode difusi sumur, analisis aktivitas antioksidan dengan metode ransimat dan metode DPPH free radical scavenging activity. Selain itu dilakukan pula analisis senyawa fitokimia dan analisis proksimat bahan baku (Gambar 4).
Biji teratai
Mentah
Kukus Tepung biji teratai
(heksana
Ekstraksi bertingkat etil asetat etanol) Ekstrak
Uji aktivitas antimikroba (metode uji sumur) Ekstrak terpilih
Uji aktivitas antioksidan (metode rancimat) Ekstrak terpilih
Uji fitokimia
Uji aktivitas antioksidan (metode DPPH)
Gambar 4. Diagram alir penelitian
1. Penelitian Pendahuluan a. Proses Ekstrasi Pada penelitian pendahuluan dilakukan ekstraksi biji teratai yang kemudian akan diuji aktivitas antimikroba dan antioksidannya. Ekstraksi dilakukan menggunakan metode maserasi bertingkat dengan tiga pelarut yang berbeda kepolarannya, yaitu heksana, etil asetat, dan etanol. Perbandingan antara bahan dan pelarut adalah 1:4 (w/v) dan proses ekstraksi dilakukan selama 24 jam dengan alat shaker. Ekstraksi biji teratai dilakukan terhadap biji yang masih mentah dan biji kukus berupa tepung biji. Tahapan ekstraksi biji teratai dapat dilihat pada Gambar 5.
Biji teratai
Mentah
Kukus Diblender kering Tepung biji teratai
Diekstrak dengan heksana, 24 jam Disaring vakum Padatan
Filtrat
Diekstrak dengan etilasetat, 24 jam Disaring vakum
Padatan
Dihembus N2
Filtrat
Diekstrak dengan etanol, 24 jam
Dievaporasi
Disaring vakum
Dihembus N2
Padatan
Filtrat
Dievaporasi, 550C
Ekstrak heksana
Ekstrak etilasetat
Dievaporasi, 550C Dihembus N2 Ekstrak etanol Gambar 5. Diagram alir ekstraksi biji teratai
b. Persiapan Kultur Bakteri Uji Persiapan kultur bakteri uji perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah total mikroba awal dari seluruh kultur bakteri uji, sehigga dapat diketahui pengenceran yang dibutuhkan untuk mendapatkan jumlah total mikroba yang diinginkan dalam metode uji difusi sumur, yaitu 1x105. Penghitungan total mikroba pada tahap ini menggunakan metode hitungan cawan. Tahap pertama dalam penghitungan total mikroba (Total plate count) ini adalah menyiapkan kultur murni bakteri uji. Kultur murni bakteri uji yang berupa padatan (agar) diambil satu ose dan dimasukkan ke dalam tabung berisi 10 ml media pertumbuhan NB secara aseptis. Tabung tersebut diinkubasikan dalam suhu 37ºC selama 24 jam. Kemudian dari tabung tersebut, diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer (larutan fisiologis 0.85%) sampai pengenceran ke-8. Pada pengenceran ke-5 sampai ke-8, diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Cawan petri yang telah berisi kultur bakteri uji tersebut diberi media pertumbuhan NA dengan metode tuang. Cawan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Cawan petri yang telah diinkubasi, diamati pertumbuhan bakteri uji. Kemudian dilakukan penghitungan mikroba dengan metode hitungan cawan. Setelah diketahui total mikroba awal pada bakteri uji, maka dapat diketahui pengenceran yang diperlukan untuk digunakan dalam uji aktivitas antimikroba dengan metode difusi sumur.
2. Penelitian Lanjutan 1. Uji aktivitas antimikroba (Metode Garriga et al., 1993) Setelah didapatkan ekstrak biji teratai dari berbagai pelarut, baik biji mentah maupun kukus, serta telah diketahui jumlah total mikroba awal bakteri uji, maka dilakukan uji aktivitas antimikroba melalui metode uji difusi sumur. Uji difusi sumur merupakan uji kualitatif.
Pada
metode
ini
diukur
diameter
penghambatan
pertumbuhan bakteri uji oleh senyawa antimikroba (ekstrak biji teratai). Hasilnya kemudian diolah secara statistik. Sesuai dengan hasil perhitungan total mikroba pada tahap persiapan kultur bakteri uji, maka untuk mendapatkan total mikroba yang seragam didalam cawan uji difusi sumur yaitu 1x105, maka kultur harus diencerkan. Pengenceran dilakukan sesuai dengan jumlah total mikroba awal.
2. Uji aktivitas antioksidan (Modifikasi Metode Beirao dan Bernardo-Gil, 2005) Selain dilakukan pengujian aktivitas antimikroba terhadap sampel ekstrak biji teratai, dilakukan pula pengujian kemungkinan adanya aktivitas antioksidan. Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan dua metode, yaitu metode rancimat dan metode DPPH. Metode ransimat merupakan metode pengujian aktivitas antioksidan dengan cara mengukur waktu induksi sampel, semakin lama waktu induksi maka semakin baik kapasitas antioksidan yang terdapat dalam sampel. Sebagai faktor pembanding, dilakukan pula pengujian dengan metode ini terhadap tokoferol atau vitamin E yang kaya akan antioksidan. Setelah dilakukan pengujian kapasitas antioksidan terhadap seluruh sampel, maka akan diketahui sampel ekstrak yang memiliki kapasitas antioksidan yang terbesar. Sampel ekstrak yang terpilih tersebut kemudian di uji dengan metode DPPH untuk mengetahui aktivitas antioksidan secara kuantitatif.
C. Metode Analisis Ekstrak biji teratai dari berbagai pelarut, baik biji mentah maupun kukus, dilakukan beberapa analisis antara lain adalah analisis aktivitas antimikroba dengan metode uji sumur, analisis antioksidan dengan metode rancimat dan metode DPPH untuk sampel ekstrak terpilih, analisis fitokimia untuk sampel terpilih, dan analisis proksimat untuk sampel biji teratai.
1. Perhitungan Nilai Rendemen Sebanyak 60 gram bubuk biji teratai (mentah mapun kukus) di ekstrak dengan tiga pelarut secara bertingkat (heksanaa, etilasetat, dan etanol) dengan metode maserasi. Kemudian dilakukan penyaringan sehingga didapatkan filtrat dari masing-masing pelarut yang selanjutnya dilakukan penghilangan pelarut dengan alat rotary evaporator dan dihembus dengan N2 sehingga didapatkan ekstrak biji teratai dari masingmasing pelarut yang bebas pelarut. Ekstrak murni tersebut ditimbang untuk perhitungan rendemen. Nilai rendemen dihitung dengan rumus berikut. Rendemen = (W/W0)x 100% Dimana : W W0
= bobot ekstrak murni (g) = bobot bahan yang diekstrak (g)
2. Uji Difusi Sumur (Metode Garriga et al., 1993) Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur. Mikroba yang digunakan dalam pengujian adalah kultur mikroba pembusuk dan mikroba patogen yaitu B.cereus, E.coli, S. Typhimurium, dan S. aureus. Untuk melakukan analisis, kultur mikroba yang akan diuji harus disegarkan terlebih dahulu dengan menginokulasikan satu ose kultur murni dari agar miring Nutrien Agar (NA) ke dalam medium cair Nutrien Broth (NB) sebanyak 10 ml secara aseptik. Kultur uji kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Media NA steril dipersiapkan dan didinginkan sampai suhu 50°C. Kultur uji diinokulasikan ke dalam media NA dengan pengenceran yang telah dilakukan sebelumnya sehingga didapatkan jumlah total mikroba yang ditumbuhkan sebanyak 1x105 cfu. Setelah campuran media dan kultur uji membeku, dibuat lubang-lubang sumur (4 sumur per cawan) dengan diameter 6 mm dan ke dalam lubang sumur masing-masing diteteskan ekstrak biji teratai dengan konsentrasi yang berbeda (10%, 20%,
30%), sumur lainnya kontrol negatif (pelarut murni). Cawan tersebut diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24 jam. Areal penghambatan diukur berdasarkan diameter areal bening yang terbentuk di sekitar sumur, yaitu selisih antara diameter areal bening dengan diameter sumur.
3. Uji Aktivitas Antioksidan Metode Ransimat (Modifikasi Metode Beirao dan Bernardo-Gil, 2005) Sebanyak 200 mg sampel antioksidan (ekstrak biji teratai) dimasukkan ke dalam gelas piala berisi 4 gram minyak yang mempunyai ikatan rangkap banyak seperti minyak jagung atau minyak kedelai. Minyak yang dipakai harus berada dalam keadaan murni. Larutan tersebut diaduk sampai homogen. Masing-masing dari larutan diambil sebanyak 3 gram dan dimasukkan ke dalam alat Rancimat dengan suhu 120oC. Kontrol yang digunakan adalah minyak murni. Selain itu, antioksidan tokoferol juga ditambahkan ke dalam minyak dengan prosedur yang sama sebagai faktor pembanding.
4. Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH free radical scavenging activity (Hatano et al, 1988) Pada tahap ini dilakukan uji aktivitas antioksidan terhadap ekstrak biji teratai terpilih (berdasarkan hasil uji antioksidan metode ransimat). Pengujian aktivitas antioksidan lanjut ini dengan menggunakan metode DPPH (Hatano et al., 1988). Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode ini berdasarkan pada DPPH free radical scavanging activity. Sebagai pembanding digunakan vitamin C (asam askorbat). Sebanyak 2 ml buffer asetat dicampur dengan 3.75 ml metanol dan 200 μl DPPH, kemudian divortex. Larutan ditambah dengan 50 μl sampel. Pada kontrol negatif, diganti dengan 50 μl metanol, sedangkan pada pembuatan kurva standar diganti dengan asam askorbat dengan beberapa tingkat konsentrasi. Larutan kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 20 menit dan diukur absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Aktivitas
antioksidan
dinyatakan
dengan
IC50.
Presentase
penghambatan (inhibisi) diperoleh dari nilai absorbansi blanko dikurangi
absorbansi sampel. Persamaan garis diperoleh dari hubungan antara konsentrasi dengan aktivitas penghambatan. Sehingga nilai IC50 dapat dihitung : Persamaan regresi linier : Y * = Bx + A Catatan : Nilai Y = 50 (penghamabtan 50 %), nilai A dan B diketahui sehingga nilai IC 50 (x) dapat dihitung.
5. Analisis Proksimat Analisis proksimat meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat.
a. Analisis kadar air metode oven (AOAC, 1995) Kadar air diukur dengan metode oven biasa karena kandungan bahan volatil pada sampel rendah dan sampel tidak terdegradasi pada suhu 100ºC. Cawan alumunium kosong dikeringkan dalam oven suhu 105°C selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator selama 5 menit atau sampai tidak panas lagi. Cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Lalu ditimbang sampel sebanyak 5 gram di dalam cawan tersebut. Dikeringkan sampel dalam oven sampai beratnya konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.003 gram). Setelah itu didinginkan cawan yang berisi sampel kering di dalam desikator. Ditimbang berat akhirnya. Dihitung kadar air dengan persamaan sebagai berikut: Kadar air (% b/b) =
(x - y) × 100% (x - a)
Keterangan: x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g) y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g) a = berat cawan kosong (g)
b. Analisis kadar protein, metode Kjeldahl (AOAC, 1995) Sampel sebanyak ± 0.2 g (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0.01N/0.02N) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Lalu ditimbang 2 gram K2SO4, 50 mg HgO, 2 ml H2SO4 pekat dan
batu didih. Sampel didekstruksi (dididihkan) selama 1-1.5 jam hingga jernih, lalu didinginkan. Lalu ditambahkan 2 ml air secara perlahan dan didinginkan kembali. Cairan hasil dekstruksi (cairan x) dipindahkan ke dalam alat destilasi dan bilas labu dengan air. Air bilasan juga dipindahkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator (Methylen red : Methylen blue = 2:1) diletakkan di ujung kondensor alat destilasi dengan ujung selang kondensor terendam dalam larutan H3BO3. Cairan X ditambahkan 10 ml NaOH-Na2S2O3 dan destilasi dilakukan hingga larutan dalam erlenmeyer ± 50 ml. Kemudian larutan dalam erlenmeyer dititrasi dengan HCl 0.02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari hijau menjadi abu-abu. Prosedur yang sama dilakukan juga untuk penetapan blanko. Perhitungan: Kadar N (%) =
(Vs - Vb) × C × 14,007 × 100% W
Kadar protein (%) = % N x faktor konversi Keterangan: Vs = Volume HCl untuk titrasi sampel (ml) Vb = Volume untuk titrasi blanko (ml) C = Konsentrasi HCl (N) W = Berat sampel (mg) c. Analisis kadar abu (AOAC, 1995)
Cawan porselin dibakar dalam tanur selama 15 menit kemudian didinginkan di dalam desikator. Setelah dingin ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang di dalam cawan lalu diabukan di dalam tanur hingga diperoleh abu berwarna putih dan beratnya tetap. Pengabuan dilakukan dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahap pertama suhu 400°C lalu dilanjutkan pada suhu 550°C, kemudian didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang.
Perhitungan: Kadar Abu (% b/b) =
W2 × 100% W1
Keterangan: W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat abu (g) d. Analisis kadar lemak metode Soxhlet (AOAC, 1995)
Labu lemak yang telah bebas lemak dikeringkan di dalam oven kemudian ditimbang setelah dingin. Sampel sebanyak 5 g dibungkus dalam kertas saring kemudian ditutup kapas yang bebas lemak. Sampel dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian pasang kondensor
dan
labu
pada
ujung-ujungnya.
Pelarut
heksanaa
dimasukkan ke dalam alat lalu sampel direfluks selama 5 jam. Setelah itu pelarut didestilasi dan ditampung pada wadah lain. Labu lemak dikeringkan di dalam oven pada suhu 105°C sampai diperoleh berat tetap. Kemudian labu lemak dipindahkan ke desikator, lalu didinginkan dan ditimbang. Perhitungan: Kadar Lemak (% b/b) =
W2 × 100% W1
Keterangan: W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat lemak (g) e. Analisis kadar karbohidrat by difference (AOAC, 1995)
Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by difference dilakukan dengan cara:
Kadar karbohidrat (% b/b) = 100% - (air + protein + lemak + abu)
6. Uji fitokimia (Tim Materi Medika Indonesia, 1995) a. Pengujian golongan terpenoid dan steroid
Sebanyak 0.5 gram sampel dicampur dengan 2 ml etanol. Sampel kemdian dipanaskan sessat dan disaring. Filtrat yang dihasilkan kemudian diuapkan hingga kental da ditambah dengan eter dan tiga tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat. Sampel positif mengandung triterpenoid bila terbentuk warna merah atau ungu. Sampel postif mengandung steroid bila terbentuk warna hijau.
b. Pengujian golongan saponin
Sebanyak 0.5 gram sampel dicampur dengan 10 ml air panas. Kemudian dinginkan dan kocok hingga muncul buih. Larutan didiamkan selama 2 menit, kemudian diteteskan HCL 2 N. Bila terdapat senyawa saponin dalam ekstrak maka akan terbentuk buih mantap selama 10 menit.
c. Pengujian golongan alkaloid
Sampel sebanyak 0.5 gram dicampur dengan 1 ml HCL 2 N dan 9 ml akuades panas. Larutan kemudian dipanaskan selama 2 menit, kemudian dinginkan dan disaring filtratnya dan dibagi ke dalam 4 tabung. Tabung pertama direaksikan dengan pereaksi Bauchardat. Sampel positif terdapat alkaloid bila ada endapan berwarna cokelat hitam. Kemudian tabung kedua direaksikan dengan pereaksi Dragendrauf. Sampel positif terdapat alkaloid bila ada endapan putih.
Tabung ketiga juga direaksikan dengan pereaksi Hager. Sampel positif terdapat alkaloid bila ada endapan kuning. Tabung keempat direaksikan dengan pereaksi Mejer dan dicampur dengan methanol dan pereaksi Bauchadat. Sampel positif terdapat alkaloid bila ada endapan berwarna cokelat hitam.
d. Pengujian golongan tanin
Satu gram sampel dicampur dengan 10 ml akuades panas dan dipanaskan kurang lebih 1 jam. Larutan kemudian didinginkan, disaring, dan filtratnya diolesi dengan FeCl3 1 %. Bila sampel mengandung tanin maka akan terbentuk warna biru tua atau hitam kehijauan.
e. Pengujian golongan fenolik
Sampel sebanyak 0.5 gram sampel ditambah dengan 2 ml metanol. Larutan kemudian didinginkan dan disaring. Filtrat yang dihasilkan dan dicampur dengan NaOH 10% dan dipanaskan. Bila mengandung komponen fenolik pada sampel maka akan timbul warna merah.
f. Pengujian golongan flavonoid
Sampel sebanyak 0.5 gram dalam labu colf 50 ml dicampur dengan 10 ml metanol p.a. sampel kemudian dipanaskan dan biarkan hingga mendidih selama 10 menit. Larutan kemudian disaring dalam kedaan panas ke dalam corong pemisah dan ditambah 5 ml petroleum bensin. Pada lapisan bawahnya dimasukkan ke dalam pinggan penguap dan dipanaskan pada suhu 40 °C hingga terbentuk larutan kental. Larutan tersebut kemudian ditambahkan etilasetat dan dibagi menjadi 2 tabung. Tabung pertama ditambah Zn dan 1 ml HCl 2 N dan HCl pekat. Bila terdapat flavonoid maka akan terbentuk warna merah. Tabung kedua ditambah Mg dan HCl pekat. Bila terdapat flavonoid maka akan terbentuk warna merah.
g. Pengujian golongan glikosida
Sampel sebanyak 3 gram dalam labu colf 50 ml dicampur dengan 30 ml (21 ml etanol dan 9 ml air) dipanaskan hingga mendidih selama 10 menit. Sampel kemudian didinginkan dan disaring. Filtrat
yang dihasilkan kemudian ditambahkan 2 ml Pb asetat sebesar 5 % dan isopropanol. Lapisan bawah dimasukkan ke dalam cawan pinggan penguap dan dipanaskan hingga 400 C. Setelah cairan kental ditambah 2 ml metanol ke dalam tabung reaksi menjadi 5 bagian. Tabung pertama diuapkan hingga kering dan ditambahkan dengan 10 tetes H2SO4 dan 5 ml asam asetat anhidrat. Bila terbentuk warna biru hijau, maka sampel tersebut mengandung glikosida Tabung kedua diuapkan hingga kering dan ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes molish dan 2 ml H2SO4. Bila terbentuk cincin ungu maka sampel positif mengandung glikosida Tabung ketiga ditambah dengan 2.9 ml metanol dan baljet. Bila terbentuk warna merah jingga, maka sampel positif mengandung glikosida jantung Tabung keempat ditambah dengan 2 ml KOH 0.1 N dan 2 ml Kadede. Bila terbentuk warna merah ungu, maka sampel positif mengandung glikosida jantung.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Rendemen dan Proksimat Ekstrak Biji Teratai
Ekstraksi bubuk atau tepung biji teratai baik dalam kondisi mentah maupun dikukus dilakukan dengan proses maserasi dengan tiga pelarut secara bertingkat. Pelarut tersebut dibedakan berdasarkan kepolarannya, yaitu heksanaa yang mewakili pelarut nonpolar, etilasetat mewakili pelarut semi polar, dan etanol yang bersifat pelarut polar. Pemilihan ketiga pelarut tersebut didasarkan pada tujuan identifikasi komponen aktif dari ekstrak biji teratai yang masih belum diketahui sifat-sifatnya, terutama sifat kepolarannya. Pelarut-pelarut yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pelarut yang bersifat teknis. Pemilihan pelarut teknis ini terkait dengan dasar pertimbangan ekonomis jika akan diaplikasikan pada industri. Selain harganya yang jauh lebih murah juga lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan pelarut yang bersifat absolut. Proses ekstraksi dari biji teratai baik mentah maupun kukus dilakukan dengan cara maserasi bertingkat, masing-masing tahapan ekstraksi dibutuhkan waktu 24 jam. Kemudian dilakukan penyaringan dengan alat penyaring vakum. Filtrat yang dihasilkan selanjutnya dipekatkan untuk menghilangkan pelarut dengan alat rotary evaporator. Pada proses ini, pelarut yang berada dalam filtrat ekstrak diuapkan pada suhu tertentu. Penentuan suhu yang digunakan dalam proses ini sangat mempengaruhi komponen aktif yang terdapat dalam filtrat. Suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kerusakan komponen-komponen bioaktif dalam ekstrak, sehingga suhu 45-55ºC dianggap sesuai dan diharapkan kerusakan senyawa aktif dalam ekstrak dapat dihindari. Setelah dipekatkan dengan rotary evaporator, ekstrak dihembus dengan N2 untuk menghilangkan sisa pelarut yang mungkin masih ada dalam ekstrak sehingga ekstrak tersebut yang dihasilkan benar-benar murni dan bebas dari pelarutnya. Masing-masing pelarut yang berbeda sifat kepolarannya tersebut melarutkan komponen-komponen bioaktif yang berbeda. Menurut Hougton dan Raman (1998), ekstrak heksana (nonpolar) mengandung komponen yang
bersifat nonpolar seperti lilin, lemak, dan minyak atsiri, sedangkan ekstrak etilasetat (semipolar) sebagian besar mengandung senyawa-senyawa alkaloid, aglikon-aglikon, dan glikosida. Ekstraksi dengan etanol dapat mengekstrak fenolik, steroid, terpenoid, alkaloid, dan glikosida. Gambar 6 menunjukkan nilai rendemen berbagai ekstrak biji teratai. Rendemen ekstrak biji teratai mentah dan kukus dari pelarut heksana berturutturut adalah 2.04 ± 0.4% dan 1.53 ± 0.29%. Sedangkan pengukuran rendemen terhadap ekstrak biji teratai mentah dan kukus dengan pelarut etilasatat adalah 1.06 ± 0.12% dan 0.70 ± 0.09%. Dan rendemen ekstrak biji teratai mentah dan kukus dengan pelarut polar (etanol) adalah 4.23 ± 0.03% dan 2.25 ± 0.62%.
rendemen (%)
Perhitungan rendemen dapat dilihat pada Lampiran 1.
4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
4,23a,c
2,25a
2,04a,a 1,53a 1,06a,b 0,7a
ekstrak heksan
ekstrak etilasetat
mentah
ekstrak etanol
kukus
Gambar 6. Rendemen berbagai ekstrak biji teratai Keterangan : 1) huruf superscript pertama menunjukkan perbandingan antara ekstrak pada masing-masing pelarut 2) huruf superscript kedua menunjukkan perbandingan ekstrak biji mentah antar pelarut Berdasarkan uji T (Lampiran 2), perlakuan pemanasan biji tidak berpengaruh nyata (p>0.05) pada hasil rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut. Nilai rendemen biji mentah lebih besar dari biji kukusnya, akan tetapi nilai tersebut tidak berbeda nyata. Analisis ragam (Lampiran 3) terhadap nilai
rendemen ekstrak biji teratai mentah antar pelarut menunjukkan bahwa jenis pelarut antar ekstrak pada biji teratai mentah berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen (p<0.05). Dan berdasarkan uji LSD, nilai rendemen ekstrak etanol biji teratai mentah paling tinggi dan berbeda nyata dari ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut lainnya. Dari Gambar 6, dapat diketahui rendemen ekstrak etanol merupakan rendemen yang paling besar dibandingkan ekstrak dengan pelarut lain, yaitu 4.23 %. Hal ini diduga karena ekstrak etanol mengandung senyawa gula, asam amino dan glikosida dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini didukung oleh uji proksimat tepung biji teratai seperti terlihat pada Tabel 2 yang menunjukkan bahwa kadar karbohidrat yang cukup besar yaitu 84.54%. Tabel 2. Hasil uji proksimat terhadap tepung biji teratai Komponen Kimia
Jumlah (%) (bb)
Kadar air
6.59
Kadar abu
0.49
Kadar protein
8.48
Kadar lemak
0.80
Kadar karbohidrat
84.54
Selain itu umumnya rendemen ekstrak biji teratai kukus memiliki nilai yang lebih rendah dari ekstrak biji mentahnya meskipun tidak berbeda nyata. Penyebabnya diduga karena banyaknya komponen-komponen bioaktif yang bersifat volatil ikut menguap pada proses pengukusan biji, sehingga rendemen yang dihasilkan pun menjadi lebih sedikit. Ekstrak heksana memiliki rendemen yang lebih kecil dari ekstrak etanol, hal ini berkaitan dengan kadar lemak biji teratai yang rendah yaitu 0.80%.
B. Karakteristik Ekstrak
Ekstrak biji teratai dengan perlakuan pemanasan biji teratai pada ekstraksi secara bertahap dengan pelarut yang berbeda menghasilkan
karakteristik yang berbeda-beda pada setiap ekstrak. Tabel 3 menunjukkan karakteristik berbagai ekstrak biji teratai. Tabel 3. Karakteristik berbagai ekstrak biji teratai Sampel
Warna ekstrak
Aroma ekstrak
Ekstrak heksanaa biji teratai Kuning
Menyerupai
mentah
kacang
Ekstrak heksanaa biji teratai Kuning, kukus
lebih Menyerupai
pekat
minyak minyak
kacang,
lebih
menyengat Ekstrak etilasetat biji teratai Hijau kekuningan
Menyerupai aroma tape
mentah
ketan fermentasi, asam.
Ekstrak etilasetat biji teratai Hijau kekuningan
Menyerupai aroma tape
kukus
ketan fermentasi, asam lebih menyengat
Ekstrak etanol biji teratai Merah tua
Menyerupai aroma tape
mentah
ketan fermentasi, asam lebih menyengat
Ekstrak etanol biji teratai Merah tua, lebih Menyerupai aroma tape kukus
pekat
ketan fermentasi, asam lebih menyengat
Gambar 7 menunjukkan ekstrak biji teratai mentah. Dari segi warna, ekstrak etanol memiliki warna yang paling berbeda dari ekstrak lainnya, yaitu berwarna merah pekat. Sedangkan ekstrak lainnya memiliki warna yang hampir sama yaitu kuning. Perlakuan pengukusan terhadap biji mengakibatkan warna ekstrak menjadi lebih pekat dibandingkan ekstrak biji mentahnya.
(a) Gambar 7.
(b)
(c)
Ekstrak biji teratai mentah dalam berbagai pelarut : (a) ekstrak heksana; (b) ekstrak etilasetat; (c) ekstrak etanol
Selain memiliki warna yang beragam, ekstrak biji teratai juga memiliki bau
yang
berbeda-beda
pada
masing-masing
ekstrak.
Karakteristik
selengkapnya dari berbagai ekstrak bij teratai dapat dilihat pada Tabel 3. Umunya ekstrak biji teratai kukus memiliki karakterisitik yang lebih tajam dari pada biji mentahnya. Hal ini diduga disebabkan oleh perlakuan pemanasan biji terhadap biji teratai yang mengubah senyawa-senyawa aktif dalam biji teratai terutama senyawa yang bersifat volatil.
C. Persiapan Kultur Bakteri Uji
Persiapan kultur bakteri uji dilakukan terhadap semua kultur bakteri uji yang akan digunakan untuk uji aktivitas antimikroba. Tahap ini dilakukan untuk menentukan jumlah total mikroba awal dari kultur bakteri uji agar dapat dihitung pengenceran yang diperlukan untuk tahap selanjutnya, sehingga total mikroba menjadi seragam untuk semua jenis bakteri uji dalam semua cawan dalam metode uji difusi sumur. Metode yang digunakan adalah metode hitungan cawan. Prinsip dari metode hitungan cawan adalah menumbuhkan sel mikroba yang masih hidup pada medium agar, sel tersebut akan berkembang biak membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop (Fardiaz, 1992). Dengan menggunakan metode hitungan cawan, jumlah sel mikroba yang digunakan dapat diketahui dengan lebih pasti karena yang dihitung adalah sel yang benarbenar masih hidup. Jumlah total mikroba keempat bakteri uji dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Total mikroba kultur bakteri uji Jenis mikroba
Total mikroba (cfu/ml)
Eschericia coli
2.7x108
Bacillus cereus
5.4x108
Staphilococcus aureus
4.7x108
Pseudomonas aeruginosa
9.5x108
Total mikroba yang diharapkan pada semua cawan pada pengujian dengan difusi sumur adalah antara 1x105. Total mikroba antara 1x105 hingga 1x106 merupakan total mikroba yang cukup sehat dan tidak terlalu banyak. Inokulum yang mengandung terlalu banyak atau terlalu sedikit bakteri, dapat menyebabkan kesalahan hasil uji (Piddock, 1990). Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa kelima bakteri uji harus diencerkan sebanyak 10-3 untuk mendapatkan total mikroba standar dalam cawan yaitu 1x105.
D. Aktivitas Antimikroba
Aktivitas antimikroba pada ekstrak biji teratai diuji melalui metode uji difusi sumur. Pengujian ini dilakukan terhadap empat jenis bakteri uji, yang terdiri dari bakteri Gram negatif, yaitu Eschericia coli dan Pseudomonas aeruginosa
sedangkan
bakteri
Gram
positif
Bacillus
cereus
dan
Staphilococcus aureus. Metode difusi sumur dilakukan dengan cara
memasukkan senyawa antimikroba ke dalam lubang (sumur) yang dibentuk pada cawan berisi media agar yang telah diinokulasikan kultur bakteri uji dan sebagai kontrol negatif digunakan pelarut murni dari masing-masing ekstrak. Kemudian setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang (37°C), dilihat diameter penghambatan pertumbuhan bakteri uji pada media oleh senyawa antimikroba yang diujikan. Menurut Davidson dan Parish (1989), keseragaman ukuran dan fisiologi bakteri uji bersifat kritis dan karenanya harus dapat dikontrol dengan baik. Oleh karena itu, setiap uji difusi sumur perlu disertai dengan uji konfirmasi. Uji konfirmasi adalah penghitungan total mikroba dengan tujuan mengkonfirmasi bahwa total mikroba di dalam cawan terdapat dalam rentang
1x105 hingga 1x106 dan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode hitungan cawan. Pada penelitian ini, pada cawan yang berisi campuran antara media agar dan kultur bakteri uji tersebut dibuat empat lubang berukuran 6 mm. Tiga lubang (sumur) diisi dengan senyawa antibakteri (ekstrak biji teratai) dengan konsentrasi yang berbeda (10%, 20%, dan 30%) dan lubang lainnya berisi kontrol negatif yaitu pelarut murni dari masing-masing ekstrak.
1. Efektivitas senyawa antimikroba berdasarkan kepolaran pelarut
Ekstraksi biji teratai dilakukan dengan metode maserasi bertingkat menggunakan tiga jenis pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya. Ekstraksi dengan pelarut nonpolar menggunakan pelarut heksanaa, sedangkan ekstraksi dengan pelarut semi polar dan polar berturut-turut adalah etilasetat dan etanol. Proses ekstraksi dilakukan secara bertahap diawali dengan pelarut yang bersifat nonpolar kemudian berturut-turut hingga dengan pelarut yang bersifat polar. Proses ekstraksi dengan pelarut yang berbeda sifat kepolarannya dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sifat senyawa antibakteri yang terdapat dalam biji teratai. Hal ini penting dilakukan karena setiap pelarut dengan sifat kepolarannya masing-masing akan melarutkan komponenkomponen yang berbeda termasuk komponen yang aktif sebagai antibakteri. Hasil pengamatan menunjukkan proses ekstraksi secara bertingkat dengan pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya tersebut mempengaruhi keefektifan ekstrak dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Efektifitas ekstrak dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji ditunjukkan oleh ukuran areal bening yang membentuk lingkaran di sekitar sumur (lubang) sehingga dapat dihitung diameter penghambatannya. Perhitungan diameter penghambatan ekstrak pada keempat bakteri uji dapat dilihat pada Lampiran 4. Aktivitas antibakteri berbagai ekstrak dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Diameter penghambatan berbagai ekstrak biji teratai pada konsentrasi 30% terhadap bakteri uji Pelarut Bakteri uji Jenis biji Ket. Heksana
Mentah
Kukus
E. coli
0.00
0.00
-
B. cereus
0.00
0.00
-
P. aeruginosa
0.00
0.00
-
S. aureus
0.00
0.00
-
Etilasetat E. coli
11.40±0.03
4.63±0.03
Berbeda nyata
P. aeruginosa 12.85±0.25
7.38±0.08
Berbeda nyata
S. aureus
12.83±0.18
8.75±0.15
Berbeda nyata
E. coli
11.28±0.03
8.2±0.05
Berbeda nyata
B. cereus
7.20±0.50
6.63±0.03
Tidak berbeda nyata
P. aeruginosa
8.00±0.15
5.25±0.05
Berbeda nyata
S. aureus
7.53±0.13
7.83±0.03
Tidak berbeda nyata
B. cereus
Etanol
23.10±0.00 18.20±0.05 Berbeda nyata
Heksana merupakan pelarut yang bersifat paling tidak polar di antara pelarut lain yang digunakan dalam penelitian ini (etilasetat dan etanol), sehingga ekstrak yang dihasilkan pun bersifat nonpolar. Polaritas yang rendah pada ekstrak heksana disebabkan oleh kandungan minyak atsiri, bahan non minyak seperti lilin, sterol sedikit senyawa fenolik. Berdasarkan Tabel 5, ekstrak heksana, baik dari biji teratai mentah maupun kukus, tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri. Contoh hasil penghambatan pertumbuhan bakteri uji oleh ekstrak heksan dapat dilihat pada Gambar 8 yang menunjukkan aktivitas antibakteri pada metode difusi sumur terhadap P. aeruginosa dan S. aureus. Ketidakefektifan ekstrak heksana dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji diduga berkaitan dengan sifat heksana yang sangat tidak polar sehingga hanya sedikit komponen bioaktif yang larut di dalamnya. Komponen yang umumnya larut dalam heksana adalah lilin, lemak, dan komponen terpenoid. Menurut Naufalin (2005), ekstrak heksana
mengandung minyak atsiri yang bersifat antimikroba, namun kontak antara senyawa antimikroba dan minyak atsiri dengan sel bakteri terhalang oleh adanya minyak dan lemak dalam ekstrak heksana. Minyak dan lemak lainnya mengganggu proses difusi dan melindungi bakteri dari senyawa antibakteri.
(a) Gambar 8.
(b)
Penghambatan ekstrak heksana biji teratai mentah terhadap: (a) P. aeruginosa; (b) S. aureus
Sedangkan hasil penelitian Kanazawa et al. (1995), melaporkan bahwa ekstrak heksana (senyawa minyak atsiri dan lipida lainnya) yang mempunyai ukuran molekul besar tidak dapat masuk berpenetrasi ke dalam dinding sel bakteri. Ukuran molekul besar tersebut akan menjadi penghalang masuknya komponen minyak atsiri maupun senyawa fenolik ke dalam sel akibatnya sel tetap akan tumbuh. Selain itu, ketidakefektifan ekstrak heksanaa sebagai senyawa antimikroba dapat dijelaskan karena perbedaan sifat kepolaran antara ekstrak dengan media NA yang digunakan dalam metode uji difusi sumur. Menurut Parhusip (2006), media NA yang digunakan dalam metode difusi sumur bersifat polar, sedangkan ekstrak heksana bersifat nonpolar dan lebih dominan mengandung komponen minyak atsiri, dimana ekstrak dalam media NA tidak mampu berdifusi secara baik sehingga tidak menunjukkan aktivitas penghambatan. Ekstrak yang memiliki tingkat kepolaran yang lebih tinggi selanjutnya adalah ekstrak etilasetat. Berdasarkan hasil pengamatan,
ekstrak etil asetat dari biji teratai menunjukkan keefektifan sebagai senyawa antibakteri karena areal penghambatan pertumbuhan mikroba pada metode uji difusi sumur yang besar dibandingkan dengan ekstrak lain (Tabel 5). Selain itu, ekstrak etilasetat juga memiliki spektrum penghambatan yang luas karena ekstrak etilasetat dapat menghambat pertumbuhan semua bakteri uji. Gambar 9 menunjukkan contoh penghambatan oleh ekstrak etilasetat terhadap P. aeruginosa dan S. aureus pada konsentrasi 30%. Diameter penghambatan berbagai ekstrak pada konsentrasi 30% lebih besar dari konsentrasi lainnya (10% dan 20%) (Lampiran 5)
(a)
(b)
Gambar 9. Penghambatan ekstrak etilasetat biji teratai mentah terhadap: (a) P. aeruginosa; (b) S. aureus Ekstrak etilasetat biji teratai memiliki diameter penghambatan terbesar dibandingkan dengan ekstrak lainnya. Diameter penghambatan pertumbuhan oleh ekstrak etilasetat biji teratai mentah pada konsentrasi 30% terhadap E. coli adalah 23.10±0.00 mm, B. cereus 11.40±0.30 mm, S. aureus 12.83±0.16 mm, dan P. aeruginosa 12.85±0.25 mm. Tabel 5
menunjukkan hasil analisis statistik aktivitas antibakteri berbagai ekstrak biji teratai. Berdasarkan uji T, perlakuan pemanasan biji teratai berpengaruh nyata (p<0.05) pada aktivitas antibakteri terhadap keempat bakteri uji (Lampiran 6).
Etil asetat merupakan pelarut yang bersifat semi polar. Sifat etil asetat yang semi polar menyebabkan ekstrak etil asetat akan memiliki dua sifat kelarutan, yaitu hidrofilik dan lipofilik (Adawiyah, 1998). Menurut Kanazawa et al. (1995), suatu senyawa yang mempunyai polaritas optimum akan mempunyai aktivitas antimikoba maksimum, karena untuk interaksi
suatu
senyawa
antibakteri
dengan
bakteri
diperlukan
keseimbangan hidrofilik-lipofilik (HLB : hydrophilic lipophilic balance). Polaritas senyawa merupakan sifat fisik senyawa antimikroba yang penting. Sifat hidrofilik diperlukan untuk menjamin senyawa antimikroba larut dalam fase air yang merupakan tempat hidup mikroba, tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik, sehingga senyawa antibakteri memerlukan keseimbangan hidrofiliklipofilik untuk mencapai aktivitas yang optimal (Branen dan Davidson, 1993). Tabel 6. Perbandingan aktivitas antibakteri ekstrak biji mentah Bakteri uji
Ekstrak
Keterangan
E. coli
Pelarut etilasetat
Berbeda nyata
Pelarut etanol B. cereus
Pelarut etilasetat
Berbeda nyata
Pelarut etanol P. aeruginosa
Pelarut etilasetat
Berbeda nyata
Pelarut etanol S. aureus
Pelarut etilasetat
Berbeda nyata
Pelarut etanol Senyawa fitokimia yang umum larut dalam etil asetat adalah alkaloid, aglikon, dan glikosida (Houghton dan Raman, 1998). Alkaloid dan glikosida merupakan senyawa yang sudah diketahui memiliki aktivitas antimikroba. Sinergisme dari senyawa fitokimia dalam ekstrak etil asetat diduga lebih mudah berdifusi dan mampu menghambat pertumbuhan bakteri karena memiliki polaritas yang optimum (Naufalin, 2005).
Aktivitas antibakteri ekstrak biji teratai mentah pada masingmasing pelarut lebih baik dari biji kukusnya meskipun secara umum tidak berbeda nyata. Tabel 6, menunjukkan perbandingan aktivitas antibakteri ekstrak biji mentah dari pelarut heksana, etilasetat dan etanol. Berdasarkan analisis ragam, ekstraksi biji teratai mentah dengan pelarut berbeda secara bertingkat menunjukkan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap aktivitas antibakteri pada keempat bakteri uji. Selanjutnya berdasarkan uji LSD, ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut etilasetat berbeda nyata (p<0.05) dengan ekstrak dari pelarut lainnya (Lampiran 7).
(a)
(b)
Gambar 10. Penghambatan ekstrak etanol biji teratai mentah terhadap (a) P. aeruginosa; (b) S. aureus Berdasarkan hasil pengamatan ekstrak etanol menunjukkan aktivitas antimikroba meskipun diameter penghambatannya lebih rendah dari ekstrak etilasetat (Gambar 10). Selain itu, ekstrak etanol biji teratai juga memiliki spektrum yang luas karena dapat menghambat pertumbuhan semua bakteri uji. Diameter penghambatan ekstrak etanol biji teratai mentah pada konsentrasi 30% terhadap Eschericia coli, Bacillus cereus, Staphilococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa berturut-turut adalah
11.28±0.03 mm, 7.20±0.50 mm, 7.53±0.13 mm, dan 8.00±0.15 mm (Tabel 5). Berdasarkan uji T, perlakuan pemanasan biji teratai terhadap ekstrak etanol tidak berpengaruh nyata (p>0.05) pada aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji B. cereus dan S. aureus. Akan tetapi, tidak demikian pada bakteri uji E. coli dan P. aeruginosa, perlakuan pemanasan biji teratai
terhadap ekstrak etanol berpengaruh nyata (p<0.05) dalam menghambat pertumbuhan kedua bakteri uji tersebut (Lampiran 8). Menurut Ahmad et al. (1998), etanol merupakan pelarut yang lebih baik dibandingkan air dan heksana jika akan mengekstrak komponen antimikroba. Menurut Houghton dan Raman (1998), komponen yang larut dalam etanol adalah glikosida. Diduga aktivitas antibakteri ekstrak etanol disebabkan oleh adanya senyawa glikosida, yaitu saponin. Selain glikosida, senyawa tanin juga larut dalam etanol dan memiliki aktivitas antimikroba. Etanol merupakan pelarut yang bersifat polar. Menurut Naidu dan Davidson (2000), komponen yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan dan bersifat polar antara lain senyawa dari golongan fenolik. Mekanisme komponen antibakteri fenolik umumnya akan berinteraksi dengan protein yang ada pada dinding sel atau sitoplasma melalui ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik. Mekanisme lain kemungkinan adalah dengan mengganggu aktivitas enzim dalam sel.
2. Efektivitas senyawa antimikroba terhadap jenis bakteri uji
Senyawa antimikroba ekstrak biji teratai diuji aktivitasnya menggunakan metode uji difusi sumur terhadap empat jenis bakteri uji. Keempat bakteri uji tersebut adalah Eschericia coli, Bacillus cereus, Staphilococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa. Dari hasil
pengamatan uji difusi sumur ekstrak etilasetat dan etanol, baik biji teratai mentah maupun kukus, memiliki aktivitas antibakteri meskipun dengan diameter penghambatan yang berbeda-beda pada setiap bakteri uji. Akan tetapi ekstrak-ekstrak tersebut memiliki spektrum penghambatan yang luas karena dapat menghambat pertumbuhan keempat bakteri uji yang masingmasing mewakili jenis bakteri Gram positif dan Gram negatif. Menurut Ray (2001), senyawa antimikroba yang memiliki spektrum penghambatan yang luas lebih diinginkan dalam pengawetan bahan pangan, karena senyawa antimikroba dapat secara efektif menghambat semua jenis
mikroorganisme yang bersifat merusak ataupun patogen pada bahan pangan yang biasanya berupa bakteri, kapang, dan khamir. Gambar 11 menunjukkan diameter penghambatan pada keempat jenis bakteri uji oleh ekstrak teratai pada konsentrasi 30%. Bakteri yang paling sensitif terhadap senyawa antibakteri pada ekstrak adalah Eschericia coli, terutama oleh ekstrak etilasetat mentah. Sedangkan bakteri
lainnya memiliki diameter penghambatan yang lebih rendah baik oleh
Diameter penghambatan (mm)
ekstrak biji teratai mentah maupun kukusnya.
25
23,1 18,2
20 15
12,8512,83 11,4
10
11,28 7,38
8,75
8 7,27,53
4,63
5
8,2
7,83 6,63 5,25
0 ekstrak etil asetat biji mentah
E. coli
ekstrak etil asetat biji kukus
P.aeruginosa
ekstrak etanol ekstrak etanol biji mentah biji kukus
B. cereus
S. aureus
Gambar 11. Perbandingan penghambatan ekstrak pada jenis bakteri uji Eschericia coli merupakan bakteri Gram negatif. Bakteri Gram
positif dan Gram negatif memiliki ketahanan yang berbeda terhadap senyawa antimikroba. Bakteri Gram negatif umumnya sensitif terhadap senyawa antimikroba yang bersifat polar karena dinding sel bakteri Gram negatif bersifat polar sehingga lebih mudah dilewati oleh senyawa antibakteri yang bersifat polar. Sebaliknya bakteri Gram positif lebih sensitif terhadap senyawa antibakteri yang bersifat nonpolar. Kesensitifan bakteri Gram positif terhadap senyawa antimikroba yang bersifat nonpolar disebabkan komponen dasar penyusun dinding sel bakteri Gram positif adalah peptidoglikan yang salah satu penyusunnya adalah asam amino
alanin yang bersifat hidrofobik (nonpolar). Senyawa antimikroba dapat bereaksi dengan komponen fosfolipid dari membran sel sehingga mengakibatkan lisis sel (Branen dan Davidson, 1993). Kesensitifan bakteri uji berdasarkan hasil penelitian ini, berkaitan dengan senyawa aktif antibakteri dari biji teratai yang diduga bersifat semipolar sampai polar. Hal ini ditunjukkan dari penghambatan pertumbuhan bakteri hasil uji difusi sumur hanya terjadi pada ekstrak dengan pelarut yang bersifat semi polar (etilasetat) dan polar (etanol). Penghambatan pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif oleh ekstrak etil asetat pada uji difusi sumur lebih besar dibandingkan ekstrak etanol. Hal ini disebabkan oleh ekstrak etil asetat yang bersifat semipolar, sehingga memiliki dua sifat kelarutan yaitu hidrofilik dan hidrofobik. Seperti dijelaskan sebelumnya, perbedaan bakteri Gram positif dan Gram negatif terletak pada penyusun dinding selnya, yang masingmasing bersifat nonpolar dan polar. Ekstrak etilasetat mampu berdifusi pada dinding sel kedua jenis bakteri tersebut dengan efektivitas lebih baik dibandingkan ekstrak etanol yang hanya memiliki satu kelarutan (lebih polar). Naufalin
(2005)
melaporkan
bahwa
mekanisme
aktivitas
antibakteri ekstrak etilasetat bunga kecombrang dalam menghambat bakteri patogen maupun perusak pangan adalah senyawa antimikroba merusak dinding sel dan masuk melewati dinding sel bakteri. Selanjutnya penetrasi dan merusak bagian membran sitoplasma dapat menyebabkan terganggunya permeabilitas, terjadi kebocoran isi sel dan mengganggu pembentukan asam nukleat. Bakteri yang sensitif terhadap ekstrak antibakteri dapat terjadi kerusakan pada dinding sel dan membran sitoplasma, sedangkan bakteri yang resisten kerusakan terjadi pada dinding sel. Struktur dinding sel bakteri Gram positif berbeda dengan dinding sel Gram negatif. Pada bakteri Gram positif dinding selnya mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan negatif. Pada bakteri gram negatif, lapisan dinding selnya
mengandung 5-10% peptidoglikan, selebihnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein. Lapisan ini merupakan lapisan lipid kedua yang disebut lipopolisakarida (LPS). Lapisan ini tidak tersusun semata-mata oleh fosfolipid saja, seperti yang terdapat pada membran sitoplasma, tetapi juga mengandung polisakarida dan protein (Madigan et al., 2003).
Dinding sel bakteri Gram negatif mengandung tiga polimer yang terletak di luar lapisan peptidoglikan yaitu lipoprotein, porin matriks, dan lipopolisakarida. Menurut Helender (1998), ekstrak etanol dan etilasetat dapat masuk ke dalam membran plasma bakteri Gram negatif melalui protein porin. Bakteri Gram negatif memiliki susunan molekuler membran luar yang mengandung lipopolisakarida dan memiliki selaput khusus berupa molekul protein (porin) yang memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan berat molekul rendah (Parhusip, 2006). Menurut Moat et al. (2002), porin pada S. typhimurium dan E. coli yaitu OmpC, D, dan F dan PhoE, merupakan protein trimer yang menembus kedua permukaan membran luar. Protein ini membentuk poripori yang relatif tidak khusus yang memungkinkan difusi bebas zat-zat hidrofil kecil menembus membran. Porin dari spesies yang berbeda mempunyai batas berdifusi yang berbeda, dari bobot molekul 600 kda pada E. coli sampai lebih dari 3000 kda pada P. aeruginosa. Semakin tinggi berat molekul protein semakin sulit untuk menembus permukaan membran luar (Jawetz et al, 1996). Berdasarkan Gambar 11, diameter penghambatan berbagai ekstrak biji teratai terhadap P. aeruginosa lebih rendah dibandingkan E. coli. Menurut Robinson (2000), P. aeruginosa memiliki kemampuan untuk memproduksi berbagai jenis enzim ekstraseluler yang dapat melindungi bakteri ini dari beberapa jenis senyawa antimikroba. Salah satu produk ekstraselulernya adalah mucoid exopolysaccharide yang berbahan dasar alginat dan berfungsi sebagai zat proteksi sel dari senyawa antibiotik dan desinfektan. Hal ini diduga menjadi penyebab rendahnya penghambatan berbagai ekstrak biji teratai terhadap Pseudomonas aeruginosa.
E. Aktivitas Senyawa antioksidan
Ekstrak biji teratai selain berpotensi sebagai antibakteri, diduga memiliki aktivitas antioksidan. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan penduduk daerah di sekitar Kalimantan yang mengkonsumsi biji ini dengan khasiat sebagai penunda penuaan (obat awet muda) selain sebagai obat antidiare, insomnia, penambah stamina, dan lain-lain. Salah satu zat yang berpotensi sebagai komponen aktif yang dapat mempertahankan hidup sel dari kerusakan oleh berbagai senyawa asing seperti radikal bebas adalah antioksidan. Antioksidan merupakan suatu senyawa yang aktif menghambat kerja radikal bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan sel di dalam tubuh. Resiko yang ditimbulkan oleh kerusakan sel akibat radikal bebas adalah kematian oleh berbagai penyakit degeneratif. Oleh karena itu, saat ini banyak dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan sumber antioksidan alami sehingga penyakit degeneratif yang mematikan tersebut dapat dicegah. Kebiasaan penduduk di Kalimantan yang mengkonsumsi biji teratai dengan klaim obat awet muda ini perlu dibuktikan dengan penelitian ilmiah. Senyawa aktif yang diduga beraktivitas sebagai obat awet muda tersebut adalah antioksidan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, selain pengujian aktivitas senyawa antibakteri, dilakukan pula pengujian aktivitas senyawa antioksidan terhadap ekstrak biji teratai mentah maupun kukus dalam berbagai pelarut. Metode yang digunakan dalam uji aktivitas antioksidan ini adalah metode Ransimat dan metode DPPH free radical scavenging activity. Metode Ransimat dilakukan terhadap seluruh ekstrak biji teratai hingga didapatkan ekstrak terpilih, yaitu ekstrak yang memiliki kapasitas antioksidan tertinggi. Kemudian ekstrak terpilih tersebut diujikan dengan uji lanjut yaitu uji DPPH untuk mengetahui aktivitas antioksidannya dan selanjutnya dihitung nilai IC50.
1. Metode Ransimat
Kapasitas antioksidan pada ekstrak biji teratai diuji dengan metode Ransimat dengan tujuan untuk mengetahui ekstrak yang memiliki kapasitas antioksidan yang tertinggi. Semua ekstrak dari ketiga pelarut
(heksanaa, etilasetat, etanol), baik dari biji mentah maupun kukus, diuji dengan metode rancimat dan dibandingkan dengan sumber antioksidan yaitu tokoferol. Metode ransimat dilakukan dengan cara memasukkan sejumlah ekstrak ke dalam tabung ransimat yang berisi minyak yang banyak mengandung ikatan rangkap (dalam penelitian ini dipilih minyak kedelai murni). Kontrol negatif yang digunakan adalah tabung berisi minyak kedelai murni tanpa sampel sedangkan kontrol positif berisi αtokoferol dan minyak kedelai murni. Kontrol positif berfungsi sebagai faktor pembanding mengingat α-tokoferol merupakan sumber antioksidan alami. Metode ransimat ini dapat diaplikasikan untuk produk pangan lemak atau minyak sayur (kedelai, bunga matahari, jagung, kelapa, kacang, sawit, dan lain-lain), lemak atau minyak hewan (mentega, ikan, lard, dan lain-lain), dan produk yang mengandung minyak atau lemak
seperti pengukuran langsung: margarin, dan setelah ekstraksi lemak: sereal, biskuit, kacang, daging, dan lain sebagainya. Selain itu, metode ransimat ini dapat digunakan untuk penelitian antioksidan, kestabilan oksidatif biodiesel dan asam lemak metil ester, dan kestabilan oksidasi minyak pemanasan ringan dengan katalis Cu (Anonim 2, 2007). Prinsip metode ransimat adalah oksidasi dipercepat dengan cara induksi aliran udara melewati minyak yang dipanaskan, misalnya pada suhu ± 100°C. Produk oksidasi sekunder dari autooksidasi adalah senyawa volatil dan ionik menghasilkan asam format. Reaksi autooksidasi biasa menghasilkan hidroperoksida dan juga asam format atau lebih umum lagi adalah pembentukan senyawa ionik yang dapat mengubah konduktivitas dari air bebas ion pada alat rancimat (Loliger, 1993). Pengujian menggunakan metode Ransimat memiliki kesamaan prinsip dengan metode Active Oxygen Method (AOM). AOM memiliki prinsip bahwa laju oksidasi dipercepat oleh pengaliran udara dan pemberian panas dengan suhu 100°C pada minyak. Perbedaannya yaitu pada pendeteksian waktu induksi atau periode induksi. Pada standar AOM
waktu induksi ditandai oleh pembentukan peroksida, sedangkan pada metode ransimat waktu induksi dideteksi oleh konduktor. Pada awal reaksi oksidasi tidak ada peningkatan konduktivitas yang dapat diamati dan hanya pada tahap selanjutnya terjadi peningkatan konduktivitas secara cepat (periode induksi). Umumnya pada suhu ruang, periode induksi dihasilkan pada hitungan minggu atau bulan. Oleh karena itu, perlu uji yang dipercepat, biasanya dilakukan pada suhu 100°C atau sampai 140°C untuk minyak/lemak yang sangat stabil (Loliger, 1993). Besarnya
aktivitas
antioksidan
dapat
diketahui
dari
besarnya
penghambatan terhadap pembentukan senyawa oksidan (periode induksi) yang disebabkan oleh pemanasan minyak. Semakin lama waktu yang dibutuhkan dalam proses oksidasi sampel oleh minyak mengindiaksikan kandungan antioksidan dalam sampel semakin baik.. Aktivitas antioksidan dalam metode ransimat dinyatakan dalam persentase protection factor. Menurut Schwartz dan Ernst (1996), protection factor merupakan aktivitas antioksidan relatif sampel dibandingkan dengan kontrol. Nilai protection factor dihitung dari rumus berikut. A – B x 100 % C Dimana : A = waktu induksi sampel B = waktu induksi kontrol C = waktu induksi antioksidan murni (kontrol positif) Gambar 12 menunjukkan nilai protection factor masing-masing ekstrak pada metode ransimat yang dilakukan pada ekstrak konsentrasi 80%. Ekstrak etil asetat biji teratai mentah memiliki nilai protection factor sebesar 29.91±1.49 % dengan faktor pembanding α-tokoferol yang bernilai 100%. Meskipun nilai ini lebih kecil dibandingkan tokoferol, akan tetapi dibandingkan dengan waktu kontrol (minyak kedelai tanpa sampel), waktu induksi ekstrak etilasetat biji tertai mentah berpotensi memiliki aktivitas
antioksidan. Nilai protection factor berbagai ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 12. 35
29,91a,b
protection factor (%)
30 22,89a
25 20 15 10
11,2a
9,39b
7,43a,a
2,38a,a
5 0 ekstrak heksan
ekstrak etilasetat
biji mentah
ekstrak etanol
biji kukus
Gambar 12. Nilai protection factor berbagai ekstrak biji teratai Keterangan : 1) huruf superscript pertama menunjukkan perbandingan antara ekstrak pada masing-masing pelarut 2) huruf superscript kedua menunjukkan perbandingan ekstrak biji mentah antar pelarut. Selain menunjukkan nilai protection factor berbagai ekstrak biji teratai, Gambar 12 juga menunjukkan perbandingan nilai protection factor antar ekstrak. Berdasarkan uji T terhadap ekstrak biji teratai menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan biji teratai tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai protection factor pada ekstrak dengan pelarut heksana dan etilasetat (Lampiran 9). Selain itu, analisis ragam menunjukkan bahwa ekstraksi dengan pelarut yang berbeda secara bertingkat berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap nilai protection factor pada ekstrak biji teratai mentah. Selanjutnya, berdasarkan uji LSD, ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut etilasetat berbeda nyata (p<0.05) dari ekstrak biji mentah dengan pelarut lainnya dan memiliki nilai protection factor yang terbesar (Lampiran 10-11). Dengan demikian, didapatkan jenis ekstrak terpilih untuk uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH free radical scavenging activity yaitu ekstrak etilasetat biji teratai mentah.
Aktivitas antioksidan yang terdapat dalam ekstrak biji teratai mentah berkaitan dengan kandungan senyawa flavonoid dan tanin berdasarkan uji fitokimia pada ekstrak tersebut. Menurut Harbone (1987), flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Menurut Johnson (2001), flavanoid sangat efektif digunakan sebagai antioksidan. Menurut Choi et al (1991) menyatakan bahwa flavanoid dapat menurunkan hiperlipidemia pada manusia. Pada kasus penyakit jantung, penghambatan oksidasi LDL dapat mencegah pembentukan sel-sel busa dan mencegah kerusakan lipid (Meskin et al, 2002).
2. Metode DPPH
Pengukuran
aktivitas
antioksidan
selanjutnya
menggunakan
metode DPPH free radical scavenging activity. Ekstrak yang memiliki nilai protection factor terbesar berdasarkan pengukuran aktivitas antioksidan metode ransimat akan diuji lanjut aktivitas antioksidannya menggunakan metode DPPH free radical scavenging activity. DPPH (1,1-dyphenyl-2-picrylhydrazyl) adalah suatu radikal bebas stabil yang dapat bereaksi dengan radikal lain membentuk suatu senyawa yang stabil. Selain itu, DPPH juga dapat bereaksi dengan atom hidrogen membentuk DPPH tereduksi (DPP Hidrazin) yang stabil. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu (menjadi kuning pucat) (Molyneux, 2004). DPPH yang bereaksi dengan senyawa lain akan membentuk suatu senyawa yang stabil, sedangkan yang bereaksi dengan atom hidrogen dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi (DPPH-H). Hasil dari kedua reaksi tersebut akan memunculkan senyawa yang tidak memiliki absorpsi maksimum pada kisaran panjang gelombang sinar tampak, sedangkan DPPH itu sendiri berwarna ungu. Prinsip penurunan nilai absorbansi (semakin pudarnya warna ungu dari DPPH) ini digunakan untuk mengetahui kapasitas antioksidan bahan pangan, yaitu kemampuan bahan pangan untuk mendonorkan atom hidrogen.
Gambar 13 menunjukkan reaksi yang terjadi pada proses peredaman radikal bebas pada metode DPPH. AH merupakan donor molekul hidrogen dan A* merupakan radikal bebas. Terjadinya reaksi di atas menyebabkan radikal bebas DPPH menjadi DPP Hidrazin yang stabil. Sebaliknya peredam radikal bebas yang kehilangan H+ akan menjadi radikal baru yang reaktif. Banyak senyawa yang mampu meredam radikal bebas, akan tetapi suatu senyawa dapat digunakan sebagai peredam radikal bebas yang bermanfaat adalah jika setelah bereaksi dengan radikal bebas akan menghasilkan senyawa radikal yang stabil atau senyawa bukan radikal. Pada radikal bebas stabilitasnya dapat disebabkan oleh pengaruh resonansi, halangan ruang maupun oleh besarnya molekul.
+ A* NO2
DPPH (ungu)
DPP-H tereduksi (kuning pucat)
Gambar 13. Reaksi penangkapan radikal bebas stabil oleh antioksidan (Molyneux 2004) Pengujian terhadap ekstrak etilasetat biji teratai mentah dilakukan pada beberapa konsentrasi, yaitu 50 mg/ml, 100 mg/ml, 200 mg/ml, 400 mg/ml, dan 800 mg/ml. Asam askorbat (vitamin C) digunakan sebagai standar pengukuran aktivitas antioksidan dalam metode DPPH. Aktivitas antioksidan masing-masing sampel dinyatakan dalam persentase aktivitas antioksidan yang dihitung dari rumus berikut ini. Kapasitas antioksidan (%) = (A kontrol negatif – A sampel) x 100% A kontrol negatif
Kemudian persamaan regresi hasil pengukuran absorbansi masingmasing konsentrasi dihitung, selanjutnya dari persamaan tersebut dihitung nilai IC50. IC50 merupakan bilangan yang menunjukkan konsentrasi ekstrak (mg/ml) yang mampu menghambat proses oksidasi sebesar 50%. Nilai IC50 menyatakan besarnya daya meredam radikal bebas larutan ekstrak dan dapat digunakan untuk membandingkan daya meredam radikal bebas di antara senyawa-senyawa peredam radikal bebas. Semakin kecil nilai IC50
aktivitas antioksidan (%)
maka semakin tinggi aktivitas antioksidannya.
70 y = 0,0614x + 8,9496 R2 = 0,9639
60 50 40 30 20 10 0 0
200
400
600
800
1000
konsentrasi ekstrak (mg/ml)
Gambar 14. Aktivitas antioksidan ekstrak etilasetat biji teratai mentah Berdasarkan kurva aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat biji teratai mentah (Gambar 14), nilai IC50 dari ekstrak etilasetat biji teratai mentah adalah 671.6 mg/ml. Sedangkan nilai IC50 dari vitamin C adalah 0.6331 mg/ml. Kurva standar aktivitas antioksidan asam askorbat serta aktivitas antioksidan ekstrak biji teratai dapat dilihat pada Lampiran 12. Perbandingan nilai IC50 antara ekstrak etilasetat dan asam askorbat cukup jauh. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan pada esktrak etilasetat biji teratai mentah lemah dibandingkan dengan aktivitas antioksidan yang terdapat dalam asam askorbat. Rendahnya nilai IC50 esktrak etilasetat biji teratai mentah disebabkan oleh kandungan senyawa aktif dalam ekstrak etilasetat biji teratai mentah yang memiliki aktivitas antioksidan jumlahnya tidak
banyak. Berdasarkan uji fitokimia ekstrak etilasetat biji teratai mentah tidak banyak mengandung senyawa fenol. Padahal menurut Meskin et al (2002), senyawa fenol dapat berfungsi sinergis dengan komponen lain dan berfungsi sebagai antioksidan dan pencegahan berbagai penyakit. Menurut Shahidi dan Wanasundara (1992) menyatakan senyawa fenol terbukti sebagai sumber antioksidan yang efektif penangkap radikal bebas dan pengkelat ion logam.
F. Uji Fitokimia
Uji fitokimia dilakukan terhadap sampel yang menunjukkan hasil terbaik pada uji aktivitas antimikroba dan uji aktivitas antioksidan. Berdasarkan kedua pengujian tersebut, ekstrak etilasetat biji teratai mentah merupakan ekstrak yang memiliki kapasitas terbaik sebagai antibakteri dan antioksidan dibandingkan dengan ekstrak biji teratai lainnya. Pada pengujian aktivitas antibakteri, ekstrak etilasetat biji teratai mentah dapat menghambat pertumbuhan keempat bakteri uji dengan baik. Sedangkan berdasarkan uji statistik pada pengujian aktivitas antioksidan metode ransimat, ekstrak etilasetat biji teratai mentah memiliki efektifitas antioksidan yang berbeda nyata dibandingkan dengan ekstrak biji teratai lainnya. Komponen fitokimia merupakan senyawa metabolit sekunder yang telah banyak diketahui memiliki kemampuan sebagai komponen bioaktif, seperti aktivitas antibakteri dan antioksidan. Proses ekstraksi dengan pelarut yang memiliki kepolaran yang berbeda akan mengekstrak senyawa yang berbeda pula. Kelarutan komponen aktif dalam bahan/sampel akan menentukan komposisi ekstrak yang diperoleh (Thongson et al. 2004). Berdasarkan uji fitokimia (Tabel 6), ekstrak etilasetat biji teratai mentah memiliki kandungan senyawa glikosida yang sangat tinggi. Menurut Lenni (2006), glikosida adalah kombinasi antara suatu gula dan suatu alkohol yang saling berikatan melalui ikatan glikosida. Oleh karena itu, glikosida mudah larut pada pelarut yang mempunyai polaritas tinggi. Menurut Anonym (2007), glikosida biasanya terdapat dalam fase etilasetat atau n-butanol.
Tabel 7. Kandungan komonen fitokimia pada ekstrak etilasetat biji teratai mentah Komponen Fitokimia Jumlah Komponen Alkaloid
+++
Saponin
++
Tanin
+
Hidrokuinon
-
Flavonoid
++
Steroid
+
Glikosida
++++
Keterangan : : Negatif + : Positif lemah ++ : Positif +++ : Positif kuat ++++ : Positif kuat sekali Selain memiliki kandungan glikosida yang sangat tinggi, hasil uji fitokimia menunjukkan ekstrak etilasetat biji teratai mentah juga mengandung senyawa alkaloid yang cukup tinggi. Menurut Parhusip (2006), aktivitas senyawa-senyawa alkaloid atau senyawa yang mengandung N dari tanaman sebagai senyawa antibakteri belum banyak diketahui. Salah satu yang telah diketahui mempunyai aktivitas antibakteri adalah senyawa alkaloid karbazol. Senyawa antibakteri alkaloid karbazol terbukti memiliki aktivitas antibakteri di antaranya adalah (a) 3-metil-6,7-metilenadioksidakarbazol, (b) 1,8dimetoksi-3-formilkarbazol, dan (c) beberapa senyawa alkaloid karbazol. Ekstrak etilasetat biji teratai mentah memiliki kandungan saponin dan steroid, keduanya merupakan senyawa terpenoid. Menurut Harborne (1996), steroid dan saponin tergolong dalam triterpenoid. Menurut Keller et al (1998), steroid mempunyai aktivitas antibakteri. Menurut Naidu (2000), senyawa saponin juga dilaporkan memiliki daya antibakteri terhadap beberapa spesies bakteri. Menurut Zablotowicz et al (1996), saponin menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dengan cara berinteraksi dengan membran sterol. Efek utama saponin terhadap bakteri adalah adanya pelepasan protein dan enzim dari dalam sel-sel.
Senyawa aktif lain yang mendukung ekstrak etilasetat memiliki potensi sebagai antibakteri dan antioksidan adalah kandungan senyawa flavonoid dan tanin. senyawa flavonoid mempunyai kemampuan antioksidan untuk menangkal radikal bebas. Menurut Robinson (1995), tanin mempunyai aktivitas antioksidan. Selain sebagai antioksidan, flavonoid juga berfungsi sebagai antimikroba (Robinson,1995). Menurut Naidu (2000), flavonoid merupakan golongan yang penting karena memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang luas dengan mengurangi kekebalan pada organisme sasaran. Akan tetapi, senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan yang cukup kuat tidak cukup banyak dimiliki oleh ekstrak etilasetat biji teratai mentah. Hal ini, mendukung hasil pengukuran aktivitas antioksidan terhadap ekstrak ini yang cukup lemah dibandingkan asam askorbat. Menurut Parhusip (2006), senyawa yang termasuk dalam golongan fenolik cenderung mudah larut dalam pelarut yang mempunyai polaritas tinggi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Ekstraksi biji teratai dilakukan terhadap biji teratai mentah dan kukus dengan tiga pelarut yang berbeda berdasarkan kepolarannya (heksana, etilasetat, dan etanol). Uji T menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan biji berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap hasil rendemen ekstrak masing-masing pelarut. Uji LSD menunjukkan bahwa rendemen ekstrak biji teratai mentah dengan pelarut etanol berbeda nyata (p<0.05) dengan rendemen ekstrak dari pelarut lainnya. Rendemen ekstrak etanol adalah sebesar 4.23 ± 0.36 %. Ekstrak heksana biji mentah maupun kukus tidak menghambat pertumbuhan keempat jenis bakteri. Berdasarkan analisis ragam, diameter penghambatan ekstrak etilasetat biji teratai mentah berbeda nyata dan paling efektif dari ekstrak lainnya. Diameter penghambatan pertumbuhan oleh ekstrak etilasetat biji teratai mentah pada konsentrasi 30% terhadap Eschericia coli adalah 23.00±0.00 mm, Bacillus cereus 11.40±0.30 mm, Staphilococcus aureus 12.81±0.16 mm, dan Pseudomonas aeruginosa 12.85±0.25 mm.
Ekstrak etanol memiliki aktivitas antibakteri meski lebih rendah dari diameter penghambatan oleh ekstrak etilasetat. Berdasarkan uji T pada ekstrak etilasetat, perlakuan pemanasan biji berpengaruh nyata terhadap diameter penghambatan pada keempat bakteri uji, sedangkan pada ekstrak etanol perlakuan pemanasan biji tidak berpengaruh nyata terhadap diameter penghambatan pada S. aureus dan B. cereus. Pengujian
aktivitas
antioksidan
dengan
metode
ransimat
menunjukkan bahwa nilai protection factor terbesar dimiliki oleh ekstrak etilasetat mentah, yaitu 29.91±1.49 % dengan faktor pembandingnya adalah αtokoferol dengan nilai protection factor 100%. Hasil dari pengujian dengan metode DPPH free radical scavenging activity menunjukkan nilai IC50 dari ekstrak etilasetat biji teratai mentah adalah 671.6 mg/ml sedangkan IC50 asam askorbat sebesar 0.6331 mg/ml.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran penelitian selanjutnya mengenai biji teratai adalah sebagai berikut. a. Aplikasi aktivitas antibakteri biji teratai terhadap berbagai produk pangan b. Ekstraksi dengan pelarut lain dengan metode yang berbeda c. Perbandingan aktivitas antibakteri dengan kontrol positif berupa senyawa antibiotik d. Dilakukan analisis MIC dan MBC terhadap senyawa animikroba biji teratai e. Eksplorasi aktivitas antibakteri dan antioksidan dari biji teratai dengan spesies yang berbeda
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, S. 1992. Kimia Kayu. FMIPA, IPB. Bogor. Adam, M. R. dan M. O. Moss. 1995. Food Microbiology. The Royal Society of Chemistry Adawiyah, D. R. 1998. Kajian Pengembangan Metode Ekstraksi Komponen Antimikroba Buah Atung (Parinarium gaberium Hassk.). Tesis. FATETA-IPB. Bogor. Ahmad, I., Z. Mehmood, dan F. Mohammad. 1998. Screening of some Indian Medicinal Plants for Their Antimicrobial Properties. Di dalam Ahmad, I., dan Arina, Z. B. 2001. Antimirobial and Phytochemical Studies on 45 Indian Medicinal Plants Againts Multi-drug Resistent Human Pathogens. Journal of Ethnopharmacology. 74:113-123. Anonim. 1987. Statistik Industri 1986, Bagian I. Biro Pusat Statistik, Jakarta. Anonim 2. 2007. Metrohm 743 Rancimat. http://www.brinkmann.com [17 Januari 2007]. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of AOAC International. 16th ed. AOAC International, Arlington, Virginia. Ardiansyah. 2006. Keamanan Pangan Fungsional Berbasis Pangan Tradisional. www.beritaiptek.com [19 Maret 2007] Beirao, A.R.B. dan M.G. Bernardo-Gil. 2005. Antioksidan from Lavandula luisieri. http://www.enpromer2005.eq.ufrj.br [2 Januari 2007]. Beuchat, L. R. 1994. Antimicrobial Properties of Spices and Their Essential Oils. Di dalam Naidu, A. S. (ed). 2000. Natural Food Antimirobial Systems. CRC Press. USA. Bidlack, W.R., dan W. Wang. 2000. Designing Functional Foods to Enhance Health. Technomic Publishing Co, Inc, Lancaster, Basel. Branen, A. L. dan P. J. Davidson. 1993. Antimicrobials in Foods. Marcel Dekker, New York. Choi, J. S., T. Yokozaiva and H. Owa. 1991. Antihyperlipedimic Effect of Flavaoid From Prunes devidiana. In : Meskin. M. S., W. R. Bidlack, A. J. Davies, S.T. Omaye. 2002. Phytochemicals in Nutrition and Health. CRC Press, London-New York Davidson, P. M., dan A. S. Naidu. 2000. Phyto-phenols. Di dalam. A. S. Naidu. (ed). Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. New York.
Davidson, P. M., dan M. E. Parish. 1989. Method for Testing The Efficacy of Food Antimicrobials. Di dalam Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds). 1993. Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Davidson, P. M. 1993. Parabens and Phenolic Compounds. Di dalam. A. S. Naidu. (ed). Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. New York. Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia . 2002. 33,4 Juta Hektar Lahan Di Indonesia Berupa Rawa. http://www.depkominfo.go.id [ 2 Desember 2006] Don, W. S. Emir, T. Cherry. 2000. Lotus dan Teratai. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fardiaz, S. 1989. Analisis Mikrobiologi Pangan. Petunjuk Laboratorium. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. ________ . 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. 1988. Food Microbiology 4th ed. Mc Graw Hill Publ. Co. Ltd., New York. Fuaddi, K. 1996. Analisa Kandungan Gizi pada Umbi, Biji Buah, dan Tangkai Bunga Teratai (Nymphae pubescens Willd). Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. UNLAM. Banjarmasin. Garriga, M., M. Hugas, T. Aymerich, dan J. M. Monfort. 1993. Bacteriocinogenic Activity of Lactobacilli from Fermenter Sausages. J. Appl. Bact. 75 : 142148 Gordon, M. H. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action in vitro. Di dalam : Hudson, B. J. F. (ed). Food Antioxidants. Elsevier Applied Science, London. Granum, P. E. 1994. Bacillus cereus and its toxins. Di dalam Lund, B. M., bairdParker, T. C, dan G. W. Gould (eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food. Volume II. Aspen Publisher Inc., Maryland. Gruiz, K. 1996. Fungitoxic Activity of Saponins : Practical Use and Fundamental Principles. Di dalam : A. S. Naidu. (ed). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press, USA. Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia , terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediro, penerbit ITB, Bandung, 69-94, 142-158, 234-238. 11. Harborne, J. B. 1996. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis. Padmawinata K, Sudiro I, Penerjemah. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Hatono, T., H. Kagawa, T. Yasuhara, dan I. Okuda. 1988. Two New Flavonoids and Other Contituents ini Licorice Roots : Their Relative Astringency and Radical Scavenging Effect. Chem. Pharm. Bull. 36 : 2090-2097 Helender et al. 1998. Characterization of the action of selected essential oil components od gram negative bacteria. Di dalam Naufalin, R. 2005. Kajian Sifat Antimikroba Ekstrak Bunga Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) Terhadap Berbagai Mikroba Patogen dan Perusak Pangan. Disertasi. Sekolah pasca Sarjana, IPB. Bogor. Hogiono dan Dangi. 1994. Peningkatan Nilai Tambah Tanaman Hortikultura Yang Berpotensi Sebagai Bahan Dasar Sintesis Obat-obatan Steroid. Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Airlangga, Surabaya. Hougton, P. J. dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for The Fractination of Natural Extracts. Thomson Science, London. Iskandar, S. 2003. Minyak Tumbuhan. Sumber Energi Alami. www.chem-istry.org.id [19 Mei 2007] Jawetz, E., J. Melnick, dan E. Adelberg. 1996. Medical Microbiology. Di dalam Parhusip, A. J. N. 2006. Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) Terhadap Bakteri Patogen Pangan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Johnson, I. T. 2001. Antioxidative and Antitumors Properties. In : Pokorny, J., M. Yanishileva, M. Gordon. CRC Press, Cambridge England. Kanazawa, A., ikeda T. dan Endo T.1995. A novel approach to made of action of cationic biocides morphological effect on antibacterial activity. Di dalam Parhusip, Adolf J.N. 2006. Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) terhadap bakteri patogen pangan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Karyadi, E. 1997. Antioksidan, Resep Sehat, dan Umur http://www.indomedia.com/intisari/1997/juni/antioksidan.htm
Panjang.
Keller, A. C., M. T. Meilard, K. Hostettmann. 1998. Antimicrobial Steroid From The Fungus Fomitoxis tinicola. Phytochem. 41 (14): 1041-1046. Khairina, R. dan Y. Fitrial. 2002. Produksi dan Kandungan Gizi Biji Teratai (Nymphaea pubescens Willd) Tanaman Air Yang Terdapat Di Hulu Sungai Utara. Jurnal Ilmiah Fakultas Pertanian. Hal. 77-88. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenolpropanoida dan Alkaloida. Karya Ilmiah. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Lin, S. and Robert. 1994. Phytochemicals and Antioxidants. In : Functional Foods. I. Goldberg. Chapman and Hall, London. Loliger, J. 1993. Natural Antioxidants. Di dalam Allen, J. C. dan Hamilton, R.J. (eds.).Rancidity in Foods. Applied Science Publisher,London. Mariontono, L. A. 2001. Tanaman air. Penerbit PT Agro Media Pustaka. Bintaro, Jakarta. Madigan, M.T., J. M. Martinko, J. Parker. 2003. Brock Biology of Microorganisms. Tenth Edition. Southern Illinois University Carbondale. Meskin, M. S.,W. R. Bidlack, A. J. Davies, S. T. Omaye. 2002. Phytochemicals in Nutrition and Health. CRC Press, London New York. Middleton, E., dan K. Chitan. 1994. The Impact of Plant flavonoids on Mammalian Biology : Implication for Immunity, Inflammation, and Cancer. Di dalam Harborne, J. B. (ed.). The Flavonoids. Chapman and Hall. London. Moat, A.G., J.W. Foster, dan M.P. Spector. 2002. Microbial Physiology 4thed. Wiley-Liss, New York. Molyneux, P. 2004. The Use of The Stable Free radical DPPH for Estimating Antioxidant Activity. Songklanakarin J.Sci.Technol. Vol 26 (2):211-219 Mukhopadhiay, M. 2000. Natural Extracts Using Supercritical Carbon Dioxide. CRC Press, London, New York. Naufalin, R. 2005. Kajian Sifat Antimikroba Ekstrak Bunga Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) Terhadap Berbagai Mikroba Patogen dan Perusak Pangan. Disertasi. Sekolah pasca Sarjana, IPB. Bogor. Naidu, A. S. 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Nielsen, S. S. 2003. Food Analysis 3rd edition. Kluwer Academic/Plenum Publisher. New York, USA. Nur, N. A. dan H. Adijuana. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biokimia. PAU Ilmu Hayat, IPB, Bogor. Nychas, G. J. E. dan C. C. Tassou. 2000. Traditional Preservatives-oil and Spices. Di dalam : R. K. Robinson, C. A. Batt, P. D. Patel. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol. 1. London : Academic Press. Parhusip, A. J. N. 2006. Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) terhadap Bakteri Patogen Pangan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Parker, Tony C. B. 2000. Staphylococcus aureus. Di dalam Lund, B. M., BairdParker, T. C, dan G. W. Gould (eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food. Volume II. Aspen Publisher Inc., Maryland. Pradono, D. I., Y. Lestari, D. Saprudin, D. Firmansyah, S. Febriany, dan L. K. Darusman. 2006. Formulation of Supplement Jamu from Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) and Ginger, and in vitro Pharmacological Assay of Antioxidant. Di dalam : Herold. 2007. Formulasi Minuman Fungsional Berbasis Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus BI. Miq) yang Didasarkan pada Optimasi Aktivitas Antioksidan , Mutu Citarasa dan Warna. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pratt, D. E. Dan B. J. R. Hudson. 1990. Natural Antioxidants Not Exploited Commercially. Di dalam Hudson, B. J. F. (ed). Food Antioxidants. Hal. 171-192. Elsevier Applied Science, New York. Piddock, L. J. 1990. Techniques Used for The Determination of Antimicrobial Resistance and Sensitivity in Bacteria. Di dalam Davidson, P.N. dan Alfred, L.B. (eds.). Antimicrobials in Foods 2 nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York Ray, B. 2001. Fundamnental Food Microbiology 2nd ed. CRC Press. USA. Robinson. 1995. Phyto-chemistry in Plants. Di dalam Naidu, A. S. (ed). 2000. Natural Food Microbial Systems. CRC Press. USA. Robinson, R. K. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. London. Sastrapradja dan Bimantoro. 1981. Tumbuhan Air. Lembaga Biologi Nasional – LIPI Bogor. Schuler, P. 1990. Natural Antioxidant Exploited Commercially. In : Food Antixidants. B. J. F. Hudson (ed). Elsevier Applied Science, London. Schwarz, K., H. Ernst. 1996. Evaluation of Antioxidative Constituents from Thyme. Journal of Science of Food and Agriculture 70, 217-223. Shahidi, F., and P.K.J. Wanasundara.1992. Phenolik Antioxidants. Didalam : Bidlack, W.R., dan W. Wang. 2000. Designing Functional Foods to Enhance Health. Technomic Publishing Co, Inc, Lancaster, Basel. Suradikusumah, E. 1989. Kimia Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Ilmu Hayat, IPB. Bogor. Thongson, C., P. M. Davidson, W. Mahakarnchanakul dan J. Weiss. 2004. Antimicrobial Activity of Ultrasound-assisted Solvent-extracted Spices. Letters ini Applied Microbiology. 39: 401-406.
Tim Materi Medika Indonesia. 1995. Materi Medika Indonesia. Jilid VI. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Departemen Kesehatan, Jakarta. Zablotowicz, R. M., R. E. Hoagland, S. C. Wagner. 1996. Effect of Saponin on The Growth and Activity of Rizophere Bacteria. Di dalam Naidu, A. S. (ed). 2000. Natural Food Microbial Systems. CRC Press. USA. Zeuthen, P. and L. B. Surensen. 2003. Food Preservation Techniques. CRC Press, Cambridge England.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Nilai rendemen ekstrak biji teratai dan contoh perhitungan Bobot Ekstrak (g) Jenis Ekstrak Ekstrak heksan biji mentah Ekstrak heksan biji kukus Ekstrak etilasetat biji mentah Ekstrak etilasetat biji kukus Ekstrak etanol biji mentah Ekstrak etanol biji kukus
Rendemen (%)
Ulangan
Ulangan
Rata-rata
1 1.20
2 1.25
1 2.00
2 2.08
2.04±0.4
0.74
1.09
1.24
1.82
1.53±0.29
0.70
0.56
1.17
0.94
1.06±0.12
0.37
0.47
0.61
0.79
0.70±0.09
2.56
2.52
4.26
4.20
4.23±0.03
0.98
1.72
1.63
2.87
2.25±0.62
Contoh perhitungan : Rumus rendemen = Bobot ekstrak (g) x 100% Bobot awal sampel (g) Diketahui bobot awal sampel = 60 gram Ekstrak heksan biji mentah U1 = 1.20 x 100% = 2.00% 60 U2 = 1.09 x 100% = 2.08% 60 Rendemen ekstrak heksan biji mentah = (2.00 + 2.08)% = 2.04 ± 0.62 % 2
Lampiran 2. Analisis statistik rendemen berbagai ekstrak biji teratai a. Uji T rendemen ekstrak heksan biji teratai Paired Samples Statistics
Pair 1
MENTAH KUKUS
Mean 2,0400 1,5150
N
Std. Deviation ,05657 ,38891
2 2
Std. Error Mean ,04000 ,27500
Paired Samples Correlations N Pair 1
MENTAH & KUKUS
Correlation 1,000
2
Sig. ,000
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
MENTAH - KUKUS
Mean ,5250
Std. Deviation ,33234
Std. Error Mean ,23500
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -2,4610 3,5110
t 2,234
df
t 3,037
df
t 2,409
df
1
Sig. (2-tailed) ,268
1
Sig. (2-tailed) ,203
1
Sig. (2-tailed) ,250
b. Uji T ekstrak etilasetat biji teratai Paired Samples Statistics
Pair 1
MENTAH KUKUS
Mean 1,5250 ,7050
N
Std. Deviation ,50205 ,12021
2 2
Std. Error Mean ,35500 ,08500
Paired Samples Correlations N Pair 1
MENTAH & KUKUS
Correlation 1,000
2
Sig. ,000
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
MENTAH - KUKUS
Mean ,8200
Std. Deviation ,38184
Std. Error Mean ,27000
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -2,6107 4,2507
c. Uji T ekstrak etanol biji teratai Paired Samples Statistics
Pair 1
MENTAH KUKUS
Mean 4,5600 2,2350
N 2 2
Std. Deviation ,50912 ,85560
Std. Error Mean ,36000 ,60500
Paired Samples Correlations N Pair 1
MENTAH & KUKUS
2
Correlation -1,000
Sig. ,000
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
MENTAH - KUKUS
Mean 2,3250
Std. Deviation 1,36472
Std. Error Mean ,96500
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -9,9365 14,5865
Lampiran 3. Analisis ragam ekstrak biji teratai mentah ANOVA RENDEMEN
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 10,565 ,031 10,596
df 2 3 5
Mean Square 5,282 ,010
F 503,878
Sig. ,000
Multiple Comparisons Dependent Variable: RENDEMEN LSD
(I) EKSTRAK 1 2 3
(J) EKSTRAK 2 3 1 3 1 2
Mean Difference (I-J) ,9850* -2,1900* -,9850* -3,1750* 2,1900* 3,1750*
Std. Error ,10239 ,10239 ,10239 ,10239 ,10239 ,10239
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Sig. ,002 ,000 ,002 ,000 ,000 ,000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound ,6592 1,3108 -2,5158 -1,8642 -1,3108 -,6592 -3,5008 -2,8492 1,8642 2,5158 2,8492 3,5008
Lampiran 4. Contoh perhitungan diameter penghambatan ekstrak uji difusi sumur
Rumus perhitungan diameter penghambatan = D1 + D2 + D3 - d 3 Dimana : D1, D2, D3
= Diameter areal bening (mm)
d
= Diameter sumur (mm)
Contoh perhitungan areal penghambatan ekstrak etilasetat biji mentah terhadap P. Aeruginosa :
D1
= 19.00 mm
D2
= 19.40 mm
D2
= 18.90 mm
d
= 6 mm
Areal penghambatan = (19.00+19.40+18.90) – 6 = 13.10 mm 3
Lampiran 5. Diameter penghambatan ekstrak terhadap bakteri uji 1. Diameter penghambatan ekstrak terhadap S. aureus Konsentrasi Jenis ekstrak
30%
20%
10%
Ekstrak etilasetat biji mentah
12.65
13.00
9.50
9.60
5.00
5.50
Ekstrak etilasetat biji kukus
8.90
8.60
4.60
4.60
2.15
2.15
Ekstrak etanol biji mentah
7.40
7.65
5.60
5.60
4.65
4.70
Ekstrak etanol biji kukus
7.85
7.80
5.75
5.70
4.15
4.70
2. Diameter penghambatan ekstrak terhadap B. cereus Konsentrasi Jenis ekstrak
30%
20%
Ekstrak etilasetat biji mentah
11.70
11.10
Ekstrak etilasetat biji kukus
4.60
4.65
Ekstrak etanol biji mentah
7.70
Ekstrak etanol biji kukus
6.60
8.15
10%
7.15
3.20
3.10
2.10
2.10
0.65
0.65
6.70
6.75
6.15
3.10
3.15
6.65
5.70
5.55
1.45
1.60
3. Diameter penghambatan ekstrak terhadap E. coli Konsentrasi Jenis ekstrak
30%
20%
10%
Ekstrak etilasetat biji mentah
23.10
23.10
18.15
18.20
13.20
13.20
Ekstrak etilasetat biji kukus
18.15
18.25
15.20
14.10
10.60
9.65
Ekstrak etanol biji mentah
11.25
11.3
10.10
8.80
5.30
6.65
Ekstrak etanol biji kukus
8.15
8.25
5.25
5.15
3.10
3.65
2. Diameter penghambatan ekstrak terhadap P. aeruginosa Konsentrasi Jenis ekstrak 30%
20%
10%
Ekstrak etilasetat biji mentah
13.10
12.60
8.30
7.60
2.05
3.00
Ekstrak etilasetat biji kukus
7.45
7.30
5.50
5.65
3.50
3.50
Ekstrak etanol biji mentah
7.85
8.15
6.60
7.20
5.60
5.60
Ekstrak etanol biji kukus
5.20
5.30
3.80
3.45
2.45
2.05
Lampiran 6. Analisis statistik diameter penghambatan oleh ekstrak etilsetat 1.
Uji T ekstrak etilasetat terhadap E. coli Paired Samples Statistics
Pair 1
Mean 23,1000 18,2000
MENTAH KUKUS
N
Std. Error Mean ,00000 ,05000
Std. Deviation ,00000 ,07071
2 2
Paired Samples Correlations N Pair 1
Correlation
MENTAH & KUKUS
2
Sig. .
.
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
2.
Mean 4,9000
MENTAH - KUKUS
Std. Error Mean ,05000
Std. Deviation ,07071
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 4,2647 5,5353
t 98,000
df
Sig. (2-tailed) ,006
1
Uji T ekstrak etilasetat terhadap P. Aeruginosa Paired Samples Statistics
Pair 1
Mean 12,8750 7,4400
MENTAH KUKUS
N
Std. Error Mean ,22500 ,01000
Std. Deviation ,31820 ,01414
2 2
Paired Samples Correlations N Pair 1
MENTAH & KUKUS
Correlation -1,000
2
Sig. ,000
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
3.
Mean 5,4350
MENTAH - KUKUS
Std. Error Mean ,23500
Std. Deviation ,33234
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 2,4490 8,4210
t 23,128
df
t 20,846
df
1
Sig. (2-tailed) ,028
1
Sig. (2-tailed) ,031
Uji T ekstrak etilasetat terhadap B. Cereus Paired Samples Statistics
Pair 1
MENTAH KUKUS
Mean 11,4000 4,6250
N
Std. Error Mean ,30000 ,02500
Std. Deviation ,42426 ,03536
2 2
Paired Samples Correlations N Pair 1
MENTAH & KUKUS
Correlation -1,000
2
Sig. ,000
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
4.
Mean 6,7750
MENTAH - KUKUS
Std. Error Mean ,32500
Std. Deviation ,45962
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 2,6455 10,9045
Uji T ekstrak etilasetat terhadap S. Aureus Paired Samples Statistics
Pair 1
MENTAH KUKUS
Mean 12,8750 7,4400
N
Std. Deviation ,31820 ,01414
2 2
Std. Error Mean ,22500 ,01000
Paired Samples Correlations N Pair 1
MENTAH & KUKUS
2
Correlation -1,000
Sig. ,000
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
MENTAH - KUKUS
Mean 5,4350
Std. Deviation ,33234
Std. Error Mean ,23500
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 2,4490 8,4210
t 23,128
df 1
Sig. (2-tailed) ,028
Lampiran 7. Analisis sidik ragam aktivitas antibakteri ekstrak biji mentah 1. Analisis sidik ragam ekstrak biji mentah terhadap E. coli
ANOVA DIAMETER
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 533,711 ,001 533,712
df
Mean Square 266,855 ,000
2 3 5
F 640453,0
Sig. ,000
Multiple Comparisons Dependent Variable: DIAMETER LSD
(I) EKSTRAK 1 2 3
(J) EKSTRAK 2 3 1 3 1 2
Mean Difference (I-J) -23,1000* -11,2750* 23,1000* 11,8250* 11,2750* -11,8250*
Std. Error ,02041 ,02041 ,02041 ,02041 ,02041 ,02041
Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -23,1650 -23,0350 -11,3400 -11,2100 23,0350 23,1650 11,7600 11,8900 11,2100 11,3400 -11,8900 -11,7600
*. The mean difference is significant at the .05 level.
2. Analisis sidik ragam ekstrak biji mentah terhadap P. aeruginosa ANOVA DIAMETER
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 168,430 ,170 168,600
df 2 3 5
Mean Square 84,215 ,057
F 1486,147
Sig. ,000
Multiple Comparisons Dependent Variable: DIAMETER LSD
(I) EKSTRAK 1 2 3
(J) EKSTRAK 2 3 1 3 1 2
Mean Difference (I-J) -12,8500* -8,0000* 12,8500* 4,8500* 8,0000* -4,8500*
Std. Error ,23805 ,23805 ,23805 ,23805 ,23805 ,23805
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -13,6076 -12,0924 -8,7576 -7,2424 12,0924 13,6076 4,0924 5,6076 7,2424 8,7576 -5,6076 -4,0924
3. Analisis sidik ragam ekstrak biji mentah terhadap B. cereus ANOVA DIAMETER Sum of Squares 132,960 ,680 133,640
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square 66,480 ,227
2 3 5
F 293,294
Sig. ,000
Multiple Comparisons Dependent Variable: DIAMETER LSD
(I) EKSTRAK 1 2 3
(J) EKSTRAK 2 3 1 3 1 2
Mean Difference (I-J) -11,4000* -7,2000* 11,4000* 4,2000* 7,2000* -4,2000*
Std. Error ,47610 ,47610 ,47610 ,47610 ,47610 ,47610
Sig. ,000 ,001 ,000 ,003 ,001 ,003
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -12,9151 -9,8849 -8,7151 -5,6849 9,8849 12,9151 2,6849 5,7151 5,6849 8,7151 -5,7151 -2,6849
*. The mean difference is significant at the .05 level.
4. Analisis sidik ragam ekstrak biji mentah terhadap S. aureus ANOVA DIAMETER
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 166,131 ,092 166,223
df 2 3 5
Mean Square 83,065 ,031
F 2694,014
Sig. ,000
Multiple Comparisons Dependent Variable: DIAMETER LSD
(I) PELARUT 1 2 3
(J) PELARUT 2 3 1 3 1 2
Mean Difference (I-J) -12,8250* -7,5250* 12,8250* 5,3000* 7,5250* -5,3000*
Std. Error ,17559 ,17559 ,17559 ,17559 ,17559 ,17559
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -13,3838 -12,2662 -8,0838 -6,9662 12,2662 13,3838 4,7412 5,8588 6,9662 8,0838 -5,8588 -4,7412
Lampiran 8. Analisis statistik diameter penghambatan oleh ekstrak etanol 1.
Uji T ekstrak etanol terhadap E. coli Paired Samples Statistics
Pair 1
Mean 11,2750 8,2000
MENTAH KUKUS
N
Std. Error Mean ,02500 ,05000
Std. Deviation ,03536 ,07071
2 2
Paired Samples Correlations N Pair 1
MENTAH & KUKUS
Correlation 1,000
2
Sig. ,000
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
2.
Mean 3,0750
MENTAH - KUKUS
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 2,7573 3,3927
Std. Error Mean ,02500
Std. Deviation ,03536
t 123,000
df
t 13,750
df
t 1,095
df
1
Sig. (2-tailed) ,005
1
Sig. (2-tailed) ,046
1
Sig. (2-tailed) ,471
Uji T ekstrak etanol terhadap P. Aeruginosa Paired Samples Statistics
Pair 1
Mean 8,0000 5,2500
MENTAH KUKUS
N
Std. Error Mean ,15000 ,05000
Std. Deviation ,21213 ,07071
2 2
Paired Samples Correlations N Pair 1
MENTAH & KUKUS
Correlation -1,000
2
Sig. ,000
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
3.
Mean 2,7500
MENTAH - KUKUS
Std. Error Mean ,20000
Std. Deviation ,28284
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper ,2088 5,2912
Uji T ekstrak etanol terhadap B. cereus Paired Samples Statistics
Pair 1
Mean 7,2000 6,6250
MENTAH KUKUS
N
Std. Error Mean ,50000 ,02500
Std. Deviation ,70711 ,03536
2 2
Paired Samples Correlations N Pair 1
MENTAH & KUKUS
Correlation -1,000
2
Sig. ,000
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
4.
Mean ,5750
MENTAH - KUKUS
Std. Error Mean ,52500
Std. Deviation ,74246
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -6,0958 7,2458
Uji T ekstrak etanol terhadap S. Aureus Paired Samples Statistics
Pair 1
Mean 7,5250 7,8250
MENTAH KUKUS
N 2 2
Std. Deviation ,17678 ,03536
Std. Error Mean ,12500 ,02500
Paired Samples Correlations N Pair 1
MENTAH & KUKUS
2
Correlation -1,000
Sig. ,000
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
MENTAH - KUKUS
Mean -,3000
Std. Deviation ,21213
Std. Error Mean ,15000
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -2,2059 1,6059
t -2,000
df 1
Sig. (2-tailed) ,295
Lampiran 9. Nilai Protection Factor ekstrak biji teratai pada uji ransimat
Sampel Alpha-tokoferol(c) Ekstrak heksana biji teratai mentah (1) Ekstrak heksana biji teratai mentah (2) Ekstrak heksana biji teratai kukus (1) Ekstrak heksana biji teratai kukus (2) Ekstrak etilasetat biji teratai mentah (1) Ekstrak etilasetat biji teratai mentah (2) Ekstrak etilasetat biji teratai kukus (1) Ekstrak etilasetat biji teratai kukus (2) Ekstrak etanol biji teratai mentah (1) Ekstrak etanol biji teratai mentah (2) Ekstrak etanol biji teratai kukus (1) Ekstrak etanol Biji teratai kukus (2)
Waktu Induksi Sampel (jam) (a) 9.96 1.82
Waktu Induksi Minyak Kedelai (jam) (b) 1.55 1.38
2.48
1.67
9.63
2.59
1.57
12.13
2.52
1.67
10.11
3.94
1.55
28.42
4.42
1.78
31.39
3.59
1.55
24.26
3.96
1.67
13.61
1.69
1.57
1.43
2.06
1.78
3.33
2.26
1.57
8.2
2.67
1.78
10.58
Protection Factor a-b x 100 % c
Rata-rata Protection Factor (%)
100 5.23
100 7.43
Contoh perhitungan: Protection factor = a-b x 100% c
Ekstrak heksana biji teratai mentah U1 :
1.82-1.38 x 100% = 5.23% 9.96
Ekstrak heksana biji teratai mentah U2 :
2.48-1.67 x 100% = 9.63% 9.96
Rata-rata
=
(5.23+9.63)% = 7.43% 2
11.12
29.91
22.89
2.38
9.39
Lampiran 10. Analisis statistik aktivitas antioksidan berbagai ekstrak biji teratai 1. Uji T aktivitas antioksidan ekstrak heksan Paired Samples Statistics
Pair 1
Mean 7,4300 11,1200
MENTAH KUKUS
N
Std. Error Mean 2,20000 1,01000
Std. Deviation 3,11127 1,42836
2 2
Paired Samples Correlations N Pair 1
MENTAH & KUKUS
Correlation -1,000
2
Sig. ,000
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
Mean Std. Deviation MENTAH - KUKUS -3,6900 4,53963
Std. Error Mean 3,21000
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -44,4769 37,0969
t -1,150
df
t 1,613
df
t -29,208
df
1
Sig. (2-tailed) ,456
1
Sig. (2-tailed) ,353
1
Sig. (2-tailed) ,022
2. Uji T aktivitas antioksidan ekstrak etilasetat Paired Samples Statistics
Pair 1
MENTAH KUKUS
Mean 29,9100 18,9350
N
Std. Error Mean 1,48000 5,32500
Std. Deviation 2,09304 7,53069
2 2
Paired Samples Correlations N Pair 1
MENTAH & KUKUS
Correlation -1,000
2
Sig. ,000
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
Mean Std. Deviation MENTAH - KUKUS 10,9750 9,62372
Std. Error Mean 6,80500
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -75,4907 97,4407
3. Uji T aktivitas antioksidan ekstrak etanol Paired Samples Statistics
Pair 1
MENTAH KUKUS
Mean 2,3800 9,3900
N
Std. Error Mean ,95000 1,19000
Std. Deviation 1,34350 1,68291
2 2
Paired Samples Correlations N Pair 1
MENTAH & KUKUS
2
Correlation 1,000
Sig. ,000
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
MENTAH - KUKUS
Mean -7,0100
Std. Deviation ,33941
Std. Error Mean ,24000
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -10,0595 -3,9605
Lampiran 11. Analisis sidik ragam aktivitas antioksidan ekstrak biji teratai mentah ANOVA ANTIOKS
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 858,836 15,895 874,731
df 2 3 5
Mean Square 429,418 5,298
F 81,045
Sig. ,002
Multiple Comparisons Dependent Variable: ANTIOKS LSD Mean Difference (I-J) (I) EKSTRAK (J) EKSTRAK Std. Error 1 2 -22,4750* 2,30184 3 5,0500 2,30184 2 1 22,4750* 2,30184 3 27,5250* 2,30184 3 1 -5,0500 2,30184 2 -27,5250* 2,30184 *. The mean difference is significant at the .05 level.
95% Confidence Interval Sig. Lower Bound Upper Bound ,002 -29,8005 -15,1495 ,116 -2,2755 12,3755 ,002 15,1495 29,8005 ,001 20,1995 34,8505 ,116 -12,3755 2,2755 ,001 -34,8505 -20,1995
Lampiran 12. Kurva aktivitas antioksidan
aktivitas antioksidan (%)
90
y = 81,901x - 1,8553
80
R2 = 0,9972
70 60 50 40 30 20 10 0 0
0,2 0,4 0,6 0,8 1 konsentrasi as. askorbat (m g/m l)
1,2
Kurva standar aktivitas antioksidan asam askorbat Aktivitas antioksidan ekstrak etilasetat biji teratai mentah Konsentrasi sampel (mg/ml)
aktivitas antioksidan (%)
800 400 200 100 50 Kontrol negatif Kapasitas antioksidan (%) = (A kontrol negatif – A sampel) x 100% A kontrol negatif
Absorbansi
Aktivitas Antioksidan (%)
0.546 0.742 0.945 1.050 1.110 1.220
55.20 39.18 22.54 13.93 9.01 0
70 y = 0,0614x + 8,9496 R2 = 0,9639
60 50 40 30 20 10 0 0
200
400
600
800
1000
konsentrasi ekstrak (mg/ml)
Kurva aktivitas antioksidan ekstrak etilasetat biji teratai