ANALISIS POTENSI BIJI DAN UMBI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd) UNTUK PANGAN FUNGSIONAL PREBIOTIK DAN ANTIBAKTERI Escherichia coli ENTEROPATOGENIK K1.1
YUSPIHANA FITRIAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Potensi Biji dan Umbi Teratai (Nymphaea pubescens Willd) untuk Pangan Fungsional Prebiotik dan Antibakteri Escherichia coli Enteropatogenik K1.1 adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2009
Yuspihana Fitrial NRP. F261030021
ABSTRACT YUSPIHANA FITRIAL. The Potential Analysis of Seed and Root of Water Lily (Nymphaea pubescens Willd) as a Functional Food Prebiotic and Antibacterial Enteropathogenic Escherichia coli K1.1. Under supervision of MADE ASTAWAN, SOEWARNO T. SOEKARTO, KOMANG G. WIRYAWAN and TUTIK WRESDIYATI. The purposes of this study were (1) to determine the antibacterial activities of water lily seed and root, both against pathogenic bacteria causing diarrhea and beneficial bacteria; (2) to identify phytochemical components in water lily seed and root, and to evaluate their activities as antibacterial against pathogenic bacteria causing diarrhea; (3) to measure and evaluate water lily seed’s and root’s prebiotic activities of carbohydrate fraction in vitro; (4) to evaluate biological activity of water lily seed’s and root’s flour and extract as antidiarrheal and prebiotic sources; (5) to evaluate the potential of water lily seed and its extract as immunomodulator. Extraction of antibacterial components used multistage maceration extraction method based on solvent polarity level, i.e. hexane, ethyl acetate and ethanol. Each extract’s activities were tested using diarrhea-causing bacteria, Enteropathogenic E. coli K.1.1 (EPEC K1.1) and S. Typhimurium with agar well diffusion method. The MIC (minimum inhibitory concentration) and MBC (minimum bactericidal concentration) values were calculated with the highest antibacterial activities. Fractination was performed on extract with the largest antibacterial activity using thin-layer chromatography. The activities of each fraction were tested qualitatively by bio-autography method. Qualitative phytochemical tests were performed on all extracts Carbohydrate fractions (glucose, fructose, sucrose, raffinose and stacchiose) in water lily seed and root were analyzed by HPLC. Carbohydrate fractions which were separated in previous stage were considered as sugar growth medium by modifying the growth medium of lactic acid bacteria and bifidobacterium in vitro. In vivo test was carried out on Sprague Dawley male rats for 28 days. There were two groups of rats to be studied, i.e. normal (healthy) rats group and another rats group which were intervened by Enteropathogenic E.coli K1.1. The rats group that was intervened by EPEC K1.1, after 2 weeks feeding treatments, were orally infected with EPEC K1.1 in a week. In this stage, a basal diet was made with casein as the feed protein source. Male rats were fed a basal diet (control group) or the same diet containing of water lily seed flour or the same diet containing of FOS (isocalory and isonitrogen) or a basal diet with water lily seeds extract (given orally) for 4 weeks. Biological activities of water lily seed and extract were evaluated by observing total count of E.coli in cecal content and on cecum mucosa; total count of both aerobe and anaerobe lactic acid bacteria, small intestine histology and immunohistochemistry IgA of test rat’s small intestine. Results of this study showed that the water lily’s seed and root had an antibacterial activity against EPEC K1.1 and Salmonella Typhimurium, especially in ethyl acetate extract. Ethanol extract had the same, yet lower activity. Ethyl acetate and ethanol extract of the seed did not show inhibition against the growth of lactic acid bacteria (Lactobacillus sp) and Bifidobacterium bifidum. The MIC and MBC values of the ethyl acetate extract on EPEC K1.1 were 0.89 (mg/mL) and 1.33 (mg/mL), respectively, while similar values of that on S. Typhimurium were 1.11 (mg/mL) and 1.33 (mg/mL), respectively. On the other
hand, MIC and MBC values of the root’s ethyl acetate extract on EPEC K1.1 were 1.11(mg/mL), while similar values of that on S. Typhimurium were 1.11 and 1.55 (mg/mL), respectively. Phytocompounds in water lily seed’s ethyl acetate extract were alkaloids, flavonoids, tannins, glycosides, saponins, and triterpenoids. Meanwhile, compounds within root’s ethyl acetate extract were alkaloids, tannins, saponins, glycosides and steroids. All fractions in the ethyl acetate extract had antibacterial activities against EPEC K1.1 and S. Typhimurium. These fractions were thought to be able to inhibit the growth of test-microbes by synergic action of the components. Stachiose and raffinose were carbohydrate fractions of water lily’s seed and root that could possibly be considered as a prebiotic sources. They could be fermented by Lactobacillus acidophilus and Bifidobacterium bifidum. The level of stachiose and raffinose was 0.60 mg/g of dry weight and 10.69 mg/g of dry weight in the seed and root, respectively. Water lily seed and its ethyl acetate extract at the level of ≈ 1.87 g water lily seed or ≈ 13.23 mg/g rat weight or 17.80 mg/ml ethyl acetate extract significantly prevented and inhibited the growth of pathogenic bacteria like EPEC K1.1 causing diarrhea in rats. Water lily seed had higher ability of preventing and inhibiting the growth of these bacteria than its ethyl acetate extract. Water lily seed and its extract served as immunomodulator (meaning to stimulate the production of IgA) as a defense against pathogenic bacteria attack in the digestion tract. Both water lily seed and root had antibacterial and prebiotic activities, but water lily seed had more potency as antibacterial, while its root had more potency as a prebiotic source. Key words: water lily, seed, root, antibacterial, ethyl acetate extract, anti-diarrheal, prebiotic, phytocompound
RINGKASAN YUSPIHANA FITRIAL. Analisis Potensi Biji dan Umbi Teratai (Nymphaea pubescens Willd) untuk Pangan Fungsional Prebiotik dan Antibakteri Escherichia coli Enteropatogenik K1.1. Dibimbing oleh MADE ASTAWAN, SOEWARNO T. SOEKARTO, KOMANG G. WIRYAWAN dan TUTIK WRESDIYATI. Teratai merupakan tanaman air yang banyak tumbuh secara alami di perairan rawa atau sungai yang tidak begitu dalam dan berair tenang. Kalimantan Selatan yang memiliki rawa seluas 800 000 Ha banyak ditumbuhi tanaman air salah satunya adalah teratai. Bagian tanaman teratai ini yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan adalah bunga, biji, batang dan umbinya. Akan tetapi yang paling banyak dimanfaatkan oleh penduduk, terutama di daerah Hulu Sungai Utara adalah bijinya. Biji buah teratai oleh penduduk setempat sering dijadikan sebagai sumber karbohidrat pengganti beras disaat paceklik ataupun dijadikan tepung untuk membuat kue. Di daerah lain, secara tradisional biji dan umbi teratai oleh masyarakat dimanfaatkan sebagai obat diare dan disentri. Tujuan umum penelitian ini adalah meningkatkan potensi tanaman teratai sebagai sumber daya daerah yang tumbuh liar di rawa-rawa di Kalimantan Selatan, yaitu (1) sebagai sumber antibakteri dan prebiotik untuk mencegah diare, (2) sebagai sumber bahan pangan baru, (3) memanfaatkan atau memberi nilai tambah ekonomi. Secara rinci tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) Mengukur aktivitas antibakteri umbi dan biji teratai, baik terhadap bakteri patogen penyebab diare maupun bakteri yang menguntungkan, (2) Mengidentifikasi komponen fitokimia yang terdapat pada umbi dan biji teratai, dan mengevaluasi aktivitasnya sebagai antibakteri terhadap bakteri patogen penyebab diare, (3) Mengukur dan mengevaluasi secara in vitro aktivitas prebiotik dari fraksi karbohidrat biji dan umbi teratai (4) Mengevaluasi aktivitas biologis dari tepung dan ekstrak umbi atau biji teratai dalam kaitannya sebagai pencegah diare dan sumber prebiotik, dan (5) Mengevaluasi potensi biji teratai dan ekstraknya sebagai imunomodulator dalam kaitannya dengan Imunoglobulin A di usus halus. Ekstraksi komponen antibakteri secara maserasi menggunakan metode ekstraksi bertingkat berdasarkan tingkat kepolaran pelarut yaitu heksana (tidak polar), etil asetat (semi polar) dan etanol (polar). Analisis aktivitas antibakteri ekstrak heksana, etil asetat dan etanol dilakukan dengan metode difusi agar atau sumur terhadap bakteri E. coli Enteropatogenik K1.1 (EPEC K1.1), Salmonella Typhimurium, bakteri asam laktat (Lactobacillus acidophilus) dan bifidobacterium (Bifidobacterium bifidum). Pengamatan tidak hanya ditujukan untuk bakteri pathogen, tetapi juga terhadap bakteri yang menguntungkan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak yang diduga mengandung senyawa antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri menguntungkan. Metode ini didasarkan pada kemampuan senyawa anti bakteri di dalam ekstrak yang diuji untuk menghasilkan zona penghambatan terhadap bakteri uji, berupa diameter zona hambat (d, mm). Selanjutnya dilakukan penentuan nilai MIC (minimum inhibitory concentration) dan MBC (minimum bactericidal
concentration) dari ekstrak yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap mikroba uji Tahap ini bertujuan untuk mengetahui jenis ekstrak yang memiliki aktivitas antibakteri paling besar berdasarkan tingkat kepolaran pelarut. Analisis kualitatif fitokimia dari masing-masing ekstrak biji dan umbi teratai, meliputi tanin, alkaloid, saponin, glikosida, flavonoid, sterol dan/atau triterpen. Pada tahap ini masing-masing ekstrak (heksana, etil asetat dan etanol) komponen fitokimianya dianalisis secara kualitatif untuk mengetahui jenis komponen fitokimia yang terdapat pada masing-masing ekstrak. Ekstrak yang memiliki aktivitas antibakteri tertinggi difraksinasi untuk diuji masing-masing fraksi yang terdapat pada biji dan umbi teratai terhadap bakteri EPEC K1.1 dan Salmonella Typhimurium menggunakan metode bioautografi dan difusi agar atau sumur. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui fraksi yang paling berperan sebagai antibakteri Analisis komposisi fraksi karbohidrat yang terdapat pada biji dan umbi teratai dilakukan dengan HPLC. Pada tahap ini dianalisis komposisi fraksi karbohidrat yang terdapat pada tepung biji dan umbi teratai, meliputi monosakarida (glukosa dan fruktosa), disakarida (sukrosa), oligosakarida (rafinosa dan stakiosa). Pengujian fraksi karbohidrat yang sudah dipisahkan pada tahap sebelumnya, dianggap sebagai gula pada media pertumbuhan dengan memodifikasi media pertumbuhannya secara in vitro. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui apakah fraksi karbohidrat yang diduga berperan sebagai prebiotik dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat dan bifidobacterium uji, yaitu dengan membandingkan antara glukosa yang terdapat pada media pertumbuhan bakteri asam laktat dan bifidobaterium sebagai sumber karbohidrat dengan gula lain yang terdapat pada biji dan atau umbi teratai. Pengujian secara in vivo dilakukan dengan tikus percobaan (jenis Sprague Dawley selama 28 hari) untuk mengevaluasi aktivitas biologis biji teratai baik yang berupa tepung maupun ekstrak biji dan kaitannya dengan pencegahan diare. Pada tahap ini, tepung biji disubstitusikan ke dalam pakan standar tikus percobaan (secara isokalori dan isonitrogen). Pembuatan ransum standar dengan kasein sebagai sumber protein ransum (10%). Ada dua kelompok tikus yang akan dipelajari yaitu kelompok tikus normal (sehat) dan kelompok tikus yang diintervensi E.coli. Masing-masing kelompok tikus dibagi menjadi 4 grup tikus (@ n=9 ekor), yaitu : (1) Grup tikus yang mendapat ransum standar, (2) Grup tikus yang mendapat ransum yang disubstitusi dengan tepung biji teratai (20 MIC), (3) Grup tikus yang mendapat ransum standar dan ekstrak biji teratai yang teraktif (20 MIC)(dicekok), (4) Grup tikus yang mendapat ransum yang disubstitusi dengan FOS (6%) yang memiliki potensi aktivitas sebagai prebiotik.(dicekok). Kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 mendapat ransum perlakuan yang sama dengan kelompok sehat, yaitu dari hari ke-1 sampai ke-28. Akan tetapi pada hari ke-14 – 21 dilakukan intervensi (cekok) EPEC K1.1 sehingga tikus menjadi diare. Setelah hari ke-22 intervensi EPEC K1.1 dihentikan. Evaluasi aktivitas biologis biji dan ekstrak biji teratai terhadap tikus percobaan dilakukan dengan mengamati : berat badan tikus (setiap 4 hari), konsumsi ransum (setiap hari), jumlah bakteri asam laktat aerob dan anaerob (pada hari ke-0, 14, 21 dan 28), total mikroba (pada hari ke-0, 14, 21 dan 28),
total E. coli isi sekum (pada hari ke-0, 14, 21 dan 28), histologi usus halus dan imunohistokimia IgA usus halus tikus percobaan (pada hari ke-0, 14, 21, 28). Analisis data dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) menggunakan program SPSS dan uji beda lanjut dengan uji Duncan. Berdasarkan hasil penelitian secara in vitro diketahui bahwa biji dan umbi teratai (Nymphaea pubescens Willd) memiliki aktivitas antibakteri terhadap EPEC K1.1 dan S.Typhimurium, terutama pada ekstrak etil asetat. Ekstrak etanol memiliki aktivitas yang lebih rendah daripada ekstrak etil asetat. Komponen aktif dari ekstrak biji dan umbi teratai tidak menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat. Nilai MIC dan MBC ekstrak etil asetat biji teratai terhadap EPEC K1.1 adalah 0.89 mg/ml dan 1.33 mg/ml. Nilai MIC dan MBC ekstrak etil asetat biji teratai terhadap S. Typhimurium adalah 1.11 mg/ml dan 1.33 mg/ml. Nilai MIC ekstrak etil asetat umbi terhadap EPEC K1.1 adalah 1.11 mg/ml sedangkan nilai MIC dan MBC ekstrak etil asetat umbi terhadap S. Typhimurium adalah 1.11 mg/ml dan 1.55 mg/ml. Komponen fitokimia yang terdapat pada ekstrak etil asetat biji adalah alkaloid, tanin, saponin, glikosida, flavonoid dan triterpenoid, sedangkan yang terdapat pada umbi adalah alkaloid, tanin, saponin, glikosida dan steroid. Semua komponen tersebut memiliki aktivitas antibakteri. Fraksi-fraksi dari ekstrak etil asetat biji dan umbi memiliki aktivitas antibakteri yang bekerja secara sinergis Oligosakarida yang menjadi sumber prebiotik pada biji dan umbi teratai adalah stakiosa dan rafinosa Pada biji, kadar total stakiosa dan rafinosa adalah 0.60 mg/g (bk), sedangkan pada umbi kadarnya 10.69 mg/g (bk). Oligosakarida yang terdapat pada biji dan umbi teratai dapat difermentasi oleh Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium bifidum. Biji teratai dan ekstrak etil asetat biji teratai dengan kadar 20MIC ≈ 1.866 g tepung biji teratai atau ≈ 13.23 mg/g berat badan tikus percobaan atau ≈ 17.8 mg/ml ekstrak etil asetat secara nyata dapat mencegah dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen penyebab diare (EPEC K.1.1) pada tikus percobaan. Biji teratai mempunyai kemampuan mencegah dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen penyebab diare (EPEC K.1.1) yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak etil asetat biji teratai. Biji teratai dan ekstrak biji teratai dapat berperan sebagai imunomodulator (menstimulasi produksi IgA) sebagai pertahanan terhadap serangan patogen di saluran pencernaan. Biji dan umbi teratai memiliki aktivitas antibakteri dan prebiotik, akan tetapi biji teratai lebih berpotensi sebagai antibakteri, sedangkan umbi teratai lebih berpotensi sebagai sumber prebiotik. Kata kunci : teratai, biji, umbi, antibakteri, ekstrak etil asetat, antidiare, prebiotik, komponen fitokimia
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengujian tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS POTENSI BIJI DAN UMBI TERATAI (Nymphaea pubescens Willd) UNTUK PANGAN FUNGSIONAL PREBIOTIK DAN ANTIBAKTERI Escherichia coli ENTEROPATOGENIK K1.1
YUSPIHANA FITRIAL
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. dr. Sri Budiarti 2. Dr. dr. Purwantyastuti, M.Sc, SpFK
Judul Disertasi : Analisis Potensi Biji dan Umbi Teratai (Nymphaea pubescens Willd) untuk Pangan Fungsional Prebiotik dan Antibakteri Escherichia coli Enteropatogenik K1.1 Nama : Yuspihana Fitrial NRP
: F261030021
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S. M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto, Anggota
Dr. Ir. Komang G. Wiryawan Anggota
Dr. drh. Tutik Wresdiyati Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dr.Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian Terbuka : 14 Januari 2009
Tanggal Lulus : 2 Februari 2009
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT atas karunia dan rahmatNya-lah sehingga kami dapat menyelesaikan disertasi dengan judul ”Analisis Potensi Biji dan Umbi Teratai (Nymphaea pubescens Willd) untuk Pangan Fungsional Prebiotik dan Antibakteri Escherichia coli Enteropatogenik K1.1” ini.
Disertasi ini dibuat
sebagai salah satu syarat bagi mahasiswa pascasarjana program S3 untuk meraih gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku ketua komisi pembimbing atas segala waktu, pikiran dan saran yang diberikan selama proses pembimbingan. Kepada Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto M.Sc, Dr. Ir. Komang G. Wiryawan dan drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D., selaku anggota pembimbing, kami ucapkan terima kasih atas segala waktu, pikiran dan saran yang telah diberikan kepada kami, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Kepada drh. Tutik Wresdiayati, Ph.D, kami ucapkan terima kasih atas segala bantuan bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk analisis histologi dan imunohistokimia yang digunakan pada penelitian ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada DIKTI yang bersedia mendanai penelitian ini lewat Hibah Bersaing ke-14 (2006-2007), sehingga penelitian dapat berjalan lancar. Kepada Gubernur Kalimantan Selatan diucapkan terima kasih atas bantuan dana penelitian yang diberikan melalui Rektor Universitas Lambung Mangkurat. Kepada PT. Damandiri diucapkan terima kasih atas bantuan dana yang diberikan.
Kepada Ibu Dr. dr. Sri Budiarti dari
Lab.Bioteknologi Hewan dan Biomedis, Pusat Penelitian Bioteknologi IPB, yang bersedia memberikan koleksinya berupa isolat E.coli Enteropatogenik K.1.1 (EPEC K1.1) sebagai bakteri uji pada penelitian ini, sekaligus juga sebagai penguji luar komisi pada saat ujian terbuka. Kepada Bapak Dr. Novik dari Lab. Mikrobiologi LIPI Bogor yang bersedia memberikan isolat koleksinya berupa Bifidobacterium bifidum sebagai bakteri uji pada penelitian ini. Kepada Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS yang bersedia meminjamkan kolom HPLC koleksi pribadi untuk analisis gula pada penelitian ini. Kepada PT. Foodtech Indonesia
(Bpk. Gun Gun Ismail, Product Manager Inggredients Division) atas bantuan FOS (Fructooligoscharide), merupakan salah satu bahan yang digunakan pada penelitian ini. Kepada Dr.Ir. Harsi D. Kusumaningrum ucapan terima kasih disampaikan atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup dan kepada Dr. dr. Purwantyastuti, M.Sc, SpPK ucapan terima kasih disampaikan atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka. Kepada Ibu Sussi Astuti, Mu’ Nisa, Rifda Naufalin, Miksusanti, Nuraini, Asriani dan rekan-rekan mahasiswa pascasarjana IPB lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu, diucapan terima kasih atas segala bantuan, dukungan, semangat dan waktu yang diluangkan untuk berdiskusi selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Kepada para teknisi (mbak Ari, mbak Dewi & mas Taufik) yang membantu selama penelitian ini, kami ucapkan terima kasih. Kepada ayahanda dan ibunda tercinta, terima kasih atas doa yang tulus dan nasihat yang diberikan kepada penulis.
Kepada bapak dan ibu mertua
disampaikan terimakasih atas segala pengertiannya dan doanya selama ini. Kepada saudara-saudara tercinta terimakasih atas segala pengertiannya dan dukungannya. Kepada Om & Tante Mirhan serta Yasmin sekeluarga terima kasih atas bantuan dan doanya. Kepada yang tercinta suami, Ir. Bambang Soekotjo dan ananda Nurkhaliza Galuh Putri, terimakasih atas segala pengertian, dukungan dan pengorbanannya yang diberikan selama penulis menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT memberi balasan yang berlipatganda dan semoga penelitian ini dapat memberi manfaat.
Bogor, Januari 2009 Yuspihana Fitrial
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banjarmasin pada tanggal 15 Oktober 1969, sebagai anak ke-4 dari tujuh bersaudara, dari pasangan Drs.H.Yusuf Azidin dan Hj. St. Fatimah. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan IPB, lulus pada tahun 1993. Penulis melanjutkan studi kejenjang S2 di Program Studi Ilmu Pangan IPB dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2003, penulis melanjutkan studi S3 di Program Studi Ilmu Pangan. Sejak tahun 1994, penulis bekerja sebagai staf pengaajar di Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat pada Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan hingga sekarang.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ……………………………………………………
Halaman iii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………...
v
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………
vii
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………………………………………………… B. Lingkup Penelitian …………………………………………….. C. Tujuan Penelitian ……………………………………………… D. Hipotesis ……………………………………………………….
1 3 4 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Teratai
………………………………………………………….
5
B. Anti-Diare ……………………………………………………… C. Prebiotik ……………………………………………………….. D. Beberapa Bakteri Penyebab Diare ……………………………. E. Sistem Imun Saluran Pencernaan ………………………………
10 17 23 30
III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………. B. Bahan dan Alat ………………………………………………… C. Metode Penelitian ……………………………………………… D. Prosedur Analisis ………………………………………………. E. Analisis Data ……………………………………………………
35 35 36 43 55
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tanaman Teratai ………………………………………………. 56 B. Komposisi Kimia Biji dan Umbi Teratai ……………………… 59 C. Antimikroba Biji dan Umbi Teratai …………………………… 60 D. Komponen Fitokimia Ekstrak Biji dan Umbi Teratai ................ 68 E. Fraksinasi Ekstrak Etil asetat Biji dan Umbi Teratai dan Uji Aktivitas Fraksi ...................................................................... 70 F. Identifikasi Senyawa Antimikroba Beberapa Fraksi Ekstrak Biji dan Umbi Teratai …………………………………………... 76 G. Analisis Fraksi Karbohidrat dari Biji dan Umbi Teratai ………. 79 H. Evaluasi Aktivitas Biologis Biji Teratai dan Ekstrak Biji Teratai 1. Penelitian Pendahuluan ………………………………………. 81 2. Penelitian Lanjutan .................................................................... 86 3. Histologi tebal mukosa usus halus tikus percobaan................... 104 4. Pengaruh pemberian tepung biji teratai dan ekstrak etil asetat biji teratai terhadap kandungan imunoglobulin A(IgA) usus halus tikus percobaan ................................................................. 108 V. KESIMPULAN DAN SARAN………….…………………… .
113
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………...
115
LAMPIRAN ………………………………………………………..
125
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Komposisi kimia tepung biji teratai ………………………………
7
2.
Komposisi asam amino dan asam lemak esensial tepung biji teratai
8
3.
Sifat fisik dari tepung biji teratai …………………………………..
9
4. Persamaan dan perbedaan serat pangan, inulin dan oligofruktosa …
18
5. Komposisi ransum tikus percobaan modifikasi AOAC 1990 ………
40
6.
Komposisi kimia biji dan umbi teratai ……………………………...
59
7. Sifat fisik dan rendemen ekstrak biji dan umbi teratai ......................
60
8. Diameter penghambatan (mm) ekstrak heksana, etil asetat dan etanol biji dan umbi teratai ................................................................
64
9. Pertumbuhan bakteri EPEC K.1.1 dan Salmonella Typhimurium pada media NB yang mengandung ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai
66
10. Diameter penghambatan (mm) ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai dibandingkan dengan antibiotik terhadap EPEC K.1.1 dan S.Typhimurium.....................................................................................
67
11. Komponen fitokimia ekstrak biji dan umbi teratai .............................
69
12. Nilai Rf fraksi ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai ........................
71
13. Diameter penghambatan (mm) dari ekstrak etil asetat biji (2%) dan fraksi-fraksinya (2%) terhadap EPEC K1.1 dan S. Typhimurium..........
75
14. Diameter penghambatan (mm) dari ekstrak etil asetat umbi (2%) dan fraksi-fraksinya (2%) terhadap EPEC K1.1 dan S. Typhimurium .........
75
15. Senyawa-senyawa dugaan yang terdapat pada fraksi ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai …………………………………………………….
78
16. Kadar gula yang terdapat pada biji dan umbi teratai (mg/g sampel) ...... 17. Total mikroba isi sekum dan mukosa sekum pada tikus percobaan yang sehat dan yang di intervensi EPEC K1.1........................................
79 91
18. Total E.coli isi sekum dan mukosa sekum pada tikus percobaan yang sehat dan yang di intervensi EPEC K1.1 .........................................
94
19. Total BAL aerob dan anaerob isi sekum dan mukosa sekum pada pada tikus percobaan yang sehat dan yang di intervensi EPEC K1.1
99
20. Tebal mukosa (µm) usus halus tikus percobaan kelompok sehat….
105
21. Tebal mukosa (µm) usus halus tikus percobaan kelompok yang diintervensi EPEC K1.1 ……………………………………………
106
22. Kandungan Imunoglobulin A (Ig A) secara imunohistokimia pada usus halus tikus percobaan yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 …………………………………………………………………
111
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Mekanisme peranan prebiotik …………………………………….
23
2. Efek dari infeksi EPEC pada sel epitel usus inang ………………..
25
3. Mekanisme yang menginduksi respon IgA pada saluran pencernaan
33
4. Prosedur ekstraksi biji/umbi teratai ………………………………..
37
5. Bagan penelitian secara in vivo ……………………………………
41
6 . Pengukuran tebal mukosa pada usus halus ....................................
53
7. Teratai (Nymphaea pubescens Willd) …………………………….
56
8. Buah teratai (a), buah yang pecah (b) dan biji teratai (c) …………
57
9. Umbi teratai (Nymphaea pubescens Willd) ....................................
58
10. Penghambatan ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai dengan konsentrasi 10, 20 dan 30% terhadap S. Typhimurium. ................
61
11. Penghambatan ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai dengan konsentrasi 5,10, 20 dan 30% terhadap EPEC K.1.1 ……………
61
12. Bioautogram menunjukkan penghambatan ekstrak etil asetat biji terhadap EPEC K1.1 dan S.Typhimurium ......................................
72
13. Bioautogram yang menunjukkan penghambatan ekstrak etil asetat umbi terhadap S.Typhimurium dan EPEC K1.1 ………………….
73
14. Koloni Bifidobacterium bifidum dan Lactobacillus acidophilus yang dapat memfermentasi gula (glukosa, oligosakarida) ..............
80
15. E.coli dari isi sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC……………………….
83
16. E.coli dari mukosa sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC...................
84
17. BAL aerob isi sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC......................................
85
18. BAL aerob mukosa sekum tikus percobaan dengan perlakuan Pemberian epung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC.....................
85
19. Konsumsi ransum rata-rata (g), kenaikan berat badan rata-rata (g) dan efisiensi ransum (%) tikus percobaan kelompok yang sehat .…
87
20. Konsumsi ransum rata-rata (g), kenaikan berat badan rata-rata (g) dan efisiensi ransum (%) tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1………………………………………………………………..
88
21. Fotomikrograf jejenum tikus percobaan dengan pewarnaan HE......
107
22. Foto mikrograf jejenum tikus perlcobaan yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap imunoglobulin A (Ig A) ….……………
110
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Teratai merupakan tanaman air yang banyak tumbuh secara alami di perairan rawa atau sungai yang tidak begitu dalam dan berair tenang. Kalimantan Selatan yang memiliki rawa seluas 800 000 ha (BPS Kalimantan Selatan 2000) banyak ditumbuhi tanaman air salah satunya adalah teratai. Bagian tanaman teratai ini yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan adalah bunga, biji, batang dan umbinya.
Akan tetapi yang paling banyak dimanfaatkan oleh
penduduk, terutama di daerah Hulu Sungai Utara adalah bijinya. Biji buah teratai oleh penduduk setempat sering dijadikan sebagai sumber karbohidrat pengganti beras disaat paceklik ataupun dijadikan tepung untuk membuat kue. Berdasarkan hasil penelitian Kairina dan Fitrial (2002) diperoleh hasil bahwa dari setiap rumpun teratai rata-rata terdapat 5.3 buah teratai tua yang menghasilkan 63.10 gram biji teratai kering. Biji teratai kering inilah yang kemudian dikupas kulitnya dan dijual dipasar. Di daerah dengan sistem persawahan tadah hujan dimana sebagian besar areal persawahan di musim hujan terendam air memungkinkan tumbuhnya berbagai jenis tanaman air, terutama teratai. Meskipun demikian, hanya sedikit dari petani yang memanfaatkan tanaman teratai sebagai sumber penghasilan di musim hujan. Oleh karena itu, pemanfaatan tanaman teratai dianggap belum optimal. Sementara umbinya, selama ini tidak dimanfaatkan dan dibuang begitu saja ketika sawah dibersihkan untuk persiapan menanam padi. Secara tradisional masyarakat memanfaatkan biji dan umbi teratai sebagai obat diare dan disentri. Umbi segar yang sudah ditumbuk halus diseduh dengan air matang, kemudian
didinginkan dan disaring.
Hasil saringan diminum
sekaligus (Depkes 1997). Demikian pula dengan biji teratai. Pengobatan dengan biji teratai untuk disentri yang berkepanjangan dilakukan dengan mengukus biji hingga matang, kemudian dijemur dan ditumbuk menjadi bubuk.
Bubuk
selanjutnya ditambahkan pada menu makanan sehari-hari, dilakukan tiga kali sehari (SENIOR 2004).
Selain digunakan sebagai jamu-jamuan yang direbus untuk mengobati disentri atau diare yang disebabkan oleh sindrom iritasi pada usus besar, umbi teratai juga digunakan untuk pengobatan gonorrhoe, bisul dan tumor (Anonim 2004; Grieve 2004; Depkes 1997). Bagian umbi teratai banyak mengandung tanin, asam galat dan getah, pati, gum, resin, gula, amonia, asam tartarat dan fecula (Hughes 2004). Bagian bijinya memiliki khasiat meningkatkan fungsi hati dan limfa, memperbaiki stamina, membuat awet muda serta menyembuhkan diare dan disentri. Bagian biji mengandung alkaloid yaitu, nymphaeine (Raffauf 1970). Pada bagian biji juga mengandung pati, rafinosa, protein, lemak, kalsium, fosfor dan besi (CEMPAKA 2003). Selain adanya tanin dan alkaloid yang berperan sebagai antibakteri, diduga ada komponen lain dari karbohidrat (78.13% dari umbi dan biji) yang berperan mencegah berlanjutnya diare, yaitu oligosakarida. Oligosakarida dengan rantai sisi manosa dapat menghalangi pelekatan mikroorganisme patogen (seperti E. coli, Helicobacter pylori dan Salmonella Typhimurium) pada dinding usus (Zopt & Roth 1996). Selain itu, pada perkembangan selanjutnya diketahui pula bahwa oligosakarida juga dapat berperan sebagai prebiotik yang dapat menstimulasi secara selektif pertumbuhan dan atau aktivitas flora di dalam usus besar, seperti Lactobacillus dan atau Bifidobacterium.
Lactobacillus dapat membantu
ketahanan terhadap infeksi Salmonella, mencegah pelancong (orang yang bepergian) terkena diare dan membantu menghilangkan sindrom iritasi pada usus besar. Bifidobacterium dapat menstimulasi sistem imun, memproduksi vitamin B, menghambat pertumbuhan bakteri patogen, mereduksi kolesterol, dan mengurangi kembung akibat gas (Manning dan Gibson, 2004). Prebiotik dapat mencegah terjadinya inflammatory bowel disease yang timbul berkaitan dengan flora usus yang dapat menimbulkan diare dan muntah-muntah.
Hasil penelitian Rushdi et
al. (2004) menunjukkan bahwa pemberian diet yang diperkaya dengan serat pangan larut (guar gum) dapat menurunkan peristiwa diare pada pasien ICU yang menderita diare. Rushdi et al. (2004) menyimpulkan bahwa guar gum berperan sebagai prebiotik Prebiotik menurut Gibson dan Roberfroid (1995) adalah bahan pangan yang tidak dapat dicerna tetapi memiliki efek menguntungkan terhadap inang melalui stimulasi secara selektif terhadap pertumbuhan dan/atau aktivitas satu atau
sejumlah terbatas bakteri di dalam kolon, sehingga meningkatkan kesehatan inang. Substrat yang berasal dari makanan atau yang diproduksi oleh inang yang tersedia untuk difermentasi oleh mikroflora kolon, yaitu : resistant starch, polisakarida non pati (seperti pektin, selulosa, guar dan xylan), gula dan oligosakarida seperti laktosa, laktulosa, rafinosa, stakiosa dan frukto-oligosakarida (Manning & Gibson 2004). Komponen-komponen makanan tersebut berpotensi sebagai prebiotik Berdasarkan temuan-temuan tersebut, dianggap perlu untuk melakukan kajian lebih lanjut tentang potensi biji dan umbi teratai sebagai pangan fungsional untuk antidiare dan prebiotik. Pada penelitian ini baik secara in vitro maupun in vivo dengan tikus percobaan, digunakan mikroba uji Escherichia coli Enteropatogenik K1.1 (EPEC K1.1) penyebab diare yang diisolasi dari feses penderita diare.
Bakteri strain ini menghasilkan protease ekstraseluler yang
mampu mendegradasi mucin (Budiarti & Mubarik 2007) dan resisten terhadap antibiotik. Selain itu, digunakan juga Salmonella Typhimurium pada penelitian secara in vitro, dimana diketahui bakteri ini menyebabkan gastroenteritis (Karsinah et al. 1994; Goosney et al. 1999; Otshudi et al. 2000), atau disebut juga sindroma keracunan makanan. Menimbulkan gejala mual dan muntah, diikuti dengan nyeri abdomen, demam dan diare yang merupakan gejala yang paling menonjol (Karsinah et al. 1994). B. Lingkup Penelitian Lingkup penelitian meliputi tiga kajian, yaitu : 1. Ekstraksi biji dan umbi teratai dengan pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya, diikuti dengan pengujian aktivitas antibakteri, analisis komponen fitokimia yang terdapat pada ekstrak, dan pemisahan masingmasing komponen untuk diuji aktivitas antibakterinya. 2. Ekstraksi fraksi karbohidrat yang terdapat pada biji dan umbi teratai yang berpotensi sebagai prebiotik, serta pengujian aktivitasnya secara in vitro terhadap pertumbuhan bakteri asam laktat dan bifidobacterium. 3. Pengujian aktivitas tepung biji dan atau umbi teratai, ekstrak teraktif dan fraksi karbohidrat yang memiliki aktivitas prebiotik pada tikus percobaan yang telah dibuat diare. Parameter yang diamati adalah pertambahan berat badan,
konsumsi ransum, total bakteri asam laktat aerob dan anaerob pada sekum tikus percobaan, total E.coli, total mikroba pada isi sekum dan mukosa sekum, serta tinggi mukosa dan immunoglobulin A pada usus halus. C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah meningkatkan potensi tanaman teratai sebagai sumber daya daerah yang tumbuh liar di rawa-rawa di Kalimantan Selatan, yaitu (1) sebagai sumber antimikroba dan prebiotik untuk mencegah diare, (2) sebagai sumber bahan pangan baru, (3) memanfaatkan atau memberi nilai tambah ekonomi. Secara rinci tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengukur aktivitas antibakteri ekstrak umbi dan biji teratai, baik terhadap bakteri patogen penyebab diare maupun bakteri yang menguntungkan. 2. Mengidentifikasi komponen fitokimia (alkaloid, tanin, saponin, flavonoid, steroid) yang terdapat pada umbi dan biji teratai, dan mengevaluasi aktivitasnya sebagai antibakteri terhadap bakteri patogen penyebab diare. 3. Mengukur fraksi karbohidrat pada biji dan umbi teratai yang dapat berfungsi sebagai prebiotik dan mengevaluasi secara in vitro aktivitas biologisnya. 4. Mengevaluasi secara in vivo (dengan tikus percobaan) aktivitas biologis dari tepung dan ekstrak biji atau umbi teratai dalam kaitannya sebagai pencegah diare dan sumber prebiotik. 5. Mengevaluasi potensi biji teratai dan ekstraknya sebagai imunomodulator dalam kaitannya dengan Imunoglobulin A di usus halus. D. Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah : 1. Biji dan atau umbi teratai mengandung berbagai komponen antibakteri dan prebiotik 2. Tepung biji dan atau umbi teratai dapat mencegah diare. 3. Tepung
biji
teratai
dan
atau
ekstraknya
dapat
imunomodulator pada sistem pertahanan di usus halus
berperan
sebagai
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Teratai 1. Tanaman Teratai Secara taksonomi menurut Marianto (2001) teratai diklasifikasikan sebagai berikut : Divisio : Spermathophyta (tumbuhan berbiji) Kelas
: Monocotyl (tumbuhan berbiji tunggal)
Ordo
: Nymphales
Familia : Nymphaceae Genus
: Nymphaea
Spesies : Nymphaea alba, N. odorata, N. tuberosa, N. pubescens, N. stellata, N. nouchali, dll. Teratai termasuk tanaman keluarga Nymphaceae dan tergolong jenis tanaman yang berbunga sepanjng tahun. Famili Nymphaceae terdiri dari tujuh genus yaitu : Nymphaea (teratai), Nelumbo (lotus), Victoria (teratai raksasa), Euryale, Nuphar, Barclaya dan Ondinea. Dari ketujuh genus tersebut, Nuphar, Barclaya dan Ondinae memiliki ciri dan sifat yang paling mencolok perbedaannya. Ketiga genus ini termasuk tanaman air penghasil oksigen. Seluruh bagian tanaman ini terendam di dalam air dan sering digunakan sebagai penghias akuarium serta biofilter air. Genus Nymphaea, Victoria dan Euryale memiliki kesamaan sifat yaitu daun dan bunganya tepat berada di atas permukaan air dan sering disebut sebagai tanaman air pinggir (marginal plant) karena memiliki akar dan batang yang terendam di dalam air (Don et al. 2000). Sampai saat ini teratai yang tersebar di seluruh dunia diperkirakan ada 40 spesies dan 200 varietas. Teratai-teratai tersebut tersebar luas dan merata di seluruh dunia, mulai daerah gersang di Afrika hingga daerah dingin di Eropa. Habitat asli tanaman ini adalah rawa-rawa atau sungai yang tidak begitu dalam dan berair tenang. Teratai berkembang biak dengan bantuan alam, seperti angin, air ataupun serangga (Don et al. 2000). Menurut Stodolo (1987) teratai adalah tanaman air yang tumbuh di daerah bersuhu 20-30°C. Ekologi tanaman ini adalah perairan yang tenang dan lembab,
memerlukan banyak sinar matahari dengan pH air netral sampai asam. Teratai memiliki akar yang kuat, panjang dan berumbi. Daunnya mengapung di atas air, bagian atas daun berwarna hijau tua, sedangkan bagian bawahnya berwarna ungu kemerahan.
Bentuk daun bundar dengan diameter antara 9-12 cm. Bagian tepi
daun melipat. Daunnya mempunyai tangkai yang disebut petiola. Van Steenis, seorang ahli botani berkebangsaan Belanda menemukan tiga jenis spesies teratai asli Indonesia yaitu N. pubescens, N. stellata, N. nouchali (Marianto 2001).
Teratai tersebut banyak tersebar di daerah rawa-rawa dan
sungai di Pulau Jawa dan Kalimantan.
2. Biji Teratai Tidak semua jenis teratai bisa dimanfaatkan bijinya (Marianto
2001).
Hanya teratai yang berbunga putih dengan tepi daun bergerigi yang dapat dimanfaatkan bijinya. Teratai ini hanya mekar di pagi dan sore hari, masyarakat sering menyebutnya dengan “Lumbu”. Bunga teratai akan menghasilkan buah yang bundar dengan diameter sekitar 4-12 cm. kehitaman dan tersimpan dalam daging buah.
Biji buah berwarna coklat
Biji ini memiliki kulit ari yang
keras. Biji yang sudah tua dan kering dapat diolah menjadi tepung teratai atau dimasak seperti menanak nasi (Khairina dan Fitrial 2002). Biji teratai putih yang biasanya dijadikan bahan makanan berasal dari spesies Nymphaea pubescens. Di daerah Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan biji teratai biasanya dijadikan tepung sebagai bahan membuat kue (Khairina dan Fitrial 2001). Menurut Sastrapradja dan Bimantoro (1981) di Filiphina dan India biji teratai dijadikan tepung untuk pembuatan roti. Di daerah Tuban, Jawa Timur biji teratai dijadikan dodol atau jenang yang dicampur dengan beras ketan. Selain sebagai bahan makanan, biji teratai atau sering disebut ghol dapat dimanfaatkan sebagai obat (Marianto 2001). Ghol sebenarnya adalah putik bunga yang membesar dan berisi biji. Ghol terbentuk sebulan setelah bunga mekar, kuncup dan masuk lagi ke dalam air. Proses pemanennya dapat dilakukan dengan memungutinya satu persatu dari atas sampan. Agar biji mudah diambil, ghol harus direndam dahulu hingga membusuk.
Barulah biji yang sebesar menir
(pecahan beras tumbuk) itu dibersihkan dan dijemur sampai kering.
Untuk
menghilangkan kulit luarnya yang berwarna hitam, biji tersebut harus ditumbuk. Di daerah Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan biasanya menggunakan gilingan padi untuk menghilangkan kulit luarnya. Menurut Khairina dan Fitrial (2002), produksi biji teratai putih dapat dihitung berdasarkan jumlah biji kering yang diperoleh dari buah yang sudah tua. Dari setiap rumpun teratai diperoleh rata-rata 5.3 buah teratai tua yang menghasilkan 63.10 gram biji teratai kering. Meskipun produksi satu rumpun teratai hanya 63.10 g biji teratai, jika dilihat dari luasnya daerah rawa di Kalimantan Selatan (800 000 Ha) sangat memungkinkan biji teratai tersebut dijual di pasar tradisional sebagai bahan untuk membuat kue dengan harga yang tidak berbeda dengan beras. 3. Sifat Kimia dan Fisika Tepung Biji Teratai Komposisi kimia biji teratai bervariasi tergantung pada spesies, tempat tumbuh serta musim. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu kandungan zat gizi tepung biji teratai dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia tepung biji teratai Komposisi per 100 g berat bahan Karbohidrat(g) Protein (g) Lemak (g) Air (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vit.C (mg) Serat kasar (g) Serat pangan total (g) Serat larut (g) Serat tidak larut (g) Gula pereduksi (g) Abu (g) Kadar pati (g)
Fuaddi (1996)
Kusfriyadi (2004)
Ainah (2004)
78.13 9.50 0.99 10.88 24.50 28.48 11.24 1.76 -
78.76 8.13 0.51 12.26 11.69 4.46 7.23 0.34 62.99
76.32 8.26 1.02 11.86 11.29 3.34 7.85 0.55 62.93
Berdasarkan Tabel 1 terlihat biji teratai memiliki kandungan gizi yang baik, yaitu karbohidrat dan protein yang tinggi, tetapi lemaknya rendah. Hal ini sangat memungkinkan biji teratai sebagai sumber pangan baru yang bisa dikembangkan potensinya. Serat pangan yang tinggi dengan kandungan serat larut yang tinggi memungkinkan biji teratai sebagai sumber serat pangan. Demikian pula dengan kandungan gula pereduksi yang tinggi, memungkinkan biji teratai berpotensi sebagai prebiotik Tepung biji teratai mengandung asam amino dan asam lemak dengan komposisi seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi asam amino dan asam lemak esensial tepung biji teratai Zat Gizi
Jenis
Arginin Aspartat Glutamat Asam amino Serin non-esensial Glisin Alanin Histidin Threonin Tyrosin Methionin Asam amino Valin esensial Fenilalanin Isoleusin Leusin Lysin Arginin Linoleat Linolenat Miristat Asam lemak Palmitat Stearat Oleat Sumber : Khairina dan Fitrial (2002)
Sifat-sifat fisik dari tepung biji teratai
Kadar (% bb) 1.00 0.55 1.40 0.50 0.26 0.44 0.16 0.27 0.21 0.14 0.46 0.46 0.37 0.72 0.17 1.00 18.34 0.81 0.30 9.27 14.36 5.88
dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan ukuran granula pati (Tabel 3), granula pati biji teratai hampir sama ukurannya dengan granula pati beras yaitu 3-8 μm (Swinkels 1985).
Tabel 3. Sifat fisik dari tepung biji teratai Sifat Fisik Suhu gelatinisasi pati (°C) Derajat putih (%) Densitas Kamba (g/ml) Sudut repos (derajat) Ukuran granula pati (μm) Bentuk granula
Nilaia
Nilaib
74-80 33.18 0.613 23.8 -
74.5-80 47.7 0.625 29.1 1.5-12 (rata-rata 4) Poligonal
Sumber: aAinah (2004) b Kusfriyadi (2004)
4. Umbi Teratai Menurut Marianto (2001), umbi teratai yang tampaknya tidak berguna ternyata memiliki beberapa khasiat obat. Ada dua macam umbi teratai yang bisa digunakan, yaitu umbi dari teratai merah dan putih. Umbi teratai putih lebih banyak mengandung zat tepung dibandingkan yang merah. Tepung yang rasanya agak manis tersebut jika dimasak terlebih dahulu akan membantu sistem pencernaan karena dapat memperkuat sistem kerja lambung, selain itu dapat memperlancar air seni dan menjaga elastisitas pembuluh darah.
Tepung
mentahnya digunakan untuk obat sariawan. Umbi teratai banyak mengandung
pati, protein, asparagin, vitamin C,
katekol dan senyawa kimia lainnya (CEMPAKA 2003). Di Eropa, bagian umbi dari teratai jenis Nymphaea odorata digunakan sebagai astringent, obat disentri, diare, gonorrhoea dan leucorrhoea (Grieve 2004).
Umbi dari spesies Nymphaea
alba digunakan untuk mengobati disentri atau diare yang disebabkan oleh iritasi sindrom usus besar, dimana umbi tersebut mengandung alkaloid (nymphaeine dan nupharine), resin, glikosida dan tanin (Anonim 2004). Menurut Depkes (1997) spesies Nymphaea alba (terate putih) yang bagian umbinya
mengandung alkaloid dapat digunakan sebagai obat disentri dengan
cara menumbuk halus umbi yang sudah bersih kemudian diseduh dengan segelas air matang panas, didinginkan dan disaring, hasil saringan diminum sekaligus. Di Cina, umbi teratai jenis Lotus (Lianngau, Ou)(Nelumbo nucifera) telah dijadikan makanan lebih dari 3000 tahun yang lalu. Kapasitas produksi umbi Lotus mencapai tiga juta ton per tahun (Nguyen 2001). Negara-negara yang
memproduksi umbi Lotus selain Cina adalah Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Taiwan dan Cina mengekspor umbi tersebut ke Jepang. Selain sebagai bahan obat-obatan (Cina), umbi Lotus ini memiliki keistimewaan karena kandungan kalsium dan kalium yang tinggi, yaitu 17.0-18.0 mg/100g umbi dan 350.0-470.0 mg/100 g umbi. Selain itu kandungan vitamin C yang tinggi yaitu 37.0-55.0 mg/100 g umbi. B. Anti-Diare Diare merupakan perubahan kebiasaan normal usus yang dicirikan dengan kehilangan cairan dalam jumlah besar dan feses yang berair (Brody 1999). Diare yang disertai pusing, muntah dan sakit perut serta buang air yang mengeluarkan nanah dan darah disebut disentri.
Gejala penyakit tersebut biasanya muncul
dalam 2-3 hari setelah terinfeksi dan berakhir sampai beberapa minggu. Akibatnya adalah terjadinya dehidrasi yang cepat, terutama pada anak-anak dan dapat menyebabkan kematian jika tidak diberi pengobatan. Diare dapat disebabkan oleh infeksi virus, keracunan makanan dan ‘diare pelancong’ akibat mengkonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi organisme seperti bakteri dan parasit. Berdasarkan mekanisme terjadi diare, Bowen (2001), membagi diare menjadi empat jenis, yaitu diare osmotik, diare sekretori, diare inflamatori dan infeksi dan diare yang dikaitkan dengan pengacauan motilitas. Diare osmotik disebabkan oleh dua hal berikut : (1) konsumsi makanan yang tidak mudah diserap usus seperti karbohidrat (manitol, sorbitol), garam Epson (MgSO4) dan antacid (MgOH2), (2) malabsorpsi yaitu ketidakmampuan untuk menyerap sejumlah karbohidrat seperti lactose intolerance (suatu kondisi dimana epitel usus kekurangan enzim laktase), akibatnya laktosa (biasanya terdapat pada susu) tidak dapat dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa untuk diserap. Laktosa tertahan di lumen usus, laktosa tersebut menahan air, akibatnya akan masuk ke usus besar. Di usus besar terjadi fermentasi oleh mikroba kolon menghasilkan gas yang berlebih. Diare osmotik ini berhenti jika penderita dipuasakan atau berhenti mengkonsumsi makanan yang sulit diserap. Diare sekretori disebabkan oleh toksin mikroba (seperti E.coli, Vibrio cholera), bahan yang bersifat laksatif, hormon yang disekresi oleh beberapa jenis
tumor (seperti vasoactive intestinal peptide), obat-obatan (seperti obat asma, antidepresi dan obat jantung), sejumlah logam, toksin organik dan produk tanaman (seperti arsen, insektisida, toksin jamur dan kafein). Air dalam volume besar secara normal akan disekresi ke dalam lumen usus halus, air ini secara efisien diserap sebelum mencapai kolon. Diare terjadi jika sekresi air ke dalam lumen usus halus melebihi penyerapan.
Sebagai contoh toksin cholera yang
dihasilkan oleh V. cholera, dimana toksin ini mengaktifkan adenylyl cyclase, mengakibatkan meningkatnya konsentrasi intraseluler cAMP (cyclic adenosine 5’monophosphate) di dalam sel crypt usus. Perubahan ini menyebabkan terbukanya saluran Cl- dalam waktu lama, dimana saluran ini merupakan instrumen untuk sekresi air dari crypt. Akibatnya, sekresi air menjadi tidak terkontrol. Selain itu toksin cholera juga mempengaruhi sistem syaraf yang merangsang sekresi secara independen. Diare inflamatori dan infeksi disebabkan oleh rusaknya sel epitel usus yang disebabkan oleh mikroba atau virus patogen.
Kerusakan ini tidak hanya
menyebabkan keluarnya serum dan darah ke lumen tetapi juga kerusakan penyerapan oleh sel epitel.
Penyerapan air menjadi sangat tidak efisien dan
menghasilkan diare. Beberapa patogen yang sering dikaitkan dengan diare ini adalah bakteri (Salmonella, E.coli, Campylobacter), virus (rotavirus, coronavirus, norovirus) dan protozoa (Cryptosporium, Giardia).
Respon imun terhadap
kondisi inflamasi pada saluran pencernaan berperan terhadap perkembangan diare. Pengaktifan sel-sel darah putih mengakibatkan sel tersebut mensekresi mediator inflamasi dan cytokine yang dapat menstimulasi sekresi. Reactive oxygen species dari sel darah putih dapat merusak atau membunuh sel-sel epitel usus. Sel-sel yang rusak tersebut digantikan oleh sel-sel immature yang kekurangan enzim dan pengangkut yang diperlukan saat penyerapan nutrisi dan air. Pada kondisi ini dapat pula terjadi diare osmotik. Diare yang dikaitkan dengan pengacauan motilitas disebabkan oleh kekacauan pada motilitas usus. Kekacauan motilitas usus menyebabkan semakin cepatnya waktu transit. Akibatnya penyerapan nutrisi dan air menjadi menurun, sehingga timbul diare.
1. Anti-diare dari bahan alam Dewasa ini banyak hasil penelitian yang mengungkap secara ilmiah aktivitas dari bahan alam yang oleh masyarakat dijadikan sebagai obat diare. Aguwa dan Lawal (1988) meneliti ekstrak daun Calliandra portoricensis yang dikenal masyarakat sebagai antidiare dan anti-ulcer (luka/borok pada dinding usus). Hasil analisis fitokimia diketahui bahwa ekstrak daun tersebut mengandung tanin, flavonoid, saponin dan glikosida. Aguwa dan Lawal (1988) menduga aktivitas daun tersebut sebagai anti-ulcer karena kandungan tanin atau saponinnya yang tinggi. Selain itu, daun C. portoricensis juga memiliki aktivitas antimikroba, baik pada ekstrak air maupun ekstrak etanol yaitu dapat menghambat pertumbuhan E. coli, S.aureus dan S. faecalis, yang menunjukkan efektif sebagai agen untuk terapi pada gangguan pencernaan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Offiah dan Chikwendu (1999) melakukan analisis terhadap ekstrak air dari daun Ocium gratissimum yang diketahui memiliki aktivitas antidiare. Ekstrak tersebut dapat menghambat diare yang disebabkan oleh minyak jarak pada tikus percobaan yang ditunjukkan dengan berkurangnya feses berair pada tikus yang diberi ekstrak. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa komponen utama ekstrak daun tersebut adalah tanin, steroid, triterpenoid dan karbohidrat. Adzu et al. (2003) melakukan analisis terhadap kulit batang Zizyphus spinachristi (famili Rhamnaceae) yang dikenal masyarakat Nigeria utara sebagai antidiare. Ekstrak metanol dari kulit batang Zizyphus spinachristi menunjukkan aktivitas antidiare terhadap tikus percobaan yang diinduksi minyak jarak (menyebabkan tikus diare). Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa kulit batang Zizyphus spinachristi mengandung glikosida, resin, saponin dan tanin. Otshudi et al.(2000) melakukan seleksi terhadap enam spesies tanaman obat yang oleh masyarakt Desa Lomela, Republik Rakyat Kongo diketahui memiliki aktivitas antidiare dan disentri. Bagian tanaman yang memiliki aktivitas antidiare dan antidisentri adalah kulit akar dan daun Epinetrum villosum (Menispermaceae), kulit akar Roureopsis obliquifoliolata (Connaraceae), kulit batang dan kulit akar Croton mubango (Euphorbiaceae), kulit batang dan kulit akar Cissus rubiginosa (Vitaceae), daun dan kulit akar Vernonia amygdalina (Asteraceae) dan kulit akar Quassia africana (Simaroubaceae). Hasil analisis fitokimia menunjukkan bahwa keenam jenis tanaman tersebut mengandung tanin, sterol dan/atau triterpen dan
gula pereduksi. Hanya Epinetrum villosum yang mengandung alkaloid dan hanya Epinetrum villosum dan Quassia africana yang tidak mengandung flavonoid. Sementara itu, dari ke enam tanaman tersebut tiga jenis (Epinetrum villosum, Roureopsis obliquifoliolata dan Cissus rubiginosa ) memiliki aktivitas antibakteri dan dua lainnya (Vernonia amygdalina dan Epinetrum villosum) sebagai antiamuba yaitu Entamoeba histolytica. Atta dan Mouneir (2004) melakukan analisis terhadap 6 jenis tanaman obat Egyptian yang dikenal masyarakat memiliki aktivitas antidiare.
Hasil uji
fitokimia menunjukkan bahwa komponen utamanya adalah tanin, flavonoid, sterol tidak jenuh/triterpen, karbohidrat, laktone dan protein/asam amino.
Sedikit
saponin terdapat pada Mentha microphylla, Conyza dioscoridis, Alhagi maurorum. Alkaloid dan anthraquinone tidak ditemukan pada semua ekstrak metanol tanaman yang dianalisis. Aniagu et al. (2005) melakukan analisis terhadap akar Guiera senegalensis dimana di Nigeria Utara dikenal sebagai tanaman obat yang secara tradisional digunakan untuk mengobati diare dan disentri. Ekstrak air dari akar Guiera senegalensis memiliki aktivitas anti-ulcer pada tikus percobaan yang diinduksi dengan etanol sehingga terjadi luka pada pencernaan tikus percobaan. Aktivitas ekstrak maksimal adalah 100 mg/kg dan memiliki penghambatan 100% terhadap diare pada tikus percobaan yang diinduksi dengan minyak jarak. Komponen fitokimianya yang utama adalah tanin. Biji atung (Parinarium glaberimum Hassk) oleh masyarakat dibeberapa daerah di Indonesia selain digunakan sebagai pengawet juga dijadikan sebagai obat diare (Heyne 1987). Biji atung ini memiliki aktivitas antimikroba dengan spektrum yang luas, baik terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Komponen aktif utama pada biji atung adalah tanin dan flavonoid (Adawiyah 1998). 6.
Komponen aktif anti-diare dari bahan alam
(a) Tanin Tanin adalah sebuah nama untuk grup senyawa polimer fenolik yang dapat mengendapkan gelatin, suatu sifat yang dikenal sebagai astringency.
Berat
molekul tanin antara 500-3000 dan ditemukan hampir pada semua bagian tanaman
seperti : kulit batang, kayu, daun, buah dan akar. Tanin dibagi menjadi dua grup, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis (Harborne 1987).
Tanin
terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer kemudian oligomer yang lebih tinggi. Tanin terhidrolisis terutama terdiri atas dua kelas yaitu depsida galoilglukosa. Pada senyawa ini, intinya berupa glukosa dikelilingi lima gugus ester galoil atau lebih. Pada kelas kedua, inti molekul berupa senyawa dimer asam galat, yaitu asam heksahidroksidifenat, yang juga berikatan dengan glukosa. Tanin dan asam tanin mendenaturasi protein melalui pembentukan komplek (protein-tannate), kompleks tersebut membentuk lapisan pada mukosa usus dan membuatnya lebih tahan sedangkan sekresi gastrik berkurang secara simultan (Aniagu et al. 2005). Tanin, pada konsentrasi rendah dapat membuat lapisan pada permukaan lambung sehingga kurang permiabel dan lebih tahan terhadap kerusakan kimia atau mekanik atau iritasi (Aguwa & Lawal (1988); Otshudi et al. 2000). Tanin juga menyebabkan ‘vasocontriction’ lokal pembuluh darah mukosa usus dan akibatnya dapat mereduksi jumlah sekresi asam lambung oleh mukosa (Ramstad 1969 di dalam Aguwa dan Lawal 1988). Selain itu tanin juga memiliki aktivitas sitotoksik dan antineoplastik (Otshudi et al. 2000). (b) Flavonoid Flavonoid adalah senyawa fenolik hidroksilasi yang terbentuk dari unit C6-C3 yang terikat dengan cincin aromatik. Pada tumbuhan, flavonoid disintesis sebagai respon terhadap infeksi mikrobia. disebabkan kemampuannya untuk
Aktivitas antimikroba flavonoid
membentuk komplek dengan protein
ekstraseluler dan protein terlarut, membentuk komplek dengan dinding sel bakteri. Flavonoid yang bersifat lebih lipofilik juga dapat merusak membran mikrobia (Cowan 1999). Menurut Otshudi et al. (2000) flavonoid diketahui memiliki aktivitas antivirus, antiinflamasi, dan sitotoksik. Flavonoid memiliki aktivitas antioksidan dan memperkuat sistem pertahanan mukosa melalui stimulasi sekresi mukus gastrik (Martin et al. 1994 di dalam Aniaga et al. 2005).
Flavonoid dapat
berperan sebagai penangkap spesies oksigen reaktif (seperti anion super-oksida)
dan radikal bebas (Aniagu et al. 2005). Ekstrak etanol Gentianopsis paludosa yang mempunyai aktivitas antidiare, mengandung flavonoid yang berperan menghambat kontraksi pada ileum melalui campur tangan pada pergerakan Ca2+ dengan menghambat influx Ca2+ ekstraseluler dan membebaskan Ca2+ intraseluler (Wang et al. 2005). Ekstrak tanaman yang mengandung flavonoid diketahui dapat memodifikasi produksi siklo-oksigenase 1 dan 2 (COX-1, COX-2) dan lipo-oksigenase (LOX) sehingga menghambat produksi prostaglandin (Agunu et al. 2005). Aktivitas enzim COX-1 berhubungan dengan pembentukkan prostaglandin yang diperlukan untuk perlindungan saluran pencernaan dari kejadian ulcerative sedangkan COX-2 bertanggungjawab dalam meningkatkan sintesis prostaglandin yang berhubungan dengan respon peradangan berupa demam dan rasa sakit. Prostaglandin E2 (PGE2) merupakan mediator peradangan spesifik yang terlibat dalam proses peradangan.
Pada penelitian menggunakan castor oil untuk
menstimulasi timbulnya diare non spesifik pada tikus percobaan mengakibatkan meningkatnya konsentrasi PGE2 vena portal.
Castor oil membebaskan asam
ricinolat yang menyebabkan perubahan cairan mukosa dan transport elektrolit pada mukosa sehingga menimbulkan sekresi yang berlebihan dan diare. Asam ricinolat ini menandakan meningkatnya kandungan PGE2 pada lumen dan menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam usus halus. Penghambatan biosintesis prostaglandin berarti menunda diare akibat castor oil. Pada ekstrak etanol Butea monosperma secara nyata mengurangi gejala diare melalui penghambatan PGE2 yang diketahui menyebabkan akumulasi cairan pada usus (enteropooling) dan motilitas saluran pencernaan (Gunakkunru et al. 2005). Agunu et al. 2005 menyimpulkan bahwa mekanisme anti diare suatu tanaman obat dapat melalui aktivitas antimikroba yang terkandung di dalam tanaman tersebut atau melalui penghambatan prostaglandin. (c) Alkaloid Menurut Lide (2007), alkaloid adalah senyawa nitrogen (paling banyak dalam bentuk heterosiklik) yang kebanyakan terdapat pada tumbuhan. Asam amino, peptida, protein, nukleotida, asam nukleat dan gula-gula amino tidak dianggap sebagai alkaloid.
Alkaloid yang terdapat pada tanaman teratai dari genus Nymphaea adalah Nymphaeine (C14H23NO2, BM = 237,35)(Raffauf 1970). Alkaloid memiliki aktivitas mikrobiosidal (termasuk terhadap spesies Giardia dan Entamoeba), terutama adalah efek anti diare, pengaruhnya diduga pada waktu transit di dalam usus halus (Cowan 1999).
Mekanisme alkaloid
seperti berberine dan harmane terhadap trypanosome dan plasmodia adalah karena kemampuannya mengkelat DNA. (d) Triterpenoid dan steroid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu : skualena. Senyawa ini berstruktur siklik, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat.
Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat
golongan senyawa : triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung (Harborne 1987). Dua golongan yang terakhir sebenarnya triterpena atau steroid yang terdapat sebagai glikosida.
Terpena umumnya memiliki struktur kimia
C10H16 dan dapat terbentuk sebagai diterpena, triterpena dan tetraterpena (C20, C30 dan C40). Jika mengandung oksigen disebut terpenoid (Cowan 1999). Terpena atau terpenoid memiliki aktivitas antibakteri.
Mekanisme
antibakteri dari terpena tidak sepenuhnya diketahui, akan tetapi diduga senyawa ini bekerja pada pengrusakan membran oleh senyawa lipofilik.
Adanya
penambahan senyawa metil pada diterpenoid menjadikan diterpenoid lebih hidrofililk yang dapat mengurangi aktivitas antimikrobanya (Cowan 1999). Menurut Aguwa dan Lawal (1988), saponin terutama triterpen menunjukkan anti-ulcer melalui pembentukan perlindungan terhadap mukus permukaan mukosa usus. Menurut Otshudi et al. (2000), saponin memiliki aktivitas ekspektoran dan antitusif. Glikosida (berupa heksosa, hexosamin, fukosa dan asam sialik)
yang
terdapat pada akar tanaman Hemidesmus indicus dapat menghambat pelekatan Salmonella Typhimurium pada sel inang dengan menirukan sakarida dari sel reseptor inang dan memblok ligan bakteri dari pengikatan ke sel inang (Das & Devaraj 2006).
C. Prebiotik Prebiotik adalah bahan pangan yang tidak dicerna yang memiliki efek menguntungkan terhadap inang melalui stimulasi secara selektif pertumbuhan dan/atau aktivitas satu atau dalam jumlah terbatas bakteri di dalam kolon, sehingga meningkatkan kesehatan inang (Gibson & Roberfroid 1995). Menurut Manning dan Gibson (2004), substrat yang berasal dari makanan atau yang diproduksi oleh inang yang tersedia untuk difermentasi oleh mikroflora kolon, yaitu : yang melalui makanan, resistant starch, polisakarida non pati (seperti pektin, selulosa, guar dan xylan), gula dan oligosakarida seperti laktosa, laktulosa, rafinosa, stakhiosa dan frukto-oligosakarida. Senyawa yang diproduksi oleh inang seperti glikoprotein mucin yang diproduksi oleh sel goblet di dalam epitelium kolon yang merupakan senyawa endogenous yang difermentasi di dalam kolon. Protein dan peptida yang berasal dari makanan, hasil sekresi pankreatik atau diproduksi oleh bakteri juga tersedia meskipun jauh lebih kecil dibandingkan karbohidrat. Menurut Ziemer dan Gibson (1998), beberapa sifat karbohidrat yang tidak dapat dicerna yang diklaim memiliki efek fungsional terhadap kesehatan antara lain: menunda pengosongan lambung, memodulasi waktu transit pada sistem pencernaan, meningkatkan toleransi terhadap glukosa, mereduksi penyerapan lemak dan kolesterol, meningkatkan volume dan kemampuan membawa air dari kandungan usus dan memodulasi fermentasi mikroba dengan meningkatkan produksi asam lemak ranta pendek, menurunkan pH dan produksi amonia. Kombinasi dari efek fungsional tersebut menghasilkan peningkatan kesehatan inang dengan menurunnya gangguan pada usus (konstipasi dan diare), penyakit kardiovaskuler dan kanker usus. Menurut Gibson (2004) hampir setiap oligosakarida
dan polisakarida
(termasuk serat pangan) diklaim memiliki aktivitas prebiotik, tetapi tidak semua karbohidrat makanan adalah prebiotik. Sedikitnya tiga kriteria yang diperlukan untuk menyatakan bahwa suatu komponen/bahan pangan
diklasifikasikan
sebagai prebiotik : (1) tidak dapat dihidrolisis atau diserap dalam lambung atau usus halus; (2) difermentasi oleh mikroflora sistem pencernaan yang menimbulkan efek yang menguntungkan terhadap inang; (3) harus selektif
menstimulasi pertumbuhan dan atau aktivitas satu atau sejumlah terbatas bakteri yang menguntungkan di dalam kolon seperti Bifidobakteria. Makanan yang kaya serat pangan adalah sayur-sayuran, buah-buahan, serealia dan polong-polongan (Gibson 2004). Pektin, hemiselulosa, guar gum dan inulin mudah larut dalam air sehingga membentuk gel di dalam saluran pencernaan.
Hal ini membantu fermentasi oleh mikroflora usus karena
meningkatnya luas permukaan yang tersedia untuk diserang oleh enzim. Sifat fermentasi dari serat yang berbeda tergantung pada sifat-sifat fisikokimianya. Ukuran partikel serat dan tingkat kelarutan memiliki efek terhadap kemampuan serat untuk difermentasi oleh bakteri Schneeman (1999) membuat pembandingan antara serat pangan, inulin dan oligofruktosa berdasarkan fungsinya pada sistem pencernaan (Tabel 4). Tabel 4. Persamaan dan perbedaan serat pangan, inulin dan oligofruktosa Karakteristik
Serat pangan
Inulin dan Oligofruktosa
Dispersibilitas dalam air
Beberapa polisakarida dapat terdispersi di dalam air
Larut dalam air
Bulk
Tidak dicerna di dalam usus halus
Tidak dicerna di dalam usus halus
Viskositas Menjerab/mengikat asam empedu Dapat difermentasi
Beberapa polisakarida menjadi viscous di dalam air Beberapa sumber serat akan mengikat atau menjerab asam empedu dan meningkatkan eksresinya Polisakarida yang memiliki kemampuan mengikat air yang tinggi dapat difermentasi
Tidak bersifat viscous Tidak mengikat asam empedu Sangat mudah difermentasi
1. Oligosakarida sebagai prebiotik Menurut Bornet et al. (2002) oligosakarida memiliki tingkat polimerisasi di bawah 9. Jenis-jenis oligosakarida bahan alam yang berperan sebagai prebiotik (Gibson 2004), antara lain adalah : (a) Inulin dan frukto-oligosakarida (FOS). Inulin adalah polisakarida dari bentuk Glu α1-2[β Fru 1-2]n dimana n>10. Struktur yang mendekati inulin adalah frukto-oligosakarida (berat molekul rendah) memiliki efek terhadap Bifidobakteria usus dan merupakan prebiotik yang penting.
FOS rantai pendek adalah grup linier glukosil α(1→ 2)(fruktosil)n β (2→ 1) fruktosa dengan derajat polimerisasi pada kisaran 1 sampai 5 (Bornet et al. 2002). FOS rantai pendek secara alami terdapat pada bawang, jerusalem artichoke, asparagus, gandum, gandum hitam dan bawang putih.
Bawang memiliki
kandungan FOS tertinggi (25-40% berat kering) dimana 97 %-nya adalah fruktooligosakarida rantai pendek (n<5).
FOS resisten terhadap α–amilase,
sukrase dan maltase mamalia (Spiegel et al. 1994). FOS tersebut tidak dapat dicerna oleh manusia tetapi dapat dimanfaatkan secara selektif oleh bakteri gram positif seperti Bifidobakteria. Studi fermentasi secara in vitro menggunakan inokulum fecal menunjukkan bahwa inulin dan oligofruktosa dimanfaatkan secara cepat dan menyeluruh oleh mikroflora usus dan tingkat polimerisasi substrat mempengaruhi kecepatan fermentasi.
Inulin dan oligofruktosa merupakan substrat yang efisien untuk
pertumbuhan strain Bifidobakteria dibandingkan dengan glukosa (Rao 1999). Studi dengan manusia juga menunjukkan bahwa konsumsi inulin dan oligofruktosa dapat meningkatkan Bifidobakteria (Hond et al. 2000). Menurut Rao (2001) konsumsi oligosakarida (5 g/hari) selama 11 hari menghasilkan peningkatan jumlah Bifidobakteria setelah 10 hari berikutnya.
dan tidak ada peningkatan
Pada dua minggu setelah penghentian konsumsi
oligofruktosa, jumlah Bifidobakteria menurun hampir sama dengan periode sebelum pemberian oligofruktosa. Hasil penelitian Campbell et al. (1996) menunjukkan bahwa pemberian 6% oligosakarida pada ransum selama 14 hari dapat meningkatkan Bifidobakteria cecal dan total bakteri anaerob pada tikus percobaan. Demikian pula dengan hasil penelitian Le Blay et al. (1999) dimana pemberian 9 g/100 g FOS pada pakan tikus percobaan, setelah 2 minggu dapat meningkatkan konsentrasi total bakteri penghasil asam laktat dan Lactobacillus sp. (b) Oligosakarida kedelai. Oligosakarida utama
yang terdapat pada
kedelai
adalah rafinosa
(Galα1→6Glu α1→2βFru) dan stakiosa (Galα1→6Gal α1→6Glu α1→2βFru). Menurut Minami et al. (1983) di dalam Gibson dan Angus (2000) rafinosa dan stakiosa dapat dimetabolisme dengan baik oleh Bifidobakteria dan laktobacillus, tetapi juga pada kisaran tertentu oleh bakteri enterik lainnya tidak termasuk E.
coli.
Rafinosa yang diberikan pada sukarelawan sebesar 15 g per
hari
menghasilkan peningkatan Bifidobakteria secara nyata dan menurunkan Bacteroides spp. dan Clostridium spp. (Benno et al. (1987) di dalam Gibson & Angus 2000).
Campuran rafinosa dan stakhiosa secara nyata juga dapat
meningkatkan Bifidobakteria (Hayakawa et al. (1990) di dalam Gibson & Angus 2000). Jenis-jenis oligosakarida sintetik yang berperan sebagai prebiotik (Gibson 2004), antara lain : galakto-oligosakarida, laktosukrosa, isomalto-oligosakarida, gluko-oligosakarida, xilo-oligosakarida. (a) Galakto-oligosakarida. Galakto-oligosakarida adalah oligosakarida yang mengandung galaktosa dengan bentuk Glu α1-4[βGal 1-6]n , dimana n=2-5, dan diproduksi dari sirup laktosa menggunakan aktivitas trans-galaktosilase dari enzim β-galaktosidase (b) Laktosukrosa. Laktosukrosa dihasilkan dari campuran laktosa dan sukrosa menggunakan enzim β-fruktofuranosidase dan ditemukan mampu menstimulasi bifidogenik pada kultur murni. (c) Isomalto-oligosakarida (IMO). Isomalto-oligosakarida tersusun dari
monomer glukosa yang diikat oleh
α1-6 glukosidik. IMO berasal dari pati melalui dua tahapan proses enzimatik (Rastall 2000). Pertama, pati dihidrolisis menjadi malto-oligosakarida oleh kombinasi α-amilase dan pullulanase. Selanjutnya, dengan menggunakan αglukosidase yang mengkatalisis reaksi transfer sehingga merubah ikatan α(1→4) malto-oligosakarida
menjadi
α(1→6)
isomalto-oligosakarida.
Glukosa
dipisahkan dengan kromatografi sehingga dihasilkan produk dengan kandungan oligosakarida yang tinggi. (d) Gluko-oligosakarida. Merupakan oligosakarida sintetis yang dipreparasi secara enzimatik menggunakan glukosil-transferase dari Leuconostoc mesenteroides, untuk memindahkan molekul glukosa dari sukrosa donor ke aseptor yaitu maltosa.
(e) Xilo-oligosakarida (XOS). Xilo-oligosakarida adalah rantai dari molekul xilosa yang diikat oleh ikatan β1-4 dan terutama terdiri dari xilobiosa, xilotriosa dan xilo-tertraosa. 2. Manfaat Prebiotik Manfaat prebioktik menurut Gibson dan Roberfroid (1995), antara lain : (1) Efek terhadap patogen. Prebiotik meningkatkan ketahanan terhadap patogen melalui peningkatan Bifidobakteria dan lactobacilli (Gibson & Roberfroid 1995). Asam laktat yang diekskresi oleh bakteri tersebut diketahui memiliki sifat penghambatan. Produk akhir metabolik seperti asam yang dieksresi oleh bakteri tersebut dapat menurunkan pH hingga tingkat yang rendah dimana patogen secara efektif berkompetisi.
Beberapa spesies lactobacilli dan Bifidobakterial dapat
mengeksresi antibiotik alami yang memiliki spektrum aktivitas yang luas. Bifidobakteria dapat mengeksresi senyawa antimikroba dengan spektrum aktivitas yang luas (Gibson & Wang 1994). Bifidobakteria ini juga memiliki efek antagonis terhadap E. coli 0157 (Ziemer & Gibson 1998).
Efek penghambatannya bervariasi pada spesies
bifidobakteria, dimana Bifidobacterium infantis dan B. longum yang paling besar efeknya terhadap E. coli. FOS mempengaruhi homeostatis sel-sel di dalam dinding usus (Tomasik dan Tomasik 2003). Aktivitas imunomodulasi dan bakteriostatik mungkin menghasilkan pemblokan reseptor untuk berinteraksi dengan bakteri patogen. Menurut Zopt dan Roth (1996), oligosakarida dengan menghalangi pelekatan E. coli pada dinding usus.
rantai sisi manosa
Hasil penelitian dengan
memberikan frukto-oligosakarida dan inulin ke tikus percobaan dapat melindungi tikus terhadap patogen sistemik dan enterik dan penyebab tumor (Buddington et al. 2002). (2) Meningkatkan penyerapan kalsium (Gibson & Roberfroid 1995). Beberapa mekanisme yang dipostulatkan dari efek peningkatan penyerapan kalsium yang disebabkan oleh prebiotik, meliputi (i) fermentasi prebiotik seperti inulin secara nyata menghasilkan produk asam lemak rantai pendek, menyebabkan penurunan pH kolon lumenal, yang meningkatkan kelarutan
kalsium di dalam usus. Akibatnya terjadi peningkatan penyerapan kalsium secara pasif berdasarkan gradien konsentrasi (Ouwehand et al. 2005) (ii) Fitat adalah komponen tanaman yang dapat mencapai kolon, yang juga dapat membentuk komplek dengan kation divalen yang tidak larut dan stabil seperti kalsium yang membuatnya tidak tersedia untuk ditransport. Fermentasi fitat oleh bakteri di kolon dapat membebaskan kalsium. (iii) Kalsium mengubah mekanisme di dalam kolon. Pada sistem ini, asam lemak rantai pendek masuk ke dalam kolon dalam bentuk proton dan kemudian berdisosiasi di dalam lingkungan intraseluler. Proton yang dibebaskan kemudian disekresi ke dalam lumen untuk menukar ion kalsium. Menurut Greger (1992) prebiotik dapat meningkatkan penyerapan kalsium dari kolon dan menurunkan kehilangan kalsium dari tulang. (3) Melindungi terhadap kanker kolon. Sedikitnya ada dua mekanisme perlindungan dari prebiotik terhadap perkembangan kanker kolon, yaitu : (i) produksi metabolit yang bersifat protektif. Butirat merupakan produk akhir dari fermentasi yang diketahui dapat menstimulasi apoptosis dalam cell line kanker kolon dan juga berperan sebagai bahan bakar untuk kesehatan sel-sel kolon. Mikroflora yang memproduksi butirat di dalam usus adalah Clostridia dan Eubacteria.
Pada perkembangannya
diketahui prebiotik dapat menstimulasi Eubacteria yang tidak berbahaya, bukan Clostridia (toksik). (ii) prebiotik akan menyebabkan metabolisme bakterial di dalam kolon menghasilkan produk akhir yang tidak berbahaya. (4) Efek imunologi. Bakteri asam laktat diketahui menstimulasi mekanisme inang non-spesifik dan sejumlah tipe sel yang terlibat dalam respon imun spesifik.
Seperti
Bifidobacterium infantis yang diketahui merupakan imunomodulator yang digunakan untuk
melawan sel-sel malignant (Wang & Gibson 1993).
Ouwehand et al. (2005) membuat mekanisme peranan prebiotik secara skematis pada Gambar 1.
Menurunkan sintesis kolesterol Penghambatan
Prebiotik
patogen
Mikrobiota
Asam organik Meningkatkan
Biomasa
Detoksifikasi
Butirat
Modulasi system imun Menyembuhkan konstipasi
penyerapan mineral
Nutrisi sel usus
Apoptosis sel prekanker
Gambar 1. Mekanisme peranan prebiotik (Ouwehand et al. 2005). (Garis penuh menunjukkan peranan yang sudah pasti, garis putus-putus menunjukkan peranan yang masih spekulasi).
D. Beberapa Bakteri Penyebab Diare
1. Escherichia coli Escherichia coli (E.coli) merupakan spesies dari genus Escherichia yang bersifat motil, berbentuk batang, gram negatif, termasuk dalam famili Enterobacteriaceae dan suku Escherichia (Nataro & Kaper 1998).
E.coli
merupakan flora normal usus besar dan bersifat anaerob fakultatif. Menurut modifikasi bagan Kauffman, serotipe E.coli dibagi berdasarkan profil antigen permukaan O (somatic), H (flagellar) dan K (capsular)-nya (Nataro & Kaper 1998). Totalnya ada 170 antigen O yang berbeda dimana masing-masing didefinisikan sebagai satu serogrup. Analisis serotipe ini yang dijadikan faktor virulensi spesifik untuk identifikasi strain E.coli penyebab diare. Antigen O dan K merupakan polisakarida yang melindungi mikroba dari efek bakterisidal dari komplemen dan sel pagosit pada kondisi tidak adanya antibodi spesifik (Gross 1995). Nataro dan Kaper (1998) membagi E.coli penyebab diare menjadi 6 strain, yaitu
enteropathogenic
E.coli
(EPEC),
enterotoxigenic
E.coli
(ETEC),
enterohemorrhagic
E.coli
(EHEC),
enteroaggregative
E.coli
(EAEC),
enteroinvasive E.coli (EIEC) dan diffusely adherent E.coli (DAEC). (a) Enterophatogenic Escherichia coli (EPEC) EPEC adalah satu dari kelas patogen yang menyebabkan lesi attaching dan effacing (A/E) pada sel usus.
Ciri dari patogen A/E adalah terletak pada
tumpuannya di permukaan sel epitel inang dan menyebabkan kerusakan pada mikrovili usus. EPEC melekat dan berkolonisasi pada epitel mukosa duodenum dan proximal jejunum. Menimbulkan kerusakan pada epitel jejunal melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan pelekatan yang terlokalisasi (Moat et al. 2002). Selain itu, bakteri ini juga melekat dan berkolonisasi pada kolon/usus besar bagian ascending dan transverse (Jay 2000).
Infeksi EPEC
pada sel epitel usus inang oleh Goosney et al. (1999) diterangkan seperti pada Gambar 2. Interaksi antara EPEC dan sel inang menurut (Goosney et al. 1999) terbagi menjadi 3 tahap : pertama pelekatan ke sel epitel yang diperantarai oleh pembentukan fimbriae tipe IV yang dikenal sebagai bundle forming pili (BFP). Awal pelekatan ini membantu membawa bakteri kontak dengan sel inang. Semua gen yang diperlukan untuk pembentukan lesi A/E oleh EPEC tersimpan dalam 25 kbp (Gambar 2). Tahap kedua, melibatkan sekresi protein bakteri, beberapa darinya masuk ke sel inang termasuk EspA, EspB dan EspD. Ekspresi dari protein ini maksimal pada suhu tubuh inang dan pada kondisi yang mirip dengan yang ditemukan di dalam saluran pencernaan, yang menunjukkan bahwa protein tersebut terlibat pada virulensi.
Translokasi protein ini adalah esensial untuk mengaktifkan
sejumlah signal tranduksi. EspA membuat kaki-kaki filamen di luar bakteri dan mungkin menjadi bagian mesin translokasi yang terlibat pada pengantaran protein virulensi lainnya. EspB dipindahkan ke dalam sitosol inang dan membran, yang mempengaruhi perubahan pathway signal
sel inang.
Semua protein efektor
disekresi oleh sistem sekresi tipe III yang dikode oleh gen ese dan sep. Tahap ketiga infeksi EPEC adalah pelekatan pada sel inang. Intimin adalah protein membran terluar yang dikode oleh gen eae, berikatan dengan protein (dengan tirosin terfosforilasi 90 kDa) di dalam membran inang. Tir dipindahkan
d sel bakkteri ke mem dari mbran inangg sehingga terfosforilassi pada satu atau lebih r residu tirosin, berfunggsi sebagai reseptor un ntuk pengikkatan intimiin.
Hasil
p pengikatan ini diperkuaat dengan ppembentukan n kaki-kaki aktin dengaan panjang l lebih dari 10 µm. Intiimin juga mengikat m inntegrin yangg menunjukk kan bahwa i intimin dapaat berikatan dengan lebihh dari satu reseptor r padaa sel epitel. Meskipun i integrin tidaak terdapat pada permuukaan apicaal sel usus, integrin terrletak pada p permukaan yer’s patch apical sel M (microfolld) yang diitemukan di dalam Pey s sepanjang luumen usus.
Gambar 2 . Effek dari infekksi EPEC paada sel epitel usus inang. (G Goosney et aal. 1999). Selam ma diinfeksi oleh EPEC C, sel inang mengalamii beberapa perubahan. p yang utamaa adalah paada strukturr selular daari sel inanng dengan P Perubahan t terbentuknya a kaki-kaki aktin. a Dalam m 3 jam diin nfeksi oleh EPEC, E aktin, α-aktinin, t talin dan ezzrin sel inanng langsunng terakumu ulasi di baw wah bakteri. Keempat k komponen s sitoskletal inni terlibat daalam cross-llinking mikrofilamen akktin. Kakik kaki aktin tidak diaam, kaki-kaki tersebu ut memanjang dan memendek m menghasilka an pergerakaan EPEC seppanjang perm mukaan sel innang. Tingkaat Ca2+ dalaam sel jugaa memainkaan peranan terhadap paatogenisitas E EPEC. Sel yang terinfeeksi EPEC, m menunjukkann peningkataan Ca dalam m sel secara
nyata. Meningkatnya kalsium dalam sel dapat menimbulkan depolimerisasi aktin oleh vilin (= protein mikrovilin yang tergantung pada Ca) dan merusak sitoskletal inang. Inositol trifosfat (IP3) terlibat pada pembebasan Ca2+ dari dalam sel. Protein kinase C (PKC) sitosolik juga menjadi teraktivasi dan berpindah ke membran plasma selama infeksi EPEC. (b) Enterotoxigenic E.coli (ETEC) ETEC merupakan organisme yang berkolonisasi pada permukaan mukosa usus halus dan membebaskan enterotoxin (Nataro & Kaper 1998). Strain ETEC menyebabkan diare melalui enterotoxin LT (heat-labile toxins) dan ST (heatstable toxins) yang dibebaskannya. Strain ini dapat membebaskan enterotoxin LT saja atau ST saja atau kedua-duanya LT dan ST. Untuk dapat menyebabkan diare strain ETEC pertama-tama harus melekat pada sel usus dengan bantuan fimbriae. Setelah melekat pada membran sel inang, toxin dipindahkan melalui sel. Target seluler dari LT adalah adenylate cyclase yang terletak pada membran
sel epitel usus, mengakibatkan meningkatnya
konsentrasi cyclic adenosine 5’-monophosphate (cAMP). Di dalam sel vili usus, cAMP menghambat penyerapan Na+ dan meningkatkan stimulasi sekresi Cl- dari sel crypt (Gross 1995). Akibatnya terjadi peningkatan ion luminal yang menarik air secara pasif melalui paraceluller pathway menghasilkan diare osmotik. (c) Enterohemorrhagic E.coli (EHEC) Diare yang disebabkan oleh strain ini adalah dicirikan dengan keram pada perut, diare berair disertai dengan darah, sedikit atau tanpa disertai demam (Nataro & Kaper 1998). Strain EHEC yang dikenal adalah serotipe O157:H7. (d) Enteroaggregative E.coli (EAEC) Histopatologi dari strain EAEC dicirikan dengan meningkatnya sekresi mukus dari mukosa, dengan menjerap bakteri ke dalamnya membentuk biofilm mukus-bakteri (Nataro & Kaper 1998). Pada sel epitel usus terlihat bintik-bintik sel goblet yang menunjukkan sekresi mukus yang berlebih. Lesi yang ditunjukkan adalah vili yang pendek-pendek. Patogenesis dari EAEC, menurut Nataro & Kaper (1998) ada tiga tahap. Tahap pertama diawali dengan pelekatan mikroba pada mukosa usus dan atau
lapisan mukus. Pelekatan ini difasilitasi oleh fimbriae (AAF/I dan AAF/II = aggregative adherence fimbriae).
Tahap ke-2 adalah meningkatnya produksi
mukus, menghasilkan mukus yang tebal mengandung biofilm bersama dengan EAEC. Terbentuknya selimut dari kolonisasi bakteri tersebut dapat menghalangi penyerapan nutrisi.
Tahap ke-3 adalah pembebasan cytotoxin EAEC yang
menyebabkan kerusakan pada sel usus. (e) Enteroinvasive E.coli (EIEC) Strain EIEC umumnya adalah lysine decarboxylase negatif, non-motil dan laktosa negatif (Nataro & Kaper 1998). Secara biokimia, genetik dan patologi mirip dengan Shigella spp. Mikroba ini menyerang sel epitel (ber-invasi ke dalam sel) usus besar
dan berkembangbiak di dalam sel (Gross 1995),
membebaskan satu atau lebih enterotoxin yang menyebabkan diare. Awalnya mikroba ini menyebabkan diare berair, akan tetapi dapat juga disertai dengan disentri yaitu diare yang mengandung darah dan mukus (lendir). Untuk mencapai kolon, mikroba ini harus tahan terhadap asam lambung, garam empedu dan enzim pankreatik, mikroba ini dilindungi oleh kapsul yang berupa lipopolisakarida.
Saat mencapai kolon, mikroba ini harus bersaing
mendapatkan sumber karbon dengan flora yang terdapat pada kolon. Agar dapat bertahan, sumber karbon terakhir yang dapat digunakan adalah glukosa darah inang. Mikroba ini mengawali proses invasif dengan cara berpenetrasi ke dalam lapisan mukus dengan bantuan glikosidase yang dihasilkan oleh mikroflora normal. Selanjutnya melekat pada permukaan sel dengan proses endositik tanpa merusak membran plasma. endositik.
Mikroba di dalam sel terbungkus dalam vacuola
Kemampuan mikroba ini untuk berada dalam vacuola merupakan
virulensi penting untuk dapat atau tidaknya mikroba tersebut menyebar ke sel tetangga. Disertai dengan endositosis, mikroba ini menghambat sintesis protein sel inang. Transport asam amino dan glukosa terus berlanjut akan tetapi nutrisi ini digunakan untuk mendukung perbanyakan sel mikroba tersebut.
Akibatnya
terjadi kerusakan jaringan dan inflamasi yang menyebabkan gejala disentri pada inang (Gross 1995).
(f) Diffusely adherent E.coli (DAEC) Hanya sedikit pengetahuan tentang patogenitas dari strain ini. Strain DAEC menyebabkan diare berair tanpa disertai dengan darah (Nataro & Kaper 1998). 2. Salmonella Typhimurium Salmonella Typhimurium adalah bakteri gram negatif yang menyebabkan berbagai penyakit dari saluran pencernaan hingga demam tifoid.
Infeksi
Salmonella Typhimurium diawali dengan masuknya mikroba secara oral dan berpenetrasi ke dalam epitelium usus halus sebelum menimbulkan penyakit (Goosney et al. 1999). S. Typhimurium mengandung fimbriae yang secara selektif melekat ke sel M (Jay 2000). Invasi ke dalam sel usus inang menyebabkan perubahan morfologi sel. Sekali kontak dengan epitel, Salmonella menyebabkan degenerasi mikrovili sel usus. Akibatnya, hilangnya struktur mikrovili yang disertai dengan gangguan pada sistem membran pada daerah kontak bakteri-inang.
Kerusakan pada
membran disertai juga dengan macropinocytosis, yang menyebabkan bakteri dapat masuk ke dalam sel inang. Proses tersebut terjadi dalam beberapa menit. Sekali berada di dalam sel inang, bakteri masih berada di dalam vakuola. Disertai dengan perbanyakan sel, sel pecah dan bakteri menyebar. Masuknya Salmonella ke dalam sel epitelium inang memerlukan beberapa gen kromosom yang terletak di dalam SPI1 (Salmonella pathogenicity island 1). SPI1 mengkode sistem sekresi tipe III dan beberapa faktor virulensi. Sistem sekresi tipe III ini diaktifkan selama adanya kontak inang dengan bakteri dan membantu mengeluarkan faktor virulensi secara langsung ke sel inang. Adanya protein SptP yang terletak di dalam SPI1 dipindahkan ke dalam sel epitel inang untuk memodulasi aktin sitoskleton inang melalui aktifitas tirosin fosfatase (Goosney et al. 1999) 3. Shigella flexneri Shigella flexneri adalah bakteri gram negatif berbentuk batang yang menyebabkan disentri pada manusia (goosney et al. 1999).
Bagian usus yang
diinvasi oleh Shigella adalah sel M dari Peyer’s patch di dalam terminal ileum. Shigella berinvasi ke makrofage pada sel M dan makrofage mati karena apoptosis.
Menghasilkan inflamasi akut disertai disentri. Kerusakan tipe ini menyebabkan hilangnya darah dan mukus usus di dalam lumen usus. Karena penyerapan air oleh sel-sel usus terhambat, menghasilkan disentri (Jay 2000). Setelah masuk ke inang, bakteri ini dikelilingi oleh vakuola. Bakteri ini dengan cepat melisis vakuola dan dibebaskan ke dalam sitosol. Di dalam sitosol, mikroba ini tumbuh dan berkembangbiak. Sekali mikroba terlepas dari vakuola, secara cepat dibungkus dengan aktin dan membentuk ekor aktin pada salah satu ujung bakteri. Polimerisasi aktin ini menggerakkan bakteri melalui sitoplasma pada kecepatan mencapai 0,4 µm/detik. Jika mikroba mencapai membran plasma sel, kemudian membentuk tonjolan keluar yang panjang, masuk ke sel tetangga. Bakteri lolos kembali dari vakuola dan mengawali siklus infeksi baru dalam sel inang yang baru. Proses ini membuat Shigella bergerak dari satu sel ke sel lain tanpa pernah kontak dengan lingkungan ekstraseluler (Goosney et al. 1999). Pergerakkan intraseluler dari bakteri ini diatur oleh gen icsA yang merupakan protein membran terluar (120-kDa).
Selama infeksi, IcsA juga
terdeteksi sebagai fragmen amino-terminal (95-kDa) dari total protein 120 kDa. Pemutusan ini disebabkan oleh protease bakteri (SopA atau IcsP). Pemutusan ini diperlukan untuk penyebaran IcsA pada permukaan bakteri dan motilitas aktin dari Shigella di dalam sel yang terinfeksi. Ekspresi IcsA pada permukaan Shigella memicu akumulasi aktin secara cepat di sekitar bakteri.
Disertai dengan
pembelahan sel bakteri dan polarisasi IcsA, ekor aktin mulai terbentuk pada salah satu sisi bakteri. Beberapa protein sitoskletal inang terlibat pada pembentukan ekor, yaitu aktinin, filamin, fimbrin, vasodilator-stimulated phosphoprotein (VASP), vinculin dan neutral-Wiskott-Aldrich syndrome protein (N-WASP). Dari protein-protein ini hanya vinculin dan N-WASP yang dapat berikatan secara langsung dengan IcsA. Infeksi oleh Shigella menghasilkan pemutusan vinculin menghasilkan fragmen. 4. Vibrio cholerae Vibrio cholerae adalah bakteri gram negatif. Patogenesis dari Vibrio dikaitankan dengan produksi TDH (thermostable direct hemolysin).
TDH
bertanggung jawab terhadap hemolisis, kemampuan membentuk pori dan efek sitotoksik. V.cholerae berkolonisasi pada epitel usus halus diawali pada sel M
dan ini menyebabkan diare. Ada dua faktor virulensi utama pada V.cholerae, yaitu (1) TCP (toxin-coregulated pili) yang diperlukan untuk berkolonisasi pada usus halus, dan (2) toksin cholera (jenis enterotoxin). Gen toksin cholera (ctx AB) adalah bagian terbesar dari elemen genetik (Jay 2000). E. Sistem Imun Saluran Pencernaan Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja 2002). Sistem imun terbagi menjadi dua yaitu sistem imun non spesifik dan sistem imun spesifik (Baratawidjaja 2002).
Sistem imun non-spesifik merupakan
pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, tidak berubah oleh infeksi. Sel yang penting adalah fagosit dan sel NK (natural killer) sedangkan molekul yang penting pada sistem imun non-spesifik adalah lizosim, komplemen, protein fase akut dan interferon. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya (Baratawidjaja 2002).
Benda yang pertama kali
muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel imun tersebut.
Bila sel sistem imun yang sudah tersensitasi
tersebut terpajan kembali dengan benda asing yang sama maka benda asing yang terakhir akan dikenal lebih cepat kemudian dihancurkan. Sel yang penting pada sistem imun ini adalah limfosit T dan B sedangkan molekul yang penting adalah antibodi, sitokin dan mediator. Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun non-spesifik untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya tetapi pada umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi-komplemenfogosit dan antara sel T-makrofag. Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral.
Bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel akan
berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Fungsi utama antibodi adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus, bakteri dan menetralisasi toksin bakteri.
Limfosit T atau sel T berperan dalam sistem imun spesifik seluler. Sel T terdiri atas beberapa sel subset dengan fungsi yang berlainan. Fungsi utama sel T adalah pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit. Saluran pencernaan adalah pintu masuk berbagai mikroba ke dalam tubuh dan saluran pencernaan mengandung jaringan limfoid khusus yang dikenal sebagai jaringan limfoid saluran pencernaan (gut-assosiated lymphoid tissue, GALT).
GALT adalah sebutan untuk MALT (mucosa-associated lymphoid
tissue) di mukosa saluran pencernaan (Baratawidjaja 2002). Jaringan ini yang pertama kontak dengan komponen makanan, berbagai antigen dari makanan, bakteri ‘baik’ dan ‘jahat’ dan komponen lainnya dari luar tubuh.
Saluran
pencernaan orang dewasa mempunyai luas permukaan sekitar 400 m2. Permukaan yang luas tersebut selalu terpajan dengan berbagai mikroba dan makanan yang mungkin dapat menerangkan mengapa 2/3 seluruh sistem imun ada di saluran pencernaan. Banyaknya limfosit di dalam GALT hampir sama dengan di limfa. Berdasarkan lokasinya sel-sel limfosit tersebar di tiga tempat, yaitu Peyer’s Patch (PP), lamina propria dan intraepitel (Bowen 2004). Peyer’s Patch merupakan agregat folikel limfoid di mukosa usus yang ditemukakan di seluruh jejunum dan ileum (terbanyak di ileum terminal). PP merupakan tempat prekursor sel B yang dapat melakukan switching untuk memproduksi IgA (Baratawidjaja 2002). Lamina propria terletak tepat di bawah epitel yang merupakan struktur yang longgar. Limfosit tersebar di lamina propria mukosa. Fungsi efektor lamina propria adalah pada sekresi antibodi terutama IgA. IgA diangkut dari lamina propria ke sel epitel melalui reseptor immunoglobulin polimerik untuk selanjutnya disekresi ke lumen.
Produksi IgA disaluran pencernaan berperan memblok
pelekatan mikroba ke sel epitel usus (Wilson 2005) Intraepitel terletak di dalam epitel mukosa di atas lamina propria. Sel limfosit intraepitel tersebar difus di jaringan mukosa dan tidak memiliki struktur yang jelas seperti yang didapat pada sistem imun yang terorganisir. Limfosit intraepitel terbanyak adalah sel T (>90%) yang berupa CD8+ atau CD4-CD8(Baratawidjaja 2002). IgA ditemukan dalam dua bentuk yaitu serum IgA dan dalam berbagai sekresi (sIgA) yang merupakan bagian terbanyak.
Komponen sekretori
melindungi IgA dari protease mamalia. sIgA melindungi tubuh karena dapat bereaksi dengan molekul adhesi dari patogen, mencegah pelekatan dan kolonisasi patogen di dalam sel (Stewart & Weir 1995). IgA ditemukan dengan jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya dalam cairan sekresi saluran napas, saluran cerna, saluran kemih, air mata, keringat, ludah dan air susu ibu lebih tinggi dalam bentuk IgA sekretori (sIgA) (Baratawidjaja 2002).
IgA dalam serum dapat mengaglutinasikan kuman,
mengganggu motilitasnya sehingga memudahkan fagositosis (opsonisasi) oleh sel polimofonuklier. IgA sekretori dalam bentuk polimerik menjadi stabil oleh ikatan polipeptida rantai J. Molekul IgA yang polimerik dan rantai J dibentuk sel plasma di dalam sel epitel lamina propria selaput lendir (tidak oleh sel B). Pada saat IgA tersebut dilepas ke dalam lumen saluran cerna, sel epitel juga melepas bagian sekretori untuk membentuk sIgA yang terlindungi dari pencernaan enzim (Stewart & Weir 1995; Baratawidjaja 2002). Selain itu, menurut Surono (2004), sIgA tidak menimbulkan respon inflamasi sehingga sIgA ideal untuk menjaga permukaan mukosa dari antigen dengan cara mencegah pelekatan antigen pada epitel. sIgA paling banyak diproduksi oleh MALT dan sangat baik untuk merefleksikan respon saluran pencernaan daripada monomerik IgA (plasma) yang tidak merefleksikan respon saluran saluran pencernaan secara spesifik. Fagarasan dan Honja (2004) mengemukakan perkembangan IgA+B-cell pada saluran pencernaan berdasarkan pada beberapa konsep yang dapat disarikan sebagai berikut: (1) Prekursor IgA+ sel plasma saluran pencernaan terletak di Peyer’s patch, (2) IgA+B-cell tergantung pada stimulasi antigen dan bantuan dari sel T yang menyebabkan terbentuk germinal center (GM), (3) Germinal center Peyer’s patch berbeda dengan GC yang lain karena adanya sel T (CD4+) dan sel dendritik yang secara spesifik membantu perubahan menjadi IgA, (4) Jaringan mukosa adalah tempat utama IgA+B-cell tetapi tidak untuk IgM+ atau IgG+ B-cell yang menunjukkan keberadaan molekul tersebut melekat secara spesifik, (5) IgA memberikan perlindungan pada mukosa terhadap bakteri, parasit dan virus patogen (Suzuki et al. 2007). Mekanisme yang menginduksi respon IgA pada saluran pencernaan menurut Suzuki et al. (2007) dapat dilihat pada Gambar 3. (a) IgM+ sel B bermigrasi ke Peyer’s patch (PP) atau ILF (isolated lymphoid follicles). ILF (isolated lymphoid
follicles) merupakan folikel limfoid soliter yang tersebar pada usus halus yang memiliki fungsi hampir sama dengan Peyer’s patch.
Jumlah, ukuran dan
komposisi seluler ILF sangat bervariasi tergantung pada bakteri yang ada pada usus halus (Fagarasan & Honjo 2004).
Gambar 3. Mekanisme yang menginduksi respon IgA pada saluran pencernaan Suzuki et al. (2007) Sel M (M=microfold cell yaitu sel spesifik di dalam epitelium usus, yang mengangkut antigen masuk ke lapisan bawah jaringan) yang menutup struktur folikel di dalam saluran pencernaan (PP, ILF) mampu mengikat, memindahkan dan kemudian mentransfer antigen bakteri ke sel dendritik (DC) yang terletak di dalam subepitel dome (SED).
Beberapa dari DC yang teraktivasi keluar, ke
mesentrik lymph node dan menginduksi respon IgA spesifik antigen.
DC lain
yang penuh dengan antigen tetap berada dalam struktur polikel saluran pencernaan, memberikan antigen ke CD4 sel T lokal, berproliferasi dan menginisiasi germinal center (GC), GC adalah lingkungan mikro spesifik dimana sel B terstimulasi melalui BCR atau TLR (toll-like receptor) dan molekul stimulator lainnya atau cytokine, berproliferasi dan mengaktifkan AID (activation-induced cytidine deaminase) kemudian mengalami rekombinasi (CSR= class switch recombination) dan mutasi (SHM = somatic hypermutation) menjadi IgA.
(b) Beberapa IgM+sel B yang berasal dari sumsum tulang (BM= bone marrow) atau sel B1 peritoneal bermigrasi secara langsung ke LP saluran pencernaan, dimana mereka diaktivasi oleh antigen dan CD40L ekspresi sel T seperti pada (a) atau alternatif lain melalui antigen (mikroba) yang dibawa oleh sel dendritik (DC) atau stimulasi poliklonal. Adanya cytokine yang disekresi oleh sel T lamina propria atau BAFF (Bcell activating factor of the TNF family) dan APRIL(a proliferation-inducing ligand) yang terlarut atau terikat pada membran,
yang diproduksi oleh DC,
mengaktifkan sel B, kemudian berubah dan berdiferensiasi menjadi IgA dan IgA plasma di bawah pengaruh faktor-faktor yang disekresi oleh sel stroma lamina propria. Faktor yang disekresi oleh sel stromal (SC) lamina propria seperti IL-6, IL-10 dan TGF, tidak hanya merubahnya menjadi IgA (c) tetapi juga berdiferensiasi menjadi IgA+plasma. Sel dendritik (DC) yang terletak di dalam usus halus dapat secara langsung mengambil antigen di usus (Suzuki et al. 2007). Peranan DC dalam mengawasi bakteri di saluran pencernaan memerlukan integritas dari epitelium. Untuk itu DC lamina propria mengekpresikan protein yaitu occluding, claudin I dan zonula occluden I yang diperlukan untuk membuka dan menutup ikatan yang rapat antar sel epitel, sehingga dendritik masuk ke lumen. DC lamina propria dapat berinteraksi dengan bakteri patogen bermigrasi ke luar lamina propria dan mengaktifkan sel T dan sel B yang terletak di lamina propria (Suzuki et al. 2007). Sel T lamina propria teraktivasi secara fenotif ditunjukkan dengan tingginya persentase sel-sel yang diekspresikan IL-2R dan molekul MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II dan tingginya produksi cytokine (seperti IL-2, IL-4, IL-5) yang terlibat pada generasi respon IgA. Meskipun demikian, walaupun sel T tidak ada, sel B lokal diaktivasi oleh antigen yang dibawa oleh denritik sel lamina propria atau stimulasi poliklonal oleh mikroba yang ditangkap oleh DC. Sel B yang teraktivasi mungkin berubah dan berdiferensiasi menjadi IgA sel plasma di bawah pengaruh faktor yang disekresikan oleh sel-sel stroma lamina propria.. Bakteri asam laktat mampu menstimulasi sistem imun karena adanya senyawa peptidoglikan dan lipopolisakarida dalam dinding sel. Bakteri asam laktat melakukan kontak dengan sistem imun saluran usus melalui sel M atau sel
folikel epitelium dari Peyer’s patch atau melalui sel epithelial saluran usus halus atau usus besar.
Interaksi antara bakteri asam laktat dengan sel M hanya
menstimulasi respon imun spesifik, sedangkan interaksi antara bakteri asam laktat dengan sel folikel epitel menstimulasi respon imun non-spesifik atau peradangan meskipun juga dapat meningkatkan respon imun spesifik (Surono 2004).
III. METODOLOGI
A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari Agustus 2005 – Maret 2008. Tempat penelitian adalah daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan (pengambilan sampel); Laboratorium Kimia, Biokimia, Mikrobiologi dan Persiapan, ITP Fateta IPB,
Laboratorium Kimia dan Mikrobiologi Seafast Centre IPB.
Kandang
Hewan Percobaan, Laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis, Pusat Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, LPPM IPB serta Laboratorium Histologi FKH IPB B. Bahan dan Alat Biji dan umbi teratai dari jenis Nymphaea pubescens diperoleh dari daerah Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Mikroba uji adalah Escherichia coli
Enteropatogenik K1.1 (EPEC K1.1) koleksi dari Dr. dr. Sri Budiarti dari Laboratorium Bioteknologi Hewan & Biomedis, Pusat Penelitian Bioteknologi IPB, Salmonella Typhimurium (FNCC-050) dan Lactobacillus acidophilus (FNCC-051) koleksi dari Laboratorium Mikrobiologi PAU Universitas Gajah Mada dan Bifidobacterium bifidum (INCC) koleksi dari Balitbang Mikrobiologi Puslitbang Biologi LIPI Bogor. Tikus jantan jenis Sprague Dawley (140±5 g). Ekstraksi tepung biji dan umbi teratai dilakukan dengan heksana, etil asetat dan etanol . Uji aktivitas antimikroba dilakukan dengan Nutrient agar. Pengujian fraksi karbohidrat dilakukan dengan standar glukosa, fruktosa, sukrosa, rafinosa dan stakhiosa (Sigma). Pengujian aktivitas fraksi karbohidrat secara in vitro dilakukan dengan bahan-bahan yang menyusun media MRSA seperti agar, L-sistein dan bromocresol purple dan MRSB seperti pepton, yeast extract, tween 80, Dipottasium hidrogen fosfat, sodium asetat 3 H20, Tri-ammonium sitrat, magnesium sulfat 7H20 dan Manganase sulfat. Bahan penyusun ransum (kasein, maizena, minyak jagung, vitamin mix., mineral mix, selulosa),
MRSA, MRSB, PCA,
EMBA, FOS (frukto-oligosakarida), hematoxilin, eosin, Anti-Rat IgA (SIGMA),
DEPS, DAB Plus Substrate Kit dan NaCl. Bahan-bahan lain yang diperlukan berupa bahan-bahan kimia dan media yang menunjang. Peralatan yang digunakan adalah seperangkat HPLC, spektrofotometer, GCMS, mikroskop, sentrifus, shaker, rotavapor, autoklaf, inkubator, pipet mikro dan peralatan gelas untuk analisis kimia dan mikrobiologi. C. Metode Penelitian Pada penelitian ini diawali dengan pengamatan lapangan meliputi, kondisi tanaman, cara pemanenan, spesifikasi produk, produktivitas dan data penggunaan (sebagai bahan pangan dan untuk pengobatan) oleh masyarakat setempat. Analisis proksimat biji dan umbi teratai yang dilakukan meliputi (kadar air, protein, lemak, abu, karbohidrat), analisis kadar serat pangan larut dan tidak larut dan analisis kadar pati. Sebelum dilakukan ekstraksi, biji dan umbi teratai terlebih dahulu dibuat dalam bentuk tepung. Biji teratai yang kulit terluarnya sudah dibuang, diblender halus hingga berbentuk tepung. Pada umbi, terlebih dahulu dikupas kulitnya, kemudian dipotong tipis dan dikeringbekukan menggunakan freeze drier.. Selanjutnya diblender hingga halus. 1. Ekstraksi komponen antibakteri biji dan umbi teratai. Ekstraksi komponen antimikroba secara maserasi menggunakan metode ekstraksi bertingkat berdasarkan tingkat kepolaran pelarut yaitu heksana (tidak polar), etil asetat (semi polar) dan etanol (polar) (Houghton & Raman 1998) (Gambar 4). Pertama-tama biji teratai dalam bentuk tepung dimaserasi pada suhu ruang selama 24 jam dengan heksana, dengan perbandingan tepung biji teratai dengan pelarut 1 : 4 (b/v). Ekstraksi dengan pelarut yang sama diulang lagi dengan perbandingan bahan dan pelarut sama dengan yang pertama. Filtrat diambil sebagai ekstrak heksana dan endapan dimaserasi dengan etil asetat selama 24 jam. Filtrat diambil sebagai ekstrak etil asetat, sedangkan endapan dimaserasi lagi dengan etanol selama 24 jam dan filtratnya diambil sebagai ekstrak etanol. Pelarut diuapkan dengan rotavapor suhu 40°C, sisa pelarut diuapkan dengan gas nitrogen. Ekstrak yang diperoleh digunakan sebagai sampel untuk analisis dan
pengujian antibakteri. Rendemen ekstrak dihitung sebagai persen ekstrak kering (tanpa pelarut) (g ekstrak/100 g tepung biji atau umbi teratai)
Tepung biji/umbi teratai
Maserasi dengan
heksana
Saring
Evaporasi
Ekstrak heksana
Evaporasi
Ekstrak etil asetat
Uji aktivitas antimikroba (metode difusi agar & MIC)
Ampas Maserasi dengan etil asetat
Saring Ampas
Maserasi dengan etanol
Saring
Evaporasi
Ekstrak etanol
Ampas
Gambar 4. Prosedur ekstraksi biji/umbi teratai Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antibakteri ekstrak heksana, etil asetat dan etanol dilakukan dengan metode difusi agar atau sumur (Gariga et al. 1983) terhadap bakteri EPEC K1.1, S. Typhimurium, bakteri asam laktat (Lactobacillus acidophilus) dan bifidobacterium (Bifidobacterium bifidum). Pengamatan tidak hanya ditujukan untuk bakteri pathogen, tetapi juga terhadap bakteri yang menguntungkan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak yang diduga mengandung
senyawa
antimikroba
terhadap
pertumbuhan
bakteri
menguntungkan. Metode ini didasarkan pada kemampuan senyawa antibakteri di dalam ekstrak yang diuji untuk menghasilkan zona penghambatan terhadap bakteri uji, berupa diameter zona hambat (d, mm). Selanjutnya dilakukan penentuan nilai MIC (minimum inhibitory concentration)
dan MBC (minimum bactericidal
concentration) dari ekstrak yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap mikroba uji (menurut Murhadi 2002 hasil modifikasi dari Muroi et al. 1993 dan Kubo et al. 1995). Tahap ini bertujuan untuk mengetahui jenis ekstrak yang memiliki aktivitas antimikroba paling besar berdasarkan tingkat kepolaran pelarut. Pada tepung biji dan umbi serta masing-masing ekstraknya dilakukan pengujian secara
kualitatif komponen fitokimianya, meliputi tanin, alkaloid,
saponin, glikosida, flavonoid, sterol dan/atau triterpen. Komponen fitokimianya dianalisis secara kualitatif untuk mengetahui jenis komponen fitokimia yang terdapat pada masing-masing ekstrak. 2. Fraksinasi ekstrak yang teraktif dan pengujian aktivitas antibakteri masing-masing fraksi Ekstrak yang memiliki aktivitas antibakteri tertinggi difraksinasi untuk diuji masing-masing fraksi yang terdapat pada biji dan umbi teratai terhadap bakteri EPEC K1.1 dan S. Typhimurium, dengan menggunakan metode bioautografi dan difusi agar atau sumur (Gariga et al.1983). Tahap ini bertujuan untuk mengetahui fraksi yang paling berperan sebagai antibakteri. Identifikasi komponen yang diduga memiliki aktivitas antibakteri dari beberapa fraksi dari ekstrak biji dan umbi teratai dilakukan dengan alat GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrofotometer). Identifikasi dan konfirmasi identitas komponen dilakukan dengan bantuan komputer untuk membandingkan spektra massa suatu senyawa dengan pola spektra massa pada mass spectra library koleksi Wiley229. 3. Analisis komposisi fraksi karbohidrat yang terdapat pada biji dan umbi teratai. Analisis komposisi fraksi karbohidrat yang terdapat pada biji dan umbi teratai dilakukan dengan HPLC.
Pada tahap ini dianalisis komposisi fraksi
karbohidrat yang terdapat pada tepung biji dan umbi teratai, meliputi monosakarida (glukosa dan fruktosa), disakarida (sukrosa), oligosakarida (rafinosa dan stakiosa). Pengujian fraksi karbohidrat yang sudah dipisahkan pada tahap sebelumnya, dianggap sebagai gula pada media pertumbuhan dengan memodifikasi media pertumbuhannya secara in vitro (Kaplan & Hutkins 2000). Tahap ini bertujuan
untuk mengetahui apakah fraksi karbohidrat yang diduga berperan sebagai prebiotik dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat dan bifidobacterium uji, yaitu
dengan membandingkan antara glukosa yang terdapat pada media
pertumbuhan bakteri asam laktat dan bifidobaterium sebagai sumber karbohidrat dengan gula lain yang terdapat pada biji dan atau umbi teratai. Fraksi karbohidrat yang dapat difermentasi (dan dihasilkan asam sebagai produk akhir) ditandai dengan tumbuhnya koloni yang dikelilingi oleh zona warna kuning (> 3 mm) dengan latar belakang berwarna abu-abu.
Sedangkan koloni yang tidak dapat
memfermentasi fraksi karbohidrat uji menghasilkan koloni berwarna putih kecil tanpa zona berwarna kuning. 4. Evaluasi aktivitas biologis tepung biji teratai & ekstrak biji teratai terhadap tikus percobaan Pengujian secara in vivo dilakukan dengan tikus percobaan (jenis Sprague Dawley selama 28 hari) untuk mengevaluasi aktivitas biologis biji teratai baik yang berupa tepung maupun ekstrak biji dan kaitannya dengan pencegahan diare. Pada tahap ini, tepung biji disubstitusikan ke dalam pakan standar tikus percobaan (secara isokalori dan isonitrogen). Pembuatan ransum standar mengikuti metode AOAC (1990) dengan kasein sebagai sumber protein ransum (10%). Komposisi ransum sebagai berikut : Protein (a)
1.6 x 100 = -------------------Kadar N kasein
Lemak (b)
(a) x Kadar Lemak = [8 - -------------------------] 100
Mineral (c )
= [ 5 - -------------------------- ]
(a) x Kadar Abu 100
Air (d)
(a) x Kadar Air = [ 5 - --------------------- ] 100
Serat (e)
(a) x Kadar Serat = [ 1 - ----------------------- ] 100
Vitamin (f)
=1%
Pati
= 100 – (a + b + c + d + e + f )
Sumber protein yang digunakan adalah kasein, sebagai sumber lemak adalah minyak jagung. Mineral yang digunakan merupakan mineral mix yang terdiri dari KI 0.79 g, NaCl 139.30 g, KH2PO4 389.00 g, MgSO4 anhidrat 53.702 g, CaCO3 381.40 g, FeSO4.7H2O 27.00 g, MnSO4.2H2O 4.01 g, ZnSO4.7H2O 0.55 g, CuSO4.5H2O 0.48 g
dan CoCl2.6H2O 0.02 g (Muchtadi 1989).
Air yang
digunakan adalah air minum kemasan, sebagai sumber serat adalah selulosa dan vitamin yang digunakan adalah vitamin mix (Vitamin A, B1, B2, B3, B6, B12,C, D3, E, Ca Panthotenat). Pati yang digunakan adalah pati jagung. Komposisi ransum yang diberikan pada grup tikus percobaan untuk masingmasing perlakuan seperti tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi ransum tikus percobaan modifikasi AOAC 1990 Bahan (%) Kasein Minyak jagung Mineral mix Air Selulosa Vitamin mix FOS Pati jagung Biji teratai (tepung) Total
Kontrol 11.09 7.94 4.56 4.52 1.00 1.00 0 69.89 0 100
Grup tikus percobaan Biji teratai Ekstrak biji teratai 9.02 11.09 6.46 7.94 3.71 4.56 3.68 4.52 0.81 1.00 0.81 1.00 0 0 56.85 69.89 18.66 0 100 100
FOS 11.09 7.94 4.56 4.52 1.00 1.00 6.00 63.89 0 100
Grup kontrol menggunakan ransum standar (Modifikasi AOAC 1990) Ransum yang diberikan : 10 g/hari/ekor tikus Kasein sebagai sumber protein ransum (10%)
Ada dua kelompok tikus yang akan dipelajari yaitu kelompok tikus normal (sehat) dan kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 (Gambar 5). Masingmasing kelompok tikus dibagi menjadi 4 grup tikus (@ n=9 ekor), yaitu : 1. Grup tikus yang mendapat ransum standar 2. Grup tikus yang mendapat ransum yang disubstitusi dengan tepung biji teratai (20 MIC)
3. Grup tikus yang mendapat ransum standar dan ekstrak biji teratai yang teraktif (20 MIC) 4. Grup tikus yang mendapat ransum yang disubstitusi dengan FOS (6%) yang memiliki potensi aktivitas sebagai prebiotik.
14
1
K0
Terminasi1
28
21
Terminasi2
Terminasi 3
Gambar 5. Bagan penelitian secara in vivo Pemberian ransum dilakukan dari hari ke-1 hingga ke-28, dengan banyaknya ransum yang diberikan adalah 10 g/hari/ekor tikus percobaan. Perlakuan ransum yang diberikan, sebagai berikut : - ransum standar (Kontrol/K) - ransum standar disubstitusi tepung teratai (20 MIC) - ransum standar + ekstrak etil asetat biji teratai (20 MIC) (cekok) - ransum standar disubstitusi FOS 6% (cekok) Kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 mendapat ransum perlakuan yang sama dengan kelompok sehat, yaitu dari hari ke-1 sampai ke-28. Akan tetapi pada hari ke-14 – 21 dilakukan intervensi (cekok) EPEC K1.1 sehingga tikus menjadi diare. Setelah hari ke-22 intervensi EPEC K1.1 dihentikan. Agar terjadi diare pada tikus percobaan,
tikus percobaan diintervensi
(dicekok) dengan EPEC K1.1 pada jumlah koloni tertentu (koloni/ml) yang sudah diketahui dari hasil penelitian pendahuluan. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pemberian inokulum EPEC K1.1 pada beberapa konsentrasi (koloni/ml) sehingga tikus menjadi diare yang ditandai dengan feses yang cair. Penelitian pendahuluan mengacu pada hasil penelitian Oyetayo (2004), dimana intervensi
sebanyak 0.3 ml dari 105 CFU/ml EPEC K1.1 telah dapat menimbulkan diare pada tikus percobaan tanpa menyebabkan kematian. Evaluasi aktivitas biologis biji dan ekstrak biji teratai terhadap tikus percobaan dilakukan dengan mengamati : berat badan tikus (setiap 4 hari), konsumsi ransum (setiap hari), jumlah bakteri asam laktat aerob dan anaerob (pada hari ke-0, 14, 21 dan 28), total mikroba (pada hari ke-0, 14, 21 dan 28), total E. coli isi sekum (pada hari ke-0, 14, 21 dan 28), histologi usus halus dan imunohistokimia IgA usus halus tikus percobaan (pada hari ke-0, 14, 21, 28). 5. Evaluasi potensi biji teratai dan ekstraknya sebagai imunomodulator Evaluasi potensi biji teratai dan ekstraknya sebagai imunomodulator dalam kaitannya
dengan kandungan Imunoglobulin A (Ig A) pada usus halus tikus
percobaan
secara imunohistokimia,
dianalisis dengan metode Kiernan (1990).
Pengamatan dilakukan pada usus halus tikus percobaan bagian duodenum, jejunum dan ileum.
Teknik imunohistokimia ini menggunakan dua antibodi yaitu antibodi primer dan antibodi sekunder yang telah dikonjugasi dengan peroksidase. Pada jaringan, antibodi primer akan berikatan dengan antigen (molekul) jaringan yang dideteksi, dalam hal ini adalah IgA. Untuk mendeteksi peroksidase ditambahkan kromogen (DAB) sehingga produk reaksi ikatan Ag-Ab dapat tervisualisasikan yang ditunjukkan dengan endapan berwarna coklat. Sementara itu, adanya warna biru menunjukkan tidak terbentuknya enzim peroksidase yang berarti tidak adanya kompleks Ag-Ab. Pada penelitian ini, terbentuknya warna coklat menunjukkan keberadaan IgA pada lokasi jaringan. Semakin tua warna coklat menunjukkan semakin banyaknya IgA pada lokasi tersebut.
Terbentuknya warna biru
menunjukkan tidak adanya IgA pada lokasi tersebut. Pengamatan IgA pada sediaan usus duodenum, jejunum dan ileum yang sudah diwarnai di bawah mikroskop cahaya secara deskriptif untuk setiap 10 vili pada masing-masing usus dengan kriteria sebagai berikut : +
= warna biru menunjukkan pada bagian usus tersebut tidak mengandung IgA; atau warna coklat muda hanya pada bagian crypt mukosa usus; atau warna coklat tua hanya pada bagian crypt mukosa
++ = warna coklat muda hanya pada permukaan vili dan crypt; atau sebagian besar; atau seluruh mukosa usus +++ = warna coklat tua hanya pada permukaan vili dan crypt; atau sebagian besar mukosa usus ++++ = warna coklat tua pada seluruh mukosa usus D. Prosedur Analisis 1. Analisis proksimat Analisis kimia meliputi kadar air (metode oven), kadar abu (metode tanur), kadar lemak (metode ekstraksi soxhlet), protein (metode mikro-kjeldahl) dan karbohidrat (by difference) (AOAC 1984) 2. Kadar serat pangan (menurut Asp et al. 1983). Satu gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Erlemeyer. Ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat 0.1 M pH 6 sambil diaduk. Ditambahkan 0.1 ml enzim termamyl. Labu Erlemeyer ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi dalam penangas air suhu 100°C selama 15 menit. Dibiarkan dingin kemudian ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 1.5 dengan HCl. Ditambahkan 100 mg enzim Pepsin, Labu Erlemeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40°C selama 60 menit. Kemudian ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6.8 menggunakan NaOH. Enzim pankreatin ditambahkan 100 mg, labu Erlemeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40°C selama 60 menit. pH diatur menjadi 4.5 menggunakan HCl. Dilakukan penyaringan dengan menggunakan Crucible (porosity 2) yang telah diketahui beratnya dan mengandung 0.5 celite kering. Dilakukan pencucian 2 x 10 ml air destilata. Selanjutnya antara residu dan fltrat dipisahkan untuk analisis lebih lanjut. Residu (analisis serat pangan tidak larut). Dilakukan pencucian 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Dikeringkan pada suhu 105°C sampai mencapai berat konstan (semalam). Ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kemudian diabukan pada suhu 550°C selama 5 jam. Ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I1). Filtrat (analisis serat pangan yang larut). Volume filtrat diatur menjadi 100 ml. Ditambahkan 400 ml etanol 95% dalam keadaan hangat (suhu 60°C).
Biarkan mengendap selama 1 jam. Dilakukan penyaringan menggunakan crucible (porosity 2) yang telah diketahui beratnya dan mengandung 0.5 gram celite. Cuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Dikeringkan pada suhu 105°C selama semalam. Ditimbang setelah didinginkan dalan desikator D2). Diabukan pada suhu 555°C selama 5 jam. Ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I2). Blanko dibuat sesuai dengan prosedur di atas tetapi tanpa sampel (B1 dan B2). D1-I1-B1 % Serat makanan tidak larut = ----------------- x 100 W D2-I2-B2 % Serat makanan larut = --------------- x 100 W Keterangan : W = berat sampel (gram) D = berat setelah pengeringan (gram) I = berat setelah pengabuan (gram) B = berat blanko bebas abu (gram) 3. Kadar pati (AOAC 1984) Contoh sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam labu Erlemeyer, ditambahkan 200 ml larutan HCl 3% dan dipanaskan pada pendingin balik tegak. Setelah dingin dan dinetralkan dengan NaOH 10% (lebih baik suasana agak asam dengan menambahkan sedikit asam asetat). Larutan diencerkan sampai 500 ml di dalam labu takar, kemudian disaring.
Sebanyak 10 ml larutan (filtrat) dipipet dan
dimasukkan ke dalam labu Erlemeyer 250 ml dan ditambahkan 25 ml larutan luff Schoorl, 15 ml air suling dan beberapa batu didih. Larutan dipanaskan pada pendingin balik tegak. Pemanas diatur sehingga isi labu Erlemeyer mendidih dalam waktu kurang lebih 3 menit dan dipertahankan selama 10 menit. Kemudian didinginkan secara cepat pada air mengalir serta ditambahkan 10 ml KI 30% dan 25 ml H2SO4 25% secara perlahan. Setelah reaksi selesai dititrasi dengan larutan tiosulfat 0,1 N yang telah distandarisasi (a ml). Larutan kanji digunakan sebagai petunjuk. Blanko dibuat seperti di atas (b ml).
A x F x 0,9 Kadar pati (%) = ----------------- x 100% mg dimana : A = angka tabel Luff Schoorl, berdasarkan selisih ml titrasi (b-a) F = faktor pengenceran Mg = bobot contoh (mg) 0,9 = perbandingan berat pati dan sakar penyusutan 4. Analisis antimikroba dengan difusi agar (Gariga et al. 1983) Kultur bakteri murni dalam bentuk liofil dibuka secara aseptik lalu dipindahkan ke dalam tabung yang berisi medium NB steril dan diinkubasi 48 jam pada 37°C. Sebagai stok bakteri, dibuat kultur bakteri dalam agar miring dengan medium NA, disimpan di dalam lemari pendingin setelah terlebih dahulu diinkubasi selama 24-48 jam. Setiap stok bakteri yang akan digunakan dalam pengujian aktivitas antibakteri, selalu disegarkan kembali di dalam medium NB steril selama 24 jam pada 37°C, dihomogenkan dengan alat vorteks, lalu diinokulasikan sebnayak 20 μL ke dalam labu Erlemeyer yang berisi 20 ml medium agar cair (NA, 44-45°C) steril, dikocok merata, kemudian dituang ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan sampai membeku. Selanjutnya dibuat 3-4 lubang (sumur) secara aseptis dengan diameter sumur 6.0 mm (seragam). Ke dalam tiap lubang, diinokulasikan 60 μL atau 50 μL ekstrak biji/umbi teratai sesuai kebutuhan. Sebagai kontrol, diinokulasikan 60 μL pelarut pengencer. Zona penghambatan yang diukur adalah radius (r, mm) penghambatan berupa areal bening di sekeliling sumur uji, setelah diinkubasi selama 1-2 hari pada 37°C. Pengukuran jari-jari zona hambat di sekeliling sumur uji dilakukan dengan cara mengukur jarak dari tepi sumur uji ke batas lingkaran zona hambat menggunakan jangka sorong (ketelitian 0.01 mm) pada beberapa sisi sumur uji, lalu dirata-ratakan.
Selanjutnya nilai diameter (d, mm) zona hambat hasil
pengamatan langsung, diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut d = 2 x r. Untuk menghitung nilai aktivitas antibakteri hasil konversi akibat adanya perubahan besaran pada sampel, misalnya dari d = mm/mg cuplikan menjadi mm/g bahan.
5. Penentuan nilai MIC/MBC ekstrak biji/umbi teratai (Murhadi 2002 hasil modifikasi dari Muroi et al. 1993 dan Kubo et al. 1995) Nilai MIC didefinisikan sebagai konsentrasi minimum ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan (bakteristatik) masing-masing bakteri uji di dalam medium cair uji. Prosedur penentuan nilai MIC dilakukan sebagai berikut. Dibuat 18 seri pengujian di dalam 18 tabung kecil, masing-masing berisi 2.808 ml media uji cair steril (NB). Ke dalam masing-masing 18 tabung tersebut ditambahkan sebanyak 0.0, 9.0, 8.5, 8.0 7.5, 7.0, 6.5, 6.0, 5.5, 4.5, 4.0, 3.5, 3.0, 2.5, 2.0, 1.5 dan 1.0 mg ekstrak per ml media cair uji. Ekstrak diencerkan dengan etil asetat (1:5, b/v), sehingga di dalam 6 μL cairan ekstrak (setelah pengenceran) relatif setara dengan kandungan 1 mg ekstrak. Sebagai contoh, untuk membuat seri tabung uji ke-1 (0 mg ekstrak/ml media uji) digunakan 2.808 ml media uji cair steril + 0 μL cairan ekstrak + 162 μL air destilata, sedangkan untuk membuat seri tabung uji ke-2 (9.0 mg ekstrak/ml media uji) digunakan 2.808 mL media uji cair steril + 162 μL cairan ekstrak + 0 μL air destilata dan seterusnya sehingga diperoleh total cairan media uji dalam masing-masing seri tabung uji sebanyak 2,970 ml. Sementara itu dipersiapkan masing-masing bakteri uji yang telah disegarkan dan diinkubasi 24 jam (106-107 sel/ml) pada 37°C atau 30°C, lalu diencerkan 10 kali. Ke dalam masing-masing 18 tabung uji tersebut diinokulasikan dengan 30 μL suspensi bakteri uji sehingga total cairan adalah 3.00 ml per tabung, lalu dikocok dengan alat vorteks selama 1-2 menit, kemudian diinkubasi pada 37 atau 30°C selama 24 jam, lalu diteruskan hingga 48 jam. Perhitungan jumlah bakteri dilakukan secara manual dengan metode TPC (hitungan cawan) setelah diinkubasi selama 24 jam (MIC) dan 48 jam (MBC). Prosentase
penghambatan
pertumbuhan
bakteri
ditentukan
dengan
modifikasi metode Cappaso et al.(1995) yang dinyatakan : 100 – (Nt x 100/No), dimana Nt adalah jumlah bakteri CFU/ml dalam perlakuan penambahan ekstrak, sedangkan No adalah jumlah bakteri CFU/ml dalam kontrol (inokulum asal).
6. Analisis kualitatif tanin (Depkes 1995) Sebanyak 1 gram ekstrak ditambahkan 100 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring.
Ke dalam bagian filtrat ditambahkan larutan besi(III)
klorida. Bila terjadi warna hitam kehijauan menunjukkan adanya tanin. 7. Analisis kualitatif alkaloid (Depkes 1995) Sebanyak 500 mg serbuk ditambah 1 ml HCl 2 N. Dipanaskan dalam penangas air selama beberapa menit, didinginkan dan disaring. Dipindahkan 3 tetes filtrat pada kaca arloji ditambah 2 tetes bouchardat LP. Jika pada kedua percobaan tidak terjadi endapan, maka serbuk tidak mengandung alkaloid. Jika dengan Mayer LP terbentuk endapan putih/kuning yang larut metanol, dengan bouchardat LP terbentuk endapan coklat sampai dengan hitam maka terdapat alkaloid. 8. Analisis kualitatif saponin (Depkes 1995) Sebanyak 0.5 g serbuk/5 ml sediaan berbentuk cair dicampur dengan 50 ml larutan buffer fosfat pH 7.4, kemudian dipanaskan
setelah itu didinginkan.
Dilanjutkan dengan penyaringan. Diambil 1 ml filtrat ditambah suspensi darah, didiamkan 30 menit jika terjadi haemolisa total menunjukkan adanya saponin. 9. Analisis kualitatif flavonoid (Depkes 1995) Larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam ½ ml etanol ditambah 0.5 g seng dan 2 ml HCl 2 N. Didiamkan selama 1 menit ditambah 10 tetes HCl pekat. Jika selama 2 –5 menit terjadi warna merah intensif menunjukkan adanya flavonoid. 10. Analisis kualitatif triterpenoid (Depkes 1995) Sebanyak 2 gram ekstrak dilarutkan dengan 25 ml etanol panas (50°C) kemudian hasilnya disaring ke dalam pinggan porselin dan diuapkan sampai kering. Residu ditambahkan eter dan ekstrak eter dipindahkan ke dalam lempeng tetes kemudian ditambahkan 3 tetes anhidrida asam asetat dan 1 tetes H2SO4 pekat (uji Lieberman-Burchard). Warna merah ungu menunjukkan adanya triterpenoid.
11. Fraksinasi ekstrak biji dan umbi teratai (Houghton & Raman 1998) Fraksinasi menggunakan KLT (Kromatografi Lapis Tipis) atau TLC (tin layer chromatographi) kaca (Kieselgel 60 F254 0.2 mm,.Merck).
Yang
digunakan sebagai fase gerak adalah heksana dan etil asetat dengan perbandingan 7:3. Komponen-komponen yang terpisah dilihat dengan menggunakan sinar ultra violet (254 dan 360 nm). 12. Bioautografi (modifikasi Springfield et al. 2003) Ekstrak biji dan umbi difraksinasi dengan TLC berukuran 5x20 cm (Kieselgel 60 F254 0.2 mm, Merck) dengan pelarut heksana:etil asetat = 7:3. Setelah komponen ekstrak terpisah, TLC disiram dengan agar yang mengandung mikroba uji (EPEC K1.1 dan Salmonella Typhimurium) dengan konsentrasi 105 dalam media agar. TLC diinkubasi dalam cawan steril selama 18 jam suhu 37oC. Setelah diinkubasi plate TLC disemprot dengan 2 mg/ml larutan piodonitrotetrazolium violet (Sigma).
Daerah bening dari kromatogram
menunjukkan penghambatan pertumbuhan mikroba. 13. Identifikasi beberapa fraksi ekstrak biji dan umbi teratai Sampel yang merupakan fraksi-fraksi yang sudah dipisahkan dengan KLT, disuntikkan sebanyak 1 µL ke GCMS (Shimadzu QP-5050 Series (Class-5000 Ver 2.2)).
Kondisi GC menggunakan kolom kapiler dengan panjang 30 meter,
diameter 0.25 mm, aliran kolom 1.6 ml/menit. Suhu oven 60°C, suhu injector 300°C, suhu interface 320°C, tekanan kolom 100 kPa. Gas pembawa adalah helium. Teknik injeksi split/splitless, dengan split rasio 20. Waktu program 38 menit. 14. Penentuan kadar gula pada tepung biji dan umbi teratai (modifikasi Gulewicz et al. 2000) Biji dan umbi teratai dalam bentuk tepung diekstrak dengan menggunakan 200 ml etanol 50% (v/v) per 100 g tepung dengan menggunakan sonikator selama 1 jam. Selanjutnya di sentrifus dan diambil filtratnya, sedangkan endapannya diekstrak lagi dengan pelarut yang sama menggunakan sonikator kemudian disentrifus.
Filtrat di reflux pada suhu 85oC selama 10 menit setelah itu
disentrifus. Filtrat dievaporasi untuk menghilangkan etanol. Sebelum ke HPLC, terlebih dahulu filtrat disaring dengan millipore 0.45 um. Konsentrasi masing-masing komponen oligosakarida ditentukan dengan menggunakan HPLC dengan menggunakan kolom aminex Ion Exclusion HPX87H (300 mm x 7.8 mm, BioRAD) dan detektor RI Model 1755. Fase gerak adalah asam sulfat 0.005M dengan laju alir 0.5 ml/menit. Menggunakan standar Glukosa, fruktosa, sukrosa, rafinosa, stakhiosa. 15. Pemisahan fraksi karbohidrat (Modifikasi Gulewicz et al. 2000) Ekstrak gula pada tahap 14 ditambahkan 100% etanol sambil distirer. Rasio ekstrak air dan 100% etanol adalah 1:10. Selanjutnya disentrifus pada 3000 rpm selama 15 menit, dan endapannya dihilangkan residu etanolnya. Ekstrak kasar gula dilarutkan dalam air destilasi (25 ml) dan ditempatkan pada sintered glass funnel (ukuran pori G4) yang berisi diatomaceous earth dan charcoal (1:1, w/w) dan dihubungkan dengan vacum. Funnel selanjutnya dielusi dengan air dan oligosakarida dielusi dengan 70% etanol. Setelah itu dievaporasi dengan rotavapor vacum suhu 50oC. Ekstrak oligosakarida (sekitar 3 g) dilarutkan dalam 10 ml air destilasi kemudian dielusi pada kolom yang berisi Dowex 50WX8 dan dicuci dengan air destilasi hingga oligosakarida tidak terdeteksi dalam eluat. Larutan selanjutnya diliofilisasi. Fraksi oligosakarida yang murni selanjutnya digunakan untuk analisis in vitro sebagai pengganti glukosa pada media pertumbuhan bakteri asam laktat dan bifidobakterium. Konsentrasi masing-masing komponen oligosakarida ditentukan dengan menggunakan HPLC dengan menggunakan kolom aminex Ion Exclusion HPX87H (300 mm x 7.8 mm, BioRAD) dan detektor RI Model 1755. Fase gerak adalah asam sulfat 0.005M dengan laju alir 0.5 ml/menit. Menggunakan standar Glukosa, fruktosa, sukrosa, raffinosa, stakhiosa. 16. Pengujian fraksi karbohidrat secara In Vitro (Kaplan & Hutkins 2000) Pengamatan pertumbuhan bakteri asam laktat pada media agar dilakukan dengan membuat media pertumbuhan dasar MRS (tanpa karbohidrat) yang terdiri dari 0.05% L-sistein, 1.5% agar dan 30 mg bromcresol purple per liter. Media dasar tersebut selanjutnya diautoklaf sedangkan fraksi karbohidrat yang diuji difilter steril kemudian ditambahkan ke media agar.
Masing-masing strain
bakteri uji yang sebelumnya ditumbuhkan pada MRSB selanjutnya ditumbuhkan pada media agar yang mengandung fraksi karbohidrat dengan jumlah koloni berkisar antara 25-50 koloni. Cawan agar kemudian diinkubasi pada kondisi anaerob selama 24 jam.
Strain bakteri yang dapat memfermentasi fraksi
karbohidrat yang diuji (dan memproduksi asam sebagai produk akhirnya) tumbuh sebagai koloni yang dikelilingi oleh zona berwarna kuning (>3 mm) dengan latar belakang berwarna abu-abu. Sementara koloni yang tidak dapat memfermentasi fraksi karbohidrat uji menghasilkan koloni berwarna putih kecil tanpa zona berwarna kuning. 17. Pengambilan contoh pada metode in vivo Pengambilan contoh untuk analisis mikroba isi sekum dan mukosa sekum dilakukan secara bertahap, yaitu awal sebelum perlakuan, 2 minggu setelah perlakuan, 3 minggu setelah perlakuan dan 4 minggu setelah perlakuan. Pada saat pengambilan contoh tikus dibius dengan menggunakan dietil eter dan dibedah untuk diambil bagian usus.
Untuk pengamatan mikroba usus, pengambilan
contoh dilakukan dengan mengeluarkan lumen dari sekum dengan menggunting dinding usus. Selanjutnya sesegera mungkin dilakukan pengujian mikroba utama usus. Untuk mengambil contoh mikroba mukosa, terlebih dahulu sekum dicuci dengan larutan garam fisiologis steril hingga isi sekum sudah tidak ada yang menempel, dinding mukosa dikerik secara aseptis pada luasan 1 cm2 dengan spatula steril dan contoh dimasukkan dalam larutan garam fisiologis steril. Media yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri asam laktat seperti Lactobacillus spp. adalah MRS agar yang ditambahkan CaCO3 dengan waktu inkubasi 3 hari.
Setelah memadat, inkubasi anaerob dilakukan menggunakan
anaerobic jar dengan gas generating kit pada temperatur 37°C (Fardiaz 1989). Media pertumbuhan E. coli adalah Eosin Methylen Blue Agar (waktu inkubasi 3 hari), inkubasi secara aerob. Setelah inkubasi, mikroba diidentifikasi (morfologi koloni, morfologi sel, pewarnaan gram serta uji katalase) dan jumlah koloni spesifik dihitung dengan metode hitungan cawan. Hasil kuantifikasi dinyatakan dalam log CFU per gram isi sekum/lumen.
Jumlah total mikroba dan bakteri asam laktat yang terdapat pada usus dianalisis dengan mengambil 0.5 gram lumen dibuat serangkaian pengenceran menggunakan pengencer NaCl fisiologis 5 ml untuk selanjutnya dilakukan pengenceran yang sesuai. 18. Identifikasi bakteri asam laktat Identifikasi dilakukan terhadap semua isolat bakteri yang terkumpul berdasarkan karakteristik BAL.
Identifikasi dilakukan dengan cara menguji
karakteristik sifat morfologi dan biokimia (Harrigan dan McCance 1976). Karakteristik sifat morfologi. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan mikroskop medan terang berdasarkan pewarnaan Gram untuk mengetahui jenis Gram dan bentuk bakteri yang diisolasi. Berdasarkan keterangan sebelumnya, telah diketahui bahwa BAL adalah bakteri Gram positif, ada yang berbentuk basil maupun kokus. Ciri spesifik Lactobacillus spp (pada media MRSA) adalah koloni berwarna kekuningan, sirkular, conveks, diameter 2-4 mm, sel berbentuk batang, Gram positif dan katalase negatif. Karakteristik biokimia. Uji katalase. Bakteri asam laktat bersifat katalase negatif, hal ini dapat dibuktikan dengan uji katalase.
Sebanyak satu ose
pertumbuhan pada MRSA diambil dan dipindahkan ke atas gelas obyek, kemudian ditetesi larutan H2O2 3%. Timbulnya gelembung-gelembung gas CO2 menunjukkan uji katalase positif. 19. Total mikroba (AOAC 1990) Suspensi contoh (pengenceran 10-1) dipipet sebanyak 1 ml ke dalam 9 ml larutan pengencer BF sehingga diperoleh pengenceran 10-2 dan dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10-4, 10-5 dan seterusnya. Pada tingkat pengenceran yang sesuai, suspensi dipipet secara aseptik dan dipupukan sebanyak 1 ml ke dalam cawan petri steril (duplo). Selanjutnya dituangi PCA, digoyang dan setelah beku diinkubasi pada suhu 35-37°C selama 48±2 jam, koloni yang tumbuh dihitung sebagai total mikroba.
20. Perhitungan jumlah bakteri asam laktat Uji bakteri asam laktat (BAL) dilakukan dengan metode agar tuang dimana suspensi contoh isi sekum dan mukosa sekum pada pengenceran tertentu dipupuk pada MRSA dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam. Koloni yang tumbuh dihitung. Untuk BAL anaerob seperti Bifidobacterium dilakukan dengan cara mengambil sejumlah 0,5 g lumen dibuat serangkaian pengenceran sampai 10-8. Segera setelah penuangan media, cawan petri digerakkan di atas meja secara hatihati untuk menyebarkan mikroba secara merata. Setelah memadat, diinkubasi anaerob, dilakukan menggunakan anaerobic jar dengan gas generating kit pada temperatur 37°C (Fardiaz 1989). 21. Uji Escherichia coli Dari suspensi contoh dibuat pengenceran yang sesuai.
Pada tingkat
pengenceran tertentu (dimana diharapkan hasil 30-3000 koloni) dipipet 1 ml dan dipupuk ke EMBA (Eosin methilene Blue Agar) dengan metode tuang dan diinkubasi pada suhu 35-37°C selama 18-24 jam. Koloni tipikal E. coli adalah koloni dengan warna hijau metalik, shiny, conveks, diameter 1-2 mm, sel berbentuk batang, gram negatif dan katalase positif. 22. Analisis histologi jaringan usus halus tikus percobaan Analisis histologi jaringan usus halus (duodenum, jejenum dan ileum) tikus percobaan dengan pewarnaan HE (Hematoksilin-eosin) dilakukan dengan metode Kiernan (1990).
Prosedur pembuatan preparat histologi dengan pewarnaan HE adalah sebagai berikut : sampel usus dipotong kemudian difiksasi selama 24 jam dengan larutan Bouin. Larutan Bouin terdiri dari larutan asam pikrat jenuh, formalin p.a dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15:5:1. Selanjutnya dilakukan tahap dehidrasi dengan menggunakan berturut-turut alkohol 70%, 80%, 90% dan 95% masing-masing selama 24 jam dilanjutkan dengan alkohol absolute I, II, III masing-masing selama 1 jam.
Tahap berikutnya adalah clearing dengan
memasukkan ke dalam xylol I, II dan III masing-masing 1 jam. Tahap infltering dengan memasukkan ke dalam parafin I, II dan III masing-masing 1 jam pada
s suhu 60°C dilanjutkan n dengan em mbedding yaitu y penannaman jaring gan dalam p parafin kemu udian dibuatt blok-blok jaringan. Selanjuutnya jaring gan yang suudah dalam blok paraffin dipotongg setebal 4 m mikron deng gan mikrotom m dan hasil potongan diirendam dalaam akuades berikutnya d dibentangka an dalam ak kuades yangg dipanaskaan dalam w waterbath su uhu 37°C. J Jaringan dileetakkan padda gelas objeek kemudian n di masukkan ke dalam m inkubator 4 40°C selamaa ±24 jam. Sebelu um pewarnaaan dilakukaan deparafi finasi dan rehidrasi r deengan cara m mencelupkan n jaringan pada p gelas obbjek ke dalam m xylol I, III 3 menit daan xylol III 5 menit, dillanjutkan deengan alkohool absolut III,II, I selaama 3 mennit, alkohol 9 95%, 90% dan 80% seelama 3 menit dan alkoohol 70% selama 5 meenit, dicuci d dengan air kran k 5 menit dilanjutkan dengan akuaades minimaal 5 menit. Pewarrnaan dengan n hematoksiilin selama 25 2 detik dicuuci dengan air a keran 5 m menit dan ak kuades miniimal 5 menitt dilanjutkan n dengan eoosin 5 menitt kemudian a akuades minimal 5 menit. m
Taahap beriku utnya adalaah dehidrasi dengan
m mencelupkan n pada alkohol 70%, 800%, 90% daan 95% bebeerapa detik dilanjutkan d d dengan alkoohol absolut I 30 detik, aalkohol abso olut II 1 mennit dan alkohhol absolut I 3 menit. Tahap cleaaring dengann mencelupk III kan pada xyllol I,II dan III I masingm masing selaama 3 menit. Dilanjuttkan dengann mounting dengan caraa menetesi j jaringan den ngan kanada balsam kem mudian ditutu up dengan ggelas penutupp. Pengam matan histo ologi usus halus yaituu duodenum m, jejenum dan ileum d dengan mennghitung rataa-rata tebal mukosa m setiaap 10 vili peer usus. Tebbal mukosa d ditunjukkan dengan tandda (
) pada p Gambarr 6.
Tebal mukosa
Gam mbar 6. Peng gukuran tebaal mukosa paada usus hallus
23. Analisis imunohistokimia imunoglobulin A (IgA) jaringan usus halus tikus percobaan Kandungan Imunoglobulin A (Ig A) pada usus halus tikus percobaan secara imunohistokimia dianalisis dengan metode Kiernan (1990).
Prosedur analisis
imunohistokimia immunoglobulin A adalah sebagai berikut : dari awal preparasi sampel usus hingga tahap embedding dan pemotongan blok jaringan dengan mikrotom sama dengan pewarnaan hematoksilin-eosin kecuali pada tahap pelekatan preparat usus ke gelas objek dimana gelas objek sebelum digunakan harus dicuci bersih dengan teknik sonikasi kemudian dikeringkan dan diberi larutan neofren dalam toluen (toluen : neofren = 9:1). Pemberian neofren dengan tujuan agar preparat usus menempel dengan baik pada gelas objek dan tidak mudah terlepas pada saat proses pewarnaan imunohistokimia. Tahap analisis imunohistokimia diawali dengan deparafinisasi yaitu sediaan dimasukkan ke dalam serial larutan xylol III, II dan I dengan tujuan untuk melarutkan parafin dari jaringan. Selanjutnya dilakukan rehidrasi yaitu sediaan di masukkan ke dalam serial larutan alkohol (alkohol absolut III, II, dan I, alkohol 95, 90, 80 dan 70%). Sediaan kemudian direndam dalam air bebas ion selama 15 menit.
Tahap berikut adalah penghilangan
peroksidase endogen dengan
mencelupkan sediaan dalam campuran metanol (30 ml) dan H2O2 (0.5 ml) selama 15 menit. Sediaan direndam dalam air bebas ion sebanyak dua kali masingmasing selama 5 menit, kemudian direndam dalam PBS sebanyak dua kali masing-masing 5 menit. Sediaan kemudian diletakkan pada kotak sediaan dan masing-masing ditetesi 50-60 µl normal serum (10% dalam PBS) kemudiaan di inkubasi pada suhu 37°C, 60 menit.
Sediaan kemudian dicuci dengan PBS
sebanyak 3 kali masing-masing 5 menit, lalu ditetesi dengan antibodi primer/monoklonal yaitu IgA (Anti-Rat IgA, α-chain spesific Developed in Goat, SIGMA) dalam PBS (1:500) sebanyak 50-60 µl, diinkubasi dalam refrigerator selama satu malam (±19 jam). Selanjutnya dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali masing-masing 10 menit.
Sediaan ditetesi dengan antibodi sekunder DEPS
(DAKO Envision Peroxydase System) 50-60 µl, pada kondisi gelap, kemudian diinkubasi pada 37°C selama 60 menit. masing-masing selama 5 menit.
Sediaan dicuci 3 kali dengan PBS
Berikutnya dilakukan visualisai dengan DAB
(3,3’-Diaminobenzidine Tetrahydrochloride-Plus Kit substrate for Horsedish
Peroxidase) dengan mencampurkan reagent 1 + reagent 2 + reagent 3 dengan air bebas ion dengan perbandingan 1 :1 :1 : 20, larutan DAB diteteskan sebanyak 5060 µl pada sediaan. DAB dibiarkan bereaksi pada ruang gelap selama 30 menit. Selanjutnya sediaan direndam dalam air bebas ion (stopping point). Tahap berikutnya adalah pewarnaan dengan counterstain menggunakan hematoksilin dengan cara merendam sediaan dalam hematoksilin selama 27 detik dilanjutkan dengan perendaman dalam air bebas ion selama 7 menit sambil dicek di bawah mikroskop kontras warna coklat dengan ungu hematoksilin. Dilakukan dehidrasi dengan alkohol 70, 80, 90, 95 % dengan cara mencelupkannya dimana masing-masing 3 celupan, selanjutnya dicelup pada alkohol absolut I sebanyak 3 kali celupan. Selanjutnya dilakukan perendaman dalam alkohol absolut II dan III masing-masing selama 1 menit. Penjernihan dilakukan pertama dengan mencelupkan sediaan ke dalam xylol I, kemudian merandamnya ke dalam xylol II dan III, masing-masing 1 menit. Tahap akhir dari pewarnaan ini adalah mounting yaitu penempelan gelas penutup pada sediaan dengan menggunakan perekat entelan.
Diperoleh preparat imunohistokimia yang siap untuk diamati di bawah
mikroskop. E. Analisis Data. Analisis
data
dilakukan
dengan
rancangan
acak
lengkap
menggunakan program SPSS 11.5 dan uji beda lanjut dengan uji Duncan.
(RAL)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tanaman Teratai Teratai yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis Nymphaea pubescens Willd. dari suku Nymphaeaceae (hasil identifikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lampiran 1). Tanaman ini berdaun tebal dan bergerigi banyak dengan warna bunga putih dan luar kelopaknya berwarna merah muda (Gambar 7). Selama ini, tanaman teratai tumbuh secara liar di rawa dan sawah di daerah Hulu Sungai Utara. Pada musim hujan, sawah digenangi air dan saat itu tanaman teratai hampir menutupi perairan. Pada awal musim tanam dimana air mulai surut, tanaman ini dibersihkan dan sawah mulai ditanami padi. Setelah musim tanam dimana sawah mulai digenangi air, tanaman ini tumbuh kembali.
2 3
1
Gambar 7. Tanaman teratai (Nymphaea pubescens Willd) 1= bunga 2= buah 3= akar (‘rootstock’) Bagian dari tanaman ini yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai bahan makanan adalah bagian biji, bunga, batang dan umbinya. Akan tetapi yang paling banyak pemanfaatannya adalah bagian biji. Biji yang terdapat dalam buah biasanya dipanen dengan cara memetik buahnya yang sudah tua. Masyarakat setempat biasanya menggunakan sampan untuk memetik buah teratai. Buah yang sudah tua biasanya dibusukkan dan buah akan pecah, biji dipisahkan
d daging buah dan dicuci. dari d Biji yang sudah h bersih akann mengendaap di dasar w wadah penccucian. k kering.
Sellanjutnya biiji dijemur di bawah ssinar matahhari hingga
B yang keering biasannya berwarnna hijau tuaa atau kecok Biji klatan dan
k kulitnya kerras. Agar biisa dibuat teepung, biasannya kulit bijji dibuang dengan d cara m menumbukn nya atau meenggunakan alat pembuuang kulit padi. p Biji yang y sudah d dibuang kuliit luarnya dittumbuk dijaadikan tepungg untuk bahaan membuatt kue.
(a)
(b) 2
1
(c) Gambaar 8. Buah teeratai (a), buuah yang peccah (b) dan bbiji teratai (c)) c1 = biji dengan d kulit c2 c = biji tanpa kulit
Umbi teratai t (Gam mbar 9) jaranng dimanfaaatkan sebagaai bahan pangan karena s sulit mendaapatkan umbbi ketika saw wah digenanngi air (um mbi terbenam m di dalam
lumpur). Masyarakat mendapatkan umbi hanya sewaktu mereka membersihkan sawah, sebelum ditanami padi dan air sudah surut. Umbi teratai berukuran diameter rata-rata 3 cm dengan tinggi rata-rata 5 cm. Kulitnya keras, pada bagian luar diselimuti rambut-rambut halus, sedangkan pada bagian dalamnya dilapisi lilin (Gambar 9). Daging umbi berwarna kekuningan, sedikit bergetah.
Gambar 9. Umbi Teratai (Nymphaea pubescens Willd) Insert: penampang membujur umbi teratai
Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara diketahui bahwa masyarakat setempat belum pernah memanfaatkan biji dan umbi teratai sebagai bahan obat-obatan tradisional. Selama ini hanya dikenal sebagai bahan pangan. Selain teratai jenis Nymphaea pubescens, ada teratai jenis lain yang terdapat di rawa di Hulu Sungai Utara yaitu Nymphaea nouchali Burm.f. dari suku Nymphaeaceae. Teratai ini berbunga putih dengan ukuran lebih kecil dibandingkan dengan Nymphaea pubescens, daunnya tipis sedikit bergerigi. Teratai jenis ini bijinya tidak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai bahan makanan karena ukurannya yang jauh lebih kecil dibanding jenis Nymphaea pubescens dan rasanya yang pahit. Umumnya dimanfaatkan sebagai pakan burung. Oleh masyarakat setempat, teratai jenis Nymphaea nouchali ini dinamakan “tanding burung” Tanaman air lainnya yang mirip dengan teratai yang juga terdapat di rawa di Hulu Sungai Utara adalah Limnanthemum indicum Thwn dari suku Gentianaceae dengan bunga yang berukuran sangat kecil berwarna putih dan Nelumbo atau
lotus dengan bunga merah muda dan putih. Akan tetapi kedua tanaman tersebut juga belum dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh masyarakat setempat. B. Komposisi Kimia Biji dan Umbi Teratai Biji dan umbi teratai yang digunakan sebagai sampel pada penelitian ini memiliki komposisi kimia seperti terlihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi kimia biji dan umbi teratai No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
7
Komposisi kimia (%)
Air Protein Lemak Abu Karbohidrat Serat pangan : a.Serat pangan larut b.Serat pangan tidak larut c. Serat pangan total Pati
Keterangan :
Biji
Umbi
(bb)
(bk)
(bb)
(bk)
15.48 8.78 0.49 0.56 74.68
10.39 0.58 0.67 88.36
51.25 6.16 0.09 1.37 41.12
12.64 0.19 2.81 84.36
1.66 5.08 7.74 53.27
1.97 6.01 7.98 63.03
2.08 1.04 3.12 35.00
4.27 2.14 6.41 71.79
bb = berat basah bk = berat kering
Pada Tabel 6 terlihat biji teratai memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi tetapi lemaknya rendah. Komponen asam lemak tertinggi adalah linoleat dan stearat (Khairina dan Fitrial 2002). Biji teratai juga mengandung asam amino esensial yang lengkap (Khairina dan Fitrial 2002). Kadar serat pangan pada biji teratai cukup tinggi sehingga memungkinkannya sebagai sumber serat pangan. Umbi teratai juga memiliki kadar air yang rendah, karbohidrat yang tinggi dengan lemak yang rendah. Jika dibandingkan dengan ubi jalar, kadar air ubi jalar lebih tinggi (68.50 % bb), kadar karbohidratnya lebih tinggi (88.57 % bk), kadar proteinnya lebih rendah (5.71 % bk), dan kadar lemaknya lebih tinggi (2.22 % bk) (Depkes 1992). Umbi teratai memiliki kadar pati yang tinggi dan serat pangan yang cukup tinggi. Hal ini sangat memungkinkan biji dan umbi teratai sebagai sumber pangan baru yang bisa dikembangkan potensinya.
C. Antimikroba Ekstrak Biji dan Umbi Teratai Untuk mendapatkan ekstrak biji teratai yang memiliki aktivitas antimikroba, pertama-tama biji teratai diolah dalam bentuk tepung, selanjutnya tepung diekstrak secara bertingkat berdasarkan tingkat polaritasnya yaitu dengan pelarut heksana (tidak polar), kemudian dilanjutkan dengan etil asetat (semi polar) dan etanol (polar) secara maserasi masing-masing selama 24 jam. Tahapan ekstraksi pada umbi teratai sama dengan biji teratai. Sebelum diekstrak dengan pelarut, umbi terlebih dahulu dikeringbekukan. Rendemen dan sifat fisik dari masing-masing ekstrak dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Sifat fisik dan rendemen ekstrak biji dan umbi teratai
Biji
Umbi
Jenis ekstrak Ekstrak heksana Ekstrak etilasetat Ekstrak etanol Ekstrak heksana Ekstrak etil asetat Ekstrak etanol
Keterangan :
Fisik ekstrak Jingga, cair (oily) Jingga kecoklatan, kental Coklat kemerahan, kental Kuning kecoklatan, cair (oily) Kuning jingga, cair Jingga kecoklatan, cair
Rendemen (%) 0.84 0.95 7.34 0.46 0.70 6.69
kadar air tepung umbi (kering beku) = 8% Kadar air tepung biji = 13%
Aktivitas antimikroba dari ekstrak (etil asetat) biji dan umbi teratai terhadap EPEC K.1.1 dan S.Typhimurium dengan metode difusi sumur pada Nutrient agar ditunjukkan pada Gambar 10 dan 11. Hasil pengukuran diameter penghambatan terhadap EPEC K.1.1 dan S. Typhimurium dari ekstrak heksana, etil asetat dan etanol biji dan umbi teratai ditunjukkan pada Tabel 8. Secara umum ekstrak etil asetat mempunyai penghambatan lebih tinggi daripada ekstrak heksana dan etanol terhadap kedua bakteri uji. Ekstraksi dengan menggunakan heksana biasanya untuk menghilangkan senyawa-senyawa non polar alami, terutama senyawa-senyawa lilin tanaman, lemak-minyak nabati dan/atau sebagian minyak atsiri (Houghton dan Raman, 1998). Tabel 11 menunjukkan bahwa ekstrak heksana biji dan umbi teratai mengandung alkaloid yang umumnya memiliki aktivitas antimikroba.
10% 10%
K
30%
K
30%
20% 20%
20%
Umbi
Biji
Gambar 10. Penghambatan ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai dengan konsentrasi 10, 20 dan 30% terhadap S. Typhimurium. K= kontrol pelarut
5%
30%
Biji
5%
K 10%
10% K
30%
20%
20%
Umbi
Gambar 11. Penghambatan ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai dengan konsentrasi 5, 10, 20 dan 30% terhadap EPEC K1.1 K= kontrol pelarut
Menurut Kanasawa et al.(1995) senyawa minyak dan lipida lainnya mempunyai ukuran molekul besar sehingga tidak dapat masuk ke dalam dinding sel dan menjadi penghalang masuknya minyak atsiri dan komponen fitokimia lainnya ke dalam sel bakteri uji, akibatnya sel tetap akan tumbuh. Hal yang sama juga terjadi pada ekstrak heksana Helianthemum glomeratum yang menunjukkan tidak adanya aktivitas penghambatan terhadap bakteri patogen penyebab diare seperti Shigella sp, Salmonella sp., Vibrio cholera, E.coli EIEC dan ETEC (Meckes et al. 1997).
Demikian pula pada ekstrak heksana andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium DC) terhadap B. cereus, S. Typhimurium, S. aureus (Parhusip 2006) dan ekstrak heksana bunga kecombrang terhadap B. cereus, S. Typhimurium, L. monocytogenes, E. coli, A. hydrophila dan P. aeruginosa (Naufalin 2005). Pada Tabel 8 terlihat ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antimikroba yang lebih tinggi dibanding ekstrak etanol dan heksana, baik pada biji maupun umbi. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif yang berperan sebagai antimikroba adalah senyawa semi polar. Ekstrak etil asetat memberikan penghambatan yang tinggi (Gambar 10 dan 11). Kemampuan senyawa semi polar untuk menghambat pertumbuhan bakteri berkaitan dengan komponen dinding sel bakteri yang tidak bersifat absolut hidrofobik maupun absolut hidrofilik. Kanazawa et al.(1995) menyatakan bahwa suatu senyawa yang mempunyai polaritas optimum akan mempunyai aktivitas antimikroba yang maksimum, karena untuk interaksi suatu senyawa antimikroba dengan bakteri diperlukan imbangan hidrofilik-hidrofobik. Diduga senyawa semi polar mempunyai afinitas lebih tinggi untuk berinteraksi dengan dinding sel, sehingga ekstrak semi polar lebih efektif menghambat pertumbuhan EPEC K1.1 dan S.Typhimurium daripada ekstrak etanol (polar) dan heksana (non polar). Pada mikroba gram negatif seperti pada E.coli dan S.Typhimurium, memiliki struktur dinding sel yang kompleks. mengandung
5-10%
peptidoglikan,
Lapisan luar dinding selnya
selebihnya
terdiri
dari
protein,
lipopolisakarida dan lipoprotein. Lapisan ini merupakan lapisan lipid kedua, yang disebut lapisan lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan lapisan tambahan yang merupakan membran terluar dari dinding sel bakteri gram negatif. Lapisan LPS ini terikat satu sama lain dengan kation divalent Ca2+ dan Mg2+ (Murray et al.
1998).. Membran luar ini berfungsi sebagai penghalang masuknya senyawasenyawa yang tidak diperlukan sel (seperti bakteriosin, enzim dan senyawa hidrofobik). Asam-asam organik seperti EDTA (etilen diamin tetraacetic acid), asam sitrat, asam malat, asam laktat dan asam klorida dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif dengan cara mengkelat kation bivalen tersebut. Selain itu, molekul tanin juga dapat mengkelat ion-ion bivalen (Scalbert 1991). Terlepasnya kation-kation tersebut dari membran terluar bakteri, akan memudahkan masuknya senyawa antibakteri ke dalam sel (Stratford 2000). Sebagai upaya mencapai sasaran, senyawa antibakteri dapat menembus LPS dinding sel bakteri tersebut, molekul-molekul yang bersifat hidrofilik lebih mudah dibandingkan yang hidrofobik.
melewati LPS
Meskipun demikian pada bakteri gram negatif
terdapat pula sisi hidrofilik yaitu karboksil, asam amino dan hidroksil (Gorman 1991), sehingga senyawa hidrofobik pun dapat menembus dinding sel. Lapisan LPS ini tidak semata-mata tersusun oleh fosfolipid saja, seperti pada membran sitoplasma, tetapi juga mengandung
polisakarida dan protein
(Madigan 2000). Lipopolisakarida dinding sel gram negatif terdiri atas lipid kompleks yang disebut lipid A.
Lipid A ini terdiri atas suatu rantai satuan
disakarida glukosamin yang dihubungkan dengan ikatan pirofosfat, tempat melekatnya sejumlah asam lemak rantai panjang. Mikroba gram negatif juga memiliki selaput khusus berupa molekul protein (porin) yang memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan berat molekul rendah, sepeti gula, asam amino dan ion-ion tertentu. Porin pada S.Typhimurium dan E. coli yaitu OmpC, D dan F dan PhoE, merupakan protein trimer yang menembus kedua permukaan membran luar (Moat et al. 2002).
Protein ini membentuk pori-pori yang relatif tidak
spesifik yang memungkinkan difusi bebas zat-zat hidrofil kecil menembus membran. Porin dari spesies yang berbeda mempunyai kemampuan berdifusi yang berbeda pula, dari berat molekul 600 kda pada E.coli dan S. Typhimurium sampai lebih dari 3000 kda pada P aeruginosa (Jawetz et al. 1996; Murray et al. 1998). Semakin tinggi berat molekul protein semakin sulit menembus permukaan membran luar. Umumnya dinding sel bakteri gram negatif mengandung membran luar yang dapat menghalangi lewatnya molekul-molekul besar (Jawetz et al. 1996).
Tabel 8. Diameter penghambatan (mm) ekstrak heksana, etil asetat dan etanol biji dan umbi teratai Jenis ekstrak
Biji
Umbi
Konsentrasi (% b/v) EPEC K1.1
Diameter penghambatan (mm) S. B. Lactobacillus Typhimurium bifidum acidophilus
Heksana
0 10 20 30
0 0 0 0
0 0 0 0
-
-
Etil asetat
0 10 20 30
0 19.33±0.91 25.50±1.27 29.57±1.00
0 17.90±1.08 23.18±0.23 26.40±0.48
0 0 0 0
0 0 0 0
Etanol
0 10 20 30
0 12.36±0.28 14.08±1.02 15.79±0.53
0 12.47±2.38 13.43±1.10 15.49±0.21
0 0 0 0
0 0 0 0
Heksana
0 10 20 30
0 0 0 0
0 0 0 0
-
-
Etil asetat
0 10 20 30
0 15.30±0.12 19.68±0.59 23.01±0.67
0 11.60±0.28 14.63±0.13 19.65±0.51
0 0 0 0
0 0 0 0
Etanol
0 10 20 30
0 8.88±1.52 11.23±0.07 14.40±0.85
0 9.14±1.04 10.38±2.37 11.81±1.94
0 0 0 0
0 0 0 0
Keterangan :
0% = tanpa ekstrak (hanya pelarut yang digunakan) 0 = tidak ada penghambatan - = tidak diamati
Pada ekstrak etanol yang bersifat polar baik pada biji maupun umbi terlihat aktivitas antimikroba lebih rendah dibandingkan ekstrak etil asetat terhadap EPEC K1.1 dan S. Typhimurium.
Beberapa peneliti melapokan bahwa keberadaan
minyak dalam ekstrak non polar dan protein dalam ekstrak polar merupakan faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba dari senyawa fenolik (Nychas,
1995). Pada Tabel 11 terlihat bahwa ekstrak etanol biji mengandung tanin, dimana tanin dapat berikatan dengan protein biji sehingga aktivitas tanin sebagai antimikroba menjadi terganggu. Ekstrak etil asetat dan etanol, baik biji maupun umbi, tidak menunjukkan penghambatan pada bakteri asam laktat (Lactobacillus acidophilus) dan Bifidobacterium. Hal ini diduga karena permukaan dinding selnya mengandung asam teikoat yang terdiri dari satu polimer glukosilgliserol fosfat dan dua polimer diglukosilgliserol fosfat dengan gugus alkil berupa alanin, sehingga bersifat non polar (Moat et al. 2002). Lavlinesia (2004) dan Naufalin (2005) juga melaporkan bahwa Lactobacillus plantarum merupakan bakteri yang paling resisten terhadap ekstrak etil asetat biji atung dan bunga kecombrang. Ekstrak etil asetat, baik pada biji maupun umbi, memiliki aktivitas penghambatan yang lebih tinggi dibanding ekstrak heksana dan etanol. Oleh karena itu penelitian aktivitas antimikroba dari biji dan umbi teratai selanjutnya diarahkan kepada ekstrak etil asetat. Pengujian aktivitas antimikroba dari ekstrak etil asetat biji dan umbi dilakukan menggunakan metode kontak langsung antara bakteri uji dengan ekstrak. Metode ini dilakukan untuk mendapatkan nilai MIC dan MBC dari suatu ekstrak antimikroba. Nilai MIC dan MBC ekstrak etil asetat biji dan umbi terhadap pertumbuhan bakteri EPEC K1.1 dan S. Typhimurium dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa nilai MIC ekstrak etil asetat biji terhadap EPEC K1.1 dan S. Typhimurium adalah 0.1% (b/v) ekstrak dengan pelarut etil asetat atau 0,89 mg/ml, sedangkan nilai MBC ekstrak terhadap EPEC K1.1 adalah 0.150% (b/v) atau 1.33 mg/ml. Nilai MIC dan MBC terhadap S. Typhimurium adalah 0.125% (b/v) atau 1.11 mg/ml dan 0.150% (b/v) atau 1.33 mg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa EPEC K1.1 lebih sensitif terhadap ekstrak etil asetat biji dibandingkan dengan S.Typhimurium. Pada ekstrak etil asetat umbi, terlihat pengaruh ekstrak terhadap pertumbuhan EPEC K1.1 dan S. Typhimurium adalah sama dilihat dari nilai MIC yaitu sebesar 0.125% (b/v) atau 1.11 mg/ml dan MBC 0.175% (b/v) atau 1.55 mg/ml terhadap S.Typhimurium. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri uji lebih tahan terhadap ekstrak etil asetat umbi dibandingkan ekstrak etil asetat biji. Nilai MIC dan MBC senyawa antimikroba ekstrak tanaman berbeda-beda tergantung
pada jenis mikroba.
Nilai MIC senyawa antimikroba yang lebih rendah
menunjukkan bakteri lebih rentan terhadap komponen tersebut. Tabel 9. Pertumbuhan bakteri EPEC K1.1 dan Salmonella Typhimurium pada media NB yang mengandung ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai
Jenis ekstrak
Jenis bakteri
Konsentrasi Ekstrak etil asetat (% b/v)
0 0.075 0.1* EPEC K1.1 0.125 0.150** Ekstrak 0.175 etil 0 asetat 0.075 biji 0.1 S.Typhimurium 0.125* 0.150** 0.175 0 0.100 EPEC K1.1 0.125* 0.150 Ekstrak 0.175 etil asetat 0 umbi 0.100 0.125* S.Typhimurium 0.150 0.175** Keterangan : * MIC ekstrak etil asetat **MBC ekstrak etil asetat
Jumlah bakteri (CFU/ml) Inkubasi Inkubasi 0 jam 24 jam (No) (Nt) 3.3x109 4.1x105 5 4.1x10 3.4x105 5 3.0x104 4.1x10 5 4.1x10 1.4x101 5 0 4.1x10 4.1x105 0 3.3x109 4.9x105 4.9x105 9.7x104 5 4.9x10 7.0x104 5 3.8x102 4.9x10 5 4.9x10 0 5 4.9x10 0 4.1x105 2.8x109 4.1x105 6.9x104 5 4.1x10 3.9x104 5 4.1x10 7.7x102 4.1x101 4.1x105 5 5.2x10 3.1x109 5 5.2x10 8.1x104 5 5.2x10 1.4x104 3.1x101 5.2x105 5 5.2x10 0
% Penghambatan relatif terhadap jumlah bakteri awal [100-(Ntx100/No)] 17.07 92.68 99.99 100 100 80.20 85.71 99.92 100 100 83.17 90.49 99.81 99.99 84.42 97.31 99.99 100.00
Log penghambatan -3.91 0.83 1.14 4.47 5.61 5.61 -3.83 0.70 0.84 3.11 5.69 5.69 -3.79 0.81 1.06 2.77 4.04 -3.78 0.81 1.57 4.22 5.72
Jika dibandingkan dengan nilai MIC ekstrak tanaman lain, seperti ekstrak etil asetat bunga kecombrang nilai MIC ekstrak terhadap E. coli dan S.Typhimurium adalah 4 mg/ml (Naufalin 2005); ekstrak jahe terhadap E. coli dan S.Typhi adalah 10 mg/ml (Radiati 2002),dan ekstrak daun sirih terhadap E. coli dan S.Typhimurium adalah 2 mg/ml (Sugiastuti 2002). Aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat biji dan umbi dibandingkan dengan aktivitas beberapa antibiotik terhadap S.Typhimurium dan terhadap EPEC K1.1., diameter penghambatannya disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Diameter penghambatan (mm) ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai dibandingkan dengan antibiotik terhadap EPEC K1.1 dan S.Typhimurium
Antibiotik
(2%
b/v) Ekstrak etil asetat (2% b/v)
Amoksilin Ampisilin
Diameter penghambatan (mm) EPEC K1.1 S.Typhimurium 0 23.94±0.78 0
23.65±1.48
Kloramfenikol
1.72±0.39
25.14±2.49
Biji
14.98±0.60
14.00±1.20
Umbi
13.68±0.81
13.43±0.60
Keterangan : 0 = tidak ada penghambatan
Pada Tabel 10, terlihat bahwa dengan konsentrasi yang sama (2%) aktivitas antimikroba ekstrak biji dan umbi terhadap S. Typhimurium lebih kecil dibandingkan dengan antibiotik (kloramfenicol, amoksilin dan ampisilin). Akan tetapi terhadap EPEC K1.1, aktivitas antimikroba dari antibiotik lebih rendah dibanding ekstrak biji dan umbi. Diketahui bahwa EPEC K1.1 resisten terhadap ketiga antibiotik yang diuji, sedangkan terhadap ekstrak biji dan umbi teratai dengan konsentrasi yang sama terlihat adanya penghambatan. Diduga ekstrak biji dan umbi mempunyai mekanisme penghambatan yang berbeda dengan ketiga antibiotik yang diuji terhadap mikroba uji. Beragamnya komponen antimikroba yang berperan pada ekstrak mengakibatkan cara penghambatannya terhadap bakteri juga berbeda. Berbeda dengan antibiotik yang memiliki senyawa tunggal dengan mekanisme penghambatan terhadap bakteri yang spesifik.
Jika antibiotik diberikan terus-menerus atau secara berlebihan
maka bakteri akan membuat pertahanan diri terhadap senyawa tersebut, yang akhirnya membuat bakteri tersebut menjadi resisten. Menurut Madigan (2000), beberapa mikroorganisme secara alami resisten untuk beberapa antibiotik, yang disebabkan karena : (1) mikroorganisme tersebut tidak mempunyai struktur yang dapat dihambat antibiotik (tidak mempunyai dinding sel bakteri dan tahan terhadap penicilin, seperti mycoplasma); (2) mikroorganisme tersebut mungkin tidak permeabel terhadap antibiotik (sebagian bakteri gram negatif tidak permeabel terhadap penicilin); (3) mikroorganisme tersebut mungkin dapat merubah antibiotik menjadi bentuk yang tidak aktif (seperti Staphylococcus mengandung β-lactamase yang dapat memutus cincin β-lactam dari penicilin); (4)
mikroorganisme tersebut mungkin memodifikasi target dari antibiotik; (5) terjadi perubahan genetik pada mikroorganisme tersebut sehingga dapat bertahan terhadap kerja antibiotik; dan (6) mikroorganisme tersebut dapat memompa keluar antibiotik yang masuk ke dalam sel (efflux). Kloramfenikol adalah antibiotik yang bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein mikroba. Yang dihambat adalah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein mikroba. Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik, tetapi pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisidal terhadap mikroba yang peka (Gan et al. 1980). Menurut Gan et al. (1980), E.coli dapat resisten terhadap kloramfenikol dengan mengasetilasi antibiotik tersebut. Ampisilin dan amoksilin adalah jenis penisilin yang berspektrum antimikroba luas, efektif terhadap mikroba gram positif dan negatif. Kejadian resistensi terhadap penisilin pada umumnya didasarkan pada produksi penisilinase, yang dapat memecah ikatan atom N dengan C pada cicin laktam, dengan menghasilkan asam penisiloat. Asam penisiloat, tidak memiliki lagi sifat antibakteri (Gan et al.1980). D. Komponen Fitokimia Ekstrak Biji dan Umbi Teratai Analisis fitokimia secara kualitatif terhadap tepung biji, umbi dan masingmasing ekstrak dilakukan untuk melihat komponen-komponen fitokimia yang diduga berperan sebagai antimikroba. Pada Tabel 11 terlihat komponen fitokimia yang terdapat pada tepung biji. Tepung biji teratai mengandung hampir semua komponen fitokimia seperti alkaloid, tanin, saponin, glikosida, flavonoid, steroid/triterpenoid.
Komponen fitokimia tersebut tersebar pada masing-masing
ekstrak (Tabel 11).
Sementara tepung umbi mengandung komponen fitokimia
yang utama adalah alkaloid, tanin dan saponin (Tabel 11). Glikosida, flavonoid dan steroid juga terdapat pada ekstrak umbi (Tabel 11), sementara pada tepungnya tidak terdeteksi. Hal ini diduga komponen tersebut konsentrasinya kecil dalam umbi dan menjadi terdeteksi setelah tepung diekstrak dengan pelarut yang bertingkat (tidak polar, semipolar dan polar) yang sesuai dengan kelarutan komponen fitokimia tersebut.
Tabel 11. Komponen fitokimia ekstrak biji dan umbi teratai Biji
Komponen fitokimia
Umbi Ekstrak etanol
Umbi
Ekstrak heksana
Ekstrak etil asetat
Ekstrak etanol
Biji
Ekstrak heksana
Ekstrak etil asetat
Alkaloid
++++
++
++
++
++++
++
++
+
Saponin
+
++
+
+++
+
-
+
++
Tanin
+
-
++
+++
+
-
+
+++
Glikosida
++
++
++
-
-
++
+++
-
Flavonoid
+++
-
+
+++
-
-
++
-
Steroid
+++
++
-
-
-
+
+
++
+
-
++
+
-
-
-
-
Triterpenoid Keterangan :
+ : positif lemah , ++ : positif, +++ : positif kuat, ++++ : positif kuat sekali - : tidak terdapat pada sampel
Ahmad & Beg (2001) melakukan analisis fitokimia terhadap 40 ekstrak tanaman yang memiliki aktivitas antimikroba. Komponen fitokimia yang terdapat pada ekstrak tersebut adalah fenol (79%), epi/gallotanin atau tanin terkondensasi (77%), glikosida (49%), saponin (38%), flavonoid (28%) dan alkaloid (25%). Secara umum alkaloid merupakan metabolit basa
yang mengandung
nitrogen dan banyak sekali ragam maupun struktur kimianya. Sebagian besar alkaloid dibentuk dari asam-asam amino seperti lisin, ornitin, fenilalanin, tirosin dan triftofan. Kerangka asam-asam amino tersebut sebagian besar masih tetap asli di dalam struktur senyawa-senyawa alkaloid yang diturunkannya (Herbert 1988). Banyak jenis alkaloid bersifat terpenoid atau sebagai terpenoid termodifikasi. Jenis alkaloid yang terdapat pada umbi dari spesies Nymphaea alba adalah nymphaeine dan nupharine, dimana umbi ini digunakan untuk mengobati disentri atau diare yang disebabkan oleh iritasi sindrom usus besar (Anonim 2004). Rhizome tersebut selain mengandung alkaloid juga, resin, glikosida dan tanin. Menurut Aguwa dan Lawal (1988) saponin terutama triterpen menunjukkan anti-ulcer melalui pembentukan perlindungan pada mukus permukaan mukosa usus. Aktifitas
tanin sebagai antimikroba menurut Scalbert (1991) ada tiga
mekanisme, yaitu (1) bersifat astringen (zat yang menciutkan), dimana tanin dapat membentuk kompleks dengan enzim mikroba ataupun substrat, (2) mekanisme
terhadap membran mikroba, untuk mencapai membran tanin harus melewati dinding sel mikroba.
Dinding sel terbuat dari polisakarida dan protein yang
berbeda yang memungkinkan bagian dari tanin masuk. (3) tanin mengkompleks ion metal.
Kebanyakan tanin memiliki lebih dari dua grup o-difenol pada
molekulnya, yang dapat membentuk kelat dengan ion-ion metal seperti Cu dan Fe. Tanin mereduksi ketersediaan ion metal esensial untuk mikroorganisme. Tanin dan asam tanin mendenaturasi protein melalui pembentukan komplek (protein-tannate). Kompleks tersebut membentuk lapisan pada mukosa usus dan membuatnya lebih tahan, sedangkan sekresi gastrik berkurang secara simultan (Aniagu et al. 2005). Tanin, pada konsentrasi rendah dapat membuat lapisan pada permukaan lambung, sehingga menjadi kurang permiabel dan lebih tahan terhadap kerusakan kimia, mekanik atau iritasi (Aguwa &Lawal 1988; Otshudi et al. 2000). Tanin juga menyebabkan ‘vasocontriction’ lokal pembuluh darah mukosa usus dan akibatnya dapat mereduksi jumlah sekresi asam lambung oleh mukosa (Ramstad (1969) di dalam Aguwa & Lawal 1988). Selain itu tanin juga memiliki aktivitas sitotoksik dan antineoplastik (Otshudi et al. 2000). Menurut Otshudi et al. (2000) flavonoid diketahui memiliki aktivitas antivirus, antiinflamasi, dan sitotoksik. Flavonoid memiliki aktivitas antioksidan dan memperkuat sistem pertahanan mukosa melalui stimulasi sekresi mukus gastrik (Martin et al. (1994) di dalam Aniagu et al. (2005). Flavonoid dapat berperan sebagai penangkap spesies oksigen reaktif (seperti anion super-oksida) dan radikal bebas (Aniagu et al. 2005). E. Fraksinasi Ekstrak Etil Asetat Biji dan Umbi Teratai dan Uji Aktivitas Fraksi Ekstrak etil asetat pada biji dan umbi memiliki aktivitas antimikroba yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak etanol. Oleh karena itu hanya ekstrak tersebut yang dilanjutkan untuk melihat fraksi-fraksi yang berperan sebagai antimikroba. Fraksinasi ekstrak etil asetat menggunakan KLT (Kromatografi Lapis Tipis) silika G60 F245 dengan fase gerak heksana dan etil asetat dengan perbandingan 7:3. Berdasarkan kombinasi fase gerak tersebut pada ekstrak etil asetat biji diperoleh 11 fraksi dan ekstrak etil asetat umbi 10 fraksi dengan nilai Rf disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Nilai Rf fraksi ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai Ekstrak etil asetat biji No. Fraksi Rf 11 0.930 10 0.892 9 0.820 8
0.720
7 6 5 4 3 2
0.540 0.510 0.466 0.431 0.376 0.320
1
Ekstrak etil asetat umbi No. Fraksi Rf 10 0.925 9 0.871 8
0.805
7 6
0.665 0.545
5 4 3
0.448 0.416 0.393
2 1
0.292 0.197
0.076
Berdasarkan nilai Rf, terlihat ada enam fraksi yang memiliki nilai Rf yang berdekatan antara ekstrak biji dan umbi. Hal ini diduga ada beberapa senyawa aktif yang terdapat pada biji dan terdapat pula pada umbi. Pola pengembangan hasil fraksinasi ekstrak etil aetat biji dapat dilihat pada Gambar 12 dan ekstrak etil asetat umbi pada Gambar 13. Pada masing-masing fraksi yang telah dipisahkan dengan menggunakan KLT, dilakukan uji aktivitas antimikroba secara kualitatif menggunakan metode bioautografi. Hasil uji aktivitas masing-masing fraksi dengan bioautografi dapat dilihat pada Gambar 12 untuk ekstrak etil asetat biji dan Gambar 13 untuk ekstrak etil asetat umbi. Secara kualitatif terlihat bahwa semua fraksi yang terpisah dengan KLT, baik pada ekstrak etil asetat biji maupun umbi dengan bakteri uji EPEC K1.1 dan S.Typhimurium, mempunyai aktivitas penghambatan.
Hal ini menunjukkan
bahwa fraksi-fraksi tersebut memiliki aktivitas antimikroba yang berkerja secara sinergis.
11 10 9 8
Daerah n penghambatan Daerah ditumbbuhi mikroba
7 6 Daerah penghambatann
5 4 3
2
Daerah penghambatann
Daerah penghambataan
1 UV 36 66 nm
S.Typhim murium
11 Daerah penghambbatan
10 9 8
Daerah dittumbuhi mikroba 7 6 5 4
Daerah penghambbatan
3 2
Daerah penghambbatan 1 UV 366 6 nm
EPEC K.1.1 K
Gambar 12 2. Bioautograam menunjuukkan penghhambatan eksstrak etil aseetat biji terhadap EPEC E K1.1 ddan S.Typhim murium
aerahh Daerah penghambattan
10 9 8
Daerah penghambattan
7 Daerah penghambattan
6 5 4
Daerah penghambattan
3 2
Daerah penghambattan
1 UV 366 nm
Sa almonella Tyyphimurium
EPEC K.1.1 K
Gambar 13 3. Bioautograam yang meenunjukkan penghambata p an ekstrak etil asetat umbi terhaddap S.Typhim murium dan E EPEC K1.1
Penghambatan oleh masing-masing fraksi setelah diinkubasi dengan mikroba uji ditunjukkan oleh adanya daerah bening (terang) yang terbentuk pada fraksi-fraksi tersebut dibandingkan dengan KLT yang dielusi dengan antimikroba (diamati di bawah sinar UV 366 nm) yang tidak diinkubasi dengan bakteri uji. Pada bioautogram terlihat mikroba uji berwarna ungu setelah diberi pewarna sel p-iodonitrotetrazolium
violet,
yang
menunjukkan bahwa
daerah
yang
ditumbuhi mikroba tidak ada penghambatan oleh fraksi antimikroba. Sebagian besar fraksi-fraksi yang terdapat pada ekstrak etil asetat, baik biji maupun umbi, setelah diberi pewarna p-iodonitrotetrazolium violet menimbulkan warna pada fraksi tersebut. Walaupun daerah penghambatan tidak terlihat berwarna bening, tetapi daerah yang terdapat fraksi yang memiliki aktivitas antimikroba menunjukkan tidak ditumbuhi oleh mikroba yang berwana ungu (setelah disemprot pewarna). Pengujian secara kuantitatif terhadap aktivitas masing-masing fraksi dilakukan dengan mengerok spot-spot fraksi pada KLT, kemudian dimaserasi dengan pelarut etil asetat dan diambil filtratnya dengan cara sentrifugasi. Filtrat diuapkan pelarutnya dengan N2 dan diperoleh fraksi-fraksi ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai. Fraksi-fraksi tersebut diuji aktivitas antimikrobanya dengan menggunakan difusi sumur. Hasil pengujian dengan menggunakan difusi sumur untuk fraksi eksrak etil asetat biji dan umbi dapat dilihat pada Tabel 13 dan Tabel 14. Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa semua fraksi mempunyai aktivitas antimikroba, dimana fraksi 10 dan 11 memiliki aktivitas penghambatan yang paling besar terhadap EPEC K1.1. Berdasarkan pengembang (eluen) yang digunakan yaitu heksana dan etil asetat (7:3) menunjukkan semakin besar nomor fraksi maka fraksi tersebut semakin tidak polar (penomoran fraksi dimulai dari awal laju eluen pada KLT). Hal ini menunjukkan bahwa fraksi yang lebih tidak polar pada ekstrak etil asetat biji teratai memiliki aktivitas penghambatan yang lebih besar terhadap EPEC K1.1. Akan tetapi sebaliknya terhadap S. Typhimurium, fraksi yang lebih rendah (yang lebih polar) memiliki aktivitas antimikroba yang lebih besar.
Tabel 13. Diameter penghambatan (mm) dari ekstrak etil asetat biji (2%) dan fraksi-fraksinya (2%) terhadap EPEC K1.1 dan S. Typhimurium Ekstrak biji teratai Ekstrak etil asetat Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 Fraksi 4 Fraksi 5 Fraksi 6 Fraksi 7 Fraksi 8 Fraksi 9 Fraksi 10 Fraksi 11
Diameter penghambatan (mm) EPEC K1.1 S. Typhimurium 14.98 14.00 5.13 Tidak ada penghambatan 2.15 7.78 6.85 6.22 5.70 2.98 4.48 4.93 7.95 8.15 7.33 2.0 7.18 3.98 7.38 3.20 10.6 3.30 11.65 2.35
Aktivitas masing-masing fraksi dari ekstrak etil asetat biji terhadap S. Typhimurium terlihat lebih rendah dibandingkan terhadap EPEC K1.1, hanya fraksi 2,3 dan 6 mempunyai aktivitas yang lebih besar terhadap S. Typhimurium. Fraksi 1 terlihat tidak mempunyai aktivitas penghambatan terhadap S Typhimurium, sedangkan pada bioautogram terlihat adanya penghambatan. Hal tersebut diduga fraksi tersebut jumlahnya terlalu kecil pada ekstrak, sehingga untuk
pengujian
difusi
sumur
konsentrasinya
tidak
mencukupi
untuk
menunjukkan adanya penghambatan. Tabel 14. Diameter penghambatan (mm) dari ekstrak etil asetat umbi (2%) dan fraksi-fraksinya (2%) terhadap EPEC K1.1 dan S. Typhimurium Ekstrak umbi teratai Ekstrak etil asetat Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 Fraksi 4 Fraksi 5 Fraksi 6 Fraksi 7 Fraksi 8 Fraksi 9 Fraksi 10
Diameter penghambatan (mm) EPEC K1.1 S. Typhimurium 13.68 13.43 5.44 2.89 6.69 2.88 8.50 2.61 9.04 3.49 9.54 4.16 12.12 2.38 9.88 Tidak ada penghambatan 6.31 3.92 3.94 3.91 10.57 3.46
Pada Tabel 14 terlihat semua fraksi dari ekstrak etil asetat umbi memiliki aktivitas penghambatan terhadap EPEC K1.1. aktivitas yang terbesar.
Fraksi 6 dan 10 mempunyai
Sementara terhadap S.Typhimurium, semua fraksi
menunjukkan adanya penghambatan kecuali pada fraksi 7. Hal ini diduga fraksi 7 jumlahnya sangat kecil pada ekstrak sehingga konsentrasinya tidak cukup untuk melakukan penghambatan. Berbeda dengan bioautogram, fraksi 7 menunjukkan adanya penghambatan karena pada metode bioautografi fraksi tidak diambil melainkan tetap pada KLT yang kemudian langsung diinkubasi dengan mikroba. F. Identifikasi Senyawa Antimikroba Beberapa Fraksi Ekstrak Biji dan Umbi Teratai Identifikasi senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba dari beberapa fraksi ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai dengan menggunakan GCMS ditujukan untuk senyawa-senyawa yang mudah menguap (volatil).
Penentuan
senyawa menggunakan library Wiley229, dengan nilai SI (simillarities index) di atas 80. Hasil identifikasi terhadap senyawa dugaan yang terdapat pada beberapa fraksi dari ekstrak etil asetat biji dapat dilihat pada Tabel 15 Untuk senyawasenyawa yang muncul pada kromatogram tetapi nilai SI < 80 tidak dicantumkan pada Tabel 15. Kromatogram dari masing-masing fraksi dapat di lihat pada Lampiran 2. Pada Tabel 15 terlihat secara umum, fraksi ektrak etil asetat, baik biji maupun umbi memiliki senyawa yang mengandung asam karboksilat, alkohol, keton, ester, fenol dan terpene yang diketahui memiliki aktivitas antimikroba. Menurut Kabara (1993), sabun yang mengandung garam dari asam lemak miristat, palmitat dan stearat efektif menghambat E.coli. Pada asam lemak, posisi dan jumlah ikatan rangkap mempengaruhi aktivitas antimikroba terutama untuk asam lemak rantai panjang (> C12) dibandingkan rantai pendek (
Selanjutnya
menimbulkan
kekacauan
pada
sistem
membran
sitoplasma, yang menyebabkan terbebasnya sitoplasma (Nychas 1995). Selain itu,
menurut Davidson (1993), senyawa fenol dan golongan halogen dapat merusak secara fisik membran sel dan permeabilitas membran sel mikroba. Senyawa dengan cincin aromatik dan yang disubstitusi oleh keton sangat reaktif, dimana memiliki aktivitas antimikroba terhadap polipeptida dinding sel bakteri dan enzim yang terikat pada membran sel mikroba (Cowan 1999). Letak dan jumlah grup hidroksil pada grup fenol bersifat toksik terhadap mikroba, meliputi penghambatan enzim oleh senyawa-senyawa yang teroksidasi. Diduga melalui reaksi dengan grup sulfhidril atau melalui interaksi tidak spesifik dengan protein. Terpena adalah jenis minyak atsiri yang aktivitasnya terhadap mikroba adalah merusak membran sel karena sifatnyanya yang lipofilik (Cowan 1999). Nummularine (C29H38N4O5) yang terdapat pada fraksi 11 diduga adalah jenis alkaloid.
Demikian pula pada beberapa fraksi yang senyawanya
mengandung N, diduga adalah jenis alkaloid yang terdiferensiasi akibat panas oleh GCMS.
Jenis alkaloid yang ditemukan pada genus Nymphaea adalah
nymphaeine (C14H23NO2) (Raffauf 1970). Meskipun belum banyak diketahui bahwa alkaloid memiliki aktivitas antimikroba. Menurut Cowan (1999), alkaloid sebagai antimikroba pada berberine melakukan interkelat ke dalam dinding sel dan atau membran mikroba. Senyawa alkaloid lainnya yang memiliki aktivitas antimikroba adalah alkaloid karbazol. Alkaloid karbazol yang terbukti memiliki aktivitas
antimikroba
antara
lain,
3-metil-6,7-metilenadioksidakarbazol
(C14H11NO2), 1,8-dimetoksi-3-formilkarbazol (C15H13NO3).
Senyawa 3-metil-
6,7-metilenadioksidakarbazol, yang diisolasi dari ekstrak dietil eter kulit kayu tanaman Clausena heptaphylla bersifat antibakteri kuat terhadap B. subtilis, E.coli dan S. aureus (Bhattacharyya et al. 1993). Sementara senyawa 1,8-dimetoksi-3formilkarbazol, yang diisolasi dari ekstrak etanol daun tanaman
Clausena
heptaphylla bersifat antimikroba terhadap S. aureus, C.albicans, P.aeruginosa dan S. Typhimurium (Chakraborty et al. 1995). Adanya hidrokarbon dengan ikatan rangkap (alkena), yang bersifat lifofilik, dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel bakteri yang cenderung hidrofobik, sehingga memudahkan senyawa antimikroba yang berukuran molekul besar untuk menembus dinding sel (Kabara 1993).
Tabel 15. Senyawa-senyawa dugaan yang terdapat pada fraksi ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai No. fraksi
Nama senyawa Nummularine Hexadecanoic acid (CAS) Palmitic acid
11
Ekstrak
10
etil asetat biji teratai
9
8 7
5
10
Ekstrak etil
9
asetat umbi teratai
11,14-Eicosadienoic acid, methyl ester Phenol, 4-bromo-2-(1,2-dimethyl-3methylenecyclo) 1,2-Benzenedicarboxylic acid, dioctyl ester
C21H38O2 C15H18BrIO
δ-tocopherol 4-Heptanone,2-methyl-(CAS)2-Methyl-4heptanone 1,2-Benzenedicarboxylic acid, diisoctyl ester
C27H46O2 C8H16O
1,2-Dimethyl 3-(3-Bromo-4-methoxy-2Hpyran-2-on-6-yl) indolizidinedicarboxylate Diacetin Benzenaminium,3-carboxy-N,N,Ntrimethyl-,hydroxyide, inner salt Benzene,(1-bromoethyl)(CAS) 1-Phenylethyl bromide 3-(2,6-Dimethylphenyl)-1,2-benzisoxazole (4-tolyl)pyrimido[1,2,5]benzo (5-amino) triazinium dibromide 4-T-Butyl-2isopropoxymethylenecyclohexanone 2-methyl-6-beta-d-ribofuranosylimidazol (1,2)pyrimidin-5(6H)-one Di-(2-ethylhexyl)ester of Adipic acid Diacetin
C18H14BrNO7
Phenol, 4-bromo-2-(1,2-dimethyl-3methylenecyclo) Acetic acid, cyano
C24H38O4
C24H38O4
Golongan senyawa Asam karboksilat ester Fenol, halogen Aromatik, ester Keton
C14H24O2
Aromatik, ester Asam karboksilat Alkohol Aromatik, amida Aromatik, halogen Fenol, Amida Aromatik, amina Keton
C12H15N3O5
Keton
C22H42O4 C7H12O5
Ester Alkohol
C15H18BrIO
Fenol, halogen
C3H3 NO2
Asam karboksilat Aromatik, Ester Alkena Alkena Akohol Alkena Alkena
C7H12O5 C10H13NO2 C8H9Br C15H13NO C17H15Br2N5
1,2-Benzenedicarboxylic acid, bis(2ethylhexyl)ester 3-Octadecene 1-Hexadecene(CAS) Cetene 1-Pentadecanol 1-Nonadecene 2,6,10,14,18,22-Tetracosahexaene, 2,6,10,15,19,23-hexamethyl Dodecane,2,6,22-trimethyl p-Terphenyl,2,4,4”,6-tetachloro Hexadecanoic acid(CAS) Palmitic acid
C15H32 C18H10Cl4 C16H32O2
9-Hexadecenoic acid
C16H30O2
Diisoamylene 2-methyl-6-beta-d-ribofuranosylimidazo [1,2-c] pyrimidin-5(6H)-one Eicosyl acetate
C10H20 C12H15N3O5
Alkena Terpena Asam karboksilat Asam karboksilat Alkena Keton
C22H44O2
Ester
8
6
Rumus senyawa C29H38N4O5 C16H32O2
C24H38O4 C18H36 C16H32 C15H32O C19H38 C30H50
G. Analisis Fraksi Karbohidrat dari Biji dan Umbi Teratai Analisis fraksi karbohidrat yang terdapat pada tepung biji dan umbi dilakukan dengan menggunakan HPLC menggunakan kolom Aminex Ion Exclusion HPX-87H (300 mm x 7.8 mm, BioRAD). Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Kadar gula yang terdapat pada biji dan umbi teratai (mg/g bk)
Biji Umbi
Stakiosa
Rafinosa
Sukrosa
Glukosa
Fruktosa
10.42
0.60 0.27
1.34 8.60
2.26 7.37
1.51 0.85
Keterangan : bk= berat kering; Pada biji, peak stakiosa tidak terpisah dengan rafinosa
Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan biji maupun umbi, mengandung oligosakarida dari keluarga Rafinosa (rafinosa & stakiosa). Kadarnya pada umbi lebih besar dibandingkan biji. Hal ini menunjukkan bahwa karbohidrat baik pada biji maupun umbi, mempunyai kandidat sebagai prebiotik. Untuk mengetahui apakah oligosakarida tersebut dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat dan Bifidobakteria,
maka
dilakukan
pengujian
dengan
memodifikasi
media
pertumbuhan mikroba tersebut, dimana media komersial yang mengandung glukosa diganti dengan oligosakarida. Hasil pengujian dengan menggunakan gula rafinosa + stakiosa standar sebagai pengganti glukosa pada media menunjukkan hasil yang positif. Oligosakarida tersebut dapat difermentasi oleh mikroba uji yaitu L.acidophilus untuk mikroba aerob dan Bifidobacterium bifidum untuk anaerob. Hal ini ditunjukkan dengan tumbuhnya koloni yang dikelilingi zona kuning (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa rafinosa dan stakiosa dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat dan Bifidobakteria, sehingga rafinosa dan stakiosa dapat berperan sebagai prebiotik. Meskipun demikian perlu penelitian lanjutan, untuk mengetahui
seberapa besar oligosakarida dapat menstimulasi
pertumbuhan bakteri asam laktat dan Bifidobakteria. Pada media yang gulanya diganti dengan gula dari biji dan umbi juga menunjukkan adanya pertumbuhan koloni yang dikelilingi zona kuning (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa gula yang terdapat dalam biji dan umbi teratai
d dapat diferm mentasi oleeh mikroba uji, yang berarti baiik biji mauupun umbi m mengansung g gula yang memiliki kaandidat sebaagai prebiotik. Meskipunn demikian p perlu penelitian lanjutaan, untuk melihat m sebberapa besarr oligosakaarida dapat m menstimulas si pertumbuhhan bakteri aasam laktat.
Koloni Lactobacillus L acidophiilus yang memferm mentasi raffinosaa murni
Koloni Biffidobacterium bifidum yaang memfermeentasi gula/oligossakarida umbi
Koloni Lactobacillus K accidophilus yanng glukosa m memfermentasi
Kooloni Lactobacillus aciidophilus yangg meemfermentasi gula/oligosakaridda biji
Gambar 14. Koloni Bifidobacter B ium bifidum dan Lactobaacillus acidoophilus yang dap pat memferm mentasi gulaa (glukosa, olligosakaridaa)
H . Evaluasi Aktivitas Biologis Biji Teratai dan Ekstrak Biji Teratai 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan untuk penelitian secara in vivo dilakukan dua tahap. Tahap pertama menentukan konsentrasi EPEC K1.1 yang diberikan pada tikus percobaan sehingga diare. Tahap kedua adalah menentukan konsentrasi tepung teratai yang disubstitusi pada ransum tikus yang berpengaruh terhadap penurunan jumlah E.coli pada isi sekum dari sekum tikus percobaan. Pada penelitian pendahuluan tahap pertama mengacu pada penelitian Oyetayo (2004) dengan melakukan pengujian menggunakan dua konsentrasi EPEC K.1.1 yang diberikan pada tikus percobaan yaitu 300 µL 106 CFU/ml dan 107 CFU/ml. Penentuan konsentrasi yang akan digunakan untuk penelitian selanjutnya adalah berdasarkan kecepatan menimbulkan diare dengan mengamati penampakan feses setelah diberikan EPEC K.1.1. Penentuan konsentrasi EPEC K1.1 yang dapat menimbulkan diare dilihat dari tekstur feses yaitu berukuran lebih besar dari feses tikus sehat, lembek, berair, berlendir dan lengket. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian EPEC K1.1 dengan konsentrasi 300 µL 106 CFU/ml sudah dapat menimbulkan diare pada tikus percobaan. Pada pemberian 106, hari ke-2 setelah intervensi pertama ada satu ekor tikus sudah mulai menunjukkan gejala diare dan setelah 3 hari intervensi empat ekor tikus pada perlakuan yang sama menunjukkan gejala yang sama. Munculnya gejala diare ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba patogen untuk melekat pada epitelium usus dan menimbulkan sakit pada inang. Selain itu juga dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi pada sisi kolonisasi dan mekanisme pertahanan inang. Nutrisi yang terbatas mempengaruhi sensitifitas mikroorganisme terhadap antibiotik, fagositosis, lisozim dan faktor lainnya (Boyd & Marr 1980). Menurut Boyd & Marr (1980), pada kondisi tertentu, meskipun mikroorganisme patogen dalam jumlah besar dapat bertahan terhadap respon imun inang dan dapat berkembangbiak dalam waktu yang cepat dalam tubuh inang akan tetapi tidak menimbulkan penyakit pada inang. Pada kondisi ini mikroorganisme tersebut disebut carrier, menjadi berperan seperti mikroflora normal. Adanya kemampuan mikroflora usus untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem usus juga menjadi pertimbangan dalam hal ini (Tannock 1999). Oleh karena itu
pada konsentrasi tertentu mungkin berpengaruh terhadap kecepatan timbulnya gejala diare, akan tetapi jika konsentrasinya ditingkatkan menjadi tidak berarti. Oyetayo (2004) melakukan penelitian untuk membuat tikus percobaan jenis albino menjadi diare dengan E.coli strain Enterotoxigenic pada konsentrasi 0.3 ml dari 105 CFU/ml E.coli. Pada penelitian pendahuluan tahap kedua dilakukan pengujian terhadap jumlah tepung teratai yang ditambahkan pada ransum berdasarkan nilai MIC (minimum inhibitory concentration) dari ekstrak biji teratai yang paling tinggi aktivitasnya. Berdasarkan hasil penelitian secara in vitro diperoleh hasil ekstrak biji teratai yang paling tinggi aktivitas penghambatannya terhadap mikroba uji (EPEC K1.1) adalah ekstrak etil asetat dengan nilai MIC 0.1% (b/v) ekstrak. Nilai MIC tersebut dikonversi menjadi berat per gram biji teratai sehingga diperoleh nilai ≈ 93.29 mg biji teratai dalam bentuk tepung. Dengan mempertimbangkan bahwa tepung teratai ini akan diberikan dalam bentuk utuh (bukan ekstrak) maka pemberian pada tikus percobaan dikalikan 10 kalinya, 20 kalinya dan 30 kalinya, dengan notasi 10 MIC, 20 MIC dan 30 MIC. Tepung teratai tersebut disubstitusikan ke dalam ransum secara isokalori. Pada penelitian ini, tikus percobaan dicekok EPEC K1.1 dengan konsentrasi 300 µL dari 106 CFU/ml sesuai konsentrasi yang diperoleh pada tahap pertama. Tikus percobaan dicekok EPEC K1.1 selama 17 hari percobaan. Setelah 7 hari dicekok EPEC K1.1 dimana tikus percobaan sudah menunjukkan gejala diare, ransum perlakuan diberikan. Ransum perlakuan berupa substitusi ransum standar dengan tepung biji teratai dengan konsentrasi 10, 20 dan 30 MIC. Pada saat pemberian ransum, tikus percobaan tetap dicekok dengan EPEC K1.1. Pemberian ransum perlakuan tersebut selama 10 hari, setelah itu tikus dibedah dan dianalisis total mikroba, total E.coli dan total bakteri asam laktat (BAL) dari isi sekum dan mukosa sekum. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 15. Pada Gambar 15 terlihat pemberian ransum yang disubstitusi tepung biji teratai 20 MIC mampu menurunkan total E.coli isi sekum lebih dari 1 unit log dibandingkan kontrol yang tidak diberi tepung biji teratai (P<0.05) (Lampiran 3c). Hal yang sama terlihat pula pada total E. coli pada mukosa sekum (Gambar 16). Pada kondisi terinfeksi, pemberian tepung biji teratai selama 10 hari mampu mengobati diare (setelah 1 minggu diintervensi dengan EPEC K 1.1). Hal ini
dapat dilihat dari tekstur feses yang agak kering, tidak berlendir dan tidak lengket. Hal ini diduga karena aktivitas antimikroba dari biji teratai bekerja menghambat pertumbuhan EPEC K1.1 dan efek dari komponen fitokimianya seperti alkaloid yang diketahui memiliki aktivitas terhadap waktu transit dalam usus halus (Cowan 1999). Berdasarkan hasil penelitian dari Budiarti dan Mubarik (2007), EPEC K1.1 menghasilkan enzim protease ekstraseluler yang dapat mendegradasi mucin sehingga dapat melekat pada sel epitel usus dan menimbulkan diare pada inang. Adanya tanin pada tepung biji teratai yang diketahui dapat mengendapkan protein (Scalbert 1991), dapat menghambat aktivitas protease ekstraseluler yang diproduksi oleh EPEC K1.1 untuk mendegradasi mucin. Akibatnya, EPEC K1.1 tidak dapat melekat pada epitel usus dan diare pada tikus percobaan dapat dicegah. Selain itu, tanin yang terkandung di dalam biji teratai diketahui bekerja mengendapkan protein sehingga terjadi penurunan sekresi yang membuat mukosa usus lebih resisten (Tripathi 1994 yang dikutip oleh Adzu et al. 2004).
E.coli isi sekum (Log10 CFU/g isi sekum)
8 7 6 5
b
b
a
ab
Kontrol
10Mic
20Mic
30Mic
4 3
Perlakuan
Gambar 15. E.coli dari isi sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) Pada Gambar 15 terlihat ransum yang disubstitusi tepung biji teratai 20 MIC mampu menurunkan total E.coli mukosa sekum lebih dari 1 unit
log
dibandingkan kontrol yang tidak diberi tepung biji teratai (P<0.05)(Lampiran 3d). Pada tikus percobaan yang diberi ransum 30 MIC tepung biji teratai terlihat total E.coli pada mukosa sekum lebih tinggi dibandingkan 20 MIC (Gambar 16). Hal
yang sama ditunjukkan oleh hasil penelitian dari Agunu et al. (2005), dimana dosis berpengaruh terhadap aktivitas antidiare dari ekstrak tanaman Acacia nilotica, Parkia biglobosa, Vitex doniana, Acanthospermun hispidum dan Gmelina arborea.
Pada dosis rendah ekstrak tersebut menunjukkan aktivitas
antidiare yang sangat kuat, akan tetapi pada dosis yang lebih tinggi hampir kehilangan aktivitasnya. Hal ini diduga pada konsentrasi rendah masing-masing komponen antimikroba yang terdapat pada bahan bekerja secara sinergis akan tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi, efek sinergis tersebut menjadi saling menutupi satu sama lainnya.
Akibatnya pada konsentrasi yang lebih tinggi
aktivitas antimikroba dari bahan tersebut menjadi berkurang.
E.coli mukosa sekum (Log10 CFU)
9 8 7 6 5 4
b
ab
a
b
Kontrol
10Mic
20Mic
30Mic
3
Perlakuan
Gambar 16. E.coli dari mukosa sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
Selain hal tersebut di atas, mekanisme lain yang mungkin berperan adalah kandungan tepung biji teratai yang lebih tinggi mampu menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat lebih baik. Fermentasi yang cepat dari prebiotik yang terdapat dalam biji teratai menyebabkan kondisi usus menjadi lebih asam akibat produksi asam organik oleh BAL, yang mengakibatkan iritasi pada mukosa usus atau terjadinya inflamasi (Ten Bruggencate et al. 2003). Iritasi pada mukosa mengakibatkan rusaknya fungsi pertahanan usus, sehingga E.coli tetap bertahan. Pada kondisi tikus diare, komponen antimikroba dari tepung biji teratai yang bekerja, sedangkan komponen karbohidrat yang dapat menstimulasi
pertumbuhan bakteri asam laktat tidak berperan secara nyata. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis total bakteri asam laktat dari isi sekum dan mukosa sekum. Total bakteri asam laktat pada semua perlakuan konsentrasi tepung biji teratai yang dicobakan menunjukkan tidak berbeda nyata dengan kontrol (Gambar 17 dan 18).
BAL aerob isi sekum (Log10CFU/g isi sekum)
10 9 8 7
a
a
a
a
6 5 Kontrol
10Mic
20Mic
30Mic
Perlakuan
Gambar 17. BAL aerob isi sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
BAL aerob mukosa sekum (Log10CFU)
10 9 8 7 6
a
a
a
a
Kontrol
10Mic
20Mic
30Mic
5
Perlakuan
Gambar 18. BAL aerob mukosa sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC. Berdasarkan penelitian pendahuluan ini diperoleh konsentrasi E.coli yang lebih cepat menimbulkan diare pada tikus percobaan yaitu 300 µL dari 106 CFU/ml EPEC K.1.1 dan jumlah tepung teratai yang mampu menurunkan total
E.coli dari isi sekum tikus percobaan yaitu 20 MIC (≈ 1,866 g tepung biji teratai). Hasil tersebut digunakan untuk penelitian selanjutnya. 2. Penelitian Lanjutan 2.1 Pengaruh pemberian tepung dan ekstrak biji teratai terhadap konsumsi ransum dan berat badan tikus percobaan Penyusunan ransum yang disubstitusi dengan tepung biji teratai dilakukan secara isokalori dengan mempertimbangkan zat gizi yang terdapat pada tepung biji teratai yang mempengaruhi pertumbuhan tikus percobaan, seperti kadar protein,
lemak
dan
karbohidrat.
Pada
perlakuan
dengan
FOS
(Fruktooligosakarida), FOS diberikan sebanyak 6% dari ransum dan diberikan dengan cara dicekok. Kurva kenaikkan berat badan tikus percobaan selama masa perlakuan 28 hari dan total konsumsi ransum pada masing-masing grup tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 19. Pada kelompok tikus percobaan yang sehat, konsumsi rata-rata ransum tepung biji teratai lebih tinggi dibandingkan kontrol, grup ekstrak biji teratai, dan FOS (Gambar 19). Meskipun demikian, analisis ragam menunjukkan pemberian ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap total konsumsi ransum tikus percobaan (P>0.05) (Lampiran 4). Pada Gambar 19 terlihat terjadi kenaikan berat badan pada semua tikus percobaan. Analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap kenaikkan berat badan rata-rata tikus percobaan (P<0.05) (Lampiran 4). Kenaikan berat badan rata-rata tikus percobaan yang diberi perlakuan ekstrak biji teratai lebih rendah dibanding grup lain, dan berdasarkan analisis ragam berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, tepung biji teratai dan FOS. Hal ini diduga pemberian ekstrak biji teratai dapat menghambat pertambahan berat badan pada tikus percobaan yang berkorelasi dengan rendahnya nilai efisiensi ransum. Berdasarkan efisiensi penggunaan ransum, yang merupakan perbandingan antara kenaikan berat badan dengan total konsumsi, nilainya dapat dilihat pada Gambar 19.
Pada kelompok tikus yang sehat, pengaruh perlakuan ransum
berpengaruh nyata terhadap nilai efisiensi ransum.
Berdasarkan uji Duncan
menunjukkan, pemberian ransum yang disubstitusi dengan tepung biji teratai dan FOS berbeda nyata dengan perlakuan ekstrak biji teratai. Sementara nilai efisiensi
ransum pada perlakuan tepung biji teratai dan FOS tidak berbeda nyata dengan kontrol.
Hal ini menunjukkan substitusi tepung biji teratai dan FOS tidak
berpengaruh terhadap nilai efisiensi ransum, pada kondisi sehat. Sebaliknya pada perlakuan ekstrak biji teratai, karena pertambahan beratnya lebih rendah dari grup lain, akibatnya nilai efisiensi ransum juga lebih rendah.
gram (g)
20
b
b
b
16
a
12
a
a
a
a 8
b
b
a
b
persen (%)
300 275 250 225 200 175 150 125 100 75 50 25 0
4 0
Kontrol
Tepung biji teratai
Ekstrak biji teratai
FOS
Gambar 19. Konsumsi ransum ratra-rata (g) , kenaikan berat badan rata-rata (g) dan efisiensi ransum (%) tikus percobaan kelompok yang sehat. Huruf yang sama pada histogram dengan warna yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% Banyaknya konsumsi rata-rata tikus percobaan selama masa pemberian perlakuan (28 hari) pada kondisi tikus percobaan diintervensi EPEC K1.1 dapat dilihat pada Gambar 20. Pada grup ekstrak biji teratai terlihat konsumsi rata-rata per ekor tikus percobaan lebih rendah dibandingkan grup biji teratai dan FOS. Demikian pula pada grup kontrol yang mengalami diare akibat intervensi EPEC K1.1, konsumsi rata-rata per ekor tikus lebih rendah dibanding grup biji teratai dan FOS. Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan banyaknya konsumsi rata-rata tikus percobaan selama masa pemberian perlakuan (28 hari) pada grup tikus yang mendapat ransum tepung biji teratai dan FOS tidak berbeda nyata dengan grup ekstrak biji teratai dan grup kontrol yang diare setelah diintervensi EPEC K1.1 (Gambar 20) (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa diare pada tikus percobaan tidak berpengaruh nyata terhadap banyaknya konsumsi ransum.
gram (g)
20
b
b a
a
16 12
a
a
a
a 8
ab
b
a
b
persen (%)
300 275 250 225 200 175 150 125 100 75 50 25 0
4 0
Kontrol
Tepung biji teratai
Ekstrak biji teratai
FOS
Gambar 20. Konsumsi ransum rata-rata (g) , , kenaikan berat badan rata-rata (g) dan efisiensi ransum (%) tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1. Huruf yang sama pada histogram dengan warna yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% Kenaikan berat badan rata-rata tikus percobaan selama 28 hari pada kondisi tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1, dapat dilihat pada Gambar 20. Kenaikan berat badan tikus percobaan pada grup ekstrak biji teratai dan kontrol terlihat sedikit lebih rendah dibandingkan grup tepung biji teratai dan FOS. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap kenaikkan berat badan tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1 (P<0.05) (Lampiran 4). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan ekstrak biji teratai berbeda nyata dengan perlakuan biji teratai dan FOS, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan kontrol. Pada kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 menunjukkan perlakuan ransum berpengaruh terhadap nilai efisiensi ransum (Gambar 20). Berdasarkan uji lanjut Duncan, perlakuan tepung biji teratai dan FOS berbeda nyata dengan kontrol dan ekstrak biji teratai. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian FOS dapat mengefisienkan penggunaan nitrogen yang diperlukan untuk sintesis protein mikroba, yang umumnya diperoleh dari hasil perombakan protein atau asam amino ransum. Sehingga asam amino dari protein ransum lebih banyak diserap oleh tubuh untuk pertambahan berat badan.
Pemberian prebiotik (FOS) dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat dan Bifidobakteria (probiotik).
Menurut Winarsih (2005) pemberian
probiotik menyebabkan efisiensi penggunaan ransum menjadi lebih baik, terutama pada ayam yang diinfeksi dengan Salmonella, dimana akibat infeksi tersebut terjadi lesio pada usus yang menyebabkan terganggunya proses pencernaan dan penyerapan. Berdasarkan penelitian Sofjan (2003) yang dikutip oleh Winarsih (2005) menunjukkan bahwa pemberian probiotik Bacillus sp pada ayam petelur dapat meningkatkan asam amino dalam usus. Adanya peningkatan jumlah asam amino maka jumlah asam amino yang diserap mengalami peningkatan, sehingga memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan dan kesehatan ayam. Pemberian probiotik juga dapat memperbaiki daya cerna protein ransum, dimana Bacillus apiarius dan B. coagulans diketahui dapat menghasilkan enzim pencernaan seperti amilase, protease dan lipase yang akan membantu pemecahan molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana yang dapat diserap usus.
Adanya
penambahan
enzim
pencernaan
yang
dihasilkan
oleh
mikroorganisme tersebut akan meningkatkan penyerapan zat gizi dari ransum yang berkorelasi dengan pertambahan berat badan pada hewan percobaan. Dengan demikian,
pemberian FOS dan tepung biji teratai juga dapat
mengefisienkan penggunaan nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroba dan asam amino yang diperlukan untuk sintesis protein mikroba, yang umumnya diperoleh dari hasil perombakan protein ransum. Sehingga asam amino dari protein ransum lebih banyak diserap oleh tubuh untuk pertambahan berat badan. Pada grup yang diberi perlakuan ekstrak biji teratai, meskipun setelah intervensi EPEC K1.1 tidak menunjukkan gejala diare seperti halnya pada grup kontrol, tetapi kenaikkan berat badannya lebih rendah dibandingkan dengan grup tepung biji teratai dan FOS. Adanya hubungan antara total konsumsi ransum dan kenaikkan berat badan, dimana pada grup ekstrak biji teratai total konsumsi ransum rata-rata per ekor tikus percobaan selama 28 hari lebih rendah dibandingkan dengan grup lain. Akibatnya total kenaikkan berat badan rata-rata juga lebih rendah.
Hal ini menunjukkan efisiensi ransum juga lebih rendah
dibanding grup yang lain. Adanya komponen aktif dari ekstrak biji teratai diduga
mempengaruhi konsumsi ransum pada grup ini, yang berpengaruh pada berat badan. Pada grup kontrol yang diintervensi EPEC K1.1 dimana tikus percobaan mengalami diare akibat intervensi EPEC K1.1, meskipun total konsumsi ransumnya tidak berbeda dengan grup perlakuan lainnya akan tetapi kenaikkan berat badannya lebih rendah. Kondisi ini berpengaruh terhadap nilai efisiensi ransum yang juga lebih rendah dibandingkan grup tepung biji teratai dan FOS. Hal ini menunjukkan bahwa diare mengakibatkan terganggunya penyerapan zat gizi yang berkorelasi dengan berat badan. 2.2 Pengaruh pemberian tepung dan ekstrak biji teratai terhadap total mikroba pada kelompok tikus sehat dan diintervensi EPEC K1.1 Pengamatan terhadap mikrobiota usus pada penelitian ini dilakukan pada bagian sekum, baik isi sekum maupun mukosa sekum, karena sekum merupakan bagian proksimal usus besar. Pada hewan non-ruminansia seperti tikus, proses fermentasi oleh mikrobiota sebagian besar terjadi di bagian sekum (Le Blay et al. 1999). Pengamatan terhadap isi sekum dan mukosa sekum dengan pertimbangan bahwa, menurut Surono (2004), ekosistem mikroba pada bagian bawah saluran pencernaan dibagi menjadi dua sub ekosistem. Pertama adalah bakteri luminal, dimana komposisi bakteri saluran pencernaan lumen hanya ditentukan oleh ketersediaan nutrisi dan pengaruh senyawa antimikroba. Kedua, bakteri mukosal, yang ditentukan oleh laju produksi mukus, produksi imunoglobulin yang disekresikan, ekstrusi bahan seluler dari membran ke mukus dan ekspresi inang tempat pelekatan.
Oleh karena itu pada penelitian ini diamati kedua bagian
tersebut (isi sekum dan mukosa sekum). Pengamatan pengaruh substitusi tepung biji teratai pada ransum pada kelompok tikus yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 (sehingga menjadi diare dan setelah 1 minggu intervensi) dihentikan dilakukan dengan menghitung total mikroba isi sekum dan mukosa sekum. Pada Tabel 17terlihat jumlah awal total mikroba adalah 8.5 log CFU/g isi sekum,
setelah diberi perlakuan selama 2 minggu terjadi peningkatan total
mikroba pada isi sekum dan mukosa sekum grup tepung biji teratai. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan pemberian biji teratai pada ransum
berpengaruh nyata terhadap total mikroba isi sekum dan mukosa sekum (Lampiran 5a dan 5f). Tabel 17. Total mikroba isi sekum dan mukosa sekum pada tikus percobaan yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 Kondisi tikus percobaan
Waktu Perlakuan
Sehat
0 Minggu
Sehat
2 Minggu
Sehat
3 Minggu
Sehat
4 Minggu
Setelah intervensi EPEC K1.1
3 Minggu
1 minggu setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan
4 Minggu
Perlakuan
Bagian sekum yang diamati Isi sekum (Log Mukosa sekum CFU/g) (Log CFU/cm2) 8.57±0.39 4.94±0.41 5.88±0.63b Kontrol 8.43±0.30ab Biji teratai 9.25±0.53b 6.04±0.53b a Ekstrak biji teratai 8.22±0.74 4.57±0.49a a 4.92±0.19a FOS 8.14±0.14 a 6.36±0.61b Kontrol 8.64±0.35 a Biji teratai 8.65±0.46 6.63±0.42b a 4.82±0.92a Ekstrak biji teratai 8.10±0.22 a FOS 8.22±0.30 4.92±0.27a a Kontrol 8.70±0.47 4.54±0.38a a Biji teratai 8.58±0.41 5.65±1.30a a Ekstrak biji teratai 8.16±0.16 4.51±0.51a a 4.57±0.47a FOS 8.24±0.46 Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai
8.01±0.06a 8.54±0.25a 8.16±0.53a 8.53±0.44a 8.76±0.23a 8.23±0.59a 7.53±1.24a
4.39±0.34a 5.22±0.43a 4.16±0.59a 4.55±0.51a 4.64±0.38a 5.49±0.50a 4.34±0.92a
FOS
9.05±0.80a
4.94±0.23a
Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing waktu perlakuan dan kondisi tikus percobaan menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05)
Setelah 3 minggu dan 4 minggu perlakuan, pemberian ransum perlakuan pada tikus percobaan yang sehat menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap total mikroba isi sekum (P>0.05) (Lampiran 5b dan 5c).
Akan tetapi
pada total mikroba mukosa sekum, perlakuan ransum selama 3 minggu berpengaruh nyata terhadap total mikroba mukosa sekum (P<0.05) (Lampiran 5g). Berdasarkan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pemberian tepung biji teratai berbeda nyata dengan grup FOS dan ekstrak biji teratai, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan grup kontrol (Lampiran 5g). Pemberian FOS tidak berpengaruh terhadap jumlah total mikroba baik isi sekum maupun mukosa sekum, dibandingkan dengan jumlah total mikroba awal
dari hewan coba. Menurut Gibson et al. (1995) penambahan oligofruktosa (FOS) ke dalam ransum tidak mengubah total bakteri, akan tetapi menurunkan jumlah bacteriodes, clostridia dan fusobacteria. Demikian pula menurut Bielecka et al. (2002) pemberian FOS tidak mengubah total mikroba, akan tetapi meningkatkan Bifidobacterium dan menurunkan coliform. Pengamatan terhadap total mikroba isi sekum saat intervensi EPEC K1.1dan setelah intervensi EPEC K1.1dapat dilihat pada Tabel 17. Pada Tabel 17 terlihat jumlah awal total mikroba adalah 8.5 log CFU/g isi sekum, setelah diintervensi EPEC K1.1 pada grup yang diberi perlakuan tepung biji teratai terjadi sedikit peningkatan total mikroba isi sekum
dan setelah intervensi dihentikan, total
mikroba isi sekum grup tepung biji teratai mengalami sedikit penurunan. Demikian pula pada grup ekstrak biji teratai, total mikroba isi sekum setelah diintervensi EPEC K1.1 cenderung tidak berbeda dengan grup tepung biji teratai. Analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum tidak berpengaruh nyata (P>0.05) (Lampiran 5d dan 5e) terhadap total mikroba isi sekum tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1.
Hal ini menunjukkan intervensi EPEC K1.1 tidak
menyebabkan peningkatan total mikroba isi sekum, baik pada grup tepung biji teratai, FOS maupun ekstrak biji teratai. 2.3 Pengaruh pemberian tepung dan ekstrak biji teratai terhadap total E.coli pada kelompok tikus sehat dan diintervensi EPEC K1.1 Pengamatan pengaruh substitusi tepung biji teratai pada ransum kelompok tikus yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 dan setelah 1 minggu intervensi dihentikan, dilakukan dengan menghitung total E.coli isi sekum dan mukosa sekum, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 18. Pemberian ransum yang disubstitusi tepung biji teratai selama dua minggu dan tiga minggu tidak berpengaruh terhadap penurunan jumlah E.coli isi sekum. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ransum dua minggu dan tiga minggu tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap total E.coli isi sekum pada kelompok tikus yang sehat (P>0.05) (Lampiran 6a dan 6b). Perlakuan substitusi tepung biji teratai pada ransum setelah 4 minggu mampu menurunkan jumlah E.coli isi sekum, dimana secara statistik substitusi tepung teratai secara nyata dapat menurunkan jumlah
E.coli
isi sekum dibandingkan dengan kontrol
(P<0.05) (Lampiran 6c). Demikian pula dengan pemberian ekstrak biji teratai setelah empat minggu pemberian, dapat menurunkan jumlah E.coli isi sekum dibandingkan dengan kontrol (P<0.05) (Lampiran 6c). Pada kondisi sehat, pemberian FOS baik selama 2, 3 maupun 4 minggu pada penelitian ini, tidak berpengaruh terhadap penurunan jumlah E.coli isi sekum dibandingkan dengan kontrol (P>0.05) (Tabel 18).
Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian prebiotik dapat meningkatkan jumlah E.coli karena E.coli merupakan bakteri yang dapat tumbuh dengan nutrisi yang minim. Bakteri ini dapat menghasilkan sendiri faktor pertumbuhan yang diperlukannya, asalkan ada sumber karbon (Todar 2005). Rossoeu et al. (2004) menemukan bahwa E.coli dapat mengkonsumsi FOS (DP 3-5) meskipun pada tingkat yang amat rendah yaitu sebesar 14-21% (setelah inkubasi 48 jam dengan konsentrasi FOS 10g/L media). Substitusi tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS pada ransum ternyata tidak dapat menurunkan secara nyata jumlah E.coli yang terdapat pada mukosa sekum (Tabel 18) tikus yang sehat, baik setelah dua minggu perlakuan maupun tiga dan empat minggu perlakuan. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum baik 2, 3 maupun 4 minggu tidak berpengaruh nyata terhadap total E.coli mukosa sekum (Lampiran 6d, e dan f). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ransum yang diberikan tidak berpengaruh terhadap jumlah E.coli yang melekat pada mukosa sekum yang merupakan mikroflora alami yang menempati mukosa sekum (P>0.05). Pada grup FOS, setelah dua minggu perlakuan terlihat peningkatan jumlah E.coli (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa FOS juga dapat difermentasi oleh E.coli. Hasil penelitian dari Morisse et al. (1993) di dalam Hartemink et al. (1997) menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah E.coli saprofit pada kelinci yang diberi ransum yang mengandung FOS. Meningkatnya jumlah E.coli saprofit ini mengakibatkan E.coli strain patogenik tidak dapat hidup. Menurut Hartemink et al. (1997) enterobacteria merupakan grup bakteri anaerob fakultatif yang dominan di ileum dan kolon (usus besar) yang juga berkontribusi terhadap fermentasi FOS. FOS juga cepat didegradasi oleh Bifidobacteria, Bacteroides dan beberapa grup lainnya, sehingga secara in vivo sangat sulit untuk ditentukan mana yang lebih dominan.
Tabel 18. Total E.coli isi sekum dan mukosa sekum pada tikus percobaan yang sehat dan yang di intervensi EPEC K1.1 Kondisi tikus percobaan
Waktu Perlakuan 0 Minggu
Sehat
2 Minggu
Sehat
3 Minggu
Sehat
4 Minggu
Setelah Intervensi EPEC K1.1
3 Minggu
1 minggu setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan
4 Minggu
Perlakuan Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS
Bagian sekum yang diamati Isi sekum Mukosa (Log CFU/g) (Log CFU/cm2) 6.91 ± 0.49 3.38±0.53 3.86±0.70a 6.16±0.57a 4.04±2.98a 3.30±2.04a a 6.87±0.60 3.10±0.60a a 6.68±0.38 3.37±0.69a a 3.50±0.67a 6.63±1.16 a 5.96±1.19 4.02±0.58a a 5.60±0.62 2.76±0.26a a 3.97±0.93a 5.53±1.51 b 3.33±1.50a 7.03±0.48 a 5.84±0.31 2.99±0.42a a 6.19±0.60 2.06±0.66a b 3.30±0.97a 7.02±0.16 6.84±0.38b 4.66±1.31a 6.32±0.10b 6.66±0.91b 6.94±0.13c 5.13±0.52a 5.89±0.33b 4.75±0.32a
3.28±0.38a 2.83±0.30a 2.48±0.40a 3.73±0.40a 3.20±0.50a 2.73±1.04a 2.83±0.69a 1.88±0.84a
Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing waktu perlakuan dan kondisi tikus percobaan menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05)
Pada kelompok yang diintervensi EPEC K1.1 menunjukkan bahwa perlakuan ransum berpengaruh terhadap total E.coli isi sekum, baik setelah intervensi maupun setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum pada saat tikus diintervensi EPEC K1.1 dan setelah intervensi dihentikan berpengaruh nyata terhadap total E.coli isi sekum (Lampiran 6g dan 6h). Uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan substitusi biji teratai pada saat intervensi EPEC K1.1, total E.coli isi sekum berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, ekstrak biji teratai dan FOS. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 16 dimana terlihat perbedaan jumlah E.coli antara grup tepung teratai dan kontrol mencapai 2 unit log. Demikian pula setelah intervensi dihentikan (ransum yang disubstitusi tepung biji teratai tetap diberikan) menunjukkan jumlah E.coli yang tidak berbeda dengan kondisi intervensi. Hal ini menunjukkan tepung biji
teratai dapat menghambat atau mencegah tumbuhnya E.coli patogen yang dicekokkan pada saluran pencernaan hewan percobaan. Pada grup ekstrak biji teratai juga terjadi penurunan jumlah E.coli isi sekum terutama setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan, walaupun tidak sebesar grup tepung biji teratai.
Secara statistik terlihat perbedaan yang nyata antara jumlah
E.coli isi sekum pada grup tikus percobaan yang diberi tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai, dibandingkan dengan grup kontrol setelah intervensi dihentikan (minggu ke-4) (P<0.05) (Lampiran 6h). Pada grup FOS, setelah intervensi EPEC K1.1 (minggu ke-3) terjadi penurunan jumlah E.coli, akan tetapi tidak sebesar grup tepung biji teratai. Secara statistik setelah intervensi EPEC K1.1, pemberian FOS tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah E.coli isi sekum dibandingkan dengan grup kontrol (P>0.05) (Lampiran 6g). Setelah 4 minggu pemberian FOS atau setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan, efek penurunan terhadap jumlah E.coli isi sekum pada grup ini terlihat nyata dibandingkan dengan grup kontrol yaitu mencapai 2 unit log (P<0.05) (Lampiran 6h). Menurut Hartemink (1997), enterobakter (seperti E.coli) mempunyai enzim yang dapat mendegradasi FOS. Meskipun E.coli dapat memfermentasi oligofruktosa pada kultur bersama dengan B. infantis secara in vitro, akan tetapi setelah 25 jam fermentasi terjadi penurunan jumlah E.coli dan setelah 35 jam sudah tidak ada pertumbuhan, sebaliknya pada B. infantis yang jumlahnya stabil dari awal fermentasi hingga 60 jam fermentasi (Wang & Gibson 1993). Hal tersebut menunjukkan FOS secara tidak langsung dapat mencegah berkembangnya bakteri patogen dan mempertahankan kondisi tersebut setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan.
Pemberian FOS sebelum hewan diinfeksi
dengan patogen, mampu mencegah patogen berkembang pada inang melalui stimulasi bakteri asam laktat yang mampu memfermentasi gula/oligosakarida menjadi asam laktat, sehingga media tumbuh ber-pH rendah, dimana pada kondisi ini patogen tidak dapat tumbuh dan berkembang biak. Setelah intervensi dihentikan terjadi penurunan total E.coli isi sekum pada grup FOS.
Hal ini menunjukkkan bahwa pemberian FOS setelah intervensi
dihentikan mampu menurunkan jumlah patogen. Diketahui bakteri asam laktat menghasilkan hidrogen peroksida yang memiliki efek bakterisidal. Hidrogen peroksida merupakan senyawa yang tidak stabil dan terurai menjadi radikal
superoksida dan hidroksil. Adanya gugus sulfhidril pada protein dinding sel akan berinteraksi dengan radikal superoksida sehingga meningkatkan permeabilitas membran dan mendenaturasi sejumlah enzim sel. H2O2 juga dapat bertindak sebagai prekursor bagi pembentukan radikal bebas yang dapat merusak DNA. Disamping itu, reaksi pembentukan H2O2 akan mengikat oksigen sehingga membentuk suasana anaerob yang tidak nyaman bagi bakteri aerob (Surono 2004).
Oleh karena itu jumlah patogen semakin menurun setelah intervensi
dihentikan. Pada perlakuan tepung biji teratai, mekanisme penghambatan terhadap EPEC K1.1 ada dua yaitu penghambatan oleh komponen antimikroba yang diketahui dapat menghambat pertumbuhan EPEC K1.1 dan adanya komponen prebiotik yaitu oligosakarida rafinosa/stakiosa. Komponen prebiotik ini dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat dan bifidobakteria sehingga menimbulkan kondisi yang asam. Pada kondisi asam, pertumbuhan E.coli dapat dihambat, sehingga diare pada inang dapat dicegah dan inang terlindungi dari patogen. Adanya tanin pada tepung biji teratai dapat menghambat aktivitas protease (Scalbert 1991) yang diproduksi oleh EPEC K1.1 (Budiarti & Mubarik 2007) untuk mendegradasi mucin yang merupakan salah satu mekanisme pertahanan inang untuk mencegah melekatnya patogen pada sel epitel usus. Hal yang sama diduga terjadi juga pada perlakuan ekstrak biji teratai sehingga diare pada tikus percobaan dapat dicegah. Selain itu, dari dalam tubuh hewan coba itu sendiri mempunyai pertahanan untuk melawan adanya patogen yang masuk ke dalam tubuh. Viabilitas bakteri dalam saluran pencernaan dipengaruhi oleh sekresi sel seperti mucus, lisozim dan fosfolipase yang dapat memberi dampak negatif maupun positif. Selain itu, sel epitel usus hewan coba juga dapat mengeksresikan antimikroba berupa peptida/protein yang dapat membuat membran sel bakteri menjadi permiabel dan mengalami kebocoran (Wilson 2005). Pengaruh pemberian ransum perlakuan terhadap total E.coli yang menempel pada mukosa sekum tikus percobaan pada kondisi sehat dapat dilihat pada Tabel 16. Analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian ransum perlakuan selama 2, 3 dan 4 minggu tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap total E.coli yang menempel pada mukosa sekum dibandingkan kontrol (P>0.05) (Lampiran 6d, 6e dan 6f).
Demikian pula pada grup yang diintervensi EPEC K1.1. Perlakuan
ransum pada kondisi setelah intervensi EPEC K1.1 maupun setelah intervensi dihentikan menunjukkan tidak berpengaruh nyata terhadap total E.coli mukosa sekum (P>0.05) (Lampiran 6i dan 6j). Menurut Scheinbach (1998) mikroflora indigenus dengan jumlah yang amat tinggi telah beradaptasi dengan baik dengan lingkungan flora inang, menyebabkan organisme pendatang akan sangat sulit untuk berkompetisi dalam sisi penempelan maupun nutrisi. Pada grup FOS, terlihat jumlah E.coli pada mukosa sekum tidak berbeda dengan kontrol pada saat intervensi EPEC K1.1, sedangkan setelah intervensi dihentikan jumlah E.coli pada mukosa menurun > 1 unit log. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme penghambatan terhadap pertumbuhan E.coli oleh FOS tidak secara langsung dan waktunya lebih lama. Berbeda kondisinya dengan perlakuan tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai yang efek penghambatan terhadap EPEC K1.1 bersifat langsung dan dalam waktu yang singkat. Pada kondisi tersebut EPEC K1.1 tidak diberi kesempatan untuk tumbuh ketika intervensi diberikan, sehingga setelah intervensi dihentikan jumlah E.coli yang hidup pada mukosa usus tidak berbeda dengan sebelumnya. Sementara itu, E.coli yang menempel pada mukosa usus merupakan mikroflora usus yang normal (Tabel 18). Pada grup kontrol walaupun total E.coli mukosa sekum minggu ke-3 perlakuan (sewaktu intervensi EPEC K1.1)
tidak berbeda nyata (P>0.05)
jumlahnya dengan grup perlakuan yang lain, akan tetapi terjadi diare pada grup kontrol.
Hal ini menunjukkan EPEC K1.1 yang dicekokkan telah mampu
menempel pada mukosa usus dengan menggantikan daerah pelekatan pada mukosa usus dengan E.coli yang merupakan mikroflora normal usus sehingga menimbulkan diare pada inang (tikus percobaan). 2.4 Pengaruh pemberian tepung dan ekstrak biji teratai terhadap BAL aerob dan anaerob pada kelompok tikus sehat dan diintervensi EPEC K1.1 Pengamatan terhadap total BAL aerob diharapkan dapat mewakili pengamatan terhadap BAL aerob, terutama Lactobacillus. Pengamatan terhadap total BAL anaerob, diharapkan dapat mewakili pengamatan terhadap BAL anaerob terutama Bifidobakteria. Penambahan prebiotik pada makanan bertujuan untuk meningkatkan mikrobiota probiotik endogenous. Kebanyakan prebiotik
yang telah dipelajari merupakan jenis oligosakarida yang tidak dapat dicerna di usus halus. Beberapa galaktooligosakarida seperti rafinosa dimetabolisme oleh bakteri asam laktat dan Bifidobakteria, yang memiliki alfa-galaktosidase (Matteuzzi et al. 2004). Pada kelompok tikus yang sehat pengaruh pemberian ransum perlakuan terhadap total BAL aerob dan anaerob isi sekum dapat dilihat pada Tabel 19. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ransum selama dua minggu memberi pengaruh yang nyata terhadap total BAL aerob isi sekum tikus percobaan (P<0.05) (Lampiran 7a).
Uji lanjut Duncan menunjukkan total BAL
aerob isi sekum pada grup tikus yang disubstitusi tepung biji teratai secara nyata berbeda dengan BAL aerob isi sekum grup kontrol (P<0.05). Setelah tiga minggu perlakuan, terlihat perlakuan ransum tidak berpengaruh nyata terhadap total BAL aerob isi sekum (P>0.05) (Lampiran 7b). Setelah empat minggu perlakuan, terlihat perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap total BAL aerob isi sekum tikus percobaan (P<0.05) (Lampiran 7c). Pada grup yang diberi FOS terlihat peningkatan jumlah BAL aerob isi sekum terjadi setelah empat minggu perlakuan. Total BAL aerob isi sekum grup FOS menunjukkan tidak berbeda nyata dengan grup tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai, tapi berbeda nyata dengan kontrol (P<0.05). Pada kondisi tikus sehat, perlakuan ransum selama 2 dan 3 minggu berpengaruh nyata terhadap total BAL aerob mukosa sekum tikus percobaan (P<0.05) (Lampiran 7f dan 7g)
Akan tetapi setelah empat minggu perlakuan,
ransum tidak berpengaruh nyata terhadap total BAL aerob mukosa (P>0.05) (Lampiran 7h). Setelah 4 minggu pemberian ransum perlakuan menunjukkan jumlah BAL aerob yang lebih rendah atau menurun mendekati jumlah BAL pada kondisi awal percobaan. Menurut Ballongue (2004), keseimbangan ekosistem saluran gastrointestinal dapat terjaga melalui beberapa faktor berupa mekanisme secara fisik, kimia dan pengaturan biologis seperti gerakan peristaltik usus yang dapat menyebabkan eliminasi mikroorganisme dan interaksi-interaksi yang terjadi antara berbagai macam spesies bakteri yang terdapat dalam usus baik simbiosis maupun antagonis. Mekanisme dan kandungan mikroflora yang amat kompleks dalam saluran pencernaan hewan percobaan dapat menyebabkan BAL aerob tidak dapat beradaptasi dan bersaing dalam saluran pencernaan hewan.
Tabel 19. Total BAL aerob dan anaerob isi sekum dan mukosa sekum pada tikus percobaan yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 Kondisi tikus percobaan
BAL aerob sekum Waktu Perlakuan Perlakuan 0 minggu
Sehat
2 Minggu
Sehat
3 Minggu
Sehat
4 Minggu
Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS
Isi sekum
Mukosa
(logCFU/g) 8.66±0.48 8.73±0.55ab 9.54±0.06b
(logCFU/cm2) 5.13±0.38 5.92±0.71b 6.04±0.84b
7.61±0.85a
BAL anaerob sekum Mukosa Isi sekum (logCFU/g) (logCFU/cm2) 8.34±0.47 8.56±0.60a 9.60±0.08a
5.08±0.41 5.89±0.76b 6.10±0.92b
3.96±1.56a
8.34±1.47a
4.04±1.20a
8.61±0.60ab 8.62±0.59a 9.07±0.28a
5.69±0.38ab 6.62±0.67b 6.96±0.58b
8.63±0.57a 8.56±0.53a 9.22±0.28a
5.63±0.35ab 6.39±0.68b 6.83±0.12b
8.61±0.67a
5.35±0.5a
8.66±0.70a
5.33±0.57a
8.61±0.50a 8.58±0.68a 9.16±0.41ab
5.71±0.93ab 4.52±1.50a 5.41±0.42a
8.13±0.37a 8.41±0.69a 9.18±0.52ab
5.24±0.26a 4.69±0.11a 6.04±0.03c
8.49±0.33a
4.42±0.52a
8.74±0.22a
4.68±0.49a
9.30±0.14b
5.24±0.97a
9.44±0.12b
5.49±0.03b
4.52±0.52a 7.56±0.35a 4.46±0.54ab Kontrol 7.89±0.41a Biji teratai 8.68±0.29a 5.36±0.48a 8.85±0.47b 5.56±0.53c Ekstrak 3 Minggu 4.13±0.46a 8.01±0.33a 3.97±0.44a 7.79±0.33a biji teratai 4.84±0.99a 8.88±0.47b 5.14±0.65bc FOS 8.60±0.47a ab a ab 4.60±0.13 8.20±0.35 4.69±0.25ab 1 minggu Kontrol 8.57±0.21 b a b Biji teratai 8.95±0.32 5.61±0.60 8.99±0.58 5.64±0.63c setelah Ekstrak intervensi 4 Minggu 3.55±1.96a 7.39±1.34a 4.29±0.57a 7.42±1.30a biji teratai EPEC K1.1 5.00±0.28a 8.96±0.13b 5.21±0.15bc FOS 8.86±0.07b dihentikan Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing waktu perlakuan dan kondisi tikus percobaan menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05). Setelah Intervensi EPEC K1.1
Substitusi tepung teratai ke dalam ransum ternyata dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat dari tikus percobaan.
Hal ini ditunjukkan
dengan Tabel 19, dimana setelah 14 hari pemberian ransum yang disubstitusi tepung biji teratai, cenderung terjadi peningkatan jumlah bakteri asam laktat anaerob isi sekum dibandingkan kontrol. Meskipun demikian, analisis ragam menunjukkan pemberian ransum perlakuan selama 2 dan 3 minggu tidak berpengaruh nyata terhadap total BAL anaerob isi sekum (P>0.05) (Lampiran 8a dan 8b). Perlakuan ransum selama empat minggu menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap total BAL anaerob isi sekum (P<0.05) (Lampiran 8c). Uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan FOS berbeda nyata dengan kontrol. Pada grup tikus yang
diberi FOS terjadi peningkatan jumlah bakteri asam laktat anaerob setelah 4 minggu pemberian (Tabel 19). Hal ini menunjukkan bahwa FOS lebih lambat dapat menstimulasi pertumbuhan BAL dibandingkan gula (rafinosa) yang terkandung di dalam tepung biji teratai. Dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa tepung biji teratai mengandung oligosakarida jenis rafinosa. Rafinosa merupakan trisakarida yang terdiri dari monomer fruktosa, galaktosa dan glukosa. Rafinosa tersebut dapat difermentasi oleh Lactobasillus sp., Bifidobacterium bifidum dan B. longum. Hasil penelitian Smiricky et al. (2003) secara in vitro menujukkan rafinosa/stakiosa lebih cepat difermentasi menghasilkan asam lemak rantai pendek dibandingkan dengan FOS.
Penambahan oligosakarida famili
rafinosa pada susu meningkatkan populasi Bifidobacterium lactis Bb-12 dan L. acidophilus pada susu fermentasi, serta menurunkan waktu fermentasi dari 12 jam menjadi 10 jam (Martinez-Villaluenga et al. 2005). Pada kultur murni yang ditambahkan
rafinosa dan stakiosa hasilnya
menunjukkan bahwa rafinosa dan stakiosa dapat dimetabolisme dengan baik oleh Bifidobacterium dan Lactobacillus. Selain itu juga dapat dimetabolisme oleh bakteri enterik lainnya, kecuali E.coli (Rastal 2000).
Rastal (2000) juga
menjelaskan bahwa pemberian rafinosa 15 g/hari pada manusia, secara nyata meningkatkan Bifidobacterium 0,6 log dan menurunkan Bacteriodes spp (0,6 log) dan Clostridium spp (1,6 log). Adapun FOS yang digunakan pada penelitian ini mengandung unit fruktosa atau glukosa dari oligofruktosa dengan derajat polimerisasi antara 2 dan 8 sebesar ≥ 93.2% dan glukosa+fruktosa+sukrosa <6.8% (ORAFTI 2006). Oleh karena struktur FOS yang lebih kompleks dibandingkan rafinosa, maka waktu yang diperlukan oleh mikroba untuk memotong-motong FOS menjadi monomer sebagai substrat pertumbuhannya memerlukan waktu yang lebih lama. Menurut Nilsson et al. (1988) pencernaan FOS adalah 100% pada tikus percobaan yang diberi ransum FOS sekitar 1 g/hari selama 4-9 hari. Hasil penelitian Le Blay et al.(1999) menunjukkan waktu transit dari FOS pada tikus percobaan lebih lama dibanding kontrol (ransum standar).
Selain itu, adanya kompetisi dengan bakteri
selain yang memproduksi asam laktat, yang juga dapat menggunakan FOS sebagai substrat seperti Bacteroides sp., Clostridium sp. dan Enterobacteriaceae (Hartemingk et al.1997). Kompetisi ini dapat menghasilkan penekanan terhadap
jumlah bakteri penghasil asam laktat (Le Blay et al. 1999). Hal ini menjelaskan mengapa pemberian FOS selama 2 dan 3 minggu menunjukkan jumlah BAL yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Substitusi tepung biji teratai pada ransum selama tiga minggu secara nyata dapat menstimulai pertumbuhan BAL anaerob yang melekat pada mukosa tikus percobaan yang sehat sehingga jumlahnya lebih tinggi dibandingkan grup yang diberi FOS maupun ekstrak biji teratai (P<0.05) (Lampiran 8g) (Tabel 17). Pemberian ransum yang disubstitusi tepung biji teratai dan FOS selama empat minggu pada kelompok tikus sehat, mampu menstimulasi pertumbuhan BAL anaerob yang melekat pada mukosa. Dengan demikian terlihat perbedaan yang nyata antara BAL anaerob pada mukosa sekum tikus percobaan yang diberi perlakuan biji teratai dan FOS dengan kontrol dan ekstrak biji teratai (P<0.05) (Lampiran 8h). Menurut Tortuero et al. (1997) yang dikutip oleh Matteuzzi et al. (2004), rafinosa adalah substrat yang sangat efektif untuk fermentasi di dalam usus besar tikus percobaan dan makanan yang mengandung rafinosa dapat menurunkan pH fecal, meningkatkan total volatile asam lemak dan konsentrasi Lactobacillus. Pengaruh intervensi EPEC K1.1 terhadap pertumbuhan BAL aerob isi sekum pada hewan coba yang diberi ransum yang disubstitusi tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS dapat dilihat pada Tabel 19. BAL aerob pertumbuhannya tidak terpengaruh dengan adanya intervensi EPEC K1.1 pada grup tikus yang diberi ransum yang disubstitusi tepung biji teratai dan FOS. Meskipun terjadi sedikit penurunan jumlah BAL aerob jika dibandingkan dengan kondisi sehat (tidak diintervensi EPEC K1.1), akan tetapi jumlahnya masih lebih tinggi dibandingkan dengan grup kontrol teratai.
(>1 unit log) dan grup ekstrak biji
Hal ini menunjukkan pemberian tepung biji teratai sebelum inang
terinfeksi bakteri patogen mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang masuk ke dalam tubuh inang dan pemberian perlakuan dilanjutkan terus setelah terinfeksi patogen, mampu mempertahankan kondisi yang sama dengan sebelum terinfeksi. BAL aerob yang distimulasi oleh biji teratai mampu bertahan akibat adanya intervensi patogen. Demikian pula pada grup FOS, pertumbuhan BAL aerobnya tidak terpengaruh dengan adanya intervensi EPEC K1.1 dan jumlahnya tidak berbeda dengan jumlah pada kondisi sehat (tanpa intervensi) (Tabel 19).
Meskipun demikian, análisis ragam menunjukan pemberian ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah BAL aerob pada isi sekum setelah intervensi EPEC K1.1 (P>0.05) (Lampiran 7d). Setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan (4 minggu pemberian ransum perlakuan) menunjukkan perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap jumlah BAL aerob isi sekum (Lampiran 7e). Uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan substitusi biji teratai dan FOS mampu mempertahankan jumlah BAL aerob isi sekum pada kondisi intervensi EPEC K1.1 dihentikan. Pengaruh perlakuan ransum terhadap pertumbuhan BAL aerob mukosa sekum tikus percobaan yang diintervensi dengan EPEC K1.1 dapat dilihat pada Tabel 19.
Jika dibandingkan dengan kondisi yang sehat,
terjadi penurunan
jumlah BAL aerob pada grup kontrol, dan sedikit penurunan pada grup FOS. Meskipun demikian terhadap grup tepung biji teratai tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Bakteri asam laktat aerob pada grup kontrol lebih rendah dibandingkan dengan grup tepung biji teratai dan grup FOS, baik sewaktu intervensi EPEC K1.1 maupun setelah intervensi EPEC K1.1. Intervensi EPEC K1.1 menyebabkan penurunan jumlah BAL aerob yang menempel pada mukosa sekum grup kontrol, baik sewaktu intervensi maupun setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan. Hal ini menunjukkan menurunnya pertahanan mukosa usus akibat intervensi EPEC K1.1 yang patogen pada grup kontrol. Pengaruh intervensi EPEC K1.1 terhadap pertumbuhan BAL anaerob pada hewan coba yang diberi ransum yang disubstitusi tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai dapat dilihat pada Tabel 19. Pada Tabel 19 terlihat sedikit penurunan jumlah BAL anaerob jika dibandingkan dengan kondisi sehat (tidak diintervensi EPEC K1.1). Meskipun demikian jumlahnya masih lebih tinggi dibandingkan dengan grup kontrol (lebih dari 1 unit log).
Analisis ragam menunjukkan
perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap total BAL anaerob isi sekum (P<0.05) (Lampiran 8d). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan total BAL anaerob isi sekum pada perlakuan biji teratai dan FOS berbeda nyata dengan kontrol dan ekstrak biji teratai. Intervensi EPEC K1.1 pada hewan coba tidak berpengaruh terhadap BAL anaerob, baik pada grup yang disubstitusi tepung biji teratai dan FOS.
Sebaliknya pada grup kontrol, intervensi EPEC K1.1 mengakibatkan
penurunan jumlah BAL anaerob. Hal ini berkaitan dengan persaingan nutrisi dan sisi penempelan pada mukosa. Pada grup FOS, pertumbuhan BAL anaerobnya tidak terpengaruh dengan adanya intervensi EPEC K1.1 dan jumlahnya tidak berbeda dengan jumlah pada kondisi sehat (tanpa intervensi) (Tabel 19). Secara statistik, saat intervensi EPEC K1.1 diberikan (minggu ke-3) jumlah BAL anaerob pada isi sekum dari grup tikus yang diberi FOS tidak berbeda nyata dengan grup tikus yang ransumnya disubstitusi tepung biji teratai (P>0.05) (Lampiran 8d). Pemberian baik FOS ataupun tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai sebelum intervensi EPEC K1.1 hingga setelah intervensi EPEC K1.1, mampu mencegah hewan coba dari timbulnya diare akibat bakteri patogen. Setelah intervensi dihentikan, terjadi sedikit peningkatan jumlah BAL anaerob pada grup kontrol, akan tetapi pada grup biji teratai dan FOS menunjukkan jumlah yang tidak berbeda dengan sewaktu intervensi EPEC K1.1. Hal yang sama juga dapat dilihat pada BAL anaerob mukosa (Tabel 19) dimana intervensi EPEC K1.1 menyebabkan menurunnya jumlah BAL anaerob mukosa grup kontrol (jika dibandingkan dengan kondisi sehat). Intervensi EPEC K1.1 tidak mempengaruhi jumlah BAL anaerob yang menempel pada mukosa sekum hewan coba yang diberi perlakuan tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS. Secara statistik perlakuan tepung biji teratai dan FOS menyebabkan jumlah BAL anaerob mukosa
berbeda nyata dengan grup kontrol (P<0.05)
(Lampiran 8i dan 8j). Penurunan jumlah BAL anaerob mukosa sekum pada grup kontrol mencerminkan penurunan pertahanan mukosa usus akibat intervensi EPEC K1.1 yang patogen, karena sisi penempelan BAL anaerob mampu digantikan oleh E.coli. Oleh karena itu pada grup kontrol timbul diare akibat menurunnya sistem pertahanan pada mukosa usus. Pada grup yang diberi ekstrak biji teratai, intervensi EPEC K1.1 berpengaruh terhadap total BAL anaerob mukosa sekum. Meskipun jumlah total BAL anaerob lebih rendah dari grup lain, akan tetapi pada grup tersebut tidak terjadi diare.
Hal ini menunjukkan perlakuan ekstrak biji teratai tidak dapat
menstimulasi pertumbuhan BAL anaerob yang melekat pada mukosa sekum.
Meskipun demikian, ekstrak biji teratai mampu mencegah melekatnya EPEC K1.1 patogen pada mukosa sekum sehingga tidak terjadi diare. Berdasarkan identifikasi dengan cara menguji karakteristik biokimia dan morfologi dari bakteri asam laktat aerob dan anaerob yang hidup pada isi sekum maupun mukosa sekum tikus percobaan pada penelitian ini, menunjukkan bahwa BAL bersifat katalase negatif dan dengan pewarnaan gram termasuk jenis gram positif. BAL tersebut ada yang berbentuk batang, seperti huruf Y dan ada yang berbentuk cocus. Bakteri asam laktat yang tumbuh pada kondisi aerob adalah jenis Lactobacillus spp, mikroba ini gram positif berbentuk batang dan katalase negatif. Bakteri asam laktat yang hidup pada kondisi obligat anaerob adalah Bifidobacterium spp. Bakteri tersebut merupakan gram positif berbentuk batang dengan karakteristik membentuk huruf Y, V atau X. Sementara E.coli yang terdapat pada isi sekum
hewan percobaan bersifat anaerob fakultatif, sel
berbentuk batang, gram negatif dan katalase positif.
3. Histologi tebal mukosa usus halus tikus percobaan Tebal mukosa usus halus tikus percobaan pada kelompok tikus yang sehat dapat dilihat pada Tabel 20. Analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum pada kelompok tikus yang sehat menunjukkan berpengaruh nyata pada duodenum dan jejenum setelah dua minggu perlakuan ransum (P<0.05).
Tebal duodenum
mukosa usus tikus percobaan yang mendapat ransum biji teratai terlihat lebih tebal, dibandingkan perlakuan ransum yang lainnya. Demikian pula pada ileum tikus percobaan yang diberi ransum yang disubstitusi biji teratai dan ekstrak biji teratai terlihat lebih tebal dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan FOS. Setelah tiga dan empat minggu terlihat perlakuan ransum tidak berpengaruh nyata terhadap ketebalan mukosa usus halus (duodenum, jejunum dan ileum) (P>0.05) (Lampiran 9).
Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan pada
kondisi sehat (normal) tidak menimbulkan efek yang merugikan terhadap ketebalan mukosa usus halus yang berkaitan dengan penyerapan nutrisi makanan.
Tabel 20. Tebal mukosa (µm) usus halus tikus percobaan kelompok sehat Perlakuan Minggu ke-0 Kontrol Minggu ke- 2 Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak etil asetat biji FOS Minggu ke-3 Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak etil asetat biji FOS Minggu ke-4 Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak etil asetat biji FOS
Duodenum
Tebal mukosa usus halus (µm) Jejunum Ileum
663.26±53.63
563.08±42.83
499.97±53.99
597.88±54.33ab 779.39±31.93c 554.40±54.32a 678.58±76.22bc
477.48±79.91a 567.67±46.22a 497.24±70.89a 500.82±22.44a
350.83±53.99a 492.00±13.09b 503.01±58.63b 367.68±32.68a
622.46±27.06a 682.21±14.31a 681.90±87.68a 716.56±71.58a
623.64±50.58a 645.35±23.89a 677.48±75.68a 558.42±71.77a
432.03±51.32a 468.22±90.32a 421.16±88.51a 400.00±22.32a
716.00±70.66a 693.34±51.42a 769.44±40.66a 738.70±42.84a
527.86±96.83a 640.28±73.07a 686.80±86.04a 558.14±93.54a
424.46±44.31a 382.01±27.71a 403.18±35.79a 379.24±39.35a
Keterangan : angka yang dikuti dengan huruf yang sama pada satu kolom untuk masing-masing minggu pengamatan menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
Tebal mukosa usus halus pada kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1, dapat dilihat pada Tabel 21. Pada Tabel 21 terlihat tebal mukosa jejunum dan ileum hewan percobaan pada dua minggu perlakuan (sebelum intervensi EPEC K1.1) tidak menunjukkan perbedaan pada semua perlakuan ransum, kecuali duodenum pada perlakuan biji teratai yang terlihat lebih tebal. Pada kondisi setelah diintervensi dengan EPEC K1.1, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap tebal mukosa (P<0.05) (Lampiran 10c). Uji lanjut Duncan menunjukkan perbedaan yang nyata antara tebal mukosa duodenum dan jejunum pada perlakukan FOS, ekstrak etil asetat biji teratai dan tepung biji teratai terhadap kontrol. Grup kontrol terlihat mengalami
penurunan
ketebalan
mukosa
yang
menunjukkan
terjadinya
kerusakan/hilangnya mikrovili usus akibat intervensi EPEC K1.1.
Mikrovili
yang rusak berpengaruh terhadap ketebalan mukosa, menyebabkan vili-vili usus menjadi pendek dan jarang (Gambar 21).
Tabel 21. Tebal mukosa (µm) usus halus tikus percobaan kelompok yang diintervensi EPEC K1.1 Perlakuan Duodenum (µm) Minggu ke-0 663.26 ± 53.63 Minggu ke-2 (Sebelum intervensi EPEC K1.1) Kontrol 597.88 ± 54.33ab Tepung biji teratai 779.39 ± 31.93c Ekstrak etil asetat biji 554.40 ± 54.31a FOS 678.58 ± 76.22bc Minggu ke-3 (setelah intervensi EPEC K1.1) Kontrol 366.49± 122.96a 667.44± 28.54b Tepung biji teratai Ekstrak etil asetat biji 656.74± 77.11b FOS 610.29± 12.10b
Jejunum (µm) 563.08 ± 42.83
Ileum (µm) 499.97 ± 70.27
477.48 ± 79.91a 567.67 ± 46.22a 497.24 ± 70.89a 500.82±22.44a
350.83±53.99a 492.00±13.09b 503.01±58.63b 367.68±32.68a
399.44±5.36a 511.69± 30.43b 628.43± 11.85c 629.11± 56.06c
322.26±124.66a 334.08±68.13a 381.50±83.52a 406.62±18.49a
Minggu ke-4 (1 minggu setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan) Kontrol 179.69±21.30a 171.77±24.19a Tepung biji teratai 756.29±22.16b 680.23±113.01b b Ekstrak etil asetat biji 774.84±20.80 574.61±61.75b b FOS 801.09±33.03 557.38±109.28b
115.49±37.93a 532.09±50.60c 290.51±73.71b 429.71±62.92c
Keterangan : angka yang dikuti dengan huruf yang sama pada satu kolom untuk masing-masing minggu pengamatan menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
Setelah satu minggu intervensi EPEC K1.1 dihentikan (perlakuan ransum yang sama tetap diberikan) terlihat perbedaan pada tebal mukosa, baik pada duodenum, jejunum maupun ileum antara perlakuan biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS terhadap kontrol. Analisis ragam menunjukkan pemberian ransum perlakuan pada kondisi setelah satu minggu intervensi EPEC K1.1 dihentikan, berpengaruh nyata terhadap tebal mukosa usus halus (Lampiran 10b, 10d dan 10f). Pada kontrol terjadi kerusakan mukosa yang terus berlanjut, vili usus halus hewan percobaan cenderung pendek. Kerusakan vili usus tersebut akibat serangan EPEC K1.1 dan menimbulkan diare. Sebaliknya pada grup tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS, vili usus halusnya lebih tinggi dibanding dengan grup kontrolnya dan tidak terjadi kerusakan pada mikrovili (Gambar 21). Hal ini menunjukkan perlakuan substitusi biji teratai, FOS dan ekstrak biji teratai dapat mencegah dan mempertahankan mukosa usus dari serangan mikroba patogen Biji teratai dan ekstrak etil asetat biji teratai mengandung komponen antimikroba yang dapat mencegah melekat dan berkembangnya E.coli pada mukosa usus. Pada grup FOS dimana komposisi oligofruktosanya ≥ 93.2% yang merupakan serat pangan yang dapat difermentasi menjadi asam lemak rantai
pendek dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon oleh sel-sel epitel usus sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan mukosa usus. Selain itu, FOS dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat dan Bifidobacterium, sehingga dapat menghambat pertumbuhan patogen (E.coli) (Manning & Gibson 2004). Hal ini diduga juga terjadi pada perlakuan biji teratai. 4. Pengaruh pemberian tepung biji teratai dan ekstrak etil asetat biji teratai terhadap kandungan imunoglobulin A(IgA) usus halus tikus percobaan Pengaruh pemberian tepung biji teratai dan ekstrak etil asetat biji teratai terhadap kandungan imunoglobulin A (IgA) usus halus tikus percobaan kelompok sehat dapat dilihat pada Tabel 22. Pada Tabel 22 terlihat pemberian tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS selama tiga minggu tidak berpengaruh terhadap kandungan IgA pada mukosa usus halus dibandingkan dengan kontrol. Akan tetapi setelah empat minggu perlakuan terlihat peningkatan kandungan IgA pada bagian duodenum tikus percobaan yang diberi tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS. Sementara pada jejunum peningkatan hanya terlihat pada perlakuan tepung biji teratai dan FOS. Hal ini diduga akibat peranan prebiotik pada tepung biji teratai dan FOS yang mampu menstimulasi bakteri asam laktat yang mampu menstimulasi sistem imun pada saluran pencernaan inang.
Grup
yang diberi ekstrak biji teratai menunjukkan kandungan Ig A yang tidak berbeda dengan kontrol. Hal ini disebabkan ekstrak etil asetat biji teratai tersebut tidak mempunyai aktivitas prebiotik. Kandungan immunoglobulin A yang terdapat pada mukosa usus halus kelompok tikus percobaan yang diintervensi oleh EPEC K1.1, dapat dilihat pada Tabel 22 dan Gambar 22. Pada Tabel 22 terlihat pengaruh intervensi EPEC K1.1 pada tikus percobaan mengakibatkan rendahnya kandungan imunoglobulin A (IgA)
pada mukosa usus halus tikus kontrol.
Hal ini berkaitan dengan
menurunnya sistem pertahanan pada mukosa usus halus akibat dari intervensi EPEC K1.1. Sebaliknya pada grup tikus yang diberi perlakuan ransum yang disubstitusi dengan biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS, pemberian ransum perlakuan mengakibatkan kandungan IgA pada mukosa usus halus dapat dipertahankan (Gambar 22).
Menurut Roller et al. (2003), suplementasi prebiotik (inulin yang diperkaya dengan oligofruktosa) dapat meningkatkan produksi interleukin-10 di dalam Peyer’s patch dan produksi imunoglobulin A sekretori di dalam sekum
tikus
percobaan. Di dalam Peyer’s patch, terutama interferon (IFN) dan IL-10 diproduksi oleh limfosit T helper (yaitu IFN) dan sel dendritik (yaitu IL-10). Hubungan yang erat antara produksi dari kedua sitokin ini menunjukkan bahwa perlakuan prebiotik secara simultan mengaktifkan limfosit T dan atau sel dendritik. Meningkatnya produksi sitokin menunjukkan bahwa prebiotik dan atau metabolitnya ikut campur terutama pada pengaturan produksi sitokin.
IFN
menstimulasi ekspresi komponen IgA sekretori oleh sel epitel. Menurut Roller et al. (2003), konsumsi prebiotik rafinosa meningkatkan produksi IL-12 dari Peyer’s patch.
Peyer’s patch sensitif terhadap perlakuan prebiotik (terutama pada
produksi sitokin dan sIgA). Menurut Manhart et al. (2003), Peyer’s patch sangat sensitif pada kondisi stres dan bervariasinya substrat imunomodulator merupakan stimulator yang efektif dari limfosit Peyer’s patch. Adanya korelasi antara meningkatnya jumlah limfosit pada Peyer’s patch dengan peningkatan pertahanan pada mukosa. Pencegahan atropi oleh limfosit Peyer’s patch menurunkan rata-rata kematian tikus percobaan yang terinfeksi Pseudomonas. Menurut Roller et al. (2003) pemberian FOS pada tikus percobaan meningkatkan konsentrasi IgA fecal. Meskuipun demikian, mekanisme efek dari peningkatan IgA sekretori pada tikus percobaan yang diberi ransum FOS masih belum diketahui.
Tabel 22. Kandungan Imunoglobulin A (Ig A) secara imunohistokimia pada usus halus tikus percobaan yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 Kondisi tikus percobaan Sehat
Perlakuan Kontrol
Sehat
Sehat
Sehat
Duodenum Minggu ke-0 ++++ Minggu ke- 2
Usus halus Jejunum
Ileum
++++
++++
Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak biji teratai FOS
+++ ++++ +++ +++ Minggu ke-3
+++ +++ +++ +++
+++ +++ +++ +++
Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak biji teratai FOS
+++ +++ +++ +++ Minggu ke-4
+++ +++ +++ +++
+++ +++ ++ +++
Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak biji teratai FOS
+++ ++++ ++++ ++++
++ ++++ +++ ++++
+ ++++ ++ +
Minggu ke-3 setelah intervensi EPEC K1.1
1 minggu setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan
Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak biji teratai FOS
++ +++ +++ +++ Minggu ke-4
++ +++ +++ +++
++ +++ +++ +++
Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak biji teratai FOS
++ ++++ +++ +++
+ +++ +++ +++
+ +++ + +++
Tanda (+) menunjukkan keberadaan IgA (yang ditunjukkan oleh warna coklat). Semakin banyak tanda + berarti semakin banyak kandungan IgA-nya
Selain itu, menurut Manhart et al.( 2003) makanan yang diperkaya dengan FOS (prebiotik) dapat meningkatkan limfosit B, baik pada tikus percobaan yang sehat maupun yang mengalami endotoxemic, sementara pemberian FOS dapat meningkatkan jumlah limfosit T hanya pada kondisi endotoxemic. FOS dapat meningkatkan jumlah bakteri penghasil asam laktat, terutama Bifidobacteria. Bifidobacteria dapat meningkatkan IgA pada mukosa usus halus (Takahashi et al. 1998). Mekanisme yang sama dengan FOS diduga ada pada perlakuan biji teratai, dimana biji teratai mengandung prebiotik yang dapat meningkatkan jumlah
bakteri asam laktat anaerob dan juga menstimulasi produksi IgA. Sementara ekstrak biji teratai tidak dapat meningkatkan jumlah bakteri asam laktat. Diduga ekstrak biji teratai mempunyai mekanisme yang berbeda dengan FOS dalam meningkatkan produksi imunoglobulin A pada mukosa usus halus. Beberapa komponen aktif yang berperan sebagai antimikroba pada biji teratai dan ekstrak biji teratai, diketahui berperan pula sebagai imunomodulator, seperti saponin (Shahidi 2002) dan alkaloid (Kim et al. 2003) yang diketahui dapat meningkatkan sistem imun. Mekanisme pencegahan diare pada biji teratai dan ekstrak biji teratai adalah karena adanya aktivitas antimikroba dan atau adanya efek imunomodulator dari komponen aktif yang terkandung di dalamnya.
V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1.
Biji dan umbi teratai (Nymphaea pubescens Willd) memiliki aktivitas antibakteri terhadap E.coli Enteropatogenik K1.1 (EPEC K1.1) dan S.Typhimurium, terutama pada ekstrak etil asetat.
Ekstrak etanol memiliki
aktivitas yang lebih rendah daripada ekstrak etil asetat. Komponen aktif dari ekstrak biji dan umbi teratai tidak menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat. 2.
Nilai MIC dan MBC ekstrak etil asetat biji teratai terhadap EPEC K1.1 adalah 0.89 mg/ml dan 1.33 mg/ml. Nilai MIC dan MBC ekstrak etil asetat biji teratai terhadap S. Typhimurium adalah 1.11 mg/ml dan 1.33 mg/ml. Nilai MIC ekstrak etil asetat umbi terhadap E.coli K1.1 adalah 1.11 mg/ml sedangkan nilai MIC dan MBC ekstrak etil asetat umbi terhadap S. Typhimurium adalah 1.11 mg/ml dan 1.55 mg/ml.
3.
Komponen fitokimia yang terdapat pada ekstrak etil asetat biji adalah alkaloid, tanin, saponin, glikosida, flavonoid dan triterpenoid, sedangkan yang terdapat pada umbi adalah alkaloid, tanin, saponin, glikosida dan steroid. Semua komponen tersebut memiliki aktivitas antibakteri.
4.
Fraksi-fraksi dari ekstrak etil asetat biji dan umbi memiliki aktivitas antibakteri yang bekerja secara sinergis
5.
Oligosakarida yang menjadi sumber prebiotik pada biji dan umbi teratai adalah rafinosa dan stakiosa Pada biji, kadar total rafinosa adalah 0.60 mg/g (bk), sedangkan pada umbi kadar total stakiosa dan rafinosa adalah 10.69 mg/g (bk). Oligosakarida yang terdapat pada biji dan umbi teratai dapat difermentasi oleh Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium bifidum.
6.
Biji teratai dan ekstrak etil asetat biji teratai dengan kadar 20MIC ≈ 1.866 g tepung biji teratai atau ≈ 13.23 mg/g berat badan tikus percobaan atau ≈ 17.8 mg/ml ekstrak etil asetat secara nyata dapat mencegah dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen penyebab diare (EPEC K1.1) pada tikus percobaan. Biji teratai mempunyai kemampuan mencegah dan menghambat
pertumbuhan bakteri patogen penyebab diare (EPEC K1.1) yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak etil asetat biji teratai. 7.
Biji teratai dan ekstrak biji teratai dapat berperan sebagai imunomodulator (menstimulasi produksi IgA) sebagai pertahanan terhadap serangan patogen di saluran pencernaan.
8.
Biji dan umbi teratai memiliki aktivitas antibakteri dan prebiotik, akan tetapi biji lebih berpotensi sebagai antibakteri, sedangkan umbi teratai lebih berpotensi sebagai sumber prebiotik.
B. SARAN 1. Perlu penelitian lebih lanjut tentang potensi prebiotik biji dan umbi teratai dengan cara
mengidentifikasi jenis bakteri asam laktat dan
atau
Bifidobakteria yang dapat memfermentasi oligosakarida serta identifikasi jenis asam lemak rantai pendek hasil dari fermentasi tersebut. 2. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh proses pengolahan panas (perebusan, pengukusan, pemanggangan, penggorengan) dan
fermentasi,
terhadap komponen aktif biji dan umbi teratai untuk pengembangan pangan fungsional. 3. Perlu penelitian lebih lanjut tentang efek toksikologi dari biji dan umbi teratai jika dikonsumsi secara berlebihan dan terus-menerus 4.
Perlu kajian potensi produksi biji dan umbi teratai.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2004. Water Lily-Nymphaea alba. www.botany.hawaii.edu. Maret 2004. Adawiyah DR. 1998. Kajian Pengembangan Metode Ekstraksi Komponen Antimikroba Biji Buah Atung (Parinarium glaberimum Hassk) [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Adzu B, Amos S, Amizan MB, Gamaniel K. 2003. Evaluation of the antidiarrhoeal effects of Zizyphus spinachristi stem bark in rats. Acta Tropica, 87: 245-250 Adzu B, Tarfa F, Amos S, Gamaniel KS. 2004. The efficacy of Sphaeranths senegalensis Vaill extract against diarrhea in rats. J. Ethnopharmacology, 95:173-176. Agunu A, Yusuf S, Andrew GO, Zezi AU, Abdurahman EM. 2005 Evaluation of five medicinal plants used in diarrhea treatment in Nigeria. J. Ethnopharmacology, 101:27-30 Aguwa CN, Lawal AM. 1988. Pharmacologic studies on the active principles of Calliandra portoricensis leaf extracts. J. Ethnopharmacology, 22: 63-71 Ahmad I, Beg AZ. 2001. Antimicrobial and phytochemical studies on 45 Indian medicinal plants against muliti-drug resistant human pathogens. J. Ethnopharmacology, 74:113-123. Ainah N. 2004. Karakterisasi Sifat Fisik dan Kimia Tepung Biji Bunga Teratai Putih (Nymphae pubescens Wild) dan Aplikasinya pada Pembuatan Roti. [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Aniagu SO, Binda LG, Nwinyi FC, Orisadipe A. 2005. Anti-diarrhoeal and ulcer-protective effects of the aqueous root extract of Guiera senegalensis in rodents. J. Ethnopharmacology, 97: 549-554 Atta AH, Mouneir SM. 2004. Antidiarrhoeal activity of some Egyptian medicinal plant extracts. J. Ethnopharmacology, 92: 303-309 AOAC. 1984. Official Methods of Analysis. Washington DC: Assosiation of Official Agricultural Chemists. AOAC. 1990. Official Methods of Analysis. Washington DC: Assosiation of Official Agricultural Chemists.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC: Assosiation of Official Agricultural Chemists. Asp NG, Johnson CG, Halmer H, Siljestrom M. 1983. Rapid enzymatic assay of insoluble dietary fiber. J. Agr. Food Chem., 31:476-482 Ballongue J. 1998. Lactic Acid Bacteria Microbiology and Functional Aspects: Bifidobacteria and Probiotic. New York: Marcell Dekker Inc. Baratawidjaja KG, editor. 2002. Imunologi Dasar. Ed ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Bhattacharyya P, Biswas GK, Barua AK, Saha C, Poy IB, Chowdhury BK. 1993. Clausenalene, a carbazole alkaloid from Clausena heptaphylla. Phytochemistry, 33(1) : 248-250 Bielecka M, Biedrzycka E, Majkowska A. 2002. Selection of probiotics for synbiotics and confirmation of their in vivo effectiveness. Food Research International 35:125-131 Bornet FRJ, Brouns F, Tashiro Y, Duvillier V. 2002. Nutritional aspects of short-chain fructooligosaccharides : natural occurrence, chemistry, physiology and health implications. Digest Liver Dis., 34:S111-120 Bowen R. 2001. Pathophysiology of Diarrhea. http://arbl.cvmbs.colostate.edu/hbooks/pathphys/digestion/smallgut/lifecycle.html Bowen R. 2004. The Gastrointestinal Immune System. http://arbl.cvmbs.colostate.edu/hbooks/pathphys/digestion/smallgut/lifecycle.html Boyd RF, Marr JJ. 1980. Medical Microbiology. First Edition. Boston : Little, Brown and Company. [BPS]Badan Pusat Statistik Kalimantan Selatan 2000. Kalimantan Selatan Dalam Angka. Banjarmasin : Badan Pusat Statistik Kalimantan Selatan. Brody T. 1999. Nutritional Biochemistry. San Diego: Academic Press. Buddington KK, Danohoo JB, Buddington RK. 2002. Dietary oligofructose and inulin protect mice from enteric and systemic pathogens and tumour inducers. J. Nutrition, 132:472-477 Budiarti S, Mubarik NR. 2007. Extracelluler protease activity of Enteropathogenic Escherichia coli on mucin substrate. Short Communication. HAYATI J. Biosciences, 14(1) : 36-38 Cappaso R, Evidente A, Schivo L, Orru G, Marcialis MA, Cristinzio G. 1995. Antibacterial polyphenols from olive oil mill waste waters. J.Appl. Bacteriol. 79: 393-398.
CEMPAKA. 2003. Ramuan Teratai dan Iler. Edisi 20/XIV/14-20 Agustus 2003. Chakraborty A, Saha C, Podder G, Chowdhury BK, Bhattacharyya. 1995. Carbazole alkaloid with antimicrobial activity from Clausena heptaphylla. Phytochemistry, 38(3):787-789 Champbell JM, Fahey GC, Wolf BW. 1997. Selected indigestible oligosaccharides affect large bowel mass, cecal and fecal short-chain fatty acids, pH and microflora in rats. J. Nutrition, 127: 130-136 Cowan MM. 1999. Plants products as antimicrobial agents. Microbiology Reviews: 564-582
Clinical
Crittenden RG, Playne MJ. 1996. Production, properties and applications of food-grade oligosaccharide. Trends in Food Science and Technology, 7:353-361 Davidson PM. 1993. Parabens and phenolic compounds. Di dalam : Davidson PM & Branen AL, editor. Antimicrobials in Foods. 2nd Edition. New York : Marcel Dekker, Inc. Das R, Devaraj SN. 2006. Glycosides derived from Hemidesmus indicus R. Br. root inhibit adherence of Salmonella Typhimurium to host cells: receptor mimicry. Phytother. Res, 20:784-793 [Deskes]Departemen Kesehatan. Jakarta : Penerbit Bharata.
1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan.
[Deskes]Departemen Kesehatan. 1995. Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. [Depkes]Departemen Kesehatan. 1997. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (IV). Jakarta: Depkes Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Don WS, Emir T, Cherry H. Gramedia Pustaka Utama.
2000.
Lotus dan Teratai. Jakarta: Penerbit
Evanikastri. 2003. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat dari Sampel Klinis yang Berpotensi sebagai Probiotik. [Thesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Pangan, Pasca Sarjana IPB. Fagarasan S, Honjo T. 2004. Regulatin of IgA synthesis at mucosal surface. Current Opinion in Immunology 16:277-283 Fardiaz S. 1989. Petunjukan Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: IPB Press.
Fuaddi K. 1996. Analisa Kandungan Gizi pada Umbi, Biji Buah dan Tangkai Bunga Teratai (Nymphae pubescens Wild). [Skripsi]. Banjarmasin: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UNLAM. Gan S, Suharto B, Sjamsudin U, Setiabudy R, Setiawati A dan Gan VHS, editor. 1980. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-2. Jakarta : Fakultas KedokteranUI. Gariga M, Hugas M, Aymerich T, Monfort JM. 1983. Bacteriogenic activity of lactobacilli from fermented sausage. App Bacteriol 75:142-148 Gibson GR, Wang X. 1994. Regulatory effects of bifidobacteria on growth of other colonic bacteria. J. Applied Bacteriology, 77:412-420 Gibson GR, Roberfroid MB. 1995. Dietary modulation of human colonic microbiota:introducing the concept of prebiotics. J. Nutrition, 125:14011412 Gibson GR, Beatty ER, Wang X, Cumming JH. 1995. Selective stimulation of bifidobacteria in human colon by oligofructose and inulin. Gastroenterology, 108 : 975-982 Gibson G, Angus F. 2000. Prebiotics and Probiotics. Handbook. England: LFRA Limited.
LFRA Ingredients
Gibson GR. 2004. Fibre and effects on probiotics (the prebiotic concept). Clinical Nutrition Supplements, 1: 25-31. Goosney DK, Knoechel DG, Finlay BB. 1999. Enteropathogenic E.coli, Salmonella, and Shigella: master of host cell cytoskeletal exploitation. Emerging Infectious Disease 5(2):216-223 Gorman SP. 1991. Microbial adherence and biofilm production. Di dalam: Denyer SP, Hugo WB. Mechanism of Action of Chemical Biocides Their Study and Exploitation. London : Blackwell Scientific Publicatin. Grieve M. 2004. Monograph-A Modern Herbal. www.herbdatan2.com. Januari 2004 Gross RJ. 1995. Escherichia. Di dalam : Greenwood D, Slack RCB & Peutherer JF, editor. Medical Microbiology. A Guide to Microbial Infections: Pathogenesis, Immunity, Laboratory Diagnosis and Control. 14th Ed. Hongkong: ELBS with Churchill Livingstone. Gulewicz P, Ciesiolka D, Frias J, Vidal-Valverde C, Frejnagel S, Trojanowska K, Gulewicz K. 2000. Simple method of isolation and purification of – galctocides from legumes. J. Agric. Food Chem, 48:3120-3123
Gunakkundru A, Padmanaban K, Thirumal P, Pritila J, Parimal G, Vengatesan N, Gnanasekar N, Perianayagama JB, Sharma SK, Pillai KK. 2005. Antidiarrhoeal activity of Butea monosperma in experimental animals. J. Ethnopharmacology 98:241-244 Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Ed ke-2. Padmawinata K & Soediro I, penerjemah; Bandung : Penerbit ITB Bandung. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Harrigan WF, McCance ME. 1976. Laboratory Methods in Food and Dairy Microbiology. New York: Academic Press. Hartemink R, Van Laere KMJ, Rombouts FM. 1997. Growth of enterobacteria on fructo-oligosaccharides. J Appl Microbiol 83:367-374 Herbert RB. 1988. Biosynthesis of Secondary Metabolites. London: Chapman & Hall. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (Jilid II). Jakarta : Badan Litbang Kehutanan. Koperasi Karyawan Departeman Kehutanan. Hond ED, Geypens B, Ghoos Y. 2000. Effect of high performance chicory inulin on constipation. Nutrition Research, 20(5):731-736 Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for The Fractionation of Natural Extracts. London: Chapman & Hall. Hughes. 2004. Lily, White Pond. www.botanical.com.
Maret 2004
Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. 6th Ed. Maryland: Aspen Publishers, Inc. Jawetz E, Melnick J , Adelberg E. 1996. Medical Microbiology. Sanfransisco: Appleton & Lange. Kabara JJ. 1993. Medium-chain fatty acids and esters. Di dalam : Davidson PM & Branen AL, editor. Antimicrobials in Foods. 2nd Edition. New York : Marcel Dekker, Inc. Kanazawa A, Ikeda T, Endo T. 1995. A Novel approach to mode of action of cationic biocides morfological effect on bacterial activity. J Appl Bacteriol, 78:55-60 Kaplan H, Hutkins RW. 2000. Fermentation of fructooligosaccharides by lactic acid bacteria and bifidobacteria. Applied and Environmental Microbiology, 66(6):2682-2684
Karsinah, Lucky HM, Suharto, Mardiastuti HW. 1994. Batang Negatif Gram. Di dalam : Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, editor. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Binarupa Aksara. Khairina R, Fitrial Y. 2002. Produksi dan Kandungan Gizi Biji Teratai (Nymphae pubescens Wild) Tanaman Air yang terdapat di Hulu Sungai Utara. Jurnal Ilmiah Fakultas Pertanian UNLAM, 2(9) :77-88 Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods:Theory & Practice. London: Pergamon Press. Kim BO, Yamada K, Nonaka M, Kuramoto Y, Hung P, Sugano M. 1997. Diatary fibers modulate indices of intestinal immune function in rats. J. Nutrition, 127 : 663-667 Kim TS, Kang BY, Cho D, Kim SH. 2003. Induction of interleukin-12 production in mouse macrophages by berberine, a benzodioxoloquinolizine alkaloid, derivates CD4+ T cell from a Th2 to a Th4 response. Immunology, 109: 407-414 Kubo I. 1992. Antimicrobial activity of green tea flavour components (effectiveness against Streptococcus mutans). Di dalam : Teranishi R, Buttery RG, Sugisama H, editor. Bioactive Volatile Compounds for plants. Washington: American Chemical Society. Kusfriyadi MK. 2004. Kajian Pemanfaatan Tepung Talipuk dari Biji Bunga Teratai Putih (Nymphae pubescens Wild) sebagai Bahan Substitusi dalam Pembuatan Biskuit. [Skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Lavlinesia. 2004. Kajian Pola dan Mekanisme Inaktivasi Bakteri oleh Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (Parinarium globerimum Hassk) [Ringkasan Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Le Blay G, Michel C, Blottiere HM, Cherbut C. 1990. Prolonged intake of fructo-oligosaccharides induces a short-term elevation of lactic acidproducing bacteria and persistent increase in cecal butyrate in rats. J. Nutrition, 129: 2231-2235 Lide DR. 2007. Handbook of Chemistry and Physics. New York: CRC Taylor & Francis. Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2000. Brock Biology of Microorganisms. 9th edition. New Jersey : Prentice-Hall, Inc. Manhart N, Spittler A, Bergmeister H, Mittlbock M, Roth E. 2003. Influence of fructooligosaccharides on peyer’s patch lymphocyte numbers in healthy and endotoxemic mice. Nutrition 19(7/8):657-660
Manning TS, Gibson GR. 2004. Prebiotics. Best Practice & Research Clinical Gastroenterology, 18(2): 287-298 Marianto LA. 2001. Tanaman Air. Jakarta: Penerbit PT Agro Media Pustaka. Martinez-Villaluenga C, Frias J, Vidal-Valverde C, Gomez R. 2005. Raffinose family of oligosacharides from lupin seeds as prebiotics: aplication in dairy products. J. Food Protection, 68(6):1246-1252 Matteuzzi D, Swennen E, Rossi M, Hartman T, Lebet V. 2004. Prebiotic effects of a wheat germ preparation in human healthy subjects. Food Microbiology, 21:119-124 Meckes M, Torres J, Calzada F, Rivera J, Camorlinga M, Lemus H, Rodriguez G. 1997. Antibacterial properties of Helianthemum glomeratum, a plant used in Maya traditional medicine to treat diarrhoea. Phytotherapy Research 11:128-131 Moat AG, Foster JW, Spector MP, editor. 2002. Microbial Physiology. 4th Ed. New York: A Wiley Interscience Publication, John Wiley and Sons. Murhadi. 2002. Isolasi dan Karakterisasi Komponen Antibakteri dari Biji Atung (Parinarium glaberrimum Hassk) [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB. Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS. Pfaller MA. Microbiology. Third edition. London : Mosby.
1998.
Medical
Nataro JP, Kaper JB. 1998. Diarrheagenic Escherichia coli. Microbiology Reviews, 11(1):142-201
Clinical
Naufalin R. 2005. Kajian Sifat Antimikroba Ekstrak Bunga Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) terhadap berbagai Mikroba Patogen dan Perusak Pangan [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjan IPB. Nguyen QV. 2001. Lotus for Export to Asia-An agronomic and physiological study. RIRDC Publication No.01/32, Gosford, NSW. p 1-62 Nilsson U, Oste R, Jagerstad M, Birkhad D. 1988. Cereal fructans: in vitro and in vivo studies on availability in rats and humans. J. Nutrition, 118 : 13251330 Nychas GJE. 1995. Natural Antimicrobials from plants. Di dalam : Gould GW, editor. New Methods of Food Preservation. London: Blackie Academic and Profesional. Offiah VN, Chikwendu UA. 1999. Antidiarrhoeal effects of Ocimum gratissimum leaf extract in experimental animals. J. Ethnopharmacology, 68: 327-330
ORAFTI. 2000. Product sheet BeneoTM P95. Belgium : ORAFTI Active Food Ingredients. Otshudi LA, Vercruysse A, Foriers A. 2000. Contribution to the ethnobotanical, phytochemical and pharmacological studies of traditionally used medicinal plants in the treatment of dysentery and diarrhoea in Lomela area, Democratic Republic of Congo (DRC). J. Ethnopharmacology, 71: 411-423 Ouwehand AC, Derrien M, de Vos W, Tiihonen K, Rautonen N. 2005. Prebiotics and other microbial substrate for gut functionality. Current Opinion in Biotechnology 16:212-217 Oyetayo VO. 2004. Performance of rats orogastrically dosed with faecal strains of Lactobacillus acidophilus and challenged with Escherichia coli. African Journal of Biotechnology, 3(8) : 409-411 Parhusip AJN. 2006. Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) terhadap Bakteri Patogen Pangan. [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjan IPB. Radiati LE. 2002. Mekanisme Penghambatan Virulensi Bakteri Enteropatogenik oleh Ekstrak Rimpang Jahe (Zingiber officinale Roscoe) [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rao VA. 1999. Dose-response effects of inulin and oligofructose on intestinal bifidogenesis effects. J. Nutrition, 129:1442S-1445S Rao VA. 2001. The prebiotic properties of oligofructose at low intake levels. Nutrition Research, 21:843-848 Rastall R. 2000. Emerging prebiotics. Di dalam : Gibson G and Angus F, editor. LFRA Ingredients Handbook : Prebiotics and Probiotics. England: Leatherhead Publishing, LFRA Limited. Raffauf RF. 1970. A Handbook of Alkaloids and Alkaloid-Containing Plants. New York: John Wiley & Sons, Inc. Roller M, Rechkemmer G, Watzi B. 2003. Prebiotic inulin enriched with oligofructose in combination with the prebiotics Lactobacillus rhamnosus and Bifidobacterium lactis modulates intestinal immune functions in rats. J Nutrition 2:153-156 Rosseou V, Lepargneur JP, Roqoues, Remaud-Simeon CM, Paul F. 2004. Prebiotics effects of oligosaccharide on selected vaginal lactobacilli and pathogenic microorganism. J. Clin Microbiology Anaerob 11:145-153
Rushdi TA, Pichard C, Khater YH. 2004. Control of diarrhea by fiber-enriched diet in ICU petients on enteral nutrition : a prospective randomized controlled trial. Clinical Nutrition, 23 :1344-1352. Sastrapradja, Bimantoro. Nasional-LIPI.
1981.
Tumbuhan Air.
Bogor: Lembaga Biologi
Scalbert A. 1991. Antimicrobial properties of tanins. Review Article Number 63. Phytochemistry, 30(12): 3875-3883 Scheinbach S. 1998. Probiotics : functionality and commercial status. Biotechnology Advances Elsevier science inc., 16(3): 581-608. Schneeman BO. 1999. Fiber, inulin and oligofructose:similarities and differences. J. Nutriton, 129:1424S-1427S SENIOR. 2004. Biji Bunga Teratai untuk Stamina Hingga Menunda Penuaan. No.251/7-13 Mei 2004 Shahidi F. 2002. Phytochemicals in oilseeds. Di dalam : Meskin MS, Bidlack WR, Divies AJ, Omaye ST, editor. Phytochemicals in Nutrition and Health. New York: CRC Press. Spiegel JE, Rose R, Karabell P, Frankos VH, Schmitt DF. 1994. Safety and benefits of fructooligosaccharides as food ingredients. Food Technology, 18 (1):85-89 Springfield EP. 2003. An assessment of two Carpobrotus species extracts as potential antimicrobila agents. Phytomedicine 10: 434-439. Stewart J, Weir DM. 1995. Immunological principles: antigens and antigen recognition. Di dalam : Greenwood D, Slack RCB, Peutherer JF, editor. Medical Microbiology. A Guide to Microbial Infections: Pathogenesis, Immunity, Laboratory Diagnosis and Control. 14th Ed. Hongkong: ELBS with Churchill Livingstone. Stodolo J. 1987. Aquarium Plants. T.F.H. Publications. Inc. Stratford M. 2000. Traditional preservatives-organic acids. Di dalam : Robinson RK, Batt CA, Patel PD, editor. Encyclopedia of Food Microbiology. Volume 1. London : Academic Press. Sugiastuti S. 2002. Kajian Aktivitas Antibakteri dan Antioksidan Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L) pada Daging Sapi Giling [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana , Institut Pertanian Bogor. Surono IS. 2004. Probiotik, Susu Fermentasi dan Kesehatan. Jakarta:YAPMMI.
Suzuki K, Ha S, Tsuji M, Fagarasan S. 2007. Intestinal IgA synthesis: A primitive form of adaptive immunity that regulates microbial communities in the gut. Seminars in Immunology 19 :127-135 Swinkle, JJM. 1985. Sources of starch, Its chemistry and physics. Di dalam : Van beynum GMA and Roels JA, editor. Starch Conversion Technology. New York: Marcel Dekker, Inc. Takahashi T, Nakagawa E, Nara T. 1998. Effects of orally ingested Bifidobacterium longum on the mucosal IgA response of mice to dietary antigents. Biosci Biotechnol Biochem 62:10 Tannok GW. 1999. A Fresh Look at The Intestinal Microflora. Di dalam: Probiotic : A Critical Review. Horizon Scientific Press. Ten Bruggencate SJM, Bovee-Oudenhoven IMJ, Lenttink-Wissink MLG, Van der Meer R. 2003. Dietary fructo-oligosaccharides dose-dependently increase translocation of Salmonella in rats. J. Nutrition 133:2313-2318 Todar K. 2002. The Bacterial Flora of Humans-Todar’s Online Textbook of Bacteriology. http://www.textbookofbacteriology.net Tomasik PJ, Tomasik P. 2003. Probiotics and prebiotics. Review. Cereal Chem. 80(2):113-117 Wang X, Gibson GR. 1993. Effects of the in vitro fermentation of oligofructose and inulin by bacteria growing in the human large intestine. J. Applied Bacteriology, 75:373-380 Wang H, Tan C, Bai X, Du Y, Lin B. 2005. Pharmacological studies of antidiarrhoeal activity of Gentianopsis padulosa. J. Ethnopharmacology, In Press Wilson M. 2005. Microbial Inhabitants of Humans : Their ecology and role in health and disease. United Kingdom : Cambridge University Press. . Ziemer CJ, Gibson GR. 1998. An overview of probiotics, prebiotics and synbiotics in the functional food concept: perspectives and future strategies. Int. Dairy Journal, 8:473-479 Zopf D, Roth S. 1996. Oligosaccharide anti-infective agents. Lancet 347:101721
LAMPIRAN
Lampiran 2. Kromatogram hasil analisis beberapa fraksi ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai Biji Teratai : Fraksi 11
Keterangan : Senyawa dugaan (berdasarkan library: Wiley229.LIB) 2 =Nummularine (C29H38N4O5 ) 6= Hexadecanoic acid (CAS) Palmitic acid (C16H32O2 ) 8=4-Heptanone,2-methyl-(CAS)2-Methyl-4-heptanone (C8H16O ) 9=11,14-Eicosadienoic acid, methyl ester (C21H38O2 ) 10=Phenol, 4-bromo-2-(1,2-dimethyl-3-methylenecyclo)( C15H18BrIO ) 16=δ-tocopherol (C27H46O2 ) Fraksi 10
Keterangan : Senyawa dugaan (berdasarkan library: Wiley229.LIB) 8 =1,2-Benzenedicarboxylic acid, diisoctyl ester (C24H38O4 )
Fraksi 9
Keterangan : Senyawa dugaan (berdasarkan library: Wiley229.LIB) 2 =1,2-Dimethyl 3-(3-Bromo-4-methoxy-2H-pyran-2-on-6-yl) indolizidinedicarboxylate (C18H14BrNO7 ) 3= Diacetin (C17H12O5) 4= Benzenaminium,3-carboxy-N,N,N-trimethyl-,hydroxyide, inner salt (C10H13NO2) 8= Benzene,(1-bromoethyl)(CAS) 1-Phenylethyl bromide (C8H9Br) 11=3-(2,6-Dimethylphenyl)-1,2-benzisoxazole (C15H13NO) Fraksi 8
Keterangan : Senyawa dugaan (berdasarkan library: Wiley229.LIB) 2 =(4-tolyl)pyrimido[1,2,5]benzo (5-amino)triazinium dibromide ( C17H15Br2N5 )
Fraksi 7
Keterangan : Senyawa dugaan (berdasarkan library: Wiley229.LIB) 1 =4-T-Butyl-2-isopropoxymethylenecyclohexanone(C14H24O2) Fraksi 5
Keterangan : Senyawa dugaan (berdasarkan library: Wiley229.LIB) 3 = Diacetin (C7H38O4) 5= 2-methyl-6-bete-d-ribofuranoylimidazol(1,2)pyrimidin5(6H)-one (C12H15N3O5) 6= Di-(2-ethylhexyl)ester of Adipic acid (C22H42O4) 8=1,2-Benzenedicarboxylic acid, bis(2-ethylhexyl)ester (C24H38O4)
Umbi Teratai : Fraksi 10
Keterangan : Senyawa dugaan (berdasarkan library: Wiley229.LIB) 5= Phenol, 4-bromo-2-(1,2-dimethyl-3-methylenecyclo) 6= Acetic acid, cyano 9=1,2-Benzenedicarboxylic acid, bis(2-ethylhexyl)ester
Fraksi 9
Keterangan : Senyawa dugaan (berdasarkan library: Wiley229.LIB) 3=3-Octadecene 8=1-Hexadecene(CAS) Cetene 12=1-Pentadecanol 15=1-Nonadecene 21=2,6,10,14,18,22-Tetracosahexaene,2,6,10,15,19,23-hexamethyl 22=Dodecane,2,6,22-trimethyl
Fraksi 8
Keterangan : Senyawa dugaan (berdasarkan library: Wiley229.LIB) 1=p-Terphenyl,2,4,4”,6-tetachloro 4=Hexadecanoic acid(CAS) Palmitic acid 5=9-Hexadecenoic acid Fraksi 6
Keterangan : Senyawa dugaan (berdasarkan library: Wiley229.LIB) 6=Diisoamylene 8=2-methyl-6-beta-d-ribofuranosylimidazo[1,2-c] pyrimidin-5(6H)-one 9= Eicosyl acetate
Lampiran 3. Hasil analisis ragam penelitian pendahuluan Keterangan : Perlakuan 1 = kontrol Perlakuan 2 = 10 MIC Perlakuan 3 = 20 MIC Perlakuan 4 = 30 MIC a. Total mikroba mukosa sekum ANOVA TPCMUKO
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.896 2.053 3.949
df
Mean Square .632 .257
F 2.462
Sig. .137
Mean Square .012 .204
F .058
Sig. .980
F 3.919
Sig. .062
3 8 11
b. Total mikroba isi sekum ANOVA TPCCECAL
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .035 1.630 1.665
df 3 8 11
c. Total E.coli mukosa sekum ANOVA COLIMUKO
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 8.554 5.094 13.648
df 3 7 10
Mean Square 2.851 .728
COLIMUKO Duncan
a,b
PERLAKUA tiga dua empat satu Sig.
N 3 2 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 4.909722 5.821034 5.821034 6.868144 7.003613 .257 .167
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.667. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
d. Total E.coli isi sekum ANOVA COLICECA
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 4.975 1.684 6.659
df
Mean Square 1.658 .211
3 8 11
F 7.877
Sig. .009
COLICECA Duncan
a
PERLAKUA tiga empat dua satu Sig.
Subset for alpha = .05 1 2 5.554333 6.444633 6.838333 7.307267 1.000 .058
N 3 3 3 3
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
e. Total BAL aerob mukosa sekum ANOVA BALMUKOS
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.268 1.392 2.661
df 3 7 10
Mean Square .423 .199
F 2.126
Sig. .185
f. Total BAL aerob isi sekum ANOVA BALCECAL
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .473 3.233 3.706
df 3 8 11
Mean Square .158 .404
F .390
Sig. .763
Lampiran 4. Hasil analisis ragam total ransum dan kenaikkan berat badan tikus percobaan Keterangan: Perlakuan 1 = kontrol Perlakuan 2 = biji teratai Perlakuan 3 = ekstrak biji teratai Perlakuan 4 = FOS a. Total ransum tikus percobaan yang sehat
ANOVA KONSNOR Sum of Squares 1008.406 1951.013 2959.420
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square 336.135 243.877
3 8 11
F 1.378
Sig. .318
b. Kenaikkan berat badan tikus percobaan yang sehat ANOVA BBNOR Sum of Squares 250.000 178.667 428.667
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 83.333 22.333
BBNOR Duncan
a
PERLAKUA tiga empat dua satu Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 29.666667 38.666667 39.333333 41.666667 1.000 .477
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
F 3.731
Sig. .061
f. Efisiensi ransum pada kelompok tikus sehat ANOVA EFISNOR Sum of Squares 33.945 9.597 43.542
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 11.315 1.200
F 9.432
Sig. .005
EFISNOR a
Duncan
PERLAKUA tiga dua empat satu Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 11.497480 14.072474 14.795194 16.114784 1.000 .060
Means for groups in homogeneous subsets are displayed a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
d. Total ransum tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1 ANOVA KONSCOL
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 701.494 1223.796 1925.289
df 3 8 11
Mean Square 233.831 152.974
F 1.529
Sig. .280
e. Kenaikan berat badan tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1 ANOVA BBCOL
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 519.000 248.000 767.000
df 3 8 11
Mean Square 173.000 31.000
F 5.581
Sig. .023
BBCOL Duncan
a
PERLAKUA tiga satu empat dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 31.666667 36.666667 36.666667 46.666667 47.000000 .303 .061
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
f. Efisiensi ransum pada kelompok tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1 ANOVA EFISCOL Sum of Squares 52.435 20.380 72.815
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 17.478 2.547
EFISCOL Duncan
a
PERLAKUA tiga satu empat dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 12.156035 13.571030 16.910595 16.934812 .309 .986
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
F 6.861
Sig. .013
Lampiran 5. Hasil analisis ragam total mikroba pada sekum tikus percobaan Keterangan: Perlakuan 1 = kontrol Perlakuan 2 = biji teratai Perlakuan 3 = ekstrak biji teratai Perlakuan 4 = FOS a. Total mikroba isi sekum-kelompok tikus sehat-2 minggu perlakuan ransum ANOVA TPS2CS Sum of Squares 2.315 1.871 4.185
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square .772 .234
F 3.300
Sig. .079
TPS2CS Duncan
a
PERLAKUA empat tiga satu dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 8.135022 8.221415 8.425951 8.425951 9.245249 .500 .072
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b. Total mikroba isi sekum- kelompok tikus sehat- 3 minggu perlakuan ransum ANOVA TPC3CS
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .725 1.080 1.805
df 3 8 11
Mean Square .242 .135
F 1.789
Sig. .227
c. Total mikroba isi sekum-kelompok tikus sehat-4 minggu perlakuan ransum ANOVA TPC4CS
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .609 1.240 1.849
df 3 8 11
Mean Square .203 .155
F 1.310
Sig. .337
d. Total mikroba isi sekum-kelompok tikus diintervensi EPEC K1.1-3 minggu perlakuan ransum ANOVA TPC3CC Sum of Squares .637 1.074 1.711
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square .212 .134
F 1.580
Sig. .269
e. Total mikroba isi sekum- kelompok tikus diintervensi EPEC K1.1- 4 minggu perlakuan ransum ANOVA TPC4CC Sum of Squares 3.995 5.178 9.173
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 1.332 .647
F 2.057
Sig. .184
f. Total mikroba mukosa sekum-kelompok tikus sehat- 2 minggu perlakuan ransum ANOVA TPC2M Sum of Squares 4.672 1.995 6.668
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 1.557 .249
TPC2M Duncan
a
PERLAKUA tiga empat satu dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 4.568844 4.923103 5.883765 6.042958 .410 .706
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
F 6.244
Sig. .017
g. Total mikroba mukosa sekum- kelompok tikus sehat- 3 minggu perlakuan ransum ANOVA TPC3MS Sum of Squares 8.078 2.948 11.026
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 2.693 .369
F 7.306
Sig. .011
TPC3MS Duncan
a
PERLAKUA tiga empat satu dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 4.818533 4.923103 6.362931 6.634599 .838 .599
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
h. Total mikroba mukosa sekum - kelompok tikus sehat- 4 minggu perlakuan ransum ANOVA TPC4MS
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.775 4.664 7.439
df 3 8 11
Mean Square .925 .583
F 1.587
Sig. .267
i. Total mikroba mukosa sekum- kelompok tikus diintervensi EPEC K1.1- 3 minggu perlakuan ransum ANOVA TPCM3C
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.878 1.815 3.693
df 3 8 11
Mean Square .626 .227
F 2.760
Sig. .112
j. Total mikroba mukosa sekum - kelompok tikus diintervensi EPEC K1.1- 4 minggu perlakuan ransum ANOVA TPCM4C
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.161 2.577 4.738
df 3 8 11
Mean Square .720 .322
F 2.236
Sig. .161
Lampiran 6. Hasil analisis ragam total E.coli pada sekum tikus percobaan Keterangan: Perlakuan 1 = kontrol Perlakuan 2 = biji teratai Perlakuan 3 = ekstrak biji teratai Perlakuan 4 = FOS a. Total E.coli isi sekum - kelompok tikus sehat- 2 minggu perlakuan ransum ANOVA COLI2CS Sum of Squares 15.176 19.376 34.552
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 5.059 2.422
F 2.089
Sig. .180
b. Total E.coli isi sekum-kelompok tikus sehat-3 minggu perlakuan ransum ANOVA COLI3CSH Sum of Squares 2.268 10.866 13.135
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square .756 1.358
F .557
Sig. .658
c. Total E.coli isi sekum--kelompok tikus sehat-4 minggu perlakuan ransum ANOVA COLI4CS Sum of Squares 3.258 1.427 4.686
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 1.086 .178
COLI4CS Duncan
a
PERLAKUA dua tiga empat satu Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 5.839242 6.188687 7.023183 7.029656 .341 .985
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
F 6.088
Sig. .018
d. Total E.coli mukosa sekum-kelompok tikus sehat-2 minggu perlakuan ransum ANOVA COLIM2
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .939 10.940 11.879
df 3 8 11
Mean Square .313 1.367
F .229
Sig. .874
e. Total E.coli mukosa sekum-kelompok tikus sehat-3 minggu perlakuan ransum ANOVA COLIM3S
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 3.077 3.429 6.505
df 3 8 11
Mean Square 1.026 .429
F 2.393
Sig. .144
f. Total E.coli mukosa sekum-kelompok tikus sehat-4 minggu perlakuan ransum ANOVA COLIM4S
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 3.179 7.614 10.793
df 3 8 11
Mean Square 1.060 .952
F 1.113
Sig. .399
g. Total E.coli isi sekum-kelompok tikus diintervensi EPEC K1.1-3 minggu perlakuan ransum ANOVA COLI3CC
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 8.905 4.436 13.342
df 3 8 11
Mean Square 2.968 .555
F 5.353
Sig. .026
COLI3CC Duncan
a
PERLAKUA dua tiga empat satu Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 4.663042 6.319614 6.655449 6.840564 1.000 .435
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
h. Total E.coli isi sekum-kelompok tikus diintervensi EPEC K1.1-4 minggu perlakuan ransum ANOVA COLI4CC Sum of Squares 8.394 1.007 9.401
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 2.798 .126
F 22.236
Sig. .000
COLI4CC Duncan
a
PERLAKUA empat dua tiga satu Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3 4.754336 5.132941 5.892500 6.943607 .227 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
i. Total E.coli mukosa sekum- kelompok tikus diintervensi EPEC K1.1-3 minggu perlakuan ransum ANOVA COLIM3C
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.634 2.668 5.301
df 3 8 11
Mean Square .878 .333
F 2.633
Sig. .122
j. Total E.coli mukosa sekum- kelompok tikus diintervensi EPEC K1.1-4 minggu perlakuan ransum ANOVA COLIM4C
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.790 5.062 7.852
df 3 8 11
Mean Square .930 .633
F 1.470
Sig. .294
Lampiran 7. Hasil analisis ragam BAL aerob pada sekum tikus percobaan Keterangan: Perlakuan 1 = kontrol Perlakuan 2 = biji teratai Perlakuan 3 = ekstrak biji teratai Perlakuan 4 = FOS a. Total BAL aerob isi sekum-kelompok tikus sehat-2 minggu perlakuan ransum ANOVA AER2CS Sum of Squares 5.645 2.775 8.420
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 1.882 .347
F 5.424
Sig. .025
AER2CS Duncan
a
PERLAKUA tiga empat satu dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 7.604866 8.608650 8.608650 8.725897 8.725897 9.536361 .056 .101
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b. Total BAL aerob isi sekum - kelompok tikus sehat-3 minggu perlakuan ransum ANOVA AER3CS
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .470 2.259 2.729
df 3 8 11
Mean Square .157 .282
F .555
Sig. .659
c. Total BAL aerob isi sekum-kelompok tikus sehat-4 minggu perlakuan ransum ANOVA AER4CS
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.504 1.026 2.530
df 3 8 11
Mean Square .501 .128
F 3.908
Sig. .055
AER4CS Duncan
a
PERLAKUA tiga satu dua empat Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 8.490561 8.576493 9.157422 9.157422 9.305047 .060 .627
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
d. Total BAL aerob isi sekum-kelompok tikus diintervensi EPEC K1.1-3 minggu perlakuan ransum ANOVA AERO3CC Sum of Squares 1.959 2.387 4.346
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square .653 .298
F 2.189
Sig. .167
e. Total BAL aerob isi sekum-kelompok tikus diintervensi EPEC K1.1-4minggu perlakuan ransum ANOVA AERO4CC Sum of Squares 4.461 3.706 8.167
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 1.487 .463
AERO4CC Duncan
a
PERLAKUA tiga satu empat dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 7.424204 8.571130 8.571130 8.864073 8.948551 .073 .533
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
F 3.210
Sig. .083
f. Total BAL aerob mukosa sekum-kelompok tikus sehat-2 minggu perlakuan ransum ANOVA AEROM2 Sum of Squares 8.460 7.630 16.090
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 2.820 .954
F 2.957
Sig. .098
AEROM2 Duncan
a
PERLAKUA tiga empat satu dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3.964585 5.685895 5.685895 5.917112 6.040746 .063 .681
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
g. Total BAL aerob mukosa sekum-kelompok tikus sehat-3 minggu perlakuan ransum ANOVA AEROM3S Sum of Squares 5.091 3.234 8.325
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 1.697 .404
AEROM3S Duncan
a
PERLAKUA tiga empat satu dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 5.353397 5.713029 5.713029 6.621142 6.956166 .508 .051
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
F 4.197
Sig. .046
h. Total BAL aerob mukosa sekum-kelompok tikus sehat-4 minggu perlakuan ransum ANOVA AEROBM4S
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.256 3.428 5.684
df 3 8 11
Mean Square .752 .428
F 1.755
Sig. .233
i. Total BAL aerob mukosa sekum-kelompok tikus diintervensi EPEC K1.1-3 minggu perlakuan ransum ANOVA AEROM3C
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.457 3.387 5.844
df 3 8 11
Mean Square .819 .423
F 1.934
Sig. .203
j. Total BAL aerob mukosa sekum-kelompok tikus diintervensi EPEC K1.1-4 minggu perlakuan ransum ANOVA AEROM4C
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 6.756 8.602 15.358
df 3 8 11
Mean Square 2.252 1.075
F 2.094
Sig. .179
Lampiran 8. Hasil analisis ragam BAL anaerob pada sekum tikus percobaan Keterangan: Perlakuan 1 = kontrol Perlakuan 2 = biji teratai Perlakuan 3 = ekstrak biji teratai Perlakuan 4 = FOS a. Total BAL Anaerob isi sekum-kelompok tikus sehat-2 minggu perlakuan ransum ANOVA ANAER2CS
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.797 5.706 8.502
df 3 8 11
Mean Square .932 .713
F 1.307
Sig. .337
b. Total BAL Anaerob isi sekum-kelompok tikus sehat-3 minggu perlakuan ransum ANOVA ANAER3CS
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.828 1.968 3.796
df 3 8 11
Mean Square .609 .246
F 2.477
Sig. .136
c. Total BAL Anaerob isi sekum-kelompok tikus sehat-4 minggu perlakuan ransum ANOVA ANAER4CS
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.892 1.618 3.510
df 3 8 11
Mean Square .631 .202
F 3.119
Sig. .088
ANAER4CS Duncan
a
PERLAKUA satu tiga dua empat Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 8.409393 8.741703 8.741703 9.180018 9.180018 9.442339 .079 .105
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
d. Total BAL Anaerob isi sekum- kelompok tikus diintervensi EPEC K1.1-3 minggu perlakuan ransum ANOVA ANAE3CC Sum of Squares 3.793 1.345 5.139
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square 1.264 .168
3 8 11
F 7.520
Sig. .010
ANAE3CC Duncan
a
PERLAKUA satu tiga dua empat Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 7.561460 8.012086 8.852338 8.877677 .215 .942
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
e. Total BAL Anaerob isi sekum- kelompok tikus diintervensi EPEC K1.1-4 minggu perlakuan ransum ANOVA ANAER4CC
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 5.203 4.552 9.755
df 3 8 11
Mean Square 1.734 .569
F 3.048
Sig. .092
ANAER4CC Duncan
a
PERLAKUA tiga satu empat dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 7.387124 8.195769 8.195769 8.958596 8.996321 .226 .248
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
f. Total BAL Anaerob mukosa sekum- kelompok tikus sehat-2 minggu perlakuan ransum ANOVA ANEROM2 Sum of Squares 7.920 6.011 13.932
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 2.640 .751
F 3.513
Sig. .069
ANEROM2 Duncan
a
PERLAKUA tiga empat satu dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 4.036966 5.630644 5.630644 5.892527 6.098026 .054 .544
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
g. Total BAL Anaerob mukosa sekum- kelompok tikus sehat-3 minggu perlakuan ransum ANOVA ANAERM3S
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 5.579 1.736 7.315
df 3 8 11
Mean Square 1.860 .217
F 8.572
Sig. .007
ANAERM3S Duncan
a
PERLAKUA empat tiga satu dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 5.235414 5.327474 6.388665 6.827075 .815 .282
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
h. Total BAL Anaerob mukosa sekum- kelompok tikus sehat-4 minggu perlakuan ransum ANOVA ANAERM4S
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 3.946 .509 4.455
df 3 8 11
Mean Square 1.315 .064
F 20.661
Sig. .000
ANAERM4S Duncan
a
PERLAKUA tiga satu empat dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3 4.681019 4.688599 5.485987 6.039563 .972 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
i. Total BAL Anaerob mukosa sekum-kelompok tikus diintervensi EPEC K1.13 minggu perlakuan ransum ANOVA ANEROM3C
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 4.501 2.371 6.872
df 3 8 11
Mean Square 1.500 .296
F 5.062
Sig. .030
ANEROM3C Duncan
a
PERLAKUA tiga satu empat dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3 3.967623 4.463350 4.463350 5.135045 5.135045 5.563576 .297 .169 .363
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
j. Total BAL Anaerob mukosa sekum-kelompok tikus diintervensi EPEC K1.14 minggu perlakuan ransum ANOVA ANAEOBM4
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 3.119 1.595 4.714
df 3 8 11
Mean Square 1.040 .199
F 5.212
Sig. .028
Lampiran 9. Hasil analisis ragam tinggi mukosa usus halus tikus percobaan pada kelompok tikus yang sehat a. Tinggi mukosa duodenum setelah 2 minggu perlakuan ANOVA DUOSEHT2
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 88164.067 25460.441 113624.5
df 3 8 11
Mean Square 29388.022 3182.555
F 9.234
Sig. .006
F .776
Sig. .539
F 1.139
Sig. .390
DUOSEHT2 Duncan
a
PERLAKUA tiga satu empat dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3 554.4042 597.8825 597.8825 678.5850 678.5850 779.3927 .373 .118 .060
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b. Tinggi mukosa duodenum setelah 3 minggu perlakuan ANOVA DUOSEHT3
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 13756.801 47245.493 61002.294
df 3 8 11
Mean Square 4585.600 5905.687
c. Tinggi mukosa duodenum setelah 4 minggu perlakuan ANOVA DUOSEHT4
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 9507.713 22253.496 31761.209
df 3 8 11
Mean Square 3169.238 2781.687
d. Tinggi mukosa jejunum setelah 2 minggu perlakuan ANOVA JEJESHT2
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 13883.299 28103.533 41986.832
df 3 8 11
Mean Square 4627.766 3512.942
F 1.317
Sig. .335
F .747
Sig. .554
F 2.082
Sig. .181
F 10.239
Sig. .004
e. Tinggi mukosa jejunum setelah 3 minggu perlakuan ANOVA JEJSEHT3
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 22787.769 81311.249 104099.0
df 3 8 11
Mean Square 7595.923 10163.906
f. Tinggi mukosa jejunum setelah 4 minggu perlakuan ANOVA JEJSEHT4
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 48208.247 61735.936 109944.2
df 3 8 11
Mean Square 16069.416 7716.992
g. Tinggi mukosa ileum setelah 2 minggu perlakuan ANOVA ILESHT2
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 58296.223 15182.945 73479.168
df 3 8 11
Mean Square 19432.074 1897.868
ILESHT2 Duncan
a
PERLAKUA satu empat dua tiga Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 350.8350 367.6817 492.9188 503.0092 .648 .784
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
h. Tinggi mukosa ileum setelah 3 minggu perlakuan ANOVA ILESHT3
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 7327.994 39103.593 46431.587
df 3 8 11
Mean Square 2442.665 4887.949
F .500
Sig. .693
F .958
Sig. .458
i. Tinggi mukosa ileum setelah 4 minggu perlakuan ANOVA ILESHT4
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 3996.535 11120.487 15117.022
df 3 8 11
Mean Square 1332.178 1390.061
Lampiran 10. Hasil analisis ragam tinggi mukosa usus halus tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1 a. Tinggi mukosa duodenum setelah 3 minggu perlakuan ANOVA DUOCOL3
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 179838.1 44051.561 223889.6
df 3 8 11
Mean Square 59946.023 5506.445
F 10.887
Sig. .003
F 435.876
Sig. .000
DUOCOL3 Duncan
a
PERLAKUA satu empat tiga dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 366.4933 610.2858 656.7392 667.4383 1.000 .392
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b. Tinggi mukosa duodenum setelah 4 minggu perlakuan ANOVA DUOCOL4 Sum of Squares 806888.3 4936.506 811824.8
Between Groups Within Groups Total
df 3 8 11
Mean Square 268962.770 617.063
DUOCOL4 Duncan
a
PERLAKUA satu dua tiga empat Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 179.6875 756.2931 774.8358 801.0861 1.000 .067
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
c. Tinggi mukosa jejenum setelah 3 minggu perlakuan ANOVA JEJECOL3
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 108897.7 14537.023 123434.7
df 3 8 11
Mean Square 36299.221 1817.128
F 19.976
Sig. .000
F 20.475
Sig. .000
JEJECOL3 Duncan
a
PERLAKUA satu dua tiga empat Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3 399.4435 511.6900 628.4275 629.1124 1.000 1.000 .985
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
d. Tinggi mukosa jejenum setelah 4 minggu perlakuan ANOVA JEJECOL4
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 447041.0 58221.898 505262.9
df 3 8 11
Mean Square 149013.682 7277.737
JEJECOL4 Duncan
a
PERLAKUA satu empat tiga dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 171.7700 557.3767 574.6142 680.2317 1.000 .129
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
e. Tinggi mukosa ileum setelah 3 minggu perlakuan ANOVA ILECOL3
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 14182.414 55000.346 69182.759
df 3 8 11
Mean Square 4727.471 6875.043
F .688
Sig. .584
F 29.208
Sig. .000
f. Tinggi mukosa ileum setelah 4 minggu perlakuan ANOVA ILECOL4
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 293356.4 26783.273 320139.7
df 3 8 11
Mean Square 97785.461 3347.909
ILECOL4 Duncan
a
PERLAKUA satu tiga empat dua Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3 115.4917 290.5133 429.7067 532.0950 1.000 1.000 .062
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.