ANALISIS PENGARUH INFLASI, BI RATE, PERTUMBUHAN PEMBIAYAAN, DAN UKURAN BANK TERHADAP PEMBIAYAAN BERMASALAH SEKTOR UKM PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA (PERIODE TAHUN 2009-2012)
SKRIPSI
Disusun Oleh: M Singgih Adi Pratomo 109081000074
JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1434 H/2013 M
ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP (Curriculum Vitae)
Data Pribadi Nama Lengkap Panggilan Tempat & Tanggal Lahir Jenis Kelamin Agama Alamat
Telepon Email Pendidikan Formal 2009-2013
2006-2009 2003-2006 1997-2003
: M Singgih Adi Pratomo : Singgih, Adi : Klaten 2 Juni 1991 : Laki-laki : Islam : Kp Duren Sawit No. 35 RT 004/03 Kelurahan Tajur. Kecamatan Ciledug. Tangerang. 15152 : 083870147636 :
[email protected]
: Program Sarjana (S-1) Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta : SMA Negeri 25 Jakarta : SMP Negeri 3 Tangerang : SD Negeri Sudimara 8
Pendidikan Informal • Seminar-seminar • Pelatihan Pasar Modal “Basic Training of Fundamental & Technical Analysis” 2012 • Kursus Bahasa Inggris Spectraton College 2005 Pengalaman Organisasi 1. Wakil Ketua Karang Taruna Orbitas Wilayah Duren Sawit 2. Anggota Koperasi Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Anggota OSIS SMA N 25 Jakarta 4. Anggota OSIS SMP N 3 Tangerang 5. Anggota PRAMUKA SD N Sudimara 8 Pengalaman Bekerja • Pengajar Privat/Bimbingan Belajar Pribadi tahun 2013 sampai saat ini • Magang/KKSBT Selama satu Bulan di unit Usaha Kecil dan Menengah “Wahyu Motor” Keahlian Komputer Olahraga Bahasa
: Microsoft Office, Internet : Badminton : Inggris
v
ABSTRACT
This research is examine the effect of the variables inflation, BI rate, financing growth, and bank size against the non performing financing on small and medium enterprises sector. The data for assessing this research are acquired from the monthly data from January 2009 to Desember 2012. This research used Ordinary Least Square (OLS) The result of the research shows that independent variables (Inflation, BI rate, financing growth, and bank size) simultaneously have significant impact to non performing financing on small and medium enterprises. The inflation and BI rate partially do not have impact on NPF. While, financing growth and bank size have negative impact to NPF on small and medium enterprises sector. Keywords: NPF of Small and medium enterprises, Inflation, BI rate, financing growth, Bank Size, Ordinary Least Square
vi
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh variabel inflasi, BI Rate, pertumbuhan pembiayaan dan ukuran bank terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan Syariah di Indonesia. Data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah data time series bulanan yaitu dari tahun 2009 sampai 2012 dengan menggunakan metode analisis linier regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel independen (inflasi, BI rate, pertumbuhan pembiayaan dan ukuran bank) signifikan berpengaruh terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. Secara parsial inflasi dan BI Rate tidak berpengaruh signifikan. Sedangkan pertumbuhan pembiayaan dan ukuran bank berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. Kata Kunci: NPF Sektor UKM, Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan Pembiayaan, Ukuran Bank dan Analisis Regresi Linier Berganda
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan kasih sayang-Nya tiada terkira kepada hamba-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada pembimbing umat manusia baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan pada sahabatnya. Atas rahmat Allah SWT yang sangat besar, sehingga penulis dapat menunaikan amanah dan kewajiban untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Analisis Pengaruh Inflasi, BI rate, Pertumbuhan Pembiayaan, dan Ukuran Bank terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM pada Perbankan Syariah di Indonesia”. Skripsi ini tersusun sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan program Strata Satu (SI) pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarih Hidayatullah Jakarta. Penyusunan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Ibu dan Bapakku tercinta, terima kasih atas doa berbalut kesabaran dan dukungan berbingkai kasih sayang yang selalu diberikan kepadaku untuk mencapai keberhasilan dalam berbagai hal. Terima kasih telah memberikan semangat dan bimbingan, berperan sebagai ‘universitas’ utama kehidupanku.
2.
Seluruh keluargaku tercinta, adik-adikku tercinta dan tersayang yaitu, Dwi, Vindi, dan Rama, semoga kalian tumbuh menjadi anak yang sholeh-sholihah berbakti kepada orang tua dan berguna bagi agama dan negara.
3.
Bapak Dr. Ahmad Dumyathi B, MA selaku dosen pembimbing I dan Bapak Arief Mufraini, Lc., M.Si selaku dosen pembimbing II, yang telah
viii
meluangkan waktunya memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran dan cinta dalam menyelesaikan skripsi ini. 4.
Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku dekan FEB dan Bapak Suhendra S.Ag., MM selaku ketua Jurusan Manajemen yang telah memberikan saran dan wejangan dalam proses penyusunan skripsi ini.
5.
Bapak DRS. Miftahul Munir MM selaku penasihat akademik, yang telah membimbing dan mengarahkan kegiatan akademik dari awal perkuliahan hingga selesai.
6.
Seluruh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, terima kasih atas curahanan ilmu yang disampaikan dengan penuh cinta kepada kami.
7.
Seluruh jajaran staf dan karyawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, atas kerja kerasnya melayani mahasiswa dengan baik dan meningkatkan citra pelayanan Fakultas Ekonomi dan Bisnis khususnya Pak Heri, Bu Siska, pak Azis dan Pak Sofyan.
8.
Sahabat-sahabat seperjuanganku, yaitu Budi, Andikha, Yoga, Andrian, Egi, Fajar, Adan, Reza, Shidiq, Fitrah, Afifi dan teman-teman lainnya yang telah menyelesaikan skripsi ataupun yang belum. Lanjutkan perjuanganan kalian teman, umat butuh pengabdian kalian.
9.
Teman-temanku Manajemen B angkatan 2009, terima kasih atas dukungan, maaf tidak disebutkan satu persatu, tetapi tidak mengurangi rasa bangga dan cinta akan persahabatan yang terjalin diantara kita semua. Semoga pertemanan yang dilandasi taqwa ini akan terus terjalin sampai kapanpun.
10. Teman-teman Manajemen Perbankan 2009, semoga kita bisa menjadi ahli perbankan yang handal dan tangguh, terlebih penting lagi semoga ilmu kita bisa bermanfaat untuk diri dan orang lain. 11. Teman-teman angkatan 2009 12. Dan berbagai pihak yang telah membantu selama masa kuliah dan penyelesaian skripsi ini. Semoga segala amalan yang baik tersebut akan memperoleh ganjaran rahmat dan karunia Allah SWT, Amin. Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan kemampuan dan pengalaman yang ada pada penulis, sehingga tidak menutup kemungkinan bila skripsi ini memiliki banyak kekurangan.
ix
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi ‘jariyah’ bagi ilmu pengetahuan dan membuka jalanku untuk meraih cita-cita. Amin Wassalamu alaykum Warahmatullahi Wabarakatuhu
Jakarta, Mei 2013 Penulis
M Singgih Adi Pratomo
x
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .................................................. LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF .................... LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ..................................... LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ............. DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................... ABSTRACT ............................................................................................ ABSTRAK .............................................................................................. KATA PENGANTAR ........................................................................... DAFTAR ISI .......................................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................. DAFTAR GAMBAR ............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................... B. Perumusan Masalah ............................................................... C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 1. Tujuan Penelitian .............................................................. 2. Manfaat Penelitian ........................................................... BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Manajemen Risiko .................................................................. 1. Konsep Manajemen Risiko ............................................... 2. Jenis-Jenis Risiko Bank Syariah ........................................ B. Manajemen Risiko Pembiayaan ............................................... 1. Konsep dan Definisi .......................................................... 2. Ruang Lingkup Manajemen Risiko Pembiayaan ............. 3. Tujuan Manajemen Risiko Pembiayaan ........................... 4. Kerangka Kerja Manajemen Risiko Pembiayaan ............ 5. Fungsi Manajemen Risiko ............................................... C. Pembiayaan Bermasalah ......................................................... 1. Konsep Pembiayaan Bermasalah ...................................... 2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah .................................. 3. Dampak Pembiayaan Bermasalah .................................... D. Inflasi ..................................................................................... 1. Pengertian Inflasi ............................................................ 2. Jenis-Jenis Inflasi ............................................................ 3. Efek Buruk Inflasi ........................................................... 4. Hubungan antara Inflasi dengan Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM .................................................................... E. Tingkat Suku Bunga .............................................................. 1. Konsep Tingkat Suku Bunga ........................................... 2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Suku Bunga ... .................................................................. 3. Hubungan BI Rate terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM .....................................................................
xi
i ii iii iv v vi vii viii xi xiii xiv xv
1 13 14 14 15 16 16 17 22 22 23 24 26 27 28 28 30 31 32 32 33 34 35 36 36 38 41
F. Pertumbuhan Pembiayaan ...................................................... 1. Konsep Pembiayaan ......................................................... 2. Jenis-jenis Pembiayaan ..................................................... 3. Hubungan Pertumbuhan Pembiayaan terhadap Pembiayaan Bermasalah sektor UKM .............................. G. Ukuran Bank ........................................................................... 1. Konsep Ukuran Bank ........................................................ 2. Hubungan Ukuran Bank dengan Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM ....................................................................... H. Usaha Kecil Menengah (UKM) ............................................... 1. Konsep UKM ..................................................................... 2. Kriteria UKM .................................................................... 3. Karakteristik UKM ............................................................ I. Penelitian Terdahulu ................................................................ J. Kerangka Pemikiran ................................................................ K. Hipotesis ................................................................................... BAB III. METODELOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................... B. Metode Penentuan Sampel ....................................................... C. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 1. Data Sekunder ................................................................... 2. Metode Studi Pustaka ....................................................... 3. Internet ............................................................................. D. Metode Analisis Data ............................................................. E. Pengujian Hipotesis ................................................................. 1. Uji Hipotesis Secara Simultan (Uji F) ................................ 2. Uji Hipotesis Secara Parsial (Uji t) .................................... 3. Koefisien Determinasi ........................................................ F. Definisi Operasional Variabel ................................................... BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ............................. 1. Sejarah dan Perkembangan Perbankan Syariah .................. 2. Perkembangan Kelembagaan dan Indikator Keuangan ........................................................................... B. Analisis dan Pembahasan ......................................................... 1. Analisis Deskriptif ............................................................. 2. Analisis Pengujian Statistik ............................................... 3. Pengujian Hipotesis ........................................................... C. Intepretasi ................................................................................ BAB V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan .............................................................................. B. Implikasi .................................................................................. DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. LAMPIRAN .............................................................................................
xii
42 42 44 46 46 46 47 48 48 49 51 54 56 60 62 62 63 63 63 63 64 70 70 71 73 73 76 76 78 80 80 98 106 112 117 118 120 124
DAFTAR TABEL
No 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 2.1 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12
Keterangan
Halaman
Posisi Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia ........................... Posisi Aset dan Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2006-2012 (dalam miliar rupiah) ................................................... Pembiayaan Perbankan Syariah berdasarkan golongan ............................. Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah berdasarkan Golongan ........ Perkembangan variabel-variabel penelitian ............................................... Penelitian Terdahulu .................................................................................. Perkembangan Inflasi Indonesia tahun 2009-2012 ................................... Perkembangan BI Rate tahun 2009-2012 .................................................. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah tahun 2009-2012 ........... Perkembangan Aset Perbankan Syariah periode tahun 2009-2012 ........... NPF sektor UKM periode tahun 2009-2012 .............................................. Uji Kolmogorov Smirnov ......................................................................... Uji Multikolinieritas .................................................................................. Uji DW ..................................................................................................... Uji Park ..................................................................................................... Uji F .......................................................................................................... Uji t ........................................................................................................... Uji Adj R Square ......................................................................................
xiii
2 3 8 10 12 57 85 89 93 97 101 105 106 107 110 112 113 117
DAFTAR GAMBAR
No 1.1 2.1 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8
Keterangan
Halaman
Tren Perkembangan FDR Perbankan Syariah ......................................... Kerangka Pemikiran ............................................................................... Perkembangan Inflasi di Indonesia periode 2009-2012 ......................... Perkembangan BI Rate di Indonesia periode 2009-2012 ....................... Perkembangan Pembiayaan yang disalurkan Tahun 2009-2012 ........... Perkembangan Total Aset Perbankan Syariah Tahun 2009-2012............ Perkembangan Pembiayaan Bermasalah UKM Tahun 2009-2012 ......... Histogram ............................................................................................... Grafik p plot .......................................................................................... Uji Heterokedatisitas ...............................................................................
xiv
5 62 86 90 95 98 102 103 107 109
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5
Data-data variabel penelitian dari tahun 2009-2012 ....................... Tabel Model Regresi, Anova, dan Koefisien .................................. Uji Normalitas ................................................................................ Uji Multikolinieritas dan Autokorelasi ........................................... Uji Heterokedatisitas ......................................................................
xv
124 126 127 129 130
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kredit atau pembiayaan bermasalah adalah masalah krusial yang paling ditakuti oleh sebuah bank. Namun, bank tidak bisa menghindar dari kredit macet. Risiko kredit berupa pembiayaan bermasalah berbahaya bagi eksistensi suatu bank dalam menepati kewajibannya, mengurangi profitabilitas dan membahayakan kelangsungan hidupnya (Rose, 2002:326). Kredit macet merupakan risiko bisnis yang mau tidak mau harus ditanggung oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang perkreditan atau pembiayaan. Hal inilah yang juga melanda sektor perbankan syariah di Indonesia sejak pertama kali kemunculannya. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia terus mengalami peningkatan sejak amandemen Undang-undang tentang perbankan dan dual banking system mulai diberlakukan. Pasalnya dalam undang-undang tersebut diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Respon positif diberikan oleh berbagai pihak, baik dari masyarakat maupun pihak penyelenggara kegiatan Bank. Berbagai bank baik BUMN maupun swasta seolah berlomba-lomba mengadakan kegiatan jasa perbankan dengan sistem syariah. Masyarakat pun menunjukan minat yang besar terhadap bank syariah sebagai implikasi dari bukti nyata ketahanan perbankan syariah
1
terhadap dampak langsung krisis keuangan global. Hal ini disebabkan selain karena unsur spekulatif tidak ada pada produk-produknya, bank syariah juga belum terlalu masuk dalam pasar keuangan global sehingga tidak menerima dampak langsung dari krisis global. Indikasi peningkatan perkembangan bank syariah di Indonesia juga ditunjukan oleh bertambahnya jumlah bank syariah, baik unit usaha syariahnya maupun dengan membuat bank umum syariah. Berikut ini merupakan tabel perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Tabel 1.1. Posisi Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia Jenis Bank Bank Umum Syariah Unit Usaha Syariah BPRS
2009 6 25 138
2010 11 23 150
2011 11 24 155
2012 11 24 156
Sumber: Bank Indonesia Dari tabel di atas, hingga Desember 2012 jumlah bank umum syariah adalah 11 bank. Sementara itu, meskipun sempat mengalami penurunan jumlah pada tahun 2012 hingga Desember 2012 bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah terus mengalami peningkatan yakni sebanyak 24 bank. Sedangkan jumlah BPRS terus mengalami peningkatan yang signifikan, hingga akhir triwulan II tahun 2012 jumlahnya sebanyak 156 bank. Sejak awal 2000 hingga tahun 2012 aset perbankan syariah terus mengalami peningkatan. Data dari Bank Indonesia menunjukan hingga Desember
2012
nilai
aset
perbankan
syariah
adalah
sebesar
Rp
195.015.000.000.000 atau 4,0 % dari keseluruhan perbankan di Indonesia. Bahkan perbankan syariah dijuluki sebagai ‘the fastest growing industry’
2
dengan pertumbuhan per tahun sebesar 40,2% selama lima tahun terakhir (2007-2011). Minat dan respon positif masyarakat Indonesia terhadap perbankan syariah dipersonifikasikan dengan semakin besarnya dana pihak ketiga yang terhimpun. Hingga Desember 2012, dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah di Indonesia adalah sebesar Rp 147.512.000.000. Menurut Antonio (2012:7) pesatnya pertumbuhan perbankan syariah yang sistem manajemennya adalah bagi hasil berdasarkan ekonomi Islam ini disebabkan karena kesesuaian dengan ajaran mayoritas penduduk Indonesia. Sedangkan menurut Ghozali (2012:48) penyebab utama masyarakat memilih bank syariah untuk menabung adalah pelayanan yang diberikan dan kepercayaan terhadap bank syariah. Tabel 1.2. Posisi Aset dan Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2006-2012 (dalam miliar rupiah) Indikator 2009 2010 2011 2012 Aset 66,090 97,519 145,467 179,871 DPK 52,271 76,036 115,415 119,279 Sumber: Staitistik Perbankan Syariah Bank Indonesia (diolah dengan ms.Excel) Dari tabel di atas digambarkan, dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 terjadi peningkatan sebesar 45,06% dari tahun sebelumnya. Dan pada kuartal ketiga tahun 2011 dana pihak ketiga perbankan syariah yang berhasil dihimpun meningkat sebesar 51,35%. Sedangkan memasuki pertengahan kuartal kedua tahun 2012, dana pihak ketiga perbankan syariah yang berhasil
3
dikumpulkan telah mencapai Rp 116.871.000.000. Peningkatan pengumpulan dana pihak ketiga pada rentang tahun tersebut disebabkan karena terdapat penambahan jumlah unit Bank Umum Syariah dan Unit usaha Syariah. Hal tersebut berkontribusi dalam pengumpulan dana pihak ketiga oleh perbankan syariah di Indonesia. Di lain pihak, tingginya dana pihak ketiga yang terkumpul menyebabkan pihak perbankan syariah harus segera menyalurkan dananya sebagai sebuah keniscayaan untuk memperoleh kesempatan mendapat keuntungan melalui prinsip bagi hasil maupun jual beli. Atau bank akan menanggung biaya dana yang cukup besar apabila dana yang terhimpun tidak disalurkan dan dibiarkan mengendap. Konsekuensi logis tersebut menyebabkan bank-bank syariah di Indonesia berupaya untuk menyalurkan dana pihak ketiga yang terkumpul melalui skim-skim pembiayaan yang mereka tawarkan. Fungsi intermediasi perbankan syariah selama tujuh tahun terakhir berjalan dengan sangat baik. Indikasi membaiknya fungsi intermediasi tersebut dicerminkan oleh tingginya presentase Loan to Deposite Ratio (LDR) atau dalam terminologi perbankan syariah disebut Financing to Deposite Ratio (FDR). Pada tahun 2006, rasio FDR perbankan syariah di Indonesia mencapai 98.90%. Bahkan pada tahun 2008 berhasil mencapai 103,64%, meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun berikutnya. Dan memasuki bulan Juni 2012 FDR perbankan syariah di Indonesia telah mencapai 98,58%. Berikut ini merupakan grafik tren perkembangan Financing to Deposite ratio (FDR) dari tahun 2006 hingga pertengahan tahun 2012. 4
Gambar 1.1. Tren Perkembangan FDR FDR Perbankan Syariah di Indonesia 110,00% 105,00% 100,00%
103,64% 98,90%99,75%
105,01% 98,58%
95,00% 89,69% 89,66%
90,00% 85,00% 80,00% 2006 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia (diolah dengan ms.excel) Salah satu sektor bisnis yang menerima kucuran kucuran pembiayaan dari perbankan syariah adalah sektor UKM. UKM merupakan salah satu pioneer penggerakan ekonomi riil yang berbasis pada ekonomi kerakyataan. Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dalam membangun perekonomian suatu negara ataupun daerah, termasuk di Indonesia. Kredit atau pembiayaan UMKM adalah pembiayaan kepada debitur usaha mikro, kecil dan menengah yang memenuhi definisi dan kriteria usaha mikro, kecil dan menengah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 Tentang UKM. KM. Berdasarkan UU tersebut, UKM UKM adalah usaha produktif yang
5
memenuhi kriteria usaha dengan batasan tertentu kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan. Perkembangan potensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UKM) di Indonesia tidak terlepas dari dukungan perbankan dalam penyaluran kredit atau pembiayaan kepada UKM. Setiap tahun pembiayaan kepada UKM mengalami pertumbuhan dan secara umum pertumbuhannya lebih tinggi dibanding total pembiayaan perbankan. Usaha mikro kecil menengah menjadi salah satu prioritas dalam agenda pembangunan di Indonesia hal ini terbukti dari bertahannya sektor UKM saat terjadi krisis hebat tahun 1998 dan tahun 2008 silam, bila dibandingkan dengan sektor lain yang lebih besar justru tidak mampu bertahan dengan adanya krisis. Kuncoro (2008:75) mengemukakan bahwa UKM terbukti tahan terhadap krisis dan mampu survive karena, pertama, tidak memiliki utang luar negeri. Kedua, tidak banyak utang ke perbankan karena mereka dianggap unbankable. Ketiga, menggunakan input lokal. Keempat, berorientasi ekspor. Di sinilah peran besar perbankan syariah dalam menjalankan fungsi intermediasi sesungguhnya yang menyentuh sektor ekonomi akar rumput. Dilihat dari berbagai skema pembiayaan yang dikembangkan, bank syariah hanya menyalurkan pembiayaan pada sektor riil. Pembiayaan melalui akad murabah, salam, dan ijarah hanya dapat disalurkan apabila ada barang atau jasa (sektor riil) yang bisa dibiayai. Bahkan terbentuk korelasi sempurna antara
6
biaya modal dengan pengembalian atas modal pada pembiyaan dengan akad musyarakah dan mudharabah. Jika dibandingkan dengan perbankan konvesional akan tampak perbedaan yang jelas. Penyaluran pembiayaan atau kredit dari dana pihak ketiga banyak yang masuk pada sektor keuangan dengan transaksi yang penuh dengan ketidakpastian dan aksi spekulasi. Sebagian besar dana yang disalurkan oleh perbankan konvensional tidak memiliki dampak pada ekonomi riil, hal tersebut merupakan dampak dari penyaluran dana pada sektor bebas resiko seperti Sertifikat Bank Indonesia. Dan yang lebih memperparah kinerja perbankan konvensional adalah besarnya dana yang disalurkan ke pasar uang dengan dasar spekulasi. Mubyarto (2004:6), seorang tokoh ekonomi kerakyatan, meragukan peranan perbankan sebagai agent of development dalam pengentasan kemiskinan melalui senjata kredit. Beliau mengkritik beberapa bank daerah yang lebih suka mengirim dana ke pusat untuk diinvestasikan di surat hutang yang lebih aman seperti SBI. Padahal harapan UKM terhadap terhadap peranan bank sangat tinggi, namun sayang mereka tidak dianggap “bankable”. Fenomena itu terjadi pada level bank daerah, yang memang fungsi utamanya memajukan ekonomi daerah. Perbankan syariah bukanlah financial sector based banking sebagaimana perbankan konvensional. Sebaliknya perbankan syariah merupakan real sector based banking yang menjalankan pembiayaan pada sektor riil dan salah satunya adalah sektor UKM. Perbankan syariah memiliki peran yang cukup besar dalam mengembangkan ekonomi riil di Indonesia berpadu dengan 7
potensi ekonomi kerakyatan dan UKM. Produk-produk pembiyaan dengan skim profit and lost sharing dengan paradigma kemitraan dinilai sangat tepat untuk mengembangkan usaha mikro masyarakat. Dengan pendekatan pembiayaan lembaga keuangan mikro sebagai kepanjangan tangan dari bankbank syariah diharapkan upaya untuk menjangkau UKM bisa dioptimalkan. Perbankan syariah bisa lebih aktif menjalin kerjasama dengan UKM yang berada ditengah-tengah masyarakat. UKM-UKM tersebut dapat dirangkul sebagai mitra kerja potensial untuk membangkitkan kembali perekonomian masyarakat. Stigma bahwa sektor UKM sangat beresiko merupakan argumentasi yang tidak beralasan. Bertahannya Bank BRI yang bergerak di sektor tersebut pada krisis tahun 1998 membuktikan bahwa risiko pada sektor UKM lebih terdiversifikasi (Anthonio 2009:7). Penyaluran pembiayaan perbankan syariah ke sektor UKM dari tahun 2009 hingga pertengahan tahun 2012 tergolong tinggi. Dan selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berikut ini tabel lengkap komposisi pembiayaan
perbankan
syariah
di
Indonesia
berdasarkan
golongan
pembiayaan. Tabel 1.3. Pembiayaan Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan (Dalam Miliar Rupiah) Golongan UKM Non UKM Total
2009 35799 11087 46886
2010 52570 15611 68181
2011 71810 30845 102655
2012 90860 56645 147505
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia
8
Pada tahun 2009 pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah pada sektor UKM adalah sebesar Rp 25.799.000.000.000 Dan meningkat sebesar 46,84% atau sebesar Rp 52.570.000.000.000 pada tahun berikutnya. Pada akhir tahun 2012 dana yang disalurkan melalui pembiayaan ke sektor UMKM
oleh
perbankan
syariah
di
Indonesia
telah
mencapai
Rp
90.860.000.000.000. Keputusan menyalurkan besarnya pembiayaan ke berbagai sektor bisnis tidak selalu terjadi sesuai seperti yang diharapkan, karena ada berbagai resiko yang harus ditanggung oleh perbankan. Salah satunya adalah resiko kredit yang tercermin oleh rasio kredit bermasalah. Besarnya pertumbuhan aset dan penyaluran pembiyaan perbankan syariah di Indonesia dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2012 ternyata tidak diikuti dengan kualitas pembiayaan yang baik. Terjaganya fungsi intermediasi perbankan syariah ternyata juga dibarengi dengan memburuknya kualitas pembiayaan. Hal tersebut ditunjukan dengan meningkatnya angka pembiayaan bermasalah atau Non performing Loan yang dalam terminologi perbankan syariah disebut Non Performing Finance (NPF ). Menurut Nasution (dalam Ihsan, 2007:1) NPL setidaknya menimbulkan permasalahan bagi pemilik bank dan pemilik deposito. Pertama bagi pemilik bank, dengan semakin tinggi NPL mereka tidak menerima return pasar dari modal mereka. Kedua untuk pemilik deposito tidak menerima return pasar dari deposito atau tabungan mereka. Bank membagi kegagalan kredit atau pembiayaan mereka kepada pemilik deposito dengan cara menekan tingkat suku bunga atau tingkat bagi hasil. Dalam kasus yang lebih buruk, jika bank 9
mengalami kebangkrutan deposan akan kehilangan aset atau dihadapkan dengan jaminan yang tidak seimbang. Bank juga membagi risiko kerugian mereka kepada debitur lain dengan cara menetapkan suku bunga pinjaman, margin, tingkat bagi hasil yang tinggi. Non performing loan akan mengakibatkan jatuhnya sistem perbankan, mengkerutnya pasar saham dan bahkan mengakibatkan kontraksi dalam perekonomian. Tabel 1.4. Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan (Dalam Miliar Rupiah) Golongan UKM Non UKM
2009 1611 271
2010 1824 237
2011 2140 448
2012 2060 1209
Total
1882
2061
2588
3269
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia Pada tahun 2009 NPF perbankan syariah adalah sebesar Rp 1.611.000.000.000.
Dan
meningkat
sebesar
13%
atau
sebesar
Rp
1.824.000.000.000 pada tahun berikutnya. Pada tahun 2012 yang merupakan akhir periode pengamatan, jumlah NPF perbankan syariah di Indonesia meningkat menjadi Rp 2.060.000.000.000. UKM di Indonesia memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto. Namun demikian hal tersebut tidak mampu
mencerminkan
kelancaran
debitur-debitur
dalam
melakukan
pembayaran atas pembiayaan yang diberikan. Selain Produk Domestik Bruto, salah satu variabel yang memengaruhi tingkat non performing financing adalah ekuivalen tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga merupakan hal yang diperhatikan oleh debitur dalam menerima
10
suatu pembiayaan. Meskipun perbankan syariah tidak mengenal sistem bunga, kinerja pembiayaan sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Semakin tinggi tingkat suku bunga yang diberikan bank sentral, maka dapat mempengaruhi tingkat bagi hasil yang diminta oleh bank sehingga tingkat non performing financing akan semakin meningkat. Beberapa penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi NPL dan NPF telah dilakukan antara lain. Faktor penyebab non performing loan atau non performing financing adalah inflasi. Jakubik (2007:63) melakukan penelitian di Ceko menemukan jika inflasi berpengaruh terhadap resiko kredit. Hogart et al (2005:3), yang melakukan penelitian di Inggris raya menemukan pengaruh yang signifikan antara inflasi dengan pembiayaan bermasalah yang diproksikan dengan peningkatan jumlah penghapusan pinjaman. Faktor lain yang turut memengaruhi tingkat NPF adalah tingkat suku bunga atau dalam perbankan syariah ditunjukan dengan tingkat bagi hasil dan margin. Saba et al (2012:131) menemukan terdapat pengaruh negatif yang signifikan tingkat suku bunga terhadap tingkat NPL. Beberapa literatur menunjukan adanya pengaruh yang ditimbulkan dari tingkat suku bunga terhadap perbankan syariah. Hakan et al (2011:13) melakukan penelitian tentang pengaruh tingkat suku bunga terhadap perbankan syariah Turki. Hasil penilitian menunjukan terdapat pengaruh yang signifikan yang dihasilkan dari tingkat suku bunga terhadap kinerja perbankan syariah.
11
Di negara dengan dual banking system seperti Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa kinerja bank syariah selain dipengaruhi oleh faktor internal manajemen bank syariah juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, seperti Ekonomi Makro. Faktor eksternal dari makro ekonomi adalah tingkat suku bunga, nilai tukar, jumlah uang beredar, dan inflasi (Hakan et al, 2011:3). Menurut
Karim
(2004:254)
pada
teori
bejana
berhubungan,
mengungkapkan bahwa kebijakan moneter keonvensional akan mempunyai pengaruh terhadap perbankan syariah seperti misalnya tingkat suku bunga. Kebijkan monenter mempengaruhi variabel-variabel neraca bank konvensional (suku bunga kredit, suku bunga deposito, dan sekuritas yang dimiliki). Pada umumnya mekanisme tersebut ditransmisikan melalui suku bunga kredit. Di pihak lain, perbankan syariah yang notabene tidak mengenal bunga dalam praktek operasionalnya juga terpengaruh oleh kebijakan moneter tersebut. Pengaruh tersebut terlihat pada kondisi neraca bank syariah. Yakni pada tingkat nisbah bagi hasil deposito investasi mudharabah. Sementara pengaruh suku bunga SBI terhadap nisbah pembiayaan bank syariah ditransmisikan melalui suku bunga kredit. Tabel 1.5. Perkembangan variabel-variabel yang mempengaruhi Non Performing Financing Tahun
Inflasi BI Rate Total Pembiayaan Total Asset (%) (%) (Miliar Rupiah) (Miliar Rupiah) 2.78 6.50 1882 66090 2009 6.96 6.50 2061 97519 2010 3.79 6.00 2588 145467 2011 4.30 5.75 3384 195015 2012 Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia
12
Berdasarkan data fluktuasi non performing financing di lapangan dan gap hasil-hasil penelitian, peneliti mencoba meneliti lebih lanjut penelitian di atas, dengan judul “Analsis Pengaruh Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan Pembiayaan, dan Ukuran Bank terhadap Pembiayaan Bermasalah sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia”. B. Rumusan Masalah Perbankan syariah juga memiliki fungsi utama sebagai lembaga perantara keuangan. Dan tugas utamanya adalah menyalurkan pembiayaan kepada pihak yang membutuhkannya. Pembiayaan yang diberikan bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan nasional. Tentunya kegiatan ini selalu diikuti oleh risiko tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Kegagalan dalam pembayaran pembiayaan berpengaruh terhadap terhentinya perputaran uang. Jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah ke sektor UKM sangatlah besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya berdasarkan ukuran usaha. Dan hal tersebut menyebabkan risiko kegagalan bayar yang mengikuti penyaluran pembiayaan sektor UKM sangatlah tinggi dari tahun 2009 sampai 2012. Berdasarkan tabel 1.4 Dapat dilihat bahwa pembiayaan bermasalah di sektor UKM tergolong tinggi. Pada tahun 2009 yang merupakan awal
periode
penelitian,
pembiayaan
bermasalah
mencapai
Rp
1.611.000.000.000.000. Pada latar belakang masalah telah dijelaskan bahwa kondisi ekonomi negara dan spesifikasi bank berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya non performing financing pada perbankan.
13
Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang dikemukakan di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan pembiayaan, dan Ukuran Bank berpengaruh terhadap NPF sektor UKM secara simultan? 2. Apakah Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan pembiayaan, dan Ukuran Bank berpengaruh terhadap NPF sektor UKM secara parsial? 3. Manakah diantara variabel bebas yang memiliki pengaruh yang dominan terhadap variabel NPF? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis pengaruh variabel-variabel secara bersamaan terhadap pembiayaan bermasalah atau NPF pada sektor UKM perbankan syariah di Indonesia. 2. Menganalisis ada tidaknya pengaruh secara parsial dari variabel-variabel bebas seperti Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan Pembiayaan, dan Ukuran Bank terhadap pembiayaan bermasalah pada sektor UKM Perbankan Syariah di Indonesia. 3. Serta menganalisis variabel apa yang paling memiliki pengaruh terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah di Indonesia.
14
2. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, yaitu: 1. Menjadi masukan bagi praktisi perbankan syariah dalam mengambil keputusan berkaitan risiko pembiayaan agar bisa meminimalisir potensi kredit bermasalah. 2.
Dapat memperkaya pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah dipelajari dengan membandingkannya dalam praktik perbankan khususnya berkenaan dengan tema perbankan syariah dan non performing financing
3. Penelitian ini diharapkan bisa berguna bagi penelitian lebih lanjut berkenaan dengan topik penelitian ini. 4. Menambah referensi dalam menilai kondisi sebuah bank yang baik yang tercermin dari potensi risiko kreditnya.
15
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Manejemen Risiko 1. Konsep Manajemen Risiko Sebagai suatu entitas bisnis menghadapi sebuah risiko merupakan suatu keniscayaan yang harus diterima, termasuk bank syariah. Seperti yang diungkapkan oleh Tampubolon (2004:33) bahwa, “Kompleksitas yang mengancam sebuah bank tergantung pada kompleksitas dan intensitas kegiatan usaha bank tersebut.” Tujuan dari
manajemen lembaga keuangan
adalah
untuk
memaksimalkan nilai, sebagai penggambaran dari profitabilitas dan tingkat risiko.
Aspek kunci pada manajemen keuangan adalah
manajemen risiko yang meng-cover strategi dan perencanaan modal, manajemen aset-liabilitas, manajemen bisnis bank dan risiko keuangan (Greuning, 2008:64). Komponen pusat dari manajemen risiko adalah identifikasi, quantifikasi, dan memonitor risiko. Dalam menajalankan fungsinya dan seiring dengan situasi lingkungan
eksternal
dan
internal
perbankan
yang
mengalami
perkembangan pesat, bank syariah akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis risiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan usahanya. Risiko dalam suatu kegiatan perbankan merupakan suatu kejadian potensial yang bisa diperkirakan maupun
16
tidak, memiliki dampak yang negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari melainkan dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh sebab itu, sebagaimana perbankan pada umumnya, perbankan syariah juga memerlukan serangkaian prosedur untuk mengelola risiko yang ditimbulkan akibat kegiatan usahanya. Risiko dapat dibedakan menjadi dua jenis kelompok besar, yaitu risiko sistematis dan risiko tidak sistematis (Arifin, 2009:262). Risiko sistematis adalah risiko yang diakibatkan oleh adanya suatu kondisi tertentu yang bersifat makro, seperti perubahan situasi politik, perubahan kebijakan ekonomi pemerintah, perubahan situasi pasar, situasi krisis, dan lain sebagainya yang berdampak pada kondisi ekonomi secara umum. Sedangkan risiko tidak sistematis adalah risiko yang bersifat unik, yang melekat pada suatu perusahaan atau bisnis tertentu saja. Dalam hal ini perbankan syariah turut berpotensi menghadapi risiko-risiko tersebut.
2. Jenis-jenis Risiko Bank Syariah a. Risiko Pembiayaan Risiko pembiayaan muncul akibat adanya kegagalan counterpary dalam memenuhi kewajibannya. Karim (2007: 260) membagi jenisjenis resiko pada bank syariah menjadi risiko terkait produk dan risiko terkait korporasi. Risiko yang terkait dengan produk ditimbulkan oleh jenis produk pada perbankan syariah yang mempunyai karakteristik
17
yang khas yakni pembiayaan Natural Certainty Contracts (seperti akad murabahah, ijarah, salam, istishna) dan Natural Uncertainty Contracts (mudharabah dan musyarakah). Sementara itu pada risiko terkait pembiayaan korporasi muncul sebagai akibat dari perubahan kondisi bisnis setelah pembiayaan, komitmen modal yang terlalu berlebihan, dan lemahnya analisis bank. b. Risiko Pasar Risiko pasar adalah risiko kerugian yang terjadi pada portofolio yang dimiliki oleh bank, penyebabnya adalah karena terjadi pergerakan variabel pasar berupa suku bunga dan nilai tukar. Menurut Karim (2007:272) risiko pasar terdiri dari empat hal, yaitu risiko tingkat suku bunga, risiko pertukaran mata uang risiko harga dan risiko likuiditas. 1) Risiko Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk) Risiko tingkat suku bunga merupakan risiko yang harus dihadapi bank dikarenakan terjadinya fluktuasi tingkat suku bunga. Dalam hal ini, meskipun bank syariah tidak menetapkan suku bunga pada sisi pendanaan dan pembiayaan, namun bank syariah tidak akan dapat terlepas dari risiko tingkat suku bunga. Hal ini disebabkan pangsa pasar yang disasar oleh bank syariah tidak hanya nasabah-nasabah yang loyal penuh terhadap sistem syariah. 2) Risiko Pertukaran Mata Uang (Foregin Exchange Rate) 18
Risiko ini merupakan suatu konsekuensi yang berkaitan dengan adanya pergerakan nilai tukar terhadap rugi laba bank. Meskipun aktivitas-aktivitas pendanaan bank syariah tidak terpengaruhi fluktuasi kurs secara langsung karena tidak dibolehkan melakukan transaksi yang bersifat spekulasi, namun bank syariah tidak dapat terlepas dari adanya posisi dalam valuta asing. Mengingat bank syariah tidak berkenan berspekulasi, maka transaksi seperti forward, margin trading, option, dan swap tidak boleh dijalankan. Yang diperkenankan adalah untuk kebutuhan transaksi atau berjaga-jaga dan transaksi tersebut harus dilakukan secara tunai atau spot. Seperti pembayaran dengan cek, pemindahbukuan, transfer, dan sarana pembayaran tunai lainnya. c. Risiko Likuiditas Menurut Arifin (2009:245) risiko likuiditas adalah risiko yang muncul manakala bank tidak mampu memenuhi kebetuhan dana (cash flow) dengan segera, dan dengan biaya yang sesuai, baik untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi kebutuhan dana yang mendesak. Menurutnya, besar-kecilnya risiko ini ditentukan oleh:
19
1) Kecermatan perencanaan arus kas (cash flow) atau arus dana (fund flow) berdasarkan prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana (volatility of funds). 2) Ketepatan
dalam
mengatur
struktur dana,
termasuk
kecukupan dana-dana non profit and loss sharing. 3) Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas. 4) Kemampuan menciptakan aset ke pasar antarbank atau sumber dana lainnya, termasuk fasilitas lender of last resort. d. Risiko Operasional Risiko operasional adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh ketidakcukupan proses internal, humen error, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasi bank (Greuning, 2008:174). Menurut Greuning, terdapat beberapa hal yang dapat memicu peningkatan risiko operasional pada bank Islam, diantaranya adalah: 1) Risiko pembatalan perjanjian pada pembiayaan yang tidak mengikat seperti murabahah (partenership) dan istishna (manufacturing). 2) Kegagalan sistem pengendali internal dalam mendeteksi dan mengelola masalah potensial pada proses operasional.
20
3) Potensi menghadapi kesulitan dalam penguatan akad atau kontrak pada lingkungan legal yang lebih lebih luas. 4) Kebutuhan untuk memelihara dan mengelola komoditas yang diinventorisasikan pada pasar yang tidak likuid. 5) Kegagalan mematuhi persyaratan syariah. Menurut Arifin (2008:271) terdapat empat risiko yang berkaitan dengan risiko operasional diantaranya adalah: 1) Risiko Reputasi: adalah risiko yang disebabkan oleh adanya publikasi negatif terkait dengan kegiatan bank. 2) Risiko Kepatuhan: adalah risiko yang muncul akibat dari ketidakpatuhan ketentuan-ketentuan internal dan eksternal seperti GWM, batas pemberian pembiayaan, ketentuan dalam akad, fatwa Dewan Syariah Nasional dan lain sebagainya. 3) Risiko Strategi: risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan yang salah, atau bank tidak mematuhi perubahan perundang-undangan dan ketentulan lain. 4) Risiko Hukum: risiko ini muncul sebagai akibat dari adanya kelemahan aspek yuridis seperti adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan undang-undang yang mendukung suatu kebijakan dan kegiatan pembiayaan. 21
B. Manajemen Risiko Pembiayaan 1. Konsep dan Definisi Dalam menjalankan fungsinya yakni memberikan pembiayaan kepada masyarakat oleh bank syariah selalu berdampingan dengan risiko. Dijelaskan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan bahwa: “Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank”.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengukuran
terhadap
risiko
perbankan.
Hal-hal
seperti
jumlah
pembiayaan yang diberikan, kuantitas dan kualitas risiko. Secara keseluruhan risiko pembiayaan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan
dibandingkan
dengan
risiko-risiko
lainnya,
karena
ketidakmampuan nasabah memenuhi kewajiban pembiayaannya dapat mengakibatkan bank merugi dan mengikis permodalan bank yang berujung pada kebangkrutan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan sebuah upaya manajerial terhadap risiko yang muncul akibat dari penyaluran pembiayaan. Hal ini dimaksudkan agar kualitas pembiayaan senantiasa dalam keadaan lancar.
22
Senada dengan hal yang dinyatakan oleh Tampubolon (2004:35) dalam bukunya dijelaskan bahwa: “Manajemen risiko merupakan sejumlah kegiatan yang bersifat proaktif dan terarah yang ditujukan untuk mengakomodasi kemungkinan gagal pada salah satu atau sebagian dari sebuah transaksi atau instrumen. Karena itu manajemen risiko haruslah dinamis tidak statis, dan berubah sejalan dengan perubahan kebutuhan dan risiko usaha”. Resiko kredit atau pembiayaan berbahaya bagi kelangsungan hidup bank karena dapat menyebabkan bank gagal memenuhi kewajibannya dan menggerus profitabilitas bank (Rose, 2002:326). Risiko kredit adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak lawan memenuhi kewajibannya. Risiko ini dapat timbul karena kinerja satu atau lebih debitur yang buruk. Kinerja debitur yang buruk ini dapat berupa ketidakmampuan debitur untuk memenuhi sebagian atau seluruh isi perjanjian kredit yang telah disepakati bersama sebelumnya. Bank
Indonesia
serangkaian
prosedur
mendefinisikan dan
manajemen
metodologi
yang
risiko
sebagai
digunakan
untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank. 2. Ruang Lingkup Manajemen Risiko Pembiayaan Secara umum manajemen risiko merupakan serangkaian proses yang diawali dengan proses identifikasi, pengukuran, monitoring dan pengelolaan
terhadap
risiko-risiko
portofolio.
Dengan
demikian
pengelola bank dapat selalu memantau agar risiko tidak mempengaruhi tingkat likuiditas bank itu sendiri.
23
Dalam menjalankan perannya sebagai lembaga intermediasi, bank selalu dihadapkan pada risiko – risiko bisnis. Risiko bisnis yang dihadapi mencakup diantaranya risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko legal. Untuk menjaga dan mengurangi risiko kerugian, bank wajib melaksanakan transaksi yang berpedoman pada kebijakan dan penerapan manajemen risiko yang telah ditetapkan pemerintah yang berlandaskan pada prinsip kehati – hatian. Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 mengidentifikasikan empat aspek pokok yang sekurangnya tercakup dalam manajemen risiko, yaitu diantaranya, pertama adalah pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi. Kedua adalah kebijakan, prosedur dan penetapan limit. Ketiga adalah proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, sistem informasi manajemen risiko kredit. Keempat adalah Pengendalian Risiko Kredit. 3. Tujuan Manajemen Risiko Pembiayaan Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 pada tanggal 19 Mei 2003 tentang “Penerapan Manajemen Risiko Untuk Bank Umum”, merupakan wujud keseriusan Bank Indonesia dalam masalah manajemen risiko
perbankan.
Keseriusan
tersebut
dipertegas
lagi
dengan
dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia No. 7/25/PBI/2005 pada Agustus tahun 2005 tentang “Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus Dan Pajabat Bank Umum”, yang mengharuskan seluruh pejabat bank dari tingkat terendah hingga tertinggi untuk memiliki sertifikasi manajemen risiko yang sesuai dengan tingkat jabatannya.
24
Tujuan dari manajemen risiko menurut Tampubolon (2004 :34) adalah pengelolaan risiko yang mencakup atas prosedur dan metodologi yang digunakan sehingga kegiatan usaha bank tetap dapat terkendali pada batas / limit yang dapat diterima serta menguntungkan bank. Penerapan manajemen risiko tersebut akan memberikan manfaat, baik kepada perbankan maupun otoritas pengawasan bank. Bagi perbankan, penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan shareholder value, memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai kemungkinan kerugian bank di masa datang, meningkatkan metode dan proses pengambilan yang sistematis yang didasarkan atas ketersedian informasi, digunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja bank dan untuk menilai risiko yang melekat pada instrumen atau kegiatan usaha bank yang relatif kompleks, serta menciptakan infrastrukturinfrastruktur yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing bank. Dalam
proses
penerapan
manajemen
risiko,
bank
dapat
menggunakan berbagai pendekatan pengukuran risiko, baik dengan metode standar yang direkomendasikan oleh Basel Committee on Banking Supervison. Kesepakatan Basel mencetuskan 2 kesepakatan (Basel I dan Basel II). Dalam kesepakatan Basel I hanya mencakup risiko kredit, modal yang disediakan hanya dikaitkan dengan risiko kredit, dan dalam mengukur kecukupan modal menurut risiko kredit didasari oleh beberapa kalkulasi yang terdiri dari bobot risiko aktiva dan bobot risiko, penyetaraan dengan risiko kredit, target rasio modal dan kalkulasi
25
konsumsi modal yang memenuhi syarat, kecukupan hasil pada modal yang memenuhi syarat struktur modal (El Tiby, 2011:102). Dalam kesepakatan Basel II digunakan pendekatan baru dalam hal pengawasan bank. Kerangka baru Basel II dirancang mencakup tiga konsep yang dikenal sebagai tiga pilar. Ketiga pilar tersebut diantaranya adalah pilar 1 yaitu Kewajiban penyediaan modal minimum. Pilar 2 yaitu tinjauan berdasar regulasi dari kecukupan modal dari masing – masing bank dan proses penilaian internal. Dan pilar 3 yaitu disiplin pasar yang efektif sebagai pengungkit untuk memperkuat keterbukaan dan mendorong agar bank lebih aman dalam prakteknya (El Tiby, 2011:107). 4. Kerangka Kerja Manajemen Risiko Pembiayaan Agar efektif, dalam proses manajemen risiko perlu adanya kerangka kerja, diantaranya. Memahami rantai risiko, dengan pehaman ini satuan kerja manajemen risiko wajib terlebih dahulu melakukan analisis lingkungan untuk menetapkan masalah atau peluang, cakupan dan konteks serta isu yang berhubungan dengan risiko, seperti masalah politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Menurut Tampubolon (2004:41) kerangka kerja manajemen risiko pembiayaan atau kredit adalah sebagai berikut: a. Melakukan analisis terhadap stakeholder (deposan, debitur, pemilik saham) untuk menetapkan atau mengkaji toleransi risiko, posisi dan perilaku dari para stakeholder.
26
b. Memahami situasi atau peristiwa yang pernah diambil perusahaan yang dapat mendatangkan kerugian. c. Melakukan penilaian atas risiko dan pengendalian yang ada. Menyusun tanggapan atas risiko yang ada. d. Menetapkan aktivitas pengendalian berupa program mitigasi risiko. e. Mengkomunikasikan risiko dan manajemen risiko. Melakukan pemantauan terhadap risiko dan pengelolaanya. 5. Fungsi Manajemen Risiko Manajemen risiko adalah sebuah pola pikir, oleh karena itu semua pejabat bank bisa atau mampu mewaspadai risiko dan menerapkan manajemen risiko dengan baik. Fungsi manajemen risiko tidak hanya sekedar memelihara tingkat profitabilitas dan kesehatan bank, namun juga untuk memelihara integritas dan stabilitas sistem keuangan yang kritis terhadap kesehatan perekonomian nasional. Secara garis besar, menurut Tampubolon (2004:45) manajemen risiko berfungsi untuk: a. Menunjang ketepatan proses perencanaan dan pengambilan keputusan b. Menunjang efektifitas perumusan kebijakan sistem manajemen dan bisnis. c. Menciptakan Early Warning System untuk meminimumkan risiko. d. Menunjang kualitas pengelolaan dan pengendalian pemenuhan tingkat kesehatan bank. e. Menunjang penciptaan/pengembangan keunggulan kompetitif. f. Memaksimalisasi kualitas portofolio perkreditan bank.
27
C. Pembiayaan Bermasalah (NPF) 1. Konsep Pembiayaan Bermasalah Suatu kredit dinyatakan bermasalah jika bank benar-benar tidak mampu mengahadapi risiko yang ditimbulkan oleh kredit tersebut. Risiko kredit atau pembiayaan didefinisikan sebagai risiko yang muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan bunga dari pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukannya (Arifin, 2008:263). Sebagai indikator yang menunjukkan kerugian akibat risiko kredit adalah tercermin dari besarnya non performing loan (NPL), dalam terminologi bank syariah disebut non perfoming financing (NPF). Non Performing Financing (NPF) adalah rasio antara pembiayaan yang bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah. berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia kategori yang termasuk dalam NPF adalah pembiayaan kurang lancar, diragukan dan macet. Dalam peraturan bank indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah pasal 9 ayat (2), bahwa kualitas aktiva produktif dalam bentuk pembiayaan dibagi dalam 5 golongan yaitu lancar (L), dalam perhatian khusus (DPK), kurang lancar (KL), diragukan (D), macet (M). Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.31 tentang akuntansi perbankan butir 24 menyebutkan bahwa:
28
“Kredit non performing pada umumnya merupakan kredit yang pembayaran angsuran pokok dan/atau bunganya telah terlewat sembilan puluh hari atau lebih setelah jatuh tempo, atau kredit yang pembayarannya secara tepat waktu sangat diragukan. Kredit non performing terdiri atas kredit yang digolongkan sebagai kredit kurang lancar, diragukan, dan macet.” Sedangkan Sutojo (2008:13) menyatakan jika “pengertian kredit bermasalah adalah suatu keadaan di mana debitur mengingkari janji mereka membayar bunga dan atau kredit induk yang telah jatuh tempo, sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekali tidak ada pembayaran. Dari kelima kualitas pembiayaan yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet, yang tergolong dalam pembiayaan
bermasalah
atau
non
performing
financing
adalah
pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet. Berdasarkan surat Edaran Bank Indonesia Nomor7/56/DPbS tanggal 9 Desember 2005, pedoman untuk perhitungan rasio non performing finance (NPF) dihitung dengan cara sebagai berikut:
Pembiayaan yang bermasalah NPF=
Total Pembiayaan Disalurkan
X 100%
Rasio ini menunjukan kualitas pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan. Semakin tinggi rasio NPF maka kualitas pembiayaan yang diberikan oleh perbankan syariah semakin memburuk. Kelancaran kegiatan usaha bank syariah dapat terganggu apabila rasio semakin meningkat dan dapat berakibat pada tingkat kesehatan bank itu sendiri.
29
Bank Indonesia sebagai regulator yang turut mengatur perbankan syariah di Indonesia menetapkan bahwa batas maksimum tingkat pembiayaan yang bermasalah sebesar 5% dari total pembiayaan yang diberikan. 2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah Pembiayaan bermasalah merupakan sumber permasalahan bank. Adanya pembiayaan bermasalah ini dapat disebabkan oleh banyak faktor. Sutojo (2008:18) menuturkan terjadinya kredit bermasalah disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya: a. Faktor Internal: 1) Rendahnya kemampuan atau ketajaman bank melakukan analisis kelayakan permintaan kredit yang diajukan oleh calon debitur. 2) Lemahnya sistem administrasi kredit atau pembiayaan serta sistem administrasi bank. 3) Campur tangan yang berlebihan dari para pemegang saham 4) Pengikatan jaminan kredit yang kurang sempurna b. Faktor debitur 1) Salah urus atau missmanagement 2) Kurangnya pengalaman dan pengetahuan pemilik dalam bidang usaha yang dijalani. 3) Penipuan
30
c. Faktor Eksternal 1) Perkembangan kondisi ekonomi atau bidang usaha yang merugikan. 2) Bencana alam 3) Regulasi pemerintah 3. Dampak Pembiayaan Bermasalah Adanya pembiayaan bermasalah ini akan memberikan dampak negatif kepada beberapa pihak, Sutojo (2008:25) menjelaskan bahwa terdapat beberapa dampak yang ditimbulkan dari pembiayaan bermasalah diantaranya adalah: a. Bank yang bersangkutan akan mengalami gangguan profitablitias untuk menutupi cadangan pembiayaan bermasalah. b. Jumlah modal bank akan terkikis dan menurunkan rasio kecukupan modal bank. c. Nasabah sendiri akan kehilangan kepercayaan pihak luar dan relasi bisnis, serta citra dan nama baik yang rusak. Sementara nasabah lainnya akan kesulitan mendapatkan pembiayaan dari bank yang bersangkutan. d. Perputaran dana bank di masyarakat akan terhenti. e. Pengusaha di dalam negeri akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan untuk ekspansi usahanya.
31
D. Inflasi 1. Pengertian Inflasi Inflasi dapat diartikan sebagai suatu proses meningkatnya hargaharga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu (Manurung, 2008:359). Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi. Manurung lebih lanjut menggambarkan inflasi sebagai salah satu dari persoalan politik yang sering diangkat menjadi komoditas politik. Sebuah pemerintahan dianggap gagal bila tidak bisa mengatasi masalah inflasi. Setidaknya terdapat dua efek utama yang disebabkan oleh inflasi, yaitu redistribusi dan distorsi. Inflasi mengakibatkan efek distribusi pendapatan dan kemakmuran karena terjadinya perbedaan pada aset dan utang yang dipegang masyarakat. Inflasi mengakibatkan efek distorsi karena perekonomian mengalami masalah
efisiensi dan masalah
penilaian total output. Masalah efisiensi ekonomi terjadi karena adanya distorsi pada harga dan penggunaan uang, sedangkan masalah penilaian total output terjadi karena adanya inflasi mendorong pelaku ekonomi menyesuaikan penilaian terhadap harga-harga dan adanya penyesuaian itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
32
2. Jenis-jenis Inflasi Dalam teori ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis: a. Penggolongan inflasi didasarkan sifatnya, inflasi dibagi menjadi tiga kategori utama yaitu (Putong, 2002:260) 1) Inflasi Merayap (creeping Inflation) Biasanya ditandai dengan laju inflasi yang rendah, yaitu kurang dari 10% per tahun. 2) Inflasi Menengah (galloping inflation) Ditandai dengan meningkatnya harga yang cukup besar dan kondisi tersebut berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi,
yang artinya harga pada
bulan/minggu berikutnya selalu lebih tinggi dari waktu sebelumnya. 3) Inflasi Tinggi (hyper inflation) Inflasi jenis ini sangat mengkhawatirkan, karena harga-harga barang meningkat sampai dengan lima atau enam kali, sehingga nilai uang turun secara tajam. Inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang panas (over heated), artinya permintaan atas produk melebihi kapasitas penawaran produknya. b. Penggolongan inflasi berdasarkan penyebabnya, dibedakan menjadi dua, yaitu: (Sukirno, 2006:333). 33
1) Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan terlalu kuatnya peningkatan agregat permintaan terhadap komoditikomoditi di pasar barang. 2) Cost low inflation, yaitu inflasi yang dissebabkan bergesernya kurva agregat penawaran ke arah kiri atas. Penyebabnya adalah meningkatnya harga-harga faktor produksi sehingga menaikan harga komoditi di pasar. 3. Efek Buruk Inflasi Ledakan
inflasi
telah
membuat
rumit
perekonomian
dan
meningkatkan angka kemiskinan. Inflasi dua digit yang dipicu oleh melambungnya harga minyak dunia telah terbukti menjadi peristiwa yang banyak mengacaukan perekonomian dunia selama beberapa
dekade
terakhir sehingga banyak menimbulkan persoalan. Bahkan dampak inflasi yang dirasakan oleh masyarakat miskin jauh lebih besar dibandingkan dengan angka inflasi itu sendiri. Inflasi telah mendepresiasi nilai kekayaan dan pendapatan riil masyarakat sehingga terjadi penurunan daya beli. Dalam kondisi demikian perusahaan dililit oleh biaya – biaya produksi dan pemasaran yang makin naik. Sehingga pendapatan perusahaan makin menurun. Manurung (2008:371) mengungkapkan setidaknya ada tiga biaya sosial yang harus ditanggung dari tingginya angka inflasi. Dampak sosial tersebut ialah menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat, memburuknya distribusi pendapatan, dan terganggunnya stabilitas ekonomi. 34
Inflasi dapat menimbulkan beberapa efek buruk terhadap kegiatan ekonomi dan kemakmuran individu dan masyarakat (Sukirno 2006:338). a. Efek Buruk Inflasi terhadap Perkembangan Ekonomi Biaya yang terus menerus naik menyebabkan kegiatan produktif sangat tidak menguntungkan. Maka pemilik modal biasanya lebih suka menggunakan uangnya untuk tujuan spekulasi. Kegiatan ekonomi semacam ini dapat meningkatkan produktivitas dan berakibat pada peningkatan pengangguran. Naiknya harga barang lokal menyebabkan produk dalam negeri tidak bisa bersaing di luar negeri sehingga ekspor akan menurun. b. Efek Buruk Inflasi terhadap Kemakmuran Masyarakat Inflasi dapat menurunkan pendapatan riil orang-orang yang berpendapatan tetap. Selain itu inflasi dapat mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang. Sebaliknya harta-harta tetap seperti rumah dan tanah akan terus mengalami kenaikan harga. Hal demikian dapat menyebabkan tidak meratanya kekayaan di masyarakat. 4. Hubungan antara Inflasi dengan Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM Dalam perekonomian, Kehadirannya
bisa
inflasi merupakan
menggairahkan
hal
perekonomian
yang wajar. atau
justru
menghancurkannya. Kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh inflasi juga akan dirasakan oleh para pengusaha, terutama dalam memperoleh bahan
baku
untuk
usaha.
Inflasi
mendorong
pelaku
ekonomi 35
menyesuaikan penilaian terhadap harga-harga dan adanya penyesuaian itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit (Manurung, 2008:260). Selain itu inflasi juga mengharuskan pengusaha untuk menaikan gaji para pegawainya. Kedua hal tersebut dapat berdampak pada kegiatan usaha yang dilakukan. Selain dapat menurunkan keuntungan perusahaan, inflasi juga dapat mengurangi kemampuan pengusaha untuk melunasi pembiayaan yang telah diberikan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan kenaikan tingkat pembiayaan bermasalah yang dihadapi oleh perbankan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hoggart et al. (2005:26) peningkatan penghapusan pinjaman meningkat setelah terjadi kenaikan inflasi harga eceran. Sementara Babouček dan Jančar (2005:9) mengukur efek dari guncangan makroekonomi pada kualitas kredit dari sektor perbankan Ceko untuk periode 1993-2006 menemukan bukti laporan korelasi positif dari non-performing loan dengan Tingkat pengangguran dan inflasi harga konsumen. E. Tingkat Suku Bunga 1. Konsep Tingkat Suku Bunga Sebagai lembaga perantara keuangan akan memperoleh keuntungan dari selisih bunga yang diberikan kepada penyimpan dengan bunga yang diterima dari peminjam. Keuntungan tersebut disebut dengan spread based. Selain itu bank memperoleh dari jasa-jasa bank lainnya yang disebut fee based. Kegiatan utama bank sebagai lembaga intermediasi keuangan adalah menghimpun dan menyalurkan dana, maka menurut
36
Kasmir (2003: 134) bunga merupakan komponen biaya dan pendapatan bagi bank. Kasmir (2003: 133) menyatakan bunga bank merupakan balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Atau bisa diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memiliki pinjaman). Adapun beberapa macam teori mengenai tingkat bunga yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain (Amalia, 2010:75) a. Teori Keynes Menurut keynes tingkat bunga merupakan hasil interaksi antara tabungan dan investasi. Tingkat bunga menurut Keynes merupakan suatu fenomena moneter artinya tingkat bunga ditentukan oleh penawaran dan permintaan akan uang. Menurut Keynes uang merupakan salah satu bentuk kekayaan yang dipunya seseorang (portofolio) seperti halnya kekayaan dalam bentuk tabungan di bank, saham atau surat berharga lainnya dengan memperoleh keuntungan. Apabila suku bunga naik maka harga surat berharga akan turun, sehingga menyebabkan orang tertarik untuk membeli surat berharga. b. Teori Klasik Pendapat kaum klasik mengenai harga, bahwa fluktuasi bunga dapat mempengaruhi perilaku penabung maupun investor. Bunga
37
adalah ”harga” dari penggunaan (loanable funds) atau ”dana yang tersedia untuk dipinjamkan”, sebab menurut teori klasik bunga adalah ”harga” yang terjadi di ”pasar” dana investasi. Harapan tingkat suku bunga di masa yang akan datang mempengaruhi seseorang untuk memanfaatkan uangnya. Namun dalam jangka panjang pendapatanlah yang mempengaruhi kegiatan seseorang dalam perekonomian. Untuk menentukan besar kecilnya tingkat bunga simpanan dan pinjaman sangat dipengaruhi oleh keduanya. Artinya baik bunga simpanan
maupun
pinjaman
saling mempengaruhi
disamping
pengaruh faktor-faktor lainnya. 2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Suku Bunga Menurut Kasmir dalam bukunya Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi keenam (2002 : 122) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya tingkat suku bunga, antara lain : a. Kebutuhan dana Apabila bank kekurangan dana, sementara permohonan pinjaman meningkat, maka yang dilakukan oleh bank agar dana tersebut cepat tepenuhi dengan meningkatkan suku bunga simpanan. Peningkatan suku bunga simpanan secara otomatis akan meningkatkan bunga pinjaman.
38
b. Persaingan Dalam memperebutkan dan simpanan, maka disamping faktor promosi, yang paling utama pihak perbankan harus memperhatikan pesaing. Dalam arti jika untuk bunga simpanan rata-rata 16%, maka jika hendak membutuhkan dana dengan cepat sebaiknya bunga simpanan dinaikkan diatas bunga pesaing misalnya 16%. Namun sebaliknya untuk bunga pinjaman harus dibawah bunga pesaing. c. Kebijakan Pemerintah Dalam arti baik untuk bunga simpanan maupun bunga pinjaman tidak boleh melebihi bunga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. d. Target Laba yang diinginkan Sesuai dengan target laba yang diinginkan, jika laba yang diinginkan besar maka bunga pinjaman ikut besar dan sebaliknya. e. Jangka waktu Semakin panjang jangka waktu pinjaman, maka akan semakin tinggi bungannya, hal ini disebabkan besarnya kemungkinan resiko dimasa mendatang. Demikian pula sebaliknya jika pinjaman berjangka pendek, maka bunganya relatif rendah. f. Kualitas jaminan Semakin likuid jaminan yang diberikan, maka semakin rendah bunga kredit yang dibebankan dan sebaliknya.
39
g. Reputasi perusahaan Bonfiditas suatu perusahaan yang akan memperoleh kredit sangat menentukan tingkat suku bunga yang akan dibebankan nantinya, karena biasanya perusahaan yang bonafit kemungkinan risiko kredit macet relatif kecil dan sebaliknya. h. Produk yang kompetitif Maksudnya adalah produk yang dibiayai tersebut laku dipasaran. Untuk produk yang kompetitif, bunga kredit yang diberikan relatif rendah jika dibandingkan dengan produk yang kurang kompetitif. i. Hubungan baik Biasanya bank menggolongkan nasabahnya antara nasabah utama (primer) dan nasabah biasa (sekunder). Penggolongan ini didasarkan kepada keaktifan serta loyalitas nasabah yang bersangkutan terhadap bank. j. Jaminan pihak ketiga Dalam hal ini pihak yang membarikan jaminan kepada penerima kredit. Biasanya pihak yang memberikan jaminan bonafit, baik dari segi kemampuan membayar, nama baik maupun loyalitasnya tehadap bank, maka bunga yang dibeban pun juga berbeda. Sementara itu dalam situs resminya Bank Indonesia mendefinisikan Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia sebagai suku bunga kebijakan yang 40
mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter. Sasaran
operasional
kebijakan
moneter
dicerminkan
pada
perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan. Dengan
mempertimbangkan
pula
faktor-faktor
lain
dalam
perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan. 3. Hubungan BI Rate terhadap Pembiayaan Bermasalah Dalam penelitiannya yang dilakukan oleh Haron dan Shanmugam (1997:5) menemukan bahwa suku bunga berpengaruh bagi perbankan syariah baik pada sisi pengumpulan dana maupun pembiayaan. Meskipun Perbankan syariah tidak menetapkan tingkat bunga baik pada sisi
41
pembiayaan maupun pendanaan, tetapi dalam dual banking system, bank syariah tidak bisa lepas dari risiko tingkat bunga. Pasar yang dijangkau oleh perbankan syariah bukan hanya yang loyal terhadap syariah, melainkan menjangkau pula pihak yang mengharap keuntungan dari bank syariah. Karim (2007: 272) menjelaskan apabila terjadi bagi hasil pendanaan syariah lebih kecil dari tingkat bunga maka nasabah akan berpindah ke bank konvensional, sebaliknya pada sisi pembiayaan, apabila margin yang dikenakan lebih besar dari tingkat bunga maka nasabah akan beralih ke bank konvensional. Oleh sebab itu agar bank syariah lebih kompetitif, maka suku bunga acuan atau BI Rate biasa digunakan sebagai benchmark dalam penentuan tingkat pengembalian dan yang utama adalah margin keuntungan murabahah. Apabila tingkat pengembalian tinggi maka kemungkinan terjadi default juga akan meningkat. F. Pertumbuhan Pembiayaan 1. Konsep Pembiayaan Sebagaimana bank pada umumnya, bank syariah juga mempunyai fungsi utama menyalurkan dana yang dihimpunnya dalam bentuk pemberian kredit atau dalam terminologi perbankan syariah disebut pembiayaan, sebagaimana yang disebutkan dalam undang-undang perbankan syariah no. 21 tahun 2008 pasal 19 ayat 1. Pembiayaan yang dilakukan oleh Bank umum syariah harus berdasarkan akad (kontrak)
42
yang ditetapkan undang-undang atau akad-akad yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Pengertian pembiayaan menurut Kasmir (2001 : 92) adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan hasil bagi. Akad menurut Antonio (2002:150) dibagi dalam 5 kelompok. Yaitu (1) prinsip simpanan murni (al wadi’ah) (2) prinsip bagi hasil / profit loss sharing (syirkah) (3)Prinsip Jual Beli (at-tijarah) (4) prinsip sewa (alijarah) dan (5) prinsip fee/jasa (al ajr walumullah). Dalam melakukan pembiayaan jenis yang paling banyak dipakai adalah bagi hasil, jual beli, sewa, dan qardh. Berdasarkan pengertian di atas, maka pembiayaan dengan prinsip syariah merupakan bentuk penyaluran dana ke masyarakat berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa, transaksi jual beli, transaksi pinjam meminjam, dan transaksi multijasa dengan berlandaskan prinsip syariah kepada pihak yang memerlukan dana dalam jangka waktu tertentu. Dengan imbalan, tanpa imbalan, atau bagi hasil sebagai tugas utama bank. Hal yang sama diungkapkan oleh Antonio (2002:160) bahwa “pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit.”
43
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah pembiayaan merupakan istilah yang biasa dipergunakan dalam perbankan konvensional dengan sebutan kredit. Hal yang menjadi pembeda adalah pada bentuk imbalan, pada pembiayaan adalah bagi hasil dan selisih margin sedangkan dalam kredit bentuk imbalannya adalah bunga. 2. Jenis-jenis Pembiayaan Siamat (2004:165) membagi pembiayaan atau kredit berdasarkan jangka waktunya, yaitu: a.
Pembiayaan jangka pendek (short term-loan) dimana jangka waktu pengembaliannya kurang dari satu tahun.
b.
Pembiayaan jangka menengah (medium-term loan), pembiayaan yang diberikan dengan jangka waktu pengembalian 1 s/d 3 tahun.
c.
Pembiayaan jangka panjang (long-term loan) jenis pembiayaan yang jangka waktu pengembaliannya melebihi 3 tahun. Dalam konsep perbankan islam, pembiayaan yang diberikan oleh
perbankan syariah berdasarkan kebutuhan penggunanaan dana dan menurut Karim (2004:230) dibagi menjadi beberapa jenis pembiayaan, antara lain: a. Pembiayaan Modal Kerja Pembiayaan modal kerja adalah pembiayaan jangka pendek yang diberikan kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja usahanya dengan jangka waktu maksimum satu tahun dan dapat
44
diperpanjang sesuai kebutuhan. Seperti untuk pembiayaan likuiditas, piutang, persediaan, dan untuk pembiayaan modal kerja perdagangan. b. Pembiayaan Investasi Merupakan pembiayaan jangka menengah atau jangka panjang untuk pembelian barang-barang modal yang diperlukan untuk pendirian proyek baru, rehabilitasi, modernisasi, ekspansi, dan relokasi proyek yang sudah ada. c. Pembiayaan Konsumtif Yang dimaksud dengan pembiayaan konsumtif adalah jenis pembiayaan yang diberikan untuk tujuan di luar usaha dan umumnya bersifat perorangan. Pembiayaan jenis ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis pakai. d. Pembiayaan Sindikasi Pembiayaan sindikasi adalah pembiayaan yan diberikan oleh lebih dari satu lembaga keuangan untuk satu proyek pembiayaan tertentu. e. Pembiayaan Berdasarkan Take Over Pembiayaan berdasarkan take over adalah pembiayaan yang timbul sebagai akibat dari take over terhadap transaksi non syariah yang telah berjalan dan dilakukan oleh bank syariah atas permintaan nasabah.
45
3. Hubungan
Pertumbuhan
Pembiayaan
terhadap
Pembiayaan
Bermasalah Bank merupakan suatu unit usaha yang berlandaskan kepercayaan dan dalam kegiatannya selalu diikuti oleh banyak risiko. Untuk mengejar keuntungan yang besar maka bank selalu dihadapkan oleh risiko yang besar pula. Dalam hal kaitannya dengan pembiayaan, semakin tinggi tingkat pembiayaan yang disalurkan maka semakin tinggi pula tingkat profitabilitas suatu bank. Namun konsekuensi logis dari hal tersebut adalah risiko kegagalan pembayaran pembiayaan dari nasabah juga semakin tinggi disamping juga bank akan menanggung pertambahan risiko likuiditas yang akan meningkat pula. Hal ini lah yang diindikasikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Saba et al. (2012:13), di Amerika Serikat. Di mana peningkatan penyaluran pinjaman menyebabkan peningkatan NPL. G. Ukuran Bank 1. Konsep Ukuran Bank Ukuran
perusahaan
adalah
suatu
skala,
dimana
dapat
diklasifikasikan besar kecilnya perusahaan menurut berbagai cara, antara lain: total aktiva, log size, nilai pasar saham, dan lain-lain. Pada dasarnya ukuran bank dapat terbagi menjadi 3 kategori yang didasarkan kepada total assets bank yaitu bank besar (the largest bank) dengan aset sebesar 10 milyar dolar Amerika, bank menengah (the middle size bank) dengan aset sebesar 100 juta hingga 10 milyar dolar Amerika, dan bank kecil 46
(smaller bank) dengan aset di bawah 100 juta dolar Amerika (Rose, 2002:172). Ukuran bank (bank size) dalam penelitian ini dilihat dari besarnya total assets yang dimiliki perusahaan. Pada neraca bank, aktiva menunjukkan posisi penggunaan dana. Aktiva (asset) merupakan sumber daya yang dikuasai oleh suatu perusahaan dengan tujuan menghasilkan laba. Aset merupakan aktiva yang digunakan untuk aktivitas operasional perusahaan. Semakin besar aset yang dimiliki maka diharapkan akan semakin besar hasil operasional perusahaan. Peningkatan aset yang diikuti dengan peningkatan hasil operasi akan semakin meningkatkan kepercayaan dari pihak eksternal terhadap perusahaan. Berdasarkan teori skala efisiensi dapat disimpulkan bahwa perusahaan dengan aset yang besar mampu menghasilkan keuntungan lebih besar apabila diikuti dengan hasil dari aktivitas operasionalnya. 2. Hubungan Ukuran Bank dengan Pembiayaan Bermasalah Dalam buku Commercial Bank Management, Rose menjelaskan bahwa ukuran bank bisa memengaruhi performa suatu bank (2002:172). Pada sisi penyaluran dananya khususnya bank dengan aset yang besar bank sangat mungkin untuk mendiversivikasikan risiko pembiayaan dibandingkan dengan bank dengan aset menengah dan bank kecil. Semakin besar bank diasumsikan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk
mendiversifikasikan
risiko
sehingga
seharusnya
memiliki
47
pendapatan yang lebih stabil untuk mengurangi risiko. Semakin baiknya kemampuan mendiversifikasikan risiko maka disinyalir dapat menekan tingkat pembiayaan bermasalah. Peluang diversifikasi bank juga terkait dengan
kualitas kredit yang menimbulkan hubungan negatif antara
diversifikasi dan NPL, karena diversifikasi menurunkan risiko kredit. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Salas dan Saurina (2002:14) yang menemukan bahwa hubungan negatif antara ukuran bank dan NPL. H. UKM 1. Konsep UKM Pengertian usaha kecil di Indonesia masih sangat beragam, sebelum dikeluarkannya UU No 9/1995 setidaknya terdapat lima instansi yang merumuskan usaha kecil dengan caranya masing-masing, kelima Instansi tersebut adalah Biro pusat statistik (BPS), Departemen Perindustrian, Bank Indonesia, Departemen Perdagangan dan Kamar dagang dan Industri. Departemen
Perindustrian
dan
Bank
Indonesia
misalnya,
mendefinisikan usaha kecil berdasarkan nilai asetnya. Menurut kedua instansi ini yang dimaksud dengan usaha kecil adalah usaha yang assetnya (tidak termasuk tanah dan bangunan) bernilai kurang dari Rp 600 juta. Departemen perdagangan membatasi usaha kecil berdasarkan modal kerjanya, yakni usaha (dagang) yang modal kerjanya bernilai kurang dari Rp 25 juta.
48
Sedangkan KADIN terlebih dahulu membedakan usaha kecil menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah yang bergerak dalam bidang perdagangan, pertanian dan industri. Kelompok kedua adalah yang bergerak dalam bidang konstruksi. Menurut Kadin yang dimaskud dengan usaha kecil untuk kelompok pertama adalah yang memiliki modal kerja kurang dari Rp 150 juta dan memiliki nilai usaha kurang dari Rp 600 juta. Adapun untuk kelompok kedua yang dimaksud dengan usaha kecil adalah yang memiliki modal kerja kurang dari Rp 250 juta dan memiliki nilai usaha kurang dari Rp 1 milyar. Berbeda dari keempat instansi tersebut BPS mengemukakannya untuk usaha kecil sektor industri. Menurut BPS yang dimaksud dengan industri kecil adalah usaha industri yang melibatkan tenaga kerja antara lima sampai 19 orang. Sedangkan yang dimaksud dengan industri rumah tangga adalah usaha industri yang memperkerjakan kurang dari lima orang. 2. Kriteria UKM Berdasarkan kelima batasan tersebut dapat kita katakan betapa sangat beragamnya pengertian usaha kecil yang berlaku di Indonesia. Tetapi diluar kelima pengertian tersebut pemerintah telah menetapkannya dalam rumusan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 . Menurut UU ini yang dimaksud dengan usaha Mikro, Kecil dan Menengah dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, diantaranya: a. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:
49
1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2) Memiliki
hasil
penjualan
tahunan
paling
banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). b. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut: 1) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta
rupiah)
sampai
dengan
paling
banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). c. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut: 1) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta
rupiah)
sampai
dengan
paling
banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2) memiliki
hasil
penjualan
tahunan
lebih
dari
Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
50
3. Karakteristik UKM Dari definisi-definisi tersebut dapat digambarkan bahwa UKM bisa menjadi sebuah lokomotif penting dalam pertumbuhan ekonomi bangsa, menurut (Tambunan, 2009:40) UKM sangat penting karena karakteristikkarekteristik utama mereka yang berbeda dengan usaha besar, diantaranya: a. Jumlah perusahaan sangat banyak (jauh melebihi jumlah usaha besar) terutama dari kategori usaha mikro dan usaha kecil. Dan hal ini juga didasarkan pada karakter usaha mikro dan usaha kecil yang tersebar diseluruh pelosok pedesaan termasuk diwilayah-wilayah yang relatif terisolasi. b. Karena sangat padat
karya,berarti mempunyai suatu potensi
pertumbuhan kesempatan kerja yang sangat besar, pertumbuhan UMKM dapat dimasukkan sebagai suatu elemen penting dari kebijakan-kebijakn nasional untuk meningkatkan kesempatan kerja dan menciptakan pendapatan, terutama bagi masyarakat miskin. c. Kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok UMKM pada umumnya dari berbasis pertanian. Oleh karena itu upaya-upaya pemerintah mendukung UMKM sekaligus juga merupakan cara tak langsung, tetapi efektif untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan produksi disektor pertanian. d. UMKM memakai teknologi-teknologi yang lebih “cocok” terhadap proporsi-proporsi dari faktor-faktor produksi dan kondisi lokal yang
51
ada di negara sangat berkembang, yakni sumber daya alam (SDA) dan tenaga kerja berpendidikan rendah yang berlimpah. e. Banyak UMKM bisa tumbuh pesat. Bahkan, banyak UMKM bisa bertahan pada saat ekonomi Indonesia dilanda suatu krisis besar pada tahun 1997/1998. f. Walaupun pada umumnya masyarakat pedesaan miskin, banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang desa yang miskin bisa menabung dan mereka mau mengambil risiko dengan melakukan investasi. Dalam hal ini, UMKM bisa menjadi suatu titik permulaan bagi mobilisasi tabungan/investasi di perdesaan dan disisi lain bisa meningkatkan kemampuan berwirausaha dari orang-orang desa. g. Kelompok usaha ini dapat memainkan suatu peran penting lainnya, yaitu sebagai suatu alat untuk mengalokasikan tabungan-tabungan perdesaan, yang kalau tidak akan digunakan untuk maksud-maksud yang tidak produktif. h. Walaupun banyak barang yang diproduksi oleh UMKM juga untuk masyarakat kelas menegah dan atas, tetapi terbukti secara umum bahwa pasar utama bagi UMKM adalah untuk barang-barang konsumsi sederhana dengan harga relatif murah seperti pakaian jadi,mebel dari kayu,alas kaki dan lainnya yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dari masyarakat miskin atau berpendapatan rendah.
52
i. Sebagai bagian dari dinamikanya, banyak juga UMKM yang mampu meningkatakan produktivitasnya lewat investasi dan perubahan teknologi j. Seperti sering dikatakan dalam literature, satu keunggulan dari UMKM adalah tingkat fleksibilitasnya yang tinggi, relatif terhadap pesaingnya (usaha besar). Kelompok usaha ini dilihat sangat penting di industri-industri yang tidak stabil atau ekonomi-ekonomi yang menghadapi perubahanperubahan kondisi pasar yang cepat, seperti krisis ekonomi 1997/98 yang dialami oleh beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu dengan menyadari betapa pentingnya UMKM secara potensial seperti yang diuraikan diatas tersebut tidak heran kenapa pemerintah-pemerintah dihampir semua negara berkembang termasuk Indonesia sudah sejak lama mempunyai berbagai macam program, dengan skim-skim kredit bersubsidi sebagai komponen terpenting untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan UMKM (Tambunan, 2009:50). Tidak hanya itu, lembaga-lembaga internasional pun seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Organisasi Dunia untuk industri dan pembangunan dan banyak negara donor lewat kerja samakerja sama bilateral juga sangat aktif selama ini dalam upaya pengembangan UMKM di negara sangat berkembang.
53
I.
Penelitian Terdahulu Beberapa studi dilakukan untuk meneliti variabel makro yang memengaruhi tingkat pembiayaan bermasalah di suatu negara seperti GDP, inflasi, tingkat suku bunga, dan pengangguran. Dan variabel spesifikasi bank seperti Ukuran bank, kebijakan pembiayaan, total pinjaman, dan jangka waktu kredit. Berikut ini merupakan penjelasan singkatnya:
No 1
2
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Peneliti, Tahun, Variabel Metode Judul Analisis Vighneswara Variabel Regresi Swamy (2012)) Independent Linear Inflasi, Berganda Impact of pertumbuhan macroeconomic and endogenous kredit, asset factors bank, dll on non dependen: performing bank NPL assets (Jurnal Asing)
Irum Saba, GDP, Total Ordinary Rehana Kouser, Loans, dan least square Regression dan Muhammad Interest Rate Azeem (2012) “Determinants of Non Performing Loans: Case of US Banking Sector”(Jurnal Asing)
Hasil Penelitian Inflasi tidak berpengaruh terhadap NPL, Pertumbuhan kredit dan bank size berpengaruh negatif signifikan terhadap NPL
Terdapat pengaruh yang signifikan antara NPL sebagai variabel dependent dengan GDP, Total pinjaman, dan tingkat suku bunga sebagai variabel independen.
54
No 3
4
5
6
Peneliti, Tahun, Judul Etem Hakan, Ergec, dan Bengul Gulumser (2011) “Impact of Interest Rates on Islamic and Conventional Banks: The Case of Turkey” (Jurnal Asing) Muhammad Imaduddin (2006) “Determinants of banking credit default in Indonesia: a comparative analiysis” (Jurnal Indonesia)
Variabel
Khemraj dan Pasha (2006), melakukan penelitian yang berjudul “The determinants of non-performing loans: an econometric case study of Guyana”. (Jurnal Asing) Tarron Khemraj dan Sukrishnalall Pasha (2004) The determinants of non-performing loans: an econometric case study of Guyana. (Jurnal Asing)
Variabel independen: GDP, Interest Rate, dan pertumbuhan kredit. Variabel dependen: NPL
Panel data regresi
Variabel Independen: Inflasi, Bank size, dan pertumbuhan kredit Variabel Independen: NPL
Regresi Linear Berganda
Variabel Independen: Interest Rate Variabel Dependen: Deposits and Loan in Islamic bankin
Metode Analisis Vector Error Correction (VEC) methodology
NPL, Bank Ordinary Size, Total least square Loan, GDP, Regression dan Indeks industrial
Hasil Penelitian Kinerja bank syariah di Turki di sisi pendanaan dan pembiayaan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga
Secara simultan berpengaruh signifikan positif terhadap NPF. Secara parsial Bank size berpengaruh signifikan positif, Total loan negatif signifikan, dan GDP berpengaruh positif. Secara parsial GDP berpengaruh negatif signifikan terhadap NPL, interest rate berpengaruh positif terhadap NPL, dan pertumbuhan kredit berpengaruh negatif.
Inflasi tidak signifikan terhadap NPL, Pertumbuhan kredit berpengaruh signifikan negatif terhadap NPL, Bank size tidak berpengaruh terhadap NPL.
55
No 7
J.
Peneliti, Tahun, Judul Rajiv Rajan and Sarat Chandra Dhal (2003) “Terms of credit, bank size, and macroeconomic shocks” (Jurnal Asing
Variabel NPL, Term of credit, Bank Size, Macroekonomic Shocks.
Metode Analisis Panel Regression
Hasil Penelitian Secara parsial terdapat pengaruh signifikan Term of Credit terhadap NPL, Bank Size berpengaruh signifikan negatif, Macroeconomic shocks berpengaruh positif signifikan. Secara bersamaan
Kerangka Pemikiran Inflasi merupakan salah satu akibat dari terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan yang melanda suatu negara. Inflasi dapat diartikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu (Manurung, 2008:359). Pada tahun 2009 yang merupakan awal periode penelitian ini Inflasi IHK mencapai 2,78% (yoy), atau lebih rendah dibandingkan dengan sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah sebesar 4,5%±1% (yoy). Penyebabnya adalah penurunan harga komoditas global, terutama harga energi, telah membuka peluang bagi Pemerintah untuk menurunkan harga BBM yang diikuti dengan penurunan tarif angkutan masing-masing 14,1% dan 12,1%. Inflasi dapat menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat sehingga menyebabkan penurunan permintaan barang yang ditawarkan produsen. Inflasi juga mengharuskan pengusaha untuk menyesuaikan gaji pegawainya karena naiknya harga-harga bahan kebutuhan. Hal tersebut dapat mengakibatkan
56
menurunnnya keuntungan usaha, sehingga risiko pembiayaan bermasalah menjadi meningkat. Selain inflasi, variabel makro yang turut memengaruhi pembiayaan bermasalah adalah tingkat suku bunga acuan atau BI Rate. Meskipun perbankan syariah tidak menggunakan variabel tingkat suku bunga dalam aktivitas pengumpulan dan pembiayaan. Namun secara tidak langsung, para pelaku perbankan syariah menjadikan BI Rate sebagai benchmark dalam menentukan ekuivalen tingkat bagi hasil maupun margin pada akad jual beli. Digunakannya BI Rate sebagai acuan dalam penentuan ekuivalen nisbah bagi hasil, menyebabkan perubahan tingkat suku bunga atau BI Rate turut memengaruhi tingkat pembiayaan bermasalah. Tingginya ekuivalen bagi hasil maupun margin pembiayaan dapat menyebabkan meningkatnya risiko gagal bayar atau default pada pembiayaan. Sementara itu pertumbuhan pembiayaan yang disalurkan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pembiayaan bermasalah. Semakin besar pembiayaan disalurkan ke pasar riil disinyalir dapat menyebabkan peningkatan risko gagal bayar pada pembiayaan yang disalurkan. Pada perbankan syariah di Indonesia pembiayaan yang disalurkan tergolong tinggi. Dibandingkan dengan penyaluran kredit di bank konvensional, Financing to Deposite Ratio di perbankan syariah selalu tinggi. Karakteristik perbankan syariah yang melarang spekulasi dalam setiap transaksinya, menyebabkan dana yang terkumpul lebih banyak disalurkan ke sektor riil termasuk UKM. Bahkan
57
beberapa tahun dalam periode penelitian tingkat FDR di perbankan syariah melebihi angka 100%. Ukuran bank juga merupakan variabel spesifikasi bank yang dapat memengaruhi tingkat pembiayaan bermasalah. Sejak awal tahun periode penelitian, aset perbankan syariah terus mengalami peningkatan, hingga akhir tahun 2012, aset perbankan syariah di Indonesia telah mencapai Rp 179.871.000.000.000. Bank dengan aset yang besar disinyalir dapat meminimalkan risiko kegagalan bayar atau default terhadap pembiayaan yang disalurkan. Bank dengan aset yang besar selain dapat mendiversifikasi risiko juga dapat melakukan pencegahan terjadi pembiayaan bermasalah. Dengan aset yang besar maka suatu bank dapat memanfaat sistem informasi dan administrasi yang baik pula. Sehingga semakin besar aset suatu bank, maka pembiayaan bermasalah menjadi berkurang. Penelitian ini didasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya dengan penambahan beberapa variabel dan metode penelitan yang berbeda. Setelah peneliti mengumpulkan beberapa jurnal, tesis, dan skripsi, peneliti mengambil beberapa variabel dari penelitian terdahulu kemudian membuat paradigma penelitian yang berbeda dimana penelitaian ini menggunakan Ordinary least square dan dengan menggunakan bantuan alat SPSS 16. Berikut ini adalah gambaran mengenai kerangka berfikir yang peneliti bentuk secara sederhana untuk menjelaskan proses penelitian ini.
58
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Perbankan Syariah Indonesia
Variabel Makro Ekonomi
Variabel Bank
Tingkat Suku Bunga
Inflasi
Pertumbuhan Pembiayaan
Bank Size
Non Performing Financing Sektor UMKM
Uji asumsi klasik regresi linear berganda 1. 2. 3. 4.
Normalitas Multikolinearitas Heterokedatisitas Autokorelasi
Uji statistik regresi berganda
Uji signifikasi model
Uji F
Uji T
Uji Adjusted R2
Analisis
Kesimpulan
59
K. Hipotesis Berdasarkan kerangka teoritis yang telah disajikan, hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. H0 : Tidak terdapat pengaruh antara Inflasi, Tingkat Suku Bunga, Pertumbuhan Pembiayaan, dan Ukuran Bank secara simultan terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM. H1 : Terdapat pengaruh antara Inflasi, Tingkat Suku Bunga, Pertumbuhan Pembiayaan, dan Ukuran Bank secara simultan terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM. 2. H0 : Tidak terdapat pengaruh antara Inflasi terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM secara parsial. H1 : Terdapat pengaruh antara Inflasi terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM secara parsial. 3. H0 : Tidak terdapat pengaruh antara Tingkat Suku Bunga terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM secara parsial. H1 : Terdapat pengaruh antara Tingkat Suku Bunga terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM secara parsial. 4. H0 : Tidak terdapat pengaruh antara Pertumbuhan Pembiayaan terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM secara parsial. H1 : Terdapat pengaruh antara Pertumbuhan Pembiayaan terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM secara parsial. 5. H0 : Tidak terdapat pengaruh antara Ukuran Bank terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM secara parsial.
60
H1 : Terdapat pengaruh antara Ukuran Bank terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM secara parsial.
61
BAB III METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian Obyek penelitian adalah Perbankan Syariah di Indonesia yang terdiri dari Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dan dibatasi selama periode tahun 2009-2012. Dengan menggunakan data time series yang diperoleh dari Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik (BPS). Penelitian ini menggunakan variabel terikat (dependent variables) yaitu pembiayaan
bermasalah
sektor
UKM.
Sedangkan
variabel
bebasnya
(independent variables) yaitu inflasi, BI Rate, pertumbuhan pembiayaan, dan ukuran bank. B. Metode penentuan sampel Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karaketristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2008:61). Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2008:62) Objek dalam penelitian ini adalah Bank umum Syariah dan Unit usaha syariah yang beroperasi di Indonesia yang telah memperoleh ijin resmi dari Bank Indonesia pada periode Januari 2009 sampai Desember 2012. BUS dan UUS dipilih karena sesuai dengan undang-undang.
62
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sample data dalam rentang waktu 48 bulan. Penelitian ini menggunakan data dari tahun 2009-2012 karena pada masa tersebut berada di dalam siklus yang tergolong lengkap, yakni pertumbuhan ekonomi menjelang krisis dan pertumbuhan ekonomi masa pemulihan setelah krisis ekonomi di dunia dan Indonesia. Di samping itu kelengkapan data penelitian baru bisa didapatkan setelah tahun 2009. C. Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan oleh peneliti melalui pihak kedua atau tangan kedua (Usman, 2006:20). Peneliti menggunakan data sekunder berupa data runtun waktu (time series) dengan skala bulanan yang dihimpun oleh Bank Indonesia pada laporan statistik perbankan syariah dari bulan Januari 2009 sampai dengan Desember 2012 yang diperoleh dari www.bi.go.id. (diakses pada tanggal 15 Februari 2013 pukul 19:30) 2. Metode Studi Pustaka Yaitu dengan melakukan telaah pustaka, eksplorasi, dan mengkaji berbagai literatur pustaka seperti berbagai majalah, jurnal, dan sumbersumber yang berkaitan dengan penelitian. 3. Internet Yaitu mengumpulkan data dengan cara mencatat dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini, yang terdapat dalam publikasi Bank
63
Indonesia, Badan Pusat Statistik, dan Bank syariah yang termasuk dalam sampel dalam situs-situs internet masing-masing lembaga. Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, penelitian ini sangat bergantung pada sumber-sumber berikut: a. Laporan tahunan perbankan tahun 2009-2012 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI). b. Beberapa laporan statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). D. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode analisi Regresi Linier Berganda Sederhana (Ordinary Least Square). Dalam melakukan analisis regresi linier berganda, metode ini mensyaratkan untuk melakukan uji asumsi klasik agar mendapatkan hasil regresi yang baik (Ghozali, 2005:94 ). 1. Uji asumsi Klasik Dalam menganalisis model regresi linear berganda agar menghasilkan estimator yang baik, yaitu linier tidak bias dengan varian yang minimum (bestlinier unbiased estimator = blue) adalah terpenuhinya asumsi asumsi dasar regresi yaitu dengan melakkukan serangkaian uji asumsi klasik sebagai berikut: a. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variable pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti
64
diketahui bahwa uji t dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil. Ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak (Ghozali, 2005:147), yaitu: 1) Analisis Grafik Uji normalitas dapat dideteksi dengan melihat histogram yang membandingkan antara observasi dengan distribusi yang mendekati normal yaitu simetris dan tidak menceng ke kanan atau ke kiri. Atau dengan melihat grafik normal probability plot, jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Bila data menyebar jauh dari garis diagonalnya dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. 2. Uji Statistik Normalitas Untuk mendeteksi normalitas data dengan cara uji statistik penelitian
ini
menggunakan
analisis
statistik
non
parametrik
Kolmogorov-Smirnov test (K-S) Uji K-S dilakukan dengan membuat hipotesis: Ho = data residual terdistribusi normal Ha = data residual tidak terdistribusi normal Dasar pengambilan keputusan dalam uji K-S adalah sebagai berikut:
65
a) Apabila probabilitas uji K-S signifikan secara statistik (p<0,05) maka Ho ditolak, yang berarti data terdistribusi tidak normal b) Apabila probabilitas uji KS tidak signifikan statistik(p>0.05) maka Ho diterima, yang berarti data terdistribusi normal.
b. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel independen. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antara variabel independen. Untuk mendeteksi ada dan tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi adalah sebagai berikut (Gujarati 2007:205) 1) Nilai r2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel independen banyak yang tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen. 2) Menganalisis matrik korelasi variabel – variabel independen. Jika antara variabel independen ada korelasi cukup tinggi (umumnya diatas 0,80) maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas. 3) Pengujian korelasi parsial 4) Regresi subsider atau tambahan. Mengingat multikolinieritas muncul karena salah satu atau lebih variabel penjelas adalah kombinasi pasti linear, salah satu cara untuk mengetahui variabel bebas mana yang sangat kolinear dengan variabel bebas lainnya adalah dengan
66
meregresikan masing-masing variabel bebas terhadap variabel bebas lainnya untuk mengetahui R2 terkait. 5) Multikolinieritas dapat juga dilihat dari (1) nilai tolerance dan (2) variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Tolerance mengukur variabel independen yang terpilih yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel independen lainnya, jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi (karena VIF = 1/tolerance). Nilai cut-off yang yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolonieritas adalah nilai tolerance ≤ 0,10 atau sama dengan nilai VIF ≥ 10. c. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara anggota serangkaian data observasi yang diuraikan menurut waktu (time series) atau ruang (cross section). Salah satu penyebab munculnya masalah autokorelasi adalah adanya kelembaman (inertia) artinya kemungkinan besar akan mengandung saling ketergantungan pada data data observasi sebelumnya dan periode sekarang. Salah satu metode analisis untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi adalah dengan melakukan pengujian nilai durbin watson (DW test) (Ghozali, 2005:100). Hipotesis yang akan diuji adalah:
67
H0 = tidak ada autokorelasi (r = 0) Ha = ada autokorelasi (r ≠ 0) Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi adalah sebagai berikut: Hipotesis nol Keputusan Tidak ada autokorelasi Tolak positif Tidak ada autokorelasi Tanpa keputusan positif Tidak ada korelasi negatif Tolak Tidak ada korelasi negatif Tanpa keputusan Tidak ada autokorelasi Tidak ditolak positif atau negatif
Jika 0 < d < dl dl ≤ d ≤ du 4 – dl < d < 4 4 – du ≤ d ≤ 4 – dl du < d < 4 – du
(Ghozali, 2005:100) d. Uji Heteroskedaskitas Uji ini bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Model regresi yang baik adalah homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas. 1) Analisis Grafik Untuk
mendeteksi
ada
tidaknya
heterokedastisitas
dalam
penelitian ini dilakukan dengan analisis grafik, yaitu melihat grafik scartter plot antara nilai prediksi variabel dependen yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID, dimana sumbu y adalah y yang telah diprediksi, dan sumbu x adalah residual (y prediksi – y sesungguhnya) yang telah di-studentized. Deteksi ada tidaknya heterokedastisitas dapat dilakukan sebagai berikut: (Ghozali, 2005: 126)
68
a) Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur, maka mengidentifikasikan telah terjadi heterokedastisitas. b) Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas dan dibawah
angka
0
pada
sumbu
y,
maka
tidak
terjadi
heterokedastisitas. 2) Metode Park Metode uji Park yaitu dilakukan dengan meregresikan nilai residual (Lnei2) dengan masing-masing variabel dependen (LnX1, LnX2, LnX3, dan LnX4). Apabila koefisien parameter beta dari persamaan regresi tersebut signifikan secara statistik, hal ini menunjukan bahwa dalam data model empiris yang diestimasi terdapat heterokedastisitas, dan sebaliknya jika parameter beta tidak signifikan secara statistik, maka asumsi homokedastisitas pada data model tersebut tidak dapat ditolak (Ghozali, 2005:128) Setelah melakukan serangkaian uji asumsi klasik diatas, maka data yang sudah dikumpulkan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode regresi linier berganda. Persamaan regresi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
NPF = α + b1Inflasi + b2BIRate + b3GFin + b4SIZE +
69
Keterangan
NPF
: Non Performing Financing
Inflasi
: Tingkat Inflasi
BIRate
: Tingkat Suku Bunga Riil
GFIN
: Pertumbuhan Total Pembiayaan
SIZE
: Total Aset Perbankan Syariah
α
: Konstanta Regresi
b1 b2 b3 b4
: Koefisien Regresi : Variabel pengganggu di luar variabel yang tidak dimasukan di atas
E. Pengujian Hipotesis Untuk menguji bisa atau tidaknya model regresi tersebut digunakan dan untuk menguji kebenaran hipotesis yang dilakukan, maka diperlukan pengujian statistik, yaitu: 1. Uji Hipotesis Secara Simultan (Uji F) Uji F untuk menguji asumsi mengenai tepatnya model regresi untuk diterapkan terhadap data empiris atau hasil observasi. Uji statistik F pada dasarnya
menunjukkan
apakah
semua
variabel
independen
yang
dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel dependen (Ghozali, 2005:88). Untuk pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai F Statistik dengan F Tabel. F Hitung dapat diperoleh dengan rumus: F Hitung =
R2/(k-1) 1-R2/(n-k)
70
Keterangan
R2
= Koefisien determinasi
k
= Jumlah variabel independen
n
= Jumlah sampel
Langkah langkah yang ditempuh dalam pengujian adalah: a. Menyusun hipotesis nol H0 dan Hipotesis alternatif (Ha): 1) H0 : b1 = b2 = b3 = b4 = 0 : artinya secara bersama-sama variabel indepeden tidak berpengaruh terhadap variabel independen 2) Ha : b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ 0, artinya secara bersama-sama variabel independen berpengaruh terhadap variabel independen b. Menetukan tingkat signifikansi yaitu sebesar 0,05 (α) c. Membandingkan f-hitung dengan f-tabel 1) Bila fhitung < ftabel maka H0 diterima dan ditolak Ha, artinya bahwa secara bersama-sama variabel independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependen 2) Bila fhitung > ftabel, maka H0 ditolak dan menerima Ha artinya bahwa secara bersama-sama variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen d. Berdasarkan probabilitas Ha akan diterima jika nilai probabilitas kurang dari 0,05 (α). 2. Uji Hipotesis Secara Parsial (Uji t) Uji t merupakan pengujian terhadap variabel independen secara parsial (individu) dilakukan untuk melihat signifikansi dari pengaruh variabel independen secara individual terhadap variabel dependen.
71
Untuk pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai t Statistik dengan t Tabel. t Hitung dapat diperoleh dengan rumus:
b
t=
Sb
Dimana b adalah nilai parameter dan Sb adalah standar error dari b. Standar error dari masing-masing parameter dihitung dari akar varians masing-masing. Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengujian adalah (Ghozali, 2005:88): a. Menyusun hipotesis nol dan hipotesis alternatif: 1) Ho : b1 = 0: artinya bahwa variabel independent tidak berpengaruh terhadap variabel dependen 2) Ha : b1 ≠ 0 : artinya bahwa variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen b. Menentukan tingkat signifikansi α sebesar 0,05 c. Membandingkan t-hitung dengan t-tabel 1) Jika thitung < ttabel atau -thitung > -ttabel maka H0 diterima atau menolak Ha, artinya bahwa variabel independent tidak berpengaruh terhadap variabel dependen. 2) Jika thitung > ttabel atau -thitung < -ttabel maka H0 ditolak atau meneria Ha, artinya bahwa variabel independent berpengaruh terhadap variabel dependen.
72
d. Berdasarkan probabilitas Ha akan diterima jika nilai probabilitasnya kurang dari 0,05 (α) 3. Koefisien Determinasi (R2) Koefisien Determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel - variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabelvariabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2005:87). F. Definisi Operasional Variabel Operasional variabel merupakan definisi dari serangkaian variabel yang digunakan dalam penulisan (Hamid, 2010:20). Pengertian operasional variabel adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat yang diamati. Dari definisi operasional tersebut dapat ditentukan alat pengambilan data yang cocok dipergunakan. Berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi operasional variabel yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu: 1. Rasio Non Perfoming Financing Variabel non performing financing (NPF) menggambarkan pembiayaan bermasalah pada bank syariah yang meliputi pembiayaan kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M). Rasio NPF diperoleh dengan rumus berikut: NPF=
Pembiayaan yang bermasalah
x 100 %
Total Pembiayaan Disalurkan
73
Dalam penelitian ini rasio NPF merupakan variabel dependen yaitu variabel yang keberadaannya dapat dijelaskan oleh sejumlah variabel independen. Variabel ini dinotasikan dengan notasi NPF. 2. Inflasi Inflasi dapat diartikan sebagai suatu proses meningkatnya hargaharga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terusmenerus dan saling mempengaruhi. 3. Tingkat Suku Bunga Menurut Bank Indonesia, BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan. 4. Pertumbuhan Total pembiayaan yang Disalurkan Pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang diberikan suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, 74
pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang direncanakan. 5. Bank Size Ukuran perusahaan (SIZE) dalam penelitian ini dilihat dari besarnya total assets yang dimiliki perusahaan. Pada neraca bank, aktiva menunjukkan posisi penggunaan dana (Kuncoro dan Suhardjono, 2002: 75). Aktiva (asset) merupakan sumber daya yang dikuasai oleh suatu perusahaan dengan tujuan menghasilkan laba.
75
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Sejarah dan Perkembangan Perbankan Syariah Sistem perbankan syariah mulai dikenal luas di Indonesia pada tahun 1992 dengan momen dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1992 yang memungkinkan bank-bank di Indonesia menjalankan kegiatan operasional bisnisnya dengan sistem bagi hasil. Momen perkembangan terus berlanjut pada saat era reformasi dengan disetujuinya UU No 10 Tahun 1998 yang mengatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dioperasikan oleh bank syariah. Di samping itu, kehadiran undang-undang ini juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri menjadi bank syariah. Menurut Siregar (2002:2) Upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia tidak semata hanya merupakan konsekuensi dari UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 tetapi juga merupakan bagian dari upaya penyehatan sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 membuktikan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah dapat bertahan di tengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan tersebut ditopang oleh karakteristik operasi bank syariah yang melarang
76
bunga (riba), transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar) dan spekulatif (maysir). Dengan kenyataan tersebut, pengembangan perbankan syariah diharapkan dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional yang pada gilirannya juga diharapkan dapat meningkatkan ketahanan ekonomi nasional di masa mendatang. Ketahanan ekonomi nasional yang sedemikian rupa dapat menciptakan perekonomian yang tangguh, yaitu perekonomian yang pertumbuhan sektor keuangannya sejalan dengan pertumbuhan sektor riil. Pada tahap awal, landasan hukum bagi pengembangan perbankan syariah adalah UU No. 7 tahun 1992 yang mengizinkan bank untuk memberikan pinjaman kepada nasabah dengan prinsip bagi hasil. Sejak tahun 1992-1998 dapat dikatakan tidak banyak kemajuan dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia terutama karena belum ada landasan hukum yang jelas mengenai keberadaan bank syariah. Dengan lahirnya UU No. 10 tahun 1998 dan UU No. 23 tahun 1999 keberadaan bank syariah diakui secara eksplisit dan memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi Bank Indonesia dalam pengembangan perbankan syariah. Bank
Muamalat
Indonesia
merupakan
pioneer
awal
yang
membumikan syariah islam pada sektor perbankan di Indonesia. Berawal dari amanat MUNAS IV MUI maka langkah mendirikan Bank Islam di mulai. PT Bank Muamalat Indonesia Tbk didirikan pada 24 Rabius Tsani 1412 H atau 1 November 1991. Bank Muamalat baru memulai kegiatan operasinya pada tanggal 1 Mei 1992.
77
2. Perkembangan Kelembagaan dan Indikator Keuangan Tahun 1992 merupakan tahun yang menggembirakan dalam sejarah perkembangan bank syariah di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya bank syariah pertama yaitu PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk (BMI). Namun, menurut Siregar (2002:4) dalam periode 1992-1998 tidak terdapat hal berarti dalam perkembangan bank syariah yang disebabkan oleh beberapa hal: a.
rendahnya pengetahuan dan kesalahpahaman masyarakat mengenai bank syariah;
b.
belum tersedianya ketentuan pelaksana terhadap operasional bank syariah;
c.
terbatasnya jaringan kantor perbankan syariah; dan
d.
kurangnya sumber daya insani (SDI) yang memiliki keahlian perbankan syariah. Perkembangan bank syariah mulai terasa sejak dilakukan amandemen
terhadap UU No. 7/1992 menjadi UU No. 10/1998 yang memberikan landasan operasi yang lebih jelas bagi bank syariah. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Bank Indonesia mulai memberikan perhatian lebih serius terhadap pengembangan perbankan syariah, yaitu pada bulan April 1999 membentuk satuan kerja khusus
yang menangani penelitian dan
pengembangan bank syariah (Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah dibawah Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal bakal Biro Perbankan Syariah yang dibentuk pada 31 Mei
78
2001. Sebagai hasil dari upaya pengembangan perbankan syariah yang dilaksanakan secara intensif sejak dikeluarkannya UU No. 10 tahun 1998 maka pertumbuhan perbankan syariah relatif pesat sejak tahun 1999. Pada awal tahun 1999 jumlah bank syariah baru terdapat 1 bank umum syariah dengan 9 kantor cabang serta 76 BPRS. Sementara itu pada tahun 2009 yang merupakan periode awal penelitian ini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sepuluh tahun sejak amandemen UU No. 10/1998, jumlah bank syariah di Indonesia meningkat menjadi 6 bank sedangkan jumlah unit usaha syariah sebanyak 25 bank. Membaiknya perekonomian dunia pasca krisis di tahun 2009 membuat optimisme menghampiri perkembangan perbankan syariah di tanah air. Pada kuartal ke-II tahun 2010 perkembangan perbankan syariah sempat diwarnai dengan goncangan krisis Yunani, namun tidak terlalu berdampak signifikan terhadap pertumbuhan bank syariah di Indonesia. Tahun 2010 jumlah bank syariah kembali mengalami perkembangan yang signifikan dengan jumlah bank umum syariah sebanyak 11 bank. Meskipun jumlah unit usaha syariah mengalami penunrunan namun hal tersebut tidak mempengaruhi total aset perbankan syariah di Indonesia. Hingga tahun 2010 total aset perbankan syariah di Indonesia adalah sebesar Rp 97.519.000.000.000
meningkat
sebesar
47%.
Pada
akhir
periode
pengamatan yakni tahun 2012, posisi aset perbankan syariah adalah sebesar Rp 179.871.000.000.000
79
Seperti digambarkan pada bab 1, dijelaskan bahwa jumlah Bank Umum Syariah adalah sebanyak 11 bank dan Unit Usaha Syariah sebanyak 24 unit. Meskipun dalam perkembangannya perbankan syariah selalu “diintai” oleh siklus krisis ekonomi baik di dalam maupun luar negeri namun perbankan syariah justru mengalami perkembangan yang baik, bahkan industri perbankan syariah disebut-sebut sebagai ”the fastest growing industry” yang sempat menyentuh angka pertumbuhan aset di atas 40% selama lima tahun berturut-turut. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia yang notabene masih tergolong masa awal perkembangan cenderung belum memiliki tingkat integrasi dengan sistem keuangan global dan eksposur valas yang dimiliki oleh perbankan syariah di Indonesia pun
masih belum signifikan. Hal
tersebut berdampak pada terhindarnya dari dampak langsung krisis global yang terjadi. Objek penelitian ini adalah bank umum syariah dan unit usaha syariah yang memperoleh ijin operasional dari Bank Indonesia yaitu sebanyak 11 bank umum syariah dan 24 unit usaha syariah. B. Anaslisis dan Pembahasan 1. Analisis Deskriptif Pengolahan
data
pada
penelitian
ini
dilakukan
dengan
menggunakan bantuan pengolahan data SPSS 16 dan Microsoft Excel 2007. Variabel-variabel yang diteliti yaitu terdiri dari variabel independent; Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan pembiayaan, dan Ukuran
80
perusahaan. Sedangkan variabel dependennya adalah tingkat Non Performing Financing Sektor UKM. Penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: a. Infasi Inflasi merupakan indikator suatu perekonomian suatu negara. Negara yang mampu mengendalikan tingkat inflasi maka akan mampu mengendalikan masalah makro ekonomi lainnya seperti pengangguran dan kemiskinan. Angka inflasi sebagai salah satu indikator stabilitas ekonomi selalu menjadi pusat perhatian.Inflasi dapat dikaitkan dengan gejolak ekonomi yang selalu mengitu perjalanan perekonomian suatu negara yang dinamis. Tekanan inflasi menjadi tinggi dengan adanya kebijakan pemerintah untuk mengurangi berbagai subsidi guna mendorong pembentukan harga berdasarkan mekanisme pasar. Inflasi merupakan proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi rendahnya tingkat harga. Artinya tingkat harga yang dianggap tinggi belum dianggap inflasi. Di Indonesia tingkat inflasi selalu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Penyebabnya beragam, mulai dari naiknya harga minyak dunia dan kegagalan produksi panen petani dalam negeri. Inflasi di Indonesia juga kerap timbul sebagai akibat dari krisis ekonomi dunia. Penyebabnya adalah dalamnya integrasi sistem keuangan dalam negeri dan luar negeri. Bahkan tak jarang dampak yang ditimbulkan dari faktor luar negeri justru menghambat
81
perekonomian di Indonesia. Data dari bank Indonesia menggambarkan betapa besar pengaruh luar negeri terhadap perekonomian di Indonesia. Terutama ketika terjadi krisis ekonomi dunia, tingkat inflasi di Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Data inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perkembangan inflasi per bulan periode Januari 2009 hingga Desember 2012. Data tersebut diperoleh dari situs www.bi.go.id. (diakses pada tanggal 1 April 2013 pukul 20:45 wib) Tabel 4.1. Perkembangan Tingkat Inflasi di Indonesia Periode 2009-2012 Bulan Inflasi (%) 2009 2010 2011 2012 Januari 0,07 0,84 0,89 0,76 Februari 0,21 0,30 0,13 0,05 Maret 0,22 -0,14 -0,32 0,07 April -0,31 0,15 -0,31 0,21 Mei 0,04 0,29 0,12 0,07 Juni 0,11 0,97 0,55 0,62 Juli 0,45 1,57 0,67 0,70 Agustus 0,56 0,76 0,93 0,95 September 1,05 0,44 0,27 0,01 Oktober 0,19 0,06 -0,12 0,16 November -0,03 0,60 0,34 0,07 Desember 0,33 0,92 0,57 0,54 Sumber: Bank Indonesia (data diolah) Dari tabel 4.1 dapat dilihat perkembangan inflasi di Indonesia pada tahun 2009 hingga tahun 2012 mengalami fluktuatif. Sepanjang tahun pengamatan tingkat inflasi tertinggi terjadi pada bulan September tahun 2010 yakni sebesar 1,57%, sedangkan yang terendah adalah pada November 2012 sebesar 0,01%. Agar lebih mudah dipahami dan komunikatif data tersebut dapat dilihat dari grafik berikut:
82
Gambar 4.1. Perkembangan Tingkat Inflasi di Indonesia periode 2009-2012
2 1,5 1 0,5
-0,5
Januari Maret Mei Juli September November Januari Maret Mei Juli September November Januari Maret Mei Juli September November Januari Maret Mei Juli September November
0
Sumber: Data diolah Berdasarkan gambar 4.1. di atas, Inflasi IHK tahun 2009 mencapai 2,78% (yoy), atau lebih rendah dibandingkan dengan sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah sebesar 4,5%±1% (yoy). Penurunan harga komoditas global, terutama harga energi, telah membuka peluang bagi Pemerintah untuk menurunkan harga BBM yang diikuti dengan penurunan tarif angkutan masing-masing 14,1% dan 12,1%. Pada tahun 2010, inflasi melesat dari nilai ekspektasi. Inflasi tertinggi terjadi pada bulan September dengan tingkat inflasi sebesar 1,57%. Penyebab awalnya adalah faktor non fundamental seperti anomali cuaca baik lokal maupun global yang menyebabkan harga pangan melonjak. Komoditas bahan pokok seperti beras dan bumbu-bumbuan memberi kontribusi kenaikan harga yang sangat besar pada inflasi volatile food selama tahun 2010. Kebijakan Pemerintah untuk menaikkan
83
harga barang atau jasa yang bersifat strategis seperti tarif dasar listrik kelompok rumah tangga ikut memengaruhi tingkat inflasi. Pada tahun 2011 inflasi mencapai angka tertinggi pada bulan september yakni sebesar 0,93% dan inflasi terendah terjadi pada bulan maret sebesar 0,32%. Dengan tingkat inflasi tahunan sebesar 3,79%. Inflasi terutama dipicu oleh inflasi volatile food yang masih tinggi, selain akibat dari kenaikan harga komoditas internasional dan rencana kebijakan pemerintah di bidang komoditas strategis. Di tingkat daerah peningkatan koordinasi melalui forum TPID juga cukup efektif dalam membantu penurunan tekanan inflasi sebagaimana tercermin dari penurunan inflasi di hampir semua daerah di Indonesia. Pada tahun 2012 dengan tingkat inflasi tahunan sebesar 4,3% sepanjang Januari sampai Desember didukung oleh faktor musim, harga komoditas pangan global yang sedang turun, dan penundaan kenaikan tarif listrik serta harga BBM bersubsidi. BPS mencatat inflasi tertinggi terjadi pada bulan oktober yakni sebesar 0,95% dan inflasi terendah terjadi pada bulan November sebesar 0,01 %. (Laporan Perekonomian Indonesia Tahunan) b. BI Rate BI Rate merupakan suku bunga dengan tenor 1 bulan yang diumumkan oleh bank Indonesia secara periodik yang berfungsi sebagai sinyal kebijakan moneter. Secara sederhana, BI rate merupakan indikasi
84
dari suku bunga jangka pendek yang diinginkan Bank Indonesia dalam upaya untuk mencapai target inflasi. BI rate digunakan sebagai acuan dalam operasi moneter untuk mengarahkkan agar suku bunga SBI 1 bulan hasil lelang operasi pasar terbuka berada disekitar BI rate. Selanjutnya suku bunga BI rate diharapkan mempengaruhi PUAB, suku bunga simpanan, dan suku bunga lainnya dalam jangka panjang.Sasaran akhir suatu kebijakan moneter dalam arti luas mencakup stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi,
perluasan
kesempatan
kerja,
keseimbangan
neraca
pembayaran, stabilitas pasar uang, dan stabilitas pasar valuta asing. Data dari perhitungan tingkat suku bunga bank Indonesia diambil setiap akhir bulan mulai dari bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Desember tahun 2012, data diperoleh dari laporan moneter Bank Indonesia. Tabel 4.2. Perkembangan BI Rate Periode 2009-2012 Bulan BI Rate (%) 2009 2010 2011 Januari 8,25 6,5 6,75 Februari 7,75 6,5 6,75 Maret 7,5 6,5 6,75 April 7,25 6,5 6,75 Mei 7,00 6,5 6,75 Juni 6,75 6,5 6,75 Juli 6,5 6,5 6,75 Agustus 6,5 6,5 6,75 September 6,5 6,5 6,50 Oktober 6,5 6,5 6,00 November 6,5 6,5 6,00 Desember 6,5 6,5 6,00 Sumber: Bank Indonesia (data diolah)
2012 5,75 5,75 5,75 5,75 5,75 5,75 5,75 5,75 5,75 5,75 5,75 5,75
85
Dari tabel 4.2 dapat dilihat perkembangan BI Rate di Indonesia pada tahun 2009 hingga tahun 2012 mengalami fluktuatif. Sepanjang tahun pengamatan tingkat suku bunga tertinggi terdapat pada bulan Januari 2009 yakni sebesar 8,25%, sedangkan yang terendah adalah terjadi sepanjang 2012 sebesar 5,75%. Agar lebih mudah dipahami dan komunikatif data tersebut dapat dilihat dari grafik berikut: Gambar 4.2. Perkembangan BI rate di Indonesia periode Tahun 2009-2012
Tingkat Suku Bunga
9 8 7
5
Ja… M… Mei Juli Se… No… Ja… M… Mei Juli Se… No… Ja… M… Mei Juli Se… No… Ja… M… Mei Juli Se… No…
6
Sumber: Data diolah
Perkembangan tingkat suku bunga di Indonesia sejak tahun 2009 hingga tahun 2012 cenderung mengalami penurunan. Penurunan suku bunga salah satunya disebabkan optimisme pemerintah dan Bank sentral dalam menghadapi gejolak ekonomi di masa yang akan datang. Kondisi ekonomi di luar negeri pasca tahun 2009 yang menunjukan tren positif menyebabkan pemerintah optimis untuk menentukan proyeksi ekonomi Indonesia di masa yang akan datang. Hal tersebut berdampak tertekannya angka BI Rate yang membuat perekonomian dalam negeri kembali bergairah.
86
Pada tahun 2009 Bank Indonesia menurunkan BI Rate dengan besaran yang berbeda dalam tiga episode, dengan mempertimbangkan secara menyeluruh berbagai kondisi terkini dan prospek perekonomian ke depan. Pada episode pertama, yaitu Januari-Maret 2009 penurunan BI Rate dilakukan cukup agresif sebesar 50 bps setiap bulan sehingga pada Maret 2009 tercatat pada level 7,75%. Respon penurunan BI Rate yang agresif itu ditempuh dengan mempertimbangkan tekanan pada sistem keuangan yang masih tinggi dan tren perlambatan pertumbuhan ekonomi yang masih berlanjut, sedangkan tekanan inflasi ke depan diperkirakan masih belum kuat. Pada episode kedua, yaitu April-Agustus 2009 penurunan BI Rate ditetapkan lebih kecil menjadi 25 bps per bulan hingga mencapai 6,50% pada Agustus 2009. Pada episode ketiga, yaitu September-Desember 2009 BI Rate dipertahankan di level 6,50%. Dengan perkembangan tersebut, BI Rate pada tahun 2009 telah menurun sebesar 275 bps dibandingkan Desember 2008 sebesar 9,25%. Sepanjang tahun 2010, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate sebesar 6,5% yang lebih didasari oleh pertimbangan bahwa sumber tekanan inflasi terutama pada sisi suplai perekonomian akibat terganggunya pasokan dan permasalahan distribusi bahan pangan. Di sisi permintaan domestik, berbagai indikator menunjukkan indikasi awal pemulihan ekonomi dengan struktur yang lebih kuat dimana kenaikan konsumsi diikuti oleh perbaikan investasi. Bank Indonesia memandang pentingnya menjaga momentum pemulihan ekonomi yang terjadi.
87
Kebijakan moneter pada awal tahun 2011 ditandai dengan dipertahankannya level BI Rate pada 6,5%. Kebijakan moneter tersebut merupakan kelanjutan dari stance kebijakan moneter selama tahun 2010. Level BI Rate sebesar 6,5% dipandang masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi ke depan dan tetap kondusif untuk menjaga stabilitas sistem keuangan serta mendorong intermediasi perbankan. Pada bulan Februari 2011, BI Rate dinaikkan 25 bps menjadi 6,75% sebagai langkah antisipatif untuk mengendalikan ekspektasi inflasi yang pada saat itu terindikasi mulai meningkat. Di tengah ketidakpastian perekonomian global, pada tahun 2012 langkah-langkah
yang terukur dan terintegrasi diperlukan guna
memastikan penyesuaian defisit transaksi berjalan berlangsung secara gradual menuju level yang sustainable. Langkah kebijakan tersebut ditempuh sekaligus untuk memberikan ruang bagi kondisi sektor riil yang tetap solid, didukung oleh inflasi yang tetap terkendali. Dengan arah kebijakan tersebut, Bank Indonesia tetap mempertahankan BI Rate sepanjang triwulan III-2012 pada level 5,75%. Bank Indonesia memandang bahwa tingkat suku bunga tersebut masih konsisten dengan tekanan inflasi yang rendah dan terkendali sesuai dengan sasaran inflasi tahun 2012 dan 2013, yaitu 4,5% ± 1%. Untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter, Bank Indonesia memperkuat operasi moneter untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah dan pengendalian likuiditas. Sejalan dengan itu, sementara suku bunga BI Rate dipertahankan tetap
88
pada tingkat 5,75%, koridor bawah operasi moneter dipersempit dengan menaikkan suku bunga Deposit Facility. (Laporan Perekonomian Indonesia Tahunan) c. Pertumbuhan Pembiayaan Menurut
Undang-undang perbankan No 10 Tahun 1998
pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Menurut Arifin (2006:200) disebut pembiayaan karena bank syariah menyediakan dana guna membiayai kebutuhan nasabah yang memerlukan
dan
layak
memperolehnya.
Kegiatan
pembiayaan
merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan unit defisit. Data
pertumbuhan
pembiayaan
yang
digunakan
adalah
perkembangan pembiayaan per bulan periode Januari 2009 hingga Desember 2012. Data tersebut diperoleh dari total pembiayaan disalurkan oleh perbankan syariah yang dipublikasikan dalam situs www.bi.go.id. (diakses pada tanggal 1 April 2013 pukul 20:45 wib). Untuk memperoleh data pertumbuhan setiap bulan maka dilakukan perhitungan sebagai berikut:
89
Tabel 4.3. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2009-2012 Bulan Pertumbuhan Pembiayaan (Miliyar Rupiah) 2009 2010 2011 2012 Januari 47.140 69.724 101.689 38.201 Februari 38.843 48.479 71.449 103.713 Maret 39.308. 50.206 74.253 109.116 April 39.726. 51.651 75.726 108.767 Mei 40.714 53.223 78.619 112.844 Juni 42.195 55.801 82.616 117.592 Juli 42.828 57.633 84.556 120.910 Agustus 43.890 60.275 90.540 124.946 September 44.523 60.970 92.839 130.357 Oktober 45.242 62.995 96.805 135.581 November 45.726 65.942 99.427 140.318 Desember 46.886 68.181 102.665 147.505 Sumber: Statistik Perbankan Syariah (data diolah)
Dari tabel 4.3. dapat dilihat bahwa pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah di Indonesia pada tahun 2009 hingga tahun 2012 mengalami fluktuasi dan cenderung terus meningkat. Hingga akhir tahun 2012 yang merupakan batas tahun pengamatan, jumlah pembiayaan perbankan
syariah
yang
telah
disalurkan
mencapai
Rp
135.581.000.000.000. Berdasarkan data di atas rasio FDR perbankan syariah di Indonesia dalam beberapa tahun selalu menembus angka lebih dari 100% Agar lebih mudah dipahami dan komunikatif data tersebut dapat dilihat dari grafik berikut:
90
Gambar 4.3. Perkembangan Pembiayaan yang Disalurkan Perbankan Syariah Periode Tahun 2009-2012 (dalam Miliyar Rupiah)
Januari Maret Mei Juli September November Januari Maret Mei Juli September November Januari Maret Mei Juli September November Januari Maret Mei Juli September November
160.000 140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 0
Sumber: Data diolah
Pada tahun 2009 dana yang telah disalurkan oleh perbankan syariah kepada masyarakat berjumlah Rp 45.762.000.000.000 tumbuh sebesar 0,41% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2010 kegiatan penyaluran dana perbankan syariah dalam bentuk pembiayaan meningkat
signifikan
menjadi
Rp62.995.000.000
dengan
laju
pertumbuhan 34,85% (yoy) lebih tinggi dari periode yang sama di tahun 2009
sebesar
18,16%
(yoy).
Peningkatan
pembiayaan
ini
mengindikasikan peningkatan kinerja sektor riil mengingat bahwa pembiayaan perbankan syariah sebagian besar disalurkan ke sektor riil. Membaiknya kinerja sektor riil terutama didukung oleh semakin kondusifnya perekonomian nasional pasca krisis. Tahun 2011 pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah juga mengalami
91
pertumbuhan. Dana yang disalurkan masyarakat hingga akhir tahun 2011 mencapai Rp 102.665.000.000.000 atau tumbuh sebesar 46% (yoy). Penambahan jumlah unit operasional bank dan penambahan produk-produk pembiayaan merupakan salah satu sebab pesatnya pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah di Indonesia. Sementara itu pada tahun 2012 seperti pencapaian pada tahun sebelumnya,
perbankan
syariah
tetap
berkomitmen
untuk
menggerakkan sektor riil dan mengoptimalkan pencapaian tersebut. Penyaluran dana yang disalurkan ke masyarakat juga terus meningkat. Pembiayaan sebagai upaya lembaga finansial dalam menggerakkan sektor riil telah mendapat perhatian tinggi dari perbankan syariah. Dana sebesar RP 147.505.000.000.000 disalurkan ke berbagai sektor melalui skim-skim pembiayaannya atau tumbuh sebesar ±40%. (Outlook Perbankan Syariah Indonesia Tahunan ) d. Ukuran Bank Variabel ukuran perusahaan (SIZE) diukur dengan logaritma natural (Ln) dari total assets. Hal ini dikarenakan besarnya total assets masing-masing perusahaan berbeda bahkan mempunyai selisih yang besar, sehingga dapat menyebabkan nilai yang ekstrim. Untuk menghindari adanya data yang tidak normal tersebut maka data total assets perlu di Ln kan. Data total aset perbankan syariah yang digunakan adalah total aset per bulan periode Januari 2009 hingga Desember 2012.
92
Tabel 4.4. Perkembangan Aset Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2009-2012 Bulan
Aset perbankan Syariah (Miliyar Rupiah) 2009 2010 2011 2012
Januari 67.436 51.814 Februari 52.152 67.963 Maret 51.678 68.543 April 52.212 70.146 Mei 53.194 71.125 Juni 55.238 75.205 Juli 55.610 78.140 Agustus 57.012 79.641 September 58.034 83.454 Oktober 59.679 85.881 November 61.359 90.387 Desember 66.090 97.519 Sumber: Statistik Perbankan Syariah (data diolah)
95.473 95.987 191.189 100.568 104.333 109.750 112.864 116.807 123.362 127.150 132.462 145.467
143.888 145.624 151.862 144.275 147.543 155.412 155.666 161.534 168.660 174.094 179.871 195.015
Dari tabel 4.4. dapat dilihat bahwa total aset yang merupakan proksi dari ukuran bank perbankan syariah di Indonesia, pada tahun 2009 hingga tahun 2012 mengalami fluktuatif dan cenderung terus meningkat. Hingga akhir tahun 2012 yang merupakan batas tahun pengamatan, total aset
perbankan
syariah
telah
mencapai
Rp179.871.000.000.000.
Sementara gejolak krisis Eropa yang sempat terjadi pada 2010 tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi perbankan syariah nasional. Relatif rendahnya tingkat integrasi antara perbankan syariah dengan sistem keuangan global, serta minimnya eksposur valas perbankan syariah, menjadi faktor yang menyebabkan terhindarnya perbankan syariah dari pengaruh langsung gejolak perekonomian global. Agar lebih mudah dipahami dan komunikatif data tersebut dapat dilihat dari grafik berikut:
93
Gambar 4.4. Perkembangan Total Asset Perbankan Syariah Periode 2009-2012
250.000 200.000 150.000 100.000 50.000
Januari Maret Mei Juli September November Januari Maret Mei Juli September November Januari Maret Mei Juli September November Januari Maret Mei Juli September November
0
Sumber: Statistik Perbankan Syariah (data diolah) Berdasarkan gambar diatas pada tahun 2009 yang merupakan tahun awal pengamatan total aset perbankan syariah adalah sebesar Rp 61.359.000.000.000. Angka tersebut telah berhasil mencakup 5% dari aset
perbankan nasional. Terbitnya peraturan perbankan tentang surat berharga syariah negara (sukuk) merupakan salah satu penyebab melesatnya perolehan total aset perbankan syariah di Indonesia pada tahun 2009. Menurut data Bank Indonesia (BI), Pada tahun 2010 total aset perbankan syariah telah mencapai Rp 85,5 triliun atau tumbuh sebesar 46,67% (yoy) pada November 2010 atau meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 16,72%. Secara ratarata, total aset perbankan syariah tumbuh di atas 33% per tahun. Tingkat pertumbuhan yang tinggi tersebut diperkirakan akan terus berlanjut
94
hingga beberapa tahun ke depan seiring dengan semakin bertambahnya jumlah bank syariah di Indonesia. Pada tahun 2011 volume usaha perbankan syariah dalam kurun waktu satu tahun terakhir, khususnya Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS), mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Total
aset
per
Desember
2011
(yoy)
telah
mencapai
Rp
132.462.000.000.000 atau meningkat tajam sebesar 48,10% yang merupakan pertumbuhan tertinggi sepanjang 3 tahun terakhir. Pertumbuhan aset yang tinggi tersebut terkait erat dengan ekspansi perbankan syariah terutama pasca disahkannya Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Selain itu, upaya pengembangan perbankan syariah yang dilakukan secara sinergis antara Bank Indonesia dan pelaku industri yang tergabung dalam iB campaign baik untuk funding maupun lending berpengaruh positif terhadap pertumbuhan aset perbankan syariah. Di tahun 2012 yang merupakan akhir periode pengamatan, total aset perbankan syariah terus melonjak, meski sempat terkena dampak dari pemindahan
dana haji oleh pemeritah.
Pertumbuhan aset
perbankan syariah tidak setinggi pertumbuhan pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Hingga bulan Desember 2012 pertumbuhan aset perbankan syariah mencapai ± 37% (yoy) dan total asetnya menjadi ± Rp179 triliun.
95
e. NPF UKM Kredit
tak
lancar
adalah
kredit
yang
masih
dilakukan
pembayarannya, tetapi lebih lambat dari jadwal yang seharusnya. Kredit tak lancar dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu: kredit kurang lancar, diragukan, dan macet. Data NPF yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat NPF bulanan pada sektor ukm perbankan syariah Indonesia periode Januari 2009 hingga Desember 2012. NPF tersebut diperoleh dari total pembiayaan non lancar sektor UKM dibagi dengan total pembiayaan yang disalurkan yang tercatat dalam Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasi dalam situs www.bi.go.id. Tabel 4.5 Non Performing Financing (NPF) sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia Periode 2009-2012 Bulan Rasio Pembiayaan Bermasalah (%) 2009 2010 2011 2012 Januari 2.754 3.693 2.719 2.236 Februari 3.416 3.845 2.990 2.322 Maret 3.442 3.225 2.970 2.184 April 3.557 3.638 3.107 2.230 Mei 3.173 3.872 3.097 2.293 Juni 2.782 3.082 2.895 2.228 Juli 3.509 3.455 3.078 2.189 Agustus 3.559 3.477 2.935 2.119 September 3.735 3.346 3.039 1.894 Oktober 3.609 3.330 2.805 1.774 November 3.595 3.459 2.277 1.703 Desember 3.436 2.675 2.084 1.397 Sumber: Statistik Perbankan Syariah (data diolah) Kredit atau pembiayaan yang disalurkan dikatakan bermasalah menurut Manurung dan Rahardja (2004:196) jika pengembaliannya terlambat
dibanding
jadwal
yang
direncanakan,
bahkan
tidak 96
dikembalikan sama sekali. Dalam konteks Indonesia, kredit atau pembiayaan bermasalah dapat dikelompokan menjadi kredit tak lancar dan macet. Dari tabel 4.5. dapat dilihat bahwa rasio pembiayaan bermasalah atau NPF pada tahun 2009 hingga tahun 2012 mengalami fluktuasi. Hingga akhir tahun 2012 yang merupakan batas tahun pengamatan, Rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah Indonesia cenderung stabil yakni dengan rata-rata NPF sebesar 2,06 % dengan jumlah pembiayaan yang bermasalah sebesar Rp 2.060.000.000.000. Agar lebih mudah dipahami dan komunikatif data tersebut dapat dilihat dari grafik berikut: Gambar 4.5. Perkembangan Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM periode Tahun 2009-2012 (dalam %)
0,045 0,04 0,035 0,03 0,025 0,02 0,015 0,01
Januari Maret Mei Juli Septe… Novem… Januari Maret Mei Juli Septe… Novem… Januari Maret Mei Juli Septe… Novem… Januari Maret Mei Juli Septe… Novem…
Rasio NPF UKM
Sumber: Statistik Perbankan Syariah (data diolah) Pada tahun 2010 terjadi peningkatan kinerja perbankan syariah yang tercermin pada menurunnya pembiayaan bermasalah. Dengan
97
mengacu perkembangan pada rasio non performing financing (NPF) yang menurun menjadi sebesar 3,595%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa
bank
syariah
semakin
berhati-hati
dalam
menyalurkan
pembiayaannya dan kemampuan pengelolaan risiko perbankan syariah semakin membaik. Sementara itu pada tahun 2012 yang merupakan akhir periode pengamatan, telah terjadi penurunan tingkat pembiayaan bermasalah pada sektor UKM. Pada bulan Desember tahun 2012, tingkat pembiayaan bermasalah pada sektor UKM adalah sebesar 1,7 % atau sebesar RP 2.060.000.000.000. 2. Analisis Pengujian Statistik a. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah variabel bebas dan variabel terikat mempunyai distribusi normal. Maksud dari distribusi normal adalah data akan mengikuti garis diagonal dan menyebar disekitar garis diagonal. Uji normalitas dimaksudkan untuk menguji apakah nilai residual yang telah distandarisasi pada model regresi berdistribusi normal atau tidak. Nilai residual dikatakan berdistribusi normal jika nilai residual terstandarisasi tersebut sebagian besar mendekati nilai rata-ratanya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji normalitas dengan analisis grafik dan uji Kolmogorov-Smirnov.
98
1) Analisis Grafik Histogram Gambar 4.6. Histogram
Sumber: Data diolah
Berdasarkan grafik histogram pada gambar 4.6. tampak bahwa residual terdistribusi secara normal dan berbentuk simetri tidak menceng ke kanan atau ke kiri atau dapat dikatakan histogramnya menunjukan pola distribusi normal. 2) Analisis Grafik dengan Normal Probability Plot Gambar 4.7. Grafik P-Plot
99
Hasil uji normalitas data di atas, menunjukan bahwa data menyebar dan mengikuti arah garis diagonal. Maka, dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan dalam analisis ini telah memenuhi asumsi normalitas data. 3) Uji Kolmogorv-Smirnov Tabel 4.6. Uji Kolmogorov-Smirnov One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N
48
Normal Parameters
a
Mean Std. Deviation
.0000000 .00299264
Most Extreme
Absolute
.073
Differences
Positive
.073
Negative
-.055
Kolmogorov-Smirnov Z
.503
Asymp. Sig. (2-tailed)
.962
a. Test distribution is Normal.
Berdasarkan tabel 4.6 di atas, maka dapat disimpulkan data dalam penelitian ini berdistribusi normal dilihat dari nilai Sig > α atau 0,962 > 0,05. b. Uji Multikolinieritas Uji multikolinieritas diperlukan untuk mengetahui ada atau tidaknya variabel independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain dalam suatu model. Kemiripan antar variabel
100
independen dalam suatu model menyebabkan terjadinya korelasi yang sangat kuat antara satu variabel independen dengan satu variabel yang lain. Selain itu, deteksi terhadap uji multikolieneritas juga bertujuan untuk menghindari kebiasan dalam proses pengambilan kesimpulan mengenai pengaruh pada uji parsial masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Mengukur multikolinieritas dapat dilihat dari nilai Tolerance dan Variance InflationFactor (VIF). Tolerance mengukur variabilitas variabel independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi karena VIF=1/tolerance. Nilai cut off yang umum dipakai untuk menunjukan adanya multikolinieritas adalah nilai tolerance<0,010 atau sama dengan VIF< 10. Berikut ini adalah hasil dari uji Multikolinieritas: Tabel 4.7. Uji Multikolineritas dengan Nilai Tolerance dan VIF (Variance Inflation Factor)
101
Berdasarkan tabel 4.7 di atas, nilai Tolerance variabel bebas inflasi = 0,964, BI Rate = 0,322, pertumbuhan pembiayaan = 0,721, dan ukuran bank = 0,395. Sedangkan nilai VIF variabel bebas Inflasi = 1,037, BI rate = 3,108, pertumbuhan pembiayaan = 1,387, dan ukuran bank = 2,535. Dapat disimpulkan bahwa model regresi dinyatakan bebas dari multikolineritas karena nilai tolerance > 0,01 dan nilai VIF < 10. c. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara anggota serangkaian data observasi yang diuraikan menurut waktu (time series) atau ruang (cross section). Salah satu penyebab munculnya masalah otokorelasi adalah adanya kelembaman (inertia) yang artinya kemungkinan besar akan mengandung saling ketergantungan (interdependence) pada data observasi periode sebelumnya
dan
periode
sekarang.Salah
satu
ukuran
dalam
menentukan ada tidaknya masalah otokorelasi adalah dengan menguji Durbin-Watson (DW). Berikut ini adalah hasil uji aotokorelasi dengan metode Durbin-Watson (DW) pada tabel di bawah ini: Tabel 4.8. Uji Durbin-Watson (DW)
Model
Durbin-Watson
1
1,864
102
Berdasarkan pada tabel 4.8. di atas, nilai Durbin-Watson (DW) sebesar 1,864. Maka dapat disimpulkan pada model regresi ini tidak terdapat gejala autokorelasi karena nilai DW diantara du < d <4-du atau 1,7323 < 1,864 < 2,136. d. Uji Heterokedastisitas Heterokedastisitas yaitu kondisi di mana semua residual atau error mempunyai varian yang berubah-ubah atau tidak konstan. Untuk mengetahui apakah suatu data bersifat heterokedastisitas atau tidak, maka perlu pengujian. Pengujian heterokedastisitas dalam pada penelitian ini menggunakan metode analisis grafik scatterplot dan metode park. Berikut hasil dari metode yang dilakukan: 1) Grafik Scatterplot Ada atau tidaknya heterokedatisitas pada suatu model dapat dilihat dari pola gambar scatterplot model tersebut. Analisis pada gambar scatterplot yang menyatakan model regresi linear berganda tidak terdapat heterokedatisitas jika: a) Titik-titik menyebar di atas dan di bawah atau di sekitar angka 0. b) Titik-titik data tidak mengumpul hanya di atas atau di bawah saja.
103
c) Penyebaran titik-titik data tidak boleh membentuk pola bergelombang melebar kemudian menyempit dan melebar kembali. d) Penyebaran titik-titik data sebaiknya tidak berpola Gambar 4.8 Hasil Uji Heterokedatisitas
Gambar 4.8. menunjukan bahwa titik-titik data menyebar di atas, di bawah, dan disekitar angka nol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi berganda ini terbebas dari asumsi klasik heterokedatisitas dan layak digunakan dalam penelitian. 2) Uji Park Metode uji Park yaitu dilakukan dengan meregresikan nilai residual (Lnei2) dengan masing-masing variabel dependen (LnX1, LnX2, LnX3, dan LnX4). Kriteria pengujian dengan menggunakan metode park adalah sebagai berikut:
104
Ho : tidak ada gejala heteroskedastisitas Ha : ada gejala heteroskedastisitas Ho diterima bila –t tabel < t hitung < t tabel berarti tidak terdapat heteroskedastisitas dan Ho ditolak bila t hitung > t tabel atau -t hitung < -t tabel yang berarti terdapat heteroskedastisitas. Berikut ini adalah hasil uji heterokedatisitas dengan menggunakan metode park:
Tabel 4. 9 Tabel Uji Park Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B
(Constant)
Std. Error
-32.294
20.221
LNX1
.122
.295
LNX2
8.696
LNX3 LNX4
Coefficients Beta
t
Sig.
-1.597
.119
.068
.413
.682
7.105
.360
1.224
.229
-.455
.583
-.146
-.782
.440
.425
1.470
.087
.289
.774
a. Dependent Variable: LNRES_2
Berdasarkan tabel 4.9 di atas, dapat dilihat bahwa nilai t hitung Inflasi (LNX1) = 0,431, BI Rate (LNX2) = 1,224, pertumbuhan pembiayaan (LNX3) =
-0,782, dan bank size
(LNX4) = 0,289. Sedangkan nilai t tabel dapat dicari pada tabel t dengan df = n-2 atau 48-2 = 46 dengan signifikansi 0,05 maka di dapat nilai t tabel sebesar 2,012. Karena nilai t hitung masing-
105
masing variabel bebas berada pada –t tabel < t hitung < t tabel, maka Ho diterima artinya pengujian dengan menggunakan metode park disimpulkan tidak ada gejala heteroskedastisitas. Dengan ini dapat
disimpulkan
bahwa
tidak
ditemukannya
masalah
heteroskedastisitas pada model regresi ini.
3. Pengujian Hipotesis a. Uji F Uji Fhitung digunakan untuk menguji pengaruh secara simultan variabel bebas terhadap variabel terikatnya untuk menguji ketepatan model (goddes of fit). Jika variabel bebas memiliki pengaruh secara simultan (bersama-sama) terhadap variabel terikat maka model persamaan regresi masuk dalam kriteria cocok atau fit. Sebaliknya, jika tidak terdapat pengaruh secara simultan maka model masuk dalam kategori tidak cocok atau not fit. Adapun cara untuk melakukan pengujian uji F ini, dengan menggunakan tabel ANOVA (Analysis of Variance) dengan melihat nilai signifikasi (Sig < 0,05 atau 5%). Jika nilai signifikasi >0,05 maka H1 ditolak, sebalikya jika nilai signifikasi <0,05 maka H1 diterima. Berikut adalah tabel ANOVA pada tabel 4.10 di bawah ini:
106
Tabel 4.10.
Uji F b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression Residual Total
df
Mean Square
14.354
4
3.589
4.925
43
.115
19.279
47
F 31.330
Sig. .000
a
a. Predictors: (Constant), UKURAN BANK, INFLASI, G FIN, BI RATE b. Dependent Variable: NPF UKM
Berdasarkan tabel 4.10. di atas nilai Fhitung diperoleh 31,330 α 5%. Numerator adalah (jumlah variabel bebas – 1) atau 4-1 = 3 dan Denumerator adalah (jumlah kasus – jumlah variabel bebas) atau 48-4 = 44 maka Ftabel adalah 2,59. Sementara nilai sig sebesar <0,05 (0,000< 0,05) maka Ho ditolak, sehingga hipotesis yang menyatakan Tidak ada pengaruh antara Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan Pembiayaan, dan Bank Size terhadap NPF Sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia ditolak. Dengan demikian terbukti bahwa terdapat pengaruh antara Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan Pembiayaan, dan Bank Size terhadap NPF Sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia. b. Uji t Setelah melakukan uji koefiensi regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara individu atau uji t. Uji t digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh masing-masing variabel independen secara parsial terhadap
107
variabel dependen yang diuji pada tingkat signifikasi 0,05 maka variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen. Tabel 4.11. Hasil Uji t Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B
(Constant)
Std. Error 6.029
1.744
INFLASI
.065
.124
BI RATE
.269
G FIN Bank Size
Coefficients Beta
t
Sig.
3.456
.001
.041
.526
.601
.158
.231
1.703
.096
-3.174
1.015
-.284
-3.128
.003
-1.041
.185
-.689
-5.616
.000
a. Dependent Variable: NPF UKM
Berdasarkan tabel di atas, besarnya pengaruh masing-masing variabel independen secara individual (parsial) terhadap variabel dependen dapat dijelaskan sebagai berikut: Inflasi, dari pengujian hipotesis menunjukan bahwa t hitung < t tabel (0,526 < 2,024) dan tingkat signifikasinya sebesar 0,601 lebih besar dari taraf signifikasi α 5% (0,05) (sig> α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya, Inflasi tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rasio pembiayaan bermasalah. Dan koefisien regresi sebesar 0,065 menunjukan hubungan yang positif. Pada tabel 4.11. di atas diketahui bahwa BI Rate menunjukan bahwa t hitung < t tabel (1,703 < 2,024) dan tingkat signifikasinya
108
sebesar 0,096 lebih besar dari taraf signifikasi α 5% (0,05) (sig> α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya, BI Rate tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM. Dan koefisien regresi sebesar 0,269 menunjukan hubungan yang positif. Variabel pertumbuhan pembiayaan menunjukan bahwa t hitung > t tabel
(-3,128 > 2,024) dan tingkat signifikasinya sebesar 0,003
lebih kecil dari taraf signifikasi α 5% (0,05) (sig< α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya, Pertumbuhan pembiayaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM. Dan koefisien regresi sebesar -3,174 menunjukan hubungan yang negatif. Artinya jika terjadi kenaikan pertumbuhan pembiayaan sebesar 1% maka rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM akan mengalami penurunan sebesar 3,174%. Sementara itu pada tabel 4.11. di atas menjelaskan bahwa variabel bank size menunjukan t hitung > t tabel (-5,616 > 2,024) dan tingkat signifikasinya sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf signifikasi α 5% (0,05) (sig< α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya, ukuran bank mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM. Dan koefisien regresi sebesar -1,041 menunjukan hubungan yang negatif. Artinya jika terjadi kenaikan aset bank sebesar 1 triliun 109
rupiah, maka rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM akan mengalami penurunan sebesar 1,041%. Konstanta sebesar 6,029 menyatakan bahwa jika variabel independen yaitu: inflasi, BI Rate, pertumbuhan pembiayaan, dan bank size bernilai tetap atau konstan, maka nilai variabel dependen yaitu rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM adalah sebesar 6,029 %. c. Uji Adjusted R Square (R2 adj) Koefisien determinasi atau R Square (R2) merupakan besarnya kontribusi variabel bebas terhadap terikatnya. Semakin tinggi koefisien determinasi, semakin tinggi kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variasi perubahan pada variabel terikatnya. Koefisien determinasi memiliki kelemahan, yaitu bias terhadap jumlah variabel bebas yang dimasukkan dalam model regresi di mana setiap penambahan satu variabel bebas dan jumlah pengamatan dalam model akan meningkatkan nilai R2 meskipun variabel yang dimasukkan tersebut tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya. Untuk mengurangi kelemahaan tersebut maka digunakan koefisien determinasi yang telah disesuaikan, Adjusted R Square (R2adj). Koefisien determinasi yang telah disesuaikan berarti bahwa koefisien tersebut telah dikoreksi dengan memasukkan jumlah
110
variabel dan ukuran sampel yang digunakan. Dengan menggunakan koefisien determinasi yang disesuaikan maka nilai koefisien determinasi yang disesuaikan itu dapat naik atau turun oleh adanya penambahan variabel baru dalam model. Selengkapnya mengenai hasil uji Adj R2 dapat dilihat pada tabel 4.12 di bawah ini. Tabel 4.12 Uji Adjusted R Square (R2adj) Model Summary
Model 1
R .863
R Square a
.745
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate .721
.338435
a. Predictors: (Constant), LNX4, INFLASI, G FIN, BI RATE
Besarnya angka Adjusted R Square adalah 0,721 atau sebesar 72,1%. Dapat disimpulkan bahwa pengaruh inflasi, BI Rate, pertumbuhan pembiayaan dan bank size terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM perbankan syariah Indonesia adalah 72,1% , sedangkan sisanya sebesar 27,9% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam penelitian ini. Adapun angka koefisien korelasi (R) menunjukan nilai sebesar 0,836 yang menandakan bahwa hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat adalah kuat karena memiliki nilai lebih dari 0,5 (R>0,5) atau 0,863 > 0,5.
111
C. Interpretasi Berdasarkan tabel 4.11. di atas, maka dapat disusun persamaan regresi untuk penelitan ini adalah sebagai berikut.
Y = 6,029 – 3,174 X3 – 1,041X4
Dimana: Y
= Rasio Pembiayaan Bermasalah sektor UKM (dalam persentase)
X3
= Pertumbuhan Pembiayaan (dalam persentase)
X4
= Ukuran Bank (dalam miliar rupiah)
Dari hasil pengujian hipotesis, maka dapat diinterpretasikan bahwa dari 4 variabel yang digunakan, ada 2 variabel yang memeliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependen (pembiayaan bermasalah sektor UKM), yaitu pertumbuhan pembiayaan dan ukuran bank. Sementara variabel inflasi dan BI Rate tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen (pembiayaan bermasalah sektor UKM). Adapun interpretasi penulis terhadap hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
112
1. Pengaruh Inflasi terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM Berdasarkan pada tabel 4.11. di atas, variabel inflasi mempunyai nilai signifikasi 0,526 > 0,05. Hal ini berarti menerima H0 sehingga dapat disimpulkan bahwa inflasi tidak berpengaruh terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. Penulis menduga terdapat beberapa faktor yang menyebabkan inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM salah satunya adalah respon lambat dari pihak perbankan syariah terhadap perubahan kebijakan bank sentral. Respon lambat perbankan syariah disebabkan oleh kondisi perekonomian yang masih belum pasti pasca krisis global pada tahun 2008 dan krisis Yunani di 2010 sehingga pihak perbankan harus menjaga kehati-hatian dalam memberikan pembiayaan. Hal lain yang menjadi penyebab inflasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM adalah kuatnya pangsa pasar konsumen di Indonesia. Jadi, meskipun terjadi kenaikan harga bahan baku produksi dan naiknya gaji pegawai perusahaan, masih bisa ditopang dengan lancarnya kegiatan usaha pengusaha UKM. Hal tersebut berdampak lancarnya pembayaran hutang pengusaha UKM pada bank. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Hogart et al (2005:26), Khemraj dan Pasha (2006:22), Cahyo (2011:102) dan Swamy (2012:27) yang menyimpulkan bahwa pembiayaan bermasalah sektor UKM tidak bergantung pada tingkat inflasi.
113
2. Pengaruh BI Rate terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM Berdasarkan pada tabel 4.11. di atas, variabel BI Rate mempunyai nilai signifikasi 0,096 > 0,05. Hal ini berarti menerima H0 sehingga dapat disimpulkan bahwa BI Rate tidak berpengaruh terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. Penulis menduga terdapat beberapa hal yang menyebabkan perubahan suku bunga (BI Rate) tidak berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM perbankan syariah diantaranya adalah debitur pada sektor UKM dapat menikmati keuntungan memilih bank syariah sebagai instrumen pembiayaan mereka, karena angsuran yang harus dibayar tidak terpengaruh tingkat suku bunga di pasar. Artinya dana angsuran yang harus dibayarkan setiap bulannya adalah tetap sesuai dengan perjanjian pembiayaan di awal akad. Maka perubahan tingkat suku bunga tidak lantas menyebabkan perubahan tingkat pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah, dibandingkan dengan apabila melakukan pinjaman di perbankan konvensional. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Imaduddin (2006:17) dan Saba et al (2012:131) menyimpulkan bahwa pembiayaan bermasalah sektor UKM tidak bergantung pada Interest Rate atau BI Rate.
114
3. Pengaruh pertumbuhan pembiayaan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM Berdasarkan pada tabel 4.11. di atas, variabel pertumbuhan pembiayaan mempunyai nilai signifikasi 0,003<0,05. Hal ini berarti menerima H1 sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan pembiayaan berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. Hubungan antara pertumbuhan pembiayaan dan pembiayaan permasalah sektor UKM bersifat negatif. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Imaduddin (2006:17), Khemraj (2004:26) dan Swamy (2012:27)
menyimpulkan bahwa pertumbuhan pembiayaan
mempunyai pengaruh negatif terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. Sikap kehati-hatian pihak perbankan syariah pasca krisis global tahun 2008 menyebabkan meningkatnya kualitas pembiayaan yang diberikan pada sektor UKM. Meskipun pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah untuk sektor UKM meningkat, namun tingkat pembiayaan bermasalah justru mengalami penurunan yang signifikan. Jenis-jenis pembiayaan pada perbankan syariah yang bersifat kemitraan menyebabkan debitur menjadi loyal dan berusaha sekuat tenaga untuk menyukseskan usahanya dan membayar angsuran pinjaman atau pembiayaan yang diberikan sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan. Di samping itu, risiko pembiayaan yang diberikan pada sektor UKM dinilai lebih
115
terdiversifikasi, hal tersebut dibuktikan dengan bertahannya Bank BRI yang bergerak disektor UKM pada krisis tahun 1998. 4. Pengaruh ukuran bank terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM Berdasarkan pada tabel 4.11. di atas, variabel ukuran bank mempunyai nilai signifikasi 0,000<0,05. Hal ini berarti menerima H1 sehingga dapat disimpulkan
bahwa ukuran
bank
berpengaruh
signifikan
terhadap
pembiayaan bermasalah sektor UKM. Hubungan antara ukuran bank dan pembiayaan bermasalah sektor UKM bersifat negatif. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Rajan dan Dhal (2003:37) dan Swamy (2012:17). Variabel ukuran bank berpengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. Hal tersebut mengindikasikan bahwa, semakin besar ukuran suatu bank, maka akan memiliki prosedur manajemen risiko yang semakin baik ditunjang dengan teknologi informasi yang dimiliki (Swamy, 2012:18). Sehingga dapat menekan tingkat pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah di Indonesia.
116
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil Uji F, variabel inflasi, BI Rate, pertumbuhan pembiayaan dan bank size secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia periode tahun 2009-2012. 2. Hasil Uji t, variabel pertumbuhan pembiayaan dan bank size secara parsial berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia periode tahun 2009-2012. Kemudian terdapat hubungan yang negatif variabel pertumbuhan pembiayaan dan ukuran bank terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. 3. Nilai Adjusted R Square dalam penelitian ini adalah sebesar 0,721, yang berarti 72,1% variasi pembiayaan bermasalah sektor UKM dijelaskan oleh variabel bebas (independen) dan sisanya 27,9% dijelaskan oleh variabel di luar model penelitian. B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis mencoba mengemukakan implikasi yang mungkin bermanfaat di antarnya:
117
1. Perbankan Syariah Dengan adanya temuan bahwa pertumbuhan pembiayaan dan ukuran bank berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. Sementara itu, variabel makro yakni inflasi dan BI rate tidak berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM dengan tingkat kontribusi yang berbeda-beda. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk evaluasi perkembangan pembiayaan pada sistem Perbankan Syariah. Ukuran aset bank dapat digunakan untuk meningkatkan pengawasan terhadap rasio NPF dengan manajemen risiko yang efisien. Sehingga semakin besar suatu bank dapat memanfaatkan aset yang dimilikinya untuk mengontrol dan mengawasi pembiayaan yang disalurkannya. Disarankan agar pihak perbankan
syariah
pembiayaannya
terus
dengan
meningkatkan
bijak.
Baik
fungsi
sebelum
manajemen
maupun
sesudah
pembiayaan disalurkan pada sektor UKM dengan memanfaatkan sistem informasi yang memadai. Di samping itu dalam menjalankan manajemen risikonya, pihak perbankan syariah juga disarankan untuk turut serta memperhatikan kondisi pasar dengan merespon kebijakan yang dikeluarkan oleh bank sentral agar bank-bank syariah dapat terus bersaing di tengah konsumen yang heterogen. 2. Bagi Nasabah Debitur Implikasi bagi debitur sektor UKM pada khususnya adalah debitur sektor UKM harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi
118
kelancaran bisnis dalam rangka memenuhi kewajibannya untuk membayarkan angsuran dari pembiayaan yang telah disalurkan. Dan disarankan agar menjauhi perilaku moral hazard yang berpotensi merugikan pihak perbankan syariah selaku pemberi pembiayaan. Disarankan pula bagi pihak debitur agar memilih skim pembiayaan yang tepat dan sesuai dengan karateristik bisnis dan kapasitas kemampuannya mengelola sumber dana agar tidak terjadi default atau pembiayaan yang tergolong bermasalah. 3. Bagi Akademisi Penelitian ini akan menambah kepustakaan di bidang manajemen khususnya perbankan dan dapat dijadikan bahan bacaan untuk menambah wawasan dan pengetahuan, khususnya tentang manajemen risiko dan manajemen pembiayaan pada perbankan syariah. Untuk peneliti selanjutnya sebaiknya memperbanyak jumlah variabel moneter, misalnya: kurs, harga minyak dunia, PDB dan lainnya. Selain itu bisa dengan
menambah
variabel
spesifikasi
bank
seperti
struktur
kepemilikan, kebijakan jenis pembiayaan, indikasi moral hazard dan lainnya.
119
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul. “Dasar Dasar Manajemen Bank Syariah”, Azkia Publisher, Jakarta, 2009. Cahyo, Duwi Mario. “Analisis Pengaruh Inflasi, Suku Bunga Kredit, dan Nilai Tukar terhadap Kredit Bermasalah Sektor Industri pada Perbankan Indonesia”, Skripsi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. El Tiby, Amr Mohammed. “Islamic Banking: How to Manage Risk and Improve profitability”, Willey Finance, New Jersey, 2011. Ghozali, Imam, “Aplikasi Analysis Multivariate dengan program IBM SPSS 19”, Edisi ke 5, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011. Greuning, Hennie Van, dan Zamir Iqbal. “Risk Analysis for Islamic Banks”, The World Bank, Washington DC, 2008. Gujarati, Damodar. “Ekonometrika Dasar”, Erlangga, Jakarta, 2006. Hakan, Etem, Ergec, dan Bangil Gulumser. “Impact of Interest Rate on Islamic and Conventional Banks: The Case of Turkey”, MPRA Paper No. 29848, Turkey, 2012. Hogart, Glenn. Steffen Sorensen, dan Lea Zicchino. “Stress tests of UK banks using a VAR approach”, Working Paper no. 282, ISSN 1368-5562, England, 2005. Imaduddin, Muhammad. “Determinants of Banking Credit Default in Indonesia: a Comparative Analysis”, Journal of Markfield Institute of Higher Education (Loughborough University) United Kingdom, 2006. Jakubik, Petr. “Macroeconomic Environment and Credit Risk”, Jurnal. Czech National Bank, and the Institute of Economic Studies of Charles University, Prague, 2007.
120
Karim, Adiwarman A. “Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan”, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Kasmir. “ Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya”, Rajawali Press, Jakarta, 2008. Khemraj, Tarron dan Sukrishnalall Pasha. “The determinants of non-performing loans: an econometric case study of Guyana”, Jurnal. Guyana, 2006.
Maski, Ghozali. “Analisis Keputusan Nasabah Menabung: Pendekatan Komponen dan Model Logistik Studi pada Bank Syariah di Malang”, Jurnal. Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2012.
Minnan, Ahmad Abdul Jalil “Pengaruh Makro Ekonomi terhadap Kinerja Keuangan PT Bank Muamalat Indonesia”. Tesis (Magister) program Pasca Sarjana Timur Tengah dan Islam FE UII, 2008.
Putong, Iskandar. “Ekonomi Mikro dan Makro “, Edisi kedua. Penerbit Ghala Indonesia, Jakarta, 2002. Rahardja, Pratama dan Mandala Manurung.
“Pengantar Ilmu Ekonomi”,
LPFEUI, Jakarta, 2008. Rajan, Rajiv dan Sarat Chandra Dhal. “Non Performing Loans and Terms of Credit Public Sector Banks in India: an Empirical Assesment”, Reserve Bank of India Occasional Papers Vol. 24, No. 3, India, 2003. Rose, Peter S. “Commercial Bank Management”, Mc Graw Hill, New York , 2002. Saba, Irum, Rehana Kouser, dan Muhammad Azeem, “Determinants of Non Performing Loans: Case of US Banking Sector”, The Romanian Economic Journal. Year XV no. 44. Rumania. 2012. Siamat, Dahlan. “Manajemen Lembaga Keuangan”, Edisi ke 5, Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta, 2005.
121
Siregar, Mulya. “Agenda Pengembangan Perbankan Syariah Untuk Mendukung Sistem Ekonomi yang Sehat di Indonesia: Evaluasi, Prospek, dan Arah Kebijakan”, IQTISAD Journal of Islamic Economics Vol. 3, No. 1, Jakarta, 2002. Sugiyono, “Statistika untuk penelitian”, CV Alfabeta, Bandung, 2008 Sukirno, Sadono. “Pengantar Teori Ekonomi Makro”, Rajawali Press, Jakarta 2004. Supriyatna, Iqbal. “Analisis pengaruh Modal,NPF, dan Inflasi terhadap Pembiayaan yang disalurkan serta implikasinya terhadap Return on Aset (ROA) pada perbankan syariah (Studi Kasus pada Bank Muamalat)” Skripsi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Sutojo, Siswanto. “Menangani Kredit Bermaslah Konsep dan Kasus”, PT Damar Mulia Pustaka, Jakarta, 2008. Swamy, Vighneswara. “Impact of macroeconomic and endogenous factors on non performing bank assets”, International Journal of Banking and Finance Volume 9 Issue 1, India, 2012. Tampubolon, Robert. “Manajemen Risiko Pendekatan Kualitatif untuk Bank Komersial”, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2004. Usman, Husaini dan Purnomo Setiady. “Pengantar Statistika”, Bumi Aksara, Jakarta, 2006.
----------, “Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2009”. Bank Indonesia, Jakarta, 2009. ----------, “Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2010”. Bank Indonesia, Jakarta, 2010. ----------, “Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2011”. Bank Indonesia, Jakarta, 2011.
122
----------, “Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2012”. Bank Indonesia, Jakarta, 2012. http//: www.bi.go.id/statistikkuangan http//: www.bps.go.id
123
Lampiran 1: Data-data variabel penelitian dari tahun 2009-2012
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Waktu
Jan-09 Feb-09 Mar-09 Apr-09 Mei-09 Jun-09 Jul-09 Agt-09 Sept-09 Okt-09 Nov-09 Des-09 Jan-10 Feb-10 Mar-10 Apr-10 Mei-10 Jun-10 Jul-10 Agt-10 Sept-10 Okt-10 Nov-10 Des-10 Jan-11 Feb-11 Mar-11 Apr-11 Mei-11 Jun-11 Jul-11 Agt-11 Sept-11 Okt-11 Nov-11 Des-11 Jan-12 Feb-12 Mar-12 Apr-12 Mei-12
NPF UKM Y (%) 2.754 3.416 3.442 3.557 3.173 2.782 3.509 3.559 3.735 3.609 3.595 3.436 3.693 3.845 3.225 3.638 3.872 3.082 3.455 3.477 3.346 3.330 3.459 2.675 2.719 2.990 2.970 3.107 3.097 2.895 3.078 2.935 3.039 2.805 2.277 2.084 2.236 2.322 2.184 2.230 2.293
Inflasi
BI Rate
G Fin
Asset Bank
X1 (%)
X2 (%)
X3 (%)
X4 (Rp)
0.07 0.21 0.22 -0.31 0.04 0.11 0.45 0.56 1.05 0.19 -0.03 0.33 0.84 0.30 -0.14 0.15 0.29 0.97 1.57 0.76 0.44 0.06 0.60 0.92 0.89 0.13 -0.32 -0.31 0.12 0.55 0.67 0.93 0.27 -0.12 0.34 0.57 0.76 0.05 0.07 0.21 0.07
8.25 7.75 7.5 7.25 7.00 6.75 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 6.75 6.75 6.75 6.75 6.75 6.75 6.75 6.75 6.50 6.00 6.00 6.00 5.75 5.75 5.75 5.75 5.75
0.412 0.017 0.012 0.011 0.025 0.036 0.015 0.025 0.014 0.016 0.011 0.025 0.005 0.028 0.036 0.029 0.030 0.048 0.033 0.046 0.012 0.033 0.047 0.034 0.023 0.025 0.039 0.020 0.038 0.051 0.023 0.071 0.025 0.043 0.027 0.033 -0.010 0.020 0.052 -0.003 0.037
51.814.000.000.000 52.152.000.000.000 51.678.000.000.000 52.212.000.000.000 53.194.000.000.000 55.238.000.000.000 55.610.000.000.000 57.012.000.000.000 58.034.000.000.000 59.679.000.000.000 61.359.000.000.000 66.090.000.000.000 67.436.000.000.000 67.963.000.000.000 68.543.000.000.000 70.146.000.000.000 71.125.000.000.000 75.205.000.000.000 78.140.000.000.000 79.641.000.000.000 83.454.000.000.000 85.881.000.000.000 90.387.000.000.000 97.519.000.000.000 95.473.000.000.000 95.987.000.000.000 191.189.000.000.000 100.568.000.000.000 104.333.000.000.000 109.750.000.000.000 112.864.000.000.000 116.807.000.000.000 123.362.000.000.000 127.150.000.000.000 132.462.000.000.000 145.467.000.000.000 143.888.000.000.000 145.624.000.000.000 151.862.000.000.000 144.275.000.000.000 147.543.000.000.000
124
No
Waktu
42 43 44 45 46 47 48
Jun-12 Jul-12 Agt-12 Sept-12 Okt-12 Nov-12 Des-12
NPF UKM Y (%) 2.228 2.189 2.119 1.894 1.774 1.703 1.397
Inflasi
BI Rate
G Fin
Asset
X1 (%)
X2 (%)
X3 (%)
X4 (Rp)
0.62 0.70 0.95 0.01 0.16 0.07 0.54
5.75 5.75 5.75 5.75 5.75 5.75 5.75
0.042 0.028 0.033 0.043 0.040 0.035 0.051
155.412.000.000.000 155.666.000.000.000 161.534.000.000.000 168.660.000.000.000 174.094.000.000.000 179.871.000.000.000 195.015.000.000.000
125
Lampiran 2: Tabel Model Regresi, Anova, dan Koefisien
Model Summary Std. Error of the Model
R
R Square .863a
1
Adjusted R Square
.745
Estimate
.721
.338435
a. Predictors: (Constant), LNX4, INFLASI, G FIN, BI RATE
ANOVAb Model 1
Sum of Squares Regression Residual Total
df
Mean Square
14.354
4
3.589
4.925
43
.115
19.279
47
F 31.330
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), LNX4, INFLASI, G FIN, BI RATE b. Dependent Variable: NPF UKM
126
Lampiran 3: Uji Normalitas
127
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N Normal Parameters
48 a
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
.0000000 .00299264
Absolute
.073
Positive
.073
Negative
-.055
Kolmogorov-Smirnov Z
.503
Asymp. Sig. (2-tailed)
.962
a. Test distribution is Normal.
128
Lampiran 4: Uji Multikolinieritas dan Autokorelasi
Uji Tolerance & VIF Coefficients
Model 1
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B (Constant)
Std. Error
6.029
1.744
INFLASI
.065
.124
BI RATE
.269
G FIN Ukuran Bank
a
Collinearity Statistics
Beta
t
Sig.
Tolerance
VIF
3.456
.001
.041
.526
.601
.964
1.037
.158
.231
1.703
.096
.322
3.108
-3.174
1.015
-.284
-3.128
.003
.721
1.387
-1.041
.185
-.689
-5.616
.000
.395
2.535
a. Dependent Variable: NPF UKM
Uji DW b
Model Summary
Model 1
R
R Square .826
a
.682
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate .635
.08876
Durbin-Watson 1.864
a. Predictors: (Constant), LNX4B, LNX1B, LNX3B, LNX2B b. Dependent Variable: LNYB
129
Lampiran 5: Uji Heterokedatisitas
Uji Park Coefficientsa Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error -32.294
20.221
LNX1
.122
.295
LNX2
8.696
LNX3 LNX4
Coefficients Beta
t
Sig.
-1.597
.119
.068
.413
.682
7.105
.360
1.224
.229
-.455
.583
-.146
-.782
.440
.425
1.470
.087
.289
.774
a. Dependent Variable: LNRES_2
130