“STATUS ANAK DI LUAR NIKAH” (Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn Tentang Pengesahan Anak Di Luar Nikah)”. SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 ( S.1 ) Dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh: ALFIAN QODRI AZIZI NIM : 0 6 2 1 1 1 0 01
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
Drs. H. Eman. Sulaeman, M.H. Tugurejo A. 3 Rt. 02./Rw. 01 Tugu Semarang Nur Hidayati Setyani, S.H, M.H. JL. Merdeka Utara 1/B.9 Ngaliyan Semarang PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 Naskah eks Hal : Naskah Skripsi An. Sdr. Alfian Qodri Azizi Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Assalamu’alaikum Wr.Wb Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini kami kirimkan naskah skripsi Saudara : Nama NIM Jurusan Judul Skripsi
: Alfian Qodri Azizi : 062111001 : Ahwal al-Syakhsiyyah : “STATUS ANAK DI LUAR NIKAH” (Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn Tentang Pengesahan Anak Di Luar Nikah)”.
Dengan ini kami mohon kiranya skripsi mahasiswa tersebut dapat segera dimunaqosahkan. Demikian harap menjadi maklum. Wassalamu’alaikum Wr.Wb Semarang, 20 Juli 2011
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Eman. Sulaeman, M.H. NIP. 196 50605 199203 1 001
Nur Hidayati Setyani, S.H, M.H.
ii
NIP. 196 70320 199303 2 001
KEMENTERIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARI’AH Alamat : Jl. Prof. Dr. Hamka Km.2 Ngaliyan Kampus III Telp/Fax : 024-7614454 Semarang 50185
PENGESAHAN Nama NIM Jurusan Judul Skripsi
: Alfian Qodri Azizi : 062111001 : Ahwal al-Syakhsiyyah : “STATUS ANAK DI LUAR NIKAH” (Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn Tentang Pengesahan Anak Di Luar Nikah)”.
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup, pada tanggal : 23 DESEMBER 2011 Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S.1) dalam Ilmu Syari‟ah tahun akademik 2010/2011. Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Dr. H. Imam Yahya, M. Ag. NIP. 19700410 199503 1 001
Nur Hidayati Setyani, S. H, M. H NIP. 196 70320 199303 2 001
Penguji I
Penguji II
Prof. Dr. H Ahmad Rofiq, M.A. NIP.19590714 198603 1 004
Drs. Sahidin, M. Si. NIP. 19670321 199303 1 005
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Eman. Sulaeman, M.H. NIP. 196 50605 199203 1 001
Nur Hidayati Setyani, S.H, M.H. NIP. 196 70320 199303 2 001
iii
MOTTO
Artinya: “Allah Akan Meninggikan Orang-Orang Yang Beriman Di Antaramu Dan Orang-Orang Yang Diberi Ilmu Pengetahuan Beberapa Derajat. Dan Allah Maha Mengetahui Apa Yang Kamu Kerjakan”.
iv
PERSEMBAHAN Alhamdu Lillahi Rabbil „Alamiin , berkat do‟a dan segenap asa nan suci teruntuk mereka yang arif, maka skripsi ini penulis persembahkan sebagai ungkapan syukur kepada Allah dan tali kasih pada hambanya, kepada:
Orang
tuaku, ayahanda tercinta Drs. H Ali Mas‟ad. yang selalu menjadi
inspirasi kebijaksanaan dalam tutur dan laku penulis. Ibunda tercinta Hj. Sri Hastuti, S. Pd. yang tak pernah lelah memberikan motivasi wejangan, doa, cinta, kasih sayang laksana surya dan bak lautan kesabaran yang tak pernah kering dalam mendidik serta senantiasa mengharapkan kesuksesan untuk putra-putrinya. Ta‟dzimku teruntukmu ayah dan bunda. Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.
Adik-adikku
tersayang, Ulfi Azizah dan Ulfiana Qodri‟ah, yang selalu
mengingatkan ku akan tanggung jawab dan arti sebuah cita-cita yang luhur.
Guru-guruku di seluruh jenjang pendidikan yang telah mendidik dengan tulus ikhlas, mengajari ku untuk tekun belajar dan memberikan do‟a mengiring setiap jejak langkah ku dalam mencari kelezatan ilmu yang penuh barokah.
Semua sahabat-sahabat ku yang berjihad dengan kearifan ilmu-Nya dan telah andil dalam mengarahkan penulis ketika penyusunan skripsi ini.
Thank’s to all yang telah menjadi sandaran dan penyejuk hatiku terima kasih atas segala dukungan, pengertian, dan motivasinya selama ini. Semoga Allah SWT selalu menyertai kalian semua.
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain kecuali
informasi
yang
terdapat
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 25 Juli 2011 Deklarator
Alfian Qodri Azizi 062 111 001
vi
dalam
ABSTRAK
KHI menjelaskan bahwa anak dari hasil hubungan luar nikah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Kondisi yang demikian itu, kontradiktif dengan UU perlindungan anak No 23 tahun 2002 yang mengatur hakhak anak atas kesejahteraan oleh kedua orang tuanya bukan ibunya saja. Terjadi bias gender pada Konsep hukum Islam (Fiqh), anak luar nikah (zina) menjadi tanggung jawab ibunya dengan hanya bernasab pada ibunya saja, sehingga secara yuridis gugur kewajiban ayahnya untuk memberikan nafkah, warisan dan menjadi wali anak tersebut. Dalam praktek beracara, penulis menjumpai adanya perkara pengakuan anak register Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman yang mampu menjawab persoalan mengenai perlindungan anak di luar nikah, dengan tetap menjaga amanat UU No 23 tahun 2002. Pada perkara tersebut, seorang laki-laki ingin mengakui anaknya yang lahir akibat hubungan seksual pranikah sehingga memperoleh hubungan nasab (keperdataan) dengan dirinya. Berdasarkan pemaparan di atas, pokok masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah Putusan Pengakuan Anak Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman?. Bagaimanakah Analisis Menurut Hukum Islam Mengenai Perkara Permohonan Pengakuan Anak Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman? Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu dilakukan sebuah penelitian, sedangkan metode yang digunakan oleh penulis yaitu dengan library research. Data primer yang digunakan adalah dokumen-dokumen register dan berkas perkara Pengadilan Agama (PA) Sleman (yakni putusan Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/Pa.Smn Tentang Perkara Pengakuan Anak Tahun 2006.), sedangkan data sekunder adalah semua bahan informasi yang berkaitan dengan pokok bahasan dalam skripsi ini. Data-data yang terkumpul disusun dan disistematisir dan selanjutnya dianalisis dengan pendekatan ushul fiqih dan metode deskriptif analisis. Setelah pembahasan dilakukan, peneliti mempunyai kesimpulan bahwa putusan terebut semata-mata bertujuan untuk memberikan perlindungan secara aktif-ofensif terhadap jiwa anak (hifzh an-Nafs) yang lahir di luar nikah. Meskipun sang anak tidak ada hubungan nasab dengan ayahnya, namun majelis hakim mewajibkan ayahnya secara hukum untuk memberikan nafkah sampai anak tersebut dewasa. Dengan tujuan ke-maslahat-an anak, agar memperoleh kasih sayang, perawatan dan pendidikan dari ayah dan ibunya secara utuh kepada anak tersebut. Majelis hakim menetapkan keputusan tersebut berlandaskan kaidah:“Hukum itu mengikuti ke-maslahat-an yang ada” ( الحكم يتبع المصلحة )الراجحةkemudian dimanifestasikan dari konsep maslahah mursalah kepada perlindungan anak luar nikah, sehingga mencerminkan hukum Islam yang mampu untuk menjawab permasalahan ummat sesuai dengan tuntutan zaman (sahih li kulli zaman wa makan).
vii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmannirrahim, Segala puji bagi Allah SWT. Yang senantiasa menerima taubat hambahamba-Nya yang ingin kebijakan, kedamaian, dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Sesungguhnya tiada kasih yang melebihi kasih Allah. Tiada perhatian yang mengungguli perhatian Allah. Adalah hamba yang bodoh bila tak tahu berterima kasih atas segala kemurahan dan karunia-Nya. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah untuk baginda Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya. Bagi penulis, penyusunan skripsi merupakan tugas yang tidak ringan. Tak terlepas dari segala keterbatasan penulis, dengan niat dan tekad yang bulat akan kerja keras yang tidak akan pernah putus untuk menjinakkan waktu. Selaras dengan semangat optimisme bahwa “sesungguhnya Allah akan memberikan kelapangan dari setiap kesulitan” merupakan bekal ampuh untuk menghadapi ribuan rintangan yang selalu menghadang, Suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis dapat menyelesaikan skripsi yang merupakan tugas pamungkas setelah di godok dalam kawah candra dimuka Institusi IAIN Walisongo. Namun demikian penulis sangat menyadari bahwa hal tersebut tidak akan terwujud dengan baik manakala tidak ada dukungan moril yang telah penulis terima dari berbagai pihak. Oleh sebab itu atas segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya dengan tulus kepada:
viii
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag Selaku Rektor IAIN Walisongo, Drs. H. Machasin, M.Si selaku PR II, Prof. Dr. H. Erfan Soebahar, M.Ag selaku PR III. 2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang. Bapak Abdul Ghofur M.Ag selaku PD I, Bapak Saifullah M.Ag selaku PD II, Bapak Arif Budiman M.Ag selaku PD III. 3. Bapak Drs. H. Eman. Sulaeman, M.H.selaku pembimbing I, serta Ibu Nur Hidayati Setyani, S.H, M.H. Selaku pembimbing II, yang telah bersedia membimbing dalam proses penulisan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan motivasinya, serta saran-sarannya hingga skripsi ini selesai. Dari revisirevisinya, penulis juga bisa mengerti banyak hal tentang bagaimana menulis dengan baik dan juga mengetahui tentang dunia hukum, baik hukum positif maupun hukum Islam serta bahasan-bahasan lainnya. sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak jasa Bapak dan Ibu pembimbing sulit untuk penulis lupakan. 4. Ibu Anthin Lathifah M.Ag selaku Kepala Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah dan Ibu Nur Hidayati Setyani, S.H., M.H., selaku Sekretaris Jurusan Ahwal AlSyakhsiyah, selamat atas terpilihnya ibu “mengepalai” AS dan semoga bisa mengemban amanah dengan baik. Semoga Jurusan AS semakin lebih maju dan lebih baik tentunya. 5. Segenap Dosen Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang terima kasih yang tak terhingga atas bekal ilmu pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah sekaligus penulisan skripsi ini.
ix
6. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan IAIN Walisongo dan Perpustakaan Fakultas Syariah, terimakasih banyak atas pinjaman bukunya Pak. 7. Seluruh Keluarga Besar PMII Rayon Syari‟ah dari LMB, Senior, kader-kader wabil khusus demisioner pengurus PMII Rayon Syari‟ah periode 2008-2009. Taufiq, Nikmah, Ubed, Ani “Komting”, Hima, Ani “Bendum”, Uswatun, Tamam, Yayan , Abdullah Sambengudin, Zama‟, Hambali, Elly, ahnafVia dll you’re the best my friends. Dan terimakasih juga untuk Adik-adikku pengurus Rayon Syariah 2009, 2010, 2011 dan seterusnya “Revolusi Never Ending” 8. Demisioner Pengurus PMII Komisariat Walisongo 2009. Sahabat Naryoko, Rofiq, Arifin, Supri “Nggacuk”, Pidul, Uplik, Intan, Inta‟dll. Tetap semangat sahabat “Tangan Terkepal Dan Maju Ke Muka”. 9. Rian, Nufus, Sofil, Ambon, Mei risti, Tony lurah PKM dll. Selaku pengurus SEMA Fakultas Syari‟ah yang selalu setia berjuang bersama pada masa Bhakti 2009-2010 10. Pengurus DEMA 2010, si Zaki Jeknong, Trio Batang: Arifuddin, Tabi‟in, Coco, Arifin, Nisa‟, dll. Pengurs SMI 2010 Rofiq dkk. “Maju Terus Pantang Mundur”. 11. Senior-senior PMII, Mas Ricard, Mas Saifuddin, Mas Gupong, Mbak Evi, Mbak Ovi, Mas Iman, Mbak Viroh, Mas Qosim (Al-Khos), Mas Koyin, Mas Yoni, Tomy, Jigug, Rif‟an, Rifa‟i, Hamdani, Ro‟uf, Faizin, Sodiq, Novi, Agus, Ikha‟ dll. Terima kasih telah memberikan penulis arti tentang kehidupan kampus.
x
12. Teman-teman satu angkatan 2006 Jurusan AS A, Khairul Anam, Suyanto, Mughni, Misbahul Huda, Galih Gendut, Tamam, Syaifuddin Blenko, Khanif dan Isnan. Women‟s AS A 06„: Ani, Nailul, Irma, Leni, Inayah, Nikmah kalian semua tidak akan terlupakan, Jadi kangen kumpul-kumpul bareng lagi. 13. “Bolo-Bolo” KOS KORUT 122, Husein, Aqil, Juki, David, Arif Jundan, Shirot, Inul, Heri Lukman kekocakan dan kepeko‟an kalian tidak pernah aku lupakan. 14. Thanks to: semua Santri-Santri
dan Ustadz Ponpes Roudhotul Tholibin
Bendan Kudus khususnya kepada abah kyai H. Minan Zuhri Alm, TemenTemen Alumni MAN 2 kudus angkatan 2003, Rencang-Rencang KMPP, konco-konco sinau Ahnaf, Ridho, Arif, Anam , adib dll. Maz Tedy, Maz Iman Fadhillah, Kakek Ibnu Tolkhah, seluruh litbang dan segenap pengurus Wadyabala Justisia ”Melintas Batas Melanggar Etika”. 15. Dan Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga amal baik dan keikhlasan yang telah mereka perbuat menjadi amal saleh dan mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT, Amin. Penulis sadar atas kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif demi kesempurnaan skripsi ini Semarang, 25 Juli 2011 Penulis,
Alfian Qodri Azizi 062111001 xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................
v
HALAMAN DEKLARASI .......................................................................
vi
HALAMAN ABSTRAK ...........................................................................
vii
KATA PENGANTAR ...............................................................................
xi
DAFTAR ISI .............................................................................................
Xie
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Rumusan Masalah ....................................................................
9
C. Tujuan Penelitian ......................................................................
9
D. Telaah Pustaka .........................................................................
9
E. Metode Penelitian .....................................................................
12
F. Sistematika Penulisan ...............................................................
15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN DI LUAR NIKAH A. 1. Pengertian Anak.....................................................................
18
2. Definisi Anak Sah ...............................................................
21
3. Status atau Kedudukan Anak Sah ........................................
30
B. 1. Definisi Anak Luar Nikah......................................................
33
2. Kriteria Anak Luar Nikah ...................................................
39
3. Kedudukan Anak Luar Nikah..............................................
41
C. 1. Pengertian Pengakuan Anak ................................................
42
2. Objek Permasalahan Pengakuan Anak Dalam Islam............
47
3. Sistem Pengakuan Anak.........................................................
52
xii
4. Implikasi Pengakuan Anak.....................................................
58
D. Pengesahan Anak Luar Nikah......................................................
59
BAB III PUTUSAN DI PENGADILAN AGAMA SLEMAN NOMOR: 408/Pdt.G/2006/PA. Smn A. Sejarah Pengadilan Agama Sleman ..........................................
64
B. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Sleman ....................
75
C. Visi dan Misi Pengadilan Agama Sleman .................................
80
D. Deskripsi Putusan Perkara Nomor: 408/Pdt.G/2006/Pa.Smn Tentang Permohonan Pengakuan Anak .....................................
83
BAB IV : ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SLEMAN NOMOR 408/PDT.G/ 2006/PA.SMN TENTANG PENGESAHAN ANAK DI LUAR NIKAH A. Analisis Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengesahan Anak Di Luar Nikah Dalam Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman..............................................................................
92
B. Analisis Istinbat Hukum Hakim Mengenai Pengesahan Anak Di Luar Nikah Dalam Putusan Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman.........................................................
110
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................. 133 B. Saran-Saran .............................................................................. 134 C. Penutup .................................................................................... 136 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan media untuk mencapai tujuan Syari‟at Islam yang salah satunya adalah bentuk aktif-ofensif perlindungan keturunan (hifzh an-nasl), demi melestarikan keturunan dan menghindari kesyubhatan (tercemar) dalam penentuan nasab. Oleh karena itu, penyaluran nafsu biologis manusia harus dengan batas koridor agama, sehingga terhindar dari perangkap perbuatan mesum atau zina di luar pagar pernikahan. 1 Bahkan Rasulullah Saw. mendorong untuk menikah bagi kaum muda yang tak mampu mengendalikan dorongan biologisnya, dengan sabdanya :
Artinya : “Dari Yahya bin Yahya at-Tamimi dan abu Bakar bin abi Syaibah dan Muhammad bin al-„Ala‟i al-Mahdaniy semunya dari abi Muawiyyah (sedangkan lafaznya dari yahya). Telah mengabarkan 1
Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal,Yogyakart; LKiS, 2004, hlm. 86 2 Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya‟ at-Turats al-„Arabi, t.th, hlm. 1018.
1
2
kepada kita abu Muawiyyah dari A‟masy dai Ibrahim dari „alQomah berkata: kemarin saya dengan „Abdillah di kota Mina maka Utsman menemuinya kemudian bersamanya mengabarkan maka berkata Utsman kepada „Abdillah: wahai bapaknya Abdurrahman, adakah kita telah menikahkan kamu dengan Jariyah Syabbah semoga dia mengingatkan kamu kepada sebagian perkara yang telah berlalu dari zaman mu. Maka Abdullah berkata: Apabila kamu telah berbicara seperti itu telah berbicara kepada kita Rasulullah Saw: Wahai pemuda, barang siapa di antara kalian sudah mampu untuk menikah, nikahlah, karena nikah itu dapat mengendalikan mata (yang jalang) dan memelihara kesucian kehormatan (dari berzina), dan barang siapa yang belum siap, hendaknya ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi obat (dari dorongan nafsu)” (H.R. Bukhari Muslim).3( HR. Muslim) Status anak dalam hukum keluarga dapat dikategorisasikan menjadi dua macam yaitu: anak yang sah dan anak yang tidak sah. Pertama, Definisi mengenai anak sah diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 pada Pasal 42 yang berbunyi: “ Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.4 Sedangkan perkawinan yang diakui di Indonesia ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, dan di catat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku Pasal 2 UU No.1 tahun 1974.5 Dalam pandangan fikih anak yang dianggap sah, jika terjadi dalam perkawinan antara suami dan istri yang sah dan kelahiran anak tersebut sesuai dengan batas minimal kehamilan. Jumhur ulama‟ menetapkan batas minimal kehamilan adalah selama 6 bulan. Dasarnya adalah firman Allah surah alAhqaf ayat 15 3
Baca lebih lanjut: Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta; kencana, 2009, hlm 42-44 4 Tim Penyusun: Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Departemen Agama R.I Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000 hlm. 125 5 Ibid, hlm 117
3
Artinya: mengandung dan menyapih itu selama tiga puluh bulan.6 Selanjutnya di dalam surah Luqman ayat 14 Allah SWT. Berfirman:
Artinya: Dan kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandung dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukur kepada-Ku lah kembalimu. 7 Pada surah al-Ahqaf tersebut menjelaskan secara kumulatif, jumlah mengandung dan menyapih yaitu 30 (tiga puluh) bulan. Sedangkan dalam surat Luqman menerangkan batas maksimal menyapih adalah 2 tahun (24 bulan). Jadi masa hamil yang paling sedikit adalah 30 bulan dikurangi 24 bulan sama dengan 6 bulan.8 Apabila terjadi perkawinan antara suami dan istri secara sah, kemudian istri mengandung dan melahirkan anaknya, suami dapat mengingkari kesahan anak itu apabila: a. Istri melahirkan anak sebelum masa kehamilan b. Istri melahirkan anak setelah batas waktu maksimal masa kehamilan dari masa perceraian. 9
6
Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa‟ud, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da‟wah Dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia. hal. 824 7 Ibid, hlm. 654 8 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta; Rajawali Pers, 1998, hlm. 224 9 Faturrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya: Problematika Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari AZ (pd), Jakarta; firdaus, 1999 hlm.109
4
Menurut hukum perdata seorang anak sah (wetig kind) ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya, sehubungan dengan itu, Undang-undang
telah menetapkan bahwa tenggang waktu
kandungan seseorang paling lama adalah 300 hari dan paling pendek adalah 180 hari. Maka anak yang dilahirkan sebelum lewat 180 hari setelah hari perkawinan, suami berhak menyangkal sahnya anak itu. Kecuali, jika ia sudah mengetahui bahwa istrinya mengandung sebelum pernikahan dilangsungkan atau jika suami hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran dan surat kelahiran itu turut ditandatanganinya. Dalam hal tersebut sang suami dianggap telah menerima dan mengakui anak yang lahir itu sebagai anaknya sendiri. 10 Begitu juga jika seorang anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan orang tuanya dihapuskan, maka anak itu merupakan anak yang tidak sah. Kedua, Anak hasil hubungan di luar nikah dalam pandangan Islam disebut dengan istilah anak zina (walad al-zina),11 anak tabi‟y atau anak li‟an dan dianggap sebagai anak yang tidak sah.12 Sedangkan dalam KUH perdata (Burgelijk Wetboek) anak tersebut dinamakan “naturlijk kind” anak itu dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya. Anak dari hasil hubungan luar nikah tersebut menjadi problematika hukum tersendiri atas kedudukannya dalam hal keperdataannya. Menurut 10
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet ke 31, Jakarta: Inter Massa, 2003 hlm 49 Secara etimologis zina berasal dari bahasa Arab yang artinya persetubuhan di luar pernikahan. Dalam bahasa Inggris kata zina disebut sebagai fornication yang artinya persetubuhan di antara orang dewasa yang belum kawin dan adultery yang artinya persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan yang bukan suami istri dan salah satu atau keduanya sudah terikat dengan perkawinan dengan suami/istri lain. Baca lebih lanjut: Fadhel llahi, Zina, (terj), Qisthi Press, Jakarta; 2004, hal.7, Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi, Cet. Ke-2, Erlangga; Jakarta 1976, hal 49-51 12 Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah, Jakarta: 2004, hal. 49 11
5
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai sumber rujukan hukum umat Islam di Indonesia sekaligus referensi keputusan hukum di lembaga Pengadilan Agama menjelaskan:
13
Pada pasal 100 KHI berbunyi: ”Anak yang lahir di luar
hubungan perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.14 Maka, anak tersebut hanya ditetapkan sebagai anak dari seorang ibu. Secara tersurat di jelaskan pula pada Pasal 43 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Anak yang di lahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya ”.15 Di sinilah letak permasalahannya, di mana anak zina tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah kandungnya maka akan gugur dengan sendirinya segala kewajiban sang ayah yang merupakan hak dari sang anak. Oleh karena itu tanggung jawab atas keperluan anak, baik materiil maupun spiritual adalah ibunya dan keluarga ibunya saja, demikian pula halnya dengan hak waris mewarisi,
16
sang anak juga akan kehilangan haknya untuk mendapatkan wali
nasab pada saat pernikahan. Hal demikian dikarenakan dalam pandangan Islam anak di luar pernikahan atau anak zina dianggap sebagai anak yang tidak sah. Jika diamati kondisi yang demikian itu akan sangat kontra produktif dengan UU perlindungan anak No 23 tahun 2002. sebagaimana tercantum di bawah ini: 13
Amiur Nuruddin , Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU No 1/1974 Sampai KHI, Kencaran, Jakarta; 2006, hal. 29 14 Tim Penyusun: Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama R.I Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997. hlm. 48 15 Tim Penyusun : Bahan Penyuluhan Hukum, Op.Cit, hlm. 125 16 Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Op.Cit , hal. 50
6
Pasal 6 “Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.” Pasal 7 “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.” Pasal 9 “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya” Oleh karena itu sudah semestinya anak selaku tunas bangsa mendapat perlindungan secara hukum baik dari orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara. Sebagaimana diatur dalam Undang-undang yang mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan, yakni sebagai berikut: a. “Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan “(pasal 1 angka 32 PP No. 2 Tahun 1988) b. “Hak atas pemeliharaan dan perlindungan” (Pasal 2 ayat 3 Undangundang No. 4 Tahun 1979) c. “Hak mendapatkan pertolongan pertama” (Pasal 3 Undang-undang No. 4 Tahun 1979)17 d. “Hak memperoleh asuhan” (Pasal 4 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1979) Hal tersebut menimbulkan paradoks antara UU perlindungan anak No 23 tahun 2002 dengan No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Di satu sisi adanya perlindungan terhadap hak-hak anak, namun di sisi lain justru anak kehilangan haknya karena perbedaan status yang dianggap anak tidak sah disebabkan karena hubungan luar nikah ia menjadi kehilangan hubungan nasab (perdata) dengan sang ayah kandungnya. Akan tetapi ada salah satu alternatif solusi untuk mendapatkan hubungan nasab antara anak di luar pernikahan dengan ayah kandungnya, 17
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung; 2003 hal 80
7
yaitu dengan cara pengakuan anak. UU perdata mengatur adanya pengakuan anak pada pasal 280 K.U.H. Perdata, pengakuan itu cukup dilakukan dengan pernyataan sepihak dari laki-laki yang mengakui. Sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 281 K.U.H. Perdata, tidak ada syarat lain untuk menyepakati pengakuan anak itu dari siapa pun, bahkan jika ibu dari anak masih hidup ia harus menyetujuinya, “menyetujui” dalam arti “tidak keberatan”.Jadi, pengakuan tidak didasarkan atas suatu perjanjian. 18 KHI sendiri tidak mengatur secara tegas adanya pengakuan anak. Di dalam KHI hanya mengatur tentang asal usul anak, yang berbunyi: Pasal 103 (1) “Asal usul seorang anak yang hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.” (2) “Bila akta kelahiran tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan secara teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.” (3) “Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut maka instansi pencatatan kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Akan tetapi dalam praktek beracara, penulis menjumpai adanya perkara pengakuan anak di Pengadilan Agama Sleman. yang mampu menjawab persoalan mengenai perlindungan anak di luar nikah, dengan tetap menjaga amanat UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Hal tersebut terjadi karena sang suami ingin mengakui anaknya yang lahir atas hubungan seksual pranikah bersama istrinya sebelum ia menikah secara sah. Menurut perspektif fikih dan KHI anak tersebut tidak di nasabkan kepada 18
J Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, PT citra Aditya Bakti, Bandung; 2005 hal. 113-114
8
ayahnya. Begitu juga dalam akta kelahiran anak tersebut berstatus anak ibu. Setelah pernikahan yang sah, sang ayah mengajukan permohonan pengakuan anak di Pengadilan Agama Sleman tercatat dalam register Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn, kemudian majelis hakim memutuskan bahwa anak tersebut diakui sebagai anak dari pemohon secara syah, akan tetapi tidak memiliki hubungan nasab (keperdataan) dengan pemohon karena lahir di luar pernikahan yang sah. Namun, hakim mewajibkan pemohon selaku ayah biologisnya agar tetap memberikan nafkah dan perawatan sampai anak tersebut telah dewasa. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan tanggung jawab kepada pemohon yang terikat secara yuridis oleh keputusan hakim tersebut. Putusan tersebut menunjukkan adanya disparitas antara hukum fikih dan KHI yang menyatakan anak di luar nikah adalah anak tidak sah, anak hanya di nasabkan kepada ibunya secara hukum anak luar nikah itu hanya menjadi tanggung jawab sang ibu saja. Hal itu berarti ada hal yang bertolak belakang antara substansi KHI dan UUP No 1 Tahun 1974 dengan realitasnya penerapannya. . Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis bertujuan untuk mengkaji putusan di Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn Tentang Perkara Pengakuan Anak Tahun 2006 tersebut, kemudian penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul: “STATUS
ANAK DI LUAR NIKAH” (Studi Analisis Putusan Terhadap Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn Tentang Pengesahan Anak Di Luar Nika )”.
9
B. Rumusan Masalah Berpijak dari pembahasan judul tersebut, maka dapat ditarik pokok permasalahan yang akan menjadi fokus utama, adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengesahan Anak Di Luar Nikah Dalam Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman?
2.
Bagaimanakah Istinbat Hukum Hakim Mengenai Pengesahan Anak Di Luar Nikah Dalam Putusan Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman?
C. Tujuan Penulisan Skripsi Tujuan utama dalam pembahasan judul Skripsi ini, dapat dirumuskan sebagai berikut di bawah ini, yaitu : 1.
Untuk mengetahui Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengesahan Anak Di Luar Nikah Dalam Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman
2.
Untuk Istinbat Hukum Hakim Mengenai Pengesahan Anak Di Luar Nikah Dalam Putusan Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman
D. Telaah Pustaka Pada tahapan ini penulis mencari landasan teoritis dari permasalahan penilitiannya sehingga penelitian yang dilakukan bukanlah aktifitas yang bersifat “trial and error”. Dengan mengambil langkah ini pada dasarnya bertujuan sebagai jalan pemecahan permasalahan penelitian, dengan harapan
10
apabila peneliti mengetahui apa yang telah dilakukan oleh peneliti lain, maka peneliti lebih siap dengan pengetahuan yang lebih dalam dan lengkap. 19 Kegunaan telaah pustaka ini adalah untuk membantu pemilihan prosedur penelitian, mendalami landasan teori yang berkaitan dengan permasalahan, mengkaji kelebihan dan kekurangan peneliti terdahulu, menghindari duplikasi dan menunjang perumusan masalah. 20 Sumber telaah pustaka ini bisa berupa tulisan-tulisan ilmiah lainnya, antara lain: Skripsi karya Hamidah dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Gugatan Suami Dalam Mengingkari Keabsahan Anak Yang dilahirkan Istrinya Menurut Undang-Undang Hukum Perdata”. Dalam skripsi ini penulis menyoroti, apabila seorang anak lahir dalam usia kurang dari enam bulan, maka seorang suami berhak untuk mengingkari kelahiran anak tersebut. Dalam KUH Perdata seorang suami yang mengingkari keabsahan anak harus mengajukan tuntutan di muka pengadilan dengan disertai dengan bukti-bukti, kemudian menetapkan tentang sah tidaknya seorang anak adalah hakim, sedangkan dalam tinjauan hukum Islam penyelesaian seperti itu, sama halnya dengan penyelesaian perkara penuduhan zina, dengan menggunakan sumpah li`an sebagai penyelesaian persengketaan perkara tersebut. Sehingga dalam hukum Islam menetapkan bahwa lahirnya seorang anak akibat dari perbuatan
19
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-6, 2003, h. 112. 20 Achmad Arif Budiman, Metodologi Penelitian Ahwal al-Syakhsiyah dalam “Pelatihan Penelitian Hukum Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Sleman di Bandungan”, pada tanggal 10 Juli 2009
11
zina baik dilakukan oleh orang yang pernah menikah maupun belum itu tetap dinamakan zina dan kedudukan anak tersebut adalah tidak sah.21 Skripsi karya Sri Rahayu dengan judul “Studi
Analisis Tentang
Pendapat Asy Syafi‟i Mengenai Status Anak Hasil Wath‟i Subhat”. Dalam skripsi ini membahas tentang pendapat Imam Malik dan As-Syafi‟i yang menyebutkan bahwa jika seorang laki-laki mengawini seorang wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah pernah dikumpuli, waktunya adalah kurang dari enam bulan kemudian wanita itu melahirkan anak setelah enam bulan dari akad perkawinannya, bukan dari masa kumpulnya, maka anak yang lahir itu tidak dapat dipertalikan nasab kepada laki-laki yang menyebabkan mengandung. Perhitungan enam bulan itu dimulai dari waktu berkumpul dan bukan dari akad nikah.22 Skripsi yang ditulis oleh Inayah Yuniastani yang berjudul “Hasil Tes DNA (Deoxyrbonucleic Acid) Sebagai Alat Bukti Alternatif Dalam Jarimah Zina”. Dalam skripsi ini membahas tentang pandangan hukum Islam tentang penggunaan tes DNA sebagai alat bukti khususnya dalam Jarimah perzinaan, yang tidak terlepas dari Maqasid Asyyari‟ah melalui formulasi pembuktian dari alat bukti Qarinah. Otentisitas tes DNA sebagai alat bukti tidak diragukan lagi karena DNA diambil langsung dari yang terkait tanpa bisa di rekayasa hasilnya. Namun kedudukannya dalam hal penetapan hukum pada Jarimah zina yaitu hanya sebagai alat bukti sekunder. Walau demikian tes DNA mutlak
21
http:// 192.168.0.251/ go.php? =jptiain-gdl-sl-2004-khamidah3397 &q= tinjauan islam terhadap gugata suami, diakses tanggal 6 Februari 2011. Pukul: 20.03 Wib 22 http://192.168.0.251/go.php?=jtptiain-gdl-sl-2004-srirahayu2 14&q=sri rahayu, Diakses tanggal. 6 Februari 2011. Pukul: 20.00 Wib
12
dilaksanakan ketika alat bukti primer memiliki banyak kelemahan sehingga validitasnya diragukan.23 Dari deskripsi di atas nampak bahwa masalah yang akan penulis bahas mengenai “STATUS ANAK DI LUAR NIKAH” (Studi Analisis Putusan
Terhadap
Pengadilan
Agama
Sleman
Nomor
408/Pdt.G/
2006/PA.Smn Tentang Pengesahan Anak Di Luar Nika )”, berbeda dengan peneliti sebelumnya. Pada penulisan skripsi ini akan lebih menekankan apa saja yang menjadi dasar alasan majelis hakim Pengadilan Agama Sleman dalam memutus perkara pengakuan anak di luar nikah, juga akibat hukum yang terjadi bagi kedudukan anak luar nikah tersebut. E. Metode Penulisan Skripsi Pembahasan “Status Anak Di Luar Nikah Dalam Putusan Permohonan Pengakuan Anak Di Pengadilan Agama Sleman” merupakan penelitian dokumen yang sifatnya deskriptif–analisis, dalam arti data yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti akan dideskripsikan disertai analisa-analisa semaksimal mungkin kemampuan peneliti, sehingga diharapkan benar-benar valid. Adapun langkah kerja yang ditempuh adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dokumen (Library research), berupa studi dokumen Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/Pa.Smn Tentang Perkara Pengakuan
23
http://192.168.0.251/go.php?=jtptiain-gdl-sl-2006-inayahyuni 825&q = hasil tes DNA sebagai alat bukti, Diakses tanggal. 6 Februari 2011. Pukul: 20.02 Wib
13
Anak Tahun 2006 dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk menggali dan membangun suatu proposisi atau menjelaskan makna di balik realita. 24 2. Sumber Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber-sumber data sebagai berikut : a. Data Primer Data primer merupakan sumber data atau informasi yang digunakan untuk mengetahui berbagai ketentuan yang berkaitan dengan Pengakuan Anak dalam penelitian ini adalah dokumendokumen register dan berkas perkara Pengadilan Agama (PA) Sleman (yakni putusan Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/Pa.Smn Tentang Perkara Pengakuan Anak Tahun 2006.), dan hasil wawancara langsung dari majelis hakim yang bersangkutan. Adapun hasil wawancara sebagaimana terlampir. b. Data Sekunder Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data. Namun, data-data ini mendukung pembahasan dari penelitian ini. 25 Adapun sumber data sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah lain adalah UU.RI. No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, PP. No. 9 tahun 1975 tentang
24
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 124 25 Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT citra Aditya Bakti, cet.ke-4, 2008, hal 225
14
pelaksanaan UU.RI. No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Instruksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU perlindungan anak No 23 tahun 2002 dan peraturan-peraturan pemerintah lainnya yang terkait masalah ini. Ditambah dengan buku-buku, karya-karya ilmiah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan di atas. 3. Metode Pengumpulan Data a. Dokumentasi Salah satu metode yang digunakan untuk mencari data yang otentik yang bersifat dokumentasi dilakukan dengan cara mencari dan mempelajari data-data dari catatan-catatan, transkip, berkas, majalah, surat kabar dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini. 26 atau catatan penting lainnya. Adapun yang dimaksud dengan dokumen di sini adalah data atau dokumen dari Pengadilan Agama Sleman yang berupa dokumen register dan berkas perkara nomor Nomor 408/Pdt.G/ 2006/Pa.Smn Tentang Perkara Pengakuan Anak Tahun 2006 Putusan Pengadilan Agama Sleman b. Wawancara Wawancara adalah proses Tanya jawab yang berlangsung secara lisan yang mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-
26
Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 206.
15
keterangan. 27 Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Sleman dalam memutus perkara pengakuan anak yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam hal ini yang menjadi interviewed adalah Majelis Hakim Pengadilan Agama Sleman yang menangani perkara tersebut, Hakim Pengadilan Agama Sleman, Hakim Pengadilan Negeri Sleman dan Petugas Pencatatan Sipil dan Kependudukan Sleman 4. Metode Analisis Data Setelah semua data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data. Dalam skripsi ini penulis menggunakan deskriptif-analitis, yakni suatu penelitian yang bertujuan untuk menyorot objek penelitian secara utuh kemudian ditarik suatu generalisasi. 28 Dengan menggunakan metode ini, penulis berusaha menganalisa putusan pengakuan anak di Pengadilan Agama Sleman tahun 2006 dengan nomor perkara 408/Pdt.G/ 2006/Pa.Smn. Di samping menggunakan deskriptif analitis, penulis juga menggunakan analisis isi (content analysis), yaitu penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu objek yang diteliti. F. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk dapat memberikan gambaran secara luas dan memudahkan pembaca dalam memahami gambaran menyeluruh dari skripsi ini, maka 27
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta; PT. Bumi Aksara cet.ke-8, 2007, hal. 83 28 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (U.I. Press), 1986, hal. 250
16
penulis memberikan penjelasan secara garis besarnya, dalam skripsi ini dibuat sistematika penulisan skripsi sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Bab ini menggambarkan isi dan bentuk penelitian yang meliputi : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode penulisan skripsi, dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI LUAR NIKAH Dalam bab ini memuat ketentuan umum tentang Status Anak sah, Anak Luar Nikah, Pengakuan Anak di Luar Nikah dan pengesahan anak yang menguraikan tentang pengertian Anak, definisi anak sah, status atau kedudukan anak sah, definisi anak luar nikah, kriteria anak luar nikah, kedudukan anak luar nikah, pengertian pengakuan anak, objek permasalahan anak dalam Islam, implikasi pengakuan anak
BAB III
PUTUSAN
DI
PENGADILAN
408/Pdt.G/2006/PA.Smn
AGAMA
TENTANG
SLEMAN
NO.
PERMOHONAN
PENGAKUAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA SLEMAN Dalam bab ini meliputi profil Pengadilan Agama Sleman, yang menguraikan tentang sejarah Pengadilan Agama Sleman, struktur organisasi Pengadilan Agama Sleman, serta tugas dan wewenang Pengadilan Agama Sleman. Juga memuat deskripsi putusan
17
Pengadilan Agama Sleman tentang pengakuan anak, serta pertimbangan hukum hakim tentang pengakuan anak di Pengadilan Agama Sleman. BAB IV
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SLEMAN NOMOR 408/PDT.G/ 2006/PA.SMN TENTANG PENGESAHAN ANAK DI LUAR NIKAH Bab ini merupakan pemaparan dari Analisis Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengesahan Anak Di Luar Nikah Dalam Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman dan Istinbat Hukum Hakim Mengenai Pengesahan Anak Di Luar Nikah Dalam Putusan Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman
BAB V PENUTUP Penutup meliputi kesimpulan, saran-saran dan penutup.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI LUAR NIKAH A. Pengertian Umum Tentang Anak Sah 1. Pengertian Anak Anak menurut istilah hukum Islam adalah keturunan kedua yang masih kecil. 1 Sifat kecil kalau dihubungkan dengan perwalian, hak milik dan larangan bertindak sendiri, terbagi menjadi dua tingkatan yaitu: a. Kecil dan belum mumayyiz . Dalam hal ini, anak sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk bertindak sendiri. Segala perkataan dan perbuatannya tidak bisa dijadikan pegangan. jika anak tersebut membeli atau memberikan sesuatu kepada orang lain, perbuatannya tidak sah secara hukum. Oleh karena itu, segalanya berada di bawah tanggung jawab wali anak itu. b. Kecil dan sudah mumayyiz . Dalam hal ini, anak memiliki kemampuan untuk bertindak meskipun kemampuannya terbatas dan perkataannya sudah dapat dijadikan pegangan. Apabila ia membeli atau menjual sesuatu kepada orang lain tindakannya sudah dianggap sah.2 Anak dapat dikategorikan mumayyiz , biasanya telah mencapai usia 7 (tujuh) tahun dan anak tersebut telah mengerti akad transaksi secara 1
Abdul Aziz Dahlan, et al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, 1997,hlm.112 2 Zakariya Ahmad Al-Barry, Al-Ahkamul Aulad, alih bahasa Chadidjah Nasution, Hukum Anak-anak dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm.113
18
19
keseluruhan. Ia memahami maksud dari perkataan yang diucapkannya, bahwa membeli itu menerima barang sedang menjual itu memberikan barang. Anak itu juga mengerti tentang untung dan rugi. Jikalau usianya masih kurang dari tujuh tahun, maka anak itu hukumnya belum mumayyiz , walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah menjual dan membeli. Sebaliknya, terkadang anak sudah berusia lebih tujuh tahun akan tetapi masih belum mengerti tentang jual-beli dan sebagainya, maka belum dapat dikategorikan mumayyiz .3 Hukum kecil terhadap seorang anak tetap berlaku sampai anak itu dewasa. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 6 yakni:
Artinya: “Dan hendaklah kamu menguji anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, kemudian jika kamu berpendapat bahwa mereka sudah cerdas sudah pandai memelihara harta, maka hendaklah kamu serahkan kepada mereka itu hartahartanya” ( Q.S. an-Nisa: 6)4 Dalam ayat di atas, yang dimaksud dengan “cukup umur” adalah seseorang yang telah dipandang dewasa secara fisik dan mampu untuk menikah atau menghasilkan keturunan. Bagi laki-laki telah berumur 12 tahun, 3
Ibid, hlm.114 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa’ud, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah Dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia. hlm.115 4
20
sudah mimpi basah atau terlihat munculnya tanda-tanda lelaki dewasa pada pria seperti kumis dsb. Begitu juga bagi seorang wanita telah berumur 9 tahun, telah haid, dan nampak perubahan bentuk tubuh sebagai tanda-tanda wanita dewasa. Ayat tersebut juga menerangkan ketika seorang anak yatim benarbenar telah dewasa, maka bagai wali atau orang yang di beri tanggung jawab untuk merawat harta-harta anak yatim, hendaknya memberikan harta tersebut kepada anak yatim itu sebagai haknya. 5 Jika di cermati, terdapat pluralitas terhadap kategori anak pada peraturan perundang-undangan di Indonesia, hal itu disebabkan beberapa undang-undang mengatur secara tersendiri mengenai kriteria tentang anak. Berikut uraian tentang kriteria anak dalam perundang-undangan: 6 a. Undang-undang pengadilan anak (undang-undang No. 3 tahun 1997) pasal 1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah. b. Pasal 1 (1) undang-undang pokok perburuhan (undang-undang No.12 tahun 1948) mendefinisikan anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 tahun ke bawah. 7
5
Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit, hlm.114 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung; 2003 hlm.2 7 Lies Sugondo, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Perdata Nasional Yang Berperspektif HAM, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 03 Maret, 2007, hlm. 48 6
21
c. Pasal 45 K.U.H.P mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila berumur 16 tahun. d. Pasal 330 K.U.H. Perdata mengatakan, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. 8 e. pasal 7 (1) Undang-undang Pokok Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) mengatakan seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri. 9 f. Pasal 1 UU Perlindungan Anak (UU No.23 Tahun 2002) menyebutkan anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 2. Definisi Anak Sah Definisi anak sah dalam hukum Islam yaitu anak-anak yang lahir dari perkawinan yang sah, yang nanti anak tersebut menyandang nama ayahnya. 10 Atau dapat dikatakan bahwa anak sah adalah anak yang mempunyai hubungan
8
Muhammadiyah Amin, Kedudukan Anak Di Luar Nikah (Sebuah Analisis Perbandingan Menurut KUH Perdata, Hukum Islam dan KHI), , dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999, hlm.20 9 M. Ahmad Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat (Kajian Fiqih Nikah Lengkap), Jakarta: Rajawali Press, 2009, hlm. 46. 10 Abdur Rahman I. Doi, Karakteristik Hukum Islam Dan Perkawinan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm.342
22
kebapakan dengan seorang lelaki yang berstatus sebagai suami dari wanita yang melahirkannya (ibunya).11 Menurut Imam asy-Syafi’i barang siapa yang kawin dengan seorang wanita, lalu wanita itu melahirkan anak, maka anak tersebut bertemu nasabnya dengannya, dan tidak terhapus nasab (keturunannya) itu kecuali dengan li’an. Hal ini berarti, anak sah menurut Imam asy-Syafi’i adalah anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah, kecuali apabila suami melakukan pengingkaran terhadap anak, melalui lembaga li’an.12 Dalam pandangan hukum Islam tentang keabsahan anak, pada umumnya bertumpu pada sahnya anak itu untuk bapaknya, sebab bagi ibunya, maka wanita yang melahirkannya adalah otomatis sah sebagai ibunya dan tidak akan ada perbuatan hukum apapun untuk meniadakan hubungan hukum antara seorang wanita dengan anak yang dilahirkannya. 13 Hal tersebut berarti sahnya seorang anak di dalam hukum Islam adalah menentukan ada atau tidaknya hubungan kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki. Dalam hal hubungan nasab dengan bapaknya tidak ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia, namun ditentukan melalui akad perkawinan yang sah.
11
Ichtijanto, Status Hukum Dan Hak-Hak Anak Menurut Hukum Islam, Mimbar Hukum, No 46 Th,XI, Jakarta: Al-hikmah & Ditbinbapera Islam, 2000, hlm.12 12 Imam Abu Ishaq, Kunci Fiqih Syafi’i, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1992, hlm. 259 13 Ibid., hlm.11
23
Pengertian nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad perkawinan yang sah. 14 Dalam kamus istilah fiqh, nasab adalah keturunan, ahli waris atau keluarga yang berhak menerima harta warisan karena pertalian darah atau keturunan,
yaitu anak (laki-
laki/perempuan), ayah, ibu, kakek, nenek, cucu (laki-laki/perempuan), saudara (laki-laki/perempuan) dan lain sebagainya.15 Dalam kamus istilah agama kata nasab dalam Al-Qur’an yang berarti keturunan dan hubungan kekeluargaan.16 Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa”.(QS. Al Furqan: 54)17 Dari pengertian tersebut, untuk dapat menghubungkan nasab seorang anak kepada ayahnya, dibutuhkan beberapa syarat yang harus dipenuhi di antaranya: a. Adanya akad perkawinan yang sah antara ayah dan ibu si anak semenjak mulai mengandung. Perkawinan yang sah maksudnya perkawinan yang sudah resmi antara seorang pria dan seorang wanita. Atau dapat dikatakan perkawinan 14
Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, cet. I, Gema Insani Pers, Jakarta, 2002, hlm.44 15 M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’adalah A.M, Kamus Istilah Fiqh, cet. I, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hlm.243 16 M. Shodiq, Kamus Istilah Agama, Jakarta: Bonafida Cipta Pratama, 1991, hlm.242 17 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa’ud, Al-Qur’an dan Terjemahnya, loc.cit hlm.567
24
yang syarat dan rukunnya telah terpenuhi. Maka apabila seorang istri hamil, bayi yang dalam kandungan itu apabila lahir keturunannya dihubungkan kepada orang tuanya. 18 Tetapi perkawinan baru dapat dijadikan dasar untuk menetapkan keturunan anak yang sah apabila telah memenuhi beberapa syarat, yaitu: 1) Dalam hukum Islam terdapat ketentuan batasan kelahirannya yaitu batasan minimal kelahiran anak dari perkawinan ibunya yaitu minimal 6 (enam) bulan. Hal ini berdasarkan bunyi dalam Al-Qur’an surat AlAhqaaf ayat 15:
Artinya: kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai 19 menyapihnya adalah 30 bulan. Dan dalam surat Luqman ayat 14:
Artinya: Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah dan menyapihnya dalam dua tahun bersyukurlah 18
Satria Effendi M. Zein, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999, hlm.10 19 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa’ud, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 824
25
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu20 Dari surat al-Ahqaaf ayat 15 tersebut menjelaskan tentang masa kehamilan dan masa menyusui digabungkan menjadi 30 (tiga puluh) bulan. Tidak di rinci dalam ayat ini berapa bulan masa hamil dan berapa bulan masa menyusui. 21 Dan dalam Surat Luqman ayat 14 menjelaskan masa menyusui selama dua tahun dan (24 bulan) ayat ini sebagai penjelasan dari masa menyusui yang telah di sebut secara global dalam surat Al- Ahqaaf ayat 15. Sehingga dapat disimpulkan bahwa 30 bulan setelah dikurangi 24 bulan masa menyusui, sisanya tinggal 6 bulan sebagai masa minimal kehamilan. 22 Dalam Mazhab Fiqh baik mazhab Sunni maupun Syi’ah sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan. Sedangkan dalam hal perhitungan antara jarak kelahiran dengan masa kehamilan terdapat perbedaan. Menurut kalangan mazhab Hanafiyah di hitung dari waktu akad nikah yang sah, sedangkan menurut mayoritas ulama’ dihitung dari masa adanya kemungkinan mereka bersanggama.23
20
Ibid hlm.654 Ahmad Ali MD, Syari’ah Dan Problematika Seksualitas, dalam jurnal mimbar hukum, edisi 66 Mei-Desember, 2008, hlm.163 22 Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992, hlm. 54. 23 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: PT lentera Basritama, 2000, hlm.385 21
26
Maka berdasarkan pendapat di atas, anak yang dilahirkan pada waktu kurang dari enam bulan baik setelah akad nikah atau kurang dari enam bulan semenjak waktunya kemungkinan sanggama, adalah tidak dapat dinisbatkan kepada laki-laki atau suami dari wanita yang melahirkannya. Dan anak yang dilahirkan tersebut adalah anak yang tidak sah karena hanya mempunyai hubungan nasab kepada ibunya saja. Tetapi apabila anak lahir sekurang-kurangnya enam bulan dari pernikahan yang sah dari kedua orang tuanya, maka anak tersebut adalah anak yang sah dan dapat dinasabkan kepada kedua orang tuanya. 24 2) Suami telah mencapai usia baligh atau sekurang-kurangnya mendekati usia baligh. Karena apabila suami belum mencapai usia baligh, kemudian istrinya hamil, maka hamilnya istri dari suaminya itu merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Begitu pula sebaliknya apabila suami telah mencapai usia baligh, dan istrinya hamil, maka hamilnya istri dari suaminya itu merupakan suatu hal yang wajar.25 3) Suami tidak menyangkal sahnya anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya. Sebaliknya apabila suami mengingkari sahnya anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya, maka harus diadakan li’an. 24
Mengenai Batas maksimal kehamilan Imam Abu Hanifah berpendapat selama dua tahun, sedangkan Imam asy-Syafi’i berpendapat maksimal kehamilan selama empat tahun. Baca lanjut: Hajar. M, Legitimasi Ahli Waris Di Pengadilan Agama Dalam Perspektif Fiqh, dalam jurnal mimbar hukum, IX, edisi 40 November-Desember, 1998, hlm.40 25 Zakaria Ahmad Al-Barry, loc. cit, hlm.10
27
Jika seorang suami ragu tentang batas minimal yang tidak terpenuhi dalam masalah kehamilan atau batas maksimal kehamilan terlampaui atau suami menuduh istrinya berzina dan menuduh anak yang di kandung istrinya bukan benih darinya, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak yang dikandung oleh istrinya dengan cara li’an.26 b. Pengakuan seorang suami terhadap seorang anak. Pengakuan anak dalam literatur hukum Islam disebut dengan “Istilhaq” atau ”ikrar” yang berarti pengakuan seorang laki-laki secara sukarela terhadap seorang anak bahwa ia mempunyai hubungan darah atau anak tersebut tidak diketahui asal-usulnya. 27 c. Bukti yang sah menurut Islam Keturunan dapat juga ditetapkan berdasarkan adanya bukti yang sah menurut agama Islam, yaitu saksi-saksi yang terdiri dari dua orang laki-laki, atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. 28 Misalnya kalau ada seorang laki-laki mengemukakan pengakuan bahwa A adalah anaknya, tetapi A sendiri membantah pengakuan itu, maka bapak yang mengakui boleh menguatkan pengakuannya dengan mengemukakan bukti yang sah berupa saksi yang lengkap yaitu dua orang laki-laki atau satu 26
Abdul Manan, Masalah Pengakuan Anak Dalam Hukum Islam dan Hubungannya Dengan Kewenangan Peradilan Agama, dalam jurnal Mimbar Hukum, 59, XIV, 2003, hlm .110 27 Fathurrahman Djamil, pengakuan dan pengesahan anak dalam perspektif hukum Islam, dalam jurnal Suara Uldilag, edisi 03 Maret, 2007, hlm.86 28 Zakaria Ahmad al-Barry, Op.cit., hlm.34
28
orang laki-laki dengan dua orang perempuan. Kemudian hakim akan menerima pengakuan itu dan menetapkan sahnya hubungan nasab dan dinilai sebagai keturunan yang resmi yang telah dikuatkan dengan alasanalasan yang sah.29 Sebagai konsekuensi hukum Islam dari seorang anak yang mempunyai nasab dengan seorang bapak yang secara otomatis berarti mempunyai nasab dari ibunya maka anak tersebut adalah anak sah sehingga memiliki hak terhadap kedua orang tuanya yaitu hak radla’ah (susuan), hak hadlanah (pengasuhan), hak perwalian, hak waris, dan hak nafkah. 30 Sedangkan KHI sendiri menerangkan tentang anak sah pada Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, bahwa anak yang sah adalah: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. b. Anak dari hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.31 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 42 juga menerangkan: “Anak yang sah adalah Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”. Apabila memperhatikan pengertian anak sah di atas baik pada KHI maupun Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 42, di dalamnya
29
Abdul Aziz Dahlan, Op.cit, hlm.113 Satria Effendi M. Zein, Loc.cit, hlm.14-18 baca juga: deasy caroline moch. Dja’is, pelaksanaan eksekusi nafkah anak di Pengadilan Agama, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999, hlm. 39 31 Departemen Agama RI, Direktorat Jendral Pembinaan Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: 2000, hlm.185 30
29
memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas waktu minimal usia kandungan yaitu kurang dari enam bulan seperti yang telah dijelaskan di muka tanpa memperhatikan apakah sebelum perkawinan istri tersebut telah hamil terlebih dahulu. Dan ini membawa implikasi bahwa anak yang hakikatnya adalah anak zina, secara formal dianggap anak sah. 32 Definisi anak sah di dalam K.U.H. Perdata tercantum pada Pasal 250 bahwa: “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dan ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.”33 Untuk menentukan keabsahan seorang anak, ditentukan minimal 180 hari setelah pernikahan orang tuanya, sebagaimana disebutkan dalam K.U.H. Perdata Pasal 251: “Keabsahan seorang anak yang dilahirkan sebelum hari ke 180 dalam pernikahan suami-istri, dapat diingkari oleh suami. Namun, pengingkaran ini tak boleh dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut: 1e.Jika seorang suami sebelum pernikahan telah mengetahui akan mengandungnya istri 2e. Jika telah ikut hadir tatkala akta kelahiran dibuat dan akta itu pun telah ditandatanganinya atau memuat pernyataan darinya bahwa ia tak dapat menandatanganinya 3e. Jika anak tak hidup tatkala dilahirkan.34
32
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, Hlm.
226 33
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jakarta: PT. Pranadnya Paramita, 2004, hlm.62 34 Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Serang: Darul Ulum Press, 1933, hlm.91
30
Pasal 255: “Anak yang dilahirkan 300 setelah pernikahan di bubarkan adalah tidak sah”. Sehingga, anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah atau dilahirkan sebelum 180 hari dari pernikahan orang tuanya, atau lewat 300 hari perceraian pernikahan orang tuanya, di kategorikan sebagai anak tidak sah atau anak luar nikah (naturlijke kinderen) 3. Status atau Kedudukan Anak Sah Istilah status itu hampir sama dengan istilah kedudukan secara literal, kata status berarti kedudukan, term status tersebut berkaitan dengan hukum.
35
sedangkan dalam bahasa Indonesia kata status berarti “keadaan, tingkatan, organisasi, badan negara, dsb”. 36 Adapun kedudukan adalah “keadaan di bawah mana seorang itu hidup menunjukkan kepada suatu hubungan kekeluargaan tertentu”.37 Anak yang dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah mempunyai hak dalam kedudukannya sebagai anak sah untuk memakai nama ayah di belakang namanya untuk menunjukkan keturunan dan asal-usulnya.38 Oleh karena Islam menasabkan anak yang sah kepada kedua orang tuanya, maka kedua orang tuanya tersebut berkewajiban untuk menjaga, merawat, memberikan nafkah, mendidik, memberi perlindungan dan membesarkannya. 35
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet. Ke 20, Jakara: Gramedia, 1992, hlm.554 36 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinanaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , cet. Ke-2 Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm.214. 37 H.F.A Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata,Jakarta: Rajawali, 1984 hlm 60 38 Abdul Manan, loc.cit, hlm.110
31
Dalam pandangan Al-Qur’an ada tiga kedudukan anak sah: a. Anak sebagai anugerah yang berarti anak sesungguhnya pemberian gratis dari Allah SWT yang cenderung menunjukkan aksentuasi makna positif (baik), yakni anak-anak (keturunan) yang memperoleh hidayah Allah yang dapat menjadi penyejuk hati orang tuannya. Sebagaimana firman Allah pada surat Al-An’am ayat 84.39
Artinya: Dan kami Telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. kepada keduanya masing-masing Telah kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) Telah kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.40 b. Anak sebagai amanah: yang berarti anak merupakan suatu yang dipercayakan kepada orang tua, agar mereka menjaga dan merawatnya. Berkaitan dengan amanah ini Allah SWT berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 27
39
Saifullah, problematika anak dan solusinya pendekatan sadduzzara’I, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999, hlm 47 40 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa’ud, Al-Qur’an dan Terjemahnya, loc.cit. hlm.200
32
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.41 c. Anak sebagai sebagai ujian kepada orang sejauh mana mereka mampu mengemban amanah Allah tersebut. Beberapa orang tua di antaranya menjadi sengsara dan malu akibat ulah dan perilaku anak-anaknya. Itulah mengapa Allah mengingatkan kita bahwa anak juga bisa menjadi fitnah dalam kehidupan ini. 42 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat atTaghabun ayat 14-15
Artinya Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya diantara Istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.43 41
Ibid. hlm.264. H.S.A al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1989, hlm. 112. 43 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa’ud, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit. hlm, hlm.942 42
33
B. Pengertian Umum Tentang Anak Luar Nikah 1. Definisi Anak Luar Nikah Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya melaksanakan mu’amalat atau hubungan antar manusia sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang
telah
ditetapkan
oleh
syara’.
Islam
menghendaki
terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang diketahui sanak kerabat, tetangga. Dilarang terjadi perkawinan diam-diam (kawin gelap) dan setiap anak harus dikenal siapa bapak dan ibunya. 44 Secara etimologis pengertian anak luar nikah terdiri dari kata “anak” dan “frase luar nikah”. Anak sebagaimana tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan kedua. Di samping itu, anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil.
45
selain itu,
terdapat pengertian lain, bahwa anak pada hakikatnya adalah seorang yang berada pada suatu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.46 Dalam kaitan ini Al-Qur’an terdapat bermacam-macam kata yang mengandung arti anak, meskipun demikian di dalam pemakaian terdapat perbedaan, artinya kata-kata sinonim ini tidak sepenuhnya berarti sama, misalnya kata walad, hafadah, dzurriyah, ibn, dan bint. kata walad untuk 44
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, cet. I, 1990
, hlm.137. 45
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1988,
hlm.30-31 46
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Cet-3, Jakarta: Rineka Cipta, hlm.256
34
menggambarkan adanya hubungan keturunan, sehingga kata walid berarti ayah kandung, demikian pula kata walidah berarti ibu kandung. Ini berbeda dengan kata ibn, yang tidak mesti menunjukkan hubungan keturunan. 47 Jadi Ibn bisa berarti anak kandung ataupun anak angkat. Demikian pula kata ab (ayah), bisa berati ayah kandung atau ayah angkat. Kata bint berarti merujuk pada pengertian anak perempuan, jamaknya banat. Al-Qur’an juga menggunakan kata dzurriyah untuk menyebut anak cucu atau anak keturunan, dan menggunakan kata hafadah dipakai untuk menunjukkan pengertian cucu, baik cucu yang masih hubungan kerabat atau orang lain. 48 Adapun nikah atau pernikahan adalah ikan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
49
Suatu pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 50 Menurut Dr.Wiryono (2002: 40) dalam bukunya “Hakikat Dalam Hukum Islam”mengatakan bahwa ada kemungkinan seorang anak hanya mempunyai ibu dan tidak mempunyai bapak. Status anak yang lahir di luar
47
Abdul Mustaqim, Kedudukan dan Hak-Hak Anak dalam Perspektif Al-Qur’an, Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam, vol 4:2 (juli 2006) hlm 148 48 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an, Jilid XV, Jakarta: Lentera Hati, 2004, hlm.614 49 Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Istri, Cet I, Yogyakarta: Academia bekerjasama dengan Tazzafa, 1996, hlm.16, Baca juga UU No 1 Tahun 1974 pasal 1 50 Pasal 1 dan 2 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan
35
perkawinan itu menurut hukum Islam adalah anak yang tidak sah yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, yaitu laki-laki yang menurunkannya. Namun tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya; yaitu wanita yang melahirkannya itu. 51 Atau dalam Islam biasa mengenalnya anak luar nikah dengan istilah anak zina (walad al-zina), atau anak zadah. Secara definisi fuqha’ merumuskan zina sebagai berikut:
Artinya: Zina adalah memasukkan zakar ke dalam faraj yang bukan istrinya, bukan campur secara subhat dan menimbulkan kelezatan. 52 Zina juga bisa diartikan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan. Tidak memandang apakah salah satu dari kedua belah pihak telah memiliki pasangan hidupnya masing-masing atau belum pernah menikah sama sekali. 53 Fatchur Rahman (1999 : 124) mendefinisikan anak hasil luar nikah adalah anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang tidak sah menurut syari’ah.
51
54
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ahmad Rofiq (1993: 57)
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2002 tt,
hlm.40 52
Faturrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya: Problematika Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari AZ (pd), Jakarta; firdaus, 1999 hlm 124 53 A.Rahman I. Doi, loc.cit, hlm.35 54 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. Ke-10, Bandung: PT. Al-Ma’arif , 1981, hlm.221
36
bahwa anak hasil luar nikah adalah anak yang lahir tidak sah menurut ketentuan agama.
55
Di dalam Islam terdapat peraturan yang termasuk dalam kategori anak yang tidak sah antara lain: a. Anak yang lahir di luar perkawinan atau hubungan zina, yaitu anak yang dilahirkan oleh seorang wanita tanpa adanya ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki secara sah. b. Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah akan tetapi terjadinya kehamilan itu di luar perkawinannya, yaitu: 1) Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, tapi lahirnya 6 (enam) bulan sesudah perkawinan dan diketahui sudah hamil sebelum perkawinan. 2) Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah dan hamilnya kurang dari 6 (enam) bulan sejak perkawinannya. 56 Berdasarkan uraian di atas, maka anak akan berkedudukan sebagai anak sah, apabila ia dilahirkan oleh seorang ibu yang sejak permulaan kehamilan itu sudah terjalin suatu perkawinan yang sah, sedangkan anak yang tidak sah adalah anak yang lahir akibat dari pergaulan yang tidak sah. Oleh karena, itu hukum Islam memandang kedudukan seorang anak
55
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawawaris , cet-ke 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993,
hlm.127 56
Zakariya Ahmad Al-Barry, loc. cit., hlm.14 – 15.
37
sah atau tidak dilihat dari perkawinan orang tuanya dan tenggang masa mengandung. Kapan dan di mana anak itu dilahirkan. 57 Apabila dalam pernikahan seorang suami menduga adanya hubungan perzinaan istrinya dengan orang lain, untuk memecahkan problema ini dalam ilmu fiqh dikenal dengan nama li’an. Maka barang siapa yakin atau menuduh bahwa istrinya telah membasahi ranjangnya dengan orang lain, kemudian sang istri itu melahirkan anak padahal tidak ada bukti yang tegas, maka seorang suami boleh mengajukan ke pengadilan kemudian mengadakan mula’anah (sumpah dengan melaknat) antara kedua belah pihak. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:58
Artinya: “Para suami yang menuduh suaminya padahal mereka tidak mempunyai saksi melainkan dirinya sendiri, maka kesaksian tiap orang dari mereka adalah empat kali kesaksian dengan 57
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat “Seri Buku Daras”, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 67. 58
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Cet I, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm. 84.
38
nama Allah bahwa ia termasuk orang-orang yang benar. Sedangkan yang kelimanya ialah bahwa laknat Allah akan menimpa kepadanya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta dan dihilangkan dari perempuan itu siksa (dera) lantaran ia bersaksi empat kali kesaksian dengan nama Allah bahwa dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang berdusta. Sedang yang kelimanya bahwa murka Allah akan menimpa kepadanya (perempuan) jika dia (laki-laki) itu termasuk orang yang benar. ( Q.S. an-Nur: 6-9).59 Setelah terbukti dalam pemeriksaan di pengadilan,
maka
pengadilan memberikan keputusan terhadap keduanya. Dan pengadilan memberikan penetapan kedudukan
terhadap anak. Apakah dia
berkedudukan sebagai anak sah atau tidak sah. Apabila gugatan itu diterima berarti anaknya mempunyai kedudukan sebagai anak tidak sah dan apabila gugatan itu tidak diterima (ditolak)
maka anak tersebut
berkedudukan sebagai anak sah. 60 Berbeda dengan hukum Islam, di dalam BW istilah anak luar nikah cenderung lebih sempit jika dibandingkan dengan istilah yang sama dalam hukum Islam. Hal tersebut terjadi karena anak luar nikah menurut BW hanya terbatas hubungan seksual di luar nikah bagi mereka yang telah menikah saja. Sesuai dengan Dalam pasal 272 K.U.H. Perdata dijelaskan bahwa, setiap anak yang dilahirkan di luar nikah (antara gadis dan jejaka), dapat diakui sekaligus dapat disahkan, kecuali anak-anak yang dibenihkan dari hasil zina atau dalam
59
Yusuf Qardawi, Halal dan Haram Dalam Islam, Bina Ilmu, 1400 H/ 1980 M, hlm.305 Slamet Abidin, Fiqih Munakahat Untuk Fakultas Syari’ah Komponen MKDK, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm. 99. 60
39
sumbang (anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan wanita yang dilarang kawin antara keduanya).61 Apabila diperhatikan secara seksama pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, hubungan seks di luar nikah yang dilakukan anak yang lahir sebagai akibat hubungan mereka bisa diakui atau disahkan sebagai anak yang sah. Sedangkan anak hasil zina tidak dapat diakui atau disahkan sebagai anak yang sah. Hal ini berarti bahwa, zina menurut K.U.H. Perdata adalah hubungan seks yang dilakukan di luar nikah oleh mereka yang sudah bersuami atau beristri. Konsekuensi yuridis dari pengertian zina, ditinjau dari segi hukum pidana adalah, bahwa yang dapat dihukumi hanyalah hubungan seks yang dilakukan oleh orang yang sudah bersuami atau beristri dan mereka yang melakukan
hubungan seks dari kalangan gadis dan jejaka tidak dikenai
hukuman pidana.62 2. Kriteria Anak Luar Nikah Kriteria sebagaimana terdapat dalam Kamus Ilmiah Populer yang berarti: prasyarat, ukuran, standar.
63
menurut Soni Dewi J. Budianto (2000:
99-100) menerangkan kriteria anak luar nikah adalah sebagai berikut:
61
R. Subekti dan R. Tjitro sudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cet. 28, Jakarta: PTpradnya Paramita, 1996 hlm.68 62 Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer 1, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm.121-122 63 Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Popular, cet. Ke-II, Yogyakarta, Absolut 2004, hlm.251
40
a. Anak yang dilahirkan diketahui dan dikehendaki oleh salah satu orang atau kedua ibu dan ayahnya, tetapi salah satu atau keduanya masih terikat dalam ikatan pernikahan pernikahan lain. b.
Anak yang dilahirkan oleh ibu yang masih dalam masa iddah setelah perceraiannya, sebagai hasil hubungan dengan laki-laki yang bukan suaminya.
c. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang masih dalam proses perceraian (masih dalam ikatan pernikahan), sebagai hasil hubungan dengan laki-laki yang bukan suaminya. d. Anak yang lahir dari seorang ibu yang ditinggal suaminya lebih dari 300 hari dan tidak diketahui sang suami sebagai anaknya. e. Anak yang dilahirkan oleh orang tuanya akibat ketentuan agama tidak dapat nikah. f. Anak yang dilahirkan dari orang tuanya akibat hukum negara tidak dapat melangsungkan pernikahan. g. Anak yang sama sekali tidak diketahui orang tuanya sebagai anak temuan. 64 h. Anak yang dibenihkan dan di ahirkan di luar perkawinan yang sah yang dibuahi ketika ibu dan bapaknya dalam status tidak menikah 65
64
Soni Dewi J. Budianto, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar Kawin, Jurnal Magister Hukum ,Vol 2 No 2 Juni 2000, Yogyakarta: PPS Magister Ilmu Hukum UII, hlm.99-100 65 Abdul Wahid, Kedudukan Anak di Luar Nikah, Mimbar Ulama, Tahun III Mei 1978, Jakarta: Cemara Ladah, 1978. hlm.22
41
3. Kedudukan Anak Luar Nikah Hukum Islam menetapkan bahwa hubungan seks di luar nikah baik yang
dilakukan oleh orang yang sudah pernah menikah maupun belum
pernah menikah, tetap dinamakan zina. Anak yang dilahirkan akibat hubungan perzinaan
hanya
memiliki
hubungan
nasab
dengan
ibunya
yang
melahirkannya. 66 Hal serupa juga ditegaskan pada pasal 100 buku I Hukum Perkawinan KHI bahwa “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. 67Dikarenakan anak di luar nikah tidak dianggap sebagai anak sah, hal itu berakibat hukum sebagai berikut: a. Tidak ada hubungan nasab dengan ayahnya, melainkan kepada ibunya. secara yuridis formal, bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak diluar nikah, namun secara biologis anak itu adalah anaknya juga. Ini berarti, hubungan kekerabatannya berlangsung secara manusiawi, bukan secara hukum. b. Tidak ada saling mewarisi. Anak di luar nikah (zina) hanya mewarisi dari pihak ibu dan saudara perempuan dari ibu begitu juga sebaliknya ibu dan saudara perempuan dari ibunya mewarisi anak itu.
66
Soedharyo Soimin, loc. Cit, hlm. .40 Undang-Undang Perkawinan di Indonesia Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Arkola, tt, hlm. 179. 67
42
c. Tidak adanya wali dari ayah biologisnya. Jika anak di luar nikah kebetulan adalah wanita dan hendak melangsungkan pernikahan ia tidak dinikahkan oleh bapaknya tetapi menggunakan wali hakim. 68 Kedudukan anak luar kawin dalam hukum perdata lebih inferior (lebih jelek/rendah) dibanding dengan anak sah. Semisal, anak sah pada asasnya berada di bawah kekuasaan orang tua (pasal 299 K.U.H. Perdata), sedangkan anak luar kawin berada di bawah perwalian (pasal 306 K.U.H. Perdata). Hak bagian anak sah dalam pewarisan orang tuanya lebih besar daripada anak luar kawin (pasal 863 K.U.H. Perdata.) C. Pengakuan Anak Luar Nikah 1. Pengertian Pengakuan Anak Pengakuan anak dalam literatur fikih dikenal dengan istilah “istilhaq” (
) atau iqraru bin nasab (
), yang berarti pengakuan
seorang laki-laki secara sukarela terhadap seorang anak bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut, baik anak tersebut berstatus di luar nikah atau anak tersebut tidak diketahui asal usulnya. 69
68
Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah, Jakarta, 2004, hlm.53 69 Ibid, hlm.68
43
Jika ditinjau menurut hukum perdata yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW), kita akan melihat adanya tiga macam status hukum dari pada anak di luar perkawinan: a. Anak wajar/anak alami (naturlijke kinderen) adalah anak hasil hubungan laki-laki dan perempuan di luar perkawinan dan keduanya tidak terikat dalam ikatan pernikahan dengan orang lain dan keduanya tidak dilarang nikah. b. Anak sumbang (bloedschenning/incest) adalah anak hasil hubungan lakilaki dan perempuan di luar nikah yang keduanya tidak dalam ikatan pernikahan dengan orang lain, tetapi keduanya dilarang nikah contohnya antara saudara sekandung c. Anak Zina (overspel) adalah anak hasil hubungan laki-laki dan perempuan yang salah satu atau keduanya sedang dalam ikatan pernikahan dengan orang lain. 70 Anak wajar yang lahir di luar perkawinan atau “Naturlijke kinderen” ia dapat diakui oleh ayah ibunya. Menurut sistem yang dianut oleh BW, dengan adanya
keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi suatu
hubungan keperdataan antara anak dengan orang tuanya. Barulah dengan pengakuan (Erkenning), lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibatakibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan 70
hlm.72
orang
tua yang
R. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1983.
44
mengakuinya. sebagaimana tersebut dalam Pasal 280 K.U.H. Perdata Jika tidak ada pengakuan dari ibu yang melahirkannya atau bapak yang menghamili ibunya, maka anak wajar tersebut tidak memiliki keperdataan dengan ibu dan bapak biologisnya. 71 Tetapi suatu hubungan keperdataan antara anak dengan keluarga si ayah atau si ibu yang mengakuinya belum juga ada. Hubungan itu hanya bisa diletakkan dengan pengesahan anak (Wettiging), yang merupakan suatu langkah yang lebih lanjut lagi dari pada pengakuan. Untuk pengesahan ini, diperlukan kedua orang tua yang mengakui anaknya, kawin
secara sah.
Pengakuan yang dilakukan di hari pernikahan juga membawa pengesahan anak. Jikalau kedua orang tua yang telah kawin belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum nikah. Pengesahan itu dapat dilakukan dengan surat-surat pengesahan (brieven van wettiging) oleh kepala negara. Dalam hal ini presiden harus meminta pertimbangan Mahkamah Agung. 72 Perlu diterangkan bahwa K.U.H. Perdata tidak membolehkan pengakuan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina (overspel) dan anak sumbang (bloedschenning/incest) yang dilahirkan dari hubungan
71
Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Perdata Tertulis Dan Hukum Perdata Islam, Jurnal Mimbar Hukum, Nomor 15 tahun V, Dirbinbaperais Dep. Agama, Jakarta, 2006 hlm.17 72 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1995, cet. XVII, hlm.50
45
antara dua orang yang dilarang kawin satu sama lain. 73 Hal tersebut didasarkan pada pasal 283 K.U.H. Perdata, yang berbunyi sebagai berikut: “Sekalian anak yang dibenihkan dalam zina ataupun dalam sumbang, sekalikali tidak boleh diakui, kecuali terhadap anak yang lahir ini apa yang ditentukan dalam pasal 273”. Dan pasal 272 K.U.H. Perdata yang berbunyi: Kecuali anak yang dibenihkan dalam zina atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan di luar pernikahan, dengan kemudian nikahnya ayah dan ibunya, akan menjadi sah, apabila kedua orang itu sebelum menikah telah mengakuinya menurut ketentuan- ketentuan undang-undang atau apabila pengakuan dilakukan dalam akta pernikahan sendiri”. Terhadap anak sumbang terdapat pengecualian, sebagaimana diatur dalam pasal 273 jo 283, bahwa anak tersebut dapat diakui dan disahkan melalui izin khusus. Pasal 273 K.U.H. Perdata berbunyi: “Anak yang dilahirkan dari ayah dan ibu, antara siapa tanpa dispensasi dari presiden tidak boleh diadakan pernikahan, tidak dapat disahkan, melainkan dengan cara mengakui dalam akta pernikahan” Karena anak zina dan anak sumbang ini tidak dapat diakui dan disahkan, maka anak ini tidak berhak mendapatkan bagian warisan dari lakilaki atau perempuan yang menyebabkan kelahirannya. Anak zina dan anak sumbang hanya mungkin untuk mendapatkan bagian nafkah hidup seperlunya dari orang tua yang menyebabkan kelahirannya. 74
73
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang perkawinan, Jakarta: Prenata Media, Cet ke-1, 2006, hlm. 89. 74 Muhammad Fauzil Adhim, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006. hlm, 200.
46
Namun kesempatan memperoleh nafkah hidup bagi anak zina dan anak sumbang ini menjadi semakin kecil. Hal ini disebabkan adanya larangan bagi anak zina dan anak sumbang untuk menyelidiki siapakah ayah atau ibunya dari anak tersebut. Sebagaimana pasal 289 K.U.H. Perdata menerangkan bahwa: “Tiada seorang anak pun diperbolehkan menyelidiki siapakah ayah atau ibunya dalam hal-hal bilamana pasal 283 pengakuan terhadapnya tidak diperbolehkan”75 Kendati hampir sama dengan status kekeluargaan anak di luar nikah dengan anak sah menurut K.U.H. Perdata, perbedaannya adalah jika anak luar kawin tersebut tidak ada hubungan dengan ayahnya sebelum diakui. Sebaliknya, anak sah mempunyai hubungan perdata di samping
dengan
ibunya dan keluarga ibunya, juga hubungan dengan bapaknya dan keluarga bapaknya. 76 Pengakuan anak di luar kawin sebagaimana yang diatur dalam BW yang sering disebut dengan anak wajar (naturlijke kinderen) yang dalam perkembangan selanjutnya pengertian anak wajar dipakai untuk dua pengertian yaitu dalam arti luas mencakup semua anak luar kawin yang
75
76
R. Subekti dan R. Tjitro sudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, loc. cit, hlm.153
Sa’id Thalib Al-hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1989, hlm.69.
47
disahkan, dalam arti sempit hanya mencakup anak yang lahir akibat overspel dan incest. 77 Ada perbedaan yang prinsip tentang motivasi pengakuan anak menurut hukum perdata barat dengan motivasi pengakuan anak menurut hukum Islam. Dalam hukum perdata barat pengakuan anak dapat dilakukan oleh seseorang merupakan kebutuhan hukum bagi pasangan yang hidup bersama tanpa nikah. Sedangkan motivasi pengakuan anak menurut hukum Islam adalah: a. Demi kemaslahatan anak yang diakui b. Rasa tanggung jawab sosial atau taklif ijtima’i c. Menyembunyikan aib karena anak tersebut terlahir di luar kawin orang tuanya. d. Antisipasi terhadap datangnya madharat yang lebih besar di masa yang akan datang apabila anak tersebut tidak diakuinya. 78 2. Objek Permasalahan Pengakuan Anak Dalam Islam Adapun yang menjadi objek permasalahan pengakuan anak atau istilhaq antara lain adalah: a. Anak luar nikah yakni anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut syari’at Islam. Menurut Abdul Manan yang termasuk anak di luar nikah adalah anak zina, mula’anah (anak li’an) dan anak subhat.79
77
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1986,
78
Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, loc.cit, hlm.69
hlm. 85.
48
Untuk anak li’an dan anak syubhat, ulama’ sepakat dapat menjadi anak sah melalui pengakuan (istilhaq atau al-Iqrar bin nasab). Hanya saja mengenai anak zina para ulama berselisih pendapat ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak memperbolehkan. Ibnu Taimiyah, termasuk ulama’ fiqih yang memperbolehkan anak zina untuk diakui. 80 Melihat yang banyak terdapat di masyarakat adalah anak zina dibandingkan anak li’an dan anak syubhat maka hal ini perlu menjadi perhatian. Kalau
mendasarkan pada asas hukum “la taziru waziratun
wizra ukhra”
yaitu seseorang tidaklah
menanggung kejahatan atau kebaikan orang lain dan
(
)
asas tidak boleh merugikan dan tidak boleh dirugikan serta bahwa setiap anak yang lahir itu dalam keadaan suci. Maka logis kalau anak zina itu dapat dijadikan objek istilhaq artinya anak zina tidak layak menanggung akibat hukum perbuatan ibu dan atau ayah biologisnya. 81
79
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet-I, Jakarta: Kencana Preneda Media Grp, 2006, hlm 82-84 80 Abdul Aziz Dahlan, loc. cit, hlm.113 81 A. Mukhsin Asyrof, Mengupas Permasalahan Istilhaq dan Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum, edisi 66 Desember, 2008, hlm.141
49
b. Anak temuan yang tidak diketahui nasabnya. Anak temuan dalam istilah fikih dikenal dengan nama (al- laqith) yang berarti anak kecil yang belum baligh yang ditemukan di jalan atau sesat dijalan serta tidak diketahui nasabnya. 82 Menurut Sayyid Sabiq yang lebih berhak memelihara anak temuan itu adalah orang yang menemukannya dan jika anak tersebut mati meninggalkan harta warisan maka harta warisannya itu menjadi milik baitul mal/negara. Begitu pula jika anak laqith itu terbunuh maka diyatnya menjadi milik baitul mal juga. Kemudian selanjuutnya, jika ada orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang mengakui anak temuan itu adalah anaknya, maka dinasabkanlah (ulhiqa) anak itu kepada orang yang menemukannya, sepanjang pengakuan itu adalah pengakuan yang wajar. Hal ini adalah untuk kemaslahatan anak tersebut, dengan pengakuan itu, maka ditetapkanlah hubungan nasab itu kepada orang yang mengakuinya. Begitu juga hak-hak kewarisannya. 83 Jika pengakuan terhadap anak laqith tersebut diajukan oleh lebih dari satu orang maka hubungan nasab diberikan kepada pihak yang dapat menguatkan gugatan dengan alat bukti. Jika masing-masing pihak tidak dapat mengajukan alat bukti sama sekali, maka putusan dapat dijatuhkan
82
Sayyid Sabiq, Fiqhu As Sunnah, Alih Bahasa Moh. Tholib, jilid III, Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 200, hlm.227. 83 Sayid Sabiq, ibid, hlm.228
50
berdasarkan keterangan seorang Qa-fah, yakni orang yang tahu menentukan nasab berdasarkan kemiripan jasmani. 84 Dilihat dari proses peradilan (qadha-iy), dari penjelasan Sayyid Sabiq di atas, maka jika seseorang mengakui anak temuan itu adalah anak kandungnya maka tidak perlu pembuktian. Yang perlu diperiksa adalah apakah pengakuan itu wajar atau tidak, misalnya: apakah orang yang mengakui itu gila atau tidak, atau secara selisih umur antara yang mengakui dengan anak yang diakui memungkinkan anak itu memang benar anaknya. 85 Untuk zaman sekarang, di mana tidak ada lagi orang yang mengetahui hubungan nasab antara dua orang berdasarkan ciri-ciri jasmaniahnya, maka barang buktinya berdasarkan hasil pemeriksaan golongan darah atau hasil pemeriksaan DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) dapat digunakan. Menurut fukaha’ pengakuan itu ada dua bentuk : a. Pengakuan Secara langsung oleh diri sendiri yakni nasab anak ditetapkan karena ayahnya sendiri yang mengakui anaknya. Secara langsung sang ayah mengatakan bahwa “ini anak saya” b. Pengakuan anak secara tidak langsung adalah nasab anak ditetapkan karena pengakuan orang lain lebih dahulu. Ayahnya tidak mengakui 84
Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Jakarta: raja grafindo persada, 2010 hlm. 169 85 Ibid, hlm.228
51
setelah anaknya itu lahir, seperti dalam bentuk pengakuan yang pertama. Dalam bentuk yang kedua ini hubungan anak dan ayah ini terjadi setelah lebih dahulu diakui oleh orang lain. Misalnya, seorang laki-laki mengakui bahwa yang lahir adalah cucunya. Maka, anak tersebut tidak sah sebagai cucunya sebelum ditetapkan bahwa ayah anak tersebut benar-benar anaknya (anak dari laki-laki yang mengakui anak tersebut sebagai cucunya) dan ayah tersebut mengakui pula bahwa cucu yang diakui seseorang tersebut adalah anaknya. 86 Fukaha’ juga menetapkan adanya syarat-syarat dalam pengakuan anak antara lain sebagai berikut:87 a. Anak yang diakui itu tidak diketahui keturunannya, sehingga dengan demikian ada kemungkinan penetapan bahwa ia adalah anak dari bapak yang mengakui itu. Sebaliknya jika anak yang diakui itu telah diketahui keturunannya maka, pengakuan bapak tadi tidak diterima. b. Ditinjau dari segi umur, anak yang diakui itu pantas sebagai anak dari bapak yang mengakui dengan demikian pengakuannya dapat diterima karena tidak bertentangan dengan kenyataan. Sebaliknya jika tinjauan dari segi umur tidak memungkinkan misalnya, anak yang diakui lebih tua atau sebaya dengan yang mengakuinya, maka pengakuan dari
86
Husnaini A, Anak Istilhaq Kaitannya Dengan Kaitannya Dengan Kewenangan PA Tentang Pengangkatan Anak, dalam jurnal Suara Uldilag, XI, edisi 03 September, 2007, hlm. 43 87 Abdul Aziz Dahlan. Op.cit, hlm.113
52
bapak tersebut tidak dapat diterima, karena tidak masuk akal bahwa dia adalah anaknya. 88 c. Bapak yang mengakui anak tersebut tidak mengatakan bahwa anak itu terjadi hubungan zina. d. Anak yang diakui itu membenarkan tidak membantah pengakuan lakilaki yang mengakui itu. Hal ini perlu diperhatikan kalau anak itu sudah pantas untuk membenarkan atau sudah mumayyiz . Karena, pengakuan seseorang tentang anak itu harus diterima oleh anak itu sendiri kalau ia sudah mengerti dan sanggup menyatakan persetujuan terhadap pengakuan itu yang dianggap sudah benar. Kalau sang anak belum mumayyiz atau belum mengerti, maka hubungan nasab ditetapkan cukup dengan pengakuan bapaknya saja. 89 3. Sistem Pengakuan Anak Pengakuan anak menurut K.U.H. Perdata terdiri dari dua jenis yaitu: a. Pengakuan Secara Sukarela Pengakuan secara sukarela ini dilakukan oleh seorang ayah atau ibu biologis anak yang lahir di luar nikah tanpa adanya paksaan dari siapa
88
Hasanuddin AF, Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya Menurut Hukum Islam, dalam jurnal Suara Uldilag, edisi 03 Maret, 2007, hlm 32 89 ibid, hlm.113
53
pun atau bukan karena adanya putusan dari pengadilan untuk mengakui anak yang lahir di luar nikah. 90 Pengakuan anak di luar nikah dapat dianggap sah apabila dilakukan secara autentik dan tegas, tidak boleh disimpulkan. Akta autentik terhadap pengakuan anak dituangkan dalam akta notaris, akta kelahiran atau akta yang di buat oleh Pejabat Catatan Sipil dan akta pernikahan sendiri, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 281 K.U.H. Perdata: ”Pengakuan terhadap seorang anak luar kawin, apabila yang demikian itu telah dilakukan di dalam akta kelahiran si anak atau pada waktu perkawinan berlangsung, dapat dilakukan dengan tiap akta otentik.”91 Kita melihat di sini ada beberapa cara untuk mengakui anak luar kawin secara sukarela, yaitu: 1) Akta Luar Nikah Akta ini dikeluarkan karena anak yang sebelum lahir kedua orang tuanya melangsungkan pernikahan yang sah menurut hukum negara.
Namun
tidak
berarti
keduanya
orang
tuanya
tidak
melangsungkan pernikahan, hanya saja pernikahan dilakukan secara hukum adat yang berlaku padanya. Apabila anak yang lahir itu adalah anak luar nikah secara hukum maka ayahnya terputus ikatan keluarganya secara perdata
90 91
J Satrio, loc.cit, hlm.113 Ibid, hlm.116
54
terhadap anak yang dilahirkannya. Tersebut. Jadi hanya terikat pada ibunya saja. Akta kelahiran anak tersebut dapat di terbitkan oleh catatan sipil, dalam akta dimaksud tidak dicantumkan nama ayahnya, yang dicantumkan hanyalah nama ibunya dan nama anak yang didaftarkan pencatatannya. 92 2) Akta Perkawinan Hal itu berarti, bahwa laki-laki dan perempuan yang semula mengadakan hubungan di luar nikah dan kemudian menghasilkan anak luar kawin, kemudian memutuskan untuk saling menikahi secara sah sekaligus mengakui anak luar nikahnya di hadapan romo (pendeta agama yang menikahkan).93 Jadi, yang diakui diatur di sini adalah pengakuan anak luar kawin yang sudah dilahirkan dan pada waktu melaporkan kelahiran, belum diberikan pengakuan oleh ayahnya. Selanjutnya maka dalam akta pernikahan diberi catatan bahwa telah lahir anak di luar nikah dan disebutkan pula nama, tempat, dan tanggal lahir si anak tersebut .94
92
Sulaiman, Akta Luar Nikah, Akta Pengakuan Anak dan Akta Pengesahan Anak, Majalah Mimbar Hukum, Nomor 15 tahun V, Dirbinbaperais Dep. Agama, Jakarta, 2006, hlm.20 93 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, hlm. 212 94 J Satrio, Op.cit, hlm.118
55
3) Akta Otentik Adapun akta otentik yang dimaksudkan di sini adalah akta notaris. Pengakuan dalam akta otentik perlu ditindak lanjuti dengan melaporkannya kepada Kantor Catatan Sipil di mana kelahiran anak tersebut telah didaftarkan dan minta agar pengakuan itu dicatat dalam minit akta kelahiran yang bersangkutan. 95 Sehubungan dengan itu, Pasal 37a P.J.N menetapkan bahwa: “Notaris wajib melaporkan tiap-tiap anak luar kawin yang dilakukan di hadapannya kepada balai harta peninggalan, dalam wilayah mana ia bertempat berkedudukan, dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam dan sekaligus memberitahukan apakah ayah atau ibu yang mengakuinya sudah dewasa atau belum, dan apakah pengakuan yang dilakukan oleh ayahnya terjadi sebelum atau sesudah ia meninggal ” Contoh akta pengakuan sebagai berikut: Pada hari ini,............................................................................................ Menghadap kepada saya,.........................S.H.,Notaris di........................ Dengan dihadiri oleh saksi-saksi, yang saya, Notaris, kenal dan namanamanya akan disebutkan pada akhir akta ini: 1) Tuan A......................................................................................................
95
Akta minit adalah akta asli yang ada di dalam bundel-bundel kntor catatan sipil, yang ditandatangani oleh yang melaporkan, para saksi dan pejabat Kantor Catatan Sipil
56
2) Nona B....................................................................................................... Para penghadap saya, Notaris, kenal ..................................................... Penghadap Tuan A dengan ini menyatakan mengakui anak luar kawinnya yang sesuai dengan laporan yang telah disampaikan pada tanggal.................Kepada Kantor Catatan Sipil di ...................., dilahirkan oleh penghadap Nyonya B dalam laporan mana telah diberikan nama kecil X sebagai anaknya.................... penghadap Nyonya B menyatakan telah menyetujui pengakuan tersebut di atas oleh Tuan A ............................................................................................ Demikian akta ini ............................dibuat dan...................................... b. Pengakuan Karena Terpaksa Terhadap prinsip, bahwa pengakuan tidak bisa dipaksakan pembuat Undang-undang telah memberikan pengecualian melalui pasal 287 ayat 2 K.U.H. Perdata di sebutkan: “Sementara itu, apabila terjadi salah satu dari kejahatan tersebut dalam pasal 288, Pasal 294 atau pasal 322 kitab undang-undang hukum pidana dan saat berlangsungnya kejahatan itu bersesuaian dengan saat kehamilan perempuan terhadap siapa kejahatan itu dilakukan, maka atas tuntutan mereka yang berkepentingan, bolehlah si tersalah dinyatakan sebagai bapak si anak”
57
Untuk berlakunya pasal 287 ayat 2, harus di penuhi beberapa syarat antara lain, yang pertama adalah adanya kejahatan yang di rumuskan dalam pasal-pasal tertentu, yang disebutkan di sana. Kalau kita telusuri pasal-pasal yang disebutkan ketentuan-ketentuan tersebut, terletak pada buku II Bab XIV K.U.H.P, mengatur terhadap kejahatan kesusilaan, khususnya yang berhubungan dengan pemerkosaan, hubungan badan, dan percabulan antara mereka yang bukan suami istri. 96 Selanjutnya, perbuatan itu harus menimbulkan kehamilan dan kejahatan itu haruslah bertepatan dengan saat kehamilan dari perempuan, dan terhadap siapa kejahatan itu dilakukan. Keputusan hakim berdasarkan keyakinan dari pembuktian yang diajukan oleh penggugat bahwa logis laki-laki yang diduga adalah laki-laki yang melakukan perbuatan kejahatan itu. Pasal tersebut juga mengisyaratkan adanya tuntutan yang diajukan kepada pengadilan oleh yang berkepentingan. Karena di sini digunakan istilah yang longgar, yaitu”yang berkepentingan”, maka selain daripada anak yang bersangkutan itu sendiri juga bisa ibu si anak. Karena namanya keputusan pengadilan, tentunya di sini tidak ditanya apakah penggugat mau atau tidak mengakui anak tersebut. Maka, dalam peristiwa seperti itu ada pengakuan yang dipaksakan.
96
Ibid, hlm.154-156
58
4. Implikasi Pengakuan Anak Akibat dari pengakuan anak luar kawin adalah: a. Lahirnya hubungan hukum dengan yang mengakuinya b. Adanya akibat hukum yang sangat terbatas dengan keluarga pihak yang mengakuinya. Adanya hubungan hukum antara anak yang bersangkutan dengan ayah dan ibu yang mengakuinya, membawa akibat lebih lanjut seperti: a. Keharusan minta izin kawin kepada orang tua yang mengakui selama mereka belum dewasa (pasal 39 dan 47 K.U.H. Perdata) b. Ada kewajiban alimentasi dari anak terhadap orang tua yang mengakuinya (Pasal 328 K.U.H. Perdata) c. Adanya hubungan perwalian dengan ayah atau ibu yang mengakuinya, yang terjadi demi hukum (Pasal 909 K.U.H. Perdata) d. Adanya hak mewarisi dari ayah dan ibu yang mengakui, atas harta warisan dari anak yang diakui olehnya (Pasal 870 K.U.H. Perdata). Dalam pasal ini hubungan hukum anak luar nikah sangat terbatas sekali, hanya kepada orang yang mengakui saja. Dengan kata lain jika saudara dari ayah yang mengakui mereka meninggal maka anak luar nikah tidak dapat mewarisi harta dari saudara ayah yang mengakui anak luar kawin tersebut begitu pun sebaliknya.
59
D. Pengesahan Anak Luar Nikah Pengesahan anak terjadi setelah adanya Akta pengesahan yang dikeluarkan setelah anak luar nikah disahkan sebagai anak suami istri bersangkutan oleh Pengadilan negeri dan Kantor Catatan Sipil mencatatkan serta menerbitkan aktanya. Akta pengesahan anak dapat di lakukan dengan cara: 1. Pernikahan Orang Tuanya. Menurut pasal 272 K.U.H. Perdata pengesahan karena pernikahan orang tua yaitu: bilamana seorang anak dibenihkan di luar pernikahan, menjadi anak sah apabila sebelum pernikahan orang tuanya telah mengakui anak luar nikah itu sebagai anaknya. Pengakuan itu dapat dilakukan sebelum pernikahan atau sekaligus dalam akta pernikahannya. 97 Biasanya dengan dilangsungkan pernikahan orang tuanya, diterbitkan akta pengakuan anak. Bentuk akta pengesahan anak, sebenarnya bukan merupakan suatu akta dalam bentuk tersendiri. Pada awalnya, berbentuk akta kelahiran seperti pada umumnya, dengan adanya pengesahan anak kemudian dicantumkan data pengesahan anak, yang dikenal dengan istilah “catatan pinggir”.
97
Elise T. Sulistini dan Rudi T Erwin, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara Perdata, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm.108. Dalam peristiwa tersbut diatas sekalipun tindakan “ayah” anak luar kawin adalah “mengakuinya”tetapi tindakan hukum itu diberikan arti sebagai “pengesahan anak luar kawin”. Baca lebih lanjut J Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, PT citra Aditya Bakti, Bandung; 2005, hlm.176
60
Dinamai catatan pinggir karena catatan tentang perubahan status anak tersebut dicatat pada bagian pinggir akta semula. Catatan pinggir pada suatu akta catatan sipil pada dasarnya berisi perubahan atas data dan informasi atas akta semula.
98
catatan pinggir dapat di terapkan pada semua jenis dan macam
akta catatan sipil, dan dengan adanya catatan pinggir pada suatu akta, berarti data dan informasi tidak berarti lagi, sedangkan data yang dipergunakan selanjutnya adalah yang tercantum dalam catatan pinggir. Penerbitan akta bercatatan pinggir, biasanya dilakukan berhubungan dengan adanya peristiwa baru yang oleh UU dinyatakan mempunyai kekuatan hukum baru. Misalnya, terjadi karena adanya keputusan pengadilan negeri karena ganti nama, perubahan atau pembetulan tanggal dan bulan serta tahun kelahiran, juga karena perubahan kewarganegaraan karena mengikuti suami ataupun karena pengakuan dan pengesahan anak. 2. Surat Pengesahan Pengesahan anak luar nikah menggunakan surat pengesahan dapat dilakukan dalam dua hal yaitu: a. Apabila orang tua lalai mengakui anak-anaknya sebelum atau pada saat melangsungkan pernikahan (pasal 274 K.U.H. Perdata) b. Apabila pernikahan kedua orang tuanya terhalang oleh sebab tertentu, seperti apabila salah satu dari orang tua itu sudah meninggal, sehingga 98
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, cet ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm 43
61
pernikahan yang akan dilakukan tidak bisa dilaksanakan (pasal 275 K.U.H. Perdata sub 1e).99 Jika pengesahan itu dilakukan dengan surat pengesahan, maka akan memperoleh akibat hukum yang lebih terbatas antara lain: a.
Pengesahan itu baru mulai berlaku pada saat surat pengesahan itu diberikan
b.
Pengesahan itu dalam hal pewarisan tidak boleh merugikan anak-anak sah yang sudah ada sebelum pengesahan itu dilakukan.
c.
Pengesahan itu tidak berlaku dalam hak pewarisan terhadap keluarga sedarah lainnya (bloedver wanten) kecuali kalau mereka telah menyetujui pemberian surat pengesahan tersebut.100 Pengakuan anak luar nikah bisa dilakukan, bila anak luar nikah yang
dimaksud adalah akibat hubungan perempuan dan laki-laki yang statusnya adalah: a. Kedua pihak masih lajang dan tidak dalam ikatan pernikahan yang sah. b. Akibat adanya pemerkosaan c. Kedua belah pihak sudah melakukan pernikahan, tapi lalai mengakui anak luar nikahnya. Kelalaian tersebut dapat diperbaiki dengan surat
99
Elise T. Sulistini, Op.cit, hlm.107-108 Abdul Wahid, Op.cit. hlm.33
100
62
pengesahan Presiden, yang mana akan diberikan setelah didengarnya nasihat Mahkamah Agung (K.U.H. Perdata Pasal 274) Pengakuan anak luar nikah tidak boleh dilaksanakan jika: a. Dilakukan oleh laki-laki yang belum mencapai usia 19 tahun (Pasal 282 K.U.H. Perdata), Khusus bagi perempuan yang belum mencapai usia 19 tahun diperbolehkan mengakui anak di luar nikahnya. b. Dilakukan dengan paksaan, bujuk rayu, tipu dan khilaf (Pasal 282 K.U.H. Perdata). Jika terjadi penipuan atau pemalsuan oleh seorang ayah yang mengakui anak sebenarnya bukan anaknya diancam pidana penjara maksimal 3 tahun (Pasal 278 KUH Pidana) c. Ibu dari anak tersebut tidak menyetujui. d. Terhadap anak yang dilahirkan akibat hubungan antara pihak yang masih terikat pernikahan (zina) maupun anak sumbang kecuali ada dispensasi dari presiden.
BAB III PUTUSAN DI PENGADILAN AGAMA SLEMAN NOMOR 408/Pdt.G/2006/PA. Smn
A. Profil Pengadilan Agama Sleman 1. Sejarah Pengadilan Agama Sleman Pengadilan Agama dirintis sejak Sultan Agung. 1 Dengan nama Peradilan Serambi diketuai oleh seorang Penghulu dibantu oleh 4 orang Hakim dari Alim Ulama yang disebut Pathok Nagari yang diangkat dengan surat kekancingan dalem, mereka bermukim di empat Masjid Pathok Nagari yang berlokasi di arah empat penjuru Kraton Yogyakarta.2 Pada masa itu, untuk mengambil keputusan para hakim sumber hukumnya merujuk pada Al-Qur’an dan Hadis juga kitab-kitab Muharror, Mahali, Tuhfah, Fatkhul Mu’in dan Fatkhul Wahab, yaitu kitab fiqih yang disebut kitab kuning. Lembaga Peradilan Serambi menangani masalahmasalah kehidupan masyarakat yang menyangkut Syari’at Islam seperti Perkawinan, wasiat, Waris, Hibah dan sebagainya 3
1
Kata sultan berasal dari bahasa Arab yang berarti raja/penguasa di Yogyakarta dengan tambahan gelar Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo Kholifatullah. 2 Disebut Pengadilan Serambi karena pelaksanaan siding biasanya mengambil tempat di tempat di serambi masjid. Pengadilan ini telah ada di tengah-tengah masyarakat di Indonesia bersamaan dengan kehadiran agama Islam di negeri ini 3 Diambil dari website PA Sleman http://pa-slemankab.go.id/. Pada hari Jum’at, tanggal 6 Juli 2011, Pukul: 15.00 Wib
64
65
Kedatangan kaum penjajah Belanda di Indonesia menyebabkan jatuhnya kerajaan Islam satu persatu. Sementara itu di sisi lain, penjajah Belanda datang dengan sistem peradilannya sendiri yang dibarengi dengan politik amputasi secara berangsur-angsur mengurang kewenangan Peradilan Agama. Di antara pakar hukum kebangsaan Belanda adalah Cristian Van Den Berg (1845-1927), ia menyatakan bahwa yang berlaku di Indonesia adalah hukum
Islam
menurut
ajaran
Hanafi
dan
Syafi’i.
Dialah
yang
memperkenalkan teori Receptio in Complexu. Teori ini mengajarkan bahwa hukum itu mengikuti agama yang dianut seseorang, 4 sehingga hukum Islam telah diterima (diresepsi) secara menyeluruh dan sebagai satu kesatuan oleh umat Islam Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, pendapat yang kuat di kalangan pakar hukum Belanda tentang hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum Islam yang menjadi dasar, sehingga penerapan hukum dalam peradilan pun diberlakukan peraturan-peraturan yang di ambil dari syari’at Islam untuk orang Islam. Namun kemudian terjadi perubahan pada politik hukum pemerintah Hindia-Belanda akibat pengaruh dari seorang Orientalis Belanda bernama Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933) yang memperkenalkan Het Indische Adatrecht (hukum adat Indonesia) dan Cristian Snouck Huogronje
4
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 14
66
(1857-1936) yang memperkenalkan teori Receptie yang mengajarkan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masingmasing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresapi oleh hukum adat. 5 Jadi hukum adat lah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Dalam teori ini hukum Islam akan mempunyai arti dan manfaat bagi kepentingan pemeluknya, apabila hukum Islam tersebut telah diresapi oleh hukum adat.6 Pendapat tersebut di ataslah yang akhirnya mendorong pemerintah Belanda mengeluarkan penetapan yang dimuat dalam Staatblad nomor 152 tahun 1882 tentang Pembentukan Pengadilan yang dinamakan Priesterraad atau Majelis Pendeta.7 Dengan adanya ketetapan tersebut terdapat perubahan yang cukup penting, diantaranya adalah bahwa pengadilan itu menetapkan perkara-perkara yang dipandang masuk dalam kekuasaannya yang umumnya meliputi pernikahan, kewarisan, hibah, wakaf, shodaqoh, dan baitul mal yang semuanya erat dengan hukum Islam. 8 Sejak dihapusnya Pengadilan Raja, maka secara Yuridis Formal Pengadilan Surambi tidak berfungsi lagi dan melebur ke dalam Pengadilan Agama.
5
Ghofur, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang No 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan dan Kewenangan), Yogyakarta: UII Press, 2007, hlm 8 6 Ibid, hal. 18 7 Dinamakan Pengadilan Pendeta karena disebabkan penghulu dan bawahannya berkedudukan sebagai pendeta 8 Jaih Mibarok, Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Pustaka Bumi Quraisy, 2004, hal. 10
67
Sejak zaman Hindia Belanda, pelayanan hukum di bidang Agama tentang masalah perkawinan untuk daerah Kesultanan Ngayogyokarto (Daerah Istimewa Yogyakarta) dipusatkan pada satu Pengadilan Agama, yaitu Pengadilan Agama Yogyakarta. Keadaan semacam ini terus berlangsung hingga Indonesia merdeka sampai pada tahun 1961.9 Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 rakyat Indonesia semakin lama semakin maju taraf kehidupan dan pendidikannya, yang hal ini semakin terasa pula peningkatan kebutuhan di bidang pelayanan hukum, termasuk pelayanan hukum Agama, khususnya hukum keluarga yang mengatur tentang masalah perkawinan. Dalam rangka untuk meningkatkan pelayanan hukum Agama yang mengatur masalah perkawinan ini, maka pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1961 tanggal 25 Juli 1961 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1961 menetapkan Pembentukan Cabang Kantor Pengadilan Agama Yogyakarta: 10 1. Wonosari, untuk Daerah Tingkat II Gunung Kidul. 2. Wates, untuk Daerah Tingkat II Kulon Progo. 3. Bantul, untuk Daerah Tingkat II Bantul. 4. Sleman, untuk Daerah Tingkat II Sleman
9
Tim Penyusun dari Departemen Agama RI, Yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, Departemen Agama RI, Jakarta, hlm. 29 10 Ibid, hlm. 30
68
Dengan
demikian
dapat
diambil
kesimpulan
bahwa
dasar
pembentukan Pengadilan Agama Kelas I B Sleman berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1961 tanggal 25 Juli 1961. Sebelum berdirinya Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta yurisdiksi Pengadilan Agama di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam hal ini termasuk juga Pengadilan Sleman masuk dalam yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Sleman.11 Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1992 tanggal 31 Agustus 1992 dibentuklah Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, sehingga sejak berlakunya Undang-Undang tersebut, maka yurisdiksi Pengadilan Agama di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berpindah dari yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Sleman ke yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, dan baru pada tanggal 30 Januari
1993
Pengadilan
Tinggi
Agama
Yogyakarta
diresmikan
pengoperasiannya oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. 12 Dalam tahap perkembangan Pengadilan Agama Sleman tentunya tidak lepas juga dengan pembahasan perkembangan Peradilan Agama di Indonesia secara umum. Sebelum berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sesuai dengan wewenangnya pada
11
Ahmad Sukardja, Hukum Keluarga dan Peradilan Keluarga di Indonesia, Jakarta: Kapuslitbang, 2001, hlm. 51 12 Yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 30
69
waktu perkara yang masuk pada Pengadilan Agama Sleman rata-rata 25 perkara setiap bulan. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut meningkat menjadi rata-rata 60 perkara setiap bulan atau lebih 700 perkara setiap tahun. 13. Perkara cerai gugat adalah merupakan perkara yang mendominasi, atau dengan kata lain 75 persen perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Sleman adalah perkara cerai gugat dan selebihnya baru disusul oleh perkara cerai talak, ijin poligami, wali adhol, penyelesaian harta bersama dan lainlain. Pada
awalnya
penanganan perkara
di
Kepaniteraan
ataupun
penanganan administrasi di Kesekretariatan Pengadilan Agama Sleman masih menggunakan sistem manual, namun sejak Desember 2005 penanganan perkara ataupun administrasi sudah menggunakan sistem komputerisasi, yakni misalnya untuk sistem di Kepaniteraan menggunakan aplikasi SIADPA (untuk menyelesaikan perkara dari Meja I sampai terbitnya putusan atau akta cerai), LIPA (untuk laporan perkara), KIPA (untuk kasir), dan untuk administrasi kepegawaian menggunakan aplikasi SIMPEG (yang berisi data seluruh pegawai) dan lain sebagainya.
13
Ibid, hlm. 30
70
Dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan diantaranya bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan. susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri. 14 Dengan ketentuan-ketentuan di atas memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian Peradilan Agama di Indonesia dan memberikan status yang sama dengan peradilan-peradilan lain di Indonesia. Eksistensi Peradilan Agama semakin terlihat dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di dalam UndangUndang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam). Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan Peradilan Agama di Indonesia dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berisi
14
Wahyu Widiana, Akses dan Equitas Pengadilan Agama Kaitannya Dengan Peningkatan Pelayanan Bagi Pencari Keadilan, dalam jurnal mimbar hukum, edisi 66 Desember, 2008, hlm.153
71
diantaranya struktur organisasi, hukum acara dari Peradilan Agama. Dan mengenai pelaksanaan Peradilan Agama secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah Departemen Agama. 15 Selanjutnya dengan adanya amandemen UUD 1945 yang keempat, sedikit banyak telah memberikan perubahan bagi Peradilan yang ada di Indonesia pada umumnya, dan khususnya pada Peradilan Agama. Perubahan-perubahan itu diantaranya adalah dalam Pasal 24 UUD 1945, inti dari Pasal tersebut menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa
perubahan
penting
terhadap
penyelenggaraan
kekuasaan
kehakiman, sehingga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970
tentang
Ketentuan-ketentuan
Pokok
Kekuasaan
Kehakiman
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pada tanggal 15 Januari
15
Soesilo, et. al., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Penerbit: Rhedbook Publisher, Cet. ke-I, 2008, h. 369.
72
2004 keluarlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.16 Sesuai dengan bunyi Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004, dapat kita simpulkan bahwa penyelenggara kekuasaan kehakiman saat ini tidak hanya dipegang oleh Mahkamah Agung dan peradilan-peradilan di bawahnya, namun juga dipegang oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, bahkan menurut Pasal 24B UUD 1945 guna menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku maka dibentuklah sebuah lembaga yang independen yakni Komisi Yudisial. 17 Berkaitan dengan adanya ketentuan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 yang menyatakan organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung (Pasal 13 UndangUndang Republik Indonesia No.4 Tahun 2004), maka sejak 30 Juni 2004 lalu, Peradilan Agama resmi berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Direktorat Pembinaan Peradilan Agama yang semula di bawah Departemen Agama (Depag)-pun berubah menjadi Ditjen Badan Peradilan Agama (Badilag) di bawah Mahkamah Agung. Perubahan itu berdasarkan
16
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. 5, 2008, hlm 5 17 Abdul Gani Abdullah, Paradigma Indonesia Baru Perspektif Pembangunan Hukum Islam, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999, hlm 57
73
Pasal 42 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 2 ayat 2 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung.18 Sesuai Pasal 9 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 13 Tahun 2005, Badilag bertugas membantu Sekretaris Mahkamah Agung dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan tenaga teknis, pembinaan administrasi peradilan, pranata dan tata laksana perkara dari lingkungan Peradilan Agama. Untuk urusan teknis yudisial Peradilan Agama, Mahkamah Agung memiliki institusi bernama Urusan Lingkungan Perdata Agama (Uldilag). Sejak 1946, Uldilag di bawah Mahkamah Agung, dimana sebelumnya berada dalam naungan Departemen Kehakiman.19 Struktur organisasi, hukum acara Peradilan Agama yang semula diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989, maka secara otomatis dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 struktur organisasi, hukum acara Peradilan Agama sekarang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
18
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009, hlm 5 19 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988, hlm. 123
74
3 Tahun 2006 tersebut, selain itu dengan keluarnya Undang-Undang Peradilan Agama yang baru juga memberikan tantangan bagi Peradilan Agama, dimana kewenangan Peradilan Agama selain seperti apa yang telah ada dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 saat ini bertambah dalam hal ekonomi syari’ah. 20 Hal yang berkaitan dengan struktur organisasi, hukum acara Peradilan Agama diatur berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (sekarang telah diubah dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006). Dengan adanya perubahan-perubahan yang ada pada Peradilan Agama tersebut, berarti juga membawa perubahan dan perkembangan bagi Pengadilan Agama Sleman, karena Pengadilan Agama Sleman sebagai bagian dari Peradilan Agama di Indonesia. Gedung Pengadilan Agama Sleman terletak di Jalan Candi Gebang Nomor 1, Kota Sleman Telephone 0274 868201 kode pos 55511, gedung dibangun pada tahun 1976 di atas tanah seluas 800 m2 dengan hak pakai dan luas bangunan 72 m2 melalui anggaran DIP Pemda Sleman. Kemudian pada tahun 1980 dilaksanakan rehabilitasi/perluasan 296 m2 berdasarkan APBN 1978 dengan biaya sebesar Rp.6.694.000,- dilaksanakan oleh CV. Budi Utama
20
Tim Penyusun, Bahan Sosialisasi Tentang Eksistensi Dan Kompetensi Peradilan Agama, Dilaksanakan Oleh Pengadilan Agama Wonosobo Pada Tanggal 28 Juli 2007, hlm. 83
75
sehingga luas tanah seluruhnya 800 m2 dan luas bangunan seluruhnya 368 m2. Pada tahun 2006 dengan menggunakan anggaran DIPA Mahkamah Agung, Pengadilan Agama Sleman membangun gedung baru yang terletak di Jalan Parasyamya, Beran, Tridadi, Sleman. Berdiri di atas tanah seluas 2537 m2 dengan hak pakai dari Pemda Sleman, luas bangunan 830 m2 yang terdiri dari tiga laintai. Gedung Kantor Pengadilan Agama Sleman tersebut diresmikan penggunaannya oleh Ketua Mahkamah Agung RI (Prof. DR. Bagir Manan,S.H., Mcl) pada tanggal 14 Agustus 2007.21 2. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Sleman a. Tugas Pengadilan Agama Sleman Pengadilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman, mempunyai tugas menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Wewenang Pengadilan Agama untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan dalam bidang hukum keluarga dan perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, berdasarkan hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam yang berdasarkan Inpres Nomor 1 tahun 1991 dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah
21
Dokumen Pengadilan Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
76
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikan semua masalah dan sengketa yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut, melalui pelayanan hukum dan keadilan dalam proses perkara. Dengan kata lain, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk menegakkan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materiil yang berlaku bagi masyarakat Islam Indonesia. 22 b. Wewenang Pengadilan Agama Sleman 1) Kekuasaan Absolut (Absolut Competentie) Kekuasaan absolut
adalah kekuasaan pengadilan
yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya. 23 Maksudnya di sini bahwa kewenangan absolut itu merupakan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga peradilan dalam memeriksa perkara-perkara tertentu yang tidak dapat diperiksa oleh lembaga peradilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama, seperti misalnya antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan Tinggi Agama maupun dalam lembaga peradilan yang lain, misalnya
22
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hal. 1-2 23 Roihan A. Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003, hal.27
77
antara Pengadilan Umum dengan Pengadilan Militer atau dengan Pengadilan Tata Usaha Negara. Hukum acara Peradilan Agama berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 yakni: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shdaqah, dan ekonomi syari’ah”24, Berikut tabel perkara-perkara yang masuk di Pengadilan Agama Sleman pada tahun 2006: 25 NO
24
JENIS PERKARA
JUMLAH
1
Ijin Poligami
14
2
Cerai Talak
276
3
Cerai Gugat
499
4
Harta Bersama
1
5
Perwalian
1
6
Isbath Nikah
4
7
Izin Nikah
-
8
Dispensasi Nikah
3
9
Wali Adhol
13
10
Kewarisan
6
11
Pengakuan Anak
1
Tim Penyusun, Bahan Sosialisasi Tentang Eksistensi Dan Kompetensi Peradilan Agama, Dilaksanakan Oleh Pengadilan Agama Wonosobo Pada Tanggal 28 Juli 2007, hlm. 83 25 Dokumen Pengadilan Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
78
12
Perubahan Ikrar Wakaf dan Nadzir
1
13
Pengesahan Anak Angkat
1
14
Pembatalan Pernikahan
4
15
Penolakan Pernikahan Oleh PPN
-
16
Kelalaian Kewajiban Suami/Istri
-
17
Nafkah Anak Oleh Ibu
-
18
Hak-hak Bekas Istri
-
19
Pencabutan Kekuasaan Orang Tua
-
20
Pencabutan Kekuasaan Wali
-
21
Penunjukan Orang Lain Sebagai Wali
-
22
Ganti Rugi Terhadap Wali
-
23
Asal-Usul Anak
-
24
Penolakan Nikah Campur
-
25
Kewarisan
-
26
Hibah
-
27
Shadaqah
-
28
Wasiat
-
JUMLAH
824
2) Kekuasaan Relatif (Relatif Competentie) Kekuasaan relatif adalah kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya. 26 Lebih ringkasnya di sini kewenangan relatif merupakan kewenangan pengadilan dalam menangani
26
Riduan Syahrani, HukumAcara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta:Pustaka Kartini, 1988 hlm. 77
79
perkara-perkara bukan dilihat dari jenis perkaranya tetapi dari wilayah kekuasaan masing-masing lembaga peradilan tersebut. Kekuasaan relatif Pengadilan Agama Sleman adalah meliputi wilayah : a) Kecamatan Sleman b) Kecamatan Mlati c) Kecamatan Tempel d) Kecamatan Ngaglik e) Kecamatan Godean f) Kecamatan Turi g) Kecamatan Depok h) Kecamatan Seyegan i) Kecamatan Ngemplak j) Kecamatan Pakem k) Kecamatan Gamping l) Kecamatan Minggir m) Kecamatan Moyudan n) Kecamatan Kalasan o) Kecamatan Berbah p) Kecamatan Prambanan q) Kecamatan Cangkringan27
27
Diambil dari website PA Sleman http://pa-slemankab.go.id/. Pada hari Jum’at, tanggal 6 Juli 2011, Pukul: 15.00 Wib
80
3.
Visi Pengadilan Agama Sleman a. Terwujudnya Pelayanan Hukum Yang Baik Dan Bersih Untuk Mencapai b. Perlindungan Hukum Masyarakat Yang Adil Dan Bermartabat.
4.
Misi Pengadilan Agama Sleman 1. Mewujudkan Pelayanan Hukum Yang Baik Dan Bersih. 2. Mewujudkan Penanganan Perkara Yang Baik, Sederhana, dan Biaya Ringan. 3. Menciptakan Penyelenggaraan Persidangan Yang Tertib, Cermat, dan Bermartabat. 4. Menciptakan Putusan Yang Baik Dan Bertanggung jawab Untuk Mewujudkan Rasa Keadilan dalam Masyarakat. 5. Meningkatkan Aparatur Peradilan Yang Profesional, Bersih dan Bermoral.
5.
Struktur Organisasi Pengadilan Agama Sleman Adapun struktur organisasi sebagaimana terlampir.
28
Ibid, 26 April 2011
28
81
B. Deskripsi Putusan Perkara Nomor: 408/Pdt.G/2006/Pa.Smn Tentang Permohonan Pengakuan Anak Mengenai isi dari putusan dalam perkara pengakuan anak dengan Nomor: 408/Pdt.G/2006/Pa.Smn di Pengadilan Agama Sleman berisi beberapa hal di bawah ini: 1. Identitas Para Pihak a) Denny Agustiansyah bin H. Ibramsyah, HS, SH berumur 21 tahun pekerjaan sebagai mahasiswa, beragama Islam, dan bertempat tinggal di jalan Wirajaya RT.01 RW.29. No. 308, Kelurahan Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, yang selanjutnya disebut PEMOHON, b) Ika Oktavianie Zair Binti Ahmad Zair, umur 22 tahun, agama Islam, pekerjaan Mahasiswi, dan bertempat tinggal di Jalan Wirajaya RT.01 RW.29 No. 308, Kelurahan Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, selanjutnya disebut TERMOHON 29 2. Duduk Perkara Bahwa Pemohon telah mengajukan surat permohonannya tertanggal 11 Juli 2006 dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Sleman tanggal 11 Juli 2006 Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn, dengan tambahan dan
29
Diambil dari putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dokumen Pengadilan Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
82
perubahan olehnya sendiri di muka persidangan yang disimpulkan sebagai berikut: Pemohon dan Termohon adalah suami istri yang sah, menikah pada tanggal 20 Agustus 2005 di Kantor Urusan Agama Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman dengan Nomor Kutipan Akta Nikah; 530/42/VIII/2005. Sebelum tanggal pernikahan tersebut Termohon telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah, lahir 13 November 2004, bertempat tinggal di Jln. Nuri Blok T No.1 BTN, RT.17, Desa Belimbing, Kecamatan Bontang Barat. Pemohon mengakui bahwa anak yang bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah, lahir 13 November 2004 adalah benar-benar anak dari hubungan suami istri Pemohon dan Termohon, dan Pemohon mengakui bahwa anak tersebut anak kandung dari hubungan Pemohon dan Termohon. Pemohon dan Termohon menikah setelah anak yang bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah, umur sekitar 9-10 bulan. Pemohon mengajukan pengakuan anak yang bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah, lahir 13 November 2004 terhadap Termohon guna pembuatan Akta Kelahiran tersebut dengan identitas sebagai anak Pemohon dan Termohon, bukan hanya bernasab pada Termohon saja (Ibunya). Anak yang bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah, lahir 13 November 2004 tersebut tidak pernah diakui oleh orang lain (pihak ke tiga).
83
Anak tersebut sekarang diasuh oleh orang tua Termohon di Bontang Barat, Kalimantan Timur.30 Bahwa berdasarkan uraian dan alasan tersebut di atas, Pemohon mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Sleman cq. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut. PRIMAIR:: 1) Mengabulkan permohonan Pemohon dan Termohon. 2) Menetapkan anak yang bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah, lahir 13 November 2004 adalah anak syah dari Pemohon dan Termohon. 3) Membebankan biaya perkara menurut hukum. SUBSIDAIR: Mohon putusan yang seadil-adilnya. Menimbang, bahwa pada hari persidangan perkara ini Pemohon datang in person dan Termohon in person. Setelah Majelis Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang beperkara akan tetapi tidak berhasil,
30
Diambil dari putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dokumen Pengadilan Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
84
maka kemudian dibacakan surat permohonan Pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon. 31 Menimbang,
bahwa
terhadap
permohonan
Pemohon
tersebut
Termohon mengajukan jawaban secara lisan yang disimpulkan sebagai berikut: Bahwa
alasan
yang
dikemukakan
Pemohon
dalam
surat
permohonannya adalah benar semua kalau Pemohon hendak mengakui terhadap anak tersebut. Menimbang, bahwa pemohon telah mengajukan bukti tertulis dan bukti-bukti saksi sebagai berikut: a) Alat Bukti Tertulis 1) Photocophy Kartu Tanda Penduduk Pemohon bermeterai cukup, dilegalisir Panitera dan telah sesuai dengan aslinya. 2) Photocophy Kartu Tanda Penduduk Termohon bermeterai cukup, dilegalisir Panitera dan telah sesuai dengan aslinya. 3) Photocophy keterangan lahir dari rumah sakit bersalin bermeterai cukup, dilegalisir Panitera dan telah sesuai dengan aslinya. 4) Photocophy kutipan akta nikah Pemohon bermeterai cukup, dilegalisir Panitera dan telah sesuai dengan aslinya.
31
Diambil dari putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dokumen Pengadilan Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
85
b) Alat Bukti Saksi 1) Donny bin H. IBRAMSYAH, HS, SH., yang memberikan keterangan di bawah sumpahnya sebagai berikut: Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi sebagai adik kandung dari Pemohon. Saksi hadir pada saat akad nikahnya bahwa sebelum Termohon dan Pemohon menikah telah punya anak RAMDHANI DEKA AZLATAN NOVTIANSYAH (lakilaki), mereka berpacaran sejak SMA. Pemohon mau mengakui anak tersebut dan Termohon tidak keberatan serta tidak ada pihak lain yang keberatan. Sewaktu saksi ditanya ayah Pemohon apakah benar mereka sudah mempunyai anak? Saksi menjawab benar, lalu mereka dinikahkan. 32 2) SUAMRTI bin KARTOIJAN yang memberikan keterangan di bawah sumpahnya sebagai berikut: Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi sebagai Bu Lik dari Termohon. Mereka telah melangsungkan pernikahan bulan Agustus, sekarang mereka telah dikaruniai dua orang anak. Anak yang pertama bernama RAMDHANI DEKA AZLATAN NOVTIANSYAH (laki-laki), lahir sebelum nikah yang sekarang diasuh oleh ibu Termohon karena saat itu Termohon belum siap
32
Diambil dari putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dokumen Pengadilan Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
86
mengasuhnya. Pemohon mau mengakui anak tersebut dan Termohon maupun semua keluarga tidak keberatan. 3. Pertimbangan Hukum Oleh Majelis Hakim Menimbang, bahwa majelis hakim telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak agar tidak usah Pemohon mengakui anak tersebut akan tetapi Pemohon tetap mau mengakui anak tersebut. Menimbang, bahwa dalil-dalil pemohon yang telah menjadi tetap karena telah diakui oleh Termohon yang dikuatkan dengan saksi-saksi dan alat bukti tertulis P.1, P.2, P.3, dan P.4 atau setidak-tidaknya telah disangkal tanpa alasan yang cukup adalah a. Tempat tinggal Pemohon adalah sebagaimana tersebut dalam surat permohonannya. b. Bahwa antara Pemohon degan Termohon telah terjadi perkawinan yang sah tanggal 20 Agustus tahun 2002 di Kantor Urusan Agama Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. c. Bahwa dari perkawinan tersebut telah di karuniai anak sebanyak satu orang d. Bahwa
Termohon
sebelum
nikah
sudah
punya
anak
bernama
RAMDHANI DEKA AZLATAN NOVTIANSYAH Menimbang, bahwa menurut kesimpulan majelis hakim pokok permohonan Pemohon ialah mohon anak Termohon bernama RAMDHANI
87
DEKA AZLATAN NOVTIANSYAH dapat diakui juga sebagai anak Pemohon dengan alasan: Bahwa
sebelum
Pemohon dengan Termohon
menikah telah
berhubungan kelamin dan telah lahir anak tersebut sebelum Pemohon dengan Termohon menikah, alasan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama harus dibuktikan hal-hal yang menjadi hal pokoknya yaitu: a. Apakah benar Pemohon dengan Termohon mengadakan hubungan kelamin sebelum nikah dan lahir anak tersebut. b. Apakah Termohon tidak keberatan terhadap pengakuan Pemohon tersebut. c. Bahwa ada pihak lain yang keberatan33 Menimbang, bahwa atas permohonan pengakuan anak tersebut Termohon memberikan jawaban secara lisan yang pada pokoknya sebagai berikut: Benar antara Pemohon dengan Termohon berhubungan kelamin sebelum nikah dan telah lahir anak tersebut di luar nikah dan Termohon tidak keberatan kalau Pemohon mengakui anak tersebut menjadi anaknya dan semua keluarga setuju serta tidak ada orang lain yang keberatan.
33
Diambil dari putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dokumen Pengadilan Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
88
Menimbang,
bahwa
Pemohon
untuk
meneguhkan
dalil
permohonannya telah mendatangkan alat bukti berupa alat tertulis dan saksisaksi: Donny bin H. IBRAMSYAH, HS, SH. dan SUAMRTI bin KARTOIJAN keduanya menerangkan Pemohon dengan Termohon sebelum nikah telah berhubungan kelamin dan telah lahir anak bernama RAMDHANI DEKA AZLATAN NOVTIANSYAH yang lahir sebelum mereka nikah kini Pemohon mau mengakui anak tersebut sebagai anaknya dan Termohon maupun keluarganya tidak keberatan atas pengakuan Pemohon tersebut Menimbang, bahwa berdasarkan pernyataan Pemohon dan pengakuan Termohon yang dikuatkan dengan alat bukti tertulis dan kesaksian tersebut yang secara materiil bersesuaian antara satu dengan lainnya, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Pemohon telah dapat membuktikan bahwa pemohon dengan Termohon sebelum menikah telah berhubungan kelamin dan telah punya anak dan Termohon maupun semua keluarga tidak keberatan kalau Pemohon mengakui anak yang bernama RAMDHANI DEKA AZLATAN NOVTIANSYAH, sebagai anaknya Menimbang, bahwa pengakuan anak dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dengan tegas diatur, namun tersebut dalam Pasal 53 wanita hamil di luar
89
nikah dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. Pasal tersebut adalah sebenarnya bersandar pada Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 3. 34 Falsafah hukum Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an Surat AnNur ayat 3 dan dijadikan landasan pasal 53 Kompilasi Hukum Islam tersebut adalah dalam rangka perlindungan dan ke-maslahat-an anak yang telah terjadi proses pembuahannya di luar nikah. 35 Hal tersebut muncullah kaidah hukum:
Artinya: “Hukum itu mengikuti ke-maslahat-an yang ada”. Berdasarkan fakta-fakta yang telah terbukti telah memenuhi pasal 3 undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak jo. Pasal 49 Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang amandemen Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Permohonan Pemohon dapat dikabulkan. Menimbang, bahwa karena permohonan, pengakuan Pemohon terhadap anak bernama RAMDHANI DEKA AZLATAN NOVTIANSYAH adalah diakui sebagai anak syah dari pemohon dan termohon berdasarkan pengakuan pemohon.
34
Diambil dari putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dokumen Pengadilan Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011 35 Wawancara dengan: Ibu Hj. Sri Murtinah, S.H., M.H (Hakim Pengadilan Agaman Sleman), Hari Kamis, 5 Juli 2011, Pukul: 10.00 Wib, Di Lantai II Gedung PA Sleman
90
Mengingat, segala peraturan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan Kompilasi Hukum Islam yang berkaitan dengan perkara ini. 4. Amar Putusan a. Mengabulkan permohonan Pemohon b. Menetapkan anak yang bernama RAMDHANI DEKA AZLATAN NOVTIANSYAH lahir 13 November 2004 adalah diakui sebagai anak syah dari Pemohon dan Termohon berdasarkan pengakuan Pemohon. c. Membebankan kepada Pemohon untuk membebankan biaya perkara sebesar Rp 226.000,00 (dua ratus dua puluh enam ribu rupiah) Demikian keputusan tersebut di atas dijatuhkan berdasarkan permusyawarahan Majelis pada 27 Juli 2006 M pada sidang terbuka dan dihadiri oleh Pemohon dan Termohon, bertepatan dengan tanggal 02 Rajab 1427 H. Oleh Drs. MASLIHAN SAIFURROZI, S.H., M.H sebagai hakim Ketua. SRI MURTINAH, S.H., dan Drs. LANTJARTO masingmasing sebagai hakim anggota dibantu oleh SUHARTO, S.H sebagai panitera pengganti.36
36
Diambil dari putusan Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Dokumen Pengadilan Agama Sleman , didapatkan pada riset tanggal 26 April 2011
BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SLEMAN NOMOR 408/PDT.G/ 2006/PA.SMN TENTANG PENGESAHAN ANAK DI LUAR NIKAH
Terkait masalah keberadaan anak luar nikah yang telah di bahas pada Bab III mengenai
kasus perkara No.408/Pdt.G/2006/PA.Smn tentang pengakuan ayah
biologis terhadap anak yang lahir di luar pernikahan yang sah, dalam perkara tersebut pemohon yang bernama Denny Agustiansyah bin H. Ibramsyah, HS, SH mengajukan permohonan pengakuan anak yang bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah yang lahir pada tanggal 13 november 2004 terhadap termohon yang bernama Ika Octavianie Zair bin Achmad Zair guna pembuatan akta kelahiran anak tersebut dengan identitas sebagai pemohon dan termohon bukan hanya bernasab pada termohon saja. Majelis hakim memutus perkara tersebut berdasarkan pertimbangan hukum bahwa pengakuan anak dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dengan tegas diatur, namun tersebut dalam Pasal 53 wanita hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. Pasal tersebut adalah sebenarnya bersandar pada AlQur‟an Surat An-Nur ayat 3. Falsafah hukum Islam yang terkandung dalam Al-Qur‟an Surat An-Nur ayat 3 dan dijadikan landasan pasal 53 Kompilasi Hukum Islam tersebut adalah dalam rangka perlindungan dan ke-maslahat-an
91
anak yang telah terjadi proses
92
pembuahannya di luar nikah.1 Hal tersebut muncullah kaidah hukum:
الحكم يتبع
المصلحة الراجحةArtinya: “Hukum itu mengikuti ke-maslahat-an yang ada”. Berdasarkan fakta-fakta yang telah terbukti telah memenuhi pasal 3 undangundang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak jo. Pasal 49 Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang amandemen Undang-undang
nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama Oleh karena itu permohonan pemohon yang bernama Denny Agustiansyah bin H. Ibramsyah, HS, SH terhadap anak bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah adalah diakui sebagai anak syah dari pemohon dan termohon berdasarkan pengakuan termohon. A. Analisis Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengesahan Anak Di Luar Nikah Dalam Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan Agama Sleman Dalam
pertimbangan
hukum
perkara
No.408/Pdt.G/2006/PA.Smn
menyatakan Pasal 53 KHI wanita hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. Pasal tersebut bersandar pada Al-Qur‟an Surat an-Nur ayat 3 yang berbunyi:
1
Wawancara dengan: Ibu Hj. Sri Murtinah, S.H., M.H (Hakim Pengadilan Agaman Sleman), Hari Kamis, 5 Juli 2011, Pukul: 10.00 Wib, Di Lantai II Gedung PA Sleman
93
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin” (Q.S an-Nur Ayat 3) 2 Ibnu A‟syur berpendapat bahwa ayat ini mendahulukan penyebutan lelaki pezina atas perempuan pezina, karena ayat ini adalah penjelasan menyangkut asbabun nuzul-nya yaitu mengenai kasus Murtsid Ibn Abu Murtsid yang sering kali menyelundupkan tawanan tawanan muslim di Mekkah menuju Madinah. Sebelum sahabat nabi ini memeluk Islam, ia mempunyai teman yang bernama A‟naq yang mengajak tidurnya bersama, tetapi ia menolak sambil menyatakan Bahwa Islam mengharamkan perzinaan. Sang wanita itu marah dan membongkar rahasia tugas Murtsid sehingga ia dikejar dengan delapan orang kaum musyrikin. Tetapi akhirnya ia berhasil menghindar bahkan mengantar seorang lagi tawanan ke Madinah, ia kemudian meminta izin kepada Rasul SAW. Untuk mengawini bekas teman kencannya itu, Rasul tidak memberi jawaban sampai turunnya ayat ini, lalu beliau melarang Murtsid mengawininya 3 Riwayat lain lagi menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan sahabat nabi ingin menikahi seorang tuna susila yang bernama Ummu Mahzul dan sekelompok kaum muslimin yang di beri gelar ahl ash-Shuffah, mereka ingin kawin tetapi tidak memiliki kemampuan sehingga mereka bermaksud mengawini 2
Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa‟ud, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da‟wah Dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia. hlm 543 3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur‟an, Jilid VII, Jakarta: Lentera Hati, 2004 hlm 8
94
wanita-wanita tuna susila Madinah, sekaligus memperoleh kebutuhan pokok mereka. Ulama‟ bermazhab Hambali dan Zahiri menetapkan bahwa perkawinan dengan pelaku zina (laki-laki atau perempuan) tidak dianggap sah sebelum adanya pengakuan taubat. Beberapa Ulama‟ memahami ayat di atas dalam arti galibnya, seorang yang cenderung dan senang berzina enggan menikahi orang yang taat beragama. Demikian juga wanita pezina tidak diminati oleh laki-laki yang taat beragama. Hal itu tentu saja karena masing-masing ingin mencari pasangan yang sejalan dengan sifat-sifat mereka masing-masing, sedangkan perzinaan dengan kesalehan adalah dua hal yang bertolak belakang Firman Allah pada surat tersebut mengenai (
)
wahurrima dzalika „ala‟ al-mu‟minin yang memiliki arti: “Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin” diperselisihkan juga oleh kalangan para Ulama‟. Ada yang berpendapat bahwa asbab nuzul-nya ayat ini khusus bagi kasus Murtsid dan A‟naq yang merupakan seorang pezina juga termasuk wanita kafir, sehingga ayat tersebut tidak berlaku bagi pezina muslimah. Ada juga yang mengartikan bahwa kata itu pada penutup pada ayat ini menunjukkan pada perzinaan bukan perkawinan sehingga ayat ini berarti “perzinaan diharamkan atas orang-orang mukmin” 4
4 Ibid, hlm 9
95
Ada lagi yang memahami kata “diharamkan” bukan dalam pengertian hukum, tetapi dalam pengertian keabsahan yakni “terlarang” dan dengan demikian, ayat ini bagaikan berkata itu tidak wajar dan tidak baik Salah satu implikasi dari ayat ini adalah perkawinan yang didahului oleh kehamilan. Banyak Ulama‟ yang menilainya sah, sahabat nabi Ibn Abbas berpendapat bahwa hubungan kedua jenis kelamin yang tidak didahului oleh pernikahan yang sah, lalu dilaksanakan sesudahnya pernikahan yang sah menjadikan hubungan tersebut awalnya haram dan akhirnya halal. Atau dengan kata lain perkawinan seorang yang telah berzina dengan seorang wanita dan kemudian menikahinya dengan sah adalah seperti keadaan seseorang yang mencuri buah dari kebun seseorang kemudian membeli dengan sah kebun tersebut dengan seluruh buahnya. Apa yang dicurinya (sebelum pembelian itu adalah haram, sedang yang dibelinya setelah itu adalah halal). 5 Dalam hal boleh atau tidaknya menikahi wanita hamil, terjadi disparitas pendapat dikalangan fukaha, di antaranya sebagai berikut: 1. Ulama‟ Hanafiyah berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil bila yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya.
5
Ibid, hlm 9 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamiyyu Wa‟adillatuhu, Damaskus: Dar el-Fikr, Cet. II, Jilid IX. hlm 6648 6
96
Alasannya adalah wanita hamil akibat zina tidak termasuk ke dalam golongan wanita-wanita yang haram dinikahi7. Akan tetapi, bila yang menikahi bukan laki-laki yang menghamilinya, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama‟ ini. a. Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa hukum akad menikahi wanita hamil dengan laki-laki bukan yang menghamilinya adalah sah hanya saja wanita tersebut tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan kandungannya
7
Lihat Q.S an-Nisa‟ 22,23,24 artinya:” Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh”. “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudarasaudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. 8 Wahbah al-Zuhaili, Op. Cit, 6649
97
Alasan sahnya seperti yang telah dikemukakan di atas, namun mengapa tidak boleh disetubuhi?, hal ini berdasarkan hadits Nabi S.A.W.
Artinya: “Dari Rufai' bin stabit al anshari, berkata: telah berdiri di hadapan kita seorang khatib, berkata: adapaun saya tidak berkata kecuali apa yang telah saya dengar dari Rasulullah Saw, beliau berkata: di hari hunian, beliau berkata: Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain”. (HR Abu Dawud) b. Abu Yusuf dan Zafar berpendapat, hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina dengan laki-laki lain yang bukan menghamilinya. Karena, kehamilan itu menyebabkan terlarangnya persetubuhan, maka terlarang pula akad menikahi wanita hamil tersebut. Sebagaimana hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil bukan karena zina, tidak sah pula menikahi wanita hamil akibat zina.
9
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyt‟ats bin Ishak, Sunan Abi Dawud, Semarang: CV asySyifa‟ Juz II. hlm 113-114 10 Wahbah al-Zuhaili, Op. Cit 6649
98
2. Ulama‟ Syafi‟iyah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya maupun yang bukan menghamilinya. 11 Alasannya, karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang haram dinikahi. Mereka juga berpendapat, karena akad nikah yang dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang di nikahi tersebut halal (boleh) untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil.
Kemudian dalam persoalan adakah „iddah bagi wanita hamil karena zina Imam Hanafi, as-Syafi‟i, dan mayoritas Ulama‟ mazhab Imamiyah mengatkan: “ Wanita yang berzina tidak wajib ber-„iddah, sebab sperma lakilaki yang menzinainya, tidak perlu dihormati”. Dengan demikian seorang laki-laki boleh melakukan akad dengan wanita yang pernah melakukan zina. 13 3. Ulama‟ Malikiyah berpendapat bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar suka sama suka maupun karena di perkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra‟. Bagi wanita merdeka dan tidak hamil, istibra‟-nya tiga kali haid, sedangkan bagi amat (bukan wanita merdeka) istibra‟-nya cukup satu kali haid. Tapi,
11
Memed Humaedillah, OP. Cit. hlm. 36 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu „alal Mazahibul „Arba‟ah (Mesir: al-Maktabah atTijariyah al-Kubra) juz IV. hlm 523 13 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja‟far, Hanafi, Maliki, Syafi‟i, Hambali), Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 474 12
99
bila ia hamil baik merdeka atau amat istibra‟-nya sampai melahirkan kandungannya.
Dengan demikian, Ulama‟ Malikiyah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya, apalagi bila ia bukan yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil (belum istibra‟), akad nikah itu fasid dan wajib di fasakh
Pedapat Ulama‟ malikiyah ini di dasarkan pada hadits Nabi SAW.
Artinya: “Dari Rufai' bin stabit al-Anshari, berkata: telah berdiri di hadapan kita seorang khatib, berkata: adapaun saya tidak berkata kecuali apa yang telah saya dengar dari Rasulullah Saw, beliau berkata: di hari hunian, beliau berkata: “Tidak halal bagi seorang yang
14
Wahbah al-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 7213 Ibid, hlm. 6650 16 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyt‟ats bin Ishak, Op.Cit. hlm 113-114 15
100
beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain”. (HR Abu Dawud) 4. Ulama‟ Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil karena zina, baik laki-laki yang bukan menzinainya maupun laki-laki yang menzinainya (karena dia tahu pasti bahwa wanita itu telah berbuat zina dengan dirinya), kecuali wanita tersebut telah memenuhi dua syarat sebagai berikut: Pertama, telah habis masa „iddah-nya. Jika ia hamil maka „iddah-nya sampai ia telah melahirkan kandungannya. Bila akad nikah tersebut dilangsungkan dalam keadaan hamil maka tidak sah akad nikah tersebut.
Adapun dasar yang digunakan Ulama‟ Hanabilah adalah hadits nabi yang berbunyi:
Artinya: “Dari abi Sa‟id r.a bahwa Nabi saw. Bersabda tentang tawanan wanita Authos. Tidak bercampur dengan wanita yang hamil hingga
17 18
Wahbah al-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 6650 Abu Dawud Sualiaman bin al-Asy‟ats bin Ishak, Op. Cit. Hlm. 248
101
ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidnya sekali”(H.R. Abu Dawud) Syarat yang kedua, adalah pelaku zina telah bertobat dari perbuatan zinanya
Di dalam KHI menerangkan hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina bila yang menikahi itu adalah laki-laki yang menghamilinya. Bila yang menikahi bukan laki-laki yang menghamilinya, hukumnya menjadi tidak sah karena pasal 53 ayat 1 KHI tidak memberikan peluang untuk itu. Secara lengkap isi pasal 53 KHI adalah sebagai berikut: (1) Seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat di langsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahian anaknya (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak di perlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Sebagaimana yang tertuang pada pasal 53 ayat 1, KHI membatasi pernikahan wanita hamil hanya dengan pria yang menghamilinya, tidak memberi peluang dengan laki-laki lain yang bukan menghamilinya. Karena itu, kawin darurat yang selama ini masih terjadi di Indonesia, yaitu kawin dengan sembarang laki-laki, yang dilakukan hanya untuk menutupi malu (karena sudah terlanjur hamil), baik istilahnya kawin “tembelan”, “pattongkogsi sirig”, atau orang sunda menyebutkan kawin, “nutupan kawirang”, oleh KHI di hukumi tidak sah20
19
Wahbah al-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 6650 Syarifuddin Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer Di Indonesia, Jakarta: Ciputat Pers, Cet.1, 2002. hlm 199 20
102
Oleh karena adanya akad nikah wanita hamil maka akan timbul pula status hukum terhadap anak yang dihamilkan sebelum akad. Para Ulama‟ mazhab fiqh sependapat dalam hal perkawinan yang sah, bila seorang melahirkan anak, anak itu bisa dihubungkan nasabnya kepada suaminya. ِإ
Akan tetapi dalam hal menghubungkan nasab anak kepada ayahnya, terdapat beberapa syarat yang harus terpenuhi, di antaranya: anak tersebut dilahirkan setelah berlalunya waktu enam bulan sejak terjadinya akad nikah (menurut ulama‟ Hanafiyah) atau enam bulan sejak terjadinya persetubuhan suami istri (menurut mayoritas Ulama‟ mazhab). 21 Bila anak lahir kurang dari enam bulan dari waktu akad atau dari persetubuhan suami istri anak tersebut tidak bisa di hubungkan nasabnya kepada suami wanita yang melahirkannya itu, karena hal ini bisa menjadi petunjuk bahwa kehamilan telah terjadi sebelum terjadinya perkawinan. Kecuali, jika suami mengakui bahwa anak yang dilahirkan itu hasil persetubuhan setelah berlangsungnya akad nikah. Apabila suami mengakui persetubuhan dilakukan sebelum akad nikah maka tidak bisa dinisbatkan nasabnya kepada suaminya.
21
Memed Humaedillah, OP. Cit. hlm. 45
103
ِإ
Dalam hal memperbolehkan pernikahan wanita hamil dengan laki-laki yang menghamilinya sebagaimana yang tercantum pada pasal 53 KHI tersebut di atas, penulis melakukan otokritik terhadap pasal tersebut, penulis cenderung tidak sependapat dengan sahnya akad nikah wanita hamil. Jika diamati, wanita yang melangsungkan pernikahan pada saat hamil, dapat diasumsikan ia telah melakukan perbuatan zina sebelum akad nikah. 22 Padahal perbuatan zina sangat dikecam oleh Allah SWT bahkan kita dilarang jangan sekalipun mendekati perbuatan zina. sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur‟an surat Al-Isra‟ ayat 32 yang berbunyi:
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.23 Oleh
karena
itu,
untuk
mencegah
perbuatan
amoral
tersebut
diberlakukannya hukuman hadd bagi pelaku zina, yakni: pelaku zina ghairu muhson (laki-laki dan perempuan yang berzina tidak dalam ikatan pernikahan yang sah oleh siapa pun) diganjar dengan hukuman hadd yaitu dera 100 kali dan diasingkan (dipenjarakan) selama satu tahun, sedangkan bagi pelaku zina muhson
22
Ibid, hlm. 45 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa‟ud, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit, hlm 429 23
104
(laki-laki dan perempuan yang berzina telah memiliki hubungan pernikahan secara sah dengan orang lain) hukuman hadd-nya adalah di rajam sampai mati. 24 Seperti halnya firman Allah dalam Al-Qur‟an surat an-Nur ayat 2 yakni:
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orangorang yang beriman.25
ِعََليْه
Artinya: “ Dari „Ubadah bin Shomit berkata: Rasulullah SAW bersabda: ambillah dariku dan terimalah ketentuanku, sesungguhnya kini Allah telah menetapkan keputusan bagi mereka (para pezina): bagi pezina yang belum menikah hukumannya dicambuk 100 kali dan diasingkan (dipenjarakan) satu tahun. Sedang bagi pezina yang telah menikah, dicambuk 100 kali dan dirajam sampai mati. (HR. Muslim) Kemudian
apabila
dikaitkan
antara
pasal
53
KHI
tentang
diperbolehkannya melangsungkan akad nikah wanita hamil dengan UndangUndang No.1 Tahun 1974 pasal 42 yang berbunyi “Anak yang sah adalah Anak
24
A.Rahman I. Doi, Hudud dan Kewarisan (Syariah Ii), alih bahasa Zainuddin dan Rusydi Sulaiman, cet. Ke 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 41 25 Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit, hlm 543 26 Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya‟ at-Turats al-„Arabi, t.th, hlm. 1316.
105
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”. Apabila wanita yang melangsungkan akad nikah ketika hamil kemudian melahirkan anak setelah adanya akad nikah yang dilangsungkan secara sah, anak tersebut dapat dinasabkan kepada suami dari wanita tersebut, memang dalam pasal 53 KHI yang boleh menikahi wanita hamil haruslah laki-laki yang menghamilinya, agar lakilaki tersebut dapat bertanggung jawab atas perbuatannya. Kendatipun demikian anak tersebut notebenenya adalah anak dari hasil hubungan di luar pernikahan yang sah atau hasil dari perbuatan zina. 27 Hal ini sangat kontradiktif dengan hadits nabi yang melarang penasaban anak zina kepada ayah biologisnya.
Artinya: “Dari Aisyah dia berkata: bertikai Sa‟ad bin abi Waqas dan Abdullah bin Za‟mah terkait dengan budak Sa‟ad berkata: “ini, wahai Rasulullah anak saudara saya, Utbah bin Abi Waqas, telah berjanji kepada saya 27
Imam asy-Syafi‟i berpendapat anak perempuan hasil zina boleh dinikahi ayahnya, karena Allah menjadikan pernikahan sebagai nikmat. Sedangkan zina sebagai bencana. Menurut asy-Syafi‟i anak hasil perbuatan zina tidak layak dianggap sebagai keturunan (nasab) karena itu hubungan dengan ayahnya adalah hubungan orang lain. Imam abu Hanifah berpendapat haram laki-laki menikahi perempuan buah perzinaannya, karena benihnya itu berasal dari dirinya Berdasarkan Q.s an-Nisa‟ayat 23. laki-laki dilarang menikahi anak perempuannya. Dalam ayat itu anak disebut sebagai “bint” yang artinya anak perempuan secara umum baik anak sah ataupun anak zina. baca: Assyaukanie Luthfie, politik, HAM dan isu-isu teknologi dan fikih kontemporer, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, hlm. 99 28 Imam Muslim, op.cit, hlm. 1080
106
bahwa dia adalah anak saya, lihatlah kemiripannya”. dan Abdullah bin Zama‟ berkata: “ini saudara saya, wahai Rasulullah, dia telah dilahirkan di atas kasur bapak saya dari ibunya”. Maka Rasul melihatnya dari kemiripannya. Kemudian dengan jelas kemiripannya dengan Utbah, dan Rasulullah berkata: ”dia milikmu wahai Abdu, anak itu dari hasil diatas kasur (pernikahan) dan bagi yang berzina baginya adalah batu”. Oleh karena itu, penulis dapat berpendapat bahwa persoalan penasaban anak kepada ayahnya memiliki fungsi penting, baik pada dimensi kehidupan sosial (profan) dan dari segi ubudiyyah kepada Allah SWT. Pada dimensi sosial (profan) persoalan nasab anak berfungsi untuk mengetahui secara pasti, siapakah ayah dari anak yang telah dilahirkan seorang wanita, karenanya akan timbul hakhak anak yang menjadi kewajiban si ayah akibat penasaban tersebut. Hak anak itu antara lain adalah mendapatkan nafkah, memperoleh hak perwalian, dan memperoleh hak sebagai ahli waris dari ayah kandungnya. Hak-hak perlindungan anak sebagaimana tadi, secara filosofis merupakan salah satu dari tujuan ditegakkannya syari‟at Islam (maqasid al-syari‟ah) termasuk dalam kategori Hifzh an-Nasl.29 Di sisi lain, adanya pelarangan penasaban anak akibat perbuatan zina kepada ayahnya adalah untuk mencegah maraknya perbuatan zina, sekaligus memberikan sanksi moral terhadap pelakunya. Jika sanksi moral ini diterapkan eksesnya juga berdampak psikis kepada anak, keluarga dan juga masyarakat
29
Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Terj. Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995, hal. 225
107
sekitar untuk tidak melakukan perbuatan zina karena akan merusak dan menghilangkan penisbatan anak kepada ayah biologisnya yang melakukan zina. Menerapkan sanksi moral (pelarangan nasab anak zina kepada ayah biologisnya) tersebut juga mengandung dimensi ubudiyyah, karena adanya niat untuk menata kehidupan yang sejalan dengan nilai-nilai agama termasuk dalam manifestasi penundukkan diri sebagai hamba yang taat terhadap perintah dan menjauhi segala larangan Allah SWT.30 Nah oleh sebab itu, meskipun nash Al-qur‟an pada surat an-Nisa ayat 22, 23 dan 24 tidak ada pelarangan terhadap nikah hamil. Akan tetapi, penulis menilai diperbolehkannya pernikahan wanita hamil justru mereduksi nilai-nilai moralitas dalam hal pelarangan zina. Juga secara normatif , bertentangan dengan hadits nabi yang melarang penasaban anak dari perbuatan zina, apabila berkiblat pada Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 42 yang membuka peluang anak hasil hubungan pernikahan dapat dinasabkan dengan ayah biologisnya jika lahir dalam ikatan pernikahan yang sah. Bahayanya, akibat diperbolehkannya melakukan akad nikah hamil, maind stream yang terbangun pada publik adalah hamil akibat perbuatan zina yang merupakan aib seseorang, dapat ditutupi dengan cara cepat-cepat melakukan pernikahan, walaupun wanita itu sebenarnya telah berbadan dua.
30
Kemudian
Satria Effendi M. Zein, Artikel: Makna, Urgensi Dan Kedudukan Nasab Dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam, Jurnal Mimbar Hukum, Nomor 42 tahun X, DITBINBAPERA Islam Dep. Agama, Jakarta, 1999 hlm. 8
108
nantinya, anak dalam kandungannya ketika lahir, dapat di nasabkan kepada suami wanita tersebut karena lahir dalam pernikahan yang sah. Sebagai problem solving permasalahan sah tidaknya akad nikah wanita hamil, Penulis lebih sependapat dengan Ulama‟ Malikiyah dan Hanabillah yang berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya, apalagi bila ia bukan yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil (belum istibra‟), akad nikah itu fasid dan wajib di fasakh, wanita hamil tersebut boleh dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya jika wanita tersebut telah memenuhi dua syarat yaitu: Pertama, wanita hamil tersebut telah melahirkan kandungannya. Kedua, laki-laki dan perempuan pelaku zina telah bertobat dari perbuatan zinanya. Untuk itu kedua pendapat Ulama‟ mazhab tersebut perlu di formulasikan dalam hukum positif, sehingga hukum yang mencakup nilai-nilai ideational (yaitu kebenaran absolut sebagaimana yang diwahyukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa) dapat digunakan sebagai instrumen untuk menata kehidupan sosial masyarakat (social engineering). Yang dimaksud dalam hal ini adalah larangan pernikahan wanita hamil merupakan upaya hukum yang bersifat preventif menolak kemadharat-an daripada mendahulukan ke-maslahat-an
31
Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliah dan Fiqhiyah: Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet. 4, hlm 137
109
dan juga mendahulukan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi
Lebih jelasnya, sisi madharat yang harus dicegah atau kepentingan publik yang harus didahulukan adalah terjadinya tren pernikahan hamil pada masyarakat, akibat asumsi publik bahwa aib wanita yang hamil di luar pernikahan akibat zina dapat ditutupi dengan melangsungkan pernikahan dan anak tersebut tetap bisa mendapatkan nasab kepada suaminya, sebagai bukti formilnya dalam akta kelahiran anak dapat tercantumkan nama ayahnya. Dari sisi ke-maslahahan-nya atau kepentingan pribadinya yang dikesampingkan adalah mengurangi beban psikologis ibu yang harus menanggung malu dan merawat anak tersebut sendirian. Menurut penulis sisi ke-maslahahan bagi sang ibu bisa tercapai dengan cara menikahkan dengan pasangan zinanya, asalkan dengan syarat keduanya telah bertaubat dan menunggu sampai bayi itu lahir. Karena dari sudut dalil aqli menikahkan pria atau wanita dengan pasangan zinanya akan membawa manfaat yang lebih besar dibanding dengan tidak menikahkan mereka. Manfaat tersebut di antaranya adalah: 1. Dapat memperkecil mereka melakukan perbuatan zina dengan orang yang sama atau dengan orang yang lain lagi.
32
Asjmuni Rahman, Qai‟dah-Qaidah (Qawai‟dul Fiqhiyah), Cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 30
110
2. Mendidik rasa tanggung jawab kepada mereka atas perbuatan zinanya karena itu mereka diikat dengan pernikahan 3. Di antara mereka pelaku perbuatan zina tersebut karena atas dasar suka sama suka sudah terjalin rasa saling menyukai. Jika mereka tidak dinikahkan terbuka kesempatan besar bagi mereka berdua untuk mengulangi perbuatan zina yang telah mereka lakukan. 4. Jika mereka tidak dinikahkan berarti memberi peluang bagi mereka untuk lebih luas gentayangan mencari mangsa, dijadikan pasangan zina mereka yang baru. 33 B. Analisis Istinbat Hukum Hakim Mengenai Pengesahan Anak Di Luar Nikah Dalam Putusan Nomor 408/Pdt.G/ 2006/Pa.Smn Di Pegadilan Agama Sleman Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara No.408/Pdt.G/ 2006/ PA.Smn menyebutkan bahwa pengakuan anak dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dengan tegas diatur. Kendatipun demikian hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dengan alasan bahwa tidak ada atau tidak jelas hukum yang mengaturnya. 34 Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia No 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tercantum pada Pasal 56 ayat (1) yang berbunyi: ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu 33
Muhammad Abduh Malik, Menikahkan Pelaku Zina, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Nomor 54 tahun XII, DITBINBAPERA Islam Dep. Agama, Jakarta, 2001 hlm. 95 34 Wawancara dengan Drs. H. Wahdi Afani, M.S.I (Hakim Pengadilan Agama Sleman), Di lantai II Kantor PA Sleman, Pada Hari Senin, Tanggal 26 april 2011, Pukul: 10.00 Wib.
111
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya” 35 Jika merujuk pada Undang-undang Republik Indonesia No 03 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia No 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pada pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shdaqah, dan ekonomi syari‟ah”36, Perkara pengakuan anak di luar nikah termasuk dalam kategori pernikahan yang merupakan kewenangan absolut Pengadilan Agama Selain itu, ketika tidak ada peraturan yang tegas mengatur suatu perkara justru di situlah hakim memililiki independensi dalam menggali dan menetapkan hukum,
37
sebagaimana yang tercantum pada pasal 27 ayat 1 Undang-undang No
14 Tahun 1970 dinyatakan bahwa: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat”.38 Adanya ketentuan tersebut membuktikan bahwa tugas hakim tidak hanya terbatas pada mengadili berdasarkan hukum-hukum yang ada, akan tetapi juga 35
Tim Penyusun Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: 2000, hlm 85 36 Tim Penyusun, Bahan Sosialisasi Tentang Eksistensi Dan Kompetensi Peradilan Agama, Dilaksanakan Oleh Pengadilan Agama Wonosobo Pada Tanggal 28 Juli 2007, hlm. 83 37 Wawancara dengan Drs. H. Wahdi Afani, M.S.I (Hakim Pengadilan Agama Sleman), Di lantai II Kantor PA Sleman, Pada Hari Senin, Tanggal 26 april 2011, Pukul: 10.00 Wib. 38 http://118.96.243.50/arsip/uploads/arsip/6UUNo14Thn1970KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN.pdf
112
mencari dan menemukan hukum untuk kemudian dituangkan di dalam keputusan sesuai dengan nilai-nilai hukum yang terdapat pada masyarakat.39 Untuk menganalisa pertimbangan hakim dalam rangka perlindungan dan ke-maslahat-an anak di luar nikah tersebut sehingga muncullah kaidah hukum:
Yang berarti “Hukum itu mengikuti ke-maslahat-an yang ada”, di bawah ini penulis uraikan tentang konsep maslahah dari berbagai lini. Secara etimologi, mashlahah mempunyai makna yang identik dengan manfaat, keuntungan, kenikmatan, kegembiraan, atau segala upaya yang dapat mendatangkan hal itu. 40 Adapun mashlahah dalam istilah ahli ushul ialah:
Artinya: “Memberikan hukum syara‟ kepada suatu kasus yang tidak terdapat di dalam nashdan ijma‟ atas dasar memelihara ke-maslahat-an yang terlepas yaitu ke-maslahat-an yang tidak ditegaskan oleh syara‟ dan tidak pula ditolak ”41 Pada tataran terminologi syari‟at, Ulama‟ ushul fiqh berbeda pendapat mengenai batasan dan definisi mashlahah. Tetapi pada dataran substansi mereka telah sampai pada suatu kesimpulan bahwa mashlahah merupakan suatu kondisi
39
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006,
hlm 114 40
Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal,Yogyakart; LKiS, 2004, hlm. 76 41 H. A Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, hlm 171
113
dari upaya untuk mendatangkan suatu yang berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan diri dai suatu yang berdampak negatif (madharat) Oleh karena itu, disyari‟atkannya ajaran Islam tidak lain hanyalah untuk memelihara ke-maslahat-an
di dunia dan akhirat 42. Sehingga, tidak bisa
dipungkiri ke-maslahat-an terus menerus akan muncul, berevolusi sesuai dengan terjadinya pembaharuan pada situasi dan kondisi manusia akibat perbedaan lingkungan. 43 Bukti adanya ke-maslahat-an dalam syari‟at Islam dapat diterima berdasarkan penelitian empiris (istiqra‟) terhadap nash-nashAl-Qur‟an maupun hadits. Sebagai contoh adanya konsep ke-maslahat-an pada nashAl-Qur‟an termaktub dalam Al-Qur‟an surat Al-Anbiya: 107, Allah S.W.T berfirman:
Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Qs. Al-Anbiya: 107)44 Dan firman Allah SWT:
42
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid II, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. ke-V, 2009, h. 220. 43 Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib, Kitab Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Toha Putra, 1994, hlm 116 44 Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit, hlm 508
114
Artinya: “Hai manusia sesungguhnya telah datang ke padamu pelajaran dari tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Qs. Yunus: 57)45 Pada konteks ke-maslahat-an duniawi yang dihubungkan dengan nashnash syara‟, para fuqaha‟ terbagi dalam ketiga golongan, yaitu: Golongan pertama, berpegang teguh pada ketentuan nash golongan ini memahami nash hanya dari segi lahiriyahnya semata (tekstual) dan tidak berani memperkirakan adanyan maslahah di balik suatu nash. Mereka yang dikenal dengan julukan Zhahiriyyah ini tidak mau menerima dalil qiyas. Karena, itu mereka menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada maslahah kecuali yang dengan tegas di sebut oleh nash, dan tidak perlu mencari-cari suatu ke-maslahat-an di luar nash. 46 Golongan kedua, mencari ke-maslahat-an dari nash yang diketahui tujuannya dari „illlat-nya. Karena, mereka meng-qiyas-kan setiap kasus yang jelas mengandung maslahah, dengan kasus lain yang terdapat ketentuan nash-nya dalam maslahah tersebut. Meskipun demikian, mereka tidak sekali-kali mengklaim sesuatu kecuali apabila di dukung adanya bukti dalil khas. Sehingga tidak terjadi campur aduk antara sesuatu yang dianggap maslahah karena dorongan hawa nafsu, dengan maslahah yang hakiki (yang sebenarnya). Dengan demikian tidak ada maslahah yang dipandang mu‟tabarah (dapat di terima) kecuali apabila dikuatkan oleh nash khas. Dan pada umumnya, yang dijadikan
45 46
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, ibid , hlm 315 H. A Djazuli dan Nurol Aen, Op. cit, hlm 174
115
ukuran untuk menyatakan suatu maslahah, ialah „illat qiyas. Imam as-syafi‟I dan al-Ghozaliy termasuk dalam kelompok ini47 Golongan ketiga, setiap maslahah harus di tetapkan oleh syari‟at Islam, baik ke-maslahat-an itu diketahui secara ekplisit maupun implisit, yang sesuai dengan kerangka ke-maslahat-an yang di tetapkan oleh syari‟at Islam, yaitu dalam rangka terjaminnya keselamatan jiwa, keyakinan agama, keturunan, akal, dan harta benda. Dalam hal ini, tidak harus di dukung oleh sumber dalil yang khusus sehingga bisa disebut qiyas, tapi sebagai dalil yang berdiri sendiri yang dinamakan maslahah mursalah atau istislah. Yang termasuk kelompok ini adalah Ibnu Qayyim murid dari Ibnu Taymiyyah. 48 Meskipun pada faktanya tidak terlepas dari pro-kontra terhadap kehujjahan konsep maslahah sebagai salah satu metode istinbath hukum Islam. Perbedaan persepsi tentang maslahah tersebut itu sebenarnya bermula dari perbedaan intelektualitas antar individu sehingga tidak di temukan hakikat maslahah yang esensial yang terdapat dalam hukum Islam, atau terpengaruh keadaan yang bersifat temporal, atau di ambil berdasarkan pandangan yang bersifat lokalistik atau personal. Sebagai contoh dalam kasus haram-halanya mengambil “bunga” (tambahan atas pinjaman). Sebagian menganggap adanya maslahah mengambil bunga, dengan anggapan bahwa bunga tidak termasuk ke dalam pengertian umum
47 48
Ibid, hlm 174 Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, ,hlm. 426
116
tentang riba yang diharamkan berdasarkan nash Al-Qur‟an49. Contoh lain, adanya stigma negatif ditetapkannya saksi hukuman jilid (dera) bagi pelaku zina laki-laki dan perempuan dengan asumsi tidak ada ke-maslahat-an sama sekali pada hukuman jilid. Ada lagi yang menganggap bahwa ke-maslahat-an dalam meminum arak (khamr) itu melebihi ke-madharat-annya. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari pandangan-pandangan pemikiran keagamaan yang sempit terhadap ajaran agama terpengaruh oleh kenyataan relatif dan sekaligus juga menghindari penerapan konsep mashlahah akibat diperbudak nafsu duniawi. 50 al-Ghazali (W. 505 H) memberi barometer (mi‟yar) terhadap manfaat maupun madharat yang harus dipertimbangkan, yakni keduanya harus dikembalikan pada kehendak atau tujuan syari‟at (al-maqashid al-syariah), pada intinya terangkum dalam al-mabadi‟ al-khamsah yaitu perlindungan terhadap agama, perlindungan terhadap keselamatan jiwa, perlindungan terhadap keselamatan akal, perlindungan terhadap keselamatan keluarga dan keturunan, perlindungan terhadap keselamatan harta benda. Kelima jaminan dasar itu merupakan tiang penyangga kehidupan dunia agar umat manusia dapat hidup aman dan sejahtera. 51 Maslahah mursalah atau istislah memiliki karakteristik yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan syari‟at Islam, dan tidak di topang dengan sumber dalil yang
49
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma‟sum, et. al, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, Cet. ke-II, 1994, h hlm. 424 50 Ibid, hlm 424 51 Abu Yasid, Op. Cit, hlm. 76
117
khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkan maslahah tersebut, jika maslahah di dukung oleh sumber dalil yang khusus, maka termasuk ke dalam qiyas dalam arti umum. Dan jika terdapat ashl khas (sumber dalil yang khusus) yang bersifat membatalkan, maka maslahah tersebut menjadi batal mengambil maslahah dalam pengertian yang terakhir ini bertentangan dengan tujuan-tujuan syar‟i. 52 Imam Malik yang menggunakan dalil maslahah mursalah mencetuskan tiga syarat untuk menerapkan dalil ini, yaitu: 1. Adanya persesuaian antar maslahah yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari‟at (al-maqashid al--syari‟ah). Dengan adanya persyaratan ini berarti maslahah tidak boleh menegaskan sumber dalil yang lain, atau bertentangan dengan dalil qath‟iy. Akan tetapi harus sesuai dengan maslahah-maslahah yang memang ingin diwujudkan oleh syar‟I. misalnya maslahah itu tidak asing meskipun tidak diperkuat dengan adanya dalil khas.53 2. Maslahah itu harus masuk akal (rationable) mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, artinya ke-maslahat-an
itu
berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan madharat.54 3. Penggunanan dalil maslahah itu adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan (raf‟u haraj lazim). Dalam pengertian, seandainya maslahah yang
52
Ibid, hlm 427 Ibid, hlm 427 54 H. A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, hlm. 29 53
118
dapat diterima akal itu tidak di ambil niscaya manusia akan mengalami kesulitan. 55 Allah berfirman:
Artinya: “Dan Dia Tidak Sekali-Kali Menjadikan Untuk Kamu Dalam Agama Sesuatu Kesempitan” (Qs. Al-hajj: 78) Syarat-syarat di atas dapat mencegah penggunaan sumber dalil maslahah mursalah tercabut dari akarnya (menyimpang dari essensinya) serta mencegah dari menjadikan nash-nash tunduk kepada hukum-hukum yang di pengaruhi dengan hawa nafsu dan syahwat. Konsep mashlahah dalam syari‟at Islam dapat dikategorikan menurut sudut pandang yang berbeda-beda 1. Ditilik dari segi penilaian syar‟i (pembuat syari‟at) terhadap eksistensi mashlahah, dapat dibagi menjadi tiga bagian: a. Mashlahah yang diakui keberadaanya oleh syara‟ (al-Mashlahah alMu‟tabarah) seperti mashlahah yang terkandung dalam pensyariatan hukum qishash bagi pembunuhan sengaja, sebagai simbol pemeliharaan jiwa manusia. Adanya hadd bagi pelaku pencurian baik laki-laki maupun perempuan sebagai pemeliharaan harta benda. Sebagian Ulama‟ juga memasukkan produk hukum yang dihasilkan melalui metode qiyas (analogi) ke dalam jenis mashlahah ini. Seperti terjadinya pengharaman segala bentuk minuman yang memabukkan dengan jalan di-qiyas-kan 55
H. A Djazuli dan Nurol Aen, Op. cit, hlm 172
119
pada minuman arak (khamr) yang telah di-nash-kan keharamanya oleh AlQur‟an. Maka, muatan mashlahah dalam pengharaman segala bentuk minuman memabukkan dapat diketahui eksistensinya oleh syara‟ karena adanya kadar mashlahah yang sama dengan pelarangan jenis minuman khamr. 56 b. Mashlahah yang keberadaannya tidak diakui syara‟ (mashlahah al mulghah) jenis mashlahah ini biasanya beradapan secara kontradiktif dengan bunyi nash baik berupa Al-Qur‟an maupun hadits. Seperti maslahah bagi seorang peminum khamr yang merasa ringan dari kesusahan dunia, maslahah bagi seorang pengecut ketika absen dari medan perang, maslahah bagi pemakan riba dengan bertambahnya harta, maslahah berupa kesembuhan dengan bunuh diri bagi pasien yang sakit kronis dan sebagainya berupa maslahah individu yang ditolak oleh syara‟, para ulama sepakat tidak sah menjadikan maslahah ini sebagai landasan dalam menetapkan hukum. 57 c. Mashlahah yang didiamkan syara‟ (al-Mashlahah al-Mursalah), dalam wujud tidak adanya pengakuan maupun pembatalan secara eksplisit dari wahyu seperti pengumpulan dan pembukuan Al-Qur‟an menjadi satu mushhaf; seperti pemenjaraan bagi pelaku tindak pidana sebagai wujud
56
Moch. Tolchah Mansoer dan Noer Iskandar al-Barsany, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung: Risalah, cet. 1, hlm. 125 57 Baca lebih lanjut Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal,Yogyakart; LKiS, 2004, hlm. 89-90
120
pengejawantahan dari ketentuan hukuman pidana dalam Islam, pengadaan mata uang berikut sistem sirkulasinya dalam sebuah mekanisme pasar. Contoh-contoh tersebut tidak ditemukan dalam nash ajaran agama secara tersurat, namun diakui keberadaannya oleh syara‟ karena memiliki implikasi cukup jelas untuk mengakomodir ke-mashlahat-an umat. 58 2. Dari segi real power atau tingkat kekuatan yang dimilikinya, bentuk mashlahah terbagi menjadi tiga macam: a. al-Mashlahah adh-Dharuriyyah, yaitu mashlahah yang bila diabaikan dan di vakumkan akan berakibat fatal bagi kehidupan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. al-Mashlahah adh-Dharuriyyah ini terbagi menjadi lima prinsip yaitu: 1) Perlindungan agama (hifzh ad-din) Perlindungan terhadap agama dalam Islam bisa dalam bentuk aktif-ofensif (ijabi), tetapi bisa pula dalam bentuk pasif-defensif (salbi). Perlindungan secara pasif-defensif diwujudkan dalam bentuk penegakan sendi-sendi agama secara maksimal, seperti menyangkut prinsip-prinsip keimanan kepada Allah dan hari akhir serta penghambaan secara total kepada sang pencipta melalui amalan ritual, semisal shalat, puasa, membayar zakat, dan haji. Sedangkan perlindungan agama dalam bentuk aktif-ofensif dapat dilihat,
58
ibid , hlm. 90-91
121
misalnya; dalam anjuran jihad membela agama pembasmian aliranaliran sesat, pelarangan perbuatan maksiat dan penerapan hukuman bagi pelanggar ketentuan agama; seperti hukuman zina, hukuman minum-minuman keras dan hukuman mencuri. Oleh karena itu, perlindungan agama ini sebenarnya meng-cover pula jenis-jenis perlindungan terhadap prinsip-prinsip dasar agama yang lain. 59 2) Perlindungan jiwa (hifzh an-nafs), Bentuk
aktif-ofensif
perlindungan
jiwa
ini
berupa
pendayagunaan sarana alam yang memang sengaja di proyeksikan untuk kepentingan umat manusia sebagai khalifah Allah untuk mengelolanya. Dari sarana alam ini manusia dapat mengupayakan infra struktur hidup berupa pangan, papan, dan sandang guna melindungi hidupnya secara lebih detil, bentuk perlindungan ini dapat dilihat dalam sistem pertanggung jawaban (masu‟liyyah) dalam Islam seperti seorang bapak, misalnya melindungi dan membesarkan anakanaknya, sebagaimana seorang suami mempunyai tanggung jawab memberikan nafkah kepada istrinya demi kelangsungan hidup rumah tangga.60 Di sisi lain, perlindungan jiwa dalam bentuk pasif-defensif dalam Islam dapat dilihat pada pelarangan menumpahkan darah 59 60
Abu Yasid op.cit , hlm 92 Ibid, hlm 92
122
sesamanya,
kecuali
dalam
kondisi-kondisi
tertentu
di
mana
kepentingan (mashlahah) umum dalam keadaan terancam. Dalam kondisi terdesak seperti ini, syari‟at membolehkan terjadinya pertumpahan darah demi menghalau merajalelanya fitnah. Allah S.W.T. berfirman:
Artinya: “Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan” Oleh karena tersebarnya fitnah itu dahsyat ketimbang pembunuhan maka demi menghalau fitnah, boleh menggunakan cara yang mempunyai risiko setingkat di bawahnya, yaitu pertumpahan darah lebih taktis lagi, bentuk perlindungan jiwa secara pasif-defensif dapat dilihat, misalnya, pada pensyariatan qishash, diyat, serta sejumlah bentuk hukuman pidana lain yang sengaja diproyeksikan oleh syari‟at untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah.
123
3) Perlindungan akal (hifzh al-aql) Dalam anatomi manusia, akal merupakan komponen pembeda manusia dari jenis-jenis lainnya, seperti hewan atau binatang. Sebagai anugerah paling mulia, akal dalam Islam diposisikan dalam martabat yang sangat mulia dan strategis. Demi mengoptimalkan fungsi akal dan nalar manusia, Islam secara aktif-ofensif menggalakkan upayaupaya pencerdasan kemampuan akal, misalnya, melalui penggalian ilmu untuk menemukan sebuah hakikat. Aktivitas penggalian ilmu bagi akal tak ubahnya seperti mengasah sebuah pisau agar lebih mampu menjalankan tugas secara baik dan sempurna. Sebaliknya, secara pasif-defensif, Islam mengutuk segala sesuatu yang bisa mengakibatkan tersumbatnya fungsi akal, seperti morfin, narkotik, serta jenis-jenis minuman keras lainnya yang memabukkan dan mengganggu produktifitas kerja karena tidak berfungsinya akal secara baik dan optimal.
61
4) Perlindungan keturunan (hifzh an-Nasl) Bentuk aktif-ofensif perlindungan keturunan dalam Islam bisa dilihat, misalnya, dalam pensyraiatan nikah. Tujuan asasi anjuran nikah tidak lain adalah demi melestarikan keturunan dan menghindari ketercemaran berupa kesyubhatan dan penentuan nasab tentu saja,
61
Ibid, hlm 93
124
tujuan nikah bukan hanya untuk melestarikan keturunan, meskipun hal itu mungkin hal yang paling pokok. Namun, menurut al-Ghazali pernikahan juga memiliki tujuan-tujuan lain yang bersifat semi komplementer yaitu: a) Penyaluran nafsu biologis sehingga terhindar dari perangkap perbuatan mesum di luar pagar pernikahan. b) Menciptakan suasana cinta kasih dan kelapangan hidup dalam wujud keluarga sakinah, keluarga yang bahagia dan sejahtera c) Pernikahan yang dilakukan diupayakan dapat membangkitkan suasana baru yang tidak monolog dan monoton demi termotivasi daya kreativitas kerja d) Terciptanya sebuah interaksi sosial suami-istri dalam rangka melatih saling memenuhi hak dan kewajiban serta mengantarkan mereka menuju jalan yang diridhai Allah SWT. 5) Pelindungan harta benda (hifzh al-Mal) Tidak dapat disangkal bahwa kebutuhan manusia akan harta benda merupakan keniscayaan demi melangsungkan hidupnya di dunia sebagai bekal kehidupan akhirat. Dalam Qs. al-Kahfi (18): 46 dinyatakan: “harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”. Sebagai perhiasan hidup, harta benda sebenarnya ibarat pisau bermata dua: ia bisa berdimensi positif bila penggunaannya sesuai prinsip-
125
prinsip keadilan, namun ia juga bisa berdimensi negatif bisa ditasharruf-kan secara dzalim dan sewenang-wenang. Dalam upayanya menghadirkan harta benda yang bisa berdimensi positif, Islam mengajarkan etika bertransaksi dalam praktek bermua‟mallah demi memperoleh keuntungan, sekaligus mengutuk pendayagunaan harta benda secara dzalim dan sepihak, seperti penimbunan harta benda yang dapat menghambat sistem sirkulasi secara sehat;62 bermuamallah dengan riba yang dapat menindas salah satu pihak;63 permainan judi yang mengandung spekulasi tinggi;64 serta praktek monopoli yang mengarah pada kesenjangan antara si kaya (the have) dan si miskin (the have not) b. Al-Mashlahah al-Hajiyah. Yakni mashlahah yang dibutuhkan umat manusia untuk menciptakan kelapangan dan menghilangkan kesempitan hidup. Bentuk mashlahah ini bila diabaikan maka akan berujung pada kesukaran (masyaqqah) walau tidak sampai pada batas kerusakan (Mafsadah). Sebagai contoh adalah shalat qashar bagi orang yang sedang 62
Lihat Qs at-taubah (9) 34-35.” Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya dijalan allah maka beritahukan lah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih. Pada dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahanam lalu dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka (lalau dikatakan kepada mereka ) inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri sendiri maka rasakanlah sekarang (akibat dari ) apa yang kalian lakukan itu. 63 Lihat Qs al-baqarah (2) 278: “ dan tinggalkanlah oleh mu apa yang tersisa dari riba jika kalian orang-orang yang beriman.“ 64 Lihat Qs al-Maidah (5):91:” sesunguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian di dalam (meminum) arak dan (bermain) judi dan ia hendak menghalangi kalian dari mengingat Allah dan sembahyang maka tidakkah kalian berhenati (dari perbuatan itu). “
126
dalam perjalanan, tidak berpuasa bagi orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan, dan contoh-contoh keringanan agama (rukhshoh) yang lain. 65 c. Al-Mashlahah at-Tahisniyyah. yakni mashlahah yang dibutuhkan umat manusia sebagai pelengkap agar dapat memberi kemudahan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari baik untuk beribadah kepada Allah SWT maupun untuk melakukan hubungan muamallah. Contohnya adalah; kebutuhan sarana transportasi laiknya mobil dan motor, sarana komunikasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing seperti telephon, televisi, internet. Juga kebutuhan pelengkap lainnya semisal kartu kredit, kartu ATM dan sebagainya. 3. Ditilik dari sudut ketercakupannya, mashlahah terbagi menjadi tiga bagian: a. Mashlahah umum (public interest) berupa kepentingan umat manusia secara keseluruhan yang mesti ditegakkan bersama. Seperti memelihara benteng-benteng akidah, memelihara keutuhan Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran suci, dan pemeliharaan tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat suci. Termasuk juga dalam bingkai mashlahah jenis ini adalah berbagai transaksi yang mesti dilakukan oleh lembaga Negara demi kepentingan umum, baik dalam level domestik, hubungan bilateral, maupun multilateral antara Negara;
65
Abu Yasid, Op.Cit, hlm. 96
127
b. Mashlahah yang berkaitan dengan mayoritas umat manusia (majority interest) contoh dari mashlahah jenis ini adalah keharusan mengganti rugi bagi tenaga kerja yang berbuat kesalahan atau pelanggaran, dalam sebuah perusahaan, karena memperhatikan mashlahah para pemilik saham beserta elemen organik perusahaan lainnya secara keseluruhan; c. Mashlahah yang berhubungan dengan perorangan dan hanya terjadi pada peristiwa maupun keadaan tertentu (privat interest), seperti mashlahah yang terkandung dalam upaya men-fasakh (pembatalan dalam bentuk perceraian) perkawinan istri yang ditinggal pergi lama oleh sang suami serta tidak diketahui kabar beritanya. 66 4. Dilihat dari segi kelenturannya menghadapi perubahan zaman dan lingkungan sosial, mashlahah terbagi menjadi dua macam: a. Mashlahah yang berwatak konstan, tidak dapat berubah hanya karena perubahan zaman dan lingkungan sosial. Seperti mashlahah yang terkandung dalam pengharaman berbuat dzalim, pembunuhan, pencurian, dan zina; b. Mashlahah yang beradaptasi dengan perubahan zaman dan lingkungan sosial seperti mashlahah yang terdapat dalam hukum-hukum kebiasaan. Menutup kepala bagi laki-laki atau makan di jalan umum, misalnya dianggap sebagai aib atau (tidak mur‟ah) oleh sebagian komunitas
66
Ibid , hlm. 97-98
128
masyarakat di suatu tempat atau Negara tapi di tempat dan Negara lain, hal itu bisa jadi dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan tidak merusak harga diri seseorang. Bahkan tidak jarang jenis pakaian yang oleh bangsa tertentu di nilai mempunyai kadar seni cukup tinggi, namun dianggap biasa atau bahkan bernilai rendah oleh bangsa lain. Begitu juga tradisi pernikahan, disuatu masyarakat tertentu mungkin penyerahan mas kawin (mahar) di lakukan seketika saat dilangsungkannya akad nikah, sementara dalam masyarakat yang lain tidak demikian. 67 Kembali
menyoal
Perkara
No.408/Pdt.G/2006/PA.Smn
hakim
menetapkan bahwa anak pemohon yang telah diakui tidak bisa mendapat hubungan nasab (hubungan keperdataan), karena anak pemohon telah lahir di luar hubungan pernikahan yang sah, hal tersebut sesuai dengan Pasal 100 buku I Hukum Perkawinan KHI menyatakan bahwa: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.68 Begitu juga di dalam Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974 Pasal 43 disebutkan: (1). “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. (2). “Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”. 67
Abu Yasid, op.cit, hlm. 98-99 Tim Penyusun Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Op.Cit hlm.48 68
129
Menurut
penulis
keputusan
majelis
hakim
pada
perkara
No.408/Pdt.G/2006/PA.Smn semestinya tidak menasabkan (tidak memiliki hubungan keperdataan) anak pemohon dengan pemohon sudah sesuai dengan regulasi yang berlaku. Selanjutnya, berdasarkan teori-teori maslahah mursalah sebagaimana telah dipaparkan di atas, konsep ke-maslahat-an yang terdapat dalam Putusan hakim terhadap perkara pengakuan anak luar nikah dapat digolongkan sebagai berikut: 1. Mashlahah yang keberadaannya tidak diakui syara‟ (mashlahah al mulghah) jenis mashlahah ini biasanya beradapan secara kontradiktif dengan bunyi nash baik berupa Al-Qur‟an maupun hadits penasaban anak zina kepada ayah biologisnya kontraproduktif dengan nash
(
),
dalam hadits tersebut menerangkan secara eksplisit pelarangan bagi penasaban anak zina kepada ayah biologisnya 2. Di lihat dari segi real powernya, termasuk dalam kategori al-Mashlahah adhDharuriyyah,
karena
putusan
terebut
semata-mata
bertujuan
untuk
memberikan perlindungan secara aktif-ofensif terhadap jiwa anak (hifzh annafs) yang lahir di luar nikah.
69
Dengan alasan, jika kasih sayang, perawatan
dan pendidikan dari ayah dan ibunya tidak dapat dirasakan secara utuh oleh anak tersebut akan menghambat atau bahkan bisa merusak perkembangan 69
Ibid, Wawancara dengan: Ibu Hj. Sri Murtinah, S.H., M.H
130
mental dan fisiknya, hal tersebut sangat disayangkan, karena secara alamiah (proses regenerasi) anak merupakan Asset bagi agama dan Negara yang nantinya akan menjadi “khalifah fil ardh. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur‟an surat at-Tahriim ayat 6 sebagai berikut:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.70 Ayat tersebut isinya memerintahkan bagi para suami untuk melindungi diri dan keluarganya dari api neraka. Jika dikaitkan dengan konteks perkara pengakuan anak luar nikah pada pembahasan bab IV ini, anak luar nikah (anak zina) juga harus mendapat perlindungan dari ayah biologisnya karena ayat tersebut menyebut keluarga secara umum. Anak zina termasuk darah daging dari ayah biologisnya, oleh karena itu anak zina juga tetap harus mendapat perlindungan dan perawatan dari ayahnya. Kemudian jika dianalogikan dengan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan yang menerangkan bahwa meskipun telah terjadi perceraian baik ibu dan bapak tetap berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anaknya 70
Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa‟ud, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, loc.cit, hlm 951
131
semata-mata untuk kepentingan anak. Dapat ditarik hipotesa bahwa anak akibat hubungan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan yang telah lahir, tetap akan menjadi anak keduanya dalam kondisi apapun, meski ada atau tidaknya pernikahan. Sehingga dalam masyarakat dikenal istilah bekas istri atau suami akan tetapi tidak ada istilah bekas anak. Oleh karenanya, kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban yang setara untuk menjaga, merawat, memberi nafkah dan membesarkan anak sampai ia telah dewasa. 3. Dari sudut ketercakupannya, putusan tersebut termasuk dalam kategori mashlahah yang berhubungan dengan perorangan dan hanya terjadi pada peristiwa maupun keadaan tertentu (privat interest). 4. Dari segi kelenturannya, putusan tersebut termasuk mashlahah yang beradaptasi dengan perubahan zaman dan lingkungan sosial. Karena dalam perkara ini belum ada peraturan yang mengatur secara tegas sebelumnya, sehingga dalam prosesnya hakim melakukan penggalian hukum berdasarkan kaidah fiqh
(“Hukum itu mengikuti ke-maslahat-
an yang ada”). 71 Menurut penulis, kewajiban bagi pemohon untuk tetap memberikan nafkah, merawat, membesarkan dengan rasa kasih sayang kepada anak
71
Wawancara dengan: Ibu Hj. Sri Murtinah, S.H., M.H (Hakim Pengadilan Agaman Sleman), Hari Kamis, 5 Juli 2011, Pukul: 10.00 Wib, Di Lantai II Gedung PA Sleman
132
pemohon yang notebenenya luar nikah (anak zina) juga selaras dengan apa yang telah diamanatkan oleh UU No 23 tahun 2002 sebagai regulasi yang mengatur Perlindungan anak, yang di dalamnya tertulis: (Pasal 6) “Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.” Pasal 7 “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.” Pasal 9 “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya” Dari semua uraian pada bab IV ini, benang merah yang dapat ditarik adalah putusan hakim pada Perkara No.408/Pdt.G/2006/PA.Smn tentang pengakuan anak merupakan produk hukum untuk memberikan perlindungan terhadap anak di luar nikah (anak zina) dengan cara mengimplementasikan konsep maslahah mursalah, berdasarkan pemahaman yang proporsional akan nilai-nilai multidimensional ajaran agama Islam terkait dengan persoalanpersoalan yang terjadi pada masyarakat sekarang ini. Sebab pada umumnya, teks ajaran agama yang berdimensi sosio-kultural hanya memberikan aturan pokok secara garis besar sehingga untuk mengimplementasikannya diperlukan upaya kreatif dari para juris Islam sehingga di situlah akan terpantul nilainilai eternal ajaran agama yang sesuai dengan tuntutan zaman (sahih likulli zaman wa makan).
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa Majelis hakim mengabulkan permohonan Pemohon, menetapkan anak bernama Ramdhani Deka Azlatan Novtiansyah lahir pada tanggal 13 November 2004 adalah diakui sebagai anak syah dari Pemohon yang bernama Denny Agustiansyah bin H. Ibramsyah, HS, SH dan Termohon yang bernama Ika Octavianie Zair bin Achmad Zair berdasarkan pengakuan Pemohon, dengan pertimbangan Falsafah hukum Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 3 dan dijadikan landasan pasal 53 Kompilasi Hukum Islam tersebut adalah dalam perlindungan dan ke-maslahat-an
rangka
anak yang telah terjadi proses
pembuahannya di luar nikah. Hal tersebut muncullah kaidah hukum:
Artinya: “Hukum itu mengikuti ke-maslahat-an yang ada”. 2. Bahwa Menurut Hukum Islam anak hasil hubungan di luar nikah tidak mendapatkan hubungan nasab (keperdataan) dengan ayah biologisnya sesuai dengan hadits Nabi (
) yang artinya anak
133
134
itu dari hasil diatas kasur (pernikahan) dan bagi yang berzina baginya adalah batu. Dari sudut pandang hukum Islam, penggalian hukum untuk mencari suatu ke-maslahat-an berdasarkan Maqashid al-Syari’ah dapat dilakukan dengan metode ushul fiqh yakni mashlahah mursalah. Pada perkara perkara No.408/Pdt.G/2006/PA.Smn tentang pengakuan anak di lihat dari segi real powernya, termasuk dalam kategori al-Mashlahah adh-Dharuriyyah, karena putusan terebut semata-mata bertujuan untuk memberikan perlindungan secara aktif-ofensif terhadap jiwa anak (hifzh an-nafs) yang lahir di luar nikah. B. Saran-Saran Setelah
penulis
membahas
tentang
putusan
perkara
No.408/Pdt.G/2006/PA.Smn tentang pengakuan ayah biologis terhadap anak yang lahir di luar pernikahan yang sah, maka perkenankanlah penulis untuk memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Perlu adanya perubahan atas Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang kategori anak sah, karena kedua peraturan tersebut membuka peluang penasaban anak zina akibat hubungan di luar pernikahan terhadap ayah biologisnya jika lahir dalam pernikahan yang sah. Semestinya dalam KHI dan UUP No 1 Tahun 1974 mengatur secara tegas bahwa anak sah adalah anak yang lahir akibat hubungan pernikahan yang sah dengan batas minimal kehamilan 180 hari.
135
2. Dalam hal pernikahan wanita hamil, pendapat ulama’ Malikiyah dan Hanabilah perlu diformulasikan kedalam hukum positif yang berisi wanita hamil dilarang untuk melangsungkan pernikahan. Wanita hamil tersebut boleh melangsungkan akad nikah asalkan: dengan laki-laki yang menghamilinya, baik laki-laki maupun perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan zinanya dan wanita tersebut telah melahirkan kandungannya, hal ini bertujuan untuk mencegah kerusakan nasab (hifzh an-nasl) 3. Bagi majelis hakim dalam memutus perkara yang tidak diatur dengan tegas peraturannya dalam perundang-undangan hendaknya menggali sumbersumber hukum Islam yang bertujuan untuk mencapai ke-maslahat-an dan menolak ke-madharat-an secara umum. Sekaligus sebagai upaya untuk menerapkan hukum Islam yang mencakup nilai-nilai ideational (yaitu kebenaran absolut sebagaimana yang diwahyukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa) sebagai instrumen untuk menata kehidupan sosial masyarakat (social engineering), sesuai dengan sosiso-kultur yang berkembang 4. Kesimpulan di atas janganlah di jadikan pedoman final, tetapi dijadikan sebagai landasan awal untuk proses pengkajian lebih lanjut, sehingga pencarian dan pemahaman terhadap pemikiran-pemikiran Islam perlu dilakukan secara terus menerus agar lebih dinamis.
136
C. Penutup Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, kehadirat Allah SWT, serta shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini semata-mata merupakan keterbatasan ilmu dan kemampuan yang penulis miliki. Maka dari saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Dengan teriring doa penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya, Amin Ya Robbal `Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
A, Husnaini, Anak Istilhaq Kaitannya Dengan Kaitannya Dengan Kewenangan PA Tentang Pengangkatan Anak, dalam jurnal Suara Uldilag, XI, edisi 03 September, 2007 A.Rahman I. Doi, Hudud dan Kewarisan (Syariah Ii), alih bahasa Zainuddin dan Rusydi Sulaiman, cet. Ke 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996 Abdul Gani Abdullah, Paradigma Indonesia Baru Perspektif Pembangunan Hukum Islam, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999, hlm 57 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu „alal Mazahibul „Arba‟ah (Mesir: al-Maktabah at-Tijariyah alKubra) juz IV. hlm 523 Abidin, Slamet, Fiqih Munakahat Untuk Fakultas Syari‟ah Komponen MKDK, Bandung: Pustaka Setia, 1999. Abu Ishaq, Imam, Kunci Fiqih Syafi‟i, Semarang: CV. Asy Syifa‟, 1992, Abu Zahrah, Muhammad Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma‟sum, et. al, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, Cet. ke-II, 1994 Adhim, Muhammad Fauzil, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006 AF, Hasanuddin, Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya Menurut Hukum Islam, dalam jurnal Suara Uldilag, edisi 03 Maret, 2007 Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya‟ Ulum Ad-Din, (Beirut: Darul Al-Ma‟rifah, tt), Juz II -------------, Abu Hamid , syifa‟al-alil, (Beirut: Darul Al-Ma‟rifah, tt). Al-Barry, Zakariya Ahmad Al-Ahkamul Aulad, alih bahasa Chadidjah Nasution, Hukum Anakanak dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997 Al-Hamdani, H.S.A, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1989 Al-hamdani, Sa‟id Thalib, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1989 Ali MD, Ahmad, Syari‟ah Dan Problematika Seksualitas, dalam jurnal mimbar hukum, edisi 66 Mei-Desember, 2008
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqhu al-Islamiyyu Wa‟adillatuhu, Damaskus: Dar el-Fikr, Cet. II, Jilid IX Amin, Muhammadiyah, Kedudukan Anak Di Luar Nikah (Sebuah Analisis Perbandingan Menurut KUH Perdata, Hukum Islam dan KHI), , dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999 Arikunto, Suharsimi, Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1993 Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004 Assyaukanie Luthfie, politik, HAM dan isu-isu teknologi dan fikih kontemporer, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998 Asy-Syatibi, Abu Ishaq , Al Muwafaqat Fi Ushul Asy-Syari‟ah, Damaskus: Dar el-Fikr Juz II Asyrof, A. Mukhsin, Mengupas Permasalahan Istilhaq dan Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum, edisi 66 Desember, 2008 Budianto, Soni Dewi J, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar Kawin, Jurnal Magister Hukum ,Vol 2 No 2 Juni 2000, Yogyakarta: PPS Magister Ilmu Hukum UII, Budiman, Achmad Arif, Metodologi Penelitian Ahwal al-Syakhsiyah dalam “Pelatihan Penelitian Hukum Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Sleman di Bandungan”, pada tanggal 10 Juli 2009 Budiman, Burhan, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001 Dahlan, Abdul Aziz, et al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, 1997 Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan ahlusSunnah dan Negara-Negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 Djamil, Fathurrahman, pengakuan dan pengesahan anak dalam perspektif hukum Islam, dalam jurnal Suara Uldilag, edisi 03 Maret, 2007 -----------, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya: Problematika Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari AZ (pd), Jakarta; firdaus, 1999
Djazuli, H. A dan Aen, Nurol, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000 -----------, Kaidah-Kaidah Fiqh: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan MasalahMasalah yang Praktis, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007 Echols, John M, dan Shadily, Hasan, Kamus Inggris Indonesia, cet. Ke 20, Jakara: Gramedia, 1992 Elise, Sulistini dan Erwin, Rudi T, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara Perdata, Jakarta: Bina Aksara, 1987 Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqih Munakahat “Seri Buku Daras”, Jakarta: Prenada Media, 2003 Ghofur, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang No 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan dan Kewenangan), Yogyakarta: UII Press, 2007 Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, cet. I, 1990 Humaedillah, Memed, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, cet. I, Gema Insani Pers, Jakarta, 2002 I. Doi, Abdur Rahman, Karakteristik Hukum Islam Dan Perkawinan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996 Ichtijanto, Status Hukum Dan Hak-Hak Anak Menurut Hukum Islam, Mimbar Hukum, No 46 Th,XI, Jakarta: Al-hikmah & Ditbinbapera Islam, 2000 Jaih Mibarok, Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Pustaka Bumi Quraisy, 2004 Kamil, Ahmad dan Fauzan,
Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia,
Jakarta: raja grafindo persada, 2010 Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa‟ud, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da‟wah Dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia Khoiruddin, Islam Tentang Relasi Suami dan Istri, Cet I, Yogyakarta: Academia bekerjasama dengan Tazzafa, 1996
llahi, Fadhel Zina, (terj), Qisthi Press, Jakarta; 2004, hal.7, Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi, Cet. Ke-2, Erlangga; Jakarta 1976, hal 49-51 M, Hajar, Legitimasi Ahli Waris Di Pengadilan Agama Dalam Perspektif Fiqh, dalam jurnal mimbar hukum, IX, edisi 40 November-Desember, 1998 M, Victor, Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, cet ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm 43 Manan, Abdul Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet-I, Jakarta: Kencana Preneda Media Grp, 2006 -----------, Abdul, Masalah Pengakuan Anak Dalam Hukum Islam dan Hubungannya Dengan Kewenangan Peradilan Agama, dalam jurnal Mimbar Hukum, 59, XIV, 2003 -----------, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. 5, 2008 Mansoer, Moch. Tolchah dan Mansoer Noer Iskandar, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung: Risalah, cet. 1 Mas'ud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Terj. Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995 Maulana, Achmad, Kamus Ilmiah Popular, cet. Ke-II, Yogyakarta, Absolut 2004 Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988 Moeliono, Anton M, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1988 Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Cet I, Jakarta: Bulan Bintang, 1974 Mughniyah, Muhammad Jawad Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: PT lentera Basritama, 2000 Muhammad Abduh Malik, Menikahkan Pelaku Zina, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Nomor 54 tahun XII, DITBINBAPERA Islam Dep. Agama, Jakarta, 2001 Mujieb, M. Abdul, Mabruri Tholhah, Syafi‟ adalah A.M, Kamus Istilah Fiqh, cet. I, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994 Muslim, Imam, Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya‟ at-Turats al-„Arabi
Mustaqim, Abdul, Kedudukan dan Hak-Hak Anak dalam Perspektif Al-Qur‟an, Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam, vol 4:2 juli 2006 Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta; PT. Bumi Aksara cet.ke-8, 2007 Nuruddin, Amiur, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU No 1/1974 Sampai KHI, Kencaran, Jakarta; 2006 Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung; 2003 Prodjodikoro, R. Wiryono, Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1983 Qardawi, Yusuf Halal dan Haram Dalam Islam, Bina Ilmu, 1400 H/ 1980 M Quraish Shihab, M, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur‟an, Jilid XV, Jakarta: Lentera Hati, 2004 Rahman, Abdur, Perkawinan Dalam Syari‟at Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992 Rahman, Asjmuni, Qai‟dah-Qaidah (Qawai‟dul Fiqhiyah), Cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1976 Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, cet. Ke-10, Bandung: PT. Al-Ma‟arif , 1981 Rasyid Chatib dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009 Rofiq, Ahmad Fiqh Mawawaris , cet-ke 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993 -----------, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003 Rosyid, Roihan A, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003 Sabiq, Sayyid, Fiqhu As Sunnah, Alih Bahasa Moh. Tholib, jilid III, Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 200 Saifullah, problematika anak dan solusinya pendekatan sadduzzara‟I, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999 Satrio, J, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, PT citra Aditya Bakti, Bandung; 2005
Shodiq, M, Kamus Istilah Agama, Jakarta: Bonafida Cipta Pratama, 199 Soekanto, Soejono Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (U.II. Press), 1986, hal. 250 Soekanto, Soerjono Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006 Soemanto, Wasty Psikologi Pendidikan, Cet-3, Jakarta: Rineka Cipta Soesilo, et. al., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Penerbit: Rhedbook Publisher, Cet. ke-I, 2008 Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2002 Subekti dan Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jakarta: PT. Pranadnya Paramita, 2004 -----------, Pokok-Pokok Hukum Perdata Cet ke 31, Jakarta: Inter Massa, 2003 Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, cet.ke-4, 2008 Sugondo, Lies, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Perdata Nasional Yang Berperspektif HAM, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 03 Maret, 2007 Sukardja, Ahmad, Hukum Keluarga dan Peradilan Keluarga di Indonesia, Jakarta: Kapuslitbang, 2001 Sulaiman Abu Dawud bin al-Asyt‟ats bin Ishak, Sunan Abi Dawud, Semarang: CV asy-Syifa‟ Juz II Sulaiman, Akta Luar Nikah, Akta Pengakuan Anak dan Akta Pengesahan Anak, Majalah Mimbar Hukum, Nomor 15 tahun V, Dirbinbaperais Dep. Agama, Jakarta, 2006 Syahrani, Riduan, HukumAcara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta:Pustaka Kartini, 1988 Syalabi, Mushtafa, Ta‟lil al-Haka, (Beirut: dara n-Nandhal al-Arabiyah, tt). Syarifuddin Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer Di Indonesia, Jakarta: Ciputat Pers, Cet.1, 2002. -----------, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UndangUndang Perkawinan, Jakarta; kencana, 2009
-----------, Ushul Fiqih, Jilid II, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. ke-V, 2009 T. Yanggo, Chuzaimah, Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer 1, Jakarta: Pustaka Firdaus Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Perdata Tertulis Dan Hukum Perdata Islam, Jurnal Mimbar Hukum, Nomor 15 tahun V, Dirbinbaperais Dep. Agama, Jakarta, 2006 Tihami, M. Ahmad dan Sahrani, Sohari, Fiqih Munakahat (Kajian Fiqih Nikah Lengkap), Jakarta: Rajawali Press, 2009 Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah, Jakarta: 2004 Tim Penyusun dari Departemen Agama RI, Yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, Departemen Agama RI, Jakarta Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinanaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , cet. Ke-2 Jakarta: Balai Pustaka, 1989 Tim Penyusun Bahan Sosialisasi Tentang Eksistensi Dan Kompetensi Peradilan Agama, Dilaksanakan Oleh Pengadilan Agama Wonosobo Pada Tanggal 28 Juli 2007 Tim Penyusun : Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Departemen Agama R.I Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000 -----------, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama R.I Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997 Undang-Undang Perkawinan di Indonesia Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Arkola Usman, Muchlis Kaidah-Kaidah Ushuliah dan Fiqhiyah: Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet. 4 Usman, Suparman Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Serang: Darul Ulum Press, 1933 Vollmar, H.F.A, Pengantar Studi Hukum Perdata,Jakarta: Rajawali, 1984
Wahid, Abdul, Kedudukan Anak di Luar Nikah, Mimbar Ulama, Tahun III Mei 1978, Jakarta: Cemara Ladah, 1978 Widiana, Wahyu, Akses dan Equitas Pengadilan Agama Kaitannya Dengan Peningkatan Pelayanan Bagi Pencari Keadilan, dalam jurnal mimbar hukum, edisi 66 Desember, 2008 Yasid,
Abu
Islam,
Akomodatif:
Rekonstruksi
Pemahaman
Islam
Sebagai
Agama
Universal,Yogyakart; LKiS, 2004 Yunus, Mahmud Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1986 Zein, Satria Effendi M, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-Juni, 1999 Zuhri, Moh. dan Qarib, Ahmad, Kitab Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Toha Putra, 1994
http:// 192.168.0.251/ go.php? =jptiain-gdl-sl-2004-khamidah3397 &q= tinjauan islam terhadap gugata suami, diakses tanggal 6 Februari 2011. Pukul: 20.03 Wib http://192.168.0.251/go.php?=jtptiain-gdl-sl-2004-srirahayu2 14&q=sri rahayu, Diakses tanggal. 6 Februari 2011. Pukul: 20.00 Wib http://192.168.0.251/go.php?=jtptiain-gdl-sl-2006-inayahyuni 825&q = hasil tes DNA sebagai alat bukti, Diakses tanggal. 6 Februari 2011. Pukul: 20.02 Wib http://118.96.243.50/arsip/uploads/arsip/6UUNo14Thn1970KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN.pdf