SKIZOFRENIA SEBAGAI FENOMENA PSIKOLOGIS DALAM CERPEN LE HORLA KARYA GUY DE MAUPASSANT
Skripsi Disajikan Dalam Rangka Menyelesaikan Studi Strata 1 Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Prodi Sastra Prancis
Disusun Oleh : Andika Raka Dian Jaya 2350404049
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ASING FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2011
i
PERNYATAAN Dengan ini saya: Nama
: Andika Raka Dian Jaya
NIM
: 2350404049
Prodi
: Sastra Perancis/Bahasa dan Sastra Asing
menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi berjudul “Skizofrenia Sebagai Fenomena Pskikologi dalam Cerpen le Horla Karya Guy de Maupassant” yang saya tulis dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri. Skripsi ini saya hasilkan setelah melalui proses penelitian, bimbingan, diskusi dan pemaparan atau ujian. Semua kutipan baik langsung dan tidak langsung, maupun sumber lainnya telah disertai identitas sumbernya dengan cara sebagaimana yang lazim dalam penulisan karya ilmiah. Dengan demikian, walaupun tim penguji dan pembimbing telah membubuhkan tanda tangan sebagai tanda keabsahannya, seluruh isi karya ilmiah ini tetap menjadi tanggung jawab saya sendiri. Jika kemudian ditemukan ketidakberesan, saya bersedia menerima akibatnya. Demikian pernyataan ini saya buat, harap dapat dipergunakan seperlunya.
Semarang, 18 Juli 2011
Andika Raka Dian Jaya NIM. 2350404049
ii
PENGESAHAN Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, pada : Hari
: Selasa
Tanggal
: 26 Juli 2011 Panitia Ujian
Ketua
Sekretaris
Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum NIP.196008031989011001
Dra. Diah Vitri W, DEA NIP. 196508271989012001
Penguji I
Penguji II/Pembimbing II
Ahmad Yulianto, S.S, M.Pd NIP. 197307252006041001
Suluh Edhi Wibowo, S.S, M.Hum NIP. 197409271999031002
Penguji III/Pembimbing I
Dra Conny Handayani,M.Hum NIP. 194704261971062001
iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Hati yang penuh syukur, bukan saja merupakan kebajikan yang terbesar, melainkan merupakan pula induk segala kebajikan yang lain.
( Cicero) Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh
(Confusius)
Persembahan: Skripsi ini saya persembahkan untuk; Ayah dan Bunda yang tidak pernah berhenti
memberikan
semangat bagi diri ananda.
iv
doa
dan
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “La Schizophrénie comme phénomène psychologique dans la nouvelle « Le Horla » par Guy De Maupassant” sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan ini tidak akan selesai tanpa dukungan, semangat, doa dan bimbingan dari semua pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih dan rasa hormat kepada beberapa pihak berikut ini : 1. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum. yang telah memberikan kemudahan dalam penelitian ini. 2. Dra. Diah Vitri W, DEA, selaku Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang telah memberikan perhatian dan pengarahan hingga skripsi ini dapat diselesaikan. 3. Dra. Conny Handayani, M.Hum, selaku pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu dan telah begitu sabar membimbing serta memberikan pengarahan hingga skripsi ini dapat diselesaikan. 4. Suluh Edhi Wibowo, S.S, M.Hum, selaku dosen pembimbing II atas kontribusinya yang luar biasa dalam membimbing serta memberi pengarahan kepada penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan.
v
5. Ahmad Yulianto, S.S, M.Pd, selaku dosen penguji I yang telah menguji dengan penuh ketelitian. 6. Seluruh Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis. 7. Papa dan Mama, atas doa, dukungan, semangat, kedisiplinan, cinta dan kasih sayang yang tiada henti-hentinya dalam hidup penulis. 8. Nenekku tersayang yang telah memberikan sebuah pelajaran berarti dalam kehidupan penulis. Senyum dan bahagiamu adalah semangat terbesar bagi diri penulis 9. Andina dan Athena selaku adhek-adhek penulis. Jadilah bintang penerang disetiap langkahmu. Doa kakak selalu menyertai dalam detik-detik kehidupanmu 10. Hubu yang selalu berada dalam hati penulis. Senyum, canda, tawa, sedih,dan tangis membuat kita belajar tentang arti mencintai dan dicintai. Semoga kebersamaan kita sampai nanti pada usia senja 11. Sahabat-sahabat dan Saudara-saudaraku: Toni,Bagus,Dayat, Joko,dan Doni. Suatu kebanggaan dan kehormatan bisa mengenal kalian. Perjuangan ini tidak akan pernah sia-sia. Tetap semangat dan yakin mimpi-mimpi kita suatu saat nanti pasti akan kita raih. 12. Saudara- saudara seperjuangan Sastra Perancis 2004: Agung, Anggit, Tawar, Hadi, Nurul, Eki, Hilmi, Rachdin, Rina Dian, Lina, Teguh, dan Heydi. Terima kasih telah berbagi indahnya kebersamaan selama ini. Tuhan akan dan selalu menyertai langkah kalian. 13. Teman-teman Sastra dan Pendidikan Prancis 2005, 2006, dan 2007.
vi
14. Teman-teman kos “Ajaib”: Adji, Lia, Ragil, Fian, Ata, Badjul, Omen dan Gigih yang selalu menjadi teman yang luar biasa bagi penulis selama pembuatan skripsi ini. 15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Jika penulis lupa mencantumkan nama kalian, bukan berarti nama kalian tidak terukir di dalam hati penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun, penulis tidak pernah berhenti melangkah ke arah sana. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun, senantiasa penulis harapkan. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Semarang, Agustus 2011
Penulis
vii
ABSTRAK Dian Jaya, Andika Raka.2011. Skizofrenia Sebagai Fenomena Psikologi Dalam Cerpen Le Horla Karya Guy De Maupassant. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Asing Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Pembimbing : Dra Conny Handayani,M.Hum; II. Suluh Edhi Wibowo,SS M.Hum Kata kunci :Skizofrenia, Psikologi Skizofrenia adalah gangguan mental yang disebut psikosis. Gangguan tersebut menyerang psikologi kejiwaan dari pasiennya. Di dalam kehidupan masyarakat pengarang merefleksikan fenomena tersebut dalam bentuk karya sastra. Hal ini dikarenakan karya sastra merupakan cermin masyarakat pada zamannya. Cerpen Le Horla karya Guy de Maupassant. menggambarkan tentang hari-hari seorang penderita psikosis yang merasa akan „dimakan‟ oleh „makhluk misterius yang tidak terlihat‟. Makhluk tersebut dikenal sebagai Le Horla. Adapun cerpen ini merupakan cerminan diri dari pengarang yang juga mengidap penyakit tersebut sampai akhir hidupnya. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu mengungkapkan pengaruh penyakit skizofrenia yang diderita oleh tokoh utama yang didalamanya juga menganalisis : (1) munculnya skizofrenia pada diri tokoh utama, (2) reaksi tokoh utama terhadap skizofrenia yang dideritanya, (3) upaya tokoh utama untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya, (4) akibat penyakit skizofrenia yang diderita tokoh utama terhadap dirinya sendiri dan masyarakat disekitarnya dan (5) efek skizofrenia yang mempengaruhi tokoh utama untuk mengakhiri hidup. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan pengaruh skizofrenia terhadap diri tokoh utama, berikut dengan alasan, dan dampak dari penyakit skizofrenia tersebut pada tokoh utama. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik untuk menganalisis pengaruh skizofrenia terhadap diri tokoh utama. Penelitian ini mengambil data berupa kalimat-kalimat yang mengandung unsur-unsur dari gejala skizofrenia sesuai dengan permasalahan. Sumber data dalam penelitian ini berupa roman yang berjudul Le Horla karya Guy De Maupassant. Hasil analisis yang diperoleh dari penelitian ini: (1) gejala-gejala awal yang muncul pada diri tokoh utama berupa demam yang diikuti dengan hilangnya keberanian dan munculnya perasaan gelisah, (2) kegelisahan pada diri tokoh utama menimbulkan sebuah halusinasi bahwa dirinya telah diikuti dan diawasi oleh sosok misterius, (3) penyakit skizofrenia merupakan penyakit psikologis sehingga dokter pada saat itu belum bisa mendiagnosis pada penderita psikosis, (4) pengaruh skizofrenia telah mempengaruhi jiwa dan pikiran tokoh utama sehingga halusinasi dan delusi yang muncul semakin jelas dan membuat diri tokoh utama begitu tertekan dalam menjalani hidupnya, dan (5) dampak dari tekanan gangguan skizofrenia membuat diri tokoh utama memilih untuk bunuh diri. viii
RÉSUMÉ Dian Jaya, Andika Raka. La Schizophrénie comme phénomène psychologique dans la nouvelle « Le Horla » par Guy De Maupassant. Mémoire. Département des Langues et des Littératures Etrangères. Faculté des Langues et des Arts. Université d‟Etat de Semarang. Directeurs : I. Dra Conny Handayani,M.Hum; II. Suluh Edhi Wibowo, M.Hum Mots clés : schizophrénie, psychologique A. Introduction La littérature est une partie des représentations artistiques dans la vie. Un œuvre littéraire raconte tous les problèmes dans la vie humaine entre l‟interaction avec écrivain, l‟environnement, et
le Dieu. L‟œuvre littéraire contient une
connaissance de l‟auteur sur l‟environnement ou la condition sociale dans une époque. Ce n‟est pas seulement un résultat de l‟imagination de l‟écrivain, la littérature devient l‟appréciation de l‟écrivain sur la vie humaine. C‟est aussi une façon de répandre
l‟idée, la pensée, et l‟idéologie de l‟écrivain (Nurgiyantoro,
1988 :3). La littérature produit les différents types d‟œuvres littéraires. Suharianto (1982 : 14) déclare que la littérature est une manière d‟exprimer la vie. Elle représente l‟imagination et la création de l‟auteur. Celui-ci a besoin d‟une collection d‟expérience et une observation sur la vie. La vie humaine devient un objet intéressant dans la littérature Dans le monde littéraire il y a trois types de littératures, ce sont : la poésie, la prose (le roman et la nouvelle) et le drame. Dans cette recherche, la nouvelle est traitée comme corpus d‟analyse. D‟après
Suharianto (1982 : 39). On ne
compte pas sur le nombre des pages ou le nombre des personnages pour rédiger
ix
un récit, mais on compte plutôt sur les problèmes des personnages principaux et leur environnement.. Alors, une histoire courte ne peut pas être classée dans la nouvelle, si les problèmes n‟expliquent pas les conditions adaptées à la nouvelle. Elle concentre seulement l‟histoire du personnage principal. L‟un des écrivains célèbres du 19ème siècle est Guy de Maupassant. Il est l‟un des fondateurs des styles modernes du récit. Il a écrit et publié à peu près trois centaines nouvelles. Ses recueils de récits le plus connus qui ont été publiés sont: "La Maison Tellier" (1881), "Mademoiselle Fifi" (1882), "Les Contes de la Bécasse”, “Miss Harriet" (1884). Guy de Maupassant est un écrivain réaliste. Il raconte clairement la situation de son époque et la plupart de ses histoires finissent tragiquement. L‟une des œuvres de Guy Maupassant est "Le Horla". Cette nouvelle est la première nouvelle par Guy De Maupassant qui traite de la folie. Le travail sur la rédaction du « Le Horla » a duré 3 ans en 1885, 1886 et 1887. La première version « le Horla » est une lettre qui raconte des symptômes étranges. Cette lettre est écrite par un patient psychotique qui raconte ses problèmes à son médecin. La deuxième version est rédigée sous forme de dialogues entre un patient psychotique et son médecin. La dernière version est écrite sous forme d‟un journal. Ce journal raconte une histoire du patient psychotique qui se croit menacé par une créature mystérieuse qui veut l‟avaler. Il sent aussi qu‟il est suivi par une créature invisible. Cette créature est nommée « Le Horla ».
x
Guy de Maupassant a écrit «le Horla» quand il soignait son frère, il s‟appellait Herve de Maupassant. Son frère souffrait de troubles mentaux et a été hospitalisé à Charéton (c‟est le nom de l‟hôpital psychiatrique dans le Val de Marne). La maladie psychiatrique dans « le Horla » est nommée la Schizophrénie. Halgin et Whitbourne (1995) expliquent
que la schizophrénie est un
trouble qui est développé par une série de symptômes, comme les troubles dans la pensée, les troubles de la perception, les troubles de l'affection, les troubles de la sensibilité de soi, les troubles de la motivation, les troubles du comportement et la fonction interpersonnelle. Cameron et Rychlak (1985) expliquent que le trouble schizophrénique est une tentative de régression pour échapper à la tension et l'anxiété en ignorant la réalité de l'objet relatif interpersonnel. Elle établit des délires et des hallucinations. Guy de Maupassant est mort en 1893, six ans plus tard après avoir écrit « Le Horla ». J‟ai choisi la nouvelle « Le Horla » pour le sujet de mon mémoire parce que cas psychologiques est délicat à relever particulièrement sur les troubles de la personnalité comme la schizophrénie du premier personnage. En tant que pionnier de la sience-fiction, Guy de Maupassant était bien réputé par son œuvre « Le Horla ». « Le Horla » même est la représentation de sa réflexion sur la souffrance de sa maladie jusqu‟à la fin de sa vie. B. La Psychologie de la littérature Le mot Psychologie vient du mot psyche et logos. Psyche pour l‟âme et logos a le sens de science. Littéralement, la psychologie est la science de l‟âme ou une science qui étude les symptômes de l‟âme humaine. Alors durant le progrès
xi
de la psychologie, elle est devenue une science qui étudie le comportement humain (Dirgagunarsa 1978:9) La psychologie entre dans la littérature par plusieurs voies, par exemple : (1) elle entre dans la discussion sur le processus de la création littéraire, (2) elle fait partie de la discussion sur la psychologie de l‟auteur, (3) de la discussion sur les enseignements et les principes de la psychologie qui sont tirées d‟œuvres littéraires, (4) enfin elle influence la psychologie du lecteur dans la littérature (Hardjana 1994:60). On peut dire que l‟existence de la psychologie peut aider les lecteurs à découvrir les secrets de l‟âme humaine et à évaluer les comportements des personnages dans les romans qu‟ils lisent. En général, on dit que la psychologie est une science qui étudie la structure psychologique humaine avec ses attributs ou ses caractéristiques générales. Elle désigne les hommes comme objets à traiter et analyser. C. Schizophrénie Le terme schizophrénie vient des mots du Grec, il a le sens de : « une âme fragile ». La schizophrénie est un grave trouble mental. Ce trouble est caractérisé par des symptômes positifs et des symptômes négatifs. Les symptômes positifs sont : le désordre de la conversation, des illusions, des hallucinations, des troubles cognitifs, et de la perception. Les symptômes négatifs sont : la diminution d‟intérêt et de découragement, la diminution d‟intérêt de parler et le contenu de la parole incompréhensible (Strauss et al, dans Gabbard, 1994). La compréhension des symptômes positifs et négatifs n‟ont pas le sens du bien et du mal. Les
xii
symptômes positifs sont de l‟augmentation des symptômes hors de la réaction normale. Alors, les symptômes négatifs sont de la diminution des symptômes dehors la réaction normale. Les caractéristiques de la schizophrénie peuvent être résumées dans ces parties. Les symptômes de la schizophrénie d‟après Halgin et Whithbourne (1945) sont les suivant : a. Les délires et Les hallucinations. Pendant la phase aigüe de la schizophrénie, le processus de la pensée et de la perception peut également être accompagné d‟une variété de délires. L‟illusion la plus commune est la croyance que des forces extérieures tentent de contrôler les actions et les pensées de la personne. L‟effet de ces illusions consistent à croire que les pensées de quelqu‟un sont transmises autour du monde, et des autres peuvent l‟entendre. Les pensées étrangères (ce n‟est pas son propre esprit) entrent dans sa pensée, ses sentiments, ou ses actions. Les hallucinations peuvent se produire ou font partie des croyances des délires. b. Le Retrait de la réalité. Une personne qui souffre de la schizophrénie, a tendance à se retirer de l‟interaction avec les autres. Elle se préoccupe de ses pensées et de ses fantasmes. La préoccupation de soi-même, est nommée Autisme. Dans la schizophrénie aigüe, le retrait de la réalité n‟est que temporaire. Mais dans le cas chronique, le retrait peut devenir de plus en plus important jusqu‟à ce que cette personne ne puisse pas s‟adapter à la situation externe, elle garde le silence, ne bouge pas pendant des jours, et doit être traitée comme un bébé.
xiii
c. Le Chaos de la pensée et de l’attention Le chaos de la pensée dans la schizophrénie est une difficulté générale pour filtrer les stimuli pertinents. Nous pouvons concentrer notre attention de manière sélective. Il y a de nombreuses informations sensorielles qui entrent dans notre pensée, mais nous pouvons sélectionner les stimuli qui sont pertinents pour notre tâche et ignorer les autres. Un schizophrène ne peut pas filtrer les stimuli non pertinents ou les distinguer. Il réagit beaucoup à tous les stimuli en même temps et il est difficile de gérer cette abondance d. Le Chaos de la perception Le schizophrène aigüe se plaint souvent que le monde semble différent (les sons paraîtront plus fort et les couleurs plus audacieuses). Il pense que son corps ne semblent plus le même (ses mains paraissent plus ou moins grandes, ses jambes sont très longues, ses yeux semblent sortir de sa face). Les schizophrènes ne peuvent pas se reconnaître eux-même dans le miroir ou regarder leur reflet comme des ombres triples. En état de schizophrénie aigue, les schizophrènes sont incapable de comprendre quelque chose, par exemple, ils ne considèrent pas une infirmière ou un médecin comme être humaine mais ils connaissent bien leurs parties du corps (nez, yeux, jambes, bras et les autres). e.
Le Chaos d’affectif Les schizophrènes ne peuvent pas habituellement donner une réponse
émotionnelle normale et raisonnable. Ils sont souvent passifs et ne répondent pas à la situation qui devrait les rendre triste ou heureux. Par exemple, il y a un père qui ne montre pas une réaction émotionnelle quand on lui dit que son enfant a un
xiv
cancer. Toutefois, ses émotions qui sont plates peuvent cacher le désordre dans son cœur, et cette personne peut être tout à coup très en colère. Parfois, les schizophrènes expriment des sentiments qui ne sont pas appropriés pas à la situation décrite. Par exemple, les schizophrènes souriront quand nous parlerons d‟un événement tragique, parce que nos émotions sont influencées par des processus cognitifs, il n‟est pas surprenant que la confusion de la pensée et la perception soient accompagnées par des changements dans la réponse émotionnelle. D. La Méthodologie de la recherche Dans cette recherche, j‟utilise la méthode descriptive qualitative pour analyser le processus de la Schizophrénie du personnage principal dans « le Horla ». Le corpus utilisé dans ce mémoire est la nouvelle « le Horla». E. L’Analyse Premièrement, je partage les analyses en cinq sections dans ce chapitre. Chaque section présente la problématique dans ce mémoire. Les problèmes sont : le processus de la schizophrénie qui apparaît dans le personnage principal, la réaction du personnage principal quand il souffrait de la schizophrénie, des tentatives qui a été fait par le personnage principal pour guérir de sa maladie, les effets de la schizophrénie dont a souffert
le personnage principal et
sa
communauté environnante, et l'effet de la Schizophrénie qui a causé le suicide du personnage principal. 1.
Le processus de la schizophrénie sur le personnage principal
xv
La schizophrénie apparaît avec plusieurs symptômes.
Comme les
sentiments de peur, de tristesse et d'anxiété qui sont apparus tout d'un coup. Le personnage principal ou le caractère « Je » sentait qu'il avait un sentiment étrange qui le hantait. Envisagez la citation suivante : (1) LH/3 12 mai. – J’ai un peu de fièvre depuis quelques jours ; je me sens souffrant, ou plutôt je me sens triste. D’où viennent ces influences mystérieuses qui changent en découragement notre bonheur et notre confiance en détresse ? On dirait que l’air, l’air invisible est plein d’inconnaissables Puissances, dont nous subissons les voisinages mystérieux. On peut voir que dans cette citation, la schizophrénie attaque progressivement. Le caractère « Je » avait une fièvre pendant quelques jours. Cette fièvre n‟était pas seulement une fièvre commune, mais c‟était une fièvre qui a provoquée sa misère. La citation « je me sens souffrant, ou plutôt je me sens triste.
D’où
viennent
ces
influences
mystérieuses
qui
changent
en
découragement notre bonheur et notre confiance en détresse ? » explique que le personnage principal sentait un changement dans son âme. Ce changement influe sur son bonheur et transforme son courage. Le caractère « Je » pensait qu‟il y avait une l‟influence d‟une force mystérieuse qui était autour de lui. Il croit que cette force mystérieuse procure un effet négatif. 2.
La réaction du personnage principal quand il souffre de la schizophrénie Différents types de réactions sont apparu quand le caractère « Je » a
éprouvé des symptômes de la Schizophrénie. Les réactions peuvent varier selon l‟état de psychologie du personnage principal.
xvi
Le caractère « Je » a commencé à changer lors de sa fièvre le 12 mai. Il pensait qu‟il y avait une force mystérieuse qu‟il ne pouvait pas voir. Etudiez le citation suivante : (10) LH/3 Comme il est profond, ce mystère de l’Invisible ! Nous ne le pouvons sonder avec nos sens misérables, avec nos yeux qui ne savent apercevoir ni le trop petit, ni le trop grand, ni le trop près, ni le trop loin, ni les habitants d’une étoile, ni les habitants d’une goutte d’eau.. Le caractère « je » pense qu‟il est confronté à une maladie mystérieuse et insaisissable. On peut regarder sur la citation «Comme il est profond, ce mystère de l’Invisible ! ». Cette citation explique sa maladie comme une forme insaisissable et mystérieuse. Il est conscient d‟une force mystérieuse qu‟il ne peut pas sentir. Comme dans la citation « Nous ne le pouvons sonder avec nos sens misérables, avec nos yeux qui ne savent apercevoir ni le trop petit, ni le trop grand, ni le trop près, ni le trop loin, ni les habitants d’une étoile, ni les habitants d’une goutte d’eau ». Le personnage principal a supposé qu‟il ne pouvait pas connaitre cette force mystérieuse. Elle est invisible. 3.
Les tentatives du personnage principal de guérir sa maladie Dans ce chapitre, j‟ai analysé les efforts qui a été fait par le caractère
« Je » pour guérir de sa maladie. La schizophrénie est une maladie qui attaque le mental du patient. Les français ne connaissent pas cette maladie à cette époque. Comme un homme éduqué, le caractère « Je » a consulté un médecin pour soigner sa maladie. Notez la citation suivante : 21) LH/5
xvii
18 mai. – Je viens d’aller consulter un médecin, car je ne pouvais plus dormir. Il m’a trouvé le pouls rapide, l’œil dilaté, les nerfs vibrants, mais sans aucun symptôme alarmant. Je dois me soumettre aux douches et boire du bromure de potassium. Le caractère « Je » a consulté un médecin pour savoir et guérir les maladies qui l‟on ‟attaqué. On peut regarder dans la phrase « 18 mai. – Je viens d’aller consulter un médecin, car je ne pouvais plus dormir ». Dans la citation « Je viens d’aller consulter un médecin » explique que le personnage principal a consulté au médecin parce qu‟il pensait que sa maladie était une maladie ordinaire. Cela l‟illustre dans ses troubles du sommeil. Suite à la consultation, son médecin lui explique que ses symptômes sont normaux. On peut évaluer d‟après la citation « Il m’a trouvé le pouls rapide, l’œil dilaté, les nerfs vibrants, mais sans aucun symptôme alarmant ». La schizophrénie est une maladie qui attaque mental du schizophrène, alors que nous ne pouvons pas diagnostiquer les symptômes selon les conditions physiques de quelqu‟un. 4.
L’effet de schizophrénie sur le personnage principal et sa communauté. Cette analyse est devisée en deux parties. La première partie, on relève
l'impact de la schizophrénie du caractère « Je » et la deuxième partie, on note par rapport à sa société 4.1 L’effet de schizophrénie sur personnage principal Dans cette section, on relève de l‟impact de la schizophrénie qui atteint par le personnage principal. Les hallucinations et les délires deviennent un effet évident sur l‟analyse de la schizophrénie sur le caractère « Je » dans la nouvelle « Le Horla »
xviii
Par exemple : L‟effet de la schizophrénie commence clairement dans le caractère « Je ». Il éprouve des hallucinations montrées dans la citation cidessous : (25) LH/31 6 août. – Cette fois, je ne suis pas fou. J’ai vu... j’ai vu... j’ai vu !... Je ne puis plus douter... j’ai vu !... J’ai encore froid jusque dans les ongles... j’ai encore peur jusque dans les moelles... j’ai vu !... 6 Août, le personnage principal a une très forte hallucination après qu‟‟il sente ce qu‟il a vu. La citation « 6 août. – Cette fois, je ne suis pas fou. » explique que le caractère « Je » croit qu‟il n‟est pas fou. Tous les hallucinations qu‟il éprouve lui semblent réel, montrées dans l‟accentuation sur la phrase «je ne suis pas fou. » 4.2 L’effet de schizophrénie sur le personnage principal par rapport sa communauté La schizophrénie indirectement donne des effets aux alentours du schizophrène. Sur le cas du caractère « Je », ses domestiques ne savent jamais que leur patron avait souffert de Schizophrénie car il dissimule. Cette situation cause donc la confusion alentour. Par exemple, la citation ci-dessous montre que les domestique du caractère « Je » restent dans une situation bouleversante à cause de ses comportements : (40) LH/31 4 août. – Querelles parmi mes domestiques. Ils prétendent qu’on casse les verres, la nuit, dans les armoires. Le valet de chambre accuse la cuisinière, qui accuse la lingère, qui accuse les deux autres. Quel est le coupable ? Bien fin qui le dirait !
xix
Le 4 août, les domestiques du caractère « Je » s‟accusent entre eux. Lors qu‟ils trouvent les verres brisé dans l'armoire. On peut regarder dans la citation « 4 août. – Querelles parmi mes domestiques ». La phrase suivante «. Le valet de chambre accuse la cuisinière, qui accuse la lingère, qui accuse les deux autres. Quel est le coupable ? Bien fin qui le dirait ! » explique que la confusion subie par les domestiques. Ils ne savent pas que c‟est leur patron qui a cassé les verres. Donc l‟effet de la schizophrénie n'affecte pas directement les personnes autour du caractère « Je », mais c‟est assez de faire les gens autour du caractère « Je » sentaient la confusion et le chaos. 5.
La schizophrénie comme la cause du suicide du premier personnage Dans cette section, On fait l‟analyse sur la décision de suicide du
personnage principal. Pendant de 3 mois, il a appris la terreur d‟une créature mystérieuse. Elle s‟appelle « Le Horla ». Elle lui faite mal à sa psychologie et peur de se passer ses jours. C‟est pourquoi le caractère « Je » pense que ses jours sont plein de cauchemars. Lorsque, le personnage principal croit que « Le Horla » reste dans sa maison et qu‟il trouve la meilleure occasion de le tuer. Il décide de brûler sa maison. Regardez la citation suivante : (42) LH/56 Soudain le toit tout entier s’engloutit entre les murs et un volcan de flammes jaillit jusqu’au ciel. Par toutes les fenêtres ouvertes sur la fournaise, je voyais la cuve de feu, et je pensais qu’il était là, dans ce four, mort... Le caractère « Je » regarde que sa maison brûlée. Il est sur donc « le Horla »est. La phrase « je voyais la cuve de feu, et je pensais qu’il était là, dans
xx
ce four, mort.. » explique que le caractère "Je" regarde des monticules du feu, et il pense sûrement que « le Horla » est brûlé là. Il serait content qu‟il ait trouvé « le Horla » mort. Les craintes qu'il éprouvait disparaître avec la mort de « le Horla ». Les pensées du caractère "Je" psychologiquement ont été infectées par les présences d'hallucinations qui surviennent en raison d'interférences de la Schizophrénie. Le caractère « Je » pensait que « le Horla » était une créature qui peut mourir quand il le brulé. On peut le prouve clairement dans la citation « je pensais qu’il était là, dans ce four, mort » 5. Conclusion J‟ai analysé l‟effet de la schizophrénie sur la vie de caractère « je », j‟ai trouvé cinq éléments qui sont les effets de la schizophrénie dans la vie du caractère « Je ». Le premièrement effet de la schizophrénie apparaît comme des symptômes naturel. Dans « le Horla », la schizophrénie apparaît avec des symptômes de fièvre. Cette fièvre n‟est pas une fièvre ordinaire, elle est suivie par l‟angoisse qui transforme le courage au le désespoir. Le deuxième effet : le caractère « Je » a subi une réaction étrange, il sent brusquement une anxiété qui l‟envahit indirectement. Cette condition lui fait de penser qu‟il y a effet une créature mystérieuse qui le regarde et le suivre toujours. Le troisième effet : la schizophrénie est une maladie mentale. Quand le premier personnage a consulté au médecin sur sujet de sa fièvre qui le sentait. Le médecin lui dit qu‟il n‟y a rien à craindre sur des symptômes. Le quatrième effet : le personnage principal a subi des hallucinations qui le rendent impuissant de
xxi
réfléchir clairement. Le dernière effet : quand le caractère « je » essaie tuer « le Horla » et il trouve que « le Horla » n‟est pas mort. Cela lui fait un choc.il veut bien finir sa souffrance et il cherche sans cesse à tuer « le Horla ». Et puis arrive le moment où il est sûr que « le Horla » reste dans son corps interne, pour cela il décide donc de se suicider.
xxii
DAFTAR ISI JUDUL .................................................................................................. i HALAMAN PERNYATAAN ............................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... iii MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................ iv KATA PENGANTAR ........................................................................... v ABSTRAK ............................................................................................. viii RESUME................................................................................................ ix DAFTAR ISI .......................................................................................... xxiii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 5 1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................... 6 1.5 Sistematika Penulisan ................................................................ 7 BAB 2 LANDASAN TEORI ................................................................ 8 2.1 Psikologi Sastra ........................................................................... 8 2.2 Skizofrenia .................................................................................. 10 2.2.1 Kriteria Diagnostik Skizofrenia ............................................ 11 2.2.1.1 Kekacauan Pikiran dan Perhatian ................................. 11 2.2.1.2 Kekacauan Persepsi ...................................................... 12 2.2.1.3 Kekacauan Afektif ........................................................ 12 xxiii
2.2.1.4 Penarikan Diri Dari Realita ........................................... 13 2.2.1.5 Gangguan delusi dan halusinasi ................................... .14 2.2.1.6 Gangguan Kepekaan Diri .............................................. .15 BAB 3 METODE PENELITIAN ................................. ………….. ….16 3.1 Metode Analisis Data ................................................................. 16 3.2 Pendekatan Penelitian ................................................................. 17 3.3 Sumber Data ................................................................................ 17 3.4 Metode Pengumpulan Data ........................................................ 17 3.5 Teknik Analisis Data .................................................................. 18 3.6 Langkah Kerja Penelitian ........................................................... 19 BAB 4 ANALISIS SKIZOFRENIA PADA TOKOH UTAMA ..… 21 4.1 Skizofrenia Muncul Pada Diri Tokoh Utama............................. 21 4.2 Reaksi Tokoh Utama terhadap Penyakit Skizofrenia yang Dideritanya ...................................................................... 29 4.3 Upaya Tokoh Utama Untuk Menyembuhkan Penyakit yang Dideritanya ...................................................................... 41 4.4 Dampak Skizofrenia Tokoh Utama Terhadap Dirinya Sendiri dan Masyarakat di Sekitarnya ................................................. 48 4.4.1 Dampak Skizofrenia Tokoh Utama Terhadap Dirinya Sendiri ...................................................................................... 49 4.4.2 Dampak Skizofrenia Tokoh Utama terhadap Masyarakat Di Sekitarnya ........................................................................... 69 4.5 Efek Skizofrenia dalam Mempengaruhi Tokoh Je untuk
xxiv
Mengakhiri Hidupnya .............................................................. 71 BAB 5 PENUTUP.................................................................................. 75 5.1 Simpulan ..................................................................................... 75 5.2 Saran ............................................................................................ 78 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 79
xxv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan bagian dari seni kehidupan, informasi tentang dunia terangkum ke dalam tulisan maupun lisan yang mengandung unsur-unsur estetis di dalamnya. Karya sastra menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri pengarangnya sendiri, lingkungan, dan juga Tuhan. Karya sastra berisi penghayatan pengarang terhadap lingkungan atau kondisi sosial masyarakatnya saat itu. Karya sastra bukan hasil kerja lamunan belaka, melainkan juga penghayatan pengarang terhadap kehidupan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan bertujuan menyebarkan ide, pemikiran dan ideologinya (Nurgiyantoro, 1998:3) Karya sastra menarik untuk dikaji dan sekaligus merupakan tantangan karena komunikasi yang dibangun oleh suatu karya sastra masih terkesan abstrak. Artinya apa yang ingin disampaikan penulis belum tentu sama dengan yang dipahami pembaca. Seperti yang dinyatakan Aminuddin bahwa komunikasi dalam sastra merupakan komunikasi tanpa komunikasi (1989: 4). Sastra menghasilkan berbagai macam produk dan jenis. Suharianto (1982 : 14) menyatakan karya sastra sebagai pengungkapan hidup dan kehidupan yang dipadu dengan daya imajinasi dan kreasi seorang pengarang serta dukungan pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut. Kehidupan manusia merupakan sebuah obyek yang menarik untuk dituangkan dalam karya sastra.
1
Dalam dunia sastra terdapat berbagai macam jenis karya sastra seperti misalnya puisi, novel, cerpen,dan drama. Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan cerpen sebagai sumber data. Cerpen sebagai salah satu hasil karya sastra, menurut Suharianto (1982:39). Cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau sedikitnya tokoh yang terapat dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra itu. Jadi sebuah cerita pendek belum tentu dapat digolongkan ke dalam jenis cerita pendek, jika ruang lingkup permasalahan yang diungkapkan tidak memenuhi persyaratan yang dituntut oleh cerita pendek. Ruang lingkup permasalahan yang diungkapkan cerita pendek adalah sebagian kecil dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang. Cerita pendek hanya memusatkan perhatian pada tokoh utama dan permasalahannya yang paling menonjol yang menjadi pokok cerita. Salah satu cerpenis terkenal pada abad ke-19 adalah Guy de Maupassant. Beliau juga disebut sebagai salah satu pencetus cerita pendek modern (http://id.wikipedia.org/wiki/Guy_de_Maupassant di sunting pada tanggal 12 Januari 2001). Beliau telah menulis sekitar 300 cerita pendek. Beberapa contoh kumpulan cerpen yang sudah diterbitkan antara lain adalah ”La Maison Tellier” (1881), ”Mademoiselle Fifi” (1882), ”Les Contes de la Becasse”, ”Miss Harriet” (1884). Gaya penulisan Guy de Maupassant bersifat realis, menceritakan keadaan sekitarnya dengan apa adanya dan kebanyakan ceritanya berakhir dengan tragis. Salah satu cerpen karya Guy de Maupassant yang terkenal adalah”Le Horla”. Cerpen ini merupakan salah satu cerpen yang menjadi pioner pada cerita sains dan
2
merupakan karya sastra pertama yang ditulis Guy de Maupassant yang menceritakan kegilaan (http://fr.wikipedia.org/wiki/Le_Horla disunting pada tanggal 21 Desember 2010). Cerpen Le Horla ditulis dalam 3 versi yaitu pada tahun 1885 ,1886 dan 1887. Versi pertama Le Horla berbentuk surat yang menceritakan gejala-gejala aneh yang dialami seorang pasien psikotik kepada seorang dokter. Versi kedua dibuat dalam bentuk format dialog antara pasien psikotik dengan dokter. Le Horla versi ketiga diformat dalam bentuk buku harian yang bercerita tentang hari-hari seorang penderita psikosis yang merasa akan „dimakan‟ oleh „makhluk misterius tidak terlihat‟ dan dia merasa diikuti oleh makhluk yang menurut pendengarannya menamakan diri sebagai Le Horla. Le Horla ditulis oleh Guy de Maupassant saat merawat adiknya yang bernama Hérve de Maupassant, adiknya mengalami gangguan Jiwa dan dirawat di di Charenton (Rumah Sakit Jiwa Val de Marne). Penyakit kegilaan yang dituangkan Guy de Maupassant pada Le Horla adalah skizofrenia. Menurut Kaplan dan Sadock (1994) Skizofrenia merupakan suatu gangguan dengan etiologi tidak diketahui yang ditandai oleh gejala psikotik yang secara berarti mengganggu fungsi dan menyangkut gangguan dalam perasaan, berpikir dan berperilaku. Gangguan ini kronik dan umumnya memiliki fase prodromal, fase aktif dengan delusi, halusinasi atau keduanya dan suatu fase residual dimana gangguan itu mungkin dalam keadaan remisi. Halgin dan Whitbourne (1995) menyatakan skizofrenia merupakan gangguan akibat suatu rangkaian simptom seperti gangguan dalam isi pikiran, bentuk pikiran, persepsi, afeksi, kepekaan diri, motivasi, tingkah laku dan fungsi
3
interpersonal. Selanjutnya Freud (dalam Roan, 1979) mengatakan bahwa Skizofrenia adalah suatu peristiwa regresi atau penarikan diri yang narsistik akibat kelemahan struktur ego karena faktor psikogen atau somatik. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Cameron dan Rychlak (1985) yaitu gangguan Skizofrenia adalah usaha regresi untuk melarikan tension dan kecemasan dengan cara mengabaikan hubungan realitas objek interpersonal dan membentuk delusi dan halusinasi. Guy de Maupassant meninggal enam tahun kemudian setelah menulis Le Horla. Alasan peneliti meneliti Cerpen Le Horla adalah karena cerpen ini memuat kasus psikologi khususnya Skizofrenia pada tokoh utamanya. Selain itu, cerpen Le Horla merupakan cerpen yang terkenal pada masanya (1887) dan merupakan sebuah cerpen perintis yang bertemakan fiksi-ilmiah. Adapun cerpen ini merupakan cerminan diri dari pengarang yang juga mengidap penyakit tersebut sampai akhir hidupnya. Jadi teori yang dianggap cocok untuk menganalisa cerpen ini adalah teori psikologi sastra. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka permasalahan besar yang muncul dari cerpen tersebut adalah bagaimana penyakit skizofrenia yang diderita oleh tokoh utama dalam cerpen Le Horla karya Guy de Maupassant berpengaruh dalam kehidupan tokoh utama tersebut? Dari pertanyaan besar tersebut, maka rumusan masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana skizofrenia muncul pada diri tokoh utama?
4
2. Bagaimana reaksi tokoh utama terhadap penyakit skizofrenia yang dideritanya? 3. Bagaimana upaya tokoh utama untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya? 4. Bagaimana akibat penyakit skizofrenia yang diderita tokoh utama terhadap dirinya sendiri dan masyarakat disekitarnya? 5. Bagaimana effek penyakit tersebut mempengaruhi tokoh utama untuk melakukan bunuh diri? 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai permasalahan-permasalahan diatas, penulis menentukan tujuan dari penelitian ini, agar penelitian lebih terarah. Adapun tujuan yang akan dicapai adalah sebagai berikut : 1. Mendiskripsikan munculnya skizofrenia pada diri tokoh utama dalam cerpen Le Horla. 2. Mendiskripsikan reaksi tokoh utama terhadap penyakit skizofrenia yang dideritanya dalam cerpen Le Horla. 3. Mendiskripsikan upaya tokoh utama dalam cerpen Le Horla untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. 4. Mendiskripsikan akibat penyakit skizofrenia yang diderita tokoh utama terhadap dirinya sendiri dan masyarakat disekitarnya dalam cerpen Le Horla. 5. Mendiskripsikan effek penyakit tersebut yang mempengaruhi tokoh utama untuk melakukan bunuh diri.
5
1.4 Manfaat Penelitian Peneliti tentunya berharap dalam penelitian ini akan membawa manfaat baik di dunia kesusasteraan khususnya, ilmu pengetahuan pada umumnya, serta bagi masyarakat (pembaca). Paling tidak manfaat yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut : 1.4.1 Manfaat teoritis penelitian ini adalah sebagai berikut a. Penulisan ini diharapkan menjadi sebuah refleksi pemikiran tentang efek penyakit kejiwaan khususnya Skizofrenia terhadap eksistensi kehidupan manusia. b. Memberikan sumbangan pemikiran, bahwa kehidupan tokoh dalam suatu karya sastra tidak bisa dilepaskan dari pengaruh psikologi pengarangnya. 1.4.2 Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut a. Penulisan ini diharapkan menjadi pertimbangan bagi Jurusan Sastra Perancis Universitas Negeri Semarang untuk menjadi sebuah mata kuliah baru, yaitu mata kuliah Psikologi Sastra b. Penulisan ini menginformasikan bahwa di dalam sebuah karya sastra. Psikologi kejiwaan pengarang memberikan pengaruh besar terhadap hasil karyanya. c. Penulisan ini mengharapkan agar para pembaca memahami gejalagejala penyakit Skizofrenia yang kemungkinan bisa menyerang siapa saja.
6
d. Memberikan ide lebih lanjut bagi mahasiswa jurusan Sastra Perancis Universitas Negeri Semarang untuk menganalisis lebih lanjut eksistensi psikologis tokoh cerita dilihat dari segi kesehatannya. 1.5 Sistematika Penelitian Penulisan ini terdiri dari lima bab, dan kelima bab tersebut adalah sebagai berikut Bab 1 adalah Pendahuluan, merupakan bagian awal penulisan penelitian ini, yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian. Bab 2 adalah Landasan Teoretis. Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang digunakan sebagai pedoman penulisan penelitian yang meliputi teori tentang Psikologi sastra dan teori tentang Skizofrenia. Bab 3 adalah Metodologi Penelitian. Dalam bab ini dibahas tentang metode yang digunakan, meliputi pendekatan penelitian, objek penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, metode analisis data, teknik analisis data serta langkah kerja penelitian. Bab 4 adalah Analisis Skizofrenia pada tokoh utama dalam cerpen Le Horla. Analisis pada bab ini dilakukan dengan mengacu pada landasan teoritis yang terdapat pada Bab 2. Bab 5 adalah Penutup yang meliputi Kesimpulan, Saran dan setelah penutup disajikan Daftar Pustaka.
7
BAB 2 LANDASAN TEORI
Skizofrenia adalah gangguan mental yang disebut psikosis.Gangguan tersebut menyerang psikologi kejiwaan dari pasiennya. Di dalam kehidupan masyarakat pengarang merefleksikan fenomena tersebut dalam bentuk karya sastra. Hal tersebut memunculkan ilmu interdispliner antara Psikologi dengan Sastra. Dengan kata lain psikologi sastra
adalah suatu disiplin ilmu yang
menganggap bahwa sastra memuat unsur-unsur psikologis. Oleh sebab itu peneliti akan membahas Psikologi sastra terlebih dahulu sebagai awal dalam meneliti Skizofrenia dalam tokoh utama Le Horla 2.1 Psikologi Sastra Ditinjau dari asal katanya, psikologi berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Secara harfiah, psiokologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Dalam sejarah perkembangannya kemudian arti psikologi menjadi ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia (Dirgagunarsa 1978:9) Psikologi dan sastra merupakan dua studi ilmu yang sangat berbeda. Kita tahu psikologi adalah ilmu perilaku atau behavioral science, Bonner dalam Siswantoro (2005:27). Sedangkan sastra adalah ilmu seni yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Jadi keduanya sebenarnya tidaklah ada hubungan yang lebih dekat. Namun, demikian psikologi dan sastra sama-sama memiliki kajian dasar yakni manusia dan kehidupan.
8
Seperti yang dikatakan Siswantoro (2005:29) bahwa novel atau cerpen sebagai bagian bentuk sastra, merupakan realita yang didalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh). Realita sosial, realita psikologis, realita religius merupakan tema-tema yang sering kita dengar seseorang menyoal novel sebagai realita kehidupan. Dari sinilah psikologi dan sastra bertemu yang akhirnya menjadi salah satu cabang ilmu dalam sastra. Menurut Walgito (1957:12), psikologi dibagi menjadi dua yaitu psikologi umum dan psikologi khusus. Psikologi umum menyelidiki dan mempelajari psikis manusia pada umumnya yaitu manusia dewasa, normal dan beradab. Psikologi khusus menyelidiki dan mempelajari segi-segi kekhususan dari aktivitas manusia. Termasuk dalam psikologi khusus adalah psikologi perkembangan, psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi kepribadian dan tipologi, psikologi difrensial dan diagnostik, psikologi patologi, psikologi kriminal, dan psikologi perusahaan. Psikologi memasuki bidang kritik sastra lewat beberapa jalan yaitu (1) pembahasan tentang proses penciptaan sastra, (2) pembahasan tentang psikologi terhadap pengarangnya (baik sebagai tipe maupun sebagai seorang pribadi), (3) pembicaraan tentang ajaran dan kaidah psikologi yang dapat ditimba dari karya sastra,dan (4) pengaruh sastra terhadap pembacanya (Hardjana 1994:60). Pendekatan psikologi menurut Semi (1984:46) adalah pendekatan penelaahan sastra yang menekankan pada segi-segi psikologi yang terdapat dalam suatu karya sastra. Oleh karena itu watak tokoh dalam karya sastra hanya merupakan perpaduan antara pengamatan pengarang terhadap lingkungan sendiri.
9
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan psikologi dapat membantu pembaca sastra untuk mengungkap rahasia kejiwaan dan mengkaji sifat para tokoh dalam novel yang dibacanya. Walaupun secara umum psikologi adalah suatu ilmu yang mempelajari struktur psikis manusia dengan sifat-sifat atau ciri-cirinya yang umum dan berlaku untuk semua manusia sebagai objek. 2.2 Skizofrenia Istilah skizofrenia diperkenalkan pertama kali pada awal abad ke-20 oleh Eugen Bleuler (1857-1939) dan istilah tersebut menggantikan demensia prekoks di dalam literatur, istilah untuk menandakan adanya perpecahan antara pikiran, emosi dan perilaku pada pasien yang terkena. Bleuler menggambarkan gejala fundamental spesifik untuk skizofrenia, termasuk suatu gangguan yang ditandai dengan gangguan asosiasi khususnya kelonggaran asosiasi, gangguan afektif, autisme dan ambivalensi. Istilah skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yang berarti jiwa yang retak (skizos artinya retak, dan frenas artinya jiwa). Menurut psikiater Tubagus Erwin Kusumah, jiwa manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu perasaan, kemauan, dan pikiran. Pada orang yang jiwanya tidak retak, ketika unsur itu senada. Artinya, kalau perasaan senang, maka lamunan dan pikiran mendukung, kalau sedih, ketiga-tiganya menurun. Gangguan Skizofrenia ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi. Sedangkan untuk gejala-gejala negative seperti menurunnya minat dan dorongan,
10
berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan, afek yang datar, serta terganggunya relasi personal (Strauss et al, dalam Gabard,1994). Pengertian gejala positif dan negatif tersebut bukanlah dalam arti baik dan buruk. Gejala positif berarti bertambahnya kemunculan suatu tingkah laku dalam kadar yang berlebihan dan menunjukkan penyimpangan dari fungsi psikologis yang normal. Sementara gejala negatif berarti penurunan kemunculan suatu tingkah laku yang juga berarti penyimpangan dari fungsi psikologis yang normal. Skizofrenia merupakan nama yang diberikan pada beberapa gangguan yang ditandai dengan parahnya kekacauan kepribadian, distorsi realita, dan ketidak mampuan untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari (Atkinson 1983:268). Atkinson juga menambahkan bahwa skizofrenia terdapat pada semua kebudayaan, bahkan pada kebudayaan yang jauh dari tekanan peradaban modern sekalipun, dan tampaknya penyakit ini menggangu kehidupan manusiaan disepanjang sejarah manusia. 2.2.1 Kriteria Diagnostik Skizofrenia Kriteria Skizofrenia yang dikemukakan oleh Halgin dan Whithbourne (1995) adalah sebagai berikut: 2.2.1.1 Kekacauan Pikiran dan Perhatian Kekacauan pikiran pada skizofrenia tampaknya adalah suatu kesulitan umum untuk “menyaring” stimulus yang tidak relevan. Kebanyakan kita dapat memusatkan perhatian kita secara selektif. Dari begitu banyak informasi sensorik yang masuk, kita mampu menyeleksi stimulus yang relevan dengan tugas yang ada dan mengabaikan yang lain-lain. Seseorang penderita skizofrenia tampaknya
11
tidak mampu menyaring stimulus yang tidak relevan atau membedakannya dari masukan yang relevan. Individu tersebut menanggapi begitu banyak stimulus pada waktu yang bersamaan dan sulit mengambil makna dari masukan yang berlimpahlimpah. 2.2.1.2 Kekacauan Persepsi Dalam tahap skizofrenik yang akut sering kali dilaporkan bahwa penderita mengeluhkan bahwa dunia tampak lain (suara tampaknya lebih keras, warna lebih mencolok). Tubuh mereka sendiri tampaknya tidak sama lagi (tangannya dapat tampak lebih besar atau kecil; kaki mereka sangat panjang; mata mereka tampak keluar dari wajah). Beberapa penderita tidak dapat mengenali diri mereka sendiri dalam kaca atau melihat bayangannya seperti bayangan rangkap tiga. Pada tahap skizofrenik angkut, banyak penderita yang memasuki periode ketidakmampuan memahami sesuatu sebagai suatu keseluruhan; misalnya, mereka tidak dapat melihat perawat atau dokter sebagai seorang manusia tetapi dapat melihat bagianbagian tubuhnya (hidung, mata, kaki, lengan dan sebagainya). 2.2.1.3 Kekacauan Afektif Penderita skizofrenia biasanya tidak dapat memberikan respons emosional yang normal dan wajar. Mereka sering kali pasif dan tidak responsif terhadap situasi yang seharusnya membuat mereka sedih atau gembira. Misalnya, seorang ayah tidak menunjukkan respons emosional ketika diberitahu bahwa anaknya diserang penyakit kanker. Namun, ekspresi emosi yang datar atau timbul ini dapat menyembunyikan kekacauan dalam hatinya, dan orang tersebut dapat tiba-tiba sangat marah.
12
Kadang-kadang penderita skizofrenia
mengungkapkan perasaan yang
tidak sesuai dengan situasi atau pikiran yang diungkapkan. Misalnya penderita akan tersenyum ketika berbicara tentang peristiwa yang tragis. Karena emosi kita dipengaruhi oleh proses-proses kognitif, tidaklah mengherankan bila kekacauan pikiran dan persepsi disertai dengan beberapa perubahan pada respons emosional. 2.2.1.4 Penarikan diri dari realita Selama mengidap skizofrenia seseorang cenderung menarik diri dari pergaulan dengan orang lain dan menjadi asyik dengan pikiran dan khayalan sendiri. Keasyikan dengan diri sendiri ini disebut autisme (dari bahasa Yunani, auto berarti sendiri). Seperti yang diperlihatkan pada kutipan-kutipan sebelumnya, perilaku emosional yang tidak wajar kadang-kadang dapat diterangkan dengan fakta bahwa orang tersebut bereaksi pada apa yag terjadi dalam kehidupan pribadinya dan bukan pada peristiwa eksternal. Keasyikan sendiri dapat terjadi sangat intens sehingga orang tersebut tidak tahu hari atau bulan atau keberadaannya. Pada kasus skizofrenia akut, penarikan diri dari realita hanya bersifat sementara. Pada kasus kronis, penarikan diri dari dapat menjadi makin bertahan dan berkembang sedemikian sehingga orang tersebut benar-benar tidak reponsive pada peristiwa eksternal, tetap diam dan tidak bergerak selama berhari-hari, dan harus dirawat seperti bayi.
13
2.2.1.5 Gangguan Delusi dan Halusinasi Pada tahap skizofrenia yang akut, proses pikiran dan persepsi yang menyimpang disertai pula dengan berbagai delusi. Delusi yang paling umum adalah keyakinan bahwa kekuatan eksternal mencoba mengendalikan pikiran dan tindakan orang tersebut. Delusi pengaruh ini meliputi pula keyakinan bahwa pikiran seseorang dipancarkan pada dunia sekitar sehingga orang lain dapat mendengarnya, bahwa pikiran aneh tersebut (bukan pikiran orang itu sendiri) masuk benak orang tersebut, atau perasaan atau tindakan itu dibebankan kepada orang tersebut karena kekuatan eksternal. Hal tersebut sering terdapat keyakinan bahwa orang atau kelompok tertentu mengancam atau diam-diam merencanakan melawan orang tersebut (delusi penganiayaan).
Hal yang kurang begitu umum
ialah keyakinan bahwa orang tersebut sangat kuat dan penting (delusi kehebatan). Seseorang dengan delusi penganiayaan disebut paranoid. Dia dapat mencurigai teman-teman atau familinya. Takut merasa akan diracun, atau mengeluh selalu diintai, diikuti dan dibicarakan. Yang disebut dengan kejahatan " tidak bermotif " ialah bila seorang menyerang atau membunuh orang tanpa sebab nyata ; biasanya tindak kriminal semacam itu dilakukan oleh orang yang pada akhirnya didiagnosis menderita skizofrenia paranoid. Halusinasi dapat terjadi sendiri atau merupakan bagian dari keyakinan delusi. Halusinasi auditorik biasanya merupakan suara-suara yang menyatakan pada orang tersebut apa yang harus dikerjakan atau mengomentari tindakannya
14
merupakan hal yang paling umum. Halusinasi visual misalnya melihat mahkluk aneh atau malaikat yang tidak begitu umum. 2.2.1.6 Gangguan Kepekaan Diri Pasien Skizofrenia selalu bingung akan identitas keberadaan mereka dan mereka tidak begitu pasti akan keberadaan diri mereka yang benar atau tidak dan selalu bertanya-tanya tentang keberadaan dirinya yang pasti
15
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai Pendekatan Penelitian, Metode Penelitian, Sumber Data, Metode Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data serta Langkah Kerja Penelitian. 3.1 Metode Analisis Data Metode analisis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Menurut Nawawi (1991 :63) menjelaskan, metode deskriptif dapat diartikan sebagai
prosedur
pemecahan
menggambarkan/melukiskan
masalah
keadaan
yang
subjek/objek
diselidiki penelitian
dengan (seseorang,
lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak. Metode kualitatif ,merupakan metode pengkajian atau metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak dirancang dengan menggunakkan prosedur-prosedur statistik (Subroto 1991:6) Metode diskriptif analitik sendiri adalah metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Metode ini tidak semata-mata hanya menguraikan tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan. Metode ini dapat diaplikasikan ke dalam beberapa jenis lainnya, misalnya metode deskriptif komparatif atau metode deskriptif induktif.
16
3.2 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra. Pendekatan psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang sastra sebagai aktivitas kejiwaan (Endraswara 2003 : 96). Pendekatan psikologi sastra menekankan analisis terhadap keseluruhan unsur pembangun karya sastra baik segi intrinsik maupun entrinsik. Dari segi intrinsik yang ditekankan adalah penokohan atau perwatakan, dan dari segi ekstinsik yang ditekankan adalah mengenai diri pengarang yang menyangkut masalah kejiwaan, cita-cita, aspirasi, keinginan, falsafah hidup, obesi dan lain-lain. Dalam kaitan ini, perlu dicari riwayat hidup pengarang sejak kecil hingga dewasa agar kita tahu endapan pengalaman pribadi yang diekspresikan dalam karyanya. 3.3 Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Le Horla karya Guy de Maupassant. 3.4 Metode Pengumpulan Data. Langkah awal dalam penelitian ini adalah dengan membaca berulangulang secara heuristik. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk menemukan data tentang bagaimana karakter tokoh. Selanjutnya, peneliti melanjutkan pembacaan tekstual secara hermeneutik yanag mengkaji psikologi tokoh. Metode reset kepustakaan digunakan untuk mencari dan menelaah berbagai buku. Sebagai bahan pustaka, metode riset dipergunakan untuk sumber penunjang. Sumber primer dalam penelitian ini adalah “Le Horla” sedangkan
17
sumber sekundernya adalah buku-buku yang berkaitan dengan teori sastra, serta pustaka lain yang menunjang penelitian Setelah mengumpulkan data, langkah selanjutnya adalah memasukkan data tersebut dalam sebuah kartu data. Data-data yang relevan dituliskan pada kartu data yang berisi komponen-komponen sebagai berikut : (1) Nomor data : 1 (2) Sumber
: LH/10
(3) Korpus data Data
Terjemahan
(4) Analisis Korpus Data
Keterangan: Bagian 1 berisi : Nomor urut kartu data Bagian 2 berisi : Judul roman yaitu Le Horla Halaman Bagian 3 berisi : Korpus data Bagian 4 berisi : Analisis korpus data 3.5 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Pilah Unsur Penentu (PUP). Pilah Unsur Penentu adalah cara untuk memilih data 18
yang akan diteliti, dengan alat berupa daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto 1993:21). Data yang telah siap dan sudah tercatat dalam kartu data disusun secara sistematis sesuai kepentingan penelitian dengan harapan akan diperoleh kejelasan mengenai cara-cara yang ditempuh untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini. Contoh Analisis Korpus Data (1)
(1) (2) LH/3 (3) Korpus data Data 12 mai. – J’ai un peu de fièvre depuis quelques jours ; je me sens souffrant, ou plutôt je me sens triste.
Terjemahan 12 mei. – Aku sedikit demam sejak beberapa hari ini ; aku merasa tidak enak badan, atau lebih tepatnya aku merasa sedih
(4) Analisis Korpus Data Kutipan diatas mendeskripsikan keadaan diri tokoh utama pada tanggal 12 Mei. Dia mengalami demam selama beberapa hari. Dia merasa bahwa demam yang dia rasakan lebih dari hanya sekedar demam biasa. Lebih tepatnya di merasakan kesedihan. Hal tersebut dijelaskan pada kutipan ”je me sens souffrant, ou plutôt je me sens triste”. Tokoh Je merasa dirinya tidak enak badan atau lebih tepatnya merasa sedih. Skizofrenia merupakan sebuah penyakit yang menyerang segi psikologis penderitanya sehingga gejala-gejala yang tampak pada diri penderitanya adalah gangguan pada segi psikologinya. Hal tersebut dijelaskan pada perasaan Tokoh Je yang merasa tidak enak badan, atau lebih tepatnya dia merasa sedih. Kesedihan yang dia rasakan berdampak pada kesehatannya.
3.6 Langkah Kerja Penelitian Langkah-langkah yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
19
1. Menentukan teks sastra atau sumber data yang akan diteliti, yaitu cerpen Le Horla karya Guy De Maupassant 2. Membaca dan memahami keseluruhan isi teks cerpen Le Horla karya Guy De Maupassant. 3. Mendeskripsikan permasalahan yang menonjol setelah membaca dan memahami cerita cerpen Le Horla karya Guy de Maupassant. 4. Mencari teori-teori atau pendekatan yang relevan untuk memecahkan masalah. Dalam hal ini pendekatan psikologi sastra menjadi pilihan yang tepat untuk menganalisis Skizofrenia dalam tokoh utama Le Horla. 5. Membaca dan memahami teori-teori yang relevan tersebut untuk memecahkan permasalahan. 6. Memecahkan permasalahan, dengan tahap awal mendiskripsikan munculnya Skizofrenia pada diri tokoh utama dalam cerpen Le Horla. 7. Menafsirkan kalimat-kalimat yang menunjukkan reaksi tokoh utama terhadap penyakit skizofrenia yang dideritanya dalam cerpen Le Horla 8. Mendiskripsikan akibat penyakit Skizofrenia yang diderita tokoh utama terhadap dirinya sendiri dan masyarakat di sekitarnya dalam cerpen Le Horla. 9. Mendiskripsikan upaya tokoh utama dalam cerpen Le Horla untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. 10. Mendiskripsikan keputusasaan tokoh utama dalam cerpen Le Horla mempengaruhi dirinya untuk mengakhiri hidup. 11. Menyimpulkan hasil analisis. 12. Memberikan saran berdasarkan hasil penelitian.
20
BAB 4 ANALISIS SKIZOFRENIA PADA TOKOH UTAMA
Pada Bagian Bab ini peneliti akan membagi analisis menjadi lima bagian sesuai dengan permasalahan pada Bab I yaitu proses skizofrenia yang muncul pada diri tokoh utama, reaksi tokoh utama terhadap penyakit skizofrenia yang dideritanya, upaya tokoh utama untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya, akibat penyakit skizofrenia yang diderita tokoh utama terhadap dirinya sendiri dan masyarakat disekitarnya,dan effek penyakit tersebut yang mempengaruhi tokoh utama untuk melakukan bunuh diri. 4.1 Skizofrenia muncul pada diri tokoh utama Skizofrenia muncul dengan gejala-gejala yang bermacam-macam. Seperti adanya perasaan takut, sedih dan perasaan cemas yang tiba-tiba datang. Tokoh utama atau Je merasakan adanya suatu perasaan yang aneh yang membayanginya. Perhatikan kutipan berikut ini : (1) LH/3 12 mai. – J’ai un peu de fièvre depuis quelques jours ; je me sens souffrant, ou plutôt je me sens triste. D’où viennent ces influences mystérieuses qui changent en découragement notre bonheur et notre confiance en détresse ? On dirait que l’air, l’air invisible est plein d’inconnaissables Puissances, dont nous subissons les voisinages mystérieux. 12 Mei - Aku demam selama beberapa hari, aku merasa tidak enak badan, atau lebih tepatnya aku merasa sedih. Dari mana pengaruh misterius yang mengubah kebahagiaan kita dan keberanian kita menjadi keputusasaan?. Orang mengatakan bahwa udara, udara tak terlihat dipenuhi dengan kekuatan yang tidak diketahui,yang membuat kita merasakan kekuatan-kekuatan misterius disekitar kita.
21
Skizofrenia
menyerang
penderitanya
secara
bertahap.
Tokoh
Je
mengalami demam selama beberapa hari. Demam tersebut bukanlah hanya sekedar demam biasa. Demam yang menyebabkan kesedihan bagi dirinya. Pada kutipan « je me sens souffrant, ou plutôt je me sens triste. D’où viennent ces influences mystérieuses qui changent en découragement notre bonheur et notre confiance en détresse ? » menjelaskan adanya perubahan dalam dirinya. Kebahagiaan dan keberanian dalam dirinya seakan berubah menjadi keputusasaan. Tokoh Je merasa ada pengaruh kekuatan misterius yang berada disekitar dirinyalah yang menyebabkan hal tersebut. Penderita Skizofrenia tidak bisa menyaring setiap masukan-masukan yang ada. Gangguan tersebut mengacauakan cara berpikir penderita. Seperti pada tokoh Je, dia merasa adanya kekuatan misterius yang selalu membayangi tokoh utama menyebabkannya tidak tenang. Rasa gelisah membuatnya bertanya-tanya tentang keadaan yang dirasakannya tersebut. Perhatikan kutipan dibawah ini : (2) LH/3 Comme si quelque malheur m’attendait chez moi. – Pourquoi ? – Est-ce un frisson de froid qui, frôlant ma peau, a ébranlé mes nerfs et assombri mon âme ? Est-ce la forme des nuages, ou la couleur du jour, la couleur des choses, si variable, qui, passant par mes yeux,... Seolah-olah beberapa Mengapa? – Apakah mehancurkan syarafku awan, ataukah warna melewati mataku, ...
kemalangan telah menungguku di rumah. getaran dingin yang menyentuh kulitku, telah dan menenggelamkan jiwaku? Apakah bentuk hari, warna benda-benda yang berubah-ubah
Dalam kutipan pada halaman sebelumnya, tokoh utama merasakan adanya sebuah perasaan yang mengganggu dalam benaknya. Perasaan was-was yang menyelimuti dirinya. Gangguan awal skizofrenia mulai tampak dalam dirinya.
22
Khayalan-khayalan yang mulai membuatnya bingung. Seperti dalam perkataanya Comme si quelque malheur m’attendait chez moi. – Pourquoi ? Tokoh utama merasa adanya berbagai masalah yang akan menantinya dirumah. Perasaan aneh seperti adanya getaran dingin yang menyentuh kulitnya, menghancurkan syaraf dan menenggelamkan jiwanya. Perasaan tersebut akan terus menghantuinya dan menganggu pikiran dan nantinya akan mengacaukan jiwanya. Gejala-gejala yang muncul pada diri Tokoh Je tersebut merupakan suatu bentuk kekacauan pikiran dan perhatian. Menurut salah satu kriteria diagnostik oleh Halgin dan Whithbourne (1995). Gangguan Skizofrenia dapat berupa gangguan pada proses berpikir, penderita tidak dapat menyaring stimulus yang masuk kedalam pikiran penderita secara benar. Penderita akan melakukan proses berpikir secara irasional. Seperti
pada
kutipan
bercetak
tebal
diatas.
Gejala-gejala
Skizofrenia
mempengaruhi cara berpikir Tokoh Je, sehingga dia merasakan adanya sebuah kemalangan yang telah menunggunya dirumah. Demam yang diderita tokoh utama merupakan tanda-tanda Skizofrenia yang mulai menyerang tokoh utama. Demam tersebut bukan seperti demam pada umumnya. Efek yang dihasilkan lebih dari demam biasa. Perhatikan kutipan di bawah ini: (3) LH/4 16 mai. – Je suis malade, décidément ! Je me portais si bien le mois dernier ! J’ai la fièvre, une fièvre atroce, ou plutôt un énervement fiévreux, qui rend mon âme aussi souffrante que mon corps ! J’ai sans cesse cette sensation affreuse d’un danger menaçant, cette appréhension d’un malheur qui vient ou de la mort qui approche, ce pressentiment qui est sans doute l’atteinte d’un mal encore inconnu, germant dans le sang et dans la chair.
23
16 Mei – Aku sakit, tidak salah lagi! Aku merasa lebih sehat bulan lalu! Aku mengalami demam, sebuah demam yang mengerikan , atau lebih tepatnya demam yang menjengkelkan, yang membuat jiwaku menderita seperti tubuhku! Aku terus menerus merasakan perasaan mengerikan bahwa bahaya akan datang, kekhawatiran akan kemalangan yang datang atau kematian yang mendekat, perasaan yang tidak diragukan terserang sebuah penyakit yang belum diketahui, mendekam dalam darah dan daging. Dari kutipan diatas menjelaskan bahwa demam yang diderita oleh tokoh utama bukanlah demam biasa. Demam yang mengerikan menggerogoti jiwanya dan tubuhnya. Kutipan yang dicetak tebal menunjukkan adanya perasaan yang diderita tokoh utama. Perasaan yang menakutkan. Tokoh utama merasa bahwa bahaya akan menghampirinya, kekhawatiran akan datangnya kematian dan perasaan bahwa penyakit ini telah mendekam dalam dirinya. Dalam hal ini kekacauan pikiran mulai melanda tokoh utama. Kekacauan pikiran tersebut membuat berbagai macam ketakutan bagi diri tokoh utama. Tokoh Je telah melakukan pengobatan. Dokter mengatakan bahwa keadaan tokoh Je tidak ada yang mengkhawatirkan. Gejala-gejala penyakit yang nampak pada diri tokoh Je tidak dapat dilihat dari bentuk fisik tokoh Je. Gejalagejala Skizofrenia yang menyerang tokoh Je adalah sebuah penyakit yang menyerang sisi kejiwaan dari diri tokoh Je. Lihat kutipan di bawah ini : (4) LH/5 25 mai. – Aucun changement ! Mon état, vraiment, est bizarre. À mesure qu’approche le soir, une inquiétude incompréhensible m’envahit, comme si la nuit cachait pour moi une menace terrible. 25 Mei - Tidak ada perubahan! Kondisiku benar-benar sangat aneh. Saat mendekati malam hari, kegelisahan yang tidak bisa dimengerti datang menghampiriku, seperti malam menyembunyikan sebuah ancaman yang mengerikan bagi diriku
24
Pada kutipan 25 mai. – Aucun changement ! Menjelaskan bahwa obat tidak memberikan efek apapun bagi kesembuhan tokoh Je. Keadaan kondisinya masih sama seperti ketika dia belum melakukan pengobatan. Penyakit skizofrenia adalah suatu penyakit yang menyerag sisi kejiwaan seseorang sehingga tandatanda luar dari penderita itu tidaklah tampak dengan jelas, penyakit skizofrenia ini telah menyerang kondisi kejiwaan tokoh Je dalam hal ini terlihat pada kutipan, Mon état, vraiment, est bizarre. À mesure qu’approche le soir, une inquiétude incompréhensible m’envahit, comme si la nuit cachait pour moi une menace terrible. Menegaskan adanya gejala-gejala skizofrenia yang muncul pada diri tokoh Je. Kondisi kejiwaannya mulai terganggu, gangguan tersebut berupa perasaan gelisah, rasa takut akan adanya sebuah ancaaman. Ketika malam tiba perasaan gelisah tokoh Je muncul. Dia tidak mengerti bagaimana perasaan tersebut muncul menghampirinya. Ketakutan yang dialami tokoh Je ketika malam tiba tidak hanya sekedar perasaan gelisah saja melainkan ada banyak gejala-gejala Skizofrenia yang mempengaruhinya. Perhatikan kutipan dibawah ini : (5) LH/6 Vers dix heures, je monte dans ma chambre. À peine entré, je donne deux tours de clef, et je pousse les verrous ; j’ai peur... de quoi ?... Je ne redoutais rien jusqu’ici... j’ouvre mes armoires, je regarde sous mon lit ; j’écoute... j’écoute... quoi ?... Est-ce étrange qu’un simple malaise… Sekitar jam 10:00, aku pergi ke kamarku. Begitu masuk, kuputar anak kunci dua kali, dan kudorong kuncinya ; aku takut…takut akan apa ?...Aku tidak meragukan apapun sejauh ini..aku buka lemariku, aku melihat kolong ranjangku ; aku mendengarkan … aku mendengar … apa ? apakah ini rasa ini adalah sebuah rasa takut…. Pada kutipan di atas menjelaskan adanya sebuah perasaan ketakutan dari tokoh Je. Perhatikan kutipan « j’ai peur... de quoi ? » Tokoh Je bertanya pada
25
dirinya sendiri akan ketakutan yang dia rasakan, akan tetapi perasaan takut yang dia rasakan tidak dia ketahui dari mana asalnya. Tokoh Je mencari dari mana asal rasa takutnya dengan cara membuka lemari dan melihat kolong bawah tempat tidurnya. Tokoh Je merasa bahwa apakah yang dia rasakan ini adalah sebuah rasa takut. Perasaan takut yang tidak dia ketahui dari mana datangnya tersebut inilah yang menjadi sebuah permasalah bagi diri tokoh Je. Rasa takut dan kekhawatiran yang berlebihan membuat tokoh Je mengalami kesulitan untuk tidur. Perhatikan kutipan dibawah ini : (6) LH/6 …Puis, je me couche, et j’attends le sommeil comme on attendrait le bourreau. Je l’attends avec l’épouvante de sa venue, et mon coeur bat, et mes jambes frémissent ; et tout mon corps tressaille dans la chaleur des draps,... ...Kemudian, aku berbaring dan menunggu rasa kantuk yang rasanya seperti kita sedang menunggu algojo. Aku menunggunya dengan perasaan mencekam, dan jantungku berdetak dan kurasakan kakiku bergetar dan seluruh tubuhku gemetar di bawah kehangatan selimut... Pada kutipan diatas, tokohJe mengalami kesulitan untuk tidur. Bagi tokoh Je, keinginan untuk tidur itu merupakan sebuah hasrat yang sulit untuk dilakukan. Tokoh Je
beranggapan bahwa menunggu rasa kantuk itu seperti halnya
menunggu sebuah kematian seperti pada kutipan j’attends le sommeil comme on attendrait le bourreau. Penderitaan dari rasa takut yang membayanginya menyebabkan dirinya kesulitan untuk tidur. Pada umumnya penderita Skizofrenia akan mengalami adanya insomnia atau yang disebut gangguan tidur. Mereka akan mengalami kesulitan untuk tidur dan kadang-kadang akan terbangun sendiri pada tengah malam. Pada kata yang bercetak tebal diatas menjelaskan ketakutanketakutan yang dialami tokoh Je ketika akan tidur. Perasaan takut yang dia
26
rasakan direfleksikan dengan perwujudan seperti menunggu algojo ketika akan tidur. Perasaan takut dan mencekam membayangi tokoh Je pada saat itu. Tokoh Je mengalami mimpi buruk. Dia merasakan bahwa ada seseorang yang mengawasinya. Perhatikan kutipan dibawah ini : (7) LH/6-7 ....Je le sens et je le sais... et je sens aussi que quelqu’un s’approche de moi, me regarde, me palpe, monte sur mon lit, s’agenouille sur ma poitrine, me prend le cou entre ses mains et serre... serre... de toute sa force pour m’étrangler. .... Aku merasakannya dan mengetahuinya ... dan aku juga merasa bahwa seseorang mendekatiku, menatapku, menyentuhku, naik ke tempat tidurku, berlutut di dadaku, menggenggam leherku dengan kedua tangannya dan menggenggam ... meremas... dengan segala kekuatannya untuk mencekikku. Pada kutipan yang bercetak tebal diatas menyatakan bahwa tokoh Je merasa ada seseorang yang sedang mendekatinya dan dia merasa seseorang tersebut mencoba untuk mencekik tokoh Je. Keadaan yang dia rasakan masih dalam sebatas mimpi buruk saja, akan tetapi kondisi tersebut berlangsung berulang-ulang pada tiap malam. Perhatikan kutipan dibawah ini : (8) LH/7 Après cette crise, qui se renouvelle toutes les nuits, je dors enfin, avec calme, jusqu’à l’aurore. Setelah krisis tersebut, yang berulang-ulang setiap malam. Aku akhirnya tidur dengan tenang hingga fajar. Pada kutipan ke-8 tersebut. Tokoh Je mengalami gangguan mimpi buruk yang berulang-ulang pada setiap malam. Keadaan inilah yang mulai mempengaruhi psikologis tokoh Je. Gangguan susah tidur dan terbangun pada tengah malam merupakan sebuah gejala-gejala Skizofrenia tahap awal.
27
Mimpi-mimpi buruk yang dialami Tokoh Je mulai lagi menghantuinya. Hal tersebut menyebabkan gangguan dalam diri Tokoh Je. Perhatikan kutipan dibawah ini : (9) LH/15 4 juillet. – Décidément, je suis repris. Mes cauchemars anciens reviennent. Cette nuit, j’ai senti quelqu’un accroupi sur moi, et qui, sa bouche sur la mienne, buvait ma vie entre mes lèvres. Oui, il la puisait dans ma gorge, comme aurait fait une sangsue. Puis il s’est levé, repu, et moi je me suis réveillé, tellement meurtri, brisé, anéanti, que je ne pouvais plus remuer. Si cela continue encore quelques jours, je repartirai certainement. 4 Juli- Sungguh, aku telah kembali. Mimpi-mimpi buruk di masa lalu kembali bermunculan lagi. Malam itu, aku merasakan seseorang berjongkok didepanku dan mulutnya didepanku, meminum kehidupanku diantara kedua bibirku. Ya, dia menghisapnya di tenggorokanku, seperti yang telah dilakukan oleh lintah. Kemudian dia berdiri, kekenyangan dan aku terbangun, begitu terpukul, hancur, hilang semangat dan aku tidak dapat lagi bergerak. Jika kejadian ini berlangsung terus dalam beberapa hari kedepan, aku akan pergi lagi pasti. Tokoh Je mengalami mimpi buruk lagi. Mimpi-mimpi tersebut adalah mimpi-mimpi yang dulu telah mengganggunya. Tokoh Je mengalami halusinasi, efek yang dihasilkan dari mimpi-mimpi buruk yang selama ini menghantuinya. Halusinasi dari Tokoh Je diuangkapkan dari kutipan yang bercetak tebal diatas. Adanya perasaan bahwa seseorang berada di depan Tokoh Je. Orang tersebut seakan-akan mengambil kehidupan Tokoh Je, dari kutipan tersebut juga menjelaskan bahwa halusinasi yang dialami oleh Tokoh Je telah berdampak negatif bagi diri Tokoh Je. Dia merasa begitu hancur, terpukul dan merasa semangat dalam dirinya hilang. Skizofrenia memberi dampak yang buruk bagi sisi psikologis Tokoh Je. Gangguan-gangguan delusi mempengaruhi isi pikiran Tokoh Je sehingga dia beranggapan seperti itu. 4.2 Reaksi tokoh utama terhadap penyakit skizofrenia yang dideritanya
28
Pada pembahasan bagian ini, peneliti akan menganilis tentang reaksi tokoh Je terhadap penyakit Skizofrenia yang dideritanya. Berbagai macam reaksi mulai muncul ketika tokoh Je mengalami gejala-gejala penyakit Skizofrenia. Reaksireaksi yang dirasakannya bisa bermacam-macam sesuai dengan keadaan psikologis Tokoh Je pada saat gejala-gejala penyakit Skizofrenia tersebut muncul. Reaksi yang tokoh Je rasakan pertama kali ketika dia mengalami demam pada tanggal 12 mei. Tokoh Je merasa bahwa ada kekuatan misterius yang tidak bisa dia lihat. Perhatikan kutipan di bawah ini : (10) LH/3 Comme il est profond, ce mystère de l’Invisible ! Nous ne le pouvons sonder avec nos sens misérables, avec nos yeux qui ne savent apercevoir ni le trop petit, ni le trop grand, ni le trop près, ni le trop loin, ni les habitants d’une étoile, ni les habitants d’une goutte d’eau.. Sebagai bentuk yang sukar dipahami, sebuah misteri yang tidak terlihat ! Kita tidak dapat menduganya dengan indera kita yang menyedihkan ini, dengan mata kita yang tidak bisa mengetahui apakah kecil, besar, sangat dekat, sangat jauh, penghuni sebuah bintang, penghuni sebuah titik air… Tokoh Je merasa bahwa penyakit yang dia hadapi ini adalah sebuah penyakit yang misterius dan sukar dipahami. Hal tersebut dapat kita lihat pada penggalan kalimat « Comme il est profond, ce mystère de l’Invisible ! » (Sebagai bentuk yang sukar dipahami, sebuah misteri yang tidak terlihat !). Pada kalimat tersebut tokoh Je mengatakan bahwa penyakit yang dideritanya dianggapnya sebagai sebuah bentuk sesuatu yang sulit dipahami dan misterius. Tokoh Je sadar bahwa dia tidak bisa merasakan kekuatan misterius tersebut hanya dengan indera yang dia miliki saja. Seperti pada kutipan « Nous ne le pouvons sonder avec nos sens misérables, avec nos yeux qui ne savent apercevoir ni le
29
trop petit, ni le trop grand, ni le trop près, ni le trop loin, ni les habitants d’une étoile, ni les habitants d’une goutte d’eau ».(Kita tidak dapat menduganya dengan indera kita yang menyedihkan ini, dengan mata kita yang tidak bisa mengetahui apakah kecil, besar, sangat dekat, sangat jauh, penghuni sebuah bintang, penghuni sebuah titik air). Tokoh Je beranggapan bahwa dia tidak akan dapat mengetahui kekuatan misterius tersebut dengan indera yang dia miliki. Kekuatan misterius yang tidak terlihat tersebut tidak dapat dia perkirakan apakah mempunyai bentuk kecil atau besar, apakah sangat dekat ataupun sangat jauh, dan apakah mahluk terebut penghuni sebuah bintang ataupun penghuni sebuah titik air. Kekuatan misterius yang dimaksudkan oleh tokoh Je sebenarnya hanyalah merupakan sebuah bentuk halusinasi dalam pikiran tokoh Je. Adanya rasa penasaran tentang kehadiran penyakit misterius yang dirasakan tokoh Je membuatnya berharap dapat melihat mahkluk misterius yang berada dalam pikirannya tersebut. Tokoh
Je berharap memiliki indera yang dapat merasakan kehadiran
makluk misterius tersebut. Perhatikan kutipan pada halaman selanjutnya .
(11) LH/4 Ah ! Si nous avions d’autres organes qui accompliraient en notre faveur d’autres miracles, que de choses nous pourrions découvrir encore autour de nous ! Ah! Jika kita mempunyai organ-organ lain yang akan dapat bekerja dengan keajaiban-keajaiban, hal-hal yang memugkinkan kita dapat menemukan sesuatu di sekitar kita!
30
Pada kutipan di atas menunjukkan keinginan Tokoh Je untuk memiliki organ-organ tubuh lain yang dapat mengungkap hal-hal misterius disekitarnya. Harapan yang diungkapkan oleh tokoh Je tersebut dilandasi keinginannya untuk mengetahui keberadaan mahkluk misterius yang berada disekitarnya. Perhatikan pada penggalan kalimat « .., que de choses nous pourrions découvrir encore autour de nous ! ». Penggalan kalimat tersebut mengungkapkan tujuan agar dapat menemukan sosok-sosok misterius disekitarnya. Reaksi tersebut merupakan perwujudan keinginannya untuk mengetahui penyakit misterius yang dideritanya. Tokoh Je ingin mengalihkan perhatiannya kepada hal-hal yang lain. Seperti pada kutipan dibawah ini : (12) LH/5 À mesure qu’approche le soir, une inquiétude incompréhensible m’envahit, comme si la nuit cachait pour moi une menace terrible. Je dîne vite, puis j’essaie de lire ; mais je ne comprends pas les mots ; je distingue à peine les lettres. Saat mendekati malam hari, kegelisahan yang tidak bisa dimengerti datang menghampiriku, seperti malam menyembunyikan sebuah ancaman yang mengerikan bagi diriku. Aku makan malam dengan cepat, lalu aku mencoba untuk membaca ; akan tetapi aku tidak mengerti kata-kata tersebut ; aku tidak bisa membedakan huruf-huruf tersebut. Tokoh Je berusaha mengalihkan kegelisahan yang dideritanya dengan halhal yang lain. Pada korpus data 12 ini, tokoh Je mencoba mengalihkan rasa kegelisahannya dengan cara membaca. Hal tersebut dapat kita lihat pada kalimat «Je dîne vite, puis j’essaie de lire ; mais je ne comprends pas les mots ; je distingue à peine les lettres » (Aku makan malam dengan cepat, lalu aku mencoba untuk membaca ; akan tetapi aku tidak mengerti kata-kata tersebut ; aku tidak bisa membedakan huruf-huruf tersebut). Dalam kutipan kalimat tersebut, hal yang dilakukan oleh tokoh Je adalah makan malam dengan
31
cepat dan dilanjutkannya dengan membaca. Akan tetapi Skizofrenia telah mengacaukan pikirannya sehingga dia tidak dapat mengerti setiap kata-kata yang tertulis tersebut. Pada kalimat « j’essaie de lire ; mais je ne comprends pas les mots ; je distingue à peine les lettres » terlihat dengan jelas sebuah reaksi yang ingin ditekankan oleh tokoh Je. Tokoh Je berupaya mengalihkan perhatian pikirannya pada bahan bacaan yang akan dibacanya. Tokoh Je berharap pikiran tentang kegelisahan yang dia rasakan tersebut dapat dialihkan. Akan tetapi hasil yang dia harapkan berbeda dengan kenyataan yang ada. Tokoh Je malah tidak bisa mengerti setiap kata-kata yang dia baca. Skizofrenia telah mengacaukan pikirannya sehingga dia tidak bisa menangkap stimulus-stimulus yang masuk pada pikirannya. Tokoh Je berusaha melawan penyakit Skizofrenia yang dialaminya. Sebuah reaksi untuk membebaskan dirinya dari belenggu ketakutan yang diciptakan oleh penyakit tersebut. Perhatikan kutipan berikut : (13) LH/7 Moi, je me débats, lié par cette impuissance atroce, qui nous paralyse dans les songes ; je veux crier, – je ne peux pas ; – je veux remuer, – je ne peux pas ; – j’essaie, avec des efforts affreux, en haletant, de me tourner, de rejeter cet être qui m’écrase et qui m’étouffe, – je ne peux pas ! Aku, aku melawan, terikat oleh ketidakberdayaan mengerikan yang melumpuhkan kita didalam mimpi-mimpi, aku ingin menjerit tetapi aku tidak bisa - aku ingin bergerak tetapi - aku tidak bisa - aku mencoba, dengan upaya-upaya yang keras, terengah-engah, berbalik, membuang mahkluk ini yang membebaniku dan yang membuatku sesak tetapi - Aku tidak bisa! Tokoh Je berusaha melawan pengaruh dari penyakit yang dideritanya. Hal tersebut dapat kita lihat pada kalimat « Moi, je me débats, lié par cette impuissance atroce, qui nous paralyse dans les songes » (Aku, aku melawan,
32
terikat oleh ketidakberdayaan mengerikan yang melumpuhkan kita didalam mimpi-mimpi). Pada kalimat diatas menegaskan bahwa tokoh Je berusaha melawan pengaruh negatif dari penyakit yang dideritanya. Kalimat « Moi, je me débats » secara jelas menyatakan bahwa Tokoh secara sadar melawan pengaruh negatif dari penyakit yang dideritanya. Beberapa usaha yang dilakukan tokoh Je antara lain adalah dia berusaha ingin menjerit, berteriak dengan segala daya dan upayanya. Perhatikan kalimat « je veux crier, – je ne peux pas ; – je veux remuer, – je ne peux pas ; – j’essaie, avec des efforts affreux, en haletant, de me tourner, de rejeter cet être qui m’écrase et qui m’étouffe, – je ne peux pas ! » (aku ingin menjerit tetapi - aku tidak bisa - aku ingin bergerak tetapi - aku tidak bisa - aku mencoba, dengan upaya-upaya yang keras, terengah-engah, berbalik, membuang mahkluk ini yang membebaniku dan yang membuatku sesak tetapi - Aku tidak bisa!). Pada kalimat tersebut terlihat upaya-upaya yang dilakukan tokoh Je. Didalam ketidak berdayaan yang dia rasakan, tokoh Je telah berusaha untuk berteriak dan bergerak. Usaha yang dia lakukan bukanlah sebuah usaha yang biasa-biasa saja melainkan sebuah usaha yang keras, tokoh Je memberikan perlawanan terhadap tekanan penyakit yang dia rasakan dengan upaya-upaya yang keras. Kita dapat melihat pernyataan tersebut pada kalimat « j’essaie, avec des efforts affreux ». Walaupun usaha-usaha yang tokoh Je lakukan berujung pada kegagalan. Tokoh Je telah memberikan reaksi yang cukup jelas untuk melawan penyakit yang dia rasakan tersebut. Tokoh Je merasa takut dalam kesendirian. Hal tersebut wajar baginya, karena dalam kesendirian penyakit yang dideritanya seakan-akan dapat datang
33
seketika dan menyebarkan ancaman buruk kepadanya. Perhatikan kutipan di bawah ini : (14) LH/8-9 Un frisson me saisit soudain, non pas un frisson de froid, mais un étrange frisson d’angoisse.Je hâtai le pas, inquiet d’être seul dans ce bois, apeuré sans raison, stupidement, par la profonde solitude. Sebuah perasaan gemetar tiba-tiba menyekapku, gemetar bukan karena kedinginan melainkan gemetar karena adanya sebuah kecemasan yang aneh. Aku mempercepat langkahku, khawatir sendirian di dalam hutan, takut tanpa alasan yang jelas, tampak bodoh, dikarenakan kesepian yang mendalam. Pada kutipan di atas menjelaskan reaksi tokoh Je ketika dia berada dalam kesendirian dan kesepian. Tokoh Je merasa bahwa perasaan gemetar yang tibatiba datang menyekapnya membuatnya takut akan sendirian. Perhatikan kalimat « Un frisson me saisit soudain, non pas un frisson de froid, mais un étrange frisson d’angoisse.Je hâtai le pas, inquiet d’être seul dans ce bois » (Sebuah perasaan gemetar tiba-tiba menyekapku, gemetar bukan karena kedinginan melainkan gemetar karena adanya sebuah kecemasan yang aneh. Aku mempercepat langkahku). Pada kalimat «Un frisson me saisit soudain, non pas un frisson de froid, mais un étrange frisson d’angoisse » secara jelas menggambarkan keadaan yang dialami tokoh Je. Perasaan gemetar yang tiba-tiba datang menyekap Tokoh Je merupakan bentuk dari serangan penyakit Skizofrenia yang dideritanya. Tokoh Je ingin menyegarkan pikirannya dengan cara berpergian. Hal ini sebuah bentuk reaksi yang diharapkan bisa membantunya menghilangkan efekefek negatif yang dia rasakan selama ini. Perhatikan kutipan di bawah ini : (15) LH/10
34
3 juin. – La nuit a été horrible. Je vais m’absenter pendant quelques semaines. Un petit voyage, sans doute, me remettra. 3 Juni- Malam begitu mengerikan. Aku akan berpergian selama beberapa minggu. Sebuah perjalanan pendek, tentunya akan memulihkanku. Tokoh Je beranggapan bahwa jika dia memutuskan untuk berpergian selama beberapa minggu mungkin bisa memulihkan keadaannya tersebut. Pada kalimat « Je vais m’absenter pendant quelques semaines. Un petit voyage, sans doute, me remettra » (Aku akan berpergian selama beberapa minggu. Sebuah perjalanan pendek, tentunya akan memulihkanku) mencoba memberikan gambaran secara jelas reaksi dari tokoh Je terhadap penyakit yang dideritanya. Tokoh Je merasa dengan dia berpergian maka pikiran dan jiwanya bisa lebih merasa tenang. Penegasan dari reaksi tersebut terlihat jelas pada kalimat « Un petit voyage, sans doute, me remettra ». Pada kalimat tersebut tokoh Je mengatakan bahwa sebuah perjalanan pendek tentunya bisa memulihkannya. Pada konteks « sans doute, me remettra » bermaksud menjelaskan sebuah reaksi harapan dari tokoh Je tentang penyakit yang dideritanya, yang tentu saja sebuah harapan untuk dapat kembali pada saat di mana dia dalam kondisi sehat. Tokoh Je mulai bertanya-tanya tentang eksistensi dari sosok makluk misterius yang membayang-bayangi pikirannya. Dia berpikir apakah keadaan makluk tersebut benar-benar ada. Perhatikan kutipan berikut ini : (16) LH/14 Je dis au moine : « Y croyez-vous ? » Il murmura : « Je ne sais pas. » Je repris : « S’il existait sur la terre d’autres êtres que nous, comment ne les connaîtrions-nous point depuis longtemps ; comment ne les auriezvous pas vus, vous ? comment ne les aurais-je pas vus, moi ? » Aku berkata kepada biarawan : Apakah anda percaya hal tersebut ? Dia bergumam : Aku tidak tahu. Aku melanjutkan: “Jika ada mahkluk lain di bumi ini selain kita, yang tidak kita ketahui keberadaannya
35
sejak dahulu kala : yang tidak bisa anda lihat? Dan yang tidak bisa ku lihat juga? Tokoh Je mempertanyakan eksistensi sosok misterius yang membayanginya selama ini kepada seorang biarawan. Hal tersebut dapat kita lihat pada kutipan kalimat « Je dis au moine : « Y croyez-vous ? » (Aku berkata kepada biarawan : Apakah anda percaya hal tersebut ?). Tokoh Je mempertanyakan sebuah eksistensi mahkluk yang menghantuinya selama ini kepada seorang biarawan. Pada keadaan ini biarawan dianggap sebagai sosok yang mengetahui banyak hal. Posisi biarawan dianggap sebagai sebuah posisi yang mengenal dunia spiritual. Tokoh Je sadar betul bahwa sosok misterius yang menghantuinya adalah sebuah mahkluk misterius yang tidak bisa dia lihat secara langsung dan hidup disekitar dirinya. Pada kalimat
« Je repris : « S’il existait
sur la terre d’autres êtres que nous, comment ne les connaîtrions-nous point depuis longtemps ; comment ne les auriez-vous pas vus, vous ? comment ne les aurais-je pas vus, moi ? » ( Aku melanjutkan: “Jika ada mahkluk lain di bumi ini selain kita, yang tidak kita ketahui keberadaannya sejak dahulu kala : yang tidak bisa anda lihat? Dan yang tidak bisa ku lihat juga?) menjelaskan bahwa tokoh Je merasa mahkluk misterius tersebut seakan benarbenar ada disekitar kita, pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan oleh tokoh Je seakan-akan merupakan pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya oleh diri tokoh Je sendiri. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebuah bentuk reaksi adanya keyakinan tokoh Je terhadap eksistensi menghantuinya selama ini.
36
mahkluk misterius yang
Tokoh Je mempertanyakan tentang dirinya sendiri, apakah efek-efek negatif yang menyerangnya tersebut telah membuatnya menjadi gila. Delusi dan halusinasi yang dia rasakan membuatnya merasa bahwa dirinya telah kehilangan akal sehatnya. Perhatikan kutipan berikut : (17) LH/16 5 juillet. – Ai-je perdu la raison ? Ce qui s’est passé la nuit dernière est tellement étrange, que ma tête s’égare quand j’y songe ! 5 Juli. – Apakah aku telah gila ? Apa yang telah terjadi malam kemarin tampak begitu aneh, kepalaku seakan mengembara ketika aku memikirkannya ! Pada tanggal 5 juni, tokoh Je merasa bahwa gejala-gejala Skizofrenia mulai menggiring tokoh je untuk berpikiran bahwa dirinya telah menjadi gila. Pada kalimat «Ai-je perdu la raison ? »(Apakah aku telah gila ?) mengegaskan adanya sebuah reaksi tokoh Je terhadap dirinya sendiri. Tokoh Je telah mengalami halusinasi-halusinasi yang membawanya pada sebuah ketakutan terhadap serangan sosok misterius. Sosok misterius yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang dan tinggal disekitarnya. Tekanan-tekanan inilah yang membuat tokoh Je merasa semakin bingung. Kita dapat melihat kalimat « Ce qui s’est passé la nuit dernière est tellement étrange, que ma tête s’égare quand j’y songe ! »( Apa yang telah terjadi malam kemarin tampak begitu aneh, kepalaku seakan mengembara ketika aku memikirkannya !) menjelaskan keadaan tokoh Je pada saat memikirkan penyakit Skizofrenia yang telah menyerangnya. Gejala-gejala penyakit tersebut telah memberi dampak negatif bagi sisi psikologis tokoh Je. Seperti pada kalimat « que ma tête s’égare quand j’y songe ! ». Dampak negatif tersebut membuat tokoh Je tidak bisa berpikir secara jernih dan tidak bisa mengambil segala masukan informasi dari luar secara benar.
37
Suatu bentuk reaksi dari kekhawatiran akan adanya ancaman dari sosok misterius yang selalu membayanginya adalah ketakutan akan adanya kematian karena dibunuh. Perhatikan kutipan di bawah ini : (18) LH/16 Figurez-vous un homme qui dort, qu’on assassine, et qui se réveille, avec un couteau dans le poumon,et qui râle couvert de sang, et qui ne peut plus respirer, et qui va mourir, et qui ne comprend pas – voilà. Bayangkanlah ketika seseorang sedang tidur dibunuh, dan terbangun, dengan sebilah pisau tertancap di dadanya dan sekarat berlumuran darah, dan tidak dapat lagi bernafas, dan akan mati, dan tidak memahaminya- begitulah. Reaksi dari rasa takut tokoh Je menciptakan sebuah bayangan ketakutan dibunuh oleh sosok misterius tersebut. Pada kalimat «Figurez-vous un homme qui dort, qu’on assassine, et qui se réveille, avec un couteau dans le poumon, et qui râle couvert de sang, » (Bayangkanlah ketika seseorang sedang tidur dibunuh, dan terbangun, dengan sebilah pisau tertancap di dadanya dan sekarat berlumuran darah,) adalah sebuah bentuk bayangan imajinasi dari tokoh Je Dia membayangkan seseorang yang mati ketika sedang tidur. Reaksi tersebut merupakan bentuk ketakutan dari tokoh Je terhadap ancaman sosok misterius yang selalu membayanginya. Ketakutan jika akan dibunuh pada saat sedang tidur. Pada kalimat « avec un couteau dans le poumon, et qui râle couvert de sang » menjelaskan sebuah cara kematian yang dianggap mengerikan oleh tokoh Je. Sebuah pisau tertancap didada korban, dengan nafas tersenggalsenggal sekarat menuggu kematian dan berlumuran darah. Hal-hal tersebut merupakan sebuah refleksi dari bentuk katakutan tokoh Je akan adanya kematian dibunuh oleh sosok misterius tersebut.
38
Tokoh Je merasa benar-benar kebingungan terhadap kejadian ketika air di dalam botol Kristal minumannya tiba-tiba habis tak tersisa. Tokoh Je yakin bahwa tidak ada orang lain selain dirinya yang berada di dalam kamarnya, sehingga pikiran tokoh Je menjadi kacau tentang siapa yang telah menghabiskan minuman tersebut. Perhatikan kutipan di bawah ini : (19) LH/16-17 D’abord, je n’y compris rien ; puis, tout à coup, je ressentis une émotion si terrible, que je dus m’asseoir, ou plutôt, que je tombai sur une chaise ! puis, je me redressai d’un saut pour regarder autour de moi ! puis je me rassis, éperdu d’étonnement et de peur, devant le cristal transparent ! Pertama-tama, aku tidak paham sama sekali, lalu tiba-tiba, aku merasakan sebuah emosi yang begitu mengerikan, aku duduk, atau lebih tepatnya aku terjatuh di kursi ! lalu, aku kembali berdiri dengan terlonjak melihat sekelilingku ! kemudian aku duduk, kebingungan dan takut, dihadapan botol kristal yang kosong ! Tokoh Je merasa begitu kebingungan. Botol Kristal yang berisi air di dalam kamarnya habis tak tersisa tanpa tahu siapa yang meminumnya. Dalam keadaan ini tokoh Je benar-benar merasa syok, dia kebingungan dan ketakutan. Perhatikan pada kalimat « D’abord, je n’y compris rien ; puis, tout à coup, je ressentis une émotion si terrible, que je dus m’asseoir, ou plutôt, que je tombai sur une chaise ! » (Pertama-tama, aku tidak paham sama sekali, lalu tiba-tiba, aku merasakan sebuah emosi yang begitu mengerikan, aku duduk, atau lebih tepatnya aku terjatuh di kursi !), pada kalimat tersebut menjelaskan keadaan ketika tokoh Je menyaksikan kejadian yang aneh tersebut. Tokoh Je begitu tercengang kaget, seakan-akan perasaan yang begitu mengerikan tiba-tiba menghampirinya. Perhatikan pada kalimat «je ressentis une émotion si terrible ». Tokoh Je secara tiba-tiba merasakan perasaan mengerikan tersebut. Keadaan psikologis tokoh Je yang terguncang ketika melihat kejadian yang aneh tersebut membuatnya
39
merasakan perasaan mengerikan. Perubahan keadaan psikologis tokoh Je tersebut di akibatkan adanya sebuah kebingungan karena air di dalam botol kristalnya habis tak bersisa tanpa tahu siapa yang meminumnya. Reaksi yang ditunjukkan tokoh Je lainya ketika melihat kejadian tersebut adalah terjatuh di kursi. Dia terkejut sehingga sampai membuat dirinya terjatuh di kursi. Perhatikan kalimat «que je dus m’asseoir, ou plutôt, que je tombai sur une chaise ! ». Tokoh Je terkejut sehingga tanpa sadar dia terjatuh ke kursi tempat duduknya. Reaksi tersebut merupakan sebuah reaksi alamiah dari efek keterkejutan yang dia rasakan. Tokoh Je berpikiran bahwa dirinya mungkin telah menjadi gila. Kejadian habisnya air di dalam botol kristalnya tanpa di ketahui siapa yang meminumnya begitu membuat sisi psikologisnya terpukul. Perhatikan kutipan pada halaman selanjutnya.
(20) LH/18 6 juillet. – Je deviens fou. On a encore bu toute ma carafe cette nuit ; – ou plutôt, je l’ai bue ! Mais, est-ce moi ? Est-ce moi ? Qui serait-ce ? Qui ? Oh ! mon Dieu ! Je deviens fou ! Qui me sauvera ? 6 Juli- Aku gila. Seseorang telah meminum semua air di botol minumanku malam itu:- atau lebih tepatnya aku telah meminumnya! Tapi apakah aku? Apakah aku? Yang melakukannya? Siapa? Oh! Tuhanku! Aku gila! Siapa yang akan menyelamatkanku? Tokoh Je merasa begitu terpukul psikologisnya atas peristiwa aneh tentang habisnya air di dalam botol kristalnya tanpa tahu siapa yang telah meminumnya. Kekacauan pada pikiran tokoh Je membawanya pada sebuah asumsi bahwa dirinya telah menjadi gila. Kita dapat melihatnya pada kalimat « 6 juillet. – Je deviens fou. On a encore bu toute ma carafe cette nuit ; – ou plutôt, je l’ai bue
40
! »( 6 Juli- Aku gila. Seseorang telah meminum semua air di botol minumanku malam itu:- atau lebih tepatnya aku telah meminumnya!). Tanggal 6 juli, tokoh Je merasa bahwa dirinya telah menjadi gila. Dia beranggapan bahwa seseorang telah meminum seluruh air di dalam botol minumannya, atau lebih tepatnya dia beranggapan dirinyalah yang telah meminum semua air tersebut. Dalam hal ini pikiran tokoh Je telah begitu dikacaukan oleh penyakit Skizofrenia. 4.3 Upaya Tokoh Utama untuk Menyembuhkan Penyakit yang Dideritanya Pada bagian ini, analisis peneliti mengacu pada upaya tokoh Je dalam menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Upaya-upaya yang dilakukakan tokoh Je ini merupakan sebuah proses untuk mencari cara bagaimana menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Skizofrenia merupakan sebuah penyakit yang menyerang sisi kejiwaan penderitanya. Penyakit ini belum dikenal secara meluas oleh kehidupan masyarakat Prancis pada saat itu, sehingga tokoh Je melakukan berbagai macam usaha untuk menyembuhkannya. Seperti pada masyarakat berpendidikan pada umumnya. Tokoh Je mengunjungi dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Perhatikan kutipan berikut : (21) LH/5 18 mai. – Je viens d’aller consulter un médecin, car je ne pouvais plus dormir. Il m’a trouvé le pouls rapide, l’oeil dilaté, les nerfs vibrants, mais sans aucun symptôme alarmant. Je dois me soumettre aux douches et boire du bromure de potassium. 18 mei.- Aku pergi berkonsultasi dengan dokter, karena aku tidak bisa tidur. Dia menyatakan bahwa denyut nadiku berdenyut cepat, bola mataku melebar, syaraf-syaraf bergetar, akan tetapi tidak ada gejala-
41
gejala yang mengkhawatirkan. Aku harus menjalani terapi mandi air dingin dan minum kalium bromida. Tokoh Je berkonsultasi kepada dokter untuk mengetahui dan menyembuhkan penyakit yang menyerangnya tersebut. Hal tersebut dapat kita lihat pada kalimat « 18 mai. – Je viens d’aller consulter un médecin, car je ne pouvais plus dormir » (18 mei.- Aku pergi berkonsultasi dengan dokter, karena aku tidak bisa tidur). Pada kutipan kalimat «Je viens d’aller consulter un médecin » menjelaskan bahwa tokoh Je berkonsultasi dengan dokter karena dia menganggap bahwa penyakit yang dideritanya merupakan sebuah penyakit biasa saja. Hal tersebut tampak pada gejala penyakit tokoh Je yang disebabkan karena dia mengalami kesulitan tidur. Selain itu tokoh Je adalah sosok yang terpelajar sehingga dia akan memilih berkonsultasi dengan dokter. Gejala-gejala yang dialami tokoh Je menurut dokter adalah gejala-gejala penyakit biasa saja dan tidak ada yang mekhawatirkan. Perhatikan kalimat « Il m’a trouvé le pouls rapide, l’oeil dilaté, les nerfs vibrants, mais sans aucun symptôme alarmant » (Dia menyatakan bahwa denyut nadiku berdenyut cepat, bola mataku melebar, syarafsyaraf bergetar, akan tetapi tidak ada gejala-gejala yang mengkhawatirkan). Dokter mendiagnosis bahwa tokoh Je tidak mengalami adanya gangguan penyakit yang mengkhawatirkan walaupun dokter menemukan bahwa denyut nadinya berdenyut cepat, bola matanya melebar dan syaraf-syarafnya bergetar. Hal tersebut menurut dokter adalah gejala-gejala yang biasa saja, akan tetapi Skizofrenia merupakan sebuah penyakit yang menyerang sisi kejiwaan penderitanya sehingga gejala-gejala yang muncul pun tidak dapat didiagnosis berdasarkan keadaan fisik penderitanya. Dokter mewajibkannya untuk melakukan
42
terapi mandi pancuran dan minum kalium bromida. Hal tersebut dapat kita temui pada kutipan kalimat « Je dois me soumettre aux douches et boire du bromure de Potassium » (Aku harus menjalani terapi mandi air dingin dan minum kalium bromide). Mandi dengan pancuran air dingin merupakan sebuah terapi yang digunakan untuk penyembuhan. Terapi ini banyak dianjurkan oleh dokterdokter pada masa tersebut. Tokoh Je mengalami kegagalan pada proses penyembuhan yang dianjurkan oleh dokter. Dia mencoba dengan cara yang lain. Perhatikan kutipan dibawah ini : (22) LH/2 2 juin. – Mon état s’est encore aggravé. Qu’ai-je donc ? Le bromure n’y fait rien ; les douches n’y font rien. Tantôt, pour fatiguer mon corps, si las pourtant, j’allai faire un tour dans la forêt de Roumare. Je crus d’abord que l’air frais, léger et doux, plein d’odeur d’herbes et de feuilles, me versait aux veines un sang nouveau, au coeur une énergie nouvelle. 2-Juni- Kondisiku kembali memburuk. Apa yang terjadi padaku ? bromida tidak bekerja, berendam air dingin juga tidak berkhasiat. Siangnya, untuk meletihkan tubuhku, sehingga begitu lelah, aku pergi berjalan-jalan di dalam hutan Roumare. Kupikir awalanya bahwa udara sejuk, halus dan terasa enak, penuh dengan aroma rerumputan dan daun-daun, menuangkan ke dalam pembuluh-pembuluh darah ku sebuah darah yang baru, ke jantung sebuah energi baru. Tokoh Je menemui kegagalan pada proses penyembuhan yang dianjurkan oleh dokter. Obat-obat dan terapi mandi pancuran air dingin tidak menemui hasil yang memuaskan baginya. Kalimat « 2 juin. – Mon état s’est encore aggravé. Qu’ai-je donc ? Le bromure n’y fait rien ; les douches n’y font rien » (2-JuniKondisiku kembali memburuk. Apa yang terjadi padaku ? bromida tidak bekerja, berendam air dingin juga tidak berkhasiat) menjelaskan keadaan tersebut. Keadaan di mana proses penyembuhan yang dilakukan oleh dokter yang
43
telah ditemui tokoh Je mengalami kegagalan. Obat-obat yang diberikan dokter kepadanya tidak bekerja terhadap kesehatannya. Kesehatan tokoh Je malah kembali memburuk. Tokoh Je beranggapan bahwa dengan membuat lelah tubuhnya, keadaan kesehatannya dapat membaik. Dengan membuat lelah tubuh kita dengan sebuah pekerjaan yang berat, kita akan dapat tidur dengan lelap pada malam harinya. Hal inilah yang mungkin membuat tokoh Je berpikiran untuk membuat letih tubuhnya. Kalimat « Tantôt, pour fatiguer mon corps, si las pourtant, j’allai faire un tour dans la forêt de Roumare »( Siangnya, untuk meletihkan tubuhku, sehingga begitu lelah, aku pergi berjalan-jalan di dalam hutan Roumare) menjelaskan keinginan tokoh Je untuk membuat letih badannya dengan cara berjalan-jalan di dalam hutan Roumare. Tokoh Je berharap dengan berjalan-jalan, dia dapat merasa memiliki sebuah energi baru. Selain itu dengan berjalan-jalan disekitar hutan tokoh Je dapat merilekskan badannya. Secara psikoligis keadaan ini dapat membantu seorang penderita skizofrenia dalam memulihkan penyakitnya. Dengan berjalan-jalan penderita akan dapat lepas dari rutinitas kehidupan yang mungkin membebaninya. Akan tetapi cara ini hanya dapat membantu penderita tahap awal saja. Tokoh Je pada awalnya merasakan sebuah perubahan yang baik pada dirinya. Kalimat « Je crus d’abord que l’air frais, léger et doux, plein d’odeur d’herbes et de feuilles, me versait aux veines un sang nouveau, au coeur une énergie nouvelle » (Kupikir awalanya bahwa udara sejuk, halus dan terasa enak, penuh dengan aroma rerumputan dan daun-daun, menuangkan ke
44
dalam pembuluh-pembuluh darah ku sebuah darah yang baru, ke jantung sebuah energi baru) menjelasakan keadaan tokoh Je ketika berjalan-jalan di hutan Roumare. Ia merasakan sebuah energi positif mengalir pada dirinya. Keadaan sekitar hutan Roumare dirasakan oleh tokoh Je begitu menyenangkan. Hal tersebut dapat kita lihat pada kalimat « Je crus d’abord que l’air frais, léger et doux, plein d’odeur d’herbes et de feuilles ». Udara yang sejuk, halus dan terasa enak membuat tokoh Je merasa nyaman. Hutan Roumare dipenuhi dengan banyak jenis rerumputan dan pohon-pohon seakan-akan bagi tokoh Je memberikan energi baru bagi kehidupan tokoh Je. Usaha lain dari tokoh Je adalah dengan menemui pendeta di Saint-Michel. Selain usaha secara medis dan terapi, tokoh Je mencoba dengan cara spiritual. Perhatikan kutipan pada halaman selanjutnya. (23) LH/ 2 juillet. – Je rentre. Je suis guéri. J’ai fait d’ailleurs une excursion charmante. J’ai visité le mont Saint-Michel que je ne connaissais pas. 2 juli- Aku kembali. Aku telah sembuh. Aku juga melakukan sebuah perjalanan menyenangkan. Aku telah mengunjungi bukit Saint Michel yang tak kukenal. Tokoh Je merasa dirinya telah membaik setelah dia melakukan sebuah perjalanan. Perjalanan ke sebuah tempat yang dinamakan le Mont Saint-Michel. Usaha ini dilakukan oleh tokoh Je mengingat di tempat tersebut merupakan sebuah tempat relegius. Biarawan atau pendeta disana dianggap sebagai orang bijak yang diharapakan bisa memberikan segala jawaban atas penyakit misterius yang berada pada diri tokoh Je. Pada kutipan « 2 juillet. –Je rentre. Je suis guéri » menegaskan bahwa setelah melakukan perjalan ke bukit Saint-Michel tersebut tokoh Je merasa keadaan pada dirinya telah membaik. Secara psikologis
45
usaha yang dilakukan oleh tokoh Je mengalami suatu perkembangan walaupun nantinya efek dari usaha ini tidak akan bertahan lama. Tokoh Je mengalami beberapa kejadian yang membuat pikiran dan jiwanya tertekan. Kejadian ini menyebabkan dirinya menderita. Dengan segala tekanan dari penyakit yang dideritanya ini, tokoh Je memutuskan untuk mencoba mencari pengalih perhatian dengan berjalan-jalan ke kota Paris. Perhatikan kutipan berikut : (24) LH/ 12 juillet. – Paris. J’avais donc perdu la tête les jours derniers ! J’ai dû être le jouet de mon imagination énervée, à moins que je ne sois vraiment somnambule, ou que j’aie subi une de ces influences constatées, mais inexplicables jusqu’ici, qu’on appelle suggestions. En tout cas, mon affolement touchait à la démence, et vingt-quatre heures de Paris ont suffi pour me remettre d’aplomb. 12-Juli – Paris. Aku telah kehilangan akal sehatku dalam beberapa hari yang lalu ! aku telah menjadi mainan dari imajinasi menjengkelkanku, kecuali aku benar seseorang yang berjalan sambil tidur, atau aku telah menderita salah satu pengaruh yang konstan, tetapi tidak dapat dijelaskan sampai sekarang yang kita sebut dengan nama sugesti. Bagaimana pun juga kebingunganku membawa ke dalam kegilaan, dan 24 jam di paris kurasa cukup untuk mengembalikan kesehatan jiwaku. Tokoh Je selama ini telah melakukan beberapa macam usaha untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Walaupun usaha-usaha yang dilakukakannya tidak membawa hasil yang positif. Pada kalimat « 12 juillet. – Paris. J’avais donc perdu la tête les jours derniers ! J’ai dû être le jouet de mon imagination énervée » menjelasakan bahwa dalam beberapa hari yang lalu tokoh Je beranggapan bahwa dirinya telah kehilangan akal sehatnya. Sejak dimulai demam pada tanggal 12 Mei yang lalu hingga sampai sekarang pada tanggal 12 Juli tokoh Je telah mengalami berbagai macam gangguan dalam sisi psikologisnya. Pada kalimat « ! J’ai dû être le jouet de mon imagination
46
énervée » secara jelas menegaskan bahwa Tokoh Je beranggapan bahwa imajinasi-imajinasi dalam pikirannya telah mempermainkan dirinya dengan memunculkan halusinasi-halusinasi yang mengerikan bagi diri tokoh Je. Pada tanggal 12 Juli ini juga tokoh Je mencoba untuk mengalihkan perhatian pikirannya dengan cara berjalan-jalan di kota Paris. Usaha ini diharapkan tokoh Je dapat mengembalikan kesehatan jiwanya. Hal tersebut dapat kita lihat pada kutipan « En tout cas, mon affolement touchait à la démence, et vingt-quatre heures de Paris ont suffi pour me remettre d’aplomb. » (Bagaimana pun juga kebingunganku membawa ke dalam kegilaan, dan 24 jam di Paris kurasa cukup untuk mengembalikan kesehatan jiwaku.). Kota Paris adalah kota besar dilengkapi dengan berbagai macam hiburan yang ada. Tokoh Je percaya dengan 24 jam di kota ini, dia akan dapat melupakan segala kebingungan yang membawanya pada kegilaan dan menyegarkan pikirannya. 4.4 Dampak Skizofrenia
Tokoh Utama terhadap Dirinya Sendiri dan
Masyarakat di Sekitarnya. Pada bagian ke 4.4 ini peneliti akan membahas tentang dampak penyakit skizofrenia tokoh utama terhadap dirinya sendiri dan masyarakat disekitarnya. Pada bagian-bagian sebelumnya peneliti telah memaparkan bentuk-bentuk dari gejala ssssdialami tokoh utama dan usaha-usaha yang dilakukan tokoh Je tersebut untuk menanggulangi penyakit Skizofrenia yang telah menyerangnya. Berbagai macam akibat yang ditimbulkan oleh penyakit Skizofrenia telah mulai membuat tokoh Je frustasi. Penyakit ini telah mencapai tahap yang cukup
47
serius. Usaha-usaha yang dilakukakan tokoh Je tidak membawa hasil apapun sehingga Penyakit ini semakin menggerogoti jiwa tokoh utama. Dampak penyakit Skizofrenia ini tidak hanya membuat tokoh Je merasa tertekan, akan tetapi dampak dari penyakit ini juga berdampak secara tidak langsung bagi para orang-orang yang berada disekitar tokoh Je. Pada Analisis ini peneliti akan membagi menjadi dua bagian. Bagian pertama peneliti akan membahas tentang dampak Skizofrenia tokoh utama terhadap dirinya sendiri dan untuk bagian yang kedua peneliti akan membahas dampak Skizofrenia tokoh utama terhadap orang-orang disekitarnya.
4.4.1 Dampak Skizofrenia Tokoh Utama terhadap Dirinya Sendiri Pada bagian ini, peneliti akan membahas tentang dampak Skizofrenia yang dialami oleh tokoh Je. Halusinasi dan Delusi menjadi sebuah dampak yang begitu jelas pada analisis Skizofrenia pada tokoh utama cerpen Le Horla ini. Dampak dari Skizofrenia mulai terlihat dengan jelas pada diri tokoh Je. Tokoh Je telah mulai berhalusinasi secara lebih pada keadaan ini. Perhatikan kutipan di bawah ini : (25) LH/31 6 août. – Cette fois, je ne suis pas fou. J’ai vu... j’ai vu... j’ai vu !... Je ne puis plus douter... j’ai vu !... J’ai encore froid jusque dans les ongles... j’ai encore peur jusque dans les moelles... j’ai vu !... 6 Agustus.- Kali ini, aku tidak gila. Aku melihat..Aku melihat..aku melihat !..Aku tidak ragu lagi...Aku melihat.. aku masih merasa dingin bahkan sampai di kuku.. aku masih ketakutan sampai ke dalam sumsum..aku melihat ! ...
48
6 Agustus Tokoh Je merasakan sebuah halusinasi yang sangat kuat. Dia merasa begitu yakin terhadap apa yang dilihatnya. Kalimat « 6 août. – Cette fois, je ne suis pas fou. » menjelaskan bahwa tokoh Je merasa bahwa dirinya selama ini tidak gila. Halusinasi-halusinasi yang muncul pada saat dirinya baru dalam tahap gejala Skizorfrenia dirasanya bukanlah hanya berasal dari imajinasinya saja. Pada saat ini, tokoh Je merasa benar-benar yakin bahwa dirinya tidak gila. Penekanan dari kalimat «je ne suis pas fou. » menegaskan bahwa tokoh Je merasa bahwa halusinasi yang dirasakannya seolah-olah benar nyata. Tokoh Je merasa Halusinasi yang dia rasakan benar-benar nyata. Hal tersebut dapat kita temukan pada kalimat «J’ai vu... j’ai vu... j’ai vu !... Je ne puis plus douter... j’ai vu ! »( Aku melihat..Aku melihat..aku melihat !..Aku tidak ragu lagi...Aku melihat..). Pengulangan pada kalimat « J’ai vu » sampai berkali-kali menegaskan bahwa tokoh Je merasa benar-benar yakin atas apa yang telah dilihatnya. Halusinasi mulai tampak nyata pada alam pikirannya. Pada tahap ini Skizofrenia mulai menyerang daya nalar penderita. Halusinasi penderita bercampur dengan kenyataan sehingga dia tidak bisa membedakan antara halusinasi dengan kenyataan. Halusinasi terjadi pada tokoh Je ketika dia sedang berjalan-jalan ditaman bunga. Pada halusinasi ini, dia merasa melihat sebuah sosok transparan yang sedang membawa bunga. Perhatikan kutipan berikut : (26) LH/32 Comme je m’arrêtais à regarder un géant des batailles, qui portait trois fleurs magnifiques, je vis, je vis distinctement, tout près de moi, la tige d’une de ces roses se plier, comme si une main invisible l’eût tordue, puis se casser, comme si cette main l’eût cueillie ! Puis la fleur s’éleva,
49
suivant une courbe qu’aurait décrite un bras en la portant vers une bouche, et elle resta suspendue dans l’air transparent, toute seule, immobile, effrayante tache rouge à trois pas de mes yeux. Ketika aku berhenti untuk melihat un géant des batailles, yang membawa tiga buah bunga mawar yang indah. Aku melihat, aku melihat dengan jelas, sangat dekat denganku, salah satu batang dari mawar-mawar tersebut merunduk, seperti ada sebuah tangan transparan membengkokannya, lalu mematahkan, lalu tangan itu memetiknya! Kemudian mawar itu naik, mengikuti sebuah bentuk kurva yang digambarkan seperti sebuah bntuk lengan menuju ke arah mulut, dan bunga itu tergantung diam di udara yang transparan, sendirian, tak bergerak, noda merah mengerikan 3 langkah dari mataku. Sebuah kejadian yang disaksikan oleh Tokoh Je secara langsung. Tokoh Je berangapan bahwa dirinya melihat sebuah sosok yang transparan. Pada kutipan kalimat « qui portait trois fleurs magnifiques, je vis, je vis distinctement, tout près de moi, la tige d’une de ces roses se plier, comme si une main invisible l’eût tordue, puis se casser, comme si cette main l’eût cueillie ! Puis la fleur s’éleva, suivant une courbe qu’aurait décrite un bras en la portant vers une bouche »( yang membawa tiga buah bunga mawar yang indah. Aku melihat, aku melihat dengan jelas, sangat dekat denganku, salah satu batang dari mawarmawar tersebut merunduk, seperti ada sebuah tangan transparan membengkokannya, lalu mematahkan, lalu tangan itu memetiknya! Kemudian mawar itu naik, mengikuti sebuah bentuk kurva yang digambarkan seperti sebuah bntuk lengan menuju ke arah mulut) menjelaskan bahwa tokoh Je seakan-akan melihat sosok transparan memetik setangkai bunga mawar didepannya. Penekanan pada kata « je vis, je vis distinctement, tout près de moi » menegaskan bahwa tokoh Je merasa benarbenar melihat kejadian tersebut dari dekat. Halusinasi yang dilihatnya seakanakan benar-benar nyata dalam alam pikirannya. Kalimat « la tige d’une de ces
50
roses se plier, comme si une main invisible l’eût tordue, puis se casser, comme si cette main l’eût cueillie ! Puis la fleur s’éleva, suivant une courbe qu’aurait décrite un bras en la portant vers une bouche » menunjukkan bahwa tokoh Je melihat setangkai mawar tersebut merunduk seolah-olah ada sebuah kekuatan yang transparan sedang membengkokkannya. Dengan kekuatan yang tidak dapat disaksikan oleh tokoh Je, sosok transparan tersebut memetik bunga tersebut dan membawanya ke arah mulut. Hal tersebut terlihat seperti sosok transparan tesebut sedang membaui bunga mawar itu. Tokoh Je terlihat begitu bingung ketika menyaksikan kejadian tersebut. Tokoh Je termasuk orang yang berpendidikan dan menjunjung tinggi nilai rasionalitas, ketika dia melihat kejadian tersebut segala bentuk rasional dalam pikirannya seakan runtuh. Perhatikan kutipan berikut : (27) LH/32 Éperdu, je me jetai sur elle pour la saisir ! Je ne trouvai rien ; elle avait disparu. Alors je fus pris d’une colère furieuse contre moi-même ; car il n’est pas permis à un homme raisonnable et sérieux d’avoir de pareilles hallucinations. Dalam keputusasaan, aku bergegas kearah bunga itu untuk mencarinya ! aku tidak menemukan apa-apa. Seolah-olah bunga tersebut hilang, kemudian aku terbawa perasaan marah terhadap diriku sendiri, karena tidak masuk akal ketika seorang yang rasional dan serius sepertiku memiliki halusinasi ini. Tokoh Je bergegas mencari bunga tersebut, akan tetapi dia tidak menemukan apa-apa. Pada kalimat « Éperdu, je me jetai sur elle pour la saisir ! Je ne trouvai rien ; elle avait disparu.» menjelaskan bahwa dalam keputusasaan yang dirasakan oleh tokoh Je, dia berusaha mencari bukti bahwa apa yang dilihatnya tidak merupakan sebuah bentuk imajinasinya belaka. Walaupun pada kenyataannya dia tidak menemukan apapun. Seolah-olah bunga tersebut hilang
51
tak berbekas. Pada kalimat « Alors je fus pris d’une colère furieuse contre moimême ; car il n’est pas permis à un homme raisonnable et sérieux d’avoir de pareilles hallucinations.» secara jelas mengatakan bahwa tokoh Je secara emosional dirinya tidak percaya bagaimana bisa dirinya berhalusinasi seperti itu. Pada kutipan kalimat « car il n’est pas permis à un homme raisonnable et sérieux » menjelaskan bahwa kepribadian tokoh Je yang menjunjung tinggi rasionalitas dan keseriusan dalam berpikir pun bisa ditumbangkan dengan munculnya berbagai macam halusinasi dalam alam pikirannya. Skizofrenia seakan-akan telah mengambil alih pikiran dan rasionalitas pada tokoh Je. Kekacuan ini menegaskan dampak yang begitu kuat dari penyakit Psikologis ini. Tokoh Je mulai terbiasa dengan halusinasi yang dianggapnya nyata ini. Perhatikan kutipan berikut : (28) LH/34 7 août. – J’ai dormi tranquille. Il a bu l’eau de ma carafe, mais n’a point troublé mon sommeil. 7 Agustus. – Aku tidur dengan nyenyak. Dia telah mimum dari tempat airku, akan tetapi tidak mengganggu tidurku. Tanggal 7 Agustus, berselang satu hari dari kejadian ketika dia menyaksikan halusinasi di taman bunga. Tokoh Je mulai terbiasa dengan halusinasi yang dia rasakan, dan dia mengganggapnya sebagai bentuk hal yang mulai biasa. Pada kalimat « 7 août. – J’ai dormi tranquille. Il a bu l’eau de ma carafe, mais n’a point troublé mon sommeil. » menjelaskan bahwa hal yang dialami tokoh Je ini merupakan sebuah keadaan baru bagi dirinya. Sosok halusinasi yang muncul pada dirinya biasanya membuat diri tokoh Je akan merasa terganggu, akan tetapi pada saat ini hal itu berbeda. Hal tersebut dapat kita lihat
52
pada kalimat « mais n’a point troublé mon sommeil. ». Pada penggalan kalimat tersebut kemunculan sosok misterius itu dirasakan tokoh Je bukan sebagai bentuk gangguan, hal itu terbukti bahwa dia tidak mengganggu tokoh Je. Tokoh Je mulai bisa beradaptasi dengan halusinasi-halusinasi yang muncul pada dirinya. Sebagai sosok orang yang terpelajar, dirinya mencoba mencari sebuah jawaban dengan memunculkan berbagai macam argumentasi. Perhatikan kutipan pada halaman selanjutnya.
(29) LH/34 Certes, je me croirais fou, absolument fou, si je n’étais conscient, si je ne connaissais parfaitement mon état, si je ne le sondais en l’analysant avec une complète lucidité. Je ne serais donc, en somme, qu’un halluciné raisonnant. Un trouble inconnu se serait produit dans mon cerveau, un de ces troubles qu’essaient de noter et de préciser aujourd’hui les physiologistes ; et ce trouble aurait déterminé dans mon esprit, dans l’ordre et la logique de mes idées, une crevasse profonde. Sementara, ku anggap diriku gila, benar-benar gila, jika aku sadar, jika aku benar-benar tahu keadaanku, jika aku menduganya dengan analisa yang tajam, aku menduga beberapa diataranya sebuah halusinasi yang beralasan. Sebuah masalah tak diketahui terjadi pada otakku. Salah satu masalah yang dicoba dijelaskan saat ini oleh bidang Psikologis : dan gangguan ini akan ditetapkan dalam pikiranku, di dalam urutan dan logika ide-ideku, yang merupakan sebuah jurang yang dalam. Sebuah bentuk argumentasi-agumentasi dari tokoh Je mengenai keadaan dirinya saat ini. Tokoh Je mencoba menggali lebih jauh tentang keadaan dirinya saat ini. Pada kalimat «Certes, je me croirais fou, absolument fou, si je n’étais conscient, si je ne connaissais parfaitement mon état, si je ne le sondais en l’analysant avec une complète lucidité. Je ne serais donc, en somme, qu’un halluciné raisonnant » (Sementara, ku anggap diriku gila, benar-benar gila, jika aku sadar, jika aku benar-benar tahu keadaanku, jika aku menduganya
53
dengan analisa yang tajam, aku menduga beberapa diantaranya sebuah halusinasi yang beralasan.) mencoba menjelaskan keadan tokoh Je ketika pengaruh Skizofrenia sudah begitu mempengaruhi pikirannya. Dia sadar bahwa keadaannya sudah mencapai tahap yang cukup mengkhawatirkan. Pada keadaan ini tokoh Je seakan-akan merasa sadar menganggap dirinya sendiri gila. Halusinasi-halusinasi yang muncul selama ini pada dirinya merupakan sebuah halusinasi yang beralasan. Bentuk refleksi pemikiran tokoh Je membawanya pada sebuah anggapan bahwa halusinasi-halusinasi yang muncul pada dirinya merupakan sebuah gejalagejala aneh yang terjadi pada otaknya. Kalimat «Un trouble inconnu se serait produit dans mon cerveau, un de ces troubles qu’essaient de noter et de préciser aujourd’hui les physiologistes ; et ce trouble aurait déterminé dans mon esprit, dans l’ordre et la logique de mes idées, une crevasse profonde. »( Sebuah masalah tak diketahui terjadi pada otakku. Salah satu masalah yang dicoba dijelaskan saat ini oleh bidang Psikologis : dan gangguan ini akan ditetapkan dalam pikiranku, di dalam urutan dan logika ide-ideku, yang merupakan sebuah jurang yang dalam) memperkuat pernyataan tersebut. Ganguangangguan pada otak tokoh Je yang disebabkan karena penyakit Skizofrenia mengakibatkan munculnya berbagai macam halusinasi. Gejala-gejala aneh tersebut hanya dapat dijelaskan oleh bidang psikologis. Pada keadaan ini tokoh Je sudah mulai menyadarinya,walaupan dia tidak dapat berbuat banyak untuk menyembuhkan penyakit yang sudah mendekam pada dirinya ini.
54
Tokoh Je merasakan kehadiran dari halusinasi dalam pikirannya lebih sering saat ini. Gejala-gejala dari Penyakit Skizofrenia telah mulai memberikan dampak yang lebih jelas. Perhatikan kutipan berikut : (30) LH/36 8 août. – J’ai passé hier une affreuse soirée. Il ne se manifeste plus, mais je le sens près de moi, m’épiant, me regardant, me pénétrant, me dominant et plus redoutable, en se cachant ainsi, que s’il signalait par des phénomènes surnaturels sa présence invisible et constante. 8 Agustus- aku melewati malam kemarin dengan mengerikan. Dia belum menampakan diri lagi sampai saat ini, tapi aku bisa merasakannya dekat denganku. Menontonku, mengawasiku, merasukiku, menguasaiku dan lebih menakutkan, menyembunyikan diri, dia memberikan tanda dengan fenomena-fenomena supranatural pada kemunculannya yang tidak terlhat dan konstan. Pada keadaan ini tokoh Je merasakan bahwa kehadiran sosok misterius tersebut berada didekatnya, melihat segala aktivitasnya, menonton dirinya, seakan-akan
sosok
misterius
tersebut
merasuk
dalam
tubuhnya
dan
mengendalikan dirinya. Pernyataan tersebut dapat kita lihat pada kutipan kalimat «Il ne se manifeste plus, mais je le sens près de moi, m’épiant, me regardant, me pénétrant, me dominant et plus redoutable ». Tahap ini merupakan sebuah bentuk dari akibat kacaunya pikiran tokoh Je. Pada proses selanjutnya tokoh Je berada dalam keadaan ketakutan. Tokoh Je merasa menunggu sesuatu yang mengerikan. Ketakutan tersebut seperti sebuah teror yang membuat tokoh Je dalam keadaan tidak tenang. Perhatikan kalimat berikut : (31 ) LH/37 9 août. – Rien, mais j’ai peur. 10 août. – Rien ; qu’arrivera-t-il demain ? 11 août. – Toujours rien ; je ne puis plus rester chez moi avec cette crainte et cette pensée entrées en mon âme ; je vais partir.
55
12 août, 10 heures du soir. – Tout le jour j’ai voulu m’en aller ; je n’ai pas pu. J’ai voulu accomplir cet acte de liberté si facile, si simple, –sortir – monter dans ma voiture pour gagner Rouen – je n’ai pas pu. Pourquoi ? 9 Agustus – Tidak ada apa-apa, tetapi aku takut 10 Agustus – Tidak ada apa-apa, apakah dia akan datang besok ? 11 Agustus- selalu tidak ada apa-apa, aku tidak dapat lagi tinggal di rumahku dengan perasaan takut dan pikiran itu masuk kedalam jiwaku ; aku akan pergi 12 Agustus, jam 10 malam. – Setiap hari aku mencoba melarikan diri, akan tetapi aku tidak bisa. Aku hanya ingin menyatakan bahwa tindakan melarikan ini begitu mudah, begitu sederhana, -keluar- naik kedalam mobilku dan pergi ke Rouen- aku tidak bisa. Mengapa ? Pada kutipan diatas terdapat 4 korpus data yang berbeda. Data-data ini dibedakan menurut tanggal kejadiannya saja. Ke-empat data tersebut memiliki maksud yang sama dalam menerangkan keadaan tokoh Je. Tokoh Je mengalami masa yang sulit pada tanggal 9 Agustus – 12 Agustus. Pada kalimat « 9 août. – Rien, mais j’ai peur » menjelaskan ketakutan tokoh Je terhadap sosok misterius yang menghantuinya. Kata – Rien disini menunjukkan belum adanya tanda-tanda kehadiran dari sosok misterius tersebut. Pada kalimat « 10 août. – Rien ; qu’arrivera-t-il demain ? » menunjukkan sebuah rasa penasaran tokoh Je akan kemunculan sosok misterius tersebut. Rasa penasaran tersebut membawanya pada sebuah pertanyaan terhadap diri sendiri dari tokoh Je yang mempresentasikan kegalauan hatinya. Pada kalimat « 11 août. – Toujours rien ; je ne puis plus rester chez moi avec cette crainte et cette pensée entrées en mon âme ; je vais partir » mempresentasikan kegalauan dalam hati tokoh Je yang membuatnya cemas. Kecemasan-kecemasan ini muncul dari ketakutan-ketakutan pada hari-hari sebelumnya. Kalimat « – Toujours rien » menunjukkan bahwa sosok misterius
56
yang menjadi momok bagi tokoh Je belum muncul sampai saat ini, akan tetapi dampak dari keadaan tersebut membuat tokoh Je menjadi tidak betah tinggal dirumah. Tokoh Je berharap bahwa dia bisa pergi meninggalkan rumahnya. Dampak dari ketakutan, kecemasan dan kegalauan hati tokoh Je menyebabkan dirinya frustasi. Beberapa kali dia mencoba untuk melarikan diri dan membuang rasa menyakitkan tersebut tetapi dia selalu tidak bisa. Hal ini diperkuat oleh kutipan kalimat «12 août, 10 heures du soir. – Tout le jour j’ai voulu m’en aller ; je n’ai pas pu. J’ai voulu accomplir cet acte de liberté si facile, si simple, – sortir – monter dans ma voiture pour gagner Rouen – je n’ai pas pu. Pourquoi ? » (12 Agustus, jam 10 malam. – Setiap hari aku mencoba melarikan diri, akan tetapi aku tidak bisa. Aku hanya ingin menyatakan bahwa tindakan melarikan ini begitu mudah, begitu sederhana, -keluar- naik kedalam mobilku dan pergi ke Rouen- aku tidak bisa. Mengapa ?). Tokoh Je setiap hari berusaha untuk melarikan diri dari perasaan yang tersiksa tersebut, akan tetapi dia juga selalu gagal. Tokoh Je sampai meyakinkan dirinya sendiri bahwa melarikan diri itu merupakan pekerjaan yang mudah. Seperti halnya hanya dengan naik ke mobilnya dan mengendarainya ke Rouen. Pernyataan tersebut ditegaskan pada kalimat « J’ai voulu accomplir cet acte de liberté si facile, si simple, –sortir – monter dans ma voiture pour gagner Rouen ». Begitu hebatnya dampak dari rasa takut yang disebabkan oleh Skizorenia membuat tokoh Je berusaha keras melarikan diri dari lingkungan dimana dia tinggal. Dengan upaya keras tokoh Je berusaha untuk melepaskan diri dari belenggu penyakitnya tersebut. Usaha keras tersebut tidak membuahkan hasil
57
yang menggembirakan, dia malah merasa bahwa ada kekuatan misterius yang mencoba mengendalikan dirinya. Perhatikan kutipan berikut : (32) LH/37 14 août. – Je suis perdu ! Quelqu’un possède mon âme et la gouverne ! quelqu’un ordonne tous mes actes, tous mes mouvements, toutes mes pensées. Je ne suis plus rien en moi, rien qu’un spectateur esclave et terrifié de toutes les choses que j’accomplis. Je désire sortir. Je ne peux pas. Il ne veut pas ; et je reste, éperdu, tremblant, dans le fauteuil où il me tient assis. Je désire seulement me lever, me soulever, afin de me croire maître de moi. Je ne peux pas ! Je suis rivé à mon siège et mon siège adhère au sol, de telle sorte qu’aucune force ne nous soulèverait. 14 Agustus. Aku kehilangan daya ! seseorang memiliki jiwaku dan mengaturnya! Seseorang memerintah semua tindakanku, semua gerakanku, semua pikiranku. Seperti aku tidak berarti dalam diriku sendiri, hanya sebagai penonton yang di perbudak mengerikan oleh segala hal yang aku lakukan. Aku ingin keluar, aku tidak bisa. Dia tidak ingin, dan aku tetap tinggal, aku bingung di kursi di mana dia membuatku duduk. Aku hanya ingin bangun, aku bangun, percaya aku dapat mengendalikan diriku sendiri, aku tidak bisa! Aku terpaku di tempat dudukku dan Kursi melekat di tanah, tidak ada kekuatan yang bisa mengangkat kita. Tanggal 14 Agustus, tokoh Je merasa dia kehilangan daya. Di merasa ada sebuah kekuatan yang mengendalikan dirinya. Kalimat « 14 août. – Je suis perdu ! Quelqu’un possède mon âme et la gouverne ! quelqu’un ordonne tous mes actes, tous mes mouvements, toutes mes pensées » (14 Agustus. Aku kehilangan daya ! seseorang memiliki jiwaku dan mengaturnya! Seseorang memerintah semua tindakanku, semua gerakanku, semua pikiranku.) menyatakan kejelasan keadaan tersebut. Kalimat « – Je suis perdu ! » menjelasakan kepada kita keadaan tokoh Je yang merasa dirinya tidak berdaya. Seakan-akan dia kehilangan kontrol atas dirinya. Pada kalimat «Quelqu’un possède mon âme et la gouverne ! quelqu’un ordonne tous mes actes, tous mes mouvements, toutes mes pensées » memperkuat keadaan tokoh Je yang tidak bisa
58
mengontrol keadaannya. Terlihat pada kalimat tersebut ada sosok misterius yang mengkontrol diri tokoh Je. Setiap gerakan, tindakan dan pikiran tokoh Je dikendalikan oleh sosok misterius tersebut. Dampak keadaan ini yang dialami tokoh Je ini mebuatnya tidak bisa melakukan kegiatan yang dia inginkan. Dia ingin bangkit dan melarikan diri, akan tetapi dia tidak bisa. Penyakit Psikologis ini membuatnya tak berdaya. Kalimat . « Je désire sortir. Je ne peux pas. Il ne veut pas ; et je reste, éperdu, tremblant, dans le fauteuil où il me tient assis. Je désire seulement me lever, me soulever, afin de me croire maître de moi. Je ne peux pas ! »( Aku ingin keluar, aku tidak bisa. Dia tidak ingin, dan aku tetap tinggal, aku bingung di kursi di mana dia membuatku duduk. Aku hanya ingin bangun, aku bangun, percaya aku dapat mengendalikan diriku sendiri, aku tidak bisa!) menyatakan keinginan tokoh Je untuk pergi. Di dalam ketakutan dan ketidakberdayaannya dia mencoba untuk bangkit. Dia berusaha mengangkat dirinya dari tempat duduknya. Pengaruh penyakit Skizofrenia ini begitu kuat, sehingga keinginan tokoh Je untuk bisa bangkit dan pergi menjadi sebuah mimpi belaka. Sebuah dampak yang mengerikan ketika tubuh kita serasa diambil alih oleh sebuah kekuatan. Skizofrenia membuat pola pikir penderita dan halusinasihalusinasi yang dia rasakan menjadi sebuah keyataan. Tokoh Je mengalami kejadian yang cukup mengerikan ketika dia melakukan sebuah kegiatan yang tidak dia inginkan. Perhatikan kutipan berikut : (33) LH/38 Puis, tout d’un coup, il faut, il faut, il faut que j’aille au fond de mon jardin cueillir des fraises et les manger. Et j’y vais. Je cueille des fraises
59
et je les mange ! Oh ! mon Dieu ! Mon Dieu ! Mon Dieu ! Est-il un Dieu ? S’il en est un, délivrez-moi, sauvez moi! secourez-moi ! Pardon ! Pitié ! Grâce !Sauvez-moi ! Oh ! quelle souffrance ! quelle torture ! quelle horreur ! Lalu tiba-tiba, aku harus, harus, aku harus pergi ke bagian bawah kebunku untuk memilih arbei dan memakannya. Dan akupun pergi kesana. Aku memetik arbei-arbei itu dan memakannya ! oh ! Tuhanku !Tuhanku !Tuhanku ! apakah ada Tuhan? jika ada, kirimkan padaku, selamatkan aku ! maaf !kasihanilah! ku mohon ! selamatkan aku ! Oh !penderitaan apakah ini ! penyiksaan apakah ini ! begitu mengerikan ! Sebuah dampak yang mengerikan bagi tokoh Je. Penyakit Skizofrenia menyebabkan dirinya kehilangan kontrol atas tubuhnya. Kalimat « Puis, tout d’un coup, il faut, il faut, il faut que j’aille au fond de mon jardin cueillir des fraises et les manger. Et j’y vais » menegaskan ada kekuatan misterius yang menyuruhnya untuk pergi ke bagian bawah kebunnya. Pada kalimat « il faut, il faut, il faut que j’aille au fond de mon jardin cueillir des fraises et les manger. » menyatakan bahwa tokoh Je harus benar-benar menjalankan perintahnya untuk pergi ke kebun tersebut dan memakan arbei. Begitu hebatnya dampak yang dirasakan oleh tokoh Je. Rasa takut menyelimutinya sehingga dirinya memohon kepada Tuhan untuk menolongnya. Kalimat «Oh ! mon Dieu ! Mon Dieu ! Mon Dieu ! Est-il un Dieu ? S’il en est un, délivrez-moi, sauvez moi! secourez-moi ! Pardon ! Pitié ! Grâce !Sauvez-moi ! » menegaskan bahwa tokoh Je begitu tertekan dan ketakutan. Dia memohon kepada pemilik kuasa alam ini atau kita menyebutnya dengan nama Tuhan. Tuhan menjadi harapan satu-satunya tokoh Je untuk menolongnya dari siksaan ini. Dia begitu berharap atas eksistensi Tuhan. Halusinasi yang dirasakan tokoh Je semakin menjadi-jadi. Dia merasa mendengar sosok misterius itu menyebutkan namanya. Halusinasi yang di rasakan
60
tokoh Je semakin membawanya menuju kondisi yang memprihatinkan. Perhatikan kutipan berikut : (34) LH/45 Malheur à nous ! Malheur à l’homme ! Il est venu, le... le... comment se nomme-t-il... le... il me semble qu’il me crie son nom, et je ne l’entends pas... le... oui... il le crie... J’écoute... je ne peux pas... répète... le... Horla... J’ai entendu... le Horla... c’est lui... le Horla... il est venu !... Celakalah kita ! celakalah manusia ! dia datang … dia … dia bagaimana menyebutnya … dia … sepertinya dia berteriak kepadaku tentang namanya, dan aku tidak mendengarnya … dia … ya … dia berteriak … aku mendengarkan … aku tidak bisa … ulangi … Horla … aku mendengarkan … Horla … dia adalah Horla … dia datang ! Tokoh Je berhalusinasi berinteraksi dengan sosok misterius tersebut. Pada keadaan ini dia merasa mendengar bahwa sosok misterius tersebut menyebutkan namanya. Pada kalimat « comment se nomme-t-il... le... il me semble qu’il me crie son nom, et je ne l’entends pas... le... oui... il le crie... J’écoute... je ne peux pas... répète... le... Horla... J’ai entendu... le Horla... c’est lui... le Horla... il est venu !... »( bagaimana menyebutnya..dia ..sepertinya dia berteriak kepadaku tentang namanya, dan aku tidak mendengarnya..dia..ya..dia berteriak..aku mendegarkan...aku
tidak
bisa...ulangi...Horla...aku
mendengarkan..Horla...dia adalah Horla...dia datang !) menjelaskan keadaan tokoh Je ketika dia berhalusinasi mendengarkan sosok misterius mengucapkan namanya. Pada keadaan ini tokoh Je seakan mendengarkan sosok misterius yang selalu dalam halusinya ini. Sosok misterius ini berinteraksi dengan tokoh Je. Dalam keadaan takut tokoh Je mendengarkan suara yang dirasanya berasal dari sosok misterius tersebut. Horla, nama itu yang ditangkap oleh tokoh Je. Tokoh Je yakin bahwa nama Horla itu adalah nama dari sosok misterius yang selama ini menghantuinya.
61
Keinginan yang begitu kuat untuk melepaskan diri dari pengaruh Le Horla membuatnya ingin memberontak dan membunuh sosok misterius tersebut. Perhatikan kutipan pada halaman selanjutnya.
(35) LH/45-47 Pourtant, l’animal, quelquefois, se révolte et tue celui qui l’a dompté... moi aussi je veux... je pourrai... mais il faut le connaître, le toucher, le voir ! m savants disent que l’oeil de la bête, différent du nôtre, ne distingue point comme le nôtre... Et mon oeil à moi ne peut distinguer le nouveau venu qui m’opprime. Namun, hewan kadang-kadang, memberontak dan membunuh siapa yang menguasainya. Aku juga, aku ingin…aku bisa tetapi harus mengenalnya, menyentuhnya, melihatnya! Para ilmuwan berkata bahwa mata hewan berbeda dengan milik kita. Tidak membedakan seperti halnya kita. Dan mataku tidak dapat membedalan pendatang baru yang menindasku. Hasrat yang diinginkan tokoh Je ini merupakan sebuah dampak dari keiinginan untuk bisa bebas dari pengaruh Le Horla. Kalimat
« Pourtant,
l’animal, quelquefois, se révolte et tue celui qui l’a dompté... moi aussi je veux... je pourrai... mais il faut le connaître, le toucher, le voir ! » (Namun, hewan kadang-kadang, memberontak dan membunuh siapa yang menguasainya. Aku juga, aku ingin…aku bisa tetapi harus mengenalnya, menyentuhnya, melihatnya!) menjelaskan bahwa tokoh Je ingin memberontak terhadap pengaruh Le Horla, seperti halnya hewan yang kadang-kadang ingin memberontak dan membunuh siapa yang telah menguasainya. Tokoh Je perlu mengenal lebih jauh sosok misterius ini, melihatnya dan menyentuhnya. Dengan berinteraksi secara langsung dia merasa lebih mudah untuk melakukan rencanya tersebut. Secara psikologis tokoh Je terperangkap dalam pikirannya sendiri. Kekacauan-kekacauan
62
dalam pikirannya ini membuatnya tidak bisa membedakan antara kenyataan dan halusinasi. Tokoh Je semakin yakin bahwa yang menyebabkan dirinya dilanda kegilaan adalah sosok misterius yang bernama Le Horla tersebut. Perhatikan kutipan berikut : (36) LH/49 Qu’ai-je donc ? C’est lui, lui, le Horla, qui me hante, qui me fait penser ces folies Il est en moi, il devient mon âme ; je le tuerai ! Apa yang telah aku pikirkan ? Itu dia, dia Le Horla, yang telah menghantuiku, yang telah membuatku berpikir tentang kegilaankegilaan ini, dia berada dalam diriku, dia menjadi jiwaku: aku akan membunuhnya! Tokoh Je semakin yakin bahwa segala kegilaan yang selama ini dirasakannya adalah pengaruh dari Le Horla. Pikiran-pikiran yang selama ini selalu mengganggu kehidupannya merupakan efek dari Le Horla. Keyakinan tokoh Je terhadap Le Horla sebagai penyebab segala kekacauan ini diperkuat pada kalimat « C’est lui, lui, le Horla, qui me hante, qui me fait penser ces folies Il est en moi, il devient mon âme ; je le tuerai ! ». Tokoh Je beranggapan bahwa Le Horla berada dalam diri tokoh Je. Dirinya dan Le Horla berada dalam satu tubuh. Satu-satunya usaha yang berada dalam pikirannya adalah dengan membunuh Le Horla itu sendiri. Hanya dengan membunuhnya tokoh Je berpikir dia bisa keluar dari pengaruh Le Horla. Dalam pikiran tokoh Je telah tertanam tujuan untuk membunuh Le Horla. Tokoh Je menjadi semakin tenggelam dalam dunia halusinasinya. Perhatikan kutipan berikut : (37) LH/49
63
19 août. – Je le tuerai. Je l’ai vu ! je me suis assis hier soir, à ma table ; et je fis semblant d’écrire avec une grande attention. Je savais bien qu’il viendrait rôder autour de moi, tout près, si près que je pourrais peut-être le toucher, le saisir ? Et alors !... alors, j’aurais la force des désespérés ; j’aurais mes mains, mes genoux, ma poitrine, mon front, mes dents pour l’étrangler, l’écraser, le mordre,le déchirer. 19 Agustus.- aku akan membunuhnya. Aku melihatnya ! aku duduk kemarin malam , di mejaku dan aku berpura-pura menulis dengan serius. Aku yakin bahwa dia akan berkeliaran di sekitarku, bagitu dekat sehingga aku bisa menyentuhnya, memegangnya ? dan lalu ! aku akan memiliki kekuatan keputusasaan ; aku memiliki tangan-tangan, lutut-lututku, dadaku, dahiku, gigi-gigiku untuk mencekiknya, menghancurkannya, menggitnya, merobeknya. Tanggal 19 Agustus, tokoh Je telah berencana untuk membunuh Le Horla. Pada kalimat « 19 août. – Je le tuerai. Je l’ai vu ! je me suis assis hier soir, à ma table ; et je fis semblant d’écrire avec une grande attention. Je savais bien qu’il viendrait rôder autour de moi, tout près, si près que je pourrais peut-être le toucher, le saisir ? » (19 Agustus.- aku akan membunuhnya. Aku melihatnya ! aku duduk kemarin malam , di mejaku dan aku berpura-pura menulis dengan serius. Aku yakin bahwa dia akan berkeliaran di sekitarku, bagitu dekat sehingga aku bisa menyentuhnya, memegangnya ? dan lalu !) terlihat jelas betapa tokoh Je ingin membunuh Le Horla itu. Pada kalimat «je me suis assis hier soir, à ma table ; et je fis semblant d’écrire avec une grande attention. Je savais bien qu’il viendrait rôder autour de moi, tout près, si près que je pourrais peut-être le toucher, le saisir ? » menyatakan rencana tokoh Je. Dia berpura-pura menunggu Le Horla dengan cara menulis di mejanya, ketika Le Horla berada dalam jangkauannya tokoh Je akan berusaha keras untuk membunuhnya. Tokoh Je menyuruh seorang tukang besi untuk membuat tirai-tirai besi untuk menutupi jendela-jendela dirumahnya. Perhatikan kutipan pada halaman selanjutnya.
64
(38) LH/51 21 août. – J’ai fait venir un serrurier de Rouen et lui ai commandé pour ma chambre des persiennes de fer, comme en ont, à Paris, certains hôtels particuliers, au rez-de-chaussée, par crainte des voleurs. Il me fera, en outre, une porte pareille. Je me suis donné pour un poltron, mais je m’en moque !... Tanggal 21- aku mendatangkan seorang tukang besi dan menyuruhnya untuk memasang tirai besi pada kamar-kamarku, seperti di Paris, beberapa hotel-hotel khusus dipasanginya sampai di latai dasar, karena takut oleh para pencuri. Akan dipasang juga bingkai besi itu pada pintu. Aku mengkondisikan diriku seperti seorang pengecut, tapi aku tidak peduli. Tanggal 21 Agustus, tokoh Je mendatangkan seorang tukang besi untuk memasang tirai-tirai besi pada jendela-jendela di kamarnya. Dia berharap bahwa dengan dipasangnya tirai-tirai besi ini, dia akan merasa terlindungi dari pengaruh jahat. Hal ini merupakan dampak psikologis yang dialami tokoh Je. Gangguan Le Horla yang membuatnya ketakutan didalam rumah mebuat dirinya berpikir bahwa dengan berlindung di dalam rumah yang ditutupi dengan tirai-tirai besi membuat aman dirinya. Pada kalimat « Je me suis donné pour un poltron, mais je m’en moque !... » menegaskan bahwa walaupun dia menganggap bahwa apa yang dilakukannya seperti seorang yang pengecut, dia tidak memperdulikannya. Tokoh Je hanya berharap bahwa dirinya akan merasa aman dengan perlindungan bingkai-bingkai besi itu. Tokoh Je merasa bahwa dia berhasil menjebak Le Horla didalam rumahnya. Dia bermaksud membakar Le Horla bersama dengan rumahnya. Tiraitirai besi didalam rumahnya dikuncinya rapat-rapat sehingga dia pikir bahwa Le Horla tidak akan dapat melarikan diri. Perhatikan kutipan pada halaman selanjutnya.
65
(38) LH/53 Tout à coup, j’ai senti qu’il était là, et une joie, une joie folle m’a saisi. Je me suis levé lentement, et j’ai marché à droite, à gauche, longtemps pour qu’il ne devinât rien ; puis j’ai ôté mes bottines et mis mes savates avec négligence ; puis j’ai fermé ma persienne de fer, et revenant à pas tranquilles vers la porte, j’ai fermé la porte aussi à double tour. Retournant alors vers la fenêtre, je la fixai par un cadenas, dont je mis la clef dans ma poche. Tiba-tiba, aku merasa bahwa dia berada disana, dan perasaan senang, sebuah perasaan senang yang liar hinggap kepadaku. Aku bangkit perlahan-lahan dan aku berjalan ke kanan, ke kiri, lama sampai tidak bisa menebak apa-apa : lalu aku melepas sepatuku dan menaruh sandalku sembarangan ; kemudian aku menutup tirai-tirai jendela besiku dan sambil menuju ke pintu dengan langkah yang pelan, aku menutup pintu dan juga menguncinya, kembali kearah jendela, aku memasang erat-erat gembok, lalu aku memasukkan kunci kedalam sakuku. Pada Je telah berencana untuk membunuh Le Horla, rencana ini telah tertanam dalam pikirannya sehingga ketika dia menemukan saat yang tepat dia akan mengakhiri eksistensi Le Horla ini. Pada kalimat « Tout à coup, j’ai senti qu’il était là, et une joie, une joie folle m’a saisi. » (Tiba-tiba, aku merasa bahwa dia berada disana, dan perasaan senang, sebuah perasaan senang yang liar hinggap kepadaku..) menegaskan bahwa saat yang ditunggu-tunggu tokoh Je telah tiba. Kalimat « et une joie, une joie folle m’a saisi » menunjukkan bahwa rasa senang yang hinggap pada tokoh Je merupakan perasaan senang karena telah menemukan sesuatu yang telah lama dicarinya. Tokoh Je tidak pernah merasakan rasa senang yang begitu membuatnya puas pada masa penyakit Skizofrenia menyerangnya. Sebuah moment yang telah ditunggu oleh tokoh Je untuk mengakhiri penderitaannya. Seperti pada analisis sebelumnya bahwa tokoh Je berpendapat bahwa hanya dengan membunuh Le Horla, dia dapat lolos dari penderitaan yang dirasakannya selama ini.
66
Tokoh Je mulai membakar rumahnya. Sebuah perasaan senang hinggap pada dirinya, sebuah kemenangan yang dirasakannya. Perhatikan kutipan berikut : (39) LH/53 Quelle joie ! Je le tenais ! Alors, je descendis, en courant ; je pris dans mon salon, sous ma chambre, mes deux lampes et je renversai toute l’huile sur le tapis, sur les meubles, partout ; puis j’y mis le feu, et je me sauvai, après avoir bien refermé, à double tour, la grande porte d’entrée. Kesenangan seperti apa ini ! aku telah menahannya ! lalu aku turun, sambil berlari ; aku menuju ruang tamu, di bawah kamarku, dua lampuku dan aku menuangkan semua minyaknya ke atas karpet, ke mebel, dan sekitarnya ; lalu aku menyalakan api dan melarikan diri, setelah yakin bahwa telah ditutup, mengunci, pintu masuk yang besar tersebut. Sebuah perasaan senang hinggap pada diri tokoh Je. Dia berhasil mengunci Le Horla di kamarnya. Lalu dia menjalankan rencananya untuk membakar Le Horla. Pada kalimat « mes deux lampes et je renversai toute l’huile sur le tapis, sur les meubles, partout ; puis j’y mis le feu, et je me sauvai, après avoir bien refermé, à double tour, la grande porte d’entrée »( dua lampuku dan aku menuangkan semua minyaknya ke atas karpet, ke mebel, dan sekitarnya ; lalu aku menyalakan api dan melarikan diri, setelah yakin bahwa telah ditutup, mengunci, pintu masuk yang besar tersebut.) menjelaskan proses yang dilakukan tokoh Je ketika dia membakar rumahnya. Dia menuangkan lampu minyak ke karpet, mebel dan lalu membakarnya. Pada proses ini dia sudah merasa benar-benar yakin bahwa apa yang dilakukannya ini merupakan perbuatan yang benar. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan kalimat «Quelle joie ! ». Sebuah perasaan senang yang melanda tokoh Je. Tokoh Je merasa senang atas apa yang dilakukannya ini karena dia yakin bahwa tindakan membakar rumahnya ini adalah cara untuk membunuh Le Horla.
67
4.4.2 Dampak Skizofrenia Tokoh Utama terhadap Orang-orang Di Sekitarnya Skizofrenia secara tidak langsung memberikan dampak bagi orang-orang disekitar penderitanya. Pada kasus Tokoh Je ini, para pembantu tokoh Je tidak mengetahui bahwa majikan mereka telah menderita penyakit Skizofrenia. Pada cerpen Le Horla ini, Karakter Tokoh Je tidak menceritakan perihal penyakit yang dialaminya kepada orang-orang disekitarnya. Sehingga hal ini menyebabkan adanya kebingungan dan kekacauan pada mereka. Para pembantu Tokoh Je merasa kebingungan ketika menemukan adanya gelas minuman yang pecah dalam lemari. Hal tersebut mengakibatkan adanya kebingungan dan kekacauan. Perhatikan kutipan berikut : (40) LH/31 4 août. – Querelles parmi mes domestiques. Ils prétendent qu’on casse les verres, la nuit, dans les armoires. Le valet de chambre accuse la cuisinière, qui accuse la lingère, qui accuse les deux autres. Quel est le coupable ? Bien fin qui le dirait ! 4 Agustus- Pertengkaran diantara pembantu-pembantuku. Mereka beranggapan bahwa diantara mereka ada yang memecahkan gelas di dalam lemari. Pembantu kamar menuduh juru masak, yang lain menuduh wanita pengurus kain sprei, yang lain menuduh dua lainnya. Siapa pelakunya? Biarkanlah nantinya juga akan ada yang mengaku. Pada tanggal 4 Agustus, para pembantu Tokoh Je saling menuduh antara sesamanya. Hal ini disebabkan karena mereka menemukan gelas pecah di dalam lemari. Kita dapat melihat pada kalimat « 4 août. – Querelles parmi mes domestiques ».
Sedangkan pada Kalimat «. Le valet de chambre accuse la
cuisinière, qui accuse la lingère, qui accuse les deux autres. Quel est le coupable ? Bien fin qui le dirait ! » ( Pembantu kamar menuduh juru masak,
68
yang lain menuduh wanita pengurus kain sprei, yang lain menuduh dua lainnya. Siapa pelakunya? Biarkanlah nantinya juga akan ada yang mengaku) menjelaskan bahwa kebingungan yang dirasakan oleh para pembantu tokoh Je membuatnya saling menuduh antara yang satu dengan yang lain. Mereka semua tidak tahu bahwa sebenarnya Tokoh Je yang telah memecahkan gelas-gelas tersebut. Efek dari Skizofrenia memang tidak secara langsung berdampak bagi para orang-orang disekitar tokoh Je, akan tetapi sudah begitu cukup membuat para orang-orang disekitar tokoh Je merasa kebingungan. Dampak begitu mengerikan yang dialami oleh para pembantu tokoh Je ketika dia membakar rumahnya. Tokoh Je begitu senang ketika dia menemukan cara untuk membunuh Le Horla. Dia membakar rumah yang ditinggalinya tersebut dan mengunci pintu masuknya. Perhatikan kutipan berikut : (41) LH/55 Un cri horrible, suraigu, déchirant, un cri de femme passa dans la nuit, et deux mansardes s’ouvrirent ! J’avais oublié mes domestiques ! Je vis leurs faces affolées, et leurs bras qui s’agitaient ! sebuah teriakan yang mengerikan, melengking, menangis mengerikan, sebuah jeritan wanita yang memecah kesunyian malam dan dua jendela loteng terbuka! Aku melupakan pembantu-pembantuku ! aku melihat wajah mereka yang ketakutan dan lengannya melambai-lambai Secara tidak langsung tokoh Je menyebabkan kematian bagi para pembantunya. Ketika tokoh Je membakar rumahnya, di dalam pikiran tokoh Je hanya terbesit keinginan untuk membunuh Le Horla. Dia tidak bisa berpikir dengan kepala jernih karena secara psikologis, tokoh Je telah terpengaruh effek dari Skizofrenia. Pada kalimat « J’avais oublié mes domestiques ! » menegaskan bahwa tokoh Je lupa telah meninggalkan para pembantunya di dalam rumah.
69
Tokoh Je tidak memiliki keinginan untuk ikut membakar para pembantunya bersama Le Horla. 4.5 Efek Skizofrenia dalam Mempengaruhi Tokoh Je untuk Mengakhiri Hidupnya. Pada bagian ini, analisis tokoh Je mengenai proses bagaimana dia bisa mengakhiri hidupnya. Tokoh Je menderita penyakit psikologis yang menyerang sisi kejiwaannya. Selama lebih dari 3 bulan dia mengalami terror dari mahkluk misterius, yang akhirnya diketahuinya bernama Le Horla. Makluk ini telah membuat tokoh Je menderita, terror dan ketakutan membuat hari-hari tokoh Je menjadi seperti sebuah mimpi buruk. Ketika tokoh Je merasa memiliki kesempatan yang tepat, dia mengurung Le Horla dan membakarnya bersama dengan rumahnya. Dengan cara membakar rumah bersama Le Horla didalamnya, tokoh Je yakin bahwa Le Horla akan ikut terbakar hingga mati. Perhatikan kutipan berikut : (42) LH/56 Soudain le toit tout entier s’engloutit entre les murs et un volcan de flammes jaillit jusqu’au ciel. Par toutes les fenêtres ouvertes sur la fournaise, je voyais la cuve de feu, et je pensais qu’il était là, dans ce four, mort... Tiba-tiba seluruh atap jatuh di antara dinding-dinding dan kobaran api yang melesat hingga kelangit. Melewati seluruh jendela-jendela terbuka pada tungku, aku melihat gundukan api, dan aku pikir bahwa dia disana, di dalam tempat pembakaran, mati… Tokoh Je melihat bahwa rumahnya sudah rusak terbakar habis. Dia merasa yakin bahwa Le Horla telah ikut mati terbakar bersama dengan rumahnya. Pada kalimat , « je voyais la cuve de feu, et je pensais qu’il était là, dans ce four, mort.. » menyatakan bahwa tokoh Je melihat gundukan api, dan dia berpikir tentunya Le Horla akan ikut terbakar didalamnya. Tokoh Je tentunya akan merasa
70
puas ketika dia menemukan bahwa Le Horla telah mati. Segala ketakutan yang dirasakannya akan sirna bersama dengan matinya Le Horla. Pikiran tokoh Je secara psikologis telah terinfeksi dengan adanya halusinasi-halusinasi yang muncul akibat dari gangguan Skizofrenia ini. Tokoh Je menggangap bahwa Le Horla adalah sebuah mahkluk hidup yang dapat mati dengan cara dibakar. Terlihat dengan jelas pada pernyataan kalimat « je pensais qu’il était là, dans ce four, mort », tokoh je menganggap Le Horla adalah sosok mahkluk yang hidup dan dapat dibunuh. Dalam pikiran tokoh Je, ketika dia membakar Le Horla bersama dengan rumahnya. Dia beranggapan bahwa Le Horla akan ikut mati, akan tetapi tokoh Je tidak menemukan mayatnya. Tentu saja hal ini membuat bingung tokoh Je. Perhatikan kutipan berikut : (43) LH/ « Mort ? Peut-être ?... Son corps ? son corps que le jour traversait n’était-il pas indestructible par les moyens qui tuent les nôtres ? Mati ? mungkinkah ? tubuhnya ? tubuhnya tidak bisa dihancurkan seperti orang-orang membunuh yang lain ? Tokoh Je bertanya-tanya, mengapa dia tidak menemukan tubuh le horla. Dia bingung kenapa tubuh Le Horla tidak bisa ditemukannya. Kalimat «« Mort ? Peut-être ?... Son corps ? » menegaskan pernyataan itu. Tokoh Je merasa bingung dan bertanya-tanya tentang keadaan ini. Tubuh Le Horla seharusnya dapat dia temukan, akan tetapi pada kenyataannya dia tidak menemukan apa-apa. Pada kalimat «son corps que le jour traversait n’était-il pas indestructible par les moyens qui tuent les nôtres ? » menyatakan bahwa tokoh Je bertanya-tanya pada dirinya sendiri, mengapa Le Horla tidak bisa dibunuh seperti orang-orang
71
membunuh orang lain. Dari sini muncul kekacauan pada pikiran tokoh Je. Sebelumnya dia merasa bahwa dia bisa membunuh Le Horla dengan cara membakarnya, tetapi sekarang dia mulai bingung akan pemikiran sebelumnya. Hal inilah yang nantinya membawa tokoh Je dalam keadaan yang lebih mengerikan. Keadaan tokoh Je yang syok setelah mengetahui bahwa Le Horla tidak mati, membuatnya membuat keputusan yang mengerikan. Penyakit Skizofrenia yang menyerangnya ini membuatnya tidak bisa menjalani hidupnya dengan tenang. Di dalam pikiran tokoh Je, yang terpikirkan hanyalah bisa lepas dari pengaruh Le Horla. Pikiran inilah yang membuatnya mengambil keputusan untuk bunuh diri. Perhatikan kutipan berikut : (44) LH/ « Non... non... sans aucun doute, sans aucun doute... il n’est pas mort... Alors... alors... il va donc falloir que je me tue, moi !... » Tidak ... tidak ... tidak diragukan lagi, tidak ada Keraguan ... Dia tidak mati ... Jadi ... kemudian ... Jadi Aku harus bunuh diri! ... Tokoh Je mengalami jalan buntu, ketika dia menemukan kenyataan bahwa Le Horla tidak mati. Dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain mengakhiri nyawanya sendiri. Pada kalimat « Non... non... sans aucun doute, sans aucun doute... il n’est pas mort » menegaskan tokoh Je yakin bahwa Le Horla tidak mati. Kalimat « sans aucun doute, sans aucun doute » menunjukakan adanya keyakinan dalam diri tokoh Je bahwa Le Horla masih hidup. Hal yang bisa dilakukan tokoh Je pada akhirnya hanyalah dengan bunuh diri. Dengan cara bunuh diri inilah dia bisa terbebas dari pengaruh penyakit yang sudah membuatnya tersiksa secara psikologis. Kalimat «alors... il va donc falloir que je
72
me tue, moi !.. » menunjukkan bahwa dirinya akan bunuh diri dan mengakhiri penderitaannya untuk selamanya. Penyakit skizofrenia yang dialami tokoh Je tidak mendapatkan penyembuhan sehingga segala macam pengaruh-peagaruh negatif seperti halusinasi, delusi dan kekacauan pada pikiran dapat berkembang leluasa. Hal inilah yang membuat tokoh Je memilih mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
73
BAB 5 PENUTUP Bagian terakhir penulisan skripsi ini terdiri dari simpulan dan saran. Simpulan meliputi hasil analisis yang berupa pendeskripsian jawaban dari rumusan masalah, sedangkan saran berisi rekomendasi penulis berdasarkan hasil analisis. 5.1 Simpulan Setelah peneliti melakukan analisis mengenai adanya pengaruh penyakit Skizofrenia terhadap kehidupan tokoh Je. Peneliti menemukan adanya lima pengaruh besar yang berdampak pada kehidupan tokoh Je ini. Skizofrenia yang dikenal sebagai penyakit kejiwaan menyerang penderitanya yang dalam cerpen Le Horla disebut dengan nama tokoh Je. Pada pengaruh yang pertama, skizofrenia menyerang tokoh Je dengan menunjukkan gejala-gejala yang mungkin dianggap sebagai sebuah bentuk gejala yang wajar-wajar saja. Pada cerpen Le Horla ini, skizofrenia muncul dengan gejala demam. Demam yang menyerang tokoh Je ini bukanlah sebuah demam biasa, melainkan gejala demam yang diikuti dengan rasa gelisah yang tiba-tiba menyerang, perasaan sedih yang seakan-akan membuat tokoh kehilangan rasa keberaniannya. Pengaruh kedua, tokoh Je merasa adanya sebuah perasaan yang aneh mendekam dalam dirinya. Perasaan tersebut seperti dideskripsikan sebagai bentuk kegelisahan yang secara tiba-tiba melandanya dan secara tidak langsung membuatnya
beranggapan
bahwa
ada
makluk
misterius
yang
sedang
mengawasinya. Perasaan tersebut menimbulkan reaksi bagi tokoh Je. Reaksi
74
tersebut dideskripsikan dalam
bentuk rasa takut, gelisah dan sedih yang
membuatnya tertekan. Pengaruh ketiga, upaya tokoh Je untuk menyebuhkan penyakit yang dideritanya. Penyakit yang diderita oleh tokoh Je ini merupakan sebuah penyakit psikologis. Oleh karena itu ketika tokoh Je mencoba berkonsultasi dengan dokter tentang demam dan kedaan yang dirasakannya ini. Dokter hanya memberitahukan bahwa tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan atas gejala-gejala yang diderita tokoh Je. Pengaruh keempat, Skizofrenia menyebabkan tokoh Je mengalami berbagai macam halusinasi. Pada cerpen Le Horla ini, sosok halusinasi dari tokoh Je bernama Le Horla. Sosok ini menyebarkan ketakutan dan teror pada diri tokoh Je. Keadaan ini membuat tokoh Je merasa tertekan. Hari-harinya dijalani dengan perasaan cemas karena takut akan kemunculan Le Horla. Menurut tokoh Je, dirinya bisa keluar dari penderitaan penyakit ini jika dia bisa membunuh Le Horla. Ketika dia merasa bahwa sudah datang saat yang tepat, dia akan membunuh Le Horla. Pada keadaan ini, Skizofrenia telah menyerang sisi pskikologis tokoh Je lebih dalam. Tokoh Je sudah tidak dapat lagi membedakan antara halusinasi dan kenyataan. Hal itu terbukti dengan tindakan tokoh Je yang membakar rumahnya beserta para pembantunya yang tinggal di dalam rumah. Tokoh Je berpikir ketika dia membakar rumahnya, Le Horla akan ikut mati terbakar. Pengaruh terakhir, tokoh Je tertekan ketika dia menemukan kenyataan bahwa dia tidak menemukan mayat Le Horla yang dianggap sebagai musuh besarnya di dalam reruntuhan rumahnya yang terbakar. Dia terkejut melihat
75
kenyataan bahwa Le Horla tidak mati. Hal ini membuatnya syok. Dalam keadaan tertekan ini dia beranggapan bahwa jika dia ingin keluar dari penderitaan penyakit ini dia harus membunuh Le Horla dan dia beranggapan bahwa Le Horla berada dalam dirinya. Didasari pemahaman itulah dia memutuskan untuk bunuh diri. Skizofrenia pada cerpen Le Horla ini menimbulkan banyak tragedi pada diri tokoh utama. Penyakit psikologis menyerang sisi jiwa tokoh utama yang rapuh. Selain hal itu, pada masa tokoh Je hidup belum ada pemahaman yang baik tentang kasus penyakit psikologis. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya diagnosis yang salah pada dokter yang memeriksa kesehatan tokoh Je. Adanya ketidaktahuan mengatasi penyakit psikologis yang menyerang tokoh Je membuatnya mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Pada kenyataannya penyakit jiwa seperti Skizofrenia ini telah menyerang umat manusia. Manusia membutuhkan sebuah pegangan sebagai penahan tekanan-tekanan dari dunia yang keras ini. Pemahaman dan pengertian sejak awal tentang penyakit Skizofrenia ataupun penyakit-penyakit psikologis lainnya sejak dini dapat mengurangi berkembangnya penyebaran penyakit kejiwaan di lingkungan sekitar kita. Agama merupakan sebuah tempat tumpuan dan pertahanan bagi jiwa manusia yang lemah ini. Pada cerpen Le Horla ini saya menemukan adanya pengaruh yang begitu besar dari sebuah penyakit kejiwaan. Skizofrenia menyerang sisi kejiwaan penderitanya. Kegelisahan, terror dan kesedihan mewarnai hari-hari penderitanya. Kejadian-kejadian seperti ini merupakan sebuah lukisan keadaan diri sang penulis. Sastrawan dapat menemuinya di sekitar tempat tinggalnya. Di situlah peran penting seorang sastrawan sebagai anggota masyarakat. Mereka merekam
76
kejadian-kejadian di sekitarnya dan menuangkannya pada karyanya. Peristiwaperistiwa tersebut entah itu
merupakan sebuah kejadian yang besar ataupun
sebuah kejadian yang kecil tentunya pasti dia tuangkan kedalam karyanya. Hal tersebut terangkum pada hasil karyanya “Le Horla” yang merupakan salah satu karya besarnya yang ternyata telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing di dunia. 5.2 Saran Begitu banyaknya karya-karya sastra yang memuat tema psikologis. Maka oleh sebab itu peneliti menyarankan kepada para mahasiswa terutama mahasiswa jurusan Sastra Perancis Universitas Negeri Semarang untuk lebih menggali informasi yang tersirat pada sebuah karya sastra bertema psikologis. Penelitan tentang tema psikologi sastra dapat menyibak sebuah pemikiran yang tersembunyi dari sang pencipta karya sastra tersebut ataupun mengungkapkan sebuah kejadiankejadian dalam karya sastra dilihat dari sudut pandang psikologi. Penelitianpenelitian tentang psikologi pada karya sastra ini diharapkan membawa kepada pemahaman diri sendiri karena kehidupan manusia tidak dapat lepas dari keadaan psikologi manusia itu sendiri. Keadaan masyarakat yang buruk mental dan jiwanya pastinya akan membawa kebobrokan pada bangsa di mana masyarakat itu tinggal. Ketika manusia berusaha untuk bisa menjaga pikiran dan jiwanya pada kondisi yang baik dan sehat, maka manusia nantinya tidak akan mudah terserang oleh segala bentuk penyakit kejiwaan.
77
78
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algesindo. Arif, Imam Setiadi. 2006. Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung : Refika Aditama. Diragagunarsa, Singgih. 1978. Pengantar Psikologi. Jakarta : Mutiara. Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta : Media Pressindo. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Media Pressindo. Halgin, R.P., Whitbourne, S.K. 1995. Abnormal Psychology. The Human Experience of Psychological Disorder. New York: McGraw Hill Book Co. Hawari, D. 2006. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Edisi III. Cetakan I. Jakarta: FK UI. Jumali, Ahmad. 2007. Skripsi Skizofrenia Tokoh Utama Dalam Novel Pintu Terlarang Karya Sastra Sekar Ayu Asmara. Semarang : UNNES. Maupassant, G. 1899. Le Horla. Paris : … Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada. Wellek & Warren. 1990. Teori Kesusteraan. Terjemahan oleh Melani Budianto. Jakarta : Gramedia. Teeuw, A. 1983. Sastra & Ilmu Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.
79
(http://id.wikipedia.org/wiki/Guy_de_Maupassant di sunting pada tanggal 12 Januari 2001) (http://fr.wikipedia.org/wiki/Le_Horla disunting pada tanggal 21 Desember 2010). http://www.scribd.com/doc/16099617/Skizofrenia-berasal-dari-dua-kata
80