REFLEKSI PSIKOSIS DALAM KARYA GUY DE MAUPASSANT
SKRIPSI
Diajukan Dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata 1 Untuk Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Disusun Oleh : Nama NIM Program Studi Jurusan Fakultas
: Novi Wijayanti : 2301401035 : S1 : Pendidikan Bahasa Prancis : FBS
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2006
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di hadapan sidang panitia ujian skripsi Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang pada: Hari
:
Tanggal
:
Panitia Ujian Ketua,
Sekretaris,
Prof. Dr. Rustono
Drs. Sudarwoto, M. Pd
NIP.131 281 222
NIP.131 281 217
Penguji I,
Dra. Diah Vitri W, DEA NIP. 131 813 669
Penguji II/ Pembimbing II
Penguji III/ Pembimbing I
Suluh Edhi Wibowo, S.S
Dr. D. Yahya Khan, M.Pd
NIP. 132 233 484
NIP. 130 805 009
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya, Nama
: Novi Wijayanti
NIM
: 2301401035
Prodi/ Jurusan : Pendidikan Bahasa Prancis S1/ Bahasa dan Sastra Asing. Fakultas Bahasa dan Seni. Skripsi berjudul ‘Refleksi Psikosis dalam Karya Guy de Maupassant’ saya tulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana ini benar-benar merupakan karya sendiri. Skripsi ini saya hasilkan setelah melalui proses penelitian, pembimbingan, diskusi, dan pemaparan/ ujian. Semua kutipan baik langsung maupun tidak langsung, maupun sumber lainnya, telah disertai identitas sumbernya dengan cara sebagaimana yang lazim dalam penulisan karya ilmiah. Dengan demikian, walaupun tim penguji dan pembimbing skripsi ini membubuhkan tanda tangan sebagai keabsahannya, seluruh isi karya ilmiah ini tetap menjadi tanggung jawab saya sendiri. Jika kemudian ditemukan ketidakberesan, saya bersedia menerima akibatnya. Demikian, harap pernyataan ini dapat digunakan seperlunya.
Semarang,
2006
Yang membuat pernyataan
Novi Wijayanti NIM. 2301401035
iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri sendiri ” (Ar Ra’d:11)
“Jadilah kamu sekalian pemerhati-pemerhati ilmu, bukan sekedar penyampaipenyampai ilmu” (Al Hadits)
“Meninggalkan maksiat adalah perjuangan, sedangkan keengganan meninggalkannya adalah pengingkaran” (DR. Aidh al-Qarni)
Persembahan : Setulus hati kupersembahkan karya kecilku ini untuk Bapak Ibu tercinta, keluarga, Mas Narjo, Mbak Nung, para pembina generasi, dunia tarbiyah, para penggerak dakwah yang tak pernah kenal lelah, dan tidak ketinggalan almamaterku, Universitas Negeri Semarang.
iv
PRAKATA
Luapan rasa syukur hanya layak teruntuk Allah SWT, Sang Pemberi Rahmat dan Nikmat yang tak terbalas oleh apapun sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan yang sangat berarti dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Pembimbing I, Dr. D.Yahya Khan, M.Pd dan pembimbing II, Suluh Edhi Wibowo, S.S yang telah memberikan arahan, ilmu dan bimbingan serta meluangkan waktu mendiskusikan persoalan yang berkaitan dengan skripsi ini hingga terselesaikannya skripsi ini; 2. Penguji I, Dra. Diah Vitri Widayanti, DEA terima kasih atas saran-saran yang telah diberikan demi kesempurnaan skripsi ini; 3. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Asing dan Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah memberi izin dan kemudahan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini; 4. Para dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang telah berbagi ilmu, pengetahuan, dan pengalaman kepada penulis; 5. Kedua orang tuaku terkasih dan kakak-kakakku tersayang serta para keponakan yang senantiasa menemani langkahku dengan doa yang tiada akhir; 6. Keluarga besar Pesma Qolbun Salim, TKIT Mutiara Hati, saudara seperjuangan di Rohis FBS dan Kos Sabila yang selalu menjadi penyulut semangat dan
v
mendo’akanku dalam rabithah. Teman-teman sejati dalam roda dakwah dan universitas kehidupan: SunMoMoers, Liqoers, para murabbi, generasi Lire Kaiwa, aku bangga mengenal pribadi-pribadi seperti Antum 7. Teman-teman angkatan 2001 dan adik-adik BSA tempat berbagi kasih, ilmu dan cerita; 8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Betapa bantuan kalian sangat berarti. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan lindungan-Nya kepada pihakpihak tersebut dan membalasnya dengan yang lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya pencinta karya sastra.
Semarang, ………………..2006
Penulis
vi
SARI
Wijayanti, Novi. 2006. Refleksi Psikosis dalam Cerpen Karya Guy de Maupassant. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: 1. Dr. Djaswadi Yahya Khan, M.Pd, 2. Suluh Edhi Wibowo, S.S Kunci : Psikosis Karya Guy de Maupassant dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait ? merupakan karya sastra yang menceritakan tentang penyakit psikosis (gangguan kejiwaan akut). Berawal dari riwayat hidup pengarang yang senantiasa dilanda ketakutan, kecemasan dan bayangan kegilaan serta pengalamannya sebagai penderita psikosis, maka Guy de Maupassant banyak mengangkat psikosis dalam karya yang dihasilkan terutama di akhir kehidupannya. Dalam karya sastra tersebut ada pengaruh psikosis pengarang terhadap karya sastra yang diciptakan. Berdasarkan hal inilah peneliti tertarik untuk mengkajinya lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penokohan tokoh utama dalam karya Guy de Maupassant dan fenomena psikosis yang terdapat di dalamnya serta menemukan hubungan antara gejala psikosis dalam karya Guy de Maupassant dengan psikosis yang diderita oleh Guy de Maupassant. Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra. Korpus data penelitian ini adalah cerpen Le Horla dan Qui Sait?, riwayat kehidupan pengarang, dan psikosis yang melanda Guy de Maupassant. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka dan dokumentasi. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data dan mendeskripsikan permasalahan yang ada dalam teks karya sastra tersebut. Simpulan akhir penelitian ini adalah adanya kemiripan karakter, kepribadian, kebiasaan maupun status sosial tokoh utama dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait serta hubungan psikosis Guy de Maupassant yang direfleksikan dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait?. Potret psikosis dalam kedua cerpen tersebut merupakan potret psikosis pengarang. Latar kehidupan pengarang sebagai penderita psikosis berpengaruh dalam bentuk dan tema karyanya. Kenyataan ini semakin meneguhkan bahwa karya sastra berperan sebagai ekspresi pemikiran dan kejiwaan pengarang dalam menghasilkan karya sastra.
vii
RÉSUMÉ Wijayanti, Novi. 2006. Réflexion du Psychose dans Les Oeuvres de Guy de Maupassant. Le mémoire. Département des Langues et des Littératures Étrangères, programme d’étude de l’enseignement du Français, Faculté des Langues et des Arts, Université d’État de Semarang. Directeurs: 1. Dr. Djaswadi Yahya Khan, M.Pd, 2. Suluh Edhi Wibowo, S.S. Mot clé: Psychose, Psychologie A. Introduction La France a une longue histoire de la littérature et depuis des siècles, ce pays donne son appréciation sur les belles-lettres. La littérature se caracterise selon l’époque, le genre, ou bien la tendance. La littérature du Moyen Age, du 16è, du 17è, du 18è, du 19è et du 20è siècle appartiennent à la catégorie qui est fondée sur l’époque. La littérature du 19è siècle a sa propre particularité. Husen (1999:102) dit qu’on appelle ce siècle: le mal du siècle, la vague des passions, le spleen, le dégoût décadent ou le dandysme, parce qu’il y avait beaucoup de thèmes du malaise, de l’horreur surnaturel, et de la folie. Ces thèmes font partie de la psychologie. Selon Rokhman (2003: 43-47), la littérature n’est pas autonome. Dans l’histoire de la littérature du 19è siècle, on utilise le mécanisme psychologique pour expliquer la relation entre l’homme et la littérature. Pour cela on a déjà fait l’analyse sur les textes de Poe et Baudelaire. A part Poe et Baudelaire, l’écrivain qui a écrit sur l’angoisse et la folie est Guy de Maupassant. Subissant la syphilis et la predisposition familiale à la folie, Maupassant luttait en usant de drogues. Dès 1878, il commençait à avoir un trouble
viii
mentale et il a consommé de l’haschich en 1880. Les critiques disent que ses œuvres psychologiques anormaux dont le thème parle d’un trouble mental sont ses œuvres semi-autobiographiques (Http://www.online.litterature.com/Maupassant). Les œuvres qui parle du psychose sont Le Horla (1887) et Qui Sait ? (1890). Les raisons de ce choix sont ceci: 1. Il y a beaucoup de phénomènes psycotiques dans Le Horla (1887) et Qui Sait? 2. Le Horla (1887) est une nouvelle spectaculaire (chef d’œuvre) qui a été écrite quand il soignait son frère, Hervé, à l’asile des fous de Charenton. Il avait luimême le syphilis, consommait de l’haschich et de l’éther. 3. Qui Sait ? a été écrit aux dernières années de sa vie quand son hallucination se développait grièvement. Le Horla (1887) et Qui Sait ? contiennent des activités psychiques, alors l’approche de la recherche convenable est la psychologie de la littérature. Le but de cette recherche est de décrire le personnage du hero principale de Le Horla (1887) et celui de Qui Sait ?, de decrire des symtômes psycotiques dans Le Horla (1887) et Qui Sait ? et de trouver la relation entre le psychose dans Le Horla (1887) et Qui Sait ?et le psychose de l’écrivain. Je commence par l’analyse du personnage, ayant le psychose dans le texte, et la relation entre le psychose des personnages principaux et l’histoire de la santé psychique de l’écrivain.
ix
B. Psychose Selon Chaplin (2004:407), psychose est une maladie mentale serieuse dont les caractèristiques particulières sont la désorganisation de la pensée, le trouble de l’émotion, la désorientation (d’endroit, de temps, de personne), l’hallucination et la délusion. Il y a quelques types de psychose, ce sont: le psychose manic-dépressive, le paranoïa, la paralysie, la schizophrénie, et le psychose alcoolique. C. Psychologie de la Littérature D’après Endraswara (2003:96), les bases de la recherche de la psychologie sont: 1) une opinion disant que la littérature est un produit de pensée et de psychologie de l’écrivain, 2) la recherche n’examine pas seulement des personnages principaux psychiquement, mais aussi les aspects de la pensée et le sentiment de l’écrivain quand il a créé son œuvre. Alors, on pourra psychologiquement analyser des œuvres littéraire, et la personnalité de l’écrivain se réflète dans la psychologie de son œuvre. D. Relation Entre La Littérature et Le Psychanalyse Selon Freud (dans Wellek et Warren, 1990:92), le psychanalyse stimule “l’état de l’âme” de l’écrivain à créer l’idée du recit. Ratna (2004:345) dit qu’on utilise le psychanalyse pour révéler des phénomènes psychologique de l’autre côté de phénomènes de la langue, parce que la langue littéraire est l’expression psychique de l’écrivain qui décrit son emotion et son idée.
x
E. Personnage D’après Suharianto (1980:31), personnalisation est une description de héro physiquement et moralement, sous forme de la vision de la vie, de l’attitude, de la conviction, et des habitudes. F. Histoire de La Santé Psychique de Guy de Maupassant À cause du syphilis et de l’abus des drogues, Maupassant commençait à être troublé mentalement dès 1878. Petit à petit, une profonde malaise s’est insinue dans sa vie: ses névralgies du jeune homme, plus violentes, ont dégénéré, sous les excès du travail et ceux de la “belle vie”, en hallucination. Hanté par l’idée de la mort, obsédé par un “double” mystérieux et il s’enfonçait progressivement dans la folie. Il a été est interné dans l’asile des fous du Docteur Blanche après un suicide manqué en 1891. G. Méthode de Recherche Cette recherche utilise une approche de la psychologie de la littérature . La technique de la recherche est celle de bibliographie. On l’utilise pour trouver des informations sur l’attitude anormal comme symtômes psycotique dans Le Horla (1887) et dans Qui Sait ? H. Analyse Dans Le Horla (1887) et Qui Sait ?, j’ai trouvé les personnages du hero de ces nouvelles, ce sont: a. Le Horla (1887) : un homme riche, cultivé, faible, et aimer faire un voyage. b. Qui Sait ?: un homme riche, un solitaire, et aimer faire un voyage.
xi
Dans Le Horla (1887) et Qui Sait ?, j’ai trouvé quelques manifestations psycotique. a. Dans Le Horla (1887): l’hallucination audio-visuelle, la désorientation d’un endroit, la folie de la persécution, des cauchemars, l’insomnie, la peur et l’angoisse sans raison et l’oscillation de l’émotion. b. Dans Qui Sait ?: l‘isolation, l’hallucination audio-visuelle, et la peur excessive. La relation entre la psychose du héro de Le Horla (1887) et celui de Qui Sait ? et l’histoire de la santé psychique de l’écrivain, sont: a. Guy de Maupassant avait aussi des hallucinations, des cauchemars, l’insomnie, etc. b. Le héro de Le Horla (1887) et celui de Qui Sait ? et Guy de Maupassant faisaient souvent des excursions ailleurs pour reduire sa tension nerveuse. I. Conclusion Cette recherche montre que: a. il y a une relation entre la psychose du héro de Le Horla et celui de Qui Sait ? et le trouble mentale de l’écrivain, b.
l’imagination, la connaissance, et l’expérience personnelle provoquent Guy de Maupassant à les mettre dans la forme littéraire,
c. il y a des ressemblances de caractères, de coutumes, de personnalités et même de statut social du héro de Le Horla, celui de Qui Sait ? et l’écrivain luimême.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………...…........ ii HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………………....... iii HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN. ……………………...……......... iv PRAKATA ..................…………….……………………………………………....... v SARI…………………………………………………………………………............vii RESUME…………………………………………………………………….......... viii DAFTAR ISI ………………………………………………………………........... xiii DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………....... xvi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………….......1 B. Rumusan Masalah………………………………………………….……........ 9 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………........10 D. Manfaat Penelitian ………………………………………………………......10 E. Sistematika Penelitian……………………………………………………......10 BAB II LANDASAN TEORI A. Psikosis …….. ………………………………………………………………..12 B. Psikologi Sastra ……………………………………………………………….
xiii
C. Hubungan Sastra dan Psikoanalisa ………………………………………… D. Penokohan …………………………………………………………………. E. Riwayat Hidup Guy de Maupassant ……………………………………….... 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Sasaran Penelitian …………………………………………………………... 31 B. Pendekatan Penelitian ………………………………………………………. 31 C. Teknik Analisa Data…………………………………………………………. 32 D. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………. .….. 32 E. Langkah Kerja ……………………………………………………………….. BAB IV ANALISIS KORPUS DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisis Penokohan A.1 Analisis Penokohan dalam Cerpen Le Horla A.2 Analisis Penokohan dalam Cerpen Qui Sait ? B. Analisis Psikosis dalam Karya Guy de Maupassant B.1 Analisis Psikosis dalam Cerpen Le Horla B.2 Analisis Psikosis dalam Cerpen Qui Sait ? C. Hubungan Psikosis dalam Karya Guy de Maupassant dengan Riwayat Kesehatan Pengarang D.1 Refleksi Psikosis dalam Cerpen Le Horla D.2 Refleksi Psikosis dalam Cerpen Qui Sait ?
xiv
BAB V PENUTUP A. Simpulan…………………………………………………………………...72 B. Saran……………………………………………………………………….73 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. 2. 3. 4.
Sinopsis cerpen Le Horla karya Guy de Maupassant Sinopsis cerpen Qui Sait ? karya Guy de Maupassant Korpus data Le Horla Korpus data Qui Sait ?
xvi
xvii
xviii
xix
xx
xxi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejak dikenalnya tulisan, manusia mulai menorehkan hasil akal budinya dengan untaian kata-kata tertulis. Di antara karya tertulis yang dihasilkan salah satunya adalah seni sastra. Driyarkara dalam Taum (1997:9) menyatakan bahwa seni sastra merupakan sebuah sebuah cabang kebudayaan manusia yang paling tua, yang mendahului cabang-abang kebudayaan lainnya. Menurut Taum (1997:11), istilah sastra dalam bahasa-bahasa Barat secara etimologis diturunkan dari bahasa Latin littera ‘huruf atau karya tulis’. Istilah itu dipakai untuk menyebut tata bahasa dan puisi. Istilah Inggris literature, istilah Jerman literatur, dan istilah Prancis littérature berarti segala macam pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Untuk menghindari kerancuan pengetahuan tentang sastra, dalam bahasa Prancis menggunakan istilah belles lettres (yang berarti: tulisan yang indah dan sopan) sebagai istilah khas untuk menyebut karya sastra yang bernilai estetik Sumardjo dan Saini K.M. (1993:8) menyatakan sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sementara Lefévère dalam Taum (1997: 15) menyatakan sastra adalah deskripsi pengalaman kemanusiaan yang memiliki dimensi personal dan sosial sekaligus secara fundamental mengandung gagasan-gagasan estetis.
2
Gagasan tersebut berfungsi ganda yakni, mengkomunikasikan kenikmatan estetik (esthetic enjoyment) dan membuat manusia pembacanya melihat kehidupan sendiri dalam perspektif bentuk hidup lain. Adapun produk sastra yaitu berbagai jenis sastra yang dihasilkan. Suharianto (1982:14) menyatakan karya sastra sebagai pengungkapan hidup dan kehidupan yang dipadu dengan daya imajinasi dan kreasi seorang pengarang serta dukungan pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut. Kehidupan manusia dengan segala kompleksitasnya menjadi bahan yang menarik untuk dituangkan dalam karya sastra. Sebuah momentum bersejarah yang mengakibatkan perubahan paling besar dalam kehidupan masyarakat Prancis adalah Revolusi Prancis yang terjadi pada tanggal 14 Juli 1789. Pada masa itu terjadi goncangan peristiwa baik politik maupun sosial yang turut mengubah cara pandang masyarakat terhadap banyak hal, di antaranya adalah agama, pemerintahan, konsep kesetaraan, kebebasan, termasuk juga dalam bidang sastra. Husen (2001: 101-102) mengatakan, bahwa kesusastraan Prancis abad XIX merekam gaungnya melalui beberapa aliran dan berbagai bentuk karya sastra. Aliran yang berkembang di antaranya adalah; romantisme, formalisme, simbolisme, realisme dan naturalisme. Para pengarang gemar menulis masalah sosial sosial khususnya kehidupan masyarakat kelas bawah. Selain tema sejarah dan sosial, pada abad XIX ditampilkan juga tema kegelisahan (malaise) yang diberi nama mal du siècle ’penyakit zaman’, vague des passions ‘gelombang gairah’, spleen ‘kesedihan’, dégoût decadent ‘kebosanan parah’, atau muncul sebagai dandysme ‘hidup urakan dalam kemewahan’, dan lain-lain.
3
Husen (2001:101) menyebutkan, bahwa secara politis, para pengarang terbagi dalam klan monarkis dan liberal. Namun, keduanya menuntut hak yang sama: kebabasan menulis, kebebasan pers, dan peningkatan peranan pengarang di masyarakat. Berpegang pada konsep individualitas dan kebebasan, serta yakin bahwa pengarang mempunyai misi, mereka mengambil bagian dalam mesyarakat yang menunjang perkembangan kesusastraan, khususnya dan gagasan sosialpolitik, spiritual, keagamaan pada umumnya. Sastra selanjutnya berlomba mentransgresikan dirinya pada ruang abnormal dan menawarkan suatu dunia dan bahasa yang aneh dalam kesadaran masyarakat. Lahirnya sastra modern yang tumbuh di tengah kemapanan bahasa yang sudah ada dan pola linguistik yang kaku mengubah anggapan bahwa ciri khas sastra adalah bahasa yang indah. Hal ini bisa dilihat dalam karya Marquis de Sade. “Fenomena Sade”: sadisme dan seksualitas dieksplorasi dan dipertontonkan habis-habisan (Taum, 1997:12). Kemudian tema-tema horor-supranatural, kecemasan dan kegilaan yang merambah pada perilaku abnormal manusia mulai muncul. Rincé dan Lecherbonnier (1986: 487) mengenalkan seorang cerpenis Rusia abad XIX, Nicolas Gogol (1809-1852) yang menderita psikosis (penyakit mental) akut menulis Le Journal d’Un Fou (1834) yang berisi harian pribadi seorang pegawai negeri di Saint-Petersbourg yang mengalami halusinasi sedikit demi sedikit. Pada akhir cerita, ia menganggap dirinya sebagai Raja Spanyol, mengalami disorientasi tempat dan waktu dan akhirnya ia tidak tahan karena selalui dihantui oleh sesuatu yang mengejarnya.
4
Safitri (2005:3) menyatakan bahwa perilaku abnormal manusia yang ada dalam realitas kehidupan membuka kemungkinan akan terefleksinya dalam karya sastra. Refleksi ini terwujud berkat tiruan dan gabungan imajinasi pengarang terhadap realitas kehidupan atau realitas alam. Seperti yang diungkapkan Fanani (2000:111) bahwa karya sastra merupakan tiruan (mimesis) dari unsur-unsur kehidupan nyata yang ada. Dapat dikatakan pula bahwa karya sastra mampu merekam masalah-masalah yang sedang bergejolak dan berkembang di masyarakat. Pengarang mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna pengalaman hidup seperti yang dirasakan pengarang melalui karyanya. Safitri menambahkan (2005:5) bahwa kemiripan karya sastra dengan realita dapat dipandang dari penokohannya. Penokohan dapat dilihat melalui pelukisan tokoh-tokoh secara fisik dan terutama psikis. Karya sastra yang dipandang dari segi psikis berkaitan erat dengan bidang psikologi. Rokhman
dkk
(2003:43-47)
menjelaskan,
bahwa
dalam
sejarah
kesusastraan abad XIX, mekanisme psikologi sudah dipergunakan untuk menjelaskan hubungan manusia dan karya sastra. Perdebatan seru sempat muncul manakala psikologi memasuki ranah sastra, khususnya saat psikoanalisis mulai memeriksa karya sastra sebagai objek penelitiannya. Semenjak Freud, dan dilanjutkan
Lacan,
mulai
menguji
validitas
teori
l’inconscience-nya
‘ketidaksadaran’ yang ditemukan dalam sastra, di kemudian hari pendekatan psikoanalisis memiliki peluang signifikan. Psikokritik yang telah dikerjakan antara lain analisis terhadap teks-teks Poe dan Baudelaire.
5
Pada dasarnya psikosastra dibangun atas dasar asumsi genesis dalam kaitannya dengan asal-usul karya sastra. Psikosastra dianalisis dalam kaitannya dengan aspek kejiwaan pengarang (Ratna, 2004:102). Gejolak jiwa pengarang menjadi pendorong dan berpengaruh terhadap munculnya sebuah karya sastra. Endraswara (2003:102) menyatakan bahwa kepribadian seorang pengarang tampak juga dalam kejiwaan karyanya karena karya sastra menjadi “objek” ekspresi kejiwaan seorang pengarang untuk meluapkan isi hatinya. Kondisi kejiwaan seorang seniman sangat berpengaruh pada hasil karya yang dihasilkan. Seorang dokter psikiatri Jerman, Hans Prinzhorn mengoleksi karya seni yang dibuat pasien mental. Karya lukis tersebut mengilustrasikan halusinasi dan fantasi paranoid yang banyak diderita oleh para pasien skizofrenik (Atkinson 1983:452). Seperti halnya seni lukis, proses menulis sastra pun tidak lepas dari unsur keadaan psikologis, ekspresi, kesadaran dan ketaksadaran jiwa. Tema horor, kecemasan dan kegilaan pun berkembang pada kesusastraan abad XIX. Berbicara tentang sastrawan abad XIX tidak akan lepas dari nama Gustave Flaubert, Émile Zola, Charles Baudelaire, Honore de Balzac dan sebagainya. Masing-masing memiliki keistimewaan tersendiri. Jika Zola terkenal sebagai novelis, Baudelaire sebagai penyair, maka Maupassant adalah salah satu dari tiga raja cerpen dunia sejajar dengan O. Henry dan Anton Chekov. Di luar Prancis, banyak sastrawan yang menaruh perhatian padanya di antaranya adalah Henry James dan Leo Tolstoy. James menjuluki cerpenis produktif ini “Singa Jalanan” (Lion in the path), sedangkan Tolstoy menyebutnya “a genius” (Siregar dalam http://www.tripod.om/ruangsastra/biografi/htm) .
6
Karya-karya horor Maupassant dengan imajinasi yang mengerikan sering dibandingkan dengan karya supranatural Edgar Allan Poe. Horor fiksinya terdiri dari
tigapuluh
sembilan
cerita,
namun
hanya
sepuluh
yang
berhasil
diselesaikannya. Para kritikus menilai bahwa karyanya yang bersifat psikologi abnormal
dengan
tema
gangguan
jiwa
adalah
karya
semi-otobiografi
(Http://www.online.litterature.com/Maupassant). Gejala psikosis (penyakit mental parah) tercermin dalam beberapa karyanya di antaranya adalah La Peur ‘Rasa Takut’, yang berkisah tentang seorang paranoid yang selalu dihantui mimpi buruk. Narator merasa dipaksa untuk berjalan-jalan. Karya horor Maupassant bertema kegilaan yang menjadi masterpiece adalah Le Horla. Le Horla ditulis dalam dua versi. « …la première version du recit, publiée en 1886, est un conte fantastique, la
seconde
publiée
l’année
suivante,
un
conte
psycotique… »
(http://www.keepschool.com) « …Versi yang pertama diterbitkan tahun 1886 adalah dongeng fantastis, cerita kedua yang diterbitkan setahun kemudian adalah sebuah dongeng psikotis… » Kedua versi sama-sama bertema tentang kegilaan yang membedakan adalah sudut pandang dan keobjektifan penceritaan. Versi pertama menggunakan orang ketiga tunggal yang bercerita pada para dokter tentang hal-hal aneh yang dialaminya. Para dokter tidak tahu lagi yang dipikirkan dari pengakuan tersebut dan akhirnya memutuskan bahwa pasien telah gila. Le Horla versi kedua (1887) diformat dalam bentuk buku harian yang bercerita tentang hari-hari seorang penderita psikosis yang merasa akan ‘dimakan’ oleh ‘makhluk misterius yang tidak terlihat’ dan selalu diikuti oleh makhluk yang
7
menurut pendengarannya menamakan diri sebagai Le Horla. Le Horla adalah sejenis vampir yang menghisap kekuatan vital manusia yang ia ‘mangsa’. Tokoh utama Le Horla digambarkan sebagai tokoh paranoid. Le caractère paranoïaque du personage, qui se croit obligé de brûler sa maison, puis de se suicider, pour venir à bout du Horla, indique plutôt les signes d’une maladie mentale, dont le héro n’est pas concient : une psychose (http://www.keepschool.com). Karakter paranoid tokoh utama yang yakin dirinya diperintah untuk membakar rumahnya dan kemudian bunuh diri untuk melenyapkan Le Horla, yang tokohnya dalam keadaan tidak sadar, mengindikasikan tandatanda penyakit mental, yaitu psikosis. « …au personnage de Guy de Maupassant, dans récit Le Horla, pris dans un féroce face-à-face avec la schizophrénie ». (http://wwwcvm.qc.ca.ca)
« …tokoh Guy de Maupassant, dalam cerpen Le Horla, menjadi beringas saat berhadapan dengan penyakit skizofrenia » Cerpen lain yang bertema tentang psikosis adalah Qui Sait ?. Karya ini ditulis tahun 1890, saat Maupassant menderita gangguan jiwa serius. Qui Sait? bercerita tentang seorang pria penyendiri yang mengalami halusinasi tentang furnitur dalam rumahnya yang berpindah sendiri. Le Horla (1887) dan Qui Sait ? sangat menarik untuk diteliti karena di samping Le Horla adalah karya masterpiece yang bercerita tentang kehidupan penderita psikosis, Le Horla juga ditulis oleh de Maupassant yang saat itu tengah merawat adiknya, Hervé de Maupassant, yang terganggu jiwanya. Ia sendiri dalam keadaan sakit akibat infeksi sifilis, kecanduan ganja dan eter dan penyakit turunan; migren, vertigo serta kejiwaan yang tidak stabil (http://www.
8
adpf.asso.fr). Sedangkan Qui Sait ? ditulis saat halusinasi yang dideritanya berkembang semakin parah (Http://www.cvm.qc.ca/ enchephi/syllabus/litterature/ 19e/fantastique.htm). Hal-hal di luar karya sastra (unsur ekstrinsik) perlu diperhatikan dalam menganalisis sebuah karya sastra. Oleh karena cerpen Le Horla dan Qui Sait ? berisi aktivitas kejiwaan, maka pendekatan yang paling sesuai untuk cerpen tersebut adalah psikologi sastra. Pendekatan psikologi sastra mengacu pada psikoanalisis yang membahas tentang keadaan jiwa pencipta yang mendorong munculnya ide teks sastra. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkap gejala psikosis Guy de Maupassant yang terefleksi dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait?.
B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang dibahas adalah: 1. Bagaimanakan gambaran penokohan tokoh utama dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait ? karya Guy de Maupassant ? 2. Bagaimana gambaran psikosis yang terdapat dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait ? karya Guy de Maupassant ? 3. Adakah hubungan antara psikosis pengarang dengan gejala psikosis dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait ? ?
9
C. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan penokohan tokoh utama dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait ? karya Guy de Maupassant. 2. Mendeskripsikan gejala psikosis dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait ? karya Guy de Maupassant 3. Menemukan hubungan psikosis pengarang yang terefleksi dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait ?.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Menambah khazanah penelitian di bidang sastra khususnya di jurusan Bahasa dan Sastra Asing. 2. Meningkatkan motivasi dan apresiasi mahasiswa terhadap karya sastra Prancis
melalui
studi
atau
analisis
sastra
beserta
unsur-unsur
pembangunnya. 3. Memberi informasi pada pembaca tentang psikosis.
E. Sistematika Penulisan Secara keseluruhan skripsi yang berjudul Refleksi Psikosis dalam Karya Guy de Maupassant ini terdiri dari lima bab, sistematikanya adalah sebagai berikut:
10
Bab pertama diawali dengan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika skripsi. Bab kedua memuat landasan teori. Landasan teori dalam penelitan ini berisi tentang pengertian psikosis, psikologi sastra, hubungan sastra dan psikoanalisa, penokohan dan biografi pengarang. Bab ketiga berisi tentang metode penelitian yang mencakup sasaran, pendekatan penelitian, teknik analisis korpus data, teknik pengumpulan data, dan langkah kerja. Bab keempat berisi tentang hasil penelitian yang mencakup penokohan tokoh utama, gejala psikosis dan psikosis pengarang dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait ?. Bab kelima merupakan simpulan dari pembahasan yang dilengkapi dengan saran.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Psikosis 1. Pengertian Istilah psikosis (psychosis) pertama kali digunakan pada tahun 1845 oleh Ernst Von Feuchtersleben sebagai alternatif untuk menyatakan penyakit gila atau keranjingan. Psikosis berasal dari bahasa Yunani psyche (pikiran/ jiwa) dan osis (penyakit/ keadaan tidak normal). Kata ini digunakan untuk membedakan antara gangguan jiwa dengan neurosis yang berasal dari gangguan syaraf. Psikosis sering digambarkan
sebagai
hilangnya
hubungan
dengan
kenyataan
(http://www.en.wikipedia.org/wiki/etymology). Chaplin (2005:407) mendefinisikan psikosis sebagai suatu penyakit mental yang parah dengan ciri-ciri khas adanya disorganisasi proses pikiran, gangguan dalam emosionalitas, disorientasi waktu, ruang, person atau orang, dan pada beberapa kasus disertai halusinasi dan delusi. Atkinson (1993:452) mendefinisikan halusinasi sebagai pengalaman sensorik palsu tanpa adanya stimulus eksternal yang relevan atau adekuat. Bentuknya bisa berupa halusinasi auditorik (dengar), visual (lihat), maupun halusinasi sensorik lain (bau busuk yang keluar dari tubuh penderita, rasa racun dalam makanan, merasa kulit ditusuk-tusuk jarum). Walgito (1980: 99) menambahkan pada orang yang berhalusinasi, ia merasa seolah-olah menerima suatu stimulus yang sebenarnya secara objektif stimulus itu tidak ada dan ia tidak menyadari bahwa itu hanya bayangan saja.
12
Menurut Chaplin (2005:407) ada beberapa tipe khusus psikosis, antara lain: manic-depressive psychosis, paranoia, schizophrenia, paresis dan alcoholic psychosis. Adapun penjelasan dari masing-masing istilah adalah sebagai berikut: a. Manic-Depressive Psychosis (Psikosis Manik Depresif) Manic-Depressive Psychosis adalah satu penyakit mental yang berat, dicirikan dengan ayunan-ayunan dalam emosi atau suasana hati. Dalam fase manik, timbul hyperexitability (rangsangan kegemparan yang hebat dan berlebihan), kegirangan ekstrem, perbuatan motorik berlebihan, dan mengalirnya arus ide-ide. Dalam fase depresif, sedikit sekali kegiatan, ketidaktanggapan, perlambatan, hambatan ide, kecemasan, kesedihan, dan kadangkala impuls bunuh diri. Dalam bentuk klasiknya, penyakit ini merupakan perselang-selingan antara kedua fase tadi. Pasien
mungkin memperlihatkan periode depresi dengan
sebentar-sebentar diselingi periode mania dengan disertai keringanan relatif. b. Paranoia Paranoia adalah satu penyakit psikotik yang dicirikan dengan adanya delusi penyiksaan (delusion of persecution) atau delusi kebesaran (delusion of grandeur) yang sangat tersistemasi dengan kemerosotan jiwa yang ringan. Dalam PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa, Edisi III) ada beberapa tambahan yaitu: ‘delusion of control’, delusi tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar, ‘delusion of influence’, waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar dan ‘delusion of perception’, pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
13
c. Paresis Paresis adalah satu psikosis disertai kelumpuhan progresif. Paresis disebabkan oleh sifilis dari sistem syaraf. d. Schizophrenia (Skizorenia) Schizophrenia adalah nama umum untuk sekelompok reaksi psikotis, dicirikan dengan adanya pengunduran atau pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional, afektif dan bergantung pada tipe dan adanya halusinasi, delusi, tingkah laku, negativistis dan kemunduran atau kerusakan progresif. Atkinson (1983:452) menyebutkan pada episode skizofrenik akut, sebagian pasien mengalami gangguan persepsi yaitu tidak dapat mengenali diri sendiri di cermin atau melihat bayangannya sebagai tiga citra. e. Alcoholic Psychosis (Psikosis Alkoholik) Alcoholic Psychosis adalah penyakit mental parah ditandai oleh peradangan kronis atau akut di otak, hadirnya delirium, halusinasi, kerusakan pada daya ingatan dan kemunduran umum dari daya pertimbangan. 2. Gejala Psikosis Dr. Irmansyah, Sp.KJ, kepala Departemen Psikiatri FKUI/RSCM dan Dr. L.S. Chandra, Sp.KJ mengatakan adanya perubahan pikiran, perasaan, dan tingkah laku manusia yang tidak normal dan berlangsung terus-menerus mengindikasikan adanya gejala psikosis. Gejala psikosis antara lain: gangguan tidur, hilangnya energi atau motivasi, kemorosotan prestasi, mengisolasi diri dari teman dan keluarga, gagasan atau perilaku yang tidak lazim, selera makan yang tiba-tiba berubah, melantur (berbicara ‘ngawur’), dibayangi oleh permasalahan tertentu,
14
merasa diikuti, energi yang melimpah (eforia), merasa lebih super dari yang lain, merasa mempunyai kekuatan khusus, percaya hal yang aneh, perilaku yang agitatif, emosional, melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh orang lain, mendengar suara yang tidak didengar oleh orang lain, menuruti kata hati dalam menghabiskan uang, perilaku ingin menyakiti (agresif) baik diri sendiri maupun orang lain, sulit konsentrasi, susah dalam mengingat dan tidak fokus, merasa curiga, depresi, cemas, tegang, marah dan ayunan emosi. (http://www.jiwasehat.com) 3. Penyebab Psikosis Lalang Ken Handita menuliskan penyebab psikosis menurut laporan WHO (http://www.seniornews.co.id) di antaranya adalah depresi, penggunaan alkohol, penyalahgunaan obat-obatan psikotropika, kecelakaan lalu lintas, luka karena kecerobohan sendiri, trauma peperangan dan kekerasan. Menurut Coleman dkk dalam Supratiknya (1995: 23-32) ada beberapa penyebab antara lain: a. Faktor biologis Dalam hal ini adalah genetika keluarga. Penelitian terhadap keluarga menunjukkan bahwa terdapat predisposisi herediter untuk terjadinya gangguan jiwa; kerabat dari penderita psikosis lebih besar kemungkinannya untuk mengalami gangguan dibandingkan orang dari silsilah keluarga yang sehat.
15
b. Faktor psikososial Faktor psikososial diantaranya adalah trauma masa kanak-kanak, struktur keluarga dan hubungan orang tua dan anak yang patogenik, stres berat karena frustasi, konflik nilai maupun tekanan hidup. c. Faktor sosiokultural Penyebab sosiokultural antara lain: korban perang, diskriminasi, terpaksa menjalankan peran sosial yang bertentangan dengan hati seperti menjadi tentara dalam peperangan yang harus membunuh musuh, dan terlibat dalam situasi kekerasan. d. Penyebab primer Penyebab primer adalah penyebab yang tanpa kehadirannya tidak akan muncul, misalnya infeksi sifilis tahap lanjut yang menyerang otak dan menghancurkan sistem syaraf. Penderita akan mengalami kemunduran secara progresif dan paresis umum. e. Keracunan obat dan malnutrisi yang dapat mempengaruhi secara negative kerja otak. Dr. L.S. Chandra, SpKJ menambahkan bahwa penggunaan ganja (kanabis) secara oral dapat menginduksi psikosis akut (http://www.jiwasehat.com). 4. Pengobatan Seperti halnya penyakit fisik, psikosis pun dapat diobati tergantung jenis penyakitnya. Sebagian besar dapat berobat jalan tanpa harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Beberapa perawatan yang dilakukan adalah:
16
a. Psikoterapi dan konseling Terapi ini dilakukan untuk membantu pasien memahami diri dan perasaannya lebih mendalam. b. Obat psikoterapetik Obat-obatan jenis antipsikotik bisa mengurangi atau menghilangkan gejala psikosis. c. Perawatan tingkah laku Terapi ini membantu pasien mengubah cara berpikir atau tingkah laku tertentu yang mengganggu dan teknik yang digunakan diantaranya adalah teknik relaksasi. d. Terapi Elektrokonvulsif Terapi ini diberikan melalui arus listrik kecil yang dialirkan ke otak untuk menghasilkan kejang mirip dengan kejang epileptik. Biasanya diberikan pada pasien yang mengalami kemurungan serius dan pasien akan dibius terlebih dahulu. (http://www.sabah.org.m/6m/nasihat/artikel_kesihatan/penyakit_mental.htm)
B. Psikologi Sastra Endraswara (2003: 96) menerangkan asumsi dasar penelitian psikologi sastra antara lain: dipengaruhi oleh hal pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar atau subconscious setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious).
17
Kedua, kajian psikologi sastra di samping meneliti tokoh secara psikologi juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya tersebut. Psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan penelitian. Pertama, penelitian terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi. Peneliti berusaha menangkap kondisi kejiwaan seorang pengarang pada saat menelorkan karya sastra. Kedua, penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Ketiga, penelitian hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat, penelitian dampak psikologis teks sastra kepada pembaca (Wellek dan Warren 1990: 90). Jatman dalam Endraswara (2003:97) menyatakan bahwa psikologi sastra memiliki pertautan yang erat, secara tidak langsung dan fungsional serta memiliki landasan pijak yang kokoh. Pertautan yang tidak langsung karena baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional karena baik sastra maupun psikologi sama-sama mempelajari kejiwaan manusia. Bedanya, kalau karya sastra mempelajari kejiwaan manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang, sedangkan psikologi mempelajari kejiwaan manusia sebagai ciptaan Illahi secara riil.
C. Hubungan Sastra dan Psikoanalisa Menurut Freud dalam Alwisol (2005: 17), kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yakni; sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak sadar (unconscious). Tahun 1923, ia mengenalkan unsur kejiwaan, yakni; id, ego,
18
dan superego. Ketiga sistem ini satu sama lain merupakan produk interaksi ketiganya. Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Ego (das ich) adalah kepribadian implementatif, yaitu berupa kontak dengan dunia luar, mengarahkan individu kepada dunia objek dari kenyataan dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Superego berkembang mengontrol dorongan-dorongan “buta” id tersebut. Superego berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik-buruk). Atmaja dalam Endraswara (2003: 101) memandang id sebagai satu acuan penting untuk memahami mengapa seniman atau sastrawan menjadi kreatif. Dengan id sastrawan mampu menciptakan simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Id adalah aspek kepribadian yang “gelap” dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan agaknya berupa “energi buta”. Id berada dan beroperasi dalam daerah bawah sadar. Lebih lanjut dikatakan bahwa ketaksadaran dapat menyublim ke dalam proses kreatif pengarang. Wellek dan Warren (1990: 97) menambahkan bahwa proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi sejumlah pengarang, justru bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling kreatif. Psikoanalisa merangsang pada “keadaan jiwa” pencipta sehingga muncul ide teks sastra.
Menurut Freud, penyair kadang-kadang menjadi seorang
“pelamun” yang lari dari kenyataan hidup. Baginya, kreativitas adalah sebuah
19
pelarian (escapisme). Keadaan itulah yang mengarahkan pada studi psikologi sastra terhadap proses kreatif pengarang (Dalam Wellek dan Warren 1990: 92). Endraswara (2003: 103) menambahkan bahwa munculnya asumsi tersebut berarti psikologi sastra dapat mempelajari karya-karya secara psikologis. Kepribadian pengarang akan tampak juga dalam kejiwaan karyanya. Karya sastra menjadi “objek” ekspresi kejiwaan seorang pengarang untuk meluapkan isi hatinya. Masuknya sastra menuju interdisipliner lain (dalam hal ini adalah psikologi) membuktikan bahwa sastra bukanlah sebuah otonomi. Ratna (2004:63) menyebutkan bahwa psikoanalisis Freud dalam mempelajari teks sastra bertumpu pada; 1) bahasa pasien, adanya keterlibatan sastra, 2) memakai objek mimpi, fantasi, dan 3) mite yang dalam karya sastra, ketiganya merupakan sumber imajinasi. Lebih lanjut Ratna (2004:345) mengatakan, bahwa teori Freud dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis di balik gejala bahasa. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa ada hubungan antara sastra dan psikoanalisa. Hubungan itu adalah (1) ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan hadirnya karya sastra dan (2) ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini karya sastra menghubungkan elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang oleh Freud disebut “pekerjaan mimpi” (Milner dalam Endraswara 2003:102). Jadi sistem sensor intern mempengaruhi proses kreativitas penulis dalam berkarya.
20
Karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan pengarang yang menggambarkan emosi dan pemikirannya. D. Penokohan Menurut Jones dalam Nurgiyantoro (1996: 165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Suharianto (1980: 31) menambahkan bahwa pelukisan tokoh cerita dapat dilihat dari keadaan lahir maupun batinnya yang berupa; pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya dan lain-lain.
E. Riwayat Hidup Guy de Maupassant 1. Masa Kecil Cerpenis Prancis abad XIX ini mempunyai nama asli Henry Albert Guy de Maupassant. Ia lahir di kastil Mirosmenil, dekat Dieppe, yang disewa orangtuanya tidak lama sebelum persalinan agar ia lahir di tempat kediaman para bangsawan, pada tanggal 5 Agustus 1850. Sementara di surat kematiannya, ia lahir di Sottleville. Tahun 1856, lahirlah adik laki-lakinya, Hervé de Maupassant, kali ini di kastil Grainville-Ymauville dekat Le Havre. Ibunya Laure Le Poittevin (1821-1903) berasal Normandia. Ia seorang yang terdidik, sensitif dan gila kebangsawanan. Sayangnya sejak pernikahannya, kehidupannya tidak bahagia. Ia menderita gangguan syaraf seperti; migren dan kegugupan seumur hidup. Ia pernah mencoba bunuh diri dengan menggunakan rambutnya yang panjang. Suaminya, Gustave de Maupassant (1821-1899), seorang yang tidak setia, kasar, boros dan semaunya sendiri. Ia berasal dari
21
Lorraine. Keluarganya menetap di Normandia sejak generasi sebelumnya. Ia mendapat gelar kebangsawanannya tanggal 9 Juli 1846 dan menikah dengan Laure empat bulan kemudian. Dibesarkan di tengah-tengah keluarga kaya dan terpenuhi segala kebutuhannya tidak membuat kehidupan Guy sepenuhnya bahagia, karena ia sering menyaksikan pertengkaran ayah ibunya. Sikap ayahnya yang kasar dan suka berselingkuh membuatnya memihak pada ibunya. Hingga dewasa ia selalu perhatian dengannya. Kelak ‘suami kasar dan kejam’ itu sering muncul dalam cerita-ceritanya. Perkawinan mereka berakhir tahun 1860 dan anak-anak tinggal bersama ibunya. Guy dididik oleh ibunya dan pastor Aubourg, yang mengajarnya matematika, bahasa Yunani, bahasa Latin dan agama Katholik. Sebelum ia masuk sekolah, ibunya mengajarinya membaca dan menulis. Ia juga mengajari cara membaca karya Shakespeare, terutama Macbeth dan Midsummer Night’s Dream. Guy melewatkan masa kecilnya di tengah-tengah kehidupan petani dan nelayan Normandia yang sebagian besar menjadi latar dan tema dalam karya-karyanya di masa mendatang. 2. Masa Muda dan Karya Guy de Maupassant Menginjak usia ke-13, ia dikirim ke asrama Katholik mengikuti pendidikan formal di Yvetot yang sama sekali tidak sesuai dengan kehendaknya. Disipiln kaku para pengajarnya membuatnya tertekan. Sikapnya menjadi tidak wajar dan ia menulis sajak-sajak yang dianggap tidak bermoral dan akhirnya
22
memberontak bersama teman-temannya dengan cara ‘merampok’ toko makanan dan melakukan pesta seks. Kebiasaan Guy saat liburan sekolah adalah mandi di laut di Êtretat yang biasa dikunjungi para seniman. Suatu kali ia menolong Charles Algernon Swinburn yang tenggelam di laut. Merekapun berkenalan dan sebagai wujud terima kasih, Swinburn mengundangnya ke rumahnya. Guy yang sangat tertarik dengan sastra menyambut baik tawaran itu. Di rumah itu Swinburn tinggal dengan seorang pria yang ternyata adalah teman kencannya. Swinburn adalah penyair Inggris yang terlibat skandal homoseksual dan sadisme.
Guy sendiri adalah
remaja yang biasa melakukan seks bebas. Tahun 1868, ia dipulangkan oleh sekolah dan melanjutkan ke sekolah asrama di Rouen. Ibunya mengenalkannya dengan teman-temannya diantaranya, Louis Bouillet dan Gustave Flaubert. Guy yang kurang kasih sayang dari ayahnya menjadi sangat dekat dengan keduanya. Ia sangat kehilangan atas kematian Bouillet, namun demikian akhirnya ia dapat menyelesaikan baccalaureat-nya (ujian Sekolah Menengah Atas). Dengan bimbingan Flaubert, ia mulai memasuki lingkungan sastra Paris. Ketika berusia sembilan belas tahun, Guy masuk sekolah tinggi dan belajar ilmu hukum. Setahun kemudian pecah perang Prancis-Prusia dan ia dikirim ke Rouen. Sebagai prajurit infantri, ia nyaris tertangkap dan kejadian ini diceritakan pada ibunya. Iapun kemudian melarikan diri dari kesatuannya karena tidak tahan dengan kondisi perang dan selalu dibayangi ketakutan apalagi setelah menyaksikan pembantaian di Eure. Ibunya yang tidak tega memberitahukan pada
23
bekas suaminya. Berkat lobi ayahnya, ia akhirnya dipindah ke markas besar dan tidak di garis depan lagi. Usai perang, ayahnya melakukan lobi lagi sehingga Guy dapat bekerja di kementerian kelautan dan kondisi kejiwaannya mulai stabil. Kehidupan birokrat tidak membuat Guy merasa nyaman dan ia lebih tertarik pada sastra. Masa mudanya ia lewatkan dengan berkorespondensi dengan para sastrawan dan mengunjungi temu sastra di rumah Flaubert di Croisset. Ia membantu penelitian dalam karya L’Éducation Sentimentale (1869) dan Bouvard et Pécuchet (1880). Cerpen pertamanya berjudul Une Main d’Ecorchée, sebuah cerpen fantastis ditulis tahun 1875 dengan nama samaran Joseph Prunier. Tahun 1876 ia menulis di Bulletin Français sebuah cerpen berjudul En Canot yang terinspirasi dari hasratnya pada elemen cair dan aktivitas favorit setiap hari Minggu yang biasa ia lewatkan di Sungai Seine, antara Bezons, Chatou, dan Pulau Pecq.. Flaubert juga mengenalkannya pada Huysmann, Yvon Tourgueniev, Réné Maizeroy, Emile Zola dan lain-lain. Ia bergabung dengan para sastrawan dan menulis antologi yang bertemakan perang dengan nama Les Soirées de Médan. Karyanya yang berjudul Boule de Suif, terinspirasi oleh pengalaman perang tahun 1870, menjadi sukses besarnya dan langsung membuatnya terkenal dalam beberapa minggu. Atas bantuan Flaubert pula ia mendaftar di harian Le Gaulois. Flaubert benar-benar mengasuh dan membentuk de Maupassant dengan keras. Selama tujuh tahun semua karya yang ditulis tidak satupun yang diterbitkan. Semuanya masih dalam ‘tahap belajar’.
Untuk menggambarkan
sesuatu, Maupassant harus mencari kalimat yang paling pas dan sempurna. Ia
24
harus menggali ‘sesuatu’ yang belum dilihat atau tereksplor oleh orang lain (Sabtu, 6 September 2001, http://www.minggupagi.com.). “Pendant 7 ans, je fis des vers, je vis des contes, je fis des nouvelles, je fis même un drame détestable. Il n’en n’est rien resté. Le maître lisait tout, puis les dimanches suivant en déjeunant, développait ses critiques et enfonçait en moi peu à peu, deux ou trois principes qui sont résumé de ses longs et patiens enseignements…” (www.cours.uqam.ca) “Selama tujuh tahun, aku menulis sajak, aku menulis dongeng, aku menulis novel, bahkan aku menulis drama yang jelek sekali. Tidak ada yang tersisa. Guru membaca semuanya, kemudian setiap hari Minggu berikutnya sambil makan siang, mengembangkan kritiknya dan menanamkan padaku sedikit demi sedikit, dua atau tiga prinsip yang diringkasnya dari pengajarannya yang panjang dan penuh kesabaran…”
Flaubert menasehatinya untuk mengorbankan segalanya untuk seni. Dalam sastra, ia menemukan kebahagiaan. Namun kebahagiannya tidak bertahan lama karena kematian Flaubert,’ayah angkat’nya akibat pendarahan otak pada tanggal 8 Mei 1880. Ia habiskan hidupnya untuk jurnalisme, bepergian dan berkarya sebanyak mungkin. Setelah kematian Flaubert, ia menulis: “Chaque fois qu’il me semble avoir oublié mon métier, je relis ses livres. C’est le maître, le vrai maître”
“Setiap kali aku lalai dengan pekerjaanku, aku membaca lagi bukubukunya. Ia memang seorang guru, guru sejati” Catatan perjalanannya ia kirimkan ke harian Le Gaulois (sejak 18801888), harian Gil Blas (sejak 1881) dan secara periodik ke harian Le Figaro. Berkat kerja kerasnya ia menjadi sangat kaya. Ia tinggal di apartemen mewah di Sartrouville yang ia sewa sejak 1881-1884. Tahun 1883, ia membangun vila La Guillet di Êtretat dan menyewa sebuah vila di Triel pada tahun 1889. Ia juga
25
membeli sebuah kapal layar yang ia beri nama Bel Ami, memberi banyak uang pada anggota keluarganya, para wanita simpanannya, dan anak-anak di luar pernikahan, hasil hubungan gelapnya dengan Joséphine Litzelmann, yaitu Lucien (1883), Lucienne (1884), dan Marthe (1887). Siregar
(dalam
http://www.
tripod.com/ruangsastra/biografi/htm)
menyebutkan, bahwa dalam waktu sepuluh tahun De Maupassant telah menghasilkan 6 roman, 300 cerpen, 3 cerita perjalanan, 200 artikel di surat kabar, dan satu jilid puisi Des Vers. Saat ditanyai dari mana ide-ide karyanya, ia menjawab bahwa karyanya banyak diilhami dari sumber sederhana biasanya dari berita di koran
atau
obrolan
santai dengan
teman-temannya. Siregar
menambahkan bahwa cara bercerita de Maupassant menjadi kekuatan utama cerita-ceritanya. Para kritikus mengkategorikannya sebagai pengarang beraliran realis naturalis, yaitu gaya penceritaan yang alami dengan penggambaran yang konkret, tidak sentimentil dan tidak romantis. Ciri khas tulisannya adalah objektivitas, bahasa yang terkontrol, lurus dan ketat, serta sesekali lelucon. Anatole France dalam La Vie Littéraire mengungkapkan: “Monsieur de Maupassant est certainement un des plus francs conteurs de ce pays où l’on fit tant de conte, et de si bons. Sa langue, forte, simple, naturelle, a un goût de terroir qui nous la fait aimer chèrement. Il possède les trois qualités de l’écrivain français: d’abort la clarté, puis encore la clarté, et enfin la clarté. Il a esprit de mesure et d’ordre qui est celui de notre race.” (http://www. kirjasto.sci.fi/maupassant.htm) “Tidak disangsikan lagi, Tuan De Maupassant adalah salah satu pendongeng negara ini yang paling jujur dalam membuat dongeng dan begitu bagus. Bahasanya kuat, sederhana, alami, memiliki rasa kedaerahan yang senantiasa membuat kita jadi menyukainya. Ia memiliki tiga kelebihan dari pengarang Prancis: pertama kejelasan, kemudian kejelasan dan yang terakhir kejelasan. Ia mempunyai kepekaan ukuran dan susunan yang ada pada ras kita”.
26
3. Perjalanan-Perjalanan Guy de Maupassant telah melakukan perjalanan-perjalanan antara lain ke Cannes (1884) dan tinggal di sana setiap musim dingin hingga tahun 1890. Kemudian ke Antibe tempat saudaranya, Hervé, bertani (1885, 1886, 1887). Setelah menulis Le Horla, ia terbang ke Belanda dengan balon udara yang ia namai Le Horla. Dengan kapal layarnya, Bel Ami, ia menyeberangi Laut Tengah (April 1888), pergi ke Afrika Utara (1887,1888,1889,1890), ke Korsika bersama ibunya (1880), ke Italia (Venisia, Roma, Naple, dan Sisilia 1885) dan ke Livourne, Pisa, Florence (1889). Fiksi tentang perjalanannya antara lain; Au Soleil (1884), Sur L’Eau (1888) dan La Vie Errante (1890). 4. Teman Wanita Berkat kehandalan menulis, kekayaan dan ketampanannya tidak sulit bagi De Maupassant untuk bergaul dengan banyak wanita. Ia sering mengunjungi wanita para pemilik salon littéraire, antara lain; Hermine Lecomte de Noüy, Comtesse Potocka (wanita Italia dengan nama Polandia), Marie Kann (wanita Yahudi simpanannya, seorang imigran Rusia), dan lain-lain. Ia juga berhubungan intim dengan banyak wanita antara lain; Joséphine Litzelmann (pemberi air di Chatelguyon dan memberinya tiga orang anak), seorang penari opera selama dua tahun, Gisèle d’Estoc (wanita lesbian yang juga seorang penulis dan pemahat). De Maupassant tidak percaya pada cinta dan menolak ikatan perkawinan karena ia seorang yang tidak ingin diatur dan terikat oleh suatu hubungan. “J’ai peur de la plus petite chaîne, qu’elle vienne d’une idée ou d’une femme”
27
“Rien dans la vie ne semble plus attristant et plus pénible que ces liaisons de longue durée” “Je n’ai pas eu, de toute ma vie, une apparence d’amour, bien que j’ai simulé souvent ce sentiment que je n’éprouverai sans doute jamais”. (1881- Lettre à Gisèle d’Estoc” (www.cours.uqam.ca) “Aku takut dengan rantai paling kecil sekalipun yang datang dari sebuah pikiran atau seorang wanita” “Tidak ada dalam hidup yang paling menyedihkan dan paling berat melainkan hubungan dalam waktu lama” “Selama hidupku, aku kelihatannya tidak memiliki cinta, meskipun aku sering berpura-pura merasakannya, tak diragukan lagi aku tidak akan pernah merasakannya”. (1881- surat kepada Gisèle d’Estoc) 5. Kesehatan Kejiwaan De Maupassant adalah seorang yang kesepian meski hidup dalam ketenaran. Dari kediamannya di Êtretat di bulan Januari 1881, ia menulis surat pada ibunya. “J’ai froid plus encore de la solitude de la vie que de la solitude de la maison. Je sens cet immense égaremant de tout les êtres, le poid du vide. Et au milieu de cette débandade de tout, mon cerveau fonctionne, lucide, exact, m’éblouissant avec Rien eternal” (Http://www.adpf.asso.fr/ adpf_publi/ folio/ Maupassant/recits.htm). “Aku merasa lebih dingin karena sepinya kehidupan, daripada sepinya keadaan rumah. Aku merasa bahwa semua makhluk sudah tersesat jauh, beratnya kekosongan. Di tengah semua kekacauan ini, otakku bekerja, jelas, benar, mempesonakanku dengan Dzat yang kekal”.
De Maupassant juga seorang yang sangat pesimis dan rapuh. Baginya dunia penuh dengan kekuatan membabi buta dan sulit dipahami. Agama serta persahabatan hanyalah tipuan belaka. Manusia sulit dimengerti dan cenderung hidup dalam kesepian. Kebodohan manusia sangat mengecewakan sekaligus menakutkannya.
Akhirnya
pikirannya
disibukkan
oleh
kelemahan
dan
28
keterbatasan manusia yang mengalami tua, sakit, dan mati serta kekuatan aneh di luar jangkauan manusia dan sesuatu yang mengendalikan manusia. Ia tertarik dengan hal yang berkaitan dengan kegilaan, bahkan ia mengikuti kuliah Profesor Charcot di Salpêtrière tentang hipnosisme dan histeria yang pada masa itu sangat marak dihadiri. Terlebih lagi ia mengenal Charcot secara pribadi saat makan malam di rumah Edmond de Goncourt dan pada satu kesempatan ibunya diperiksa oleh Charcot sendiri. Akibat seks bebas yang dilakukannya, ia menderita sifilis sejak usia duapuluh tahun, yang kemudian berkembang dengan adanya gangguan penglihatan, lemah syaraf dan kejiwaan yang tak terkendali. Tahun 1880, di samping menghisap ganja dan eter, ia juga mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Hidupnya yang kacau semakin memperburuk kesehatannya. Sejak tahun 1883, ia sering mengambil air di Chatelguyon, Aix, Plombières, Luchon dan Divonne. Tahun 1887, ia menjaga adiknya yang dirawat di Charenton (Rumah Sakit Jiwa Val de Marne) dan akhirnya meninggal. Untuk melupakan kesedihannya, ia berlayar ke Laut Tengah dengan kapal layarnya, Bel Ami. Gangguan kejiwaan yang diderita membuatnya sering berhalusinasi. Hal ini terlihat dalam suratnya pada Paul Bourget, temannya, bahwa suatu kali ia pulang dan melihat ‘sosok gandanya’ (double) sedang duduk di kursinya. Dia tahu bahwa itu hanyalah halusinasi dan jika dia tidak mempunyai akal sehat, dia pasti akan ketakutan (http://www.watarts.waterloo.ca/~acheyne/lehorla.htm). Frank Harris menuliskan tiga atau empat tahun masa-masa terakhirnya, De Maupassant tahu bahwa kehidupan tidak sehatnya membawanya secara langsung
29
pada kegilaan dan kematian sebelum masanya. Pertama, dirinya yang gila-gilaan mengakibatkan kebutaan sebagian, sakit syaraf akut, dan masa-masa tidak dapat tidur yang ia tunjukkan dalam tulisan-tulisannya yang berisi ketakutan-ketakutan yang mengerikan. Kemudian keputusasaan panjang yang berbuntut pada depresi dan kadang-kadang luapan kegembiraan dan kesenangan yang berlebihan. Ia menyebutnya sebagai penderitaan jiwa yang tak terlukiskan dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Masa-masa sehatnya adalah masa tanpa istirahat. Dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menghindari udara dan kebisingan Paris yang dia katakan menyebabkan sakit kepala yang dahsyat. Sakit yang ia rasakan
sangat
menyiksa,
serasa
memecahkan
kepala,
membuat
gila,
membingungkan pikiran, tidak ada yang menyamainya dan membubarkan ingatannya seperti debu ditiup angin. Ia terpaksa harus berbaring di ranjang dengan botol eter di bawah lubang hidungnya. Roger Williams berpendapat bahwa sakit kepala itu adalah wujud tekanan permasalahan, neurosis turunan yang berhubungan dengan tekanan masalah keluarga. Ketakutan memasuki masa tua dan kematian lama kelamaan memenuhi pikirannya. Dia meninggalkan Prancis dan melakukan perjalanan ke Italia untuk melupakan bayangan kegilaan yang mengejarnya. Tahun 1891, ia berobat di sumber air panas di Divonne-les-Bains. Ia ingin mengeluarkan satu gumpalan dalam kepalanya. Sakit kepala yang
selalu
menyerangnya membuatnya tidak dapat membaca. Semua huruf yang ditulisnya membuatnya sakit. Sepanjang hari ia merasa otaknya habis namun masih hidup. Ia
30
tidak memiliki pikiran yang satu. Ia lupa kata-kata, nama-nama semua benda, berhalusinasi dan rasa sakitnya membuatnya serasa hancur berkeping-keping. Natal tahun 1891, ia mengajak dua wanita berlayar dan semuanya kelihatan baik-baik saja, tetapi kemudian ia mengadu bahwa dia baru saja melihat hantu. Pada tahun baru jam dua pagi kurang seperempat, pembantunya menemukannya dengan leher tersayat. Di juga mencoba menembak dirinya tetapi lukanya tidak serius. Setelah koma selama sehari, ia bangun dan mengumumkan bahwa dia harus ke perbatasan; perang telah dikumandangkan. Teman-temannya membawanya ke kapalnya berharap bahwa itu akan menyadarkannya. Tanggal 6 Januari, ia dibawa ke Paris dalam pengamanan dan dipindahkan ke rumah sakit jiwa Dr. Ésprit Blanche di Passy. Bulan-bulan berikutnya dalam keadaan normal, ia senang menyambut tamunya dengan cerita-cerita gembira; di waktu lain ia berhalusinasi, kasar dan harus diamankan. Dari bulan April kesehatannya menurun tajam. Seorang dokter menjaganya setiap hari. Surat-surat terakhirnya berbicara tentang keberuntungan besar yang diperoleh dari bongkahan emas dan harta karun terpendam. Dia membayangkan bahwa ia adalah anak Perawan Maria yang kaya. Dia menanam ranting-ranting di sekitar kebun berharap akan tumbuh menjadi bayi Maupassant. Dia memukul-mukul dinding selnya dan menyimpan air seninya, berpikir itu terbuat dari berlian dan permata. Dia menggonggong seperti anjing. Ketika pikirannya serasa lari dari kepalanya, dengan cemas ia bertanya-tanya dan kembali bersemangat dan gembira ketika ia berpikir telah menemukannya dalam bentuk kupu-kupu berwarna yang menunjukkan hitam sebagai kesedihan, merah
31
muda adalah keceriaan dan ungu sebagai perzinahan. Dia lelah menangkap kupukupu bayangan yang terbang. Pada akhirnya ia menjadi kasar dan harus memakai pengekang mesin. Perkembangan infeksi sifilis secara progresif mengakibatkan kelumpuhan pada tahun 1892. Setelah mengalami penderitaan panjang dalam keterasingan, de Maupassant meninggal tanggal 7 Juli 1893 dengan kata-kata terakhir “des ténèbres, des ténèbres” (kegelapan, kegelapan). (http://www.poxhistory.com/work8.htm,http://watars.waterloo.ca,http://perso.wan adoo.fr/calounet/biographies/maupassant_biographie.htm, http://www.alalettre.com)
BAB III METODE PENELITIAN
A. Sasaran Penelitian Sesuai dengan tujuan yang dipaparkan pada Bab I, maka beberapa sasaran lebih khusus yang ingin dicapai adalah mendeskripsikan psikosis dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait ? dan mencari hubungan antara psikosis pengarang yang terefleksi dalam kedua cerpen tersebut berupa gejala psikosis yang ada. Data dalam penelitian ini berupa peristiwa-peristiwa atau masalah-masalah tokoh cerita yang dapat memberikan informasi tentang perilaku abnormal sebagai perwujudan psikosis yang tertuang dalam cerpen ini. Adapun sumber datanya adalah teks sastra, yaitu cerpen Le Horla (1887-versi kedua) yang merupakan kumpulan cerpen berjudul Le Horla
dan cerpen Qui Sait ? karya Guy de
Maupassant. Qui Sait ? diterbitkan oleh L’Écho de Paris tanggal 6 April 1890 dan merupakan kumpulan cerpen berjudul L’Inutile Beauté. B. Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra. Pendekatan psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang sastra sebagai aktivitas kejiwaan (Endraswara 2003:96). Pendekatan psikologi sastra menekankan analisis terhadap keseluruhan unsur pembangun karya sastra baik dari segi intrinsik maupun ekstrinsik. Dari segi intrinsik yang ditekankan adalah penokohan atau perwatakan, dan dari segi ekstrinsik yang ditekankan adalah mengenai diri pengarang yang menyangkut masalah kejiwaan; cita-cita, aspirasi, keinginan,
33
falsafah hidup, obsesi dan lain-lain. Dalam kaitan ini, perlu dicari riwayat hidup pengarang sejak kecil hingga dewasa agar kita tahu endapan pengalaman pribadi yang diekspresikan dalam karyanya.
C. Teknik Analisis Data Data penelitian ini dianalisis dengan teknik Pilah Unsur Penentu (PUP), yaitu
alat
yang
digunakan
untuk
memilih
data
yang
akan
diteliti
(Sudaryanto,1993: 21). Setelah itu, menentukan unsur-unsur yang akan dianalisis. Unsur penentu di dalam analisis data ini adalah korpus data yang berupa kata, frasa atau kalimat yang menunjukkan gejala psikosis. Setelah ditentukan unsur penentunya, dilanjutkan dengan menganalisis korpus data tersebut. Setelah melewati tahapan di atas kemudian ditarik kesimpulan dari data yang telah dianalisis.
D. Teknik Pengumpulan Data Korpus penelitian ini diperoleh dengan cara: 1. Metode studi pustaka, yaitu dengan cara membaca isi cerpen keseluruhan secara teliti, selanjutnya menggarisbawahi kalimat-kalimat dalam cerpen yang mengandung gejala-gejala psikosis. 2. Metode dokumentasi, yaitu dengan cara mencatat dan mendokumentasikan data yang ditemukan dari sumber data kemudian menuliskannya dalam sebuah kartu data. Kartu data dalam penelitian ini adalah:
34
1. Kartu yang terbuat dari kertas HVS. 2. Kartu data tersebut terdiri dari lajur. Lajur pertama tercetak di sudut kiri atas, terdiri dari nomor kalimat yang dianalisis, judul cerpen, tahun, dan halaman. cerpen. Sebagai contoh 1/LH/1887/42 artinya nomor kalimat 1, dari cerpen berjudul Le Horla, tahun terbit 1887, halaman 42. 3. Lajur kedua berisi kalimat yang dianalisis. 4. Lajur ketiga berisi terjemahan yang terdapat pada kolom. 5. Lajur keempat berisi analisis data hasil penelitian, dan untuk lebih jelasnya berikut ini adalah contoh katu data : 1/LH/1887/42 Qu’ai- je donc? C’est lui, lui, le Horla, qui me hante, qui me fait penser ces folies! il est en moi, il devient mon âme; je le tuerai Ada apa denganku ? Itulah dia, dia, le Horla, yang menghantuiku, yang membuatku memikirkan kegilaan-kegilaan ini. Ia berada dalam diriku, dia menjadi jiwaku; aku akan membunuhnya. Narator mengalami delusion of persecution (delusi kejar), yaitu perasaan dihantui oleh makhluk tak terlihat yang merasuk pada dirinya dan menguasainya. Keinginannya untuk melenyapkan makhluk tersebut adalah sebagai bentuk mechanisme defence (pertahanan diri) untuk lepas dari ketidaknyamanan dalam bentuk perlawanan.
E. Langkah Kerja 1. Membaca seluruh isi teks cerpen Le Horla dan Qui Sait ? 2. Mencari dan mencatat gejala psikosis dalam teks 3. Mencari fakta-fakta mengenai psikosis pengarang 4.
Menganalisis teks sastra sebagai cermin kejiwaan pengarang dengan cara menghubungkan antara psikosis dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait ? dengan
35
pengalaman hidup pengarang sebagai penderita psikosis untuk menentukan sampai sejauhmana peran pengarang sebagai penghasil karya sastra 5. Menyimpulkan hasil analisis yang didasarkan pada analisis data secara keseluruhan.
BAB IV ANALISIS KORPUS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini membahas tentang (1) penokohan tokoh utama sebagai sarana pendeskripsian karakter terkait dengan pendapat yang menyatakan sastra sebagai gambaran kejiwaan pengarang, (2) psikosis dalam karya Guy de Maupassant, dan (3) refleksi psikosis dalam karya Guy de Maupassant dihubungkan dengan riwayat kesehatan pengarang.
A. Analisis Penokohan 1. Analisis Penokohan dalam Cerpen Le Horla Dalam cerpen Le Horla, “Je” merupakan tokoh utama cerita yang bertindak sebagai narator atau pencerita. Pengarang melukiskan tokoh “Je” secara analitik dan dramatik. Secara analitik dia digambarkan sebagai sosok pria yang sangat mencintai rumah dan tanah kelahirannya, yaitu Normandia. Hal ini tampak pada kutipan berikut: 1. (1/LH/887/7) J’aime ce pays, et j’aime y vivre parce que j’y ai mes racines, […] Aku cinta negeri ini, dan aku suka tinggal di sini karena di sinilah asal muasalku. 2. (2/LH/887/7) J’aime ma maison où j’ai grandi. De mes fenêtres, je vois la Seine qui coule, le long de mon jardin, derrière la route, prèsque chez moi, la grande et large Seine qui va de Rouen au Havre, ouvert de bateaux qui passent.
37
Aku suka rumahku tempat aku dibesarkan. Lewat jendela rumahku, aku melihat sungai Seine yang mengalir sepanjang hamparan kebunku, di belakang jalan dekat rumahku. Sungai Seine yang besar dan luas tertutup oleh kapal-kapal yang melewatinya, mengalir dari Rouen menuju Le Havre. Selain secara analitik, pengarang juga menggambarkan tokoh “Je” secara dramatik, yaitu melalui sikap, pandangan hidup, keyakinan dan kebiasaan hidupnya. Hal ini tampak pada kutipan berikut: 3. (35/LH/1887/35) […] Jusqu’à une heure du matin, j’ai lu ! Hermann Herestauss, docteur en philosophie et en théogonie, a écrit l’histoire et les manifestations de tous les êtres invisibles rôdant autour de l’homme ou rêvés par lui. […] Hingga jam satu dinihari aku membaca ! Hermann Herestauss, dokter filosofi dan teogoni, menulis sejarah dan perwujudan semua makhluk halus yang berkeliaran di sekitar manusia atau makhluk yang diimpikannya. 4. (37/LH/1887/37) 19 août__ Je sais …je sais…je sais tout ! Je viens de lire ceci dans la Revue du Monde Scientifique: […] 19 Agustus__Aku tahu…aku tahu…aku tahu semua ! Aku baru saja membacanya dalam Majalah Dunia Sains: […]
Dari kutipan tersebut tampak bahwa tokoh “Je” gemar membaca. Di samping itu, menilik jenis bacaan yang dibacanya dijelaskan bahwa ia juga seorang yang terpelajar dan selalu ingin tahu. Tokoh “Je” juga seorang pria kaya yang memiliki rumah besar dengan banyak pembantu. Hal in secara implisit tercermin dalam kutipan berikut:
38
5. (21/LH/1887/28) 4 août__ Querrelles parmis mes domestiques. Ils prétendent qu’on casse les verres, la nuit, dans les armoires. Le valet de chambre accuse la cuisinière, qui accuse la lingère, qui accuse les deux autres. 4 Agustus__ Terjadi pertengkaran di antara para pembantuku. Mereka mengatakan bahwa seseorang memecahkan gelas-gelas dalam lemari pada malam hari. Pesuruh menuduh koki, koki menuduh tukang cuci, tukang cuci menuduh dua orang yang lain. Dari kutipan di atas tampak bahwa banyaknya pembantu yang dimiliki narator mengindikasikan kalau ia seorang dari golongan menengah ke atas. Narator juga senang bepergian keluar kota, khususnya saat ia sedang menghadapi masalah dan membutuhkan ketenangan untuk menyegarkan pikirannya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini: 6. (11/LH/1887/13) 3 juin__ La nuit a été horrible. Je vais m’absenter pendant quelques semaines. Un petit voyage, sans doute, me remettra. 3 Juni__ Malam itu mencekam. Aku akan pergi selama beberapa minggu. Suatu perjalanan kecil, tak diragukan lagi akan memulihkanku. 7. (12/LH/1887/13) 2 juillet__ Je rentre. Je suis guéri. J’ai fait d’ailleurs un excursion charmant. J’ai visité le mont Saint-Michel que je ne connaissais pas. 2 Juli__ Aku kembali. Aku sembuh. Aku melakukan tamasya keluar yang sangat menyenangkan. Aku mengunjungi biara Saint-Michel yang tak kukenal. 8. (19/LH/1887/20) Hier, après des courses et des visites, qui m’ont fait passer dans l’âme de l’air nouveau et vivifiant, j’ai fini ma soirée au Théâtre Français. On y jouait une pièce d’Alexandre Dumas fils, et cet esprit alerte et puissant achevé de me guérir. Kemarin, setelah perjalanan dan kunjungan yang membuat suasana hatiku menjadi baru dan segar lagi, kuhabiskan malamku di Teater Prancis. Di
39
sana mereka memainkan salah satu karya Alexandre Dumas Junior. Semangat yang menggebu-gebu dan kuat ini mampu menyembuhkanku. Di samping melakukan perjalanan ke luar, narator juga seorang yang menyukai pertunjukan seni yang juga banyak dihadiri oleh orang-orang berkelas. Sebagai orang dari kelas atas, tokoh “Je” pun memiliki teman-teman dari golongan yang sama. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: 9. (20/LH/1887/21) Je dînais chez ma cousine, Mme. Sablé, dont le mari commande de 76e chasseur à Limoges. Je me trouvais chez elle avec deux jeunes femmes, dont l’une a épousé un médecin, le docteur Parent […] Aku makan malam di rumah sepupuku, Nyonya Sablé, yang suaminya adalah komandan pasukan infantri ringan ke-76 di Limoges. Aku berada di sana dengan dua wanita muda yang salah satunya menikahi seorang dokter, yaitu dokter Parent […]
2. Analisis Penokohan dalam Cerpen Qui Sait ? Cerpen Qui Sait ? menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal yaitu “Je” atau tokoh utama yang sekaligus berperan sebagai narator. Tokoh “Je” dilukiskan secara analitik maupun dramatik. Secara analitik ia digambarkan sebagai pria penyendiri. Hal ini tampak pada kutipan berikut: 1. (3/QS/1890/1) J'ai toujours été un solitaire, un rêveur, une sorte de philosophe isolé, bienveillant, content de peu, sans aigreur contre les hommes et sans rancune contre le ciel. J'ai vécu seul, sans cesse, par suite d'une sorte de gêne qu'insinue en moi la présence des autres […] Aku tetap seorang penyendiri, pengkhayal, semacam filsuf yang terasing, baik hati, sedikit periang, tidak bersikap keras dengan orang lain, dan tanpa rasa dendam terhadap Tuhan. Aku terus menerus hidup sendiri karena ada semacam rasa tidak nyaman yang menyusup dalam diriku akan kehadiran orang lain […]
40
2. (5/QS/1890/1) J'aime tant être seul que je ne puis même supporter le voisinage d'autres êtres dormant sous mon toit […]
Aku sangat senang menyendiri, bahkan sampai-sampai aku tidak bisa menerima hidup bersama dengan orang lain dalam satu atap. Dari kutipan di atas tampak bahwa tokoh utama cenderung senang menyendiri dan enggan hidup serumah dengan orang lain. Meskipun ia seorang yang baik hati dan tidak kasar dengan orang lain tetapi ia merasa tidak nyaman hidup berbagi dan menurutnya lebih menyenangkan bila ia hidup sendiri. Selain secara analitik, pengarang juga menggambarkan tokoh “Je” secara dramatik sebagai orang yang sering bepergian untuk menghapus rasa bosan dan menenangkan pikiran. Hal ini tampak pada kutipan berikut: 3. (17/QS/1890/3) Je commençai par une excursion en Italie. Le soleil me fit du bien. Pendant six mois, j'errai de Gênes à Venise, de Venise à Florence, de Florence à Rome, de Rome à Naples. Puis je parcourus la Sicile, terre admirable par sa nature et ses monuments, reliques laissées par les Grecs et les Normands. Je passai en Afrique, je traversai pacifiquement ce grand désert jaune et calme, où errent des chameaux, des gazelles et des Arabes vagabonds, où, dans l'air léger et transparent, ne flotte aucune hantise, pas plus la nuit que le jour. Aku memulai dengan tamasya ke Italia. Cahaya matahari membuatku merasa nyaman. Selama enam bulan aku berkelana dari Gênes ke Venesia, dari Venesia ke Florence, dari Florence ke Roma, dari Roma ke Naples. Kemudian aku menjelajahi Sisilia, negeri yang dikagumi karena alam dan monumennya serta benda-benda keramat peninggalan orangorang Yunani dan orang-orang Viking dari Skandinavia. Aku melewati Afrika, melintasi padang pasir kuning yang tenang, yaitu tempat berkeliaran onta-onta, rusa gazel, dan orang-orang Arab pengembara dalam udara yang kosong dan bersih, tidak sedikitpun melayangkan bayangan menakutkan yang menghantui, tidak malam hari maupun siang hari.
41
Di samping menggambarkan petualangan narator, kutipan di atas secara tidak langsung menunjukkan bahwa narator seorang yang sangat kaya. Narator tidak mungkin dapat melakukan perjalanan ke luar negeri dalam jangka waktu yang lama bila ia tidak mempunyai banyak uang.
B. Analisis Psikosis dalam Cerpen karya Guy de Maupassant Hal atau peristiwa dalam cerpen karya Guy de Maupassant yang mengidentifikasi gejala psikosis dijabarkan dalam bentuk deskriptif. 1. Analisis Psikosis dalam Cerpen Le Horla Cerpen yang ditulis dalam format buku harian ini berkisah tentang tokoh “Je” yang teridentifikasi sebagai penderita psikosis. Tokoh ini juga berperan sebagai narator yang menceritakan kejadian-kejadian aneh yang dialaminya. Narator adalah pria yang lemah fisiknya dan sering merasa sakit, khususnya demam. Dari segi mental, ia sering diserang kecemasan, ketakutan, dan kekhawatiran tidak beralasan yang mengubah emosinya dalam sesaat. Ia mendapat rawatan dokter dan harus meminum bromida potasium (senyawa garam pereda ketegangan otot) dan mandi dengan shower untuk mengurangi ketegangan yang dialaminya dan membuatnya lebih rileks. Ketakutan yang berlebihan membuatnya merasa tidak aman sehingga ia selalu memutar anak kunci sampai dua kali, bahkan menyuruh tukang kunci untuk memasang kerai besi di jendela kamarnya. Hal ini dilakukannya bukan karena khawatir akan pencuri, tetapi karena ketakutan akan ‘sesuatu’ yang selalu mengancamnya. Ketika ia sendirian, ia seolah mendengar sesuatu dalam
42
kamarnya sehingga sebelum tidur ia selalu mengecek ke dalam lemarinya dan melihat ke kolong ranjangnya. Ketegangan yang berlebihan membuatnya susah tidur dan mengalami mimpi buruk. Sosok ganda tercipta dalam otaknya dan iapun mulai bertanya-tanya tentang eksistensi manusia, makhluk lain di luar manusia maupun kekuatan gaib di luar jangkauan manusia. Gangguan pikirannya berkembang progresif disertai delusi dan halusinasi. Saat ia bercermin, ia tidak lagi melihat dirinya dalam cermin. Bayangannya seperti diselimuti kabut yang samar-samar kemudian mulai terlihat jelas. Ia bingung, apakah orang lain yang meminum air dan susunya, atau dirinya sendiri karena ia merasa seperti menjadi sleep walker (orang yang melakukan sesuatu dalam tidur tanpa kesadaran penuh). Gangguan yang dialaminya membuatnya tertarik untuk mencari informasi tentang kegilaan dan mencoba mencari jenis penyakit yang dideritanya. Ia menemukan bahwa dalam otaknya terdapat cekungan dalam dan indera pengontrol dalam otaknya tertidur serta syaraf daya tangkapnya mengalami kelumpuhan. Narator sangat menderita atas apa yang dialaminya, hingga pada akhirnya ia yang selama ini pasrah dikuasai oleh ‘sosok gandanya’ mulai berontak dan melawan makhluk kasat mata yang menamakan dirinya sebagai Le Horla. Ia berubah menjadi beringas dan agresif, kemudian membakar rumahnya sendiri karena mengira bahwa Le Horla ada di dalamnya.
43
2. Analisis Psikosis Cerpen Qui Sait ? Cerpen Qui Sait adalah curahan hati seorang pria yang sedang menjalani perawatan di sebuah rumah sakit jiwa. Tokoh utama atau narator adalah orang yang cenderung memisahkan diri dari lingkungan. Ia membangun rumah yang jauh dari tetangga dan keramaian, bahkan para pembantunya tinggal terpisah di rumah yang lain. Narator sering mengalami halusinasi dengar seperti mendengar bunyi kereta lewat, bunyi lonceng, derap jalan sekumpulan orang dan bunyi dengung entah yang berasal dari urat nadinya atau yang lain. Kehidupan Paris yang tidak pernah tidur membuatnya merasa sekarat dan tidak bisa beristirahat karena ia merasakan kehidupannya yang terhenti oleh akal sehat yang mengalami kemunduran progresif. Sampai suatu kali ia melihat perabot rumahnya satu per satu meninggalkan rumahnya dengan bunyi gaduh. Kejadian aneh itu ibarat mimpi buruk yang sangat mencekam dan telah menggoncangkan jiwanya. Dokter yang ia temui menyarankannya agar pergi bertamasya untuk menyegarkan pikirannya. Kejadian aneh terulang dengan ditemukannya perabot rumahnya di sebuah toko barang antik. Iapun berpura-pura membeli untuk menjebak pemilik toko itu kemudian melaporkannya pada polisi. Sayangnya sang pemilik toko menghilang dan seakan-akan hanya dia sendiri yang bisa menemuinya. Anehnya ia sendiri justru merasa ketakutan seandainya pemilik toko itu mencarinya untuk balas dendam dan iapun masuk ke rumah sakit jiwa atas kehendaknya sendiri.
44
C. Hubungan Psikosis dalam karya Guy de Maupassant dengan Riwayat Kesehatan Pengarang Psikosis adalah suatau penyakit mental parah yang digambarkan dengan hilangnya hubungan dengan kenyataan. Meski memiliki tipe-tipe khusus, gangguan yang diderita bisa jadi suatu kombinasi dari tipe-tipe tertentu. Ada fase awal yang merupakan gejala ringan yang bila tidak diobati bisa berkembang parah. Seperti halnya orang yang sakit fisik, pasien psikosis pada masa “sehat” nya pun mampu bekerja dan berkarya, dalam hal ini adalah Guy de Maupassant. Karya yang diciptakan di masa sakitnya sebagian besar bertemakan horor, kegilaan dan bunuh diri. Dari 39 karya yang bertema demikian, hanya sepuluh yang berhasil diselesaikan di antaranya adalah Le Horla ( 1887 ) dan Qui Sait ?. 1. Refleksi Psikosis dalam Cerpen Le Horla Penyakit sifilis stadium akut dapat menyebabkan gangguan otak, jantung, batang otak dan tulang. Saat otak mengalami gangguan atau lebih khususnya psikosis, maka mempunyai kemungkinan besar mengalami halusinasi. Hal ini pula yang terjadi pada pengarang. Halusinasi ini bisa berupa penampakan, suara, bau, maupun rasa. Hal ini dialami oleh Guy de Maupassant saat ia melihat “dirinya yang lain” yang sedang duduk di kursinya. Hal ini dinyatakan dalam suratnya kepada temannya, Paul Bourget. Bisa disimpulkan bahwa dalam jiwa pengarang ada semacam sosok pribadi lain yang pengarang sendiri sadar akan kehadirannya. Dalam cerpen Le Horla kehadiran sosok ini nampak pada kutipan berikut.
45
10. (22/LH/1887/29) 6 août.__ Cette fois, je ne suis pas fou. J’ai vu... j’ai vu... j’ai vu !...Je ne puis plus douter... j’ai vu ![...] je vis, je vis distinctement, tout près de moi, la tige d’une de ces roses se plier, comme si une main invisible l’eût tordue, puis se casser, comme si cette main l’eût cueillie ! Puis la fleur s’éleva, suivant une courbe qu’aurait décrite un bras en la portant vers une bouche, et elle resta suspendue dans l’air transparent, toute seule, immobile, effrayante tache rouge à trois pas de mes yeux. 6 Agustus__ kali ini, aku tidak gila. Aku melihat... aku lihat... aku lihat! ... Aku tidak ragu-ragu lagi ...aku melihat! [...]aku lihat, aku lihat dengan jelas, sangat dekat denganku, salah satu tangkai bunga mawar itu menunduk seolah-olah ada tangan tidak terlihat membuatnya melengkung dan kemudian patah, seakan-akan tangan itu memetiknya! Kemudian bunga itu terangkat mengikuti garis lengkung yang menggambarkan tangan yang meraihnya ke mulut. Mawar itu masih mengambang di udara yang tenang, sendiri, tidak bergerak, noktah merah yang menakutkan berada tiga langkah dari mataku. 11. (36/LH/1887/36) Or, ayant dormi environ quarante minutes, je rouvris les yeux sans faire un mouvement, réveillé par je ne sais quelle émotion confuse et bizarre. Je ne vis rien d’abord, puis, tout à coup, il me sembla qu’une page du livre resté ouvert sur m,a table venait de tourner toute seul. Aucun souffle d’air n’était entré par ma fenêtre. Je fus surpris et j’attendis. Au bout de quarante minutes environ, je vis, je vis, oui, je vis de mes yeux une autre page se soulever et se rabattre sur la précédent, comme un doigt l’eût feuilleté. Mon fauteuil était vide, semblait vide; mais je compris qu’il était là, lui, assis à ma place, et qu’il lisait. Setelah tertidur selama kira-kira 40 menit, aku membuka mataku tanpa bergerak karena terbangun oleh perasaan bingung dan aneh yang tidak kuketahui. Mula-mula aku tidak melihat apa-apa, kemudian tiba-tiba aku melihat sebuah halaman buku yang terbuka di atas mejaku baru saja membalik dengan sendirinya. Tiada hembusan angin yang yang masuk lewat jendelaku. Aku heran dan menunggu . Sekitar 40 menit, aku melihat, aku melihat, ya, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri halaman lain terangkat, membolak-balik sendiri ke posisi sebelumnya seolah-olah ada sebuah jari yang membaliknya. Sofa bacaku kosong, tetapi aku tahu kalau ia di sana, dia duduk di tempatku, dan ia sedang membaca. Dari kutipan di atas narator bisa merasakan kehadiran makhluk kasat mata yang menampakkan dirinya dalam bentuk fenomena ganjil yang sulit diterima oleh akal sehat. Selain halusinasi visual, narator juga merasakan bahwa makhluk
46
itu meneriakkan namanya sebagai Le Horla. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut : 12. (38/LH/1887/39) [...] Malheur à nous ! Malheur à l’homme ! Il est venu, le... le... comment se nomme-t-il... le... il me semble qu’il crie son nom, et je ne l’entends pas... le... oui... il le crie... J’écoute... je ne peux pas... répète...le... Horla... J’ai entendu... le Horla...c’est lui... le Horla... il est venu !... [....] Celakalah kita ! Celakalah manusia ! Ia datang....bagaimana menyebutnya... se... sepertinya ia meneriakkan namanya, dan aku tidak mendengarnya... ya... ia meneriakkannya... Aku dengar... aku tidak bisa mendengar... ia mengulangi... le...Horla... aku dengar... le Horla... itu dia... le Horla ... ia datang ! Kutipan di atas menggambarkan bahwa narator mengalami halusinasi auditorik (dengar). Kehadiran Le Horla menurut narator adalah awal sebuah bencana yang akan membawa sebuah kemalangan pada manusia. Hal tersebut bisa dilihat dalam kalimat “ Malheur à nous! Malheur à l’homme! Il est venu” (Celakalah kita, celakalah manusia ! Ia datang...) Pikiran buruk yang yang memenuhi otak pengarang selalu membayangi hidupnya disertai dengan rasa takut mengerikan yang ia tunjukkan dalam tulisantulisannya. Hal itu rupanya berpengaruh terhadap alam bawah sadarnya yang membuat ia sering mengalami mimpi buruk dan insomnia “gangguan tidur”. Pengalaman tersebut serta kekhawatiran yang dirasakannya tercermin di dalam cerpen Le Horla dalam kutipan berikut : 13. (7/LH/1887/10-11) Vers deux heures, je monte dans ma chambre. A peine entré, je donne deux tours de clef, et je pousse les verrous; j’ai peur... de quoi ?... Je ne redoutais rien jusqu’ici... j’ouvre mes armoires, je regarde sous mon lit; j’écoute... j’écoute... quoi ?... [...] Puis je me couche, et j’attend le sommeil comme on attendrait le bourreau. Je l’attends avec l’épouvante de sa venue et mon cœur bat, et mes jambes frémissent; et tout mon corps tressaile dans la chaleur des draps, jusqu’au moment où je tombe tout à
47
coup dans le repos, comme on tomberait, pour s’y noyer dans un gouffre d’eau stagnante. Je ne le sens pas venir, comme autrefois, ce sommeil perfide, caché près de moi, qui me guette, qui va me saisir par la tête, me fermer les yeux, m’anéantir. Menjelang jam dua, aku naik ke kamarku. Begitu masuk, kuputar anak kunci dua kali, dan kudorong kuncinya; aku takut... takut apa?... hingga di sini aku tidak meragukan apapun...aku buka lemariku, aku melihat kolong ranjangku; aku mendengar... aku mendengar... apa?...[...] kemudian aku berbaring dan menunggu kedatangannya dengan rasa kantuk seperti orang yang menunggu algojo. Aku menunggu kedatangannya dengan rasa takut, jantungku berdegup, kedua kakiku gemetar, dan seluruh tubuhku tersentak panasnya sprei. Sampai aku tiba-tiba jatuh tertidur seperti orang yang terjatuh dan terhanyut dalam jurang berair tenang. Aku tidak merasakan dia datang, seperti dahulu, rasa kantuk ini kalah, bersembunyi di dekatku, yang mengintaiku, yang akan memegang kepalaku, menutup mataku dan membinasakanku. 14. (8/LH/1887/11) Je dors --- longtemps --- deux ou trois heures --- puis un rêve --- non ---un couchemar m’étreint. Je sens bien que je suis couché et que je dors... je le sens et je le vois... et je sens aussi que quelqu’un s’approche de moi, me regarde, me palpe, monte sur mon lit, s’agenouille sur ma poitrine, me prend le cou entre ses mains et serre... serre de toute sa force pour m’étrangler. Aku tidur__ lama__ dua atau tiga jam__ kemudian bermimpi__ tidak__ mimpi buruk melandaku. Aku merasa baik ketika aku terbaring dan tidur...aku merasakannya dan aku melihatnya... dan aku melihatnya... dan aku juga merasakan seseorang mendekatiku, melihatku, merabaku, naik ke atas ranjangku, bersimpuh di dadaku, meraih leherku di antara tangannya dan kencang... kencang... dengan seluruh kekuatannya mencekikku. 15. (13/LH/1887/16) 4 juillet.__ Décidément, je suis repris. Mes cauchemars anciens reviennent. Cette nuit, j’ai senti quelqu’un accroupi sur moi, et qui, sa bouche sur la mienne, buvait ma vie entre mes lèvres. Oui, il la puisait dans ma gorge, comme aurait fait une sangsue. Puis il s’est levé, repu, et moi je me suis réveillé, tellement meurtri, brisé, anéanti, que je le pouvais plus remuer. 4 Juli__ Akhirnya aku kembali seperti dulu lagi. Mimpi-mimpi burukku yang dulu datang lagi. Malam ini aku merasa seseorang berjongkok di atasku, dan mulutnya berada di atas mulutku, meneguk hidupku melalui kedua bibirku. Ya, ia mengambilnya dari dalam dadaku seperti yang
48
dilakukan seekor lintah. Kemudian ia bangkit, kekenyangan. Dan aku terbangun, seperti benar-benar terjepit, hancur, musnah dan tidak mampu bergerak lagi. Kutipan di atas menggambarkan kekhawatiran narator, khususnya saat malam mulai tiba. Ia merasa bahwa ada suatu ancaman yang mengintai dan akan memusnahkannya saat ia tertidur. Mimpi buruk yang dialami adalah sebuah manifestasi dari ketakutannya yang tidak beralasan. Kalimat “j’ai peur... de quoi?...” menunjukkan bahwa narator sendiri tidak tahu mengapa ia harus takut. Sepertinya ketakutan itu muncul dengan sendirinya tanpa sebab dan senantiasa berlangsung terus-menerus. Kejadian itu bisa dilihat dalam kutipan berikut : 16. (27/LH/1887/32) 9 août.__ Rien, mais j’ai peur. 9 Agustus__ tidak ada apa-apa , tetapi aku takut. 17. (28/LH/1887/32) 10 août.__ Rien; qu’arrivera-t-il demain ? 10 Agustus__ tidak ada apa-apa; apa yang akan terjadi besok? 18. (29/LH/1887/32) 11 août.__ Toujours rien; je ne puis plus rester chez moi avec cette crainte et cette pensée entrées en mon âme; je vais partir. 11 Agustus__ Masih tidak terjadi apa-apa ; aku tidak bisa lagi tinggal di rumahku dengan ketakutan ini dan pikiran yang masuk dalam jiwaku; aku akan pergi. Dari kutipan di atas tampak bahwa kehidupan narator tidaklah tenang karena ia mengalami ketakutan yang berkepanjangan. Rasa takut itu tentu saja
49
sangat menyiksa dirinya karena ia selalu merasa tidak aman sehingga ia tidak bisa tinggal lama di rumahnya sendiri. Akibat pola hidup yang tidak sehat, pengarang sering jatuh sakit dan terpaksa harus berbaring di atas ranjang, tergolek tidak berdaya. Bagi seorang yang gila kerja sekaligus senang bepergian tentu saja hal ini sangat menyiksanya, karena ia seolah tidak berkuasa atas tubuhnya dan sesuatu yang lain justru mengendalikannya. Hal senada juga dirasakan oleh tokoh utama Le Horla. Pengarang mengungkapkan ketidakberdayaan narator dalam kutipan berikut: 19. (31/LH/1887/32-33) 13 août.__ Quand on est atteint par certaines maladies, tous les essorts de l’être physique semblent brisés, tous les energies anéanties, tous les muscles relâchés, les os devenus mous comme la chair et la chair liquide comme de l’eau. J’éprouve cela dans mon être morale d’une façon étrange et désolante. Je n’ai plus aucun force, aucun courage, aucun domination sur moi, aucun pouvoir même de mettre en mouvement ma volonté. Je ne peux plus vouloir; mais quelqu’un veut pour moi; et j’obéis. 13 Agustus__ Ketika seseorang menderita penyakit tertentu, seluruh kekuatan tubuh manusia seperti hancur, seluruh energi musnah, seluruh otot seakan lepas (mengendur), seluruh tulang menjadi lunak seperti daging, dan daging mencair seperti air. Aku merasakan itu di dalam jiwaku dengan cara yang aneh dan menyedihkan sekali. Aku sama sekali tidak punya lagi kekuatan, keberanian, penguasaan atas diriku, tidak ada kekuasaan bahkan sekedar menggerakkan keinginanku. Aku tidak bisa lagi berkeinginan; tetapi seseorang menginginkannya untukku; dan aku patuh. 20. (32/LH/1887/34) 14 août. __ Je suis perdu ! Quelqu’un possède mon âme et la gouverne ! quelqu’un possède mon âme et la gouverne ! quelqu’un ordonne tout mes actes, tous mes mouvements, toutes mes pensées. Je ne suis plus rien en moi, rien qu’un spectateur esclave et terrifié de toute les choses que j’accomplis. Je désire sortir. Je ne veux pas. Il ne veut pas; et je reste, éperdu, tremblant, dans le fauteuil où il me tient assis. Je désire seulement me lever, me soulever, afin de me croire maître de moi. Je ne peux pas ! je suis rivé mon siège; et mon siège adhère au sol, de telle sorte qu’aucune force ne nous soulèverait.
50
14 Agustus__ Aku sudah kalah ! Seseorang menguasai jiwaku dan memimpinnya ! Seseorang menguasai jiwaku dan memimpinnya ! Seseorang memerintah semua tindakanku, semua gerakanku, semua pikiranku. Aku tidak lagi menjadi diriku, aku hanyalah penonton seperti budak dan ketakutan oleh hal-hal yang aku lakukan sendiri. Aku ingin keluar, aku tidak bisa karena ia tidak ingin melakukannya dan akupun tetap tinggal, kebingungan, gemetar di kursi tempat ia mendudukkanku. Aku hanya ingin bangun, bangkit untuk meyakinkan diriku bahwa aku berkuasa atas diriku. Aku tidak bisa ! Aku terikat tanpa bisa lepas dari tempat dudukku yang menempel dengan tanah, sehingga tidak ada satu kekuatanpun yang akan mengangkat kami. Dalam kutipan di atas, narator ingin menyampaikan adanya pengaruh kekuatan lain atau makhluk lain yang membuatnya tidak mampu mengendalikan dirinya. Munculnya anggapan bahwa dirinya didominasi dan dikendalikan oleh sesuatu dari luar adalah salah satu bentuk waham kontrol (delusion of control) Selain pengalaman halusinasi dan delusi, gangguan yang merupakan gejala psikosis tertentu yang dialami narator adalah gangguan persepsi , yaitu tidak dapat mengenali diri sendiri atau melihat bayangannya sebagai tiga citra. Perhatikan kutipan berikut: 21. (43/LH/1887/43) ... et je ne me vis pas dans ma glace !... Elle était vide, claire, profonde, pleine de lumière ! Mon image n’était pas dedans... et j’étais en face, moi ! Je voyais le grand verre limpide du haut en bas. Et je regardais cela avec des yeux affolés; et je n’osais plus avancer, je n’osais plus faire un mouvement, sentant bien pourtant qu’il était là, mais qu’il m’échapperait encore, lui dont le corps imperceptible avait dévoré mon reflet. ...aku tidak melihat diriku di cermin!...Cermin itu kosong, terang, dalam dan penuh dengan cahaya! Bayanganku tidak nampak di dalamnya... padahal aku di depannya! Aku melihat kaca besar yang bening itu dari atas ke bawah. Aku memandanginya dengan pandangan bingung; dan aku tidak lagi berani untuk bergerak maju; aku tidak berani lagi melakukan sesuatu gerakan, aku merasa baik-baik saja meskipun ia ada di sana, tetapi ia akan menghindar dariku lagi. Ia yang memiliki jasad yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera, telah melahap pantulan diriku di cermin.
51
Fenomena di atas merupakan salah satu gejala skizofrenia akut yang narator sebut sebagai kegilaan. Kegilaan terjadi salah satunya karena adanya gangguan dalam otak. Gangguan tersebut oleh narator diungkapkan dalam kutipan berikut : 22. (25/LH/1887/30-31) Certes, je me croirais fou, absolument fou, si je n’étais pas conscient, si je ne connaissais parfaitement mon état, si je ne le sondais en analisant avec une complète lucidité. Je ne serais donc, en somme, qu’un halluciné raisonnant. Un double inconnu se serait produit dans mon cerveau, un de ces troubles qu’essaient de noter et de préciser aujourd’hui les physiologists; et ce trouble aurait déterminé dans mon esprit, dans l’ordre et la logique de mes idées, une crevasse profonde. Des phénomènes semblables ont lieu dans le rêve qui nous promène à travers les fantasmagories les plus invraisembables, sans que nous en soyons surpris, parce que l’appareil vérificateur, parce que le sens du contrôle est endormi; tandis que la faculté imaginative veille et travaille. Ne se peut-il pas qu’une des imperceptibles touches du clavier cérébrale se trouve paralysée chez moi ? Des hommes, à la suite d’accidents, perdent la mémoire des noms propres ou des verbes ou des chiffres, ou seulement des dates. Les localisations de toutes les parcelles de la pensée sont aujourd’hui prouvées. Or, quoi d’étonnant à ce que ma faculté de contrôler l’irréalité de certaines hallucinations se trouve engourdie chez moi en ce moment ! Yang pasti, aku yakin bahwa diriku gila, benar-benar gila. Jika aku tidak sadar, jika aku tidak mengenal keadaanku dengan sempurna, dan jika aku tidak menduganya sambil menganalisa dengan ketajaman berfikir yang lengkap, maka aku hanyalah orang bernalar yang bekerja di bawah halusinasi. Sosok ganda yang tidak dikenal tercipta dalam otakku, dan merupakan salah satu dari masalah yang oleh para ahli fisiologi saat ini sedang dicatat dan dipastikan. Masalah itu bisa dipastikan karena ada celah dalam yang berada dalam jiwaku, dalam susunan dan logika berpikirku. Gejala-gejala yang mirip berada dalam mimpi yang membawa kita menuju bayangan gaib yang paling tidak masuk akal tanpa kita merasa terkejut karena alat pendeteksi kebenaran dan indera pengontrol kita tidak bekerja. Sementara kemampuan berpikir imajinatif bangun dan bekerja. Tidakkah itu mungkin jika salah satu kunci indera peraba papan tombol otak (cerebral), yang tidak ditangkap panca indera, dalam diriku ternyata lumpuh. Beberapa orang setelah mengalami kecelakaan, kehilangan ingatan tentang nama-nama atau kata kerja atau angka atau hanya tanggal saja. Penempatan semua potongan-potongan pikiran, hari ini terbukti. Betapa mengherankan bahwa kemampuan berpikirku untuk mengontrol hal yang tidak nyata dari halusinasi tertentu dalam diriku ternyata saat ini rusak.
52
Dari kutipan di atas, narator mencoba menjelaskan sebab tidak berfungsinya kinerja otak dan dan apa yang terjadi di dalam otaknya. Keadaan tertekan oleh suatu hal dapat memicu gejolak pemberontakan dalam diri seseorang. Hal itu pula yang dialami narator setelah sekian lama berada dalam siksaan rasa ketakutan oleh mimpi buruk dan makhluk lain yang yang merasuki dan mendominasi dirinya. Pada akhirnya, narator cenderung agresif dalam menghadapi makhluk tersebut. Gejala agresivitas meskipun baru sekedar rencana tampak dalam kutipan berikut : 23. (40/LH/1887/42) 19 août.__ Je le tuerai. Je l’ai vu ! je me suis assis hier soir, à ma table; et je fis semblant d’écrire avec une grande attention. Je savais bien qu’il viendrait rôder autour de moi, tout près que je pourrais peut-être le toucher, le saisir ? Et alors ! alors, j’aurais la force des désespéres; j’aurais mes mains, mes genoux, ma poitrine, mon front, mes dents pour l’étrangler, l’écraser, le mordre, le déchirer. 19 Agustus__ Aku akan membunuhnya! Aku melihatnya duduk di mejaku kemarin malam dan aku berpura-pura menulis dengan segenap perhatian. Aku tahu betul kalau ia akan datang berkeliaran di sekitarku, sangat dekat sampai aku mungkin dapat menyentuhnya, menangkapnya? Kemudian... aku kemungkinan akan memiliki kekuatan orang-orang yang putus asa, aku akan menggunakan tanganku, lututku, dadaku, dahiku, gigiku untuk mencekiknya, melumatkannya, menggigitnya, dan mengoyaknya. Kutipan di atas menggambarkan bahwa di tengah keputusasaan, seseorang dapat melakukan tindakan agresif yang bisa membahayakan dirinya maupun orang lain. Rencana melenyapkan Le Horla
akhirnya benar-benar terealisasi
dengan cara membakar rumahnya sendiri sekaligus para pembantunya.
53
2. Refleksi Psikosis dalam Cerpen Qui Sait ? Tiga atau empat tahun masa-masa terakhir kehidupan Guy de Maupassant adalah masa perjuangan hidup melawan bayangan kegilaan dan kematian yang menghantuinya. Gangguan kejiwaan yang dideritanya makin parah. Ia mulai menghindari hiruk pikuk kehidupan manusia dan tinggal berpindah-pindah. Penarikan diri, halusinasi, delusi dan kerusakan progresif adalah beberapa ciri psikosis tipe skizofrenia. Bentuk pengunduran diri dalam cerpen Qui Sait ? terdapat kutipan berikut: 1. (4/QS/1890/1) Comment expliquer cela? Je ne le pourrais. Je ne refuse pas de voir le monde, de causer, de dîner avec des amis, mais lorsque je les sens depuis longtemps près de moi, même les plus familiers, ils me lassent, me fatiguent, m'énervent, et j'éprouve une envie grandissante, harcelante, de les voir partir ou de m'en aller, d'être seul. Bagaimana menjelaskan hal itu? Sepertinya aku tidak bisa menjelaskannya. Aku tidak menolak bertemu dengan orang-orang, berbincang-bincang, makan malam dengan teman-teman yang kurasa sejak lama dekat denganku, bahkan mereka yang paling akrab. Mereka membuatku bosan, melelahkanku, membuatku jengkel dan aku merasakan suatu keinginan yang semakin kuat, terus menerus mengusik yaitu melihat mereka pergi atau aku yang pergi, sendirian.
Dari kutipan di atas nampak bahwa kehidupan narator sebenarnya dikelilingi oleh teman-teman dekat, namun di balik itu semua ternyata ia menyimpan kejenuhan dan rasa jengkel. Dalam hatinya ia ingin merasa tenang, tidak terganggu, dan hidup sendiri. Keengganannya untuk dekat dengan orang lain sampai-sampai ia tidak tinggal serumah dengan para pembantunya dan membangun rumahnya jauh dari keramaian. Hal ini nampak pada kutipan berikut:
54
2. (7/QS/1890/1) J'avais fait construire cette maison dans un beau jardin qui l'isolait des routes, et à la porte d'une ville où je pouvais trouver, à l'occasion, les ressources de société dont je sentais, par moments, le désir. Tous mes domestiques couchaient dans un bâtiment éloigné, au fond du potager, qu'entourait un grand mur. Aku membangun rumah ini di sebuah kebun yang indah yang memisahkannya dari jalan dan gerbang kota tempat kapan saja aku bisa menemukan sumber kehidupan masyarakat, yang kurasakan sebagai sebuah dorongan hati yang. Semua pembantu rumahku tinggal di sebuah bangunan yang agak jauh, di bagian dalam kebun sayur yang dikelilingi tembok tinggi. Secara impilisit kutipan di atas menandakan bahwa narator enggan bersosialisasi dengan orang lain. Meskipun ia tetap berhubungan dengan orang lain tetapi itu hanya sebatas teman atau majikan-pelayan dan ia terkesan menjaga jarak. Ia bersosialisasi saat ia menginginkannya dan menarik diri saat ia merasa bosan dan tidak nyaman. Halusinasi dan delusi yang dialami Maupassant di tahun 1890 dan berikutnya semakin parah. Seringkali ia merasa ada orang lain yang masuk ke dalam rumahnya. Perasaan ada orang lain yang menyusup dalam rumah terdapat pula dalam kutipan berikut: 3. (10/QS/1890/1) En approchant de la maison, un trouble bizarre me saisit. Je m'arrêtai. On n'entendait rien. Il n'y avait pas dans les feuilles un souffle d'air. « Qu'estce que j'ai donc? » pensai-je. […] La vue d'un homme, d'un maraudeur, d'un voleur m'aurait jeté une rage dans le corps, et j'aurais sauté dessus sans hésiter. J'étais armé, d'ailleurs. J'avais mon revolver… Saat mendekati rumah, rasa takut yang aneh menyergapku. Aku berhenti. Tidak terdengar apapun. Tidak ada hembusan udara di dedaunan. “Ada apa denganku ?” pikirku […] bayangan seorang manusia, pencuri hasil kebun, seorang pencuri, membangkitkan rasa marah dalam diriku. Aku melompat tanpa ragu, apalagi aku bersenjata. Aku membawa pistolku …
55
Peristiwa di atas terjadi sepulang dari menonton teater musikal. Membawa senjata api bagi warga sipil saat menonton pertunjukkan bukanlah hal yang sering dilakukan. Dari kutipan di atas bisa disimpulkan bahwa perasaan tersebut muncul karena narator merasa was-was, tidak aman tanpa alasan yang jelas serta berpandangan negatif. Narator kehilangan kontrol atas diri dan nalar yang sehat. Narator sendiri menyadari hal ini dan mengungkapkannya dalam kutipan berikut: 4. (1/QS/1890/1) Si je n'étais sûr de ce que j'ai vu, sûr qu'il n'y a eu, dans mes raisonnements, aucune défaillance, aucune erreur dans mes constatations, pas de lacune dans la suite inflexible de mes observations, je me croirais un simple halluciné, le jouet d'une étrange vision. Après tout, qui sait? Jika aku yakin dengan apa yang kulihat, yakin dengan apa yang terjadi, dalam pikiranku (nalarku), tidak satupun kelemahan, tidak satupun kekeliruan dalam penglihatanku, tidak ada kekurangan dalam pengamatanku yang terarah dengan kuat. Aku merasa diriku hanyalah seorang yang berhalusinasi, yaitu sebuah permainan pandangan yang aneh. Setelah semua itu, siapa yang tahu? Bentuk hilangnya kontrol diri dan nalar yang sehat salah satunya terwujud dalam halusinasi. Kalimat “je me croirais un simple halluciné, le jouet d'une étrange vision” ‘aku merasa diriku hanya sedang berhalusinasi, yaitu sebuah permainan pandangan yang aneh’ menyatakan bahwa narator mengalami halusinasi visual. Contoh halusinasi visual yang dialami narator terdapat dalam kutipan berikut: 5. (13/QS/1890/2) J'attendis encore, oh! peu de temps. Je distinguais, à présent, un extraordinaire piétinement sur les marches de mon escalier, sur les parquets, sur les tapis, un piétinement, non pas de chaussures, de souliers humains, mais de béquilles, de béquilles de bois et de béquilles de fer qui vibraient comme des cymbales. Et voilà que j'aperçus tout à coup, sur le seuil de ma porte, un fauteuil, mon grand fauteuil de lecture, qui sortait en se dandinant. Il s'en alla par le jardin. D'autres le suivaient, ceux de mon salon, puis les canapés bas et se traînant comme des crocodiles sur leurs
56
courtes pattes, puis toutes mes chaises, avec des bonds de chèvres, et les petite tabourets qui trottaient comme des lapins. Aku masih menunggu, oh ! waktu yang singkat. Awalnya aku mendengar jelas bunyi hentakan kaki di atas anak tangga, di atas lantai papan, di atas karpet, bukannya langkah yang bersepatu, beralas kaki, tapi tongkattongkat penyangga dari kayu dan besi yang menggema seperti cymbale. Saat itulah tiba-tiba aku melihat sebuah kursi di atas ambang pintu masuk rumahku, kursi bacaku yang besar melenggang keluar. Ia pergi melewati kebun. Berikutnya kursi yang lain yang ada di ruang tamu, kemudian sofa rendah yang berjalan seperti buaya yang merangkak di atas kakinya yang pendek. Kemudian semua kursiku dengan lompatan kambing dan bangku bar yang berlarian seperti kelinci. 6. (14/QS/1890/2) Oh! quelle émotion! Je me glissai dans un massif où je demeurai accroupi, contemplant toujours ce défilé de mes meubles, car ils s'en allaient tous, l'un derrière l'autre, vite ou lentement, selon leur taille et leur poids. Mon piano, mon grand piano à queue, passa avec un galop de cheval emporté et un murmure de musique dans le flanc, les moindres objets glissaient sur le sable comme des fourmis, les brosses, les cristaux, les coupes, où le clair de lune accrochait des phosphorescences de vers luisants. Les étoffes rampaient, s'étalaient en flaques à la façon des pieuvres de la mer. Je vis paraître mon bureau, un rare bibelot du dernier siècle, et qui contenait toutes les lettres que j'ai reçues, toute l'histoire de mon cœur, une vieille histoire dont j'ai tant souffert! Et dedans étaient aussi des photographies. Oh ! Sungguh menggetarkan jiwa. Aku menyelinap dalam rerimbunan pohon tempat aku diam berjongkok sambil terus mengamati arak-arakan perabot rumahku, karena mereka pergi semua. Satu di belakang yang lain, dengan cepat atau lambat sesuai dengan ukuran berat mereka. Pianoku, sebuah piano berdawai yang besar lewat dengan derap kuda yang mengamuk dan gumaman musik dalam sisinya. Barang-barang yang terkecil antara lain; sikat, kristal, piala tempat cahaya bulan yang menarik pendar cahaya kunang-kunang, meluncur di atas pasir seperti semut. Kainkain menjalar, tersungkur ke dalam genangan air seperti gurita di laut. Aku melihat ruang kerjaku nampak barang hiasan abad lalu yang berisi semua surat-surat yang kuterima, semua curahan hatiku, kisah lama yang begitu menyiksaku dan di dalamnya ada juga foto-foto. Dari kutipan di atas narator menggambarkan halusinasi yang dialaminya dengan sedemikian rupa. Di samping halusinasi visual, sebelumnya narator juga
57
mengalami halusinasi dengar (auditorik). Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut: 7. (11/QS/1890/2) […] Pendant ces premiers instants, je ne remarquai rien d'insolite autour de moi. J'avais dans les oreilles quelques ronflements; mais cela m'arrive souvent. Il me semble parfois que j'entends passer des trains, que j'entends sonner des cloches, que j'entends marcher une foule. […] Selama beberapa saat pertama, aku tidak melihat apapun di sekitarku. Bunyi dengungan mengiang di telingaku; tetapi hal itu sering terjadi padaku. Kadang-kadang aku seperti mendengar kereta lewat, bunyi lonceng, bunyi sekumpulan manusia yang sedang berjalan. 8. (12/QS/1890/2) Puis bientôt, ces ronflements devinrent plus distincts, plus précis, plus reconnaissables. Je m'étais trompé. Ce n'était pas le bourdonnement ordinaire de mes artères qui mettait dans mes oreilles ces rumeurs, mais un bruit très particulier, très confus cependant, qui venait, à n'en point douter, de l'intérieur de ma maison. Je le distinguais à travers le mur, ce bruit continu, plutôt une agitation qu'un bruit, un remuement vague d'un tas de choses, comme si on eût secoué, déplacé, traîné doucement tous mes meubles. Kemudian tiba-tiba dengungan itu menjadi lebih jelas, lebih pasti, lebih mudah dikenali. Aku keliru. Itu bukan dengungan biasa dari urat nadiku yang menimbulkan bunyi mendengung dalam telingaku, melainkan bunyi bising yang khas. Meski demikian, bunyi itu sangat membingungkan dan tak diragukan lagi berasal dari bagian dalam rumahku. Aku mendengarnya lewat dinding. Bunyi gaduh itu berlanjut, terutama bunyi lalu lalang perabot rumahku yang sepertinya digeser, dipindah, diseret dengan perlahan. Kutipan di atas menunjukkan bahwa halusinasi auditorik serupa dengan halusinasi visual. Keduanya terjadi seakan-akan benar-benar nyata dan dapat terjadi bersamaan atau kombinasi seperti halnya kejadian di kehidupan nyata. Maupassant
menghabiskan
waktunya
sepanjang
hidupnya
untuk
jurnalisme, menulis dan bepergian. Perjalanan ke Italia dan mengunjungi kotakotanya (Tahun 1885 dan 1889) juga tercantum dalam cerpen Qui Sait ?. Wisata
58
yang dilakukan narator bertujuan untuk menenangkan pikiran setelah mengalami peristiwa yang menggoncangkan jiwanya. Saat berkunjung ke Normandia, tepatnya ke Rouen, kejadian aneh terulang kembali. Ia menemukan perabot rumahnya yang’pergi sendiri’ berada di sebuah toko barang antik. Iapun melapor pada polisi dan penjual barang antik itu menghilang begitu saja bersama hilangnya perabot rumahnya. Ia ketakutan seandainya pemilik toko itu membalas dendam padanya dan iapun masuk rumah sakit jiwa atas kehendaknya sendiri.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dalam skripsi yang berjudul Refleksi Psikosis dalam Karya Guy de Maupassant dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Imajinasi, pengetahuan, dan pengalaman pribadi yang menggejolak dalam jiwa Guy de Maupassant mendorongnya untuk mengaktualisasikannya dalam bentuk karya sastra. Kondisi kejiwaan dan perasaan Guy de Maupassant saat menelorkan karyanya turut berpengaruh dalam tema dan bentuk karyanya. 2. Ada hubungan antara psikosis dalam karya Guy de Maupassant dengan gangguan jiwa yang dialami pengarang. Halusinasi, delusi, mimpi buruk, dan bayangan kegilaan yang dialami pengarang terdapat juga dalam cerpen Le Horla dan Qui Sait ?. 3. Ada kemiripan karakter, kebiasaan, kepribadian maupun status sosial tokoh utama cerpen Le Horla dan Qui Sait ? dengan keadaan pengarang. Hal ini meneguhkan pendapat yang menyatakan bahwa kejiwaan pengarang akan tercermin dalam karya yang diciptakannya.
60
B. Saran Adapun saran-saran yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Bagi jurusan dapat menyarankan mahasiswa untuk melakukan penelitian di bidang sastra, mengingat jumlah koleksi penelitian sastra yang masih terbatas. 1. Bagi dosen, melalui pengajaran atau penugasan studi sastra dapat meningkatkan motivasi dan apresiasi mahasiswa terhadap karya sastra dengan cara menganalisis unsur-unsur pembangunnya, baik unsur intrinsik maupun ekstrinsik. Dari segi ekstrinsik, secara tidak langsung dapat dipetik pelajaran dan hikmah berkaitan dengan sastra itu sendiri maupun pengarangnya sehingga dapat memperkaya batin kita. 3. Bagi mahasiswa dapat meneliti karya Maupassant yang lain yang berlatar sosial-kultural dengan menggunakan teori sosiologi sastra maupun dari segi bahasanya dengan teori sosiolinguistik. Misalnya karya yang berlatar pertanian Normandia banyak menggunakan dialek Normandia dengan kata-kata tertelan (melesap), contoh: c’tte (cette), m’n (mon), quéque (quelque). Penggunaan vokal é untuk oi, contoh: mé, té, qué (moi, toi, quoi), vokal a untuk è, contoh all (elle) serta adanya kesalahan tata bahasa, yaitu kojugasi verba orang pertama jamak untuk orang pertama tunggal, contoh: j’avions untuk j’avais, j’ferions untuk je ferais dan complément de nom yang didahului dangan à (seharusnya de), contoh: la bête à Mait’Behomme. Melihat banyaknya gaya bahasa dalam karya Maupassant, mahasiswa juga dapat meneliti tentang gaya bahasa yang digunakan.
61
DAFTAR PUSTAKA
Dryden, Gordon, dkk. 2001. Revolusi Cara Belajar. Bandung: Kaifa Karli, Hilda dan Margaretha Sri Yuliariatiningsih. 2002. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi 2. Bandung: Bina Media Informasi Keputusan Mendiknas. 2004. No.232/U/2000 tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta; Dinas Pendidikan. Keraf, Gorys. 1989. Diksi dan Gaya Bahasa. Ende. Flores: Nusa Indah Margaretha, S.Y. 2000. Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Rasional Siswa SD. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia Nasution, Noehi. 1993. Materi Pokok Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Nurhadi, dkk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang Tarigan, Henry Guntur. 1986. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Cet-2 Edisi III.Jakarta: Balai Pustaka
13