Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
SITUASI RABIES DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA TIMUR BERDASARKAN HASIL DIAGNOSA BALAI BESAR VETERINER MAROS FAISAL ZAKARIA, DINI W. YUDIANINGTYAS dan GDE KERTAYADNYA Balai Besar Veteriner Maros
ABSTRAK Diagnosa penyakit rabies di laboratorium virology Balai Besar Vetriner Maros sejak 2003 hingga 22 Juli 2005 dilakukan dengan memeriksa spesimen otak anjing secara surveilan aktif dari beberapa pasar tradisional di daerah endemis rabies dan spesimen pasif dari lapangan yang berasal dari kasus penggigitan yang dikirim ke BBV Maros untuk dikonfirmasi. Pemeriksaan dilakukan dengan metode pewarnaan seller’s, uji FAT, dan uji biologi. Dari sejumlah spesimen yang diperiksa di BBV Maros sejak tahun 2003 –22 Juli 2005, tampak penyakit rabies telah menyebar disemua provinsi di wilayah Timur Indonesia. Kasus rabies tercatat banyak terjadi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku dan Nusa Tenggara Timur, sedangkan di propinsi-propinsi di pulau Papua masih tampak bebas. Adanya hewan yang secara klinis tampak normal namun positif virus rabies, merupakan reservoar yang sewaktu-waktu dapat menyebarkan virus rabies di suatu wilayah. Untuk itu kewaspadaaan pemerintah dan kesadaran masyarakat harus terus ditingkatkan, dan pelaksanaan program pengendalian dan pemberantasan rabies di wilayah Timur Indonesia ini benar-benar harus dilakukan secara lebih intensif. Kata kunci: Rabies, spesimen otak, reservoar
PENDAHULUAN Penyakit rabies atau lebih dikenal sebagai penyakit anjing gila adalah penyakit virus menular yang sangat ganas pada hewan mamalia khususnya anjing, kucing dan kera dan bersifat zoonosis (dapat menular ke manusia). Hewan ataupun manusia yang terserang umumnya mengalami kematian dengan gejala-gejala yang sangat mengerikan. Oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu penyakit strategi di Indonesia yang harus mendapatkan prioritas dalam pengendalian dan pemberantasannya. Penyakit rabies disebabkan oleh virus RNA yang bersifat neurotropis dari kelompok Lyssavirus dalam keluarga Rhabdoviridae. Virus rabies ini sangat peka terhadap pelarutpelarut yang bersifat alkalis seperti sabun, desinfektan, alcohol, dll. Pelunaran dari hewan ke hewan umumnya melalui gigitan karena virus rabies biasanya dapat diakselerasikan melalui saliva dalam jumlah yang sangat banyak terutama pada saat hewan mengalami viremia (VAUGHN et. al., 1985). Program pemberantasan rabies di Indoensia secara umum dilakukan dengan dua cara
pendekatan yaitu melalui program eliminasi dengan membunuh hewan peka rabies khususnya anjing jalanan dan atau melalui program vaksinasi rabies secara massal terhadap semua hewan peka rabies (ANONIMOUS, 1988). Program ini cukup efektif di beberapa wilayah seperti di pulau Jawa, namun belum di beberapa wilayah lainnya. Keberhasilan kedua program ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh peran serta dan kesadaran masyarakat khususnya pemilik hewan tentang pentingnya program pemberantasan rabies ini bagi masyarakat, dan komitmen pemerintah daerah setempat hingga pemerintah pusat. Pemberantasan rabies di wilayah Indonesia Timur khususnya di Sulawesi telah dilakukan sejak tahun 1993 dan diharapkan akan tuntas dalam kurun waktu satu Pelita, namun karena kurangnya dukungan masyarakat, penyakit rabies masih menjadi masalah di Sulawesi dan bahkan sudah menyebar ke wilayah NTT dan Maluku. Balai Besar Veteriner Maros dalam kapasitasnya turut mendukung program pemberantasan ini, secara terus menerus melakukan diagnosa dan pengamatan aktif terhadap kejadian penyakit rabies di wilayah
69
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
kerjanya. Berikut ini rangkuman hasil pemeriksaan rabies terhadap spesimen otak baik yang dikirim dari lapangan ataupun hasil surveialn aktif dilapangan dari tahun 2003 hingga 22 Juli 2005. Di dalam tulisan ini juga dibahas situasi rabies dari kasus klinis ataupun subklinis dan beberapa saran yang perlu diperhatikan dalam menghadapi rabies di lapangan. MATERI DAN METODE Spesimen Spesimen otak yang diperiksa sejak tahun 2003 hingga 22 Juli 2005 adalah spesimen otah hewan yang dikirim dari lapangan yang berasal dari hewan-hewan yang dibunuh karena menggigit dan dicurigai secara klinis menderita rabies (spesimen pasif) dan spesimen hasil surveilan lapangan dengan mengambil otak anjing yang dijual di pasa tradisional (spesimen aktif). Jaringan hipokampus dari masingmasing spesimen kemudian diambil untuk dibuat preparat sentuh guna keperluan pewarnaan Seller’s dan Fluorescent Antibody Technique (FAT). Sebagian spesimen jaringan hipokampus disimpan untuk keperluan uji biologis. Pemeriksaan Diagnosa laboratorium dimaksudkan untuk melihat agregat protein virus rabies dengan pewarnaan Seller’s, ditunjukkan dengan adanya negri-bodies yang mengambil afinitas warna yang bersifat asam/acidophilic. Apabila tidak ditemukan adanya negribodies, atau hasilnya meragukan, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan menggunakan uji serologis dengan metoda Fluorescent Antibody Technique (FAT). Identifikasi agen dengan uji FAT (metoda yang direkomendasi OIE), dilakukan pada spesimen ulas dari jaringan hipokampus yang telah difiksasi dengana larutan acetone dingin dengan meneteskan anti-rabies conyugate. Adanya protein virus rabies ditunjukkan dengan adanya agregat nucleocapsid sesifik dalam sel terinfeksi yang berpendar flouresen.
70
Apabila hasil FAT masih negatif atau meragukan, maka pemeriksaan amsih dilanjutkan dengan melakukan uji biologis. Inokulasi 20% suspensi otak dalam larutan buffer yang mengandung antibiotik dilakukan pada 4-5 ekor anak mencit umur 3-4 minggu atau anak mencit umur 2-3 hari. Pengamatan dilakukan selama 28 hari, apabila tidak ditemukan adanya gejala klinis atau kematian dalam kurun waktu tersebut, hasil uji dinyatakan negatif. Namun apabila dalam waktu pengamatan ditemukan gejala klinis atau kematian, maka dilakukan pewarnaan Seller’s dan uji FAT untuk meyakinkan diagnosa. HASIL Data penyebaran rabies di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Maros berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium virology Balai Besar Veteriner Maros dari spesimen aktif dan pasif selama kurun waktu tahun 2003 sampai dengan 22 Juli 2005 dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Diagnosa rabies di Balai Besar Veteriner Maros dilakukan berdasarkan spesimen lapangan yang dikirim umumnya dengan latar belakang sejarah kasus penggigitan. Pada tahun 2003 di Sulawesi Selatan terdapat 117 kasus penggigitan yang spesimennya dikirim ke BBV Maros guna mendapatkan konfirmasi diagnosa rabies. Dari jumlah sample yang dikirim, berhasil di diagnosa positif rabies sebanyak 64 spesimen (54,8%). Pada tahun 2004 kasus penggigitan yang dilaporkan 96 kasus dan sebanyak 50 spesimen (52,08%) memperlihatkan hasil positif rabies. Sedangkan pada awal 2005 sampai dengan 22 Juli 2005 penggigitan yang dilaporkan 86 kasus dan sebanyak 49 spesimen (56,9%) memperlihatkan hasil positif rabies. Penyebaran kasus rabies dari tahun 2003 – 22 Juli 2005 di beberapa propinsi Indonesia Timur berdasarkan spesimen yang diperiksa di BBV Maros, dapat dilihat pada Tabel 2. Kasus penggigitan anjing yang positif rabies masih ditemukan di propinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Tabel 1. Kejadian kasus penyakit rabies di Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2003 sampai dengan 22 Juli 2005 No
Kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bantaeng Gowa Luwu Makasra Maros Pankajene Pinrang Tana Toraja Wajo Takalar Bone Barru Total
Jumlah Spesimen 1 1 4 10 12 17 1 67 1 1 1 1 117
Tahun 2003 (+)ve Rabies 3 4 9 13 31 1 1 1 1 64
% 0 0 75 40 75 76,5 0 46,3 100 100 100 100 54,8
Jumlah Spesimen 2 8 11 10 3 60 2 1 96
Tahun 2004 (+)ve Rabies 1 5 8 8 2 24 1 1 50
% 50 62,5 72,7 80 60 40 50 100 52,08
1 Jan s/d 22 Juli 2005 Jumlah (+)ve % Spesimen Rabies 5 4 80 11 6 54,5 18 17 94,4 6 5 83,3 50 21 42 3 3 100 86 49 56,9
*Data merupakan hasil diagnosa laboratorium BBV Maros 2003 – 22 Juli 2005 Tabel 2. Kejadian kasus penggigitan anjing positif rabies di beberapa propinsi di wilayah Indonesia Timur tahun 2003 –22 Juli 2005* No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Utara Maluku Maluku Utara NTT
Diagnosa rabies 2003 – 2004 Jumlah Jumlah spesimen positif 1 14 1 44 35
1 (100%) 6 (42,8%) 1 (100%) 17 (38,6%) 18 (51,4%)
61
26 (42,6%)
Diagnosa rabies 1 januari s/d 22 Juli 2005 Jumlah Jumlah spesimen positif 14
5 (35,71%)
3 6 26
3 (100%) 4 (66,67%) 7 (26,92%)
Keterangan
Kasus umumnya terjadi pada hewan anjing
*Data merupakan hasil diagnosa laboratorium BBV Maros 2003 – 22 Juli 2005
Kasus gigitan hewan positif rabies di luar propinsi Sulawesi Selatan tampaknya masih sangat tinggi, terutama di propinsi Sulawesi Utara tahun 2003 – 2004 (38,6%), Sulawesi Tenggara 2003 – 2004 (42,8%) dan 2005 (35,71%), Maluku 2003 – 2004 (51,4%) dan 2005 (100%), serta Nusa Tenggara Timur 2003 – 2004 (42,6%) dan 2005 (26,92%). Umumnya spesimen yang dikirim ke BBV Maros adalah spesimen jaringan otak anjing yang dibunuh karena menggigit manusia. Selama tahun 2003 – 22 Juli 2005 diagnosa rabies hanya ditemukan pada hewan anjing, walaupun spesimen dari hewan lainnya seperti kucing, babi rusa dan kerbau pernah juga diperiksa. Untuk wilayah propinsi NTT, spesimen otak
datangnya dari Kabupaten Flores Timur, Sika, Ngada dan Ende. Surveilans aktif yang dilakukan oleh BBV Maros dengan mengambil otak anjing di pasarpasar tradisional menununjukkan adanya negribodies dari protein virus rabies dalam sel jaringan hipokampus otak yang terinfeksi. Ada sekitar 8% contoh spesimen yang diambil dari otak anjing yang diperjual belikan di pasar tradisional pada tahun 2002 menunjukkan hasil positif rabies, dan pada tahun 2003 prosentase hewan positif rabies di pasar yang sama meningkat menjadi 37,5% (17/51), namun pada tahun 2004 dari 45 contoh spesimen otak yang diperiksa menunjukkan hasil negatif.
71
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Tabel 3. Diagnosa rabies hasil surveilans anjing-anjing yang dipotong di pasar tradisional Manado tahun 2002 –2004 No
Lokasi pasar
1 2 3 4 5
Pasar I Pasar II Pasar III Pasar IV Pasar V Total
Tahun 2002 Jumlah Jumlah spesimen (+) ve 14 1 45 2 3 0 30 5 10 0 102 8 (8%)
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil diagnosa rabies yang dilakukan terhadap spesi,em otak dari hewan yang melakukan penggigitan, yang dikirim ke Balai Besar Veteriner Maros dapat dinyatakan bahwa penyebaran rabies di Indonesia bagian Timur sudah meluas ke hampir semua propinsi. Selain semua propinsi di pulau Sulawesi, rabies telah menyebar ke propinsi Maluku dan Nusa Tenggara Timur, terkecuali propinsipropinsi di pulau Papua yang tampaknya masih bebas rabies. Hal ini cukup memprihatinkan, dan pemerintah baik pusat ataupun daerah agar segera melakukan tindakan pengendalian yang lebih intensif agar penyebaran penyakit rabies tidak menjadi semakin meluas. Situasi rabies di pulau Sulawesi telah menyebar diseluruh propinsi khusus, untuik wilayah Sulawesi Selatan, dari sekitar 26 Kabupaten/Kota yang ada, hanya Kabupaten Mamuju dan Majene serta pulau Selayar yang belum pernah dilaporkan adanya kejadian rabies (ANONIMOUS, 1994). Pada 3 tahun terakhir ini, kejadian penggigitan anjing yang positif rabies tercatat si 12 Kabupaten/Kota. Walaupun pencanangan pembebasan rabies di propinsi Sulawesi Selatan telah dibentuk sejak tahun 1994, kasus rabies setiap tahunnya masih terjadi. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh kurangnya komitmen semua pihak dalam melaksanakan program tersebut khususnya dalam melaksanakan program, vaksinasi dan eliminasi hewan peka dilapangan. Makin meluasnya penyebaran rabies di beberapa wilayah di Indonesia Timur, terutama di wilayah Maluku dan Nusa Tenggara Timur adalah dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya penyakit rabies, dan
72
Tahun 2003 Jumlah Jumlah spesimen (+) ve 5 1 38 13 8 3 51 17 (37,5%)
Tahun 2004 Jumlah Jumlah spesimen (+) ve 30 0 15 0 45 0 (0%)
kurang ketatnya tindak pengawasan karantina dalam mengamati lalul lintas hewan peka dari dan ke suatu wilayah. Adanya sekitar 51,2% hewan positif rabies di Maluku dan 42,6% positif rabies di NTT (tahun 2003 – 2004) serta 100% hewan positif rabies di Maluku dan 26,92% positif rabies di NTT (1 Januari – 22 Juli 2005) dari sejumlah kasus penggigitan memperlihatkan tingginya kejadian rabies di kedua wilayah tersebut. Tingginya penyebaran ini juga didukung oleh data prevalensi antibody terhadap rabies pada hewan peka yang tidak divaksinasi yang menunjukkan angka lebih dari 50% (SUDARJAT, 1991 dan DIBIA et. al., 2001). Penyebaran mobilitas hewan tertular dan padatnya populasi hewan peka yang dilewatinya (SUDARJAT, 2003). Umumnya kejadian penyakit rabies baik pada manusia ataupun hewan adalah akibat penggigitan oleh hewan terinfeksi dengan gejala klinis berupa hipersensitifitas dan inkoordinasi yang jelas. Akan tetapi di beberapa wilayah di Indonesia pernah dilaporkan adanya penularan rabies dari hewan-hewan tanpa gejala klinis rabies yang jelas (asymptomatis) dan hewan ini dianggap sebagai reservoar virus rabies (SUDARJAT, 2003). Adanya otak anjing dari hsil surveilan di pasar tradisional yang positif virus rabies sangat mendukung pendapat tersebut di atas. Artinya ada anjing-anjing di lapangan yang tampaknya secara klinis normal tetapi membawa virus di tubuhnya yang seaktuwaktu dapat menularkan penyakit rabies. Kondisi ini perlu diwaspadai, pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Peternakan dan jajarannya untuk lebih aktif memberikan penyuluhan tentang bahaya rabies kepada masyarakat terutama di daerah endemis rabies,
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
menyarankan dan menganjurkan pelaksanaan vaksinasi rabies kepada semua pihak yang terlibat dalam perilaku jual beli hewan peka di pasar-pasar tradisional, serta lebih meningkatkan komitmen dalam pelaksanaan program vaksinasi dan eliminasi rabies. Sebagai kesimpulan, dapat dinyatakan bahwa penyakit rabies diwilayah Timur Indonesia telah menyebar di hampir seluruh propinsi kecuali propinsi-propinsi di wilayah Papua. Penularan rabies di wilayah Indonesia Timur umumnya melalui gigitan hewan tertular dengan gejala klinis yang jelas. Namun adanya hewan normal tanpa gejala klinis sebagai reservoir yang membawa virus rabies harus tetap diwaspadai.
DAFTAR PUSTAKA ANONIMOUS, 1988. Pedoman teknis pelaksanaan pembebasan rabies terpadu di Indonesia. Tim Koordinasi Pemberantasan Rabies Tingkat Pusat, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. ANONIMOUS, 1994. Pedoman pemberantasan rabies di Sulawesi Selatan selama Pelita VI. Dinas Peternakan Dati I Sulawesi Selatan. DIBIA, N., SANTHIA A.P., SUTAMI N., dan PURNATA N., 2003. Prevalensi antibody rabies pada anjing pravaksinasi di Kabupaten Manggarai dan Ende, NTT, Bulletin Veteriner, BPPV VI, Vol. XIII, 59: 28-33. SUDARJAT, S. 2003. Peranan anjing gladak sebagai reservoar rabies pada beberapa daerah enzootic di Indonesia. Media Kedokteran Hewan, Vol. 19, 2: 44–49. VAUGHN J.B., GERHARDT P., and NEWELL K.W., 1965. Excretion of street rabies virus in the saliva of dog. J. Am. Vet. Med. Ass. 193: 363368
73