Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 74, Juni 2009
ISSN: 0854-901X
13
Situasi Rabies di Bali: Enam Bulan Pasca Program Pemberantasan (Current Situation of Rabies in Bali: Six Months After Eradication Program) Oleh: Anak Agung Gde Putra, I Ketut Gunata*, Faizah, Ni Luh Dartini, Dinar Hadi Wahyu Hartawan, A.A.G. Semara Putra dan Soegiarto Balai Besar Veteriner Denpasar Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung*
ABSTRACT In Indonesia, Rabies is one of the most impotant zoonotic disease and seems to be having a tendency to keep spreading into the previously free areas or islands. Of 33 provinces, 24 provinces are currently known as infected areas, and Bali Province is the latest area infected. By reviewing rabies cases in human and considering the most likely rabies incubation period in dogs, it is likely that the time of rabies virus entry into Bali Island is around April 2008, throughout the southern tip of Bali in Badung District. Up to the present time, and based on laboratory examination, only dog was found infected with the virus, 19 of which were found at Bukit Peninsula while the other 6 cases were found outside peninsula, indicated that rabies cycle keep moving. This was due to not high enough level of vaccination coverage achieved to cut the biological cycle of rabies, which is currently only about 45%. Even though, using monthly attack rate of rabies, before and after mass vaccination program, there is a significant reduction was observed in it’s attack rate, however, the potency of risk for virus spreading through dog bite remain relatively high. Preliminary study on the efficacy of rabies vaccine showed that the vaccine is good enough to stimulate immune response and reach protective antibody in a very shorth period. However, as booster vaccination have to be carried out 3-4 months following first vaccination, is considered not practicable for free range type of dogs in Bali. The finding of one dog with rabies, 6 month after vaccination without booster, proved the difficulties in doing booster, and the evaluation of vaccine efficacy is discussed in the paper. Keywords: rabies, outbreak, Bali.
ABSTRAK Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis penting di Indonesia dan penyebarannya cendrung semakin meluas, saat ini sudah ditemukan di 24 provinsi, dan Pulau Bali merupakan provinsi terbaru yang tertular rabies. Dengan mengkaji kasus pada manusia dan hewan serta masa inkubasi rabies, diduga rabies masuk ke daerah Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung, Bali sekitar bulan April 2008. Sampai dengan bulan Juni 2009, hanya anjing yang diketahui tertular rabies, 19 kasus ditemukan di Semenanjung Bukit dan 6 kasus di luar Semenanjung Bukit, mengindikasikan masih aktifnya siklus penyebaran. Hal ini terjadi karena coverage vaksinasi baru mencapai sekitar 45% sehingga belum mampu memutus siklus penularan rabies secara tuntas. Namun demikian, dengan menggunakan indikator monthly attack rate rabies, sebelum dan pasca program vaksinasi, attack rate rabies telah mengalami penurunan secara signifikan, walaupun belum mampu menghentikan risiko penyebaran penyakit dari daerah tertular. Berdasarkan pemantauan awal terhadap efikasi vaksin yang digunakan untuk mengendalikan rabies di Bali, nampak vaksin cukup baik untuk menstimulasi terbentuknya antibodi protektif 2-3 bulan pasca vaksinasi. Namun demikian, pelaksanaan booster 3-4 bulan pasca vaksinasi pertama mengalami kesulitan di lapangan. Adanya satu ekor anjing yang telah divaksin satu kali dan tertular rabies 6 bulan pasca vaksinasi membuktikan kesulitan melakukan booster dalam waktu pendek. Kata kunci: rabies, wabah, Bali.
Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 74, Juni 2009
ISSN: 0854-901X
14
PENDAHULUAN Di Indonesia, rabies masih merupakan salah satu penyakit zoonosis yang tetap menghantui keamanan dan ketentraman bathin masyarakat, karena dari 33 provinsi 24 di antaranya sebagai daerah tertular rabies dan telah bersifat endemis. Saat ini, Bali merupakan provinsi terbaru yang tertular rabies. Tidak dapat disangkal bahwa munculnya rabies di Bali adalah melalui masuknya hewan penderita rabies yang sedang dalam masa inkubasi. Di Indonesia, siklus penyebaran rabies pada hewan lebih dari 99% adalah melalui gigitan anjing (Hardjosworo, 1984; Soenardi, 1984; Warman, 1984). Umumnya di Indonesia, rabies baru menjadi isu publik - jika muncul di daerah yang sebelumnya berstatus bebas - setelah memakan korban manusia. Hal ini juga terjadi di Bali pada bulan November 2008, setelah ada laporan bahwa ada orang meninggal dengan riwayat beberapa bulan sebelumnya digigit anjing. Nampaknya keberhasilan program pengendalian atau pemberantasan rabies lebih banyak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat non-teknis antara lain sulitnya mengimplementasikan kegiatan berkaitan dengan ekologi anjing dan faktor sosial budaya serta terbatasnya dana yang tersedia. Upaya-upaya penanganan darurat rabies di Bali pada saat awal munculnya, telah dibahas dalam workshop yang diselenggarakan pada awal Desember 2008 (Putra dkk., 2008), selanjutnya telah dievaluasi pada bulan Februari 2009 (Mahardika dkk., 2009). Makalah ini menyajikan perkembangan rabies di Bali berdasarkan data yang ada sampai dengan bulan Juni 2009. MATERI DAN METODE 1. Pengumpulan Data Sejak rabies telah dikonfirmasi secara laboratorium pada bulan November 2008, selanjutnya dilakukan penelusuran (tracing) kasus gigitan anjing pada manusia di daerah kasus yaitu di Semenanjung Bukit yang terdiri dari 6 desa yang merupakan wilayah Kecamatan Kuta Selatan dan 2 desa termasuk Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Data dugaan/kasus rabies pada manusia yang berakhir dengan kematian adalah data yang dikumpulkan oleh Puskesmas dan/atau Dinas Kesehatan Kabupaten Badung. Data kasus rabies pada hewan yang telah dikonfirmasi secara laboratorium diperoleh dari Balai Besar Veteriner Denpasar. Identitas dari setiap hewan seperti: jenis hewan, umur, alamat pemilik, gejala klinis, status vaksinasi rabies dikumpulkan oleh Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung. Vaksin yang digunakan untuk menanggulangi wabah rabies di Bali adalah vaksin produksi Pusat Veterinaria Farma Surabaya. Data kegiatan vaksinasi massal rabies dan identitas jenis hewan penular rabies (HPR) yang divaksin dan identitas lainnya, serta data eliminasi HPR dicatat oleh Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung. Data populasi HPR (terutama anjing) belum tersedia, maka untuk mengestimasi populasi anjing di daerah Semenanjung Bukit, digunakan data rasio antara jumlah manusia dan anjing yaitu dengan perbandingan 8,27 : 1 berdasarkan hasil survei Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung (data belum dipublikasikan, Februari 2009). Estimasi ini dianggap lebih mendekati kenyataan berdasarkan lokus surveinya yaitu di Kabupaten Badung, dibandingkan dengan estimasi lainnya (WHO,
Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 74, Juni 2009
ISSN: 0854-901X
15
1984; Teken Temadja, Ditjennak, 1984; Sofyan Sudardjat, Ditjennak, 1992; Yudistira Foundation, 2005). Data yang dianalisis dan disajikan dalam makalah ini adalah beberapa data yang terkumpul sejak bulan Mei 2008 sampai dengan bulan Juni 2009. 2. Uji Elisa Rabies Sebanyak 40 serum anjing pasca vaksinasi rabies telah dikumpulkan. Identitas anjing seperti jenis kelamin, umur, tanggal vaksinasi rabies, alamat pemilik dicatat. Serum diuji terhadap antibodi rabies dengan enzyme linked immunosorbent assay (Elisa) menggunakan kit yang diproduksi oleh Pusvetma Surabaya. Hasil uji Elisa kemudian dikonversi ke satuan International Unit (IU) dengan mengikuti prosedur penggunaan KIT Elisa Rabies produksi Pusat Veterinaria Farma Surabaya. Titer antibodi rabies 0,5 IU atau lebih diklasifikasikan sebagai titer antibodi protektif (MacDiarmid and Corrin, 1999; Cliquet et al., 2006). 3. Analisis Data 3.1. Tingkat serangan (attack rate) rabies. Di Indonesia, anjing telah diketahui sebagai hewan penular utama rabies pada manusia. Untuk dapat menghitung tingkat serangan (attack rate) rabies pada anjing sangat dibutuhkan data populasi hewan peka yang akurat. Tingkat serangan (attack rate) rabies dalam analisis ini didefinisikan sebagai jumlah kasus baru rabies dibagi dengan jumlah populasi anjing peka. Jumlah anjing peka dihitung dengan mengurangi estimasi populasi anjing dengan jumlah anjing yang telah divaksinasi dan dieliminasi. Jumlah hewan peka rabies seperti kucing dan kera belum bisa diikutsertakan dalam analisis, mengingat populasinya belum dapat diestimasikan, dan kedua jenis hewan ini belum tertular rabies. Jumlah kasus atau yang diduga rabies pada anjing per bulan di hitung dengan asumsi: semua anjing yang setelah menggigit orang diakhiri dengan kematian dalam kurun waktu 14 hari masa observasi adalah rabies; 50% dari anjing yang dieliminasi secara targeted di banjar/desa tertular dianggap tertular rabies; 50% dari anjing yang menggigit orang dan tiba-tiba menghilang dikatagorikan sebagai rabies. Sementara anjing yang setelah menggigit masih hidup selama 14 hari masa observasi, dikatagorikan sebagai anjing yang tidak menderita rabies. Selanjutnya masih ada data anjing yang menggigit manusia tetapi statusnya belum diketahui (di luar dari kriteria sebelumnya), terhadap data ini untuk sementara belum dapat disertakan dalam analisis. 3.2. Risiko penyebaran rabies. Untuk memprediksi besarnya risiko penularan rabies keluar dari daerah tertular melalui lalu lintas anjing, dihitung sesuai metode yang dikembangkan oleh MacDiarmid dan Corrin (1999). HASIL 1. Perkiraan Waktu Masuknya Virus Rabies Serta Lokasi Kejadian Pertama Kasus rabies di Bali, baik pada manusia maupun pada anjing, pertama kali dikonfirmasi secara laboratorium secara berturut-turut pada tanggal 23 dan 28 Nopember 2008. Dugaan terjadinya rabies di Bali, diawali dengan adanya dugaan rabies pada manusia.
Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 74, Juni 2009
16
ISSN: 0854-901X
Berdasarkan data yg tersedia, kasus gigitan anjing pada manusia yang berakhir dengan kematian dan dengan dugaan (suspect) rabies, paling pertama terjadi pada tanggal 10 Juni 2008, terjadi di Desa Unggasan, Semenanjung Bukit (Tabel 1). Mempertimbangkan rata-rata mayoritas masa inkubasi rabies pada anjing sekitar 1-2 bulan, maka diperkirakan anjing yang menderita rabies (mungkin dalam masa inkubasi), masuk ke Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung, Bali sekitar bulan April 2008. Cara masuknya anjing penderita rabies sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Tabel 1 Kasus dugaan rabies pada manusia yang berkaitan dengan gigitan anjing dan berakhir dengan kematian yang terjadi di Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung, Bali. Data sampai dengan Juni 2009. No.
Desa
Tanggal gigitan anjing
Lokasi gigitan
Tang gal kema tian
Jarak dari digigit sampai meninggal
Kondisi anjing
1.
Unggasan
02-092008
17-092008
15 hari
2.
Unggasan
09-092008
Bawah mata, Pipi Kaki
14-112008
65 hari
3.
Unggasan
19-102008
Pipi
21-112008
33 hari
4.
Unggasan
16-092008
Tangan Kaki
23-112008
38 hari
5.
Jimbaran
10-072008
Kaki
12-102008
93 hari
6.
Unggasan
00-082008
Lengan
29-012009
151 hari
7.
Unggasan
Kaki
Unggasan
16-012009 27-012009
220 hari
8.
10-062008 00-102008
88 hari
9.
Pecatu
27-112008
Kaki
23-032009
116 hari
10.
Unggasan
00-102008
Kaki
26-032009
146 hari
Lengan
Dibunuh tgl 5 November 2008 Dibunuh tgl 27 Oktober 2008 Langsung dibunuh setelah gigit Anjing mati 23 Sept 2008 Gigit anjing lain, anjing yg digigit mati 1 minggu kemudian Anjing gigit 4 orang Anjing menghilang (liar) Tidak diketahui (liar) Tidak diketahui (liar Tidak diketahui (liar) Tidak diketahui (liar) Tidak diketahui (liar)
Lama anjing hidup setelah gigit 35 hari
58 hari
0 hari
7 hari
Diag nosa
Suspect
Mungkin bukan rabies Suspect
Rabies, konfir masi laborator ium
?
Suspect
?
Suspect
?
Suspect
?
?
Rabies, konfir masi lab Suspect
?
Suspect
Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 74, Juni 2009
ISSN: 0854-901X
17
2. Hewan Terinfeksi dan Sebaran Daerah Tertular Sampai dengan Juni 2009, hanya anjing yang diketahui tertular rabies, belum ada hewan lain yang telah dikonfirmasi secara laboratorium menderita rabies. Dari 25 ekor anjing yang terserang rabies berdasarkan pemeriksaan laboratorium (Tabel 2), 4 ekor diantaranya berumur di bawah 6 bulan. Dari jumlah tersebut, 24 ekor terjadi pada anjing kampung, dan 1 ekor dijumpai pada anjing ras yang dipelihara dengan baik (dalam rumah). Berdasarkan proses pengambilan spesimen otak anjing; 23 ekor berasal dari tindakan eliminasi terhadap anjing yang memperlihatkan gejala klinis rabies, 17 diantaranya menggigit orang; dan 2 ekor lainnya berasal dari anjing yang dieliminasi di desa/banjar tertular dan gejala klinisnya belum nampak. Tabel 2 Kasus rabies pada anjing berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, Balai Besar Veteriner Denpasar, data sampai Juni 2009. Spesimen diterima
Kabupaten / Kota
Kecamatan
Desa
Kedonganan Unggasan Unggasan Unggasan Jimbaran Legian Jimbaran Jimbaran Sesetan Jimbaran Legian Serangan Jimbaran Tuban Jimbaran Jimbaran Kedonganan Tuban Pecatu Jimbaran Kuta, Banjar Temacun Jimbaran Tanjung Benoa Pecatu Seminyak
26-11-2008 02-12-2008 02-12-2008 02-12-2008 06 -12-2008 15-12-2008 16-12-2008 18-12-2008 19-12-2008 20-12-2008 05-01-2009 19-01-2009 09-03-2009 20-04-2009 22-04-2009 05-05-2009 14-05-2009 20-05-2009 26-05-2009 27-05-2009 03-06-2009
Badung Badung Badung Badung Badung Badung Badung Badung Denpasar Badung Badung Denpasar Badung Badung Badung Badung Badung Badung Badung Badung Badung
Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Kuta Selatan Kuta Selatan DenSel Kuta Selatan Kuta DenSel Kuta Selatan Kuta Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Kuta Kuta Selatan Kuta Kuta
04 Juni 2009 10 Juni 2009 16 Juni 2009 23 Juni 2009
Badung Badung Badung Badung
Kuta Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta
Status
Umur anjing
Kasus gigitan Kasus gigitan Kasus gigitan Kasus gigitan Kasus gigitan Klinis Kasus gigitan Kasus gigitan Klinis Kasus gigitan Klinis Klinis Kasus gigitan Kasus gigitan Kasus gigitan Kasus gigitan Eliminasi Eliminasi Kasus gigitan Klinis Kasus gigitan
Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Anak, 5 bl Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Anak, 3 bl Dewasa Dewasa Dewasa Anak, 2,5 bl Dewasa
Kasus gigitan Eliminasi Kasus gigitan Kasus gigitan
Dewasa Anak, 3bln Dewasa Dewasa, 1 tahun, sudah divaksin tgl. 07-01-2009.
Kasus rabies di Bali pertama kali dijumpai di daerah Semenanjung Bukit, berlokasi di sebelah selatan Bandara Ngurah Rai. Untuk pergerakan anjing yang tidak dipengaruhi oleh pemiliknya, keberadaan Bandara dapat berperan sebagai physical barrier, karena anjing tidak dapat melewati pagar yang ada, kecuali melalui jalan raya selebar kurang lebih 40 meter yang hampir selalu padat lalu lintas. Di sebelah kiri kanan jalan adalah laut yang ditumbuhi pohon bakau (lihat Peta). Sebanyak 19 kasus rabies dijumpai di
Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 74, Juni 2009
ISSN: 0854-901X
18
daerah Semenanjung Bukit, yaitu di Desa: Jimbaran (9 kasus), Unggasan (3 kasus), Pecatu (2 kasus), Tanjung Benoa (1), Kedonganan (2 kasus), Tuban (2 kasus), dan 6 kasus lainnya terjadi di luar Semenanjung Bukit (Tabel 2). Kasus di luar Semenanjung Bukit ditemukan di Desa Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, terjadi karena perpindahan anjing dari Semenanjung Bukit sebelum wabah rabies dinyatakan secara resmi. Sementara kasus rabies yang terjadi di Pulau/Desa Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar juga terjadi karena perpindahan anjing dari Semenanjung Bukit setelah wabah rabies dinyatakan secara resmi. Perpindahan terjadi berkaitan dengan adanya komplain dari tetangganya dan akhirnya pemilik anjing memindahkan anjingnya. Sekitar satu minggu kemudian, baik di Desa Sesetan maupun di Desa Serangan dilaksanakan vaksinasi massal rabies, dan sampai bulan Juni 2009 (5-6 bulan setelah kasus tersebut) tidak dijumpai adanya kasus rabies baru. Dua kasus rabies lainnya yang terjadi di luar Semenanjung Bukit, ditemukan pada bulan Desember 2008 dan Januari 2009 di Desa Legian, Kecamatan Kuta, dan sumber penularannya belum dapat ditelusuri. Di desa ini program vaksinasi massal dan program lainnya sudah dilaksanakan. Sampai saat ini (5-6 bulan setelah kasus tersebut), tidak ada indikasi tambahan kasus rabies baru. Keadaan yang cukup menghawatirkan adalah munculnya kasus rabies di Banjar Temacun, Desa Kuta, Kecamatan Kuta pada tanggal 3 Juni 2009 pada anjing yang belum divaksin. Desa ini berada dalam radius sekitar 5 Km dari daerah tertular, dan di desa ini juga telah dilakukan program vaksinasi. Kasus rabies lainnya terjadi pada tanggal 23 Juni 2009 di Desa Seminyak, Kecamatan Kuta, menyerang anjing kampung dewasa, umur 1 tahun dan sudah divaksin rabies pada tanggal 7 Januari 2009.
Peta Bandar Udara Ngurah Rai Bali.
Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 74, Juni 2009
ISSN: 0854-901X
19
3. Respon Imun Vaksin Rabies dan Coverage Vaksinasi Vaksin yang digunakan untuk menanggulangi rabies di Bali cukup mampu menstimulasi timbulnya antibodi dan mencapai titer antibodi yang protektif yaitu sebesar 0,5 IU atau lebih (Tabel 3), dengan tingkat protektivitas 2-3 bulan pasca vaksinasi sebesar 75%. Tabel 3 Hasil uji Elisa terhadap antibodi rabies pada anjing, 2 dan 3 bulan pasca vaksinasi. Jumlah Pasca Rata Standar Rentangan 95% serum vaksinasi rata deviasi (range) Confidence diuji titer interval 17 2 bulan 1,22 IU 1,12 0,25 – 3,12 0,64 – 1,80 23 3 bulan 0,99 IU 0,65 0,13 – 3,12 0,71 – 1,28
Tingkat protektivitas (titer > 0,5 IU) 75%
Selama program vaksinasi massal (Desember 2008 s/d Februari 2009), jumlah HPR yang berhasil divaksinasi di Semenanjung Bukit sebanyak 3.696 ekor dan rata-rata populasi anjing per bulan dalam kurun waktu yang sama yang belum tervaksin sekitar 4.958 ekor. Jadi, cakupan vaksinasi rabies baru mencapai sekitar 45% (Tabel 4). Hambatan praktis dari pelaksanaan program vaksinasi adalah saat melakukan booster 34 bulan dari vaksinasi pertama, yang dirasakan agak sulit dilaksanakan di lapangan, mengingat ekologi anjing di Bali (sulit dipegang). Coverage vaksinasi per desa, dimana rabies ditemukan, seperti disajikan dalam Tabel 4. Nampak jelas bahwa di kawasan Semenanjung Bukit dengan coverage vaksinasi 45% (dengan kisaran 21,7% s/d 77,4%) belum mampu memutus siklus penularan rabies. Di Desa Benoa dan Kutuh yang berada di daerah tertular, sampai saat ini tidak ada kasus rabies yang didiagnosa secara laboratorium. Di Desa Unggasan dengan coverage vaksinasi 77,4%, dalam 7 bulan sejak kasus rabies pertama, tidak ada kasus rabies yang didiagnosa secara laboratorium.
Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 74, Juni 2009
ISSN: 0854-901X
20
Tabel 4 Coverage vaksinasi rabies pada saat program vaksinasi massal I (data sampai dengan Februari 2009) di daerah Semenanjung Bukit dan desa tertular lainnya, di Kabupaten Badung. Desa / Kelurahan
1). 2). 3). 4).
Estimasi populasi anjing Di Semenanjung Bukit: Benoa 2.242 Tanjung Benoa 483 Pecatu 776 Unggasan 836
Kutuh 352 Tuban 1.453 Kedonganan 571 Jimbaran 2.257 Jumlah: 8.970 Di luar Semenanjung Bukit: 9). Legian 374 5). 6). 7). 8).
10). Kuta 11). Seminyak
1.253 362
Jumlah eliminasi
Populasi anjing peka
Jumlah anjing divaksin
Coverage vaksinasi
39 26 111 266
2.203 457 665 570
583 163 316 441
26,5 % 35,7 % 47,5 % 77,4 %
55 51 54 156 758
297 1.402 517 2.101 8.212
168 305 252 1.468 3.696
56,6 % 21,7 % 48,7 % 69,9 % 45,0 %
4
370
263
71,1 %
11 0
1.242 362
843 321
67,9 % 88,7 %
Status desa
Tidak ada kasus Kasus baru Aktif Sejak 7 bulan terakhir, tidak ada kasus Tidak ada kasus Aktif Aktif Sangat aktif
Sejak 6 bulan terakhir, tidak ada kasus Kasus baru Kasus baru
4. Monthly Attack Rate dan Besarnya Risiko Penyebaran Rabies Monthly attack rate rabies nampak semakin meningkat sejak bulan Mei 2008 yaitu sekitar 0,05% dan mencapai puncaknya pada bulan Januari 2009 yaitu sebesar 2,2% (perhatikan Grafik dan Tabel 5). Selanjutnya pada bulan Februari, Maret, April, Mei dan Juni 2009, monthly attack rate rabies mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dengan attack rate rabies sebesar 0,873% pada bulan Maret 2009, misalnya, memberi potensi risiko penyebaran rabies pada bulan ini sebesar 0,14 atau 14 per ekor per seratus anjing atau sekitar 1 ekor per 10 ekor anjing yang bergerak/pindah ke luar dari daerah Semenanjung Bukit.
Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 74, Juni 2009
21
ISSN: 0854-901X
Tabel 5 Monthly attack rate rabies di Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Data dari Mei 2008 sampai Juni 2009. Bu lan
Popu lasi *
Jum lah HPR divak sinasi
Jum lah hew an peka
Elimi nasi selek tif
Jum lah orang yang digigit
Jum lah anjing meng gigit
Status Anjing setelah menggigit: Ma ti
Eli mi nasi
Hil ang (liar)
Hidup, selama 14 hari obser vasi
Data tidak jelas
Rabi es atau sus pect
Mont hly attac k rate (%)
Mei 8.512 0 5 5 1 2 2 0 0 4 0,047 2008 Jun 8.509 0 6 6 2 2 2 0 0 5 0,059 Jul 8.505 0 11 11 3 1 6 0 1 10 0,118 Agu 8.501 0 21 21 1 5 10 2 3 13 0,153 Sep 8.495 0 50 49 7 20 12 8 2 29 0,341 Okt 8.468 0 88 81 12 21 36 8 4 58 0,685 Nov 8.394 41 108 105 16 17 37 20 18 61 0,727 Des 8.046 2.857 5.189 382 190 189 6 34 74 4 71 97 1,869 Jan 7.816 187 5.002 230 229 228 20 36 74 0 98 112 2,239 2009 Feb 7.301 168 4.834 535 155 154 2 16 32 4 100 42 0,869 Mar 7.008 25 4.809 293 137 137 4 13 32 0 88 42 0,873 Apr 11.483 1.430 9.552 244 158 158 1 2 36 0 113 38 0,398 Mei 11.238 328 9.224 379 115 111 4 16 26 0 65 38 0,412 Jun 10.904 365 8.859 315 103 103 4 3 20 10 66 26 0,293 Catatan: Asumsi populasi anjing berdasarkan rasio anjing : manusia adalah 1 : 8,27. Booster vaksinasi (vaksinasi II) dilaksanakan mulai April 2009.
Grafik Attack rate (%) rabies pada anjing di Semenanjung Bukit (8 desa), Kab. Badung, data sampai dengan Juni 2009
3,00
2,50
Kasus: manusia (23 Nov) dan anjing (28 Nov) pertama. Manusia digigit anjing tanggal 16-09-2008
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00 May08
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Jan
Vaksinasi Massal
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Booster Vaksinasi
Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 74, Juni 2009
ISSN: 0854-901X
22
PEMBAHASAN Penelusuran (tracing) kasus gigitan anjing pada manusia, setelah dikonfirmasinya rabies secara laboratorium pada bulan November 2008, menemukan bahwa kasus gigitan anjing pada manusia yang berakhir dengan kematian dan dengan dugaan (suspect) rabies paling awal terjadi pada tanggal 10 Juni 2008, terjadi di Desa Unggasan. Secara epidemiologi, penyakit pada manusia yang berakhir dengan kematian yang ada kaitannya dengan gigitan anjing adalah rabies. Kemungkinan lain adalah tetanus, tetapi penyakit ini bersifat individual dan tidak mewabah. Mempertimbangkan rata-rata masa inkubasi rabies pada anjing sekitar 2 bulan (Geering et al., 1995; MacDiarmid and Corrin, 1999), maka diperkirakan anjing yang menderita rabies (yang dalam masa inkubasi) masuk ke Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung, Bali sekitar bulan April 2008. Jika seandainya anjing rabies masuk jauh sebelum bulan April 2008, mengingat populasi anjing di daerah tertular cukup banyak, maka anjing tertular tersebut akan menggigit cukup banyak anjing dan kasus/dugaan rabies pada manusia akan terjadi lebih awal lagi. Sama dengan laporan-laporan kejadian rabies yang terjadi di daerah yang sebelumnya bebas, hampir selalu munculnya kasus rabies, baru diketahui setelah ada manusia yang menjadi korban. Kasus kematian orang yang memiliki riwayat digigit anjing dan berakhir dengan kematian terbanyak di jumpai di Desa Unggasan (8 kasus), 2 kasus lainnya masingmasing dijumpai di Desa Jimbaran dan Desa Pecatu, membuktikan bahwa virus rabies pertama kali masuk Bali di Semenanjung Bukit. Diduga anjing rabies kemungkinan masuk di Desa Unggasan, mengingat jumlah kasus pada manusia yang terbanyak. Secara epidemiologi, tidak dapat disangkal bahwa telah masuk anjing rabies yang sedang dalam masa inkubasi yang berasal dari daerah tertular ke daerah ini. Perpindahan anjing tersebut mungkin dibawa oleh pelaut melalui pantai di Desa Kedonganan dengan dalih sebagai “penolak bala”. Kemungkinan lain, mungkin anjing tertular itu masuk mengikuti tuannya karena ada kaitan dengan pekerjaan atau pulang kampung. Meskipun asal muasal masuknya anjing rabies tersebut ke Bali sampai saat ini belum dapat ditetapkan secara pasti, namun berdasarkan sidik jari virus rabies yang berhasil diisolasi dari orang yang tertular, virus tersebut termasuk dalam satu keluarga dengan virus rabies asal Flores atau Kalimantan atau Sulawesi (Mahardika, 2009, komunikasi pribadi). Dengan demikian, virus rabies kemungkinan besar berasal dari salah satu daerah tertular tersebut. Karena sudah tersedia isolat rabies yang cukup banyak serta untuk mengakaji berbagai kemungkinan sumber penularan, kiranya segera dapat dilakukan uji molekuler terhadap isolat asal hewan tersebut. Walaupun sampai saat ini hanya anjing yang diketahui tertular rabies, tidak menutup kemungkinan hewan lain juga berpotensi tertular melalui gigitan anjing rabies, oleh karenanya kegiatan surveilans perlu semakin diintensifkan. Tertularnya anjing yang berumur di bawah 6 bulan, mengindikasikan bahwa kelompok umur anjing ini luput dari program vaksinasi massal, sekaligus memperlihatkan betapa kompleksnya program vaksinasi yang perlu dicanangkan. Pada awalnya kasus rabies aktif bersiklus di daerah Semenanjung Bukit, sebelah selatan Bandara Ngurah Rai, dan keberadaan bandara dipandang dapat berperan sebagai physical barrier. Dalam perjalanan waktu, sebanyak 6 kasus lainnya terjadi di luar Semenanjung Bukit, yang mengindikasikan belum optimalnya capaian program pemberantasan yang dicanangkan. Penyebab utama belum optimalnya capaian program
Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 74, Juni 2009
ISSN: 0854-901X
23
pemberantasan, kemungkinan besar berkaitan dengan ekologi anjing dan budaya masyarakat Bali (Putra dan Gunata, 2009). Kasus rabies yang terjadi di Desa Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar terjadi karena perpindahan anjing dari Semenanjung Bukit sebelum wabah rabies dinyatakan secara resmi. Sementara kasus rabies yang terjadi di Pulau/Desa Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar juga terjadi karena perpindahan anjing dari Semenanjung Bukit setelah wabah rabies dinyatakan secara resmi, dan berkaitan dengan adanya komplain dari tetangganya. Dalam 6 bulan terakhir sejak kasus pertama, tidak dijumpai adanya kasus rabies, diduga siklus rabies di Denpasar sudah terputus. Sementara 2 kasus rabies yang terjadi di Desa Legian, Kecamatan Kuta sumber penularannya belum dapat ditelusuri. Di desa ini program vaksinasi massal (bahkan saat ini telah dilaksanakan program vaksinasi massal yang ke dua), dan program eliminasi selektif dan program lainnya sudah dilaksanakan. Sampai saat ini (5-6 bulan setelah kasus pertama), tidak ada kasus rabies yang didiagnosa secara laboratorium di Desa Legian. Keadaan yang cukup menghawatirkan adalah munculnya kasus rabies di Banjar Temacun, Desa Kuta pada tanggal 3 Juni 2009. Desa ini berada dalam radius sekitar 5 Km dari daerah tertular, dan di desa ini juga telah dilakukan program vaksinasi. Berdasarkan tanggal munculnya klinis rabies, dapat diperkirakan bahwa anjing tersebut tertular virus rabies sekitar bulan Maret/April 2009, yang berarti program vaksinasi sudah dilaksanakan. Sumber penularan sampai saat ini belum diketahui, kuat dugaan berasal dari daerah Semenanjung Bukit. Kejadian ini memberi indikasi kuat bahwa penutupan daerah tertular rabies (Anonim, 2008) belum sepenuhnya berjalan secara efektif dan masih rendahnya pemahaman masyarakat pemilik anjing terhadap rabies. Di samping itu, data ini juga membuktikan bahwa capaian coverage vaksinasi sekitar 45% di Semenanjung Bukit belum mampu menghentikan penyebaran rabies. Hal ini juga dapat dilihat dari data attack rate rabies sebesar 0,873% pada bulan Maret 2009 yang memberi potensi risiko penyebaran rabies pada bulan Maret 2009 sebesar 0,14 atau 14 per ekor per seratus anjing atau 1 ekor per 10 ekor anjing yang bergerak atau pindah ke luar dari Semenanjung Bukit. Berdasarkan analisis attack rate dan masa inkubasi rabies, maka dampak setiap pergerakan anjing tertular rabies akan dapat diamati sekitar 2 bulan kemudian (Putra dan Gunata, 2009). Vaksin yang digunakan saat ini untuk menanggulangi wabah rabies di Bali, cukup mampu untuk menggertak timbulnya antibodi dan mencapai titer antibodi protektif yaitu sebesar 0,5 IU atau lebih. Namun demikian, hambatan praktis dari penggunaan jenis vaksin ini adalah untuk melakukan booster dalam waktu pendek (3-4 bulan) dari vaksinasi pertama, yang dirasakan agak sulit dilaksanakan di lapangan berdasarkan ekologi anjing di Bali, dimana mayoritas anjing sulit dipegang/ditangkap untuk diberikan vaksin melalui suntikan (Putra dan Gunata, 2009). Untuk mengatasi keadaan ini perlu diupayakan penggunaan vaksin yang mampu membentuk antibodi protektif yang berjangka panjang (3 tahun, long acting) dan pelaksanaan boosternya tidak dalam waktu pendek, misalnya satu tahun (Lombard et al., 1988; Anonim, 2000). Alternatif lainnya, adalah menggunakan vaksin oral yang penggunaannya telah terbukti berhasil untuk mengendalikan rabies pada satwa liar di beberapa negara (Cliquet et al., 2006; 2007; Anonim, 2007; Selhorst et al., 2000). Untuk dapat menggunakan jenis vaksin ini secara massal di lapangan, membutuhkan waktu yang relatif panjang sesuai dengan prosedur yang ada.
Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 74, Juni 2009
ISSN: 0854-901X
24
Ditemukannya anjing yang sudah divaksinasi 6 bulan sebelumnya (belum memperoleh booster) dan masih tertular rabies mengindikasikan bahwa tingkat protektivitas antibodi dalam populasi mungkin sudah mengalami penurunan. Karena sampai saat ini, hanya satu ekor anjing yang telah divaksin tertular rabies, kemungkinan anjing tersebut memberikan respon yang tidak bagus terhadap vaksin yang diberikan. Kemungkinan lainnya, adalah daya imunitas vaksin yang digunakan memang sekitar 6 bulan (kalau tanpa booster). Terhadap berbagai kemungkinan mengenai kualitas vaksin yang digunakan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. KESIMPULAN Nampak ada kesulitan yg cukup signifikan untuk memberantas dan membendung penyebaran rabies di Indonesia, penyakit cendrung semakin menyebar, misalnya ke Flores (1997), Maluku (2003), Maluku Utara (2005), Kalimantan Barat (2005) dan sekarang ke Bali (2008), yang sebelumnya merupakan pulau atau daerah-daerah yang secara historis bebas rabies. Dalam kaitan itu, sudah saatnya kebijakan atau prosedur penanggulangan rabies yang ada saat ini perlu dikaji ulang untuk pengembangannya sekaligus berkaitan dengan era otonomi daerah. Memperhatikan ekologi anjing di Bali dan kedekatan anjing dengan masyarakat, maka program pemberantasan rabies hendaknya mengoptimalkan pendekatan budaya/sosial sebagai mana telah didiskusikan (Putra, dkk. 2008). Banyak pelajaran atau pengalaman berharga yang dapat dipetik, rendahnya dukungan masyarakat terhadap program pemberantasan dan kurangnya pemahaman kita terhadap ekologi anjing, merupakan faktor yang ikut mempengaruhi keberhasilan program pengendalian rabies. Hal ini berdampak pada sulitnya melaksanakan program vaksinasi dengan coverage di atas 80%. Lebih dari itu, vaksin yang saat ini digunakan, meskipun efektif dalam menstimulir kekebalan protektif, namun karena membutuhkan booster 3-4 bulan kemudian dari vaksinasi pertama, untuk kondisi anjing di Bali sungguh menyita waktu dan tenaga hanya untuk melaksanakan program vaksinasi. Untuk mengatasai persoalan ini, kiranya perlu dipertimbangkan untuk menggunakan vaksin yang mampu membentuk antibodi protektif yang berdurasi lama (long acting) sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Program eliminasi anjing yang tidak terarah dengan maksud mengurangi populasi dan menghentikan penyebaran penyakit, tidak pernah dilaporkan berhasil memberantas rabies (Anonim, 2007), karena jumlah anjing yang dieliminasi dengan mudah digantikan oleh kelahiran anak baru yang lebih banyak, dalam kurun waktu yang relatif singkat (turnover population). Selain itu, eliminasi anjing yang kurang memperhatikan kesejahteraan hewan (animal welfare) dapat mengundang protes dari kalangan penyayang binatang, dan dapat memicu perpindahan anjing sehingga berpotensi memperluas penyebaran rabies (Putra, 1998). Sampai saat ini di Bali, program eliminasi selektif/targeted, sebagai pendukung program vaksinasi massal, yang ditujukan kepada anjing-anjing yang memperlihatkan klinis rabies, anjing yang diduga telah terekspos dengan anjing rabies, dan anjing tanpa pemilik di banjar/desa tertular cukup efektif untuk menurunkan attack rate rabies di daerah tertular, oleh karenanya perlu dilanjutkan.
Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 74, Juni 2009
ISSN: 0854-901X
25
Ucapan Terimakasih Penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada semua Instansi dan staf yang terlibat dalam program pemberantasan rabies di Bali, antara lain: Direktorat Jenderal Peternakan; Dinas Peternakan Provinsi Bali; Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar; Balai Besar Veteriner Denpasar; Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar; FKH UNUD; Dinas Kesehatan Provinsi Bali; Dinas Kesehatan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar; dan Project ACIAR AH-2006166, karena beberapa data digunakan dalam makalah ini.
Daftar Pustaka Anonim (2000) Compendium of Animal Rabies Prevention and Control, National Association of State Public Health Veterinarians, USA. Journal of American Veterinary Medicine Association, 216 (3): 338343. Anonim (2007) Guidance for research on oral rabies vaccines and field application of oral vaccination of dogs against rabies. World Health Organization, Geneva. Anonim (2008) Peraturan Bupati Badung Nomor 53 tentang ”Penutupan sementara pemasukan dan atau pengeluaran anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya dari dan atau ke Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan Kabupaten Badung” tanggal 1 Desember 2008. Cliquet, F., Guiot, A.L., Munier, M., Bailly, J., Rupprecht, C.E. and Barrat, J. (2006) Safety and efficacy of the oral rabies vaccine SAG2 in raccoon dogs. Vaccine, 24: 4386-4392. Cliquet, F., Gurbuxani, J.P., Pradhan, H.K., Pattnaik, B., Patil, S.S., et al. (2007) The safety and efficacy of the oral rabies vaccine SAG2 in Indian stray dogs. Vaccine 2007, doi:10.1016/j.vaccine.2006.12.054 (in press). Geering, W.A., Forman, A.J. and Nunn, M.J. (1995) Rabies. Dalam “Exotic Diseases of Animals: A field guide for Australian veterinarians”. Australian Government Publishing Service, Canberra, hal. 203-217. Hardjosworo, S. (1984) Epidemiologi Rabies di Indonesia. Dalam Kumpulan Makalah Symposium Nasional Rabies, diselenggarakan oleh PDHI Cabang Bali di Hotel Pertamina Cottage Denpasar pada tanggal 10-11 September 1984, hal 13-28. Lombard, M., Chappuis, G., Chomel, B., de Beublain, T.D., and Guinet, J.J. (1988) Three years of serological and epidemiological results after a rabies dog vaccination camppaign in Lima / Peru. Proceedings of the Sixth Congress Federation of Asian Veterinary Associations, Denpasar Bali, 16-19 October 1988, hal. 133-139. MacDiarmid, S.C. and Corrin, K.C. (1999) Case study: the risk of introducing rabies through the importation of dogs. Ministry of Agriculture, PO Box 2526 Wellington, New Zealand. Mahardika, I G.N., Putra, A.A.G. dan Dharma, D.M.N. (2009) Tinjauan Kritis Wabah Rabies di Bali: Tantangan dan Peluang. Makalah disajikan dalam Diskusi Ilmiah Percepatan Penanggulangan Rabies di Bali. Diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar, di Kampus Sudirman Denpasar pada tanggal 3 Pebruari 2009. Mahardika, IGNK (2009) Fakulatas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, komunikasi pribadi. Putra, A.A.G. (1998) Laporan Monitoring Rabies di Pulau Flores. Laporan Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar, Oktober 1998.
Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXI, No. 74, Juni 2009
ISSN: 0854-901X
26
Putra, A.A.G. dan Gunata, I K. (2009) Epidemiologi Rabies: Suatu Kajian Terhadap Wabah Rabies di Bali. Makalah disajikan dalam Workshop Kesehatan Hewan Regional VI, yang diselenggarakan oleh Balai Besar Veteriner Denpasar bekerjasama dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB, di Mataram pada tanggal 9 Juni 2009. Putra, A.A.G., Dharma, D.M.N., Mahardika, I G.N., Rompis, A.L.T., Muditha, I D.M., Asrama, I G., Sudarmono dan Windarto, W. (2008) Ringkasan Strategi Pemberantasan Rabies di Kecamatan Kuta Selatan dan Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Makalah disajikan dalam Pertemuan Koordinasi Teknis Kesehatan Hewan dan Workshop Rabies di Bali, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Peternakan, di Hotel Bumiasih Denpasar pada tanggal 12-13 Desember 2008. Selhorst, T., Thulke, H.H., and Muller, T. (2000) Threshold analysis of cost effective oral vaccination strategies against rabies in fox (vulpes vulpes) populations. Proceedings of Society for Veterinary Epidemiology and Preventive Medicine meeting held at the University of Edinburgh on 29-31 March 2000, hal. 71-84. Soenardi (1984) Situasi Rabies di Sumatra. Dalam Kumpulan Makalah Symposium Nasional Rabies, diselenggarakan oleh PDHI Cabang Bali di Hotel Pertamina Cottage Denpasar pada tanggal 10-11 September 1984, hal 79-107. Sudardjat, Sofjan (1992) Epidemiologi Veteriner Terapan. Cetakan ke 2, diterbitkan oleh Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, hal 257-259. Teken Temadja, IG.N. (1984) Kebijakan Departemen Pertanian dalam penolakan, pengendalian dan pemberantasan rabies pada hewan di Indonesia. Dalam Kumpulan Makalah Symposium Nasional Rabies, diselenggarakan oleh PDHI Cabang Bali di Hotel Pertamina Cottage Denpasar pada tanggal 10-11 September 1984, hal 29-62. Warman, A.R. (1984) Penanggulangan Rabies di Jawa Barat. Dalam Kumpulan Makalah Symposium Nasional Rabies, diselenggarakan oleh PDHI Cabang Bali di Hotel Pertamina Cottage Denpasar pada tanggal 10-11 September 1984, hal 109-126. Yudistira Foundation, Bali (2005), data belum dipublikasikan.