ISSN 2337-6686 ISSN-L 2338-3321
ANALISIS PERAN VISUM ET REPERTUM PADA PELAKU PENGANIAYAAN, DITINJAU DARI PASAL 351 AYAT (1) KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) (STUDI KASUS PERKARA NOMOR: 247/PID.B/2014/PN.CIBADAK)
Siswo Putranto Santoso Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia E-mail:
[email protected] Abstrak: Perlindungan hukum dapat memberi rasa aman dengan adanya kepastian hukum serta memelihara ketertiban masyarakat. Penegakan hukum berdasarkan ilmu hukum pidana dalam tindak pidana penganiyaan dan dengan alat bukti Visum Et Repertum, yang berisikan jenis luka yang ditemukan, jenis kekerasan yang menyebabkan luka, kualifikasi atau derajat luka akan sangat membantu hakim dalam mengambil putusan tuntutan pidana penganiyaan, khususnya pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Penelitian ini berdasarkan kasus perkara No 247/PID. B/2014/PN.CBD. Tujuan penelitian ini untuk: (1) memberikan pertimbangan tuntutan hukuman pidana yang obyektif berdasarkan derajat atau kualifikasi luka dalam tindak pidana penganiyaan, (2) memberikan gambaran pentingnya peran Visum Et Repertum dalam pengambilan putusan hakim. Metode penelitian menggunakan pendekatan Yuridis Normatif, berdasarkan pada kajian kepustakaan. Hasil penelitian diperoleh bahwa: (1) Dalam putusannya diserahkan kepada Hakim guna mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana, termasuk dalam upaya Hakim, meminta keterangan ahli jika perlu. Visum Et Repertum dibutuhkan selalu dalam penyidikan tindak pidana penganiyaan untuk dapat memberi petunjuk adanya penganiyaan dan unsur perbuatan, (2) Seperti pada alat-alat bukti yang lain, maka peran Visum et Repertum baik yang dibuat oleh dokter ahli Kedokteran Kehakiman/Kedokteran Forensik atau oleh dokter bukan ahli, dapat diterima mengingat, bahwa kedudukan alat-alat bukti dalam proses acara pidana adalah untuk mendukung keyakinan Hakim. Kata kunci: visum etrepertum, penganiyaan Abstract: Legal protection can provide a sense of security with the certainty of the law and maintaining order in society. Law enforcement is based on the science of criminal law in the criminal act and torture and with Visum Et Repertum proof tool, which contains types of wounds were found, the type of violence which led to injuries, qualifications or degrees of wounds will greatly assist the judge in taking the decision of a criminal charge and torture, in particular Article 351 paragraph (1) the book of the law of criminal law (the Criminal Code). The research was based on the case No. 247/PID. B/2014/PN. CBD. The purpose of this research was to: (1) give consideration of criminal sentencing objective demands based on the degree or qualification in the crime and torture wounds, (2) provide an overview of the importance of the role of Visum Et Repertum in making the decision of a judge. The methods using Normative Juridical approach, based on a descriptive exploratory study in library research. The results of the research obtained that: (1) in an award handed to the judge in order to seek the truth of material a criminal cases, including in an effort of judges, ask for a description of an expert if necessary. Visum Et Repertum is always required in the investigation of criminal acts and torture to be able to give instructions and torture and the presence of elements of the Act, (2) such as on the tools of the other evidence, then the role of Visum et Repertum is well made by the experts to the physician of Justice/forensic medicine or by doctors not experts, are acceptable considered that the position of proof tools in the process of criminal procedure is to support the judge's conviction. Key words: visum et repertum, torture.
PENDAHULUAN Latar belakang penelitian ini adalah bahwa perlindungan hukum dapat memberi rasa aman dan tenteram dengan adanya kepastian hukum. Perlindungan hukum dan kepastian hukum merupakan dua hal yang tidak terpisahkan dimana perlindungan hukum tidak dapat dirasakan tanpa kepastian hukum. Maksud kepastian hukum adalah penegakan hukum yang dapat diterima oleh golongan terbesar penduduk atau mayoritas penduduk. Penegakan hukum dapat dirasakan yang berdasarkan pendapat umum adalah setimpal dengan Jurnal Ilmiah WIDYA
kesalahannya. Perkataan “setimpal dengan kesalahannya” merupakan suatu penjabaran aparatur hukum baik pada perumusan undang-undang maupun pada penegakannya atau penerapannya. Dengan demikian, penerapan hukum dapat mencapai tujuan berdasarkan ilmu hukum pidana yakni memelihara ketertiban masyarakat. Sebelum menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut serta dengan memperhatikan ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, maka perlu diperhatikan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan dengan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal126
Volume 3 Nomor 3 Januari - Juli 2016
Siswo Putranto Santoso, 126 - 133
Analisis Peran Visum Et Repertum pada Pelaku Penganiayaan, Ditinjau dari Pasal 351 Ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) (Studi Kasus Perkara Nomor: 247/Pid.B/2014/Pn.Cibadak)
hal yang meringankan dari perbuatan terdakwa. Pada Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) hal ini disebut dengan “penganiayaan” tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh manusia. Menurut Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 14 Th 1970 Tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.Hasil pemeriksaan forensik dalam bentuk Visum Et Repertum pada korban yang diduga tindak pidana, dalam hal ini penganiayaan (KUHP bab XX: tentang penganiayaan); khususnya pasal 351 dan pasal 352, serta arti atau pengertian luka berat dalam pasal 90, berkaitan dengan penentuan derajat atau kualifikasi luka. Ketentuan tersebut dapat menentukan putusan Hakim yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa, karena tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang syah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Selanjutnya pada Pasal 183 KUHAP disebutkan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang syah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ketentuan tersebut untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang Pada kasus Perkara No:247/PID.B/214/PN.Cbd) dimana Isep Sihabudin, lahir Sukabumi, Umur 24 tahun, kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Kp. Bojong Pari RT. 01 RW. 02 Desa Jaya Bakti Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi, agama Islam, Pekerjaan Honorer,Pendidikan SMA (Tamat), didakwa bahwa pada hari Senin tanggal 19 Mei 2014 sekitar jam 08.00 WIB bulan Mei melakukan penganiayaan terhadap Widiani Safitri Binti Usep Suhermanyangmengakibatkan lukaluka berat. sebagaimana hasil Visum Et Repertum Nomor: 44/PELA//2014 tanggal 19 Mei 2014 yang dikeluarkan oleh RSUD. Sekarwangi dan ditandatangani oleh dr. Milah Lestari. Putusan hakim dalam menjatuhkan hukuman Jurnal Ilmiah WIDYA
penjara kepada terdakwa selama 4 (empat) bulan berbeda dengan tuntutan jaksa selama 7 (tujuh) bulan adalah sesuai dengan gambaran/deskripsi mengenai: (1) Jenis luka yang ditemukan, (2) Jenis kekerasan yang menyebabkan luka, (3) Kualifikasi atau derajat luka yang sesuai. Pokok permasalahan adalah: (1) Mengapa tuntutan hukuman pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan oleh Jaksa Penuntut Umum lebih berat daripada tuntutan Majelis Hakim 4 (Empat) bulan pidana kepada Sdr. Isep Sihabudin ?, (2) Mengapa saksi korban harus dilakukan Visum Et Repertum? Tujuan penulisan penelitian ini untuk: (1) memberikan pertimbangan tuntutan hukuman pidana yang obyektif berdasarkan derajat atau kualifikasi luka dalam tindak pidana penganiyaan, (2) memberikan gambaran pentingnya peran Visum Et Repertum dalam pengambilan putusan hakim. Metode penelitian menggunakan pendekatan Yuridis Normatif, mendasarkan kajian kepustakaan, dan menerapkan asas-asas hukum pada peraturan perundang-undangan yang berlaku kedalam keadaan yang terjadi pada penyelesaian perkara tindak pidana penganiyaan. PEMBAHASAN Tindak Pidana Terhadap Tubuh (Penganiayaan) Sistemisasi KUHP Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Penganiayaan yang diatur KUHP terdiri dari: (1). Penganiayaan berdasarkan Pasal 351 KUHP yang dirinci atas: (a) Penganiayaan biasa, (b) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, (c) Penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati. (2). Penganiayaan ringan yang diatur oleh Pasal 352 KUHP. (3). Penganiayaan berencana yang diatur oleh Pasal 353 KUHP dengan rincian sebagai berikut: (a) Mengakibatkan luka berat, (b) Mengakibatkan orangnya mati. (4). Penganiayaan berat yang diatur oleh Pasal 354 KUHP dengan rincian sebagai berikut: (a) Mengakibatkan luka berat, (b) Mengakibatkan orangnya mati. (5). Penganiayaan berat dan berencana yang diatur Pasal 355 KUHP dengan rincian sebagai berikut: (a) Penganiayaan berat dan berencana, (b) Penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan orangnya mati. 127
Volume 3 Nomor 3 Januari - Juli 2016
Siswo Putranto Santoso, 126 - 133
Analisis Peran Visum Et Repertum pada Pelaku Penganiayaan, Ditinjau dari Pasal 351 Ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) (Studi Kasus Perkara Nomor: 247/Pid.B/2014/Pn.Cibadak)
Penganiayaan Berdasarkan Pasal 351 KUHP Ada 3 (tiga) jenis penganiayaan biasa menurut Pasal 351 KUHP yakni: (1) Penganiayaan yang tidak mengakibatkan luka berat atau matinya orang, (2) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, (3) Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang. Penerapan Pasal 351 ayat (3) yakni penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang, tampaknya tidak begitu sulit atau rumit tetapi pada praktek, kadang-kadang sulit membedakan dengan Pasal 351 ayat (2). Mengenai pengertian “luka berat” Pasal 90 KUHP merumuskan artinya. “Luka berat” pada rumusan asli disebut: “zwaar lichamelijk letsel” yang diterjemahkan dengan “luka badan berat” yang selalu disingkat dengan luka berat. Sebagian pakar menyebut “luka parah” dan tidak tepat memakai kata berat pada luka, karena umumnya kata berat dimaksud untuk menyatakan ukuran. Dengan demikian, “luka berat” sinonim dengan “luka parah”. Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja “Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan ..............." (Pokok-Pokok Hukum Pidana, Fasco, Jakarta,1955:174). Menurut Pasal 351 KUHP: (1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah. (2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya lima tahun. (3) Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, yang bersalah dihukum penjara selamalamanya tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja. (5) Percobaan akan melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum. Penganiayaan” pada Pasal 351 ayat (1), bukan penganiayaan ringan, bukan penganiayaan berat atau berencana dan pula tidak mengakibatkan luka berat atau matinya orang. Pada rumusan Pasal 351 KUHP , undangundang hanya mengatakan mengenai penganiayaan tanpa menyebutkan unsur-unsur dari tindak pidana penganiayaan Jurnal Ilmiah WIDYA
itu sendiri, sedangkan pada ayat (4) hanya menjelaskan bahwa kesengajaan merusak kesehatan orang itu adalah sama dengan penganiayaan, dalam arti penganiayaan itu ialah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain. Penjelasan tersebut menyebutkan bahwa seseorang yang telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus mempunyai opzetatau suatu kesengajaan untuk menimbulkan rasa sakit, luka atau merugikan kesehatan orang lain. Lamintang (2010:133-135) menyatakan “Untuk dapat disebut sebagai telah melakukan suatu penganiayaan tidaklah perlu bahwa opzet dari pelaku secara langsung harus menunjukan pada perbuatan untuk membuat orang lain merasa sakit, menjadi terganggu kesehatannya, tetapi rasa sakit atau terganggunya kesehatan orang lain tersebut dapat saja terjadi sebagai akibat dari opzet pelaku yang ditujukan pada perbuatan yang lain. Tindak pidana Penganiayaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 351 KUHP itu: (1) harus dilakui dengan sengaja, dan tidak ada alasan untuk membatasi pengertian kesengajaan atau opzet tersebut semata-mata sebagai opzet als oogr, melainkan juga harus diartikan sebagai opzet bij zekerheidsbewustzij dan sebagai opzet bij mogelijkheidsbewustzijn, (2) merupakan tindak pidana materiil, hingga tindak pidana tersebut untuk dapat dianggap sebagai telah selesai dilakukan oleh pelakunya, akibatnya yang tidak dikehendaki oleh undang-undang itu benar-benartelah terjadi, yakni berupa rasa sakit yang dirasakan oleh orang lain. Walaupun untuk dapat dipidananya pelaku, akibat berupa rasa sakit pada orang lain itu harus benar-benar timbul, akan tetapi opzet dari pelaku tidaklah perlu ditujukan pada akibat tersebut. Walaupun demikian, opzet untuk menimbulkan rasa sakit atau menyebabkan orang lain mendapat luka itu oleh penuntut umum harus didakwakan di dalam surat dakwaannya”. Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti Pengertian dan tujuan Visum Et Repertum ialah " Apa yang dilihat dan diketemukan”. Jadi Visum Et 128
Volume 3 Nomor 3 Januari - Juli 2016
Siswo Putranto Santoso, 126 - 133
Analisis Peran Visum Et Repertum pada Pelaku Penganiayaan, Ditinjau dari Pasal 351 Ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) (Studi Kasus Perkara Nomor: 247/Pid.B/2014/Pn.Cibadak)
Repertum merupakan kesaksian tertulis berupa suatu keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan diketemukan dalam pemeriksaan yang dilakukan terhadap orang yang luka atau terhadap mayat. Pada suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh si korban merupakan corpus delicti. Dalam perkara pidana yang lain di mana tanda buktinya (corpus delicti) merupakan suatu benda (tidak bernyawa) misalnya senjata tajam/api yang dipakai untuk melakukan suatu tindak pidana yang pada umumnya selalu dapat diajukan di muka persidangan pengadilan sebagai barang/tanda bukti. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan corpus delicti yang berupa tubuh manusia, misalnya luka-luka pada tubuh seseorang selalu berubahubah yaitu mungkin akan sembuh, membusuk atau akhirnya menimbulkan kematian dan mayatnya akan menjadi busuk dan dikubur. Jadi, kesimpulannya keadaan itu tidak pernah tetap seperti pada waktu pemeriksaan dilakukan. Oleh karena itu corpus delicti tidak mungkin disediakan/diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum Et Repertum. Tugas seorang dokter dalam bidang ilmu Kedokteran Kehakiman adalah membantu para petugas Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman dalam mengungkap suatu perkara pidana yang berhubungan dengan perusakan tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, sehingga cara bekerjanya harus objektif dengan mengumpulkan kenyataan-kenyataan dan menghubungkannya satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil kesimpulan. Oleh karenanya pada waktu memberi laporan dalam ’’Pemberitaan” dari Visum Et Repertum itu harus yang sesungguh-sungguhnya dan seobjektif-objektifnya tentang apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu pemeriksaan. Dengan demikian Visum Et Repertum merupakan kesaksian tertulis atau merupakan rencana (verslag) yang diberikan oleh seorang dokter mengenai apa yang dilihat dan diberikan pada waktu dilakukan pemeriksaan secara objektif, sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus dapat mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga Jurnal Ilmiah WIDYA
akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat. Selain itu Visum Et Repertum dapat pula dipakai sebagai dokumen untuk diperiksa oleh dokter lain tentang barang bukti yang telah diperiksa apabila yang bersangkutan (jaksa, hakim) tidak menyetujui hasil pemeriksaan tersebut. Kualifikasi atau Derajat Luka Kesimpulan Dokter dalam Visum Et Repertum bahwa kasus penganiayaan atau perlukaan, terbatas pada jenis luka dan jenis kekerasan, dan bukan jenis senjata yang melukai korban. Pemeriksaan forensik yang dilakukan oleh dokter ahli forensik sebagaimana dituangkan dalam Visum Et Repertum, harus memuat kejelasan sebagai berikut: (1) Jenis luka yang ditemukan, (2) Jenis kekerasan yang menyebabkan luka, (3) Kualifikasi atau derajat luka yang sesuai. Penafsiran dokter atas seperti yang tertera pada kesirnpulan Visum Et Repertum yaitu: Penganiayaan adalah luka yang menyebabkan penyakit atau halangan di dalam menjalankan pekerjaan atau jabatan untuk sementara waktu terdiri dari ( 1)Penganiayaan Ringan; Luka derajat satu; luka yang tidak menyebabkan penyakit atau halangan di dalam menjalankan pekerjaan atau jabatan ( pasal 352 (1) KUHP. (2) Penganiayaan Berat; dalam pasal 351 (2) KUHP sebagaimana tercantum pada pasal 90 KUHP, (a) Luka derajat dua, (b) luka derajat tiga, sesuai dengan pengertian penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Nilai Kekuatan dan Kedudukan Hukum Visum Et Repertum Sebelum lahirnya KUHAP tidak ada suatu peraturan perundang-undangan yang tegas menyatakan bahwa permintaan pemeriksaan kepada dokter/ahli itu supaya diajukan secara tertulis. Namun permintaan pemeriksaan termaksud harus diajukan secara tertulis juga, lebih-lebih permintaan pemeriksaan mayat bahagian dalam (autopsy), sebab ada saja kemungkinan keluarganya berkeberatan bila dilakukan benda mayat (autopsy) tersebut. Jika terjadi hal yang sedemikian maka dokter yang melaksanakan bedah mayat itu sudah “terlindung” (gedekt) atau terjamin 129
Volume 3 Nomor 3 Januari - Juli 2016
Siswo Putranto Santoso, 126 - 133
Analisis Peran Visum Et Repertum pada Pelaku Penganiayaan, Ditinjau dari Pasal 351 Ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) (Studi Kasus Perkara Nomor: 247/Pid.B/2014/Pn.Cibadak)
dengan adanya permintaan pemeriksaan bagian dalam mayat itu secara tertulis dari pihak yang berwajib. Sekarang setelah berlakunya KUHAP; maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 133 ayat (2) dinyatakan dengan tegas bahwa permintaan keterangan kepada ahli kedokteran, kehakiman atau dokter/ahli lainnya, yang bersangkutan sudah benarbenar mendapat ’’perlindungan hukum” dan dengan demikian mereka tidak akan ragu-ragu dalam melakukan tugas kewajibannya serta tanpa ada suatu kekhawatiran akan timbul keberatan dari pihak manapun. Apabila ada keberatan dari pihak keluarganya untuk dilakukan bedah mayat (autopsy), maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 134 ayat (2) KUHAP, penyidiklah yang akan menghadapinya dan wajib menerangkan dengan sejelasjelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukan pembedahan tersebut. Visum Et Repertum adalah suatu Relaas, suatu rencana dan suatu Verslag atas pemeriksaan barang bukti. Oleh karena itu Visum Et Repertum merupakan pengganti sepenuhnya dari barang bukti yang diperiksa, maka Visum Et Repertum pada hakikatnya adalah menjadi ”alat bukti yang sah”. Setelah berlakunya KUHAP, persoalan tersebut tidak ada lagi, karena menurut Pasal 184 KUHAP, Visum Et Repertum itu merupakan "keterangan ahli” dan sudah dicantumkan dalam: 1. Alat bukti yang sah ialah: (a) Keterangan saksi, (b) Keterangan ahli, (c) Surat, (d) Petunjuk, (e) Keterangan terdakwa. 2. Hal yang secara umum sudah diketahui dan tidak perlu dibuktikan. Di dalam penjelasan Pasal 186 diterangkan bahwa: keterangan ahli ini dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan Jurnal Ilmiah WIDYA
sumpah atau janji di hadapan hakim. Hal ini diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, maka fungsinya/kedudukannya di dalam hukum pembuktian dalam proses acara pidana, adalah termasuk sebagai alat bukti: (1). Surat; Pasal 184 ayat (1) huruf c jo. Pasal 187 huruf c KUHAP. (2). Keterangan Ahli; Pasal 1 jo.2 Stb. 1937-350jo Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP. Visum Et Repertum Berkenaan Dengan Pemeriksaan ’’Luka” yang Disebabkan oleh Suatu Perbuatan Tindak Pidana Beberapa pasal dalam KUH Pidana sepanjang mengenai penganiayaan” yaitu Bab XX. Pasal 351: (1). Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp 4.500,-, (2). Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun (KUHP 90), (3). Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun (KUHP 338). (4). Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja, (5).Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum(KUHP 37,53,184,353,356,487). Dari rumusan Pasal 351 KUHP tersebut, orang dapat mengetahui bahwa undang-undang hanya berbicara mengenai penganiayaan tanpa menyebutkan unsur-unsur dari tindak pidana penganiayaan itu sendiri. Kecuali hanya menjelaskan bahwa kesengajaan merugikan kesehatan (orang lain) itu adalah sama dengan penganiayaan. Kesehatan (orang lain) itu adalah sama dengan penganiayaan yaitu kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain. Dengan demikian, untuk menyebut seseorang itu telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus mempunyai opzet atau suatu kesengajaan untuk: menimbulkan rasa sakit pada orang lain, menimbulkan luka pada tubuh orang lain atau merugikan kesehatan orang lain. 130
Volume 3 Nomor 3 Januari - Juli 2016
Siswo Putranto Santoso, 126 - 133
Analisis Peran Visum Et Repertum pada Pelaku Penganiayaan, Ditinjau dari Pasal 351 Ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) (Studi Kasus Perkara Nomor: 247/Pid.B/2014/Pn.Cibadak)
Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut Keterangan Ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut Keterangan. Menurut Pasal 179 KUHAP mengenai siapa orang ahli itu maka, dapat dibedakan antara: "setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli wajib memberikan Keterangan Ahli demi keadilan", yaitu: ahli kedokteran kehakiman; atau dokter (dokter bukan ahli kedokteran kehakiman) atau ahli lainnya. Jadi pada dasarnya semua dokter dianggap memiliki kemampuan untuk membuat Visum Et Repertum.
Bahwa akibat perbuatan terdakwa, saksi korban Widiani Safitri menderita luka-luka sebagaimana hasil Visum Et Repertum Nomor: 44/PELA//2014 tanggal 19 Mei 2014 yang dikeluarkan oleh RSUD Sekarwangi dan ditandatangani oleh dr. Milah Lestari, dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut: (a). Terdapat bengkak pada mata kanan. (b).Terdapat luka lecet pada pipi kiri dekat bibir berukuran ±1x0,1 Cm. (c). Terdapat luka lecet pada pipi kanan dekat bibir berukuran ± 1x0,1 Cm. Kesimpulan: Bengkak dan luka lecet disebabkan oleh trauma tumpul. Surat Dakwaan / Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Setelah mendengar Tuntutan Pidana Penuntut Umum yang dibacakan di persidangan pada tanggal 3 September 2014 yang pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibadak yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan: (1) Menyatakan terdakwa Isep Sihabudin Alias Isep Bin Supardi tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana ”Penganiayaan dengan luka berat” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (2) KUHP, sebagaimana dalam Dakwaan Primair dan membebaskan terdakwa dari dakwaan Primair tersebut, (2) Menyatakan Terdakwa Isep Sihabudin Alias Isep Bin Supardi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan” yang didakwakan daiam Dakwaan Subsidair Pasal 351 ayat (1) KUHP, (3) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Isep Sihabudin Alias Isep Bin Supardi dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah para terdakwa tetap ditahan, (4) Menetapkan agar para terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah). Menimbang, bahwa atas tuntutan pidana Penuntut Umum tersebut, terdakwa tidak mengajukan pembelaan atau Pledoi namun mengajukan permohonan secara lisan yang pada pokoknya terdakwa mohon agar: (1) Terdakwa dijatuhi nukuman yang seringan ringannya karena terdakwa telah merasa bersalah dan menyesal atas perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi lagi
Syarat-syarat Sahnya Alat Bukti Syarat-syarat sahnya alat bukti yaitu: (1) syarat Formal, yang berkaitan dengan cara dokter memberikan keterangannya, yakni sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak, (2) syarat Materiil; yang berkaitan dengan isi, yaitu: (a) sesuai dengan kenyataan yang ada pada obyek yang diperiksa, (b) tidak bertentangan dengan teori kedokteran yang telah teruji kebenarannya. Apabila keterangan dokter dalam kapasitasnya sebagai ahli telah memenuhi syarat formal dan syarat materiil, maka keterangan tersebut dapat berfungsi sebagai alat bukti. Kasus Posisi Perkara No:247/PID.B/214/PN.Cbd) Nama lengkap Isep Sihabudin Alias Isep Bin Supardi, tempat lahir Sukabumi, Umur, 24 tahun, tanggal lahir 15 September 1989, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Kp. Bojong Pari RT. 01 RW. 02 Desa Jaya Bakti Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi, agama Islam, Pekerjaan Honorer,Pendidikan SMA (Tamat). Bahwa terdakwa Isep Sihabudin Alias Isep Bin Supardi pada hari Senin tanggal 19 Mei 2014 sekira jam 08.00 WIB atau pada waktu lain dalam bulan Mei 2014 bertempat di Kp. Ciheulang Hilir Rt. 01/08 Desa Ciheulang Tonggoh Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi atau disuatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Cibadak, melakukan penganiayaan terhadap Widiani Safitri Binti Usep Suherman yangmengakibatkan luka-luka berat, Jurnal Ilmiah WIDYA
131
Volume 3 Nomor 3 Januari - Juli 2016
Siswo Putranto Santoso, 126 - 133
Analisis Peran Visum Et Repertum pada Pelaku Penganiayaan, Ditinjau dari Pasal 351 Ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) (Studi Kasus Perkara Nomor: 247/Pid.B/2014/Pn.Cibadak)
perbuatannya, (2) Bahwa antara terdakwa dan korban telah saling memaafkan dan telah terjadi kesepakatan bersama atau perdamaian antara terdakwa dan korban, (3) Pihak Terdakwa teiah membiayai pengobatan korban, (4) Menimbang, bahwa Penuntut Umum atas permohonan terdakwa tersebut Penuntut Umum menyatakan tetap pada Tuntutannya.
memberatkan dan hal-hal yang meringankan dari perbuatan terdakwa. Analisis Yuridis Berdasarkan hasil Visum Et Repertumnomor 44/PEL/V/2015, tanggal 19 Mei 2014, yang dikeluarkan oleh RSUD Sekar Wangi dan ditandatangani oleh dr. Milah Lestari, terbukti saksi korban mengalami cidera. Pemeriksaan dokter berkaitan pasal 351 ayat (1) KUHP dan terdakwa terbukti bersalah, meskipun Dokter yang melakukan pemeriksaan bukanlah dokter ahli kedokteran kehakiman/kedokteran forensik yang tidak mencantumkan kualifikasi atau derajat luka untuk memudahkan interprestasi atau deskripsi luka yang sesuai. Sedangkan pemeriksaan Visum Et Repertum pada Saksi korban diperlukan untuk pembuktian adanya penganiyaan.
Pembuktian dan Putusan Hakim Menimbang, bahwa selanjutnya dipersidangan telah diperiksa saksi yang diajukan oleh Penuntut Umum, yang telah memberikan keterangan dibawah sumpahsebagai berikut: 1. Saksi Widiani Safitri Binti Usep Suherman; bahwa akibat perbuatan terdakwa, saksi mendierita luka-luka sebagaimana hasil Visum Et Repertum Nomor: 44/PEL/V/2014 tanggal 19 Mei 2014 yang dikeluarkan oleh RSUD. Sekarwangi dan ditandatangani oieh dr. Milah Lestari, dengan hasii pemeriksaan sebagai berikut: (a) Terdapat bengkak pada mata kanan, (b) Terdapat luka lecet pada pipi kiri dekat bibir berukuran ±1x0,1 Cm. (c) Terdapat luka lecet pada pipi kanan dekat bibir berukuran ±1x0,1 Cm. Kesimpulan: Bengak dan luka lecet disebabkan oleh trauma tumpul; Atas keterangan saksi ke-1 ini, terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak berkeberatan. 2. Saksi Usep Suherman Bin H. Abdulah Mukti; Bahwa akibat perbuatan terdakwa, saksi menderita luka-luka sebagaimana hasil Visum Et RepertumNomor: 44/PEL/V/2014 tanggal 19 Mei 2014. Atas keterangan saksi ke-2 ini, terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak berkeberatan. 3. Saksi Deuis Binti Aim. Jarkasih; Bahwa akibat perbuatan terdakwa, saksi menderita luka-luka sebagaimana hasil Visum Et RepetumNomor : 44/PEL/V/2014 tanggal 19 Mei 2014 Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut serta dengan memperhatikan ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, maka haruslah dipertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan dengan mempertimbangkan hal-hal yang Jurnal Ilmiah WIDYA
PENUTUP Kesimpulan 1. Dalam mengambil keputusannya, Hakim diberikan wewenang untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana, termasuk upaya Hakim meminta keterangan ahli jika perlu seperti Visum Et Repertum yang dibutuhkan dalam penyidikan tindak pidana penganiyaan. 2. Seperti pada alat-alat bukti yang lain, maka peran Visum et Repertum baik yang dibuat oleh dokter ahli Kedokteran Kehakiman/Kedokteran Forensik atau oleh dokter bukan ahli, dapat diterima mengingat, bahwa kedudukan alat-alat bukti dalam proses acara pidana adalah untuk mendukung keyakinan Hakim. Saran-saran 1. Meskipun di dalam KUHAP, tidak ada keharusan bagi Penyidik untuk mengajukan permintaan Visum et Repertum akan tetapi bagi kepentingan pemeriksaan suatu perkara dan untuk menjernihkan persoalan yang timbul, serta agar lebih jelas perkaranya Visum Et Repertum sebagai alat bukti yang sangat diperlukan. Visum Et Repertum, baik yang dimintakan kepada dokter ahli Kedokteran Kehakiman/Kedokteran Forensik ataupun dokter lainnya. 132
Volume 3 Nomor 3 Januari - Juli 2016
Siswo Putranto Santoso, 126 - 133
Analisis Peran Visum Et Repertum pada Pelaku Penganiayaan, Ditinjau dari Pasal 351 Ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) (Studi Kasus Perkara Nomor: 247/Pid.B/2014/Pn.Cibadak)
2. Penganiyaan pada BAB XX Buku II KUHP, sebagai inti dari BAB XX, mengenai apa yang dimaksud dengan Penganiyaan,dan agar tidak terjadi salah penafsiran seharusnya ada uraian unsur-unsurnya, dan tidak hanya menyebutkan penganiyaan saja. Begitupun dengan Penganiayaan ringan perlu dipertimbangkan untuk dihapuskan karena dengan penghapusan sebutan penganiayaan ringan akan dapat membantu untuk mencegah salah penerapan penafsiran dari kualifikasi luka pada Visum Et Repertum.
______ Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986. ______ Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Karya Anda,Surabaya, 1994. Lamintang PAF, Lamintang Theo, Kejaunghatan Terhadap Nyawa, Tubuh, & Kesehatan,Sinar Grafika,Jakarta, 2010 Marpaung Leden, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Sinar Grafika,Jakarta, 2005 Nyowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1992 Sianturi,SR, Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1983 Soeparmono, R, Keterangan Ahli &Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung 2011 Sofwan Dahlan, Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman bagi Dokter dan Penegak Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang,2002 Tolib Setiady, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Alfabeta, Bandung, 2009 http://herybastyani.blogspot.co.id/2013/06/analisis-kasuspenganiayaan.html
DAFTAR PUSTAKA Abdul Mun’im Idris, Erwin Kristanto, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik Bagi Praktisi Hukum,Sagung Seto, Jakarta, 2009
Jurnal Ilmiah WIDYA
133
Volume 3 Nomor 3 Januari - Juli 2016