UTAMA
INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Sistematika Tata Ruang Nasional dan Kebutuhan Pemahaman Lintas Disipliner Hengky Abiyoso Ketua Lembaga CENREDS Yayasan Pengembangan Planologi dan Arsitektur Untuk Kewiraswastaan Wilayah Tertinggal (Center for Enhancement of Entrepreneurship, Urban and Regional Development Studies). Email:
[email protected] 1. Pendahuluan Tata ruang dengan banyak sistematika yang serba abstrak termasuk di dalamnya adalah masalah lintas bidang menyangkut kepentingan seperti pelestarian lingkungan hidup, kepentingan penataan ruang budidaya bagi kegiatan produktif pemenuhan kebutuhan hidup manusia, kepentingan tata ruang mukim dan ruang sistem mobilitas manusia, bahkan juga menyangkut masalah kepentingan kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan. Dari semua kepentingan itu, sesuatu yang terbanyak dan cukup rumit variabelnya adalah yang menyangkut sistem tata ruang mukim manusia serta sistem ruang mobilitasnya. Hal ini lebih umum disebut sebagai tata ruang sistem kota serta sistem jaringan jalan. Demikian rumit dan penting keduanya, sehingga sering citra tentang tata ruang di mata masyarakat tercermin dari ukuran tentang apa yang dapat dihasilkan oleh sistem ini bagi kesejahteraan masyarakat. 2. Sistematika Sederhana Tata Ruang Berkait masalah tata ruang nasional kita, demikian banyak pihak sangat berkepentingan, diantaranya adalah masyarakat intelektual seperti dari sains ilmu lingkungan, ilmu kehutanan, ilmu pertanian, planologi, arsitektur, dan sebagainya. Dari demikian banyak sistematika tentang tata ruang, salah satu yang paling sederhana berkait dengan prioritas tujuan adalah sistematika tata ruang menurut tujuan-tujuannya yang ‘pro-ekologi’ dan ‘pro-populasi’1). Bila yang pertama adalah untuk tujuan pelestarian dan perlindungan alam serta lingkungan, yang terakhir ini
adalah menyangkut tata ruang untuk aktivitas dan permukiman manusia serta tata ruang untuk kawasan budidaya bagi penopang kebutuhan hidup manusia. Namun demikian, tata ruang ’propopulasi’ harus tunduk dan tidaklah boleh samasekali bertentangan pelaksanaannya dengan azas ‘pro-ekologi’. Masyarakat ilmu lingkungan sangat berkepentingan untuk memastikan bahwa ruang di bumi ini dipergunakan oleh manusia tanpa terjadi perusakanperusakan yang serius di dalamnya, seperti menyangkut ancaman hilangnya species-species tertentu tanaman akibat penggundulan hutan yang akan berdampak pada hilangnya species lain karena terputusnya mata rantai makanan, atau kontrol atas polusi udara yang akan mengancam lapisan ozon dan meningkatnya suhu global, dan sebagainya. Masyarakat ilmu pertanian dan kehutanan berkepentingan atas ruang bagi budidaya pertanian serta hutan industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Namun dalam praktek lapangan ruang-ruang budidaya ini banyak bersinggungan bahkan bertumpang-tindih dengan ruang-ruang konservasi. Sebagai negara agraris, sebagian besar masyarakat kita berkecimpung dengan kegiatan pertanian, perkebunan serta hutan tanaman industri, dimana peningkatannya yang bersifat ekstensif dan agresif dapat mengancam upaya pelestarian lingkungan, utamanya menyangkut area-area pegunungan, tempat dimana sumber air dan kestabilan lereng-lereng dapat terancam, serta bahaya air bah dan longsor dapat menimbulkan kerugian jiwa maupun kerusakan lingkungan yang mahal.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006 Sementara itu ruang-ruang bagi permukiman, kegiatan serta mobilitas manusia juga memerlukan pengaturan tersendiri. Bila tidak, maka berbagai kebutuhan mukim, kegiatan serta mobilitas manusia dapat bertumpang tindih dengan kebutuhan ruang-ruang konservasi serta ruang-ruang budidaya. Ruang-ruang bagi kebutuhan konservasi alam dapat dipandang sebagai relatif permanen dan variasi jenis eksploitasi ruangnya dapat dipandang sebagai mendekati nol berkait dengan tujuan pelestariannya maka ia tak dieksploitasi. Sementara itu eksploitasi ruang-ruang budidaya bagi kebutuhan hutan industri serta kegiatan pertanian dapat dipandang sebagai intensif, namun variasi pola eksploitasi ruangnya dapat dikatakan sederhana, terbatas atau nyaris permanen. Sebuah area hutan industri yang diperuntukkan bagi budidaya hutan pinus misalnya, selama belasan atau puluhan tahun pola eksploitasinya nyaris tak akan berubah, demikian juga dengan area bagi budidaya pertanian, perkebunan, perikanan atau peternakan. Sebaliknya, variasi kebutuhan ruang bagi pemukiman, 4. aktivitas serta mobilitas manusia adalah demikian sangat kompleksnya. 3. Multi Fungsi Sistem Kota Kebutuhan mukim manusia bervariasi dari yang sangat sederhana seperti rumah di ladang, secara ekstensif berupa rumah vila di luar kota dengan pekarangan yang luas sampai yang sangat intensif berupa apartemen dengan lantai ganda di tengah kota. Kebutuhan ruang beraktivitas manusia dapat berupa ruang bagi produktivitas seperti pabrik, kantor, toko, pasar, sekolah atau studio. Kebutuhan ruang bagi pengembangan diri adalah seperti lembaga-lembaga sekolah, universitas, balai diklat dan kebutuhan akan ruang bagi waktu senggang adalah seperti taman-taman, tempat rekreasi, museum, teater, sarana olah raga dan sebagainya. Sementara itu kebutuhan ruang untuk mobilitas manusia dapat dimulai dari jalan setapak, jalan arteri, jalan bulevar, jalan simpang susun, jalan tol, bandara, terminal dan sebagainya.
Bila kebutuhan ruang bagi keperluan konservasi alam serta budidaya pertanian dan hutan seperti tak mengenal hierarkhi, tak demikian halnya dengan ruang kebutuhan mukim dan aktivitas bagi manusia. Mendekati lahan-lahan budidaya pertanian dan hutan sebagai tempat aktivitas utama atau profesinya, manusia cenderung tinggal relatif mengumpul pada satuan-satuan ruang yang disebut sebagai desa. Kemudian dari sekian banyak satuan permukiman desa akan diperlukan sebuah pusat layan yang disebut sebagai kota kecamatan. Setelah itu konstelasi sejumlah desa dan kota kecamatan itu akan membutuhkan sebuah pusat layanan yang disebut sebagai kota kabupaten. Jenjang di atasnya adalah kemudian kota menengah yang membawahi beberapa kota kabupaten, kemudian kota besar atau kota metropolis yang dapat membawahi sebuah propinsi, serta terakhir adalah kota megapolitan yang tak jarang harus melayani beberapa kota metropolitan. Aglomerasi, Tertinggal
Wilayah
Maju
dan
Sehubungan dengan pemusatanpemusatan aktivitas manusia yang cenderung mengumpul karena pertimbangan keuntungan skala ekonomi atau keuntungan dari lokasi yang saling berdekatan satu sama lain antar unit-unit ekonomi yang disebut sebagai keuntungan ‘aglomerasi’, maka kemudian kecenderungan dari permukiman manusia itu adalah serba memusat, yang kemudian disebut sebagai sistem kota. Dampaknya adalah kemudian muncul apa yang disebut sebagai ‘wilayah-wilayah maju’, tempat dimana kepadatan penduduk membentuk satuan-satuan kota besar kecil yang jaraknya serba efisien, unit-unit ekonominya saling berdekatan serta dalam jumlah yang ideal itu akan semakin menggembirakan ‘pasar’, dimana dengan itu investasi-investasi semakin dipandang sangat menguntungkan apabila diputuskan untuk diletakkan pada wilayahwilayah ‘padat’ seperti itu, dan keadaan itu lebih lanjut memicu lagi datangnya arus
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006 migrasi penduduk dari wilayah-wilayah ‘miskin’.
Tata ruang sistem kota juga membutuhkan tingkat-tingkat (hirarkhi) perencanaan, seperti di tingkat nasional dibutuhkan sistem kota secara nasional menyangkut besaran dan jarak yang terpadu (national city size distribution system) yang akan mendukung sistem makro ekonomi nasional secara terpadu pula. Selanjutnya adalah kebutuhan perencanaan intraregional yang terpadu, dan di bawahnya lagi adalah keperluan perencanaan pada tingkat lokal.
Pada sisi lain dari ‘wilayah maju’ muncul pula apa yang disebut sebagai ‘wilayah tertinggal’, dimana sebaliknya, keadaannya adalah serba kepadatan penduduknya yang relatif rendah, satuansatuan sistem kotanya adalah kota-kota relatif kecil yang sangat tersebar dan dengan jarak saling berjauhan serta kurang efisien, sehingga akan kurang menguntungkan bagi investasi. Sering terjadi keputusan lokasi investasi serta 5. Kompleksitas Tata Ruang Sistem Kota keputusan bermukim dari penduduk di dan Kerjasama Lintas Sektor wilayah tertinggal itu cenderung berpindah Secara internal tata ruang sistem kota menuju ke wilayah maju karena sangat lah kompleks, demikian pula kemudahan hidup yang lebih banyak dengan masalah eksternal lainnya. didapatkan di sana daripada keadaan di Secara internal, karena tata ruang kota wilayah tertinggal itu. Keadaan seperti ini menyangkut sistem serta ketahanan sangat merugikan bagi kinerja makro perekonomian serta sistem perencanaan ekonomi nasional, karena pada wilayah kesempatan kerja nasional, ada beberapa tertinggal banyak sekali potensi-potensi hal yang menarik untuk diperhatikan yaitu: terpendam terpaksa tak dapat digali dan dimanfaatkan. Pertama, terdapat kebutuhan secara nasional akan perencanaan sistem kota Sementara sebaliknya, pada wilayah secara nasional yang integrated. sangat maju pasokan berbagai jasa sejenis sering melebihi kebutuhan, Kedua, karena perkembangan teori sehingga terjadi apa yang disebut sebagai ilmu perencanaan ruang ––dengan ‘duplikasi dan kesiasiaan’. Pada area demikian juga teori tentang sistem kota–– yang sama dapat muncul demikian banyak adalah sangat multiinterpretatif, berakibat pusat perbelanjaan, sehingga beberapa di di antara para pakar keruangan terdapat antaranya akhirnya akan tutup karena bermacam multiinterpretasi yang sangat kekurangan pengunjung. Pembangunan bervariasi atas teori keruangan serta teori jalan layang dan kemacetan lalulintas perkotaan yang sama. Hal ini terus saling berpacu, padahal mengakibatkan adanya pertentangan pembangunan itu seharusnya dapat lebih pendapat yang tajam dan menjadi salah dialokasikan pada sektor lainnya. satu faktor yang belum dapat disinergikan sebagai satu kesatuan utuh sebagai Situasi-situasi seperti itu sumbangan kemajuan ilmu tata ruang kota membutuhkan intervensi-intervensi bagi pembangunan nasional serta sistem perencanaan seperti tentang bagaimana kota secara nasional. situasi ketimpangan itu dapat diredakan, dimana perkembangan wilayah tertinggal Ketiga, dapat dikemukakan di sini dapat dirangsang agar dapat mengalir bahwa seandainya boleh menggunakan migrasi dan relokasi investasi dari wilayah pembading dengan perkembangan ilmu maju dapat terjadi. Dengan kata lain, tata lainnya, maka ilmu perencanaan ruang ruang bagi kebutuhan aktivitas, adalah ‘seperti kurang beruntung’. Tidak pemukiman serta mobilitas manusia atau jarang ilmu ini di golongkan pada ilmu-ilmu disebut kebutuhan akan ‘tata ruang sistem yang tidak begitu leluasa untuk kota’ adalah yang paling kompleks dikomersialkan. Atau dengan perkattan dibanding dengan kebutuhan akan tata lain ilmu ini lebih pantas untuk ruang bagi kebutuhan konservasi sistem disumbangkan bagi negara, bangsa dan ekologi serta budidaya pertanian dan kemanusiaan. hutan. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006 Hipotesa keruangan beserta studi lengkapnya seperti tentang perlunya Indonesia memiliki countermagnet city seukuran Jabodetabek di kawasan timur Indonesia, tidak akan pernah memenuhi pangsa pasar atau terjual, dan penulisnya telah akan bersyukur bila kajian tersebut perlahan-lahan mulai dapat diterima oleh seluruh bangsa dan bersama-sama diupayakan konkretisasinya, walau untuk itu harus dilalui berbagai proses perdebatan yang cukup panjang. Ketika hasil studi ilmu perencanaan kota memiliki peluang untuk dikomersialkan, tidak dapat dipungkiri bahwa kemudian terjadi praktik praktik komersialisasi yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini kemudian menimbulkan kesan masyarakat bahwa pembangunan sistem kota di Indonesia kemudian menjadi sangat buruk. Akibat ‘salah arah’ dari segelintir para perencanaan kota tersebut, yang berakibat kurang mendukung upaya pembangunan wilayah serta sistem kota yang integrated secara nasional itu, maka selain citra pembangunan sistem kota menjadi buruk, bersama industri ia tak kurang juga kemudian ‘dimusuhi’ oleh banyak masyarakat intelektual dari bidang pertanian dan perdesaan. Kota tidak mampu memberikan kesan pusat kewiraswastaan, pusat intelektualitas serta pusat kemajuan seperti Singapura, Tokyo, New York atau Toronto. Yang terjadi kemudian munculnya ‘kota-kota baru arogan’ serta industri berorientasi Jawa sentrisme atau Jabotabek sentrisme. Kompleks perumahan di seputar kota metropolitan seperti Jakarta, Surabaya atau Bandung terlihat memakai tembok keliling, gerbang, satpam serta tak jarang juga gaya eksklusivisme penghuninya, dimana setiap jengkal daripada ‘kota’ milik developer itu harus dibeli atau diangsur dengan KPR. Sering lahan pertanian yang subur harus beralih fungsi untuknya, padahal kelebihan tenaga kerja pertanian di desa seharusnya dapat ditampung di kota. Akhirnya nampak bahwa perencana tentang ‘kota untuk rakyat’ belum lah mencapai titik yang diharapkan.
Strategi pemanfaatan kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian dan perdesaan seharusnya dapat dikelola dengan lebih rapi pada sektor perkotaan dan industri serta jasa, sambil terus meningkatkan kinerja sektor pertanian. Kerjasama antara masyarakat pertanian dan perkotaan seharusnya dapat lebih akrab, erat, dan bukan sebaliknya. Desa dan kota seharusnya saling tergantung dan saling membutuhkan. Tidak kalah penting adalah peranan lembaga terkait dalam mensinergikan sumberdaya antar desa dan kota. HKTI misalnya, harus mampu berbicara tentang rural development bahkan urban development bagi pengelolaan kelebihan tenaga kerja di desa, bekerjasama dengan planolog dan arsitek. Selain itu, perhatian pada wilayah perbatasan adalah sesuatu yang serius untuk tak mengulang kasus penggeseran patok batas negara di hutan Kalimantan atau lepasnya pulau Sepadan, Ligitan serta tenggelamnya beberapa pulau kecil di perbatasan dengan Singapura karena bisnis ilegal pengerukan pasir laut yang membawa resiko dampak pergeseran batas negara yang dapat merugikan Indonesia. 6. Langkah Perbaikan ke Depan
Kedepan apakah yang dapat disumbangkan oleh masyarakat pemerhati masalah tata ruang bagi perbaikan sistem serta pelaksanaannya agar tata ruang nasional dapat memberikan hasil konkrit pada kesejahteraan masyarakat? Pertama harus diingat bahwa masalah tata ruang nasional kini ditangani oleh oleh Badan Eksekutif yang disebut BKTRN 2) (Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional). Berdsarkan Keppres No. 62 Th. 2000 secara terstruktur terdiri dari Ketua : Menko Perekonomian, Wakil Ketua : Menteri PU, Sekretaris : Ketua Bappenas, Anggota : Menteri Pertanian, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Otonomi Daerah dan Ketua BPN. Bahwa terdapat banyak keluhan menyangkut intransparansi serta berbagai kebijakan tata ruang yang tidak tepat seperti tentang Strategi Kapet yang
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006 dapat dibahas setiap hari setiap saat dianggap sebagai tidak tepat guna, secara terhormat dan setara dengan adanya usulan tata ruang terpadu BKTRN. kawasan kota megapolitan oleh Gubernur DKI dan bukan oleh BKTRN, sistem hirarkhi kota yang tak jelas, serta banyak keluhan lain, menunjukkan ketidakterpaduan pada sistem dan 1). Seperti uraiannya dapat dibaca pada kebijakan tata ruang nasional kita. artikel atau makalah “Wawasan Tata Ruang” oleh Prof. Djoko Sudjarto pada Bila eksekutif memiliki badan BKTRN, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota adakah DPR memiliki badan kontrolnya Edisi Juli 1992 terbitan Jurusan Teknik yang definitif? Para pengurus BKTRN Planologi, ITB, maka terdapat demikian masing-masing memiliki partner kerja banyak definisi tentang tata ruang, seperti Komisi di DPR 3) yang jelas sejak dari misalnya yang dikemukakan oleh Lynch Menko Perekonomian, Menteri PU, Ketua dan Rodwin (1958), Foley (1964, 1967), Bappenas yang masing-masing berpartner (Wheaton, 1967), Weber (1967), Porteous dengan Komisi Vi, V dan XI. Anggota (1977), Wetzling (1978), Rapoport (1980), BKTRN seperti Menteri Pertahanan, Chadwick (1981), I Made Sandy (1986), Menteri Dalam Negeri, Ketua BPN dan Soenaryono Danujo (1987) dan Menteri Pertanian adalah partner kerja dari sebagainya. Komisi I, II dan IV. Lalu bagaimana seharusnya rapat kerja tata ruang nasional Sejauh ini penulis belum menemukan antara eksekutif dan DPR? Adakah harus apakah sebelumnya sistematika tataruang selalu terdapat rapat gabungan Komisi I, II, sebagai ‘pro-ekologi’ dan ‘pro-populasi’ ini IV, V, VI XI dan seluruh pengurus serta telah pernah dikemukakan oleh para anggota BKTRN, atau akankah pakar sains keruangan atau belum. masalahnya disederhanakan menjadi Penulis samasekali bukan merasa dalam sekedar rapat kerja antara seorang Ketua kapasitasnya sebagai pakar, namun BKTRN Menko Perekonomian dan Komisi sekedar sebagai seorang aktivis LSM VI saja? dalam bidang pengabdian sosialisasi tataruang bagi rakyat maupun bagi dialog Dengan terkadinya perbaikan sistem lintas disiplin ilmiah selama lebih dari 10 demokrasi dan legislasi dalam sistem tahun, mendapatkan bahwa tataruang pemerintahan dan kehidupan kita, seperti bukanlah sesuatu yang mudah dipahami. dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Tak hanya oleh masyarakat awam, namun Korupsi), walau telah terdapat badan bahkan oleh banyak masyarakat badan seperti Mahkamah Agung, intelektual dari disiplin ilmiah lain seperti Kejaksaan serta Kepolisian oleh misalnya ilmu hukum, ilmu agama, teknik Pemerintah. Kemudian dibentuk pula industri, ilmu pertanian dan sebagainya. Komisi Yudisial, tempat dimana Penulis mendapatkan, bahwa semakin masyarakat dapat melaporkan batasan atau sistematika keruangan keraguannya atas kinerja badan peradilan, disajikan sesuai tatabahasa dan visi dari Komisi Kejaksaan bagi alat kontrol para pakar itu, maka ia seperti semakin Lembaga Kejaksaan, dan kelak Komisi tak mudah dipahami oleh masyarakat Kepolisian bagi alat kontrol Lembaga bahkan disiplin ilmiah lain selain daripada Kepolisian, dan sebagainya. tataruang itu sendiri. Bila kita ingin menapak kesuasana perbaikan sistem tata ruang nasional yang 2). BKTRN (Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional) yang dibentuk dengan Keppres lebih konkrit, Komisi Nasional Independen No. 75 tahun 1993, adalah bentuk yang mengontrol masalah Kebijakan Tata peningkatan dari sebuah Tim Kerja yang Ruang Nasional4) kita adalah salah satu semula dinamai sebagai “Tim Kordinasi alternatif yang sudah selayaknya Pengelolaan Tata Ruang Nasional” yang diperhatikan dan dilaksanakan dengan diketuai oleh Ketua Bappenas dengan sungguh sungguh. Diperlukan forum yang beberapa Menteri terkait masalah konkrit atas masalah tataruang nasional, tataruang sebagai anggotanya (Keppres tempat dimana kapan saja masalah itu Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006 No. 57 Tahun 1989). Badan ini kemudian pada masa Presiden Abdurrahman diubah susunan kepengurusannya (Keppres No. 62 Tahun 2000) seperti bila semula ketuanya adalah Ketua Bappenas, maka kini adalah Menko Perekonomian, Wakil Ketuanya adalah Menteri PU, dan Sekretaris BKTRN adalah Ketua Bappenas. Anggota-anggota BKTRN adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Pertanian, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara Otonomi Daerah dan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Badan ini memiliki Tim Teknis yang diketuai oleh Menteri PU. 3).
Tentang bidang-bidang yang dibawahi oleh Komisi-Komisi di DPR serta hubungan kerjanya dengan menterimenteri kabinet terkait, susunan selengkapnya kiranya dapat diperiksa antara lain pada website Humas Sekretariat Jendral DPR-RI.
4). Komisi Nasional Independen yang mengontrol masalah Kebijakan Tata Ruang Nasional atau dapat disingkat menjadi Komisi Nasional Tata Ruang adalah pemikiran penulis tentang perlunya
dibentuk semacam Komisi ‘adhoc’ sebagaimana sebelumnya telah terdapat Komisi-Komisi seperti itu seperti Komnas HAM, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan,. KPK dan sebagainya, dimana bidangbidang seperti itu dipandang seperti masih kurang dapat ditangani dengan lebih efektif oleh 11 Komisi-Komisi DPR yang ada, dimana bila 11 Komisi di DPR seperti lebih merupakan cerminan tempat kedudukan partai-partai politik peserta Pemilu, sedangkan Komisi adhoc atau Komisi Khusus yang umumnya lebih bersifat teknis, dimaksudkan lebih berisi pakar-pakar dibidang dimaksud. Dari demikian banyak (l.k. 45 buah) Komisi Nasional yang ada, tak semuanya dipandang bekerja efektif dan justru sering digerutui masyarakat sebagai ‘membebani anggaran negara’, sehingga dalam beberapa kesempatan penulis menyampaikan bahwa Komisi Tata Ruang bila perlu didirikan dan dikerjakan secara sukarela, atau Komisi-Komisi ad-hoc sebaiknya ‘Datang dan Pergi’ atau ‘Aktif dan Non-Aktif’ sesuai kadar urgensi atau kegawatan masalahnya, agar tak terus menerus membebani anggaran negara.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia