SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN PENGENDALIAN MUTU PRODUKSI UDANG BEKU
Oleh DESTY PRASASTI F34102104
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Desty Prasasti. F34102104. Sistem Penunjang Keputusan Pengendalian Mutu Produksi Udang Beku. Di bawah bimbingan Eriyatno.
RINGKASAN Sebagai komoditi ekspor, udang beku memerlukan penanganan yang baik agar tidak mengalami penurunan mutu. Hal tersebut dikarenakan standar mutu yang ditetapkan negara tujuan tinggi dan konsumen sangat memperhatikan keamanan produk pangan yang akan dikonsumsi. Dalam produksi udang beku, teknik pengendalian mutu merupakan usaha untuk mempertahankan dan memperbaiki mutu produk ya ng dihasilkan agar sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Sistem penunjang keputusan berbasis komputer akan membantu para pengambil keputusan dalam proses pengambilan keputusan mengenai pengendalian mutu dalam agroindustri udang secara cepat, tepat, dan akurat. Sistem yang dikaji mencakup pengendalian mutu pada pasca panen udang segar dan industri pembekuan udang, mulai dari penerimaan bahan baku, proses produksi udang beku, sampai produk akhir udang beku yang siap diekspor. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui faktor dan parameter yang berpengaruh terhadap pengendalian mutu produksi udang beku dan merancang model sistem penunjang keputusan pengendalian mutu produk pada industri pengolahan udang beku. Model sistem pengendalian mutu produk si udang beku ini dirancang dengan nama QuShrimp. QuShrimp terdiri dari sub model Contoh, Pemeriksaan Mutu, Keputusan Lot Produk, dan Biaya Mutu. Sub model Contoh digunakan untuk menentukan rancangan pengambilan contoh dalam berbagai alternatif menggunakan acceptance sampling. Masukan sub model ini yaitu jumlah lot, nilai AQL (tingkat mutu yang dapat diterima), tipe dan pemeriksaan untuk resiko produsen, dan nilai LTPD (persen rusak toleransi untuk resiko konsumen). Keluaran Sub model Contoh adalah jumlah contoh uji (n), bilangan penerimaan (c), peluang penerimaan (Pa) dan kurva karakteristik operasi (kurva OC). Sub model Pemeriksaan Mutu dirancang berdasarkan karakteristik mutu dari standar mutu yang ditetapkan. Pemeriksaan mutu dilakukan dengan penilaian fisik baik secara organoleptik maupun dengan bantuan instrumen. Parameter mutu produk meliputi warna, bau, tekstur, penampakan, kulit, kotoran, bobot, suhu, keseragaman ukuran, benda asing, kondisi permukaan, dehidrasi, kemasan, dan label. Sub model Keputusan Lot Produk membantu menentukan keputusan penerimaan atau penolakan lot produk. Sub model Biaya Mutu digunakan untuk estimasi biaya mutu produk segar dan produk olahannya. Verifikasi model QuShrimp untuk rancangan pengambilan contoh udang segar berdasarkan resiko konsumen (industri) dilakukan pada LTPD 1% dan 5% terhadap lot bahan baku udang segar sebanyak 972 kg. Contoh diambil sebanyak 335 kg untuk LTPD 1% dengan maksimum cacat yang diperbolehkan sebanyak 1 kg dan 225 kg untuk LTPD 5% dengan maksimum cacat yang diperbolehkan sebanyak 7 kg. Peluang penerimaan terhadap lot produk dengan pengujian
menggunakan nilai LTPD 1% yaitu sebesar 0.501 dan untuk LTPD 5% sebesar 1.000. Biaya pemeriksaan mutu untuk lot yang ditolak dan dikembalikan ke pemasok adalah Rp 438,28/kg untuk LTPD 1% dan Rp 3.717,61/kg untuk LTPD 5%. Biaya untuk melakukan pemeriksaan ulang adalah Rp 863,81/kg untuk LTPD 1% dan Rp 3.717,61/kg untuk LTPD 5%. Perbandingan antara biaya mutu dan biaya produksi yang harus dikeluarkan pada tahap penerimaan bahan baku untuk skenario 1 adalah 0.72% dan 5.80%, sedangkan untuk skenario 2 adalah 1.41% dan 5.80%. Untuk LTPD 5% persentase tersebut sudah melebihi batas biaya mutu yang ditetapkan oleh perusahaan yaitu sebesar 3.8%, sehingga pemeriksaan mutu tidak dapat dilakukan. Verifikasi terhadap produk olahan sebanyak 540 unit udang beku dilakukan pada nilai AQL 1.5%, 6.5 % dan 10 % dengan tingkat pemeriksaan 2 dan tipe pemeriksaan normal. Jumlah contoh yang harus diuji untuk ketiga nilai AQL adalah sebanyak 80 unit dengan maksimum jumlah cacat 3, 10 dan 14 unit. Biaya mutu bahan baku di tingkat pasca panen dan produk olahan menggunakan prinsip yang sama yaitu berdasarkan resiko produsen. Pada nilai AQL 1.5%, 6.5% dan 10%, biaya mutu yang dihasilkan untuk bahan baku di tingkat pasca panen adalah Rp 1.167,76/kg, Rp 1.312,58/kg dan Rp 2.010,00/kg, sedangkan untuk produk olahan yaitu Rp 2.683,27/unit, Rp 3.865,57/unit dan Rp 5.939,64/unit. Perbandingan antara biaya mutu dan biaya produksi yang harus dikeluarkan pada tingkat pasca panen untuk ketiga nilai AQL adalah sebesar 2.22%, 2.49%, dan 3.76 %, sedangkan pada pemeriksaan produk olahan adalah sebesar 1.32%, 1.90%, dan 2.88%. Nilai perbandingan tersebut masih relatif kecil dan tidak melebihi batas biaya mutu yang ditetapkan oleh perusahaan yaitu sebesar 3.8% dari biaya produksi, sehingga kegiatan pemeriksaan mutu masih efektif. Model QuShrimp dapat dikembangkan dengan mengintegrasikannya dengan model lain yang terkait dengan sistem agroindustri pengolahan udang seperti model perencanaan produksi, pengadaan bahan baku, finansial, dan pemasaran sehingga menjadi suatu sistem manajemen agroindustri pengolahan udang yang menyeluruh. Sistem pengendalian mutu juga dapat dikaji lebih lanjut dengan strategi peningkatan kualitas proses dan produk udang beku.
Desty Prasasti. F34102104. Decision Support System of Quality Control for Frozen Shrimp Production. Under supervision of Eriyatno.
SUMMARY As an export commodity, frozen shrimp requires good handling to prevent quality degradation. It is because of quality standard established by exported country usually in high grade and their consumer very concerned about food product safety. In frozen shrimp production, it needed good quality control system to guarantee quality and product safety. Quality control technique could be applied to maintain and improve quality of product according to the standard. Computer based Decision Support System would help decision makers in decision making process about quality control in frozen shrimp industry quickly, precisely and accurately. Recited system includes quality control of harvest post time and frozen shrimp industry starting from raw material handling, production process until the end product. The objectives of this study was to identify the factor and parameter which influence the frozen shrimp quality and to design decision support model system of product quality control in processing industry. System model of quality control for frozen shrimp production called QuShrimp, consists of sampling, quality inspection, lot product decision, and quality cost submodel. Sampling submodel used to determine sampling device using acceptance smpling technique. Inputs of this model were sum of lot, AQL value, type and inspection for the producer risk, and LTPD value. Outputs of sample model were amount of sample test (n), acceptance number (c), acceptance opportunity (Pa), and curve of characteristic operation. Quality inspection submodel enabled user to check quality of the product based on the characteristic of quality standard. Quality inspection was conducted with evaluation by organoleptic or instrumental measurement. The quality parameter for inspection were color, odor, texture, appearance, skin, filth, weight, temperature, uniformity, foreign object, freeze surface condition, dehydration, packing material condition, and label. Lot product decision submodel assisted user to determine acceptance or rejection of lot product. Quality cost submodel used to estimate quality control expenses of fresh product quality and its product. Verification model, which was applied to 972 kg of fresh shrimp raw material product with LTPD value 1% and 5 %, indicate sample amount in sampling as much as 335 kg and 225 kg. Maximum defect for both of LTPD value was 1 kg and 7 kg. If the value of LTPD which was used greater, the sample will progressively decreasing. Acceptance probability for lot product were 0.501 and 1.000. The quality inspection costs of rejected and returned lot to supplier were Rp 438,28/kg for LTPD 1% and Rp 3.717,61/kg for LTPD 5%.The costs of reinspection were Rp 863,81/kg for LTPD 1% and Rp 3.717,61/kg for LTPD 5%. The comparison between quality cost and production cost of raw material handling for scenario I were 0.72% dan 5.80%, while for scenario 2 were 1.41% and 5.80%. For LTPD 5%, the value is exceed the quality cost limit that company allowed which is 3.8%, so that quality inspection is not reasonable to be done.
The quality control cost are still relative low compare to production cost on raw material handling, so that quality inspection are still reasonable to be done. Verification of 540 units frozen shrimp was done at AQL value 1.5%, 6.5% and 10% with inspection grade 2 and normal type. Amount sample of frozen shrimp for three AQL value were 80 units with maximum defect value were 3, 10 and 14 units. The cost of raw material quality in harvest post-time level and final product use same principle according producer risk. Verification QuShrimp model for raw material and final product quality cost calculate in different level AQL values that are 1.5%, 6.5% and 10%. The quality cost in harvest post-time raw material were Rp 1.167,76/kg, Rp 1.312,58/kg and Rp 2.010,00/kg, while for final product were Rp 2.683,27/unit, Rp 3.865,57/unit dan Rp 5.939,64/unit. The comparison between quality cost and production cost in harvest post-time level were 2.22%, 2.49%, and 3.76 %, while for final product were 1.32%, 1.90%, dan 2.88%. The quality control cost are still relative low compare to production cost and under the quality cost limit that company allowed which is 3.8%, so that quality inspection are still reasonable to be done. QuShrimp model could be improved by integrate with related decision support system in frozen shrimp agroindustrial system, such as model for financial system, availability of basic material, and production planning.
SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN PENGENDALIAN MUTU PRODUKSI UDANG BEKU
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh DESTY PRASASTI F34102104
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN PENGENDALIAN MUTU PRODUKSI UDANG BEKU
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh DESTY PRASASTI F34102104
Dilahirkan pada tanggal 29 Desember 1983 di Solo
Tanggal lulus: 16 November 2006
Menyetujui, Bogor, Desember 2006
Prof. Dr. Ir. H. Eriyatno, MSAE Dosen Pembimbing
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul : "SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN PENGENDALIAN MUTU PRODUKSI UDANG BEKU” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, November 2006 Yang membuat pernyataan,
Desty Prasasti F34102104
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Solo pada tanggal 29 Desember 1983 dari pasangan Sugiyono Hatmokaryono dan Ika Hertika. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Pendidikan dasar penulis diselesaikan pada tahun 1996 di SDK Mater Dei, kemudian dilanjutkan ke SMP Pangudi Luhur Jakarta dan lulus pada tahun 1999. Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Tarakanita I Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis melaksanakan praktek lapang di PT. Wirontono Baru, Jakarta pada tahun 2005 dengan topik ”Mempelajari Aspek Manajemen Produksi dan Pengawasan Mutu pada Industri Pembekuan Udang di PT. Wirontono Baru, Jakarta”. Kegiatan organisasi yang diikuti oleh penulis selama masa kuliah adalah Himpunan Profesi Mahasiswa Teknologi Industri (Himalogin).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pengendalian mutu, dengan jud ul Sistem Penunjang Keputusan Pengendalian Mutu Produksi Udang Beku. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. H. Eriyatno, MSAE selaku dosen pembimbing akademik atas saran, arahan serta bimbingannya, 2. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA dan Ir. Sugiarto, MSi selaku dosen penguji atas koreksi dan masukannya, 3. Bapak Agung Fitriyanto, SE, Ibu Ir. Puji, Mbak Dewi, Pak Wawan, dan seluruh staf PT. Wirontono Baru atas bantuan dan informasinya, 4. Bapak, Ibu, dan Adik Vanggar tersayang, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya, 5. Dewata Priyo Hanggodo, Papa Tony, Mama Dewi, dan De’ Rahma atas kasih sayang, dukungan serta semangatnya, 6. Sophie, Sarah, Geo, Dira, Ochi, Kak Imel, Kak Rika, dan seluruh temanteman di Pondok Putri YN49, atas masukan dan semangatnya, 7. Sesar H.S dan Nunung sebagai rekan sebimbingan, Dinda, Deby, Iyas, Jerry, Adriel, Samuel, Thomas, Indri, Indra, Anisa, Juwi, Wiwie, Dina, Ikhlas, serta seluruh rekan-rekan TIN ’39 atas masukan dan dukungannya, 8. Sashkia, Risye, Ranti, Rini, Ninta, Novi, Riri, Monic, Michael, Devi, dan Andre, who always there in good and bad times, 9. Pak Saroyo, Pak Aja dari tambak udang di desa Cikeris Karawang, Pak H. Endang dari tempat pengumpul udang di Cilincing, dan Mas Roni atas bantuan dan informasinya, 10. Semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, November 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR....................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii I.
PENDAHULUAN.................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG........................................................................ 1 B. RUANG LINGKUP........................................................................... 2 C. TUJUAN............................................................................................. 3
II.
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 4 A. UDANG WINDU (Penaeus monodon) ............................................. 4 B. UDANG BEKU.................................................................................. 5 C. PASCA PANEN UDANG.................................................................. 6 D. PENGENDALIAN MUTU................................................................ 9 E. BIAYA MUTU................................................................................. 10 F. SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN........................................... 14 G. PENELITIAN TERDAHULU.......................................................... 17
III.
LANDASAN TEORI.............................................................................. 18 A. TEKNIK HEURISTIK......................................................................18 B. STATISTIKA PENGENDALIAN MUTU.......................................19 C. TABEL PENGAMBILAN CONTOH.............................................. 26
IV.
METODOLOGI PENELITIAN..............................................................28 A. KERANGKA PEMIKIRAN............................................................. 28 B. PENDEKATAN SISTEM................................................................ 29 C. TATA LAKSANA............................................................................ 35
V.
PERMODELAN SISTEM...................................................................... 37 A. KONFIGURASI MODEL................................................................ 37 B. RANCANG BANGUN MODEL..................................................... 41
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 52 A. ANALISIS KONDISI PERUSAHAAN........................................... 52 B. MODEL QuShrimp...........................................................................60 C. PASCA PANEN UDANG................................................................ 82 VII. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 93 A. KESIMPULAN................................................................................. 93 B. SARAN............................................................................................. 95 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 96 LAMPIRAN.................................................................................................... 99
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Komposisi kimia rata-rata daging udang ........................................... 5
Tabel 2.
Spesifikasi persyaratan mutu produk udang beku.............................. 6
Tabel 3.
Variabel masukan dan keluaran sub model Contoh pengambilan contoh tunggal untuk bahan baku di tingkat pasca panen............... 43
Tabel 4.
Variabel masukan dan keluaran sub model Contoh pengambilan contoh tunggal untuk bahan baku di tingkat industri....................... 43
Tabel 5.
Variabel masukan dan keluaran sub model Contoh pengambilan contoh tunggal untuk proses produksi............................................. 44
Tabel 6.
Variabel masukan dan keluaran sub model Contoh pengambilan contoh tunggal untuk produk olahan............................................... 44
Tabel 7.
Variabel masukan dan keluaran sub model Contoh pengambilan contoh ganda untuk bahan baku di tingkat pasca panen ................. 45
Tabel 8.
Variabel masukan dan keluaran sub model Contoh pengambilan contoh ganda untuk proses produksi ............................................... 45
Tabel 9.
Variabel masukan dan keluaran sub model Contoh pengambilan contoh ganda untuk produk olahan ................................................. 46
Tabel 10. Parameter mutu bahan baku udang segar tingkat pasca panen ........ 46 Tabel 11. Parameter mutu bahan baku udang segar ......................................... 47 Tabel 12. Parameter mutu tingkat proses produksi tahap koreksi size............. 47 Tabel 13. Parameter mutu tingkat proses produksi tahap deteksi logam ......... 47 Tabel 14. Parameter mutu produk olahan udang beku..................................... 47 Tabel 15. Variabel masukan dan keluaran sub model Biaya Mutu bahan baku tingkat pasca panen.......................................................50 Tabel 16. Variabel masukan dan keluaran sub model Biaya Mutu bahan baku tingkat industri.............................................................. 50 Tabel 17. Variabel masukan dan keluaran sub model Biaya Mutu produk olahan.................................................................................. 51 Tabel 18. Volume ekspor PT. Wirontono Baru per Januari-Mei 2005 (kg)..... 52 Tabel 19. Masukan dan keluaran rancangan pengambilan contoh bahan baku udang segar resiko konsumen........................................ 64 Tabel 20. Masukan dan keluaran rancangan pengambilan contoh produk olahan udang beku resiko produsen, tipe pemeriksaan normal........ 66 Tabel 21. Masukan dan keluaran rancangan pengambilan contoh produk olahan udang beku resiko produsen dengan tiga tipe pemeriksaan 69
Tabel 22. Masukan dan keluaran rancangan pengambilan contoh tunggal dan ganda produk olahan udang beku resiko produsen....... 71 Tabel 23. Standar ukuran berat timbangan per size udang............................... 74 Tabel 24. Masukan pada sub model Biaya Mutu bahan baku udang segar di tingkat industri .................................................................... 78 Tabel 25. Keluaran sub model Biaya Mutu bahan baku udang segar di tingkat industri ............................................................................. 79 Tabel 26. Masukan pada sub model Biaya Mutu bahan baku udang di tingkat pasca panen dan produk olahan udang beku.....................80 Tabel 27. Keluaran sub model Biaya Mutu dari 20 kg contoh udang segar.... 81 Tabel 28. Keluaran sub model Biaya Mutu dari 80 unit contoh udang beku... 81 Tabel 29. Analisa Keuangan Petambak Udang Satu Musim Tanam (Mei-Juli 2006)................................................................................. 86 Tabel 30. Analisa Keuangan Pedagang Pengumpul pada Juli 2006................. 90
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Struktur dasar sistem penunjang keputusan .............................. 16
Gambar 2.
Kurva OC ideal bagi konsumen ................................................ 23
Gambar 3.
Kurva OC ideal bagi produsen .................................................. 24
Gambar 4.
Diagram alir pengambilan contoh ganda................................... 25
Gambar 5.
Tahapan pendekatan sistem....................................................... 31
Gambar 6.
Diagram lingkar sebab-akibat ................................................... 33
Gambar 7.
Diagram input-output Sistem Penunjang Keputusan Pengendalian Mutu Produksi Udang Beku ............................... 34
Gambar 8.
Konfigurasi Model QuShrimp................................................... 40
Gambar 9.
Diagram alir proses produksi udang Block Frozen ................... 53
Gambar 10. Tampilan awal model QuShrimp .............................................. 60 Gambar 11. Kurva OC dengan LTPD 1%, n = 335, c = 1............................. 65 Gambar 12. Kurva OC dengan LTPD 5%, n = 225, c = 7............................. 66 Gambar 13. Kurva OC dengan AQL 1.5%, n = 80, c = 3..............................68 Gambar 14. Kurva OC dengan AQL 6.5%, n = 80, c = 10............................68 Gambar 15. Kurva OC dengan AQL 10%, n = 80, c = 14.............................68 Gambar 16. Kurva OC dengan AQL 6.5% no rmal, n = 80, c = 10................70 Gambar 17. Kurva OC dengan AQL 6.5% ketat, n = 80, c = 8..................... 70 Gambar 18. Kurva OC dengan AQL 6.5% lemah, n = 32, c = 5................... 71 Gambar 19. Tambak udang............................................................................ 82 Gambar 20. Penimbangan di tingkat tambak ................................................ 84 Gambar 21. Pengemasan udang di tingkat tambak ....................................... 84 Gambar 22. Jalur pemasaran udang windu.................................................... 85 Gambar 23. Sortasi di tingkat pedagang pengumpul .................................... 87 Gambar 24. Proses pembuangan kepala........................................................ 88 Gambar 25. Penyimpanan di tingkat pedagang pengumpul.......................... 88 Gambar 26. Ilustrasi cara pengemasan udang segar ..................................... 89 Gambar 27. Pengangkutan ............................................................................ 90
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Tabel Dodge-Romig ............................................................... 100 Lampiran 2. Tabel Military Standard 105E (standar ABC)........................ 102 Lampiran 3. Petunjuk Instalasi dan Penggunaan Model QuShrimp ........... 109
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Kekayaan sumber daya perairan yang dimiliki Indonesia cukup besar. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2006), sumber daya ikan Indonesia tak kurang dari 8,2 juta ton. Hasil sumber daya perairan ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian bangsa dengan cara mengolah hasil- hasil perikanan dan memberi nilai tambah pada produknya. Hasil perikanan yang mempunyai potensi cukup menjanjikan adalah udang. Udang termasuk makanan mewah yang sangat digemari masyarakat Jepang, Amerika, Australia, Singapura, dan Eropa yang diekspor dengan harga yang mahal dan cukup stabil. Hal tersebut merupakan peluang emas dalam meningkatkan pendapatan serta mendatangkan devisa negara. Nilai nominal komoditas udang lebih besar dibandingkan komoditas lain di sektor perikanan, walaupun produksinya lebih sedikit dibandingkan produksi ikan tangkap. Jepang merupakan negara tujuan ekspor udang terbesar yakni mencapai 67 % dalam volume dan 78 % dalam devisa. Sampai dengan bulan Oktober 2005, ekspor udang Indonesia adalah sebesar 131.529 ton dengan nilai US$ 807.280. Negara tujuan ekspor lainnya antara lain Amerika Serikat, Cina, Uni Eropa, Singapura, Hongkong, dan Korea (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006). Sebagai komoditi ekspor, udang memerlukan penanganan yang baik agar tidak mengalami penurunan mutu. Udang harus ditangani dengan cepat, tepat, dan hati- hati. Salah satu cara agar udang tidak mudah rusak dan tahan lama adalah dengan proses pembekuan. Proses pembekuan merupakan teknik pengawetan bahan pangan yang dapat mempertahankan rasa, tekstur, dan nilai gizi suatu produk. Dalam melakukan proses pembekuan dibutuhkan suatu sistem pengendalian mutu terpadu untuk menjaga kestabilan kualitas produk yang dihasilkan. Kualitas produk udang beku yang baik akan meningkatkan nilai penjualan produk. Nilai ekspor udang beku Indonesia sendiri hampir mencapai 98 % dari total nilai ekspor udang Indonesia.
Dalam era perdagangan bebas yang kompetitif sekarang ini, setiap pelaku bisnis harus memberikan perhatian penuh terhadap kualitas jika ingin memenangkan kompetisi dalam persaingan global, termasuk industri pangan di dalamnya. Produk yang diekspor haruslah produk yang aman dan telah memenuhi standar internasional yang ditetapkan negara tujuan masingmasing. Teknik pengendalian mutu merupakan usaha yang dapat diterapkan untuk mempertahankan dan memperbaiki mutu produk yang dihasilkan agar sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Dalam penanganan sistem pengendalian mutu ini, para pengambil keputusan dihadapkan pada penentuan bagaimana keputusan-keputusan yang rasional harus diambil dan menentukan pilihan yang tepat dan akurat secara cepat. Sistem penunjang keputusan yang dikembangkan akan membantu proses pengambilan keputusan mengenai pengendalian mutu dalam industri pembekuan udang. Sistem ini diharapkan mampu menganalisa faktor- faktor yang berpengaruh dalam pengendalian mutu serta memberikan informasi yang berkaitan dengan pengendalian mutu udang beku yang dibutuhkan oleh pengguna.
B. RUANG LINGKUP Ruang lingkup dari masalah khusus ini adalah perekayasaan model Sistem Penunjang Keputusan untuk pengendalian mutu pada industri pembekuan udang. Sistem yang dikaji mencakup pengendalian mutu pada pasca panen udang segar dan industri pembekuan udang, mulai dari penerimaan bahan baku udang segar, proses produksi udang beku, sampai produk akhir udang beku yang siap diekspor. Model sistem pengendalian mutu yang dikaji terdiri dari dua sub sistem, yaitu (1) sub sistem pengendalian mutu pasca panen, dan (2) sub sistem pengendalian mutu produksi udang beku. Studi kasus dilakukan di PT. Wirontono Baru yang bergerak di bidang industri pengolahan udang beku. Model sistem yang akan dirancang dikaitkan dengan biaya mutu dan digunakan untuk membantu divisi pengendalian mutu dan divisi penerimaan bahan baku pada industri udang beku.
C. TUJUAN Tujuan pengkajian masalah khusus yang dilakukan adalah : 1) mengidentifikasi berbagai faktor dan parameter serta keterkaitannya yang berpengaruh terhadap pengendalian mutu produk udang beku, 2) merancang model sistem penunjang keputusan pengendalian mutu pada industri pembekuan udang secara menyeluruh dan terpadu, 3) mempelajari penerapan statistika pengendalian mutu untuk mengetahui besar biaya pengendalian mutu dan jumlah contoh produk yang diperlukan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. UDANG WINDU (Penaeus monodon) Secara internasional, udang windu dikenal sebagai black tiger, tiger shrimp atau tiger prawn. Secara ilmiah, udang windu menyandang nama ilmiah Penaeus monodon. Udang windu memiliki kulit tubuh yang keras dari bahan chitin. Warna sekujur tubuhnya hijau kebiruan dengan motif loreng besar. Warna tubuh udang windu yang hidup di laut bervariasi, dari merah, hijau, hingga kecoklatan. Sementara itu, warna tubuh udang windu yang hidup atau dipelihara di tambak lebih cerah, yakni hijau kebiruan. Warna tubuh udang windu sangat dipengaruhi oleh kandungan pigmen yang ada dalam pakannya. Panjang dan berat udang windu hasil tangkapan dari laut bisa mencapai 35 cm dan 260 gram/ekor. Jika dipelihara di tambak, panjang tubuh maksimum udang windu mencapai 20 – 25 cm dan berat rata-rata 140 gram/ekor (Amri, 2006). Udang mempunyai beberapa sifat penting. Sifat pertama yaitu nokturnal, yaitu sifatnya yang aktif mencari makan pada waktu malam. Sifat lainnya adalah kanibalisme, yaitu sifat suka memangsa jenisnya sendiri, biasanya udang sehat suka memangsa udang yang sedang ganti kulit. Udang mengalami ganti kulit karena udang mempunyai kerangka luar yang keras, sehingga untuk tumbuh menjadi besar, mereka perlu membuang kulit lama dengan yang baru (Suyanto dan Mujiman, 2005). Udang adalah salah satu produk perikanan dengan rasa yang khas dan kandungan nilai gizi yang tinggi. Daging udang mempunyai kelebihan dalam hal kandungan asam aminonya dari pada daging hewan darat. Asam amino tirosin, triptofan, dan sistein lebih tinggi terdapat pada daging udang tetapi daging udang mengandung asam amino histidin lebih rendah. Di samping itu, daging udang mempunyai rasa lebih enak daripada daging hasil perikanan lain (Hadiwiyoto, 1993). Adapun komposisi kimia rata-rata daging udang tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia rata-rata daging udang Kandungan Kimia
Jumlah
Air Protein Lemak Garam mineral Kalsium Magnesium Fosfor Zat besi Natrium Kalium Senyawa nitrogen non protein
78.2 % 18.1 % 0.8 % 1.4 % 1145 – 320 mg/100 gr 40 – 1-5 mg/100 gr 270 – 350 mg/100 gr 1.6 mg/100 gr 140 mg/ 100 gr 220 mg/100 gr 0.81 %
Sumber : Hadiwiyoto, 1993
B. UDANG BEKU Menurut Dewan SNI (1992), udang beku adalah udang segar yang telah dicuci bersih, didinginkan untuk mempertahankan suhu udang sekitar 00 C, kemudian baik langsung maupun setelah mengalami perlakuan pendahuluan, segera dibekukan pada suhu rendah maksimum -200 C dengan fluktuasi ± 10 C. Menurut Frazier (1977), pembekuan merupakan salah satu cara pengawetan
bahan
pangan
dengan
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme, menahan reaksi-reaksi kimia, dan menekan aktivitas enzim. Moeljanto (1992) menambahkan, pembekuan adalah cara terbaik untuk penyimpanan jangka panjang dengan proses dimana suhu pusat diturunkan sampai suhu sekitar -16 ºC sampai -18 ºC. Bila cara pengolahan dan pembekuan baik dan bahan mentahnya masih segar maka dapat dihasilkan udang beku yang bila dicairkan (thawing) keadaannya masih mendekati sifatsifat udang segar. Dalam pembekuan udang terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan yaitu suhu pembekuan, suhu penyimpanan, cara penanganan, kondisi bakteriologi dan metode yang diterapkan. Tujuan dari pembekuan udang adalah mempertahankan mutu pada udang dengan teknik penarikan panas secara efektif dari udang segar sehingga suhu udang turun sampai tingkat suhu rendah ya ng stabil. Selain itu juga untuk pengawetan dalam arti udang tersebut hanya mengalami proses perubahan mutu minimal selama proses pembekuan, penyimpanan beku dan distribusi
hingga dapat dinikmati oleh konsumen dengan nilai dan faktor mutunya dalam keadaan segar atau keadaan olahan seperti yang dimiliki produk itu sebelum dibekukan (Ilyas, 1993). Adapun persyaratan yang harus dipenuhi untuk produk udang beku berdasarkan SNI-01-2705-1992 tertera pada tabel 2. Tabel 2 Spesifikasi persyaratan mutu produk udang beku Jenis Uji
Organoleptik Nilai minimal Mikrobiologi Jumlah bakteri TPC/g maksimal E. Coli MPN/g maksimal Salmonella Staphylococcus aureus Vibrio cholerae Vibrio parahaemolyticus Listeria monocotogenes Fisika Bobot tuntas Filth Suhu pusat maksimum Sumber : Standar Nasional Indonesia, 1992
Persyaratan Mutu Udang Mentah Udang Rebus Beku Beku dengan/tanpa dengan/tanpa kulit kulit 6
6
5 x 105 3 Negatif 1 x 103 Negatif 1 x 105 Negatif
5 x 105 3 Negatif 1x 103 Negatif 1 x 105 Negatif
Sesuai label Negatif -18 o C
Sesuai label Negatif -18 o C
C. PASCA PANEN UDANG Menurut Amri (2006), pasca panen udang merupakan serangkaian kegiatan penanganan udang hasil panen dengan tujuan menekan penurunan mutu sampai tingkat sekecil mungkin sehingga kondisi udang ketika sampai ke konsumen masih segar, seperti baru saja ditangkap atau baru saja dipanen. Dengan demikian, segala perlakuan yang diberikan hendaknya mampu menahan proses pembusukan secara kimia, mikrobiologi, dan enzimatis. Untuk menghindari kerusakan pada udang, penanganan pasca panen harus segera dilakukan. Disamping itu, tindakan yang diberikan harus mampu melawan udara panas dan kondisi luar lainnya yang sangat berpengaruh dalam proses pembusukan. Karena itu, sistem rantai dingin, yakni pemberian es atau penggunaan peralatan pendingin dari tempat panen, tempat pelelangan
(penjualan), pedagang pengumpul, tempat transportasi, tempat pengolahan terakhir, hingga konsumen perlu diterapkan. Kondisi udang pasca panen harus tetap dijaga agar tetap dalam keadaan segar dan baik mutunya. Menurut Suyanto dan Mujiman (2005), mutu udang ditentukan oleh beberapa kriteria, yaitu ukurannya, kondisi kulitnya keras, bersih, licin, bersinar, dan badan utuh tak bercacat. Perlakuan pasca panen yang cepat dan tepat di tingkat petambak sangat diperlukan untuk menjaga kualitas udang segar yang baru saja dipanen karena udang mudah sekali rusak (busuk). Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penanganan pasca panen, antara lain: 1) Alat-alat yang digunakan harus bersih. 2) Penanganan harus cepat, cermat, dan hati- hati. 3) Hindarkan terkena sinar matahari langsung. 4) Selalu menggunakan es untuk mendinginkan dan mengawetkan udang. 5) Selain didinginkan, dapat juga direndam dalam larutan NaCl 100 ppm untuk mengawetkan udang pada temperatur kamar dan untuk menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk (Salmonella, Vibrio, Staphylococcus). Penanganan pascapanen udang windu melalui beberapa tahapan sebagai berikut. 1) Pembersihan Pembersihan dilakukan ketika udang hasil panen dikumpulkan dalam keranjang berlubang. Di dalam keranjang itu, udang disemprot dengan air sumur atau air laut yang bersih. Tujuannya agar seluruh kotoran terlepas dari kulit udang, sekaligus menurunkan populasi bakteri. 2) Pendinginan Pendinginan dilakukan dengan memberi es di dalam wadah plastik atau tray yang tidak berlubang dengan ukuran minimum 15 kg. Caranya, bagian bawah tray diberi es yang sudah dihancurkan, kemudian udang disusun di dalam tray dan bagian atasnya ditutup lagi dengan es dengan perbandingan 1 : 1 (satu bagian es : satu bagian udang). Tray sebaiknya diberi label yang berisi tanggal panen, ukuran, dan berat udang. Fungsi es
adalah untuk mempertahankan mutu udang dan menghanyutkan bakteri yang terdapat di permukaan kulit udang. 3) Transportasi Udang yang sudah diberi es dapat dikirim ke tempat pengolahan dengan boks berinsulasi (boks berpendingin dan kedap udara) kemudian dinaikkan ke truk berinsulasi. Jika truk berinsulasi tidak tersedia, selama transportasi truk ditutup dengan terpal. 4) Pembuangan kepala (deheading) Di tempat pengolahan, kepala udang harus segera dipotong karena 75% bakteri terdapat di kepala udang. Pembuangan kepala dilakukan dengan tangan. 5) Pencucian Udang yang telah dipotong kepalanya dimasukkan kedalam wadah plastik fiber. Di dalam wadah ini udang dicuci kembali dengan cara merendamnya ke dalam wadah yang berisi air bersih yang terus mengalir. Selanjutnya, udang direndam selama satu menit ke dalam larutan natrium bisulfit 1% untuk mencegah terjadinya black spot (bercak hitam) kemudian ditiriskan. Setelah melalui tahap pencucian, udang dikemas berdasarkan kualitas dan ukuran yang sesuai dengan permintaan pasar. 6) Pembekuan Udang yang sudah dikemas kemudian dibekukan. Metode pembekun yang digunakan ada dua, yakni pembekuan cepat dan pembekuan lambat. Pembekuan cepat menggunakan plate freezer. Caranya, udang dikemas di dalam kotak persegi. Setiap kemasan berisi udang dengan berat 2 – 4 kg. Kemasan tersebut kemudian dijepit di antara dua plate yang bagian dalamnya dialiri bahan pendingin. Proses pembekuan ini berlangsung cepat, hanya 3 – 5 jam dengan suhu -35 o C sampai -40 o C. 7) Penyimpanan Udang hasil pembekuan dibilas dengan mencelupkannya selama beberapa detik ke dalam air dingin kemudian memasukkannya ke dalam kantong plastik dan inner carton. Selanjutnya, udang yang ada di dalam
inner carton dimasukkan ke dalam master carton (berisi enam inner carton) kemudian diikat erat dan dimasukkan ke dalam cold storage dan siap dikirim (diekspor). Suhu penyimpanan berkisar antara -20 o C sampai -22 o C.
D. PENGENDALIAN MUTU Menurut perbendaharaan istilah ISO 8402 dalam Ariani (1999), mutu adalah
keseluruhan
ciri
dan
karakteristik
produk
atau
jasa
yang
kemampuannya dapat memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan secara tegas maupun tersamar. Istilah kebutuhan sendiri diartikan sebagai spesifikasi yang tercantum dalam kontrak maupun kriteria-kriteria yang harus didefinisikan terlebih dahulu. Menurut Assauri (1999), pengawasan mutu merupakan usaha untuk mempertahankan kualitas dari barang yang dihasilkan agar sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan pimpinan perusahaan. Tujuan dari pengawasan mutu adalah : 1) agar barang hasil produksi dapat mencapai standar mutu yang telah ditetapkan 2) mengusahakan agar biaya inspeksi dapat menjadi sekecil mungkin 3) mengusahakan agar biaya desain dari produk dan proses dengan menggunakan mutu produksi tertentu dapat menjadi sekecil mungkin 4) mengusahakan agar biaya produksi menjadi serendah mungkin. Pengawasan mutu selama proses harus benar-benar ketat, demi memenuhi standar ekspor dan kualitas yang bagus. Untuk tugas ini idealnya dibentuk Quality Control yang terdiri dari tenaga-tenaga ahli yang berpengalaman. Pelaksanaan pengawasan mutu dan kegiatan produksi harus dilaksanakan secara terus menerus untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan dari rencana standar agar dapat dengan segera diperbaiki. Intinya, maksud dari pengawasan mutu adalah agar standar spesifikasi produk yang telah ditetapkan sebelumnya tercermin dalam hasil produk akhir (Prawirosentono, 2004).
Pengendalian mutu adalah teknik dan kegiatan operasional yang digunakan untuk memenuhi persyaratan mutu. Pengendalian mutu melibatkan teknik dan kegiatan operasional yang ditujukan bisa untuk memantau proses maupun menghilangkan penyebab timbulnya hasil yang kurang baik pada tingkatan rangkaian mutu yang relevan agar tercapai hasil guna yang ekonomis (SNI, 1992). Hubeis (1994) menambahkan bahwa pengendalian mutu pangan ditujukan untuk mengurangi kerusakan atau cacat pada hasil produksi berdasarkan penyebab kerusakan tersebut.
Hal ini dilakukan melalui
perbaikan proses produksi (menyusun batas dan derajat toleransi) yang dimulai dari tahap pengembangan, perencanaan, produksi, pemasaran dan pelayanan hasil produksi dan jasa pada tingkat biaya yang efektif dan optimum
untuk
memuaskan
konsumen
(persyaratan
mutu)
dengan
menerapkan standardisasi perusahaan /industri yang baku. Tiga kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian mutu yaitu, penetapan standar (pengkelasan), penilaian kesesuaian dengan standar (inspeksi dan pengendalian), serta melakukan tindak koreksi (prosedur uji).
E. BIAYA MUTU Dalam Feigenbaum (1989), biaya mutu adalah biaya-biaya yang berkaitan dengan pendefinisian, penciptaan dan kendali mutu serta evaluasi dan umpan balik kesesuaian terhadap persyaratan mutu, keterandalan dan keamanan, dan biaya-biaya yang berkaitan dengan akibat kegagalan untuk memenuhi persyaratan di dalam pabrik dan di tangan konsumen. Menurut Sjarief (1999), pada dasarnya, biaya mutu dapat dikategorikan menjadi : 1. Biaya Pengendalian (Control Cost) yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan dalam usaha menghilangkan produk cacat (defect), biaya ini terdiri dari : a. Biaya pencegahan (prevention cost) yaitu biaya yang berhubungan dengan upaya pencegahan kegagalan internal maupun eksternal sehingga meminimumkan biaya kegagalan internal dan biaya kegagalan eksternal. Contoh biaya pencegahan antara lain:
1) Biaya perencanaan mutu yaitu biaya-biaya yang berkaitan dengan aktivitas perencanaan mutu secara keseluruhan termasuk penyiapan prosedur-prosedur yang diperlukan untuk mengkomunikasikan rencana. 2) Biaya pengendalian proses yaitu biaya-biaya inspeksi dari pengujian dalam proses untuk menentukan status dari proses, bukan status dari produk. 3) Biaya audit mutu yaitu biaya-biaya yang berkaitan dengan evaluasi atas pelaksanaan aktivitas dalam rencana kualitas secara keseluruhan. 4) Biaya evaluasi mutu produk yaitu biaya-biaya yang berkaitan dengan evaluasi terhadap pemasok sebelum pemilihan pemasok, audit terhadap aktivitas-aktivitas selama kontrak, dan usaha-usaha lain yang berkaitan dengan pemasok. 5) Biaya pelatihan yaitu biaya-biaya yang berkaitan dengan penyiapan dan pelaksanaan program-program pelatihan yang berkaitan dengan kualitas. b. Biaya penilaian (appraisal costs) yaitu biaya-biaya yang berhubungan dengan penentuan derajat konformasi terhadap persyaratan spesifikasi mutu yang ditetapkan, contohnya : 1) Biaya inspeksi dan pengujian termasuk kedatangan material,produk dalam proses, dan produk akhir yaitu biaya-biaya yang berkaitan dengan penentuan kualitas dari material yang dibeli, evaluasi produk dalam proses dan evaluasi produk akhir. 2) Biaya audit kualitas produk yaitu biaya-biaya untuk melakukan audit kualitas produk dalam proses atau produk akhir. 3) Biaya pemeliharaan akurasi peralatan pengujian yaitu biaya dalam melakukan penyesuaian untuk mempertahankan akurasi instrumen pengukuran dan peralatan. 4) Biaya evaluasi stok yaitu biaya yang berkaitan dengan pengujian produk dalam penyimpanan untuk menilai degradasi dalam kualitas.
2. Biaya kegagalan (failure cost) yaitu biaya yang dikeluarkan akibat produk cacat selama proses produksi (internal) dan setelah barang dikirimkan (eksternal), meliputi : a. Biaya kegagalan internal (internal failure costs) yaitu biaya yang berhubungan dengan kesalahan dan nonkonformasi yang ditemukan sebelum menyerahkan produk ke pelanggan, contohnya : 1) Biaya pemborosan (scrap cost), yaitu biaya yang telah dikeluarkan perusahaan untuk produk cacat yang secara ekonomis tidak dapat diperbaiki kembali. 2) Biaya pengerjaan ulang (rework costs), yaitu biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki kesalahan produk agar memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan. 3) Biaya analisis kegagalan yaitu biaya yang dikeluarkan untuk menganalisis
kegagalan
produk
guna
menentukan
penyebab
kegagalan. 4) Biaya inspeksi dan pengujian ulang, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk inspeksi dan pengujian ulang produk yang telah diperbaiki. 5) Downgrading cost, yaitu selisih antara harga jual normal dan harga yang dikurangi karena alasan kualitas. 6) Biaya-biaya kehilangan yang terjadi meskipun produk tidak cacat (avoidable process losses). b. Biaya kegagalan eksternal (external failure costs) yaitu biaya yang berhubungan dengan kesalahan dan nonkonformasi yang ditemukan setelah produk itu diserahkan ke pelanggan, contohnya : 1) Biaya jaminan, yaitu biaya untuk penggantian atau perbaikan kembali produk yang masih berada dalam masa jaminan. 2) Biaya penyelesaian keluhan, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk penyelidikan dan penyelesaian keluhan yang berkaitan dengan produk cacat. 3) Biaya pengembalian produk, yaitu biaya yang berkaitan dengan penerimaan dan penempatan produk cacat yang dikembalikan oleh pelanggan.
4) Biaya yang berkaitan dengan konsesi pada pelanggan karena produk yang berada di bawah standar mutu yang sedang diterima oleh pelanggan atau tidak memenuhi spesifikasi dalam penggunaan (allowances). Berdasarkan pengukuran terhadap biaya mutu, pihak manajemen dapat menjadikan ukuran-ukuran itu sebagai petunjuk untuk mengidentifikasi biayabiaya yang dikeluarkan dalam upaya meningkatkan kualitas produk yang ditawarkan. Menurut
Kiswanto
(1990),
terjadinya
kesalahan
periksa
pada
pemeriksaan berakibat kerugian pada produsen baik hilangnya keuntungan atau kepercayaan konsumen serta resiko ongkos total pemeriksaan. Resiko ongkos karena kesalahan periksa antara lain ongkos menerima produk cacat, ongkos menolak produk baik, ongkos untuk perbaikan produk cacat atau ongkos pemusnahan produk cacat. Biaya pemeriksaan mutu produk udang beku tergantung kesepakatan antara pihak industri dengan pemasok. Pada model ini diasumsikan bahwa industri akan menolak lot produk yang tidak memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan. Biaya lot produk yang ditolak menjadi tanggungan pemasok. OTA = Ci.n + (Pa.Cr.n.p) + (Pa.Ca. p.(N-n))
Keterangan: OTA
=
Ci Cr Ca N n Pa p
= = = = = = =
Biaya total pemeriksaan bahan baku tanpa pemeriksaan kembali (Skenario I) Biaya pemeriksaan mutu bahan baku Biaya mengganti bahan baku yang cacat Biaya menerima bahan baku cacat Ukuran lot bahan baku Ukuran contoh bahan baku yang diperiksa Peluang penerimaan lot Persen cacat
(Rp) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (Kg) (Kg)
Alternatif lain yang dapat dilakukan industri terhadap lot produk yang ditolak adalah melakukan pemeriksaan ulang. Alternatif ini akan bermanfaat bila harga produk segar telah dibayarkan pihak industri ke pemasok. Dari segi
biaya, akan lebih baik dilakukan pemeriksaan ulang dengan mengganti produk yang rusak dengan produk yang baik. OTB =
Ci.n + (Pa.Cr.n.p) + (Pa.Ca.p.(N-n)) + ((1-Pa).(N-n).Ci) ((1-Pa).(N-n).Cr.p)
+
Keterangan: OTB
=
Ci Cr Ca N n Pa p
= = = = = = =
Biaya total pemeriksaan bahan baku dengan pemeriksaan ulang (Skenario II) Biaya pemeriksaan mutu bahan baku Biaya mengganti bahan baku yang cacat Biaya menerima bahan baku cacat Ukuran lot bahan baku Ukuran contoh bahan baku yang diperiksa Peluang penerimaan lot Persen cacat
(Rp) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (Kg) (Kg)
Biaya pemeriksaan produk olahan mencakup biaya pemeriksaan, biaya mengganti produk yang cacat dan biaya kerugian karena menolak produk yang baik. OTCa = Ci.n + (Pa.Cr.n.p) + ((1-Pa).N.Cg.(1-p)).....................................(1) OTCb = Ci.n1 + (Pa.Cr.n1.p) + Ci.n2.(1-Pa) +Pa’.(1-Pa).(Cr.n2.p)+ [Ci(N-n1-n2)+Cr.p.N](1-Pa)(1-Pa’)...............................................(2) Keterangan: OTCa OTCb Ci Cr Cg N n Pa Pa’ p
= = = = = = = = = =
Biaya total pemeriksaan produk olahan rancangan tunggal Biaya total pemeriksaan produk olahan rancangan ganda Biaya pemeriksaan mutu per unit produk (Rp/unit) Biaya mengganti produk yang cacat (Rp/unit) Biaya menolak produk baik (Rp/unit) Ukuran lot produk (Unit) Ukuran contoh (Unit) Peluang penerimaan lot setelah pengambilan n1 Peluang penerimaan lot setelah pengambilan n2 Persen cacat
(Rp) (Rp)
F. SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN Turban (1990) menyatakan bahwa Sistem Penunjang Keputusan adalah sistem komputerisasi informasi yang menggunakan aturan-aturan keputusan, model- model dan basis model yang diakomodasikan dengan basis data dan pandangan pribadi pengambil keputusan, yang menuntun kepada keputusan yang spesifik dalam pemecahan-pemecahan masalah yang tidak dapat
diselesaikan hanya dengan model optimasi ilmu manajemen.
Masalah
keputusan yang terstruktur memiliki prosedur untuk mendapatkan solusi yang terbaik atau relatif cukup baik, sedangkan dalam masalah keputusan yang bersifat tidak terstruktur, intuisi manusia masih menjadi dasar pengambilan keputusan. Masalah yang bersifat semi struktural, berada diantara kedua masalah tersebut, melibatkan prosedur-prosedur penyelesaian masalah bahan baku dan pendapat atau pertimbangan pribadi. Menurut Suryadi (1996), Sistem Penunjang Keputusan (SPK) yang dirancang untuk membantu meningkatkan efektivitas dan produktivitas para manajer dan profesional. SPK merupakan sistem interaktif yang bisa digunakan individu dengan pengalaman sedikit mengenai komputer dan metode analisis. Dalam kerangka ini, pemakai adalah mungkin manajer atau perorangan yang sedang dihadapkan dengan masalah atau peluang. Pemakai bertanggungjawab untuk mengambil tindakan dan menerima konsekuensinya. Pembangun SPK adalah orang yang mengembangkan atau membuat SPK spesifik dimana orang berinteraksi dengan SPK ini. Eriyatno (1989) menyatakan konsep dari rancang bangun dan pengembangan Sistem Penunjang Keputusan terdiri dari tiga elemen utama yaitu pengoptimalan kriteria dalam merancang bangun sistem, proses rancang bangun sistem secara total, proses rancang bangun sistem secara mendetail. Model konsepsional dari Sistem Penunjang Keputusan merupakan gambaran hubungan abstrak antara tiga komponen utama penunjang keputusan yaitu: (a) para pengambil keputusan atau pihak pengguna (user), (b) model, dan (c) data. Masing- masing komponen dikelola oleh sebuah sistem manajemen. Masukan dan keluaran untuk pengguna dikelola oleh sebuah manajemen dialog, untuk pelaksanaan perintah model dikelola oleh manajemen basis model dan data dikelola dengan baik oleh manajemen basis data. Dijelaskan lebih lanjut oleh Kroenke (1989), bahwa manajemen dialog mempunyai tiga subsistem, yaitu : (1) antarmuka pengguna (user interface), (2) kontrol dialog (dialogue control) dan (3) pengubah permintaan (request transformer). Eriyatno (1999) menambahkan bahwa Sistem Manajemen Dialog adalah satu-satunya subsistem yang berkomunikasi dengan pengguna
yang berfungsi untuk menerima input dan memberikan output yang dikehendaki pengguna. Selain mengelola data dari SPK, manajemen basis data juga mengakomodasi masukan data dari sumber luar sebagai pertimbangan untuk pengambilan keputusan, seperti data organisasi, data ekonomi, dan lain sebagainya (Kroenke, 1989). Manajemen basis data mempunyai dua fungsi yaitu : (1) menyimpan dan memanipulasi basis data SPK sesuai perintah manajemen basis model dan manajemen dialog; (2) menghubungkan SPK dengan sumber data lainya selain data yang terdapat dalam SPK. Selain itu, bahwa manajemen basis data haruslah bersifat interaktif dan fleksibel untuk melakukan perubahan terhadap isi, ukuran, dan struktur elemen-elemen data. Sistem manajemen basis model memberikan fasilitas pengelolaan model untuk mengkomputasi pengambilan keputusan dan meliputi semua aktivitas yang tergabung dalam permodelan Sistem Penunjang Keputusan seperti pembuatan
model,
implementasi,
pengujian,
validasi,
eksekusi
dan
pemeliharaan model (Eriyatno, 1999). Eriyatno (1999) lebih lanjut menjelaskan bahwa sistem pengolahan terpusat adalah koordinator dan pengendali dari operasi Sistem Penunjang Keputusan secara menyeluruh. Sistem ini akan menerima masukan dari ketiga sub sistem lainnya dalam bentuk bahan baku, serta menyerahkan keluaran sub sistem yang dikehendaki dalam bentuk bahan baku pula. DATA
MODEL
SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA
SISTEM MANAJEMEN BASIS MODEL
SISTEM PENGOLAHAN TERPUSAT SISTEM MANAJEMEN DIALOG
PENGGUNA
Gambar 1 Struktur dasar sistem penunjang keputusan (Eriyatno, 1999)
G. PENELITIAN TERDAHULU Erlinda (1993) mengembangkan model sistem pengendalian mutu produk pada agribisnis nenas berupa Sistem Penunjang Keputusan yang mencakup aspek pasca panen, bahan baku, kemasan, produk akhir sebelum dipasarkan serta perhitungan harga mutu dan biaya mutu. Winarno (1994) mengembangkan model sistem pengawasan mutu agroindustri perikanan rakyat, berupa ikan teri kering kualitas ekspor. Model ini merupakan Sistem Penunjang Keputusan dibidang pengawasan mutu di tingkat nelayan atau bahan baku, sub sistem pengawasan mutu di tingkat produk pra ekspor, dengan perhitungan biaya mutu. Alamanda (2005) merancang model sistem pengendalian mutu produk agroindustri daging ayam khususnya produk olahan daging ayam berupa sosis ayam dengan beberapa standar mutu. Aspek yang dikaji adalah pengendalian mutu bahan baku daging ayam segar dari pihak pemasok dan produk olahan daging ayam yaitu sosis ayam sebelum dipasarkan. Nurhayati (2006) merancang model sistem pengendalian mutu produksi saus cabai. Aspek yang dikaji adalah pengendalian mutu produk cabai baik sebagai cabai segar yang akan menjadi bahan baku industri (pasca panen), maupun produk cabai olahan. Model sistem pengendalian mutu yang dikaji terdiri dari dua sub sistem, yaitu (1) sub sistem pengendalian mutu pasca panen, dan (2) sub sistem pengendalian mutu produksi saus cabai.
III. LANDASAN TEORI
A. TEKNIK HEURISTIK Thierauf dan Klekamp (1975) menyatakan bahwa teknik heuristik adalah titik pandang dalam merancang suatu program untuk tugas pengolahan informasi yang kompleks. Titik pandang ini bukan merupakan program yang hanya terbatas pada pengolahan angka yang biasa dilakukan oleh komputer, tetapi merupakan pengolahan seperti yang biasa dilakukan oleh manusia dalam menangani berbagai permasalahan. Heuristik merupakan metode yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi dalam program pemecahan masalah. Ditambahkan Eriyatno (1999), pada teknik heuristik, tidak ada suatu model yang baku sehingga tiap permasalahan menggunakan program heuristik yang spesifik. Teknik heuristik tidak menjamin adanya penyelesaian yang optimal, tetapi dapat memberikan pemecahan yang memuaskan bagi pengambil keputusan. Eriyatno (1999) berpendapat bahwa teknik heuristik merupakan pengembangan operasi aritmatika dan matematika logika. Ciri-ciri teknik heuristik secara umum yaitu: 1) Adanya operasi aljabar, yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. 2) Adanya suatu perhitungan yang bertahap. 3) Mempunya i tahapan yang terbatas sehingga dapat dibuat algoritma komputernya. Teknik heuristik digunakan karena alasan-alasan sebagai berikut. 1) Heuristik
mempermudah
lingkungan
pembuat
keputusan
sehingga
memungkinkannya membuat suatu keputusan dengan cepat tanpa tergantung pada caranya. 2) Jumlah permasalahan begitu kompleks sehingga walaupun intisari dari permasalahan dapat dibuat pola kerja matematikanya, tetapi tidak terdapat perangkat keras (komputer) yang dapat menyelesaikannya. 3) Masalah perencanaannya dan kebijaksanaan harus diatasi oleh seorang manajer sulit untuk dikuantitatifkan dan bersifat ill structure, sehingga
tidak diperoleh faktor–faktor yang diperlukan dalam model matematika. 4) Walaupun model matematika berhasil dikembangkan, tahapan pengerjaan sebelum sampai pada tahap permodelan sering tidak dimengerti oleh pengguna model tersebut.
B. STATISTIKA PENGENDALIAN MUTU
Menurut Assauri (1999), statistika pengendalian mutu adalah suatu sistem yang dikembangkan untuk menjaga standar yang seragam kualitas hasil produksi pada tingkat biaya minimum dan merupakan bantuan untuk mencapai efisiensi perusahaan. Pada dasarnya statistika pengendalian mutu merupakan penggunaan metoda statistika untuk mengumpulkan dan menganalisis data dalam menentukan dan mengawasi mutu atau kualitas hasil produksi. Dalam Ariani (1999), bila kita berbicara mengenai pengendalian mutu statistik, maka berarti perusahaan yang menggunakan pengendalian mutu statistik tersebut masih mentolerir adanya cacat produk dalam batas-batas tertentu. Pengendalian mutu statistik ini dapat dibagi ke dalam pengendalian mutu proses, yaitu pengendalian mutu produk selama masih berada dalam proses dan pengendalian produk jadi. Dalam sistem pengendalian mutu statistik yang mentolerir adanya kesalahan atau cacat produk, kegiatan pengendalian mutu dilakukan oleh departemen pengendali mutu yang ada pada penerimaan bahan baku, selama proses, dan pengujian produk akhir. Proses inspeksi dapat dilaksanakan di beberapa waktu antara lain pada waktu bahan baku masih ada di tangan pemasok, pada waktu bahan baku sampai di tangan perusahaan tersebut, sebelum proses dimulai, selama proses produksi berlangsung, setelah proses produksi, sebelum dikirimkan kepada pelanggan, dan sebagainya. Pengendali mutu proses dilakukan dengan menggunakan peta pengendali proses (process control chart). Pengendalian mutu proses statistik meliputi pengendalian mutu proses untuk data variabel dan pengendalian mutu proses untuk data atribut. Data variabel adalah data mengenai ketepatan
pengukuran produk yang masih berada dalam proses dengan standar yang telah ditetapkan. Pengukuran ini meliputi pengukuran panjang, diameter, ketebalan, lebar, dan sebagainya. Data atribut adalah data mengenai ketepatan pengukuran produk yang masih berada dalam proses dengan standar yang telah ditetapkan. Pengukuran ini meliputi pengukuran cacat atau tidak, nyala atau tidak, dan sebagainya. Pengendalian mutu produk sering disebut acceptance sampling yang menggunakan
teknik
pengambilan
contoh
pada
cara
pengujiannya.
Pengambilan contoh dilakukan dengan menerapkan pemeriksaan contoh untuk penerimaan atau penolakan. Pengendalian mutu produk ini dapat meliputi
pengendalian
bahan
baku
dan
pengendalian
barang
jadi.
Pengendalian bahan baku dilakukan ketika produk masih berada di tangan pemasok
maupun
ketika
produk
telah
diterima
pihak
perusahaan.
Pengendalian produk jadi dilakukan sebelum barang dikirim ke konsumen maupun telah sampai ke tangan konsumen. Menurut Aft (1986), terdapat dua nilai dari persen kerusakan, yaitu AQL dan LTPD yang menspesifikasi produk yang harus diterima dan produk yang harus ditolak. 1) AQL (Acceptance Quality Level) adalah persentase maksimum defektif yang diperkenankan, yang dianggap sebagai rata-rata persen rusak dalam proses produksi (Grant dan Leavenworth, 1991). 2) LTPD (Lot Tolerance Percentage Defective) merupakan persentase atau proporsi unit rusak dalam lot dimana pada tingkat tersebut konsumen berharap peluang utnuk menerima unit rusak lebih rendah atau merupakan batas persen rusak pada lot yang masih dapat ditolerir (Aft, 1986). Feigenbaum (1989) menambahkan, secara garis besar, pengambilan contoh untuk penerimaan atau penolakan dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu: pengambilan contoh tunggal, pengambilan contoh ganda, dan pengambilan contoh jamak. Dalam pengambilan contoh untuk penerimaan atau penolakan, keputusan diterima atau ditolaknya suatu contoh didasarkan pada hasil pemeriksaan satu atau lebih contoh yang diambil secara acak dari lot tersebut. Apabila keputusan yang diambil hanya didasarkan pada satu
contoh, maka rancangan pengambilan contoh tersebut disebut rancangan pengambilan contoh tunggal (Grant dan Leavenworth, 1991). Pengambilan contoh ini oleh Aft (1986) dinyatakan sebagai pengambilan contoh yang paling mudah diterapkan, tetapi membutuhkan suatu contoh berukuran besar untuk dapat menarik kesimpulan. Rancangan pengambilan contoh tunggal melibatkan tiga parameter yang perlu diperhatikan, yaitu: N = ukuran lot, yaitu jumlah seluruh unit yang ada dalam suatu lot n = ukuran contoh, yaitu jumlah unit yang akan diperiksa c = bilangan penerimaan, yaitu jumlah unit rusak maksimum yang boleh terdapat dalam contoh Bilangan penerimaan (acceptance number) adalah jumlah maksimum produk cacat yang diperbolehkan dalam suatu contoh (Grant dan Leavenworth, 1991). Lebih dari c yang cacat akan menyebabkan lot tersebut ditolak. Menurut Grant dan Leavenworth (1991), pada pengambilan contoh ganda keputusan ditolak atau diterimanya suatu lot dapat ditunda hingga contoh kedua diambil. Apabila contoh pertama dinilai memiliki mutu yang sangat tinggi, maka lot akan diterima. Sebaliknya apabila contoh pertama dinilai memiliki mutu yang rendah, maka lot akan ditolak. Jika contoh pertama memiliki mutu yang berada diantara batas tersebut, maka keputusan akan didasarkan pada hasil pengamatan contoh pertama dan kedua. Diagram alir pengambilan contoh ganda dapat dilihat pada Gambar 4. Terdapat beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam pengambilan contoh ini, yaitu: n1
= jumlah unit dalam contoh pertama
n2
= jumlah unit dalam contoh kedua
n1 + n2
= jumlah unit dalam contoh pertama dan contoh kedua
c1
= bilangan penerimaan untuk contoh pertama, yaitu
jumlah unit
rusak maksimum yang diperkenankan dalam contoh pertama c2
= bilangan penerimaan untuk contoh kedua, yaitu jumlah unit rusak maksimum yang diperkenankan dalam contoh kedua
Pada pengambilan contoh tunggal maupun ganda terdapat resiko, karena pemeriksaan tidak mempunyai kesempatan untuk memeriksa seluruh produk yang ada. Menurut Aft (1986), resiko tersebut adalah: 1) Resiko produsen, merupakan peluang ditolaknya bahan atau produk yang seharusnya diterima. Resiko ini disebut kesalahan statistik tipe I dan dilambangkan dengan α. 2) Resiko konsumen, merupakan peluang diterimanya bahan atau produk yang seharusnya ditolak. Resiko ini disebut kesalahan statistik tipe II dan dilambangkan dengan β. Kurva karakteristik operasi (Kurva OC, Operating Characteristic) merupakan grafik performansi dari rencana pengambilan sampel dengan menandakan hubungan antara probabilitas penerimaan dengan unit proporsi kerusakan. Kurva ini menggambarkan seberapa baik sebuah rencana penerimaan sampel tersebut membedakan antara yang baik dengan yang buruk (Nasution, 2005). Kurva karakteristik operasi yang sering terjadi menunjukkan apabila suatu lot bahan yang persen rusaknya (p’) sama atau kurang dari nilai AQL maka lot tersebut akan selalu diterima, tetapi jika persen rusak melebihi nilai AQL maka lot tersebut tidak akan pernah diterima (Aft, 1986). 1) Kurva OC Tipe A Kurva OC tipe A (Banks, 1989) digunakan untuk mengevaluasi resiko konsumen, atau peluang menerima lot rusak. Konsumen biasanya membeli barang dari lot terpisah dan mempedulikan mutu lot tersebut. Untuk mengkonstruksi kurva tipe OC tipe A ini, diasumsikan contoh diambil dari suatu lot terpisah yang berukuran tertentu. Peluang penerimaan (Pa) dihitung dengan distribusi hipergeometrik sebagai berikut. Pa =
dimana : D x N n
= = = =
D x
N − D n − x N n
jumlah unit rusak dalam lot jumlah unit rusak dalam contoh jumlah lot jumlah contoh
Distribusi ini dapat didekati dengan distribusi binomial sebagai berikut.
n ∑ i p (1 − p ) c
Pa =
i
i =0
n −i
dimana : Pa = peluang penerimaan p = persen rusak c = bilangan penerimaan
Peluang penerimaan (Pa)
1.0
0
Persentase rusak (p)
10
Gambar 2 Kurva OC ideal bagi konsumen (Aft,1986) Pada Gambar 2 menunjukkan kurva OC yang diharapkan oleh konsumen. Pada kurva ini, setiap persen kerusakan bertambah sedikit saja maka peluang penerimaan akan turun drastis. Bentuk kurva OC yang curam akan melindungi konsumen dari lot produk yang tidak sesuai dengan keinginan konsumen. 2) Kurva OC Tipe B Kurva OC tipe B (Banks, 1989) digunakan untuk mengevaluasi resiko produsen atau peluang untuk menolak produk yang baik, pada jumlah lot besar (10 x ukuran contoh) atau diambil dari aliran lot yang dipilih secara acak. Peluang penerimaan dapat dihitung dengan distribusi Poisson sebagai berikut.
i
c
∑ (np ) .e Pa = dimana : Pa p c n e
= = = = =
- np
i= 0
i!
peluang penerimaan persen rusak bilangan penerimaan jumlah contoh bilangan natural (2,71828)
Peluang penerimaan (Pa)
1.0
0
Persentase rusak (p)
10
Gambar 3 Kurva OC ideal bagi produsen (Aft, 1986) Pada Gambar 3 menunjukkan kurva OC yang diharapkan oleh produsen. Pada kurva ini, persen kerusakan produk yang tinggi masih dapat diterima oleh konsumen. Bentuk kurva OC yang landai akan melindungi produsen.
MULAI
CONTOH n1 UNIT
YA d1< c1
TERIMA
TIDAK
d1< c2
TIDAK
YA CONTOH n2 UNIT TAMBAHAN
d1+d2< c2
TIDAK TOLAK
YA
TERIMA
Keterangan: n1 : jumlah contoh pertama n2 : jumlah contoh kedua c1 : maksimum jumlah cacat contoh pertama c2 : maksimum jumlah cacat contoh kedua d1 : jumlah cacat contoh pertama d2 : jumlah cacat contoh kedua
SELESAI
Gambar 4 Diagram alir pengambilan contoh ganda (Aft, 1986)
C. TABEL PENGAMBILAN CONTOH 1. Tabel Dodge-Romig Volume Dodge-Romig dalam Grant dan Leavenworth (1991), terdiri dari empat himpunan tabel, yaitu (I) Tabel toleransi lot penarikan contoh tunggal, (II) Tabel toleransi lot penarikan contoh rangkap dua, (III) Tabel penarikan contoh tunggal AOQL, dan (IV) Tabel penarikan contoh rangkap dua AOQL. Pada himpunan I dan II berlaku bagi toleransi persen cacat 0.5%, 1.0%, 2.0%, 3.0%, 4.0%, 5.0%, 7.0% dan 10.0%. Himpunan III dan IV berlaku bagi nilai-nilai AOQL 0.1%, 0.25%, 0.5%, 0.75%, 1.0%, 1.5%, 2.0%, 2.5%, 3.0%, 4.0%, 5.0%, 7.0% dan 10.0%. Penentuan rancangan pengambilan contoh untuk bahan baku menggunakan tabel himpunan I, yaitu tabel toleransi lot penarikan contoh tunggal dengan toleransi persen cacat lot (LTPD) 1% dan 5%. Tabel ini disajikan pada Lampiran 1. Pada tabel himpunan I Dodge Romig terdiri dari 6 kolom, masing- masing untuk suatu nilai rata-rata persen cacat proses yang berbeda. Tujuan kolom-kolom ini berbeda adalah untuk menunjukkan pola yang menyertakan pemeriksaan total minimum, dengan memperhatikan baik pemeriksaan penarikan contoh maupun pemeriksaan 100% terhadap lot yang ditolak. Bila tidak ada landasan untuk menghitung dugaan rata-rata proses, rencana penarikan contoh harus diseleksi dari kolom sebelah kanan pada kolom tersebut. Kolom ini menunjukkan proteksi mutu yang diinginkan dan memberikan peluang yang lebih baik bagi penerimaan yang memuaskan. Lebih lanjut lagi, kolom ini mengumpulkan data dengan lebih cepat untuk memungkinkan pendugaan rata-rata proses yang dapat dipercaya (Grant dan Leavenworth, 1991)
2. Tabel MIL-STD-105E Penentuan rancangan penga mbilan contoh untuk proses produksi dan produk olahan menggunakan tabel Military Standard 105E (Standar ABC). Standar tersebut dikembangkan selama perang dunia II yang dikenal dengan nama Military Standard 105D (MIL-STD-105D). Standar
ini telah direvisi tahun 1989 dan diberi nama MIL-STD-105E sebagai perencanaan sampel (Ariyani, 1999). Tabel ini disajikan pada Lampiran 3. Penentuan kode contoh pada tabel MIL-STD 105E disesuaikan dengan jumlah lot yang akan diperiksa. Penentuan kode contoh disajikan pada tabel K yang disajikan dalam Lampiran 2. Pemeriksaan taraf umum pada sisi kanan tabel menurut Grant dan Leavenworth (1991) adalah rancangan yang sering digunakan oleh industri, sedangkan pemeriksaan khusus digunakan untuk kasus khusus jika diperlukan contoh yang relatif kecil dan resiko penarikan contoh yang besar. Biasanya terdapat tiga tingkat pemeriksaan, dalam kasus khusus dapat menjadi empat. Semakin rendah tingkat pemeriksaan, maka akan semakin kecil ukuran contoh dan semakin rendah biaya pemeriksaan. Ishikawa (1986) menambahkan pemeriksaan tingkat I digunakan bila biaya pemeriksaan mutu produk adalah relatif tinggi, pemeriksaan tingkat II digunakan dalam kasus pemeriksaan mutu produk yang biasa dilakukan, dan pemeriksaan tingkat III digunakan bila biaya pemeriksaan cukup rendah. Sedangkan pemeriksaan untuk tingkat S1 sampai tingkat S4 digunakan bila biaya pengujian untuk merusak produk adalah tinggi.
IV. METODOLOGI PENELITIAN
A. KERANGKA PEMIKIRAN Mutu
merupakan
hal
utama
yang
harus
diperhatikan
dalam
memproduksi suatu produk terutama untuk diekspor. Hal ini dikarenakan standar mutu yang ditetapkan negara tujuan biasanya tinggi dan konsumen sangat memperhatikan keamanan produk pangan yang akan dikonsumsi. Mutu yang tinggi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen sehingga harga yang ditawarkan bisa lebih tinggi serta menekan biaya mutu ataupun biaya produksi. Dalam produksi udang beku, diperlukan suatu sistem pengendalian mutu yang baik agar produk yang dihasilkan dapat terjamin mutu dan keamanannya. Pengendalian mutu dalam produksi udang beku perlu dikaji dalam rangka mengembangkan suatu model Sistem Penunjang Keputusan yang dapat membantu para pengambil keputusan dalam melakukan pengendalian mut u secara efektif dan efisien. Sistem pengambilan keputusan ini berguna untuk memecahkan permasalahan dalam pengendalian mutu yang bersifat kompleks dan dinamis. Pengkajian masalah khusus ini dilakukan melalui pengamatan secara langsung di lapangan dan pencarian data terhadap sistem pengendalian mutu pada produksi udang beku. Analisis sistem dilakukan terhadap komponen yang mempengaruhi sistem pengendalian mutu produksi udang beku, dengan ruang lingkup terbatas mulai dari perlakuan pendahuluan pada pasca panen udang, penerimaan bahan baku udang segar, proses produksi udang beku, sampai produk akhir udang beku yang siap diekspor. Setelah itu dilanjutkan dengan
pencarian teknik-teknik statistika pengendalian mutu yang sesuai
dengan sistem pengendalian mutu produk yang diterapkan dalam produksi udang beku, mencakup pemeriksaan pada sistem pengendalian mutu yang diterapkan perusahaan pembekuan udang, rencana pengambilan contoh dan pengambilan keputusan tentang penerimaan atau penolakan lot produk, penyusunan model heuristik untuk pemeriksaan mutu produk, dan model estimasi biaya operasi pengendalian mutu.
B. PENDEKATAN SISTEM Menurut Simatupang (1995), sistem adalah kumpulan obyek-obyek yang saling berinteraksi dan bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu dalam lingkungan yang kompleks. Sistem mencakup lima unsur utama yaitu : (1) elemen-elemen atau bagian
(2) adanya interaksi atau
hubungan antar elemen-elemen atau bagian (3) adanya sesuatu yang mengikat elemen-elemen atau bagian tersebut menjadi satu kesatuan (4) terdapatnya tujuan bersama, sebagai hasil akhir (5) berada dalam suatu lingkungan yang kompleks. Pendekatan sistem merupakan metoda pemecahan masalah yang dimulai dengan identifikasi dan analisis kebutuhan serta diakhiri dengan hasil berupa sistem operasi yang efektif dan efisien. Pendekatan sistem ini dicirikan dengan adanya metodologi perencanaan atau pengelolaan yang bersifat multidisiplin dan mengorganisir, penggunaan model matematika, mampu berpikir secara kualitatif, penggunaan teknik simulasi dan optimasi serta dapat diaplikasikan dengan komputer (Eriyatno,1989). Pendekatan sistem digunakan untuk memecahkan permasalahan yang kompleks dengan menggunakan berbagai peubah. Pendekatan sistem ini mampu mewakili permasalahan yang ada selanjutnya dianalisa dan dibuat suatu model sehingga akan mempermudah dalam pemecahan masalah. Tahapan kerja pendekatan sistem dapat dilihat pada Gambar 5. 1. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem. Analisis ini
dinyatakan dalam kebutuhan-kebutuhan yang ada,
baru kemudian dilakukan tahapan pengembangan terhadap kebutuhankebutuhan yang dideskripsikan. Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seorang pengambil keputusan terhadap jalannya sistem. Analisis ini dapat meliputi hasil suatu survei, pendapat ahli, observasi lapangan dan sebagainya (Marimin, 2004). Analisis kebutuhan tiap komponen tersebut adalah sebagai berikut.
a. Petambak/nelayan 1) Harga jual komoditi yang layak dan stabil. 2) Komoditi berkualitas tinggi dan memenuhi kebutuhan bahan baku industri. 3) Kontinuitas pengadaan ke industri pengolahan. b. Bagian produksi 1) Bahan baku bermutu sesuai dengan standar. 2) Biaya pengadaan bahan baku yang relatif rendah. 3) Biaya produksi relatif rendah. 4) Kontinuitas produksi. 5) Kontinuitas pengadaan bahan baku c. Bagian pengendalian mutu 1) Sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien. 2) Mutu bahan baku dan produk sesuai dengan standar yang ditentukan. 3) Biaya pengendalian mutu yang relatif rendah. d. Bagian pemasaran 1) Kualitas produk sesuai dengan persyaratan. 2) Peningkatan kepercayaan konsumen. 3) Kontinuitas produk yang dihasilkan. e. Konsumen 1) Mutu produk sesuai dengan keinginan konsumen. 2) Harga produk relatif murah dan stabil. 3) Kemudahan dalam mendapatkan produk. f. Pemerintah 1) Produk yang dihasilkan bermutu tinggi dan sesuai standar yang telah ditentukan. 2) Kenaikan jumlah ekspor dan penerimaan devisa dari sektor perikanan.
Mulai
Analisa Kebutuhan
Formulasi Permasalahan
Identifikasi Sistem
Pemodelan Sistem
Pembuatan Program Komputer
tidak
Sesuai Ya Implementasi
Evaluasi Periodik
tidak
Memuaskan ? Ya Selesai
Gambar 5 Tahapan pendekatan sistem (Manestch dan Park, 1977 dalam Eriyatno,1999)
2. Formulasi Permasalahan Pengendalian mutu pada industri pembekuan udang dihadapkan pada beberapa permasalahan yaitu standar mutu untuk produk ekspor yang tinggi, penanganan bahan baku yang harus cepat dan karakteristik fisik produk udang yang mudah rusak. Salah satu permasalahan pada sistem pengendalian mutu industri pembekuan udang adalah pengambilan keputusan yang lambat, padahal produksi harus dilakukan secara cepat untuk mempertahankan mutu produk. Statistika pengendalian mutu dan konsep biaya mutu perlu diterapkan dalam suatu sistem pengendalian mutu yang baik agar produk yang dihasilkan sesuai dengan apa yang diharapkan. Adanya model sistem pengendalian mutu yang dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan secara sistematis, cepat, efisien, dan efektif diharapkan dapat menjadi penunjang tercapainya pemenuhan kebutuhan dari tiap komponen dalam sistem. 3. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu mata rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Identifikasi sistem dilakukan dengan menggunakan diagram lingkar sebab akibat, yang ditunjukkan ole h Gambar 6. Masukan dan keluaran sistem yang dikembangkan digambarkan dengan diagram input output, yang ditunjukan oleh Gambar 7. Input terdiri dari input lingkungan yang berasal dari luar sistem dan input yang berasal dari sistem itu sendiri, baik yang terkendali maupun yang tidak terkendali. Komponen output terdiri dari output dikehendaki dan output tidak dikehendaki.
+
+
Harga Bahan Baku
M utu Bahan Baku
+ +
+
Perbaikan Mutu Proses Produksi
Kesejahteraan Nelayan/Petambak
+
+ Sistem Pengendalian
+ +
Kepercayaan Konsumen
+
Mutu
Perbaikan Mutu Produk
+ Kebijakan Perlindungan Mutu
Biaya Pengendalian Mutu
+
+ Volume Penjualan
Keuntungan industri
+ +
Gambar 6 Diagram lingkar sebab akibat
Input Lingkungan - Standar Nasional Indonesia - Kebijakan pemerintah Kondisi perdagangan internasional Kondisi Sosial Ekonomi Output Dikehendaki Input Tak Terkendali -
-
Produk bermutu tinggi
Suplai bahan baku Preferensi konsumen Perlakuan pendahuluan
-
Kepuasan konsumen Biaya mutu optimal Efektivitas dan efisiensi pengendalian
Sistem Penunjang Keputusan Pengendalian Mutu Produksi Udang Beku
Input Terkendali -
Output Tak Dikehendaki
Teknologi proses Standar spesifikasi
-
mutu -
Mutu produk rendah
-
Ketidakpuasan konsumen Tingkat penjualan menurun
Teknik dan m etode statistika pengendalian mutu
Manajemen Pengendalian Mutu
Gambar 7
Diagram input-output Sistem Penunjang Keputusan Pengendalian Mutu Produksi Udang Beku
C. TATA LAKSANA 1. Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang dapat berupa data kualitatif dan kuantitatif. Data primer merupakan hasil observasi lapang dan wawancara dengan orang dalam perusahaan di PT. Wirontono Baru, Jakarta. Data sekunder diperoleh dari kajian pustaka dan data dari Departemen Perikanan dan Kelautan. 2. Metode Pengumpulan Data a. Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan bagian studi untuk mengumpulkan dan menganalisa data sekunder dari instansi yang terkait, laporanlaporan, hasil penelitian, jurnal, dan literatur lainnya. b. Observasi Lapang Observasi
lapang
dilakukan
untuk
mengidentifikasi
dan
mempelajari secara langsung permasalahan pada penanganan pasca panen udang di tambak. dan dalam sistem pengendalian mutu pada industri pembekuan udang. Tahap ini dilakukan untuk memperoleh data primer dari perusahaan. c. Wawancara Wawancara dilakukan dengan orang dalam perusahaan dan bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengendalian mutu produksi udang beku. 3. Penentuan Ruang Lingkup Sistem Penunjang Keputusan Penentuan ruang lingkup Sistem Penunjang Keputusan digunakan untuk memberikan batasan-batasan, asumsi-asumsi, dan ruang lingkup permasalahan yang akan diimplementasikan dalam perekayasaan sistem. 4. Perancangan Sistem Perancangan sistem didasarkan atas sistem yang dikaji, meliputi perancangan sistem basis data dan basis model, sistem ahli/basis pengetahuan, sistem pengolahan terpusat, dan sistem dialog.
5. Implementasi Pada tahap ini dilakukan pengintegrasian antara basis data dan basis model yang akan diimplementasikan ke dalam suatu program komputer. Pengembangan sistem ini menggunakan perangkat lunak Microsoft Visual Basic 6.0 dan Microsoft Access untuk pengembangan sistem manajemen basis data. 6. Verifikasi Model yang telah terbentuk dalam program komputer kemudian diuji dengan menggunakan data aktual untuk mengetahui apakah model tersebut telah layak digunakan dan memenuhi kriteria yang ditetapkan.
V. PERMODELAN SISTEM
A. KONFIGURASI MODEL Model sistem pengendalian mutu produksi udang beku merupakan sua tu sistem penunjang keputusan yang dirancang dalam bentuk perangkat lunak komputer dengan nama QuShrimp. Model QuShrimp disusun dengan menggunakan bahasa pemograman Microsoft Visual Basic 6.0. Model ini dirancang untuk membantu pengambilan keputusan dalam pengendalian mutu produk udang beku mulai dari penanganan pasca panen udang segar, penerimaan bahan baku, proses produksi hingga produk jadi. Paket QuShrimp terdiri dari sistem pengolahan terpusat, sistem manajemen dialog, sistem manajemen basis data dan sistem manajemen basis model. Konfigurasi model QuShrimp disajikan pada Gambar 8. 1. Sistem Pengolahan Terpusat Sistem Pengolahan Terpusat merupakan bagian utama yang berfungsi untuk mengelola dan mengendalikan seluruh bagian sistem. Sistem ini mengatur hubungan timbal balik antara ketiga sistem lain, yaitu sistem manajemen dialog, sistem manajemen basis data, dan sistem manajemen basis model yang terdapat pada paket perangkat lunak QuShrimp. 2. Sistem Manajemen Dialog Sistem Manajemen Dialog adalah salah satu komponen model QuShrimp untuk mengatur komunikasi dengan pengguna model, sehingga interaksi antara pengguna dengan model lebih mudah dilaksanakan. QuShrimp menyediakan fasilitas- fasilitas pilihan yang memudahkan pengguna dalam pengambilan keputusan dan juga menu geser (pulldown menu) untuk memudahkan dalam memilih menu operasi. Sistem ini memungkinkan untuk menerima masukan data dari pengguna berupa pernyataan, parameter dan skenario yang dipermudah dengan adanya pilihan jawaban ataupun pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban singkat dari pengguna. Sistem ini juga berguna untuk
melakukan pengubahan data, membatalkan atau menjalankan instruksi dari komputer. Respon terhadap keinginan pengguna yaitu berupa keluaran model yang berupa angka, keterangan, dan grafik, sehingga dapat diterima oleh pengguna dengan jelas dan mudah dipahami. 3. Sistem Manajemen Basis Data Sistem Manajemen Basis Data berfungsi sebagai komponen pengelola data yang diperlukan model. Fungsi- fungsi yang disediakan sistem QuShrimp meliputi input data, edit data, hapus data, dan tampil data. Data-data yang ditangani meliputi: a) Data Produk, yaitu basis data yang digunakan sebagai fasilitas untuk mengakses data produk yang akan diperiksa. Data produk terdiri dari sub data pasca panen udang, sub data bahan baku udang segar, sub data proses produksi udang beku dan sub data produk olahan udang beku. Parameter masukan untuk sub data udang pasca panen yaitu tanggal panen, nama pemilik tambak, urutan lot, jenis udang, harga per kg, jumlah produk dalam satu lot, dan parameter pemeriksaan produk. Parameter masukan untuk sub data bahan baku udang segar terdiri dari nama pemasok, kode pemasok, jenis produk, harga per kg, tanggal pengiriman, nomor kedatangan, urutan lot, jumlah produk dalam satu lot tiap pengiriman serta nilai LTPD (Lot Tolerance Percentage Defective) yang digunakan. Parameter masukan untuk sub data proses produksi adalah tanggal produksi, nama pemasok, jenis produk, urutan lot, jumlah produksi dalam satu lot, tahapan proses produksi dan parameter pemeriksaan. Parameter masukan untuk sub data produk olahan terdiri dari tanggal produksi, urutan lot, jumlah produk dalam satu lot, dan parameter pemeriksaan produk. Sub data pasca panen, proses produksi dan sub data produk olahan mempunyai masukan parameter pemeriksaan yang sama yaitu berdasarkan resiko produsen. Parameter masukan resiko produsen yaitu tingkat pemeriksaan, tipe pemeriksaan dan nilai AQL (Acceptance Quality Level).
b) Data Standar Mutu, yaitu fasilitas yang digunakan untuk mengakses data mengenai karakteristik mutu yang berlaku. Data standar mutu terdiri dari standar mutu udang segar di tingkat pasca panen, standar mutu udang segar pada tahap penerimaan bahan baku, standar mutu setiap tahapan pada proses produksi yaitu tahap koreksi size dan deteksi logam, serta standar mutu produk olahan udang beku. c) Data Biaya Mutu, yaitu fasilitas yang digunakan untuk memasukkan parameter biaya pemeriksaan dalam estimasi biaya mutu. Data biaya terdiri dari biaya pasca panen, biaya bahan baku dan biaya produk olahan. Parameter masukan data biaya untuk pasca panen terdiri dari biaya pemeriksaan, biaya mengganti produk yang rusak, biaya menerima produk yang rusak, harga dan jumlah produk. Parameter masukan data biaya untuk bahan baku terdiri dari biaya pemeriksaan produk, biaya mengganti produk yang rusak, biaya menerima produk yang rusak, harga dan jumlah produk. Biaya mutu produk olahan mencakup biaya pemeriksaan, biaya mengganti produk yang rusak, biaya menerima produk yang rusak, serta harga dan jumlah produk. 4. Sistem Manajemen Basis Model Sistem Manajemen Basis Model terdiri dari model- model pengolah data untuk menghasilkan informasi yang akan digunakan dalam proses pengambilan keputusan pada pengendalian mutu produksi udang beku. Dalam Sistem Manajemen Basis Model QuShrimp, terdapat empat buah sub model, yaitu: 1) Sub model Contoh, untuk mengetahui besarnya ukuran contoh yang harus diambil, bilangan penerimaan, dan peluang penerimaan untuk masing- masing persen kerusakan setiap kali pemeriksaan. 2) Sub model Pemeriksaan Mutu, untuk memeriksa kesesuaian mutu berdasarkan karakteristik mutu dari standar yang digunakan. 3) Sub model Keputusan Lot Produk, untuk menentukan penerimaan atau penolakan produk dari hasil pemeriksaan mutu tiap contoh berdasarkan karakteristik mutu tertentu.
4) Sub model Biaya Mutu, untuk mengetahui besarnya biaya pemeriksaan mutu tiap produk, baik produk udang segar pasca panen, bahan baku maupun produk olahan. PENGGUNA
SISTEM MANAJEMEN DIALOG
SISTEM PENGOLAHAN TERPUSAT
SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA
Data Produk
SISTEM MANAJEMEN BASIS MODEL
Sub Model Contoh
Data Standar Mutu Sub Model Pemeriksaan Mutu Data Biaya Mutu Sub Model Keputusan Lot Produk
Sub Model Biaya Mutu
Gambar 8 Konfigurasi Model QuShrimp
B. RANCANG BANGUN MODEL 1. Sub Model Contoh Sub model Contoh dirancang untuk menentukan besarnya contoh yang diambil untuk sejumlah lot produk, bilangan penerimaan dan peluang penerimaan contoh. Sub model ini membantu dalam memutuskan sejumlah contoh yang harus diambil (n) untuk pengujian sehingga dapat mewakili satu lot, bilangan penerimaan (c), kemudian menghitung peluang penerimaan (Pa) untuk suatu rancangan pengambilan contoh untuk tiap-tiap persen kerusakan (p). Hal ini berarti peluang ditemukannya sejumlah tertentu produk yang rusak pada sejumlah contoh. Rancangan pengambilan contoh yang dilakukan menggunakan Statistika Pengendalian Mutu dengan acceptance sampling. Teknik yang digunakan adalah teknik pengambilan contoh berdasarkan atribut. Sub model ini terdiri dari dua pilihan yaitu resiko produsen dan resiko konsumen. Rancangan pengambilan contoh berdasarkan pertimbangan resiko konsumen menggunakan data statistika yang diambil tabel DodgeRomig LTPD. Sedangkan untuk pengambilan contoh dengan pertimbangan resiko produsen, data statistika yang digunakan diambil dari dari tabel MILSTD-105E (standar ABC). Pengambilan contoh dengan resiko produsen dibagi menjadi dua tipe pengambilan contoh, yaitu rancangan pengambilan contoh tunggal dan ganda. Pendekatan yang digunakan untuk menghitung peluang penerimaan rancangan pengambilan contoh berdasarkan resiko konsumen adalah distribusi binomial, dengan persamaan :
n d p (1 − p )n − d ∑ d= 0 d c
Pa =
Keterangan : Pa = peluang penerimaan d = jumlah produk rusak dalam contoh p = persen rusak c = bilangan penerimaan n = jumlah contoh
Dalam menghitung peluang penerimaan rancangan pengambilan contoh produk berdasarkan resiko produsen digunakan distribusi Poisson. Persamaan yang digunakan untuk rancangan pengambilan contoh tunggal adalah: Pa = P (d < c) =
c
(np )d e − np
d =0
d!
∑
Keterangan : Pa = peluang penerimaan d = jumlah produk rusak dalam contoh p = persen rusak c = bilangan penerimaan n = jumlah contoh e = bilangan natural (2,71828)
Adapun persamaan yang digunakan untuk peluang penerimaan rancangan pengambilan contoh ganda adalah: c1
Pa =
∑
d1 =0
(n1 p )d e− n p + 1
d1!
1
c2
∑
d1 =c1 +1
(n1 p)d e−n p × c −d (n2 p)d e−n p 1
d1!
1
∑ 2
1
d 2 =1
2
2
d2 !
Keterangan : Pa = peluang penerimaan d1 = jumlah produk rusak dalam contoh pertama d2 = jumlah produk rusak dalam contoh kedua c1 = bilangan penerimaan dalam contoh pertama c2 = bilangan penerimaan dalam contoh kedua n1 = jumlah contoh pertama n2 = jumlah contoh kedua p = persen rusak e = bilangan natural (2.71828)
Hasil perhitungan peluang penerimaan disajikan dalam bentuk kurva karakteristik operasi (kurva OC). Variabel masukan yang diperlukan dan variabel keluaran yang dihasilkan sub model ini disajikan sebagai berikut.
Tabel 3 Variabel masukan dan keluaran sub model Contoh pengambilan contoh tunggal untuk bahan baku di tingkat pasca panen Nama Variabel Masukan Tanggal Petambak No. Lot Jenis Udang Harga (Rp/kg) Jumlah Lot Tingkat Pemeriksaan Tipe Pemeriksaan AQL Keluaran Jumlah sampel (n) Bilangan penerimaan ( c ) Peluang Penerimaan (Pa)
Keterangan Tanggal panen Nama pemilik tambak Urutan lot Jenis udang yang dihasilkan Harga bahan baku (kg) Berat bahan baku dalam satu lot (kg) Tingkat pemeriksaan lot produk (I, II, III) Tipe pemeriksaaan (ketat, normal atau lemah) Persen cacat maksimum yang masih dapat ditolerir Jumlah contoh yang harus diuji (kg) Maksimal jumlah produk cacat dalam contoh Peluang penerimaan lot produk
Tabel 4 Variabel masukan dan keluaran sub model Contoh untuk bahan baku di tingkat industri Nama Variabel Masukan Nama Pemasok Kode Pemasok Jenis Produk Harga (Rp/kg) Tanggal No. Kedatangan No. Lot Jumlah Lot LTPD Keluaran Jumlah sampel (n) Bilangan penerimaan ( c ) Peluang Penerimaan (Pa)
Keterangan Nama pemasok Kode identitas pemasok bahan baku Jenis produk yang dikirim Harga bahan baku per kg Tanggal pengiriman bahan baku Nomor kedatangan lot bahan baku Urutan lot Berat bahan baku dalam satu lot (kg) Persen cacat maksimum yang masih dapat ditolerir Jumlah contoh yang harus diuji (kg) Maksimal jumlah produk cacat dalam contoh Peluang penerimaan lot produk
Tabel 5 Variabel masukan dan keluaran sub model Contoh pengambilan contoh tunggal untuk proses produksi Nama Variabel Masukan Tanggal Nama Pemasok Jenis produk No. Lot Jumlah Lot Tahapan Tingkat Pemeriksaan Tipe Pemeriksaan AQL Keluaran Jumlah sampel (n) Bilangan penerimaan ( c ) Peluang Penerimaan (Pa)
Keterangan Tanggal pelaksanaan sampling Nama pemasok Jenis produk yang diproduksi Urutan lot Berat bahan baku dalam satu lot (kg) Tahapan pada proses produksi udang beku (koreksi size, deteksi logam) Tingkat pemeriksaan lot produk (I, II, III) Tipe pemeriksaaan (ketat, normal atau lemah) Persen cacat maksimum yang masih dapat ditolerir Jumlah contoh yang harus diuji (kg) Maksimal jumlah produk cacat dalam contoh Peluang penerimaan lot produk
Tabel 6 Variabel masukan dan keluaran sub model Contoh pengambilan contoh tunggal untuk produk olahan Nama Variabel Masukan Tanggal No. Lot Jenis Produk Jumlah Lot Tingkat Pemeriksaan Tipe Pemeriksaan AQL Keluaran Jumlah sampel (n) Bilangan penerimaan ( c ) Peluang Penerimaan (Pa)
Keterangan Tanggal pelaksanaan sampling Urutan lot Jenis produk yang dihasilkan Berat bahan baku dalam satu lot (unit) Tingkat pemeriksaan lot produk (I, II, III) Tipe pemeriksaaan (ketat, normal atau lemah) Persen cacat maksimum yang masih dapat ditolerir Jumlah contoh yang harus diuji (kg) Maksimal jumlah produk cacat dalam contoh Peluang penerimaan lot produk
Tabel 7 Variabel masukan dan keluaran sub model Contoh pengambilan contoh ganda untuk bahan baku di tingkat pasca panen Nama Variabel Masukan Tanggal Petambak No. Lot Jenis Udang Harga (Rp/kg) Jumlah Lot Tingkat Pemeriksaan Tipe Pemeriksaan AQL Keluaran Jumlah sampel 1 (n1) Jumlah sampel 2 (n2) Bilangan penerimaan 1 (c1) Bilangan penerimaan 2 (c2) Peluang Penerimaan (Pa)
Keterangan Tanggal panen Nama pemilik tambak Urutan lot Jenis udang yang dihasilkan Harga bahan baku (kg) Berat bahan baku dalam satu lot (kg) Tingkat pemeriksaan lot produk (I, II, III) Tipe pemeriksaaan (ketat, normal atau lemah) Persen cacat maksimum yang masih dapat ditolerir Jumlah contoh yang harus diuji (unit) Maksimum jumlah produk cacat pada contoh ke-1 dan ke-2 Peluang penerimaan lot produk
Tabel 8 Variabel masukan dan keluaran sub model Contoh pengambilan contoh ganda untuk proses produksi Nama Variabel Masukan Tanggal Nama Pemasok Jenis produk No. Lot Jumlah Lot Tahapan Tingkat Pemeriksaan Tipe Pemeriksaan AQL Keluaran Jumlah sampel 1 (n1) Jumlah sampel 2 (n2) Bilangan penerimaan 1 (c1) Bilangan penerimaan 2 (c2) Peluang Penerimaan (Pa)
Keterangan Tanggal pelaksanaan sampling Nama pemasok Jenis produk yang diproduksi Urutan lot Berat bahan baku dalam satu lot (kg) Tahapan pada proses produksi udang beku (koreksi size, deteksi logam) Tingkat pemeriksaan lot produk (I, II, III) Tipe pemeriksaaan (ketat, normal atau lemah) Persen cacat maksimum yang masih dapat ditolerir Jumlah contoh yang harus diuji (unit) Maksimum jumlah produk cacat pada contoh ke-1 dan ke-2 Peluang penerimaan lot produk
Tabel 9 Variabel masukan dan keluaran sub model Contoh pengambilan contoh ganda untuk produk olahan Nama Variabel
Keterangan
Masukan Tanggal No. Lot Jenis Produk Jumlah Lot Tingkat Pemeriksaan Tipe Pemeriksaan AQL Keluaran Jumlah sampel 1 (n1) Jumlah sampel 2 (n2) Bilangan penerimaan 1 (c1) Bilangan penerimaan 2 (c2) Peluang Penerimaan (Pa)
Tanggal pelaksanaan sampling Urutan lot Jenis produk yang dihasilkan Berat bahan baku dalam satu lot (unit) Tingkat pemeriksaan lot produk (I, II, III) Tipe pemeriksaaan (ketat, normal atau lemah) Persen cacat maksimum yang masih dapat ditolerir Jumlah contoh yang harus diuji (unit) Maksimum jumlah produk cacat pada contoh ke-1 dan ke-2 Peluang penerimaan lot produk
2. Sub Model Pemeriksaan Mutu Sub model Pemeriksaan Mutu digunakan untuk membantu pengguna dalam memeriksa mutu pada sejumlah contoh (n) yang diambil dari satu lot produk. Contoh yang diambil diperiksa sesuai karakteristik mutu yang telah ditetapkan. Sub model ini memerlukan keahlian organoleptik bagian pengendalian mutu dalam memeriksa mutu produk. Masukan yang diperlukan adalah informasi jumlah produk cacat yang terdapat dalam contoh yang diuji. Tabel 10 Parameter mutu bahan baku udang segar tingkat pasca panen Parameter Mutu
Warna Bau Tekstur Penampakan Kulit Bobot
Mutu I
Mutu II
Syarat Penolakan
Biru cerah Khas Udang Elastis Utuh, Tidak ada blackspot Antar ruas masih utuh, kokoh Sesuai size, seragam
Biru, tidak cerah Khas udang sampai netral Agak lunak Utuh, Ada blackspot sedikit Antar ruas masih utuh, lembek Sesuai size, seragam
Kemerahan Busuk Lunak Tidak utuh, Ada blackspot dalam jumlah besar Antar ruas banyak mengelupas, lembek Tidak seragam
Sumber : Pedagang Pengumpul di Cilincing, Jakarta Utara
Tabel 11 Parameter mutu bahan baku udang segar Parameter Mutu
Warna Bau Tekstur Penampakan Kulit Kotoran Bobot Suhu
Mutu I
Mutu II
Syarat Penolakan
Biru cerah Khas udang Elastis Utuh, Tidak ada blackspot Antar ruas masih utuh, kokoh Negatif Sesuai size, seragam < 5 °C
Biru, tidak cerah Khas udang sampai netral Agak lunak Utuh, Ada blackspot sedikit Antar ruas masih utuh, lembek Negatif Sesuai size, seragam < 5 °C
Kemerahan Busuk Lunak Tidak utuh, Ada blackspot dalam jumlah besar Antar ruas banyak mengelupas, lembek Positif Tidak seragam > 5 °C
Sumber : Bagian Pengendalian Mutu PT. Wirontono Baru
Tabel 12 Parameter mutu tingkat proses produksi tahap koreksi size Parameter Mutu
Mutu I
Keseragaman Ukuran Seragam Tekstur Elastis Penampakan Utuh, Tidak ada blackspot Kotoran Negatif Suhu < 5 °C
Mutu II
Seragam Agak lunak Utuh, Ada blackspot sedikit Negatif < 5 °C
Syarat Penolakan
Tidak seragam Lunak Tidak utuh, Ada blackspot dalam jumlah besar Positif > 5 °C
Sumber : Bagian Pengendalian Mutu PT. Wirontono Baru
Tabel 13 Parameter mutu tingkat proses produksi setelah tahap deteksi logam Parameter Mutu
Benda Asing Kondisi Permukaan Dehidrasi
Syarat Penerimaan
Negatif Halus dan rata Cukup air
Syarat Penolakan
Positif Kasar, ada lubang Sangat kering
Sumber : Bagian Pengendalian Mutu PT. Wirontono Baru
Tabel 14 Parameter mutu produk olahan Parameter Mutu
Kemasan Label Bobot
Syarat Penerimaan
Syarat Penolakan
Utuh, tidak robek, tidak penyok Lengkap dan tepat 1.8 - 2 kg
Tidak utuh, robek, penyok Tidak lengkap, tidak sesuai isi < 1.8 kg dan > 2 kg
Sumber : Bagian Pengendalian Mutu PT. Wirontono Baru
3. Sub Model Keputusan Lot Produk Sub model Keputusan Lot Produk digunakan dalam pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak lot produk yang diperiksa. Keputusan diambil berdasarkan statistika pengendalian mutu, yaitu suatu lot produk akan ditolak apabila jumlah contoh yang diperiksa mempunyai jumlah kerusakan yang lebih banyak dari jumlah kerusakan yang diperkenankan, dan lot produk akan diterima apabila jumlah contoh yang diperiksa mempunyai jumlah kerusakan yang kurang atau sama dengan jumlah yang diperkenankan (Aft, 1986). Masukan-masukan yang diperlukan oleh sub model Keputusan Lot Produk merupakan keluaran dari dua sub model sebelumnya, yaitu jumlah ukuran contoh (n) dan bilangan penerimaan (c) dari sub model Contoh dan jumlah produk cacat dalam contoh (d) yang berasal dari sub model Pemeriksaan Mutu. Keluaran sub model Keputusan Lot Produk adalah keterangan mengenai keputusan diterima atau ditolaknya suatu lot produk. 4. Sub Model Biaya Mutu Sub model Biaya Mutu bertujuan untuk membantu pengguna dakam estimasi biaya pengendalian mutu produk. Sub model ini terdiri dari biaya mutu untuk bahan baku di tingkat pasca panen dan di tingkat industri, serta biaya produk olahan. Biaya pemeriksaan bahan baku di tingkat pasca panen meliputi biaya pemeriksaan, biaya mengganti bahan baku yang cacat dan biaya kerugian menolak bahan baku yang baik. Biaya pemeriksaan baha n baku di tingkat industri diasumsikan bahwa industri akan menolak bahan baku yang tidak memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan, sehingga biaya lot yang ditolak akan menjadi tanggungan pihak pemasok. Biaya pemeriksaan bahan baku di tingkat industri meliputi biaya pemeriksaan bahan baku, biaya mengganti bahan baku yang cacat dan biaya kerugian karena menerima bahan baku yang cacat. Biaya pemeriksaan produk olahan mencakup biaya pemeriksaan, biaya mengganti produk yang cacat dan biaya kerugian menolak produk yang baik.
Persamaan-persamaan dalam sub model Biaya Mutu adalah : 1. Biaya mutu bahan baku udang segar di tingkat pasca panen OTD = Ci*n + (Pa*Cr*n*p) + ((1-Pa)*N*Cg*(1-p)) Keterangan: OTD = Biaya total pemeriksaan bahan baku Ci = Biaya pemeriksaan mutu per kg bahan baku Cr = Biaya mengganti bahan baku yang cacat Cg = Biaya menolak bahan baku baik N = Ukuran lot bahan baku n = Ukuran contoh Pa = Peluang penerimaan lot p = Persen cacat
(Rp) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (kg) (kg)
2. Biaya mutu bahan baku udang segar di tingkat industri OTA = Ci*n + (Pa*Cr*n*p) + (Pa*Ca*p*(N-n)) OTB = Ci*n + (Pa*Cr*n*p) + (Pa*Ca*p*(N-n)) + ((1-Pa)*(N-n)*Ci) + ((1-Pa)*(N-n)*Cr*p) Keterangan: OTA = Biaya total pemeriksaan bahan baku tanpa pemeriksaan ulang (Skenario I) OTB = Biaya total pemeriksaan bahan baku dengan pemeriksaan ulang (Skenario II) Ci = Biaya pemeriksaan mutu bahan baku (Rp/kg) Cr = Biaya mengganti bahan baku yang cacat (Rp/kg) Ca = Biaya menerima bahan baku cacat (Rp/kg) N = Ukuran lot bahan baku (Kg) n = Ukuran contoh bahan baku yang diperiksa (Kg) Pa = Peluang penerimaan lot p = Persen cacat
(Rp) (Rp)
3. Biaya mutu produk olahan udang beku OTCa = Ci*n + (Pa*Cr*n*p) + ((1-Pa)*N*Cg*(1-p))....................... (1) OTCb = Ci*n1+(Pa*Cr*n1*p)+Ci*n2*(1-Pa)+Pa’*(1-Pa)*(Cr*n2*p)+ [Ci(N-n1-n2)+Cr*p*N](1-Pa)(1-Pa’).......................................(2) Keterangan: OTCa = Biaya total pemeriksaan produk olahan rancangan tunggal OTCb = Biaya total pemeriksaan produk olahan rancangan ganda Ci = Biaya pemeriksaan mutu per unit produk Cr = Biaya mengganti produk yang cacat Cg = Biaya menolak produk baik N = Ukuran lot produk n = Ukuran contoh Pa = Peluang penerimaan lot setelah pengambilan n1 Pa’ = Peluang penerimaan lot setelah pengambilan n2 p = Persen cacat
(Rp) (Rp) (Rp/unit) (Rp/unit) (Rp/unit) (Unit) (Unit)
Tabel 15
Variabel masukan dan keluaran sub model Biaya Mutu bahan baku tingkat pasca panen
Nama Variabel Masukan Biaya pemeriksaan mutu per kg bahan baku (Ci) Biaya mengganti bahan baku yang cacat (Cr) Biaya menolak bahan baku yang baik (Cg) Ukuran lot (N) Ukuran contoh (n) Persen cacat (p) Peluang penerimaan (Pa) Keluaran Biaya total pemeriksaan bahan baku Biaya pemeriksaan bahan baku per kg
Tabel 16
Satuan Rp/kg Rp/kg Rp/kg kg kg
Rp Rp/kg
Variabel masukan dan keluaran sub model Biaya Mutu bahan baku tingkat industri Nama Variabel
Masukan Biaya pemeriksaan mutu per produk (Ci) Biaya mengganti produk yang cacat (Cr) Biaya menerima produk cacat (Ca) Ukuran lot (N) Ukuran contoh (n) Persen cacat (p) Peluang penerimaan (Pa) Keluaran Biaya total pemeriksaan bahan baku tanpa pemeriksaan ulang (Skenario I) Biaya per kg pemeriksaan bahan baku tanpa pemeriksaan ulang (Skenario I) Biaya total pemeriksaan bahan baku dengan pemeriksaan ulang (Skenario II) Biaya per kg pemeriksaan bahan baku dengan pemeriksaan ulang (Skenario II)
Satuan Rp/kg Rp/kg Rp/kg Kg Kg
Rp Rp/kg Rp Rp/kg
Tabel 17
Variabel masukan dan keluaran sub model Biaya Mutu produk olahan
Nama Variabel Masukan Biaya pemeriksaan mutu per produk (Ci) Biaya mengganti produk yang cacat (Cr) Biaya menolak produk baik (Cg) Ukuran lot (N) Ukuran contoh (n) Persen cacat (p) Peluang penerimaan (Pa) Keluaran Biaya total pemeriksaan produk olahan Biaya pemeriksaan produk olahan per unit
Satuan Rp/unit Rp/unit Rp/unit Unit Unit
Rp Rp/unit
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS KONDISI PERUSAHAAN 1. Keadaan umum perusahaan PT. Wirontono Baru, sebelumnya bernama Wirontono Cold Storage and Industry Ltd, Jakarta didirikan tanggal 15 Oktober 1970. PT. Wirontono Baru terletak di kawasan industri Jl. Ancol Barat III No. 1-2 Jakarta Utara, di atas area seluas 14.760 m2 . Perusahaan ini me miliki bidang usaha industri hasil laut dan hasil perikanan Indonesia seperti udang, cumi-cumi, dan kodok. Akan tetapi karena kesulitan bahan baku untuk cumi-cumi dan kodok, maka sejak tahun 1979 PT. Wirontono Cold Storage and Industry hanya memproduksi udang beku saja. Produk-produk yang dihasilkan PT. Wirontono Baru meliputi produk Block Frozen (Peeled Undeveined, headless dan head on), Peeled Deveined Tail On, Individually Quick Frozen (Peeled Undeveined dan headless) yang ditujukan untuk memenuhi pasar ekspor. PT. Wirontono Baru mampu menjangkau pasar ekspor dari Jepang, Amerika Serikat, sampai Eropa dengan kapasitas produksi 6-11 ton per hari. Volume penjualan udang beku PT. Wirontono Baru dapat dilihat pada tabel 18. Tabel 18 Volume ekspor PT. Wirontono Baru per Januari-Mei 2005 (kg) Bulan
Jepang Amerika Serikat Hongkong
Januari 96712.39 16362.16 Februari 80242.44 Maret 103852.38 14480 April 106783.59 46385 Mei 87290.41 14580 Total 474881.21 91807.16 Sumber : Bagian Akunting PT. Wirontono Baru
3389.8 2184.9 104 4651.6 10330.3
Eropa Korea 18395.2 18702.4 17906.8 55004.4
2700 2700
Total 134859.6 101129.7 121136.4 171075.4 106522 632023.1
2. Proses produksi udang beku Block Frozen Proses produksi merupakan suatu kegiatan mengubah bahan baku menjadi produk setengah jadi atau produk jadi sehingga memiliki nilai tambah. Tahapan proses produksi pembekuan udang beku block frozen di PT. Wirontono Baru adalah sebagai berikut.
UDANG PEMERIKSAAN TIDAK
OK
PENERIMAAN BAHAN BAKU
YA
HEADLESS
HEAD ON PENCUCIAN
Larutan klorin 10 ppm
PEMBUANGAN KEPALA PENCUCIAN
LOT DITOLAK
Larutan klorin 10 ppm
SORTASI & GRADING PENIMBANGAN DALAM PEMERIKSAAN TIDAK
OK
KOREKSI SIZE
YA PEMBUANGAN SALURAN PENCERNAAN PENCUCIAN
Larutan klorin 10 ppm
PENIMBANGAN EKSPOR PENYUSUNAN PENCUCIAN Air
WATER FILLING
A
Limbah Kepala Udang
Larutan klorin 10 ppm
A PEMBEKUAN T = (-35) – (- 40) °C, t = 2,5 - 3 jam PELEPASAN BLOK UDANG PEMERIKSAAN TIDAK
OK
DETEKSI LOGAM
YA PENGEMASAN
LOT DITOLAK PEMERIKSAAN TIDAK
OK
BLOCK FROZEN SHRIMP
YA PENYIMPANAN
Keterangan : T = suhu t = waktu
Gambar 9 Diagram alir proses produksi udang Block Frozen
1) Penerimaan Bahan Baku Dalam penerimaan bahan baku, udang dicuci dengan larutan klorin dan ditiriskan terlebih dahulu. Kemudian ditimbang untuk mengetahui berat udang sebelum tahap persiapan bahan baku. Setelah penimbangan dilakukan pemisahan, udang tanpa kepala dibawa ke dalam ruang produksi untuk disortasi, sedangkan untuk udang utuh, sebagian langsung dibawa ke ruang produksi untuk dikoreksi dan sebagian lagi dibawa ke ruang pembuangan kepala. 2) Pembuangan Kepala (Deheading) Pembuangan kepala dilakukan terhadap udang utuh. Sebelum dilakukan PK, terlebih dahulu dilakukan pencucian udang dengan larutan klorin 10 ppm dan pembilasan dengan air bersuhu 0 - 5 °C. Pembuangan kepala dilakukan secara manual dengan mematahkan kepala dari arah bawah ke atas. 3) Sortasi dan Pengkelasan Mutu Sortasi adalah proses pemisahan udang menurut ukuran dan jenisnya, sedangkan pengkelasan mutu (grading) adalah pemisahan udang berdasarkan tingkat mutu. Kegiatan sortasi dan pengkelasan mutu dilakukan secara bersamaan, mencakup bahan baku udang setelah PK maupun tanpa kepala. Sebelum disortasi, udang dicuci dengan larutan klorin 50 ppm dan dibilas dengan air bersuhu 0-5 °C. Sortasi dapat dilakukan dengan menggunakan mesin sortasi atau secara manual. Jika menggunakan mesin sortasi udang hanya dapat dikelompokkan berdasarkan ukurannya dan hanya udang jenis Black Tiger
dan
Vannamei.
Udang
yang
disortasi
secara
manual
dikelompokkan berdasarkan warna dan ukuran. Mutu udang dibedakan menjadi first grade, second grade dan below standard (BS). Untuk sortasi ukuran, udang dikelompokkan berdasarkan standar ukuran yang telah ditentukan oleh perusahaan. Udang kemudian dimasukkan ke keranjang plastik sesuai dengan klasifikasinya.
4) Penimbangan Dalam Udang yang telah disortasi diberi label sesuai dengan ukurannya kemudian ditimbang dan dicatat beratnya untuk mengetahui berat bahan baku yang akan diolah menjadi produk. Pencatatan berat udang pada tahap timbang dalam dilakukan untuk membuat laporan produksi per hari dan bukti pembayaran udang ke pemasok. 5) Koreksi Size Koreksi merupakan tahap pemeriksaan kembali udang yang dilakukan secara manual. Walaupun pemeriksaan juga me liputi warna dan mutunya, tetapi ketepatan size merupakan hal utama yang diperhatikan pada tahap ini. 6) Pembersihan Saluran Pencernaan Proses pembuangan saluran pencernaan udang yang dilakukan secara manual untuk mencegah penurunan mutu udang karena saluran pencernaan merupakan tempat dimana bakteri dapat hidup. Tahap ini dilakukan secara hati- hati agar tubuh udang tidak patah. Peralatan yang dibutuhkan adalah pisau dan baskom sebagai wadah pembuangan saluran pencernaan. Setelah dilakukan cuci bersih, ud ang dicuci dengan larutan klorin 10 ppm kemudian dibilas dengan air dingin. 7) Penimbangan Ekspor Penentuan jumlah (berat) udang yang akan disusun pada tiap kaleng. Proses timbang ekspor sama untuk produk headless (HL) maupun head on (HO) block frozen. Perbedaannya terletak hanya pada standar berat untuk setiap kalengnya. Standar jumlah udang produk HL block frozen untuk setiap kaleng berbeda-beda sesuai dengan ukuran (size) udang. Setelah timbang ekspor, dilakukan pembilasan dengan larutan klorin 10 ppm dan air dingin. 8) Penyusunan (Panning) Kaleng yang digunakan sebagai wadah penyusunan udang diberi alas plastik. Setelah pemberian alas plastik, dilakukan pemberian label ukuran. Penataan udang berbeda-beda untuk setiap ukurannya sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh perusahaan.
Setelah penyusunan, dilakukan pembilasan udang dengan larutan klorin 10 ppm. Kaleng ditutup dengan penutup berlubang. Air pembilasan dibuang melalui lubang- lubang tersebut. 9) Water Filling Proses ini dilakukan dengan cara menambahkan air dingin dan kepingan es pada susunan udang di dalam kaleng, sampai memenuhi kaleng. Tahap ini dilakukan agar mendapatkan udang beku dalam bentuk blok yang utuh tanpa rongga udara. Selain itu adalah untuk menghindari benturan antar produk yang dapat menyebabkan kerusakan produk. 10) Pembekuan Proses pembekuan udang dilakukan dengan menggunakan Contact Plate Freezer (CPF) yang berlangsung selama 2.5 – 3 jam dengan suhu -35 o C sampai -40 o C. 11) Pelepasan Blok Udang (de-panning) Produk yang telah selesai dibekukan dikeluarkan dari CPF dan dilakukan pelepasan blok udang dari kaleng. Tahap ini dilakukan menggunakan sebuah conveyor line. Air dengan suhu ruang (± 25 o C) dikeluarkan dari pipa-pipa berlubang yang terdapat di atas conveyor line sehingga blok udang dapat dengan mudah dilepaskan dari triple pan secara manual. 12) Deteksi Logam Tahap ini merupakan pendeteksian benda asing atau logam yang terdapat pada produk. Jika produk terdeteksi mengandung benda asing, maka mesin akan berhenti melewatkan produk. 13) Pengemasan Proses pengemasan berbeda untuk masing- masing jenis produk. Produk Block Frozen melalui 3 tahap pengemasan, yaitu pengemasan primer, sekunder dan tersier. Pengemasan primer menggunakan plastik polyethylen.
Selanjutnya
pada
pengemasan
sekunder,
plastik
polyethylen dikemas ke dalam inner carton (IC). Tahap ketiga adalah
pengemasan tersier, yaitu pengemasan inner carton ke dalam master carton (MC). Setelah produk dimasukkan ke dalam MC dilakukan perekatan dan pengikatan dengan tali. Perekatan menggunakan pita perekat dan pengikatan
dengan
pita
polypropylene
menggunakan
bantuan
strapping band machine. Inner carton dan master carton yang digunakan telah dilengkapi dengan label yang berisi atribut-atribut tertentu. Atribut yang tertera pada IC dan MC adalah nama perusahaan yang memproduksi dan negara asal, merek (brand), ukuran udang, mutu udang, jenis udang, berat produk, kode produksi dan tanggal kadaluarsa. 14) Penyimpanan Setelah melalui tahap pengemasan, produk disimpan ke dalam cold storage. Tujuan penyimpanan produk di dalam cold storage adalah untuk mempertahankan suhu produk beku. Suhu penyimpanan berkisar antara -20 o C sampai -22 o C. 15) Pengangkutan Ekspor (Stuffing) Pengangkutan ekspor dilakukan jika jumlah produk telah memenuhi jumlah pemesanan atau target produksi. Pertama, dilakukan pengeluaran produk dari cold storage kemudian diangkat ke dalam referigator container. 3. Aspek Pengawasan Mutu Kegiatan pengawasan mutu di PT. Wirontono Baru sangat penting karena produk yang dihasilkan merupakan bahan pangan yang akan diekspor. Untuk menjaga kualitas, perusahaan menerapkan GMP (Good Manufacturing Practices) yang menjadi pedoman agar prosedur kerja berjalan dengan baik, SSOP (Sanitation Standard Operation Procedures) yang berhubungan dengan standar sanitasi yang harus dipenuhi, dan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) untuk menjaga sistem keamanan pangan. Nilai kelayakan dasar HACCP PT. Wirontono Baru adalah B yang berarti cukup baik. Pada sistem HACCP ditentukan titik
kritis dalam proses pembekuan udang di PT. Wirontono Baru yaitu pada tahap penerimaan bahan baku, tahap koreksi size dan tahap deteksi logam. Pengawasan mutu dilakukan oleh unit Quality Control (QC) pada setiap tahapan proses mulai dari penerimaan bahan baku sampai produk jadi. Hasil pemantauan tersebut dicatat pada lembaran record keeping setiap tahapan proses. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam mempertahankan kualitas udang dari mulai proses pasca panen sampai produk akhir udang beku yaitu setiap tahapan proses dilakukan dengan cepat (quick process) menggunakan prinsip rantai dingin. Sistem rantai dingin, yakni pemberian es atau penggunaan peralatan pendingin dari tempat panen, pedagang pengumpul, tempat transportasi, tempat pengolahan terakhir, hingga konsumen yang perlu diterapkan untuk melawan udara panas dan kondisi luar lainnya yang sangat berpengaruh dalam proses pembusukan udang. Walaupun sudah dilakukan usaha- usaha dalam mempertahankan mutu udang beku, kegiatan pengendalian mutu di industri tersebut belum dilakukan secara optimal. Untuk mendukung kegiatan pengendalian mutu di PT. Wirontono Baru, maka dirancang suatu sistem penunjang keputusan pengendalian mutu produksi udang beku yaitu QuShrimp.
B. MODEL QuShrimp QuShrimp merupakan suatu model sistem pengendalian mutu yang digunakan untuk membantu para pengambil keputusan pada bagian pengendalian mutu dalam produksi udang beku secara menyeluruh. Model ini bertindak sebagai Sistem Penunjang Keputusan (SPK) dan dirancang dalam bentuk perangkat lunak komput er dengan menggunakan bahasa pemrograman Microsoft Visual Basic 6.0. Tampilan awal dari model QuShrimp disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Tampilan awal model QuShrimp Pengendalian mutu merupakan kegiatan pokok yang perlu dilakukan dalam produksi udang beku. Hal ini dikarenakan mutu merupakan faktor utama yang diperhatikan dalam mengekspor barang ke mancanegara. Kegiatan pengendalian mutu dapat membantu mencegah produk yang tidak memenuhi standar diekspor atau ditolak konsumen. Kegiatan pengendalian mutu pada agroindustri pengolahan udang dimulai dari pengendalian mutu bahan baku di tingkat pasca panen. Pembinaan pengendalian mutu di tingkat pasca panen ini perlu dilakukan agar kebutuhan bahan baku yang memenuhi standar mutu di tingkat industri dapat
terpenuhi. Tujuan lainnya yaitu agar tidak terjadi penolakan produk ataupun penyusutan harga akibat penurunan mutu selama proses pasca panen. Model QuShrimp juga membantu pelaksanaan pengendalian mutu di tingkat industri yang meliputi penerimaan bahan baku, proses produksi dan produk olahan. Pihak industri sebagai konsumen menginginkan bahan baku yang berkualitas baik agar dapat mengolah dan menghasilkan produk olahan yang baik pula. Dengan QuShrimp, perusahaan juga dapat mengevaluasi pemasok mana saja yang biasanya mengirimkan bahan baku berkualitas baik maupun buruk. Pada proses produksi pembekuan udang, perusahaan menetapkan tahapan koreksi size dan tahap deteksi logam sebagai titik kritis dalam rangkaian kegiatan pengendalian mutu selain tahap penerimaan bahan baku. Keputusan yang dihasilkan oleh QuShrimp pada tingkat produksi dapat membantu mengevaluasi kinerja para operator dan mesin yang digunakan dalam tahapan tersebut. Pengendalian mutu produk olahan penting karena sebagai produsen perusahaan tidak ingin produknya ditolak dan mengirimkan produk yang berkualitas baik sesuai standar mutu yang telah ditetapkan pihak pembeli di luar negeri. Produk yang dikembalikan akan membuat perusahaan mengalami kerugian sangat besar. Pengambilan keputusan pada kegia tan pengendalian mutu yang dapat ditunjang dengan model QuShrimp adalah penentuan rancangan pengambilan contoh dalam berbagai alternatif menggunakan acceptance sampling, pemeriksaan mutu produk, dan keputusan untuk menerima atau menolak lot produk.
Acceptance
sampling
digunakan
untuk
menghindari
biaya
pemeriksaan yang tinggi dan mempersingkat waktu yang dibutuhkan dalam memeriksa mutu. QuShrimp juga dapat membantu pengguna dalam estimasi biaya mutu. Model QuShrimp merupakan suatu Sistem Penunjang Keputusan yang disusun oleh beberapa komponen, yaitu Sistem Pengolahan Terpusat, Sistem Manajemen Dialog, Sistem Manajemen Basis Data, dan Sistem Manajemen Basis Model. Sistem Pengolahan Terpusat merupakan bagian utama dari model untuk mengendalikan seluruh bagian sistem. Fungsi utamanya yaitu sebagai penyangga untuk menjamin keterkaitan antara sistem.
Pada model QuShrimp, Sistem Manajemen Dialog dibuat untuk memudahkan pengguna dalam menggunakan model. Pengguna cukup memberi masukan berupa pernyataan singkat ataupun pilihan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan pada model. Keluaran yang diberikan berupa keterangan, angka, dan grafik, sehingga pengguna dapat memahami informasi dengan lebih mudah. QuShrimp menyediakan fasilitas-fasilitas pilihan yang memudahkan pengguna dalam pemilihan model sebagai sarana untuk mempermudah dialog antara model dengan pengguna. Sistem Manajemen Basis Data pada model QuShrimp adalah komponen pengelola data yang digunakan model dalam proses pengambilan keputusan. Data yang diperlukan tersebut adalah data produk dan parameter masukan untuk rancangan pengambilan contoh, data standar mutu bahan baku pada tingkat pasca panen dan industri, proses produksi dan produk olahan serta struktur biaya mutu. QuShrimp dapat melakukan proses pemasukan, penyimpanan, pengeditan, penghapusan dan penampilan data. Sistem Manajemen Basis Model terdiri dari beberapa sub model untuk mengolah data, sehingga dapat menghasilkan informasi- informasi yang dapat digunakan sebagai penunjang pengambilan keputusan dalam kegiatan pengendalian mutu mulai dari tingkat bahan baku baik pasca panen maupun industri, proses produksi sampai produk olahan. Sub model-sub model tersebut adalah sub model Contoh, sub model Pemeriksaan Mutu, sub model Keputusan Lot Produk dan sub model Biaya Mutu. 1. Sub model Contoh Sub model Contoh pada QuShrimp berperan dalam menentukan rancangan pengambilan contoh yang akan digunakan untuk suatu lot produk bahan baku di tingkat pasca panen, penerimaan bahan baku di industri, proses produksi dan produk olahan, yang bersifat lot. Informasi yang dihasilkan sub model Contoh yaitu jumlah contoh produk (n) yang mewakili suatu lot produk untuk diperiksa dan bilangan penerimaan (c) yang diperbolehkan. Bilangan penerimaan (c) merupakan nilai yang menunjukkan jumlah cacat maksimum pada contoh berukuran N yang
diperkenankan. Pengambilan contoh dirancang menjadi dua, yaitu (1) pengambilan contoh resiko konsumen dengan teknik Dodge–Romig LTPD, dan (2) pengambilan contoh resiko produsen dengan teknik ANSI/ASQC Z1.4 (tabel MIL-STD-105E). Penentuan ukuran contoh dan bilangan penerimaan dilakukan berdasarkan rancangan pengambilan contoh yang dipilih. Masukan dalam sub model Contoh juga akan diolah untuk menghitung peluang penerimaaan (Pa) diterimanya suatu lot produk tertentu untuk setiap persen kerusakan. Model QuShrimp pada sub model Contoh ini juga menyajikan kurva OC (Operating Characteristic Curve) yang memperlihatkan alternatifalternatif nilai Pa yang dapat dipilih pengguna. Pengguna dapat melihat seberapa baik sebuah rencana penerimaan contoh membedakaan antara yang baik dengan yang buruk. Menurut Nasution (2005), kurva OC merupakan grafik performansi dari rencana pengambilan contoh dengan menandakan hubungan antara peluang penerimaan dan unit proporsi kerusakan. Apabila pengguna tidak puas dengan hasil keluarannya, maka pengguna dapat memasukkan kembali data produk dengan mengubah parameter masukan seperti tipe pemeriksaan, nilai LTPD atau AQL yang digunakan. Pengambilan contoh dilakukan secara acak (random), yaitu setiap butir dalam lot mempunyai peluang atau kesempatan yang sama untuk diseleksi dalam contoh. Contoh diambil dari lapisan atas, tengah, dan bawah, sehingga contoh dapat mewakili bahan baku ataupun produk yang akan diuji. Pengambilan contoh bahan baku udang segar dilakukan berdasarkan pertimbangan resiko konsumen, dalam hal ini adalah industri pengolahan udang beku. Pengendalian mutu bahan baku udang segar dilakukan pada tahap penerimaan bahan baku yang dikirim oleh pemasok, saat proses sortasi di industri. Setiap lot bahan baku yang datang, akan diuji dengan jumlah contoh yang ditentukan. Bahan baku yang datang dimasukkan ke keranjang-keranjang berkapasitas 40 kg per keranjang.
Verifikasi model QuShrimp dilakukan di PT Wirontono Baru dengan mengambil produk udang beku Block Frozen size 30 dan bahan baku udang windu dengan size 30 untuk pengambilan contoh. Telaah skenario pada pengambilan contoh bahan baku udang segar dilakukan terhadap nilai LTPD, yaitu batas persen cacat pada lot produk yang masih dapat
ditoleransi.
Verifikasi
model
QuShrimp
untuk
rancangan
pengambilan contoh udang segar berdasarkan resiko konsumen (industri) dilakukan pada LTPD 1% dan 5%, dan disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Masukan dan keluaran rancangan pengambilan contoh bahan baku udang segar resiko konsumen Masukan
Keluaran
Jumlah Lot (kg)
LTPD (%)
Cacat (%)
972 972
5 1
0.5 0.5
n (kg) 225 335
c (kg)
Pa
7 1
1.000 0.501
Keterangan : n = jumlah contoh yang diperiksa c = bilangan penerimaan Pa = peluang penerimaan
Nilai LTPD berpengaruh terhadap ukuran contoh dan bilangan penerimaan. Ukuran contoh yang harus diperiksa pada pengujian bahan baku dengan menggunakan LTPD 1% yaitu sebanyak 335 kg udang segar sedangkan untuk LTPD 5% hanya dilakukan terhadap contoh sebanyak 225 kg udang segar saja. Bilangan penerimaan untuk nilai LTPD 5% adalah 7, yang berarti pada 225 kg contoh yang diambil tidak boleh ada produk cacat melebihi 7 kg, jika terdapat lebih dari 7 kg produk yang cacat maka lot bahan baku tersebut ditolak. Bilangan penerimaan untuk nilai LTPD 1% pada lot yang sama adalah 1, sehingga jika terdapat lebih dari 1 kg produk cacat pada 335 kg contoh yang diambil maka lot bahan baku akan ditolak. Semakin besar nilai LTPD yang digunakan maka akan semakin sedikit jumlah contoh yang harus diambil untuk diuji dan bilangan penerimaan akan semakin besar. Dengan nilai LTPD 5%, peluang penerimaan untuk persen cacat 0.5% terhadap lot produk adalah sebesar 1.000 dan dengan nilai LTPD 1%
sebesar 0.501. Peluang penerimaan pada jumlah lot yang sama akan semakin besar seiring dengan nilai LTPD yang digunakan. Dari hasil verifikasi di atas, pengujian contoh terlihat lebih ketat pada rancangan pengendalian mutu berdasarkan resiko konsumen dengan nilai LTPD 1%. Hal ini sebenarnya dapat melindungi konsumen karena hanya lot produk berkualitas baik yang diterima. Namun sulit diterapkan bila tidak sedang dalam musim panen karena bahan baku yang datang akan lebih sedikit, sehingga industri bisa kekurangan bahan baku akibat terlalu sering menolak lot bahan baku. Keadaan ini juga dapat dilihat pada kurva karakteristik operasinya (kurva OC). Kurva OC akan semakin curam kemiringannya seiring dengan semakin kecilnya nilai LTPD. Kurva OC yang digunakan adalah kurva OC jenis A untuk mengevaluasi resiko konsumen terhadap tiap-tiap lot produk dan disajikan pada Gambar 11 dan Gambar 12.
Peluang Penerimaan (Pa)
1
1
0.9 0.8 0.7 0.501
0.6 0.5 0.4 0.3
0.151
0.2
0.039 0.009 0.002 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.1 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
Persen cacat
Gambar 11 Kurva OC dengan LTPD 1%, n = 335, c = 1
5
1.000 1.000 0.998 0.979 0.915
Peluang Penerimaan (Pa)
1.0 0.9
0.796
0.8 0.7
0.636
0.6
0.468
0.5 0.4
0.319
0.3 0.2
0.203 0.121
0.1 0.0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
Persen cacat
Gambar 12 Kurva OC dengan LTPD 5%, n = 225, c = 7 Model QuShrimp juga melakukan rancangan pengambilan contoh untuk bahan baku di tingkat pasca panen, tahap proses produksi dan produk olahan udang beku berdasarkan resiko produsen. Telaah skenario dilakukan terhadap nilai AQL (Acceptance Quality Level), yaitu tingkat mutu yang diinginkan konsumen dan dilakukan pada nilai 1.5%, 6.5% dan 10%. Verifikasi model QuShrimp dilakukan untuk rancangan pengambilan contoh produk olahan udang beku berdasarkan resiko produsen dan disajikan pada Tabel 20. Jumlah lot sebesar 540 unit produk olahan udang beku yang diperiksa termasuk dalam kode J untuk tingkat pemeriksaan umum pada tingkat pemeriksaan II dan tipe pemeriksaan normal. Tabel 20 Masukan dan keluaran rancangan pengambilan contoh produk olahan udang beku resiko produsen, tipe pemeriksaan normal Masukan
Keluaran
Jumlah Lot (unit)
AQL (%)
Cacat (%)
540 540 540
1.5 6.5 10
1 1 1
Keterangan : n = jumlah contoh yang diperiksa c = bilangan penerimaan Pa = peluang penerimaan
n (unit) 80 80 80
c (unit) 3 10 14
Pa
0.991 1.000 1.000
Berdasarkan hasil verifikasi di atas, dapat dilihat bahwa perubahan nilai AQL berpengaruh terhadap bilangan penerimaannya. Dengan jumlah contoh yang tetap, bilangan penerimaan (c) semakin besar seiring dengan peningkatan nilai AQL. Jika ditemukan jumlah produk cacat pada contoh lebih besar daripada bilangan penerimaannya, maka lot produk akan ditolak. Peningkatan nilai AQL juga mengakibatkan semakin kecilnya kemampuan rancangan pengambilan contoh dalam membedakan antara lot yang baik dan lot yang kurang baik. Hal ini berarti produsen masih mengijinkan ditemukan produk cacat dalam lot produk dengan jumlah semakin banyak, sehingga peluang untuk menerima produk yang dihasilkan relatif lebih besar. AQL adalah tingkat mutu yang dapat diterima yang untuk keperluan pemeriksaan penarikan contoh dapat dianggap memadai sebagai rata-rata proses. Menurut Grant dan Leavenworth (1991), rata-rata proses dapat dihitung dari jumlah keseluruhan unit cacat yang ditemukan dibagi dengan jumlah keseluruhan unit sampel yang diperiksa. Jika digunakan penarikan contoh tunggal, maka dapat dilakukan dengan memeriksa semua contoh walaupun terkadang ditemukan cukup banyak cacat yang dapat menyebabkan penolakan sebuah lot sebelum semua unit contoh diperiksa. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, kisaran rata-rata proses produk udang beku
yaitu antara 1.25% hingga 8.75%, sehingga nilai AQL
dilakukan pada 1.5%, 6.5% dan 10%. Gambaran rencana pengambilan contoh ini dapat dilihat pada kurva OC. Kurva OC jenis B memberikan peluang penerimaan lot terhadap beberapa persentase cacat yang ada. Kurva ini dapat digunakan dalam pemeriksaan resiko produsen untuk mengetahui berapa persentase dari lotnya akan ditolak oleh suatu rencana penarikan contoh yang diusulkan pada setiap tingkat mutu proses yang diketahui. Kurva OC jenis B untuk masing- masing AQL disajikan pada Gambar 13, 14 dan 15.
0.991 0.921
Peluang Penerimaan (Pa)
1.0 0.9
0.779
0.8 0.603
0.7 0.6
0.433
0.5 0.4
0.294
0.3
0.191 0.119
0.2 0.1
0.072 0.042
0.0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Persen cacat
Gambar 13 Kurva OC dengan AQL 1.5 %, n = 80, c = 3 1.000 1.000 1.000 1.000 0.997 0.990 0.972 0.939
Peluang Penerimaan (Pa)
1.0 0.9
0.887 0.816
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Persen cacat
Gambar 14 Kurva OC dengan AQL 6.5%, n = 80, c = 10 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.999 0.997 0.993 0.983
Peluang Penerimaan (Pa)
1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Persen cacat
Gambar 15 Kurva OC dengan AQL10 %, n = 80, c = 14 Dari bentuk kurva tersebut, terlihat bahwa semakin besar nilai AQL, maka bentuk kurva OC semakin landai. Bentuk kurva OC yang landai ini menandakan keuntungan produsen akan semakin besar karena walaupun
persen kerusakan produk semakin besar tetapi peluang penerimaan terhadap suatu lot tetap tinggi. Dalam keadaan demikian, konsumen masih dapat menerima produk dengan tingkat kecacatan tinggi. Pada rancangan pengambilan contoh dengan resiko produsen terdapat tiga tipe pemeriksaan. Tipe pemeriksaaan pertama, yaitu pemeriksaan normal digunakan pada awal aktivitas pemeriksaan (Montgomery,1998). Pemeriksaan ketat diadakan apabila sejarah kualitas produsen baru-baru ini memburuk. Pemeriksaan lemah diadakan bila sejarah kualitas produsen baru-baru ini baik sekali. Verifikasi model QuShrimp dengan telaah skenario pada tipe pemeriksaan yang berbeda disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Masukan dan keluaran rancangan pengambilan contoh produk olahan udang beku resiko produsen dengan tiga tipe pemeriksaan Masukan Jumlah Lot (unit) 540 540 540
Keluaran
AQL Tipe Cacat (%) Pemeriksaan (%) 6.5 6.5 6.5
Normal Ketat Lemah
1 1 1
n (unit) 80 80 32
c (unit) 10 8 5
Pa
1.000 1.000 1.000
Keterangan : n = jumlah contoh yang diperiksa c = bilangan penerimaan Pa = peluang penerimaan
Hasil verifikasi tersebut menunjukkan bahwa pada tipe pemeriksaan lemah ukuran contoh yang diperlukan lebih kecil dibandingkan dua tipe pemeriksaan lainnya. Jumlah produk cacat yang dapat diterima pada tip e pemeriksaan ketat lebih sedikit daripada tipe pemeriksaan normal karena persyaratan penerimaan lot dengan pemeriksaan ketat lebih keras daripada pemeriksaan
normal.
Montgomery
(1998)
menjelaskan
prosedur
perubahan tipe pemeriksaan sebagai berikut (1) normal ke ketat, jika dua dari lima lot berurutan ditolak pada pemeriksaan normal, (2) ketat ke normal, jika lima lot berurutan diterima pada pemeriksaan ketat, (3) normal ke lemah, jika sepuluh lot berurutan diterima pada pemeriksaan normal, banyak unit
cacat lebih kecil atau sama dengan bilangan
penerimaan yang diberikan, produksi pada tingkat tetap, (4) lemah ke normal, jika semua lot ditolak, jumlah unit rusak lebih besar daripada bilangan penerimaan, produksi tidak teratur atau terlambat. Ukuran contoh yang diambil dan bilangan penerimaan akan mempengaruhi bentuk kuva OC. Kurva OC pada tipe pemeriksaan ketat lebih curam daripada tipe pemeriksaan normal, sedangkan pada tipe pemeriksaan lemah kurva OC yang dihasilkan lebih landai. Hal ini menunjukkan denga n jumlah contoh yang sama, peluang penerimaan produk lebih kecil untuk tingkat persen cacat yang sama pada tipe pemeriksaan ketat karena bilangan penerimaannya lebih kecil. Kurva OC untuk masing- masing tipe pemeriksaan disajikan pada Gambar 16 – 18. 1.000 1.000 1.000 1.000 0.997 0.990 0.972 1.0
0.939
Peluang Penerimaan (Pa)
0.887 0.9
0.816
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Persen cacat
Gambar 16 Kurva OC dengan AQL 6.5 % normal, n = 80, c = 10 1.000 1.000 0.999 0.994 0.979
1.0
0.944
Peluang Penerimaan (Pa)
0.886 0.9
0.803
0.8
0.703
0.7 0.593 0.6 0.5 0.4 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Persen cacat
Gambar 17 Kurva OC dengan AQL 6.5 % ketat, n = 80, c = 8
1.000 1.000 1.000 0.998 0.994 0.986 0.973 0.954
1.0
0.928
Peluang Penerimaan (Pa)
0.895 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Persen cacat
Gambar 18 Kurva OC dengan AQL 6.5 % lemah, n = 32, c = 5 Model QuShrimp terdiri dari dua jenis rancangan pengambilan contoh berdasarkan resiko produsen, yaitu rancangan tunggal dan ganda. Apabila pengguna tidak puas dengan keputusan yang diberikan oleh rancangan pengambilan contoh tunggal, maka pengguna dapat memilih rancangan pengambilan contoh ganda. Rancangan pengambilan contoh ganda memungkinkan untuk menunda penolakan lot produk hingga contoh kedua diambil. Verifikasi model QuShrimp dengan telaah skenario jenis rancangan pengambilan contoh tunggal dan ganda disajikan pada Tabel 22. Tabel 22
Masukan dan keluaran rancangan pengambilan contoh
tunggal dan ganda produk olahan udang beku resiko produsen Masukan
Jumlah Lot (unit) 540 540
AQL Tipe (%) Pemeriksaan 6.5 6.5
Normal Normal
Keluaran Jenis Rancangan Tunggal Ganda
n c (unit) (unit) 80 50 50
10 5 12
Pa
1.000 1.000
Keterangan : n = jumlah contoh yang diperiksa c = bilangan penerimaan Pa = peluang penerimaan
Jika mutu lot sangat baik, yaitu jumlah produk cacat pada 50 unit contoh pertama tidak melebihi bilangan penerimaan yaitu 5 unit, maka
keputusan untuk menerima lot dapat ditentukan tanpa mengambil contoh kedua. Namun, jika jumlah produk cacat pada 50 unit contoh pertama lebih dari bilangan penerimaan pada contoh kedua yaitu 12 unit, maka diambil keputusan untuk menolak lot tanpa perlu mengambil contoh kedua. Apabila dua hal ini terjadi, maka biaya pemeriksaan dapat ditekan karena jumlah contoh yang diperlukan untuk pemeriksaan pada rancangan pengambilan contoh ganda akan lebih sedikit dibandingkan rancangan pemeriksaan contoh tunggal. Bilangan penerimaan pada contoh kedua biasanya lebih besar daripada contoh pertama. Jumlah total contoh pada rancangan pengambilan contoh ganda yaitu 100 unit lebih besar dibandingkan rancangan pengambilan contoh tunggal dan dapat menyebabkan peningkatan biaya pemeriksaan. Hal ini terjadi dalam kondisi jumlah produk cacat lebih dari bilangan penerimaan contoh pertama, tetapi tidak lebih dari bilangan penerimaan pada contoh kedua (5 < d1 < 12), sehingga keputusan ditunda dan diambil contoh kedua. Keputusan penerimaan lot ditentukan berdasarkan jumlah cacat pada contoh pertama dan contoh kedua (d1 + d2 ) dibandingkan dengan bilangan penerimaan kedua. Model QuShrimp dapat membantu pengguna dalam pengambilan keputusan untuk proses pengambilan contoh penerimaan yang optimal dengan adanya berbagai alternatif skenario pengambilan contoh. Pengguna dituntut untuk memiliki pengetahuan yang baik tentang kualitas produk yang diinginkan konsumen agar menghasilkan keputusan yang tepat. 2. Sub model Pemeriksaan Mutu Sub model Pemeriksaan Mutu berperan dalam memeriksa mutu produk baik bahan baku di tingkat pasca panen maupun industri, proses produksi, dan produk olahan udang beku. Pengguna membandingkan sejumlah contoh dengan parameter mutu sesuai dengan ketetapan yang digunakan industri. Apabila pada setiap parameter mutu ditemukan penyimpangan atau ketidaksesuaian dengan standar mutu yang digunakan, maka produk dianggap cacat. Pengguna model memasukan jumlah cacat
produk yaitu jumlah produk yang tidak sesuai dengan standar. Jumlah produk cacat ini akan disesuaikan dengan bilangan penerimaan. Jika jumlah produk cacat melebihi bilangan penerimaan, maka produk ditolak, tetapi jika sebaliknya terjadi, maka lot produk diterima. Hasil pemeriksaan akan keluar pada sub model Keputusan Lot Produk yaitu lot produk diterima atau ditolak. Pengawasan mutu bahan baku untuk produksi udang beku dilakukan mulai dari penerimaan bahan baku hingga proses produksi serta penyimpanan dengan menggunakan prinsip hati- hati, bersih, cepat dan rantai dingin. Kegiatan pemeriksaan mutu pada model QuShrimp dimulai dari tingkat pasca panen agar bahan baku yang digunakan untuk pengolahan selanjutnya di industri sudah termasuk udang yang bermutu bagus. Pihak pemasok pun akan mendapatkan keuntungan lebih besar karena harga udang mutu pertama lebih tinggi daripada yang kedua. Pada tingkat industri, pemeriksaan mutu berguna untuk memperoleh produk yang sesuai standar dan mencegah produk yang tidak memenuhi standar dikirim ke luar negeri. Pemeriksaan mutu baik bahan baku di tingkat pasca panen ataupun industri, proses produksi, dan produk olahan dilakukan dengan penilaian fisik baik secara organoleptik maupun dengan bantuan instrumen. Metode organoleptik sering digunakan dalam pengujian produk pangan karena prosedurnya
mudah
dan
cepat
walaupun
memerlukan
ketelitian
pengujinya. Pemeriksaan mutu bahan baku udang segar oleh QuShrimp di tingkat pasca panen, meliputi beberapa parameter mutu, yaitu : warna, bau, tekstur, penampakan, kulit, dan bobot. Pemeriksaan warna, bau, tekstur, penampakan, dan kulit dilakukan secara organoleptik yaitu dengan bantuan panca indra manusia, sedangkan pemeriksaan bobot dilakukan dengan bantuan alat timbangan. Setiap ada penyimpangan pada salah satu parameter maka produk dia nggap cacat dan dilakukan pemisahan. Standar warna udang windu mutu I yang ditetapkan adalah biru, yang masih cerah atau bening, sedangkan mutu II adalah biru tapi sudah tidak cerah lagi.
Udang yang sudah berubah warna menjadi kemerahan ditolak. Bau udang mutu I adalah segar khas udang, sedangkan udang mutu II baunya cenderung netral. Udang yang berbau busuk tidak dapat diterima. Tekstur dan penampakan udang mutu I adalah elastis, tidak ada blackspot pada tubuh udang, kulitnya kokoh dan antar ruas masih utuh. Udang mutu II teksturnya agak lunak, terdapat blackspot dalam jumlah sedikit, kulitnya lembek dan antar ruas masih utuh. Udang yang ditolak adalah teksturnya lunak, terdapat blackspot dalam jumlah banyak, kulitnya banyak mengelupas dan lembek. Bobot udang yang ditimbang harus seragam dan sesuai dengan size-nya, jika tidak maka dianggap menyimpang. Size adalah jumlah udang dalam 1 lb (0.454 kg). Standar ukuran berat timbangan per size udang disajikan sebagai berikut. Tabel 23 Standar ukuran berat timbangan per size udang Size Udang
Jumlah per lb (ekor)
4-6 6-8 8-12 13-15 16-20 21-25 26-30 31-40 41-50 50-60 60-70
5 7 10 14 18 23 28 35 45 55 65
Kegiatan pemeriksaan mutu bahan baku udang segar di perusahaan dilakukan pada tahap penerimaan bahan baku. Dari hasil pengamatan di perusahaan, parameter penilaian terhadap bahan baku meliputi warna, bau, tekstur, penampakan, kulit, kotoran, bobot, dan suhu yang terdapat dalam produk. Pemeriksaan warna, bau, tekstur, penampakan, kulit, dan kotoran dilakukan dengan metode organoleptik, sedangkan pemeriksaan bobot dilakukan dengan bantuan alat timbangan digital dan pemeriksaan suhu dengan bantuan termometer digital (termokopel). Syarat mutu I dan syarat
mutu II udang windu segar yang dapat diterima sama dengan syarat penerimaan pada tingkat pasca panen. Pada tubuh udang tidak boleh ditemukan kotoran yang menempel. Bobot udang yang diterima adalah yang seragam dan sesuai dengan size-nya. Suhu permukaan tubuh udang yang dapat diterima tidak boleh lebih dari 5 °C. Pada suhu ini proses pembusukan oleh bakteri dapat terhenti. Pengawasan mutu selama proses produksi di perusahaan dilakukan secara teliti dan optimal yang diawasi oleh QC. Pengawasan mutu selama proses pengolahan dilakukan pada setiap tahapan yang bertujuan agar produk yang dihasilkan terjaga kualitasnya. Pengendalian mutu pada proses produksi dilakukan pada setiap tahapan, tetapi pada model QuShrimp hanya meliputi tahapan-tahapan yang termasuk dalam titik kritis, yaitu tahapan koreksi size dan deteksi logam. Parameter pengujian pada tahap koreksi size adalah keseragaman ukuran, tekstur, penampakan, kotoran, dan suhu. Keseragaman ukuran, tekstur, penampakan, kotoran diperiksa secara organoleptik, sedangkan suhu diperiksa dengan termometer digital (termokopel). Ukuran udang yaitu panjang dan lebarnya harus seragam. Tekstur dan penampakan udang mutu I adalah elastis dan tidak ada blackspot pada tubuh udang. Udang mutu II teksturnya agak lunak dan terdapat blackspot dalam jumlah sedikit. Udang yang ditolak adalah teksturnya lunak dan terdapat blackspot dalam jumlah banyak. Pada udang mutu I dan mutu II tidak boleh ada kotoran, kalau ditemukan kotoran maka dianggap cacat. Suhu dijaga pada rantai dingin yaitu kurang dari 5 °C, bila lebih dari 5 °C dianggap cacat. Parameter pengujian pada tahap deteksi logam yaitu benda asing, kondisi permukaan dan dehidrasi. Alat pendeteksi logam berfungsi untuk memeriksa produk yang mengandung benda-benda sejenis logam seperti kawat atau pasir. Setelah melewati alat pendeteksi logam, tidak boleh ditemukan benda asing pada blok udang. Kondisi permukaan blok dan dehidrasi diperiksa dengan indera penglihatan dan peraba. Kondisi permukaan yang dapat diterima yaitu setelah dibekukan halus, rata dan tidak boleh rusak. Blok udang juga tidak diperkenankan mengalami
dehidrasi dan harus cukup air untuk menjaga udang agar tidak rusak. Penolakan dilakukan bila positif terdapat benda asing, permukaan blok tidak halus dan tidak rata, dan keadaan blok sangat kering. Produk Block Frozen pengemasan
primer,
melalui 3 tahap pengemasan, yaitu
sekunder
dan
tersier.
Pengemasan
primer
menggunakan plastik polyethylen, kemudian dikemas ke dalam inner carton (IC), dan terakhir ke dalam master carton (MC). Pengendalian mutu produk akhir dilakukan untuk produk dalam kemasan inner carton, meliputi penilaian produk dengan standar yang telah ditetapkan dengan parameter kemasan, label, dan bobot. Kemasan dan label diperiksa dengan cara dilihat, sedangkan bobot menggunakan timbangan. Kemasan produk akhir harus utuh, tidak robek, dan tidak penyok. Label yang diberikan di kemasan harus lengkap, dan sesuai dengan jenis produk yang dikemas. Bobot dalam satu inner carton harus 2 kg. Jika ditemukan ketidaksesuaian dengan standar, maka produk dianggap cacat. Ketidaksesuaian dengan standar biasanya terjadi karena kesalahan manusia, yaitu para operator pada bagian pengemasan.
3. Sub model Keputusan Lot Produk Pada QuShrimp, sub model Keputusan Lot Produk digunakan untuk membantu memutuskan penerimaan atau peno lakan lot produk yang diperiksa. Sub model ini mensimulasikan proses pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang diperoleh dari sub model Contoh dan sub model Pemeriksaan Mutu. Bilangan penerimaan (c) yang merupakan keluaran sub model Contoh akan dibandingkan dengan jumlah produk cacat dalam contoh yang merupakan masukan dari pengguna pada sub model Pemeriksaan Mutu. Lot produk akan diterima apabila jumlah produk cacat (d) nilainya lebih kecil dari bilangan penerimaan (c). Jika hal sebaliknya terjadi, maka lot produk akan ditolak. Pengguna yang tidak puas dengan keputusan yang diberikan model, dapat melakukan pengambilan contoh ganda pada sub model Contoh. Penundaan keputusan suatu lot dapat terjadi sebelum diambil contoh ke
dua. Apabila contoh pertama dinilai memiliki mutu yang sangat tinggi (d1 < c1 ), maka lot akan diterima, tetapi sebaliknya apabila contoh pertama dinilai memiliki mutu yang rendah (d1 > c2 ), maka lot akan ditolak. Jika contoh pertama berada di batas bilangan penerimaan pertama dan bilangan ke dua (c1 < d1 < c2 ) , maka diperlukan gabungan jumlah kerusakan contoh pertama dan contoh ke dua. Jika contoh gabungan mempunyai jumlah rusak lebih kurang dari bilangan penerimaan contoh ke dua (d1 + d2 < c2 ), maka lot produk akan diterima dan bila sebaliknya terjadi maka lot produk ditolak. 4. Sub model Biaya Mutu Sub model Biaya Mutu dibedakan atas biaya mutu produk bahan baku di tingkat pasca panen dan di tingkat industri serta biaya mutu produk olahan. Pengguna dapat memperoleh informasi biaya untuk setiap persen kerusakan (p) yang digunakan dan peluang penerimaan (Pa) dari sub model Contoh. Dalam memproduksi suatu barang yang bermutu diperlukan pengendalian mutu secara terpadu dan terus- menerus. Proses pengendalian mutu ini memerlukan biaya mutu. Biaya mutu merupakan biaya yang terjadi atau yang mungkin terjadi karena kualitas yang buruk. Biaya mutu yang makin menurun merupakan salah satu indikasi mutu produk yang dihasilkan semakin baik dan dapat memberi kepuasan kepada pelanggan. Menurut Nasution (2005), biaya mutu dikelompokkan menjadi empat golongan,
yaitu
biaya
pencegahan
(prevention
cost),
biaya
deteksi/penilaian (detection/appraisal cost), biaya kegagalan internal (internal failure cost), dan biaya kegagalan ekstrnal (exernal failure cost). Pada QuShrimp, sub model Biaya Mutu hanya biaya pemeriksaan yang diperhitungkan yang meliputi perhitungan biaya mutu bahan baku di tingkat pasca panen, bahan baku di tingkat industri dan produk olahan. Biaya pemeriksaan yang termasuk biaya kegagalan internal dan biaya penilaian berdasarkan pada jumlah unit yang harus diuji. Semakin banyak jumlah unit yang diuji maka biaya pemeriksaan relatif bertambah besar.
Selain jumlah unit, nilai persen rusak juga mempengaruhi perhitungan biaya inspeksi yang harus dikeluarkan. Pada pemeriksaan bahan baku udang segar di tingkat industri, terdapat dua skenario perhitungan biaya. Skenario pertama yaitu mengembalikan lot yang ditolak kepada pemasok. Skenario ini dipilih apabila transaksi pembayaran belum dilakukan atau jika kedua pihak telah menyepakati hal tersebut. Lot yang ditolak menyebabkan biaya pemeriksaan contoh ditanggung oleh pihak pemeriksa (industri). Skenario kedua yaitu melakukan pemeriksaan ulang terhadap lot yang ditolak. Skenario ini dilakukan bila pihak industri telah membayar bahan baku yang dikirim pemasok atau jika sebelumnya pihak pemasok dan pihak industri telah mengadakan perjanjian. Pemeriksaan ulang dilakukan pihak industri dan udang yang tidak memenuhi persyaratan diganti dengan udang yang baik. Verifikasi sub model Biaya Mutu untuk bahan baku pada tahap penerimaan di tingkat industri dilakukan pada produk udang windu segar size 30 untuk pengambilan contoh dengan berbagai telaah skenario nilai LTPD, dan disajikan pada Tabel 24 dan Tabel 25. Tabel 24 Masukan sub model Biaya Mutu bahan baku udang segar di tingkat industri No
Jenis Masukan
Nilai
Satuan
100
Rp./Kg
1
Biaya pemeriksaan bahan baku
2
Biaya menerima bahan baku cacat
60000
Rp./Kg
3
Biaya mengganti bahan baku cacat
120000
Rp./Kg
4
Ukuran lot bahan baku
972
Kg
Tabel 25 Keluaran sub model Biaya Mutu bahan baku udang segar di tingkat industri Pa
LTPD
n (kg)
1% 5%
335 225
0.501 1.000
Keterangan: n Pa Skenario I Skenario II
Skenario I (Rp) (Rp/Kg)
Skenario II (Rp) (Rp/Kg)
426.006,69 438,28 3.613.520,74 3.717,61
839.627,23 863,81 3.613.520,74 3.717,61
= jumlah contoh yang diperiksa = peluang penerimaan = Lot ditolak dan dikembalikan ke pemasok = Lot ditolak dan dilakukan pemeriksaan ulang
Perbandingan antara biaya pemeriksaan mutu untuk lot yang ditolak dan dikembalikan ke pemasok dengan pemeriksaan ulang dapat dilihat pada tabel di atas. Nilai biaya pemeriksaan bahan baku untuk skenario I (lot ditolak dan dikembalikan ke pemasok) lebih kecil daripada skenario II (pemeriksaan ulang). Hal ini disebabkan pada skenario II biaya penggantian udang yang cacat dibebankan pada biaya mutu. Biaya penggantian udang cacat adalah biaya yang dikeluarkan untuk mengganti udang yang cacat dengan udang yang baik sejumlah n contoh pada saat lot diputuskan untuk diterima. Biaya ini terdiri dari harga udang yang cacat sebesar Rp. 60.000,00 per kg dan harga udang yang menggantikan sebesar Rp. 60.000,00 per kg. Biaya menerima udang cacat dihitung dari sejumlah p x (N-n) udang cacat pada saat lot diterima. Apabila lot ditolak dan dilakukan pemeriksaan ulang, maka diperlukan biaya untuk memeriksa kembali sejumlah (N-n) kg udang dan biaya penggantian udang yang cacat. Hasil verifikasi untuk nilai LTPD 1% dan 5% menunjukkan bahwa biaya untuk melakukan pemeriksaan ulang lebih besar karena ada biaya tambahan untuk memeriksa produk pada lot. Pemeriksaan ulang mempunyai segi yang menguntungkan bagi perusahaan jika bahan baku belum dibayar, karena lot yang ditolak dapat dikembalikan sebelum transaksi. Akan tetapi, apabila perusahaan sudah melakukan pembayaran maka biaya untuk melakukan pemeriksaan ulang adalah sebesar Rp. 863,81/kg untuk LTPD 1% dan Rp. 3.717,61/kg untuk LTPD 5%.
Biaya pemeriksaan mutu tersebut kemudian dibandingkan dengan biaya produksi pada penerimaan bahan baku. Biaya produksi pada tahap penerimaan bahan baku meliputi biaya pembelian bahan baku, biaya tenaga kerja, dan biaya penyimpanan bahan baku yaitu sebesar Rp. 60.368,00 per kg udang segar. Perbandingan antara bia ya mutu dan biaya produksi yang harus dikeluarkan pada tahap penerimaan bahan baku untuk skenario 1 adalah 0.72% dan 5.80%, sedangkan untuk skenario 2 adalah 1.41% dan 5.80%. Untuk nilai LTPD 1%, nilai persentase biaya mutu terhadap biaya produksi menunjukkan pemeriksaan mutu masih layak dilakukan. Akan tetapi, untuk LTPD 5% persentase tersebut sudah melebihi batas biaya mutu yang ditetapkan oleh perusahaan yaitu sebesar 3.8%, sehingga pemeriksaan mutu tidak dapat dilakukan. Biaya pemeriksaan mutu bahan baku di tingkat pasca panen dan produk olahan dihitung berdasarkan resiko produsen, yaitu pemasok untuk bahan baku tingkat pasca panen dan perusahaan untuk produk olahan. Biaya mutu tersebut meliputi biaya pemeriksaan sejumlah n contoh, biaya kerugian karena menolak produk yang baik dan biaya kerugian untuk mengganti produk yang cacat dari sejumlah n contoh. Biaya ini terdiri dari harga produk yang cacat dan harga produk yang menggantikan. Biaya menolak produk yang baik adalah biaya yang harus dikeluarkan produsen untuk menanggung resiko karena telah menolak produk yang baik yang disebabkan oleh kesalahan dalam pemeriksaan. Biaya ini diperhitungkan dari sejumlah (1-p) x (N-n) produk yang baik. Tabel 26 Masukan sub model Biaya Mutu untuk bahan baku udang di tingkat pasca panen dan produk olahan udang beku No
1 2 3 4 5
Jenis Masukan
Biaya pemeriksaan Biaya mengganti produk cacat Biaya menolak produk yang baik Ukuran lot produk Jumlah contoh produk
Bahan Baku tingkat Pasca Panen Satuan Udang Segar Rp/kg Rp/kg Rp/kg kg kg
50 100.000 50.000 100 20
Produk Olahan Satuan
Udang Beku
Rp/unit Rp/unit Rp/unit Unit Unit
92,6 400.000 200.000 540 80
Tabel 27 Keluaran sub model Biaya Mutu dari 20 kg contoh udang segar Biaya
AQL
Pa
(Rp)
(Rp/kg)
1.5% 6.5% 10%
0.9825 0.9999 1.0000
116.775,5 131.258,5 201.000,3
1.167,76 1.312,58 2.010,00
Keterangan: Pa = peluang penerimaan
Tabel 28 Keluaran sub model Biaya Mutu dari 80 unit contoh udang beku Biaya
AQL
Pa
(Rp)
(Rp/unit)
1.5% 6.5% 10%
0.9909 1.000 1.000
1.448.964,94 2.087.408,10 3.207.408,00
2.683,27 3.865,57 5.939,64
Keterangan: Pa = peluang penerimaan
Verifikasi model QuShrimp untuk perhitungan biaya mutu bahan baku udang windu segar size 30 di tingkat pasca panen dan produk olahan dilakukan terhadap nilai AQL yang berbeda. Telaah nilai AQL dilakukan pada nilai 1.5%, 6.5% dan 10% dengan biaya mutu yang dihasilkan untuk bahan baku di tingkat pasca panen adalah Rp. 1.167,76/kg, Rp. 1.312,58/kg dan Rp. 2.010,00/kg, sedangkan untuk produk olahan yaitu Rp. 2.683,27/unit, Rp. 3.865,57/unit dan Rp. 5.939,64/unit. Dari hasil tersebut, terlihat bahwa semakin besar nilai AQL yang digunakan, maka biaya mutu juga semakin akan semakin bertambah. Hal ini dikarenakan dengan meningkatnya nilai AQL berarti produk cacat yang diperkenankan akan semakin besar, sehingga diperlukan tambahan biaya untuk mengganti produk yang rusak dalam contoh. Biaya pemeriksaan mutu tersebut kemudian dibandingkan dengan biaya produksi pada tingkat pasca panen dan produk olahan. Biaya produksi pada tingkat pasca panen yaitu sebesar Rp. 51.400,00 per kg udang segar yang meliputi biaya pembelian udang segar, biaya tenaga kerja, dan biaya penyimpanan bahan baku. Biaya untuk produk olahan udang beku yaitu sebesar Rp. 200.000,00 per kg yang meliputi biaya penyimpanan di cold storage, biaya pengemasan dan biaya tenaga kerja.
Perbandingan antara biaya mutu dan biaya produksi yang harus dikeluarkan pada tingkat pasca panen untuk ketiga nilai AQL adalah sebesar 2.22%, 2.49%, dan 3.76 %, sedangkan pada pemeriksaan produk olahan adalah sebesar 1.32%, 1.90%, dan 2.88%. Nilai perbandingan tersebut masih relatif kecil dan tidak melebihi batas biaya mutu yang ditetapkan oleh perusahaan yaitu sebesar 3.8% dari biaya produksi, sehingga kegiatan pemeriksaan mutu masih efektif.
C. PASCA PANEN UDANG Udang windu (Penaeus monodon) dapat hidup di laut maupun di tambak, tetapi karena kebutuhan dan permintaan meningkat, maka udang windu dibudidayakan di tambak. Tambak udang windu dapat dilihat pada gambar 19. Udang yang siap panen adalah udang yang telah berumur 3-4 bulan masa pemeliharaan. Pemanenan udang dapat dilakukan kapan saja, tetapi umumnya petambak memanen udang pada malam atau dini hari karena pada waktu gelap udang suka bergerak mengelilingi tambak untuk mencari makan (Suyanto dan Mujiman, 2005). Cara panen yang baik adalah menghindari perlakuan kasar terhadap udang, menghindari gerakan yang berlebihan pada udang, dan menjaga agar udang hasil panen tidak terkena sinar matahari secara langsung (Amri, 2006).
Gambar 19 Tambak udang
Pengamatan dilakukan di tambak yang berlokasi di dusun Cikeris, desa Tambaksari Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karawang Jawa Barat. Tambaktambak di daerah ini biasanya dipelihara secara ekstensif atau tradisional. Kepadatan udang pada sistem ini kurang dari 25.000 ekor per hektar. Pembudidayaannya sering dilakukan dengan tumpang sari antara udang dengan ikan air payau lain seperti ikan bandeng. Petani-petani tambak ekstensif tidak memberikan pakan kepada udang. Mereka mengandalkan pakan alami yang sudah terkandung di dalam air tambak, walaupun terkadang petambak juga memberi pakan tambahan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Tingkat produksi udangnya hanya berkisar antara 50 – 500 kg per hektar per musim tanam. Pemanenan dilakukan menggunakan jala, akan tetapi untuk mengambil udang yang belum terambil tetap menggunakan tangan kosong. Perlakuan pasca panen sudah mulai diperhatikan dengan baik agar kualitas udang tidak menurun. Mutu udang yang menurun menyebabkan harga jual yang menurun dan dapat mengurangi pendapatan para petambak. Hal yang tidak boleh terlalaikan adalah melakukan kegiatan pasca panen dalam rantai dingin agar mutu udang tidak berubah terutama secara fisik. Penanganan pasca panen udang yang biasa dilakukan di tingkat tambak, yaitu pencucian, sortasi, penimbangan, dan pengemasan, sebelum pengangkutan ke pedagang pengumpul. 1) Pencucian Setelah diangkat dari tambak, udang dikumpulkan di dalam keranjang yang cukup lebar dan berlubang- lubang, atau dapat pula dipakai wadah pencucian khusus yang dibuat dari seng atau fiberglass. Wadah pencucian itu didekatkan ke selang kemudian dicuci dengan air bersih. Pencucian dilakukan untuk membersihkan kotoran dan lumpur yang menempel pada tubuh udang. 2) Sortasi Dalam satu tambak, udang yang dipanen beragam jenis, ukuran dan kualitasnya, oleh karena itu perlu dilakukan penyortiran. Udang dipisahkan menurut jenisnya terlebih dahulu, kemudian dikelompokkan
sesuai ukuran dan kualitasnya agar seragam. Harga udang disesuaikan dengan ukuran besar-kecilnya, semakin besar ukuran udang semakn tinggi pula harganya. 3) Penimbangan Udang kemudian dibawa ke tempat penimbangan. Masing- masing kelompok udang ditimbang untuk menentukan berapa jumlah masingmasing ukuran dan menentukan harga. Kegiatan ini dilakukan bersama oleh petambak dan pembeli.
Gambar 20 Penimbangan di tingkat tambak 4) Pengemasan Udang akan menempuh perjalanan yang cukup jauh dan lama karena itu perlu dimasukkan ke peti dingin (cool box) yang dindingnya mempunyai lapisan isolator (penahan panas). Bila tidak ada peti berisolator, maka menggunakan tong plastik pun cukup. Penataan udang dan es curai dilakukan berselang-seling sehingga kualitas udang tetap terjaga. Ada dua macam cara penataan udang, yaitu cara berlapis dan cara teraduk. Setelah peti terisi penuh, kemudian ditutup rapat.
Error!
Gambar 21 Pengemasan udang di tingkat tambak
5) Pengangkutan Jalur pemasaran udang tidaklah terlalu panjang, akan tetapi biasanya melalui jarak tempuh yang cukup jauh sehingga diperlukan proses pengangkutan yang tepat untuk mengurangi kemunduran mutu udang. Pengangkutan dapat dilakukan dengan truk ataupun mobil bak terbuka. Selain ditutup papan, peti juga dilindungi dengan terpal plastik yang cukup tebal untuk mencegah kemungkinan rusak. Jalur pemasaran udang khususnya di Karawang dapat dilihat pada gambar 22. Perusahaan
Petani tambak
Pedagang Pengumpul
Restoran
Pasar Lokal
Gambar 22 Jalur pemasaran udang windu Udang yang sudah dipanen dibawa ke tempat yang biasa digunakan sebagai tempat terjadinya proses jual beli udang antara petambak dengan pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul selalu aktif mencari informasi kapan udang akan dipanen, sehingga mereka dapat langsung membeli udang segar di tempat. Pedagang pengumpul biasanya sudah membawa es untuk menampung udangnya. Harga jual udang ditentukan bersama antara petambak dan pedagang pengumpul dengan sistem pembayaran secara tunai. Udang yang dibeli oleh pedagang pengumpul nantinya akan dijual ke perusahaan – perusahaan pengekspor ataupun restoran-restoran di daerah Jakarta Utara. Berdasarkan hasil survei pada bulan Juli 2006 di daerah tambak di desa Cikeris Karawang dapat dianalisis perhitungan keuangan petambak dalam satu musim tanam (3 bulan) seperti pada tabel 29. Perhitungan dilakukan terhadap tambak udang windu di atas lahan seluas 1 hektar dengan kepadatan udang sebanyak 10.000 ekor dan total hasil panen 100 kg. Harga jual ditetapkan untuk udang windu size 30 pada bulan Juli 2006 sebesar Rp. 50.000,00 per kg.
Tabel 29 Analisa Keuangan Petambak Udang Satu Musim Tanam (Mei-Juli 2006) Spesifikasi
Rupiah
Pendapatan -Penjualan Udang @Rp.50.000,00/kg
5.000.000
Biaya a) Biaya Persiapan : - Biaya pengangkatan lumpur : 10 orang @Rp.25.000,00/hari
250.000
- Biaya pengapuran : Kapur Tenaga kerja 2 orang @Rp.25.000,00
200.000 50.000
- Biaya pembajakan tanah : 10 orang @Rp.25.000,00/hari
250.000
- Biaya pemupukan : Urea 200 kg @Rp1.300,00/kg TSP 100 kg @Rp1.900,00/kg Tenaga kerja 4 orang @Rp.25.000,00
260.000 190.000 100.000
- Biaya pengisian air
190.000
- Biaya pemberantasan hama - Biaya penetral
45.000 140.000
b) Biaya Pemeliharaan : - Biaya penebaran benur : 10.000 ekor @Rp.30,00/ekor
300.000
- Biaya pakan tambahan 150 kg @Rp.1.500,00/kg
225.000
c) Biaya Pemanenan : - Biaya pengeringan air - Biaya pengambilan udang : Pengambilan 1 : 10 orang @Rp.3.000,00 Pengambilan 2 : 10 orang @Rp.4.000,00 Pengambilan 3 : 10 orang @Rp.5.000,00
190.000 30.000 40.000 50.000
Total Biaya
2.510.000
Total Keuntungan Keuntungan per kg
2.490.000 24.900
Dapat dilihat dari tabel 29, petambak mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 2.490.000,00 untuk satu kali musim tanam yang berkisar selama 3 bulan atau sebesar Rp. 24.900,00 per kg. Total pendapatan petambak sebesar Rp. 5.000.000,00 dari hasil penjualan udang dengan harga
Rp. 50.000,00/kg.
Biaya yang harus dikeluarkan oleh petambak terdiri dari tiga bagian utama
yaitu biaya persiapan, biaya pemeliharaan, dan biaya pemanenan. Biaya persiapan tambak meliputi biaya pengangkatan lumpur, biaya pembajakan tanah, biaya pemupukan, biaya pengisian air, biaya pemberantasan hama, dan biaya penetral, yang keseluruhannya sebesar Rp. 1.675.000,00. Biaya pemeliharaan termasuk biasa pembelian benur dan pemberian pakan tambahan sebesar Rp. 525.0000,00. Biaya pemanenan terdiri dari biaya pengeringan air sebesar Rp.190.000,00 dan biaya tenaga kerja yang memanen dalam tiga kali pengambilan udang sebesar Rp. 120.000,00. Kegiatan pasca panen yang dilakukan di tingkat pedagang pengumpul meliputi
sortasi,
pemotongan
kepala,
penyimpanan,
penyimpanan,
pengemasan, dan pengangkutan. Pengemasan dapat mempermudah proses pengangkutan. Kemasan yang digunakan bervariasi, untuk jarak tempuh cukup jauh digunakan peti berinsulasi, tetapi bila jaraknya cukup dekat hanya digunakan tong-tong plastik berkapasitas 40 kg. Akan tetapi, cara yang penyusunan uang dalam kemasan sama yaitu berlapis, selang-seling antara es dengan udang dengan perbandingan es dan udang 1 : 1. Cara penyusunan ini dapat membantu untuk menjaga produk agar terhindar dari kerusakan selama berlangsungnya proses pengangkutan sehingga mengurangi penyusutan yang mungkin terjadi. 1) Sortasi Udang yang datang di pedagang pengumpul dikumpulkan dan disortasi lagi menurut size dan karakteristik mutu yang diinginkan perusahaan. Sortasi tetap dilakukan lagi karena ada kemungkinan udang mengalami penurunan mutu setelah pengangkutan yang cukup jauh, juga untuk perhitungan harga pembelian dan penjualan nantinya kepada pembeli.
Gambar 23 Sortasi di tingkat pedagang pengumpul
2) Pembuangan Kepala Pembuangan kepala biasanya dilakukan dengan tangan kosong oleh kaum wanita. Proses tersebut biasanya menghilangkan 35% berat dari udang utuh. Tidak semua pedagang pengumpul melakukan pembuangan kepala. Akan tetapi, biasanya udang yang telah dipotong kepalanya dihargai lebih tinggi oleh perusahaan pengekspor, karena mengurangi proses yang perlu dilakukan oleh perusahaan. Setelah itu udang dicuci bersih dan dikumpulkan dalam wadah penampungan. Selama pengerjaan, udang harus selalu didinginkan menggunakan es dengan perbandingan berat udang dan berat es 1 : 1.
Gambar 24 Proses pembuangan kepala 3) Penyimpanan Udang segar tidak selalu langsung dikemas dan dikirim oleh pedagang pengumpul. Udang dapat disimpan dulu maksimal dua malam sambil menunggu pesanan dari perusahaan atau restoran. Agar mutunya tetap terjaga, udang disimpan dalam peti plastik yang sebelumnya telah diisi air dingin bercampur es. Udang disimpan dalam peti berisi air dingin dicampur es berkapasitas 60 kg.
Gambar 25 Penyimpanan di tingkat pedagang pengumpul
4) Pengemasan Pengemasan dapat mempermudah proses pengangkutan. Udang yang telah ditimbang dimasukkan secepat mungkin ke dalam wadah. Kemasan yang digunakan bervariasi, untuk jarak tempuh cukup jauh digunakan peti berinsulasi, tetapi bila jaraknya cukup dekat hanya digunakan tong-tong plastik berkapasitas 40 kg. Udang dalam wadah disusun berselang-seling dengan es curai secara berlapis atau teraduk agar dinginnya merata. Cara terbaik adalah dalam mengemas adalah berlapis untuk me nghindari kerusakan udang dan suhunya lebih merata. Cara penyusunan ini dapat membantu untuk menjaga produk agar terhindar dari kerusakan selama berlangsungnya proses pengangkutan sehingga mengurangi penyusutan yang mungkin terjadi.
es udang es udang es udang es Cara berlapis
Es Udang + es teraduk rata Es Cara teraduk
Gambar 26 Ilustrasi cara pengemasan udang segar 5) Pengangkutan Pengangkutan dilakukan dengan mobil bak terbuka. Kendaraan ini dapat mengangkut ± 100 – 400 kg udang segar. Tong-tong plastik atau peti berisi udang segar kemudian ditutup lagi dengan terpal untuk melindunginya dari panas maupun hujan. Udang diangkut menuju perusahaan-perusahaan pembekuan udang atau restoran-restoran.
Gambar 27 Pengangkutan Keuntungan yang diperoleh oleh pedagang pengumpul umumnya lebih besar bila dibandingkan dengan petambak. Pengamatan dilakukan pada tempat pengumpul udang Sungai Jernih milik H. Endang di Cilincing, Jakarta Utara. Perhitungan analisis keuangan pedagang pengumpul dapat dilihat pada tabel 30. Perhitungan dilakukan pada setiap pengiriman satu mobil bak terbuka bermuatan 400 kg udang windu size 30. Harga jual ke perusahaan pada bulan Juli 2006 ditetapkan sebesar Rp. 60.000,00 per kg. Tabel 30 Analisa Keuangan Pedagang Pengumpul pada Juli 2006 Spesifikasi
Rupiah
Pendapatan -Penjualan Udang Windu @Rp.60.000,00/kg Biaya -Biaya Pembelian Udang @Rp.50.000,00/kg
24.000.000 20.000.000
-Biaya Transportasi ke perusahaan
30.000
-Biaya Transportasi ke petambak
150.000
-Biaya Es : - Kemasan : 10 balok @Rp. 9.000,00/balok - Pengolahan : 10 ba lok @Rp. 9.000,00/balok
90.000 90.000
-Biaya Tenaga Kerja - Pemotongan Kepala : 5 orang selama 8 jam @Rp.5.000/jam/orang - Karyawan : 5 orang @Rp.30.000,00/hari/orang Total Biaya Total Keuntungan Keuntungan per kg
200.000 150.000 20.710.000 3.290.000 8.225
Harga udang yang berlaku di perusahaan pembekuan udang sebesar Rp. 60.000,00/kg atau 1.2% lebih besar dari harga di tingkat petambak sehingga pedagang pengumpul mendapat keuntungan sebesar Rp. 3.290.000,00 setiap kali pengiriman 400 kg udang windu size 30 atau sebesar Rp. 8.225,00 per kg Biaya terbesar yang harus dikeluarkan pedagang pengumpul adalah untuk biaya pembelian udang sebesar Rp. 20.000.000,00. Biaya pengangkutan untuk satu truk dengan kapasitas 400 kg adalah Rp. 30.000,00 atau Rp. 75/kg, dengan jarak tempuh dari tempat pedagang pengumpul di Cilincing sampai perusahaan pembeli di daerah Ancol dan juga biaya transportasi untuk pengambilan udang segar di daerah Karawang sebesar Rp. 150.000,00. Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan adalah tenaga kerja khusus untuk pemotongan kepala dan karyawan tetap. Biaya tenaga kerja untuk pemotongan kepala udang adalah sebesar Rp. 5.000,00 per orang per jam, sehingga untuk 8 jam kerja sehari diperlukan 5 orang dan dikeluarkan biaya sebesar Rp. 200.000,00. Biaya tenaga kerja tetap yaitu sebesar Rp. 30.000,00 per orang per hari, sehingga untuk 5 orang pekerja dikeluarkan biaya sebesar Rp. 150.000,00. Biaya lain yang perlu dikeluarkan adalah untuk membeli es balok yang digunakan dalam kemasan dan dalam proses pengolahan. Satu es balok mempunyai berat 40 kg. Dalam pengemasan dan pengolahan diperlukan es dengan perbandingan 1:1, sehingga untuk 400 kg udang diperlukan es balok 400 kg atau 10 balok es. Bila harga balok es Rp. 9.000,00 per balok, maka total biaya pembelian es untuk pengemasan dan pengolahan adalah Rp. 180.000,00. Pemberian es akan menghindarkan dari penurunan mutu udang. Perlakuan pasca panen di tingkat industri akan berpengaruh pada hasil akhir produk yang dihasilkan. Perlakuan pasca panen di tingkat industri pengolahan udang beku dimulai dari penerimaan dan persiapan bahan baku. Proses pengendalian mutu selanjutnya dilakukan pada saat proses produksi dan pada produk olahan yang siap diekspor. Pengendalian mutu dilakukan oleh unit Quality Control (QC) perusahaan pada setiap tahapan proses mulai dari penerimaan bahan baku sampai produk jadi. Udang sebagai komoditi ekspor memerlukan pengendalian mutu yang dilakukan secara berkesinambungan dan menyeluruh agar dapat bersaing di
pasaran dunia. Suatu sistem pengendalian mutu yang terpadu diperlukan untuk menjaga
kestabilan
kualitas
produk
yang
dihasilkan
serta
menjaga
kepercayaan konsumen terhadap produk. Selain menerapkan statistika pengendalian mutu, juga diperlukan analisa lebih lanjut mengenai kinerja faktor- faktor yang mungkin berpengaruh terhadap kualitas proses dan produk udang beku. Diharapkan dengan sistem pengendalian mutu ini, udang Indonesia dapat meningkatkan daya saing di pasaran global secara kompetitif.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN QuShrimp merupakan suatu model sistem pengendalian mutu yang digunakan untuk membantu para pengambil keputus an pada bagian pengendalian mutu dalam produksi udang beku secara menyeluruh. Model ini bertindak sebagai Sistem Penunjang Keputusan (SPK) dan dirancang dalam bentuk perangkat lunak komputer dengan menggunakan bahasa pemrograman Microsoft Visual Basic 6.0. Kegiatan pengendalian mutu yang dilakukan oleh QuShrimp meliputi pengendalian mutu bahan baku di tingkat pasca panen dan pengendalian mutu di tingkat industri yang meliputi penerimaan bahan baku, proses produksi dan produk olahan. Pengambilan keputusan pada kegiatan pengendalian mutu yang dapat ditunjang dengan model QuShrimp adalah penentuan rancangan pengambilan contoh dalam berbagai alternatif, pemeriksaan mutu produk, dan keputusan untuk menerima atau menolak lot produk, serta perhitungan biaya pemerik saan mutu. Model ini terdiri dari empat sub model, yaitu sub model Contoh, Pemeriksaan Mutu, Keputusan Lot Produk dan Biaya Mutu. Verifikasi model QuShrimp untuk rancangan pengambilan contoh udang segar berdasarkan resiko konsumen (industri) dilakukan pada LTPD 1% dan 5% terhadap lot bahan baku udang segar sebanyak 972 kg. Contoh diambil sebanyak 335 kg untuk LTPD 1% dengan maksimum cacat yang diperbolehkan sebanyak 1 kg dan 225 kg untuk LTPD 5% dengan maksimum cacat yang diperbolehkan sebanyak 7 kg. Peluang penerimaan terhadap lot produk dengan pengujian menggunakan nilai LTPD 1% sebesar 0.501 dan untuk LTPD 5% adalah 1.000. Verifikasi biaya pemeriksaan mutu untuk nilai LTPD 1% dan 5% dilakukan dengan membandingkan dua skenario, yaitu jika lot ditolak dan dikembalikan ke pemasok dan dengan jika dilakukan pemeriksaan ulang. Biaya mutu untuk nilai LTPD 5% lebih besar dibandingkan melakukan LTPD 1%. Biaya pemeriksaan mutu untuk lot yang ditolak dan dikembalikan ke pemasok adalah sebesar Rp 438,28/kg untuk LTPD 1% dan Rp 3.717,61/kg
untuk LTPD 5%. Biaya untuk melakukan pemeriksaan ulang adalah sebesar Rp. 863,81/kg untuk LTPD 1% dan Rp 3.717,61/kg untuk LTPD 5%. Biaya untuk melakukan pemeriksaan ulang lebih besar karena adanya biaya tambahan untuk memeriksa produk yang terdapat pada lot. Perbandingan antara biaya mutu dan biaya produksi yang harus dikeluarkan pada tahap penerimaan bahan baku untuk skenario 1 adalah sebesar 0.72% dan 5.80%, sedangkan untuk skenario 2 adalah sebesar 1.41% dan 5.80%. Untuk nilai LTPD 1%, nilai persentase biaya mutu terhadap biaya produksi menunjukkan pemeriksaan mutu masih layak dilakukan. Akan tetapi, untuk LTPD 5% persentase tersebut sudah melebihi batas biaya mutu yang ditetapkan oleh perusahaan yaitu sebesar 3.8%, sehingga pemeriksaan mutu tidak dapat dilakukan. Verifikasi terhadap produk olahan berupa sebanyak 540 unit udang beku dilakukan pada nilai AQL 1.5%, 6.5 % dan 10 % dengan tingkat pemeriksaan 2 dan tipe pemeriksaan normal. Jumlah contoh yang harus diuji untuk ketiga nilai AQL adalah sebanyak 80 unit dengan maksimum jumlah cacat 3, 10 dan 14 unit. Biaya mutu bahan baku di tingkat pasca panen dan produk olahan menggunakan prinsip yang sama yaitu berdasarkan resiko produsen. Verifikasi model QuShrimp untuk perhitungan bia ya mutu bahan baku di tingkat pasca panen dan produk olahan dilakukan terhadap nilai AQL yang berbeda, yaitu 1.5%, 6.5% dan 10%. Biaya mutu yang dihasilkan untuk bahan baku di tingkat pasca panen adalah Rp 1.167,76/kg, Rp 1.312,58/kg dan Rp 2.010,00/kg, sedangkan untuk produk olahan yaitu Rp 2.683,27/unit, Rp 3.865,57/unit dan Rp 5.939,64/unit. Dari hasil tersebut, terlihat bahwa semakin besar nilai AQL yang digunakan, maka biaya mutu juga semakin akan semakin bertambah. Perbandingan antara biaya mutu dan biaya produksi yang harus dikeluarkan pada tingkat pasca panen untuk ketiga nilai AQL adalah sebesar 2.22%, 2.49%, dan 3.76 %, sedangkan pada pemeriksaan produk olahan adalah sebesar 1.32%, 1.90%, dan 2.88%. Nilai perbandingan tersebut masih relatif kecil dan tidak melebihi batas biaya mutu yang ditetapkan oleh
perusahaan yaitu sebesar 3.8% dari biaya produksi, sehingga kegiatan pemeriksaan mutu masih efektif.
B. SARAN 1. Sistem pengendalian mutu dapat dikaji lebih lanjut dengan strategi peningkatan kualitas proses dan produk udang beku meliputi analisis faktor kinerja, kondisi mesin dan peralatan, dan juga faktor- faktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap kualitas proses dan produk udang beku. 2. Model QuShrimp dapat dikembangkan dengan mengintegrasikannya dengan model lain yang terkait dengan sistem agroindustri pengolahan udang seperti model finansial, pengadaan bahan baku, perencanaan produksi, dan pemasaran sehingga menjadi suatu sistem manajemen agroindustri pengolahan udang yang menyeluruh. 3. Program dapat dikembangkan agar lebih fleksibel dengan melengkapi nilai LTPD dan AQL yang digunakan dalam sub model Contoh dengan nilai LTPD dan AQL seperti yang tercantum dalam tabel Dodge-Romig dan tabel MIL-STD-105E. 4. Pengkajian lebih lanjut terhadap sub model biaya mutu mengenai komponen-komponen biaya mutu yang berkaitan dan sesuai dengan keadaan aktual, seperti biaya perencanaan mutu, biaya perancangan produksi, biaya peralatan pengujian, dan biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan terpaksa harus menjual produk di bawah harga standar karena produknya cacat.
DAFTAR PUSTAKA
Alamanda, D.P. 2005. Sistem Penunjang Keputusan Pengendalian Mutu Produk Agroindustri Daging Ayam. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Aft, L.S. 1986. Fundamentals of Industrial Quality Control. Addison-Wesley Publishing Company, Canada. Amri, K. 2006. Budi Daya Udang Windu secara Intensif. AgroMedia Pustaka, Depok. Ariani, D.W. 1999. Manajemen Kualitas. Andi Offset, Yogyakarta. Assauri. 1999. Manajemen Produksi dan Operasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Banks, J. 1989. Principles of Quality Control. John Wiley and Sons, New York. Eriyatno. 1989. Analisa Sistem Pangan Industri Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press, Bogor. Erlinda. 1993. Rancang Bangun Model Sistem Pengendalian Mutu Produk Pada Agribisnis Nenas. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Feigenbaum, A.V. 1989. Kendali Mutu Terpadu. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Farnum, N.R. 1994. Statistical Quality Control and Improvement. Belmont, California. Grant, E.L. dan R.S. Leavenworth. 1991. Pengendalian Mutu Statistis. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1. Liberty, Yogyakarta. Haliman, R.W. dan D. Adijaya. 2005. Udang Vannamei. Penebar Swadaya, Jakarta. Hubeis, M. 1994. Pemasyarakatan ISO 9000 untuk Industri Pangan di Indonesia. Buletin Teknologi dan Industri Pangan Vol. V (3). Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ishikawa, K. 1986. Teknik Penuntun Pengendalian Mutu. Terjemahan. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Ilyas, S. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid II Teknik Pendinginan Ikan. CV. Paripurna, Jakarta. Kiswanto, A. 1990. Pengembangan Model Ongkos Total Pemeriksaan pada Pemeriksaaan Mutu Secara Visual dengan Sampling Penerimaan. Jurusan Statistika Institut Teknologi Surabaya, Surabaya. Kroenke, D. 1989. Management Information System. Mc-Graw-Hill, New York. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya, Jakarta. Nasution, M.N. 2005. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Ghalia Indonesia, Bogor. Nurhayati, N. 2006. Sistem Penunjang Keputusan Pengendalian Mutu Produksi Saus Cabai. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prawirosentono, S. 2004. Manajemen Mutu Terpadu. Total Quality Management Abad 21 Studi Kasus dan Analisis Kiat Membangun Bisnis Kompetitif Bernuansa “ Market Leader”. Bumi Aksara, Jakarta. Purwaningsih, S. 2000. Teknologi Pembekuan Udang. Penebar Swadaya, Jakarta. Raimu, W.O. 2000. Analisis Strategi Bisnis Ekspor Industri Pembekuan Udang. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bo gor, Bogor. Simatupang. 1995. Teori Sistem: Suatu Perspektif Teknik Industri. Andi Offset, Yogyakarta. Sjarief, J. 1999. Manajemen Kualitas. Laporan Penelitian. Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Standar Manajemen Mutu dan Jaminan Mutu, Pedoman untuk Pemilihan dan Penggunaan. SNI 19-000-1992. Dewan Standardisasi Nasional Departemen Perindustrian, Jakarta. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Standar Nasional Udang Beku. SNI 01– 2705–1992. Dewan Standardisasi Nasional Departemen Perindustrian, Jakarta.
Suryadi, R.H. 1996. Sistem Penunjang Keputusan. Gramedia, Jakarta. Suyanto, S.R. dan A. Mujiman. 2005. Budi Daya Udang Windu. Penebar Swadaya, Jakarta. Thierauf, R.J. dan R. C. Klekamp. 1975. Decision Making Through Operations Research. John Wiley and Sons Inc, New York. Turban, E. 1990. Decision Support and Expert System. Macmillan Pubishing Company, New York. Winarno. 1994. Pemodelan Sistem Pengawasan Mutu Produk Kualitas Ekspor Agroindustri Perikanan Rakyat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lampiran 1. Tabel Dodge-Romiga) 1) Tabel LTPD 1%
Ukuran Lot 1-120 121-150 151-200 201-300 301-400 401-500 501-600 601-800 801-1000 1001-2000 2001-3000 3001-4000 4001-5000 5001-7000 7001-10000 10001-20000 20001-50000 50001-100000 a)
0-0.010% AOQL n c % semua 0 0 120 0 0.06 140 0 0.08 165 0 0.10 175 0 0.12 180 0 0.13 190 0 0.13 200 0 0.14 205 0 0.14 220 0 0.15 220 0 0.15 225 0 0.15 225 0 0.16 230 0 0.16 230 0 0.16 390 1 0.21 390 1 0.21 390 1 0.21
0.011-0.10% AOQL n c % semua 0 0 120 0 0.06 140 0 0.08 165 0 0.10 175 0 0.12 180 0 0.13 190 0 0.13 200 0 0.14 205 0 0.14 220 0 0.15 375 1 0.20 380 1 0.20 380 1 0.20 385 1 0.21 520 2 0.25 525 2 0.26 530 2 0.26 670 3 0.29
Dodge Romig dalam Grant dan Leavenworth (1991)
Rata-rata Proses 0.11-0.20% 0.21-0.30% AOQL AOQL n c % n c % semua 0 0 semua 0 0 120 0 0.06 120 0 0.06 140 0 0.08 140 0 0.08 165 0 0.10 165 0 0.10 175 0 0.12 175 0 0.12 180 0 0.13 180 0 0.13 190 0 0.13 190 0 0.13 200 0 0.14 330 1 0.15 205 0 0.14 335 1 0.17 360 1 0.19 490 2 0.21 505 2 0.23 630 3 0.24 510 2 0.24 645 3 0.25 520 2 0.24 770 4 0.28 655 3 0.27 78 4 0.29 660 3 0.28 910 5 0.32 785 4 0.31 1040 6 0.35 920 5 0.34 1300 8 0.39 1040 6 0.36 1420 9 0.41
0.31-0.40% AOQL n c % semua 0 0 120 0 0.06 140 0 0.08 165 0 0.10 175 0 0.12 180 0 0.13 190 0 0.13 330 1 0.15 335 1 0.17 490 2 0.21 745 4 0.26 880 5 0.28 895 5 0.29 1020 6 0.32 1150 7 0.34 1400 9 0.39 1890 13 0.44 2120 15 0.47
0.41-0.50% AOQL n c % semua 0 0 120 0 0.06 140 0 0.08 165 0 0.10 175 0 0.12 180 0 0.13 305 1 0.14 330 1 0.15 335 1 0.17 610 3 0.22 870 5 0.26 1000 6 0.29 1120 7 0.31 1260 8 0.34 1500 10 0.37 1980 14 0.43 2570 19 0.48 3150 23 0.50
100 0
2) Tabel LTPD 5%
Ukuran Lot 1-50 31-50 51-100 101-200 201-300 301-400 401-500 501-600 601-800 801-1000 1001-2000 2001-3000 3001-4000 4001-5000 5001-7000 7001-10000 10001-20000 20001-50000 50001-100000
0-0.05% AOQL n c % semua 0 0 30 0 0.49 37 0 0.63 40 0 0.74 43 0 0.74 44 0 0.74 45 0 0.75 45 0 0.76 45 0 0.77 45 0 0.78 45 0 0.80 75 1 1.1 75 1 1.1 75 1 1.1 75 1 1.1 75 1 1.1 75 1 1.1 75 1 1.1 75 1 1.1
0.06-0.50% AOQL n c % semua 0 0 30 0 0.49 37 0 0.63 40 0 0.74 43 0 0.74 44 0 0.74 75 1 0.95 75 1 0.98 75 1 1.0 75 1 1.0 75 1 1.0 105 2 1.3 105 2 1.3 105 2 1.3 105 2 1.3 105 2 1.3 135 3 1.4 135 3 1.4 160 4 1.6
Rata-rata Proses 0.51-1.00% 1.01-1.50% AOQL AOQL n c % n c % semua 0 0 semua 0 0 30 0 0.49 30 0 0.49 37 0 0.63 37 0 0.63 40 0 0.74 40 0 0.74 70 1 0.92 70 1 0.92 70 1 0.99 100 2 1.0 100 2 1.1 100 2 1.1 100 2 1.1 125 3 1.2 100 2 1.2 130 3 1.2 105 2 1.2 155 4 1.4 130 3 1.4 180 5 1.6 135 3 1.4 210 6 1.7 160 4 1.5 210 6 1.7 160 4 1.5 235 7 1.8 185 5 1.7 260 8 1.9 185 5 1.7 260 8 1.9 210 6 1.8 285 9 2.0 235 7 1.9 305 10 2.1 235 7 1.9 355 12 2.2
1.51-2.00% AOQL n c % semua 0 0 30 0 0.49 37 0 0.63 40 0 0.74 95 2 0.99 120 3 1.1 125 3 1.2 150 4 1.3 175 5 1.4 180 5 1.4 230 7 1.7 280 9 1.9 305 10 2.0 330 11 2.0 350 12 2.2 380 13 2.2 425 15 2.3 470 17 2.4 515 19 2.5
2.01-2.50% AOQL n c % semua 0 0 30 0 0.49 37 0 0.63 40 0 0.74 95 2 0.6 145 4 1.0 150 4 1.2 175 5 1.3 200 6 1.4 225 7 1.5 280 9 1.8 320 13 2.0 420 15 2.2 440 16 2.2 490 18 2.4 535 20 2.5 610 23 2.6 700 27 2.7 770 30 2.8
101 1
Lampiran 2. Tabel Military Standard 105E (Standar ABC)b)
b)
Farnum (1994)
102 2
1) Penarikan Contoh Tunggal
103 3
104 4
105 5
2) Penarikan Sampel Ganda
106 6
107 7
108 8
Lampiran 3. Petunjuk Instalasi dan Penggunaan Model QuShrimp A. PETUNJUK INSTALASI QuShrimp hanya dapat berjalan pada sistem operasi berbasis windows tepatnya Microsoft Windows 95/98/2000/XP/NT/Me dengan minimal RAM 128 MB dan disk free space sebesar 5 MB. Spesifikasi lain yang harus dimiliki komputer adalah Processor minimal jenis Intel Pentium 166, VGA minimal 1 MB, dan monitor 800 x 600 pixels. Khusus untuk sistem operasi yang multiuser (Microsoft Windows XP, Microsoft Windows 2000, atau sekelasnya) hendaknya aplikasi WinVAXO Release 1.0 diinstal pada mode administrator. Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam proses instalasi QuShrimp Untuk melakukan prosedur instalasi disediakan sebuah CD yang berisi 3 (tiga) buah file, diantaranya: QuShrimp.cab, setup.exe, dan setup.lst. Berikut adalah beberapa tahapan prosedur instalasi QuShrimp. 1. Jalankan File Instalasi Jalankan file instalasi QuShrimp dengan meng-klik ganda setup.exe pada direktori / drive dimana file ini ditempatkan. Ikuti semua petunjuk yang ditayangkan pada proses selanjutnya, biasanya pengguna hanya melakukan persetujuan dengan menekan tombol [Enter] pada setiap dialog yang ditampilkan. 2.. Update File System (Jika Diperlukan) Untuk kasus tertentu terkadang sistem operasi harus melakukan prosedur updating file system terlebih dahulu sebelum proses instalasi dilanjutkan. Konfigurasi ini dilakukan secara otomatis, dan instalasi akan meminta windows untuk di-restart sebelum dilanjutkan. Setujui permintaan ini dengan menekan tombol [Enter], windows secara otomatis akan melakukan booting ulang, jika tidak - lakukan booting ulang secara manual. Ulangi lagi prosedur instalasi dari awal. 3. Instalasi Selesai Jika proses instalasi berjalan dengan lancar, windows akan membuat program group baru dengan nama QuShrimp. Untuk mengaktifkannya, klik shortcut pada Start|Programs|QuShrimp|QuShrimp. B. PETUNJUK PENGGUNAAN 1. Menu Pasca Panen a) Submenu Standar Mutu (1) Merupakan tampilan standar mutu yang digunakan dalam pemeriksaan mutu bahan baku udang segar. Nilainya dapat diedit dengan mengisi kolom sebelah kanan. b) Submenu Pasca Panen Tunggal (1) Pada form Model Contoh untuk pasca panen, teknik pengambilan contoh yang digunakan berdasarkan tabel MIL-STD-105E berdasarkan Statistika Pengendalian Mutu. Rancangan pengambilan
109
contoh berdasarkan pertimbangan resiko produsen. Input data yang harus dimasukkan adalah tanggal, nomor lot, jumlah lot, tingkat pemeriksaan, tipe pemeriksaan, dan pilih nilai AQ L yang digunakan, serta besarnya persen cacat. Setelah lengkap terisi, maka model akan mengeluarkan output berupa jumlah sampel yang harus diambil, bilangan penerimaan, dan peluang penerimaan untuk lot produk yang akan diperiksa. (2) Tekanlah tombol ‘Kurva OC’ untuk melihat tampilan kurva OC yang sesuai dengan kriteria pengambilan contoh yang dilakukan. (3) Tekanlah tombol ‘Periksa Mutu’ untuk melanjutkan proses pengambilan keputusan. Isilah jumlah produk cacat yang terdapat dalam contoh yang diambil pada form ini. (4) Setelah pengisian jumlah cacat, tekan ‘Enter’ untuk mengetahui hasil analisa keputusan penerimaan atau penolakan produk. c) Submenu Pasca Panen Ganda (1) Pada form Model Contoh untuk proses produksi, teknik pengambilan contoh yang digunakan berdasarkan tabel MIL-STD105E berdasarkan Statistika Pengendalian Mutu. Rancangan pengambilan contoh berdasarkan pertimbangan resiko produsen. Input data yang harus dimasukkan adalah tanggal, nomor lot, jumlah lot, tingkat pemeriksaan, tipe pemeriksaan, dan pilih nilai AQL yang digunakan, serta besarnya persen cacat. Setelah lengkap terisi, maka model akan mengeluarkan output berupa jumlah sampel 1 dan 2 yang harus diambil, bilangan penerimaan 1 dan 2, serta peluang penerimaan untuk lot produk yang akan diperiksa. (2) Tekanlah tombol ‘Kurva OC’ untuk melihat tampilan kurva OC yang sesuai dengan kriteria pengambilan contoh yang dilakukan. (3) Tekanlah tombol ‘Periksa Mutu’ untuk melanjutkan proses pengambilan keputusan. Isilah jumlah produk cacat yang terdapat dalam contoh yang diambil pada form ini. (4) Setelah pengisian jumlah cacat, tekan ‘Enter’ untuk mengetahui hasil analisa keputusan penerimaan atau penolakan produk. (5) Tekanlah tombol ‘Biaya Mutu’ sehingga disajikan sub model Biaya Mutu. Input data yang harus dimasukkan adalah biaya pemeriksaan, biaya penolakan produk baik, dan biaya penggantian produk cacat. Setelah lengkap terisi, maka model akan mengeluarkan output berupa hasil perhitungan biaya mutu. Kemudian simpanlah data pengambilan contoh dengan menekan tombol ‘Setujui’. Hasil pengambilan contoh dapat dilihat dengan menekan tombol ‘Lihat Data’. 2. Menu Bahan Baku a) Submenu Standar Mutu (1) Merupakan tampilan standar mutu yang digunakan dalam pemeriksaan mutu bahan baku udang segar. Nilainya dapat diedit dengan mengisi kolom sebelah kanan.
110
b) Submenu Pengambilan Contoh (1) Pada form Model Contoh untuk bahan baku, teknik pengambilan contoh yang digunakan berdasarkan tabel Dodge-Romig berdasarkan Statistika Pengendalian Mutu. Rancangan pengambilan contoh berdasarkan pertimbangan resiko konsumen. Input data yang harus dimasukkan adalah nama pemasok, no mor pemasok, jenis produk, harga produk per kg, tanggal, nomor kedatangan, nomor lot, jumlah lot, dan pilih nilai LTPD yang digunakan, serta besarnya persen cacat. Setelah lengkap terisi, maka model akan mengeluarkan output berupa jumlah sampel yang harus diambil, bilangan penerimaan, dan peluang penerimaan untuk lot produk yang akan diperiksa. (2) Tekanlah tombol ‘Kurva OC’ untuk melihat tampilan kurva OC yang sesuai dengan kriteria pengambilan contoh yang dilakukan. (3) Tekanlah tombol ‘Periksa Mutu’ untuk melanjutkan proses pengambilan keputusan. Isilah jumlah produk cacat yang terdapat dalam contoh yang diambil pada form ini. (4) Setelah pengisian jumlah cacat, tekan ‘Enter’ untuk mengetahui hasil analisa keputusan penerimaan atau penolakan produk. (5) Tekanlah tombol ‘Biaya Mutu’ sehingga disajikan sub model Biaya Mutu. Pada sub model Biaya Mutu dilakukan perhitungan biaya mutu dalam dua skenario. Skenario I berarti lot ditolak dan dikembalikan ke pemasok dan skenario II berarti lot ditolak dan dilakukan pemeriksaan 100%. Input data yang harus dimasukkan adalah biaya pemeriksaan, biaya penerimaan produk cacat, dan biaya penggantian produk cacat. Setelah lengkap terisi, maka model akan mengeluarkan output berupa hasil perhitungan biaya mutu untuk dua skenario tersebut. Kemudian simpanlah data pengambilan contoh dengan menekan tombol ‘Setujui’. Hasil pengambilan contoh dapat dilihat dengan menekan tombol ‘Lihat Data’. 3. Menu Proses Produksi a) Submenu Standar Mutu (1) Merupakan tampilan standar mutu yang digunakan dalam pemeriksaan mutu bahan baku udang segar. Nilainya dapat diedit dengan mengisi kolom sebelah kanan. b) Submenu Proses Produksi Tunggal (1) Pada form Model Contoh untuk proses produksi, teknik pengambilan contoh yang digunakan berdasarkan tabel MIL-STD105E berdasarkan Statistika Pengendalian Mutu. Rancangan pengambilan contoh berdasarkan pertimbangan resiko produsen. Input data yang harus dimasukkan adalah tanggal, kode pemasok, jenis produk, nomor lot, jumlah lot, tahapan (koreksi size atau deteksi logam), tingkat pemeriksaan, tipe pemeriksaan, dan pilih nilai AQL yang digunakan, serta besarnya persen cacat. Setelah lengkap terisi, maka model akan mengeluarkan output berupa
111
jumlah sampel yang harus diambil, bilangan penerimaan, dan peluang penerimaan untuk lot produk yang akan diperiksa. (2) Tekanlah tombol ‘Kurva OC’ untuk melihat tampilan kurva OC yang sesuai dengan kriteria pengambilan contoh yang dilakukan. (3) Tekanlah tombol ‘Periksa Mutu’ untuk melanjutkan proses pengambilan keputusan. Isilah jumlah produk cacat yang terdapat dalam contoh yang diambil pada form ini. (4) Setelah pengisian jumlah cacat, tekan ‘Enter’ untuk mengetahui hasil analisa keputusan penerimaan atau penolakan produk. c) Submenu Proses Produksi Ganda (1) Pada form Model Contoh untuk proses produksi, teknik pengambilan contoh yang digunakan berdasarkan tabel MIL-STD105E berdasarkan Statistika Pengendalian Mutu. Rancangan pengambilan contoh berdasarkan pertimbangan resiko produsen. Input data yang harus dimasukkan adalah tanggal, kode pemasok, jenis produk, nomor lot, jumlah lot, tahapan (koreksi size atau deteksi logam), tingkat pemeriksaan, tipe pemeriksaan, dan pilih nilai AQL yang digunakan, serta besarnya persen cacat. Setelah lengkap terisi, maka model akan mengeluarkan output berupa jumlah sampel 1 dan 2 yang harus diambil, bilangan penerimaan 1 dan 2, serta peluang penerimaan untuk lot produk yang akan diperiksa. (2) Tekanlah tombol ‘Kurva OC’ untuk melihat tampilan kurva OC yang sesuai dengan kriteria pengambilan contoh yang dilakukan. (3) Tekanlah tombol ‘Periksa Mutu’ untuk melanjutkan proses pengambilan keputusan. Isilah jumlah produk cacat yang terdapat dalam contoh yang diambil pada form ini. (4) Setelah pengisian jumlah cacat, tekan ‘Enter’ untuk mengetahui hasil analisa keputusan penerimaan atau penolakan produk. 4. Menu Produk Olahan a) Submenu Standar Mutu (1) Merupakan tampilan standar mutu yang digunakan dalam pemeriksaan mutu produk olahan udang beku. Nilainya dapat diganti dengan mengisi kolom sebelah kanan. b) Submenu Produk Olahan Tunggal (1) Pada form Model Contoh untuk produk olahan, teknik pengambilan contoh yang digunakan berdasarkan tabel MIL-STD-105E berdasarkan Statistika Pengendalian Mutu. Rancangan pengambilan contoh berdasarkan pertimbangan resiko produsen. Input data yang harus dimasukkan adalah tanggal, nomor lot, jumlah lot, tingkat pemeriksaan, tipe pemeriksaan, dan pilih nilai AQL yang digunakan, serta besarnya persen cacat. Setelah lengkap terisi, maka model akan mengeluarkan output berupa jumlah sampel yang harus diambil, bilangan penerimaan, dan peluang penerimaan untuk lot produk yang akan diperiksa.
112
(2) Tekanlah tombol ‘Kurva OC’ untuk melihat tampilan kurva OC yang sesuai dengan kriteria pengambilan contoh yang dilakukan. (3) Tekanlah tombol ‘Periksa Mutu’ untuk melanjutkan proses pengambilan keputusan. Isilah jumlah produk cacat yang terdapat dalam contoh yang diambil pada form ini. (4) Setelah pengisian jumlah cacat, tekan ‘Enter’ untuk mengetahui hasil analisa keputusan penerimaan atau peno lakan produk. c) Submenu Produk Olahan Ganda (1) Pada form Model Contoh untuk proses produksi, teknik pengambilan contoh yang digunakan berdasarkan tabel MIL-STD105E berdasarkan Statistika Pengendalian Mutu. Rancangan pengambilan contoh berdasarkan pertimbangan resiko produsen. Input data yang harus dimasukkan adalah tanggal, nomor lot, jumlah lot, tingkat pemeriksaan, tipe pemeriksaan, dan pilih nilai AQL yang digunakan, serta besarnya persen cacat. Setelah lengkap terisi, maka model akan mengeluarkan output berupa jumlah sampel 1 dan 2 yang harus diambil, bilangan penerimaan 1 dan 2, serta peluang penerimaan untuk lot produk yang akan diperiksa. (2) Tekanlah tombol ‘Kurva OC’ untuk melihat tampilan kurva OC yang sesuai dengan kriteria pengambilan contoh yang dilakukan. (3) Tekanlah tombol ‘Periksa Mutu’ untuk melanjutkan proses pengambilan keputusan. Isilah jumlah produk cacat yang terdapat dalam contoh yang diambil pada form ini. (4) Setelah pengisian jumlah cacat, tekan ‘Enter’ untuk mengetahui hasil analisa keputusan penerimaan atau penolakan produk. (5) Tekanlah tombol ‘Biaya Mutu’ sehingga disajikan sub model Biaya Mutu. Input data yang harus dimasukkan adalah biaya pemeriksaan, biaya penolakan produk baik, dan biaya penggantian produk cacat. Setelah lengkap terisi, maka model akan mengeluarkan output berupa hasil perhitungan biaya mutu. Kemudian simpanlah data pengambilan contoh dengan menekan tombol ‘Setujui’. Hasil pengambilan contoh dapat dilihat dengan menekan tombol ‘Lihat Data’.
113