SISTEM PEMASARAN GULA TEBU (CANE SUGAR) DENGAN PENDEKATAN STRUCTURE, CONDUCT, PERFORMANCE (SCP) [Kasus : Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bungamayang]
NIA ROSIANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Sistem Pemasaran Gula Tebu (Cane Sugar) dengan Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP) [Kasus : Perusahaan Perseroan (Persero) PT.Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bungamayang] adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2012
Nia Rosiana H451100021
ABSTRACT NIA ROSIANA. The Marketing System of Cane Sugar with Structure, Conduct, Performance Approach (SCP) [Case : Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bungamayang]. Under direction of RITA NURMALINA and HARMINI
Fluctuations international prices of cane sugar have an impact on the price of cane sugar in the country. One of the areas that became centers of production of cane sugar that sense changes in the international price of cane sugar Provinsi Lampung. The uncertainty of the price risk to the marketing agency involved. The general objective of this research is to analyze the marketing system of cane sugar approach to structure, conduct, performance (SCP) to the case in PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Research results indicate that the market structure facing the market is concentrated with a small level of competition and have barriers to entry for competitors. Market structure in Provinsi Lampung is oligopoly. Analysis of market behavior in the determination and formation of prices is still dominated by one of the marketing agencies. Market behaviour in PTPN VII UU BUMA have a marketing colution when the fixed prices by large salers. Market performance analysis shows that changes in the price of sugar cane at the consumer level is not transmitted to farmers. The results indicate that analysis of cane sugar marketing system in PTPN VII UU BUMA likely more advantages large salers than farmers. The farmers are price taker in the short run and long run. Keywords : Marketing system, cane sugar, market structure, market conduct, market performance, price
RINGKASAN NIA ROSIANA. Sistem Pemasaran Gula Tebu (Cane Sugar) dengan Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP) [Kasus : Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bungamayang]. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan HARMINI. Kebutuhan gula meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dunia. Namun, peningkatan konsumsi dunia tidak diimbangi dengan produksi sehingga menyebabkan defisit sebesar 9.12 juta ton di tahun 2008/2009. Produksi gula pasir nasional lebih kecil dibanding dengan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia tahun 2006-2010 yang menyebabkan kebutuhan gula nasional mengalami defisit (BKP, 2010). Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Lampung (2010), perusahaan yang menjadi salah satu sentra penanaman tebu dengan tingkat jumlah petani yang mengusahakan tebu rakyat terbesar di Provinsi Lampung yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) PT.Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bungamayang (PTPN VII UU BUMA). Adanya fluktuasi harga gula tebu internasional berdampak pada harga gula tebu di dalam negeri. Salah satu daerah yang menjadi sentra produksi gula tebu yang merasakan perubahan harga gula tebu internasional yaitu Provinsi Lampung. Fluktuasi harga gula tebu dunia memiliki pola yang sama dengan harga gula tebu di Provinsi Lampung. Fluktuasi harga gula tebu dunia yang segera direspon dengan cepat oleh Provinsi Lampung cenderung membentuk pasar yang terintegrasi dan memiliki sistem pemasaran yang efisien. Namun, perubahan harga gula tebu tersebut apakah dapat tertransmisi hingga ke tangan produsen. Struktur pasar (market structure) yang terbentuk akan menentukan kemampuan suatu perusahaan dalam industri gula tebu di Provinsi Lampung. Hal ini akan mendorong pada kemampuan perusahaan dalam mengontrol harga gula tebu. Adanya struktur pasar yang terbentuk akan berpengaruh pada perilaku pasar (market conduct) berupa penentuan dan pembentukan harga. Fluktuasi harga akan berpengaruh pada keputusan dan kemampuan lembaga pemasaran yang terlibat dalam merespon perubahan tersebut melalui penentuan dan pembentukan harga. Namun, seberapa cepat perubahan harga tersebut dapat direspon oleh setiap lembaga pemasaran akan diketahui melalui analisis kinerja pasar (market performance). Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan analisis sistem pemasaran melalui pendekatan SCP yaitu structure, conduct, performance. Analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif dan kuantitatif dengan pendekatan SCP. Pengolahan data kuantitatif menggunakan Microsoft Excell 2007 dan MINITAB 13.2. Hasil analisis menunjukkan bahwa analisis struktur pasar (market structure) industri gula di Provinsi Lampung yang terbentuk memiliki nilai pangsa pasar sebesar 86.40 % didominasi perusahaan swasta. Pasar gula di Provinsi Lampung menghadapi pasar yang terkonsentrasi dengan tingkat persaingan yang kecil. Hal ini ditunjukkan dengan nilai C4 sebesar 0.85 dan HHI sebesar 2 202. Selain itu, terdapat hambatan masuk dalam perdagangan gula di Provinsi Lampung. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata Minimum Efficiency Scale (MES) tahun 2006 s.d 2010 sebesar 27.61. Struktur pasar industri gula di Provinsi Lampung cenderung oligopoli. PTPN VII UU BUMA memiliki pangsa pasar nasional sebesar 3.18 % dan 13.60 % di Provinsi Lampung. PTPN VII UU
BUMA memiliki market power yang rendah dalam industri gula tebu di Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan produksi gula tebu PTPN VII UU BUMA masih dibawah perusahaan lainnya. Struktur pasar yang terbentuk akan berpengaruh pada perilaku pasar (market conduct) gula tebu PTPN VII UU BUMA. Lembaga dan praktek fungsi pemasaran yang terlibat yaitu petani-kelompok tani-koordinator, pabrik gula, pedagang besar, distributor, retail. Fungsi pemasaran yang dilakukan yaitu fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Saluran pemasaran gula tebu yang digunakan yaitu dua saluran. Saluran pertama, petani-kelompok tani-koordinator, pabrik gula, pedagang besar, distributor, retail. Saluran kedua, petani-kelompok tanikoordinator, pabrik gula, pedagang besar, retail. Seluruh lembaga pemasaran melakukan kegiatan penjualan gula tebu. Namun, gula milik petani dijual ke pedagang besar yang terdaftar di pabrik gula (PG) sedangkan gula milik PG dijual dengan menggunakan sistem lelang. Harga jual gula milik petani ditentukan oleh kesepakatan petani dan pedagang besar. Namun, dalam prakteknya kegiatan pembelian gula milik petani yang dilakukan cenderung menimbulkan kolusi oleh pedagang besar yang menyebabkan penentuan harga gula petani didominasi pihak tersebut. Kemitraan yang dilakukan antara petani dan PG melalui sistem bagi hasil. Namun, kemitraan tersebut kurang menguntungkan petani karena pencairan dana hasil penjualan gula milik petani yang dikelola oleh PG memerlukan waktu relatif lama (3-5 bulan dari waktu penjualan). Kurangnya peran kelompok tani dalam kegiatan pemasaran khususnya penjualan gula petani menyebabkan bargaining power petani yang semakin lemah. Hasil analisis kinerja pasar (market performance) gula tebu menunjukkan bahwa semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat maka semakin besar pula nilai total marjin pada suatu saluran pemasaran. Marjin pemasaran saluran pertama (petani-kelompok tani-koordinator, pabrik gula, pedagang besar, distributor, retail) lebih besar dari saluran kedua (petani-kelompok tanikoordinator, pabrik gula, pedagang besar, retail). Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat maka marjin pemasaran semakin tinggi. Hal ini menyebabkan farmer share yang semakin rendah. Analisis integrasi pasar dalam jangka pendek dan jangka panjang menunjukkan bahwa perubahan harga gula di tingkat retail (konsumen) dan distributor tidak mempengaruhi harga gula di tingkat petani. Sedangkan perubahan harga di pedagang besar mempengaruhi harga di petani meskipun memiliki integrasi yang lemah. Sedangkan pada jangka panjang, perubahan harga gula di tingkat petani sangat dipengaruhi oleh harga gula di tingkat pedagang besar. Analisis elastisitas menunjukkan bahwa lembaga yang paling cepat merespon perubahan harga konsumen adalah distributor dan pedagang besar. Hasil menunjukkan bahwa analisis sistem pemasaran gula tebu di PTPN VII UU BUMA cenderung menguntungkan pedagang besar dibandingkan petani. Petani cenderung sebagai penerima harga (price taker) baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Berdasarkan analisis SCP, sistem pemasaran gula tebu di PTPN VII UU BUMA cenderung tidak efisien. Kata kunci : sistem pemasaran, gula tebu, struktur pasar, perilaku pasar, kinerja pasar, harga
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
SISTEM PEMASARAN GULA TEBU (SUGAR CANE) DENGAN PENDEKATAN STRUCTURE, CONDUCT, PERFORMANCE (SCP)
[Kasus : Perusahaan Perseroan (Persero) PT.Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bungamayang]
NIA ROSIANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Tesis
Nama NIM
: Sistem Pemasaran Gula Tebu (Cane Sugar) dengan Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP) [Kasus: Perusahaan Perseroan (Persero) PT.Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bungamayang] : Nia Rosiana : H451100021
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS Ketua
Ir. Harmini, M.Si Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 9 Februari 2012
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ratna Winandi, MS (Dosen Magister Sains Agribisnis, Institut Pertanian Bogor)
Penguji Wakil Program Studi Agribisnis: Dr. Ir. Suharno, MADev (Sekretaris Program Studi Magister Sains Agribisnis, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor)
PRAKATA Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis yang berjudul “Sistem Pemasaran Gula Tebu (Cane Sugar) dengan Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP) [Kasus: Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bungamayang]”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis sistem pemasaran gula dengan pendekatan structure, conduct, dan performance. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif kebijakan bagi lembaga terkait untuk membantu petani dalam upaya peningkatan pendapatan dan memberikan keuntungan bagi setiap lembaga pemasaran sesuai dengan pelaksanaan fungsi pemasaran. Pentingnya jaminan kepastian harga gula tebu dapat menjadi stimulus bagi petani untuk tetap melakukan kegiatan budidaya dan pengolahan tebu guna membantu pemenuhan kebutuhan konsumsi gula nasional. Penulis mengucapkan terima kasih pada Tim Peneliti Gula pada Penelitian Unggulan Departemen (PUD) Agribisnis 2011 yang berjudul “Analisis Transmisi Harga dalam Supply Chain Gula Tebu”. Tesis ini merupakan bagian dari penelitian tersebut.
Selain itu, penulis menyampaikan terima kasih yang tak
terhingga kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ketua Program Studi yang telah memberikan bimbingan, saran, dan kritik pada proses penelitian dan penulisan tesis. Selain itu, penulis mengucapkan terima
kasih atas diberikannya kesempatan baik bantuan moril dan spriritual untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi guna kemajuan penulis. 2. Ir. Harmini, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi bagi penulis pada proses penelitian hingga penulisan tesis. Selain itu, terima kasih atas ilmu yang diberikan selama penulis menyelesaikan studi di Magister Sains Agribisnis. 3. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan bimbingan dan arahan bagi perbaikan tesis ini. 4. Dr. Ir. Suharno, MADev selaku Penguji Wakil Program Studi Magister Agribisnis yang telah memberikan masukan bagi perbaikan tesis. 5. Bpk. Syukur Kepala Bagian Tanaman, Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bunga Mayang yang telah memberikan izin dalam melakukan penelitian di perusahaan tersebut. 6. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS dan Ir. Dwi Rachmina, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Agribisnis yang telah memberikan bimbingan dalam proses pembelajaran selama penulis kuliah di Magister Sains Agribisnis. 7. Tim Penelitian Unggulan Departemen 2011 (Tim Gula): Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS; Dr. Ir. Ratna Winandi, MS; Amzul Rifin, PhD; Ir. Harmini, MSi; Suprehatin, SP.M.Agribuss; Feryanto, SP. M.Si; Khoirul Aziz, SE; Maryono, SP. M.Sc; Triana Gita D, SE; Fitria Dieni Afifah; dan Mahardi Safarudin atas kerjasama dalam penelitian gula di Provinsi Lampung. 8. Tintin Sarianti, SP, M.Si yang telah memberikan motivasi dan dukungan untuk menyelesaikan studi di Magister Sains Agribisnis
9. Seluruh Dosen Magister Sains Agribisnis yang telah memberikan ilmu selama penulis menyelesaikan studi. Selain itu, terima kasih kepada Staf Magister Sains Agribisnis dan Departemen Agribisnis yang telah memberikan kelancaran administrasi selama menyelesaikan studi. 10. Teman-teman Magister Sains Agribisnis (MSA) Angkatan I (2010) yang telah memberikan masukan bagi perbaikan penelitian penulis 11. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada orang tua tercinta Bpk.Tato Sumarto dan Ibu Tati Sunarti yang telah memberikan doa tulus tiada henti untuk keberhasilan putra putrinya dalam menuntut ilmu. Ucapan terima kasih atas doa dan dukungannya kepada Ibu Mertua (Ibu Sabariah Saragih dan Ibu Mimah). Terima kasih doa dan dukungannya untuk saudara kandungku Dian Kusumasari, A.Md dan Arief Prasetyo serta kakak ipar Kurniawan Febrianto, SH. 12. Ucapan terima kasih yang khusus disampaikan kepada suami tercinta sekaligus calon ayah Feryanto, SP. M.Si, yang telah menjadi motivator untuk menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih atas bantuan, doa, kasih sayang, kesabaran, dan pengertiannya selama penulis menyelesaikan penelitian. 13. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat dan dapat menjadi referensi bagi stakeholders yang memerlukan. Bogor, Februari 2012
Nia Rosiana
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 3 September 1986 dari ayah Tato Sumarto dan ibu Tati Sunarti. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Garut dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains Agribisnis (MSA), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada Tahun 2010. Penulis bekerja sebagai Asisten Dosen di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor sejak Tahun 2007 hingga sekarang. Selain itu, penulis menjadi dosen tidak tetap di Direktorat Program Diploma, Institut Pertanian Bogor sejak Tahun 2009 hingga sekarang. Penulis juga sering melakukan penelitian yang berkaitan dengan ilmu Agribisnis bersama Dosen-Dosen Departemen Agribisnis sebagai Asisten Peneliti.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .............................................................................................
i
DAFTAR TABEL .......................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
viii
I. PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah.........................................................................
7
1.3. Tujuan Penelitian ...........................................................................
10
1.4. Manfaat Penelitian ..........................................................................
10
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................
11
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
13
2.1. Sistem Pemasaran Gula ..................................................................
13
2.3. Penerapan SCP (Market Structure, Market Conduct, Market Performance) dalam Analisis Pemasaran ........................................
15
III. KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................
21
3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual .....................................................
21
3.1.1. Konsep Pemasaran ................................................................
21
3.1.2. Konsep Efisiensi Pemasaran ..................................................
24
3.1.3. Konsep SCP (Market Structure, Market Conduct, Market Performance)............................................................
27
3.1.3.1. Struktur Pasar (Market Structure) ............................
30
3.1.3.2. Perilaku Pasar (Market Conduct) .............................
32
3.1.3.3. Kinerja Pasar (Market Performance)........................
33
i
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional......................................................
34
IV. METODE PENELITIAN .....................................................................
37
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...........................................................
37
4.2. Sumber dan Jenis Data ....................................................................
37
4.3. Metode Pengambilan Sampel ..........................................................
37
4.4. Teknik Pengolahan dan Metode Analisis Data .................................
38
4.4.1. Analisis Struktur Pasar...........................................................
38
4.4.1.1. Pangsa Pasar..............................................................
38
4.4.1.2. Konsentrasi Pasar ......................................................
40
4.4.1.3. Hambatan Masuk Pasar .............................................
42
4.4.2. Analisis Perilaku Pasar ..........................................................
42
4.4.3. Analisis Kinerja Pasar ............................................................
43
4.4.3.1. Margin Pemasaran .....................................................
43
4.4.3.2. Farmer Share ............................................................
44
4.4.3.3. Analisis Integrasi Pasar Vertikal ................................
44
V. EKONOMI GULA .................................................................................
49
5.1. Ekonomi Gula Dunia ........................................................................
49
5.1.1. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia .......................................
49
5.1.2. Harga Gula Pasir Dunia ..........................................................
49
5.1.3. Eksportir dan Importir Gula ....................................................
50
5.1.4. Realisasi Ekspor Gula Tebu Berdasarkan Negara Tujuan........
52
5.1.5. Realisasi Impor Gula Tebu Berdasarkan Negara Asal .............
53
5.2. Ekonomi Gula Indonesia ..................................................................
54
5.2.1. Luas Areal Perkebunan Tebu di Indonesia ..............................
54
ii
5.2.2. Produksi Tebu di Indonesia ....................................................
55
5.2.3. Produktivitas Tebu di Indonesia .............................................
56
5.2.4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Gula di Indonesia ...............................................................................
56
5.2.5. Harga Gula Pasir (Gula Kristal Putih) Nasional ......................
58
5.3. Ekonomi Gula Provinsi Lampung.....................................................
59
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
63
6.1. Analisis Struktur Pasar (Market Structure) .......................................
63
6.1.1. Pangsa Pasar ..........................................................................
63
6.1.1.1. Pangsa pasar PTPN VII UU BUMA terhadap Nasional ...................................................................
63
6.1.1.2. Pangsa Pasar Perusahaan Gula di Provinsi Lampung terhadap Provinsi Lampung ......................
65
6.1.2. Konsentrasi Pasar ...................................................................
67
6.1.3. Hambatan Masuk Pasar ..........................................................
70
6.2. Analisis Perilaku Pasar (Market Conduct) ........................................
72
6.2.1. Pemasaran Gula Tebu.............................................................
72
6.2.1.1. Lembaga dan Praktek Fungsi Pemasaran ...................
72
6.2.1.2. Analisis Saluran Pemasaran Gula Tebu .....................
86
6.2.2. Kegiatan Praktek Penjualan dan Pembelian ............................
88
6.2.3. Penentuan dan Pembentukan Harga........................................
93
6.2.4. Kerjasama Lembaga Pemasaran .............................................
96
6.3. Analisis Kinerja Pasar (Market Performance)...................................
100
6.3.1. Marjin Pemasaran ..................................................................
100
6.3.2. Farmer Share .........................................................................
104
6.3.3. Analisis Integrasi Pasar Vertikal ............................................
107
iii
6.3.3.1. Integrasi Jangka Pendek ............................................
107
6.3.3.2. Integrasi Jangka Panjang ...........................................
108
6.3.3.3. Elastisitas ..................................................................
109
6.4. Implikasi Hasil Analisis Sistem Pemasaran Gula Tebu .....................
112
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
119
7.1. Kesimpulan ......................................................................................
119
7.2. Saran ..............................................................................................
121
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
123
LAMPIRAN ................................................................................................
129
iv
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Neraca Gula Dunia Tahun 2006-2010* (Juta Ton) ..................................
2
2. Produksi dan Konsumsi Gula Pasir Nasional Tahun 2006-2010 (Ton).......................................................................................................
3
3. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ...............................
3
4. Lokasi Perkebunan Tebu di Provinsi Lampung Tahun 2009 ....................
4
5. Luas Areal Tebu, Produksi Tebu, dan Produksi Gula Tebu PTPN VII UU BUMA Tahun 2007-2010...........................................................
5
6. Indikator dan Analisis Pemasaran SCP ...................................................
28
7. Tipe-Tipe Struktur Pasar .........................................................................
32
8. Syarat Suatu Pasar Terintegrasi/TIdak.....................................................
46
9. Analisis Pemasaran dengan Pendekatan SCP...........................................
47
10. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia (Thousand tones, raw value) ...........
49
11. Rangking Negara Pengekspor dan Pengimpor Gula Dunia ......................
51
12. Realisasi Ekspor Gula Tebu Berdasarkan Negara Tujuan (Kg) ...............
52
13. Realisasi Impor Gula Tebu Berdasarkan Negara Asal (Kg) ..............................
53
14. Luas Areal Perkebunan Tebu di Indonesia Tahun 2006-2010*) (Ha) ........
54
15. Produksi Tebu di Indonesia Tahun 2006-2010*) (Ton).............................
55
16. Produktivitas Tebu di Indonesia Tahun 2006-2010*) (Kg/Ha) ..................
56
17. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia Tahun 2005-2010 (Ton) ....................................................................................................
57
18. Realisasi Perdagangan Gula Antar Pulau dari Provinsi Lampung Tahun 2010 (Ton) ...................................................................................
60
v
19. Realisasi Kegiatan Akselerasi Peningkatan Produksi Gula di Provinsi Lampung TA 2008-2011 melalui Perluasan Areal Tebu.............
61
20. Perkembangan Pergulaan PTPN VII UU BUngamayang .........................
61
21. Perkembangan Tebu Rakyat di PTPN VII UU Bungamayang ..................
62
22. Perdagangan Gula di Provinsi Lampung dan Antar Pulau Tahun 2010 (Ton) ..............................................................................................
66
23. Pangsa Pasar Gula Tebu Perusahaan Gula di terhadap Provinsi Lampung tahun 2010 (%) ........................................................................
67
24. Produksi Gula Propinsi Lampung Tahun 2008-2009 (Ton) ......................
68
25. Konsentrasi Rasio Empat Perusahaan Terbesar di Provinsi Lampung Tahun 2010 (%) ......................................................................................
69
26. Herfindahl-Hirschman Index (HHI) Industri Gula di lampung Tahun 2010 ........................................................................................................
70
27. Skala Efisiensi Maksimum (MES) Industri Gula di Provinsi Lampung Tahun 2006-2010 (%)..............................................................
71
28. Fungsi-Fungsi Pemasaran pada Setiap Lembaga Pemasaran Gula Tebu ........................................................................................................
85
29. Kegiatan Penjualan dan Pembelian Gula Setiap Lembaga Pemasaran ...............................................................................................
93
30. Hak Kewajiban........................................................................................
97
31. Marjin pemasaran ....................................................................................
103
32. Indeks Integrasi Pasar Gula pada Jangka Pendek .....................................
108
33. Indeks Integrasi Pasar Gula pada Jangka Panjang ....................................
109
34. Elastisitas Transmisi Harga Gula .............................................................
110
35. Hasil Analisis Integrasi Pasar Vertikal.....................................................
111
36. Hasil Analisis Sistem Pemasaran Gula Tebu dengan Pendekatan SCP .........................................................................................................
115
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Harga Gula Tebu (Cane Sugar) Dunia dan Provinsi Lampung Tahun 2009-2010 ....................................................................................
6
2. Rantai Pemasaran Gula Nasional.............................................................
8
3. Lima Kerangka Kekuatan Suatu Industri .................................................
29
4. Hubungan Market Structure, Market Conduct, and Market Performance ...........................................................................................
30
5. Kerangka Pemikiran Operasional ............................................................
36
6. Harga Gula Pasir Dunia (Rp/Kg) .............................................................
50
7. Proyeksi Konsumsi Gula Nasional (Kg/Kap/Tahun)................................
58
8. Perkembangan Harga Gula Pasir Nasional Januari 2009- Mei 2011.........
59
9. Pangsa Pasar PTPN VII UU BUMA Terhadap Produksi Gula Nasional Tahun 2006-2010 .....................................................................
65
10. Alur Produksi Gula PTPN VII UU BUMA..............................................
76
11. Gula PTPN VII UU BUMA ....................................................................
82
12. Saluran Pemasaran Gula Tebu PTPN VII UU BUMA .............................
87
13. Efek Perbedaan Saluran Pemasaran Gula di PTPN VII UU BUMA.........
106
14. Harga di Setiap Lembaga Pemasaran (Rp/Kg) .........................................
112
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Hasil Output Analisis Integrasi Pasar Vertikal ...........................................
viii
127
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Berdasarkan UU No 7 Tahun 1996 tentang pangan, ketahanan pangan
merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Perwujudan ketahanan pangan yang mantap dan berkesinambungan dibangun berdasarkan tiga pilar ketahanan pangan, yaitu (1) ketersediaan pangan yang cukup dan merata, (2) distribusi pangan yang efektif dan efisien, serta (3) konsumsi pangan yang beragam dan bergizi seimbang (BKP, 2010). Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan Presiden RI 11 Juni 2005 menyatakan bahwa Indonesia perlu membangun ketahanan pangan yang mantap dengan memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis yaitu padi, jagung, tebu, kedelai, dan daging sapi. Salah satu komoditas pangan strategis nasional yang termasuk dalam program RPPK yaitu tebu. Tebu merupakan salah satu komoditas perkebunan yang ditanam untuk bahan baku utama gula. Gula terdiri dari beberapa jenis yang dilihat dari tingkat keputihannya melalui standar ICUMSA (International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis) yaitu raw sugar, refined sugar, dan plantation white sugar (KPPU, 2010). Tebu yang diolah menjadi gula merupakan salah satu kebutuhan masyarakat dan sebagai sumber kalori yang relatif murah (Pusdatin Kementan,
1
2010). Kebutuhan gula akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dunia. Konsumsi gula dunia tahun 2006 hingga 2010 mengalami peningkatan setiap tahunnya (Tabel 1). Namun, peningkatan konsumsi dunia tidak diimbangi dengan produksi sehingga menyebabkan defisit sebesar 9.12 juta ton di tahun 2008/2009. Defisit produksi gula tahun 2009 diperkirakan terjadi pula tahun 2010. Kontribusi defisit terbesar akibat turunnya produksi gula India dari tahun 2008 sebesar 26.81 ton pada tahun 2009 menjadi hanya sebesar 15.86 ton serta merubah posisi India dari pengekspor menjadi pengimpor (Dewan Gula Indonesia, 2009).
Tabel 1 . Neraca Gula Dunia Tahun 2006-2010* (Juta Ton) No Uraian 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010* 1 Produksi 160.21 162.30 147.92 153.07 2 Konsumsi 147.92 154.18 157.04 158.00 3 Surplus/Defisit 12.29 8.12 -9.12 -5.23 4 Stok Akhir 35.36 43.48 34.36 29.13 5 Rasio Stok 0.24 0.28 0.22 0.18 (Konsumsi dalam %) Sumber : World Sugar Report dalam Dewan Gula Indonesia (2009) Keterangan : (*), Angka Ramalan Produksi Gula Kristal Putih (GKP)/gula pasir dalam negeri mengalami peningkatan selama kurun waktu 2006 hingga 2008 (Tabel 2). Namun, tahun 2009 mengalami penurunan akibat adanya penurunan produksi tebu nasional (Ditjenbun, 2010). Secara umum, produksi gula pasir nasional lebih kecil dibanding dengan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang menyebabkan kebutuhan gula nasional mengalami defisit. Hal ini cenderung membukanya kesempatan masuknya GKP impor.
2
Tabel 2. Produksi dan Konsumsi Gula Pasir Nasional Tahun 2006-2010 (Ton) Tahun Produksi Konsumsi 2006 2 307 027 2 664 610 2007 2 448 143 2 698 859 2008 2 580 088 2 733 349 2009 2 299 504 2 767 592 2010 2 290 117 2 801 729 Sumber : Badan Ketahanan Pangan, 2010
Surplus/Defisit -357 583 -250 716 -153 261 -468 088 -511 612
Meskipun tahun 2010 masih mengalami defisit GKP, namun pemerintah menargetkan swasembada gula dapat tercapai tahun 2014 (Ditjenbun, 2011). Upaya yang dilakukan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan gula nasional melalui peningkatan industri gula berbasis tebu yaitu adanya revitalisasi kebun dan pabrik gula yang tersebar dibeberapa wilayah Indonesia. Hal ini diikuti dengan adanya peningkatan luas areal, produksi, dan produktivitas tebu di Indonesia pada tahun 2010 (Ditjenbun, 2010). Pencapaian target swasembada gula dimaksudkan agar produksi gula nasional dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Tahun 2011 dan 2012 diproyeksikan produksi gula dalam negeri akan mampu memenuhi permintaan dalam negeri. Diproyeksikan pula tahun 2011 mengalami surplus gula yang menjadi pendorong tercapainya target swasembada gula tahun 2014. Proyeksi permintaan dan penawaran gula dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia Tahun Penawaran(Ton) 2011 3 021 158 2012 3 102 584 Sumber : Pusdatin, Kementan (2010)
Permintaan (Ton) 2 219 425 2 256 651
Surplus 801 733 845 933
3
Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra penghasil tebu yang berkontribusi dalam produksi tebu nasional tahun 2010 sebesar 37.8% (Ditjenbun, 2010). Provinsi Lampung memiliki tingkat produktivitas tebu terbesar di Indonesia pada Tahun 2010 yaitu 8 211 ton/ha meskipun luas areal dan tingkat produksi lebih kecil dari Provinsi Jawa Timur (Ditjenbun, 2010). Hal ini dikarenakan tingkat produktivitas tebu di suatu tempat ditentukan oleh beberapa faktor seperti penyediaan benih unggul, varietas yang tahan penyakit hangus daun, sarana irigasi yang memadai, dan agroklimat yang mendukung. Pengembangan tebu di Provinsi Lampung salah satunya dimaksudkan untuk meningkatkan peran Provinsi Lampung sebagai pemasok gula terbesar nasional melalui pelaksanaan kemitraan petani tebu sekitar wilayah pabrik gula baik perusahaan negara maupun swasta (Disbun Provinsi Lampung, 2011). Perusahaan perkebunan tebu negara maupun swasta di Provinsi Lampung tersebar di empat lokasi yaitu Lampung Utara, Lampung Tengah, Tulang Bawang, dan Way Kanan (Tabel 4).
Tabel 4. Lokasi Perkebunan Tebu di Provinsi Lampung Tahun 2009 No 1 2
Lokasi Lampung Utara Lampung Tengah
Perusahaan
PTPN VII UU Bunga Mayang Gunung Madu Plantations Gula Putih Mataram 3 Tulang Bawang Sweet Indo Lampung Indo Lampung Perkasa 4 Way Kanan Pemuka Sakti Manis Indah Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, 2011
Luas Areal (Ton) 14 243 26 958 22 235 21 861 18 177 7 000
Produksi (Ton) 73 908 201 216 152 357 129 052 129 052 40 000
Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Lampung (2010), perusahaan yang menjadi salah satu sentra penanaman tebu dengan tingkat jumlah petani yang mengusahakan tebu rakyat terbesar di Provinsi Lampung yaitu Perusahaan
4
Perseroan (Persero) PT.Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bungamayang (PTPN VII UU BUMA). Namun, tahun 2007 hingga 2010 luas areal penanaman tebu dan produksi tebu PTPN VII UU BUMA menurun dan berakibat pada penurunan hasil gula tebu (Tabel 5). Hal ini dikarenakan banyaknya petani yang beralih menanam singkong karena biaya produksi yang relatif lebih murah dan harga yang cenderung tidak berfluktuatif. Hal ini akan berpengaruh pada keuntungan yang diperoleh. Namun, tingkat rendemen di PTPN VII UU BUMA tahun 2010 menunjukkan nilai tertinggi selama kurun waktu 2007 hingga 2010. Hal ini dikarenakan PTPN VII UU BUMA menggunakan bibit varietas unggul dan sarana irigasi yang terus diperbaiki setiap tahun.
Tabel 5. Luas Areal Tebu, Produksi Tebu, dan Produksi Gula Tebu PTPN VII UU BUMA Tahun 2007-2010 Keterangan Tahun 2007 2008 2009 2010 Real 2006 Real 2007 Real 2008 Real 2009 Luas (Ha) 20 394 20 320 18 956 14 243 Tebu (Ton) 1 362 393 1 356 226 1 330 688 950 378 7.72 7.25 7.35 7.78 Rendemen (%) Hasil olah gula (Ton) 105 433 98 590 98 000 74 103 Sumber : PTPN VII UU BUMA, 2011 Fluktuasi harga gula tebu yang cenderung berfluktuasi disebabkan adanya perubahan penawaran-permintaan dalam negeri dan harga gula tebu dunia. Harga gula tebu dunia cenderung berfluktuatif pada bulan Januari 2009 hingga Juli 2010 (Gambar 1). Harga tertinggi berada pada Bulan Januari 2010. Harga gula internasional yang tinggi disebabkan penurunan produksi gula di beberapa negara produsen akibat adanya perubahan iklim (P3GI, 2010). Implikasi peningkatan harga gula tebu internasional berpengaruh pada harga gula tebu dalam negeri termasuk di Provinsi Lampung. Pada Gambar 1 ditunjukkan bahwa pola harga
5
gula tebu di Provinsi Lampung memiliki pola yang sama dengan harga gula tebu dunia. Artinya, perubahan harga gula dunia tertransmisi hingga ke Provinsi Lampung. Maka, pasar gula dunia dan Provinsi Lampung merupakan pasar yang terintegrasi. Hal ini dikarenakan harga domestik mengikuti perkembangan harga dunia. Harga tertinggi di Provinsi Lampung pun sama dengan harga dunia yaitu pada Bulan Januari 2010.
Harga Gula Tebu Dunia
Harga Gula Tebu di Prov.Lampung
Gambar 1. Harga Gula Tebu (Cane Sugar) Dunia dan Provinsi Lampung Tahun 2009-2010 Sumber. Ditjenbun, 2010 dan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Unit Kerja Ketahanan Pangan Provinsi, 2011 Fluktuasi harga gula tebu dunia berdampak pada perubahan harga gula tebu tingkat konsumen di Provinsi Lampung. Namun, perubahan harga tersebut apakah tertrasmisi hingga ke tingkat produsen. Struktur dan perilaku akan mempengaruhi penentuan dan pembentukan harga dan pada akhirnya akan menentukan kinerja pasar dari perubahan harga tersebut. Struktur pasar yang dianalisis yaitu pangsa pasar, konsentrasi pasar, dan hambatan masuk pasar. Jika perusahaan memiliki pangsa pasar yang tinggi dalam suatu industri maka perusahaan memiliki kemampuan untuk menentukan harga di pasar. Struktur
6
pasar yang terbentuk akan berpengaruh pada perilaku dan kinerja suatu perusahaan dalam suatu industri. Analisis perilaku pasar (tingkah laku lembaga pemasaran) seperti pemasaran, kegiatan praktek penjualan-pembelian, penentuan dan pembentukan harga, dan kerjasama lembaga pemasaran. Akibat dari struktur dan perilaku pasar yang ada, maka akan menentukan kinerja suatu pasar seperti perubahan harga di tingkat konsumen apakah akan ditransmisikan ke tingkat produsen. Selain itu, adanya lembaga-lembaga pemasaran gula tebu akan menimbulkan margin pemasaran yang menunjukkan keuntungan yang diterima setiap lembaga pemasaran termasuk menentukan bagian harga yang diterima petani (farmer share).
1.2.
Perumusan Masalah Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok yang menjadi nilai strategis
bagi ketahanan pangan. Hal ini menyebabkan ditetapkannya gula sebagai Barang Dalam Pengawasan (Departemen Perdagangan, 2009). Terdapat berbagai macam gula namun yang banyak dikonsumsi oleh masayarakat yaitu gula berbahan dasar tebu atau yang biasa disebut gula pasir/gula tebu. Gambar 2 merupakan rantai pemasaran gula nasional. Adanya pemasaran gula tersebut memungkinkan gula dari produsen dibeli oleh distributor/pedagang besar di tempat yang berbeda melalui perantara Bulog (badan Urusan Logistik) provinsi setempat dengan syarat minimal pembelian sebesar 100 ton. Pemasaran tersebut mengakibatkan harga gula ditentukan oleh harga pasar tanpa intervensi dari pemerintah dengan penetapan harga awal ditentukan oleh pihak produsen dengan mempertimbangkan harga gula internasional dan domestik. Harga jual yang ditetapkan pabrik belum termasuk biaya transportasi ke tempat pembeli. Sehingga biaya yang dikeluarkan
7
pedagang besar meliputi biaya pembelian dan biaya transportasi. Selanjutnya pedagang besar akan menjual ke retailer hingga gula sampai ke tangan konsumen. Bulog Pusat
PTPN 2 PTPN 7 PTPN 9
PT.RNI 1
PTPN 10
PT. RNI 2
PTPN 11 PTPN 14
Bulog Provinsi Distributor Gula Retailer Gula Konsumen
Alur Informasi Alur Barang Gambar 2. Rantai Pemasaran Gula Nasional Sumber : Bank Indonesia, 2009 PTPN VII UU BUMA merupakan perusahaan perkebunan rakyat yang menjadi bagian dari rantai pemasaran gula nasional. Sistem pemasaran gula tebu dari tangan produsen ke tangan konsumen melibatkan lembaga-lembaga pemasaran. Sistem pemasaran menimbulkan biaya akibat dari kegiatan yang produktif tersebut (Downey et al, 1981). Saluran pemasaran akan menentukan besarnya biaya pemasaran yang harus dilalui oleh lembaga pemasaran sebelum sampai ke tangan konsumen. Selain itu, saluran pemasaran akan menentukan bagian harga yang diterima produsen dalam hal ini petani tebu. Adanya fluktuasi harga gula tebu internasional berdampak pada harga gula tebu di dalam negeri. Salah satu daerah yang menjadi sentra produksi gula tebu yang merasakan perubahan harga gula tebu internasional yaitu Provinsi Lampung. Berdasarkan Gambar 1 bahwa fluktuasi harga gula tebu dunia memiliki pola yang
8
sama dengan harga gula tebu di Provinsi Lampung. Fluktuasi harga gula tebu dunia yang segera direspon dengan cepat oleh Provinsi Lampung cenderung membentuk pasar yang terintegrasi dan memiliki sistem pemasaran yang efisien. Namun, perubahan harga gula tebu tersebut apakah dapat tertransmisi hingga ke tangan produsen. Analisis sistem pemasaran dilakukan untuk mengetahui efisiensi suatu pasar. Struktur pasar (market structure) yang terbentuk akan menentukan kemampuan suatu perusahaan dalam industri gula tebu di Provinsi Lampung. Hal ini akan mendorong pada kemampuan perusahaan dalam mengontrol harga gula tebu. Adanya struktur pasar yang terbentuk akan berpengaruh pada perilaku pasar (market conduct) berupa penentuan dan pembentukan harga. Fluktuasi harga akan berpengaruh pada keputusan dan kemampuan lembaga pemasaran yang terlibat dalam merespon perubahan tersebut melalui penentuan dan pembentukan harga. Namun, seberapa cepat perubahan harga tersebut dapat direspon oleh setiap lembaga pemasaran akan diketahui melalui analisis kinerja pasar (market performance). Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan analisis sistem pemasaran yang menyeluruh melalui pendekatan market structure (struktur pasar), market conduct (perilaku pasar), dan market performance (kinerja pasar). Adapun permasalahan yang dikaji pada penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana struktur pasar industri gula tebu di Provinsi Lampung dan kaitannya dengan PTPN VII UU BUMA? 2. Bagaimana perilaku pasar gula tebu PTPN VII UU BUMA? 3. Bagaimana kinerja pasar gula tebu PTPN VII UU BUMA?
9
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini memiliki tujuan
umum dan khusus. Adapun tujuan tersebut yaitu : -
Tujuan umum :
Menganalisis sistem pemasaran gula tebu (Cane Sugar) dengan pendekatan structure, conduct, performance (SCP) dengan kasus di PTPN VII UU BUMA. -
Tujuan Khusus :
1. Menganalisis struktur pasar industri gula tebu di Provinsi Lampung dan kaitannya dengan PTPN VII UU BUMA. 2. Menganalisis perilaku pasar gula tebu PTPN VII UU BUMA. 3. Menganalisis kinerja pasar gula tebu PTPN VII UU BUMA.
1.4.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu :
1. Bagi petani dan lembaga pemasaran lainnya, adanya jaminan kepastian harga yang akan meningkatkan pendapatan petani dan memberikan margin keuntungan dengan pelaksanaan fungsi pemasaran bagi setiap lembaga pemasaran yang terlibat melalui pembagian harga yang sesuai. 2. Bagi PTPN VII UU BUMA, dapat memberikan jaminan kepastian harga khususnya bagi para petani dalam upaya merespon perubahan harga gula tebu. Selain itu, menentukan posisi perusahaan dalam industri gula tebu sehingga menentukan kemampuan perusahaan melalui pangsa pasar. Hal ini dapat membantu petani melalui penentuan dan informasi harga jual yang tepat 3. Bagi pemerintah daerah, dapat menentukan kebijakan yang berkaitan dengan upaya peningkatan pendapatan petani tebu melalui pendekatan SCP
10
4. Bagi saya, dapat mengembangkan daya analisis sistem pemasaran gula tebu dengan pendekatan SCP dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu agribisnis.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup pada penelitian ini, yaitu :
1. Penelitian ini mengkaji seluruh lembaga pemasaran gula tebu PTPN VII UU BUMA. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi dan kesimpulan yang akurat mengenai tingkat pemasaran gula tebu di PTPN VII UU BUMA. 2. Komoditas yang diteliti adalah gula tebu (cane sugar)/Gula Kristal Putih (GKP)/gula pasir dan tidak termasuk gula rafinasi. 3. Penelitian ini mencakup analisis struktur pasar (pangsa pasar, konsentrasi pasar, dan hambatan masuk pasar), perilaku pasar (pemasaran, penentuanpembentukan harga, praktek penjualan dan pembelian, dan kerjasama lembaga pemasaran, dan kinerja pasar (margin pemasaran, farmer share, dan analisis integrasi pasar).
11
12
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sistem Pemasaran Gula Sistem pemasaran merupakan suatu kegiatan yang produktif, sangat
kompleks, sesuai dengan ketetapan, dan menimbulkan biaya (Downey et al, 1981). Pemasaran gula dalam negeri dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Pemerintah menjamin ketersediaan gula secara kontinu jika sistem pemasaran gula berjalan secara efisien (Amang, 1993). Ketidakefisienan dalam pemasaran gula ditentukan oleh panjangnya rantai distribusi dan besarnya biaya pemasaran yang harus dilalui oleh lembaga pemasaran sebelum sampai ke konsumen (Ariani, 2000). Namun, kegiatan pemasaran yang baik tidak tergantung dari panjang pendeknya rantai pemasaran melainkan dari fungsi lembaga pemasaran tersebut melakukan kegiatan pemasaran. Besar kecilnya biaya pemasaran tergantung jarak yang harus ditempuh hingga sampai ke tangan konsumen. Sehingga biaya pemasaran dapat dijadikan sebagai indikator efisiensi sistem tataniaga tersebut. Masalah yang dihadapi dalam pemasaran gula yaitu masalah pengadaan dan pendistribusian. Kebijakan yang dilakukan pemerintah antara lain kebijakan peningkatan kapasitas produksi, pengembangan distribusi, dan akses tataniaga (Manik, 2007). Deptan dan LPPM IPB (2002), melakukan penelitian keragaan agribisnis gula di Jawa Barat. Sistem pengusahaan tebu di Jawa Barat dilakukan dengan sistem hak guna usaha (PG Subang dan PG Jatitujuh) dan sistem Tebu Rakyat (TR) yaitu di PG Sindang Laut, PG Tersana Baru, PG Karangsuswung. Dalam sistem HGU pelaksanaan penanaman tebu sampai tebang angkut kemudian processing menjadi gula merupakan tanggung jawab PG. Sedangkan kegiatan TR 13
yang terjadi di kebun menjadi tanggung jawab petani sementara kegiatan tebang angkut walaupun biayanya ditangung petani pengawasan berada di PG. Terdapat tiga saluran pemasaran gula di Jawa Barat yaitu : a. Saluran 1: petanipedagang pengumpulgrosirpengecerkonsumen b. Saluran 2: petanimediator (ketua kelompok tani, koperasi, petani tebu, karyawan PG)grosirpengecerkonsumen c. Saluran 3: petanigrosirpengecerkonsumen Hasilnya menunjukkan bahwa keuntungan paling besar diperoleh pengecer. Hal ini menunjukan marjin yang diterima pengecer lebih besar dibandingkan lembaga lainnya. Nahdodin dan Joko Roemanto (2008) melakukan penelitian mengenai penerapan kebijakan gula SK 643 yang dapat mengetahui seberapa efisien tingkat pemasaran gula. Hasilnya bahwa indikator inefisiensi pemasaran adalah margin pemasaran sangat besar sehingga meskipun harga gula dunia rendah. Dengan monopolisasi impor, harga eceran akan dapat membumbung tinggi. Margin pemasaran rendah SK 643 cenderung tidak menimbulkan perilaku monopolisasi. sehingga margin pemasaran tidak membesar dan tidak merugikan konsumen. sehingga SK 643 menunjukkan pemasaran yang efisien. Selain itu SK 643 cukup melindungi produsen gula berdasarkan indikator gula yang berlaku Manik (2007) melakukan penelitian gula di Sumatera Utara dan menyatakan bahwa saluran pemasaran gula terdiri dari dua saluran pemasaran. Pertama, P3G1Pabrik Gula Petani TRI KUDPabrik Gula. Kedua, P3GIPetani Petani TRB Pedagang Pengumpul Pabrik Gula. Hasilnya pemasaran yang lebih efisien yaitu saluran pertama.
14
Amang (1993) menyatakan bahwa kebijaksanaan pemasaran yang ditempuh saat ini tidak terlepas dari struktur pasar gula yang cenderung oligopoli, dimana tebu dihasilkan oleh jutaan petani sedangkan jumlah pabrik gula hanya puluhan. Hal ini menunjukkan pelaku pasar yang kuat lebih mudah mengontrol supply gula. Kondisi pemasaran gula di Indonesia mempunyai karakteristik yang kurang mendukung stabilitas harga, yaitu; (1) produksi gula dalam negeri belum seimbang dengan kebutuhan konsumen; (2) produksi yang bersifat musiman; (3) distribusi yang memerlukan biaya yang relatif tinggi. Amang (2003) Jika kondisi gula seperti ini maka kebijaksanaan pemasaran gula memiliki peranan yang penting dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam distribusi gula. Oleh karena itu, dalam melakukan pemasaran gula terdapat lembaga pemasaran yang menyalurkan gula sampai ketangan konsumen yang melibatkan beberapa pelaku pasar seperti produsen, distributor, dan pengecer.
2.2.
Penerapan SCP (Market Structure, Market Performance) dalam Analisis Sistem Pemasaran
Conduct,
Market
Yuprin (2009) melakukan penelitian analisis pemasaran karet di Kabupaten Kapuas. Penelitian ini menggunakan konsep SCP. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) saluran pemasaran karet terdiri dari enam macam dan dapat diidentifikasi satu macam saluran terbaik, yaitu petani–pedagang kecamatan–eksportir. Saluran ini digunakan oleh sedikit petani di daerah penelitian, berarti hanya sedikit petani yang memiliki aksesibilitas baik terhadap eksportir. Petani sebagian besar memasarkan karet melalui saluran pemasaran yang dikategorikan sedang, yaitu petani–pedagang desa–pedagang kabupaten–
15
eksportir. Saluran ini terpaksa digunakan, karena petani sudah terikat dengan pedagang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya; (2) struktur pasar di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten bersifat oligopsoni konsentrasi sedang yang menunjukkan bahwa pedagang memiliki tingkat kekuasaan yang sedang dalam mempengaruhi pasar. Struktur pasar di tingkat eksportir adalah monopsoni yang menunjukkan adanya kekuasaan tunggal ekportir dalam mempengaruhi pasar; (3) perilaku pasar ditunjukkan dengan tidak sempurnanya keterpaduan harga karet pada pasar yang satu dengan harga karet pada pasar yang lain, baik secara horisontal maupun vertikal; dan (4) penampilan pasar ditunjukkan dengan marjin pemasaran yang relatif besar dan didominasi oleh share keuntungan yang besar dan tidak merata. Hal ini menunjukkan bahwa pemasaran hasil karet tidak efisien, sehingga merugikan pedagang tingkat bawah dan petani yang berposisi paling bawah. Apabila ditinjau dari segi produksi karet di tingkat petani, perilaku dan penampilan pasar karet yang merugikan pedagang di tingkat bawah dan petani yang berposisi paling bawah disebabkan kualitas laboratorium yang di bawah standar. Struktur, perilaku, dan penampilan pasar yang terjadi sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, menyebabkan pedagang lebih banyak menikmati keuntungan dan share harga yang diterima petani relatif lebih kecil. Fadla (2008) menganalisis integrasi pasar dalam mengukur efisiensi pemasaran komoditas beras, kacang tanah kupas, dan kedelai kuning di Propinsi NAD (Nangroe Aceh Darussalam). Dengan menggunakan model ekonometrika dalam analisis integrasi pasar secara horizontal, vertikal, jangka pendek dan jangka panjang, serta dari hasil analisis SCP, Hasil analisis dengan pendekatan SCP menunjukkan terjadinya inefisiensi dalam sistem pemasaran komoditas
16
pangan (beras, kacang tanah, dan kedelai kuning) hal ini disebabkan juga faktor sosial politik yang tidak kondusif di Propinsi yang sangat mempengaruhi keadaan pasar dan perekonomian masyarakat. Hasil analisis elastisitas transmisi harga menunjukan rata-rata koefisien elastisitas harga tergolong dalam kategori yang elastis. Artinya di daerah penelitian, perubahan harga di tingkat pasar konsumen selalu diikuti dengan perubahan harga di tingkat pasar produsen yang lebih besar, dimana pasar produsen lebih berperan dari pada pasar konsumen dalam mengendalikan harga. Hal ini menunjukkan proporsi keuntungan yang lebih besar diperoleh pedagang di pasar tingkat produsen. Analisis integrasi pasar dan efisiensi pemasaran dengan pendekatan SCP belum memberikan hasil yang memuaskan, dikarenakan penelitian hanya menggunakan data sekunder. Sri Haryanto (2004) menganalisis sistem pemasaran apel manalagi (Malus sylvestris Mill) di Kota Batu Propinsi Jawa Timur. Struktur pasar yang terjadi cenderung oligopsoni. Informasi harga (59 %) dipengaruhi oleh pedagang yang berpegaruh dan proses pemasaran apel manalagi pada tingkat lembaga dilakukan melalui jalur khusus (50-72.2 %). Selain itu terdapat kesulitan masuk pasar bagi pedagang baru. Perilaku pasar khususnya dalam penentuan harga antara penjual dan pembeli dilakukan secara terbuka. Namun proses penentuan harga lebih dominan dipengaruhi oleh informasi harga yang berasal dari sesama pedagang dan pedagang yang berpengaruh. Dalam hal ini pemasaran cenderung kurang efisien. Distribusi margin yang paling tinggi berada pada pedagang pengecer. Namun, pengecer menanggung resiko kerusakan dan biaya lain yang cukup tinggi. Hasil analisis menunjukkan perbandingan keuntungan dan biaya produksi yang dikeluarkan petani adalah 1.21 maka apel manalagi dikatakan layak secara efisien.
17
Analisis elastisitas transmisi harga menunjukkan elastisitas lebih kecil dari satu. Artinya perubahan nisbi harga pada pasar pelaku yang dipengaruhi tidak akan melebihi perubahan nisbi harga di tingkat pelaku pasar acuan yang mempengaruhi. Hasil analisis integrasi pasar vertikal menunjukkan bahwa secara umum pada setiap tingkatan proses pemasaran terjadi integrasi jangka pendek dan tidak terjadi integrasi jangka panjang. Oleh karena itu, dikatakan bahwa perubahan harga di pasar lokal tidak diikuti oleh perbedaan harga di tingkat pasar acuan. Hukama
(2003)
menganalisis
pemasaran
jambu
mete
dengan
menggunakan SCP. Pemasaran jambu mete belum efisien karena saluran pemasaran masih panjang dan melibatkan banyak pelaku pemasaran. Struktur pasar yaitu oligopsoni. Keuntungan sebagian besar diambil oleh pedagang. Analisis keterpaduan pasar dominasi pedagang besar dalam penetapkan harga di petani sebagai penerima harga. Kurniawan (2003), yang meneliti kelembagaan pemasaran gaharu di Kalimantan Timur menggunakan pendekatan SCP untuk menganalisis perilaku usaha pengumpul dan pedagang gaharu. Sedangkan untuk mengetahui karakteristik kelembagaan pemasaran gaharu dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan yang diterapkan dalam kelembagaan pemasaran gaharu adalah sistem patron-klien, struktur pasar gaharu baik di tingkat kelembagaan pengumpul (desa), maupun pedagang gaharu (kota) adalah oligopsoni. Hasil lain yang dikemukakan adalah tidak seluruh patron (pedagang) dapat mengambil keuntungan dalam pemasaran gaharu. Perilaku patron cenderung eksploitatif kepada kliennya sehingga klien yang merasa
18
dirugikan akan merespon dengan mengurangi loyalitasnya kepada patron dimana perilaku ini menimbulkan moral hazard dalam kelembagaan gaharu. Berbeda halnya dengan Slameto (2003) yang menganalisis kinerja kelembagaan pemasaran kakao rakyat di Lampung dengan menggunakan SCP. Struktur pasar cenderung oligopoli. Harga ditentukan pedagang dan belum dipatuhinya grading dan standarisasi produk. Keragaan pasar kakao belum baik karena hubungan pasar lokal dan pasar acuan kurang padu sehingga harga tidak tertransmisi dengan baik. Yusrachman (2001), menganalisis sistem pemasaran ikan segar di PPI Muara Angke Jakarta. Hasil analisis menunjukkan bahwa struktur pasar yang berlaku yaitu pasar tidak bersaing sempurna (oligopsoni). Penyebaran margin belum efisien karena marjin pada setiap lembaga pemasaran tidak merata. Pedagang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi harga yang terjadi pasar. Hal ini menunjukkan pemasaran yang tidak efisien. Andrias et al (2003) melakukan penelitian analisis tataniaga dan pilihan kelembagaan pemasaran tembakau di Kabupaten Temanggung. Hasilnya menunjukkan bahwa perilaku pasar tembakau ditentukan oleh konsumen yaitu perusahaan rokok dan pedagang besar. Struktur pasar yang terbentuk oligopsoni. Distribusi keuntungan tidak merata. Maka, pemasaran tembakau di kabupaten Tembakau belum efisien. Triyono (2000) melakukan penelitian perkembangan posisi tawar petani dalam pemasaran damar mata kucing di Lampung. Hasilnya menunjukkan perilaku pasar cenderung efisien namun struktur pasar belum dalam kondisi persaingan
19
sempurna. Hal ini dikarenakan adanya hambatan masuk. Secara umum, pemasaran yang dilakukan belum efisien.
Referensi yang telah diperoleh dapat membantu penulis dalam melakukan analisis dalam penelitian ini. Penelitian sistem pemasaran gula yang dilakukan oleh beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa sistem pemasaran gula dapat berjalan efisien jika seluruh lembaga pemasaran yang terlibat melakukan fungsi pemasaran yang sesuai dan melakukan kegiatan pemasaran secara fair. Penerapan SCP dalam analisis sistem pemasaran yang telah dilakukan beberapa sumber menghasilkan kesimpulan umum bahwa sistem pemasaran akan efisien jika memenuhi indikator-indikator SCP dalam suatu pasar.
20
III. 3.1.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Konseptual
3.1.1. Konsep Pemasaran Definisi tentang pemasaran telah banyak dikemukakan oleh para ahli ekonomi, pada hakekatnya bahwa pemasaran merupakan aktivitas yang ditujukan terhadap barang dan jasa sehingga dapat berpindah dari tangan produsen ke tangan konsumen. Pemasaran menurut Kohls dan Uhl (2002) merupakan sebuah sistem meliputi seluruh aliran produk dan jasa-jasa yang ada, mulai dari titik awal produksi pertanian sampai semua produk dan jasa tersebut ditangan konsumen Hal ini sejalan dengan Dahl dan Hammond (1977) yang mendefinisikan pemasaran sebagai rangkaian urutan fungsi-fungsi yang dilakukan ketika produk bergerak dari titik produksi sampai ke konsumen akhir. Menurut Downey et al (1981) pemasaran merupakan proses aliran produk dari produsen ke konsumen akhir. Kompleksitas saluran pemasaran tergantung pada masing-masing komoditi. Pemasaran melibatkan banyak perbedaan aktivitas yang dapat memberikan nilai tambah terhadap suatu produk sebagai perubahan melalui suatu sistem. Sistem pemasaran merupakan suatu kegiatan yang produktif, sangat kompleks, sesuai dengan ketetapan, dan menimbulkan biaya. Berbeda halnya dengan Lamb et al (2001), pemasaran dari segi ekonomi merupakan tindakan atau kegiatan produktif yang menghasilkan pembentukan kegunaan yaitu kegunaan waktu, bentuk, tempat, dan kepemilikan. Kotler (1993) mendefinisikan pemasaran sebagai suatu proses sosial dimana individu dan kelompok mendapatkan apa yang dibutuhkan melalui penciptaan, penawaran, dan pertukaran produk-produk yang bernilai. Sedangkan Stanton dalam Limbong dan
21
Sitorus (1987) mengungkapkan konsep pemasaran sebagai suatu sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan pembeli yang ada maupun pembeli potensial. Saefuddin (1982) mengemukakan bahwa rantai pemasaran atau saluran pemasaran merupakan aliran yang dilalui oleh barang dan jasa dari produsen melalui lembaga pemasaran sampai barang dan jasa tersebut sampai di tangan konsumen. Pemasaran merupakan pembelian bahan pangan dan semua yang dibutuhkan oleh rumah tangga. Mulai dari kegiatan menyimpan hingga menyampaikan produk ke tangan konsumen (Cramer et al. 2001). Pemasaran ditinjau dari dua perspektif yaitu perspektif makro dan mikro (Schaffner, et.al dalam Asmarantaka, 2009). Perspektif makro menganalisis sistem pemasaran setelah dari petani yaitu fungsi-fungsi pemasaran untuk menyampaikan produk/jasa yang berhubungan dengan nilai guna, waktu, bentuk, dan tempat, dan kepemilikan kepada konsumen serta kelembagaan yang terlibat dalam sistem pemasaran. Perspektif mikro menekankan pada aspek manajemen dimana perusahaan secara individu, pada setiap tahapan pemasaran dalam mencari keuntungan. Menurut Solomon, et al. (2006), basis gagasan pemasaran adalah berangkat dari upaya untuk mengirimkan values (nilai-nilai) kepada setiap orang yang mampu dipengaruhi dalam sebuah transaksi. Sedangkan Levens (2010), pemasaran adalah sebuah fungsi organisasi dan kumpulan sebuah proses yang dirancang dalam rangka untuk merencanakan, menciptakan, mengkomunikasikan, dan mengantarkan nilai-nilai (values) kepada pelanggan dan untuk membangun
22
hubungan yang efektif dengan pelanggan dengan adanya benefit yang dirasakan oleh organisasi dan para stakeholdernya. Levens menegaskan bahwa salah satu konsep terpenting dari ilmu ekonomi yang digunakan dalam pemasaran adalah ide tentang utilitas. Utilitas didefinisikan sebagai kepuasan yang diterima oleh konsumen dari produk atau jasa yang dimiliki atau dikonsumsinya. marketing adalah lebih luas dari pada aktivitas menjual (selling) atau aktivitas penawaran iklan (advertising). Pemasaran mempengaruhi konsumen berdasarkan pilihan saat ini dan di masa depan, serta berdasarkan kondisi ekonomi. Perusahaan menciptakan nilai-nilai (values) berdasarkan pada apa yang mereka tawarkan, mengkomunikasikan nilai-nilai tersebut kepada konsumen, dan kemudian menghantarkan nilai-nilai tersebut dalam pertukarannya dengan uang yang dapat diberikan oleh konsumen. Tujuan dari pemasaran yaitu agar barang dan jasa yang dihasilkan oleh petani maupun perusahaan sebagai produsen sampai ke konsumen. Kegiatankegiatan yang dilakukan agar barang dan jasa dapat berpindah dari sektor produksi ke sektor konsumsi disebut sebagai fungsi pemasaran. Downey (1981), fungsi pemasaran yang dimaksud tersebut meliputi; a) fungsi pertukaran yang meliputi pembelian dan penjualan; b) fungsi fisik meliputi pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan; c) fungsi fasilitas yang meliputi standarisasi dan grading, penanggungan resiko, pembiayaan, dan informasi harga. Levens (2010), fungsi marketing didefinisikan sebagai aktivitas-aktivitas yang ditampilkan oleh perusahaan atau organisasi ketika menciptakan
nilai
(value) secara spesifik untuk produk atau jasa yang ditawarkannya. Fungsi-fungsi pemasaran dilakukan oleh lembaga pemasaran sebagai upaya pemindahan barang
23
dan jasa dari sektor produksi ke sektor konsumsi. fungsi marketing dapat dikelompokkan
dalam
tiga
kategori
umum,
di
mana
setiap
kategori
menggambarkan proses (aktivitas) marketing yang terjadi. Tiga kategori fungsi tersebut antara lain: 1.
Fungsi pertukaran (exchange function)
2.
Fungsi fisik (physical function)
3.
Fungsi fasilitasi (facilitating function) Fungsi pertukaran adalah aktivitas-aktivitas untuk mempromosikan dan
mentransfer kepemilikan. Contohnya antara lain penjualan, pembelian, harga, iklan, promosi penjualan dan public relation. Fungsi fisik merupakan aktivitas untuk mengalirkan barang dari perusahaan (manufaktur) kepada konsumen. Contohnya antara lain: perakitan (assembling), transportasi dan penanganan (transporting and handling), pergudangan (warehousing), pengolahan dan pengemasan (processing and packaging), standarisasi (standardizing), dan grading. Adapun fungsi fasilitasi di dalamnya merupakan aktivitas-aktivitas pendampingan dalam proses eksekusi fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Contoh aktivitas fasilitasi ini antara lain: pembiayaan dan pengambilan risiko (financing and risk taking), informasi pemasaran dan penelitian, dan janji layanan (promise of servicing).
3.1.2. Konsep Efisiensi Pemasaran Soekartawi (2002), efisiensi pemasaran merupakan nisbah antara total biaya dengan total nilai produk yang dipasarkan. Faktor yang menjadi ukuran efisiensi pemasaran yaitu keuntungan pemasaran, harga yang diterima petani, tersedianya fasilitas fisik pemasaran, dan kompetisi pasar.
24
Asmarantaka (2009), efisiensi pemasaran dapat dilakukan dengan beberapa pengukuran, yaitu: 1) efisiensi operasional dan 2) efisiensi harga. Efisiensi operasional berhubungan dengan penanganan aktivitas-aktivitas yang dapat meningktakan rasio dari output-input pemasaran. Input pemasaran adalah sumberdaya (tenaga kerja, pengepakan, mesin, dan lainnya) yang diperlukan untuk
melaksanakan
fungsi-fungsi
pemasaran.
Output
pemasaran
yang
berhubungan dengan kepuasan konsumen. Oleh sebab itu, sumberdaya adalah biaya sedangkan kegunaan adalah benefits dari rasio efisiensi pemasaran. Rasio efisiensi pemasaran dapat dilihat dalam dua cara yaitu perubahan sistem pemasaran dengan mengurangi biaya pada fungsi-fungsi pemasaran tanpa mengubah manfaat konsumen dan meningkatkan keguanaan output dari proses pemasaran tanpa meningkatkan biaya pemasaran. Efisiensi harga menekankan kepada kemampuan dari sistem pemasaran yang sesuai dengan keinginan konsumen. Sasaran dari efisiensi harga yaitu efisiensi alokasi sumberdaya dan maksimum output. Efisiensi harga dapat tercapai apabila pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran responsif terhadap harga yang berlaku. Menurut Soekartawi (2002) bila keuntungan yang diperoleh sebagai akibat pengaruh harga maka dapat dikatakan bahwa pengalokasian faktor produksi memenuhi efisiensi harga. Efisiensi pemasaran tercipta ketika pihak-pihak yang terlibat baik produsen, lembaga-lembaga pemasaran maupun konsumen memperoleh kepuasan (Limbong dan Sitorus, 1987). Apabila terjadi suatu perubahan yang menyebabkan biaya input untuk menghasilkan suatu barang dan atau jasa meningkat dengan tidak mengurangi kepuasan konsumen dikatakan sebagai peningkatan efisiensi. Sedangkan jika terjadi perubahan yang menyebabkan adanya penurunan biaya
25
input tetapi tidak mempertahankan atau tidak diikuti dengan peningkatan kepuasan konsumen maka dikatakan terjadi penurunan efisiensi. Penggunaan konsep efisiensi seperti ini sangat sulit karena adanya kesulitan dalam mengukur tingkat kepuasan. Sejalan dengan hal tersebut, produk yang sampai ke tangan konsumen dengan harga murah dan adanya pembagian yang adil bagi produsen dan lembaga-lembaga pemasaran dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen merupakan kegiatan pemasaran yang dilakukan secara efisien (Mubyarto, 1985). Hobbs (1997) pilihan saluran pemasaran ditentukan oleh biaya transaksi. Biaya pemasaran yang tinggi akan membuat sistem pemasaran menjadi tidak efisien (Kohls dan Uhl, 2002). Pasar yang tidak efisien disebabkan oleh tingginya biaya pemasaran dibandingkan dengan nilai produk yang dijual (Soekartawi, 2002). Sudiyono (2002) mengemukakan bahwa indikator yang biasa digunakan untuk menentukan efisiensi pemasaran adalah margin pemasaran. Margin pemasaran yaitu perbedaan harga yang dibayar oleh konsumen akhir dengan harga yang diterima pada tingkat petani. Marjin pemasaran dapat bersifat statis dan dinamis tergantung pada nilai tambah suatu komoditas atau produk. Margin pemasaran dapat mengetahui penyebaran marjin, efisiensi operasional, dan efisiensi harga. Ukuran efisiensi operasional yaitu adanya biaya pemasaran dan margin pemasaran. Semakin besar biaya pemasaran maka margin pemasaran semakin besar yang menyebabkan sistem pemasaran menjadi tidak efisien. Sedangkan efisiensi harga diukur oleh korelasi harga akibat adanya pergerakan produk tersebut dari pasar satu ke pasar lainnya.
26
3.1.3. Konsep SCP (Market Structure, Market Conduct, Market Performance) Konsep SCP awalnya hanya digunakan untuk menganalisis organisasi pasar dalam sektor industri di negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, namun sekarang telah banyak digunakan untuk menganalisis kegiatan pertanian. Dasar paradigma SCP dicetuskan oleh Mason tahun 1939 yang mengemukakan bahwa struktur suatu industri akan menentukan bagaimana pelaku industri berperilaku, yang pada akhirnya menentukan keragaan atau kinerja industri tersebut. Philips dalam Asmarantaka (2009) mengajukan konsep yang bersifat dinamis, keterkaitan hubungan dua arah yang bersifat timbal balik dan sifat hubungan endogenous diantara variabel-variabel SCP serta memperhitungkan waktu. Pendekatannya menunjukkan bahwa structure (S), conduct (C), dan performance (P) dalam suatu waktu berada pada sistem dimana S dan C adalah faktor penentu dari P, dilain waktu S dan C ditentukan oleh P. Hal ini menunjukkan suatu sistem dinamis yang mengembangkan respon penyesuaian dari perusahaan terhadap kondisi pasar dan keadaan yang memungkinkan. Sudiyono (2002), upaya memaksimumkan efisiensi pemasaran di negara berkembang dapat dilakukan dengan pendekatan SPC (Structure, Performance, Conduct). Wardiyati dalam Sri (2004) mengemukakan bahwa terdapat beberapa indikator dalam menentukan efisiensi pemasaran dengan pendekatan SCP. Indikator dalam struktur pasar seperti jumlah pedagang, hambatan masuk, ada tidaknya kolusi pasar, dan konsentrasi pasar. Sedangkan indikator dari analisis perilaku pasar yaitu penentuan dan pembentukan harga. Analisis kinerja pasar
27
yang menjadi indikator yaitu share produsen, distribusi margin, integrasi pasar, dan elastisitas transmisi harga. Adapun indikator ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Indikator dan Analisis Pemasaran SCP No
Analisis
1
Struktur pasar
2.
Perilaku Pasar
3
Kinerja pasar
Indikator a. Jumlah pedagang b. Barrier entry c. Ada tidaknya kolusi d. Konsentrasi pasar a. Penentuah harga
a. b. c. d.
b. Pembentukan harga a. Share produsen b. Distribusi Margin c. Integrasi Pasar
b.
d. Elastisitas Transmisi Harga
a.
Kriteria Efisien Tidak Efisien Banyak a. Sedikit Mudah b. Sulit Tidak ada c. Ada Tidak hanya d. Terkonsentrasi satu orang satu orang Tidak a. Ditentukan oleh ditentukan satu/beberapa satu/beberapa orang orang b. Tidak normal Standarisasi
a. Besar b. Adil c. Terintegrasi d. Elastis
a. Kecil b. Tidak Adil c. Tidak Terintegrasi d. Tidak Elastis
Sumber : Wardiyati dalam Sri (2004) Menurut Baye (2010), paradigma SCP terdiri atas tiga aspek analisis yang saling berhubungan. Identifikasi market stucture terdiri dari berapa jumlah perusahaan yang bersaing dalam pasar, penggunaan teknologi, konsentrasi pasar, kondisi pasar, dan hambatan keluar masuk pasar. Sedangkan market conduct merupakan bentuk perilaku pasar terhadap struktur pasar yang terjadi. Adapun indikatornya yaitu proses penentuan harga, kegiatan integrasi dan merger, penentuan perlklanan, dan penentuan keputusan untuk research and development. Sedangkan market performance merupakan keuntungan dan social welfare yang akan diterima industri dalam suatu pasar sebagai efek dari terbentuknya suatu struktur, perilaku, dan kinerja pasar.
28
Baye (2010) mengemukakan adanya lima kerangka kekuatan yang akan menentukan posisi, pertumbuhan, dan keberlanjutan suatu industri dalam efisiensi pemasaran. Lima kerangka kekuatan tersebut meliputi kemudahan dalam memasuki pasar (entry), kekuatan dari pembeli (power of buyer), tingkat substitusi dan komplemen dari suatu produk, industri pesaing (industry rivalry), dan kekuatan penyedia input atau sumberdaya (power of input suppliers). Pasar yang efisien jika terdapat kemudahan dalam memasuki pasar bagi pesaing baru, adanya kemampuan perusahaan untuk bersaing satu sama lain, dan cenderung tidak ada perusahaan yang dominan dalam menentukan harga. Adapun lima kerangka kekuatan ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Entry
Power of Input Suppliers
Industry Rivalry
Level, Growth, and Sustainability of industry Profit
Power of Buyer
Substituties and Complements Product
Gambar 3. Lima Kerangka Kekuatan Suatu Industri Sumber : Baye, 2010 Soekartawi (2002), dalam meningkatkan efisiensi pemasaran dan memperhatikan welfare society, pendekatan SCP merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk mengurangi tidak efisiennya suatu pemasaran. Struktur pasar yang tercipta dalam suatu pasar akan menentukan bagaimana pelaku industri
29
berperilaku. Akibat dari terbentuknya suatu struktur dan perilaku pasar yaitu adanya penilaian terhadap suatu sistem pemasaran yang disebut sebagai kinerja pasar. Jika struktur pasar yang terjadi adalah pasar persaingan sempurna yang dicirikan dengan banyaknya jumlah pedagang, barang relatif homogen, mudah untuk keluar masuk pasar, dan konsentrasi pasar tidak terletak pada satu orang, maka perilaku pasar yang terjadi adalah akan mencerminkan struktur pasar yang berlaku. Artinya, penetapan harga yang berlaku yaitu berdasarkan mekanisme pasar. Adanya perbedaan harga di tingkat produsen dan konsumen akan menentukan seberapa besar margin pemasaran, farmer share, dan integrasi pasar yang merupakan indikator dari kinerja pasar. Adapun hubungan antara struktur, perilaku, dan kinerja pasar dapat dilihat pada Gambar 4.
Struktur Pasar (Market Structure)
Perilaku Pasar (Market Conduct)
KInerja Pasar (Market Performance)
Gambar 4. Hubungan Market Structure, Market Conduct, and Market Performance
3.1.3.1. Struktur Pasar (Market structure) Kohls dan Uhl (2002), struktur pasar merupakan karakteristik organisasi yang menentukan hubungan antara penjual dengan pembeli yang dapat dilihat dari banyaknya jumlah penjual, produk yang homogen, kemudahan perusahaan baru untuk masuk pasar, dan kemampuan dalam menentukan harga. Asmarantaka (2009), market structure merupakan tipe atau jenis pasar yang didefinisikan
30
sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual)
yang
secara
strategi
mempengaruhi
penentuan
harga
dan
pengorganisasian pasar. Struktur pasar dibatasi oleh peraturan–peraturan yang berlaku misalnya kebijakan pemerintah dan undang-undang, keberadaan diferensiasi produk, dan kondisi entry. Jumlah perusahaan, diferensiasi produk, dan hambatan masuk pasar merupakan faktor yang menentukan economic power dan monopoly power suatu perusahaan. Struktur pasar merujuk pada jumlah dan distribusi perusahaan dalam suatu pasar. Biasanya mengukur struktur pasar merupakan rasio jumlah konsentrasi (Besanko et al. 2010). Struktur pasar berbengaruh pada conduct dan performance suatu perusahaan. Struktur pasar merupakan deskripsi jumlah pelaku dalam suatu pasar (Cramer et al. 2001). Economic power merupakan kemampuan beberapa individu maupun perusahaan untuk mempengaruhi pihak lain dalam mengambil keputusan. Hal ini dapat diatikan sebagai seperangkat pilihan perilku yang terbatas, dimana makin sedikit batasan maka economic power yang tercipta akan semakin besar. Market power merupakan kemampuan untuk mempengaruhi harga pasar atau mematikan pesaing. Perusahaan memiliki kemampuan tersebut tetapi belum tentu dipergunakan. Kemampuan tersebut baru akan digunakan apabila pesaing dianggap telah merugikan perusahaan secara signifikan sehingga diperlukan langkah-langkah untuk dapat mempertahankan perusahaan. Kemampuan ini dipengaruhi oleh struktur pasar yang nantinya akan mempengaruhi besaran permintaan dan penawaran didalam pasar. Adapun tipe-tipe struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 7.
31
Tabel 7. Tipe-Tipe Struktur Pasar Tipe Produk Kemudahan Perusahaan Masuk Pasar mempengaruhi Harga 1. Persaingan Sempurna Banyak Homogen Mudah Tidak 2. Persaingan Tidak Sempurna a. Persaingan Monopolistik Banyak Diferensiasi Relatif Beberapa Mudah b. Oligopoli Sedikit Diferensiasi Sulit Ya c. Monopoli Satu Diferensiasi Sangat Sulit Ya Tipe Pasar
Jumlah Penjual
Sumber: Kohls dan Uhl, 2002 3.1.3.2. Perilaku Pasar (Market Conduct) Perilaku pasar merupakan tingkah laku lembaga pemasaran dalam struktur pasar tertentu yang dihadapinya, yang meliputi kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga, dan siasat pemasaran seperti potongan harga (Kohls dan Uhl, 2002). Perilaku pasar mencerminkan perilaku yang dilakukan oleh perusahaan yang berkaitan dengan produk yang dihasilkan, harga produk tersebut, tingkat produksi, promosi, dan beberapa variabel operasional lainnya. Menurut Dahl dan Hammond (1977), perilaku pasar merupakan pola tingkah laku dari lembaga-lembaga pemasaran dalam struktur pasar tertentu, meliputi kegiatan pembelian-penjualan, penentuan dan pembentukan harga, kerjasama lembaga pemasaran, dan praktek fungsi pemasaran. Pada SCP, hubungan yang terjadi merupakan pengaruh struktur terhadap perilaku dimana perusahaan yang memiliki kekuatan pasar kemungkinan akan memanfaatkan kemampuan tersebut dengan meningkatkan harga diatas harga kompetitif. Perilaku pasar merupakan tingkah laku lembaga pemasaran dalam struktur pasar tertentu. Struktur pasar dan perilaku pasar akan menentukan suatu kinerja pasar.
32
Perilaku pasar berhubungan dengan pelaku perusahaan. Perusahaan yang pencari harga merupakan mengharapkan perlakuan berbeda dari jenis-jenis price taker dalam suatu industri (Cramer et al. 2001). Tiga jenis perilaku dalam rantai pemasaran (Bowersox,
et al dalam
Ariani, 2000), yaitu : 1) Kerjasama antar lembaga pemasaran. Kerjasama ini diartikan sebagai suatu keadaan yang ada dalam rantai tertentu. Hal ini dimaksudkan agar mereka memperoleh sasaran yang akan dicapai 2) Konflik. Permasalahan akan muncul dari setiap hubungan perusahaan di dalam rantai pemasaran yang saling ketergantungan. Jika tidak ada ketergantungan, maka tidak ada perusahaan yang harus bekerja sama atau tergantung dengan kegiatan-kegiatan perusahaan lain yang menimbulkan konflik. 3) Penggunaan kekuasaan. Kekuasaan akan menimbulkan suatu konflik akibat ketergantungan perusahaan dengan perusahaan yang lain
3.1.3.3. Kinerja Pasar (Market Performance) Kinerja pasar menurut Dahl dan Hammond (1977) merupakan keadaan sebagai akibat dari struktur dan perilaku pasar dalam kenyataan sehari-hari yang ditunjukkan dengan harga, biaya, dan volume produksi yang pada akhirnya akan memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem pemasaran. Deskripsi kinerja pasar dapat dilihat dari : 1) Harga dan penyebarannya ditingkat produsen dan tingkat konsumen 2) Marjin pemasaran dan penyebarannya pada setiap tingkat lembaga pemasaran.
33
Kinerja pasar merupakan gabungan antara struktur pasar dan perilaku pasar yang menunjukkan terjadi interaksi antara struktur pasar, perilaku pasar, dan kinerja pasar yang tidak selalu linier, tetapi saling mempengaruhi. Adapun elemen kinerja pasar terdiri atas marjin pemasaran, farmer share, R/C Rasio, dan integrasi pasar. Menurut Sudiyono (2002), keragaan pasar merupakan hasil keputusan akhir yang diambil dalam hubungan dengan proses tawar menawar dan persaingan harga. Keragaan pasar dapat digunakan untuk melihat sejauh mana pengaruh struktur dan tingkah laku pasar dalam proses pemasaran suatu komoditi pertanian. Market performance merupakan refleksi /dampak dari structure dan conduct pada harga produk, biaya, dan jumlah-kualitas dari output (Cramer et al. 2001).
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Fluktuasi harga gula tebu internasional berdampak pada harga gula tebu di
dalam negeri. Salah satu daerah yang menjadi sentra produksi gula tebu yang merasakan perubahan harga gula tebu internasional yaitu Provinsi Lampung. Fluktuasi harga gula tebu dunia memiliki pola yang sama dengan harga gula tebu di Provinsi Lampung. Fluktuasi harga gula tebu dunia yang segera direspon dengan cepat oleh Provinsi Lampung cenderung membentuk pasar yang terintegrasi dan memiliki sistem pemasaran yang efisien. Artinya, perubahan harga tersebut dapat ditransmisikan ke Provinsi Lampung. Namun, perubahan harga gula tebu tersebut apakah dapat tertransmisi hingga ke tangan produsen. Sistem pemasaran menimbulkan biaya akibat dari kegiatan yang produktif tersebut (Downey et al, 1981). Saluran pemasaran akan menentukan besarnya biaya pemasaran yang harus dilalui oleh lembaga pemasaran sebelum sampai ke
34
tangan konsumen. Selain itu, saluran pemasaran akan menentukan bagian harga yang diterima produsen dalam hal ini petani tebu. Berdasarkan hal tersebut perlu analisis sistem pemasaran untuk meningkatkan pendapatan petani dan marjin keuntungan lembaga pemasaran lainnya yang sesuai dengan fungsi pemasaran yang dilakukan. Pendekatan yang dilakukan dalam menganalisis kegiatan pemasaran yaitu melalui pendekatan market structure (struktur pasar), market conduct (perilaku pasar), dan market performance (kinerja pasar) (Kohl dan Uhls, 2002). Perbedaan harga dapat dipengaruhi oleh struktur pasar yang berlaku. Jika struktur pasar yang berlaku adalah persaingan sempurna maka harga ditentukan oleh mekanisme pasar bukan oleh pembeli ataupun penjual. Arti kata lain baik pembeli ataupun penjual sebagai penerima harga (price taker). Peubah yang dapat menunjukkan struktur suatu pasar yaitu pangsa pasar, konsentrasi pasar, dan hambatan masuk pasar. Akibat dari suatu struktur pasar yang berlaku, maka akan mempengaruhi pada perilaku pasar. Peubah dalam perilaku pasar seperti pemasaran, penentuan dan pembentukan harga, praktek penjualan dan pembelian, dan kerjasama lembaga dan pemasaran. Kinerja pasar merupakan interaksi antara struktur dan perilaku pasar. Hal ini menunjukkan hasil keputusan akhir yang diambil dalam hubungan dengan proses tawar menawar dan persaingan harga yang akan menentukan margin pemasaran, farmer share, dan seberapa besar perubahan harga di tingkat konsumen dapat ditransmisikan dengan baik ke tangan produsen. Hasil analisis ini memberikan implikasi dan rekomendasi kebijakan bagi peningkatan agribisnis
35
gula tebu khususnya sistem pemasaran di PTPN VII UU BUMA. Adapun kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 5.
Fluktuasi harga gula tebu dunia memiliki pola yang sama dengan harga gula tebu (konsumen) di Provinsi Lampung. Artinya, perubahan harga tertransmisi ke tangan konsumen di Provinsi Lampung. Namun, apakah perubahan harga di tingkat konsumen tersebut dapat ditransmisikan hingga ke tingkat produsen. Sistem pemasaran menimbulkan biaya dari kegiatan produktif lembaga pemasaran
Perlu analisis sistem pemasaran untuk meningkatkan pendapatan petani dan marjin keuntungan bagi lembaga pemasaran lainnya dengan pelaksanaan fungsi pemasaran
Pendekatan yang digunakan yaitu Struktur, Perilaku, dan Kinerja Pasar
Harga Struktur Pasar (Market Structure) 1. Pangsa pasar 2. Konsentrasi pasar 3. Hambatan masuk pasar
1. 2. 3. 4.
Perilaku Pasar (Market Conduct) Pemasaran Penentuan dan pembentukan harga Praktek penjualan dan pembelian Kerjasama lembaga dan pemasaran
Kinerja Pasar (Performance Market) 1. Margin pemasaran 2. Farmer share 3. Integrasi pasar
Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan Alur Pemikiran
Pengaruh terhadap harga
Saling Mempengaruhi
Peubah yang diteliti
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional
36
IV. 4.1.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Lampung khususnya di PTPN VII UU
Bungamayang, Kabupaten Lampung Utara. Lokasi dipilih secara purposive karena PTPN VII UU Bungamayang merupakan perusahaan perkebunan rakyat yang menjadi salah satu sentra penanaman tebu di Provinsi Lampung. Selain itu, PTPN VII UU Bungamayang merupakan perkebunan rakyat dengan jumlah petani terbanyak (Ditjenbun, 2010). Waktu penelitian yaitu bulan Oktober 2011-Februari 2012 dimulai dari penyusunan proposal hingga penulisan laporan akhir penelitian.
4.2.
Sumber dan Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer berasal dari PTPN VII UU Bungamayang dan pelaku pemasaran gula di Provinsi Lampung. Sedangkan data sekunder berasal dari BPS Pusat, BPS Lampung, Direktorat Jenderal Perkebunan, Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, Dewan Gula Indonesia, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, FAO, International Sugar Organization, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian pertanian, dan sumber lainnya.
4.3.
Metode Pengambilan Sampel Metode yang digunakan dalam pengambilan data yaitu berupa pengamatan
langsung di lapangan (observasi), wawancara, dan pengisian kuesioner. Adapun metode yang digunakan dalam pengambilan sampel yaitu : a. Metode simple random sampling atau acak sederhana dilakukan untuk menentukan sampel petani tebu dalam melakukan kegiatan budidaya tebu.
37
Petani yang akan menjadi sampel yaitu petani tebu rakyat (TR). Petani tebu rakyat merupakan petani yang memperoleh fasilitas kredit usahatani dari bank dan penjaminnya (avalis) yaitu PTPN VII UU Bungamayang. Dalam memenuhi keragaman data, responden yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 30 orang. b. Metode snow ball sampling dilakukan untuk mengetahui lembaga pemasaran yang terlibat setelah petani. Metode tersebut digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai kegiatan pemasaran berdasarkan alur pemasaran.
4.4.
Teknik Pengolahan dan Metode Analisis Data Pendekatan yang dilakukan dalam menganalisis sistem pemasaran gula
tebu melalui pendekatan market structure (struktur pasar), market conduct (perilaku pasar), dan market performance (kinerja pasar). Analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif dan kuantitatif. Pengolahan data kuantitatif menggunakan Microsoft Excell 2007 dan MINITAB 13.2.
4.4.1. Analisis Struktur Pasar Analisis struktur pasar diidentifikasi dengan pendekatan kuantitatif dan diinterpretasikan sesuai dengan hasil yang diperoleh. Analisis yang dilakukan terhadap struktur pasar yaitu pangsa pasar, konsentrasi pasar, dan hambatan masuk pasar (Kohls dan Uhl, 2002).
4.4.1.1. Pangsa Pasar a. Pangsa Pasar PTPN VII UU BUMA terhadap Nasional Pangsa pasar merupakan sebuah indikator bagaimana perusahaan dapat bekerja dengan baik terhadap para pesaingnya (Farris et all, 2007). Analisis ini
38
digunakan untuk mengetahui tingkat cakupan pemasaran gula PTPN VII UU BUMA di Indonesia. Pangsa pasar dapat dihitung dengan menggunakan penerimaan penjualan atau kapasitas produksi (Besanko et al, 2010). Adanya keterbatasan data menyebabkan perhitungan pangsa pasar PTPN VII UU BUMA terhadap nasional dihitung dengan menggunakan data produksi. Pangsa pasar PTPN VII UU BUMA diperoleh melalui rasio produksi gula tebu PTPN VII UU BUMA terhadap total produksi gula tebu Indonesia. Semakin tinggi persentase pangsa pasar menunjukkan kekuatan (market power) perusahaan tersebut di dalam industri gula tebu Indonesia.
MS = 0-100 % MS = Pangsa pasar PTPN VII UU BUMA (%) Produksi Perusahaan = Produksi gula tebu PTPN VII UU BUMA (Ton/Tahun) Total Produksi = Total produksi gula tebu Indonesia (Ton/Tahun)
b. Pangsa Pasar Perusahaan Gula di Provinsi Lampung terhadap Provinsi Lampung Pangsa pasar dapat dihitung dengan menggunakan penerimaan penjualan atau kapasitas produksi (Besanko et al, 2010). Perhitungan pangsa pasar suatu PG (perusahaan gula) di Provinsi Lampung menggunakan rasio antara penjualan gula suatu PG di Provinsi Lampung terhadap total penjualan seluruh PG di Provinsi Lampung. Perhitungan pangsa pasar ini untuk mengetahui seberapa besar cakupan suatu perusahaan-perusahaan gula di pasar Lampung. Hal ini menunjukkan perusahaan mana yang memiliki tingkat pangsa pasar terbesar sehingga memiliki market power sehingga mampu bersaing dengan perusahaan lainnya.
39
MS
= 0-100 %
MSPG = Pangsa pasar PG di Provinsi Lampung (%) S
= Penjualan gula tebu PG (Ton/Tahun)
ST
= Total penjualan seluruh PG di Provinsi Lampung (Ton/Tahun)
4.4.1.2. Konsentrasi Pasar Konsentrasi pasar mengukur berapa jumlah output dalam sebuah industri yang diproduksi dari empat perusahaan terbesar dalam sebuah industri (Baye, 2010). Konsentrasi pasar dapat dihitung dengan menggunakan penerimaan penjualan atau kapasitas produksi (Besanko et al, 2010). Pengukuran tingkat konsentrasi perusahaan dalam suatu industri dapat dengan menggunakan Four Firm Concentration Ratio (C4) atau Herfindahl-Hirschman Index (HHI) (Baye. 2010). C4 merupakan penjumlahan penjualan keempat perusahaan gula terbesar di Provinsi Lampung dibagi dengan total penjualan gula seluruh perusahaan di Provinsi Lampung. Pengertian lainnya C4 merupakan penjumlahan pangsa pasar keempat perusahaan terbesar dalam suatu industri. Nilai C4 yang mendekati nol maka diindikasikan berada pada pasar yang memiliki banyak penjual, yang memberikan peningkatan banyak persaingan antara produsen untuk menjualnya ke konsumen. Jika nilai C4 mendekati satu maka diindikasikan pasar tersebut mengalami sedikit persaingan (pasar terkonsentrasi) antara produsen untuk menjualnya ke konsumen (Baye. 2010).
40
Adapun perhitungan C4 yaitu :
C4
= Konsentrasi rasio (pasar)
wi
= Si/ST, …….i = 1, 2 , 3, 4
wi
= Pangsa Pasar
S1
= Penjualan perusahaan terbesar 1 (Ton/Tahun)
S2
= Penjualan perusahaan terbesar 2 (Ton/Tahun)
S3
= Penjualan perusahaan terbesar 3 (Ton/Tahun)
S4
= Penjualan perusahaan terbesar 4 (Ton/Tahun)
ST
= Total penjualan seluruh perusahaan gula di Provinsi Lampung (Ton/Tahun) Selain perhitungan diatas, dapat menggunakan perhitungan HHI. HHI
merupakan penjumlahan kuadrat dari pangsa pasar perusahaan-perusahaan dalam suatu industri dikalikan dengan 10 000. Baye (2010) mengemukakan bahwa nilai HHI berada diantara 0 - 10 000. Jika nilai HHI 0, maka terdapat perusahaanperusahaan dalam industri yang sangat kecil. Namun, jika nilai diatas 0 hingga 10,000 mengindikasikan bahwa pangsa pasarnya bernilai 1. Artinya C4 berada pada sedikit persaingan antara produsen dan konsumen (pasar terkonsentrasi). Adapun perhitungan HHI yaitu : HHI = 10 000 ∑ wi2 HHI
= Herfindahl-Hirschman Index
wi
= Pangsa Pasar
41
4.4.1.3. Hambatan Masuk Pasar Hambatan masuk pasar dianalisis dengan menggunakan Minimum Efficiency Scale (MES). Analisis ini dilakukan untuk melihat banyaknya lembaga pemasaran yang dapat masuk untuk bersaing merebut pangsa pasar. Nilai MES diperoleh dari produksi gula perusahaan terbesat terhadap total produksi gula di Provinsi Lampung. Menurut Jaya (2001), jika nilai MES lebih besar dari 10 persen mengindikasikan bahwa terdapat hambatan masuk pada pemasaran gula di Provinsi Lampung. Jika hambatan masuk tinggi maka tingkat persaingannya sangat rendah. Maka pasar berada pada kondisi kurang efisien.
4.4.2. Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar di PTPN VII UU Bungamayang dianalisis secara deskriptif. Analisis yang diamati yaitu pemasaran, kegiatan praktek penjualan dan pembelian, penentuan dan pembentukan harga, dan kerjasama lembaga pemasaran, (Dahl dan Hammond, 1977). Dalam menganalisis perilaku pasar semua dikaji secara mendalam. Hal ini akan dapat menentukan kinerja pasar gula. Kinerja pasar gula merupakan akibat dari struktur yang berlaku dalam suatu pasar. Perilaku pasar merupakan cerminan dari struktur pasar sehingga akan memepengaruhi kegiatan penjualan dan pembelian. Selain itu, kegiatan penentuan dan penetapan harga dianalisis untuk mendapatkan pada tingkat lembaga manakah yang lebih dominan dalam penentuan harga. Kerjasama lembaga pemasaran dianalisis apakah kegiatan tersebut di dominasi oleh salah satu lembaga pemasaran atau kerjasama antar lembaga pemasaran terjadi. Lembaga pemasaran
42
yang terlibat seharusnya melakukan kegiatan fungsi-fungsi pemasaran. Purcell (1979) membagi fungsi pemasaran menjadi tiga yaitu fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, transportasi, processing), dan fungsi fasilitas (standardisasi, keuangan/modal, resiko dan penelitian pasar).
4.4.3. Analisis Kinerja Pasar 4.4.3.1. Margin Pemasaran Analisis marjin dilakukan secara kualitatif. Analisis ini didasarkan pada data primer yang dikumpulkan dari setiap tingkat mulai dari produsen sampai dengan konsumen. Tomek dan Robinson (1990), marjin pemasaran adalah perbedaan harga yang dibayarkan oleh konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen. Marjin pemasaran merupakan perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dan harga yang diterima produsen (Hudson, 2007). Semakin tinggi biaya pemasaran menyebabkan semakin tingginya marjin pemasaran. Secara matematis, dapat ditulis sebagai berikut:
M = Pr – Pf Mi = Ci + πi Mi
= Margin pemasaran pada setiap lembaga pemasaran i
M
= Margin total pemasaran pada setiap saluran pemasaran
Pr
= Harga eceran gula di pasar konsumen (Rp/Kg)
Pf
= Harga di pasar produsen (Rp/Kg)
Ci
= Biaya pemasaran di pasar i
πi
= Keuntungan pemasar (lembaga) di pasar i
i
= 1,2,3,…n
43
Maka, total margin pemasaran yaitu :
4.4.3.2. Farmer Share Farmer share merupakan rasio antara harga di tingkat petani terhadap harga di tingkat retail (Hudson, 2007). Farmer share merupakan bagian harga dari biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani ditambah keuntungan yang diterimanya. Bagian keuntungan ini dapat dikatakan sebagai sumbangan pendapatan bagi kesejahteraan keluarga petani. Pada saluran pemasaran yang berbeda maka share harga yang diterima oleh petani akan berbeda pula. Besarnya farmer share dipengaruhi oleh : tingkat pemrosesan, biaya transportasi, keawetan produk, biaya transportasi, dan jumlah produk (Kohls dan Uhl, 2002). Semakin tinggi farmer share menyebabkan semakin tinggi pula bagian harga yang diterima petani. Adapun perhitungan farmer share dapat dilihat dibawah ini :
FS = Pf/Pr x 100% FS
= Farmer share di tingkat petani (%)
Pf
= Harga gula di tingkat petani (Rp/kg)
Pr
= Harga gula di tingkat pengecer (Rp/Kg)
4.4.3.3. Analisis Integrasi Pasar Vertikal i) Integrasi Pasar Vertikal Analisis integrasi pasar merupakan seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi pada satu tingkat lembaga atau pasar dipengaruhi oleh harga ditingkat lembaga lainnya. Analisis keterpaduan/integrasi pasar dalam penelitian
44
ini mengacu pada model yang dikembangkan oleh Ravallion (1986). Perubahan harga di tingkat konsumen seharusnya ditransmisikan dengan baik ke tangan produsen secara terintegrasi. Misalkan Pi adalah harga di pasar i waktu t sedangkan Pt adalah harga di pasar acuan waktu t. Maka rumus yang digunakan yaitu : Pit= (1+b1) Pit-1 + b2 (Pt – Pt-1) + (b3-b1) Pt-1 + b4x Pit
= Harga gula di pasar lokal (i) waktu t
Pt
= Harga gula di pasar acuan waktu t
Pit-1 = Harga gula di pasar lokal (i) waktu t-1 Pt-1 = Harga gula di pasar acuan waktu t-1 x
= Faktor musim dan faktor lain
Adapun : (1+b1) = Koefisien lag harga di tingkat pasar ke-1 (lokal) pada waktu t-1 b2
= Koefisien perubahan harga di tingkat pasar (acuan) pada t (Pt) dan t-1 (Pt-1)
(b3-b1) = Koefisien lag harga di tingkat pasar (acuan) pada waktu t-1 IMC (Index of Market Connection) atau indeks hubungan pasar merupakan perbandingan antara koefisien pasar lokal pada periode sebelumnya dengan koefisien pasar acuan pada periode sebelumnya. Adapun rumusnya dapat dilihat di bawah ini :
Adapun ketentuan suatu pasar dikatakan pasar satu dengan yang lainnya terintegrasi dapat dilihat pada Tabel 8. Integrasi dapat bersifat kuat dan lemah.
45
Integrasi kuat artinya jika perubahan harga di tingkat konsumen secara nyata dapat dirasakan perubahannya oleh produsen. Sedangkan integrasi bersifat lemah yaitu perubahan harga di tingkat konsumen akan mempengaruhi harga di tingkat produsen namun tingkat perubahannya yang tidak terlalu signifikan. Pasar dikatakan tidak ada hubungan/tidak terintegrasi pada jangka pendek jika IMC tinggi dan pada jangka panjang jika nilai b2 sangat mendekati 0. Jika terjadi integrasi maka perubahan harga yang terjadi di tingkat konsumen akan ditransmisikan ke tingkat produsen sehingga petani akan menerima perubahan atas harga yang terjadi pada tingkat konsumen.
Tabel 8. Syarat Suatu Pasar Terintegrasi/Tidak No Keterangan 1 Integrasi Kuat 2 3
Integrasi Lemah Tidak ada Hubungan/Tidak Terintegrasi
Jangka Pendek IMC mendekati 0 IMC < 1 IMC > 1 IMC tinggi
Jangka Panjang b2 mendekati 1 (> 0.5) b2 mendekati 0 (< 0.5) b2 sangat mendekati 0
ii) Elastisitas Transmisi Harga Elastisitas transmisi harga mengukur perubahan harga di pasar lokal sebagi akibat adanya perubahan harga di pasar acuan (Ravallion, 1986). Jika nilainya mendekati satu maka dikatakan pasar semakin bersaing atau mendekati pasar persaingan sempurna.
Et
= Elastisitas transmisi harga
ΔPacuan = Perubahan harga di pasar acuan ΔPlokal = Perubahan harga di pasar lokal Pacuan = Harga di pasar acuan Plokal
= Harga di pasar lokal
46
Ringkasan indikator-indikator pada analisis pemasaran dengan pendekatan SCP dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Analisis Sistem Pemasaran dengan Pendekatan SCP No 1
2
3
Analisis Pemasaran Struktur pasar a. Pangsa pasar
b.
Konsentrasi pasar
c.
Hambatan masuk pasar
Perilaku pasar a. Pemasaran b. Kegiatan Praktek penjualan dan pembelian c. Penentuan dan Pembentukan Harga d. Kerjasama lembaga pemasaran Kinerja pasar a. Margin pemasaran b.
Farmer share
c.
i) Integrasi Pasar Vertikal c.1. Jangka Pendek a. Kuat
Kriteria Market share 0-100%, semakin tinggi persentase pangsa pasar menunjukkan kekuatan (market power) perusahaan dalam suatu industri a. Four Firm Concentration Ratio (C4) Nilai C4 mendekati 0 pasar memiliki banyak penjual dan pasar tidak terkonsentrasi. Nilai C4 mendekati 1 pasar memiliki sedikit penjual dan pasar mengalami sedikit persaingan (pasar terkonsentrasi). b. Herfindahl-Hirschman Index (HHI) Nilai HHI 0 perusahaan-perusahaan dalam industri yang kecil (pasar tidak terkonsentrasi) Nilai HHI diatas 0 - 10 000 pasar memiliki sedikit persaingan dan pasar terkonsentrasi Minimum Efficiency Scale (MES) > 10 persen mengindikasikan bahwa terdapat hambatan masuk pada suatu industri Analisis deskriptif Analisis deskriptif Analisis deskriptif Analisis deskriptif Margin yang tinggi menunjukan biaya pemasaran yang tinggi Semakin tinggi farmer share maka bagian harga yang diterima petani semakin tinggi
IMC mendekati 0 IMC < 1 IMC > 1 IMC tinggi
b. Lemah c. Tidak ada hubungan c.2. Jangka panjang a. Kuat b2 mendekati 1 (> 0.5) b. Lemah b2 mendekati 0 (< 0.5) c. Tidak ada hubungan b2 sangat mendekati 0 ii) Elastiitas Et mendekati 1 Pasar bersaing Sumber : Besanko, et al (2010); Baye, (2010); Jaya, (2001); Dahl dan Hammond, (1977); Hudson, (2007); dan Kohls dan Uhl, (2002).
47
V. EKONOMI GULA
5.1.
Ekonomi Gula Dunia
5.1.1. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Peningkatan jumlah penduduk dunia berimplikasi pada peningkatan kebutuhan terhadap bahan pokok. Salah satunya kebutuhan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula. Upaya memenuhi kebutuhan masyarakat yaitu melalui peningkatan produksi gula dunia. Tahun 2006 hingga 2008, produksi gula dunia mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 10. Periode 2008-2009, produksi gula dunia menurun disebabkan penurunan produksi di negara produsen utama gula dunia yaitu Brazil. Penurunan produksi ini disebabkan adanya oleh perubahan iklim. Tingkat produksi gula dunia tahun 2006 hingga 2008 lebih besar dari konsumsi gula dunia sehingga pada tahun tersebut mengalami surplus. Sedangkan tahun 2008-2009 produksi tidak mencukupi konsumsi gula dunia. Hal ini menyebabkan defisit gula dunia. Implikasinya, harga gula dunia meningkat selain dari adanya peningkatan harga minyak dunia.
Tabel 10. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia (Ribu Ton) Tahun Produksi Konsumsi 2006-2007 166 079 156 942 2007-2008 168 611 162 241 2008-2009 161 527 165 801 Sumber : International Sugar Organization, 2009
Defisit/Surplus 9 137 6 370 -4 274
5.1.2. Harga Gula Pasir Dunia Harga gula pasir internasional berfluktuatif sepanjang waktu (Gambar 6). Kurun waktu Januari 2009 hingga Februari 2010, harga gula pasir cenderung
49
meningkat. Hal ini dikarenakan harga minyak mentah yang cenderung meningkat sehingga mempengaruhi pada biaya produksi. Pada bulan Maret 2010 hingga Juni 2010 harga gula internasional mencapai harga terendah yaitu Rp 7 092/Kg. Juli 2010 hingga Februari 2011 harga gula internasional mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga mencapai harga tertinggi yaitu Rp 11 304/Kg. Hal ini dikarenakan sebagian negara-negara produsen mengalami kegagalan panen sehingga mempengaruhi pada hasil produksi tebu. Berfluktuasinya harga gula internasional mempengaruhi harga gula pasir di dalam negeri. Namun, apakah perubahan harga di dalam negeri dapat ditransmisikan dengan harga di produsen di dalam negeri. Seberapa cepat perubahan harga terjadi dapat ditransmisikan ke tingkat produsen tergantung dari waktu, transportasi, dan lainnya.
Gambar 6. Harga Gula Pasir Dunia (Rp/Kg) Sumber: Harian LIFFE (diolah) 5.1.3. Negara Eksportir dan Importir Gula Brazil merupakan negara produsen gula utama di dalam memenuhi kebutuhan gula dunia (Tabel 11). Di kawasan Asia yang menjadi negara produsen gula terbesar adalah Thailand. Sedangkan negara pengimpor terbesar yaitu USA 50
(United States of America). Di kawasan Asia yang menjadi importir terbesar yaitu India. Sedangkan Indonesia berada pada urutan kesepuluh importir gula dunia. Adanya perubahan iklim yang terjadi menimbulkan perubahan posisi negara-negara produsen utama gula dunia. Contohnya, India tahun 2007 merupakan salah satu negara produsen gula, namun adanya perubahan iklim yang menyebabkan kegagalan panen di tahun 2010 merubah posisi India menjadi salah satu negara pengimpor gula. Tahun 2014 pemerintah menargetkan swasembada gula Indonesia. Hal ini diharapkan Indonesia dapat memenuhi kebutuhan gula domestik. Namun, target pemerintah perlu dikaji kembali. Hal ini dikarenakan tahun 2010 Indonesia menjadi negara importir kesepuluh terbesar di dunia. Dalam kurun waktu empat tahun tersebut, pemerintah harus meningkatkan upaya pencapaian target tersebut. Jika tidak, maka target tercapainya swasembada gula Indonesia hanya sebagai wacana dan harapan yang tidak dapat direalisasikan.
Tabel 11. Rangking Negara Pengekspor dan Pengimpor Gula Dunia Rangking
Negara Eksportir
1 2 3 4 5 6
Brazil
Thailand Perancis Jerman Kuba USA (United States of America) 7 Meksiko 8 Belanda 9 Belgia 10 Guatemala Sumber : UN Comtrade, 2010
Importir USA (United States of America) United Kingdom Jerman Italia India Korea Perancis Belgia Jepang Indonesia
51
5.1.4. Realisasi Ekspor Gula Tebu Berdasarkan Negara Tujuan Ekspor gula tebu berdasarkan negara tujuan terjadi pada beberapa negara di dunia. Realisasi ekspor terbesar tahun 2007 dengan negara tujuan yaitu Kanada. Sedangkan Tahun 2008 dan 2009 realisasi ekspor gula terbesar yaitu Malaysia dengan jumlah 811 854 kg dan 273 230 kg. Sedangkan tahun 2010 realisasi ekspor gula tebu terbesar yaitu Jepang yang berjumlah 121 689 kg. Negara yang setiap tahunnya melakukan realisasi ekspor gula tebu berdasarkan negara tujuan setiap tahunnya dalam periode tahun 2007 hingga tahun 2010 yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Kanada. Trend realisasi ekspor gula tebu yang cenderung meningkat setiap tahunnya yaitu Amerika Serikat. Berbeda halnya dengan Jepang dan Kanada yang melakukan kegiatan ekspor setiap tahun namun jumlahnya cenderung berfluktuasi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Realisasi Ekspor Gula Tebu Berdasarkan Negara Tujuan (Kg) Negara Tujuan 2007 2008 2009 2010 Amerika Serikat 1 536 23 448 Australia 2 520 4 680 Belanda 16 024 Finlandia Hongkong 14 360 10 722 Jepang 6 153 72 692 Jerman Barat 7 200 Kaledonia Baru Kanada 147 000 196 978 Korea Selatan 776 Malaysia 811 854 Perserikatan Emirat Arab Pilipina 75 Saudi Arabia Selandia Baru Singapura 1 001 69 811 Spanyol 350 Sumber ; BPS (diolah Pusdatin Perdagangan), 2011
46 183 777 1 247 142 808 138 195 920 381 273 230 529 5 105 -
80 406 2 318 1 080 121 689 168 98 540 482 75 464 174 -
52
5.1.5. Realisasi Impor Gula Tebu Berdasarkan Negara Asal Realisasi impor gula tebu berdasarkan negara asal dengan jumlah terbesar tahun 2007, 2008, dan 2009 yaitu Thailand. Sedangkan tahun 2010, realisasi impor gula tebu Brazil tahun 2010 berada pada nilai terbesar yaitu 628 301 485kg. Hal ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya dimana peningkatan tahun 2010 sangat drastis terjadi pada Brazil. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Realisasi Impor Gula Tebu Berdasarkan Negara Asal (Kg) Negara Asal 2007 2008 2009 Amerika Serikat 34 990 127 Argentina 26 200 420 Australia 707 587 280 180 000 682 Belgia 11 Brasilia 152 906 000 259 661 043 El Salvador 14 137 549 Guatemala 87 604 415 44 000 000 Hongkong 2 113 India 40 054 000 27 164 414 Korea Selatan 16 000 000 Malaysia 103 Peru 20 000 000 Pilipina 36 000 010 19 000 000 Rep.Afrika Selatan 77 173 000 93 450 000 Rep.Rakyat Cina 304 Singapura 3 42 401 090 7 000 952 Swaziland 25 000 000 Taiwan 1 Thailand 718 634 420 310 634 625 518 730 040 Sumber ; BPS (diolah Pusdatin Perdagangan), 2011
2010 161 100 000 628 301 485 46 600 000 22 000 000 311 233 440
Berbeda halnya dengan singapura tahun 2007 yang menunjukkan angka tertinggi, namun di tahun 2008 negara tersebut tidak melakukan realisasi impor berdasarkan negara tujuan asal. Meskipun demikian, tahun 2009 dan 2010 negara ini melakukan kegiatan tersebut kembali meskipun tidak sebanyak taahun 2007. Begitupun dengan negara lainnya yang melakukan realisasi impor berdasarkan negara tujuan memiliki nilai yang cukup berubah setiap tahunnya. 53
Namun, perubahan tersebut terlihat perbedaan yang cukup signifikan pada kurun waktu 2007 hingga 2010. Negara tersebut antara lain Guatemala, Filipina, dan Singapura.
5.2.
Ekonomi Gula Indonesia
5.2.1. Luas Areal Perkebunan Tebu di Indonesia Areal perkebunan Tebu di Indonesia tersebar di beberapa provinsi di Indonesia (Tabel 14). Luas areal perkebunan tebu terbesar baik perkebunan rakyat, negara, dan swasta berdasarkan provinsi yaitu Provinsi Jawa Timur pada Tahun 2010*) yaitu 199 884 Ha. Selain itu, Provinsi Jawa Timur memiliki luas areal terbesar setiap tahunnya pada kurun waktu 2006-2010*). Namun, tingkat pertumbuhan luas areal perkebunan tebu tahun 2009-2010 terbesar bila dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia yaitu Provinsi Gorontalo yaitu sebesar 29.44%. Tabel 14. Luas Areal Perkebunan Tebu di Indonesia Tahun 2006-2010*) (Ha) No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Provinsi
Sumatera Utara Sumatera Selatan Lampung Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Gorontalo Sulawesi Selatan Indonesia
Tahun 2006
2007
2008
2009
2010*)
12 840 12 479 105 915 21 956 50 958 6 336 171 396 8 223 9 398 399 501
13 416 12 499 103 459 23 661 51 425 6 430 206 234 10 022 10 894 438 040
12 366 12 502 116 360 23 255 52 060 3 528 198 599 5 075 12 760 436 505
9 667 18 137 114 255 23 090 55 890 3 782 198 944 6 560 11 115 441 440
10 150 15 936 123 932 22 108 52 035 3 603 199 884 8 491 12 606 448 745
Pertumbuhan 2010 – 2009 (%) 5.00 -12.14 8.47 -4.25 -6.90 -4.73 0.47 29.44 13.41 1.65
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010 Keterangan : *) Angka Sementara
54
Luas Areal perkebunan tebu di Indonesia selama kurun waktu 2006 hingga 2010*) menunjukkan trend yang meningkat meskipun tahun 2008 terjadi penurunan luas areal sebesar 1 535 Ha. Provinsi Lampung berada pada urutan kedua berdasarkan luas areal perkebunan tebu di Indonesia. Luas areal tahun 2006 hingga 2010*) cenderung berfluktuatif namun memiliki tren yang meningkat. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan yang positif sebesar 8.47 %.
5.2.2. Produksi Tebu di Indonesia Upaya untuk merelisasikan Swasembada Gula Tahun 2014 yaitu melalui peningkatan produksi gula nasional. Produksi gula nasional meningkat didukung oleh adanya peningkatan produksi tebu Indonesia. Tahun 2006 hingga 2010*) menunjukkan adanya peningkatan produksi tebu nasional. Meskipun produksi tebu nasional tahun 2009 mengalami penurunan namun tahun 2010*) produksi tebu nasional mengalami produksi tertinggi selama kurun waktu 2006 hingga 2010. Produksi tebu terbesar di Indonesia Tahun 2010*) yaitu Provinsi Jawa Timur dan diikuti oleh Provinsi Lampung (Tabel 15). Tabel 15. Produksi Tebu di Indonesia Tahun 2006-2010*) (Ton) Tahun No
Provinsi 2006
2007
2008
2009
2010*)
40 585 58 861 810 681 111 781 266 891 15 648 1 302 724 25 736 35 521 2 668 428
37 874 88 391 903 320 88 560 221 938 17 538 101 538 35 358 22 857 2 517 374
36 742 88 621 1 017 561 98 942 257 287 16 573 1 109 855 41 140 27 506 2 694 227
Pertumbuhan/ 2010 2009 (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sumatera Utara 50 620 48 689 Sumatera Selatan 58 978 56 318 Lampung 693 550 714 641 Jawa Barat 113 388 127 297 Jawa Tengah 260 796 249 526 DI. Yogyakarta 13 423 15 785 Jawa Timur 1 067 301 1 340 919 Gorontalo 30 751 51 462 Sulawesi Selatan 18 242 19 149 Indonesia 2 307 049 2 623 786 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010 Keterangan : *) Angka Sementara
-2.99 0.26 12.65 11.72 15.93 -5.50 0.76 16.35 20.34 7.03
55
5.2.3.
Produktivitas Tebu di Indonesia Tingkat produktivitas tebu Tahun 2006 hingga 2010*) menunjukkan trend
yang meningkat meskipun Tahun 2009 mengalami penurunan (Tabel 16). Tahun 2010 tingkat produktivitas tebu mencapai angka tertinggi selama kurun waktu lima tahun (2006-2010*)). Hal ini sejalan dengan program revitalisasi industri gula yang dilakukan pemerintah sejak Tahun 2004. Luas areal dan produksi tebu terbesar di Indonesia yaitu Provinsi Jawa Timur. Namun, tingkat produktivitas terbesar di Indonesia yaitu Provinsi Lampung sedangkan Provinsi Jawa Timur berada pada peringkat kedua. Tabel 16. Produktivitas Tebu di Indonesia Tahun 2006-2010*) (Kg/Ha) Tahun No
Provinsi 2006
1 2 3 4 5 6 7 8 9
2007
2008
Sumatera Utara 3 942.37 3 638.67 3 281.98 Sumatera Selatan 4 726.18 4 539.94 4 708.13 Lampung 6 548.18 6 934.29 6 967.01 Jawa Barat 5 164.33 5 394.86 4 806.75 Jawa Tengah 5 117.86 5 367.77 5 126.60 DI. Yogyakarta 4089.88 4 130.04 4 435.37 Jawa Timur 6 227.11 6 568.82 6 559.57 Gorontalo 3 739.69 5 134.90 5 071.13 Sulawesi Selatan 1 941.05 1 757.76 2 783.78 Indonesia 5 961.00 6 133.00 6 113.17 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010 Keterangan : *) Angka Sementara
2009
2010*)
3 918.00 5 634.00 7 906.00 3 875.00 4 132.00 4 637.00 5 944.00 5 390.00 2 056.00 5 952.00
3 620.00 5 561.00 8 211.00 4 519.00 531.00 4 600.00 5 951.00 4 845.00 2 182.00 6 204.00
Pertumbuhan/ 20102009 (%) -7.61 -1.30 3.86 16.62 -87.15 -0.80 0.12 -10.11 6.13 4.23
5.2.4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Gula di Indonesia Produksi gula Indonesia dari tahun 2005 hingga tahun 2010 mengalami tren yang meningkat. Namun hanya tahun 2009 mengalami penurunan produksi nasional. Produksi gula si Jawa lebih besar bila dibandingkan dengan luar jawa. Hal ini dikarenakan luas areal dan produksi tebu di Jawa lebih besar bila dibandingkan dengan Luar Jawa. Jumlah penduduk di Jawa yang lebih besar dari
56
Luar Jawa menyebabkan tingkat konsumsi gula di Jawa lebih besar bila dibandingkan dengan Luar Jawa. Secara nasional, produksi gula Indonesia lebih kecil dari konsumsi nasional. Hal ini menyebabkan kebutuhan gula yang lebih besar (Tabel 17). Pemerintah perlu memenuhi kebutuhan konsumsi gula nasional salah satunya dengan impor gula.
Tabel 17. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia Tahun 2005-2010 (Ton) Produksi
Tahun
Jawa
Konsumsi
Luar Jawa
Jawa
Luar Jawa
Total Produksi
Konsumsi
2005 2006
1 387 049 1 454 909
854 693 852 119
1 533 517 1 549 020
1 095 739 1 115 590
2 241 742 2 307 027
2 629 256 2 664 610
2007
1 582 692
865 451
1 564 818
1 134 041
2 448 143
2 698 859
2008
1 628 036
952 520
1 580 704
1 152 646
2 580 088
2 733 349
2009
1 411 983
887 520
1 596 328
1 171 265
2 299 504
2 767 592
2010
1 378 303
911 814
1 612 292
1 189 436
2 290 117
2 801 729
Sumber : Dewan Gula Indonesia, (2011)
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia mendorong pada peningkatan konsumsi gula nasional. Proyeksi konsumsi gula tahun 2011 hingga 2014 menunjukkan tren yang meningkat (Gambar 7). Oleh karena itu, produksi nasional harus ditingkatkan dalam rangka pemenuhan gula nasional. Selain itu, Tahun 2014 yang ditargetkan dapat melakukan swasembada gula menjadi tantangan bagi pemerintah dan pelaku industri gula untuk mampu memenuhi konsumsi gula dalam negeri.
57
Gambar 7. Proyeksi Konsumsi Gula Nasional (Kg/Kap/Tahun) Sumber . Badan Ketahanan Pangan, 2011 5.2.5. Harga Gula Pasir (Gula Kristal Putih) Nasional Gula pasir (Gula Kristal Putih) merupakan gula yang paling banyak dipasaran dan digunakan sebagai konsumsi langsung. Perkembangan harga gula pasir nasional kurun waktu 2009 hingga 2010 di tingkat konsumen menunjukkan tingkat fluktuasi yang cukup signifikan (Gambar 8). Secara umum, harga gula pasir nasional di Jawa lebih rendah dibandingkan dengan Luar Jawa. Hal ini dikarenakan adanya biaya transportasi dalam proses distribusi gula hingga ke tangan konsumen. Selain itu, adanya perbedaan biaya usahatani, biaya tebang dan bongkar muat, biaya tenaga kerja di Luar Jawa yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa menyebabkan total biaya di Luar Jawa lebih besar dibandingkan di Jawa. Hal ini akan memepengaruhi harga gula pasir di tingkat konsumen. Harga gula pasir tertinggi di Luar Jawa pada kurun waktu Januari 2009 hingga Mei 2011 yaitu pada bulan Januari 2010 sebesar Rp 11 446,-/Kg. Sedangkan harga tertinggi di Jawa yaitu pada bulan Februari 2010 sebesar Rp 10 862,-/Kg. Harga terendah di Luar Jawa dan Jawa yaitu pada bulan Januari 58
2009 sebesar Rp 6 734,-/Kg dan Rp 6 309,-/Kg. Secara nasional, harga gula pasir nasional memiliki trend yang meningkat pada tahun 2009 ke 2010, namun akhir Tahun 2010 hingga Mei 2011 cenderung memiliki trend yang menurun.
Gambar 8. Perkembangan Harga Gula Pasir Nasional Januari 2009- Mei 2011 Sumber : Kementerian Perdagangan, 2011
5.3.
Ekonomi Gula Provinsi Lampung Tebu merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan di Provinsi
Lampung (Dinas Perkebunan Prov Lampung, 2010). Kontribusi produksi tebu Provinsi Lampung terhadap produksi nasional tahun 2010 yaitu 37.8 % (Ditjenbun, 2010). Pengembangan tebu lahan kering di Provinsi Lampung diupayakan untuk mempercepat proses pencapaian kuantitas, kualitas, dan kontinyuitas produksi gula menuju kemandirian gula nasional. Tebu yang diolah menjadi gula kemudian diperdagangkan hingga ke tangan konsumen. Realisasi perdagangan gula antar pulau dari Provinsi Lampung masing-masing pabrik gula di Lampung Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 18.
59
Pabrik gula yang tersebar di Provinsi Lampung dikelola oleh pemerintah dan swasta. Pabrik gula yang dikelola pemerintah yaitu PTPN VII UU Bungamayang, sedangkan pabrik gula lainnya dikelola swasta. Perusahaan swasta terbesar yang melakukan realisasi perdagangan gula antar pulau terbesar di Provinsi Lampung yaitu Gunung Madu Plantations.
Tabel 18. Realisasi Perdagangan Gula Antar Pulau dari Provinsi Lampung Tahun 2010 No Pabrik Gula Jumlah (Ton) 1 Gunung Madu Plantations 20 534 2 Pemuka Sakti Manis Indah 300 3 PTPN VII UU Bungamayang 600 4 Gula Putih Mataram 4 204 5 Indo Lampung Perkasa 57 800 6 Sweet Indo Lampung 45 880 Jumlah (Ton) 129 318 Sumber : Dinas Koperindag, Provinsi Lampung. 2010
Sejumlah industri di Indonesia terutama yang statusnya BUMN berkinerja rendah dan tidak efisien (Deptan dan LPPM IPB, 2002). Berbagai faktor mempengaruhi inefisiensi ini yang erat kaitannya dengan kebijakan politik dan ekonomi makro maupun kebijakan usahatani mikro dan manajemen pabrik yang belum optimal. Namun, masih ada beberapa pabrik gula BUMN dan swasta yang menunjukkan kinerja dan efisiensi tinggi dan mampu menghadapi persaingan harga dengan gula impor. Hal ini sejalan dengan realisasi kegiatan akselerasi peningkatan produksi gula di Provinsi Lampung melalui perluasan areal tebu setiap tahun (Disbun Prov. Lampung, 2011). Hal ini ditunjukkan pada Tabel 19.
60
Tabel 19. Realisasi Kegiatan Akselerasi Peningkatan Produksi Gula di Provinsi Lampung TA. 2008-2011 melalui Perluasan Areal Tebu Tahun Perluasan Areal Tebu (Ha) No 1 2008 875 2 2009 400 3 2010 118 4 2011 388 Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi lampung, 2011 PTPN VII Unit Usaha Bungamayang (UU BUMA) sebagai satu satunya pabrik gula yang dikelola oleh pemerintah di Provinsi Lampung mengalami penurunan luas lahan yang cukup signifikan. Hal ini dikarenakan banyak petani yang beralih menjadi petani singkong sebagai akibat dari mahalnya biaya budidaya tebu dan fluktuasi harga. Hal ini berpengaruh pada produksi tebu, gula, dan hasil olah gula lainnya berupa tetes (molases). Adapun perkembangan pergulaan di PTPN VII UU BUMA dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Perkembangan Pergulaan PTPN VII UU Bungamayang Keterangan
Luas (Ha) Tebu (Ton) Rendemen (%) Hablur (Ton) Hasil olah (Ton) 1. Gula Milik PG 2. Tetes Tetes PG Pendapatan 1. Gula Real LM 2009 (Rp/Kg) 2. Gula Real 2008 (Rp/Kg) 3. Tetes Real LM 2009 (Rp/Kg) 4. Tetes Real 2009 (Rp/Kg) Biaya Tanaman : 1. Biaya Pembibitan 2. Biaya Tebu Giling 3. Biaya Tebang Angkut Biaya Pengolahan : 1. Biaya Pimpinan & TU 2. Biaya Pabrik 3. Biaya Pengolahan H. Pokok Pengolahan/Ton Gula H. Pokok Pengolahan/Ton Tetes
2008 Real 2007 20 320 1 356 226 7.25 98 295
Tahun 2009 Real 2008 18 956 1 330 688 7.35 97 750
2010 Real 2009 14 243 950 378 7.78 73 908
98 590 66 712 69 988 63 286
98 000 65 370 75 905 63 065
74 103 49 834 51 623 40 032
5 311 4 890 1 044 353
6 694.82 4 768 1 321.47 672
8 667 8 694 1 412 1 321
6 655 612 136 683 988 22 583 435
7 706 787 124 502 244 27 712 908
8 951 915 127 737 052 35 216 495
10 480 441 46 754 328 20 637 667 1 103.65 79.67
12 254 732 56 289 128 30 335 934 1 331.12 187.71
42 492 836 20 246 758 1 086.57 214.47
Sumber : PTPN VII UU Bungamayang, 2011
61
PTPN VII UU BUMA merupakan perusahaan yang mengusahakan komoditi tebu yang terdiri dari Tebu Sendiri (TS), Tebu Rakyat (TR), serta Unit Pengolahan (Pabrik Gula). Petani tebu rakyat merupakan petani yang mendapatkan fasilitas kredit usahatani dari bank dan perusahaan menjadi avalis (penjamin) bagi bank. Penurunan luas lahan terjadi pada kurun waktu 2007 hingga 2010. Jumlah petani terbanyak yaitu tahun 2008 sedangkan tahun 2010 mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan banyaknya petani yang beralih menjadi petani singkong. Perkembangan jumlah petani tebu rakyat dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Perkembangan Tebu Rakyat di PTPN VII UU Bungamayang No
Uraian
2007 1 Luas 8 293 2 Jumlah Petani 8 826 3 Jumlah Kelompok Tani 807 4 Produktivitas (Ton/Ha) 57 Sumber : PTPN VII UU Bungamayang, 2011
Tahun 2008 2009 9 523 7 161 10 134 7 648 928 907 68 66
2010 6 685 7 820 844 81.2
62
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini membahas sistem pemasaran gula tebu dengan menggunakan pendekatan structure, conduct, dan performance (SCP). Struktur pasar (market structure) yang dianalisis yaitu pangsa pasar, konsentrasi pasar, dan hambatan masuk pasar. Sedangkan analisis perilaku pasar (market conduct) mencakup pemasaran, kegiatan praktek penjualan dan pembelian, penentuan dan pembentukan harga, dan kerjasama lembaga pemasaran. Analisis kinerja pasar (market performance) mencakup marjin pemasaran, farmer share, dan integrasi pasar. Analisis tersebut dapat dilihat pada hasil dan pembahasan yang diuraikan secara rinci di bawah ini.
6.1.
Analisis Struktur Pasar (Market Structure) Analisis yang dilakukan terhadap struktur pasar gula yaitu pangsa pasar,
konsentrasi pasar, dan hambatan masuk pasar (Kohls dan Uhl, 2002). Struktur pasar diidentifikasi dari peranan perusahaan-perusahaan (pabrik) dalam suatu industri gula.
6.1.1. Pangsa Pasar 6.1.1.1. Pangsa Pasar PTPN VII UU BUMA terhadap Nasional Analisis ini digunakan untuk mengetahui tingkat cakupan pemasaran gula PTPN VII UU BUMA (Bungamayang) di Indonesia. Pangsa pasar nasional diperoleh dari nisbah penerimaan penjualan suatu perusahaan terhadap total penerimaan penjualan (Farris et al, 2007). Cara mengukur market share (pangsa pasar) dapat digunakan data penerimaan penjualan atau data kapasitas produksi (Besanko et al, 2010). Adanya keterbatasan data menyebabkan perhitungan
63
pangsa pasar PTPN VII UU BUMA terhadap nasional dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan pendekatan produksi. Artinya, pangsa pasar PTPN VII UU BUMA diperoleh melalui rasio produksi gula tebu PTPN VII UU BUMA terhadap total produksi gula tebu Indonesia Pangsa pasar merupakan sebuah indikator bagaimana perusahaan dapat bekerja dengan baik terhadap para pesaingnya (Farris et all, 2007). Perubahan produksi akan membantu perusahaan dalam mengevaluasi tingkat permintaan dalam suatu pasar. Kehilangan pangsa pasar dapat menjadi sinyal munculnya permasalahan dan perlunya penyesuaian strategi perusahaan. Perusahaan dengan pangsa pasar dibawah tingkat tertentu akan menyebabkan ketidakberlangsungan perusahaan tersebut dalam jangka panjang. Semakin tinggi persentase pangsa pasar menunjukkan kekuatan perusahaan tersebut di dalam industri gula tebu Indonesia. Perkembangan pangsa pasar nasional PTPN VII UU BUMA dapat dilihat pada Gambar 9. Kurun waktu 2006 hingga 2010, perusahaan ini mengalami pangsa pasar tertinggi tahun 2006 yaitu 3.47 %. Hal ini dikarenakan gula tebu yang dihasilkan pada tahun tersebut mencapai angka tertinggi yaitu sebesar 80 427.60 ton. Tahun selanjutnya terjadi fluktuasi produksi yang disebabkan adanya perbedaan hasil produksi gula tebu setiap tahun baik di PTPN VII UU BUMA maupun total produksi gula tebu nasional. Produksi gula tebu PTPN VII UU BUMA pada tahun 2010 mencapai 72 859.20 Ton (Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, 2010) sedangkan produksi gula tebu Indonesia Tahun 2010 mencapai 2 290 117 ton (DGI, 2011). Maka, pangsa pasar gula tebu PTPN VII UU BUMA terhadap Industri gula tebu Indonesia tahun 2010 yaitu sebesar 3.18 %. Hal ini
64
menunjukan bahwa PTPN VII UU BUMA memiliki pangsa pasar gula yang rendah terhadap industri gula nasional. Maka, PTPN VII UU BUMA secara nasional memiliki market power yang rendah. Sehingga PTPN VII UU BUMA memiliki pengaruh yang kecil bagi para pesaingnya secara nasional.
Gambar 9. Pangsa Pasar PTPN VII UU BUMA Terhadap Produksi Gula Nasional Tahun 2006-2010 Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Lampung (Diolah), 2011
6.1.1.2. Pangsa Pasar Perusahaan Gula di Provinsi Lampung terhadap Provinsi Lampung Perhitungan pangsa pasar suatu PG di Provinsi Lampung yaitu rasio antara penjualan gula suatu PG di Provinsi Lampung terhadap total penjualan seluruh PG di Provinsi Lampung. Data penjualan suatu PG di Provinsi Lampung dihitung dengan cara mengurangi total produksi suatu PG dengan realisasi perdagangan gula antar pulau dari Provinsi Lampung. Dengan demikian akan diperoleh jumlah gula tebu yang dijual oleh masing-masing PG di Provinsi Lampung. Produksi gula total yang dihasilkan oleh enam PG di Provinsi Lampung sebesar 80.4 % diperdagangkan untuk memenuhi kebutuhan di Provinsi Lampung sedangkan sisanya diperdagangkan di luar Provinsi Lampung. PTPN VII UU BUMA melakukan realisasi perdagangan antar pulau dari Provinsi Lampung 65
Tahun 2010 sebesar 600 ton (Dinas Koperindag, Provinsi Lampung, 2010) atau 0.82 % dari total produksi yang dihasilkan perusahaan tersebut. Sedangkan sebanyak 72 259 ton atau sekitar 99.19 % gula tebu PTPN VII UU BUMA dipasok ke berbagai daerah di Provinsi Lampung. Hal ini menunjukkan bahwa produksi gula PTPN VII UU BUMA sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan di Provinsi Lampung. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Perdagangan Gula di Provinsi Lampung dan Antar Pulau Tahun 2010 (Ton) No
Pabrik Gula
1
PTPN VII UU Bungamayang (BUMA) PT.Gunung Madu Plantations (GMP) PT. Gula Putih Mataram (GPM PT. Sweet Indo Lampung (SIL) PT. Indo Lampung Perkasa (ILP) PT Pemuka Sakti Manis Indah
2 3 4 5 6
Total
Total Produksi
Perdagangan Gula antar Pulau dari Prov.Lampung
Perdagangan Gula untuk Prov Lampung
72 859.20
600
72 259.20
193 643.95
20 534
173 109.95
129 373.98
4 204
125 169.98
126 957.96
45 880
81 077.96
80 112.76
57 800
22 312.76
57 830.00
300
57 530.00
660 777.85
129 318.00
531 459.85
Sumber : Dinas Koperindag, Provinsi Lampung, 2010 (Diolah) Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, 2010 Pangsa pasar menunjukkan kemampuan suatu perusahaan yang dapat mempengaruhi pesaing lainnya. Pangsa pasar dapat menunjukkan keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan. Pangsa pasar PTPN VII UU BUMA sebesar 13.60 % ( Tabel 23) yang berada pada urutan ke empat. Pangsa pasar perusahaan gula terbesar di Provinsi Lampung yaitu PT. Gunung Madu Plantations (GMP) sebesar 32.57 %. Pangsa pasar yang tinggi mencerminkan kekuatan (market power) suatu perusahaan di pasar dan mampu bersaing dengan perusahaan lainnya. Kompetitor/pesaing merupakan perusahaan yang memiliki pilihan
66
strategi yang secara langsung mempengaruhi satu dan lainnya (Besanko et al, 2010). PTPN VII UU BUMA merupakan satu-satunya perusahaan milik pemerintah sedangkan perusahaan lainnya merupakan milik swasta. Berdasarkan hal tersebut, industri gula di Provinsi Lampung didominasi pihak swasta dengan total pangsa pasar sebesar 86.40 %. Tabel 23. Pangsa Pasar Gula Tebu Perusahaan Gula di terhadap Provinsi Lampung tahun 2010 (%) Pabrik Gula Pangsa Pasar di Prov.Lampung No 1 PTPN VII UU Bungamayang (BUMA) 13.60 2 PT. Gunung Madu Plantations (GMP) 32.57 3 PT. Gula Putih Mataram (GPM 23.55 4 PT. Sweet Indo Lampung (SIL) 15.26 5 PT. Indo Lampung Perkasa (ILP) 4.20 6 PT Pemuka Sakti Manis Indah 10.82 Total 100 Sumber : Dinas Koperindag, Provinsi Lampung, 2010 (Diolah) Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, 2010
6.1.2. Konsentrasi Pasar Metode lainnya yang digunakan untuk menganalisis struktur pasar yaitu dengan melihat konsentrasi pasar. Konsentrasi pasar mengukur berapa jumlah output dalam sebuah industri yang diproduksi dari empat perusahaan terbesar dalam sebuah industri (Baye, 2010). Dalam mengukur konsentrasi rasio dapat menggunakan penerimaan penjualan atau kapasitas produksi (Besanko et al, 2010). Semakin besar keempat perusahaan, maka terdapat kecenderungan kekuatan dalam suatu pasar. Hal ini menimbulkan kecenderungan penentuan harga yang tidak seimbang. Empat perusahaan terbesar dalam industri gula di Provinsi Lampung tahun 2006 hingga 2010 yaitu PT.Gunung Madu Plantations (GMP), PT. Gula Putih Mataram (GPM), PT. Sweet Indo Lampung (SIL),
dan PT. Indo Lampung
67
Perkasa (ILP). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 24. Produksi PTPN VII UU BUMA berada pada posisi kelima dari enam perusahaan gula yang ada di Provinsi Lampung. Tabel 24 . Produksi Gula Propinsi Lampung Tahun 2008-2009 (Ton) N0
Perusahaan 2006
1 2 3 4 5 6
PTPN VII UU BUMA PT.Gunung Madu Plantations (GMP) PT. Gula Putih Mataram PT. Sweet Indo Lampung (SIL) PT. Indo Lampung Perkasa (ILP) PT Pemuka Sakti Manis Indah Total
2007
Tahun 2008
2009
2010
80 427.60
76 164.18
80 180.19
73 908.30
72 859.20
189 716.50
191 272.20
218 248.00
201 216.10
193 643.95
141 285.20
162 086.00
168 385.30
152 286.10
129 373.98
134 957.45
150 186.50
162 321.60
153 357.30
126 957.96
122 446.45
115 834.65
135 259.35
129 052.79
80 112.76
24 716.90
22 131.37
17 528.75
40 000.00
57 830.00
693 550.10
717 674.90
781 923.19
749 820.59
660 777.85
Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, 2010 Pengukuran tingkat konsentrasi perusahaan dalam suatu industri menurut Baye (2010) dapat dengan menggunakan Four Firm Concentration Ratio (C4) atau Herfindahl-Hirschman Index (HHI). C4 merupakan penjumlahan penjualan keempat perusahaan gula terbesar di Provinsi Lampung dibagi dengan total penjualan gula seluruh perusahaan di Provinsi Lampung. Pengertian lainnya C4 merupakan penjumlahan pangsa pasar keempat perusahaan terbesar dalam suatu industri. Sedangkan HHI merupakan penjumlahan kuadrat dari pangsa pasar perusahaan-perusahaan dalam suatu industri dikalikan dengan 10,000. Berdasarkan hasil analisis konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar di Provinsi Lampung tahun 2010 (Tabel 25) menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu 0.85. Artinya, empat perusahaan terbesar dalam industri gula di Provinsi Lampung memiliki nilai 85 % dari output total industri. Perusahaan tersebut yaitu
68
PT. Gunung Madu Plantations (GMP), PT. Gula Putih Mataram (GPM), PT. Sweet Indo Lampung (SIL), dan PTPN VII UU Bungamayang (BUMA). Nilai C4 yang mendekati nol maka diindikasikan berada pada pasar yang memiliki banyak penjual, yang memberikan peningkatan banyak persaingan antara produsen untuk menjualnya ke konsumen. Jika nilai C4 mendekati satu maka diindikasikan pasar terkonsentrasi dan mengalami persaingan yang kecil antar produsen untuk menjualnya ke konsumen (Baye, 2010). Maka, berdasarkan perhitungan C4 dapat disimpulkan bahwa pasar gula di Provinsi Lampung menghadapi pasar yang terkonsentrasi dengan tingkat persaingan yang kecil. Tabel 25. Konsentrasi Rasio Empat Perusahaan Terbesar di Provinsi Lampung Tahun 2010 (%) No Nama Perusahaan Penjualan di Provinsi Lampung 1 PT. Gunung Madu Plantations (GMP) 173 109.95 2 PT. Gula Putih Mataram (GPM) 125 169.98 3 PT. Sweet Indo Lampung (SIL) 81 077.96 4 PTPN VII UU Bungamayang (BUMA) 72 259.20 Total Penjualan di Prov.Lampung 531 459.85 C4 0.85 Sumber : Dinas Koperindag Provinsi Lampung, 2010 (Diolah) Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, 2010 Berdasarkan Tabel 26, nilai HHI industri gula di Provinsi Lampung bernilai 2 202. Baye (2010) mengemukakan bahwa nilai HHI berada diantara 0 - 10 000. Jika nilai HHI 0, maka terdapat perusahaan-perusahaan dalam industri yang sangat kecil. Namun, jika nilai diatas 0 hingga 10 000 mengindikasikan bahwa pangsa pasarnya bernilai 1. Artinya C4 berada pada sedikit persaingan antara produsen dan konsumen (pasar terkonsentrasi). Hal ini sesuai dengan kesimpulan pada analisis C4 bahwa pasar gula di Provinsi Lampung menghadapi pasar dengan tingkat persaingan yang kecil dengan sangat terkonsentrasi.
69
Tabel 26. Herfindahl-Hirschman Index (HHI) Industri Gula di lampung Tahun 2010 Pabrik Gula Penjualan di Pangsa No Prov.Lampung (Si) Pasar (wi) 1 PTPN VII UU Bungamayang (BUMA) 72 259.20 0.14 2 PT.Gunung Madu Plantations (GMP) 173 109.95 0.33 3 PT. Gula Putih Mataram (GPM 125 169.98 0.24 4 PT. Sweet Indo Lampung (SIL) 81 077.96 0.15 5 PT. Indo Lampung Perkasa (ILP) 22 312.76 0.04 6 PT Pemuka Sakti Manis Indah 57 530.00 0.10 Total Penjualan (ST) 531 459.85 HHI = 10 000 ∑wi2 2 202 6.1.3. Hambatan Masuk Pasar Hambatan masuk pasar dapat dilihat dengan banyak pesaing bermunculan untuk berpacu dalam mencapai target keuntungan yang diinginkan. Hambatan masuk pasar dianalisis untuk melihat banyaknya lembaga pemasaran yang dapat masuk untuk bersaing merebut pangsa pasar. Persaingan yang terjadi merupakan persaingan yang potensial dimana perusahaan-perusahaan di luar pasar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesaing yang sebenarnya. Adanya kesempatan dan peluang dalam melakukan bisnis memungkinkan banyak perusahaan baru yang masuk untuk menguasai pasar. Hambatan masuk pasar hal yang dimungkinkan terjadi dalam suatu struktur pasar. Hal tersebut dapat berupa penurunan kesempatan atau cepat masuknya pesaing baru. Masuknya lembaga pemasaran baru akan menimbulkan pesaing sekaligus ancaman bagi lembaga pemasaran yang sudah ada.
Hambatan masuk pasar dihitung dengan menggunakan Minimum Efficiency Scale (MES). MES diperoleh dari output/produksi perusahaan gula terbesar di Provinsi Lampung terhadap total output/produksi gula di Provinsi Lampung. Jika nilai MES > 10 % mengindikasikan terdapat hambatan masuk (Jaya, 2001). Berdasarkan hasil analisis, tahun 2006 hingga 2010 nilai skala
70
efisiensi maksimum industri gula di Provinsi Lampung lebih dari 10 % (Tabel 27). Hal ini mengindikasikan adanya hambatan masuk dalam perdagangan gula di Provinsi Lampung. Nilai MES cenderung berfluktuatif selama lima tahun tersebut. PT.Gunung Madu Plantations (GMP) sebagai perusahaan terbesar di Provinsi Lampung tahun 2006 hingga 2010 menghasilkan produksi gula yang fluktuatif sehingga menghasilkan MES yang fluktuatif pula. Hambatan masuk terbesar yaitu 29.31 % pada tahun 2010 dikarenakan total produksi di Provinsi Lampung paling rendah bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya (Tabel 27). Nilai rata-rata MES dari tahun 2006 hingga 2010 mencapai 27.61 % (Tabel 27). Angka tersebut merupakan patokan output minimal bagi pesaing baru untuk bersaing dalam industri gula di Provinsi Lampung. Jika pesaing baru memasuki industri gula di Provinsi Lampung dengan nilai dibawah rata-rata tersebut maka pesaing tersebut tidak dapat bersaing dengan perusahaanperusahaan yang telah ada. Jika pesaing baru tersebut tetap masuk, maka perusahaan tersebut harus menanggung biaya yang lebih tinggi untuk dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lainnya.
Tabel 27. Skala Efisiensi Maksimum (MES) Industri Gula di Provinsi Lampung Tahun 2006-2010 (%) No Tahun MES (%) Keterangan 1 2006 27.35 Ada Hambatan Masuk 2 2007 26.65 Ada Hambatan Masuk 3 2008 27.91 Ada Hambatan Masuk 4 2009 26.84 Ada Hambatan Masuk 5 2010 29.31 Ada Hambatan Masuk Rata-Rata 27.61 Ada Hambatan Masuk Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Lampung (Diolah), 2010
71
Berdasarkan analisis struktur pasar, industri gula tebu di Provinsi Lampung didominasi oleh perusahaan swasta dengan jumlah PG yang cenderung sedikit dan tingkat persaingan yang kecil serta terkonsentrasi. Selain itu, terdapat hambatan masuk bagi pesaing baru di industri gula tebu Provinsi Lampung. Berdasarkan hal tersebut, maka struktur pasar industri gula tebu di Provinsi Lampung cenderung membentuk pasar oligopoli.
6.2.
Analisis Perilaku Pasar (Market Conduct) Perilaku pasar di PTPN VII UU BUMA dianalisis secara deskriptif.
Perilaku pasar merupakan cerminan dari struktur pasar yang terbentuk. Analisis yang diamati yaitu pemasaran, kegiatan praktek penjualan dan pembelian, penentuan dan pembentukan harga, dan kerjasama lembaga pemasaran (Dahl dan Hammond, 1977).
6.2.1. Pemasaran Gula Tebu 6.2.1.1. Lembaga dan Praktek Fungsi Pemasaran Lembaga pemasaran merupakan pihak-pihak
yang terkait
dalam
penyaluran barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. Lembaga saluran pemasaran melaksanakan sejumlah fungsi kunci, seperti : a. Mengumpulkan informasi tentang konsumen dan calon konsumen, pesaing, dan pelaku lainnya di lingkungan pemasaran b. Membangun dan menyebarkan komunikasi persuasif untuk merangsang pembelian c. Mencapai persetujuan harga dan syarat jual beli sehingga transfer kepemilikan dapata dipengaruhi
72
d. Melakukan pemesanan ke perusahaan pabrik e. Mendapatkan dana untuk membiayai persediaan pada level saluran pemasaran yang berbeda-beda f. Menanggung risiko yang terkait dengan saluran g. Menyediakan penyimpanan dan perpindahan produk fisik melalui tahap yang berurutan h. Membantu pembeli membayar tagihannya melalui bank dan institusi keuangan lainnya i.
Melaksanakan transfer kepemilikan yang sebenarnya dari organisasi atau orang tertentu kepada orang lain. Analisis pihak-pihak yang terkait dengan pemasaran dilakukan dengan
mengidentifikasi peran seluruh lembaga pemasaran gula tebu. Adapun lembaga yang terlibat yaitu : a. Petani, yaitu petani tebu rakyat. Pengusahaan tebu di PTPN VII UU BUMA terdiri dari tebu sendiri, tebu rakyat, dan tebu rakyat bebas. Petani dari setiap pengusahaan tebu berbeda-beda. Tebu sendiri merupakan tebu milik pabrik gula. Tebu rakyat merupakan petani yang mendapat paket kredit dari bank melalui pabrik gula PTPN VII UU BUMA. Sedangkan tebu rakyat bebas adalah petani yang memiliki modal cukup besar sehingga tidak memerlukan paket kredit dari bank. b. Kelompok tani, yaitu gabungan dari petani tebu rakyat yang mendapat paket kredit dari pabrik gula PTPN VII UU BUMA c. Koordinator, yaitu perwakilan dari kelompok-kelompok tani yang dapat dipercaya. Selain itu, koordinator yang dipilih oleh beberapa kelompok tani
73
harus memiliki lahan sendiri dan tergabung dalam salah satu kelompok tani tersebut. Koordinator bertanggung jawab atas penjualan gula yang sebelumnya telah disepakati oleh sinka (sinder kepala-perwakilan dari PG) seluruh petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani d. Pabrik gula, yaitu perusahaan yang berfungsi sebagai avalis (penjamin) bagi bank yang memberikan paket kredit kepada petani tebu rakyat e. Pedagang besar, yaitu pedagang yang mendapatkan/membeli produk dari PG dalam jumlah besar, kemudian menyortasi, menyimpan, dan menjual kembali kepada distributor ataupun menjual langsung ke retail. Pedagang besar tersebut berasal dari beberapa wilayah di Provinsi Lampung seperti Kotabumi, Bandar Lampung, Dorowati Abung, dan Lampung Utara. f. Distributor yaitu pedagang yang membeli produk dari pedagang besar dan menjualnya langsung ke retail. Distributor bertugas menyalurkan gula dari pedagang besar ke retail g. Retail, yaitu pedagang pengecer yang dalam hal ini adalah pedagang di pasar dan warung lainnya yang menjual langsung gula tebu ke tangan konsumen. Fungsi pemasaran merupakan aktivitas-aktivitas yang ditampilkan oleh perusahaan atau organisasi ketika menciptakan nilai (value) secara spesifik untuk produk atau jasa yang ditawarkannya (Levens, 2010). Fungsi pemasaran dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu fungsi pertukaran (pembelian, penjualan), fungsi fisik (pengolahan, transportasi/pengangkutan, penyimpanan), dan fungsi fasilitas (standarisasi, penanggungan risiko, pembiayaan, informasi pasar) (Kohls dan Uhl, 2002). Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh setiap lembaga yang terlibat dalam pemasaran gula tebu yaitu :
74
a. Petani Petani Tebu Rakyat (TR) dalam pemasaran gula tebu bertindak sebagai produsen. Petani melakukan kegiatan budidaya tebu dimulai dari pengolahan lahan, cecah, dan penanaman bibit yang telah direkomendasikan oleh pabrik gula melalui Research & Development (R&D). Selanjutnya petani melakukan kegiatan pemupukan baik secara mekanis dan manual. Penanggulangan hama dan penyakitpun dilakukan dengan menyemprotkan herbisida menggunakan boom sprayer. Selanjutnya dilakukan proses penggemburan tanah dan penyemprotan zat pemacu pemasakan dengan unit traktor serta pesawat ultra light. Setelah pohon tebu cukup untuk ditebang, maka penebangan dilakukan baik secara manual & mekanis. Penebangan dapat dilakukan jika PTPN VII UU BUMA telah mengeluarkan Surat Berita Acara Tebang. Surat ini dapat keluar jika seluruh kelompok dan koordinator mengetahui bahwa tebu tersebut akan ditebang (panen). Selanjutnya dilakukan pengangkutan tebu ke PG dengan menggunakan truk. Truk yang telah mengantri di cane yard akan mengirimkan tebu ke PG untuk diolah menjadi gula. Gula tersebut kemudian di kemas oleh PG dan disimpan di gudang milik PG. Gula tersebut kemudian dibagi kepada petani dan PG. Sistem bagi hasil yang diperoleh PG dari hasil olah gula yaitu 34 % sedangkan petani 66 %. Jumlah bagi hasil gula tebu milik petani sebanyak 90 % dari total bagi hasil petani tersebut dijual ke pedagang besar (yang sebelumnya disimpan telebih dahulu di gudang milik PG) sedangkan 10 % nya disimpan sebagai natura. Penjualan gula dilakukan berdasarkan kesepakatan dari seluruh anggota dalam suatu kelompok tani. Berdasarkan hal tersebut petani melakukan fungsi pertukaran (penjualan
75
gula) dan fungsi fisik (transportasi/pengangkutan, penyimpanan). Alur produksi gula dapat dilihat pada Gambar 10.
Pengolahan Lahan
Cecah & Tanam Bibit
Pemupukan Mekanis
Pemupukan Manual
Tebang Manual
Penyemprotan ZPM
Penggemburan Tanah
Penyemprotan Herbisida
Tebang Mekanis
Antrian Truk Tebu
Cane Yard
Tebu Siap Olah
Gula Siap Dipasarkan
Gudang Gula
Gula Siap Kemas
Gula
Gambar 10. Alur Produksi Gula PTPN VII UU BUMA Sumber. PTPN VII UU BUMA Petani melakukan fungsi fasilitas yaitu berupa penanggungan risiko, pembiayaan, dan informasi pasar. Penanggungan risiko terjadi ketika petani menyimpan gula di gudang PG sebelum adanya kesepakatan penjualan antara petani dan pedagang besar. Semakin lama gula disimpan (tidak dijual karena menunggu harga jual yang sesuai) maka petani menanggung risiko kerusakan karena tidak adanya biaya penyimpanan di PG. Fungsi fasilitas lainnya yaitu pembiayaan berupa fasilitas kredit yang harus dibayar oleh petani berupa pokok dan bunga pinjaman setelah melakukan penjualan hasil produksi gula dan tetes. 76
Selanjutnya, fungsi fasilitas lainnya yaitu informasi pasar berupa harga. Petani mendapatkan informasi harga dari kelompok tani, koordinator, sinka, pedagang besar, dan informan lainnya. Informasi ini berguna untuk menentukan waktu penjualan gula.
b. Kelompok Tani Kelompok tani merupakan kumpulan dari petani tebu rakyat yang beranggotakan + 7 – 10 orang. Kelompok tani melakukan fungsi pertukaran yaitu penjualan gula ke pedagang besar. Jika seluruh petani yang tergabung dalam kelompok tani sepakat terhadap harga yang ditawarkan pedagang besar, maka penjualan gula akan dilakukan berdasarkan harga yang telah ditentukan. Fungsi fisik yang dilakukan kelompok tani yaitu sama dengan yang dilakukan petani. Hal ini dikarenakan dalam proses pengajuan paket kredit kepada bank melalui PTPN VII UU BUMA dilakukan secara kelompok. Hal ini menyebabkan kegiatan transportasi/pengangkutan dan penyimpanan dilakukan dalam kelompok. Fungsi fasilitas pada kelompok tani sama dengan yang dilakukan petani yaitu kegiatan penanggungan risiko, pembiayaan, dan informasi pasar. Penanggungan risiko berupa gula yang masih belum terjual dan disimpan di gudang milik PTPN VII UU BUMA menjadi tanggung jawab petani dan kelompok tani. Kegiatan pembiayaan yang dilakukan berupa paket kredit dari bank melalui PTPN VII UU BUMA. Petani akan mendapatkan fasilitas kredit jika tergabung dalam kelompok tani tebu rakyat PTPN VII UU BUMA.
77
Adapun alur kegiatan pembiayaan (paket kredit) pada kelompok tani yaitu sebagai berikut : 1) Pengajuan menjadi kelompok tani tebu rakyat PTPN VII UU BUMA a. Membuat Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang berisi sebagai berikut :
Surat pengajuan mengikuti Program Tebu Rakyat Intensifikasi kepada PTPN VII UU BUMA oleh kelompok tani
Rencana kebutuhan pupuk
Daftar nama petani dan luas lahan yang menjadi anggotanya
b. Pengukuran lahan petani dan pembuatan peta kebun c. Menyerahkan agunan kepada PTPN VII UU BUMA dan dibuatkan tanda terima agunan d. Untuk tanaman baru dibuatkan surat permintaan bibit kepada divisi penelitian dan pengembangan (Litbang) PTPN VII UU BUMA 2) Pengajuan kredit kepada pihak bank a. Surat pengajuan mengikuti Program Tebu Rakyat Intensifikasi kepada PTPN VII UU BUMA oleh koordinator kelompok tani b. Surat kuasa kelompok tani-kelompok tani kepada koordinator kelompok tani c. Surat kuasa koordinator kelompok tani kepada manajer PTPN VII UU BUMA (selaku avalis) untuk mengelola dana yang akan diterima dari pihak bank untuk disalurkan kepada kelompok tani sesuai kebutuhan d. Daftar kelompok tani, luas, dan kebutuhan dana yang diperlukan oleh kelompok tani
78
e. Penandatanganan akad kredit antara koordinator kelompok tani dengan pihak bank. Bank yang dimaksud yaitu Bank Agro, Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, ANTAM (PKBL). Bank memberikan kredit Rp 9 000 000 – Rp 17 000 000 per hektar. Bunga yang dibebankan tidak flat namun disesuaikan. Misalkan pinjaman yang mampu dikembalikan yaitu 125 hari, maka yang harus dibayarkan sejumlah 125/365 hari * 6%. 3) Penggunaaan biaya garap a. Pemakaian secara bertahap dan sesuai kebutuhan (sesuai dengan kemajuan pekerjaan) b. Pembiayaan meliputi pekerjaan persiapan, dan pengolahan lahan hingga kegiatan panen (tebang muat dan angkut) c. Harga satuan biaya perpekerjaan sesaui dengan kesepakatan d. Pencatatan pemakaian biaya garap dilakukan oleh PTPN VII UU BUMA dan diketahui oleh Kelompok Tani atau koordinator kelompok tani 4) Pengembalian pokok dan pinjaman a. Dilakukan pengembalian pokok dan bunga pinjaman setelah penjualan hasil produksi berupa gula dan tetes yang menjadi hak petani, dimana kegiatan penjualannya dilakukan oleh kelompok tani atau koordinator. b. Perhitungan jumlah pokok dan beban bunga pinjaman pada setiap kelompok tani dilakukan oleh PTPN VII UU Bungamayang sesuai dengan realisasi jumlah pemakaian pada setiap kelompok tani. Selain pembiayaan, kegiatan yang dilakukan kelompok tani yaitu memantau pergerakan harga gula melalui informasi pasar di tingkat internasional, nasional, dan provinsi. Namun, fluktuasi harga gula yang sangat cepat
79
menyebabkan petani dan kelompok tani untuk memutuskan secara cepat dan tepat apakah gula yang mereka miliki akan segera dijual atau disimpan dahulu menunggu hingga harga gula akan menguntungkan para petani.
c. Koordinator Beberapa kelompok tani tebu rakyat memiliki perwakilan yaitu koordinator. Koordinator dipilih oleh seluruh kelompok-kelompok tani. Koordinator dipilih harus memenuhi syarat yaitu memiliki lahan sendiri, anggota kelompok tani, memiliki jaringan yang luas dalam hal penjualan gula, dan dapat dipercaya oleh seluruh anggota kelompok tani. Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh koordinator sama dengan kelompok tani atau petani. Fungsi pertukaran yang dilakukan yaitu penjualan gula. Penjualan gula dilakukan jika seluruh petani yang terlibat dalam suatu kelompok tani telah menyepakati harga jual gula dengan pedagang besar. Fungsi fisik yang dilakukan yaitu transportasi/pengangkutan dan penyimpanan. Sedangkan fungsi fasilitas yang dilakukan yaitu penanggungan risiko, pembiayaan, dan informasi pasar. Koordinator melakukan akad kredit dengan pihak bank. Hal ini dikarenakan kelompok-kelompok tani telah memberi kuasa kepada koordinator kelompok tani kepada manajer PTPN VII UU BUMA (selaku avalis) untuk mengelola dana yang akan diterima dari pihak bank untuk disalurkan kepada kelompok tani sesuai kebutuhan. Selain itu, pencarian informasi harga melalui informasi pasar dilakukan oleh koordinator. Hal ini dikarenakan penjualan gula harus disepakati oleh seluruh anggota kelompok tani berdasarkan harga yang telah disepakati bersama.
80
d. Pabrik gula PTPN VII UU Bunga Mayang merupakan salah satu lembaga pemasaran gula tebu yang memiliki peran utama yaitu sebagai avalis (penjamin) paket kredit untuk petani tebu rakyat dengan pihak bank. Paket kredit yang ditawarkan kepada petani tebu rakyat yaitu perolehan bibit, pupuk (urea, TSP, dan KCL) dengan jumlah 9 kuintal/ha, dan tebang muat
angkut (TMA) dengan biaya
Rp 1 200 000/ha. Seluruh petani yang tergabung dalam kelompok tani yang mendapatkan paket kredit yaitu petani tebu rakyat yang harus membayar kredit tersebut sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dengan tingkat suku bunga flat yaitu 6 % per tahun. Petani yang mendapatkan fasilitas kredit diawasi oleh pihak PG yang disebut dengan sinder. Sinder mengawasi proses dari pemberian kredit, tanam (bibit & pupuk), tebang-muat-angkut (TMA), penggilingan tebu menjadi gula, hingga penjualan gula. Tebu yang digiling menjadi gula diukur tingkat rendemennya. Semakin tinggi rendemennya maka harga jual gula semakin tinggi karena kualitas yang semakin baik. PTPN VII UU BUMA Tahun 2010 rendemen gula di PG yaitu 7.78 dengan harga gula Rp 6 411 670/Ton. Selain itu, PG melakukan pemberian informasi pasar yaitu harga jual gula kepada koordinator melalui sinder. Pengembalian pokok dan bunga pinjaman dilakukan setelah penjualan hasil produksi berupa gula dan tetes yang menjadi hak petani, dimana kegiatan penjualannya dilakukan oleh kelompok tani atau koordinator. Perhitungan jumlah pokok dan beban bunga pinjaman pada setiap kelompok tani dilakukan oleh UU Bungamayang sesuai dengan realisasi jumlah pemakaian pada setiap kelompok tani. PG melakukan kegiatan penanggungan risiko dalam hal
81
pengembalian kredit petani dan penyimpanan gula di gudang. Berdasarkan hal tersebut, maka PG melakukan fungsi fasilitas yang meliputi standarisasi, penanggungan risiko, pembiayaan, dan informasi PTPN VII UU Bunga Mayang mengembangkan sistem kemitraan antara petani dan PG. Hal ini menyebabkan proses penjualan gula tebu diserahkan sepenuhnya kepada koordinator (yang telah mendapatkan persetujuan dari seluruh kelompok tani) dan pedagang besar. Dalam hal ini PG hanya bersifat mengawasi penjualan gula tetapi tidak terlibat langsung dalam kegiatan penjualan gula. Namun, PG melakukan penjualan gula bila gula tersebut milik PG. Sistem penjualannya melalui sistem lelang yang dianalisis pada pembahasan selanjutnya. Fungsi fisik yang yang dilakukan PG yaitu pengolahan tebu menjadi gula dan penyimpanan. Gula yang telah diolah kemudian dikemas untuk disimpan dan dipasarkan dengan merk PTPN VII Unit Usaha Bungamayang (Gambar 11). Berat bersih dari gula tersebut yaitu 50 kg. Sedangkan untuk pengangkutan/transportasi gula ke pedagang besar menggunakan sistem DO (Delivery Order) artinya pembeli mengambil langsung ke PG. Jadi, PG tidak melakukan pengangkutan gula ke pedagang besar.
Gambar 11. Gula PTPN VII UU BUMA
82
e. Pedagang Besar Pedagang besar merupakan pembeli gula langsung dari PG yang terdaftar di PTPN VII UU BUMA. Petani biasanya tidak mengetahui siapa pembeli gula mereka. Koordinator petani yang ditunjuk untuk menjual gula ke pedagang besar. Pedagang besar yang membeli gula dari petani berasal dari daerah di sekitar Provinsi Lampung. Pedagang besar umumnya datang ke pabrik gula jika akan membeli gula. Namun, saat ini antara koordinator petani dan pedagang besar melakukan transaksi dan kesepakatan melalui telepon. Selanjutnya dibuat surat perjanjian jual beli gula petani tebu rakyat antara koordinator dengan pembeli. Surat perjanjian berisi jumlah gula yang dibeli, harga per kilogram, syarat pembayaran, tujuan transfer, penerbitan SPPB (Surat Perintah Penyerahan Barang), syarat penyerahan barang, dan sanksi-sanksi. Syarat pembayarannya yaitu tunai. Sebelum barang diserahkan, Surat Perintah Setor (SPS) untuk harga gula diterbitkan oleh petani TR dengan batas waktu paling lambat satu hari setelah tanggal SPS. Jika lebih dari batas waktu yang ditetapkan maka dianggap batal. Tujuan transfernya yaitu ke rekening PTPN VII UU BUMA. Berdasarkan bukti dari bank, PG akan menerbitkan SPPB gula petani TR. Syarat penyerahan barang yaitu di loko gudang gula PTPN VII UU BUMA. Sanksinya jika pengambilan gula lebih dari batas waktu yang ditetapkan dalam SPPB, maka dikenakan sewa gudang per minggu @ Rp 250/kuintal gula. Gula yang telah dibeli oleh pedagang besar kemudian dibawa ke gudang masing-masing pedagang besar untuk kemudian di jual ke distributor. Berdasarkan hal tersebut, maka pedagang besar melakukan fungsi pertukaran yaitu pembelian gula dari koordinator petani melalui PG dan penjualan gula ke distributor dan retail.
83
Fungsi fisik yang dilakukan meliputi transportasi/pengangkutan gula dari PG ke gudang pedagang besar dan penyimpanan gula di gudang pedagang besar. Sedangkan fungsi fasilitas yang dilakukan yaitu penanggungan risiko dan informasi harga. Penanggungan risiko terjadi jika pengambilan gula lebih dari batas waktu yang ditetapkan, maka akan dikenakan sewa gudang. Pedagang besar sangat menentukan dalam penetapan harga jual gula. hal ini dikarenakan pedagang besar memiliki modal yang besar. Informasi harga akan diberikan kepada koordinator jika akan melakukan penjulan gula.
f. Distributor Distributor merupakan penyalur barang dari pedagang besar ke retail. Fungsi pertukaran yang dilakukan yaitu kegiatan pembelian gula dari pedagang besar dan penjualan gula ke retail. Pengemasan dan pemberian merek yaitu langsung dari PTPN VII UU BUMA seperti karung yang digunakan masih berlabel PG tersebut. Distributor pun transportasi/pengangkutan
dan
melakukan
penyimpanan.
Biaya
fungsi fisik seperti pengangkutan
yang
dikeluarkan oleh distributor yaitu Rp 75 000/Ton atau Rp 75/Kg. Fungsi lainnya yaitu melakukan fungsi fasilitas yaitu penanggungan risiko dan informasi pasar. Jika gula yang tidak terjual/rusak, maka akan dikembalikan ke distributor dengan gula yang baru. Informasi pasar berupa informasi harga dari dari pedagang besar. g. Retail (Pedagang Eceran) Retail dalam penelitian ini adalah pedagang eceran yang langsung menjual gula PTPN VII UU BUMA ke tangan konsumen. Pedagang eceran yang menjadi responden yaitu pedagang yang berada di kawasan Pasar Pagi dan Pasar Sentral.
84
Hal ini dikarenakan kedua pasar ini merupakan pasar acuan bagi Pemerintah Kabupaten Lampung Utara dan Provinsi Lampung dalam memantau pergerakan harga yang dibayarkan konsumen.
Tabel 28. Fungsi-Fungsi Tebu Lembaga Pemasaran a. Petani b. Kelompok Tani c. Koordinator
Pemasaran pada Setiap Lembaga Pemasaran Gula Fungsi Pemasaran Fungsi Pertukaran Fungsi Fisik Fungsi Fasilitas
d. Pabrik Gula
Fungsi Pertukaran Fungsi Fisik
Fungsi Fasilitas
e. Pedagang Besar
Fungsi Pertukaran Fungsi Fisik Fungsi Fasilitas
f. Distributor
Fungsi Pertukaran Fungsi Fisik Fungsi Fasilitas
g. Retail (Pedagang Pengecer)
Fungsi Pertukaran Fungsi Fisik
Keterangan Penjualan Transportasi/Pengangkutan Penyimpanan Penanggungan risiko Pembiayaan Informasi pasar Penjualan gula dengan di lelang Pengolahan Penyimpanan Standarisasi Penanggungan Risiko Pembiayaan Informasi pasar Pembelian Penjualan Transportasi/Pengangkutan Penyimpanan Penanggungan risiko Informasi pasar Pembelian Penjualan Transportasi/Pengangkutan Penyimpanan Penanggungan risiko Informasi Pasar Pembelian Penjualan Pengolahan (pengemasan) Penyimpanan
Fungsi pemasaran yang dilakukan yaitu fungsi pertukaran. Retail membeli gula dari distributor dan pedagang besar kemudian menjualnya kembali ke tangan konsumen. Retail tidak mengeluarkan biaya pengangkutan karena distributor
85
langsung mendatangi tempat transaksi dan langsung membawa produk tersebut. Selain itu, retail melakukan kegiatan pengolahan (pengemasan) dan penyimpanan yang termasuk dalam fungsi fisik. Adapun fungsi–fungsi pemasaran yang dilakukan oleh setiap lembaga pemasaran dapat dilihat pada Tabel 28.
6.2.1.2. Analisis Saluran Pemasaran Gula Tebu Saluran pemasaran merupakan suatu jaringan dari semua pihak yang terlibat dalam mengalirnya produk atau jasa dari produsen kepada konsumen (Levens, 2010). Kotler (2003) menyebutkan bahwa saluran pemasaran sebagai sekumpulan organisasi yang saling terkait dalam proses membuat produk atau jasa yang tersedia untuk dikonsumsi atau digunakan. Saluran pemasaran digunakan karena produsen kekurangan sumberdaya untuk melakukan pemasaran langsung ke tangan konsumen. Proses tersebut melibatkan perantara yang berperan dalam peningkatan efisiensi dan efektivitas keseluruhan saluran pemasaran (Levens, 2010). Saluran pemasaran yang berbeda akan memberikan keuntungan yang berbeda pula pada setiap lembaga pemasaran. Saluran pemasaran dianalisis dari produsen hingga ke tangan konsumen. Saluran pemasaran gula tebu PTPN VII UU BUMA dapat dilihat pada Gambar 12. Saluran pemasaran gula tebu PTPN VII UU BUMA terdiri dari dua saluran yaitu : a. Saluran 1 : Petani Kelompok Tani Koordinator Pabrik Gula Pedagang Besar Distributor Retail Konsumen b. Saluran 2. Petani Kelompok Tani Koordinator Pabrik Gula Pedagang Besar Retail Konsumen
86
Petani yang diwakili oleh koordinator menjual gula ke pedagang besar. Pedagang besar tersebut telah terdaftar di PG sehingga berada dalam pengawasan PG. Pedagang besar melakukan penjualan melalui distributor atau langsung ke retail. Selanjutnya distributor dapat melakukan penjualan gula tersebut hingga ke tangan konsumen.
Petani Kelompok Tani
Lelang
Pabrik Gula
Koordinator 100%
Saluran 1
Pedagang Besar
Saluran 2 12.5 %
87.5% Distributor 100% Retail 100% Konsumen
Keterangan : : PG sebagai avalis (penjamin kredit) & Alur pengolahan tebu menjadi gula : Alur penjualan gula dari produsen ke konsumen : Penyerahan gula petani ke pedagang besar dari gudang PG setelah seluruh petani (diwakili koordinator) sepakat untuk menjual gula & pembayaran sudah dilakukan oleh pedagang besar
Gambar 12. Saluran Pemasaran Gula Tebu PTPN VII UU BUMA
87
6.2.2. Kegiatan Praktek Penjualan dan Pembelian Petani tebu rakyat di PTPN VII UU BUMA merupakan petani yang tergabung dalam suatu kelompok tani. Kelompok-kelompok tani tersebut kemudian memilih koordinator dengan syarat yaitu orang yang dapat dipercaya, memiliki lahan sendiri, memiliki kemampuan dalam menjual gula, memiliki jaringan/akses terhadap pembeli gula serta tergabung dalam salah satu anggota kelompok tani. Kelompok-kelompok tani mendapatkan paket kredit (bagi petani tebu rakyat) dari bank dengan avalis (penjamin) nya yaitu pabrik gula (PTPN VII UU BUMA). Kelompok tani tidak melakukan proses pembelian gula namun melakukan penjualan gula untuk membayar paket kredit. Jika telah membayar paket kredit tersebut, maka kelompok-kelompok tersebut dapat mengajukan permohonan kredit kembali untuk masa tanam berikutnya. PTPN VII UU BUMA melakukan sistem kemitraan dengan kelompokkelompok tani tebu rakyat. Sistem bagi hasil dilakukan bagi PG dan kelompok tani tebu rakyat. Bagi hasil gula yang ditetapkan yaitu 34 % untuk PG dan 66 % untuk kelompok tani. Tebu yang telah dipanen dengan jumlah 4 602 ku tebu dari lahan seluas 7.3 Ha akan menghasilkan gula sebanyak 295.54 ku dengan tingkat rendemen tertentu dan menghasilkan tetes sebanyak 117.30 ku. Maka, gula yang akan diperoleh PG sebanyak 100.48 kg dan kelompok tani sebanyak 195.06 kg Gula milik PG sebanyak 34 % yang merupakan bagian dari bagi hasil dijual dengan mekanisme lelang. Proses lelang gula hasil gilingan PTPN VII UU BUMA dilakukan di kantor direksi (Kandir) PTPN di Jakarta. Panitia lelang membuat surat undangan lelang kepada para peserta. Peserta tidak diwajibkan datang, bisa melalui perwakilan atau faksimili. Namun, biasanya lebih diutamakan
88
bagi peserta lelang yang hadir. Umumnya peserta lelang adalah para pedagang besar yang memiliki modal besar. Masing-masing peserta lelang memberikan harga penawaran di dalam amplop tertutup kemudian diberikan kepada panitia tim lelang. Selanjutnya panitia akan membuka amplop yang berisi harga penawaran masing-masing peserta dan menjelaskannya kepada forum. Peserta yang memberikan harga tertinggi dan hadir maka akan menjadi pemenang lelang. Jika harga yang diharapkan direksi berbeda dengan hasil lelang, maka dilakukan negosiasi kembali dengan pihak yang menang. Jika tidak terjadi kesepakatan, maka lelang dapat dibatalkan. Namun, jika terjadi kesepakatan maka pihak direksi akan memberikan DO sesuai dengan yang sudah dibayar pemenang lelang.Setelah itu, pihak direksi menerbitkan surat perintah kepada pihak direksi cabang (PTPN VII di Lampung) dan PG (PTPN VII UU BUMA) untuk mengeluarkan gula dalam kurun waktu satu minggu. Gula milik kelompok tani sebanyak 195.06 kg (66 % bagian petani) tidak seluruhnya dijual namun disimpan sebagai natura (untuk dikonsumsi). Jadi, 90 % gula untuk dijual dan 10 % sebagai natura. Gula yang dijual kelompok tani hanya 175.50 kg sedangkan yang disimpan untuk natura yaitu 19.56 kg. Jumlah gula yang dijual oleh kelompok tani dikalikan dengan harga gula yang berlaku. Penerimaan kelompok tani dari hasil penjualan gula kemudian dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh kelompok tani kepada PG seperti karung, finalti tebu trash, pinalti rendemen, finalti tebu bakar, dan lain-lain. Selain itu, penerimaan tersebut dikurangi pula dengan pinjaman (paket kredit) pada periode masa tanam tertentu. Adapun pinjamannya berupa pupuk, bibit, perawatan, tebang muat angkut (TMA). Selain itu, tidak hanya pokok pinjaman dari paket kredit
89
tetapi bunga pinjamannya harus dibayar oleh kelompok tani sebesar 6 %. Perhitungan bunga ini disesuaikan dengan jumlah waktu pengembalian. Misalnya, waktu pengembalian yaitu 125 hari. Maka perhitungan bunga yaitu 125 hari dibagi dengan 365 hari (jumlah hari dalam satu tahun) kemudian dikalikan dengan 6 %. Maka, bunga yang harus dibayar yaitu sejumlah tersebut dikalikan dengan pokok pinjaman. Adapula biaya yang harus dibayar kelompok tani setelah menerima hasil penjualan yaitu sekitar 2 - 5 % dari penjualan gula yang harus diserahkan pada desa setempat tergantung kesepakatan setiap kelompok tani. Hal ini sebagai pemasukan bagi desa tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka akan diperoleh pendapatan kelompok tani yang kemudian akan dibagi pada setiap petani sesuai dengan proporsi jumlah gula yang dihasilkan masing-masing petani. Penjualan gula dari sejumlah petani (diwakili koordinator) ke pedagang besar dilakukan setelah adanya kesepakatan dari seluruh anggota kelompokkelompok tani. Pedagang besar yang dapat membeli gula petani adalah pedagang besar yang telah terdaftar di PTPN VII UU BUMA. Koordinator dapat mencari pembeli gula yang dapat membeli gula petani dengan harga yang sesuai. Koordinator mendapatkan informasi harga jual gula dari pedagang besar, koordinator lain, internet, PG, dan informasi lainnya. Dalam hal ini PG menyarankan agar petani tidak menjual gula dibawah harga Rp 8 000/kg. Hal ini untuk menghindari kerugian dari petani. HPP gula tahun 2011 yaitu Rp 7 000/Kg sehingga petani dapat membayar kredit tersebut kepada bank dan mendapat keuntungan dari kegiatan usaha tersebut. Beberapa tahun yang lalu, penjualan gula milik petani pada awalnya dilakukan dengan mekanisme lelang yang difasilitasi oleh PG, namun dalam
90
proses lelang yang dilakukan tidak pernah berhasil untuk mencapai kesapakatan harga. Beberapa alasan lelang tersebut tidak berhasil: (1) harga yang ditawarkan pembeli terlalu murah, dan (2) ada syarat minimal jumlah yang harus dibeli oleh pedagang, dan harus dipenuhi oleh petani. Sehingga kadang jumlah ini sulit dipenuhi oleh petani. Akibat dari pelaksanaan sistem penjualan ini yang tidak berlangsung dengan lancar. Maka akhirnya dibuat sistem penjualan baru dimana petani dapat menjual langsung ke padagang besar. Petani dapat menentukan waktu penjualan gula jika sesuai dengan harga yang ditetapkan. Penentuan harga jual ini masih didominasi oleh pedagang besar meskipun petani memiliki keleluasaan untuk menjual gula kapanpun. Namun, semakin lama gula tersebut disimpan di gudang PG, maka semakin lama pula mereka tidak mendapatkan uang untuk membayar kredit dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika kredit tersebut dapat dilunasi, maka kelompok-kelompok tani akan segera mendapatkan fasilitas kredit selanjutnya untuk musim awal tanam yang baru. Kesepakatan penjualan telah terjadi jika kedua belah pihak (koordinator petani dan pedagang besar) telah menandatangani surat perjanjian jual beli gula petani tebu rakyat yang dibuat oleh PG. Kedua belah pihak sepakat melaksanakan jual beli gula milik petani tebu rakyat di PTPN VII UU BUMA dengan penentuan jumlah dan harga/kg. Pembayaran tunai dapat dilakukan oleh pedagang besar paling lambat satu hari setelah tanggal surat perintah setor (SPS) gula ditandatangani. Jika lebih dari itu, maka penjualan dianggap batal. Pedagang besar mentransfer uang tersebut ke rekening PTPN VII BUMA dengan menyerahkan bukti transfer dari bank. Berdasarkan bukti dari bank, PG akan menerbitkan surat penyerahan barang (gula) petani tebu rakyat. Apabila pengambilan gula oleh
91
pedagang besar lebih dari batas waktu yang ditetapkan, maka dikenakan sewa gudang per minggu Rp 250/kuintal gula. Biaya lain yang dikeluarkan pedagang besar adalah biaya pengangkutan. Pedagang besar dapat menjual gula yang dibeli dari PG langsung ke distributor atau langsung ke pengecer. Pedagang besar yang menjual langsung ke pengecer biasanya yang memiliki jumlah gula yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan pedagang besar lainnya. Gula yang dibeli oleh distributor ataupun pengecer akan diangkut oleh pedagang besar sampai ke tempat. Hal ini menimbulkan biaya pengangkutan yang ditanggung oleh distributor. Biaya angkut mencapai Rp 75 000/ton gula atau Rp 75/kg gula. Distributor dapat menjual gula langsung ke pengecer tanpa merubah packaging dari gula tersebut. Sehingga tidak ada biaya pengemasan. Penjualan gula yang dilakukan distributor ke pengecer menimbulkan biaya pengangkutan. Biaya ini ditanggung oleh pengecer sebesar Rp 75/kg gula. Gula diangkut hingga ke kios-kios yang ada di pasar. pengecer melakukan pengemasan dengan ukuran yang lebih kecil yaitu 1 kg, ½ kg, ¼ kg, 1 ons gula pasir. Hal ini menimbulkan biaya pengemasan. Berat gula dalam satu karung gula PTPN VII UU BUMA yaitu 50 kg. Biaya pengemasan satu karung gula menjadi ukuran yang lebih kecil menimbulkan biaya pengemasan Rp 4 000/karung gula atau Rp 80/kg gula. Jadi, gula yang dijual oleh pengecer ke konsumen sudah memperhitungkan biaya-biaya yang dikeluarkan. Berdasarkan hal tersebut maka yang melakukan proses pembelian gula yaitu pedagang besar, distributor, dan retail (pedagang eceran). Sedangkan yang melakukan kegiatan penjualan gula yaitu petani-kelompoktani-koordinator, pabrik gula, pedagang besar, distributor, dan retail (pedagang pengecer). Kegiatan
92
penjualan dan pembelian gula setiap lembaga pemasaran dapat dilihat pada Tabel 29 Tabel 29. Kegiatan Penjualan dan Pembelian Gula Setiap Lembaga Pemasaran Lembaga Pemasaran Bentuk Kegiatan No Pembelian Penjualan 1 Petani x √ Kelompok Tani Koordinator 2 Pabrik Gula x √ 3 Pedagang Besar √ √ 4 Distributor √ √ 5 Retail (Pedagang Pengecer) √ √ 6.2.3. Penentuan dan Pembentukan Harga Penentuan harga gula di tingkat petani merupakan hal yang penting untuk dianalisis. Petani tebu rakyat dapat mengatur lahannya sendiri dan peran PG sebagai avalis (penjamin) kredit bank bagi petani. Oleh karena itu, PG sebatas pada penyedia fasilitas kredit dan penggilingan/pengolahan. Bagi hasil yang diperoleh petani yaitu sebesar 66 % sedangkan bagi pabrik sebesar 34 %. Bagi hasil yang diperoleh petani sebesar 66 % tidak dijual seluruhnya melainkan hanya 90 % dari bagi hasil petani yang dijual. Sedangkan 10 % dari 66 % digunakan petani sebagai natura. Penentuan pendapatan di tingkat petani diawali dengan penentuan jumlah gula yang akan di jual petani. Penentuannya yaitu dengan mengalikan seluruh komponen ini yaitu jumlah ton tebu ketika panen, rendemen gula, faktor konversi sesuai dengan ketetapan yaitu 1.003, persentase hasil bagi petani sebesar 66 %, dan persentase gula yang dijual yaitu 90 %. Selanjutnya, pendapatan petani diperoleh melalui jumlah gula yang dijual petani dikali dengan harga gula yang telah disepakati oleh petani dan pedagang besar ketika penentuan transaksi jual beli gula. Berdasarkan hal tersebut, maka
93
secara ringkas rumusnya dapat dilihat di bawah ini. Penentuan pendapatan di tingkat petani yaitu :
Jumlah gula yang dijual petani (kg) = Ton Tebu x Rendemen (%) x faktor (1.003) x hasil bagi petani (66%) x yang diberikan bagi petani (90%)
Pendapatan Petani (Rp) = Jumlah gula yang dijual petani (kg) x harga gula (Rp/kg)
Rendemen ditentukan berdasarkan pengukuran laboratorium. Rendemen yang tinggi akan memberikan kualitas gula yang baik. Hal ini menyebabkan semakin tinggi harga jual gula jika tingkat rendemennya meningkat dan sebaliknya. Jika sudah diketahui jumlah gula yang akan dijual, maka penentuan harga gula dilakukan antara petani yang diwakili koordinator dengan pedagang besar. Koordinator akan mencari pedagang besar yang dapat memberikan harga yang sesuai dengan keinginan para petani. Koordinator dapat memantau harga harga internasional, harga domestik, dan harga di Provinsi Lampung. Koordinator mendapatkan informasi harga jual gula dari pedagang besar, koordinator lain, internet, PG, dan informasi lainnya. Dalam hal ini PG menyarankan agar petani tidak menjual gula dibawah harga Rp 8 000/kg. Hal ini untuk menghindari kerugian dari petani. HPP gula tahun 2011 berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 11/M-DAG/PER/5/2011 yaitu Rp 7 000/kg. Penentuan HPP ini dimaksudkan untuk menjamin pendapatan petani tebu dan industri gula. Adanya fluktuasi harga gula menyebabkan perubahan harga setiap waktu. Oleh karena itu, koordinator bersifat menunggu hingga harga telah sesuai dengan petani. Namun, kondisi tersebut tidak akan dilakukan jika petani menginginkan gula tersebut untuk segera dijual meskipun dengan keuntungan yang sangat tipis dikarenakan kebutuhan yang sangat mendesak. Hal ini menunjukkan bahwa peran
94
pedagang besar sangat besar dalam menentukan harga kepada petani. Pedagang besar cenderung dapat mempermainkan harga petani. Hal ini menyebabkan petani mendapatkan insentif yang sedikit dan pada akhirnya cenderung meninggalkan usahatani tebu. Hal ini ditunjukkan oleh menurunnya jumlah petani tebu rakyat di PTPN VII UU BUMA tahun 2008 mencapai 10 134 orang menjadi 7 820 orang di tahun 2010 (PTPN VII UU BUMA, 2011). Penentuan harga pembelian gula di tingkat pedagang besar didasarkan pada harga penjualan di tingkat petani. Penentuan harga di tingkat pedagang besar juga berdasarkan informasi harga dari harga internasional dan harga domestik. Pedagang besar memiliki kekuatan dalam menentukan harga beli pada petani. Hal ini dikarenakan jumlah pembeli gula (pedagang besar) yang sedikit sehingga petani cenderung mengikuti harga yang telah ditetapkan pedagang besar. Harga jual gula di tingkat pedagang besar setelah memperhitungkan biaya-biaya yang telah dikeluarkan. Pada umumnya pedagang besar menjual gula ke distributor, namun adapula pedagang besar yang menjual ke tangan konsumen. Pedagang besar yang menjual langsung ke retail merupakan pedagang yang membeli gula dari petani dalam partai yang tidak terlalu besar sehingga dia akan menjualnya langsung ke retail-retail yang ada di Provinsi Lampung. Distributor yang membeli gula dari pedagang besar melakukan pembelian gula berdasarkan harga jual yang ditetapkan pedagang besar. Namun, negosiasi masih dapat dilakukan jika distributor tersebut membeli dalam jumlah banyak, frekuensi tinggi, dan sistem kepercayaan satu sama lain. Distributor menjual gula ke retail telah memperhitungkan harga beli gula dari pedagang besar, biaya-biaya, dan keuntungan.
95
Penetapan harga beli gula di retailer berdasarkan pada harga jual yang ditetapkan oleh distributor atau pedagang besar. Harga beli gula dari distributor relatif lebih tinggi dibanding dengan membeli langsung dari pedagang besar. Hal ini tergantung pada lembaga pemasaran yang terlibat. Adanya kekuatan pedagang besar dalam menentukan harga beli gula di tingkat petani berpengaruh pada harga di tingkat retail. Semua lembaga pemasaran yang terlibat akan mengeluarkan biaya dan keuntungan. Harga yang dibayarkan konsumen lebih tinggi dari harga yang berikan produsen (petani) karena adanya proses pengolahan yang meningkatkan added value. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa praktek penentuan harga gula dimulai dari pembentukan dan penentuan harga tingkat petani, pedagang besar, distributor, hingga retail.
6.2.4. Kerjasama Lembaga Pemasaran Petani yang memutuskan menjadi petani tebu rakyat secara umum dikarenakan beberapa faktor seperti modal, akses lahan ke PG, dan faktor pengalaman. Petani tebu rakyat merupakan petani yang memiliki keterbatasan modal sehingga mereka membutuhkan biaya untuk kegiatan budidaya tebu. Selain itu, adanya kemudahan akses lahan yang ditempuh merupakan faktor yang berperan dalam keputusan petani bermitra dengan PG. Faktor pengalaman bermitra dengan PG merupakan faktor lain keputusan bagi petani masuk dalam petani tebu rakyat. Kerjasama atau kemitraan yang terjalin antara petani tebu rakyat dengan PTPN VII UU BUMA menciptakan hak dan kewajiban bagi petani tebu rakyat (Tabel 30).
96
Tabel 30. Hak dan Kewajiban A. Petani Tebu Rakyat melalui Kelompok Tani terhadap PTPN VII UU BUMA Hak Kewajiban 1. Mendapatkan paket kredit yang 1. Mengikuti alur kegiatan pembiayaan ditawarkan meliputi persiapan, tebu rakyat yang ditetapkan PTPN pengolahan lahan, hingga panen dari VII UU BUMA bank melalui PTPN VII UU BUMA 2. Penyerahan agunan kepada PG sesuai dengan luas lahan yang disetujui 3. Melakukan usahatani tebu sesuai 2. Memperoleh dari sistem bagi hasil ; dengan bimbingan dan pengawasan a. 66 % gula hasil tebu yang diolah PG b. 2.5 % tetes 4. Seluruh tebu yang dipanen diolah 3. Mendapatkan bimbingan dan dan kemudian dilakukan bagi hasil pengawasan dari PG mulai dari antara petani dan PG persiapan, budidaya, panen, 5. Pengembalian pokok dan pinjaman penggilingan, dan penjualan kredit setelah penjualan hasil 4. Mendapatkan jaminan bahwa kredit produksi berupa gula dan tetes. dapat dikembalikan karena adanya perhitungannya sesuai dengan bimbingan dan pengawasan PG realisasi jumlah pemakaian (biaya 5. Mengetahui jadwal penebangan, yang digunakan) setiap kelompok tingkat rendemen, jumlah gula, dan tani jumlah tetes yang dihasilkan 6. Petani tidak diperkenankan untuk 6. Mengetahui pencatatan pemakaian menyerahkan tebunya ke pabrik gula biaya garap oleh PG lain yang bukan mitranya B. PTPN VII UU BUMA terhadap Petani Tebu Rakyat melalui Kelompok Tani Hak Kewajiban 1. Menentukan kelompok tani yang 1. Melakukan proses seleksi terhadap berhak memperoleh pembiayaan tebu kelompok tani yang mengajukan rakyat (paket kredit) pembiayaan tebu rakyat 2. Memperoleh dari sistem bagi hasil: 2. Mengelola dana & menyalurkan paket a. 34 % gula hasil tebu yang diolah kredit bagi kelompok tani yang b. Tetes mengikuti alur pembiayaan tebu rakyat 3. Memperoleh agunan milik petani sesuai dengan kebutuhan petani 3. Melakukan pengukuran lahan petani dan membuat peta kebun 4. PG berperan sebagai avalis (penjamin) bagi bank bahwa kredit yang diberikan pada petani dapat dikembalikan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan 5. Melakukan bimbingan dan pengawasan mulai dari persiapan, budidaya, panen, penggilingan, dan penjualan 6. Memberikan jadwal penebangan, tingkat rendemen, jumlah gula, dan jumlah tetes yang dihasilkan 7. Pencatatan biaya garap dilakukan oleh PG
Petani tebu rakyat tergabung dalam kelompok tani. Peran kelompok tani diantaranya yaitu perolehan kredit dan kegiatan usahatani tebu bagi petani tebu rakyat, memberikan keputusan pada koordinator ketika akan melakukan penjualan 97
gula, dan lainnya. Petani harus mengikuti alur kegiatan pembiayaan tebu rakyat yang ditetapkan PTPN VII UU BUMA. Hal ini dimaksudkan agar petani dapat memperoleh hak dalam perolehan paket kredit dari bank. Kemitraan merupakan hal yang harus menguntungkan kedua belah pihak baik petani maupun PG. Kemitraan antara petani dan PG menimbulkan hak dan kewajiban bagi PG. hak dan kewajiban tersebut menjadi acuan bagi kedua pihak agar dapat menjalankan kemitraan dengan baik. PG berfungsi sebagai avalis (penjamin) kegiatan kredit bagi petani yang diberikan bank. Oleh karena itu, PG berkewajiban untuk menentukan kelompok yang mendapat kredit, pengawasan kegiatan usahatani hingga penjualan, dan pengelolaan dana kredit. Setelah gula siap untuk dijual, maka koordinator petani bertugas untuk mencari pembeli gula dan mewakili para petani untuk menjualkan gula mereka. Koordinator akan mendapatkan fee dari kelompok sebesar 0.2 % - 0.5 % dari hasil penjualan. Penentuan nilai ini didasarkan pada kesepakatan kelompok-kelompok tani. Koordinator mencari pembeli atau pedagang besar yang telah terdaftar identitasnya di PG. Hal ini dimaksudkan agar petani mendapatkan jaminan bahwa gula yang mereka jual telah dibeli oleh pedagang besar yang memiliki kepercayaan dalam hal pembayaran. Pembayaran dilakukan pedagang besar kepada rekening PTPN VII UU BUMA dengan batas waktu paling lambat satu hari setelah adanya Surat Perintah Setor (SPS) dari PG. Jika lebih dari batas waktu tersebut maka kegiatan jual beli dianggap batal. Pembayaran pedagang besar ke petani melalui rekening PG dilakukan secara cepat (satu hari). Namun, petani tidak mendapatkan uang langsung dari hasil penjualan gula ketika pedagang besar membayarkannya. Petani biasanya
98
harus menunggu tiga sampai lima bulan untuk pencairan hasil penjualan gula. Hal ini yang menjadi kelemahan program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) atau pemberian paket kredit pada petani tebu rakyat. Petani harus mencari penghasilan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama belum diterimanya pencairan dana hasil penjualan gula. Jika dana tersebut telah cair, maka petani wajib membayar pokok pinjaman dan bunga kredit kepada bank melalui PG. Selanjutnya bank dapat memberikan kredit kembali kepada kelompok tani tersebut untuk musim tanam berikutnya.
Berdasarkan hal tersebut, terdapat
hubungan kerjasama antara petani, PG, bank, dan pedagang besar. Namun, permasalahan tenggat waktu pencairan dana hasil penjualan gula petani yang cukup lama kurang menguntungkan petani. Lembaga pemasaran lainnya seperti distributor dan retail tidak ada keterikatan khusus dalam hal penjualan atau pembelian sehingga lembaga pemasaran satu bebas melakukan penjualan gula ke lembaga pemasaran lainnya. Namun, mereka biasanya melakukan kegiatan penjualan atau pembelian berdasarkan prinsip saling ketergantungan dan saling menguntungkan. Analisis perilaku pasar yang telah dijelaskan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat lembaga pemasaran yang cenderung dominan dalam pelaksanaan kegiatan pemasaran. Lembaga pemasaran tersebut yaitu pedagang besar. Kegiatan pembelian gula milik petani yang dilakukan oleh pedagang besar cenderung menimbulkan kolusi oleh pedagang besar yang menyebabkan penentuan harga gula petani didominasi pihak tersebut. Kurangnya peran kelompok tani dalam kegiatan penjualan gula petani menyebabkan bargaining power petani yang semakin lemah.
99
6.3.
Analisis Kinerja Pasar (Market Performance)
6.3.1. Marjin Pemasaran Marjin pemasaran merupakan perbedaan harga di tingkat konsumen (retail) dengan harga yang diterima petani (Tomek dan Robinson, 1990). Marjin disetiap lembaga pemasaran merupakan perbedaan antara harga jual dengan harga beli pada lembaga tertentu. Marjin pemasaran merupakan perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dan harga yang diterima produsen (Hudson, 2007). Analisis marjin pemasaran dilakukan mulai dari petani-kelompok tanikoordinator, pedagang besar, distributor, dan retail (Tabel 31). Terdapat dua saluran pemasaran gula yaitu 1) petani-kelompok tani-koordinator, pedagang besar, distributor, retail, dan 2) petani-kelompok tani-koordinator, pedagang besar, retail. Petani yang tergabung dalam kelompok tani akan menjual gula melalui koordinator kelompok tani. Petani tebu rakyat di PTPN VII UU BUMA merupakan petani yang mendapatkan fasilitas kredit dari bank dan PG sebagai avalisnya. Oleh karena itu, PG dan petani merupakan mitra yang saling bekerjasama. PG mengawasi kegiatan budidaya petani hingga proses penjualan gula. Namun, PG tidak berperan langsung dalam penjualan gula milik petani. Artinya, PG tidak memiliki kewenangan terhadap penjualan gula petani. Petani bebas melakukan penjualan kepada pedagang besar baik pedagang yang tercantum di PG atau tidak. Namun, dalam prakteknya seluruh petani tebu rakyat PTPN VII UU BUMA melakukan penjualan gula ke pedagang besar yang terdaftar di PTPN VII UU BUMA. Hal ini dikarenakan identitas pedagang besar diketahui oleh PG sehingga jika terjadi moral hazard dalam pelaksanaan jual beli antara petani yang diwakili koordinator kelompok tani dengan pedagang besar
100
maka akan mudah bagi PG untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Oleh karena itu, harga jual gula petani di kedua saluran pemasaran sama yaitu Rp 8 148/kg. Pedagang besar membeli gula dari petani di kedua saluran pemasaran dengan harga yang sama yaitu Rp 8 148/kg. Pedagang besar dapat mengambil gula milik petani di gudang milik PG dengan batas waktu tertentu sesuai Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB). Apabila pengambilan gula lebih dari batas waktu yang ditetapkan dalam SPPB maka dikenakan sewa gudang per minggu @ Rp 250/kuintal gula. Pada perhitungan marjin, diasumsikan pedagang besar mengambil gula pada waktunya sehingga tidak dibebankan biaya gudang. Pada saluran pertama, biaya yang harus ditanggung pedagang besar yaitu biaya transportasi Rp 120/kg atau Rp 120 000/ton. Biaya bongkar muat bagi tenaga kerja yaitu Rp 50/kg atau Rp 2 500/karung gula PTPN VII UU BUMA dengan berat 50 kg/karung. Biaya susut gula Rp 40/kg atau Rp 2 000/karung dengan harga jual yaitu Rp 8 850. Sedangkan di saluran kedua, yang membedakan hanya biaya susut yaitu Rp 43/kg atau Rp 2 150/karung dan harga jual Rp 8 875/kg. Maka, keuntungan yang diperoleh pedagang besar pada saluran pertama yaitu Rp 492/kg atau Rp 24 600/karung gula serta marjin yang diperoleh yaitu Rp 702/kg. Keuntungan dan marjin pedagang besar di saluran kedua lebih besar dibandingkan pada saluran satu karena harga jual lebih tinggi meskipun dengan biaya yang lebih tinggi pula. Distributor pada lembaga pemasaran satu membeli gula dari pedagang besar. Distributor menanggung biaya transportasi untuk mengambil gula dari pedagang besar dengan biaya Rp 75/kg. Biaya bongkar muat dan susut sebesar Rp 40/kg. Harga jual gula di tingkat distributor yaitu Rp 9 247/kg. Berdasarkan
101
hal tersebut, maka keuntungan distributor yaitu Rp 422/kg dan marginnya yaitu Rp 577/kg. Pada lembaga pemasaran dua, pedagang besar menjual gula langsung ke retail sehingga pada saluran ini distributor tidak berperan dalam lembaga pemasaran dua. Retail/pengecer pada saluran pemasaran satu membeli gula dari distributor. Distributor mengantarkan barang hingga ke kios-kios. Pada saluran pemasaran dua, retailer membeli langsung dari pedagang besar. Sehingga harga beli gula di tingkat retail pada kedua saluran pemasaran berbeda satu sama lain. Biaya yang dikeluarkan pengecer yaitu biaya transportasi, bongkar muat, dan pengemasan. Biaya transportasi, bongkar muat, dan pengemasan di saluran pemasaran satu sama dengan saluran dua. Gula yang dibeli dari distributor dan pedagang besar masih dalam bentuk 50 kg/karung sedangkan untuk dijual kembali ke konsumen akhir dikemas dalam bentuk yang lebih kecil. Biaya pengemasan gula di tingkat retail yaitu Rp 80/kg. Gula yang dijual pengecer ke konsumen telah memperhitungkan biaya yang dikeluarkan. Keuntungan saluran satu lebih kecil dibandingkan saluran dua. Keuntungan retail di saluran satu yaitu Rp 1 119/kg dan keuntungan disaluran dua Rp 1 540/kg. Selisih keuntungan kedua saluran tersebut yaitu Rp 421/kg. Selain itu, marjin pemasaran pengecer saluran satu lebih kecil dari saluran dua. Hal ini dikarenakan harga beli dan harga jual gula saluran satu lebih tinggi dari saluran dua.
102
Tabel 31. Marjin Pemasaran No
Uraian (Rp/Kg)
Petani, Kelompok Tani, Koordinator a. Harga Jual 2 Pedagang Besar a. Harga Beli b. Biaya Transportasi c. Biaya Bongkar Muat d. Biaya Susut e. Harga Jual f. Keuntungan g. Marjin Pedagang Besar 3 Distributor a. Harga Beli b. Biaya Transportasi c. Biaya Bongkar Muat d. Biaya Susut e. Harga Jual f. Keuntungan g. Marjin Distributor 4 Retail a. Harga Beli b. Biaya Transportasi c. Biaya Bongkar Muat d, Biaya Pengemasan e. Harga Jual f. Keuntungan g. Marjin Retail Marjin Pemasaran Total Farmer Share 1
Saluran Pemasaran 1 2 8 148
8 148
8 148 120 50 40 8 850 492 702
8 148 120 50 43 8 875 514 727
8 850 75 40 40 9 427 422 577
-
9 427 72 30 80 10 731 1 122 1 304 2 583 75.93%
8 875 75 30 80 10 600 1 540 1 725 2 452 76.87%
Berdasarkan analisis tersebut, marjin lembaga pemasaran tertinggi yaitu marjin di tingkat retail pada saluran pemasaran dua yaitu Rp 1 725/kg. Tingginya marjin tersebut disebabkan pedagang besar langsung menjual gula ke pengecer/retail tanpa melalui distributor sehingga tidak meningkatkan biaya. Sedangkan marjin lembaga pemasaran terendah yaitu di tingkat distributor pada saluran satu Rp 577/kg. Total marjin pemasaran saluran satu yaitu Rp 2 583 serta 103
total marjin pemasaran saluran dua yaitu Rp 2 452. Secara umum, total marjin pemasaran saluran satu lebih tinggi dari saluran dua. Hal ini dikarenakan banyaknya lembaga pemasaran yang menyebabkan timbulnya biaya pemasaran di setiap lembaga pemasaran yang terlibat. Maka, berdasarkan analisis dapat diambil kesimpulan bahwa semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat maka semakin besar pula nilai total marjin pada suatu saluran pemasaran. 6.3.2. Farmer Share Farmer share merupakan rasio antara harga di tingkat petani terhadap harga di tingkat retail (Hudson, 2007). Farmer share merupakan perbedaan antara harga retail dan margin pemasaran (Kohls dan Uhl, 2002). Ini merupakan bagian yang diterima petani dari yang dibayarkan konsumen. Terdapat dua cara dalam menghitung farmer share yaitu marketing bill approach dan market basket approach. Marketing bill approach merupakan rasio dari nilai seluruh produksi petani terhadap nilai yang dibayarkan konsumen (Kohls dan Uhl, 2002). Sedangkan menurut Hammond dan Dahl dalam Asmarantaka (2009), marketing bill merupakan marjin pemasaran secara agregat atau pendugaan dari biaya total pemasaran dari seluruh produk pertanian yang dibeli konsumen sipil secara domestik. Perhitungannya yaitu perbedaan dari belanja total pangan oleh konsumen sipil (swasta) dikurangi nilai total penerimaan pangan yang diterima petani. Market basket approach merupakan cara untuk menghitung farmer share melalui rasio dari seluruh nilai yang diproduksi oleh petani terhadap nilai foodstore retail/pengecer. Market basket approach secara umum memiliki farmer
104
share yang lebih tinggi dibandingkan dengan marketing bill approach (Kohls dan Uhl, 2002). Namun, keduanya cenderung berubah secara bersamaan dari waktu ke waktu. Komoditi yang memiliki value added yang tinggi maka akan memiliki pangsa pasar yang tinggi. Hal ini tergantung dari nilai produk akhir yang dihasilkan. Faktor–faktor yang berpengaruh yaitu tingkat pemrosesan, tingkat keawetan barang, produk musiman, biaya transportasi, dan jumlah produk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga di tingkat petani pada saluran satu dan dua yaitu Rp 8 148/kg (Gambar 13). Sedangkan harga di tingkat retail pada saluran satu Rp 10 731/kg dan saluran dua Rp 10 600/kg. Farmer share merupakan rasio harga gula di tingkat petani dengan harga gula di tingkat retail. Meskipun harga gula tingkat petani di kedua saluran pemasaran sama, namun harga gula di tingkat retail yang berbeda menyebabkan perbedaan nilai farmer share di kedua saluran. Hasil analisis menunjukkan bahwa farmer share pada saluran kedua lebih besar dibandingkan dengan farmer share pada saluran pertama. Farmer share saluran satu sebesar 75.93 % sedangkan pada saluran dua sebesar 76.87 %. Bagian harga yang diterima petani merupakan bagian harga yang dibayar konsumen dan dinikmati oleh petani. Semakin tinggi bagian harga yang diterima petani maka nilai marjin pemasaran semakin rendah.
105
Saluran Pemasaran 1 Harga Retail
Saluran Pemasaran 2
Rp 10 731/kg Rp 10 600/kg
Marjin Pemasaran
Rp 2 583/kg
Rp 2 452/kg
Harga di tingkat petani
Rp 8 148/kg
Rp 8 148/kg
75.93 %
76.87 %
Farmer Share
Gambar 13. Efek Perbedaan Saluran Pemasaran Gula di PTPN VII UU BUMA Berdasarkan Gambar 13, saluran pemasaran yang memberikan manfaat lebih bagi petani yaitu saluran pemasaran dua. Besarnya total marjin pemasaran dan farmer share dipengaruhi oleh banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat. Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat maka total marjin pemasaran semakin tinggi karena adanya peningkatan biaya. Peningkatan biaya pemasaran akan mengurangi harga di tingkat petani kecuali harga di tingkat retail yang akan meningkat (Kohls dan Uhl, 2002). Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat maka nilai farmer share semakin rendah. Hal ini dikarenakan banyaknya lembaga pemasaran menyebabkan harga jual gula di tingkat retail meningkat akibat adanya biaya yang harus dikeluarkan lembaga pemasaran.
106
6.3.3. Analisis Integrasi Pasar Vertikal Analisis integrasi pasar vertikal merupakan seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi pada satu tingkat lembaga atau pasar dipengaruhi oleh harga ditingkat lembaga lainnya. Arti kata lain yaitu bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh harga di pasar acuan dengan mempertimbangkan harga pada waktu yang lalu dengan harga pada saat ini. Perubahan harga pada pasar lokal dapat disebabkan oleh adanya perubahan marjin pada pasar lokal dan pasar acuan pada waktu yang sebelumnya (lag-time). Analisis integrasi pasar vertikal yang dianalisis yaitu integrasi jangka pendek, integrasi jangka panjang, dan elastisitas.
6.3.3.1. Integrasi Jangka Pendek Analisis integrasi pasar gula tebu pada jangka pendek dianalisis dengan menggunakan Indeks Keterpaduan Pasar (IKP) atau Index of Market Connection (IMC). Nilai Indeks Keterpaduan Pasar (IKP) atau Index of Market Connection (IMC) pada jangka pendek (short run) memperlihatkan hubungan antara pasar lokal dengan pasar acuan (Tabel 32). Analisis pertama yaitu hubungan antara petani dengan pedagang besar, distributor, retail. Hasilnya terlihat bahwa petani memiliki integrasi yang lemah dengan pedagang besar dalam jangka pendek Namun tidak memiliki hubungan integrasi dengan distributor dan retail. Hal ini ditunjukkan dengan nilai IMC yang tinggi. Artinya, perubahan harga gula di tingkat distributor dan retail pada waktu sebelumnya tidak mempengaruhi harga gula di tingkat petani pada saat ini. Analisis kedua dilakukan pada tingkat pedagang besar sebagai pasar lokal dengan distributor dan retail sebagai pasar acuan. Hasilnya terlihat bahwa dalam jangka pendek pedagang besar memiliki integrasi yang lemah dengan distributor
107
dan retail. Hal ini ditunjukkan dengan nilai IMC yang lebih besar dari satu. Artinya, harga gula dipedagang besar saat ini dipengaruhi oleh harga gula di tingkat distributor dan retail pada waktu sebelumnya meskipun memiliki hubungan yang lemah. Analisis selanjutnya yaitu hubungan antara distributor sebagai pasar lokal dan retail sebagi pasar acuan. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam jangka pendek integrasi yang terjadi diantara keduanya bersifat lemah. Hal ini mengindikasikan bahwa harga gula ditingkat distributor saat ini dipengaruhi oleh harga gula ditingkat retail pada waktu sebelumnya meskipun memiliki hubungan yang lemah.
Tabel 32. Indeks Integrasi Pasar Gula Tebu pada Jangka Pendek Pasar Lokal Petani
Pedagang Besar Distributor
Pasar Acuan Pedagang Besar Distributor Retail Distributor Retail Retail
IKP/IMC Short Run 2.77 12.27 14.53 1.10 4.17 1.11
6.3.3.2. Integrasi Jangka Panjang Nilai koefisien b2 menunjukkan hubungan jangka panjang antara pasar lokal dengan pasar acuan. Analisis pertama yaitu melihat hubungan antara pasar lokal (petani) dengan pasar acuan (pedagang besar, distributor, retail). Nilai b2 pada Tabel 38 menyatakan bahwa dalam jangka panjang petani memiliki integrasi pasar yang kuat dengan pedagang besar hal ini ditunjukkan dengan nilai b2 yang lebih besar dari 0.5. Namun, hubungan antara petani dengan distributor dan retail tidak terjadi hubungan jangka panjang. Analisis kedua menganalisis hubungan antara pasar lokal (pedagang besar) dengan pasar acuan (distributor dan retail). Hasilnya menunjukkan dalam jangka
108
panjang, integrasi antara pasar lokal dan pasar acuan bersifat lemah. Artinya harga gula ditingkat pedagang besar saat ini dipengaruhi oleh harga gula di distributor pada saat ini dan sebelumnya. Begitupun dengan retail meskipun bersifat lemah. Analisis ketiga dilakukan untuk melihat hubungan antara distributor sebagai pasar lokal dan retail sebagai pasar acuan. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam jangka panjang distributor dengan retail memiliki integrasi yang lemah yaitu sebesar 0.30. Berdasarkan hasil analisis tersebut (Tabel 33) maka dalam jangka panjang harga gula ditingkat petani saat ini sangat dipengaruhi oleh harga gula di tingkat pedagang besar pada waktu sebelumnya. Jika terjadi perubahan harga di pedagang besar sebelumnya maka akan mempengaruhi harga di tingkat petani pada saat ini. Lembaga pemasaran gula tebu dalam jangka panjang yang cepat merespon perubahan harga yaitu pedagang besar.
Tabel 33. Indeks Integrasi Pasar Gula pada Jangka Panjang Pasar Lokal Petani
Pedagang Besar Distributor
Pasar Acuan Pedagang Besar Distributor Retail Distributor Retail Retail
Long Run (b2) 0.70 -0.01 -0.06 0.33 0.16 0.30
6.3.3.3. Elastisitas Elastisitas mengukur perubahan harga ditingkat pasar lokal (petani) sebagai akibat adanya perubahan harga di pasar acuan (pedagang besar, distributor, retail). Elastisitas harga gula di pedagang besar yaitu 0.57. Artinya, jika terjadi perubahan harga gula di tingkat pedagang besar sebesar 1 persen maka akan terjadi perubahan harga ditingkat petani sebesar 0.57 persen. Elastisitas 109
harga gula di distributor yaitu 0.04. Artinya, jika terjadi perubahan harga gula di tingkat distributor sebesar 1 persen maka akan terjadi perubahan harga ditingkat petani sebesar 0.04 persen. Elastisitas harga gula di retail yaitu -0.04. Artinya jika terjadi kenaikan harga di retail sebesar 1 persen maka akan terjadi penurunan harga gula di tingkat petani sebesar 0.04. Harga gula di pedagang besar dipengaruhi oleh harga di tingkat distributor dan retail. Elastisitas transmisi harga di tingkat distributor yaitu 0.55. artinya jika terjadi kenaikan harga di tingkat distributor sebesar 1 persen maka akan menyebabkan perubahan harga di pedagang besar sebesar 0.55. Elastisitas transmisi harga di tingkat retail yaitu 0.25. Artinya jika terjadi kenaikan harga di tingkat retail sebesar 1 persen maka akan menyebabkan perubahan harga di pedagang besar sebesar 0.25. Harga gula di tingkat distributor dipengaruhi oleh harga gula di tingkat retail. Elastisitas transmisi di distributor adalah sebesar 0.38. Angka ini menunjukan bahwa jika terjadi perubahan harga gula di tingkat retail sebesar 1 persen maka akan terjadi perubahan harga di tingkat distributor sebesar 0.38 persen. Elastisitas transmisi harga gula dapat dilihat pada Tabel 34.
Tabel 34. Elastisitas Transmisi Harga Gula Pasar Lokal Petani
Pedagang Besar Distributor
Pasar Acuan Pedagang Besar Distributor Retail Distributor Retail Retail
Elastisitas 0.57 0.04 -0.04 0.55 0.25 0.38
Analisis integrasi pasar vertikal dilihat dari analisis jangka pendek, jangka panjang, dan elastisitas secara umum dapat disimpulkan bahwa perubahan harga 110
di tingkat konsumen pada waktu sebelumnya tidak ditransmisikan dengan baik ke tangan produsen (petani) pada saat ini. Hal ini berakibat pada petani yang tidak menerima atas perubahan harga gula di tingkat konsumen. Analisis integrasi pasar vertikal baik jangka pendek atau jangka panjang, petani cenderung sebagai penerima harga (price taker). Petani tidak terpengaruh oleh pasar acuan ataupun pasar lokal. Adapun kesimpulannya dapat dilihat pada Tabel 35.
Tabel 35. Hasil Analisis Integrasi Pasar Vertikal Pasar Lokal
Pasar Acuan Pedagang Besar
Petani
Distributor
Pedagang Besar Distributor
Retail Distributor Retail Retail
Indeks Keterpaduan Pasar (IKP) Short Run Long Run (β2) Lemah Tidak ada Hubungan Tidak ada Hubungan Lemah Lemah Lemah
Kuat Tidak ada Hubungan Tidak ada Hubungan Lemah Lemah Lemah
Elastisitas + + + + +
Berdasarkan hasil analisis, perubahan harga di tingkat konsumen pada saat sebelumnya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang tidak mempengaruhi perubahan harga di tingkat petani pada saat sekarang. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 14. Pada periode minggu kesatu Maret 2011 hingga minggu kelima April 2011, harga di konsumen cenderung tetap yaitu Rp 11 000/kg. Namun, harga di tingkat petani cenderung berfluktuasi. Minggu kesatu hingga minggu keempat Mei 2011 perubahan harga di tingkat konsumen cenderung tidak mempengaruhi perubahan harga gula di tingkat petani. Hal ini sesuai dengan kesimpulan analisis bahwa harga di tingkat konsumen tidak ditransmisikan hingga ke tangan produsen. Adanya perubahan harga di tingkat konsumen direspon cepat oleh distributor dan pedagang besar namun tidak oleh konsumen.
111
Gambar 14. Harga di Setiap Lembaga Pemasaran (Rp/Kg) 6.4. Implikasi Hasil Analisis Sistem Pemasaran Gula Tebu Hasil analisis sistem pemasaran gula tebu yang dianalisis dengan pendekatan structure, conduct, dan performance (SCP) (Tabel 36) menunjukkan bahwa pangsa pasar PTPN VII UU BUMA secara nasional masih relatif kecil. Sedangkan di Provinsi Lampung, pangsa pasar gula tebu didominasi oleh perusahaan-perusahaan swasta. Pasar gula di Provinsi Lampung cenderung terkonsentrasi dengan tingkat persaingan yang relatif kecil. Selain itu, adanya hambatan masuk industri bagi pesaing baru lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa industri gula tebu di Provinsi Lampung cenderung menghadapi struktur pasar oligopoli. Hal ini berpengaruh pada struktur PTPN VII UU BUMA terhadap industri gula di Provinsi Lampung. Struktur pasar industri gula tebu di Provinsi Lampung yang cenderung oligopoli mempengaruhi perilaku pasar PTPN VII UU BUMA. Perilaku pasar yang terjadi dalam kegiatan pemasaran didominasi oleh salah satu lembaga pemasaran yaitu pedagang besar. Hal ini terjadi pada proses penentuan dan
112
pembentukan harga gula tebu di tingkat petani. Hal ini dikarenakan terbatasnya jumlah pedagang besar yang akan membeli gula tebu milik petani yang menyebabkan bargaining position petani yang rendah. Meskipun petani tergabung dalam kelompok tani, namun peranan kelompok tani yang cenderung lemah dalam penentuan harga menyebabkan petani hanya sebagai price taker. Oleh karena itu, pentingnya peranan kelompok tani dalam upaya peningkatan posisi tawar petani dalam proses penjualan dan pembelian gula tebu. Peningkatan peranan kelompok tani dapat berupa perbaikan kualitas gula tebu melalui peningkatan rendemen, keterbukaan informasi berupa kegiatan usahatani tebu dan pemantauan harga gula tebu, dan kepercayaan setiap petani dalam kelompok tani tersebut. Jika kelompok tani dapat meningkatkan peranannya sehingga memiliki bargaining power yang tinggi dalam kegiatan pemasaran maka penentuan harga gula petani tidak didominasi oleh pedagang besar. Hal ini dapat memungkinkan petani sebagai price maker yang akan mendorong pada peningkatan pendapatan petani. Struktur pasar industri gula tebu yang cenderung oligopoli berpengaruh pada perilaku pasar yang didominasi oleh pedagang besar. Hal ini berpengaruh pula pada kinerja pasar PTPN VII UU BUMA. Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat maka semakin besar pula nilai total marjin pada suatu saluran pemasaran. Hal ini dikarenakan biaya yang timbul dari setiap lembaga pemasaran. Semakin besar marjin pada saluran pemasaran menyebabkan farmer share semakin rendah. Hal ini dikarenakan perbedaan harga di tingkat retail pada kedua saluran pemasaran. Hasil lainnya menunjukkan bahwa perubahan harga di tingkat retail tidak mempengaruhi harga di tingkat petani dalam jangka pendek
113
dan jangka panjang. Hal ini kurang menguntungkan petani karena seharusnya ketika terjadi perubahan harga di tingkat retail, maka petani dapat merasakan akibat dari perubahan tersebut secara bersamaan. Namun, dalam jangka panjang perubahan harga gula di tingkat petani sangat dipengaruhi oleh harga gula di tingkat pedagang besar. Lembaga yang paling cepat merespon perubahan harga dari konsumen yaitu distributor dan pedagang besar. Analisis kinerja pasar menunjukkan bahwa petani cenderung sebagai price taker baik pada jangka pendek dan jangka panjang. Berdasarkan hal tersebut, maka struktur pasar industri gula tebu di Provinsi Lampung yang cenderung oligopoli menyebabkan pengaruh perilaku pasar di PTPN VII UU BUMA didominasi oleh salah satu lembaga pemasaran yaitu pedagang besar. Hal ini berakibat pada kinerja pasar, bahwa petani (produsen) cenderung sebagai penerima harga (price taker) baik pada jangka pendek dan jangka panjang. Maka, analisis sistem pemasaran gula tebu dengan kasus di PTPN VII UU BUMA cenderung tidak efisien. Adapun hasil analisis sistem pemasaran gula tebu dengan pendekatan SCP dapat dilihat pada Tabel 36.
114
Tabel 36. Hasil Analisis Sistem Pemasaran Gula Tebu dengan Pendekatan SCP No
Analisis
1
Struktur Pasar
Indikator a) Pangsa Pasar
b) Konsentrasi Pasar
c) Hambatan Masuk Pasar
Kesimpulan 2
Perilaku Pasar
a) Pemasaran
Hasil a. Pangsa Pasar PTPN VI UU BUMA secara nasional tahun 2010 yaitu 3.18 %. Maka, pangsa pasar PTPN VII UU BUMA terhadap industri gula nasional rendah, market power rendah, dan pengaruh yang kecil bagi pesaing secara nasional b. Pangsa Pasar PTPN VII UU BUMA di Provinsi Lampung tahun 2010 yaitu 13.60 % dan berada di posisi keempat perusahaan terbesar di Provinsi Lampung. Namun, PTPN VII UU BUMA merupakan satu-satunya PG milik pemerintah. Maka, industri gula di Provinsi Lampung didominasi pihak swasta dengan total pangsa pasar sebesar 86.40 %. Pasar gula di Provinsi Lampung menghadapi pasar yang terkonsentrasi dengan tingkat persaingan yang kecil. Hal ini ditunjukkan dengan nilai C4 sebesar 0.85 dan HHI sebesar 2 202 Terdapat hambatan masuk dalam perdagangan gula di Provinsi Lampung. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata Minimum Efficiency Scale (MES) tahun 2006 s.d 2010 sebesar 27.61. Struktur pasar cenderung oligopoly a. Lembaga dan praktek fungsi pemasaran yang terlibat yaitu petani-kelompok tanikoordinator, pabrik gula, pedagang besar, distributor, retail. Fungsi pemasaran yang dilakukan yaitu fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. b. Saluran pemasaran gula tebu yang digunakan yaitu dua saluran. Saluran pertama, petani-kelompok tanikoordinator, pabrik gula, pedagang besar, distributor, retail. Saluran kedua petanikelompok tani-koordinator, pabrik gula, pedagang besar, retail.
115
No
Analisis
Indikator b) Kegiatan praktek penjualan dan pembelian
c) Penentuan dan Pembentukan harga
d) Kerjasama lembaga pemasaran
Kesimpulan
3
Kinerja Pasar
a) Marjin Pemasaran
b) Farmer Share
c) Farmer Share
d) Integrasi pasar vertikal
Hasil Seluruh lembaga pemasaran melakukan kegiatan penjualan gula tebu. Namun, gula milik petani dijual ke pedagang besar yang terdaftar di PG sedangkan gula milik PG dijual dengan menggunakan sistem lelang. Lembaga yang melakukan pembelian gula yaitu pedagang besar, distributor, dan retail Harga jual gula milik petani ditentukan oleh kesepakatan petani dan pedagang besar. Namun, dalam prakteknya penentuan harga didominasi oleh pedagang besar. Penentuan harga beli gula distributor dan retail ditentukan oleh harga jual lembaga pemasaran yang ada diatasnya. Adanya kemitraan antara petani dan PG melalui sistem bagi hasil. Namun, kemitraan kurang menguntungkan petani karena pencairan dana hasil penjualan gula milik petani yang dikelola oleh PG memerlukan waktu relatif lama (3-5 bulan dari waktu penjualan) Dominasi pedagang besar dalam penentuan harga petani dan cenderung terjadi kolusi Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat maka semakin besar pula nilai total marjin pada suatu saluran pemasaran. Marjin pemasaran saluran pertama (lembaga pemasaran lebih banyak) lebih besar dari saluran kedua (lembaga pemasaran lebih sedikit). Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat maka marjin pemasaran semakin tinggi. Hal ini menyebabkan farmer share yang semakin rendah Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat maka marjin pemasaran semakin tinggi. Hal ini menyebabkan farmer share yang semakin rendah a. Integrasi jangka pendek. Perubahan harga gula di tingkat retail (konsumen) dan distributor tidak mempengaruhi harga gula di tingkat petani. Sedangkan perubahan harga di pedagang besar mempengaruhi harga di petani meskipun memiliki integrasi yang lemah.
116
No
Analisis
Indikator
Kesimpulan
Kesimpulan akhir
Hasil b. Integrasi jangka panjang. Perubahan harga gula di tingkat petani sangat dipengaruhi oleh harga gula di tingkat pedagang besar c. Elastisitas. Lembaga yang palng cepat merespon perubahan harga konsumen yaitu distributor dan pedagang besar Petani sebagai penerima harga (price taker) baik pada jangka pendek ataupun jangka panjang Sistem pemasaran gula tebu dengan pendekatan SCP kasus di PTPN VII UU BUMA tidak efisien
117
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Analisis struktur pasar (market structure) industri gula di Provinsi Lampung cenderung oligopoli. Nilai pangsa pasar sebesar 86.40 % didominasi perusahaan swasta. Pasar gula di Provinsi Lampung menghadapi pasar yang terkonsentrasi dengan tingkat persaingan yang kecil. Hal ini ditunjukkan dengan nilai C4 sebesar 0.85 dan HHI sebesar 2 202. Selain itu, terdapat hambatan masuk dalam pemasaran gula di Provinsi Lampung. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata Minimum Efficiency Scale (MES) tahun 2006 s.d 2010 sebesar 27.61. 2. PTPN VII UU BUMA memiliki pangsa pasar nasional sebesar 3.18 % dan 13.60 % di Provinsi Lampung. PTPN VII UU BUMA memiliki market power yang rendah dalam industri gula tebu di Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan produksi gula tebu PTPN VII UU BUMA masih dibawah perusahaan lainnya. 3. Analisis perilaku pasar (market conduct) PTPN VII UU BUMA menunjukkan bahwa terdapat lembaga pemasaran yang cenderung dominan dalam pelaksanaan kegiatan pemasaran gula tebu. Lembaga pemasaran tersebut yaitu pedagang besar. Kegiatan pembelian gula milik petani yang dilakukan cenderung menimbulkan kolusi oleh pedagang besar yang menyebabkan penentuan harga gula petani didominasi pihak tersebut. Kurangnya peran
119
kelompok tani dalam kegiatan penjualan gula petani menyebabkan bargaining power petani yang semakin lemah. 4. Hasil analisis kinerja pasar (market performance) gula tebu PTPN VII UU BUMA menunjukkan bahwa semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat maka semakin besar pula nilai total marjin pada suatu saluran pemasaran. Marjin pemasaran saluran pertama (petani-kelompok tanikoordinator, pabrik gula, pedagang besar, distributor, retail) lebih besar dari saluran kedua (petani-kelompok tani-koordinator, pabrik gula, pedagang besar, retail). Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat maka marjin pemasaran semakin tinggi. Hal ini menyebabkan farmer share yang semakin rendah. Analisis integrasi pasar dalam jangka pendek dan jangka panjang menunjukkan bahwa perubahan harga gula di tingkat retail (konsumen) dan distributor tidak mempengaruhi harga gula di tingkat petani. Sedangkan perubahan harga di pedagang besar mempengaruhi harga di petani meskipun memiliki integrasi yang lemah. Sedangkan pada jangka panjang, perubahan harga gula di tingkat petani sangat dipengaruhi oleh harga gula di tingkat pedagang besar. Hasil elastisitas menunjukkan bahwa lembaga yang paling cepat merespon perubahan harga konsumen adalah distributor dan pedagang besar. Berdasarkan hal tersebut, maka petani cenderung sebagai penerima harga (price taker) baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. 5. Analisis struktur dan perilaku pasar yang terbentuk berdampak pada kinerja pasar gula tebu. Hasil menunjukkan bahwa pemasaran gula tebu di PTPN VII
120
UU BUMA cenderung menguntungkan pedagang besar dibandingkan petani. Sistem pemasaran gula tebu di PTPN VII UU BUMA cenderung tidak efisien. 7.2.
Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka saran dari penelitian ini yaitu :
1. PTPN VII UU BUMA dapat meningkatkan kapasitas produksi dan penjualan gula tebu sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar di industri gula baik secara nasional ataupun di Provinsi Lampung. Tingginya pangsa pasar akan mendorong kemampuan perusahaan dalam pembentukan dan penentuan harga. 2. PTPN VII UU BUMA melakukan pembinaan dan pengawasan secara lebih intensif kepada petani dimulai dari penananam tebu hingga penjualan gula. Hal ini akan meningkatkan harga jual gula tebu petani melalui perbaikan kuantitas dan kualitas gula tebu (peningkatan rendemen) bagi petani. Hal ini secara langsung dapat mendorong peningkatan pendapatan petani. 3. Kemitraan yang dilakukan PTPN VII UU BUMA dengan petani tebu rakyat akan saling menguntungkan jika pencairan dana hasil penjualan gula milik petani yang dikelola PG sebaiknya tidak memerlukan waktu lama. Semakin cepat petani mendapatkan uang, maka semakin cepat pula mereka mengajukan kredit kembali untuk kegiatan usahatani. Selain itu, perusahaan dapat secara cepat membayarkan kredit petani kepada bank. Hal ini akan menguntungkan petani, PG, dan bank. 4. Penguatan kelompok tani dalam upaya peningkatan posisi tawar (bargaining position) petani khususnya dalam proses penentuan harga gula tebu dalam upaya mengatasi penyalahgunaan kekuatan pasar oleh lembaga pemasaran tertentu. Hal ini dapat memungkinkan petani sebagai price maker sehingga
121
dapat meningkatkan pendapatan petani yang akan mendorong pada pengembangan agribisnis gula tebu. Peningkatan peranan kelompok tani dapat berupa perbaikan kualitas gula tebu melalui peningkatan rendemen, keterbukaan informasi berupa kegiatan usahatani tebu dan pemantauan harga gula tebu, serta kepercayaan setiap petani dalam kelompok tani tersebut. 5. Bagi penelitian selanjutnya, rekomendasi yang dapat dilakukan yaitu melakukan penelitian pemasaran gula tebu di beberapa sentra produksi gula terbesar di Indonesia. Hal ini dapat memberikan alternatif pola pemasaran yang sesuai bagi petani di daerah tersebut yang mendorong pada pengembangan agribisnis gula tebu Indonesia.
122
DAFTAR PUSTAKA Andrias et al. 2003. Analisis Tataniaga dan Pilihan Kelembagaan Pemasaran Tembakau di Kabupaten Temanggung. Volume 16 (3) Bulan September 2003. Jurnal Agrosains. Ariani. Rita. 2000. Studi Distribusi Gula Pasir dalam Upaya Efisiensi Pemasaran di Kabupaten Bogor. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Industri Institut Pertanian Bogor. Bogor. Asmarantaka, Ratna Winandi. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian. Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Ketahanan Pangan, 2010. Statistik Ketahanan Pangan Tahun 2009. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. Jakarta. Bank Indonesia. 2009. Kenaikan Harga Gula. Jakarta. www.bi.go.id/NR/rdonlyres/DDE3BFBD-3879-45FD-A30E30E4E5AD5B11/18234/Suplemen3.pdf.. Diakses Tanggal 10 Oktober 2011. Baulch, Bob. 1997. Testing for Food Market Integration Revisited. The Journal of Development Studies, Vol 33, No.4, April 1997, pp 512-534. Published by Frank Cass. London. Baye, Michael. 2010. Managerial Economics and Business Strategy. Seventh Edition. McGraw-Hill /Irwin. Singapure. Besanko et al. 2010. Economics of Strategy. Fifth Edition. International Student Version. John Wiley & Sons (Asia). Dahl, D.C dan J.W. Hammond. 1977. Market and Price Analysis. Mc. Graw Hill, New York. Departemen Perdagangan. 2009. Perlunya Menghilangkan Sekat Pemasaran Gula Indonesia. Hasil Seminar Tanggal 30 April 2009. Surabaya. Dipublikasikan. Deptan dan LPPM IPB. 2002. Studi Pengembangan Agribisnis Pergulaan Nasional. Proyek Pengembangan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) Pusat Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian. Bogor. Dinas Indag dan Unit Kerja Ketahanan Pangan Propinsi. 2011. Perkembangan Harga Rata-Rata Gula Pasir Tingkat Konsumen Per Propinsi tahun 2009 dan 2010. Jakarta. 123
Dinas Koperindag Provinsi Lampung. 2010. Realisasi Perdagangan Gula Antar Pulau dari Provinsi Lampung. Lampung. Dinas Perkebunan Provinsi Lampung. 2011. Keragaan APPG di Provinsi Lampung. Laporan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Lampung. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Statistik Perkebunan. Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Downey, David W dan John K.Trocke. 1981. Agribusiness Management. McGraw-Hill, Inc. US of America. Fadhla T. 2008. Integrasi Pasar Komoditi Pangan (Beras, Kacang Tanah Kupas dan Kedelai Kuning) di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam. Agritek Vol.16 No.9 September 2008. Farris et al. 2007. Marketing Metrics. Wharton School Publishing. United States of America. Hobbs, J. E. 1997. Measuring the Importance of Transaction Cost in Catle Marketing. American Journal of Agricultural Economics 79 (4) : 1083 – 1095. Hudson, Darren. 2007. Agricultural Markets and Prices. Blackwell Publishing. United Kingdom. Hukama, L.A. 2003. Analisis Pemasaran Jambu Mete: Studi Kasus Kabupaten Buton dan Muna. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Iwantono, Sutrisno. 2007. Konsentrasi Industri dan Pasar Tidak Sempurna di Sektor Pertanian dalam Mungkinkah Petani Sejahtera. Prosiding konferensi Nasional ke XV Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI). Surakarta 3-4 Agustus 2007. Brighten Press. Bogor. Jaya, W.K. 2001. Ekonomi Industri. Edisi Kedua. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kohls dan Uhl. 2002. Marketing of Agricultural Products. Ninth Edition. Prentice Hall, New Jersey. Kotler. 1993. Manajemen Pemasaran: Analisis Perencanaan, Implementasi, dan Pengendalian. Edisi 7. Lembaga Penerbit FE UI. Jakarta. Kurniawan, I. 2003. Analisis Kelembagaan Pemasaran Gaharu di Kalimantan Timur. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
124
Lamb, C.W., J.F. Hair dan M. Daniel. 2001. Pemasaran. Terjemahan. Salemba Empat, Jakarta. Levens, Michael. 2010. Marketing: Defined, Explained, Applied. International Edition. Pearson: Prentice Hall. Limbong dan Sitorus. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Manik, Oktavya Margaretha. 2007. Tataniaga Gula Pasir di Sumatera Utara. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. Mubyarto. 1985. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian. Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi Pertanian dan Sosial, Yogyakarta. Nahdodin dan Joko Roesmanto. 2008. Evaluasi Terhadap Kinerja Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 643/MPP/KEP/IX/2002. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan-Jawa Timur. Nurmalina, Rita dan Harmini. 2011. Analisis Transmisi Harga dalam Supply Chain Gula Tebu. Penelitian Unggulan Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen-IPB. Dalam Proses Publikasi. Pindyck, Robert S dan Daniel L Rubinfeld. 2009. Microeconomics. Seventh Edition. Pearson Prentice Hall. USA. PTPN VII UU Bungamayang. 2011. Profil Perusahaan. Arsip Perusahaan. PTPN VII UU Bungamayang. 2010. Laporan Tahunan PTPN VII UU Bungamayang. Arsip Perusahaan. Purcell. 1979. Agricultural Marketing: System, Coordination, Cash, and, Futures Prices. APrentice-Hall Company, Virginia. Pusdatin, Kementerian Pertanian. 2010. Outlook Komoditas Pertanian Perkebunan. Pusat Data dan Informasi Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. P3GI. 2010. Soal Kenaikan Harga Gula. P3GI. Pasuruan, Jawa Timur www.sugarresearch.org. Diakses Tanggal 10 Oktober 2011. Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural Economics, 68(1): 102-109.
125
Slameto. 2003. Analisis Produksi, Penawaran dan Pemasaran Kakao di Daerah Sentra Pengembangan Komoditas Unggulan Lampung. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Solomon, Michael R. Marshal, Greg W. and Stuart, Elnora W. 2006. Marketing: Real People Real Choice. Fourth Edition. Pearson: Prentice Hall. Sri Haryanto, Eko 2004. Analisis Sistem Pemasaran Apel Manalagi (Malus sylvestris Mill) di Kota Batu Propinsi Jawa Timur. Tesis. Program Studi Manajemen Agribisnis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sudiyono. 2002. Pemasaran Pertanian. Universitas Muhamadiyah Malang. Malang. Tomek, G.W. and K.L. Robinson. 1990. Agricultural Product Prices. Cornell University Press, Ithaca. Triyono, P. 2000. Perkembangan Posisi Tawar petani dalam Pemasaran Damar Mata Kucing di Lampung. Jurnal Sosial Ekonomi. Volume 1 No 1 November 2000. Yuprin. 2009. Analisis Pemasaran Karet di Kabupaten Kapuas. Agritek Vol 17 No.6 November 2009. Yusrachman. 2001. Kajian Sistem Pemasaran Ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke Jakarta. Tesis. Magister Manajemen Agribisnis. Institut Pertanian Bogor.
126
LAMPIRAN
127
128
Lampiran 1. Hasil Output Analisis Integrasi Pasar Vertikal P1 = Harga gula di tingkat petani P2 = Harga gula di tingkat pedagang besar P3 = Harga gula di tingkat distributor P4 = Harga gula di tingkat retail LnP1 = Natural log P1 LnP2 = Natural log P2 LnP3 = Natural log P3 LnP4 = Natural log P4 a) Analisis Regresi : P1t dengan P1t-1, P2t-P2t-1, P2t-1 The regression equation is P1t = 1577 + 0.578 P1t-1 + 0.699 P2t-P2t-1 + 0.209 P2t-1 Predictor Constant P1t-1 P2t-P2tP2t-1 S = 106.0
Coef 1577 0.5777 0.6991 0.2087
SE Coef 3119 0.2473 0.4751 0.4135
R-Sq = 54.8%
Analysis of Variance Source DF Regression 3 Residual Error 8 Total 11
T 0.51 2.34 1.47 0.50
P 0.627 0.048 0.179 0.627
R-Sq(adj) = 37.8%
SS 108964 89942 198906
MS 36321 11243
F 3.23
P 0.082
b) Analisis Regresi: P1t dengan P1t-1, P3t-P3t-1, P3t-1 The regression equation is P1t = 3638 + 0.502 P1t-1 - 0.011 P3t-P3t-1 + 0.041 P3t-1 Predictor Constant P1t-1 P3t-P3tP3t-1 S = 122.2
Coef 3638 0.5017 -0.0114 0.0409
SE Coef 2912 0.2210 0.3171 0.2590
R-Sq = 40.0%
Analysis of Variance Source DF Regression 3 Residual Error 8 Total 11
SS 79522 119384 198906
T 1.25 2.27 -0.04 0.16
P 0.247 0.053 0.972 0.878
R-Sq(adj) = 17.5%
MS 26507 14923
F 1.78
P 0.229
129
c) Analisis Regresi: P1t dengan P1t-1, P4t-P4t-1, P4t-1 The regression equation is P1t = 3718 + 0.494 P1t-1 - 0.061 P4t-P4t-1 + 0.0340 P4t-1 Predictor Constant P1t-1 P4t-P4tP4t-1 S = 120.6
Coef 3718 0.4937 -0.0610 0.03398
SE Coef 2215 0.2272 0.1858 0.09569
R-Sq = 41.5%
Analysis of Variance Source DF Regression 3 Residual Error 8 Total 11
T 1.68 2.17 -0.33 0.36
P 0.132 0.061 0.751 0.732
R-Sq(adj) = 19.5%
SS 82508 116398 198906
MS 27503 14550
F 1.89
P 0.210
d) Analisis Regresi: P2t dengan P2t-1, P3t-P3t-1, P3t-1 The regression equation is P2t = 1244 + 0.436 P2t-1 + 0.327 P3t-P3t-1 + 0.396 P3t-1 Predictor Constant P2t-1 P3t-P3tP3t-1 S = 68.03
Coef 1244 0.4359 0.3269 0.3956
SE Coef 1994 0.3291 0.1826 0.2110
R-Sq = 72.7%
Analysis of Variance Source DF Regression 3 Residual Error 8 Total 11
T 0.62 1.32 1.79 1.87
P 0.550 0.222 0.111 0.098
R-Sq(adj) = 62.5%
SS 98596 37029 135625
MS 32865 4629
F 7.10
P 0.012
e) Analisis Regresi: P2t dengan P2t-1, P4t-P4t-1, P4t-1 The regression equation is P2t = 2454 + 0.558 P2t-1 + 0.161 P4t-P4t-1 + 0.134 P4t-1 Predictor Constant P2t-1 P4t-P4t-1 P4t-1 S = 61.11
Coef 2454 0.5581 0.16131 0.13398
SE Coef 2163 0.3002 0.09383 0.07092
R-Sq = 78.0%
Analysis of Variance Source DF Regression 3 Residual Error 8 Total 11
SS 105748 29877 135625
T 1.13 1.86 1.72 1.89
P 0.289 0.100 0.124 0.096
R-Sq(adj) = 69.7%
MS 35249 3735
F 9.44
P 0.005
130
f) Analisis Regresi: P3t dengan P3t-1, P4t-P4t-1, P4t-1 The regression equation is P3t = 3895 + 0.289 P3t-1 + 0.303 P4t-P4t-1 + 0.260 P4t-1 Predictor Constant P3t-1 P4t-P4t-1 P4t-1 S = 91.43
Coef 3895 0.2894 0.3034 0.2600
SE Coef 2191 0.3380 0.1357 0.1284
R-Sq = 78.8%
Analysis of Variance Source DF Regression 3 Residual Error 8 Total 11
T 1.78 0.86 2.24 2.02
P 0.113 0.417 0.056 0.078
R-Sq(adj) = 70.9%
SS 248746 66879 315625
MS 82915 8360
F 9.92
P 0.005
g) Analisis Regresi: LnP1 dengan LnP2 The regression equation is LnP1 = 3.84 + 0.568 LnP2 Predictor Constant LnP2 S = 0.01570
Coef 3.843 0.5677
SE Coef 3.409 0.3751
R-Sq = 18.6%
Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 10 Total 11
T 1.13 1.51
P 0.286 0.161
R-Sq(adj) = 10.5%
SS 0.0005643 0.0024642 0.0030285
MS 0.0005643 0.0002464
F 2.29
P 0.161
h) Analisis Regresi: LnP1 dengan LnP3 The regression equation is LnP1 = 8.62 + 0.041 LnP3 Predictor Constant LnP3 S = 0.01738
Coef 8.623 0.0414
SE Coef 2.643 0.2889
R-Sq = 0.2%
Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 10 Total 11
SS 0.0000062 0.0030222 0.0030285
T 3.26 0.14
P 0.009 0.889
R-Sq(adj) = 0.0%
MS 0.0000062 0.0003022
F 0.02
P 0.889
131
i) Analisis Regresi: LnP1 dengan LnP4 The regression equation is LnP1 = 9.37 - 0.040 LnP4 Predictor Constant LnP4 S = 0.01731
Coef 9.374 -0.0401
SE Coef 1.165 0.1256
R-Sq = 1.0%
Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 10 Total 11
T 8.05 -0.32
P 0.000 0.756
R-Sq(adj) = 0.0%
SS 0.0000306 0.0029979 0.0030285
MS 0.0000306 0.0002998
F 0.10
P 0.756
j) Analisis Regresi: LnP2 dengan LnP3 The regression equation is LnP2 = 4.01 + 0.554 LnP3 Predictor Constant LnP3 S = 0.007986
Coef 4.013 0.5545
SE Coef 1.214 0.1327
R-Sq = 63.6%
Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 10 Total 11
T 3.31 4.18
P 0.008 0.002
R-Sq(adj) = 59.9%
SS 0.0011132 0.0006377 0.0017509
MS 0.0011132 0.0000638
F 17.46
P 0.002
k) Analisis Regresi: LnP2 dengan LnP4 The regression equation is LnP2 = 6.81 + 0.245 LnP4 Predictor Constant LnP4 S = 0.007779
Coef 6.8092 0.24548
SE Coef 0.5234 0.05642
R-Sq = 65.4%
Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 10 Total 11
SS 0.0011458 0.0006052 0.0017509
T 13.01 4.35
P 0.000 0.001
R-Sq(adj) = 62.0%
MS 0.0011458 0.0000605
F 18.93
P 0.001
132
l) Analisis Regresi: LnP3 dengan LnP4 The regression equation is LnP3 = 5.60 + 0.383 LnP4 Predictor Constant LnP4 S = 0.009141
Coef 5.5987 0.38273
SE Coef 0.6151 0.06629
R-Sq = 76.9%
Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 10 Total 11
SS 0.0027853 0.0008357 0.0036209
T 9.10 5.77
P 0.000 0.000
R-Sq(adj) = 74.6%
MS 0.0027853 0.0000836
F 33.33
P 0.000
133
118
48