Ahmad Ainun N., et al., Sistem Bagi Hasil. . . .
1
SISTEM BAGI HASIL DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN POKOK BURUH TANI DI DESA TEGALSARI KECAMATAN TEGALSARI KABUPATEN BANYUWANGI THE SYSTEM OF CORP-SHARING AND ACCOMPLISHMENT OF FARMWORKER BASIC NEEDS IN COUNTRYSIDE OF TEGALSARI BANYUWANGI Ahmad Ainun Najib, Dr. Sukidin, M.Pd, Drs. Joko Widodo, M.M. Program Studi Pendidikan Ekonomi Jurusan Pendidikan IPS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember (UNEJ) email:
[email protected]
Abstrak: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sistem bagi hasil dan pemenuhan pokok buruh tani di desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi. Tempat penelitian ditentukan dengan menggunakan metode purposive area yang dilaksanakan di desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara, observasi, dokumentasi. Hasil penelitain menunjukkan bahwa kesepakatan tidak tertulis namun kepastian hukumnya tidak dapat diremehkan. Bawon dan pasrahan adalah bentuk dari perjanjian tersebut. Bawon adalah hak bagian dari buruh tani dan pasrahan adalah hak bagian pemilik sawah. Besaran dari sistem tersebut adalah 10/2 dan 9/2. Arti dari istilah tersebut adalah 8 atau 7 merupakan pembagian yang diterima pemilik sawah dan 2 merupakan hak dari buruh tani. Para buruh tani menggunakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Kebutuhan pokok tersebut meliputi: pangan, sandang, papan, pendidikan, serta kesehatan. Standard pemenuhan kebutuhan pokok buruh tani adalah masuk dalam kategori rendah dan kurang layak. Kata kunci: Buruh Tani, Sistem Bagi Hasil, Pemenuhan Kebutuhan Pokok.
Abstract: This is a descriptive qualitative research. This research done to know the system of corp-sharing and the accomplishment of basic needs of farmworker in Tegalsari Banyuwangi. The research location determined by using purposive area mothod. It takes place in Tegalsari Banyuwangi. The method of data collecting on this research uses interview methode, observation methode, and documentation mothod. The result of this research shows that the agreement betwee the owner of the farm and the farmworker is unwriten but the rule can not be underestimated. Bawon and pasrahan is the form of this agreement. Bawon is for farmworker and pasrahan is for the owner of the farm. The ratio is about 10/2 and 9/2. It means 8 or 7 is the owner of the land obtaining and 2 is farmworker's. The farmworker uses their obtaining from the corpsharing system to fulfill their basic needs. The requiremnts imcluding: food, dress, house, education, and also healthy. The standard of their basic needs accomplishment is in a low level and improper. Keywords: Farmworker, Corp Sharing System, Basic Needs Accomplishment.
ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015,
Ahmad Ainun N., et al., Sistem Bagi Hasil. . . .
PENDAHULUAN Masalah kemiskinan di Indonesia masih didominas kemiskinan di daerah pedesaan. Data Susenas menunjukkan bahwa penduduk miskin di pedesaan diperkirakan mencapai 69 persen dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian yang tebagi menjadi petani pemilik sawah dan petani bukan pemilik sawah atau buruh tani. Bagi petani yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri, lapangan pekerjaan yang palang banyak digeluti adalah bekerja sebagai buruh tani, tanpa menutup kemungkinan bekerja untuk pekerjaan apa saja untuk tambahan penghasilan. Kemiskinan buruh tani merupakan permasalahan faktual yang ada di tengahtengah kehidupan masyarakat. Menurut Sayogjo (dalam Pancawati, 2012) mengemukakan fakta bahwa dari total penghasilan buruh tani, hanya 37 persen saja yang berasal dari kegiatan buruh tani berupa upah bagi hasil, selebihnya diperoleh dari kegiatan lain. Buruh tani merupakan salah satu wujud dari rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa ini. Padahal sumber daya alam yang dimiliki bangsa ini cukup melimpah. Kualitas sumber daya manusia yang rendah akan menghambat perkembangan perekonomian suatu bangsa. Menurut Notoatmodjo (2003:2), sumber daya manusia memiliki peranan yang lebih penting jika dibandingkan dengan sumber daya alam. Sumber daya alam yang melimpah tidak akan dapat dimanfaatkan secara maksimal jika tidak didukung dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Akan tetapi, ketika jumlah sumber daya alam terbatas sedangkan jumlah tenaga kerja berkualitas, maka besar kemungkinan akan berdampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sinungan (2005:2) yang mengatakan bahwa tantangan-tantangan ekonomi antara lain langkanya modal, langkanya keterampilan sumber daya manusia, serta langkanya teknologi yang dikuasai harus dapat diatasi dengan sikap mental yang optimis. Mental optimis ini merupakan salah satu ciri utama dari sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas sumber daya manusia yang seperti inilah yang tidak dimiliki oleh buruh tani. Para buruh tani menjadi salah satu jenis pekerjaan yang rentang akan permasalahan modal kerja sehingga berakibat pada rendahnya tingkat kesejahteraan buruh tani itu sendiri. Pekerjaan sebagai buruh tani banyak dibutuhkan di desat Tegalsari karena alasan bahwa banyaknya ketersediaan lahan pertanian atau sawah. Akan tetapi, tidak semua orang yang tinggal di desa tersebut memiliki sawah. Pemilik sawah membutuhkan tenaga buruh tani untuk menggarap sawahnya. Di sinilah akan timbul hubungan kerja yang saling membutuhkan antara pemilik sawah dan buruh tani. Pemilik sawah membutuhkan tenaga kerja buruh tani untuk menggarap sawahnya, sedangkan buruh tani sendiri juga membutuhkan
ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015,
2 pekerjaan tersebut untuk mendapatkan upah bagi hasil sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Besarnya pendapatan yang diperoleh buruh tani merupakan faktor penentu yang mempengaruhi keluarga buruh tani dalam mengalokasikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, pendapatan buruh tani itu sendiri pada kenyataanya selalu tidak menentu. Kondisi bagus tidaknya cuaca mulai dari masa tanam hingga masa panen juga menjadi faktor penentu besar kecilnya pendapatan yang diperoleh buruh tani. Setiap keluarga mempunyai perbedaan dalam pengalokasian pendapatannya sesuai dengan tingkat kebutuhan keluarga, dimana pendapatan yang minimal diperoleh buruh tani dengan aktivitas yang berat harus mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kebutuhan para buruh tani sangat beragam jika dilihat dari segi kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, serta kebutuhan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendidikan, kondisi fisik lingkungan keluarga, serta pola pandang terhadap kebutuhan itu sendiri. Jumlah anggota keluarga yang sedikit tentu berbeda dengan keluarga yang mempunyai tanggungan lebih banyak. Yang dimaksud dengan tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan anak maka semakin tinggi pula biaya yang harus dikeluarkan. Kondisi fisik lingkungan keluarga merupakan tempat tinggal yang juga membutuhkan anggaran biaya untuk merawatnya. Sedangkan pola pandang kebutuhan berkaitan dengan prestise, baik segi pangan, sandang, papan, pendidikan, serta kesehatan. Relevansi penelitian ini dengan ilmu Ekonomi yaitu membahas tentang aktivitas dan upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Penelitian mengkaji tentang sistem bagi hasil dan cara buruh tani Tegalsari dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa buruh tani merupakan pekerjaan yang identik dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah. Berkaitan dengan itu, buruh tani di Tegalsari sangat dimungkin berada pada kondisi yang serupa, akan tetapi mereka tetap bisa bertahan dan memenuhi kebutuhan hidupnya hingga saat ini.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penentuan lokasi penelitian menggunakan metode purposive area, sedangkan penentuan subyek penelitian menggunakan metode purposive sebanyak lima orang. Lokasi penelitian merupakan tempat dimana seorang peneliti melakukan kegiatan penelitian yang menjadi pusat pelaksanaan kegiatan. Hal ini bertujuan agar memperoleh data yang konkrit sesuai dengan yang diperlukan. Metode yang digunakan adalah metode purposive area (penentuan lokasi bertujuan), dimana tempat penelitian sudah ditentukan
Ahmad Ainun N., et al., Sistem Bagi Hasil. . . . dengan sengaja yang disesuaikan dengan tujuan peneliti. Lokasi yang diambil oleh peneliti yaitu di lingkungan buruh tani RT. 001 dan RT. 002 RW. 001 Dusun Krajan I Desa Tegalsari Kecamatan Tegalsari Kabupaten Banyuwangi. Peneliti mengambil tempat atau lokasi tersebut dikarenakan tempat tersebut mempunyai keunikan atau keunggulan dibandingkan dengan lokasi yang lain. Keunikan atau keunggulannya adalah sedikitnya petani pemilik sawah dan melimpahnya tenaga buruh tani. Baruh tani Tegalsari memiliki kualitas kerja yang sangat baik karena banyak daerah lain yang meminta tenaga buruh tani dari lokasi tersebut. Penentuan subyek penelitian atau informan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode purposive, yaitu penduduk di Desa Tegalsari yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Adapun kriteria dari metode purposive untuk penentuan subyek penelitian dalam penelitian ini adalah: (1) keluarga buruh tani tanaman padi penggarap sawah orang lain, (2) sudah berkeluarga, dan (3) mempunyai tanggungan pendidikan anak. Data merupakan salah satu komponen penting dalam sebuah penelitian. Tanpa adanya data maka penelitian tidak bisa dilakukan. Oleh sebab itu data harus dikumpulkan dengan metode-metode yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan data yang relevan dan bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini mengambil dari pendapatanya Sugiyono (2011: 63) yang menyebutkan bahwa ada tiga macam tehnik pengumpulan data, yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang telah diperoleh. Metode analisis merupakan tahap terpenting, sebab hasil analisis data yang digunakan sebagai dasar untuk menyimpulkan kebenaran hasil penelitian. Menurut Sugiyono (2011:245), analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Beberapa hal yang berkaitan dengan hasil penelitian dan pembahasannya dijelaskan sebagai berikut. A. HASIL a. Sistem Bagi Hasil Buruh Tani Kesepakatan (transaksi) bagi hasil di desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi dikenal dengan istilah ngedok. Istilah hasil dari sistem bagi hasilnya adalah pasrahan (hak pemilik sawah) dan bawon (hak penggarap sawah). Adapun jumlah atau perbandingan antara bawon dan pasrahan tergantung pada kesepakatan pemilik sawah dan penggarap, dalam hal ini adalah buruh tani. Kesepakatan bagi hasil yang banyak ditemui adalah 10/2 dan 9/2. Dua adalah bawon yang diperoleh buruh tani dan 10 dan 9 adalah total dari hasil panen yang mampu dihasilkan. Jika dibuat rsio perbandingan, sistem yang menggunakan kesepakatan
ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015,
3 sepuluhloro adalah 1:4 sedangkan untuk kesepakatan songoloro adalah 2:7. Sistem ngedok yang terjadi di desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi dapat ditemukan beberapa unsur. Pertama, adanya kesepakatan antar pihak, yakni pemilik sawah dan buruh tani. Kesepakatan antar pihak terjadi secara tradisional dan tidak tertulis, namun isinya sangat mengikat dan jarang timbul permasalahan meskipun tidak berdasarkan undang-undang yang ada. Kedua, ijin menggarap dari pemilik sawah. Ijin dari pemilik sawah merupakan syarat mutlak bagi buruh tani penggarap sawah dalam mengolah sawah. Ketiga, atas dasar kepercayaan. Kepercayaan merupakan hal yang sangat mendasar, karena atas dasar kepercayaan itu masyarakat tidak memerlukan undang-undang dari pemerintah yang mengatur tentang bagi hasil. Keempat, sistem bagi hasil sesuai dengan adat kebiasaan. Hukum adat kebiasaan membuat tatanan baru yang tidak ada sebelumnya menjadi ada dan diterima di masyarakat. Latar belakang terjadiya kesepakatan sistem ngedok antara pemilik sawah dan buruh tani berbeda. Adapun latar belakang dari pemilik sawah yaitu karena tidak ada waktu untuk mengerjakannya, faktor usia, terlalu banyak garapan, tanahnya jauh dari tempat tinggal, profesi yang tidak memungkinkan bekerja di sawah, serta adanya rasa kekerabatan. Latar belakang dari buruh tani penggarap sawah mengadakan kesepakatan dengan pemilik sawah buruh tani tidak mempunyai sawah sendiri, tidak mempunyai pekerjaan lain selain buruh tani, untuk memperoleh padi sebagai bahan makanan pokok. Sama seperti pada alasan di atas bahwa salah satu latar belakang buruh tani penggarap sawah adalah untuk memperoleh penghasilan berupa padi yang digunakan sebagai makanan pokok. Para buruh tani mempunyai prinsip bahwa jika mempunyai cadangan makanan berupa bahan pokok padi, maka kebutuhan yang lain itu hal yang lebih mudah untuk dicari. Lain halnya apabila tidak punya padi atau beras, maka penghasilan tambahan yang mereka peroleh akan dialihkan untuk membeli beras. Asumsi atau anggapan demikian memang sangat rasional mengingat bahwa kehidupan di desa memang lebih mudah jika di bandingkan dengan kehidupan di kota. Selama memiliki beras mereka akan merasa bisa sedikit lebih aman. Meskipun kesepakatan bagi hasil yang berlaku di masyarakat desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi tidak tertulis, substansinya mempunyai batasan-batasan yang jelas antara pemilik sawah dan buruh tani penggarap. Isi kesepakatan dari sistem bagi hasil atau ngedok yang tidak tertulis itu antara lain mengenai hak dan kewajiban antar pihak, bagian hasil panen berupa bawon dan pasrahan, risiko, waktu pengerjaan, dan bentuk pembagian. 1. Hak dan kewajiban Kesepakatan dari sistem bagi hasil seperti yang telah diterangkan sebelumnya bahwa subyek dari adanya sistem tersebut adalah petani pemilik sawah dan
Ahmad Ainun N., et al., Sistem Bagi Hasil. . . . buruh tani penggarap sawah. Adapun hak dan kewajiban dari pemilik sawah adalah: (1) memberikan ijin kepada buruh tani penggarap sawah untuk mengelola tanah tersebut, (2) menyediakan modal untuk pembiayaan berbagai aktivitas penanaman hingga masa panen, (3) menerima hasil panen atau pasrahan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan atau yang berlaku, (4) menyediakan bibit, pupuk, hingga pestisida, dan (5) tabur benih atau ngurit, mengatur pengairan, dan membajak sawah, serta pemupukan tanaman. Hak dan kewajiban dari buruh tani penggarap sawah adalah: (1) menata sistem tanam yang meliputi mencangkul, ndaut, dan tandur, (2) matun, (3) memanen sesuai dengan hari yang diminta oleh pemilik sawah, (4) menanggung semua biaya pelaksanaan panen, (5) mendapatkan bawon sesuai dengan kesepakatan, (6) menyerahkan kembali tanah garapan kepada pemilik sawah setelah berakhirnya masa panen atau sesuai kesepakatan. Isi kesepakatan sebagai acuan atau landasan pelaksanaan sistem ngedok tersebut tidak akan terjadi perselisihan antara pemilik sawah dan buruh tani penggarap sawah. Hal ini berlaku efektif meskipun tanpa ada teks kesepakatan tertulis. 2. Bagian hasil panen berupa bawon dan pasrahan Seperti yang telah diterangkan sebelumnya bahwa bawon merupakan hasil panen yang diterima oleh buruh tani penggarap sawah. Pasrahan merupakan hasil panen yang diterima oleh petani pemilik sawah. Besarnya pembagiannya ada yang 9/2 dan ada juga yang 10/2. Hal seperti ini biasa terjadi karena faktor seperti jarak, kualitas tanah, dan juga asas kekerabatan. 3. Risiko Risiko dalam kesepakatan bagi hasil antara petani pemilik sawah dan buruh tani penggarap sawah di desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi disepakati bersama dan tidak tertulis. Ada kalanya risiko dalam kesepakatan itu dikatakan tegas meskipun dalam aplikasi pelaksanaanya dilaksanakan secara kekeluargaan. Apabila dalam satu musim tanam itu mengalami kegagalan atau penurunan, risiko yang ditanggung bisa dikatakan sama. petani menanggung modal yang telah dikeluarkan dan buruh tani juga menanggung apa yang telah dikerjakan. Hal ini tentunya disesuaikan dengan hak dan kewajiban masing-masing. Pembagian tetap dilakukan meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit. 4. Waktu pengerjaan Lamanya waktu kesepakatan pengerjaan dari sistem bagi hasil di desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi ada yang ditentukan dan ada pula yang tidak ditentukan. Waktu yang ditentukan itu biasanya dihitung berdasarkan tahun, sedangkan untuk yang tidak ditentukan biasanya berdasarkan musim panen, selama salah satu pihak berkehendak menghentikan atau meneruskan, juga berdasarkan ijin dari pemilik. 5. Bentuk pembagian Pembagian masing-masing bawon dan pasrahan dalam transaksi bagi hasil merupakan salah satu dari isi kesepakatan. Besarnya pembagian tersebut terjadi karena
ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015,
4 kebiasan setempat atau berdasarkan kesepakatan masing-masing. Pengolahan tanah pertanian di desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi mempunyai beberapa tahapan, diantaranya: 1. Pembibitan Pembibitan dalam sistem kesepakatan ini merupakan kewajiban dari pemilik sawah. Pembibitan pada pertanian yang ada di desa Tegalsari kecamatan Tegalsai kabupaten Banyuwangi disebut deder winih atau ngurit. Winih merupakan benih padi kering yang siap untuk ditanam melalui metode khusus. Lahan yang digunakan untuk deder winih dicangkul halus terlebih dahulu, kemudian dikasih arang sekam. Hal ini dimaksudkan agar mempermudah proses pencabutan winih yang tumbuh dalam usia 20 hari. Setelah usia winih mencukupi dari 20 hari maka siap di daut atau di cabut hingga akarnya dan ditanam di area sawah yang telah siap ditanami. 2. Membajak sawah Tahap membajak sawah merupakan kewajiban dari pemilik sawah. Membajak sawah dalam bahasa keseharian masyarakat desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi bisa disebut dengan istilah nyingkal. Baik itu yang menggunakan alat tradisional maupun yang sudah modern. Nyingkal awalnya menggunakan tenaga sapi atau kerbau, tapi kebanyakan sekarang ini sudah menggunakan mesin. Area tepi yang juga berfungsi sebagai aliran air dicangkul untuk mempermudah air mengaliri di area tanam. 3. Penanaman Tahap penanaman merupakan kewajiban dari buruh tani penggarap sawah. Bibit atau winih selanjutnya disebar ke seluruh media tanam khusus yang telah disediakan. Setelah berusia 20 samapi dengan 25 hari baru ditanam. Agar tanaman bisa lurus dan rapi dibuatlah sistem kerek. Alat yang digunakan cukup sederhana yaitu berupa kayu yang dipasang dengan gigi kayu yang berjarak antara 18 cm hingga 20 cm. Winih atau benih padi ditanam mengikuti garis yang terbentuk dari alat tersebut, sehingga padi yang ditanam terlihat teratur dan mempermudah proses selanjutnya. 4. Perawatan Perawatan merupakan tugas dari dedua pihak. Perawatan pertaman bisa dimulai 20 hari pasca penanaman. Perawatan yang pertama adalah matun, yaitu membuang gulma yang mengganggu tanaman utama seperti padi. Matun merupakan kewajiban dari buruh tani. Pemupukan dilakukan pada saat padi berusia satu hingga dua bulan. Pemupukan dikerjakan oleh pemilik sawah. 5. Memanen Tahap memanen adalah tugas dari buruh tani itu sendiri. Panen merupakan tahap terakhir dalam sistem pengolahan tanah pertanian. Proses ini dilakukan pada saat padi berusia 100 hari dengan menggunakan clurit. Clurit yang paling banyak digunakan adalah gampung.
Ahmad Ainun N., et al., Sistem Bagi Hasil. . . . Oleh karena itu ada pula yang menyebut istilah panen menjadi gampung. Gampung maksudnya adalah memanen padi. Setelah itu baru digebros atau ditleser. Hal ini dilakukan untuk merontokkan biji padi. Pembagian bagi hasil dilaksanakan setelah semua padi dalam keadaan bersih dan siap bagi. b. Pemenuhan Kebutuhan Pokok Buruh Tani Para buruh tani dalam melangsungkan kehidupannya harus mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya sehari-hari. Adapun kebutuhan pokok setiap buruh tani adalah beragam, baik dari segi kebutuhan pangan, kebutuhan sandang, kebutuhan papan, kebutuhan pendidikan, dan juga kebutuhan kesehatan. Peneliti memfokuskan kebutuhan pokok buruh tani ke dalam lima jenis kebutuhan pokok di atas. Hal ini dikarenakan kelima jenis kebutuhan pokok tersebut merupakan kebutuhan yang harus paling diprioritaskan dibandingkan dengan kebutuhan lainnya. Adapun penjabaran dari kelima kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pendapatan yang tergolong rendah dan tidak menentu di setiap harinya membuat para buruh tani harus pandai mengatur keuangannya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama kebutuhan konsumsi di dalam keluarganya. Pendapatan yang rendah pula yang membuat para buruh tani harus hidup dengan cara berhemat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Salah satu cara yang bisa dilakukan buruh tani adalah meminimalisasi pengeluaran. Sikap hemat dalam pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilihat dari pola konsumsi yang dilakukan para buruh tani dengan membiasakan hidup dengan makan sederhana. Tempe, tahu, kerupuk, dan ikan asin merupakan jenis lauk pauk yang paling murah dan mampu dijangkau oleh buruh tani. Sedangkan untuk membeli sayur para buruh tani lebih memilih membeli di pedagang mlijo yang tiap subuh sudah keliling desa. Hal ini mempermudah para buruh tani untuk segera memasak karena pukul enam pagi para buruh tani sudah harus bekerja di sawah. Berdasarkan informasi di atas dapat diketahui bahwa para buruh tani menerapkan hidup berhemat dengan cara memenuhi kebutuhan konsumsi pangan secara sangat sederhana. 2. Pemenuhan Kebutuhan Sandang Kebutuhan selanjutnya yang penting untuk dipenuhi adalah kebutuhan sandang. Meskipun dalam pekerjaan buruh tani tidak membutuhkan jenis pakaian khusus, akan tetapi pakaian juga merupakan salah satu kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan. Perolehan pendapatan yang rendah dan tidak menentu kebanyakan para buruh tani memilih untuk berhemat dalam pemenuhan kebutuhan sandang. Membeli baju di pasar tradisional seperti pasar Krempyeng merupakan cara yang digunakan buruh tani untuk memenuhi kebutuhan sandang secara hemat. Selain murah buruh tani dapat menawar harga baju yang dijual. Walaupun pakaian yang dibeli tidak mempunyai brand yang terkenal namun buruh tani tetap membeli baju tersebut, karena mempunya pandangan bahwa pakaian itu sama saja, yang penting ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015,
5 pakaian yang dibeli masih layak untuk dipakai seharihari. Ukuran bagus tidaknya bukan dari brand yang bagus, akan tetapi lebih cenderung pada corak yang mereka sukai 3. Pemenuhan Kebutuhan Papan Pemenuhan kebutuhan papan atau perumahan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi buruh tani disamping kebutuhan pangan dan sandang. Kebutuhan pokok mempunyai arti penting bagi kehidupan para buruh tani karena rumah atau tempat tinggal merupakan salah satu tempat untuk berlindung dari hujan dan terik matahari, atau tempat untuk menyalurkan berbagai kebutuhan sosial, ekonomi, dan lain-lain. Para buruh tani di desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabuapaten Banyuwangi ini sudah memilik rumah sendiri meskipun masih sangat sederhana. Kondisi rumah yang dimilik buruh tani adalah rumah semi permanen. Rumah semi permanen yang dimaksudkan adalah bagian dasar atau sebagian dindingnya berupa material yang tahan lama seperti batu bata dan batako, sedangkan yang sebagian atas dinding berupa material yang tidak tahan lama seperti anyaman bambu. 4. Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan Kebutuhan pendidikan merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja oleh buruh tani. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan anak. Semua buruh tani tentu memiliki keinginan agar anaknya mempunyai masa depan lebih dari sekedar buruh tani. Buruh tani mengalokasikan sebagian penghasilannya juga untuk memenuhi kebutuhan pendidikan sang anak. Kebanyakan anak dari buruh tani bersekolah di sekolah swasta yang cenderung murah. Hal ini disebabkan karena minimnya biaya yang mampu dikeluarkan oleh para buruh tani. 5. Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan Kesehatan merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi dari sekian kebutuhan yang ada. Hal ini didasarkan karena manusia hidup membutuhkan jasmani dan rohani yang sehat untuk melakukan aktivitasnya. Semua aktivitas yang dijalani manusia tidak akan bisa dilakukan kecuali dengan kesehatan yang baik. Pemenuhan kebutuhan kesehatan dititik beratkan pada upaya buruh tani dalam menjaga kesehatan atau menangani masalah kesehatannya seperti memeriksakan diri ke dokter atau mantri, memeriksakan kesehatannya ke lembaga kesehatan yang dianjurkan seperti puskesmas atau klinik dan pengobatan mandiri dengan menggunakan obat-obatan yang dijual bebas di pasaran yang dengan mudah didapat walau tanpa menggunakan resep dokter. B. PEMBAHASAN a. Sistem Bagi Hasil Sistem hukum Indonesia yang bersifat tradisional pada umumnya memuat hukum tidak tertulis yang tidak dibukukan ke dalam undang-undang tertulis. Hukum seperti itu dalam kehidupan masyarakat disebut dengan hukum adat atau hukum kebiasaan. Meskipun tidak
Ahmad Ainun N., et al., Sistem Bagi Hasil. . . . tertulis, hukum kebiasaan itu berlaku secara umum dan ditaati oleh semua anggota masyarakat secara suka rela dan dikontrol secara langsung oleh lingkungan. Karakter hukum seperti ini identik dengan masyarakat pedesaan. Menurut penulis, hukum kebiasaan yang seperti ini akan tetap ada dan terus berlangsung selama tanah pertanian itu masih ada. Sistem bagi hasil yang berkembang hingga saat ini juga berfungsi sebagai sarana pemeliharaan hubungan baik sesama keluarga dekat. Pemilik sawah sebelum menawarkan bagi hasil kepada orang lain terlebih dahulu ditawarkan kepada sanak keluarga yang tidak punya sawah. Kalau tidak bersedia baru ditawarkan ke orang lain. Kesepakatan bagi hasil yang ada di desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi masih lebih diprioritaskan untuk keluarga dekat, setelah itu baru tetangga dekat atau orang lain. Pemilik sawah melakukan transaksi bagi hasil dikarenakan berbagai alasan seperti pemilik sawah kurang mampu menggarap sawah miliknya, faktor usia, punya pekerjaan lain, atau ada juga karena sawahnya jauh dari tempat tinggal. Apabila sawahnya tidak dikerjakan oleh orang lain maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi tanah yang tidak tergarap sehingga tingkat produktivitasnya turun. Alasan para buruh tani penggarap sawah menerima kesepakatan bagi hasil adalah karena tidak punya lahan sendiri dan tidak memiliki pekerjaan yang layak. Hal ini sejalan dengan pendapat Syamsuri (2012) yang menyatakan bahwa yang berhak mengadakan kesepakatan tersebut menurut hukumnya yang berlaku sekarang ini tidak saja terbatas pada orang-orang tertentu saja. Kesepakatan bagi hasil merupakan hukum yang dilaksanakan secara lisan meskipun sebenarnya sudah ada produk hukum tertulis yang telah dimuat di dalam UU No. 2 Tahun 1960 tentang Kesepakatan Bagi Hasil. Akan tetapi pada kenyataannya, masyarakat buruh tani yang ada di desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi tidak ada yang mengetahui isi undangundang tersebut. Padahal menurut pasal 3 ayat (1) dalam undang-undang tersebut menyebutkan secara jelas bahwa kesepakatan bagi hasil dibuat secara tertulis antara pihakpihak terkait di hadapan kepala desa setempat. Akan tetapi undang-undang itu tidak ada yang menerapkannya di dalam kehidupan masyarakat buruh tani di sana. Kesepakatan lisan sudah mampu diaplikasikan hingga saat ini. Dilihat aspek keadilan, peluang terjadinya ketidakadilan dari sistem bagi hasil yang ada terbuka lebar dalam masyarakat desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi. Bisa dilihat selama proses yang tidak seimbang antara tenaga yang dikeluarkan buruh tani dengan penerimaan yang diperolehnya. Jumlah perbandingan 1:4 dan 2:7 yang diterima oleh buruh tani tidaklah berimbang. Apabila terjadi gagal panen, maka buruh tani membupnyai risiko yang lebih besar dari pada pemilik tanah, meskipun pada kesepakatan menyebutkan bahwa risiko ditanggung bersama. ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015,
6 Dapat dijelaskan beberapa karakteristik ketidakadilan sistem bagi hasil yang saat ini masih berlaku di desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi. Pertama, sudah menjadi pandangan yang kuat bagi seluruh pihak. Kesepakatan bagi hasil antara pemilik tanah dan buruh tani penggarap sawah merupakan wilayah privat yang bersifat personal, bukan masalah publik. Oleh karena itu pihak luar seperti kelompok tani, aparat pemerintah desa, pemerintah daerah merasa tidak memiliki wewenang untuk mengintervensi bentuk kesepakatan bagi hasil yang berlangsung antara pemilik sawah dan buruh tani penggarap sawah. Kedua, hubungan tersebut bersandar pada bentuk hubungan patron klien yang artinya hubungan antara dua pihak yang sangat personal, intim, dan cenderung tidak seimbang. Jasa yang diberikan klien (buruh tani) kepada patro (pemilik sawah) lebih banyak dibandingkan sebaliknya. Oleh sebab itulah pembagian bagi hasil yang lebih menguntungkan pihak pemilik sawah sudah dianggap hal yang lumrah oleh buruh tani penggarap sawah. Ketiga,dalam kondisi tekanan penduduk yang tinggi terhadap tanah, maka sistem bagi hasil lebih dipersepsikan sebagai suatu sikap altruis pemilik yang besar kepada penggarap sawahnya. Bagaimanapun ketidakimbangan pola pembagian, tidak dianggap sebagai suatu hubungan yang eksploitatif. b. Pemenuhan Kebutuhan Pokok Buruh Tani Menurut Mangkunegara (2002:5), kebutuhan muncul akibat adanya dorongan dalam diri manusia dan kenyataannya bahwa manusia memerlukan sesuatu untuk tetap bisa hidup. Pernyataan tersebut sejalan dengan hakekat manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai kodrat tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Setiap manusia pasti punya hubungan saling membantu antar sesama. Sifat alamiah tersebut maka manusia memerlukan berbagai peran orang lain dalam memenuhi barbagai kebutuhannya. Seperti halnya dengan buruh tani yang tinggal di desa Tegalsari kecamatan Tegalsai kabupaten Banyuwangi. Para buruh tani memerlukan pekerjaan untuk bisa bertahan hidup. Mereka mendapatkan pekerjaan dari petani pemilik sawah yang meminta mereka untun mengerjakan sawahnya. Sementara itu petani pemilik sawah juga membutuhkan tenaga buruh tani untuk meggarap sawahnya karena pemilik sawah tidak mampu menggarap sawahnya sendiri. Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan yang dikonsumsi sehari-hari berupa makanan pokok. Bagi buruh tani makanan merupakan hal sangat penting untuk menunjang stamina dalam bekerja. Keluarga buruh tani mengkonsumsi makanan sehari-hari seperti nasi sebanyak dua hingga tiga kali dalam sehari. Makanan yang dikonsumsi oleh buruh tani desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi disesuaikan dengan penghasilan yang diperoleh. Kebanyakan dari mereka adalah hanya mampu mengkonsumsi nasi, sayur-sayuran, sambal, dan lauk
Ahmad Ainun N., et al., Sistem Bagi Hasil. . . . pauk seperti tahu, tempe, ikan asin, dan kerupuk. Mereka jarang sekali mengkonsumsi buah dan susu. Sehingga dalam pemenuhan kebutuhan pangan, buruh tani masuk dalam kategori tidak memenuhi standar makanan empat sehat lima sempurna seperti yang ditentukan oleh Sidaruk (2011) yang menyebutkan komponen standar hidup layak dalam pemenuhan kebutuhan pokok yang meliputi nasi, daging, sayuran, buah-buahan, dan susu. Kebutuhan sandang merupakan salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan. Tanpa pakaian manusia tidak akan dapat bekerja. Selain sebagai atribut dan kebutuhan kerja, pakaian juga berfungsi untuk menjaga kulit dari cuaca panas dan dingin. Sehingga manusia akan mudah terhindar dari penyakit. Seperti halnya dengan buruh tani, mereka membutuhkan pakaian untuk bekerja di sawah yang merupakan tempat beraktivitas memperoleh penghasilan. Rendahnya pendapatan yang diperoleh para buruh tani menghasruskan mereka menggunakan pakaian seadanya. Pakaian yang dikenakan para buruh tani dalam bekerja merupakan pakaian bekas yang sudah lama. Buruh tani tidak perlu membutuhkan pakaian khusus dalam bekerja. Asalkan muat dipakai dan bisa melindungi kulit dari sengatan matahari itu sudah cukup. Yang penting adalah berlengan panjang. Para buruh tani membeli pakaian setahun sekali pada saat mendekati lebaran idul fitri. Itupun yang lebih diutamakan adalah pakaian anaknya. Hal tersebut bisa dikatakan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok buruh tani masih jauh dari layak. Pemenuhan akan pakaian masih bersifat seadanya dan cenderung tidak mengikuti trend yang ada. Rumah atau tempat tinggal merupakan kebutuhan yang juga sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan oleh buruh tani. Rumah berfungsi sebagai alat perlindungan diri dari cuaca, tempat berlindung dan lain sebagainya. Selain itu bagi buruh tani, rumah digunakan sebagai tempat beristirahat setelah seharian bekerja. Rumah yang ditempati para buruh tani yang ada di desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi masih jauh dari kata layak. Hal ini bisa dilihat dari kondisi rumah yang masih semi permanen. Lantainya pun masih berupa lantai tanah. Tidak ada keramik ataupun materi semen. Kebutuhan pencahayaan masih meminta bantuan tetangga dengan cara menyalurkan listrik. Kamar mandi juga masih jauh dari kata layak. Kondisi sedemikian rupa itu disebabkan karena minimnya penghasilan yang diperoleh oleh buruh tani, sedangkan pengahsilan lainnya masih lebih diprioritaskan untuk kebutuhan pangan dan pendidikan anak. Kebutuhan selanjutnya yang tidak kalah penting adalah kebutuhan pendidikan. Kebutuhan pendidikan yang dimaksuda adalah kebutuhan pendidikan anak dari buruh tani itu sendiri terlepas dari pendidikan di lingkungan keluarga. Entah bagaiamanpun caranya, buruh tani harus mampu menyekolahkan anaknya hingga batas yang mereka mampu. Alasannya pendidikan anak merupakan salah satu alasan buruh tani semangat dalam bekerja. Hal ini sejalan dengan pendapat La Sulo ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015,
7 (2005:165) yang menyatakan bahwa pendidikan formal berfungsi mengajarkan pengetahuan umum dan pengetahuan yang bersifat khusus dalam rangka mempersiapkan anak untuk pekerjaan-pekerjaaan tertentu. Minimnya penghasilan yang diperoleh oleh buruh tani memaksa mereka harus menyekolahkan anaknya di sekolah swasta yang sangat murah meskipun kualitas sekolahnya masih terolong rendah. Mereka punya anggapan bahwa yang penting bisa sekolah entah di mana pun tempatnya. Apabila tidak mampu menekolahkan ankanya ke sekolah formal, maka para buruh tani memilih mengirim anaknya ke pesantren. Kebutuhan kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang juga harus mampu dipenuhi oleh buruh tani. Akan tetapi kebutuhan kesehatan ini akan dipenuhi pada saat kondisi kesehatan buruh tani dan keluarganya terganggu. Kesehatan akan sangat mempengaruhi aktivitas keseharian buruh tani. Apabila hal ini tidak diperhatikan maka tentunya akan mengganggu pada proses memperoleh penghasilan. Biaya pengobatan yang mahal dan minimnya penghasilan buruh tani memaksa mereka memanfaatkan obat-obatan yang ada di warung dekat rumahnya. Kecuali bagi buruh tani yang memiliki asuransi kesehatan atau askes. Namun, pada kenyataannya hanya beberapa saja dari sekian buruh tani yang memiliki askes. Bagi buruh tani yang memiliki askes bisa berobat ke rumah sakit dengan biaya gratis. Akan tetapi bagi buruh tani yang tidak memiliki askes maka mereka masih menggunakan pengobatan tradisional seperti pijat dan minun jamu tradisional. Dengan kondisi demikian maka pemenuhan kebutuhan kesehatan buruh tani masih jauh dari kata layak.
KESIMPULAN Bentuk kesepakatan dari sistem bagi hasil dapat diistilahkan dengan istilah kedokan atau ngedok. Kedokan atau ngedok merupakan kesepakatan tidak tertulis antara buruh tani penggarap sawah dengan petani pemilik sawah. pembagian hasil dari kesepakatan tersebut berupa bawon dan pasrahan. Bawon merupakan bagian dari hasil panen yang diperoleh oleh buruh tani. Pasrahan merupakan bagian dari hasil panen yang diterima oleh pemilik sawah. adapun tugas yang harus diselesaikan oleh buruh tani penggarap sawah adalah aktivitas mulai penanaman hingga proses panen kecuali pemupukan. Sedangkan pemilik sawah bertugas menyiapkan lahan, pembibitan dan pemupukan saja. Risiko apabila terjadi gagal panen maka menjadi tanggung jawab bersama. Dilihat aspek keadilan, peluang terjadinya ketidakadilan dari sistem bagi hasil yang ada terbuka lebar dalam masyarakat desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi. Jumlah perbandingan 1:4 dan 2:7 yang diterima oleh buruh tani tidaklah berimbang. Apabila terjadi gagal panen, maka buruh tani membupnyai risiko yang lebih besar dari
Ahmad Ainun N., et al., Sistem Bagi Hasil. . . . pada pemilik tanah, meskipun pada kesepakatan menyebutkan bahwa risiko ditanggung bersama. Pendapatan atau penghasilan yang diperoleh buruh tani di desa Tegalsari kecamatan Tegalsari kabupaten Banyuwangi tergolong miskin dan rendah sehingga mengakibatkan pola pemenuhan kebutuhan pokoknya juga sangat sederhana dan terkesan apa adanya. Oleh karena itu para buruh tani menggunakan prinsip hidup hemat dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya. Pola makan tidak teratur, menu makanan sangat sederhana, pakaian dan rumha juga sangat sederhana. Pendidikan anak berada di sekolah yang biasa, serta akses kesehatan yang masih jauh dari kata layak. SARAN Berdasarkan kesimpulan dari penelitian tersebut maka dapat diberikan saran sebagai berikut: 1. Rendahnya pendidikan buruh tani memaksa mereka bekerja sebagai buruh tani, oleh karena itu sebaiknya para buruh tani harus benar-benar memperhatikan pendidikan anaknya jika ingin kehidupan anaknya jauh lebih baik. 2. Diharapkan agar pemerintah daerah tidak berhenti mencari solusi agar taraf hidup buruh tani bisa meningkat agar kebutuhan dasar mereka mampu terpenuhi. 3. Diharapkan agar pemerintah benar-benar memperhatikan dan mempermudah akses kesehatan dan pendidikan keluarga buruh tani.
DAFTAR PUSTAKA [1] Mangkunegara, A.P. 2002. Perilaku Konsumen. Bandung: PT. Refika Aditama. [2] Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pembangunan Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta. [3] Pancawati, Juwarin. 2012. Kontribusi Pendapatan Sektor Pertanian Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Buruh Tani. Banten: JIPP. [4] Sidaruk, M. 2011. Kebijakan Pengupahan di Indonesia. Jakarta [5] Sinungan, Muchdarsyah. 2005. Produktivitas Apa dan Bagaimana. Jakarta: PT. Bumi Aksara. [6] Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. [7] Tirtarahardja dan La Sulo. 2005. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
[8] Syamsuri, Bisri. 2012. Pengertian dan Landasan Hukum Sistem Bagi Hasil Pertanian.http://syamloco.blogspot.com/2012/03/ pengertian-dan-landasan-hukum-bagi .html diakses pada tanggal 18 Januari 2015.
ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015,
8