SISTEM ANGKUTAN UMUM BERBASIS JALAN REL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMECAHAN PERMASALAHAN TRANSPORTASI PERKOTAAN
Oleh: Ofyar Z. Tamin
Disampaikan pada Seminar Regional ‘Pengembangan Sistem Transportasi Yang Berkelanjutan’ Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Kristen Petra Surabaya, 2 Maret 2002
SISTEM ANGKUTAN UMUM BERBASIS JALAN REL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMECAHAN PERMASALAHAN TRANSPORTASI PERKOTAAN1 Ofyar Z. Tamin2 Departemen Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung 1.
LATAR BELAKANG
Kemacetan serius merupakan kejadian sehari-hari yang sering dijumpai di beberapa kota besar di Indonesia sebagai ciri khusus daerah perkotaan di negara sedang berkembang, khususnya kota yang berpenduduk di atas 2 (dua) juta jiwa. Sampai tahun 1996, jumlah tersebut telah dicapai oleh beberapa kota, seperti: DKI-Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan Jogyakarta. Pada tahun 2020, diperkirakan hampir semua ibukota propinsi di Indonesia akan dihuni lebih dari 2 juta jiwa, yang berarti pada dasawarsa tersebut para pembina daerah perkotaan akan dihadapkan pada permasalahan baru yang memerlukan suatu solusi yang baru pula, yaitu: permasalahan transportasi perkotaan (Tamin, 1995, 1997). Kota Surabaya merupakan jantung perkembangan perekonomian di Propinsi Jawa Timur. Efisiensi kegiatan ekonomi di wilayah ini akan sangat menentukan bagaimana Propinsi Jawa Timur akan dapat bersaing dan tumbuh di era otonomi daerah dan persaingan global dalam waktu dekat ini. Efisiensi kegiatan ekonomi suatu wilayah, khususnya kota Surabaya, sangat ditentukan bagaimana kinerja dari sistem transportasi kota yang ada. Problem transportasi di beberapa kota besar di Indonesia saat ini sudah sangat parah, khususnya di jam-jam puncak pagi dan sore hari. Sebagai ilustrasi, Lubis dkk (2000) menyebutkan bahwa kecepatan rata-rata di ruas-ruas jalan menuju pusat kota Bandung dari daerah suburban di sekitarnya hanya sekitar 20 km/jam. Jika kecepatan rata-rata ideal di jaringan jalan perkotaan adalah 30 km/jam, maka inefisiensi waktu perjalanan akibat kemacetan di Bandung sekitar 33% dari total waktu perjalanan yang semestinya. Dengan asumsi bahwa nilai waktu penduduk Bandung sebesar Rp 5.000,-/jam dan jumlah pelaku perjalanan di jam puncak tersebut sekitar 150.000 orang, maka pemborosan resource waktu sebesar 247,6 juta per jam puncak atau ekivalen dengan + 1,78 milyar per hari jaringan jalan di Metropolitan Bandung (angka ini baru memperhitungkan pemborosan waktu saja, belum memperhitungkan pemborosan bahan bakar). Akibat yang langsung kita rasakan adalah kemacetan lalulintas yang sering terjadi yang terlihat jelas dalam bentuk antrian panjang, tundaan, kecepatan sangat rendah, serta polusi, baik udara maupun suara. Masalah lalulintas tersebut jelas menimbulkan kerugian yang sangat besar pada pemakai jalan, terutama dalam hal pemborosan bahan bakar, pemborosan waktu, dan juga rendahnya tingkat kenyamanan. Dapat dibayangkan berapa banyak uang dan waktu yang terbuang percuma karena kendaraan terperangkap dalam kemacetan dan berapa banyak uang yang dapat disimpan jika kemacetan dapat dihilangkan (dari segi biaya bahan bakar dan nilai waktu tundaan). 2.
TRANSPORTASI BERKELANJUTAN (SUSTAINABLE TRANSPORT)
Center for Sustainable Development (1997) mendefinisikan sistem transportasi yang berkelanjutan sebagai suatu sistem yang menyediakan akses terhadap kebutuhan dasar individu atau masyarakat secara aman dan dalam cara yang tetap konsisten dengan kesehatan manusia dan ekosistem, dan dengan keadilan masyarakat saat ini dan masa datang. Selain itu, harus juga terjangkau secara finansial, beroperasi secara efisien, penyediakan alternatif pilihan moda, dan mendukung laju perkembangan ekonomi. Membatasi emisi dan buangan sesuai dengan kemampuan absorbsi alam, meminimumkan penggunaan energi dari sumber yang tak terbarukan, menggunakan komponen yang terdaur ulang, dan meminimumkan penggunaan lahan serta memproduksi polusi suara yang sekecil mungkin. Untuk lebih jelas dapat diLihat pada gambar 1.
1
2
disampaikan pada Seminar Regional ‘Pengembangan Sistem Transportasi Yang Berkelanjutan’, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Kristen Petra, Surabaya, 2 Maret 2002. Guru Besar Transportasi ITB, Wakil Ketua Program Magister Transportasi ITB, dan Ketua Forum Studi Transportasi antar Perguruan Tinggi (FSTPT). 1
Kenyamanan hidup masyarakat
MASYARAKAT
LINGKUNGAN Pemeliharaan dan regenerasi lingkungan
Perkembangan yang berkelanjutan
Keadilan sosial dan kesejahteraan
KEBERLANJUTAN MENYELURUH
Perkembangan ekonomi dan kinerja sistem transportasi
Keadilan sosial dan ekonomi
EKONOMI Gambar 1: Interaksi antar Elemen dalam Sistem yang Berkelanjutan Sumber: Center for Sustainable Development (1997) Transportasi yang berkelanjutan (sustainable transportation) merupakan salah satu aspek dari keberlanjutan menyeluruh (global sustainability) yang memiliki tiga komponen yang saling berhubungan, yakni: lingkungan, masyarakat, dan ekonomi. Dalam interaksi tersebut, transportasi memegang peran penting dimana perencanaan dan penyediaan sistem transportasi harus memperhatikan segi ekonomi, lingkungan, dan masyarakat. 3.
PENYEBAB PERMASALAHAN TRANSPORTASI PERKOTAAN
3.1 Urbanisasi Sektor pertanian konvensional secara perlahan terlihat semakin kurang menarik, dan tidak lagi diminati, terutama oleh generasi muda. Di sisi lain, perkotaan menawarkan banyak kesempatan, baik di sektor formal maupun informal. Ditambah lagi dengan tidak meratanya pertumbuhan wilayah di daerah pedalaman (rural) dibandingkan dengan di daerah perkotaan (urban). Hal ini menyebabkan tersedianya banyak lapangan kerja serta upah atau gaji yang tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dengan di daerah pedalaman. Semua ini merupakan daya tarik yang sangat kuat bagi para pekerja di daerah pedalaman. Pepatah mengatakan ada gula, ada semut. Tabel 1: Sensus penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan Tahun % 1920 5,8 (2,88 Juta) 1980 17,0 1990 25,4 (46,48 Juta) 2025 59,5 Sumber: Tamin (2000)
Tabel 1 memperlihatkan jumlah penduduk di Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan. Terlihat bahwa pada tahun 1920, penduduk seluruh kota di Indonesia hanya sekitar 3 juta jiwa (sebagai perbandingan penduduk kota Bandung pada saat sekarang sekitar 5,5 juta jiwa). Pada akhir tahun 2025 sekitar 60% orang akan tinggal di daerah perkotaan. Jika kita menganggap penduduk Indonesia pada tahun 2025 berjumlah 240 juta orang, maka akan ada 144 juta penduduk tinggal di daerah perkotaan. Bisa dibayangkan penduduk sebanyak itu harus ditampung oleh luas daerah perkotaan yang relatif sangat kecil dibandingkan dengan luas daerah non-perkotaan di Indonesia. Namun, sebesar apa pun kota dengan segala kelengkapannya, pasti mempunyai batasan, yaitu daya tampung. Jika batas tersebut sudah terlampaui, akan terjadi dampak yang sangat merugikan.
2
3.2 Tingginya kebutuhan pergerakan dan terbatasnya sistem jaringan Salah satu indikator penunjang efisiensi kegiatan ekonomi adalah kondisi pelayanan jaringan transportasi yang baik dengan kapasitas yang mencukupi, beroperasi ecara efisien dan mampu mengakomodasi jumlah dan pola permintaan perjalanan yang ada di dalam wilayah pelayanannya. Salah satu penyebab kemacetan adalah rendahnya total luas jaringan jalan yang ada dibandingkan dengan total luas daerah perkotaan yang harus dilayaninya. Sebagai contoh, total luas jaringan jalan di Metropolitan Bandung hanya sekitar 1,5% dari total luas wilayah pelayanan (tidak termasuk kawasan lindung). Idealnya angka tersebut berkisar antara 10-30% (Banister and Hall, 1981). Ironisnya, dengan kapasitas jaringan jalan yang sudah sangat terbatas tersebut, sangat mudah ditemukan ruas-ruas jalan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan karena tingginya gangguan samping dan penggunaan sebagian badan jalan untuk keperluan sektor informal dan kegiatan perparkiran. Hal ini dapat menyebabkan kapasitas operasional ruas jalan menurun menjadi sekitar 30-40% saja dari kapasitas seharusnya (LP-ITB, 1998). Ekspansi kapasitas angkutan umum yang beroperasi di dalam jaringan jalan dengan menambah jumlah armada adalah hal yang mustahil, sebab dengan jumlah yang ada sekarang saja dampak gangguan lalulintas akibat operasi angkutan umum di jalan sangatlah besar. Satu-satunya harapan adalah dengan mengembangkan sistem angkutan massal yang berbasis jalan rel; namun sayangnya saat ini peran angkutan rel perkotaan sangat sedikit. Semakin tergesernya wilayah permukiman ke daerah pinggiran kota, sedangkan tempat lapangan pekerjaan semakin banyak di pusat perkotaan juga membuat beban sistem jaringan jalan menjadi semakin berat khususnya ruas-ruas jalan yang menuju pusat kota. Meskipun dampak krisis moneter masih terasa sampai dengan saat ini, akan tetapi diperkirakan perekonomian Indonesia akan kembali meningkat pada masa mendatang. Konsekuensi logisnya berupa meningkatnya permintaan akan pembangunan fisik prasarana, sarana, dan fasilitas pendukung, yang mengakibatkan meningkatnya permintaan akan lahan pembangunan baru di wilayah perkotaan guna menampung kebutuhan tersebut. Usaha pemerintah untuk memecahkan masalah transportasi perkotaan telah banyak dilakukan, baik dengan meningkatkan kapasitas jaringan jalan yang ada maupun dengan pembangunan jaringan jalan baru, ditambah dengan rekayasa dan manajemen lalulintas terutama pengaturan efisiensi transportasi angkutan umum dan penambahan armadanya. Tetapi, berapa pun besarnya biaya yang dikeluarkan, kemacetan dan tundaan tetap tidak bisa dihindari. Ini disebabkan karena kebutuhan akan transportasi terus berkembang pesat, sedangkan perkembangan penyediaan fasilitas transportasi sangat rendah sehingga tidak bisa mengikutinya. Perbaikan kondisi ekonomi dan deregulasi di bidang otomotif akan mendorong tingkat kepemilikan kendaraan yang luar biasa cepatnya. Dengan kondisi pelayanan angkutan umum perkotaan yang ada saat ini, maka captive user akan berkurang proporsinya, dan tanpa adanya perbaikan pelayanan sistem angkutan umum maka akan sangat wajar jika terjadi perpindahan penggunaan moda dari angkutan umum ke kendaraan pribadi, bukan sebaliknya. Kejadian ini harus dihindarkan dan diantisipasi, setidaknya rencana pengembangan sistem angkutan massal harus segera diwujudkan. 3.3 Permasalahan angkutan umum Angkutan umum perkotaan adalah merupakan salah satu tulang punggung (backbone) ekonomi perkotaan dimana kota yang ‘baik’ dan ‘sehat’ dapat ditandai dengan melihat kondisi sistem angkutan umum perkotaannya (Cresswell, 1979). Transportasi yang aman dan lancar, selain mencerminkan keteraturan kota, juga mencerminkan kelancaran kegiatan perekonomian kota. Angkutan umum harus direncanakan dan dikoordinasikan sebaik-baiknya sehingga pelayanan angkutan umum bisa menjamah setiap inci daerah perkotaan yang ada khususnya daerah pemukiman, daerah perkantoran, dan pertokoan. Karsaman dkk (1999) menyimpulkan permasalahan angkutan umum di Kota Bandung secara terstruktur (lihat gambar 2 dan tabel 2). Hal yang selalu terlihat di lapangan adalah masalah di tingkat operasional berupa kenyamanan, tarif, waktu tunggu, waktu perjalanan, dan lain-lain. Akan tetapi, permasalahan operasional tersebut merupakan hasil interaksi berbagai macam keputusan pada level sebelumnya, yaitu pada tingkat manajemen dan kebijakan. Dengan demikian, penyelesaian masalah angkutan umum harus dimulai dari tingkat kebijakan sistem kota dan manajemen angkutan umum yang ada, yang baru kemudian dilanjutkan dengan penyusunan program penanganan operasional di lapangan. 3
Masalah di Tingkat Operasional Kata kunci: Melakukan semua persyaratan operasi dengan benar
Kondisi Pelayanan Angkutan Umum? (tarif, kenyamanan,dll)
Trayek dan Jenis & Jumlah Armada Angkutan Umum Terminal
Proses lisensi & penambahan armada
DLLAJ & Dispenda
Dealer
Masalah di Tingkat Manajemen Kata kunci: Menentukan kebijakan operasi dan mengawasinya secara benar pelaksanaannya
Proses pendanaan dan subsidi
Bank
Pengusaha dan Sopir
Kebutuhan pelayanan transportasi Kebijakan Tata ruang
DPRD II
Kebijakan Sistem Operasi Transportasi
PEMDA
Manajemen & Investasi Infrastruktur
Dinas & Departemen Teknis
Masalah di Tingkat Kebijakan Kata kunci: Transparansi, visi kota, dan isu equity & sustainability
Bappeda Dati II, Dati I, Nasional
Gambar 2: Struktur permasalahan sistem angkutan umum Sumber: Karsaman dkk (1999) Tabel 2: Identifikasi permasalahan dalam sistem angkutan umum Sumber Permasalahan
1. Perencanaan
2. Kebijakan dan Regulasi
3. Operasional
4. Kelembagaan
5. Pendanaan
6. Sosial
Pokok Bahasan
Pihak Yang Terkait
• Jaringan Trayek • Perkiraan Demand • Fasilitas • Supply (Jumlah Armada) • Ijin (Baru dan Perpanjangan)
• DLLAJ, Pemda, Bappeda, DPU/DTK, Polisi, Organda, Operator, Dealer
• Tarif
• Dispenda, Pemda, Operator, Organda
• Headway • Tingkat Kenyamanan (LoS) • Keselamatan • Kondisi Kendaraan • Kontrol/Monitoring • Wewenang • Manajemen Perusahaan/Koperasi • Investasi/Sumber Dana • Biaya Operasi • Subsidi • Disiplin/Kesadaran Sopir dan Penumpang • Angkutan Liar
• DLLAJ, Operator, Masyarakat, Polisi, Operator
• DLLAJ, Polisi, Organda
• DLLAJ, Pemda, Bappeda, DPU/DTK, Polisi Pengusaha/Operator • Pemerintah, Bank, Operator • Operator, Bank • Pemerintah • Polisi, Tokoh Masyarakat, Surat Kabar, Radio/TV • DLLAJ, Polisi
Sumber: Karsaman dkk (1999) 4
Pihak Yang Berwenang • DLLAJ • DLLAJ • DPU • DLLAJ
Masalah Yang Ada
• Tidak menyeluruh/tumpang tindih • Tidak mengikuti hirarki pelayanan • Kurang diperhatikan • Adanya terminal liar • Tidak sesuai kebutuhan • DLLAJ • Kurang mengacu pada dampak lalu lintas (hanya peningkatan PAD) • Adanya ketidak seimbangan antara jumlah ijin angkutan untuk trayek lintas kotamadya dan kabupaten • Perpindahan kepemilikan angkutan umum yang tidak terkontrol • Menteri • Tidak seimbang antara pendapatan Perhubunga dan biaya yang dikeluarkan n dan operator dan hanya mengacu pada Pemda satuan Rp/penumpamg/km yang ditetapkan pemerintah pusat • DLLAJ • Kurang diperhatikan • DLLAJ • Kurang diperhatikan • Polisi • Kurang diperhatikan • Operator • Tidak terawat • DLLAJ, Polisi • Kurang terkontrol • DLLAJ • Operator/ Koperasi • Bank • Operator • Pemda
• Kurang jelas kewenangan • Kurang termanajemen • SDM yang kurang
• Tidak mencukupi • Pengaruh bunga tinggi, krisis moneter/ekonomi • Tidak mencukupi • Polisi • Kurang disiplin • DLLAJ, Polisi • Tidak terkontrol (tutup mata)
Belakangan ini, beberapa media masa (cetak dan elektronik) baik di DKI−Jakarta maupun di beberapa kota besar lainnya selalu memberitakan beberapa hal yang sangat negatif mengenai kondisi operasional angkutan umum kota (Tamin, 1995). Beberapa kenyataan dapat terlihat sehari-hari di daerah perkotaan bahwa angkutan umum yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian malah pada saat sekarang ini merupakan biang kerok penyebab masalah kemacetan di perkotaan. Terlihat bahwa pengemudi angkutan umum sama sekali tidak memperhatikan aspek keselamatan dan kenyamanan penumpang yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh keinginan pengemudi angkutan umum untuk mengejar setoran yang diminta oleh pemilik dan untuk mendapatkan penghasilan yang mencukupi. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pemilik jasa angkutan umum sebenarnya tidak mempunyai kemampuan untuk mengestimasi investasinya terlebih dahulu, apakah usaha ini akan memberikan keuntungan atau tidak, yang berarti mereka melaksanakan usaha hanya berdasarkan prinsip cobacoba/spekulasi saja. Rendahnya tarif penumpang dan besarnya biaya operasi kendaraan menyebabkan penumpang pada saat sekarang ini seakan-akan malah disubsidi oleh pengemudi/pemilik. Hal yang perlu diperhatikan adalah tarif angkutan umum tidak boleh terlalu tinggi sehingga bisa dinikmati oleh setiap pengguna dan tidak boleh juga terlalu rendah sehingga pemilik/pengemudi masih mempunyai keuntungan dalam mengoperasikannya. Sehingga dibutuhkan suatu penentuan tarif optimal yang menguntungkan bagi operator/pemili k dan tidak begitu membebani penumpang sehingga dihasilkan tingkat pelayanan yang baik. Selain itu, jumlah armada perlu disesuaikan juga dengan kebutuhan penumpang yang ada. Pada rute dimana jumlah armada terlalu banyak akan menyebabkan sesama angkutan umum berebut penumpang atau ngetem dimana-mana mencari penumpang dalam usaha mengejar setoran. Hal ini pasti akan menyebabkan rendahnya tingkat keselamatan dan kemacetan lalulintas. Hal yang sebaliknya terjadi apabila jumlah armada terlalu sedikit, sehingga penumpang dipaksakan berjejal yang menyebabkan kerugian dari sisi kenyamanan. Sehingga dibutuhkan suatu penentuan jumlah armada yang optimal yang sesuai dengan kebutuhan penumpang yang ada sehingga menguntungkan bagi operator/pemilik dan dapat melayani penumpang dengan tingkat pelayanan yang diinginkan. Jika sistem pelayanan angkutan umum ini tidak segera diperbaiki, pemakai jasa transportasi semakin tidak menyukai angkutan umum. Dengan demikian, peranan angkutan umum semakin bertambah kecil. 3.
ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH
Seperti telah dijelaskan, permasalahan kemacetan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tingginya tingkat urbanisasi, pesatnya tingkat pertumbuhan jumlah kendaraan, dan sistem angkutan umum yang tidak efisien. Tetapi, yang paling penting yang dapat disimpulkan sementara sebagai penyebab permasalahan transportasi ini adalah tingkat pertumbuhan prasarana transportasi tidak bisa mengejar tingginya tingkat pertumbuhan kebutuhan transportasi. Salah satu faktor hambatan yang sangat dirasakan adalah keterbatasan dana dan waktu yang merupakan penyebab utama. Usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah (lihat gambar 3): a. revitalisasi sistem jaringan transportasi untuk mengembalikan fungsinya kembali sebagaimana mestinya; b. meredam tingkat pertumbuhan kebutuhan transportasi; c. meningkatkan pertumbuhan prasarana transportasi itu sendiri. d. memperlancar sistem pergerakan melalui kebijakan rekayasa dan manajemen lalulintas yang baik. Tak ada satupun kebijakan tunggal (single solution) yang dapat langsung memecahkan secara tuntas masalah transportasi perkotaan. Kebijakan yang harus diambil harus merupakan gabungan dari beberapa kebijakan yang secara sinergi memecahkan masalah transportasi yang ada. Beberapa kebijakan yang harus dilakukan bersama-sama akan dijelaskan berikut ini. 3.1 Kebijakan Optimasi Kapasitas Prasarana Sebelum mulai membicarakan hal yang membutuhkan biaya yang sangat besar, pertanyaan yang perlu pertama dijawab adalah seberapa jauh jaringan jalan yang ada sekarang ini berfungsi sesuai dengan kapasitas yang seharusnya. Terdapat beberapa permasalahan pada sistem jaringan jalan di beberapa kota besar di Indonesia yang harus segera dipecahkan sebagai berikut. 5
KEBUTUHAN PERGERAKAN
2
K E S E I M B A N G A N
3
KAPASITAS PRASARANA
1
KAPASITAS PRASARANA EKSISTING
Gambar 3: Permasalahan keseimbangan demand dan supply secara skematis Sumber: Tamin (1998) • Gangguan samping yang sangat besar yang disebabkan oleh adanya ribbon development atau kegiatan sektor informal yang akan sangat mengurangi kapasitas jalan yang sudah sangat terbatas. • Sistem arus lalulintas satu arah adalah cara yang sangat baik dan efektif serta murah untuk meningkatkan kapasitas jaringan jalan (secara teoritis, kapasitas dapat ditingkatkan dua kalinya tanpa harus melebarkan jalan). Kelemahannya, terjadi peningkatan jarak dan waktu tempuh. Dampak negatif tersebut dapat dikurangi dengan memberikan rambu penunjuk jalan yang baik dan lengkap untuk mengarahkan perjalanan ke tempat tujuan. • Kegiatan parkir di badan jalan sangat mengurangi kapasitas jalan. Kerugian akibat kemacetan yang ditimbulkannya tidak sebanding dengan pemasukan yang diterima dari kegiatan parkir. Sehingga, sebelum dilakukan pelebaran jalan yang membutuhkan biaya sangat besar, sebaiknya dipikirkan terlebih dahulu bagaimana mengatur kegiatan parkir di badan jalan sehingga kapasitas jalan tersebut dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Sangat dianjurkan agar dinas terkait mengembalikan dulu fungsi jalan raya tersebut pada kapasitas semula sebelum membangun infrastruktur baru yang jelas membutuhkan biaya yang sangat besar. Misalnya, dengan cara memindahkannya ke tempat yang bukan di badan jalan. Masalah parkir tampaknya menjadi persoalan bidang transportasi yang semakin rumit. Pada satu pihak, parkir diusahakan dibatasi; tetapi di lain pihak, parkir digunakan sebagai salah satu sumber utama bagi pendapatan daerah. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah membandingkan besarnya kerugian akibat kemacetan yang ditimbulkannya dengan besarnya pendapatan yang diterima dari kegiatan perparkiran. • Di beberapa kota besar di Indonesia, tidak sulit ditemukan trotoar yang beralih fungsi dari tempat pejalan kaki menjadi tempat kegiatan informal. Sehingga, pejalan kaki yang seharusnya berjalan pada trotoar terpaksa menggunakan badan jalan. Akibatnya, kapasitas jalan akan berkurang dan kadang-kadang faktor keselamatanpun diabaikan. 3.2 Kebijakan Rekayasa dan Manajemen Lalulintas Kebijakan rekayasa dan manajemen lalulintas dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagai berikut. • Pemasangan dan perbaikan sistem lampu lalulintas baik secara terisolasi maupun terkordinasi yang dapat mengikuti fluktuasi arus lalulintas. Pengaturan ini akan dapat mengurangi tundaan dan kemacetan. Sistem ini dikenal dengan Area Traffic Control System (ATCS). • Perbaikan perencanaan sistem jaringan jalan yang ada, termasuk jaringan jalan KA, jalan raya, bus, dilaksanakan untuk menunjang Sistem Angkutan Umum Transportasi Perkotaan Terpadu (SAUTPT).
6
• Perlunya penerapan pembatasan lalulintas (traffic restraint) terhadap kendaraan pribadi telah diterima oleh para pakar transportasi sebagai hal yang penting dalam menanggulangi masalah kemacetan di perkotaan. 3.3 Kebijakan Peningkatan Kapasitas Prasarana Kebijakan ini harus dilaksanakan secara sangat selektif tergantung dari tingkat prioritas dan kemampuan pendanaan. Hal ini disebabkan karena selain membutuhkan biaya yang sangat besar juga akan dapat berdampak negatif berupa terciptanya peningkatan aktivitas pergerakan melalui peningkatan aksesibilitas dan mobilitas. Peningkatan kapasitas prasarana dapat dilakukan selain dengan melebarkan jalan, juga dapat dilakukan dengan memperbaiki titik-titik rawan kemacetan yang banyak terdapat pada jaringan jalan perkotaan. Pembenahan sistem jaringan jalan dan sistem hierarki serta pembangunan jalan terobosan baru harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari penyempitan, misalnya: • pelebaran dan perbaikan geometrik persimpangan; • pembuatan persimpangan tidak sebidang; • pembangunan jalan terobosan baru untuk melengkapi sistem jaringan jalan yang telah ada dan pembenahan sistem hierarki jalan. 3.4 Hal Lain Yang Dapat Dilakukan a. Pelatihan transportasi perkotaan bagi staf pemerintah daerah Kesiapan pemerintah dalam usaha mengelola dan mengatur daerahnya sendiri sangatlah penting. Beberapa kajian menyimpulkan bahwa banyaknya permasalahan transportasi di kota bukan hanya disebabkan oleh faktor kurangnya jumlah prasarana dan fasilitas transportasi yang tersedia, tetapi juga karena ketidaksiapan pemerintah daerah sebagai badan pengelola daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota. Oleh sebab itu, pelatihan merupakan cara yang sangat efektif untuk memperluas wawasan dan pengetahuan aparat dan staf pemerintah daerah dalam masalah transportasi, termasuk mengelola, merencana, dan mengatur. b. Analisis Dampak Lalulintas (Andall) Pembangunan kawasan pusat perkotaan, kawasan superblok, dan beberapa pusat kegiatan lain yang banyak dilakukan saat ini pasti berdampak langsung terhadap pergerakan lalulintas pada sistem jaringan jalan yang ada di sekitar kawasan tersebut. Pembangunan pasti menimbulkan bangkitan dan tarikan lalulintas yang disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan di kawasan itu. Seluruh pergerakan manusia, kendaraan, dan barang harus dapat dikuantifikasi dan diperkirakan berapa besar dampaknya (kuantitas dan kualitas) apabila membebani sistem jaringan jalan. Hasil analisis ini memberikan solusi terbaik yang dapat meminimumkan dampak serta memudahkan pengaturan akses ke lahan pembangunan yang baru tersebut. Juga memudahkan penyusunan usulan indikatif terhadap fasilitas yang diperlukan (jika ada) guna mengurangi dampak dan untuk mempertahankan tingkat pelayanan prasarana yang ada. Analisis Dampak Lalulintas (Andall) tersebut akan menganalisis dampak pengembangan kawasan terhadap kinerja sistem jaringan transportasi yang ada, dilihat dari segi kapasitas, kemacetan, keterlambatan, polusi, lingkungan, dan parameter lain. c. Sosialisasi peraturan dan penegakan hukum Ketidakdisiplinan selalu merupakan alasan utama terjadinya permasalahan transportasi perkotaan. Bagaimana pun baiknya sistem perlalulintasan, jika tidak dibarengi dengan disiplin berlalulintas yang baik, akan tetap berakhir dengan masalah. Selain itu, disiplin tidaknya pengguna jalan tidak saja tergantung pada dirinya sendiri, tetapi juga pada ketegasan sistem perlalulintasan yang berlaku, termasuk undang-undang dan peraturan, penegakan hukum, sosialisasi hukum, sarana, dan prasarana. 4.
PENGEMBANGAN SISTEM ANGKUTAN UMUM MASSAL (SAUM)
4.1 Angkutan Umum Berbasis Jalan Raya Berikut ini akan diuraikan beberapa permasalahan kemacetan di daerah perkotaan yang ditimbulkan oleh keberadaan angkutan umum:
7
a. Seluruh wilayah kota harus dapat terjangkau oleh pelayanan angkutan umum. Jika terdapat suatu daerah yang tidak terjangkau maka dapat dipastikan penduduk yang berada di daerah tersebut akan terpaksa menggantungkan dirinya pada angkutan pribadi (hal ini jelas tidak akan menguntungkan bagi kapasitas jalan yang terbatas). Oleh sebab itu, trayek angkutan harus direncanakan dengan memperhatikan pola tata guna tanah, pola penyebaran penduduk, dan pola kebutuhan pergerakan. b. Jumlah armada yang beroperasi pada masing-masing rute/trayek harus diatur sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan pergerakan yang terjadi (pada jam sibuk dan jam tidak sibuk). Tidak adanya perencanaan dan pengaturan izin trayek yang baik menyebabkan terdapatnya rute 'gemuk' dan rute 'kurus' dan jumlah armada yang tidak optimal. Hal ini jelas akan menyebabkan permasalahan kemacetan yang kronis pada rute tersebut karena angkutan umum yang jumlahnya terlalu banyak akan berusaha berebut penumpang. Pola operasi harus diubah dari operasi yang bersifat 'profitoriented' menjadi bersifat 'service-oriented'. Penggunaan sistem setoran juga menambah permasalahan karena pengemudi berusaha berebut penumpang agar target setrorannya tercapai. c. Tidak teraturnya daerah operasi kendaraan angkutan umum selalu dipersalahkan sebagai salah satu penyebab kesemrawutan lalu-lintas. Setiap jenis kendaraan umum seharusnya memliki fungsi tersendiri dan beroperasi di daerah yang sesuai dengan ukuran dan kapasitas jaringan jalan yang akan dilaluinya. Bis, misalnya dengan kapasitas besar harus beroperasi di jalan-jalan arteri, sementara jenis angkutan umum lainnya dengan ukuran kendaraan lebih kecil, dapat beroperasi pada jalan-jalan kolektor maupun lokal, daerah pinggiran kota atau di daerah pemukiman dalam jarak dekat atau menengah. d. Rute angkutan umum yang baik harus dapat memenuhi kepentingan kedua belah pihak yaitu pihak penumpang (user) dan pihak operator (swasta dan pemerintah). Untuk dapat memenuhi kedua belah pihak tersebut, maka penyusunan rute angkutan umum berdasarkan pada pola asal-tujuan pergerakan, ongkos perjalanan minimum, efisiensi sistem lalu-lintas kota, dan kebijaksanaan pemerintah daerah. Selain itu, agar menghasilkan kesesuaian pelayanan angkutan umum dengan aktifitas kota secara keseluruhan, maka perlu juga dipertimbangkan secara menyeluruh tentang pola tata guna tanah, jaringan jalan, penyebaran penduduk, kebutuhan pergerakan, dan lain-lain. e. Akan tetapi, hal yang terpenting adalah masalah kedisiplinan dari para pengendara dan aparat penegak hukum. Banyak ahli yang menyatakan bahwa masalah kemacetan di kota-kota besar sebagian besar disebabkan karena rendahnya tingkat disiplin para pemakai jalan dan aparat penegak hukum lalu-lintas. Tabel 3 memperlihatkan beberapa perbandingan antara sistem jaringan jalan raya dengan jalan rel. Tabel 3: Perbandingan antara angkutan jalan raya dan angkutan jalan rel No 1.
Hal Yang Diperbandingkan Pelayanan
Jalan Raya
Jalan Rel
door-to-door tidak membutuhkan angkutan awal dan angkutan lanjut dan bermobilitas tinggi
membutuhkan angkutan awal dan angkutan lanjutan dan bermobilitas rendah
2.
Macam Lalu Lintas
segala macam lalu lintas dari pejalan kaki sampai dengan truk
hanya diperbolehkan untuk kereta api
3.
Biaya Angkut
menguntungkan untuk jarak dekat karena menghemat waktu dan biaya dan tidak perlu ada angkutan pra- dan purna stasiun
menguntungkan untuk jarak jauh karena biaya operasi relatif menjadi lebih murah
4.
Kecepatan
kecepatan sangat tergantung dengan volume lalu lintas
kecepatan dapat lebih tinggi karena tidak ada hambatan
5.
Biaya Pemeliharaan Jenis Barang
relatif lebih murah
membutuhkan pemeliharaan yang teliti sehingga biaya relatif lebih tinggi
6.
Yang Diangkut
tidak cocok untuk angkutan massal (besar)
cocok untuk segala macam angkutan massal dan berjarak jauh
7.
Pengusahaan Angkutan
pengusaha hanya menyediakan sarananya saja (bis,truk)
pengusaha harus menyediakan sarana, prasarana dan pengaturan lalu lintas
8.
Perpindahan Dari Satu Jalur ke Jalur Lain
sangat mudah dan leluasa
harus melalui konstruksi khusus (wesel) dan persilangan 8
4.2 Sistem Angkutan Umum Massal (SAUM) 4.2.1 Pendahuluan Menurut Vuchic (1981) SAUM dibedakan menjadi semi-rapid dan rapid transit, seperti diperlihatkan pada tabel 4. Tabel 4: Klasifikasi SAUM berdasarkan moda Kelas Angkutan Massal 1 Semirapid Transit 2 Rapid Transit Sumber: Santoso (1995)
Jenis Moda Light Rail Transit, Street car/tram Monorail, Rubber-tired atau Rail Rapid Transit
Di bagian lain, klasifikasi SAUM bisa juga didasarkan pada (lihat tabel 5-6): 1. Right of way (RoW) atau sifat pergerakan kendaraan terhadap lalu-lintas lain, yaitu: -
Bercampur (mixed traffic), dimana kendaraan bergerak menggunakan lajur lalu-lintas bersama dengan kendaraan lain.
-
Terpisah sebagian (partly segregated/semi exclusive), dimana kendaraan bergerak pada lajur khusus yang dibatasi oleh misalnya marka jalan, namun pada sebagian tempat, misalnya persimpangan, kendaraan tersebut bercampur dengan kendaraan lain juga.
- Terpisah sama sekali (fully segregated/exclusive), dimana kendaraan bergerak pada lajur khusus yang dibatasi secara permanen atau berbeda levelnya, termasuk di persimpangan yang biasanya dibuat tidak sebidang 2. Teknologi, dalam hal ini ada 4 elemen yang mendasari klasifikasi yaitu: -
Sistem pendukung (support system), yaitu ban karet atau baja yang berjalan diatas landasan aspal, beton, rel baja.
-
Sistem pengarah (guidance system), yaitu manual dengan stir atau pengarah memanjang dan lainlain.
-
Sistem penggerak (motive power), yaitu jenis mesin atau sumber tenaga gerak (diesel, elektrik) dan lain-lain.
- Sistem kendali (control system), yaitu manual (berdasarkan penglihatan), sinyal atau dan lain-lain.
otomatisasi
3. Sistem pelayanan, berdasarkan 3 elemen yaitu: -
Jenis route dan perjalanan yang dilayani, yaitu jarak pendek, menengah dan jauh.
-
Jenis operasi atau tipe pemberhentian, yaitu berhenti di setiap halte atau express/patas.
-
Waktu operasi, yaitu biasa (sepanjang hari), hanya di jam sibuk, atau peristiwa khusus.
Tabel 5: Moda SAUM berdasarkan kategori RoW dan jenis teknologi Teknologi Kategori ROW C B A
Highway Driver Steered Bus (Reguler, PATAS) Bus pada Lajurkhusus Bus pada Busway
Rubber-tired Guided, Partially Guided Trolley Bus Trolley Bus/Guided bus Rubber-tired Rapid Transit Monorail, Automated-guided Transit
9
Rail Tram, Streetcar Light Rail Transit Light Rail Rapid Transit Rail Rapid Transit Regional Rail
Tabel 6: Kapasitas pelayanan beberapa moda SAUM Moda ROW C Streetcars ROW B Streetcars ROW A LRT Rapid Transit
Penumpang/kendaraan Maksimum Seat Penumpang
Kapasitas Maksimum Seat Penumpang
Unit/ Jam
Kend. Unit
60
2
60
101
5520
12100
75
2
46
101
6900
15150
30 30
6 9
46 40
101 160
8280 10800
18200 43200
4.2.2 Keuntungan dan kerugian penggunaan SAUM Pada saat ini terdapat kecenderungan meningkatnya penggunaan SAUM ini di berbagai kota besar di dunia, namun demikian masih terdapat pro dan kontra dalam penerapan sistem ini sendiri. Dari pihak yang pro, dikemukakan beberapa alasan yang merupakan keuntungan pemakaian sistem ini di suatu perkotaan, diantaranya adalah: a. Untuk meningkatkan pelayanan angkutan umum secara keseluruhan b. Meningkatkan kualitas lingkungan dan penghematan energi c. Untuk mengefisiensikan pemakaian lahan yang diperlukan untuk jalur transportasi d. Membuka peluang industri dan penyerapan tenaga kerja yang terlibat dibidang ini e. Meningkatkan citra suatu kota Di lain pihak, dari pihak yang kontra alasan utama penolakannya biasanya berdasarkan atas beberapa alasan yang diantaranya adalah: a. Besarnya modal/investasi yang diperlukan b. Tidak terbuktinya manfaat yang diharapkan c. Adanya bukti kegagalan sistem ini di beberapa kota d. Kompleksitas proses penyelenggaraan yangbiasanya memakan waktu sangat lama 4.2.3 Evolusi penerapan dan hirarki pelayanan SAUM Pada prinsipnya kebutuhan SAUM berevolusi sejalan dengan perkembangan kota dan kebutuhan pergerakan penduduknya seperti terlihat pada gambar 4.
Gambar 4: Evolusi strategis SAUM (Sumber: Allport and Thomson, 1990)
Dari ilustrasi ini terlihat bahwa dalam usaha pemecahan masalah transportasi di suatu perkotaan biasanya dilakukan serangkaian tahap-tahap tertentu, seperti menerapakan manajemen lalu lintas, menerapkan sistem prioritas bus dan akhirnya penerapan SAUM ini merupakan usaha terakhir yang 10
biasanya dilakukan seiring dengan meningkatnya kemampuan teknis dan administrasi pengelolaan transportasi 4.2.4 Konsep hirarki pelayanan Pada SAUM yang sudah lengkap dikenal adanya hirarki pelayanan yang dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan kegunaan dari masing-masing sub-sistem dikaitkan dengan area pelayanan dan karakteristiknya masing-masing yang sesuai. Konsep hirarki pelayanan ini bisa terlihat lebih jelas pada gambar 5.
Gambar 5: Konsep hirarki pelayanan (Sumber: Dressbach and Wessel, 1992) Dalam hal ini sistem angkutan yang kecil menjadi feeder bagi sistem angkutan yang lebih besar. Level berkapasitas rendah (misalnya bajaj) digunakan untuk melayani angkutan jarak dekat, melakukan penetrasi di jalan kecil dan melayani koridor yang demandnya tidak terlalu besar. Selanjutnya, tingkat yang lebih tinggi (misalnya bus) digunakan untuk melayani angkutan yang berjarak cukup jauh tapi kebutuhannya tidak begitu besar. Dan akhirnya, tingkat yang berkapasitas paling tinggi, yaitu SAUM, digunakan untuk melayani angkutan di koridor yang sangat tinggi kebutuhannya. 4.2.5 Identifikasi pola hirarki SAUM Keputusan Dirjen Perhubungan Darat No. 274/HK.105/DRJD/96 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Angkutan Penumpang Umum di Wilayah Perkotaan dalam Trayek Tetap dan Teratur, menggambarkan suatu idealisasi dalam menentukan jenis angkutan sesuai dengan ukuran dan trayeknya secara umum diperlihatkan pada tabel 7. Tabel tersebut mengidealkan bahwa penyediaan sistem angkutan umum di kota besar Indonesia (dengan penduduk lebih dari 2 juta jiwa) terdiri dari beragam jenis angkutan umum sesuai dengan trayek pada hirarki pelayanannya. Hal ini mengimplikasikan bahwa perlu adanya perubahan sistem angkutan umum yang ada saat ini, setidaknya perlu ada rerouting untuk menyusun kembali trayek angkutan umum yang ada. Tabel 7: Klasifikasi trayek, ukuran kota, dan ukuran kendaraan Ukuran Kota (Jumlah Penduduk) Klasifikasi Trayek Utama
Cabang Ranting Langsung
Area Layan Trayek antar kawasan utama dan antara kawasan utama dengan kawasan pendukung antar kawasan pendukung dan antara kawasan pendukung dengan kawasan pemukiman dalam kawasan pemukiman antar kawasan secara tetap dan langsung
Kota Raya (>1 juta)
Kota Besar (500 ribu s/d 1 juta)
Kota Sedang (250 s/d 500 ribu)
Kereta Api Bus Besar
Bus Besar
Bus Besar/ Sedang
Bus Sedang
Bus Sedang
Bus Sedang
Bus Sedang/ Kecil
Bus Kecil
Bus Sedang/ Kecil
Bus Kecil
Mobil Penumpang Umum
Mobil Penumpang Umum
Bus Besar
Bus Besar
Bus Sedang
Bus Sedang
Kota Kecil (<250 ribu)
Sumber: Dimodifikasi dari Keputusan Dirjen Perhubungan Darat No. 274/HK.105/DRJD/96 11
Dengan pertimbangan pola permintaan perjalanan dan kondisi sistem jaringan transportasi yang ada, secara tentatif dapat diperkirakan sejumlah koridor utama yang harusnya dilayani oleh trayek utama. 4.3 Aspek Penyelenggaraan SAUM Pada dasarnya ada 4 aspek yang terkait dengan penyelenggaraan SAUM yang harus dilakukan agar penyelenggaraan tersebut dapat berjalan dengan baik dan benar. Ke empat aspek kegiatan dimaksud adalah: 1) Aspek perencanaan, 2) Aspek pengelolaan operasi 3) Aspek administrasi dan pendanaan 4) Aspek pengawasan/pemantauan. Aspek perencanaan terdiri dari dua hal utama, yaitu perencanaan yang bersifat hardware dan meliputi perencanaan sarana dan prasarana, serta perencanaan yang bersifat software dan dalam hal ini terbagi lagi menjadi perencanaan strategis dan perencanaan operasional. Perencanaan strategis berkaitan dengan rencana pengembangan sistem jaringan rute (termasuk pola dan hirarki rute), interkoneksitas antara rute, sistem intermodality dan jenis/tipe kendaraan yang akan digunakan. Sedangkan perencanaan operasional berkaitan dengan rencana operasional rinci untuk masing-masing rute, yaitu meliputi jenis dan kapasitas kendaraan, jumlah armada yang harus beroperasi, frekuensi pelayanan, headway, sistem dan tingkat tarif, dan penjadwalan. Aspek pengelolaan operasi terdiri dari aspek teknis, administrasi, maupun finansial, yang berkaitan dengan apa dan bagaimana memberikan pelayanan angkutan massal yang sebaik-baiknya sesuai dengan visi pengelola dan pada dasarnya merupakan aspek manajemen perusahaan pengelola angkutan massal dalam mengelola sumber dayanya. Aspek administrasi terdiri dari semua hal yang berkaitan dengan mekanisme perijinan penyelenggaraan angkutan massal, mulai dari ijin usaha angkutan massal, trayek sampai ijin operasi dan terkait pada mekanisme pendanaan yang berasal dari pemerintah. Aspek pengawasan/pemantauan terdiri dari hal-hal yang berkaitan dengan apa, siapa dan bagaimana mekanisme pengawasan yang harus dilakukan untuk memantau penyelenggaraan angkutan massal. 4.4 Jaringan Rute Sistem Angkutan Massal 4.4.1 Sistem jaringan rute Sistem jaringan rute dalam suatu perkotaan biasanya dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: 1. Jaringan rute yang terbentuk secara evolusi dan dilakukan secara sendiri-sendiri, 2. Jaringan rute yang terbentuk secara menyeluruh dan simultan bersama-sama. Pada kelompok pertama, pembentukkan jaringan rute tidak terkoordinasi, karena sistem tumbuh secara parsial dan lintasan rute terbentuk karena keinginan penumpang atau pengelola. Akibatnya keterkaitan antar rute menjadi lemah. Lintasan rute hanya terkonsentrasi pada koridor yang mempunyai demand tinggi dan tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap angkutan massal sangatlah tidak merata. Ada daerah yang mudah mengakses angkutan massal, dan ada daerah yang sukar. Secara keseluruhan sistem menjadi tidak efektif dan efisien. Pada kelompok kedua, jaringan rute yang terbentuk biasanya merupakan jaringan rute yang komprehensif dan integral yang pembentukannya biasanya didahului dengan perencanaan yang matang dan komprehensif. Dalam jaringan seperti ini keterkaitan antar individual rute sangatlah jelas, sehingga penumpang mudah menggunakan sistem tersebut untuk kepentingan mobilitas mereka. Selain itu, pembentukan jaringan seperti ini biasanya didasarkan pada kondisi tata guna lahan secara keseluruhan pula. Semua potensi pergerakan diantisipasi sehingga tingkat aksesibilitas setiap daerah cukup merata dan keseluruhan sistem menjadi efektif dan efisien. a. Jarak Antar rute Jarak antar rute merupakan aspek yang penting untuk diperhatikan karena hal ini berpengaruh langsung terhadap penumpang dan operator. Ada 4 faktor yang perlu diperhatikan dalam masalah ini 12
yaitu: lebar koridor daerah pelayanan, frekuensi pelayanan, jarak tempuh penumpang ke lintasan rute dan waktu tunggu di perhentian. b. Konfigurasi Jaringan Rute Konfigurasi jaringan rute adalah sebaran spasial dari masing-masing lintasan rute dalam sistem secara keseluruhan. Bentuk konfigurasi ini akan berpengaruh pada luas daerah pelayanan, Jumlah pergantian lintasan (transfer) yang diperlukan dari tempat asal ke tujuan, Pengaturan frekuensi dan jadwal operasi serta Lokasi terminal. Pola rute yang umum digunakan untuk sistem transportasi adalah grid, linier, radial, circumferensial loop, teritorial, dan modifikasi radial seperti diperlihatkan gambar 6 dan kecocokan aplikasinya disajikan pada tabel 8.
Sistem rute bentuk radial
Sistem rute bentuk grid
Sistem rute bentuk modifikasi radial
Sistem rute bentuk teritorial
Gambar 6: Konfigurasi jaringan rute (Sumber: Khisty and Lall, 1998) Tabel 8: Konfigurasi rute dan kecocokan aplikasi Tipe Grid
Radial
Teritorial
Modifikasi Radial
Karakteristik Lintasan rute secara paralel mengikuti ruas jalan dari tepi kota ke tepi yang lain melewati pusat kota Lintasan rute secara radial berorientasi ke pusat kota
Kecocokan aplikasi Jaringan jalan telah berbentuk grid pada pusat kota besar yang padat & dari sub urban menuju pusat kota Kota yang mengembang ke sub urban secara evolutif
Kota kecil atau daerah sub urban, kota mandiri, atau daerah yang berkerapatan rendah
Keuntungan - Mudah diingat & dimengerti pengguna - Cakupan area layan merata - Perjalanan ke pusat kota dapat dilakukan dengan satu lintasan - Transfer di pusat kota mudah - Proses transfer yang mudah - Penetrasi area layan merata
Kerugian - Pergerakan dari tiap asal tujuan tidak dapat dengan satu trayek - Perlu banyak tempat transfer (terminal & halte) - perlu terminal yang besar di pusat kota - Perjalanan antar sub urban perlu transfer - Beban lalu lintas di pusat kota besar - Perlu lokasi transfer (focal point) yang besar - Lokasi transfer menjadi macet
Area layan dibagi beberapa wilayah yang dilayani satu lintasan rute yang bertemu atau bersinggungan di satu titik atau ruas jalan Bentuk radial yang ditambah lintasan melingkar penghubung antar sub pusat kegiatan & pusat kota
Kota yang berkembang dengan pola kegiatan yang merata
- Pengguna dapat bergerak dari & ke mana saja
- Pengguna perlu transfer berkali-kali - Perlu banyak fasilitas transfer
Sumber: Khisty and Lall (1998) 4.5 Rencana SAUM di Surabaya Surabaya merupakan salah satu kota utama di Indonesia yang telah mempersiapkan secara bertahap pelayanan angkutan umum terintegrasi dengan implementasi sistem angkutan massal hal ini disebabkan oleh beberapa alasan. 13
a. Ukuran kota, sepanjang utara selatan, akan terjadi pergerakan penumpang sejumlah 26 000 penumpang pada jam puncak menggunakan jalur LRT Terminal bus Pelabuhan Tanjung Perak, diprediksi terjadi pada tahun 2010. b. Terdapat dua jalur lama (jalur trem) pada beberapa rute. Salah satunya yang paling menarik adalah rute yang melewati hypercenter. Pemerintah Kota Surabaya sadar akan tuntutan perkembangan kota dan wilayah sekitarnya, yang meningkatkan kebutuhan pergerakan manusia dan barang dalam jumlah besar. Hal tersebut diperoleh dari studi komprehensif Surabaya Integrated Transport Network Project (SITNP) Phase I dan II. Dari hasil studi ini yang merupakan usaha pemerintah dalam mempersiapkan SAUM, diperoleh gambaran kebutuhan pergerakan seperti tersaji pada tabel 9 berikut. Tabel 9: Ruas angkutan umum padat tahun 2010 jaringan “Do Minimum “ tanpa SAUM Jangkauan Beban Penumpang Per Jam Satu Arah 5000 – 10000 10000 – 15000
Jumlah Ruas 2010 “Do-Minimum” 47 7
Sumber: SITNP (1998) Pada studi tersebut sudah diindikasikan pula rute sistem SAUM dan beban per ruasnya. Secara ilustratif, pembebanan penumpang pada Usulan Layanan Kereta Komuter hasil studi SITNP tersaji pada gambar 7 berikut.
Gambar 7: Pembebanan penumpang pada usulan layanan kereta komuter (Sumber: SITNP, 1998)
Sedangkan lintasan-lintasan termasuk usulan lokasi-lokasi stasiun untuk masing-masing lintasan dapat ditunjukkan pada gambar 8.
14
Gambar 8: Rel kereta komuter dan SAUM (Sumber: SITNP, 1998) Secara umum, gambaran berupa paramater ekonomi yang disampaikan dalam SITNP II, untuk skema implementasi di KMS, adalah seperti yang tersaji pada tabel 10. Tabel 10: Indikator evaluasi kinerja ekonomi SAUM Rencana Angkutan Massal LRT UtaraSelatan
Biaya Investasi (US $) 426.376.065
Skenario Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Optimistik
FYRR (%) 4.61 4.62
NPV -109.6 -102.3
Disc. Benefits 205.7 216.0
BCR 0.80 0.84
EIRR (%) 6.68% 7.14%
Sumber : Laporan SITNP 1998 Untuk melaksanakan hal-hal tersebut dibutuhkan suatu perangkat kelembagaan/organisasi tertentu. Secara ilustratif, sistem kelembagaan yang diusulkan oleh SITNP untuk secara umum mendukung pembangunan angkutan daerah tersaji pada gambar 9 berikut.
15
Gambar 9: Organisasi pembangunan angkutan daerah (Sumber: SITNP, 1998) 6.
KESIMPULAN
a.
Tak ada satupun kebijakan tunggal (single solution) yang dapat langsung memecahkan secara tuntas masalah transportasi perkotaan. Kebijakan yang harus diambil harus merupakan gabungan dari beberapa kebijakan yang secara sinergi dapat memecahkan masalah transportasi yang ada.
b.
Sistem Angkutan Umum Massal (SAUM) adalah suatu sistem angkutan penumpang yang berbasis rel (baik tunggal maupun ganda) yang banyak digunakan oleh beberapa kota besar di berbagai negara di dunia sebagai tulang punggung sistem angkutan umum untuk menjamin mobilitas penduduknya terutama bagi yang tidak mempunyai akses ke kendaraan pribadi. Disamping kecenderungan pemakaiannya yang semakin meningkat penerapan sistem ini di suatu kota masih meliputi pro dan kontra. Sementara yang pro mengemukakan keuntungan pemakaian energi/lahan, pengurangan kemacetan dan polusi di jalan, maka yang kontra kebanyakan prihatin dengan diperlukannya investasi yang besar untuk penerapannya, sementara keuntungan yang didapat tidak begitu signifikan dan banyak mengalami kegagalan akibat berbagai hal seperti kesalahan-kesalahan dalam perencanaan pelaksanaan ataupun pengoperasiannya, lebih jauh lagi perioda waktu pengembalian investasi yang cukup lama (bisa mencapai 20-30 tahun) menambah ketidakpastian dan membuat investor enggan menanamkan modalnya di bidang ini.
c.
SAUM ini sangat beragam jenis teknologinya, baik dari sistem pendudukannya (support system), jenis tenaga penggerak (motive power) maupun sistem pengendaliannya (operation control system). Selain itu sistem ini bisa operasi dibangun sejajar dengan tanah (at grade), melayang di atas tanah (elevated) ataupun di bawah tanah (under ground).
d.
Dari hasil penelitian di berbagai kota besar di dunia yang menerapkan sistem ini, maka beberapa peneliti, diantaranya Allport dan Thomson (1990) menarik kesimpulan bahwa untuk menjamin suksesnya penggunaan SAUM ini diperlukan beberapa syarat tertentu, seperti misalnya populasi penduduk harus lebih dari 5 juta orang (untuk menjamin demand yang tinggi dalam terpenuhinya utilisasi maksimum dari kapasitas yang tersedia), pendapatan perkapita US$ 1000-1500 agar bisa menerapkan tarif yang cukup supaya bisa menutupi biaya/modal investasi yang sudah dikeluarkan serta transportasi yang ada di kota tersebut. Untuk itu diperlukan juga adanya suatu badan khusus yang menangani pengoperasian sistem ini dan berkoordinasi dengan pihak pemerintah daerah dan dinas pengelola transportasi setempat. Disamping itu juga perlu dilakukan tindakan-tindakan pendukung lainnya seperti pengaturan kendaraan pribadi, penarikan 16
pajak -pajak khusus dan lain-lain yang biasanya dirumuskan secara bersama-sama dalam suatu kerangka pelaksanaan integrasi sistem transportasi tata guna lahan secara keseluruhan. b.
Dari sejumlah paparan yang disampaikan di atas terlihat bahwa penyelenggaraan SAUM untuk Surabaya sudah merupakan kebutuhan yang mendesak. Strategi pengembangan jaringan jalan memang masih diperlukan untuk Surabaya, namun dengan sejumlah batasan dan perilaku masyarakat yang ada, pembangunan jalan tidak akan banyak memberikan kontribusi dalam mengatasi problem transportasi di Surabaya. Pengembangan SAUM yang terintegrasi dengan hirarki yang baik dan saling menyokong dengan rencana pengembangan jaringan jalan, sistem terminal, dan tata ruang merupakan jawaban terbaik untuk mengatasi permasalahan transportasi yang ada di Surabaya.
c.
Terbatasnya sumber daya manusia baik dari segi kualitas maupun kuantitas dan kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap permasalahan transportasi perkotaan mengakibatkan tidak terbentuknya organisasi yang secara otonom harus menangani masalah tersebut. Untuk itu sangat diperlukan usaha mempercepat tersedianya sumber daya manusia dengan kursus atau pelatihan untuk meningkatkan kemampuan teknis tenaga kerja yang ada. DAFTAR PUSTAKA
Allport, R.J. and Thomson, J.M. (1990) Study of Mass Rapid Transit in Developing Countries. TRRL Contracr Report 188, Crowthorne, U.K. Banister, D. and Hall, P. (1981) Transport and Public Policy Planning. London. Cresswell, R. (1979) Urban Planning and Public Transport. Construction Press. Dressbach F. and Wessel, G. (1992) Jakarta Mass Transit System Study (JMTSS). Report prepared for the Ministry of Research and Technology, Republic of Indonesia. Gray, G.E. and Lester, H. (1979) Public Transportation: Planning, Operation, and Management. Prentice Hall. Isnaeni, M (2001) Dampak Ekonomi dan Lingkungan Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Transportasi Kota, Tesis Magister, Program Pasca Sarjana Teknik Sipil, ITB. Karsaman, R.H. dkk. (1999) Pemberdayaan Angkutan Umum di Bandung, Musda MTI Jabar dan Diskusi Panel Pemberdayaan Angkutan Umum, Bandung, 9 September 1999. Khisty, C.J. and Lall, B.K. (1998) Transportation Engineering: An Introduction. Prentice Hall, Inc. New Jersey, USA. LP-ITB (1998) Kajian Manajemen Perparkiran di Wilayah DKI-Jakarta, KBK Rekayasa Transportasi, Jurusan Teknik Sipil, ITB. Lubis, H.A.S., Isnaeni, M., Frazila, R.B. (2000) Menyiapkan Tatar Bandung yang Kompetitif lewat Jejaring Transportasi dan Bisnis, Seminar Sehari Upaya Menuju Sistem Transportasi yang Terintegrasi di Wilayah Bandung dan Sekitarnya, Jurusan Teknik Sipil Unjani-FSTPT- Pemda Dati II Kabupaten Bandung, 6 Mei 2000. SITNP (1998) Surabaya Integrated Transport Network Planning Project Phase II SITNP, Ministry of Communications. Tamin, O.Z. (1995) An Integrated Public Transport System for Bandung (Indonesia), 1st Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies, 1(2), 509−528. Tamin, O.Z. (1997) Upaya-Upaya Untuk Mengatasi Masalah Transportasi Perkotaan, Majalah Ilmiah Analisis Sistem, BPPT, Nomor 9, Tahun IV, 33−44. Tamin, O.Z. (1999) Konsep Manajemen Kebutuhan Transportasi (MKT) Sebagai Alternatif Pemecahan Masalah Transportasi Perkotaan di DKI-Jakarta, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB, 10(1), hal 10−22. Tamin, O.Z. (2000) Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Edisi II, Penerbit ITB, Bandung. Vuchic, V. (1981) Urban Public Transportation, System and Technology, Prentice Hall. 17