“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
SISI LAIN PENDIDIKAN KARAKTER (Analisis Kendala dan Kondisi Pendukung) Pupuh Fathurrohman Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung Email:
[email protected]
ABSTRAK Dalam perkembangan zaman yang begitu pesat, pendidikan merupakan kebutuhan mutlak untuk menjunjang kemajuan suatu peradaban. Belakangan pendidikan di Indonesia mendapat sorotan yang cukup tajam dari berbagai kalangan. Pasalnya, pendidikan yang diselenggarakan saat ini masih dirasa belum maksimal sehingga perlu dilakukan perubahan secara menyeluruh. Harapannya adalah agar pendidikan bukan hanya mampu menghasilkan lulusan yang berkompeten secara akademis saja, tetapi juga memiliki karakter yang melekat sehingga peserta didik dapat mengoptimalkan berbagai potensinya secara seimbang. Harapan besar untuk menanamkan karakter pada generasi bangsa mendorong stakeholder untuk mengkodifikasi pendidikan yang berbasis karakter. Namun dalam perkembangannya, penerapan pendidikan karakter masih belum bisa terealisasi secara maksimal. Salah satu faktor terpenting dalam mensukseskan pendidikan karakter adalah peran pendidik. Dalam hal ini pendidik dapat diperankan baik oleh guru, orang tua, ataupun masyarakat sebagai bagian dari lingkungan pendidikan. Untuk mempermudah tugas pendidik dalam menyelenggarakan pendidikan karakter tentu harus memahami esensi dari pendidikan karakter itu sendiri. Oleh karena itu penting untuk diketahui sisi lain dari pendidikan karakter tersebut. Penelitian ini menggunakan teknik studi kepustakaan, yaitu penelahaan terhadap buku, karya ilmiah, dan literatur lain yang berhubungan dengan tema penelitian. Sehingga diperoleh hasil yang dapat dijadikan landasan dalam menyelenggarakan pendidikan karakter mulai dari latar belakang pendidikan karakter, proses hingga faktor pendukungnya. Kata Kunci: pendidikan, dan karakter
PENDAHULUAN Adegium yang bijak menyatakan: “Siapa menanam fikiran akan menabur perkataan, siapa menabur perkataanakan menuai perbuatan, siapa menabur perbuatan akan menuai kebiasaan, siapa menabur kebiasaan/habitus akan menuai karakter, siapa menabur karakter akan menuai destiny” (Stephen R. Covey: 199) Kata dan kalimat bijak tersebut diatas menunjukkan bahwa suatu karakter akan terbentuk atau dapat diberdayakan dengan proses yang panjang. Proses terbentuknya suatu karakter bukan hanya diawali oleh proses berpikir yang menetap memiliki nalar kecerdasan yang berjalan normal, artinya yang dimaksud memacu pikiran, bukan asal berpikir, atau sembarang pikiran yang muncul dalam otak/nalar seseorang, tetapi telah terbentuknya pengetahuan, daya pikir yang cerdas. Daya nalar berjalan dengan baik, maka akan melahirkan suatu aktivitas atau kegiatan/perbuatan sebagai hasil dari berpikir. Aktifitas dan berbuat ini mematikan gerakan-gerakan fisik. Semua struktrur tubuh fisik bekerja sesuai dengan arahan dari
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
otakpikirannya. Karakter tidak akan tumbuh dengan tiba-tiba dan bersifat instan tetapi memerlukan perubahan (change) tubuh yang terus menerus sebagai perintah dari pikirannya. Setelah terlatih dan terus menerus berpikir dan berbuat, maka akan muncul habitus atau pembiasaan. Orang bisa karena biasa; kebiasaan dapat juga disebut ‘Adah, Al-‘Adah Muhakkamah. Dipastikan apabila pikiran-pikiran yang timbul dilandasi dan diselimuti atau berada dalam koridor musyrik, dipengaruhi syetan, tidak berakhlak karimah, maka akan melahirkan perbuatan musyrik, perbuatan yang sama dengan syetan, perbuatan tidak berakhlak yang ujungnya berkarakter musyrik syetaniah dan karakter yang bertentangan dengan akhlak karimah. Secara filosofis, manusia yang pandai bertanya, sebenarnya ia sedang berpikir, murid peserta didik yang pandai bertanya, pada hakekatnya menempati posisi lebih tinggi derajatnya daripada murid yang pandai menjawab. Murid yang pandai menjawab adalah pasif, sedangkan siswa yang pandai bertanya adalah dinamis dan daya nalarnya kritis. Tentunya isi pertanyaan bukan hanya sekedar bertanya tanpa isi, tanpa referensi dan fakta. Seperti Bani Israel terhadap Nabi Musa AS, pertanyaan-pertanyaannya bukan berdasarkan pikiran dan akal sehat,bukan mencari kebenaran, tapi menghindari dari jeratan hukum yang akan diberikan, dan itulah contoh pertanyaan/berpikir yang diselimuti arahan syetan. Manusia bertanya pada hakikatnya berpikir dan belajar ingin tahu sesuatu. Belajar dan pembelajaran esensinya memiliki makna tiga kriteria, yaitu sesuatu aktivitas disebut belajar atau sesuatu itu terjadi pembelajaran, apabila: a. Lahirnya pengetahuan baru b. Lahirnya kemampuan baru c. Lahirnya perubahan baru Tumbuhnya pikiran yang melahirkan perkataan, perbuatan, kemudian tumbuh dan muncul habitus/kebiasaan yang akhirnya akan terbentuk karakter, memerlukan waktu terus menerus dan kondisi lingkungan yang mendukung, disamping harus ditunjang dengan keteladanan dan motivasi yang tinggi dan cermat.
KONDISI PENDUKUNG PENDIDIKAN KARAKTER Pemberdayaan karakter yang diinginkan baik yang menyangkut moral/akhlak karimah, disiplin etos kerja, percaya diri, harga diri, kemandirian maupun keilmuan dan keindonesiaan, memerlukan kondisi-kondisi dan potensi yang jelas terarah serta lingkungan yang kondusif. Saya tidak bermaksud menyebar aib tentang kondisi pendidikan Indonesia, tetapi merupakan informasi yang perlu diwaspadai dengan penuh kehati-hatian bagi pemberdaya. Prof. Dr. Heru Nugroho dari UGM dan sejarawan Arifin, MT, sependapat bahwa, negara gagal memproteksi pendidikan, yaitu seharusnya Vox Universiteit atau Universitas Rakyat yaitu pendidikan yang membebaskan telah gagal. Kondisi pendidikan kita sebagai akibat Indonesia membebek sistem pendidikan barat serta politisasi terhadap dunia pendidikan semasa orde baru yang lebih menekankan pada materialisme.
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Kaum intelektual atau cendekiawan yang seharusnya “berumah diatas angin” sekarang memilih “berumah digedung beton”. Mereka sulit memposisikan diri untuk menjaga keseimbangan sebagai “Raja Pamandita”. Profesor, Doktor, dan gelar akademik lainnya, sekarang ini hanya sebagai status sosial seperti gelar raden atau haji. Spirit Universitas Magistrorum et Schlorarrum, yaitu sebagai tempat pengajaran, penelitian, diskusi pengetahuan, justru semakin jauh, kondisi ini selalu akan mengganggu pendidikan karakter. Pendekatan dan kondisi-kondisi yang paling mempengaruhi pendidikankarakter, diantaranya sebagai berikut: 1. Keteladanan Pendidikan karakter bukan hanya tanggung jawab guru dikelas dan kepala sekolah, tetapi pendidikan karakter dilakukan bersama. Secara makro seperti sistem kenegaraan, para penyelenggara negara, mulai Presiden, Menteri, Gubernur, BupatiWalikota sampai kepada ketua RT sekalipun. Memberikan kontribusi keteladananterbentuknya karakter peserta didik. Juga sistem politik sosial ekonomi ditengah masyarakat, sistem hukum, keamanan dan aktivitas keagamaan memberikan pengaruh secara tidak langsung kepada pemberdayaan karakter umat. 2. Sistem pendidikan pembebasan dan menyenangkan Guru/dosen yang cerdas, humanis dan Islami pasti akan menyenangkan bagi murid, karena ia mengurusi bahan ajar yang baik. Manajemen pembelajaran sangat menarik komunikasi antara guru murid, murid dengan murid menjadi transparan manusiawi, sehingga tumbuh motivasi, minat yang tinggi. Karena menyenangkan dan lahirnya minat serta motivasi, belajar bukan beban, tetapi merupakan kebutuhan yang akhirnya sikap ingin tahu, belajar sendiri merupakan panggilan hidupnya. Kebebasan sering disalahartikan menjadi asal tampil beda, berani melawan peraturan dan terkadang hanya dipahami sebagai suatu simbol. Sistem pendidikan dan dan pengajaran yang membebaskan adalah memiliki dinamika yang memungkinkan siswa bertanggung jawab secara otentik dan keluar dari hati. Jika ini tidak dilakukan dalam dinamika pendidikan bebas, ada kekhawatiran yang hanya bertindak karena takut pada peraturan dan tata tertib. MU Dears “Manusia selalu menginginkan kebebasan, apalagi remaja pelajar yang notabene masih dalam proses pencarian jati diri”. J.J. Rousseau, menyatakan “Manusia dilahirkan bebas, dan dimana-mana ia terbelenggu, hal inilah yang kerap dialami kaum muda”. Munculnya berbagai pelanggaran aturan hanya untuk memperoleh kebebasan, membolos dan aksi vandalisme oleh pelajar merupakan contoh produk yang kurang melandasi pendidikan dengan kebebasan, yaitu “bebas untuk” dan “bebas dari”. Bebas untuk artinya kita mampu menentukan tindakan yang kita ambil. Bebas dari cenderung pada arti bebas atau lepas dari suatu belenggu, mencoba melepaskan diri dari ikatan yang dibuat orang lain. Dalam hidup kita tak bisa lepas pada pilihan, bahkan ketika tidak memilih bukankah berarti memilih untuk tak berbuat pilihan? Kebebasan yang kita miliki membuat kita bisa menentukan pilihan yang berkualitas. Kita memang memerlukan kebebasan, tapi jangan lupakan tanggung jawab. Tanggung jawab tak hanya terletak
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
pada menanggung konsekuensi, tanggung jawab yang lebih besar justru ada saat kita membuat pilihan. Pilihan yang bertanggung jawab artinya pilihan itu berkualitas. Kedua tanggung jawab tersebut diatas tentu tidak berjalan sendiri-sendiri. Ketika kita membuat pilihan yang berkualitas juga harus menerima konsekuensi dari setiap tindakan. Kebebasan menuntut seseorang memahami konsekuensi dalam memilih. Hal ini merupakan guru dalam mendidik siswanya. Kebebasan mengandalkan setiap personal mampu menjatuhkan pilihan pada kegunaan bukan kesenangan dan selera. Pendidikan bebas, menitikberatkan pada kedewasaan memilih sarana untuk mewujudkan tujuan hidup, menjadi pribadi yang utuh. Dasar pendidikan bebas adalah menggunakan kompetensi, hati nurani, dan kepedulian untuk memilih sarana kehidupan agar menuai cita-cita yang telah dipilih. 3. Kampus berasrama Pendidikan karakter akan berjalan mulus, bila peserta didik, guru dan tenaga kependidikan hanya berada dalam satu kampus, hidup bersama di asrama, selama 24 jam. Kultur struktur lembaga maupun kehidupan akademik dapat dengan cepat mempengaruhi sikap dan keteladanan serta pembiasaan akan terus menerus berjalan disamping kontaminasi budayabudaya luar terhindar sulit untuk mempengaruhinya. Sebagaimana terhadap para santri yang berada pada kampus pondok pesantren dapat dibuktikan, santri memiliki karakter panca jiwa, yang terdiri: 1) Keikhlasan 2) Kebersamaan 3) Kesederhanaan 4) Kebebasan 5) Kemandirian Internalisasi yang berupa keteladanan, pembiasaan, pemotivasian dan lingkungan yang kondusif tumbuh subur di kampus pondok pesantren. Pendidikan karakter disekolah akan mudah tumbuh tumbuh, apabila sekolah tersebut memiliki asrama sebagai tempat tinggal siswa, paling tidak sekolah berupaya untuk menyelenggarakan pembelajaran dengan sistem full day. Di Amerika Serikat, Jepang dan negara maju lain telah menyelenggarakan pendidikan sekolah dasarnya menggunakan waktu belajar minimal selama 8 jam setiap harinya, dan komunikasi sekolah, guru dan orang tua melalui internet setiap hari untuk mengkomunikasikan setiap perkembangan pembelajaran siswa, antara guru/sekolah dengan orang tua siswa. 4. Model pembelajaran kooperatif Model pembelajaran drill, hapalan dan metode paksaan semata agar lulus ujian negara tidak sepenuhnya memajukan siswa, baik dalam bidang keilmuan maupun kehidupan. Saat ini siswa dihadapkan kepada dua model pembelajaran, yaitu kompetisi dan model kooperatif. Model kompetisi memang tumbuh motivasi semangat untuk menang pada diri siswa dan model ini mengarahkan siswa untuk mengejar nilai tertinggi. Namun kelemahannya siswa lamban akan tertinggal dan terpinggirkan, mempunyai perasaan negatif diantara lawan, menolak berbagi dan tidak saling membantu. Karena fokus pada menang kalah, bukan pada proses belajar.
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Kegiatan kompetisi pun merupakan tujuan bukan jalur untuk belajar. Model kompetisi menyebabkan siswa berusaha menang dengan segala cara (Prof. Anita Lie; 2010). Sedangkan model kooperatif, menyiapkan siswa sebagai agen perubahan untuk masa depan yang lebih damai dengan pendidikan berkualitas. Model kooperatif pembelajaran pada siswa dapat lebih berlanjut. Relasi interpersonal pun lebih baik, ikatan siswa dengan latar belakang beragam lebih kuat, disamping akan memiliki rasa percaya diri lebih baik. 5. Guru cerdas, humanis dan Islami Guru merupakan ujung tombak paling depan dalam aktivitas pembelajaran. Walaupun tidak dan bukan satu-satunya paling bertanggung jawab dalam pemberdayaan karakter siswa, paling tidak guru memiliki posisi paling strategis dalam pembinaan, pengembangan karakter siswa. Tentunya sebelum siswa berkarakter, maka guru/dosen lebih dahulu untuk memiliki karakter yang tangguh. Harian Republika edisi 18 januari 2010, tertulis bahwa “Pendidikan Budaya dan Karakter Menurun”, saya berpendapat bukan hanya menurun tetapi hampir hilang dari sistem pembelajaran. Nilai-nilai budaya dan karakter yang tangguh, langka ditengah-tengah sosial masyarakat kita yang kekinian seperti, kebersamaan, tata krama, etika, kreativitas atas kerja keras, keteguhan hati (istiqomah), pantang menyerah, disiplin, berprestasi sevara optimal dan lain-lain sepertinya telah luntur. Posisi guru dalam pendidikan karakter bukan hanya mentransformasikan pengetahuan saja, tetapi juga harus menjadi contoh, melatih membiasakan perbuatan yang terus-menerus, karena itu sistempendidikan karakter adalah cara berpikir siswa, perkataan, perbuatan, fisik maupun biologis sampai dengan behaviour atau perilaku siswa sendiri. Karena itu guru yang cerdas artinya tidak hanya mampu didalam penguasaan bahan-bahan kerja, memiliki kompetensi formal seperti akademik, sosial personal dan profesional, akan tetapi cerdas dalam penggunaan nalar, kreatifitas yang tinggi, tekun dan ulet serta full time dalam melaksanakan tugas. Kemudian ia memiliki perilaku/karakter tangguh tetapi humanis serta berakhlak karimah. Artinya semua konsep pemikiran perilaku dan tindakan-tindakan yang diajarkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Guru dalam berkomunikasi dengan siswa benar-benar memiliki kecakapan spiritual, emosional yang dapat diteladani. Meminjam pemikiran Dr. Laela Mona G. seorang ahli konsultan pribadi, sosok guru yang mumpuni, perlu memiliki kecerdasan 3B, yaitu: Brain, Behaviour, Beauty, artinya ia cerdas, memiliki kecerdasan emosional (empat macam) sedangkan beauty adalah memiliki kemenarikan personal. 6. Do’a dan kesholehan sosial Melakukan pembinaan dan pengembangan karakter mutlak harus diawali dengan do’a dan permohonan kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk memohon taufiq, hidayah dan lindungan-Nya agar berjalan dan tangan Tuhan membantunya. Karena itu pemberdayaan watak-karakter terhadap siswa harus diyakini merupakan kewajiban dan menyeru untuk berbuat kebaikan sebagai perintah-Nya sebagai ibadah. Adapun kendala kesulitan yang dihadapi, kalau Allah SWT merestui dan memberikan bantuan-Nya akan menjadi mudah, berhasil sesuai yang diharapkan.
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Berusaha maksimal yang dilandasi keikhlasan dan kesabaran dibarengi dengan do’a taqorrub kepada Allah SWT. Bersama-sama melakukan taqorrub pada Ilahi melalui dzikir, tahajjud, puasa senin kamis, selalu membaca shalawat pada Rasulullah Muhammad SAW dan Asma’ul Husna, insya Allah akan didapat kemudahankemudahan. Juga ditambah melakukan keshalehan sosial. 7. Keseimbangan komunikasi Keseimbangan, kesetaraan (equality) komunikasi antara lingkungan keluarga, sosial masyarakat dan lembaga sekolah mutlak harus terjadi dengan baik. Habitus dan keteladanan merupakan poros utama dalam pembinaan karakter, maka komunikasi antara sekolah, lingkungan keluarga dan sosial masyarakat sangat penting serta signifikan untuk dikembang-suburkan. Komunikasi tersebut dapat dilakukan dengan muwajjahah, maupun melalui media seperti facebook, internet dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA Banks, James A., Ambrose A. Cleger, Jr., 1985. Teaching Strategies for the Social Studies. Third edition. New York. Banks, James A., Ambrose A. Cleger, Jr., 1987. Teaching Strategies for Ethnic Studies. 4th ed. Allyn and Bacon, A Division of Simon & Schuster, Inc. Barnes, Barry, 1982. Thomas S. Khun and Social Sciences. London: The MacMillah Press. El-Ma’hady, Muhaemin, 2004. Multikulturalisme dan pendidikan Multikultural. Homepage Pendidikan Network. Lie, Anita, 2004. Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi. Jakarta: Penerbit Kompas. Lie, Anita, 2005. Pendidikan Alternatif. Bandung: Grafindo Media Pratama. Scheider, Donald, 1994. Expectation of Excellence: Curriculum Standarts for Social Studies. New York: NCSS. Sumantri, Muhamad Numan, 2004. Pendidikan Bidang Studi sebagai Ciri Khas Fakultas Pendidikan dalam Mewujudkan Pendidikan Nasional, dalam Membangun Pendidikan Guru Tingkat Universitas. Bandung: UPI Press dan IKA UPI. Surakhmad, Winarno, 2009. Pendidikan Nasional – Strategi dan Tragedi. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Tiedt, Pamela L. And Iris M. Tiedt, 1990. Multicultural Teaching. A Handbook of Activities, Information, and Resources. Massachusetts: Allyn and Bacon, A Division of Simon & Schuster, Inc.