SINTESIS MONO-DIASILGLISEROL BERBASIS GLISEROL DAN PALM FATTY ACID DISTILLATE (SYNTHESIS OF MONO-DIACYLGLYCEROL BASED GLYCEROL AND PALM FATTY ACID DISTILLATE) Irma Rumondang1, Dwi Setyaningsih2,3 dan Atika Hermanda2 1)
Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementrian Perindustrian RI Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor 3) Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC), Institut Pertanian Bogor, Bogor 2)
E-mail :
[email protected] Received: 9 Februari 2016; revised: 29 Februari 2016: accepted: 22 Maret 2016
ABSTRAK Mono-diasilgliserol (M-DAG) adalah jenis emulsifier yang banyak digunakan dalam industri pangan maupun nonpangan. M-DAG dapat dihasilkan dari proses esterifikasi. Pada penelitian ini bahan baku yang digunakan yaitu gliserol hasil samping industri biodiesel dan palm fatty acid distillate (PFAD) hasil samping industri minyak goreng. Penelitian ini bertujuan menentukan suhu dan rasio molar antara gliserol dan PFAD yang terbaik dalam menghasilkan M-DAG. Variasi yang digunakan adalah variasi suhu sebesar 150°C dan 160°C serta variasi rasio molar gliserol : PFAD sebesar 1:2, 1:3 dan 1:4. Karakterisasi yang dilakukan meliputi uji warna, komposisi MDAG dengan kromatografi lapis tipis, stabilitas emulsi, pH dan titik leleh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada suhu 150°C menghasilkan rendemen sebesar 74%, sedangkan pada suhu 160°C didapatkan nilai stabilitas emulsi mencapai 72% dengan kadar ALB 39%. Pada rasio molar 1:2 menghasilkan tingkat kecerahan M-DAG sebesar 82.57. Kata kunci: Gliserol, PFAD, Mono-diasilgliserol
ABSTRACT Mono-diacylglicerol (MDAG) is an emulsifier which is widely used in Industry of food and non-food. M-DAG can be produced from esterification. In this study, The raw material used are glycerol byproduct of the biodiesel industry and palm fatty acid distillate (PFAD) byproduct of cooking Oil Industry. This study aimed to determine the best temperature and molar ratio of glycerol and PFAD for producing M-DAG. Variation of the composition of temperature used were 150°C and 160°C with variation of the molar ratio of glycerol : PFAD used were1:2, 1:3, and 1:4. The samples were characterized by color, the composition of M-DAG by thin layer chromatography, stability of emulsion, pH and the melting point. The result showed that at the temperature of 150°C produce a yield of 74%, while, at the temperature of 160°C obtained emulsion stability value reached 72% with 39% FFA content. Sample with a molar ratio of 1:2 produced M-DAG with brightness level value of 82.57. Key words: Glycerol, PFAD, Mono-diacylglicerol
PENDAHULUAN Jumlah produksi biodiesel di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun untuk memenuhi kebutuhan energi manusia. Biodiesel dihasilkan dari reaksi trigliserida dan metanol sehingga diperoleh biodiesel dan hasil samping berupa gliserol. Biodiesel di Indonesia diproduksi hingga mencapai 1,24 juta ton pada tahun 2010. Jumlah produksi biodiesel tersebut diperkirakan dapat menghasilkan gliserol lebih dari 248 ribu
ton pertahun. Gliserol hasil samping biodiesel dapat dimanfaatkan sebagai produk yang memiliki nilai tambah. Sebagian besar minyak goreng di Indonesia dihasilkan dari minyak kelapa sawit. Proses pemurnian minyak kelapa sawit menghasilkan produk samping berupa palm fatty acid distillate (PFAD) dengan jumlah 2,5%-3,5% dari bobot produksi tergantung pada kandungan
Sintesis Mono-Diasilgliserol……………………Irma Rumondang dkk
1
asam lemak bebas bahan baku crude palm oil (Buana et al 2003). PFAD yang dihasilkan diolah kembali sebagai bahan baku deterjen krim. PFAD mengandung asam lemak bebas (ALB) sekitar 81,7%, gliserol 14,4%, squalene 0,8%, vitamin E 0,5%, sterol 0,45%, dan lain-lain 2,2%(Hambali et al 2007). Guna memaksimalkan pemanfaatan gliserol dan PFAD, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang cara pengolahannya. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan yaitu mereaksikan gliserol dengan PFAD sehingga menghasilkan emulsifier monodiasilgliserol (M-DAG). Emulsifier M-DAG merupakan salah satu bahan tambahan yang dibutuhkan industri pangan dan non-pangan. M-DAG digunakan pada industri pangan seperti pada industri roti dan kue untuk memberikan stabilitas emulsi, mengendalikan polimorfisme lemak, memperbaiki tekstur produk, melembutkan tekstur crumb, memperkuat adonan, membantu proses ekstruksi dan meningkatkan aglomerasi lemak (Dziezak 1988). Pada industri nonpangan, M-DAG digunakan di bidang kesehatan, kosmetik, personal care dan farmasi. Berdasarkan data BPS (2007), kebutuhan emulsifier dalam negeri meningkat tiap tahun dengan nilai rata-rata sebesar 4%. Sekitar 70% emulsifier yang digunakan di industri adalah monogliserida dengan status RGAS (Generally Recognized As Safe) yaitu menggunakan bahan dan proses yang aman digunakan untuk makanan (Setyaningsih, 2016). Penelitian tentang produksi M-DAG dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam memenuhi kebutuhan emulsifier dalam negeri. Pada penelitian ini M-DAG disintesis dengan cara esterifikasi yaitu mereaksikan PFAD dan gliserol menggunakan katalis asam. Variabel bebas yang digunakan sebagai faktor operasi yaitu suhu reaksi dan rasio molar antara gliserol dengan PFAD. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gliserol dari hasil samping produksi biodiesel dan katalis methyl ester sulfonic acid (MESA) dari SBRC (Surfactant Bioenergy Research Center) IPB, palm fatty acid distillate (PFAD) dari PT Asianagro Agungjaya, heksana dan zeolit sebagai adsorben. Peralatan yang digunakan pada tahap pemurnian gliserol adalah tangki reaktor, alat filtrasi, pompa vakum, dan tangki distilasi. Pada proses sintesis M-DAG digunakan reaktor merek Parr 4533 dengan kapasitas 1000 mL yang
dilengkapi pemanas, pendingin, pengukur suhu, dan pengatur kecepatan pengadukan. Metode Pemurnian Gliserol Gliserol dipanaskan pada suhu 75°C dengan kecepatan 600 rpm lalu ditambahkan asam fosfat 85% dan direaksikan selama 120 menit. Larutan didiamkan hingga terbentuk lapisan asam lemak bebas, gliserol, dan garam kalium fosfat. Gliserol dipisahkan lalu disaring untuk memisahkan sisa garam kalium fosfat kemudian dimasukkan ke dalam distilasi vakum pada suhu 130°C dengan tekanan 5 inHg selama 120 menit. Sintesis M-DAG Bahan-bahan crude glycerol, palm fatty acid distillate, katalis asam, dan zeolit dicampurkan pada reaktor. Perbandingan crude glycerol dan palm fatty acid distillate divariasikan dalam 3 rasio yaitu 1:2, 1:3, dan 1:4 dengan variasi suhu 150°C dan 160°C selama 75 menit. Substrat hasil reaksi dilarutkan dalam 150 mL heksan, kemudian difraksinasi pada suhu 7°C selama 24 jam. Hasil fraksinasi kemudian dikeringkan hingga heksana menguap dan didapatkan produk berupa serbuk berwarna putih. Produk yang dihasilkan kemudian dianalisis meliputi uji kecerahan warna, komposisi M-DAG dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), stabilitas emulsi, pH, dan titik leleh. Data Hasil penelitian diolah dengan analisis ragam (α=0.05) dan uji lanjut Duncan dengan bantuan software SAS version 9.0. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemurnian Gliserol Gliserol yang telah direaksikan dengan asam fosfat membentuk tiga lapisan yang terdiri dari asam lemak (bagian atas), gliserol (bagian tengah), dan garam (bagian bawah). Terbentuknya tiga lapisan disebabkan adanya asam fosfat sebagai pereaksi yang dapat menghidrolisis senyawa sabun dan menetralisir katalis yang ada dalam residu sehingga gliserol dapat terpisah dari garam dan sabun terlarut. Reaksi pembentukan M-DAG, asam lemak bebas, kalium fosfat dapat dilihat pada Gambar 1. Selanjutnya gliserol hasil pemurnian diuji dan dibandingkan dengan gliserol sebelum pemurnian dan gliserol komersial. Uji yang dilakukan meliputi uji kadar gliserol, kadar abu, nilai pH dan warna sesuai SNI 06-1564-1995 (Tabel 1).
J. Kimia dan Kemasan vol. 38 No. 1 April 2016 : 1-6
2
H2C-OH I HC-OH I H2C-OH Gliserol
H*/OH
H2C-OH I HC-OH I H2C-OCOR
-
+ RCOOH
Asam lemak
+
Monogloserida
H2C-OH I HC-OCOR I H2C-OCOR Digliserida
+ H 2O
air
(a) RCOOK + Sabun
H 2O
RCOOH + KOH
Air
ALB
Basa
(b) H3PO4
+ 3KOH
Asam fosfat
K3PO4 + 3H2O
Basa
Garam
Air
(c) Gambar 1. Reaksi pembentukan M-DAG (a),asam lemak bebas (b) dan garam kalium fosfat (c)
Tabel 1. Hasil uji gliserol Gliserol Kasar
Gliserol Murni
Gliserol komersial
Kadar Gliserol (%)
40
97
99,2-99,98
Kadar Abu (%)
5,52
0,91
<0,002
Nilai pH
11
6
7
Warna
coklat
coklat
Bening
Jenis Uji
Mochtar 2001
Meningkatnya kadar gliserol disebabkan adanya netralisasi basa dan pemecahan sabun yang membebaskan gliserol dari garam dan asam lemak bebas. Hasil kadar abu pada gliserol murni mengalami penurunan. Hal tersebut menandakan bahwa kandungan anorganik pada gliserol telah berkurang akibat pemisahan garam saat proses pemurnian berlangsung (Hedtke 1996). Penurunan nilai pH pada gliserol murni menunjukkan bahwa sabun dan sisa KOH yang terkandung pada gliserol telah terpecah menjadi asam lemak bebas dan garam sehingga pH gliserol dapat mencapai nilai normal (Kocsisova dan Cvengros 2006). Sintesis dan Karakterisasi M-DAG Hasil uji warna pada produk M-DAG yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 2 yaitu semakin tinggi suhu dan rasio molar gliserol: PFAD maka kecerahan warna produk semakin menurun. Semakin tinggi suhu yang digunakan pada reaksi esterifikasi, warna produk lebih gelap dan tekstur sedikit berminyak.
Gambar 2. Hasil kecerahan (L) M-DAG pada rasio 1:2, 1:3, dan 1:4 dan suhu 150°C dan 160°C
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu dan rasio molar gliserol : PFAD berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap warna produk. Hasil uji lanjut duncan menunjukkan bahwa suhu 150°C merupakan suhu yang lebih baik di antara dua perlakuan suhu yang diujikan dan rasio molar 1:2 merupakan rasio molar gliserol : PFAD yang terbaik. Sedangkan rasio molar gliserol : PFAD tidak berpengaruh signifikan terhadap kecerahan warna produk MDAG. Warna produk dipengaruhi oleh adanya asam lemak sisa yang kontak dengan panas ketika proses esterifikasi berlangsung sehingga terjadi oksidasi terhadap tokoferol yang terkandung pada asam lemak (Ketaren 2012). Hasil uji warna pada M-DAG komersial memiliki karakteristik warna berwarna putih dan tekstur kering dengan nilai L yaitu 96,3. Oleh karena itu, berdasarkan tingkat kecerahan warna dan
Sintesis Mono-Diasilgliserol……………………Irma Rumondang dkk
3
tekstur yang kering, hasil M-DAG terbaik yaitu pada suhu 150°C (Gambar 3) rasio molar 1:3 (gliserol:PFAD) dengan nilai L yaitu 82,57.
Rasio molar gliserol :PFAD Suhu (°C)
Gambar 3. Rendemen pada rasio molar gliserol:PFAD 1:2, 1:3, dan 1:4 dan suhu 150°C dan 160°C
Rendemen yang diperoleh pada penelitian ini berkisar 50% sampai 74%. Rendemen didapatkan dari perbandingan antara berat endapan M-DAG murni dengan total M-DAG kasar yang dimurnikan. Nilai rendemen akan menurun ketika suhu serta rasio gliserol:PFAD semakin tinggi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu berpengaruh secara signifikan (p<0,05) terhadap rendemen M-DAG murni. M-DAG yang memiliki nilai rendemen tertinggi yaitu M-DAG pada suhu 150°C dan rasio molar 1:3 (gliserol:PFAD) dengan rendemen sebesar 74% (Gambar 4). Hasil spot KLT yang didapatkan kemudian diolah menggunakan software ImageJ untuk melihat komposisi luas area pada masingmasing fraksi MAG, DAG, TAG dan ALB. Pada
penelitian ini hasil yang diharapkan adalah jumlah persentase luas area MAG dan DAG lebih tinggi dibandingkan TAG+ALB. Hasil KLT menunjukkan perolehan produk DAG lebih besar, sedangkan MAG dan TAG+ALB lebih rendah (Gambar 4). Semakin tinggi suhu dan rasio molar yang digunakan, perolehan DAG semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian Dixon dan Webb (1964) bahwa perubahan konsentrasi mol substrat PFAD yang tinggi dapat mempercepat reaksi. Nilai Rf yang didapatkan dari hasil KLT berturut-turut adalah 0.42 untuk MAG, 0.55 untuk DAG, dan 0.71 untuk TAG+ALB. Pada reaksi esterifikasi, gugus hidroksil mengikat gugus asam lemak sehingga pada penelitian ini didapatkan DAG dengan jumlah persentase yang tinggi namun, waktu proses yang terlalu singkat menyebabkan pengikatan tidak berlangsung secara optimal sehingga jumlah MAG yang terbentuk masih rendah Menurut Prakoso et al (2006), pembentukan MDAG pada reaksi esterifikasi melewati beberapa tahap, mula-mula satu gugus hidroksil pada gliserol akan mengikat satu gugus asam lemak hingga terbentuk monogliserida. Pada tahap selanjutnya dilanjutkan pengikatan terhadap gugus hidroksil lain hingga terbentuk digliserida dan trigliserida. Namun, jika waktu dan suhu proses esterifikasi yang digunakan terlalu tinggi dapat menurunkan perolehan fraksi MDAG karena akan terjadi reaksi balik menjadi FFA (Kitu 2000). Pada penelitian ini, persentase luas MAG dan DAG yang tertinggi terbentuk pada suhu 160ºC dengan rasio molar 1:3 dengan luas area DAG 70% dan MAG 10%.
Gambar 4. Persentase luas area fraksi pada berbagai rasio molar dan suhu reaksi pada M-DAG murni. MAG ( ), DAG ( ), TAG+ALB ( )
J. Kimia dan Kemasan vol. 38 No. 1 April 2016 : 1-6
4
Kadar asam lemak bebas dari M-DAG yang telah dimurnikan memiliki kisaran nilai 4050%. Nilai tersebut tidak berbeda jauh dengan nilai M-DAG kasar yang dibeli dipasaran yang memiliki kisaran nilai 39-52%. Pada proses esterifikasi, terjadi reaksi hidrolisis yang mengakibatkan kadar asam lemak bebas pada M-DAG meningkat. Hasil persentase luas area fraksi menunjukkan kadar DAG lebih tinggi pada suhu 160°C, hasil tersebut berhubungan dengan hasil kadar ALB yang menunjukkan bahwa asam lemak telah terikat oleh gliserol dan membentuk fraksi MAG, DAG dan TAG sehingga kadar ALB rendah. Sedangkan, pada suhu 150ºC asam lemak belum terikat secara sempurna dan belum bereaksi secara keseluruhan dengan gugus hidroksil sehingga kadar ALB lebih tinggi karena reaksi berlangsung pada suhu tinggi (Pramana, 2010). Hasil lanjut uji Duncan memperlihatkan bahwa suhu 160°C merupakan suhu yang lebih baik di antara dua perlakuan suhu dan rasio molar 1:4 merupakan rasio molar gliserol : PFAD yang terbaik. Sementara pada M-DAG murni suhu serta rasio proses esterifikasi tidak berpengaruh secara signifikan. Kadar ALB MDAG murni terendah didapatkan pada suhu 160ºC dengan rasio molar 1:2 sebesar 39% sedangkan yang tertinggi yaitu pada suhu 150ºC dengan rasio molar 1:4 sebesar 51%. Kadar ALB yang diperoleh pada M-DAG murni masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan M-DAG komersial yang memiliki kadar ALB sebesar 12%. Berdasarkan hasil uji pH, M-DAG kasar memiliki sifat yang asam dengan nilai pH 4-4.18. Nilai pH meningkat setelah dimurnikan dengan pH 4.25-4.68. Nilai tersebut menandakan bahwa M-DAG masih bersifat asam sesudah pemurnian. Suasana asam tersebut disebabkan masih tingginya kadar asam lemak bebas pada produk dan adanya pemakaian katalis asam yaitu MESA yang masih mempengaruhi kondisi substrat ketika proses esterifikasi sudah berakhir. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa, suhu dan rasio pada proses esterifikasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai pH pada M-DAG murni dan M-DAG kasar. Produk M-DAG kasar memiliki titik leleh yang lebih rendah dibandingkan M-DAG murni. M-DAG sebelum pemurnian memiliki kisaran nilai titik leleh 42-44°C sedangkan sesudah pemurnian meningkat menjadi 46-50°C. Adanya perbedaan tersebut disebabkan sebagian ALB+TAG telah larut dalam heksan ketika proses pemurnian berlangsung. M-DAG komersial terdiri dari komponen MAG, DAG dan TAG dengan kadar pengotor yang kecil
sehingga memiliki titik leleh tinggi. Nilai titik leleh tertinggi dari M-DAG sesudah pemurnian pada penelitian ini yaitu 50°C yang terbentuk pada suhu 160ºC dengan rasio molar 1:3. Hal tersebut berhubungan dengan hasil uji KLT dan ALB yang menunjukkan bahwa pada suhu 160ºC produk memiliki fraksi MAG tertinggi dan kadar ALB paling rendah sehingga titik leleh masih tinggi. Menurut Gunstone (1994), MAG memiliki titik leleh di atas DAG dan TAG karena susunan MAG yang terdiri dari 2 ikatan hidrogen dan DAG memiliki 1 ikatan hidrogen, sementara TAG tidak memiliki ikatan hidrogen, hal tersebut yang menyebabkan nilai titik leleh M-DAG komersial cenderung tinggi. Pada hasil uji dapat diketahui bahwa MDAG kasar memiliki stabilitas emulsi yang lebih rendah dengan kisaran nilai 20-53% dibandingkan M-DAG murni dengan kisaran nilai 37-72%. Berdasarkan hasil analisis ragam, suhu berpengaruh secara signifikan (p<0.05) terhadap nilai stabilitas emulsi pada M-DAG murni. Pada hasil uji lanjut Duncan (Gambar 5) menunjukkan bahwa suhu 160°C merupakan suhu yang terbaik di antara dua perlakuan suhu. Semakin tinggi suhu, nilai stabilitas emulsi semakin tinggi karena pada suhu tersebut kadar ALB lebih rendah. Sehingga pada penelitian ini M-DAG murni yang memiliki nilai stabilitas tertinggi yaitu M-DAG pada suhu 160°C dengan rasio molar gliserol:PFAD 1:2 dengan nilai stabilitas 72%.
Gambar 5 Hasil stabilitas emulsi M-DAG suhu150°C dan 160°C pada rasio gliserol:PFAD 1:2, 1:3, dan 1:4 setelah 12 jam. Sebelum pemurnian ( ) dan sesudah pemurnian ( )
KESIMPULAN Mono-diasilgliserol dapat diperoleh melalui proses esterifikasi antara gliserol dengan PFAD menggunakan zeolit dan katalis MESA
Sintesis Mono-Diasilgliserol……………………Irma Rumondang dkk
5
dengan konsentrasi 1.5% selama 75 menit. Terdapat perbedaan yang signifikan pada suhu dan rasio molar gliserol : PFAD terhadap hasil M-DAG. Pada suhu 150ºC menghasilkan rendemen yang tinggi (74%) serta karakteristik fisik yang diinginkan, yaitu berwarna cerah dan tidak berminyak. Sedangkan pada suhu 160ºC didapatkan stabilitas emulsi yang lebih tinggi (72%) dan kadar ALB yang lebih rendah (39%). Pada rasio 1:2 dihasilkan kecerahan M-DAG murni dengan nilai yang tinggi yaitu 82.57. DAFTAR PUSTAKA Buana L, Siahaan D, Adiputra S. 2003. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Sumatra Utara (ID) : Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Dziezak JD. 1988. Emulsifiers: the interfacial key do emulsion stability. Journal of Food Technology. 42(10) : 172-186. Dixon M, Webb ZC. 1964. Enzymes. New York (US): Academic Pr Inc. Dwi Setyaningsih, Balya Al Bashir, Very HeriYesen S, Neli Muna. 2016. Purification of Mono-Diacylglycerol through Saponification and Solvent Extraction. International Journal of Environment and Bioenergy. 11(1): 1 – 11. ISSN : 2165-8951. Gunstone, Frank D, Harwood JL, FB Padley. 1994. The Lipid Handbook. London (NL): Chapman And Hall. Hambali E, Suryani A, Dadang, Hariyadi, Hanafie H, Reksowardojo IK, Rivai M, Ihsanur M, Suryadarma P, Tjitrosemitro S. 2007. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 1-6
Hedtke D. 1996. Glycerine Processing. Di dalam Hui YH, editor. Bailey’s Industry Oil And Fat Products. Volume 3. Ketaren S. 2012. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia Pr. Kocsisova T, J Cvengros. 2006. G-phase for methyl ester production splitting and refining. Petroleum & Coal. 48(2): 1-5. Kitu NE. 2000. Sintesis mono dan diasilgliserol dari destilat asam lemak minyak kelapa melalui esterifikasi dengan katalisis lipase Rhizomucor miehei [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Mohtar Y. 2001. The Chemical Ana physical characteristic of oleochemicals produced in Malaysia. Palm Oil Development. 28:120. Prakoso T, Hapsari SC, Lembono P, Soerawidjaja TH. 2006. Sintesis trigliserida rantai menengah melalui transesterifikasi gliserol dan asam-asam lemaknya. Teknik Kimia Indonesia. 5 (3): 520-529. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI 061564-1995: Gliserol Kasar. Jakarta (ID): SNI. Syafila MT, Setiadi AH, Mulyadi, Esmiralda. 2007. Kajian biodegradasi limbah cair industri biodiesel pada kondisi anaerob dan aerob. ITB Sains & Teknologi. 39A (1&2): 165-178. Yanuar S. Pramana dan Sri Mulyani. 2010. Proses Gliserolisis CPO Menjadi Mono dan Diacyl GLiserol Dengan Pelarut TertButanol dan Katalis MgO. Jurusan Teknik Kimia – Fakultas Teknik, UNDIP
6
ISOLASI NANOKRISTALIN SELULOSA BAKTERIAL DARI JUS LIMBAH KULIT NANAS: OPTIMASI WAKTU HIDROLISIS (ISOLATION OF NANOCRYSTALLINE BACTERIAL CELLULOSE FROM PINEAPPLE PEEL WASTE JUICE: HYDROLYSIS TIME OPTIMIZATION)
Budiman Anwar1,2, Bunbun Bundjali2, dan I Made Arcana2 1)
Departemen Pendidikan Kimia, FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudhi No. 229, Bandung 2) Kelompok Keahlian Kimia Fisika dan Anorganik, FMIPA, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung E-mail :
[email protected] Received: 20 Januari 2016; revised: 10 Februari 2016: accepted: 17 Maret 2016
ABSTRAK Nanokristalin selulosa (NCC) adalah bionanomaterial yang terbarukan, berkelanjutan, ramah lingkungan, dan potensi penggunaannya sangat luas. Salah satu metode untuk mengisolasi NCC dari selulosa adalah dengan hidrolisis menggunakan asam. Waktu hidrolisis adalah salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan isolasi NCC disamping konsentrasi asam dan suhu hidrolisis. Penelitian ini difokuskan untuk memperoleh waktu hidrolisis optimum untuk isolasi NCC. Selulosa bakterial (BC), yang disintesis menggunakan media kultur jus limbah kulit nanas, digunakan sebagai sumber selulosa yang murah dan ramah lingkungan. Optimasi waku hidrolisis dikarakterisasi dengan stabilitas dispersi, %-hasil, dan diameter partikel rata-rata yang diukur menggunakan Particle Size Analyzer (PSA). Waktu optimum hidrolisis yang memberikan dispersi stabil dengan %-hasil terbanyak (62%) dan ukuran partikel terkecil (diameter rata-rata 41,6 nm) adalah 25 menit pada suhu dan konsentrasi asam tertentu. Analisis FTIR memperlihatkan spektrum NCC mirip dengan BC-asal dengan 1 puncak-puncak serapan khas untuk selulosa. Sedikit pergeseran terjadi pada puncak sekitar 2900 cm dan 1 1430 cm yang disebabkan oleh adanya peningkatan derajat kristalinitas, hal ini menunjukkan pula bahwa BC telah berubah menjadi NCC. Pengamatan dengan Transmission Electron Microscopy (TEM) terhadap NCC memperlihatkan morfologi yang berbentuk jarum. −
−
Kata kunci : Nanokristalin selulosa, Selulosa bakterial, Limbah kulit nanas, Waktu hidrolisis
ABSTRACT Nanocrystalline cellulose (NCC) is a renewable, sustainable and environmentally friendly bionanomaterial and potential for used in the very wide range application. The one of methods to isolate NCC is the acid hydrolysis of cellulose. Hydrolysis time is the one of the important factors that decide the success of isolating NCC, besides of acid concentration and temperature of hydrolysis. This study is focused to obtain the optimum hydrolysis time for NCC isolation. Bacterial cellulose (BC), which synthesized using pineapple peel waste juice as a culture medium, was used as the low cost and environmentally friendly cellulose source. Optimization of the hydrolysis time was characterized by the stability of the dispersion, %-yield, and the average particle diameter measured by Particle Size Analyzer (PSA). The optimum time hydrolysis that give a stable dispersion with the most %-yields (62%) and the smallest particle size (average diameter of 41.6 nm) is 25 minutes at a certain temperature and acid concentration. FTIR analysis shows that NCC spectrum is similar to the origin BC and shows the typical 1 1 absorption peaks for cellulose. A slight shift of peaks occurred around 2900 cm and 1430 cm caused by an increase in the degree of crystallinity, and it indicates that BC has turned into NCC. Observation by Transmission Electron Microscopy (TEM) to NCC shows the morphology of NCC that has needle-like structure. −
−
Keywords : Nanocrystalline cellulose, Bacterial cellulose, Pineapple peel waste, Hydrolysis time
Isolasi Nanokristalin Selulosa Bakterial …… Budiman Anwar dkk
7
PENDAHULUAN Selulosa adalah biopolimer dengan kelimpahan di alam sangat berlimpah dan merupakan material terbarukan yang sangat penting dan dapat diproses menjadi berbagai produk polimer yang ramah lingkungan (Klemm et al. 2005). Produksi selulosa dalam skala nano sangat menarik perhatian karena sifat-sifatnya yang unggul, seperti kekuatan dan kekerasan yang tinggi dipadu dengan sifat yang ringan, terbiodegradasi, dan terbarukan (Maddahy et al. 2012). Material yang digunakan sebagai sumber selulosa untuk memperoleh selulosa dalam skala nano, dikenal dengan istilah nanokristalin selulosa (NCC), pada umumnya berasal dari tumbuhan tingkat tinggi seperti kayu (Sacui et al. 2014), kapas (Chang et al. 2010), jerami gandum (Helbert et al. 1996), sabut kelapa (Bendahou et al. 2009), serat bambu (Brito et al. 2012; Zhang et al. 2012), Microcrystalline cellulose (MCC) (Bondenson et al. 2006, Ioelovich 2012), serat rami (Habibi and Dufresne 2008), kenaf (Zaini et al. 2013), serat Phormium tenax (Fortunati et al. 2013), daun mengkuang (Sheltami et al. 2012), serat sisal (Garcia de Rodriguez et al. 2006), dan lain-lain. Selain itu, tunicate (sejenis hewan laut) (Angles and Dufresne 2000, Sacui et al. 2014) dan selulosa bakterial (BC) (Hirai et al. 2009, George et al. 2010) juga digunakan sebagai sumber selulosa. Penggunaan BC sebagai sumber selulosa mempunyai beberapa keunggulan, salah satunya adalah kemurniannya. Selulosa dari tumbuhan selalu mengandung hemiselulosa dan lignin sehingga proses pemurniannya cukup sulit. Proses pemurnian selulosa dari tumbuhan meliputi pelarutan dan pemisahan yang memerlukan berbagai bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan. Selain itu, sintesis BC dapat memanfaatkan berbagai limbah yang mencemari lingkungan sebagai media kulturnya. Salah satu limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai media kultur adalah limbah kulit nanas. Perkebunan nanas di Indonesia meliputi lebih dari 28.000 hektar. Produksi nanas keseluruhan per tahunnya mencapai 20 ton per hektar dengan persentase limbah kulit nanas sekitar 23%, dengan demikian limbah kulit nanas yang dihasilkan lebih dari 128.000 per tahun. Limbah kulit nanas mengandung sumber gula dan nitrogen yang berguna untuk biosintesis BC oleh Gluconacetobacter xylinus. BC yang dihasilkan dengan menggunakan jus limbah kulit nanas sebagai media kultur mempunyai sifat yang serupa dengan BC yang dihasilkan dengan J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 7-14
menggunakan media konvensional (Hestrin & Schramm’s medium), tetapi lebih murah dan hasilnya 80% lebih banyak (Castro et al. 2011, Anwar et al. 2015). Berdasarkan penelusuran literatur, belum ada laporan tentang penggunaan BC yang disintesis dengan menggunakan media kultur jus limbah kulit nanas sebagai sumber selulosa untuk memperoleh NCC. Telah diketahui bahwa morfologi dan sifat-sifat NCC mempengaruhi kinerjanya pada berbagai aplikasi. Telah diketahui pula bahwa morfologi dan sifat-sifat NCC bergantung pada sumber selulosa. Dengan demikian, penelitian dan pengembangan NCC dari berbagai sumber masih sangat relevan (Silverio et al. 2013). Metode yang paling umum digunakan untuk mengisolasi NCC dari selulosa adalah hidrolisis dengan asam. Waktu hidrolisis adalah salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan isolasi NCC, disamping konsentrasi asam dan suhu hidrolisis (Bondeson et al. 2006, Ioelovich 2012). Penelitian ini difokuskan untuk memperoleh waktu hidrolisis optimum untuk isolasi NCC dari sumber yang murah dan ramah lingkungan, yaitu BC yang disintesis dengan menggunakan jus limbah kulit nanas sebagai media kultur. Optimasi lainnya, yaitu konsentrasi asam dan suhu hidrolisis, akan dipublikasikan dalam waktu dekat. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk biosintesis BC diperoleh dari pemasok lokal dengan grade teknis, sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk mengkarakterisasi dibeli dari Sigma & Aldrich Chemical Co. dengan grade pro analisis. Gluconacetobacter xilinus diperoleh dari pemasok lokal. Limbah kulit nanas diperoleh dari perkebunan nanas di daerah Subang Jawa Barat Indonesia. Metode Limbah kulit nanas yang sudah bersih dibuat jus kemudian diencerkan dan disterilkan. Keasaman diatur pada pH = 4,5 dengan menggunakan asam asetat glasial. Inokulum sebanyak 10% v/v ditambahkan ke dalam media kultur dan diinkubasi secara statis pada suhu kamar selama 14 hari (Moosavi-Nasab and Yousefi 2010). Nata yang diperoleh dicuci dalam air mendidih selama 15 menit kemudian direndam dalam larutan NaOH 1% w/v dan selanjutnya dibilas hingga netral. Nata dikeringkan dalam oven pada 70°C selama 8
48 jam sehingga diperoleh film BC. Sebagian film BC diblender untuk mendapatkan serbuk BC (Anwar et al. 2015). Isolasi NCC meliputi proses hidrolisis dengan asam sulfat, sentrifugasi, dialisis, dan sonikasi. Proses optimasi dikarakterisasi dengan melihat kestabilan dispersi NCC, %-hasil NCC, dan diameter partikel NCC yang diukur dengan BECKMAN COULTER DelsaNano C particle analyzer. Optimasi dilakukan dengan variasi waktu hidrolisis (5 menit, 15 menit, 25 menit, 30 menit, 35 menit, 40 menit, dan 45 menit) pada konsentrasi asam sulfat 50 %volume, suhu hidrolisis 50°C, dan rasio asam-BC 50 mL/g. Setelah proses hidrolisis, semua contoh dilakukan quenching dengan mengencerkannya sebanyak 10 kali dengan air deionisasi. Bagian cloudy dari dispersi selulosa dipisahkan dan disentrifugasi pada percepatan 4000 g selama 10 menit. Endapan selanjutnya didialisis dalam air deionisasi sampai dispersi NCC mencapai pH ~ 6 menggunakan CelluSep T4 Regenerated Cellulose Tubular Membrane MWCO12.000− 14.000. Untuk memperoleh serbuk NCC, dispersi NCC dilakukan freeze dried menggunakan OPERON Freeze Dryer Bench Top FDB-5003. Spektrum FTIR serbuk BC dan NCC diperoleh dengan menggunakan alat PRESTIGE 21 SHIMADZU FTIR pada daerah frekuensi 1 4500−450 cm dan digunakan untuk mengetahui adanya pergeseran gugus fungsi. Selain itu, studi FTIR dapat pula digunakan untuk menentukan derajat kristalinitas dalam selulosa dengan membandingkan puncak absorbansi tertentu (Salmen et al. 2005). Menurut Nelson and O’Connor (1964), rasio kristalinitas (Cr.R.) selulosa dapat diperoleh dengan membanding1 kan puncak absorbansi pada sekitar 1372 cm 1 (A1372) dan sekitar 2900 cm (A2900): −
−
−
Cr.R. = A1372 / A2900
................ (1)
Analisis SEM film kering BC dilakukan dengan menggunakan JEOL JSM−6510 yang dioperasikan pada 8 kV sampai dengan 10 kV. Morfologi NCC diamati dengan Transmission Electron Microscope (TEM). Setetes dispersi NCC diendapkan pada grid mikroskop dan dibiarkan mengering untuk pengambilan citra TEM menggunakan JEOL JEM-1400. HASIL DAN PEMBAHASAN
30 menit, 35 menit, dan 40 menit yang menghasilkan dispersi koloid yang stabil. Bila waktu hidrolisis kurang dari 25 menit, tidak terbentuk dispersi koloid yang stabil. Hal ini disebabkan karena proses hidrolisis tidak memadai sehingga penghilangan daerah amorf tidak tuntas dan ukuran partikel belum mencapai skala nano. Sedangkan apabila waktu hidrolisis diatas 40 menit, selulosa bakterial telah mengalami depolimerisasi hingga daerah kristalinnya. Waktu hidrolisis yang memberikan dispersi stabil dengan %-hasil terbanyak (62%) dan ukuran partikel terkecil (diameter rata-rata 41,6 nm) adalah 25 menit, pada suhu 50°C dan konsentrasi asam sulfat 50%. Ikhtisar hasil optimasi diperlihatkan pada Tabel 1. dan distribusi ukuran partikel pada berbagai waktu hidrolisis diperlihatkan pada Gambar 1. Diameter yang dihasilkan dari pengukuran Particle Size Analyzer (PSA) adalah diameter hidrodinamika (dH) yaitu diameter bola pejal yang berdifusi pada kecepatan yang sama dengan partikel yang diukur. Menurut Shaw (2013), untuk partikel yang tidak berbentuk bola, PSA akan memberikan diameter bola yang mempunyai koefisien difusi translasi rata-rata sama dengan partikel yang diukur (Gambar 2). Dengan demikian bagi partikel yang berbentuk jarum, pengukuran diameter partikel dengan PSA akan memberikan hasil yang cenderung lebih besar dari diameter sebenarnya. Akan tetapi, PSA memberikan informasi ukuran partikel pada sistem partikel yang ruah (bulk system). Ukuran partikel sebenarnya dapat diperoleh dari hasil analsis TEM. Spektroskopi FTIR Analisis FTIR memperlihatkan bahwa NCC dan BC-asal yang diperoleh melalui hidrolisis asam sulfat mempunyai spektrum yang hampir identik seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Puncak-puncak khas selulosa nampak pada spektrum FTIR BC-asal maupun NCC. Hal ini menunjukkan bahwa proses hidrolisis asam pada kondisi optimum tidak mengubah struktur selulosa. Sedikit pergeseran gugus fungsi terjadi pada puncak sekitar 1 2900 cm (vibrasi regangan C-H) dan 1 1430 cm (vibrasi tekuk −CH2−(C6)− simetris). Peningkatan daerah kristalin ditegaskan oleh 1 1 pergeseran puncak 2918 cm ke 2897 cm dengan intensitas yang lebih tinggi dan peningkatan intensitas pada “pita kristalinitas” 1 yaitu disekitar puncak 1430 cm (Ciolacu et al. 2011). Rasio kristalinitas BC-asal dan NCC yang diperoleh dari spektrum FTIR dengan menggunakan Persamaan (1) berturut-turut −
−
−
−
−
Optimasi Waktu Hidrolisis untuk Isolasi Nanokristalin Selulosa (NCC) Dari hasil optimasi waktu hidrolisis, terdapat empat variasi waktu yaitu 25 menit,
Isolasi Nanokristalin Selulosa Bakterial …… Budiman Anwar dkk
9
adalah 0,829 dan 0,965. Hal ini menunjukkan bahwa NCC mempunyai derajat kristalinitas yang lebih tinggi daripada BC-asal. Peningkatan derajat kristalinitas dalam NCC menunjukkan bahwa penghilangan daerah amorf pada BC-asal sebagian besar telah berhasil. Morfologi Partikel NCC Citra SEM (Gambar 4) memperlihatkan mikro-arsitektur dari mikrofibril BC dengan panjang masih dalam skala mikro dan diameter rata-rata 51 nanometer (Anwar et al. 2015).
Hasil analisis TEM terhadap NCC memberikan informasi mengenai morfologi dan ukuran partikel NCC sebenarnya. Citra TEM (Gambar 5) memperlihatkan morfologi NCC yang mempunyai struktur berbentuk jarum dengan panjang rata-rata 420 nm dan diameter rata-rata 34 nm. Diameter partikel sebenarnya yang diperoleh dari analisis TEM lebih kecil dibandingkan dengan hasil pengukuran PSA karena morfologi partikel berbentuk jarum seperti telah diprediksi sebelumnya.
Tabel 1. Optimasi waktu hidrolisis pada suhu 50°C dan konsentrasi asam sulfat 50% Waktu hidrolisis (menit) 5 15 25 30 35 40 45
Kestabilan dispersi Mengendap Mengendap Stabil Stabil Stabil Stabil Terhidrolisis sempurna
%-hasil 62,0 40,8 52,8 55,0 -
Diameter rata-rata (nm) 41,6 54,0 67,9 63,1 -
Gambar 1. Distribusi ukuran partikel NCC hasil pengukuran dengan Particle Size Analyzer (PSA) pada waktu hidrolisis (a) 25 menit, (b) 30 menit, (c) 35 menit, dan (d) 40 menit
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 7-14
10
Gambar 2. Diameter hidrodinamika untuk partikel berbentuk jarum akan terukur lebih besar daripada ukuran sebenarnya
100 %T 90
669.30 617.22 1112.93
40
3350.35
30
4500 Bc1
4000
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1060.85 1033.85
1161.15
50
1427.32 1369.46 1336.67 1319.31
60
1656.85 1635.64
2920.23 2899.01 2858.51
1566.20 1548.84
70
559.36
1280.73 1242.16
80
1000
750
500 1/cm
(a) 100 %T
80
669.30
2897.08
615.29
1429.25 1373.32 1336.67 1280.73 1240.23
60
50
557.43
1654.92 1637.56
70
439.77
900.76
90
3350.35
30
1163.08 1112.93 1058.92 1031.92
40
20 4500 bm
4000
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
(b)
Gambar 3. Spektrum FTIR untuk (a) BC, (b) NCC keduanya memperlihatkan puncak-puncak serapan khas untuk 1 1 selulosa. Pergeseran bilangan gelombang di sekitar 2900 cm dan 1430 cm menunjukkan bahwa NCC mempunyai derajat kristalinitas lebih tinggi daripada BC-asal −
Isolasi Nanokristalin Selulosa Bakterial …… Budiman Anwar dkk
−
11
(a) (b) Gambar 4. Citra SEM memperlihatkan mikro arsitektur dari mikrofibril BC perbesaran (a) 10.000x dan (b) 30.000x. Mikrofibril BC mempunyai panjang dalam skala mikro dan diameter rata-rata 51 nanometer
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5. Citra TEM untuk NCC yang diperoleh pada waktu hidrolisis (a) 25 menit, (b) 30 menit, (c) 35 menit, dan (d) 40 menit. Morfologi NCC berbentuk jarum dengan panjang rata-rata 420 nm dan diameter rata-rata 34 nm.
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 7-14
12
KESIMPULAN Penelitian pendahuluan ini difokuskan pada penentuan waktu optimum isolasi NCC dari sumber yang murah dan ramah lingkungan, yaitu BC yang disintesis dengan menggunakan jus limbah kulit nanas sebagai media kultur. Waktu hidrolisis optimum diperoleh pada rentang 25 menit sampai dengan 40 menit pada 50°C dan konsentrasi asam sulfat 50%-v/v. Derajat kristalinitas NCC lebih tinggi daripada BC-asal. Morfologi partikel NCC berbentuk jarum dengan panjang rata-rata 420 nm dan diameter rata-rata 34 nm. Penelitian selanjutnya yang perlu dilakukan adalah optimasi konsentrasi asam sulfat dan suhu hidrolisis serta karakterisasi sifat fisikokimia NCC yang dihasilkan. DAFTAR PUSTAKA Angles, M.N. and A. Dufresne. 2000. Plasticized Starch/Tunicin Whiskers Nanocomposite. 1. Structural Analysis. Macromolecules 33: 8344−8353 Anwar B, B. Bundjali, and I.M. Arcana. 2015. Characteristics of Bacterial Cellulose Produced by Gluconacetobacter xylinus from Local Pineapple Peel Waste Juice. Manuscript submitted for publication in Journal of Polymers and Environment Number JOOE-D-1500386. Bendahou, A., Y. Habibi, H. Kaddami, and A. Dufresne. 2009. Physico-Chemical Characterization of Palm from Phoenix-L, Preparation of Cellulose Whiskers and Natural Rubber-Based Nanocomposites. Journal of Biobased Materials and Bioenergy 3: 81−90. Bondenson, D., A. Mathew, and K. Oksman. 2006. Optimization of the Isolation of Nanocrystals from Microcrystalline Cellulose by Acid Hydrolysis. Cellulose 13: 171−180. Brito B.S.L., F.V. Pereira, J.L Putaux, and B. Jean. 2012. Preparation, Morphology and Structure of Cellulose Nanocrystals from Bamboo Fibers. Cellulose 19: 1527−36. Castro, C, R. Zuluaga, J.L. Putaux, G. Caro, I. Mondragon, and P. Ganan. 2011. Structural Characterization of Bacterial Cellulose Produced by Gluconacetobacter swingsii sp. from Colombian Agoindustrial Wastes. Carbohydrate Polymers 84: 96−102. Chang, C.P., I.C. Wang, K.J. Hung, and Y.S. Perng. 2010. Preparation and
Characterization of Nanocrystalline Cellulose by Acid Hydrolysis of Cotton Linter. Taiwan Journal for Science 25(3): 251−64. Ciolacu, D., F. Ciolacu, V.I. Popa. 2011. Amorphous Cellulose-Structure and Characterization. Cellulose Chemistry and Technology 45(1-2): 13−21. Fortunati, E., D. Puglia, M. Monti, L. Peponi, C. Santulli, J.M. Kenny, and L. Torre. 2013. Extraction of Cellulose Nanocrystals from Phormium tenax Fibres. Journal of Polymers and Environment 21; 319−328. Garcia de Rodriguez N.L., W. Thielemans, and A. Dufresne. 2006. Sisal Cellulose Whiskers Reinforced Polyvinyl acetate Nanocomposites. Cellulose 13: 261−270. George, J., A.S. Bawa, and Siddaramaiah. 2010. Synthesis and Characterization of Bacterial Cellulose Nanocrystals and their PVA Nanocomposites. Advanced Materials Research 123−125: 383−386. Habibi, Y. and A. Dufresne. 2008. Highly Filled Bionanocomposites from Fungctionalized Polysaccharide Nanocrystals. Biomacromolecules 9:1974−1980. Helbert, W., J.Y. Cavaille, andA. Dufresne. 1996. Thermoplastic Nanocomposites Filled with Wheat Straw Cellulose Whiskers. Part I: Processing and Mechanical Behavior. Polymer Composite 17:604−11. Hirai, A., O. Inui, F. Horii, and M. Tsuji. 2009. Phase Separation Behavior in Aqueous Suspensions of Bacterial Cellulose Nanocrystals Prepared by Sulfuric Acid Treatment. Langmuir 25(1):497−502. Ioelovich, M. 2012. Optimal Conditions for Isolation of Nanocrystalline Cellulose Particles. Nanoscience and Nanotechnology 2(2):9−13. Klemm, D., B. Heublein, H.P. Flink, and A. Bohn. 2005. Cellulose: Fascinating Biopolymer and Sustainable Raw Material. Angewandte Chemie International 44: 3358−3393. Maddahy, N.K., O. Ramezani, and H. Kermanian. 2012. Production of Nanocrystalline Cellulose from Sugarcane Bagasse. Dalam: th Proceedings of the 4 International Conference on Nanostructures (ICNS4), Kish Island, I. R. Iran: 87−89.
Isolasi Nanokristalin Selulosa Bakterial …… Budiman Anwar dkk
13
Moosavi-Nasab, M. dan A.R. Yousefi. 2010. Investigation of Physicochemical Properties of the Bacterial Cellulose Produced by Gluconacetobacter xylinus from Date Syrup. World Academy of Science, Engineering and Technology 44:1258−1263. Nelson, M.L., and T. O’Connor. 1964. Relation of Certain Infrared Bands to Cellulose Crystallinity and Crystal Lattice Type. Part II. A New Infrared Ratio for Estimation of Crystallinity in Cellulose I and II. Journal of Applied Polymer Science 8:1325−1341. Sacui, I.A., R.C. Nieuwendaal, D.J. Burnett, S.J. Stranick, M. Jorfi, C. Weder, E.J. Foster, R.T. Olsson, and J.W. Gilman. 2014. Comparison of the Properties of Cellulose Nanocrystals and Cellulose Nanofibrils Isolated from Bacteria, Tunicate, and Wood Processed Using Acid, Enzymatic, and Oxidative Methods. ACS Applied Materials and Interfaces 6: 6127−6138. Salmen, L., M. Akertholm, and B. Hinterstoisser. 2005. Two-Dimensional Fourier Transform Infrared Spectroscopy Applied to Cellulose and Paper. In: Dumitriu S, editor. Structural Diversity and Functional Versatility. 1st ed. New York: Marcel Dekker; p. 159−189. Shaw, R. 2013. Dynamic Light Scattering TrainingAchieving Reliable
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 7-14
Nanoparticle Sizing. www.atascientific.com.au. (Accessed October 10, 2013). Sheltami, R.M., I. Abdullah, I. Ahmad, A. Dufresne, and H. Kargarzadeh. 2012. Extraction of Cellulose Nanocrystals from Mengkuang Leaves (Pandanus tectorius). Carbohydrate Polymers 88:772−779. Silverio, H.A., W.P.F. Neto, N.O. Dantas, and D. Pasquini. 2013. Extraction and Characterization of Cellulose Nanocrystals from Corncob for Application as Reinforcing Agent in Nanocomposites. Industrial Crops and Products 44:427−436. Zaini, L.H., M. Jonoobi, P.M. Tahir, and S. Karimi. 2013. Isolation and Characterization of Cellulose Whiskers from Kenaf (Hibiskus cannabinus L.) Bast Fibers. Journal of Biomaterialsand Nanobiotechnology 4: 37−44. Zhang, Y.,X.B. Lu, C. Gao, W.J. Lv, and J.M. Yao. 2012. Preparation and Characterization of Nano Crystalline Cellulose from Bamboo Fibers by Controlled Cellulose Hydrolysis. Journal of Fiber Bioengineering and informatics.5(3):263−271.
14
PENGARUH METILEN BISAKRILAMID (MBA) PADA PEMBUATAN SUPERABSORBEN HIDROGEL BERBASIS SELULOSA TERHADAP SIFAT PENYERAPAN AIR (THE EFFECT OF METHYLENE BISACRYLAMIDE (MBA) ON THE PRODUCTION OF CELLULOSE BASED SUPERABSORBENT HYDROGEL TOWARD WATER SORPTION BEHAVIOUR)
Nuri Astrini, Lik Anah, dan Agus Haryono Pusat Penelitian Kimia-LIPI, Bandung, Indonesia Jl. Cisitu / Sangkuriang, Komplek LIPI Bandung E-mail:
[email protected] Received: 20 Januari 2016; revised: 13 Februari 2016: accepted: 21 Maret 2016
ABSTRAK Sintesis superabsorben hidrogel CMC-g-PAA yang berikatan silang telah dibuat dengan kopolimerisasi cangkok (grafting) radikal bebas menggunakan karboksi metil selulosa, asam akrilat (AA), kalium persulfat (KPS) sebagai inisiator dan N, N’-metilen bisakrilamid (MBA) sebagai crosslinker. Pengaruh konsentrasi crosslinker terhadap asam akrilik (3,13 ; 3,75 dan 4,38 %w/w) telah dipelajari berdasarkan sifat mengembang (swelling properties). Struktur kimia yang terjadi dianalisa menggunakan spektroskopi Fourier Trasform Infra-red (FTIR). Hasil dari spektrum FTIR memperlihatkan bahwa karboksi metil selulosa dalam polimerisasi cangkok bereaksi dengan asam akrilat. Pada jumlah crosslinker 3,75% w/w diperoleh kamampuan menyerap air (equilibrium swelling) maksimum 49,62 g/g dalam air distilat dan 20,42 g/g dalam larutan NaCl 0,9%. Kata kunci : Karboksi metil selulosa, Superabsorben hidrogel, Asamakrilat (AA), N,N’-metilenbisakrilamid (MBA)
ABSTRACT Synthesis ofcrosslinked CMC-g-PAA super absorbent hydrogel was prepared by free radical graft copolymerization reaction using carboxy methyl cellulose (CMC), acrylicacid (AA), potassium persulfate (KPS) asinitiator and N,N'-methylene bisacrylamide(MBA) as acrosslinker. The effect of cross linker concentration on the water absorbency of polymer was carried out at various mass ratio (3.13 ; 3.75 and 4.38wt%) of MBA to acrylic acid. The superabsorbent hydrogel was characterized by Fourier Trasform Infrared spectroscopy (FTIR). The results of FTIR spectrashowed –OH ofCMC participated in graft polymerization with acrylic acid. The superabsorbent hydrogel synthesizes under maximum synthesis condition with an crosslinker content of 3.75 wt% exhibited water-sorption of 49.62 g/g and 20.42 g/g in distilled water and 0.9% NaCl solution, respectively. Key words : Carboxymethyl cellulose (CMC), Superabsorbent hydrogel, Acrylic acid (AA), N,N’-methylene bisacrylamide (MBA)
PENDAHULUAN Pada beberapa tahun belakangan ini penelitian dan pengembangan penggunaan bahan biomaterial sedang dilakukan secara intensif dalam berbagai bidang. Salah satu bahan biomaterial potensial yang akan dikembangkan adalah hidrogel. Hidrogel superabsorben merupakan makromolekul yang mempunyai jaringan ikatan silang dan dapat mengembang dalam air atau cairan biologis. Telah diketahui bahwa kehadiran gugus
hidrofilik, fleksibilitas rantai polimer tinggi, serta ketersediaan volume bebas (free volume) yang besar antara rantai polimer, akan meningkatkan kapasitas pembengkakan hidrogel. Hidrogel yang terbuat dari polimer sintetik menunjukkan sifat penyerapan air yang sangat baik. Tetapi toksisitas dan karsinogenisitas monomer sisa dalam hidrogel ini mungkin akan menimbulkan masalah apabila digunakan sebagai pembawa obat dan produk konsumen, seperti popok.
Pengaruh metilen bisakrilamid (MBA)……Nuri Astrini dkk
15
Berdasarkan sifatnya yang dapat menyerap air atau larutan, hidrogel juga dapat melepaskannya secara terkendali maka hidrogel diaplikasikan pada bidang pertanian, kesehatan dan personal care (pembalut wanita dan popok bayi ) (Suo et al.2007; Li et al. 2007; Zhang et al. 2006; Peng et al. 2008). Secara umum material hidrogel superabsorben adalah polimer hidrofilik yang mempunyai ikatan silang, linier atau bercabang yang mempunyai kemampuan menyerap air atau larutan dalam jumlah yang besar. Bahan ini dapat dibentuk dari polimer yang dapat larut dalam air menggunakan radiasi atau crosslinker (Pourjavadi et al. 2007). Salah satu metode untuk sintesa polimer ini adalah grafting secara kimia dengan monomer vinylic seperti akrilonitril, akrilamid dan asam akrilik pada polisakarida yang biodegradable dan murah seperti tepung (starch), kitosan dan selulosa dengan menggunakan berbagai sistem penginisiasian diikuti oleh crosslingking dengan crosslinker hidrofilik. (Hennink and Nostrum 2002; Zohuriaan-Mehr and Kourosh 2008). Penggunaan renewable dan biodegradable polisakarida secara luas untuk menggantikan polimer dari petrokimia mempunyai keuntungan pada industri dan lingkungan. Polisakarida berikatan silang merupakan cara mudah untuk mendapatkan hidrogel superabsorben baru. Selulosa adalah salah satu polisakarida bahan organik alami yang tersedia melimpah di dunia dan dapat digunakan untuk preparasi berbagai macam material baru. Turunan selulosa seperti karboksimetil selulosa (CMC) dengan gugus karboksimetil (-CH2-COOH) yang terikat ke beberapa gugus hidroksil dari monomer glukopiranosa yang bersenyawa dengan batang tubuh selulosa memiliki aplikasi potensial sebagai polimer fungsional yang ramah lingkungan karena bersifat dapat dibiodegradasi dan sumber terbarukan (Chen et al. 2008). Berbagai macam metoda pembentukan ikatan silang telah digunakan untuk membuat hidrogel. Reaksi ikatan silang pada saat polimerisasi sangat penting untuk menghasilkan jejaring polimer (yang dapat menyerap air). Pengikat silang yang digunakan dalam penelitian ini adalah N,N′-metilena bisakrilamida (MBA) yang bereaksi dengan gugus fungsi karboksil pada rantai polimer sehingga terbentuk jejaring polimer seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Kemampuan polimer dalam menyerap air sangat bergantung pada derajat ikat silang. Asam Akrilat (AA) adalah salah satu jenis monomer hidrofilik yang merupakan bahan baku untuk pembuatan polimer poliasam akrilat
(PAA). Struktur kimia dari poliasam akrilat (PAA) memiliki unit gugus –COOH yang dapat diionisasi. Rantai polimer ini dapat diberi ikatan silang pada gugus –OH. Sesuai dengan kemajuan dalam pengembangan dibidang penelitian dan teknologi, maka pada beberapa tahun belakangan ini penelitian yang berkaitan dengan polimer asam akrilat (PAA) sedang dikembangkan secara intensif sebagai bahan dasar (base material) untuk bahan biomaterial baru.
Gambar 1. Proses ikatan silang poliasam akrilat (PAA) (Gamer 2000)
Hidrogel dengan kemampuan penyerapan yang tinggi diperlukan untuk memenuhi peningkatan performa dari hidrogel superabsorben. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk meningkatkan kondisi operasi sintesa sehingga diperoleh absorbensi air yang tinggi (high water absorbency). Pada penelitian ini, dipelajari tentang pengaruh jumlah crosslinker MBA pada proses pembuatan material baru hidrogel superabsorben berbasis biopolimer, melalui proses polimerisasi cangkok (graft) berikatan silang antara asam akrilik dan CMC terhadap sifat absorbansi air (water absorbency) dari hidrogel yang dihasilkan. BAHAN DAN METODE Bahan Monomer sintetis asam akrilat (AA), kalium persulfat (KPS) dan NaOH masing masing proanalysis didapat dari E-Merck. N,N’-methylene bisacrylamide (MBA) dari Sigma-Aldrich. Polimer
J. Kimia Kemasan, Vol. 38 No. 1 April 2016 : 15-20
16
alam karboksimetil selulosa (CMC) dan aseton teknis didapat dari P.D.Bratacho. Spektrofotometer Fourier Trans-form Infra-Red (FTIR) Shimadzu Prestige-21. Metode Pembuatan Hidrogel CMC-g-PAA Dalam reaktor gelas leher tiga volume 1 L yang dilengkapi dengan pengaduk mekanik dan kondensor, dimasukkan CMC 1,2 g (10 %w/w terhadap AA), kemudian dilarutkan dengan akuades dan di aduk hingga homogen pada suhu kamar. Larutan tetap diaduk dan dialiri gas N2 selama 30 menit dan dipanaskan o dalam water bath pada suhu 60 C. Selanjutnya kedalam larutan dimasukkan inisiator KPS 2,5 %w/w yang sebelumnya telah dilarutkan dengan sejumlah aquades sebagai inisiasi polimerisasi cangkok (graft). Setelah pengadukan selama 30 menit kemudian dimasukkan 12 g AA yang dinetralkan dengan larutan NaOH 30 %w/v dan 3,13%; 3,75% dan 4,38 %w/w MBA. Jumlah volume aquades dalam sistem diatur hingga level tertentu agar kecepatan pengadukan tetap. Setelah berjalan selama 5 jam reaksi dihentikan. Produk dikeluarkan dari o reaktor dan dikeringkan pada suhu 40 C hingga agak kering, setelah itu dicuci dengan air beberapa kali sambil di adukan, terahir dibilas dengan aseton untuk menghilangkan sisa air. Kemudian produk hidrogel diambil dengan cara o disaring dan dikeringkan pada suhu 40 C hingga kering. Skema reaksi yang terjadi pada pencangkokan berikatan silang dari poliasam akrilat (PAA) ke karboksimetil selulosa (CMC) seperti terlihat pada Gambar 2. Karakterisasi Hidrogel yang dihasilkan dikarakterisasi, yaitu: pengujian swelling hidrogel SAP dalam air dan larutan NaCl. Rasio swelling adalah ukuran kemampuan polimer dalam menyerap air, dan ini sangat menentukan aplikasi dari produk hidrogel SAP yang dihasilkan. Rasio swelling dilakukan dengan metode tea-bag (Zhoa et al. 2005). Nilon kering ditimbang terlebih dahulu (Wn). Timbang sampel sebanyak 0,1 gram dan dimasukkan dalam kantong kain nilon (Wo). Kemudian hidrogel kering direndam dalam aquades atau NaCl 0,9% hingga waktu tertentu pada suhu ruang dan dibiarkan diikat diudara selama 15 menit dan ditimbang kembali sebagai (Wt). Selanjutnya hidrogel direndam kembali ke dalam air atau larutan dalam wadah yang sama untuk pengujian rasio swelling pada interval waktu tertentu hingga pada selang waktu 2 jam.
Gambar 2. Ilustrasi skema reaksi kopolimerisasi cangkok berikatan silang dari PAA ke CMC
Rasio swelling hidrogel hasil pengujian pada masing-masing waktu perendaman dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : (1) Selain itu, dilakukan pula uji Equilibrium Swelling (ES) yaitu rasio swelling dari hidrogel pada keadaan maksimum setelah hidrogel direndam selama 24 jam. Analisis Spektroskopi Infra-merah (FTIR) Spektrum inframerah dari karboksimetil selulosa (CMC) sebelum dan sesudah proses grafting diuji menggunakan pelet KBr dengan alat Spektrofotometer Fourier Transform InfraRed (FTIR) Shimadzu Prestige-21 pada bilangan -1 -1 gelombang 4000 cm hingga 500 cm , untuk mengetahui gugus fungsi yang terjadi. HASIL DAN PEMBAHASAN Swelling Hidrogel dalam Air Rasio perbandingan berat hidrogel dalam keadaan menyerap air (swelling) terhadap berat keringnya atau rasio swelling merupakan salah satu parameter utama dari hidrogel khususnya untuk pengujian suatu bahan sebagai absorbent. Fungsi lama waktu perendaman terhadap rasio swelling hidrogel dalam air distilat, hasil polimerisasi dengan variasi konsentrasi kroslingker MBA disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan ketiga sampel hidrogel CMCg-PAA yang telah dibuat dengan berat 3,13 %w/w; 3,75 %w/w dan 4,38 %w/w MBA, menunjukkan banyaknya air yang dapat diserap
Pengaruh metilen bisakrilamid (MBA)……Nuri Astrini dkk
17
Swelling Hidrogel dalam Larutan NaCl 0,9% Dalam aplikasiya selain penyerapan terhadap air distilat, maka ion-ion garam juga mempengaruhi daya serap dari hidrogel. Larutan garam NaCl merupakan salah satu jenis garam yang umumnya dipakai untuk pengujian kemampuan daya serap hidrogel terhadap air (swelling).
60
Equilibrium Swelling (g/g)
(water uptake) oleh hidrogel meningkat tajam dalam 20 menit pertama untuk semua sampel, kemudian konstan pada menit ke 60 untuk konsentrasi MBA 3,13 %w/w dan 4,38 %w/w. Pada MBA 3,75 %w/w, swelling terus meningkat hingga menit ke 100 dan setelah itu terlihat konstan. Secara keseluruhan hingga perendaman selama 2 jam, maka sampel hidrogel degan jumlah MBA 3,75 %w/w menunjukkan swelling tertinggi yaitu 46,87 g/g. Pengaruh jumlah MBA terhadap maksimum rasio swelling (equilibrium swelling) hidrogel CMC-g-PAA ditunjukkan pada Gambar 4. Nilai equilibrium swelling pada penggunaan 3,13 %w/w MBA mencapai equilibrium sebanyak 40 g/g. Penambahan 3,75 %w/w MBA mengakibat-kan kenaikan equilibrium swelling yaitu mencapai 49,6 g/g, dan pada penambahan MBA menjadi 4,38 %w/w terlihat penyerapan air kembali menurun, equilibrium swelling menjadi 42,7 g/g. Fenomena ini terjadi akibat dari bertambahnya titik-titik crosslink selama polimerisasi yang menyebabkan jaringan juga bertambah dan hal ini yang membuat ruangan untuk tempat air yang masuk menjadi berkurang. Fenomena tersebut sesuai dengan teori Flory’s network. Pengamatan serupa telah dilaporkan oleh peneliti yang lain. (Bajpai and Anjali 2003 and Xie and Wang 2009)
40 30 20 10 0 MBA-3.13%
MBA-3.75% MBA-4.38%
Gambar 4. Equilibrium swelling hidrogel terhadap sifat penyerapan air dengan variasi jumlah MBA
Pengaruh lama waktu perendaman dalam larutan NaCl 0,9% pada hidrogel CMC-g-PAA sebagai fungsi konsentrasi MBA disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6. Terlihat bahwa dengan meningkatnya MBA swelling ratio meningkat tajam dari 0 hingga 10 menit mencapai 29,59 g/g untuk konsentrasi MBA 3,13 %w/w, 21,57 g/g pada MBA 3,75 %w/w dan 22,74 g/g untuk MBA 4,38 %w/w. Setelah 10 menit, kecepatan mengembang semakin lambat dan kapasitas mengembang maksimum hidrogel meningkat hingga 50 menit. Dengan equilibrium swelling maksimum diperoleh dengan konsentrasi MBA 3,13 %w/w sebesar 20,81 g/g. Jika dibandingkan dengan rasio swelling hidrogel dalam larutan NaCl terhadap rasio swelling dalam air distilat (Gambar 2 dan 3), terlihat bahwa rasio swelling hidrogel dalam NaCl relatif lebih kecil pada semua konsentrasi MBA. 35
50
30
40 Swelling ratio g/g
Swelling Ratio (g/g)
50
30 20
MB A -3.13% MB A -3.75% MB A -4.38%
10
25 20 15
MBA-3,13% MBA-3,75%
10
MBA-4,38%
5
0
0
0
20
40 60 80 Waktu (menit)
Gambar 3. Pengaruh penyerapan o suhu 60 C; CMC =10:1;
100
120
jumlah MBA terhadap sifat air hidrogel, kondisi reaksi: rasio berat antara AA dan rasio berat KPS 2,5 %w/w.
0
20
40
60
80
100
120
Waktu (menit)
Gambar 5. Pengaruh jumlah MBA terhadap sifat penyerapan air hidrogel dalam larutan o 0,9% NaCL, kondisi reaksi: suhu 60 C; rasio berat antara AA dan CMC= 100:10; rasio berat KPS 2,5%w/w.
J. Kimia Kemasan, Vol. 38 No. 1 April 2016 : 15-20
18
21
maksimum dan hidrogel akan mengembang. Tetapi jika hidrogel direndam dalam larutan NaCl, maka akan terjadi tekanan osmosis yang + sangat rendah dikarenakan adanya ion-ion Na dan Cl . (Li, A. et al 2006)
Swelling ratio g/g
20.5 20 19.5 19 18.5 18 MBA-3.13% MBA-3.75% MBA-4.38% Dalam larutan 0,9% NaCL
Gambar 6. Equilibrium swelling hidrogel terhadap penyerapan air dalam larutan 0,9% NaCL dengan variasi jumlah MBA
Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan dari timbulnya tekanan osmosis akibat perbedaan konsentrasi ion-ion dalam media dan dalam kerangka jaringan hidrogel. Ion-ion yang terikat pada jaringan hidrogel bersifat tidak bergerak (immobile) yang dapat dianggap terpisah dari larutan luar dengan adanya membran semipermeable. Jika hidrogel direndam dalam air, maka akan terjadi tekanan osmosis
Uji Gugus Fungsi dengan FTIR Spektrum FTIR gugus fungsi hidrogel CMC-g-PAA yang dihasilkan dan dibandingkan dengan spektrum karboksimetil selulosa (CMC) disajikan pada Gambar 7. Gambar 7A memperlihatkan spektrum dari CMC, terlihat ada dua puncak serapan tajam pada bilangan -1 -1 gelombang 1563 cm dan 1417 cm yang disebabkan oleh regangan asimetrik dan simetrik dari gugus COO . Puncak serapan spesifik dari CMC muncul pada bilangan -1 gelombang 3207 cm merupakan gugus OH. Pada Gambar 7B yaitu spektrum CMC-g-PAA muncul puncak serapan baru pada bilangan -1 -1 gelombang 1645 cm dan 1519 cm dan intensitas spektrum secara keseluruhan mengecil setelah terbentuk hidrogel CMC-gPAA. Hal ini mengindikasikan terjadinya reaksi antara gugus korboksilat dari CMC dan asam akrilat dalam jaringan hidrogel. (Suo. A.L et al 2007 dan Xie. L et al 2011)
R2 (KPS) CMC
100 %T 97.5
95
1645
92.5
(B)
1519
90
%T
87.5
85
82.5
3207
80
(A)
77.5
1563
75
1417
72.5
70
67.5
4000 CMC
3600
4000 3600
3200
2800
2800
2400
2000
2000
1800
1600
1600
1400
1200
1200
1000
800
800
600 1/cm
Bilangan gelombang cm-1
Gambar 7. Spektrum FTIR (A). CMC dan (B). CMC-g-PAA
Pengaruh metilen bisakrilamid (MBA)……Nuri Astrini dkk
19
KESIMPULAN Pada penelitian ini telah berhasil dibuat superabsorben hidrogel CMC-g-PAA Penambahan crosslinker MBA meningkatkan kemampuan kapasitas swelling dari produk hidrogel. Kemampuan menyerap air maksimum diperoleh pada kondisi CMC 10%w/w, KPS 2,5 %w/w, MBA 3,75 %w/w berdasarkan asam o akrilat, dengan 30% netralisasi pada suhu 60 C selama 5 jam yaitu 49,62 g/g dalam air distilat dan menurun menjadi 20,42 g/g dalam larutan NaCl 0,9 %. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada program Tematik LIPI tahun 2008 atas dukungan finansial yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada saudari Hartini Saripurwani yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Bajpai, A.K. and Anjali G. 2003. Water sorption behavior of highly swelling (carboxy methylcellulose-gpolyacrylamide) hydrogels and release of potassium nitrate as agrochemical. Carbohydrate Polymers 53 : 271–279 Chen Y, Yun-fei L and Hui-min T. 2008. Preparation of Macroporous CelluloseBased Superabsorbent Polymer Through The Preparation Method, Bioresources 3(1): 247-254 Garner C.M. 2000. The synthesis of a Superabsorbent polymer. Modular laboratory program in chemistry ISBN 0-87540-739-0. Publisher: H. A. Neidig . Baylor University. Hennink, W. E. and Van Nostrum, C. F. 2002. Novel crosslinking methods to design hydrogels. Advanced Drug Delivery Reviews, 54(1), 13–36. Li, A., Zhang, J. P., and Wang, A. Q. 2006. Utilization of strach and clay for the preparation of superabsorbent
composite,” Bioresource Technology 98, 327-332. Peng, G, Xu, S.M., and Peng, Y. 2008. A new amphoteric superabsorbent hydrogel based on sodium strach sulfate. Bioresource Technology 99(2), 444447. Pourjavadi A, M. S Amini-Fazl, and M. Ayyari. 2007. Optimization of synthetic condition CMC-g-poly(acrylic acid)/celite compsite superabsorbent by Taguchi method and determination of its absorbancy under load. eXPRESS Polymer Letters 1 (8) :488494 Suo, A.L., Qian, J. M., and Yao, Y. 2007. Synthesis and properties of carboxymethyl cellulose-graftPoly(acrylic acid-coacrylamide) as a novel cellulose-based superabsorbent. Journal of Applied Polymer Science 103(3), 1382-1388. Xie, Y and Wang, A. 2009. Study on superabsorbent composites XIX. Synthesis, characterization and performance of chitosan-g-poly (acrylic acid)/ vermiculite superabsorbent composites. J. Polym. Res 16: 143-150 Xie. L, M. Liu. B. Ni, X. Zang, and Y. Wang. 2011. Slow-release nitrogen and boron fertilizer from a functional superabsorbent formulation based on wheat straw and attapulgite. Chemical Engineering Journal 167: 342-348 Zhang, J. P., A. Li, and A.O. Wang. 2006. Study on superabsorbent composite. VI. Preparation, characterization and swelling behaviors of starch phosphate-graft-acrylamide/attapulgite superabsorbent composite. Carbohydrate Polymers 65(2), 150158. Zohuriaan-Mehr M.J, and K. Kourosh 2008. Superabsorbent Polymer Materials: A Review. Iranian Polymer Journal 17 (6): 451-477 Zhoa Y, Su H, L. Fang, & T.Tan. 2005. Superabsorbent hydrogel from poly(aspartic acid) with salt, temperature and pH-responsiveness properties. Polymer. 46: 5368-5376.
J. Kimia Kemasan, Vol. 38 No. 1 April 2016 : 15-20
20
PENGARUH KONSENTRASI INOKULUM DAN WAKTU FERMENTASI DALAM PRODUKSI BIOETANOL DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTONII DENGAN MENGGUNAKAN MIKROBA ASOSIASI EFFECT OF INOCOLUM CONCENTRATION AND TIME OF FERMENTATION IN PRODUCTION OF BIOETHANOL FROM EUCHEUMA COTTONII BY USING ASSOCIATION MICROBES
Edward Julys Dompeipen dan Maria Alexanderina Leha Balai Riset dan Standardisasi Industri Ambon, Kementerian Perindustrian Jl.Kebun Cengkeh Ambon, Maluku, Indonesia E-mail :
[email protected] Received: 16 Februari 2016; revised: 1 Maret 2016: accepted: 25 Maret 2016
ABSTRAK Eksplorasi berbagai energi alternatif dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui perlu dikembangkan. Sudah waktunya ketergantungan kebutuhan energi fosil non-renewable digantikan dengan energi renewable. Bioetanol menjadi pilihan utama karena mudah terurai dan aman bagi lingkungan karena tidak mencemari air dan hasil pembakarannya hanya menghasilkan karbondiokasida dan air. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku utama dalam pembuatan bioetanol. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi inokulum asosiasi mikroba, waktu fermentasi dan penentuan kadar etanol dalam produksi bioetanol dari rumput laut Eucheuma cotonii. Proses hidrolisis yang mengkonversi lignoselulosa dari rumput laut Eucheuma cotonii menjadi bioetanol dilakukan dengan menggunakan mikroba asosiasi yaitu; Aspergillus niger, Zymomonas mobilis dan Sacchoromyces cerevisiae secara serempak. Metode penelitian yang dilakukan adalah variasi konsentrasi inokulum 5 mL; 10 mL; 15 mL; 20 mL; 25 mL dan waktu fermentasi 0 hari, 4 hari, 5 hari, 6 hari, 7 hari, 8 hari. Konsentrasi bioetanol hasil fermentasi yang tertinggi adalah 5,65% pada konsentrasi inokulum 15% dan waktu fermentasi 7 hari. Kata kunci : Mikroba asosiasi, Saccharomyces cerevisiae, Zymomonas mobilis, Aspergilus niger, Hidrolisis, Bioetanol
ABSTRACT Exploration of a variety of alternative energy from natural resources that can be renewed should be developed. Nowadays dependence on non-renewable energy are replaced with renewable energy. Bioethanol is the main choice because easily biodegradable and safe for the environment, it does not pollute the water and its combustion produces only carbon dioxide and water. Eucheuma cottonii seaweed can be used as a source of raw material in the manufacture of bioethanol. This study was conducted to determine the effect of inoculum concentrations of associated microbial, time of fermentation and determining the concentration of ethanol in the production of bioethanol from seaweed Eucheuma cotonii. Hydrolysis process that converts lignocellulose from seaweed Eucheuma cotonii into bioethanol was conducted by using microbial associations, namely; Aspergillus niger, Zymomonas mobilis and Sacchoromyces cerevisiae simultaneously. The research method is a variation of the concentration of inoculum 5 mL; 10 mL; 15 mL; 20 mL; 25 mL and the fermentation time 0 days, 4 days, 5 days, 6 days, 7 days, 8 days. The concentration of the highest ethanol fermentation results is 5.65% at a concentration of 15% inoculum and fermentation time of 7 days. Key words : Association microbes, Saccharomyces cerevisiae, Zymomonas mobilis, Aspergilus niger, Bioethanol
PENDAHULUAN Cadangan bahan bakar minyak Indonesia sangat terbatas, dewasa ini Indonesia hanya memiliki cadangan terbukti minyak 3,7 miliar
barel atau 0,3% dari cadangan terbukti dunia (ESDM, 2012). Untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, pemerintah
Pengaruh Konsentrasi Inokulum…… Edward J. dan Maria A
21
mengeluarkan Peraturan Presiden No.5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mendorong pengembangan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Pada tahun 2025 pemenuhan kebutuhan energi Indonesia diharapkan 17 % nya berasal dari energi baru terbarukan. Salah satunya dengan memanfaatkan etanol sebagai alternatif, khususnya bioetanol berbasis lignoselulosa. Sintesis bioetanol dari biomassa terdiri dari dua tahap utama, yaitu hidrolisis dan fermentasi. Hidrolisis bertujuan untuk memecah polisakarida menjadi monosakarida. Polisakarida dapat diubah menjadi alkohol melalui proses biologi dan kimia. Proses hidrolisis dapat dilakukan dengan menggunakan enzim seperti selulase. Keuntungan dari hidrolisis dengan enzim adalah mengurangi penggunaan asam sehingga mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Proses selanjutnya adalah fermentasi menggunakan jamur seperti Sacchromyces cerevisiae untuk dikonversi menjadi etanol (Broto 2010). Makroalga merupakan salah satu organisme yang dapat dinilai ideal dan potensial untuk dijadikan sebagai bahan baku produksi biofuel (Gouveia dan Oliveira 2009). Secara kimia, rumput laut terdiri dari air (27,8%), protein (5,4%), karbohidrat (33,3%), lemak (8,6%), serat kasar (3%) dan abu (22,25%) (Harvey 2010). Rumput laut jenis Eucheuma cottonii merupakan salah satu rumput laut dari jenis alga merah (Rhodophyta). Rumput laut dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku utama dalam pembuatan bioetanol (biofuel). Rumput laut Eucheuma cottonii memiliki komposisi penyusun seperti polisakarida yaitu selulosa, karaginan, agar, lignin dan monosakarida yaitu glukosa, galaktosa.(Sinuraya 2014). Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh konsentrasi inokulum dan waktu fermentasi dalam produksi bioetanol dari rumput laut Eucheuma cottonii.
Metode Penelitian dilakukan secara eksperimental pada bulan Juni sampai dengan Desember 2014 di Laboratorium Kimia, Jurusan Kimia Politeknik Negeri Makassar dan Laboratorium Mikrobiologi, Balai Riset dan Standardisasi Industri Ambon. Pengambilan sampel rumput laut Eucheuma cotonii di Desa Letvuan, Kabupaten Maluku Tenggara. Persiapan Bahan dan Perlakuan Awal Rumput laut Eucheuma cotonii sebanyak 10 Kg direndam dengan larutan KOH 2% dalam wadah plastik bertutup sampai terendam, diaduk dan kemudian dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Rumput laut dicuci dengan akuades sampai lignin yang berwarna hitam keluar semua. Proses pencucian dihentikan setelah cairan pencuci sudah jernih atau pH netral. Rumput laut yang telah bersih dipotong-potong sepanjang 1 cm kemudian dijemur hingga kadar air dibawah 10%. Rumput laut dihaluskan dengan crusher dengan kehalusan 100 mesh. Selanjutnya dilakukan analisis selulosa dan lignin dilakukan dengan metode Chesson (Datta, 1981; Niken dan Bambang 2014).
BAHAN DAN METODE
Peremajaan Mikroba dengan Media Agar Miring Glukosa 2 g, bakto agar 2 g dan ekstrak toge 20% dicampur kemudian dipanaskan sambil diaduk hingga larut. Beberapa tabung reaksi disiapkan, kemudian dipipet 10 mL larutan ekstrak dimasukkan kedalam tiap tabung reaksi, disumbat dengan kapas dan alumunium o foil. Sterilisasi pada 121 C selama 15 menit lalu didinginkan dalam keadaan miring (media agar miring). Biakan murni Aspergillus niger dan Sacharomyces cerevisiae digoreskan secara zig-zag pada media agar miring dengan menggunakan jarum ose. Ditumbuhkan dalam o inkubator pada suhu 37 C selama 7 hari. Isolat Zymomonas mobilis diremajakan dalam tabung reaksi yang berisi medium NA (nutrien agar) o miring dan diinkubasi pada suhu 30 C selama 24 jam (Mahyati et al. 2013)
Bahan Rumput laut Eucheuma cotonii, Zymomonas mobilis, Aspergillus niger dan Sacharomyces cerevisiae glukosa 2 g, bakto agar 2 g, ekstrak tauge 20%, medium NA (nutrient agar), 0,10 g yeast extract; 0,05 g MgSO4.7H2O; 0,01g (NH4)2SO4, 8,50 g glukosa. 0,30 g KH2PO4; 0,35 g (NH4)2SO4 ; 8,50 g glukosa.1,50 g, 0,30 g NPK; 0,35 g urea dan 18,50 gr glukosa. Crusher, inkubator, labu Erlenmeyer, otoklaf, Gas Kromatografi (GC).
Pembuatan Media Inokulum (Starter) Pembuatan media inokulum (starter) untuk ketiga mikroba Zymomonas mobilis, Aspergillus niger dan Sacharomyces cerevisiae dilakukan dalam media yang berbeda. Media starter untuk Zymomonas mobilis adalah 1,50 g tepung rumput laut; 0,10 g yeast extract; 0,05 g MgSO4.7H2O; 0,01 g (NH4)2SO4, dan 18,50 g glukosa. Media starter untuk Aspergilus niger adalah 1,50 g tepung rumput laut; 0,30 g KH2PO4; 0,35 g (NH4)2SO4; dan 18,50 g
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 21-30
22
Glukosa. Media starter untuk Sacharomyces cerevisiae adalah 1,50 g tepung rumput laut; 0,30 g NPK; 0,35 g Urea dan 18,50 g Glukosa. Masing-masing campuran bahan diatas dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL tambahkan 150 mL air, diaduk hingga larut. Erlenmeyer ditutup dengan kapas dan aluminium foil lalu disterilkan dalam otoklaf pada o suhu 121 C selama 15 menit. Dinginkan lalu tambahkan masing-masing kedalam Erlenmeyer stok kultur murni Zymomonas mobilis, Aspergillus niger dan Sacharomyces cerevisiae dengan menggunakan jarum ose dalam ruang sterilisasi. Ditutup kembali dengan kapas dan aluminium foil lalu difermentasi pada inkubator o shaker selama 3 hari pada suhu 37 C dengan kecepatan 150 rpm (Mahyati et al. 2013). Pembuatan Media Fermentasi Pembuatan media fermentasi untuk ketiga mikroba Zymomonas mobilis, Aspergillus niger dan Sacharomyces cerevisiae dilakukan dalam media yang sama. Komposisi bahan untuk media fermentasi adalah 24,0 g tepung rumput laut; 1,00 g KH2PO4; 1,25 g (NH4)2SO4; 1,00 g MgSO4.7H2O; 1,00 g CaCl2 ; 1,00 g NaCl; 2,50 g ekstrak ragi; dan 62,50 g glukosa. Campuran bahan diatas dimasukkan kedalam beker gelas 2000 mL kemudian ditambahkan 400 mL air diaduk hingga larut. pH larutan diatur sampai 3,5 dengan buffer fospat lalu diencerkan hingga 500 mL (Mahyati et al, 2013). Disiapkan 20 buah Erlenmeyer 250 mL lalu ditambahkan 100 mL larutan kedalam tiap Erlenmeyer, disumbat dengan kapas dan aluminium foil dan disterilisasi dalam otoklaf selama 15 menit pada o suhu 121 C. Erlenmeyer dipindahkan kedalam ruang steril lalu tambahkan masing-masing (0 mL, 5 mL, 10 mL, 15 mL dan 20 mL) media inokulum Aspergillus niger, Sacchromyces cereviseae dan Zymomonas mobilis kedalam setiap Erlenmeyer dengan menggunkan gelas ukur 25 mL yang steril. Erlenmeyer ditutup kembali dengan kapas lalu difermentasi pada shaker incubator selama 0 hari, 4 hari, 5 hari, 6 hari, 7 hari dan 8 hari pada suhu 29°C dengan kecepatan 150 rpm. Setiap Erlenmeyer pada media fermentasi diambil, disaring lalu didistilasi o pada suhu 100 C hingga diperoleh volume destilat 10 mL. Destilat dianalisis dengan gas kromatografi. Analisis Selulosa dan Lignin Analisis selulosa dan lignin dilakukan dengan metode Chesson (Datta 1981; Niken dan Bambang 2014). Perhitungan kadar selulosa dan kadar lignin sebagai berikut :
Dimana : A = berat sampel (gram) b = berat residu pada penimbangan kedua (gram) c = berat residu pada penimbangan ketiga (gram) d = berat residu pada penimbangan keempat (gram) e = berat abu (gram) Pengukuran Kadar Etanol Tabung destilasi dan labu gondok 250 mL disiapkan, selanjutnya 50 mL sampel cairan hasil fermentasi menggunakan labu ukur 50 mL dan dimasukan ke dalam tabung destilasi. Didihkan dengan menghindari buih yang berlebihan, destilasi campuran alkohol dan air sampai dapat terkumpul 5 mL destilat. Piknometer diisi akuades destilasi dan ditutup. Piknometer dan aquades ditimbang, berat yang didapat adalah (W2). Kemudian Piknometer dikosongkan, aquades yang tersisa diabsorpsi dengan aseton. Tabung piknometer dikeringkan dalam oven. Piknometer yang telah kering kemudian ditimbang, berat yang didapat adalah (W1). Berat aquades (W) dihitung dengan cara W2 – W1. Distilat dipindahkan ke dalam gelas beker kering. Destilat dihomogenkan sebelum dimasukkan ke dalam Piknometer. Piknometer kering diisi dengan destilat, permukaan luar Piknometer dikeringkan dan ditimbang. Hasil yang didapat adalah (W3). Berat destilat adalah W3 – W1 = L. Berat air (L) dihitung dengan specific gravity atau spg = L/W. Nilai spg ditentukan menggunakan AOAC (Association of Official Analitical Chemistry) (Kusumaningati et al. 2013). Penentuan Senyawa Bioetanol dengan Kromatografi Gas (KG) Bioetanol dengan perlakuan konsentrasi inokulum mikroba asosiasi yang memproduksi bioetanol dengan kadar tertinggi, kemudian dikarakterisasi dengan menggunakan kromatografi gas (KG).
Pengaruh Konsentrasi Inokulum…… Edward J. dan Maria A
23
HASIL DAN PEMBAHASAN Perlakuan Awal Sampel Rumput laut Eucheuma cotonii Perlakuan awal biomassa lignoselulosa harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang tinggi, hal ini sangat penting untuk pengembangan teknologi biokonversi skala komersial (Mosier et al. 2005). Perlakuan awal dapat meningkatkan hasil glukosa yang diperoleh. Glukosa yang diperoleh tanpa perlakuan awal kurang dari 20%, sedangkan dengan perlakuan awal dapat meningkat menjadi 90% dari hasil teoritis (Hamelinck et al. 2005). Tujuan perlakuan awal adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polimer polisakarida menjadi monomer gula. Pencacahan dalam perlakuan awal dimaksudkan untuk memperkecil ukuran selulosa sehingga dapat berkontak secara efektif dengan katalis asam cair. Pencacahan dilakukan dengan menggunakan crusher sampai ukuran selulosa mencapai 60 mesh. Selulosa yang telah mencapai ukuran dikontakkan dengan katalis asam dengan menambahkan akuades sebagai zat cair pembawa untuk memudahkan kedua bahan (selulosa dan katalis) bercampur. Proses perlakuan awal dengan melakukan perendaman sampel rumput laut Eucheuma cotonii dalam larutan KOH 15% selama 24 jam bertujuan untuk melarutkan semua fraksi organik. Sampel kemudian dipotong sampai berukuran 1 cm dan selanjutnya dilakukan proses penepungan. Analisis Lignin dan Selulosa pada Eucheuma cotonii Proses atau teknologi konversi biomassa menjadi etanol dewasa ini sudah cukup mapan untuk biomassa penghasil karbohidrat jenis pati atau sukrosa, seperti ubi kayu, jagung, molasse, dan gula tebu. Untuk biomassa lignoselulosa, masalahnya menjadi agak berbeda karena didalam bahan berlignoselulosa terdapat senyawa lignin yang terlebih dulu harus dipisahkan (didegradasi) dari selulosa dan hemiselulosa. Selain itu, selulosa merupakan senyawa yang mempunyai bagian yang berstruktur kristal yang agak sulit didegradasi oleh mikroba atau enzim selulase. Salah satu faktor penting dalam seleksi bahan berlignoselulosa untuk dikonversi menjadi etanol adalah rasio selulosa terhadap lignin. Untuk memperoleh rendemen yang tinggi, harus dipilih bahan baku dengan kandungan selulosa dan hemiselulosa yang cukup tinggi, dan sebaliknya
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 21-30
kandungan lignin harus rendah (Euis et al. 2010). Analisis kadar lignin rumput laut jenis Eucheuma cottonii dari hasil penelitian Samsul Rizal (2005), melaporkan bahwa rumput laut jenis Eucheuma cottonii mengandung kadar abu 19,92 %, protein 2,80%, lemak 1,78 %, serat kasar 7,02 % dan mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sekitar 68,48 %. Adanya lignin dalam bahan berselulosa akan menghambat aktifitas enzim yang terdapat pada mikroba dalam proses hidrolisis menjadi gula sederhana, sehingga untuk meningkatkan hidrolisis diperlukan delignifikasi untuk mendegradasi lignin dari struktur selulosa menggunakan bantuan senyawa katalis, salah satu caranya adalah dengan menggunakan katalis kimia berupa NaOH. Jalaluddin (2005) menyatakan bahwa penambahan konsentrasi katalis NaOH sampai 8% ternyata mampu meningkatkan kandungan selulosa dalam produksi pulp dari jerami, sehingga diperoleh hasil produksi optimum selulosa sekitar 91,4% dengan sisa lignin dalam pulp yang hanya mencapai sekitar 1,2% saja. Pada penelitian ini kadar lignin yang diperoleh setelah delignifikasi adalah 0,02% atau terhidrolisis 59%. Semakin besar persentase lignin yang terhidrolisis, mengakibatkan semakin baik kondisi untuk rekasi enzimatik dalam produksi bioetanol, karena enzim yang dihasilkan oleh mikroba tidak mendapatkan halangan kontak untuk bereaksi dengan sisi aktif dari selulosa untuk memproduksi glukosa. Kadar selulosa sampel rumput laut Eucheuma cotonii setelah delignifikasi sebesar 12,13% dan untuk hemiselulosa 3,03%. Proses delignifikasi ini berhasil meghidrolisis ikatan 1,4 antara molekul monosakarida atau disakarida dengan molekulmolekul lignin. Kadar lignin, selullosa, hemiselullosa, karaginan sebelum dan setelah proses delignifikasi disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Tabel 1. Kadar karaginan, hemiselulosa, selulosa dan lignin sebelum dan sesudah delignifikasi Sebelum delignifikasi
Setelah Delignifikasi
Berat sampel (a) gram
1,0044
1,0094
Berat residu (b) gram
0,1364
0,1234
Berat residu (c) gram
0,0038
0,0010
Berat abu (d) gram
0,0004
0,0008
Kadar Karaginan(%)
86,60
84,74
Kadar Hemiselulosa (%)
1,83
3,03
Kadar Selulosa (%)
11,11
12,13
Kadar Lignin (%)
3,39
0,02
24
sebesar 5,65 % yang terjadi pada kondisi pH 3,5 hari ke-7 (Tabel 2), hasil tersebut masih sesuai dengan konsentrasi bioetanol yang diperoleh dari proses fermentasi mencapai kadar 6-10% (Indyah N, 2005).
Gambar 1. Pengaruh delignifikasi terhadap persentase kadar lignin, selullosa, hemiselullosa, karaginan sebelum dan setelah proses delignifikasi
Pada penelitian ini digunakan A. niger yang memiliki kemampuan untuk memproduksi β-glukosidase dan bekerja secara sinergis untuk menghasilkan enzim selulase yang dapat mengkonversi selebiosa yang telah terbentuk menjadi glukosa (Vilena,G,K dan Marcel,G,C. 2007). Mikroba A. niger, S. cerevisiae pada reaksi sakarifikasi dapat menghasilkan enzim glukoamilase yang dapat mengubah polisakarida menjadi gula (glukosa, galaktosa, manosa dan sebagainya) yang difermentasikan lebih lanjut oleh Zymomonas mobilis dan Sacharomyces cerevisiae menjadi etanol. Enzim glukoamilase merupakan enzim karbohidrase yang mengkatilasis pemecahan ikatan α (1-4) glikosidik pada polisakarida pati menjadi glukosa. Sementara Zymomonas mobilis menghasilkan enzim yaitu glukokinase dan fruktokinase yang mampu mengubah gula reduksi menjadi etanol (Purwoko, 2009) melalui 2-keto-3-deoksi-6-fosfoglukonat membentuk piruvat, kemudian piruvat oleh piruvat dekarboksilase diubah menjadi asetaldehida yang kemudian direduksi menjadi etanol (Syahrocni, 2014). Kandungan etanol tertinggi
Pengaruh Konsentrasi Inokulum Mikroba Asosiasi terhadap Konsentrasi Bioetanol Faktor faktor yang berpengaruh terhadap konsentrasi alkohol yang diproduksi dalam proses fermentasi antara lain; gula sebagai sumber energi untuk metabolisme mikroba yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap konsentrasi alkohol, konsentrasi inokulum mikroba asosiasi, lama fermentasi, suhu dan pH. Pada penelitian terdapat variabel konsentrasi inokulum (0 mL, 5 mL, 10 mL, 15 mL, 20 mL, 25 mL), lama fermentasi (0 hari, 4 hari, 5 hari, 6 hari, 7 hari, 8 hari) yang ditunjukkan pada Tabel 2. Variasi konsentrasi inokulum didasarkan pada penelitian Kusumaningati, dkk (2013), yang menyatakan bahwa rentang konsentrasi yang sempit (6, 8, 10%) tidak memberikan hasil yang berbeda nyata. Proses fermentasi dengan menggunakan konsentrasi inokulum 0% sebagai kontrol dapat dilihat grafik menunjukan posisi stagnan (Gambar 2) karena tidak ada produk fermentasi yang dihasilkan karena tidak ada mikroba yang ditambahkan. Pada fermentasi hari ke-4 sampai ke-7, bioetanol mulai terbentuk dan mengalami penurunan pada hari ke-8. Peningkatan kadar bioetanol berbanding lurus dengan pertambahan waktu fermentasi yang semakin lama disebabkan karena masih terdapat nutrisi yang ditambahkan pada medium fermentasi dan merupakan sumber nitrogen untuk pertumbuhan mikroba, sehingga sel mikroba dapat tumbuh dan membelah secara eksponensial sampai jumlah yang maksimal atau memasuki fase logaritma.
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi inokulum dan waktu fermentasi terhadap kadar bioetanol Konsentrasi Inokulum Mikroba Asosiasi
Jumlah Bioetanol yang dihasilkan (%) dalam waktu fermentasi 0 hari
4 hari
5 hari
6 hari
7 hari
8 hari
0% 5% 10% 15% 20%
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,01 0,03 0,02 0,02
0,00 0,21 0,57 0,78 0,52
0,00 0,98 1,25 0,95 0,66
0,00 2,53 3,34 5,65 2,15
0,00 2,54 1,58 0,01 1,18
Pengaruh Konsentrasi Inokulum…… Edward J. dan Maria A
25
Gambar 2. Pengaruh konsentrasi inokulum dan waktu fermentasi terhadap kadar bioetanol Pada konsentrasi inokulum 10% dan 15% menunjukan grafik peningkatan produksi bioetanol mulai hari ke-4 sampai hari ke-7 (Gambar 2) dimana terjadi pertumbuhan mikroba secara eksponensial sehingga terjadi peningkatan sekresi enzimatik oleh mikroba yang pada akhirnya dapat menghidrolisis karbohidrat menjadi glukosa dan selanjutnya dikonversi menjadi etanol. Penurunan konsentrasi produksi etanol pada hari ke-8 disebabkan karena proses degradasi baik enzimatik karbohidrat menjadi glukosa dan kemudian menjadi etanol oleh ketiga mikroba telah menghabiskan seluruh nutrisi yang tersedia dalam proses tersebut. Masalah ini ditambah lagi dengan ketiga mikroba telah memasuki periode kematian dipercepat, sehingga proses sekresi enzimatik semakin berkurang yang berdampak pada produksi etanol. Penentuan Senyawa Bioetanol dengan Kromatografi Gas (KG) Penentuan kadar etanol hasil fermentasi diawali dengan melakukan penentuan kurva standard etanol dengan deret konsentrasi etanol adalah sebagai berikut: 20%, 40%, 60%, 80% dan etanol absolut 100% (Tabel 3). Penentuan kadar bioetanol hasil fermentasi mikroba campuran pada hari ke-4, 5, 6, 7 dan 8 dilakukan berdasarkan data spektrum Kromatografi Gas (KG) dan kurva standar etanol (Gambar 3). Spektrum KG bioetanol hasil fermentasi hari ke-4 (Gambar 4) menunjukan adanya J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 21-30
5 komponen yaitu pada waktu retensi 0,715 menit; 1,052 menit; 2,468 menit; 2,623 menit dan 2,816 menit. Komponen utama terdapat pada waktu retensi 2,623 dengan luas area sebesar 5997425 yang dapat disimpulkan adalah merupakan senyawa etanol berdasarkan data spektrum etanol standard dan komponen yang lain merupakan senyawa pengotor. Konsentrasi bioetanol hasil fermentasi hari ke-4 diukur dengan memasukan nilai luas area yang diperoleh dari pengukuran ke dalam persamaan regresi linear yang membandingkan luas puncak dan kadar etanol standard. Konsentrasi bioetanol hasil fermentasi hari ke-4 sebesar 0,02%, hal ini diakibatkan karena mikroba asosiasi masih dalam fase lag atau fase adaptasi yaitu fase di mana mikroba melakukan penyesuaian sel dengan lingkungan, pembentukan enzim-enzim untuk mengurai substrat. Pada hari ke-4 diperkirakan campuran mikroba masih berkonsentrasi untuk beradaptasi untuk pertumbuhan sel sel penyusun dan pembentukan enzim pengurai.
Gambar 3. Kurva Standar hubungan Luas Puncak dan Kadar Etanol Standar
26
Tabel 3. Komposisi Larutan Etanol Standar dan Pelarut Aquabides No
1 2 3 4 5
Konsentrasi Etanol Standard (%) 20 40 60 80 100
Etanol Absolut 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0
Volume Akuabides 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0
Volume Injeksi (µL) 1 1 1 1 1
Luas Puncak
61532401 122345197 194576884 250412950 295837554
Gambar 4. Kromatogram KG hasil fermentasi bioetanol hari ke-4
Gambar 5. Kromatogram KG hasil fermentasi bioetanol hari ke-5
Pengaruh Konsentrasi Inokulum…… Edward J. dan Maria A
27
Penelitian dilakukan dengan metode solid sacarification fermentation (SSF) dimana proses enzimatik pembentukan glukosa dan etanol berlangsung secara serempak dengan campuran mikroba yang sama. Pada hari ke-4 enzim glukoamilase dan glukosidase belum terbentuk sehingga reaksi biokatalisis atau reaksi hidrolisis menjadi glukosa dan seterusnya menjadi etanol belum berlangsung. Konsentrasi bioetanol hasil fermentasi pada hari ke-5 dan hari ke-6 adalah sebesar 0,78% dan 0,95%. Pada hari ke-5 dan ke-6 diperkirakan Aspergillus niger, Zymomonas mobilis dan Sacchoromyces cerevisiae masih dalam fase akselerasi yaitu suatu kondisi di dalam pertumbuhan mikroba dimana terjadi proses pembelahan sel. Fase ini diperkirakan belum terjadi reaksi enzimatik untuk degradasi dan hidrolisis substrat karena enzim pengurai belum terbentuk. Kromatogram KG hasil fermentasi pada hari ke-5 (Gambar 5) menun-jukkan adanya tiga komponen yang ada pada hasil fermentasi campuran mikroba yaitu pada waktu retensi 0,140 M, 2,467 M dan 2,635 M. Komponen senyawa pada Rt 2,63 merupakan komponen yang paling dominan dengan luas area 8257799 dan senyawa ini adalah etanol. Jumlah komponen yan terbentuk pada hari ke-5 mengalami pengurangan dibandingkan hari ke-4 membuktikan terjadinya reaksi degradasi. Kromatogram KG hasil fermentasi pada hari ke-6 (Gambar 6) menunjukan adanya tiga komponen yang ada pada hasil fermentasi campuran mikroba yaitu pada waktu retensi (Rt) 2,476 M, 2,552 M dan 2,635 M. Komponen
senyawa pada Rt 2,635 merupakan komponen yang paling dominan dengan luas area 8779555 dan senyawa ini adalah etanol. Jumlah komponen yang terbentuk pada hari ke–5 dan 6 tidak mengalami pengurangan, tetapi terjadi perbedaan yang sangat kecil dalam waktu retensi setiap komponen hal ini diakibatkan karena senyawa senyawa yang terbentuk merupakan senyawa alkohol. Dengan demikian telah terjadi reaksi degradasi enzimatis karena tidak terbentuknya komponen yang lain selain senyawa senyawa alkohol. Pada hari ke-7 fermentasi asosiasi mikroba Aspergillus niger, Zymomonas mobilis dan Sacchoromyces cerevisiae dalam substrat tepung rumput laut Eucheuma cotonii diperoleh konsentrasi bioetanol sebesar 5,65%. Konsentrasi bioetanol paada hari ke-7 merupakan konsentrasi bioetanol hasil fermentasi mikroba asosiasi yang tertinggi, karena pada waktu ini mikroba asosiasi berada pada fase eksponensial dimana terjadi peningkatan dalam jumlah sel dan aktivitas mikroba serta merupakan fase yang penting dalam pertumbuhan mikroba. Diperkirakan pada fase ini terjadi reaksi reaksi enzimatik untuk produksi bioetanol. Kromatogram KG hasil fermentasi pada hari ke-7 (Gambar 7) menunjukan adanya dua komponen yang ada pada hasil fermentasi campuran mikroba yaitu pada waktu retensi (Rt) 2,475 M dan 2,631. Komponen senyawa pada Rt 2,631 merupakan komponen yang paling dominan dengan luas area 16814248 dan senyawa ini adalah etanol.
Gambar 6. Kromatogram KG hasil fermentasi bioetanol hari ke-6
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 21-30
28
Jumlah komponen senyawa yang terbentuk pada hari ke–7 mengalami pengurangan dan perbedaan yang sangat kecil dalam waktu retensi setiap komponen hal ini diakibatkan karena senyawa senyawa yang terbentuk merupakan senyawa alkohol. Dengan demikian telah terjadi reaksi degradasi enzimatis karena tidak terbentuk komponen lain selain senyawa senyawa alkohol. Luas area komponen pada Rt 2,631 pada hari ke-7 dua kali lebih besar dengan luas area komponen pada Rt 2,635 pada hari ke-6. Pada hari ke-8 fermentasi mikroba asosiasi Aspergillus niger, Zymomonas mobilis dan Sacchoromyces cerevisiae dalam substrat tepung rumput laut Eucheuma cotonii diperoleh
konsentrasi bioetanol sebesar 0,01%. Terjadi penurunan yang sangat signifikan dalam produksi bioetanol hal ini diakibatkan karena mikroba sudah memasuki fase kematian dipercepat. Bioetanol yang dihasilkan pada fase sebelumnya akan bertindak sebagai racun terhadap mikroba sehingga mikroba-mikroba mengalami kematian. Spektrum KG pada hari ke-8 (Gambar 8) terdiri dari 4 komponen senyawa dengan waktu retensi Rt 1,005 M; 2,474 M; 2,634 M dan 2,856 M. Komponen senyawa dengan Rt 2,634 merupakan komponen yang paling dominan dengan luas area 4896579. Komponen ini adalah senyawa etanol.
Gambar 7. Kromatogram KG hasil fermentasi bioetanol hari ke-7
Gambar 8. Kromatogram KG hasil fermentasi bioetanol hari ke-8
Pengaruh Konsentrasi Inokulum…… Edward J. dan Maria A
29
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembuatan bioetanol dari rumput laut Euchema cotonii dengan menggunakan asosiasi mikroba Aspergillus niger, Zymomonas mobilis dan Sacchoromyces cerevisiae dapat dilakukan dengan metode simultaneous saccharification fermentation (SSF). Perbedaan konsentrasi inokulum mikroba asosiasi dan waktu fermentasi berpengaruh terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan. Kadar bioetanol tertinggi adalah 5,65% dihasilkan pada konsentrasi inokulum 15 % dengan waktu fermentasi 7 hari. DAFTAR PUSTAKA Broto S. Kardono. 2010. Teknologi Pembuatan Etanol Berbasis Lignoselulosa Tumbuhan Tropis untuk Produksi Biogasoline. Laporan Akhir Program Intensif Peneliti dan Perekayasa LlPI. Serpong. ESDM. 2012. Laju Eksplorasi Minyak Cadangan Indonesia Sangat Tinggi”. http://www.esdm.go.id/berita/migas.html, diakses tanggal akses: 6 Juni 2012 Euis H, Djumali M, Titi C S, Ono S, Bambang P. 2010. Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu Untuk Produksi Bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian, 29(4). Gouveia, L, and A.C Oliveira. 2009. Microalgae as a raw material for biofuels production. J Ind. Microbiol Biotechnol. 2009 Feb;36(2):269-74. Hamelinck, C. N, Hooijdonk, G. V, Faaij, and A. P. 2005. Etanol from Lignocellulosic Biomass: Techno Economic Performance in Short, Middle, and Long-Term. Biomass and Bioenergy, 28(4), 384–410. Harvey, M, Pilgrim,S. 2010. Battles Over Biofuels in Europe: NGOs and The Politics of Markets. University of Essex, Sociological Research Online, 15(3):4-16 Indyah N. 2005. Prospek Pengembangan Biofuel Sebagai Subtitusi Bahan Bakar Minyak dan Teknologi Proses Produksi Bioetanol. Jurnal Teknologi Proses. Jalaludin, S.R. 2005. Pembuatan Pulp dari Jerami Padi dengan Menggunakan Natrium hidroksida. Jurnal Sistem Teknik Industri. 6 (22-26).
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 21-30
Kusumaningati A. Mutiara , S. Nurhatika, dan A. Muhibidin. 2013. Pengaruh Konsentrasi Inokulum Bakteri Zymomonas mobilis dan Lama Fermentasi Pada Produksi Etanol dari Sampah Sayur dan Buah Pasar Wonokromo Surabaya. Jurnal Sains dan Seni Pomits, 2(2) : 218-225. Mahyati, A. R. Patong, M.N. Djide, P. Taba, and M. Saleh. 2013. Produksi Bioetanol dari Tongkol Jagung (Zea mays L) Menggunakan Mikroba Campuran. Prosiding SNTI ATI 2013: 332-335. Mosier T, and L. Nathan. 2005. Features of Promising Technologies for Pretreatment of Lignocellulosic Biomass. Bioresource Technology, 96 , pp. 673–686. Niken L, W dan D,A Bambang,.2014. Pemanfaatan microwave dalam proses pretreatment degradasi lignin ampas tebu (bagasse) pada produksi bioetanol. Jurnal Teknologi Pertanian,15 (1):1-6. Purwoko,T.2009. Fisiologi Mikroba. Bumi Aksara, Jakarta Rahmanto,L,M dan Ambarwati. 2011.Pembuatan Bioetanol dari bagase dengan Hidrolisis Enzim, dan Fermentasi menggunakan Saccaromyces Cerevisae dan Zymomonas Mobilis, Jurusan Kimia, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya, Indonesia. Sinuraya.E,A. 2014. Produksi substrat fermentasi bioetanol (biofuel) dari makroalga Eucheuma cottonii melalui hidrolisis menggunakan asam.Skripsi Teknologi Industri, Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gajah Mada. Syachroni, 2014. Pengaruh Kombinasi Starter Kultur Lactobacillus Plantarum dan Lactobacillus Acidophillus terhadap Karakteristik Mikrobiologis dan Kimiawi Pada Minuman Fermentasi. Skripsi Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar Indonesia. Villena, G, K. and G. C. Marcel 2007. Production of lignocellulolytic enzymes by Aspergillus niger biofilms at variable water activities. Electronic Journal of Biotechnology Chile: 10 (1) :124-140.
30
PENGARUH PENAMBAHAN SiO2 TERHADAP KARAKTERISTIK DAN KINERJA FOTOKATALITIK Fe3O4/TiO2 PADA DEGRADASI METHYLENE BLUE (THE SiO2 ADDITION EFFECT TO Fe3O4/TiO2 PHOTOCATALYTIC CHARACTERISTIC AND PERFORMANCE ON METHYLENE BLUE DEGRADATION)
Siti Wardiyati, Wisnu Ari Adi, dan Didin S. Winatapura Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju, BATAN Gedung 42, Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan E-mail :
[email protected] Received: 9 Februari 2016; revised: 28 Februari 2016: accepted: 21 Maret 2016
ABSTRAK Telah dilakukan penambahan SiO2 pada bahan nanokatalis bermagnet Fe3O4/TiO2 menggunakan larutan Tetraethyl Orthosilicate (TEOS) membentuk Fe3O4/SiO2/TiO2 dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas katalitik bahan nano komposit Fe3O4/TiO2. Pembuatan Fe3O4/SiO2/TiO2 dilakukan dengan metode kombinasi yaitu presipitasi dan sol-gel. Metode presipitasi digunakan pada pembuatan superparamagnetik Fe3O4, sedangkan “sol-gel” digunakan pada pelapisan Fe3O4 dengan SiO2 menggunakan larutan TEOS untuk membentuk Fe3O4/SiO2, dan pelapisan Fe3O4/SiO2 oleh TiO2 dengan Tetrabutyl Orthotitanate (TBOT) membentuk komposit Fe3O4/SiO2/TiO2. Karakterisasi hasil sintesis menggunakan alat X-ray Diffraction (XRD), Transmission Electron Microscopy (TEM), Vibration Scanning Microscope (VSM), Surface Area Analyzer (SAA), dan UV-Visible Diffuse Reflectance Spectroscopic (UV-Vis DRS). Uji kinerja fotokatalitik dilakukan terhadap senyawa methylene blue. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan SiO2 pada bahan katalis bermagnet Fe3O4/TiO2 tidak mempengaruhi fase maupun ukuran partikel, akan tetapi menurunkan nilai energi band gap. Dengan berkurang nilai energi band gap, efektivitas fotokatalitik menjadi meningkat. Dari hasil uji kinerja fotokatalitik terhadap methylene blue menunjukkan bahwa dengan penambahan SiO2 pada katalis Fe3O4/TiO2 terjadi kenaikkan efisiensi degradasi dari 85% hingga mendekati 100%. Kata kunci : Fe3O4, TiO2, SiO2, Fotokatalis, Methylene blue
ABSTRACT SiO2 has been added on material of nano catalyst magnetized Fe3O4/TiO2 using a solution of Tetraethyl Orthosilicate (TEOS) to form Fe3O4/SiO2/TiO2 with the aim to improve the effectiveness of composite of nanocatalyst Fe3O4/TiO2. Synthesis of Fe3O4/SiO2/TiO2 was conducted using of combination methods, "precipitation and sol-gel". The precipitation method was used for the manufacture of superparamagnetic Fe3O4, while the "sol-gel" method was used for Fe3O4 coated by SiO2 using a solution of TEOS to form Fe3O4/SiO2 and Fe3O4/TiO2 coated with SiO2 using Tetrabutyl Orthotitanate (TBOT) to form a composite Fe3O4/SiO2/TiO2. The characterization of Fe3O4/TiO2 and Fe3O4/SiO2/TiO2 of the synthesis results was performed by using X-ray Diffraction (XRD), Transmission Electron Microscopy (TEM), Vibration Scanning Microscope (VSM), Surface Area Analyzer (SAA), dan UV-Visible Diffuse Reflectance Spectroscopic (UV-Vis DRS). The catalytic performance test conducted on methylene blue compound. The results showed that the addition of SiO2 on Fe3O4/TiO2 does not affect phase or particle size, but it reduces the value of the energy band gap. By the reducing of energy band gap value, the photocatalytic effectiveness is increased. The test results of photocatalytic performance Fe3O4/SiO2/TiO2 to methylene blue show that with the addition of SiO2 in the catalyst Fe3O4/TiO2 can be raise degradation efficiency from 85% to nearly 100%. Keywords : Fe3O4, TiO2, SiO2, Photocatalytic, Methylene blue
Pengaruh Penambahan SiO2…… Siti Wardiyati dkk
31
PENDAHULUAN Perkembangan bahan nanofotokatalis magnetik dewasa ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan dikarenakan bahan tersebut sangat efektif dan praktis untuk penanganan limbah cair, baik limbah organik maupun limbah anorganik. Penanganan limbah organik seperti zat warna yang berasal dari limbah industri tekstil atau batik seperti methylene blue, methyl orange dengan menggunakan bahan nanofotokatalis magnetik telah banyak dilakukan dan memberikan hasil yang cukup memuaskan (Niu et al. 2014, Zhang et al. 2011). Bahan nanofotokatalis TiO2 paling banyak digunakan karena sifat optik yang lebar dan daya degradasi yang kuat, tidak beracun, sifat kimia yang stabil, dan murah (Scanlon et al. 2013). Dengan penambahan bahan magnet pada katalis tersebut dapat meningkatkan efektivitas katalis dan penyederhanaan proses, dikarenakan dengan adanya bahan magnet pada bahan katalis dapat mempermudah pengambilan kembali bahan katalis yang tersebar pada larutan pewarna dan adanya sifat serap bahan magnet terhadap pewarna. Bahan megnetik yang tepat adalah jenis super paramagnetik, yaitu bahan yang bersifat magnet apabila diberikan medan magnet, dan bahan tersebut akan hilang sifat magnetnya apabila medan magnet dihilangkan. Bahan magnet yang bersifat super magnetik diantaranya Fe3O4, karena bahan tersebut tidak mempunyai moment magnet spontan, sehingga terdispersi secara baik di dalam air dan mudah dikumpulkan kembali dengan bantuan medan magnet dari luar. Penggabungan bahan katalis TiO2 dengan super paramagnetik Fe3O4 ini akan membentuk komposit Fe3O4/TiO2. Hasil evaluasi dari beberapa penelitian, aktivitas fotokatalitik Fe3O4/TiO2 kurang maksimal karena terjadi fenomena fotodisolusi (Xue et al. 2013). Efek fotodisolusi ini terjadi karena interaksi elektronik antara Fe3O4 dan TiO2 mengakibatkan aktivitas TiO2 melemah, hal ini dapat diatasi dengan memberi lapisan penghalang diantara Fe3O4 dan TiO2. Bahan penghalang yang digunakan harus bisa mempertahankan efektivitas katalis TiO2 maupun fungsi Fe3O4 dan relatif lebih stabil, misalnya SiO2. Sifat fisik SiO2 memungkinkan untuk dijadikan lapisan penghalang karena stabil dan mempunyai luas permukaan tinggi (Fatimah 2009) dan biasa digunakan sebagai substrat katalis (Music 2011). Dengan penambahan SiO2 pada katalis magnetik Fe3O4/TiO2 akan terbentuk komposit Fe3O4/SiO2/TiO2. Pembuatan komposit Fe3O4/SiO2/TiO2 saat ini sedang dikembangkan oleh beberapa J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 31-40
peneliti dengan berbagai metode, diantaranya dengan metode solvothermal oleh Huang et al. (2011) dan Wang et al. (2012), hydrothemal oleh Fan et al. (2012), sol-gel oleh Wang et al. (2012), serta kombinasi hydrothermal dan kalsinasi (pada pembuatan Fe3O4/C/TiO2) oleh Jing et al. (2013). Pembuatan nanofotokatalis bermagnet Fe3O4/SiO2/TiO2 pada umumnya diawali dengan pembuatan nanopartikel Fe3O4, kemudian dilanjutkan pelapisan Fe3O4 dengan SiO2, dan diikuti pelapisan Fe3O4/SiO2 oleh TiO2. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan nanofotokatalis bermagnet Fe3O4/SiO2/TiO2 dengan metode kombinasi yaitu presipitasi dan sol-gel. Metode presipitasi digunakan pada pembuatan nanopartikel Fe3O4, sedangkan metode sol-gel digunakan pada pelapisan Fe3O4 oleh SiO2 dan pelapisan Fe3O4/SiO2 oleh TiO2. Metode presipitasi digunakan pada pembuatan Fe3O4, hal ini dikarenakan dengan metode tersebut dapat diperoleh Fe3O4 dengan ukuran partikel relatif kecil yaitu berkisar 5 nm sampai dengan 20 nm (Hariani 2013). Selain itu dengan metode presipitasi lebih aman dan sederhana karena dilakukan pada suhu rendah, tidak seperti pada metode solvothermal oleh Xiubing Huang et al. (2011) maupun hydrothermal oleh Fan et al. (2012) yang dilakukan pada suhu tinggi. Pada pelapisan Fe3O4 oleh SiO2 digunakan larutan TEOS, sedangkan pada pelapisan Fe3O4/SiO2 oleh TiO2 digunakan TBOT sebagai prekursor TiO2. Pada penelitian ini diharapkan dapat menyederhanakan proses dan meningkatkan sifat katalitik bahan nanokatalis magnetik yang terbentuk. Pada penelitian sebelumnya telah berhasil membuat sintesis bahan nanokatalis bermagnet Fe3O4/TiO2 dan telah dilakukan uji fotokatalitik terhadap senyawa methylene blue (Wardiyati et al. 2015). Untuk meningkatkan kinerja bahan nanokatalis tersebut, maka dilakukan penelitian lanjutan dengan menambahkan SiO2 ke dalam komposit Fe3O4/TiO2 yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas katalitik dan mengetahui perubahan karakteristik yang akan terjadi. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah FeCl2.4H2O dan FeCl3.6H2O sebagai prekursor Fe3O4, TEOS sebagai precursor SiO2, TBOT sebagai prekursor TiO2, methylene blue sebagai senyawa warna yang digunakan untuk uji efektivitas katalitik bahan nanokatalis 32
bermagnet Fe3O4/SiO2/TiO2 yang terbentuk, serta bahan pendukung lainnya seperti NaOH, NH4OH, H2SO4, dan air demineralisasi. Peralatan karakterisasi yang digunakan adalah XRD, VSM, TEM, SAA, UV-Vis DRS, dan peralatan analisis spektrofotometer UV-Vis Lambda 25 untuk penentuan konsentrasi methylene blue, UV-Vis DRS untuk menentukan panjang gelombang serapan dan nilai energi band gab, serta UV-pen dan sinar matahari sebagai sumber cahaya proses fotokatalis. Metode Sintesis dan Karakterisasi Fe3O4/SiO2/TiO2 Sintesis Fe3O4/SiO2/TiO2 terdiri dari tiga tahap, pertama pembentukan Fe3O4 secara presipitasi menggunakan prekursor FeCl2.4H2O dan FeCl3.6H2O. Prekursor FeCl2.4H2O dan FeCl3.6H2O (rasio mol 1 : 2) dilarutkan dalam air demineralisasi, pH diatur hingga kurang lebih pH 11 dengan larutan NaOH 0,5 M (10% NH4OH) pada suhu 70°C dan diaduk pada kecepatan 5000 rpm sampai dengan 6000 rpm. Tahap kedua pembuatan Fe3O4/SiO2 dengan menggunakan TEOS sebagai prekursor SiO2. Sejumlah 0,25 g Fe3O4 hasil sintesis didispersikan ke dalam 40 mL larutan etanol, kemudian ditambahkan 0,8 mL larutan TEOS secara cepat, dan 4,5 mL NH4OH pekat. Larutan diaduk selama 12 jam untuk menyempurnakan reaksi, dan selanjutnya dilakukan pemisahan presipitat. Fe3O4/SiO2 yang terbentuk, dicuci dengan air dan alkohol, selanjutnya dikeringkan pada suhu 60°C (Wang et al. 2012, Lirong et al. 2014, dan Ma et al. 2012). Tahap ketiga pelapisan Fe3O4/SiO2 dengan TiO2 menggunakan prekursor TBOT. Fe3O4/SiO2 hasil sintesis didispersikan ke dalam 40 mL larutan etanol, kemudian ditambahkan 1 mL larutan TBOT (yang diencerkan ke dalam 8 mL isopropil alkohol) setetes demi setetes, dipanaskan pada suhu 70°C dan diaduk selama 12 jam. Endapan Fe3O4/SiO2/TiO2 yang terbentuk berwarna merah jingga dicuci dengan air demineralisasi hingga netral, dan etanol untuk mengurangi kadar air. Selanjutnya dikeringkan pada suhu 60°C selama 8 jam dan dikalsinasi pada suhu 500°C selama 2 jam. Untuk pembuatan Fe3O4/TiO2 prosesnya sama dengan pembuatan Fe3O4/ SiO2/TiO2 hanya tidak melalui proses pelapisan Fe3O4 dengan SiO2. Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2 hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan XRD untuk mengetahui fase yang terbentuk, TEM untuk mengetahui ukuran partikel, SAA untuk mengetahui luas permukaan, VSM untuk
mengetahui nilai magnetic saturation, dan UVVis DRS untuk mengetahui nilai energi band gap. Besarnya energi band gap Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2 hasil sintesis ditentukan dari hasil pengukuran panjang gelombang serapan (Dharma and Pisal 2013). Uji Fotokatalitik Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/ TiO2 Hasil Sintesis Uji fotokatalitik Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2 hasil sintesis dilakukan dengan menggunakan reaktor katalis yang sangat sederhana yaitu gelas beker volume 250 mL. Larutan methylene blue sebanyak 100 mL dengan konsentrasi 10 mg/L dimasukkan ke dalam gelas beker, kemudian diatur pH larutan sesuai dengan yang diinginkan dan tambahkan 100 mg Fe3O4/TiO2 (atau Fe3O4/SiO2/TiO2) ke dalam gelas beker tersebut, kemudian diaduk dan diiradiasi. Sumber cahaya yang digunakan untuk proses iradiasi ada 2 (dua), yaitu sinar UV model “UV-pen” dengan panjang gelombang 356 nm dan sinar matahari langsung. Digunakan 2 jenis sinar iradiasi dengan tujuan untuk mengetahui daerah kerja (proses katalitik) bahan katalis yang dihasilkan, yaitu proses katalitik terjadi pada daerah UV atau visible (tampak). Setiap selang 1 jam iradiasi, dilakukan sampling untuk dianalisis konsentrasi methylene blue yang tersisa menggunakan spektrofotometer UV-Vis Lambda 25 PERKIN ELMER. HASIL DAN PEMBAHASAN Bahan nanokatalis komposit Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2 hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan alat XRD, TEM, VSM, dan UV-Vis DRS. Pola difraksi Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2 hasil sintesis ditunjukkan pada Gambar 1. Pola difraksi Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/ SiO2/TiO2 mempunyai kemiripan. Difraktogram o o dengan puncak pada sudut 2θ 25,50 , 37,80 , o o 48,5 dan 55,92 merupakan puncak TiO2 anatase, sedangkan puncak pada sudut 2θ o o o o 35,45 ; 43,25 ; 57,78 dan 63,05 merupakan puncak Fe3O4 (JCPDF 88-1175). Dengan adanya SiO2 pada Fe3O4/TiO2 tidak mempengaruhi pola difraksi, hal ini disebabkan SiO2 pada suhu 500°C masih bersifat amorf sehingga tidak menghadirkan puncak. Hasil ini sama dengan percobaan yang dilakukan oleh Wang et al. (2012). Sifat amorf SiO2 ditunjukkan pada pola difraksi hasil pengukuran dengan XRD yang ditunjukkan pada Gambar 2. Dan ilustrasi komposit hasil sintesis ditunjukkan pada Gambar 3.
Pengaruh Penambahan SiO2…… Siti Wardiyati dkk
33
Gambar 1. Pola difraksi Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2 hasil sintesis ( TiO2;
Pada Gambar 1 terlihat bahwa intensitas Fe3O4 bertambah dengan adanya SiO2 atau intensitas Fe3O4 pada komposit Fe3O4/SiO2/TiO2 lebih tinggi daripada intensitas Fe3O4 pada komposit Fe3O4/TiO2, hal ini disebabkan karena sifat hydrophobic Fe3O4 yang tidak dapat mudah dikemas dalam TiO2 (Wang et al. 2012). Gambar 3. menunjukkan ilustrasi pembentukan komposit Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2, dimana karena sifat hydrophobic dari Fe3O4 dan sifat amorf SiO2, Fe3O4 lebih mudah membentuk komposit dengan SiO2 daripada dengan TiO2. Ukuran kristal TiO2 pada kedua komposit tersebut dapat dihitung dengan menggunakan
Fe3O4)
persamaan Scherrer berikut ini (Cheng et al. 2009)
(1) D adalah ukuran kristal rata, faktor 0,89 adalah karakteristik benda bulat, λ adalah panjang gelombang X-ray, B adalah FWHM (full with at half maximum), dan θ adalah sudut difraksi dari puncak yang diamati. Ukuran kristal TiO2 (101) dari puncak pola XRD menggunakan persamaan (1) diatas diperoleh ukuran Kristal TiO2 rata-rata sekitar 9,64 nm pada komposit Fe3O4/SiO2/TiO2 dan 11,34 nm pada komposit Fe3O4/TiO2.
Gambar 2. Pola difraksi SiO2 hasil sintesis
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 31-40
34
SiO 2 Fe3O
4
Fe3O4 Fe3O4/SiO2 Gambar 3. Ilustrasi komposit hasil sintesis
Untuk mengetahui atau membuktikan adanya SiO2 pada komposit Fe3O4/SiO2/TiO2 yang terbentuk, dilakukan pengamatan Fe3O4/ SiO2/TiO2 dan Fe3O4/TiO2 dengan alat EDS yang ditunjukkan pada Gambar 4. dan Tabel 1. Pada Gambar 4(a). terlihat spektrum atom-atom penyusun Fe3O4/TiO2 dan Gambar 4(b). terlihat spektrum atom-atom penyusun Fe3O4/SiO2/TiO2. Pada Gambar 4(b). terlihat adanya unsur Si, hal ini menunjukkan bahwa telah terbentuk komposit Fe3O4/SiO2/TiO2. Tabel 1 menunjukkan persentase dari masing-masing atom penyusun. Pada Tabel 1 terlihat persentase atom Ti pada
komposit Fe3O4/SiO2/TiO2 lebih rendah dibandingkan Ti pada Fe3O4/TiO2. Hal ini disebabkan karena sifat hydrophobic Fe3O4 yang tidak mudah dikemas dalam TiO2 (Wang et al. 2012) dan daya serap serta jumlah pori-pori SiO2 tinggi. Demikian pula persentase atom Fe pada komposit Fe3O4/SiO2/TiO2 lebih rendah dibandingkan Fe pada Fe3O4/TiO2. Dengan penurunan persentase atom Fe pada komposit, akan menurunkan nilai saturasi magnetik dari bahan tersebut, ini dapat dibuktikan dengan pengukuran nilai saturasi magnetik menggunakan alat VSM.
(a) (b) Gambar 4. (a) Spektrum Fe3O4/TiO2 dan (b) Fe3O4/SiO2/TiO2 hasil pengukuran dengan alat EDS
Tabel 1. Persentase atom dalam Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2 Unsur Fe Si Ti O C
Atom, % Fe3O4/TiO2 5,66 4,30 43,91 44,85
Pengaruh Penambahan SiO2…… Siti Wardiyati dkk
Fe3O4/SiO2/TiO2 3,31 3,47 1,36 39,99 50,49
35
Dari pengukuran EDS terlihat adanya atom C, munculnya atom C ini disebabkan karena waktu pengukuran sampel yang berupa serbuk ditempelkan pada carbon-tape. Pengaruh SiO2 pada nanokatalis magnetik Fe3O4/TiO2 terhadap sifat magnetik ditunjukkan pada Gambar 5. Dari hasil karakterisasi terbukti bahwa sifat kemagnetan Fe3O4/SiO2/TiO2 hasil sintesis lebih rendah dibandingkan dengan Fe3O4/TiO2. Nilai saturasi magnetik Fe3O4/TiO2 52,6 emu/g, sedangkan nilai saturasi magnetik Fe3O4/SiO2/TiO2 21,05 emu/g. Hasil ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan Huang et al. (2011), dimana saturasi magnetik Fe3O4/SiO2/TiO2 mencapai sekitar 55 emu/g. Perbedaaan ini dimungkinkan karena perbedaan metode pada pembuatan Fe3O4. Meskipun demikian Fe3O4/SiO2/TiO2 hasil
percobaan ini masih dapat dengan mudah ditarik oleh magnet permanen. Untuk mengetahui pengaruh SiO2 terhadap morfologi dan ukuran partikel dilakukan karakterisasi menggunakan TEM. Ukuran partikel merupakan salah satu sifat yang penting untuk nanofotokatalis, karena semakin kecil ukuran partikel semakin besar luas permukaannya sehingga aktivitas fotokatalitiknya semakin tinggi (Amano et al. 2013). Hasil pengamatan ukuran partikel Fe3O4/SiO2/TiO2 dan Fe3O4/TiO2 menggunakan TEM ditunjukkan pada Gambar 6. Pada Gambar 6(a). terlihat struktur Fe3O4 hasil pengamatan menggunakan TEM, pada gambar tersebut terlihat Fe3O4 terdispersi dengan baik dan ukuran partikel berkisar 10 nm.
Gambar 5. Kurva histerisis Fe3O4/SiO2/TiO2 dan Fe3O4/ TiO2
(a)
(b)
(c)
Gambar 6. Struktur mikro (a) Fe3O4; (b) Fe3O4/TiO2; dan (c) Fe3O4/SiO2/TiO2 menggunakan TEM
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 31-40
36
Pada Gambar 6(b). adalah struktur Fe3O4/TiO2 hasil sintesis, pada gambar tersebut terlihat adanya TiO2 seperti kabut putih yang mengelilingi Fe3O4 yang berwarna gelap (hitam). Ukuran partikel Fe3O4 pada komposit Fe3O4/TiO2 terlihat lebih kecil daripada Fe3O4 sebelum dibentuk komposit, hal ini dimungkinkan karena sebelum dilakukan proses pembuatan komposit Fe3O4/TiO2 dilakukan dispersi Fe3O4 ke dalam larutan etanol menggunakan alat ultrasonik yang dapat memperkecil ukuran partikel. Gambar 6(c). adalah struktur Fe3O4/SiO2/TiO2 hasil sintesis, pada gambar tersebut terlihat adanya aglomerasi Fe3O4/SiO2/TiO2 yang terdiri dari beberapa partikel Fe3O4 yang terlapisi SiO2 dan TiO2 pada bagian luarnya. Dari hasil pengamatan, terlihat ukuran aglomerasi komposit Fe3O4/SiO2/TiO2 berkisar 100 nm, ukuran tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan oleh Huang et al. (2011), yaitu 200 nm, sedangkan gambar strukturnya tidak jauh berbeda. Disamping ukuran partikel, nilai energi band gap juga merupakan salah satu faktor yang penting untuk bahan katalis, semakin kecil nilai energi band gap semakin efektif karena energi yang diperlukan untuk eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi lebih kecil. Meskipun bahan katalis dengan nilai band gap kecil sering terjadi proses rekombinasi elektron (Dhanya and Sugunan 2013), akan tetapi pada bahan nanokatalis magnetik Fe3O4/SiO2/TiO2 proses rekombinasi elektron bisa diminimalisasi karena adanya lapisan SiO2 diantara Fe3O4 dan TiO2
yang berfungsi sebagai lapisan penghalang yang mempunyai nilai band gap lebih tinggi daripada Fe3O4. Bergesernya serapan bahan katalis ke arah sinar tampak merupakan suatu kelebihan, dimana proses katalitik bisa dilakukan di bawah sinar tampak atau sinar matahari sehingga menjadi lebih ekonomis. Pada Gambar 7. terlihat jelas bahwa dengan penambahan SiO2 pada katalis Fe3O4/TiO2 serapan cahaya menjadi lebih lebar dari 200 nm sampai dengan ≤ 450 nm menjadi 200 nm sampai dengan 600 nm. Besarnya energi band gap dapat diketahui dengan menentukan panjang gelombang serapan maksimum menggunakan UV-Vis Reflectance Spectroscopic. Dari serapan hasil pengukuran tersebut dapat dihitung nilai energi band gap menggunakan persamaan berikut (Shimadzu 2013, Dharma and Pisal 2013) : E = h*C/λ
…………………..(2)
E : energi band gap, h : konstanta plank -34 (6,626x10 Joule sec), C : kecepatan cahaya 8 (3,0 x 10 meter/sec), dan λ : cut off wavelength (λ pada titik belokan). Besarnya energi band gap Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2 hasil perhitungan ditunjukkan pada Tabel 2. Besarnya energi band gap Fe3O4/SiO2/TiO2 lebih kecil dibandingkan dengan Fe3O4/TiO2 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Gambar 7. Pengukuran serapan sinar bahan katalis Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2 dengan UV-Vis DRS
Tabel 2. Nilai energi band gap Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2 Nanokatalis
Energi band gap, eV
Fe3O4/TiO2
2,5369
Fe3O4/SiO2/TiO2
1,9125
Pengaruh Penambahan SiO2…… Siti Wardiyati dkk
37
Dari data karakteristik pengaruh SiO2 pada bahan nanokatalis Fe3O4/TiO2 menunjukkan bahwa dengan adanya lapisan intermediate SiO2 pada bahan nanokatalis Fe3O4/TiO2 terjadi perubahan sifat magnet, energi band gap, dan morfologinya, sedangkan struktur, ukuran partikel, dan fasa tidak terjadi perubahan yang signifikan. Uji Fotokatalitik Untuk mengetahui pengaruh lapisan intermediate SiO2 terhadap kinerja fotokatalitik Fe3O4/TiO2 dilakukan percobaan degradasi methylene blue oleh Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2. Degradasi methylene blue dengan konsentrasi 10 mg/L dilakukan di bawah sinar UV dengan panjang gelombang 356 nm (model UV-pen) dan sinar matahari. Degradasi methylene blue dengan sinar matahari dilakukan pada pukul 10.00 sampai dengan pukul 14.00 dengan suhu luar sekitar 40°C sampai dengan 42°C (cuaca panas). Parameter percobaan yang
dilakukan diantaranya pH larutan, waktu penyinaran, dan jumlah katalis. Hasil percobaan degradasi methylene blue oleh Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2 ditunjukkan pada Gambar 7 sampai dengan Gambar 8. Pada Gambar 7 terlihat semakin tinggi pH larutan, efisiensi degradasi semakin tinggi, baik untuk nanofotokatalis Fe3O4/TiO2 maupun Fe3O4/SiO2/TiO2, karena komposit Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2 semakin tinggi pH semakin stabil. Proses fotokatalitik optimum terjadi pada pH netral. Efisiensi degradasi Fe3O4/SiO2/TiO2 lebih tinggi dibandingkan dengan Fe3O4/TiO2, hal ini disebabkan karena dengan adanya SiO2 akan mengurangi proses fotodisolusi TiO2 ke Fe3O4, sehingga radikal bebas yang terbentuk semakin banyak atau meningkat, sehingga proses fotokalitik semakin efektif (Xue et al. 2013). Parameter lain yang berpengaruh pada proses degradasi senyawa organik adalah waktu penyinaran dan jumlah katalis, pengaruh tersebut ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 7. Pengaruh pH larutan terhadap efisiensi degradasi
(a)
(b)
Gambar 8. Pengaruh waktu penyinaran (a) dan jumlah katalis (b) pada degradasi methylene blue oleh Fe3O4/TiO2 dan Fe3O4/SiO2/TiO2 di bawah sinar UV dan matahari
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 31-40
38
Pada Gambar 8(a). terlihat waktu penyinaran berpengaruh terhadap efisiensi degradasi, baik sinar UV maupun sinar matahari. Semakin lama penyinaran semakin tinggi efisiensi degradasi, akan tetapi setelah waktu penyinaran 150 menit, kenaikan waktu penyinaran tidak lagi memberikan kenaikkan efisiensi degradasi yang signifikan. Pada Gambar 8(a). juga terlihat bahwa pada penggunaan bahan katalis Fe3O4/TiO2 penggunaan sinar UV lebih efektif dibandingkan dengan sinar matahari. Hal ini disebabkan persentase TiO2 masih tinggi sehingga proses degradasi lebih efektif dengan sinar UV. Pada bahan katalis Fe3O4/SiO2/TiO2, penggunaan sinar matahari lebih efektif dibandingkan sinar UV, hal ini dikarenakan presentase TiO2 lebih rendah (lihat Tabel 1) dan bahan katalis mempunyai daerah serap lebih lebar. Pada Gambar 8(b). terlihat dengan adanya kenaikan jumlah katalis pada awalnya efisiensi degradasi semakin bertambah, akan tetapi setelah jumlah katalis diatas 100 mg terjadi penurunan efisiensi degradasi yang disebabkan karena sinar yang masuk terhalang oleh katalis itu sendiri sehingga pembentukan radikal bebas berkurang dan mengakibatkan efisiensi degradasi berkurang. Efisiensi degradasi Fe3O4/SiO2/TiO2 lebih tinggi dibandingkan dengan Fe3O4/TiO2 baik pada variasi waktu penyinaran maupun jumlah katalis, hal ini membuktikan bahwa dengan adanya SiO2 meningkatkan efisiensi degradasi senyawa organik. Dari data percobaan ini dapat disimpulkan bahwa efisiensi degradasi methylene blue dengan konsentrasi 10 mg/L, pada kondisi optimum yaitu waktu penyinaran 180 menit dan jumlah katalis 50 mg oleh Fe3O4/TiO2 adalah 85%, sedangkan oleh Fe3O4/SiO2/TiO2 mendekati 100%. Hasil ini jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan oleh oleh Huang et al. (2011) hanya mencapai sekitar 66%. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan metode, baik pada pembuatan nanopartikel Fe3O4 maupun peralatan proses fotokatalitik. KESIMPULAN Hasil percobaan pengaruh SiO2 terhadap karakteristik dan kinerja fotokatalik Fe3O4/TiO2 menunjukkan bahwa adanya SiO2 pada nanokatalis Fe3O4/TiO2 tidak mempengaruhi struktur, fasa, maupun ukuran partikel, akan tetapi berpengaruh terhadap sifat magnet, morfologi, dan energi band gap. Nilai energi band gap Fe3O4/SiO2/TiO2 hasil percobaan 1,9125 eV lebih kecil dari Fe3O4/TiO2 yaitu
2,5369 eV. Dengan adanya penurunan nilai energi band gap, efektivitas fotokatalitik semakin meningkat. Hasil uji kinerja fotokatalitik terhadap larutan methylene blue dengan konsentrasi 10 mg/L, pH netral, waktu penyinaran 240 menit, dan jumLah katalis 50 mg, diperoleh efisiensi degradasi 85% untuk Fe3O4/TiO2 dan mendekati 100% untuk Fe3O4/SiO2/TiO2. DAFTAR PUSTAKA Amano, F., E. Ishinaga, and A. Yamakata. 2013. Effect of particle size on the photocatalytic activity of WO3 particles for water oxidation. J. Phys. Chem. C 117(44) : 22584-22590. Cheng, J., W. Bao, D. Zhu, C. Tian, Q. Yin, and M. Ding. 2009. Preparation of Ce0.8Gd0.2O1.9 solid electrolyte by the sol-combustion method. J. Chil. Chem. Soc. 54(4) : 445-447. Dhanya, T.P. and S. Sugunan. 2013. Preparation, characteristization and photocatalytic activity of N doped TiO2. IQSR Journal of Applied Chemistry 4(3) : 27-33. Dharma, J. and A. Pisal. 2013. Simple method of measuring the band gap energy value of TiO2 in the powder form using a UV/Vis/NIR spectrometer, application note UV/Vis/NIR spectrometer Perkin Elmer. www.perkinelmer.com/.../app uvvisnirmeasurebandgapenergyvalue. (diakses pada 03 April 2013). Fan, Y., M. Chunhua, L. Wenge, and Y. Yansheng. 2012. Synthesis and properties of Fe3O4/SiO2/TiO2 nanocomposites by hydrothermal synthetic method. Materials Science In Semiconductor Processing 15(5) : 582585. Fatimah, I. 2009. Dispersi TiO2 ke dalam SiO2 montmorillonit : efek jenis prekursor. Jurnal Penelitian Saintek 14 (1) : 4158. Hariani, P. L., M. Faizal, Ridwan, Marsi, and D. Setiabudidaya. 2013. Synthesis and properties of Fe3O4 nanoparticles by Co-precipitation method to removal procion dye. International Journal of Environmental Science and Development 4(3) : 336-340. Huang, X., G. Wang, M. Yang, W. Guo, and H. Gao. 2011. Synthesis of polyanilinemodified Fe3O4/SiO2/TiO2 composite microspheres and their photocatalytic application. Materials Letters 65 : 2887-2890.
Pengaruh Penambahan SiO2…… Siti Wardiyati dkk
39
Jing, J. Y., S. C. Shi-Hai, and H. L. Hong-Zhen. 2013. Preparation of magnetical photocatalyst Fe3O4/C/TiO2 for degradation of 2,4,6-trichlorophenol in aqueous solution. Chinese Journal of Inorganic Chemistry 29(10) : 20432048. Lirong, M., S. Jianjun, Z. Ming, and H. Jie. 2014. Synthesis of magnetic sonophotocatalyst and its enhanced biodegradability of organophosphate pesticide. Bull. Korean Chem. Soc 35 (12) : 3521-3526. Ma, W., Y. Zhang, L. Li, L. You, P. Zhang, Y. Zhang, J. Li, M. Yu, J. Guo, H. Lu, and C. Wang. 2012. Tailor-made magnetic Fe3O4@MTiO2 microspheres with a tunable mesoporous anatase shell for highly selective and effective enrichment of phosphopeptides. ACS Nano 6(4) : 3179 –3188. Music, S., N. F. Vincekovic, and L. Sekovanic. 2011. Precipitation of amorphous SiO2 particles and their properties. Brazilian Journal of Chemical Engineering 28 (1) : 89-94. Niu, H., Q. Wang, H. Liang, M. Chen, C. Mao, J. Song, S. Zhang, Y. Gao, and C. Chen. 2014. Visible-light active and magnetically recyclable nanocomposites for the degradation of organic dye. Materials 7 (5) : 40344044. Scanlon, D. O., C. W. Dunnill, J. Buckeridge, S. A. Shevlin, A. J. Logsdail, S. M. Woodley, C. R. A. Catlow, M. J. Powell, R. G. Palgrave, I. P. Parkin, G. W. Watson, T. W. Keal, P. Sherwood,
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 31-40
A. Walsh, and A. A. Sokol. 2013. Band alignment of rutile and anatase TiO2. Nature Materials 12 : 798–801. Shimadzu. 2013. Measurements of band gap in compound semiconductors, spectrophotometric analysis. www.shimadzu.com/applications/UV/VI S. (diakses pada 03 April 2013). Wang, R., X. Wang, X. Xi, R. Hu, and G. Jiang. 2012. Preparation and photocatalytic activity of magnetic Fe3O4/SiO2/TiO2 composite. Advance in Materials Science and Engineering 2012 : 1-8. Wang, Z., L. Shen, and S. Zhu. 2012. Synthesis of core-shell Fe3O4@SiO2@TiO2 microspheres and their application as recyclable photocatalysts. International Journal of Photoenergy 2012 : 1-6. Wardiyati, S., D. S. Winatapura, and W. A. Adi. 2015. Influence of Fe3O4 addition in TiO2 catalyst on degradation of methylene blue. Dalam : The 9th Seminar on Magnetic Material. Palembang : Univercity of Sriwijaya. Xue, C., Q. Zhang, J. Li, X. Chou, W. Zhang, H. Ye, Z. Cui, and P. J. Dobson. 2013. High photocatalytic activity of Fe3O4SiO2-TiO2 functional particles with core-shell structure. Journal of Nanomaterials 2013 : 1-8. Zhang, Y., X. Yu, Y. Jia, Z. Jin, J. Liu, and X. Huang. 2011. A facile approach for the synthesis of Ag-coated Fe3O4@TiO2 core/shell microsphere as higly efficient and recyclabe photocatalyts. European Journal of Inorganic Chemistry 2011(33) : 5096-5100.
40
PENGARUH KONSENTRASI ANHIDRIDA MALEAT DAN PEROKSIDA BENZOIL TERHADAP PERSEN PENCANGKOKAN PADA SINTESIS KOMPATIBILIZER POLYETHYLENE-GRAFTMALEIC ANHYDRIDE (EFFECT OF MALEIC ANHYDRIDE AND BENZOYL PEROXIDE CONCENTRATION ON THE GRAFTING DEGREE IN SYNTHESIS OF POLYETHYLENE-GRAFT-MALEIC ANHYDRIDE)
Muhammad Ghozali1, Pius Doni Bonafius Sinaga2, dan Shela Maranatha Yolanda2 1 2
Pusat Penelitian Kimia LIPI, Kawasan Puspiptek Serpong, Banten Jurusan Teknik Kimia, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten E-mail :
[email protected]
Received: 20 Januari 2016; revised: 17 Februari 2016: accepted: 16 Maret 2016
ABSTRAK Telah dilakukan sintesis Linear Low Density Polyethylene-graft-Maleic Anhydride (LLDPE-g-MA) untuk mengetahui pengaruh konsentrasi anhidrida maleat dan peroksida benzoil terhadap persen pencangkokan. Sintesis dilakukan dengan cara mencangkokkan monomer anhidrida maleat ke dalam Linear Low Density Polyethylene (LLDPE) dengan bantuan peroksida benzoil sebagai inisiator dan xylene sebagai pelarut. Reaksi dilakukan dalam reaktor stainless steel pada suhu 120°C selama 5 jam dengan bantuan gas nitrogen. Konsentrasi anhidrida maleat divariasikan antara 10-40 per seratus resin, sedangkan variasi BPO dilakukan pada 0,5-2 per seratus resin. Persen pencangkokan ditentukan dengan menghitung monomer anhidrida maleat yang tercangkok ke dalam LLDPE. Analisis Fourier Transform Infra Red (FTIR) dilakukan untuk mempelajari gugus fungsi yang terbentuk dalam LLDPE-g-MA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persen pencangkokan tertinggi sebesar 9,2598% dihasilkan pada penggunaan anhidrida maleat sebesar 40 per seratus resin dan BPO sebesar 2 per seratus resin. Kata Kunci : Peroksida benzoil, Pencangkokan, Anhidrida maleat, LLDPE-g-MA
ABSTRACT A synthesis of Linear Low Density Polyethylene-graft-Maleic Anhydride (LDPE-g-MA) has been conducted to study the effect of the concentration of Maleic Anhydride (MA) and benzoyl peroxide (BPO) on the grafting degree (GD). The synthesis was performed by grafting MA monomer onto Linear Low Density Polyethylene (LLDPE) with the assistance of BPO as an initiator and xylene as a solvent in a stainless steel reactor at 120°C for 5 hours with the aid of nitrogen gas. The concentration of MA was varied between 10-40 per hundred resins (phr), whereas BPO was between 0.5-2.0 phr. The GD was determined by calculating the MA monomer grafted onto LLDPE. Fourier Transform Infrared (FTIR) analysis was performed to study the functional group formed in the LLDPE-g-MA. The result shows that the highest GD of 9.2598% was obtained when the use of MA and BPO for 40 phr and 2 phr, respectively. Keywords : Benzoyl peroxide, Grafting, Maleic anhydride, LLDPE-g-MA
PENDAHULUAN Polietilena secara luas telah digunakan sebagai material plastik kemasan karena memiliki sifat mekanik yang baik, fleksibel, ringan, tahan air dan harganya murah, namun polietilena memiliki keterbatasan yang disebabkan oleh sifatnya yang kurang polar,
sehingga menyebabkan rendahnya energi permukaan, sifat adhesi yang kurang baik dan memiliki sifat kompatibel yang kurang baik dengan senyawa polar (Xianru et al. 2013). Selain sifatnya yang kurang polar, limbah plastik juga dapat mencemari lingkungan karena sulit
Pengaruh Konsentrasi Anhidrida Maleat ……… Muhammad Ghozali dkk
41
terdegradasi di alam. Salah satu usaha yang dapat dilakukan agar plastik dapat terdegradasi secara alami di lingkungan yaitu dengan mencampur polietilena dengan material polimer biodegradabel, misalnya pati (Waryat, dkk 2013; Park et al. 2002; Sailaja et al. 2001), kitin, kitosan, selulosa dan lignin (Sailaja 2010). Pencampuran polietilena dengan poli asam laktat untuk meningkatkan kemampuan biodegradabel-nya juga telah dilakukan (Hamad et al. 2011; Balakrishnan et al. 2010; Singh et al. 2010). Namun hal ini akan menimbulkan masalah lain, yaitu perbedaan sifat antara plastik dan material polimer biodegradabel tersebut menyebabkan kedua material tidak kompatibel, sehingga diperlukan senyawa kompatibilizer. Dalam rangka meningkatkan performanya, terutama yang berhubungan dengan sifat kepolaran polietilena, polietilena perlu dimodifikasi sehingga memiliki gugus polar dalam rantainya. Modifikasi pencangkokan merupakan salah satu cara yang efektif untuk memperluas penerapan aplikasi polietilena. Salah satu senyawa yang dapat diaplikasikan untuk kopolimer pencangkokan ke dalam poliolefin yaitu anhidrida maleat (Xianru et al. 2013; Sailaja et al. 2001; Ghaemy et al. 2003; Jia et al. 2000; Hong et al. 2008; Oromiehie et al. 2014 ; Chongprakobkit et al. 2007) dan beberapa senyawa analognya (Rzayev 2011). Metode pencangkokan bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan metode penggunaan pelarut, pelelehan (Belekin et al. 2015), padatan dan induksi radiasi (Xianru et al. 2013; Rzayev 2011). Metode penggunaan pelarut dan pelelehan merupakan cara yang umum digunakan. Metode pelelehan memiliki beberapa kelebihan, antara lain waktu yang dibutuhkan untuk reaksi sebentar, tidak memerlukan pelarut dan tanpa perlakuan setelah proses. Namun, metode ini juga memiliki kelamahan yaitu persen pencangkokannya cenderung rendah. Persen pencangkokan sangat berpengaruh terhadap performa kopolimer. Persen pencangkokan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: suhu reaksi, waktu reaksi, konsentrasi monomer, inisiator dan pelarut yang digunakan. Semakin tinggi persen pencangkokan monomer yang menempel pada polietilena akan memperluas aplikasinya. Senyawa tak jenuh yang memiliki ikatan rangkap dan gugus polar dapat digunakan sebagai monomer untuk pencangkokan ke dalam polietilena, biasanya anhidrida maleat dan senyawa analognya. Mekanisme inisiasi radikal bebas sangat berpengaruh dalam proses pencangkokan sehingga diperlukan senyawa inisiator yang J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 41-46
tepat. Senyawa yang biasa digunakan sebagai inisiator antara lain senyawa peroksida, antara lain: peroksida benzoil, peroksida tert-butyl dan peroksida dicumil (Xianru et al. 2013). Dalam penelitian ini telah dilakukan sintesis Linear Low Density Polyethylene-graft-Maleic Anhydride (LLDPE-g-MA) untuk mengetahui pengaruh konsentrasi anhidrida maleat dan peroksida benzoil terhadap persen pencangkokan dan hasilnya diberikan dan dibahas dalam paper ini. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu Linear Low Density Polyethylene (LLDPE) UF 1810T PT. Chandra Asri, anhidrida maleat dengan berat molekul 98,06 g/mol, peroksida benzoil metanol, etanol, aseton, kalium hidroksida (KOH) dan xylene dari MERCK. Metode Pembuatan kompatibilizer Linear Low Density Polyethylene-graft-Maleic Anhydride (LLDPE-g-MA) dilakukan dalam reaktor baja tahan karat yang dilengkapi dengan pengaduk, aliran gas nitrogen, termometer. LLDPE, xylene, anhidrida maleat, peroksida benzoil dengan komposisi tertentu dimasukkan ke dalam reaktor secara bersama-sama. Konsentrasi anhidrida maleat divariasikan antara 10-40 per seratus resin (per hundred resins (phr)), sedangkan variasi BPO dilakukan pada 0,5-2 phr Reaksi berlangsung pada suhu 120°C selama 5 jam. Produk LLDPE-g-MA yang dihasilkan dicuci berulang kali dengan metanol-aseton (perbandingan volume methanol dengan aseton sebesar (1:1) untuk menghilangkan anhidrida maleat yang tidak bereaksi. Setelah dicuci kemudian disaring dan dikeringkan menggunakan oven vakum pada suhu 60°C. Setelah kering produk LLDPE-g-MA dimurnikan dengan cara sokletasi selama 5 jam dengan pelarut aseton, kemudian dikeringkan lagi menggunakan oven vakum pada suhu 60°C. Produk LLDPE-g-MA yang dihasilkan kemudian dihitung persen pencangkokannya dengan cara menghitung jumlah anhidrida maleat yang tercangkok ke dalam LLDPE-g-MA dengan metode titrasi. Titrasi dilakukan dengan cara melarutkan produk LLDPE-g-MA sebesar ± 1 gram ke dalam 50 mL xylene, kemudian dipanaskan dan direfluks menggunakan pendingin selama 1 jam. Larutan LLDPE-g-MA yang masih panas kemudian dititrasi dengan KOH-Etanol dengan penambahan 3-4 tetes indikator brom thymol blue 1% dalam dimethylsulfoxide. 42
….(1) … (2) HASIL DAN PEMBAHASAN Mekanisme pencangkokan anhidrida maleat ke dalam rantai LLDPE menggunakan inisiator peroksida benzoil melalui beberapa tahapan seperti terlihat pada Gambar 1 (Xianru et al. 2013). Pada tahap awal, inisiator peroksida benzoil akan membentuk radikal bebas peroksida benzoil yang akan menyerang rantai LLDPE dan kemudian akan membentuk radikal bebas LLDPE. Radikal bebas LLDPE yang terbentuk dalam reaksi ini dapat menginisasi pencangkokan anhidrida maleat ke dalam rantai LLDPE.
Pada proses pencangkokan melalui reaksi transfer rantai, penggunaan pelarut juga berpengaruh terhadap persen pencangkokan. Xylene merupakan salah satu pelarut yang efektif untuk meningkatkan pembentukan radikal bebas LLDPE. Pada proses pencangkokan melalui reaksi transfer rantai, radikal bebas LLDPE yang terbentuk sebagian besar melalui reaksi transfer rantai dengan radikal bebas yang dihasilkan dari dekomposisi termal inisiator. Dalam mekanisme reaksi diatas radikal bebas LLDPE dihasilkan dari pemisahan atom hidrogen dari rantai LLDPE melalui radikal bebas R•, yang timbul dari dekomposisi termal inisiator. Radikal bebas baru akan terbentuk melalui penambahan radikal bebas LLDPE pada ikatan rangkap anhidrida maleat. Reaksi radikal bebas ini disebabkan oleh sifat tarik elektron yang kuat dari ikatan rangkap anhidrida maleat yang menyebabkan pembentukan LLDPE-g-MA (Ghaemy et al. 2003).
Gambar 1. Mekanisme pencangkokan LLDPE-g-MA
Pengaruh Konsentrasi Anhidrida Maleat ……… Muhammad Ghozali dkk
43
Analisis Fourier Transform Infrared (FTIR) dilakukan dengan IR Prestige 21 Shimadzu untuk mengetahui adanya perubahan gugus fungsi yang terjadi pada produk, dengan cara membandingkan spektrum FTIR LLDPE, anhidrida maleat dan LLDPE-g-MA. Identifikasi gugus fungsi dapat dilihat dengan adanya pergeseran puncak serapan atau munculnya puncak serapan baru pada bilangan gelombang tertentu. Spektrum FTIR LLDPE, anhidrida maleat dan LLDPE-g-MA ditunjukkan pada Gambar 2. Spektrum FTIR anhidrida maleat (Gambar 2b) menunjukkan puncak-puncak serapan pada -1 -1 bilangan gelombang 1776 cm dan 1726 cm yang mengindikasikan peregangan C=O yang berasal dari gugus karbonil. Selain itu, pada Gambar 2b juga terlihat puncak serapan pada -1 bilangan gelombang 1267 cm yang dihasilkan dari peregangan simetris gugus C-O-C pada anhidrida siklik dan puncak serapan pada -1 bilangan gelombang 802 cm yang berhubungan dengan gugus C=C. Pada spektrum FTIR LLDPE-g-MA (Gambar 2c) terlihat puncak-puncak serapan baru bila dibandingkan dengan spektrum FTIR LLDPE (Gambar 2a). Puncak-puncak serapan baru pada spektrum LLDPE-g-MA muncul pada bilangan -1 -1 -1 gelombang 1896 cm , 1795 cm , 1710 cm , -1 -1 1261 cm dan 802 cm , puncak-puncak serapan tersebut merupakan puncak-puncak serapan karakteristik anhidrida maleat yang tercangkok pada LLDPE, bukan dari monomer anhidrida maleat karena monomer anhidrida maleat telah dipisahkan dari produk LLDPE-gMA pada saat proses pemurnian. Puncak -1 serapan pada bilangan gelombang 1896 cm , -1 -1 1795 cm dan 1710 cm mengindikasikan gugus karbonil C=O yang berasal dari anhidrida maleat yang tercangkok ke dalam LLDPE (Xianru et al. 2013).
Gambar 2. Spektrum FTIR : a) LLDPE, b) anhidrida maleat dan c) LLDPE-g-MA
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 41-46
Puncak serapan pada bilangan -1 gelombang 1261 cm menunjukkan adanya gugus C-O-C dalam anhidrida siklik yang disebabkan adanya peregangan cincin simetris =C-O-C=, sedangkan puncak pada bilangan -1 gelombang 802 cm mengindikasikan adanya gugus C=C yang berasal dari ikatan C=CH. Gugus-gugus fungsi diatas membuktikan bahwa anhidrida maleat telah tercangkok ke dalam rantai LLDPE membentuk LLDPE-g-MA. Pada penelitian ini, penentuan persen pencangkokan dilakukan dengan metode titrasi. Konsentrasi anhidrida maleat yang digunakan adalah 10-40 phr sedangkan konsentrasi inisiator BPO yang digunakan adalah 0,5 phr, 1 phr dan 2 phr. Hasil analisa persen pencangkokan ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil analisa persen pencangkokan LLDPEg-MA peroksida Anhidrida maleat (phr) benzoil 10 20 30 40 (phr) 0,5
6,7996
6,3515
7,0681
7,5871
1
5,9555
6,5443
7,4078
8,5698
2
6,6014
7,7360
8,1813
9,2598
Pada Tabel 1 terlihat bahwa persen pencangkokan tertinggi sebesar 9,2598% diperoleh pada konsentrasi anhidrida maleat sebesar 40 phr dan peroksida benzoil sebesar 2 phr. Pengaruh penambahan komposisi anhidrida maleat terhadap persen pencangkokan ditunjukkan pada Gambar 3. Mekanisme reaksi pada sintesis LLDPE-g-MA diperoleh melalui reaksi radikal bebas. Mekanisme reaksi dimulai dengan dekomposisi inisiator peroksida benzoil membentuk radikal bebas. Radikal bebas peroksida benzoil kemudian bereaksi dengan LLDPE untuk membentuk radikal bebas LLDPE yang kemudian akan bereaksi dengan anhidrida maleat. Pada sintesis LLDPE-g-MA, persen pencangkokan tidak hanya dipengaruhi oleh konsentrasi radikal bebas rantai LLDPE, tetapi juga dipengaruhi oleh konsentrasi anhidrida maleat. Ketika konsentrasi radikal bebas LLDPE cukup, maka kemungkinan bertubrukan dengan monomer anhidrida maleat dapat terjadi. Tubrukan antara radikal bebas LLDPE dengan anhidrida maleat ini akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi anhidrida maleat, sehingga akan meningkatkan konsentrasi LLDPE-g-MA yang terbentuk meningkat pula (Li et al. 2009). 44
Meningkatnya konsentrasi LLDPE-g-MA ini akan mengakibatkan persen pencangkokan meningkat, hal ini mengindikasikan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi monomer anhidrida maleat dalam reaksi akan mengakibatkan meningkatkannya persen pencangkokan anhidrida maleat yang tercangkok dalam rantai LLDPE dan meningkatkan pula konsentrasi LLDPE-g-MA yang terbentuk.
Semakin meningkat konsentrasi inisiator peroksida benzoil, maka kemungkinan terbentuknya radikal bebas peroksida benzoil akan meningkat pula. Peningkatan radikal bebas peroksida benzoil ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas LLDPE sehingga akan meningkatkan pula konsentrasi anhidrida maleat yang tercangkok ke dalam rantai LLDPE. Hal ini akan menyebabkan persen pencangkokan meningkat. Sehingga semakin besar konsentrasi inisiator peroksida benzoil maka semakin besar pula persen pencangkokan yang mengindikasikan akan semakin besar pula LLDPE-g-MA yang terbentuk. KESIMPULAN
Gambar 3. Pengaruh komposisi anhidrida maleat terhadap persen pencangkokan
Besarnya persen pencangkokan sangat tergantung pada jumlah radikal bebas terbentuk. Ketika konsentrasi inisiator peroksida benzoil terlalu rendah, maka radikal bebas yang terbentuk tidak akan cukup untuk menginisiasi rantai LLDPE untuk membentuk radikal bebas LLDPE, sehingga menyebabkan anhidrida maleat yang tercangkok ke dalam rantai LLDPE dan mengakibatkan persen pencangkokan yang rendah. Pengaruh konsentrasi inisiator peroksida benzoil terhadap persen pencangkokan ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Pengaruh komposisi inisiator peroksida benzoil terhadap persen pencangkokan
Sintesis kompatibilizer LLDPE-g-MA telah berhasil dilakukan. Konsentrasi inisiator peroksida benzoil dan anhidrida maleat berpengaruh terhadap besarnya anhidrida maleat yang tercangkok ke dalam rantai LLDPE dan berpengaruh pula terhadap LLDPE-g-MA yang terbentuk. Semakin besar konsentrasi inisiator peroksida benzoil dan anhidrida maleat maka semakin besar persen pencangkokan dan akan meningkatkan terbentuknya LLDPE-g-MA. Persen pencangkokan cenderung akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi inisiator peroksida benzoil dan anhidrida maleat. DAFTAR PUSTAKA Balakrishnan, H., A. Hasan and M.U. Wahit. 2010. Mechanical, Thermal and Morphological Properties of Polylactic Acid/Linear Low Density Polyethylene Blends. Journal of Elastomers and Plastics 42 (23) : 223-239. Belekin, D., E. Beyou, P. Chaumont, P. Cassagnau, J.J. Flat, S. Quinebeche, Y. Guillaneuf and D. Gigmes. 2015. Effect Of Nitroxyl-based Radicals on The Melt Radical Grafting of Maleic Anhydride Onto Polyethylene In Presence Of a Peroxide. European Polymer Journal 66 : 342-351. Gaylord, N., M. Mehta and R. Mehta. 1987. Degradation and cross-linking of ethylenepropylene copolymer rubber on reaction with maleic anhydride and/ or peroxides. Journal of Applied Polymer Science 33 : 2549-2558. Ghaemy, M., and S. Roohina, 2003, Grafting of Maleic Anhydride on Polyethylene in Homogenous Medium in the Presence of Radical Initiators, Iranian Polymer Journal 12 (1) : 21-29.
Pengaruh Konsentrasi Anhidrida Maleat ……… Muhammad Ghozali dkk
45
Hamad, K., M. Kaseem and F. Deri. 2011. Melt Rhelogy of Poly(Lactic Acid)/Low Density Polyethylene Polymer Blends. Advances in Chemical Engineering and Science 1 : 208214. Li, W.J. and P. Liang. 2009. Depressation Mechanism of Pour Point For High Wax Crude Oil and Influencing Factors of Depressation. Advance Fine Petroleum 5 : 28-31. Park, H.M., S.R. Lee, S.R. Chowdhury, T.K.Kang, H.K. Kim, S.H. Park and C.S. Ha. 2002. Tensile Properties, Morphology and Biodegradability of Blend of Starch with Various Thermoplastics. Journal of Applied Polymer Science 86 (11) 2907-2915. Rzayev, Z.M.O. 2011. Graft Copolymers of Maleic Anhydride and Its Isostructural Analogues : High Performance Engineering Materials. International Review of Chemical Engineering 3 (2) : 153-215 Sailaja, R.R.N. and M. Chanda. 2001. Use of Maleic Anhydride-Grafted Polyethylene as Compatibilizer for HDPE-Tapioca Starch Blend : Effect on Mechanical Properties. Journal Applied Polymer Science 80 : 863872. Sailaja, R.R.N and M.V. Deepthi. 2010. Mechanical and Thermal Properties of Compatibililized Composites of Polyethylene And Esterified Lignin. Material and Design 31 : 4369-4379. Singh, G., H. Bhunia, A. Rajor, R. N. Jana and V. Choudhary. 2010. Mechanical Properties and Morphology of Poly-lactide, Linear LowDensity Polyethylene, and Their Blends. Journal of Applied Polymer Science 118 (1) : 496-502.
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 41-46
Waryat, M. Romli, A. Suryani, I. Yuliasih dan S.J.A. Nasiri. 2013. Karakteristik Mekanik, Permeabilitas dan Biodegradibilitas Plastik Biodegradable Berbahan Baku Komposit Pati Termoplastik-LLDPE. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 23 (2) : 153-163. Xianru H, S. Zheng, G. Huang dan Y. Rong. 2013. Solution Grafting of Maleic Anhydride on LDPE : Effect on Crystallization Behavior. Journal of Macromolecular Science Part B : Physics 52 (9) : 12651282. Jia, D., Y. Luo, Y. Li, H. Lu, W. Fu and W. L. Cheung. 2000. Synthesis and Characterization of Solid-Phase Graft Copolymer of Polypropylene with Styrene and Maleic Anhydride. Journal of Applied Polymer Science 78 : 2482–2487. Hong, C.K., M.J. Kim, S.H. Oh, Y.S. Lee and C. Nah. 2008. Effects of polypropylene-g(maleic anhydride/styrene) compatibilizer on mechanical and rheological properties of polypropylene/clay nanocomposites. Journal of Industrial and Engineering Chemistry 14 : 236–242. Oromiehie, A., Ebadi-Dehaghani H. and Mirbagheri S. 2014. Chemical Modification of Polypropylene by Maleic Anhydride: Melt Grafting, Characterization and Mechanism. International Journal of Chemical Engineering and Applications 5 (2) : 117122. Chongprakobkit, S., M. Opaprakasit and S. Chuayjuljiy. 2007. Use of PP-g-MA Prepared by Solution Process as Compatibilizer in Polypropylene/Polyamide 6 Blends. Journal of Metals, Materials and Minerals 17 (1) : 9-16.
46
PENGARUH RESIDUE CATALYTIC CRACKING (RCC) DAN ZEOLIT TERHADAP KUALITAS CRUDE OIL HASIL PIROLISIS LIMBAH PLASTIK POLIETILENA (Pyrolysis of Polyethylene Waste: Effect of Residue Catalytic Cracking (RCC) and Zeolit Catalyst on Crude Oil Quality)
Rahyani Ermawati, Bumiarto N, Irma Rumondang, Eva Oktarina, dan Siti Naimah Balai Besar Kimia dan Kemasan Jl.Balai Kimia No.1 Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Received: 8 Februari 2016; revised: 29 Februari 2016: accepted: 15 Maret 2016
ABSTRAK Pirolisis dapat menjadi salah satu solusi dalam menghasilkan sumber energi alternatif dan juga dapat mengurangi jumlah limbah plastik Polietilena (PE). Pirolisis dengan menggunakan katalis lebih efektif dibandingkan tanpa katalis. Residue Catalytic Cracking (RCC) adalah katalis bekas dari proses perengkahan minyak bumi. Penelitian ini akan membandingkan crude oil hasil pirolisis-katalis (RCC) dengan crude oil hasil pirolisis-katalis zeolit alam yang berasal dari Lampung (zeolit). Analisis komposisi katalis RCC menunjukkan unsur yang menyerupai zeolit, dan analisis uji fisik menunjukkan luas pemukaan serta luas pori RCC lebih besar dibandingkan dengan zeolit. Yield (%) crude oil hasil pirolisis RCC lebih besar dibandingkan dengan zeolit. Hasil distilasi pada RCC dan zeolit menunjukkan IBP (°C) adalah 63 dan 70; FBP (°C) adalah 371 dan 374; residu (%Vol) adalah 2,5 dan 3,4; loss (%Vol) adalah 1,5 dan 0,6. Hasil tersebut menunjukkan crude oil hasil pirolisis dengan RCC dan zeolit tidak berbeda jauh, namun residu yang dihasilkan oleh RCC lebih sedikit dibandingan dengan zeolit. Hasil karakterisasi fraksinasi dari kedua crude oil adalah light nafta (C4-C7), heavy nafta (C7-C11), kerosin (C10-C16), light gas oil (C12-C14), heavy gas oil (C16-C28) dan residu (> C25). Secara deskriptif, crude oil hasil pirolisis dengan RCC menunjukkan kualitas yang lebih bagus dibandingkan dengan crude oil hasil pirolisis dengan zeolit. Kata kunci : Pirolisis, RCC, Zeolit
ABSTRACT Pyrolysis is one of the solutions to process an alternative energy and also solution to decline the plastic waste of PE. Pyrolysis with catalyst is more effective rather than without catalyst. Residue Catalytic Cracking is used catalyst from oil cracking process. The research will compare the crude oil quantity of RCC with zeolit. Composition of RCC and zeolite were mostly same, physic analysis showed that surface area and pores volume of RCC wider than zeolit. Yield result of crude oil-RCC higher than crude oil-zeolite. Distillation result of RCC and zeolite showed that IBP (°C) is 63 and 70; FBP (°C) is 371 and 374; residue (%Vol) is 2,5 and 3,4; loss (%Vol) is 1,5 and 0,6. Distillation result showed that crude oil-RCC and crude oil-zeolite is not significantly different, but residue of crude oil-RCC less than crude oil-zeolite. Fractionations from both of them were light naphtha (C4-C7), heavy naphtha (C7-C11), kerosin (C10-C16), light gas oil (C12-C14), heavy gas oil (C16-C28), and residue (> C25). Descriptively, crude oil-RCC more qualified than crude oil- zeolite. Keywords : Pyrolysis, RCC, Zeolite
PENDAHULUAN Permasalahan energi dewasa ini sangat mengkhawatirkan, menipisnya cadangan minyak dunia dan Indonesia akan mengakibatkan pasokan energi menjadi sangat rendah, oleh karena itu diperlukan sumber energi alternatif
untuk menjaga ketersediaan energi. Salah satu sumber energi alternatif adalah limbah plastik yang dapat dikonversi menjadi crude oil (Pinto et al. 1999). Limbah plastik polietilena (PE) banyak terdapat di masyarakat dan industri, baik berupa
Pengaruh Residue Catalytic Cracking (RCC) …. Rahyani Ermawati dkk
47
HDPE (High density polyethylene) dan LDPE (Low density polyethylene). Sehingga, pengolahan limbah plastik selain menghasilkan energi juga menjadi solusi pada permasalahan plastik, yang merupakan limbah berbahaya, sukar terurai dan dapat menimbulkan berbagai penyakit (Sharma et al. 2014 ; Patni et al. 2013). Selain itu banyak penggunaan plastik yang menimbulkan dampak negatif yang disebabkan sukar terurainya produk plastik tersebut. Adanya teknologi pirolisis diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan yang ada. Limbah plastik PE dikonversi menjadi crude oil melalui proses pirolisis. Pirolisis adalah proses konversi sampah plastik menjadi bahan petrokimia dasar sehingga dapat digunakan menjadi bahan baku hidrokarbon atau bahan bakar untuk berbagai macam proses hulu. Pirolisis dapat berlangsung dengan atau tanpa katalis. Katalis digunakan dalam proses karena dapat menurunkan temperatur reaksi, mempercepat reaksi, serta menghasilkan produk dengan karbon atom yang lebih spesifik dan hidrokarbon yang ringan (Cwik 2014; Patni et al. 2013; Buekens dan Huan 1998). Terdapat dua macam proses catalytic cracking dalam mengolah limbah plastik yaitu menggunakan katalis natural dan sintetik katalis. Natural katalis diantaranya silika-alumina, bentonite-clay, alumunium hidrosilikat sedangkan sintetik katalitik diantaranya sintetik silika-alumina, silika-magnesia, zeolite, karbon aktif dan komponen alkali (Kyaw dan Hmwe 2015). Jati et al. (2010) dalam tulisannya telah mengulas mengenai pengaruh katalis Pd/Al2O3, zeolit, clay commponent, pseudoboehmite component, HZSM-5, Co-Ac (kobalt karbonaktif), dan DHC-8 (katalis komersil silika alumina) terhadap perengkahan pada polietilena (LDPE dan HDPE) dan polipropilen menjadi energi dengan metode pirolisis. Tulisan tersebut menyatakan bahwa zeolit dapat digunakan untuk proses pirolisis polietilena. Tahun 2012, Naimah et al. melakukan penelitian mengenai reaktor pirolisis skala laboratorium (200 gram) yang dapat mendekomposisi limbah plastik polietilena polietilena yang mampu menghasilkan crude oil o dengan yield 40% pada suhu 500 C. Katalis RCC mempunyai komponen utama silika dan alumina oxide, selain itu juga memiliki kandungan sodium, kalsium, magnesium dan sedikit Lanthanum serta Cerium. Sedangkan zeolit adalah senyawa zat kimia alumino-silikat berhidrat dengan kation natrium, kalium dan barium (Al Rasyid 2003 dalam Permana dan I. Aschuri 2013). Secara J. Kimia Kemasan, Vol. 38 No. 1 April 2016: 47-54
umum, zeolit memiliki molekular struktur yang unik, dimana atom silikon dikelilingi oleh 4 atom oksigen sehingga membentuk semacam jaringan dengan pola yang teratur (Aguado et al. 2000). Keaktifan suatu katalis terdapat pada sisi asam yang sangat memungkinkan untuk melakukan pemecahan molekul dengan baik menjadi fraksi-fraksi ringan seperti yang diinginkan, tanpa banyak terjadi pengendapan coke pada permukaan katalis (Aguado et al. 2009). Lópeza et al. (2011) menyatakan bahwa zeolit adalah katalis yang baik utuk perengkahan polietilena. Pirolisis dengan katalis atau catalytic cracking dipengaruhi oleh jenis atau tipe katalis, kondisi katalis, jumlah katalis dan suhu proses pirolisis (Marcilla et al. 2001; Buekens and Huang 1998). Pada penelitian ini akan dibahas pengaruh katalis RCC dan zeolit terhadap crude oil yang dihasilkan. Katalis RCC merupakan katalis bekas proses perengkahan, digunakan pada perusahan pengolahan minyak menjadi bahan bakar. Penelitian ini akan membandingkan kualitas hasil crude oil dari proses pirolisis dengan katalis RCC dan zeolit. Teknologi catalitic cracking merupakan teknolgi potensial yang dapat dikomesialisasikan karena saat ini pengolahan plastik banyak dilakukan dengan landfill dan insenerasi yang banyak menimbulkan permasalahan lingkungan (Kyaw and Hmwe 2015). BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah plastik polietilena, katalis RCC yang berasal dari residu proses perengkahan minyak bumi, Zeolit alam dari Lampung, air demin, HCl [Merck], NH4Cl [Merck], dan HF [Merck]. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor pirolisis (Ermawati et al. 2015), X-Ray Flourescence (XRF), dan alat destilasifrasinasi (Pilodist) . Metode Penelitian dilakukan dengan beberapa tahap yaitu preparasi dan aktivasi katalis, analisis katalis, proses pirolisis dengan katalis, sampling hasil pirolisis, destilasi crude oil, karakterisasi fraksi-fraksi hasil destilasi dan analisis fraksi-fraksi crude oil. Preparasi dan Aktivasi Katalis RCC yang berbentuk serbuk diaktivasi dengan unsur Ca, Na dan Mg. Zeolit dihaluskan (di-grinding) secara mekanik dengan crusher 48
bebatuan. Zeolit diaktivasi dengan air demin sebanyak 2 kali, kemudian disaring. Setelah itu, o dikeringkan dalam oven pada suhu 120 C selama 2 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator. Zeolit yang telah dingin, ditambahkan dengan larutan HF 2% hingga terendam dan diaduk selama 10 menit, dibilas dengan menggunakan air demin, dan disaring. Zeolit yang sudah disaring, direflux dengan o menggunakan HCl 6 M pada suhu 90 C selama 30 menit, setelah itu bilas menggunakan air demin kemudian disaring. Rendam zeolit dalam larutan NH4Cl 0,1 M dan diaduk selama 3 jam/hari hingga 5 hari. Kemudian, bilas zeolit menggunakan air demin dan disaring. Kalsinasi o dilakukan pada suhu 500 C selama 5 jam. zeolit yang telah diaktivasi, dihaluskan menggunakan alat crusher dan disimpan di desikator (Modifikasi Yuliusman 2016). Analisis Katalis Analisis kandungan katalis dilakukan dengan X-Ray Fluorescence (XRF). Analisis karakteristik fisik katalis meliputi densitas (g/cc), 3 luas permukaan (m /g), volume pori-pori (cc/g), rerata diameter pori (Ao) dan kandungan karbon (%wt). Proses Pirolisis dengan Katalis Limbah plastik PE yang akan digunakan, dihancurkan terlebih dahulu dengan crusher. Reaktor pirolisis dilengkapi dengan pengaduk dan tangki penampung produk (Gambar 2.)
o
diatur pada suhu 350 C, dan kondensor dinyalakan, tunggu hingga suhu reaktor mencapai suhu yang diatur. Setelah plastik dan katalis dimasukan ke dalam reaktor, hidupkan pengaduk dengan tujuan agar katalis dan plastik dapat tercampur dengan optimal dan proses cracking berjalan dengan baik. Waktu proses pirolisis berlangsung selama 2 jam. Pada saat proses berlangsung akan dihasilkan 3 fasa yaitu cair, gas dan padatan. Gas yang terbentuk akan dialirkan melalui kondensor. Cairan yang terbentuk dari proses kondensasi akan turun ke tempat penampung cairan. Cairan ditampung sebagai crude oil, padatan berupa sisa plastik yang tidak terengkah dan gas yang tidak terkondensasi. Crude oil selanjutnya difraksinasi untuk mendapatkan fraksi bahan bakar. Analisis Crude Oil Crude oil yang dihasilkan dari proses pirolisis diuji nyala apinya dan dibandingkan dengan kerosen. Crude oil yang didapat dihitung % yieldnya. Destilasi dilakukan dengan menggunakan alat destilasi fraksinasi. Parameter analisis hasil fraksi-fraksi destilasi meliputi % yield, % residu, % loss, initial boiling point (IBP), dan flash boiling point (FBP). Karakterisasi fraksi-fraksi dilakukan dengan alat destilasi fraksinasi Pilodist. Alat seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Alat tersebut mampu melakukan cutting proses berdasarkan titik didihnya. Hasil analisa dari zeolit dan RCC dibandingkan secara deskriptif.
Keterangan: 1. Kontrol Panel 2. Tempat sampel
7
3. Reaktor Utama
8
4. Kondensor
4 2
5. Air pendingin 1
6. Penampung cairan
3
7. Motor Pengaduk 8. Tempat
5 6
memasukkan Katalis
Gambar 2. Reaktor Pirolisis
Pengaruh Residue Catalytic Cracking (RCC) …. Rahyani Ermawati dkk
49
Zeolit
Zeolit yang telah dihaluskan a
Zeolit yang telah diaktivasi
RCC yang telah berbentuk bubuk b Gambar 3. Preparasi zeolit (a) dan RCC (b)
HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum digunakan pada proses pirolisis, zeolit dipreparasi dan diaktivasi. Preparasi bertujuan memperoleh ukuran produk yang sesuai dengan tujuan penggunaan. Preparasi terdiri dari tahap penghancuran (crushing) hingga penggerusan (grinding). Aktivasi bertujuan untuk meningkat-kan sifat-sifat khusus zeolit dengan cara menghilangkan unsur-unsur pengotor dan menguapkan air yang terperangkap dalam pori kristal zeolit (Gambar 3.). Aktivasi juga bertujuan untuk meningkatkan aktivitas katalitiknya (Trisunaryanti et al. 2005). Ada dua cara yang umum digunakan dalam proses aktivasi zeolit, yaitu pemanasan pada suhu 200ºC sampai dengan 400ºC selama 2 jam sampai dengan 3 jam dan kimia dengan menggunakan pereaksi NaOH atau H2SO4. Zeolit yang digunakan pada penelitian ini adalah zeolit Lampung. Zeolit alam Lampung memiliki memiliki luas permukaan, jari-jari pori, dan daya serap atau adsorpsi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan zeolit alam lainnya (Ginting et al. 2007). RCC yang didapat telah berbentuk bubuk, selanjutnya RCC diaktivasi dan dikalsinasi dengan penambahan unsur Ca, Na dan Mg. Zeolit dan RCC selanjutnya dianalisis karakteristik fisik dan kandungannya dengan XRF. Hasil perbandingan karakteristik fisik dari zeolit dan RCC menunjukkan karakteristik RCC memiliki densitas, luas permukaan, volume poripori, dan rerata diameter pori-pori yang lebih besar dibandingkan dengan zeolit seperti yang terlihat pada Tabel 1. J. Kimia Kemasan, Vol. 38 No. 1 April 2016: 47-54
Tabel 1. Karakteristik fisik dari zeolit dan RCC Parameter Uji Densitas Luas permukaan Volume pori-pori Rerata diameter pori-pori Kandungan Karbon
Satuan gr/cc m3/gr cc/gr Ao
Zeolit 0,91 95 0,14 59
RCC 0,93 111 0,20 71
%wt
Nil
Nil
Katalis untuk proses pirolisis memiliki persyaratan utama yaitu luas permukaan yang besar, volume pori yang besar, dan jari-jari yang homogen (Windarti dan Suseno 2002). Hasil analisis kandungan zeolit pada Tabel 2 menunjukkan bahwa unsur komponen utamanya adalah Silika Oksida (SiO2) sebesar 69% dan Almunium Oksida (Al2O3) sebesar 10%. Alumina merupakan sumber active matrix pada zeolit sebagai katalis cracking. Hal tersebut sesuai dengan Setiadi dan Pertiwi (2007) dan Pinto et al. (1999) yang menyatakan zeolit merupakan katalis yang cukup efektif digunakan pada proses cracking. Rasio Si/Al pada zeolit yang tinggi, akan menyebabkan keasaman yang tinggi. Adanya pusat asam pada zeolitn dapat memberikan medium yang kondusif (lebih reaktif) untuk proses katalitik. Zeolit juga dapat dimanfaatkan untuk menyeleksi reaktan, hasil antara dan produk akhir yang terlibat dalam proses katalitik. RCC merupakan residu katalis dari proses Catalytic Cracking (CC). Katalis CC digunakan untuk menghasilkan bahan bakar. Residu RCC belum dimanfaatkan secara optimal dan hanya dibuang ke tempat pembuangan akhir. 50
Hasil analisis kandungan RCC menggunakan XRF dapat dilihat pada Tabel 3. Dari hasil analisis di bawah menunjukkan bahwa komponen utama RCC hampir sama dengan zeolit, RCC memiliki kandungan Silika Oksida (SiO2) sebesar ± 38,27% dan Aluminium Oksida (Al2O3) sebesar ± 51,37%. Komponen utama
lainnya adalah CaO, MgO, dan Na2O. Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen utama RCC menyerupai komponen zeolit. Proses pirolisis dilakukan dengan memasukkan 4000 g limbah plastik PE dan 10% katalis, pada suhu reaktor 350ºC. Hasil pirolisis berupa fase padat, gas dan cair (crude oil). .
Tabel 2. Hasil analisis zeolit menggunakan XRF Oksida SiO2 TiO2 Al2O3 Fe2O3 MnO CaO MgO Na2O K2 O P2 O5 SO3 LOI ZnO NiO SrO V2 O5 Cr2O3 Rb2O Ga2O3 Y2 O3 La2O3
Satuan % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % %
Jumlah 69,11 0,110 10,41 1,35 0,0234 4,41 0,571 1,24 2,70 0,0337 0,0265 10,58 0,0044 0,0070 0,0345 0,0029 0,0073 0,0044 0,0014 0,0031 0,0200
Unsur Kimia (Oksida/Elemen) Elemen Satuan Si % Ti % Al % Fe % Mn % Ca % Mg % Na % K % P % S % % Zn % Ni % Sr % V % Cr % Rb % Ga % Y % La %
Jumlah 32,31 0,0658 5,51 0,940 0,0181 3,15 0,345 0,919 2,24 0,0147 0,0106 0,0035 0,0055 0,0292 0,0016 0,0050 0,0040 0,0010 0,0024 0,0171
Sd 0,11 0,0033 0,09 0,036 0,0009 0,07 0,024 0,04 0,06 0,0007 0,0005 0,0003 0,0004 0,0015 0,0004 0,0004 0,0003 0,0002 0,0004 0,0012
Tabel 3. Hasil analisis RCC menggunakan XRF Oksida SiO2 TiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO MgO Na2O K2 O P2 O5 SO3 LOI ZnO NiO Cs2O CuO V2 O5 Cr2O3 Co3O4 Cl BaO Rb2O Ga2O3 Y2 O3 Nb2O5 La2O3 CeO2
Satuan % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % %
Jumlah 38,27 0,461 51,37 0,527 0,117 0,145 0,567 0,0925 0,399 0,0647 3,51 0,0090 1,76 0,0228 0,0031 0,111 00070 0,0590 0,0390 00425 0,0050 0,0022 2,32 0,0680
Unsur Kimia (Oksida/Elemen) Elemen Satuan Si % Ti % Al % Fe % Ca % Mg % Na % K % P % S % % Zn % Ni % Cs % Cu % V % Cr % Co % Cl % Ba % Rb % Ga % Y % Nb % La % Ce %
Jumlah 17,89 0,276 27,18 0,369 0,0835 0,0877 0,421 0,0768 0,174 0,0259 0,0072 1,38 0,0215 0,0025 0,0619 0,0048 0,0433 0,0390 0,0381 0,0037 0,0017 1,98 0,0554
Pengaruh Residue Catalytic Cracking (RCC) …. Rahyani Ermawati dkk
Sd 0,11 0,014 0,13 0,018 0,0042 0,0044 0,021 0,0038 0,009 0,0013 0,0004 0,05 0,0036 0,0004 0,0031 0,0005 0,0022 0,0002 0,0053 0,0002 0,0003 0,06 0,0030
51
Hasil cair (crude oil) yang dihasilkan berupa cairan hitam. Rerata % yield hasil crude oil yang dihasilkan dengan zeolit adalah 80%. Sedangkan RCC adalah 93,75%. RCC menghasilkan nilai % yield yang lebih besar dibandingkan zeolit. Hal tersebut dapat terjadi karena RCC memiliki luas permukaan, volume pori-pori, diameter pori-pori dan densitas yang lebih besar dibandingkan dengan zeolit. Sehingga, limbah plastik PE yang masuk ke dalam rongga katalis (pori-pori), akan lebih intens dibandingkan pada zeolit. Aktivasi dan kalsinasi RCC dapat mengaktifkan sisi asam RCC sehingga fraksi berat akan direngkah menjadi fraksi-fraksi ringan, tanpa banyak terjadi pengendapan dalam bentuk tar pada permukaan katalis. Komposisi RCC yang lebih banyak mengandung Al2O3 (sebagai matriks aktif katalis) dibandingkan zeolit, menyebabkan keasaman yang lebih tinggi. Sehingga, reaksi pada RCC lebih intens terjadi dibadingkan pada zeolit. RCC juga memiliki kandungan logam alkali, sebagai promotor pada katalis, lebih banyak jika dibandingkan pada zeolit. Jumlah logam alkali yang lebih banyak pada RCC menyebabkan luas permukaan katalis makin bertambah (Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia UPN, 2012; Trisunaryanti et al. 2005). Pengamatan daya nyala dari crude oil hasil pirolisis dengan RCC dan zeolit dibandingkan dengan daya nyala dari kerosen ditunjukkan seperti pada Gambar 4. Crude oil dari hasil pirolisis dengan RCC memiliki nyala yang lebih terang dibandingkan dengan kerosin dan crude oil hasil pirolisis dengan zeolit. Analisis distilasi (Gambar 5.) menunjukkan IBP dari RCC adalah 63°C dan zeolit adalah 70°C; FBP dari RCC adalah 371°C dan zeolit adalah 374°C; residu dari RCC adalah 2,5% dan zeolit adalah 3,4%; loss dari RCC adalah 1,5% dan zeolit adalah 0,6%. Dari hasil tersebut menunjukkan crude oil hasil pirolisis dengan RCC dan zeolit tidak berbeda jauh, namun residu yang dihasilkan oleh RCC lebih sedikit dibandingan dengan zeolit. Karakterisasi fraksi dilakukan untuk mengetahui fraksi yang terkandung dalam crude oil dengan metode ASTM D 86 (Gambar 6.). Crude oil yang dihasilkan tersusun atas light
J. Kimia Kemasan, Vol. 38 No. 1 April 2016: 47-54
nafta (C4-C7), heavy nafta (C7-C11), kerosin (C10C16), light oil gas (C12-C14), heavy oil gas (C16C28) dan residu (> C25) yang tidak terdistilasi. Hasil analisis % yield yang dihasilkan oleh zeolit dan RCC pada light nafta (%Vol) yaitu 3 dan 3, heavy nafta (%Vol) yaitu 25 dan 21, kerosin (%Vol) yaitu 31 dan 25, light gas oil (%Vol) yaitu 16 dan 20, dan heavy gas oil (%Vol) yaitu 16 dan 19, dan residu (%Vol) yaitu 9 dan 12. Hasil menunjukkan bahwa PE berhasil direngkah menjadi gugus hidrokarbon yang lebih sederhana. Volume fraksi destilasi nafta dan kerosin pada crude oil hasil pirolisis dengan zeolit lebih besar dibandingkan dengan crude oil hasil pirolisis dengan RCC. Volume fraksi destilasi gas oil pada crude oil hasil pirolisis dengan zeolit lebih kecil dibandingkan dengan crude oil hasil pirolisis dengan RCC.
Gambar 4. Uji nyala api crude oil
Gambar 5. Analisis distilasi crude oil hasil pirolisis dengan zeolit dan RCC
52
% Vol Fraksi Destilasi
35 30 25 20 15 Zeolit
10
RCC
5 0 Fraksi Light Nafta
Fraksi Heavy Nafta
Fraksi kerosin
Fraksi Light Gas Oil
Fraksi Heavy Gas oil
Residu
Jenis Fraksi Destilasi
Gambar 6. Fraksinasi destilasi crude oil hasil pirolisis zeolit dan RCC
KESIMPULAN Analisis komposisi katalis RCC menunjukkan unsur yang menyerupai zeolite, namun RCC memiliki kandungan promotor lebih banyak dibandingkan zeolit. Analisis uji fisik menunjukkan luas pemukaan serta luas pori RCC lebih besar dibandingkan dengan zeolit. Secara deskriptif, crude oil hasil pirolisis dengan RCC menunjukkan kualitas yang lebih bagus dibandingkan dengan crude oil hasil pirolisis dengan zeolit. RCC dapat digunakan kembali sebagai katalis dalam proses perengkahan limbah plastik polietilena. DAFTAR PUSTAKA Aguado, J., D.P. Serrano, J.M. Escola, dan A. Peral. 2009. Catalytic cracking of polyethylene over zeolite mordenite with enhanced textural properties. J. Anal. Appl. Pyrolysis 85: 352–358. Buekens, A.G., and H. Huang. 1998. Catalytic plastics cracking for recovery of gasolinerange hydrocarbons from municipal plastic wastes. Resources, Conservation and Recycling 23: 163–181. Cwik, A. 2014. fuel from waste-catalytic degradation of plastic waste to liquid fuels, Thesis master of science degree in energy engineering and management. Disertasi. Instituto Superior Técnico, Lisboa. Portugal. Ermawati, R., S. Naimah, M.T. Marpaung, I. Rumondnag, S.A. Aviandharie, B.N. Jati, dan N.N. Aidha. 2015. Alat dan Metode Untuk Pembuatan Bahan Bakar Cair Dari Limbah Plastik. Permohonan Pengajuan Paten Nomor P00201507089, Indonesia. Ginting, A.B., D. Anggraini, S. Indaryati, dan R. Kriswarini. 2007. Karakterisasi Komposisi Kimia, Luas Permukaan Pori Dan Sifat Termal Dari Zeolit Bayah, Tasikmalaya,
Dan Lampung. J. Tek. Bhn. Nuk 3(1): 1– 48. Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia UPN. 2012. Dasar-dasar Katalis dan Katalisis. https://hmtkupnyogya.files.wordpress.com /2012/02/09_handout-dasar2-kataliskatalisis.pdf. (diakses pada 4 Agustus 2016). Jati, B. N., dan R. Ermawati. 2010. Aplikasi katalis dalam mengkonversi limbah plastik menjadi energi. Jurnal Kimia dan Kemasan 32(2) : 67-72 Kyaw, K. T. and C.S. Hmwe. 2015. Effect of Various Catalyst on Fuel Oil Pyrolisis Process of Mixed Plastic Waste. International Journal of Advance in Engineering and Technology 8(5) : 794802 Lópeza, A., I. de Marco, B.M. Caballero, M.F. Laresgoiti, A. Adrados, and A. Aranzabal. 2011. Catalytic pyrolysis of plastic wastes with two different types of catalysts: ZSM5 zeolite and Red Mud. Applied Catalysis B: Environmental 104: 211–219. Marcilla, A., M. Beltran, and J.A. Conesa. 2001. Catalyst addition in polyethylene pyrolysis: Thermogravimetric study. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis. 58–59: 117–126. Naimah, S., C. Nuraeni, I. Rumondang, B.N. Jati, dan R. Ermawati. 2012. Dekomposisi Limbah Plastik Polypropylene Dengan Metode Pirolisis. Jurnal Sains Materi Indonesia (Indonesian Journal of Material Science) 13(3) : 226-229 Patni, N., P. Shah, S. Agarwal, and P. Singhal. 2013. Review Article: Alternate Strategies for Conversion of Waste Plastic to Fuels. ISRN Renewable Energy 2013: 1-7. Permana, Y. dan I. Aschuri. 2013. Studi Penggunaan Limbah Pengilangan Minyak (Residium Catalytic Cracking 15, RCC15) pada perbaikan tanah ekspansif (studi kasus : tanah gedebage bandung). Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra Surabaya. Pinto, F., P. Costa, I. Gulyurtlu, and I. Cabrita. 1999. Pyrolysis of plastic wastes 2. Effect of catalyst on product yield. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 51: 57– 71. Setiadi dan A. Pertiwi. 2007. Preparasi dan karakterisasi zeolitalam untuk konversi senyawa ABE menjadi hidrokarbon. Prosiding Konggres dan Simposium Nasional Kedua MKICS. ISSN: 0216 4183.
Pengaruh Residue Catalytic Cracking (RCC) …. Rahyani Ermawati dkk
53
Sharma, B.K., B.R. Moser, K.E. Vermillion, K.M. Doll, N. Rajagopalan. 2014. Production, characterization and fuel properties of alternative diesel fuel from pyrolysis of waste plastic grocery bags. Fuel Processing Technology 122: 79–90. Trisunaryanti, W., E. Triwahyuni, and S. Sudiono. 2005. Preparation, Characterization and modification of Nipd/Natural Zeolite Catalysts. Indo. J. Chem. 5(1): 48-53. Windarti, T. dan A. Suseno. 2002. Profil Keefektivan Katalis Zeolit Alam Asam
J. Kimia Kemasan, Vol. 38 No. 1 April 2016: 47-54
Dalam Proses Pirolisis Polietilena Dari Sampah Plastik Menjadi Olefin Akibat Perubahan Temperatur. Skripsi. Fakultas MIPA, UNDIP. Semarang. Yuliusman. 2016. Aktivasi Zeolit Alam Lampung sebagai Adsorben Karbon Monoksida Asap Kebakaran. Dalam : Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”. Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia. Yogyakarta : FTI UPN Veteran Yogyakarta: 1-6.
54