SINTESA TEMATIK SESI 6 KELOMPOK BELAJAR AGRARIA & PEREMPUAN
PEREMPUAN DALAM PERJUANGAN AGRARIA I.
Perjuangan Perempuan Sepanjang Sejarah Bentuk dan pola perjuangan perempuan tidak dapat dilepaskan dari kesalingberjalinan
konstruksi gender dengan berbagai proses dan struktur ekonomi-politik yang lebih luas (Hart 1991: 95-96). Perjuangan perempuan dalam sejarah juga memiliki corak dan polanya tersendiri berdasarkan konteks yang melatarinya. Suraya Afiff, sebagai narasumber diskusi sesi keenam, menjelaskan perbedaan karakteristik gerakan perempuan dalam tiga gelombang sejarah feminisme. “Kita tidak akan tahu jika bacaan-bacaan tentang perjuangan perempuan itu tidak diletakkan dalam sebuah zaman bagaimana prosesnya bekerja,” ujar Suraya Afiff. Perbedaan tiga gelombang gerakan feminis juga tidak lepas dari bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender yang melekat dalam proses ekonomi-politik pada masa tertentu. Gerakan feminis gelombang pertama terjadi pada awal abad ke-20. Ketika terjadi perang dunia kedua, banyak laki-laki dewasa ditugaskan oleh negara untuk terjun ke medan perang, sehingga perempuan dituntut untuk mengambil alih peran yang ditinggalkan laki-laki. Sebelumnya, terdapat segregasi gender yang sangat tajam; perempuan selalu dibatasi ruang geraknya hanya di wilayah domestik; perempuan dianggap tidak layak berperan di ruang publik, birokrasi, dan kerja produktif. Setelah perempuan mengambil peran laki-laki yang pergi ke medan peran, seperti memproduksi makanan dan mengajar sekolah, perempuan dibayar lebih rendah ketimbang bayaran yang diberikan kepada laki-laki. Saat itulah aksi protes perempuan terjadi pertama kali, namun protes-protes itu diacuhkan karena perempuan tidak memiliki hak pilih. Akhirnya, para perempuan melakukan gerakan kolektif untuk menuntut hak pilih (the right to vote). Sebuah film yang berjudul Suffragette menayangkan aksi kolektif perempuan yang menuntut hak pilih di jalan-jalan, yang direspon dengan tindakan represif dan penangkapan oleh aparat kepolisian, di Inggris pada tahun 1912.1 Gerakan feminis gelombang kedua terjadi sekitar tahun 1960-1980. Setelah perang dunia kedua, banyak perempuan mulai masuk ke dunia kerja. Gerakan feminis pun mengembangkan tuntutannya tidak hanya dalam permasalahan ketenagakerjaan dan pengupahan tetapi juga permasalahan seksualitas dan etnisitas. Di Amerika Serikat, yang banyak berpengaruh pada kemunculan gerakan feminis gelombang kedua adalah gerakan anti-perang Vietnam dan gerakan 1
Film Suffragette bercerita tentang gerakan perempuan di Inggris yang menuntut hak pilih pada tahun 1912 (https://en.wikipedia.org/wiki/Suffragette_%28film%29).
kebebasan sipil (civil rights movement), yang sebelumnya belum pernah terjadi (Affif 2017). Gerakan kebebasan sipil terjadi di Amerika terjadi sekitar tahun 1954-1968, yang ditujukan untuk mengakhiri diskriminasi ras melalui tuntutan terhadap hak-hak kewarganegaraan penduduk berkulit hitam untuk diakui secara legal.2 Sementara itu, perempuan kulit hitam mengalami dua bentuk diskriminasi: segregasi ras dan sebagai perempuan. “Perempuan kulit hitam mengatakan „mengapa hanya orang berkulit putih yang mendapatkan hak pilih, dan orang hitam tidak bisa dapat hak pilih?” ungkap Suraya Afiff. Gerakan feminis gelombang ketiga terjadi sekitar pertengahan 1980-an dan memuncak pada pertengahan 1990-an. Feminisme gelombang ketiga diwarnai dengan corak pemikiran postkolonial dan postmodern, yang memahami identitas secara non-essensialis dengan membongkar dikotomi perempuan/laki-laki, nature/culture (Affif 2017). Kalau feminisme gelombang pertama dan kedua menekankan tuntutannya supaya perempuan mampu berperan dan bekerja di luar rumah, feminisme gelombang ketiga lebih menekankan penentuan pilihan tanpa dibatasi stereotip tentang identitas. “Jika ada laki-laki dalam satu keluarga melihat istrinya lebih mampu memperoleh income, maka why not laki-laki mengurus anak dan perempuan yang bekerja?” ungkap Suraya Afiff. Namun, persoalannya adalah berbagai asumsi gender cenderung dipertahankan dalam kehidupan sosial-politik, sehingga memaksakan pembedaan peran-peran tertentu antara perempuan dan laki-laki. “Di gelombang ketiga itu kemudian nilai-nilai itu yang dibongkar,” lanjut Suraya Afiff. Suraya Afiff menceritakan beberapa kasus yang pernah ditemuinya tentang asumsiasumsi yang dipertahankan oleh aktor-aktor pembangunan dan sekaligus melanggengkan ketidaksetaraan gender. Ketika mengevaluasi program pengembangan produksi kopi yang dilakukan oleh NGO di Lampung, Suraya Afiff menemukan bahwa NGO hanya mengundang laki-laki sebagai peserta pelatihan. Setelah ditanyakan alasannya, aktivis NGO menjawab, “Produksi kopi itu kan untuk bapak-bapak.” Padahal, setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata perempuan juga banyak berperan dalam pengelolaan kebun kopi. Aktivis NGO berasumsi tentang laki-laki sebagai satu-satunya pengelola kebun kopi atau pencari nafkah, sehingga mempertahankan ketidakadilan gender dalam program-program pembangunan. “Seringkali kita yang berasumsi, dan asumsi kita ada interseksi dengan kapitalisme tadi,” jelas Suraya Afiff.
2
https://en.wikipedia.org/wiki/African-American_Civil_Rights_Movement_%281954%E2%80%931968%29
II.
Perempuan sebagai Pejuang Agraria Maraknya industrialisasi di pelbagai penjuru dunia terus memperluas krisis ekologis.
Berbagai penelitian menemukan bahwa sekitar 24 % lahan di dunia telah mengalami degradasi dari 1981 hingga 2003 (Sassen 2014: 153). Selain efek pemanasan global sekitar 10 % terhadap permukaan dunia, berbagai limbah industri, seperti logam dan gas rumah kaca, juga semakin memperparah kerusakan lingkungan: banyak tanaman berhenti tumbuh atau berbuah akibat keracunan limbah industri. Namun, sebagaimana banyak dilakukan negara-negara lain, Pemerintah Indonesia mengembangkan megaproyek MP3EI yang memuluskan konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan sekaligus memperparah degradasi lingkungan dan merampas hak-hak petani atas sumber daya negara (Komnas HAM 2014: 110-112). Di banyak kasus konflik agraria, perempuan memiliki kepedulian lebih tinggi terhadap kerusakan lingkungan daripada laki-laki. Berbagai rangkaian protes terhadap pengrusakan hutan dan sumber air di India pada tahun 1970-an, yang lebih dikenal dengan gerakan Chipko, diprakarsai dan dimobilisasi oleh para perempuan; saat itu, perempuan lebih peduli pada keberlanjutan hutan, sedangkan mayoritas laki-laki cenderung mengambil kayu untuk bahan bangunan dan kepentingan pabrik lokal (Shiva 1988: 64-72). Begitu pula yang terjadi di Gujarat dan Nepal: berbeda dengan laki-laki yang masih bisa menunggu tumbuhnya kayu untuk kepentingan bangunan rumah yang tidak terlalu mendesak, perempuan berkepentingan mengambil kayu bakar untuk kebutuhan rumahtangga sehari-sehari, sehingga perempuan memiliki tanggung jawab lebih besar terhadap keberlanjutan hutan (Agarwal 2000: 299). Sebagaimana dijelaskan dalam diskusi sesi ketiga, perempuan lebih bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, ketimbang laki-laki yang cenderung mencurahkan tenaganya untuk menghasilkan uang (White 1984: 25; Preston 1987: 55; Chant 2007: 52; Ekowati dkk. 2009: 125-128; De Schutter 2013: 4; Khairina dan Valinda 2016: 69). Terdapat perbedaan pandangan dalam memahami kenapa perempuan memiliki kepedulian lebih tinggi untuk melindungi lingkungan secara kolektif ketimbang laki-laki. Sebagian peneliti mengungkapkan bahwa alasan perbedaan karakter tersebut terletak pada faktor biologis, sedangkan beberapa peneliti lainnya yang lebih baru mengungkapkan bahwa alasan perbedaannya terletak pada faktor historis dan kultural (Agarwal 2000: 298). Pandangan bahwa perempuan atau laki-laki memiliki sifat-sifat yang tetap merupakan corak pemikiran esensialis yang banyak dianut oleh feminisme gelombang pertama dan kedua. Sementara feminisme
gelombang ketiga lebih menekankan penelusuran berbagai proses historis yang membentuk struktur ekonomi-politik serta melahirkan keragaman karakteristik di antara perempuan dan lakilaki. Perempuan perkotaan atau perempuan kaya yang tidak banyak membutuhkan kayu bakar cenderung tidak terlalu peduli terhadap keberlangsungan hutan (Shiva 1988: 41; Agarwal 2000: 298). Di Rembang Jawa Tengah, meski banyak perempuan petani menolak perusahaan tambang untuk melindungi pertanian dan sumber air, namun ada juga perempuan pendidik yang mendukung perusahaan tambang untuk mengembangkan karirnya di dunia pendidikan formal yang difasilitasi oleh perusahaan tambang (Arofat 2016: 100). Selain terbiasa mengamankan kebutuhan sehari-hari melalui jejaring antarperempuan yang membentuk karakter kolektif perempuan (Agarwal 2000: 296), perempuan petani juga tersingkir dari struktur ekonomi-politik yang melanggengkan ketimpangan gender, berbeda dengan suaminya yang cenderung terperangkap dalam pola patronasi melalui kerja individual (Hart 1991: 104). “Kita melihat konteks-konteks perlawanan perempuan, bisa sama, bisa berbeda, karena tergantung dari lokal konteks”, ungkap Suraya Afiff sebagai narasumber diskusi sesi keenam.
III.
Daftar Pustaka Afiff, Suraya. 2017. Pengayaan Diskusi Kelompok Belajar Agraria dan Perempuan: Mengenal Konsep Feminisme. Materi presentasi dalam diskusi sesi keenam Kelompok Belajar Perempuan dan Perubahan Agraria di Kantor Rimbawan Muda Indonesia (RMI) Bogor, pada 27 Januari 2017. Agarwal, Bina. 2000. Conceptualising Environmental Collective Action: Why Gender Matters. Cambridge Journal of Economics, 24, hal. 283–310. Arofat, Syiqqil. 2016. Kontestasi Kuasa: Diskursus Sengketa Pembangunan Pabrik PT Semen Indonesia di Rembang. Tesis. Depok: Program Pascasarjana Sosiologi FISIP Universitas Indonesia. Chant, Sylvia. 2007. “Gender, Generation and Poverty: Exploring the „Feminisation of Poverty‟ in Africa, Asia and Latin America”. UK: Edward Elgar Publishing Limited. De Schutter, Olivier. 2013. The Agrarian Transition and the „feminization‟ of Agriculture. International Conference: Food Sovereignty: A Critical Dialogue, September 14-15, 2013. USA: Program in Agrarian Studies, Yale University. Ekowati, Dian, Anton Supriyadi, Denta Romauli, Slamet Mulyono, Eko Budi Wahyono, dan Sundung Sitorus. 2009. “Kelembagaan Produksi-Distribusi Pasca Okupasi dalam Perspektif Gender: Studi Kasus Dua Desa di Kabupaten Ciamis”, dalam Laksmi dkk. (ed), Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria dan Krisis Sosial Ekologi. Bogor: STPN & SAINS. Hart, Gillian. 1991. Engendering Everyday Resistance: Gender, Patronage and Production Politics in Rural Malaysia. Jurnal Peasant Studies, 19:1, hal. 93-121. London: Routledge. Khairina, Wina dan Valinda Vera. 2016. “Sampan Kecil Berpendayung Bambu (Tutur Perempuan Adat Dusun Lame Banding Agung Semende Memperjuangkan Tanah Adatnya)”, dalam Cahyono dkk (ed.), Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Inkuiri Nasional Komnas HAM. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 2014. Kajian MP3EI dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jakarta: KOMNAS HAM. Preston, David A. 1987. Too Busy to Farm: Under-utilisation of Farm Land in Central Java. The Journal of Development Studies. Sassen, Saskia. 2014. Expulsions: Brutality and Complexity in the Global Economy. Cambridge: the Belknap Press of Harvard University Press.
Shiva, Vandana. 1988. Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India. New Delhi: Kali For Women. White, Benyamin. 1984. Measuring Time Allocation, Decision-Making And Agrarian Changes Affecting Rural Women: Examples From Recent Research In Indonesia. IDS Bulletin, Vol. 5 No. I. Sussex: Institute of Development Studies.
Online African-American Civil Rights Movement (1954–1968). Diakses pada 23 Maret 2017 dari https://en.wikipedia.org/wiki/AfricanAmerican_Civil_Rights_Movement_%281954%E2%80%931968%29 Suffragette. Film. Diakses pada 23 https://en.wikipedia.org/wiki/Suffragette_%28film%29
Maret
2017
dari