Keairan
SIMULASI RUNUP GELOMBANG TANGGUL MUARA BARU (243A) Feril Hariati1 1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Ibn Khaldun Bogor, Jl.K.H. Sholeh Iskandar Km.2 Bogor Email:
[email protected]
ABSTRAK Muara Baru, Penjaringan, Jakarta merupakan kawasan rawan banjir pantai. Dalam kurun waktu setahun, kawasan Muara Baru dapat mengalami dua kali banjir pantai. Meskipun bangunan pelindung berupa tanggul pantai telah dibangun, tetapi banjir pantai tidak dapat diatasi. Ketinggian tanggul tidak cukup untuk menghalangi terjadinya wave overtopping yang pada akhirnya menggenangi daerah di belakang tanggul. Selain itu, stabilitas tanggul sangat rendah sehingga saat terkena hantaman gelombang, tanggul mengalami keruntuhan. Banjir pantai semakin menjadi masalah serius apabila faktor perubahan iklim dan kenaikan muka air laut diperhitungkan yang mengakibatkan kenaikan intensitas dan kekerapan badai serta surges. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap kondisi tanggul eksisting. Hasil analisis menunjukkan dengan ketinggian tanggul 2,00 m, hanya dapat mengakomodir kenaikan muka air laut sampai 1,5 m dengan kondisi gelombang kurang dari 0,5 m. Apabila gelombang yang terjadi lebih tinggi dari 0,5 m, maka perlu peninjauan ulang terhadap desain yang sudah ada. Kata kunci: banjir pantai, kenaikan muka air laut, runup gelombang, tanggul, muara baru
1. PENDAHULUAN Perubahan iklim sudah menjadi isu internasional beberapa tahun terakhir ini. Kawasan pantai menjadi kawasan yang paling rentan terhadap perubahan ini. Resiko akibat perubahan iklim dapat dirasakan akan tetapi kejadiannya tidak dapat dipastikan. Di antara dampak perubahan iklim yang mungkin terjadi, kenaikan muka air laut dan bencana alam seperti banjir dan badai akan memberikan dampak yang beragam dan besar, karena hampir 23% penduduk dunia tinggal pada radius 100 kilometer dari garis pantai dan memiliki elevasi kurang dari 100 m (Small dan Nicholls, 2003). Untuk negara kepulauan, ancaman kenaikan muka air laut memberikan dampak yang sangat serius bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, salah satunya adalah wilayah pesisir utara Jakarta. Meskipun masalah terjadinya kenaikan muka air laut masih diperdebatkan, akan tetapi kejadian bencana yang menimpa wilayah ini dapat dijadikan identifikasi awal bahwa dampak perubahan iklim sudah dapat dirasakan. Tercatat, pada bulan Mei 2007, kawasan pesisir Jakarta dihantam oleh gelombang pasang dan mengakibatkan rusaknya sekitar 2000 rumah penduduk (DPU, 2007). Bulan Juni tahun 2008, kembali banjir rob menggenangi wilayah ini (Metrotvnews, 2008). Pada tahun 2009, banjir rob terjadi pada bulan Oktober, November dan Desember dan menggenangi jalan-jalan di kawasan pantai utara setinggi 30-50 cm (Nurachman, 2009). Tahun 2010 bulan Juni, Kawasan Muara Baru, Penjaringan dilanda banjir rob. Kali ini banjir sampai memasuki kawasan pemukiman penduduk (Tiyo, 2010). Bulan Januari 2011, enam RW di kawasan Muara Baru, Penjaringan, kembali terendam banjir. Dua titik tanggul sepanjang 12 dan 15 meter tidak kuat menahan terjangan ombak air laut. Kedua titik tanggul tersebut yakni 15 meter menjadi tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi Jakarta, sedangkan yang 12 meter menjadi tanggung jawab Pelindo (Diputra, 2011). Sebagian besar penduduk pesisir Jakarta merupakan masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang menggantungkan hidupnya dari dari bahan-bahan yang didapat secara bebas di wilayahnya, dan secara tradisi sudah menjadi bagian dari hidupnya. Apabila muka air laut naik seperti yang telah diprediksikan dan masalah pesisir menjadi sangat buruk, maka sekelompok masyarakat harus melindungi kawasan pantainya untuk dapat melindungi kehidupannya. Oleh karena itu perlu dilakukan studi yang bertujuan untuk (1) menganalisis kondisi, dan (2) meninjau ulang ketinggian dari bangunan pelindung kawasan pantai utara Jakarta yang ada saat ini. Sebagai batasan masalah, studi difokuskan pada wilayah Muara Baru, Penjaringan, Jakarta.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 185
Keairan
2. AREA STUDI Geografi Provinsi DKI Jakarta memiliki pantai di sebelah utara yang membentang dari Barat sampai ke Timur sepanjang 35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan 2 buah kanal menuju ke Laut Jawa, dan merupakan kota terpadat di Indonesia yang diprediksikan menjadi peringkat ketujuh kota pantai terbesar di dunia pada tahun 2010 (Nicholls, 1995). Akan tetapi bila dilihat dari segi sosial dan ekonomi, 32% dari 16,24 juta penduduknya merupakan penduduk miskin yang tinggal di kawasan pesisir dengan pendapatan kurang dari USD 2 perhari (Pemprov Jakarta, 2012). Salah satu kawasan pemukiman padat yang berada di wilayah pesisir Jakarta adalah Muara Baru, yang menjadi fokus dalam studi ini. Ada dua alasan utama memilih Muara Baru, yaitu secara geografi, kawasan ini memiliki ketinggian kurang dari 1 m di atas permukaan laut dan dilalui oleh sungai, dan yang kedua secara sosial ekonomi, populasi di kawasan ini merupakan penduduk dengan tingkat ekonomi rendah atau memiliki pendapat kurang dari upah minimum, dengan demikian kondisi penduduk di wilayah ini sangat rentan terhadap bencana iklim dan sangat memerlukan bangunan perlindungan pantai untuk mengurangi dampak dari bencana tersebut.
Hidrologi dan Meteorologi Suhu maksimum di Jakarta Utara mencapai 31,9oC dan minimum 25,9oC dengan suhu rerata 28,4oC pada tahun 2011 (BPS Provinsi DKI Jakarta,2012). Curah hujan mencapai 1.189,2 mm/tahun pada tahun 2011, tertinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya dengan bulan yang paling basah adalah Februari. Kecepatan angin mencapai 4,9 m/dtk dengan arah dominan timur laut.
Metodologi Investigasi Untuk mendapatkan informasi mengenai pasang surut, tinggi gelombang, kondisi eksisting dari tanggul pada kawasan Muara Baru, dilakukan pengumpulan data dan survey lapangan yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Teknik Sipil, Universitas Ibn Khaldun Bogor. Alur kerja penelitian disajikan pada gambar 1.
Gambar 12 Alur Kerja
3. TANGGUL LAUT Tanggul (dike) laut adalah bangunan pelindung pantai yang berfungsi untuk melindungi kawasan yang berada di belakangnya dari banjir, baik banjir permanen maupun banjir sementara. Banjir permanen terjadi apabila tanah yang berada di belakangnya memiliki ketinggian yang lebih rendah dibandingkan muka air laut normal. Sedangkan banjir non permanen terjadi bila tanah berada di atas ketinggian muka air laut normal akan tetapi berada di bawah permukaan air banjir. Perencanaan tanggul laut tidak bisa dikatakan mudah, karena parameter desain yang sangat bervariasi; gelombang, pasang surut, dan kondisi badai. Tanggul laut harus mampu menahan kombinasi gaya yang diakibatkan oleh muka air tinggi dan gelombang (saat terjadi badai) dalam waktu yang cukup pendek yaitu saat kurva pasang surut mencapai titik tertinggi. Kenaikan muka air laut sangat cepat dan sulit diprediksi. Kejadian badai dapat diramalkan Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 186
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Keairan
paling tidak 48 jam sebelumnya, akan tetapi memprediksi ketinggian gelombang yang diakibatkan oleh badai dapat menjadi suatu masalah. Menentukan tinggi gelombang di laut saat terjadi badai merupakan hal yang mungkin dilakukan, akan tetapi menentukan tinggi gelombang di dekat pantai bukan hal yang mudah. Oleh karena itu dalam merencanakan tanggul laut, tinggi gelombang rencana untuk menentukan gelombang run-up merupakan kombinasi dari beberapa parameter elevasi muka air antara lain tinggi gelombang significant, elevasi pasang surut dan gelombang saat terjadi badai (Verhagen, 1998)
4.
RUN UP GELOMBANG
Run-up gelombang adalah tinggi vertikal maksimum dari gelombang yang mengenai pantai atau struktur pantai (Sorensen, 1997). Elevasi tanggul laut yang direncanakan ditentukan oleh tinggi run-up maksimum (gambar 2). Run-up tergantung pada bentuk dan kekasaran material yang digunakan, kedalaman muka air pada kaki bangunan, kemiringan dasar laut di depan bangunan, dan karakteristik gelombang, dengan demikian perhitungan dengan analitis sangat sulit dilakukan.
Gambar 13 Definisi run up gelombang Ada dua jenis nilai run-up gelombang, gelombang run-up rerata dan gelombang run-up 2%. Gelombang run-up rerata adalah adalah tinggi run-up rerata (R) untuk semua gelombang hasil pengamatan, sedangkan gelombang runup 2% (R2%) adalah tinggi gelombang run-up yang hanya 2% dari semua gelombang hasil pengamatan dapat dicapai atau terlewati. Menurut TAW (2002), tinggi run-up 2% dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut: 1 dengan maksimum run-up:
2
dan
dengan Ru2% Hs A γb γf γβ ξ α B C T
3
= tinggi run-up untuk gelombang 2% (m) = tinggi gelombang significant (m) = koefisien tanpa dimensi = 1,75 = faktor koreksi bahu tanggul = 0,6 – 1,0 = faktor kekasaran, untuk beton = 1,0 = faktor koreksi untuk gelombang datang membentuk sudut = parameter gelombang pecah = sudut kemiringan bahu tanggul (o) = koefisien tanpa dimensi = 4.3 = koefisien tanpa dimensi = 1.6 = periode gelombang
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 187
Keairan
5. PARAMETER DESAIN Tanggul Muara Baru mengalami dua kali keruntuhan, yaitu pada tahun 20 Januari 2008 (KLH, 2008) dan pada 18 Januari 2011 (VivaNews,2011). Survey lapangan dilakukan pada rentang bulan Oktober-Desember 2012. Dengan demikian parameter perencanaan difokuskan pada kejadian bulan Januari 2011.
Elevasi Pasang Surut Kawasan pantai utara Jakarta lebih dikenal sebagai Teluk Jakarta memiliki pola pasang surut campuran condong harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal), yaitu dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda (Triatmodjo, 1996). Pasang tinggi terjadi setiap tanggal 1 dan 15 (kalender Hijriah) yang sering disebut dengan pasang purnama (pasang besar, spring tide). Data elevasi pasang surut di perairan utara Jakarta dapat diperoleh di www.mobilegeographic.com dengan stasiun pengukur berada di Tanjung Priok. Berdasarkan data, pasang purnama pada bulan Januari 2011 jatuh pada tanggal 2 dan 18 penanggalan masehi. Tanggal 2 Januari 2011, muka air tertinggi mencapai 1.13 m dan tanggal 18 mencapai 1.11 m dan muka air laut rerata mencapai 0.62 m (gambar 3). Dengan demikian elevasi muka air pasang tinggi dihitung dari muka air laut rerata adalah 0.51 m (tanggal 2) dan 0.49 m (tanggal 18).
Gambar 14 Kurva pasang surut bulan Januari 2011 Ditinjau dari elevasi muka air pada saat pasang tinggi (spring tide), pasang pada tanggal 18 Januari 2011, dengan kisaran elevasi muka air antara 0.4-0.5 m seharusnya tidak mengakibatkan terjadinya limpasan.
Gelombang Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BMKG, pada bulan Januari 2011, tinggi gelombang rerata di kawasan perairan pantai utara Jakarta berkisar antara 1.5 sampai 2.0 m. Gelombang tinggi yang diikuti dengan pasang tinggi inilah yang dapat mengakibatkan terjadinya limpasan.
Kenaikan Muka Air Laut Kenaikan muka air laut dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu akibat; (a) pasang surut; (b) tsunami; (c) seiches; dan (d) set-up gelombang. Kenaikan muka air laut ini bersifat sementara dan akan surut dalam beberapa jam atau hari, dan merupakan peristiwa alam yang umum terjadi di daerah pantai. Beberapa peristiwa kenaikan muka air laut dapat mengakibatkan kerusakan kawasan pantai dan sangat tergantung dengan tingkat kekuatan energi gelombang yang datang. Kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim bersifat permanen, sehingga kawasan pantai yang memiliki elevasi lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan muka air laut hilang. Muka air laut naik antara 10 sampai 25 cm dalam satu abad terakhir ini dan diperkirakan akan mencapai 50 cm pada tahun 2100 (Warrick, 1996). Studi yang dilakukan oleh Nicholls (2005), kenaikan muka air laut mencapai 0.5 m pada tahun 2100 apabila tidak dilakukan skenario mitigasi. Sedangkan dengan menggunakan dua skenario mitigasi, kenaikan muka air laut setinggi 0,5 m terjadi pada tahun 2130 dan 2160. Berdasarkan data pasang surut, elevasi muka air tinggi tertinggi (highest high water level) mengalami dua kali kenaikan (Gambar 4), yang siklusnya tidak beraturan. Kondisi ini dijadikan sebagai dasar pemikiran bahwa kenaikan muka air laut memang telah terjadi, meskipun tidak significant. Untuk keperluan perencanaan, kenaikan muka air laut direncanakan sebesar 20 cm. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 188
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Keairan
Desain Tanggul Existing Tanggul yang jebol berada di sepanjang kawasan industr0 dan pelabuhan ikan (Gambar 15). Tanggul awalnya didesain untuk melindungi bangunan yang berada di belakangnya agar tidak terkena gelombang serta mencegah terjadinya erosi.
Gambar 15 Lokasi dan desain tanggul yang jebol
6.
DISKUSI DAN HASIL
Kejadian rusaknya tanggul di kawasan Muara Baru, Jakarta terjadi pada bulan awal bulan Januari 2011. Untuk mengurangi dampak banjir rob, maka pemerintah daerah membangun kembali tanggul di sepanjang pantai Muara Baru. Apabila suatu bangunan pelindung pantai dibangun, maka pada waktu gelombang menghantam bangunan tersebut, gelombang tersebut akan naik (run up) pada permukaan bangunan tersebut. Elevasi puncak bangunan sangat tergantung pada nilai run up. Untuk mengevaluasi kelayakan tanggul yang akan dibangun maka parameter tinggi muka air yang digunakan adalah tinggi muka air laut saat kejadian. Simulasi dilakukan untuk mengetahui apakah ketinggian tanggul mampu mengakomodasi kenaikan muka air laut serta kemungkinan terjadinya run-up gelombang. Perhitungan run up gelombang dilakukan dengan menggunakan bantuan program CRESS (Coastal and River Engineering Suport System) yang merupakan open source software, sehingga dapat diakses dengan mudah oleh pihak pengguna. Variabel yang berubah adalah ketinggian muka air di depan tanggul, yang bervariasi antara 0,3 sampai 1,5 m, karena pada saat pasang elevasi muka air mencapai 1,13 m, dan dengan menganggap terjadi kenaikan muka air sebesar 20 cm, maka maksimum tinggi muka air di depan tanggul adalah 1,33 m. Variable gelombang significant yang bervariasi dari 0,5 sampai 1,5 m dengan interval per 0,25 m. Hasil simulasi disajikan pada Error! Reference source not found.. Gambar 5 menampilkan grafik hasil simulasi dengan kondisi batas lebar bahu bangunan pelindung sesuai dengan rencana, yaitu 0,3 m. Untuk tinggi gelombang 0,5 m, run up gelombang masih lebih rendah dari puncak bangunan. Pada saat tinggi gelombang lebih dari 0.5 m, maka puncak bangunan akan dilewati oleh run up gelombang dan menggenangi kawasan yang berada di belakangnya.
Gambar 16. Simulasi run-up gelombang pada tanggul
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 189
Keairan
7. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis, bangunan pelindung pantai saat ini hanya mampu mengakomodasi kondisi normal. Yaitu saat gelombang significant berada pada kisaran 0-0,5 m, akan tetapi bila tinggi gelombang Bila gelombang Untuk menghadapi kenaikan muka air laut yang disertai dengan cuaca ekstrem seperti gelombang tinggi, maka bangunan tersebut tidak dapat melindungi kawasan yang berada di belakangnya. Beberapa hal yang dapat disarankan untuk melindungi kawasan pantai Muara Baru 1. Mengingat kawasan Muara Baru merupakan kawasan padat penduduk, pendekatan adaptasi dengan cara “protection” merupakan cara yang paling dapat diterima dibandingkan dengan cara accomadate (menyesuaikan diri) maupun retreat (mundur). 2. Secara morfologi, kawasan perairan Muara Baru merupakan pantai dangkal dan terlindungi oleh dua areal yang menjorok ke laut, yaitu kawasan Pantai Mutiara dan kawasan Industri Muara Baru yang merupakan hasil reklamasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah reklamasi tersebut mempengaruhi pola arus dan gelombang pada kawasan perairan pantai Muara Baru.
DAFTAR PUSTAKA Astuti, S, Utami, T & Yadhakersa, W 2006, Investigasi Dampak Kenaikan Air Laut di Kota Jakarta, Proceeding Studi Dampak Timbal Balik Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global. pp 309-342. Diputra 2011, Apartemen Biangkerok Banjir Rob Jakarta. Diunduh dari
. [22 Januari 2011] Farrel, Gerard 2002, Coastal Flooding And Tidal Surges, Proceeding of National Hydrology Seminar. pp. 58-68. Diunduh di [1 Januari, 2009] IPCC, 2001. Summary for Policymakers. In: Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Houghton, J.T.,Y. Ding, D.J. Griggs, M. Noguer, P.J. van der Linden, X. Dai, K. Maskell, and C.A. Johnson (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. IPCC, 2007: Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E.Hanson, Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK, 976pp. Ministry of Environment 2010, Indonesia Second National Communication Under The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Government of Indonesia, Jakarta Nicholls, Robert J. 2005. Climate stabilization and impact of sea level rise. International Scientific Symposium: Avoiding Climate Change, Hadley Centre, Exeter, 1-3 February 2005. Ritonga, Arnes. 2011. Ombak Besar, Dua Tanggul di Jakut Jebol. Koran Metro, 19 Januari 2011. Triadmodjo, Bambang. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta Tiyo 2010, Banjir Rob Landa Penjaringan, Pos Kota Online. Diunduh dari < http://m.poskota.co.id/beritaterkini/2010/06/25/banjir-rob-landa-penjaringan>. [25 Juni 2010] TAW (2002) Technical Report Wave Run-up and Overtopping at Dikes, Technical Advisory Committee for Water Defences, The Netherlands USGS 2005, Sedimentation, Sea-Level Rise, and Circulation in Florida Bay, Government of America. Diunduh di http://sofia.usgs.gov/projects/index.php?project_url=circulation [21 Oktober 2008] Wisben, Arben 2007, Banjir Penjaringan November 2007, Diunduh dari < http://acfdpjktbhs.blogspot.com/2007/12/banjir-penjaringan-november-2007.html> [5 Februari, 2011]
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 190
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013