Simulasi Pajak Ekspor Kelapa, Kakao, Jambu Mete dan Tarif Impor Terigu
1. Kelapa Luas areal, produksi dan produktivitas kelapa Indonesia dalam dua tahun terakhir cenderung stabil. Jumlah kelapa yang terserap pasar ekspor mencapai sekitar 30 persen dari produksi pada tahun 2009. Meskipun demikian Indonesia juga mengimpor kelapa. Tabel 1. Produksi, luas areal dan produktivitas kelapa (2009-2010) Keterangan Luas areal (000 ha) Produksi (000 ton) Produktivitas (kg/ha) Volume ekspor (000 ton) Volume impor (000 ton) % Ekspor terhadap produksi Sentra Produksi (berdasarkan urutan tingkat produksi), 2009
2009
2010 3.807,65 3.810,65 3.247,38 3.263,46 853 865 957,52 3,87 29,49 Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi
Pada tahun 2009 ekspor kelapa mencapai satu juta ton dengan nilai sebesar US$ 490 juta. Berdasarkan data volume ekspor 2009, diketahui bahwa ekspor kelapa didominasi oleh minyak kelapa mentah dengan persentase mencapai 42 persen dari total ekspor kelapa. Produk kelapa berikutnya yang mendominasi ekspor adalah bungkil kelapa, mencapai 21 persen. Di posisi ketiga adalah minyak kelapa yang dimurnikan dengan persentase 13 persen. Pada posisi keempat dengan persentase sebesar 10 persen dari total volume ekspor kelapa adalah kelapa segar utuh. Produk kelapa yang lain pangsa ekspornya di bawah 5 persen dari total volume, antara lain adalah kelapa parut, serat kelapa dan batok kelapa.
Tabel 2. Ekspor Kelapa, 2009 Uraian produk Kelapa Minyak Kelapa Mentah Bungkil dari kelapa atau kopra Minyak Kelapa yang dimurnikan Kelapa segar, utuh
Persentase Persentase Nilai (US$) (%) (%) 957.516.864 100% 489.885.004 100%
Kode HS
Volume (Kg)
1513110000
400.934.430
41,9% 270.828.013
2306500000
197.365.763
20,6%
23.239.630
4,7%
1513192000 0801190000
131.902.410 99.798.344
13,8% 101.026.867 10,4% 32.122.186
20,6% 6,6%
55,3%
Kelapa diparut dan dikeringkan Kopra Serat kelapa, lain-lain Serat kelapa, mentah Minyak kelapa, lainlain: Fraksi dari minyak kelapa tidak dimurnikan Batok kelapa
0801110000 1203000000 5305000019 5305000011
46.145.206 38.400.671 14.130.565 12.613.251
4,8% 4,0% 1,5% 1,3%
37.106.922 7.685.948 3.016.378 2.512.344
7,6% 1,6% 0,6% 0,5%
1513199000
11.267.148
1,2%
8.612.005
1,8%
1513191000 1404200000
4.412.214 546.862
0,5% 0,1%
3.336.360 398.351
0,7% 0,1%
Indonesia juga mengimpor kelapa beserta produknya. Meskipun volume dan nilainya relatif kecil atau sebesar 0,5 persen dari total ekspor kelapa itu sendiri. Produk yang banyak diimpor adalah kelapa segar utuh, dengan persentase 85 persen dari total volume impor. Namun jumlah kelapa segar utuh yang diimpor hanya berkisar 3 – 5 persen dari volume ekspor. Produk kelapa impor yang lain adalah yang lain kelapa parut, kopra dan minyak kelapa.
Tabel 3. Impor Kelapa, 2009 Uraian produk Kelapa Kelapa segar, utuh Kelapa diparut dan dikeringkan Minyak kelapa, lain-lain: Kopra Minyak Kelapa Mentah Bungkil dari kelapa atau kopra Serat kelapa, mentah Fraksi dari minyak kelapa tidak dimurnikan Minyak kelapa yang dimurnikan Batok, kelapa Serat kelapa, lain-lain
0801190000
Volume (Kg) 3.866.806 3.303.513
Persentase (%) 100% 85,4%
2.296.454 1.767.658
Persentase (%) 100% 77,0%
0801110000 1513199000 1203000000 1513110000
244.242 177.586 54.740 53.229
6,3% 4,6% 1,4% 1,4%
357.562 112.307 11.012 29.392
15,6% 4,9% 0,5% 1,3%
2306500000 5305000011
18.000 14.199
0,5% 0,4%
564 9.551
0,0% 0,4%
1513191000
760
0,0%
2.984
0,1%
1513192000 1404200000 5305000019
390 147 0
0,0% 0,0% 0,0%
2.664 2.760 0
0,1% 0,1% 0,0%
Kode HS
Nilai (US$)
Harga kopra di pasar domestik di tingkat petani sebelum 2008 berkisar Rp 1.500 – Rp. 2.300 per kilogram. Pada tahun 2008 terjadi lonjakan harga kopra di dalam negeri dan mencapai 200 persen, menjadi sebesar Rp 5.125 per kilogram. Harga kopra domestik di tingkat perdagangan besar 2
cenderung fluktuatif selama periode 2004 – 2009, tetapi tidak setajam fluktuasi harga di tingkat petani. Kecenderungan harga kopra di tingkat petani dalam pasar domestik sejalan dengan perkembangan harga di pasar internasional dalam periode yang sama. Hal ini berkebalikan dengan perkembangan harga minyak kelapa di pasar dunia yang justru menurun tajam pada tahun 2008 bahkan hanya tinggal US$ 14,5 per metric ton dari semula di atas US$ 500 per metric ton (2006).
Tabel 4. Perkembangan Harga Kelapa, 2001-2009 Komoditi Domestik - Kopra, di tingkat petani - Kopra, di tingkat pedagang besar Dunia - Minyak kelapa - Kopra
Unit Rp/Kg
2001
2002
2008
2009
1.575 1.663 1.810 1.959 2.289 1.963 1.994 5.125
-
Rp/Kg
-
-
US$/mt US$/mt
201
266
2003
2004
2005
2006
2007
- 3.163 2.800 2.733 4.033 5.780 3.712
300
661 450
617 414
585 389
- 14,5 15,2 - 1.243 1.558
Hasil simulasi penerapan pajak ekspor optimum sebesar 6.12%, dimana petani kelapa diperkirakan mendapat keuntungan sekitar 25% (sebagai nilai yang layak) adalah sebagai berikut : 1. Harga Perdagangan Besar akan turun sebesar 12,19% (Rp. 704.88) dari semula Rp. 5780 menjadi Rp. 5072.12. 2. Hal yang sama juga terjadi untuk harga produsen dimana harga produsen mengalami penurunan dari semula Rp. 5125 menjadi Rp. 4500 3. Penerapan pajak ekspor sebesar (6.12%) selanjutnya berdampak pada permintaan kelapa yang cenderung meningkat akibat diberlakukannya pajak ekspor. Tingkat peningkatan permintaan mencapai sebesar 15,9% atau dari 503.6 ribu ton menjadi 583.78 ribu ton 4. Hal sebaliknya terjadi pada sisi penawaran dimana jumlah penawaran atau ketersediaan dalam negeri akan turun sedikit yaitu 0,42% atau dari 1461.2 ribu ton menjadi 1454.98 ribu ton. 5. Penerapan pajak ekspor cenderung akan membuat para ekporter menurunkan volumenya yang selanjutnya akan mengakibatkan volume ekspor turun sebesar 86.32 ribu ton dari 957.5 ribu ton menjadi 871,2 ribu ton. 6. Efek selanjutnya adalah peningkatan surplus konsumen dalam arti konsumen mendapatkan dampak positif dari penerapan pajak ekspor kelapa sebesar 6,12% tersebut. Surplus konsumen naik sebesar Rp 383.25 milyar
3
7. Sebaliknya, produsen kelapa akan mengalami dampak negatif dari penerapan pajak ekspor kelapa tersebut dimana produsen menghadapi penurunan surplus sebesar Rp. 1.03 trilliun. 8. Penerimaan pemerintah akibat adanya pajak ekspor adalah sebesar Rp. 614.09 milyar. 9. Secara keseluruhan dampak penerapan pajak ekspor kelapa terhadap perekonomian atau menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebesar Rp. 34.76 milyar.
Asumsi yang digunakan pada simulasi pajak ekspor kelapa dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis dampak penerapan pajak ekspor optimum) terhadap keseimbangan di pasar domestik dan perubahan tingkat kesejahteraan konsumen, produsen dan penerimaan pemerintah dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 5. Asumsi Yang digunakan dalam simulasi pajak Ekspor kelapa Uraian Harga dunia (FOB) ($/ton) Harga border (fob,Indonesia) (US$/ton) Nilai tukar (Rp/US$) Harga Border (fob,Indonesia) (Rp/kg) Harga ekspor pd t0(Rp/kg) Harga retail aktual pada t0(Rp/kg)2006 Harga produsen pada t0 (Rp/kg) Produksi (000ton) ekspor (000ton) Permintaan (000ton) Elastisitas permintaan Elastisitas penawaran Elastisitas Transmisi harga dari retail ke petani
% PW CIF ER PCIF PR PRA PP0 Qs0 Qm0 Qdo Ed Es Ep
4
Nilai 1243.0 1265.0 9100.0 11511.5 14331.8 5780.0 5125.0 1461.2 957.5 503.6 -1.3050 0.0346 1.0000
Tabel 6. Dampak Penerapan Pajak Ekspor Kelapa Uraian
Label
Pajak Ekspor (%) Perubahan harga retail (Rp/kg) harga retail pada t1 (Rp/kg) % perubahan harga retail (%) %Perubahan harga produsen (%) Perubahan harga produsen (Rp/kg) Harga produsen pada t1(Rp/kg) Efek terhadap permintaan (%) Perubahan jumlah permintaan (000ton) Permintaan pada t1(000ton) Efek terhadap penawaran (%) Perubahan jumlah penawaran (000ton) Penawaran pada t1(000ton) Jumlah ekspor pada t1(000ton) Efek terhadap jumlah ekspor (000ton) Efek terhadap surplus konsumen (juta Rp) Efek terhadap surplus produsen (juta Rp) Efek terhadap penerimaan pemerintah(juta Rp) Efek terhadap surplus bersih (juta Rp)
dT dPR PR1 %dPR %dPF dPF PF1 %dQd dQd Qd1 %dQs dQSp QSp1 Qm1 dQm dCS dPS dGR dNS
5
Nilai 6.12 704.87 5075.12 -12.19 -12.19 -625 4500 15.91463 80.15087 583.7809 -0.42195 -6.16534 1454.98 871.2038 -86.3162 383246 -1032105 614092 -34767
2. Jambu Mete Luas areal, produksi dan produktivitas jambu mete dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan dalam jumlah kecil. Produksi pada tahun 2009 sebesar 155 ribu ton dan 49 persennya diekspor. Produktivitas jambu mete pada tahun 2009 menurun dibandingkan dengan tahun 2008. Tabel 7. Produksi, luas areal dan produktivitas jambu mete, 2005-2009 Keterangan Luas areal (000 ha) Produksi (000 ton) Produktivitas (kg/ha) Volume ekspor (000 ton) Volume impor (000 ton) % Ekspor terhadap produksi Sentra Produksi (berdasarkan urutan tingkat produksi)
2005 572,9 134,8 23.53 -
2006 569,9 149,0 26.14 -
2007 570,2 146,0 25.61 -
2008 572,7 156,4 27.31 -
2009 593,7 155,3 26.16 76,42 2,72
49,21 Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur
Pada tahun 2009, ekspor dan impor jambu mete Indonesia didominasi kacang mete berkulit dengan ekspor sebesar 76,42 ribu ton dan impor sebesar 2,72 ribu ton atau sebesar 3,6 persen dari volume ekspor. Dari sisi nilai, ekspor masih didominasi kacang mete berkulit (77,3 persen), sedangkan dari sisi impor kacang mete dikuliti lebih dominan, yaitu sebesar 53,1 persen dari total nilai impor jambu mete.
Tabel 8. Ekspor Jambu Mete, 2009 Uraian produk Jambu Mete Kacang mete berkulit Kacang mete dikuliti
76.415.693
Persentase (%) 100%
0801310000
68.006.454
0801320000
8.409.239
Kode HS
Volume (Kg)
6
89.207.548
Persentase (%) 100%
89,0%
68.941.678
77,3%
11,0%
20.265.870
22,7%
Nilai (US$)
Tabel 9. Impor Jambu Mete, 2009 Uraian produk Jambu Mete Kacang mete berkulit Kacang mete dikuliti
Kode HS
Volume (Kg)
Persentase (%)
Nilai (US$)
Persentase (%)
2.723.758
100%
3.997.415
100%
0801310000
2.247.478
82,5%
1.876.315
46,9%
0801320000
476.280
17,5%
2.121.100
53,1%
Hasil simulasi penerapan pajak ekspor optimum sebesar 30.8%, dimana petani jambu mete diperkirakan mendapat keuntungan sekitar 25% (sebagai nilai yang layak) adalah sebagai berikut :
1. Harga Konsumen akan turun sebesar 32,57% atau Rp. 15797 dari semula Rp. 48500 menjadi Rp. 32702.9. 2. Hal yang sama juga terjadi untuk harga produsen dimana harga produsen mengalami penurunan dari semula Rp. 35000 menjadi Rp. 23600 3. Penerapan pajak ekspor sebesar 30.8% selanjutnya berdampak pada permintaan jambu mete yang cenderung meningkat akibat diberlakukannya pajak ekspor. Tingkat peningkatan permintaan mencapai sebesar 23,6% atau dari 78.9 ribu ton menjadi 97.5 ribu ton 4. Hal sebaliknya terjadi pada sisi penawaran dimana jumlah penawaran atau ketersediaan dalam negeri akan turun sedikit yaitu 0,9% atau dari 155.3 ribu ton menjadi 153.9 ribu ton. 5. Penerapan pajak ekspor akan membuat para ekporter menurunkan volumenya yang selanjutnya akan mengakibatkan volume ekspor turun sebesar 20.2 ribu ton dari 76.4 ribu ton menjadi 56,2 ribu ton. 6. Efek selanjutnya adalah peningkatan surplus konsumen dalam arti konsumen mendapatkan dampak positif dari penerapan pajak ekspor jambu mete sebesar 30,8% tersebut. Surplus konsumen naik sebesar Rp 1.39 triliun. 7. Sebaliknya, produsen jambu mete akan mengalami dampak negatif dari penerapan
pajak
ekspor jambu mete tersebut dimana produsen menghadapi penurunan surplus sebesar Rp. 2.46 trilliun. 8. Penerimaan pemerintah akibat adanya pajak ekspor adalah sebesar Rp. 891 milyar. 9. Secara keseluruhan dampak penerapan pajak ekspor jambu mete akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebesar Rp. 179.34 milyar.
7
Asumsi yang digunakan pada simulasi pajak ekspor jambu mete dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil analisis dampak penerapan pajak ekspor optimum) terhadap keseimbangan di pasar domestik dan perubahan tingkat kesejahteraan konsumen, produsen dan penerimaan pemerintah dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 10. Asumsi Yang digunakan dalam simulasi pajak Ekspor Jambu Mete Uraian Harga dunia (FOB) (US$/ton) Harga border (fob,Indonesia) (US$/ton) Nilai tukar (Rp/US$) Harga Border (fob,Indonesia) (Rp/kg) Harga ekspor pd t0(Rp/kg) Harga retail aktual pada t0(Rp/kg)2006 Harga produsen pada t0 (Rp/kg) Produksi (000ton) ekspor (000ton) Permintaan (000ton) Elastisitas permintaan Elastisitas penawaran Elastisitas Transmisi harga dari retail ke petani
Label PW CIF ER PCIF PR PRA PP0 Qs0 Qm0 Qdo Ed Es Ep
8
Nilai 5600.0 5622.0 9100.0 51160.2 63694.4 48500.0 35000.0 155.3 76.4 78.9 -0.7260 0.0267 1.0000
Tabel 11. Dampak Penerapan Pajak Ekspor Jambu Mete Uraian Pajak Ekspor (%) Perubahan harga retail (Rp/kg) harga retail pada t1 (Rp/kg) % perubahan harga retail (%) %Perubahan harga produsen (%) Perubahan harga produsen (Rp/kg) Harga produsen pada t1(Rp/kg) Efek terhadap permintaan (%) Perubahan jumlah permintaan (000ton) Permintaan pada t1(000ton) Efek terhadap penawaran (%) Perubahan jumlah penawaran (000ton) Penawaran pada t1(000ton) Jumlah ekspor pada t1(000ton) Efek terhadap jumlah ekspor (000ton) Efek terhadap surplus konsumen (juta Rp) Efek terhadap surplus produsen (juta Rp) Efek terhadap penerimaan pemerintah(juta Rp) Efek terhadap surplus bersih (juta Rp)
Label dT dPR PR1 %dPR %dPF dPF PF1 %dQd dQd Qd1 %dQs dQSp QSp1 Qm1 dQm dCS dPS dGR dNS
9
Nilai 30.9 -15797 32703 -32.57 -32.57 -11400 23600 23.65 18.65 97.54 -0.87 -1.35 153.95 56.41 -20.00 1393496 -2463964 891126 -179341
3. Kakao Tujuan dari pengenaan BK kakao adalah mendorong industri hilir produk pertanian. Pembedaan antara produk hulu dan hilir ini diharapkan dapat memberi insentif bagi pengembangan industri dalam negeri menganggu stabilitas harga di tingkat petani.
Tabel 12. BK progresif biji kakao mengikuti harga referensi CIF New York Harga Biji Kakao (AS$/Ton) <2.000 2.000 – 2.750 2.751 – 3.500 >3.500
Bea Keluar (%) 0 5 10 15
Berdasarkan perkembangan gambar di atas, diketahui bahwa volume ekspor kakao dan produk kakao setelah 1 April sangat berfluktuasi. Sejak diberlakukan BK bahkan semua volume ekspor mengalami peningkatan tajam. Selama tahun 2008 volume ekspor coklat (HS 18.06) telah mendominasi volume eskpor produk kakao disusul bubuk kakao (HS 18.05), lemak kakao (HS 18.04), pasta kakao (HS 18.03), kulit kakao (HS 18.02) dan biji kakao (HS 18.01). Memasuki tahun 2009 perbedaan volume ekspor antar produk kakao dalam semester pertama relatif kecil, namun dalam semester dua 2009 perbedaan volume ekspor antar produk kakao relatif signifikan sebagaimana yang terjadi dalam tahun 2008. Di daerah sentra produksi, Kabupaten Luwu Utara, pada awal pemberlakuan BK biji kakao harga biji kakao asalan di tingkat produsen dan pedagang pengumpul justru meningkat namun secara umum pergerakan harga mengikuti kecenderungan yang terjadi selama tahun 2010, dimana harga biji kakao asalan di daerah sentra produksi cenderung menurun baik di tingkat produsen maupun pedagangan pengumpul. Secara kualitatif kecenderungan harga ini dapat mengindikasikan telah terjadi integrasi harga antara harga domestik (sentra produksi) dengan pasar dunia.
10
Perkembangan volume dan ekspor kakao, Januari 2008 – Oktober 2010. Hasil simulasi penerapan pajak ekspor optimum sebesar 3.74%, dimana petani kakao diperkirakan mendapat keuntungan sekitar 25% (sebagai nilai yang layak) adalah sebagai berikut :
1. Harga Konsumen akan turun sebesar 11,66% atau Rp. 1650 dari semula Rp. 15136 menjadi Rp. 13371. 2. Hal yang sama juga terjadi untuk harga produsen dimana harga produsen mengalami penurunan dari semula Rp. 14150 menjadi Rp. 12500 3. Penerapan pajak ekspor sebesar 3.74% selanjutnya berdampak pada permintaan kakao yang cenderung meningkat akibat diberlakukannya pajak ekspor. Persentase peningkatan permintaan mencapai sebesar 10,91% atau dari 242.9 ribu ton menjadi 269.4 ribu ton 4. Hal sebaliknya terjadi pada sisi penawaran dimana jumlah penawaran atau ketersediaan dalam negeri akan turun sedikit yaitu 0,4% atau dari 758.4 ribu ton menjadi 755.35 ribu ton. 5. Penerapan pajak ekspor akan membuat para ekporter menurunkan volumenya yang selanjutnya akan mengakibatkan volume ekspor turun sebesar 29.56 ribu ton dari 515.5 ribu ton menjadi 485,94 ribu ton. 6. Efek selanjutnya adalah peningkatan surplus konsumen dalam arti konsumen mendapatkan dampak positif dari penerapan pajak ekspor kakao sebesar 3,74% tersebut. Surplus konsumen naik sebesar Rp 452.11 miliun.
11
7. Sebaliknya, produsen kakao akan mengalami dampak negatif dari penerapan pajak ekspor kakao tersebut dimana produsen menghadapi penurunan surplus sebesar Rp. 1.34 trilliun. 8. Penerimaan pemerintah akibat adanya pajak ekspor adalah sebesar Rp. 857.67 milyar. 9. Secara keseluruhan dampak penerapan pajak ekspor kakao akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebesar Rp. 31.48 milyar.
Asumsi yang digunakan pada simulasi pajak ekspor kakao dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil analisis dampak penerapan pajak ekspor optimum) terhadap keseimbangan di pasar domestik dan perubahan tingkat kesejahteraan konsumen, produsen dan penerimaan pemerintah dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 13. Asumsi Yang digunakan dalam simulasi pajak Ekspor KAkao Uraian Harga dunia (FOB) (US$/ton) Harga border (fob,Indonesia) (US$/ton) Nilai tukar (Rp/US$) Harga Border (fob,Indonesia) (Rp/kg) Harga ekspor pd t0(Rp/kg) Harga retail aktual pada t0(Rp/kg)2006 Harga produsen pada t0 (Rp/kg) Produksi (000ton) ekspor (000ton) Permintaan (000ton) Elastisitas permintaan Elastisitas penawaran Elastisitas Transmisi harga dari retail ke petani
Label PW CIF ER PCIF PR PRA PP0 Qs0 Qm0 Qdo Ed Es Ep
12
Nilai 5161.4 5183.4 9100.0 47168.9 58725.3 15136.0 14150.0 758.4 515.5 242.9 -0.9357 0.0346 1.0000
Tabel 14. Dampak Penerapan Pajak Ekspor Kakao Uraian Pajak Ekspor (%) Perubahan harga retail (Rp/kg) harga retail pada t1 (Rp/kg) % perubahan harga retail (%) %Perubahan harga produsen (%) Perubahan harga produsen (Rp/kg) Harga produsen pada t1(Rp/kg) Efek terhadap permintaan (%) Perubahan jumlah permintaan (000ton) Permintaan pada t1(000ton) Efek terhadap penawaran (%) Perubahan jumlah penawaran (000ton) Penawaran pada t1(000ton) Jumlah ekspor pada t1(000ton) Efek terhadap jumlah ekspor (000ton) Efek terhadap surplus konsumen (juta Rp) Efek terhadap surplus produsen (juta Rp) Efek terhadap penerimaan pemerintah(juta Rp) Efek terhadap surplus bersih (juta Rp)
Label dT dPR PR1 %dPR %dPF dPF PF1 %dQd dQd Qd1 %dQs dQSp QSp1 Qm1 dQm dCS dPS dGR dNS
13
Nilai 3.74 -1764.98 13371.02 -11.66 -11.66 -1650.00 12500.00 10.91 26.50 269.41 -0.40 -3.06 755.35 485.94 -29.56 452119 -1341274 857667 -31488
4. Tepung Terigu Untuk mendorong permintaan produk tepung di pasar dometik (substitusi tepung terigu) maka gandum impor selayaknya dikenai tariff sekitar 18% atau sekitar Rp 1500 per kilogram. Tingkat tariff ini akan memungkinkan pengolahan tepung non terigu mendapatkan keuntungan sekitar 25%. Hasil simulasi penerapan tariff impor optimum tepung terigu (18.8%) agar memacu peningkatan penggunaan tepung Cassava (substitusi tepung terigu). Penerapan tarif ini diharapkan produsen tepung cassava mendapat keuntungan sekitar 25%. Hal ini diduga akan mengakibatkan hal berikut: 1. Harga Konsumen akan naik sebesar 25% (Rp. 1500) dari semula Rp. 6.000 menjadi Rp. 7500. 2.
Hal yang sama juga terjadi untuk harga produsen tepung cassava mengalami peningkatan dari semula Rp. 4.000 menjadi Rp. 5.000.
3. Perubahan tarif selanjutnya berdampak pada permintaan tepung terigu yang cenderung menurun akibat penerapan tarif. Tingkat penurunan permintaan adalah sebesar 22% yaitu dari 58,6 ribu ton menjadi 45.8 ribu ton 4. Hal sebaliknya terjadi pada sisi penawaran dimana jumlah penawaran atau ketersediaan dalam negeri akan naik sebesar 6,2% dari 9 ribu ton menjadi 9.6 ribu ton. 5. Penerapan tariff impor akan membuat para importer menurunkan volume impornya yang selanjutnya akan mengakibatkan jumlah impor turun dari sebesar 49,6 ribu ton menjadi 36,2 ribu ton. 6. Efek selanjutnya dari ketiga poin diatas adalah adanya penurunan surplus konsumen dalam arti konsumen (dalam hal ini konsumen tepung terigu) mendapatkan dampak negatif dari naiknya tarif impor tepung terigu sebesar Rp 78.29 milyar 7. Sebaliknya, produsen tepung cassava diharapkan dapat menikmati kenaikan tariff impor tepung terigu tersebut dimana produsen mendapatkan kenaikan surplus sebesar Rp. 9.2 milyar. 8. Penerimaan pemerintah akibat penerapan tarif adalah sebesar Rp. 52.29 milyar. 9. Secara keseluruhan dampak penerapan tarif impor tepung terigu adalah menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat sebesar Rp.14.72 milyar.
Asumsi yang digunakan untuk simulasi disajikan pada Tabel 15. Hasil analisis dampak peningkatan tarif impor (penerapan tarif optimum) terhadap keseimbangan di pasar domestik dan perubahan tingkat kesejahteraan konsumen, produsen dan penerimaan pemerintah dapat dilihat pada Tabel 16.
14
Tabel 15. Asumsi Yang digunakan dalam simulasi pajak impor tepung terigu Uraian Harga dunia FOB(US$/ton)2009 Nilai tukar (Rp/US$) Harga Border (US$/ton) Harga paritas impor Border (Rp/kg) Harga paritas konsumen impor pada t0(Rp/kg) Harga konsumen aktual (Rp/kg)2009 Harga produsen pada t0 (Rp/kg)2009 Produksi (000ton) 2008 Impor (000ton)2008 Permintaan (000ton) Elastisitas permintaan Elastisitas penawaran Elastisitas Transmisi harga konsumen ke produsen
Label
Nilai PW
ER CIF PCIF Pw0 Pwa0 PP0 Qs0 Qmo Qd0 Ed Es Ep
844.7 9000.0 884.7 7962.0 9912.7 6000.0 4000.0 9.0 49.6 58.6 -0.879 0.248 1.000
Tabel 16. Dampak Penerapan Impor Tarif Tepung Terigu Perubahan tarif (%) Perubahan harga konsumen (Rp/kg) harga konsumen pada t1 (Rp/kg) % perubahan harga konsumen (%) %Perubahan harga produsen (%) Perubahan harga produsen (Rp/kg) Harga produsen pada t1(Rp/kg) Efek terhadap permintaan (%) Perubahan jumlah permintaan (000ton) Permintaan pada t1(000ton) Efek terhadap penawaran (%) Perubahan jumlah penawaran (000ton) Penawaran pada t1(000ton) Jumlah impor pada t1(000ton) Efek terhadap jumlah impor (000ton) Efek terhadap surplus konsumen (juta Rp) Efek terhadap surplus produsen (juta Rp) Efek terhadap penerimaan pemerintah(juta Rp) Efek terhadap surplus bersih (juta Rp)
dT dPw Pw1 %dPw %dPP dPP PP1 %dQd dQd Qd1 %dQs dQs QS1 Qm1 dQm dCS dPS dGR dNS
15
18.8 1500.0 7500.0 25.0 25.0 1000.0 5000.0 -22.0 -12.9 45.8 6.2 0.6 9.6 36.2 -13.4 -78290.2 9279.2 54294.7 -14716.2