1
Simulasi Monte Carlo Untuk Menemukan Penciri Spektral Penyakit Diabetes Mellitus Nashruddin Anshori dan Aulia MT. Nasution Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected]
Abstrak—Diagnosis penyakit diabetes mellitus adalah didasarkan atas kadar glukosa darah yang berbeda dari kondisi normal. Salah satu metode non-invasive dalam mengindentifikasi kadar glukosa darah adalah dengan menggunakan teknik Diffuse Reflectance Spectroscopy (DRS). Ada dua pendekatan dalam DRS, yaitu eksperimental dan komputasional. Pendekatan komputasional dilakukan dengan menggunakan algoritma Monte Carlo yang dianggap sebagai “golden standard”. Dalam studi komputasional ini disimulasikan pemodelan tissue kulit dan penjalaran cahaya didalamnya, yang menggambarkan perilaku perubahan kadar glukosa darah (50; 100; 150; dan 200 mg/dl), serta ketebalan reticular dermis (0,1; 0,3; dan 0,5 cm). Hasil simulasi menunjukkan bahwa sensitifitas perubahan nilai reflektansi terhadap perubahan kadar glukosa darah serta ketebalan reticular dermis yang terbesar terdapat pada tiga panjang gelombang terpilih, secara berurutan adalah (645, 820, dan 930 nm) dan (765, 845, dan 885 nm). Dapat disimpulkan bahwa, tiga panjang gelombang tersebut adalah penciri spektral yang dapat digunakan untuk pengukuran yang sensitif dalam diagnostik penyakit diabetes mellitus. Kata Kunci—Non-Invasive, Diffuse Reflectance Spectoscopy, Monte Carlo, Glukosa Darah, Reticular Dermis.
I. PENDAHULUAN
D
IABETES Mellitus adalah salah satu penyakit yang paling banyak diderita oleh manusia. Sebuah penelitian memperkirakan bahwa penderita penyakit tersebut mencapai 522 juta jiwa pada tahun 2030 [1]. Seseorang mengalami diabetes mellitus jika kadar glukosa darah tidak dalam batas normal, yaitu : 60 - 120 mg/dl [2]. Penyakit ini bersifat kronis dan mengakibatkan komplikasi yang serius antara lain: kerusakan saraf, atherosclerosis, dll. Untuk menghindari efek komplikasi yang tidak diharapkan tersebut, maka penderita dianjurkan agar selalu memonitor dan mengontrol kadar glukosa darahnya. Monitoring dapat dilakukan secara invasive maupun noninvasive. Secara invasive, pengukuran dilakukan dengan mengambil darah atau urin penderita. Cara ini kurang nyaman karena rasa sakit ketika pengambilan darah dan tidak efisien dalam penggunaan alat. Secara non-invasive, pengukuran dilakukan tanpa menggunakan sampel darah, sehingga aman dan efektif [3]. Beberapa metode non-invasive yang telah dikembangkan antara lain : Optical Coherence Tomography, Diffuse Reflectance Spectroscopy, Photo-acoustics Spectroscopy, dan Thermo-Optical Spectroscopy [3].
Diffuse Reflectance Spectroscopy (DRS) adalah metode sederhana yang dapat mengkuantifikasi kandungan suatu materi dan menggambarkan perilaku perubahan karakteristik optis akibat perubahan komponen penyusunnya [3]. Metode tersebut dapat dilakukan secara eksperimental maupun komputasional. Secara eksperimental, pengukuruan karakteristik optis tissue menggunakan sebuah sumber dan sensor cahaya. Selanjutnya, sebagian cahaya dipantulkan kembali ke permukaan tissue membentuk pola unik berbentuk pisang, dikenal sebagai "banana-shape path" yang berubah seiring dengan perubahan komponen penyusun tissue [4]. Secara komputasional, ilmuwan telah mengembangkan model tissue "kue lapis" atau ”multilayered” untuk mendapatkan pola reflektansi berdasarkan manipulasi variabel terkait [5]. Model ini mendekati konfigurasi tissue kompleks dan menyatakannya sebagai suatu susunan layer penyusun tissue yang masingmasing memiliki karakteristik optis homogen dan tertentu. Metode komputasional sangat penting karena dapat menjadi dasar dan pertimbangan dalam perencanaan pengukuran eksperimental. Salah satu metode komputasional “forward calculation” dalam DRS adalah Monte Carlo [5]. Metode tersebut memperhitungkan probabilitas keadaan setiap foton yang mengenai tissue. Energi setiap foton baik yang mengalami pemantulan, penyerapan, dan penerusan oleh tissue dihitung secara stokastik. Selanjutnya, kuantifikasi energi foton yang dipantulkan ke permukaan tissue menghasilkan nilai reflektansi. Dalam penelitian ini dilakukan studi komputasional untuk mendapatkan prediksi pola reflektansi dengan menggunakan algoritma Monte Carlo. Diharapkan hasil penelitian tersebut dapat menjadi dasar dan pertimbangan dalam rangka membangun sistem pengukuran untuk keperluan diagnostik penyakit diabetes mellitus. Manfaat lainnya adalah dapat mengurangi biaya dan waktu kegiatan eksperimental. II. PENELITIAN A. Algoritma Monte Carlo. Monte Carlo adalah metode stokastik yang dibangun untuk memperoleh nilai varibel fisis berdasarkan proses acak yang alami [5]. Metode ini mampu mengkuntifikasi fenomena penjalaran cahaya dalam turbid media (tissue) dengan cara memprediksi keadaan setiap foton untuk mengalami pemantulan, penyerapan, dan penghamburan [5]. Fenomena tersebut ditentukan oleh tiga parameter yaitu koefisien penyerapan, koefisien hamburan, dan anisotropy [5]. Koefisien penyera-
2 pan, (𝜇𝑎 ) adalah probabilitas foton diserap oleh tissue per unit panjang lintasan foton. Koefisien hamburan, (𝜇𝑠 ) adalah probabilitas foton dihamburkan oleh tissue per unit panjang lintasan foton. Sementara itu anisotropy, (𝑔) adalah parameter yang mendiskripsikan ketidakseragaman geometri sel penyusun tissue. Dalam penelitian ini digunakan software Monte Carlo karya Steven Jacques [6]. Dalam rangka mengetahui keabsahan algoritma Monte Carlo, maka dilakukan pengujian dengan cara membandingkan hasil simulasi software tersebut dengan hasil penelitian terkait. Parameter yang dibandingkan adalah Diffuse Reflectance dan Transmittance [5]. Verifikasi dilakukan dengan mensimulasikan tissue untuk dua keadaan berkas cahaya, yaitu infinitely narrow beam dan gaussian beam sebanyak tiga kali. Verifikasi terhadap infinitely narrow beam menggunakan hasil penelitian Wang [5], yang menghasilkan nilai RMSE rerata diffuse reflectance dan transmittance secara berurutan adalah 0,00113 dan 0,00872. Sementara itu, verifikasi terhadap gaussian beam menggunakan hasil penelitian Xue [7], yang menghasilkan nilai RMSE rerata diffuse reflectance dan transmittance secara berurutan adalah 0,05386 dan 0,00495. Nilai-nilai RMSE tersebut lebih kecil daripada nilai toleransi yaitu 0,06 [8]. Oleh karena itu, algoritma software Monte Carlo yang digunakan lulus verifikasi untuk infinitely narrow beam dan gaussian beam. B. Model Tissue Kulit. Tissue kulit dimodelkan sebagai sebuah susunan layer yang bersifat homogen [4]. Jumlah layer yang telah dikembangkan adalah 3-9 [7]-[11]. Model 3 layer tersusun atas tiga bagian utama, yaitu epidermis, dermis, dan subcutaneus. Epidermis merupakan layer yang tidak mengandung pembuluh darah kapiler dan terdiri atas lima sub-bagian, yaitu : stratum corneum, stratum lucidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale [8]. Dalam stratum basale terdapat komponen penghasil melanin (zat warna kulit), yaitu sel melanosom. Layer dermis mengandung pembuluh darah kapiler yang dapat dibagi menjadi empat sub-bagian, yaitu : pappilary dermis, upper blood net dermis, reticular dermis, dan deep blood net dermis [8]. Subcutaneus merupakan lapisan elastis, terbentuk dari sel-sel lemak yang bekerja sebagai shock absorber bagi pembuluh darah dan ujung saraf [11]. Pengembang model 9 layer memfokuskan penelitiannya pada layer epidermis dan dermis, sehingga mengasumsikan layer subcutaneus hanya berfungsi sebagai pemantul cahaya [8]. Sementara itu, dalam penelitian ini dibentuk model 10 layer dengan menambahkan lapisan subcutaneous pada model 9 layer, dengan tujuan untuk mengamati perubahan perilaku optis pada semua bagian kulit. Pada model 10 layer, stratum corneum terbentuk dari keratin dan air [11], sedangkan lapisan stratum lucidum, stratum granulosum, dan stratum spinosum terbentuk dari sel-sel yang hampir mirip dan memiliki kanduang air yang sama [8], [11]. Oleh karena itu, layer-layer tersebut dianggap sebagai sebuah lapisan dengan karakteristik optis yang homogen bernama stratum ”L.G.S.,”. Sementara itu, melanin hanya terdapat pada layer stratum basale untuk model 8, 9, dan 10 layer, serta terdapat pada layer epidermis untuk model 3 layer [8], [9]. Tabel 2.1 berisi perbandingan
model tissue kulit antara 3, 8, 9, dan 10 layer. 3 Layer
Epidermis
Dermis
Subcutaneous
Tabel 2.1 Model tissue kulit. 8 layer 9 layer Stratum Stratum Corneum Corneum Stratum Lucidum
10 layer Stratum Corneum Stratum Lucidum
Stratum ”L.G.S.,”
Stratum Granulosum
Stratum Granulosum
Stratum Basale Papilary Dermis Upper Blood Net Dermis
Stratum Spinosum Stratum Basale Papilary Dermis Upper Blood Net Dermis Reticular Dermis
Stratum Spinosum Stratum Basale Papilary Dermis Upper Blood Net Dermis
Reticular Dermis Deep Blood Net Dermis Subcutaneous
Deep Blood Net Dermis
Reticular Dermis Deep Blood Net Dermis Subcutaneous
Dalam rangka mendapatkan model yang paling mendekati tissue kompleks, maka disimulasikan penjalaran cahaya didalamnya menggunakan Monte Carlo [5]. Selanjutnya, nilai reflektansi hasil simulasi model tersebut dibandingkan dengan nilai reflektansi data pengukuran milik saudara Nunez [8]. Dibawah ini adalah tebel yang berisi ketebalan setiap layer dalam tisssue kulit standar (keadaan normal), serta fraksi volume air dan darah. [8], [10]. Tabel 2.1 Nilai fraksi volume air, fraksi volume darah, dan ketebalan setiap layer dalam tissue kulit. Fraksi Fraksi Ketebalan Layer Volume Volume (μm) Air (%) Darah (%) Stratum Corneum 5 0 20 Stratum Lucidum 20 0 10 Stratum Granulosum Stratum Spinosum Stratum Basale Papilary Dermis Upper blood net dermis Reticular dermis Deep blood net dermis Subcutaneous
20 20 20 50 50 70 70 70
0 0 0 0,4 3 0,4 1 0,5
10 45 15 150 80 1500 80 6000
Berdasarkan metode yang dilakukan oleh Nunez [8] dalam penentuan fraksi volume darah pada setiap layer, maka perhitungan fraksi volume air dan darah untuk setiap layer dalam tissue adalah : f×fis ×yis ×ys fi = 2.1 yi × fis ×yis keterangan : fi = Fraksi volume air/darah layer ke-i. f = Fraksi volume air/darah tissue. fis = Fraksi volume air/darah layer ke-i standar. yis = Ketebalan layer yang mengandung air/darah ke-i standar. ys = Penjumlahan ketebalan layer yang mengandung air/ darah standar. yi = Ketebalan layer yang mengandung air/darah ke-i.
3 C. Perhitungan Karakteristik Optis Tissue Kulit. Parameter optis tissue kulit dalam penelitian ini adalah indeks bias, koefisien penyerapan, koefisien hamburan, dan anisotropy [5]. 1. Indeks Bias (n). Indeks bias didefinisikan sebagai rasio antara kecepatan cahaya dalam ruang hampa (𝑐) dan kecepatan cahaya di medium (𝑣). Stratum corneum adalah lapisan yang tersusun atas keratin, nilai indeks biasnya diasumsikan konstan, yaitu : n(λ) = 1,5 [10], sedangkan untuk layer epidermis dan dermis indeks biasnya adalah [9] : 3,968 2,5588 n λ = 1,3696 + 2 + (2.2) 𝜆 𝜆4 Layer subcutaneus tersusun atas sel lemak yang diasumsikan memiliki nilai indeks bias konstan, yaitu : n(λ) = 1,44 [9], sedangkan indeks bias air adalah [12]. 6,662 n λ = 1,31848 + 2.3 (λ − 129,2) Plasma darah terdiri atas air 91%, protein 6,5-8%, dan molekul lainnya 2%. Indeks bias plasma darah untuk setiap panjang gelombang adalah [12] : 400 nm < λ < 485 nm, 103 108 n λ = 1,3254 + 8,4052 × 2 − 3,5972 × 4 λ λ 1013 − 2,3617 × 6 + 0,1515 × G 2.4 λ 490 nm< λ < 1320 nm, 104 109 n λ = 1,3194 + 1,4578 × 2 − 1,7383 × 4 λ λ + 0,1515 × G 2.5 Berdasarkan metode dalam menentukan koreksi paramater optis yang digunakan oleh Shuang [13], maka nilai indeks bias untuk setiap layer adalah : 1. Layer epidermis dan sub-bagiannya. n = f1 × nair + (1f1) × nepidermis 2. Layer dermis, subcutaneus, dan sub-bagiannya. n = f2 × ndarah + f1 × (1f2) ×nair + (1f1 ) × (1f2) × ndermis/subcutaneus Koefisien Penyerapan (μa). Koefisien penyerapan adalah probalitas foton diserap oleh kromofor (molekul penyerap) dalam tissue per unit panjang lintasan foton. Salah satu kromofor pada layer epidermis adalah melanin yang terbagi menjadi dua, yaitu eumelanin dan pheomelanin [14]. Koefisien penyerapan eumelanin adalah : μa(λ) =2,26 × 109 × λ2,46 (2.6) Koefisien penyerapan pheomelanin adalah : μa(λ) = 9,96 × 1012 × λ3,81 (2.7) Kromofor lainnya adalah bhetacaroten dan birilubin. Bhetacaroten terdapat di lapisan epidermis dan plasma darah [15]. 𝐶𝐵𝑒 μa λ = × ƐBe λ (2.8) 537 Sementara itu, birilubin merupakan molekul eritrosit yang telah rusak dan hanya terdapat di plasma darah [15]. 𝐶𝐵𝑖 μa λ = × ƐBi λ (2.9) 585 Koefisien penyerapan layer subcutaneus dan komponen air berupa data yang diperoleh dari referensi secara berurutan
adalah [16] dan [17]. Koefisien penyerapan layer epidermis dan dermis adalah [9]: μa(λ) =7,84 × 108 × λ3,255 (2.10) Koefisien penyerapan darah berupa data yang diperoleh menggunakan teori Mie (sub-bab D). Koreksi nilai koefisien penyerapan untuk setiap layer dan sub-bagiannya adalah [13] : 1. Layer stratum corneum. μastratum = f1 × μaair + (1f1) × μaepidermis 2. Layer stratum lucidum, granulosum, dan spinosum. μa = f1 × μaair + (1f1) × (μaepidermis + μabhetacaroten) 3. Layer epidermis dan stratum basale. μa = f1 × μaair +(1f1) × (f3 × (μaeumelanin + μapheomelanin) + (1f3) × (μaepidermis + μabhetacaroten)) 4. Layer dermis, subcutaneus, dan sub-bagiannya. μa = f3 × (μadarah + μabilirubin+ μabhetacaroten) + (1f3) × f1 μaair + (1f1) × (1f2) × μadermis/subcutaneus Koefisien Hamburan(μs). Koefisien hamburan adalah probabilitas foton dihamburkan oleh molekul dalam tissue. Berikut ini adalah persamaan yang digunakan untuk koefisien hamburan setiap layer dalam tissue kulit : 1. Layer epidermis dan sub-bagiannya [14], 𝜆 −4 𝜆 −0,689 66,7(0,29(500 ) + 0,71(500 ) μs λ = (2.11) 1 − 0,62 + 0,29 × 10−3 × 𝜆 2. Layer dermis dan sub-bagiannya [14], 𝜆 −4 𝜆 −0,562 43,6 (0,41(500 ) + 0,59(500 ) μs λ = 2.12 −3 1 − 0,62 + 0,29 × 10 × 𝜆 3. Layer subcutaneus dan sub-bagiannya [14], 𝜆 −4 𝜆 −0,567 34,2 (0,26(500 ) + 0,74(500 ) μs λ = 2.13 −3 1 − 0,62 + 0,29 × 10 × 𝜆 Koefisien hamburan darah berupa data yang diperoleh menggunakan teori Mie (sub-bab D). Koreksi nilai koefisien hamburan untuk setiap layer dan sub-bagiannya adalah [13] : 1. Layer epidermis dan sub-bagiannya. μs = μsepidermis 2. Layer dermis, subcutaneous, dan sub-bagiannya. μs = f2 × μsdarah + (1f2) × μsdermis/subcutaneus 3.
2.
4.
Anisotropy (g). Anisotropy (g) didapatkan dengan menghitung nilai rerata dari cosinus semua sudut hamburan. Layer epidermis dan dermis memiliki geometri yang mirip, sehingga anisotropy dianggap bernilai sama [9], yaitu : g(λ) = 0,62 + 0,29 × 10-3 × λ (2.14) Layer subcutaneus memiliki nilai anisotropy konstan terhadap panjang gelombang, yaitu : g(λ) = 0,75 [9]. Anisotropy darah berupa data yang diperoleh menggunakan teori Mie (sub-bab D) [12]. Koreksi nilai anisotropy untuk setiap layer dan subbagiannya adalah [13] : 1. Layer epidermis dan sub-bagiannya. g = gepidermis 2. Layer dermis, subcutaneus, dan sub-bagiannya. g = f2 × gdarah + (1f2) × gdermis/subcutaneus keterangan : G = Kadar glukosa darah (mg/dl).
4 = Panjang gelombang (nm). = Koefisien penyerapan darah (1/cm). = Koefisien hamburan darah (1/cm). = Konstentrasi bhetacaroten (g/L). = Konstentrasi bilirubin (g/L). = Extinction coefficient of bhetacaroten [18]. = Extinction coefficient of bilirubin [18]. = Fraksi volume air. = Fraksi volume darah. = Fraksi volume melanin.
D. Teori Mie. Teori Mie merupakan salah satu metode analitik yang digunakan untuk mendapatkan karakteristik optis molekul terlarut yang memiliki ukuran lebih besar daripada panjang gelombang cahaya. Pendekatan ini telah banyak digunakan oleh ilmuwan karena memiliki akurasi yang baik [12], [19], [20]. Oleh karena itu, dalam penelitian ini metode tersebut digunakan untuk memperoleh nilai koefisien penyerapan, koefisien hamburan, dan anisotropy darah [12]. Perhitungan tersebut menggunakan parameter-parameter berikut [12], [19]: ne = no + α × CHb (2.15) xe = β × CHb (2.16) 6,662 no λ = 1,32548 + 2.17 𝜆 − 129,2 keterangan : ne = Indeks bias eritrosit riil. xe = Indeks bias eritrosit imajiner. CHb = Kadar hemoglobin, yaitu 0,13 g/ml. [12]. α = Koefisien tergantung panjang gelombang (ml/g) [12]. β = Koefisien tergantung panjang gelombang (ml/g) [12]. Selanjutnya, nilai tersebut digunakan pada persamaan 2.18, sedangkan nilai indeks bias plasma darah (np) ditentukan menggunakan persamaan 2.4 dan 2.5, yaitu : 𝑛𝑒 + 𝑖𝑥𝑒 m= 2.18 𝑛𝑝 2𝜋 × 𝑛𝑝 × 𝑎 x = (2.19) 𝜆 keterangan : (m) adalah indeks bias kompleks molekul eritrosit relatif terhadap plasma darah. (x) adalah diffraction size eritrosit dan (𝑎) adalah radius eritrosit, yaitu 2,76 μm [19]. Molekul eritrosit dianggap berbentuk sphere dan antara satu dengan lainnya bersifat homogen, sedangkan keadaan sebenarnya adalah berbentuk flat biconcave dan bersifat heterogen [19], [20]. Nilai (m) dan (x) digunakan sebagai input dalam perhitungan teori Mie. Nilai (m) dan (x) digunakan sebagai input dalam perhitungan teori Mie. Perhitungan telah ditulis oleh Mätzler dalam sebuah program pada software Matlab [21]. Hasil simulasi tersebut adalah efisiensi hamburan (Qsca), efisiensi penyerapan (Qabs ), dan anisotopy (g). μa = Qabs × A × (2.20) μs = Qsca × A × (2.21) keterangan : A = Luas penampang eritrosit (πr2). r = 2,76 μm [19]. μa = Koefisien penyerapan darah (1/cm). μs = Koefisien hamburan darah (1/cm).
= H/v [19]. H = Hemotrocit, yaitu 0,45 [12]. v = Rerata volume eritrosit, yaitu 90,48 μm3 [19]. E. Simulasi Terhadap Perubahan Kadar Glukosa Darah dan Ketebalan Reticular Dermis. Simulasi ini menggunakan foton sebanyak satu juta buah dan spektrum panjang gelombang 430-1100 nm dengan step 5 nm. Variabel penciri penyakit diabetes mellitus yang digunakan adalah kadar glukosa darah dan ketebalan reticular dermis. Kadar glukosa darah adalah variabel penciri primer. Perubahan kadar glukosa berpengaruh pada indeks bias, koefisien penyerapan, koefisien hamburan dan anisotropy darah secara berurutan sesuai persamaan 2.4, 2.5, 2.20, dan 2.21. Sementara itu, ketebalan reticular dermis adalah variabel penciri sekunder penyakit diabetes mellitus yang merupakan salah satu gejala komplikasi terhadap organ kulit [22]. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Simulasi Pemilihan Model Tissue. Pada bagian ini dipaparkan hasil simulasi empat model tissue kulit, yaitu 3, 8, 9 dan 10 layer. Dapat dilihat pada gambar 3.1 bahwa hasil simulasi telah dibandingkan dengan data pengukuran dari referensi [8]. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi koreksi pada perhitungan setiap layer, maka model semakin mendekati tissue kompleks [13]. Berdasarkan hasil tersebut model 8 layer lebih baik daripada 9 layer dikarenakan konfigurasi pada model 8 layer lebih lengkap. Model 8 layer dikembangkan dari tiga bagian utama, yaitu : epidermis, dermis, dan subcutaneus. Sementara itu, model 9 layer hanya memperhitungkan dua bagian, yaitu epidermis dan dermis. Model dengan bagian yang lebih lengkap menghasilkan pola reflektansi yang lebih mendekati tissue kompleks.
0.7
0.6
0.5
Reflektansi [-]
λ μa λ μs λ 𝐶𝐵𝑒 𝐶𝐵𝑖 ƐBe(λ) ƐBi(λ) f1 f2 f3
0.4
0.3
Model 3 Layer, RMSE = 0,1323 Model 8 Layer, RMSE = 0,0725 Model 9 Layer, RMSE = 0,0718 Model 10 Layer, RMSE = 0,0788 Data Referensi
0.2
0.1
400
500
600
700
800
900
1000
1100
1200
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 3.1 Nilai reflektansi hasil simulasi model tissue kulit dan data referensi menggunakan infinitely narrow beam.
Sementara itu, Model 8 layer lebih baik daripada model 10 layer karena konfigurasi layernya memiliki jumlah interface yang lebih efektif. Interface adalah batas antara dua permukaan layer dalam tissue. Model 10 layer memiliki sembilan interface, sedangkan model 8 layer hanya memiliki
5
Kadar Glukosa Darah = 50 mg/dl Kadar Glukosa Darah = 100 mg/dl Kadar Glukosa Darah = 150 mg/dl Kadar Glukosa Darah = 200 mg/dl
0.65 0.60 0.55
0.45
0.5477 0.5476
0.40 Reflektansi [-]
Reflektansi [-]
0.50
0.35 0.30
0.5475 0.5474 0.5473
0.5471 969.9
970.0
970.1
Panjang Gelombang (nm)
0.20 400
500
600
700
800
900
1000
1100
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 3.2 Nilai reflektansi hasil simulasi terhadap perubahan kadar glukosa darah fungsi panjang gelombang pilihan.
Berdasarkan hasil tersebut, diketahui bahwa perubahan nilai reflektansi yang liner terhadap perubahan kadar glukosa darah terdapat pada panjang gelombang secara diskrit. Sementara itu, menurut referensi [3] panjang gelombang penciri terdapat dalam spektrum, yaitu 600-1300 nm. Perbedaan ini disebabkan oleh nilai step perubahan kadar glukosa darah yang digunakan adalah kecil, yaitu 50 mg/dl, sehingga menghasilkan nilai yang fluktuatif dan terdapat kecenderungan nilai reflektansi yang tidak linier. Nilai step tersebut lebih kecil daripada yang digunakan oleh Tuchin [12], yaitu 500 mg/dl. Meskipun demikian, nilai step yang lebih kecil memiliki tingkat keakuratan perubahan nilai reflekansi lebih tinggi. Pada gambar 3.3 ditampilkan nilai reflektansi
[ R (x mg/dl) - R (50 mg/dl) ] per [ R (200 mg/dl) - R (50 mg/dl) ]
600
800
1000
1200
x = 50 mg/dl x = 100 mg/dl x = 150 mg/dl x = 200 mg/dl
1.50 1.25 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00
(b) x = 100 mg/dl x = 150 mg/dl x = 200 mg/dl
1.004 1.003 1.002 1.001 1.000 0.999 0.998 0.997 400
0.5472
0.25
400
[ R (x mg/dl) ] per [ R (50 mg/dl) ]
B. Hasil Simulasi Terhadap Perubahan Kadar Glukosa Darah dan Ketebalan Reticular Dermis. Pada bagian ini dipaparkan hasil simulasi terhadap perubahan variabel penciri penyakit diabetes mellitus, yaitu kadar glukosa darah dan ketebalan reticular dermis. 1. Kadar Glukosa Darah Nilai reflektansi hasil simulasi terhadap perubahan kadar glukosa darah terdapat pada gambar 4.2. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa perubahan kadar glukosa dalam rentang 0-200 mg/dl mengakibatkan sedikit perubahan pada karakteristik optis darah. Berdasarkan hasil penelitian Tuchin [3], bahwa karakteristik optis darah mengalami sedikit perubahan dalam rentang kadar glukosa 0-1000 mg/dl, namun mengalami perubahan secara signifikan dalam rentang 0100.000 mg/dl. Hal ini dikarenakan nilai tersebut diperoleh dari pendekatan analitis, yang menganggap bahwa molekul eritrosit dalam darah berbentuk sphere [20], sedangkan keadaan sebenarnya adalah berbentuk flat biconcave. Selain itu, antara satu molekul eritrosit dengan lainnya dianggap bersifat homogen [19], sedangkan keadaan sebenarnya adalah bersifat heterogen. Berikut ini adalah gambar hasil simulasi perubahan kadar glukosa darah fungsi panjang gelombang pilihan :
relatif terhadap (a) kadar glukosa darah 50 mg/dl dan (b) rentang nilai kadar glukosa darah minimal (50 mg/dl) dan maksimal (200 mg/dl) untuk panjang gelombang pilihan. Secara keseluruhan penambahan kadar glukosa dalam darah mengakibatkan penurunan nilai koefisien hamburan dan penyerapan darah [3]. Nilai koefisien hamburan mengalami penurunan hampir diseluruh spektrum panjang gelombang. Hal ini dikarenakan penambahan glukosa darah mengurangi nilai indeks bias riil dan imaginer partikel eritrosit relatif terhadap plasma darah. Sementara itu, penambahan kadar glukosa dalam darah mengakibatkan kenaikan nilai indeks bias plasma darah dan anisotropy. Berikut ini adalah gambar 3.3(a) yang memaparkan kenaikan atau penurunan nilai reflektansi kadar glukosa darah, dan (b) yang menggambarkan perubahan nilai reflektansi relatif terhadap rentang nilai minimal (50 mg/dl) dan maksimal (200mg/dl), sehingga dapat diketahui sensitifitas perubahan nilai reflektansi pada setiap panjang gelombang.
Perbandingan Reflektansi
tujuh interface. Model dengan sedikit interface memiliki probabilitas foton untuk mengalami reflektansi adalah lebih kecil daripada model dengan banyak interface. Oleh karena itu, model dengan interface lebih banyak menghasilkan nilai reflektansi lebih besar. Dapat disimpulkan bahwa konfigurasi 8 layer adalah model terbaik.
600
800
1000
1200
(a) Panjang Gelombang (nm)
Gambar 3.3 Nilai reflektansi kadar glukosa darah relatif terhadap (a) kadar glukosa darah 50 mg/dl dan (b) rentang nilai kadar glukosa darah minimal (50 mg/dl) dan maksimal (200 mg/dl) fungsi panjang gelombang pilihan.
Penurunan nilai indeks bias riil molekul eritrosit mengakibatkan penurunan nilai koefisien hamburan. Sementara itu, penurunan nilai indeks bias imaginer eritrosit mengakibatkan penurunan nilai koefisien penyerapan. Penurunan ini terjadi pada spektrum panjang gelombang 400-600 nm. Kontribusi nilai koefisien penyerapan dan hamburan terhadap nilai reflektansi, yaitu penurunan nilai koefisien hamburan mengakibatkan penurunan nilai reflektansi. Penurunan koefisien penyerapan memberikan kontribusi terhadap kenaikan nilai reflektansi. Sementara itu, kenaikan nilai anisotropy dapat meningkatkan probabilitas besarnya nilai sudut hamburan, sehingga dapat menyebabkan kenaikan nilai reflektansi. Pada gambar 3.3(a), terlihat bahwa secara keseluruhan penambahan glukosa dalam darah mengakibatkan penurunan
6
0.0
0.5
1.0
50 mg/dl 100 mg/dl 150 mg/dl 200 mg/dl
1.112
3.9
1.110 1.108
2.6
1.5
1.106 1.104
1.3
1.102 0.210
0.211
0.210
0.211
2
4.5
1.070 1.068
3.0
1.066 1.064
1.5
1.062 1.060
0.6
0.4
0.3
0.2 400
400
800
900
1000
1100
1200
600
800
1000
800
1000
(b) 1.0 0.826
0.822 0.820
0.210
0.211
0.5
1.0
1.5
Radius (cm)
Gambar 3.4 Nilai diffuse reflectance fungsi radius untuk tiga panjang gelombang pilihan menggunakan gaussian beam, energi 1J, dan radius beam 0,2 cm
2. Ketebalan Reticular Dermis Dalam bagian ini dipaparkan hasil simulasi nilai reflektansi terhadap perubahan ketebalan reticular dermis. Dapat dilihat pada gambar 3.5 bahwa nilai reflektansi berubah secara linier terhadap perubahan ketebalan reticular dermis. Hasil tersebut mirip dengan penelitian yang dilakukan oleh Nunez [8], bahwa pada spektrum panjang gelombang 595-925 nm peningkatan ketebalan reticular dermis menyebabkan penurunan nilai refektansi. Fenomena ini terjadi karena semakin besar ketebalan layer reticular dermis, maka fraksi volume molekul penyerap semakin besar. Selain itu, nilai koefisien
Perbandingan Reflektansi
0.816
0.0 0.0
700
Sementara itu, pada spektrum panjang gelombang 430-585 nm dan 930-1100 nm peningkatan ketebalan reticular dermis menyebabkan kenaikan nilai reflektansi. Keadaan ini memang meningkatkan fraksi volume molekul penyerap pada layer reticular dermis, namun nilai koefisien penyerapan tidak dapat mengkompensasi nilai koefisien hamburan. Konsekuensinya, probabilitas foton mengalami penghamburan menjadi lebih tinggi daripada penyerapan yang mengakibatkan nilai reflektansi cenderung mengalami kenaikan. Berikut ini adalah gambar 3.6(a) yang menunjukkan kenaikan atau penurunan nilai reflektansi ketebalan reticular dermis dan (b) yang menggambarkan perubahan nilai reflektansi relatif terhadap rentang nilai minimal (0,1 cm) dan maksimal (0,5 cm).
0.818
1.3
600
Gambar 3.5 Nilai reflektansi hasil simulasi perubahan ketebalan reticular dermis menggunakan infinitely narrow beam.
[ R (x cm) - R (0,1 cm) ] per [ R (0,5 cm) - R (0,1 cm) ]
2.6
500
Panjang Gelombang (nm)
0.824
645 nm
0.5
0.0
3.9
Hasil Simulasi Reticular Dermis = 0,1 cm Hasil Simulasi Reticular Dermis = 0,3 cm Hasil Simulasi Reticular Dermis = 0,5 cm
0.7
0.5
0.0
x = 0,1 cm x = 0,3 cm x = 0,5 cm
-0.5
(a)
[ R (x cm) ] per [ R (0,1 cm) ]
Diffuse Reflectance (J/cm ) 820 nm 930 nm
1.100
0.0
penyerapan dapat mengkompensasi nilai koefisien hamburan yang menyebabkan probabilitas foton mengalami penyerapan lebih besar, sehingga nilai reflektansi cenderung mengalami penurunan. Berikut adalah gambar hasil simulasi terhadap perubahan ketebalan reticular dermis :
Reflektansi [-]
reflektansi. Hal ini dikarenakan terjadi penurunan nilai koefisien hamburan yang lebih tajam daripada penurunan nilai koefisien penyerapan. Sementara itu, untuk panjang gelombang 430, 510, 755, 815, 915, 945, 955, 1015, dan 1060 nm penurunan nilai koefisien penyerapan justru lebih tajam daripada penurunan nilai koefisien hamburan, sehingga menghasilkan kenaikan nilai reflektansi. Pada gambar 3.4 ditampilkan nilai diffuse reflectance untuk tiga panjang gelombang pilihan, yaitu : 645, 820, dan 930 nm fungsi radius (jarak antara sinar datang dan keluar dari permukaan tissue). Dalam gambar tersebut, terlihat bahwa radius dengan nilai reflektansi yang mendekati 1 J/cm 2 untuk setiap panjang gelombang adalah 0,21 cm. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan penempatan sensor optis. Tiga panjang gelombang tersebut dipilih berdasarkan gambar 3.3(b), karena memiliki sensitifitas perubahan nilai reflektansi yang terbaik terhadap perubahan kadar glukosa darah. Panjang gelombang 645, 820, dan 930 nm memiliki perubahan nilai reflektansi yang terbesar terhadap perubahan kadar glukosa darah secara berturutan, yaitu (100 mg/dl dengan 150 mg/dl), (50 dengan 100 mg/dl), dan (150 mg/dl dengan 200 mg/dl). Berikut ini adalah gambar yang berisi nilai diffuse reflectance fungsi radius :
1.05
1.00
0.95
0.90
x = 0,3 cm x = 0,5 cm
0.85 400
600
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 3.6 Nilai reflektansi ketebalan reticular dermis relatif terhadap (a) ketebalan reticular dermis 0,1 cm dan (b) rentang nilai ketebalan reticular dermis minimal (0,1 cm) dan maksimal (0,5 cm) fungsi panjang gelombang pilihan.
7 Berikut ini adalah gambar yang berisi nilai diffuse reflectance fungsi radius (jarak antara sinar datang dan keluar dari permukaan tissue) untuk tiga panjang gelombang pilihan, yaitu : 765, 845, dan 885 nm. Radius yang memiliki nilai reflektansi mendekati 1 J/cm2 untuk setiap panjang gelombang adalah 0,225 cm. Pemilihan panjang gelombang tersebut didasarkan pada gambar 4.7 (b), yaitu terdapat perubahan nilai reflektansi yang paling besar terhadap perubahan ketebalan reticular dermis antara 0,3 dengan 0,5 cm. 0.0
885 nm
3.4
1.7
0.5
1.0
2
[1]
[2]
[3] [4]
1.5
4.20 4.18 4.16 4.14 4.12 4.10 4.08 4.06 4.04
[5]
[6] 0.025
0.0
Diffuse Reflectance (J/cm ) 845 nm
DAFTAR PUSTAKA
[7]
Tebal Reticular Dermis 0,1 cm Tebal Reticular Dermis 0,3 cm Tebal Reticular Dermis 0,5 cm
-1.7 3.9
2.6
1.3
4.22 4.20 4.18 4.16 4.14 4.12 4.10 4.08 4.06 4.04
[8]
[9] 0.025
0.0
[10]
765 nm
4.5 3.0 1.5
4.40 4.38 4.36 4.34 4.32 4.30 4.28 4.26 4.24 4.22 4.20
[11] 0.025
0.0 0.0
[12] 0.5
Radius (cm)
1.0
1.5
Gambar 3.7 Nilai diffuse reflectance fungsi radius untuk panjang gelombang pilihan yaitu 765, 845 Dan 885 nm menggunakan gaussian beam, energi 1J, dan radius beam 0,2 cm.
[13]
[14]
IV. KESIMPULAN/RINGKASAN Berdasarkan hasil pengujian empat model tissue kulit (tabel 2.1) diperoleh bahwa model 8 layer adalah konfigurasi terbaik, karena memiliki pola reflektansi yang paling mendekati pola reflektansi tissue kompleks dengan nilai RMSE 0,0725. Berdasarkan hasil simulasi terhadap perubahan kadar glukosa darah dan ketebalan reticular dermis, diperoleh bahwa panjang gelombang penciri penyakit diabetes mellitus terdapat dalam spektrum cahaya tampak hingga inframerah dekat yang bersifat diskrit pada variabel glukosa darah dan bersifat kontinyu pada variabel ketebalan reticular dermis. Sementara itu, pendekatan analitis yang digunakan untuk menentukan nilai karakteristik optis darah mengasumsikan bahwa molekul eritrosit dalam darah berbentuk sphere dan antara satu dengan lainnya bersifat homogen, sedangkan keadaan sebenarnya berbentuk flat biconcave dan bersifat heterogen. Oleh karena itu, penelitian berikutnya perlu mempertimbangkan penggunaan data pengukuran eksperimental karakteristik optis darah yang mengandung eritrosit bersifat heterogen. Selain itu, hendaknya perlu mempertimbangkan kadar oksigen sebagai variabel penciri diabetes mellitus. Karena penderita memiliki mikrosirkulasi darah yang buruk, sehingga kadar oksigen darah menjadi rendah [22].
[15]
[16]
[17] [18]
[19]
[20]
[21]
[22]
D. R. Whiting, L. Guariguata, C. Weil, and J. Shaw, “IDF Diabetes Atlas: Global estimates of the prevalence of diabetes for 2011 and 2030,” J. Diabetes Research and Clinical Practice, Vol. 94 (2011) 311321. DCCT Research Group, “The effect of intensive treatment of diabetes on the development and progression of long-term complications in insulindependent diabetes mellitus,” J. Med., Vol. 329 (1993) 977–986. V. V. Tuchin, Handbook of Optical Sensing of Glucose in Biological Fluids and Tissues. USA : CRC Press (2009) Ch 1-3,5. C. Mansouri, J. P. L’Huillier, N. H. Kashou, and A. Humeau, “Depth sensitivity analysis of functional near-infrared spectroscopy measurement using three-dimensional monte carlo modelling-based magnetic resonance imaging,” J. Lasers Med. Sci., Vol. 25 (2010) 431-438. L. Wang, and S. L. Jacques, Monte Carlo Modeling of Light Transport in Multi-layered Tissues in Standard C, University of Texas M. D. Anderson Cancer Center (1992). S. Prahl. (2007). “Monte carlo simulation. [Online]. Available: http://www.omlc.org/software/mc/ L. L. Xue, C. P. Zhang, X. Y. Wang, M.Y. Zhu, L. S. Zhang, R. H. Chi, J. D. Zhang, and G. Y. Zhang, “Monte carlo simulation of light transportion in five layered skin tissue,” Chin. Phys. Lett., Vol. 17, No. 12 (2000, Feb.) 909-911. A. S. Nunez, “A physical model of human skin and its application for search and rescue,” M.S. dissertation, Dept. Air Force, Air Force Institute of Technology, Ohio, USA (2009). M. N. S. Yussof and M. S. Jaafar, “Performance of cuda gpu in monte carlo simulation of light-skin diffuse reflectance spectra,” IEEE EMBS Int. Conf. on Biomedical Engineering and Science, Langkawi (2012) 264-269. I. V. Meglinski and S. J. Macher, “Quantitative assessment of skin layers absorption and skin reflectance spectra simulation in the visible and near-infrared spectral regions,” J. Physiological Measurement, Vol. 23, No. 4 (2002) 741-753. L. Wang, Y. T. Zhang, X. D. Chen, and Z. Wang, “Monte carlo simulation of light propagation in human tissue model,” Int. Conf. On Bioinformatics And Biomedical Engineering, China (2009) 1-4. A. N. Bashkatov, D. M. Zhestkov, É. A. Genina, and V. V. Tuchin, “Immersion clearing of human blood in the visible and near-infrared spectral regions,” J. Optics And Spectroscopy, Vol. 98, No. 4 (2005) 638–646. S. Wang, J. Zhao, H. Lui, Q. He, and H. Zeng, “Monte Carlo simulation of near infrared autofluorescence measurements of in vivo skin,” J. Photochemistry and Photobiology, Vol. 105 (2011) 183-189. S. L. Jacques, “Optical properties of biological tissues: a review,” J. Phys. Med. Biol., Vol. 58 (2013) 37–61. A. Krishnaswamy and G. V. G. Baranoski, “A study on skin optics,” Natural Phenomena Simulation Group, Canada, Tech. Rep. CS-2004-01 (Jan. 2004). R. L. P. V. Veen, H. J. C. M. Sterenborg, A. Pifferi, A. Torricelli, and R. Cubeddu, “Determination of VIS- NIR absorption coefficients of mammalian fat, with time and spatially resolved diffuse reflectance and transmission spectroscopy,” OSA Annual BIOMED Topical Meeting, (2004). M. W. Irvine and J. B. Pollack, “Infrared optical properties of water and ice spheres,” ICARUS, Vol. 8 (1968) 324-360. P. Dua, F. J. Doyle, and E. N. Pistikopoulos, “Model-based blood glucose control for type 1 diabetes via parametric programming,” IEEE Trans. On Biomedical Engineering, Vol. 8, No. 6 (2006, Aug.) 14781491. N.T. Clancy and M. J. Leahy, “Effect of glucose on the optical properties of arterial blood using Mie theory simulations,” in Proc. SPIE-OSA Biomedical Optics, Vol. 5862 (2005). D. M. Zhestkov, V. V. Tuchin, A. N. Bashkatov, and E. A. Genina, “Optical immersion of erythrocytes in blood: a theoretical modeling,” in Proc. on Advanced Laser Technologies: Biomedical Optics, Vol. 5486 (2004) 339-346. C. Mätzler, “MATLAB functions for mie scattering and absorption,” Institute of Applied Physics University of Bern, Swiss, Res. Rep. No. 2002-08 (Jun. 2002). M. I. Perez and S. R. Kohn, “Cutaneous manifestations of diabetes mellitus,” J. the American Academy of Dermatology, Vol. 30, No. 4 (1994) 519-531.