ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Simulasi Atomik dan Sintesis Aurivillius Bi3TiNbO9 dengan dopan Al3+, Ga3+,In3+ Afifah Rosyidah1*, Djulia Onggo2, Khairurrijal3 and Ismunandar2 1
Department of Chemistry, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Jl. Arif Rahman Hakim, Surabaya, 60111 2 Inorganic & Physical Chemistry Research Division 3 Physics of Electronic Materials Research Division Faculty of Mathematics and Natural Sciences Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesa 10 Bandung 40132
*Corresponding author. Tel/Fax : 031-5943353/031-5928314; Email:
[email protected]
Abstrak Kelompok oksida Aurivillius dengan rumus umum [Bi2O2][An-1BnO3n+1] terdiri atas 2+ 2lembar [Bi2O2] dan lapisan seperti perovskit [An-1BnO3n+1] . Kajian tentang struktur material ini pada suhu kamar dan transisinya pada suhu tinggi telah dilakukan. Substitusi kation telah pula dilakukan pada Bi baik di lapis [Bi2O2]2+ maupun di lapis perovskit. Substitusi ini menimbulkan defek pada oksida Aurivillius. Penelitian ini untuk mempelajari defek kimia pada oksida Aurivillius lapis 2. Penelitian ini bertujuan mendapatkan: kestabilan defek pada oksida Aurivillius, baik pada lapis perosvkit maupun pada lapis [Bi2O2]2+ dengan dopan iso-valen. Tujuan tersebut dicapai, pertama melalui metode simulasi atomik dengan minimasi energi menggunakan perangkat General Utility Lattice Program (GULP) pada oksida Aurivillius representatif lapis 2. Beberapa komposisi yang stabil disintesis dengan menggunakan metode reaksi kimia padat pada tekanan atmosfer. Terhadap oksida-oksida Aurivillius yang dihasilkan, dilakukan karakterisasi struktur dengan menggunakan metoda difraksi sinar-X serbuk beresolusi tinggi. Hasil simulasi oksida yang telah ditentukan strukturnya, menunjukkan bahwa simulasi atomik dapat mereproduksi dengan baik hasil yang diperoleh dari percobaan difraksi dan dengan demikian valid sebagai model awal dalam pelaksaan tahap berikutnya, perhitungan defek. Pada simulasi, perhitungan energi defek akibat kekosongan terisolasi (energies of isolated vacancy defects) dilakukan pada posisi atom-atom Bi3TiNbO9. Hasil yang diperoleh, yakni adanya kekosongan oksigen pada sisi yang berdekatan dengan lapis bismut, menyatakan posisi kekosongan oksigen ini over-bonded dan dapat mengurangi tekanan kisi pada lapis bismut dan lapis perovskit. Pada penelitian ini oksida Aurivillius lapis 2: Bi2,95A0,05TiNbO9 (A = Al, Ga, In) telah berhasil disintesis dengan teknik reaksi kimia padat. Difraktogram yang dihasilkan menunjukkan tidak ditemukan adanya fasa pengotor. Untuk mengetahui adanya perubahan 3+ 3+ 3+ parameter sel satuan akibat adanya substitusi Al , Ga , In pada oksida Aurivillius yang disintesis, maka dilakukan penghalusan struktur menggunakan metode Rietveld dengan program Rietica. Semua oksida defek yang didapatkan secara umum masih dekat dengan struktur Aurivillius induknya. 3+
3+
3+
Kata kunci: Bi3TiNbO9; Dopan: Al , Ga , In
; Simulasi atomik;
1.
Pendahuluan Kelompok oksida Aurivillius merupakan material yang dipelajari secara luas untuk waktu yang telah cukup lama, karena banyak potensi aplikasi yang dimiliki, antara lain sifat feroelektrik. Rumus umum oksida ini adalah [Bi2O2][An-1BnO3n+1], yang terdiri atas lapisan 2+ 2[Bi2O2] dan lapisan seperti perovskit [An-1BnO3n+1] (Aurivillius, dkk., 1949). Adanya pasangan elektron bebas pada Bi (III) memungkinkan munculnya berbagai sifat fisika dan
AF-1
kimia. Elektron-elektron bebas ini dipercaya mempunyai peran penting dalam mengontrol fluktuasi valensi dan penstabilan non-stoikiometri. Dalam rangka usaha rekayasa bahan, diperlukan elusidasi hubungan antara struktur dan sifat bahan. Struktur detail oksida Aurivillius lapis 2 telah banyak diteliti, termasuk disordernya (Aurivillius, dkk., 1949; Ismunandar, dkk., 1996, 1998). Demikian pula substitusi kation telah pula dilakukan, baik pada lapis [Bi2O2]2+ maupun pada lapis perovskit (Duran-Martin, dkk., 1998; Millán, dkk., 1993; Snedden, dkk., 2003). Hingga saat ini, kajian secara sistematis tentang defek belum banyak dilakukan. Pada penelitian ini, dilakukan kajian sistematis defek kimia pada oksida Aurivillius lapis 2: Bi3TiNbO9. Studi dilakukan dengan metode minimasi energi menggunakan perangkat GULP. Defek pada Aurivillius dapat diberikan dengan menggunakan dopan. Dalam penelitian ini dopan yang digunakan 3+ 3+ 3+ adalah Al , Ga dan In . Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mempelajari kestabilan defek pada oksida Aurivillius, baik pada lapis [Bi2O2]2+ maupun pada lapis perovskit, akibat adanya defek. Penelitian yang dilakukan dengan metode simulasi atomik dapat memprediksi kestabilan bahan-bahan padatan ionik: Bi3TiNbO9. Hasil-hasil yang diperoleh dapat memberikan sumbangan pada pengetahuan baru tentang kaitan struktur (terutama defek) dengan sifat fisikokimia bahan yang sangat penting dalam usaha menghasilkan bahanbahan baru dengan sifat fisikokimia yang lebih unggul. Oksida-oksida baru berdefek yang disintesis merupakan material-material baru yang unggul. 2. Eksperimen Simulasi Atomik Dalam kajian simulasi atomik, diperlukan data-data kristalografi awal. Untuk 3+ 3+ senyawa Aurivillius representatif yang dikerjakan, yaitu: Bi3TiNbO9 dengan dopan Al , Ga 3+ dan In ; hal ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data kristalografi hasil perekaman difraksi serbuk beresolusi tinggi baik menggunakan neutron maupun sinar-X. Parameter potensial interatomik yang digunakan dalam simulasi ini didapatkan dari penelitian yang telah dilakukan oleh Catlow, dkk., tahun 1982, 1990; Bush, dkk., 1994; Grimes, dkk., 1996 dan Pirovano, dkk., 2001; yang secara keseluruhan dirangkumkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Potensial Interatomik untuk fasa Aurivillius Bi3TiNbO9. A (eV) a) Buckingham range pendek 3+ 3+ Bi .. Bi 24244,50 3+ 2Bi .. O 49529,35 Nb5+..O21796,30 4+ 2Ti .. O 2549,4 22O .. O 9547,96 b) Model shell 2 Species K (eV Å ) 3+ Bi 395,55 Nb5+ 1358,58 4+ Ti 39,5 2O 6,3
ρ (Å)
6
C (eV Å )
0,3284 0,2223 0,3459 0,2989 0,2192
0,0 0,0 0,0 0,0 32
Y Shell(e) -5,51 -4,497 2,89 -2,04
Pada kajian simulasi atomik fasa Aurivillius digunakan prosedur minimasi energi menggunakan perangkat Gulp dengan compiler fortran 77 pada sistem linux. Untuk material oksida digunakan model Born yang membagi energi sistem menjadi interaksi Coulomb range panjang dan suku range pendek yang menggambarkan tolakan serta antaraksi Van der Waals antara awan elektron bermuatan. Bentuk suku range pendek dinyatakan dengan potensial Buckingham: -r/ρ
Vij(r) = Aije
ij
-
C ij r6
dengan Aij, rij dan Cij merupakan parameter yang diturunkan secara empiris untuk interaksi masing-masing ion. Model Dick-Overhauser digunakan untuk simulasi polarisasi ionik. Dalam model ini, ion dinyatakan sebagai dua bola (satu menggambarkan inti yang massif dan satu menggambarkan elektron luar) yang dihubungkan dengan pegas.
AF-2
Perhitungan defek dapat dilakukan menggunakan pendekatan Mott–Littleton yang melibatkan pembagian kristal dalam dua bagian, sehingga ion-ion di bagian dalam terlepas secara eksplisit. Pada kristal ini gaya defek relatif lemah, dalam hal ini digunakan metoda quasi-continu. Metode simulasi seperti ini telah diterapkan untuk mempelajari defek dan transport ion oksida dalam oksida komplek. Penekanan simulasi ini untuk membantu dan merasionalkan sifat defek yang didasarkan pada perhitungan tingkat atomik. Sintesis dan Karakterisasi Senyawa Aurivillius Hasil simulasi model fasa Aurivillius menggunakan perangkat Gulp digunakan sebagai dasar untuk melakukan sintesis senyawa Aurivillius. Defek Aurivillius dengan kestabilan tinggi saja yang disintesis. Secara detail teknik sintesis dan karakterisasi yang digunakan adalah sebagai berikut: sintesis oksida Aurivillius lapis 2 dilakukan dengan menggunakan metode reaksi kimia padat pada tekanan atmosfer. Sintesis senyawa Aurivillius dilakukan dari bahan-bahan oksida dengan kemurnian tinggi. Pereaksi-pereaksi: Nb2O5, Bi2O3, TiO2, Al2O3, Ga2O3 dan In2O3. Semua bahan tersebut memiliki kemurnian 99,999% Aldrich; sesuai komposisi sintesis, dimasukkan dalam mortar dan dihomogenkan dengan penggerusan serta penambahan aseton, dibiarkan kering, untuk selanjutnya dibuat o pelet. Pelet dimasukkan dalam krus alumina dan dipanaskan pada temperatur 400 C o selama 24 jam dan selanjutnya temperatur pemanasan dinaikkan 100 C lebih tinggi dari pemanasan sebelumnya. Antara dua pemanasan dilakukan penggerusan ulang untuk o membentuk permukaan baru dan pemanasan lanjutan dilakukan pada temperatur 900 C, o o 1000 C, masing-masing selama 24 jam dan 1100 C selama 48 jam. Karakterisasi bahan dilakukan mengunakan difraksi sinar-X serbuk untuk mengetahui fasa yang terbentuk serta untuk penentuan struktur awal. Sejumlah 0,6 gram sampel diletakkan pada sel difraksi (sampel holder) lalu disinari dengan sinar Cu-Kα. Data o o difraksi diambil pada sudut 2θ dalam interval 10 sampai dengan 80 . Difraktogram yang diperoleh berupa grafik hubungan antara sudut difraksi 2θ dan intensitas. Penentuan struktur kristal dari data difraksi serbuk ini melibatkan perekaman data difraksi serbuk sinarX beresolusi tinggi. Data kemudian dianalisis dengan program RIETICA (Hunter, dkk.,1997). 3.
Hasil dan Pembahasan Metode simulasi atomik telah diterapkan pada Bi3TiNbO9 untuk menentukan konfigurasi energi terendah pada struktur kristal menggunakan proses minimasi energi dan membandingkan hasil yang diperoleh dengan hasil studi difraksi. Tahap awal simulasi adalah optimasi dan fitting antara model hasil perhitungan dengan data hasil studi difraksi neutron maupun sinar-X beresolusi tinggi yang sudah ditentukan peneliti sebelumnya: (Wolfe, dkk., 1971), (Thompson, dkk., 1991), (Nalini, dkk., 2003) untuk Bi3TiNbO9. Dari simulasi ini didapatkan juga nilai energi kisi. Simulasi dilakukan dengan memasukkan data hasil percobaan difraksi sinar-X resolusi tinggi seperti parameter sel a, b, c, sistem kristal ortorombik serta posisi atom dalam sel satuan dan potensial interatomik kation-anion dalam senyawa. Data yang diperoleh, menunjukkan bahwa simulasi atomik dapat mereproduksi dengan baik hasil percobaan difraksi dan dapat digunakan sebagai titik awal dalam pelaksanaan tahap berikutnya, perhitungan defek. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter struktur hasil simulasi dan eksperimen untuk Bi3TiNbO9. Parameter a (Å) b (Å) c (Å) α = β = γ (deg) Energi kisi (eV)
Simulasi 5,4185 5,3814 25,0376 90 -469,9254
Eksperimen 5,4248(2) 5,3864(2) 25,0392(9) 90
∆(eksp-siml) % 0,11 0,09 0,006
Pada Tabel 1. terlihat bahwa selisih nilai parameter sel hasil studi difraksi sinar-X dengan perhitungan simulasi GULP sangat kecil, ini identik dengan selisih hasil perhitungan parameter sel yang telah dilaporkan oleh Pirovano, dkk. (Pirovano, dkk., 2001) dengan program simulasi atomik yang sama. Hal ini menunjukkan adanya kesesuaian antara
AF-3
parameter sel satuan hasil difraksi dan simulasi atomik. Kemudian perhitungan energi defek akibat kekosongan terisolasi (energies of isolated vacancy defects) dilakukan pada posisi atom-atom yang berbeda dalam Bi3TiNbO9. Hasil yang diperoleh menunjukkan energi kekosongan terendah sebesar 13,219 eV terjadi pada posisi O(3) untuk Bi3TiNbO9. Energi kekosongan masing-masing posisi kristalografik untuk keempat oksida ini diberikan pada Gambar 1. sedangkan posisi kristalografik yang berkaitan dengan kekosongan terisolasi ini dinyatakan dalam Gambar 2.
Gambar 1. Energi defek titik akibat kekosongan terisolasi pada Bi3TiNbO9.
Gambar 2. Posisi-posisi kristalografik pada Bi3TiNbO9 yang ditentukan energi defeknya; A menunjukkan lapis bismut [Bi2O2]2+, B adalah lapis perovskit, C merupakan unit sel struktur perovskit hipotetik dan D sebagai oktahedral BO6. 3+
3+
3+
Hasil simulasi Bi3TiNbO9 akibat dopan Al , Ga dan In menunjukkan bahwa dimungkinkan terjadinya substitusi pada lapis bismut. Ini dibuktikan dari energi paling rendah yang diperoleh. Untuk Bi3TiNbO9 energi defek terendah terjadi pada posisi Bi(2) 3+ 3+ 3+ yakni sebesar 1,325; 1,745; 2,631; eV masing-masing akibat dopan Al , Ga dan In . 3+
3+
3+
Tabel 2. Energi defek Bi3TiNbO9 akibat dopan Al , Ga , dan In Dopan Al 3+ Ga 3+ In 3+ Jari-jari ionik (Å) 0,535 0,62 0,80 Bi1 3,979 3,801 4,659 Bi2 1,325 1,745 2,631 Ti 9,573 8,261 9,762
Beberapa dekade sebelumnya (Wolfe, dkk.,1971), diasumsikan bahwa substitusi terjadi pada posisi A lapis perovskite (Bi1), namun hasil studi difraksi sinar-X terkini
AF-4
2+
menyatakan kebolehjadian substitusi baik pada lapis [Bi2O2] maupun lapis perovskit, bahkan adanya dopan dapat menghasilkan defek melalui disorder kation dan dapat menurunkan simetrinya sehingga menjadi lebih stabil (Chu, dkk., 2004). Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa hasil perhitungan energi defek pada 3+ 3+ 3+ Bi3TiNbO9 akibat dopan Al , Ga dan In menunjukkan adanya kecenderungan dopan yang tergabung lebih menyukai posisi pada sisi Bi. Hasil perhitungan tersebut juga menunjukkan bahwa substitusi Al3+, Ga3+, In3+ secara energetika tidak terjadi pada lapis perovskit, namun demikian terdapat kemungkinan terjadi substitusi pada posisi tersebut 3+ meskipun kecil. Untuk substitusi pada lapis bismut, In diprediksi paling stabil dibanding dopan yang lain. Hasil simulasi tidak semata-mata menunjukkan bahwa doping hanya terjadi pada 2+ lapis [Bi2O2] , namun awal doping akan terjadi pada posisi tersebut. Meski demikian, pada 3+ sudut pandang perhitungan energi kisi yang lebih luas perbedaan energi defek Bi pada 2+ posisi [Bi2O2] dan posisi A lapis perovskit kecil. Pada posisi ini akan terjadi disorder kation. Data dalam Tabel IV.3 menunjukkan bahwa jumlah dopan yang dapat disisipkan baik pada 3+ 4+ posisi Bi maupun Ti tidak lebih dari 0,34 occupancy. Tabel 3. Komposisi substitusi maksimum pada Bi3TiNbO Posisi Maks dopan (occupancy) Bi3TiNbO9 Pb2+ Al3+ Ga3+ In3+ Ta5+ Bi (1) Bi (2) Ti
0,22 0,13 0,24
0,32 0,22 0,33
0,33 0,21 0,34
0,09 0,06 0,08
0,08 0,05 0,05
Sintesis dan Karakterisasi Struktur Pada penelitian ini oksida Aurivillius lapis 2: Bi2,95A0,05TiNbO9 (A = Al, Ga, In) telah berhasil disintesis dengan teknik reaksi kimia padat. Oksida Aurivillius yang dihasilkan berwarna putih pucat. Hasil analisis difraksi sinar-X menunjukkan pola difraktogram yang mirip dengan Bi3TiNbO9 ICSD #: 066551 untuk lapis 2 basis data PDF. Pada difraktogram yang dihasilkan tidak ditemukan adanya puncak-puncak fasa pengotor. Adanya dopan Al3+, Ga3+ dan In3+ pada senyawa Bi3TiNbO9 terdeteksi dari analisis yang dilakukan dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) yang dilengkapi dengan Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (EDX). Untuk mengetahui adanya perubahan parameter sel satuan dan struktur produk akibat adanya substitusi Al3+, Ga3+ dan In3+ pada oksida Aurivillius yang disintesis, maka dilakukan penghalusan struktur menggunakan metode Rietveld dengan program Rietica. Sebagai model awal, digunakan Bi3TiNbO9 yang memiliki struktur ortorombik dan grup ruang A21am dengan parameter sel a = 5,4248(2) (Å); b = 5,3864(2) (Å); c = 25,0392(9) (Å) dan V = 731,67(7) (Å3) dan telah ditentukan oleh Nalini, dkk. (Nalini, dkk., 2003). Pada saat penghalusan struktur Bi2,95A0,05TiNbO9 (A = Al, Ga, In) dilakukan constrain untuk atom Ti/Nb yang menempati posisi B pada lapis perovskit dan atom Bi/A (A = Al, Ga, In). Ini dilakukan karena atom-atom tersebut menempati posisi yang sama. Hasil refinement yang diperoleh konvergen, sesuai dopan yang dimasukkan 0,05 mol dan juga sesuai dengan hasil simulasi atomik yang telah dilakukan. Hasil penghalusan struktur dengan metode Rietveld menggunakan program Rietica terhadap 3500 data difraksi pada rentang sudut difraksi 2θ = 10o – 80o menunjukkan kesesuaian antara data percobaan dan perhitungan yang sangat baik sehingga dinyatakan bahwa oksida Aurivillius yang disintesis mengkristal dalam sistem kristal ortorombik, Z = 4, grup ruang A21am untuk lapis 2: o o o Bi2,95A0,05TiNbO9 (A = Al, Ga, In). Munculnya puncak pada 2θ: 14,097 , 23,448 , 29,279 , o o o o o o o o 32,890 , 33,122 , 35,729 , 47,373 , 49,345 , 49,511 , 56,517 , 56,819 dan 60,724o merupakan indikasi bahwa senyawa yang dihasilkan adalah fasa Aurivillius lapis 2 sesuai standar Bi3TiNbO9 ICSD #: 066551. Selain analisis menggunakan difraksi sinar-X serbuk beresolusi tinggi, untuk beberapa senyawa juga dilakukan pengukuran menggunakan sinar-X sinkrotron. Hasil penghalusan struktur dengan metode Rietveld menggunakan program Rietica terhadap data o o o o difraksi pada rentang sudut 2θ = 5 –45 untuk difraksi sinar-X sinkrotron dan 2θ = 10 – 80
AF-5
untuk difraksi sinar-X serbuk menunjukkan kesesuaian antara data percobaan dan perhitungan yang sangat baik yang mana titik-titik difraksi berimpit dengan garis kalkulasi seperti ditunjukkan dengan plot Rietveld pada Gambar 3. Dalam refinement hanya atom-atom berat yaitu atom Bi, Ti dan Nb yang ditentukan. Posisi atom oksigen tidak dapat ditentukan secara akurat dengan data difraksi sinar-X. Ini terjadi karena pada difraksi sinar-X, atom oksigen tidak memberikan kontribusi yang berarti akibat banyaknya atom berat pada oksida tersebut. Hasil yang diperoleh menunjukkan 3+ 3+ 3+ 3+ kebolehjadian Al , Ga , In menempati posisi yang sama dengan Bi baik pada lapis bismut maupun posisi A pada lapis perovskit.
sinkrotron
difraksi sinar-X
Gambar 3. Plot Rietveld hasil pengukuran menggunakan sinar-X sinkrotron dan difraksi sinar-X; data percobaan (x), perhitungan (garis tegas) dan selisih (grafik di bawah garis pendek-pendek) yang diindeks pada grup ruang yang terkait. Secara keseluruhan, hasil penghalusan struktur dengan metode Rietveld menggunakan program Rietica menghasilkan derajat kesesuaian antara data observasi dan kalkulasi mencapai taraf kepercayaan di atas 90 %. Keadaan ini ditunjukkan oleh nilai kesalahan relatif, Rp yang rendah yaitu berkisar 7,27 %. Demikian pula halnya parameter yang lain seperti nilai Rwp dan nilai RBragg yang rendah serta nilai paramater sel hasil ekstraksi yang sangat logis dengan parameter sel kristal senyawa acuan, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Parameter sel satuan Bi3TiNbO9 dengan dopan Al3+, Ga3+ dan In3 + ditentukan menggunakan metode Rietveld. Dopan Parameter Bi3TiNbO9*) Bi3TiNbO9 3+ 3+ 3+ Al Ga In Grup ruang A21am A21am A21am A21am A21am a (Å) 5,4248(2) 5,4251(3) 5,4237(8) 5,4239(2) 5,4241(9) b (Å) 5,3864(2) 5,3870(5) 5,3671(7) 5,3693(3) 5,3704(8) c (Å) 25,0392(9) 25,0450(6) 25,0262(4) 25,0285(9) 25,0291(6) V (Å3) 731,67(7) 731,81(4) 728,50(8) 728,89(4) 729,09(5) 2(a − b) (a + b)
7,05x 10-3 1,05 x 10-2
1,01 x 10-2
Rp 11,79 7,45 6,85 8,69 Rwp 17,29 5,37 2,12 5,44 Rexp 5,22 6,07 5,71 RBragg 8,35 4,11 4,42 4,68 GOF 1,03 0,35 0,95 2 2 1/2 Rp = 100∑|yobs-ycal|/|yobs| ; Rwp = 100{∑wi(yoi-yci) /∑wi(yoi) } ; R Bragg = 100∑|Io-Ic|/|Io|; GOF = Rwp/Rexp *) Nalini, dkk. (2003)
9,95 x 10-3 7,27 5,94 4.79 4,25 1,24
AF-6
Perubahan parameter sel produk sintesis hasil penghalusan menggunakan program Rietica mempunyai kecenderungan yang sama dengan hasil simulasi menggunakan program GULP. Secara umum, adanya dopan Al3+, Ga3+ dan In3+ dalam masing-masing 3+ Aurivillius yang disintesis akan mensubstitusi sebagian Bi pada kation A lapis perovskit, menyebabkan berkurangnya volume sel. Ini disebabkan ukuran jari-jari ionik dopan lebih kecil dari Bi3+ yang menempati posisi kation A lapis perovskit. 4.
Kesimpulan Hasil simulasi yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa simulasi atomik dapat mereproduksi dengan baik hasil yang diperoleh dari percobaan difraksi dan dapat digunakan sebagai parameter dalam pelaksaan tahap berikutnya menuju pada perhitungan defek. Pada simulasi, perhitungan energi defek akibat kekosongan terisolasi (energies of isolated vacancy defects) dilakukan pada posisi atom-atom Bi3TiNbO9. Hasil yang diperoleh menunjukkan posisi kekosongan oksigen dapat mengakibatkan ‘over-bonded’ anion sehingga mengurangi tekanan kisi pada lapis bismut. 3+ 3+ 3+ Hasil simulasi pada Bi3TiNbO9 akibat dopan Al , Ga dan In memungkinkan 3+ 3+ 3 + terjadinya substitusi pada bismut maupun lapis perovskit. Dopan Al , Ga dan In lebih 3+ 3+ 3+ stabil pada sisi Bi untuk fasa Aurivillius. Kesamaan muatan M dan Bi yang memungkinkan terjadinya substitusi ini. Pada penelitian ini oksida Aurivillius lapis 2: Bi2,95A0,05TiNbO9 (A = Al, Ga, In) telah berhasil disintesis dengan teknik reaksi kimia padat. Oksida Aurivillius yang dihasilkan berwarna putih pucat. Pada difraktogram yang dihasilkan tidak ditemukan adanya fasa pengotor. Secara keseluruhan, hasil penghalusan struktur dengan metode Rietveld menggunakan program Rietica menunjukkan defek oksidanya masih berstruktur Aurivillius. 3+ 3+ 3+ Adanya dopan Al , Ga dan In dalam Aurivillius yang disintesis mensubstitusi sebagian 3+ Bi pada kation A lapis perovskit, menyebabkan berkurangnya volume sel. Ini disebabkan ukuran jari-jari ionik dopan lebih kecil dari Bi3+ yang menempati posisi kation A lapis perovskit. Daftar Pustaka Aurivillius, B. dan Kemi A. (1949) : Mixed Bismuth Oxides with Layer Lattices: I, The Structure Type of CaBi2Nb2O9, Arkiv Kemi Band, 1, 463–480. Bush, T.S., Gale, J.D., Catlow, C.R.A. dan Battle, P.D. (1994) : Self Consistent Interatomic Potentials for Simulation of Binary and Ternary Oxides, J. Mater. Chem., 4, 831–837. Catlow, C.R.A., Dixon, M. dan Mackrodt, W.C. (1982) : Theory of Simulation Methods for Lattice and Defect Energy Calculations in Crystals, Computer Simulation of Solids, chapter 1, vol 166, Springer-Verlag, Berlin. Catlow, C.R.A. dan Price, G.D. (1990) : Computer Modelling of Solid-State Inorganic Materials, Nature, 347, 243–248. Catlow, C.R.A. (2003) : Modelling and Simulation, Current Opinion in Solid State and Materials Science, 7, 1–2. Chu, M.W., Caldes, M.T., Brohan, L., Ganne, M., Marie, A.M., Joubert, O. dan Piffard, Y. (2004) : Bulk and Surface Structures of the Aurivillius Phases, Chem. Mater., 16, 31–42. Dura´n-Martı´n, P., Castro, A., Milla´n, P. dan B. Jime´nez, B. (1998) : Influence of Bi-Site Substitution on the Ferroelectricity of the Aurivillius Compound Bi2SrNb2O9, J. Mater. Res., 13, 2565–2571. Grimes, R.W., Harker, A.H. dan Lidiard, A.B.(Eds.). (1996) : Interatomic Potentials, Philos. Mag. B, 73 (1). Hunter, B.A. dan Howard, C.J. (1997) : http://www.rietica.org, v. 1.7.7; Lucas Heights Research Laboratories. Ismunandar, Kennedy, B.J., Gunawan dan Marsongkohadi (1996) : Structure of ABi2Nb2O9 (A = Sr, Ba): Refinement of Powder Neutron Diffraction Data, J. Solid State Chem., 126, 135–141. Ismunandar, Hunter, B.A. dan Kennedy, B.J. (1998) : Cation Disorder in the Ferroelectric Aurivillius Phase PbBi2Nb2O9: an Anamolous Dispersion X-ray Diffraction Study, Solid State Ion., 112, 281–289. 2+ Millán, P. , Castro, A. dan Torrance, J.B. (1993) : The First Doping of Lead into the Bismuth Oxide Layers of the Aurivillius Oxides, Mater. Res. Bull., 28, 117–122. Nalini, G., Subbanna, G.N. dan Row, T.N.G. (2003) : Studies on n = 2 Aurivillius Phases: Structure of the Series Bi3-xLaxTiNbO9 (0 < x < 1), Mater. Chem. Phys., 82, 663–671. Pirovano, C., Islam, M.S., Vannier, R.N., Nowogrocki, G. dan Mairesse, G. (2001) : Modelling the Crystal Structures of Aurivillius Phases, Solid State Ion., 140, 115–123.
AF-7
Snedden, A., Hervoches, C.H. dan Lighfoot, P. (2003) : Ferroelectric Phase Transitions in SrBi2Nb2O9 and Bi5Ti3FeO15 a Powder Neutron Diffraction Study, Phys. Rev. B., 67, 0921021–4. Thompson, J.G., Rae, A.D., Withers, R.L. dan Craig, D.C. (1991) : Revised Structure of Bi3TiNbO9, Acta Crys. B, 47, 174–180. Wolfe, R.W., Newnham, R.E., Smith, D.K.jr. dan Kay, M.I. (1971) : Crystal Structure of Bi3TiNbO9, Ferroelectrics, 3, 1–7. Xiang, P.H., Kinemuchi, Y., Watari, K., Cao, F. dan Dong, X.L. (2006) : Fabrication of Textured Bi3NbTiO9 Ceramics, J. Am. Ceram. Soc., 89, 684–687. Yan, H., Zhang, H., Zhang, Z., Ubic, R. dan Reece, M.J (2005) : B-site Donor and Acceptor Doped Aurivillius Phase Bi3NbTiO9 Ceramics, J. Eur. Ceram. Soc., 118, 125–132.
AF-8
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Sintesis, Karakterisasi, dan Aplikasi TS-1 Mesoporus Alfa Akustia Widati, Didik Prasetyoko* Kimia FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Laboratorium Kimia Anorganik, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya *Email :
[email protected], Telp : 031-5943353
Abstrak Titanium Silikalit-1 (TS-1) mesoporus banyak disintesis untuk mengkatalisis molekul berukuran ruah dengan kestabilan hidrotermal katalis yang tinggi. Berbagai macam template telah digunakan untuk membuat fase mesoporus dari TS-1. Cara sintesis dan template yang berbeda menyebabkan ukuran pori dan aktivitas katalitik dari mesoporus TS-1 yang dihasilkan juga berbeda. TS-1 mesoporus dikarakterisasi dengan menggunakan XRD, FTIR, 29 UV Vis DR, Adsorpsi Desorpsi Nitrogen, Transmission Electron Microscopy (TEM), Si MAS NMR. Kata kunci : TS-1 mesoporus, molekul berukuran ruah, cara sintesis dan variasi template, karakterisasi
1. Pendahuluan Titanium Silikalit-1 (TS-1) merupakan material katalis yang digunakan pada kondisi mild dengan menggunakan H2O2 sebagai oksidan pada reaksi oksidasi olefin, amoksimasi sikloheksanon (Ke dkk, 2007; Wilkenhıner dkk, 2001), alkohol, senyawa hidroksil aromatis (Ke dkk, 2007), epoksidasi propilen, α-olefin, dan hidroksilasi fenol (Wilkenhıner dkk, 2001) dengan selektivitas yang tinggi. Akan tetapi, ukuran pori TS-1 yang kecil (kurang dari 8 Å) menyebabkan material ini tidak sesuai untuk mengkatalisis molekul yang berukuran ruah (bulky molecules) (Eimer dkk, 2008; Xiao, 2008; Schmidt dkk, 2000). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan yaitu dengan melakukan inkorporasi titanium ke dalam material mesoporus seperti MCM-41, MCM-48, HMS, dan M41S. Ukuran diameter pori material mesoporous yang besar membuat material tersebut sesuai untuk reaksi katalisis yang melibatkan reaktan dengan molekul besar (Trukhan dkk, 2001; Berlini dkk, 2000)). Dibanding dengan TS-1, material titanium mesoporus mempunyai kemampuan oksidasi dan stabilitas hidrotermal yang rendah (Eimer dkk, 2008). Oleh karena itu, pengembangan material TS-1 dengan ukuran mesoporus banyak dilakukan untuk mendapatkan stabilitas hidrotermal yang tinggi dan kemampuan oksidasi yang besar terhadap molekul berukuran ruah. 2. Eksperimen Material mesoporus dapat dibentuk melalui beberapa metode diantaranya sintering, etching, anodisasi, dan templating. Metode yang paling banyak digunakan adalah templating (Campbell, 2006). Dalam hal ini, material mesoporus dibentuk melalui pembentukan silika dengan template misel diikuti pemindahan template melalui kalsinasi (Vinu dkk, 2006). Adanya template menyebabkan volume pori menjadi lebih besar. Berbagai macam template telah digunakan untuk mensintesis TS-1 mesoporus diantaranya surfaktan, senyawa organik, dan karbon. Eimer dkk, 2008 mensintesis TS-1 mesoporus dengan mencampur tetraetilortosilikat (TEOS) dan tetrabutilortotitanat (TBOT) diaduk selama 30 menit, ditambah TPAOH, NaOH dan air hingga didapatkan campuran 1TEOS : 0,017TiO2 : 0,24TPAOH :
AF-9
21,2H2O : 0-0,004Na2O, didiamkan 80ºC selama 1 (0 Na2O) dan 2 hari (0,004 Na2O) ditambah cetiltrimetilamoniumbromida (CTABr) hingga CTABr/Si = 0,306, didiamkan selama 3 jam, dikeringkan 60ºC semalam, disaring, dikalsinasi 550ºC selama 1 jam dialiri N2 (130 3 3 cm /menit), dilanjutkan kalsinasi udara selama 6 jam (130 cm /menit). Fang dan Hu (2007) memperoleh TS-1 mesoporus dari template CMK-3 yang disintesis dari SBA-15. SBA-15 didapatkan dari campuran triblock copolymer, EO20PO70EO20 sebagai surfaktan dengan TEOS sebagai sumber silika. Campuran dipanaskan pada 38ºC selama 4 jam, di-aging pada 100ºC selama 24 jam (Jun dkk dalam Fang dan Hu, 2007). SBA-15 yang telah dikalsinasi digunakan sebagai template sintesis CMK-3. Sukrosa dipolimerisasikan ke dalam SBA-15 dengan H2SO4 sebagai katalis, dikarbonisasi dalam kondisi N2 jenuh, dilanjutkan dengan pemanasan 900ºC (heating rate 2ºC/menit). Template SBA-15 dihilangkan melalui pencucian dengan HF, kemudian dikeringkan pada 150ºC. CMK-3 diimpregnasi dengan metode incipient wetness dengan TPAOH, air, dan etanol. Etanol diuapkan pada suhu kamar kemudian campuran TEOS dan TBOT ditambahkan dengan rasio C/SiO2 = 2 : 1 (b/b) sehingga diperoleh komposisi akhir SiO2/TiO2/TPAOH/H2O = 1 : 0,0125 : 0,2 : 2. Campuran dipanaskan pada 170 ºC selama 48 jam untuk kristalisasi zeolit TS-1. Endapan yang terbentuk dikalsinasi pada 550ºC selama 5 jam. Ke dkk (2007) mensintesis dengan memasukkan TEOS tetes demi tetes ke dalam campuran TPAOH dan trietanolamin (TEA) selama 1 jam. Campuran ditambah dengan TBOT hingga didapatkan komposisi gel 1SiO2 : 0,037TBOT : 0,25TPAOH : (0;0,4)TEA : 35H2O, campuran diaduk selama 2 jam dengan pemanasan 80 ºC. Dua teknik sintesis yang dilakukan adalah Dry Gel Conversion dan hidrotermal. Pada Dry Gel Conversion , campuran diaduk dan dipanaskan pada suhu 90ºC selama 5 jam, dipanaskan 180ºC selama 6 hari, dikalsinasi 550ºC selama 8 jam Sedangkan pada hidrotermal, campuran dipanaskan 180ºC selama 6 hari, dikalsinasi 550ºC selama 8 jam. Schmidt dkk (2000) mensintesis dengan template krabon hitam BP 700. Karbon hitam BP 700 dimpregnasi melalui incipient wetness impregnation dengan TPAOH, air, dan etanol. Setelah penguapan etanol, karbon diimpregnasi dengan tetraetilortotitanat (TEOT) dan TEOS. Komposisi gel yang didapat adalah 20TPA2O : TiO2 : 100SiO2 : 200H2O. Aging dilakukan minimal 3 jam pada suhu kamar, karbon hitam yang telah diimpregnasi dipanaskan pada suhu 170ºC (heating rate 0,5ºC/ menit) selama 72 jam, didinginkan pada suhu kamar dan disaring. Endapan dicuci sebanyak 4 kali dengan air dan dikeringkan pada 110ºC selama 10 jam. Tahapan berikutnya adalah kalsinasi pada suhu 550ºC selama 8 jam. Sementara itu, On dkk (2001) menggunakan template HO(CH2CH2O)20(CH2CH(CH3)O)70(CH2CH2O)20H (EO20PO70EO20). Sintesis dilakukan 2 sumber silika yang berbeda yaitu SiCl4 dan TEOS. Untuk sumber silika SiCl4, sebanyak 10 gr EO20PO70EO20 dilarutkan dalam 100 gr etanol. Sebanyak 0,10 mol SiCl4 dan tetrapropilortotitanat (TPOT) ditambahkan ke dalam campuran. Campuran diaduk selama 12 jam pada suhu kamar, kemudian dipanaskan pada 40ºC. Padatan mesoporus yang mengandung surfaktan dikeringkan pada suhu kamar dan kemudian dipanaskan pada 60ºC selama 24 jam. Untuk sumber silika TEOS, titanium mesoporus (Ti/Si 1,5%) disintesis dari TEOS dalam kondisi asam (HCl 2M) (Zhao dkk dalam On dkk, 2001). Surfaktan yang mengandung prekursor mesoporus dikeringkan dalam kondisi vakum pada 60ºC selama 24 jam. Sebanyak 20 gr prekursor mesoporus yang telah kering, diimpregnasi dengan 40 gr TPAOH (10% b/b) bebas alkali. Setelah di-aging pada suhu kamar selama 12 jam, dipanaskan pada 60ºC selama 24 jam untuk mengeliminasi air, dan selanjutnya dikeringkan semalam pada suhu kamar, dilanjutkan dengan pengeringan vakum selama 24 jam. Padatan dipanaskan selama 120ºC selama beberapa hari. Produk selanjutnya dicuci dengan aquades, dikeringkan pada 80ºC, dan dikalsinasi 500ºC (heating rate = 1 ºC/menit) selama 6 jam.
AF-10
Peneliti Eimer dkk (2008)
Fang dan Hu (2007)
Ke dkk (2007)
Schmidt dkk (2000)
On dkk (2001)
Tabel 1. Sintesis TS-1 mesopous Template Prosedur CTABr Komposisi gel = 1TEOS : 0,017TiO2 : 0,24TPAOH : 21,2H2O : 0-0,004Na2O. Untuk 0 Na2O didiamkan selama 2 hari, dan untuk 0,004 Na2O didiamkan selama 1 hari pada 80ºC. Penambahan template CTABr dengan rasio CTABr/Si = 0,306 (EO20PO70EO20), CMK-3 Template CMK-3 yang disintesis dari SBATEOS, H2SO4, 15. CMK-3 diimpregnasi dengan metode TPAOH, etanol, incipient wetness dengan TPAOH, air, dan TBOT, HF etanol. Rasio C/SiO2 = 2:1 (b/b) sehingga diperoleh komposisi akhir = SiO2/TiO2/TPAOH/H2O=1:0,0125:0,2:2. Campuran dipanaskan pada 170 ºC selama 48 jam. TEA, TEOS, TPAOH, TEA Komposisi gel = 1SiO2 : 0,037TBOT : TBOT 0,25TPAOH : 0,4TEA : 35H2O Dua teknik sintesis TS-1 mesoporus yaitu Dry Gel Conversion dan hidrotermal. Dry Gel Conversion : campuran diaduk dan dipanaskan pada suhu 90ºC selama 5 jam, dipanaskan 180ºC selama 6 hari. Hidrotermal : campuran dipanaskan 180ºC selama 6 hari. TPAOH, air, etanol, Karbon hitam Komposisi gel = 20TPA2O : TiO2 : 100SiO2 : TEOT, TEOS BP 700 200H2O. Aging dilakukan minimal 3 jam pada suhu kamar, karbon hitam yang telah diimpregnasi dipanaskan pada suhu 170ºC (heating rate 0,5ºC/ menit) selama 72 jam. EO20PO70EO20, EO20PO70EO20 Prinsip sintesis melalui dua cara yaitu TPAOH, SiCl4, pembuatan prekursor mesoporus amorf TEOS, TPOT HCl yang diikuti dengan transformasi mesoporus amorf menjadi kristalin. Sumber silika : SiCl4 dan TEOS Bahan CTABr, TEOS, TBOT, NaOH
3. Hasil dan Pembahasan X-Ray Diffraction (XRD) Karakterisasi dengan menggunakan XRD, dapat memberikan informasi mengenai derajat kemurnian, kristalisasi, dan kisi kristal (Kwayke-Awuah, 2008). Puncak difraktogram TS-1 mesoporus mirip dengan puncak difraktogram pada TS-1 mikroporus. Puncak difraksi TS-1 muncul pada 2θ 7,95º; 8,94º; 23,2º; 23,7º; 24,1º; dan 24,9º (Ke dkk, 2007). Perbedaan difraktogram TS-1 mesoporus dan TS-1 mikroporus terletak pada puncak yang muncul pada 2θ yang rendah dimana pada 2θ tersebut menunjukkan adanya fase mesoporus dalam TS1. Puncak karakteristik material mesoporus terletak pada 2θ 2,1-2,7º (Eimer dkk, 2008). Baik dengan menggunakan template karbon hitam BP 700 (Schmidt dkk, 2000), CMK-3 (Fang dan Hu, 2007), EO20PO70EO20 (On dkk, 2001), TEA (Ke dkk, 2007), maupun dengan CTABr (Eimer dkk, 2008), TS-1 mesoporus menunjukkan kristalinitas MFI yang tinggi. Semakin lama waktu kristalisasi, kristalinitas makin besar (On dkk, 2001).
AF-11
♦ ♦ ♦
♦
♦ ♦ ♦♦ ♦ ♦ ♦
♦ ♦
♦♦
♦ ♦ ♦♦♦ ♦ ♦
♦♦♦
(i) (ii) Gambar 1. Difraktogram TS-1 mesoporus dari template EO20PO70EO20 : (i) sumber silika SiCl4 (ii) sumber silika tetraetilortosilikat (waktu kristalisasi a = 0 hari, b = 8 hari, c = 10 hari) Spektroskopi FTIR -1 Spektra FTIR memperlihatkan adanya puncak pada 550 cm yang menunjukkan karakteristik dari asymetric stretching cincin ganda lima dalam MFI tipe zeolit. Puncak pada bilangan gelombang 960 cm-1 mengindikasikan adanya titanium dalam kerangka zeolit (Fang dan Hu, 2007; On dkk, 2001). Kristalinitas struktur MFI TS-1 mesoporus yang tinggi -1 dapat dilihat dari rasio densitas optik puncak pada bilangan gelombang 550 dan 450 cm . Dikatakan mempunyai kristalinitas tinggi apabila rasio berkisar pada 0,76 (Fang dan Hu, 2007). TS-1 mesoporus yang disintesis oleh Fang dan Hu (2007) dengan menggunakan template CMK-3 memiliki kristalinitas yang tinggi dengan rasio densitas optik puncak pada -1 550 dan 450 cm sebesar 0,8. Oleh karena itu, makin lama waktu kristalisasi menyebabkan puncak pada bilangan gelombang 550 dan 960 cm-1 makin meningkat dikarenakan makin kuatnya kerangka MFI yang terbentuk dan makin banyaknya titanium yang terdapat dalam kerangka (On dkk, 2001).
(A)
(B)
960 cm1
550 cm-1
Gambar 2. Spektra FTIR TS-1 mesoporus dari template (A) CMK-3, (B) a) SBA ; TS-1 mesoporus template EO20PO70EO20 dengan waktu kristalisasi b) 0 hari, c) 5 hari, d) 8 hari, e) 10 hari Adsorpsi Desorpsi Nitrogen Kurva isoterm adsorpsi desorpsi nitrogen mesoporus material identik dengan kurva isoterm tipe IV dengan loop histeresis H1. Ciri dari kurva tersebut adalah adanya pembelokan kurva pada P/P0 rendah, diikuti kurva datar. Selain itu, loop histeresis diatas P/P0 0,4 (Fang dan Hu, 2007; Wang dkk, 2005) atau 0,7-0,9 (On dkk, 2001) merupakan karakteristik dari material mesoporus. Dengan cara dan bahan sintesis yang berbeda akan menghasilkan trend kurva isoterm tipe IV yang berbeda. Hal ini berhubungan dengan ukuran mesoporus dan keseragaman distribusi pori yang ditunjukkan dengan posisi P/Po
AF-12
pada titik infleksi serta ketajaman kurva. Semakin lama waktu kristalisasi, menyebabkan volume dan diameter mikroporus dan mesoporus makin besar. Akan tetapi, ketika waktu kristalisasi terlalu lama, volume dan diameter pori menurun. Ini disebabkan terjadinya penebalan dinding pori pada kerangka (On dkk, 2001). A
(a)
(b)-(i)
(b)-(ii)
3 hari 0 hari 5 hari 5 hari 10 hari
10 hari
B-i B-ii C Gambar 3. A. Kurva isoterm adsorpsi desorpsi nitrogen TS-1 mesoporus dari template (a) CMK-3 (b) EO20PO70EO20 dengan sumber silika :(i) SiCl4, (ii) TEOS B. Kurva distribusi pori BJH untuk TS-1 mesoporus dari template EO20PO70EO20 dengan sumber silika :(i) SiCl4, (ii) TEOS C. Hubungan volume, jari-jari pori terhadap persen kristalinitas dari TS-1 mesoporus dengan template EO20PO70EO20 dan sumber silika (●) SiCl4 (■) TEOS Tabel 2. Analisis ukuran pori TS-1 mesoporus dari beberapa metode TS-1 mesoporus SBET SBJH Vmic Dmic Vmeso Dmeso (m2g-1) (m2g-1) (cm3g-1) (nm) (cm3g-1) (nm) Fang dan Hu (2007) 313 0,14 0,53 0,17 3,65 Schmidt dkk (2000) 20 On dkk (2001) : I-[0]-TS1[0,5] 760 680 0,038 1,62 8,4 x-[y]UL-TS1 [z] I-[5]-TS1[0,5] 620 450 0,095 1,72 19,2 x = I (sumber silika I-[0]-TS1[1,5] 820 645 0,045 1,45 8,8 SiCl4), I-[3]-TS1[1,5] 710 495 0,082 1,55 12,6 II (sumber silika I-[5]-TS1[1,5] 680 405 0,123 1,75 18,4 TEOS) I-[8]-TS1[1,5] 655 310 0,145 1,95 22,4 y = waktu I-[10]-TS1[1,5] 580 180 0,159 1,65 26,4 kristalisasi (hari) II-[0]-TS1[1,5] 790 710 0,025 1,18 6,6 z = % Ti/Si II-[5]-TS1[1,5] 730 440 0,103 1,40 9,6 II-[8]-TS1[1,5] 705 380 0,103 1,36 12,4 II-[10]-TS1[1,5] 520 145 0,149 0,85 12,8 Ke dkk (2007) dry gel conversion 430,4 0,108 0,252 6,5 Metode hidrotermal 399,7 0,117 0,118 3,4 Eimer dkk (2008) 1 Na- 1 hari 1250 0,84 2,0 0 Na- 2 hari 1071 0,78 2,1
AF-13
UV-Vis Diffuse Reflactance Adanya titanium dalam kerangka zeolit dapat diamati dengan menggunakan UV-Vis DR ditandai oleh munculnya puncak pada panjang gelombang 210-212 nm (Serrano dkk, 2007; Fang dan Hu, 2007; Wilkenhıner dkk, 2001) dimana terjadi transfer muatan dari 4+ oksigen ke orbital d Ti yang kosong (Xia dan Gao, 1996). Waktu kristalisasi yang makin lama menyebabkan semakin banyak titanium sebagai sisi aktif yang terkoordinasi dalam kerangka (On dkk, 2001). Ini dapat dilihat dari bentuk spektra yang makin narrow karena indikasi berkurangnya titanium yang berada di luar kerangka dan terdistribusi makin seragam di dalam kerangka. Oleh karena itu, makin lama waktu kristalisasi, spektra makin mengarah ke 210-212 nm.
Gambar 4. Spektra UV-Vis TS-1 mesoporus yang disintesis dari EO20PO70EO20 dengan sumber silika SiCl4, waktu kristalisasi : a) 0 hari b) 5 hari c) 10 hari Transmission Electron Microscopy (TEM)
(a) (b)-(i) (b)-(ii) Gambar 5. TEM TS-1 mesoporus dengan template (a) CMK-3 (b) EO20PO70EO20 dengan sumber silika (i) SiCl4 (ii) TEOS Dengan template CMK-3, TS-1 mesoporus memiliki keseragaman ukuran nanokristal bentuk heksagonal seperti yang tampak pada Gambar 7. Sumber silika juga mempengaruhi keteraturan pori material yang dihasilkan. Ini terbukti ketika On dkk (2001) menggunakan sumber silika TEOS, struktur pori TS-1 lebih teratur daripada digunakan SiCl4 sebagai sumber silika. 29
Si MAS NMR Dengan 29Si MAS NMR, 2 puncak tajam yang khas dari TS-1 muncul pada -114 dan -104 ppm, serta 1 puncak lemah pada -98 ppm. Puncak pada -114 ppm adalah puncak dari 4 3 Si(OSi)4 (Q ), -104 ppm adalah puncak Si(OSi)3 (Q ), dan - 98 ppm adalah puncak dari 2 4 3 Si(OSi)2 (Q ). Rasio puncak Q /Q adalah 1,8. Peningkatan intensitas Q4 dan penurunan intensitas Q3 mempunyai arti bahwa terjadi proses kristalisiasi dan transformasi dari permukaan hidrofilik menjadi hidrofobik (On dkk, 2001)
AF-14
.
3
-104 ppm (Q ) 4
-114 ppm (Q ) 29
Gambar 6. Spektra Si MAS NMR (a) material prekursor, (b) TS-1 mesoporus Aplikasi TS-1 mesoporus telah dibandingkan aktivitasnya dengan TS-1 mikroporus pada beberapa reaksi, diantaranya epoksidasi 1-oktena dan sikloheksena (Schmidt dkk, 2000), oksidasi tiofen dan dibenzotiofen (Fang dan Hu, 2007). TS-1 mesoporus memberikan aktivitas katalitik lebih besar daripada TS-1 mikroporus, terutama untuk molekul berukuran besar seperti sikloheksena dan benzotiofen. Oksidasi sempurna tiofen oleh TS-1 mikroporus dapat terjadi dengan membutuhkan waktu selama 5 jam sedangkan apabila menggunakan TS-1 mesoporus hanya dibutuhkan waktu 1 jam. Epoksidasi sikloheksena dengan TS-1 mesoporus memiliki aktivitas katalitik 10 kali lebih besar daripada TS-1 konvensional. Dibenzotiofen tidak dapat dioksidasi oleh TS-1 mikroporus karena dibenzotiofen mempunyai ukuran yang besar sehingga tidak dapat kontak dengan pori TS-1 mikroporus yang kecil. Akan tetapi, mesoporus TS-1 dapat mengoksidasi secara sempurna dibenzotiofen karena ukuran mesoporus memudahkan difusi dibenzotiofen dengan sisi aktif TS-1. Menurut Ke dkk (2007), TS-1 mesoporus yang diperoleh dari teknik berbeda akan menghasilkan aktivitas katalitik yang berbeda. Pada hidroksilasi benzena dengan metode sintesis hidrotermal dan dengan perbandingan TEA/SiO2 = 0,4 (HTS-4) memberikan angka konversi benzena sbesar 6,5% dengan TOF = 10,7. Dengan rasio TEA/SiO2 yang sama tetapi disintesis dengan teknik yang berbeda yaitu dry gel conversion (DGC-4) menujukkan konversi benzena sebesar 7,2% dengan TOF = 13,9.
A B C Gambar 7. A. Rasio konsentrasi produk (■) 1-oktena dan (●) sikloheksena yang diperoleh dari TS-1 mesoporus dan TS-1 konvensional (Schmidt dkk, 2000) B. oksidasi tiofen dan dibenzotiofen (DBT) dengan menggunakan TS- 1 mikroporus dan mesoporus (Fang dan Hu, 2007) C. Konversi benzena dengan TS-1 mesoporus dengan template TEA: a. HTS0; b. HTS-2; c. HTS-4; d. HTS-0M; e. DGC-4 (Ke Dkk,2007) 5. Kesimpulan TS-1 mesoporus mempunyai aktivitas katalitik lebih baik daripada TS-1 mikroporus karena mempermudah difusi reaktan ke sisi aktif Ti. Semakin besar template yang digunakan, semakin besar pori TS-1 yang terbentuk. Sintesis TS-1 mesoporus dengan menggunakan karbon hitam BP 700 menghasilkan ukuran pori yang lebih besar daripada CMK-3, CTABr, TEA, dan EO20PO70EO20. Cara sintesis juga mempengaruhi ukuran pori dari
AF-15
TS-1 mesoporus. Dengan menggunakan template dan komposisi bahan yang sama teknik dry gel conversion menghasilkan ukuran pori yang lebih besar daripada metode hidrotemal. Daftar Pustaka Berlini, C., Guidotti, M., Moretti, G., Psaro, R., Ravasio, N., 2000, Catalytic Epoxidation of Unsaturated Alcohols on Ti-MCM-41, Catalysis Today, Vol 60, hal 219-225 Campbell, R., 2006, Synthesis and Characterization of Three-Dimensional Mesoporous Materials, PhD Research Seminar, 7 Maret 2006 Eimer, G, A., Diaz, I., Sastre, E., Casuscelli, G, S., Crivello, M, E., Herrero, E, R., dan Perez-Pariente, J., 2008, Mesoporous Titanosilicates Synthesized from TS-1 Precursors with Enhanced Catalytic Activity in The α-Pinene Selective Oxidation, Applied Catalysis A : General, Vol 343, hal 77-86 Fang, Y., dan Hu, H., 2007, Mesoporous TS-1 : Nanocasting Synthesis with CMK-3 as Template and Its Performance in Catalytic Oxidation of Aromatic Tiophene, Catalysis Communications, Vol 8, hal 817-820 Ke, X., Xu, L., Zeng, C., Zhang, L., Xu, N., 2007, Synthesis of Mesoporous TS-1 by Hydrothermal and Steam-Assisted Dry Gel Conversion Techniques With The Aid of Triethanolamine, Microporous and Mesoporous Materials, Vol 106, hal 68-75 Kwayke-Awuah, B., 2008, Production of Silver-Loaded Zeolites and Investigation of Their Antimicrobial Activity, Tesis : University of Wolverhampton On, T, D., Lutic, D., Kaliaguine, S., 2001, An Example of Mesostructured Zeolitic Material : UL-TS1, Micoporous and Mesoporous Materials, Vol 44-45, hal 435-444 Serrano, D. P., Calleja, G., Botas, J., Gutierrez, F. J., 2007, Characterization of Adsorptive and Hydrophobic Properties of Silicate-1, ZSM-5, TS-1 and Beta Zeolites by TPD Techniques, Separation and Purification Technology, Vol 54, hal 1-9 Trukhan, N, N., Romannikov, V, N., Paukshtis, E, A., Shmakov, A, N., Kholdeevai, O, A., 2001, Oxidation of 2,3,6-Trimethylphenol over Ti- and V-Containing Mesoporous Mesophase Catalysts: Structure–Activity/Selectivity Correlation, Journal of Catlysis, Vol 202, hal 110-117 Schmidt, I., Krogh, A., Wienberg, K., Carrison, A., Brorson, M., Jacobsen, C, J, H., 2000, Catalytic Epoxidation of Alkenes with Hydrogen Peroxide Over First Mesoporous Titanium-Containing Zeolite, Chem. Commun., hal 2157-2158 Vinu, A., Mori, T., Ariga, K., 2006, New Families of Mesoporous Materials, Science and Technology of Advanced Materials, Vol 7, hal 753-771 Wang, X., Xu, H., Fu, X., Liu, P., Lefebvre, F., Basset, J., 2005, Characterization and Catalytic Properties of Tin-Containing Mesoporous Silica Prepared by Different Methods, Journal of Molecular Catalysis A, Vol 238, hal 185-191 Wilkenhoner, U., Langhendries, G., Van L, F., Baron, G.V., Gammon D.W., Jacobs, P.A., van Steen, E., 2001, Influence of Pore and Crystal Size of Crystalline Titanosilicates on Phenol Hydroxylation in Different Solvents. Journal of Catalysis., Vol. 203, hal. 201–212 Xiao, F., 2008, New Routes For Improving Hydrothermal Stability of Ordered Mesoporous Materials and Synthesis of Mesoporous Zeolites, Canada : Nanoporous Materials : Proceedings of the 5th International Symposium 25-28 Mei 2008
AF-16
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Aktivitas Katalis Cu/zeolit NaA dengan Konsentrasi Berbeda pada Reaksi Reduksi Ion Nitrat Dewi Kartika Sari, Irmina Kris Murwani* Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
contact address : *
[email protected]
Abstrak Pada penelitian ini telah dipelajari aktivitas katalis zeolit NaA yang disintesis dari sekam padi dan Cu/zeolit NaA (0,25: 0,5; 0,75%) pada reaksi reduksi ion nitrat. Katalis hasil preparasi dikarakterisasi dengan XRD dan FT-IR. Sedangkan sifat permukaan katalis dikarakterisasi dengan metode adsorpsi gas nitrogen (BET) dan keasaman dengan metode adsorpsi piridin (FTI-R). Pada tahap akhir dilakukan uji katalisis melalui reaksi reduksi ion nitrat dengan H2. Aktivitas katalis ditentukan dari besarnya ion nitrat yang terkonversi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui aktivitas katalis zeolit NaA, Cu0,25/zeolit NaA, Cu0,75/ zeolit NaA dan Cu0,5%/zeolit NaA secara berturut-turut adalah 64,26; 51,13; 66,48 dan 47,54. Aktivitas katalis dipengaruhi oleh keasaman katalis dan distribusi Cu selama reaksi reduksi ion nitrat berlangsung. Kata kunci : Cu/zeolit NaA, Reaksi reduksi ion nitrat, Zeolit NaA
1. Pendahuluan Air adalah pendukung utama bagi kehidupan makhluk hidup,tetapi juga mudah terkontaminasi bahan–bahan pencemar yang dapat mengganggu kesehatan makluk hidup seperti halnya manusia. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penghilangan nitrat dalam air dapat dilakukan dengan cara reduksi ion nitrat atau denitrifikasi (Rodríguez, 2005). Salah satu metode yang digunakan untuk mereduksi ion nitrat adalah secara kimia yaitu dengan denitrifikasi secara katalitik, dimana ion nitrat direduksi dengan bantuan katalis dan gas hidrogen sebagai agen pereduksi (Daub, 1999). Dengan metode ini akan diperoleh dua keuntungan secara bersamaan, yaitu dapat mereduksi ion nitrat dan mengkonversi menjadi senyawa nitrogen lain yang lebih bermanfaat, misalnya gas N2. Yoshinaga, dkk., (2002) melaporkan bahwa katalis monometalik Cu merupakan katalis yang efisien untuk reaksi reduksi ion nitrat. Selain itu, untuk meningkatkan aktivitas suatu katalis dapat dilakukan dengan cara memb erikan pendukung (support). Pendukung yang digunakan dalam penelitian ini adalah Zeolit NaA, Pendukung zeolit NaA dipilih karena memiliki luas permukaan yang cukup besar, memiliki stabilitas termal yang tinggi dalam preparasi katalis. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan aktivitas katalis Cu/zeolit NaA dengan variasi konsentrasi 0%; 0,25%; 0,5% dan 0,75% pada reaksi reduksi ion nitrat. Aktivitas dari katalis sesuai dengan perubahan nitrat yang terkonversi, semakin besar nitrat yang terkonversi, maka aktivitas katalis makin besar. 2. Metodologi Percobaan Preparasi Pendukung (Zeolit NaA) Zeolit NaA disintesis dari bahan dasar SiO2 dari sekam padi, natrium aluminat, natrium hidroksida dan aquades secara stoikhiometris. Campuran dimasukan ke dalam reaktor hidrotermal dan dipanaskan pada suhu 100°C selama 12 jam. Selanjutnya residu dikeringkan dan dikalsinasi pada temperatur 450°C selama 4 jam (Prüsse, 2001). Padatan direduksi dengan aliran H2 selama 2 jam (Gao, (2008). Padatan berwarna putih yang
AF-17
dihasilkan disebut dengan zeolit NaA, selanjutnya dikarakterisasi strukturnya menggunakan difraktometer sinar-X, FT-IR, sedangkan untuk karakterisasi permukaan meliputi luas permukaan spesifik yang diukur dengan metoda adsorpsi N2 dan sifat keasaman yang dikarakterisasi dengan adsorpsi piridin FT-IR. Padatan zeolit NaA yang diperoleh selanjutnya digunakan sebagai katalis dan pendukung katalis. Preparasi Katalis Monometalik Berpendukung (Cu/zeolit NaA) Katalis monometalik Cu diperoleh dari CuCl2·2H2O yang dimurnikan dengan cara pelarutan katalis dalam aquades. Awalnya padatan pendukung direndam dalam larutan CuCl2·2H2O 0,25%. Kemudian ditambahkan larutan NH4OH hingga terbentuk endapan. Selanjutnya endapan disaring dan dicuci dengan akuades. Kemudian padatan dikeringkan dan dikalsinasi pada suhu 450°C selama 4 jam dan direduksi dengan aliran H2 selama 2 jam Katalis Cu berpendukung (Cu/zeolit NaA) yang diperoleh selanjutnya dikarakterisasi struktur dan permukaannya. Adapun prosedur yang sama juga dilakukan untuk katalis Cu dengan konsentrasi 0,5% dan 0,75%. Uji Katalisis Uji katalisis pada semua katalis yang sudah disintesis dilakukan melalui reaksi denitrifikasi. Jenis katalis yang diuji meliputi pendukung (Zeolit NaA) dan monometalik berpendukung (Cu/Zeolit NaA). Katalis dimasukkan dalam reaktor labu leher tiga dan dijenuhkan dengan H2. Kalium Nitrat dimasukkan dalam reaktor dan diaduk selama 15 menit pada suhu ruang sambil dialiri H2 dengan laju alir 60 mL/menit (Gao,2003). Produk yang dihasilkan selanjutnya dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis. 3. Hasil dan Pembahasan Sintesis Zeolit NaA Zeolit NaA dalam penelitian ini dipersiapkan dengan penuangan campuran A ke dalam campuran B disertai pengadukan. Campuran A terdiri dari NaAlO2, NaOH dan H2O. Sedangkan campuran B dibuat terdiri dari SiO2, NaOH dan H2O. Campuran diaduk sampai diperoleh gel yang homogen. Selanjutnya gel dimasukkan dalam reaktor dan dioven selama o 12 jam dengan suhu reaksi 100 C (Xu, Xiaochun, 2004). Kemudian, reaktor didinginkan dengan air untuk menghentikan proses kristalisasi. Padatan berwarna putih yang telah diperoleh, selanjutnya dikarakterisasi dengan XRD. Difraktogram zeolit NaA yang terbentuk ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Difraktogram Zeolit NaA Puncak-puncak yang terdapat pada sampel, sesuai dengan PDF No. 39-0222 dari data base JCPDS-International Centre For Diffraction Data 2002, seperti yang terlihat pada Gambar 1. Hasil ini menunjukkan bahwa sampel tersebut merupakan zeolit NaA. Adapun Ikatan dalam zeolit NaA diamati menggunakan FT-IR dengan hasilnya ditunjukkan pada Gambar 2.
AF-18
Gambar 2. Spektra FTIR Zeolit NaA Spektra FT-IR yang terlihat pada Gambar 2 menunjukkan adanya puncak serapan -1 pada daerah 3400 cm yang menunjukkan daerah vibrasi ulur O-H. Sedangkan vibrasi -1 tekuk H-O-H muncul pada daerah serapan 1650 cm (Nakamoto, 1978). Puncak serapan -1 pada daerah 1139 cm menunjukkan adanya puncak dari vibrasi ulur T-O dimana T adalah Si atau Al (Wang,dkk., 2003) dan puncak serapan pada daerah 950 cm-1 adalah puncak vibrasi dari gugus yang tidak berikatan dengan oksigen (Cordoba,dkk., 1996). Puncak -1 serapan pada daerah 506 dan 432 cm merupakan vibrasi tekuk O-T-O. Sedangkan puncak -1 pada daerah 699 dan 610 cm merupakan vibrasi ulur TO4 (Wang,dkk., 2003). Sintesis Katalis Cu/zeolit NaA Penelitian ini dilanjutkan dengan loading logam Cu pada pendukung (zeolit NaA). Cu/zeolit NaA disintesis melalui metode presipitasi dengan variasi konsentrasi Cu yaitu 0%, 0,25%, 0,5% dan 0,75%. Padatan yang telah disintesis, kemudian dikalsinasi pada suhu 450°C selama 4 jam. Padatan Cu/zeolit NaA sebelum digunakan sebagai katalis untuk uji reduksi ion nitrat maka terlebih dahulu diaktivasi dengan aliran H2 pada suhu 450°C selama 2 jam. Padatan tersebut kemudian dikarakterisasi dengan XRD dan diperoleh difraktogram seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Difraktogram (a) Cu, (b) zeolit NaA, (c) Cu0,25/zeolit NaA, (d) Cu0,5/zeolit NaA dan (e) Cu0,75/zeolit NaA
AF-19
Puncak-puncak yang terdapat pada sampel, sesuai dengan PDF No. 85-1326 dari data base JCPDS-International Centre For Diffraction Data 2002, seperti yang terlihat pada Gambar 3. Difraktogram Cu/zeolit NaA setelah aktivasi pada Gambar 4 menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan dari pola difraktogram zeolit NaA dengan Cu/zeolit NaA. Namun, terdapat perbedaan pada intensitasnya yaitu intensitas dari Cu/zeolit NaA lebih rendah jika dibandingkan dengan zeolit NaA. Hasil ini menunjukkan bahwa sampel tersebut merupakan zeolit NaA. Adapun Ikatan dalam zeolit NaA diamati menggunakan FT-IR dengan hasilnya ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Spektra FTIR (a) zeolit NaA, (b) Cu0,25/zeolit NaA, (c) Cu0,5/zeolit NaA dan (d) Cu0,75/zeolit NaA Secara umum, keempat spektra FTIR pada Gambar 4 memberikan puncak serapan yang hampir sama dan tidak menunjukkan adanya puncak baru. Hanya saja, terjadi penurunan pada intensitas padatan Cu/zeolit NaA jika dibandingkan dengan spektra padatan pendukung zeolit NaA. Spektra FTIR pada Gambar 4 ini tidak menunjukkan adanya pita vibrasi ikatan Cu-O yang muncul pada daerah 1500, 575 dan 500 cm-1 (El-Bahy, 2007) akibat konsentrasi yang kecil dari Cu. Sehingga dapat dikatakan bahwa logam Cu telah terdispersi merata pada pendukung zeolit NaA. Berdasarkan pemaparan spektra FT-IR yang telah dijelaskan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penambahan loading Cu pada pendukung tidak memberikan pengaruh terhadap daerah munculnya puncak serapan IR, hanya berpengaruh terhadap intensitas puncak yang muncul. Pengukuran Luas Permukaan dengan Metoda Adsorpsi Gas Nitrogen Luas permukaan spesifik padatan hasil sintesis merupakan salah satu hal yang harus dipertimbangkan berkaitan dengan kemampuannya dalam reaksi katalisis. Teori yang digunakan untuk perhitungan dari metode ini adalah BET (Brunauer, Emmet, Teller), dari data yang diperoleh dapat dihitung luas permukaan spesifik dari padatan. Adapun luas permukaan spesifik dari katalis zeolit NaA, Cu0,25/zeolit NaA, Cu0,5/zeolit NaA dan Cu0,75/zeolit NaA secara berturut-turut terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data luas permukaan dan volume pori hasil pengukuran BET Katalis Luas Permukaan (m2/g) Zeolit NaA 18,03 Cu0,25/zeolit NaA 11,43 Cu0,5/zeolit NaA 4,46 Cu0,75/zeolit NaA 5,18 Secara umum, semua katalis pada penelitian ini mengalami penurunan luas permukaan. Namun, apabila Cu0,5/zeolit NaA dibandingkan dengan Cu0,75/zeolit NaA terlihat
AF-20
adanya penambahan pada luas permukaan dan volume pori. Hal ini disebabkan karena pada Cu0,5/zeolit NaA, Cu terdispersi merata pada permukaan pendukung. Pengukuran Keasaman Padatan dengan Metoda Adsorpsi Piridin Keasaman pada penelitian ini dilakukan dengan metode adsorpsi piridin menggunakan analisis FT-IR. Adapun hasil uji keasaman pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5. Spektra FTIR pada Gambar 5 menunjukkan adanya pita serapan pada -1 daerah bilangan gelombang 1650 cm , dimana pita serapan pada daerah tersebut menandakan adanya sisi asam Brønsted. Jumlah sisi asam Brønsted pada Gambar 5 meningkat dengan urutan Cu0,75/zeolit NaA < Cu0,25/zeolit NaA < zeolit NaA < Cu0,5/zeolit NaA. Sifat asam Brønsted ini muncul dikarenakan adanya Cu yang bersifat asam sehingga dapat menyerap piridin yang bersifat basa. Selain adanya Cu, sisi asam Brønsted muncul juga dapat dikarenakan adanya kandungan aluminium yang juga berkaitan dengan sifat keasaman zeolit. Pada penelitian ini, penunjuk asam lewis yaitu pada daerah 1450 cm-1 tidak muncul. Hal ini menunjukkan bahwa katalis yang dikarakterisasi hanya mempunyai sisi asam Brønsted.
Gambar 5. Spektra FTIR Keasaman (a) zeolit NaA, (b) Cu0,25/zeolit NaA, (c) Cu0,5/zeolit NaA dan (d) Cu0,75/zeolit NaA Uji Katalisis pada Reaksi Denitrifikasi Aktivitas merupakan kemampuan katalis dalam mengkonversi reaktan menjadi produk yang diinginkan. Katalis hasil preparasi dalam penelitian ini kemudian diuji katalisis melalui reaksi reduksi ion nitrat dengan gas H2, dimana aktivitas dari katalis sesuai dengan perubahan ion nitrat yang terkonversi. Semakin besar ion nitrat yang terkonversi, maka aktivitas katalis makin besar. Adapun, katalis yang digunakan dalam reaksi reduksi ion nitrat ini adalah katalis zeolit NaA, Cu0,25/zeolit NaA, Cu0,5/zeolit NaA, Cu0,75/zeolit NaA. Reaksi tanpa katalis juga dilakukan sebagai pembanding. Hasil perhitungan konversi ion nitrat yang diperoleh pada masing-masing katalis ditunjukkan pada Gambar 6.
AF-21
Gambar 6. Konversi Nitrat pada Reaksi Reduksi Ion Nitrat dengan Katalis Hasil Sintesis Jika dilihat dari pengaruh luas permukaan, terlihat bahwa katalis yang ditambah dengan logam memiliki luas permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan zeolit NaA akibat tertutupnya pori-pori oleh logam. Meskipun penambahan logam terbukti menurunkan luas permukaan, namun tidak menimbulkan efek yang buruk terhadap aktivitas katalis. Hal ini dibuktikan pada Gambar 7, dimana aktivitas Cu0,5/zeolit NaA lebih besar daripada zeolit NaA. Hal ini dapat pula terjadi karena, penambahan logam pada padatan pendukung membuat H2 yang teradsorb lebih banyak dibandingkan dengan hanya pendukung saja pada saat aktivasi katalis. Semakin banyak H2 yang teradsorb mengakibatkan hasil reduksi semakin banyak. Aktivitas katalis menurun setelah dilakukan penambahan logam Cu dengan konsentrasi 0,75%. Hal ini sesuai dengan penelitian Yoshinaga, dkk. (2002) yang menyatakan bahwa aktivitas katalis menjadi berkurang jika logam Cu yang ditambahkan berlebih
Gambar 7. Aluran Katalis terhadap Konversi Ion Nitrat dan Luas Permukaan
AF-22
Keasaman besar dapat memungkinkan sisi asam Brønsted yang besar dan mampu memberikan proton (H+), sehingga reaksi terjadi semakin cepat dan produk yang dihasilkan bertambah. Hal ini juga diperkuat dengan data keasaman yang menyatakan bahwa keasaman paling tinggi dimiliki oleh Cu0,5/zeolit NaA dan menunjukkan aktivitas katalisis paling tinggi dibandingkan katalis lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan keasaman katalis sebanding dengan kenaikan aktivitasnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pintar,dkk. (2004) yang menyatakan bahwa semakin tinggi sifat keasaman pada suatu katalis, maka aktivitasnya semakin tinggi. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa zeolit NaA, Cu0,25/zeolit NaA, Cu0,5/zeolit NaA dan Cu0,75/zeolit NaA dapat digunakan sebagai katalis pada reaksi reduksi ion nitrat. Aktivitas katalis semakin meningkat dengan meningkatnya sifat keasaman katalis dengan urutan Cu0,75/zeolit NaA < Cu0,25/zeolit NaA < zeolit NaA < Cu0,5/zeolit NaA. Aktivitas katalis zeolit NaA, Cu0,25/zeolit NaA, Cu0,75/ zeolit NaA dan Cu0,5%/zeolit NaA secara berturut-turut adalah 64,26; 51,13; 66,48 dan 47,54. Aktivitas katalis tidak hanya dipengaruhi oleh keasaman katalis, tetapi juga dari distribusi Cu selama reaksi reduksi ion nitrat berlangsung. Daftar Pustaka Cordoba, G., Arroyo, R., Fierro, J. L. G. dan Viniegra, M., (1996), “Study of Xerogel–Glass Transition of CuO/SiO2”, Journal of Solid State Chemistry, 123, hal. 93 – 99 Daub,K., G, Ehmig G, Chollier M-J, Calllant, M., and Dittmeyer, R. (1999), “Studies on the Use of Catalytic Membranes for Reduction of Nitrate in Drinking Water”, Chem Eng Sci, 54, hal. 15771582 El-Bahy, Z. M., (2007), “Oxidation of Carbon Monoxide over Cu- and Ag-NaY Catalysts with Aqueous Hydrogen Peroxide”, Materials Research Bulletin, 42, hal. 2170 – 2183 Gao, W., Guan, N., Chen J., Guan X., Jin R., Zeng, H., Liu Z., and Zhang, F. (2003), “Titania Supported Pd-Cu Bimetallic Catalyst for the Reduction of Nitrate in Drinking Water”, Applied Catalysis B: Environmental , 46, hal. 341–351 Gao, D., Zhang, C., Wang, S., Yuan, Z., Wang, S, (2008), “Catalytic Activity of Pd/Al2O3 toward the Combustion of Methane”, Catalysis Communications, 9, hal. 2583-2587 th Nakamoto, K., (1997), Infrared and Raman Spectra of Inorganic and Coordination Compounds, 5 Edition, John Wiley & Sons, USA. Pintar, A., Batista, J., and Muševič, I. (2004), “Palladium-copper and Palladium –tin Catalyst in the Liquid Phase Nitrate Hydrogenation in a Batch-reycle Reactor”, Applied Catalysis B: Environmental, 52, hal. 49-60 Pruse, U., and Vorlop K. (2001), “Supported Bimetallic Palladium Catalyst for Water-phase Nitrate Reduction”, Journal of Molecular Catalysis A: Chemical, 173, hal. 313-328 Rodrigeuz, R., Plaff, C., Melo L., and Betacourt, P.(2005), “Characterization and Catalytic Performance of a Bimetalllic Pt-Sn/HZSM-5 Catalyst used in Denitrification of Drinking Water”, Catalysis Today, hal. 100-105 Wang, Z., Liu, Q., Yu, J., Wu, T. dan Wang, G., (2003), “Surface Structure and Catalytic Behavior of Silica-Supported Copper Catalysts Prepared by Impregnation and Sol Gel Methods”, Applied Catalysis A: General, 239, hal. 87 – 94 Xu, X., Yang, W., Liu, J., Lin, L., Stroh, N., and Brunner, H. 2004. “Synthesis of NaA Zeolite Membrane on a Ceramic Hollow Fiber. Journal of Membrane Science, 229, 81-85 Yoshinaga, Y., Tomonobu A., Ikko M., and Toshio O., (2002), “Hydrogenation of Nitrate in Water to Nitrogen over Pd-Cu Supported on Active Carbon”, Journal of Catalysis, 207, hal. 37-45
AF-23
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Studi Adsorpsi Ion Logam Cu (II) dari Larutan Menggunakan Pelet Komposit Cangkang KupangKhitosan Terikat Silang dalam Kolom Katil Tetap (Fixed-Bed Column) Diah Dwi Jayanti*, Eko Santoso1 Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember *coresponding author tlp. 085731964509, email:
[email protected] 1alamat sekarang: kimia FMIPA ITS Surabaya
Abstrak Pada penelitian ini telah dibuat adsorben komposit serbuk cangkang kupang khitosan yang terikat silang glutaraldehid 0,2% dimana masing-masing bahan dapat mengikat logam Cu (II) secara kontinu menggunakan sistem fixed-bed kolom.. Adsorben cangkang kupang -khitosan ini dimasukkan ke dalam kolom yang berdiameter 1,5 cm dan konsentrasi awal larutan Cu (II) adalah 100 mg/L. Variasi yang digunakan adalah laju alir influen (1,5 mL/menit; 2 mL/menit; dan 2,5 mL/menit), variasi komposisi adsorben dibuat dalam fraksi berat serbuk cangkang kupang (93,75%; 95,24%; dan 96,15%), dan juga variasi pH awal larutan (dengan pengaturan dan tanpa pengaturan). Pada pH awal larutan yang tanpa pengaturan digunakan khusus untuk komposisi adsorben dengan fraksi berat serbuk cangkang kupang 96,15% dengan laju alir 2,5 mL/menit. Hasil menunjukkan bahwa laju alir influen, komposisi adsorben, dan pH awal larutan mempengaruhi kapasitas adsorpsi masing-masing adsorben yaitu semakin cepat laju alir maka kapasitas adsorpsi juga semakin besar, semakin besar komposisi adsorben yaitu fraksi berat serbuk cangkang kupang maka kapasitas adsorpsinya akan semakin menurun. Pengaruh pH awal larutan terhadap kapasitas adsorpsi yaitu pH awal larutan yang diatur menggunakan pH optimum pada pH 4 memiliki kapasitas adsorpsi yang lebih besar dibandingkan dengan larutan awal tanpa pengaturan pH. Kata kunci : cangkang kupang; khitosan; adsorpsi; tembaga (II); fixed-bed kolom; analisa SSA
1. Pendahuluan Kemajuan teknologi yang meningkat dan berkembangnya kegiatan industri akan membawa dampak positif dan dampak negatif. Tumbuh pesatnya industri juga berarti makin banyak limbah yang dikeluarkan dan mengakibatkan permasalahan yang kompleks bagi lingkungan. Limbah yang sangat berbahaya dan memiliki daya racun tinggi umumnya berasal dari buangan industri, terutama industri kimia, termasuk industri logam. Oleh karena itu, proses penanganan limbah menjadi bagian yang sangat penting dalam industri (Sudirman Habibie,1996). Salah satu logam berat adalah tembaga, yang banyak digunakan pada pabrik yang memproduksi alat-alat listrik, gelas, zat pewarna, fungisida, dan dalam cat. Meskipun logam Cu sesungguhnya termasuk logam esensial yang dibutuhkan dalam aktifitas metabolik organisme, tetapi berada dalam “celah” sempit antara esensialitasnya dan toksisitasnya (Fatoki et al, 2002). Kadar Cu yang aman dalam air minum ditetapkan antar 1,5 – 2 mg/L (www.wikipedia.org). Jika logam tembaga (Cu) terinjeksi ke dalam tubuh manusia dalam konsentrasi tinggi dapat menimbulkan keracunan, menyebabkan kanker, dan memicu terjadinya oksidasi. (Schuml et al, 2001).
AF-24
Berbagai metode seperti penukar ion, penyerapan dengan karbon aktif dan pengendapan secara elektrolisis telah dilakukan untuk menyerap bahan pencemar beracun dari limbah, tetapi cara ini membutuhkan biaya yang sangat tinggi dalam pengoperasiannya. Biosorpsi merupakan teknik yang populer untuk memisahkan atau mendapatkan kembali logam dari limbah cair yang memanfaatkan biomassa yang dapat mengikat ion logam berat dari larutan aqueous (K. Vijayaraghavan et al., 2004). Adsorpsi merupakan sebuah proses yang mencakup kontak dari fase cair bebas dan fase partikulat yang rigid, dengan memisahkan salah satu atau lebih zat terlarut yang ada pada larutan secara selektif (Schmul et. Al., 2001). Salah satu biopolimer yang saat ini banyak diteliti sebagai biosorben logam berat dari air limbah adalah khitin. Khitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi merupakan melekul polimer berantai lurus dengan nama lain β-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-DGlukosamin) (Hirano, 1986) (The Merck Index, 1976). Dalam rangka mencari kapasitas adsorben yang efektif, baik dalam hal adsorpsi yang relatif tinggi dan dari segi ekonomis, maka penelitian ini akan mengkaji proses adsorpsi logam tembaga (Cu) oleh pelet komposit cangkang kupang- khitosan terikat silang kulit dengan metode aliran kontinu pada kolom katil tetap (fixed-bed coloumn) Pada penelitian ini biosorpsi dilakukan dengan menggunakan sistem kolom. Sistem kolom mempunyai beberapa model diantaranya model BDST (Bed Depth Service Time) (K. Vijayaraghavan et. Al., 2004), model Adam Bohart, model Wolborska, model Thomas, model Clark, model Yuan dan Nelson (Z. Aksu, F. Gonen, 2004). Penelitian ini menggunakan model Thomas, dimana model ini merupakan model yang sederhana yang digunakan pada desain kolom adsorpsi adsorben terkemas dan solusi Thomas merupakan salah satu dari yang paling umum dan paling luas yang menggunakan metode dalam teori performa kolom. Berdasarkan hasil Tugas Akhir yang terdahulu (Istianah, 2008) telah diteliti bahwa serbuk cangkang kupang menjadi adsorben yang lebih baik jika dibandingkan dengan adsorben seperti zeolit, tongkol jagung, dan serbuk kayu. Pada penelitian ini akan digabungkan antara serbuk cangkang kupang yang masih menjadi bahan tidak bermanfaat dalam masyarakat dan khitosan yang harganya relatif mahal. Percobaan dilakukan dengan menggunakan variasi laju alir influen, variasi komposisi adsorben, dan variasi pengaturan pH awal larutan(dengan pengaturan yaitu menggunakan pH 4 merujuk pada sistem batch dan tanpa pengaturan yaitu menggunkan pH 5,7-5,9) untuk mengetahui kurva breaktrhough. Logam yang tidak teradsorpsi dianalisis dengan Spektroskopi Serapan Atom (AAS). Proses regenerasi tidak dilakukan pada adsoerben pelet komposit cangkang kupang - khitosan ini karena biaya untuk melakukan proses regenerasi ini lebih mahal daripada biaya pembuatan adsorbennya berdasarkan penelitian sebelumnya (Istianah, 2008). 2. Eksperimen Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat kolom katil tetap (fixed bed column) (kolom berdiameter 1,5 cm dan panjang 10 cm, manik- manik kaca, serabut kaca (glass wool), dan pompa), gelas beaker, pengaduk, pipet volum, pipet tetes, gelas ukur, botol timbang, labu ukur 1000 ml; 500ml; 250 ml; 100 ml; 25 ml, botol semprot, pH meter, Spektrofotometer Serapan Atom (SSA), FTIR, dan BET. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah khitosan, cangkang kupang, larutan NaOH 2N, larutan asam asetat 2%, dan larutan gluteraldehid 0,2% untuk preparasi khitosan pada cangkang kupang. Padatan logam CuSO4. 5H2O digunakan sebagai sumber ion Cu(II) yang dilarutkan dengan aquademineralisasi. Larutan HCl untuk pengaturan pH. Prosedur Kerja Pembuatan Serbuk Cangkang Kupang Cangkang kupang dicuci bersih menggunakan aquades dan dikeringkan dengan panas matahari. Cangkang kupang kemudian digerus menggunakan penggiling dan diayak
AF-25
menggunakan ayakan mesh 40 dan mesh 60 sehingga diperoleh serbuk cangkang kupang berukuran 40-60 mesh. Pembuatan Pelet Komposit Adsorben Serbuk khitosan sebanyak 1 gram dilarutkan dengan larutan asam asetat 2% hingga mencapai volume 100 ml. Campuran tersebut kemudian dipanaskan hingga homogen. Selanjutnya larutan tersebut diambil sebanyak 20 ml dan ditambahkan 3 gram serbuk cangkang kupang sehingga fraksi berat serbuk cangkang kupang 93,75%; 4 gram serbuk cangkang kupang sehingga fraksi berat serbuk cangkang kupang 95,24%; dan 5 gram serbuk cangkang kupang sehingga fraksi berat serbuk cangkang kupang 96,15%. Campuran tersebut kemudian diaduk-aduk, dipipet dan dimasukkan ke dalam larutan NaOH 2N diperoleh adsorben dalam bentuk pelet. Pelet tersebut kemudian disaring dan direndam dalam larutan glutaraldehid 0,2% selama 24 jam. Pelet yang sudah direndam selanjutnya disaring dan dicuci menggunakan aquades hingga terbebas dari larutan glutaraldehid. Kemudian pelet tersebut dikeringkan dalam udara bebas. Studi Adsorpsi Larutan Cu (II) Oleh Adsorben Pelet Komposit Serbuk Cangkang Kupang –Khitosan Yang Terikat Silang Menggunakan Variasi Laju Alir Influen, Variasi Komposisi Adsorben, dan Variasi Pengaturan pH Awal Larutan Adsorben dimasukkan dalam kolom dengan ketinggian 2 cm (±2,7627 gram). Kolom bagian bawah diberi tutup yang dapat diatur agar influen dapat masuk. Larutan Cu (II) 100 ppm pada pH optimum (pH 4 merujuk pada sistem Batch) dan pada suhu kamar kemudian dialirkan ke dalam kolom dengan bantuan pompa dan influen yang masuk diatur dengan laju alir 1,5 ml/menit; 2 ml/menit; dan 2,5 ml/menit. Keluaran kolom ditampung dalam bak penampung dan konsentrasi tembaga pada keluaran dianalisa menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Konsentrasi tembaga pada keluaran dianalisa setiap selang waktu 15 jam. Operasi kolom dihentikan ketika konsentrasi tembaga pada keluaran sama dengan konsentrasi tembaga awal yang berarti adsorben sudah jenuh. Prosedur diulangi dengan larutan Cu (II) awal tanpa pengaturan pH. 3. Hasil dan Diskusi Pembuatan Adsorben Adsorben yang digunakan dalam penelitian ini adalah khitosan yang diimobilisasi serbuk cangkang kupang. Cangkang kupang yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkang kupang beras (kupang putih) yang diperoleh dari daerah Balongbendo, Sidoarjo. Cangkang kupang ini jumlahnya sangat berlimpah dan dibuang begitu saja oleh nelayan, sehingga bisa dikatakan cangkang kupang ini sebagai limbah. Cangkang kupang dicuci menggunakan aquades hingga bersih dengan tujuan agar cangkang kupang yang akan digunakan terbebas dari pengotor yang menempel pada permukaannya dan dikeringkan dengan bantuan sinar matahari sehingga jika digerus cangkang kupang tersebut tidak menggumpal. Cangkang kupang yang sudah ditumbuk kemudian diayak dengan ayakan mesh 40 dan mesh 60. Tujuan pengayakan ini adalah agar ukuran serbuk cangkang kupang homogen sehingga bidang penyerapannya sama. Khitosan yang ditambahkan larutan asam asetat 2% harus dipanaskan agar campuran tersebut menjadi homogen. Larutan khitosan yang sudah ditambahkan serbuk cangkang kupang kemudian dipipet dan dimasukkan ke dalam larutan NaOH 2N yang berfungsi sebagai agen koagulan (pembentuk pelet). Larutan glutaraldehid dalam penelitian ini berfungsi sebagai agen pengikat silang antara khitosan dan serbuk cangkang kupang. Proses perendaman adsorben ke dalam larutan glutaraldehid ini selama 24 jam bertujuan agar ikat silang yang terjadi pada adsorben menjadi kuat. Sebelum adsorben digunakan pada proses adsorpsi, maka harus dioven terlebih dahulu hingga konstan untuk menghilangkan kadar air pada adsorben. Analisis Spektroskopi Inframerah (IR) Spektra FTIR ini diperlukan untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam khitosan, serbuk cangkang kupang, dan pelet komposit khitosan-serbuk cangkang kupang. Hasil analisa infra merah gabungan ketiganya dapat dilihat pada Gambar 1.
AF-26
Gambar 1. a) spektra khitosan; b) spektra serbuk cangkang kupang; c) spektra pelet komposit serbuk cangkang kupang – khitosan Berdasarkan spektra FTIR gabungan tersebut dapat diamati adanya ikatan OH -1 intermolekuler yang ditunjukkan oleh puncak pada bilangan gelombang 3500 cm , gugus -1 NH (amida primer) ditunjukkan oleh puncak pada bilangan gelombang 1464 cm . CH -1 (alkana) ditunjukkan pada bilangan gelombang 2919 cm , karbonil (C=O) ditunjukkan pada bilangangelombang 1775 cm-1 dan 1653 cm-1. Gugus CO dan C-N ditunjukkan pada -1 -1 . bilangan gelombang 1200 cm dan 1084 cm .Gugus amino yang terbentuk pada bilangan -1 gelombang 3600-3000 cm meningkat, sehingga berhimpit dengan gugus OH (hidroksil). Berdasarkan jurnal Vijayaraghavan (2004) menyatakan bahwa komponen utama dari partikel cangkang kepiting dan hewan moluska lainnya seperti kupang adalah CaCO3 dan khitin dengan beberapa protein. Khitin merupakan komponen utama yang merespon dalam pengikatan logam berat seperti Cu, terjadi pada permukaan khitin yang mengandung gugus aktif hidroksil (OH) dan amina. Perlakuan Adsorpsi Oleh Pelet Campuran Serbuk Cangkang Kupang Terikat Silang Khitosan Pemisahan ion logam Cu(II) dari larutan dilakukan dengan mengalirkan larutan stok Cu (II) 100 ppm dari bawah ke atas dengan bantuan pompa. Penelitian ini menggunakan variasi laju alir influen yaitu 1,5 ml/menit; 2 ml/menit; dan 2,5 ml/menit dan variasi komposisi adsorben yang dipasang pada kolom setinggi 2 cm (sekitar 2,7627 gram) dengan komposisi adsorben fraksi berat serbuk cangkang kupang 93,75%; 95,24%, dan 96,15%. %.
Gambar 2. Adsorben setelah adsorpsi Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh laju alir influen, komposisi adsorben, dan pH awal larutan (dengan pengaturan dan tanpa pengaturan) terhadap kapasitas adsorpsi pelet komposit serbuk cangkang kupang- khitosan terikat silang dalam kolom katil tetap.
AF-27
Pengaruh Laju Alir Influen Laju alir influen yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1,5 mL/menit; 2 mL/menit; dan 2,5 mL/menit. Penyerapan logam Cu (II) oleh adsorben pelet serbuk cangkang kupang - khitosan diuji dengan mengalirkan larutan tembaga (II) konsentrasi 100 mg/L yang telah diatur pH nya yaitu 4 pada adsorben yang telah terpasang pada kolom fixed-bed. Laju alir influen yang berbeda menyebabkan tembaga yang diadsorpsi oleh adsorben berbeda pula. Hal ini ditunjukkan pada data di Tabel 1, 2, dan 3 sebagai berikut: Tabel 1. Nilai kapasitas adsorpsi (qo), tetapan laju Thomas (KT), volume breakthrough (VB), dan waktu breakthrough (tB) pada komposisi fraksi berat serbuk cangkang kupang 93,75% dengan laju alir influen yang bervariasi Laju Alir KT tB tE (jam) VB (L) (mL/menit (L/gr jam) qo (mg/gr) (jam) -4 1,5 2,87.10 642,9213 120,7979 10,8718 369,7081 -4 2 2,09.10 649,9567 44,7129 5,3655 357,4669 -4 2,5 2,02.10 689,6618 18,3416 2,7512 354,5990 Tabel 2. Nilai kapasitas adsorpsi (qo), tetapan laju Thomas (KT), volume breakthrough (VB), dan waktu breakthrough (tB) pada komposisi fraksi berat serbuk cangkang kupang 95,24% dengan laju alir influen yang bervariasi Laju Alir KT tB (mL/menit (L/gr jam) qo (mg/gr) (jam) VB (L) tE (jam) -4
451,2992
2
-4
2,89.10
2,5
3,18.10-4
1,5
2,66.10
58,4325
5,0393
311,3459
584,0805
55,992
7,0119
293,4637
624,5721
46,1101
6,9165
259,7075
Tabel 3. Nilai kapasitas adsorpsi (qo), tetapan laju Thomas (KT), volume breakthrough (VB), dan waktu breakthrough (tB) pada komposisi fraksi berat serbuk cangkang kupang 96,15% dengan laju alir yang bervariasi Laju Alir KT qo tB tE (mL/menit (L/gr jam) (mg/gr) (jam) (jam) VB (L) 1,5 4,8.10-4 325,7425 54,275 4,88475 195,7833 -4 2 5,1.10 352,9199 38,1745 4,58094 173,4691 -4 2,5 5,01.10 443,9475 37,8922 5,68383 171,3588 Hubungan antara laju alir dengan kapasitas serapan berbanding lurus. Tampak bahwa peningkatan laju alir mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi (qo), dan menurunkan waktu olah (tB). Namun, volume terolah tertinggi dihasilkan pada laju alir 1,5 mL/menit pada adsorben dengan fraksi berat serbuk cangkang kupang 93,75% yaitu sebesar 10,8718 L. Peningkatan laju alir mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi ada hubungannya dengan reaktifitas logam Cu (II) dan interaksi yang terjadi di dalam kolom antara larutan Cu (II) dengan adsorben akibat tekanan yang bertambah dari aliran. Selain itu adsorben serbuk cangkang kupang- khitosan yang terikat silang mayoritas kandungannya adalah CaCO3, maka serbuk cangkang kupang dan khitosan merupakan material yang sangat berpori (porous material) (Planas, 2002). Pada laju alir yang berbeda akan mempengaruhi waktu pembuangan dan waktu penerobosan (tB) yaitu waktu yang dibutuhkan larutan keluaran untuk mencapai konsentrasi 1 ppm. Waku penerobosan akan meningkat dengan dengan menurunnya laju alir yang digunakan pada sistem tersebut. Sedangkan waktu pembuangan (tE) yaitu waktu yang dibutuhkan larutan keluaran untuk mencapai hampir 99% ,akan menurun dengan meningkatnya laju alir. Kurva breakthrough akan semakin tajam ketika laju alir ditingkatkan yang disertai dengan penurunan waktu breakthrough. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah bahwa waktu kontak dalam kolom tidak cukup lama untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi pada laju alir. Larutan meninggalkan kolom sebelum kesetimbangan terjadi. Pada laju alir yang lebih tinggi mengakibatkan adsorben cepat jenuh terbukti dengan waktu exhausted nya yang lebih cepat akan tetapi kapasitasnya masih lebih tinggi, hal ini
AF-28
berhubungan reaktifitas logam Cu (II) akibat penambahan tekanan dari laju alir sehingga interaksinya lebih kuat. Dengan laju alir yang bervariasi maka dapat diperoleh kapasitas serapan yang bervariasi pula seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Z. Aksu et al., yang telah melakukan eliminasi logam tembaga menggunkan kalsium alginate juga memberikan pengaruh yang sama pada laju alir yang berbeda. Kurva breakthrough yang diperoleh selama proses adsorpsi ditunjukkan pada Gambar 3 dan 4 sebagai berikut: Grafil Ct/Co VS Waktu (jam) 1.1 1 0.9 0.8 Ct/Co 1,5 mL/menit
Ct/Co
0.7
Ct/Co hit 1,5 mL/menit
0.6
Ct/Co 2 mL/menit
0.5
Ct/Co hit 2 mL/menit
0.4
Ct/Co 2,5 mL/menit
0.3
Ct/Co hit 2,5 mL/menit
0.2 0.1 0 0
30
60
90
120
150
180
210
240
270
300
330
360
t (jam)
Gambar 3. Perbandingan kurva breakthrough hasil fitting dengan model Thomas dan kurva ”breakthrough” dari data proses adsorpsi laju alir 1,5 mL/menit; 2 mL/menit; dan 2,5 mL/ menit pada adsorben fraksi berat serbuk cangkang kupang 93,75% Grafik Ct/Co VS Waktu (jam)
Grafik Ct/Co VS Waktu (jam)
1.1
1.1 1
1
0.9
0.9 0.8 Ct/Co 1,5 mL/menit
0.7
Ct/Co 1,5 mL/menit
0.7
0.6
Ct/Co hit 2 mL/menit
0.6
Ct/Co 2 mL/menit
0.5
Ct/Co 2 mL/menit
0.5
Ct/Co hit 2 mL/menit
0.4
Ct/Co hit 2 mL/menit
0.3
Ct/Co 2,5 mL/menit
0.2
Ct/Co
Ct/Co
0.8
Ct/Co hit 1,5 mL/menit
Ct/Co 2,5 mL/menit
0.4
Ct/Co hit 2,5 mL/menit 0.3 0.2
0.1
0.1
0 0
30
60
90
120
150
180
210
t (jam)
240
270 300
330
360
0 0
30
60
90 120 t (jam)
150
180
210
(a) (b) Gambar 4. Perbandingan kurva breakthrough hasil fitting dengan model Thomas dan kurva ”breakthrough” dari data proses adsorpsi laju alir 1,5 mL/menit; 2 mL/menit; dan 2,5 mL/ menit pada adsorben fraksi berat serbuk cangkang kupang 95,24% (a) dan 96,15% (b) Pengaruh Komposisi Adsorben Komposisi adsorben juga digunakan sebagai variasi dalam penelitian ini karena komposisi adsorben ini juga akan berpengaruh terhadap kapasitas adsorpsi dari masingmasing adsorben. Komposisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah komposisi adsorben dengan fraksi berat serbuk cangkang kupang 93,75%; 95,24%; dan 96,15%. Hasil dari proses adsorpsi larutan Cu (II) pada berbagai komposisi dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4 di atas. Komposisi adsorben juga berpengaruh terhadap kapasitas adsorpsi seperti yang telah dijelaskan pada pengaruh laju alir yaitu peningkatan laju alir mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi ada hubungannya dengan serbuk cangkang kupang dan khitosan yang mayoritas kandungannya adalah CaCO3, maka serbuk cangkang kupang dan khitosan
AF-29
merupakan material yang sangat berpori (porous material) (Planas, 2002) dan reaktifitas logam Cu (II) akibat penambahan tekanan laju alir. Area permukaan, maupun ukuran pori dari pelet serbuk cangkang kupang- khitosan ini dapat ditunjukkan dari data BET (BrunaeurEmmet- Teller) sebagai berikut: Tabel 4. Data area permukaan, volume pori, dan ukuran pori dari pelet cangkang kupangkhitosan Area Permukaan (fraksi berat serbuk cangkang kupang %) 93,75% 95,24% 96,15%
Multi Point BET 4,790e + 00 m2/g 2,594e + 00 m2/g 1,467e + 00 m2/g
Volume Pori Metode HK Kumulatif Volume Pori 9,821e - 04 cc/g 5,579e - 04 cc/g 4,847e - 04 cc/g
Ukuran Pori Metode DA Diameter Pori 1,920e + 01 oA 1,920e + 01 oA 1,820e + 01 oA
Metode HK Diameter Pori 1,937e + 01 oA 1,937e + 01 oA 1,587e + 01 oA
Dari data di atas tampak bahwa area permukaan dan volume pori adsorben dengan fraksi berat serbuk cangkang kupang 93,75% memiliki nilai paling besar sehingga nilai kapasitas adsorpsinya juga semakin besar jika dibandingkan dengan komposisi adsorben dengan fraksi berat serbuk cangkang kupang 95,24% dan 96,15%. Dengan area permukaan yang lebih luas dan volume pori yang lebih besar sangat mungkin jika banyak logam Cu(II) yang terikat atau terserap oleh adsorben dengan fraksi berat serbuk cangkang kupang 93,75% tersebut Pengaruh pH Awal Larutan Pengaturan pH awal larutan yang dengan pengaturan, menggunakan pH optimum 4 merujuk pada penelitian sistem Batch. pH optimum diharapkan memberikan nilai kapasitas yang lebih besar dalam hal penyerapan logam Cu (II) dari larutan. Larutan Cu ( II) yang tanpa pengaturan pH memberikan kapasitas adsorpsi yang lebih kecil dibandingkan dengan larutan yang telah diatur pH nya mencapai pH optimum penyerapan (ditunjukkan pada Tabel 5). Hal ini diakibatkan karena pH optimum merupakan kondisi di mana larutan akan terserap dengan baik pada adsorben. Sehingga jika larutan tidak diatur terlebih dahulu sesuai dengan pH optimumnya maka kapasitas adsorpsinya akan lebih kecil. Tabel 5. Pengaruh pH awal larutan Cu (II) terhadap beberapa parameter model Tomas dari hasil ”Fitting” pada adsorben fraksi berat serbuk cangkang kupang 96,15% dengan laju alir 2,5 mL/menit pH awal larutan KT (L/gr jam) qo (mg/gr) tB (jam) VB (L) tE (jam) Cu (II) -4 4 (pH optimum) 5,01. 10 443,9475 37,8922 5,68383 171,3588 5,9(pHtanpa diatur) 6,31. 10-4 390,0607 37,1791 5,5769 144,8241
pH
Grafik pH VS Waktu (jam) 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
pH aw al larutan diatur= 4 pH aw al larutan tidak diatur
0
30
60
90
120
150
180
t (jam)
Gambar 5. Kurva pH larutan saat proses adsorpsi pada adsorben fraksi berat serbuk cangkang kupang dengan pengaturan pH awal larutan dan tanpa pengaturan pH awal larutan
AF-30
Dalam penelitian ini telah terjadi fenomena yaitu pertama proses adsorpsi ion logam Cu2+ oleh serbuk cangkang kupang yang disertai dengan pelepasan H+ karena proses adsorpsi terjadi dengan prinsip pertukaran ion (ion exchange) sebagaimana yang telah diusulkan oleh peneliti-peneliti terdahulu (Schmuhl, 2001; Kalyani et al, 2005; Verbych et al, 2005). Reaksi pertukaran ion tersebut adalah: Biosorben(s) + Cu2+(aq) → Biosorben-Cu (s) + 2 H+ (aq). +
Kedua, reaksi netralisasi larutan setelah proses adsorpsi, yaitu reaksi antara ion H (hasil pertukaran ion) dengan CaCO3 yang terdapat dalam serbuk cangkang kupang, yang dapat ditulis sebagai berikut : +
2+
CaCO3 (s) + 2 H (aq) → Ca
(aq) + H2O (l) + CO2 (g)
Pada penelitian ini pH larutan yang semula adalah 4 maka setelah melewati kolom atau setelah proses adsorpsi akan mengalami kenaikan yang pada akhirnya akan konstan, pH yang diperoleh setelah proses adsorpsi berlangsung antara 5,7-5,9 : Grafik pH VS waktu (jam)
Grafik pH VS waktu (jam) 10
11 10
9
9
8
8
7
laju alir 1,5 mL/menit Laju alir 2 mL/menit
5 4
6
pH
6
3
laju alir 1,5 mL/menit
5
laju alir 2 mL/menit
4
laju alir 2,5 mL/menit
laju alir 2,5 mL/menit
3 2
2
1
1
0
0 0
30
60
90
120
150
0
180 210 240 270 300 330 360
30
60
90 120 150 180 210 240 270 300 330
t (jam)
t (jam)
(a)
(b) Grafik pH VS waktu (jam)
12 11 10 9 8
pH
pH
7
7
laju alir 1,5 mL/menit
6
laju alir 2 mL/menit
5
laju alir 2,5 mLmenit
4 3 2 1 0 0
30
60
90
120
150
180
210
t (jam)
(c) Gambar 6. Kurva pH larutan saat proses adsorpsi pada adsorben dengan fraksi berat serbuk cangkang kupang (a) 93,75%; (b) 95,24%; (c) 96,15% Sifat Komposit Adsorben Adsorben serbuk cangkang kupang yang terikat silang glutaraldehid, dimana masing-masing bahan dapat mengikat logam berat Cu (II). Kapasitas adsorpsi komposit merupakan kontribusi atau sumbangan dari penyusunnya. Sehingga kontribusi nilai kapasitas adsorpsinya bervariasi. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
AF-31
Tabel 6. Tabel fraksi kupang dengan qo pada laju alir 1,5 mL/menit, 2 mL/menit, dan 2,5 mL menit qo qo qo 1,5 mL/menit 2 mL/menit 2,5 mL/menit f kp 0.9375 642.9213 649.9567 689.6618 0.9524 451.2992 584.0805 624.5721 0.9615 325.7425 352.9199 443.9475 Dari Tabel 6 tersebut dapat diketahui bahwa kapasitas adsorpsi adsorben semakin menurun dengan semakin banyaknya fraksi berat serbuk cangkang kupang. Korelasi antara kapasitas adsorpsi dan fraksi kupang dapat diplot pada Gambar 7. Grafik f kp VS qo 800
Laju alir 1,5 mL/menit Laju alir 2 mL/menit
700 600
qo
500 400
Laju ali 2,5 mL/menit
300 200 100 0 0.935
0.94
0.945
0.95
0.955
0.96
0.965
f kp
Gambar 7. Grafik fraksi serbuk cangkang kupang terhadap kapasitas adsorpsi komposit dengan laju alir bervariasi Tabel 7. Nilai korelasi dari persamaan regresi komposit pada laju alir 1,5 mL/menit; 2 mL/menit; 2,5 mL/menit Laju alir (mL/menit) Persamaan regresi R2 1,5 y = -13181x + 13001 0,9996 2 y = -148,52x + 826,02 0,9064 2,5 y = -127,86x + 831,77 0,9314 Dari Gambar 7 di atas dapat dijelaskan bahwa hasil regresi menunjukkan nilai korelasi yang mendekati +1 menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi layak, yang artinya semua titik yang ada pada kurva fraksi serbuk cangkang kupang terhadap adsorpsi komposit mendekati garis lerengnya. Hal ini menunjukkan adanya hubungan linier yang baik antara fraksi serbuk cangkang kupang dengan kapasitas adsorpsi komposit, sehingga dapat disimpulkan bahwa komposit yang terbentuk (serbuk cangkang kupang dan khitosan) cukup homogen. 4. Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Laju alir influen dapat mempengaruhi kapasitas adsorpsi masing-masing adsorben yaitu semakin cepat laju alir influen maka kapasitas adsorpsi juga semakin besar. Kapasitas adsorpsi pada adsorben dengan fraksi berat serbuk cangkang kupang 93,75% dengan laju alir 1,5; 2; dan 2,5 mL/menit secara berurutan adalah 642,9213 mg/g; 649,9567 mg/g; dan 689,6618 mg/g, untuk adsorben dengan fraksi berat cangkang kupang 95,24% adalah 451,2992 mg/g; 584,0805 mg/g; dan 624,5721 mg/g, untuk adsorben dengan fraksi berat serbuk cangkang kupang 96,15 adalah 325,7425 mg/g; 352,9199 mg/g; dan 443,9475 mg/g. 2. Komposisi adsorben juga berpengaruh terhadap kapasitas adsorpsi yaitu semakin besar komposisi adsorben maka kapasitas adsorsinya akan menurun. Kapasitas adsorpsi pada adsorben dengan fraksi berat serbuk cangkang kupang 93,75%; 95,24%; 96,15%
AF-32
dan dengan laju alir 1,5 mL/menit secara berurutan adalah 642,9213 mg/g; 451,2992 mg/g: dan 325,7425 mg/g. 3. Pengaturan pH awal larutan berpengaruh terhadap kapasitas adsorpsi yaitu pH awal larutan yang diatur pada pH optimum (pH 4) memiliki kapasitas adsorpsi yang lebih besar yaitu sebesar 443,9475 mg/g dibandingkan dengan larutan awal tanpa pengaturan yaitu sebesar 390,0607 mg/g pada adsorben dengan fraksi berat serbuk cangkang kupang 96,15% dengan laju alir 2,5 mL/menit Daftar Pustaka Aksu Z, Gonen F. 2004. Biosorption of Chromium (VI) Ions by Mowital B30 H Resin Immobilized Activated Sludge in a Packed Bed:Prediction of breakthrough Curves. Process Biochem Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI-Press. Jakarta Hirano, S. 1986. Chitin and Chitosan. Republica of Germany: Encyclopedia of Industrial Chemistry. 5 th ., pp. 231-232 .Istianah, Siti. 2008. Adsorpsi Ion Tembaga (II) Dari larutan aqueous Dengan Menggunakan Cangkang Kupang (Tellina sp) Dalam Kolom Alir Terkemas (Packed Bed up-flow Coloumn). Jurusan Kimia-FMIPA ITS. Surabaya Planas, M. Ruiz. 2002). Development of Techniques Based on Natural Polymer for The Recovery of Precious Metals. Thesis Doctoral. Universitat Politecnica de Catalunya. Meksiko Schmul, R, Kriey, HM Keizer. 2001. Adsorption of Cu (II) and Cr (VI) by Chitosan: Kinetics and Equilibrium Studies Water SA. Journal of Hazardous Material Sudirman Habibie. 1996. Penelitian Pembuatan Khitosan di Indonesia. Majalah BPPT Tekhnologi. Jakarta The Merck Indek an Encyclopedia of Chemicals and Drugs. 1976. Chitin. 9 th Ed. USA: Merck and Co Int Rahway. Pp. 25 Vijayaraghavan, K, et al. 2004. Removal of Nickel (II) Ions from Aqueous Solution Using Crab Shell Particle in a Packed Bed Up-Flow Coloumn. Journal of Hazardous Materials B 113. 233-230. John Wiley and Sons. New York Wikipedia Indonesia. 2007. siput sudu. www.wikipedia.co.id
AF-33
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Reaktivitas Fotokatalitik dari TiO2 dengan Zeolit Hidrofob ZSM-5 Untuk Mendekomposisi Senyawa Organik Diana Rakhmawaty1*, Masato Takeuchi2, Masakazu Anpo2 1
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia Department of Applied Chemistry, Graduate School of Engineering, Osaka Prefecture University, Osaka, Japan *: Tlp/fax:(022)7794391, email:
[email protected]
2
Abstrak Fotokatalis TiO2 telah dibuat dengan mencampurkan secara mekanik pada zeolit ZSM-5. Hasil preparasi fotokatalis TiO2/ZSM-5 menunjukkan harga reaktivitas fotokatalitik yang tinggi untuk mengoksidasi gas asetaldehid dengan adanya O2 dan uap H2O untuk menghasilkan CO2 dibandingkan dengan serbuk TiO2 standar. Zeolit yang digunakan mempunyai sifat hidrofob, juga karena zeolit ZSM-5 sangat efektif mengadsorpsi molekulmolekul asetaldehid untuk selanjutnya berdifusi ke dalam permukaan TiO2. Reaktivitas fotokatalitik tergantung juga pada kandungan TiO2 dalam zeolit. Uji karakterisasi dilakukan dengan XRD, UV-visibel dan BET. Hasil pengujian karakterisasi sesuai dengan sisi aktif dari TiO2 yang mempunyai peranan penting untuk mendekomposisi senyawa organik, khususnya dalam mengoksidasi gas asetaldehid. Kata Kunci: Fotokatalis, TiO2/ZSM-5, oksidasi asetaldehid 1.
Pendahuluan Fotokatalis TiO2 mempunyai kemampuan untuk mendekomposisi secara lengkap dari senyawa-senyawa organik menjadi CO2 dan H2O di bawah iradiasi sinar UV, hal tersebut telah dipelajari untuk pemurnian gas yang berbahaya di udara, zat dalam air dan polusi tanah dari senyawa organik (Serpone et al., 1989; Ollis et al., 1993; Fujishima et al., 1999; Anpo, 1987). Terutama dalam air-cleaning dan sistem penghilangan bau dengan menggunakan fotokatalis TiO2 dan sinar UV telah dikembangkan untuk mengurangi senyawa-senyawa organik yang volatil/volatile organic compounds (VOCs), seperti aldehid, asam karboksilat, dan senyawa-senyawa aromatik. Upaya untuk mengurangi polusi udara dan bau di lingkungan masih memerlukan perbaikan-perbaikan seiring dengan kemudahan dan harga dari katalis yang digunakan. Polusi udara akibat gas NO di udara salah satu penelitian yang telah dipelajari sebelumnya (Rakhmawaty, 2008). Diketahui juga beberapa katalis seperti Pt dalam TiO2 dipakai untuk meningkatkan reaktivitas fotokatalitik, tetapi kendalanya Pt mempunyai harga yang relative mahal (Sato et al., 1980; Gratzel, 1983; Anpo et al., 1987; Anpo et al., 1991; Takeuchi et al., 2003). Hibridisasi dari adsorben seperti zeolit (Takeda et al., 1995; Durgakumari et al., 2002; Anpo, 2000) dan karbon aktif (Ibusuki et al., 1994; Uchida et al., 1993; Yamashita et al., 2000) dengan partikel TiO2 telah banyak dilaporkan menunjukkan kenaikan dari reaktivitas fotokatalitiknya, terutama dalam mendekomposisi senyawa-senyawa organik fasa gas. Pada penelitian sebelumnya (Takeuchi et al., 2007), hibridisasi TiO2/ZSM-5 yang dibuat dengan metode impregnasi menunjukan reaktivitas fotokatalitik yang tinggi untuk mengoksidasi lengkap gas-gas asetaldehid daripada menggunakan katalis murni TiO2, karena zeolit ZSM-5 sangat efektif mengadsorpsi molekul-molekul asetaldehid untuk selanjutnya berdifusi ke dalam permukaan TiO2. Dalam penelitian ini partikel TiO2 dicampur secara mekanik dengan zeolit yang bersifat hidrofob, yaitu ZSM-5, menggunakan metode preparasi yang sederhana untuk memaksimalkan sifat fotokatalitik dari serbuk TiO2. Selanjutnya uji reaktivitas fotokatalitik
AF-34
dengan melihat reaksi oksidasi lengkap (complete oxidation) dari gas asetaldehid dengan gas O2 di bawah iradiasi lampu UV. 2.
Eksperimen 2 Serbuk TiO2 nano partikel (SSP-25, anatase, luas permukaan = 270 m /g), dan zeolit yang kandungan silika-nya besar, ZSM-5 (HSZ-HOA890, SiO2/Al2O3 = ca. 1880, luas permukaan = 370 m2/g). Fotokatalis TiO2/ZSM-5 dibuat dengan cara mencampurkan TiO2 dan ZSM-5 diaduk dengan menggunakan mortar selama 1 jam. Sebagai bandingannya dibuat larutan suspensi TiO2/ZSM-5 secara ultrasonic. Kemudian fotokatalis TiO2/ZSM-5 dikarakterisasi dengan menggunakan X-Ray Diffraction (Shimadzu, XRD-6100) dan absorpsi UV-visibel pada suhu kamar. Reaktivitas fotokatalitik TiO2/ZSM-5 dilakukan dengan pengujian dekomposisi gas asetaldehid dengan adanya gas O2 di bawah iradiasi sinar UV. Sebanyak 50 mg TiO2/ZSM5 dimasukkan dalam cell kuarsa (± 33 cm3). Sebelumnya dilakukan penghilangan gas (degassed) pada suhu 450ºC selama 2 jam, kemudian ditambahkan gas O2 (6.7 kPa) pada suhu yang sama selama 2 jam dilanjutkan dengan degassed lagi pada suhu 100ºC selama 2 jam. Campuran CH3CHO (0.27 kPa), O2 (1.07 kPa), dan H2O (0 - 1.33 kPa) dialirkan dalam cell reaktor. Selanjutnya setelah adsorpsi setimbang, sinar UV yang berasal dari lampu Hg 100 W (Toshiba, SHL-100UVQ-2) disinarkan pada cell reaktor dengan 2 menggunakan cut off filter (Toshiba Glass, UV-27, λ>270 nm, ca. 1-2 mW/cm ). Cell reaktor dimasukkan dalam ice water selama reaksi untuk menjaga suhu reaksi. Sejumlah CO2 yang dihasilkan dan asetaldehid yang terdekomposisi dianalisis dengan menggunakan detektor TCD dan FID menggunakan gas kromatografi (Shimadzu, GC-14A). 3.
Hasil dan Pembahasan Gambar 1 menunjukan pola XRD dari TiO2 yang dicampur dengan zeolit ZSM-5 dengan berbagai variasi TiO2. Serbuk TiO2 menunjukkan pola difraksi dari struktur anatase pada 2θ sekitar 26 deg. Ukuran partikelnya 8 nm dengan menggunakan persamaan Scherre. Untuk pola difraksi zeolit ZSM-5 diketahui mempunyai struktur MFI, yang lebih berbentuk dibanding serbuk TiO2, hal ini menunjukkan pertumbuhan kristal zeolit. Pada saat sejumlah kecil serbuk TiO2 dicampur secara mekanik dengan zeolit selama 5 menit, agak susah diamati pola difraksinya yang menunjukkan serbuk TiO2, tetapi setelah jumlah TiO2 dinaikkan sampai 20%, lebar puncak difraksi menunjukan struktur anatase (101) pada 2θ sekitar 26 deg. Spektrum absorpsi UV-visibel dari TiO2/ZSM-5 dapat dilihat pada Gambar 2. Absorpsi TiO2/ZSM-5 diamati pada panjang gelombang 380-400 nm. Apabila serbuk TiO2 kurang dari 5% dicampur dengan ZSM-5, maka berkas sinar diteruskan melalui sampel yang transparan dari ZSM-5. Tetapi jika jumlah TiO2 sekitar 10-20%, berkas sinar tidak dapat menembus sampel, ini menandakan efisiensi iradiasi sinar UV pada TiO2. Koefisien absorpsi dari serbuk TiO2 di daerah sinar UV diketahui sangat tinggi, seperti halnya jika fraksi serbuk TiO2 pada zeolit bertambah, sinar tidak dapat diiradiasi-kan pada sisi belakang (backside) dari partikel TiO2. Hasil tersebut menjelaskan bahwa pentingnya menggunakan zeolit yang mengandung silika, seperti ZSM-5 karena daya tembusnya yang efisien terjadi dari sinar UV pada partikel TiO2 tanpa kehilangan intensitas cahaya yang berhamburan. Gambar 3 menunjukkan reaktivitas fotokatalitik dari TiO2/ZSM-5 mempunyai hasil yang hampir mirip dengan metode ultrasonic. Hasil ini dapat disimpulkan bahwa reaktivitas fotokatalitik TiO2 dapat ditingkatkan dengan cara mencampurkan secara mekanik terhadap zeolit yang hidrofob sebagai material adsorben.
AF-35
4000
Intensity / cps
(g)
3000 (f)
(e)
2000
(d)
1000
(c) (b) (a)
0 5
10
15
20
25
30
35
2 theta / degree Gambar 1. Pola XRD TiO2 yang dicampur dengan zeolit ZSM-5(SiO2/Al2O3 = 1880). Kandungan TiO2 (%): (a) 100, (b) 50, (c) 20, (d) 10, (e) 5, (f) 1, dan (g) 0.
K. M. function
13
(b)
10
(c)
(A) (a)
(d) (e)
5 (f) (g)
0 200
300
400
500
600
Wavelength / nm Gambar 2. Spektrum absorpsi UV-Vis dari TiO2 yang dicampur dengan zeolit ZSM-5 Kandungan TiO2 (wt%): (a) 100, (b) 50, (c) 20, (d) 10, (e) 5, (f) 1, dan (g) 0.
AF-36
Yield of CO2 formation / µmol
8.0 6.0 4.0 2.0 0.0 (A)
(B)
(C)
Gambar 3. Reaktivitas fotokatalitik (iradiasi sinar UV : 1 jam) TiO2/ZSM-5 (TiO2/ZSM-5 ratio = 10/90) preparasi dengan: (A) secara mekanik, (B) larutan suspensi secara ultrasonic dan (C) tanpa pencampuran
Yield of CO2 formation / µmol
Pengaruh kandungan TiO2 yang ditambahkan pada zeolit ZSM-5 dapat dilihat pada Gambar 4. Pada reaksi oksidasi lengkap gas asetaldehid dengan adanya O2 dan uap H2O di bawah sinar UV (λ>270 nm), jika kandungan TiO2 sekitar 5-15 wt% pada zeolit ZSM-5 akan menunjukkan hasil sekitar 2 kali lebih besar daripada reaktivitas fotokatalitik partikel TiO2 murni. Pada penelitian sebelumnya, zeolit ZSM-5 juga bekerja dengan baik sebagai adsorben untuk memusatkan asetaldehid (Takeuchi et al., 2007). Zeolit silika tidak mempunyai sisi asam Bronsted yang berfungsi sebagai sisi aktif adsorpsi untuk molekul polar seperti H2O (Chen, 1976), sehingga molekul asetaldehid terkumpul pada rongga zeolit yang terdifusi pada permukaan katalis. 18 15 12 9 6 3 0 0
20
40
60
80
100
TiO 2 contents / wt% Gambar 4. Reaktivitas fotokatalitik (iradiasi sinar UV: 3 jam) dari TiO2 dicampur secara mekanik dengan zeolit ZSM-5 dan non-porous SiO2. 4.
Kesimpulan TiO2 komersial dapat ditingkatkan sifat fotokatalitiknya dengan metode sederhana dengan mencampurkan secara mekanik dengan zeolit yang hidrofob, ZSM-5. Jumlah optimum zeolit sebagai adsorben untuk reaksi fotokatalitik sekitar 80-95% apabila disinari UV. Sifat hidrofob dari zeolit menyebabkan gas asetaldehid terkumpul pada rongga juga akan pindah perlahan ke dalam TiO2, yang menyebabkan peningkatan dalam reaktivitas fotokatalitiknya.
AF-37
Penghargaan Department of Applied Chemistry, Graduate School of Engineering, Osaka Prefecture University, Osaka, Japan, atas fasilitas penelitian. Matsuda Scholarship Japan, untuk financial selama penelitian. Daftar Pustaka Anpo, M., Shima, T., Kodama, S., dan Kubokawa, Y., (1987),. Physical Chemistry, Vol.91, hal. 4305. Anpo, M., Chiba, K., Tomonari, M., Coluccia, S., Che, M., dan Fax, A., (1991). Bulletin Chemical Society. Japan. Vol. 64, hal. 543. Anpo, M., dan Yamashita, H., in: M. Schiavello (Eds.) (1997), Heterogeneous Catalysis, Wiley, London. Anpo, M. (Ed.) (2000), Photofunctional Zeolites, NOVA, New York. Chen, N.Y., (1976), Physical Chemistry, Vol. 80, hal.60. Durgakumari, V., Subrahmanyam, M., Subba Rao, K.V., Ratnamala, A., Noorjahan, M., dan Tanaka, K., (2002), “An easy and efficient use of TiO2 supported HZSM-5 and TiO2 + HZSM-5 zeolite combinate in the photodegradation of aqueous phenol and p-chlorophenol”, Applied Catalysis. A . General. Vol. 234, hal. 155. Fujishima, A., Hashimoto, K., dan Watanabe, T. (Eds.) (1999), TiO2 Photocatalysis Fundamentals and Applications, BKC, Tokyo. Grätzel, M. (Eds.) (1983), Energy Resources through Photochemistry and Catalysis, Academic Press, New York. Ibusuki, T., dan Takeuchi, K., (1994), . Molecular Catalysis, Vol.88, hal.93. Rakhmawaty, D., Matsuoka, M., dan Anpo, M., (2008), “Photocatalytic decomposition of N2O in the presence of CO using Ti/USY photocatalysts”, In Proceeding of The International Seminar on Chemistry 2008, Jatinangor, Indonesia. Serpone, N., dan Pelizzetti, E (Eds.) (1989), Photocatalysis Fundamentals and Applications, Wiley, New York. Ollis, D.F., dan Al-Ekabi, H (Eds.) (1993), Photocatalytic Purification and Treatment of Water and Air, Elsevier, Amsterdam. Sato, S.dan White, J. M., (1980) , “Reactions of water with carbon and ethylene over illuminated Pt/TiO2” Chemical Physics Letters, Vol. 70, hal. 131. Takeuchi, M., Tsujimaru, K., Sakamoto, K., Matsuoka, M., Yamashita, H., dan Anpo, M., (2003), Res. Chem. Intermed., 29, Vol. 6, hal. 619. Takeda, N., Torimoto, T., Sampath, S., Kuwabata, S., dan Yoneyama, H., (1995), Physical Chemistry, Vol. 99, hal. 9986. Takeuchi, M., Kimura, T., Hidaka, M., Rakhmawaty, D., dan Anpo, M., (2007), “Photocatalytic oxidation of acetaldehyde with oxygen on TiO2/ZSM-5 photocatalysts: Effect of hydrophobicity of zeolites” Catalysis., Vol. 246, hal.235. Uchida, H., Itoh, S., dan Yoneyama, H., (1993), Chemistry Letter, hal.1995. Yamashita, H., Harada, M., Tanii, A., Honda, M., Takeuchi, M., Ichihashi, Y., Anpo, M., Iwamoto, N., Itoh, N., Hirao, T., (2000),Catalysis Today, Vol.63, hal.63.
AF-38
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Aktivitas Antibakteri Kain Komposit Kitosan-Epoksi Silika dan Kain Kitosan-Silika Sebagai Tekstil Antibakteri Dina Kartika Maharani1, Indriana Kartini2, Nurul Hidayat Aprilita2. 1) Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya 2) Jurusan Kimia Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Abstrak Uji aktivitas antibakteri kain kitosan maupun kain komposit kitosan-silika terhadap bakteri Stapphylococcus aureus telah dilakukan. Pembuatan tekstil antibakteri dilakukan dengan cara melapisi kain katun dengan kitosan maupun komposit kitosan-silika. Proses pelapisan dilakukan dengan menggunakan metode pencelupan atau dip-coating dengan teknik pad-dry-cure. Kain yang telah dilapisi kitosan maupun komposit kitosan dikarakterisasi menggunakan analisis Difraksi Sinar-X. Uji aktivitas antibakteri kain kitosan maupun kain kitosan-silika terhadap bakteri Stapphylococcus aureus dilakukan dengan metode shake flask turbidimetry. Hasil analisis Difraksi Sinar-X pada kain terlapis kitosan maupun komposit kitosan-silika menunjukkan tidak adanya perubahan struktur kain katun setelah proses pelapisan. Aktivitas antibakteri kain kitosan pada jam ke 3 adalah sebesar 43,54 %, sedangkan kain kitosan-silika 0,01 M adalah sebesar 46,78 % dan kain kitosanepoksi silika 0,01 M adalah sebesar 54,82 %. Kata kunci : tekstil antibakteri, lapis tipis, kitosan, komposit kitosan-silika
1. Pendahuluan Kitosan yang merupakan turunan dari kitin diketahui memiliki kemampuan untuk berikatan dengan berbagai macam sel mikroba maupun mamalia, oleh karena itu banyak aplikasi dalam bidang biomedis diantaranya adalah aplikasi kitosan sebagai bahan bacteriostatic. Pada awal tahun 1950an, Katchalsky menjelaskan tentang aktivitas pengikatan polikation kitosan terhadap berbagai jenis sel. Katchalsky melaporkan bahwa polikation memiliki kemampuan untuk mengikat berbagai macam jenis sel, termasuk sel darah merah. Polikation kitosan, khususnya dalam bentuk larutan dapat diaplikasikan sebagai bahan antibakteri (bacteriostatic agent), dan hemostatic agent. Sejumlah penelitian mengenai aktivitas antibakteri kitosan dan mekanisme aktivitas antibakterinya telah berlangsung sejak tahun 1950an. Evan dan Kent (1962), melaporkan bahwa kitin terdeasetilasi dapat mengaglutinasi berbagai macam jenis sel mikroba, seperti halnya pada sel darah merah (Olsen et al., 1989). Kitosan merupakan biopolimer alami dengan kelimpahan terbesar kedua di alam setelah selulosa. Kitosan terdapat dalam rangka luar crustacean dan arthropoda, dan merupakan kopolimer nontoksik yang terdiri dari unit kopolimer β-(1,4)-2-acetamido-2deoksi-D-glukosa dan β-(1,4)-2-amino-2-deoksi-D-glukosa (Liu, 2006). Kitosan diperoleh dari proses N-deasetilasi kitin. Adanya gugus amina bebas yang dimiliki oleh kitosan tersebut menyebabkan kitosan dapat dimodifikasi untuk memperoleh turunan kitosan (Bhumkar, 2006). Kitosan memiliki struktur yang sama dengan selulosa, namun gugus hidroksil pada atom karbon kedua digantikan oleh gugus amina. Kitosan larut dalam berbagai pelarut seperti asam klorida, asam format dan asam asetat, sedangkan kitin tidak larut dalam air maupun pelarut-pelarut asam. Biodegradable, biocompatible, dan bioadhesive merupakan sifat-sifat utama dari polimer kitosan, sehingga kitosan sangat luas aplikasinya diantaranya sebagai bahan antibakteri pada tekstil. Dalam pH asam, gugus amina bebas (-NH2) terprotonasi menjadi
AF-39
gugus amina kationik (-NH3). Kitosan merupakan larutan polielektrolit linier pada pH asam. Kitosan memiliki densitas muatan yang tinggi, satu muatan per unit glukosamin, sehingga muatan positif kitosan dari gugus (-NH3+) dapat berinteraksi dengan berbagai material bermuatan negatif (Sanford, 1988). Secara umum fungsionalisasi pada tekstil dapat dicapai dengan memperbaiki sifat serat kain maupun dengan memodifikasi permukaan tekstil. Proses fungsionalisasi tekstil pada prinsipnya adalah dapat berupa menginkorporasi bahan aditif fungsional pada serat tekstil, grafting secara kimia pada polimer serat tekstil serta pemberian perlakuan akhir pada tekstil yaitu melapisi tekstil dengan bahan fungsional. Prinsip yang terakhir yaitu proses pelapisan pada tekstil merupakan metode yang sangat fleksibel, tidak tergantung pada jenis serat tekstil, memerlukan bahan aditif yang sedikit, serta memudahkan kombinasi antara berbagai bahan fungsional. Perlakuan akhir pada tekstil yaitu pelapisan banyak dilakukan dengan metode pelapisan nanosol atau nanosol coating (Mahltig et al, 2005). Dalam penelitian ini dibuat tekstil antibakteri dengan cara melapiskan kitosan maupun komposit kitosan-silika pada kain katun dengan menggunakan metode dip-coating dengan teknik pad-dry-cure. Lapis tipis kitosan maupun komposit kitosan-epoksi silika dan kitosan-silika pada kain katun selanjutnya dikarakterisasi dengan Difraksi Sinar-X. Aktivitas antibakteri kain kitosan maupun kain komposit kitosan-silika diuji terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan metode Shake flask turbidimetry. 2. Metode Penelitian Preparasi kitosan dan komposit kitosan Kitosan dipreparasi dari reaksi deasetilasi kitin yang diisolasi dari limbah cangkang kepiting dengan hasil harga derajat deasetilasi sebesar 70 %. Larutan kitosan dibuat dengan pelarut asam asetat 2 % dengan konsentrasi 0,1 %. Preparasi komposit kitosan menggunakan dua prekursor yaitu nanosol epoksi silika dan silika dilakukan dengan menggunakan metode sol-gel. Komposit kitosan-silika dibuat dengan prekursor tetraetilortosilikat sedangkan kitosan-epoksi silika dibuat dengan prekursor glisidoksipropiltrimetoksisilan dengan pelarut etanol. Konsentrasi tetraetilortosilikat (TEOS) dan glisidoksipropiltrimetoksisilan (GPTMS) yang digunakan adalah 0,01 M dan 0,5 M. Komposit kitosan-epoksi silika dan komposit kitosan-silika dibuat melalui proses pengadukan larutan kitosan dan nanosol dengan perbandingan % berat/berat kitosan : nanosol 60: 40. Pelapisan kitosan dan komposit kitosan pada kain katun Pelapisan kitosan dan komposit kitosan pada kain katun dilakukan menggunakan metode pencelupan atau dip-coating dengan teknik pad-dry-cure. Kain katun dicelupkan pada larutan kitosan maupun larutan komposit kitosan sebanyak 10 kali, selanjutnya dikeringkan pada temperatur 80 oC selama 5 menit dan dikeringkan kembali pada o temperatur 140 C selama 3 menit. Berat kain setelah pencelupan maupun pengeringan ditimbang. Uji Aktivitas antibakteri kain kitosan dan kain komposit kitosan-silika Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode shake flask turbidimetry. terhadap bakteri Stapylococcus aureus. Aktivitas antibakteri dihitung sebagai % hambatan terhadap pertumbuhan bakteri dengan menggunakan persamaan berikut : Aktivitas antibakteri (%) =
Vkontrol − Vsampel x100% Vkontrol
dimana V adalah laju pertumbuhan bakteri yang dihitung dengan persamaan : ∑bakteri jam ke 0 –∑bakteri jam ke-n V = ∑bakteri jam ke 0
AF-40
3. Hasil dan Pembahasan Kitosan hasil deasilasi kitin yang diisolasi dari cangkang kepiting dalam penelitian ini memiliki harga derajat deasetilasi 70,2 % dan karakteristik seperti yang tercantum dalam tabel 1 berikut : Tabel 1. Karakteristik kitosan. Sifat Fisika Kitosan Kadar Nitrogen 6,51 % Kadar Air 10,8 % Kadar Mineral 1,06 % Berat molekul 733 kDa Analisis Difraksi Sinar-X Kain Kitosan dan Kain Komposit Kitosan Hasil analisis difraksi sinar-X menunjukkan tidak adanya perubahan struktur kain setelah proses pelapisan. Hal ini menandakan bahwa proses pelapisan yang dilakukan tidak merusak struktur kain. Puncak refleksi dari silika tidak terlihat karena overlap dengan puncak selulosa yang lebar dan luas. Hal ini juga mengindikasikan bahwa pelapisan komposit kitosan pada kain diperkirakan dominan menghasilkan lapisan-lapisan pada selulosa dimana komposit kitosan berada pada permukaan terluar lapisan kitosan-epoksi silika maupun lapisan kitosan-silika, sedangkan epoksi-silika dan silika berada diantara kain dan kitosan. I
Ket :
020
Kitosan Epoksi silika Kitosan-Epoksi silika 0,01 M Kitosan-Silika 0,01M
2000
110 1000
110
0 5
10
15
20
25
30
35
40
45
2θ 50
Gambar 1. Difraktogram kain kitosan, kain kitosan-epoksi silika, kain kitosan-silika dan epoksi silika o
o
o
Puncak-puncak karakteristik kristal selulosa muncul di 2θ 14,5 , 16,5 dan 22,5 yang merefleksikan bidang 110, 110 dan 020 (Yano et al., 2008). Intensitas kisi kristal ketiga puncak tersebut pada kain yang dilapisi kitosan, kitosan-epoksi silika 0,01M maupun kitosan-silika 0,01M mengalami peningkatan yang menandakan pelapisan kitosan, kitosanepoksi silika maupun kitosan-silika meningkatkan rapat struktur selulosa. Hal ini dibuktikan dengan besarnya jarak antar bidang (d-spacing) pada kain > kain kitosan > kain kitosanepoksi silika > kain kitosan-silika. Perbedaan kristalinitas dari kain kitosan, kain kitosanepoksi silika dan kain kitosan-silika ini diperkirakan akan memberikan perbedaan pada sifat fisik maupun kimia ketiga jenis kain tersebut. Aktivitas antibakteri Kain Kitosan dan Kain Komposit Kitosan-Silika Hasil uji aktivitas antibakteri pada kain yang dilapisi kitosan dibandingkan dengan kain yang dilapisi kitosan-epoksi silika maupun kitosan-silika seperti disajikan pada gambar 2 menunjukkan bahwa kain yang dilapisi komposit kitosan-epoksi silika maupun kitosansilika memiliki aktivitas antibakteri yang relatif tidak jauh berbeda dengan kain yang dilapisi kitosan. Prosentase aktivitas antibakteri kain kitosan pada jam ke 3 adalah sebesar 43,54 %, sedangkan kain kitosan-silika 0,01 M adalah sebesar 46,78 % dan kain kitosan-epoksi
AF-41
Aktivitas antibakteri (%)
silika 0,01 M adalah sebesar 54,82 %. Adanya penambahan epoksi silika maupun silika pada kitosan relatif tidak banyak mempengaruhi aktivitas antibakteri kitosan. Hal ini mengindikasikan bahwa pada konsentrasi epoksi silika 0,01 M maupun silika 0,01 M dan + 0,5 M dalam komposit relatif tidak mempengaruhi kinerja gugus aktif NH3 pada kitosan dalam proses penghambatan pertumbuhan bakteri. 60 50
3 jam
40
6 jam
30
9 jam
20
24 jam
10 0 Kit
Kit-epk Kit-si Kit-epk Kit-si 0,01 M 0,01 M 0,5 M 0,5 M
Gambar 2. Aktivitas antibakteri kain kitosan (kit), kain kitosan-epoksi silika (kit-epk) 0,01 M dan 0,5 M serta kain kitosan-silika (kit-si) 0,01 M dan 0,5 M. Prosentase aktivitas antibakteri pada kain kitosan-epoksi silika 0,01 M berdasarkan hasil uji aktivitas antibakteri yang telah dilakukan menunjukkan aktivitas antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan pada kain kitosan maupun kain kitosan-silika 0,01 M dan 0,05 M. Hal ini mengindikasikan bahwa mekanisme antibakteri oleh ketiga jenis kain tersebut diperkirakan dapat berbeda-beda satu dengan yang lain akibat perbedaan bahan pelapisnya. 4. Kesimpulan Pembuatan tekstil antibakteri dengan metode pelapisan atau dip coating telah berhasil dilakukan. Hasil analisis difraksi sinar-X pada kain kitosan maupun kain komposit kitosan menunjukkan bahwa struktur kain katun setelah proses pelapisan tidak berubah. Hal ini menandakan bahwa proses pelapisan kain dengan kitosan dan komposit kitosan tidak merubah struktur kain katun. Aktivitas antibakteri kain kitosan pada jam ke 3 adalah sebesar 43,54 %, sedangkan kain kitosan-silika 0,01 M adalah sebesar 46,78 % dan kain kitosanepoksi silika 0,01 M adalah sebesar 54,82 %. Perbedaan aktivitas antibakteri pada ketiga jenis kain tersebut mengindikasikan adanya perbedaan mekanisme antibakterinya. Daftar Pustaka Bhumkar, D.R and Phokarkar, V.B. 2006. Studies on Effect of pH on Crosslinking of Chitosan With Sodium Tripolyphosphate : A Technical Note. AAPS Pharmacy Science Technology. 7. Liu, N et al. 2006. Effect of MW and concentration of chitosan on antibacterial activity of Escherichia coli. Carbohydrate Polymers. 64. 60-65. Mahltig, B., Haufe, H. and Bottcher, H., 2005, Functionalisation of textile by Inorganic sol-gel coatings, J. Mater. Chem., 15, 4385-4398. Olsen, R., Swartzmiller, D., Weppner, W., and Winandy, R., 1989, Biomedical Applications of Chitin and Its Derivates In Skjak-Braek, G., Anthosen, T., Sandford, P. (Eds). Chitin and Chitosan : Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and Applications, Elsevier, London, 813-828. Sandford, P.A., 1990. High Purity Chitosan and Alginate : Preparation, Analysis and Applications, Proceeding of a conference on Frontiers in Carbohydrate Research. Purdue University, Indiana USA. Yang, C.Q et al. 2000. Evaluating Glutaraldehyde Durable Press Finishing Agent for Cotton Fabrics. Textiles Research Journal. 70. 230-236. Yano, S., Maeda, H., Nakajima, M., Hagiwara, T. and Sawaguchi, T., 2008, Preparation and mechanical properties of bacterial cellulose nanocomposites loaded with silica nanoparticles, Cellulose, 15, 111-120. Xing, Y., Yang, X., and Dai, J., 2007, Antimicrobial finishing of cotton textile based on water glass by sol–gel method, J. Sol-Gel Sci. Technol., 43, 187-192.
AF-42
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Pengaruh Konsentrasi Komposit Kitosan-Epoksi Silika Terhadap Aktivitas Antibakteri Kain KitosanEpoksi Silika Untuk Aplikasi Tekstil Antibakteri Dina Kartika Maharani1, Indriana Kartini2, Nurul Hidayat Aprilita2. 1) 2)
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya Jurusan Kimia Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Abstrak Pembuatan tekstil antibakteri dengan bahan antibakteri kitosan telah dilakukan. Kitosan dikompositkan dengan epoksi silika untuk meningkatkan kuat ikat kitosan pada kain. Uji aktivitas antibakteri kain kitosan maupun kain komposit kitosan-silika terhadap bakteri Stapphylococcus aureus. Pembuatan tekstil antibakteri dilakukan dengan cara melapisi kain katun dengan kitosan maupun komposit kitosan-silika. menggunakan metode pencelupan atau dip-coating dengan teknik pad-dry-cure. Kain yang telah dilapisi kitosan maupun komposit kitosan dikarakterisasi menggunakan analisis Difraksi Sinar-X. Uji aktivitas antibakteri kain kitosan maupun kain kitosan-silika terhadap bakteri Stapphylococcus aureus dilakukan dengan metode shake flask turbidimetry. Hasil analisis Difraksi Sinar-X pada kain terlapis komposit kitosan-epoksi silika menunjukkan tidak adanya perubahan struktur kain katun setelah proses pelapisan. Aktivitas antibakteri kain kitosan-epoksi pada jam ke 3 untuk konsentrasi epoksi silika 0,01 M ; 0,05 M ; 0,1 M ; 0,25 M relatif tidak berbeda yaitu sekitar 55 %. Konsentrasi epoksi silika 0,5 M dan 3 M memberikan hasil penurunan aktivitas antibakteri kain komposit kitosan-epoksi silika. Kata kunci : tekstil antibakteri, lapis tipis, kitosan, komposit kitosan-epoksi silika
1. Pendahuluan Kitosan merupakan biopolimer alami dengan kelimpahan terbesar kedua di alam setelah selulosa. Kitosan terdapat dalam rangka luar crustacean dan arthropoda, dan merupakan kopolimer nontoksik yang terdiri dari unit kopolimer β-(1,4)-2-acetamido-2deoksi-D-glukosa dan β-(1,4)-2-amino-2-deoksi-D-glukosa (Liu, 2006). Kitosan diperoleh dari proses N-deasetilasi kitin. Adanya gugus amina bebas yang dimiliki oleh kitosan tersebut menyebabkan kitosan dapat dimodifikasi untuk memperoleh turunan kitosan (Bhumkar, 2006). Kitosan memiliki struktur yang sama dengan selulosa, namun gugus hidroksil pada atom karbon kedua digantikan oleh gugus amina. Kitosan larut dalam berbagai pelarut seperti asam klorida, asam format dan asam asetat, sedangkan kitin tidak larut dalam air maupun pelarut-pelarut asam. Biodegradable, biocompatible, dan bioadhesive merupakan sifat-sifat utama dari polimer kitosan, sehingga kitosan sangat luas aplikasinya diantaranya sebagai bahan antibakteri pada tekstil. Dalam pH asam, gugus amina bebas (-NH2) terprotonasi menjadi gugus amina kationik (-NH3). Kitosan merupakan larutan polielektrolit linier pada pH asam. Kitosan memiliki densitas muatan yang tinggi, satu muatan per unit glukosamin, sehingga + muatan positif kitosan dari gugus (-NH3 ) dapat berinteraksi dengan berbagai material bermuatan negatif (Sanford, 1988). Permukaan luar dari sel bakteri diketahui memiliki muatan negatif sehingga kemampuan pengikatan kitosan pada sel bakteri merupakan sifat yang sangat penting dalam aplikasi kitosan sebagai bahan antibakteri. Sifat antibakteri kitosan pada tekstil diketahui tidak memiliki ketahanan yang cukup tinggi karena tidak adanya ikatan kimia yang terjadi antara kitosan dengan selulosa (Chung et al., 1998). Oleh karena itu kitosan banyak dimodifikasi dengan berbagai macam bahan crosslinking seperti glutaraldehid, DMDHEU maupun silika. Modifikasi pada sol silika dapat
AF-43
dilakukan dalam rangka meningkatkan kekuatan sifat adhesif silika pada substrat tekstil. Sol silika yang dimodifikasi dengan penambahan epoksi silika seperti GPTMS diketahui dapat meningkatkan adhesi pelapisan nanosol pada substrat tekstil seperti katun. Peningkatan adhesi tersebut diakibatkan oleh adanya ikatan kimia yang dihasilkan dari pembukaan cincin epoxy sehingga gugus hidroksi yang terbentuk berikatan dengan permukaan katun (Mahltig et al., 2005). Dalam penelitian ini dibuat tekstil antibakteri dengan menggunakan kitosan sebagai bahan antibakteri dengan cara melapiskan kitosan maupun komposit kitosan-silika pada kain katun dengan menggunakan metode dip-coating dengan teknik pad-dry-cure. Kitosan dikompositkan dengan epoksi silika dengan variasi konsentrasi untuk meningkatkan kuat ikat kitosan pada kain. Kain komposit kitosan-epoksi silika selanjutnya dikarakterisasi dengan Difraksi Sinar-X. Aktivitas antibakteri kain komposit kitosan-epoksi silika diuji terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan metode Shake flask turbidimetry. 2. Metode Penelitian Preparasi kitosan dan komposit kitosan Kitosan dipreparasi dari reaksi deasetilasi kitin yang diisolasi dari limbah cangkang kepiting dengan hasil harga derajat deasetilasi sebesar 70 %. Larutan kitosan dibuat dengan pelarut asam asetat 2 % dengan konsentrasi 0,1 %. Preparasi nano sol epoksi silika dilakukan dengan menggunakan metode sol-gel dengan prekursor glisidoksipropiltrimetoksisilan (GPTMS) dan pelarut etanol. Konsentrasi glisidoksipropiltrimetoksisilan (GPTMS) yang digunakan adalah 0,01 M, 0,05 M; 0,1 m; 0,25 M dan 0,5 M. Komposit kitosan-epoksi silika dibuat melalui proses pengadukan larutan kitosan dan nanosol dengan perbandingan % berat/berat kitosan : nanosol 60: 40. Pelapisan kitosan dan komposit kitosan pada kain katun Pelapisan kitosan dan komposit kitosan pada kain katun dilakukan menggunakan metode pencelupan atau dip-coating dengan teknik pad-dry-cure. Kain katun dicelupkan pada larutan kitosan maupun larutan komposit kitosan sebanyak 10 kali, selanjutnya dikeringkan pada temperatur 80 oC selama 5 menit dan dikeringkan kembali pada temperatur 140 oC selama 3 menit. Berat kain setelah pencelupan maupun pengeringan ditimbang. Uji Aktivitas antibakteri kain kitosan dan kain komposit kitosan-silika Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode shake flask turbidimetry. terhadap bakteri Stapylococcus aureus. Aktivitas antibakteri dihitung sebagai % hambatan terhadap pertumbuhan bakteri dengan menggunakan persamaan berikut : Aktivitas antibakteri (%) =
Vkontrol − Vsampel x100% Vkontrol
dimana V adalah laju pertumbuhan bakteri yang dihitung dengan persamaan : ∑bakteri jam ke 0 –∑bakteri jam ke-n V = ∑bakteri jam ke 0 3. Hasil Penelitian Kitosan hasil deasilasi kitin yang diisolasi dari cangkang kepiting dalam penelitian ini memiliki harga derajat deasetilasi sebesar 70,2 % dan karakteristik seperti yang tercantum dalam tabel 1 berikut : Tabel 1. Karakteristik kitosan. Sifat Fisika Kitosan Kadar Nitrogen 6,51 % Kadar Air 10,8 % Kadar Mineral 1,06 % Berat molekul 733 kDa
AF-44
Analisis Difraksi Sinar-X Kain Komposit Kitosan-epoksi silika Hasil analisis difraksi sinar-X kain komposit kitosan-epoksi silika pada gambar 1 menunjukkan tidak adanya perubahan struktur kain setelah proses pelapisan. Hal ini menandakan bahwa proses pelapisan yang dilakukan tidak merusak struktur kain. Konsentrasi epoksi silika yang tinggi pada komposit, mengakibatkan kristalinitas kain kitosan-epoksi silika cenderung mengalami penurunan. Penurunan ketidakteraturan pada kisi kristal selulosa ini disebabkan epoksi silika dengan jumlah yang semakin besar diperkirakan akan memperlebar jarak antar lapisan selulosa sehingga menurunkan kristalinitas selulosa. Perbedaan kristalinitas dari kain kitosan-epoksi silika ini diperkirakan akan memberikan perbedaan pada sifat fisik maupun kimia ketiga jenis kain tersebut.
Gambar 1. Difraktogram kain kitosan-epoksi silika 0,01 M; 0,05 M; 0,1 M; 0,25 M; 0,5 M.
Aktivitas antibakteri (%)
Aktivitas antibakteri Kain Komposit Kitosan-Epoksi Silika Hasil uji aktivitas antibakteri seperti yang disajikan pada gambar 2 diketahui bahwa aktivitas antibakteri komposit kitosan-epoksi silika pada kain katun relatif tidak signifikan perbedaannya pada rentang konsentrasi epoksi silika 0,01 M; sampai dengan 0,5 M. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan epoksi silika pada rentang konsentrasi tersebut belum + signifikan mempengaruhi kemampuan situs aktif kitosan (NH3 ) untuk menghambat bakteri. Hasil uji aktivitas antibakteri kain kitosan-epoksi silika dengan konsentrasi epoksi silika yang sangat tinggi yaitu 3 M, menghasilkan penurunan aktivitas antibakteri yang cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pada konsentrasi epoksi silika yang sangat tinggi, crosslink yang terjadi antara epoksi silika dengan kitosan meningkat, sehingga diperkirakan akan menutup situs aktif NH3+ pada kitosan dan menurunkan kemampuan antibakterinya. 60 50 40 30 20 10 0 Kit-epk 0,01 M
Kit-epk 0,05 M 3 jam
Kit-epk 0,1 M 6 jam
Kit-epk 0,25 M 9 jam
Kit-epk 0,5 M
Kit-epk 3M
24 jam
Gambar 2. Aktivitas antibakteri kain kitosan-epoksi silika dengan variasi konsentrasi epoksi silika.
AF-45
4. Kesimpulan Pembuatan tekstil antibakteri dengan metode pelapisan atau dip coating telah berhasil dilakukan. Hasil analisis difraksi sinar-X pada kain kitosan maupun kain komposit kitosan menunjukkan bahwa pelapisan kain dengan komposit kitosan tidak merubah struktur kain katun. Aktivitas antibakteri kain kitosan-epoksi silika pada jam ke 3 untuk konsentrasi epoksi silika 0,01 M ; 0,05 M ; 0,1 M ; 0,25 M dan 0,5 M relatif tidak berbeda yaitu sekitas 55%. Hasil uji aktivitas antibakteri kain kitosan- epoksi silika dengan konsentrasi epoksi silika yang lebih besar memberikan penurunan aktivitas antibakteri yang sangat tajam. Penurunan ini diperkirakan disebabkan oleh tertutupnya situs aktif kitosan oleh adanya crosslinking epoksi silika. Daftar Pustaka Bhumkar, D.R and Phokarkar, V.B. 2006. Studies on Effect of pH on Crosslinking of Chitosan With Sodium Tripolyphosphate : A Technical Note. AAPS Pharmacy Science Technology. 7. Liu, N et al. 2006. Effect of MW and concentration of chitosan on antibacterial activity of Escherichia coli. Carbohydrate Polymers. 64. 60-65. Mahltig, B., Haufe, H. and Bottcher, H., 2005, Functionalisation of textile by Inorganic sol-gel coatings, J. Mater. Chem., 15, 4385-4398. Olsen, R., Swartzmiller, D., Weppner, W., and Winandy, R., 1989, Biomedical Applications of Chitin and Its Derivates In Skjak-Braek, G., Anthosen, T., Sandford, P. (Eds). Chitin and Chitosan : Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and Applications, Elsevier, London, 813-828. Sandford, P.A., 1990. High Purity Chitosan and Alginate : Preparation, Analysis and Applications, Proceeding of a conference on Frontiers in Carbohydrate Research. Purdue University, Indiana USA. Yang, C.Q et al. 2000. Evaluating Glutaraldehyde Durable Press Finishing Agent for Cotton Fabrics. Textiles Research Journal. 70. 230-236. Yano, S., Maeda, H., Nakajima, M., Hagiwara, T. and Sawaguchi, T., 2008, Preparation and mechanical properties of bacterial cellulose nanocomposites loaded with silica nanoparticles, Cellulose, 15, 111-120. Xing, Y., Yang, X., and Dai, J., 2007, Antimicrobial finishing of cotton textile based on water glass by sol–gel method, J. Sol-Gel Sci. Technol., 43, 187-192.
AF-46
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Efek Polietilen Glikol (PEG) Terhadap Kapasitas Adsorpsi dan Tetapan Laju Thomas dalam Proses Adsorpsi Ion Cu(II) dari Larutan Pada Komposit Selulosa-Khitosan Terikatsilang dengan Menggunakan Kolom Secara Kontinu Eko Santoso dan Hendro Juwono Laboratorium Kimia Fisika dan Polimer, Jurusan kimia FMIPA ITS, Surabaya 60111
Abstrak Pada penelitian telah diteliti pengaruh penambahan polietilen glikol (PEG) pada gel khitosan sebagai bahan untuk pembuatan film komposit selulosa-khitosan terikatsilang. Komposit digunakan sebagai biosorben ion Cu(II) dalam larutan dengan menggunakan kolom katil tetap (fixed bed column) secara kontinu. Data penelitian dinyatakan dalam bentuk kurva “breaktrough” yang dianalisa dengan model kinetika Thomas. Hasil analisa kurva “breakthrough” dengan model kinetika Thomas menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi komposit meningkat dan tetapan laju Thomas menurun dengan adanya PEG, dimana PEG dengan massa molekul 4000 memberikan efek peningkatan dan penurunan tetapan laju Thomas yang lebih besar dibandingkan dengan PEG massa molekul 1000. Kata Kunci : adsorpsi, model Thomas, polietilen glikol, khitosan, selulosa, dan ion Cu(II)
1. Pendahuluan Logam berat terlarut dalam air limbah merupakan persoaan lingkungan di seluruh dunia. Logam berat sangat berbahaya bagi kesehatan manusia jika konsentrasinya melebihi ambang batas. Logam berat mempunyai sifat akumulatif dalam akumulatif dalam sistem biologis. Oleh karena itu, meskipun kosensentrasinya belum mencapai ambang batas, keberadaan logam berat dalam air limbah tetap memliki potensi yang berbahaya. Saat ini, lembaga-lembaga pemerintahan memberikan perhatian yang serius dan membuat aturan yang ketat terhadap pengolahan air limbah industri sebelum dibuang ke perairan terbuka [Quek et al., 1998]. Dan Berbagai metoda telah dikembangkan untuk memisahkan logam berat dari air limbah, antara lain meliputi metoda pengendapan kimia, filtrasi mekanik, penukar ion, elektrodeposisi, oksidasi-reduksi, sistem membrane, dan adsorpsi fisik. Namun, masingmasing metoda tersebut secara inheren mempunyai kelebihan dan keterbatasan. Beberapa tahun terakhir telah banyak dilakukan penelitian seputar polimer alam (biopolimer) yang mampu mengikat logam berat melalui pembentukan senyawa komplek sehingga biopolimer dapat berfungsi sebagai biosorben untuk memisahkan logam berat dari air limbah meskipun konsentrasinya sangat rendah [Schmul et al, 2001]. Salah satu biopolimer yang saat ini banyak diteliti sebagai biosorben bagi logam berat adalah khitosan, yaitu biopolimer yang diperoleh dari proses deasetilasi khitin. Khitosan sebagai biosorben bagi logam berat telah banyak dikaji, baik dalam keadaan murni [Jonsson-Charrier dkk., 1996; Bassi dkk., 2000; Verbych dkk, 2005; Lima and Airoldi, 2000; Ng, Cheung, and McKay1, 2002; Wan Ngah dkk., 2002; Paiseh da Silva and Pais Silva, 2004; Karthikeyan et al., 2004], termodifikasi [Huang dkk., Becker dkk., 2000; Cao dkk., 2001; Burke dkk., 2002; Wan Ngah dkk., 2002; Justi dkk., 2004; Rojas dkk., 2005;, maupun dipadukan dengan bahan-bahan lain [Boddu and Smith, 2002].
AF-47
Pada penelitian ini telah dikaji penggunaan komposit selulosa-khitosan terikatsilang sebagai biosorben bagi ion logam Cu(II) dari larutan. Komposit selulosa-khitosan terikatsilang dibuat dengan cara melapiskan film tipis khitosan terikatsilang di permukaan kertas saring, dimana glutaraldehid digunakan sebagai agen ikatsilang khitosan. Selulosa dan khitosan memiliki struktur kimiawi yang sangat mirip dan hanya berbeda gugus pada C2 dalam cincin glukosa [Kumar, 2000]. Kemiripan struktur kimiawi tersebut memudahkan pelapisan filim khitosan di permukaan selulosa. Efek polietilen glikol (PEG) sebagai zat porogen dalam pembentukan film khitosan telah dikaji, dimana PEG dalam gel khitosan akan larut dan meninggalkan lubang pori saat film khitosan direndam dalam larutan koagulan NaOH, sehingga penambahan PEG dapat meningkatkan porositas film khitosan [Santoso dan Herwanto, 2006; Santoso dkk, 2007; Santoso dkk, 2008]. Peningkatan porositas film khitosan akan berpengaruh pada proses adsorpsi ion Cu (II). Tujuan penelitian ini adalah mengkaji efek PEG terhadap kapasitas dan laju adsorpsi komposit selulosa-khitosan terikatsilang pada ion logam Cu(II) dengan menggunakan sistem kontinu pada kolom katil tetap (fixed bed column) dengan pendekatan model kinetika Thomas. 2. Eksperimen Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah serbuk khitosan jenis food grade dan industrial grade yang diperoleh dari LIPI-Yogjakarta, serbuk CuCl2 p.a., larutan asam asetat 2%, larutan NaOH 1,0 M, larutan glutaraldehid 0,2%, kertas saring Whatman No. 93, dan polietilen glikol (PEG) 1000 dan 4000, akuades, akuademineralisasi. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan gelas untuk pembuatan larutan, preparasi komposit dan adsorpsi, kolom panjang 20 cm dengan diameter 1,5 cm, pompa, mikroskop sapuan elektron (SEM), spektrosfotometer serapan atom (AAS), dan spektrofotometer inframerah (FTIR). Percobaan Preparasi komposit selulosa-khitosan terikatsilang 3,0 gram khitosan dilarutkan dalam 100 ml arutan asam asetat 2% sehingga terbentuk gel. Kertas saring Whatman dipotong berukuran 14,0 cm x 1,8 cm dicelupkan dalam gel dan ditarik di antara 2 batang pengaduk kaca sehingga terbentuk lapisan film khitosan di permukaan kertas saring (lihat Gambar 1), kemudian direndam dalam larutan NaOH 1,0 M selama 15 menit, kemudian direndam dalam larutan glutaraldehid 0,2% selama 24 jam, kemudian dicuci dengan akuades dan dikeringkan di udara terbuka tanpa sinar matahari, kemudian dipotong-potong kecil berukuran sekitar 3,0 mm x 3,0 mm, kemudian dimasukkan ke dalam kolom (lhat Gambar 2). Prosedur ini diulangi tetapi dalam pembuatan gel khitosan ditambahkan PEG sebanyak 2,0 gram. Adsorpsi kontinu pada kolom Potongan komposit selulosa-khitosan terikatsilang sebanyak 5,5 gram dimasukkan ke dalam kolom sehingga tinggi “bed” biosorben dalam kolom adalah 10,0 cm (lihat Gambar 2). Larutan yang mengandung ion Cu (II) 50 ppm dialirkan secara kontinu ke kolom menggunakan pompa dengan laju alir 2,0 mL/menit. Efluen yang keluar dari kolom secara ditampung dalam bak dan dicuplik setiap 4,0 jam, kemudian kadar logam Cu dalam efluen dianalisa dengan spektrofotometer serapan atom (AAS). Aliran larutan ion Cu (II) ke dalam kolom dihentikan setelah kadar ion Cu (II) dalam efluen mendekati 50 ppm (sama dengan kadar ion Cu (II) dalam larutan yang dialirkan ke dalam kolom).
AF-48
Gambar 1. Proses pelapisan film khitosan di permukaan kertas saring.
Gambar 2. Adsorpsi kontinu pada kolom katil tetap (fixed bed column)
AF-49
Analisa data Data adsorpsi kontinu pada kolom katil tetap (fixed bed column) yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa menggunakan model kinetika Thomas, yang secara matematik dapat ditunjukkan pada persamaan (1).
Ct = Co
1 kT 1 + exp[ (q o w − CoVef ] Q
(1)
dimana Ct : konsentrasi logam berat dalam efluen setelah keluar dari kolom (mg/L) pada waktu t, Co : konsentrasi logam berat dalam larutan awal sebelum masuk kolom (mg/L), Q : laju alir volumetrik (L/menit), w : massa adsorben dalam kolom (g), kT : tetapan laju Thomas (L/menit.g), qo : kapasitas adsorpsi total adsorben dalam katil (mg/g), dan Vef : volume efluen yang keluar dari kolom (L) pada waktu t. Plot antara Ct/Co terhadap Vef akan menghasil kurva pola adsorpsi, yang biasa disebut sebagai kurva “breakthrough”. 3. Hasil dan Pembahasan Komposit selulosa-khitosan terikatsilang Komposit selulosa-khitosan terikatsilang diperoleh dengan prinsip inversi fasa, dimana larutan asam asetat yang terdapat dalam gel khitosan akan ditarik oleh larutan koagulan NaOH sehingga khitosan akan terendapkan sebagai film tipis di permukaan kertas saring. Secara fisik, ketika masih basah film khitosan di permukaan kertas saring tampak sebagai lapisan jernih (lihat Gambar 3)dan terasa agak licin. Dalam keadaan kering, film khitosan tak terlihat oleh mata kepala tetapi secara mikro dengan menggunakan mikroskop sapuan elektron (SEM) terlihat sebagai selaput tipis keputihan yang melapisi serat selulosa, seperti telah peneliti amati dalam penelitian terdahulu [Santoso, dkk., 2008], yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 3. Foto komposit selulosa-khitosan terikatsilang.
(a) (b) Gambar 4. Permukaan komposit selulosa-khitosan terikatsilang sebelum proses adsorpsi dilihat menggunakan SEM dengan perbesaran 1000x : (a) tanpa PEG dan (b) dengan PEG [Santoso dkk, 2008]. Setelah proses adsorpsi, secara fisik permukaan komposit selulosa-khitosan terikat silang tampak berwana kebiruan. Secara mikro dengan menggunakan SEM, pada permukaan tampak selaput keputihan yang lebih terang, seakan “berpendar”, seperti
AF-50
ditunjukkan pada Gambar 5. Pendaran putih diduga adalah akibat adanya logam Cu yang terserap pada permukaan komposit.
(a)
(d)
(b)
(c)
(e)
(f)
Gambar 5. Permukaan komposit selulosa-khitosan terikatsilang setelah proses adsorpsi dilihat menggunakan SEM dengan perbesaran 1000x : (a) khitosan food grade tanpa PEG, (b) dan (c) khitosan food grade dengan PEG 1000 dan PEG 4000, (d) khitosan industrial grade tanpa PEG, (e) dan (f) khitosan industrial grade dengan PEG 1000 dan PEG 4000. Kinetika adsorpsi model Thomas Model kinetika Thomas adalah model kinetika adalah salah satu model kinetika yang dikembangkan untuk mengkaji proses adsorpsi heterogen dalam sistem yang mengalir [Thomas, 1944]. Model Thomas merupakan model yang paling umum dan banyak digunakan untuk mengkaji kurva “breakthrough” karena kesederhanaannya [Han dkk, 2007]. Model kinetika Thomas yang dinyatakan pada persamaan (1) dapat diubah menjadi bentuk linear, seperti yang dinyatakan pada persamaan (2).
ln (
k q w k CoVef Co − 1) = T o − T Ct Q Q
(2)
Dari plot ln(Co/Ct – 1) versus Vef akan diperoleh persamaan garis linear sehingga nilai kapasitas adsorpsi qo dan tetapan laju kinetika Thomas kT dapat dihitung. Kesederhanaan model Thomas terlihat dari variabel yang terdapat dalam persamaan matematikanya, yaitu volume volumetrik dari efluen yang keluar dari kolom (Vef), yang dapat dihitung dari laju alir larutan logam yang masuk ke dalam kolom (v dalam mL/menit) dan waktu pengambilan sampel efluen yang keluar dari kalom (t dalam menit) untuk diukur kadar logam dalam efluen pada waktu pengambilan sampel tersebut sehingga diketahui nilai perbandingan kadar logam dalam sampel efluen pada waktu t dan kadar logam dalam larutan awal sebelum masuk kolom, yaitu Ct/Co. Model Thomas dapat diubah menjadi bentuk persamaan linear, seperti ditunjukkan pada persamaan 2, sehingga dapat digunakan untuk mengolah data kurva “breakthrough” menggunakan cara regresi linear yang sederhana, dimana ln (Co/Ct – 1) sebagai ordinat atau sumbu-y dan Vef sebagai absis atau sumbu-x. Koefisien regresi linear R2 harus berada pada interval 0,9 – 1,0. Dari regresi linear akan diperoleh persamaan linear y = a + bx, dimana a adalah intercept dan b adalah gradient. Berdasarkan nilai intercept a dapat dihitung kapasitas adsorpsi adsorben qo dan dari nilai gradient dapat dihitung tetapan laju Thomas kT.
AF-51
Data eksperimen pada penelitian ini dalam bentuk kurva “breakthrough” antara Ct/Co versus Vef dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7. Hasil analisa kurva “breakthrough” dengan model kinetika Thomas melalui pendekatan regresi linear, berupa kapasitas adsorpsi qo dan tetapan laju Thomas kT dapat dilihat pada Tabel 1. Koefisien korelasi regresi linear yang diperoleh pada penelitian ini berkisar pada nila 0,928 – 0,993.
1.2 1 SK-1
Ct/Co
0.8
SK-1P1000
0.6
SK-1P4000
0.4
Selulosa Terhitung
0.2 0 0
2
4
6
8
10
12
V-efluen (L) Gambar 6. Kurva "breakthrough" dari data adsorpsi ion logam tembaga (Cu) pada kolom komposit selulosa-khitosan food grade berikatsilang (w = 5,5 g dan laju volume alir = 2 mL/mnt, SK-1 : selulosa-khitosan food grade tanpa PEG, SK-1P1000 : selulosa-khitosan food grade + PEG 1000, SK-1P4000 : selulosa-khitosan food grade + PEG 4000).
1.2 1 SK-2
Ct/Co
0.8
SK-2P1000
0.6
Selulosa "SK-2P4000"
0.4
Terhitung
0.2 0 0
2
4
6
8
10
12
V-efluen (L) Gambar 7. Kurva "breakthrough" dari data adsorpsi ion logam tembaga (Cu) pada kolom komposit selulosa-khitosan industrial grade berikatsilang (w = 5,5 g dan laju volume alir = 2 mL/mnt, SK-2 : selulosa-khitosan industrial grade tanpa PEG, SK-2P1000 : selulosa-khitosan industrial grade + PEG 1000, SK-2P4000 : selulosa-khitosan industrial grade + PEG 4000).
AF-52
Tabel 1. Hasil analisa matematis gambar 4 dan gambar 5 dengan model kinetika Thomas. kT N (L/mnt. qo Jenis Adsorben o g) (mg/g) 1 Selulosa 0.00009 0.49 2 Selulosa-Khitosan food grade (SK-1) 0.00017 12.28 3 Selulosa-Khitosan food grade-PEG1000 (SK-1P1000) 0.00015 17.26 4 Selulosa-Khitosan food grade-PEG4000 (SK-1P4000) 0.00009 20.35 5 Selulosa-Khitosan industrial grade (SK-2) 0.00017 15.74 Selulosa-Khitosan indsutrial grade+PEG1000 (SK6 2P1000) 0.00014 16.26 Selulosa-Khitosan industrial grade+PEG4000 (SK7 2P4000) 0.00013 23.08 Efek PEG pada kapasitas adsorpsi Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa penambahan polietilen glikol (PEG) dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi (qo) komposit selulosa-khitosan terikatsilang pada ion Cu (II), baik untuk komposit yang menggunakan khitosan food grade maupun khitosan industrial grade. Efek penambahan PEG terhadap kapasitas adsorpsi komposit selulosa-khitosan terikatsilang dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 8. Semakin tinggi massa molekul PEG yang ditambahkan semakin besar kapasitas adsorpsi yang dihasilkan. Penambahan PEG pada gel khitosan sebagai bahan pembentuk film khitosan akan menyebabkan film khitosan menjadi berpori karena PEG akan larut ketika film khitosan dimasukkan ke dalam larutan koagulan NaOH. Pada penelitian terdahulu telah diketahui bahwa penambahan PEG akan meningkatkan porositas film khitosan dan semakin banyak jumlah PEG yang ditambahkan maka semakin besar pula porositas yang ditimbulkannya [Santoso dkk, 2008]. Pada penelitian ini, peningkatan kapasitas adsorpsi dengan adanya penambahan PEG pada proses pembuatan komposit selulosa-khitosan terikatsilang diduga kuat terkait dengan peningkatan porositas dalam film khitosan. Semakin besar massa molekul PEG yang ditimbahkan maka semakin besar ukuran pori yang dihasilkan dalam film khitosan. Adanya pori dalam film khitosan menyebabkan larutan logam mampu menembus ke banyak ruang dalam film khitosan dan semakin banyak berinteraksi dengan pusat aktif adsorpsi dalam film khitosan, yaitu gugus NH2 sehingga semakin besar pula peluang ion Cu (II) terikat dengan gugus NH2. Tanpa adanya pori maka larutan yang mengandung ion Cu (II) hanya akan berinteraksi dengan permukaan film khitosan dan interaksi antara ion Cu(II) dengan gugus NH2 hanya terjadi pada permukaan film. Selulosa murni berupa kertas saring Whatman diketahui mempunyai porositas yang besar dibandingkan film khitosan, baik dengan penambahan PEG maupun tanpa penambahan PEG [Santoso dkk, 2008]. Kapasitas adsorpsi selulosa murni adalah sangat rendah, seperti ditunjukkan pada gambar 8, karena selulosa murni tidak mempunyai gugus aktif yang mampu mengikat ion Cu (II) dalam larutan.
AF-53
(a)
(b) Gambar 8. Efek penambahan PEG 1000 dan PEG 4000 pada komposit selulosa-khitosan terikatsilang terhadap kapasitas adsorpsi ion Cu (II), untuk (a) khitosan food grade dan (b) khitosan industrial grade Efek PEG pada laju difusi Laju difusi larutan melalui kolom adsorben dapat dilihat dari nilai tetapan laju Thomas kT yang dinyatakan dalam L/mnt.g, yakni besar volume larutan yang mampu melalui 1,0 g adsorben setiap 1,0 menit. Pada tabel 1 tampak bahwa penambahan PEG telah menurunkan laju difusi larutan melalui adsorben komposit selulosa-khitosan terikatsilang, baik untuk khitosan food grade maupun industrial grade. Efek penambahan PEG terhadap penurunan laju difusi tampak lebih jelas pada Gambar 9.
AF-54
(a)
(b) Gambar 9. Efek penambahan PEG 1000 dan PEG 4000 pada komposit selulosa-khitosan terikatsilang terhadap kapasitas adsorpsi ion Cu (II), untuk (a) khitosan food grade dan (b) khitosan industrial grade. Telah diterangkan bahwa bahwa penambahan PEG telah meningkatkan porositas film khitosan. Jika pori-pori dalam film khitosan saling bertemu akan membentuk terowongan atau lorong-lorong. Semakin banyak terowongan atau lorong-lorong dalam filim khitosan menyebabkan semakin panjang lintasan yang harus dilalui larutan ketika larutan melalui adsorben dan semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh larutan untuk keluar dari adsorben, sehingga semakin sedikit volume larutan yang mampu menembus adsorben per satuan jumlah adsorben per satuan waktu. Oleh karena itu, penambahan PEG yang menyebabkan peningkatan porositas film khitosan telah menyebabkan penurunan nilai tetapan laju Thomas, yaitu laju larutan melalui adsorben dalam kolom. 4. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan yang telah diterangkan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Penambahan polietilen glikol (PEG) mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi komposit selulosa-khitosan terikat silang terhadap ion Cu (II) dalam larutan, baik komposit yang menggunakan khitosan food grade maupun industrial grade. PEG dengan massa molekul 4000 memberikan efek peningkatan kapasitas adsorpsi lebih besar dibandingkan PEG dengan massa molekul 1000.
AF-55
2. Penambahan polietilen glikol (PEG) menyebabkan penurunan nilai laju difusi larutan ion Cu(II) ke dalam kolom adsorben, baik adsorben yang menggunakan khitosan food grade maupun industrial grade. PEG dengan massa molekul 4000 memberikan efek penurunan laju difusi lebih besar dibandingkan PEG dengan massa molekul 1000. Daftar Pustaka Bassi, Prasher, and Simpson, 2000, “Removal of Selected Metal Ions from Aqueous Solutions Using Chitosan Flakes”, Separation Science and Technology, Becker, T., Schlaak, M., and Strasdeit, H., 2000, “Adsorption of nickel (II), zinc (II), and cadmium (II) by new chitosan derivatives”, Reactive and Functional Polymer, 44, pp. 289-298. Boddu, V.M. and Smith, E.D., 2002, “A Composite Chitosan Biosorbent For Adsorption of Heavy Metals From Wastewaters”, www. asc2002. com/manuscripts/E/ EP-01Standby.pdf. Burke, A., Yilmaz, E., Hasirci, N., and Yilmaz, O., 2002, “Iron (III) removal from solution through adsorption on chitosan”, J. App. Poly. Sci., 84, pp. 1185-1192. Cao, Z., Ge, H., and Lai, S., 2001, “Studies on synthesis and adsorption properties of chitosan crosslinked by gluteraldehyde and Cu (II) as template under microwave irradiation”, European Polymer Journal, 37, pp. 2141-2143. Han, R., Wang, Yi., Zou, W., Wang, Y., and Shi, J., 2007, “Comparison of linear and nonlinear analysis in estimating the Thomas model parameters for methylene blue adsorption onto natural zeolite in fixed-bed column, J. Haz. Mat., 145, pp. 331-335. Huang, C., Chung, Y., and Lion, M.,1996, “Adsorption of Cu (II) and Ni (II) by pelletized biopolymer”, J. Haz. Mat., 45, pp. 265-277. Jonsson-Charrier, M., et al, 1996,“Vanandium (IV) sorption by chitosan : kinetics and and equilibrium”, wat. Res., 30, 2, pp. 465-475. Justi, K.C, Laranjeira, M.C.M., Neves, A., Mangrich, A.S., Fa´vere, V.T., 2004, “Chitosan functionalized with 2[-bis-(pyridylmethyl) aminomethyl]4-methyl-6-ormyl-phenol : equilibrium and kinetics of copper (II) adsorption”, Polymer, 45, pp. 6285–6290. Karthikeyan, G., Anbalagan, K., Andal, N.M., 2004, “Adsorption dynamics and equilibrium studies of Zn (II) onto chitosan”, Indian J. chem. Sci., 116, 2, pp. 119-127. Kumar, M.N.V., 2000, “A Review of chitin and chitosan applications”, Reactive and Functional Polymers, 46, pp. 1-27. Lima, I.S. and Airoldi, C., 2000, “A Thermodynamic investigation on chitosan-divalent cation inteactions”, Thermochimica Acta, 421, pp. 133-139. Ng, J.C.Y., Cheung, and McKay1, 2002, “Equilibrium Studies of the Sorption of Cu(II) Ions onto Chitosan”, Journal of Colloid and Interface Science, 255, pp. 64–74. Paiseh da Silva, K.M. and Pais Silva, M.I., 2004, “Copper sorption from diesel oil on chitin and chitosan polymers”, Colloids and Surfaces A : Physico chem.. Eng. Aspects, 237, pp. 15-21. Quek, SY., Wase, DAJ., and Forster, CF., 1998, “The use of sago waste for the sorption of lead and copper”, Water SA, Vol. 24, No. 3, pp. 251-256. Rojas, G., Silva, J., Flores, J.A., Rodriquez, A., Ly, M., and Maldonado, H., 2005, “Adsorption of chromium onto cross-linked chitosan”, Sep. Pur. Tech., 44, pp. 31-36. Santoso, E. dan Herwanto, B., 2006, “Adsorpsi ion Pb(II) pada membran selulosa-khitosan terikatsilang”, Akta Kimia Indonesia, Vol. 2, No. 1, hal 9-24. Santoso, E., Juwono, H., dan Ratnawati, Y., 2008, “The isotherm adsorption of Cu2+ ions in the aqueous solutions by cross-linked chitosan-cellulose membrane composite”, Majalah IPTEK, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. 2+ 3+ Santoso, E., Juwono, H., Ratnawati, Y. dan Rizal, R., 2007, “The isotherm adsorption of Cu and Cr ions in the aqueous solutions by cross-linked chitosan-cellulose membrane composite”, Prosiding Seminar Nasional Kimia, Jurusan Kimia FMIPA ITS, Surabaya. Schmuhl, R., Krieg, H.M., and Keizer, K., 2001, “Adsorption of Cu(II) and Cr(VI) ions by Chitosan : Kinetics and Equilibrium Studies”, Water SA, Vol. 27, No. 1, pp. 79–86. Thomas, H.C., 1944. Heterogeneous ion exchange in a flowing system. J. Am. Chem. Soc., 66, 1664– 1666. Verbych, S., Bryk, M., and Chornokur, G., 2005, “Removal of Copper(II) from Aqueous Solutions by Chitosan Adsorption”, Separation Science and Technology, 40, pp. 1749–1759. Wan Ngah, W.S., Endud, C.S., and Mayanar, R., 2002, “Removal copper (II) ions from aqueous solution onto chitosan and cross-linked chitosan beads”, Ractive and Functional Polymers, 50, 181-190.
AF-56
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Esterifikasi Asam Lemak Bebas Minyak Jarak Pagar dengan Katalis H2SO4 dan Adsorben Silika Gel Elvianto Dwi Daryono*, Mahfud Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya 60111 E-mail :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari reaksi esterifikasi minyak jarak pagar yang berhubungan dengan pengaruh temperatur reaksi dan % FFA awal dari minyak jarak pagar. Reaksi esterifikasi yang dilakukan dengan penambahan adsorben, karena pada reaksi ini akan dihasilkan air yang perlu dipisahkan. Metanol, H2SO4, dan silika gel dimasukkan ke dalam reaktor dan dipanaskan sampai mencapai suhu reaksi. Kemudian minyak jarak yang telah dipanaskan sesuai suhu reaksi juga dimasukkan. Setelah waktu reaksi tercapai, hasil reaksi dipisahkan dalam corong pemisah. Lapisan bawah berupa minyak dikeluarkan dari bawah. Analisa yang dilakukan meliputi konsentrasi FFA dan kadar air. Dari hasil analisa dan perhitungan, konsentrasi FFA sesudah reaksi < 2% dan kadar air < 1% tercapai pada semua variable penelitian. Untuk % FFA sesudah reaksi terkecil yaitu 0,3756% didapatkan pada suhu 65◦C dan % FFA awal 7,54%. Kadar air sesudah reaksi terkecil yaitu 0,1003% didapatkan pada suhu 65◦C dan % FFA awal 18,15%. Kata kunci : minyak jarak pagar, esterifikasi, FFA
1. Pendahuluan Energi memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Tanpa pasokan energi yang cukup, laju ekonomi akan melambat. Penyediaan lapangan kerja pun akan menurun. Karena itu pengembangan energi alternatif terbarukan dan penghematan konsumsi energi tidak bisa ditawar lagi. Energi fosil, khususnya minyak bumi, merupakan sumber energi utama di Indonesia. Cadangan energi fosil yang dimiliki Indonesia jumlahnya terbatas. Sementara itu, konsumsi energi terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Bahan bakar alternatif yang paling banyak menjadi perhatian akhir-akhir ini adalah biodiesel. Minyak jarak pagar (Jatropha oil) merupakan alternatif yang cukup menjanjikan sebagai bahan baku biodiesel. Selain karena bersifat minyak non pangan, kandungan minyak dalam biji jarak pagar (Jatropha curcas) bisa mencapai 50%. Karakteristik biodiesel yang dihasilkan pun cukup memenuhi standar biodiesel nasional maupun internasional. Menurut Hambali, et al (2006), bila dibandingkan dengan bahan bakar solar, biodiesel bersifat lebih ramah lingkungan, dapat diperbaharui (renewable), dapat terurai (biodegradable), memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin karena termasuk kelompok minyak yang tidak mengering, mampu mengeliminasi efek rumah kaca dan kontinuitas ketersediaan bahan baku terjamin. Biodiesel bersifat ramah lingkungan karena menghasilkan emisi gas buang yang jauh lebih baik dibandingkan solar, yaitu bebas sulfur, bilangan asam rendah, angka setana (cetane number) lebih tinggi dari 60 sehingga efisiensi pembakaran lebih baik, terbakar sempurna dan tidak menghasilkan racun. Tanaman jarak pagar dapat ditanam pada lahan kritis karena lebih tahan pada kekeringan dan bisa meningkatkan kualitas tanah. Jika bahan baku yang digunakan adalah minyak mentah yang memiliki kadar FFA tinggi yaitu >2% (Van Gerpen, et al 2004) seperti minyak jarak, maka proses transesterifikasi yang dilakukan untuk mengkonversi minyak menjadi biodiesel tidak akan
AF-57
berjalan efisien. Konsentrasi FFA meningkat seiring dengan lamanya waktu penyimpanan (Yi Hsu Ju, 2003). Dalam katalis basa, asam lemak bebas dalam minyak akan terkonversi menjadi sabun. Jika konsentrasi asam lemak bebas terlalu tinggi (>2%) sabun yang terbentuk mulai membentuk emulsi dengan metanol dan minyak, yang selanjutnya akan menghambat proses reaksi pembentukan biodiesel itu sendiri. Kandungan asam lemak bebas akan meningkatkan viskositas dan menurunkan nilai kalor dari biodiesel (Subramani S, 2008). Minyak jarak perlu melalui proses esterifikasi untuk menurunkan kadar FFA menjadi < 2%. Beberapa hal yang mempengaruhi proses esterifikasi adalah kadar air dan % FFA, rasio FFA terhadap alkohol dan katalis, jenis dan konsentrasi katalis, waktu reaksi, dan temperatur reaksi. Pada reaksi esterifikasi yang menjadi masalah adalah terbentuknya air pada akhir reaksi. Karena itu pada penelitian ini ditambahkan adsorben untuk menyerap terbentuknya air. Air membuat katalis kurang aktif dan memicu terbentuknya asam lemak bebas. Oleh sebab itu air yang terbentuk harus dipisahkan dari produk. Kandungan air yang diperbolehkan dalam bahan baku biodiesel paling tinggi 1% (Van Gerpen, 2004). Esterifikasi adalah reaksi antara lemak atau material lain yang mengandung ester asam lemak dengan asam lemak, alkohol, atau ester-ester lain dengan diikuti pertukaran gugus asam lemak untuk menghasilkan ester baru. Reaksi antara ester dengan asam disebut dengan asidolisis, ester dengan alkohol disebut alkoholisis dan reaksi antara ester satu dengan yang lain disebut pertukaran ester atau transesterifikasi. Metil ester (biodiesel) jarak pagar dapat dihasilkan melalui proses esterifikasi trigliserida dari minyak jarak. Umumnya katalis yang digunakan adalah H2SO4 atau HCl meskipun tidak menutup kemungkinan digunakan katalis lain. Metanol juga lebih umum digunakan karena harganya murah untuk kemurnian di atas 99%. Reaksi esterifikasi asam oleat dituliskan sbb : O ׀׀ HO-C-(CH2)7CH=CH(CH2)7CH3 + CH3OH H2SO4 Asam Oleat Metanol O ׀׀ CH3O-C-(CH2)7CH=CH(CH2)7 + H2O Metil Oleat Air Laju reaksi sangat dipengaruhi oleh temperatur reaksi. Dalam esterifikasi minyak 0 jarak pagar reaksi terjadi pada 60-65 C. Reaksi esterifikasi perlu 2,25 gram metanol dan 0,05 gram H2SO4 pekat tiap gram FFA yang terkandung dalam minyak. Temperatur secara jelas berpengaruh pada laju reaksi dan yield Secara umum, jika digunakan metanol, reaksi dilakukan mendekati titik didih metanol (650C) pada tekanan atmosfer. Proses esterifikasi menggunakan katalis asam dengan konsentrasi katalis asam pada kisaran 0,1-1% berat, memberikan yield yang lebih baik membentuk ester. Penambahan katalis yang berlebih akan menyulitkan proses pemisahan produk dengan katalisnya. Pencampuran sangat berperan penting pada reaksi esterifikasi yang berjalan lamban. Setelah penambahan metanol dan katalis pada minyak, dilakukan pengadukan selama reaksi yang akan dapat meningkatkan konversi. 2. Eksperimen Penelitian ini menggunakan minyak jarak pagar sebagai bahan baku. Variasi yang digunakan adalah % FFA awal dan suhu reaksi sehingga didapatkan hasil optimum. Parameter yang diujikan adalah % FFA akhir reaksi dan kadar air. a. Variabel Penelitian dan kondisi operasi Temperatur reaksi : 55◦C, 60◦C, 65 ◦C % FFA awal : 7,54%, 10,79%, 13,21%, 16,61%, 18,15% Waktu reaksi : 1 jam Bahan baku : minyak jarak pagar (Jatropha curcas oil) Jenis alkohol : metanol 99 % Volume trigliserida : 200 ml
AF-58
Berat metanol Jenis Katalis Berat Katalis Jenis adsorben Berat adsorben
: 2,25 gr/gr FFA minyak : H2SO4 96% : 0,05 gr/gr FFA minyak : silika gel : 12 gr/200 ml larutan
b. Bahan yang digunakan - Minyak jarak pagar (Jatropha curcas oil) - Metanol 99 % - Asam Sulfat 96% - Silika gel - Asam oleat c. Diskripsi Peralatan Alat yang digunakan adalah labu leher empat dengan kondensor berpendingin air yang dilengkapi pengaduk listrik dengan kecepatan pengadukan skala 6 dan waterbath merk TEMPERIERBAD TE 2.
Keterangan gambar: 1. Reaktan dan produk 2. Pengaduk listrik 3. Labu leher empat 4. Termometer ASA 5. Air 6. Waterbath 7. Kondensor 8. Saklar on/off pengaduk 9. Pengatur kecepatan pengaduk 10. Pengatur suhu waterbath 11. Saklar on/off waterbath Gambar 1. Deskripsi Reaktor Esterifikasi d. Prosedur Penelitian Pertama dilakukan proses deguming, untuk penghilangan gum, yaitu minyak jarak ditambahkan asam fosfat pekat sebanyak 0,1% dari berat minyak dan dipanaskan pada suhu 80◦C sambil diaduk dengan magnetic stirrer dengan kecepatan sedang selama 30 menit. Selanjutnya minyak diendapkan paling sedikit 48 jam untuk mengendapkan gum dan kemudian disaring. Kemudian dianalisa kadar FFAnya, dan ditambahkan asam oleat untuk mendapatkan kadar FFA tertentu sesuai variabel penelitian. Setelah itu dilakukan reaksi esterifikasi dengan penambahan adsorben silica gel, kemudian dilakukan pemisahan metil ester yang diperoleh dengan metanol dan air dengan menggunakan corong pemisah. Setelah itu dianalisa % FFA dan kadar air. 3. Hasil dan Pembahasan Tabel 1. Pengaruh suhu dan % FFA awal terhadap % FFA akhir reaksi dan kadar air pada proses esterifikasi dengan penambahan adsorben. Parameter Suhu (◦C) % FFA awal 7,54 10,79 13,21 16,61 18,15 % FFA 55 0,4157 0,8639 1,6971 1,9387 1,9945 60 0,4057 0,8195 1,1668 1,278 1,5336 65 0,3756 0,4903 0,9786 1,1143 1,2729 Kadar air (%)
55 60 65
0,343 0,3025 0,147
0,1438 0,1431 0,1348
0,1323 0,1289 0,1274
0,1183 0,1151 0,1142
0,1121 0,1024 0,1003
AF-59
2.1 1.9 1.7
7,54% 10,79% 13,21% 16,61% 18,15%
1.5
% FFA 1.3 1.1 0.9 0.7 0.5 0.3 55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
o
Suhu ( C) Gambar 2. Hubungan antara suhu dengan % FFA akhir reaksi pada esterifikasi dengan penambahan adsorben selama 1 jam. Gambar 2 menunjukkan konsentrasi FFA akan semakin turun dengan bertambahnya suhu reaksi untuk berbagai % FFA awal. Hal ini sesuai dengan hukum Arrhenius yaitu k = ko.e E/RT . Konversi reaksi juga semakin besar dengan semakin besarnya % FFA awal. Hal ini sesuai dengan rumus CA = CAo.e-kt Konsentrasi FFA < 2% tercapai pada semua variabel penelitian, sehingga hasil reaksi esterifikasi ini memenuhi untuk dilanjutkan ke reaksi transesterifikasi untuk membuat metil ester. 7,54%
0.35 0.325
% Kadar air
10,79%
0.3
13,21%
0.275 0.25 0.225
16,61% 18,15%
0.2 0.175 0.15 0.125 0.1 55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
o
Suhu ( C )
Gambar 3 Hubungan antara suhu dengan % kadar air pada esterifikasi dengan penambahan adsorben selama 1 jam. Gambar 3 menunjukkan bahwa % kadar air akan semakin turun dengan bertambahnya suhu reaksi dan % FFA awal. Hal ini karena dengan bertambahnya suhu dan % FFA awal maka konversi reaksi juga akan semakin besar, sehingga % kadar air akan semakin kecil. Kadar air < 1% tercapai pada semua variabel penelitian, sehingga hasil reaksi esterifikasi ini bisa dilanjutkan ke reaksi transesterifikasi untuk membentuk metil ester. 4. Kesimpulan Dari hasil analisa dan perhitungan dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut: 1. Semakin tinggi % FFA awal maka % FFA akhir reaksi semakin kecil karena konversi reaksi semakin besar. 2. Semakin tinggi suhu reaksi maka % FFA akhir reaksi akan semakin turun, karena konversi reaksi naik dengan semakin tingginya suhu reaksi.
AF-60
3. Kadar air akan semakin turun dengan bertambahnya suhu reaksi dan % FFA awal. Hal ini karena dengan bertambahnya suhu dan % FFA awal maka konversi reaksi juga akan semakin besar, sehingga % kadar air akan turun. 4. Konsentrasi FFA sesudah reaksi < 2% tercapai pada semua variabel penelitian sehingga hasil reaksi esterifikasi ini memenuhi untuk dilanjutkan ke reaksi transesterifikasi. Untuk % FFA sesudah reaksi terkecil yaitu 0,3756% didapatkan pada suhu 65◦C dan % FFA awal 7,54%. 5. Kadar air < 1% tercapai pada semua variabel penelitian sehingga hasil reaksi esterifikasi ini memenuhi untuk dilanjutkan ke reaksi transesterifikasi. Kadar air sesudah reaksi terkecil yaitu 0,1003% didapatkan pada suhu 65◦C dan % FFA awal 18,1474%. Daftar Pustaka Abiney, L.C.,Rodinei, A., dan Marcio, J.D.S. (2008),”Investigation on the Esterification of Fatty Acids Catalyzed by the H3PW12O40 heteropolyacid”, J Am Oil Chem Soc, 85:555-560. Bayense, C.R., Hinnekens, H. dan Martens, J. (1996) ,”Esterification Process”, U.S. Patent 5,508,457,16 April. Jeromin, L., Peukert, E. dan Wellman, G. (1987) ,”Process for the pre-esterification of free fatty acids in fats and oils”, U.S. Patent 4, 698, 186, 6 Oktober. Lundquist, E.G. (1995) ,”Catalyzed Esterification Process”, U.S. Patent 5, 426, 199, 20 Juni. Levenspiel, O. (1999), ”Chemical Reaction Engineering”, third edition John Wiley and Sons, Inc., New York. Lepper, H. dan Friesenhagen, L. (1986) ,”Process for the production of fatty acid esters of short chain aliphatic alcohols from fats and/or oils containing free fatty acids”, U.S. Patent 4, 608, 202, 26 Agustus. Subramani, S., G. Nagarajan, dan G.L. N. Rao. (2008),”Effect of FFA of Crude Rice Bran Oil on the Properties of Diesel Blends”, J Am Oil Chem Soc, 85:663-666. Van Gerpen, J., Shanks,B. Pruszko, R., Clements, D. dan Knothe, G. (2004), “Biodiesel Production Technology”, National Renewable Energy Laboratory.
AF-61
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Studi Adsorpsi Ion Pb(II) dari Larutan Berair Menggunakan Pelet Komposit Khitosan Terikat Silang – Serbuk Cangkang Kupang Estiningtyas Asih*, Eko Santoso1 Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya *Corresponding author,email:
[email protected]
Abstrak Pelet komposit khitosan terikat silang – serbuk cangkang kupang dibuat dengan mengikatkan serbuk cangkang kupang dengan larutan khitosan 1 % dan glutaraldehid 0,2 % sebagai agen pengikat silang. Kemampuan pelet komposit mengadsorpsi logam Pb(II) diamati dari beberapa aspek seperti pengaruh pH, waktu pengadukan dan komposisi pelet. Adsorpsi ion Pb(II) dilakukan dengan proses rendam (batch) pada suhu kamar. Kapasitas adsorpsi terbesar diperoleh pada pH 4 sebagai pH optimum untuk konsentrasi larutan Pb(II) sebesar 250 mg/L, 500 mg/L dan 1000 mg/L. Kapasitas adsorpsi terbesar diperoleh pada waktu pengadukan 75 menit sebagai waktu kontak optimum untuk konsentrasi 1000 mg/L. Model adsorpsi isotermal yang logam Pb(II) dikaji dengan dua model yaitu Langmuir dan Freundlich. Model isoterm yang sesuai dengan data eksperimen diuji dengan metode regresi linear. Data menunjukkan bahwa adsorpsi logam Pb(II) sesuai dengan model Langmuir. Hasil menunjukkan kapasitas adsorpsi terbesar pada komposisi pelet 1, sedangkan kapasitas adsorpsi terendah pada komposisi pelet 3 untuk rentang konsentrasi 775 – 1000 mg/L. Kata kunci: pelet komposit khitosan terikat silang – serbuk cangkang kupang, adsorpsi isotermal, kapasitas adsorpsi. 1. Pendahuluan Semakin berkembangnya kegiatan industri selain membawa dampak positif juga membawa dampak negatif berupa pencemaran akibat limbah. Larutan yang banyak mengandung logam berat telah banyak digunakan dalam perindustrian tersebut terutama dalam industri elektroplating, cat dan pewarnaan, fotografi, manufaktur dan lain-lain. Sebagian besar dari logam berat dikenal toksik, karsinogenik dan menimbulkan ancaman yang serius baik terhadap populasi manusia maupun kehidupan flora dan fauna (D Zhou dkk, 2004). Berdasarkan Wilson, 1988 dalam Taswid, 2004, Logam berat timbal (Pb) dalam bentuk timah hitam (anorganik) memiliki kisaran tingkat racun 1000-100.000 ppb. Sedikit lebih tinggi dari tembaga (Cu) dan air raksa (Hg). Penggunaan timbal dalam jumlah besar adalah untuk bahan produksi baterai pada kendaraan bermotor. Timbal sangat baik untuk merangsang arus listrik. Produksi logam-logam lain biasanya juga mengandung Pb,seperti amunisi, kabel, solder dan juga percetakan. Racun ini bersifat kumulatif, artinya sifat beracunnya akan timbul apabila ia terakumulasi dalam jumlah yang cukup besar dalam tubuh makhluk hidup (Darmono, 1995). Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perhatian diberikan dalam mengembangkan teknik-teknik inovatif untuk mereduksi logam berat hingga tingkat yang diinginkan (Yan dan Bai, 2005). Terdapat beberapa metode untuk menghilangkan logam berat toksik dalam perairan seperti presipitasi kimia, penguapan, pertukaran ion, elektrodialisis dan osmosa balik (D Zhou dkk, 2004). Dibandingkan dengan metode-metode yang lain, adsorpsi merupakan metode yang dinilai paling efektif dan telah banyak digunakan (Wan Ngah, 2002 dalam D Zhou dkk, 2004). Karena perlindungan terhadap lingkungan saat ini telah menjadi masalah yang sangat penting, biosorpsi menjadi teknik yang menjanjikan dalam
AF-62
menghilangkan logam berat (D Zhou dkk, 2004). Hal lain yang membuat biosorpsi menjadi pilihan menarik adalah tersedianya berbagai bahan biosorben, seperti fungi, bakteri dan biopolimer seperti alginat dan kitosan yang merupakan produk sampingan dari industri perikanan (Yan dan Bai, 2005). Senyawa kimia kitin dan kitosan banyak terdapat salah satunya dalam kulit udang (Marganof, 2003). Dikarenakan kandungan amino yang sangat tinggi, kitosan ditemukan memiliki kemampuan dan kapasitas adsorpsi yang baik untuk berbagai logam berat melalui kompleksasi dari ion logam berat dengan gugus amino dalam kitosan(Yan dan Bai, 2005). Namun perlu diketahui bahwa harga khitosan masih relatif mahal sehingga diperlukan upaya mencari adsorben alternatif yang lebih terjangkau yaitu cangkang kupang, dimana limbah cangkang kupang tersedia sangat melimpah dan murah. Maka dalam penelitian ini telah coba dibuat adsorben komposit kitosan terikat silang- serbuk cangkang kupang. Penelitian ini akan mengkaji kesetimbangan isoterm adsorpsi ion logam berat Pb(II) pada komposit kitosan berikat silang-serbuk cangkang kupang, dimana kitosan sebagai bahan aktif adsorben sedangkan cangkang kupang sebagai bahan pendukung. Serbuk cangkang kupang dipilih sebagai bahan pendukung karena kemiripan struktur kimiawi dengan kitosan. Kemiripan struktur kimiawi antara serbuk cangkang kupang dengan kitosan akan menjadikan kedua biopolimer bersifat kompatibel dan mempunyai gaya adhesi yang baik. Pembuatan adsorben dalam penelitian ini dilakukan dengan mengikat serbuk cangkang kupang berukuran 40-60 mesh pada larutan kitosan 1% kemudian direndam dengan glutaraldehid 0,2% sebagai agen pengikat silang. Penelitian ini akan dilakukan dengan sistem batch, yakni larutan ion Pb(II) dengan konsentrsi tertentu akan diadsorpsi pada suhu kamar sampai terjadi kesetimbangan adsorpsi untuk penentuan pH dan waktu kontak optimum selain itu penentuan kapasitas adsorpsi untuk variasi konsentrasi awal larutan ion Pb(II) dan komposisi serbuk cangkang kupang. Kapasitas adsorpsi akan dihitung berdasarkan dua model isoterm adsorpsi yaitu Langmuir atau Freundlich yang sesuai setelah diuji dengan metode regresi linear 2. Eksperimen Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah AAS ZEEnit 700, FTIR 8400 Shimadzu, pHmeter, neraca analitik, ayakan 40-60 mesh, viskometer Ostwald, oven pengering, labu pengenceran 1000 ml, beker gelas, gelas ukur, pipet volume, penjepit besi, kaca arloji, spatula, pengaduk magnetik, dan pipet tetes. Bahan Bahan-bahan yang diperlukan pada penelitian ini adalah serbuk khitosan, limbah cangkang kupang kupang, padatan logam Pb(NO3)2, larutan HCl 37 %, larutan asam asetat glasial, larutan NaOH 2N, larutan glutaraldehid 0,2 %, kertas saring, akuades dan akua demineralisasi. Prosedur Kerja Pembuatan Serbuk Kulit Kupang Limbah kulit kupang yang diambil dari Sidoarjo dicuci dengan aquades sampai bersih dan dikeringkan dengan panas matahari lalu digiling dengan stone ware kemudan dilakukan pengayakan dengan ukuran 40-60 mesh. Preparasi komposit khitosan terikat silang serbuk cangkang kupang Serbuk khitosan diambil sebanyak 1 gr kemudian dilarutkan dengan larutan asam asetat glasial 2 % sebanyak 100 ml dan diaduk sambil dipanaskan sehingga diperoleh larutan khitosan 1 % (b/v). Kemudian larutan khitosan tersebut diambil masing-masing sebanyak 20 ml dan ditambahkan serbuk kupang sebanyak 3 gr. Larutan khitosan yang telah bercampur serbuk kupang diaduk dan diteteskan ke dalam NaOH 2N sehingga terbentuk pelet dengan komposisi 1. Pelet yang terbentuk disaring kemudian direndam dengan glutaraldehid 0,2 % selama 24 jam. Setelah 24 jam pelet disaring dan dicuci dengan aquades sampai pH netral lalu pelet dikeringkan di udara bebas. Perlakuan diulang untuk komposisi adsorben 2 dan 3 dengan penambahan serbuk cangkang kupang berturut-turut sebanyak 4 gr dan 5 gr. Hasil yang diperoleh dikarakterisasi dengan FTIR dan BET.
AF-63
Adsorpsi Logam Pb(II) Penentuan pH Optimum Larutan logam Pb(II) 1000 ppm diambil sebanyak 25 ml lalu diturunkan sampai pH 2, 3, 4, 5, 6 dengan penambahan HCl. Kemudian dimasukkan adsorben dengan komposisi 1 yang telah dioven terlebih dahulu sebanyak 0,1 g sambil diaduk selama 60 menit. Larutan logam Pb(II) disaring dan diukur pH kemudian filtrat yang diperoleh dianalisa dengan AAS. Perlakuan diulangi untuk konsentrasi larutan logam Pb(II) 500 ppm dan 250 ppm. Penentuan Waktu Kontak Optimum Larutan logam Pb(II) 1000 ppm diambil sebanyak 25 ml pada pH optimum yaitu pH 4 ditambahkan adsorben dengan komposisi 1 yang telah dioven terlebih dahulu sebanyak 0,1 g dan diaduk selama 15; 30; 45; 60; 75; 90; 105; dan 120 menit. Larutan logam Pb(II) disaring dan diukur pH kemudian filtrat yang diperoleh dianalisa dengan AAS. Penentuan Kapasitas Adsorpsi Larutan logam Pb(II) 775 mg/L diambil sebanyak 25 ml pada pH optimum ditambahkan adsorben dengan komposisi 1 yang telah dioven terlebih dahulu sebanyak 0,1 gr dan diaduk selama waktu optimum yaitu 75 menit. Larutan logam Pb(II) disaring dan diukur pH nya kemudian filtrat yang diperoleh dianalisa dengan AAS. Perlakuan diulangi un variasi konsentrasi 800; 825; 850; 875; 900; 925; 950; 975; 1000 mg/L. Prosedur diatas juga diulangi untuk varasi komposisi 2 dan 3 dengan penambahan serbuk cangkang kupang berturut-turut sebanyak 4 gr dan 5 gr. 3. Hasil dan Pembahasan Preparasi Komposit Kitosan Terikat Silang- Serbuk Cangkang Kupang Penelitian ini akan menggunakan adsorben berupa komposit kitosan terikat silangserbuk cangkang kupang. Tahap awal pembuatan komposit adalah melalui pembuatan serbuk cangkang kupang, dimana limbah cangkang kupang yang digunakan berasal dari Sidoarjo. Limbah cangkang kupang dicuci dengan akuades untuk menghilangkan kotorankotoran yang bercampur dengan cangkang kupang. Kemudian dikeringkan dibawah panas matahari. Cangkang kupang yang telah kering lalu digiling untuk memperbesar luas permukaan dari kulit kupang. Kemudian dilakukan pengayakan antara 40-60 mesh untuk endapatkan ukuran yang seragam dari kulit kupang. Langkah selanjutnya adalah pembuatan komposit khitosan terikat silang- serbuk cangkang kupang, dimana serbuk khitosan diambil sebanyak kemudian dilarutkan dengan larutan asam asetat 2 % sebnayak 100 ml. Khitosan larut dengan cepat dalam larutan asam organik seperti asam asetat karena keberadaan gugus amina. Khitosan yang telah bercampur larutan asam asetat 2 % diaduk sambil dipanaskan untuk mempercepat proses pelarutan sehngga diperoleh larutan khitosan kental sebesar 1 % (b/v). Kemudian larutan khitosan tersebut diambil sebanyak 20 ml dan ditambahkan serbuk kupang masing-masing sebanyak 3 gr (komposisi 1). Larutan khitosan yang telah bercampur serbuk kupang diaduk seketika larutan mengeluarkan busa yang merupakan gelembung CO2 sebagai akibat reaksi CaCO3 yang terdapat dalam serbuk kupang dengan asam asetat. Setelah busa menghilang larutan diaduk kembali agar serbuk kupang tercampur merata, pada saat bersamaan larutan diambil dengan pipet tetes dan diteteskan perlahan-lahan kedalam NaOH 2 N yang berfungsi sebagai koagulan sehingga terbentuk gumpalan- gumpalan komposit dengan ukuran dan bentuk yang seragam. Gumpalan-gumpalan disaring lalu direndam dengan glutaraldehid sebagai agen pengikat silang selama 24 jam. Setelah 24 jam,pelet disaring dan dicuci dengan akuades sampai pH netral. Pelet yang diperoleh dikeringkan pada udara bebas. Perlakuan diulangi untuk komposisi 2 dan 3 dengan penambahan serbuk kupang berturut-turut sebanyak 4 gr dan 5 gr. Maka pada tahap ini diperoleh pelet komposit khitosan terikat silang- serbuk kupang dengan variasi penambahan serbuk kupang 3 gr, 4 gr, dan 5 gr seperti pada gambar 1.
AF-64
(a) (b) (c) Gambar 1 Pelet Komposit Khitosan Terikat Silang- Serbuk Kupang (a)Komposisi 1 (b)Komposisi 2 (c)Komposisi 3 Penentuan pH Optimum pH merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi adsorpsi. Oleh karena itu penting untuk mempelajari pengaruh pH pada adsorpsi ion Pb(II). Grafik variasi pH untuk beberapa konsentrasi Pb(II) akan ditunjukkan pada gambar 2
250 200
250 mg/L
4. 150 100
500 mg/L
Kesimpulan
1000 mg/L
50 0 0
2
4
6
10 8 6
p H a k h ir
q (mg/g)
350 300
250 mg/L 500 mg/L 1000 mg/L
4 2 0
8
0
pH awal
2
4 pH awal
6
8
(a) (b) Gambar 2. (a) Grafik Variasi pH pada Beberapa Konsentrasi Pb(II) (b) Hubungan pH awal terhadap pH akhir Adsorpsi Gambar 2(a) menunjukkan bahwa adsorpsi ion Pb(II) mencapai maksimum pada pH 4 sekaligus sebagai pH acuan untuk variasi adsorpsi ion Pb(II) yang lain. Grafik hubungan antara pH awal terhadap pH akhir pada beberapa konsentrasi ditunjukkan pada gambar 2(b). Penentuan Waktu Kontak Optimum Pengadukan (agitasi) merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi adsorpsi selain pH. Penentuan waktu kontak dilakukan dengan mengambil masing-masing larutan ion logam Pb(II) sebanyak 25 ml dengan konsentrasi 1000 mg/L. Kondisi pH larutan diatur pada pH 4. Grafik variasi waktu kontak ditunjukkan pada gambar 3(a). 275
pHakhir
270 qe (mg/g)
265 260 255 250 245
6.05 6 5.95 5.9 5.85 5.8 5.75 5.7 5.65 5.6 5.55 0
240 0
15
30
45
60 75 90 waktu (menit)
105 120 135 150
50
100
150
waktu (menit)
(a) (b) Gambar 3. (a) Grafik Variasi Waktu Kontak (b) Hubungan antara pH akhir dengan waktu kontak Pada gambar 3(a) menunjukkan bahwa adsorpsi maksimum dicapai selama 75 menit yang sekaligus dijadikan sebagai waktu acuan untuk adsorpsi ion Pb(II) selanjutnya. Grafik
AF-65
hubungan antara pH akhir dengan waktu kontak pada pH awal 4 ditunjukkan pada gambar 3(b). Penentuan Kapasitas Adsorpsi Penentuan kapasitas adsorpsi dilakukan untuk mengetahui kemampuan komposit dalam mengadsorpsi ion logam Pb(II). Hal ini juga dilakukan untuk mengetahui model adsorpsi isoterm yang sesuai , dimana model adsorpsi isoterm ion logam Pb(II) akan dikaji menggunakan dua model yaitu isoterm Langmuir dan Freundlich. Model isoterm yang sesuai dengan data eksperimen diuji dengan metode regresi linear. Hubungan antara konsentrasi awal logam Pb(II) dengan kapasitas adsorpsi masing-masing komposit ditunjukkan pada gambar 4(a). Grafik hubungan antara pH akhir dengan konsentrasi awal logam pada pH 4 ditunjukkan pada gambar 4(b). 8
220
komposit1 komposit2 komposit3
210 200 190 725 775 825 875 925 975 1025
pH akhir
q e (m g /g )
230
komposit1 komposit2 komposit3
6 4 2 0 0
200
400
600
800
1000 1200
Co (mg/L)
Co (mg/L)
(a) (b) Gambar 4. (a) Grafik Kapasitas Adsorpsi pada komposit 1,2 dan 3 (b) Hubungan antara pH akhir dengan konsentrasi awal Pb(II) Untuk variasi pH awal, terjadi peningkatan pH akhir larutan seperti ditunjukkan pada gambar 4(a). Hal ini disebabkan adanya peningkatan gugus hidroksil dan amina dari khitosan serta pengaruh serbuk cangkang kupang yang banyak mengandung kalsium karbonat. Sedangkan untuk parameter waktu, hubungan antara pH akhir dengan waktu kontak menunjukkan bahwa semakin lama waktu kontak maka pH semakin turun yang ditunjukkan pada gambar 5 begitu juga dengan pengaruh konsentrasi awal logam terhadap pH akhir larutan menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi maka pH nya juga semakin turun yang ditunjukkan pada gambar 7. Hal ini mengindikasikan bahwa proses adsorpsi semakin tinggi. Model Adsorpsi Isotermal Langmuir dan Freundlich Model adsorpsi isotermal logam Pb(II) akan dikaji dengan dua model yaitu Langmuir dan Freundlich. Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada gambar 4 dapat digunakan untuk menganalisa kedua isoterm baik Langmuir maupun Freundlich melalui metode uji regresi linear untuk komposit 1,2 dan 3.
ln qe
5.45 5.4
y = 0.0345x + 5.231
5.35
R = 0.5914
2
5.3 5.25 5.2 0
2
4
6
ln Ce
(a) (b) Gambar 5. Uji Regresi linear Isoterm Adsorpsi Ion Logam Pb(II) untuk Komposit 2 berdasarkan (a) Langmuir dan (b) Freundlich Dari gambar 5 dapat diketahui bahwa nilai koefisien korelasi pada gambar 5(a) lebih besar dibandingkan gambar 5(b) yaitu 0,993 dengan 0,5914. Hal ini menunjukkan bahwa model Langmuir lebih sesuai untuk adsorpsi pada komposit 1 dengan kapasitas adsorpsi maksimum, qe(maks) sebesar 217,3964 mg/g.
AF-66
Model adsorpsi isotermal untuk komposit 2 dapat dilihat pada gambar 6. Dari gambar 6 dapat diketahui bahwa nilai koefisien korelasi pada gambar 6(a) lebih besar dibandingkan gambar 6(b) yaitu 0,995 dengan 0,6344. Hal ini menunjukkan bahwa model Langmuir lebih sesuai untuk adsorpsi komposit 2 dengan kapasitas adsorpsi maksimum, qe(maks) sebesar 212,7659 mg/g. 5.45 y = 0.0392x + 5.232 2 R = 0.6344
ln qe
5.4 5.35 5.3 5.25 5.2 0
1
2
3
4
5
ln Ce
(a) (b) Gambar 6. Uji Regresi linear Isoterm Adsorpsi Ion Logam Pb(II) untuk Komposit 2 berdasarkan (a) Langmuir dan (b) Freundlich Hasil analisis komposit 3 juga menunjukkan hasil yang serupa dengan komposit 1 dan 2. Dari gambar 7 dapat diketahui bahwa nilai koefisien korelasi pada gambar 7(a) lebih besar dibandingkan gambar 7(b) yaitu 0,9997 dengan 0,8636. Hal ini juga enunjukkan bahwa model Langmuir lebih sesuai untuk adsorpsi pada komposit 3 dengan kapasitas adsorpsi maksimum, qe(maks) sebesar 208,3333 mg/g.
5.45 ln qe
5.4 5.35
y = 0.0171x + 5.2642 R2 = 0.8636
5.3 5.25 0
2
4
6
8
10
12
ln Ce
(a) (b) Gambar 7. Uji Regresi linear Isoterm Adsorpsi Ion Logam Pb(II) untuk Komposit 3 berdasarkan (a) Langmuir dan (b) Freundlich Nilai parameter Langmuir ditampilkan pada tabel 2 dibawah ini Tabel 2 Nilai Parameter Langmuir pada berbagai komposisi 2 Komposisi KL aL qe(maks) R 1 212,766 0,9787 217,3964 0,9993 2 250 1,175 212,7659 0,9995 3 312,5 1,5 208,3333 0,9997 Berdasarkan perhitungan qe(maks) untuk tiap-tiap komposit menunjukkan bahwa komposisi khitosan dengan cangkang kupang berpengaruh terhadap kapasitas adsorpsinya. Hal tersebut ditunjukkan dengan menurunnya nilai kapasitas adsorpsi maksimum komposit dengan kandungan cangkang kupang yang semakin besar. Karakterisasi BET Faktor – faktor yang mempengaruhi adsorpsi adalah melihat karakteristik media pengadsorp (adsorben). Karakteristik adsorben dapat dilihat melalui luas permukaan, volume pori dan diameter pori dari padatan.Pada umumnya,semakin besar luas
AF-67
permukaannya semakin besar kemampuan adsorpsinya. Berdasarkan data karakterisasi BET dapat diketahui bahwa semakin banyak kandungan cangkang kupang maka luas permukaannya semakin menurun. Hal ini sebanding dengan urutan kapasitas adsorpsi, dimana semakin besar luas permukaannya maka kapasitas adsorpsinya semakin besar. Tabel 3 Data luas permukaan , Ukuran dan Volume Pori Komposit Hasil Pengukuran BET Komposisi 1 2 3
Luas permukaan 2 (m /g) 4,790 2,594 1,467
Volume pori (cc/g) 9,821.10-4 -4 5,579.10 4,847.10-4
Diameter pori (Ǻ) 19,37 19,20 18,20
Karakterisasi FTIR Karakterisasi FTIR dapat digunakan untuk mengenali gugus fungsi yang terdapat pada permukaan komposit. Adapun hasil karakterisasinya dapat dilihat pada gambar 8. Berdasarkan spektra diatas dapat diketahui bahwa terdapat lima spektra terkuat -1 -1 -1 -1 yaitu pada bilangan gelombang 3562,5 cm ; 2875 cm ; 1625 cm ; 1375 cm ; dan 1187,5 -1 -1 cm . Pada bilangan gelombang 3562,5 cm menunjukkan adanya gugus hidroksil pada permukaan komposit. Kemudian bilangan gelombang 2875 cm-1 menunjukkan ikatan C-H dari metilen dan bilangan gelombang 1625 cm-1 menunjukkan gugus fungsi C=O. Lalu -1 bilangan gelombang 1375 cm menunjukkan C-H3 dari alkana dan bilangan gelombang -1 1187.5 cm menunjukkan eter alifatik jenuh.
Gambar 8. Spektra FTIR (a) khitosan; (b) kupang; dan (c) pelet komposit. Pengaruh Serbuk Cangkang Kupang terhadap Kapasitas Adsorpsi Adsorben alternatif yang digunakan pada penelitian berupa serbuk cangkang kupang yang diikatkan pada larutan khitosan. Penambahan serbuk kupang dilakukan berturut-turut sebanyak 3 gr, 4 gr dan 5 gr. Maka akan diketahui pengaruh variasi komposisi serbuk cangkang kupang terhadap kapasitas adsorpsi. Keadaan ini diketahui dengan hubungan antara fraksi berat serbuk cangkang kupang terhadap, fkp terhadap kapasitas adsorpsi maksimum yang diperoleh melalui persamaan Langmuir, qe(maks). Berikut akan ditampilkan pada gambar 9.
Gambar 9. Hubungan antara fraksi berat kupang, fkp terhadap qe(maks)
AF-68
Dari gambar diatas ditunjukkan bahwa pelet komposit 1 dengan penambahan 3 gr serbuk cangkang kupang memiliki kapasitas adsorpsi terbesar, dalam hal ini variasi komposisi serbuk kupng terendah akan mempunyai kapasitas adsorpsi terbesar. Selain itu berdasarkan persamaan regresi linear yang diperoleh menunjukkan adanya korelasi linear yang baik antara fraksi berat serbuk kupang terhadap kapasitas adsorpsi dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,9842. Korelasi tersebut juga menggambarka bahwa pelet komposit yang digunakan untuk adsorpsi ion Pb(II) cukup homogen. 4. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa preparasi adsorben dilakukan dengan mengikatkan serbuk cangkang kupang pada larutan khitosan dengan glutaraldehid sebagai agen pengikat silang. Kemampuan komposit khitosan terikat silang-serbuk cangkang kupang dalam mengadsorpsi ion Pb(II) mencapai maksimum pada pH 4 dengan waktu kontak selama 75 menit. Model adsorpsi isotermal yang sesuai untuk tiap-tiap komposit mengikuti model Langmuir yang menunjukkan adanya adsorpsi kimia. Kandungan serbuk cangkang kupang terendah dalam komposit mempunyai kapasitas adsorpasi terbesar. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan naskah ini. 2. Drs. Eko Santoso, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyusunan tugas akhir ini. 3. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya naskah ini. Daftar Pustaka Arias, J.L.,Fernandez, M.S. xxxx. Biomimetic Processes Through The Study of Mineralized Shel:Universidad de Chile Bastaman, dkk. 1990. Penelitian Limbah Udang sebagai Bahan Industri Khitin dan Khitosan. BBLHP: Bogor Cahyadi. 2004. Mekanisme Keracunan Tmbal, Suplemen Iptek: Pikiran Rakyat Cowd, M, A. 1991. Kimia Polimer. ITB: Bandung Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press: Jakarta th Ewing, Galen, W. 1988. Instrumental Methodes of Chemicals Analysis. 5 ed, New York: McGraw-Hill Book Company Info Budidaya. 1999. Instalasi Penelitian Perikanan Laut. SLIPI Kaim, W., Schwedeski, B. 1994. Bioinorganik Chemistry, Inorganic Elements in The Chemistry Life. England: John Wiley and Sons Karthikeyan, G., Anbalagan, K., Andal, N.M. 2004. Adsorption Dynamics and Equilibrium Studies of Zn(II) onto Chitosan. Indian J. Chem. Sci.,116, 2, pp. 119-127 Kumar, M. N. V. 2000. A review of Chitin and Chitosan Application, Reactive and Functional Polymers, 46,pp. 1-27 Majeti, N. V., dan Kumar, Ravi. 2000. A Review of Chitin and Chitosan Applications. Reactive & Functional Polymers. Vol. 46, pp. 1-3 Marganof. 2003. Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) diperairan. Makalah Pribadi Pengantar ke Falsafah Sains (PP702). Program Pascasarjana/ S3 ITB Miller, J.C., Miller, J.N . 1993. Statistik untuk Kimia Analitik. ITB Press. Bandung Murphy, Jr., C.B. 1981. Bioaccumulation and Toxicity of Heavy Metal and Related Trace Elements. Water Pollutant Control Fed: Vol 53, 6, 993 Palar, H . 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta: Bandung Rich, G., and Cherry, K. 1987. Hazardous Waste Material Treatment Technologies. Pudvan Publisher: New York Skoog, Douglas A., et al. 1996. Principles of Analysis, 5th ed. Saunders College Publishing th Skoog, Douglas A., et al.. 1998. Principles of Analysis, 5 ed, Saunders College Publishing Taswid, I. 2004. www.mail-archieve.com Vlack Van. 1975. Elements of Materials Science and Engineers. Third Edition. Addison- Wesley Publishing Company. Michigan Vogel. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro.bagian I. PT Kalman Media Pustaka. Jakarta
AF-69
Wan Ngah, W.S., 2002. Removal Copper (II) ions from aqueous Solution onto Chitosan and Crosslinked Chitosan Beads. Reactive and Functional Polymers. 50, 181-190 Yan, W.L and Bai, R. 2005. Adsorption of Lead Humic Acid on Chitosan Hydrogel Beads ,Water Res. 39, 688-698 Yuliasni, R. 2006. Studi Kemampuan Khitosan sebagai Biosorben Logam Berat Kadmium dalam Air Limbah Buatan CdCl2. Laporan Tugas Akhir Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS: Surabaya Sudirman, Habibie. 1996. Penelitian Pembuatan Khitosan di Indonesia. Majalah BPPT Tekhnologi. Jakarta Zhou, D., Zhang L., Zhou, J., Guo, S. 2004. Cellulose/Chitin Beads Adsorption of Heavy Metals in Aqueous Solution. Water Res 2643-2650
AF-70
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Pengaruh Karbon Terhadap Pembentukan Zeolit dari Abu Dasar dengan Metode Hidrotermal Langsung Everista Londar* dan Hamzah Fansuri Jurusan Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 *e-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini mempelajari pengaruh kandungan karbon pada abu dasar PLTU yang digunakan sebagai bahan baku pada sintesis Zeolit A dari abu dasar menggunakan metode sintesis hidrotermal langsung. Metode ini merupakan metode satu tahap yang biasa dipakai untuk mensintesis zeolit. Proses pembentukan zeolit dipelajari pada suhu suhu hidrotermal 100, 120, 140 dan 160°C dan waktu kristalisasi 24 jam. Pengaruh kandungan karbon dipelajari dengan memvariasikan kandungan karbon dari 0% (abu dasar tanpa sisa karbon), 11,5% (abu dasar awal yang mengandung sisa karbon) dan 5, 10, 15 dan 20% (abu dasar bebas sisa karbon yang ditambahi karbon aktif). Hasil eksperimen menunjukan bahwa zeolit A dan X terbentuk pada semua hasil reaksi, baik dari abu dasar bebas sisa karbon maupun yang mengandung sisa karbon dan yang ditambahi karbon aktif. Zeolit A, X dan Sodalit telah mulai terbentuk pada suhu reaksi 100°C selama waktu kristalisasi 24 jam. Kekristalan zeolit A yang terbaik diperoleh pada hasil reaksi dengan suhu 160°C. Keberadaan karbon aktif mempengaruhi kekristalan zeolit yang dihasilkan. Semakin tinggi kandungan karbon, semakin rendah kekristalan zeolit yang terbentuk. Hal ini diperkirakan terjadi karena karbon aktif menyerap basa yang digunakan (NaOH) sehingga menurunkan konsentrasinya di dalam campuran reaksi. Sebagai akibatnya, proses kristalisasi zeolit A menjadi tidak optimal Kata kunci: Pengaruh karbon, abu dasar, zeolit A, reaksi hidrotermal
1. Pendahuluan Batubara merupakan salah satu sumber energi yang banyak digunakan sebagai bahan bakar PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Akan tetapi penggunaan batu bara memiliki dampa negative terhadap lingkungan akibat dari pelepasan berbagai limbah yang dikenal sebagai coal combustion by product CCB). Salah satu CCB dari PLTU berbahan bakar batubara adalah abu dasar (bottom ash) yaitu abu yang tertinggal di ruang bakar ketel uap pada PLTU dan abu layang (fly ash). Abu dasar mengandung mineral-mineral aluminat, silikat maupun alumino-silikat seperti yang terdapat pada abu layang. Mineral-mineral tersebut adalah penyusun utama dari zeolit sehingga dimungkinkan untuk mengubah abu dasar menjadi zeolit. Pembuatan zeolit dari abu CCB telah banyak dilakukan seperti dilaporkan oleh Hollman dkk (1999), Murayama dkk (2002), Marchado and Miotto (2005), Hidayati dan Prasetyoko (2008) serta Wang dkk (2009). Namun, umumnya abu CCB yang digunakan adalah abu layang yang memiliki kandungan alumino-silikat yang dominan. Abu dasar memiliki komposisi kimia yang sedikit berbeda dengan abu layang. Kandungan besi, kalsium dan sisa karbon pada abu dasar secara umum jauh lebih tinggi daripada abu layang. Kandungan tersebut dapat mempengaruhi proses pembentukan zeolit, terutama jika proses pembuatan zeolit dari abu dasar menggunakan metode hidrotermal langsung seperti yang dilakukan oleh Hidayati dan Prasetyoko (2008). Untuk menghindari pengaruh unsur-unsur yang tidak diinginkan tersebut, maka pembuatan zeolit dilakukan dalam dua tahap seperti yang dilaporkan oleh Hollman dkk (1999) dan Wang dkk (2009).
AF-71
Metode sintesis dua tahap dilakukan dengan cara melebur abu CCB dengan alkali diikuti dengan ekstraksi silikat dan aluminat yang terbentuk dari proses peleburan tersebut. Sebagai akibat dari proses pelebutan tersebut, hanya silikat dan aluminat yang akan terekstrak disertai dengan kation-kation lain dalam jumlah kecil. Sisa karbon, jika ada, akan terbakar sempurna pada saat peleburan. Sisa karbon pada abu dasar dapat dimanfaatkan sebagai penyerap bahan-bahan non kationik seperti molekul-molekul organik. Apabila kandungan sisa karbon pada abu dasar dapat dipertahankan dalam proses pembuatan zeolit, maka akan dihasilkan material campuran yang dapat menyerap baik kation maupun non kation sehingga material tersebut dapat digunakan sebagai penyerap kation sekaligus limbah organik. Walaupun dapat bermanfaat, sisa karbon biasanya dianggap sebagai bahan yang dapat mengganggu proses pembentukan zeolit. Oleh karena itu, umumnya sisa karbon dihilangkan dari abu CCB sebelum direaksikan untuk membentuk zeolit. Akan tetapi, hingga saat ini belum ditemukan laporan yang secara lengkap menjelaskan pengaruh sisa karbon tersebut pada pembentukan zeolit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh karbon terhadap pembentukan zeolit. Pengaruh tersebut dipelajari dengan melakukan variasi konsnetrasi sisa karbon dalam proses sintesis zeolit menggunakan metode hidrotermal langsung. Pada penelitian ini, zeolit yang hendak disintesis dari abu dasar adalah zeolit A. 2. Prosedur Eksperimen Penyiapan Sampel Abu dasar yang dipakai dalam penelitian ini merupakan hasil pembakaran PLTU paiton memliki partikel yang besar berwarna hitam dengan kandungan karbon yang besar. Sebelum digunakan abu dasar terlebih dahulu dikeringkan dalam oven pada suhu 110°C selama 12 jam. Abu dasar kering selanjutnya digerus halus kemudian diayak untuk memperoleh ukuran yang kecil. Kandungan sisa karbon pada abu dasar dihilangkan dengan o kalsinasi pada suhu 800 C selama 4 jam. Karakterisasi Sampel Abu dasar kering yang telah diayak dikarakterisasi dengan XRF untuk menentukan komposisi kimianya. Komposisi fasa dari abu dasar kering ditentukan dengan difraksi sinar X (XRD) sedangkan SEM digunakan untuk mengamati morfologi partikel-partikelnya. Kandungan sisa karbon pada abu dasar kering ditentukan berdasarkan nilai LOI yang diamati dengan o mengkalsinasi abu dasar tersebut pada suhu 800 C selama 4 jam. Nilai LOI (dalam % berat) dihitung dari berat awal dikurangi berat akhir dan dibandingkan dengan berat awalnya. Sintesis Zeolit dari Abu Dasar Sintesis zeolit dilakukan dengan hidrotermal secara langsung dan satu tahap menggunakan larutan natrium hidroksida (NaOH) sebagai mineralizer dan sumber alkali. Pada setiap kondisi, komposisi kimia adalah tetap dan memiliki perbandingan molar 3,165Na2O : Al2O3 : 1,926SiO3 : 128H2O sesuai dengan perbandingan molar yang disarankan oleh Robson (2001) untuk mensintesis zeolit A. Perbandingan molar tersebut diperoleh dengan penambahan natrium silikat atau natrium aluminat berdasarkan pada hasil penentuan komposisi kimia abu dasar kering dengan XRF. Kristalisasi zeolit dilakukan pada autoklaf berbahan stainless steel 304. Mula-mula diambil 15 g abu dasar hasil kalsinasi dan dicampur dengan karbon aktif dengan perbandingan tertentu. Campuran tersebut kemudian ditambah basa (NaOH) dan Natrium aluminat (NaAlO3) serta air sehiungga didapatkan komposisi molar sebagaimana telah disebutkan di atas. Campuran tersebut diaduk dengan pengaduk magnet selama 24 jam sebelum dimasukan ke dalam autoklaf. Selanjutnya dilakukan proses kristalisasi zeolit dengan cara dipanaskan dalam oven listrik pada suhu bervariasi pula. Setelah proses kristalisasi, sampel didinginkan kamudian disaring menghasilkan residu dan filtrat. Residu dicuci dengan aquades hingga o mencapai pH 9 dan kemudian dikeringkan pada suhu 100 C. Karakterisasi Padatan Hasil sintesis Komponen mineral hasil sintesis dianalisis dengan menggunakan difraksi sinar-X (XRD). Untuk mengetahui morfologi padatan hasil sintesis dapat dipelajari dengan
AF-72
menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM ), dan untuk mengetahui kalarutan Si dan Al dipelajari dengan menggunakan Inductively-Coupled Plasma Atomic Emission Spectroscopy (ICP-AES). 3. Hasil Dan Pembahasan Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia abu dasar kering yang dihasilkan dari analisis dengan XRF. Jika dibandingkan dengan abu layang, abu dasar memiliki kandungan silikat dan aluminat yang jauh lebih rendah namun memiliki kandungan oksida besi dan kalsium yang tinggi. Berdasarkan komposisi tersebut diperoleh perbandingan molar SiO2/Al2O3 sebesar 3,43. Angka banding ini hampir dua kali lipat angka banding molar yang disarankan oleh Robson (2001) sehingga perlu penambahan Al dalam bentuk natrium aluminat. Tabel 1. Komposisi kimia abu dasar PLTU PT. IPMOMI Komposisi (% berat) Komponen Abu dasar Abu layang* SiO2 23,67 52,00 Al2O3 11,78 31,86 Fe2O3 44,03 4,89 CaO 16,89 2,68 MgO 2,76 4,66 K2O 0,64 N/A MnO2 0,23 N/A *(Sumber: PJB Paiton)
Komposisi fasa dan morfologi abu dasar kering ditunjukkan secara berurutan oleh Gambar 1 dan 2. Gambar 1 menunjukkan bahwa abu dasar mengandung fasa kristalin kuarsa dan mullit. Fasa amorf juga ditemukan pada abu dasar berupa gundukan (humps) pada baseline lebar o puncak-puncak difraksi, khususnya pada 2θ antara 20 dan 40 .
Gambar 1. Komposisi fasa abu dasar kering. Q=kuarsa dan M=mullit Sementara itu, mikrografi SEM menunjukkan bahwa partikel-partikel abu dasar memiliki bentuk tidak beraturan walupun masih ditemukan partikel-partikel berbentuk sferik (bola) sebegaimana biasa ditemukan pada abu layang. Partikel-partikel yang tampak juga tidak berpori serta bersifat heterogen.
AF-73
Gambar 2. Mikrograf abu dasar kering pada pembesaran 200 x. Sintesis zeolit A dari abu dasar kering dilakukan pada abu abu dasar bebas karbon dari proses kalsinasi, abu dasar awal, maupun abu dasar bebas karbon yang ditambahi karbon aktif. Gambar 3 menunjukan difraktogram abu dasar, abu dasar setelah sikalsinasi dan zeolit hasil sintesis. Gambar tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perubahan fasa yang terjadi akibat dari proses kalsinasi.
Gambar 3. Difraktogram sinar-x hasil sintesis dengan suhu kristalisasi 100, 120, 140 dan 160°C selama 24 jam. A=zeolit A, X=zeolit X, S=sodalit, Q=kwarsa dan M=mullit Analisis fasa yang dilakukan dengan software Philips Expert menunjukkan bahwa ○ zeolit A sudah terbentuk dari abu dasar bebas sisa karbon pada suhu hidrotermal 100 C dengan adanya puncak-puncak khas zeolit A (Na6[AlSiO4]6.4H2O, JCPDS No. 42-0216) dan (Na3Al3Si3O12.2H2O, JCPDS No. 44-0050). Selain itu ditemukan pula adanya puncak-puncak yang sesuai dengan zeolit X ((Na88Al88Si104O384.220H2O, JCPDS No. 39-0218) serta sodalit (Na8Al6Si6O24CO3, JCPDS No. 24-1045) pada 2θ=29,8º. Sementara itu, analisis fasa (Gambar 4) yang dilakukan terhadap zeolit yang disintesis dari abu dasar asal (tanpa kalsinasi, sehingga masih mengandung sisa karbon) menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan zeolit yang disintesis menggunakan abu dasar bebas karbon. Fasa-fasa zeolit yang terbentuk adalah zeolit A, X dan sodalit. Berdasarkan data pada Gambar 3 dan 4 tampak bahwa keberadaan sisa karbon tidak terlalu banyak berpengaruh pada proses
AF-74
pembentukan zeolit. Selain itu, terlihat pula bahwa pembentukan zeolit A semakin baik pada suhu 160oC yang ditandai oleh semakin tingginya intensitas puncak-puncak zeolit A.
Gambar 4. Difraktogram sinar-X hasil sintesis zeolit dari abu dasar asal pada waktu hidrotermal 24 jam dan suhu kristalisasi 100, 120, 140 dan 160°C. A=zeolit A, X=zeolit X, S=sodalit, Q=kwarsa dan M=mullit. Pengaruh karbon terhadap proses kristalisasi zeolit A dipelajari lebih lanjut dengan membuat variasi komposisi karbon pada abu dasar. Variasi ini diperoleh dengan cara menambahkan karbon aktif kepada abu dasar kering bebas sisa karbon sehingga diperoleh campuran dengan kadar karbon aktif 5 sampai 20% dengan interval 5%. Suhu reaksi yang digunakan adalah 160ºC selama 24 jam. Gambar 5 menunjukan difraktogram sinar-X dari zeolit hasil sintesis dengan komposisi karbon 5, 10, 15 dan 20% dan dibandingkan denga zeolit tanpa karbon (Z-TK) dan zolit komposit sisa karbon. Jika pada Gambar 3 dan 4 tidak tampak adanya pengaruh sisa karbon maka pengaruh tersebut terlihat lebih jelas sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5. Zeolit A yang disintesis dari abu dasar bebas sisa karbon (penambahan karbon=0%) menghasilkan difraktogram dengan intensitas puncak-puncak zeolit yang paling tinggi dinbandingkan dengan zeolit yang disintesis dari abu dasar yang mengandung sisa karbon maupun yang ditambahi dengan karbon aktif. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh adanya karbon aktif yang bersifat amorf dengan luas permukaan besar (Alfathoni, 2002) yang diperkirakan dapat menyerap basa (NaOH) sehingga menyebabkan penurunan konsentrasi NaOH. Sebagai akibatnya, komposisi molar yang dikehendaki tidak tercapai dan kekuatan larutan basa tidak cukup tinggi untuk memicu proses pelarutan Si dan Al dari partikel-partikel abu dasar. Kekurangan ini menyebabkan proses kristalisasi zeolit A dan zeolit-zeolit lainnya yang berguna tidak dapat berlangsung secara optimal.
AF-75
Gambar 5. Difraktogram Sinar-X Hasil Sintesis Hidrotermal pada Suhu 160°C selama waktu 24 jam dengan variasi karbon 0, 5, 10, 11.5, 15 dan 20%. A=zeolit A, X=zeolit X, S=sodalit, Q=kwarsa dan M=mullit.
(a)
(d)
(b)
(c)
(e)
(f)
Gambar 7. Morfologi partikel hasil sintesis pada suhu 160ºC selama 24 jam pada variasi karbon: a) 0%, b) 5%, c) 10%, d) 11,5, e) 15% dan f) 20% Ketidakoptimalan proses kristalisasi zeolit A dari abu dasar yang ditambahi karbon aktif ditunjukkan pula oleh mrofologi zeolit yang terbentuk sebagaimana disajikan oleh Gambar 8. Zeolit yang disintesis dari abu dasar bebas karbon (Gambar 8.a) memiliki bentuk yang jauh lebih homogen daripada zeolit yang dibuat dari abu dasar yang engandung sisa karbon (Gambar 8.e) , maupun abu dasar bebas karbon yang ditambahi karbon aktif (Gambar 8. b, c, d dan f).
AF-76
4. Kesimpulan Zeolit A dapat disintesis dari abu dasar, baik yang masih mengandung sisa karbon maupun tanpa sisa karbon serta abu dasar yang ditambahi karbon aktif. Kristalinitas zeolit o terbaik diperoleh pada suhu reaksi 160 C dan waktu kristalisasi 24 jam. Pengaruh kandungan karbon tidak terlihat dengan jelas pada zeolit yang disintesis dari abu dasar bebas karbon dan abu dasar awal yang masih mengandung sisa karbon. Akan tetapi, pengaruhnya terlihat jelas jika zeolit hasil sintesis dari abu dasar bebas sisa karbon dibandingkan dengan zeolit yang disintesis dari abu dasar bebas sisa karbon yang ditambahi karbon aktif. Penambahan karbon aktif menyebabkan penurunan intensitas pada difraktogram zeolit yang dihasilkan, yang menunjukkan bahwa kekristalan zeolit berkurang jika ada karbon aktif. Penurunan ini diperkirakan akibat dari penyerapan basa (NaOH) oleh karbon aktif sehingga menurunkan kosentrasinya serta kekuatan basanya yang mengakibatkan menurunnya proses pelarutan Si dan Al dari abu dasar. Akibat dari penurunan ini maka menurun pula kekristalan zeolit yang dihasilkan. Penghargaan Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT. IPMOMI yang menyediakan abu dasar serta LPPM ITS sebagai penyandang dana penelitian melalui kontrak penelitian No. 10626/I2.7/PM/2008, tanggal 1 April 2008. Daftar Pustaka Alfathoni, G.,(2002), ”Rahasia Untuk Mendapatkan Mutu Produk Karbon Aktif dengan Serapan Iodium di atas 1000mg/g. http://www.tepatgunatek.com, 20 maret 2009 Hollman, G.G., Steenbruggen, G. dan Jurcovicova, M.J. (1999), “A Two Step Process for the Synthesis of Zeolite from Coal Flay Ash”, Fuel, Vol. 78, hal 1223-1230 Hidayati, R.E. dan Praestyoko. D, (2008), “Sintesis zeolit dari Abu Layang Batu Bara: Kajian Pengaruh Waktu Hidrotermal Awal Terhadap Pembentukan Zeolit”. Thesis m Magister Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Murayama, N., Yamamoto, H. dan Shibata, J. (2002), “Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash by Hydrotermal Reaction using Various Alkali”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol.77. No 3, hal. 280-286 Marchado, N. R. C. F. dan Miotto, D. M. M. (2005), “Synthesis of Na-A and Na-X Zeolites from Oil Shale Ash”, Fuel, Vol. 84, hal. 2289-2294. Robson, H. (2001), ”Verified Syntheses of Zeolotic Materials”, Elsevier Science B.V., hal. 179. Wang, C.F., Li, J.S., Wang, L.J. dan Sun, X.Y. (2008), “Influence of NaOH Concentrations on Synthesis of Pure-form Zeolite A from Fly Ash Using Two-Stage Method”, Journal of Hazardous Materials, Vol. 155, hal. 58–64.
AF-77
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Kompleks Mn(II) dengan Ligan Tercampur OHydroksibezilidene-1-Fenil-2,3-Dimetil-4-Amino-3 Pirazoline Fahimah Martak dan Djulia Onggo Abstrak Senyawa kompleks ligan tercampur baru disiapkan diantara 8-hidroksi quinoline dan ohidroksi benzilidene-1-fenil-2,3-dimetil-4-amino-3-pirazolin-5-on dengan ion Mn(II). Hasil sintesis senyawa kompleks dikarakterisasi dengan elemental analisis, hantaran listrik, spektroskopi UV-Vis dan suseptibilitas magnet.
1. Pendahuluan Ligan turunan basa Schiff dari salisil aldehid dikenal sebagai ligan polidentat yang dapat berkoordinasi dengan ion logam. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kompleks logam dengan ligan basa schiff menarik perhatian karena berfungsi sebagai antifungal, anti bakteri dan anti tumor. Psomas, et., al. (2004), telah mensintesis senyawa kompleks berinti tiga menggunakan ligan pentadentat (1,3-bis[(2-piridil metil)imino]propan-2-ol dan ligan tiosianat. Ligan pentadentat ini diperoleh melalui reaksi basa schief antara asetil piridin dan 1,3-diaminopropan2-ol. Namun karena ligan ini bertipe pentadentat, koordinasi logam-ligan ini menjadi sulit diprediksi. Oleh karena itu pada penelitian ini, digunakan ligan turunan basa schief yang dapat membentuk kompleks tetradentat. II Pada penelitian ini, kami melaporkan pembentukan kompleks Mn dengan ligan turunan basa Schiff. Sintesis, karakterisasi dan sifat magnetik senyawa kompleks yang memiliki formula [MnII(o-hidroksi-benzilidene-1-fenil-2,3-dimetil-4-amino-3-pirazolin)] digambarkan. 2. Eksperimen Larutan p-amino-2,3-dimetil-1-fenil-3-pirozalin (3,7 gram; 0,012 mol) dilarutkan dalam 10 mL metanol ditambahkan larutan salisil aldehid (1,6 gram; 0,012 mol) dalam 10 mL metanol. Larutan dari campuran ligan tersebut ditambahkan larutan MnCl2.4H2O (2,5 gram; 0,012 mol) dalam 5 ml metanol. Larutan kompleks tersebut direfluks selama 8 jam pada temperatur 40 °C. Endapan yang berwarna kuning kehijauan disaring dan dikeringkan dengan P2O5. 3. Hasil dan Diskusi Kompleks yang terbentuk berwarna hijau kekuningan. Formula senyawa kompleks II adalah [Mn (o-hidroksi benzilidene-1-phenyl-2,3-dimetil-4-amino-3-pyrazolin)]. Formula senyawa kompleks tersebut diperoleh dari hasil kandungan ion logam dan analisis elemental senyawa. Hasil analisis unsur senyawa kompleks secara eksperimen adalah C = 64,19 , H = 4,30 dan N = 5,14. Nilai ini mendekati hasil perhitungan teoritik. II Kompleks [Mn (o-hidroksi benzilidene-1-phenyl-2,3-dimetil-4-amino-3-pyrazolin)] tidak larut dalam pelarut metanol, etanol, aseton, kloroform dan air. Kompleks ini hanya larut dalam dimetil sulfoksida, sehingga pengukuran hantaran dan penentuan spektrum elektroniknya diukur dalam pelarut dimetil sulfoksida. Kompleks bermuatan netral ini didukung data pengukuran 2 -1 daya hantar larutan. Daya hantar larutan senyawa ini adalah 5 Scm mol . Pengukuran spektroskopi UV-Vis menunjukkan terjadi perbedaan serapan antara ligan bebas dan kompleks yang terbentuk. Serapan larutan ligan 8-hidroksi quinoline terjadi pada panjang gelombang 256, 340 dan 362 cm-1 yang menunjukkan terjadi transisi elektronik dari ππ*, n-π*. Adsorbsi pada panjang gelombang 294, 304, 372 dan 391 cm-1 diamati dari larutan ligan o-hidroksi benzylidene-1-phenyl-2,3-dimethyl-4-amino-3-pyrazoline-5-on. Ini menunjukkan
AF-78
terjadi transisi elektronik dari π- π*, n-π*. Pengukuran spektroskopi UV-Vis larutan kompleks II menunjukkan kompleks [Mn (o-hidroksi benzilidene-1-phenyl-2,3-dimetil-4-amino-3-pyrazolin)] 5 4 telah terbantuk, yang dibuktikan adanya transisi transfer muatan, transisi elektronik A1 → Ed 5 4 dan transisi elektronik A1 → T2O. Formula senyawa kompleks juga didukung oleh spektrum inframerah. Vibrasi C-H cincin aromatic ditunjukkan pada bilangan gelombang 1663, 1472 cm-1. Vibrasi C-O yang terkoordinasi pada ion logam bergeser ke frekuensi yang lebih rendah yaitu 1680 cm-1, yang menunjukkan terjadi koordinasi antara ion logam dan ligan. Pergeseran kuat diamati pita C=N -1 dari hidroksi quinoline pada 1597 cm , yang membuktikan adanya ikatan atom N dengan ion logam Mn(II). Spektrum inframerah senyawa kompleks ditunjukkan pada Gambar 1.
90 %T
489.92
688.59
412.77
717.52
858.32 767.67
1263.37 1286.52
1680.00 1662.64
1328.95
15
0
4500 4000 Co3.2 Pic 3
Gambar 1.
1155.36
1471.69
3520.09 3454.51
45
30
1053.13
1448.54
60
1099.43
3084.18 3059.10
75
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Spektrum inframerah [MnII(o-hidroksi benzilidene-1-phenyl-2,3-dimetil-4-amino-3pyrazolin)] pada temperatur ruang
Berdasarkan hasil analisis elemental, kandungan ion logam, hantaran listrik larutan, spektroskopi UV-Vis, spektrum inframerah senyawa, maka dapat diperkirakan struktur senyawa kompleks yang dihasilkan. Struktur senyawa kompleks yang dihasilkan ditunjukkan pada Gambar 2.
HC H3C
N
O
O M NH
N H3C
Gambar 2.
N
O
Struktur Kompleks [MnII (o-hidroksi benzilidene-1-phenyl-2,3-dimetil-4-amino-3pyrazolin)]
AF-79
Sifat Magnetik Sifat magnetik kompleks [MnII(o-hidroksi benzilidene-1-phenyl-2,3-dimetil-4-amino-3pyrazolin)] yang diamati pada temperatur ruang menunjukkan spin tinggi. Moment magnetik II kompleks Mn hasil eksperimen adalah 4,65 BM. Nilai ini sesuai untuk sumbangan spin tinggi ion MnII. Nilai spin tinggi ion MnII adalah 5/2, sehingga perhitungan momen magnetik secara teoritik adalah hasi. 4. Kesimpulan II II Kompleks Mn dengan ligan basa schief dan 8-hidroksiquinolin dengan formula [Mn (ohidroksi benzilidene-1-phenyl-2,3-dimetil-4-amino-3-pyrazolin)] telah berhasil disintesis. Formula senyawa kompleks didukung oleh kandungan ion logam, analisis unsur C, H dan N, pengukuran hantaran dan spektra inframerah senyawa. Hasil pengukuran suseptibiltas senyawa pada temperatur ruang menunjukkan kompleks memiliki spin tinggi. Dalam kompleks ini dua ligan terkoordinasi pada ion logam melalui atom N dan O, senyawa memmbentuk geometri tetrahedral. Ucapan Terimakasih Penelitian ini didanai research grant PHKI 2009. Penulis juga berterimakasih kepada Prof. Ibrahim Baba, Universitas Kebangsaan Malaysia untuk analisis unsur C, H dan N. Pustaka Fujita, M., Ogura, K., (1996), Transition-Metal-Directed Assembly of Well-Defined Organic Architectures Possessing Large Voids: from Macrocycles to [2] Catenanes, Coord. Chem. Rev., 148, 249-264. Psomas, G., Brefuel, N., Dahan, F., Tuchagues, J.-P., (2004), An Unprecedented Trinuclear Structure Involving Two High-Spin and One Spin-Crossover Iron(II) Centers, Inorg. Chem., 43, 4590-4594. Hauser, A., (2004), Ligan Field Theoritical Consideration, Top. Curr. Chem., 233, 49-58. Panja, A., Goswanni, S., Shaikh, N., Roy, P., Manassero, M., Butcher, R.J., Banerjee, P., (2005), Synthesis and X-ray Crystallographic Characterization of Copper and Iron Complexes with Tetradentate-N4 Ligands: Reactivity Towards Catechol Oxidation, Poyhedron, 24, 2921-2932.
AF-80
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Sintesis dan Karakterisasi Senyawa Koordinasi Inti Ganda Besi(III)-Fenantrolin Menggunakan Ligan Jembatan CNSHarsasi Setyawati 1*, Hamami 2, Handoko Darmokusumo 3 * 031-5922427.,
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis dan mengkarakterisasi senyawa koordinasi inti ganda besi(III)-fenantrolin menggunakan ligan jembatan CNS-. Senyawa koordinasi inti ganda ini disintesis dengan mereaksikan besi(III) dari senyawa (NH4)2Fe(SO4)2 ·12H2O, ligan fenantrolin serta ligan jembatan CNS sesuai dengan perbandingan stoikiometri besi(III) : fenantrolin : CNS = 2 : 4 : 1. Dari hasil sintesis ini diperoleh kristal berwarna coklat tanah dan dengan perbesaran 1000 kali diperoleh bentuk kristal jarum. Senyawa hasil sintesis ini akan dianalisis karakterisasinya dengan spektroskopi UV-VIS, Infrared (IR), X-Ray Diffraction (XRD), dan Magnetic Susceptibility Balance.. Dari hasil analisis spektroskopi UV-VIS diperoleh bahwa nilai panjang gelombang maksimumnya sebesar 466 nm dan 476 nm. Spektrum IR senyawa ini menunjukkan adanya serapan vibrasi Fe-N dari ligan fenantrolin pada daerah 339,4 cm-1, -1 vibrasi ulur C=N dari ligan CNS bebas muncul di daerah 2036,7 cm , vibrasi C=N dari ligan -1 CNS yang berinteraksi dengan besi muncul di daerah 848,6 cm , vibrasi ulur O-H dari ligan H2O muncul di daerah 3444,6 cm-1, dan serapan khas vibrasi logam-ligan muncul pada 424,3 cm-1. Spektrum XRD senyawa ini memberikan puncak yang tajam sehingga dapat dipastikan senyawa ini berbentuk kristal. Analisis dengan Magnetic Susceptibility Balance diperoleh harga momen magnet sebesar 2,82 BM dan dari ESR diperoleh dua spektrum yang berarti ada dua elektron tidak berpasangan pada senyawa ini. -
Kata Kunci : Besi(III)-fenantrolin, ligan jembatan CNS , Karakteristik.
1. Pendahuluan Senyawa koordinasi adalah salah satu senyawa yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Senyawa ini terbentuk karena adanya ikatan antara ligan yang berperan sebagai donor pasangan elektron (basa lewis) dengan ion pusat (logam) yang berperan sebagai akseptor pasangan elektron (asam lewis). Dewasa ini perkembangan ilmu senyawa koordinasi semakin pesat. Kajian dan penelitian tentang sintesis senyawa koordinasi juga semakin beragam. Salah satunya adalah penelitian tentang senyawa koordinasi inti ganda dengan ion pusat logam transisi yang menggunakan ligan jembatan. Sebagai contoh adalah penelitian tentang 5+ spektroskopis senyawa koordinasi inti ganda [(NH3)5Ru(pyz)Ru[(NH3)] yang disebut sebagai ” ion Creutz-Taube” dengan ligan gugus jembatan pirazin (Shriver D.F, et al, 1990). Pada tahun 1994 Bignozzi berhasil mensintesis senyawa koordinasi inti ganda dengan Ru(II) sebagai ion pusat dan 2,2’-bipiridin sebagai ligan bidentat serta ion sianida sebagai ligan gugus jembatan. Sintesis senyawa koordinasi inti ganda Cr(III)-polipiridil dengan menggunakan ligan gugus jembatan 4,4-bipiridin dan pyrazin telah berhasil dilakukan (Rahadjeng, 1997). Sintesis senyawa polimer Fe(II) dengan ligan baru trans-4,4’-azo-1,2,4-triazole (atr) juga telah berhasil dilakukan. Setiap ligan atr menjadi jembatan diantara dua atom Fe(II). Senyawa kompleks Fe(II)-Fe(II) dengan ligan karboksilat yang halang rintangnya besar juga telah berhasil disintesis (II) tanpa menggunakan khelat donor N (Hagadorn, J. R, et al, 1999). Senyawa kompleks Fe (III) Cr oksalat telah berhasil disintesis. Sintesis dan karakterisasi senyawa kompleks polimer {MnIICrIII(C2O4)3][Fe(NH2-trz)3]Cl}.6H2O juga telah berhasil dilakukan (Jahro Iis dkk, 2005).
AF-81
Dari penelitian-penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa kajian tentang senyawa koordinasi dengan ion pusat besi telah banyak dilakukan. Tetapi kajian tentang senyawa koordinasi inti ganda dengan ion pusat besi, ligan polipiridil dan ligan jembatan belum banyak dilakukan. Untuk menambah kajian tentang sintesis dan karakterisasi senyawa koordinasi inti ganda, maka pada penelitian ini akan dilakukan sintesis dan karakterisasi besi(III) dengan ligan fenantrolin dan ligan jembatan CNS-. Selain murah dan mudah didapat, ion besi (III) memungkinkan untuk membentuk senyawa oktahedral jika berikatan dengan 3 buah ligan polipiridil seperti 1,10-fenantrolin. Sistem oktahedral senyawa koordinasi dari logam besi(III) ini mudah untuk dipelajari dan dikaji karakteristiknya. Selain itu jika ditinjau dari konfigurasi elektronnya [Ar]3d54s0 , ion besi (III) ini memiliki 5 buah elektron yang tidak berpasangan, sehingga mudah dipelajari sifat kemagnetannya. Karena kemampuannya membentuk khelat, diharapkan ligan 1,10-fenantrolin memiliki kemampuan membentuk senyawa koordinasi yang stabil dengan ion pusat. Ligan ini merupakan ligan bidentat karena mampu menyumbangkan dua pasang elektron bebasnya. Contoh ligan bidentat lainnya adalah 2,2 bipiridin, oksalat, etilendiamin, dan lain sebagainya (Huheey, 1978). Ligan 1,10-fenantrolin ini memiliki kekuatan ligan yang relatif besar dibanding ligan bidentat lainnya. Sehingga diharapkan senyawa koordinasi yang terbentuk relatif stabil. Ligan CNS- merupakan ligan jembatan yang dapat berikatan dengan dua buah ion logam dalam satu molekul. Contoh ligan jembatan lainnya adalah pirazin, CN-, NO2-, ONO-,dan 4,4 bipiridin. Keunggulan dari penggunaan ligan CNS ini adalah murah dan mudah didapat. Pada umumnya senyawa koordinasi yang terbentuk dari ligan ini akan memberikan larutan yang berwarna sehingga mudah dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS. Adanya ligan gugus jembatan ini memungkinkan terbentuknya senyawa koordinasi inti ganda (polinuclear complex) dan memungkinkan terbentuk senyawa koordinasi berantai yang dikenal dengan molekul supra (Miessler, 1991). Untuk itu pada penelitian ini akan dipelajari sintesis dan karakterisasi senyawa koordinasi inti ganda dengan menggunakan ion logam besi(III) dengan ligan 1,10-fenantrolin dan ligan gugus jembatan CNS sehingga bisa mendukung perkembangan ilmu senyawa koordinasi terutama senyawa koordinasi inti ganda. 2. Eksperimen Bahan-bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini berderajat kemurnian pure analysis (pa) yaitu: 1,10-fenantrolin monohidrat (C12H8N2.H2O) disingkat phen; kalium tiosianat (KCNS); (NH4)2Fe(SO4)2 ·12H2O, etanol absolut (C2H5OH); asam nitrat pekat (HNO3) dan akubides (H2O). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Spektrofotometer UV- VIS Beckaman DU 7500, Spektrofotometer Simadzhu, Jasco FT-IR 5300 Spektrofotometer, X-ray Diffractometer Jeol JDX-3530, Magnetic Susceptibility Balance, timbangan analitis Metler AE 200, hot plate, penyaring vakum, kertas saring Whatman dan peralatan gelas. Pada penelitian ini akan disintesis tiga senyawa kompleks yaitu senyawa koordinasi awal Fe:phen, senyawa koordinasi intermediet Fe: phen: CNS dan senyawa koordinasi inti ganda Fe: phen: CNS. Penentuan panjang gelombang maksimum senyawa koordinasi Panjang gelombang maksimum senyawa koordinasi awal ditentukan dengan mereaksikan larutan phen dan larutan Fe(III) dengan perbandingan mol phen dibuat berlebih agar semua Fe(III) dapat bereaksi dengan phen dan ditambahkan akuabides sampai volume mencapai 10 mL. Sedangkan senyawa koordinasi intermediet dan senyawa koordinasi inti ganda ditentukan dengan mereaksikan larutan Fe(III): phen : CNS dan ditambahkan akuabides sampai volume mencapai 10 mL. Semua larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 380-700 nm. Penentuan Stoikiometri Senyawa Koordinasi Penentuan stikiometri senyawa koordinasi dilakukan dengan metode perbandingan mol (Metode Job). Untuk senyawa koordinasi awal, pada labu ukur 10 mL dimasukkan larutan Fe(III) dengan konsentrasi tertentu dan volume tetap kemudian ditambahkan larutan phen konsentrasi tertentu dan volume tertentu secara bertahap dan diencerkan dengan akuabides sampai tanda batas ukur, sehingga pada perbandingan mol tertentu menunjukkan terbentuknya spesi-spesi senyawa koordinasi. Untuk senyawa koordinasi intermediet dan senyawa koordinasi
AF-82
inti ganda, pada labu ukur 10 mL dimasukkan larutan Fe(III) dan phen dengan konsentrasi tertentu dan volume tetap kemudian ditambahkan larutan CNS konsentrasi tertentu dan volume tertentu secara bertahap dan diencerkan dengan akuabides sampai tanda batas ukur, sehingga pada perbandingan mol tertentu menunjukkan terbentuknya spesi-spesi senyawa koordinasi. Sintesis Senyawa Koordinasi Sintesis Senyawa Koordinasi Awal Pada pengerjaan 2.2 diperoleh stoikiometri senyawa koordinasi awal Fe(III) : phen= 1 : 3+ n. Dengan dasar perbandingan mol tersebut, maka disintesis kristal [Fe(phen)n] (Szafran Z., et al., 1991). Garam feri ammonium sulfat dodekahidrat NH4Fe(SO4)2.12H2O padat dan ligan phen padat ditimbang dengan perbandingan mol Fe(III) : phen = 1 : n. Garam feri ammonium sulfat dodekahidrat NH4Fe(SO4)2.12H2O padat dilarutkan dalam akuabides sedikit demi sedikit sampai larut kemudian ligan phen padat ditambahkan dalam larutan tersebut dan ditambah dengan 510 ml akuabides. Larutan diaduk dan dipanaskan ± 80 °C(jangan sampai larutan mendidih) sampai benar-benar larut. Larutan tetap diaduk dan dipanaskan sampai volume larutan sisa sepertiganya dan terjadi perubahan warna larutan. Larutan didinginkan beberapa jam agar terbentuk kristal yang sempurna. Selanjutnya kristal disaring dengan kertas whatman dan dicuci berulang-ulang dengan etanol. Kristal dikeringkan pada temperatur ruang. Agar kristal dapat dianalisis maka kristal direkristalisasi dahulu, dengan melarutkan dalam akuabides sedikit demi sedikit sampai semua kristal larut (dipanaskan bila belum larut). Selanjutnya larutan disaring dengan kertas whatman, sisa larutan dalam beker gelas didiamkan pada temperatur ruang sampai terbentuk kristal kembali. Kristal disaring dengan kertas whatman dan dicuci berulangulang dengan etanol, kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Kristal yang telah kering ditempatkan dalam eksikator untuk selanjutnya dianalisis (Bignozzi C.A., et al., 1994). Sintesis Senyawa Koordinasi Intermediet Analog dengan sintesis senyawa koordinasi awal senyawa koordinasi intermediet disintesis dengan perbandingan stoikiometri Fe(III): phen: CNS = 1: n´: m. Dengan dasar perbandingan mol tersebut, maka disintesis kristal [Fe(phen)n’(CNS-)m]2+ (Szafran Z., et al., 1991). Garam NH4Fe(SO4)2.12H2O padat, ligan phen padat dan ligan CNS- padat ditimbang dengan perbandingan mol Fe(III) : phen: CNS- = 1: n´: m. Garam NH4Fe(SO4)2.12H2O padat dilarutkan dalam akuabides sedikit demi sedikit sampai larut, kemudian ligan phen padat dengan perbandingan 1: n´ ditambahakan ke dalam larutan tersebut, kemudian ditambah dengan akuabides ± 5 ml. Campuran ini dipanaskan ± 80 °C (jangan sampai larutan mendidih), selanjutnya ditambahkan ligan gugus jembatan CNS- padat ke dalam larutan tersebut hingga perbandingan mol Fe(III) : phen: CNS- = 1: n´: m. Ketiga senyawa tersebut diaduk (jika belum larut sempurna bisa ditambahkan sedikit akuabides) dan dipanaskan ± 80 °C (jangan sampai larutan mendidih). Proses selanjutnya analog dengan sintesis senyawa koordinasi awal. Sintesis Senyawa Koordinasi Inti Ganda Berdasarkan penelitian sebelumnya yaitu pada senyawa koordinasi inti ganda 6+ [(phen)2(H2O)Cr(CNS )Cr(H2O)(phen)2] diketahui bahwa dua buah ligan gugus jembatan CNS 3+ mampu menggantikan sebuah ligan bidentat phen pada senyawa koordinasi [Cr(phen)3] . Hal ini berarti hanya satu sisi koordinasi pada ligan gugus jembatan yang berikatan dengan ion atom pusat Cr(III), sedangkan sisi koordinasi yang lain masih bebas dan sisi koordinasi yang masih bebas ini dapat mengikat ion logam lain (Rahadjeng, 1997). Berdasarkan hal tersebut maka akan dilakukan sintesis senyawa koordinasi inti ganda dengan menggunakan logam Fe(III) yang memperlihatkan adanya dua buah sisi koordinasi ligan gugus jembatan CNS- yang terikat pada dua buah ion Fe(III) (Rahadjeng, 1997). Garam NH4Fe(SO4)2.12H2O padat, ligan phen padat dan CNS padat ditimbang dengan perbandingan mol Fe(III) : phen: CNS = 2 : 2n´ : 1. Garam NH4Fe(SO4)2.12H2O padat dilarutkan dengan akuabides sedikit demi sedikit sampai benar-benar larut dan ligan phen padat dengan perbandingan 2 : 2n´ dicampur ke dalam larutan tersebut, kemudian ditambah dengan akuades ± 5 ml. Campuran ini diaduk dan dipanaskan ± 80 °C (jangan sampai larutan mendidih), selanjutnya ditambahkan ligan gugus jembatan CNS- padat ke dalam larutan tersebut hingga perbandingan mol Fe(III): phen: CNS = 2 : 2n´ : 1. Ketiga senyawa tersebut dicampur, ditambah 5-10 ml akuabides dan dipanaskan ± 80 °C (jangan sampai larutan mendidih). Proses selanjutnya analog dengan sintesis senyawa koordinasi awal.
AF-83
Karakterisasi Senyawa Koordinasi Semua senyawa koordinasi yang disintesis akan dikarakterisasi dengan Spektrofotometer UV- VIS Beckaman DU 7500, Spektrofotometer Simadzhu, Jasco FT-IR 5300 Spektrofotometer, X-ray Diffractometer Jeol JDX-3530, dan Magnetic Susceptibility Balance. 3. Hasil dan Pembahasan Pada penelitian ini telah disintesis senyawa koordinasi inti ganda dari ion pusat besi(III) dan ligan phen dengan ligan jembatan CNS . Proses sintesis senyawa koordinasi inti ganda ini melewati tiga tahap sintesis yaitu sintesis senyawa koordinasi besi(III)-phen yang merupakan senyawa awal kemudian sintesis senyawa koordinasi besi(III)-phen-CNS- yang merupakan senyawa intermediet dan yang terakhir adalah sintesis senyawa koordinasi inti ganda besi(III)phen dengan ligan jembatan CNS . Hasil penentuan stoikiometri senyawa koordinasi terlihat pada tabel berikut:
Senyawa Koordinasi Awal Intermediet Inti Ganda
Tabel 1. Penentuan Stoikiometri Senyawa Koordinasi Mol Fe(III) Mol phen 1 3 1 2 2 4
Mol CNS 2 1
Hasil sintesis senyawa koordinasi diperoleh tiga kristal yang berbeda seperti pada gambar di bawah ini :
Senyawa koordinasi awal
Senyawa koordinasi awal perbesaran 1000X
Senyawa koordinasi intermediet
Senyawa koordinasi intermediet perbesaran 1000X
Senyawa koordinasi inti ganda
Senyawa koordinasi inti ganda perbesaran 1000X . Gambar 1. Senyawa Koordinasi dan Perbesarannya
Jika dilihat bentuk kristal perbesaran 1000X terlihat bahwa senyawa kordinasi awal dan senyawa koordinasi inti ganda berbentuk kristalin sedangkan senyawa intermediet berbentuk amorf. Hal ini didukung dengan peak-peak difraktogram senyawa koordinasi awal dan senyawa koordinasi inti ganda yang tajam sedangkan peak difraktogram senyawa koordinasi intermediet tidak tajam seperti pada gambar berikut :
AF-84
Difraktogram senyawa koordinasi awal
Difraktogram senyawa koordinasi intermediet
Difraktogram senyawa koordinasi inti ganda Gambar 2. Difraktogram senyawa koordinasi Hasil analisis senyawa koordinasi dengan spektrofotometri UV-VIS memberikan panjang gelombang maksimum seperti pada tabel berikut: Tabel 2. Panjang Gelombang Maksimum Senyawa Koordinasi Senyawa Koordinasi λ maksimum (nm) Awal 521 Intermediet 503 Inti Ganda 466 dan 476 Hasil analisis IR menunjukkan bahwa serapan untuk vibrasi Fe-N dari ligan fenantrolin muncul pada daerah bilangan gelombang antara 222-379 cm-1. Secara teoritis vibrasi Fe-N dari ligan -1 -1 fenantrolin akan muncul pada 222 cm jika high spin dan 379 cm jika low spin ( Nakamoto, 1978). Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa ligan yang terikat pada masing-masing senyawa koordinasi tidak mutlak kekuatannya dalam menggeser ligan agar berpasangan untuk membentuk low spin atau high spin. Sehingga vibrasi Fe-N dari ligan fenantrolin muncul -1 diantara daerah bilangan gelombang high spin dan low spin yaitu sebesar 320, 2 cm untuk -1 -1 senyawa koordinasi awal , 351 cm untuk senyawa koordinasi intermediet , 339,4 cm untuk senyawa koordinasi inti ganda. Vibrasi ulur O-H dari ligan H2O yang terkoordinasi pada senyawa inti ganda terlihat jelas dengan ditandai adanya spektrum yang melebar di daerah -1 bilangan gelombang 3444,6 cm . Vibrasi ulur C=C aromatis pada ketiga senyawa koordinasi hasil sintesis terlihat jelas dengan adanya spektrum yang tajam di daerah panjang gelombang 1650 – 1450 cm-1. Vibrasi ulur C=N ligan CNS- bebas hanya terlihat pada senyawa koordinasi intermediet dan senyawa koordinasi inti ganda yaitu ditandai dengan munculnya serapan di -1 daerah bilangan gelombang 2140 – 2029 cm , sedangkan vibrasi C=N ligan CNS yang terkoordinasi dengan logam besi muncul di daerah serapan yang lebih rendah yaitu di 850-800 cm-1. Hal ini dikarenakan vibrasi ligan CNS- yang sudah terikat dengan besi akan menjadi lebih lemah jika dibandingkan vibrasi ligan CNS- bebas, sehingga serapannya terjadi pada frekuensi yang lebih rendah. Serapan senyawa koordinasi awal dan senyawa koordinasi inti ganda -1 terdapat serapan yang sama yaitu pada daerah bilangan gelombang 424,3 cm . Ini merupakan serapan yang khas yang dimiliki senyawa koordinasi dan berasal dari vibrasi logam-ligan.
AF-85
Hasil analisis sifat kemagnetan senyawa koordinasi ditunjukkan pada tabel berikut : Tabel 3. Hasil Momen Magnet Senyawa Hasil Sintesis Senyawa Koordinasi Momen magnet (BM) Awal 1,68 Intermediet 4,27 Inti Ganda 2,82 3+
Berdasarkan data di atas terlihat bahwa senyawa awal [Fe(phen)3] memiliki nilai momen magnet yang paling kecil. Hal ini dikarenakan pada senyawa ini ligan phen yang terikat termasuk ligan kuat karena kemampuannya membentuk khelat, sehingga jumlah elektron yang tidak berpasangan pada orbital d logam Fe yang seharusnya lima buah menjadi lebih sedikit karena didesak ligan untuk berpasangan. Nilai 1,68 BM mendekati nilai 1,73 BM yaitu nilai teoritis momen magnet untuk satu elektron yang tidak berpasangan. Senyawa intermediet [Fe(phen)2(CNS)2]+ memiliki nilai momen magnet yang lebih besar yaitu sebesar 4,27 BM. Hal ini dikarenakan satu ligan phen yang terikat disubstitusi oleh ligan CNS yang kekuatan ligannya lebih lemah. Sehingga kekuatannya untuk mendesak elektron untuk berpasangan menjadi berkurang. Nilai momen magnet 4,27 BM mendekati nilai 4,90 BM yaitu nilai teoritis momen magnet untuk empat elektron yang tidak berpasangan. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Senyawa koordinasi inti ganda besi(III)-fenantrolin dengan ligan jembatan CNS- dapat disintesis dengan mereaksikan besi(III) dari senyawa (NH4)2Fe(SO4)2 ·12H2O, ligan fenantrolin serta ligan jembatan CNS sesuai dengan perbandingan stoikiometri besi(III) : fenantrolin : CNS = 2 : 4 : 1. 2. Dari hasil sintesis ini diperoleh kristal berwarna coklat tanah dan dengan perbesaran 1000 kali diperoleh bentuk kristal jarum. Hasil analisis spektroskopi UV-VIS diperoleh nilai panjang gelombang maksimumnya sebesar 466 nm dan 476 nm. Spektrum IR senyawa ini menunjukkan adanya vibrasi Fe-N dari ligan fenantrolin, vibrasi ulur C=N dari ligan CNSbebas, vibrasi C=N dari ligan CNS- yang berinteraksi dengan besi, vibrasi ulur O-H dari ligan H2O, dan vibrasi logam-ligan. Spektrum XRD senyawa ini memberikan puncak yang tajam sehingga dapat dipastikan senyawa ini berbentuk kristal. Analisis dengan Magnetic Susceptibility Balance diperoleh harga momen magnet sebesar 2,82 BM. Daftar Pustaka Balzani V., Juris A., Venturi M.,(1996), Luminescent and Redox-Active Polynuclear Transition Metal Complexes, Chem Rev., 96, 759-833. Basolo, F and R.C Johnson., (1964), Coordination Chemistry, The Chemistry of Metal Complexes, W.A Benjamin Inc, California. Bignozzi C.A., Argazzi R., Chiorboli C., Scandola F., Dryer R.B., Schoonover J.R., Meyer T.J.,(1994), Vibrational and Electronic Spectroscopy of Electronically Excited Polychromophoric Ruthenium (II) Complexes, Inorg.Chem., 33, 1652-1659. Brisdon, Alan K., (1998), Inorganic Spectroscopic Methods, Oxford University Press Inc, New York Butler I.S., Harrod J.S., (1989), Inorganic Chemistry, Principles and Apllications, Benjamin/Cumings PbI.Co.Inc, California. De Vito, D., Weber, J., Merbach, A, E., Calculated Volume and Energy Profiles for Water Exchange on t2g Rhodium (III) and Iridium (III) Hexaaquaions :Conclusive Evidence for an Ia Mechanism. Hagadorn J.R., et al., (1999), Conformational Tuning of Valence Delocalization in Carboxylate-Rich Diiron Complexes, American Chemical Society., 121, 9760-9761. Hendayana, Sumar., dkk., Kimia Analitik Instrumen, Edisi Kesatu, IKIP Semarang Press, Semarang Huheey Y.E., (1978), Inorganic Chemistry, Principles of Structure and Reactivity, Second Edition., Harper International Edition, New York. II III Jahro Iis S., dkk., (2005), Sintesis dan Karakterisasi Senyawa Kompleks Polimer {Mn Cr (C2O4)3][Fe(NH2trz)3]Cl}.6H2O,Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Lever, A.B.P., (1984), Inorganic Electronic Spectroscopy, Second Edition, El Sevier Science B.V, Netherlands. Martak Fahimah., dkk., (2005), Sintesis Kompleks Fe(II)-Cr(III) Oksalat, Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung.
AF-86
Mickey C.D., (1981), Some Aspects of Coordination Chemistry, J.Chem.Educ., 58, 3, 257-262. Miessler G.L., Tarr D.A., (1991), Inorganic Chemistry, Prentice-Hall International Inc: New Jersey. Nakamoto K., (1978), Infrared and Raman Spectra of Inorganic and Coordination Compound, Third Edition., John Wiley and Sons Inc, New York. th O’Neil, Maryadete, J., (2001), The Merck Index, 13 edition, Published by Merck Research laboratories. Rahadjeng S., (1987), Senyawa Koordinasi, Struktur, Teori dan Reaksi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Airlangga, Surabaya. Rahadjeng S., (1997), Sintesis dan Karakteristik Senyawa Koordinasi Inti Ganda Krom (III) –polipiridil dengan Ligan Gugus Jembatan 4,4’Bipiridin dan Pyrazin, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta. Shriver D.F., Atkins P.W., Langford C.H., (1990), Inorganic Chemistry, Oxford University Press, Oxford. Silverstein R.M., Basller G.C., and Morril T.C., (1974), Spectroscopic Identification of Organic Compounds, John Wiley and Sons Inc, California. Sukardjo., 1985, Kimia Koordinasi, Edisi Pertama, PT Bina Aksara, Jakarta. Surdia, N.M., 1984, Difraksi Sinar X, LPPM ITB, Bandung. Szafran Z., Pike R.M., Singh M.M., 1991., Microscale Inorganic Chemistry, A Comprehensive Laboratory Experience, John Wiley and Sons Inc, USA. Tapolsky G., Duesing R., Meyer T.J., 1991, Solvent Control of Electronic Distribution in the MLCT Excited States of [(bpy)(CO)3Re’(4,4’-bpy)Re’(CO)3(bpy)]2+, J.Phys.Chem, 95, 1105-1112. Van Holde K.E., 1990, Biochemistry, The Benjamin Cummings Publishing Company Inc, California. Vogel A.I., 1990, Buku Teks Analisis Anorganik Kuantitatif Makro dan Semimikro, Edisi Kelima, Terjemahan oleh L.Setiono dan A. Hadyana P. Cetakan Kedua, PT.Kalman Media Pusaka, Jakarta.
AF-87
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Peranan Asam Akrilat Terhadap Kompatibilitas Poliblen Polipropilena dan Karet Alam Sir-20 dengan Bahan Pengisi Cangkang Sawit Irfan Mustafa Jurusan Kimia Fakultas MIPA, Universitas Syiah Kuala Email :
[email protected]
Abstrak Penelitian tentang pencampuran (poliblen) antara polipropilena, karet alam SIR 20, serbuk cangkang sawit dengan benzoil peroksida dan asam akrilat telah dilakukan. Penambahan asam akrilat sebagai jembatan penghubung dapat meningkatkan kompatibilitas poliblen. Proses pencampuran dilakukan dengan metode refluks menggunakan pelarut xylena pada temperatur 140oC selama 3 jam. Hasil uji mekanis optimum diperoleh pada penambahan asam akrilat 5% yaitu kekuatan tarik 0,87 Kgf/mm2, kemuluran 9,67% dan uji waktu getas 195 menit. Pengujian mikroskopis elektron payaran terlihat permukaan yang terdistribusi secara merata (kompatibel), sedangkan analisa spektroskopi infra merah menunjukkan adanya interaksi ikatan antara campuran, baik secara homopolimerisasi maupun ikatan silang Kata Kunci : Poliblen, kompatibilitas, refluks, ikatan silang, homopolimerisasi
1. Pendahuluan Polipropilena merupakan salah satu bahan baku utama termoplastik yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Banyaknya penggunaan dan pemakaian plastik dalam kehidupan, telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dengan adanya sampah plastik. Sifat-sifat plastik antara lain: tidak dapat membusuk atau terurai secara alami dan tidak dapat menyerap air,se- hingga sampah plastik dapat dipakai kembali walaupun mengalami sedikit perubahan sifat fisika dan kimia (Al-Malaika,1983). Salah satu alasan penting lainnya yang melatar belakangi penelitian ini adalah kenyataan bahwa di Indonesia terdapat banyak perkebunan kelapa sawit yang produksinya setiap tahun terus meningkat. Limbah padat yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit belum termanfaatkan secara maksimal. Beberapa penelitian telah menggunakan serbuk tandan kosong sawit, pelepah dan batang sawit sebagai bahan pengisi termoplastik polipropilena sampai kadar 35% (Wirjosentono,1996). Serbuk kelapa sawit telah digunakan sebagai bahan pengisi dalam matriks karet alam (Ismail dan Hasliza,1999). Ismail dan Jaffri (1999) telah menggunakan serbuk tandan kosong sawit sebagai bahan pengisi poliblen, polioleofin yang dapat terdegradasi oleh mikroba dan cuaca. Pencampuran antara bahan pengisi serbuk cangkang sawit dengan polipropilena memerlukan teknik pengolahan tersendiri dan tidak dapat dilakukan secara konvensional. Salah satu teknik pengolahan reaktif yang secara defenisi diartikan sebagai pengolahan bahan polimer, bersama bahan aditif dan melibatkan reaksi kimia selain proses pencampuran fisis. Teknik pengolahan reaktif ini dapat digunakan dalam berbagai bidang teknologi polimer mulai dari pencampuran, pembuatan poliblen, pengolahan dan modifikasi. Diharapkan hasil akhir dari modifikasi tersebut adalah kenaikan kompatibilitas polimer dengan bahan pengisi. Pencampuran termoplastik polipropilena yang diperkuat serbuk cangkang sawit cenderung tidak berlangsung secara homogen. Hal ini disebabkan sifat bahan polimer komponennya yang mempunyai kepolaran yang berbeda sehingga menghasilkan poliblen dengan pencampuran rendah. Apabila keduanya dicampur akan menbentuk suatu sistem polar-nonpolar yang tidak menimbulkan interaksi antara kedua bahan polimer tersebut. Pengolahan kedua sistem polimer,
AF-88
perlu penambahan lain yang berfungsi sebagai jembatan penghubung diantara campuran agar meningkatkan kompatibilitasnya (Wirjosentono, 1999). Rendahnya kompatibilitas antara polimer dan bahan pengisi disebabkan lemahnya adhesi matriks polimer hidrokarbon pada permukaan bahan pengisi sehingga hanya berinteraksi secara fisik. Kepolaran yang berbeda memerlukan suatu gugus polar pada fase permukaan yang dapat terbentuk bila senyawa peroksida ditambahkan pada matriks polimer (Sain, 1994). Penelitian Yulismar (2001) memperlihatkan bahwa dalam proses pencampuran antara polipropilena dengan adanya pulp tandan kosong sawit, karet alam, benzoil peroksida dan asam akrilat menggunakan labu plastomil menghasilkan kompatibilitas yang homogen. Derajat ikatan silang dari campuran karet alam dan polipropilena tersebut meningkat sehingga kekuatan tarik dan ketahanan terhadap pelarut juga meningkat. Proses pencampuran antara polipropilena-karet alam SIR 20-serbuk cangkang sawit dengan jembatan penghubung asam akrilat, penambahan karet alam SIR 20 terutama untuk meningkatkan kekerasan dan merupakan cara penting untuk meningkatkan kualitas polipropilena. Karet merupakan salah satu polimer alam yang mempunyai kekuatan tarik tinggi, elastisitas dan kekuatan tumbuk yang baik, serta memiliki sifat elastis dan kuat tarik yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pemelastis dalam poliblen dengan tingkat kompatibilitas yang lebih baik. 2. Eksperimen Penelitian utama dilaksanakan di laboratorium kimia fisika dan Laboratorium Penelitian Jurusan Kimia FMIPA Unsyiah Banda Aceh. Untuk karakterisasi dilaksanakan di Laboratorium Polimer USU dan Laboratorium Kimia Organik UGM. Pembuatan poliblen Blending polipropilena, karet alam SIR 20, serbuk cangkang sawit, yang dilarutkan dalam xilena dan ditambahkan benzoil peroksida, dan asam akrilat disesuaikan dengan komposisi (tabel 1). Tabel 1. Komposisi poliblen polipropilena/ karet alam SIR-20/cangkang sawit/benzoil peoksida/asam akrilat Komposisi (%) No PP KA SIR 20 CKG SWT BPO As. Akr 1 51 34 15 0.5 1 2 51 34 15 0.5 3 3 51 34 15 0.5 5 4 48 32 20 0.5 1 5 48 32 20 0.5 3 6 48 32 20 0.5 5 7 42 28 30 0.5 1 8 42 28 30 0.5 3 9 42 28 30 0.5 5 Polipropilena terlebih dahulu dimasukkan kedalam alat refluks , karet alam SIR 20 dan serbuk cangkang sawit dengan pelarut xylena. Kemudian ditambahkan benzoil peroksida dan o asam akrilat, refluks hingga homogen. Proses blending dilakukan pada temperatur 140 C selama 3 jam sehingga diperoleh poliblen polipropilena/karet alam SIR 20/serbuk cangkang sawit/benzoil peroksida/asam akrilat. Poliblen cair yang terbentuk, kemudian dituang pada cawan petri, dibiarkan sampai o semua pelarut menguap dan dimasukkan kedalam open pada suhu 40 C sehingga didapat o poliblen kering. Campuran dicetak tekan panas pada suhu 175 C akan didapat film campuran polimer lalu dicetak menjadi specimen. Pembuatan Film Specimen Poliblen Dua gram poliblen diletakkan di antara lempengan baja yang berukuran 15x15 cm yang terlebih dahulu dilapisi dengan lembaran aluminium. Lempengan kemudian diletakkan di antara o pemanas mesin pencetak tekan yang di panaskan pada suhu 175 C selama 3 menit tanpa
AF-89
tekanan. Pemanasan dilanjutkan selama 3 menit pada suhu 175oC dengan tekanan 90 kN, kemudian kedua lempengan baja segera diambil dan didinginkan dengan air pendingin. Perlakuan ini dilakukan untuk semua komposisi campuran (wirjosentono, B, 1996) Karakterisasi poliblen a. Pengujian sifat mekanik Spesimen yang digunakan untuk uji kekuatan tarik berdasarkan ASTM-D638, dilakukan dengan alat uji tarik terhadap tiap spesimen dengan ketebalan 1 mm dan ukuran spesimen. Alat dikondisikan pada beban 100 kgf dengan kecepatan penarikan 10 mm/menit Data pengukuran tegangan dan regangan diubah menjadi kuat tarik. b. Pengujian stabilitas termal (waktu getas) Specimen yang telah dipotong dengan ukuran 20x30 mm dipanaskan didalam oven dengan suhu konstan 140oC. Lalu diuji kegetasan specimen dengan melipat specimen 180o dan dicatat waktu getas masing-masing specimen. c. Pengujian lanjutan Analisa ini menggunakan mikroskopis elektron payaran (SEM) dan spektroskopi infra merah fourier transform (FT-IR) 3. Hasil dan Pembahasan Secara tekhnologi, campuran polimer yang dihasilkan dengan metode campuran lelehan (Melt mixing) lebih baik daripada pencampuran dalam larutan. Buruknya interaksi antara bagian-bagian molekul (adhesi), menyebabkan tingginya tegangan antarmuka lelehan yang mengakibatkan sulitnya mendispersikan komponen penyusun sebagaimana mestinya selama pencampuran, sehingga berakibat dininya kegagalan mekanik dan kerapuhan campuran polimer. Cara untuk mengatasi masalah ini dinamakan kompatibilisasi (Al-Malaika, S., 1997). Kompatibilitas merupakan beberapa proses yang mempertinggi sifat-sifat campuran untuk membuatnya lebih berguna. Polimer yang lebih kompatibel secara termodinamik memberikan pencampuran yang lebih baik. Hal ini disebabkan oleh ukuran yang dihasilkan selama pencampuran lebih kecil dan volume antara fase juga lebih kecil [8]. Karakterisasi Sifat Mekanis Pengujian sifat mekanis bahan polimer dilakukan untuk mendapatkan data pencampuran suatu bahan. Berdasarkan data uji tarik ini akan diperoleh kurva tegangan regangan (stress-strain). Informasi yang diperoleh dari kurva tegangan regangan itu adalah kekuatan tarik saat putus dan perpanjangan pada saat putus dari bahan [9]. Pengujian sifat mekanis penting untuk melihat tingkat kompatibilitas suatu campuran polimer dan menentukan campuran polimer yang akan dipilih sesuai dengan sifat mekanis yang diinginkan. Tabel 2. Hasil uji tarik pencampuran polipropilena/karet alam/cangkang sawit/benzoil peroksida/asam akrilat dengan kekuatan tarik (kgf/mm2) dan kemuluran (%) Komposisi (%) σ ε No (kekuatan tarik) KA SIR CKG As. (kemuluran) PP BPO kgf/mm 20 SWT Akr 1 2 3 4 5 6 7 8 9
51 51 51 48 48 48 42 42 42
34 34 34 32 32 32 28 28 28
15 15 15 20 20 20 30 30 30
0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
1 3 5 1 3 5 1 3 5
0,22 0,34 0,49 0,29 0,41 0,68 0,39 0,47 0,87
2,77 3,13 5,88 3,04 5,55 8,82 5,55 5,71 9,67
AF-90
Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat bahwa pencampuran dengan penambahan asam akrilat ternyata dapat meningkatkan sifat mekanis poliblen. Data uji tark menunjukkan terjadinya peningkatan kekuatan tarik pada komposisi 9 dengan nilai 0,87 Kgf/mm2 dan kemuluran 9,67%. Secara mekanisme reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : ROOR H (PP) 2RO + CH2=CHCOOH (PP Rad) ROH +CH2=CHCOOH
ROCH2-CH-COOH + CH2=CHCOOH ROCH2-CH-COOH
CH2-CH-COOH CH2CHCOOH (Ikatan silang antara PP dgn as.akrilat)
(Homopolimerisasi asam akrilat)
Gambar 1. Reaksi Pembentukan Radikal antara BPO dengan Asam Akrilat pada Polipropilena. Telah dilaporkan bahwa kompatibilitas campuran polimer dapat diukur dari besarnya kekuatan tarik dan kemuluran bahan polimer setelah pencampuran Kompatibilitas bahan polimer dengan polimer lain dipengaruhi oleh komposisi masing-masing komponen dalam campuran. Hal ini disebabkan oleh interaksi yang terjadi antara matrik polipropilena/karet alam dan selulosa (cangkang) menjadi lebih baik dengan adanya asam akrilat sebagai jembatan penghubung antara gugus non polar pada polipropilena / karet alam dan polar dari selulosa. Demikian pula dengan adanya bahan karet dalam poliblen menyebabkan peningkatan kemuluran, karena sifat karet sebagai bahan elastomer dan tahan goresan, sehingga memberikan kekuatan tarik optimal. Uji Degradasi Termal (Waktu Getas) Uji degradasi termal dilakukan dengan pengamatan waktu getas dari spesimen poliblen. Pengukuran dilakukan saat terjadi degradasi terhadap spesimen poliblen dengan berbagai komposisi setelah pemanasan pada suhu 140oC. o
Tabel 2. Hasil pengukuran waktu getas Poliblen polipropilena ( T = 140 C) Komposisi (%) Waktu getas No CKG (menit PP KA SIR 20 BPO As. Akr SWT 51 34 15 0.5 1 30 1 2 51 34 15 0.5 3 90 3 51 34 15 0.5 5 165 48 32 20 0.5 1 60 4 5 48 32 20 0.5 3 105 6 48 32 20 0.5 5 165 7/ A 42 28 30 0.5 1 75 8/ B 42 28 30 0.5 3 150 9/ C 42 28 30 0.5 5 195 Data pengukuran waktu getas ( tabel 2 ) memperlihatkan pengaruh asam akrilat terhadap waktu degradasi termal (getas) bahan polimer. Dicontohkan poliblen dengan komposisi no.1 menunjukkan waktu getas paling rendah, hal ini dimungkinkan dengan masih adanya epoksi karet alam yang memiliki struktur ikatan tidak jenuh, akibatnya memicu proses degradasi. Penambahan asam akrilat mampu mengatasi masalah tersebut dengan menjadikan
AF-91
rantai polipropilena atau karet memiliki cangkokan polar. Adanya gugusan ini, diharapkan dapat berinteraksi dengan senyawa yang bersifat polar. Dengan demikian jelaslah bahwa tingkat kompatibilitas sangat berpengaruh terhadap daya termal polimer, dimana peningkatan waktu getas berbanding lurus dengan kenaikan kekuatan mekanis bahan. Disisi lain, derajat kompatibilitas juga digambarkan sebagai kekuatan interaksi yang terjadi antara rantai-rantai polimer, sehingga membentuk campuran yang homogen. Kompatibilitas yang baik dapat diartikan bahwa serat sudah terdistribusi secara merata, berdasarkan analisa penyinaran Mikroskopis elektron payaran (SEM). (gambar 2).
(a) (b) (c) Gambar 2. Foto SEM poliblen berdasarkan kandungan asam akrilat : a) Poliblen Tipe A (1g) b) Tipe B (3g) c) Tipe C (5g) Analisis SEM membantu untuk mengetahui bentuk dan perubahan permukaan dari suatu bahan. Pada prinsipnya bila terjadi perubahan pada suatu bahan misalnya patahan, lekukan dan perubahan strukturnya dari permukaan maka bahan cenderung mengalami perubahan energi. Energi yang berubah tersebut dapat dipancarkan, dipantulkan dan diserap serta diubah bentuknya menjadi fungsi gelombang elektromagnetik lainnya yang dapat ditangkap dan dibaca pada foto. Pencampuran polipropilena, karet alam SIR 20, cangkang sawit, benzoil peroksida, asam akrilat menghasilkan kompatibilitas yang lebih tinggi dengan permukaan campuran yang lebih merata (Gambar 2. Tipe C dibandingkan A dan B ) Kenaikan kompatibilitas pencampuran tersebut menunjukkan adanya peranan asam akrilat sebagai jembatan penghubung antara matriks polipropilena dengan serbuk pengisi cangkang sawit. Adanya benzoil peroksida berperan menginisiasi reaksi ikatan rangkap asam akrilat dengan rantai karet alam atau polipropilena sedangkan gugus karboksilat dari asam akrilat akan berinteraksi dengan gugus hidroksil dari rantai selulosa cangkang sawit. Analisis Gugus Fungsi dengan FT-IR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy) Analisis dengan spektroskopi infra merah dilakukan untuk mengidentifikasi adanya perubahan gugus fungsi yang terdapat pada poliblen polipropilena. Perbandingan posisi absorpsi dalam spektrum infra merah suatu sampel dengan daerah absorpsi karakteristik, menunnjukkan identifikasi pada keberadaan ikatan dan gugus fungsi dalam polimer. a. Analisis FT-IR Polipropilena komersial Spektrum FT-IR polipropilena komersial (Gambar 3) menunjukkan serapan pada 2723,3 cm-1 merupakan khas polipropilena (CH) tersier, data ini didukung uluran CH2 pada 1400 cm-1 dan 1300-1100 cm-1 juga merupakan serapan CH. Sidik jari (finger print) pada 800-1 -1 700 cm menunjukkan adanya CH3 dan 840 cm adalah (CH2)n memanjang.
AF-92
Gambar 3. Spektrum FT-IR Polipropilena b. Analisis FT-IR Poliblen polipropilena/KA SIR-20/Cangkang sawit/Asam akrilat Spektrum pada Gambar 4 menunjukkan telah terjadi interaksi antara polipropilena, karet alam dan cangkang sawit, hal ini ditunjukkan dengan munculnya puncak serapan pada -1 -1 daerah bilangan gelombang 2962,5 cm – 2869,9 cm khas untuk C-H dari polipropilena dan karet alam, yang didukung oleh munculnya serapan bilangan gelombang pada daerah 1377,1 cm-1 dan 1458,1 cm-1 khas untuk cangkang sawit.
Gambar 4. Spektrum FT-IR Poliblen Polipropilena, karet alam SIR-20, cangkang sawit, benzoil peroksida dan asam akrilat (5 g) -1
Puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 3421,5 cm adalah khas untuk gugus OH dari cangkang sawit yang didukung oleh munculnya puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 1045,3 cm-1. adanya puncak pada serapan bilangan gelombang 1716,5 cm-1 merupakan pita serapan gugus karbonil C=O dari asam akrilat. Akan tetapi munculnya -1 bilangan gelombang pada 1616,2 cm menunjukkan adanya ikatan C=C yang serapannya menurun. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan C=C dari asam akrilat telah mengalami pengurangan sehingga ikatan antara poliblen lebih baik secara homopolimerisasi maupun secara ikatan silang.
AF-93
4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Uji kompatibilitas dengan analisa mikroskopis diperoleh poliblen polipropilena dapat terdistribusi secara merata dan kompatibel karena adanya asam akrilat sebagai jembatan penghubung antara polipropilena dengan cangkang sawit. 2. Hasil pengujian mekanik dari poliblen didapatkan optimum pada komposisi Polipropilena 42%, Karet alam SIR-20 28%, Cangkang sawit 30%, Benzoil peroksida 0,5% dan Asam akrilat 5%. 3. Hasil analisa FT-IR yang diperoleh, menunjukkan adanya interaksi kimia diantara bahanbahan penyusun poliblen. Penghargaan Peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Prof.Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D, Bapak Dr.Ir. Purboyo, M.Sc, Bapak Dr.Harry Agusnar M.Phill serta ibu Dr. Ir Marlina M.Si yang telah banyak membantu selama penelitian ini dilaksanakan Daftar Pustaka Al-Malaika, S. and G. Scot, 1983, “Degradasi and Stabilisation of Polyoleofins”, App. Sci.Publ, Ltd. London. Al-Malaika, S., 1997, “Reactive Modifiers For Polymers”, Blackie Academic and Proffesional, London. Billmeyer, W.F., 1984, “Textbook of Polymer Science”, 3ed, John Wiley and Sons, New York. Brown,S.B.,1992,”strategis for Compatibilization of Imiscible Polymer Blends”, Proceeding of 34th, IUPAC International Symposium on Macromolekuler, Prague, 13-18 July. Ismail, H. and R. M. Jafri, 1999, “Physico-Mechanical Properties of Oil Palm Wood Flour Filled Natural Rubber”, Polymer testing, 18(5),381-388. Ismail, H. and N. Hasliza 1999,”Effect of Bounding Agent on the Mechanical properties of the Composite made of Natural Rubber and Oil Palm Empty Fruit Bunches”, J.Polymer-Plastic Technology and Engineering, 38(1),137-148. Sain MM, Kokta BV, 1994, “Polyoleofin-Wood filler composite I, performance of m-Phenylene BismalinideModified wood fiber in PP Composite”, J.Appl.Polymer Sci Citation-54 No.10 P.1545-1559. Wirjosentono, B, (1996), “Compatibilitation of Pulp Filler in Polyethylene matrix”, The Proceeding of International Work Shop on Green Polymer, bandung- Bogor. Yulismar, (2001), “Peranan Karet Alam SIR-20 Terhadap Kompatibilitas Polipropilena dengan Bahan Pengisi Pulp Tandan Kosong Sawit”, Tesis S2 Universitas Sumatera Utara Medan.
AF-94
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Sintesis Mangan Oksida dan Penentuan kelebihan Oksigen δ dalam MnO1+δδ dengan TGA dan Iodometri Irmina K. Murwani*, Michael Feist1 dan Erhard Kemnitz1 *Jurusan Kimia, FMIPA, ITS, Kampus ITS Keputih Sukolilo, Surabaya Institute of Chemistry, Berlin Humboldt University, Brook Taylor Straße 1-2, 12489 Berlin
1
Abstrak Padatan Mangan Oksida disintesis melalui metode sol-gel asam fumarat, pengeringan suhu rendah (freeze drying) dan metode padatan. Luas permukaan yang lebih besar diperoleh 3 dengan metode sol-gel sebesar 6,46 dan 15,07 cm /g dengan kandungan karbon 0,0060,034%. Struktur simetri yang terbentuk adalah kubus dan tetragonal yang dipengaruhi oleh kondisi kalsinasi. MnO2 diperoleh dengan kalsinasi 400°C sedangkan Mn 2O3 pada suhu 600°C. kelebihan oksigen δ dalam MnO1+δ yang ditentukan dengan analisis TGA dan Iodometri bernilai antara 0,512 – 1. Spesies campuran Mn yang berupa Mn4+ dan Mn3+ ditemukan pada Mangan Oksida yang disintesis dengan metode SG-FA. Hasil TG dikonfirmasi dengan profil TPR menunjukkan tahapan proses reduksi yang sama untuk sampel Mn2O3 dan MnO2 yang menunjukkan reduksi dua tahap menghasilkan MnO. Kata kunci : Mangan Oksida, TGA, Iodometri, MnO1+δ 1. Pendahuluan Dalam sistem oksida, mobilitas oksigen dalam fasa padat dan interaksinya dengan oksigen dalam fasa gas adalah faktor penentu sifat permukaan dari sampel [1]. Seperti dalam Perovskite sistem mangan oksida, La1-xSrxMnO3+δ, adalah salah satu katalis yang menjanjikan untuk reaksi oksidasi [2]. Mekanisme reaksi berlangsung melalui reaksi redoks dimana Mn4+ 3+ dan Mn terlibat di dalamnya [3]. Sifat-sifat padatan seperti aktivitas, selektivitas dan stabilitas adalah penentu kekuatan katalis dipengaruhi oleh struktur [4] dan sifat permukaan padatan. Dalam penelitian tersebut padatan yang memiliki oksigen berlebih mempunyai aktivitas oksidasi yang tinggi. Selain itu kadar Mn dengan bilangan oksidasi yang tinggi sangat mempengaruhi oksigen yang terikat di dalam padatan. Oleh karena itu informasi jumlah oksigen yang terikat dalam padatan dan spesies Mn yang dikandung oleh padatan tersebut sangat diperlukan untuk memperoleh atau sintesis padatan yang potensial digunakan sebagai katalis. Metode yang dapat digunakan adalah dengan TGA (Thermal Gravimetric Analysis) dan Iodometri. Metode ini pada umumnya dapat digunakan untuk menentukan oksigen yang terikat dalam padatan yang berpartisipasi pada proses katalisis oksidasi juga konsentrasi spesies Mn yang berperan pada mekanisme reaksi katalisis oksidasi [5]. Pada laporan ini Mangan Oksida disintesis dengan metode terpilih hingga diperoleh Mangan Oksida yang hanya mempunyai keadaan oksidasi tunggal dan satu fasa dalam difrakrogram sinar X. Kemudian ditentukan strukturnya dengan XRD dan luas permukaan (SBET) dengan metode adsorpsi Nitrogen. Penentuan δ dalam MnO1+δ dengan TGA dan Iodometri dan hasilnya dikonfirmasi dengan TPR. 2. Eksperimen Sintesis Sampel Mangan Oksida (MnO1+δ) disintesis melalui metode sol-gel asam fumarat [6], pengeringan suhu rendah (freeze drying) dan metode padatan. Sintesis MnO1+δ (SG-FA) melalui metode Sol Gel diawali reduksi KMnO4 oleh asam fumarat dengan jumlah stoikiometris pada
AF-95
suhu kamar. Reduksi Mn(VII) diikuti secara visual sampai warna ungu hilang. Larutan NaCl ditambahkan untuk proses flokulasi MnO2 Gel transparan warna coklat akan diperoleh setelah pengadukan selama 40 menit. Gel dikeringkan pada suhu 90°C selama 6 jam hingga didapatkan xerogel. Padatan dicuci dengan asam sulfat, dinetralkan dengan larutan ammonia selanjutnya dicuci dengan akuades. MnO2 diperoleh dengan kalsinasi padatan tersebut pada suhu 400°C selama 24 jam dengan aliran udara 20mL/m in, sedangkan untuk Mn2O3 melalui kalsinasi padatan tersebut pada suhu 500°C dengan w aktu dan gas yang sama. MnO1+δ (FD) disintesis dengan metode pengeringan suhu rendah (freeze drying) melalui pengeringan larutan yang berasal dari campuran larutan Mn(NO3)2 dan larutan ammonia denga alat Christ Alpha 2-4 Freeze Dryer (LCD-1M control system). Padatan yang diperoleh dikalsinasi pada suhu 600°C selama 24 jam dengan aliran oksigen 20mL/min. Sintesis MnO1+δ (SS) dengan peguapan larutan Mangan Nitrat selama 6 jam pada suhu 190°C dengan aliran udara 20 mL/min dilanjutkan dengan kalsinasi pada suhu 400°C selama 24 jam dengan aliran oksigen 20mL/min. Karakterisasi Sampel Analisis kandungan karbon dalam sample dilakukan dengan elemental micro analysis techniques (CHNS 932, Leco Corp., St. Joseph. Mich., USA). Kristalinitas diuji dengan XRD melalui alat powder diffractometer XRD7 (Seiffert PM, Freiberg, Germany) dengan radiasi CuKα, λ=1,54056 Å. Kontanta kisi ditentukan dengan program TREOR [7]. Luas permukaan spesifik diukur melalui metode standard BET menggunakan adsorpsi N2 pada 77 K (ASAP 2000 system, Micromeritics). TPR diukur dengan AutoChem 2910 (Micrometric, USA) TPR profil direkam dengan kenaikan temperature program 5°C/min dari 30 sampai 1000°C. Campuran gas 5% H2 dalam Argon untuk mereduksi sample dan gas pembawa alat GC-TCD. Penentuan kelebihan oksigen dengan TGA dan Iodometri TGA Termogram diperoleh melalui Netzsch Netzsch STA 429 thermoanalyzer. Dalam STA 429 thermoanalyzer, sampel (10-20 mg) ditimbang melalui sistem mini-sample carrier Pt/PtRh10- thermocouple, cawan Pt dan α-Al2O3 sebagai referens. Dialirkan Gas 5% H2 dalam Argon (100 mL/min) disertai kenaikan temperatur dengan kecepatan 5°C/min dibagian yang lain krusibel kosong diperlakukan dengan hal yang sama. Analysis termogram (akurasi maximum 10-15%) dikalibrasi dengan metode standard yang direkomendasi.[8, 9]. Iodometry Perhitungan prosentase kandungan Mn(IV) dalam padatan dilakukan dengan metode iodometri. Titrasi iodometri dilakukan dengan Mettler DL70 titrator. Metode yang digunakan berdasarkan cara analisis yang diterangkan oleh Vogel [10, 11]. Pada analisis ini dibuat asumsi bahwa Mn yang ada dalam keadaan oxidation +3 dan +4. Sampel dengan massa tertentu dilarutkan dengan pengadukan dalam larutan 10 mL KI 10 wt% dan 2.5 mL HCl 2 M. Gas klor yang dihasilkan bereaksi dengan iodida membentuk Iodin. Dilanjutkan titrasi Iodin dengan larutan standard Natrium tiosulfat (0,05N) hingga dihasilkan larutan jernih tidak berwarna. 3. Hasil dan Pembahasan Pada sintesis Mangan Oksida (MnO1+δ) ini diusahakan sampai diperoleh padatan yang hanya mempunyai bilangan oksidasi tunggal. Oleh karena itu dilakukan pengamatan sintesis dengan berbagai suhu kalsinasi. Sampel yang digunakan untuk pengamatan ini adalah MnO1+δ (SG-FA). Reduksi KMnO4 oleh asam fumarat berlangsung cepat dan eksotermis. Pada reaksi ini terbentuk gel warna coklat dan dilanjutkan dengan pengeringan hingga terbentuk padatan hitam xerogel . Setelah pencucian padatan diamati dengan berbagai suhu kalsinasi, yang hasilnya terdapat pada Gambar 1.
AF-96
150°C 200°C
400 cps
* +
+
+
+
250°C + 350°C
Intensitas
400°C 450°C
* 475°C
*
500°C
*
*
* 550°C 600°C 650°C
20
30
40
2 Θ (°)
50
60
Gambar 1. Difraktogram MnO1+δ (SG-FA) pada berbagai suhu kalsinasi, * = puncak Mn2O3, + = puncak MnO2 Kalsinasi dengan aliran oksigen pada 400°C selama 1 2 jam menghasilkan MnO2 sedangkan diatas suhu tersebut dengan aliran gas dan waktu yang sama dihasilkan campuran MnO2 dan Mn2O3. Sesuai dengan literatur [12, 13, 14], MnO2 terkonversi menjadi to Mn2O3 dengan kalsinasi pada suhu di atas 420°C. Difraktog ram menunjukkan puncak tunggal Mn2O3 peaks yang dihasilkan dengan metode SG-FA dan kalsinasi pada suhu 600°C dengan aliran udara selama 12 jam. Puncak dengan intensitas lemah dari MnO2 muncul setelah kalsinasi pada 250°C. Puncak dengan intensitas kuat dari MnO2 diperoleh setelah suhu kalsinasi pada 400°C. Mn2O3 mulai terbentuk dengan pemanasan pada 475°C and Mn2O3 sebagai kristal tunggal terdeteksi setelah kalsinasi pada 600°C. Hasil ini sesuai dengan literatur [15], yang menyatakan bahwa fasa tunggal Mn2O3 terjadi setelah kalsinasi pada suhu ≥ 600°C. Difraktogram menunjukkan adanya campuran Mn2O3 dan MnO2 setelah kalsinasi pada 650°C. Selainmetode SG-FA method, metode freeze drying (FD) juga diaplikasikan untuk sintesis MnO2 dengan kalsinasi pada 600°C disertai aliran oksigen selama 12 jam. Metode yang lain yaitu metode padatan (SS) dikalsinasi pada suhu 400°C dengan aliran oksigen s elama 12 jam hingga dihasilkan fase MnO2 murni. Keempat sampel tersebut yang terpilih untuk pengamatan selanjutnya. Hasil karakterisasi sampel dari padatan yang terpilih dirangkum dalam tabel 1. SBET Luas permukaan spesifik SBET sampel MnO1+δ menurun dengan urutan : Mn2O3+α (SGFA) > MnO2+β (SG-FA) > Mn2O3+α (FD) > MnO2+β (SS). Kurva adsorpsi isotermal sampel ditampilkan pada Gambar 3. Dapat dilihat pada gambar 4 bahwa volume pori MnO2+β (SS) paling kecil. Mn2O3+α (SG-FA) and MnO2+β (SG-FA) mempunyai distribusi volume pori maksimum pada diameter pori 1100Å. Metode Sol Gel asam fumarat membentuk pori yang besar ditunjukkan dengan penurunan adsorpsi dan desorpsi N2 dengan urutan: Mn2O3+α (SGFA) > MnO2+β (SG-FA)> Mn2O3+α (FD) > MnO2+β(SS). Sampel MnO2+β(SS) mempunyai luas area dan volume adsorpsi yang kecil meskipun diameter pori lebih besar dari yang lain. SBET sampel MnO1+δ (SG-FA) lebih besar dibandingkan dengan metode FD dan SS, yang nilainya terdapat pada tabel 1, hal ini menunjukkan bahwa agent gelasi mempengaruhi fisisorpsi dari sampel.
AF-97
Tabel 1. Karakterisasi sampel MnO1+δ Sampel
Metode
Suhu kalsinasi (°C)
C (%)
M1 M2 M3 M4
FD SG-FA SG-FA SS
600 600 400 400
0,007 0,025 0,034 0,006
2,83 15,07 6,46 0,34
V ad (cm3/g)
Diameter Pori (Å)
0,0256 0,1572 0,0497 0,0086
365,06 420,65 363,64 1033,58
Mn2O3.09 Mn2O3.024 MnO2
1
10
MnO1.985
3
Volume N2 Teradsorpsi (cm /g) STP [log]
2
10
SBET (m2/g)
0
10
-1
10
-2
10
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Tekanan Relatif (P/Po)
Gambar 2. Kurva Isotermal adsorpsi N2 untuk MnO1+δ
Mn2O3.09 Mn2O3.024 MnO2
3
dV/dlog(D) Volume Pori (cm /g)
0.20
0.15
MnO1.985
0.10
0.05
0.00 100
1000
Diameter pori(Å)
Gambar 3. Adsorpsi BJH dV/dlog(D) distribusi ukuran pori untuk MnO1+δ Penentuan kelebihan oksigen δ dalam MnO1+δδ dengan TGA dan Iodometri TGA 4+ Analisis gravimetri termal dengan reduksi digunakan untuk penentuan kandungan Mn 3+ dan Mn dalam padatan. Kandungan Mn dapat dihitung dari produk akhir reduksi. Reduksi MnOx menjadi MnO pada umumnya terdapat dalam literatur [16, 17], tetapi dapat juga diturunkan dari warna hijau sampel setelah reduksi lengkap terjadi melalui eksperimen TG dengan H2. Hasil eksperimen TG dapat digunakan untuk menghitung secara stoikiometri MnO yang terdispersi dalam padatan. Kurva TG pada Gambar 4 menunjukkan reduksi Mn2O3+α (FD) terjadi dalam tiga tahap kehilangan massa, yaitu 0.7, 4.2 and 5.9 %. Kehilangan air dalam
AF-98
padatan terdapat dalam tahap pertama sampai suhu 200°C. Tahap kedua merupakan tahap terpenting untuk perhitungan kandungan Mn4+ dan and Mn3+. Tahap tersebut masing-masing dimulai pada suhu sekitar 302 dan 400°C. Tahap pertama berhubungan dengan eliminasi oksigen dari Mn2O3 dengan kehilangan massa ∆m1 = 4.2% membentuk Mn3O4. Selama proses tahap kedua Mn3O4 terdekomposisi dengan massa reduksi, ∆m2 sebesar 5,9% membentuk produk MnO
0
-0.7
-0.7
-2
-4.2
-3.5
TG (%)
-4 -6 -5.9
-6.5
-8
Mn2O3.09
-10
Mn2O3.024 -12 0
200
400
600
800
1000
Suhu (°C)
Gambar 4. Kurva TG sampel Mn2O3+α Di sisi lain kurva TG MnO2 (Gambar 5) menunjukkan dua tahap kehilangan massa yaitu 8.4 and 9.5% dimulai masing-masing sekitar 295 dan 420°C. Proses tahap pertama sehubungan dengan eliminasi oksigen dari MnO2 dengan kehilangan massa sebesar of 8.4% (∆m1) untuk membentuk Mn3O4. Dilanjutkan dengan proses tahap kedua yang merupakan reduksi Mn3O4 menjadi MnO dengan kehilangan massa ∆m2 sebesar 9.5%.
0 -8.4
-4
TG (%)
-12.5 -8 -9.5
-12
-5.4
-16
MnO2
-0.9
MnO1.985
-20 0
200
400
600
800
1000
Suhu (°C)
Gambar 5. Kurva TG sampel MnO2+β Total kehilangan massa ∆m = ∆m1+∆m2 dapat digunakan untuk mengestimasi kelebihan oksigen δ dalam padatan dengan starting material MnO1+δ. Perhitungan δ dalam MnO1+δ dapat digunakan dengan perhitungan berikut : m =n(M+δMO) mO = δ (nO ・MO)
AF-99
m adalah massa sampel, n adalah mol sampel, mO adalah massa kelebihan oksigenn= ∆m, M adalah Mr MnO dan MO adalah Ar Oksigen. Sehingga diperoleh persamaan
δ=
M∆m M O (m − ∆m)
Kandungan Mn
4+
3+
dan Mn
dapat dihitung dari kesetimbangan dengan harga δ.
Iodometri III IV Jika rumus untuk oksida mangan (III/IV) adalah Mn 1-xMn xO1+δ, maka x dapat dihitung dari hasil titrasi sesuai dengan : Mol I2
= 0,5 mol Mn(III) + mol Mn(IV) = [(1-x)/2]mol Mn(III) + x mol Mn(IV)
sehingga diperoleh rumus
x=
m − 78,94 NV 8 NV − m
dengan m adalah massa sampel, N dan V masing-masing adalah Normalitas dan Volume Natrium tiosulfat standard yang diperlukan untuk titrasi. 1+δ dapat dihitung dengan persamaan : 1+δ=(3+x)/2 Hasil rata-rata nilai δ (kelebihan oksigen) dalam MnO1+δ dari analisis TG dan iodometri serta kandungan Mn4+ dan Mn3+ terdapat dalam tabel 2. Metode SS method merupakan metode yang sesuai untuk pembentukan valensi tunggal Mn sebagai Mn4+ dalam padatan MnO1+δ.. Keadaan oxidasi Mn dalam produk padatan juga dipengaruhi oleh aliran gas da suhu kalsinasi. Sampai 4+ suhu 400°C konsentrasi Mn meningkat dengan adanya oksigen dalam fase gas. Di atas suhu 4+ tersebut konsentrasi Mn menurun bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi Mn3+ 4+ 3+ sebagai hasil dari pergeseran kesetimbangan Mn ℜ Mn Padatan yang dipreparasi dengan metode SG-FA mengandung campuran Mn4+ dan 3+ Mn , hal ini kemungkinan disebabkan oleh konsumsi oksigen selama proses kalsinasi dari 3+ agent gelasi. Oleh karena itu kandungan Mn dalam Mn2O3.09 (SG-FA) adalah 91%, sedangkan dalam Mn2O3.024 (FD) sekitar 97.5%. Tabel 2 Nilai δ (kelebihan Oksigen) dan prosentase Mn4+ Mn3+ pada sampel MnO1+δ dari hasil TGA dan Iodometri Rata-rata (TGA dan Iodo) δ Sampel Komposisi TGA Iodo Mn4+(%) Mn3+(%) δ M1 1,984 2,064 2,024 2,5 97,5 Mn2O3,024 M2 1,998 2,182 2,090 9,0 91,0 Mn2O3,090 M3 1,047 0,923 0,985 97,0 3,0 MnO1,985 M4 1,033 0,967 1,000 99,9 0,1 MnO2,000 Kandungan Mn4+ dalam MnO2 (SS) lebih tinggi dari pada MnO1.985 (SG-FA), karena MnO2 (SS) tidak menggunakan senyawa organik pada saat sintesis. Dapat disimpulkan bahwa mendapatkan keadaan oksidasi tunggal Mn lewat metode SG-FA adalah sulit. Campuran keadaan oksidasi tergantung dari material prekursor, gas dan suhu kalsinasi. Struktur dan hasil diffraksi sinar X Hasil karakterisasi dengan diffraksi sinar X dan parameter kisi ditampilkan dalam tabel 3. Mn2O3,024 (FD) dan Mn2O3,090 (SG-FA) dikarakterisasi mempunyai struktur kubus. Kristal yang
AF-100
Intensitas
200 cps
terbentuk sangat baik terkristalisasi disertai kecocokan yang tinggi dengan database PDF-No. 41-1442 yang ditampilkan pada Gambar 6.
Mn2O3.024 [FD] Mn2O3.09 [SG-FA] Mn2O3 [PDF 41-1442] 20
30
40
50
60
70
2 Θ (°)
Gambar 6. Difraktogram Mn2O3+α
Intensitas
200 cps
Sampel FD mempunyai intensitas yang lebih tinggai dibandingkan dengan sampel SG-FA. Hal yang sama berlaku juga untuk sampel MnO2 (SS) dan MnO1,985 (SG-FA) yang bersesuaian dengan database PDF-No. 24-0735 dan ditampilkan pada Gambar 7. Kedua sampel mempunyai karakteristik MnO2. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa keadaan oksidasi Mn tergantung dari suhu kalsinasi.
MnO2 [SS] MnO1.985 [SG-FA] MnO2 [PDF 24-0735] 20
30
40
2 Θ (°)
50
60
70
Gambar 7. Difraktogram MnO2+β TPR (Temperature Programmed Reduction) Konfirmasi hasil-hasil yang telah dilakukan di atas dilakukan dengan melihat profil TPR (Gambar 8) dari sampel yang dipilih. Sinyal TCD berhubungan dengan konsumsi H2 selama proses reduksi. Total konsumsi H2 dapat dibagi menjadi dua kontribusi yaitu suhu rendah (tahap pertama) dan suhu tinggi (tahap kedua). Mn2O3,024 mempunyai sinyal maksimum pada 375°C yang merupaka n reduksi Mn2O3 menjadi Mn3O4, sinyal kedua maksimum pada suhu 480°C. Untuk samp el MnO1,985 kedua sinyal maksimum muncul pada temperatur yang lebih rendah yaitu pada suhu 347 dan 440°C.
AF-101
Komposisi
Vol.sel (Ǻ3) 830,23 294,27 438,66 553,77
Sinyal TCD (a.u)
0.05
Mn2O3,024 Mn2O3,090 MnO1,985 MnO2,000
Tabel 3. Struktur, parameter kisi dan volume sel MnO1+δ Struktur Parameter kisi (Å) a=b c kubus 9,398(6) 9,398(6) kubus 6,651(4) 6,651(4) tetragonal 7,586(2) 7,622(0) tetragonal 8,773(4) 7,194(3)
MnO1.985
Mn2O3.024 0
200
400
600
800
1000
Suhu (°C)
Gambar 7. Profile TPR MnOx Puncak maksimum kedua berhubungan dengan reduksi Mn3O4 menjadi MnO. Hal ini sesuai dengan laporan Ferandon [18] yang menyatakan bahwa reduksi MnOx melalui 3 tahap yaitu MnO2±Mn2O3±Mn3O4±MnO. Berdasarkan profile TPR MnO1,985 tidak melewati 3 tahap tetapi hanya 2 tahap hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan dispersi spesies Mangan oksida. Hasil TPR tersebut paralel dengan analisis TG yang menunjukkan bahwa reduksi Mn2O3 dan MnO2 melalui dua tahap. 4. Kesimpulan Preparasi MnOx dengan keadaan oksidasi tunggal dicapai melalui metode padatan (SS). Fase tunggal MnO2 atau Mn2O3 diperoleh melalui preparasi SS, FD dan SG-FA. Kondisi kalsinasi mempengaruhi komposisi Mn4+ dan Mn3+ karena kesetimbangan Mn4+ ℜ Mn3+ tergantung pada temperatur. δ dalam MnO1+δ dengan TGA dan Iodometri menunjukkan nilai maksimum ± 1. Keadaan oksidasi tunggal Mn pada padatan sesuai dengan konfirmasi dengan profil TPR. Daftar Pustaka [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9]
B. S. Ahn, S. G. Jeon, H. Lee, K. Y. Park, and Y. G. Shul, Appl.Catal A 193 (2000), 87. Y. Schimizu, T. Murata, (1997) J. Amer. Ceram. Soc. 80, 2702. I. K. Murwani, S. Scheurell, M. Feist, and E. Kemnitz, (2002), J. of Thermal Analysis and Calorimetry, 69, 9–21 N. Yamazoe, Y. Teraoka, (1990) Catalysis Today 8,175 I. K. Murwani, S. Scheurell, M. Feist, and E. Kemnitz, International Symposium Mole-cular Design of nd Catalysis, Sendai, Japan, August, 22 2000. M. Jaky, L. J. Simandi, L. Mavos, and I. Molnar-Perl, J. Chem. Soc. Perkin Trans 2 (1973), 1565. L. M. Aparicio, J. Catal. 165 (1997), 262. H. K. Cammenga, W. Eysel, E. Gmelin, W. Hemminger, G. W. H. H¨ohne, and S. M. Sarge, Thermochim. Acta 219 (1993), 333. W. Hemminger and H. K. Cammenga, Methoden der thermischen Analyse, Springer-Verlag, Berlin : Heidelberg, 1989.
AF-102
[10] C. V´azquez-V´azquez, M. C. Blanco, M. A. L´opez-Quintela, R. D. S´anchez, J. Rivas, and S. B. Oseroff, J. Mater. Chem. 8 (1998), 991. [11] A. I. Vogel, A Textbook of Quantitative Inorganic Analysis including Elementary Instrumen-tal Analysis, 4th ed., Longman, London, 1978. [12] R. Giovanoli, E. Sth¨ahli, and W. Feiknecht, Helv. Chim. Acta 53 (1970), 454. [13] J. C. Hunter, J. Solid State Chem. 39 (1981), 142. [14] X.-M. Shen and A. Clearfield, J. Solid State Chem. 64 (1986), 270. [15] S. Fritsch and A. Navrotsky, J. Am. Ceram. Soc. 79 (1996), 1761. [16] F. Kapteijn, A. D. van Langeveld, J. A. Moulijn, A. Andrini, M. A. Vuurman,A. M. Turek, J. M. Jehng, and I. Wachs, J. Catal. 150 (1994), 94. [17] Y. Yongnian, H. Ruili, C. Lin, and Z. Jiayu, Appl. Catal. A 101 (1993), 233. [18] J. L. G. Fierro, Catal. Rev. Sci. Eng. 34 (1992), 321.
AF-103
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Density Functional Theory Calculations on FO, OFO, and FOO Species and their Cations and Anions Juliandri 1,* 1
Dept of Chemistry, Universitas Padjadjaran, Jatinagor Sumedang 45363 * telp 022-7794391,
[email protected]
Abstract Halogen oxide is known as one of potential compounds in the ozone depletion process. Theoretical studies have been carried out to investigate the molecular and energetic properties of FO, OFO and FOO species including their ionic states. Six Density Functional Theory (DFT) functionals were chosen to perform the calculations. In the case of FO, both hybrid and pure DFT functional predictions of atomic distance are very close to the experimental data, while better results are predicted by the hybrid methods on the energetic properties. For both OFO and FOO, the hybrid method predictions of energetic properties are also better than those of pure DFT functionals. Especially for OFO, unfortunately limited experimental data are available for comparison. Key words: Density Functional Theory, Fluorine oxide, heat of formation, ionization potential, electron affinity
1. Introduction Halogen oxides and halogen dioxides are free radicals which show up in many chemical processes including the stratospheric depletion of ozone, [1-3] water disinfection, [4] waste water treatment [5], pulp bleaching, [6] and food conservation [7]. Thus, it is not surprising that many experimental and theoretical studies have concentrated on these compounds during the last decade. In the gas phase, the asymmetric XOO species is reported to be the most stable form of the halogen dioxides [8-10]. Many studies have been carried out on the molecular geometries and energetic properties of FO molecule including high level ab initio calculations [11-13], perturbation method MP4 calculation [14], DFT calculations [15-16], and multi reference configuration interaction calculation [17], but only a few treat the ionic species. This research covers both positive and negative ions, including singlet and triplet electronic states, as well as the neutral radical. The FO radical is reported to be a product of the photolysis of OF2 [18], and Andrew and Raymond [19] have observed its infrared spectrum from the reaction of OF2 with metals (Li, Na, K or Mg). Tamassia et al. [20] have reported that FO arises as the product of reaction between ozone and fluorine. 2. Computational Details In 1983 the DFT was only a footnote in quantum chemistry textbooks [21]. The electronic structure methods that use the electronic density originally were developed by Thomas-Fermi [22-23] and Thomas-Fermi-Dirac [24]. Related work was also carried out by Gaspar [25] and Slater [26]. Modern DFT is based on a remarkable result by Hohenberg and Kohn [27] in which without loss of rigor the ground state expectation values of all quantum mechanical observables are written as functionals of the electronic ground-state density ρ(r). Through the application of the variational principle Hohenberg and Kohn proved that, up to a trivial constant, there exists a one-to-one mapping between the external potential and the groundstate electron density. In order to present a summary of DFT we suggest the reader to follow the approach of Scuseria [28].
AF-104
The DFT is well known for its accuracy and economy in regard to computational effort [29-30]. Comparison is made with high levels of ab initio calculation, G3 calculations [31], G3B3 calculations [32] and experimental data where available. The equilibrium geometry of non closed shell compounds is accepted as realistic if spin contamination is less than 10 percent. All calculations were performed using the Gaussian 98 [34] and Gaussian 03 packages [35], and all DFT calculations were carried out using the 6-311+G(2df) [36-40] level of basis set. Six different DFT functionals have been used to study the geometries and energetics of the halogen oxides. The local density approximation (SVWN) [41-42], pure DFT functionals (BLYP [43-44] and PBEPBE [45]), and hybrid methods (B3LYP [46], B3PW91 [47], and mPW1PW91 [48]) were selected to perform the studies. 3. Results and Discussion In the case of the FO radical, the DFT functionals predict bond lengths between 1.33 Å (SVWN) and 1.38 Å (BLYP), as shown in Table 1. The best agreement with the experimental value (1.3541 Å) [49] is given by the PBEPBE calculation. The hybrid methods (B3LYP, B3PW91, and mPW1PW91) predict shorter bond lengths than the experimental value, whereas the pure DFT functionals (BLYP and PBEPBE) predict longer values. The local density approximation method (SVWN) predicts a slightly shorter value. The best theoretical prediction for this bond length is provided by coupled cluster and multi reference configuration interaction calculations (RCCSD(T)/aV6Z and iCAS-CI+Q/aV6Z) [50], which are very close to the experimental results, with values of 1.3510 Å and 1.3542 Å respectively. In order to study the energetic properties of the species, we calculate the Ionisation Potential (IP), Electron Affinity (EA) and enthalpy of formation (∆Hof) of FO. The adiabatic electron affinity (EAa), vertical electron affinity (EAv), and vertical detachment energy (VDE) are defined as the difference in total energies of species according to the formulae [51]: EAa = E(optimized neutral) – E(optimized anion), EAv = E(optimized neutral) – E(anion at optimized neutral geometry); VDE = E(neutral at optimized anion geometry) – E(optimized anion). The lowest adiabatic electron affinity for the FO species is predicted by mPW1PW91 (2.047 eV) and the highest by SVWN (2.828 eV) as shown in Table 2. The best agreement with experimental data (2.272 eV) [52] is predicted by B3LYP, which differs from experiment by only 0.02 eV. The vertical EA is about 0.3 eV lower than the adiabatic EA, and the vertical detachment energy (VDE) is also 0.3 eV higher than adiabatic EA using pure DFT functionals and hybrid calculations. Similar to the electron affinity definitions, the adiabatic (IPa) and vertical (IPv) ionization potentials are defined as IPa = E(optimized cation) – E(optimized neutral), IPv = E(cation at optimized neutral) – E(optimized neutral) +
For the prediction of ionization potentials (IP), both singlet and triplet states of FO are included. The triplet adiabatic IP is closer to experimental data than the singlet one as shown in Table 2. The B3PW91 predicts closest agreement to the experimental data, followed by mPW1PW91. However the local density approximation method predicts a value higher than experiment by 0.4 eV. The enthalpies of formation are calculated through isodesmic and diatomic reactions [53]
FOF + OH → FO + FOH F2 + O2 → 2 FO
(A) (B)
The enthalpy of formation is calculated using the lowest energy of each molecule, where O2 and F2 are in their triplet and singlet ground states respectively. All total energies used here have been corrected for the vibrational Zero Point Energy (ZPE) with the relevant scaling factor for each functional (1.0079, 1.0126, 0.9806, 0.9776, and 0.9800 respectively for SVWN, BLYP, B3LYP, B3PW91, and mPW1PW91) [54-57]. All calculated heats of formation by isodesmic (A) and diatomic reactions (B) are within the range of experimental
AF-105
error. For the isodesmic prediction both hybrid methods and pure DFT functionals give excellent results when compared to the experimental data. The diatomic reaction prediction differs from the experimental prediction by only 0.6 – 1.7 kcal/mol, except in the case of SVWN.
Methods SVWN BLYP PBEPBE B3LYP B3PW91 mPW1PW91 B3LYP BHLYP MP4SDTQ QCISD(T) CCSD(T) iCAS-CI+Q CASSCF Experimental
Table 1 Bond lengths of FO Species FO (2Π) FO+ (1∆) 1.3286 1.2221 1.3776 1.2577 1.3580 1.2427 1.3475 1.2235 1.3357 1.2147 1.3301 1.2081 1.346 [16] 1.331 [17] 1.349 [14] 1.365 [14] 1.3510 [12] 1.3542 [12]
species (in Angstroms) FO+ (3Σ) 1.2234 1.2584 1.2432 1.2276 1.2190 1.2133
FO- (1Σ) 1.4792 1.5527 1.5234 1.5155 1.4969 1.4890
FO- (3Π) 1.9596 2.0972 2.0715 2.0667 2.0598 2.0511
1.488 [17]
1.2389 [12] 1.3541 [20, 49]
1.516 [52]
Previous theoretical data for OFO is provided by Gosavi et al. [58] based on RHFSCF optimization at the 6-31G level of basis set. The OFO structure is predicted to lie about 85 kcal/mol above FOO on those calculations. Recent theoretical data is given by Denis [11] using CCSD(T)/aug-cc-pVTZ level of calculation, where the energy difference is 121.6 kcal/mol. The neutral OFO lies higher in energy than its asymmetric isomer FOO, by 109 – 120 kcal/mol according to DFT calculations. The SVWN predicts a difference of 119 kcal/mol, while BLYP and PBEPBE predict 109 and 115 kcal/mol respectively. The only experimental data available for OFO energetics is the heat of formation, which is 91.20 kcal/mol [61]. The heats of formation are predicted according to diatomic and isodesmic reactions below
OFO + 3F → 2O + 2 F2 F2 + 2O2 → 2OFO
(A) (B)
All heats of formation predicted by the DFT functionals are higher than the experimental values. The estimate closest to experiment is predicted by the BLYP functional, which lies 15.8 kcal/mol higher. The PBEPBE functional predicts the highest discrepancy of around 31.9 kcal/mol. The isodesmic reaction prediction (A) is better than that of the diatomic reaction (B), especially for the hybrid methods. Only the PBEPBE functional predicts the OFO heat of formation calculation to be better for the diatomic reaction, as listed in Table 3. The high level of ab inito calculation (CCSD(T)) [11] predicts a value 40 kcal/mol higher than that of experiment [8]. The theoretical F-O bond distance in the neutral 2A″ FOO radical is predicted to be in the range of 1.59 to 1.67 Å. The predicted bond length is close to the experimental value (1.649 Å) [62]. The best agreement with the experimental data is given by PBEPBE which differs by only 0.006 Å. Previous theoretical predictions at high level of ab initio calculation [12, 44] produce values of 1.6282 and 1.6420 Å respectively. Only for the FOO bond angle do the pure DFT functionals predict poorer results compared with the hybrid and local o density approximations. The hybrid methods and the SVWN predict 111.06 to 111.85 , while o the experimental data is 111.19 [62], and the pure DFT functionals predict a value one degree higher. This asymmetric FOO is also predicted to lie lower in energy than its symmetric isomer by 118.7, 109.3, 114.6, 115.5, 119.1, and 120.4 kcal/mol according to the SVWN, BLYP, PBEPBE, B3LYP, B3PW91, and mPW1PW91 calculations respectively. FOO is known as molecule that is difficult to study theoretically [12]. The heat of formation for the neutral FOO is calculated from the reactions
AF-106
FOO + 3F → 2O + 2 F2 F2 + 2O2 → 2 FOO
(A) (B)
The prediction of the local density approximation and pure DFT functionals lie far from the experimental value, particularly based on the diatomic reaction (B). The experimental values lie in a wide range from 5 to 12 kcal/mol [12]. The high level ab initio calculation [10] predicts a value far from this experimental value. The best result for this heat of formation is predicted by the B3LYP on the diatomic reaction calculation, and another by the B3PW91 using the isodesmic reaction approach. The calculated ionization potentials are also shown in Table 4. The reported adiabatic ionization potential is 12.600 eV [62]. The B3PW91 again predicts a value for IP closest to this experimental result. The pure DFT functionals, BLYP and PBEPBE predict an IP lower than that of experiment, while the hybrid methods and local density approximation predictions lie higher. The vertical IP is also predicted to lie higher than the adiabatic IP by up to 0.4 eV. The electron affinity properties are distinguished as adiabatic EA, vertical EA, and vertical detachment energy (VDE). The DFT predicted data of these properties are shown in Table 4. Vertical EA is lower than adiabatic EA and the VDE. Unfortunately there is no experimental data available for these properties for the purpose of comparison. The local approximation method SVWN predicts these EAs to lie higher than those predicted by other DFT functionals. The harmonic vibrational frequencies for the FOO species are also listed in Table 4. The frequencies for the ionic species in the Table relate to the singlet state only. All frequencies are corrected by suitable correction factors [53-56] for each functional except for the PBEPBE. The predicted harmonic frequencies for FOO are in very good agreement with the experimental estimates, with the exception of SVWN. For the frequencies of the ionic species, the predictions of the DFT functionals vary according to the functional. Unfortunately there are no experimental data available for these species.
AF-107
Table 2 Energies and harmonic vibrational frequencies of FO species (parentheses energy at 298.15K) VDE IP FO [∆Hf (0 K)] Harmonic (eV) (eV) (kcal/mol) Frequencies (cm-1) a v Triplet-a Singlet-a Triplet-v Singlet-v A B FO (2Π) FO+ (3Σ) SVWN 2.828 2.575 3.228 13.191 15.179 13.474 15.537 16.78 28.99 1148.6 1398.0 BLYP 2.236 1.954 2.664 12.678 14.680 12.968 15.018 22.60 24.74 1034.8 1281.3 PBEPBE 2.129 1.858 2.656 12.570 14.648 12.867 15.000 21.11 25.92 1088.6 1350.0 B3LYP 2.292 1.991 2.697 12.922 15.060 13.270 15.447 24.00 24.41 1074.3 1357.4 B3PW91 2.117 1.828 2.514 12.770 14.985 13.120 15.376 23.27 25.02 1100.0 1388.4 mPW1PW91 2.047 1.758 2.444 12.741 15.014 13.077 15.428 23.65 24.63 1110.4 1406.6 G3 2.251 14.508 G3B3 2.257 12.721 24.54 25.86 BHLYP 2.04a 1191a b B3PW91 25.2 RCCSD(T) 27.9c 1069c ICAS-CI+Q 1056c d CCSD(T) 27.30 1072d 1331d e, j f, j g h Expt. 2.272 12.78±0.03 (26.08 ± 2.39) 1029 1300h g i 25.84±2.39 1053 a = adiabatic; v = vertical a b c reference [16] reference [15] reference [12] d e f reference [11] reference [52] reference [60] g h i reference [59] reference [58] reference [48] j reference [62] Methods
EA (eV)
Vibrational FO- (1Σ) 845.3 733.8 779.7 763.2 788.2 798.1 847a
769±95e
AF-108
Methods
SVWN BLYP PBEPBE B3LYP B3PW91 mPW1PW91 G3 G3B3 CCSD(T) Exp.
EA (eV) a 3.842 3.325 3.236 3.798 3.642 3.684 3.802 3.737
Table 3 Energies and harmonic vibrational frequencies of OFO species (parentheses energy at 298.15K) VDE IP OFO [∆Hf (0 K)] Harmonic Vibrational Frequencies (eV) (eV) (kcal/mol) (cm-1) v a v A B OFO (2B1) OFO+ (1A1) 3.878 4.002 13.559 13.667 123.22 108.28 433.1, 537.9, 848.9 491.0, 537.1, 901.8 3.324 3.492 13.037 13.118 105.60 106.57 382.1, 402.4, 749.7 410.7, 436.6, 807.0 3.239 3.402 12.989 13.074 112.05 110.46 408.7, 437.6, 794.1 453.7, 466.7, 853.6 3.786 4.003 13.762 13.883 118.16 122.12 403.7, 621.1, 789.3 468.4, 701.2, 865.4 3.636 3.775 13.657 13.782 122.62 126.14 418.1, 654.2, 813.7 484.8, 730.0, 890.7 3.675 3.899 13.766 13.901 124.61 128.95 422.0, 598.7, 822.6 491.1, 770.4, 904.6 14.442 11.955 121.27 124.68 129.19a (90.57 ± 4.78)b 91.20 ± 4.78c
OFO- (1A1) 351.3, 463.1, 742.8 302.7, 359.2, 638.4 325.3, 377.7, 679.7 318.3, 552.7, 662.7 330.6, 566.5, 687.2 331.6, 607.7, 691.2
a = adiabatic; v = vertical a reference [11] b reference [8] c reference [62]
AF-109
Methods
SVWN BLYP PBEPBE B3LYP B3PW91 mPW1PW91 G3B3 RCCSD(T) iCAS-CI+Q CCSD(T) MP4 QCISD(T) B3LYP Exp.
EA (eV) a 2.576 2.175 2.036 2.314 2.138 2.078 2.865
a = adiabatic; v = vertical a reference [12] e reference [15] i reference [54]
Table 4 Energies and harmonic vibrational frequencies of FOO species (parentheses energy at 298.15K) VDE IP FOO [∆Hf (0 Harmonic Vibrational Frequencies (eV) (eV) K)] (cm-1) (kcal/mol) v a v (A) (B) FOO (2A″) FOO+ (1A′) 2.341 3.082 12.802 13.094 10.12 -10.41 446.3, 694.8, 1556.7 535.1, 825.3, 1763.4 1.886 2.753 12.379 12.660 2.79 -2.77 394.6, 621.1, 1455.1 477.5, 755.5, 1666.4 1.748 2.536 12.297 12.583 8.06 -4.10 414.7, 648.7, 1522.0 502.8, 787.0, 1731.3 2.012 2.557 12.869 13.297 5.58 6.57 319.6, 553.3, 1493.2 548.1, 812.6, 1685.1 1.801 2.414 12.743 13.150 5.97 7.06 392.6, 608.3, 1510.3 561.3, 827.5, 1708.5 1.760 2.275 12.781 13.232 5.83 8.55 302.3, 570.1, 1521.4 579.2, 840.9, 1711.8 12.285 6.20 6.81 10.0a 400.4, 616.5, 1522.9a 335.0, 546.8, 1512.2a b (7.47) 22.3c 8.9c 504, 766, 1648d e 6.28 12.600f (6.08 ± 0.48)g 376, 579, 1487j h (5.5 ± 0.4) i 6.51± 0.48 i 12 ± 3 b
c
f
g
reference [11] reference [45] j reference [51]
reference [14] reference [61]
d h
FOO- (1A′) 292.6, 482.5, 1311.6 237.8, 399.7, 1212.9 250.4, 420.3, 1277.9 246.5, 400.1, 1300.2 248.7, 406.4, 1330.7 251.0, 406.4, 1353.1
reference [64] reference [63]
AF-110
4. Conclusions The performances of DFT functionals for the properties of fluorine oxides and dioxides have been assessed. Generally, for diatomic structures, the hybrid method B3LYP, followed by B3PW91, always gives very good agreement with experiments. In the case of FO the PBEPBE functional yields best agreement with experiment. The BLYP functional usually predicts longer bond lengths, while the SVWN functional shorter bond lengths. In the triatomic FOO species, the pure DFT functionals (BLYP and PBEPBE) predict results better than those of B3LYP calculations. In the case of OFO, there is no significant different between results from pure DFT functionals and hybrid methods, but the latter methods are in better agreement with available experimental data. The energetic properties have also shown that B3PW91 and B3LYP functionals give excellent results. Both functionals predict the best ionisation potentials, electron affinities, and vertical detachment energies for species of diatomic and triatomic halogen oxides. References 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.
R. P. Wayne, Chemistry of Atmospheres: an Introduction to the Chemistry of the Atmospheres of Earth, the Planets, and their Satellites, 3rd ed, Oxford University Press, Oxford, 2000. P. Warneck, Chemistry of the Natural Atmosphere, 2nd ed, Academic Press, San Diego, 2000. B. J. Finlayson-Pitts, J. N. Pitts, Jr., Atmospheric Chemistry, Wiley Interscience, New York, 1986. A. Katz and N. Narkis, Water Res., 2001, 35, 101. A. A. Stevens, Environ. Health Perspect., 1982, 46, 101. P. W. Hart and J. S. Hsieh, Chem. Eng. Commun., 1993, 126, 27. L. S. Tsai, C. C. Huxsoll and G. J. Robertson, Food Sci., 2001, 66, 472. M. W. Chase, J. Phys. Chem. Ref. Data 1996, 25, 551. S. Abramowitz and M. W Chase, Pure Appl. Chem. 1991, 63, 1449. M. W. Chase, J. Phys. Chem. Ref. Data 1996, 25, 1069. P. A. Denis, Chem. Phys. Lett., 2004, 395, 12. D. Feller and D. A Dixon, J Phys Chem. A, 2003, 107, 9641 R. D. Johnson, Chem. Phys Lett, 1995, 245, 484. J. S. Francisco, Y. Zhao, W. A. Lester, and I. H. William, J. Chem Phys, 1992, 96, 2861. O. N. Ventura and M. Kieninger, Chem. Phys Lett., 1995, 245, 488. G. S. Tschumper and H. F. Schaefer, J Chem. Phys, 1997, 107, 2529. I. C. Lane and A. J. Orr-Ewing, J Phys. Chem. A, 2000, 104, 8759. A. Arkell, R. R. Reinhard, and L. P. Larson, J. Am. Chem. Soc., 1965, 87, 1016. L. Andrew and J. I. Raymond, J. Chem. Phys., 1971, 55, 3078. F. Tamassia, J. Brown, and S. Saita, J. Chem. Phys., 1999, 110, 7273 R. G. Parr, Annu. Rev. Phys. Chem., 1983, 34, 631. E. Fermi, Z. Phys., 1928, 48, 73. F. Bloch, Z. Phys., 1929, 57, 545. P. A. M. Dirac, Proc. Camb. Phil. Soc., 1930, 26, 376. R. Gaspar, Acta Phys. Hung., 1954, 3, 263. J. C. Slater, Phys. Rev., 1951, 81, 385. P. Hohenberg and W. Kohn, Phys. Rev. B, 1964, 136, 864. and W. Kohn and L. Sham, Phys. Rev. A, 1965, 140, 1133. G. E. Scuseria and V. N. Staroverov, in Theory and Applications of Computational Chemistry; The First Forty Years, C. Dykstra et al ed, Elsevier, Amsterdam, 2005. W. Koch and M. C. Holthausen, A Chemist’s Guide to Density Functional Theory, 2nd ed, Wiley, Weinheim, 2000. R. G. Parr and W. Yang, Density-Functional Theory of Atoms and Molecules, Oxford University Press, 1989. L. A Curtiss, K. Raghavachari, P. C. Redfern, V. Rassolov, J. A Pople, J Chem Phys, 1998, 109, 7764. A. G. Baboul, L. A. Curtiss, P. C. Redfern, and K. Raghavachari, J. Chem. Phys., 1999, 110, 7650. M. J. Frisch, et al, Gaussian 98, Revision A.7, Gaussian, Inc., Pittsburgh PA, 1998. M. J. Frisch, et al , Gaussian 03, Revision C.02, Gaussian, Inc., Wallingford CT, 2004. R. Krishnan, J. S. Binkley, R. Seeger, and J. A. Pople, J. Chem. Phys. 1980, 72, 650. A. D. McLean and G. S. Chandler, J. Chem. Phys. 1980, 72, 5639. M. J. Frisch, J. A. Pople, and J. S. Binkley, J. Chem. Phys. 1984, 80, 3265. L. A. Curtiss, M. P. McGrath, J. P. Blaudeau, N. E. Davis, R. C. Binning, Jr., and L. Radom, J. Chem. Phys. 1995, 103, 6104.
AF-111
39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66.
M. N. Glukhovtsev, A. Pross, M. P. McGrath, and L. Radom, J. Chem. Phys. 1995, 103, 1878. S. H. Volko, L. Wilk, and M. Nusair, Can. J. Phys., 1980, 58, 1200. R. M. Dreizler and E. K. U. Gross, Density Functional Theory, Springer, Berlin, 1990. A. D. Becke, Phys. Rev. A, 1988, 38, 3098. C. Lee, W. Yang, and R. G. Parr, Phys. Rev. B, 1988, 37, 785. J. P. Perdew, K. Burke, and M. Ernzerhof, Phys. Rev. Lett., 77, 3865 (1996). P. J. Stephens, F. J. Devlin, C. F. Chabalowski, and M. J. Frisch, J. Phys. Chem., 1994, 98, 623. J. P. Perdew, K. Burke, and Y. Wang, Phys. Rev. B, 1996, 54, 16533. C. Adamo and V. Barone, J. Chem. Phys., 1998, 108, 664. P. D. Hammer, A. Sinha, J. B. Burkholder, and C. J. Howard, J. Mol. Spectrosc. 1988, 129, 99. I. C. Lane and A. J. Orr-Ewing, J Phys. Chem. A, 2000, 104, 8759. J. C. Rienstra-Kiracofe, G. S. Tschumper, H. F. Schaefer, S. Nandi, and G. B. Ellison, Chem. Rev, 2002, 102, 231. M. Kieninger, M. Segovia, and O. N. Ventura, Chem. Phys. Lett. 1998, 287, 597. M. K. Gilles, M. L. Polak, and W. C. Lineberger, J. Chem. Phys., 1992, 96, 8012. M. D. Halls, J. Velkovski, and H. B. Schlegel, Theor. Chem. Acc. 2001, 105, 413. A. P. Scott and L. Radom, J. Phys. Chem. 1996, 100, 16502. B. Galabov, Y. Yamaguchi, R. B. Remington, and H. F. Schaefer, J. Phys. Chem A, 2002, 106, 819. M. W. Wong, Chem. Phys. Let., 1996, 256, 391. R. K. Gosavi, P. Raghuntan, and O. P. Strausz, J. Mol. Spect. (Theochem) 1985, 133, 25. K. P. Huber and G. Herzberg, Molecular Spectra and Molecular Structure, Van Nostrand Reinhold, New York, 1979, Vol. IV. B. J. McBride, M. J. Zehe, and S. Gordon, NASA Glenn Coefficients for Calculating Thermodynamic Properties of Individual Species, NASA, Cleveland Ohio, 2002. C. Yamada, and E. Hirota, J. Chem. Phys., 1984, 80, 4694. M. W. Chase Jr., J. Phys. Chem. Ref. Data, 1998 Mono 9 Suppl 1 NIST Chemistry Webbook (http://webbook.nist.gov/chemistry) J. L. Lyman and R. Holland, J. Phys. Chem., 1988, 92, 7232. M. Alcami, O. Mo, M. Yanez, and I. L. Cooper, J. Phys. Chem. A, 1999, 103, 2793. Z. Zhang, S. C. Kuo, R. B. Klemm, P. S. Monks, and L. J. Stief, Chem. Phys. Lett., 1994, 229, 377. R. Atkinson, D. L. Baulch, R. A. Cox, R. F. Hampson, Jr., J. A. Kerr, M. J. Rossi, and J. Troe, J. Phys. Chem. Ref. Data, 2000, 29, 167.
AF-112
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Bentuk Terprotonasi BaBi4Ti4O15 Sebagai Katalis Asam Padat Pada Reaksi Esterifikasi Lunggana Murdani1,*, Atiek Rostika Noviyanti1 1
Laboratorium Anorganik, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jl.Raya Bandung-Sumedang Km.21 Jatinangor 45363, Indonesia Corresponding author: Telp: 081395191487 E-mail address:
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah memperoleh informasi struktur BaBi4Ti4O15 sebelum dan sesudah diprotonasi dengan menggunakan difraktometer sinar-X serbuk dan membandingkannya dengan data Powder Diffraction File (PDF), mengetahui berapa kadar asam yang menggantikan bismut oksida dengan menggunakan Analisis Termogravimetri (TGA), dan mengetahui aktivitas katalis pada reaksi esterifikasi. BaBi4Ti4O15 hasil sintesis kimia fasa padat dapat diprotonasi dengan kondisi HCl 1 M selama 288 jam. Karakterisasi dengan TGA terjadi dekomposisi pada suhu 343,0 °C s ampai suhu 468,6 °C dengan dekomposisi total adalah 3,3 %. HBBT dapat berfungsi sebagai katalis asam padat pada reaksi esterifikasi dengan indeks refraksi etil asetat nya yaitu 1,35716 pada suhu 26,2 °C, dan katalis ini dapat di gunakan kembali setelah satu kali pemakaian (dapat didaur ulang) dengan hasil yang sama yaitu indeks refraksinya 1,35716 pada suhu 26,2 °C dengan rendemen sebesar 0,8 %. Kata kunci : reaksi kimia fasa padat, fasa aurivillius, protonasi
1. Pendahuluan Perkembangan penggunaan katalis asam padat begitu pesat dalam dekade terakhir. Katalis asam padat benar-benar dibutuhkan untuk mengganti cairan asam seperti asam sulfat dan asam fluorida sebagai katalis asam yang digunakan di industri. Lebih dari lima belas juta ton asam sulfat dihabiskan tiap tahunnya sebagai katalis di dalam produksi penting zat kimia di industri (Takagaki et al., 2005). Misalkan, pembuatan metil terst-butil eter, metil metakrilat, 2,5-dimetil-2,4-heksadiena, dan pembuatan furfural yang menggunakan konversi asam, seperti asam sulfat sebagai katalis. Tetapi, bila dipandang dari segi ekonomi dan tidak efisiennya pemisahan katalis dari produk mencegah penggunaan kembali asam sulfat sebagai katalis, selain itu proses ini menghasilkan limbah asam dalam jumlah yang besar sehingga harus dinetralisasi dan harus dibuang. Kekurangan yang lainnya dari proses ini adalah terjadinya korosi pada sistem dan masalah keselamatan. Kondisi ini sangat merugikan karena selain melakukan pemborosan dengan menggunakan katalis yang tidak bisa dipakai lagi juga dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu, produksi zat penting kimia di industri dituntut untuk ramah lingkungan, sehingga mendorong untuk mengganti “cairan toksik” katalis asam dengan asam padat yang tidak beracun, stabil, dan yang bisa didaur ulang untuk pengganti cairan beracun sebagai katalis asam (Dias et al., 2005). Kelebihan senyawa padat adalah stabilitas dan kapasitas pemakaian yang lebih baik di bandingkan dengan senyawa dalam bentuk cair dan gas. Kondisi ini sangat menguntungkan untuk menghemat bahan baku kimia dan mengurangi pencemaran lingkungan akibat penggunaan zat kimia yang berlebih. Konversi fasa Aurivillius ke dalam bentuk terprotonasi akan memperluas kegunaannya untuk mendapatkan senyawa-senyawa baru. Konversi fasa aurivillius ke dalam bentuk terprotonasi dapat digunakan sebagai pertukaran ion, interkalasi senyawa, katalis dan asam Brønsted padat yang banyak digunakan dalam reaksi-reaksi penting dalam industri kimia seperti pembuatan metil terst-butil eter, metil metakrilat, dan 2,5-dimetil-2,4-heksadiena.
AF-113
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi struktur BaBi4Ti4O15 sebelum dan sesudah diprotonasi dengan menggunakan difraktometer sinar-X serbuk dan membandingkannya dengan data Powder Diffraction File (PDF), mengetahui berapa kadar asam yang menggantikan bismut oksida dengan menggunakan Analisis Termogravimetri (TGA), dan mengetahui aktivitas katalis pada reaksi esterifikasi. 2. Eksperimen Sintesis BBT dengan Metode Reaksi Kimia Fasa Padat Barium bismut titanat (BBT) disintesis dari pereaksi barium karbonat, bismut oksida dan titanium oksida dengan menggunakan reaksi kimia fasa padat (Kennedy et al., 2003). Produk yang diperoleh pada tahap sintesis dikarakterisasi dengan menggunakan teknik difraksi sinar-X. Karakterisasi ini menggunakan alat difraktometer sinar-X PW1710. Sumber radiasi yang digunakan adalah Cu - Kα dengan filter Ni. Pola difraksi diukur pada rentang o o o sudut 2θ antara 10 sampai 90 dengan interval kenaikan sudut sebesar 0,05 . Pola difraksi yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan database Powder Diffraction File (PDF). Analisa hasil pengukuran dan penentuan parameter kisi dilakukan dengan bantuan metode Le Baile dengan software Rietica. Konversi BBT dengan Asam Konversi BBT ke dalam bentuk asamnya dilakukan dengan mereaksikan 0,5 gram BBT ke dalam 100 mL HCl 1 M. Campuran pereaksi kemudian di stirer pada suhu ruang selama 12 hari (Noviyanti, 2006). Produk yang terbentuk dicuci dengan aqua dm dan dikeringkan dalam oven pada suhu 120 °C selama satu hari. Produk yang diperoleh dikarakterisasi dengan XRD dan analisis termogravimetri (TGA). Uji Katalis Pengujian katalis dilakukan melalui reaksi esterifikasi antara asam asetat dan etanol untuk menghasilkan suatu ester yaitu etil asetat, pengujian reaksi ini dilakukan dua kali perlakuan (Duplo). Pada reaksi ini asam asetat yang digunakan sebanyak 30 mL, etanolnya sebanyak 32 mL dan katalis yang digunakan sebanyak 0,2 gram, reaksi ini dilakukan selama 2 jam. Hasil dari reaksi ini diukur indeks refraksinya dengan menggunakan alat refraktometer untuk mengetahui kemurniannya kemudian dibandingkan dengan indek refraksi murni dari etil asetat. 3. Hasil dan Diskusi Karakterisasi Hasil sintesis Kimia Keadaan Padat Produk hasil sintesis dikarakterisasi dengan metode difraksi sinar-X serbuk. Data ini berupa puncak-puncak utama pada sudut 2θ tertentu. Pola difraksi hasil sintesis ini kemudian dibandingkan dengan pola difraksi yang ada pada software PDF. Berdasarkan data base PDF diperoleh bahwa pola puncak-puncak difraksi hasil sintesis mirip dengan data base PDF nomor 35-0757 yaitu BBT ortorombik. Pola data difraksi ini kemudian diolah dengan metode Le Baile dari software Rietica (dengan memasukkan beberapa parameter berdasarkan data base PDF pada Tabel 1). Profil pola difraksi sinar-X BBT percobaan, perhitungan dan selisih antara data percobaan dengan perhitungan ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2.
Plot Le Baile BBT. Data percobaan (+), perhitungan (garis merah), dan selisih antara data percobaan dengan perhitungan (garis hijau) yang indeks dengan grup ruang A21am (ortorombik) pada suhu kamar.
AF-114
Tabel 1 Data parameter sel BBT hasil penghalusan metode Le Beile Struktur Kristal A21am (ortorombik pada suhu kamar) Parameter Sel BBT Data PDF Perhitungan metode Le Baile a (Å) b (Å) c (Å)
5,4309 5,4554 49,4921
5,4331(1) 5,4565(0) 49,5031(5)
Rp
4,35
4,39
Rwp
5,32
6,07
Protonasi BBT dengan Asam Proses protonasi ini dilakukan untuk memodifikasi struktur suatu padatan untuk membentuk struktur baru dengan mempertahankan salah satu bagian dari struktur asalnya. Dalam hal ini proses protonasi fasa Aurivillius BBT dilakukan untuk mengganti lapisan bismut oksida 2+ (Bi2O2) dengan suatu proton melalui perlakuan asam. Lapisan bismut oksida lebih mudah 2larut di dalam larutan asam, bila dibandingkan dengan lapisan perovskit [AnBn-1O3n+1] 6000
intensitas
5000 4000 3000
Sintesis kimia padat
2000
protonasi
1000 0 0
20
40
60
80
100
2 theta ( )
. Gambar 3. Pola difraksi BBT hasil sintesis kimia fasa padat (warna biru) dan hasil protonasi BBT dengan konsentrasi HCl 1 M selama 288 jam (warna pink). Pola difraksi pada Gambar 3 nampak terjadi perubahan pola difraksi antara sebelum diprotonasi dengan sesudah diprotonasi dengan kondisi HCl 1 M dengan waktu 288 jam. Perubahan pola difraksi menunjukkan telah terjadinya perubahan struktur pada BBT, dalam hal ini proses protonasi sudah terjadi. Proses protonasi umumnya ditandai munculnya puncak baru pada 2θ dibawah 20°, yang diiringi dengan menurunnya tingg i puncak pada 2θ yang khas bagi oksida ini. Munculnya puncak di bawah 2θ menunjukkan bahwa lapisan bismut oksida telah digantikan oleh proton. Pada pola difraksi ini, terlihat muncul puncak-puncak pada 2θ sekitar 16,908°, 21,183°, 23,142°, sedangkan pada 30,096 yang merupakan khas dari BBT turun. Perlakuan ini telah dilaporkan sebelumnya oleh Noviyanti pada tahun 2006 (Noviyanti, 2006). Karakterisasi BBT Menggunakan Analisis Termogravimetri Dari Gambar 4 dapat dilihat dekomposisi terjadi pada suhu 343,0 °C sebesar 1,2 % sampai suhu 468,6 °C, dengan dekomposisi totalnya a dalah 3,3 %. Dekomposisi ini diduga dari proses dehidroksilasi, yang sesuai dengan persamaan berikut : H2[BaBi2Ti4O13]
BaBi2Ti4O12 + H2O
Dekomposisi ini merupakan nilai yang lebih besar bila dibandingkan dengan nilai perhitungan (1,9 %). Hal ini dapat dipahami karena bismut menempati dua tempat yang berbeda yaitu pada posisi A dan pada posisi B pada struktur Aurivillius. Disorder Bi pada lapisan bismut oksida dan lapisan perovskitnya (Bi → A) sudah pernah dilaporkan sebelumnya pada fasa Aurivillius dengan n = 2 (A = Ca, Sr, Ba, Pb, B, Nb dan Ta). Disorder Bi juga kemungkinan
AF-115
besar terjadi pada struktur BBT yang sudah diprotonasi. Sifat alamiah yang sering muncul pada fasa Aurivillius ini diduga menjadi sebab utama sebagai senyawa feroelektrik. 100.5 100
B erat / % berat
99.5 99 98.5 98 97.5 97 96.5 96 200 220 240 260 280 300 320 340 360 380 400 420 440 460 480 500 520 540 560 580 Suhu / °C
Gambar 4. Hasil karakterisasi BBT hasil protonasi dengan menggunakan TGA. Hasil Uji Katalis Uji katalis pada reaksi esterifikasi ini dilakukan sebanyak dua kali, hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah suatu katalis HBBT dapat digunakan kembali setelah satu kali pemakaian (dapat didaur ulang). Hasil dari uji katalis pada reaksi esterifikasi diidentifikasi dengan mengukur indeks refraksinya. Hasil yang didapat dari pengukuran indek refraksinnya yaitu 1,35716 pada suhu 26,2 °C. Pada perlakuan yan g kedua, hasil yang didapat yaitu sama dengan hasil yang diperoleh dengan perlakuan pertama, yaitu indek refraksinya 1,35716 pada suhu 26,2 °C, sedangkan indeks refraksi etil a setat murni dari literatur yaitu 1,3723, dan dihasilkan rendemennya yaitu sekitar 0,8%. Hal ini menandakan bahwa HBBT dapat berfungsi sebagai katalis pada reaksi esterifikasi dan katalis ini dapat didaur ulang atau dapat digunakan kembali setelah satu kali pemakaian dengan hasil yang sama. 4. Kesimpulan 1. BBT hasil sintesis kimia fasa padat dapat diprotonasi dengan kondisi konsentrasi HCl 1 M selama 288 jam. 2. Hasil dekomposisi dari karakterisasi TGA terjadi pada suhu 343,0 °C sampai 468,6 °C dengan total dekomposisi 3,3 %. 3. HBBT dapat berfungsi sebagai katalis asam padat pada reaksi esterifikasi dengan indeks refraksi etil asetat nya yaitu 1,35716 pada suhu 26,2 °C, dan katalis ini dapat di gunakan kembali setelah satu kali pemakaian (dapat didaur ulang) dengan hasil yang sama yaitu indeks refraksinya 1,35716 dengan rendemen sebesar 0,8 %. Penghargaan Penulis mengucapkan terima kasih kepada Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) DIKTI atas bantuan dana dalam penelitian ini. Daftar Pustaka A. R. Noviyanti, Ismunandar. 2006, Bi Ti O , BaBi Ti O 4
3
12
4
4
15
and Ba Bi Ti O : Hydrothermal Synthesis 2
4
5
18
and Their Protonation. Proceeding ICMNS ITB Bandung, Indonesia. 506-510. Dias, A.S., Lima, S., Carriazo, D., Rives, V., Pillenger, M. & Valente, A.A. 2006. Exfoliated Titanate, Niobate and Titanoniobate Nanosheets as Solid Acid Catalyst for The Liquid-Phase Dehydration of D-Xylose Into Furfural. Journal of Catalyst. 244, 230-237. Kennedy, B.J., Kubota, Y., Hunter, B.A., Ismunandar and Kato. (2003), Structural phase transition in the layered bismuth oxide BaBi4Ti4O15, Solid State Com, 126, 653. Takagaki, A., Lu, D., Kondo, J.N., Hara, M., Hayashi, S. & Domen, K. 2005. Exfoliated HNb3O8 Nanosheet as a Strong Protonic Solid Acid. Chem. Mater. 17, 2487-2489
.
AF-116
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Studi Adsorpsi Ion Nikel (II) dalam Larutan Berair Menggunakan Komposit Serbuk Cangkang KupangKhitosan Terikat Silang Mohammad Habibi, Eko Santoso Laboratorium Kimia Fisik Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Abstrak Pelet komposit serbuk cangkang kupang-khitosan terikat silang dipreparasi dari campuran serbuk cangkang kupang dan larutan khitosan 1% dalam larutan asam asetat 2% yang diikat silang dengan larutan glutaraldehid 0,2%. Proses adsorpsi ion logam Ni(II) dalam larutan dilakukan dengan sistem rendam atau batch. Penelitian ini dilakukan pada berbagai kondisi pH dan waktu kontak untuk menentukan kapasitas adsorpsi maksimum. Dari hasil analisis terlihat bahwa pH 4 dan waktu kontak optimum 90 menit merupakan kondisi optimum. Isoterm yang sesuai untuk kapasitas adsorpsi komposit serbuk cangkang kupangkhitosan terikat silang ini adalah pola isoterm Langmuir. Komposisi adsorben berpengaruh pada nilai kapasitas adsorpsi (qmaks) dan kecepatan adsorpsi (KL). Kandungan serbuk cangkang kupang dalam komposit yang semakin besar dapat menurunkan kapasitas adsorpsi, namun meningkatkan kecepatan adsorpsinya. Kata kunci: Adsorpsi, biosorben, ion Ni(II), cangkang kupang, isoterm Langmuir.
1. Pendahuluan Air limbah industri dan pertambangan merupakan sumber utama polusi karena kadungan logam beratnya. Logam-logam berat ini dapat membahayakan bagi kesehatan manusia jika konsentrasinya melebihi batas ambang yang diijinkan (Ko, D.C.K, et al., 2000). Salah satu logam berat tersebut adalah Ni(II). Nikel merupakan logam yang esensial bagi makhluk hidup, namun dalam jumlah yang sedikit sekali. Keracunan logam nikel dapat mengakibatkan disfungsi ginjal, gangguan metabolisme hormon dan lipida, wasir, sakit kepala, serangan jantung, kanker usus, demam, tekanan darah rendah dan lain sebagainya (Wikipedia). Berbagai metoda telah dikembangkan untuk memisahkan logam berat dari air limbah, namun metoda tersebut mempunyai keterbatasan (Oyrton, 1999). Beberapa tahun terakhir telah dilakukan penelitian tentang biopolimer yang mampu mengikat logam berat limbah melalui pembentukan senyawa kompleks (Schmul et al., 2001). Salah satu biopolimer yang saat ini banyak diteliti sebagai adsorben logam berat dari air limbah adalah khitosan. Khitosan adalah poly 2-Amino-2-deoksi-β-D-Glukosa, merupakan turunan dari khitin, poly-β-N-asetil-D-glukosamin, yang merupakan suatu amino polisakarida alami yang paling berlimpah di alam, merupakan biopolimer yang terdapat pada bahan pendukung (kulit cangkang) binatang moluska, crustacea dan insecta. (Bastaman, dkk., 1990; Planas, dkk., 2002). Keberadaan gugus amida dalam khitin dan gugus amina dalam khitosan telah menjadikan khitin dan khitosan sebagai adsorben yang mampu mengikat logam berat. Khitosan murni yang umumnya digunakan sebagai adsorben logam berat dalam bentuk serpihan (flakes) (Jonsson-Charrier et al., 1996) dan serbuk (powder) (Lima and Airoldi, 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan adsorpsi khitosan terhadap logam berat sangat dipengaruhi oleh sifat fisika-kimiawi khitosan. (Karthikeyan et al., 2004). Selain itu, pola isoterm adsorpsi logam berat pada khitosan, yaitu Langmuir dan Freundlich, sangat
AF-117
dipengaruhi oleh jenis logam berat yang diamati (Schmul et al., 2001 ; Wan Ngah et al., 2002). Pada penelitian ini mengkaji kapasitas adsorpsi ion Ni(II) menggunakan serbuk cangkang kupang- khitosan terikat silang, dimana khitosan sebagai bahan aktif adsorben dan serbuk cangkang kupang berfungsi sebagai material pendukung. Pembuatan adsorben dilakukan dengan meneteskan campuran larutan khitosan dengan serbuk cangkang kupang pada larutan NaOH kemudian diikat silang menggunakan larutan glutaraldehid. Isoterm adsorpsi ion logam berat menggunakan serbuk cangkang kupang-khitosan terikat silang dilakukan dengan sistem rendam (batch). Untuk mendapatkan adsorpsi yang optimum maka pH larutan logam divariasi antara 2 sampai 6. Kemudian dengan mengunakan pH optimum dilakukan variasi waktu kontak untuk memperoleh waktu optimum adsorpsi. Setelah itu pH dan waktu kontak optimum digunakan untuk penentuan pengaruh perbandingan komposisi khitosan dan serbuk cangkang kupang terhadap kapasitas adsorpsi dengan melakukan variasi konsentrasi larutan logam Ni(II) untuk mengetahui model isoterm adsorpsi yang sesuai. Model isoterm adsorpsi yang diujikan pada penelitian ini yaitu model isoterm Langmuir dan Freundlich. Jumlah logam yang tidak terserap oleh adsorben diukur dengan Spektrofotometer Serapan Atom. Berdasarkan uraian diatas maka timbul suatu permasalahan yaitu bagaimana cara preparasi pelet serbuk cangkang kupang-khitosan terikat silang sebagai adsorben yang efektif untuk ion logam Ni(II) dari sistem larutan berair dan bagaimana pengaruh pH, waktu kontak dan pengaruh komposisi pelet komposit adsorben terhadap kapasitas adsorpsi ion logam Ni(II). 2. Metodologi Penelitian Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Spektrofotometer Serapan Atom (SSA), FTIR, pH meter, stop watch (arloji), pengaduk magnetik, neraca analitis, gelas beker, gelas ukur, pipet volum, pipet ukur, pipet tetes, corong gelas, botol semprot dan spatula. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk khitosan, serbuk cangkang kupang, larutan NaOH 2N dan 0,1 M, larutan CH3COOH 2% dan 0,2 M, padatan NiSO4·6H2O, larutan glutaraldehid 0,2 %, larutan HCl, akuades dan akuademineralisasi. Prosedur Penelitian Preparasi Serbuk Cangkang Kupang Cangkang kupang dicuci, dikeringkan dan dihaluskan hingga diperoleh serbuk dengan ukuran 40-60 mesh. Preparasi dan Karakterisasi Komposit Adsorben Preparasi adsorben dilakukan dengan melarutkan 1 gram khitosan dengan larutan CH3COOH 2% dan diaduk sampai larut diatas hotplate. Setelah dingin, diambil sebanyak 20 mL larutan khitosan lalu ditambahkan 3 gram serbuk cangkang kupang yang hasilnya disebut sebagai komposit 1.Campuran serbuk cangkang kupang dan larutan khitosan diaduk kemudian diteteskan ke dalam larutan NaOH 2N sehingga terbentuk pelet. Hasil pelet tersebut disaring kemudian direndam dalam larutan glutaraldehid 0,2% selama 24 jam. Selanjutnya, pelet disaring dan dicuci dengan akuades lalu dikeringkan. Untuk pelet komposit 2 dan 3 dibuat dengan metoda yang sama namun dengan jumlah serbuk cangkang kupang berturut-turut sejumlah 4 dan 5 gram. Komposit yang diperoleh dari hasil preparasi selanjutnya dikarakterisasi strukturnya dengan FTIR dan diukur luas permukaaannya dengan adsorpsi N2 menggunakan metoda BET. Studi Adsorpsi Pengaruh pH Terhadap Kapasitas Adsorpsi Penentuan pengaruh pH terhadap proses adsorpsi dilakukan dengan cara larutan Ni(II) 10 mg/L diambil masing-masing sebanyak 25 mL dan dimasukkan ke dalam 5 gelas beker. pH awal larutan divariasi yaitu 2, 3, 4, 5 dan 6. Kemudian ditambahkan masing-masing 1 gram adsorben komposit 1 dan dilakukan pengadukan selama 60 menit. Setelah itu pH akhir larutan setelah adsorpsi diukur kemudian disaring. Filtrat hasil penyaringan dianalisis dengan Spektrofotometer Serapan Atom. Dilakukan dengan cara yang sama untuk larutan
AF-118
Ni(II) dengan konsentrasi 15 mg/L dan 25 mg/L. Variasi pH dengan hasil adsorpsi maksimun ditentukan sebagai pH optimum. Penentuan Waktu Kontak Optimum Penentuan waktu kontak dalam proses adsorpsi dilakukan dengan memasukkan masing-masing 25 mL larutan Ni(II) dengan konsentrasi 100 mg/L ke dalam 8 gelas beker. Selanjutnya pH larutan diatur menggunakan pH optimum. Kemudian ke dalam masingmasing gelas beker tersebut ditambahkan 1 gram adsorben komposit 1. Masing-masing diaduk dengan pengaduk magnetik dengan selang waktu 15 menit yaitu 15; 30; 45; 60; 75; 90; 105 dan 120 menit. Setelah itu pH akhir larutan setelah adsorpsi diukur kemudian disaring. Filtrat hasil penyaringan dianalisis dengan Spektrofotometer Serapan Atom. Waktu kontak minimum yang menunjukkan adsorpsi maksimum ditentukan sebagai waktu kontak optimum. Penentuan Kapasitas Adsorpsi Komposit Pengaruh nilai perbandingan komposit serbuk cangkang kupang-khitosan terhadap kapasitas adsorpsi dilakukan dengan cara membuat larutan Ni(II) dengan selang variasi konsentrasi 25 mg/L yaitu 25; 50; 75; 100; 125; 150; 175; 200; 225 dan 250 mg/L. Masingmasing larutan diatur kondisinya sesuai pH optimum, kemudian ditambah dengan adsorben komposit 1 sebanyak 0,5 gram dan diaduk dengan pengaduk magnetik selama waktu kontak optimum. Setelah itu pH akhir larutan setelah adsorpsi diukur kemudian disaring. Filtrat hasil penyaringan dianalisis dengan Spektrofotometer Serapan Atom. Data yang dihasilkan diujikan dengan pola isoterm Langmuir dan Freundlich. Penentuan kapasitas adsorpsi untuk komposit 2 dan 3 dilakukan dengan cara yang sama. 3. Hasil dan Pembahasan Pembuatan Adsorben Limbah kulit kupang yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah kulit kupang yang berasal dari daerah Sidoarjo. Langkah pertama yang dilakukan dalam pembuatan adsorben adalah preparasi serbuk kulit kupang. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembuatan larutan khitosan 1% (w/v). Proses pelarutan ini dilakukan dengan pemanasan agar prosesnya dapat berlangsung lebih cepat. Setelah dihasilkan larutan khitosan, serbuk cangkang kupang sebanyak 3 gram diambil kemudian dicampurkan dalam 20 mL larutan khitosan yang hasilnya disebut sebagai komposit 1. Khitosan berfungsi sebagai binder (pengikat) sedangkan serbuk cangkang kupang berfungsi sebagai filler. Campuran dipipet dengan pipet tetes kemudian diteteskan tetes demi tetes ke dalam larutan NaOH 2N. Setelah pelet terbentuk dalam larutan, selanjutnya disaring lalu direndam dalam larutan glutaraldehid 0,2% selama 24 jam. Larutan glutaraldehid berfungsi sebagai agen pengikat silang (cross linked). Ikatan silang antara khitosan dan glutaraldehid ini juga sangat stabil dan teratur kekuatannya dalam larutan asam dan basa. Karakteristiknya sangat penting untuk campuran serbuk cangkang kupangkhitosan sebagai adsorben, sehingga dapat digunakan pada lingkungan pH yang lebih rendah. Setelah proses perendaman, pelet disaring dan dicuci hingga netral. Kemudian pelet tersebut dibiarkan dalam udara bebas hingga kering. Untuk pelet komposit 2 dan 3 dibuat dengan metoda yang sama namun dengan jumlah serbuk cangkang kupang berturut-turut 4 dan 5 gram. Bentuk fisik dari pelet adsorben dengan perbandingan komposisi khitosan dan serbuk cangkang kupang yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan hasil pengukuran pada ketiga macam adsorben yang dihasilkan, dapat diketahui ukuran diameter pelet untuk ketiga perbandingan secara berturut-turut adalah 2,1-2,4; 2,9-3,2 dan 3,7-4 mm. Selanjutnya, pelet adsorben hasil preparasi inilah yang akan diuji kapasitas adsorbsinya terhadap ion logam Ni(II).
AF-119
(a) (b) (c) Gambar 1. Komposit Adsorben CangkangKupang-Khitosan (a) Komposit 1, (b) Komposit 2 dan (c) Komposit 3 Karakterisasi Struktur Komposit Adsorben dengan FTIR Karakterisasi dengan FTIR digunakan untuk mengetahui ikatan-ikatan yang terdapat dalam material penyusun (khitosan dan serbuk cangkang kupang) dan ikatan-ikatan yang terdapat dalam komposit adsorben. Spektra FTIR dari khitosan, serbuk cangkang kupang dan komposit adsorben ditunjukkan pada Gambar 2. Berdasarkan spektra FTIR dari khitosan, serbuk cangkang kupang dan komposit adsorben yang ditunjukkan pada Gambar.3, dapat diketahui bahwa komposit adsorben yang dihasilkan memiliki pola spektra yang relatif sama dengan pola spektra dari serbuk cangkang kupang. Secara garis besar puncak yang muncul pada ketiga spektra adalah relatif sama, sedikit perbedaan terlihat pada spektra FTIR dari khitosan. Ada beberapa puncak yang muncul pada spektra serbuk cangkang kupang, namun tidak muncul pada spektra khitosan. Puncak-puncak tersebut adalah pada daerah bilangan gelombang 1457 cm-1 yang -1 menunjukkan vibrasi C-H3 dan pada daerah bilangan gelombang 1194 cm yang menunjukkan vibrasi C-O dari eter, kedua puncak karakteristik tersebut merupakan puncak karakteristik yang membedakan antara senyawa khitin dengan khitosan (Khabibi, 2008).
Gambar 2. Spektra FTIR (a) Khitosan, (b) Serbuk Cangkang Kupang dan (c) Komposit Adsorben Untuk puncak-puncak yang lainnya, muncul pada ketiga spektra FTIR. Munculnya puncak pada daerah bilangan gelombang 3400 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi dari ikatan stretching N-H yang overlapping dengan vibrasi streching O-H, puncak pada daerah bilangan gelombang 2920 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C-H alifatik. Adanya ikatan C=O karbonil ditunjukkan dengan munculnya puncak pada daerah bilangan gelombang 1634 dan 1769 cm 1 -1 , sedangkan puncak pada daerah 1065 cm menunjukkan adanya vibrasi C-N. Berdasarkan karakterisasi dengan FTIR yang ditunjukkan pada Gambar 2 dapat disimpulkan bahwa jenis ikatan yang terdapat pada komposit adsorben sama dengan ikatan yang terdapat pada senyawa penyusunnya, yaitu serbuk cangkang kupang dan khitosan. Adsorpsi Ion Ni(II) Proses adsorpsi ion Ni(II) yang berupa NiSO4·6H2O dengan komposit cangkang kupang-khitosan terikat silang ini dilakukan dengan sistem batch, yaitu merendam komposit adsorben ke dalam larutan logam Ni(II) pada suhu kamar. Kemampuan komposit cangkang
AF-120
kupang-khitosan terikat silang dalam adsorpsi ion Ni(II) diperoleh dari berbagai kondisi meliputi pH optimum dan waktu kontak. Pengaruh pH Terhadap Kapasitas Adsorpsi Kondisi pH larutan sangat berpengaruh terhadap daya adsorpsi adsorben terhadap ion Ni(II) dan terhadap kapasitas permukaan dari adsorben yang berupa komposit serbuk cangkang kupang-khitosan terikat silang. Oleh karena itu penting untuk mempelajari pengaruh pH pada adsorpsi ion Ni(II). Grafik Variasi pH Beberapa Konsentrasi Ni(II) ditunjukkan pada gambar 3.(a)
(a)
(b)
(c) Gambar 3. (a) Grafik Variasi pH Beberapa Konsentrasi Ni(II), (b) Variasi waktu Kontak dan (c) Variasi Komposisi Pada Gambar 3 (a), ditunjukkan bahwa adsorpsi ion Ni(II) mencapai maksimum pada pH 4. Selanjutnya pH tersebut digunakan sebagai pH acuan untuk adsorpsi ion Ni(II) pada variasi komposit khitosan-cangkang kupang yang lain. Penentuan Waktu Kontak Optimum Penentuan waktu kontak ini dilakukan dengan cara mengambil masing-masing 25 mL larutan ion logam Ni(II) dengan konsentrasi 100 mg/L dalam 8 beker gelas. Kondisi pH larutan diatur sesuai pH optimum yaitu pada pH 4. Grafik Variasi Waktu Kontak ditunjukkan pada Gambar 3 (b) sebagai berikut : Adsorpsi ion Ni(II) mencapai maksimum pada waktu kontak ≥ 75 menit. Selanjutnya waktu kontak optimum yang digunakan sebagai waktu acuan untuk adsorpsi ion Ni(II) untuk komposit serbuk cangkang kupang-khitosan terikat silang adalah 90 menit. Penentuan Kapasitas Adsorpsi Penentuan kapasitas adsorpsi ini dilakukan untuk mengetahui isoterm yang sesuai pada proses adsorpsi ion Ni(II) dengan komposit cangkang kupang-khitosan terikat silang dimana isoterm yang diujikan pada penelitian ini adalah jenis isoterm Langmuir dan Freundlich. Kurva yang dibuat berdasarkan data yang diperoleh ditunjukkan pada Gambar 3 (c). Model Adsorpsi Isoterm Ni(II) pada Komposit Adsorben Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada gambar 3 (c), dapat diketahui bahwa masing-masing komposit serbuk cangkang kupang-khitosan dengan komposisi 1, 2 dan 3, keseluruhannya menunjukkan hasil bahwa dengan semakin meningkatnya konsentrasi akhir atau konsentrasi kesetimbangan (Ce), maka kapasitas adsorpsinya juga semakin meningkat, sampai pada akhirnya adsorben jenuh sehingga diperoleh kapasitas adsorpsi maksimum.
AF-121
Data yang dihasilkan dapat digunakan untuk menganalisis untuk kedua isoterm baik Freundlich maupun Langmuir. Berdasarkan perhitungan qmaks untuk tiap-tiap perbandingan komposit menunjukkan bahwa perbandingan komposisi khitosan dan cangkang kupang berpengaruh terhadap kapasitas maksimumnya, namun pengaruh tersebut tidak terlalu signifikan. Nilai Parameter untuk Adsorpsi dengan Model Freundlich dan Langmuir untuk masing-masing komposit 2 ditunjukkan pada Tabel 1. Berdasarkan data nilai R yang ditunjukkan pada Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa model isoterm adsorpsi yang sesuai untuk ketiga jenis komposit adalah isoterm Langmuir. Tabel 1. Nilai Parameter untuk Adsorpsi dengan Model Freundlich dan Langmuir Komposit Model Freundlich KF n R2 1 0,56 1,58 0,975 2 1,64 2,04 0.900 3 3,44 2,80 0,795 Komposit Model Langmuir qmaks aL KL (L/g) R2 (mg/g) 1 11,766 0,02792 0,32851 0,994 2 10,869 0,12382 1,34589 0,996 3 10,309 0,60625 6,25 0,999 Pengaruh Luas Permukaan terhadap Kapasitas Adsorpsi Salah satu faktor yang mempengaruhi kapasitas adsopsi dari suatu adsorben adalah luas permukaannya. Pada umumnya, semakin besar luas permukaan suatu material maka kemampuan adsorpsinya juga semakin besar. Nilai luas permukan masing-masing komposit ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Data luas permukaan, Ukuran dan Volume Pori Komposit Hasil Pengukuran BET Komposi Luas Permukaan Volume Pori Diameter si (m2/g) (cc/g) Pori (Å) 1 4,790 9,821.10-4 19,37 -4 2 2,594 5,579.10 19,20 3 1,467 4, 847.10-4 18,20 Berdasarkan data luas permukaan yang diperoleh dapat diketahui bahwa semakin banyak kandungan serbuk cangkang kupang, maka luas permukaannya semakin menurun. Nilai luas permukaan yang ditunjukkan oleh masing-masing komposit urutannya sebanding dengan urutan kapasitas adsorpsinya, dimana semakin besar luas permukaan komposit maka kapasitas adsopsinya semakin besar. 4. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Preparasi adsorben cangkang kupang-khitosan terikat silang dapat dilakukan dengan mencampurkan larutan khitosan dengan serbuk cangkang kupang dengan agen pengikat silang glutaraldehid. Kapasitas adsorpsi larutan Ni(II) mencapai maksimum pada kondisi larutan pH 4 dan waktu kontak 90 menit. Pola adsorpsi isoterm untuk tiap-tiap perbandingan komposit sesuai dengan model Langmuir. Kandungan serbuk cangkang kupang dalam komposit yang semakin besar dapat menurunkan kapasitas adsorpsi, namun meningkatkan kecepatan adsorpsinya. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan naskah ini. 2. Drs. Eko Santoso, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyusunan Tugas Akhir ini 3. Semua pihak yang mendukung terselesaikannya naskah ini.
AF-122
Daftar Pustaka Bastaman, dkk., (1990), “Penelitian Limbah Udang sebagai Bahan Industri Khitin dan Khitosan“, BBIHP, Bogor. Chong, K. H. and Volesky, B., (1995), “Description of Two-Metal Biosorption Equilibria by LangmuirType Models”, Department of Chemical Engineering, Mc Gill University, Kanada.Vol.47, Hal. 451-460. Cotton, F.A., Wilkinson, G., (1989), “In Advanced Inorganic Chemistry”, Interscience Publishers, New York. th Ewing, Galen. W., (1988), “ Instrumental Methodes of Chemicals Analysis”, 5 edition, McGraw-Hill Book Company, New York. Fernandez, M.S., J.L. Arias, (2002), ”Biomimetic Processes Through The Study of Mineralized Shell”, CIMAT Universida de Chile, Chile. Fessenden, (1992), “Kimia Organik”, edisi 3, jilid 1, Erlangga, Jakarta. Jonsson-Charrier, M., Guibal, E., Roussy, J., (1996), “Vanadium (IV) Sorption by Chitosan : Kinetics and Equilibrium“, Wal. Res., 30, 2, Hal. 6285-6290. yan, G., Anbalagan, K., Andal, N.M., (2004), “Adsorption Dynamics and Equilibrium Studies of Zn(II) onto Chitosan”, Indian J. Chem. Sci.,116, 2, Hal. 119-127. Ko, D.C.K., J.F. Porter, G. McKay, (2000), “Optimized Correlations for The Fixed-bed Adsorption of Metal on Bone Char”, Chem. Eng. Sci, 55, Hal. 5819-5829. Kumar, M.N.V., (2000), “A Riview of Chitin and Chitosan Applications“, Reactive and Functional Polymers, 46, Hal. 1-27. Lima, I.S. and Airoldi, C., (2000), “A Thermodynamics Investigation and Chitosan Divalent Cation Interactions“, Thermo Chimica Acta, 421, Hal. 133-139. Marganof, (2003), ”Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pribadi Pengantar ke Falsafah Sains (PP702)”, Program Pasca Sarjana/ S3 ITB, Bandung. Majeti, N.V. Rafi Kumar, (2000), ”A Review of Chitin and Chitosan Applications”, J. Reactive & Functional Polimer, Vol 46, Hal. 1-3. Miller, J.C. and J.N. Miller, (1993), ”Statistics for Analytical Chemistry”, third edition, Prentice Hall. Oyrton, A., (1999), “Some Thermodynamic Data on Copper Chitin and Copper-Chitosan Biopolymer Interactions”, Journal of Colloid and Interface Science, 212, Hal. 212-213. Planas, M. Ruiz., (2002), “Development of Techniques Based on Natural Polymer for The Recovery of Precious Metals“, Thesis Doctoral, Universitat Politecnica de Catalunya, Spnyol. Sankararamakrishnan, Nalini and sanghi, Rashmi, (2006), “Preparation and characterization of a novel xanthated chitosan”, Indian Institute of Technology Kanpur, India, Vol. 66, Hal. 160-167. Schmul, R., Krieg, H.M., and Keizer, K., (2001), “Adsorption of Cu(II) and Cr(IV) Ions by Chitosan : Kinetics and Equilibrium Studies“, Water SA, vol 27, no.1, Hal. 79-86. th Skoog, Douglas A., Donald M. West, F. James Holler, (1996), “Fundamentals of Analysis Chemstry”, 7 ed, Saunders College Publishing, Philadelphia. Varian, (1989), “Analytical Methods : Flame Atomic Adsorption Spektrometri”, Varian Australia Ptv. Ltd, Victoria, Australia.
AF-123
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Uji Aktivitas Katalitik MoO3/TS-1 Pada Reaksi Amoksimasi Sikloheksanon Rakhmadi Harsayanto*, Didik Prasetyoko Laboratorium Kimia Anorganik, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 63111 *email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak. Reaksi amoksimasi sikloheksanon menggunakan katalis 1%MoO3/TS-1 telah dilakukan menggunakan hidrogen peroksida sebagai agen pengoksidasi. Reaksi dilakukan dengan metode batch selama 4 jam pada suhu 75 ºC, dengan pelarut metanol dan asetonitril. Produk reaksi dianalisis menggunakan kromatografi gas. Katalis 1%MoO3/TS-1 dengan pelarut metanol menunjukkan aktivitas katalitik tertinggi daripada TS-1, maupun jika dibandingkan dengan reaksi yang menggunakan pelarut asetonitril. Katalis 1%MoO3/TS-1 yang dikalsinansi pada 400 ºC menunjukkan aktivitas tertinggi. Peningkatan aktivitas katalitik 1%MoO3/TS-1 dikarenakan sifat hidrofilisitasnya yang lebih tinggi dibandingan katalis TS-1. Kata kunci: amoksimasi sikloheksanon, TS-1, MoO3/TS-1 1. Pendahuluan Sikloheksanon oksim merupakan material penting dalam industri karena digunakan untuk menghasilkan kaprolaktam. Kaprolaktam adalah bahan dasar untuk pembuatan nilon-6 dan plastik. Amoksimasi sikloheksanon menjadi sikloheksanon oksim merupakan reaksi antara sikloheksanon dan hidroksilamin sulfat. Reaksi tersebut merupakan reaksi nonkatalitik yang mempunyai beberapa kelemahan, antara lain: produksi oksim melalui banyak tahap sehingga memerlukan waktu yang lama dan biaya produksi yang tinggi, serta menghasilkan ammonium sulfat sebagai produk samping yang dapat menyebabkan masalah pada lingkungan (Armor, 1981). Dalam rangka mengatasi permintaan nilon-6 di pasaran dunia yang semakin meningkat, serta menanggulangi kelemahan dari reaksi nonkatalitik, para peneliti mengembangkan metode-metode baru untuk meningkatkan produksi sikloheksanon oksim melalui proses yang ramah terhadap lingkungan. Katalis TS-1 diketahui dapat mengkatalisis berbagai jenis campuran organik dengan menggunakan hidrogen peroksida (H2O2) sebagai agen pengoksidasi (oksidan) dan bersifat ramah lingkungan karena hanya menghasilkan air sebagai produk samping (Roffia dkk, 1990). Zeolit TS-1 juga menunjukkan daya kerja yang sangat bagus terhadap berbagai macam proses oksidasi selektif hidrokarbon dengan menggunakan H2O2 sebagai oksidan dan mempunyai aktivitas dan selektivitas yang tinggi terhadap sikloheksanon oksim (Yang dkk, 2007). Selain keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, TS-1 juga memiliki kelemahan yaitu sifatnya yang hidrofob dan sedikit sekali sifat hidrofiliknya (Liu dkk, 2004). Mekanisme reaksi katalitik pada katalis TS-1 dengan menggunakan H2O2 diawali oleh adsorpsi H2O2 pada permukaan katalis membentuk spesies intermediet yaitu kompleks Ti-perokso, kemudian diikuti adsorpsi substrat pada katalis dengan kompleks Ti-perokso tersebut dan menghasilkan produk reaksi (Liu dkk, 2007; Bonino dkk, 2004). Sifat hidrofilik katalis dapat meningkatkan kecepatan adsorpsi H2O2 yang bersifat hidrofilik pada permukaan katalis, sehingga produk lebih cepat terbentuk (Nur dkk, 2004; Prasetyoko dkk, 2005). Hidrofilisitas katalis dapat ditingkatkan melalui modifikasi katalis menggunakan oksida logan transisi, dikarenakan adanya peningkatan sifat keasaman. Sisi keasaman dapat ditemukan pada beberapa logam transisi, namun sisi asam Bronsted hanya ditemukan pada
AF-124
oksida logam V2O5, Nb2O5, MoO3, WO3, Re2O7, dan Cr2O3/Al2O3 (Kung dkk, 1989). Penambahan oksida logam dapat meningkatkan sifat hidrofilik TS-1 sehingga akan meningkatkan laju reaksi H2O2 dengan TS-1 membentuk Ti-perokso, yang pada akhirnya akan menghasilkan produk sikloheksanon oksim dalam waktu yang lebih singkat. Katalis TS-1 telah dimodifikasi menggunakan oksida logam yaitu MoO3 dan diteliti sifat permukaannya (Fahriyati, 2008). Katalis TS-1 yang telah dimodifikasi MoO3 diaplikasikan pada reaksi hidroksilasi fenol dan diuji aktivitas katalitiknya (Indrayani, 2008). Indrayani melaporkan bahwa aktivitas katalitik yang paling baik adalah pada 1%MoO3/TS-1. Berdasarkan pendekatan yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya, katalis TS-1 termodifikasi MoO3 akan diaplikasikan pada reaksi amoksimasi sikloheksanon. Penggunaan katalis TS-1 termodifikasi MoO3 diharapkan akan semakin meningkatkan kecepatan pembentukan produk sikloheksanon oksim. 2. Eksperimen Uji aktivitas katalitik dilakukan terhadap katalis MoO3/TS-1 maupun TS-1 sebagai pembanding melalui reaksi amoksimasi sikloheksanon dengan metode batch.. Reaksi amoksimasi sikloheksanon dilakukan mengikuti formula Song dkk (2007). Pelarut yang digunakan adalah metanol dan asetonitril untuk mengetahui pengaruh pelarut terhadap aktivitas katalitik. Pengaruh suhu kalsinasi terhadap aktivitas katalitik dipelajari menggunakan katalis 1%MoO3/TS-1 yang dikalsinasi pada 400, 500, dan 600 ºC . Reaksi dilakukan dalam labu bulat 50 mL yang dihubungkan dengan kondensor refluks dan plat pemanas. Setiap eksperimen menggunakan 0,15 gram katalis yang ditambahkan pada 20 mmol sikloheksanon dalam labu bulat, diikuti dengan penambahan 10 mL pelarut. Kemudian hidrogen peroksida dan amonium hidroksida ditambahkan masing-masing 24 mmol. Campuran distirer dengan kecepatan 200 rpm selama 4 jam pada suhu 75 ºC. Setiap 1, 2, dan 4 jam, diambil sampel untuk diuji dengan kromatografi gas menggunakan nitrobenzena sebagai standart internal. Data yang didapatkan adalah luas area dari puncak sikloheksanon oksim (produk) pada kromatogram. Berdasarkan data tersebut dihitung rasio luas area puncak sikloheksanon oksim terhadap luas area puncak nitrobenzena sebagai standar internal. Jumlah produk pada masing-masing reaksi 1, 2, dan 4 jam analog dengan rasio luas puncak produk terhadap standar 3. Hasil dan Pembahasan Penelitian ini menggunakan katalis TS-1 yang telah disintesis dengan metode Taramasso (1983). Sedangkan katalis 1%MoO3/TS-1 telah disiapkan dengan metode impregnasi ammonium molibdat pada TS-1, yang dilanjutkan pengeringan pada suhu 100°C dan kalsinasi pada suhu 500°C selama 5 jam. Katalis TS-1 yang termodifikasi 1% MoO3 dipilih karena 1%MoO3/TS-1 menunjukkan aktivitas katalitik tertinggi sebagaimana yang telah dilaporkan Indrayani (2008) pada reaksi hidroksilasi fenol menggunakan H2O2. Penggunaan MoO3 dengan persentase yang lebih besar dari 1% mengakibatkan aktivitas katalis semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa ada pori TS-1 yang tertutup oleh MoO3, sehingga reaktan yang akan menuju sisi aktif TS-1 menjadi terhalangi, akibatnya reaktan yang dikonversi oleh katalis menjadi berkurang. Uji Aktivitas Katalitik Katalis TS-1 dan 1%MoO3/TS-1 diuji aktivitas katalitiknya pada reaksi amoksimasi sikloheksanon yang mengacu pada formula Song dkk (2007). Reaksi ini menggunakan hidrogen peroksida sebagai agen pengoksidasi, dan dilakukan pada suhu 75 ºC selama 4 jam dengan pengadukan 200 rpm. Pengaruh pelarut terhadap aktivitas katalitik dipelajari dengan membandingkan penggunaan pelarut metanol dan asetonotril pada reaksi tersebut. Pengambilan sampel dilakukan pada 1, 2, dan 4 jam. Setiap sampel kemudian diuji menggunakan kromatografi gas dengan detektor ionisasi nyala (FID, Flame Ionization Detector). Produk reaksi dianalisis menggunakan kromatografi gas dan dihitung rasio luas puncak sikloheksanon oksim terhadap luas puncak nitrobenzana sebagai standar internal untuk menentukan seberapa banyak produk yang terbentuk. Standar internal nitrobenzena digunakan karena ada selisih luas puncak sikloheksanon dan produk sikloheksanon oksim yang cukup besar, sehingga dapat memperkecil galat atau kesalahan. Gambar 1 menunjukkan contoh kromatogram KG dari reaksi amoksimasi sikloheksanon menggunakan
AF-125
katalis TS-1 dengan pelarut metanol. Kromatogram ini menunjukkan lima puncak utama pada waktu penahanan (tR) = 2,714; 3,315; 4,187; 6,008; dan 10,764.
1
3 2
4 5
pA
tR (menit) Kondisi: suhu 75 ºC; 0,1512 gram katalis TS-1; 10 mL metanol; 20 mmol sikoheksanon; dan 24 mmol hidrogen peroksida, waktu reaksi 4 jam. Puncak 1=metanol, 2=piridin, 3=sikloheksanon, 4=nitrobenzena, 5=sikoheksanon oksim.
Gambar 1. Kromatogram KG hasil reaksi amoksimasi sikloheksanon menggunakan katalis TS-1 Hasil kromatogram KG dari reaksi yang menggunakan katalis TS-1 maupun 1%MoO3/TS-1 menunjukkan konsistensi kemunculan kelima puncak utama tersebut walaupun dengan luas puncak yang berbeda-beda. Hal ini berarti bahwa masing-masing katalis mempunyai aktivitas katalitik yang berbeda terkait dengan karakteristik masing-masing katalis serta pelarut yang digunakan dalam reaksi. Puncak pertama pada tR = 2,714 menunjukkan puncak dari pelarut metanol. Standar internal yang digunakan dalam KG ditunjukkan oleh puncak kedua dan keempat pada tR = 3,315 dan tR = 4,187 yaitu piridin dan nitrobenzena. Reaktan sikloheksanon yang masih tersisa ditunjukkan oleh puncak ketiga pada tR = 6,008, sedangkan produk sikloheksanon oksim ditunjukkan oleh puncak kelima pada tR = 10,764. Puncak-puncak lain yang muncul pada kromatogram dimungkinkan adalah produk samping amoksimasi sikloheksanon seperti asetamida, nitrosikloheksana, dan metoksisikloheksana. Pengaruh Katalis Jumlah sikloheksanon oksim yang dihasilkan pada reaksi ke-0, 1, 2, dan 4 jam diketahui dari rasio antara luas puncak sikloheksanon oksim dengan luas puncak nitrobenzena sebagai standar internal, yang ditunjukkan pada Gambar 2. Semakin besar rasio antara luas puncak sikloheksanon oksim dengan luas puncak nitrobenzena, maka hal ini menandakan semakin banyak pula produk sikloheksanon oksim yang terbentuk. Gambar 2 menunjukkan bahwa pada awal reaksi, produk sikloheksanon oksim masih belum dihasilkan. Namun, pada jam pertama terlihat bahwa reaksi yang menggunakan katalis 1%MoO3/TS-1 memberikan pertambahan produk reaksi yang lebih banyak daripada TS-1 tanpa penambahan MoO3. Hal tersebut terlihat dari besarnya rasio antara luas puncak sikloheksanon oksim dengan luas puncak nitrobenzena. Produk reaksi terus bertambah hingga akhir jam keempat. Pertambahan produk reaksi yang menggunakan katalis 1%MoO3/TS-1 terlihat signifikan apabila dibandingkan dengan reaksi yang menggunakan katalis TS-1 tanpa penambahan 1% MoO3. Dengan kata lain, katalis TS-1 dengan penambahan 1% MoO3 mempunyai aktivitas katalitik yang lebih tinggi daripada TS-1 tanpa penambahan MoO3.
AF-126
5 4,5 4
TS-1 (Asetonitril) Mo/TS-1 (Asetonitril)
Rasio
3,5 3
TS-1 (Metanol) Mo/TS-1 (Metanol)
2,5 2 1,5 1 0,5 0 0
1
2
3
4
5
Waktu Reaksi (jam) Kondisi: Katalis TS-1, dan 1%MoO3/TS-1 yang dikalsinasi pada 500 ºC, selebihnya lihat Gambar 1. Gambar 2. Rasio luas puncak sikloheksanon oksim terhadap nitrobenzena pada reaksi ke-0, 1, 2, dan 4 jam
Perbedaan aktivitas katalitik 1%MoO3/TS-1 dengan TS-1 tanpa penambahan 1% MoO3 terkait dengan sifat katalis TS-1 maupun MoO3. MoO3 adalah oksida logam yang mampu memberikan sisi asam Lewis maupun Brønsted sebagaimana yang telah dilaporkan Kung dkk (1989). Sifat oksida logam ini mampu mengatasi kelemahan katalis TS-1 yaitu keasaman Brønstednya yang lemah. Yang dkk (2007) telah meneliti bahwa keasaman Brønsted dari dari TS-1 sangat lemah sehingga tidak dapat terdeteksi oleh sinyal 1H MAS NMR dan absorpsi N2 piridin. Sisi lemahnya asam Brønsted baru dapat terdeteksi 1 + menggunakan P MAS NMR dengan terbentuknya kompleks [(CH3)3P-H] . Maka, dengan penambahan MoO3 pada katalis TS-1 akan meningkatkan keasaman katalis, baik sisi asam Lewis maupun Brønsted. Peningkatan keasaman katalis ini mampu mengurangi sifat hidrofob katalis dan meningkatkan sifat hidrofiliknya. Liu dkk (2004) mengutarakan bahwa katalis TS-1 memiliki kelemahan yaitu sifatnya yang hidrofob dan sedikit sekali sifat hidrofiliknya (Liu dkk, 2004). Sifat yang hidrofob ini menyebabkan mekanisme reaksi katalitik yang diawali dengan adsorpsi H2O2 pada permukaan katalis membentuk spesies intermediet yaitu kompleks Tiperokso sebagaimana yang diutarakan Bonino dkk (2004), tidak berlangsung secara optimal. Dengan meningkatnya keasaman katalis, maka sifat hidrofilisitasnya juga akan meningkat. Sifat katalis TS-1 yang lebih hidrofil setelah penambahan oksida MoO3 akan mempercepat adsorpsi oksidan H2O2 yang juga bersifat hidrofil. Dengan demikian, pembentukan spesies intermediet Ti-perokso juga berlangsung cepat. Hal ini senada dengan yang dilaporkan oleh Nur dkk (2004) dan Prasetyoko (2009) yang menyatakan bahwa keberadaan oksida logam pada katalis TS-1 memberikan sisi asam yang mampu meningkatkan sifat hidrofilisitas katalis sehingga adsorpsi reaktan pada katalis menjadi lebih cepat. Ti-perokso merupakan kunci pembentukan produk sikloheksanon oksim. Dengan semakin cepatnya pembentukan Ti-perokso, maka produk sikloheksanon oksim juga makin cepat terbentuk. Pengaruh Pelarut Selama reaksi berlangsung didapatkan hasil pengamatan bahwa telah terjadi perubahan warna larutan. Reaksi yang menggunakan pelarut metanol menunjukkan perubahan warna larutan dari tidak berwarna menjadi kecoklatan. Perubahan warna coklat ini menjadi semakin tua seiring lamanya waktu reaksi. Namun, reaksi yang menggunakan katalis 1%MoO3/TS-1 menunjukkan perubahan warna yang lebih cepat daripada reaksi dengan katalis TS-1. Warna coklat telah tampak pada waktu reaksi 1 jam untuk reaksi dengan 1%MoO3/TS-1, sedangkan untuk reaksi dengan TS-1 warna coklat baru nampak ketika waktu reaksi 1,5 jam. Hal ini menunjukkan bahwa produk reaksi lebih cepat terbentuk pada reaksi dengan katalis 1%MoO3/TS-1. Reaksi yang menggunakan pelarut asetonitril juga
AF-127
menunjukkan perubahan warna, namun tidak sepekat reaksi dengan pelarut metanol, yaitu kuning kecoklatan. Hal ini mengindikasikan bahwa produk reaksi dengan pelarut metanol lebih banyak daripada dengan pelarut asetonitril. Hal senada juga telah dilaporkan Song dkk (2007). Pelarut yang digunakan dalam reaksi memberikan perbedaan hasil yang cukup signifikan sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Reaksi dengan katalis 1%MoO3/TS-1 yang menggunakan pelarut asetonitil memberikan rasio sikloheksanon oksim terhadap nitrobenzena lebih kecil daripada reaksi yang menggunakan pelarut metanol. Hal serupa juga tampak pada reaksi dengan katalis TS-1 tanpa penambahan MoO3. Hasil ini mengindikasikan bahwa pelarut metanol yang digunakan dalam reaksi memberikan aktivitas katalis yang lebih tinggi daripada pelarut asetonitril. Metanol merupakan pelarut yang protik, sedangkan asetonitril merupakan pelarut aprotik. Produk sikloheksanon oksim lebih banyak dihasilkan jika reaksi dilakukan menggunakan pelarut metanol. Hal ini berkaitan dengan interaksi yang terjadi antara pelarut protik dengan sisi aktif pada TS-1. Hidrogen peroksida berinteraksi dengan Ti-O-Si dalam framework menghasilkan TiOOH dan SiOH. Adanya metanol sebagai pelarut mengakibatkan TiOOH dan SiOH terkoordinasi pada pusat aktif membentuk membentuk cincin lingkar 5 melalui ikatan hidrogen yang terjadi antara metanol dengan spesies okso-titanium (Liu dkk, 2007). Spesies okso-titanium diduga menjadi kompleks spesi aktif pada reaksi yang dikatalisis oleh TS-1 (Bonino dkk, 2004). Molekul pelarut yang terkoordinasi dengan dengan pusat Ti meningkatkan keasaman TiOOH (Atoguchi dkk, 2001). TiOOH yang merupakan hasil hidrolisis dari Ti-O-Si lebih cepat terbentuk dengan menggunakan pelarut metanol. Pengaruh Suhu Kalsinasi Suhu kalsinasi dianalisis pengaruhnya terhadap aktivitas katalitik 1%MoO3/TS-1 dengan membandingkan hasil reaksi amoksimasi sikloheksanon dari katalis 1%MoO3/TS-1 yang dikalsinasi pada suhu 400, 500, dan 600 ºC (selanjutnya ditulis 400MoO3/TS-1, 500MoO3/TS-1, dan 600MoO3/TS-1, berturut-turut). Reaksi menggunakan katalis 500MoO3/TS-1 telah dilakukan dan dibahas pembahasan pengaruh katalis. Hal yang sama lalu dilakukan terhadap katalis 400MoO3/TS-1 dan 600MoO3/TS-1. Pelarut yang digunakan adalah metanol, sebab dalam pembahasan sebelumnya diketahui bahwa pelarut metanol memberikan aktivitas tertinggi jka dibandingkan dengan pelarut asetonitril. Hasil reaksi menggunakan katalis 400MoO3/TS-1 dan 600MoO3/TS-1 dianalisis menggunakan kromatografi gas. Hasil kromatogam juga menunjukkan puncak-puncak sebagaimana telah disebutkan dalam Gambar 1. Kemudian, untuk menentukan sikloheksanon oksim yang terbentuk, dihitung rasio luas puncak sikloheksanon oksim terhadap luas puncak nitrobenzena. Gambar 3 menunjukkan kuva rasio luas puncak sikloheksanon oksim dan nitrobenzena terhadap waktu reaksi.
Rasio Luas Puncak Sikloheksanon Oksim terhadap Nitrobenzena
6 5 4 3 400Mo/TS-1 2
500Mo/TS-1 600Mo/TS-1
1 0 0
Kondisi reaksi:
1
2
Waktu
3
4
5
Katalis 1%MoO3/TS-1 yang terkalsinasi dengan suhu berbeda, pelarut metanol, selebihnya lihat Gambar 1
Gambar 3. Hasil reaksi menggunakan katalis 1%MoO3/TS-1 yang terkalsinasi dengan suhu berbeda
AF-128
Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa pada awal reaksi atau jam ke-0, tiap katalis masih belum menghasilkan sikloheksanon oksim. Namun, pada jam ke-1 sikloheksanon oksim telah dihasilkan pada tiap katalis. Katalis 400MoO3/TS-1 memberikan hasil tertinggi, terlihat dari besarnya rasio luas puncak sikloheksanon oksim terhadap nitrobenzena. Besarnya rasio tersebut dari katalis 400MoO3/TS-1, 500MoO3/TS-1, dan 600MoO3/TS-1 berturut-turut adalah 3,43; 2,89; dan 2,09. Produk sikloheksanon oksim terus bertambah hingga akhir jam keempat Besarnya pertambahan produk dari katalis 400MoO3/TS-1, 500MoO3/TS-1, serta 600MoO3/TS-1 dibandingkan saat jam ke-1 reaksi adalah 1,54; 1,59; dan 1,80 kali. Walaupun demikian, jumlah sikloheksanon oksim pada reaksi dengan katalis 400MoO3/TS-1 adalah paling banyak dibandingkan reaksi dengan katalis 500MoO3/TS-1 dan 600MoO3/TS-1. Rasio luas puncak sikloheksanon oksim terhadap nitrobenzena pada akhir jam ke-4 adalah berturut-turut 5,34; 4,62; dan 3,78. Dengan demikian, katalis 400MoO3/TS-1 memiliki aktivitas katalitik tertinggi daripada katalis 500MoO3/TS-1 dan 600MoO3/TS-1. Selain itu, diketahui bahwa semakin tinggi suhu kalsinasi, maka aktivitas katalitiknya semakin menurun. Penurunan aktivitas katalitik seiring kenaikan suhu kalsinasi adalah disebabkan semakin tidak hidrofilnya katalis. Penurunan hidrofilisitas ini telah diutarakan oleh Farika dan Prasetyoko (2009). Katalis 400MoO3/TS-1 adalah katalis yang paling hidrofil dibandingkan katalis 500MoO3/TS-1 dan 600MoO3/TS-1. Hidrofilisitas ini diketahui dari waktu tenggelamnya katalis dalam sistem dua fasa air dan xilena. Semakin tingginya temperatur kalsinasi menyebabkan MoO3 akan mengalami aglomerasi sehingga interaksi yang terjadi antarpartikel MoO3 pada permukaan TS-1 kurang baik. Maka, dengan kenaikan suhu kalsinasi daya serap katalis terhadap air semakin menurun. Dengan kata lain, katalis menjadi semakin hidrofob. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil yang didapatkan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas katalitik 1%MoO3/TS-1 lebih tinggi dari TS-1. Penambahan MoO3 dapat meningkatkan sifat hidrofilisitas katalis. Penggunaan metanol memberikan aktivitas katalitik yang lebih tinggi daripada asetonitril. Sifat metanol yang protik mampu mempercepat pembentukan kompleks spesi aktif pada reaksi katalisis. Katalis yang dikalsinasi pada suhu 400 ºC memberikan aktivitas katalitik tertinggi. Semakin tinggi suhu kalsinasi, aktivitas katalitiknya semakin menurun. Kondisi reaksi amoksimasi sikloheksanon yang paling optimum didapatkan menggunakan katalis 1%MoO3/TS-1 yang dikalsinasi pada suhu 400 ºC, serta pelarut metanol. Reaksi ini menghasilkan rasio luas puncak sikloheksanon oksim terhadap nitrobenzena sebesar 5,34. Ucapan Terima Kasih Kami berterimakasih kepada Hibah Pascasarjana Dirjen Pendidikan Tinggi sebagai sponsor utama dalam penelitian ini Daftar Pustaka Armor, J. N., E. J. Carlson, S. Soled, W. C. Conner, A. Laverick, B. DeRites, dan W. Gates. (1981). “Ammoximation : II. Catalysts for the Ammoximation of Cyclohexanone”, Journal of Catalysis, Vol. 1, hal 84-91. Atoguchi, T. dan Yao, S., (2001), “Phenol Oxidation over Titanosilicalite-1: Experimental and DFT Study of Solvent”, Journal of Molecular Catalysis A: Chemical, Vol. 176, hal. 173–178. Bonino, F., Damin, A., Ricchiardi, G., Ricci, M., Spano, G., D’Aloisio, R., Zecchina, A., Lamberti, C., Prestipino, C., dan Bordiga, S., (2004), “Ti-Peroxo Species in The TS-1/H2O2/H2O System”, Journal Physical Chemistry, Vol 108, hal 3573-3583. Fahriyati, D.A., (2008), “Struktur dan Sifat Permukaan Katalis MoO3/TS-1”, Tesis Program Magister Jurusan Kimia ITS, Surabaya Farika, A., dan Prasetyoko, D., (2009), “The Effect of Calcination Temperature MoO3/TS-1 Catalyst”, Proceeding International Conference on Materials and Metallurgical Technology (ICOMMET) 2009 “, hal IM 96 Indrayani, Suci, (2008), “Aktivitas Katalitik MoO3/TS-1 pada Reaksi Hidroksilasi Fenol menggunakan H2O2”, Tesis Program Magister Jurusan Kimia ITS, Surabaya Kung, H. H. (1989), “Transition Metal Oxides: Surface Chemistry and Catalysis, Study Surface Science and Catalysis”, Elsevier, New York Liu, X., Wang, X., Guo, X., Li, G. (2004), “Effect of Solvent on the Propylene Epoxidation over TS-1 Catalyst”, Catalysis Today, Vol. 93-95, hal. 505-509.
AF-129
Liu, Y., Ma, X., Wang, S., Gong, J.(2007), “The Nature of Surface Acidity and Reactivity of MoO3/SiO2 and MoO3/TiO2-SiO2 for Transesterification of Dimethyl Oxalate with Phenol: A Comparative Investigation”, Appllied Catalysis B: Environmental 77:125-134. Nur, H., Prasetyoko, D., Ramli, Z., Endud, S. (2004), “Sulfation: A simple Method to enhance the Catalytic Activity of TS-1 in Epoxidation of 1-octene with Aqueous Hydrogen Peroxide”, Catalysis Communications . Vol.5, hal. 725–728. Prasetyoko, D., Ramli, Z., Endud, S., Nur, H. (2005), “Enhancement of Catalytic Activity of Titanosilicalite-1 – Sulfated Zirconia Combination Towards Epoxidation of 1-Octene With Aqueous Hydrogen Peroxide”, React. Kinet. Catal. Lett, Vol. 86, hal. 83-89. Roffia, P., G. Leofanti, A. Cesana, M. Mantegazza, M. Padovan, G. Petrini, S. Tonti, dan P. Gervasutti. (1990). Cyclohexanone Ammoximation: A Break Through In The 6-Caprolactam Production Process. Studies in Surface Science and Catalysis 55: 43-52. Song, Fen., Liu, Yueming., Wang, Lingling., Zhang, Haijao., He, Mingyuan., Wu, Peng., (2007), “Highly Selective Synthesis of Methyl Ethyl Ketone Oxime through Ammoximation over Ti-MWW”, Journal of Molecular Catalysis A: Chemical, vol. 22 – 31. Taramasso, M., Perego, G. and Notari, B. (1983), “Preparation of Porous Crystalline Synthetic Material Comprised of Silicon and Titanium Oxides”. (U. S. Patents No. 4.410.501). Yang, G., Lan, X., Zhuang, J., Ma, D., Zhou, L., Liu, X., Han, X., Bao, L., (2007), “Acidity and Defect Sites in Titanium Silicalite Catalyst”, Applied Catalysis A: General Vol 337, hal. 58-65.
AF-130
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Pengaruh Perbedaan Alur Sintesis Terhadap Karakter Ba2Bi4Ti5O18 Ritma Primayanti Juhari1,*, Welby Risnaldy1, Atiek Rostika Noviyanti1 1
Laboratorium Anorganik, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jl.Raya Bandung-Sumedang Km.21 Jatinangor 45363, Indonesia Corresponding author: Telp: 085624426622 E-mail address:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh metode sintesis Ba2Bi4Ti5O18 dengan kondisi suhu yang lebih rendah. Prosedur yang digunakan untuk melakukan sintesis material ini adalah dengan menggunakan metode reaksi kimia fasa padat, metode hidrotermal dan metode ball milling. Metode sintesis reaksi kimia fasa padat menggunakan pembakaran pada o suhu tinggi dimulai dari 800 hingga 1100 C secara bertahap masing-masing selama 24 jam. Metode sintesis hidrotermal menggunakan variasi NaOH 3-5 M terhadap variasi waktu pemanasan tertentu. Sedangkan metode sintesis ball milling dilakukan dengan penggerusan kontinyu menggunakan shaker pada kecepatan 30 putaran/menit. Hasil dari sintesis ini kemudian dianalisis menggunakan alat difraktometer sinar-X serbuk dan SEM-EDAX. Berdasarkan difraktogram yang diperoleh oksida Ba2Bi4Ti5O18 dapat disintesis menggunakan metode reaksi kimia fasa padat, metode hidrotermal (NaOH 3M, 144 jam), dan metode ball milling (sesuai dengan data base PDF 74-1663). Morfologi permukaan kristal Ba2Bi4Ti5O18 hasil sintesis diperoleh dari data SEM yaitu polikristalin dengan perbandingan komposisi unsur Ba dengan Bi hasil analisis EDAX yaitu 2:4. Kata kunci : Barium Bismut titanat (Ba2Bi4Ti5O18), reaksi fasa padat, hidrotermal, ball miliing, XRD, SEM
1.Pendahuluan Material feroelektrik merupakan subkelompok dari bahan piroelektrik. Sedangkan bahan piroelektrik merupakan subkelompok dari bahan piezoelektrik, sehingga bahan feroelektrik memiliki sifat piroelektrik dan piezoelektrik. Oleh karena itu, bahan ferolektrik ini mempunyai berbagai penerapan menurut sifatnya itu. Penerapan material feroelektrik didasarkan sifat histerisis dan tetapan dielektriknya yang tinggi dan dapat diterapkan pada sel memori Dynamic Random Acsess Memory (DRAM), sifat piezoelektrik dapat digunakan sebagai mikroaktuator dan sensor (Sabarani, 2006). Penggunaan material ferolektrik sebagai memori dewasa ini sangat menguntungkan bila dibandingkan dengan sistem magnetik. Sistem magnetik hanya mampu menyimpan 105 2 bit/cm , sedangkan memori yang terbuat dari material feroelektrik mampu menyimpan hingga 108 bit/cm2. Keuntungan lain adalah sebagai memori permanen yang mampu menekan kehilangan informasi selama proses berulang. Salah satu material yang dapat bersifat feroelektrik adalah oksida Aurivillius (Sabarani, 2006). Fasa Aurivillius sudah menunjukkan konduktor ion oksigen yang sangat menjanjikan untuk digunakan di dalam sel bahan-bakar oksida padat. Struktur kristal Aurivillius mengijinkan suatu penggantian ionik beragam yang luas pada kedua lapisan baik lapisan perovskit maupun lapisan seperti fluorit. Sebagai hasilnya, adalah mungkin untuk mempengaruhi konduksi ion oksigen secara cepat dengan memberikan peluang pada oksigen untuk masuk ke dalam struktur kristal dengan pemberian ion dari valensi yang berbeda. Lagipula, telah ditunjukkan bahwa suatu ion oksigen tidak akan tetap berada dalam kristal pada suhu tinggi (Aurivillius, 1950).
AF-131
Barium bismut titanat (Ba2Bi4Ti5O18) adalah salah satu dari beberapa senyawa lapisan bismut yang biasa disebut dengan struktur tipe Aurivillius. Barium bismut titanat (Ba2Bi4Ti5O18) memperlihatkan potensi penggunaan yang besar dalam aplikasi seperti perangkat memori yang tidak mudah menguap, memori optikal, piezoelektrik, dan alat elektro-optik lainnya. Tujuan penelitian ini adalah menemukan metode sintesis B2BT pada suhu yang lebih rendah. Memperoleh informasi struktur B2BT dengan menggunakan difraktometer sinar-X serbuk untuk kemudian membandingkannya dengan data Powder Diffraction File (PDF). Memperoleh informasi mengenai morfologi dan komposisi kristal B2BT yang terbentuk menggunakan Scanning Electron Microscope-Energy Dipersive Analysis X-rays (SEMEDAX). 2. Eksperimen Sintesis B2BT dengan metode reaksi kimia fasa padat Barium bismut titanat (B2BT) disintesis dari pereaksi barium karbonat, bismut oksida dan titanium oksida dengan menggunakan reaksi kimia fasa padat (Kennedy et al., 2003). Produk yang diperoleh pada tahap sintesis dikarakterisasi dengan menggunakan teknik difraksi sinar-X. Karakterisasi ini menggunakan alat difraktometer sinar-X PW1710. Sumber radiasi yang digunakan adalah Cu - Kα dengan filter Ni. Pola difraksi diukur pada rentang sudut 2θ antara 10o sampai 90o dengan interval kenaikan sudut sebesar 0,05o. Pola difraksi yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan database Powder Diffraction File (PDF). Analisa hasil pengukuran dan penentuan parameter kisi dilakukan dengan bantuan metode Le Baile dengan software Rietica. Sintesis B2BT dengan metode hidrotermal Campuran pereaksi barium karbonat, bismut oksida dan titanium oksida masingmasing pereaksi ditimbang dengan jumlah tertentu sesuai dengan perbandingan stoikiometri material yang akan disintesis. Selanjutnya campuran pereaksi tersebut dimasukkan ke dalam bomb parr tipe 4744 dan ditambahkan larutan NaOH dengan variasi konsentrasi 3, 4, dan 5 M sebagai mineraliser hingga terisi 60 % (sekitar 12 mL). Proses selanjutnya adalah o pemanasan pada suhu 230 C dalam oven listrik dengan variasi waktu 76 dan 144 jam. Produk yang terbentuk kemudian dicuci dengan aqua bidest. Produk selanjutnya dikeringkan o pada suhu kamar, kemudian pada suhu 110 C untuk menghilangkan air selama 24 jam. Sintesis B2BT dengan metode ball milling Campuran pereaksi barium karbonat, bismut oksida dan titanium oksida masingmasing pereaksi ditimbang dengan jumlah tertentu sesuai dengan perbandingan stoikiometri material yang akan disintesis. Campuran pereaksi kemudian diletakkan dalam mortar untuk selanjutnya digerus dengan kecepatan shaker 30 putaran/menit. Penggerusan dilakukan selama 24 jam dan setiap 2 jam sekali ditambahkan aseton p.a untuk mempermudah terjadinya reaksi. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 900 oC dalam tungku selama 2 jam. 3. Hasil dan Pembahasan Sintesis B2BT dengan Metode Reaksi Fasa Padat Serbuk kristal B2BT yang dihasilkan pada sintesis dengan metode reaksi fasa padat memiliki struktur yang agak keras dan berwarna cokelat muda. Serbuk kristal B2BT yang disintesis dengan metode reaksi fasa padat diidentifikasi menggunakan difraktometer sinar-X. Pola XRD serbuk kristal B2BT hasil sintesis dengan metode reaksi fasa padat. Penghalusan B2BT dengan metode Le Baille menghasilkan data dapat dilihat pada Gambar 1. Dari pola difraksi pada Gambar 1 dapat dianggap bahwa dihasilkan B2BT menggunakan metode reaksi fasa padat yang dilakukan pada beberapa tahap pemanasan dengan suhu 800, 850, 900, 950, 1000, 1050, dan 1100 oC selama masing-masing 24 jam. Hal ini dikarenakan pola difraksi pada Gambar 1 tersebut sesuai dengan data ICSD (no. 74o 1663). Puncak pada pola XRD B2BT terkarakteristik pada posisi sekitar 30 . Intensitas o puncak pada posisi sekitar 30 lebih tinggi dibandingkan dengan puncak-puncak lain. Hal ini menunjukan bahwa B2BT dalam serbuk merupakan produk utama.
AF-132
Gambar 1. Plot Le Baile Ba2Bi4Ti5O18, data percobaan (+), perhitungan (garis merah) dan selisisih (garis hijau) yang dianggap dengan grup ruang B2cb pada suhu ruang. Tabel 1. Data parameter sel B2BT (sintesis padat) hasil penghalusan Le Baile Struktur Kristal A21am (ortorombik pada suhu kamar) Parameter Sel B2BT Data PDF Perhitungan metode Le Baile a (Å) 5,4985 5,4554 b (Å) 5,4980 5,4228 c (Å) 50,3524 51,0543 Rp 4,37 4,11 Rwp 5,51 5,56 Serbuk kristal B2BT yang disintesis dengan metode reaksi fasa padat dikarakterisasi morfologi strukturnya dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Hasil foto SEM serbuk kristal B2BT hasil sintesis dengan metode reaksi padat dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini:
Gambar 2. Hasil foto SEM serbuk kristal B2BT hasil sintesis dengan metode reaksi fasa o padat suhu 800-1100 C masing-masing selama 24 jam. Selain dengan menggunakan penghalusan pola difraksi pada karakterisasi difraksi sinar-X. Analisis kualitatif terhadap B2BT dapat dilakukan dengan metode EDAX, karena metode ini dapat menentukan perbandingan komposisi unsur penyusun dari material ini. Perhitungan dilakukan atas dasar rasio persentasi massa atom penyusun B2BT hasil sintesis. Berdasarkan hasil sintesis diperoleh perbandingan komposisi atom penyusun B2BT yaitu Ba dan Bi yaitu 2:4 (seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 2 dibawah).
Elemen Ba Bi
Tabel 2. Perbandingan komposisi elemen hasil pengukuran EDAX Massa (%) Galat(%) Ar Perbandingan Perbandingan (gram/mol) mol Rumus empiris 16,29 1,63 137,34 0,1186 2 52,77 0,75 208,98 0,2525 4
AF-133
Sintesis B2BT dengan Metode Hidotermal Serbuk kristal B2BT yang dihasilkan pada sintesis dengan metode hidrotermal memiliki struktur yang lebih halus (seperti powder) jika dibandingkan dengan serbuk kristal hasil sintesis dengan metode reaksi fasa padat dan berwarna putih kekuning-kuningan. Serbuk kristal B2BT yang disintesis dengan metode hidrotermal diidentifikasi menggunakan difraktometer sinar-X. Pola XRD serbuk kristal B2BT hasil sintesis dengan metode hidrotermal dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini:
Gambar 3. Pola XRD serbuk kristal barium bismut titanat (Ba2Bi4Ti5O18) yang disintesis o dengan metode hidrotermal selama 144 jam pada suhu 240 C dengan penambahan NaOH 3 M. Penghalusan B2BT dengan metode Le Baille menghasilkan data dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini:
Gambar 4. Plot Le Baile B2BT Tabel 3. Data parameter sel B2BT (sintesis hidrotermal) hasil penghalusan Le Baile Struktur Kristal A21am (ortorombik pada suhu kamar) Parameter Sel B2BT Data PDF Perhitungan metode Le Baile a (Å) 5,4985 5,4331 b (Å) 5,4980 5,4565 c (Å) 50,3524 51,5031 Rp 4,35 4,39 Rwp 5,32 6,07 Dari pola difraksi pada Gambar 3 dapat dianggap bahwa dihasilkan B2BT 0 menggunakan metode hidrotermal yang dilakukan pada suhu 240 C selama 144 jam dengan penambahan NaOH 3M. Hal ini dikarenakan pola difraksi sesuai dengan data ICSD (no. 741663). Puncak pada pola XRD B2BT terkarakteristik pada posisi sekitar 30o. Intensitas
AF-134
puncak pada posisi sekitar 30o lebih tinggi dibandingkan dengan puncak-puncak lain. Hal ini menunjukan bahwa B2BT dalam serbuk merupakan produk utama. Serbuk kristal B2BT yang disintesis dengan metode reaksi hidrotermal yang dilakukan pada suhu 240 0C selama 144 jam dengan penambahan NaOH 3M di karakterisasi morfologi strukturnya dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Hasil foto SEM serbuk kristal B2BT hasil sintesis dengan metode hidrotermal yang dilakukan pada suhu 0 240 C selama 144 jam dengan penambahan NaOH 3M dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini:
Gambar 5. Hasil foto SEM serbuk kristal B2BThasil sintesis dengan metode hidrotermal pada suhu 240 0C selama 144 jam dengan penambahan NaOH 3M. Sintesis B2BT Metode Ball Milling Serbuk kristal barium bismut titanat yang disintesis dengan metode ball milling diidentifikasi menggunakan difraktometer sinar-X. Pola XRD serbuk kristal bismut titanat hasil sintesis dengan metode ball milling dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini:
Gambar 6. Pola XRD serbuk kristal barium bismut titanat (Ba2Bi4Ti5O18) yang disintesis dengan metode ball milling kecepatan 180 rpm selama 24 jam. Dari pola difraksi pada Gambar 6 dapat dianggap bahwa dihasilkan pola difraksi barium bismut titanat (Ba2Bi4Ti5O18) menggunakan metode ball milling yang dilakukan selama 24 jam dengan kecepatan 30 putaran/menit. Penghalusan B2BT dengan metode Le Baille menghasilkan data dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini:
AF-135
Gambar 7. Plot Le Baile Ba2Bi4Ti5O18, data percobaan (+), perhitungan (garis merah) dan selisisih (garis hijau) yang dianggap dengan grup ruang B2cb pada suhu ruang. Tabel 4. Data parameter sel B2BT (sintesis Ball milling) hasil penghalusan Le Baile Struktur Kristal A21am (ortorombik pada suhu kamar) Parameter Sel a (Å) b (Å) c (Å) Rp Rwp
Data PDF 5,4985 5,4980 50,3524 4,50 5,64
B2BT Perhitungan metode Le Baile 5,4830 5,4338 51,0833 4,24 5,69
Gambar 8. Hasil foto SEM serbuk kristal B2BT hasil sintesis dengan metode Ball milling. Hasil foto SEM di atas menunjukkan bahwa terbentuk pengelompokkan/ aglomerasi partikel-partikel serbuk kristal. Hal ini berarti bahwa pembentukan serbuk masih belum optimal dimana serbuk yang baik hendaknya memiliki tingkat pengelompokkan/aglomerasi yang rendah. Selain itu, pada foto SEM tersebut dapat dilihat bahwa distribusi ukuran partikel masih belum merata sehingga ukuran partikel tidak homogen. 4. Kesimpulan 1. B2BT dapat disintesis dengan menggunakan metode sintesis reaksi kimia fasa padat pada rentang pemanasan dimulai dari 800 hingga 1100 oC. Pada metode sintesis 0 hidrotermal B2BT yang dilakukan pada suhu 240 C selama 144 jam dengan penambahan NaOH 3 M dapat disintesis, sedangkan sintesis hidrotermal B2BT menggunakan variasi NaOH 4-5 terhadap variasi waktu76-96 jam fasa utama B2BT terbentuk namun masih diikuti oleh fasa lain yang tidak diketahui. B2BT dapat juga disintesis dengan menggunakan metode ball milling dengan kecepatan 30 putaran/menit selama 24 jam.
AF-136
2. Struktur / fasa B2BT di-refinement menggunakann metode Le Baille menghasilkan space group B2BT dengan parameter sel yang mempunyai nilai a, b, dan c sama. 3. Hasil pembesaran 5000 kali menggunakan SEM diperoleh informasi bahwa bentuk morfologi kristal B2BT hasil sintesis reaksi kimia fasa padat dan hidrotermal adalah polikristalin dengan perbandingan komposisi unsur penyusun Ba dengan Bi hasil analisis EDAX yaitu 2:4. Ukuran butir dengan metode hidrotermal lebih kecil dibandingkan dengan metode reaksi padat dan ball milling. Daftar Pustaka Aurivillius, B. 1950. Mixed Bismuth Oxides with Layer Lattices; III, Structure of BaBi4Ti4O15. Arkiv fur Kemi., 2, 519-527. Sabarani, R. 2006. Material Feroelektrik Penyimpan Memori. http:// www.indomedia. com /opini3.
AF-137
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Pengaruh Kadar Logam Ni dan Al Terhadap Karakteristik Katalis Ni-Al-MCM-41 Serta Aktivitasnya Pada Reaksi Siklisasi Sitronelal Said Mihdar1, Ratna Ediati2 1 Mahasiswa pasca sarjana Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember 2 Jurusan Kimia, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Keputih, Surabaya 60111 * E-mail:
[email protected] ** E-mail:
[email protected]
Abstrak Pada penelitian ini telah berhasil disintesis katalis Al-MCM-41(40) dan Ni-Al-MCM-41 dengan tiga variasi rasio logam Ni terhadap Si dan Al menggunakan metode hidrotermal, dan hasilnya berupa serbuk putih dan putih kehijauan dengan luas permukaan spesifik masingmasing 746, 435, 745, dan 738 m2/g. Analisis dengan menggunakan FT-IR piridin menunjukkan bahwa katalis Al-MCM-41(40) mempunyai sisi asam Lewis yang ditunjukkan -1 oleh adanya puncak pada bilangan gelombang 1446 cm . Sedangkan katalis Ni-Al-MCM-41 dengan tiga variasi rasio logam Ni memiliki sisi asam Lewis yang cenderung mengalami kenaikan dan terjadi pergeseran kearah bilangan gelombang yang lebih besar. Untuk asam Brønsted yang ditunjukkan oleh adanya puncak pada bilangan gelombang antara 1540 dan -1 1550 cm . Hasil karakterisasi dengan X-Ray Diffraction (XRD) menunjukkan bahwa katalis tersebut bersifat amorf dan memiliki puncak karakteristik pada sudut 2θ antara 1° dan 10° yang merupakan puncak-puncak karakteristik dari struktur MCM-41. Spektrum FT-IR dari katalis hasil sintesis menunjukkan puncak-puncak karakteristik pada bilangan gelombang yang memiliki pola yang hampir sama, namun terjadi pergeseran kearah bilangan gelombang yang lebih besar. Kata kunci : hidrotermal, isopulegol, Ni-Al-MCM-41, reaksi siklisasi
1. Pendahuluan Siklisasi sitronelal menjadi isopulegol merupakan tahapan penting dalam sintesis mentol. (Sastrohamidjojo, 2004). Mentol yang merupakan material penting dalam industri pewangi yang mempunyai karakteristik bau peppermint. Mentol digunakan secara luas dalam bidang farmasi, kosmetik, pasta gigi, dan produk-produk lainnya (Sastrohamidjojo, 2004). Mayoritas mentol diisolasi dari sumber-sumber alami, seperti minyak dari Mentha arvensis atau Mentha piperita menjadi kristal mentol (Trasarti et al., 2007). Mentol ini selanjutnya disebut mentol alam, kemudian secara fisika dipisahkan dengan sentrifugasi (disebut dementholized Cornmint Oil) dihilangkan dari kristal. Residu yang dihasilkan dari Mentha arvensis atau Mentha piperita (yang memberi aroma pepermint dalam kristal mentol) hanya sedikit. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha untuk memproduksi mentol sintetis dari bahan baku yang lebih mudah didapat.Mentol dapat juga disintesis dari terpenoid-terpenoid lain seperti (+)-sitronelal, sitral, (+)-pulegone, (+)-limonene, dan (+)-β-pinene (Nie et al., 2007). Katalis heterogen lain yang pernah digunakan adalah Zr-MCM-41 yang juga mempunyai sisi asam Lewis dan sisi asam Brønsted (Wang et al., 2001). Penggunaan MCM41, yang merupakan material dengan struktur teratur dengan rongga (channel) seragam, membentuk susunan heksagonal, luas permukaan spesifik yang besar (1000 m2/g) serta stabilitas termal yang baik (Beck et al., 1992). Sebagai katalis heterogen, MCM-41
AF-138
memiliki pori-pori luas/besar yang dapat digunakan sebagai katalis untuk reaksi organik. Akan tetapi, katalis MCM-41 murni tidak memiliki sifat keasaman yang cukup digunakan secara langsung sebagai katalis. Sehingga perlu memasukkan logam atau bukan logam pada MCM-41 untuk menciptakan sisi-sisi asam. Adanya logam Al dalam struktur MCM41 dapat meningkatkan sifat keasaman MCM-41 baik sisi asam Lewis maupun asam Brønsted (Bhattacharyya et al., 2001). Sifat keasaman ini akan meningkat, jika ke dalam struktur Al-MCM-41 dimasukkan logam transisi. Sejumlah ion logam transisi seperti Zn oleh Lu et al (2002) dan Ti, V, Cr, Fe, Co, Ni, Mn, Cu, La, dan Ru oleh Chaliha, S dan Bhattacharyya (2007) telah berhasil dimodifikasi dalam framework MCM-41. Sifat keasaman ini lebih meningkat lagi jika ke dalam struktur Al-MCM-41 dimasukkan logam transisi seperti Zn atau Ni, yang disintesis secara hidrotermal. Pernyataan ini sesuai dengan yang telah dilaporkan oleh Fang et al., (2005) bahwa Al-MCM-41 memiliki jumlah keasaman Lewis dan Brønsted rendah tetapi setelah diimpregnasi dengan logam nikel maka total keasaman menjadi lebih besar. Baru-baru ini Trasarti et al., (2007) telah berhasil mensintesis katalis nikel berpendukung Al-MCM-41 dengan menggunakan metode impregnasi. Katalis yang dihasilkan memiliki sisi asam Lewis maupun asam Brønsted yang diperlukan dalam reaksi siklisasi sitronelal. Dan sampai saat ini belum ditemukan publikasi ilmiah yang melaporkan tentang aktivitas katalis Ni-Al-MCM-41 dengan metode hidrotermal. Olehnya itu, penelitian yang dilakukan ini, diharapkan dapat memberikan pemikiran sebagai salah satu alternatif dalam menentukan metode yang digunakan. Pada penelitian ini, selain mensintesis katalis Al-MCM41 dengan metode hidrotermal, juga mensintesis Ni-Al-MCM-41 dengan memvariasikan rasio logam Ni terhadap Si dan Al untuk mengetahui pengaruhnya terhadap aktivitas siklisasi sitronelal. Dari penelitian ini diharapkan katalis yang dihasilkan mempunyai keaktivan yang tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nur Komariah (2008) , hasil sintesis katalis Al-MCM-41 dan Ni-Al-MCM-41 dengan metode hidrotermal berupa serbuk berturutturut putih dan putih keruh dengan luas permukaan spesifik masing-masing 895,65 dan 958,77 m2/g . Hasil karakterisasi menggunakan XRD, menunjukkan bahwa kedua katalis hasil sintesis bersifat amorf dan memiliki tiga puncak difraksi (1 0 0), (1 1 0), dan (2 0 0) yang merupakan salah satu karakteristik orde struktur mesopori heksagonal MCM-41. Terbentuknya struktur MCM-41 didukung oleh data spektrum FT-IR dan FT-IR piridin menunjukkan bahwa kedua katalis tersebut memiliki sisi asam Lewis dan sisi asam Brønsted. Katalis hasil sintesis Ni-Al-MCM-41 dengan waktu hidrotermal 96 jam memiliki sisi asam Lewis yang lebih besar dari padatan Al-MCM-41 dan sisi asam Brønsted yang lebih kecil. Hasil uji katalis Al-MCM-41 dan Ni-Al-MCM-41 pada reaksi siklisasi sitronelal menunjukkan bahwa aktivitas katalis Ni-Al-MCM-41 lebih besar dari katalis Al-MCM-41 sesuai dengan besar konversi sitronelal masing-masing adalah 97% dan 96%, sedangkan produk isopulegol berturut-turut adalah 75% dan 68%. 2. Eksperimen Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : gelas beker, cawan porselen, gelas piala, labu ukur, pipet tetes, pengaduk magnetik, lumpang agate, botol polipropilen, kertas saring, neraca analitis, muffle furnace, corong kaca masir, perangkat reflux, labu leher tiga, termometer batang, alat X-Ray Diffraction (XRD), alat spektrofotometer Fourier-Transform Infrared (FTIR), alat ICP-AES, alat TGA, alat Micrometric Surface Area Analyzer dan alat GC. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : sodium metasilikat (Na2SiO3), Cetyltrimethylammonium bromide (CTABr), , aquades, aqua DM, etanol, nikel klorida heksa hidrat (Ni Cl2·6H2O), alumunium sulfat (Al2 (SO4)3·18 H2O), asam sulfat (H2SO4), (+)-sitronelal, toluena, nitro benzena, dan (-)-isopulegol sebagai standar. Prosedur Kerja Sintesis Katalis Al-MCM-41 _ Material katalis Al MCM-41 disintesis dengan menggunakan metode hidrotermal. _ Untuk mensintesis Al MCM-41 dengan rasio (Si/Al)= 40), sebanyak 12,7 gram (0,1 mol) natrium metasilikat dilarutkan dalam 50 mL aqua DM dan diaduk selama 15 menit. Begitupun
AF-139
dengan 1,68 g aluminium sulfat dan 9,1 g CTABr masing-masing dilarutkan dalam aqua demineralisasi (aqua DM) sebanyak 50 dan 80 mL dan diaduk selama 15 menit dengan magnetik stirrer. Larutan natrium metasilikat dimasukkan ke dalam larutan CTABr sedikit demi sedikit dengan menggunakan pipet tetes sambil tetap diaduk. Setelah semua dimasukkan, campuran dua larutan tersebut diaduk selama 30 menit. Selanjutnya ditambahkan larutan aluminium sulfat dan diaduk selama 30 menit. Dan setelah pengaduhan 30 menit terbentuk gel dengan komposisi 0,1 SiO2 /0,00125 Al2O3/ 0,025 CTABr/ 10 H2O . Kemudian diturunkan pHnya sekitar 10 – 10,2 dengan menambahkan asam sulfat (H2SO4) 1 N da akan terbentuk suspensi. Selanjutnya suspensi yang dihasilkan dimasukkan ke dalam botol polipropilen. Botol polipropilen (pp) yang berisi suspensi dimasukkan ke dalam oven selama 144 jam (6 hari) pada suhu 100ºC. Setelah cukup waktunya, suspensi dalam botol pp didinginkan sebelum disaring dan dicuci. Setelah dingin, suspensi disaring dan dicuci dengan aqua DM dan etanol berulang-ulang, sambil dicek pH filtratnya yang diharapkan pH 7. Setelah pH tercapai, material dipindahkan ke dalam cawan, dan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 100ºC selama 12 jam. Material didinginkan dan digerus, sebelum dikalsinasi dalam furnace. Sintesis Katalis Ni-Al-MCM-41 Pada penelitian ini, sintesis Ni-Al-MCM-41 dengan metode hidrotermal, prosedurnya hampir sama dengan dengan sintesis Al-MCM-41 di atas. Cuma pada sintesis Ni-Al-MCM-41 ada penambahan nikel klorida sebagai sumber logam nikel. Pada sintesis ini akan divariasikan rasio logam Ni terhadap logam Si dan Al dengan variasi Si/Al+Ni masing-masing 17, 27, 43 % mol. Setelah larutan CTABr ditambahkan dengan larutan natrium metasilikat dan diaduk selama 30 menit, sama dengan peosedur di atas, selanjutnya campuran dua larutan tersebut ditambahkan dengan larutan aluminium sulfat sambil tetap diaduk. Setelah itu ditambahkan larutan nikel klorida untuk masing-masing rasio yang berbeda yaitu, 1,097 g, 0,582 g, dan 0,255 g dengan aqua DM sebanyak 10 mL. Setelah semua larutan tercampur selanjutnya diaduk selama 30 menit, dan terbentuk gel. Gel yang terbentuk dengan komposisi 0,1SiO2/0,00125NiO/0,00125Al2O3/0,025CTABr/10H2O. Dan selanjutnya gel diturunkan pHnya pada kisaran 10 -10,2 dengan asam sulfat (H2SO4) 1 N. Apabila pHnya sudah tercapai, akan terbentuk suspensi dan selanjutnya dimasukkan ke dalam botol pp (polipropilen). Botol pp yang berisi suspensi dimasukkan ke dalam oven dengan kondisi 100ºC selama 144 jam (6 hari). Setelah waktu hidrotermalnya tercapai, material dalam botol pp didinginkan sebelum disaring dan dicuci. Material disaring dan dicuci dengan menggunakan aqua DM dan etanol berulang-ulang sambil diperiksa pH filtratnya yaitu sampai pH 7. Material dipindahkan ke dalam cawan dan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 100ºC selama 12 jam. Selanjutnya material yang sudah kering digerus sebelum dimasukkan ke dalam furnace untuk dikalsinasi. Material sekanjutnya dikalsinasi pada suhu 550ºC selama 6 jam dengan laju aliran panas 3ºC/menit. Karakterisasi Katalis selanjutnya dikarakterisasi untuk menentukan struktur dan sifat fisiko kimianya yang dilakukan melalui berbagai analisa dan selanjutnya diuji aktivitas dan selektivitasnya pada reaksi silkisasi sitronelal menghasilkan isopulegol. Analisa Thermal Gravimetric Analysis (TGA) Untuk menentukan suhu kalsinasi optimum, diperlukan suatu data yang bisa mendukung, sehingga material yang dikalsinasi tidak mengalami kerusakan struktur. Analisis dengan XRD Masing-masing katalis yang telah disintesis berupa serbuk putih Al-MCM-41 murni dan katalis Ni-Al-MCM-41 dengan tiga variasi rasio, diambil ± 1 g dan dihaluskan dan ditempatkan pada suatu cetakan yang telah disediakan. Sampel tersebut kemudian disinari dengan sinar-X dengan sumber sinar CuKα sehingga diperoleh difraktogram. Data yang diperoleh yaitu harga d spacing, 2θ, dan intensitas puncak difraksinya, dicocokkan dengan kumpulan data difraksi sinar-X sesuai data yang sudah ada.
AF-140
Analisis dengan FTIR Sampel Al- MCM-41 murni yang berbentuk serbuk dicampurkan ke dalam KBr. Sampel dan KBr ini dihaluskan menggunakan mortar agate hingga tercampur rata, lalu diambil beberapa mg dan ditempatkan pada pellet holder untuk dimampatkan menjadi pellet KBr. Pellet selanjutnya ditempatkan pada holder dan dimasukkan pada FTIR dan dianalisa -1 pada daerah bilangan gelombang 400-4000 cm . Dengan perlakuan yang sama semua sampel hasil sintesis dianalisa dengan FTIR. Karakterisasi Menggunakan FT-IR Piridin Sampel dialiri gas Nitrogen pada suhu 200°C selama 2 jam untuk menghilangkan zatzat pengotor yang tidak diharapkan, dan selanjutnya didinginkan. Dalam kondisi dingin ditetesi piridin dan dialiri gas Nitrogen dengan menutup arah membuangan gas, agar piridin masuk terserap pada pori-pori sampel selama 30 menit. Setelah itu aliran gas Nitrogen dihentikan untuk dilakukan penjenuhan piridin selama 2 jam. Perlakuan ini disebut adsorpsi piridin. Sedangkan proses desorpsi piridin dilakukan dengan mengalirkan gas Nitrogen, dengan kecepatan 5°C/menit selama 2 jam pada temper atur 150°C. Setelah itu didinginkan dengan tanpa aliran gas. Selanjutnya sampel dianalisa dengan FTIR. Analisis dengan adsorpsi-desorpsi nitrogen Kurang lebih satu gram padatan hasil sintesa dimasukkan pada pipa adsorpsi gas Nitrogen pada alat Mikrometric Surface Area Analyzer NOVA 1000 Quantachrome. Adsorpsi gas Nitrogen dimulai untuk mendapatkan data nilai P/Po dan nilai transformasi BET [ 1/W{Po/P}] yang digunakan untuk menghitung luas permukaan. Analisis Kandungan Unsur Kandungan aluminium dan nikel dalam katalis yang diperoleh dianalisis dengan metode ICP-AES. Metode ini dapat digunakan untuk menentukan kandungan logam Cd, Cu, Pb, Zn, Ni, Fe, dan logam-logam lain yang terdeteksi dengan konsentrasi rendah sampai tingkat ppm (bagian per juta). Uji aktivitas dan selektivitas katalis pada reaksi siklisasi sitronelal Sebanyak 0,62 g (4 mmol) sitronelal, 5 g toluena, dan 0,2 mL nitrobenzena ditempatkan dalam labu bundar berleher tiga yang dilengkapi dengan tutup karet dengan termokopel, kondenser refluks dan tutup karet untuk tempat mengambil cuplikan dengan syringe. Campuran reaksi dapat diperbanyak 5 kali dengan ataupun tanpa pelarut. Campuran dipanaskan pada temperatur 80°C, kemudian ditambahkan 50 mg katalis. Reaksi dilakukan dengan cara pengadukan. Sampel diambil pada waktu yang bervariasi antara 15, 30 dan 60 menit. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisa dengan alat kromatografi gas, GC (kolom kapiler HP5, FID). Persentasi konversi sitronelal dan selektivitas produk dihitung dengan menggunakan data yang dihasilkan oleh GC dengan memakai kurva kalibrasi. Aktivitas dan selektivitas katalis dihitung dengan rumus : Aktivitas :
Konversi sitronelal =
mol sitronelal awal − mol sitronelal sisa x 100 % mol sitronelal awal
Selektivitas :
Isopulegol =
mol isopulegol yang terbentuk x 100 % mol sitronelal terkonversi
3. Hasil dan Pembahasan Katalis Al-MCM-41 dan Ni-Al-MCM-41 disintesis dengan metode hidrotermal, berupa serbuk putih dan putih agak kehijauan. Padatan putih selanjutnya digerus dan dilakukan analisa pendahuluan TGA untuk menentukan suhu kalsinasi. Sifat thermal sampel diselidiki dengan TGA. Thermogram dari hasil analisis sampel ditunjukkan oleh gambar 4.1. Berdasarkan grafik TGA pada Gambar 1, terlihat bahwa Al-MCM-41 mempunyai interaksi dengan air dalam tiga tahapan. Tahap pertama terjadi pengurangan berat sampai suhu 184 °C sebesar ( ∆ω1) = 28.919%, pada tahap ini terjadi desorpsi dari air atau molekul etanol yang teradsorp secara fisik pada luar permukaan kristal atau occluded keberadaan makropori dan mesopori antara aggregat kristal. Tahap kedua, terjadi pengurangan berat sebesar (∆ω2) = 42.171% antara suhu 184 – 288 °C merupakan pertan da penghilangan dari template
AF-141
organik (CTAB). Sedangkan pada tahap ketiga terjadi pengurangan berat sebesar (∆ω3) = 28.907% antara suhu 288 - 450 °C. Pengurangan berat pada tahap ini berhubungan dengan penghilangan air dari kondensasi gugus silanol (Si-OH) yang berdekatan membentuk ikatan siloksan (siloxan) (Selvaraj M et al., 2005) dan (Zhao et al., 1996). Suhu kalsinasi bisa dimulai dari suhu 450°C, karen a pada suhu tersebut sudah tidak ada lagi penurunan massa, artinya kondisi tersebut sudah stabil, namun suhu kalsinasi yang digunakan adalah 550°C selama 6 jam,dengan harapan seluruh surfaktan keluar dari framework, sehingga dihasilkan katalis yang murni.
Gambar 1. Grafik TGA Katalis Al-MCM-41 Pada penelitian ini yang dianalisa TGA hasil sintesis Al-MCM-41. Karena Al-MCM-41 bertindak sebagai padatan framework, yang jumlahnya jauh lebih besar dibanding hasil sintesis Ni-Al-MCM-41 yang rasio nikelnya divariasikan. Hal ini sesuai juga dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Selvaraj dan Lee (2005), menggunakan kondisi ini pada sintesis Zn-Al-MCM-41 dengan metode hidrotermal. Proses kalsinasi dilakukan untuk menghilangkan semua sisa-sisa CTABr, air Kristal, dan etanol sehingga diperoleh padatan serbuk putih Al-MCM-41 murni. Analisa Difraksi sinar-X Difraktogram katalis Al-MCM-41 menunjukkan puncak karakteristik pada 2θ kurang dari 10°, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Difraktogram Al-MCM-41 Hasil Sintesis
AF-142
Pola difraktogram dari padatan Al-MCM-41 hasil sintesis (Gambar 2) menunjukkan adanya puncak-puncak karakteristik pada sudut 2θ antara 2 -10°, yaitu puncak tajam pada 2θ= 2,36 serta tiga puncak tambahan pada 2θ berturut-turut 4,06º , 4,71º, dan 6,16º, yang merupakan karakteristik orde struktur mesopori heksagonal MCM-41 Beck, et al., (1992). Pola difraktogram katalis Ni-Al-MCM-41 ditunjukkan pada Gambar 3 dan sebagai pembanding juga ditampilkan difraktogram dari Al-MCM-41. Dari Gambar 3 terlihat bahwa terjadi penurunan intensitas puncak. Ini mengindikasikan terjadinya perubahan orde kristal Al-MCM-41, tetapi bukan terjadinya perubahan framework dalam Al-MCM-41. Ion logam yang masuk ke dalam struktur SiO2 akan 2+ 3+ membentuk kerangka utama MCM-41 ( Selvaraj, et al., 2005). Jari-jari ion dari Ni dan Al 4+ 2+ mempunyai ukuran yang lebih besar dari atom Si . Ion Ni memiliki jari-jari = 69 pm, jari-jari ion Al3+ = 53 pm, sedangkan jari-jari ion Si4+ = 40 pm, sehingga saat Ni2+ dan Al3+ mensubstitusi ion Si4+ dengan ukuran yang lebih besar maka akan mempengaruhi pembentukan struktur dinding pori.
Gambar 3. Difraktogram dari (a) Ni-Al-MCM-41 (17), (b) Ni-Al-MCM-41 (27), MCM-41 (43), (d) Al-MCM-41 (40)
(c)
Ni-Al-
Difraktogram dari Ni-Al-MCM-41 hasil sintesis dengan waktu hidrotermal 144 jam dengan rasio 43 menunjukkan puncak tajam pada 2θ = 2,37° serta tiga puncak tambahan pada 2θ berturut-turut = 4,06°, 4,70 dan 6,19°, seperti te rlihat pada Gambar 3. Munculnya puncak-puncak karakteristik pada nilai 2θ yang hampir sama dengan yang teramati untuk padatan Al-MCM-41 hasil sintesis dengan waktu hidrotermal sama mengindikasikan bahwa masuknya logam nikel ke dalam Al-MCM-41 tidak mengubah pola difraktogram dari struktur Al-MCM-41 atau dapat dikatakan bahwa struktur Al-MCM-41 tidak mengalami kerusakan. Namun terlihat bahwa intensitas puncak-puncak karakteristik ketiga katalis Ni-Al-MCM-41 hasil síntesis dengan variasi rasio 17, 27, dan 43 lebih rendah jika dibandingkan dengan puncak Al-MCM-41 yang berkaitan dengan masuknya spesies logam Ni. Penurunan intensitas dan pergeseran puncak yang lebih besar terlihat pada rasio 17, sedangkan rasio 43 hampir sama dengan katalis pendukungnya, yaitu Al-MCM-41. Semakin banyak logam Ni yang masuk ke dalam katalis Al-MCM-41, maka semakin rendah intensitasnya (Fang, et al., 2005). Hasil Karakterisasi Menggunakan ICP-AES Kandungan aluminium dan nikel dalam katalis dengan metode ICP-AES yang dapat dilihat pada Tabel 1.
yang diperoleh dianalisis
Tabel 1 Kadar logam Dalam Katalis Kadar (%) Katalis Al Ni Al-MCM-41(40) 3,11 Ni-Al-MCM-41(17) 2,38 2,95 Ni-Al-MCM-41(27) 2,15 1,85 Ni-Al-MCM-41(43) 2,39 0,86
AF-143
Dari data analisa ICP-AES di atas, terlihat bahwa dengan masuknya logam Ni kedalam Al-MCM-41(40) mempengaruhi jumlah kadar Al. Semakin banyak logam nikel yang +2 masuk, maka kadar logam Aluminium semakin kecil. Hal ini disebabkan karena ion Ni yang 3+ memiliki jari-jari atom yang lebih besar, 69 pm, mensubstitusi ion Al yang memiliki jari-jari atom yang lebih kecil, 53 pm. Sehingga semakin banyak logam Ni yang masuk, maka semakin kecil aluminium dalam katalis. Analisis Spektra FT-IR Padatan Al-MCM-41 Pada prinsipnya FTIR digunakan untuk menentukan gugus-gugus fungsional yang ada pada suatu senyawa. Olehnya itu data-data yang diberikan oleh spektrofotometri FTIR diperlukan untuk analisis suatu senyawa yang belum diketahui. Spektra FT-IR Al-MCM-41 hasil sintesis pada Gambar 4 jika dibandingkan dengan Al-MCM-41 yang dilaporkan oleh Poh et al., (2006) .Spektrum IR katalis Al-MCM-41 yang diukur pada range 400-4000 cm-1 -1 menunjukkan serapan lebar pada bilangan gelombang 3423 cm yang merupakan daerah -1 serapan OH dari air. Sedangkan serapan pada bilangan gelombang 1061 cm merupakan daerah serapan gugus Si-O-Si ulur, dan serapan pada bilangan gelombang 948 cm-1 merupakan daerah serapan gugus Si-O dimana O berikatan dengan H yang merupakan -1 serapan spesifik dari padatan MCM-41. Serapan pada bilangan gelombang 468 cm merupakan daerah serapan untuk gugus siloksan Si-O tekuk. Data spektra serapan padatan Al-MCM-41 hasil sintesis tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan spektra serapan Al-MCM-41 yang telah dilaporkan oleh Poh et al., (2006).
Gambar 4. Spektra IR Hasil Sintesis Al-MCM-41(40) Analisis Spektra FT-IR Katalis Ni-Al-MCM-41 Hasil spektra FT-IR dari padatan katalis Ni-Al-MCM-41 hasil sintesis (Gambar 5) menunjukkan puncak-puncak serapan karakteristik pada daerah bilangan gelombang 400– 4000 cm-1 dengan nilai masing-masing puncak serapan . Berdasarkan spektrum FT-IR pada Gambar 5 a, b dan c diketahui bahwa puncak -1 lebar serapan muncul pada bilangan gelombang 3463 cm (1) merupakan daerah serapan OH dari air. Serapan Si-O-Si ulur pada bilangan gelombang 1100 cm-1 (5). Puncak spesifik dari gugus Si-O dimana O berikatan dengan H muncul serapan pada bilangan gelombang 954 cm-1 (6) menunjukkan bahwa struktur MCM-41 masih terbentuk pada katalis Ni-Al-MCM41 dengan rasio 17, 27, dan 43, walaupun pembentukannya tidak sempurna sehubungan dengan dimasukkannya logam Al3+ ke dalam struktur. Sedangkan daerah serapan gugus siloksan Si-O tekuk muncul serapan pada bilangan gelombang 466 cm-1 (8).
AF-144
Gambar 5. Spektra IR Hasil sintesis(a) Ni-Al-MCM-41(17), (b) Ni-Al-MCM-41(27), dan (c) NiAl-MCM-41(43) Karakterisasi Menggunakan FT-IR Piridin Tipe sisi keasaman katalis diamati menggunakan spektroskopi FTIR dengan piridin sebagai probennya. Adsorpsi piridin dilakukan untuk menentukan jenis dan jumlah sisi keasaman sampel, yaitu sisi asam Brønsted dan asam Lewis. Masuknya ion logam nikel akan meningkatkan keasaman dari padatan Al-MCM-41 sehingga memungkinkan katalis yang terbentuk dapat digunakan untuk reaksi siklisasi sitronelal. Adanya ion logam pada struktur Al-MCM-41 akan menjadi sisi asam Lewis dan berperan sebagai sisi aktif pada proses katalisis. Penelitian yang telah dilakukan oleh Selvaraj et al., (2005) juga menjelaskan bahwa adanya ion logam akan meningkatkan jumlah sisi asam. Jumlah piridin yang teradsorpsi diamati dengan menggunakan teknik spektroskopi -1 FTIR pada daerah 1540- 1400 cm . Karakterisasi dengan FT-IR piridin pada penelitian ini dilakukan untuk mengamati tipe sisi asam dari katalis hasil sintesis. Hasil spektra FT-IR piridin dari katalis Al-MCM-41 dan Ni-Al-MCM-41 hasil sintesis seperti ditunjukkan pada Gambar 6, menunjukkan puncak-puncak serapan karakteristik pada bilangan gelombang -1 -1 1400 cm dan 1550 cm yang mengindikasikan adanya sisi asam Lewis dan sisi asam -1 -1 Brønsted. Puncak yang muncul pada bilangan gelombang 1400 cm dan 1560 cm mengindikasikan adanya adsorpsi piridin pada sisi asam Lewis dan asam Brønsted. Puncak yang muncul di sekitar 1491 cm-1 adalah gabungan pita dari kedua sisi asam Lewis dan + Brønsted, merupakan karakter vibrasi untuk ion piridinium (C5H5NH ), di mana piridin berikatan dengan proton dari gugus OH sampel. Puncak vibrasi piridinium membuktikan adanya gugus OH yang bersifat asam Brønsted. Sedangkan asam Lewis yang muncul pada bilangan gelombang 1446 cm-1, piridin menggunakan pasangan elektron bebas untuk berikatan dengan orbital kosong sampel. Katalis Ni-Al-MCM-41 secara kuantitatif dibandingkan katalis Al-MCM-41 hasil sintesis mengalami peningkatan sisi asam Lewis, sedangkan sisi asam Brønsted mengalami penurunan . Pernyataan ini didukung oleh kenyataan bahwa peningkatan keasaman ini disebabkan oleh kation nikel sebagai fasa aktif yang dapat menciptakan pusat keasaman yang baru pada permukaan Al-MCM-41 (Fang, et al., 2005).
AF-145
Gambar 6. Spektra FT-IR Piridin Padatan Hasil Sintesis: (a) Al-MCM-41 dan Ni-Al-MCM-41 dengan Variasi Rasio Si/Al+Ni (b) 17, (c) 27, dan (d) 43 Analisis Adsorpsi/Desorpsi Nitrogen Al-MCM-41 dan Ni-Al-MCM-41 Perhitungan luas permukaan spesifik dengan adsorpsi nitrogen didasarkan pada jumlah gas antara sebelum dan sesudah adsorpsi. Dengan cara memvariasikan harga P/Po akan didapatkan data 1/ {W[Po/P-1]} yang menyatakan jumlah gas sebelum dan sesudah adsorpsi oleh padatan. Tabel 2. Data Hasil Perhitungan Luas Permukaan Spesifik, dan Pengukuran Volume Pori dan Diameter Pori Rata – Rata Padatan Hasil Sintesis Luas Permukaan Volume Pori Diameter Pori Spesifik Total No Sampel Rata–Rata 2 3 ∑S(m /g) (cm /g) (Å) 1 2 3 4
Al-MCM-41(40) Ni-Al-MCM-41(17) Ni-Al-MCM-41(27) Ni-Al-MCM-41(43)
746 435 745 738
0,8148 0,4909 0,8869 0,8497
43,69 45,19 48,18 45,94
4. Kesimpulan Pada penelitian ini telah berhasil disintesis katalis Al-MCM-41(40) dan Ni-Al-MCM-41 dengan tiga variasi rasio logam Ni terhadap Si dan Al menggunakan metode hidrotermal, dan hasilnya berupa serbuk putih dan putih kehijauan dengan luas permukaan spesifik masingmasing 746, 435, 745, dan 738 m2/g. Analisis dengan menggunakan FT-IR piridin menunjukkan bahwa katalis Al-MCM-41(40) mempunyai sisi asam Lewis yang ditunjukkan -1 oleh adanya puncak pada bilangan gelombang 1446 cm . Sedangkan katalis Ni-Al-MCM-41 dengan tiga variasi rasio logam Ni memiliki sisi asam Lewis yang cenderung mengalami kenaikan dan terjadi pergeseran kearah bilangan gelombang yang lebih besar. Untuk asam Brønsted yang ditunjukkan oleh adanya puncak pada bilangan gelombang antara 1540 dan -1 1550 cm . Hasil karakterisasi dengan X-Ray Diffraction (XRD) menunjukkan bahwa katalis tersebut bersifat amorf dan memiliki puncak karakteristik pada sudut 2θ antara 1° dan 10° yang merupakan puncak-puncak karakteristik dari struktur MCM-41. Spektrum FT-IR dari katalis hasil sintesis menunjukkan puncak-puncak karakteristik pada bilangan gelombang yang memiliki pola yang hampir sama, namun terjadi pergeseran kearah bilangan gelombang yang lebih besar.
AF-146
Daftar Pustaka Arvela, P.M., Kumar, N., Nieminen, V., Sjoholm, R., Salmin, T., and Yu.Murzin, D., (2004),”Cyclization of Citronellal over Zeolites, and Mesoporous Materials for Production of Isopulegol”, Journal of Catalysis, 225, 155-169. Bhattacharyya, K.G., Talubdar, A.K., Das, P., Sivasanker, S., (2001),” Acetylation of Phenol with AlMCM-41”, Catalysis Communication, 2, 105-111. Chuah, G.K., Liu, S.H., Jaenicke, S., and Harrison,L.J., (2001),” Cyclisation of Citronellal to Isopulegol Catalyzed by Hydrous Zirconia and Other Solid Acids”, Journal of Catalysis, 200, 352-359. Dapurkar, S.E., Gomes, H.T., Selvam, P., Figueiredo, J.L., and Faria, J.L., (2005), “Transition Metal (Cu, Cr, and V) Modified MCM-41 for The Catalytic Wet Air Oxidation of Aniline”, Microporous and Mesoporous Materials, 86, 287-294. Fang, K., Ren, J., and Sun, Y., (2005), ”Effect of Nickel Precursor on The Performance of Ni/Al-MCM-41 Catalyst for n-dodecane Hydroconversion”, Journal of Molecular Catalysis A : 229, 51-58 Gu, G., P.P., Ong, C. Chu, (1999), ”Thermal Stability of Mesoporous Silica Molecular Sieve”, Journal of Physic and Chemistry of Solid, 60, 943-947. Hulea, V. and Fajula, F., (2004), ” Ni-Exghange AlMCM-41 – An Efficient Bifunctional Catalyst for Ethilene Oligomerization”, Journal of Catalysis, 225, 213– 222. Lensveld, D.J., J.G. Mesu., A.J. van Dillen., and K.P. de Jong, (2001), ”The Preparation of MCM-41 Supported Nickel Catalysts with a Chelated Nickel Citrate Precursor”, Microporous and Mesoporous Materials, 401, 44-45. Mäki-Arvela, P., Kumar, N., Nieminen, V., Sjöholm, R., Salmi, T. and Murzin, D., (2004), ”Cyclization of Citronellal Over Zeolites and Mesoporous Materials for Production of Isopulegol”, Journal of Catalysis, 225, 155-169. Nie,Y., Niah,W., Jaenicke,S., and Chuah, G.K., (2007), ”A tandem cyclization and hydrogenation of (±)citronellal to menthol over bifunctional Ni/Zr-beta and mixed Zr-beta and Ni/MCM-41”, Journal of Catalysis, 248,1-10. Poh, Ng Eng., Nur, H., Muhid, M.N.M., and Hamdan, H., (2006), ”Sulphated AlMCM-41 : Mesoporous solid Bronsted acid catalyst for dibenzoylation of biphenyl”, Catalysis Today, 114, 257-262. Schwartz, J.A., Contescu C., and Contescu A., (1995), ” Methods for Preparation of Catalytic Materials”, Chemical Review, 95, American Chemical Society, USA. Selvaraj, M. and Lee, T.G., (2005),” t-Butylation of Toluene with t-butyl Alkohol Over Mesoporous Zn-AlMCM-41 Molekular Sieves”, Microporous and Mesoporous Materials, 85, 59-74. Selvaraj, M. and Lee T.G., (2005), ”Synthesis of 2- Acetyl-6- Methoxynaphthalene Using Mesoporous SO42-/Al-MCM-41 Molecular Sieves”, Microporous and Mesoporous Materials, 81, 43-355. Sibilia, P., (1996), Guide to Material Characterization and Chemical Analysis, 2nd edition, John WileyVCH, New York. Trasarti, A.F., A.J. Marchi., and C.R. Apesteguia, (2007), ”Design of Catalyst Systems for the one-pot Syinthesis of Menthols from Citral”, Journal of Catalysis, 247, 155-165. Wang, X.X., F. Lefebvre; J. Fatarin and J.M. Basset (2001), Microporous and Mesoporous Materials, 42, 269. Yongzhong, Z., N. Yuntong., S. Jaenicke., and G.K. Chuah, (2005),” Cyclisation of Citronellal over Zirconium Zeolit Beta – a Highly Diastereoselective Catalyst to (±)-Isopulegol”, Journal of Catalysis, 229, 404-413.
AF-147
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Penggunaan Material Mesoporous Sebagai Katalis Pada Reaksi Esterifikasi Susi Nurul Khalifah*, Djoko Hartanto, Didik Prasetyoko Jurusan Kimia Fakultas MIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember * 085731949636,
[email protected]
Abstrak Makalah review ini menggambarkan sintesis material mesoporous dan aplikasinya sebagai katalis pada reaksi esterifikasi. Material mesoporous memiliki ukuran pori 2-50 nm, sehingga mempermudah reaktan yang memiliki molekul ukuran besar untuk difusi pada katalis. Penggunaan katalis yang memiliki ukuran pori yang mesoporous dan sifat keasaman yang kuat, menghasilkan konversi produk yang tinggi pada reaksi esterifakasi. Kata Kunci: Sintesis, Katalisis, mesoporous, keasaman, esterifikasi
1. Pendahuluan Penggunaan biodiesel saat ini telah dimulai diseluruh dunia. Penghabisan cadangan minyak tanah di seluruh dunia merangsang pencarian sumber alternatif bahan bakar petroleum, salah satunya adalah bahan bakar diesel. Biodiesel dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengganti solar konvensional dan bersifat biodegradable yang ramah lingkungan, dapat diperbaharui, memiliki viskositas yang baik, angka cetane yang tinggi, bebas dari sulfur dan tidak bersifat toksik. Kelemahan utama untuk komersialisasi biodiesel adalah biaya produksinya lebih tinggi dibanding diesel petroleum. Karena produksi biodiesel kebanyakan menggunakan bahan yang mahal yaitu minyak virgin dengan kualitas tinggi yang mengandung asam lemak bebas (FFA) rendah. Suatu cara untuk mengurangi biaya pada produksi biodiesel adalah menggunakan bahan yang lebih murah dengan kandungan FFA yang tinggi dengan melalui proses dua langkah. Langkah yang pertama adalah untuk mengurangi kandungan FFA pada minyak dengan esterifikasi. Langkah yang kedua adalah transesterifikasi, yang mengkonversi triglyserida menjadi mono-alkyl ester dan glycerol (Chongkhong et al., 2009). Esterifikasi adalah suatu reaksi kimia yang menggunakan katalis asam antara FFA dan alkohol yang menghasilkan asam lemak alkil ester dan air (H2O). Pada minyak asam, jumlah FFA bervariasi 3%-40% (Srivastava and Prasad, 2000; Ma and Hanna, 1999). Akan tetapi, jika jumlah FFAs di dalam feedstocks melebihi 0.5%, maka akan bereaksi dengan katalis basa yang homogen, membentuk hasil samping berupa sabun yang tidak dikehendaki dan dapat menonaktifkan katalis. Sehingga, akan lebih sulit pada proses pemisahan dan pemurnian biodiesel (Chung et al., 2008). Esterifikasi biasanya menggunakan katalis asam seperti sulfur dan asam p-toluena sulfonik. Akan tetapi, penggunaan katalis yang homogen akan menambah langkah proses dan kesulitan untuk memisahkan produk reaksi (Jermy et al., 2005, Chung et al., 2008, Carmo et al., 2009,). Kelemahan katalis homogen lainnya, yaitu tidak dapat direcovery, harus dinetralkan terlebih dahulu sebelum dipisahkan dari fase metil ester pada tahap akhir reaksi, dan menghasilkan limbah dengan volume yang besar (Alonso, et al., 2008). Penggunaan katalis heterogen merupakan suatu alternatif untuk mengurangi biaya produksi biodiesel, mudah dipisahkan dari campuran reaksi dengan filtrasi, dapat digunakan kembali (direcovery), dan memiliki sedikit sifat korosif (Carmo et al., 2009). Zeolit banyak digunakan sebagai katalis asam, basa dan redoks. Akan tetapi, zeolit terbatas
AF-148
penggunaannya karena memiliki pori-pori yang sempit. Komponen reaktan yang memiliki ukuran molekul besar akan mengalami kesulitan selama proses transfer massa. Untuk meningkatkan difusi reaktan pada katalis, maka diperlukan untuk meningkatkan ukuran poripori zeolit, pengurangan ukuran kristal zeolit, atau menyediakan sistem mesopore tambahan di dalam microporous kristal. Riset yang banyak dilakukan adalah dengan cara melebarkan ukuran pori menjadi mesopore, sehingga molekul yang memiliki ukuran besar dapat masuk ke dalam sistem pori, untuk diproses dan untuk meninggalkan sistem pori-pori kembali (Taguchi et al., 2004). Pada review ini, pertama akan menguraikan metoda yang umum untuk preparasi padatan mesoporous, pengaruh ukuran pori (mesoporous) dan keasaman pada reaksi esterifikasi. 2. Eksperimen Material Porous telah banyak digunakan sebagai katalis dan support katalis. Menurut IUPAC, material porous dibagi menjadi tiga kelas; material mikroporous (ukuran pori-pori < 2nm), mesoporous (2–50nm), dan makroporous (>50nm) (Sing et al., 1985). Contoh material porous seperti clay, alumina anodic, karbon nanotubes dan yang berhubungan dengan karbon porous lainnya. Diantara semua material microporous, zeolit dikenal yang terbaik, karena mempunyai distribusi ukuran mikropore yang seragam dan sempit pada sistem poriporinya. Pada industri, meso- dan macropores sering diaplikasikan pada zeolit. (Wang et al., 2009). Sintesis material mesoporous bergantung pada kondisi-kondisi tertentu, seperti sumber silika atau jenis surfaktan yang digunakan sebagai template. Penggunaan template untuk sintesis dan interaksi anorganik dan organik pada material mesoporous digolongkan seperti pada Tabel 1. (Taguchi et al., 2004).
Template Surfaktan ionik
Surfaktan Non-ionik
Tabel 1. cara sintesis untuk material mesopores Interaksi Kondisi Contoh Sintesis Basa MCM-41, MCM-48, MCMInterksi langsung 50, FSM-16 Netral-basa (Aluminium, besi, oksida, (ionik) dll), AMS Asam SBA-1, SBA-2, SBA-3, Interaksi intermediet HMS, TLCT (ionik) Basa (Aluminium, zinc oksida, dll) HMS (Non-ionik)
Co-polymer (Ligand pembantu) Nanocasting
Asam
Nb-TMS, Ta-TMS
(Co-valent bonding) -
MSU, SBA-15,TLCT
-
CMK-n
Pembentukan gabungan inorganic–organic didasarkan pada interaksi elektrostatik antara surfaktan yang bermuatan positif dan jenis silika yang bermuatan negatif di dalam larutan. Parameter g digunakan untuk memprediksi struktur produk dan kondisi transisi fase. Jumlah g, digambarkan sebagai g = V/a0lc, di mana V adalah volume efektif rantai hidrofobik surfaktan, a0 adalah area permukaan efektif kelompok hidrofil, dan lc adalah panjang rantai hidrofobik yang efektif. Ukuran mesopore pada material terutama dipengaruhi oleh penggunaan surfaktan alkyl rantai panjang. Akan tetapi, penambahan molekul organik seperti aromatik, n-alkana (Ulagappan, 1996), atau asam lemak dapat menjadikan ukuran mesopore yang semakin besar. Pencampuran surfaktan dua alkil ammonium dengan panjangnya rantai alkil yang berbeda (surfaktan rantai panjang dan rantai yang pendek) dapat digunakan untuk ukuran pori-pori fine-tune (Taguchi et al., 2004). Penggunaaan karbon sebagai template telah banyak digunakan untuk membuat kekosongan mesoporous pada zeolit setelah kalsinasi. Akan tetapi, metoda ini membutuhkan material karbon dalam jumlah yang tinggi dan pembatasan jumlah aluminum ke dalam
AF-149
struktur. Penggunaan template TPAOH pada saat sintesis menggunakan metode hydrotermal banyak digunakan untuk mengurangi kelemahan-kelemahan tersebut (Viswanadham et al., 2008).
Gambar 1. Sintesis mesopores ZSM-5 menggunakan template TPAOH Liu, et al., 2000, melaporkan metode sintesis mesoporous aluminosilikat dengan menambahkan surfaktan kationik Cetyltrimethylammonium Bromide (CTABr) sebagai pengarah mesostruktur. Kristal yang diperoleh memilki keasaman dan stabilitas termal yang lebih tinggi daripada material mesoporus yang dibuat secara konvensional (Liu, et al., 2000 dalam Goncalves et al., 2008). Wang, et al., 2009, melaporkan dua metode sintesis untuk memperoleh material mesoporous zeolit. Material ini disebut TUD-C dan TUD-M, di mana C mewakili untuk kristalin dan M untuk meso-structure, yang menghasilkan pembentukan struktur pada langkah kedua sintesis.
Gambar 2. Ilustrasi sintesis TUD-C and TUD-M Konsep yang menarik dari pendekatan ini adalah penambahan template tunggal (tetrapropylammonium hidroksida, TPAOH) dengan kondisi yang berbeda pada langkah kedua sintesis untuk pembentukan zeolit micropores, dan sebagai pengarah untuk pembuatan mesopores. Dibandingkan metoda lain, pendekatan baru ini pada hakekatnya lebih sederhana dan memiliki fleksibilitas yang tinggi. Pola khas XRD untuk material mesopores, yaitu memiliki d-spacing sudut yang rendah 3.94 nm, dapat ditunjukkan pada Gambar di bawah ini (Zhang et al., 2008):
AF-150
Gambar 3. XRD MCM-48 dan mesopores ZSM-5 3. Hasil dan Pembahasan Reaksi Esterifikasi Pembentukan ester terjadi pada reaksi kondensasi yang disebut esterifikasi. Esterifikasi ini memerlukan dua reaktan, asam karboksilat (asam lemak) dan alkohol. Reaksi esterifikasi menggunakan katalis asam dan prosesnya lambat dengan adanya kehadiran asam kuat seperti asam sulfur, asam phosphor, asam sulfonic oraganik dan asam hidroklorida. Reaksi esterifikasi dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Khan, 2002, Peters et al., 2006):
Gambar 4. Reaksi Esterifikasi Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak berkadar asam lemak bebas tinggi (berangka-asam ≥ 5 mg-KOH/g). Pada tahap ini, asam lemak bebas akan dikonversikan menjadi metil ester. Tahap esterifikasi biasa diikuti dengan tahap transesterfikasi. Pengaruh Ukuran Pori dan Keasaman Katalis Pada Reaksi Esterifikasi Material mikropores terbatas penggunaannya karena ukuran pori-porinya yang sempit. Komponen reaktan yang memiliki ukuran molekul besar akan mengalami kesulitan selama proses transfer massa. Untuk meningkatkan difusi reaktan pada katalis, maka diperlukan untuk meningkatkan ukuran pori-pori zeolit (Taguchi et al., 2004). Reaksi esterifikasi melibatkan molekul yang memiliki ukuran besar, sehingga diperlukan material mesopores sebagai katalis. Pembuatan mesoporous dengan metode sintesis hydrothermal banyak digunakan pada industri minyak tanah, petrokimia, dan industri fine chemical. Chung et al., 2008 melaporkan pengaruh keasaman dan struktur pori katalis zeolit. Semakin meningkatnya kekuatan asam pada zeolit menghasilkan konversi FFA yang semakin tinggi. Kekuatan asam dan struktur pori zeolit asam mempengaruhi aktivitas katalitis dalam meremove asam lemak bebas (FFA) pada sisa minyak goreng (jelantah) melalui esterifikasi dengan methanol menggunakan variasi katalis zeolit, yaitu ZSM-5 (MFI), mordenite (MOR), faujasite (FAU), beta (BEA) dan silikalit. Kekuatan asam MOR>MFI>HFAU>HBEA>silikalit. Konversi FFA yang dihasilkan adalah MOR 80%>MFI 77%>HFAU 55%>HBEA 50%>silikalit 38%
AF-151
Gambar 5. Hubungan antara konversi FFA dan jumlah keasaamn pada zeolit, dengan o temperature reaksi 60 C, jumlah katalis 1.0 gram dan lama reaksi 3 jam Reaksi esterifikasi cyclkoheksanol dan asam asetat menggunakan katalis mesopores ZSM-5 dan mikropores H-ZSM-5, juga telah dilaporkan. Aktivitas dibandingkan antara mesopores ZSM-5 dan mikropores H-ZSM-5 dengan rasio Si/Al hampir sama. Gambar 3.2. menunjukkan bahwa mesopores ZSM-5 memiliki aktivitas lebih tinggi dari pada mikropores HZSM-5. Konversi maksimum pada mesopores ZSM-5 adalah 69% dan 63% untuk mikropores H-ZSM-5 (Viswanadham et al., 2008).
Gambar 6. Katalis mesopores ZSM-5 dan mikropores H-ZSM-5 yang digunakan pada reaksi esterifikasi Jermy et al., 2005 dan Carmo, et al., 2009, juga melaporkan reaksi esterifikasi menggunakan mesoporous aluminosilicate Al-MCM-41 dengan variasi pelarut dengan ukuran pori 2,5 - 3 nm, yang mana menghasilkan konversi produk 70-80%. Zirkonium sulfat disupportkan pada mesopores HMS (Zs/HMS) sebagai katalis untuk reaksi esterifikasi, juga telah dilakukan oleh Juan et al., 2008 untuk menambah dan memperkuat sisi keasaman dengan ukuran pori yang lebar. Semakin meningkatnya loading Zirkonium sulfat pada mesopores HMS semakin meningkat pula diameter pori (3,2 - 4 nm) dan 40% loading zirconium sulfat pada mesoporous HMS memiliki sifat keasaman yang sangat kuat. Juan et al., juga membandingkan hasil konversi produk antara penggunaan mikropores ZSM-5, zirconium sulfat (Zs) dan zirconium sulfat yang disupportkan pada mesopores HMS (Zs/HMS). Hasil konversi produk Zs/HMS 98,3%> Zs 80%> Mikropores ZSM-5 39,1%. 4. Kesimpulan Reaksi esterifikasi melibatkan molekul yang memiliki ukuran besar, sehingga diperlukan material mesopores sebagai katalis. Sedangkan, material mikropores terbatas penggunaannya karena ukuran pori-porinya yang sempit. Komponen reaktan yang memiliki ukuran molekul besar akan mengalami kesulitan selama proses transfer massa. Untuk meningkatkan difusi reaktan pada katalis, maka diperlukan untuk meningkatkan ukuran pori-
AF-152
pori zeolit. Semakin meningkat sifat keasaman dan diameter pori katalis, maka semakin meningkat pula konversi produk yang dihasilkan pada reaksi esterifikasi. Jadi, reaksi esterifikasi memerlukan katalis yang memiliki sifat keasaman yang kuat dan ukuran pori yang mesopores untuk menghasilkan konversi produk yang tinggi. Daftar Pustaka Alonso, D. Martı´n, R. Mariscal, M. Lo´ pez Granados, and P. Maireles-Torres, (2008), Biodiesel Preparation Using Li/CaO Catalysts: Activation Process and Homogeneous Contribution, Catalysis Today. Carmo, Alípio C. Jr., Luiz K.C. de Souza, Carlos E.F. da Costa, E. Longo, José R. Zamian, Geraldo N. da Rocha Filho, (2009), Production of biodiesel by esterification of palmitic acid over mesoporous aluminosilicate Al-MCM-41, Fuel, Vol. 88, hal. 461-468. Chongkhong, S, C. Tongurai, P. Chetpattananondh, (2009), Continuous esterification for biodiesel production from palm fatty acid distillate using economical process, Renewable Energy, Vol. 34, hal. 1059–1063. Chung, Kyong-Hwan, Duck-Rye Chang, Byung-Geon Park, 2008, Removal of free fatty acid in waste frying oil by esterification with methanol on zeolite catalysts, Bioresource Technology, Vol. 99, hal. 7438–7443. Goncalves, Marli Lansoni, Ljubomir D. Dimitrov, Maura Hebling Jorda˜o, Martin Wallau, Ernesto A. Urquieta-Gonza´lez, (2008), Synthesis of Mesoporous ZSM-5 by Crystallisation of Aged Gels in The Presence of Cetyltrimethylammonium Cations, Catalysis Today, Vol. 133–135, hal. 69–79. Jermy, B. Rabindran, A. Pandurangan, 2005, Catalytic application of Al-MCM-41 in the esterification of acetic acid with various alcohols, Applied Catalysis A: General Vol. 288, hal. 25–33. Juan, Joon Ching, Jingchang Zhang, Mohd Ambar Yarmo, (2008), Study of catalysts comprising zirconium sulfate supported on a mesoporous molecular sieve HMS for esterification of fatty acids under solvent-free condition, Applied Catalysis A: General, Vol. 347, hal. 133–141. Khan, Adam Karl, 2002, Research Into Biodiesel Kinetics & Catalyst Development, A Thesis Submitted To The Departement Of Chemical Engineering The University Of Queensland, Australia. Ma, F, Hanna, M.A., 1999. Biodiesel production: a review. Bioresour. Technol, Vol. 70, hal. 1–15. Peters, Thijs A., Nieck E. Benes, Anders Holmen, Jos T.F. Keurentjes, (2006), Comparison of commercial solid acid catalysts for the esterification of acetic acid with butanol, Applied Catalysis A: General, Vol. 297, hal. 182–188. Sing, K. S. W.; D. H. Everett, R. A. W. Haul, L. Moscou, R. A. Pierotti, J. Rouquerol, T. Siemieniewska, (1985), Reporting physisorption data for Gas/solid systems With special reference to the determination of Surface area and porosity, Pure & Appl. Chem., Vol. 57, No. 4, hal. 603—619. Srivastava, A., Prasad, R., (2000), Triglycerides-based diesel fuels. Renewable Sustain Energy Rev. 4, 111–133. Taguchi, Akira, Ferdi Schu¨th, 2004, Ordered Mesoporous Materials In Catalysis, Microporous and Mesoporous Materials, Vol. 77, hal. 1–45. Ulagappan, N. and C. N. R. Rao, (1996), Evidence for supramolecular organization of alkane and surfactant molecules in the process of forming mesoporous silica, Chem. Commun. hal. 2759 2760 Viswanadham, N., Raviraj Kamble, Madhulika Singh, Manoj Kumar, G. Murali Dhar, (2008), Catalytic properties of nano-sized ZSM-5 aggregates, Catalysis Today, Vol. 141, hal. 182–186. Wang, Jia, Wenbo Yue, Wuzong Zhou, Marc-Olivier Coppens, (2009), TUD-C: A tunable, hierarchically structured mesoporous zeolite composite, Microporous and Mesoporous Materials, Vol. 120, hal. 19–28. Zhang, Yanfeng, Kenneth J. Balkus Jr., Inga H. Musselman, John P. Ferraris, (2008), Mixed-matrix membranes composed of Matrimid® and mesoporous ZSM-5 nanoparticles, Journal of Membrane Science, Vol. 325, hal. 28–39.
AF-153
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Penentuan Model dan Kapasitas Adsorpsi Ion Kadmium oleh Zeolit Alam Hasil Kalsinasi Tjie Kok Departemen MIPA, Fakultas Teknik, Universitas Surabaya Telp. (031) 2981398, fax. (031) 2981387, email:
[email protected]
Abstract Previous studies showed that, by comparing X-ray diffraction pattern of natural zeolite used and that of standard zeolite, the natural zeolite from Gunung Kidul, Yogyakarta, Indonesia, used in this research, is zeolite of mordenite type. The aim of this research was to determine whether the adsorption process of the ion was good fit to the regression equation of Freundlich or Langmuir model of adsorption and to measure the maximum concentration of the ion that could be adsorbed per unit mass of calcinated natural zeolite (adsorption capacity of that adsorbent). It was shown from the data and the figures that the adsorption processes of the ion was good fit to the regression equation of Freundlich model of adsorption, and the adsorption capacity of Cd2+ on that modified natural zeolite was 4.51 ± 0.03 mg/g. Key words: calcinated natural zeolite, Freundlich and Langmuir model of adsorption, adsorption capacity.
1.
Pendahuluan Di Jawa Timur, dijumpai cemaran logam berat dalam air sumur (Razak et al. 1986), di pantai (Menik, 1987; Sahwan, 1995), di muara sungai (Sugijanto, et al. 1991; Sugiharto, 1995). Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan limbah yang dilakukan masih kurang baik atau tidak optimal, atau bahkan limbah yang dihasilkan tidak dikelola sama sekali. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya perbaikan untuk menurunkan kadar cemaran logam berat dalam air limbah buangan. Penanggulangan pencemaran logam berat dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan pengendapan kimia, adsorpsi, penukaran ion, ekstraksi solven, elektrodialisis, dan pemisahan membran. Di antara teknik-teknik tersebut, adsorpsi merupakan teknik yang sederhana dan efektif (Yijiu et al., 2003). Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keseragaman adsorpsi dan kapasitas adsorpsi logam berat oleh bahan penyerap zeolit alam antara lain adalah dengan dehidrasi, pertukaran ion, kalsinasi, dealuminasi, substitusi isomorfis, dan memberikan perlakuan dengan asam anorganik (Vansant, 1990). Kadmium banyak digunakan pada industri baterai, pigmen, dan elektroplating. Kadmium merupakan unsur yang toksik. Ginjal merupakan organ yang paling rentan terhadap kadmium, kadar kadmium sekitar 200 mg/L dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang parah. Keracunan kadmium dapat menyebabkan penyakit degeneratif tulang (Geoff, 2000). Kadmium berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Pemaparan kadmium oleh manusia ke lingkungan terutama adalah sebagai akibat dari pembakaran bahan bakar fosil, dan limbah kadmium ini dapat mencemari makanan dan air. Zeolit merupakan kristal polimer silika-alumina yang tersusun atas unit tetrahedral SiO4 dan AlO4. Kerangka silika-alumina tersebut menyusun sebuah struktur padatan berpori dan sistem saluran pada zeolit yang di dalamnya terdapat molekul air dan kation yang terikat pada situs aktif zeolit dan bersifat dapat ditukar (exchangeable). Ukuran pori dan saluran ini berbeda untuk jenis zeolit yang berbeda, tergantung pada penataan unit kristalnya. Adanya pori dan sistem saluran dengan ukuran tertentu serta situs aktif pada zeolit mengakibatkan
AF-154
bahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyaring molekul dan pengikat kation dengan selektivitas yang khas. Di Indonesia, jumlah zeolit sangat melimpah dan tersebar di berbagai daerah baik di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi (Holmes and Pecover, 1987). Secara struktur, zeolit merupakan polimer kristalin yang tersusun atas unit terkecil (primary building unit) tetrahedral SiO4-4 dan AlO4-5, dan secara umum dirumuskan dengan Mx/n (AlO2)x (SiO2)y dimana, n adalah valensi dari kation M, x + y adalah jumlah tetrahedral per unit sel. y dapat bervariasi dari 2 sampai tak berhingga (Michel and Jean-Pierre, 2002). Unit-unit tetrahedral SiO4 dan AlO4 saling bergabung membentuk unit bangunan sekunder (secondary building unit). Gabungan tetrahedral SiO4 dan AlO4 terjadi melalui hubungan atom-atom O yang terdapat pada ujung hedral tersebut. Pendekatan yang umum digunakan untuk menghilangkan molekul lain dari kerangka mikropori adalah dengan kalsinasi suhu tinggi (5500C di udara), yang dapat mengoksidasi dan mendekomposisi molekul organik (Ruren et.al, 2007). Zeolit alam yang telah dikalsinasi diperkirakan mempunyai kemampuan mengadsorpsi ion logam berat dari air limbah buangan 2+ yang mengandung Cd dengan kapasitas tertentu. Berapa besar kemampuan adsorpsi tersebut belum diketahui, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan adsorpsi tersebut. 2.
Eksperimen Sampel penelitian berupa zeolit yang berasal dari daerah Pacitan, Jawa Timur. Sampel ditumbuk dengan alat penumbuk di laboratorium hingga menjadi serbuk. Selanjutnya serbuk diayak menggunakan ayakan dengan mesh 140. Kemudian 500 gram serbuk zeolit hasil ayakan dikalsinasi dengan menggunakan furnace pada suhu 5500C selama 1 jam. Setelah itu serbuk didinginkan sampai suhu kamar dan disimpan dalam desikator sampai saat digunakan. Batuan zeolit
penumbukan
Serbuk zeolit
pengayakan mesh 140
500 g serbuk zeolit dengan mesh 140 kalsinasi
Larutan Cd2+ dengan berbagai konsentrasi
diaplikasikan
Zeolit hasil kalsinasi
pengukuran/penentuan
Kapasitas Adsorpsi
Model adsorpsi
Gambar 1. Kerangka operasional penelitian
3. Hasil dan Pembahasan Penentuan Model Adsorpsi Model adsorpsi pada penelitian ini ditentukan setelah diketahui bahwa proses adsorpsi dari Cd2+ oleh zeolit hasil modifikasi pada suatu saat mencapai keadaan jenuh, yang berarti bahwa adsorpsi yang terjadi bukanlah adsorpsi multilayer, melainkan adsorpsi monolayer. Penentuan model adsorpsi ini dilakukan untuk mengetahui apakah profil adsorpsi dari zeolit hasil kalsinasi mengikuti persamaan regresi untuk model adsorpsi Freundlich ataukah Langmuir.
AF-155
Tabel 1. Penentuan model adsorpsi zeolit alam hasil kalsinasi untuk Cd2+ dengan rasio adsorben terhadap larutan 2,5 g/L Co (mg/L) C (mg/L) x/m C/(x/m) Log C log (x/m) 2,01 0,052 0,783 0,066 −1,284 −0,106 3,99 0,108 1,553 0,070 −0,967 0,191 6,01 0,146 2,346 0,062 −0,836 0,370 8,00 0,178 3,129 0,057 −0,750 0,495 9,98 0,208 3,909 0,053 −0,682 0,592 Keterangan: Co adalah konsentrasi awal Cd2+ C adalah konsentrasi Cd2+ setelah tercapai kesetimbangan 2+ x/m adalah massa Cd yang terserap (mg) per massa adsorben (g). 0.6
0.10
0.4
0.08
0.2
-1.5
-1.3
-1.1
-0.9
-0.7
C/(x/m)
log (x/m)
y = 1.154x + 1.351 R2 = 0.988
y = -0.096x + 0.075 R2 = 0.759
0.06
0.0
0.04
-0.2 -0.5
0.02 0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
C
log C
A B Gambar 2. Kurva penentuan model adsorpsi zeolit alam hasil kalsinasi untuk Cd2+ dengan rasio adsorben terhadap larutan 2,5 g/L. A = kurva untuk model adsorpsi Freundlich, B = kurva untuk model adsorpsi Langmuir Tabel 2. Penentuan model adsorpsi zeolit alam hasil kalsinasi untuk Cd2+ dengan rasio adsorben terhadap larutan 5,0 g/L Co (mg/L) C (mg/L) x/m C/(x/m) log C log (x/m) 2,01 0,046 0,393 0,117 −1,337 −0,406 3,99 0,093 0,779 0,119 −1,032 −0,108 6,01 0,130 1,176 0,111 −0,886 0,070 8,00 0,150 1,570 0,096 −0,824 0,196 9,98 0,186 1,959 0,095 −0,731 0,292 Keterangan: Co adalah konsentrasi awal Cd2+ C adalah konsentrasi Cd2+ setelah tercapai kesetimbangan 2+ x/m adalah massa Cd yang terserap (mg) per massa adsorben (g). 0.16 0.3
log (x/m)
0.1 -0.1 -0.3
-1.5
-1.3
-1.1
-0.9 log C
-0.7
-0.5 -0.5
y = -0.189x + 0.130 R2 = 0.764
0.14 C/(x/m)
y = 1.159x + 1.124 R2 = 0.989
0.12 0.10 0.08 0.06 0.04 0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
C
A B Gambar 3. Kurva penentuan model adsorpsi zeolit alam hasil kalsinasi untuk Cd2+ dengan rasio adsorben terhadap larutan 5,0 g/L. A = kurva untuk model adsorpsi Freundlich, B = kurva untuk model adsorpsi Langmuir
AF-156
Tabel 3. Penentuan model adsorpsi zeolit alam hasil kalsinasi untuk Cd2+ dengan rasio adsorben terhadap larutan 10,0 g/L Co (mg/L) C (mg/L) x/m C/(x/m) log C log (x/m) 2,01 0,038 0,197 0,193 −1,420 −0,705 3,99 0,076 0,391 0,194 −1,119 −0,407 6,01 0,109 0,590 0,185 −0,963 −0,229 8,00 0,140 0,786 0,178 −0,854 −0,105 9,98 0,161 0,982 0,164 −0,793 −0,008 Keterangan: Co adalah konsentrasi awal Cd2+ C adalah konsentrasi Cd2+ setelah tercapai kesetimbangan 2+ x/m adalah massa Cd yang terserap (mg) per massa adsorben (g).
-1.1
-0.9 log C
-0.7
C/(x/m)
log (x/m)
-0.6
-1.3
0.20
-0.2 -0.4
-1.5
0.22
0.0
y = 1.096x + 0.838 R2 = 0.996
0.18 0.16
-0.8
0.14
-1.0 -0.5
0.12 0.00
y = -0.227x + 0.207 R2 = 0.824
0.05
0.10
0.15
C
A B Gambar 4. Kurva penentuan model adsorpsi zeolit alam hasil kalsinasi untuk Cd2+ dengan rasio adsorben terhadap larutan 10,0 g/L. A = kurva untuk model adsorpsi Freundlich, B = kurva untuk model adsorpsi Langmuir Gambar 2 A dan B s.d 4 A dan B menunjukkan bahwa adsorpsi untuk Cd2+ oleh zeolit hasil modifikasi mengikuti kurva model adsorpsi Freundlich. Hal ini juga ditunjukkan 2 oleh harga-harga koefisien determinasi (R ) untuk kurva model adsorpsi Freundlich yang lebih mendekati satu dibandingkan dengan koefisien determinasi (R2) untuk kurva model adsorpsi Langmuir. Pengukuran kapasitas adsorpsi Kesetimbangan adsorpsi pada penelitian ini tercapai setelah menit ke enam puluh. Pengukuran kapasitas adsorpsi zeolit alam hasil kalsinasi untuk Cd2+ pada penelitian ini dilakukan setelah proses adsorpsi dijalankan selama 90 menit. Tabel 4. Pengukuran kapasitas adsorpsi zeolit alam hasil kalsinasi untuk Cd2+ Rasio Adsorben Konsentrasi Kapasitas 2+ terhadap Larutan Cd Awal Adsorpsi (g/L) (mg/L) (mg/g) 50,00 4,49 ± 0,06 2,5 99,95 4,51 ± 0,06 150,10 4,50 ± 0,04 50,00 4,53 ± 0,03 5,0 99,95 4,50 ± 0,02 150,10 4,49 ± 0,04 50,00 4,52 ± 0,01 10,0 99,95 4,50 ± 0,01 150,10 4,50 ± 0,02 Keterangan: hasil dinyatakan sebagai: rata-rata ± deviasi (n=3).
AF-157
Keterangan: rasio adsorben terhadap larutan:
4,60
Kapasitas adsorpsi (mg/g)
4,50
2,5 g/L
4,40
5,0 g/L
4,30
10,0 g/L
4,20 4,10 4,00 49,96
100,03
150,08
Konsentrasi aw al Cd2+ (m g/L)
Gambar 5. Grafik hasil pengukuran kapasitas adsorpsi untuk Cd2+ 2+
Tabel 4 dan Gambar 5 menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi rata-rata dari Cd 2+ oleh zeolit alam hasil kalsinasi adalah sama untuk konsentrasi awal Cd dan rasio adsorben terhadap larutan yang berbeda-beda, yaitu sebesar 4,51 ± 0,03 mg/g. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa proses adsorpsi Cd2+ oleh zeolit hasil kalsinasi hanya membentuk lapisan tunggal (adsorpsi monolayer). Jika lapisan yang terbentuk lebih 2+ dari satu (multilayer), maka massa adsorbat (miligram Cd ) yang diserap per satuan massa adsorben (gram zeolit) akan berbeda-beda untuk konsentrasi awal Cd2+ yang berbeda-beda. 4.
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Persamaan kurva adsorpsi Cd2+ oleh zeolit alam hasil kalsinasi mengikuti persamaan regresi untuk model adsorpsi Freundlich. 2+ 2. Kapasitas adsorpsi zeolit alam hasil kalsinasi untuk menyerap Cd adalah 4,51 ± 0,03 mg/g.
Daftar Pustaka
Geoff RC, 2000. Descriptive Inorganic Chemistry 2ed, W.H. Freeman and Company, New York, pp. 497514. Holmes GG and Pecover SR, 1987. Natural Zeolite, Department of Mineral Resources, New South Wales, pp. 25-50. Menik SW, 1987. Analisis Kadar Logam Berat Cd, Cu, Hg dan Pb Pada Kerang di Pantai Desa Tepen Gresik Secara Spektrofotometri Absorpsi Atom. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Surabaya. Michel G and Jean-Pierre G, 2002. Zeolites for Cleaner Technologies. Imperial College Press, London, pp. 1-12. Ruren Xu, Wenqin Pang, Jihong Yu, Qisheng Huo and Jiesheng Cheng, 2007. Chemistry of Zeolites and Related Porous Material – Synthesis and Structure. John Wiley & Sons Ltd. Razak A, Prawita A, Sugianto, 1986. Analisis Logam Berat dalam Air Sumur sekitar Sungai Tambak Oso Surabaya, Konggres Nasional XII dan Konggres Ilmiah VI ISFI di Yogyakarta. Sahwan, 1995. Analisis Logam Berat Cd, Pb, Cu dan Zn dalam Damar Pohon Api-api (Avicennia Marina Vierh) di Pantai Kenjeran dengan Metode Spektrofotometri Absorpsi Atom. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Surabaya. Sugiharto, 1995. Analisis Kadar Logam Berat Cd, Cu, Mn dan Zn dalam Sedimen dan Ikan Gelodok (Boleophthalmus boddarti Pallas) di Muara Kali Jagir secara Spektrofotometri Absorpsi Atom. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Surabaya. Sugijanto, Hermin H.K, Hermawan K, Mukono, 1991. Analisis Kadar Hg dan Cd dalam Beberapa Hewan Laut di Muara Sungai Kalimas. Jurnal PSL Perguruan Tinggi Negeri Seluruh Indonesia 11 (3). Vansant EF, 1990. Pore Size Engineering in Zeolite, John Wiley & Sons Ltd, Chichester, pp. 1-4. Yijiu L, Xinping Z, Yafei L, Shaosong Y, Zhonghua H and Yaming N, 2003. Study on The Treatment of Copper-electroplating Wastewater by Chemical Trapping and Flocculation, Department of Chemistry, Tongji University, Cina.
AF-158
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Pengaruh Komposisi Kitosan, dan Pemlastis Gliserol Terhadap Sifat Edible Film dari Pati Singkong (Manihot Utilisima) Tokok Adiarto, Siti Wafiroh, Ahmadi Jaya Permana Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya
Abstrak Pada penelitian ini telah dilakukan pembuatan edible film dari komposit pati singkongkitosan dengan pemlastis gliserol. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi komposisi kitosan dan pemlastis gliserol terhadap sifat mekanik dan sifat kimia edible film. Edible film dibuat dengan variasi komposisi konsentrasi kitosan 1%, 2%, 3%, dan 4%, serta konsentrasi pemlastis gliserol 2%, 3%, 4%, 5%, dan 6%. Karakterisasi edible film meliputi ketebalan, permeabilitas, dan ketahanan terhadap air, uji tarik (stress, strain, dan Modulus Young), uji biodegradasi, uji swelling, dan analisis morfologi menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy). Edible film dengan karakteristik optimum diperoleh pada komposisi pati singkong 6%, kitosan 4%, dan gliserol 4% dengan karakterisasi ketebalan edible film rata-rata 0,028 mm, % swelling 9,83 %, stress 0,2327 kN/mm2, strain 0,0541, dan Modulus Young sebesar 4,30595 kN/mm2,dan positif terhadap uji biodegradasi. Karakteristik edible film dibandingkan dengan plastik pembungkus yang 2 mempunyai nilai ketebalan rata-rata 0,04 mm, stress 0,5219 kN/mm , strain 0,1635, dan 2 Modulus Young 3,1919 kN/mm . Kata kunci : Pati Singkong, kitosan, gliserol, edible film
1. Pendahuluan Penelitian mengenai pemanfaatan bahan-bahan yang tersedia di alam dalam pembuatan edible film terus berkembang dengan pesat. Bahan-bahan alami yang banyak dikembangkan menjadi kemasan ramah lingkungan antara lain pemanfaatan pati, selulosa, kitin, dan sebagainya. Pemanfaatan pati sebagai bahan pembuatan edible film telah banyak diteliti, dan dikembangkan oleh para peneliti yang dikarenakan kemudahan pembuatan atau isolasi pati, dan juga kandungannya yang sangat besar pada tanaman. Pada penelitian ini, edible film dari pati singkong tersebut akan ditambahkan dengan kitosan yang bertujuan untuk meningkatkan sifat mekanik dari edible film, dan penambahan gliserol edible film agar lebih plastis. Edible film yang dibuat dari komposit pati-kitosan dengan pemlastis gliserol diharapkan dapat memiliki karakteristik yang sesuai dengan standar kemasan yaitu memiliki sifat mekanik yang tinggi, bersifat lentur, memiliki ketahanan dalam air, tidak berpori, dan mudah terdegradasi. Pada penelitian ini, akan dilakukan pembuatan edible film dengan bahan dari alam yang ketersediaannya melimpah yaitu pati singkong, dan limbah kulit udang. Karakterisasi edible film meliputi uji sifat mekanik, uji spektrofotometri infra merah (IR), uji morfologi kemasan dengan SEM, uji ketahanan terhadap air, serta uji biodegradasinya dengan bakteri pengurai sampah yang terdapat dalam teknologi effective microorganism 4 (EM4). Edible film dikatakan layak apabila memenuhi standar yaitu, memiliki sifat mekanik yang tinggi, tidak larut dalam air, bersifat elastis atau mudah dibentuk dan juga memiliki sifat biodegradable. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi bahan pembuat edible film yang menghasilkan karakteristik optimum dan dibandingkan dengan kemasan plastik komersil.
AF-159
2. Eksperimen Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: singkong (Manihot utilisima) yang dijual di pasar tradisional, limbah kulit udang yang diperoleh dari PT Mina Laut Gresik. Adapun reagen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah : NaOH, HCl, asam asetat, bahan uji biodegradasi EM 4 dan akuades. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat mikrometer sekrup, stopwatch, turbidimeter, pengaduk magnetik, cawan petri, bak koagulasi, batang silinder ”stainless steel”, SEM dengan spesifikasi mesin Jeol JSM 6360-LA, alat Autograph tipe AG10TE Shimadzu, sel filtrasi dead end. Prosedur Penelitian Pembuatan pati singkong Singkong dikupas kulitnya, lalu dicuci sampai bersih. Setelah itu, singkong diparut, dan hasil parutan tersebut ditambahkan air bersih sambil diremas-remas, lalu disaring. Hasil saringan tersebut didiamkan hingga pati mengendap sempurna. Endapan pati dipisahkan, kemudian dikeringkan. Pati yang telah kering kemudian digiling dan disaring hingga halus. Pati yang berhasil diperoleh dilakukan uji kualitatif dengan larutan I2 dalam KI atau uji amilum untuk memastikan yang terbentuk benar-benar pati. Penyiapan serbuk kulit udang Kulit udang dicuci sampai bersih dari kotoran yang menempel, kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari. Setelah kering partikel sampel kulit udang ditumbuk sampai halus, diayak, dan digiling kembali dengan mesin giling. Tahap ekstraksi kitin dari kulit udang Ekstraksi kitin dari kulit udang dilakukan melalui 2 tahap : Tahap 1 : Pemisahan protein yang terdapat pada kulit udang (deproteinasi) dengan cara kulit o udang dipanaskan,dan diaduk selama 2 jam pada suhu 65 C dalam larutan NaOH 3,5 % (b/v) dengan perbandingan 1 : 10. Setelah itu campuran disaring, dikeringkan, dan dinetralkan dengan akuades. Hasil dari tahap ini disebut crude kitin. Tahap 2 : Pemisahan mineral dari kulit udang (demineralisasi) dengan cara crude kitin diaduk dalam larutan HCl 2 N selama 30 menit dengan perbandingan 1 :15. Setelah itu campuran disaring, dikeringkan, dan dinetralkan dengan akuades. Tahap transformasi kitin menjadi kitosan (deasetilasi) Proses ini dilakukan dengan cara kitin dipanaskan, dan diaduk selama 2 jam pada suhu 95oC dalam larutan NaOH 50% dengan perbandingan 1:10. Setelah itu campuran disaring, dikeringkan, dan dinetralkan dengan akuades. Pada tahap ini akan diperoleh kitosan. Karakterisasi kitin dan kitosan Kemurnian kitin dan kitosan yang diperoleh dapat dilihat dari hasil uji kelarutan dan uji spektroskopi IR. Uji kelarutan dapat dilakukan dengan melarutkan serbuk yang diperoleh ke dalam larutan asam asetat encer. Apabila hasil yang dipeoleh tidak larut maka serbuk tersebut kitin dan sebaliknya bila serbuk tersebut larut maka serbuk tersebut adalah kitosan. Uji spektroskopi IR untuk melihat derajat deasetilasi. DD dapat ditentukan melalui metode base line. Penentuan berat molekul rata – rata kitosan Kitosan dilarutkan dalam asam asetat 1 %(w/v). Kemudian diukur waktu alir dengan alat viskometer pada beberapa variasi konsentrasi. Berat molekul rata-rata kitosan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Mark Houwik-Sakurada. Pembuatan edible film Pati singkong dipanaskan pada suhu gelatinisasi pati yaitu 70 0C disertai dengan pengadukan hingga terbentuk larutan yang kental dan berwarna putih. Kitosan dilarutkan
AF-160
dalam larutan asam asetat 2 % sampai larut. Pati dan kitosan kemudian dicampur dan diaduk sampai homogen, kemudian didiamkan sehari. Edible film dibuat dengan menuangkan 0 campuran ke dalam cawan petri, lalu dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 50 C hingga kering. Pembuatan campuran pada variasi pemlastis gliserol sama dengan variasi kitosan yaitu dicampurkan bersamaan dengan pati dan kitosan kemudian diaduk hingga homogen, dan langkah selanjutnya sama. Edible film diperoleh ketika campuran yang telah kering dimasukkan dalam bak koagulan yang berisi larutan NaOH 4 %, kemudian dinetralkan pHnya dengan aquades. Edible film yang telah netral dikeringkan pada suhu kamar. Karakterisasi Edible Film Pengukuran tebal edible film Edible film yang telah terbentuk diukur ketebalannya dengan menggunakan alat mikrometer sekrup. Ketebalan edible film diukur pada lima titik, yaitu : bagian ujung kirikanan, bagian kanan- kiri yang lain, tengah, dan bagian tengah atas-bawah kemudian dihitung ketebalan rata-ratanya. Uji sifat mekanik edible film dan plastik Sifat mekanik membran dilakukan dengan uji tarik mengunakan alat autograph. Dari data uji tarik dapat diperoleh nilai stress, strain, dan Modulus Young. Uji ketahanan terhadap air Sampel edible film dipotong dengan ukuran tertentu, kemudian dikontakkan dengan air. Adapun pengamatannya dilakukan secara visual. Uji permeabilitas terhadap air Edible film yang akan diuji dengan alat sel filtrasi dead end. Umpan yang berupa akuades sebanyak 50 ml dimasukkan dalam sel, kemudian ditutup rapat dan mengalirkan tekanan udara. Uji penggembungan (swelling) edible film Edible film dipotong dengan ukuran 4 x 4 cm dan diukur berat mula-mula, kemudian direndam dalam akuades selama 3 jam. Edible film yang telah direndam diukur lagi beratnya. Penentuan morfologi edible film Penentuan morfologi membran dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Bagian membran yang dianalisa yaitu bagian penampang lintang dan permukaan. Uji biodegradable edible film Uji biodegradable dari edible film dilakukan dengan menggunakan teknologi EM 4 (Effective Microorganism). 3. Hasil dan Pembahasan Hasil Pembuatan Pati Singkong Hasil pati singkong yang diperoleh sebanyak 613, 29 gram dari 5000 gram singkong, dan menunjukkan uji positif perubahan warna dari putih menjadi biru kehitaman terhadap reagen I2 dalam KI. Hasil deproteinasi limbah kulit udang Pengurangan berat yang terjadi pada tahap ini adalah sebesar 50,56 % dari berat awal 300 gram menjadi 148,32 gram. Pada deproteinasi ini terjadi perubahan warna kulit udang dari coklat kemerahan menjadi kuning kecoklatan, hal ini dikarenakan pada proses ini selain terjadi pemutusan ikatan kimia antara kitin dan protein, juga disertai pula dengan lepasnya pigmen kulit udang. Hasil demineralisasi crude kitin Tahap demineralisasi, yaitu proses penghilangan senyawa anorganik atau mineral yang terkandung dalam kulit udang. Mineral yang terkandung di kulit udang biasanya berupa CaCO3 dan Ca3(PO4)2 yang terikat secara fisik pada kulit udang. Proses ini menghasilkan
AF-161
gelembung gas CO2 dan terjadi pengurangan berat crude kitin sebesar 37, 5 % dari berat 148,32 gram menjadi 92,7 gram. Hasil Transformasi Kitin menjadi Kitosan Transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan untuk mengubah gugus asetamida menjadi gugus amina melalui reaksi hidrolisis dalam larutan basa yang meliputi reaksi adisi oleh ion OH , reaksi eliminasi dan serah terima proton. Hasil yang diperoleh berupa serbuk berwarna lebih putih dari kitin, dan terjadi pengurangan berat dari 92,7 gram menjadi 73,11 gram. Hasil uji kelarutan terhadap asam asetat encer Dalam asam asetat encer kitosan hasil deasetilasi akan larut, sedangkan kitin tidak dapat larut dalam asam asetat encer. Hasil uji spektroskopi IR Pada uji ini dilakukan analisa gugus fungsi sekaligus menentukan derajat deasetilasi dari kitin dan kitosan dilakukan dengan alat IR Spektroskopi. % T r a s m i t a n
Bilangan gelombang cm-1
Gambar 1. Spektrum IR kitin Dari spektrum IR kitin tersebut terlihat pita tajam yang khas gugus karbonil amida -1 yang pada gambar terlihat pada puncak 1659,8 cm .
% T r a s m i t a n
Bilangan gelombang cm-1 Gambar 2. Spektrum IR kitosan Berdasarkan spektrum di atas tampak telah terjadi transformasi dari kitin ke kitosan bila dilihat dari hilangnya serapan 1659,8 cm-1 . Dengan menggunakan rumus baseline b diperoleh nilai derajat deasetilasi kitin sebesar 51,84 %, dan derajat deasetilasi untuk kitosan yaitu sebesar 83,19 %.
AF-162
Hasil penentuan berat molekul rata – rata kitosan Berat molekul rata-rata kitosan diukur dengan mengukur viskositas dari kitosan. 5
ηsp / C
4 3 y = 13,084x + 2,6538 R2 = 0,9659
2 1 0 0
0,05
0,1
0,15
konsentrasi
Gambar 3. Grafik hubungan antara viskositas reduksi terhadap konsentrasi Dari nilai intercept grafik di atas dapat dihitung nilai berat molekul rata-rata kitosan yaitu 142529, 18 dalton. Hasil Pembuatan Edible Film Komposit Pati Singkong-Kitosan Pada proses pembuatan edible film dilakukan variasi komposisi bahan yang digunakan. Edible film yang terbentuk kemudian diukur sifat mekaniknya dengan menggunakan alat Autograph. Hasil pengukuran kemudian diolah untuk mengenai sifat mekanik yang terdiri dari tegangan (stress), regangan (strain), dan Modulus Young. 0,03
tegangan
0,025 0,02 0,015 0,01 0,005 0 0
1
2
3
4
5
konsentrasi
Gambar 4. Grafik hubungan tegangan terhadap konsentrasi kitosan Komposisi pati singkong dan kitosan yang memiliki nilai tegangan maksimum yaitu pati singkong 6 %, dan kitosan 4 % ditambahkan pemlastis gliserol agar bersifat plastis. Proses ini menghasilkan edible film yang bening Hasil Karakterisasi Edible Film Hasil pengukuran tebal edible film Pengukuran ketebalan edible film digunakan sebagai indikator keseragaman dan kontrol kualitas edible film yaitu yang mempunyai ketebalan yang tipis tetapi tidak mudah sobek. Tabel 1 Hasil pengukuran ketebalan edible film Komposisi Pati Kitosan (%w/v) (%w/v)
6
4
Pemlastis gliserol (%w/v) 2 3 4 5 6
Rata-rata ketebalan tiap variasi (mm) 0,029 0,026 0,028 0,028 0,027
AF-163
Hasil penentuan morfologi edible film Pada penelitian ini dilakukan analisa morfologi edible film dengan komposisi optimum yang memiliki sifat mekanik tertinggi.
Gambar 5. Hasil SEM dari permukaan atas dan penampang melintang edible film Pada gambar terlihat bahwa edible film yang telah dibuat tidak memiliki pori Pada hasil analisa SEM untuk penampang melintang, terlihat bahwa edible film yang telah dibuat sangat rapat dan tidak berongga yang menunjukkan bahwa terdapat interaksi kimia yang baik antara pati singkong, kitosan, dan gliserol sebagai pemlastis. Hasil uji sifat mekanik edible film Uji sifat mekanik edible film dilakukan dengan cara uji tarik dengan alat Autograph. Sifat mekanik edible film merupakan faktor penting untuk mengetahui kelayakan, dan kualitas edible film yang telah dibuat untuk digunakan sebagai kemasan. Tabel 2. Data stress, strain, dan modulus young dari edible film Komposisi Pati (%w/v)
6
Kitosan (%w/v)
4
Pemlastis gliserol (%w/v)
Stress 2 (kN/mm )
Strain
Modulus Young 2 (kN/mm )
2 3 4 5 6
0,0259 0,0432 0,2327 0,1027 0,023
0,1688 0,1064 0,0541 0,0282 0,0195
0,1535 0,4059 4,30595 3,6681 1,17195
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui komposisi yang memiliki nilai nilai stress tertinggi pada komposisi pati 6 %, kitosan 4 %, dan pemlastis 4 % yaitu sebesar 0,2327 kN/mm2. Hasil uji swelling Uji swelling dilakukan untuk mengetahui terjadinya ikatan dalam polimer pada edible film. Uji swelling dilakukan dengan cara merendam edible film yang telah dipotong berukuran 4 x 4 cm dalam air selama 3 jam, kemudian dibiarkan pada suhu ruang hingga permukaannya tidak basah. Tabel 3. Hasil uji swelling edible film Komposisi Rata-rata ketebalan Pemlastis gliserol tiap variasi (mm) Pati Kitosan (%w/v) (%w/v) (%w/v) 2 0,029 3 0,026 6 4 4 0,028 5 0,028 6 0,027 Hasil uji permeabilitas dan ketahanan terhadap air Uji ini dilakukan dengan menggunakan alat sel filtrasi dead end dengan tekanan 2 atm. Edible film yang telah dibuat ternyata masih melewatkan air setelah 15 menit. Penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan hasil edible film yang
AF-164
dibuat memiliki ketahanan hingga 1,5 atm dan pada tekanan yang lebih tinggi edible film air sudah mulai terlihat merembes dari sel filtrasi dead end. Berdasarkan perbandingan tersebut penelitian ini memiliki ketahanan yang lebih besar bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Hasil uji biodegradable Pada gambar berikut terlihat bahwa plastik sudah rapuh dan terpotong-potong, dan cairan EM 4 mengalami perubahan warna dari jingga menjadi cokelat kehitaman yang berarti sudah mengalami proses biodegradasi walaupun dalam waktu singkat.
a
b
c
Gambar 6. Foto hasil uji biodegradasi pada hari 1 (a), hari 2 (b) hari 3 (c) 4. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut, Edible film dari komposit pati singkong-kitosan dengan pemlastis gliserol pada komposisi optimum yaitu pati singkong 6 % (w/v), kitosan 4 % (w/v), dan pemlastis gliserol 4b % (w/v) dengan hasil karakterisasi ketebalan rata-rata 0,028 mm, tegangan 0,2327 kN/mm2, regangan 0,0541, 2 modulus young 4,30595 kN/mm , % swelling 9,83 %, memiliki nilai sifat mekanik yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kemasan komersil yang memiliki ketebalan rata-rata 0,04 mm, tegangan 0,5219 kN/mm2, regangan 0,1635, modulus young 3,1919 kN/mm2. Keunggulan edible film dibandingkan dengan kemasan komersil yaitu bersifat biodegradable, sifat bahan kitosan yang anti bakteri, dan renewable. Daftar Pustaka Bangyekan, C, 2005, Preparation and Properties Evaluation of Chitosan-Coated Cassava Starch Films, Carbohydrate Polymers 63 (2006) 61–71 Baxter, et. al., 1992, Improved Method for IR Determination of The Degree of N-acetylation of Chitosan. Intl J Biol Macromol., 14 : 166-169 Billmeyer, Jr. 1994. Textbook of Polymer Science, 3rd edition, John Wiley and Sons., New York, 160-164 Khan, T.A, 2002, Reporting Degree of Deacetylation Values of Chitosan : The Influence of Analytical Methods, J Pharm Pharmaceut Science 5(3):205-2 Lando, J.B., and Maron, S.H., 1974., Fundamental of Physical Chemistry., Macmillan Publishing Co., Inc., New York. Mahmoud, N.S, 2007, Unconventional Approach for Demineralization of Deproteinized Crustacean Shells for Chitin Production, American Journal of Biochemistry and Biotechnology 3 (1) :1-9, ISSN 1553-3468 Schnabel, W., 1981, Polymer Degradation Principle and Practical Applications, Hanser International, New York, Toronto
AF-165
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Sintesis dan Karakterisasi Katalis H–Al–MCM–41 dengan Variasi Rasio Si/Al Serta Aktivitasnya Pada Reaksi Siklisasi Sitronelal Yahdi, Ratna Ediati1 Laboratorium Kimia Anorganik Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
. Abstrak Material MCM-41 merupakan padatan yang memiliki struktur teratur dengan rongga 2 -1 yang seragam, membentuk struktur heksagonal dengan luas permukaan spesifik 1000 m g . Karena ukuran pori MCM-41 yang besar sehingga banyak diaplikasikan sebagai katalis pada reaksi katalitik untuk molekul-molekul yang lebih besar. Namun MCM-41 murni tidak memiliki keasaman yang cukup sehingga tidak dapat digunakan secara langsung sebagai katalis. Keasaman MCM-41 dapat ditingkatkan dengan menambahkan logam Al menjadi Al-MCM-41 dan keasamanan katalis Al-MCM-41 menurun dengan meningkatnya rasio Si/Al. Katalis AlMCM-41 dan H-Al-MCM-41 disintesis dengan metode hidrotermal dan pertukaran ion dan berdasarkan hasil analisa XRD menunjukan long range ordering struktur heksagonal MCM41, dimana puncak tajam pada 2θ sekitar 2.311-2.477° yang diindeksikan sebagai bid ang kisi d[100] menandakan struktur heksagonal dari mesopori, dan pucak tambahan yang muncul pada refleksi [110], [200], [210] dan [300] mengindikasikan keberadaan long range ordering struktur dan keteraturan struktur mesopori. Dengan bertambahnya logam Al yang terinkoorporasi kedalam framework, intensitas puncak menurun, nilai 2θ bergeser ke yang lebih tinggi dan nilai d- spaching dan parameter unit sel bergeser ke nilai yang lebih kecil, mengindikasikan terjadi perubahan struktur. Sedangkan hasil dari pertukaran ion menunjukan struktur MCM-41 masih bertahan, namun sedikit mengalami perubahan diantaranya penurunan intensitas, pergeseran nilai d- spaching dan parameter unit sel ke nilai yang lebih kecil mengindikasikan adanya unit struktur mosopori yang rusak. Dari hasil uji FTIR menunjukan atom Al terinkorporasi dalam framework. Sedangkan hasil Uji keasaman dengan teknik piridin menunjukan keasaman Al-MCM-41 (15) > Al-MCM-41 (25) > Al-MCM-41(50) > Al-MCM-41(75). Selanjutnya keasaman katalis Al-MCM-41 dapat lebih ditingkatkan dengan perlakuan pertukaran ion pada Na-Al-MCM-41 menjadi H-Al-MCM-41 yang diperoleh memiliki sisi asam Lewis dan Brønsted yang lebih besar dari pada Al-MCM-41. Adanya sisi asam Lewis dan Brønsted pada katalis diperlukan untuk memperoleh katalis yang aktif dan selektif pada reaksi siklisasi sitronelal. Kata kunci :
Sintesis, karakterisasi, Rasio Si/Al, siklisasi sitronellal, isopulegol, mentol, HAl-MCM-41, asam Lewis dan asam Brønsted.
1. Pendahuluan MCM-41 (Mobail Crystalline Material), merupakan salah satu dari keluarga M41S yang paling banyak dipelajari karena memiliki struktur teratur dengan rongga (channel) yang seragam, membentuk susunan heksagonal dengan luas permukaan spesifik yang besar (1000 m2 .g-1) serta stabilitas termal yang baik (Beck dkk., 1992), dan relatif stabil pada medium asam (pH = 2) tetapi mengalami kerusakan pada medium basa (pH = 12) (Azmi B.M, 2005). Sebagai katalis heterogen, MCM-41 memiliki pori-pori yang besar sehingga dapat digunakan sebagai katalis untuk reaksi organik. Akan tetapi, katalis MCM-41 murni tidak memiliki sifat keasaman yang cukup untuk digunakan secara langsung sebagai katalis,
AF-166
sehingga perlu dimodifikasi dengan memasukkan logam atau bukan logam pada MCM-41 untuk menciptakan sisi asam. Penambahan logam transisi dan Al dalam struktur MCM-41 dapat meningkatkan sifat keasaman MCM-41, baik dari sisi asam Lewis maupun asam Brønsted (Bhattacharyya dkk., 2001). Framework silika murni secara elektronik adalah netral, dimana muatan +4 dari Si dinetralkan oleh empat muatan -1 dari empat atom oksigen, oleh karena itu substitusi dari elemen lain seperti atom aluminium mempengaruhi densitas muatan dari framework silika murni MCM-41. Hilangnya netralitas kisi ketika kation Si 4+ disubstitusi dengan kation Al 3+ (terkoordinasi tetrahedral) membuat framework bermuatan negatif. + Muatan negatif framework ini diseimbangkan oleh ion Na dalam sistem (Azmi bin Mohamed, 2005). Dengan demikian, adanya muatan negatif tersebut akan meregenerasi sisi asam baik Brønsted maupun Lewis. Proporsi dari Al extra-framework meningkat dengan meningkatnya jumlah Al yang terinkorporasi, dan diasumsikan bahwa sisi asam Brønsted terasosiasi dengan Al framework sedangkan sisi asam Lewis bisa timbul pada Al framework dan extra-framework. Meningkatnya jumlah Al yang tergabung juga menurunkan luas permukaan, volume pori dan diameter pori, hal ini memungkinkan kerusakan parsial pada struktur heksagonal selama kalsinasi dan disebabkan oleh terasosiasi tidak stabil dengan meningkatnya jumlah Al framework. Dengan demikian keasaman katalis Al-MCM-41secara langsung tergantung pada jumlah aluminium dalam senyawa (Jentys dkk., 1999) Lebih lanjut keasaman katalis Al-MCM-41 dapat juga ditingkatkan dengan hidrogenasi Al-MCM-41 menjadi H-Al-MCM-41, maupun dengan tersulfasi menjadi SO 4Al-MCM-41 (Poh dkk.,2006). Material H-Al-MCM-41 dipreparasi melalui pertukaran ion dari amonium nitrat dengan proses dekomposisi termal dari kation NH4+ menjadi proton dan amonia. Protonasi katalis AlMCM-41 ini menghasilkan sisi asam Brønsted. Selanjutnya, pemanasan dari H-Al-MCM-41 melepaskan H2O dari sisi asam Brønsted membongkar jaringan struktur membentuk ion Al trikoordinat, dimana sisi ini dapat menerima pasangan elektron dan diidentifikasi sebagai sisi asam Lewis. Sisi asam Lewis terasosiasi oktahedral extra framework Al (EFAL) dari ion-ion 3+ + + 2+ n+ n+ Al , AlO , Al(OH)2 , Al(OH) atau AlxOy yang dapat tersusun sebagai AlaObHc . Sisi asam ini muncul akibat proses dehidroksilasi katalis H-Al-MCM-41 (Poh dkk., 2007) dan (Azmi bin Mohamed, 2005). Secara umum material H(X)-AlMCM-41 yang di-exchange dengan + + substitusi Na oleh NH adalah lebih aktif daripada yang secara langsung di-exchange + + dengan larutan asam (substitusi Na oleh H ) kedua metode ini biasanya digunakan untuk membandingkan kandungan sisi asam katalis pada derajat pertukaran yang rendah (Ahmed Belhakem, dkk., 2006) Sisi asam Lewis juga dihasilkan dari dealuminasi H-Al-MCM-41. Sisi asam umumnya berasosiasi dengan spesi Si-OH-Al dan konsentrasi ini meningkat dengan fraksi Al tetrahedral. Jika AlO4 tetrahedral stabil pada suhu kalsinasi, asam Brønsted akan meningkat secara proporsional terhadap jumlah perlakuan pertukaran ion. Akan tetapi, sebagian AlO4 tetrahedral dapat terkonversi ke spesi AlO5 dan atau AlO6 pada saat kalsinasi, yang menurunkan jumlah sisi asam Brønsted dan meningkatkan asam Lewis. Pada saat kalsinasi + dengan precursor NH4 , AlO4 tetrahedral koordinasinya berubah membentuk spesi AlO5 dan AlO6 oktahedral. Spesi baru ini merupakan penyebab terjadinya asam Lewis (Yongrui dkk., 2006). Katalis yang mengandung sisi asam Lewis dan Brønsted sangat diperlukan untuk berbagai reaksi katalitik, seperti dalam penelitian ini katalis asam dibutuhkan untuk reaksi siklisasi sitronelal menjadi isopulegol. Dari barbagai literatur bahwa katalis yang memiliki sisi asam Lewis dan Bronsted sangat aktif dan selektif terhadap reaksi siklisasi (-)-sitronelal menjadi (-)-isopulegol. Misalnya zirkonium hidroksida dan zirkonia fosfat memiliki Aktivitas dan selektivitas katalitik yang baik terhadap siklisasi sitronelal menghasilkan isopulegol, karena keberadaan asam Lewis kuat dengan sisi asam Brønsted yang lemah pada kedua katalis tersebut (Chuah dkk., 2001). Trasarti dkk., (2007) juga melaporkan bahwa kecepatan pembentukan isopulegol lebih tinggi dengan menggunakan katalis yang mengandung dua sisi _ _ asam, yaitu asam Lewis dan Brønsted seperti zeolit HBEA, SiO2 Al2O3 atau Al MCM-41 dibandingkan dengan katalis yang hanya mengandung asam Lewis (ZnO/SiO2) maupun katalis yang mengandung asam Brønsted kuat (CsHPA). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa katalis yang memiliki sisi asam Lewis dan Brønsted aktif dan selektif untuk reaksi siklisasi sitronelal menjadi isopulegol.
AF-167
Dari uraian latar belakang diatas maka dengan memvariasikan rasio Si/Al dan hidrogenasi katalis Al-MCM-41 menjadi H-Al-MCM-41 diharapkan memperoleh komposisi sisi asam Lewis dan Brønsted katalis yang optimal (aktif dan selektif) untuk reaksi siklisasi sitronelal menjadi isopulegol 3. Eksperimen Sintesis Al-MCM-41 Sampel Al-MCM-41 (Si/Al = 15, 25, 50, dan 75) disintesis secara hidrotermal dengan komposisi mol gel SiO2 : xAl2O3 : 0.2CTAB : 0.89H2SO4 : 120 H2O (x = bervariasi sesuai dengan rasio Si/Al). Sodium metasilikat dan aluminium sulfat digunakan sebagai sumber Si dan Al. CTAB digunakan sebagai template. 8.572 g CTAB dilarutkan dalam 65 ml aquademin selama 30 menit (larutan A). 14.956 g sodium metasilikat dilarutkan dalam 116 ml aquademineralisasi selama 30 menit (larutan B), dan sejumlah tertentu aluminium sulfat dilarukan dalam 70 ml aquademineralisasi (larutan B). Larutan B ditambahkan kedalam larutan A dengan cara ditetesi, setelah 1 jam kemudian ditambahkan larutan C dengan cara yang sama. Campuran diaduk secara terus meneru dengan 250 rpm selama 1 jam. Setelah terbentuk gel, pH diturunkan dengan menambahkan 2 M H2SO4 sampai pH 10.5 dengan pengadukan konstan selama 2 jam. Kemudian suspensi dimasukkan ke dalam botol polipropilen dan dipanaskan pada udara oven 100 °C selama 144 jam. Setelah itu sampel didinginkan pada suhu kamar dan disaring, dicuci dengan aquademin dan dikeringkan semalam pada suhu 100 °C. Sampel kemudian dikalsina si pada suhu 550 °C selama 6 jam. Pertukaran Ion (Ion exchange) 1,4 g Al-MCM-41 diaduk perlahan dengan 40 mL 0,5 M NH4NO3 pada suhu 60oC selama 8 jam. Selanjutnya, padatan disaring, dicuci dengan aqua DM dan dikeringkan pada o suhu 100 C selama 5 jam. Pertukaran ion diulang sampai empat kali. Kemudian padatan yang diperoleh dikalsinasi pada suhu 550oC selama 5 jam. Hasil yang diperoleh dikarakterisasi dengan XRD, FT-IR, FT-IR–piridin dan adsorpsi- desorpsi nitrogen. Karakterisasi Katalis Sampel Al-MCM-41 dan H-Al-MCM41 (semua rasio) di analisi fasanya dengan XRD. Sinar-X dengan sumber sinar CuKα (λ = 1,5405) pada 40 kV dan 40 mA, difraktogram o o direkam pada 2θ = 1.5-10 , step 0,020 , dan waktu step 1 detik. Spektra IR katalis AlMCM-41 dan H-Al-MCM-41 direkam dengan Shimadzu Fourier Transform Infrared menggunakan teknik pelet KBr, 0.005 g sampel dicampur dengan 0.1 g KBr (Selvaraj, dkk 2005), kemudian digerus dan dibuat pelet dengan tekanan hidroulik sampai 2.5 ton. -1 Kemudian pelet dianalisis dengan FTIR simadzu dan direkam pada interval 4000-400 cm . Keasaman sampel dianalisis dengan menggunakan molekul piridin sebagai basa, sebanyak 10-15 mg sampel dimasukkan ke dalam sampel holder kemudian ditekan dengan tekanan hidroulik 2.5 ton selama 3 menit, kemudian pelet sampel diprotonasi o pada suhu 400 C dengan aliran N2 selama 3 jam dan dibiarkan dingin sampai suhu kamar. 0.5 ml/sampel pyridin titeteskan kedalam kolom dan dijenuhkan selama 2 jam dengan kondisi vakum pada suhu kamar. Setelah itu pyridin didesorp pada suhu 150 o C dengan aliran N 2 selama 3 jam. Selanjutnya sampel dianalisis dengan FTIR shimadzu -1 -1 dan spektogram direkam 1700-1400 cm dengan pemisahan spektogram 2 cm pada o suhu 20 C. Sifat thermal sampel dianalisis dengan sistem analisis termal Shimadzu DT-30 dibawah atmosphere N2 dengan laju aliran 40 mlmenit-1 menggunakan ~ 15 mg sampel. Sampel dipanaskan pada interval temperatur 50-763 °C dengan laju pemanasan 10 °C menit 1 . Jumlah kandungan Al dan Si dalam Sampel Al-MCM-41 di analisis dengan teknik ICP-AES, larutan sampel dipreparasi dengan prosedur: sekitar 100 mg sampel terkalsinasi dilarutkan dalam campuran H2SO4/HF. Kelebihan asam dinetralkan dengan H3BO3 sebelum dianalisis. Kemudian ditaruh pada flask volumetric standar. Kemudian dianalisis dengan ICP-AES. Pengukuran adsorpsi-desorpsi N2 dilakukan pada 77 K menggunakan Sorptomatric 1990. Sebelum adsorpsi, sampel dievakuasi pada 350 K selama 12 jam.Luas permukaan spesifik, ABET, ditentukan dari persamaan Brunauer-Emmett-Teller (BET).
AF-168
3. Hasil dan Pembahasan Analisis Struktur dengan XRD Gambar 1. Menunjukkan pola diffraksi sianr-X (XRD) dari sampel Al-MCM-41 sebelum dan sesudah kalsinasi. Pola XRD dari Al-MCM-41 sebelum kalsinasi menunjukkan sebuah puncak kuat dan tiga puncak tambahan dengan d-spacings yang sesuai dengan kisi heksagonal. Sedangkan pola XRD Al-MCM-41 setelah dikalsinasi pada temperatur 550 °C selama 6 jam, intensitas puncak XRD-nya meningkat dan tampak penambahan satu puncak baru (Gambar 1b). Penomena tersebut merupakan refleksi dari derajat keteraturan yang meningkat secara dramatis dengan hilangnya surfactan (CTAB). Hasil ini mengindikasikan bahwa Al-MCM-41 dengan derajat long range orderinng yang tinggi dan struktur heksagonal terbentuk dengan cukup baik. Dimana puncak tajam pada d[100] menandakan struktur heksagonal dari mesopori, dan pucak tambahan yang muncul pada refleksi [110], [200], [210] dan [300] mengindikasikan keberadaan long range ordering struktur dan keteraturan struktur mesoporous (Palani, A., dkk. 2006). Selain intensitas puncak yang meningkat setelah kalsinasi, terjadi juga pergeseran puncak (2θ) dan d-spaching. Nilai 2θ bergeser ke nilai yang lebih besar setelah kalsinasi mengindikasikan kontraksi dari kisi. Kontraksi kisi ini disebabkan oleh hilangnya molekul surfactan yang digunakan sebagai template dan selanjutnya kondensasi gugus silanol (SiOH) (Azmi Bin Mohamed, 2005). Sedangkan nilai d- spaching bergeser ke nilai yang lebih kecil (atau nilai 2θ yang lebih tinggi). Hal ini disebabkan oleh terjadinya pengurangan atau penyusutan unit cell sebagai akibat dari hilangnya molekul-molekut surfactan atau template (Sakthivel A., dkk. 2000). Pergeseran nilai d100-spaching ke nilai yang lebih rendah karena kalsinasi menyebabkan kondensasi gugus SiOH yang meningkatkan kontraksi dari unit sell (Beck, J.S.,dkk (1992), (Chen, C.-Y., dkk.1993), (Ryoo, R.,dkk. 1998), dan (Rabindran, J.B., dkk. 2005). Peningkatan intentensitas puncak yang signifikan setelah kalsinasi ini mengindikasikan bahwa terjadi reorganisasi atom selama penghilangan molekul surfactant pada proses kalsinasi (Chang, Z., dkk 1999).
Gambar 1. Pola Spektra XRD Al-MCM-41(75) (a) sebelum dikalsinasi dan (b) sesudah dikalsinasi Tabel 1. Daftar nilai 2θ dan d-spaching (d(Å)) dari Al-MCM-41(75) sebelum dan sesudah kalsinasi Katalis Sebelum Kalsinasi Sesudah Kalsinasi hkl 2θ d(Å) 2θ d(Å) 100 2.165 40.768 2.311 38.200 110 3.746 23.567 3.949 22.356 Al-MCM-41 200 4.324 20.420 4.563 19.350 210 5.650 15.628 6.003 14.710 300 6.745 13.093 Sementara itu, pola XRD (Gambar 2) dari kalsinasi Al-MCM-41 rasio Si/Al = 15, 25, 50, dan 75 menunjukkan lima puncak karakteristik yang dapat diindeksikan sebagai bidang
AF-169
kisi heksagonal [100], [110], [200], [210], dan [300] pada Al-MCM-41 (rasio Si/Al 25, 50, dan 75) dan tiga puncak pada Al-MCM-41 (rasio Si/Al = 15). Adanya puncak-puncak tersebut mengindikasikan bahwa pembentukan struktur heksagonal Al-MCM-41 telah terbentuk dengan cukup baik, sebaimana yang dinyatakan Back dkk (1992) bahwa keempat refleksi garis tersebut bisa diindeksikan berdasarkan pada unit cell heksagonal (a0 = 2d100/√3) sedangkan munculnya lima puncak menurut Jamal Hasan (2006) mengindikasikan long range ordering struktur MCM-41. Selain jumlah puncak karakteristik dari pola XRD Al-MCM-41 (Gambar 2) tampak terjadi beberapa perubahan diantaranya: Intensitas puncak, 2θ (Tabel 2), d-spaching, dan parameter kisi (Tabel 3) dari struktur heksagonal mesoporous Al-MCM-41. Intensitas puncak berkurang secara teratur dari rasio Si/Al = 75, 50, 25, dan 15 seiring dengan bertambahnya jumlah logam Al yang terinkorporasi ke dalam framework MCM-41. Penurunan intensitas ini diikuti dengan pergeseran nilai 2θ ke arah yang lebih besar, sedangkan nilai d-spaching dan parameter unit sel (a0) bergeser kearah yang lebih kecil dengan bertambahnya loading aluminium (Tabel 2 dan 3). Dengan demikian substitusi isomorphous dari heteroatom (dalam hal ini logam Al) ke dalam framework molecular sieve menghasilkan perubahan parameter dan volume unit cell (Karuna Chaudhari, (2000).
Gambar 2. Pola XRD dari Al-MCM-41: (a) Al-MCM-41 (15), (b) Al-MCM-41 (25), (c) Al-MCM41 (50) dan Al-MCM-41 (75). Tabel 2. Nilai 2θ dari Al-MCM-41 rasio Si/Al = 15, 25, 50, dan 75 Katalis 2θ hkl Al-MCM-41 (1 0 0) (1 1 0) (2 0 0) (2 1 0) (3 0 0) Rasio Si/Al 15 2.405 4.121 4.749 25 2.321 3.949 4.558 6.026 6.787 50 2.311 3.930 4.539 6.006 6.767 75 2.311 3.910 4.500 5.968 6.748 Tabel 3 Sifat tekstur katalis Al-MCM-41 dengan variasi rasio Si/Al d100Parameter unit Katalis 2θ spaching (Å) cell (a0) Al-MCM-1 (15) 2.405 36.706 42.386 Al-MCM-1 (25) 2.321 38.035 43.920 Al-MCM-1 (50) 2.311 38.199 44.110 Al-MCM-1 (75) 2.311 38.200 44.111 Pelebaran puncak diffraksi dan penurunan intensitas dengan meningkatnya kandungan Aluminium, kemungkinan disebabkan oleh perubahan sudut ikatan T-O-T dari Aluminium yang terinkorporasi sehingga terjadi distorsi (penyimpangan) pada long range ordering struktur mesopori heksagonal (Kresge, C.T., dkk. 1992) dan (Chen, X., dkk. 1997). Ion logam Al yang terinkorporasi ke dalam struktur SiO 2 akan membentuk kerangka Al-
AF-170
MCM-41, dimana jari-jari ion Al3+ (0.39 Å) mempunyai ukuran yang lebih besar dari jari-jari 4+ 3+ ion Si (0.26 Å) (Azmi, B.M, 2005). Oleh karena itu jumlah ion logam Al yang terinkorporasi dalam MCM-41 dapat mempengaruhi regularitas struktur dan ukuran Al-MCM-41. Meningkatnya jumlah loading atom Al mengakibatkan regularitas struktur Al-MCM-41 turun (bertambah amorf) karena dimungkinkan terjadi kerusakan parsial pada struktur heksagonal karena Si-O-Al terasosiasi tidak stabil dengan bertambahnya atom Al. Seperti yang dilaporkan oleh Robert dkk., (1997) bahwa dengan meningkatnya jumlah Al yang tergabung dalam framework MCM-41 dapat mengakibatkan kerusakan parsial pada struktur heksagonal yang disebabkan oleh terasosiasi tidak stabil dengan meningkatnya jumlah Al framework. Dan hal tersebut menurunkan regularitas struktur (Ribeiro dkk, 2006). Walaupun demikian, dari spektra XRD pada Gambar 2. Masih menunjukkan puncak-puncak karakteristik heksaggonal MCM-41 dengan jelas, hal ini menunjukkan bahwa derajat long range ordering struktur Al-MCM-41 hasil sintesis cukup tinggi. Hanya dengan meningkatnya loading aluminium sedikit mengrangi regularitas struktur heksagonal MCM-41. Pola difraktogram dari katalis H-Al-MCM-41 mengalami beberapa perubahan dibandingkan dengan pola difraksi Al-MCM-41, yaitu: Penurunan intensitas, berkurangnya jumlah puncak, pergeseran nilai 2θ ke arah yang lebih besar, penurunan harga d-spaching dan parameter unit sell, semuanya dirangkum dalam Tabel 4.
Gambar 3. H-Al-MCM-41 Hasil Sintesis Tabel 4. Perbandingan Sifat tekstur katalis Al-MCM-41 dan H-Al-MCM-41 Al-MCM-41 H-Al-MCM-41 Rasio Parameter Parameter d100 d100Si/Al 2θ unit cell a0 2θ unit cell a0 spaching spaching (Å) (Å) 15 2.405 36.706 42.386 2.477 35.636 41.150 25 2.321 38.035 43.920 2.438 36.201 41.802 50 2.311 38.199 44.110 2.387 36.979 42.701 75 2.311 38.200 44.111 2.329 37.905 43.770 Perubahan-perubahan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi perubahan orde atau keteraturan struktur heksagonal Al-MCM-41 setelah perlakuan pertukaran kation. Pertukaran ion akan mengakibatkan berubahnya atom Al terkoordinasi tetrahedral (AlO4) menjadi terkoordinasi lima (AlO5) dan atau terkoordinasi enam (AlO6), hal ini terjadi karena pada saat + kalsinasi dari [NH4]Al-MCM-41 terjadi pertukaran NH4 dengan zat padat yang disertai + dengan dealuminasi (Yongrui dkk., 2006). Pada saat kalsinasi dengan precursor NH4 , Al tetrahedral tidak bisa dipertahankan koordinasinya dan berubah membentuk spesi 5-dan 6koordinat. Spesies baru tersebut responsible terhadap sisi asam Lewis (Yongrui dkk., 2006). Namun melihat besarnya perubahan tersebut (Tabel 4), hanya sedikit mengalami perubahan, baik intensitas, 2θ, d-spaching dan parameter kisis menunjukkan bahwa long range ordering struktur katalis Al-MCM-41 dan Al tetrahedral terassosiasi stabil sehingga
AF-171
sidikit mengalami kerusakan pada suhu kalsinasi setelah perlakuan pertukaran ion. Hal ini sesuai dengan pendapat Yongrui dkk., (2006), jika AlO4 tetrahedral tidak stabil pada suhu kalsinasi setelah pertukaran ion, maka AlO4 tetrahedral terkonversi ke bentuk spesi AlO5 dan atau AlO6 pada saat kalsinasi. Profil TGA dari sampel Al-MCM-41 sebelum dikalsinasi ditunjukan oleh Gambar 4. Kurva TGA di rekam secara kontinu sampai suhu 650 °C. Dari gambar spektra tersebut pengurangan berat dibagi tiga tahap. Tahap pertama terjadi pengurangan berat sampai suhu 184 °C sebesar ( ∆ω1) = 28.919%, pada tahap ini terjadi desorpsi dari air atau molekul etanol yang teradsorp secara fisik pada luar permukaan kristal atau occluded keberadaan makropori dan mesopori antara aggregat kristal. Tahap kedua, terjadi pengurangan berat sebesar (∆ω2) = 42.171% antara suhu 184-288 °C merupakan pertanda penghilangan dari template organik (CTAB). Sedangkan pada tahap ketiga terjadi pengurangan berat sebesar (∆ω3) = 28.907% antara suhu 288-450 °C. Pengurangan berat pada taha p ini berhubungan dengan penghilangan air dari kondensasi gugus silanol (Si-OH) yang berdekatan membentuk ikatan siloksan (siloxan) (Selvaraj M., dkk. 2005).
Gambar 4. Spektra TGA Al-MCM-41 tampa kalsinasi Spektra FT-IR dari sampel Al-MCM-41 ditunjukkan oleh gambar 5. Gambar 5e merupakan gambar Al-MCM-41 sebelum dikalsinasi yang menunjukan adanya pita absorpsi di sekitar 2921, 2851 dan 1479 cm-1 sebagai pita asimetri dan simetri vibrasi CH2 dari molekul surfactan CTAB yang digunakan sebagai template (Helda Hamid, 2005).
Gambar 5. Spektra FT-IR dari: (a) Al-MCM-41(15), (b) Al-MCM-41(25), (c) Al-MCM-41(50), (d) Al-MCM-41(75), dan (e) uncal-Al-MCM-41(75).
AF-172
Di daerah pertengahan dari 400-1300 cm-1 mengandung vibrasi dari struktur framework Zeolit. Serupa dengan mesoporous molecular sieves juga menunjukan rangkaian pita karakteristik unit tetrahedral SiO4 dan modifikasinya dengan memasukkan ion logam. Spektra IR dari vibrasi kisi Al-MCM-41 sebelum dan sesudah kalsinasi ditunjukan oleh gambar (Gambar 5) Tampak lima puncak utama dengan pita absorpsi pada daerah sekitar -1 1210-1245, 1034-1090, 949-970, 790-805 dan 440-477 cm , yang serupa dengan spektra silika amorp (Chen, X., dkk 1997), Chen, C-Y., dkk 1993). Vibrasi kisi T-O-T ditemukan bergeser ke bilangan gelombang lebih kecil untuk Al-MCM-41yang dimungkinkan karena inkorporasi Al kedalam dinding (walls) chanel, seperti ikatan Al-O lebih panjang daripada ikatan Si-O (Flanigen, E.M., dkk 1976). Tabel 5. Vibrasi puncak karakteristik Struktur Al-MCM-41 dengan variasirasio Si/Al Katalis Al-MCMVibrasi karakteristik 41 (cm-1) Rasio Si/Al 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 ±3500 1636 1231 1034 949 798 477 25 ±3500 1637 1237 1046 955 798 477 50 ±3500 1637 1244 1047 955 798 470 75 ±3500 1637 1244 1067 949 805 470 Uncal-Al-MCM±3500 2927 2849 1643 1479 1237 1060 955 792 464 41(75) Pita pada daerah sekitar 1210-1245 cm-1 merupakan vibrasi stretching asymetri eksternal dari lima anggota cincin Si-O (Szostak, R., dkk dalam Karuna Chaudhari, (2000)), yang membuktikan adanya lima anggota cincin pada dinding (walls) struktur MCM-41. Pita ini menjadi berkurang intensitasnya dengan kalsinasi mengindikasikan kemungkinan terjadi penyusunan kembali dari dinding struktur pada perlakuan temperatur lebih tinggi (Chang, Z., dkk 1999). Pada simulasi untuk mempelajari dinamika molekul, Feuston dan Higgins (Feuston, B.P., dkk. 1994) melaporkan bahwa jumlah maksimum 5 anggota cincin dalam dinding MCM-41. Pita didaerah 1034-1090 cm-1 adalah vibrasi stretching asymmetric dari kerangka SiO4 (TO4) tampak pita kuat pada spektra tersebut pada semua silika. Pelebaran pita ini setelah kalsinasi mungkin karena superimposition dari beberapa pita yang dapat menjelaskan TO4 muncul dari sudut T-O-T (T = Si atau Al) yang berbeda. Pada kasus silika amorp seperti silikat-1, dan TS-1 pita kuat teramati pada 1100 (±1) cm-1, sedangkan pada sampel Si-MCM41 dan Al-MCM-41, pita ini secara signifikan bergeser ke bilangan gelombang lebih rendah (1066 cm-1). Kemungkinan ini karena stretching dari ikatan Si-O dengan rantai panjang molekul surfactan yang membentuk micelles sekeliling spesi SiO4 mengalami kerusakan selama pembentukan mesoporous molecular sieves. Oleh karena itu, streching ikatan Si-O tidak teramati dalam kasus material microporos molecular sieves. Yang menarik, bahwa pita -1 ~1066 cm pada mesoporous molecular sieves ditemukan bergeser kearah bilangan gelombang lebih besar dengan penghilangan molekul surfactan selama kalsinasi. Ini dianggap bahwa terjadi kontraksi dari ikatan Si-O untuk mengambil tempat (takes place) selama kalsinasi, yang juga sesuai dengan hasil karakterasi XRD (Kresge, C.T., dkk. 1992). Semua spektra IR menunjukan sebuah pita utama pada 970 cm-1(hasil sintesis -1 bergeser ke ~955 cm ). Koreksi interpretasi dari pita vibrasional ini memberikan studi intensif suatu bahan/material. Gambar 5. memperlihatkan bahwa dengan inkorporasi ion logam Al, intensitas dari pita ini secara garis besar meningkat. Pita ini secara umum dipertimbangkan sebagai bukti untuk inkorporasi dari hetere atom kedalam framework (Chamblor, M.A., dkk. -1 1993). Camblor dkk (1993). mengajukan bahwa pita pada 960 cm disebabkan oleh vibrasi stretching Si-O dari adanya gugus Si-OH pada sisi defect. Vibrasi ini juga teramati pada Tidan V- yang mengandung silika molecular sieves (Thangaraj, A., dkk. 1991). Akan tetapi pita ini juga teramati pada Si-MCM-41, dengan demikian puncak ini tidak dapat menjadi bukti inkorporasi dari hetereatom ke dalam framework mesoporous melecular sieves (Karuna Chaudhari, (2000). Substitusi silikon dengan aluminium menyebabbkan pergeseran pita vibrasi kisi ke bilangan gelombang lebih rendah. Pergeseran tersebut disebabkan oleh meningkatnya jarak rata-rata T-O (T = Si, Al) pada dinding. Hal ini karena substitusi dari atom silikon yang kecil (r Si4+ = 0.26 Å) dengan atom aluminium yang lebih besar (r Al3+ = 0.39 Å) (Azmi B.M, 2005).
AF-173
Spektra FT-IR dari H-Al-MCM-41 menunjukkan nilai serapan karakteristik pada daerah bilangan gelombang yang hampir sama dengan katalis Al-MCM-4, namun sedikit bergeeser ke arah bilangan gelombang lebih rendah. Gambar 6.
Gambar 6 Spektra FT-IR dari: (a) H-Al-MCM-41(15), (b) H-Al-MCM-41(25), (c) H-Al-MCM41(50), dan (d) H-Al-MCM-41(75). 4. Kesimpulan Dari hasil sintesis dan karakterisasi katalis Al-MCM-41 dan H-Al-MCM-41 dapat disimpulkan beberapa hal diantaranya: 1. Material Al-MCM-41 yang disintesis dengan metode hidrotermal 100 °C selama 144 jam berdasarkan hasil analisa XRD berhasil disintesis dengan derajat long rangge ordering struktur heksagonal yang tinggi, ditandai dengan intensitas dan jumlah puncak bidang kisi yang terobservasi. 2. Meningkatnya jumlah Al yang terinkorporasi seedikit menyebabkan perubahan struktur, ditandai dengan pergeseran nilai 2θ ke yang lebih besar, nilai d-spaching dan parameter unit cell bergeser ke nilai yang lebih kecil karena terjadi perubahan struktur karena 4+ 3+ substitusi Si yang lebih kecil oleh Al yang lebih besar. 3. Dengan perlakuan ion exchangge, pola XRD H-Al-MCM-41 sedikit berbeda dengan pola XRD Al-MCM-41, karena dengan perlakuan ion dimungkinkan terjadi cacat struktur, dealuminasi, dan atau perubahan AlO4 menjadi AlO6. 4. Hasil analisis FTIR menunjukan spektra karakteristik dari MCM-41, dan dengan meningkatnya jumlah kandungan Al yang berbeda terjadi pergeseran puncak karakteristik ke bilangan gelombang yang lebih kecil sebagai indikasii substitusi Si4+ (0.26 Å) oleh Al3+ (0.39 Å). Sebagai akibatnya: panjang ikatan T-O menjadi lebih panjang dan sudut T-O-T juga berubah. Daftar Pustaka Chen, C-Y, Hong-Xin Li dan Mark E. Davis, (1993), “Studies on Mesoporous Material I. Synthesis Mechanism of MCM-41”, Microporous Materials, Vol. 2, hal. 17-26. Chen, C-Y, Sandra L. Burkett, Hong-Xin Li dan Mark E. Davis, (1993), “Studies on Mesoporous Material II. Synthesis Mechanism of MCM-41”, Microporous Materials, Vol. 2, hal. 21-34. Chen, L.Y., Jaenicke S., Chuah G.K., (1997), ”Thermal and Hydrothermal Stability of FrameworkSubstituted MCM-41 Mesoporou Materials”, Mesoporou Materials, vol. 12, hal. 323-330. Chuah, G. K., Liu, S. H., Jaenicke, S., Harrison, J., (2001), “Cyclisation of Citronellal to Isopulegol Catalysed by Hydrous Zirconia and Other Solid Acids”, Journal of Catalysis, Vol. 200, hal. 352359. Helda H, (2005), “Iron (III)-Porphyrin Immobilized on Mesoporous Al-MCM-41 and Polymethacrylic Acid as Catalysts for the Single-Step Synthesis of Phenol From Benzene”, A Thesis submitted in fulfilment of the requirements for the award of the degree of Master of Science (Chemistry), Faculty of Science Universiti Teknologi Malaysia. Jamal H, (2006), “NMR Study of Exchange and Hydration Site Identification in MCM-41”, Thesis for the degree of Doctor of Philosophy in Physics, University of Waterlo. Jentys, A., Kleestofer, Vinek, H., (1999), “Concentration of surface hydroxyl groups on MCM-41” Microporous and Mesoporous Material, Vol. 27, hal. 321-328
AF-174
Karuna Chaudhari, 2000, ”Shyntesis, characterizatio and catalytic properties of mesoporous molecular sieves” Thesis for the degree of Doctor of Phylosophy, in chemistry. Catalysis Division National Chemical Laboratory PUNE-411008, India. Pandurangan, A., Palani, A., (2006), “Esterification of Terephthalic Acid with Methanol Over Mesoporous Al-MCM-41 Moleculer Sieves”, Moleculer Catalysis A: Chemical, Vol. 245, hal. 101-105. Rabindran, J., Pandurangan, A., (2005), “A Highly Effecient Catalyst for the Esterification of Acetic Acid Using n-butyl Alcohol”, Journal of Moleculer Catalysis A: Chemical, Vol. 237, hal. 146-154. Poh, Ng Eng., Nur, H., Muhid, M.N.M., and Hamdan, H., (2006), “Sulphated AlMCM-41 : Mesoporous solid Bronsted acid catalyst for dibenzoylation of biphenyl”, Catalysis Today, Vol. 114, hal. 257262. Riberio, M.M.L., Conceicao, F.L., Lopes, J.M., Carrott, P.J.M., Bernardes, C., Rocha, J., Ramoa Ribeiro, F., (2006), “Comparative Study of Al-MCM Material Prepared at Room Temperature with Different Aluminium Sources and by Some Hydrothermal Methods”, Microporous and Mesoporous Materials, Vol. 92, hal. 270-285. Robert, M., Jones, W., (1997), “Physicochemical Characterisation and Catalytic Activity of Primery Amine Templated Aluminosilicate Mespporous Catalysts”, Journal of Catalysis, Vol. 172, hal. 211-221. Sakthivel, A., Dapurkar, S.E., Gupta, N.M., Kulshreshtha, S.K., Selvam. P., (2003), “The Influence of Aluminum sources on the Behaviour as Well as on the Catalytc Activity of Mesopori H-AlMCM-41 Moleculer Sieves”. Mesopourous Material, Vol. 65, hal. 177-187. Selvaraj, M., Lee, T.G., (2005a), “t-Butylation of Toluene with t-butyl Alkohol Over Mesoporous ZnAlMCM-41 Molekular Sieves”, Microporous and Mesoporous Materials, Vol. 85, hal. 59-74. Selvaraj, M., Lee T.G., (2005b), “Synthesis of 2- Acetyl-6- Methoxynaphthalene Using Mesoporous 2SO4 /AlMCM-41 Molecular Sieves”, Microporous and Mesoporous Materials, Vol. 81, hal. 343355. Thangaraj, A., R.Kumar, S.P. Mirajkar, and P. Ratnasamy, (1991). “Catalytic Properties of Crystalline Titanium Silicalites”, Journal of Catalysis, Vol. 130, hal.1-8. Trasarti, A.F., Marchi, A.J., Apesteguia, C.R., (2007), “Design of Catalyst Systems for the one-pot Synthesis of Menthols from Citral”, Journal of Catalysis, Vol. 247, hal. 155-165. Yongrui, W., Natacha, L., Alain T., (2006), “Nature and Acidity of Aluminum Spesies in AlMCM-41 with a High Aluminum Content (Si/Al = 1,25)”, Microporus and Mesoporus Material., Vol. 93, 46-54. Camblor, M.A. J.P-rez-Pariente, and V. Forn-s, (1993), “Synthesis and characterization of gallosilicates and galloaluminosilicates isomorphous to zeolite Beta”, Instituto de Tecnologia Quimica, uPvCSIC, Universidad Polid-cnica de Valencia, Valencia, Spain.
AF-175
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Pengaruh Suhu Hidrotermal pada Sintesis Zeolit dari Abu Dasar Bebas Sisa Karbon Secara Hidrotermal Langsung R. A. Syukuri Nikmah1*, Hamzah Fansuri2, Nurul Widiastuti2 1
Mahasiswa S2 Jurusan Kimia, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2Jurusan Kimia, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya *Corresponding autho:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan abu dasar limbah PLTU PT. IPMOMI, Probolinggo untuk sintesis zeolit. Abu dasar ini merupakan sumber silika dan alumina dalam sintesis zeolit. Sintesis zeolit dalam penelitian ini mempelajari pengaruh suhu hidrotermal terhadap pembentukan zeolit dengan menggunakan metode hidrotermal secara langsung. o Abu dasar mula-mula dikalsinasi pada suhu 800 C selama 4 jam untuk menghilangkan sisa karbon dari pembakaran batubara. Kemudian abu dasar direaksikan secara stiokiometri dengan NaOH, bubuk NaAlO2 dan aqua DM dengan perbandingan komposisi rasio molar 3,165 Na2O:Al2O3:1,926 SiO2:128 H2O. Campuran selanjutnya diaduk dengan stirrer selama 24 jam dan dipanaskan dalam kondisi hidrotermal dengan variasi suhu 100, 120, 140 dan 160oC selama 24 jam. Endapan disaring dan dicuci hingga pH filtrat mencapai 9-10, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 12 jam. Padatan hasil sintesis dikarakterisasi dengan teknik difraksi sinar-X (XRD), Scanning Electron Microscopy (SEM). Sedangkan filtratnya dikarakterisasi dengan ICP-AES. Berdasarkan hasil XRD, jenis zeolit yang terbentuk berupa zeolit campuran, yaitu zeolit A, X, P dan sodalit. Zeolit yang terbentuk paling dominan dengan variasi suhu hidrotermal yaitu zeolit A. Zeolit A yang terbentuk ini memiliki 2 struktur, yaitu stukrtur kubik dan ortorombik. Zeolit A dengan struktur kubik yang o lebih dominan terjadi pada kondisi suhu hidrotermal 100, 120 dan 140 C selama 24 jam. Sedangkan pada kondisi suhu hidrotermal 160oC selama 24 dengan rasio Si/Al = 1, zeolit A yang terbentuk lebih dominan yaitu zeolit A berstruktur ortorombik. Kata kunci: abu dasar bebas sisa karbon, hidrotermal langsung, sintesis zeolit, hidrotermal
suhu
1. Pendahuluan Pembakaran batu bara menghasilkan dua jenis abu, yakni abu layang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash). Abu layang dan abu dasar merupakan dua material yang mempunyai penyusun dasar struktur sama yaitu SiO2 dan Al2O3 tetapi berbeda bentuk partikel dan komposisi kimianya. Abu layang dan abu dasar hasil pembakaran batubara dikategorikan sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Sejauh ini pemanfaatan abu layang sangat meluas baik sebagai zeolit maupun penguat dalam produksi beton dan semen, sedangkan abu dasar masih sangat terbatas. Zeolit mempunyai beragam kegunaan seperti katalis, absorben logam berat, penukar kation, serta penyaring molekul (Smart dan Moore, 1993). Zeolit merupakan sekelompok mineral aluminosilikat terhidrasi dengan saluran dan rongga tertentu. Ruang kosong dalam rongga zeolit yang berisi kation dapat dipertukarkan dengan kation lain. Sifat ini dikenal dengan kapasitas tukar kation. Kapasitas tukar kation merupakan sifat yang paling penting dari zeolit. Zeolit memiliki kemampuan untuk pertukaran ion yang sebanding dengan konsentrasi ion Al3+ dalam zeolit, dimana struktur dengan perbandingan Si/Al rendah akan memiliki konsentrasi sisi katalitik yang lebih tinggi
AF-176
dibandingkan dengan sisi yang lain. Stabilitas kerangka kristal dari zeolit juga meningkat dengan penambahan perbandingan Si/Al. Oleh karena itu, zeolit yang berasal dari abu dasar yang berbeda dapat menghasilkan sifat kapasitas tukar kation yang berbeda pula berdasarkan konsentrasi Si dan Al yang dikandungnya Berbagai jenis zeolit telah disintesis dengan bahan baku abu layang di antaranya zeolit X, zeolit A, zeolit P, zeolit Na–P1, Faujasit, zeolit Na–A, Analcime, hydroxyl-sodalite, tobermorite, nepheline hydrate, hy-cancrinite, herschelite, Quartz, mullite, dan Hidroxysodalit. Jenis zeolit yang dihasilkan tergantung pada komposisi awal dan metode konversinya. Metode yang umum digunakan adalah hidrothermal alkali treatment yaitu memanaskan campuran abu layang dengan larutan alkali (KOH, NaOH dsb.) Pembuatan zeolit secara hidrotermal langsung memiliki tahapan yang lebih pendek daripada metode peleburan maupun ekstraksi, meskipun tingkat kemurniannya masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kedua metode tersebut. Penelitian-penelitian yang telah dikerjakan oleh Murayama, dkk (2008) dan Juan, dkk (2007) dengan menggunakan satu tahap suhu hidrotermal pada kisaran suhu 100°C-180° C telah mampu mengkonversi abu layang menjadi zeolit, akan tetapi waktu hidrotermal yang dibutuhkan sangat lama untuk suhu rendah (100°C) dan membentuk zeolit dengan KTK rend ah untuk suhu tinggi (180°C). Pengujian kapasitas tukar kation yang dilakukan terhadap zeolit yang disintesis secara + langsung telah mampu berperan sebagai sumber ion K dengan nilai tukar kation sebesar 175 mek/100 g (Murayama, dkk, 2008). Jika dibandingkan dengan abu layang, pemanfaatan abu dasar masih rendah sebab (i) abu dasar memiliki kandungan silikat dan aluminat relatif rendah (ii) abu dasar mengandung banyak ion logam lainnya yang kemungkinan akan menghambat proses pembentukan zeolit, di antaranya adalah besi, kalsium, magnesium, titanium dan ion-ion logam berat lainnya dan (iii) abu dasar juga mengandung banyak sisa karbon yang juga dapat menghambat proses pembentukan zeolit. Dengan keberhasilan abu layang yang dikonversi menjadi zeolit maka penulis terdorong untuk mencoba mensintesis abu dasar menjadi zeolit, hal ini karena komposisi utama abu layang dan abu dasar adalah Al dan Si. Pada penelitian ini akan dilakukan sintesis dan karakterisasi zeolit dari abu dasar batubara PLTU Paiton secara hidrotermal langsung dengan variasi pengaruh suhu hidrotermal. Kandungan sisa karbon tak terbakar yang relatif tinggi pada abu dasar dihilangkan terlebih dahulu sebelum di sintesis menjadi zeolit, karena karbon memiliki pengaruh yang kuat terhadap berkurangnya efektifitas perubahan abu dasar menjadi zeolit. Sehingga nantinya akan dihasilkan zeolit yang kita inginkan. . 2. Eksperimen Abu dasar yang digunakan pada penelitian ini berasal dari PLTU PT IPMOMI di Paiton, Probolinggo. NaOH p.a merck, serbuk NaAlO2, aqua DM, aquadest, kertas saring dan kertas indikator pH 0-14 (E-Merk). Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: krusibel stainless steel, muffle furnace dan reaktor hidrotemal yang terbuat dari baja tahan karat (stainless steel) jenis SS 304. Perlakuan Awal Abu Dasar Identifikasi komposisi kimia dari abu dasar batubara Abu dasar batubara yang akan digunakan diayak dengan ukuran 60 mesh. Untuk mengurangi kandungan air yang terdapat dalam abu dasar batubara dipanaskan pada suhu o
100 C dalam oven listrik selama 12 jam dan didinginkan di dalam desikator. Abu dasar yang telah dikeringkan selanjutnya di karakterisasi menggunakan metode XRF untuk mengetahui komposisi kimianya dan XRD untuk mengetahui fase mineralnya. Penghilangan karbon dari abu dasar batubara Untuk menghilangkan sisa karbon yang masih tertinggal pada abu dasar maka abu dasar dikalsinasi pada suhu 800°C selama 4 jam dala m atmosfir udara. Berat yang hilang akibat proses pemanasan ini dihitung sebagai LOI (loss of ignition). Berat yang hilang (loss of ignition) dinyatakan sebagai prosen berat dengan menggunakan rumus:
% LOI =
x 100
AF-177
Sintesis Zeolit dari Abu Dasar Bebas Sisa Karbon Zeolit dibuat berdasarkan metode yang dilaporkan oleh Robson (2001) dengan cara mereaksikan secara stiokiometri abu dasar bebas sisa karbon dengan NaOH, bubuk NaAlO2 dan aqua DM hingga terbentuk perbandingan komposisi rasio molar 3,165 Na2O : Al2O3 : 1,926 SiO2 : 128 H2O. Campuran selanjutnya diaduk dengan stirrer selama 24 jam dan o dipanaskan dalam kondisi hidrotermal pada variasi suhu 100, 120, 140 dan 160 C selama 24 jam dengan perbandingan rasio Si/Al sebesar 1. Endapan disaring dan dicuci hingga pH filtrat mencapai 9-10, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 12 jam. Padatan hasil sintesis dikarakterisasi dengan metode difraksi sinar-X (XRD) untuk identifikasi kristalinitasnya, Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk mengetahui morfologi partikel dan filtratnya diukur dengan ICP-AES untuk mengukur berapa konsentrasi Al dan Si yang terlarut. 3. Hasil dan Pembahasan Komposisi kimia Abu Dasar Komposisi kimia abu dasar pada penelitian ini dianalisa menggunakan X-ray Flourescence (XRF). Analisa XRF dilakukan untuk mengetahui kadar unsur Si, Al, Ca, Fe, K, Mg, dan unsur lain dalam jumlah yang lebih kecil. Komposisi kimia dari Abu Dasar ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel1 Komposisi kimia Abu Dasar PLTU PT IPMOMI Paiton Komponen Komposisi (%) Berat Komponen Komposisi (%) Berat Si 24,1 S 0,76 Al 6,8 Mn 0,32 Fe 33,59 Cr 0,098 Ca 26,3 Ni 0,055 Mg 3,6 V 0,050 K 0,58 Ti 12,1 Selain komponen kimia seperti yang tertera di dalam Tabel 1, abu dasar juga mengandung sisa karbon yang berasal dari karbon batu bara yang tidak habis terbakar. Pengukuran kandungan sisa karbon pada abu dasar menggunakan CHN Analyzer merk LECO seri 2000 menunjukkan bahwa kadar karbon total dari sampel abu dasar sebesar 11,12%. Komposisi tersebut serupa dengan nilai LOI diperoleh dari proses kalsinasi pada suhu 800ºC dalam furnace selama 4 jam, dengan asumsi bahwa bahan-bahan volatil yang tersisa pada abu dasar hanyalah sisa karbon. Berat yang hilang akibat proses pembakaran ini dihitung sebagai LOI (loss of ignition). Hasil perhitungan dinyatakan dalam persen berat sebesar 11,50%. Penghilangan kandungan sisa karbon dengan kalsinasi dapat dilihat secara visual sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 1. (a) Abu dasar awal; (b) Abu dasar setelah di ayak dan (c) Abu dasar setelah dikalsinasi
AF-178
Sebelum dikalsinasi, abu dasar halus hasil pengayakan berwarna hitam dan berubah menjadi coklat setelah dikalsinasi. Perubahan warna ini adalah indikasi bahwa karbon yang terdapat dalam abu dasar, yang menyebabkan warna hitam, telah habis terbakar. Pengukuran kandungan sisa karbon pada abu dasar setelah dikalsinasi menggunakan CHN Analyzer merk LECO seri 2000 menunjukkan bahwa kandungan sisa karbon hanya tinggal 0,43 % berat, dibandingkan dengan kandungan awal yaitu 11,12 %. Fasa mineral pada sampel abu dasar, baik abu dasar awal maupun setelah dikalsinasi dikarakterisasi menggunakan metode difraksi sinar-X (XRD). Gambar 2 merupakan difraktogram abu dasar PLTU PT IPMOMI Paiton, baik abu dasar awal maupun abu dasar setelah kalsinasi.
Gambar 2. Difraktogram sinar-X abu dasar awal dan abu dasar setelah dikalsinasi (Q = Kuarsa dan M = Mullit). Q = Quartz (SiO2), PDF 46-1045; M = Mullite (Al6Si2O13), PDF 15-0776 Tampak pada Gambar 2, ada puncak (peak) dan gundukan (hump). Puncak menunjukkan fasa kristalin dan gundukan fasa amorf. Berdasarkan PDF 46-1045 dan PDF 15-0776 fasa kristalin abu dasar adalah kuarsa (SiO2) dan mullit (3Al2O3.2SiO2). Antara fasa kristalin dan fasa amorf pada abu dasar awal maupun abu dasar setelah kalsinasi, yang lebih dibutuhkan dalam sintesis zeolit adalah fasa amorfnya. Fenomena ini disebabkan fasa amorf lebih reaktif terhadap aktivasi alkali (Querol dkk., 1997). Fasa amorf lebih mudah larut terhadap aktivasi alkali dibandingkan fasa kristalnya, sehingga semakin banyak fasa amorf pada zeolit maka semakin banyak Si dan Al yang terlarut dan produk zeolit yang terbentuk semakin banyak. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa intensitas difraksi kuarsa dan mullit pada abu dasar awal lebih rendah dibandingkan dengan setelah dikalsinasi. Intensitas difraksi dapat menunjukkan konsentrasi fasa yang menghasilkan pola difraksi tersebut. Semakin tinggi intensitasnya, maka semakin tinggi pula konsentrasinya. Perubahan intensitas ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan konsentrasi kuarsa dan mullit akibat dari berkurangnya jumlah komponen penyusunnya. Sisa karbon adalah salah satu komponen penyusun abu dasar. Karena kandungan sisa karbon berkurang sedangkan kandungan kuarsa, mullit dan fasa amorf tetap, maka secara relatif, kandungan kuarsa, mullit serta fasa amorf menjadi lebih tinggi setelah kandungan sisa karbon berkurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Elliot (2006), bahwa pembakaran abu layang dan abu dasar dapat mengurangi jumlah sisa karbon tak terbakar, sehingga dapat mempengaruhi jumlah fasa kuarsa dan mullit. Perbedaan abu dasar sebelum dan setelah dikalsinasi juga dapat dilihat dari morfologi partikel-partikelnya. Morfologi partikel-partikel abu dasar dikaji secara mikroskopis dengan
AF-179
Scanning Electron Microscopy (SEM). Gambar 3 menunjukkan morfologi abu dasar baik sebelum maupun sesudah dikalsinasi.
(b) (a) Gambar 3.Morfologi abu dasar (a) awal dan (b) setelah dikalsinasi Pada Gambar 3 terlihat bahwa mayoritas partikel-partikel abu dasar awal maupun setelah dikalsinasi berbentuk seperti bola (spherical) dengan ukuran yang bervariasi. Abu dasar awal memiliki morfologi berbentuk bola (spherical) dengan tekstur permukaan yang relatif halus sedangkan pada abu dasar setelah dikalsinasi memiliki tekstur permukaan yang lebih kasar dan berpori. Adanya perubahan tekstur permukaan pada morfologi berbentuk bola ini merupakan indikasi bahwa proses kalsinasi mengakibatkan abu dasar kehilangan sisa karbon yang terkandung didalamnya. Berdasarkan pada perubahan tekstur sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 3 maka kemungkinan sebagian sisa karbon yang tidak terbakar juga terdapat atau menjadi bagian dari penyusun partikel-partikel abu dasar, selain terdapat dalam bentuk bebas sebagai karbon. Sebagaimana sifat karbon pada umumnya, sisa karbon dalam abu dasar memiliki luas permukaan tinggi dan memiliki kemampuan menyerap banyak senyawa, umumnya non polar, pada permukaannya (Hassett dan Eylands, 1999). Semakin besar kandungan sisa karbon pada abu dasar maka semakin besar pula jumlah total luas permukaan abu dasar tersebut. 2 Luas permukaan pada abu dasar sebelum dikalsinasi adalah sebesar 61,88 m /g, sedangkan 2 pada abu dasar setelah dikalsinasi diperoleh luas area sebesar 4,44 m /g. Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sisa karbon memberi sumbangan terbesar kepada tingginya luas permukaan dari abu dasar awal. Penurunan secara drastis dari luas permukaan abu dasar setelah kalsinasi menunjukkan bahwa sisa karbon yang dikandung abu dasar telah jauh berkurang. Dengan telah banyak berkurangnya kandungan sisa karbon maka berkurang pula salah satu faktor yang dapat menghambat pembentukan zeolit. Pengaruh Suhu Hidrotermal Pada Sintesis Zeolit Secara Hidrotermal Langsung Untuk mengkaji pengaruh suhu hidrotermal terhadap fasa zeolit yang terbentuk dengan metode hidrotermal langsung dipelajari dengan melakukan variasi suhu hidrotermal yaitu pada suhu 100, 120, 140 dan 160°C pada waktu yang sama yaitu selama 24 jam dengan komposisi rasio molar oksida 3,165 Na2O : Al2O3 : 1,926 SiO2 : 128 H2O. Pada suhu 100-160°C zeolit yang terbentuk berupa zeolit campu ran yaitu zeolit A, X, P dan sodalit. Berdasarkan tingginya intensitas puncak difraksi khas zeolit A dibandingkan dengan zeolit lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa Zeolit A adalah zeolit utama yang terbentuk dari proses hidrotermal yang dilakukan.
AF-180
Gambar 4. Difraktogram Sinar-X: Abu Dasar Sesudah Kalsinasi & Hasil Sintesis Secara Hidrotermal Langsung dengan Variasi Suhu (100, 120, 140 & 160˚C) Pada Waktu 24 Jam Keterangan: Q = Quartz (SiO2), PDF 46-1045 M = Mullite (Al6Si2O13), PDF 15-0776 A = Zeolit A (Na3Al3Si3O12 . 2H2O), PDF 44-0050 A• = Zeolit A (Na[AlSiO4]6 . 4H2O), PDF 42-0216 X = Zeolit X (Na88Al88Si104O384 .220H2O), PDF 39-0218 P = Zeolit P (Na2Al2Si2.71O9.42.4.39H2O), PDF 43-0577 S = Sodalit (Na4Al3Si3O12 [OH]), PDF 11-0401 Gambar 4 juga menunjukkan bahwa fasa kuarsa (yang ditunjukkan oleh puncak khas pada 2θ = 26,6°) mula-mula mempunyai intensitas terkuat sebelum sampel abu dasar hasil kalsinasi di sintesis menjadi zeolit. Setelah proses hidrotermal pada suhu 100°C - 160°C, intensitas menurun. Bahkan fasa kuarsa hampir tidak terlihat pada suhu 140 dan 160°C. Penurunan tersebut merupakan indikasi adanya pelarutan kuarsa yang merupakan fasa kristalin. Semakin tinggi suhu, maka fasa kuarsa semakin menurun (Muasyaroh, 2008). Penurunan yang sama juga ditunjukkan oleh fasa mulit yang ditunjukkan oleh berkurangnya intensitas puncak khas mullit pada puncak 2θ = 40,9°. Intensitas puncak khas mullit tersebut semakin kecil dengan meningkatnya suhu hidrotermal. Sebagaimana pada kuarsa, penurunan ini juga menunjukkan bahwa fasa mullit terlarut ke dalam larutan pereaksi zeolit, walaupun tidak sereaktif fasa kuarsa yang ditunjukkan oleh tingkat penurunan intensitas yang lebih lambat. Hal ini dapat disimpulkan masih adanya puncak utama fasa kuarsa maupun mullit dengan intensitas yang rendah. Selain daripada itu, fasa amorf juga mulai berkurang dengan semakin tingginya suhu hidrotermal. Fenomena ini ditunjukkan oleh makin berkurangnya hump pada 2θ = 5°-35°, yang mengindikasikan pengurangan fasa am orf akibat larutnya Si dan Al dalam larutan basa NaOH. Begitupula yang dilakukan oleh Muasyaroh (2008), semakin tinggi suhu hidrotermal maka intensitas fasa amorf mengalami adanya penurunan intensitas akibat larutnya Si dan Al dalam larutan basa KOH. Hal yang menarik untuk diperhatikan pada Gambar 4 adalah bahwa zeolit A yang terbentuk ada dua jenis yaitu zeolit A dengan struktur ortorombik (A) dan struktur kubus (A•). Unit sel dari jenis zeolit A dapat ditentukan berdasarkan data base struktur kristal anorganik (Inorganic Crystal Structure Database/ICSD). Adanya ke dua pola struktur ini memiliki perbedaan unit pembangun sekunder (secondary building units, SBU). Zeolit A dengan PDF 44-0050) berbentuk ortorombik dengan sisi a ≠ b ≠ c dan sudut α = β = γ = 90°. Sementara zeolit A dengan PDF 42-0216 berbentuk kubik dengan sisi a = b = c dan sudut α = β = γ sama = 90°. Unit sel berbentuk kubik dan ortorombik dapat dilihat seperti yang ditampilkan pada Gambar 5.
AF-181
(a)
(b) Gambar 5 (a) Struktur Kubik & (b) Struktur Ortorombik (P = Primitif (titik kisi hanya pada pojok-pojok); I = kisi bepusat badan; F = kisi berpusat muka & C = kisi berpusat sisi) Pada suhu hidrotermal 100 sampai 140°C (Gambar 4), terlihat bahwa zeolit A• lebih dominan daripada zeolit A, X dan sodalit yang ditandai oleh puncak-puncak dengan intensitas yang semakin tinggi dengan kenaikan suhu. Puncak-puncak ini diidentifikasi pada 2θ = 13,9° dan 24,3° (A •) dan pada 2θ = 20,1°, 36,5° 44,8° (A) dan serta puncak sodalit pada 2θ = 28,6°. Zeolit X juga teridentifikasi yaitu pada 2θ = 17,3°. Pada suhu 100 °C, ternyata fasa mullit dan kuarsa hanya sedikit melarut, hal ini tampak dengan menurunnya intensitas kuarsa pada 2θ = 20,8° dan 26,6°. Pembentukan kristal zeolit diawali dengan pelarutan Si dan Al yang terdapat di dalam abu dasar. Setelah itu dilanjutkan oleh pembentukan gel aluminosilikat yang diikuti oleh pembentukan kristal (Murayama dkk, 2001 dan Ojha dkk, 2004). Oleh karena itu pelarutan Si dan Al sangat mempengaruhi pembentukan zeolit. Pada suhu hidrotermal 120 dan 140°C, ada perubahan fasa kristalin yang ditandai dengan perubahan intensitas dan munculnya puncak-puncak difraksi baru yang mulai terbentuk dengan intensitas yang sangat rendah.. Penurunan intensitas terjadi pada fasa kuarsa dan mullit. Semakin tinggi suhu maka semakin rendah puncak difraksi fasa kuarsa dan mullit yang mengindikasikan terjadinya pengurangan konsentrasi fasa-fasa tersebut. Pengukuran konsentrasi Si dan Al pada larutan sisa reaksi yang dilakukan dengan ICP-AES (Gambar 6 & 7) menunjukkan penuruan konsentrasi dan angka banding Si/Al pada kenaikkan suhu hidrotermal. Sementara itu, puncak-puncak difraksi zeolit A kubus (2θ = 13,9° dan 24,3°) dan zeolit X (2 θ = 17,4°) mengalami peningkatan intensitas seiring dengan kenaikan suhu dan muncul puncak baru pada 2θ = 34,6°; 37,4° dan 42,8° (puncak khas zeolit A kubus), pada 2θ = 26,1° (puncak khas zeolit A ortorombik) dan juga muncul puncak baru pada 2θ = 32,6° yang merupakan puncak khas zeolit X. Fenom ena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa zeolit-zeolit yang terbentuk berasal dari komponen-komponen aluminosilikat yang dikandung oleh abu dasar. Komponen tersebut bukan hanya yang berasal dari fasa amorf, melainkan juga dari fasa kristalin pada abu dasar yang digunakan. Sebagaimana yang telah diinformasikan sebelumnya bahwa fasa amorf merupakan fasa yang paling mudah larut dalam larutan basa alkali dan mengandung Si dan Al yang cukup banyak. Larutnya fasa amorf diharapkan dapat terbentuknya kerangka zeolit yang lebih banyak. Penurunan intensitas fasa menunjukkan penurunan kristalinitas maupun berkurangnya jumlah fasa tersebut karena proses pelarutan (Chang dan Shih, 2000). Penurunan intensitas mullit dan kuarsa menunjukkan bahwa fasa tersebut makin berkurang dan sebagian terlarut, sehingga menyediakan lebih banyak Si dan Al untuk proses kristalisasi zeolit
AF-182
30
Konsentrasi (ppm)
25 20 15 10 5
Si dalam larutan Al dalam larutan
0 80
100
120
140
160
180
Suhu Hidroterm al (ºC)
Gambar 6. Konsentrasi Si dan Al dalam larutan hasil sintesis pada berbagai suhu hidrotermal selama 24 Jam 0,4
Si/Al dalam larutan
0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 80
100
120
140
160
180
Suhu Hidroterm al (ºC)
Gambar 7. Perbandingan Si/Al dalam larutan hasil sintesis pada berbagai suhu hidrotermal Selama 24 Jam Pada Gambar 6 dan 7 terlihat penurunan konsentrasi dan angka banding Si/Al pada kenaikkan suhu hidrotermal. Penurunan ini diperkirakan sebagai akibat dari pembentukan/kristalisasi zeolit. Semakin tinggi suhu hidrotermal, maka seharusnya semakin tinggi pula jumlah Si dan Al yang terlarut. Akan tetapi, Si dan Al yang terlarut ini kemudian segera mengkristal membentuk zeolit. Sebagai hasil akhirnya, konsentrasi Si dan Al di dalam larutan reaksi semakin berkurang sementara itu konsentrasi zeolit yang terbentuk meningkat dengan besar. Suhu yang tinggi juga sangat disenangi untuk pembentukan zeolit dengan angka banding Si/Al yang tinggi dan memiliki kestabilan termodinamika yang tinggi pula seperti zeolit Na-P1. Oleh karena itu, pada suhu hidrotermal yang tinggi, lebih banyak silikon terlarut yang mengkristal menjadi zeolit daripada alumunium terlarut. Sebagai akibatnya, angka banding Si/Al menjadi menurun karena jumlah silikonnya berkurang sementara jumlah alumuniumnya relatif tetap. Pada suhu hidrotermal 160°C, difraktogram sinar-X menunjukkan peningkatan jumlah puncak dan intensitas difraksi. Pada kondisi ini ditemukan puncak-puncak difraksi baru yang sesuai dengan pola difraksi zeolit P. Selain itu, pola difraksi juga menunjukkan bahwa fasa zeolit A berstruktur kisi ortorombik mendominasi zeolit yang terbentuk. Pada saat yang bersamaan, intensitas puncak difraksi zeolit A• menurun. Selain daripada itu, masih nampak adanya fasa mullit dan kuarsa yang merupakan fasa kristalin dari abu dasar dengan intensitas yang rendah. Sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Molina dan Poole (2004), adanya fasa mullit dan kuarsa secara bersama-sama seringkali menyebabkan produk yang terbentuk berupa produk campuran. Pembentukan fasa zeolit dapat terjadi berdasarkan aturan Ostwald tentang transformasi berurutan (successive transformations), yaitu ketika spesies bersaing terjadi kecenderungan untuk fasa kurang stabil mengkristal dan selanjutnya digantikan oleh bentuk
AF-183
yang lebih stabil melalui transformasi yang berlangsung secara terus-menerus sampai akhirnya berhenti pada fasa yang paling stabil (Barrer, 1982). Dalam sistem larutan yang bersuhu tinggi (330 – 440°C), kristalisasi dari sil ika amorf melalui tahapan sebagai berikut: amorf→ kristobalit → keatit → kuarsa Akan tetapi pada kondisi reaksi lain, kristalisasi akan mengikuti tahapan yang lain seperti yang terjadi pada pembentukan zeolit alam: amorf → zeolit → analsim → felspar Sedangkan apabila kondisi reaksi dipengaruhi oleh alkalinitas larutan, misalnya basa NaOH, maka tahapan kristalisasi sebagai berikut: amorf →faujasit →gismodin (tipe Na-P) dapat juga hasil akhir berupa sodalit, hidroksi cancrinit, gmelinit dan zeolit A Morfologi partikel padatan hasil sintesis abu dasar bebas sisa karbon secara hidrotermal langsung pada berbagai suhu hidrotermal yang diamati dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) ditunjukkan oleh Gambar 9 Pada suhu hidrotermal 100 sampai 140°C (Gambar 4.10. a sampai c) terlihat bahwa ukur an partikel produk relatif lebih kecil jika o dibandingkan dengan ukuran partikel produk sintesis pada suhu 160 C. Demikian pula o dengan morfologi partikelnya. Pada suhu 100 sampai 140 C, partikel berbentuk kristal terlihat memiliki bentuk yang lebih beragam dibandingkan dengan bentuk kristal pada 160 oC. Selain itu pada suhu hidrotermal 160°C terlihat be ntuk yang mulai teratur dengan bentuk morfologi berbentuk empat persegi panjang (ortorombik) lebih dominan dari bentuk partikel yang lain. Partikel yang dominan ini, diindikasikan sebagai bentuk partikel zeolit A (struktur ortorombik). Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa semakin tinggi suhu hidrotermal, maka semakin banyak silika maupun alumina yang larut dan kristalinitas juga semakin tinggi, sehingga fasa zeolit yang terbentuk semakin banyak dan bervariasi. Suhu hidrotermal paling baik dicapai pada suhu 160°C dengan fasa zeolit A berstruktur ortorombik paling dominan dari fasa zeolit lain yang terbentuk. Produk sintesis zeolit dalam penelitian ini merupakan tipe zeolit A tidak murni karena mengandung beberapa fasa zeolit yang terdiri dari Zeolit X, P dan Sodalit. Hal ini disebabkan karena metode dalam sintesis zeolit ini menggunakan metoda hidrotermal langsung yang biasanya menghasilkan campuran beberapa fasa yang secara termodinamis kurang stabil. Ketidakstabilan ini disebabkan oleh ketidakmurnian abu dasar sebagai bahan awal pembuatan zeolit, yaitu adanya unsur-unsur lain yang terkandung dalam abu dasar seperti Fe, Ca, Mg, K dan Mn. Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Hidayati, 2008 dan Muasyaroh, 2008 dan Nafi’ah, 2008, yaitu mensintesis zeolit dari abu layang secara hidrotermal langsung dan produk yang dihasilkan juga zeolit campuran. Hal ini karena komposisi kimia abu layang tidak hanya mengandung unsur Si dan Al yang diperlukan dalam pembuatan zeolit tetapi juga mengandung unsur-unsur lain seperti Fe, Ca, Mg, K, Ni dan Ti (Hidayati, 2008 dan Muasyaroh, 2008 dan Nafi’ah, 2008). Sebagai contoh pembanding, penggunaan metode sintesis tidak langsung, misalnya metode fusi atau dengan memisahkan pengotor dari abu dasar, terbukti dapat mensintesis zeolit dari abu dasar dengan fasa tunggal yaitu zeolit A murni (Yanti, 2009) begitupula yang dilakukan oleh Sudarno, (2008) dan Sari, (2009) dengan menggunakan metode fusi, produk zeolit yang dihasilkan juga fasa tunggal yaitu zeolit A murni. Jadi dalam hal ini, untuk mendapatkan zeolit yang kita inginkan, metoda dalam sintesis zeolit sebagai kunci utama yang sangat perlu diperhatikan. Pembuatan zeolit dengan metoda hidrotermal langsung memiliki tahapan yang lebih pendek daripada metode peleburan, meskipun tingkat kemurniannya masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan metode tersebut. Hal ini disebabkan karena pada metode peleburan, sejumlah besar Si dan Al dapat terekstrak secara efektif sebelum dilanjutkan ke proses hidrotermal, sehingga pada umumnya zeolit yang dihasilkan berupa fasa tunggal (zeolit murni). Jadi metode dalam sintesis zeolit merupakan kunci utama yang sangat perlu diperhatikan.
AF-184
4. 1.
2.
3.
4.
Kesimpulan Abu dasar batubara dapat di sintesis menjadi zeolit dengan penghilangan karbon terlebih dahulu sebelum di sintesis pada proses kalsinasi pada suhu yang 800°C selama 4 jam. Berdasarkan hasil XRD, jenis zeolit yang terbentuk berupa zeolit campuran, yaitu zeolit A, X, P dan sodalit. Zeolit yang terbentuk paling dominan dengan berbagai variasi kondisi hidrotermal yaitu zeolit A. Zeolit A yang terbentuk ini memiliki 2 struktur yang beda, yaitu ortorombik dan kubik Zeolit A dengan struktur kubik yang lebih dominan terjadi pada kondisi suhu hidrotermal o 100, 120 dan 140 C selama 24 jam. Sedangkan zeolit A dengan struktur ortorombik yang lebih dominan terjadi pada kondisi suhu hidrotermal 160oC selama 24 dengan rasio Si/Al = 1. Suhu hidrotermal sangat berpengaruh pada pembentukan zeolit dari abu dasar bebas sisa karbon. Semakin lama suhu hidrotermal maka zeolit yang terbentuk semakin banyak dan semakin kristal. Suhu hidrotermal paling baik dicapai pada suhu 160°C selama 24 jam dengan fasa zeolit A berstruktur ortorombik paling dominan dari fasa zeolit lain yang terbentuk.
Penghargaan Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT. IPMOMI yang menyediakan abu dasar serta LPPM ITS sebagai penyandang dana penelitian melalui kontrak penelitian No. 10626/I2.7/PM/2008, tanggal 1 April 2008. Daftar Pustaka Barrer, R.M. (1982), “Hydrothermal Chemistry of Zeolites”, Academic Press Inc, London Chang, H.L. dan Shih, W.H. (2000), “Synthesis of Zeolites A and X from Fly Ashes and Their IonExchange Behavior with Cobalt Ions”, Ind. Eng. Chem. Res., 39, hal. 4185-4191 Elliot, A.D. (2006), “An Investigation into the Hydrothermal Processing of Coal Fly Ash to Produce Zeolite for Controlled Release Fertiliser Applications”, Curtin University of Technology, Australia Hassett D.J. and Eylands K.E. (1999). "Mercury Capture on Coal Combustion Fly Ash" Fuel 78: 243248. Hidayati, Ririn, E. (2008), Sintesis Zeolit Dari Abu Layang Batubara: Kajian Pengaruh Waktu Hidrotermal Awal Terhadap Pembentukan Zeolit, Tesis, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Juan, R., Herna´ndez, S., Andre´s, J., M., dan Ruiz, C., (2007), “Synthesis of Granular Zeolitic Materials With High Cation Exchange Capacity from Agglomerated Coal Fly Ash”, Fuel, Vol. 1, hal. 1-11. Molina, A. dan Poole, C. (2004), “A Comparative Study Using Two Methods To Produce Zeolites from Fly Ash”, Minerals Engineering, Vol. 17, hal. 167–173. Muasyaroh, Dewi, (2008), Pengaruh Suhu Hidrotermal Awal Terhadap Pembentukan Zeolit dari Abu Layang Batubara, Tesis, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Murayama, N., Takahashi, T., Shuku, K., Lee H.-H. dan Shibata, J., (2008), “Effect of Reaction Temperature on Hydrothermal Syntheses of Potassium Type Zeolites from Coal Fly Ash”, Int. J. Miner. Process., 87, 129-133. Murayama, N., Yamamoto, H. dan Shibata, J. (2002), “ Mechanisme of Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash by Alkali Hydrothermal Reaction”, Int. J. Miner. Process, Vol. 64, hal. 1-17. Nafi’ah, Choirun, (2008), Pengaruh Komposisi KOH pada Sintesis Zeolit dari Abu Layang Batubara, Tesis, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Ojha, K., Pradhan, N. dan Samanta, A.N. (2004), “Zeolite from Fly Ash: Synthesis and Characterization”, Bull. Mater. Sci. Indian Academy of Sciences, Vol. 27, No. 6, hal. 555-564. Robson, H. (2001), “Verified Syntheses Of Zeolitic Materials”, Elsevier Science B.V., hal.179. Sari, Nungki, P. (2008), Penentuan Kapasitas Tukar Kation dan Selektivitas Zeolit dari Abu Layang PLTU Paiton, Tesis, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Smart, L. dan Moore, E. (1993), Solid State Chemestry: An Introduction, 1st edition, Chapman & Hall University and Proffesional Division, London Sudarno, (2008), Pengaruh Komposisi NaOH Pada Konversi Abu Layang Batubara Paiton Menjadi Zeolit A, Tugas Akhir, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Querol, X., Alastuey, A., Lopez-Soler, A., Plana, F., Andres, J.M., Juan, R., Ferrer, P., Ruiz, C.R., (1997), “A Fast Method for Recycling Fly Ash: Microwave-Assisted Zeolite Synthesis”, Environ. Sci. Technol., Vol. 31, No.89, hal. 2527-2533 Yanti, Yuliyanti (2009), “ Sintesis zeolit A dan Zeolit Karbon Aktif dari Abu Dasar PLTU Paiton denga Metode Peleburan” Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
AF-185
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Sintesis Zeolit A dari Abu Dasar Batubara PT IPMOMI Paiton Yuli Yanti1*, Hamzah Fansuri2, Nurul Widiastuti2 1
Mahasiswa S2 Jurusan Kimia, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2 Jurusan Kimia, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya *Corresponding author: e-mail :
[email protected]
Abstrak Zeolit A murni telah disintesis dari abu dasar PLTU PT. IPMOMI di Paiton dengan metode peleburan abu dasar pada suhu 750ºC diikuti dengan kristalisasi Hidrotermal pada suhu 100ºC. Metode Peleburan digunakan untuk mendapatkan ekstrak Si dan Al dari abu dasar. Kristalisasi hidrotermal dilakukan dengan menggunakan ekstrak hasil peleburan yang telah ditambah larutan natrium aluminat agar dicapai rasio molar Si/Al sebesar 1,926. Kristalisasi Zeolit A dipelajari pada rentang waktu kristalisasi 4, 6,12,18 dan 24 Jam. Analisis difraksi terhadap hasil kristalisasi dengan XRD menunjukkan bahwa zeolit A belum terbentuk pada waktu 4 jam dan mulai terbentuk pada waktu kristalisasi 6 jam. Kekristalan zeolit A terbaik di dapat pada waktu kristalisasi 12 jam dan memiliki KTK sebesar 347,83 meq/g. Kata Kunci: Abu dasar, Zeolit A, Peleburan dengan alkali
1. Pendahuluan Abu dasar merupakan salah satu limbah padat pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara. Umumnya abu tersebut ditumpuk pada landfil dan sebagian kecil digunakan untuk pelapis dasar jalan raya, bahan pengisi untuk bahan tambang dan bahan galian, material bangunan serta berbagai pemanfaatan dengan nilai tambah yang kecil lainnya. Dengan penuhnya landfill yang tersedia dan biaya tinggi pada pembuatan landfill baru maka perlu dicari berbagai usaha untuk meningkatkan pemanfaatan abu hasil pembakaran batu bara tersebut. Abu dasar mengandung oksida-oksida silikon, alumunium, besi dan kalsium. Selain itu, abu dasar juga mengandung oksida-oksida logam lainnya dalam jumlah yang lebih kecil daripada ke empat oksida logam yang disebutkan sebelumnya. Komponen kimia dari abu dasar sebagian besar berfasa amorf, yaitu sekitar 66 sampai 88% berat. Sementara itu, fasa kristalin utama adalah silika (SiO2) dan Alumina (Al2O3). Jika ditinjau dari komposisi kimia yang dikandungnya, dimungkinkan untuk memanfaatkan abu dasar sebagai bahan baku bagi pembuatan bahan-bahan aluminosilikat yang memiliki banyak kegunaan. Salah satu bahan aluminosilikat adalah zeolit yang banyak digunakan sebagai penyaring molekul (molecular sieve), penyerap kation serta katalis. Sintesis zeolit dari beberapa bahan abu yang mengandung Si dan Al telah banyak dilakukan sebelumnya. Banyak penelitian yang dilakukan untuk membuat zeolit dari abu layang sebagaimana dilaporkan oleh Hollman dkk (1999), Hui dan Chao (2006) serta Molina dan Poole (2004). Peneliti lain melaporkan pembuatan zeolit dari limbah pabrik kertas (paper sludge) (Wajima dkk, 2006), cupola slag (Anuwattana, 2009) dan abu oil shale (Machado dan Miotto, 2005). Demikian halnya dengan pembuatan zeolit dari abu dasar sebagaimana dilaporkan oleh Chandrasekar dkk (2006). Metode pembuatan zeolit dari abu layang tentunya dapat pula diterapkan pada abu dasar mengingat keduanya memiliki kandungan kimia yang serupa. Walau demikian, ada beberapa perbedaan yang menyebabkan pembuatan zeolit dari abu layang tidak banyak dilakukan. Perbedaan utama adalah relatif rendahnya kandungan silika dan alumina pada
AF-186
abu dasar dibandingan dengan abu layang. Selain itu, abu dasar juga memiliki kandungan oksida kalsium dan besi yang tinggi serta masih mengandung sisa karbon yang semuanya akan mempengaruhi proses pembentukan zeolit. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemisahan silika dan alumina pada abu dasar dari oksida-oksida logam lainnya agar dapat dihasilkan zeolit yang diinginkan dngan kemurnian dan kristalinitas tinggi. Makalah ini melaporkan hasil percobaan sintesis zeolit A dari abu dasar menggunakan metode dua tahap yang diperkenalkan oleh Hollman dkk. (1999). Tahap pertama adalah ektraksi silika dan alumina dengan cara peleburan diikuti dengan kristalisasi secara hidrotermal dari ekstrak larutan hasil peleburan. 2. Eksperimen Abu dasar yang digunakan berasal dari PLTU PT IPMOMI di Paiton, Probolinggo. Abu dasar ini diambil sebelum ditimbun di landfill. Sebelum digunakan, abu dasar dikeringkan o pada suhu 105 C selama 12 jam, kemudian digerus halus. Komposisi kimia dari serbuk abu dasar kering selanjutnya ditentukan dengan Fluoresensi sinar X (XRF/X-ray fluorescence). Sementara itu, kandungan sisa karbon ditentukan dengan elemental analyzer dan LOI (lost on Ignition) ditentukan secara gravimetri dengan pemanasan pada suhu 1000oC selama 2 jam. Bahan lain yang digunakan adalah Natrium hidroksida (NaOH) pellet p.a dan Ammonium asetat (CH3COONH4) p.a dari Merck serta Natrium aluminat (NaAlO2) p.a serbuk dari Sigma Aldrich. Seluruh air yang digunakan dalam proses sintesis adalah air destilat (aquadest) sedangkan untuk analisis ICP digunakan aquabidest. Serbuk kering abu dasar dan serbuk halus NaOH dengan perbandingan massa NaOH/Abu dasar = 1,2 dimasukkan ke dalam krusibel berbahan stainles steel 304 hingga dan diratakan serta didiamkan selama 30 menit. Campuran kemudian dibakar pada suhu 750ºC selama 1 jam di dalam muffle furnace. Leburan yang terbentuk kemudian didinginkan kemudian digerus halus dan dilarutkan dalam air terdeionisasi dengan perbandingan 12 mL air per gram leburan. Setelah itu larutan diperam selama 2 jam di dalam botol polietilen pada suhu kamar. Selanjutnya larutan yang telah diperam tersebut disaring dan diambil ekstraknya sebagai sumber Si dan Al. Kandungan Si, Al, Na, Fe dan Ca terlarut pada ekstrak dianalisis dengan ICP-AES merk Fison 3410+. Larutan NaAl O-NaOH ditambahkan ke dalam larutan 2
ekstrak agar diperoleh komposisi molar 1 Al2O3 : 1,926 SiO2 yang diperlukan dalam mensintesis zeolit A. Campuran (slurry) berkomposisi molar 1 Al2O3 : 1,926 SiO2 dimasukkan ke dalam autoklaf stainless steel 304. Selanjutnya autoklaf tersebut ditutup rapat dan dipanaskan pada suhu 100°C selama 4-24 jam di dalam oven. Setelah i tu autoklaf didiamkan sehingga suhunya menjadi sekitar 60oC sebelum dibuka. Padatan yang terbentuk di dalam autoklaf selanjutnya disaring dan dicuci dengan air destilat sampai diperoleh pH filtrate sekitar 9. Padatan yang tertahan pada kertas saring kemudian dikeringkan pada suhu 105°C selama 24 jam. Padatan ini (zeolit) selanjutnya dianalisis dengan difraksi sinar X (XRD) dan ditentukan kapasitas tukar kationnya dengan menggunakan metode ammonium asetat. Kristalinitas dari zeolit yang terbentuk ditentukan dari data difraktogramnya menggunakan persamaan (1) (Rayalu, 2005) (1)
3. Hasil dan Pembahasan Komposisi kimia dan fasa abu dasar Komposisi kimia abu dasar yang diukur dengan XRF, elemental analyzer serta gravimetri disajikan pada Tabel 1. Dari data tersebut terlihat bahwa kandungan Si dan Al pada abu dasar PT. IPMOMI relatif rendah (30,9 %), jika dibandingkan dengan kadungan besi (Fe) dan kalsium (Ca) yang masing-masing adalah 33,59 dan 26,3%. Selain rendah, angka banding Si/Al (3,4) juga terlalu tinggi untuk pembentukan zeolit A, sehingga perlu diturunkan dengan penambahan sumber Al yaitu natrium aluminat. Sementara itu, kandungan sisa karbon relatif tinggi yaitu sekitar 11 %. Kandungan sisa karbon yang diukur dengan elemental analyzer dan LOI ternyata sangat dekat nilainya sehingga dapat disimpulkan bahwa bahan-bahan volatil yang terdapat pada abu dasar hampir seluruhnya berupa sisa karbon.
AF-187
Analisis kristalografi menggunakan XRD pada abu dasar menunjukkan bahwa abu tersebut mengandung fasa amorf dan kristalin. Gambar 1 adalah difraktogram serbuk kering abu dasar PLTU PT IPMOMI Paiton yang menunjukkan adanya puncak-puncak (peaks) dan gundukan (humps) yang masing-masing mewakili fasa kristalin dan amorf. Hasil analisis search and match menggunakan software Philips Expert menunjukkan keberadaan fasa kuarsa (SiO2) yang sesuai dengan database PDF 46-1045. Selain itu, ditemukan juga fasa mullit yang sesuai dengan database PDF 15-0776. Adanya gundukan yang menjadi baseline pada puncak-puncak difraksi kuarsa dan mullit menunjukkan bahwa fasa amorf yang ada pada serbuk abu dasar kering adalah fasa amorf dari SiO2 dan aluminosilikat. Bentuk hump (gundukan) sebagai pertanda adanya fasa amorf pada sampel abu layang juga dikemukakan oleh Yaping dkk (2008) dan Rios dkk (2009). Tabel 1 Komposisi kimia (% berat) Abu Dasar PLTU PT IPMOMI Paiton Komponen Komposisi Komponen Komposisi Si 24,1 S 0,76 Al 6,8 Mn 0,32 Fe 33,59 Cr 0,098 Ca 26,3 Ni 0,055 Mg 3,6 V 0,050 K 0,58 Ti 12,1 C total = 10,99 LOI = 11,50
1000
Q
Intensitas (cps)
800
600
400 Q Q
Hm Ca Hm M M M
200
Q
Q Q
M
0 10
20
30
40
50
60
70
80
90
2θ
Gambar 1. Difraktogram serbuk kering abu dasar PLTU PT. IPMOMI Berdasarkan pada data Tabel 1 dan kristalografi abu dasar, terlihat bahwa Si dan Al yang merupakan komponen kimia pembentuk zeolit A terdapat baik pada fasa kristalin maupun amorf. Si dan Al pada fasa amorf memiliki kelarutan yang tinggi pada larutan alkali dibandingkan dengan fasa kristalin (Inada dkk, 2004). Oleh karena itu, semakin banyak fasa amorf yang terdapat pada abu dasar maka semakin banyak pula produk zeolit yang dihasilkan. Walau demikian, fasa kuarsa dan mulit juga dapat memberikan sumbangan yang tak kalah pentingnya karena kedua fasa tersebut juga akan teraktivasi dengan peleburan di dalam garam alkali menjadi garam-garam Si dan Al yang mudah larut (Wang dkk, 2009). Selain fasa, ukuran partikel juga menentukan kelarutan silikat dan aluminat dari abu dasar sehingga ukuran tersebut juga berpengaruh kepada reaktivitas abu dasar. Semakin kecil dan tidak beraturan bentuk partikel abu dasar, mak semakin reaktif (mudah larut dalam basa) partikel tersebut karena memiliki luas permukaan bidang sentuh yang besar dengan pelarut, dalam hal ini adalah larutan NaOH sebagai larutan pengaktif. Mikrograf SEM dari abu dasar, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2, menunjukkan bahwa partikel-partikel abu dasar berbentuk bola (spherical) dengan permukaan bertekstur halus dan butiran berbentuk tak beraturan. Morofologi seperti ini ditambah dengan fasa kristalinnya menunjukkan bahwa
AF-188
aktivasi dengan peleburan alkali sangat perlu dilakukan untuk mengekstrak Si dan Al karena serbuk abu dasar PLTU PT. IPMOMI ini bersifat kurang reaktif terhadap larutan basa.
Gambar 2. Mikrograf SEM Abu Dasar Ekstraksi Si dan Al dari serbuk kering abu dasar Shigemoto dkk. (1993) melaporkan bahwa silika dan alumina yang terdapat pada abu layang batubara terdekomposisi pada proses fusi alkali. Seperti yang dilaporkan oleh Ojha dkk. (2004) peleburan pada campuran abu layang akan memfasilitasi pembentukan garam natrium silikat dan aluminat dengan aktivitas yang tinggi sehingga meningkatkan hasil pada pembentukan zeolit. Reaksi fusi yang terjadi antara SiO2 dan Al2O3 pada abu dasar batubara dengan NaOH ditunjukkan berdasarkan dengan skema sebagai berikut: 2NaOH(s )+ Al2O3(s)
Fusi →
2NaAlO2(s) + H2O(g)
2NaOH(s) + SiO2(s)
→
Na2SiO3(s) + H2O(g)
→ 10NaOH(s) + 2SiO2.3Al2O 3(s)
2Na2SiO3(s)+6NaAlO2(s) + 7/2 O2(g)
1000 Q
Intensitas (cps)
800 12
600
1
1
1 2
2 1
1
Leburan Abu Dasar
400 Q 200
M
0
Q
Q Q
Abu Dasar 10
20
30
40
50
60
70
2 theta
Gambar 3.
Difraktogram produk Peleburan Abu dasar dengan NaOH pada suhu 750ºC (Q = kuarsa, M=mullit, 1=Natrium silikat, 2=Natrium alumina silikat)
Analisis XRD yang dilakukan terhadap leburan abu dasar secara tidak langsung mendukung reaksi tersebut di atas. Hilangnya puncak kuarsa dan mulit difraktogram sinar X menunjukkan bahwa kuarsa dan mulit bereaksi dengan larutan NaOH. Pelarutan tersebut
AF-189
menghasilkan fasa baru yaitu natrium silikat dan natrium alumino-silikat sebagaimana ditunjukkan oleh difraktogram sinar X di Gambar 3. Keberadaan Natrium silikat dan natrium alumino-silikat didalam produk peleburan abu dasar menunjukkan bahwa proses peleburan sangat efektif mengubah kuarsa dan mullit menjadi fasa yang mudah larut yaitu natrium aluminat dan natrium alumino-silikat yang selanjutnya akan memudahkan dalam mengekstrasi silikon dan alumunium dari abu dasar (Chang dan Shih, 1998). Natrium silikat (Na2SiO3) dan natrium aluminat (Na2AlO2) yang terbentuk sebagai hasil dari proses peleburan merupakan garam yang mudah larut dalam air pada suhu rendah. Proses pelarutan padatan leburan abu dasar dengan air destilat adalah sebagai berikut:
→ Na2SiO3(aq) Na2SiO3(s) + H2O(g) → Na2Al(OH)4(aq) Na2AlO2 (s) + H2O(g) Analisis komposisi kimia ekstrak hasil peleburan dengan ICP AES menunjukkan bahwa komposisi Si, Al, Na dan Ca di dalam larutan ekstrak berturut-turut adalah 8.409, 389, 63.219 dan 0,88 ppm, sedangkan untuk Fe tidak terlarut. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, Si yang terekstrak dibandingkan dengan jumlah total Si yang terkandung dalam abu dasar awal adalah sebesar 46,52% dan Al yang terekstrak adalah 9,22%. Kristalisasi Zeolit A Sintesis zeolit A dilakukan dengan menggunakan ekstrak Si, Al dan Na dari larutan hasil proses peleburan. Rasio molar SiO2/Al2O3 diatur sedemikian rupa dengan penambahan Al dari sumber yang mudah larut untuk mendapatkan rasio molar SiO2/Al2O3 sebesar 1,926 yang sesuai dengan rasio yang diperlukan bagi pembentukan zeolit A murni (Rubson, 2001). Menurut Tanaka dkk. (2002) zeolit A dapat terbentuk pada rasio molar SiO2/Al2O3 sebesar 1,0 ≤ SiO2/Al2O3 ≤ 2,0. Font dkk (2009) mensintesis zeolit A murni dari larutan ekstrak abu layang pada rasio SiO2/Al2O3 sebesar 2. Selanjutnya, proses kristalisasi dilakukan dengan o kondisi hidrotermal pada suhu 100 C selama 4 sampai 24 jam. Menurut Barrer (1982), zeolit dengan rasio Si/Al rendah hanya dapat terbentuk pada kisaran suhu 100°C. Kristalisasi zeolit terjadi melalui reaksi nukleasi dan pertumbuhan kristal. Gambar 4 merupakan difraktogram sinar X hasil proses kristalisasi selama 4 jam. Berdasarkan Gambar 4 tersebut, terlihat bahwa dalam waktu 4 jam belum terbentuk kristal zeolit A dalam ukuran dan jumlah yang cukup untuk menghasilkan pola difraksi yang jelas. Sementara itu, jika kristalisasi dilakukan lebih lama, mulai terbentuk kristal zeolit A sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5. 250
Intensitas (cps)
200 150 100 50 0 10
20
30
40
50
2 theta
Gambar 4. Difraktogram produk hidrotermal pada100°C selama 4 jam Pola difraksi sinar-X yang didapatkan dari produk hidrotermal ternyata cocok dengan polda difraksi pada database PDF No. 39-0222 yang merupakan database difraktogram zeolit A. Kesamaan ini menunjukkan bahwa zeolit yang terbentuk merupakan zeolit A (Gambar 5).
AF-190
Gambar 5 juga menunjukkan bahwa kekristalan zeolit A yang terbentuk semakin baik seiring dengan bertambahnya waktu kristalisasi yang ditunjukkan oleh peningkatan intensitas puncak-puncak difraksi zeolit A. Analisis kekristalan Zeolit A menggunakan persamaan (1) menunjukkan kekristalan zeolit A hasil kristalisasi pada 100ºC selama 6, 12,18 dan 24 jam berturut-turut adalah 82,53%, 84,35%, 82.02% dan 79.44%. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa kekristalan terbaik diperoleh waktu kristalisasi 12 jam. A
4000 A
Intensitas (cps)
3500 3000
A
A
A
A A
2500
A
A
A
A A
HS
2000 1500 1000 500 0 5
10
15
20
25
30
35
40
2 theta o
Gambar 5.
Difraktogram Zeolit A yang dikristalisasi pada 100 C. Kurva berwarna hitam, merah, hijau dan biru berturut-turut merupakan hasil kristalisasi selama 6, 12, 18 dan 24 jam
Gambar 6
Pengaruh waktu reaksi terhadap kekristalan Zeolit A pada suhu reaksi 100°C.
Terbentuknya kristal zeolit A juga dikonfirmasi oleh hasil analisis SEM. Gambar 7 menunjukkan kristal zeolit A berbentuk kubus sempurna yang diperoleh dari kristalisasi ekstrak dasar pada suhu 100ºC selama 12 jam. Mikrograf tersebut menampilkan morfologi kristal zeolit A yang bentuk kubus homogen dengan sisi berukuran sekitar 3-4 m.
AF-191
Gambar 7. Foto SEM Zeolit A dari abu dasar hasil kristalisasi pada suhu 100ºC selama 12 jam
Gambar 8. KTK Zeolit A Sintetis dari Abu Dasa Pengukuran kapasitas tukar kation (KTK) dari zeolit A hasil sintesis dari abu dasar seperti ditunjukkan pada Gambar 8 memperlihatkan peningkatan drastis nilai KTK dari 53,21 meq/100g pada abu dasar menjadi 347,83 meq/100g. Nilai KTK ini tidak terlalu berbeda pada perbedaan waktu kristalisasi dan berada pada kisaran 306,91 sampai 347,83 meg/100g. Walau demikian, nilai KTK tertinggi ditunjukkan oleh zeolit hasil kristalisasi selama 12 jam yang memiliki ke kristalan tertinggi. 4. Kesimpulan Abu dasar PLTU PT IPMOMI Paiton dapat digunakan sebagai bahan awal sintesis zeolit A dengan metode peleburan. Peleburan abu dasar dengan NaOH pada suhu yang o dilakukan dengan pemanasan pada 750 C mengubah kuarsa dan mullit beserta fasa-fasa alumino-silikat lainnya pada abu dasar menjadi natrium silikat dan natrium alumino-silikat yang mudah larut di dalam larutan basa. Pelarutan hasil peleburan abu dasar menghasilkan larutan basa yang mengandung silikon dan alumunium dengan perbandingan molar sekitar 3,4. Calsium ikut terlarut, namun besi tidak ikut terlarut. Agar diperoleh zeolit A, maka perlu dilakukan pengaturan rasio molar Si/Al sebesar 1,926 dengan penambahan larutan Na-Aluminat. Zeolit A mulai terbentuk ketika dikristalkan selama minimal 6 jam. Akan tetapi kekristalan dan KTK terbaik didapatkan pada zeolit hasil kristalisasi selama 12 jam (85% dan 347,83 meq/100g).
AF-192
Penghargaan Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT. IPMOMI yang menyediakan abu dasar serta LPPM ITS sebagai penyandang dana penelitian melalui kontrak penelitian No. 10626/I2.7/PM/2008, tanggal 1 April 2008. Daftar Pustaka Anuwattana, R dan Khummongkol, P.(2008), ”Conventional hydrotermal Synthesis of Na-A Zeolite from Cupola Slag and Aluminium Sludge”, Journal of Hazardous Materials, hal Barrer, R.M. (1982), “Hydrothermal Chemistry of Zeolites”, Academic Press Inc, London Chandrasekar, G., You, K. S., Ahn, J. W. and Ahn, W. S. (2008), “Synthesis of Hexagonal and Cubic Mesoporous Silica using Power Plant Bottom Ash”, Microporous and Mesoporous Materials, Vol. 111(1-3), hal. 455-464. Chang, H.L. dan Shih, W.H. (1998), “A General Method for The Conversion of Fly Ash into Zeolites as Ion Exchange for Cesium”, Industrial Engineering Chemical Research, Vol. 37, hal. 71-78. Hollman, G.G. Steenbruggen, G. dan Jurkovicova, M.J. (1999), “A Two-Step Process for the Synthesis of Zeolites from Coal Fy ash”, Fuel, Vol. 78, hal. 1225–1230. Hui, K. S and Chao, C. Y. H. (2006), “Pure, Single Phase, High Crystalline, Chamfered-edge Zeolite 4A Synthesized from Coal Fly Ash for Use as a Builder in Detergents”, Journal of Hazardous Materials, Vol. 137(1), hal 401-409 Inada, M., Tsujimoto, H., Egichi, Y., Enomoto, N. And Hojo, J. (2004), “Microwave-assisted Zeolite from Coal Fly Ash in Hydrothermal Process”, Fuel, Vol. 84(12-13), hal. 1482-1486 Machado, N. R. C. F and Miotto, D. M. M. (2005), “ Synthesis of Na-A zeolites from Oil Shale Ash”, Fuel, Vol. 84(18), hal. 2289-2294 Molina, A. dan Poole, C. (2004), “A Comparative Study Using Two Methods To Produce Zeolites from Fly Ash”, Minerals Engineering, Vol. 17, hal. 167–173 Ojha, K., Pradhan, N. dan Samanta, A. N. (2004), “Zeolite from Fly Ash: Synthesis and Characterization”, Bull. Mater. Sci. Indian Academy of Sciences, Vol. 27, No. 6, hal. 555-564 Rayalu, S.S., Udhoji, J.S., Munshi, K.N. dan Hasan, M.Z., (2005), “High Crystalline Zeolite A form Fly Ash of Bituminous and Lignite Coal Combustion”, Current Science,Vol. 89 No 12. Rios, C. A., Williams, C. D., and Roberts, C. L. (2009) “A Comparative Study of Two Methods for The Synthesis of Fly ash-based Sodium and Pottasium Type Zeolites” Fuel, Vol.88, hal.1403-1416 Rubson, H. (2001), “Verifield Synthesis of Zeolitic Material” Elsevier Science B.V. Shigemoto, N. Hayashi, H. Miyaura K. (1993), “Selective Formation of Na-X Zeolite from Coal Flyash by Fusion with Sodium Hydroxide Prior to Hydrotermal Reaction”, J.Matter Sci, Vol.28, hal 47814786 Wajima, T., Haga, M., Kuzawa, K., Ishimoto, H., Tamada, O., Ito, K., Nishiyama, T., Downs, R. T. and o Rakovan, J. F. (2006), “Zeolite Synthesis from Paper Sludge Ash at Low Temperature (90 C) with Addition of Diatomite”, Journal of Hazardous Materials, Vol. 132(2-3), hal. 244-252 Wang, C.F., Li, J.S. Wang, L.J. dan Sun, X.Y. (2008), “Influence of NaOH concentrations on Synthesis of Pure-form Zeolite A from Fly Ash Using Two-Stage Method”, Journal of Hazardous Materials, Vol. 155, hal. 58–64. Yaping, Y. Xiaoqiang, Z. Weilan, Q. dan Mingwen, W. (2008), ”Synthesis of Pure Zeolites from Supersaturated Silicon and aluminium Alkali Extracts from Fused Coal Fly Ash”, Fuel 87, hal. 1880-1886.
AF-193
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Sintesis Zeolit ZSM-5 dari Abu Sekam Padi dengan Penambahan Asam Fluorida Yuyun Normala Sari dan Didik Prasetyoko Laboratorium Kimia Anorganik, Jurusan Kimia FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 60111 E-mail :
[email protected]
Abstrak. Abu sekam padi yang mengandung SiO2 digunakan sebagai sumber silika pada sintesis ZSM-5 dengan perbandingan komposisi molar 10Na2O:100SiO2:2Al2O3:1800H2O:xHF. Sintesis zeolit ZSM-5 ini dilakukan dengan penambahan larutan HF yaitu 7,5 mol, 15 mol dan 45 mol. Padatan yang dihasilkan dikarakterisasi menggunakan difraksi sinar-X, spektroskopi inframerah dan scanning electron microscopy (SEM). Hasil analisis menunjukkan bahwa kristalinitas zeolit ZSM-5 menurun dengan meningkatnya jumlah HF yang ditambahkan. Hasil SEM menunjukkan kristal yang didapatkan dari hasil sintesis dengan penambahan HF lebih besar. Kata Kunci: ZSM-5, abu sekam padi, HF
1.
Pendahuluan Sekam padi merupakan produk samping yang melimpah dari hasil penggilingan padi. Pembakaran sekam padi dalam udara menghasilkan abu sekam padi dengan kandungan SiO2. Kandungan SiO2 dalam sekam padi bervariasi dari 85% - 98% tergantung dari kondisi pembakaran, jenis furnace, varietas padi, komponen sekam padi, iklim dan wilayah geografis (Lanning, 1963). Sekam padi apabila dibakar secara terkontrol pada suhu tinggi (500–600 oC) akan menghasilkan abu silika berwarna putih yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai proses kimia termasuk pembuatan zeolit (Krishnarao, dkk., 2001; Della, dkk., 2002). Handayani, (2008) telah mensintesis ZSM-5 dari abu sekam padi dengan variasi penambahan jumlah bibit TS-1 dimana sampel kemudian dikarakterisasi dengan XRD dan spektrofotometri IR. Pada beberapa sampel muncul bahu yang tidak muncul pada sampel abu sekam padi dan ZSM-5 standard. Puncak ini diperkirakan adalah atom Si yang sudah tersubstitusi dengan Al, sehingga diperoleh ZSM-5 dengan kadar silika yang tinggi dan ZSM5 dengan kadar silika yang rendah. Perkiraan ini juga didukung dengan spektra inframerah zeolit A dengan perbandingan Si/Al = 1 yang muncul pada bilangan gelombang sekitar 1000 -1 cm (Tanaka, dkk., 2006). Muncul puncak baru pada penelitian yang dilakukan Handayani, 2008 sehingga diperkirakan ada fasa amorf pada zeolit ZSM-5 yang terbentuk. Pada penelitian ini dilakukan perlakuan untuk mengurangi fasa amorf yang terbentuk pada zeolit ZSM-5 yang dihasilkan yaitu dengan penambahan larutan HF yang dapat melarutkan silika. Penambahan HF diharapkan dapat meningkatkan kelarutan silika sehingga didapatkan zeolit ZSM-5 yang lebih murni. 2. Eksperimen Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peralatan gelas, krusibel porselin, neraca analitik, pengaduk magnetik, oven suhu 175 oC, tanur listrik sampai suhu o 600 C dan autoklaf stainless steel. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah difraksi sinar-X (XRD JEOL JDX-3530 X-ray diffractometer), FT-IR dan SEM (JEOL 6360 LA). Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah NaOH (99 % wt, Merck), NaAlO2 (Merck), abu sekam padi (SiO2, 93,22 % wt), asam fluorida (HF 40 %), asam sulfat
AF-194
(H2SO4), air distilasi (aquadesk) dan bibit ZSM-5. Prosedur Kerja Preparasi Abu Sekam Padi Sekam padi dibersihkan dan dicuci bersih dengan air distilasi dan dikeringkan. o o Kemudian sekam padi dibakar pada temperatur 600 C dengan slope 150 C/jam selama 4 jam. Sintesis ZSM-5 Campuran awal dipreparasi secara terpisah dalam dua buah gelas kimia A dan B. Pada gelas kimia A dimasukkan NaOH dan setengah bagian air dan diaduk sampai larut. Kemudian abu sekam padi dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam larutan NaOH dan diaduk selama 2 jam. Pada gelas kimia B dilarutkan NaAlO2 ke dalam setengah bagian air yang lain, lalu diaduk selama 1 jam. Setelah itu, larutan dari gelas kimia B dimasukkan ke dalam gelas kimia A, dan ditambahkan larutan HF dengan jumlah 7,5 mol, 15 mol, dan 45 mol, diaduk selama 6 jam. Campuran diperam (aging) selama 12 jam. Setelah itu, campuran dimasukkan ke dalam autoklaf stainless steel dan ditambahkan bibit ZSM-5 (0,5 % w/w). Selanjutnya campuran dimasukkan ke dalam oven selama 48 jam dengan suhu reaksi 175 o C. padatan yang diperoleh dicuci sampai pH netral dan dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 12 jam. Padatan yang diperoleh dikarakterisasi dengan XRD, FTIR dan SEM. 3. Hasil dan Pembahasan Preparasi Abu Sekam Padi Suhu pembakaran yang dipilih dalam preparasi abu sekam padi adalah di bawah 700 o C, yaitu sekitar 600 oC. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya perubahan bentuk dari silika amorf menjadi silika kristalin (Hamdan, et al., 1997; Della, et al., 2002). Sintesis Zeolit ZSM-5 Pada penelitian ini dilakukan sintesis zeolit ZSM-5 dengan penambahan HF. Bahanbahan yang digunakan meliputi NaOH, NaAlO2, silika abu sekam padi, HF, bibit ZSM-5 dan air destilasi. Sumber silika didapat dari abu sekam padi. Sumber alumina diperoleh dari natrium aluminat karena bahan tersebut memiliki reaktivitas yang tinggi, sehingga lebih mudah untuk digunakan dalam sintesis ZSM-5 (Ismail, dkk., 2006). Sedangkan larutan HF digunakan untuk melarutkan silika. Adanya ion F¯ dalam larutan mengakibatkan peningkatan kelarutan silika (Tavolaro dkk.,1992). Pada penelitian ini dilakukan proses pemeraman pada suhu ruang agar terjadi penataan ulang dari segi kimia dan struktural yang mempengaruhi fase padatan dan cairan (Weitkamp dan Puppe, 1999). Penambahan bibit ZSM-5 sebanyak 0,5% dimaksudkan untuk memperoleh zeolit metastabil dalam suatu campuran reaksi dengan derajat kejenuhan yang cukup tinggi untuk pertumbuhan kristal tetapi bukan untuk pertumbuhan inti (Weitkamp dan Puppe, 1999). Difraksi Sinar-X Struktur dan fasa yang terkandung dalam sampel ditentukan dengan teknik difraksi o sinar-X (XRD) pada sudut 2θ = 5 – 50 . Pola difraksi sinar-X pada Gambar 1. menunjukkan o bahwa fase zeolit ZSM-5 telah terbentuk setelah proses kristalisasi pada suhu 175 C selama 48 jam. Hal ini ditandai dengan munculnya puncak-puncak karakteristik utama pada sudut 2θ = 7,98o; 8,94o; 23,12o; 23,36o; dan 23,90o yang menunjukkan terbentuknya fase zeolit ZSM-5. Gambar 1 juga menunjukkan bahwa intensitas zeolit semakin menurun dengan semakin banyaknya larutan HF yang ditambahkan pada saat sintesis untuk sampel HF 7,5 dan HF 15. Hal ini terjadi karena kecepatan kristalisasi meningkat dengan menurunnya jumlah HF (Tavolaro dkk.,1992). Difraktogram sampel HF 45 menunjukkan puncak-puncak kecil pada sekitar 2θ = 7,9° ; 8,84°; 23,02°; 23,68°, puncak-puncak kecil ini mengindikasikan bahwa sudah mulai terbentuk kristal tetapi masih belum sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan kristalisasi menurun dengan adanya penambahan HF. Mostowicz, dkk., (1993) melaporkan bahwa semakin banyak larutan HF yang ditambahkan dalam sintesis maka kecepatan pertumbuhan kristal semakin menurun dan menyebabkan kristal menjadi lebih panjang dan
AF-195
lebih besar untuk waktu kristalisasi yang lama. Tabel 3.1 menunjukkan fasa yang terbentuk dan intensitas puncak pada 2θ = 23°. Tabel 3.1 Fasa Sampel dan Intensitas pada 2θ
Fasa MFI MFI MFI
Intensitas pada 2θ = 23° 3019 2624 832
i n te n s i ta s (c p s )))))
Sampel HF 7,5 HF 15 HF 45
a
b c d
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
2Theta(derajat) Gambar 1. Difraktogram sinar-X sampel : (a) HF 7,5 ,(b) HF 15 ,(c) HF 45 ,(d) Abu Sekam Padi Intensitas puncak mengalami penurunan sebanding dengan banyaknya penambahan HF. Perbedaan intensitas antara sampel-sampel tersebut menunjukkan bahwa jumlah penambahan larutan HF sangat mempengaruhi kristalinitas dari ZSM-5 yang dihasilkan. Perbedaan intensitas ini juga diperkirakan terjadi karena jumlah kristal yang dihasilkan pada masing-masing sampel berbeda, sehingga intensitas difraksinya juga akan berbeda. Semakin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, sehingga semakin kuat intensitas yang dihasilkannya (chorkendroff, 2003). Spektroskopi Inframerah Padatan zeolit hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan spektrofotometri FTIR pada panjang gelombang 1400cm-1 sampai 400cm-1. Secara umum pada Gambar 2. muncul -1 -1 pita absorpsi pada bilangan gelombang yang hampir sama yaitu sekitar 1090 cm , 790 cm -1 dan 460 cm yang menunjukkan adanya ikatan internal dalam tetrahedral SiO4 (atau AlO4), di mana puncak ini tidak sensitif terhadap perubahan struktur. Sedangkan puncak-puncak lain pada bilangan gelombang sekitar 1220 cm-1, 540 cm-1, dan 450 cm-1 yang merupakan vibrasi ulur simetri T-O-T dan vibrasi tekuk T-O-T di luar bidang dengan T adalah Si atau Al yang merupakan puncak yang sensitif terhadap perubahan struktur (Flanigen, 1973). Pada sampel HF 7,5 dan HF 15 (Gambar 2.a dan b) terbentuk puncak-puncak baru yang sebelumnya tidak ada pada sampel abu sekam padi yaitu pada bilangan gelombang -1 -1 sekitar 540 cm dan 1223 cm yang merupakan puncak karakteristik ZSM-5 yang menandakan bahwa zeolit ZSM-5 telah terbentuk. Sedangkan pada sampel HF 45 (Gambar 2.c) puncak pada bilangan gelombang sekitar 540 cm-1 tidak terbentuk tetapi pada 1223 cm-1 terbentuk. Hal ini menunjukkan bahwa kristal mulai terbentuk tetapi belum sempurna yang
AF-196
didukung juga oleh data XRD. Selain itu pada penambahan larutan HF 7,5 mol (Gambar 2.a) -1 terjadi pemisahan pada bilangan gelombang sekitar 1100 cm dengan munculnya bahu pada -1 pita absorpsi sekitar 1010 cm . Puncak ini tidak muncul pada sampel abu sekam padi sehingga diperkirakan pada puncak ini terjadi substitusi atom Si oleh Al yang menyebabkan terkonsentrasinya silika pada salah satu puncak. Sehingga diperoleh ZSM-5 dengan kadar -1 silika yang tinggi pada bilangan gelombang sekitar 1091 cm dan ZSM-5 dengan kadar silika -1 yang rendah pada 1010 cm . Menurut Armaroli, dkk., (2006) terjadi pemisahan Al yang lebih terkonsentrasi pada beberapa partikel yaitu partikel tipe 1 yang merupakan silikalit murni yang berada pada pita absorpsi 1104 cm-1 (Astorino, dkk., 1995) dan partikel tipe 2 yaitu -1 ZSM-5 yang mengandung kadar Al tinggi pada pita absorpsi 1093 cm (Armaroli, dkk., 2006). Scanning Electron Microscopy (SEM) Morfologi sampel dilihat dengan menggunakan teknik scanning electron microscopy (SEM). Metode SEM digunakan untuk mengetahui morfologi partikel. Kristal zeolit ZSM-5 biasanya berbentuk kubik. Ukuran kristal ditemukan tergantung pada konsentrasi larutan. Gambar 3. menunjukkan morfologi dari sampel HF 7,5. Ada kristal yang membentuk kristal raksasa dengan ukuran 5 x 9 x 5 µm seperti ditunjukkan dalam lingkaran (Gambar 3.a) dan partikel-partikel dengan ukuran kecil yang kemungkinan adalah material amorf yang ditunjukkan oleh panah pada Gambar 3.b. Hal ini didukung oleh data spektra inframerah yang menunjukkan puncak lemah pada bilangan gelombang sekitar 1220 cm-1 dan 540 cm-1.
(a)
(b)
Gambar 3. Morfologi zeolit ZSM-5 dengan penambahan 7,5 mol HF (a) perbesaran 1000x, (b) perbesaran 5000x Gambar 4. menunjukkan morfologi sampel HF 15. Pada perbesaran 1000x dapat dilihat masih ada abu sekam padi yang belum menjadi kristal ditunjukkan dalam lingkaran (Gambar 4.a). Sedangkan pada perbesaran 5000x terlihat kristal seperti kubik yang bergerombol dengan ukuran partikel 10 x 2 x 5 µm dan juga terdapat partikel yang lebih kecil yang ditunjukkan oleh panah pada Gambar 4.b.
a
b
Gambar 4. Morfologi zeolit ZSM-5 dengan penambahan 15 mol HF (a) perbesaran 1000x, (b) perbesaran 5000x Gambar 5. menunjukkan morfologi sampel HF 45. Pada perbesaran 1000x dan 5000x dapat dilihat morfologi sampel yang menunjukkan adanya sekam padi yang belum bereaksi. Hal ini juga didukung dari hasil analisa XRD pada Gambar 1. yang menunjukkan bahwa pada sampel HF 45 baru mulai terbentuk kristal, tetapi belum sempurna. Hal ini
AF-197
berkaitan dengan waktu kristalisasi, dimana semakin lama waktu kristalisasi maka kristalinitas akan meningkat (Kadono, dkk.,2008).
Gambar 5. Morfologi sampel dengan penambahan 45 mol HF (a) perbesaran 1000x, (b) perbesaran 5000x 4.
Kesimpulan Kesimpulan penelitian ini adalah penambahan larutan HF pada pembentukan zeolit ZSM-5 memperlambat waktu kristalisasi. Ukuran kristal pada penambahan konsentrasi HF 7,5 dan 15 berturut-turut adalah 5 x 9 x 5 µm dan 10 x 2 x 5 µm. Daftar Pustaka
Armaroli, T., Simon, L.J., Digne, M., Montanari, T., Bevilacqua, M., Valtchev, V., Patarin, J., Busca, G. (2006). “Effects of Crystal Size and Si/Al Ratio on the Surface Properties of H-ZSM-5 Zeolites”. Applied Catalysis A: General, Vol. 306, hal. 78-84. Astorino, E., Peri, J., Willeu, R.J., Busca, G. (1995). “Spectroscopic Characterization of Silicalite-1 and Titanium Silicalite-1“. Journal Catalysts, Vol. 157, hal. 482. Chorkendroff, I., Niemantsverdiet, J.W. (2003), ”Concepts of Modern Catalysis and Kinetics”. Wliey-VCH GmbH&Co., New York. Hal. 143-147. Della, V.P., I. Kühn, D. Hotza. (2002), “Rice husk ash an aternate source for active silica production”, Materials Letters, Vol. 3895. Flanigen, E.M., Patton, R.I. (1978). ”US Patent, 4073865. 29 Hamdan H, Mohd Muhid M. N., Endud S., Listiorini E., Ramli Z. (1997), “ Si MAS NMR, XRD and FESEM studies of rice husk silica for the synthesis of zeolites”, Journal of Non Crystalline Solids, Vol. 211, hal. 126-131. Handayani, R.T.(2008), “Sintesis dan Karakterisasi ZSM-5 dari Abu Sekam Padi Tanpa Templat Organik dengan Variasi Jumlah Bibit”, S-1 Skripsi: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Ismail, A.A., Mohaned, R.M., Fouad, O.A., Ibrahim, I.A. (2006). “Synthesis of Nanosized ZSM-5 Using Different Alumina Sources”. Crystal Research Technology, 41:145. Kadono, T., Tajima M., Shiomura T., Imawaka N., Noda S., Kubota T., Okamoto Y. (2008), “Hydrothermal synthesis of giant single crystals of MFI type zeolite: Modified bulk material dissolution method”, Microporous and Mesoporous Materials, Vol. 115, hal. 454-460. Krishnarao R. V., Subrahmanyam J., Kumar, T. J. (2001), “Studies on the Formation of Black in Rice Husk Silica Ash”, Journal of the European Ceramic Society, Vol. 21, hal. 99-104. Lanning, F.C. (1963). “Silicon in Rice”. Journal of Agricultural Food Chemistry, 11:435. Mostowicz, R., Crea, F., Nagy, J.B. (1993).”Crystallization of Silicalite-1 in the Presence of Fluoride Ions”. Zeolites, Vol.13, hal. 678-684. Tanaka,H., Eguchi, H., Fujimoto, S., dan Hino, R. (2006). “Two Step Process for Synthesis of Single Phase Na-A Zeolite from Coal Fly Ash by Dialysis”. Fuel, 85:1329. Tavolaro, A., Mostowicz, R., Crea, F., Nastro, A., Aiello, R., Nagy, J.B. (1992), “Formation of MFI Crystalline Zeosilites from Flouride-Containing Silicate Gels”, Zeolites, Vol. 12, hal 756. Weitkamp, J., Puppe, L. (1999). “Catalysis and Zeolites Fundamentals Application”. Germany.
AF-198
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Studi Adsorpsi Ion Ni (II) dari Larutan Menggunakan Komposit Serbuk Cangkang Kupang- Khitosan Terikat Silang dalam Up Flow Fixed- Bed Column Rulina Rachmawati*, Eko Santoso1 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Abstrak Pada penelitian ini telah dibuat komposit serbuk cangkang kupang dan khitosan yang diikat silang dengan glutaraldehid 0,2% untuk mengadsorpsi ion Ni (II) dari larutan. Variasi serbuk cangkang kupang dibuat dalam % berat yakni 93,75% (komposit 3); 95,24% (komposit 4); dan 96,15% (komposit 5). Variasi laju alir influen dalam kolom yakni 1,5; 2; dan 2,5 mL/ menit. pH awal larutan ion Ni (II) dikondisikan pada pH 4 dan tanpa dikondisikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya laju alir dan % berat serbuk cangkang kupang dapat menurunkan kapasitas adsorpsi adsorben terhadap ion Ni (II). pH awal larutan tidak berpengaruh terhadap pH effluen tetapi berpengaruh terhadap kapasitas adsorpsi. pH awal larutan yang dikondisikan pada pH 4 menghasilkan kapasitas adsorpsi yang lebih tinggi dibandingkan pH larutan yang tanpa pengkondisian. Kata kunci: komposit, adsorpsi, ion Ni (II), cangkang kupang, ikat silang, kapasitas adsorpsi
1. Pendahuluan Limbah industri maupun limbah rumah tangga yang mengandung logam berat sangat berbahaya bila mencemari lingkungan. Salah satu logam berat tersebut adalah Ni (II). Limbah industri yang banyak mengandung nikel berasal dari industri electroplating, pabrik baterai, metal finishing, dan lain- lain. Efek- efek nikel yang berbahaya bagi kehidupan manusia umumnya berasal dari bentuk anorganik. Senyawa- senyawa nikel yang larut di air berangsur- angsur akan kontak dengan kulit, penghirupan senyawa ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan dan asma. Penghirupan dalam bentuk anorganik, untuk senyawa- senyawa nikel yang tidak larut dalam air, yaitu dalam bentuk debu atau asap dapat menaikkan resiko terkena kanker dalam sistem pernapasan (Stoeppler, 1992). Berbagai metode seperti pengendapan kimia, penukar ion, filtrasi mekanik, adsorpsi dengan karbon aktif, dan pengendapan secara elektrolisis telah dikembangkan untuk memisahkan logam berat dari air limbah, tetapi masing- masing metode tersebut memiliki kelebihan dan keterbatasan masing- masing (Oyrton, 1999). Beberapa tahun terakhir telah dilakukan penelitian tentang biopolimer yang mampu mengikat logam berat limbah melalui pembentukan senyawa kompleks sehingga biopolimer dapat berfungsi sebagai adsorben untuk logam berat meskipun konsentrasinya sangat rendah (Schmul et al., 2001). Salah satu biopolimer diteliti sebagai adsorben logam berat dari air limbah adalah khitosan. *corespondingyang authorbanyak phone: 085730251125, e-mail:
[email protected] 1 Alamat sekarang Khitosan merupakan turunan khitin, Teknologi yakni biopolimer terdapat pada kulit cangkang : Jur Kimia, Fak. MIPA,Institut 10 Nopember,yang Surabaya. binatang moluska, crustacea, insekta (Planas, M. Ruiz., 2002). Keberadaan gugus amida dalam khitin dan gugus amina dalam khitosan telah menjadikan khitin dan khitosan sebagai adsorben yang mampu mengikat logam berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa khitosan dapat mengikat logam berat 4 sampai 5 kali lebih besar dari khitin (Yang dan Zall, 1984). Khitosan sebagai adsorben logam berat masih relatif mahal harganya. Penelitian ini, khitosan dibuat sebagai komposit dengan cangkang kupang, dimana cangkang kupang merupakan limbah dari hewan kupang yang tersedia melimpah, harganya murah, dan kandungan khitinnya telah diteliti dapat mengadsorp logam berat(Isti’anah, 2007). Serbuk cangkang kupang digunakan sebagai filler dan khitosan sebagai pengikat (binder) yang
AF-199
diperkuat dengan agen ikat silang glutaraldehid. Adsorben diuji kemampuannya dalam mengadsorpsi ion Ni(II) dalam larutan menggunakan sistem kolom alir tetap (fixed- bed column) dengan arah aliran keatas (up Flow). Larutan ion Ni (II) dengan konsentrasi 100 mg/L dilewatkan secara kontinyu melewati adsorben dengan ketinggian tetap yakni 2 cm. Pengaruh laju alir dan komposisi komposit (% berat serbuk cangkang kupang) divariasi untuk mengetahui laju alir dan komposisi yang sesuai untuk mengadsorpsi ion Ni (II) yaitu yang menghasilkan kapasitas adsorpsi yang tinggi. pH awal larutan dikondisikan pada pH 4 dan tanpa dikondisikan. pH 4 merupakan pH optimum yang nilai kapasitas adsorpsinya paling tinggi yang diperoleh dari sistem batch (Habibi, 2009). Kurva breakthrough dan kapasitas adsorpsi akan dikaji dengan pendekatan model Thomas, pendekatan yang paling sesuai karena parameter yang diuji adalah laju alir, dan juga yang paling mudah dan sederhana. 2. Eksperimen Alat dan Bahan Alat Alat- alat yang digunakan adalah seperangkat alat kolom alir terkemas (up flow fixedbed column) (kolom berdiameter 1,5 cm dan panjang 10 cm, manik- manik kaca, serabut kaca, dan pompa aquarium), neraca analitis, pH meter, beker glass, pengaduk, pipet ukur, pipet tetes, gelas ukur, labu ukur 1000 ml, botol semprot, SSA, dan FTIR. Bahan Bahan- bahan yang digunakan adalah khitosan, cangkang kupang, asam asetat glasial, larutan glutaraldehid 25 %, padatan NaOH, larutan HCl, padatan logam NiSO4. 6H2O, aquades, aquademineralisasi. Prosedur Kerja Pembuatan Larutan Ion Ni (II) 100 mg/L Padatan logam NiSO4. 6H2O sebanyak 0,4478 gram dilarutkan dalam sedikit aquademineralisasi dan diaduk hingga larut. Larutan dimasukkan dalam labu ukur 1000 mL dan diencerkan dengan aquademineralisasi hingga tanda batas. Preparasi Serbuk Cangkang Kupang Cangkang kupang dicuci hingga bersih kemudian dikeringkan di bawah panas matahari. Cangkang kupang digerus menggunakan penggiling. Serbuk cangkang kupang yang dihasilkan diayak dengan ayakan berukuran 40-60 mesh. Preparasi Pelet Komposit Serbuk Cangkang Kupang- Khitosan Terikat Silang Pertama dibuat larutan khitosan 1dengan cara melarutkan 1 gram khitosan dalam larutan asam asetat 2% hingga 100 mL. Serbuk cangkang kupang ditambahkan ke dalam larutan khitosan. Komposisi komposit dibuat bervariasi yaitu komposit 1, 2, 3, 4, dan 5. Komposit 1 dibuat dengan menambahkan 1 gram serbuk cangkang kupang dalam 20 mL larutan khitosan 1%, komposit 2 dibuat dengan menambahkan 2 gram serbuk cangkang kupang dalam 20 mL larutan khitosan 1%, demikian seterusnya. Campuran larutan khitosan dan serbuk cangkang kupang diaduk secara kontinyu dan diteteskan dalam larutan NaOH 2N tetes demi tetes. Pelet adsorben disaring dan direndam dalam larutan glutaraldehid 0,2% selama 24 jam. Pelet adsorben disaring, dicuci dengan aquades hingga pH netral dan dikeringkan. Studi Adsorpsi Larutan Ion Ni (II) Oleh Pelet Komposit Serbuk Cangkang KupangKhitosan Terikat Silang Komposit dimasukkan dalam kolom hingga ketinggian 2 cm. Komposit yang digunakan adalah komposit 3, 4, dan 5 (komposit 1 dan 2 tidak digunakan karena pelet komposit yang dihasilkan terlalu sedikit). Larutan ion Ni (II) dengan konsentrasi 100 mg/L dipompa ke atas menggunakan pompa dengan laju alir yang diatur tertentu, yaitu 1,5; 2; dan 2,5 mL/ menit. Adsorpsi dilakukan pada pH hasil optimasi pH sistem batch (pH 4) pada temperatur kamar. Effluen kolom ditampung dalam bak penampung setiap selang waktu 15 jam dan konsentrasi nikel dalam effluen dianalisis menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Operasi kolom dihentikan ketika konsentrasi nikel pada effluen sama dengan konsentrasi nikel influen yang berarti adsorben sudah jenuh. Studi pengaruh pH awal larutan ion Ni (II) dilakukan dengan cara yang sama, tetapi pH awal larutan tidak dikondisikan pada
AF-200
pH 4. pH dibiarkan apa adanya, yaitu pH ± 7,6; dan komposit yang digunakan adalah komposit 5 dengan laju alir 2,5 mL/ menit. 3. Hasil dan Pembahasan Pembuatan Pelet Komposit Serbuk Cangkang Kupang- Khitosan Terikat Silang Pembuatan pelet komposit serbuk cangkang kupang- khitosan terikat silang diawali dengan preparasi serbuk cangkang kupang. Cangkang kupang dicuci hingga bersih lalu dikeringkan dibawah panas matahari hingga kering. Cangkang kupang yang telah kering ditumbuk dan serbuk cangkang kupang yang dihasilkan diayak dengan ayakan berukuran 4060 mesh. Penumbukan cangkang kupang bertujuan untuk memperbesar luas permukaan partikel sehingga kapasitas adsorpsinya akan semakin besar. Pengayakan dengan ukuran 40- 60 mesh dilakukan untuk mendapat ukuran yang sama sehingga bidang adsorpsinya seragam. Komposit serbuk cangkang kupang- khitosan terikat silang dibuat dalam lima komposisi komposit (% berat serbuk cangkang kupang) yakni komposit 1, 2, 3, 4, dan 5. Komposit 1 dibuat dengan mencampurkan 1 gram serbuk cangkang kupang dalam 20 mL larutan khitosan 1%, komposit 2 dibuat dengan mencampurkan 2 gram serbuk cangkang kupang dalam 20 mL larutan khitosan 1%, dan seterusnya. Persen fraksi berat serbuk cangkang kupang dalam komposit 1 sebesar 83,33 %; komposit 2 sebesar 90,90 %; komposit 3 sebesar 93,75 %; komposit 4 sebesar 95,24 %; dan komposit 5 sebesar 96,15 %. Ratarata pelet komposit 1 yang dihasilkan dalam sekali pembuatan sekitar 0,9501 gram; komposit 2 sekitar 1,9830 gram; komposit 3 sekitar 2,9721 gram; komposit 4 sekitar 3,9864 gram; dan komposit 5 sekitar 4,7040 gram. Adsorben komposit 1 dan 2 tidak digunakan dalam proses adsorpsi karena pada terlalu banyak larutan khitosan daripada serbuk cangkang kupang. Larutan tidak homogen meskipun diaduk secara kontinyu, sehingga pelet komposit yang dapat dihasilkan sangat sedikit. Jadi komposit 1 dan 2 tidak efektif untuk membuat adsorben yang murah. Analisis Spektra FTIR Khitosan, Khitin, dan Komposit Serbuk Cangkang KupangKhitosan Terikat Silang -1 Spektra inframerah menunjukkan adanya puncak pada 1775 dan 1653 cm yang dihasilkan dari regangan C=O pada gugus amida. Puncak lebar pada 3520 cm-1 -1 menunjukkan adanya gugus O-H, puncak 2919 cm menunjukkan adanya gugus C-H, -1 -1 puncak 1200 cm menunjukkan adanya C-O regang, puncak 1084 cm menunjukkan serapan gugus C-N, puncak 1464 cm-1 menunjukkan adanya serapan N-H tekuk dari gugus amida. Puncak N-H dari gugus amina tidak ditemukan karena tertutupi oleh puncak O-H yang ditunjukkan pada puncak 3520 cm-1.
Gambar 3.1 Spektra FTIR (a) Khitosan, (b) serbuk cangkang kupang, dan (c) Komposit serbuk cangkang kupang- khitosan terikat silang Hasil analisis spektra diatas diketahui bahwa serbuk cangkang kupang mengandung khitin. Gugus fungsi- gugus fungsi yang ada dalam khitin sama dengan yang ada pada khitosan, yang membedakan adalah pada khitosan terdapat N-H gugus amina meskipun intensitasnya sangat kecil dan tertutupi puncak O-H. Pembuatan komposit hanya merupakan pencampuran fisik karena tidak terbentuk gugus fungsi baru pada spektra komposit yang
AF-201
dibuat. Spektra komposit serbuk cangkang kupang- khitosan terikat silang lebih mendekati spektra khitin karena kandungan serbuk cangkang kupang dalam komposit lebih banyak daripada khitosan. Studi Adsorpsi Larutan Ion Ni (II) Oleh Pelet Adsorben Komposit Serbuk Cangkang Kupang-Khitosan Terikat Silang Pengaruh Laju alir Kurva breakthrough (Gambar 3.2, 3.3, 3.4) diketahui bahwa waktu breakthrough (tb), yakni waktu saat effluen yang keluar dari kolom telah mengandung ion Ni (II) sebesar 10% dari konsentrasi larutan awal, yakni 10 mg/ L, pada ketiga komposit semakin menurun dengan meningkatnya laju alir,tb hanya teramati pada laju alir 1,5 mL/ menit, sehingga hanya pada laju alir 1,5 mL/ menit yang dapat diperoleh volume breakthrough (Vb). Laju alir 2 mL/ menit dan 2,5 mL/ menit sama- sama memberikan konsentrasi yang tidak nol meskipun pada tahap awal proses adsorpsi (0 jam). Hal ini dapat dikarenakan waktu kontak ion Ni (II) dengan adsorben dalam kolom tidak cukup lama untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi, sehingga larutan ion Ni (II) meninggalkan kolom sebelum kesetimbangan terjadi. Waktu kejenuhan (exhausted time), te, yakni waktu dimana konsentrasi effluen mencapai 99% dari konsentrasi influen, dan kapasitas adsorpsi pada ketiga komposisi adsorben, semakin meningkat dengan semakin menurunnya laju alir. 1
1 0.8 0.6
Ct/Co
Ct/Co
0.8
1,5 ml/ menit
0.4
2 ml/ menit 0.2
0.6
1,5 ml/ menit
0.4
2 ml/ menit 2,5 ml/ menit
0.2
2,5 ml/ menit
0
0 0
30
60
90
120
150
180
210
240
0
270 300
30
60
90
t (jam)
120
150
180
210 240 270
t (jam)
(a)
(b) 1 0.8
Ct/Co
0.6
1,5 ml/ menit
0.4
2 ml/ menit 2,5 ml/ menit
0.2 0 0
30
60
90
120
150
180
t (jam)
(c) Gambar 3.2 Kurva breakthrough adsorpsi ion Ni (II) pada (a) komposit 3, (b) komposit 4, (c) koposit 5 pada laju alir 1,5; 2; dan 2,5 mL/ menit (pH awal dikondisikan pH 4)
AF-202
Tabel 3.1 Nilai kapasitas adsorpsi (qo), volume breakthrough (Vb), dan waktu breakthrough (tb), dan waktu exhausted (te) yang diperoleh dari komposit 3, 4, dan 5 pada laju alir yang berbeda Ct=10%Co laju alir qo te komposit Vb (mL/menit) (mg/g) (jam) tb (jam) (L) 1,5 390,3030 27,3865 2,4647 312,7815 3 2 177,2662 232,0916 2,5 162,2818 203,8606 1,5 337,9580 26,166 2,3549 266,1802 4 2 144,9313 205,1947 2,5 135,4911 187,8127 1,5 247,8624 23,2158 2,0894 186,1036 5 2 127,7346 135,5200 2,5 118,5768 103,3680 (-) tidak dapat diukur Pengaruh Komposisi (% Berat Serbuk Cangkang Kupang) Terhadap Kurva Breakthrough Kapasitas adsorpsi semakin meningkat dengan meningkatnya waktu exhausted. Pada Tabel waktu exhausted komposit 3 lebih panjang dan kapasitas adsorpsinya juga lebih besar dibandingkan komposit 4 dan 5. Hal ini dapat dikarenakan komposit 3 mengandung lebih banyak khitosan daripada komposit 4 dan 5, dimana kemampuan khitosan mengikat logam berat lebih besar daripada khitin yang terdapat pada cangkang kupang. Dari penelitian terdahulu juga telah dilaporkan bahwa khitosan dapat mengikat logam berat empat hingga lima kali lebih besar dari khitin dikarenakan adanya gugus amina terbuka sepanjang rantainya (Yang dan Zall, 1984). Kapasitas adsorpsi komposit 3 yang besar juga dapat dikarenakan ukuran partikel adsorben yang lebih kecil. Ukuran komposit 3 lebih kecil dikarenakan serbuk cangkang kupang yang digunakan sebagai filler adsorben lebih sedikit dibandingkan komposit 4 dan 5, yakni mengandung serbuk cangkang kupang sebesar 93,75 %. Karena ukuran partikelnya yang lebih kecil, komposit 3 mempunyai luas permukaan yang lebih besar daripada komposit 4 dan 5. Hasil analisis luas permukaan menggunakan adsorpsi nitrogen metode BET ditunjukkan pada tabel 3.2. Dengan semakin luas permukaan adsorben, semakin besar bagian adsorben yang dapat kontak dengan larutan ion Ni (II) sehingga adsorben dapat mengadsorp lebih banyak. Tabel 3.2 Luas permukaan, volume pori, dan ukuran pori adsorben komposit 3,4, dan 5 luas Diameter Pori (Å) Volume pori Komposit permukaan metode metode (cc/g) (m2/g) DA HK 3 4,790 9,821. 10-4 19,20 19,37 -4 4 2,594 5,579. 10 19,20 19,37 5 1,467 4,847. 10-4 18,20 15,87 Perbedaan diameter pori dan volume pori yang jelas dapat diamati antara komposit 3 dan 5. Adsorben komposit 3 mempunyai diameter pori dan volume pori yang lebih besar dibandingkan komposit 5 karena serbuk cangkang kupangnya sedikit. Hal ini menyebabkan kapasitas adsorpsi adsorben komposit 3 lebih besar dibandingkan komposit 5 pada laju alir yang sama. Dengan diameter pori dan volume pori yang lebih besar, adsorbat yakni ion Ni (II) dapat masuk lebih banyak dan terikat pada sisi aktif di dalam pori adsorben.
AF-203
(a) (b (c) Gambar 3.3 Komposit serbuk cangkang kupang- khitosan terikat silang sebelum adsorpsi, (a) komposit 3, (b) komposit 4, dan (c) komposit 5 Pengaruh pH Awal (Dengan Pengkondisian dan Tanpa Pengkondisian pada pH 4) Terhadap pH Effluen dan Kapasitas Adsorpsi Pengaruh pH awal terhadap pH effluen dan kapasitas adsorpsi dikaji dengan membandingkan adsorpsi dengan pH awal larutan ion Ni (II) yang dikondisikan pada pH 4 dan tanpa dikondisikan pada pH 4, yakni dibiarkan apa adanya pH ± 7,6 pada komposit 5 dengan laju alir 2,5 mL/menit. Komposit 5 dengan laju alir 2,5 mL/ menit dipilih setelah diketahui bahwa pH awal tidak berpengaruh terhadap pH effluen untuk adsorpsi yang dikondisikan pada pH 4. Gambar 3.4 secara umum terlihat bahwa dengan pH awal yang dikondisikan dan tanpa dikondisikan pada pH 4, pH effluen awal selalu tinggi yakni sekitar 9. Dengan berlanjutnya aliran melalui kolom, pH effluen turun hingga akhirnya menjadi netral yakni sekitar 7. Hal ini menunjukkan bahwa pH awal larutan tidak berpengaruh terhadap pH
14
12
12
10
10
8 6
1,5 ml/ menit 2 ml/ menit 2,5 ml/ menit
4 2 0 0
30
60
90
120 150 180 210 240 270 300
pH effluen
pH effluen
effluen. 14
8 6 4
1,5 ml/ menit 2 ml/ menit 2,5 ml/ menit
2 0 0
t (jam)
30
60
90
(a)
120
150
t (jam)
180
210
240
270
(b) 14
14
12 10
10 8 6
1,5 ml/ menit
4
2 ml/ menit
2
2,5 ml/ menit
0
pH effluen
pH effluen
12 8 6
pH aw al dengan pengkondisian pH 4 pH aw al tanpa pengkondisian pH 4
4 2 0
0
30
60
90
t (jam)
(c)
120
150
180
0
30
60
90
t (jam)
(d)
Gambar 3.4 pH effluen adsorpsi pada (a) komposit 3, (b)komposit 4,(c) komposit 5 (pH awal larutan dikondisikan pada pH 4); dan (d) Perbandingan pH effluen adsorpsi pada komposit 5 dengan laju alir 2,5 mL/ menit (pH awal dengan pengkondisian dan tanpa pengkondisian pada pH 4) Kurva breakthrough yang diperoleh dari adsorpsi dengan pH awal larutan yang dikondisikan pada pH 4 dan tanpa dikondisikan pada pH 4 ditunjukkan pada Gambar 3.5.
AF-204
120
1
Ct/Co
0.8 0.6
pH aw al dengan pengkondisian pH 4 pH aw al tanpa pengkondisian pH 4
0.4 0.2 0 0
30
60
90
120
t (jam)
Gambar 3.5 Kurva breakthrough adsorpsi dari pH awal dengan dan tanpa pengkondisian pada pH 4
pengkondisian pada pH 4
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Waktu exhausted yang diperoleh dari adsorpsi dengan pH awal larutan yang dikondisikan pada pH 4 terjadi setelah 103,3680 jam dengan kapasitas adsorpsi 118,5768 mg/g, sedangkan dengan pH awal larutan tanpa pengkondisian terjadi setelah 99,2584 jam dan kapasitas adsorpsinya 97,7556 mg/g. Pengaruh Komposisi (% berat serbuk cangkang kupang) terhadap Kapasitas adsorpsi Komposit serbuk cangkang kupang- khitosan terikat silang merupakan gabungan antara serbuk cangkang kupang dan khitosan yang diikat silang dengan glutaraldehid, dimana masing- masing mampu mengadsorp logam berat. Kapasitas adsorpsi komposit merupakan sumbangan dari masing- masing penyusunnya yang nilainya bervariasi sesuai dengan komposisi serbuk cangkang kupang (fraksi serbuk cangkang kupang). Dengan cara menganalogikan sifat kapasitas adsorpsi komposit dengan sifat material campuran dapat diperoleh kapasitas adsorpsi khitosan dan serbuk cangkang kupang. Kapasitas adsorpsi komposit (qc) dihubungkan dengan fraksi berat serbuk cangkang kupang (fkp) (Gambar 3.11) 2 2 dan diperoleh koefisien korelasi (R ) yang diperoleh berada dalam batasan 0,9≤ R ≤ 1 sehingga antara fraksi serbuk cangkang kupang dan kapasitas adsorpsi komposit memiliki korelasi linier. Hal ini menunjukkan bahwa antara khitosan dengan serbuk cangkang kupang dapat berpadu dengan baik dan campuran antara serbuk cangkang kupang dengan khitosan homogen.
400
1,5 ml/ menit y = -5697.4x + 5740.6 R2 = 0.918
300
2 ml/ menit
y = -2074.2x + 2121.5 R2 = 0.9987
200
qc
2,5 ml/ menit y = -1818.8x + 1867.5 R2 = 0.9999
100
0 0.93
0.94
0.95
0.96
0.97
fkp
Gambar 3.6 Grafik qc Vs fkp
AF-205
Tabel 3.3 Kapasitas adsorpsi komposit, khitosan, dan serbuk cangkang kupang terhadap fraksi serbuk cangkang kupang pada laju alir 1,5; 2; dan 2,5 mL/ menit Laju alir (mL/menit)
fkp
qc (mg/g)
qkhi (mg/g)
qkp (mg/g)
R2
0,9375 390,303 43,2 0,9179 0,9524 337,958 5740,6 0,9615 247,8624 0,9375 177,2662 2 47,3 0,9987 0,9524 147,9313 2121,5 0,9615 127,7346 0,9375 162,2818 2,5 48,7 0,9999 0,9524 135,4911 1867,5 0,9615 118,5768 Keterangan: qkhi : kapasitas adsorpsi khitosan qkp : kapasitas adsorpsi serbuk cangkang kupang qc : kapasitas adsorpsi komposit 1,5
4. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Kapasitas adsorpsi komposit terhadap ion Ni(II) semakin menurun dengan meningkatnya laju alir. Kapasitas adsorpsi dengan laju alir 1,5; 2; dan 2,5mL/menit untuk komposit 3 berturut- turut adalah 390,303; 177,2662; 162,2818 mg/g; untuk komposit 4 berturut- turut 337,958; 144,9313; 135,4911 mg/g; untuk komposit 5 berturut- turut adalah 247,8624; 127,7346; dan 118,5768 mg/g. 2. Kapasitas adsorpsi komposit semakin menurun dengan meningkatnya % berat serbuk cangkang kupang. Kapasitas adsorpsi komposit 3 (serbuk cangkang kupang 93,75%), komposit 4 (serbuk cangkang kupang 95,24%), dan komposit 5 (serbuk cangkang kupang 96,15 %) pada laju alir 1,5 mL/menit berturut- turut adalah 390,303; 337,958; dan 247,8624 mg/g. 3. pH awal larutan tidak berpengaruh terhadap pH effluen tetapi berpengaruh terhadap kapasitas adsorpsi. Kapasitas adsorpsi dengan pH awal larutan yang dikondisikan pada pH 4 lebih tinggi dibandingkan kapasitas adsorpsi dengan pH awal larutan tanpa pengkondisian pH 4, yakni sebesar 118,5768 mg/g; sedangkan pada larutan yang tanpa pengkondisian pH awal sebesar 97,7556 mg/g. Daftar Pustaka Habibi, Mohammad. 2009. Adsorpsi Ion Ni (II) dari Larutan Menggunakan Komposit serbuk cangkang kupang- Khitosan Terikat Silang dengan sistem batch. Tugas Akhir S-1 Sarjana ITS. Surabaya Isti’anah. 2007. Adsorpsi Ion Tembaga (II) dari Larutan Aqueous dengan Menggunakan Cangkang Kupang (Tellina sp) dalam Kolom Alir Terkemas (packed Bed Up- Flow Column). Tugas Akhir S1 Sarjana ITS. Surabaya Oyrton. 1999. Some Thermodynamic Data on Copper-Chitin and Copper-Chitosan Biopolymer Interactions. Journal of Colloid and Interface Science. 212: 212-213 Planas, M. Ruiz. 2002. Development of Techniques Based on Natural Polymer for The Recovery of Precious Metals. Thesis Doctoral. Universitat Politecnica de Catalunya Schmul, R., Krieg, H.M., dan Keizer. 2001. Adsorption of Cu(II) and Cr(IV) Ions by Chitosan: Kinetics and Equilibrium Studies. Water SA. 27(1): 79-86 Stoeppler, Markus. 1992. Hazardous Metals in The Environment Elsevier Science Publishers B.V. Amsterdam. Vol. 12 Yang, T.C. dan Zall, R.R. 1984. Adsorption of Metals by Natural Polymers Generated from Sea Food Processing Wastes. Ind. Eng. Chem. Prod. Res. Dev. 23: 168-172
AF-206
ISBN 978-979-95845-9-5 SEMINAR NASIONAL KIMIA Surabaya, 28 Juli 2009 Diselenggarakan oleh Jurusan Kimia FMIPA-ITS
Studi Adsorpsi Ion Cu (Ii) Dalam Larutan Berair Menggunakan Komposit Khitosan Terikat Silang– Serbuk Cangkang Kupang Vallentinus Dwi P.W, Eko Santoso Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Abstrak Ion tembaga merupakan salah satu logam berat yang menjadi penyebab terjadinya pencemaran air dan bersifat racun yang berbahaya bagi makhluk hidup. Pengambilan logam dari limbah air dapat dilakukan dengan metode adsorpsi. Penilitian ini melakukan studi adsorpsi ion tembaga(II) dalam larutan berair menggunakan adsorben khitosan berikat silang–serbuk cangkang kupang. Penelitian ini menggunakan tiga variasi komposit yaitu masing-masing satu gram khitosan dengan tiga, empat dan lima gram kupang. Komposit khitosan berikat silang –serbuk cangkang kupang dikondisikan dalam pH optimum dan waktu kontak optimum untuk mendapatkan kapasitas adsorpsi yang terbesar. pH optimum ada pada pH 5 dan waktu kontak optimum selama 110 menit. Metode adsorpsi ini sesuai dengan metode adsorpsi isothermal Langmuir yang menandakan bahwa adsorpsi ion Cu(II) tersebut bersifat kimia, sehingga terbentuk monolayer. Kapasitas terbesar ada pada komposit 1 (tiga gram kupang). Kapasitas adsorpsi khitosan terikat silang sebesar 31,53 mg/gr sedangkan kapasitas adsorpsi kupang sebesar 13,83 mg/gr. Kapasitas adsorpsi dipengaruhi oleh daerah permukaan, volume pori dan ukuran pori dari komposit. Kata kunci : Ion tembaga, adsorpsi isothermal, Langmuir, khitosan
1. pendahuluan Tembaga (Cu) merupakan salah satu logam berat yang digunakan secara luas pada industri listrik, fungisida dan cat anti cemar. Ketika Cu masuk ke dalam tubuh pada konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan racun pada manusia antara lain liver, penyakit mental (schizophrenia), dan kanker. Terlalu banyaknya kadar Cu dalam air juga dapat menyebabkan kerusakan kehidupan air laut yaitu kerusakan hati, insang dan saraf pada ikan dan makhluk hidup air yang lain. Berbagai metoda telah dikembangkan untuk memisahkan logam berat dari air limbah, antara lain meliputi metoda pengendapan kimia, filtrasi mekanik, penukar ion, elektrodeposisi, oksidasi reduksi, sistem membran, dan adsorpsi fisik. Namun masing-masing metoda tersebut secara inheren mempunyai kelebihan dan keterbatasan (Oyrton, 1998). Metode konvensional untuk pemisahan logam berat dari air buangan (limbah) sangat tidak ekonomis dan kurang efisien pada konsentrasi logam yang rendah, hal ini menyebabkan pencarian terhadap teknologi alternatif untuk pemisahan logam yang murah dan ramah lingkungan menjadi serius. Riset terbaru yang menggunakan biosorben untuk ion logam adalah berdasarkan studi kinetik batch (rendaman) dan studi kesetimbangan adsorpsi (M.Ahmaruzzaman,dkk, 2005). Beberapa tahun terakhir telah dilakukan penelitian tentang biopolimer yang mampu mengikat logam berat dari limbah melalui pembentukan senyawa kompleks sehingga biopolimer dapat berfungsi sebagai adsorben untuk memisahkan logam berat dari air meskipun konsentrasinya sangat rendah. Biopolimer atau biosorben yang digunakan sebagian besar merupakan bahan-bahan alami yang digunakan bisa dari sisa olahan pertanian, pertukangan atau limbah perikanan (Schmul dkk, 2001).
AF-207
Beberapa contoh bahan alami yang digunakan adalah sekam padi dan tongkol jagung (Winter, 2007), kulit udang (Yohana, 2007), daun kering bunga mawar (Abdel-Ghani, 2007) cangkang kupang (Munawir, 2008). Bahan-bahan alami ini digunakan sebagai adsorben karena tersedia dalam jumlah yang banyak, ramah lingkungan dan murah (Deans and Dixon, 1992). Tetapi masih ada beberapa peneliti yang tidak menggunakan bahan alami yaitu khitosan karena mempunyai kapasitas serapan yang tinggi walaupun dengan harga yang cukup mahal. Pada penelitian ini mengkaji kesetimbangan isothermal adsorpsi ion Cu (II) menggunakan khitosan yang dicampur dengan serbuk cangkang kupang, dimana khitosan sebagai bahan aktif atau perekat adsorben dan serbuk cangkang kupang sebagai material pendukung. Serbuk cangkang kupang dipilih sebagai bahan pendukung karena termasuk bahan biopolimer alami yang jumlahnya sangat melimpah, ramah lingkungan dan murah bahkan bisa didapatkan secara cuma-cuma. Sedangkan khitosan dipilih karena sudah teruji mempunyai kapasitas adsorpsi yang besar. Keduanya digabungkan untuk mendapatkan daya serap yang cukup tinggi dengan biaya yang cukup murah. Kelebihan lain dari cangkang kupang yaitu mempunyai struktur kimiawi yang mirip dengan khitosan dimana kemiripan struktur tersebut akan menjadikan kedua biopolimer bersifat kompatibel dan mempunyai gaya adhesi yang baik. Adsorben akan dibuat dengan cara melapisi permukaan serbuk cangkang kupang dengan khitosan. Kapasitas adsorpsi komposit akan diuji dengan sistem Batch (rendam) yang dikaji dengan adsorpsi isothermal Langmuir dan Freundlich. (rendam). Logam yang tidak teradsorp dianalisis dengan spektroskopi serapan atom (AAS).Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh pH, waktu kontak dan komposisi adsorben terhadap kapasitas adsorpsi komposit pada ion logam tembaga (II). 2. Eksperimen Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah spektrofotometer serapan atom (SSA), pH meter, stop watch (arloji), pengaduk magnetik, neraca analitis, gelas beker, gelas ukur, corong gelas, botol semprot, spatula dan pipet tetes. Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah serbuk khitosan, cangkang kupang, NaOH 2N, asam asetat glasial, padatan CuSO4.5H2O, larutan HCl, akuades dan akuademin. Prosedur Kerja Preparasi Serbuk Cangkang Kupang Cangkang kupang dicuci dengan akuades dan dikeringkan di bawah panas sinar matahari. Cangkang kupang yang telah kering selanjutnya digerus menggunakan penggiling sehingga diperoleh serbuk cangkang kupang. Serbuk cangkang kupang yang dihasilkan diayak sehingga diperoleh serbuk dengan ukuran 40-60 mesh. Preparasi Adsorben Preparasi adsorben dilakukan dengan melarutkan 1 gram khitosan dengan larutan asam asetat 2% sebanyak 100 ml dan diaduk sampai larut sambil dipananskan. Khitosan yang sudah larut diangkat dari hotplate dan dibiarkan hingga agak dingin, kemudian diambil sebanyak 20 ml dan di tambahkan serbuk cangkang kupang sebanyak 3 gram ke dalam larutan khitosan (komposit 1). Campuran serbuk cangkang kupang dan larutan khitosan diaduk menggunakan stirer, dipipet lalu diteteskan kedalam larutan NaOH 2%. Perlakuan ini diulangi dengan penambahan serbuk kupang sebanyak 4 gram (komposit 2) dan 5 gram (komposit 3). Pembuatan Larutan Stok Cu2+ 1000 ppm Larutan tembaga (II) dibuat dengan cara melarutkan 1,9641 gram CuSO4.5H2O dengan sedikit aquades dan diaduk sampai padatan CuSO4.5H2O larut sempurna. Hasil larutan nikel(II) tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam labu ukur 500 mL dan diencerkan sampai tanda batas sehingga diperoleh larutan tembaga (II) 1000 ppm.
AF-208
Studi Adsorpsi Penentuan pH Optimum Penentuan pengaruh pH terhadap proses adsorbsi dilakukan dengan cara menambahkan 1 gram adsorben ke dalam 25 mL larutan tembaga(II) dengan konsentrasi 10, dan 50 ppm. pH awal larutan divariasi yaitu 2, 3, 4, 5, 6 dan dilakukan pengadukan. Waktu pengambilan cuplikan ditentukan kemudian hasil cuplikan dianalisis dengan spektrofotometer serapan atom. Variasi pH dengan hasil adsorpsi maksimun ditentukan sebagai pH optimum. Penentuan Waktu Optimum Penentuan waktu kesetimbangan dalam proses adsorpsi dilakukan dengan memasukkan masing-masing 25 mL larutan Cu(II) dengan konsentrasi 500 ppm ke dalam 8 gelas beker. Selanjutnya ke dalam masing-masing gelas beker tersebut ditambahkan 1 gram adsorben. pH larutan dibuat tetap dengan menggunakan pH optimum sedangkan pengadukan dilakukan setiap selang waktu 15 menit selama 120 menit. Konsentrasi Cu(II) yang tersisa dalam larutan dianalisis dengan spektrofotometer serapan atom. Pengaruh Komposisi Adsorben Penentuan kapasitas adsorpsi dilakukan dengan cara membuat larutan Cu(II) dengan variasi konsentrasi yaitu 400, 425, 450, 475, 500, 525, 550, 560, 575 dan 580 ppm. Kemudian ditambahkan 1 gram adsorben ke dalam masing-masing larutan. pH larutan dan waktu optimum dibuat tetap. Selanjutnya setiap cuplikan diaduk diaduk nalisis dengan spektrofotometer serapan atom. Prosedur diatas diulangi untuk komposit II dan III. Komposit II adalah penambahan 4 gram serbuk cangkang kupang dalam 20 ml larutan khitosan. Sedangkan komposit III adalah penambahan 5 gram serbuk cangkang kupang ke dalam 20 ml larutan khitosan. Penentuan Massa Molekul Relatif Rata- rata Khitosan Pembuatan larutan buffer yaitu: 0,2 M asam asetat dicampurkan dengan 0,1 M NaOH, selanjutnya larutan buffer diuji dengan viskometer. Pada tahap berikutnya larutan buffer ditambahkan dengan 0,3 g khitosan, distirer hingga khitosan terlarut lalu di uji dengan viskometer. Perlakuan diulangi untuk penambahan 0,35 g ; 0,4 g ; 0,45 dan 0,5 g khitosan. 3. Hasil dan Pembahasan Preparasi komposit antara khitosan terikat silang dengan serbuk cangkang kupang Cangkang kupang dicuci dengan air sampai bersih dengan parameter cangkang berwarna putih susu. Cangkang kupang kemudian di jemur atau dikeringkan di bawah terik matahari untuk menghemat energi. Setelah kering, cangkang kupang di tumbuk hingga menghasilkan serbuk cangkang kupang. Serbuk cangkang kupang kemudian disortir dengan ayakkan 40-60 mesh yang berfungsi untuk menghomogenkan dan membatasi ukuran dari serbuk cangkang kupang sehingga bidang penyerapannya sama. Setelah itu menyiapkan khitosan digunakan sebagai bahan perekat. Tahap selanjutnya yaitu menyiapkan larutan asam asetat 2% Larutan asam asetat ini berfungsi untuk melarutkan khitosan karena khitosan hanya dapat larut dalam larutan asam organik. Larutan khitosan diambil sebanyak 20 ml lalu ditambahkan 3 gram serbuk cangkang kupang. Campuran diaduk menggunakan stirer lalu dipipet dan diteteskan ke dalam larutan NaOH 2N yang berfungsi sebagai koagulan. Reaksi yang terjadi yaitu campuran yang diteteskan membentuk gumpalan-gumpalan atau pelet yang ukurannya seragam yang langsung tenggelam ke dalam larutan NaOH. Adapun yang terapung dikarenakan komposisi serbuk cangkang kupang jauh lebih sedikit dibanding khitosan pada saat pengambilan campuran dengan pipet. Pelet yang ada dalam larutan NaOH disaring kemudian direndam kedalam larutan glutaraldehid selama 24 jam. Glutaraldehid berfungsi sebagai agen pengikat silang karena sifat reaktif dari khitosan yang mudah larut dalam larutan asam Pelet dicuci dengan aquades hingga pH pelet basah menjadi atau mendekati netral kemudian dikeringkan diudara terbuka untuk menghemat energi. Setelah kering, pelet di simpan dalam plastik yang tertutup rapat. Pelet yang sudah jadi di beri label komposit I. Prosedur diatas di ulangi untuk pembuatan komposit II dan III.
AF-209
Gambar 4.1 Komposit Adsorben Cangkang Kupang-Khitosan (a) Komposit 1,(b) Komposit 2, (c) Komposit 3 massa molekul rata-rata khitosan bisa diketahui sebesar 821,682 g/mol. Data spektra FTIR Biosorben-biosorben yang digunakan untuk mengadsorb logam berat dianalisis menggunaakan FTIR untuk mengetahui gugus fungsi yang ada dalam sampel. (3) (2) (1)
Gambar 4.3 spektra FTIR khitosan ( 1 ),kupang (2) dan pelet (3) Dari gambar spektra diatas dapat dijelaskan bahwa antara cangkang kupang dengan khitosan terikat silang tidak ada rekasi. Sedangkan spektra pelet sama dengan kupang, hal itu menunjukkan bahwa hasil tidak jauh beda dan didomonasi oleh kupang karena komposisi kupang lebih banyak dari pada khitosan. Adsorpsi Logam Cu (II) Penentuan pH Optimum Adsorpsi Cu(II) sangat dipengaruhi oleh pH larutan, yang berpengaruh pada kapasitas permukaan dari adsorben yaitu komposit khitosan terikat silang-serbuk cangkang kupang. Oleh karena itu penting untuk mempelajari pengaruh pH pada adsorpsi Cu(II). Penentuan pH optimum dilakukan dengan mengambil 25 ml larutan logam Cu 10 ppm dan mengkondisikan pH larutan yaitu menurunkan pH larutan logam Cu(II) menjadi pH 2, 3, 4, 5 dan 6. Perlakukan yang sama diulangi untuk larutan logam Cu 50 ppm sebagai penegasan letak pH optimum. Larutan logam Cu yang telah divariasi pH ditambahkan satu gram adsorben yang sudah dioven. Pengovenan ini berfungsi untuk menghilangkan kadar air yang ada pada adsorben. Setelah itu masing-masing campuran diaduk dengan stirrer selama satu jam. Pengadukan berfungsi untuk mendistribusikan komposit secara merata ke seluruh larutan. Campuran disaring kemudian filtratnya diukur kembali pHnya sebagai pH akhir. Filtrat diuji menggunakan Spektroskopi Serapan Atom untuk mengetahui konsentrasi yang tidak terikat sehingga dapat dihitung kapasitas adsorpsinya. pH optimum dapat ditentukan melalui grafik antara pH vs kapasitas ad
AF-210
Gambar 4.4 grafik pH optimum pada larutan logam 10 ppm
Gambar 4.5 grafik pH optimum pada larutan logam 50 ppm
Dari kedua grafik di atas, menunjukkan bahwa adsorpsi maksimum diperoleh pada pH Jadi yang digunakan sebagai pH optimum merupakan pH yang mempunyai kapasitas adsorpsi yang maksimum yaitu pH 4 dan selanjutnya pH tersebut digunakan acuan untuk adsorpsi. Selain penentuan pH optimum, pada penelitian ini dihubungkan pula antara pH awal dengan pH akhir.
Gambar 4.6 grafik hubungan pH awal dengan pH larutan logam setelah adsorpsi. Dari kedua grafik diatas dapat dijelaskan bahwa pada larutan logam 10 ppm, pH akhir relatif lebih tinggi daripada larutan 50 ppm karena semakin besar konsentrasi larutan logam maka semakin banyak pula ion yang tertukar yang mana secara reaksi ion H+ yang dilepaskan akan semakin banyak sehingga membuat larutan logam yang teradsorpsi semakin asam. Selain itu semakin tinggi pH awal maka semakin tinggi pula pH setelah adsorpsi atau akhir yang menunjukkan peningkatan gugus hidroksil dan amina dari khitosan yang mengakibatkan penurunan derajat keasaman larutan logam. Penentuan Waktu Optimum Waktu yang setimbang atau waktu kontak optimum sangat diperlukan dalam suatu proses adsorpsi untuk mengetahui batas waktu yang dibutuhkan adsorben dalam mengadsorp logam berat secara maksimal. Langkah pertama dalam menentuan waktu setimbang yaitu menyiapkan larutan logam Cu(II) 500 ppm sebanyak 25 ml. Penelitian kali ini dipakai larutan 500 ppm karena melihat hasil konsentrasi yang tidak terserap pada 10 dan 50 ppm sangat sedikit, dikhawatirkan akan habis dengan waktu yang lebih lama. Larutan logam dikondisikan pada pH optimum yaitu pH 4 kemudian ditambahkan satu gram adsorben yang telah dioven sebelumnya. Campuran kemudian diaduk dengan variasi waktu tiap selang 15 menit yaitu 15, 30, 45, 60, 75, 90, 105 dan 120 menit. Setelah itu disaring, diukur kembali pHnya dan dianalisa menggunakan AAS.
AF-211
Gambar 4.7 grafik waktu optimum
Gambar 4.8 grafik hubungan waktu kontak dengan pH akhir
Grafik 4.7 menunjukkan bahwa waktu kontak mulai setimbang pada menit ke-105 sampai ke-120 sehingga dapat diambil waktu yang benar-benar setimbang atau optimum pada menit ke-110. Selain penentuan waktu, dihubungkan pula waktu dengan pH akhir untuk mengetahui keasaman larutan setelah adsorpsi. Adsorpsi maka pH akhir semakin tinggi bahkan mendekati konstan di pH 7,7. Hal itu disebabkan karena kemungkinan telah terjadi pelarutan asam karbonat yang ada di kupang sehingga larutan menjadi netral atau sedikit basa.adapun reaksinya adalah sebagai berikut: Ca2+ + H2O + CO2 2 H+ + CaCO3 Penentuan Kapasitas Adsorpsi Kapasitas adsorpsi merupakan parameter yang sangat penting dalam adsorpsi karena menentukan komposisi yang maksimum untuk menghasilkan daya serap yang maksimal. Penelitian ini menggunakan tiga variasi komposit yang telah disiapkan sebelumnya. Langkah pertama adalah menyiapkan 25 ml larutan logam Cu dengan kondisi pH 4 dan memvariasi konsentrasi menjadi 400, 425, 450, 475, 500, 525, 550, 560, 575 dan 580 ppm. Kemudian ditambahkan satu gram komposit atau adsorben lalu diaduk selama 110 menit. Campuran disaring kemudian pH filtrat diukur kembali sebagai pH akhir dan dianalisa dengan AAS.
Gambar 4.9 grafik kapasitas adsorpsi logam +
berat Cu 2
Gambar 4.10 grafik hubungan konsentrasi awal dengan pH akhir
Grafik 4.9 menunjukkan bahwa komposit 1 akan mengalami kejenuhan pada konsentrasi akhir yang lebih besar daripada komposit 2 dan 3. Larutan logam menjadi jenuh karena ion Cu yang kontak dengan pelet semakin besar sedangkan bidang permukaan yang tersedia sama sehingga tidak ada lagi pergantian ion. Setelah diketahui kapasitas adsoorpsi maka dicari pula hubungan antara konsentrasi awal dengan pH akhir untuk mengetahui keasaman larutan logam setelah adsorpsi. Grafik 4.10 menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi awal pada pH awal 4 (pH optimum) maka larutan logam setelah adsorpsi semakin asam atau menuju ke pH netral. Model Adsorpsi Isotermal berdasarkan Langmuir dan Freundlich Hasil analisa membran komposit khitosan terikat silang-serbuk cangkang kupang diketahui bahwa semakin meningkatnya konsentrasi akhir atau konsentrasi kesetimbangan (ce), semakin meningkat pula kapasitas adsorpsinya sampai adsorben jenuh sehingga
AF-212
diperoleh kapasitas adsorpsi maksimum. Hasil konsentrasi tersebut dapat digunakan untuk menganalisa pada kedua isoterm baik Langmuir maupun Freundlich. Grafik regresi linier Langmuir dapat dilihat pada gambar berikut
Gambar 4.11 grafik metode isothermal Langmuir pada komposit 1
Gambar 4.12 grafik metode isothermal Langmuir pada komposit 2
Gambar 4.13 grafik metode isothermal Langmuir
pada komposit 3
Untuk grafik metode isothermal Freundlich dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 4.14 garafik metode isothermal
Gambar 4.15 garafik metode isothermal
Freundlich pada komposit 1
Freundlich pada komposit 2
AF-213
Gambar 4.16 grafik metode isothermal Freundlich pada komposit 3 Berdasarkan grafik diatas maka dapat dijelaskan bahwa pada adsorpsi isotermal ini sesuai jika menggunakan model Langmuir karena mempunyai nilai koefisian korelasi yang rata-rata lebih besar atau lebih mendekati nilai 1 daripada model freundlich. Dari perhitungan model Langmuir didapatkan nilai-nilai seperti yang ada pada table 4.1 Tabel 4.1 Data Kapasitas adsorpsi maksimum, pada model Langmuir aL Q komposit kL 1 10,0 0,67 14,9253 2 19,607 1,333 14,7089 3 41,667 2,875 14,4928 Kapasitas Khitosan dan Kupang Berdasarkan Metode Langmuir Metode yang sesuai pada penelitian ini yaitu metode Langmuir dapat digunakan untuk menentukan kapasitas dari masing-masing bahan utama komposit yaitu khitosan dan kupang. Berdasarkan perhitungan , maka dapat dibuat grafik fraksi kupang terhadap kapasitas komposit seperti pada gambar 4.17
Gambar 4.17 grafik fraksi kupang terhadap kapasitas komposit dengan metode Langmuir Grafik diatas menunjukkan bahwa semakin besar komposisi kupang maka kapsitas adsorpsinya semakin kecil. Berdasarkan nilai persaman regresi linier maka diperoleh nilai kapasitas adsorpsi khitosan sebesar 31,53 mg/gr dan nilai kapasitas adsorpsi kupang sebesar 13,83 mg/gr. Karakteristik komposit dengan BET Anailisa menggunakan BET ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari ketiga komposit yang digunakan untuk mengadsorp logam Cu. Adapun hasilnya seperti pada table berikut :
AF-214
Komposit 1
Tabel 4.2 Data karakteristik komposit dengan BET Daerah permukaan ( mg2/gr) Volume pori ( cc/gr ) 4,790
9,821
Ukuran pori ( Å ) 1,920
2 3
2,544 5,579 1,920 1,467 4,847 1,820 Tabel diatas menunjukkan bahwa komposit mempunyai daerah permukaan, volume pori dan kuran pori yang lebih bsar daripada komposit 2 dan 3. Hal itu yang menjadikan kapasitas adsorpsi pada komposit 1 lebih basar dari yang lainnya. 4. Kesimpulan dan Saran Dari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Adsorpsi khitosan terikat silang-serbuk cangkang kupang pada ion logam Cu(II) dilakukan pada kondisi pH optimum larutan yaitu pH 5 dan waktu kontak optimum sebesar 110 menit. 2. Keseluruhan uji adsorpsi dengan khitosan terikat silang-serbuk cangkang kupang, sesuai dengan metode adsorpsi isothermal Langmuir, karena koefisien regresi linier (r)nya mendekati 1, yang berarti adsorpsi ion Cu(II) tersebut bersifat kimia, sehingga terbentuk monolayer. 3. Khitosan terikat silang mempunyai nilai kapasitas adsorpsi yang lebih besar daripada kupang. 4. Hasil Analisa menggunakan FTIR menunjukkan bahwa hasil tidak jauh beda atau tidak ada reaksi antara khitosan dengan kupang dan didomonasi oleh kupang karena komposisi kupang lebih banyak dari pada khitosan. 5. Hasil analisa menggunakan BET menunjukkan bahwa komposit 1 mempunyai daerah permukaan, voleume pori dan ukuran pori yang lebih besar daripada komposit 2 dan 3. Saran Saran yang ingin disampaikan oleh penulis untuk pengembangan penelitian adalah ditambahkan variasi massa adsorben dan volume larutan logam. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Drs. Eko Santoso, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah member masukkan dan arahan dalam menyelesaikan tugas akhir. 2. Drs. Lukman Atmaja Ph.D selaku ketua jurusan kimia 3. Dra. Yulfi Zetra, M.Si selaku koordinator Tugas Akhir 4. Ir. Endang Purwanti, M.S selaku dosen wali 5. Kedua orang tua dan kakak tersayang yang selalu memberikan dukungan baik dalam bentuk materiil maupun spiritual. 6. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Daftar Pustaka Bastaman, dkk., (1990), “Penelitian Limbah Udang Sebagai Bahan Industri Khitin dan khitosan “, BBIHP, Bogor Cowd, M. A., (1991), “Kimia Polimer”, ITB, Bandung, Hal. 43-44. Ewing, Galen. W., (1988), “ Instrumental Methodes of Chemicals Analysis”, 5th ed, McGraw-Hill Book Company, New York. http://ellyawan.dosen.akprind.ac.id/?p=6 http://ms.wikipedia.org/wiki/Kepah http://Wikipedia.org/wiki/logam Cu http://id.wikipedia.org/wiki/Material_komposit Karthikeyan, G., Anbalagan, K., Andal, N.M., (2004), “Adsorption Dynamics and equilibrium Studies of Zn(II) onto Chitosan”, Indian J. Chem. Sci.,116, 2, pp. 119-127 Knaul,J.Z.,et.al.,(1998),”Characterization of deacetylated Chitosan and Chitosan Molecular Weight Review”, Canada Journal Chemistry, vol.76. Majeti, N. V., dan Kumar, Ravi, (2000), “A Review of Chitin and Chitosan Applications”, Reactive & Functional Polymers, Vol. 46, pp. 1-3.
AF-215
Marganof, (2003), “Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di perairan. Makalah Pribadi Pengantar ke falsafah Sains (PP702)” Program Pasca Sarjan/S3 ITB, Bandung. Mc. Kay. G,Blair,HS, (1986), “Asorption Of Metal Ions by Chitosan” Chichester, UK. Oyrton, A., (1999), “Some Thermodynamic Data on Copper-Chitin and Copper-Chitosan Biopolymer Interactions”, Journal of Colloid and Interface Science, 212, pp.212-213 Planas, M. Ruiz., (2002), “ Development of Techniques Based on Natural Polymer for The Recovery of Precious Metals”. Thesis Doctoral, Universitat Politecnica de Catalunya. Skoog, Douglas A., et al., (1998), “Principles of Analysis”, 5th ed, Saunders College Publishing Tzesos, M., S. Mattar, (1986), “A further Insight into the Mechanism Of Biosorption Of metal, By Examining chitin EPR Spectra”, Talanta, vol 33, No.55, pp 225-232. Vogel, (1985) , “ Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro”, bagian I, PT Kalman Media Pustaka, Jakarta. Wan Ngah, W.S., (2002), “Removal Copper (II) ions from aqueous Solution onto Chitosan and Crosslinked Chitosan Beads”, Reactive and Functional Polymers, 50, 181-190. Winter, (2007), “Removel Of Lead From aqueousSolution Using Low Cost Abudanly Aviable Adsorbant”, G.A.F El-Changhaby. Yohana, R, (2007), “Asorpsi IonLogam Cu (II) Pada Membran Komposit Selulosa-Khitosan terikat silang”, Skripsi Program Sarjana, Kimia-FMIPA ITS, Surabaya.
AF-216