Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam MendukungPenanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
KAJIAN HUBUNGAN ANTARA FRACTIONAL VEGETATION COVER (FVC) DENGAN TINGKAT EROSI BERBASIS REVISED UNIVERSAL SOIL LOSS EQUATION (RUSLE) DI DAS GESING MELALUI ANALISIS CITRA LANDSAT 8 OLI DAN SIG RASTER 1
Diwyacitta Dirda Gupita1 *, Sigit Heru Murti B.S.2 Prodi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi UGM, Sekip Utara, Sleman, Yogyakarta 55281 Email:
[email protected] 2 PUSPICS Fakultas Geografi UGM, Sekip Utara, Sleman, Yogyakarta 55281 Email:
[email protected] ABSTRAK
Erosi merupakan suatu fenomena alam yang kejadiannya dapat memberikan dampak negatif terhadap kemampuan lahan, khususnya apabila prosesnya dipercepat. Berbagai faktor mampu memberikan kontribusi terhadap laju erosi yang terjadi di dalam suatu wilayah, dan salah satunya adalah vegetasi. Di antara berbagai faktor yang dipertimbangkan dalam model estimasi erosi atau kehilangan tanah, penutupan vegetasi dapat dikalkulasi dari atribut jenis penutupan lahan melalui tabel konversi. Penelitian ini mencoba mengkaji hubungan antara nilai laju erosi dengan kerapatan vegetasi yang tidak diperoleh melalui pendekatan jenis penutup lahan, melainkan diperoleh dari hasil korelasi antara indeks vegetasi dengan pengukuran kerapatan di lapangan di Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo. Untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci, model estimasi berbasis RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation) dan model estimasi kerapatan vegetasi dijalankan dengan model berbasis raster. Pada model RUSLE ini: (a) faktor erosivitas diperoleh melalui interpolasi spasial data hujan per bulan yang dikumpulkan dari 10 statisun hujan, (b) faktor panjang dan kemiringan lereng diekstrak dengan bantuan model flow accumulation, (c) faktor erodibilitas tanah diperoleh dari 35 sampel di lapangan yang kemudian diinterpolasi spasial dengan metode Kriging, dan (d) faktor pengelolaan tanaman (C) diperoleh melalui analisis regresi antara NDVI dengan C asumtif. Di sisi lain, untuk pemetaan kerapatan vegetasi, digunakan FVC (Fractional Vegetation cover), yang rumusnya adalah (NDVI – NDVImin)/(NDVImax – NDVImin). Hasil akhir dari penelitian ini memperkuat teori bahwa laju erosi di daerah penelitian bervariasi tidak hanya tergantung pada kerapatan vegetasi. KATA KUNCI: RUSLE, FVC, erosi, kerapatan vegetasi
1. PENDAHULUAN Erosi merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang harus ditanggulangi. Fenomena alam ini menjadi penyebab utama terbentuknya lahan kritis, terutama jika didukung oleh tingginya intensitas dan jumlah curah hujan (Abdurachman dan Sutono, 2002, dalam Sulistyo, 2011). Erosi yang terjadi di dalam DAS pada dasarnya dipengaruhi oleh empat faktor: iklim, sifat tanah, topografi, dan vegetasi penutup lahan (Blanco dan Lal, 2008). Berkaitan dengan pengaruh vegetasi terhadap laju erosi, Morrow et al (2014) menjabarkan secara singkat pengaruh vegetasi terhadap erosi. Faktor kanopi berhubungan dengan kemampuan vegetasi dalam mengintersepsi air hujan yang mampu mengurangi energi penyebab terjadinya erosi percik (raindrop erosion atau splash erosion). Limpasan permukaan dapat menyebabkan erosi lembar (sheet erosion) dan dapat dihambat dengan adanya tutupan permukaan tanah seperti vegetasi rerumputan, sersah dedaunan, dan residu vegetasi lain. Faktor akar tanaman memberikan pengaruh pada tingkat infiltrasi air hujan, dimana air hujan yang jatuh akan masuk ke dalam pori-pori tanah yang disediakan oleh akar tanaman. Akar tanaman saling terjalin (interweave) dengan tanah sehingga membentuk massa yang lebih solid dan lebih tahan terhadap erosi (Styczen dan Morgan, 1995). Oleh karena inilah tutupan vegetasi sangat berpengaruh besar terhadap laju erosi yang terjadi di dalam suatu DAS. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara laju erosi, yang diperoleh dari kalkukasi RUSLE, dengan kerapatan vegetasi yang diekstraksi dari FVC.
2. DAERAH KAJIAN Penelitian ini dilakukan di Sub-DAS Gesing, yang terletak di Kabupaten Purworejo bagian timur. DAS Gesing memiliki luas sebesar 47,09 km2, dan sebagian besar areanya terletak di Perbukitan Menoreh
635 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam MendukungPenanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
bagian barat, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Sub-DAS Gesing merupakan bagian dari DAS Bogowonto
Gambar 1. Lokasi DAS Gesing 3. DATA DAN METODE 3.1 Data Data penginderaan jauh yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat-8 OLI (path 120 row 60) dengan waktu perekaman tanggal 22 Februari 2015. Citra ini memiliki resolusi spasial menengah, yaitu 30 meter, yang cukup mampu dimanfaatkan untuk aplikasi pemodelan erosi di DAS berukuran kecil seperti Sub-DAS Gesing. Band-band citra Landsat-8 yang digunakan antara lain adalah band 2, band 3, band 4, dan band 5. Citra ini dimanfaatkan untuk mengekstraksi informasi penggunaan lahan serta informasi satuan medan, yang ditentukan dengan bantuan peta geologi skala 1:50.000. Peta Rupabumi Indonesia dimanfaatkan untuk memperoleh data kontur, yang digunakan dalam penentuan batas DAS (dalam bentuk TIN), dan sebagai input untuk kalkulasi indeks faktor panjang dan kemiringan lereng (dalam wujud turunan DEM yang berupa flow accumulation). Data sekunder berupa data curah hujan dari tahun 2004 hingga tahun 2013 diperoleh dari Badan Meteorologi dan Klimatologi Provinsi Jawa Tengah. 3.2 Metode 3.2.1 Metode RUSLE Metode RUSLE membutuhkan lima parameter yang masing-masing indeksnya dibutuhkan untuk memperoleh laju erosi, lima parameter tersebut antara lain: erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), panjang dan kemiringan lereng (LS), pengelolaan tanaman (C), dan praktik konservasi lahan (P), yang diformulasikan sebagai:
= . . . . .
(1)
3.2.2 Faktor Erosivitas Hujan Erosi erat kaitannya dengan kehilangan tanah, dan kehilangan tanah erat kaitannya dengan kemampuan air hujan untuk melepaskan material tanah dari permukaan. Indeks erosivitas dihitung dari data
636 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam MendukungPenanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
curah hujan per bulan selama 10 tahun dari tahun 2004 hingga 2013 menggunakan rumus Mahmud dan Utomo (1984, dalam Utomo, 1994):
= 10,80 + 4,15(
)
(2) Dimana Rb menunjukkan indeks erosivitas bulanan, dan Hb merepresentasikan hujan rata-rata per bulan dalam satuan sentimeter. 3.2.3 Faktor Erodibilitas Tanah Erodibilitas, oleh Blanco dan Lal (2008) didefinisikan sebagai tingkat kerentanan tanah terhadap erosi. Erodibilitas tanah bergantung pada tekstur tanah, stabilitas agregat tanah, kapasitas infiltrasi, serta kandungan bahan organik dan bahan kimia (Morgan, 1995). Indeks faktor K diperoleh dengan menggunakan formula Goldman (1986): ,
= ,
∙
×(
%
) (
−% ,
.
(
−% − )
)+ ,
(
− )+
(3)
Dimana Ss adalah kelas struktur tanah yang nilainya: 1 untuk very fine granular, 2 untuk fine granular, 3 untuk medium or coarse granular, dan 4 untuk struktur tanah yang blocky, platy, or massive; sedangkan fpm adalah kelas permeabilitas tanah yang nilainya: 1 untuk very slow infiltration, 2 untuk slow infiltration, 3 untuk moderately slow infiltration, 4 untuk moderate infiltration, 5 untuk moderately rapid infiltration, dan 6 untuk rapid infiltration. 3.2.4 Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng Erosi diharapkan akan memiliki laju yang besar apabila kemiringan dan panjang lerengnya semakin besar pula. Di permukaan rata, percikan air hujan akan menyebabkan pantulan partikel tanah yang mengarah ke berbagai arah, sedangkan di permukaan yang miring, partikel tanah cenderung memantul menuruni lereng (Morgan, 1995). Banyaknya partikel tanah yang memantul menuruni lereng akan meningkat seiring dengan semakin besarnya kemiringan lereng. Faktor panjang dan kemiringan lereng diperoleh dengan menggunakan data turunan DES berupa flow accumulation yang diformulasikan dengan menggunakan rumus Moore dan Burch (1986, dalam AsSyakur, 2008):
=
[
× ,
]
×
, ,
(4) Nilai m bergantung pada kemiringan lereng, dimana m = 0,5 untuk kemiringan lereng >5%, m = 0,4 untuk kemiringan lereng 3,5 – 5%, m = 0,3 untuk kemiringan lereng 1,0 – 3 %, dan m = 0,2 untuk kemiringan lereng <1%. 3.2.5 Faktor Pengelolaan Tanaman Faktor pengelolaan tanaman merupakan rasio kehilangan tanah terhadap pengelolaan tanaman tertentu dibandingkan dengan tanah terbuka yang memiliki nilai faktor C sebesar 1,0 (Morgan, 1995). Perolehan indeks C dapat dilakukan dengan menggunakan penggunaan lahan hasil klasifikasi multispektral yang kemudian dicocokkan dengan tabel konversi, akan tetapi cara ini cukup sulit dan kadang kurang representatif, terutama apabila tabel konversi tidak menyaijkan jenis penggunaan lahan seperti yang ada di lapangan. Meskipun begitu, De Jong mengemukakan metode untuk mengekstraksi nilai faktor C dari indeks vegetasi (De Jong, 1994, dalam Erencin, 2000). Berdasarkan penelitian yang dilakukan De Jong, NDVI dan faktor C dalam RUSLE memiliki hubungan linear dengan faktor korelasi sebesar -0,67. Oleh karena pernyataan tersebut, penggunaan nilai NDVI untuk ekstraksi nilai indeks faktor C diperbolehkan dan dianggap valid. Diagram alir dari metode perolehan indeks faktor C berdasarkan indeks vegetasi disajikan dalam Gambar 2.
637 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam MendukungPenanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
Gambar 2. Skema proses pemetaan faktor C menggunakan NDVI (Erencin, 2000) 3.2.6 Faktor Pengelolaan Lahan/ Praktik Konservasi Lahan Penentuan nilai P dilakukan dengan menggabungkan beberapa peta, seperti peta batas administrasi desa, peta penggunaan lahan, dan peta kemiringan lereng. Peta kemiringan lereng diperlukan karena terkadang untuk penggunaan lahan yang sama, apabila terletak di kemiringan yang berbeda, pengelolaan lahannya berbeda. Sedangkan batas administrasi desa dibutuhkan karena antara satu desa dengan yang lain terkadang memiliki pengelolaan lahan yang berbeda, bergantung pada penyuluhan pertanian. Nilai indeks faktor P ditentukan dengan dilakukannya observasi lapangan untuk melihat jenis praktik konservasi yang ada. Berdasarkan observasi lapangan, indeks P ditentukan menggunakan pedoman Tabel 1. Tabel 3. Nilai Faktor P untuk Berbagai Tindakan Konservasi Tanah Khusus Menurut Abdurakhman No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Tindakan Khusus Konservasi Tanah Teras bangku: Konstruksi baik Konstruksi sedang Konstruksi kurang baik Teras tradisional Padang rumput (permanent grass field) Bagus Jelek Hillside ditch atau field pits Contour cropping Kemiringan 0 – 8% Kemiringan 9 – 20% Kemiringan > 20% Limbah jerami yang digunakan 6 ton/ha/th 3 ton/ha/th 1 ton/ha/th Tanaman perkebunan Penutupan tanah rapat Penutupan tanah sedang Reboisasi dengan penutupan tanah pada tahun awal Strip cropping jagung – kacang tanah, sisa tanaman dijadikan mulsa Jagung – kedelai, sisa tanaman dijasikan mulsa Jagung – mulsa jerami padi Padi gogo – kedelai, mulsa jerammi padi Kacang tanah – kacang hijau
Sumber: (Abdurakhman, 1981; dalam Purnama, 2008)
638 |
Nilai P 0,01 0,15 0,35 0,40 0,04 0,40 0,30 0,50 0,75 0,90 0,30 0,50 0,80 0,10 0,50 0,30 0,5 0,087 0,008 0,193 0,730
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam MendukungPenanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
3.2.7 Fractional Vegetation Cover Fractional Vegetation Cover (FVC) mengacu pada persentase tutupan vegetasi dalam total area kajian (Zhang et al, 2012), dan menjadi parameter penting dalam mendeskripsikan tutupan vegetasi permukaan. FVC merupakan turunan dari transformasi indeks vegetasi NDVI, sehingga untuk dilakukan transformasi FVC, perlu dilakukan transformasi NDVI terlebih dahulu. FVC diformulasikan sebagai berikut:
FVC = ((
) × NDVI + (−
)) × 100
(5)
Dimana NDVIv adalah nilai NDVI vegetasi (NDVI = 1 atau NDVImax), dan NDVIs adalah nilai NDVI bare soil (NDVI = 0 atau NDVImin). Kerapatan vegetasi yang diperoleh dari FVC kemudian diregresikan dengan kerapatan vegetasi hasil pengamatan di lapangan untuk memperoleh kerapatan vegetasi aktual. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Erosi di Sub-DAS Gesing Secara general, berdasarkan peta distribusi laju erosi potensial (Gambar 3), dapat dilihat bahwa laju erosi yang terjadi di Sub-DAS Gesing tidaklah terlalu besar. Laju erosi sebesar 15 – 60 ton/hektar/tahun mendominasi area Sub-DAS Gesing dengan luas sebesar 1587.57hektar, sedangkan laju erosi yang relatif besar, dengan rentang 180 hingga lebih dari 480 ton/hektar/tahun, hanya terjadi di beberapa area kecil di dalam Sub-DAS Gesing. Area-area tersebut cenderung terletak di bagian tengah Sub-DAS, yang memiliki kemiringan lereng yang bervariasi. Laju erosi di Sub-DAS Gesing dapat dilihat pada Tabel 2.
Gambar 3. Laju erosi potensial di DAS Gesing hasil estimasi menggunakan metode RUSLE Tabel 4. Laju erosi di DAS Gesing untuk setiap bagian Sub-DAS Bagian DAS Hilir Hulu Tengah
0 – 15 594.82 375.19 455.98
Luas (ha)
Sumber: Analisis, 2015
639 |
1425.99
Laju Erosi (ton/hektar/tahun) 15 60 60 180 180 – 480 109.70 13.30 397.64 154.39 14.49 1080.23 1198.53 267.55 1587.57
1366.22
282.04
>480
Luas (ha)
7.83
717.82 941.71 3010.12
7.83
4669.65
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam MendukungPenanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
Pemetaan laju erosi dengan menggunakan basis piksel lebih mampu menunjukkan secara detil distribusi spasial dari fenomena tersebut. Di dalam pemetaan berbasis poligon, hal yang kadang menjadi masalah adalah adanya generalisasi yang terlalu banyak. Generalisasi dalam pemetaan berbasis poligon memang lebih bisa menyajikan kenampakan visual peta yang lebih sederhana, akan tetapi di sisi lain informasi yang seharusnya terkandung dalam peta menjadi banyak yang hilang. Oleh karena inilah pemetaan laju erosi menggunakan basis piksel menjadi pilihan yang lebih baik, karena terkadang wilayah dengan laju erosi tinggi terletak pada area-area kecil yang scattered, yang apabila digeneralisasi informasi mengenai area-area tersebut akan hilang. 4.2 Kerapatan Vegetasi di Sub-DAS Gesing Observasi di lapangan untuk melihat kerapatan vegetasi dilakukan di 25 titik yang tersebar secara merata di dalam wilayah Sub-DAS Gesing. Data kerapatan vegetasi di lapangan dan data kerapatan vegetasi dari FVC digunakan sebagai masukan untuk analisis regresi untuk memperoleh data kerapatan vegetasi aktual. Analisis regresi antara kerapatan vegetasi di lapangan dengan kerapatan vegetasi FVC, yang ditunjukkan dalam Gambar 4, menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0.615, yang artinya antara kerapatan vegetasi di lapangan dengan kerapatan vegetasi dari FVC memiliki hubungan yang besar. Kerapatan vegetasi aktual yang dihasilkan menggunakan formula yang berasal dari regresi disajikan dalam Gambar 5.
Gambar 4. Regresi antara kerapatan vegetasi lapangan dan kerapatan vegetasi FVC (Analisis, 2015)
Gambar 5. Distribusi kerapatan vegetasi di Sub-DAS Gesing
640 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam MendukungPenanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
Pengkelasan kerapatan vegetasi menjadi 5 kelas mengacu pada klasifikasi kerapatan kanopi oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2004 (dalam Lathifah, 2012). Berdasarkan Gambar 5, dapat dilihat bahwa tutupan vegetasi yang ada di Sub-DAS Gesing cukup rapat, dengan sebagian besar area ter-cover vegetasi antara 60% hingga 80%. Area tersebut hampir mencakup setengah dari area Sub-DAS dengan luas sebesar 2017.9 hektar. Luas area masing-masing kerapatan vegetasi yang ada di Sub-DAS Gesing disajikan dalam Tabel 3. Tabel 5. Luas masing-masing kerapatan vegetasi yang ada di Sub-DAS Gesing No. 1. 2. 3.
Kerapatan Vegetasi 0 – 20% 20 – 40% 40 – 60%
Luas (ha) 227.96 116.12 473.95
4.
60 – 80%
2017.9
5.
80 – 100%
1872.88
Sumber: Analisis, 2015 Peta kerapatan vegetasi yang dihasilkan dari metode ini juga dibuat dengan basis piksel, agar selaras dengan peta laju erosi yang sebelumnya telah dibuat. Analisis yang dilakukan dengan menggunakan kedua peta tersebut bertujuan untuk melihat secara detil hubungan antara laju erosi dengan kerapatan vegetasi. Apabila peta kerapatan vegetasi yang digunakan dipetakan dengan basis poligon, analisis tidak dapat dilakukan secara detail, karena akan ada banyak informasi kerapatan vegetasi yang hilang akibat adanya generalisasi. Hasil analisis hubungan antar keduanya juga menjadi tidak relevan karena ada perbedaan kedetilan yang mencolok antara satu peta dengan peta yang lain. 4.3 Hubungan antara Kerapatan Vegetasi terhadap Laju Erosi yang Terjadi Berdasarkan peta laju erosi dan peta kerapatan vegetasi, dapat diketahui bahwa area dengan kerapatan vegetasi yang tinggi (kerapatan vegetasi 60 – 100%) tidak terhindar dari laju erosi yang tinggi pula, seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 4. Jika dilihat berdasarkan lokasinya, area dengan kerapatan tinggi berada di bagian tengah Sub-DAS, area yang didominasi laju erosi relatif tinggi juga terletak di bagian tengah Sub-DAS. Hal ini menunjukkan bahwa di Sub-DAS Gesing, terutama di wilayah Sub-DAS bagian tengah, kerapatan vegetasi bukanlah faktor dominan yang mempengaruhi laju erosi yang terjadi. Karena buktinya, meskipun kerapatan vegetasi tergolong relatif tinggi, laju erosi yang terjadi bukanlah laju erosi minimum. Tabel 6. Pembagian luas area Sub-DAS Gesing berdasarkan kerapatan vegetasi dan laju erosi Laju Erosi
0 20%
20 40%
Kerapatan Vegetasi 40 60% 60 80%
80 100%
Luas (ha)
0 - 15 ton/ha/th 15 - 60 ton/ha/th 60 - 180 ton/ha/th 180 - 480 ton/ha/th >480 ton/ha/th
146.97 64.08 13.14 2.13 0.81
67.80 28.52 10.83 6.22 0.64
202.51 108.91 101.62 50.71 2.84
370.54 609.48 819.83 197.10 3.30
638.17 776.57 420.80 25.88 0.24
1425.99 1587.57 1366.22 282.04 7.83
Luas (ha)
227.14
114.01
466.59
2000.25
1861.67
4669.65
Sumber: Analisis, 2015
5. KESIMPULAN Laju erosi yang terjadi di Sub-DAS Gesing relatif tidak parah, dimana sebagian besar area SubDAS, dengan luas sebesar 1587.57 hektar, memiliki laju erosi sebesar 15 – 60 ton/hektar/tahun. Luas area dengan laju erosi sebesar 0 – 15 ton/hektar/tahun diwakili oleh area sebesar 1425.99 hektar; laju erosi sebesar 60 – 180 ton/hektar/tahun menempati area sebesar 1366.22 hektar; laju erosi sebesar 180 – 480 ton/hektar/tahun diwakili oleh area sebesar 282.04 hektar; dan laju erosi yang lebih dari 480 ton/hektar/tahun
641 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam MendukungPenanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
menempati area dengan luas 7.83 hektar. Area dengan laju erosi yang besar cenderung terletak pada bagian tengah Sub-DAS Gesing. Pemetaan distribusi laju erosi dengan menggunakan basis piksel mampu menyajikan informasi yang detail mengenai fenomena erosi yang terjadi dalam satuan area relatif kecil, yang apabila data yang digunakan berupa citra Landsat-8, area tersebut berukuran 30x30 meter persegi. Ini tentu menjadi kelebihan pemodelan berbasis piksel karena mampu menyajikan distribusi fenomena tertentu, yang dalam penelitian ini berupa laju erosi potensial di Sub-DAS Gesing, tanpa generalisasi yang berlebihan. Berdasarkan pengamatan terhadap peta laju erosi dan peta kerapatan vegetasi, kerapatan vegetasi dan laju erosi memiliki hubungan yang tidak selalu berbanding terbalik. Kerapatan vegetasi yang tinggi belum tentu mampu meminimalisir laju erosi menjadi lebih kecil, begitu juga sebaliknya, area dengan kerapatan veegtasi yang relatif kecil belum tentu memiliki laju erosi yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa erosi yang terjadi di dalam Sub-DAS tidak secara dominan dipengaruhi oleh vegetasi saja.
DAFTAR PUSTAKA As-syakur, Abdul Rahman. 2008. “Prediksi Erosi dengan Menggunakan Metode USLE dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Berbasis Piksel di Daerah Tangkapan Air Danau Buyan”. PIT MAPIN XVII. Blanco-Canqui, Humberto dan Rattan Lal. 2008. Principles of Soil Conservation and Management. New York: Springer Dordrecht Heidelberg. Erencin, Zihni. 2000. C Factor Mapping Using Remote Sensing and GIS: A Case Study of Lom Sak / Lom Kao, Thailand. Enschede: International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences. Goldman, S.J., Jackson, Katharine, Bursztynsky, Taras A. 1986. Erosion and Sediment Control Handbook. New York: McGraw Hill Book Co. Lathifah, Danis Hilma. 2012. Hubungan antara Fungsi Tutupan Vegetasi dan Tingkat Erosi DAS Secang Kabupaten Kulonprogo. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Morgan, R.P.C. 1995. Soil Erosion and Conservation. Edisi Kedua. Essex: Addison Wesley Longman Limited. Morrow, Shirley, Smolen, M., Stiegler, J., Cole, J. 2014. Using Vegetation for Erosion Control on Construction Sites. Oklahoma: Oklahoma State University, Cooperative Extension Service. [online] http://pods.dasnr.okstate.edu/docushare/ds web/ Get/Document-2264/BAE-1514web.pdf. Purnama, Nurina Endra. 2008. Pendugaan Erosi dengan Metode USLE (Universal Soil Loss Equation) di Situ Bojongsari, Depok. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sulistyo, Bambang. 2011. Penginderaan Jauh Digital: Terapannya dalam Pemodelan Berbasis Raster. Yogyakarta: Penerbit Lokus. Styczen, M.E., dan R.P.C. Morgan. 1995. "Engineering Properties of Vegetation in Slope Stabilization and Erosion Control: A Bioengineering Approach". Morgan R.P.C. and R.J Rickson, (Ed.). E and F.N. Spon. pp 5-58. Utomo, Wani Hadi. 1994. Erosi dan Konsevasi Tanah. Malang: Penerbit IKIP Malang. Zhang, Xianfeng, Liao, Chunhua, Li, Jonathan, Sun, Quan.2012. “Fractional Vegetation Cover Estimation in Arid and Semi-Arid Environment Using HJ-1 Satellite Hyperspectral Data”. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation. Volume 21, pp 506 – 512.
642 |