TESIS
SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR
YOGA IBNU GRAHA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR
YOGA IBNU GRAHA NIM 1291261022
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Udayana
YOGA IBNU GRAHA NIM 1291261022
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 9 JULI 2015 Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD. NIP. 196007281986091001
I Wayan Gede Astawa Karang, S.Si, M.Si, PhD. NIP. 198305112010121006
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS. NIP. 196703031994031002
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K). NIP. 195902151985102001
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 24 Juni 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 1854/UN.14.4/HK/2015, Tanggal 18 Juni 2015
Ketua
: Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD.
Anggota : 1. I Wayan Gede Astawa Karang, S.Si, M.Si, PhD. 2. Prof. Dr. Ir. I Wayan Suarna, MS. 3. Dr. Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc.
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Yoga Ibnu Graha
NIM
: 1291261022
Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan Judul Tesis
: Simpanan Karbon Padang Lamun Di Kawasan Pantai Sanur, Kota Denpasar
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 9 Juli 2015 Hormat Saya,
Yoga Ibnu Graha NIM 1291261022
v
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat rahmat dan hidayah-Nya maka tesis ini dapat
diselesaikan. Pada kesempatan ini
perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD selaku pembimbing I yang telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran selama penyelesaian tesis ini. 2. Bapak I Wayan Gede Astawa Karang, S.Si, M.Si, PhD selaku pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. I Wayan Suarna, MS selaku penguji yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. 4. Ibu Dr. Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc selaku pembahas yang dengan penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam mengkoreksi dan memberikan masukan, saran sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. 5. Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan (PSMIL) Program Pascasarjana Universitas Udayana atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program magister serta dorongan agar menyelesaikan tesis. 6. Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Denpasar ( Bapak Ir. Ikram Sangadji, M.Si) beserta para Kepala Seksi yang telah memberikan izin kepada penulis untuk dapat melanjutkan sekolah ke jenjang magister.
vi
7. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Dosen-Dosen pengajar di PSMIL yang telah memberikan ilmu pengetahuan pada saat perkuliahan. 8. Pegawai Sekretariat PSMIL (Bli Made, Ari dan Mbok Tu) yang telah membantu di dalam urusan administrasi. 9. Dosen-dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Udayana (mas Dwi, Bu Elok, mas Aan) beserta para mahasiswa FKP (Sabil dkk) yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini. 10. Pegawai Lab Tanah Fakultas Peternakan Universitas Udayana (Bu Bona dan Bapak Udin) yang telah banyak membantu dan memberikan informasi dalam analisa sampel penelitian. 11. Teman-teman kuliah PSMIL angkatan 2012, mba Ipah, Eka, Benita, Ismid dan Pak Reza atas masukan dan saran dalam penyelesaian tesis ini. 12. Teman-teman dan senior di BPSPL Denpasar yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam menyelesaikan perkuliahan dan tesis. 13. Terima kasih kepada keluarga tercinta (Papah Kasmadi, Mamah Tuti dan saudara tercinta), orang tersayang (Intan) dan sahabat-sahabat lain yang telah banyak membantu terselesaikannya tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksaan dan penyelesaian tesis ini. Akhirnya kritik dan saran sangat penulis harapkan guna perbaikan tulisan-tulisan ilmiah berikutnya. Denpasar, Juli 2015 Penulis
vii
ABSTRACT SEAGRASS FOR CARBON STORAGE IN SANUR COASTAL AREA, DENPASAR CITY Seagrass is one of the marine resources that considerably potential as a CO2 absorbent and functioned as carbon sinks in the oceans known as blue carbon. The result of carbon sequestration from the process of photosynthesis is stored as carbon stocks on seagrass tissue, or streamed to multiple compartments, such as sediment, herbivores and other ecosystems. This study aims to assess the potential for carbon stock storage in biomass on a tissue of seagrass in Sanur Beach coastal area. The observations of seagrass are included the seagrass type, seagrass stands, and measurement of environmental parameters. Then the sampling was conducted to obtain the value of seagrass biomass. The carbon stocks obtained through the conversion of biomass by using carbon concentration analysis of seagrass tissue and then carried a spatial distribution of carbon stocks. Types of seagrass found in Sanur Beach coastal area consist of eight species that are Enhalus acroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis and Halodule pinifolia. The result of the carbon stock seagrass in the bottom substrate is 60% greater than the carbon stock in the top substrate which is 40%. Seagrass covering 322 ha of Sanur Beach coastal area with a total potential carbon storage of 66.60 tons or 0.21 tons /ha. Seagrass key role as a carbon storage is on the bottom substrate tissue, and Enhalus acoroides is a seagrass species that contributes the most to the carbon storage. Keywords: carbon storage, Sanur Beach, seagrass.
viii
ABSTRAK SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial sebagai penyerap gas CO2 adalah padang lamun dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan (carbon sink) dikenal dengan istilah blue carbon. Hasil penyerapan karbon pada proses fotosintesis disimpan sebagai stok karbon pada jaringan lamun, atau dialirkan ke beberapa kompartemen, seperti sedimen, herbivora dan ekosistem lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi penyimpanan stok karbon dalam biomassa pada jaringan lamun di kawasan Pantai Sanur. Pengamatan lamun yang dilakukan meliputi jenis, tegakan lamun dan pengukuran parameter lingkungan. Kemudian dilakukan pencuplikan sampel lamun untuk memperoleh nilai biomassa. Stok karbon didapatkan melalui konversi dari biomassa dengan menggunakan analisis konsentrasi karbon jaringan lamun dan kemudian dilakukan distribusi stok karbon secara spasial. Jenis lamun yang ditemukan di kawasan Pantai Sanur sebanyak delapan jenis spesies yakni Enhalus acroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis dan Halodule pinifolia. Hasil stok karbon lamun bagian bawah substrat sebesar 60 % lebih besar dibandingkan stok karbon di bagian atas substrat sebesar 40 %. Padang lamun di kawasan Pantai Sanur mempunyai luas 322 ha dengan potensi total stok karbon sebesar 66,60 ton atau 0,21 ton/ ha. Peran kunci lamun sebagai penyimpan karbon terletak pada jaringan bawah substrat, sementara jenis lamun yang berkontribusi besar terhadap stok karbon yaitu jenis Enhalus acroides. Kata kunci: lamun, Pantai Sanur, stok karbon.
ix
RINGKASAN SIMPANAN KARBON PADANG LAMUN DI KAWASAN PANTAI SANUR, KOTA DENPASAR Peran vegetasi sebagai penyerap karbon sebelumnya hanya fokus terhadap vegetasi darat seperti hutan dan perkebunan. Bukti ilmiah hingga kini juga sudah menguak bahwa ada ekosistem laut tertentu yang berperan sebagai rosot karbon (carbon sinks). Potensi ekosistem laut yang berperan dalam menyerap karbon dari atmosfer lewat fotosintesis, yaitu berupa plankton yang mikroskopis maupun yang berupa tumbuhan yang hanya hidup di pantai seperti di hutan mangrove, padang lamun, ataupun rawa payau (salt marsh). Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Berbagai jenis ikan menjadikan daerah padang lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground), pengasuhan larva (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), sebagai stabilitas dan penahanan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai tempat terjadinya siklus nutrien dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan (carbon sink) atau dikenal dengan istilah blue carbon. Padang lamun yang hidup di kawasan Pantai Sanur selain sebagai penyeimbang ekosistem disekitarnya, diharapkan juga dapat memberikan peranan lain secara optimal yaitu sebagai salah satu penyerap CO2 dari atmosfer. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul Potensi Penyimpanan Karbon Padang Lamun Di Kawasan Pantai Sanur, Kota Denpasar. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengestimasi potensi penyimpanan karbon dalam biomassa (stok karbon) pada jaringan lamun di bagian atas substrat (daun) dan bagian bawah substrat (akar dan rhizoma). Waktu penelitian ini dimulai pada bulan Juni 2014 sampai dengan Februari 2015. Lamun yang ada di kawasan Pantai Sanur, Kota Denpasar tumbuh di hamparan pantai sepanjang sekitar delapan km yang terbentang dari Pantai Sanur sampai dengan Pantai Mertasari. Pengamatan lamun (jenis dan kerapatan) dan pengambilan sampel biomassa dilakukan di delapan stasiun yang tersebar di lokasi penelitian, dimana tiap stasiun memiliki substasiun yang terdiri dari tiga titik transek kuadran (a,b dan c) sehingga total titik pengamatan (transek kuadran) yang dilakukan sebanyak 24 titik. Pengamatan lamun untuk mengetahui jenis dan kerapatannya dilakukan dengan menggunakan transek kuadrat berukuran 100cm x 100cm. Pengambilan sampel biomassa dilakukan dengan transek kuadrat berukuran 20cm x20cm sebanyak tiga kali pengambilan di dalam transek kuadrat yang berukuran 100cm x 100 cm tersebut. Penghitungan kandungan karbon dilakukan pada 8 titik yakni pada bagian titik (kuadran) tengah (kuadran b) dari masing-masing garis transek. Stok karbon didapatkan melalui konversi dari biomassa dengan menggunakan hasil analisis konsentrasi karbon jaringan lamun yang dilakukan dengan metode
x
Pengabuan dan metode Walkley & Black dan kemudian dilakukan distribusi stok karbon secara spasial. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan delapan jenis spesies lamun di wilayah perairan Pantai Sanur yaitu Enhalus acroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis (famili Hydrocharitaceae), Cymodocea rotundata, Cymodocea serulata, Halodule uninervis, Halodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium (famili Potamogetonaceae). Tingkat keanekaragaman jenis lamun di kawasan Pantai Sanur termasuk dalam kriteria yang tinggi dan bertipe vegetasi campuran (mixed vegetation). Nilai kerapatan lamun tertinggi yaitu pada jenis lamun Syringodium isoetifolium berkisar pada 15 – 545 individu/ m2 dan Halophila ovalis sebesar 10 – 535 individu/ m2. Untuk kemunculan jenis lamun tertinggi pada masing-masing stasiun ditemukan pada jenis Enhalus acroides dan diikuti oleh Halodule uninervis. Nilai total biomassa lamun perkuadran (m2) yang diperoleh dari 8 stasiun yang terbagi atas 24 kuadran (1mx1m) berkisar 26,33 – 235 gram berat kering (gbk)/ m2 yang terdiri dari total biomassa diatas substrat (daun) sebesar 16,08 – 97,17 gbk/ m2 dan total biomassa di bawah substrat (akar dan rhizoma) sebesar 9,92 – 145,67 gbk/ m2. Nilai kandungan karbon dibawah substrat (akar dan rhizoma) berkisar antara 1,62– 29,54 gC/m2 dan nilai kandungan karbon diatas substrat (daun) berkisar antara 3,21 – 18,10 gC/m2. Sedangkan untuk hasil perhitungan total stok karbon lamun dibawah substrat sebesar 39,85 ton karbon atau 60 % lebih besar dibandingkan dengan total stok karbon lamun diatas substrat yang hanya 40 % (26,75 ton karbon). Luas area padang lamun di kawasan Pantai Sanur diestimasi sekitar 322 Ha dan untuk total stok karbon lamun diperoleh total sebesar 66.600.749 gC atau sebesar 66,60 ton karbon. Sehingga padang lamun yang tumbuh dikawasan pantai Sanur mempunyai potensi penyimpanan karbon sebesar 66,60 ton atau setara dengan 0,21 ton/ha karbon yang terdiri dari bagian lamun diatas substrat dan dibawah substrat. Pendugaan konstribusi stok karbon terbesar disumbangkan oleh jenis Enhalus acroides. Konstribusi ini dilihat dari hubungan antara kerapatan lamun, nilai frekuensi kemunculan, nilai biomassa dan nilai kandungan karbon yang menjelaskan bahwa hampir semua masing-masing transek yang ditemukan jenis lamun Enhalus acroides baik yang tunggal (hanya Enhalus acroides) ataupun campuran yang didominasi oleh Enhalus acroides maka nilai biomassa dan kandungan karbonnya lebih tinggi daripada transek lain yang ditemukan lamun dengan jenis lain. Fungsi penting peran lamun sebagai carbon sink adalah stok karbon yang tersimpan pada jaringan lamun yakni sebagai biomassa dan karbon yang dialirkan atau tersimpan (terkubur) ke sedimen.
xi
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM .....................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ...............................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
vi
ABSTRACT ................................................................................................
viii
ABSTRAK ..................................................................................................
ix
RINGKASAN .............................................................................................
x
DAFTAR ISI ...............................................................................................
xii
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xviii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………...
1
1.1 Latar Belakang ……………….………………………………….
1
1.2 Rumusan Masalah ……………….………………………………
3
1.3 Tujuan Penelitian ………………….…………………………….
4
1.4 Manfaat Penelitian ………………………….…………………...
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….
5
2.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian ……………………………..
5
2.2 Definisi Padang Lamun ……………………..…………………..
7
2.3 Klasifikasi Lamun ……………………………………………….
9
2.4 Morfologi Lamun ………………………………………………..
12
2.4.1 Akar ……………………………………………………….
13
2.4.2 Rhizoma dan Batang ………………………………………
14
xii
2.4.3 Daun ……………………………………………………….
14
2.5 Fotosintesis ……………………………………………………...
15
2.5.1 Definisi Fotosintesis ………………………………………
15
2.5.2 Fotosintesis Tumbuhan Air ……………………………….
23
2.6 Vegetasi Lamun Sebagai Blue Carbon Sink Di Laut …………...
25
2.7 Interpolasi Data ………………………………………………….
30
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN PENELITIAN
32
3.1 Kerangka Berpikir ………………………………………………
32
3.2 Konsep Penelitian ………...……………………………………..
34
BAB IV METODE PENELITIAN ………………………………………..
36
4.1 Rancangan Penelitian ………….……………………………...…
36
4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ...………………………………...
37
4.3 Ruang Lingkup ………………………………………………….
39
4.4 Variabel Pengamatan ……………………………………………
39
4.5 Bahan Dan Instrument Penelitian ……………………………….
39
4.6 Prosedur Penelitian …………………………………………......
40
4.6.1 Kondisi Umum Lamun ……………………………………
40
4.6.2 Biomassa dan Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun ……...
43
4.6.3 Total Stok Karbon …………………………………………
47
4.6.4 Metode Interpolasi Data …………………………………..
48
4.7 Analisa Data ……………………………………………………..
49
4.7.1 Kerapatan Lamun dan Frekuensi Kemunculan ……………
49
4.7.2 Biomassa dan Konsentrasi Karbon Lamun …... …………..
50
4.7.3 Total Stok Karbon …………………………………………
52
4.7.4 Interpolasi Data ……………………………………………
52
BAB V HASIL PENELITIAN ……………………………………............
53
5.1 Kondisi Umum Lamun ..............................................................
xiii
53
5.1.1 Distribusi dan Komposisi Jenis Lamun ...............................
53
5.1.2 Kerapatan dan Frekuensi Kemunculan Lamun ...................
55
5.1.2.1 Kerapatan .................................................................
55
5.1.2.2 Frekuensi Kemunculan Lamun ...............................
65
5.1.3 Biomassa Lamun ..................................................................
67
5.2 Parameter Lingkungan Perairan Pantai Sanur ..............................
72
5.3 Karbon Lamun .............................................................................
73
5.3.1 Kandungan Karbon Jaringan Lamun ....................................
73
5.3.2 Total Penyimpanan Stok Karbon .........................................
85
BAB VI PEMBAHASAN ...........................................................................
89
6.1 Kondisi Komunitas Lamun ...........................................................
89
6.1.1 Kondisi ..................................................................................
89
6.1.2 Parameter Lingkungan ..........................................................
93
6.2 Stok Karbon Lamun ......................................................................
96
6.3 Peran Lamun Sebagai Carbon Sink ..............................................
101
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .........................................................
106
7.1 Simpulan .......................................................................................
106
7.2 Saran .............................................................................................
107
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
108
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
116
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Deskripsi Substrat Jenis Lamun di Indonesia … ……………….……. 12 2.2 Perbedaan Antara Tumbuhan C3, C4 dan CAM ................................... 21 2.3 Perkiraan Area Potensi sebagai Carbon Sink …….…………….……. 29 4.1 Letak Geografis Lokasi Penelitian ...............……………………….…
37
4.2 Instrumen yang digunakan dalam Penelitian ........................................
40
5.1 Distribusi dan Sebaran Jenis Lamun di Pantai Sanur ...........................
53
5.2 Kerapatan Lamun .................................................................................
56
5.3 Biomassa Lamun Perjaringan Lamun ..................................................
68
5.4 Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan ............................................
72
5.5 Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun ...................................................
73
5.6 Estimasi Kandungan Karbon Lamun Dengan Metode Wilkley & Black ..................................................................................................... 75 5.7 Estimasi Kandungan Karbon Lamun dengan Metode Pengabuan .......
76
5.8 Rerata Nilai Kandungan Karbon Lamun ..............................................
78
5.9 Kategori Kelas Ukuran Karbon ............................................................
81
xv
DAFTAR GAMBAR
2.1.
Halaman Peta Wilayah Administrasi Kota Denpasar ……...………………….. 6
2.2
Sebaran dan Kondisi Padang Lamun di Pantai Sanur …………….....
8
2.3
Jenis Lamun Di Indonesia …………………………………………...
11
2.4
Ilustrasi Fotosintesis Lamun .…………..………………………….....
25
2.5
Hasil Metode IDW …………………………………………………...
31
3.1
Bagan Kerangka Konsep Penelitian………………………………….
35
4.1
Bagan Alur Kegiatan Penelitian ……………………………………..
36
4.2
Peta Sebaran dan Titik Pengamatan Padang Lamun ………………...
38
4.3
Contoh Peletakan Transek Garis dan Transek Kuadrat .......................
42
4.4
Ilustrasi Pengkonversian Nilai Kandungan Karbon Pada Titik Pengamatan …………………………………………………………..
45
5.1
Komposisi Jenis Lamun di Pantai Sanur .............................................
54
5.2
Grafik Kerapatan Jenis Lamun di Pantai Sanur .................................
57
5.3
Hamparan Padang Lamun di Pantai Mertasari ..................................
61
5.4
Hamparan Padang Lamun di Pantai Semawang ................................
61
5.5
Hamparan Padang Lamun di Pantai Semawang 2 .............................
61
5.6
Hamparan Padang Lamun di Pantai Indah ........................................
62
5.7
Hamparan Padang Lamun di Pantai Sindhu .......................................
62
5.8
Hamparan Padang Lamun di Pantai Ina Grand Bali Beach ................
62
5.9
Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur 2 ......................................
63
5.10 Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur 1 ......................................
63
5.11 Dendogram Pengelompokan Stasiun ..................................................
64
5.12 Grafik Frekuensi Kemunculan Jenis Lamun ......................................
65
5.13 Grafik Sebaran Biomassa Lamun .......................................................
69
5.14 Grafik Persentase Biomassa lamun .....................................................
69
5.15 Persentase Keseluruhan Biomasa Lamun ............................................
71
5.16 Rata-Rata Stok Karbon Lamun Pada Masing-Masing Transek ..........
77
5.17 Peta Sebaran Stok Karbon Lamun Bagian Atas Substrat di Kawasan
82
xvi
Pantai Sanur ......................................................................................... 5.18 Peta Sebaran Stok Karbon Lamun Bagian Bawah Substrat di Kawasan Pantai Sanur .........................................................................
83
5.19 Total Stok Karbon Lamun Pada Masing-Masing Transek ..................
85
5.20 Peta Total Sebaran Stok Karbon Lamun di Kawasan Pantai Sanur ....
86
5.21 Persentase Konstribusi Stok Karbon Lamun Bagian Atas Substrat Dan Bagian Bawah Substrat ................................................................
88
.
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
1
Halaman Hasil Pengukuran Berat Kering (Biomassa) Sampel Lamun ............... 116
2
Hasil Analisis Mann-Whitney Nilai Karbon ........................................
3
Dokumentasi Penelitian …………….................................................... 123
xviii
119
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Isu pemanasan global yang berimplikasi pada terjadinya perubahan iklim saat ini berada pada laju yang mengkhawatirkan, dimana aktivitas manusia adalah penyumbang gas karbon dioksida (CO2) terbanyak ke udara. Kegiatan manusia yang dapat melepaskan emisi CO2 adalah pembakaran lahan, emisi kendaraan bermotor, limbah pabrik dan lain sebagainya yang menyebabkan peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dimana peningkatan ini menyebabkan keseimbangan radiasi berubah sehingga suhu bumi meningkat. Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah menyebabkan pemanasan atmosfer secara global (global warming). GRK yang penting diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbon dioksida, metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Karbon dioksida memiliki kontribusi lebih dari 55% terhadap kandungan GRK, maka dari itu karbon dioksida yang diemisikan dari aktivitas manusia (anthropogenic) mendapat perhatian yang lebih besar (Darussalam, 2011).
Sebelumnya, fokus perhatian para pakar hanya tertuju pada peran vegetasi darat sebagai penyerap karbon seperti hutan dan perkebunan (Ulumuddin, et al. 2005; Aminudin, 2008), dan mengabaikan peran ekosistem pesisir. Bukti ilmiah hingga kini juga sudah menguak bahwa ada ekosistem laut tertentu yang berperan sebagai rosot karbon (carbon sinks). Fourqurean et al (2012) mengemukakan bahwa ekosistem padang lamun mampu menyimpan 83.000 metrik ton karbon
2
dalam setiap kilometer persegi. Angka ini adalah dua kali lipat dari kemampuan hutan menyerap karbon: yaitu sekitar 30.000 metrik ton dalam setiap kilometer perseginya. Dengan kemampuan menyimpan karbon di bagian tanah, para peneliti menyatakan bahwa hamparan lamun menyimpan 10 persen dari kandungan karbon di lautan di seluruh dunia. Dengan fungsi ini berarti ekosistem tersebut berkemampuan menyerap dan memindahkan jumlah besar karbon dari atmosfir setiap harinya, dan mengendapkannya dalam badan tumbuhan atau sedimen tempat tumbuh untuk waktu yang lama. Maka dari itu sangat diperlukan jasa ekosistem laut dalam penyerapan/ sekuestrasi karbon (Carbon sequestration ). Ekosistem laut yang berpotensi menyerap karbon dari atmosfer lewat fotosintesis, yaitu
berupa plankton yang mikroskopis maupun yang berupa
tumbuhan yang hanya hidup di pantai seperti di hutan mangrove, padang lamun, ataupun rawa payau (salt marsh). Meskipun tumbuhan pantai (mangrove, padang lamun, dan rawa payau) tersebut luas totalnya kurang dari setengah persen dari luas seluruh laut, ketiganya dapat mengunci lebih dari separuh karbon laut ke sedimen dasar laut (Kawaroe, 2009). Salah satu sumberdaya laut yang cukup potensial sebagai penyerap gas CO2 adalah padang lamun. Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Berbagai jenis ikan menjadikan daerah padang lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground),
3
pengasuhan larva (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), sebagai stabilitas dan penahanan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai tempat terjadinya siklus nutrien (Philips dan Menez 1988) dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan (carbon sink) atau dikenal dengan istilah blue carbon dan digunakan untuk proses fotosintesis (Kawaroe, 2009). Lamun yang ada di Pantai Sanur, Kota Denpasar tumbuh di hamparan pantai sepanjang sekitar 8 km yang terbentang dari Pantai Sanur sampai Mertasari. Substrat dasar tempat lamun itu tumbuh terdiri atas pasir, pecahan karang, karang mati, batuan massif, karang dan algae (Bali Beach Conservation Project, 1998; Arthana, 2004). Keberadaan ekosistem padang lamun di Pantai Sanur memiliki peranan penting terhadap ekosistem pantai di sekitarnya dan juga kaitannya dalam mengurangi emisi karbon dalam proses pemanasan global, maka diperlukan suatu perhitungan estimasi potensi penyimpanan karbon pada jaringan lamun yang terdapat di Pantai Sanur.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana jenis, kondisi kerapatan dan frekuensi kemunculan padang lamun yang terdapat di Pantai Sanur? 2. Bagaimana estimasi potensi penyimpanan karbon dalam biomassa (stok karbon) pada jaringan lamun di bagian atas substrat (daun) dan bagian bawah substrat (akar dan rhizoma) di Pantai Sanur?
4
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui jenis, kondisi kerapatan dan frekuensi kemunculan padang lamun yang terdapat di Pantai Sanur. 2. Mengestimasi potensi penyimpanan karbon dalam biomassa (stok karbon) pada jaringan lamun di bagian atas substrat (daun) dan bagian bawah substrat (akar dan rhizoma) di Pantai Sanur.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Sebagai data awal untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan pada lamun di Pantai Sanur kaitannya untuk mengurangi emisi karbon dalam proses pemanasan global (global warming). 2. Memberi informasi mengenai potensi penyimpanan karbon pada jaringan lamun (daun, akar dan rhizoma) di Pantai Sanur dalam usaha untuk perbaikan kualitas lingkungan. 3. Pentingnya fungsi lain dari ekosistem padang lamun yaitu sebagai
penyerap karbon di atmosfer sehingga diharapkan masyarakat dan pemerintah dapat melakukan usaha pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan untuk menjaga keberadaan ekosistem pesisir khususnya ekosistem padang lamun.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian Pantai Sanur terletak pada 8° 38’ 00” dan 08° 42’ 30” LS, 115° 14’ 30” dan 115° 16’ 30” BT. Luas wilayah kawasan pariwisata Pantai Sanur adalah 1.548,27 Ha. Secara administratif Pantai Sanur terletak di Kecamatan Denpasar Selatan dan Denpasar Timur, Kota Denpasar. Kawasan Pantai Sanur di Denpasar Selatan meliputi wilayah Kelurahan Sanur, wilayah Desa Sanur Kaja, wilayah Desa Sanur Kauh, serta di Kecamatan Denpasar Timur meliputi wilayah Desa Kesiman Petilan dan wilayah Desa Kesiman Kertalangu (Astuti, 2002). Kawasan pariwisata Sanur memiliki garis pantai dengan panjang ± 8 km, merupakan pantai di sebelah Timur yang membentang dari utara ke selatan (Astuti, 2002). Kawasan pariwisata Sanur berada pada ketinggian antara 0 – 6 mdpl (meter di atas permukaan laut) dengan untuk wilayah (relief) datar dengan kemiringan lereng antara 0 – 2 % dan di beberapa bagian wilayah Sanur merupakan daerah bergelombang dan berombak dengan kemiringan lereng antara 3 – 8 % (Gautama, 2011). Wilayah tersebut terutama ada di daerah sekitar sepanjang Sungai Ayung yang memisahkan antara Desa Kesiman Kertalangu dengan Desa Kesiman Petilan serta di sebagian wilayah Kelurahan Sanur. Dataran bermedan landai dengan ciri fisik tersebut mempunyai tingkat erosi permukaan yang kecil dan beberapa tempat terdapat abrasi serta proses pengendapan aktif di sekitar muara sungai. Sebagai daerah pantai, kawasan Sanur merupakan daerah yang relatif datar sehingga berpotensi untuk tergenang di beberapa tempat pada
5
6
musim penghujan (Astuti, 2002). Adapun kawasan pariwisata Pantai Sanur dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.1. Peta administrasi Kota Denpasar
Sebaran ekosistem lamun terdapat di Sanur yakni seluas 322 ha, tersebar dari Pantai Sanur, Pantai Matahari Terbit sampai Pantai Mertasari (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar, 2014). Habitat padang lamun di Pantai Sanur dicirikan oleh habitat laguna yaitu perairan dangkal pasang surut antara pantai dan tubir karang. Lebar sebaran padang lamun bervariasi tergantung lebar laguna. Jangkauan pertumbuhan padang lamun paling lebar terdapat di Pantai Semawang yaitu mencapai 820 meter, disusul Pantai Mertasari mencapai 750 meter. Lebar sebaran padang lamun di kawasan Pantai Sanur (depan Inna
7
Grand Bali Beach Hotel) adalah 180 meter (Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Denpasar, 2013). 2.2 Definisi Padang Lamun Lamun didefinisikan sebagai satu-satunya tumbuhan berbunga yang mampu beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun dan akar sejati. Beberapa ahli juga mendefinisikan lamun sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas (Den Hartog, 1977). Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut ekosistem lamun (seagrass ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai pada terumbu karang. Ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain adalah (Den Hartog, 1977): 1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/ pasir. 2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang.
8
3. Mampu hidup sampai kedalaman
30 meter, di perairan tenang dan
terlindung. 4. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan. 5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif. 6. Mampu hidup di media air asin. 7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik. Sebaran dan kondisi padang lamun yang menutupi areal pantai dapat dilihat pada Gambar 2.2 sebagai berikut:
Gambar 2.2. Sebaran dan Kondisi Padang Lamun di Pantai Sanur Padang lamun adalah ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan. Lamun adalah kelompok tumbuhan berbiji tertutup dan berkeping tunggal (monokotil) yang mampu hidup secara permanen di bawah permukaan air laut (Sheppard et al, 1996). Komunitas lamun berada di
9
antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut (Sitania, 1998). 2.3 Klasifikasi Lamun Tanaman lamun memiliki bunga, berpolinasi, menghasilkan buah dan menyebarkan bibit seperti banyak tumbuhan darat. Klasifikasi lamun adalah berdasarkan karakter tumbuh-tumbuhan. Selain itu, genera di daerah tropis memiliki morfologi yang berbeda sehingga pembedaan spesies dapat dilakukan dengan dasar gambaran morfologi dan anatomi. Terdapat empat ciri-ciri pada lamun menurut Endrawati (2000), yakni: 1. Toleransi terhadap kadar garam lingkungan. 2. Tumbuh pada perairan yang selamanya terendam. 3. Mampu bertahan dan mengakar pada lahan dari hempasan ombak dan arus. 4. Menghasilkan polinasi hydrophilous (benang sari yang tahan terhadap kondisi perairan). Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, di mana di Indonesia ditemukan sekitar 12 jenis yang termasuk ke dalam dua famili: (1) Hydrocharitaceae, dan (2) Cymodoceae. Jenis yang membentuk komunitas padang lamun tunggal, antara lain: Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, dan Thallassodendron ciliatum. Secara rinci klasifikasi lamun menurut Den Hartog (1970) dan Menez, Phillips, dan Calumpong (1983) adalah sebagai berikut :
10
Divisi
:
Anthophyta
Kelas
:
Angiospermae
Sub Kelas
:
Monocotyledonae
Ordo
:
Helobiae
Famili
:
Hydrocharitaceae
Genus
:
Enhalus
Spesies
:
Enhalus acroides
Genus
:
Halophila
Spesies
:
Halophila decipiens
:
Halophila ovalis
:
Halophila minor
:
Halophila spinulosa
Genus
:
Thalasia
Spesies
:
Thalasia hemprichii
Famili
:
Cymodoceae
Genus
:
Cymodocea
Spesies
:
Cymodocea rotundata
:
Cymodocea serrulata
Genus
:
Halodule
Spesies
:
Halodule pinifolia
:
Halodule uninervis
Genus
:
Syringodium
Spesies
:
Syringodium isoetifolium
Genus Spesies
Thalassodendron :
Thalassodendron ciliatum
Contoh jenis-jenis lamun yang terdapat di Indonesia dapat disajikan pada Gambar 2.3 sebagai berikut:
11
Thalassia hemprichii
Thalassodendron ciliatum
Halodule uninervis
Halophila spinulosa
Halophila ovalis
Enhalus acoroides
Halophila minor
Cymodocea serrulata
Syringodium isoetifolium
Halodule pinifolia
Halophila decipiens
Cymodocea rotundata
Gambar 2.3 Jenis-Jenis Lamun di Indonesia (Sumber: http://seagrass-indonesia.oseanografi.lipi.go.id)
12
2.4 Morfologi Lamun Berbagai bentuk pertumbuhan tersebut mempunyai kaitan dengan perbedaan ekologis lamun (Den Hartog, 1977). Misalnya Parvozosterid dan Halophilid dapat dijumpai pada hampir semua habitat, mulai dari pasir yang kasar sampai lumpur yang lunak, mulai dari daerah dangkal sampai dalam, mulai dari laut terbuka sampai estuari. Magnosterid dapat dijumpai pada berbagai substrat, tetapi terbatas pada daerah sublitoral sampai batas rata-rata daerah surut. Secara umum lamun memiliki bentuk luar yang sama, dan yang membedakan antar spesies adalah keanekaragaman bentuk organ sistem vegetatif. Menjadi tumbuhan yang memiliki pembuluh, lamun juga memiliki struktur dan fungsi yang sama dengan tumbuhan darat yaitu rumput. Berbeda dengan rumput laut (marine alga/ seaweeds), lamun memiliki akar sejati, daun, pembuluh internal yang merupakan sistem yang menyalurkan nutrien, air, dan gas. Deskripsi substrat dari jenis-jenis lamun dapat disajikan pada Tabel 2.1 sebagai berikut:
No
Tabel 2.1 Deskripsi Substrat Jenis-Jenis Lamun di Indonesia Jenis Lamun Deskripsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Enhalus acoroides Halodule pinifolia Halodule uninervis Halophila minor Halophila ovalis Halophila decipiens Halophila spinulosa Syringodium isoetifolium Thalassia hemprichii
12
Thalassodendron ciliatum
(Sumber: Bengen 2004)
Tumbuh dominan di daerah intertidal Tumbuh di daerah yang berbatasan dengan mangrove Tumbuh di substrat pasir berlumpur Spesies pionir, dominan di daerah intertidal Tumbuh pada rataan terumbu karang yang rusak Tumbuh pada substrat berlumpur Tumbuh di daerah yang intensitas cahayanya kurang Tumbuh pada substrat berlumpur Tumbuh pada rataan terumbu karang yang rusak Tumbuh pada substrat lumpur yang dangkal Tumbuh pada substrat pasir berlumpur dan pecahan karang Tumbuh pada daerah subtidal
13
2.4.1 Akar Akar pada beberapa spesies seperti Halophila sp dan Halodule sp memiliki karakteristik tipis (fragile), seperti rambut, diameter kecil, sedangkan spesies Thalassodendron sp memiliki akar yang kuat dan berkayu dengan sel epidermal. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, akar dan akar rambut lamun
tidak
berkembang
dengan
baik.
Namun,
beberapa
penelitian
memperlihatkan bahwa akar dan rhizoma lamun memiliki fungsi yang sama dengan tumbuhan darat. Patriquin (1972), menjelaskan bahwa lamun mampu menyerap nutrien dari dalam substrat (interstitial) melalui sistem akar-rhizoma. Selanjutnya, fiksasi nitrogen yang dilakukan oleh bakteri heterotropik di dalam rhizosper Halophila ovalis, Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii cukup tinggi lebih dari 40 mg N.m-2.day-1. Koloni bakteri yang ditemukan di lamun memiliki peran yang penting dalam penyerapan nitrogen dan penyaluran nutrien oleh akar. Fiksasi nitrogen merupakan proses yang penting karena nitrogen merupakan unsur dasar yang penting dalam metabolisme untuk menyusun struktur komponen sel. Larkum et al (1989) menekankan bahwa transport oksigen ke akar mengalami penurunan tergantung kebutuhan metabolisme sel epidermal akar dan mikroflora yang berasosiasi. Melalui sistem akar dan rhizoma, lamun dapat memodifikasi sedimen di sekitarnya melalui transpor oksigen dan kandungan kimia lain. Kondisi ini juga dapat menjelaskan jika lamun dapat memodifikasi sistem lakunal berdasarkan tingkat anoksia di sedimen. Dengan demikian
14
pengeluaran oksigen ke sedimen merupakan fungsi dari detoksifikasi yang sama dengan yang dilakukan oleh tumbuhan darat. Kemampuan ini merupakan adaptasi untuk kondisi anoksik yang sering ditemukan pada substrat yang memiliki sedimen liat atau lumpur. Karena akar lamun merupakan tempat untuk melakukan metabolisme aktif (respirasi) maka konnsentrasi CO2 di jaringan akar relatif tinggi.
2.4.2 Rhizoma dan Batang Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Rhizoma, bersama sama dengan akar, menancapkan tumbuhan ke dalam substrat. Rhizoma seringkali terbenam di dalam substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran yang utama pada reproduksi secara vegetatif dan reproduksi yang dilakukan secara vegetatif merupakan hal yang lebih penting daripada reproduksi dengan pembibitan karena lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Rhizoma merupakan 60 – 80% biomas lamun.
2.4.3 Daun Spesies lamun memiliki morfologi khusus dan bentuk anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Beberapa bentuk morfologi sangat mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk puncak daun, keberadaan atau ketiadaan ligula. Contohnya adalah puncak daun Cymodocea serrulata berbentuk lengkungan dan berserat, sedangkan Cymodocea rotundata datar dan halus. Daun lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun
15
menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi daun muda. Tetapi genus Halophila yang memiliki bentuk daun petiolate tidak memiliki pelepah. Anatomi yang khas dari daun lamun adalah ketiadaan stomata dan keberadaan kutikula yang tipis. Kutikula daun yang tipis tidak dapat menahan pergerakan ion dan difusi karbon sehingga daun dapat menyerap nutrien langsung dari air laut. Air laut merupakan sumber bikarbonat bagi tumbuh-tumbuhan untuk penggunaan karbon inorganik dalam proses fotosintesis.
2.5. Fotosintesis 2.5.1 Definisi Fotosintesis Fotosintesis berasal dari kata “foton” yang berarti cahaya dan “sintesis” yang berarti penyusunan. Jadi fotosintesis adalah proses penyusunan dari zat organic H2O dan CO2 menjadi senyawa organik yang kompleks yang memerlukan cahaya. Fotosintesis hanya dapat terjadi pada tumbuhan yang mempunyai klorofil, yaitu pigmen yang berfungsi sebagai penangkap energi cahaya matahari (Kimball, 2002). Proses ini hanya akan terjadi jika ada cahaya dan melalui perantara pigmen hijau daun yaitu klorofil yang terdapat dalam kloroplas. Jika fotosintesis adalah suatu proses penyusunan (anabolisme atau asimilasi) di mana energi diperoleh dari sumber cahaya dan disimpan sebagai zat kimia, maka proses respirasi adalah suatu proses pembongkaran (katabolisme atau disasimilasi) di mana energi yang tersimpan dibongkar kembali untuk menyelenggarakan proses – proses kehidupan. Tumbuhan terutama tumbuhan tingkat tinggi, untuk memperoleh makanan sebagai kebutuhan pokoknya agar tetap bertahan hidup, tumbuhan tersebut harus
16
melakukan suatu proses yang dinamakan proses sintesis karbohidrat yang terjadi di bagian daun satu tumbuhan yang memiliki klorofil, dengan menggunakan cahaya matahari. Cahaya matahari merupakan sumber energi yang diperlukan tumbuhan untuk proses tersebut. Tanpa adanya cahaya matahari tumbuhan tidak akan mampu melakukan proses fotosintesis, hal ini disebabkan kloropil yang berada di dalam daun tidak dapat menggunakan cahaya matahari karena klorofil hanya akan berfungsi bila ada cahaya matahari. Tumbuhan hijau memiliki kemampuan menggunakan CO2 dari udara yang akan diubah menjadi bahan organik dengan bantuan cahaya matahari. Persamaan kimia fotosintesis dapat direpresentasikan pada persamaan (1) sebagai berikut:
Cahaya
6CO2 + 6H2O
C6H12O6 + 6O2
…………… …….. (1)
Tidak semua radiasi cahaya matahari dapat dimanfaatkan untuk kegiatan fotosintesis, hanya pada radiasi cahaya tampak (380 – 700 nm). Cahaya tampak terbagi atas cahaya merah (610 – 700), hijau kuning (510 – 600 nm), biru ( 410 – 500 nm), dan violet. Berdasarkan proses reaksinya, fotosintesis dibagi menjadi 2 yaitu (Benyamin, 2004): a. Reaksi Terang, yaitu reaksi fotosintesis dimana klorofil mengubah energi matahari menjadi energi kimia dalam bentuk ATP (Adenosine Tri Phosphate) dan NADH2 (Nikotilamid adenin dinukleotida H2). Bersamaan dengan dihasilkannya ATP dan NADH2, dihasilkan juga O2 sebagai hasil samping. Reaksi terang membutuhkan cahaya, karena itu harus terjadi di siang hari.
17
b. Reaksi Gelap, yaitu reaksi fotosintesis yang tidak membutuhkan cahaya dan merupakan reaksi lanjutan dari reaksi terang dalam fotosintesis yang merupakan reaksi pembentukan gula dari bahan dasar CO2 dan energi. Pada reaksi ini terjadi proses pembentukan karbohidrat melalui konversi CO2 dan air. Reaksi gelap terjadi melalui dua jalur, yaitu siklus CalvinBenson dan siklus Hatch-Slack. Pada siklus Calin-Benson, tumbuhan menghasilkan senyawa dengan jumlah atom karbon tiga, yaitu senyawa 3fosfogliserat. Siklus ini dibantu oleh enzim rubisco. Pada siklus hatchSlack, tumbuhan menghasilkan senyawa dengan jumlah atom karbon empat. Enzim yang berperan adalah phosphoenolpyruvate carboxylase dan produk akhir siklus gelap diperoleh glukosa yang dipakai tumbuhan untuk aktivitasnya atau disimpan sebagai cadangan energi.
Berdasarkan tipe fotosintesis, tumbuhan dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu C3, C4 dan CAM (Crassulacean Acid Metabolism) yaitu sebagai berikut: 1. Tumbuhan C3 Tanaman C3 lebih adaptif pada kondisi kandungan CO2 atmosfer tinggi. Sebagian besar tanaman pertanian, seperti gandum, kentang, kedelai, kacangkacangan, dan kapas merupakan tanaman dari kelompok C3. Pada tanaman C3, enzim yang menyatukan CO2 dengan RuBP (RuBP merupakan substrat untuk pembentukan karbohidrat dalam proses fotosintesis) dalam proses awal assimilasi (enzim rubisco), juga dapat mengikat O2 pada saat yang bersamaan untuk proses fotorespirasi (Sitompul, 1995). Jika konsentrasi CO2 di atmosfir ditingkatkan,
hasil
dari
kompetisi
antara
CO2 dan
O2 akan
lebih
18
menguntungkan CO2, sehingga fotorespirasi terhambat dan assimilasi akan bertambah besar. Tumbuhan C3 tumbuh dengan fiksasi karbon C3 biasanya tumbuh dengan baik di area dimana intensitas sinar matahari cenderung sedang, temperature sedang dan dengan konsentrasi CO2 sekitar 200 ppm atau lebih tinggi, dan juga dengan air tanah yang berlimpah. Tumbuhan C3 harus berada dalam area dengan konsentrasi gas karbondioksida yang tinggi sebab Rubisco carboxylase sering menyertakan molekul oksigen ke dalam RuBP sebagai pengganti molekul karbondioksida. Konsentrasi gas karbondioksida yang tinggi menurunkan kesempatan Rubisco carboxylase untuk menyertakan molekul oksigen. Karena bila ada molekul oksigen maka RuBP akan terpecah menjadi molekul 3-karbon yang tinggal dalam siklus Calvin, dan 2 molekul glikolat akan dioksidasi dengan adanya oksigen, menjadi karbondioksida yang akan menghabiskan energi (Sulisbury, 1995). Contoh tanaman C3 antara lain: kedelai, kacang tanah, kentang, dan lain-lain. 2. Tumbuhan C4 Tumbuhan C4 dan CAM lebih adaptif di daerah panas dan kering. Pada tanaman C4, CO2 diikat oleh PEP (phosphoenolpyruvate ) carboxylase (enzym pengikat CO2 pada tanaman C4) yang tidak dapat mengikat O2 sehingga tidak terjadi kompetisi antara CO2 dan O2 (Sulisbury, 1995). Lokasi terjadinya assosiasi awal ini adalah di sel-sel mesofil (sekelompok sel-sel yang mempunyai klorofil yang terletak di bawah sel-sel epidermis daun). CO2 yang sudah terikat oleh PEP carboxylase kemudian ditransfer ke sel-sel “bundle sheath” (sekelompok sel-sel di sekitar xylem dan phloem) dimana kemudian pengikatan oleh RuBP
19
terjadi. Karena tingginya konsentasi CO2 pada sel-sel bundle sheath ini, maka O2 tidak mendapat kesempatan untuk bereaksi dengan RuBP, sehingga fotorespirasi sangat kecil. PEP carboxylase mempunyai daya ikat yang tinggi terhadap CO2, sehingga reaksi fotosintesis terhadap CO2 di bawah 100 m mol m-2 s-1 sangat tinggi, laju assimilasi tanaman C4 hanya bertambah sedikit dengan meningkatnya CO2 (Gardner, 1991). Sehingga, dengan meningkatnya CO2 di atmosfir, tanaman C3 akan lebih beruntung dari tanaman C4 dalam hal pemanfaatan CO2 yang berlebihan. Contoh tanaman C4 adalah jagung, sorgum dan tebu. 3. Tumbuhan CAM Pada tumbuhan CAM, tanaman ini mengambil CO2 pada malam hari, dan mengunakannya untuk fotosistensis pada siang harinya (Gardner, 1991). Tumbuhan CAM yang dapat mudah ditemukan adalah nanas, kaktus, dan bunga lili. Tanaman CAM , pada kelompok ini penambatan CO2 seperti pada tanaman C4, tetapi dilakukan pada malam hari dan dibentuk senyawa dengan gugus 4-C. Pada hari berikutnya ( siang hari ) pada saat stomata dalam keadaan tertutup terjadi dekarboksilase senyawa C4 tersebut dan penambatan kembali CO2 melalui kegiatan Rudp karboksilase. Jadi tanaman CAM mempunyai beberapa persamaan dengan kelompok C4 yaitu dengan adanya dua tingkat sistem penambatan CO2. Selama malam hari, ketika stomata tumbuhan itu terbuka, tumbuhan mengambil CO2 dan memasukkannya kedalam berbagai asam
organik.
Cara
fiksasi
karbon
ini
disebut metabolisme
asam
krasulase, atau CAM. Dinamakan demikian karena metabolisme ini pertama
20
kali diteliti pada tumbuhan dari famili Crassulaceae. Termasuk golongan CAM adalah Crassulaceae, Cactaceae, Bromeliaceae, Liliaceae, Agaveceae, Ananas comosus, dan Oncidium lanceanum. Jalur CAM serupa dengan jalur C4 dalam hal karbon dioksida terlebih dahulu dimasukkan kedalam senyawa organic intermediet
sebelum
karbon
dioksida
ini
memasuki
siklus
Calvin.
Perbedaannya ialah bahwa pada tumbuhan C4, kedua langkah ini terjadi pada ruang yang terpisah. Langkah ini terpisahkan pada dua jenis sel. Pada tumbuhan CAM, kedua langkah dipisahkan untuk sementara. Fiksasi karbon terjadi pada malam hari, dan siklus calvin berlangsung selama siang hari (Lakitan, 1995). Perbedaan antara tumbuhan C3 , C4 dan CAM tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut (Prasetyo, 2008):
21
Tabel 2.2 Perbedaan Antara Tumbuhan C3 , C4 dan CAM C3 Lebih adaptif pada kondisi kandungan CO2 atmosfer tinggi
C4 Adaptif di daerah panas dan kering
CAM Adaptif di daerah panas dan kering
Enzim yang menyatukan CO2 dengan RuBP, juga dapat mengikat O2 pada saat yang bersamaan untuk proses fotorespirasi
CO2 diikat oleh PEP yang tidak dapat mengikat O2 sehingga tidak terjadi kompetisi antara CO2 dan O2
Pada malam hari asam malat tinggi, pada siang hari malat rendah Lintasan
CO2 masuk ke siklus calvin secara langsung.
Tidak mengikat CO2 secara langsung
Tidak mengikat CO2 secara langsung
Disebut tumbuhan C3 karena senyawa awal yang terbentuk berkarbon 3 (fosfogliserat)
Sel seludang pembuluh berkembang dengan baik dan banyak mengandung kloroplas
Umumnya tumbuhan yang beradaptasi pada keadaan kering seperti kaktus, anggrek dan nenas
Sebagian besar tumbuhan tinggi masuk ke dalam kelompok tumbuhan C3
Fotosintesis terjadi di dalam sel mesofil dan sel seludang pembuluh
Reduksi karbon melalui lintasan C4 dan C3 dalam sel mesofil tetapi waktunya berbeda
Apabila stomata menutup akibat stress terjadi peningkatan fotorespirasi pengikatan O2 oleh enzim Rubisco
Pengikatan CO2 di udara Pada malam hari terjadi melalui lintasan C4 di sel lintasan C4 pada siang mesofil dan reduksi hari terjadi suklus C3 karbon melalui siklus Calvin (siklus C3) di dalam sel seludang pembuluh
Faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis adalah sebagi berikut (Puspita dan Rohima, 2009): 1. Konsentrasi karbondioksida di udara Semakin tinggi
konsentrasi karbondioksida di udara, maka laju
fotosintesis semakin meningkat.
22
2. Klorofil Semakin banyak jumlah klorofil dalam daun maka proses fotosintesis berlangsung semakin cepat. Pembentukan klorofil memerlukan cahaya matahari. 3. Cahaya Intensitas cahaya yang cukup diperlukan agar fotosintesis berlangsung dengan efisien. fotosintesi akan berlangsung maksimal jika lingkungan memiliki suhu optimal. 4. Oksigen Kenaikan kadar oksigen dapat menghambat fotosintesis karena oksigen merupakan komponen untuk respirasi. Oksigen akan bersaing dengan karbondioksida untuk mendapat hidrogen. 5. Air Ketersediaan air mempengaruhi laju fotosintesis karena air merupakan bahan baku dalam proses ini. 6. Suhu Umumnya
semakin
tinggi
suhunya,
laju
fotosintesis
akan
meningkat, demikian juga sebaliknya. Namun bila siuhu terlalu tinggi, fotosintesis akan
berhenti karena enzim-enzim yang berperan dalam
fotosintesis rusak. Oleh karena itu tumbuhan menghendaki suhu optimum yakni 28 - 30° C (tidak terlalu rendah atau terlalu tinggi) agar fotosintesis berjalan secara efisien.
23
2.5.2 Fotosintesis Tumbuhan Air Proses memproduksi makanan dengan bantuan energi cahaya tetap sama untuk tumbuhan darat maupun tumbuhan air. Selain ringan, mereka membutuhkan bahan baku dasar - karbon dioksida dan air (H2O) untuk sintesis glukosa (C6H12O6). Apa yang khusus tentang produksi pangan dengan tumbuhan bawah air yakni berasal bahan baku dan energi cahaya dari lingkungan mereka. Dalam kasus tanaman darat, gas-gas yang diperlukan dan energi cahaya yang tersedia dengan mudah. Mereka menyerap karbon dioksida dari udara atmosfer melalui lubang stomata mereka (hadir di atas dan sisi bawah daun), air dari tanah melalui sistem akar mereka, dan terakhir namun tidak sedikit, energi radiasi dari sinar matahari. Oleh karena itu, tanaman darat menjalani fotosintesis alami tanpa adaptasi khusus. Untuk tumbuhan air yang memiliki ketersediaan air dalam jumlah yang lebih dari cukup, tantangan utama adalah untuk mendapatkan karbon dioksida dan cahaya. Untuk hal yang sama, sebagian besar tanaman ini menunjukkan adaptasi dalam beberapa cara atau yang lain. Untuk tanaman laut, mereka diadaptasi dengan batang lilin dan daun. Hal ini membantu dalam menyerap air, sementara mencegah masuknya garam untuk sistem mereka. Selain itu, beberapa tumbuhan laut memiliki fitur khusus untuk menghilangkan garam sesegera mungkin. Semua proses ini membantu dalam mengatur keseimbangan osmotik, yang jika tidak akan menyebabkan pencucian air dan pengeringan tanaman. Dengan cara ini, tanaman air menjalani fotosintesis bawah air. Produk-produk dari fotosintesis pada tumbuhan air, pada dasarnya karbohidrat dan oksigen, yang digunakan oleh
24
organisme lain yang hidup dalam komunitas biotik yang sama. Dan seperti hewan, tumbuhan memang membutuhkan oksigen, tetapi dalam jumlah kecil. Hal ini diperoleh dari oksigen yang dilepaskan pada saat fotosintesis. Aliran karbon dioksida dari udara melewati muka air laut merupakan fungsi dari kelarutan (solubility) CO2 di dalam air laut dan dikenal sebagai solubility pump. Jumlah CO2 terlarut di air laut adalah utamanya dipengaruhi oleh kondisi fisika-kimia (suhu air laut, salinitas, total alkalinitas) dan proses biologi (produktivitas primer) yang terjadi di laut. Melalui proses pertukaran gas, CO2 ditransfer dari udara ke laut dan berubah bentuk menjadi dissolved inorganik carbon (DIC). Proses ini terjadi secara terus menerus karena laut tidak jenuh oleh kandungan CO2 jika dibandingkan atmosfer. Proses ini sangat efisien terjadi di wilayah dengan posisi lintang tinggi (temperate) karena kelarutan CO2 sangat efisien pada kondisi suhu rendah. Pada proses seperti ini, CO2 di atmosfer dalam jumlah banyak akan terlarut dan tersimpan sehingga tidak menjadi gas rumah kaca di atmosfer (Kawaroe, 2009). Tumbuhan akuatik lebih menyukai karbondioksida sebagai sumber karbon dibandingkan dengan bikarbonat dan karbonat. Bikarbonat sebenarnya dapat berperan sebagai sumber karbon. Namun, di dalam kloroplas bikarbonat harus dikonversi terlebih dahulu menjadi karbondioksida dengan bantuan enzim karbonik anhidrase (Effendi, 2003). Gambar ilustrasi fotosintesis tumbuhan lamun disajikan pada Gambar 2.4 sebagai berikut:
25
Gambar 2.4 Ilustrasi Fotosintesis Tumbuhan Lamun 2.6 Vegetasi Lamun Sebagai Blue Carbon Sink Di Laut Perubahan iklim disebabkan karena meningkatnya kandungan gas rumah kaca dan partikel di atmosfir. Pertama, disebabkan karena pembakaran bahan bakar fosil, pelepasan gas rumah kaca seperti CO2, dikenal sebagai “brown carbon”, dan partikel debu, dikenal sebagai “black carbon”. Kedua, disebabkan karena emisi yang berasal dari penebangan vegetasi hutan, kebakaran hutan, dan emisi dari kegiatan pertanian (pupuk). Ketiga, disebabkan karena pengurangan kemampuan ekosistem alami untuk menyerap karbon dalam proses fotosintesis dan menyimpannya, dikenal sebagai “green carbon” (Trumper et al, 2009). Istilah baru dalam penyerapan karbon dikenal sebagai “blue carbon” yaitu sebagai penyerapan karbon yang dilakukan oleh lautan termasuk di dalamnya organisme hidup. Diperkirakan blue carbon dapat menyerap sekitar 55% karbon yang berada di atmosfer dan digunakan untuk proses fotosintesis. Siklus karbon di
26
laut tersebut penyerapannya didominasi oleh mikro, nano, dan pikoplankton, termasuk bakteria dan jamur.
Nino, nano dan pikoplankton adalah kategori
ukuran dari plankton. Pikoplankton yakni dalam ukuran kurang dari 2 mikron (µm) yang terdiri dari fitoplankton, zooplankton uniseluler dan bakterioplankton. Nanoplankton dalam ukuran 2 – 20 mikron sedangkan untuk mikroplankton atau netplankton yakni berkisar antara 20 – 200 mikron (Sverdrup and Armbrust, 2008). Penyerapan karbon di lautan dunia tersimpan dalam bentuk sedimen yang berasal dari mangrove, salt marshes, dan padang lamun. Blue carbon ini tersimpan sampai dengan jutaan tahun dan lebih lama dibandingkan dengan hutan yang hanya tersimpan puluhan sampai ratusan tahun karena mengalami pencucian. Walaupun biomas tumbuhan laut jika dibandingkan dengan tumbuhan darat hanya sekitar 0,05%, tetapi siklus karbon yang terjadi di laut jika dijumlahkan selama setahun hampir sama bahkan lebih dibandingkan dengan tumbuhan darat. Hal ini menunjukkan efisiensi tumbuhan laut sebagai carbon sinks (Kawaroe, 2009). Kontribusi vegetasi lamun terhadap penyerapan karbon dimulai dari proses fotosintesis yang kemudian disimpan sebagai biomassa. Biomassa disusun oleh senyawa utama karbohidrat yang terdiri dari unsur karbon dioksida, hidrogen, dan oksigen. Biomassa tegakan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, komposisi, dan strutur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi (Lugo dan Snedaker, 1974 dalam Kusmana et al, 1992).
27
Dalam siklus karbon, vegetasi melalui fotosistesis merubah CO2 dari udara dan air menghasilkan karbohidrat dan oksigen. Karbohidrat yang terbentuk disimpan oleh vegetasi dan sebagian oksigen dilepaskan ke atmosfer (Fardiaz 1995). Menurut Whitmore (1985) umumnya karbon menyusun 45–50% berat kering dari biomassa. Karbon yang telah diserap oleh lamun disimpan dalam biomassa pada bagian daun, akar dan rhizoma. Biomassa di bawah substrat umumnya lebih besar dibanding di atas substrat. Salah satu manfaat besarnya biomassa di bawah substrat adalah ketersediaan cadangan makanan pada musimmusim tertentu dimana produktivitas lamun sangat kecil (Lee et al, 2007). Karbon dalam biomassa tersimpan selama lamun masih hidup. Umur yang bisa dicapai oleh tunas lamun bervariasi menurut jenisnya. Biomassa di bawah substrat di pulau Pari dapat mencapai 141.4 gram berat kering per m2 (gbk/m2) untuk T. hemprichii, 468.3 gbk/m2 untuk E. acoroides dan 23.3 gbk/m2 untuk C. rotundata, sedangkan di atas substrat secara berurutan masing masing 124.9 gbk/m2, 152.3 gbk/m2 dan 24.9 gbk/m2 (Kiswara dan Ulumuddin 2009). Sebagian besar oksigen disimpan di akar dan rhizoma, digunakan untuk metabolisme aktif (respirasi) maka konnsentrasi CO2 di jaringan akar relatif tinggi. Begitu juga rhizoma merupakan 60 – 80% biomas lamun sehingga prosentase stok karbon meningkat sejalan dengan peningkatan biomassa. Stok karbon berbanding lurus dengan kandungan biomassanya. Semakin besar kandungan biomassa, maka stok karbon juga akan semakin besar (Hairiyah dan Rahayu, 2007 dalam Imiliyana et al, 2012) sehingga bisa dikatakan simpanan
28
karbon di bawah substrat (bagian akar dan rhizoma) lebih besar daripada di atas substrat (bagian daun). Pada beberapa kasus, biomassa di bawah substrat lebih kecil dibanding di atas substrat. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Kiswara dan Ulumuddin (2009) di Pulau Pari menunjukkan bahwa jenis C. rotundata mempunyai biomassa di bawah substrat 11.25 gbk/m2 dan 23.29 gbk/m2, sedangkan di atas substrat masing-masing 19.50 gbk/m2 dan 24.93 gbk/m2. Variasi biomassa dapat terjadi akibat perbedaan kedalaman. Pada jenis Zostera caulescense, biomassa maksimum ditemukan pada kedalaman 10.9 meter dan setelah itu menurun sesuai dengan pertambahan kedalaman. Rasio antara biomassa di atas dan di bawah susbtrat ditemukan tertinggi pada kedalaman 4,4 meter dan setelah itu menurun dengan bertambahnya kedalaman. Produktivitas primer di laut sangat ditentukan oleh keberadaan CO2 untuk melakukan proses fotosintesis utamanya oleh fitoplankton dan proses ini dikenal sebagai biological pump. Bersama dengan solubility pump, proses adang lamun sebagai vegetasi ekosistem pesisir bersama sama dengan mangrove dan hutan di darat merupakan pusat keanekaragaman (hot spot) yang menyediakan fungsi penting dan bernilai yaitu sebagai karbon sinks. Akan tetapi pengurangan luasan habitat pesisir empat kali lebih cepat dibandingkan dengan hutan dan rata-rata pengurangannya juga mengalami peningkatan. Kondisi ini diduga disebabkan karena masyarakat lebih banyak menerima informasi tentang keberadaan, keuntungan dan fungsi hutan jika dibandingkan dengan vegetasi ekosistem pesisir. Kurangnya perhatian masyarakat tentang vegetasi ekosistem pesisir bisa juga
29
disebabkan karena masih berorientasi darat dan tidak terlihatnya vegetasi pesisir ini secara kasat mata sehingga sepertinya tidak berperan di dalam kehidupan. Perubahan pola pikir ini menjadi salah satu tanggung jawab di dalam pemberdayaan masyarakat pesisir dan targetnya adalah bukan saja masyarakat pesisir tetapi semua masyarakat Indonesia dan dunia (Kawaroe, 2009). Sebagai contoh area yang berperan sebagai blue carbon sink secara global disajikan pada Tabel 2.3 sebagai berikut: Tabel 2.3 Perkiraan Rata-Rata Area yang Potensi Sebagai Blue Carbon Sink dan Karbon Organik yang Mengendap Per Tahun Komponen
Area Juta km2
Pengendapan Karbon Organik Ton C ha-1y-1 TgCy-1
Vegetasi Mangrove 0.17 1.39 Salt marsh 0.40 1.51 Lamun 0.33 0.83 Total 0.90 1.23 12 Keterangan : T = Tera (10 ), sumber UNEP (2009)
17.0-23.6 (57) 60.0-70 (190) 27.4-44 (82) 114-131 (329)
Pengendapan karbon di laut mencapai sekitar 10% dari kapasitas yang ada dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti mencapai 2.000TgCy-1 (Sarmiento and Gruber, 2002). Berdasarkan data UNEP (2009), diperkirakan rata-rata potensi penyerapan karbon lamun mencapai 0,83 Ton C per Ha-1 tahun-1 dan laju pengendapan karbon tersimpan lamun sebesar 27,4 - 44 Tg C Tahun-1 dengan area rata-rata 0,33x104 ha. Karbon ini merupakan karbon yang berasal dari atmosfer yang terlarut di laut dan disimpan dalam bentuk DIC. Blue carbon sink memberikan kontribusi sebesar 50% dari total pengendapan karbon
30
organik di lautan. Beberapa tumbuhan laut yang hidup pada substrat berbatu tidak dapat mengendapkan karbon karena kondisi substrat yang tidak memungkinkan contohnya adalah makroalga yang tumbuh pada karang, Halimeda sp. 2.7. Interpolasi Data Untuk mengolah dan menganalisa data secara spasial, Sistem Informasi Geografis (SIG) biasanya digunakan. Di dalam analisa spasial baik dalam format vektor maupun raster, diperlukan data yang meliputi seluruh studi area. Oleh sebab itu, proses interpolasi perlu dilaksanakan untuk mendapatkan nilai diantara titik sampel. Hal ini bertujuan agar dalam perbandingan nilai dari titik observasi dan titik model bisa berimbang. Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematika yang menduga nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu di dalam ruang (space) dan atribut ini saling berhubungan (dependence) secara spasial (Anderson, 2001). Logika dalam interpolasi spasial adalah bahwa nilai titik observasi yang berdekatan akan memiliki nilai yang sama (mendekati) dibandingkan dengan nilai di titik yang lebih jauh (Hukum geografi Tobler, dalam Christanto dkk, 2005). Metode
Inverse
Distance
Weighted
(IDW)
merupakan
metode
deterministic yang sederhana dengan mempertimbangkan titik di sekitarnya (NCGIA, 1997). Asumsi dari metode ini adalah nilai interpolasi akan lebih mirip pada data sampel yang dekat dari pada yang lebih jauh. Bobot (weight) akan berubah secara linear sesuai dengan jaraknya dengan data sampel. Bobot ini tidak
akan
dipengaruhi
oleh
letak
dari
data
sampel.
Pemilihan nilai
31
pada power sangat mempengaruhi hasil interpolasi. Nilai power yang tinggi akan memberikan hasil seperti menggunakan interpolasi nearest neighbour dimana nilai yang didapatkan merupakan nilai dari data point terdekat. Kerugian dari metode
IDW
adalah nilai
hasil
interpolasi
terbatas
pada
nilai
yang ada pada data sampel. Contoh hasil dengan menggunakan metode Inverse Distance Weighted dapat dilihat pada Gambar 2.5 sebagai berikut:
Gambar 2.5 Hasil Metode Inverse Distance Weighted (Sumber: http:// shephard-modified-methods.html) Pengaruh dari data sampel terhadap hasil interpolasi disebut sebagai isotropic. Dengan kata lain, karena metode ini menggunakan rata-rata dari data sampel sehingga nilainya tidak bisa lebih kecil dari minimum atau lebih besar dari data sampel. Jadi, puncak bukit atau lembah terdalam tidak dapat ditampilkan dari hasil interpolasi model ini (Watson and Philip, 1985). Untuk mendapatkan hasil yang baik, sampel data yang digunakan harus rapat yang berhubungan dengan variasi lokal. Jika sampelnya agak jarang dan tidak merata, hasilnya kemungkinan besar tidak sesuai dengan yang diinginkan. Menurut Pramono (2004), metode IDW cocok digunakan untuk melakukan interpolasi pada data fisik wilayah pesisir karena tidak menghasilkan nilai melebihi rata-ratanya.
32
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Berpijak pada keyakinan adanya kemampuan ekosistem laut dan pesisir tersebut dalam menjaga keseimbangan penyerapan karbon dan potensi pengurangan emisi GRK, UNEP (United Nations Environment Programme) bekerjasama dengan Badan Pangan Dunia (FAO) dan Badan Pendidikan dan Pengetahuan (UNESCO) memperkenalkan konsep Blue Carbon pada akhir tahun 2009. Konsep ini membuktikan peran ketiga ekosistem laut (lamun, mangrove dan salt marsh) dan pesisir tersebut dalam mendeposisi karbon. Ekosistem pesisir dan laut diyakini mampu menjadi garda penyeimbang bersama hutan untuk mengurangi laju emisi melalui penyerapan karbon. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa ketiga vegetasi pesisir berkontribusi menyimpan karbon laut ke dalam sedimen lebih dari separuhnya, sementara luasnya kurang dari 0.5% luas laut secara keseluruhan (Nellemann et al. 2009). Lamun mempunyai keunikan tersendiri dibanding mangrove dan salt marsh karena merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang hidup di perairan laut, dimana seluruh bagian tubuhnya tenggelam di dalam air. Kondisi ini menyebabkan lamun mudah menyesuaikan diri sepenuhnya sehingga mampu tumbuh, berkembang dan bereproduksi dalam kondisi tenggelam. Mereka hidup di perairan dangkal yang masih bisa ditembus oleh sinar matahari. Disebutkan bahwa ekosistem padang lamun mampu menyimpan 83.000 metrik ton karbon dalam setiap kilometer persegi. Angka ini adalah dua kali lipat 32
33
dari kemampuan hutan menyerap karbon: yaitu sekitar 30.000 metrik ton dalam setiap kilometer perseginya (Fourqurean, 2012). Blue carbon ini tersimpan sampai dengan jutaan tahun dan lebih lama dibandingkan dengan hutan yang hanya tersimpan puluhan sampai ratusan tahun karena mengalami pencucian (Kawaroe, 2009). Pencucian tanah biasanya terjadi di kawasan Tropis. Hal tersebut karena curah hujan yang tinggi, pengelolaan tanah yang tidak baik dan irigasi yang berlebih. Sehingga tanah humus (lapisan top soil) mengalami degradasi asam yang diiringi dengan penurunan jumlah unsur hara karena mengendap atau meresap pada lapisan tanah yang lebih dalam sehingga menurunkan kesuburan tanah (Madjid, 2009). Pada awalnya penelitian-penelitian yang dilakukan terkait dengan peran lamun sebagai penyimpan bahan organik adalah dalam bentuk biomassa. Biomassa yang digunakan untuk menyatakan materi tumbuhan, baik di atas maupun di bawah tanah, biasanya dinyatakan dalam satuan gram berat kering per meter
persegi
(gbk/m2)
(Kuriandewa
2009).
Namun
dengan
semakin
berkembangnya isu perubahan iklim dan pemanasan global, para peneliti mulai mendiskusikan peran lamun sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Berkaitan dengan peran lamun ini, maka dikenal istilah stok karbon, yaitu kandungan karbon absolut dalam biomassa pada waktu tertentu (Apps et al. 2003 dalam Supriadi, 2012). Penelitian potensi stok karbon yang dimiliki oleh lamun di Indonesia masih sangat terbatas. Salah satunya yakni penelitian mengenai stok dan neraca karbon lamun di pantai Barranglompo (Supriadi, 2012), sedangkan penelitian di
34
Pulau Pari baru dilakukan terhadap 3 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata (Kiswara & Ulumuddin 2009; Kiswara 2010). Penelitian ini belum menghitung secara total potensi stok karbon yang terdapat di Pulau Pari. Khusus di Pantai Sanur, belum diperoleh informasi tentang penelitian potensi stok karbon tersebut. Penelitian terdahulu antara lain yakni mengenai jenis dan kerapatan padang lamun di Pantai Sanur (Arthana, 2005), Struktur Komunitas Padang Lamun di Pantai Batu Jimbar Sanur (Fauziyah, 2004) dan penelitian mengenai kondisi dan strategis pengelolaan komunitas padang lamun di wilayah pesisir Kota Denpasar (Sudiarta dan Restu, 2011).
3.2 Konsep Penelitian Tumbuhan lamun merupakan karbon sink bersama-sama dengan rawa payau dan mangrove yakni dapat menyerap karbon yang berada di atmosfer dan digunakan untuk proses fotosintesis. Fotosintesis adalah proses pembuatan energi atau zat makanan/ glukosa yang berlangsung atas peran cahaya matahari dengan menggunakan zat hara/ mineral, karbon dioksida dan air. Hasil penyerapan karbon oleh lamun pada proses fotosintesis disimpan atau dialirkan ke beberapa kompartemen yaitu dalam bentuk biomassa dan sedimen tempat tumbuh lamun untuk waktu yang lama. Biomassa dapat digunakan untuk menduga potensi serapan karbon yang tersimpan dalam vegetasi karena 45% - 50% biomassa tersusun oleh karbon. Biomassa disusun oleh senyawa utama karbohidrat yang terdiri dari unsur karbon dioksida, hidrogen, dan oksigen. Biomassa tegakan dipengaruhi oleh umur
35
tegakan hutan, komposisi, dan strutur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi. Bagan konsep penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1 sebagai berikut:
Karbon sink ekosistem laut
Ekosistem Lamun
Fotosintesis (menghasilkan karbohidrat dan oksigen)
Disimpan di Biomassa (karbon menyusun 20–50% berat kering dari biomassa)
Melalui: Daun, Rhizoma dan Akar
Penyimpanan Karbon Oleh Lamun
Gambar 3.1 Bagan Konsep Dalam Penelitian
36
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Bagan alur penelitian untuk mendapatkan total stok karbon pada lamun di Pantai Sanur dapat dilihat pada Gambar 4.1 sebagai berikut :
Ekosistem Lamun Biomassa Lamun per Tegakan pada Daun, Rhizoma dan Akar (gram berat kering/ transek 20x20 cm)
Kerapatan Lamun (tegakan/ m2)
Biomassa per Satuan Luas (gbk/ m2)
Stok Karbon Jaringan Lamun per Satuan Luas (gC/m2)
Analisis Kandungan Karbon per Jenis/ per Jaringan (daun, rhizoma dan akar)
Stok Karbon Lamun bagian Atas Substrat (daun) dan Bawah Subtrat (akar dan rhizoma) (gbk/ m2) Kategori Kelas Stok Karbon Peta Distribusi Spasial Stok Karbon Lamun Hasil Interpolasi (Bagian Atas Substrat dan Bawah Subtrat) Aplikasi Arcgis
Peta Distribusi Spasial Total Stok Karbon Lamun Total Simpanan Karbon Padang Lamun di Pantai Sanur
Gambar 4.1 Bagan Alur Kegiatan Penelitian 36
Aplikasi Arcgis
37
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni tahun 2014 sampai dengan bulan Februari tahun 2015 di Perairan Pantai Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Penelitian ini meliputi studi literatur, survey awal lokasi, pengambilan data lapangan, analisa sampel, pengolahan data, analisa data dan penyusunan laporan hasil penelitian. Lokasi penelitian berada di daerah pesisir yang terdapat ekosistem padang lamun dan ditentukan oleh 8 stasiun, dengan masing-masing stasiun terdiri dari 3 transek kuadrat (a,b dan c) sehingga total titik transek yaitu 24 titik pengamatan. Posisi koordinat masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut : Tabel 4.1 Letak Geografis Lokasi Penelitian Stasiun
Lokasi
Kuadran A
Kuadran B
Lon*
Lat*
Lon*
Lat*
Kuadran C Lon*
Lat*
1
Pantai Mertasari
115.2507
-8.7138
115.2506
-8.714
115.2506
-8.7146
2
Pantai Semawang I
115.2606
-8.7092
115.2607
-8.7093
115.2610
-8.7090
3
Pantai Semawang II
115.2649
-8.7039
115.2650
-8.7040
115.2660
-8.7044
4
Pantai Indah
115.266
-8.6988
115.2663
-8.6989
115.2668
-8.6989
5
Pantai Sindhu
115.2656
-8.6868
115.2662
-8.6867
115.2664
-8.6866
6
Pantai Inna Grand Bali
115.265
-8.6798
115.2653
-8.6798
115.2658
-8.6799
7
Pantai Sanur II
115.2645
-8.6759
115.2647
-8.6759
115.2650
-8.6759
8
Pantai Sanur I
115.2643
-8.6742
115.2646
-8.6743
115.2650
-8.6742
Ket : * = Koordinat geografis menggunakan sistem Decimal Degree Sumber : Hasil pengamatan Lapang
Sebaran ekosistem padang lamun di Pantai Sanur yakni seluas 322 ha (Dinas Kelautan Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar, 2014). Ditinjau dari hubungan antara keberadaan padang lamun dengan ekosistem terumbu karang dan mangrove maka sebaran lamun di Pantai Sanur
38
dikelompokkan dalam tipe yang berdampingan langsung dengan habitat terumbu karang dan mempunyai keterkaitan (linked) dengan ekosistem mangrove di sekitarnya. Peta sebaran dan titik pengamatan padang lamun dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut:
Gambar 4.2 Peta Sebaran dan Titik Pengamatan Padang Lamun di Kawasan Pantai Sanur
39
4.3 Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu menunjukkan batas – batas bidang yang akan diteliti, yaitu sebagai berikut : 1. Padang lamun yang tumbuh di rataan perairan Pantai Sanur Kota Denpasar 2. Stok karbon yang tersimpan pada biomassa lamun (daun, rhizoma dan akar)
4.4 Variabel Pengamatan Variabel yang diamati yaitu spesies-spesies lamun mencakup kerapatan dan frekuensi kemunculan dengan menggunakan metode transek kuadrat. Variabel penunjang yaitu faktor lingkungan berupa suhu, salinitas, pH yang mempengaruhi pertumbuhan lamun. Setelah itu dilakukan pencuplikan sampel lamun dengan menganalisa sampel jaringan lamun (daun, rhizoma dan akar) untuk mendapatkan sampling biomassa.
Kemudian dari berat kering tumbuhan lamun (biomassa) tersebut
dilakukan analisis laboratorium untuk mengetahui konsentrasi karbon jaringan lamun. Setelah mendapatkan nilai kandungan karbon per jaringan lamun dilakukan penghitungan total stok karbon yang nantinya akan disajikan dalam bentuk peta yakni peta kategori ukuran stok karbon (bagian atas substrat dan bagian bawah substrat) dan peta total stok penyimpanan karbon oleh tumbuhan lamun di Pantai Sanur.
4.5 Bahan dan Instrument Penelitian Bahan penelitian merupakan segala sesuatu atau spesifikasi yang dikenai perlakuan atau yang digunakan untuk perlakuan. Instrument penelitian
40
merupakan segala macam instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tumbuhan lamun sebagai objek yang diamati dan sebagai sampel jenis. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.2 sebagai berikut : Tabel 4.2 Instrumen yang Digunakan Dalam Penelitian No 1.
Komponen yang diamati
Satuan
Instrument
Keterangan
Pengamatan Ekosistem
Individu,
Roll meter, tiang kayu,
In situ dan
lamun (Transek)
Kerapatan
alat tulis, buku
Laboratorium
,
identifikasi, kantong specimen, kertas label
2.
Suhu Perairan
ºC
Waterchecker.
In situ
3.
Salinitas
Ppt
Waterchecker.
In situ
4.
Kecepatan Arus
m/dt
Alat Ukur Arus
In situ
5.
pH
-
Waterchecker
In situ
6.
Oksigen Terlarut
Ppm
Waterchecker.
In situ
7.
Analisa Biomassa
oven
Laboratorium
8.
Analisa Karbon
Muffle dan bahan kimia
Laboratorium
9.
Pemetaan dan
-
Pemodelan
11.
1:25000
Koordinat Lapangan Dokumentasi
-
- Peta RBI Digital skala
Spatial 10.
- Piranti lunak ArcGis
lat/long J
Pengamatan Lapang
GPS
In situ
Kamera
In situ
4.6 Prosedur Penelitian 4.6.1 Kondisi Umum Lamun Pengamatan kondisi umum lamun dilakukan dengan pengumpulan data yaitu mengkaji kerapatan dan frekuensi kemunculan berdasarkan penentuan lokasi
41
pengambilan sampel. Sebelum melakukan pengamatan, terlebih dahulu dilakukan survei awal guna melihat distribusi lamun terkait penentuan letak garis transek. Penentuan titik pengambilan sampel dilakukan secara purposive (Nasution, 2001), yang mengacu pada fisiografi lokasi, agar sedapat mungkin bisa mewakili atau menggambarkan keadaan perairan tersebut. Bersamaan pada saat dilakukan pengamatan kondisi umum ekosistem padang lamun, dilakukan juga pengukuran parameter lingkungan yaitu berupa suhu, salinitas, pH, kecepatan arus dan Densitas oksigen (DO) yang mewakili pada bagian titik tengah (titik b pada gambar 4.2) yang terdapat pada 8 garis transek. Kerapatan adalah jumlah individu (tunas) suatu jenis lamun per-satuan luas (satuan umum yang dipakai adalah per 1 meter persegi). Untuk menghitung kerapatan lamun adalah sebagai berikut : 1) Kerapatan lamun diperoleh dengan menghitung tegakan (lunas) lamun dan diamati dengan menggunakan transek kuadrat berukuran 100 cm x 100 cm Untuk memudahkan pengamatan, pada transek dibuat kisi-kisi 20 cm x 20 cm. 2) Sampling dilakukan secara sistematis dari pantai tegak lurus ke arah luar sampai tidak ditemukan lamun, dengan jarak antar transek 20 meter. Setiap posisi transek dicatat berdasarkan pembacaan pada Global Positioning System (GPS). 3) Awal peletakkan kuadran disesuaikan dengan awal ditemukan lamun pada perairan tersebut, sehingga titik awal transek dapat diletakkan dengan kisaran 0 – 20 m dari tepi pantai.
42
4) Jumlah tunas setiap jenis lamun di dalam transek dihitung untuk mengetahui kerapatannya. 5) Pengamatan dilakukan pada saat perairan Pantai Sanur mengalami surut untuk memudahkan proses penghitungan kerapatan dan
pencuplikan
sampel lamun. 6) Jumlah titik pengamatan sebanyak 24 titik yang terbagi menjadi 8 garis transek (tegak lurus dari pantai). Titik-titik sampling tersebut tersebar di semua perairan Pantai Sanur yang mempunyai padang lamun sehingga bisa mewakili kondisi umum lamun di Pantai Sanur. Contoh petak pengamatan dan pengambilan contoh lamun dapat dilihat pada Gambar 4.3 sebagai berikut:
Gambar 4.3 Contoh Peletakan Transek Garis Dan Transek Kuadrat (Sumber : http://itk.fpik.ipb.ac.id/SIELT/lamun.php) Untuk frekuensi kemunculan yaitu peluang suatu spesies yang ditemukan dalam titik sampel yang diamati. Frekuensi kemunculan lamun merupakan pengindikasikan luas distribusi suatu jenis lamun dihitung antara jumlah transek dimana jenis lamun tertentu ditemukan dibagi dengan jumlah total transek yang
43
digunakan sehingga memunculkan prosentase kemunculan dari suatu jenis lamun. Identifikasi lamun dilakukan berdasarkan Waycott et al. (2004).
4.6.2 Biomassa dan Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun Biomassa lamun adalah satuan berat (berat kering atau berat abu) lamun bagian tumbuhan yang berada di atas substrat (daun, seludang, buah dan bunga) dan/ atau bagian di bawah substrat (akar dan rimpang) yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m2 (gbk/m2). Menurut Buku Pedoman Umum Identifikasi dan Monitoring Lamun Tahun 2008 mengatakan bahwa sampling biomassa dilakukan dengan menggunakan transek yang berukuran 20 cm x 20 cm. Untuk pengambilan sampel lamun dilakukan prosedur sebagai berikut: 1) Lamun yang terdapat pada transek tersebut dicuplik dengan menggunakan tangan sampai pada kedalaman penetrasi akar. Sebelum dicuplik terlebih dahulu dilakukan pemotongan rhizoma yang menjalar ke samping (batas luar kuadran/ transek) dengan menggunakan parang untuk mempermudah pencuplikan. 2) Pencuplikan lamun untuk sampel biomassa dilakukan bersamaan dengan penghitungan kerapatan lamun. 3) Sampel dimasukkan ke kantong sampel setelah dibersihkan dari substrat kemudian dimasukkan ke dalam ice box untuk tetap menjaga kessegaran dan dibawa ke laboratorium.
44
4) Pencuplikan lamun dilakukan pada semua titik pengamatan (24 titik) yang tersebar pada semua sisi pantai sehingga dapat mewakili biomassa lamun secara keseluruhan. Pencuplikan sampel lamun dilakukan dengan 3 kali pengambilan sampel lamun untuk biomassa di setiap titik pengamatan (transek kuadrat) yang nantinya akan dirata-rata dan dipisahkan daun, rhizoma dan akar untuk diketahui berat basah dan berat keringnya. Hal ini dilakukan untuk kevalidan dan keterwakilan sampel biomassa dari masing-masing garis transek dan untuk memudahkan di dalam pembuatan peta sebaran karbon pada tahap berikutnya. Untuk biomassa per jenis diperoleh dari hasil frekuensi kemunculan
yang telah dilakukan
sebelumnya. Biomassa per tegakan lamun diketahui dengan membagi berat total setiap sampel dengan jumlah tegakannya. Perhitungan biomassa lamun dilakukan dengan metode destruktif. Tumbuhan lamun akan dibagi menjadi tiga (3) bagian yaitu daun, rhizoma dan akar. Untuk perhitungan biomassa lamun dilakukan di laboratorium dengan perlakuan sebagai berikut (Azkab, 1999): 1) Semua contoh lamun dibersihkan, dicuci dan diidentifikasi. 2) Hitung dan timbang jumlah tegakkan pada setiap jenis untuk mengetahui biomassa basah.
3) Satukan semua contoh lamun menurut jenisnya pada setiap titik. 4) Setiap contoh lamun dipisahkan antara daun, rhizoma dan akar, kemudian ditimbang. Bisa juga daun lamun dipisahkan dengan seludangnya serta rimpang dengan akarnya.
45
5) Sampel lamun dikeringkan pada suhu kamar dan setelah cukup kering kemudian dimasukkan ke dalam wadah berupa kertas. Kemudian semua contoh lamun dikeringkan dengan memasukkan ke dalam oven pada temperatur tetap 60° C selama 24 jam, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering dengan menggunakan neraca analitik.
Setelah mendapatkan nilai hasil biomassa per jaringan lamun (daun, rhizoma dan akar) disetiap titik pengamatan, dilakukan penghitungan kandungan karbon terhadap sampel biomassa tersebut. Penghitungan kandungan karbon ini dilakukan pada 8 titik yakni pada bagian titik (kuadran) tengah (kuadran b pada Gambar 4.4) dari masing-masing garis transek. Nilai konsentrasi karbon yang didapatkan digunakan untuk mengkonversi perbandingan nilai biomassa (berat kering) menjadi nilai kandungan karbon pada titik-titik yang tidak dilakukan penghitungan nilai karbon jaringan lamun. Ilustrasi penghitungan nilai kandungan karbon dan konversi pada titik pengamatan lamun dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut:
Gambar 4.4 Ilustrasi Pengkonversian Nilai Kandungan Karbon pada Titik Pengamatan
46
Penghitungan nilai kandungan karbon lamun perjaringan (daun, rhizoma dan akar) dianalisis dengan menggunakan metode Walkley dan Black (Sulaeman et al. 2005) dan metode pengabuan (Helrick, 1990) yang dilakukan di Laboratorium Tanah Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Metode Walkley dan Black dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1) Sebanyak satu gram sampel kering dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, ditambahkan 10 ml 0.167 M K2Cr2O7 dan 10 ml H2SO4 pekat lalu dikocok. Warna merah jingga pada larutan harus tetap dijaga. 2) Jika terjadi perubahan warna menjadi hijau atau biru maka ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 dan 10 ml H2SO4. Jumlah penambahan dicatat. Penambahan untuk blanko juga harus sama banyak. 3) Larutan kemudian didiamkan selama 30 menit hingga dingin. 4) Setelah dingin, ditambahkan 5 ml H3PO3 85% dan 1 ml indikator difenilamin, kemudian larutan diencerkan dengan akuades hingga volume larutan mencapai 50 ml. 5) Sebanyak 5 ml larutan dipipet ke dalam Erlenmeyer 50 ml dan ditambahkan 15 ml akuades, kemudian dititrasi dengan larutan FeSO4 1 N atau 0,5 N hingga warna menjadi kehijauan. Prosedur tersebut dilakukan terhadap sampel dan blanko. Kemudian dihitung dengan rumus (4). Untuk metode pengabuan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1) Cuci cawan porselin, bilas dan keringkan. 2) Masukkan ke dalam tanur listrik selama 2-3 jam pada suhu 500 0C.
47
3) Dinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian timbang sebagai cawan kosong. 4) Sebanyak 1 - 2 gram sampel kering dimasukkan ke dalam cawan dan dicatat sebagai berat cawan + berat sampel. 5) Bakar dalam tanur listrik selama 3-6 jam pada suhu 500 0C hingga menjadi abu yang ditandai oleh warna putih keabu-abuan tanpa ada bintik hitam. 6) Didinginkan di dalam desikator kemudian ditimbang berat cawan + berat abu dan dihitung dengan menggunakan rumus (6).
4.6.3 Total Stok Karbon Prosentase stok karbon meningkat sejalan dengan peningkatan biomassa. Stok karbon berbanding lurus dengan kandungan biomassanya. Semakin besar kandungan biomassa, maka stok karbon juga akan semakin besar (Hairiyah dan Rahayu, 2007 dalam Imiliyana et al, 2012).
Hasil analisis kandungan karbon lamun perjaringan (akar, rhizoma dan akar) kemudian dibagi menjadi stok karbon lamun bagian atas subtrat (daun) dan bagian bawah substrat (akar dan rhizoma). Kemudian di petakan sebaran stok karbon lamun bagian atas dan bawah substrat tersebut dengan membagi lima kelas untuk mempermudah analisis, kemudian dipetakan berdasarkan posisi setiap transek dengan bantuan software Arcgis dengan proses interpolasi data. Setiap kelas stok karbon dihitung luasnya kemudian dijumlahkan dengan kelas-kelas lainnya sehingga didapatkan peta total sebaran stok karbon sehingga peta yang ditampilkan pada Bab Hasil Penelitian adalah peta sebaran stok karbon bagian
48
atas substrat, peta sebaran stok karbon bagian bawah substrat dan peta sebaran total stok karbon lamun. Setelah itu dilakukan penghitungan total stok karbon lamun di kawasan Pantai Sanur dianalisis dengan menggunakan konversi data biomassa menjadi kandungan karbon yang didapatkan pada awal penelitian. Data hasil konversi ke karbon keseluruhan kemudian dirata-rata dengan satuan gbk/m2. Setelah mendapatkan nilai rata-rata karbon per meter persegi kemudian dikalikan dengan luas lamun yang ada di kawasan Pantai Sanur.
4.6.4 Metode Interpolasi Data Proses interpolasi ini dilakukan dengan menerapkan metode invers distance menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 10.1. Proses interpolasi perlu dilaksanakan untuk mengestimasi dan memetakan potensi penyerapan karbon lamun dengan mudah dan cepat yakni mendapatkan nilai diantara titik sampel yaitu nilai karbon yang terkandung dalam lamun yang diamati. Hal ini bertujuan agar dalam perbandingan nilai dari titik observasi dan titik model bisa berimbang. Inti dari model ini adalah menganalisis titik pengamatan dalam suatu ruang ketetanggaan yang menggambarkan kemiripan diantara titik-titik tersebut. Pada umumnya program komputer akan melakukan beberapa teknik pencarian dengan mendefinisikan ruang ketetanggaan. Mengingat model pembobotan ini merupakan model ruang lokal, maka teknik pencarian yang umum digunakan adalah dengan menetapkan jumlah titik observasi yang yang berada di sekitarnya
49
atau menggunakan teknik pencarian dalam radius tertentu (Trisasongko et al. 2008). Teknik pencarian apapun yang digunakan, komputer akan mengukur jarak suatu titik pengamatan dengan titik yang diamati. Nilai Z untuk setiap titik umumnya kemudian diboboti dengan kuadrat jarak sehingga nilai yang dekat secara spasial akan cenderung mempengaruhi nilai pada titik yang diamati.
4.7 Analisis Data 4.7.1 Kerapatan Lamun dan Frekuensi Kemunculan Rumus yang digunakan untuk menghitung kerapatan lamun seperti yang ditunjukkan oleh persamaan (2) sebagai berikut (Khouw 2009): ….. …………..…………………… (2) dimana :
Di = kerapatan lamun jenis-i (tunas/m2) ∑ni = jumlah tunas lamun jenis-i (tunas) Ai = jumlah luas transek dimana lamun jenis-i ditemukan (m2)
Untuk menghitung frekuensi kemunculan lamun dihitung berdasarkan persamaan (3) sebagai berikut (Khouw 2009):
…………… ……..…………………..… (3) dimana : Fi = frekuensi jenis-i (%) ∑ti = jumlah transek dimana jenis-i ditemukan T = jumlah total transek yang digunakan.
50
4.7.2 Biomassa dan Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun Biomassa per tegakan lamun dapat diketahui dengan membagi berat total setiap sampel dengan jumlah tegakannya dikalikan dengan jumlah tunas (kepadatan) lamun dalam satu meter persegi. Hubungan antara kerapatan dan biomassa lamun digunakan untuk memprediksi biomassa lamun pada semua titik sampling kepadatan. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung biomassa ditunjukkan oleh persamaan (4) sebagai berikut (http://theoceanandmariner.com):
B =WxD
…………… ……..…………………..… (4)
Dimana : B = Biomassa Lamun (gram.m -2) W = Berat Kering sebuah Tunas Lamun (gram.tunas -1) D = Kepadatan Lamun (tunas.m - 2) Rumus untuk menghitung kandungan karbon jaringan lamun dengan metode Walkley dan Black berdasarkan persamaan (5) sebagai berikut (Sulaeman et al. 2005): …..…..………………….…… (5)
Dimana: C
= kandungan karbon jaringan lamun (%)
A
= volume titrasi sampel (ml)
B
= volume titrasi blanko (ml)
12/4000 = miliequivalent berat dari C (gram)
Rumus yang digunakan untuk menghitung kandungan karbon jaringan lamun dengan metode pengabuan dapat ditunjukkan oleh persamaan (6) sebagai berikut (Helrich, 1990):
51
........................................... (6) dimana :
a = berat cawan b = berat cawan + berat sampel c = berat (cawan + abu)
Untuk menghitung bahan organik dengan metode pengabuan ini dapat ditentukan dengan menghitung pengurangan berat saat pengabuan, yaitu dengan persamaan (7) sebagai berikut (Helrich, 1990): (
) ( (
dimana :
)
...................................... (7)
)
a = berat cawan b = berat cawan + berat sampel c = berat (cawan + abu)
Setelah mengetahui kadar bahan organik, dilakukan penghitungan kandungan karbon jaringan lamun
dengan metode pengabuan yaitu dengan
persamaan (8) sebagai berikut (Helrich, 1990): ................................................. (8) dimana :
1,724 = konstanta nilai bahan organik
Setelah mengetahui nilai kandungan karbon jaringan lamun dengan metode Walkley & Black dan metode pengabuan, kemudian nilai hasil kandungan karbon tersebut dirata-rata dan nilai rata-rata kandungan karbon inilah yang digunakan sebagai kandungan karbon jaringan lamun.
52
4.7.3 Total Stok Karbon Total stok karbon lamun dihitung dengan menggunakan rumus yang mengacu pada persamaan (9) sebagai berikut (Walkley dan Black dalam Sulaeman et al. 2005):
Ct = Σ (Li x ci)
…………..……………………………… (9)
dimana : Ct = karbon total (ton) Li = luas padang lamun kategori kelas i (m2) Ci = rata-rata stok karbon lamun kategori kelas i (g/m2) 4.7.4 Intepolasi Data Dengan Sistem Informasi Geografis Rumus umum Invers Distance Weighting (IDW) yaitu mengacu pada persamaan (10) sebagai berikut (Bonham dan Carter, 1994):
………..……………………………….(10)
dimana : Z0 = Nilai yang diduga Zi = Sekumpulan Nilai Penduga
Nilai pembobot dalam teknik Invers Distance Weighting
umumnya
dihitung dengan rumus umum pada persamaan (11) sebagai berikut (Bonham dan Carter,1994): …………..…………………………….. (11)
dimana : di0= Jarak antara titik pengamatan i dengan titik yang diduga
53
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Kondisi Umum Lamun 5.1.1 Distribusi dan Komposisi Jenis Lamun Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di stasiun penelitian (delapan stasiun yang terbagi dalam 24 titik kuadran) didapatkan delapan jenis spesies lamun di wilayah perairan Pantai Sanur yaitu E. acoroides, T. hemprichii, H. ovalis (famili Hydrocharitaceae), C. rotundata, C. serulata, H. uninervis, H. pinifolia dan S. isoetifolium (famili Potamogetonaceae). Padang lamun di Pantai Sanur umumnya terletak pada kondisi yang relatif terlindung yakni di antara pantai dan terumbu karang. Habitat padang lamun dicirikan oleh habitat laguna yaitu perairan dangkal pasang surut antara pantai dan tubir karang. Keragaman dan kerapatan jenis lamun rata-rata cenderung banyak ditemukan di tengah laguna. Distribusi dan sebaran jenis lamun yang ditemukan pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut: Tabel 5.1 Distribusi dan Sebaran Jenis Lamun yang di Temukan Di Pantai Sanur No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Lamun Halodule uninervis Syringodium isoetifolium Halophila ovalis Halodule pinifolia Enhalus acroides Cymodocea rotundata Thalassia hemprichii Cymodocea serrulata
1 + + -
2 + + -
Sumber : Hasil pengamatan Lapang
53
3 + -
Stasiun 4 5 + + + + + + + + + -
6 + + + + -
7 + + + + -
8 + + + + -
54
Dari delapan jenis lamun yang ditemukan dari delapan stasiun pengamatan di perairan kawasan Pantai Sanur, jenis lamun E. acroides yang paling sering ditemukan pada enam stasiun yakni pada stasiun 1 (Pantai Mertasari), stasiun 2 (Pantai Semawang I), stasiun 3 (Pantai Semawang II), stasiun 4 (Pantai Indah), stasiun 5 (Pantai Sindhu) dan stasiun 7 (Pantai Sanur II), kemudian diikuti oleh lamun jenis H. uninervis yang ditemukan pada lima stasiun yakni stasiun 1, 4, 5, 6 dan 8 (5 stasiun) dan jenis H. ovalis yakni pada stasiun 5, 6, 7 dan 8 (4 stasiun). Jenis lamun yang paling jarang ditemukan yakni C. serrulata yang hanya ditemukan pada stasiun 4 yakni di Pantai Indah. Secara umum tumbuhan lamun di Pantai Sanur ditemukan pada tepi pantai mulai garis air surut rendah ke arah laut dengan lebar sebaran lamun yang berbeda-beda pada tiap stasiun pengamatan. Komposisi jenis lamun secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 5.1 sebagai berikut:
Ket: Ea = E. acoroides; Th = T. hemprichii; Cr = C. rotundata; Cs = C. serrulata; Hu = H. uninervis; Hp = H. pinifolia; Ho = H. ovalis dan Si = S. isoetifolium
Gambar 5.1 Komposisi Jenis Lamun di Pantai Sanur
55
Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jenis lamun dengan jumlah individu per jenis yang menyusun suatu hamparan padang lamun dan dinyatakan dengan persentase. Komposisi jenis diperoleh dengan membagi jumlah keseluruhan lamun jenis i yang ditemukan pada keseluruhan transek dengan jumlah keseluruhan jenis lamun pada keseluruhan transek kuadrat dikalikan dengan 100 %. Dari total komposisi jenis lamun sebesar 100%, jenis terbesar yakni H. uninervis dengan nilai komposisi jenis sebesar 26,17% diikuti dengan S. isoetifolium sebesar 19,85%, H. ovalis sebesar 17,59%, H. pinifolia sebesar 11,52%, E. acroides sebesar 9,89% , C. rotundata sebesar 9,60, T. hemprichii sebesar 4,96 dan yang paling kecil yakni C. serrulata sebesar 0,42%. Meskipun jenis E. acroides merupakan jenis yang paling sering ditemukan hampir di setiap stasiun namun nilai komposisi jenisnya hanya menunjukkan 9,89%, berbeda dengan S. isoetifolium yang lebih jarang ditemukan namun menunjukkan nilai komposisi jenis sebesar 19,85%. Hal ini berhubungan dengan ukuran daun dan letak daun dimana S. isoetifolium akan lebih rapat dibandingkan dengan jenis E. acoroides dan C. rotundata sehingga mempengarungi nilai kerapatan masingmasing individu.
5.1.2 Kerapatan dan Frekuensi Kemunculan Lamun 5.1.2.1 Kerapatan Lamun Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan tertentu. Kepadatan lamun per satuan luas tergantung pada jenisnya. Jenis-jenis lamun dengan kepadatan tegakan yang tinggi biasanya juga memiliki frekuensi
56
kehadiran yang tinggi. Kerapatan jenis lamun di lokasi penelitian secara keseluruhan dapat disajikan pada Tabel 5.2 berikut ini: Tabel 5.2 Kerapatan Lamun di Lokasi Penelitian Jenis Lamun (ind/m2) Th Cr Cs Hu Hp
Stasiun
Transek Kuadrat
Ea
1
A
-
-
-
-
238
B
21
-
-
-
C
-
-
-
A
78
-
B
-
C
2
3
4
5
6
7
8
Ho
Si
Total (ind/m2)
-
-
-
238
158
-
-
-
179
-
196
-
-
-
196
-
-
-
-
-
-
78
236
-
-
-
-
-
-
236
128
-
-
-
-
-
-
-
128
A
62
-
-
-
-
-
-
-
62
B
85
-
-
-
-
-
-
-
85
C
87
-
-
-
-
-
-
-
87
A
65
10
-
15
30
-
-
-
120
B
96
-
-
12
-
-
-
-
108
C
77
-
-
8
-
-
-
-
85
A
-
-
-
-
306
-
309
-
615
B
27
169
-
-
5
-
-
15
216
C
-
-
-
-
232
-
-
456
688
A
-
-
158
-
-
272 535
-
965
B
-
-
6
-
463
11
29
-
509
C
-
-
305
-
299
294
-
-
898
A
101
-
50
-
-
30
-
-
181
B
-
-
197
-
-
356
-
-
553
C
-
-
16
-
-
-
438
-
454
A
-
-
-
-
109
-
10
445
564
B
-
-
71
-
33
-
545
649
C
-
-
-
-
120
-
150 199
469
Sumber : Hasil pengamatan Lapang
Ket: Ea = E. acroides; Th = T. hemprichii; Cr = C. rotundata; Cs = C. serrulata; Hu = H. uninervis; Hp = H. pinifolia; Ho = H. ovalis dan Si = S. Isoetifolium
57
Grafik kerapatan jenis lamun yang ditemukan pada setiap stasiun dapat disajikan pada Gambar 5.2 sebagai berikut:
Gambar 5.2 Grafik Kerapatan Jenis Lamun di Pantai Sanur
58
Perbedaan jenis lamun dan kerapatan pada masing-masing lokasi penelitian ini diduga berkaitan dengan kemampuan adaptasi jenis lamun tersebut terhadap kondisi lingkungan yang berbeda. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan kerapatan jenis lamun S. isoetifolium mempunyai nilai paling tinggi di semua stasiun pengamatan yaitu berkisar pada 15 – 545 individu/ m2. Jenis lamun H. ovalis mempunyai nilai kerapatan sebesar 10 – 535 individu/ m2. Jenis lamun H. uninervis sebesar 5 – 463 individu/ m2, jenis lamun H. pinifolia sebesar 11 – 356 individu/ m2, jenis lamun C. rotundata sebesar 6 – 305 individu/ m2, jenis lamun T. hemprichii sebesar 10 – 236 individu/ m2, jenis lamun E. acroides sebesar 21 – 128 individu/ m2. Sedangkan jenis lamun C. serrulata hanya ditemukan pada stasiun 4 dengan nilai kerapatan sebesar 8 – 15 individu/ m2. Lamun jenis E. acroides dan H. uninervis ditemukan di Stasiun 1 yakni di Pantai Mertasari yang di dominasi oleh H. uninervis dengan nilai kerapatan sebesar 158 - 238 individu/ m2. Di stasiun ini terlihat jenis E. acroides dengan nilai kerapatan sebesar 0 – 21 individu/ m2 membentuk kelompok-kelompok kecil dan jarang. Pantai Mertasari memiliki tipe substrat adalah tekstur pasir, campuran pasir dan pecahan karang (rubble) dan padang lamun yang ada di lokasi ini cukup luas ke arah laut. Lebar pertumbuhan lamun pada laguna di stasiun ini mencapai 750 meter dimana lamun tumbuh mulai jarak 0 meter dari garis air surut rendah. Di stasiun 2 yakni di Pantai Semawang I (bagian selatan) ditemukan 2 jenis lamun yaitu E. acroides (nilai kerapatan sebesar 78 - 128 individu/ m2) dan T. hemprichii (nilai kerapatan sebesar 0 - 236 individu/ m2). Tipe substrat dasar perairan di lokasi ini adalah pasir dengan campuran pasir dan pecahan karang.
59
Lebar pertumbuhan lamun pada laguna Pantai Semawang mencapai 800 meter dimana lamun tumbuh mulai dari jarak 100 meter dari garis air surut rendah. Di stasiun 3 yakni di Pantai Semawang II (bagian utara), hanya jenis lamun E. acroides yang ditemukan yakni dengan nilai kerapatan sebesar 62 - 128 individu/ m2. Tipe substrat dasar perairan didominasi oleh tesktur pasir. Di stasiun 4 yakni di Pantai Indah ditemukan 4 jenis lamun yakni E. acroides, T. hemprichii, H. uninervis dan jenis C. serrulata dengan total individu setelah di rata-rata dari 3 kuadran sebesar 104 individu/ m2 yang didominasi oleh E. acroides. Tipe substrat dasar di stasiun 4 ini adalah tekstur pasir. Stasiun 5 terletak di sekitar Pantai Sindhu dan merupakan stasiun yang terbanyak jenis lamun ditemukan yakni berjumlah 5 jenis yaitu H. uninervis dengan nilai kerapatan berkisar 5 – 306 individu/ m2 dan merupakan jenis yang paling mendominasi di stasiun ini. Kemudian diikuti oleh jenis S. isoetifolium (15 - 456 individu/ m2), H. ovalis (0 – 309 individu/ m2) , T. hemprichii (0 – 169 individu/ m2) dan jenis yang paling jarang ditemukan adalah E. acroides (0 – 27 individu/ m2). Tipe substrat dasar di stasiun 5 ini adalah didominasi tekstur pasir. Stasiun 6 yakni di pantai yang berada di depan Hotel Inna Grand Bali Beach dimana lebar padang lamun sekitar 180 m mulai garis air surut rendah ke arah laut. Di stasiun ini ditemukan 4 jenis lamun yaitu H. uninervis, C. rotundata, H. pinifolia dan H. ovalis. Jenis yang mendominasi adalah H. uninervis dengan nilai kerapatan berkisar 299 – 463 individu/ m2 diikuti oleh H. pinifolia sebesar 11- 294 individu/m2. Kemudian diikuti oleh H. ovalis (29 – 535 individu/ m2) dan yang paling sedikit ditemukan yakni jenis C. rotundata (6 – 305 individu/ m2).
60
Tipe substrat perairan yakni berupa pasir, campuran pasir dan pecahan karang (rubble). Stasiun 7 dan 8 terletak di Pantai Sanur yang merupakan salah satu pantai utama di kawasan Pantai Sanur ini. Di stasiun ini banyak sekali kegiatan manusia seperti berenang, bermain di pantai, bermain kano, berjemur, tambatan perahuperahu kecil untuk wisatawan dan juga sebagai alur dan tambatan bagi kapal speedboat yang mengangkut penumpang dari Sanur menuju Nusa Lembongan dan Nusa Penida. Tipe substrat perairan yakni berupa pasir, campuran pasir dan pecahan karang (rubble). Di stasiun 7 ditemukan 4 jenis lamun dan yang mendominasi yaitu jenis H. ovalis dengan nilai kerapatan berkisar sebesar 0 – 438 individu/ m2 diikuti oleh jenis H. pinifolia (30 – 356 individu) C. rotundata (16 – 197 individu/ m2) dan E. acroides (0 – 101 individu/ m2). Di stasiun 8 ditemukan 4 jenis lamun dan yang mendominasi yakni S. isoetifolium dengan nilai kerapatan berkisar 199 – 545 individu/ m2, diikuti oleh H. uninervis (33 – 120 individu/ m2), H. ovalis (10 – 150 individu/ m2) dan yang paling sedikit ditemukan yakni jenis C. rotundata (0 – 71 individu/ m2). Semua jenis lamun umumnya dapat hidup pada semua jenis substrat, tetapi setiap jenis lamun mempunyai karakter tersendiri terhadap lingkungan hidupnya. Keadaan padang lamun di Pantai Sanur pada masing-masing stasiun dapat disajikan pada Gambar 5.3 - 5.10 sebagai berikut:
61
Gambar 5.3 Hamparan Padang Lamun di Pantai Mertasari (Stasiun 1)
Gambar 5.4 Hamparan Padang Lamun di Pantai Semawang (Stasiun 2)
Gambar 5.5 Hamparan padang lamun di Pantai Semawang 2 (Stasiun 3)
62
Gambar 5.6 Hamparan Padang Lamun di Pantai Indah (Stasiun 4)
Gambar 5.7 Hamparan Padang Lamun di Pantai Sindhu (Stasiun 5)
Gambar 5.8 Hamparan Padang Lamun di Pantai Inna Grand Bali Beach (Stasiun 6)
63
Gambar 5.9 Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur 2 (Stasiun 7)
Gambar 5.10 Hamparan Padang Lamun di Pantai Sanur 1 (Stasiun 8) Analisis kelompok (kluster) dilakukan untuk mengelompokan objek-objek (lamun) berdasarkan karakteristik yang dimilikinya agar data yang terdapat di dalam kelompok yang sama relatif lebih homogen dari pada data yang berada pada kelompok yang berbeda dan dapat disajikan pada Gambar 5.11 sebagai berikut:
64
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 7 Stasiun 5 Stasiun 8 Stasiun 6
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
Jarak Euclidean (Dlink/Dmax)*100
Gambar 5.11 Dendogram Pengelompokan Stasiun Berdasarkan Kerapatan Berdasarkan analisis kelompok yang dilakukan terlihat bahwa dari keseluruhan
stasiun
pengamatan
(delapan
stasiun)
berdasarkan
tingkat
kesamaannya dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok yang memiliki kesamaan habitat. Komponen yang digunakan dalam pengelompokkan ini adalah jenis lamun yang ditemukan dan jumlah kerapatan jenis lamun pada tiap transek. Urutan pengelompokan kerapatan lamun secara berurutan sebagai berikut : Kelompok 1 terdiri dari stasiun 1, 2, 3 dan stasiun 4. Kelompok 2 (stasiun 7), kelompok 3 (stasiun 5), Kelompok 4 (stasiun 8) dan kelompok 5 (stasiun 6). Kelompok I (Stasiun 1, 2, 3 dan 4) mempunyai tingkat kesamaan paling tinggi yang berarti bahwa struktur komunitas lamun pada masing-masing stasiun tersebut hampir sama dilihat dari jenis lamun yang ditemukan dan jumlah kerapatan jenis lamun dibandingkan dengan stasiun lainnya. Pengelompokan tersebut dapat dikonfirmasi pada hasil analisis kluster karena pada kelompok
65
lainnya (stasiun lainnya) pada semua periode sampling membentuk kelompok sendiri yang mempunyai komunitas yang berbeda baik jenis maupun kerapatan lamun dari stasiun lainnya. 5.1.1.2 Frekuensi Kemunculan Lamun Frekuensi kemunculan jenis lamun terhadap masing-masing stasiun dapat disajikan pada Gambar 5.12 sebagai berikut:
Gambar 5.12 Grafik Frekuensi Kemunculan Jenis Lamun
66
Frekuensi kemunculan jenis lamun pada masing-masing stasiun memiliki nilai yang berbeda-beda. Kuantifikasi sebaran lamun tercermin dari nilai frekuensi masing-masing jenis lamun yang dihitung dari semua transek kuadrat pada setiap stasiun. Pada stasiun 1 dan 5 terlihat hanya jenis lamun H. uninervis mempunyai nilai frekuensi kemunculan yang paling tinggi sebesar 100% yang ditemukan pada setiap transek kuadran (kuadran a, b dan c) pada masing-masing stasiun. Di stasiun 8 nilai frekuensi kemunculan yang relatif tinggi juga ditemukan pada jenis H. uninervis dan S. isoetifolium sebesar 100%. Pada stasiun 3 jenis E. acroides memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi dan hanya jenis ini saja yang ditemukan pada stasiun ini. Jenis E. acroides juga memiliki nilai frekuensi kemunculan yang tinggi bersamaan dengan jenis C. serrulata pada stasiun 4. Di stasiun 6 dan 7 jenis C. rotundata dan H. pinifolia memiliki nilai frekuensi kemunculan yang tinggi sedangkan pada stasiun 7 hanya jenis C. rotundata yang memiliki nilai frekuensi kemunculan yang tinggi. Di stasiun 2 tidak ditemukan jenis lamun yang memiliki nilai frekuensi kemunculan yang tinggi, di stasiun ini hanya ditemukan jenis E. acroides dengan nilai frekuensi kemunculan sebesar 67% dan jenis T. hemprichii sebesar 33%. Nilai total frekuensi kemunculan jenis lamun di seluruh titik transek didapatkan jenis H. uninervis yang memiliki nilai frekuensi tertinggi sebesar 50 % dari keseluruhan transek diikuti oleh jenis E. acroides sebesar 46%, C. rotundata sebesar 29%, H. ovalis sebesar 25%, H. pinifolia sebesar 21%, S. isoetifolium sebesar 21% dan nilai frekuensi kemunculan yang terkecil yakni jenis C. serrulata
67
sebesar 12,5%. Kehadiran lamun di suatu lokasi sangat berkaitan dengan ruang dan tipe substrat dasar. 5.1.3 Biomassa Lamun Biomassa lamun dibagi menjadi dua kategori yaitu biomassa di atas permukaan substrat (above ground biomass) dan bawah permukaan substrat (below ground biomass). Pada penelitian ini, pengukuran biomassa di atas permukaan (substrat) terdiri dari bagian daun lamun, sedangkan bagian biomassa di bawah substrat terdiri dari bagian rhizoma dan akar. Data hasil pengukuran biomassa lamun yang telah dirata-rata dari tiga kali pencuplikan sampel dalam satu transek dan telah dikalkulasi dari ukuran gram berat kering per (kuadran) 20 x 20 cm menjadi gram berat kering permeter persegi disajikan pada Tabel 5.3 berikut:
68
Tabel 5.3 Biomassa Lamun Perjaringan di Lokasi Penelitian Transek Stasiun Kuadrat (1x1 m)
1
2
3
4
5
6
7
8
Biomassa perjaringan (gbk/m2)
Total Biomassa perjaringan (gbk/ m2) Bawah Atas Total Substrat Substrat Keseluruhan
Akar
Daun
Rizoma
A
8.5
28.08
29.08
37.58
28.08
65.67
B
17.25
31.50
46.00
63.25
31.50
94.75
C
20.33
22.58
31.25
51.58
22.58
74.17
A
37.58
60.5
86.25
123.83
60.5
184.33
B
22.08
36.75
95.08
117.17
36.75
153.92
C
52.42
64.08
88.58
141
64.08
205.08
A
59.33
56.5
86.33
145.67
56.5
202.17
B
54.33
57.17
33.67
88
57.17
145.17
C
75.08
54.58
28.83
103.92
54.58
158.5
A
18.42
25.17
45.75
64.17
25.17
89.33
B
36.33
69.17
15.08
51.42
69.17
120.58
C
89.75
97.17
48.08
137.83
97.17
235
A
14.25
39
16.42
30.67
39
69.67
B
15.67
69.67
8.42
24.08
69.67
93.75
C
12
32.08
17
29
32.08
61.08
A
3.42
16.42
6.5
9.92
16.42
26.33
B
9.75
36
23.42
33.17
36
69.17
C
10.42
38.67
32.75
43.17
38.67
81.83
A
35.75
51.42
29.75
65.5
51.42
116.92
B
8.67
35.83
39.92
48.58
35.83
84.42
C
9.75
42.75
11.58
21.33
42.75
64.08
A
7.25
30.42
62.42
69.67
30.42
100.08
B
16
31
27.58
43.58
31
74.58
C
15.33
37.75
47.67
63
37.75
100.75
69
Sebaran biomassa lamun dan persentase biomassa lamun bagian atas dan bagian bawah substrat pada masing-masing transek (delapan stasiun) dapat disajikan pada Gambar 5.13 dan Gambar 5.14 sebagai berikut: Biomassa (gbk/ m2) 160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C 5A 5B 5C 6A 6B 6C 7A 7B 7C 8A 8B 8C
Stasiun Biomassadibawah di bawahsubstrat substrat Biomassa
Biomassa diatas di atassubstrat substrat biomassa
Gambar 5.13 Grafik Sebaran Biomassa Lamun Biomassa (%) 100% 37,47 62,53
57,55
58,44
42,45
56,02
41,56
43,98
52,75
30,39
47,25
47,95
66,71
52,05
62,34
52,52
60%
74,31
55,98
41,35
57,36
65,56
28,17
34,44
60,62
72,05
39,38
27,95
68,75
67,18
31,25
32,82
69,55
23,88
30,45
66,75
70%
42,77
80%
33,35
90%
50% 69,61 33,29
37,66
47,48
25,69
10%
44,02
42,64
58,65
71,83
20%
57,23
30%
76,12
40%
0% 1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C 5A 5B 5C 6A 6B 6C 7A 7B 7C 8A 8B 8C
Stasiun Biomassa di bawah Biomassa dibawahsubstrat substrat
Biomassa di atas substrat Biomassa diatas substrat
Gambar 5.14 Grafik Persentase Biomassa Lamun
70
Biomassa lamun di Pantai Sanur menunjukkan bahwa nilai biomassa yang diperoleh umumnya didominasi oleh jenis yang berukuran besar misalnya jenis E. acroides dan T. Hemprichii meskipun nilai kerapatan masing-masing jenis ini tidak sebanyak jenis H. uninervis, H. pinifolia, H. ovalis dan S. isoetifolium yang berukuran kecil. Nilai total biomassa lamun perkuadran (m2) yang diperoleh dari 8 stasiun yang terbagi atas 24 kuadran (1mx1m) berkisar 26,33 – 235 gram berat kering (gbk)/ m2 yang terdiri dari total biomassa diatas substrat (daun) sebesar 16,08 – 97,17 gbk/ m2 dan total biomassa di bawah substrat (akar dan rhizoma) sebesar 9,92 – 145,67 gbk/ m2. Nilai total biomassa (bagian atas substrat dan bawah substrat) yang tertinggi ditemukan pada stasiun 4 di kuadran C sebesar 235 gbk/ m2 yang didominasi oleh lamun jenis Enhalus acroides setelah itu diikuti oleh stasiun 2 di kuadran C sebesar 205,8 gbk/ m2 yang hanya didominasi oleh jenis E. acroides. Nilai total biomassa terkecil ditemukan pada stasiun 6 di kudran A sebesar 26,33 gbk/ m2 yang didominasi oleh lamun jenis H. ovalis dan H. pinifolia diikuti oleh stasiun 1 Kuadran B sebesar 42,92 gbk/ m2 yang didominasi oleh jenis H. uninervis. Untuk total biomassa di bawah substrat (bagian akar dan rhizoma) tertinggi ditemukan di stasiun 3 pada kuadran b sebesar 145,67 gbk/ m2 yang didominasi oleh jenis E. acroides sedangkan biomassa di bawah substrat terkecil ditemukan pada stasiun 1 kuadran b sebesar 26,83 gbk/ m2 yang didominasi oleh H. uninervis.
Untuk total biomassa di atas substrat (bagian daun) tertinggi
ditemukan pada stasiun 4 kuadran c sebesar 97,17 gbk/ m2 yang juga didominasi
71
oleh jenis E. acroides sedangkan biomassa di atas substrat terkecil ditemukan pada stasiun 1 kuadran B sebesar 16,08 gbk/ m2 yang didominasi oleh jenis H. uninervis. Persentase keseluruhan biomassa lamun dapat dilihat pada Gambar 5.15 sebagai berikut:
39,84
Biomassa diatas substrat Biomassa dibawah substrat
60,16
Gambar 5.15 Persentase Keseluruhan Biomasa Lamun Persentase keseluruhan biomassa di bagian atas substrat pada semua lokasi stasiun sebesar 39,84% sedangkan biomassa dibagian bawah substrat berkisar sebesar 60,16%. Secara umum pada penelitian ini nilai biomassa di bawah substrat lebih tinggi dibandingkan nilai biomassa di atas substrat. Distribusi biomassa lamun di atas substrat dan di bawah substrat yang relatif tinggi ditemukan yakni terdapat pada stasiun 2 (Pantai Semawang I), 3 (Pantai Semawang II) dan 4 (Pantai Indah) yang didominasi oleh jenis E. acroides. Hal ini sangat berkaitan dengan kerapatan lamun dari jenis berukuran besar (E. acroides dan T. Hemprichii) pada ketiga stasiun (2, 3 dan 4) dan sebaliknya pada stasiun lainnya didominasi oleh jenis berukuran kecil (H.
72
pinifolia, H. uninervis, H. ovalis dan S. isoetifolium) meskipun dengan kerapatan yang lebih tinggi.
5.2 Parameter Lingkungan Kawasan Pantai Sanur Karakteristik parameter lingkungan (fisika-kimia) pada suatu habitat perairan akan sangat mempengaruhi struktur komunitas padang lamun di perairan. Pengukuran parameter lingkungan dilaksanakan untuk mengetahui kondisi lamun pada saat itu dan diukur bersamaan dengan identifikasi lamun serta dilakukan pada saat perairan dalam kondisi pertengahan menuju pasang pada semua titik pengamatan. Hasil dari pengukuran rata-rata parameter lingkungan di Pantai Sanur disajikan pada Tabel 5.4 sebagai berikut: Tabel 5.4 Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan di Pantai Sanur Rata-Rata Hasil Pengukuran Stasiun
Ph
Salinitas o/oo)
DO (mg/L)
Suhu (°C)
Kec. Arus(m/det)
1
7.22
33.77
6.40
29.23
0.086
2
7.60
33.40
6.52
29.20
0.106
3
7.05
33.53
7.60
29.60
0.170
4
7.19
34.70
6.69
30.13
0.117
5
7.00
33.87
7.70
28.97
0.135
6
7.07
33.87
6.94
29.57
0.262
7
7.06
34.23
6.63
29.53
0.314
8
7.20
33.83
7.22
29.70
0.320
Kisaran Optimum
7,5 – 8,5*
24 – 35 /oo*
> 5 mg/l *
28 -30°*
0,05 – 1,00 m/ det**
Ket
o
: * = Kisaran optimum berdasarkan Kep Men LH No. 51 Th 2004 ** = Kisaran optimum berdasarkan Koch (2001) Sumber: Hasil Pengukuran di Lapangan, Tahun 2014
73
5.3 Karbon Lamun 5.3.1 Kandungan Karbon Jaringan Lamun Tumbuhan lamun memiliki kandungan karbon yang menggambarkan seberapa besar lamun tersebut dapat mengikat CO2 dari udara. Kandungan karbon dapat diartikan yaitu banyaknya karbon yang mampu diserap oleh tumbuhan lamun dalam bentuk biomassa. Karbon dalam biomassa tersimpan selama tumbuhan lamun masih hidup. Karbon tersebut akan menjadi energi untuk proses fisiologi tanaman dan sebagian masuk kedalam struktur tumbuhan lamun. Stok karbon yaitu kandungan karbon absolut dalam biomassa pada waktu tertentu (Apps et al. 2003). Hasil analisis dengan menggunakan metode Walkley dan Black dan metode pengabuan menghasilkan nilai kandungan karbon perjaringan (akar, daun dan rhizoma) yang disajikan pada Tabel 5.5 sebagai berikut:
Tabel 5.5 Konsentasri Karbon Jaringan Lamun Stasiun (Transek Kuadrat)
Konsentrasi Karbon Jaringan Lamun (% dari berat kering) Metode Wilkley & Black
Metode Pengabuan
1B
Akar 20.79
Daun 16.48
Rhizoma 16.32
Akar 19.89
Daun 16.18
Rhizoma 13.79
2B
24.72
20.63
20.87
28.11
19.04
14.55
3B
20.73
20.82
16.96
18.04
16.47
10.34
4B
20.71
20.54
24.85
18.98
16.68
20.90
5B
24.4
20.49
16.47
24.90
20.24
11.50
6B
20.86
20.56
16.75
17.47
18.30
12.40
7B
20.54
16.51
16.18
22.09
16.86
13.26
8B
24.73
20.55
16.7
23.71
18.79
13.97
74
Dari Tabel 5.5 mengenai hasil analisis kandungan karbon di atas dapat dijelaskan bahwa nilai rata-rata kandungan karbon dalam jaringan lamun dengan metode Wilkley & Black yakni pada bagian akar sebesar 22,18 %, pada bagian daun sebesar 19,57 % dan bagian rhizoma sebesar 18,14 %. Dengan metode pengabuan diperoleh nilai kandungan karbon pada bagian akar sebesar 21,65 %, pada bagian daun sebesar 17,81 % dan pada bagian rhizoma sebesar 13,84 %. Estimasi stok karbon dilakukan dengan mengkonversi persentase kandungan karbon dengan biomassa dari kuadrat b ke kuadrat a dan c pada masing-masing stasiun (8 stasiun). Hal ini dilakukan berdasarkan prakiraan bahwa masing-masing kuadrat (a, b dan c) memiliki kondisi lamun yang hampir sama atau relatif homogen karena jarak yang berdekatan. Nilai kandungan karbon dengan metode Wilkley & Black yang telah dikonversi ke dalam satu meter persegi (m2) ke masing-masing transek kuadrat disajikan pada Tabel 5.6 sebagai berikut:
75
Tabel 5.6 Estimasi Kandungan Karbon Lamun dengan Metode Wilkley & Black Stasiun
Kandungan karbon (gC/0,04 m2)
Kandungan karbon (gC/m2)
Akar
Daun
Rizoma
Akar
Daun
Rizoma
1A
0.0707
0.1846
0.1893
1.7672
4.6144
4.7328
1B
0.1435
0.2076
0.3003
3.5863
5.1912
7.5072
1C
0.1684
0.1483
0.2040
4.2100
3.7080
5.1000
2A
0.3708
0.4992
0.7200
9.2700
12.4812
18.0004
2B
0.2175
0.3033
0.7931
5.4384
7.5815
19.8265
2C
0.5191
0.5281
0.7388
12.9780
13.2032
18.4700
3A
0.4913
0.4705
0.5851
12.2825
11.7633
14.6280
3B
0.4498
0.4768
0.2290
11.2460
11.9195
5.7240
3C
0.6219
0.4539
0.1950
15.5475
11.3469
4.8760
4A
0.1533
0.2075
0.4548
3.8314
5.1864
11.3689
4B
0.3003
0.5690
0.1491
7.5074
14.2240
3.7275
4C
0.7435
0.7990
0.4771
18.5872
19.9752
11.9280
5A
0.1391
0.3196
0.1087
3.4770
7.9911
2.7176
5B
0.1537
0.5717
0.0560
3.8430
14.2918
1.4000
5C
0.1171
0.2623
0.1120
2.9280
6.5568
2.7999
6A
0.0292
0.1357
0.0436
0.7301
3.3924
1.0888
6B
0.0814
0.2412
0.1575
2.0339
6.0300
3.9363
6C
0.0876
0.3187
0.2194
2.1903
7.9670
5.4856
7A
0.2937
0.3401
0.1925
7.3431
8.5027
4.8136
7B
0.0719
0.2361
0.2589
1.7973
5.9023
6.4720
7C
0.0801
0.2823
0.0744
2.0027
7.0580
1.8607
8A
0.0717
0.2507
0.4175
1.7929
6.2678
10.4375
8B
0.1583
0.2548
0.1837
3.9568
6.3705
4.5925
8C
0.1509
0.3103
0.3190
3.7713
7.7576
7.9743
76
Nilai kandungan karbon dengan metode pengabuan yang telah dikonversi ke dalam satu meter persegi (m2) ke masing-masing transek kuadrat dapat disajikan pada Tabel 5.7 sebagai berikut:
Tabel 5.7 Estimasi Kandungan Karbon Lamun dengan Metode Pengabuan Kandungan karbon (gC/0,04 m2)
Kandungan karbon (gC/m2)
Akar
Daun
Rizoma
Akar
Daun
Rizoma
1A
0.0676
0.1812
0.1600
1.6906
4.5297
4.0001
1B
0.1372
0.2039
0.2537
3.4310
5.0967
6.3434
1C
0.1611
0.1456
0.1724
4.0277
3.6399
4.3105
2A
0.4216
0.4608
0.5021
10.5409
11.5210
12.5523
2B
0.2474
0.2799
0.5530
6.1842
6.9983
13.8257
2C
0.5903
0.4875
0.5152
14.7573
12.1875
12.8797
3A
0.4275
0.3723
0.3568
10.6884
9.3074
8.9202
3B
0.3915
0.3772
0.1396
9.7864
9.4310
3.4905
3C
0.5412
0.3591
0.1189
13.5296
8.9780
2.9734
4A
0.1404
0.1684
0.3825
3.5111
4.2108
9.5613
4B
0.2752
0.4619
0.1254
6.8799
11.5484
3.1349
4C
0.6814
0.6487
0.4013
17.0338
16.2177
10.0316
5A
0.1419
0.3158
0.0759
3.5476
7.8950
1.8979
5B
0.1568
0.5648
0.0391
3.9211
14.1199
0.9777
5C
0.1195
0.2591
0.0782
2.9875
6.4780
1.9554
6A
0.0245
0.1208
0.0322
0.6113
3.0196
0.8057
6B
0.0681
0.2635
0.1165
1.7029
6.5882
2.9130
6C
0.0734
0.2837
0.1624
1.8338
7.0914
4.0596
7A
0.3159
0.3472
0.1578
7.8986
8.6809
3.9448
7B
0.0773
0.2410
0.2122
1.9332
6.0261
5.3039
7C
0.0862
0.2882
0.0610
2.1542
7.2060
1.5249
8A
0.0688
0.2292
0.3493
1.7191
5.7302
8.7333
8B
0.1518
0.2330
0.1537
3.7940
5.8242
3.8427
8C
0.1446
0.2837
0.2669
3.6161
7.0924
6.6723
Stasiun
77
Setelah diketahui nilai hasil konversi kandungan karbon dengan metode Wilkley & Black dan metode pengabuan ke dalam satu meter persegi (m2) pada masing-masing jaringan lamun (akar, daun dan rhizoma) pada setiap masingmasing transek kuadrat, kemudian dilakukan rata-rata kandungan karbon lamun dari dua metode tersebut yang terdiri dari kandungan karbon lamun bagian atas substrat (daun) dan kandungan karbon lamun bagian bawah substrat (akar dan rhizoma). Hasil rata-rata inilah yang digunakan sebagai nilai stok kandungan karbon lamun. Adapun grafik rerata dari stok karbon lamun dapat disajikan pada Gambar 5.16 sebagai berikut: Rerata 2 Kandungan Karbon (gC/m )
30
25 20 15 10 5
0 A
B
C
Stasiun 1
A
B
C
Stasiun 2
A
B
C
Stasiun 3
A
B
C
Stasiun 4
Atas Substrat
A
B
C
Stasiun 5
A
B
C
Stasiun 6
A
B
C
Stasiun 7
A
B
C
Stasiun 8
Bawah Substrat
Gambar 5.16 Rata-rata stok karbon Lamun pada masing-masing transek Nilai rerata kandungan karbon tersebut dapat disajikan pada Tabel 5.8 sebagai berikut:
78
Tabel 5.8 Rerata Nilai Kandungan Karbon Lamun
Stasiun
Metode Wilkley & Black (gC/m2)
Metode Pengabuan (gC/m2)
Rerata dari metode Wilkley & Black Dan Pengabuan (gC/m2)
Bawah Substrat
Atas Substrat
Bawah Substrat
Atas Substrat
Bawah Substrat
Atas Substrat
Rerata Total
1A
6.5000
4.6144
5.6907
4.5297
6.0953
4.6144
10.7097
1B
11.0935
5.1912
9.7744
5.0967
10.4339
5.1440
15.5779
1C
9.3100
3.7080
8.3382
3.6399
8.8241
3.6740
12.4980
2A
27.2704
12.4812
23.0932
11.5210
25.1818
12.0011
37.1828
2B
25.2649
7.5815
20.0099
6.9983
22.6374
7.2899
29.9273
2C
31.4480
13.2032
27.6370
12.1875
29.5425
12.6953
42.2378
3A
26.9105
11.7633
19.6085
9.3074
23.2595
10.5354
33.7949
3B
16.9700
11.9195
13.2769
9.4310
15.1235
10.6752
25.7987
3C
20.4235
11.3469
16.5030
8.9780
18.4632
10.1624
28.6257
4A
15.2002
5.1864
13.0725
4.2108
14.1363
4.6986
18.8349
4B
11.2349
14.2240
10.0148
11.5484
10.6248
12.8862
23.5110
4C
30.5152
19.9752
27.0653
16.2177
28.7903
18.0964
46.8867
5A
6.1946
7.9911
5.4455
7.8950
5.8200
7.9431
13.7631
5B
5.2430
14.2918
4.8988
14.1199
5.0709
14.2058
19.2767
5C
5.7279
6.5568
4.9429
6.4780
5.3354
6.5174
11.8528
6A
1.8189
3.3924
1.4170
3.0196
1.6179
3.2060
4.8239
6B
5.9701
6.0300
4.6158
6.5882
5.2930
6.3091
11.6020
6C
7.6759
7.9670
5.8934
7.0914
6.7847
7.5292
14.3139
7A
12.1566
8.5027
11.8434
8.6809
12.0000
8.5918
20.5918
7B
8.2693
5.9023
7.2372
6.0261
7.7532
5.9642
13.7174
7C
3.8634
7.0580
3.6790
7.2060
3.7712
7.1320
10.9032
8A
12.2304
6.2678
10.4525
5.7302
11.3414
5.9990
17.3404
8B
8.5493
6.3705
7.6366
5.8242
8.0930
6.0973
14.1903
8C
11.7456
7.7576
10.2884
7.0924
11.0170
7.4250
18.4420
79
Berdasarkan Tabel 5.8, nilai kandungan karbon lamun yang dipakai untuk stok karbon lamun yaitu nilai
hasil rata-rata dari dua metode yang telah
digunakan. Hasil uji Mann-Whitney tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata antara metode pengabuan dan metode Walkley & Black. Hal ini dibuktikan oleh nilai signifikansi p-value karbon bagian atas substrat antara metode pengabuan dengan metode Walkley & Black sebesar 0.564 (P>0.05) dan karbon bagian bawah substrat sebesar 0.375 (P>0.05) sehingga tidak terdapat perbedaan nyata nilai kandungan karbon dari dua metode tersebut. Grafik stok karbon lamun (Gambar 5.16) menunjukkan perbedaan besaran kandungan karbon yang tersimpan pada bagian di atas substrat dan di bawah substrat dari tumbuhan lamun pada setiap titik stasiun pengamatan. Secara umum kandungan karbon di bawah substrat lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan karbon di atas substrat. Nilai kandungan karbon di bawah substrat berkisar antara
1,62 – 29,54
gC/m2. Nilai tertinggi ditemukan di stasiun 2C (kuadran c) yakni di Pantai Semawang I sebesar 29,54 gC/m2 yang didominasi oleh jenis Enhalus Acroides diikuti oleh stasiun 4C (Pantai Indah) sebesar 28,79 gC/m2 yang juga didominasi oleh jenis E. Acroides. Sedangkan nilai kandungan karbon di bawah substrat terkecil ditemukan di stasiun 6A (Pantai Inna Grand Bali) sebesar 1,61 gC/m2 yang didominasi oleh jenis H. ovalis dan H. pinifolia. Diikuti oleh stasiun 7C (Pantai Sanur II) sebesar 3,77 gC/m2 yang didominasi oleh H. ovalis. Nilai kandungan karbon di atas substrat berkisar antara 3,21 – 18,10 gC/m2. Nilai tertinggi ditemukan di stasiun 4C (Pantai Indah) sebesar 18,10 gC/m
80
yang didominasi oleh jenis E. acroides. Diikuti oleh stasiun 5B (Pantai Sindhu) sebesar 14,20 gC/m2 yang didominasi oleh T. hemprichii. Sedangkan nilai kandungan karbon di atas substrat terkecil ditemukan di stasiun 6A (Pantai Inna Grand Bali) sebesar 3,21 gC/m2 yang didominasi oleh H. ovalis dan H. pinifolia. Diikuti oleh stasiun 1C (Pantai Mertasari) sebesar 3,67 gC/m2 yang didominasi oleh jenis H. uninervis. Secara keseluruhan, total nilai stok kandungan karbon bagian atas substrat dan bawah substrat tertinggi per stasiun ditemukan di Pantai Semawang 1 dengan total kandungan karbon per kuadrat a,b dan c sebesar 109,35 gC dengan dominasi jenis lamun E. acroides dan T. hemprichii. Nilai stok kandungan karbon terkecil ditemukan di Pantai Inna Grand Bali Beach (total kandungan karbon per kuadrat a,b dan c sebesar 30,74 gC) dengan dominasi jenis lamun H. uninervis dan H. pinifolia. Dari hasil analisis nilai kandungan karbon tersebut, maka diketahui nilai stok karbon tertinggi dimiliki oleh jenis lamun E. acroides baik di bagian atas substrat maupun pada bagian bawah subtratnya. Nilai stok karbon terkecil dimiliki oleh jenis H. ovalis dan H. uninervis. Berdasarkan data hasil stok karbon yang telah didapatkan pada masingmasing transek, dibuat 5 kategori kelas stok karbon untuk memudahkan analisis dan pendistribusian secara spasial. Kategori kelas stok karbon lamun dapat disajikan pada Tabel 5.9 sebagai berikut:
81
Tabel 5.9 Kategori Kelas Ukuran Karbon Karegori Kelas 1 2 3 4 5
Stok Karbon (gC/m2) Atas Substrat Bawah Substrat <5 <5 5 - 10 5 - 10 10 - 15 10 - 15 15 - 20 15 - 20 > 20 > 20
Total < 10 10 - 20 20 - 30 30 - 40 > 40
Hasil pengkategorian kelas karbon lamun tersebut yaitu berupa peta distribusi sebaran nilai stok karbon yang terdapat pada bagian atas substrat dan bagian bawah subtrat yang dapat dilihat pada Gambar 5.17 dan Gambar 5.18. Peta distribusi stok karbon dan perhitungan masing-masing luas kategori stok karbon dilakukan dengan menggunakan software Arcgis 10.1 yaitu sebagai berikut:
82
Gambar 5.17 Peta Sebaran Stok Karbon Lamun Bagian Atas Substrat di Kawasan Pantai Sanur
83
Gambar 5.18 Peta Sebaran Stok Karbon Lamun Bagian Bawah Substrat di Kawasan Pantai Sanur
84
Berdasarkan peta stok karbon bagian atas substrat (Gambar 5.17), luas kelas stok karbon atas substrat tertinggi ditemukan pada kelas 2 (5,01 – 10,00 gC/m2) sebesar 171,5 Ha atau 53,27 % dari luas keseluruhan padang lamun. Kemudian berturut-turut diikuti oleh kelas 3 (10,01 – 15,00 gC/m2) sebesar 136,6 atau 42,44 %, kelas 1 (< 5,00 gC/m2) sebesar 13,18 Ha atau 4,09 %, dan luas terkecil yakni pada kelas 4 (15,01 - 20,00 gC/m2) sebesar 0,65 Ha atau 0,20 % dari luas keseluruhan padang lamun di kawasan Pantai Sanur. Stok karbon di atas substrat untuk kategori kelas 5 (>20,01 gC/m2) tidak ditemukan karena kandungan karbon di atas substrat tidak melebihi nilai 20,01 gC/m2. Dari keseluruhan kategori kelas stok karbon lamun di atas substrat, terlihat bahwa kategori kelas yang mendominasi yakni kelas 2 yang mempunyai nilai kisaran stok karbon sebesar 05,01 – 10,00 gC/m2 yang melebihi setengah dari luas total padang lamun yang ada. Untuk luas kategori stok karbon lamun bagian bawah substrat (Gambar 5.18) tertinggi ditemukan pada kelas 4 (15,01 - 20,00 gC/m2) sebesar 106,1 Ha atau sebesar 32,94 %. Kemudian berturut-turut diikuti oleh kelas 5 ( >20,00 gC/m2) sebesar 95 Ha atau 29,51 %, kelas 2 (05,01 – 10,00 gC/m2) sebesar 61,2 Ha atau 19,01 %, kelas 3 (10,01 – 15,00 gC/m2) sebesar 56,1 Ha atau 17,42 % dan luas terkecil yakni kelas 1 (< 05,00 gC/m2) sebesar 3,6 Ha atau 1,12 %. Dari keseluruhan kategori kelas stok karbon lamun di bawah substrat, terlihat bahwa kategori kelas yang mendominasi yakni kelas 4 dengan nilai kisaran stok karbon sebesar 15,01 - 20,00 gC/m2 dan distribusi masing-masing kategori kelas lainnya
85
yakni kelas 2, kelas 4 dan kelas 5 tidak terpaut terlalu jauh, sedangkan distribusi kelas 1 terlihat sangat sedikit.
5.3.2 Total Penyimpanan Stok Karbon Total stok karbon diperoleh dengan menggabungkan nilai kandungan karbon bagian atas substrat dan bagian bawah substrat dari tumbuhan lamun (yang tertera pada Tabel 5.8) pada masing-masing transek. Grafik total stok karbon lamun di Pantai Sanur dapat disajikan pada Gambar 5.19 sebagai berikut: 2
Kandungan Karbon (gC/m )
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8 Total Stok Karbon Lamun Karbon(Bagian Atas dan Bawah Substrat)
Gambar 5.19 Total Stok Karbon Lamun pada masing-masing Transek Rata-rata total stok karbon lamun bagian atas dan bawah substrat dari semua transek yakni sebesar 20,05 gC/m2 dengan kisaran antara 4.82 - 46.89 gC/m2. Stok karbon tertinggi ditemukan pada stasiun 4C (Pantai Indah) sebesar 46.89 gC/m2 yang didominasi oleh jenis lamun Enhalus Acroides dan terkecil ditemukan di stasiun 6A (Pantai Inna Grand Bali) sebesar 4.82 gC/m2 yang didominasi oleh jenis lamun H. ovalis. Peta distribusi total stok karbon lamun
86
di Pantai Sanur dapat dilihat pada peta (Gambar 5.20) sebagai berikut:
Gambar 5.20 Peta Total Sebaran Stok Karbon Lamun di Kawasan Pantai Sanur
87
Semakin tinggi nilai biomassa maka nilai kandungan karbon yang terkandung di dalam biomassa pun semakin tinggi (Wardah, 2009). Hal ini sesuai dengan hasil biomassa dalam penelitian ini yang berbanding lurus dengan nilai kandungan karbon. Berdasarkan peta di atas dan sesuai dengan luas total padang lamun sebesar 322 Ha maka pembagian masing-masing luas kelas stok karbon yakni kelas total stok karbon lamun tertinggi ditemukan pada kelas 3 (20,01 – 30,00 gC/m2) sebesar 119,14 Ha atau 37 % dari luas keseluruhan padang lamun. Kemudian diikuti oleh kelas 2 (10,01 – 20,00 gC/m2) sebesar 89,58 atau 27,82 % dan seterusnya oleh kelas 4 (30,01 - 40,00 gC/m2) sebesar 111,04 Ha atau 34,48 %, kelas 1 (< 5,00 gC/m2) sebesar 1,9 Ha atau 0,59 % dan luas terkecil yakni pada kelas 5 (>40,00 gC/m2) sebesar 0,34 Ha atau 0,11 % dari luas keseluruhan padang lamun di kawasan Pantai Sanur. Berdasarkan jenis lamun, pendugaan konstribusi stok karbon terbesar disumbangkan oleh jenis E. acroides. Konstribusi ini dilihat dari hubungan antara kerapatan lamun, nilai frekuensi kemunculan, nilai biomassa dan nilai kandungan karbon yang menjelaskan bahwa hampir semua masing-masing transek yang ditemukan jenis lamun E. acroides baik yang tunggal (hanya E. acroides) ataupun campuran yang didominasi oleh E. acroides maka nilai biomassa dan kandungan karbonnya lebih tinggi daripada transek lain yang ditemukan lamun dengan jenis lain. Konstribusi stok karbon terkecil disumbangkan oleh jenis C. serrulata yang berdasarkan hasil identifikasi merupakan jenis yang paling jarang ditemui.
88
Untuk total stok karbon lamun seluruh luasan padang lamun diperoleh dengan cara hasil rata-rata stok karbon (gC/m2) dikalikan dengan luas seluruh area padang lamun (m2). Diagram persentase total stok karbon bagian atas substrat dan bawah substrat dapat dilihat pada Gambar 5.21 sebagai berikut: 40%
Karbon atas substrat Karbon bawah subtrat 60%
Gambar 5.21 Persentase Konstribusi Stok Karbon Lamun Bagian Atas Substrat dan Bagian Bawah Substrat
Hasil perhitungan total stok karbon lamun dibawah substrat sebesar 39,85 ton karbon atau 60 % lebih besar dibandingkan dengan total stok karbon lamun diatas substrat yang hanya 40 % (26,75 ton karbon). Untuk total stok karbon lamun diperoleh total sebesar 66.600.749 gC atau sebesar 66,60 ton karbon. Sehingga padang lamun yang tumbuh di kawasan Pantai Sanur mempunyai potensi penyimpanan karbon sebesar 66,60 ton atau setara dengan 0,21 ton/ha karbon yang terdiri dari bagian lamun diatas substrat dan dibawah substrat. Sebaran total stok karbon lamun di perairan sebelah selatan (stasiun 1,2,3 dan 4) lebih besar karena rataan/ lebar lamun yang tumbuh lebih luas sekitar 0 – 820 m dibandingkan dibagian utara (stasiun 5,6,7 dan 8) sekitar 0 – 180 m dan juga karena di perairan selatan didominasi oleh jenis lamun E. acroides yang secara morfologi lebih besar dibandingkan jenis lainnya.
89
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Kondisi Komunitas Lamun di Kawasan Pantai Sanur 6.1.1 Kondisi Komunitas Lamun Jumlah spesies lamun yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya yakni ditemukan enam jenis lamun (Dewi, 2012) dan tujuh jenis lamun (Arthana, 2004) di perairan Pantai Sanur, sedangkan di Pantai Nusa Dua (Bali) yang mempunyai hamparan padang lamun cukup luas setelah Pantai Sanur hanya ditemukan enam jenis lamun (Suryantara, 2005). Dalam penelitian ini telah ditemukan delapan jenis lamun di kawasan perairan Pantai Sanur, hal ini dikarenakan peletakan jumlah stasiun pengamatan lebih luas dari peneltian sebelumnya sehingga peluang ditemukan jenis lamun di Pantai Sanur lebih tinggi. Padang lamun pada lokasi penelitian secara umum mempunyai tipe vegetasi campuran dengan asosiasi H. uninervis, S. isoetifolium, H. ovalis, H. pinifolia dan diikuti oleh E. acroides. Hemminga dan Duarte (2000), mengemukakan bahwa karakteristik padang lamun pada daerah tropis dan subtropis Indo-Pasifik yaitu memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dan bertipe vegetasi campuran (mixed vegetation). Secara keseluruhan, jenis tegakan total lamun yang tertinggi ditemukan pada jenis H. uninervis sebanyak 2.189 individu dari total keseluruhan transek (24 m2) kemudian diikuti oleh jenis S. isoetifolium dengan total 1.660 individu dari keseluruhan transek. Untuk kemunculan jenis lamun tertinggi pada masingmasing stasiun di Pantai Sanur ditemukan pada jenis E. acroides dan diikuti oleh
89
90
H. Uninervis. Sedangkan kemunculan jenis lamun yang paling jarang yakni jenis C. Serrulata. Kemunculan lamun tertinggi ini berkorelasi dengan yang dikemukakan oleh Arthana (2004) bahwa spesies yang umum dijumpai di Pantai Sanur adalah jenis E. acroides dan jenis ini memiliki toleransi tertinggi untuk berkembang di Pantai Sanur. Masih menurut Arthana (2004) yakni lamun jenis E. acroides memiliki daun yang lebih tebal, lebar dan panjang, sehingga memiliki ruang fotosintesa yang lebih besar per individunya. Jenis E. acroides bahkan bisa hidup mulai dari sedimen lumpur terrigenous sampai sedimen kasar karbonat, atau mulai dari salinitas rendah di dekat muara sungai sampai salinitas yang relatif tinggi di pulau-pulau yang jauh dari pengaruh muara sungai (Erftemeijer et al. 1993; Waycott et al. 2004) sehingga mempunyai daya saing yang besar dan ditemukan lebih merata dibandingkan jenis lain di kawasan Pantai Sanur. Kemunculan tertinggi berikutnya yakni jenis H. Uninervis, jenis lamun ini banyak ditemukan karena perairan Pantai Sanur berupa laguna yang berbatasan dengan terumbu karang dimana sebagian terumbu karang mengalami kerusakan sehingga membentuk substrat pecahan karang dan pada jenis substrat inilah jenis H. uninervis banyak hidup di Pantai Sanur. Hal ini dapat dilihat pada Stasiun 1,6 dan 8 yang mempunyai tipe substrat pasir dan pecahan karang dimana tumbuh lamun jenis H. Uninervis dengan jumlah yang banyak, sedangkan pada Stasiun 4 dan 5 yang mempunyai jenis substrat bertekstur pasir juga ditemukan jenis H. Uninervis. Hal ini terjadi karena H. Uninervis selain hidup di rataan terumbu karang rusak namun juga dapat hidup pada perairan dengan substrat pasir dengan
91
kondisi lingkungan yang mendukung seperti yang dijelaskan oleh Bengen (2004) bahwa jenis lamun H. Uninervis tumbuh pada rataan terumbu karang yang rusak. Carruthers et al (2007) juga menyebutkan yakni H. Uninervis merupakan lamun sublittoral ditemukan umumnya pada kedalaman antara 0-3 m di laguna sublittoral dan tumbuh di dekat terumbu karang yang rusak namun dapat tumbuh di berbagai habitat yang berbeda. Hal ini diperkuat oleh Rustendi (2001) bahwa H. Uninervis dapat hidup pada substrat pasir halus-kasar di zona intertidal dan subtidal. Lamun ini dapat membentuk padang rumput padat bercampur dengan spesies lamun lain. Kiswara (1994) menyatakan untuk spesies lamun yang bersifat pionir (seperti Cymodoceae, Halodule dan Syringodium) cenderung tumbuh di bagian perairan dangkal. Kemunculan jenis lamun yang paling jarang yakni jenis C. Serrulata yang hanya ditemukan pada Stasiun 4 dengan total tegakan 8-15 ind/m2. Jenis ini jarang ditemukan di lokasi penelitian karena jenis ini cenderung tumbuh pada jenis substrat pasir berlumpur atau pasir dari pecahan karang pada daerah pasang surut. Bengen (2004) mengatakan bahwa C. Serrulata cenderung tumbuh di daerah intertidal yang berbatasan dengan mangrove. Berdasarkan pengamatan lapang bahwa lokasi ekosistem mangrove relatif jauh dari lokasi penelitian ini, sehingga diduga jenis C. Serrulata jarang ditemukan. Jenis ini hanya ditemukan di Stasiun 4 dengan jumlah tegakan sangat sedikit dengan tipe substrat yakni tekstur pasir. Jenis H. uninervis merupakan kehadiran jenis pembuka (pionir) dengan jumlah tegakan/ individu yang lebih banyak dibandingkan jenis E. acroides dan jenis lainnya. Namun berdasarkan nilai biomassa terhadap jenis lamun yang
92
mendominasi, dimana jenis E. acroides mempunyai nilai biomassa yang lebih tinggi dibandingkan dengan H. uninervis. Hal ini diakibatkan oleh faktor morfologi yakni jenis E. acroides lebih besar diantara jenis lamun yang ada di Pantai Sanur. Semakin besar ukuran lamun, jumlah individu yang dapat mendiami suatu luasan tertentu akan berkurang (Fauziyah, 2004). Hal ini berkorelasi (sesuai) dengan penelitian ini yakni antara jenis yang paling sering ditemukan antara H. uninervis dengan E. acroides. Penelitian yang dilakukan oleh Supriadi (2012) di Pulau Baranglompo menyebutkan bahwa rata-rata biomassa di bawah substrat lebih dari tiga kali lipat dibanding biomassa di atas substrat. Dalam penelitian ini rata-rata besaran nilai biomassa lamun bagian bawah substrat hanya mencapai dua kali lipat dibandingkan biomassa bagian atas substrat. Hal ini dapat dikaitkan dengan morfologi tumbuhan lamun dimana ukuran lamun yang tumbuh di Pantai Sanur berdasarkan hasil pengamatan yakni berukuran sedang dan kerapatan lamun per meter persegi pun lebih jarang sehingga mempengaruhi nilai biomassa lamun tersebut. Dalam penelitian ini juga ditemukan nilai biomassa diatas substrat lebih tinggi daripada biomassa dibawah substrat yang ditemukan pada 7 transek. Walaupun produksi lamun terbagi menjadi jaringan di bawah permukaan dan di atas permukaan sedimen, namun biomassa di bagian bawah (rhizoma dan akar) sering kali mendominasi biomassa total dari komunitas lamun (Lefaan, 2008). Salah satu fungsi tingginya penyimpanan biomassa dibawah substrat adalah memperkuat penancapan lamun.
Menurut Kuriandewa (2009), lamun E.
93
acoroides bisa mempunyai biomassa dalam rimpang yang mencapai 6-10 kali dibanding di atas substrat. Semua jenis lamun umumnya dapat hidup pada semua jenis substrat, tetapi setiap jenis lamun mempunyai karakter tersendiri terhadap lingkungan hidupnya. Secara keseluruhan Pantai Sanur mempunyai arus perairan yang tenang dengan tipe pantai landai dan padang lamun yang tumbuh terletak ditengah laguna yang berbatasan dengan karang ke arah lautnya sehingga faktor lingkungan ini sangat mendukung kehidupan padang lamun. Jumlah jenis lamun yang telah ditemukan di Indonesia sebanyak 12 jenis lamun (Larkum et al, 1989), sedangkan jenis lamun yang telah terinventarisasi di wilayah pesisir Provinsi Bali berjumlah 10 jenis (Sudiarta dan Sudiarta, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa di kawasan Pantai Sanur ditemukan 66 % dari total jenis lamun yang ada di Indonesia dan 80 % dari total jenis lamun yang ada di Provinsi Bali. Sehingga tingkat keanekaragaman jenis lamun di kawasan pantai Sanur termasuk dalam kriteria tinggi. Tingkat keanekaragaman yang tinggi ini berdasarkan persentase jumlah jenis terhadap seluruh jenis yang ada di Indonesia ≥ 60% (Sudiarta & Restu, 2011). 6.1.2 Parameter Lingkungan Kawasan Pantai Sanur Berdasarkan Tabel 5.4 pada Bab V sebelumnya, hasil pengukuran parameter lingkungan perairan di Kawasan Pantai Sanur menunjukkan bahwa di semua stasiun penelitian yang diamati memiliki kondisi parameter kualitas air yang baik atau sesuai untuk kehidupan lamun. Secara umum nilai-nilai hasil pengukuran tersebut menunjukkan sebaran spasial yang cenderung homogen dan
94
hampir sama serta nilai yang diperoleh berada dalam kisaran optimum bagi pertumbuhan lamun sesuai dengan baku mutu air laut untuk biota laut (lamun) yang dikeluarkan oleh Kep Men Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004. Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan lamun di perairan. Berdasarkan hasil pengukuran suhu perairan pada stasiun penelitian diperoleh hasil pengukuran suhu berkisar 28,97 – 30,13 °C dapat dikatakan bahwa perbedaan suhu antar stasiun kecil sehingga sebaran spasial suhu dilokasi penelitian cenderung homogen. Dari nilai tersebut terlihat bahwa suhu di lokasi penelitian berada pada kisaran optimal untuk kehidupan lamun yaitu antara 28 hingga 30 °C (Dahuri et al, 1996). Kisaran salinitas perairan hasil pengukuran di lokasi penelitian berkisar 33,4 – 34,9 o/oo dengan nilai rata-rata sebesar 33,9 o/oo. Menurut Argadi (2003), besarnya salinitas yang dibutuhkan setiap makhluk hidup bervariasi tergantung pada tekanan osmotik dalam tubuhnya. Dilihat dari nilai kisaran tersebut, maka salinitas di lokasi penelitian cukup mendukung kehidupan komunitas lamun, karena berada pada kisaran salinitas yang cocok untuk pertumbuhan lamun yaitu sebesar 24 – 35 o/oo (Hilman et al, 1989). Nilai derajat keasaman (pH) di stasiun penelitian berkisar 7,00 – 7,60 dengan nilai rata-rata sebesar 7,17. Derajat keasaman disuatu perairan sangat dipengaruhi oleh dekomposisi tanah dan dasar perairan serta keadaan lingkungan sekitarnya (Argadi, 2003). Suatu perairan dengan pH 5,5-6,5 termasuk perairan yang tidak produktif, perairan dengan pH 6,5-7,5 termasuk perairan yang produktif, perairan dengan pH 7,5-8,5 adalah perairan yang memiliki
95
produktivitas yang sangat tinggi, dan perairan dengan pH yang lebih besar dari 8,5 dikategorikan sebagai perairan yang tidak produktif lagi (Nybakken, 1992). Nilai pH di lokasi penelitian masuk dalam kategori cukup optimal untuk pertumbuhan lamun karena tidak terlalu jauh dengan batas kisaran optimum lamun yaitu 7,5, dimana nilai pH yang baik untuk lamun adalah pada saat pH air laut berkisar 7,5 – 8,5 (Nybakken, 1992). Kandungan oksigen terlarut (DO) di pantai Sanur berdasarkan hasil pengukuran yaitu berkisar 6,40 – 7,70 mg/l dengan nilai rata-rata sebesar 6,96 mg/l. Perairan yang hangat memiliki kandungan oksigen terlarut yang rendah dibandingkan dengan perairan yang lebih dingin, dimana konsentrasi kejenuhan oksigen terlarut menurun antara 0,2 dan 0,3 mg/l untuk setiap kenaikan temperatur derajat celcius (Arnell, 2002). Nilai DO dalam perairan sangat terkait dengan produksi oksigen seperti dalam fotosintesis dan pemakaian oksigen oleh lamun seperti dalam respirasi akar dan rimpang maupun dalam proses siklus nitrogen oleh bakteri di padang lamun (Argadi, 2003). Nilai DO hasil pengukuran di Pantai Sanur memperlihatkan bahwa kisaran nilai tersebut berada diatas baku mutu air laut untuk biota laut (kepmen Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004), yaitu > 5 mg/l. Kecepatan arus perairan di Pantai Sanur dalam kategori sangat lambat sampai sedang yaitu berkisar 0.086 - 0.320 m/detik. Kisaran kecepatan arus tersebut termasuk dalam kategori baik untuk pertumbuhan lamun. Koch (2001) mengemukakan bahwa untuk mendukung pertumbuhan dan distribusi padang lamun yang sehat diperlukan kecepatan arus yang sedang diantara 0,05 – 1,00 m/
96
detik. Arus perairan yang kecil menyebabkan daun lamun dipadati oleh alga epifit berikut sedimen yang terperangkap diantara alga tersebut. Sebaliknya, apabila daun lamun bersih dari alga epifit menunjukkan arus setempat relatif kuat (Berwick 1983 dalam Dewi, 2012). Kondisi daun lamun yang dipadati oleh epifit ditemukan pada stasiun 2 (Pantai Semawang II) dan stasiun 4 (Pantai Indah) yakni pada jenis E. acroides yang memiliki nilai kecepatan arus cukup lambat yakni 0.106 - 0.117 m/det dibandingkan kecepatan arus pada stasiun 3,5,6,7 dan 8 yang lebih cepat. Nilai kecerahan perairan di pantai Sanur yakni 100 % dengan kedalaman perairan 40 – 200 meter, menunjukkan bahwa dasar perairan serta tumbuhan lamun dapat terlihat dari permukaan. Kecerahan yang tinggi ini dikarenakan kondisi perairan yang tenang akibat adanya terumbu karang dibagian depan komunitas padang lamun. Selain itu kecerahan yang tinggi ini juga disebabkan oleh sifat lamun yang mampu menangkap sedimen dan didukung oleh kecepatan arus yang relatif tenang.
6.2 Stok Karbon Lamun Berdasarkan hasil
perhitungan kandungan
karbon pada
Bab
V
sebelumnya, dapat dijelaskan secara keseluruhan stok karbon lamun di pantai Sanur pada bagian bawah substrat lebih besar dibandingkan stok karbon lamun bagian atas substrat. Dari total 24 titik pengamatan hanya 8 titik transek atau 33% yang ditemukan mempunyai nilai stok karbon bagian atas substrat yang lebih tinggi dibandingkan bagian bawah substrat.
97
Adanya variasi nilai stok karbon lamun disebabkan oleh perbedaan biomassa, konsentrasi kandungan karbon yang berbeda antar jenis maupun antar jaringan pada jenis yang sama. Sesuai dengan pernyataan Wardah (2009) yang menyebutkan bahwa semakin tinggi nilai biomassa maka nilai kandungan karbon yang terkandung didalam biomassa pun semakin tinggi maka dalam penelitian ini jenis lamun yang mempunyai nilai kandungan karbon tertinggi adalah E. acroides dilihat dari setiap transek yang ditemukan jenis E. acroides ini maka nilai biomassa dan kandungan karbonnya cenderung lebih besar dibandingkan transek lain yang ditemukan jenis lamun selain E. acroides. Sehingga jenis lamun E. acroides mempunyai konstribusi terbesar sebagai penyimpan karbon di kawasan Pantai Sanur. Walau kekayaan jenis lamun di daerah tropis tinggi, namun biasanya terdapat satu jenis yang dominan dalam hubungannya dengan biomassa (Hemminga dan Duarte, 2000) karena hal ini berkaitan dengan morfologi dan laju pertumbuhan yang berbeda di antara jenis lamun (Vermaat et al, 1995). Beberapa hal yang menjadikan E. acroides berperan nyata antara lain: 1) Secara morfologi jenis lamun Enhalus acroides berukuran lebih besar dibandingkan jenis lamun yang lain sehingga dapat mengakumulasi karbon lebih banyak pada jaringan tubuhnya. Panjang daun Enhalus acroides di pantai Sanur sekitar 20 - 80 cm dengan lebar daun sekitar 1 – 1,5 cm dan diameter rhizoma sekitar 1 – 2 cm. Ukuran jenis lamun E. acroides ini jauh sangat besar dibandingkan jenis lamun lain di Pantai Sanur.
98
2) Nilai biomassa per transek yang ditemukan jenis lamun E. acroides berkisar antara 93 – 235 gC/ m2 sedangkan transek yang ditemukan jenis lamun selain E. acroides hanya berkisar antara 26 – 153 gC/ m2. 3) Distribusi jenis lamun E. acroides cukup luas yakni dengan nilai total frekuensi kemunculan sebesar 46 % setelah jenis lamun H. uninervis yang sebesar 50 %.
Fungsi penting peran lamun sebagai carbon sink adalah stok karbon yang tersimpan pada jaringan lamun yakni sebagai biomassa dan karbon yang dialirkan atau tersimpan (terkubur) ke sedimen. Penyimpanan karbon yang lebih besar di bagian bawah substrat sangat penting karena merupakan karbon yang terkunci di sedimen. Karbon di bawah substrat tidak terlalu terpengaruh oleh pengaruh fisik lingkungan sebagaimana stok karbon yang ada di bagian atas substrat (Supriadi, 2012). Stok karbon pada jaringan hidup ini akan selalu terpelihara selama tunas lamun masih hidup, walaupun selama masa hidupnya akan selalu terjadi regenerasi jaringan yang mati. Setelah tumbuhan lamun mati maka stok karbon dibawah substrat akan tersimpan dan terkunci disedimen. Walaupun proses dekomposisi terjadi pada jaringan mati dibawah substrat, namun berjalan sangat lambat. Konsentrasi nutrien yang rendah pada rhizoma dan akar lamun menjadi penyebab lambatnya proses dekomposisi (Kennedy dan Bjork, 2009 dalam Supriadi, 2012). Stok karbon diatas substrat relatif berfluktuasi dibanding stok karbon di bawah substrat. Walaupun stok karbon di atas substrat relatif kecil dibanding stok karbon di bawah substrat, namun stok karbon di atas substrat akan tetap
99
terpelihara selama tunas lamun masih hidup. Selain itu peran stok karbon lamun diatas substrat bisa dikaitkan dengan dinamika aliran karbon dari hasil akumulasi produktivitas (Supriadi, 2012). Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata stok karbon lamun sebesar 20,68 gC/m2 dengan total stok penyimpanan karbon keseluruhan luas area sebesar 66,60 ton dengan luas area padang lamun di Pantai Sanur sebesar 322 Ha, dimana sekitar 60 % disimpan sebagai stok karbon bagian bawah substrat dan 40 % disimpan sebagai stok karbon bagian atas substrat. Menurut penelitian Supriadi (2012) yang dilakukan di Pulau Baranglompo Makassar menyebutkan bahwa total stok karbon lamun sebesar 73,86 ton dengan luas area sebesar 64,3 ha. Dari hasil tersebut terlihat bahwa stok karbon lamun di Pantai Sanur lebih kecil dan dengan luasan lima kali jauh lebih besar daripada stok karbon lamun di Pantai Baranglompo. Tingginya nilai stok karbon di Baranglompo dibandingkan dengan di Pantai Sanur dikarenakan pada penelitian di Baranglompo stok karbon lamun diperoleh tidak hanya dari tumbuhan lamun saja namun diperoleh dari produktivitas serasah dan herbivora (grazing bulu babi) sedangkan penelitian di Pantai Sanur stok karbon lamun hanya diperoleh dari tumbuhan lamun saja. Sudiarta dan Restu (2011) menyebutkan bahwa kondisi tutupan lamun di Pantai Sanur termasuk kategori tutupan rendah (miskin) sampai moderat; menurut Kepmen LH No. 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Penentuan Status Padang Lamun. Sehingga kategori tutupan lamun yang rendah sampai
100
moderat di pantai Sanur ini berkorelasi dengan biomassa dan kandungan karbon yang terkandung pada tumbuhan lamun tersebut juga rendah. Padang lamun di kawasan Pantai Sanur mengalami tekanan lingkungan seperti faktor alam dan terutama oleh aktivitas manusia yang mempengaruhi keberadaan padang lamun tersebut. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, terlihat bahwa di sepanjang kawasan Pantai Sanur banyak terdapat pipa-pipa pembuangan limbah dari hotel yang mengarah ke laut dan banyak ditemukan tambatan perahu/ boat di sebagian kawasan Pantai Sanur yang pada saat surut langsung menutupi lamun dan dapat mematikan lamun. Selain itu, menurut laporan Paket Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Prov. Bali (2013) menyebutkan adanya pembangunan groin-groin (krib) di sekitar kawasan Pantai Sanur yang menutupi areal padang lamun juga menimbulkan kerusakan di sekitar groin tersebut karena terjadinya pengendapan pasir. Dari faktor alam yaitu pada saat perairan dalam keadaan surut, sebagian padang lamun ada yang langsung terbuka dan terlihat ke udara. Tubuh atau daun lamun yang terbuka akan terpapar dan terjemur langsung oleh sinar matahari, sehingga daun-daunnya akan layu dan terbakar. Jika pada suhu diatas 45°C lamun akan mengalami stress dan dapat mengalami kematian (McKenzie, 2008). Segala faktor tekanan lingkungan tersebut secara langsung akan mempengaruhi proses fisiologi yaitu fotosintesis yang berdampak terhadap penyerapan karbon pada lamun, laju respirasi dan pertumbuhan lamun yang ada di Pantai Sanur.
101
6.3 Peran Lamun Sebagai Carbon Sink Sebagai Upaya Mitigasi Pemanasan Global Climate change (perubahan iklim) yang berdampak terhadap pemanasan global merupakan salah satu isu publik yang menjadi sorotan dunia, terutama pada periode dua puluh tahun terakhir. Ekosistem pesisir pantai yang berupa hutan bakau, rawa pasang surut, dan padang lamun dapat melakukan mitigasi perubahan iklim dengan cara menyerap gas karbon dioksida dari atmosfer dan samudra. Kaitan lamun dengan isu pemanasan global yakni lamun sebagai reservoir atau penyimpan karbon melalui proses fotosintesis dan berperan penting dalam mitigasi pemanasan global. Untuk luas Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Indonesia (sebesar 2.914.878 km 2 ) terdapat potensi penyerapan karbon oleh terumbu karang sebesar 65,7 juta ton/tahun dengan
luas terumbu karang sebesar 61.000
km 2 . Untuk hutan bakau (93.000 km 2 ) potensi penyerapan karbon hingga 67,7 juta ton/tahun, padang lamun (30.000 km 2 ) potensi penyerapan karbon hingga 50,3 juta ton/tahun dan Fitoplankton potensial penyerapan karbonnya 36,1 juta ton/tahun (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007). Secara umum, dengan menggabungkan informasi potensi laut Indonesia dalam penyerapan karbon dan iklim beserta kajian proses karbon sekuestrasinya yang terjadi dapat memberikan gambaran potensi laut benua maritim Indonesia dalam menyerap karbon dari gas-gas rumah kaca, terutama terhadap ekosistem lamun. Jumlah karbon yang dapat diserap di perairan Indonesia dapat diperdagangkan melalui mekanisme
Clean
Development Mechanism (CDM) di dalamnya menyebutkan bahwa negara
102
berkembang dapat menjual kredit penurunan emisi kepada negara maju yang berkewajiban menurunkan emisi. Hasil penelitian carbon sekuestrasi oleh ekosistem lautan merupakan masukan penting dan modal utama bagi Indonesia dalam perdagangan karbon dunia. Untuk menindaklanjuti Protokol Kyoto, sudah saatnya negara kepulauan seperti Indonesia memberikan inisiatif
kepada dunia bahwa perlu diketahui dan dapat
memasukkan
penyerapan laut dalam perdagangan emisi dalam
unsur
menyerap karbon. Kemampuan ekosistem lamun sebagai penyimpan dan penyerap karbon pada bagian tubuh lamun maupun yang tersimpan di dalam sedimen membuat ekosistem lamun berperan penting di wilayah pesisir. Selain itu, kemampuan lamun mengendapkan bahan organik tersuspensi dengan kerapatan tunasnya menambah peran lamun sebagai penimbun kabon (Kennedy et al, 2004). Duarte et al. (2010, 2011) dan Fourqurean et al. (2012) dalam Supriadi (2012) merangkum beberapa hal yang menjadikan lamun memiliki laju penimbunan karbon yang tinggi pada sedimen, diantaranya adalah : 1) Kapasitas metabolik tinggi sehingga merupakan vegetasi yang mempunyai produktivitas primer yang tinggi. 2) Jaringan lamun mempunyai konsentrasi nitrogen dan fosfor yang rendah, sehingga serasah yang menjadi substrat bagi mikroba tidak terlalu mendukung pertumbuhannya. Hal ini berdampak pada rendahnya laju dekomposisi lamun.
103
3) Konsentrasi oksigen pada sedimen lamun sering ditemukan relatif rendah, bahkan sering ditemukan kondisi anaerobik. Kondisi ini membuat metabolisme mikroba tidak efisien sehingga menambah jumlah karbon yang terkubur 4) Distribusi biomassa yang lebih tinggi pada akar dan rhizoma sehingga berkontribusi terhadap tingginya penyimpanan karbon pada jaringan ini. Akar dan rhizoma berada beberapa sentimeter di bawah substrat sehingga merupakan karbon yang terkunci di sedimen. 5) Kenyataan yang tidak memungkinkan adanya emisi karbon sebagai hasil dari kebakaran sebagaimana yang terjadi pada vegetasi darat. 6) Tegakan-tegakan lamun berperan meredam aksi gelombang dan turbulensi sehingga mencegah terjadinya resuspensi sedimen dan karbon yang ada didasar ekosistem lamun. Luas lamun di dunia diestimasi sekitar 300-600 ribu km2 (Duarte et al. 2005; Kennedy & Bjork 2009), dan di Indonesia diestimasi sekitar 30 ribu km2 (Kuriandewa 2009). Sementara luas lamun yang telah terinventarisasi di wilayah pesisir Bali yaitu sekitar 1.316 ha (Sudiarta dan Sudiarta, 2011). Jika diperkirakan rata-rata kondisi lamun di Bali relatif sama dengan kondisi lamun di Pantai Sanur, maka total stok karbon lamun di Bali diestimasi mencapai 272,15 ton. Selanjutnya Duarte et al. (2011) mengemukakan bahwa dengan luas yang kurang dari 0.1% dari permukaan laut, padang lamun dapat menimbun sekitar 20% dari total karbon yang tertimbun di laut.
104
Bersama-sama dengan ekosistem terumbu karang, mangrove, rawa payau dan plankton berperan sangat penting sebagai carbon sink dalam kaitan untuk mengurangi dampak pemanasan global dan juga karena siklus karbon sebagian besar terjadi di laut sebesar 90% dibandingkan dengan daratan. Terganggunya siklus karbon di laut menyebabkan terjadinya peningkatan suhu permukaan laut sehingga semakin rendah proses penyerapan karbon di udara oleh laut. Hal tersebut menyebabkan peningkatan pemanasan global dan salah satu akibatnya adalah fenomena iklim El Nino dan La Nina (As Syakur, 2007). Namun saat ini kerusakan vegetasi pesisir khususnya ekosistem lamun relatif cepat. Kondisi ekosistem padang lamun di perairan pesisir Indonesia sangat rentan mengalami kerusakan sekitar 30-40% (Kiswara, 1994). Menurut Sumadhiharga (2009), kondisi padang lamun di seluruh lautan Indonesia sekitar 75-90% rusak. Kerusakan ekosistem lamun terutama terjadi di daerah pelabuhan, di Bintan (Kepulauan Riau) pembangunan resort pariwisata di pantai banyak yang tidak mengindahkan garis sempadan pantai, pembangunan resort banyak mengorbankan padang lamun (Kawaroe, 2008), padahal lamun mempunyai tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem terumbu karang (Thayer et al. 1975). Padang lamun di kawasan Pantai Sanur termasuk dalam kawasan pariwisata dan sebagian arealnya dijadikan lokasi penambatan boat/ perahu. Dimana kerusakan lamun terjadi karena pada saat surut dasar kapal/ perahu langsung menutupi lamun dan mematikan lamun yang cukup luas karena posisi kapal berpindah-pindah setiap air surut.
105
Menurut Sudiarta dan Sudiarta (2011), kerusakan padang lamun di Pantai Sanur rata-rata sebesar 15 %, tergolong pada tingkat kerusakan rendah. Dengan demikian diperlukan upaya pengelolaan ekosistem pesisir dan laut secara terpadu khususnya ekosistem lamun. Dimana padang lamun di Pantai Sanur harus dapat mengimbangi antara fungsi ekologis dan biologisnya dengan lokasi Pantai Sanur sebagai peruntukkan kawasan wisata. Selain itu, pengelolaan ekosistem pesisir dan laut secara terpadu tersebut untuk mempertahankan keberadaan lamun agar konstribusi
terhadap
ekosistem
di
sekitarnya
semakin
besar
serta
mengoptimalkan peran lamun sebagai carbon sink sebagai upaya mitigasi pemanasan global untuk perbaikan lingkungan.
106
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan
analisis
dan
pembahasan
sebelumnya,
maka
dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Ditemukan delapan jenis spesies lamun di kawasan Pantai Sanur yang tergolong dalam dua famili yaitu H. uninervis, S. isoetifolium, H. ovalis, H. pinifolia, E. acroides, C. rotundata, T. hemprichii dan C. serrulata dengan frekuensi kemunculan tertinggi oleh H. Uninervis (50 %) dan E. Acroides (46 %). 2. Rata-rata nilai kandungan karbon pada jaringan lamun yakni pada akar sebesar 21,92 % dari total berat kering (biomassa), daun sebesar 18,69 dan rizhoma sebesar 15,99 %. 3. Peran penting padang lamun sebagai penyimpan karbon terdiri dari konstribusi stok karbon di bawah substrat (akar dan rizhoma) sebesar 60 % atau 39,85 ton dan konstribusi stok karbon di atas substrat (daun) sebesar 40 % atau 26,75 ton. 4. Total stok karbon padang lamun di kawasan Pantai Sanur sebesar 66,60 ton dengan rata-rata 0,21 ton/ ha. Dari delapan jenis lamun yang ditemukan, jenis yang berperan sangat penting sebagai penyimpan karbon yakni E. acroides. Lamun jenis E. acroides ini mempunyai nilai biomassa yang tinggi dan juga mempunyai ukuran morfologi yang lebih besar serta terdistribusi dengan luas di kawasan Pantai Sanur. 106
107
7.8 Saran 1. Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan penambahan titik transek lebih ke arah tengah laut agar penyebaran, keakuratan dan keterwakilan data lebih baik sehingga pada saat pendistribusian spasial (interpolasi data) hasilnya dapat berimbang. 2. Penelitian ini baru menghitung potensi penyimpanan karbon lamun berdasarkan satu periode pengambilan (pengukuran) sampel, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengukur produktivitas tumbuhan lamun dalam penyerapan karbon dan mengetahui fluktuasi yang terjadi antar periode yang berkaitan dengan musim. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyimpanan stok karbon melalui serasah lamun dan herbivora yang hidup di padang lamun beserta faktor-faktor tekanan lingkungan yang berpengaruh terhadap penyimpanan karbon pada lamun sehingga dapat melengkapi peran lamun sebagai carbon sink.
108
DAFTAR PUSTAKA Aminudin. 2008. Kajian Potensi Cadangan Karbon Pada Pengusahaan Hutan Rakyat (Studi kasus: hutan rakyat Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul) (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Anderson, S. 2001. An Evaluation of Spatial Interpolation Methods on Air Temperature in Phoenix. Department of Geography, Arizona State University Tempe. Argandi, G. 2003. Struktur Komunitas lamun di perairan Pangerungan, Jawa Timur (skripsi). Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arnell. 2002. Hydrology and Global Environtmental Change. Pearson Education Limited. U.K. Arthana, I. W. 2005. Jenis Dan Kerapatan Padang Lamun Di Pantai Sanur Bali, Denpasar: Universitas Udayana. Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari 2 (5): 68-76. Arthana, I. W. 2007. Kondisi Pencemaran Perairan Pantai Tanjung Benoa dan Sanur, Bali. Lingkungan Tropis, Edisi Khusus, Agustus 2007. Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Lingkungan Indonesia. Buku 1: 17-25 As-Syakur, A. 2007. Identifikasi Hubungan Fluktuasi Nilai SOI Terhadap Curah Hujan Bulanan Di Kawasan Batukaru-Bedugul, Bali.. Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari 7 (2): 123-129. Astuti, S. 2002. Pengaruh Kenaikan Air Laut Pada Wisata Alam Kawasan Pantai, Kasus Denpasar. Makalah disajikan dalam Seminar Dampak Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia, Bandung tanggal 1213 Maret 2002. Astuti, N.N.S. 2008. Persepsi Wisatawan Mancanegara terhadap Produk Pariwisata Bali (tesis). Denpasar: Universitas Udayana Azkab, M.H. 1999. Kecepatan Tumbuh dan Produksi Lamun dari Teluk Kuta Lombok. Di dalam: Soemodihardjo S, Arinardi OH, Aswandy I, Editor. Dinamika Komunitas Biologis pada Ekosistem Lamun di Pulau Lombok,
109
Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hlm 26-33. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Denpasar. 2012. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Denpasar. Laporan Akhir. Denpasar Bengen, D.G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Benyamin, L. 2004. Dasar - Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Berwick, N.L. 1983. Guideline for the Analysis of Biophysical Impact to Tropical Coastal Marine Resources. Bombay: The Bombay Natural History Society Centenary Seminar Consevation in Developing Countries Problems and Prospect. Bonham-Carter, G.F. 1994. Geographic Inforation Systems For Geoscientists. Pergamon, Kidlington, UK. 398p. Carruthers, T.J.B. 2007. Halodule uninervis. In: IUCN 2011. IUCN Red List of Threatened Species. (Available from :URL http://www.iucnredlist.org/ apps/redlist/details/173328/0, diakses tanggal 3 Maret 2014). Christanto, M., I. Prasasti., dan H. Wijayanto. 2005. Analisis Penerapan Metode Krigging dan Invers Distance pada Interpolasi Data Dugaan Suhu, Air Mampu Curah (AMC) dan Indeks Stabilitas Atmosfer (ISA) dari Data NOAA-TOVS. PIT MAPIN XIV, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. pp. 316-322. Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Darussalam, D. 2011. Pendugaan Potensi Serapan Karbon Pada Tegakan Pinus Di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit Iii Jawa Barat Dan Banten (skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008. Pedoman Umum Identifikasi dan Monitoring Lamun. Jakarta: Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut.
110
Dewi, R.K. 2012. Pengelolaan Ekosistem Lamun Kawasan Wisata Pantai Sanur Kota Denpasar Provinsi Bali (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar. 2014. Survei Potensi Perikanan Budidaya dan Perikanan Tangkap Kota Denpasar. Denpasar. Duarte, C.M., and J.P. Gattuso. 2008. Seagrass meadows. In: C. J. Clevand (ed.) Encyclopedia of Earth. Washington, D.C. Environmental Information Coalition, National Council for Science and the Environment. (Available from :URL :http://www. eoearth.org/article/Seagrass_meadows, diakses tanggal 3 Maret 2014). Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Fauziyah, I. M. 2004. Struktur Komunitas Padang Lamun di Pantai Batu Jimbar Sanur (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fourqurean, J.W., C.M. Duarte., H. Kennedy., N. Marba, M. Holmer., M.A. Mateo., E. Apostolaki., G.A. Kendrick., D. Krause-Jensen., K.J. McGlathery., and O. Serrano. 2012. Seagrass Ecosystems As a Globally Significant Carbon Stock. (article) Nature Geoscience. DOI: 10.1038/NGEO1477. www.nature.com/ngeo/journal/v5/n7/abs/ ngeo1477. html. diakses tanggal 3 Maret 2014. Gardner, W.R. 1991. Soil Science as A Basic Science. Soil Sci 151: 2-6. Gautama, I.G.A.G.O. 2011. “Evaluasi Perkembangan Wisata Bahari Di Pantai Sanur” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. (Available from :URL :http://www.pps.unud.ac.id, diakses tanggal 3 Maret 2014). Hartog, C. D. 1970. Seagrass of The World. North-Holland Publ. Co. Amsterdam. Hartog, C. D. 1977. Structur, Function, and Classification in Seagrass Ecosystem: A Scientific Perspective (eds. Mc.Roy and Helfferich). Marcel Dekker Inc. p.53-87. Helrich, K. 1990. Method of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists. Fifteenth Edition. Virginia. Hemminga, M.A., and C.M. Duarte. 2000. Seagrass Ecology. Australia: Cambridge University Press.
111
Hillman, K., D.J. Walker., A.W.D. Larkum., and A.J. Mc Comb. (1989). Productivity and Nutrients Limitation on Seagrasses. Biology of Seagrasses. Netherland: Elsevier Science Publishers. Imiliyana, A., M. Muryono., dan H. Purnobasuki. 2012. Estimasi Stok Karbon Pada Tegakan Pohon Rhizophora stylosa di Pantai Camplong, SampangMadura (jurnal). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November. http://www.researchgate.net. diakses tanggal 3 Maret 2014. Khouw, A.S. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut. Jakarta: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Koch, E.W. 2001. Beyond light: Physical, Geological and Geochemical Parameters as Possible Submersed Aquatic Vegetation Habitat Requirements. Estuaries 24: 1-17. Kawaroe, M. 2009. Perspektif Lamun Sebagai Blue Carbon Sink di Laut. (Lokakarya Lamun). Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. http://www.xa.yimg.com/kq/groups/mujizat _lamun.doc/. diakses tanggal 3 Maret 2014. Kennedy, H., E. Gacia., D.P. Kennedy., S. Papadimitriou., and C.M. Duarte. 2004. Organic carbon source to SE Asian coastal sediments. Est Coast Shelf Sci 60: 59-68. Kennedy, H., and M. Bjork. 2009. Seagrass meadows. Di dalam: Laffoley D, Grimsditch G, editor. The Management of Natural Coastal Carbon Sinks. Gland Switzerland: IUCN: 23-29. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baru Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Kimball, J.W. 2002. Fisiologi Tumbuhan. Erlangga. Jakarta. Kiswara, W. 1994. Dampak Perluasan Kawasan Industri Terhadap Luas Penutupan Padang Lamun di Teluk Banten, Jawa Barat. Seminar Nasional Dampak Pembangunan Terhadap Wilayah Pesisir. 2-3 Februari 1994. Jakarta, Indonesia. Kiswara, W., A.H.L. Huiskes., and P.M.J. Herman. 2005. Uptake and Allocation of 13C by Enhalus acoroides at Sites Differing in Light Availability. Aquatic Botany 81: 353-366.
112
Kiswara, W., dan Y.I. Ulumuddin. 2009. Peran Vegetasi Pantai Dalam Siklus Karbon Global: Mangrove dan Lamun Sebagai Rosot Karbon. Workshop Ocean and climate change. Laut sebagai pengendali perubahan iklim: peran laut Indonesia dalam mereduksi percepatan proses pemanasan global. Bogor 4 Agustus 2009. Kiswara, W. 2010. Studi Pendahuluan: Potensi Padang Lamun Sebagai Karbon Rosot dan Penyerap Karbon di Pulau Pari Teluk Jakarta (jurnal). Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. http://www.oseanografi.lipi.go.id. diakses tanggal 1 Maret 2014. Kuriandewa, T.E. 2009. Peran Ekosistem Lamun dalam Produktivitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim. Tinjauan tentang lamun di Indonesia. Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun:. Jakarta, 18 November 2009. Kusmana, C., S, Sabiham., K. Abe., and H. Watanabe. 1992. An Estimation of Above Ground Tree Biomass of A Mangrove Forest in East Sumatera. Tropics 1 (4): 143-257. Lakitan, 1995. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Grafindo, Jakarta. Larkum, A.W.D., A.J.Mc. Comb and S. A. Shepherd. 1989. Biology of Seagrass: A Treatise On The Biology Of Seagrases With Special Reference To The Australian Religion in: Aquatic Plant Studies 2. Elsevier. Amsterdam. Lee K.S., S.R. Park., Y.K. Kim. 2007. Effect of Irradiance, Temperature, and Nutrients on Growth Dynamics of Seagrass: A Review. J Exp Mar Bio Ecol 350: 144-175. Madjid, A.R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online Untuk Mata Kuliah: (1) Dasar-Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, dan (3) Pengelolaan Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri dan Program Pascasarjana Unsri. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diakses tanggal 25 Februari 2015. McKenzie, L.J. 2008. Seagrass Educators Handbook. Seagrass-Watch HQ. http://www.seagrasswatch.org. Diakses tanggal 25 Februari 2015. Nasution, S. 2001. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
113
NCGIA. 2007. Interpolation: Inverse Distance Weighting. National Center for Geographic Information and Analysis. http://www.ncgia.ucsb.edu/pubs/ spherekit/inverse.html. Diakses tanggal 25 Juni 2014. Nellemann, C., E. Corconan., C.M. Duarte., L.Valdes., C. De Young., L. Fonseca., and G. Grimsditch. 2009. Blue Carbon: The Role of Healthy Oceans in Binding Carbon. A Rapid Response Assessment. United Nations Environment Programme. Norway. Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta. Patriquin, D.G. 1972. The Origin of Nitrogen and Phosphorus for Growth of the Marine Angiospermae Thalassia testudinum. Marine Biology 15: 35-46. Pemerintah Provinsi Bali, Dinas Kelautan dan Perikanan. 2013. Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Bali. Draft Dokumen Awal. Denpasar. Philips, C.R., and E.G. Menez. 1988. Seagrass. Smith Sonian Institutions. Press. Washington. Pramono, G. H. (2004). Analisis Data Tematik Digital – Perbandingan Metode Interpolasi Pada Sebaran Total Suspended Sediment di Kabupatan Maros, Sulawesi Selatan. Cibinong: PSSDAL, Bakosurtanal. Prasetyo. 2008. Tanaman Budidaya dan Macamnya. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta. Puspita, D., dan I. Rohima. 2009. Alam Sekitar, IPA Terpadu Untuk SMP/ MTS Kelas VIII. Pusat Perbukuan. http://www.docstoc.com/docs/113553227/ Buku-Cetak-IPA-Kelas-8-(BSE). Diakses tanggal 25 Juni 2014. Salisburry, F. B. 1998. Photosynthesis 6 Th Edition. Cambridge University. London. Sarmiento, J.L., and N. Gruber. 2002. Sinks for Anthropogenic Carbon, Physics Today (article). http:// www.atmos.ucla.edu/~gruber/publication/ abstracts/Sarmiento_Gruber_pt_02_fig.htm. diakses tanggal 3 Maret 2014. Shepherd, S.A., and J.G.G, Aviles. 1996. Growth and Survival of The Blue Abalone Haliotis Fulgens in Barrels at Cedros Island, Baja California. Aquaculture 140: 76-169.
114
Sitania, G. 1998. Mengenal Lebih Dekat Jenis Lamun (E. Acoroides. Linneaus F) Royle. Warta Konservasi Lahan Basah. Volume 7 No. 2 halaman 7. Sitompul, S.M. 1995. Fisiologi Tanaman Tropis. Universitas Mataram. Lombok Sudiarta, I.K. dan I.G. Sudiarta. 2011. Status Kondisi dan Identifikasi Permasalahan Kerusakan Padang Lamun di Bali. Jurnal Mitra Bahari 5 (2): 103-126. Sudiarta, I.K., dan I.W. Restu. 2011. Kondisi dan Strategis Pengelolaan Komunitas Lamun di Wilayah Pesisir Kota Denpasar, Provinsi Bali. Denpasar: Universitas Udayana dan Universitas Warmadewa. Jurnal Bumi Lestari Vol.2 No.2 Agustus 2011. Sumadhiharga, O.K., K. Matsuura., and K. Tsukamoto. 2000. Field Guide to Lombok Island. Identification Guide to Marine Organism in Seagrass Bed of Lombok Island Indonesia. Tokyo: Ocean Research Institute, University of Tokyo. Suryantara, I.W.A. 2005. Studi Komunitas Padang lamun di Perairan Pantai Sanur dan Nusa Dua Bali (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Sulaeman, Suparto dan Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Bogor: Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Supriadi. 2012. Stok dan Neraca Karbon Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo Makassar (disertasi). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Supriadi dan Arifin. 2005a. Dekomposisi Serasah Daun Lamun E. acoroides dan T. hemprichii di Pulau Barranglompo Makassar. Torani 1 (15): 59-64. Sverdrup, K.A., and E.V. Armbrust. 2008. Text Book of: An Introduction to the World’s Oceans. Ninth Edition. McGraw-Hill Companies, Inc. New York. Thayer, G.W., S.M. Adams., and M.W.P. La Croix. 1975. Structural and Functional aspects of a recently established Zostera marina community. In Estuarine Research. l. Academic Press. New York. p. 518-540. Trisasongko B.H., D.R. Panuju., Harimurti., A.F. Ramly., dan H. Subroto. 2008. Kajian Spasial Kesetimbangan Air pada Skala DAS (Studi Kasus DAS Bengawan Solo Hulu) Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik
115
Indonesia. Jakarta. http:// geospasial.menlh.go.id/assets/Analisis/Water Balanced Solo ulu.pdf. diakses tanggal 19 April 2014. Trumper, K., M. Bertzky., B. Dickson., G. Van der Heijden., M. Jenkins., and P. Manning. 2009. The Natural Fix? The role of ecosystems in climate mitigation. A UNEP Response assessment. Ulumuddin Y.I., E. Sulistyawati., D.M Hakim., dan A.B. Harto. 2005. Korelasi Stok Karbon Dengan Karakteristik Spektral Citra Landsat: Studi Kasus Gunung Papandayan. Pertemuan Ilmiah MAPIN XIV: Pemanfaatan penginderaan jauh untuk kesejahteraan bangsa. Surabaya, 14 – 15 September 2005. http://www.repository. unhas.ac.id/. diakses tanggal 3 Maret 2014. UNEP (2009). Blue carbon: A Rapid Response Assessment. Environment (p. 71 pp). United Nations Environment Programme, GRID-Arendal. Vermaat, J. E., N.S.R. Agawin., C.M. Duarte., M.D. Fortes., N. Marba., and J.S. Uri. 1995. Meadow Maintenance, Growth and Productivity of a Mixed Philippine Seagrass Bed. Marine Ecology Progress Series 124: 215-225. Wardah., B. Toknok., dan Zulkaidhah. 2009. Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri di Zona Penyangga Hutan Konservasi Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Penelitian Strategi Nasional. Universitas Tadulako, Palu. Sulawesi Tengah. Watson, D.F., and G.M. Philip. 1985. A Refinement Of Inverse Distance Weighted Interpolation. Geo-process 2: 315–327. Waycott., M.K. McMahon., J. Mellors., A. Calladine., and D. Kleine. 2004. A Guide To Tropical Seagrass of the Indo-West Pasific. James Cook University, Townsville. 72p. Whitmore, T.C. 1985. Tropical Rain Forests of the Far East. Oxford: Clarendon.
116
Lampiran 1. Pengukuran Berat Kering (Biomassa) Sampel Lamun Stasiun 1
Transek Kuadrat (1x1m) A
B
C
2
A
B
C
3
A
B
C
Transek Kuadrat Biomassa (20x20cm) 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata =
Biomassa (g/0,04m2) Akar 0.1 0.16 0.76
Daun Rizoma 1 1.16 0.88 1.12 1.49 1.21
0.34
1.12
1.16
0.50 0.97 0.59
0.86 1.97 0.95
1.68 1.98 1.86
0.69
1.26
1.84
0.34 0.8 1.3
0.86 0.94 0.91
1.23 1.29 1.23
0.81
0.90
1.25
1.56 2.38 0.57
1.82 3.27 2.17
3.23 2.45 4.67
1.50
2.42
3.45
0.58 0.7 1.37
1.58 1.2 1.63
3.43 3.11 4.87
0.88
1.47
3.80
4.5 0.92 0.87
2.3 1.11 4.28
3.41 3.38 3.84
2.10
2.56
3.54
2.19 3.04 1.89
2.71 2.24 1.83
5.7 1.94 2.72
2.37
2.26
3.45
2.98 2.34 1.2
1.76 3.3 1.8
1.18 1.21 1.65
2.17
2.29
1.35
3.51 1.77 3.73
1.72 2.43 2.4
0.66 1.68 1.12
3.00
2.18
1.15
117
Stasiun 4
Transek Kuadrat (1x1m) A
B
C
5
A
B
C
6
A
B
C
Transek Kuadrat Biomassa (20x20cm) 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata =
Biomassa (g/0,04m2) Akar 0.81 0.82 0.58
Daun Rizoma 0.86 1.62 1.45 1.98 0.71 1.88
0.74
1.01
1.83
1.75 0.98 1.63
2.14 2.35 3.81
0.73 0.52 0.56
1.45333 2.76667
0.60
1.88 4.54 4.35
5.03 3.88 2.75
1.3 1.18 3.29
3.59
3.89
1.92
1.06 0.29 0.36
1.28 0.83 2.57
0.7 0.28 0.99
0.57
1.56
0.66
0.88 0.73 0.27
3.44 2.6 2.32
0.29 0.45 0.27
0.63
2.79
0.34
0.97 0.32 0.15
0.64 2.14 1.07
0.88 0.78 0.38
0.48
1.28
0.68
0.15 0.11 0.15
0.69 0.66 0.62
0.3 0.25 0.23
0.14
0.66
0.26
0.4 0.38 0.39
1.49 1.81 1.02
0.82 0.78 1.21
0.39
1.44
0.94
0.34 0.28 0.63
2.43 1.49 0.72
1.3 1.05 1.58
0.42
1.55
1.31
118
Stasiun
7
Transek Kuadrat (1x1 m)
Transek Kuadrat Biomassa (20x20cm)
A
1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3
B
C
A 8
B
C
Biomassa (g/0,04m2) Akar
Daun
Rizoma
1.4 1.32 1.57
1.97 2.25 1.95
1.42 1.06 1.09
1.43
2.06
1.19
0.38 0.31 0.35
1.8 1.09 1.41
1.79 1.81 1.19
0.35
1.43
1.60
0.74 0.16 0.27
2.37 1.26 1.5
0.33 0.52 0.54
Rata-Rata =
0.39
1.71
0.46
1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata = 1 2 3 Rata-Rata =
0.2 0.32 0.35
1.22 1 1.43
3.49 1.2 2.8
0.29
1.22
2.50
0.47 0.56 0.89
0.9 0.97 1.85
0.74 0.9 1.67
0.64
1.24
1.10
0.58 0.86 0.4
1.47 1.34 1.72
1.7 2.2 1.82
0.61333
1.51
1.91
119
Lampiran 2. Hasil Analisis Mann-Whitney Antara Nilai Karbon Bagian Atas Substrat Dan Bawah Substrat Dengan Metode Pengabuan Dan Walkley & Black a. Uji Normalitas Case Processing Summary Cases Valid
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
Walkley Black Bawah Substrat
24
100.0%
0
.0%
24
100.0%
Walkley Black Atas Substrat
24
100.0%
0
.0%
24
100.0%
Pengabuan Atas Substrat
24
100.0%
0
.0%
24
100.0%
Pengabuan Bawah Substrat
24
100.0%
0
.0%
24
100.0%
Descriptives Statistic Walkley & Black Bawah Subtrat
Mean 95% Confidence Interval for Mean
13.3994 Lower Bound
9.6433
Upper Bound
17.1555
5% Trimmed Mean
13.0298
Median
11.1642
Variance Std. Deviation
8.89523 1.82
Maximum
31.45
Range
29.63
Interquartile Range
13.29
Kurtosis
1.81573
79.125
Minimum
Skewness
Std. Error
.878
.472
-.463
.918
120
Walkley &Black Atas Substrat
Mean
8.7201
95% Confidence Interval for
Lower Bound
7.0004
Mean
Upper Bound
10.4398
5% Trimmed Mean
8.4405
Median
7.6696
Variance
16.586
Std. Deviation
4.07260
Minimum
3.39
Maximum
19.98
Range
16.58
Interquartile Range
5.95
Skewness Kurtosis Pengabuan Atas Substrat Mean 95% Confidence Interval for Mean
1.029
.472
.879
.918
11.3515
1.50782
Lower Bound
8.2323
Upper Bound
14.4706
5% Trimmed Mean
10.9830
Median
9.8946
Variance
54.564
Std. Deviation
Pengabuan Bawah Substrat
.83132
7.38676
Minimum
1.42
Maximum
27.64
Range
26.22
Interquartile Range
10.19
Skewness
.965
.472
Kurtosis
.049
.918
7.8924
.67625
Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
6.4935
Upper Bound
9.2914
5% Trimmed Mean
7.7143
Median
7.0919
Variance
10.976
Std. Deviation
3.31294
Minimum
3.02
Maximum
16.22
121
Range
13.20
Interquartile Range
3.65
Skewness
.871
.472
Kurtosis
.472
.918
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Walkley Black Bawah Substrat
.219
24
.004
.880
24
.008
Walkley Black Atas Substart
.196
24
.018
.909
24
.033
Pengabuan Atas Substrat
.173
24
.060
.897
24
.019
Pengabuan Bawah Substrat
.165
24
.088
.942
24
.178
a. Lilliefors Significance Correction
b. Uji Mann Whitney (α = 0.05) Ranks Kelompok Hasil Bawah Substrat
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Wilkley Black
24
26.29
631.00
Pengabuan
24
22.71
545.00
Total
48
Test Statistics
a
Hasil_Bawah Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Kelompok
245.000 545.000 -.887 .375
122
Ranks Kelompok Hasil Atas Substrat
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Wilkley Black
24
25.67
616.00
Pengabuan
24
23.33
560.00
Total
48
Test Statistics
a
Hasil_Atas Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Kelompok
260.000 560.000 -.577 .564
123
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Persiapan Sebelum Melakukan Pengamatan Lamun
Gambar 2. Pengamatan Lamun Dengan Transek 1m x 1m dan 20 cm x 20 cm Untuk Mengidentifikasi Jenis, Kerapatan Lamun dan Pencuplikan Sampel Lamun
Gambar 3. Sampel Lamun Dibersihkan dan Dikeringkan Kemudian Dipisahkan Antara Daun, Akar dan Rhizoma
124
Gambar 4. Sampel Lamun Yang Telah Dipisah Kemudian Dibungkus Dengan Aluminium Foil dan Dilakukan Pengovenan
Gambar 5. Sampel Lamun Yang Telah Dioven Kemudian Ditimbang Untuk Mengetahui Berat Kering (Biomassa)
Gambar 6. Alat Dan Bahan Untuk Analisis Kandungan Karbon Lamun