SIM KURING
Catur Surya Permana, Suhendi Afryanto dan Yoyo C. Durachman
Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, jl. Buah Batu no. , Bandung, .... , Indonesia.
[email protected].
ABSTRACT
This thesis is about how to create an art work, which is music around our industry. Labels, that is how we call it, that has the power and it has shrinking our perspectif about how many variation in music. Mayor label as a form of a big hegemoni who has the power to influence music industry in our land, which is the one thing that makes artists chained. Infact mayor label is not the only way to prodece music, there is indie labels who strikes back this frigid and monoton industry. Everything in music that came from modern country such as western music is the one that everyone is talking about. The true power in our industry of music is the plularism of art. Our nation has more differences in culture that makes the tone scale. The eastern pentatonis, the western diatonis, the minor east and the mayor western. Both of that, is a contrary basic if we colide them, it would be fantastic. The greatness of music is in the colaboration tone scales, which could create an ideal compotition in music industry. This fenomenon is the source of creating an art work “SIM kuring (anxiety of the dullness art)”. Keyword : mayor lable, monotone, tone scale, contemporary musik
a. Pendahuluan Tesis karya penciptaan ini diilhami dari perkembangan industri musik di Indonesia saat ini. Musik di tanah air ini seperti berputar pada hal yang mempopuler, atau disebut musik populer. Musik populer adalah musik yang memenuhi keinginan pasar, musik yang digemari masyarakat. William memaknai istilah populer sebagai berikut: banyak disukai orang, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang (Storey, 2003: 10). Musik yang digemari masyarakat, musik yang seperti apa? Tentu musik yang sesuai dengan nilai seni yang dimiliki masyarakatnya, contohnya seperti; band Noah, Nidji,
Geisha, dan juga boyband1 Smash band yang ikut meramaikan industri musik. Musik populer dengan bentuk seperti ini sudah dimulai ketika band seperti Koes Plus di tahun 1960-an, bahkan di tahun-tahun sebelumnya pun ada, namun membooming ketika grup band Koes Plus. Industri musik di Indonesia dikuasai oleh perusahaan musik yang memproduksi massal produknya dan membentuk pola ideal musik pada umumnya. Hal ini dilakukan oleh pihak Mayor label. Sebetulnya tidak menjadi masalah dengan nuansa permusikan yang seperti itu, karena ujungnya sangat menghibur masyarakat. Dengan dibentuknya selera seperti itu, masyarakat menilai bahwa musik bentukan sejenis itulah yang menarik, populer. Namun juga berimbas pada terkekangnya kreativitas seniman musik yang bernaung dalam payung label tersebut. Hingga kini di tahun 2014, konsep band dengan format combo, tetap menjadi konsep yang diminati semua kalangan, mulai dari genre blues, jazz, rock serta alternatif. Masalahnya adalah kreativitas bermusik yang dihadirkan dalam wacana pertelevisian dan juga media massa tidak berbeda jauh, yang isinya hanya band yang itu-itu saja. Terbukti dari hadirnya artis-artis besar para punggawa salah satu mayor label besar di Indonesia. Label-label itulah yang memproduksi, merepetisi artisartis yang “serupa” (berkonsep sama). Masalah yang dihadapi dalam labeling2 tersebut, tidak sembarang orang atau band dapat masuk ke dalam label dengan mudah. Ada perhitungan bisnis yang kuat antara lain bahwa personil harus berusia muda, bahan lagu harus bagus, baik, dan mempunyai karakteristik layak jual. Namun pengertian layak jual itu sendiri tergantung dari standar yang diinginkan label (kapital). Seperti band D’Massive dalam lagunya “Cinta ini membunuhku” yang menjadi hits di tahun 2004, memiliki lirik yang mampu dicerna dengan mudah oleh pendengar. Penggalan liriknya sebagai berikut: “Kau membuat ku berantakan Kau membuat ku tak karuan Kau membuat ku tak berdaya Kau menolakku hancurkan diriku...” (D’Massive, Cinta ini membunuhku) Tentunya dengan tema cinta masih menjadi favorit di kalangan anak muda. Komposisi musiknya pun sangat sederhana dengan memainkan akor C-Am-Dm-G, melodi dengan motif yang berulang, serta tempo musik yang medium dengan birama 4/4 dan ringan untuk didengar. Tidak hanya D’Massive, band lainnya seperti Geisha dengan judul “Jika cinta dia”, juga mampu membuat band ini melejit cepat. Lagu tersebut sama memiliki lirik yang ringan dan mampu dipahami pendengar, komposisi dan tempo yang ringan cukup membuat pendengar mampu mencernanya dengan mudah. Jadi didapatkan bahwa musik populer mempunyai ciri liriknya mudah dimengerti, komposisi dan tempo yang ringan. Padahal bukan kita harus selalu membuat musik dengan karakteristik seperti itu. Karena tidak semua karya musik bisa distandarkan sesungguhnya, karena bentuk kreativitas tentunya akan hadir dengan sendirinya, dan bukan dalam batasan tertentu. 1
Boyband adalah grup musik yang berkonsep vokal grup, berisi penyanyi-penyanyi. Labeling di sini diartikan sebagai kegiatan melabel, memberi cap, sebagai band/musik yang masuk dalam perusahaan label. 2
Hal ini menjadi kebakuan dalam industri musik tanah air, yang diwujudkan seperti pada tahun 2010-an permusikan Indonesia diramaikan dengan kehadiran musik Melayu. Sekali ada band yang terkenal lewat single lagunya, pasti akan diikuti juga oleh berbagai label lain untuk memproduksi band yang bergenre sama. Ini terbukti ketika industri musik Tanah air diramaikan oleh kehadiran boyband dan girl band (tahun 2013 hingga sekarang). Ketika Smash3 hadir di layar kaca, dan mencapai sukses, tidak lama kemudian munculah boy band lain dengan konsep yang sama. Kebiasaan menjadi follower, merepetisi, komersil menjadi ciri pop. Inilah yang menjadikan miskinnya varian musik industri kita. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai banyak sekali suku, bahasa, yang terangkum dalam Bhineka Tunggal Ika yaitu berbeda-beda namun tetap satu. Kekuatan inilah sesungguhnya yang membuat bangsa kita kokoh. Dengan kultur yang beragam, mempunyai tradisi yang khas di setiap unsurnya, baik dari makanan, pakaian, bahasa, serta juga musiknya. seperti masyarakat Sunda yang mempunyai tradisi bermusiknya sendiri, antara lain karawitan. Dari karawitan sendiri terdapat unsur mendasar seperti tangga nada atau laras. Laras dalam karawitan sunda ada bermacammacam antara lain slendro, madenda dan pelog. Laras tersebut menjadi ciri khas musik Sunda. Persoalannya adalah ke mana musik asli tradisi kita? Musik tradisi kita bisa menjadi salah satu varian yang menarik, bahkan wacana local genius kita saja sangat kurang diangkat ke permukaan. Melihat hal ini, penulis tergerak untuk membuat karya musik instrumental yang mengkolaborasikan unsur tradisi dan barat. Jangan sampai tradisi musik kita hilang dibawa arus modernisasi ini. Memang tidak terelakkan hidup di zaman yang serba canggih, segala mudah, yang terbantukan dengan teknologi. Hidup di zaman modern yang erat dengan western4nya seperti segala sisi kehidupan kita diambil alih oleh produk barat, pola berpikir yang barat yang paling kuat, baik dan juga berkuasa. Ini dipengaruhi oleh pikiran manusia yang masih terjajah, walaupun sudah merdeka tetapi masih dijajah pikirannya. Jadi seakan-akan manut dengan yang berbau barat. Seperti sepatu Nike dengan sepatu cap Cibaduyut, pasti akan lebih memilih Nike, karena dirasa bagus, ngetop, dan bergaya. Musik tradisi kita juga harus mendapatkan ruang yang layak. Tempat di mana segala unsur filosofi, estetika dan nilai dari kesenian kita bisa terus ada dan dikenal. Musik sunda mempunyai struktur musik yang berbeda dengan permainan musik barat. Struktur harmoninya sendiri disusun berdasarkan nada-nada yang hidup mandiri (dimainkan satu-persatu). Musik barat disusun berdasarkan pola chordal (berdasar susunan akor trinada). Perbedaan tersebut membuahkan harmoni yang khas, pentatonik dimainkan sebagai nada-nada hidup dan menjadi satu kesatuan bunyi yang khas, serta musik barat yang terdiri dari tiga nada menghasilkan bunyi akor mayor ataupun minor tergantung dari nada-nada yang dibunyikannya. Berangkat dari fenomena ini penggarap mengambil judul “SIM kuring. ”SIM kuring” sendiri, SIM sebagai simbol, sebuah legalitas, sebuah tiket untuk dapat berjalan, mengendarai kendaraan. SIM sendiri berbeda-beda ada yang bertuliskan SIM A, B, dan C, 3
Boy band asal Bandung, yang melejit ketenarannya melalui single “cenat-cenut” Western adalah diistilahkan dengan “barat”, dalam proses modernisasi, westernisasi adalah cara untuk memodernkan manusia. 4
yang masing-masing mempunyai identitas dan karakteristik kendaraan yang dikendarainya. Seperti halnya musik, musik sendiri dapat berjalan dengan elemen-elemen pentingnya antara lain melodi, harmoni, tempo, rythm, serta iringan. Salah satu bagiannya adalah tangga nada, nada-nada yang disusun sesuai jarak (pentatonis dan diatonis) dan bersusun dari “do” hingga “si” lagi (dalam diatonis). Hubungannya dengan SIM, sebagaimana cara kerja SIM sebagai bukti surat jalan, musik pun tidak akan mempunyai bentuknya tanpa adanya sebuah nada-nada yang mengalir dan membentuk (struktur, harmoni). Kemudian bagaimana dengan tangga nada pentatonis? Tentu saja seperti SIM yang mempunyai cara kerjanya sesuai dengan tone scale yang berlaku (dalam garap musiknya). Menyoroti permusikan di zaman sekarang, bagaimana Pentatonis itu dapat berkolaborasi dengan diatonis, sebagai salah satu elemen musik, untuk hadir dalam sebuah komposisi musik. Dalam hal ini “SIM kuring” merupakan kepanjangan dari Surat Ijin Musik Kuring, yang bercerita mengenai keadaan di industri musik yang ada di Indonesia, dan membuat sebuah varian musik kolaborasi dalam menjaga keberadaan esensi musik tradisional kita yang dikemas baru. SIM kuring sebagai saya dalam bahasa Sunda. SIM sebagai identitas, “saya adalah orang Sunda”. Sunda yang hidup dalam legalitas dunia multikultural, yang mampu berjalan selaras dengan dunia yang sudah dihidupi oleh pikiran barat. Saya orang Sunda yang hidup dalam dimensi Barat, yang membuahkan pikiran dalam karya kolaborasi musik. Budaya barat masuk hingga ke dalam musik Industri kita. Pola-pola musiknya, struktur bentuknya, akor-akor dan harmoni musiknya semua dikuasai dan mempopuler yang berasal dari barat. Yang isinya yaitu tangga nada diatonis, mayor-minor. Seperti dominasi musik pop saat ini, seperti lagu band Noah berjudul “Separuh Aku” yang sangat populer dan laris di pasaran tahun 2014. Bila dikaji lebih dalam karya lagu ini memainkan akor Bm (tangga nada D) dan pada bagian reff melakukan modulasi dengan berpindah ke tangga nada B mayor. Progresi akornya berputar pada tingkatan I-IV-V5 dengan relasi iv-ii-iii/III. Melodi yang dimainkan pun sederhana, yang merupakan ciri musik populer6 (mudah diingat dan dihapalkan). Melodi tersebut tidak lebih dari perputaran tangga nada diatonis. Inilah salah satu yang menyebabkan kurangnya kreativitas industri musik kita. Sedangkan musik tradisi kita mempunyai laras pentatonis (pelog, madenda, dan slendro), oleh karena itu penulis ingin melakukan kolaborasi tone scale, serta mengolah keduanya menjadi harmoni dan struktur musik yang menarik, gagasan dalam berkarya ini yaitu dengan format dua warna. Format dua warna merupakan bentuk idealnya musik saat ini dalam menjaga kelestarian budaya kita. Bahwa bergabungnya dua warna musik, baik barat maupun timur menjadi satu kesatuan. Hal ini pun bukan sesuatu yang aneh, karena juga sempat dilakukan oleh para seniman musik kita, seperti Samba Sunda, Dwiki Darmawan,
5
Di musik barat dikenal istilah Chords Degree (tingkatan akor), dalam satu tangga nada terdapat tujuh buah nada, yang masing-masing bila disusun secara terstian (jarak tiga) contoh C-E-G akan menjadi akor C mayor. Jadi dalam satu tangga nada terdapat akor mayor, minor, diminish contoh pada tangga nada C : terdapat akor C/I, Dm/ii, Em/iii, F/IV, G/V, Am/vi, Bdim/vii. 6 Ciri musik sederhana sudah dimulai pada zaman klasik hingga romantik (abad 18-19) yang mempunyai bentuk lagu AB AB, kalimat tanya dan jawab setiap frasenya.
Krakatau, Balawan, Dewa Budjana, Karinding Attack, Punklung dan lainnya. Penulis akan membuat garapan instrumental dan gitar sebagai salah satu instrumen di dalamnya. Pengembangan format dua warna yang akan dilakukan oleh penulis antara lain seperti tangga nada, akan penulis gabungkan antara tangga nada pentatonis7 dan diatonis8 dan bagaimana bentuk, serta harmoni musiknya, tentu akan menjadi sesuatu yang menarik, dan mungkin akan menjadi wacana tambahan dalam musik tanah air. b. Metode Penciptaan Seni Metode penciptaan ini lekat dengan pencipta, langkah dan caranya pun berbedabeda. Tahapan ini dibuat agar dalam pelaksanaan nanti tidak keluar jalur dan mempermudah pelaksanaan proses penciptaan agar berjalan dengan baik.. Dari proses perencanaan hingga ke dalam bentuk akhir pertunjukan. Metode dalam proses penciptaan, meliputi beberapa kegiatan antara lain Observasi, Eksplorasi dan Eksperimentasi. Adapun rincian tahapan kerjanya adalah sebagai berikut : 1. Tahap Awal (observasi) a. Mencari ide, gagasan dan meneliti sumber (data) Tahapan ini adalah tahapan awal dalam membuat suatu karya seni penciptaan. Tahapan mencari ide garap, gagasan dan materi yang akan diunggah ke dalam karya cipta. Tahapan ini bisa dilakukan dengan mendapatkan data terlebih dahulu seperti foto, wawancara, media intenet, dan juga data tertulis dari ide atau sumber garap yang akan di eksekusi menjadi karya cipta seni. Adapun meneliti adalah agar bisa mendapat kedalaman materi dari ide garap yang akan dibuat. Sehingga estetika, nilai dan pola yang mungkin menjadi sumber garap. Penulis melakukan tahap memilih dan memutuskan ide garap yang akan diugkap dalam karya, menentukan personil yang dibutuhkan dalam destinasi karya. b. Penyusunan naskah Menyusun cerita babak-perbabak dalam sebuah tulisan secara garis besar. Konsep dan tema cerita ditentukan juga, agar tidak melenceng jauh dari keinginan penulis. Tema yang dipilih adalah kapitalisme labeling9, serta judul yang diusung adalah “SIM Kuring”, dimana kita sebagai manusia berhak berkreativitas, dan Sim kuring sendiri dalam bahasa Sunda berarti saya. Saya atau aku (manusia) yang dilengkapi cipta, rasa, karsa sebagai insan mulia dan sempurna, diberi Tuhan keunggulan untuk dapat berpikir dan berkreasi dalam cipta karya. Tentunya menyangkut hak manusia sebagai individu mandiri. 2. Tahap Eksplorasi a. Pengolahan dan eksplorasi Tahap ini akan dipenuhi di dalamnya dengan menentukan konsep, instrumen yang dipilih, ide cerita, dan langkah dalam pertunjukannya. Tahapan ini juga
7
Tangga nada khas Asia, tangga nada tradisional budaya Sunda antara lain tangga nada Pelog dan Syailendro. Tangga nada yang berjumlah tujuh (dia) nada (tonis), yang berasal dari Eropa. 9 Kapitalisme labeling adalah penguasa label, bisa diartikan kepada pihak-pihak label yang menguasai industri musik. 8
sebagai langkah dalam mengeksplorasi bentuk karya itu sendiri (latihan, brifing, aransemen). 3. Tahap Eksperimentasi Tahapan terakhir ini nantinya difungsikan sebagai tahapan pelengkap dalam mempersiapkan pertunjukan hingga ke fase akhir yaitu pertunjukan utamanya, dan mengecek kembali berbagai kelengkapan yang akan digunakan dalam setting, artistik panggung. Eksperimentasi sendiri menurut wallas dibagi kedalam tahapan-tahapan proses kreatif sebagai berikut : tahap persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. c. Proses Perwujudan Penyusunan karya seni pertunjukan ini dirancangkan menggunakan kekuatan ensembel, dengan menggunakan instrumen petik, pukul dan gesek seperti gitar tiga buah, drum besar, gitar bass, cello, kontra bass, biola, snare, dan lainnya. Garapan ini akan mengembangkan pola bermain tone scale10 yang berbeda yaitu penggabungan antara tangga nada pentatonis (pelog, madenda, dan slendro) dan diatonis, yang diharapkan untuk menjadi balance, selaras, dan serasi. Di antaranya pengembangan yang dilakukan penulis adalah memainkan melodi pentatonis (lebih dominan, menonjol) yang diiringi diatonis (rhythm), kemudian melodi diatonis (yang menonjol) yang diiringi oleh permainan pentatonis (sebagai iringan), dan selanjutnya memainkan penyatuan keduanya, baik yang diatonis dan pentatonis. Pastinya dalam garapan ini mempunyai satu pola utama atau motif melodi utama sebagai berikut;
Melodi di atas adalah alunan lagu minor, mengapa minor karena dimungkinkan dalam penyatuan antara diatonis dan pentatonis akan di pertemukan dalam realitas minornya. Penyajian karya seni pertunjukan ini dilakukan di panggung proscenium, yang dibantu dengan penataan artistik panggung berupa backdrop layar putih yang akan disinari proyektor untuk cuplikan gambar sesuai dengan tema yang diangkat, sound system yang memadai, properti panggung lain seperti kain putih dan hitam, serta penataan cahaya yang mendukung pesan dan nuansa yang ingin diungkapkan. Kostum yang akan digunakan akan disesuaikan dengan konsep dua warna, di mana kostum diharapkan mampu untuk mengungkap dualitas perlawanannya seperti diatonis dan pentatonis, musik barat dan timur, maka penggarap menggunakan kostum kemeja putih dan iket untuk atasan, dan bawahan menggunakan celana jeans. Atasan tersebut sebagai simbol timur, dan jeans sebagai simbol barat.
10
Scale tone atau skala nada adalah jarak nada pernadanya berdasar cent dan frekuensinya. Perbedaan jarak dan hitungan antara tangga nada atau scale tone diatonis (440Hz) dan pentatonis yang berbeda-beda.
Karya ini dirumuskan mempunyai lima babak atau adegan pertunjukan, dari permulaan/perkenalan/introduksi, kemudian memulai cerita, klimaks, anti klimaks dan penutup diakhir pertunjukan. Adapun uraian per babaknya adalah sebagai berikut : 1. Intro : Pada babak pertama ini sebagai sebuah pembukaan. Dirancang berisi keramaian sebagai intro yang menandakan keceriaan di dalamnya nanti. Permulaan akan diawali oleh permainan gitar, kemudian diikuti kemunculan instrumen lainnya gitar dua dan tiga, bass elektrik, string section (kontra bass, cello, dan biola alto), dan terakhir drum. String section (gesek) akan memainkan tangga nada pentatonis (madenda : C-B-G-Fis-E), instrumen petik akan memainkan tangga nada diatonis dengan mengembangkan nada E-C-G-D dan instrumen pukul akan mengiringi beat yang dibutuhkan. Keramaian yang akan dibuat pada bagian ini tidak lepas dari benang merahnya yaitu melodi, seperti di bawah ini:
Di atas adalah potongan motif melodi yang akan dimainkan dalam tahap ini. Yang dirancang akan diiringi oleh instrumen lainnya (gitar, cello, drum, bass). Gitar di babak ini akan memainkan lick iringan kecapi, drum akan mengisi ritmik (contoh :
), dan string section sebagai pemain utama yang memainkan melodi di atas. Sample partitur sebagai berikut (hanya bagian dari garapan babak ini):
2. Verse : Pada babak kedua ini akan diisi dengan garapan sahut bersahut. Kehadirannya dalam bunyi dan suara sebagai media simbolik. Semuanya akan dilakukan dengan konsep garapan kecil/motif dan ekspresionis. Ditampilkan dengan hadirnya tokoh-tokoh kapital (melalui media musik tentunya, yaitu dengan kehadiran gitar dengan motif kecilnya), yang berusaha mengajak, membujuk, dan membisikan keindahan yang ditawarkan, yang nantinya akan terjadi kekacauan, di mana instrumen lainnya akan mengikuti apa yang diinginkan oleh pembujuk tersebut. Di bawah ini adalah bagian ritmik yang akan dimainkan oleh string section.
Bagan di atas adalah sampel dari salah satu ritmik yang dimainkan dalam tahap ini dan akan dipadukan dengan motif gitar. Sample partitur sebagai berikut :
3. Bridge : Pada babak ini direncanakan akan bertemu antara motif diatas dengan tempo yang simetris, dengan ditandai dualitas simbolik bunyi dalam estetika
Sunda. Yang barat dan timur akan disatukan, di aransemen, melalui motif-motif. Dan menjadi sumber kegaduhan yang selaras.
Di atas adalah motif melodi yang akan dimainkan pada tahap ketiga ini. Ditahap ini direncanakan akan berisi instrumen bass sebagai tempo beat tetap, dan gitar sebagai pengiring yang memainkan melodi di atas, drum sebagai pemain iringan selaras dengan bass ( contoh :
). Sample partitur sebagai berikut :
4. Reff : Pada babak keempat ini akan ada bagian improvisasi dari masing-masing instrumen, sebagai jalan menuju penutup. Yang isinya kesemuanya berbaur dari
keselarasan harmoni yang dibangun, yang menyimbolkan bahwa sang tradisi ini mampu untuk hidup bersama dan tidak memisah dengan sang barat. Seperti dalam konsep tahap pertama, semuanya akan kembali pada tema yaitu melodi utama, sebagai berikut :
Melodi di atas adalah melodi yang sama dengan tahap satu. Namun di tahap ini eksplorasi lawan main terhadap melodi ini akan bertambah dan lebih variatif. Sample partitur sebagai berikut :
5. Coda : Pada babak terakhir ini, sebagai penutup pertunjukan diakhiri dengan penyelesaian (berkesan kedamaian, ketenangan), yang direncanakan akan dimainkan oleh instrumen gitar dan cello, serta tujuan karya ini.
d. Wujud Karya Garapan “SIM KURING” adalah harmonisasi gabungan dari skala nada diatonis dan pentatonis (madenda, pelog, dan slendro) dalam perspektif musik barat, dimana kekuatan tangga nada pentatonis tradisional kita mampu menghasilkan keselarasan, keserasian dan seimbang, dengan tangga nada diatonis. Garapan ini berkonsep dua warna, dengan mengkolaborasikan tangga nada barat dan tradisional. Hidup selaras, serasi, dan seimbang. Apa yang terjadi bila suatu daya kreatif seorang tidak dapat berekspresi dengan bebas? Inilah yang dialami seniman musik kita di tanah air yang harus dikurung kreativitasnya. Dalam dunia industri musik, label dirasa mempunyai pengaruh kuat, yang membuat kualitas dari sebuah karya seni harus bernilai komersil. Sehingga terjerumuslah juga arus musik kita kepada kebakuan massal. Budaya mengekor pun menjadi tradisi dalam industri musik kita, latah, bosan , kaku dan tidak kreatif. Inilah SIM kuring sebuah garapan musik mencoba memberi gambaran atas apa yang terjadi dalam permusikan di Indonesia ini, serta mencoba menghadirkan varian musik yang tidak kaku, bersemangat, dan kreatif. Lokasi dan Durasi Lokasi pertunjukan yang menjadi tempat dilaksanakannya peristiwa seni ini direncanakan di gedung yang khusus yang dapat menyempurnakan peristiwa seni sehingga sebuah karya seni tersebut dapat berkomunikasi dengan baik dengan penontonnya. Penggarap memilih gedung Sunan Ambu yang bertempat di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, jl. Buah batu no. 212, Bandung. Gedung ini mempunyai bentuk panggung procenium yang mempunyai ruang pertunjukan yang sudut pandang penontonnya tertuju langsung secara berhadapan (satu arah) lurus.
Penonton peristiwa seni pertunjukan
Di tengah antara penonton dan panggung pertunjukan terdapat ruang kosong, tidak ada penghalang, yang ditujukan untuk jarak pandang penonton agar lebih luas dan fokus pada panggung pertunjukan. Pertunjukan karya seni ini mempunyai durasi waktu yang cukup, sebagai ruang penonton untuk melihat, membaca, dan mengapresiasi. Durasi pertunjukan karya seni ini
berkisar pada 45 menit waktu pertunjukannya. Mengambil durasi yang diperkirakan sesuai, agar kemampuan karya seni tersebut mampu untuk dicerna oleh penonton. Pembagian secara detail mengenai panjang durasi pertunjukan adalah sebagai berikut; pada bagian satu yang berisi bagian intro, mempunyai durasi waktu 10 menit, kemudian bagian kedua yang berisi bagian verse, mempunyai panjang waktu 10 menit, kemudian bagian ketiga, durasi panjang waktunya 10 menit, kemudian bagian ke empat, berdurasi 10 menit dan terakhir bagian lima, mempunyai durasi 5 menit, sehingga total durasi pertunjukan adalah 45 menit. itulah perkiraan durasi pertunjukan yang dirancang penggarap sesuai dengan kapasitas isi dari karya yang dirasa cukup mampu untuk berkomunikasi dengan penontonnya, adapun dalam pertunjukan durasi tersebut diatas dapat terhitung tepat, lebih ataupun kurang dikarenakan dalam pertunjukan durasi bisa sedikit berbeda. Deskripsi Karya seni pertunjukan ini berjudul “SIM KURING (Kegelisahan Atas Tumpulnya Kreativitas)”, sebuah penciptaan karya yang diangkat dari fenomena musik di Indonesia, yang stagnan, monoton, dan kurang bergairah. Karya ini bertujuan untuk menciptakan sebuah karya seni pertunjukan dengan medium musik, yang bisa memberi penyadaran kepada masyarakat terhadap realitas musik di Indonesia, serta menyuguhkan karya musik yang tidak stagnan, monoton, dan bergairah. Desain panggung Desain panggung yang disiapkan penggarap sudah disesuaikan dengan tempat berlangsungnya pertunjukan. Penggarap akan menggunakan level sebanyak lima buah, artistik berbentuk akar pohon, dan lighting serta gambar yang diproyeksikan kepada layar putih yang berada di panggung. Dari atas : 12 8
8
8
7
7
1 8
11 2
Keterangan : 1. Gitar 2. Angklung 4 3. Angklung takol 4. Gambang 1 5. Gambang 2 6. Bass gantung 7. Artistik 8. Level
3
10 9 8
6
5
9. Vokal 10. Biola 11. Rebab 12. Layar putih Desain backdrop
Gambar backdrop dan set panggung tugas akhir pertunjukan karya sim kuring, di Sunan Ambu STSI Bandung, 4 September 2014
Desain backdrop layar belakang dihiasi oleh akar pohon yang tajam, seakan telah mengkristal. Akar merupakan pondasi terkuat dari sebuah kehidupan. Akar bila sudah membeku dan mengkristal, artinya dia tidak akan berubah atau akan sulit berubah. Budaya pop yang diciptakan kapitalis inilah yang disimbolkan oleh akar, sebagai kekakuan, kemonotonan musik yang sudah mengakar. Desain kostum
Gambar pembukaan pertunjukan saat penyampaian sinopsis karya tugas akhir, di Sunan Ambu STSI Bandung, 4 September 2014.
Kostum yang dipakai menggunakan iket Sunda, kain dodot jajaka Sunda, rompi, kaos, dan celana pangsi. Kostum merupakan penggabunagn dua unsur antara barat dan timur, sesuai dengan konsep musik yang diusung. Iket Sunda sebagai perlambang orang
Sunda. Rompi prajurit melambangkan perlawanan seperti juga kaos yang dipakai sebagai unsur bawah, kalangan bawah, rakyat.
Rincian karya Karya ini terbagai menjadi lima bagian yang besar, dan setiap bagian berdurasi sepuluh menit dan secara garis besar terdapat lima suasana yang penggarap hadirkan (yaitu; lamunan, kesadaran, kegelisahan, kekuatan, dan keselarasan) dan dramatisasi dari musikal. Bagian pertama: Intro, bagian ini dimulai dengan spot lampu yang mengarah pada panggung pertunjukan dengan lampu remang. Akan disambut kemudian dengan pemain yang bermunculan satu-persatu (empat orang) menjatuhkan bambu sehingga menimbulkan bunyi. Ketika satu-persatu personil keluar menggelindingkan bambu, tibalah saat keempat pemain tersebut bermain-main di tengah panggung dengan permainan respon ritmik. Kemudian disambut oleh bedug yang akan menggangu dan menghentikan permainan respon ritmik tersebut, yang disertai spot lampu pada pemain bedug. Bagian kedua: Verse, Bedug selanjutnya berhenti dan disambung gitar, yang akan datang berjalan perlahan menuju tengah panggung dan menempati kursi, gitar pada bagian ini bermain improvisasi, dengan progress akor Am, Dm, G dan E. Yang selanjutnya dilanjutkan dengan vokal, menggambarkan suasana lamunan ketika seseorang hidup dalam sebuah aturan yang mengekang, kehidupan seniman yang harus diatur dalam aturan label musik. Digambarkan dengan senandung dari penyanyi yang sedang melantunkan suara kegelisahan. Vokal masuk dengan berjalan yang disoroti oleh lampu, menuju kursi yang berada di panggung, vocal bermain improvisasi. Vokal tersebut selanjutnya berhenti sementara dan disambut oleh bass gantung, yang membunyikan nada A sepanjang delapan ketukan. Kemudian dilanjut oleh instrumen lainnya selain vokal yaitu angklung, biola, dan gitar. Yang bermain pada nada dasar Aminor, yang lainnya kemudian melakukan respon ritmik (angklung takol, keyboard, dan gambang). Bagian ini kesadaran seorang dengan kemampuannya untuk keluar dari kegelisahan tersebut. Digambarkan dengan permainan gitar yang bersahutan dengan senandung dari penyanyi sebagai nuansa kesadaran antara diri dengan kemampuannya. Bagian ketiga: Bridge, bagian ini dimulai oleh ending keyboard pada bagan sebelumnya yang fade out, disusul permainan gambang 1 dan disahut oleh gambang 2. Kemudian disusul oleh permainan yang lainnya yaitu bass gantung, angklung, angklung takol dan gitar yang memainkan progres akor Em, C, G dan D.
Tema selanjutnya memainkan progress nada pelog, yang disambungkan dengan akor Em. Gitar memainkan Em, dan arumba set memainkan pelog, yang berputar pada hitungan empat, dua, satu kemudian seperenam belas.
Motif selanjutnya menampilkan keramaian, keceriaan, yang mewujudkan masyarakat yang senang dengan kehadiran musik populer. Personil bermain sahutmenyahut dengan vokal “a” dan “eu” dengan permainan ritmik, yang kemudian disambut dengan bedug bertempo cepat. Merupakan kelanjutan dari bagian diatas yaitu pertemuannya dengan berbagai instrumen bambu, dan membuat suatu introduksi musik. menggambarkan suasana kegelisahan yang hadir dari timbulnya kebosanan musik yang mengikuti kesuksesan musik sebelumnya atau tradisi mengekor, latah dalam berkarya seni. Yang digambarkan
dengan
sahut
menyahut
antarinstrumen
satu
dengan
yang
lainnya.
Kemudian memainkan motif yang sama namun berbeda harga notnya menjadi satu ketuk, dan musik semakin kencang dan keras. Bagian keempat: Reff, bagian yang menggambarkan kekuatan ini merupakan bagian klimaks dimana pertarungan bunyi antarinstrumen sebagai wujud adu kekuatan. Ditandai oleh gitar yang menyerukan nada, kemudian di sambut oleh bass gantung, angklung, gambang dan angklung takol. Bagan ini mempunyai tiga motif yang dimainkan. Gambar motif gitar 1.
Gambar motif gitar 2
Gambar motif gitar 3
Motif ketiga semua bermain dengan motif yang sama dengan dinamika cressendo semakin kencang. Disusul oleh vokal yang dikomposisikan dengan gitar melodi. Yang tentu akan diakhiri dengan keselarasan bunyi antar satu dengan yang lainnya.
Bagian kelima: interlude/coda, bagian ini merupakan inti dari keselarasan dimana semua instrumen bersatu dalam harmoni memainkan tangga nada “F” sebagai “do” nya.
e. Kesimpulan Situasi permusikan di tanah air mengundang kegelisahan yang dirasa membutuhkan suatu penyegaran mata hati dan pikiran. Fenomena seperti surutnya kreativitas bermusik juga kerap membuat kesal seniman. Banyak lahan, peluang dan ruang yang mampu untuk bisa diolah. Jangan menyempitkan pandangan, bukalah mata dan pikiran, rasakanlah apa yang sangat dibutuhkan industri musik kita saat ini. Karya seni pertunjukan ini berusaha memberi penyegaran, dan penyadaran akan apa yang terjadi dalam realitas permusikan di tanah air. Bentuk yang monoton, format yang sama, konsep dan tema yang juga tidak banyak berkembang. Banyak hal untuk bisa dijadikan sumber inspirasi, keadaan sosial, kemanusiaan, politik, dan lainnya. Kembalilah pada siapa diri kita sebenarnya, kembali pada hakikat kita sebagai mahkluk Tuhan yang diberi cipta, rasa dan karsa. Mencipta sesuatu yang harmonis, dari sesuatu yang bertentangan itu sendiri. Seperti dua tangga nada barat dan timur, diatonis dan pentatonis. Keduanya mampu berjalan bersama melakukan kolaborasi musikal yang baik. Menjadikan keduanya selaras dan saling berkaitan. Simbol-simbol dalam sebuah garapan musik yang mampu menyalurkan dan berkomunikasi kepada penonton, membuat karya ini tidak berhenti sampai di sini. Penggarap akan terus mengembangkan, memajukan serta memperjuangkan karya ini, hingga menjadikan tolakan baru untuk karya-karya baru yang semakin dahsyat lagi. Daftar Pustaka Prier, Karl Edmund 2001. Ilmu Harmoni. Yogyakarta. Pusat Musik Liturgi. Mack, Dieter. 2009. Sejarah Musik jilid 4. Yogyakarta. Pusat Musik Liturgi. Saifuddin, Achmad F. 2005. Antropologi Kontemporer; Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta. Kencana Prenada Media. Saebani, Beni A. 2012. Pengantar Antropologi. Bandung. CV Pustaka Setia. Sumardjo, Jacob. 2011. Sunda; Pola Rasionalitas Budaya. Bandung. Kelir. Wirawan. 2012. Teori-teori Sosial; Dalam Tiga Paradigma; Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial. Jakarta. Kencana.
Tabrani, Primadi. 2006. Kreativitas dan Humanitas; Sebuah Studi Tentang Peranan Kreativitas Dalam Perikehidupan Manusia. Yogyakarta. Jalasutra. Hoed, Benny. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta. Komunitas Bambu. Hernawan, Dedy. 2003. Pengantar Karawitajn Sunda. Bandung. P4ST UPI.