Siklus Hidup Ulat Grayak (Spodoptera litura, F) dan Tingkat Serangan pada Beberapa Varietas Unggul Kedelai di Sulawesi Selatan Abdul Fattah dan Asriyanti Ilyas Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl.Perintis Kemerdekaan Km 17,5.Makassar,Telepon : (0411) 556 449 E-mail :
[email protected] Abstrak Ulat grayak S. litura merupakan salah satu hama yang banyak merusak daun kedelai di Sulawesi Selatan. Tingkat serangan ulat grayak pada beberapa varietas kedelai bervariasi tergantung kondisi iklim. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui siklus hidup ulat grayak dan tingkat serangannya pada berapa varietas unggul di Sulawesi Selatan. Pengkajian siklus hidup ulat grayak dilaksanakan di Laboratorium BPTP Sulsel 2015 dan pengkajian tingkat serangan ulat grayak dilaksanakan MT. 2010 di Soppeng, di Simbang. MT.2012 dan di Jenetaesa. MT.2014, Kabupaten Maros. Pengkajian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 11 perlakuan dan 3 ulangan. Hasil yang menunjukkan bahwa umur imago sekitar 5-6 hari, telur 3-4 hari, umur larva dari instar -1 sampai instar-6 sekitar 12-15 hari, dan umur pupa 7 hari. Jadi siklus hidup ulat grayak dalam satu generasi sekitar 28-32 hari pada kondisi yang lebih spesifik lokasi di Sulawesi Selatan. Sedangkan tingkat serangan ulat grayak terendah ditemukan varietas Grobogan (8,61%) di Soppeng, tertinggi pada varietas Mahameru (17,26%). Tingkat serangan ulat grayak terendah ditemukan varietas Grobogan (8,61%) dan tertinggi pada varietas Mahameru (17,26%) di Panincong dan tertinggi pada varietas Mahameru (17,26%), Kabupaten Soppeng. Sedangkan di Jenetaesa, Kabupaten Maros, tingkat serangan terendah ditemukan pada Gepak Ijo (10,19%) dan Detam-1 ( 9,87%) dan tertinggi pada Mutiara (18,26%) dan di Simbang, Kabupaten Maros, intensitas serangan ulat grayak terendah pada Tidar (2,34%) dan tertinggi pada Wilis (15,45%) dan Detam-1 (15,19%). Kata kunci : kedelai, siklus hidup, S. litura, tingkat serangan, varietas.
Pendahuluan Produksi kedelai selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan dari 851.286 t (2011) menjadi 998.870 t per tahun (2015) (BPS, 2015). Peningkatan produksi tersebut tidak seimbangan dengan kebutuhan komsumsi kedelai dalam negeri yang mencapai 2,200.000– 2.500.000 t per tahun (Dirjend Perdagangan, 2015). Untuk memenuhi kekurangan kebutuhan kedelai tersebut, maka Pemerintah harus mengimpor kedelai sekitar 1.200.000 - 1. 500.000 t per tahun (Dirjend Perdagangan, 2015). Lambatnya laju peningkatan produksi kedelai di Indonesia, salah satu penyebabnya adalah rendahnya peningkatan produktivitas secara nasional yang hanya mencapai 1,30 t/ha,sementara potensi peningkatan produktivitas kedelai secara nasional dapat mencapai 2,2 t/ha (Badan Litbang Pertanian, 2015). Rendahnya produktivitas kedelai yang dicapai secara nasional, salah satu faktor penyebabnya adalah tingginya serangan hama. Hama yang banyak menyerang kedelai antara lain ulat grayak. Di Indonesia, ulat grayak, S. litura merupakan hama penting pemakan daun kedelai dibanding hama lainnya seperti ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites), ulat helicoverpa (Heliothis armigera), ulat penggulung daun (Lamprosema indica). Ulat grayak, S. litura merupakan jenis hama yang bersifat polypag, dapat menyerang berbagai jenis tanaman termasuk kedelai. Kehilangan hasil kedelai akibat ulat grayak dilaporkan lebih dari 80% di Jepang, sedangkan di Amerika mencapai 90%. Untuk di Indonesia, tingkat serangan ulat grayak tersebut dapat mencapai 23-45% (Adie et al., 2012). Sedangkan menurut Marwoto dan Suharsono (2008), kehilangan hasil
834
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
akibat serangan ulat grayak S.litura di Indonesia dapat mencapai 80%.Berdasarkan laporan hasil penelitan dan pengkajian BPTP Sulawesi Selatan (2015), tingkat serangan hama ulat grayak pada daun di Kelurahan Tancung, Kabupaten Wajo dapat mencapai 75%. Kerusakan dan kehilangan hasil akibat serangan ulat grayak ditentukan oleh tingkat populasi hama, fase perkembangan serangga, fase pertumbuhan tanaman, dan jenis varietas kedelai. Serangan hama pada varietas rentan akan menyebabkan kerugian yang sangat signifikan. Defoliasi daun karena serangan ulat grayak bila terjadi pada fase pertumbuhan tanaman berbunga penuh dan fase pembentukan polong akan mengakibatkan kehilangan hasil yang lebih besar dibanding serangan pada fase pengisian polong penuh (Marwoto dan Suharsono, 2008). Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dipandang perlu diadakan penelitian tentang siklus hidup S.litura pada kedelai dan mengkaji teingkat serangan ulat grayak pada beberapa varietas unggul kedelai. Penelitian dan pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui siklus hidup S. litura dan tingkat serangannya ulat grayak pada beberapa varietas unggul kedelai di Sulawesi Selatan. Metodologi Bahan dan alat yang digunakan dalam pengkajian siklus hidup ulat grayak antara lain : toples, pinset, kain kasa, pasir, kapur barus, benih kedelai, alat pengukur suhu, daun murbei, gunting, kuas kecil, timbangan elektrik, dan meteran. Pengkajian tentang siklus hidup ulat grayak S.litura telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan mulai April-Agustus 2015. Pengkajian ini dimulai dari pengambilan larva ulat grayak dari pertanaman kedelai yang ada di lapangan. Larva tersebut dipelihara sampai menjadi pupa. Mulai dari pupa diamati sampai menjadi imago, dari imago diamati sampai bertelur, telur diamati sampai menetas, telur yang menetas mengahsilkan larva instar-I, instar-II, instar-III, instar-IV, instar-V, dan Instar-VI. Larva instar terakhir akan berubah menjadi pupa. Jadi satu siklus hidup ulat grayak star dari pupa diamati dan dipelihara sampai menjadi pupa kembali. Sedangkan pengkajian beberapa varietas unggul kedelai terhadap tingkat serangan ulat grayak telah dilaksanakan pada MT. 2010 di Soppeng, MT.2012 di Simbang, Kabupaten Maros dan MT.2014, di Jenetaesa, Kabupaten Maros. Hasil dan Pembahasan Siklus Hidup S. litura a.
Telur
Hasil pengkajian yang dilaksanakan di Labobarotarium BPTP Sulsel, 2015 menunjukkan bahwa umur telur mulai dari peletakkan oleh imago sampai menetas menjadi larva sekitar 3-4 hari. Serangga dewasa meletakkan telur dalam bentuk kluster yang mengandung sekitar 350 butir dan ditutupi bulu-bulu yang halus (Gambar 1.a). Total telur yang diletakkan oleh satu ekor
serangga betina dalam satu siklus hidup sekitar 2000-3000 telur
(Kalshoven, 1981).
Sedangkan menurut Schreiner (2000), telur ulat grayak diletakkan secara berkelompok yang jumlahnya sekitar 200-300 di bawah daun dan ditutupi dengan bulu-bulu coklat dari tubuh betinanya. Selanjutnya dikatakan bahwa total telur yang diletakkan oleh satu ekor serangga betina dalam satu siklus hidup sekitar 2.000 butir.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
835
(a)
( b)
Gambar 1. Telur yang berkelompok ditutupi bulu-bulu dari imgo betina(a) dan telur yang siap menetas (b) Telur yang hampir menetas, warnanya berubah menjadi coklat dan membesar seperti telur ikan (Gambar 1.b).Telur menetas menjadi larva 3-5 hari (Kalshoven, 1981). Sedangkan Ahmad et al. (2013) telur menetas setelah 3 hari diletakkan oleh betina serangga dewasa. Menurut Kranz et al.(1978), telur diletakkan secara berkelompok 50-300 butir di bawah permukaan daun dan menetas 3-4 hari. Satu serangga dewasa dapat menghasilkan telur 1.500-2.500 butir. b.
Larva S. litura Berdasarkan hasil pengkajian yang dilaksanakan di Laboratorium BPTP Sulawesi
Selatan, 2015, menunjukkan bahwa umur larva mulai dari instar-1 sampai instar-6 sekitar 12-15 hari. Larva yang baru menetas makanannya dari daun yang ditempati telur dalam bentuk berkelompok (Gambar 2), kemudian menyebar dengan menggunakan benang yang keluar dari mulutnya dan pindah dari tanaman ke tanaman lain.
(a.) .( b) Gambar 2. Larva yang baru menetas (a) dan larva instar 5 (b) Larva S. litura mempunyai warna yang berbeda-beda.Larva yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan dan larva instar terakhir terdapat kalung (bulan sabut) warna hitam gelap pada segmen abdomen ke empat dan sepuluh. Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning (Gambar 3 b). Stadium larva terdiri 5 instar yang berlangsung selama 20-46 hari. c. Pupa Larva instar terakhir masuk ke dalam tanah, kemudian akan menjadi larva yang tidak aktif (Pra pupa) (Gambar 4.a). Pupa berada dalam tanah dengan ke dalaman 0-3 cm (Zheng et al., 2011) dan warna coklat kemerahan yang beratnya berkisar 0,341 g per pupa (Javar et al., 2013). Hasil pengkajian yang dilaksanakan di Laboratorium BPTP Sulawesi Selatan, 2015, stadium pupa
836
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
berkisar7-11. Hal ini sesuai Marwoto dan Suharsono (2008), bahwa stadium pupa berkisar 8 -11 hari.
(a)
(.b) Gambar 4. Pra-pupa (a) dan pupa (b) S. litura
d. Imago Berdasarkan hasil pengkajian yang dilaksanakan di Laboratoium BPTP Sulawesi Selatan, 2015, menunjukkan bahwa stadium imago berkisar 5-6 hari. Pupa yang ada dalam tanah akan berubah ke fase berikutnya menjadi serangga kupu-kupu (Imago) (Gambar 5). Siklus hidup S. litura mulai dari telur sampai imago sekitar 30-60 hari (Marwoto dan Suharsono, 2008). Sedangkan Javar et al. (2013), siklus hidup S. litura sekitar 29-35 hari.
(a) (b) Gambar 5. Imago S.litura betina (a) dan jantang (b)
Tanaman Inang Hama S.litura merupakan hama polyphagus yang menyerang beberapa jenis tanaman antara lain : tembakau, tomat, sawi, kol bunga, kentang, bawang merah, merica, kacang tanah, kacang tungga, pepaya, padi, jeruk, pisang, jagung, dan lain (Kranz, 1978), Sedangkan menurut Marwoto dan Suharsono (2011), S.litura menyerang beberapa jenis tanaman antara lain : cabai, tebu. kedelai, kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai), kubis, jagung, tomat, buncis, terung, kangkung, bayam, pisang, dan tanaman hias. Jenis tanaman inang sangat mempengaruhi perkembangan populasi dan lamanya hidup S.litura. Tanaman inang yang sesuai akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan serta kelangsungan hidup serangga. Sebaliknya tanaman inang yang tidak sesuai akan meningkatkan mortalitas. Hal ini sesuai hasil penelitian Rai et al. (2014), lamanya hidup dalam satu generasi S. litura lebih tinggi pada tanaman murbei (36,99 hr) dibanding pada tanaman kacang hijau (33,64 hr). Hasil penelitian Mehrkhou (2013), varietas Willis dan L17 mengandung nutrisi yang tinggi, sehingga memberi laju pertumbuhan relatif (RGR) yang maksimun pada instar 6 ulat grayak.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
837
Gejala Serangan Larva Spodoptera litura Larva yang masih muda (instar 1-3) merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa pada epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun (Gambar 6 a). Berbeda halnya dengan instar 4-6, gejala serangan pada daun tidak meninggalkan transparan atau sisa-sisa bagian epidermis pada bagian atas dan tulang daun, melainkan terbentuk lubang-lubang daun yang ukurannya besar seperti terlihat pada Gambar 6 b.
(a).
(b)
Gambar 6. Gejala serangan S.litura pada instar- 1-3 (a) dan gejala serangan pada instar-4-6 (b) Tingkat Serangan Ulat Grayak pada Beberapa Unggul Kedelai Pada Tabel 1, menunjukkan bahwa intensitas serangan ulat grayak S. litura terendah ditemukan Grobogan (8,61%) dan tertinggi pada varietas Mahameru (17,26%). Beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya intensitas serangan hama pada suatu varietas antara lain sifat fisik tanaman seperti panjang-pendek dan tebal-tipisnya bulu-bulu (trikoma) yang dimiliki varietas tersebut. Selain itu, hal lain yang mempengaruhi intensitas serangan adalah kandungan kimia yang dimiliki oleh varietas tersebut. Kandungan kimia yang dimaksud tersebut adalah kandungan kimia yang dapat menolak kehadiran hama atau yang biasa disebut zat repellent dan kandungan yang dapat menarik kehadiran hama yang biasa disebut attaraktan. Tabel 1. Tingkat serangan hama ulat grayak dan hasil biji pada beberapa varietas unggul baru kedelai. Panincong, Kabupaten Soppeng.MT. 2010. No Nama Varietas Tingkat Serangan Hama Ulat Hasil biji (t/ha) Grayak (%) 1 Grobogan 8,61 a 1,64 bc 2 Argomulyo 10,16 b 1,96 c 3 Sinabung 12,16 cd 0,77 a 4 Kaba 13,51 de 1,33 abc 5 Burangrang 12,12 cd 1,35 abc 6 Ijen 14,11 ef 1,83 c 7 Anjasmoro 10,94 bc 1,65 bc 8 Detam-1 12,53 d 1,38 abc 9 Detam-2 15,34 f 1,79 c 10 Wilis 14,41 ef 0,94 ab 11 Mahameru (kontrol) 17,26 g 1,34 abc Keterangan: Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT
Intensitas ulat grayak di Simbang, Kabupaten Maros. MK-1. 2012, terendah ditemukan pada varietas Tidar (2,34%) dan tertinggi pada Wilis (15,45%) (Tabel 2). Namun Tidar mempunyai intensitas serangan ulat grayak yang rendah, tetapi hasil bijinya rendah dan termasuk
838
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
salah satu varietas yang kurang disenangi petani karena bijinya kecil. Selain Tidar, varietas yang kurang disenangi petani adalah Gepak Ijo dan Gepak Kuning. Varietas tersebut, namun mempunyai produksi yang tinggi, tetapi tetap kurang disenangi petani dengan alasan bijinya kecil. Berbeda halnya varietas Grobogan, Anjasmoro, dan Argomulyo, namun intensitas serangan ulat grayak tinggi, tetapi tetap disenangi petani dengan alasan disamping hasil bijinya tinggi, juga bijinya besar. Tabel 2. Rata-rata intensitas serangan serangan ulat grayak dan hasil biji pada beberapa varietas unggul baru kedelai. Simbang. Kabupaten Maros. MK, 2012. Varietas Grobogan Gema Detam-1 Detam-2 Gepak Kuning Anjasmoro Kaba Gepak Ijo Argomulyo Willis Tidar Mutiara
Intensitas serangan ulat grayak (%) 11,58 e 13,25 g 15,19 i 16,23 j 9,15 c 11,15 d 14,25 h 9,21 c 12,65 f 15,45 i 2,34 a 3,10 b
Hasil biji (t/ha) 2,50 c 2,00 b 1,94 b 2,11 b 2,90 d 2,66 c 1,94 b 2,67 c 2,00 b 1,61 a 1,91 b 1,98 b
Keterangan: Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT
Sedangkan hasil pengkajian yang dilaksanakan di Jenetaesa, Kabupaten Maros, 2014, menunjukkan bahwa intensitas serangan ulat grayak S. litura terendah ditemukan pada varietas Gepak Ijo (10,19%) dan Detam-1 (9,87%). Sedangkan intensitas serangan tertinggi ditemukan pada varietas Mutiara (18,26%). Intensitas serangan pada varietas tersebut lebih tinggi dibanding control, Wilis (15,21%). Tabel 2.Rata-rata tingkat serangan ulat grayak dan hasil biji pada beberapa varietas kedelai.Jenetaesa. Kabupaten Maros. MT. 2014. Varietas Grobogan Anjasmoro Kaba Gepak Ijo Gepak Kuning Rajabasa Mutiara Detam-1 Detam-2 Ijen Wilis (kontrol)
Tingkat serangan ulat grayak (%) 12,53 b 11,24 ab 11,37 ab 10,19 a 15,95 c 14,57 c 18,26 d 9,87 a 12,22 b 15,64 c 15,21 c
Hasil biji (t/ha) 1,75 a 2,21 b 2,23 b 2,42 c 2,21 b 2,27 bc 2,34 bc 2,34 bc 2,35 bc 1,98 b 1,78 a
Keterangan: Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT
Pengendalian Hama S.litura Berdasarkan Ambang Ekonomi Berdasarkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT), maka penggunaan insektisida harus berdasarkan ambang kendali. Ambang kendali untuk S. litura pada kedelai pada daun yang
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
839
ditetapkan secara umum : 1) Intensitas kerusakan sebesar 12,5% pada umur tanaman 20 HST dan intensitas kerusakan di atas 20% pada umur tanaman >20%, dan 2) Pada fase vegetatif, 10 ekor instar III per 10 rumpun tanaman. Ambang luka ekonomi pada fase pembentukan bunga dan pembentukan polong kedelai adalah 2 ekor larva per 1 m baris tanaman (Marwoto dan Suharsono, 2013). Penggunaan insektisida pada pengendalian hama terpadu (PHT) dilakukan jika tingkat populasi hama telah melampaui ambang ekonomi (AE) (Gambar 7). Penilaian AE didasarkan atas biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan kehilangan hasil dan hubungan kepadatan populasi dengan kehilangan hasil yang ditimbulkan.Ambang ekonomi (AE) ulat grayak pada tanaman kedelai di setiap wilayah untuk mendapatkan rekomendasi spesifik lokasi sebagai acuan bagi petani dalam pengendalian ulat grayak dengan menggunakan insektisida. Resisten terhadap terhadap hama S. litura Penggunaan varietas tahan atau toleran merupakan salah satu cara pengendalian yang ramah lingkungan. Berdasarkan Deskripsi Varietas Unggul Kedelai (2013), ada beberapa varietas yang toleran terhadap serangan ult grayak antara lain : Ijen, Panderman, Gepak Kuning, Gepak Ijo, Argopuro, Gumitir dan Mallika. Sedangkan varietas kedelai yang rentan terhadap ulat grayak : Detam-1, Detam-2, dan Dering-1. Tahan atau rentannya suatu varietas kedelai, salah satu faktor yang berpengaruh adalah sifat fisik dan kimia yang dimiliki oleh varietas tersebut. Menurut Adie et al. (2013), trikoma merupakan bentuk mekanisme pertahanan antisenosis dan menjadi karakter pertahanan potensial bagi tanaman untuk hama tertentu, termasuk ulat grayak. Selanjutnya dikatakan bahwa kerapatan trikoma pada daun bagian atas dan panjang trikoma daun bagian bawah merupakan penentu kerusakan daun oleh ulat grayak. Kerapatan dan panjang trikoma pada daun akan mempengaruhi daya makan larva. Semakin rapat dan semakin panjang trikoma mengindikasikan genotip kedelai semakin tidak disenangi sebagai sumber pakan larva ulat grayak.Trikoma berfungsi untuk menganggu mekanisme makan, oviposisi, pergerakan, keracunan, dan gangguan lainnya dari allelokinin dan kelenjar yang terdapat pada trikoma. Pada saat datang dan kontak dengan tanaman, serangga terperangkap pada trikoma daun sehingga menghalangi pergerakan dan mencegah serangga mencapai permukaan daun untuk makan. Karakter agronomik yang mempengaruhi ketahanan terhadap ulat grayak antara lain tinggi tanaman, jumlah cabang, ukuran biji, dan umur tanaman. Menurut Nugrahaeni et al. (2013), galur harapan kedelai yang mempunyai batang lebih pendek, jumlah cabang yang banyak, ukuran biji lebih kecil dan umur lebih dalam, lebih tahan dibanding galur yang memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi, jumlah cabang sedikit, ukuran biji lebih besar, dan umur lebih pendek.
Kesimpulan 1. Hasil yang dicapai menunjukkan bahwa umur imago sekitar 5 hari, telur 3 hari, umur larva dari instar -1 sampai instar-6 sekitar 12-15 hari, dan umur pupa 7 har Siiklus hidup ulat grayak satu generasi yang lebih spesifik lokasi di Sulawesi Selatan sekitar 28-32 hari. 2. Tingkat serangan ulat grayak terendah ditemukan varietas Grobogan (8,61%) di Soppeng dan tertinggi pada varietas Mahameru (17,26%). Sedangkan di Jenetaesa, Kabupaten Maros, tingkat serangan terendah ditemukan pada Gepak Ijo (10,19%) dan Detam-1 (9,87%) dan
840
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
tertinggi pada Mutiara (18,26%) dan di Simbang, Kabupaten Maros, intensitas serangan ulat grayak terendah pada Tidar (2,34%) dan tertinggi pada Wilis (15,45%) dan Detam-1 (15,19%).
Daftar Pustaka Adie, M.M., A. Krisnawati, A.Z. Mufidah. 2012. Derajad ketahanan genotype kedelai terhadap hama ulat grayak. Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun. Peningkatan Daya Saing dan Implementasi Pengembangan Komoditas Kacang dan Umbi Mendukung Pencapaian Empat Sukses Pembangunan Pertanian, Puslitbangtan, Badan Litbang Pertanian ; 29-36. Ahmad, M., A. Gaffar, M. Rafig. 2013. Host plants of leaf worm, Spodoptera litura (Fabricius) (Lepidoptera : Noctuidae) in Pakistan. Asian J Agri Biol, 1 (1) : 23-28. Badan Litbang Pertanian, 2015. Laporan Hasil Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. BPS, 2015. Statistik Dalam Angka. Badan Pusat Stastistik BPTP Sulsel,2015. Laporan Hasil Penelitian dan Pengkajian. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Deskripsi Varietas Unggul Kedelai.2013.Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian : 57-79. Dirjend Perdagangan, 2015. Produksi dan impor kedelai. Kementerian Perdagang. Fattah, A. dan Hamka. 2012. Tingkat serangan hama utama kedelai penggerek polong Etiella zinckenella Tr., pengisap polong Riptortus linear (L) dan ulat grayak Spodoptera litura F. di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi.BUKU 1.Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian : 436-440 Hendrival, Latifah, dan R. Hayu. 2013. Perkembangan Spodoptera litura F. (Lepidoptera : Noctuidae) pada kedelai. Jurnal Floatek 8 : 88-100. Javar, S., A.S. Sajap, R. Mohamed, L.W. Hong. 2013. Suitability of Centella Asiatica (Pegaga) as a food source for rearing Spodoptera litura (F) (Lepidoptera : Noctuidae) under Laboratory conditions. Journal of Plant Protection Research Vol 53, No.2 : Kalshoven, L.G.E. 1981.Spodoptera( Prodenia) litura. Lepidoptera. The Pests of Crops in Indonesia, P.T. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta : 338-341. Kranz, j., H.Schemuttere, and W. Koch. 1978. Spodoptera litura. Diseases, Pests, and Weeds in Tropical Crops. Chichester, New York – Brisbane – Toronto : 503-505. Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan komponen teknologi pengendalian ulat grayak (Spodoptera lituraFabricius) pada tanaman kedelai. Jurnal Litbang Pertanian. 27 (4) : 131-136. Nugrahaeni, A., Suharsono, dan K. Paramita. 2013. Karakter agronomi galur-galur homozigot kedelai tahan ulat grayak. . Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun. Peningkatan Daya Saing dan Implementasi Pengembangan Komoditas Kacang dan Umbi Mendukung Pencapaian Empat Sukses Pembangunan Pertanian, Puslitbangtan, Badan Litbang Pertanian ; 58-66..
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
841
Rai, P., M.DM2, and J.BL3.2014.Studies on life fecundity Tables of Spodoptera litura Fabricius on Tobacco Nicotiana tabacum Linnaeus.Research Artic. Entomology, Ornithology, and Herpetology : 3 : 1. Schreiner, I. 2000. Cluster caterpillar (Spodoptera litura (Fabricius). Agricultural Pests of the Pacific. Agricultural Depelopment in American Pacific (ADAP) Shahout, H.A, J.X. Xu, X.M. Yao, and Q.D. Jia. 2011. Influence and mechanism of different host plants on the growth, depelopment and, fecundity of reproductive system of common cutworm Spodoptera litura (Fabricius) (Lepidoptera : Noctuidae). Asian Journal of Agricultural Sciens 3 (4) ; 291-300. Zheng, X.L., X.P. Cong, X.P. Wang, C. L. Lei. 2011. Pupation behavior, depth, and site of Spodopteraexigua. Buletin of Insectology, ISSN 1721-8861 : 209-214.
842
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016