Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN KAYU PAPUA Oleh: Andianto, M. Muslich, Gustan P., Djarwanto, Sihati S., Nurwati H., Efrida B., M.I.Iskandar, Abdurachman, Dian A.I., Abstrak Informasi sifat dasar diperlukan dalam pemanfaatan suatu jenis kayu secara lebih tepat dan efisien. Telah dilakukan penelitian sifat dasar kayu asal Papua jenis Pentaphalangium parviflorum (Guttiferae) dan Mastixiodendron pachyclados (Rubiaceae). Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode standar pada masing-masing aspek sifat dasar. Hasil penelitian menunjukan bahwa struktur anatomi kayu P. parviflorum diantaranya berupa batas lingkar tumbuh tidak jelas; pembuluh baur, soliter, dan berganda radial 2-3; parenkim konfluen. Struktur anatomi kayu M. pachyclados diantaranya berupa lingkar tumbuh yang jelas, ditandai dengan perbedaan ketebalan dinding serat dan menggepeng pada kayu akhir dibandingkan serat kayu awal yang berdinding tipis; pembuluh baur, soliter, dan berganda radial 2(-3); parenkim paratrakea jarang. Kedua jenis kayu ini termasuk kelas kuat II, termasuk kelas awet II terhadap serangan rayap tanah maupun rayap kayu kering, namun memiliki sifat pengeringan agak buruk (kelas V). Intensitas serangan penggerek laut selama pengujian tiga bulan pada kayu P. parviflorum sebesar 80-90% dan pada kayu M. pachyclados sebesar 1-11%. Kayu P. parviflorum termasuk kelompok kayu tidak-tahan (kelas IV), dan M. pachyclados termasuk kelompok kayu agak-tahan (kelas III) terhadap jamur pelapuk. Kandungan selulosa kayu P. parviflorum sebesar 49,83% dan kandungan lignin 24,58%, sedangkan kandungan selulosa kayu M. pachyclados sebesar 45,78% dan lignin 28,76%. Proses pengolahan pulp masing-masing jenis kayu menghasilkan rendemen 29,96% pada kayu P. parviflorum dan 26,48% pada kayu M. pachyclados. Berdasarkan persyaratan teknis, kedua jenis kayu ini dimungkinkan penggunaannya untuk pertukangan dan konstruksi berat. Kata kunci: Sifat dasar kayu, Papua, Pentaphalangium parviflorum, Mastixiodendron pachyclados
1
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Semakin sulitnya memperoleh jenis-jenis kayu hutan alam dengan kualitas baik, mengakibatkan bergesernya perilaku masyarakat/industri akan permintaan kayu yang cenderung tidak mempertimbangkan lagi kualitas. Dewasa ini setiap jenis kayu akan selalu di terima di pasaran demi memenuhi kebutuhan bahan baku kayu. Perkembangan teknologi perkayuan
memungkinkan
pemanfaatan
semua
jenis
kayu
dapat
dioptimalkan sesuai tujuan pemakaian. Namun di sisi lain, hal demikian dapat memicu gencarnya exploitasi sumber bahan baku kayu dari semua jenis yang ada di hutan alam. Ketersediaan data ilmiah mengenai sifat jenis-jenis kayu yang berasal dari hutan alam di Indonesia belum sepenuhnya tuntas. Data ilmiah terkait sifat dasar kayu yang ada saat ini sebagian besar merupakan hasil penelitian terhadap jenis-jenis kayu komersial. Informasi sifat dasar kayu diperlukan guna memberikan arah
dan tujuan
pemanfaatannya, terutama untuk jenis-jenis kayu non komersial yang belum banyak dikenal. Tabel pengelompokan jenis kayu sebagai dasar pegenaan
iuran
kehutanan
(Kementerian
Kehutanan
RI,
2003)
memasukan sebagian jenis-jenis non komersial dalam kelompok rimba campuran, dimana di dalamnya terdapat jenis-jenis kayu yang kurang dikenal (the lesser known species) maupun jenis kayu yang sangat kurang dikenal (the least known species). Pemahaman masyarakat yang kurang terhadap pengenalan jenis maupun sifat kayu, mengakibatkan tidak adanya upaya pemilahan di antara jenis yang mempunyai kualitas rendah dengan yang mempunyai kualitas baik. Akibatnya penggunaan kayu menjadi tidak efisien dalam berbagai tujuan pemakaian. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian sifat dasar jenis-jenis kayu, terutama untuk jenis-jenis kayu yang belum banyak dikenal yang juga banyak tersedia di provinsi Papua.
2
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
B. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah menyediakan informasi sifat dasar dan kemungkinan penggunaan 2 jenis kayu asal Papua sebagai dasar diversifikasi penggunaan bahan baku untuk berbagai tujuan pemakaian. 2. Sasaran Sasaran penelitian adalah tersedianya informasi ilmiah mengenai sifat dasar dan kemungkinan penggunaan 2 jenis kayu asal Papua. C. Luaran Luaran dari penelitian ini adalah berupa : 1. Laporan hasil penelitian yang berisi data dan informasi sifat dasar 2 jenis kayu potensial dari Papua 2. Draft karya tulis ilmiah D. Hasil yang Telah Dicapai pada Penelitian Sebelumnya Penelitian sifat dasar dan kegunaan kayu Papua dimulai pada tahun 2011. Jenis-jenis kayu yang telah diteliti termasuk ke dalam famili (suku) Ebenaceae, Lauraceae, Combretaceae, Myristicaceae, dan Sterculiaceae. Secara ringkas hasil penelitian di sajikan pada tabel 1. Tabel 1. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya 2011 Diospyros phylosanthera (Ebenaceae) Struktur anatomi: pembuluh lebih banyak dijumpai soliter, parenkim bentuk jala, terdapat kristal prismatik pada sel baring, Sifat mekanis: MOE 118.029,57 N/mm2, MOR 821,73 N/mm2, Sifat keawetan: kelas I, Sifat pemesinan: sangat baik (kelas I), Kemungkinan
2012 Terminalia complanata (Combretaceae) Struktur anatomi: pembuluh baur, soliter dan berganda radial 2-3, terkadang ada yang bergerombol, terdapat kristal prismatik dalam sel parenkim aksial tak berbilik dan terdapat druse, Sifat fisis mekanis: BJ ringan, kelas kuat III-V, penyusutan tinggi, Sifat keawetan: kelas awet IV, Sifat pemesinan: baik hingga sedang
3
2013 Pterygota horsfieldii (Sterculiaceae) Struktur anatomi: pembuluh baur, soliter, berganda radial 2-3 dan 4 atau lebih biasa dijumpai, parenkim bentuk pita lebih dari 3 lapis sel dan terdapat kristal prismatik dalam sel parenkim tak berbilik, Sifat fisis mekanis: BJ sedang, kelas kuat II, Sifat keawetan: kelas awet II (terhadap rayap kayu kering), kelas
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
penggunaan: untuk mebel, patung ukiran dan kerajinan tangan serta finir mewah.
(kelas II-III), Kemungkinan penggunaan: untuk papan maupun bahan konstruksi ringan.
Litsea ledermanii (Lauraceae) Struktur anatomi: pembuluh berganda lebih sering dijumpai, parenkim bentuk pita sempit dengan jarak lebar, adanya sel minyak yang berasosiasi dengan parenkim baik parenkim aksial maupun radial, Sifat mekanis: MOE 40.834,52 N/mm2, MOR 302,77 N/mm2, Sifat mekanis: MOE 40.834,52 N/mm2, MOR 302,77 N/mm2, Sifat keawetan: kelas V, Sifat pemesinan: baik (II) hingga sedang (III), kemungkinan penggunaan: untuk bangunan, kayu lapis, papan dinding, rangka pintu dan jendela, alat olah raga, dan moulding.
Gymnacranthera paniculata (Myristicaceae) Struktur anatomi: pembuluh baur, soliter dan berganda radial 2(3), terkadang ada yang bergerombol, terdapat sel minyak dan/sel lendir yang berasosiasi dengan sel parenkim jari-jari, terdapat pipa getah/tanin, Sifat fisis mekanis: BJ ringan, kelas kuat III-V, penyusutan tinggi, Sifat keawetan: kelas awet IV, Sifat pemesinan: sedang (kelas III), Kemungkinan penggunaan: untuk papan maupun bahan konstruksi ringan.
awet V (terhadap rayap tanah), Sifat pemesinan: baik, Kemungkinan penggunaan: untuk kayu pertukangan dan konstruksi berat. Sterculia shillinglawii (Sterculiaceae) Struktur anatomi: pembuluh baur, soliter dan berganda radial 4 biasa dijumpai, terkadang bergerombol, parenkim tersebar dalam kelompok, vaskisentrik, aliform, dan konfluen, terdapat kristal prismatik dalam sel tegak dan dalam sel parenkim aksial berbilik, Sifat fisis mekanis: BJ ringan, kelas kuat IV, Sifat keawetan: kelas awet III-IV (terhadap rayap kayu kering), kelas awet V (terhadap rayap tanah), Sifat pemesinan: baik, namun sedang untuk sifat pemboran dan pembubutan, Kemungkinan penggunaan: untuk bahan baku pembuatan furniture, barang kerajinan dan konstruksi ringan.
E. Ruang Lingkup Penelitian sifat dasar dan kegunaan kayu Papua meliputi beberapa aspek sifat dasar, yaitu : 1. Struktur anatomi dan dimensi serat kayu berupa karakteristik anatomi serta susunan sel setiap jenis kayu 4
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
2. Sifat fisis dan mekanis kayu. Sifat fisis berupa pengujian terhadap berat jenis, penetapan kadar air, dan penyusutan. Sifat mekanis kayu antara lain berupa keteguhan lentur statis, keteguhan pukul, keteguhan tekan sejajar serat, keteguhan tekan tegak lurus serat, keteguhan tarik sejajar serat, keteguhan geser sejajar serat dan keteguhan belah 3. Sifat pengerjaan/pemesinan untuk mengetahui karakteristik kayu dalam proses pengerjaan 4. Sifat keawetan kayu terhadap organisme perusak (serangga, jamur, dan penggerek di laut) 5. Sifat pengeringan kayu 6. Sifat pengkaratan kayu 7. Sifat kimia kayu berupa pengujian terhadap kadar abu, silika, lignin, dan selulosa 8. Sifat dan pengolahan pulp dan kertas 9. Sifat perekatan kayu 10. Sifat keterawetan kayu, yaitu mudah tidaknya kayu ditembus bahan pengawet
5
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Potensi Hutan Papua Provinsi Papua yang memiliki hutan cukup luas merupakan salah satu daerah andalan sebagai pemasok bahan baku kayu bagi industri perkayuan. Berdasarkan Statistik Bidang Planologi Kehutanan tahun 2012 (Kementerian Kehutanan, 2013), luas kawasan hutan Papua adalah 29.368.482 Ha atau sekitar 93,14% dari luas provinsi (31.530.496,3 Ha). Menurut data dari BPSDALH (2012), hutan primer di Provinsi Papua merupakan jenis tutupan lahan paling dominan, mencapai 64,30% dari luas wilayah keseluruhan yang terdiri dari hutan lahan kering primer, hutan mangrove primer, dan hutan rawa primer. Total potensi hutan di Papua meskipun secara fisik cukup besar namun kurang ekonomis karena potensi per hektarnya sangat rendah yaitu 35 m3/ha untuk jenis komersial dan 61 m3/ha untuk semua jenis. Sebagian besar kayu di hutan Papua terdiri dari jenis-jenis yang belum terkenal di pasaran atau belum komersial. Sebagai perbandingan terhadap daerah lain, potensi rata-rata per hektar tertinggi di Kalimantan yaitu 84 m3/ha untuk jenis komersial dan 90 m3/ha untuk semua jenis disusul Sumatera yaitu 64 m3/ha untuk jenis komersial dan 79 m3/ha untuk semua jenis, serta Sulawesi untuk komersial sebesar 44 m3/ha (Bapesdahl, 2011). Meskipun cukup berlimpah, namun masih banyak jenis kayunya bukan dari jenis kayu yang sudah dikenal atau bernilai komersial yang tergolong ke dalam kelompok jenis rimba campuran. Hal ini terlihat dari data perkembangan volume penebangan kayu bulat pada tahun 2008 (BPKH Wilayah X Jayapura, 2009) sebesar 117.779,67 m3 untuk jenis rimba campuran disamping jenis Merbau (62.681,32 m 3), Meranti (148.251,93 m3) dan kayu indah (303,91 m3). Selain potensinya sangat rendah, sebagian besar kayunya terdiri dari jenis-jenis yang belum dikenal dipasaran/belum
komersial
(Kementerian
Kehutanan
RI,
2013).
Banyaknya jenis kayu kurang dikenal (jenis rimba campuran) di provinsi ini
6
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
bukan berarti bahwa kayu di Papua tidak bernilai komersial, namun lebih disebabkan karena informasi mengenai sifat-sifat dasarnya belum ada atau belum lengkap sehingga dalam pemanfaatannya belum optimal dan tepat sasaran. B. Sifat Dasar Kayu Di Indonesia tumbuh lebih kurang empat ribu jenis pohon (Tantra, 2001 dalam Barly, 2007). Xylarium Bogoriensis 1915 Pusat Litbang Hasil Hutan Bogor sudah menyimpan contoh kayu sebanyak lebih kurang 3.233 jenis pohon yang tercakup dalam 785 genera (marga) dari 106 suku. Pohon yang dikenal dalam perdagangan sampai saat ini diperkirakan 400 jenis botani (spesies) yang tercakup dalam 198 marga dari 68 suku (Mandang & Pandit, 2002). Jenis-jenis kayu perdagangan tersebut telah banyak diteliti sifat-sifat dasarnya, termasuk juga jenis-jenis pohon/kayu yang kurang dikenal dan telah menjadi andalan setempat. Hingga saat ini, jenis-jenis kayu yang telah diteliti dan dipublikasikan dalam Buku Atlas Kayu Jilid I-IV, dan buku Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) 5 (1-3) sebanyak 422 marga/kelompok perdagangan (ditambah 5 jenis dari Buku Atlas Kayu Indonesia yang tidak termasuk dalam PROSEA 5: (1-3), yaitu Pangium-Flacourtiaceae, Elateriospermum-Euphorbiaceae, MeliaMeliaceae, Aleurites-Euphorbiaceae, dan Ganua-Sapotaceae. Sifat dasar sangat penting diketahui sebelum suatu jenis kayu digunakan untuk suatu tujuan, karena setiap jenis kayu memiliki sifat yang berbeda dan setiap penggunaannya membutuhkan persyaratan tertentu (Kartasudjana dan Martawijaya, 1977). Sifat-sifat dasar yang dimaksud adalah sifat struktur anatomi dan dimensi serat, sifat fisis dan mekanis, sifat keawetan terhadap serangga, jamur, binatang laut, sifat pengkaratan, sifat keterawetan, sifat pengeringan, sifat permesinan, sifat venir dan kayu lapis, sifat kimia dan destilasi kering, serta sifat dan pengolahan pulp untuk kertas (Abdurrohim et al., 2004; Martawijaya et al., 2005a dan 2005b). Kayu merupakan produk dari proses biologis (metabolisme) suatu tumbuhan, yaitu pohon sehingga sifat-sifatnya sangat bervariasi akibat
7
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
pengaruh faktor-faktor dalam dan luar selama pertumbuhan pohon. Kayu dihasilkan oleh banyak spesies pohon dimana setiap jenis mempunyai sifat-sifat anatomi, kimia dan fisika masing-masing (Pandit, 2006). Kualitas kayu adalah kesesuaian atau kecocokan kayu untuk penggunaan tertentu. Kualitas kayu merupakan suatu ukuran ciri-ciri kayu yang mempengaruhi sifat-sifat produk yang dibuat darinya, dimana ukuran ini merupakan hal yang sangat subyektif, tergantung produk yang akan dibuat dari kayu tersebut. Sifat-sifat penting kayu yang digunakan untuk suatu produk sering berbeda dengan sifat-sifat penting untuk produk yang lain (Panshin et al., 1964; Savidge, 2003; Anisah & Siswamartana, 2005). Kualitas kayu ditentukan oleh satu atau lebih faktor-faktor variabel yang mempengaruhinya seperti struktur anatomi dan selanjutnya sifat-sifat fisikanya. Sebagai contoh perubahan-perubahan kecil pada panjang sel serabut, tebal dinding sel, diameter sel, sudut fibril, presentase tipe-tipe sel, nisbah antara selulosa dan lignin akan menyebabkan perubahan sifat fisik dan selanjutnya perubahan pada kualitas kayu tersebut (Panshin et al., 1964; Pandit, 2006).
8
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor, perairan Pulau Rambut Tanggerang, serta di hutan penelitian Cikampek Jawa Barat. B. Bahan dan Peralatan Bahan penelitian adalah jenis kayu Pentaphalangium parviflorum (Guttiferae) dan Mastixiodendron pachyclados (Rubiaceae) yang di ambil dari daerah Kabupaten Manokwari Propinsi Irian Jaya Barat. Bahan kimia yang dipakai yaitu sulfuric acid, toluene, hydrogen peroxide, NH4Cl, asam sulfat, acetyl acetone dan lain-lain. Peralatan yang digunakan antara lain gergaji potong dan belah, timbangan, oven, digital kaliper, pisau mikrotom, cutter, alat foto, vakum tekan, alat pengering, salinometer, dan lain-lain. C. Prosedur Kerja Kegiatan penelitian sifat dasar ini dilakukan di lapangan dan laboratorium. Kegiatan lapangan meliputi survey keberadaan pohon, identifikasi,
penebangan,
pemotongan
batang,
penyaradan
dan
pengangkutan contoh uji kayu yang akan diteliti. Kegiatan laboratorium meliputi pembuatan, pengukuran dan pengujian contoh uji kayu. 1. Identifikasi jenis dan pengamatan morfologi pohon Pengambilan
contoh
daun
(beserta
buah
jika
ada)
untuk
pengecekkan ulang identifikasi nama jenis pohon berdasarkan kunci identifikasi
dan
koleksi
herbarium
di
Puslitbang
Konservasi
dan
Rehabilitasi (Botani-PUSKONSER) Bogor. Pengamatan morfologi pohon meliputi kondisi batang (tinggi total, tinggi bebas cabang, diameter batang). Pohon yang akan ditebang dipilih dalam bentuk lurus, tidak bengkok, tidak cacat dan dalam keadaan sehat. 2. Pembuatan contoh uji Contoh kayu yang diambil di lapangan adalah pohon yang berdiameter ± 100 cm (P. parviflorum) dan ± 44 cm (M. pachyclados).
9
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Kedua pohon ini memiliki banir, penebangan dilakukan pada ketinggian setinggi dada (130 cm diatas permukaan tanah) atau 20 cm diatas banir dengan menggunakan chain saw. Selanjutnya diambil contoh uji batang pohon seperti terlihat pada Gambar 1.
C C
10 cm
C
2m
B B B
10 cm 2m
A
Keterangan :
A
2m
A
10 cm
A : Bagian Pangkal B : Bagian Tengah C : Bagian Ujung
Gambar 1. Bagian-bagian pohon untuk contoh uji penelitian Untuk melihat variasi sifat dasar yang diteliti maka contoh uji untuk pengujian sifat fisik, mekanik, anatomi dan kimia kayu diambil pada bagian pangkal, tengah dan ujung batang bebas cabang. Untuk pengujian sifat mekanik, bagian batang yang diambil mengikuti pola pada Gambar 1 berupa balok berukuran 200 cm x 5 cm x 5 cm, sedangkan untuk contoh uji pengujian sifat anatomi, fisis dan kimia kayu diambil dalam bentuk lempengan dengan ketebalan 10 cm. Untuk membedakan antar jenis dan bagian,
pada setiap pohon diberi tanda (kode). Jenis pohon diberi
lambang huruf sesuai namanya. Untuk bagian batang diberi lambang huruf A (pangkal), B (tengah) dan C (ujung). Bagian yang tidak diberi kode
10
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
digunakan sebagai contoh uji untuk pengujian sifat dasar yang lain. Contoh uji diambil dari bagian yang bebas cacat dan untuk sifat keawetan kayu diambil dari kayu teras. Masing-masing ukuran pada tiap pengujian disesuaikan dengan standar yang telah ditetapkan. 3. Pengujian sifat dasar kayu a. Pengenalan struktur anatomi dan dimensi serat Pengamatan ciri makroskopis dilakukan langsung pada contoh uji yang dipilih sedangkan pengamatan ciri mikroskopis dilakukan pada sayatan mikrotom dan preparat maserasi yang dipersiapkan secara khusus. Contoh diambil dari bagian teras dengan ukuran 3 x 2 x 2 cm dan dipotong sedemikian rupa sehingga sisi-sisinya terpotong tepat pada arah transversal, radial dan tangensial . Sayatan ini selanjutnya dicuci dengan air suling dan diwarnai dengan safranin (SASS, 1961). Preparat maserasi dibuat menurut metode FPL (Tesoro, 1989). Pengamatan ciri makroskopis dilakukan dengan bantuan loup berkekuatan 5 – 10 kali meliputi warna, tekstur, corak/gambar, bau, kesan raba, kekerasan, kilap dan ciri-ciri khusus lainnya. Ciri mikroskopis dilakukan dengan bantuan mikroskop berkekuatan 75 – 750 kali meliputi: a) Pembuluh: susunan, bentuk, sebaran, diameter, frekuensi, tipe bidang perforasi dan tipe ceruk, isi pembuluh; b) Jari-jari: tipe, lebar, komposisi sel; c) Parenkim: tipe, bentuk; d) Saluran inter-selular: susunan dan isi; e) Dimensi serat; dan ciri-ciri lainnya meliputi ciri-ciri yang dianjurkan oleh Komite International Association of Wood Anatomist (Wheeler et al., 1989). Penetapan dimensi serat dan perhitungan nilai turunnya dilakukan berdasarkan laporan Priasukmana dan Silitonga (1972), sedangkan kualitas seratnya ditetapkan mengikuti laporan Rachman dan Siagian (1976). Nilai rata-rata, nilai maksimum dan kisaran suatu ciri anatomi ditetapkan menurut petunjuk Metclaff dan Chalk (1950), sedangkan untuk jumlah atau frekuensi digunakan klasifikasi menurut Den Berger (1923).
11
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
b. Sifat fisis dan mekanis Pengujian untuk sifat fisis mengikuti Standar DIN-2135 (Anonim, 1975) yaitu meliputi kadar air kayu segar, berat jenis kayu kering udara serta penyusutan pada arah radial dan tangensial. Sedangkan dalam hal pengujian untuk sifat mekanis adalah meliputi keteguhan lentur statis, keteguhan pukul, keteguhan belah, keteguhan tekan sejajar serat, keteguhan tarik, geser, keteguhan lentur, keteguhan tegak lurus serat serta kekerasan. Pengujian tersebut dilakukan pada contoh uji dalam keadaan basah dengan menggunakan mesin penguji merk Shimadzu. Untuk pengujian sifat mekanis, menggunakan metode ASTM D 143-94 (ASTM, 2007). Pengambilan contoh uji untuk penetapan kadar air dilakukan pada beberapa posisi ketinggian dalam batang pohon. Dari setiap posisi ketinggian diambil lempengan kayu dan dari setiap lempengan diambil lagi 10 contoh uji menurut posisi radial dari bagian empulur ke arah kulit yaitu 5 buah diambil dari salah satu sisi dan 5 buah lagi dari sisi yang berhadapan. Lempengan diambil pada setiap ketinggian 125 cm dimulai dari pangkal pohon sampai ke batas cabang pertama. Penimbangan contoh uji untuk penetapan berat bersih diambil dari lempengan yang dibungkus hingga kedap air, sedangkan penetapan berat kering oven dilakukan di laboratorium dengan oven pada suhu sekitar 100 oC (103±2 o
C). Nilai hasil pengujian sifat fisis mekanis dihitung rata-rata, standar
deviasi dan koefisien variasinya kemudian dibandingkan dengan klasifikasi kekuatan kayu Indonesia (Den Berger, 1923). c. Sifat pengerjaan/pemesinan Pengujian
sifat
pemesinan
dilakukan
dengan
pengukuran
karakteristik dolok bagian pangkal, tengah dan ujung. Sifat pemesinan yang
diuji
meliputi
sifat
pengetaman,
pembentukan,
pemboran,
pembuatan lubang persegi, pengampelasan dan pembubutan. Metode pengujian ukuran, bentuk dan cara pengambilan contoh uji dilakukan menurut metode Abdurachman dan Karnasudirdja (1982) sesuai kondisi bahan dan peralatan yang tersedia.
12
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Setiap jenis kayu disediakan 50 buah contoh uji bebas cacat berukuran 120 cm x 12,5 cm x 2 cm sebagai ulangan. Contoh uji tersebut dikeringkan di udara terbuka sampai mencapai kadar air lebih kurang 15%, lalu diuji dengan mesin. Hasil pemesinan diamati secara okuler dengan bantuan loup berukuran sepuluh kali. Cacat yang diamati meliputi serat terangkat, berbulu, tersobek dan bekas serpih. Setiap contoh uji yang mengandung salah satu dari keempat cacat tersebut di atas dianggap cacat. Sifat pemesinan ditetapkan menurut metode klasifikasi seperti yang tertera dalam Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi sifat pemesinan Jumlah contoh yang cacat 0 – 10 11 – 20 21 – 30 31 – 40 41 – 50
Nilai cacat 5 15 25 35 45
Sifat mesin Sangat baik baik sedang buruk Sangat buruk
d. Sifat keawetan 1) Terhadap serangga Pengujian
keawetan
terhadap
serangga
dilakukan
secara
laboratoris dan lapangan (graveyard). Standar yang digunakan adalah SNI 01-7207-2006 (Badan Standardisasi Nasional, 2006). Pengujian daya tahan terhadap organisme perusak kayu secara laboratorium meliputi organisme sebagai berikut: - Rayap kayu kering : Cryptotermes cynocephalus Light. - Rayap tanah
: Coptotermes curvignathus Holmgren.
a). Daya tahan terhadap rayap kayu kering Pada salah satu sisi yang terlebar pada masing-masing contoh uji dipasang tabung gelas berdiameter 1,8 cm dengan ukuran tinggi 3,5 cm. Ke dalam tabung gelas tersebut dimasukkan 50 ekor pekerja rayap kayu kering yang sehat dan aktif, kemudian contoh uji yang sudah berisi rayap itu disimpan di tempat yang gelap selama 12 minggu.
13
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Pada akhir pengujian ditetapkan persentase mortalitas rayap pada masing-masing contoh uji dan ditetapkan juga derajat serangannya dengan menggunakan skala sebagai berikut: 100 = utuh (tidak diserang) 90 = sedikit 70 = sedang 40 = hebat 0 = hebat sekali dengan catatan bahwa bekas gigitan tipis pada permukaan kayu (surface nibbles) tidak dianggap sebagai serangan nyata. Daya tahan kayu terhadap rayap kayu kering ditetapkan berdasarkan persentase rayap yang hidup pada akhir pengujian. Kelas daya tahan terhadap rayap kayu kering ini ditetapkan juga berdasarkan penurunan berat kayu dalam %. Di samping itu dapat juga dilakukan klasifikasi berdasarkan derajat serangannya. b). Daya tahan terhadap rayap tanah Masing-masing contoh uji dimasukkan ke dalam jampot dengan cara berdiri pada dasar jampot dan disandarkan sedemikian rupa sehingga salah satu bidang terlebar contoh uji tersebut menyentuh dinding jampot. Ke dalam jampot tersebut dimasukkan pasir lembab sebanyak 200 gram yang mempunyai kadar air 7% di bawah kapasitas menahan air (water holding capasity). Selanjutnya ke dalam setiap jampot dimasukkan 200 ekor rayap yang sehat dan aktif terdiri dari 90% pekerja, kemudian jampot yang sudah berisi rayap disimpan ditempat gelap selama 4 minggu. Setiap minggu aktivitas rayap di dalam jampot diamati dan dicatat serta masing-masing jampot ditimbang. Jika kadar air pasir turun 2% atau lebih, maka ke dalam jampot tersebut ditambahkan air secukupnya sehingga kadar air kembali seperti semula. Pada akhir pengujian ditetapkan persentase mortalitas rayap pada masing-masing contoh uji dan ditetapkan juga derajat serangannya dengan menggunakan skala sebagai berikut: 100 = utuh ( tidak diserang) 90 = sedikit 70 = sedang 40 = hebat
14
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
0 = hebat sekali Dengan catatan bahwa bekas gigitan tipis pada permukaan kayu (surface nibbles) tidak dianggap sebagai serangan nyata. Daya tahan kayu terhadap rayap tanah ditetapkan berdasarkan persentase rayap yang hidup pada akhir pengujian. Di samping itu dilakukan juga klasifikasi daya tahannya berdasarkan derajat serangan dan penurunan berat kayu dalam %. Sedangkan untuk pengujian keawetan di lapangan menggunakan metode ASTM D 1758-02 (ASTM, 2002). Contoh uji berukuran 50 x 2,5 x 2,5 cm dikubur secara vertikal di lapangan terbuka sedalam 25 cm di dalam tanah dan dibiarkan 25 cm tetap timbul di atas permukaan, dengan jarak di antara masing-masing contoh uji sekitar 30-60 cm. Masing-masing contoh uji diperiksa setiap 3 bulan sekali dan pada setiap pemeriksaan diukur kedalaman pelapukannya yang dinyatakan dalam satuan mm dan ditetapkan derajat serangan rayapnya dengan menggunakan skala sebagai berikut: ta tps tp sd sdn hb hbs
= = = = = = =
tidak ada serangan tipis sekali tipis sedikit sedang hebat hebat sekali
Pengujian dianggap selesai jika contoh uji yang bersangkutan sudah lapuk atau sudah diserang rayap dengan kriteria sebagai berikut: a. Paling sedikit 50% dari volumenya rusak dimakan rayap (derajat serangan hb atau hbs). b. Dalamnya pelapukan sudah mencapai 25 mm. c. Patah jika dipukulkan ke lantai karena lapuk dan pada saat itu ditetapkan umur pakai contoh uji tersebut yang dinyatakan dalam bulan atau tahun dan ditetapkan nilai rata-ratanya. Berdasarkan nilai ratarata tersebut ditetapkan kelas awet jenis kayu yang bersangkutan berdasarkan kriteria Martawijaya (1990) pada Tabel 3.
15
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Tabel 3. Kelas keawetan kayu berdasarkan umur rata-rata pemakaian Kelas Keawetan Umur rata-rata (tahun) I Sangat awet >8 II Awet 5–8 III Sedang 3–5 IV Kurang awet 15 – 3 V Tidak awet < 1,5 2) Terhadap jamur Contoh uji berukuran 5 x 2,5 x 1,5 cm diuji dengan metode Kolleflask, sesuai dengan pengujian pelapukan kayu terhadap jamur, menurut standar DIN-52176 yang dimodifikasi oleh Martawijaya (1975). Jenis jamur penguji yang digunakan adalah jamur pelapuk Pycnoporus sanguineus HHBI-324, Polyporus sp. HHBI-209, Schizophyllum commune HHBI-204, dan Tyromyces palustris HHBI-232. Media yang telah dilarutkan secara homogen dimasukkan ke dalam piala kolle sebanyak 80 ml per-piala. Mulut piala di sumbat dengan kapas steril, kemudian disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121 0C, tekanan 1,5 atmosfer, selama 30 menit. Setelah dingin media diinokulasi dengan biakan murni jamur penguji, selanjutnya disimpan di ruang inkubasi sampai pertumbuhan miseliumnya merata dan menebal. Contoh uji yang telah diketahui berat kering mutlaknya dimasukkan ke dalam piala yang berisi biakan jamur tersebut. Setiap piala diisi dua buah contoh uji yang diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak saling bersinggungan, dan diinkubasikan selama 12 minggu. Untuk setiap jenis kayu dan jenis jamur disediakan 5 buah piala. Pada akhir percobaan contoh uji dikeluarkan dari piala, dibersihkan dari miselium yang melekat secara hati-hati, dan ditimbang pada kondisi sebelum dan sesudah dikeringkan, guna mengetahui kehilangan beratnya. Rata-rata kehilangan berat kayu dikelompokkan dengan menggunakan nilai atau skala kelas resistensi menurut Martawijaya (1975) dan Suprapti et al. (2011) seperti pada tabel 4.
16
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Tabel 4. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap jamur berdasarkan persentase kehilangan berat Kelas I II III IV V
Ketahanan Sangat tahan Tahan Agak tahan Tidak tahan Sangat tidak tahan
Kehilangan berat rata-rata (%) < 0,5 0,5 - < 5 5 - < 10 10 - 30 > 30
3) Terhadap penggerek laut Contoh uji kayu berukuran 2,5 x 5 x 30 cm diuji ketahanannya terhadap penggerek laut yang direndam secara horizontal di perairan Pulau Rambut pada kedalaman 1,5 – 2 meter. Setelah 3 bulan diambil dan diamati intensitas serangannya dan diidentifikasi organisme yang menyerangnya (NWPC, 1973; Turner, 1966). Dari setiap jenis diperlukan 10 buah sebagai ulangan. Pengamatan contoh uji dilakukan dengan membelah menjadi dua bagian dan dinilai intensitas serangannya. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap penggerek laut ditentukan menurut SNI 01-7207-2006 (Badan Standardisasi Nasional, 2006) seperti dalam tabel 5. Tabel 5. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap penggerek kayu di laut Kelas I II III IV V
Intensitas serangan (%) < 7,3 7,3 - 27,1 27,1 - 54,8 54,8 - 79,1 > 79,1
Selang intensitas serangan Sangat tahan Tahan Sedang Buruk Sangat buruk
Jenis organisme penggerek yang menyerang dapat dikenali dengan melihat bekas lubang gerek, bentuk palet dan struktur cangkuk pada contoh uji menurut Turner (1971). e. Sifat pengeringan Sifat pengeringan kayu yang diamati meliputi lamanya waktu pengeringan dan jenis cacat akibat pengeringan (pecah, retak, serta perubahan
bentuk
dan
ukuran).
Sifat-sifat
tersebut
diuji
pengeringan suhu tinggi. Contoh uji yang digunakan berukuran:
17
melalui
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
a. 2,5 x 12-14 x 2,0 cm untuk kadar air. b. 2,0 x 10 x 20 cm untuk pengeringan suhu tinggi. c. 2,5 x 12-14 x 50-100 cm untuk papan pengamatan. Pada awal pengeringan pengukuran dilakukan tiap hari, tetapi setelah kadar air mencapai 30% atau kurang, pengukuran dilakukan 3 hari sekali. Pengeringan diakhiri setelah kadar air mencapai kurang lebih 15%. Cacat retak dinilai dan bagan yang digunakan pada pengeringan dalam kiln ditetapkan berdasarkan penduga hasil pengeringan suhu tinggi. Penilaian kualitas kayu berdasarkan pada tiga jenis cacat, dan tingkat kerusakan didasarkan pada metode Terazawa (1965). Tabel 6. Klasifikasi kualitas pengeringan kayu Nilai cacat (%) 0–5 >5 – 10 >10 – 20 >20 – 30 >30 – 50 >50 – 70 >70
Kelas I II III IV V VI VII
Sifat pengeringan Sangat baik Baik Agak baik Sedang Agak buruk Buruk Sangat buruk
f. Sifat pengkaratan kayu Pengujian pengkaratan dilakukan terhadap contoh uji berukuran 5 cm (arah serat) x 2,5 cm x 1,5 cm yang masing-masing bagian tengahnya dipasang paku sekrup yang telah diketahui beratnya. Contoh uji kayu berbentuk kubus diikat dengan benang nylon dan digantung sedemikian rupa didalam botol jampot yang berisi 25 ml 2 NH2SO4 dengan konsentrasi 90% agar kelembababan yang terjadi di dalam jampot tetap tinggi. Botol kemudian ditutup rapat dan disimpan pada suhu kamar selama 3 bulan. Pada akhir percobaan paku sekrup dikeluarkan dari contoh uji kemudian dicelupkan dalam HCl teknis, dibersihkan dengan alkohol 96% dan aseton, dibiarkan kering lalu ditimbang. Adanya korosi didasarkan atas rupa paku sekrup dan perubahan beratnya dari awal sesuai metode yang dilakukan Djarwanto ( 2010).
18
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
g. Sifat kimia kayu Analisis komponen kimia kayu dilakukan menurut metode standar sebagai berikut: Kadar selulosa menurut metode Norman dan Jenkins (Wise, 1944) Kadar lignin menurut standar ASTMD 1106-56 (ASTM, 2006a) Pentosan menurut standar TAPPI T 223-0S-71 (TAPPI, 1992). Kadar abu menurut standar ASTM D 1102-84 (ASTM, 2006b) Kadar silika menurut standar TAPPI T 245-os-70 (TAPPI, 1992). Kelarutan dalam alkohol benzena menurut standar ASTM D 1107-96 (ASTM, 2006c) Kelarutan dalam air dingin dan panas standar ASTM D 1110-84 (ASTM, 2006d) Kelarutan dalan NaOH 1% menurut standar ASTM D 1109-84 (ASTM, 2006e) h. Sifat dan pengolahan pulp dan kertas Pulp dari setiap jenis kayu diolah melalui pemasakan dengan proses sulfat (kimia sulfat) dengan teknik pemasakan sejenis. Alat pemasakan yang digunakan adalah Rotary Digester. Kondisi pemasakan pulp terdiri dari alkali aktif 16%, sulfiditas 22,5%, suhu maksimum 170 0C, wood to liquor (w:l) 1 : 4, dan waktu pemanasan 2 + 2 jam. Sifat yang diuji pada masing-masing jenis adalah sifat pengolahan dan sifat pulp yang dihasilkan. Sifat pengolahan yang diamati meliputi rendemen pulp, bilangan kappa, dan konsumsi alkali. i. Sifat perekatan kayu Pengujian sifat perekatan dilakukan pada contoh uji yang dibuat dengan menggunakan ramuan perekat berupa urea formaldehida cair 100 bagian, tepung terigu 20 bagian, air 20 bagian, pengeras 0,5 bagian. Kekentalan PH dan berat jenis perekat diukur guna mengetahui apakah perekat memenuhi syarat atau tidak. Perekat dilaburkan secara tunggal sebanyak 190 gram/m2 pada permukaan contoh uji, kemudian disusun dan dikempa dingin selama 10 menit dengan tekanan 15 kg/cm 2 pada suhu 110oC selama 15 menit. Setiap contoh uji diamati setelah dikeringkan
19
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
selama 1 minggu. Selanjutnya pada setiap contoh uji dilakukan pengujian dan keteguhan tarik sejajar serat. j. Sifat keterawetan Pengujian sifat keterawetan dilakukan dengan metode IUFRO (Smith dan Tamblyn, 1970). Dari setiap jenis pohon diambil minimal 5 batang contoh uji. Selanjutnya semua contoh uji dikeringkan sampai mencapai kadar air kering udara. Bahan pengawet yang digunakan yaitu CCB dengan komposisi sebagai berikut: CuSO4 34% w/w, K2CrO7 38% w/w, H3BO3 25% w/w. Garam CCB tersebut dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 3% untuk selanjutnya diimpregnasikan ke dalam contoh uji dengan proses sel penuh menurut bagan sebagai berikut: Vakum awal
: 50 cm Hg 15menit
Tekanan
: 10 atm 60 menit
Vakum akhir
: 50 cm Hg 15 menit
Retensi bahan pengawet kering yang dinyatakan dalam kg/m 3 ditetapkan berdasarkan penimbangan contoh uji sebelum dan sesudah proses pengawetan. Contoh uji yang sudah diawetkan diangin-anginkan di dalam ruangan sampai mencapai kadar air kering udara untuk kemudian diukur penetrasinya.
Penetrasi diukur pada
permukaan
potongan
melintang yang dibuat di bagian tengah contoh uji. Dalamnya penetrasi dinyatakan dalam persentase luas bidang yang ditembus bahan pengawet. Batas penembusan bahan pengawet diperjelas dengan jalan melabur penampang contoh uji dengan pereaksi chrom azural atau rubeanic acid. Klasifikasi keterawetan kayu ditetapkan berdasarkan kriteria seperti pada tabel 7. Tabel 7. Klasifikasi keterawetan kayu Kelas I II III IV
Keterawetan Mudah Sedang Sukar Sangat sukar
20
Luas penetrasi % > 90 50 - 90 10 - 50 < 10
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
D. Analisa Data Hasil dari pengujian masing-masing sifat dasar kayu yang diteliti kemudian ditabulasi dan dihitung nilai rata-ratanya. Selanjutnya nilai ratarata yang diperoleh diklasifikasikan sesuai dengan standar yang digunakan pada masing-masing pengujian. Selanjutnya semua data dikompilasi sehingga sifat dasar setiap jenis kayu diperoleh.
21
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Morfologi Pohon 1. Pentaphalangium parviflorum (Guttiferae) Nama umum : Manggis, Kandis Nama daerah setempat (Papua): Uruenga, Nya, Kroer, Koewot, Toertie, Loewaika, Lilipga, Oonoh, Soeree. Kayu diambil dari pohon berdiri di hutan alam, memiliki banir (berakar papan) kecil. Kulit batang bila ditekak mengeluarkan getah berwarna putih. Kayu berwarna merah kecoklatan.Tinggi pohon total sekitar 44,30 m dengan tinggi bebas cabang 23,30 m, diameter setinggi dada sekitar 100 cm. Masyarakat setempat menggunakan jenis kayu ini untuk bahan konstruksi berat (rumah dan pertukangan). Kondisi biofisik tempat tumbuh pohon berupa hutan tropis basah dataran rendah dengan ketinggian 0-560 m dpl. (hutan dataran rendah), jenis pohon ini tumbuh pada tanah liat yang tidak digenangi air (Anonim, 1976). 2. Mastixiodendron pachyclados Melch.(Rubiaceae) Nama umum : Lancat, Lebani Nama daerah setempat (Papua): Kriwek, Aikarundauw, Naswang, Ngguway, Teitakka, Sik, Membranga Kayu diambil dari pohon berdiri di hutan alam, memiliki banir (berakar papan) dengan tinggi total pohon sekitar 19,30 m, tinggi bebas cabang 8,30 m, dan diameter setinggi dada sekitar 44 cm. Masyarakat menggunakan kayu ini untuk bahan konstruksi berat (rumah dan pertukangan). Kondisi biofisik tempat tumbuh pohon berupa hutan tropis basah dengan ketinggian 150 m dpl. Pohon ini tumbuh pada tanah liat yang tidak digenangi air. (Anonim, 1976).
22
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Gambar 2. Bentuk pohon, daun, kulit batang, buah, dan kayu Pentaphalangium parviflorum (Guttiferae)
23
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Gambar 3. Bentuk pohon, kulit batang, daun, dan kayu Mestixiodendron pachyclados (Rubiaceae) 24
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
B. Sifat Dasar Kayu 1. Pengenalan struktur anatomi dan dimensi serat a. Pentaphalangium parviflorum (Guttiferae) Ciri umum Lingkar tahun tidak jelas, warna kayu (kering udara) kuning-coklat tua, perbedaan warna antara kayu gubal dan kayu teras tidak jelas, tekstur agak kasar, kekerasan agak keras, agak mengkilap, arah serat agak lurus. Ciri anatomi Lingkar tumbuh: batas lingkar tumbuh tidak jelas. Pembuluh: baur, soliter, dan berganda radial 2-3; bentuk umumnya oval; persen soliter 86% (sebagian besar soliter); frekuensi 5/mm2 (jarang); panjang 888,5 ± 40 (844-932) mikron, diameter 280 ± 13 (276-293); bidang perforasi sederhana; ceruk antar pembuluh selang-seling bersegi banyak; diameter ceruk antar pembuluh 6,19 mikron (kecil); ceruk antar pembuluh dengan jari-jari dengan halaman yang jelas; serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh. Parenkim: konfluen; panjang untai delapan (5-8) sel per untai. Jari-jari: heteroseluler; umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal, dengan > 4 jalur sel tegak atau bujur sangkar marjinal; lebar jari-jari besar umumnya 4-10 seri. Serat: serat dengan ceruk sederhana sampai berhalaman sangat kecil; serat bersekat dijumpai; dinding serat tipis sampai tebal; panjang 2727 ± 60 (2667-2787) mikron; diameter lumen 8,47 ± 0,54 (7,93-9,01) mikron; tebal dinding 10,11 ± 0,75 (9,36-10,86) mikron. Inklusi mineral: kristal prismatik dijumpai dalam sel baring, dan dalam parenkim aksial tak berbilik. b. Mastixiodendron pachyclados (Rubiaceae) Ciri umum Lingkar tahun jelas, warna kayu (kering udara) kuning-coklat muda, perbedaan warna antara kayu gubal dan kayu teras tidak jelas, tekstur halus, keras, mengkilap, arah serat lurus. Ciri anatomi Lingkar tumbuh: jelas ditandai dengan perbedaan ketebalan dinding serat dan menggepeng pada kayu akhir dibandingkan serat kayu awal yang berdinding tipis. Pembuluh: baur, soliter, dan berganda radial 2(-3); bentuk umumnya oval; persen soliter 67,28%; frekuensi 19/mm2 (agak banyak); panjang 1063 ± 56 (1007-1119) mikron, diameter 136 ± 4 (132-140); bidang perforasi sederhana; ceruk antar pembuluh selang-seling; diameter ceruk antar pembuluh 3,33 mikron (sangat kecil); ceruk antar pembuluh berumbai; ceruk antar pembuluh dengan jari-jari dengan halaman yang jelas; serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh; Parenkim: paratrakea jarang; empat (3-4) sel per untai. Jari-jari: heteroselular; dengan 1 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar 25
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
marginal; lebar 1-3 seri. Serat: serat dengan ceruk sederhana sampai berhalaman sangat kecil; serat bersekat dijumpai; dinding serat tipis sampai tebal; panjang 1872 ± 73 (1799-1945) mikron; diameter lumen 19,77 ± 1,08 (18,69-20,85) mikron; tebal dinding 7,39 ± 0,5 (6,89-7,89) mikron. Inklusi mineral: kristal prismatik dijumpai dalam sel tegak berbilik. Hasil pengukuran rata-rata dimensi serat dan pembuluh kedua jenis kayu dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai rata-rata dimensi serat Serat (mikron)
Pembuluh (mikron)
Jenis Panjang
Ø
Ø lumen
Tebal dinding
Panjang
Ø
P. parviflorum
2727
8,47
10,11
888,5
280
M. pachyclados
1872
28,7 34,5 7
19,77
7,39
1063
136
Berdasarkan nilai pengukuran dimensi serat dapat ditentukan kualitas serat untuk bahan baku pulp dan kertas sebagaimana tertera dalam Tabel 9.
Perbandingan Fleksibilitas (FR), nilai
Koefisien Kekakuan, nilai
100
Perbandingan Muhlstep (MR) (%), nilai
2727
Daya tenun (FP), nilai
P. parviflorum
Perbandingan Runkel (RR), nilai
Jenis
Panjang (mikron), nilai
Tabel 9. Kualitas serat
2,38
95
91
0,29
0,35
25
Total nilai,
100
25
25
25
67
50
0,57
50
0,21
25
300, II
Kelas M. pachyclados
1872
50
0,74
50
54
Total nilai,
50 275, II
Kelas
26
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Keterangan: Pembuluh : baur; soliter ; gandaan radial 2-3 ( tanda panah) Parenkim : konfluen (tanda panah)
a
Keterangan: sel jari-jari heteroseluler : umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal, dengan > 4 jalur sel tegak atau bujur sangkar marjinal (panah) b
Keterangan: lebar sel jarijari besar umumnya 4-10 seri (panah)
c
Gambar 4. Penampang mikroskopis kayu Pentaphalangium parviflorum pada bidang transversal (a), radial (b) dan tangensial (c) , (perbesaran 25 x) 27
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
2
3
Keterangan: kristal prismatik dijumpai dalam parenkim aksial tak berbilik (panah)
1
Gambar 5. Kristal prismatik pada bidang tangensial kayu Pentaphalangium parviflorum (perbesaran 100 x) Keterangan: Ceruk antar pembuluh selangseling bentuk segi banyak/poligonal (panah)
Gambar
6.
Ceruk antar pembuluh pada bidang tangensial Pentaphalangium parviflorum (perbesaran 100 x)
28
kayu
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Keterangan: Pembuluh : baur; soliter ; gandaan radial 2(-3) (tanda panah) Parenkim : paratrakea jarang (panah)
a
Keterangan: Jari-jari heteroseluler : dengan 1 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal (panah)
b
Keterangan: Lebar sel jari-jari lebar 1-3 seri (panah)
c
Gambar 7. Penampang mikroskopis kayu Mastixiodendron pachyclados pada bidang transversal (a), radial (b) dan tangensial (c), (perbesaran 25 x)
29
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Keterangan: Ceruk antar pembuluh selang-seling dan berumbai (panah)
Gambar 8. Ceruk antar pembuluh pada bidang tangensial Mastixiodendron pachyclados (perbesaran 100 x)
Pentaphalangium parviflorum
Mastixiodendron pachyclados
Gambar 9. Penampang lintang makroskopis (perbesaran 10 x) Berdasarkan kriteria ketebalan dinding serat menurut Wheeler et al. (1989), serat kayu kedua jenis ini termasuk tipis sampai tebal. Panjang serat kayu P. parviflorum lebih panjang (2727 mikron) dibanding M. pachyclados (1872 mikron). Panjang serat mempengaruhi kekuatan sobek, semakin pendek serat menyebabkan kekuatan sobek kertas semakin rendah. Serat yang panjang memungkinkan terjadinya ikatan antar serat yang lebih luas, tetapi dengan semakin panjang serat maka
30
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
kertas akan semakin kasar (Casey, 1980 dalam
Nugraheni, 2008).
Begitupun dinding serat kayu P. parviflorum lebih tebal (10,11 mikron) dibanding M. pachyclados (7,39 mikron). Tebal dinding serat juga menentukan sifat-sifat kertas. Dinding serat yang tebal menyebabkan terbentuknya lembaran yang kasar dan tebal, selain itu menyebabkan kekuatan sobek yang tinggi namun kekuatan jebol, kekuatan tarik dan kekuatan lipat relatif rendah (Nugraheni, 2008). Nilai dimensi serat kayu P. parviflorum berturut-turut adalah : tebal dinding serat 10,11 mikron; panjang serat 2727 mikron; perbandingan runkel 2,38; daya tenun 95; perbandingan muhlstep 91%; perbandingan flexibilitas 0,29; dan koefisien kekakuan 0,0,35. Sedangkan nilai dimensi serat kayu M. pachyclados berturut-turut adalah : tebal dinding serat 7,39 mikron; panjang serat 1872 mikron; perbandingan runkel 0,74; daya tenun 54; perbandingan muhlstep 67%; perbandingan flexibilitas 0,57; dan koefisien kekakuan 0,21. Berdasarkan kriteria serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas (Rachman dan Siagian, 1976), serat kayu kedua jenis ini termasuk dalam kelas mutu II. 2. Sifat fisis dan mekanis Hasil pengujian sifat fisis dan sifat mekanis kayu jenis P. parviflorum dan M. pachyclados pada kondisi basah seperti tertera dalam Tabel 10. Hasil pengujian tersebut berupa nilai rata-rata kadar air, berat jenis, penyusutan, keteguhan lentur statis, keteguhan tekan, keteguhan geser, kekerasan, keteguhan pukul, keteguhan belah dan
keteguhan
tarik. Tabel 10. Nilai rata-rata sifat fisis-mekanis Pengujian Sifat fisis 1) Kadar air (%) - Kondisi basah - Kondisi kering udara 2) Penyusutan kondisi basah ke kering udara (%) - radial - tangensial 3) penyusutan kondisi basah ke kering
P. parviflorum rata-rata
M. pachyclados rata-rata
74,55 13,36
65,23 12,86
1,79 5,97
1,73 4,26
31
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
oven (%) 4,37 4,29 - radial - tangensial 11,12 8,23 4) Berat jenis 1,09 - berdasar Bb/Vb 1,02 0,70 - berdasar Bo/Vku 0,64 0,66 - berdasar Bo/Vb 0,58 0,79 - berdasar Bku/Vku 0,73 0,74 - berdasar Bko/Vko 0,68 Sifat mekanis Kondisi basah (P. parviflorum pada KA 74,55%, BJ 1,02 dan M. pachyclados pada KA 65,23%, BJ 1,09) 1) Keteguhan lentur 2 statis (kg/cm ) - MPL 500,72 588,86 - MOE 102.297,37 118.449,74 - MOR 799,69 881,19 2) Keteguhan tekan 2 (kg/cm ) - tegak lurus serat 155,81 117,67 - sejajar serat 443,20 412,04 3) Keteguhan geser 2 (kg/cm ) - radial 89,18 80,01 - tangensial 103,99 86,14 4) Kekerasan 2 (kg/cm ) - ujung 608 534 - sisi 1169 445 5) Keteguhan pukul 3 (kg/dm ) - radial 41,27 32,91 38,76 - tangensial 44,90 6) Keteguhan belah (kg/cm) - radial 95,46 49,64 85,40 - tangensial 70,36 7) Keteguhan tarik 2 (kg/cm ) Tegak lurus serat 27,88 - radial 46,27 44,02 - tangensial 28,69 Sejajar serat 1.142,70 - radial 1.186,16 2.220,39 - tangensial 907,04
Kadar air kayu kondisi segar (basah) P. parviflorum (74,55%) lebih tinggi dibandingkan M. pachyclados (65,23%). Kadar air kondisi kering udara kedua jenis kayu berkisar antara 12-13%, yaitu untuk P. parviflorum sebesar 13,36% dan M. pachyclados sebesar 12,86%. Kisaran kadar air kering udara mendekati kadar air kayu yang dicapai pada kondisi kering udara di sekitar Bogor. Hasil penelitian Kadir (1973) menyebutkan bahwa
32
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
kadar air keseimbangan kayu di Bogor (kering udara) rata-rata sebesar 14,75 %. Kayu P. parviflorum tergolong kayu agak berat (BJ 0,73) dengan penyusutan tangensial yang tinggi (5,97%) sehingga perlu dikeringkan secara hati-hati sebelum digunakan, demikian pula kayu M. pachyclados tergolong kayu berat (BJ 0,79) dengan penyusutan tangensial yang juga tinggi (4,26%). Dinding serat yang tebal mengakibatkan Berat Jenis kedua kayu ini tinggi. Penyusutan kayu merupakan persen perubahan dimensi kayu terhadap kayu aslinya karena penurunan kadar air kayu yang terjadi di bawah titik jenuh serat. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingginya penyusutan kayu baik yang terjadi dalam pohon maupun bagian pohon. Besarnya penyusutan dipengaruhi oleh jenis kayu, umur, arah orientasi dan kadar zat ekstraktif kayu (Brown et al., 1952). Penyusutan kayu pada arah tangensial pada umumnya dua kali lebih besar dibanding penyusutan pada arah radial. Sedangkan penyusutan kayu pada arah longitudinal sangat rendah, sehingga seringkali diabaikan. Oleh karena itu klasifikasi penyusutan
didasarkan
pada
besarnya
penyusutan
tangensial.
Berdasarkan perbandingan penyusutan arah tangensial terhadap arah radial (T/R) kedua jenis kayu ini memiliki nilai lebih dari 2, sehingga stabilisasi dimensi kedua jenis kayu tersebut tergolong rendah. Berdasarkan hubungan antara Berat jenis dan sifat-sifat mekanis, kedua jenis kayu ini tergolong kayu kelas kuat II (Oey, 1990). Berdasarkan persyaratan teknis kayu ((Anonim, 1981), kemungkinan pemanfaatan kedua jenis kayu ini diantaranya sebagai kayu pertukangan dan konstruksi berat. (Anonim, 1981). 3. Sifat pengerjaan/pemesinan Kayu jenis P. parviflorum memiliki kualitas sifat pemesinan yang baik (kualitas II) untuk pemboran dan pembubutan, sedangkan untuk pengetaman, pembentukan, dan pengampelasan memiliki kualitas sangat baik (kualitas I). Kualitas sifat pemesinan jenis kayu M. pachyclados memiliki kualitas pengetaman yang baik (kualitas II), sedangkan untuk
33
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
pembentukan, pengampelasan, pemboran, dan pembubutan memiliki kualitas yang sangat baik (kualitas I). Sifat pengerjaan/pemesinan kayu jenis P. parviflorum dan M. pachyclados secara lengkap disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Rekapitulasi jenis cacat permukaan sifat pemesinan
P. parviflorum
15,5
15,38
16,75
18,08
21,25
Serat patah
0
3,45
Serat terangkat
0
0
0
0
Tanda chip
0
3,45
0
0
Bekas garukan
0
M. pachyclados
M. pachyclados
16,15
Serat berbulu
P. parviflorum
P. parviflorum
18,25
Jenis cacat
Pembubutan
M. pachyclados
M. pachyclados
Pemboran
P. parviflorum
Pengampelasan
M. pachyclados
Pembentukan
P. parviflorum
Pengetaman
15,76
18,75
16,75
0
0
2
0
0
Penghancuran
0
0
Kelicinan
0
0
Penyobekan
0
3,08
Kekasaran Total cacat
18,25
23,05
15,5
15,35
16,75
18,08
21,25
18,84
20,75
16,75
Bebas cacat (%)
81,75
76,95
84,5
84,61
83,25
81,92
78,75
81,16
79,25
83,25
s.baik
s.baik
s.baik
baik
s.baik
baik
s. baik
I
I
Kualitas Kelas permesinan
s.baik I
baik II
s.baik I
I
II
I
II
Keterangan : 0 = tidak ada cacat , = Cacat tidak diuji karena beberapa jenis cacat hanya terdapat pada sifat pemesinan tertentu, misalnya cacat serat patah hanya terjadi pada sifat pengetaman dan pembubutan
34
I
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
4. Sifat keawetan a. Terhadap serangga 1) Uji laboratoris - Ketahanan terhadap serangan rayap tanah Berdasarkan pengurangan berat, kedua jenis kayu termasuk dalam kelas ketahanan II terhadap rayap tanah. Berdasarkan natalitas (jumlah rayap yang hidup) kedua jenis kayu ini juga menunjukkan tahan terhadap rayap tanah. Disamping itu derajat serangan/kerusakan kedua jenis kayu ini juga cukup rendah dengan nilai 40 (kerusakan ringan). - Ketahanan terhadap serangan rayap kayu kering Ketahanan kedua jenis kayu terhadap rayap kayu kering termasuk kelas ketahanan II. Berdasarkan natalitas (jumlah rayap yang hidup) menunjukkan kedua jenis kayu ini juga tahan terhadap rayap kayu kering. Derajat serangan/kerusakan akibat rayap kayu kering terhadap kedua jenis kayu ini juga cukup rendah (kerusakan ringan). Hasil pengujian terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignatus) dan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus) secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 12. dan Tabel 13. Tabel 12. Kelas ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah Jenis kayu P. parviflorum M. pachyclados
Pengurang an berat (%) 6,56
Kelas ketahanan
Natalitas (%)
II
6,55
Derajat serangan (%) 6,6
II
3,4
6,4
5,27
Nilai serangan 40 40
Tabel 13. Kelas ketahanan kayu terhadap serangan rayap kayu kering Jenis kayu
Pengurangan berat (%)
Kelas ketahanan
Natalitas (%)
P. parviflorum M. pachyclados
4,17 3,98
II II
14,8 12
Derajat serangan (%) 11,3 10,9
Nilai serangan 40 40
Hasil pengujian ini menunjukkan kedua jenis kayu tahan terhadap rayap tanah maupun rayap kayu kering. Martawijaya dan Barly (2010) melaporkan kayu yang termasuk kelas I dan II tidak perlu diawetkan. dan yang perlu diawetkan adalah kayu yang termasuk kelas V, IV dan III.
35
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Berdasarkan hal tersebut kedua jenis kayu dapat digunakan dibawah atap dan berhubungan dengan tanah (seperti mebel taman). 2) Uji lapangan (kubur/graveyard) Pengamatan contoh uji kayu yang di tanam (uji kubur) selama kurang lebih 3 bulan memperlihatkan adanya serangan rayap tanah pada salah satu contoh uji kayu P. parviflorum yang tidak di awetkan (kontrol). Pada kayu yang diawetkan dengan bahan pengawet CCB konsentrasi 3% dengan vakum selama 30 menit dan tekan 30 menit tidak terlihat sama sekali serangan rayap tanah (tidak ada serangan). Sedangkan pada semua contoh uji kayu M. pachyclados, baik yang tidak diawetkan (kontrol) maupun yang diawetkan (dengan bahan pengawet dan teknik pengawetan yang sama) tidak terlihat serangan rayap tanah (tidak ada serangan). Data hasil pengamatan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah (uji kubur) Derajat Serangan (%) Dengan Keterangan Pengawet
Jenis Kayu
Kontrol
P. parviflorum
0,0,40,0,0
0,0,0,0,0
0,0, 0, 0,0
0,0,0,0,0
M. pachyclados
a
b
d
0 = Tdk ada serangan 40 = Ada bekas gigitan 70 = serangan ringan sedang 90 = Serangan berat 100 = Hancur > 50 %
c
e
Keterangan: (a) jamur lokasi pengujian, (b) contoh uji yang diawetkan, (c), (d), (e) contoh uji yang b. Terhadap tidak diawetkan (kontrol)
Gambar 10. Kondisi contoh uji saat pemasangan dan kondisi contoh uji b. Terhadap setelah jamur 3 bulan pemasangan
36
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
b. Terhadap jamur Berdasarkan ketahanan atau resistensi kayu terhadap jamur pelapuk (uji laboratories), kayu P. parviflorum termasuk kelompok kayu tidak-tahan (kelas IV), dan M. pachyclados termasuk kelompok kayu agaktahan (kelas III). Kayu P. parviflorum memiliki kelas ketahanan yang sama dengan nilai ketahanan berdasarkan umur pakai kayu yang tidak disebutkan secara spesifik organisme yang menyerangnya (Oey, 1990). Kehilangan berat tertinggi didapatkan pada kayu P. parviflorum yang diumpankan pada biakan jamur Pycnoporus sanguineus. Sedangkan kehilangan berat terendah terjadi pada kayu M. pachyclados yang diumpankan pada biakan jamur Polyporus sp. Kemampuan melapukkan kayu tertingi dijumpai pada jamur S. commune, kemudian diikuti oleh P. sanguineus dan kemampuan terendah terjadi pada jamur Tyromyces palustris. Rata-rata kehilangan berat kayu oleh empat jenis jamur pelapuk tercantum pada Tabel 15. Tabel 15. Persentase kehilangan berat dan kelas resistensinya Jenis kayu
Polyporus sp.
Jamur pelapuk Pycnoporus Schizophyllum sanguineus commune
Tyromyces palustris
Rata-rata
Kb (%)
Kr
Kb (%)
Kr
Kb (%)
Kr
Kb (%)
Kr
Kb (%)
Kr
P. parviflorum
10,61
IV
24,75
IV
24,02
IV
6,74
III
11,12
IV (IIIV)
M. pachyclados
1,59
II
8,09
III
18,71
IV
4,77
II
8,30
III (IIIV)
Keterangan: Kb = kehilangan berat, Kr = kelas resistensi
c. Terhadap penggerek laut Berdasarkan hasil pengamatan setelah 3 bulan pemasangan, terlihat adanya serangan penggerek laut pada contoh uji kedua jenis yang tidak diawetkan. Intensitas serangan penggerek laut pada kayu P. parviflorum sebesar 80-90%, sedangkan pada kayu M. pachyclados sebesar 1-11% (Tabel 16 dan gambar 11-15).
37
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Tabel 16. Ketahanan kayu terhadap serangan penggerek laut Jenis Kayu P. parviflorum
Intensitas serangan (%) 89,85,85,86,87
Keterangan Sangat buruk
M. pachyclados
10,11,2,1,1
Tahan-sangat tahan
Gambar 11. Contoh uji kayu jenis P. parviflorum setelah diuji terhadap penggerek laut
Gambar 12. Contoh uji kayu jenis M. pachyclados setelah diuji terhadap penggerek laut
M.pachyclados
P. parviflorum
Gambar 13. Intensitas serangan penggerek laut pada contoh uji
a Gambar
b 14. Serangan penggerak laut pada contoh uji kayu jenis P. parviflorum yang tidak diawetkan (a) dan yang diawetkan (b) 38
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
a
b
Gambar
15. Serangan penggerak laut pada contoh uji kayu jenis M. pachyclados yang tidak diawetkan (a) dan yang diawetkan (b)
5. Sifat pengeringan Kadar air awal kayu P. parviflorum berkisar antara 33% hingga 39% (rata-rata 37%), sedangkan kayu M. pachyclados berkisar antara 49% hingga 54% (rata-rata 51%). Hasil pengujian sifat pengeringan suhu tinggi kedua jenis kayu tersebut secara lengkap dapat dilihat pada tabel 17. Tabel 17. Data sifat pengeringan suhu tinggi Jenis kayu
P. parviflorum M. pachyclados
Pengelompokan cacat pengeringan* Kadar Retak/ Deformasi Sifat Air awal Pecah pecah (perubahan pengering(%) dalam awal bentuk) an 33 - 39 Agak 3-4 5 2 (37) buruk 49 - 54 Agak 4-5 5 2 (51) buruk
Keterangan :*Rata-rata pengamatan terhadap 5 contohuji; klasifikasi sifat pengeringan berdasarkan cacat terparah. 1 = sangat baik; 2 = baik; 3 = agak baik; 4 = sedang; 5 = agak buruk; 6 = buruk; 7 = sangat buruk
Kayu P. parviflorum dan M. pachyclados termasuk kayu keras. Pada pengeringan suhu tinggi, kedua jenis tersebut mengalami pecah pemukaan dan perubahan bentuk, terutama pada kayu M. pachyclados. Perubahan bentuk kayu P. parviflorum adalah menggelinjang (twist) dan mewajik (diamond), sedangkan kayu M. pachyclados menggelinjang dan memangkuk (cup). Upaya mengurangi atau menekan terjadinya pecah pada kayu perlu kehati-hatian dalam penetapan suhu dan kelembaban pengeringan, terutama pada kayu yang sangat basah. Perubahan bentuk pada kayu dapat terjadi karena
adanya
perbedaan penyusutan pada ketiga arah dimensi kayu atau karena adanya kayu reaksi, kayu tekan, kayu juvenil, dan mata kayu (Simpson,
39
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
1991). Hasil penelitian Basri et al. (2009) menunjukkan kayu dengan rasio penyusutan arah tangensial terhadap arah radial atau T/R lebih dari 2 memiliki tingkat kesulitan pengeringan lebih besar dibandingkan kayu dengan rasio T/R di bawah 2. Berdasarkan tingkat kerusakannya, maka sifat pengeringan kedua jenis tersebut termasuk kelas 5 (agak buruk). Cacat pecah pada bagian dalam kayu dapat ditekan dengan menggunakan suhu rendah (< 50 oC) sebelum kayu mencapai kadar air titik jenuh serat. Beberapa faktor penyebab sifat pengeringan demikian dapat disebabkan karena keduanya memiliki dinding serat yang tebal (10,11 dan 7,39 mikron) dengan BJ yang juga cukup besar (0,73 dan 0,79). Selain itu pada kedua jenis kayu ini terdapat kristal dalam sel jari-jari atau sel aprenkim sehingga menghambat proses pengeluaran air dari dalam kayu (Basri & Rulliaty, 2008). 6. Sifat pengkaratan kayu Pada masa inkubasi 12 minggu sejak pemasangan sekrup, kelunturan warna sekrup logam di permukaan kayu tidak ditemukan pada ke dua jenis kayu tersebut. Proses pengkaratan yang ditandai dengan perubahan warna pada kepala (pentolan) sekrup dari putih menjadi coklat kotor
ditemukan
pada
kayu
M.
pachyclados
dengan
intensitas
pengkaratan sangat sedikit. Pada kayu P. parviflorum belum terlihat adanya proses pengkaratan, dimana intensitas pengkaratan besi yang ditandai oleh pengurangan berat sekrup tersebut nol (belum ada). Hasil pengamatan sifat korosif kayu terhadap sekrup dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Rata-rata pengurangan berat sekrup pada kayu selama 3 bulan pemasangan Pertumbuhan mikroorganisme
Pelunturan karat di permukaan kayu
P. parviflorum
-
-
M. pachyclados
-
-
Jenis kayu
Karat pada kepala sekrup
-
Kehilangan berat sekrup (%)
0,0003 +
0,0002
Keterangan:+=sangat sedikit, ++=sedikit, +++=sedang, ++++=banyak, - = tidak ada
40
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
7. Sifat kimia kayu Berdasarkan data Tabel 19, dapat dilihat bahwa kandungan selulosa tertinggi diperoleh dari kayu jenis P. parviflorum sebesar 49,83%, sedangkan selulosa yang terkandung pada jenis kayu M. pachyclados sebesar 45,78%. Kandungan selulosa pada kayu umumnya berkisar antara 39 – 55 persen. Namun demikian kedua jenis ini memiliki kandungan lignin yang cukup tinggi yaitu 24,58% pada jenis kayu
P.
parviflorum dan 28,76% pada jenis M. pachyclados. Jenis kayu yang baik untuk menghasilkan pulp kertas harus memiliki kadar lignin antara 4-6 persen. Kadar abu dan silika yang tinggi juga dapat menggangu proses pengolahan kayu secara kimia karena menyebabkan adanya endapan dan karat. Tabel 19. Hasil analisa komponen kimia kayu Jenis Analisa Kadar air, % Kadar abu, % Kadar silika, % Kelarutan dlm air dingin, % Kelarutan dlm air panas, % Kelarutan dlm NaOH 1%, % Kelarutan dalam alkohol-benzena (1:2), % Selulosa, % Lignin, % Pentosan, % Nilai kalor, Kal/gr
P. parviflorum 6,73 1,33 0,147 2,89 6,56 18,84 1,52 49,83 24,58 15,47 4,325
M. pachyclados 6,80 0,55 0,071 5,32 9,04 17,52 2,91 45,78 28,76 18,14 4,482
8. Sifat dan pengolahan pulp dan kertas Hasil pengujian sifat dan pengolahan pulp dan kertas menunjukkan bahwa kedua jenis kayu tidak cukup bagus untuk dijadikan kertas berdasarkan pengujian konsumsi alkali, bilangan kappa dan rendemen. Walaupun nilai bilangan kappa yang dihasilkan dari kedua jenis kayu ini <35, akan tetapi nilai bilangan kappa dan rendemen jauh dari kisaran yang diinginkan yaitu bilangan kappa kayu daun yang mudah diputihkan biasanya berkisar 13-15 (Mimms dalam Tjahjono et al., 1993) dan rendemen pulp tidak diputihkan yang dimasak dengan proses kraft biasanya berkisar 40 - 45%. Nilai pengujian kedua jenis tersebut secara lengkap tertera dalam Tabel 20.
41
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Tabel 20. Nilai pengujian proses pengolahan pulp Jenis Kayu P. parviflorum M. pachyclados
Konsumsi Rataalkali rata 12,88 12,88 12,88 13,92 13,92 13,92
Bilangan Kappa 31,97 31,71 31,10 32,53
Ratarata 31,84
Rendemen (%) 29,96
31,82
26,48
Bilangan kappa menunjukkan indikasi sisa lignin dalam pulp. Untuk pembuatan kertas, bilangan kappa yang dikehendaki adalah serendah mungkin, karena terkait dengan kebutuhan bahan pemutih. Bilangan kappa tinggi mengindikasikan kadar lignin dan ekstraktif-nya tinggi. Pulp dengan bilangan kappa tinggi menunjukkan bahwa kondisi proses pulping kurang kuat (konsentrasi kurang tinggi, waktu kurang lama, suhu pemasakan kurang tinggi, atau kombinasi ketiga faktor tersebut kurang keras). Hal demikian dapat disebabkan karena berat jenis kayu yang tinggi, serta memiliki kadar lignin dan ekstraktif yang juga tinggi. Pulp dengan bilangan kappa tinggi (>35) lebih sesuai untuk pembuatan kertas yang tidak diputihkan atau memang dikehendaki kekakuannya tinggi (akibat sisa lignin). Pulp dengan bilangan kappa > 35 apabila ingin diputihkan sebaiknya tidak menggunakan bahan pemutih seperti Cl2 atau CLO2 (di mana kestabilan warna putih pulp tinggi untuk tujuan pembuatan kertas tulis menulis/cetak/penggunaan permanen), tetapi lebih baik diputihkan dengan menggunakan bahan pemutih untuk stabilisasi gugusan warna saja (misal H2O2, Na2O2, Na2SO3, NaBH4) untuk tujuan pembuatan kertas koran pamflet, atau kertas pengumuman yang sifatnya temporer. Konsumsi alkali adalah banyaknya pemakaian bahan kimia pemasakan selama proses pemasakan (dengan sulfat atau soda). Konsumsi alkali yang dikehendaki diusahakan serendah mungkin. Kalau konsumsi alkali tinggi perlu dipertimbangkan melakukan daur ulang bahan kimia. Konsumsi alkali tinggi biasanya disebabkan karena kayu tersebut memiliki berat jenis tinggi, kadar lignin tinggi dan ekstraktif tinggi. Rata-
42
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
rata konsumsi alkali kayu P. parviflorum lebih rendah dari bilangan kappa kayu M. pachyclados. Rendemen yang dikehendaki adalah yang tertinggi. Kandungan selulosa yang tinggi berpotensi memiliki rendemen yang tinggi (dalam hal kondisi pemasakan yang sama). Rata-rata rendemen kayu P. parviflorum lebih tinggi dibandingkan dengan kayu M. pachyclados. Rendemen pulp kimia tersaring (tidak diputihkan) umumnya kurang lebih 40-45%. Kalau rendemen pulp terlalu rendah (<40%) dengan reject yang juga rendah, mengindikasikan bahwa pengolahan pulp (kondisi pemasakan kayu) terlalu
keras,
sehingga
banyak
hemiselulosa) terdegradasi.
fraksi
karbohidrat
(selulosa
&
Sebaliknya kalau rendemen pulp terlalu
rendah (<40%), tetapi rejectnya terlalu tinggi, indikasi pulpnya kurang matang (kondisi pemasakannya kurang keras). Nilai rendemen pulp berpengaruh pada operasi komersial pabrik pulp/kertas, semakin tinggi rendemen tersaring & reject rendah, maka mutu pulp/kertas semakin baik & keuntungan finansial pabrik makin besar.
Namun demikian, untuk
melihat pulp yang baik untuk dibentuk lembaran harus diuji juga sifat fisik lembarannya, tidak cukup hanya melihat data bilangan kappa, konsumsi alkali dan rendemennya saja. 9. Sifat perekatan kayu Hasil pengujian perekatan kayu pada kondisi basah maupun kering menunjukkan bahwa kayu P. parviflorum memiliki daya rekat yang lebih baik dibandingkan kayu M. pachyclados. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata keteguhan tarik sejajar serat lebih tinggi pada kayu P. parviflorum. Data hasil pengujian seperti tertera pada Tabel 21. Tabel 21. Nilai rata-rata keteguhan tarik perekatan kayu Jenis Kayu P. parviflorum M. pachyclados
Basah 0,032 0,029
Keteguhan tarik (Kg/cm2) Kering 1,56 0,75
43
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
10. Sifat keterawetan Hasil rata-rata retensi, penembusan dan kelas keterawetan kedua jenis kayu yang diuji tercantum pada Tabel 22. Tabel 22. Kelas keterawetan bahan pengawet CCB Rata-rata Jenis kayu Kadar Retensi Penembusan Air (%) (g/cm3) (%) P. parviflorum 24,31 11,97 100 M. pachyclados 21,36 6,70 100
Kelas keterawetan I (Mudah) I (Mudah)
Berdasarkan persentase luas bidang yang ditembus oleh bahan pengawet (penembusan/penetrasi), jenis kayu P. parviflorum dan M. pachyclados memiliki kelas keterawetan I (mudah diawetkan). Hal ini terlihat dengan daya penembusan bahan pengawet yang mencapai 100% dengan masing-masing retensi sebesar 11, 97 gr/cm3 untuk P. parviflorum dan 6,70 gr/cm3 untuk M. pachyclados.
44
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Struktur anatomi P. parviflorum di antaranya terdapat pembuluh baur, soliter, dan berganda radial 2-3; parenkim konfluen; kristal prismatik dijumpai dalam sel baring, dan dalam parenkim aksial tak berbilik. Sedangkan struktur anatomi kayu M. pachyclados diantaranya terdapat berupa pembuluh baur, soliter, dan berganda radial 2(-3); parenkim paratrakea jarang; kristal prismatik dijumpai dalam sel tegak berbilik. 2. Uji laboratoris kedua jenis kayu termasuk ke dalam kelas awet II terhadap serangan rayap tanah dan kayu kering. Uji kubur selama 3 bulan memperlihatkan adanya serangan rayap tanah pada salah satu contoh uji kayu P. parviflorum yang tidak di awetkan (kontrol), dan tidak ada serangan pada kayu yang diawetkan. Kayu M. pachyclados, baik yang tidak diawetkan (kontrol) maupun yang diawetkan tidak ada serangan. Selama tiga bulan, intensitas serangan penggerek laut pada kayu P. parviflorum sebesar 80-90%, sedangkan pada kayu M. pachyclados sebesar 1-11%. Ketahanan terhadap jamur pelapuk (uji laboratories), kayu P. parviflorum termasuk kelompok kayu tidak tahan (kelas IV), dan M. pachyclados termasuk kelompok kayu agak tahan (kelas III). Pada masa inkubasi 12 minggu sejak pemasangan sekrup, kelunturan warna sekrup logam di permukaan kayu tidak ditemukan pada ke dua jenis kayu tersebut. 3. Kayu P. parviflorum dan M. pachyclados memiliki kelas keterawetan I (mudah diawetkan). Sifat pengeringan kedua jenis tersebut termasuk kelas 5 (agak buruk). 4. Kandungan selulosa kayu P. parviflorum sebesar 49,83%, sedangkan M. pachyclados sebesar 45,78%. Kedua jenis ini memiliki kandungan lignin yang cukup tinggi yaitu 24,58% (P. parviflorum) dan 28,76% (M. pachyclados). Rendemen pulp 29,96%, konsumsi alkali 12,88 dan bilangan kappa 31,84 pada kayu P. parviflorum, rendemen pulp
45
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
26,48%, konsumsi alkali 13,92 dan bilangan kappa 31,82 pada kayu M. pachyclados. 5. Kayu
P.
parviflorum
dan
M.
pachyclados
memiliki
sifat
pengerjaan/pemesinan baik hingga sangat baik. Kayu P. parviflorum memiliki daya rekat yang lebih baik dibandingkan kayu M. pachyclados. 6. Kayu P. parviflorum tergolong kayu agak berat (BJ 0,73) dan kayu M. pachyclados tergolong berat (BJ 0,79). Keduanya tergolong kayu kelas kuat II, kemungkinan pemanfaatannya untuk kayu pertukangan dan konstruksi berat.
B. Saran 1. Kayu P. parviflorum dan M. pachyclados dapat dimungkinkan sebagai substitusi
jensi-jenis
kayu
komersial
untuk
tujuan
penggunaan
konstruksi berat dan pertukangan. 2. Intensitas serangan penggerek laut selama pengujian tiga bulan pada kayu P. parviflorum sebesar 80-90% (sangat rentan/sangat buruk), sehingga tidak sesuai untuk bahan perkapalan pada bagian yang terkena air laut meskipun memiliki kelas Kuat dan awet II terhadap serangan rayap kayu kering dan rayap tanah. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada anggota tim peneliti dan para teknisi yang telah membantu baik di lapangan maupun pengujian di laboratorium. Kepada pimpinan dan segenap jajaran Balai penelitian Kehutanan Manokwari disampaikan banyak terima kasih atas segala bantuan dalam kelancaran pengambilan dan pengangkutan bahan utama penelitian.
46
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, AJ dan S. Karnasudirdja. 1982. Sifat Pemesinan KayuKayu Indonesia. Laporan No. 160: 23-34. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Abdurrohim, S., Y.I. Mandang, dan U. Sutisna. 2004. Atlas Kayu Indonesia Jilid III. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Anisah LN, Siswamartana S. 2005. Kualitas kayu Jati Plus Perhutani pada kelas umur I di beberapa lokasi penanaman. Di dalam: Siswamartana S, Rosalina U, Wibowo A, editor. Seperempat Abad Pemuliaan Jati Perum Perhutani. Pusat Pengembangan Sumber Daya Hutan Perum Perhutani. Jakarta. hlm 163-182. Anonim, 1976. Mengenal Beberapa Jenis Kayu Irian Jaya. Jilid I. Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I Irian Jaya. 1976. Jayapura. Anonim, 1975. DIN Taschenbuch 60. Benth Verlag GmbH, Frankurt (Main). Anonim, 1981. Mengenal Sifat-Sifat Kayu Indonesia dan Penggunaanya. Kanisius. Yogyakarta. ASTM. 2002. ASTM D 1758-02: Standard Test Method of Evaluating Wood preservatives by Field Tests with Stakes. Annual Book of ASTM Standards, Vol 04.10. ASTM International. United States. --------. 2006a. ASTM D 1106-96 (Reapproved 2001): Standard Test Method for Acid-Insoluble Lignin in Wood. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.10 wood. Section 4. Philadelphia. --------. 2006b. ASTM D 1102-84 (Reapproved 2001): Standar Test Method for Ash in Wood. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.10 wood. Section 4. Philadelphia. --------. 2006c. ASTM D 1107-96 (Reapproved 2001): Standar Test Method for Ethanol-Toluene Solubility of Wood. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.10 wood. Section 4. Philadelphia. --------. 2006d. ASTM D 1110-84 (Reapproved 2001): Standar Test Method for Water Solubility of Wood. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.10 wood. Section 4. Philadelphia. --------. 2006e. ASTM D 1109-84 (Reapproved 2001): Standar Test Method for 1% Sodium Hydroxide Solubility of Wood. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.10 wood. Section 4. Philadelphia. --------. 2007. ASTM D 143-94 (Reapproved 2007). Standard Test Methods for Small Clear Specimens of Timber. Annual book of ASTM Standard. Section 4: Construction Volume 04.10 Wood. ASTM International, 100 Barr Harbor Drive. United States. Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (Bapesdahl) Pemerintah Propinsi Papua. 2011. Potensi kehutanan. http://www.bapesdalh.papua.go.id. (diakses tgl. 25/1/2014). Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-7207-2006: Uji Ketahanan Kayu dan Produk Kayu Terhadap Organisme Perusak Kayu.
47
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta. Barly. 2007. Moratorium Penebangan Kayu. Opini. Seminar Intern. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan. Basri, E. & Rulliaty, S. 2008. Pengaruh sifat fisik dan anatomi terhadap sifat pengeringan enam jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26 (3). Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Basri, E., Saefudin, S. Rulliaty, K. Kuniarti. 2009. Dring Conditions for 11 Potential Ramin Substitutes. Journal of Trofical Forest Science 21 (4): 328-335. Forest Research Institute Malaysia. BPKH Wilayah X Jayapura. 2009. Statistik Kehutanan Provinsi Papua. Kementerian Kehutanan Indonesia. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.http://www.dephut.go.id/uploads/files/Statistik_Papua_2 008.pdf (diakses tgl. 28/10/2014). BPSDALH Provinsi Papua. 2012. SLHD Provinsi Papua. http://bapesdahl.papua.go.id/page/66/slhd-provinsi-papua.htm. (diakses tgl. 28/10/2014). Brown, H.P., A.J.Panshin and C.C.Forsaith. 1952. Textbook of Wood Technology. Vol. II. Mc Graw-Hill Book Co. New York. Den Berger, L.G. 1923. De grondslagen voor de classificatie van Ned. Indische Timmerhout soorten. Tectona vol.16. Djarwanto. 2010. Sifat pengkaratan besi pada sebelas jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 28, No. 2. inpress. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Kadir, K. 1973. Kadar air kayu kering udara di Bogor. Laporan LPHH No. 12. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Kartasujana I. dan A. Martawijaya A. 1977. Ciri umum, sifat dan kegunaan jenis-jenis kayu Indonesia. Publikasi khusus No. 41. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Kementerian kehutanan Republik Indonesia. 2013. Profil kehutanan ProvinsiPapua 2013. http://www.dephut.go.id/index.php/news/result (diakses tgl 27/10/2014). --------.2003. Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 163/KptsII/2003. Pengelompokan jenis kayu sebagai dasar pegenaan iuran kehutanan. Martawijaya. A. dan Barly. 2010. Pedoman pengawetan kayu untuk mengatasi jamur dan rayap pada bangunan rumah dan gedung. Buku. IPB Press. Bogor. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K.Kadir, S.A. Prawira. 2005a. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. --------.2005b. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Martawijaya, A.1990. Sifat dasar beberapa jenis kayu yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman. Prosiding Diskusi Hutan Tanaman Industri. Jakarta, 13-14 Maret 1990. pp. 268-296. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.
48
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Martawijaya, A. 1975. Pengujian laboratoris mengenai keawetan kayu Indonesia terhadap jamur. Kehutanan Indonesia. Hal.: 775-777. Direktorat Jenderal Kehutanan. Jakarta. Mandang, Y.I. dan I.K.N. Pandit. 2002. Seri Manual Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. PROSEA. Bogor. Metcalfe, C.R. and I. Chalk. 1950. Anatomy of the Dicotyledons. 2nd . Vol.II. Wood structure and conclusion of the general introduction. Clarendon Press. Oxford. Nugraheni, N. 2008. Keragaman komponen kimia dan dimensi serat kayu reaksi melinjo (Gnetum gnemon LIIN). Skrisi. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Nordik Wood Preservation Council. 1973. Standard for testing of wood preservatives, Marine test: A test against marine wood boring organisms in sea water. Nordik Wood Preservation Council (NWPC), Norsk Treteknisk Institute. Oslo. Oey, D.S. 1990. Berat Jenis dari Jenis-jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek. PENGUMUMAN. Nr.13. Terjemahan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Pandit I.K.N. 2006. Variabilitas Sifat Dasar Kayu. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Panshin AJ, de Zeeuw C, Brown HP. 1964. Textbook of Wood Technology. Volume I: Structure, identification, uses, and properties of the commercial woods of the United States. McGrawHill Book Company. New York. Priasukmana, S. dan T. Silitonga. 1972. Dimensi Serat Beberapa Jenis Kayu Jawa Barat. Laporan No. 2. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Rachman A.N dan R.M. Siagian. 1976. Dimensi Serat Jenis Kayu Indonesia Bagian III. Laporan LPHH No. 75. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Savidge RA. 2003. Three growth and wood quality. Di dalam: Barnett JR, Jeronimidis G, editor. Wood Quality and Its Biological Basis. Blackwell Publishing (Australia) dan CRC Press (Canada). hlm 126. Sass, J.E. 1961. Botanical Microtechnique. The IOWA State University Press. Smith, D.N.R., N. Tamblyn. 1970. Proposes Scheme for International Standart Test for The Resistance of Timber to Impregnation with Preservatives. Ministry of Technology, Forest Products Research Laboratory. London, England. Simpson W.T. 1991. Drykiln Operator’s Manual: Drying defects. U.S. Department of Agriculture, Forest Prod. Laboratory. Agric. Handbook 188, Madison, Wisconsin. Pp.179-2005. Suprapti, S., Djarwanto dan Hudiansyah. 2011. Ketahanan lima jenis kayu asal Lengkong Sukabumi terhadap beberapa jamur pelapuk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29 (3): 248-258. Pusat Penelitian dan
49
Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014
Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. TAPPI. 1992. Tappi Test Method for Pentosan 1992-1993. Tappi Press. Atlanta, Georgia. Terazawa, S. 1965. An easy methods for the determination of wood drying schedule. Wood Industry 20 (5), Wood Technological Association of Japan. Tesoro, F. O. 1989. Methodology for Project 8 on Corypha and Livistona. FPRDI, College, Laguna 4031. Philippines. Tjahjono J dan Sudarmin. 1993. Pengaruh xilanase pada perlakuan awal pemutihan terhadap kualitas pulp. Berita Selulosa 43(2) : 62-68. Turner, R.D. 1966. A Survey and Illustrated Catalogue of The Teredinidae. Harvard University, Cambridge, Mass. --------.1971. Identification of marine wood-boring mollusks. Marine borers, fungi and fouling organisms of wood. Organisation for Economics Co-operation and Development, Paris. Wheeler, E.A., P. Baas, and Gasson P.E. 1989. IAWA List of Microscopic Features for Hardwood Identification. IAWA Bulletin n.s. 10 (3):219-332. Leiden, Netherland. Wise, EL. 1944. Wood Chemistry. Renhold Publishing Corporation. 330 West Forty Second ST. New York.
50