SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN KAYU KALIMANTAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Dr. Djarwanto, M.Si Listya Mustika Dewi, S.Hut. Drs. Muhammad Muslich, M.Sc. Dra. Jasni, M.Si. Dra. Sihati Suprapti Prof. Dr. Gustan Pari, MS. Abdurachman, ST. Dian Anggraini Indrawan, S. Hut., MM. Ir. Efrida Basri, M. Sc.
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BOGOR, DESEMBER 2014
LEMBAR PENGESAHAN
SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN KAYU KALIMANTAN
Bogor, Desember 2014 Mengetahui
Ketua Tim Pelaksana,
Ketua Kelti,
Dr. Krisdianto, S.Hut., MSc. NIP. 19731001 199803 1 002
Dr.Drs. Djarwanto, MSi. NIP. 19590529 198003 1 002
Menyetujui
Mengesahkan
Koordinator,
Kepala Pusat,
Drs. Muhammad Muslich, M.Sc. NIP. 19500808 198203 1 003
Dr. Ir. Rufi’ie, MSc. NIP. 19601207 198703 1 005
ii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN i DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi Abstrak ............................................................................................................. viii BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................... 1 B. Tujuan dan Sasaran ......................................................................................... 2 C. Luaran ............................................................................................................ 2 D. Hasil yang Telah Dicapai ................................................................................... 2 E. Ruang Lingkup …………………………………………………………………….3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 5 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN................................................................. 7 A. Lokasi Penelitian ............................................................................................ 7 A. Bahan dan Peralatan ...................................................................................... 7 B. Prosedur Kerja................................................................................................ 7 C. Analisa Data ................................................................................................. 21 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………… ,,, 22 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………,,,41 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 42 LAMPIRAN........................................................................................................ 44
iii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Hasil penelitian sifat dasar kayu tahun 2009 s.d 2013
2
Tabel 2. Kriteria kualitas serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas
11
Tabel 3. Spesifikasi mesin penguji sifat pemesinan
13
Tabel 4. Klasifikasi sifat pemesinan
14
Tabel 5. Penilaian derajat serangan rayap
14
Tabel 6. Klasifikasi ketahanan kayu tehadap rayap kayu kering berdasarkan penurunan berat
15
Tabel 7. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah berdasarkan penurunan berat
15
Tabel 6. Klasifikasi ketahanan kayu tehadap rayap kayu kering berdasarkan penurunan berat
15
Tabel 7. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah berdasarkan penurunan berat
15
Tabel 8. Kelas keawetan kayu berdasarkan umur rata-rata pemakaian
16
Tabel 9. Kelas ketahanan kayu terhadap jamur
17
Tabel 10. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap penggerek kayu di laut
17
Tabel 11. Klasifikasi keterawetan kayu
18
Tabel 12. Klasifikasi dan kualitas pengeringan berdasarkan persentase cacat pecah ujung dan atau permukaan contoh uji kayu
19
Tabel 13. Klasifikasi dan kualitas pengeringan berdasarkan perbedaan 2 ukuran tebal (cacat deformasi) pada arah radial contoh uji kayu
19
Tabel 14. Klasifikasi dan kualitas pengeringan berdasarkan jumlah cacat pecah pada bagian dalam contoh uji kayu
19
Tabel 15. Jenis kayu asal Kalimanatan Timur yang diteliti tahun 2014
22
Tabel 16. Daftar ciri makroskopis dan mikroskopis kayu
27
Tabel 17. Rata-rata dimensi serat 2 jenis kayu
27
Tabel 18. Nilai turunan dimensi dan kualitas serat
28
Tabel 19. Nilai rata-rata sifat fisis kayu yang diteliti
28
Tabel 20. Nilai rata-rata hasil pengujian sifat mekanis kayu meranti merah dan meranti putih yang diteliti
30
iv
Tabel 21. Rata-rata pengurangan berat, kelas ketahanan, jumlah rayap tanah yang hidup (Natalitas) dan derajat serangan pada dua jenis kayu
31
Tabel 22. Rata-rata pengurangan berat, kelas ketahanan, jumlah rayap kayu kering yang hidup (Natalitas) dan derajat serangan pada dua jenis kayu
32
Tabel 23. Persentase kehilangan berat kayu Jawa dan kelas resistensinya
33
Tabel 24. Intensitas serangan penggerek kayu di laut terhadap 2 jenis kayu
33
Tabel 25. Kelas keterawetan bahan pengawet CCB terhadap dua jenis kayu
34
Tabel 26. Sifat pengeringan suhu tinggi dua jenis kayu Tabel 27. Jenis kayu Kalimantan Timur yang diteliti terhadap sifat pengkaratan
36
Tabel 28. Rata-rata pengurangan berat sekrup pada kayu yang diteliti TH 2013 selama 12 bulan pemasangan
37
Tabel 29. Rata-rata pengurangan berat sekrup pada kayu Parashorea selama 12 minggu pemasangan
37
Tabel 30. Hasil analisis kimia kayu dari Kalimantan 2014 [%]
38
Tabel 31. Konsumsi alkali & bilangan kappa sifat dasar kayu kalimantan 2014
40
v
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Bagian-bagian pohon untuk sampel penelitian. ....................... 9 Gambar 2. Parashorea tomentella (Sym.) Meijer . ..................................... 9 Gambar 3. Struktur anatomi Parashorea tomentella. ................................. 9 Gambar 4. Parashorea smythiesii Wyatt.Sm ex P.S. Ashton. . .................. 9 Gambar 5. Struktur anatomi Parashorea smythiesii................................. 26
vi
Abstrak Hutan
Kalimantan
merupakan
pusat
keanekaragaman
jenis-jenis
tumbuhan. Jenis tumbuhan yang mendominasi hutan Kalimantan adalah jenis dari suku Dipterocarpaceae. Jenis kayu dari suku Dipterocarpaceae merupakan kayu komersial yang dalam kegiatan eksploitasinya pada umumnya hanya berdasarkan pada nama kelompok saja seperti meranti merah, meranti kuning dan meranti putih. Padahal antar jenis memungkinkan adanya sifat yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui sifat dasar kayu sehingga pemanfaatannya lebih efektif dan efisien. Selain itu, informasi yang diperoleh dapat dijadikan rekomendasi untuk budidaya jenis untuk tujuan sesuai sifat dan kegunaannya. Sifat dasar kayu yang diteliti meliputi sifat anatomi dan dimensi serat;
fisis mekanis; kimia; keawetan kayu terhadap
serangga, keawetan kayu terhadap jamur, keawetan kayu terhadap penggerek laut; keterawetan; pemesinan; pengkaratan dan pulp kertas dari 2 jenis kayu Kalimantan. Kata kunci : Kalimantan, Dipterocarpaceae, sifat dasar kayu
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan merupakan pusat keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna. Untuk jenis flora, vegetasi hutan di Kalimantan didominasi oleh suku Dipterocarpaceae. Dipterocarpaceae merupakan unsur utama dalam hutan hujan tropis yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Suku Dipterocarpaceae di Indonesia terdiri dari 9 marga dan sekitar 386 jenis. Kesembilan marga tersebut adalah Anisoptera, Cotylelobium, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Parashorea, Shorea, Upuna dan Vatica. Kalimantan mempunyai jumlah terbanyak yaitu terdiri dari 9 marga, 268 jenis, dan 27 anak jenis yang tercatat dalam Newman et al. (1999a). Sumatera secara keseluruhan memiliki 8 marga dan 109 jenis (Newman et al., 1999b). Pulau Jawa dan Nusa Tenggara memiliki 5 marga dan 10 jenis, Sulawesi mempunyai 4 marga dan 7 jenis, Maluku memiliki 4 marga dan 7 jenis dan Nugini memiliki 3 marga dan 15 jenis (Newman et al., 1999c). Jenis-jenis dalam suku Dipterocarpaceae sebagian besar merupakan pohon penghasil kayu komersil tinggi yang digunakan sebagai bahan baku industri kayu dan non kayu. Dalam kegiatan eksploitasi pada umumnya hanya berdasarkan pada nama kelompok perdagangan saja yaitu meranti merah, meranti putih, meranti kuning, balau, dan lain-lain. Variasi jenis yang sangat banyak menyebabkan identifikasi sampai tingkat jenis sulit dilakukan di lapangan. Hal ini menyebabkan jenis-jenis yang kurang dikenal ikut tereksploitasi sehingga banyak jenis Dipterocapaceae yang terancam punah dan belum diketahui sifat-sifat dasar kayunya serta masuk dalam Red List IUCN. Data yang tercatat saat ini, masih sebanyak 140 jenis belum diteliti sifat dasar kayunya secara lengkap. Diantaranya terdapat 5 jenis yang mempunyai beberapa sub species yang belum diteliti. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian sifat dasar kayu untuk mengetahui karakteristik masingmasing jenis sehingga dapat disusun petunjuk penggunaan yang tepat dan pedoman pengenalan jenisnya.
1
Penelitian sifat dasar kayu dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kekhawatiran adanya kehilangan jenis yang sudah terancam punah namun belum diketahui sifat dasarnya. Selain itu, diketahuinya potensi kegunaan suatu jenis kayu dapat dijadikan dasar atau rekomendasi untuk dikembangkannya budidaya jenis tersebut dalam skala besar. B. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan Menyediakan informasi sifat dasar dan kemungkinan penggunaan 2 jenis kayu Kalimantan sebagai dasar diversifikasi penggunaan bahan baku untuk berbagai tujuan pemakaian. 2. Sasaran Sasaran penelitian adalah tersedianya informasi ilmiah sifat dasar dan kegunaan 2 jenis kayu Kalimantan. C. Luaran 1. Laporan hasil penelitian yang berisi data dan informasi tentang sifat dasar 2 jenis kayu Kalimantan dan kemungkinan penggunaannya. 2. Draft karya tulis ilmiah. D. Hasil yang Telah Dicapai Hasil yang telah dicapai dari penelitian sifat dasar kayu jenis Dipterocapaceae tahun 2010 s.d. 2013 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil penelitian sifat dasar kayu tahun 2009 s.d 2013 Hasil Penelitian Tahun
Jenis Sifat Dasar
Dipterocarpus stellatus
2010
D. glabrigemmatus
D. pachyphyllus
Kualitas serat I; Kelas kuat II-III; Kelas Ketahanan I terhadap rayap tanah dan rayap kayu kering; Kelas Ketahanan I terhadap penggerek laut; keterawetan sedang (agak mudah diawetkan); sifat pemesinan (pengetaman, pembentukan, pengampelasan, pemboran) sangat baik; sifat pembubutan baik; sulit dikeringkan Kualitas serat I; Kelas kuat II-III; Kelas Ketahanan I terhadap rayap tanah dan rayap kayu kering; Kelas Ketahanan I terhadap penggerek laut; keterawetan rendah (sulit diawetkan); sifat pemesinan (pengetaman, pembentukan, pengampelasan, pemboran) sangat baik; sifat pembubutan baik; sulit dikeringkan Kualitas serat I; Kelas kuat II; Kelas Ketahanan I terhadap rayap tanah dan rayap kayu kering; Kelas Ketahanan II terhadap penggerek laut; keterawetan sedang (agak mudah diawetkan); sifat pemesinan (pengetaman, pembentukan, pengampelasan, pemboran, pembubutan) sangat baik; sulit dikeringkan
2
Rekomend asi Kegunaan KB, PK, Pn, Dm, PD, LL, L, M, U, SP, J/B, BL KB, PK, Pn, Dm, PD, LL, L, M, U, SP, J/B, BL KB, PK, Pn, Dm, PD, LL, L, M, U, SP, J/B, BL
Shorea hopeifolia
Vatica nitens
V. umbonata 2011 Hopea nervosa
S. almon 2012 S. agamii
Hopea rudiformis 2013
S. parvistipulata ssp. albifolia
Kualitas serat I, kelas kuat IV, Kelas Ketahanan V terhadap rayap tanah dan rayap kayu kering, Kelas Ketahanan V terhadap penggerek laut, mudah diawetkan; sifat pemesinan (pengetaman, pengampelasan, pembubutan) sangat baik; sifat pembentukan dan pemboran baik. Kualitas serat I, Kelas Kuat I-II, Kelas Ketahanan I terhadap rayap tanah dan rayap kayu kering, Kelas Ketahanan II; terhadap penggerek laut, keterawetan sedang (agak mudah diawetkan); sifat pemesinan (pengetaman, pembentukan, pengampelasan) sangat baik, sifat pemboran dan pembubutan baik. Kelas kuat III; sifat pengampelasan sangat baik; sifat pengetaman; pembentukan, pemboran dan pembubutan baik; kelas awet V terhadap rayap tanah; rayap kayu kering dan penggerek laut; mudah diawetkan; mudah dikeringkan Kelas kuat IV; sifat pemesinan baik; kelas awet V terhadap rayap tanah, RKK dan penggerek laut; mudah diawetkan; mudah dikeringkan Kualitas serat I, kelas kuat III, sifat pengetaman dan pemboran sangat baik; kelas ketahan I terhadap rayap kayu kering; kelas ketahanan V terhadap rayap tanah, sukar diawetkan, Kualitas serat I; kelas kuat II; sifat pengetaman dan pemboran sangat baik; kelas ketahan I terhadap rayap kayu kering; kelas ketahanan V terhadap rayap tanah; cukup mudah diawetkan Kualitas serat II, kelas kuat II, sifat pemesinan baik, kelas ketahanan II terhadap rayap kayu kering, kelas ketahanan IV terhadap rayap tanah dan jamur, keawetan kayu di lapangan sangat buruk; kelas ketahanan IV-V terhadap penggerek laut; mudah diawetkan; sifat pengeringan sedang; kadar selulosa dan kalor tinggi Kualitas serat II; kelas kuat III-IV; sifat pengetaman dan pengampelasan baik; sifat pembentukan, pemboran dan pembubutan sedang; kelas ketahanan III terhadap rayap kayu kering; kelas ketahanan IV terhadap rayap tanah dan jamur; keawetan kayu di lapangan buruk; kelas ketahanan V terhadap penggerek laut; mudah diawetkan; sifat pengeringan buruk; kadar selulosa, nilai kalor, silika tinggi
KB, PK, KL, PP, PS, Pn, Dm, PD, LL, L, M, U, SP, J/B KB, PK, PS, Pn, Dm, PD, LL, L, M, U, SP, J/B, BL KS, Pn, Dm, PD, LL, L, M, U, SP, J/B KR, Pn, Dm, PD, LL, L, M, U, SP, J/B KS, PK, Pn, Dm, PD, LL, L, SP, Mb KB, PK, Pn, Dm, PD, LL, L, SP, Mb KB, PK, Pn, Dm, PD, L, LL, M, U, SP, J/B, Mb KS, PK, Pn, Dm, PD, L, LL, Mb
Keterangan: K: Konstruksi Berat, KS: Konstruksi sedang, KR: Konstruksi ringan, PK: Pulp dan Kertas, KL: kayu lapis, PP: Papan Partikel, PS: Papan serat, Pn: Panel, Dm: Daun meja, PD: Pelapis dinding, LL: Langit-langit, L: Lantai, M: Moulding, Mb: Mebel U: Ukiran, SP: Sambungan pasak, J/B: Jeruji/bubutan, BL: Bangunan Laut
E. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian terdiri dari penelitian sifat dasar dan kegunaan kayu Kalimantan yang belum diteliti. Area geografi penelitian di pulau Kalimantan. Aspek yang diteliti meliputi: 1. Struktur anatomi dan dimensi serat kayu 2. Sifat fisis dan mekanis kayu 3. Sifat keawetan kayu terhadap serangga 4. Sifat keawetan kayu terhadap jamur 5. Sifat keawetan kayu terhadap penggerek di laut 3
6. Sifat keterawetan kayu yaitu mudah tidaknya kayu ditembus bahan pengawet 7. Sifat pengeringan kayu 8. Sifat pengkaratan kayu 9. Sifat kimia dan nilai kalor 10. Sifat dan pengolahan pulp dan kertas
Dalam dokumen Rencana Penelitian Integratif (RPI), ruang lingkup penelitian mencakup juga pengujian sifat venir dan kayu lapis. Namun, dalam kegiatan penelitian Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Kalimantan tidak dapat dilakukan karena kendala keterbatasan sampel dan pengangkutan, Selain itu, Sifat Pengerjaan hanya sebagian saja dipilih aspek yang benarbenar penting saja, karena berdasarkan kajian rapat faktor peralatan dan mesin yang sangat menentukan hasil. Jadi kualitas pengerjaan selain dipengaruhi operator ditentukan oleh kualitas mesin dan ketajaman pisau.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kayu sangat penting di negara-negara Asia Tenggara dalam tahap pembangunan ekonomi negara. Malaysia dan Indonesia memimpin negaranegara pengekspor
kayu-kayu tropis dari tahun 1988-1992. Dari tahun
1988-1992, nilai kayu yang diekspor meningkat karena adanya pungutan atau pajak. Apalagi beberapa negara tropis melarang ekspor kayu non olahan untuk mendukung industri pengolahan kayu domestik. Hal ini membuat harga kayu yang diekspor meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dan ekspor kayu gergajian, veneer, dan kayu lapis menjadi sumber devisa penting (Soerianegara dan Lemmens, 1994). Jenis-jenis kayu yang berasal dari hutan alam dan biasa dipakai untuk keperluan bahan bangunan, mebel, barang kerajinan, kayu lapis serta bahan industri pulp dan kertas makin terbatas dan tidak seimbang dengan kebutuhan yang makin meningkat. Untuk memenuhi keperluan tersebut harus digunakan jenis kayu lain yang mudah didapat, seperti jenis kayu kurang dikenal dari hutan alam dan tanaman masyarakat, hasil pemuliaan yang sudah dibudidayakan dan jenis kayu komersial yang sudah ditanam. Kayu hasil budidaya dan pemuliaan perlu diketahui sifat dasar dan pemanfaatannya yang lebih luas karena kemungkinan sifat dasarnya berubah akibat umur pohon, lingkungan dan tempat tumbuh (Haygreen and Bowyer, 1982). Sifat dasar sangat penting diketahui sebelum suatu jenis kayu digunakan untuk suatu tujuan, karena setiap jenis kayu memiliki sifat yang berbeda dan setiap penggunaannya membutuhkan persyaratan tertentu (Martawijaya dan Kartasudjana, 1977). Sejak tahun 1915, untuk mengenal jenis kayu yang terdapat di Indonesia telah dilakukan pengumpulan material herbarium dan contoh kayu yang autentik dari berbagai petak contoh yang sengaja dibuat di beberapa wilayah hutan tertentu. Di samping itu untuk maksud yang sama dilakukan pula berbagai ekspedisi ke seluruh pelosok tanah air, dan kegiatan ini masih juga terus dilakukan sampai sekarang. Berdasarkan material herbarium dan contoh kayu autentik yang telah terkumpul sampai sekarang di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, diperkirakan di seluruh 5
Indonesia terdapat sekitar 4.000 jenis kayu dengan diameter pohon 40 cm ke atas. Untuk suku Dipterocarpaceae di Indonesia terdiri dari 9 marga dan sekitar 386 jenis. Kesembilan marga tersebut yaitu Anisoptera, Cotylelobium, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Parashorea, Shorea, Upuna dan Vatica. Dipterocarpaceae merupakan unsur utama dalam hutan hujan tropis yang tersebar di Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Pulau Sumatera secara keseluruhan memiliki 8 marga dan 109 jenis (Newman et al., 1999a). Kalimantan memiliki 9 marga dan 268 jenis (Newman et al., 1999b), Jawa dan Nusa Tenggara memiliki 5 marga dan 10 jenis, Sulawesi mempunyai 4 marga dan 7 jenis, Maluku memiliki 4 marga dan 7 jenis dan Nugini memiliki 3 marga dan 15 jenis (Newman et al., 1999c). Jenis-jenis Dipterocarpaceae yang telah diteliti sifat dasar dan kegunaannya ditulis dalam Atlas Kayu Indonesia Jilid I (Martawijaya et al., 2005a) dan Atlas Kayu Jilid II (Martawijaya et al., 2005b). Genus parashorea terdaftar dalam CITES sebagai tumbuhan langka keberadaannya (Purwaningsih, 2004). Sehingga dengan diketahuinya sifat dasar dan kegunaan kayu dari jenis parashorea diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan penaganannya lebih lanjut.
6
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian Contoh kayu diambil dari kawasan hutan alam yang dikelola oleh PT. Hutansambang Labanan Lestari yaitu di Desa Labanan Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Pelaksanaan
seluruh
aspek
kegiatan
penelitian
dilakukan
di
Laboratorium ligkup Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. B. Bahan dan Peralatan Bahan utama penelitian yang digunakan adalah 2 jenis kayu Kalimantan yang belum diteliti sifat dasarnya. Jenis kayu ditentukan pada saat survey lapangan dengan bentuan ahli botani. Hal ini disebabkan karena informasi mengenai jenis kayu Dipterocarpaceae yang kurang dikenal sangat terbatas. Berdasarkan informasi di lapangan, data yang ada pada umumnya hanya berdasarkan pada nama kelompok perdagangan dan nama daerah. Contoh uji yang digunakan adalah bagian batang bebas cabang. Sebelum dilakukan penebangan dilakukan pengenalan pohon dengan cara mengambil daunnya untuk diidentifikasi. Untuk memperoleh daun tersebut harus dilakukan dengan menggunakan ketapel karena pohonnya cukup tinggi dan sulit dipanjat. Pohon pertama yang berhasil diidentifikasi yaitu Parashorea smytiesii Wyatt. Sm ex P.S. Aston. yang terletak pada 01 o85’06,1’’ bujur Timur dan 117o04”56,7’’ lintang Utara. Diameter batang mencapai 52 cm dan panjang batang bebas cabang mencapai 18 m. Pohon kedua yaitu Parashorea parvifolia Wyatt. Sm ex P.S. Aston. yang didapatkan tidak jauh dari lokasi pohon pertama yang terletak pada 117°04’55,3”. Diameter pohon mencapai 43 cm dan panjang batang bebas cabang 15,35 m. Bahan kimia yang dipakai yaitu alkohol, benzene, asam asetat, toluene, karboxylol/xylene, sulfuric acid, Na2S, bacto agar, malt extract, hidrogen peroksida, asam sulfat, bahan pengawet CCB, curcumin, dan lainlain. Peralatan yang digunakan antara lain GPS, gergaji potong, gergaji 7
belah, timbangan, autoklaf, oven, kaliper, mikrotom, mikroskop, cutter, kamera, vakum tekan, alat pengering, salinometer dan mesin UTM. Sedangkan bahan gelas kaca yang diperlukan antara lain object glass, cover glass, tabung reaksi, botol timbang, pipet, jampot, loupe, gelas ukur, piala kolle, beaker glass, soxhlet, labu didih, cawan porselen dan lain-lain. C. Prosedur Kerja Kegiatan yang dilakukan pada penelitian sifat dasar kayu ini yaitu kegiatan lapangan dan laboratorium. Kegiatan lapangan terdiri dari survey, identifikasi jenis, pengamatan morfologi pohon, pengambilan sampel pohon, pembagian batang, penyaradan, dan pengangkutan kayu yang akan diteliti. Kegiatan laboratorium meliputi pembuatan, pengukuran dan pengujian contoh uji. 1. Identifikasi Jenis dan Pengamatan Morfologi Pohon Jenis pohon target diidentifikasi melalui pengambilan herbarium sesuai metode eksploratif yang kemudian diidentifikasi berdasarkan kunci identifikasi dan koleksi herbarium di laboratorium yang relevan. Pengamatan ciri morfologi pohon meliputi bentuk batang, tinggi total, tinggi bebas cabang, diameter batang, bentuk tajuk, permukaan kulit, sistem percabangan, daun, perbungaan, buah, dan biji. 2. Pembuatan Contoh Uji Pohon yang dipilih adalah pohon yang berdiameter ± 30 cm, berbentuk lurus, tidak bengkok, tidak cacat, dan dalam keadaan sehat. Penebangan dilakukan pada bagian pangkal pohon atau 20 cm di atas banir dengan menggunakan chain saw. Setelah ditebang selanjutnya diambil sampel batang pohon seperti terlihat pada Gambar 1. Contoh uji untuk pengujian sifat fisis mekanis, anatomi dan kimia kayu diambil pada bagian pangkal, tengah dan ujung batang bebas cabang agar hasilnya mewakili.
Pengujian sifat mekanis, bagian batang yang diambil
mengikuti pola salib sumbu seperti pada Gambar 1 berupa balok berukuran 200 cm x 5 cm x 5 cm, sedangkan untuk sampel pengujian sifat anatomi dan kimia kayu diambil dalam bentuk lempengan dengan ketebalan 10 cm. Untuk membedakan antar jenis dan bagian, pada setiap pohon diberi tanda
8
(kode). Jenis pohon diberi lambang huruf sesuai namanya. Untuk bagian batang diberi lambang huruf A (pangkal), B (tengah), dan C (ujung).
C C1
→ 10 cm
→ Disk Ujung
→ 200 cm
C2 C3 C4 B3 B1 B B2
→ 200 cm → 10 cm
→ Disk Tengah
→ 200 cm
B4 A4 A3 A2 A1 A
→ 200 cm → 10 cm
→ Disk Pangkal
Keterangan: A : Bagian Pangkal B : Bagian Tengah C : Bagian Ujung
Gambar 1. Bagian-bagian pohon untuk sampel penelitian
3. Pengujian Sifat Dasar Kayu a. Pengenalan Struktur Anatomi dan Dimensi Serat Pengenalan ciri jenis kayu dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil yang diperoleh dikombinasikan menjadi satu kesatuan ciri pengenalan suatu jenis kayu. Pengamatan ciri 9
makroskopis dilakukan langsung pada contoh uji yang telah diketam. Ciri makroskopis atau ciri umum yang diamati dengan mata telanjang atau dengan bantuan loup dengan perbesaran 5-10 kali meliputi warna, corak, tekstur, arah serat, kesan raba, kilap, kekerasan, bau, dan ciri khusus lainnya. Pengamatan ciri mikroskopis dilakukan pada sayatan mikrotom dan preparat
maserasi
yang
dipersiapkan
secara
khusus.
Pengamatan
mikroskopis dilakukan tiga tahap yaitu pembuatan preparat, pengamatan, pengolahan, dan analisa data. Untuk pembuatan preparat sayatan, sampel diambil dari lempengan bagian pangkal, tengah, dan
ujung batang. Dari setiap bagian batang
diambil 1 sampel berukuran 2 x 2 x 2 cm yang terletak di tengah-tengah antara kulit dengan empulur (3 sampel per batang). Untuk memudahkan penyayatan, sampel uji dilunakkan terlebih dahulu dengan merebus dalam air suling dengan suhu ≤ 60o C selama 10 menit, kemudian didinginkan. Perebusan dilakukan berulang-ulang sampai contoh kayu tenggelam, sehingga kayunya menjadi lunak dan jenuh air. Sesudah itu dilakukan perendaman
dalam
campuran
alkohol-gliserin,
berturut-turut
dengan
perbandingan 2:1; 1:1, dan 1:2 dengan selang 2 – 3 hari. Kayu dibiarkan dalam campuran terakhir sampai lunak sehingga mudah disayat. Dari setiap contoh uji kayu dibuat sayatan mikrotom setebal 15-20 mikron pada arah radial, tangensial, dan transversal. Dari sejumlah sayatan yang diperoleh dipilih masing-masing 5 sayatan terbaik untuk ketiga arah. Sayatan ini selanjutnya dicuci dengan air suling dan didehidrasi secara bertingkat dengan alkohol teknis absolut (96%), 70%, 50%, 30% masing-masing selama ± 3 menit, kemudian diwarnai dengan safranin menurut metode dalam Sass (1961). Setelah
itu didehidrasi kembali secara bertingkat
dengan alkohol 30%, 50 %, 70%, dan 96%. Selanjutnya sayatan dibeningkan dengan cara merendamnya selama 3 menit, berturut-turut dalam karboxylol/xylene dan toluen sebanyak 2 kali. Setelah itu sayatan direkat dengan Entelan pada gelas obyek secara pelan-pelan agar tidak ada gelembung udara kemudian dibiarkan mengering pada udara terbuka. Untuk pembuatan preparat maserasi dilakukan berdasarkan metode Forest Product Laboratory (Rulliaty, 1994). Contoh uji diambil dari setiap 10
lempeng batang sebanyak 3 contoh uji yaitu dekat empulur, tengah, dan dekat kulit (9 sampel per batang). Cacahan kayu sebesar batang korek api yang diambil dari masing-masing contoh uji tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang diberi larutan 60% asam asetat glasial dan 30% hidrogen peroksida dengan perbandingan 1:1 kemudian direbus dalam waterbath dengan suhu ± 80C selama 1-2 hari atau sampai cacahan berubah menjadi bubur serat dengan warna putih dan lunak. Bubur serat kemudian dicuci dengan air kran sampai bebas asam. Setelah itu disimpan dalam tabung plastik bekas film dengan ditetesi safranin (±3-5 tetes) dan dibiarkan selama kurang lebih 3 jam. Serat-serat yang akan diukur kemudian ditetesi dengan safranin dan dibiarkan selama kurang lebih 3 jam. Serat-serat yang diukur kemudian diletakkan pada gelas obyek yang sudah ditetesi gliserin dan diatur sedemikian rupa sehingga tidak menumpuk satu dengan lainnya. Lalu ditutup dengan gelas penutup. Setelah itu dilakukan pengukuran dimensi serat dan pembuluh berdasarkan IAWA (Wheeler et al., 1989). Dimensi yang diukur adalah panjang serat sebanyak 30 contoh serta diameter serat dan diameter lumen masing-masingnya sebanyak 15 contoh. Sedangkan untuk pembuluh diukur panjang dan diameternya sebanyak 25 contoh. Penetapan dimensi serat dan perhitungan nilai turunnya dilakukan berdasarkan Silitonga et al. (1972), sedangkan kualitas seratnya ditetapkan dengan mengikuti laporan Rachman dan Siagian (1976). Turunan dimensi serat meliputi Runkel Ratio (RR), Felting Power (FP), Muhlsteph Ratio (MR), Coefficient Rigidity (CR), dan Flexibility Ratio (FR). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: RR
2w l
FP
L d
MR
(d 2 l 2 ) 100% d2
CR
w d
FR
l d
dimana, w: tebal dinding; l: diameter lumen; L: panjang serat; d : diameter Kualitas serat diklasifikasikan berdasarkan kriteria yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kriteria kualitas serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas Kelas I Kelas II Kelas III Kriteria Syarat Nilai Syarat Nilai Syarat Nilai L (mm) > 2.000 100 1.000-2.000 50 < 1.000 25 RR < 0,25 100 0,25-0,50 50 0,50-1,0 25 FP > 90 100 50-90 50 < 50 25 11
MR < 30 100 30-60 FR > 0,80 100 0,50-0,80 CR < 0,10 100 0,10-0,15 Interval 450-600 225-449 Sumber: Rachman dan Siagian (1976)
50 50 50
60-80 25 < 0,50 25 > 0,15 25 < 225
Pengamatan ciri mikroskopis dilakukan dengan bantuan mikroskop berkekuatan 25 – 1000 kali meliputi: a) Pori/pembuluh: susunan, bentuk, sebaran, diameter, frekuensi, tipe bidang porforasi, dan tipe ceruk b) Jari-jari: tipe, ukuran, frekuensi, isi sel, dan ada tidaknya susunan bertingkat c) Parenkim: tipe, bentuk, frekuensi, isi sel, dan tipe ceruk d) Saluran interselular, ukuran, susunan, dan isi e) Dimensi serat Di luar pengukuran dimensi serat, untuk ciri-ciri mikroskopis yang diukur dilakukan 30 pengamatan. Persentase pori soliter diperoleh dari lima kali penetapan perbandingan jumlah pori soliter terhadap jumlah pasangan, gabungan atau kelompok pori. Setiap penetapan dilakukan pada seluruh bidang pandang lensa okuler pada penampang lintang. Pengamatan
ciri-ciri
anatomi
dilakukan
bedasarkan
standar
identifikasi dari International Association of Wood Anatomists (IAWA) dalam Wheeler et al. (1989). Nilai rata-rata, nilai maksimum dan kisaran suatu ciri anatomi ditetapkan menurut petunjuk Metcalfe dan Chalk (1983), sedangkan untuk jumlah atau frekuensi digunakan klasifikasi menurut Den Berger (1923). b. Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis Pengambilan pohon, dolok, dan contoh uji dilakukan mengikuti standar ASTM D 5536-94 (reapproved 2004) dalam ASTM (2006a) yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Pembuatan contoh uji, ukuran, dan pengujian sifat fisis dan mekanis kayu mengacu pada ASTM D 143-94 (reapproved 2000) dalam ASTM (2006b). Pengujian tersebut dilakukan pada contoh uji dalam keadaan basah dan kering udara. Pengujian sifat fisis meliputi kadar air kayu segar; berat jenis berdasarkan berat basah dan volume basah, berat kering tanur dan volume
12
basah, berat dan volume kering udara, berat dan volume kering tanur; penyusutan arah radial dan tangensial dari basah ke kering udara dan dari basah ke kering tanur. Pengujian sifat mekanis meliputi keteguhan lentur statis; keteguhan pukul; keteguhan tekan sejajar dan tegak lurus serat; keteguhan tarik; geser, belah, dan kekerasan. Nilai hasil pengujian dihitung rata-rata, standar deviasi dan koefisien variasinya kemudian dibandingkan dengan klasifikasi kekuatan kayu Indonesia (Den Berger, 1923 dalam Oey, 1990). c. Pengujian Sifat Pemesinan Sifat pemesinan yang diuji meliputi sifat pengetaman, pembentukan, pemboran, pembuatan lubang persegi, pengampelasan dan pembubutan. Metode pengujian, ukuran, bentuk dan cara pengambilan contoh uji dilakukan menurut metode ASTM D1666-87 (ASTM,
2004) yang
disesuaikan dengan kondisi bahan dan peralatan yang tersedia. Setiap jenis kayu disediakan 25 buah contoh uji bebas cacat berukuran 125 x 12,5 x 2 cm. Contoh uji tersebut dikeringkan di udara terbuka sampai mencapai kadar air lebih kurang 15%, lalu diuji dengan mesin seperti tertera dalam Tabel 3. Tabel 3. Spesifikasi mesin penguji sifat pemesinan Tipe No. Pemesinan Merk 1.
Pengetaman
2.
Pemboran
3
Pengamplasan
130/02 Schutteco FS.70 05/2 Penske T.2 Enach
Rpm 2880 11350/17400 2800
Hasil pemesinan diamati secara okuler dengan bantuan loupe berukuran sepuluh kali. Cacat yang diamati meliputi serat terangkat, berbulu, tersobek, dan bekas serpih. Setiap contoh uji yang mengandung salah satu dari keempat cacat tersebut di atas dianggap cacat. Untuk tiap cara pemesinan pada masing-masing jenis kayu ditetapkan banyaknya contoh yang cacat dari 25 contoh yang diuji. Sifat pemesinan ditetapkan menurut metode klasifikasi yang tertera dalam Tabel 4. 13
Tabel 4. Klasifikasi sifat pemesinan Jumlah contoh yang cacat Nilai cacat 0 – 10 5 11 – 20 15 21 – 30 25 31 – 40 35 41 – 50 45
Sifat mesin Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
d. Pengujian Sifat Keawetan Terhadap Serangga Pengujian ketahanan kayu terhadap serangga dilakukan secara laboratoris. Pengujian dilakukan terhadap rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus
Light.)
dan
rayap
tanah
(Coptotermes
curvignathus
Holmgren). 1) Pengujian ketahanan terhadap rayap kayu kering Pengujian ketahanan terhadap rayap kayu kering dilakukan sesuai dengan metode SNI 01-7207-2006 (Badan Standardisasi Nasional, 2006). Contoh uji yang berukuran 5 cm x 2,5 cm x 2,5 cm, pada salah satu sisi yang terlebar dipasang tabung gelas yang berdiameter 1,8 cm dengan ukuran tinggi 3 cm. Ke dalam tabung gelas tersebut dimasukkan 50 ekor kasta pekerja rayap kayu kering yang sehat dan aktif, kemudian contoh uji yang sudah berisi rayap itu disimpan di tempat yang gelap selama 12 minggu. Pada akhir pengujian ditetapkan jumlah rayap yang hidup (natalitas), penurunan berat akibat serangan rayap, dan derajat serangan mengacu pada SNI 01-7207-2006 (Badan Standardisasi Nasional, 2006) dan AWPA (1972) yang dimodifikasi. Penilaian terhadap derajat serangan rayap disajikan pada Tabel 5 dan klasifikasi ketahanan rayap berdasarkan penurunan berat seperti pada Tabel 6. Tabel 5. Penilaian derajat serangan rayap Tingkat Kondisi Contoh Uji A Utuh, tidak ada serangan (<5 %) B Ada bekas gigitan rayap (6 % - 15 %) C Serangan ringan berupa saluran yang tidak dalam dan lebar (16 % - 35 %) D Serangan berat, berupa saluran yang dalam dan lebar (36 % – 50 %) E Kayu hancur, kayu habis dimakan rayap (> 50 %)
14
Nilai 0 40 70 90 100
Tabel 6. Klasifikasi ketahanan kayu tehadap rayap kayu kering berdasarkan penurunan berat Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%) I Sangat tahan < 2,0 II Tahan 2,0 – 4,4 III Sedang 4,4 – 8,2 IV Tidak tahan 8,2 – 28,1 V Sangat tidak tahan >28,1 2) Pengujian Keawetan Terhadap Rayap Tanah Pengujian ketahanan terhadap rayap tanah dilakukan sesuai dengan metode SNI 01-7207-2006 (Badan Standardisasi Nasional, 2006). Contoh uji berukuran 2,5 cm x 2,5 cm x 0,5 dimasukkan ke dalam jampot dengan cara berdiri pada dasar jampot dan disandarkan sedemikian rupa sehingga salah satu bidang terlebar contoh uji tersebut menyentuh dinding jampot. Ke dalam jampot tersebut dimasukkan pasir sebanyak 200 gram yang mempunyai kadar air 7% di bawah kapasitas menahan air (water holding capacity). Selanjutnya ke dalam setiap jampot dimasukkan 200 ekor rayap yang sehat dan aktif terdiri dari 90% pekerja, kemudian jampot yang sudah berisi rayap disimpan ditempat gelap selama 4 minggu. Jika kadar air pasir turun 2% atau lebih, maka ke dalam jampot tersebut ditambahkan air secukupnya sehingga kadar air kembali seperti semula. Pengujian dibuat 10 jampot sebagai
ulangan,
masing-masing
satu
jampot
berisi
satu
sampel.
Pengamatan contoh uji dilakukan setelah mencapai waktu pengujian selama 4 minggu. Pada akhir pengujian ditetapkan jumlah rayap yang hidup (natalitas), penurunan berat akibat serangan rayap, dan derajat serangan yang mengacu pada SNI 01-7207-2006 (Badan Standardisasi Nasional, 2006), ASTM D 3345-74 (ASTM, 1999) dan AWPA (1972) yang dimodifikasi. Klasifikasi ketahanan terhadap rayap tanah seperti Tabel 7. Tabel 7. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah berdasarkan penurunan berat Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%) I Sangat tahan < 3,52 II Tahan 3,52 – 7,50 III Sedang 7,50 – 10,96 IV Tidak tahan 10,96 – 18,94 V Sangat tidak tahan 18,94 – 31,89
15
3) Pengujian Keawetan di Lapangan Pengujian keawetan di lapangan (graveyard test) menggunakan metode ASTM D 1758-02 (ASTM, 2002). Contoh uji berukuran (50 x 2 x 2) cm sebanyak 10 buah dikubur secara vertikal di lapangan terbuka sedalam 25 cm di dalam tanah dan dibiarkan 25 cm tetap timbul di atas permukaan, dengan jarak di antara masing-masing contoh uji 15 cm. Masing-masing contoh uji pada setiap pemeriksaan diukur kedalaman pelapukannya yang dinyatakan dalam satuan mm dan ditetapkan derajat serangan rayapnya dengan menggunakan skala sebagai berikut: ta tps tp sd sdn hb hbs
= tidak ada serangan = tipis sekali = tipis = sedikit = sedang = hebat = hebat sekali Pengujian dianggap selesai jika contoh uji sudah lapuk atau sudah
diserang rayap dengan kriteria sebagai berikut: 1) Paling sedikit 50% dari volumenya rusak dimakan rayap (derajat serangan hb atau hbs). 2) Dalamnya pelapukan sudah mencapai 25 mm. 3) Patah jika dipukulkan ke lantai karena lapuk dan pada saat itu ditetapkan umur pakai contoh uji tersebut yang dinyatakan dalam bulan atau tahun dan ditetapkan nilai rata-ratanya. Berdasarkan nilai rata-rata tersebut ditetapkan kelas awet jenis kayu yang bersangkutan berdasarkan kriteria Martawijaya (1990) pada Tabel 8. Tabel 8. Kelas keawetan kayu berdasarkan umur rata-rata pemakaian Kelas Keawetan Umur rata-rata (tahun) I Sangat awet >8 II Awet 5–8 III Sedang 3–5 IV Kurang awet 15 – 3 V Tidak awet < 1,5 e. Pengujian Sifat Keawetan Terhadap Jamur Contoh uji kayu berukuran 5 cm x 2,5 cm x 1,5 cm dari bagian teras kayu. Jamur penguji yang digunakan yaitu Schizophyllum commune HHBI204, Pycnoporus sanguineus HHBI-324, Polyporus sp. HHBI-209, dan
16
Tyromyces polustris HHBI-232. Media yang digunakan adalah malt ekstrak agar (MEA). Metode penelitian yang digunakan yaitu metode Kolle-flask, sesuai dengan pengujian pelapukan kayu terhadap jamur, menurut standar DIN-52176 yang dimodifikasi oleh Martawijaya (1975) dan Suprapti et al. (2011). Media yang telah dilarutkan secara homogen dimasukkan ke dalam piala kolle sebanyak 80 ml per piala. Mulut piala disumbat dengan kapas steril, kemudian disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan 1,5 atmosfer selama 30 menit. Setelah dingin media diinokulasi dengan biakan murni jamur penguji, selanjutnya disimpan di ruang inkubasi sampai pertumbuhan miseliumnya merata dan menebal. Contoh uji yang telah diketahui berat kering mutlaknya dimasukkan ke dalam piala yang berisi biakan jamur tersebut. Setiap piala diisi dua buah contoh uji yang diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak saling bersinggungan, dan diinkubasikan selama 12 minggu. Untuk setiap jenis kayu dan jenis jamur disediakan 5 buah piala, sehingga masing-masing diperlukan 10 contoh uji. Pada akhir percobaan contoh uji dikeluarkan dari piala, dibersihkan dari miselium yang melekat secara hati-hati, dan ditimbang pada kondisi sebelum dan sesudah dikeringkan, guna mengetahui kehilangan beratnya. Rata-rata
penurunan
berat
kayu
dikelompokkan
dengan
menggunakan nilai atau skala kelas ketahanan menurut Martawijaya (1975) dan Suprapti et al. (2011) seperti dalam Tabel 9. Tabel 9. Kelas ketahanan kayu terhadap jamur Kelas Ketahanan Penurunan berat (%) I Sangat tahan < 0,5 II Tahan 0,5 - < 5 III Agak tahan 5 - < 10 IV Tidak tahan 10 – 30 V Sangat tidak tahan >30 f. Pengujian Sifat Keawetan Terhadap Penggerek di Laut Contoh uji kayu berukuran 2,5 cm x 5 cm x 30 cm diuji ketahanannya terhadap penggerek di laut yang direndam secara horizontal di perairan Pulau Rambut.
Setelah
3 dan 6 bulan diambil dan diamati intensitas
serangannya dan diidentifikasi organisme yang menyerangnya (Turner, 1966). Pengamatan contoh uji dilakukan dengan membelah menjadi dua bagian dan dinilai intensitas serangannya menurut standar SNI 01-720717
2006 (Badan Standardisasi Nasional, 2006). Klasifikasi ketahanan kayu terhadap penggerek kayu di laut disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap penggerek kayu di laut Kelas I II III IV V
Intensitas serangan (%) < 7,3 7,3 - 27,1 27,1 - 54,8 54,8 - 79,1
Selang intensitas serangan Sangat tahan Tahan Sedang Buruk Sangat buruk
> 79,1
Jenis organisme penggerek yang menyerang dapat dikenali dengan melihat bekas lubang gerek, bentuk palet dan struktur cangkuk pada contoh uji menurut Turner (1971). g. Pengujian Sifat Keterawetan Pengujian sifat keterawetan dilakukan dengan metode IUFRO (Smith dan Tamblyn, 1970). Contoh uji berukuran 100 cm x 5 cm x 5 cm sebanyak 5 ulangan dikeringkan sampai mencapai kadar air kering udara.
Bahan
pengawet yang digunakan yaitu CCB dengan komposisi sebagai berikut: CuSO4 34% w/w, K2CrO7 38% w/w, H3BO3 25% w/w. Garam CCB tersebut dilarutkan
dalam
air
dengan
konsentrasi
3%
untuk
selanjutnya
diimpregnasikan ke dalam contoh uji dengan proses sel penuh menurut bagan sebagai berikut: Vakum awal : 50 cm Hg 15 menit Tekanan
: 10 atm 60 menit
Vakum akhir : 50 cm Hg 15 menit Absorpsi larutan bahan pengawet dan berat jenis larutan pada konsentrasi yang sama pada masing-masing contoh uji digunakan untuk menetapkan retensi bahan pengawet dalam kayu yang dinyatakan dalam kg/m3. Contoh uji yang sudah diawetkan diangin-anginkan di dalam ruangan sampai
mencapai
kadar
air
kering
udara
untuk
kemudian
diukur
penetrasinya. Penetrasi diukur pada permukaan potongan melintang yang dibuat di bagian tengah contoh uji. Dalamnya penetrasi dinyatakan dalam persentase luas bidang yang ditembus bahan pengawet. Batas penembusan bahan pengawet diperjelas dengan jalan melabur penampang contoh uji dengan
18
pereaksi chrome azural atau rubeanic acid. Klasifikasi keterawetan kayu ditetapkan berdasarkan kriteria seperti pada Tabel 11. Tabel 11. Klasifikasi keterawetan kayu Kelas I II III IV
Keterawetan Mudah Sedang Sukar Sangat sukar
Luas Penetrasi (%) >90 50-90 10-50 <10
h. Pengujian Sifat Pengeringan Pengujian kualitas pengeringan kayu mengacu pada metode Terazawa (1965) yang telah dimodifikasi oleh Basri (2011). Contoh uji kayu segar dibuat dari papan tangensial (tanpa empulur) dengan ukuran 2,5 cm (T) x 10 cm (L) x 25 cm (P) setelah diserut, sebanyak 10 sampel pada setiap jenis kayu. Percobaan diawali dengan mengeringkan contoh kayu segar uji dalam oven menggunakan suhu konstan 100oC. Pada percobaan tersebut, data retak dan pecah di permukaan maupun ujung kayu
(end & surface checks) diambil
setiap 3-4 jam hingga tingkat kerusakan contoh uji maksimum, sedangkan data pecah di bagian dalam kayu (honeycomb checks), termasuk perubahan bentuk pada arah tebal kayu (deformation) dilakukan setelah contoh uji mencapai berat kering oven (kadar air kayu 0%). Kualitas pengeringan kayu didasarkan pada hasil penilaian kehadiran 3 jenis cacat dan kerusakannya
sebagaimana
disajikan
dalam
Tabel
12-14,
tingkat serta
memperhatikan rasio penyusutan tangensial terhadap arah radial kayu. Tabel 12. Klasifikasi dan kualitas pengeringan berdasarkan persentase cacat pecah ujung dan atau permukaan contoh uji kayu Nilai cacat, % Kualitas pengeringan Kelas 0–5 > 5 – 10 > 10 –20 > 20 - 30 > 30 – 50 > 50 – 70 > 70 Berdasarkan
Sangat baik Baik Agak baik Sedang Agak buruk Buruk Sangat buruk klasifikasi
dan
kualitas
I II III IV V VI VII pengeringan
kemudian
ditetapkan bagan pengeringan dasar kayu yang diteliti. Bagan pengeringan yang telah diperoleh dalam pengembangannya perlu dimodifikasi dan 19
disesuaikan dengan kondisi kayu, alat pengeringan yang digunakan dan kapasitas atau volume ruang pengering. Tabel 13. Klasifikasi dan kualitas pengeringan berdasarkan perbedaan 2 ukuran tebal (cacat deformasi) pada arah radial contoh uji kayu Perbedaan 2 ukuran tebal Kualitas pengeringan Kelas (cacat deformasi), mm 0 – 0,3 Sangat baik I 0,3 – 0,6 Baik II 0,6 – 1,2 Agak baik III 1,2 – 1,8 Sedang IV 1,8 – 2,5 Agak buruk V 2,5 – 3,5 Buruk VI > 3,5 Sangat buruk VII Tabel 14. Klasifikasi dan kualitas pengeringan berdasarkan jumlah cacat pecah pada bagian dalam contoh uji kayu Jumlah cacat Kualitas pengeringan Kelas 0 Sangat baik I 1 besar atau 2 kecil Baik II 2 besar atau 4 – 5 kecil Agak baik III 4 besar atau 7 – 9 kecil Sedang IV 6 – 8 besar atau 15 kecil Buruk V > 8 besar atau 17 kecil Sangat buruk VI i. Pengujian Sifat Pengkaratan Pengujian pengkaratan dilakukan menggunakan metode jampot seperti yang dilakukan Kadir dan Barly (1974) dan Djarwanto (2009). Contoh uji berukuran 5 cm x 2,5 cm x 1,5 cm yang masing-masing disekrup pada bagian tengah dengan sekrup yang telah diketahui beratnya. Balok kayu diikat dengan benang nylon dan digantung sedemikian rupa di dalam botol jampot yang berisi 25 ml 2N H2SO4 agar kelembaban udara di dalam jampot tetap tinggi, konsentrasi uap akan bertahan sekitar 90%. Botol ditutup rapat dan disimpan pada suhu kamar. Pengamatan dilakukan setiap 3 bulan untuk mengamati adanya korosi. Pada akhir percobaan sekrup dilepas dari balok kemudian ditimbang kembali. Adanya korosi didasarkan atas rupa paku sekrup dan perubahan beratnya. j. Pengujian Sifat Kimia dan Nilai Kalor Analisis komponen kimia kayu dilakukan menurut metode standar sebagai berikut: a) Kadar selulosa menurut metode Norman dan Jenkins (Wise, 1944).
20
b) Kadar lignin menurut standar SNI 14-0492-1989 (Badan Standardisasi Nasional, 1989a). c) Pentosan menurut standar TAPPI T 19 m-50 (TAPPI, 1992). d) Kadar abu menurut standar SNI 14-1031-1989 (Badan Standardisasi Nasional, 1989b). e) Kadar silika menurut standar SNI 14-1031-1989 (Badan Standardisasi Nasional, 1989b). f)
Kelarutan dalam alkohol benzena menurut standar SNI 14-1032-1989 (Badan Standardisasi Nasional, 1989c).
g) Kelarutan dalam air dingin dan panas standar SNI 14-1305-1989 (Badan Standardisasi Nasional, 1989d). h) Kelarutan dalam NaOH 1% menurut standar SNI 14-1838-1990 (Badan Standardisasi Nasional, 1990). Selain itu ditetapkan juga nilai kalor kayu dan data-data lain yang diperoleh dalam proses destilasi kering. Untuk pengujian destilasi kering diambil lempengan kayu dari ujung dolok setebal 10 cm, lalu dibelah melalui titik pusatnya menjadi beberapa potong juring. Potongan juring tersebut dibiarkan beberapa waktu atau dikeringkan dalam oven sampai mencapai kadar air sekitar 20%. Nilai kalor ditetapkan dengan kalorimeter. k. Pengujian Sifat dan Pengolahan Pulp dan Kertas Pulp dari setiap jenis kayu diolah dengan proses sulfat. Sifat yang diuji pada masing-masing jenis adalah sifat pengolahan dan sifat pulp yang dihasilkan. Sifat pengolahan yang diamati meliputi rendemen pulp, konsumsi alkali, dan bilangan kappa. Rendemen ditetapkan menurut standar TAPPI T 214 su 71 (TAPPI, 1972 dan 1993), bilangan kappa menurut standar SNI 140409-2008 (Badan Standardisasi Nasional, 2008) dan konsumsi alkali menurut standar TAPPI T 525 hm 85 (TAPPI, 1993). Metode yang digunakan pada setiap pengujian berdasarkan metode terbaru yang dilaksanakan oleh Laboratorium Terpadu Pustekolah dalam rangka C. Analisa Data Hasil pengujian setiap sifat yang diteliti dihitung nilai rata-rata dan simpangan bakunya kemudian diklasifikasikan sesuai dengan standar yang digunakan pada masing-masing pengujian. 21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis kayu yang diteliti pada tahun 2014 yaitu meranti merah (Parashorea smythiesii Wyatt.Sm ex P.S.Ashton) dan meranti putih (Parashorea
tomentella
(Sym.)
Meijer.)
keduanya
dari
famili
Dipetrocarpaceae dan berasal dari Kalimantan Timur. Tabel 15. Jenis kayu asal Kalimanatan Timur yang diteliti tahun 2014 No Register
Jenis kayu
Famili
1
34405
Meranti putih
Parashorea tomentella (Sym.) Meijer
Dipt.
2
34406
Meranti merah
Parashorea smythiesii Wyatt.Sm ex P.S. Ashton
Dipt.
1. Struktur anatomi dan dimensi serat kayu a. Ciri botani 1). Parashorea tomentella (Sym.) Meijer – Dipterocarpaceae
a. Pohon
b. Daun
c. Kulit
Gambar 2. Parashorea tomentella (Sym.) Meijer.
b. Pengenalan Struktur Anatomi dan Dimensi Serat Ciri Umum
22
d. Kayu
Warna: coklat muda.Corak: polos.Tekstur: agak halus dan merata. Arah serat: lurus hingga berpadu. Kilap: kusam. Kesan raba: agak halus. Kekerasan: agak lunak. Bau: tidak ada. Ciri Anatomi Lingkaran tumbuh: tidak jelas (ciri 2). Pembuluh : baur (ciri 5), pembuluh hampir seluruhnya soliter (ciri 9). Diameter pembuluh 100-200 mikron (ciri 42) dan >200 mikron (ciri 43); frekuensi pembuluh per-mm2 sekitar 5 atau kurang (ciri 46); terdapat trakeida vaskisentrik dan vaskular (ciri 60). Bidang perforasi sederhana (ciri 13).Ceruk antar pembuluh selangseling (ciri 22), ukurannya kecil>4-7 mikron, (ciri 25). Ceruk antar pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30). Parenkim: parenkim vaskisentrik (ciri 79) dan paratrakea sepihak (ciri 84). Panjang untai parenkim 2 sel per-untai (ciri 91). Jari-jari : lebar jari-jari 1-3 seri (ciri 97), dan ditemukan jari-jari besar umumnya 4-6 seri (ciri 98), komposisi seluruhnya sel baring (ciri 104) dan tubuh jari-jari sel baring dengan sel baring dan bujur sangkar bercampur (ciri 109). Frekwensi jari-jari > 4-12 per mm (ciri 115). Serat : jaringan serat dasar dengan ceruk berhalaman yang jelas (ciri 62). Dinding serat tipis sampai tebal (ciri 69). Inklusi material : kristal primatik dijumpai (ciri 136) dalam sel baring (ciri 138), dalam sel tegak berbilik (ciri 140), dan dalam parenkim aksial berbilik (ciri 142).Saluran interseluler: aksial tersebar (ciri 129).
Struktur makro penampang melintang Parashorea tomentella
Struktur mikro penampang melintang Parashorea tomentella
23
Struktur mikro penampang radial Parashorea tomentella
Struktur mikro penampang tangensial Parashorea tomentella
Gambar 3. Struktur anatomi Parashorea tomentella
a. Ciri botani 2). Parashorea smythiesii Wyatt.Sm ex P.S. Ashton
a. Pohon
b. Daun
c. Kulit
d. Kayu
Gambar 4. Parashorea smythiesii Wyatt.Sm ex P.S. Ashton.
24
b. Pengenalan Struktur Anatomi dan Dimensi Serat Ciri umum Warna: coklat kekuningan,Corak: polos, pada bidang radial bercorak lurik seperti pita pendek. Tekstur: agak halus dan merata. Arah serat: lurus hingga berpadu. Kilap: kusam. Kesan raba: agak kasar. Kekerasan: agak keras. Bau: tidak ada. Ciri Anatomi Lingkaran tumbuh: tidak jelas (ciri 2). Pembuluh : baur (ciri 5), pembuluh sebagian besar soliter (ciri 9). Diameter pembuluh 100-200 mikron (ciri 42); frekuensi pembuluh per-mm2 sekitar 5 atau kurang (ciri 46); terdapat tilosis (ciri 56), terdapat trakeida vaskisentrik dan vaskular (ciri 60). Bidang perforasi sederhana (ciri 13).Ceruk antar pembuluh selang-seling (ciri 22), ukurannya sedang>7-10 mikron, (ciri 26). Ceruk antar pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30). Parenkim: parenkim aksial apotrakea tersebar dalam kelompok (ciri 77), vaskisentrik (ciri 79), aliform (ciri 80), konfluen (ciri 83) dan paratrakea sepihak (ciri 84). Panjang untai parenkim 2 sel per-untai (ciri 91) dan 3-6 sel per untai (ciri 92, 93). Jari-jari : lebar jari-jari 1-3 seri (ciri 97), dan jari-jari besar umumnya 4-6 seri (ciri 98), komposisi tubuh jari-jari sel baring dengan 1-2 jalur sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal (ciri 106,107). Frekuensi jari-jari > 4-12 per mm (ciri 115). Serat : jaringan serat dasar dengan ceruk berhalaman sangat kecil (ciri 61). Dinding serat tipis sampai tebal (ciri 69), kadang ditemui sangat tebal (ciri 70). Inklusi material : kristal primatik dijumpai (ciri 136) dalam sel baring (ciri 138), dan dalam parenkim aksial berbilik (ciri 142).Saluran interseluler: aksial tersebar (ciri 129).
25
Struktur makro penampang melintang
Struktur mikro penampang melintang Parashorea smythiesii
Parashorea smythiesii
Struktur mikro penampang radial Parashorea smythiesii
Struktur mikro penampang tangensial Parashorea smythiesii
Gambar 5. Struktur anatomi Parashorea smythiesii
26
Rangkuman ciri umum dan ciri anatomi disajikan pada Tabel 3. Penulisan ciri dengan menggunakan kode dalam daftar IAWA 1989 untuk menyesuaikan format data base yang ada dalam Xylarium Bogoriense 1915, sehingga mudah dalam melakukan identifikasi menggunakan komputer sampai tingkat species.
Hasil
pengukuran dan perhitungan dimensi serat disajikan dalam Tabel 17. Hasil perhitungan nilai turunan dimensi serat, disajikan dalam Tabel 18.
Tabel 16. Daftar ciri makroskopis dan mikroskopis kayu No kayu
34.405
Nama kayu
34.406
Parashorea tomentella
Parashorea smythiesii
Kodifikasi sesuai IAWA List, 1989
Ciri Ciri umum
Warna: coklat muda.Corak: polos.Tekstur: agak halus dan merata. Arah serat: lurus hingga berpadu. Kilap: kusam. Kesan raba: agak halus. Kekerasan: agak lunak. Bau: tidak ada.
Lingkar tumbuh
2
2
Pembuluh
5, 9, 42, 43, 46, 60,13, 22, 25, 30
5, 9, 42, 46, 56, 60, 13, 22, 26, 30
Parenkim
79, 84, 91
77, 79, 80, 83, 84, 91, 92, 93
Jari-jari
97, 98, 104, 109, 115
97,98, 106,107, 115
Serat
62, 69
61, 69, 70
Inklusi mineral
136, 138, 140, 142
136, 138, 142
Saluran interseluler
129
-
Warna: coklat kekuningan,Corak: polos, pada bidang radial bercorak lurik seperti pita pendek. Tekstur: agak halus dan merata. Arah serat: lurus hingga berpadu. Kilap: kusam. Kesan raba: agak kasar. Kekerasan: agak keras. Bau: tidak ada.
Tabel 17. Rata-rata dimensi serat 2 jenis kayu Nama lokal
Parashorea tomentella Parashorea smythiesii
Panjang(L)
Diameter (d)
Lumen (e)
(μm) 1501.0±148.9
(μm) 27.4±3.2
(μm) 20.6±3.3
Tebal dinding(w) (μm) 3.4±0.6
1682.8±172.5
27.7±3.2
18.3±3.1
4.7±0.8
27
Tabel 18. Nilai turunan dimensi dan kualitas serat Jenis Kayu
Panjang serat (µ)
Bilangan Runkel
Parashorea tomentella
1501 ±148.9
0.3±0.1
50
50
1682.8±172 .5
0.5±0.1
Nilai Parashorea smythiesii
Daya Tenun
Perbandingan Fleksibilitas
Koefisien Kekakuan
0.8±0.0
0.1±0.0
43.3±7.2
50
100
100
50
61.1±9.8
0.7±0.1
0.2±0.0
56.6±7.7
50
25
50
55.4±9.0
50 25 50 Nilai Keterangan : 1) Bilangan Runkel = 2w/l 2) Daya tenun = L/d 3) Perbandingan Fleksibilitas = l/d 4) Koefisien kekakuan = w/d 2 2 5) Perbandingan Muhlstep = (d -l ) x 100 2 d (Sumber Nur Rachman & Siagian, 1976)
Perbandingan Total Muhlsteph Skor
Kelas Kualitas
400
II
250
II
L = Panjang serat d = Diameter serat l = Diameter lumen w = Tebal dinding %
2. Sifat fisis dan mekanis kayu Nilai rata-rata hasil pengujian sifat fisis yang meliputi kadar air, berat jenis dan penyusutan disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Nilai rata-rata sifat fisis kayu yang diteliti Jenis kayu
No
Parashorea smythiesii
n
Kadar Air (%) Basah
Rata2 Min Max Parashorea tomentella
n Rata2 Min Max
KU
Berat Jenis Berdasar Bb/Vb Bu/Vu Bo/Vo Bo/Vu
Bo/Vb
5
5
5
5
5
5
5
89,31 73,65 105,00
13,63 12,73 14,02
0,86 0,62 0,99
0,55 0,36 0,61
0,50 0,33 0,57
0,48 0,32 0,54
0,46 0,30 0,51
5
5
5
5
5
5
5
56,23 48,75 66,83
14,59 13,79 15,63
0,90 0,81 0,97
0,71 0,62 0,74
0,66 0,59 0,70
0,62 0,55 0,64
0,58 0,52 0,61
Penyusutan B - KU B - KO R T R T 5
5
5
1,41 2,98 3,44 6,32 1,07 2,85 3,18 4,67 1,96 3,43 3,91 7,31 5
5
5
5
1,58 4,18 4,42 9,11 1,28 3,91 3,97 8,08 1,80 4,43 4,71 9,54
Kadar air basah kayu yang diteliti berkisar antara 48,75-105,00% dan kadar air kering udara berkisar antara 12,73-15,63%. Pada Tabel 19, terlihat bahwa kayu meranti merah mempunya kadar air basah yang lebih tinggi dibandingkan meranti putih, tetapi kadar air kering udaranya lebih rendah daripada meranti putih. Hal ini
28
5
kemungkinan karena kayu meranti putih lebih berat dari kayu meranti merah (BJ meranti puth lebih tinggi dibanding BJ merant merah), sehingga air bebas lebih banyak di dalam rongga sel meranti merah, sedangkan pada saat kayu mengering, maka kayu yang lebih berat, lebih banyak mengandung zat kayu dapat mengikat air dibandingkan kayu yang lebih ringan (Haygreen and Bowyer, 1983). Kayu meranti putih tergolong kayu ringan, sedangkan kayu meranti merah tergolong sedang. Penyusutan meranti merah lebih rendah dibandingkan penyusutan meranti putih, hal ini sebanding dengan beratnya kayu, dimana kayu yang lebih berat, lebih tebal dinding selnya, lebih banyak zat yang dapat mengikat dan melepaskan air (melalui ikatan hidrogen). Nilai rata-rata hasil pengujian sifat mekanis kayu meranti putih dan meranti merah disajikan pada Tabel 20. Tabel tersebut menunjukkan bahwa secara umum kayu meranti putih lebih kuat dibanding meranti merah yang diteliti. Berdasarkan nilai rata-rata kerapatan, dan sifat mekanisnya, maka kayu meranti putih tergolong kelas kayu kelas kuat II sedangkan kayu meranti merah tergolong kayu kelas kuat III. Kayu meranti putih dapat dimanfaatkan untuk kayu konstruksi atau bahan bangunan, sedangkan meranti merah hanya sesuai untuk konstruksi ringan atau kegunaan yang tidak mensyaratkan kekuatan tinggi. Dari hasil penelitian sifat fisis dan mekanis, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kadar air basah kayu yang diteliti berkisar antara 48,75-105,00% dan kadar air kering udara berkisar antara 12,73-15,63%. 2. Kayu meranti merah tergolong kayu ringan, sedangkan kayu meranti putih tergolong sedang. 3. Kayu meranti putih tergolong kelas kayu kelas kuat II sedangkan kayu meranti merah tergolong kayu kelas kuat III. Berdasarkan sifat fisis dan mekanis tersebut, maka kayu meranti putih dapat dimanfaatkan untuk kayu konstruksi atau bahan bangunan, sedangkan meranti merah hanya sesuai untuk konstruksi ringan atau kegunaan yang tidak mensyaratkan kekuatan tinggi. Karena penyusutan kayu yang diteliti tergolong sedang-agak tinggi, maka kayu-kayu tersebut perlu dikeringkan secara hati-hati agar tidak terjadi cacat kayu karena pengeringan.
29
Tabel 20. Nilai rata-rata hasil pengujian sifat mekanis kayu meranti merah dan meranti putih yang diteliti Jenis Kayu Parashorea smythiesii
No n Rata2 Min Max Stdev
Parashorea tomentella
n Rata2 Min Max Stdev
Ket.Lentur Statis (kg/cm2) MPL MOE MOR
Ket. Tekan (kg/cm2) // ┴
Ket. Geser (kg/cm2) R T
Ket. Belah (kg/cm) R T
5
5
5
5
5
5
5
229,64 212,80 246,41 15,74
37.719,93 33.800,64 40.232,34 2.435,56
308,80 295,31 318,69 10,83
5
5
5
5
5
241,67 187,51 311,86 44,74
38.428,01 30.270,25 45.454,93 6.314,95
311,63 263,58 375,27 41,94
377,68 353,02 407,47 20,41
126,24 103,41 140,71 16,87
5
335,23 78,45 75,29 89,47 42,93 321,94 72,24 56,48 73,67 35,27 352,77 82,44 86,25 101,30 56,05 13,14 4,10 12,75 13,40 8,38 5
5
5
Ket. Tarik ┴ (kg/cm2) R T
5
Kekerasan (kg/cm2) Ujung Sisi 5
5
Ket. Pukul (kgm/dm3) R T
5
5
5
5
49,60 35,82 60,00 8,88
18,76 11,99 30,03 6,90
30,82 12,31 52,05 14,24
811,22 337,02 1314,83 409,16
5
5
5
5
5
5
5
5
5
29,28 18,98 48,07 11,89
1181,84 1040,99 1465,17 169,65
1192,88 833,88 1440,36 222,96
499,80 410,00 580,00 63,47
438,80 398,00 480,00 38,74
63,60 54,42 74,25 8,33
65,40 61,21 71,23 4,90
86,80 90,58 38,68 48,31 34,80 72,84 75,36 14,06 21,71 26,19 98,28 100,22 63,22 62,60 42,21 9,47 9,26 19,02 15,89 7,44
30
Ket. Tarik // (kg/cm2) R T
5
5
640,68 342,40 274,80 47,84 56,82 330,19 319,00 258,50 43,26 51,73 968,71 384,00 291,50 51,62 68,40 252,87 25,77 14,32 3,02 6,66
3. Pengujian Sifat Pemesinan Pengujian sifat permesinan meranti putih dan meranti merah meliputi sifat pengetaman dan pemboran. Merk mesin ketam yang dipakai yaitu DELTA OJ’5 sedangkan mesin bornya adalah INVICTA DELTA. Hasil pengujian secara umum kayu meranti merah termasuk kelas baik untuk pengerjaan pengetaman dan pemboran dengan nilai cacat sedikit, sedangkan meranti putih agak sukar karena agak keras dan liat. Martawijaya et al. (2005), menyatakan bahwa kayu meranti merah pada umumnya mudah dikerjakan, mudah digergaji, dibor dan dibubut serta diampelas dengan baik. Sifat pembentukan menunjukkan bahwa kayu tersebut baik untuk moulding, namun dalam penggunaannya harus diperhitungkan dengan sifat lainnya yaitu kelas kuat, kelas awet dan sebagainya. Dalam pengerjaannya kayu meranti putih harus menggunakan mata pisau tertentu karena agak liat dan keras.
4. Sifat keawetan kayu terhadap serangga Hasil pengujian terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignatus) dan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus ) dapat dilihat pada Tabel 21. dan Tabel 22. Tabel 21. Rata-rata pengurangan berat, kelas ketahanan, jumlah rayap tanah yang hidup (Natalitas) dan derajat serangan pada dua jenis kayu. Jenis kayu Parashorea tomentella Parashorea smythiesii
Pengurangan berat (%)
Natalitas (%)
12,85
82,5
Derajat serangan (%) 25,7
7,70
46
18,8
Ketahanan kedua jenis kayu Meranti putih
Nilai Kelas serangan ketahanan 70
IV
70
III
dan Meranti merah
terhadap rayap tanah (Tabel 21). Untuk ketahanan terhadap rayap tanah kayu Meranti putih termasuk kelas ketahanan IV, sedangkan kayu Meranti merah termasuk kelas ketahanan III. Disini terlihat kayu Meranti merah lebih baik dari kayu Meranti putih, baik dilihat dari natalitas (jumlah rayap yang hidup) 46% sedangkan kayu Meranti putih 82,5 % ( hidupnya sangat banyak). Namun derajat serangan (kerusakan) untuk kayu Meranti merah 31
adalah 18,8% dan kayu Meranti putih 25,7 % keduanya termasuk dengan nilai 70 (kerusakan sedang, berupa saluran-saluran yang dangkal dan sempit: 16-30%), Tabel 22. Rata-rata pengurangan berat, kelas ketahanan, jumlah rayap kayu kering yang hidup (Natalitas) dan derajat serangan pada dua jenis kayu Jenis kayu Parashorea tomentella Parashorea smythiesii
Pengurangan berat (%)
Natalitas (%)
Nilai serangan
Kelas ketahanan
56
Derajat serangan (%) 19,6
6,39
70
III
7,68
56,8
24,8
70
III
Ketahanan kedua jenis kayu Meranti putih dan Meranti merah terhadap rayap kayu kering (Tabel 22) masing-masing termasuk kelas III. Hal ini menunjukkan kedua jenis kayu mempunyai ketahan yang sama terhadap rayap kayu kering. Dilihat dari jumlah yang hidup, dimana kedua jenis rayap ini hampir sama jumlah yang hidup (56 % untuk kayu Meranti putih dan 56,8 % untuk kayu Meranti merah). Sedangkan derajat serangan (kerusakan), untuk kayu Meranti putih 19,6 % dan kayu Meranti merah 24,8 %, namun keduanya masuk nilai 70 (kerusakan sedang, berupa saluransaluran yang dangkal dan sempit: 16-30%). Berdasarkan penelitian kedua jenis kayu terhadap rayap tanah maupun rayap kayu kering, kayu meranti merah lebih baik dari kayu meranti putih. Oey Djoen Seng (1990) melaporkan bahwa kayu Meranti putih (Parashorea tomentella) termasuk kelas IV. Menurut Martawijaya dan Barly (2010), kayu kelas awet/ketahanan III, IV dan V perlu diawetkan sebelum digunakan untuk keperluan bahan bangunan maupun mebel dan barang kerajinan.
5. Sifat keawetan kayu terhadap jamur Rata-rata kehilangan berat kayu oleh empat jenis jamur pelapuk tercantum pada Tabel 23. Berdasarkan ketahanan atau resistensi kayu terhadap jamur pelapuk di laboratorium maka kayu Parashorea tomentella termasuk kelompok kayu tidak-tahan (kelas IV), dan Parashorea smythiesii 32
termasuk kelompok kayu agak-tahan (kelas III). Kayu Parashorea tomentella memiliki kelas ketahanan yang sama yaitu kelas IV, yang dinilai berdasarkan umur pakai kayu dengan tidak disebutkan organisme yang menyerang secara spesifik (Oey, 1990). Kehilangan berat tertinggi didapatkan pada kayu
Parashorea tomentella
yang diumpankan pada
biakan
jamur
Schizophyllum commune. Sedangkan kehilangan berat terendah terjadi pada kayu
Parashorea
smythiesii
yang
diumpankan
pada
biakan
jamur
Pycnoporus sanguineus. Kemampuan melapukkan kayu tertingi dijumpai pada jamur S. commune, kemudian diikuti oleh P. sanguineus dan kemampuan terendah terjadi pada jamur Polyporus sp. Tabel 23. Persentase kehilangan berat kayu Kalimantan dan kelas resistensinya Jenis kayu
Parashorea tomentella (Sym.) Meijer (kode T) Parashorea smythiesii Wyatt. Sm ex P.S. Ashton
Persentase kehilangan berat kayu oleh jamur dan kelas resistansinya Polyporus Pycnoporus Schizophyllum Tyromyces sanguineus commune palustris sp. Kb Kr Kb Kr Kb Kr Kb Kr 3,79
II
9,94
III
24,02
IV
6,74
III
Rata-rata
Kb 11,12
Kr IV (IIIV)
6,91
III
2,82
II
18,71
IV
4,77
II
8,30
III (I(IIIV)
Keterangan: Kb = kehilangan berat, Kr = kelas resistensi Dari dua jenis kayu asal Kalimantan Timur yang diteliti maka kayu kayu Parashorea tomentella (Sym.) Meijer termasuk kelompok kayu tidaktahan (kelas IV) dan Parashorea smythiesii Wyatt. Sm ex P.S. Ashton termasuk kelompok kayu agak-tahan (kelas III). Kemampuan melapukkan kayu dari yang tertingi yaitu pada jamur S. commune P. sanguineus, Tyromyces palustris dan Polyporus sp.
6. Sifat keawetan kayu terhadap penggerek di laut Hasil pengujian dua jenis kayu yang dipasang di perairan Pulau Rambut selama 3 bulan tertera pada Tabel 24. 33
Tabel 24. Intensitas serangan penggerek kayu di laut terhadap 2 jenis kayu No Nama botanis 1 2
Parashorea tomentella Parashorea smythiesii
Derajat kerusakan (%) 1 2 3 4 90 90 90 90
5 90
Ratarata 90
20
40
70
90
90
90
Pengujian keawetan kayu terhadap penggerek di laut dilakukan di Pulau Rambut Kepulauan Seribu. Pantainya berkarang, salinitas perairan pada waktu pemasangan contoh uji 30 per mil, tinggi gelombang sampai 0,5 m lebih, temperatur 29oC, angin 180 m/mt, arus 0,70 m/det, pasang surut 1,0 m, Ph 8 dan BOD 21,15. Waktu pengambilan contoh uji, salinitasnya 29 per mil, tinggi gelombang sampai 1,0 m lebih, temperatur 29oC, angin 227 m/mt, arus 0,75 m/det, pasang surut 1,0 m, Ph 8 dan BOD 21,5. Kondisi yang demikian sangat menguntungkan bagi perkembangan organisme penggerek di laut. Pengujian kedua jenis kayu di laut baru berjalan 6 bulan, ternyata kedua jenis kayu tidak tahan terhadap organisme perusak di laut atau termasuk kelas awet V. Intensitas serangan dari kedua jenis kayu dapat dilihat pada Tabel 24. Jenis organisme penggerek yang menyerang yaitu Martesia striata Linne. dari famili Pholadidae dan Teredo bartchi Clapp., Diccyathifer manni Wright., Bankia
cieba
Clench/Turner dari famili
Teredinidae. Pada waktu yang bersamaan telah dicoba pula pada jenis-jenis kayu tersebut yang telah diperlakukan dengan pengawetan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua kayu yang diawetkan dengan tembaga-khromboron (CCB) 3% melalui proses vakum tekan (sel penuh). Vakum awal yang diberikan 50 cm Hg selama 15 menit, tekanan 10 atm selama 120 menit dan vakum akhir 15 menit. Hasil pengamatan selama 6 bulan direndam di laut, ternyata tidak mendapat serangan dari penggerek kayu. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil pengawetan dengan bahan pengawet CCB dapat menahan serangan penggerek kayu di laut.
34
7. Sifat keterawetan Bahan pengawet yang dipakai yaitu CCB dengan metode vakum tekan. Hasil rata-rata retensi, penembusan dan kelas keterawetan kedua jenis kayu tercantum pada Tabel 25. Retensi yang dicapai pada kayu meranti merah dan meranti putih masing-masing 8,60 kg/m3 dan 6,82 kg/m3, sedangkan penetrasinya semua jenis kayu hanya mencapai 60-85%. Kedua jenis kayu mempunyai sifat keterawetan kelas II atau termasuk sedang. Retensi dan penetrasi jenis kayu Parashorea smythiesii tersebut sudah memenuhi standar SNI 7027-2014 untuk digunakan di bawah atap namun Parashorea tomentella harus diawetkan secara terpisah untuk meningkatkan retensinya. Tabel 25. Kelas keterawetan bahan pengawet CCB terhadap dua jenis kayu Rata-rata Jenis kayu
Parashorea tomentella Parashorea smythiesii
Kelas
Kadar Air (%)
Retensi (kg/m²)
Penembusan (%)
Keterawetan
31
8,60
85
sedang
33
6,82
65
sedang
8. Sifat pengeringan kayu Kadar air awal kayu meranti merah berkisar antara 53% - 58% (rerata 55%) dan meranti putih berkisar antara 52% - 80% (rerata 66%). Hasil percobaan pengeringan suhu tinggi kedua jenis kayu, tampak dalam Tabel 26. Tabel 26. Sifat pengeringan suhu tinggi lima jenis kayu Jenis kayu Kadar air awal rata-rata (%)
Parashorea smythiesii Parashorea tomentella
Klasifikasi cacat pengeringan Retak/pe- Perubaha Pecah cah awal n bentuk dalam
Sifat pengeringan
53 - 58 (55)
2
2-3
2
Baik-agak baik
52 – 80 (66)
4-6
5-6
3-5
Agak baik-buruk
35
Keterangan : 1= sangat baik; 2 = baik; 3 = agak baik; 4 = sedang; 5 = agak buruk; 6 = buruk; 7= sangat buruk; Data berupa rata-rata pengamatan dari 5 contoh uji; klasifikasi sifat pengeringan berdasarkan cacat terparah
Sifat pengeringan kayu meranti merah termasuk baik sampai agak baik dan meranti putih termasuk agak baik sampai buruk. Cacat bentuk pada kayu meranti merah adalah memangkuk (cup), yaitu kayu berubah bentuk pada arah dimensi lebar, sedangkan cacat bentuk pada
meranti putih
selain memangkuk juga menggelinjang (twisting) yaitu melengkung ke arah diagonal kayu. Cacat menggelinjang pada kayu meranti putih termasuk parah. Dari kedua jenis tersebut, perubahan bentuk terparah dialami kayu meranti putih. Kayu meranti putih, selain berubah bentuk, juga mengalami pecah ujung, pecah di permukaan, dan pecah pada bagian dalam kayu dengan tingkat kerusakan bergantung pada kadar air kayunya. Semakin tinggi kadar air contoh uji semakin parah tingkat kerusakannya. Dalam penelitian ini, keragaman kadar air contoh uji meranti putih cukup besar. Hal ini menjadi
indikator
contoh
uji
tersebut
diambil
dari
pohon
bisa yang
pertumbuhannya berbeda (beda tempat tumbuh, dsb) atau secara acak pengambilannya tidak mempertimbangkan bagian pangkal atau ujung pohon. Lazimnya kayu mudah mengering jika kadar airnya masih di atas 40% 50%. Pada kondisi yang sangat basah, mempercepat proses pengeringan dapat merusak kayu. Oleh karena itu, amannya kayu sebelum dimasukkan dalam kiln drying dikeringkan dulu secara alami (air drying) sampai mencapai kadar air tersebut. Dengan demikian, kualitas kayu terjaga, juga bisa menghemat biaya energi. Cacat bentuk pada kayu yang sedang dikeringkan dapat dihindari dengan pengaturan jarak antar ganjal/stiker dan pemberian beban yang cukup pada permukaan tumpukan paling atas. Berdasarkan pengujian, sifat pengeringan kayu meranti merah termasuk baik sampai agak baik dan kayu meranti putih termasuk agak baik sampai buruk. Cacat bentuk pada kayu meranti putih adalah memangkuk (cup) dan menggelinjang (twisting) yang cukup parah, sehingga perlu kehati-hatian dalam menggunakan bagan pengeringan.
36
9. Sifat pengkaratan kayu Pengkaratan logam ditunjukkan oleh adanya pengurangan berat sekrup pada kayu. Hasil pengamatan sifat korosif sekrup pada contoh uji kayu asal kalimantan timur tahun 2013 selama 12 bulan pemasangan dapat dilihat pada Tabel 27. Didapatkan pengkaratan sangat ringan di kepala sekrup yang di pasang pada kedua jenis kayu. Dua jenis kayu tersebut memiliki sifat karat terhadap sekrup logam. Intensitas pengkaratan besi umumnya rendah (kurang dari 1%), yang ditandai oleh variasi pengurangan berat sekrup tersebut. Tabel 27. Jenis kayu Asal Kalimantan Timur yang diteliti terhadap sifat pengkaratan Jenis kayu Nama Suku (Family) Nomor No daerah register 2013 1 Hopea nudiformis Meranti Dipterocarpaceae 34390 2
Shorea parvistipulite
Meranti
Dipterocarpaceae
34391
2014 1
Parashorea tomentella (Sym.) Meijer
Meranti putih
Dipterocarpaceae
34405
2
Parashorea smythiesii Wyatt. Sm ex P.S. Ashton
Meranti
Dipterocarpaceae
44406
Tabel 28. Rata-rata pengurangan berat sekrup pada kayu yang diteliti TH 2013 selama 12 bulan pemasangan No (Nr)
Jenis kayu (Wood species)
Pelunturan karat di permukaan kayu
Karat pada kepala sekrup
Kehilangan berat sekrup (%)
1
Hopea nudiformis
-
+
0,39
2
Shorea parvistipulite
-
+
0,67
Keterangan:+=sangat sedikit, ++=sedikit, +++=sedang, ++++=banyak, -=tidak ada
Hasil pengamatan sifat korosif kayu asal kalimantan timur tahun 2014 terhadap sekrup dapat dilihat pada Tabel 29. Pada masa inkubasi 12 minggu/ sejak pemasangan sekrup, dijumpai serangan jamur kapang (mold)
37
di permukaan kayu Parashorea tomentella. Hal ini memberikan indikasi bahwa kondisi di dalam botol jam tersebut lembab sehingga jamur tersebt dapat tumbuh.. Kelunturan warna sekrup logam di permukaan kayu ditemukan pada kayu Parashorea tomentella dan tidak ditemukan pada kayu Parashorea
smythiesii.
Proses
pengkaratan
yang
ditandai
dengan
perubahan warna pada kepala (pentolan) sekrup dari putih menjadi coklat kotor ditemukan pada kayu Parashorea smythiesii, dengan intensitas pengkaratan sangat sedikit, dan pada kayu Parashorea tomentella belum terlihat adanya proses pengkaratannya. Intensitas pengkaratan besi belum – diamati dulu terjadi, yang ditandai oleh pengurangan berat sekrup tersebut nol (belum ada). Tabel 29. Rata-rata pengurangan berat sekrup pada kayu Parashorea selama 12 minggu pemasangan No
Jenis kayu
Pertumbuhan mikroorganisme
Pelunturan karat di permukaan kayu
Karat pada kepala sekrup
Kehilangan berat sekrup (%)
1
Parashorea tomentella (Sym.) Meijer
+
-
-
0,0
2
Parashorea smythiesii Wyatt. Sm ex P.S. Ashton
-
-
+
0,0
Keterangan:+=sangat sedikit, ++=sedikit, +++=sedang, ++++=banyak, - = tidak ada
Berdasarkan uji sifat pengkaratan, dua jenis kayu asal Kalimantan Timur tahun 2013 selama 12 bulan (1 tahun) pemasangan menunjukkan adanya sifat korosif sekrup pada contoh uji kayu, dijumpai noda karat pada pentolan sekrup. Intensitas pengkaratan besi umumnya rendah (kurang dari 1%). Pada masa inkubasi 12 minggu/ sejak pemasangan sekrup, dijumpai serangan jamur kapang (mold) di permukaan kayu Parashorea tomentella Kelunturan warna sekrup logam di permukaan kayu ditemukan pada kayu Parashorea tomentella dengan intensitas sangat ringan, dan tidak ditemukan pada kayu Parashorea smythiesii. Proses pengkaratan yang ditandai dengan
38
perubahan warna pada kepala (pentolan) sekrup dari putih menjadi coklat kotor ditemukan pada kayu Parashorea smythiesii, dengan intensitas pengkaratan sangat sedikit, dan pada kayu Parashorea tomentella belum terlihat adanya proses pengkaratannya. Intensitas pengkaratan besi belum – diamati dulu terjadi, yang ditandai oleh pengurangan berat.
10. Sifat kimia dan nilai kalor Kadar kelarutan kandungan zat ekstraktif Parashorea tomentella pada air panas, NaOH 1% dan campuran alcohol-benzena lebih rendah dari kandungan sejenis pada Parashorea smythiesii, namun memiliki kadar selulosa lebih tinggi. Kandungan serat yang tinggi dibutuhkan dalam pembuatan pulp/kertas untuk meningkatkan rendemen. Hasil analisis komponen kimia disajikan pada Tabel 28. Table 30. Hasil analisis kimia kayu dari Kalimantan 2014 [%] Nama Parashorea tomentella Parashorea smythiesii
Lignin, %
Pentos an
Selulo sa
26,85
14,43
59,42
Kelarutan (ekstaraktif) dalam Air Air AlkNaOH dingin panas benz 1% 1,15 2,68 2,65 12,69
32,75
14,57
54,01
1,12
3,33
2,76
14,16
Air
Kadar Abu
Silika
15,97
0,74
0,082
Nilai kalor, Kal/g 4.399
15,98
2,32
0,317
4.482
1. Selulosa Kadar selulosa berkisar antara 54,01%-59,42% (Tabel 29). Kadar selulosa memberi gambaran terhadap bubur kayu yang dapat dihasilkan. Apabila dilihat dari kadar selulosa saja, maka semua jenis kayu yang diteliti baik untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan pulp, karena kadar selulosanya relatif tinggi (ASTM, 1980). 2. Lignin Kadar lignin yang rendah terdapat pada Parashorea tomentella (26,85%) dan yang tinggi terdapat pada Parashorea smythiesii. Tingginya kadar lignin akan berpengaruh pada banyaknya pemakaian bahan kimia. Apabila dihubungkan dengan klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia untuk kayu daun lebar (BPK, 1952), maka kedua jenis kayu termasuk ke dalam kelas sedang karena kandungan ligninnya ada diantara 18%-33%. Didasarkan atas kandungan lignin yang dikaitkan dengan proses pengolahan 39
pulp, maka kayu dengan kadar lignin lebih dari 30% lebih baik menggunakan proses mekanik dalam pembuatan bubur kayunya, apabila kadar ligninnya kurang dari 30% proses pembuatan bubur kayu sebaiknya menggunakan semi kimia atau kimia (ASTM, 1980). 3. Pentosan Kadar pentosan yang terendah terdapat pada cangcaratan dan yang tertinggi terdapat pada ki bugang. Kadar pentosan yang rendah sangat diharapkan dalam pembuatan pulp untuk rayon dan turunan selulosa. Kandungan pentosan yang tinggi dapat menyebabkan kerapuhan benang rayon yang dihasilkan. Apabila dihubungkan dengan klasifikasi komponen kimia daun lebar Indonesia (BPK, 1952), maka kedua jenis kayu yang diteliti termasuk ke dalam kelas dengan kandungan pentosan yang rendah karena kadarnya kurang dari 21%, sehingga semua jenis kayu cukup baik untuk dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan pulp. 4. Ekstraktif Komponen yang terlarut dalam air dingin adalah tanin, gum, karbohidrat dan pigmen, sedangkan yang terlarut dalam air panas adalah sama dengan yang terlarut dalam air dingin tetapi dengan kadar zat yang terlarut lebih besar. Khusus untuk kelarutan dalam alkohol benzen, apabila dihubungkan dengan klasifikasi komponen kimia daun lebar Indonesia (BPK, 1952) maka semua jenis kayu termasuk ke dalam kelas rendah. Kelarutan dalam NaOH 1 % ini memberikan gambaran adanya kerusakan kayu yang diakibatkan oleh serangan jamur pelapuk kayu atau terdegradasi oleh cahaya, panas dan oksidasi. Semakin tinggi kelarutan dalam NaOH, tingkat kerusakan kayu juga meningkat dan dapat menurunkan rendemen pulp (BSN, 1989c). 5. Abu dan Silika Kadar abu yang terendah terdapat pada ki pasang, sedangkan kadar abu yang tertinggi terdapat pada sempur lilin, kadar silika terendah terdapat pada ki bugang dan kadar tertinggi pada sempur lilin, bila dihubungkan dengan klasifikasi komponen kimia kayu daun lebar Indonesia, maka jenis kayu yang diteliti
termasuk
ke
dalam
kelas dengan kandungan abu
sedang (untuk meranti merah), karena kadarnya ada diantara 0,2%-6 %, dan rendah untuk meranti putih. Komponen yang terdapat dalam abu diantaranya adalah K2O, MgO, CaO dan Na2O. Kadar abu yang tinggi tidak diharapkan 40
dalam pembuatan pulp, karena dapat mempengaruhi kualitas kertas. Sedangkan besarnya kadar silika dalam kayu dapat mempercepat proses penumpulan bilah mata gergaji kayu.
11. Sifat dan pengolahan pulp untuk kertas Pada proses pemasakan bubur kayu untuk pulp, Parashorea tomentella memerlukan alkali lebih sedikit dibandingkan dengan Parashorea smythiesii, namun meninggalkan sisa lignin lebih banyak yang ditunjukkan besarnya bilangan Kappa. Walaupun demikian Parashorea tomentella menghasilkan rendemen pulp sedikit lebih tinggi yaitu hampir dua persen. Tabel 31. Konsumsi alkali & bilangan kappa sifat dasar kayu Kalimantan 2014 Contoh kayu Parashorea tomentella Parashorea tomentella
Konsumsi Alkali 14,96
RataRata 14,96
14,96 14,96
Bilangan KAPPA 22,41
RataRata 21,95
Rendemen (%) 35,16
38,28
33,83
21,49 14,96
14,96
39,22 37,34
Sifat pengolahan pulp untuk kertas yang diamati dalam penelitian ini meliputi konsumsi alkali dan bilangan kappa sebagaimana disajikan pada Tabel 30. Konsumsi alkali adalah banyaknya pemakaian bahan kimia pemasakan selama proses pemasakan (dengan sulfat atau soda). Konsumsi alkali yang dikehendaki diusahakan serendah mungkin. Kalau konsumsi alkali tinggi perlu dipertimbangkan melakukan daur ulang bahan kimia. Dalam penelitian ini, konsumsi alkali yang tinggi adalah kayu sempur lilin, sedangkan konsumsi alkali terendah adalah ki bugang, cangcaratan, ki pasang dan ki langir Konsumsi alkali tinggi biasanya disebabkan karena kayu tersebut memiliki berat jenis tinggi, kadar lignin tinggi dan ekstraktif tinggi. Bilangan kappa menunjukkan indikasi sisa lignin dalam pulp. Untuk pembuatan kertas, bilangan kappa yang dikehendaki adalah serendah mungkin, karena terkait dengan kebutuhan bahan pemutih. Dalam penelitian ini, bilangan kappa tertinggi adalah sempur lilin dan bilangan kappa terendah 41
adalah ki langir. Bilangan kappa tinggi indikasi kadar lignin dan ekstraktif tinggi. Konsumsi
alkali
adalah
banyaknya
pemakaian
bahan
kimia
pemasakan selama proses pemasakan (dengan sulfat atau soda). Konsumsi alkali yang dikehendaki diusahakan serendah mungkin. Kalau konsumsi alkali tinggi perlu dipertimbangkan melakukan daur ulang bahan kimia. Konsumsi alkali tinggi biasanya disebabkan karena kayu tersebut memiliki berat jenis tinggi, kadar lignin tinggi dan ekstraktif tinggi. Dalam penelitian ini, konsumsi alkali beberapa sampel memiliki nilai yang sama. Rendemen yang dikehendaki adalah yang tertinggi. Kandungan selulosa yang tinggi berpotensi memiliki rendemen yang tinggi (dalam hal kondisi pemasakan yang sama). Guna melihat pulp yang baik untuk dibentuk lembaran harus diuji juga sifat fisik lembarannya, tidak cukup hanya melihat data bilangan kappa, konsumsi alkali dan rendemennya.
42
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Kayu Parashorea tomentella (Sym.) Meijer tergolong kelas kayu kelas kuat II sedangkan kayu Parashorea smythiesii Wyatt. Sm ex P.S. Ashton tergolong kayu kelas kuat III. 2. Ketahanan kedua jenis kayu terhadap rayap tanah maupun rayap kayu kering, kayu meranti merah lebih baik dari kayu meranti putih, namun keduanya termasuk kelas awet III-IV, sehingga perlu diawetkan sebelum digunakan untuk bahan bangunan maupun mebel dan barang kerajinan. 3. Kayu Parashorea tomentella (Sym.) Meijer termasuk kelompok kayu tidak-tahan (kelas IV) dan Parashorea smythiesii Wyatt. Sm ex P.S. Ashton termasuk kelompok kayu agak-tahan (kelas III). 4. Sifat pengeringan kayu meranti merah termasuk baik sampai agak baik dan kayu meranti putih termasuk agak baik sampai buruk. Cacat bentuk pada kayu meranti putih adalah memangkuk (cup) dan menggelinjang (twisting) yang cukup parah, sehingga perlu hati-hati menggunakan bagan pengeringan. 5. Proses pengkaratan yang ditandai dengan perubahan warna pada kepala (pentolan) sekrup dari putih menjadi coklat kotor ditemukan pada kayu Parashorea smythiesii, dengan intensitas pengkaratan sangat sedikit, dan pada kayu Parashorea tomentella belum terlihat adanya proses pengkaratan. 6. Parashorea smythiesii dan Parashorea tomentella termasuk jenis kayu yang mempunyai nilai kalor memenuhi standar SNI untuk arang aktif dan baik digunakan untuk pulp dan kertas. SARAN 1. Kayu Parashorea tomentella (Sym.) dan Parashorea smythiesii Wyatt. Sm ex P.S. Ashton perlu diawetkan sebelum digunakan untuk keperluan bahan bangunan maupun mebel dan barang kerajinan. 2. Kayu Parashorea tomentella (Sym.) Meijer dan Parashorea smythiesii Wyatt. Sm ex P.S. Ashton disarankan tidak dipakai di tempat yang berhubungan dengan air laut kecuali jika sebelumnya diperlakukan khusus secara benar atau diawetkan. 43
DAFTAR PUSTAKA BPK. (1952). Nama-nama kesatuan untuk jenis-jenis pohon yang penting di Indonesia. Pengumuman Istimewa No. 6. Balai Penyelidikan Kehutanan (BPK), Bogor. ASTM, (2006). ASTM D 143-94 reapproved 2000. Standard Test Methods for Small Clear Specimens of Timber. Annual Book of ASTM. American Society for Testing and Materials. Philadelphia. USA. ASTM (American Society for Testing and Materials). (1999). ASTM D 334574 (Reapproved 1999): Standard Test Method for Laboratory Evaluation of Wood and Other Cellulosic Material for Reistance to Termites. Annual Book of ASTM Standards. Philadelphia, US. --------. (2002). ASTM D 1758-02: Standard Test Method of Evaluating Wood Preservatives by Field Test With Stakes. Annual Book of ASTM Standards. Philadelphia, US. --------. (2004). ASTM D 1666-87: Standard Test Methods for Conducting Machining Test of Wood and Wood-Base Materials. Annual Book of ASTM Standards. Annual Book of ASTM Standards. Philadelphia, US. --------. (2006a). ASTM D 5536-94 (reapproved 2004): Practice for Sampling the Forest Trees for Determination of Clear Wood Properties. Annual Book of ASTM. American Society for Testing and Materials. Philadelphia. USA --------. (2006b). ASTM D 143-94 (Reapproved 2000): Methods of Testing Small Clear Specimen of Timber. Annual Book of ASTM. American Society for Testing and Materials. Philadelphia. USA. AWPA. (1972). Standard Method for Laboratory Evaluation to Determine Resistance to Subterranean Termites. American Wood Preserver Association Standard. USA. Badan Standardisasi Nasional. (1989a). SNI 14-0492-1989: Cara Uji Kadar Lignin Pulp dan Kayu (Metode Klason). Dewan Standardisasi Nasional. Jakarta. -----------------------------------. (1989b). SNI 14-1031-1989: Cara Uji Kadar Abu, Silika dan Silikat dalam Kayu dan Pulp Kayu. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. -----------------------------------. (1989c). SNI 14-1032-1989: Cara Uji Kadar Sari (Ekstrak Alkohol Benzena) dalam Kayu dan Pulp. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. -----------------------------------. (1989d). SNI 14-1305-1989: Cara Uji Kadar Kelarutan Kayu Dalam Air Dingin dan Air Panas. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. -----------------------------------. (1990). SNI 14-1838-1989: Cara Uji Kadar Kelarutan Kayu dan Pulp Dalam Larutan Natrium Hidroksida Satu Persen. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. -----------------------------------. (2006). SNI 01-7207-2006: Uji Ketahanan Kayu dan Produk Kayu Terhadap Organisme Perusak Kayu. Jakarta. -----------------------------------. (2008). SNI 14-0409-2008: Cara Uji Bilangan Kappa Pulp. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Basri, E. (2011). Kualitas Kayu Waru Gunung (Hibiscus macrophyllus Roxb.) Pada Tiga Kelompok Umur dan Sifat Densifikasinya Untuk Bahan Mebel. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (Tidak Diterbitkan). 44
Basri, E., Prayitno, T. A., & Pari, G. (2012). Pengaruh umur pohon terhadap sifat dasar dan kualitas pengeringan kayu waru gunung (Hibiscus macrophyllus Roxb.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 30(4), 243-253. Bowyer, J.L., Shmulsky, R., & Haygreen, J. G. (2007). Forest products & wood science: an introduction. Iowa State Press. Ames, Iowa. (5th Edition). 576 p. Brown, H. P., Panshin, A.J., & Forsaith, C. C. (1952). Textbook of wood technology. Vol. II. Mc Graw-Hill Book Co. New York. BSN. (2014). Uji ketahanan kayu terhadap organisme perusak kayu. Standar Nasional Indonesia, SNI 7207:2014. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Chafe, S. C. (1990). Effect of brief presteaming on shrinkage, collapse and other Word-water relatinoship in Eucalyptus regnans. Word Science Technology, 24, 311-326. Carll, C. G., & Highley, T. L. (1999). Decay of wood and wood-based products above ground in buildings. Journal of Testing and Evaluation, 27(2), 150-158 Den Berger, L.G. (1923). De Grondslagen Voor de Classificatie Van Ned. Tectona vol.16. Indische Timmerhout soorten. Djarwanto. (2009.) Sifat pengkaratan besi pada lima jenis kayu asal Sukabumi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan , 7(3), 282-289. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Djarwanto. (2010). Sifat pengkaratan besi pada sebelas jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28(3), 255-262. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Haygreen, J. G. & Bowyer, J. L. (1982). Forest products and wood science. An introduction. Iowa State Univ. Press. USA Haygreen, J. G, & Bowyer, J. L. (1989). Hasil hutan dan ilmu kayu: Suatu Pengantar. Hadikusumo, S. A. (penerjemah); Prawirohatmodjo, S. (Ed.). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. IUCN. (2012). IUCN Red List for Treathened Species. Version 2012.2. (http://www.iucnredlist.org/search). Diakses tanggal 14 Februari 2012. Kadir, K. & Barly. (1974). Catatan Mengenai Daya Korosif Beberapa Jenis Bahan Pengawet Kayu. Lembaran Penelitian. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Kartasujana, I. & Martawijaya, A. (1979). Kayu perdagangan Indonesia sifat dan kegunaannya. Penerbitan ulang gabungan Pengumuman No. 3 TH 1973 dan No. 56 TH 1975. Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor, Indonesia. Martawijaya, A. (1975). Pengujian laboratoris mengenai keawetan kayu Indonesia terhadap jamur. Kehutanan Indonesia TH II: 775-777. Direktorat Jenderal Kehutanan. Jakarta. Martawijaya, A. (1996). Keawetan kayu dan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Petunjuk Teknis. 47 hal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Martawijaya, A. (1990). Keawetan Kayu dan Faktor yang Mempengaruhinya. Petunjuk Teknis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
45
Martawijaya. A. & Barly. (2010). Pedoman pengawetan kayu untuk mengatasi jamur dan rayap pada bangunan rumah dan gedung. Buku. IPB Press. Bogor. Martawijaya, A. & Kartasudjana, I. (1977). Ciri umum, sifat, dan kegunaan jenis-jenis kayu Indonesia. Publikasi Khusus No. 41. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Martawijaya, A., Kartasudjana, I., Kadir, K. & Prawira, S. A. (2005a). Atlas kayu Indonesia. Jilid I. Cetakan ketiga (edisi revisi). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Martawijaya, A., Kartasudjana, I., Mandang, Y. I., Prawira, S. A. & Kadir, K. (2005b). Atlas kayu Indonesia Jilid II. Cetakan ketiga (edisi revisi). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Metcalfe, C. R. & Chalk, I. (1983). Anatomy of the dicotyledons. 2nd . Vol.II. Wood Structure and Conclusion of The General Introduction. Oxford. Clarendon Press. Newman M.F., P.F. Burgess, dan T.C. Whitmore. (1999a). Pedoman Identifikasi Pohon-Pohon Dipterocarpaceae Kalimantan. PROSEA Indonesia. Bogor. -----------. (1999b). Pedoman identifikasi pohon-pohon Dipterocarpaceae pulau Sumatera. PROSEA Indonesia. Bogor. -----------. (1999c). Pedoman identifikasi pohon-pohon Dipterocarpaceae Jawa sampai Nugini. PROSEA Indonesia. Bogor. Oey, D.S. (1990). Berat Jenis dari Jenis-Jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek. Soewarsono PH, penerjemah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Oey, D.S. (1990). Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman Nr. 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor-Indonesia. Oey, D. S., (1991). Berat Jenis Kayu-kayu Indonesia dan Pengertian dari Berat Kayu Untuk Keperluan Praktek. Pengumuman LPHH NO. 1. Bogor. Panshin, A. J. and C. de Zeuw. (1980). Textbook of Wood Technology. McGraw-Hill Book Co. Iowa. p. 209-272. Purwaningsih. (2004). Sebaran Ekologi Jenis-jenis Dipterocarpaceae di Indonesia. BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 89-95. ISSN: 1412-033X. Qumruzzaman, C.; S. Iftekhar; N.A. Mahbubul. (2005). Effects of Age and Height Variation on Physical Properties of Mangium (Acacia mangium Willd) Wood. Australian Forestry 68: 17-19. Rachman, A.N. dan R.M. Siagian. (1976). Dimensi Serat Jenis Kayu Indonesia. Laporan No. 2. Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor. Rulliaty, S. 1994. Wood Quality Indicators as Estimators of Juvenile Wood in Mahogany (Swietenia macrophylla King.) from Forest Plantation in Sukabumi, West Java, Indonesia. Unpublished Master’s Thesis, University of the Philippines at Los Banos, College, Laguna. The Phillippines. Sass, J.E. (1961). Botanical microtechnique. The IAWA State University Press.
46
Silitonga, T., R.M. Siagian dan A. Nurachman, 1972. Cara Pengukuran Serat di Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Publikasi Khusus No. 2. Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor. Simpson W.T. (Editor). (1991). Drykiln Operator’s Manual: Drying defects. U.S. Department of Agriculture, Forest Prod. Laboratory. Agric. Handbook 188, Madison , Wisconsin . Pp 179-2005. Smith, D.N.R., N. Tamblyn. (1970). Proposes Scheme for International Standart Test for The Resistance of Timber to Impregnation with Preservatives. Ministry of Technology, Forest Products Research Laboratory. London, England. Soerianegara, I dan R.H.M.J. Lemmens. (1994). Plant Resources of SouthEast Asia 5, (1) Timber Trees: Major Commercial Timbers. Bogor: Prosea. Suprapti, S., Djarwanto, dan Hudiansyah. (2011). Ketahanan Lima Jenis Kayu Asal Lengkong Sukabumi terhadap Beberapa Jamur Pelapuk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 29 (3): 259-270. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Suprapti, S., & Djarwanto. (2013). Ketahanan lima jenis kayu asal Cianjur terhadap jamur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(3), 193-199. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. TAPPI. 1972. TAPPI (Technical Association of the Pulp and Paper Industry)'s Testing Procedures. Numerical index of TAPPI standard and suggested method. Atlanta, Georgia. TAPPI. (1992). TAPPI T 19m-50: Tappi Test Method for Pentosan 19921993. TAPPI Press. Atlanta, Georgia. ---------. 1993.TAPPI's Test Method. TAPPI Press. Atlanta, Georgia. Terazawa, S. (1965). An Assay methods for the determination of wood drying schedule. wood industry Vol. 20 (5). Wood Technological Association of Japan. Turner, R.D. (1966). A Survey and ilustrated catalogue of the Teredinidae. Harvard University, Cambridge, Mass. -----------------. (1971). Identification of marine wood-boring mollusks. marine borers, fungi and fouling organisms of wood. Organisation for Economics Co-operation and Development, Paris. Wheeler, E. A., Baas, P. & Gasson, E. (1989). IAWA list of microscopic features for hardwood identification. IAWA Bulletin. N.s., 10(3), 219332. Rijksherbarium, Leiden, The Netherlands. Wise, E. L. (1944). Wood chemistry. Renhold Publishing Corporation. 330 West Forty Second ST, New York.
47
LAMPIRAN
48
Lampiran 1. Jenis Kayu dari Suku Dipterocarpaceae yang Belum Diteliti 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Anisoptera reticulata Cotylelobium lanceolatum Dipterocarpus acutangulus D. caudatus ssp. penangianus D. conformis ssp. borneensis D. cuspidatus D. fagineus D. fusiformis D. geniculatus ssp. grandis D. globosus D. kerrii D. ochraceus D. palembanicus ssp. borneensis D. sarawakensis D. semivestitus D. validus Dryobalanops keithii Hopea aequalis H. andersonii ssp. Andersonii H. andersonii ssp. Basaticola H. bullatifolia H. centipeda H. depressinerva H. enicosanthoides H. fluvialis H. johorensis H. kerangasensis H. latifolia H. longirostrata H. megacarpa H. mesuoides H. montana H. myrtifolia H. ovoidea H. pedicellata H. pterygota H. sphaerocarpa H. tenuinervula H. treubii H. vaccinifolia
41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80.
49
H. vesquei H. wyatt-smithii Parashorea macrophylla P. parvifolia P. tomentella Shorea acuta S. alutacea S. amplexicaulis S. andulensis S. angustifolia S. asahii S. bakoensis S. biawak S. brunnescens S. bullata S. carapae S. chaiana S. collaris S. confusa S. cordata S. crassa S. cuspidata S. dealbata S. dispar S. domatiosa S. exelliptica S. faguetiodes S. falciferoides ssp. glaucescens S. fallax S. ferruginea S. flaviflora S. flemmichii S. foraminifera S. geniculata S. havilandii S. hemsleyana ssp. hemsleyana S. hypoleuca S. iliasii S. inaequilateralis S. induplicata
81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88.
S. isoptera S. laxa S. leptoderma S. longiflora S. longisperma S. lunduensis S. micans S. monticola
121 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128.
89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120.
S. myrionerva S. obovoidea S. obscura S. pallidifolia S. parvistipulata ssp nebulosa S. patoiensis S. pilosa S. polyandra S. praestans S. pubistyla S. resinosa S. revoluta S. richetia S. rotundifolia S. rubella S. rubra S. sagittata S. slootenii S. splendida S. subcylindrica S. symingtonii S. tenuiramulosa S. venulosa S. waltoni Vatica albiramis V. badiifolia V. borneensis V. brevipes V. brunigii V. cauliflora V. chartacea V. compressa
129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144.
50
V. congesta V. coriacea V. dulitensis V. glabrata V. globosa V. granulata ssp. sabaensis V. havilandii V. maingayi V. mangachapoi ssp. mangachapoi V. mangachapoi ssp. obtusifolia V. maritima V. oblongifolia ssp. crasilobata V. oblongifolia ssp. eliptifolia V. oblongifolia ssp. multinervosa V. oblongifolia ssp. selakoensis V. odorata ssp. odorata V. odorata ssp. mindanensis V. parvifolia V. pedicellata V. pentandra V. perakensis V. rhynchocarpa V. rotata Vatica vinosa