SIAPKAH KITA MENGHADAPI ESKALASI TANTANGAN KONSERVASI LAHAN PERTANIAN DI INDONESIA? Abdurachman Adimihardja Balai Penelitian Tanah, Jln. Ir. H. Juanda 98, Bogor LAHAN PERTANIAN DILANDA DEGRADASI Seiring dengan perkembangan pembangunan nasional di segala bidang, degradasi lahan juga berkembang dengan pesat dalam arti negatif, yaitu makin mengancam keberlanjutan sistem pertanian. Hutan-hutan lebat ditebang habis dan danau-danau penampung air ditimbun untuk berbagai keperluan lain, mengakibatkan penurunan fungsi hidrologis. Jutaan hektar kawasan hutan secara formal masih terdaftar dan terbaca pada peta penggunaan lahan, namun di lapangan tidak lagi mampu menyerap air pada musim hujan dan mensuplai air pada musim kemarau. Berbagai kegiatan pembangunan sering menggunakan lahan pertanian subur, seperti untuk infrastruktur, pemukiman, perkantoran, pertambangan dan industri. Bahkan, kegiatan pertanian sendiri pun sering mengancam sustainabilitas pertanian, seperti penggunaan lereng terjal untuk tanaman semusim, perladangan berpindah dan penggunaan agrokimia beracun. Degradasi lahan dewasa ini tidak hanya berupa erosi tanah, namun sudah merambah ke bentuk-bentuk lain seperti banjir, longsor, pencemaran, dan pembakaran lahan, sudah sering terjadi dalam intensitas dan kualitas yang tinggi. Hal ini jelas merupakan ancaman bagi kelangsungan sistem pertanian, dan tantangan bagi upaya konservasinya. Pertanyaannya adalah: siapkah pihak-pihak yang bertanggug-jawab untuk menghadapi tantangan yang terus membesar tersebut ? Memadaikah kemauan dan kemampuan kita untuk mengelola konservasi lahan pertanian di seluruh Indonesia ? BERAGAM JENIS DEGRADASI LAHAN PERTANIAN Erosi tanah Erosi tanah di Indonesia, yang telah berlangsung sejak awal abad ke-XX dan masih berlanjut hingga saat ini, jelas menimbulkan dampak negatif pada produktivitas pertanian khususnya dan kehidupan masyarakat pada umumnya. Sebagai gambaran yang mengkhawatirkan, di P. Jawa saja, kerugian akibat erosi tanah mencapai US $ 341-406
76
juta/tahun (Margrath dan Arens, 1989). Laju erosi tanah pada lahan pertanian berlereng 3-15 %, berkisar antara 97,5-423,6 t/ha/tahun. Beberapa data dapat dikemukakan, sbb: (a) Pada Ultisols di Citayam, Jawa Barat, yang berlereng 14 % dan ditanami tanaman pangan semusim, laju erosi mencapai 25 mm/tahun (Suwardjo, 1981), (b) di Putat, Jawa Tengah, laju erosi 15 mm/tahun, dan di Punung, Jawa Timur, sekitar 14 mm/tahun; keduanya pada Alfisols berlereng 9-10 %, ditanami tanaman pangan, (c) Di Pekalongan, Lampung, laju erosi sebesar 3 mm/tahun pada Ultisols berlereng 3,5 %, yang ditanami tanaman pangan semusim; dan pada Ultisols di Baturaja berlereng 14 %, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun (Abdurachman et al., 1985). Erosi tanah oleh air (water erosion) menurunkan produktivitas melalui penurunan kesuburan fisika, kimia, dan biologi tanah. Menurut Langdale et al. (1979) dan Lal (1985) hasil jagung berkurang 0,07-0,15 t/ha setiap kehilangan tanah setebal 1 cm. Degradasi ini bukan saja berdampak terhadap daerah yang langsung terkena, tetapi juga daerah hilirnya, antara lain berupa pendangkalan dam-dam penyimpan cadangan air, saluran-saluran irigasi, dan pendangkalan sungai. Dengan demikian bukan saja lahan yang menjadi rusak, tetapi juga kondisi sumberdaya air menjadi lebih buruk. Banjir dan longsor Akhir-akhir ini banjir dan longsor makin sering terjadi, mengakibatkan makin tingginya degradasi lahan pertanian. Banjir dan longsor membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke tempat di bawahnya, sehingga menimbulkan kerusakan baik di lokasi kejadian, maupun areal yang tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara kedua tempat tersebut. Di Indonesia, selama periode 1998-2004 terjadi 402 kali banjir dan 294 kali longsor, yang mengakibatkan kerugian materiil sebagai tangible product sebanyak Rp 668 M (Kartodihardjo, 2006). Pencemaran Tanah Lahan-lahan pertanian juga mengalami penurunan kualitas oleh penggunaan bahan-bahan agrokimia, seperti insektisida, pestisida, dan herbisida. Penggunaan bahan-bahan tersebut meninggalkan residu zat kimia dalam tanah atau pada bagian tanaman seperti buah, daun dan umbi. Data penelitian menunjukkan adanya residu insektisida pada beras dan tanah sawah di Jawa, seperti organofosfat, organoklorin dan karbamat (Ardiwinata et al., 1999; Jatmiko et al., 1999; Harsanti et al., 1999). Pencemaran tanah juga terjadi di daerah pertambangan, seperti pertambangan emas liar di Pongkor, Bogor, yang tercemar air raksa (Hg)
77
dengan kadar 1,27 – 6,73 ppm, sampai jarak 7-10 km dari lokasi penambangan. Pencemaran tanah ditemukan juga di kawasan industri, seperti industri tekstil, kertas, baterai, dan cat. Bahan pencemar antara lain: Na, NH4, SO4, Fe, Al, Mn, Co, dan Ni (Tim Peneliti Baku Mutu Tanah, 2000). Kebakaran hutan dan lahan Degradasi tanah sebagai akibat kebakaran hutan terjadi setiap tahun, terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Menurut Bakornas-PB (dalam Kartodihardjo, 2006), dari tahun 1998-2004 di Indonesia terjadi kebakaran hutan dan lahan sebanyak 193 kejadian, yang mengakibatkan 44 orang meninggal dan kerugian harta-benda senilai Rp 647 M. BAPPENAS (1998) mencatat sekitar 1,5 juta ha lahan gambut terbakar selama MK 1997/1998. Parish (2002) melaporkan terjadinya kebakaran gambut seluas 0,5 juta ha di Kalimantan, pada MK 1982 dan 1983. Selain tanaman dan sisa tanaman yang ada di permukaan tanah, berbagai material turut hangus terbakar, seperti humus dan gambut. Kebakaran hutan juga menimbulkan gangguan terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan hidup, kesehatan, dan transportasi (Musa dan Parlan, 2002). Konversi lahan pertanian Proses degradasi lahan pertanian (dalam makna yang sebenarnya), yang tergolong sangat cepat menurunkan bahkan menghilangkan sama sekali produktivitas pertanian adalah konversi ke penggunaan non-pertanian. Dari tahun 1981-1999, di Indonesia terjadi konversi lahan sawah seluas 1,6 juta hektar; dan sekitar 1 juta hektar di antaranya terjadi di P. Jawa (Irawan et al., 2001). Winoto (2005) menyatakan bahwa sekitar 42,4 % lahan sawah beririgasi (3,1 juta hektar) telah direncanakan untuk dikonversi. Kondisi terburuk terjadi di Jawa dan Bali, di mana 1,67 juta hektar atau 49,2 % dari luas lahan sawah berpotensi untuk dikonversi. Terjadinya konversi lahan pertanian, sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani, yang memaksa petani menjual lahan pertaniannya, walaupun berakibat kehilangan sumber mata pencahariannya PERMASALAHAN KONSERVASI LAHAN PERTANIAN Jenis degradasi makin beragam dan intensif Seperti dijelaskan di atas, degradasi lahan pertanian Indonesia beragam, yaitu erosi, pencemaran kimiawi, longsor, kebakaran, konversi,
78
dan lain-lain. Penyebab utamanya adalah kelalaian dan keserakahan manusia, yang tidak memperhatikan karakteristik alam seperti curah hujan yang tinggi, lereng, dan kondisi tanah, sehingga laju degradasi makin cepat dan intensif. Hal ini menyebabkan lahan pertanian mengalami degradasi yang makin berat. Diseminasi dan adopsi teknologi lambat Sampai saat ini, masih dapat dijumpai praktek pertanian tanpa teknik konservasi, seperti pada sistem perladangan berpindah di luar Jawa. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun, penerapan teknik konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani dan belum dianggap sebagai bagian penting dari pertanian. Salah satu sebabnya adalah karena diseminasi teknologi konservasi tanah sangat lambat. Dari sumber teknologi (lembaga penelitian dan perguruan tinggi) melalui publikasi, seminar, dan simposium. disampaikan kepada penyuluh, kemudian ditransfer kepada pengguna lahan. Selanjutnya, para petani memerlukan waktu lama juga untuk memahami dan mengadopsi teknologi tersebut, lebih-lebih bila tidak memberikan keuntungan dalam waktu singkat setelah penerapannya. Proses diseminasi dan adopsi teknologi tersebut lebih lambat lagi mengingat kondisi kelembagaan penyuluhan pertanian saat ini kurang kondusif untuk diseminasi secara cepat. Kebijakan pemerintah dan sosial-ekonomi masyarakat Penyebab utama rendahnya adopsi teknologi konservasi bukanlah keterbatasan teknologi, tetapi lebih kuat disebabkan oleh masalah nonteknis, yaitu masalah kebijakan, sosial dan ekonomi. Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat menentukan keberhasilan upaya pengendalian degradasi tanah. Namun, selaras dengan tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas utama program pertanian lebih ditujukan kepada peningkatan produksi bahan pangan dan pertumbuhan ekonomi secara makro, sehingga aspek kelestarian sumberdaya lahan tertinggalkan. Selain itu, masalah sosial juga sering menghambat penerapan konservasi tanah, antara lain sistem kepemilikan dan hak atas lahan, fragmentasi lahan pertanian, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk. Kondisi ekonomi petani yang pada umumnya rendah, sering menjadi alasan bagi mereka untuk mengabaikan konservasi tanah, termasuk mendorong cepatnya konversi lahan pertanian.. Dalam hal kebakaran hutan dan lahan, faktor lemahnya peraturan dan sistem perundang-undangan merupakan hal yang melemahkan upaya konservasi hutan dan lahan tersebut. Selain itu, faktor teknis dan ekonomi
79
juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan dan lahan dengan alasan mudah dan murah. Perkembangan IPTEK konservasi tanah Di Indonesia, jenis degradasi tanah makin banyak dan intensif, yang tentunya diikuti dengan perkembangan IPTEK konservasi tanah. Namun perkembangan IPTEK tersebut belum mampu mengejar perubahan penggunaan lahan yang sering bersifat eksploitatif, tanpa memperhatikan sustainabilitas dalam jangka panjang.. Sebagai contoh, dapat dilihat perkembangan penelitian yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Pertanian, yang lebih terfokus pada penelitian erosi tanah. Kegiatan penelitian diarahkan untuk mengkompilasi berbagai data fisika tanah dan degradasi tanah, menguji berbagai teknologi konservasi tanah dan air. Hasilnya antara lain: (a) nilai-nilai faktor erodibiltas tanah Indonesia (Kurnia dan Suwardjo, 1984), (b) nilai faktor pertanaman dan tindakan pengendalian erosi (Abdurachman et al. 1984). (c) penggunaan soil conditioner, (d) tingkat erosi tanah berbagai lahan pertanian, (e) pengelolaan bahan organik dan pengolahan tanah, (f) teknologi pengendalian erosi, dan rehabilitasi tanah. Selain itu, dihasilkan juga berbagai teknologi dan model usahatani (SUT) konservasi, termasuk model kelembagaan dan sistem diseminasi, rekomendasi pemilihan jenis tanaman sesuai lereng, SUT wilayah pegunungan, SUT lahan kering beriklim kering, dan Permentan No. 47/2006, tentang Pedoman Budidaya Pada Lahan Pegunungan. Jelas bahwa penelitian dan pengembangan tersebut, lebih terfokus dan terbatas pada upaya penanggulangan erosi tanah dan longsor. Seyogyanya, IPTEK konservasi tanah lebih komprehensif sejalan dengan makin meningkatnya kompleksitas permasalahan degradasi. Pencemaran tanah oleh agrokimia belum sepenuhnya dapat teratasi, terlihat dari penggunaan agrokimia yang terus meningkat dari tahun ke tahun (Soeyitno dan Ardiwinata, 1999). Pembakaran hutan yang masih terus berlangsung, belum mampu dicegah dengan pelarangan penggunaan api untuk pembukaan lahan. Masalah lain adalah (1) pengendalian degradasi daerah tangkapan hujan dan (2) pengendalian konversi lahan pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa ke depan, IPTEK dan kebijakan tentang konservasi tanah, dalam arti luas, masih perlu dicari dan dikembangkan lebih lanjut.
80
ESKALASI TANTANGAN KONSERVASI LAHAN PERTANIAN Tantangan bagi ilmuwan Ilmuwan yang menekuni bidang konservasi tanah dan air relatif sedikit, baik di Perguruan Tinggi maupun Lembaga Penelitian, dibandingkan dengan bidang sosial, politik, hukum, kedokteran dan lainnya. Kondisi ini tampaknya tidak akan membaik dalam waktu singkat, karena minat calon ilmuwan atau calon sarjana terhadap bidang konservasi tanah sedikit sekali, bahkan peminat Ilmu Tanah pun merosot dibandingkan dengan masa 20-30 tahun yang lalu. Para Ilmuwan Bidang Konservasi Tanah ditantang untuk bekerja lebih keras dalam rangka mengembangkan IPTEK konservasi tanah, tidak hanya yang berkaitan dengan erosi tanah dan longsor saja, namun juga dengan jenis-jenis degradasi tanah lainnya, sesuai perkembangan pembangunan. Mereka juga ditantang untuk bekerjasama dengan para ahli hukum, ekonom, dan ilmuwan bidang lain, dalam penyusunan peraturan perundangan, perencanaan dan implementasi konservasi lahan pertanian di lapangan. Tantangan bagi pengguna lahan Para pengguna lahan merupakan pihak yang langsung berhubungan dengan pengelolaan lahan, baik para petani, perusahaan perkebunan, maupun pengguna lahan non pertanian. Kegiatan mereka menentukan kondisi lahan saat ini, dan juga pada masa-masa yang akan datang. Mereka harus menyadari pentingnya konservasi tanah, yang sama pentingnya dengan memelihara masa depan generasi selanjutnya. Tantangan bagi Pemerintah Pemerintah Pusat dan Daerah dituntut untuk memberikan perhatian yang lebih besar bagi konservasi lahan, termasuk lahan-lahan pertanian. Penanggulangan degradasi lahan tidak mungkin diserahkan hanya kepada pengguna lahan saja, lebih-lebih kepada petani gurem yang lemah dalam berbagai aspek kehidupan. Pemerintah dan Badan Legislatif perlu menysun dan mengesahkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Konservasi Tanah, baik berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, maupun Peraturan Daerah. Perlu pula diupayakan agar hukum-hukumnya dapat ditegakkan dengan tegas dan adil. Departemen Pertanian seyogianya mendorong program-program yang berkaitan dengan konservasi lahan pertanian, misalnya : (1) peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pertanian dengan multifungsinya, (2) penguatan kelembagaan penyuluhan pertanian,
81
termasuk pengadaan tenaga khusus penyuluh konservasi tanah, (3) penegakan hukum dalam perkara yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian, dan (4) advokasi intensif untuk menjelaskan bahwa penyelamatan sumberdaya lahan dan lingkungan merupakan tanggungjawab bersama seluruh masyarakat. Tantangan bagi MKTI MKTI bernasib kurang lebih sama dengan organisasi profesi keilmuan lainnya di Indonesia. Suaranya hanya terdengar sewaktu akan mengadakan kongres, seminar atau simposium, itupun lebih bersifat intern, tidak bergema ke seluruh lapisan masyarakat. Kendala yang mencuat bersifat klasik, yaitu lemahnya partisipasi para anggota dan masalah pendanaan. Ke depan, organisasi ini ditantang untuk lebih bersuara keras dan sistemastis, dalam memberikan input yang bijaksana dan ilmiah, berkaitan dengan penyusunan kebijakan dan program-program pemerintah dalam bidang konservasi tanah. Kendala-kendala yang ada, yaitu kurangnya perhatian dan kontribusi para anggota, serta masalah pendanaan organisasi perlu diatasi bersama oleh seluruh masyarakat konservasi tanah. GENERASI INI TIDAK SIAP MENGHADAPI TANTANGAN Berdasarkan uraian di atas, dan melihat kondisi lahan pertanian di lapangan, kita terpaksa mengambil kesimpulan bahwa generasi sekarang ini tidak siap menghadapi tantangan konservasi lahan saat ini, bahkan juga pada masa-masa mendatang. Gejala-gejalanya dapat dilihat, antara lain: 1. Konservasi tanah, dalam arti luas, tidak dianggap sebagai bagian penting dari penggunaan lahan pertanian, sebaliknya dianggap sebagai penghalang usaha, sehingga berbagai degradasi berjalan terus, seperti erosi, pencemaran, kebakaran dan konversi lahanlahan pertanian. . 2. Berbagai pihak terkait, yaitu ilmuwan, pemerintah, masyarakat pengguna lahan, dan organisasi profesi masih perlu menyiapkan diri lebih keras untuk menghadapi tantangan berbagai kegiatan pembangunan di segala bidang, yang tidak jarang berseberangan dengan upaya konservasi sumberdaya lahan. 3. Generasi muda (para lulusan SMU) kurang berminat mempelajari Ilmu-ilmu Pertanian, apalagi Ilmu Tanah dan Konservasi Tanah. Siapakah nanti yang memikirkan, merumuskan permasalahan dan mengelola konservasi lahan-lahan pertanian, hutan, dan lahan Indonesia secara keseluruhan ?
82
4. Generasi muda di pedesaan terdorong meninggalkan lahan-lahan pertanian, dan memilih bidang-bidang kehidupan lain yang lebih menjanjikan dipandang dari sudut ekonomi. Sementara yang tinggal di pertanian, tergolong usia lanjut, dan kurang memotivasi anak-anak mereka untuk mengelola lahan pertanian dengan bijaksana. 5. Masyarakat kota lebih memilih mengadakan perahu karet, rakit dan ban mobil, dalam upaya mengantisipasi banjir yang akan datang, bukannya memberantas pembalakan liar, penggunaan danau-danau dan ’catchment area’ untuk pemukiman, industri, dsb. Masih banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan rendahnya kepedulian masyarakat terhadap keberlanjutan pemanfaatan lahan, sebagai faktor penting penunjang kebutuhan dasar manusia. Perlu upaya keras untuk mempersiapkan generasi ini dan generasi mendatang dalam menghadapi tantangan konservasi tanah ke depan. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., S. Abuyamin, dan U. Kurnia. 1984. Pengelolaan Tanah dan Tanaman untuk Usaha Konservasi Tanah. Pemberitaan Penelitian.Tanah dan Pupuk. No. 3: 7-11. ISSN 0216-6917. Puslittan. Bogor Abdurachman, A., A. Barus, U. Kurnia dan Sudirman. 1985. Peranan Pola Tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian tanaman semusim. Pemb. Penelitian Tanah dan Pupuk. No. 4:41-46. ISSN 02166917. Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko, dan E.S. Harsanti. 1999. Monitoring Residu Insektisida di Jawa Barat. dalam Risalah Sem. Hasil Pen. Emisi GRK dan Peningkatan Prod. Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Prod. Padi Berwawasan Lingkungan. Puslitbangtan. BAPPENAS. 1998. Planning for fire prevention and drought management project: interim report. Jakarta. Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu Insektisida pada Ekosistem Lahan Sawah Irigasi di Jawa Timur. Dalam Risalah Sem. Hasil Penel Emisi GRK dan Peningkatan Prod. Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Prod. Padi Berwawasan Lingkungan. Puslitbangtan. 24-4-1999. Bogor Irawan, B., S. Eriyatno, A. Supriyatna, I. Anugrah; N.A. Kirom, B. Rachman, and B. Wiryono. 2001. Perumusan Model Kelembagaan Konversi Lahan Pertanian. PPSE., Bogor. Jatmiko, S.Y., E.S. Harsanti, dan A.N. Ardiwinata. 1999. Pencemaran Pestisida pada Agroekoistem Lahan Sawah Irigasi dan Tadah Hujan di Jawa Tengah. dalam Risalah Sem. Hasil Pen. Emisi GRK dan Peningkatan Prod. Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Prod. Padi Berwawasan Lingkungan. Puslitbangtan. 24-4-1999.
83